32
Edisi I | November - Desember 2015

Buletin Ceria edisi pertama

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Buletin Ceria edisi pertama

Edisi I | November - Desember 2015

Page 2: Buletin Ceria edisi pertama
Page 3: Buletin Ceria edisi pertama

Foto oleh: Andi Angger Sutawijaya

asih sebagian kecil saja sekolah-sekolah di Indonesia yang sudah dapat memenuhi standar Mlayanan minimal pendidikan. Hal ini

sebagaimana pernah diungkapkan oleh Mendikbud Anies Baswedan pada akhir tahun yang lalu. Ini artinya, kualitas proses pembelajaran di ribuan kelas belum sesuai dengan standar nasional pendidikan kita. Salah satu faktornya tentu sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidik dan tenaga didik di Indonesia yang masih belum memenuhi kriteria kecakapan yang diharapkan. Tantangan terbesar bagi seorang guru sesungguhnya bukan terletak pada persoalan mengejar target kurikulum, mencapai standar pendidikan, ataupun menuntaskan semua kompetensi yang harus dicapai oleh siswa. Lawan terbesar yang mesti ditaklukkan adalah iklim perubahan yang tengah terjadi di masyarakat dan dunia. Agar menjadi pendidik yang kompeten, setiap guru ditantang agar senantiasa sigap untuk menghadapi setiap perubahan-perubahan kondisi yang datang menghampiri.

Keterampilan mengajar seorang guru pada akhirnya harus bisa masuk ke dalam dua dimensi waktu; masa kini dan masa depan. Efektivitas suatu pembelajaran bukan sekedar ditentukan oleh tingkat penguasaan siswa terhadap materi ajar semata, namun selanjutn guru harus bisa memastikan bahwa materi-materi y saat ini tengah diajarkan bisa ditransformasi menjkompetensi yang dapat berguna bagi kehidupan didik di saat mereka dewasa. Jadi aneh apabila pembelajaran hanya berorientasi pada tes ujian, pada ujian kehidupan yang harus dihadapi pesdi masa mendatang.

Agar optimal dalam mengajar, setiap penefektif harus memenuhi prasyarat-prasya sebagai seorang pengajar profesional. Sempat kecakapan yang mesti dimiliki agamemenuhi kompetensi dalam mengajar y efektif di masa depan. Pertama, penguasaan literasi digital; Internet dijadikan sebagai wahana belajar yang tidak berbatas untuk menguatkan penguasaan materi ajar yang diampu. Hal ini sangat efektif untuk mengatasi hambatan sulitnya mendapatkan buku-buku berkualitas di daerah. Literasi digital juga mendorong agar guru terbiasa untuk menulis, baik di blog ataupun di media sosial.

ya,ang

adi peserta

bukanerta didik

didik yang rat kompetensietidaknya ada r dapat ang

Page 4: Buletin Ceria edisi pertama

Kedua, penguasaan komunikasi efektif; Setiap guru semestinya adalah pembicara

yang baik. Untuk itu, setiap guru harus melatih diri agar menguasai teknik-teknik

efektif saat mentransmisi ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya. Ketiga, penguasaan

metodologi pembelajaran; Bukan sekedar cara berkomunikasi yang baik, namun seorang pengajar profesional ditandai

dengan penggunaan metode-metode yang efektif di kelas. Murid tidak hanya mudah

dan nyaman untuk mengikuti pembelajaran, namun juga senantiasa tertantang untuk

mencari pengetahuan baru secara mandiri di luar kelas. Bagaimanapun juga, guru harus

memainkan peran yang menyenangkan sebagai fasilitator bagi perkembangan

akademik siswa.

Keempat, pemahaman psikologi yang shahih; Dimensi pendidikan yang tidak bisa

diabaikan adalah kemauan dan kemampuannya dalam mengatasi problema-

problema belajar yang dihadapi oleh murid. Tidak ada murid yang bodoh, yang ada

hanyalah guru yang belum mengenal potensi siswa yang sebenarnya. Setiap anak pasti memiliki potensi dan bakat yang berbeda.

