32

Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Embed Size (px)

DESCRIPTION

SS

Citation preview

Page 1: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014
Page 2: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014
Page 3: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

terhadap biaya.

Manfaat jaminan diberikan kepada

peserta JKN dalam bentuk pelayanan

kesehatan yang bersifat menyeluruh

(komprehensif) berdasarkan

kebutuhan medis sesuai dengan

standar pelayanan kesehatan yang

paripurna kepada pesertanya, bukan

hanya pelayanan obat yang sesuai

dengan kebutuhan.

Hasil Kesimpulan:

1. Mengetahui informasi tentang

Formularium Nasional (Fornas):

90,32%

2. Menggunakan e-catalog obat dalam

penyediaan obat: 90%,

- 10% masih pembelian langsung

secara manual.

- (Puskesmas memperoleh obat

dari Dinas Kesehatan Kabupaten)

3. Kendala dalam pemanfaatan e-

catalog (77,4%) antara lain:

- masih banyak obat belum ada

dalam e-katalog

- beberapa obat belum ada

distributornya

- sistem pembelian obat yang tidak

mudah

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

“Penggunaan obat yang mengacu

pada Fornas akan meningkatkan

efisiensi biaya obat dan pada akhirnya

akan berdampak pada efisiensi biaya

pelayanan kesehatan secara

menyeluruh. Untuk mengoptimalkan

implementasi dari pedoman dan

standar dalam penggunaan obat, agar

mencapai tujuan penetapannya,

diperlukan upaya untuk melakukan

sosialisasi dan advokasi kepada

dokter/penulis resep di fasilitas

pelayanan kesehatan dan Kepala

Instalasi Farmasi Rumah Sakit, agar

pedoman dan standar penggunaan

obat tersebut dapat diterapkan secara

optimal” demikian disampaikan oleh

Kasubdit Standardisasi dr. Zorni Fadia

ketika membacakan sambutan

pembukaan Direktur Bina Pelayanan

Kefarmasian pada kegiatan Evaluasi

Implementasi Pedoman Dan Standar

Di Provinsi Sulawesi Tengah yang

diselenggarakan pada tanggal 2 s.d 4

Juli 2014 di Hotel Santika Palu,

Sulawesi Tengah.

Kegiatan ini dilaksanakan dengan