Maka hendaklah guru itu bersikap sabar dan bijaksana. Dengan pemahaman yang benar

tentang psikologi siswa, maka tidak akan ada siswa yang terciderai secara psikis

ataupun gagal dalam belajar.

Bila empat hal ini mampu dikuasai oleh sebagian besar guru kita, maka pendidikan

kita tidak akan mungkin jalan di tempat terus. Selain itu, perlu adanya keseriusan

pula dalam melakukan perbaikan menyeluruh dalam kualitas pendidikan kita.

Dalam lingkup mikro, harus digagas strategi alternatif untuk melahirkan sekolah-sekolah

berkualitas yang dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat di seluruh wilayah

Indonesia. Untuk mewujudkan hal ini, maka Yayasan Pendidikan Dompet Dhuafa

memiliki beberapa program-program pengembangan pendidikan di banyak

daerah tertinggal. Semoga kita tidak pernah berhenti untuk selalu berikhtiar dalam

membangun kualitas pendidikan Indonesia yang labih baik.

Foto oleh: Andi Angger Sutawijaya

Page 5: Buletin Ceria edisi pertama
Page 6: Buletin Ceria edisi pertama

alam Hangat teman-teman pembaca, semoga senantiasa dilimpahkan kerberkahan ya -amiinn-. Pernahkah teman-teman mendengar MLM S(Multi Level Marketing) dan cara kerjanya?. Cara kerja MLM juga

dapat kita terapkan dalam hal menyebarkan manfaat, melalui Multi Level Manfaat (MLM).

Foto oleh: Dokumentasi Alumni

Konsep yang sama juga dilakukan oleh Ikatan Alumni Beastudi Etos wilayah Makassar.Melalui program "Alumni Menginspirasi", para alumni Makassar berbagi inspirasi kepada penerima manfaat aktif. Kegiatan ini berlangsung setiap sebulan sekali & bertempat di asrama etos. Selain untuk menginspirasi, alumni juga dapat bernostalgia sekaligus meningkatkan ikatan emosional antara penerima manfaat & alumni.

Page 7: Buletin Ceria edisi pertama

Kebermanfaatan dilakukan juga oleh Alumni Beasiswa Chevron Dompet Dhuafa 2011 Rhandy Aditya. Bersama dua rekannya Rhandy menciptakan alat pendeteksi penyakit jantung. Alat ini dipercaya bisa mendeteksi penyakit jantung kardiovaskular lewat deteksi pembuluh darah. Alat tersebut juga sudah diliput oleh dr OZ di Trans TV.

Alumni Surabaya melakukan kegiatan penghimpunan donasi pada bulan Oktober 2015. Total dana yang

terkumpul mencapai 23.850.000 (18 juta dlm bntuk pinjaman lunak, 5,8 juta dalam bentuk infaq). Perolehan sebesar itu digunakanuntuk membantu pembiayaan sewa asrama putri Surabaya.

Semua pencapaian tersbt memang belum besar, tetapi setidaknya ini langkah pertama kami untuk terus menuju ke mimpi besar kami bahwa "suatu saat nanti,yg membiayai program kita nanti adalah alumni program kita sendiri".

Foto oleh: Pradila Maulia

Page 8: Buletin Ceria edisi pertama
Page 9: Buletin Ceria edisi pertama
Page 10: Buletin Ceria edisi pertama
Page 11: Buletin Ceria edisi pertama
Page 12: Buletin Ceria edisi pertama

Tan Malaka memang lebih dikenal dari sisi aktifitas politik, sebenarnya Tan Malaka memiliki latar belakang pendidikan seorang guru di kweekschool di Bukit Tinggi dan melanjutkan pendidikan guru di Haarlem Belanda. Setelah lulus, Ia kemudian menerima tawaran Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Ia tiba di sana pada Desember 1919; dan mulai mengajar anak-anak itu bahasa Melayu pada Januari 1920.

Sumber Gambar: http://shadowness.com/

ejarah pendidikan di Indonesia diawali dari perjuangan yang Ssangat panjang. Dipengaruhi

oleh berbagai aspek baik itu aspek agama maupun aspek budaya, serta berbagai aspek politik yang ada sehingga karakter yang terbentuk dalam sistem pendidikan pun tidak lepas dari aspek-aspek tersebut.

Ketika masa kolonial, pendidikan dikategorikan berdasarkan strata sosial dan ras. Seorang anak pribumi priayi tinggi diperbolehkan masuk ke sekolah-sekolah khusus warga kulit putih, sementara anak-anak dari rakyat biasa hanya diperbolehkan masuk di sekolah rendahan.

Adalah Sarekat Islam Semarang menjadi model pergerakan yang memberikan pendidikan kepada masyarakat yang berbeda dari model pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Model pendidikan yang dirancang oleh Tan Malaka pada tahun 1921 merupakan cara untuk mengimbangi keberadaaan Hollandsch-Indische School (HIS), sekolah menengah yang hanya ditujukan bagi segelintir kalangan pribumi.

“Sekolah ini menjadi pesaing HIS, sekolah sekunder, terbuka dan terbatas untuk orang Indonesia yang telah menyelesaikan pendidikan dasar mereka di Sekolah Kelas II (Tweede Klasse),” kata sejarawan Harry Poeze, penulis biografi Tan Malaka, dalam pengantar brosur Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs.

Page 13: Buletin Ceria edisi pertama

Tan Malaka sangat mencintai dunia pendidikan, karena dia sangat menyadari bahwa untuk menjadi bangsa merdeka, pendidikan adalah modal utama. Kecintaan Tan Malaka terhadap pengajaran digambarkan Hary Poeze, ketika Tan Malaka harus menjalani praktek mengajar di sekolah ekstern dia menampakkan bakat luar biasa dalam pedagogi, anak-anak sangat merasa sedih ketika Tan malaka harus meninggalkan mereka. Ketika mengajar Tan Malaka selalu meluangkan waktu untuk melatih baris berbaris yang sangat disukai mereka.

Bahkan Selama di Tiongkok, Tan Malaka tidak ingin menyia-nyiakan waktu, dia memanfaatkannya dengan mendirikan sebuah sekolah bahasa asing. Pada perkembangannya foreign language school tidak hanya semata-mata belajar bahasa asing tapi berkembang pada diskusi tentang Politik, Ekonomi, dan Filsafat. Pelajaran tambahan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi pemuda Tiongkok untuk belajar disana. Tan Malaka juga menambahkan materi pelajaran dengan jurnalisme, book keeping, untuk itu dia membutuhkan guru pembantu sehingga dibukalah penerimaan guru. Karena Tan Malaka memiliki misi politik, maka foreign language school pun harus ditinggalkan. Menurut Tan Malaka ketika foreign language school ditinggalkannya untuk melawat ke Singapura.

Tan Malaka juga menjadi guru bahasa Inggris sekaligus sebagai kepala sekolah di Singapura. Selama di Singapura proses belajar mengajar terganggu karena serangan pesawat tempur Jepang. Membuat para guru mempunyai tugas ekstra, yaitu melindungi murid dari serangan bom. Tentara sukarela dibentuk di sekolah Tionghoa tempat Tan Malaka mengajar, dan banyak murid yang terlibat, terutama dalam penyadaran politik. Sekolah ditutup dan beralih fungsi menjadi tempat pelatihan tentara sukarela dan sebagai asrama. Tan Malaka tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang sekolah di Singapura tersebut.

Bagi Tan Malaka untuk masa depan suatu bangsa yang maju, harus dicapai melalui pendidikan. Karena pendidikan merupakan perkakas membebaskan rakyat dari keterbelakangan dan kebodohan, karena itu sekolah-sekolah harus didirikan untuk rakyat. Pendidikan untuk rakyat Indonesia harus berakar kepada budaya Indonesia yang terus digali dan disampaikan dengan bahasa Indonesia.

Begitu kuatnya pemikiran Tan Malaka soal perjuangan berlandaskan pendidikan, sehingga membuat Sekolah Sarekat Islam didirikannya bukan hanya sekedar untuk mencetak juru tulis bagi kepentingan pemerintah

Page 14: Buletin Ceria edisi pertama

1. Memberi senjata cukup, buat pencarian penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dan sebagainya)

2. Memberi hak murid dalam kehidupannya dengan jalan pergaulan (verenniging).

3. Menunjukkan kewajibannya kelak terhadap berjuta-juta kaum kromo (rakyat jelata).

kolonial, tetapi sebagai bekal hidup mereka dan keterlibatan aktif bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dasar yang dipakai Tan Malaka adalah dasar kerakyatan dalam masa penjajahan. Sekolah Sarekat Islam yang didirikan Tan Malaka bukan bermaksud mencari keuntungan, seperti sekolah-sekolah partikulir. Program sekolah rakyat ini memungut biaya ringan bahkan gratis. Prinsip yang dianut dan diterapkan si sekolah sarekat Islam yaitu:

Pada perkembangan sekolah SI, Bandung adalah daerah kedua berdirinya Sekolah Sarekat Islam. Pada masa ini terdapat 300 orang murid, yang membuat Tan Malaka mengerahkan tenaga guru baru ke Bandung. Setelah Tan Malaka ditangkap dan dibuang ke Eropa, sekolah SI tidak hanya mendapat pemboikotan dari pemerintah kolonial, tetapi juga perpecahan internal. Kepentingan politik kelompok ideologis secara perlahan menghacurkan sekolah yang didirikan Tan malaka tersebut.

Sumber Gambar: http://5berita.com/

Menurut R. Kern, seorang penasehat pemerintah kolonial dalam masalah-masalah pribumi, Kesuksesan sekolah Sarekat Islam tersebut dikarenakan hal berikut: (1) Kurangnya tempat bagi pribumi untuk belajar di HIS. (2) Bakat Tan Malaka dalam mengorganisir. (3) Penguasaan Tan Malaka dalam bidang pendidikan. (4) Bakat improvisasi Tan Malaka dalam mengatasi permasalahan penyelenggaraan pendidikan. (5) Biaya pendidikan rendah bahkan gratis. (6) Berideologi anti kolonialisme.

Page 15: Buletin Ceria edisi pertama
Page 16: Buletin Ceria edisi pertama
Page 17: Buletin Ceria edisi pertama

Gerakan Kemerdekaan India dari kolonial Inggris pada masa itu. Mahatma Gandhi tewas dibunuh pada tanggal 30 Januari 1948 oleh seorang hindu yang marah kepadanya karena dianggap terlalu memihak kepada kaum muslim. Dan Gandhi dengan perannya, kini aku dengan peranku. Peranku disini mengajar dan belajar akan banyak hal dari keadaan.

Mundur ke belakang, tadi malam adalah malam pertama aku menjadi perempuan mandar. Aku merasakan sekarang, bagaimana beratnya menjadi masyarakat terluar yang harus membayar pajak namun tak menuai dampak. Tiang-tiang listrik bagaikan bukit barisan, hanya tiangnya saja, bukan listriknya. Mama menceritakan, disini hidup mengandalkan generator umum yang beroperasi pukul 18.00-23.00 Waktu Indonesia Tengah. Setiap bulan mereka membayar iuran solar sebesar Rp. 70.000. Aku merasakan listrik dengan daya yang tidak stabil, bisa membuat rusak bahkan meledak barang elektronik menjadi andalan, kita tak punya pilihan selain berharap pemerintah datang dan membuat keajaiban.

Setelah bercakap-cakap, aku dan Ka Woro partnerku berangkat. Sesampainya di sekolah, kami dikenalkan dengan guru-guru yang lain. Mereka masih duduk di bangkunya, ada yang asik dengan rokoknya, dan anak-anak berlarian di luar ruangan. Aku kira sesampainya di sekolah, aku bisa langsung mengajar, ingin menyudahi omongan namun pekewohku jauh lebih besar. Hingga pada akhirnya dua anak itu datang, sambil malu-malu ia mengatakan “Bapak, kami sudah boleh pulang”, aku beranjak dari tempat duduk ku dan mengatakan “Jangan, ayo kita belajar” ketika detik jam dinding menunjukan pukul sembilan.

Anak-anak itu berlarian menuju kelasnya, duduk berebutan. Aku masuk dan guru yang lainnya ikut masuk. Aku kebagian mengajar kelas tiga. Muridku hanya sedikit saja, hanya tujuh orang. Aku ajari mereka membuat name tag, agar mudah aku mengingat.

Ada 6 perempuan dan satu laki-laki. Aku mengajarkan perkalian. Kita belajar bernyanyi, belajar menjadi rakyat yang tabah dengan segala sekat antara desa ini dan kota tempat aku dibesarkan, sungguh naas tak sesintipun ada kesamaan.

Kelasku disekat dua, kelas sebelah terdengar riuh dan gurunya menjelaskan soal berorganisasi. Kelasku hening, aku sedang mencuri hatinya karena sedari tadi mereka lah yang selalu mencuri hatiku. Menjawab malu-malu, tapi semangatnya tanpa ragu. Aku tak mengenal banyak, aku pun masih belajar menjadi guru yang mentransfer ilmu dengan caraku. Sosiologi tak pernah mengajarkanku mendidik masyarakat, tapi aku diajarkan menjadi insan terdidik dengan belajar di masyarakat.

Aku malu-malu. Suaraku diturunkan volumenya, karena jika terdengar, anak kelas sebelah yang bersekat papan akan meniru. Aku canggung mengajar disini, mungkin itu juga yang dirasakan guru dikelas sebelah yang jarak diantara kita hanya disekat papan. Usai kelas, anak-anak berlarian menghampiriku. Kita berkenalan, mereka sungguh mudah mencari perhatian. Kita berfoto bersama dan membuat janji, siang nanti kita akan belajar tambahan. Mereka menanyakan pukul berapa harus datang dengan logat mandar.

“Ibu, nanti kita datang jam 1 sore ya ibu?” ucap anak didik ku

“Kalau jam 1 itu siang, kalau jam 5 baru sore” jawabku membenarkan perkara waktu, lantas mereka tertawa sambil berkata “iya bu, maaf salah hehe”. Dan benar, belum pukul satu mereka sudah datang, padahal aku baru saja menaruh tas dan ingin mengambil makan. Seusai makan, solat, berganti pakaian, kita kembali mengajar. Mengajar tambahan di rumah singgah ceria kami. Rumah Mamak bentuknya rumah panggung. Bagian atas berlantai papan, bagian bawah berlantai keramik.

Page 18: Buletin Ceria edisi pertama

Kita belajar di rumah, aku mengajarkan cara membaca. Sungguh, ternyata sulit, tapi lebih sulit jika aku membiarkan mereka tak bisa mengeja barang sedikir. Dua orang, anak kelas satu dan anak kelas tiga. Arsya dan Tino, keduanya teramat membuatku beruntung pernah mengeyam pendidikan yang jauh lebih baik di Jawa.

Siang berlalu, sudah menunjukan pukul empat. Aku masuk ke kamarku, berefleksi ternyata benar kata Mas Budi, apalah artinya perjuangan tanpa sadar bahwa ini semua dibatasi waktu. Menghitung hari, entah kapan aku pulang. Aku putuskan mencari sinyal. Ku gantung handphoneku di pinggir jendela, agak lama karena aku belum terbiasa mencari sinyal hingga akhirnya aku berkali-kali ganti kartu dan putus asa. Malam cepat sekali datang, tak ada yang bisa kami kerjakan kecuali ngecash gadget yang kami miliki, kamera, netbook, handphone, powerbank dan berkali-kali kekhawatiran itu datang, sampai kapan barang-barang canggih ini tahan dengan ketidastabilan daya dari generator umum ini. Kututup malam dengan rasa syukur yang besar.

Terimakasih Allah atas kesempatan yang mahal,

untuk pertama kali mulut ku di bungkam, jika terbiasa mengeluh dan mengkritik, sedikit-sedikit nge'tweet

mention pemerintah yang bersangkutan, kini semua

fasilitas itu hilang, yang ada hanyalah aku dan Allah

sebagai Tuhan, tanpa sinyal, tanpa listrik, aku masih memiliki 3 pekan untuk

menjali kehidupan di tanah Mandar

Foto oleh: Andi Angger Sutawijaya

Page 19: Buletin Ceria edisi pertama
Page 20: Buletin Ceria edisi pertama
Page 21: Buletin Ceria edisi pertama
Page 22: Buletin Ceria edisi pertama

Aidaa...Berat kali alur-alur iniLaksana rimba raya yang tak berujung tak bertuanMenoleh akan tersesatMundur berarti khianatTak boleh lupa ini amanatBukan rehat-rehat pelipur penat

Saat Guru jadi pilihan hidupMaka jalan terjal nan panjang telah menantiDi seberang cakrawala sanaJalan itu terus saja memanjangSampai alam pun berganti dimensi

Amboii...Mampukah jalan sepi ini untuk dititi?

Saat Guru jadi pilihan hidupMaka tiap-tiap tutur adalah hikmahSelalu kelakuan jadi panutanDan satu-satunya kekayaan adalah semesta pikiran

Aduhai Gurunda...Bangun dan merdekalah!

Saat Guru jadi pilihan hidupMerdekakan dirimu!Merdekakan kelas-kelas ajarmu!

Bebaskan hati dari bujukan godaPerteguh niat agar selamatSertifikasi tak boleh mendorongmu mati mudaTanpa itu, dirimu tetaplah mulia

Nestapamu adalah kelak pintu surga bagimuTunggulah sebentar,Sampai Sang Pemilik semua hari membukakannya

(Dari Selat Malaka, di Timur Swarna Dwipa, 1 Desember 2015)

Page 23: Buletin Ceria edisi pertama
Page 24: Buletin Ceria edisi pertama

Rina, setelah lulus SD kamu lanjut sekolah kemana?” “tanya guruku. Pertanyaan

terakhir yang masih ku ingat sampai sekarang dari sosok guru terbaikku. Pak Suroso, namanya. Guru yang mengajariku sejak di kelas 4 hingga aku lulus, di SDN 01 Panjang Utara, Bandar Lampung. Fisiknya yang tambun dan suaranya yang besar mungkin bisa membuat anak-anak takut diajarnya. Ternyata salah, Pak Suroso bagiku sosok yang penyabar, bersahaja, dan lembut terhadap anak-anak. Mengapa aku simpulkan demikian? Karena hingga hari ini, aku mencoba untuk bernostalgia kembali dimasa SD, tak ada satu pun peristiwa yang membekas yang menunjukkan peringai buruk dari beliau. Aku hanya bisa mengingat kebaikannya, senyumnya, dan suaranya. Sesekali beliau suka meletakkan salah satu tangannya di pinggang, tapi bukan marah. Gaya tolak pinggang beliau manandakan beliau tengah asyik ngobrol dengan salah satu rekan kerjanya.

Aku paling senang Pak Suroso mengajar di kelas kesenian. Kami diajarkan tangga lagu, membaca not, dan menyanyi sesuai dengan notasi. Semua lagu yang diajarkan beliau adalah lagu-lagu wajib nasional. Makanya hingga hari ini, aku masih hafal lagu-lagu wajib nasional seperti Gugur Bunga, Indonesia Pusaka, Rayuan Pulau Kelapa, Dari Sabang sampai Merauke. Mungkin hari ini anak-anak Indonesia sudah tidak hafal lagi karena lebih tergiur menghafal lagu-lagu tema kekinian.

Foto oleh: Rina Fatimah

Page 25: Buletin Ceria edisi pertama

Memang dibanding dengan guru-guru yang lain, Pak Suroso memang jago bernyanyi. Beliau memiliki suara bariton yang enak didengar. Wajar saja, kelas kami selalu tampil bagus ketika paduan suara upacara bendera. Dan aku selalu terpilih menjadi dirigennya. Sampai hari ini, jika di kantorku ada acara-acara resmi, aku selalu ditunjuk menjadi dirigennya.

Pelajaran yang paling aku sukai semasa SD dulu yakni matematika. Agak aneh saja kalau ada anggapan pelajaran matematika, pelajaran yang paling menakutkan dan momok bagi anak-anak. Bersyukur, kesabaran Pak Suroso mengajar kami, membuat kami paham. Tips yang paling kuingat yang diajarkan oleh Pak Suroso yakni bagaimana menyelesaikan soal cerita. Pertama baca soal cerita dengan perlahan, jangan terburu-buru. Kedua tulislah apa saja yang perlu diketahui dari soal tersebut. Ketiga tulislah apa yang ditanya dari soal. Setiap mengerjakan soal cerita, beliau selalu mengingatkan kami akan tiga langkah pengerjaan. Kalau masih bingung dengan pertanyaannya, silakan baca soalnya dan lihat kembali tulisan diketahuinya. Begitulah tips Pak Suroso untuk menyelesaikan soal cerita.

Tak hanya pelajaran yang kami peroleh, sikap toleransi karena perbedaan keyakinan juga diajarkan oleh beliau. Pak Suroso beragama Katolik, sebagian besar murid yang diajarkan beliau beragama Islam. Pulang sekolah, aku dan teman-teman ikut les di rumah Pak Suroso. Ssssstttt…bukan sembarangan les yang dijadikan sebagai pendokrak nilai raport yah. Les diberikan Pak Suroso, murni untuk anak-anak yang masih ingin belajar lebih. Seingat aku, tidak ada soal ulangan yang dibocorkan atau nilaiku jadi tambah bagus. Les dimulai pukul 1 siang, istirahat saat adzan ashar, dan kembali lagi sampai jam 4 sore. Kebetulan, jarak antara rumahku-rumah pak Suroso tidak terlalu jauh. Aku selalu mengendarai sepeda mini. Saat natalan, kami semua diundang ke rumah beliau mencicipi kue natalan buatan istrinya. Yah namanya masih anak-anak, aku sikat aja. Lagipula kuenya enak.

Page 26: Buletin Ceria edisi pertama

Tahun lalu, aku berkesempatan tugas di Lampung. Sudah ada niatan ingin berjumpa dengan beliau. Aku tanya kepada Ibu Dahlia kepala sekolah SDN Bumi Waras 1, Bandar Lampung yang sekolahnya mendapatkan pendampingan dari kantorku, “Bu, kenal dengan Pak Suroso yang tinggal di Panjang? Dulunya mengajar di SDN 01 Panjang Utara?” tanyaku. “Kenal…beliau sekarang sudah menjadi kepala sekolah tapi bukan di sekolah itu lagi. Agak jauh dari rumahnya” jawab ibu Dahlia. Syukurlah, aku jawab dalam hati. Semoga esok hari ada kesempatan berkunjung.

Namun, sayangnya kesempatanku untuk berkunjung ke rumah beliau harus diurungkan. Karena pkerjaanku di Lampung belum juga rampung. Akhirnya…aku hanya bisa berkesempatan mampir melihat SD ku dulu. 25 November, Hari Guru. Aku ingin mengucapkan terima kasih untuk guru terbaikku, Pak Suroso. Kesabaran dan kasih sayangmu masih lekat di dalam hatiku. Suaramu hingga hari ini masih jelas ditelingaku. Rasanya aku ingin kembali ke masa 14 tahun yang lalu, saat aku duduk di kelas 4 SD. Semoga engkau selalu diberi kesehatan dan terus dalam lindungan Tuhan, amiiin.

Foto oleh: Andi Angger Sutawijaya

Page 27: Buletin Ceria edisi pertama
Page 28: Buletin Ceria edisi pertama
Page 29: Buletin Ceria edisi pertama
Page 30: Buletin Ceria edisi pertama
Page 31: Buletin Ceria edisi pertama
Page 32: Buletin Ceria edisi pertama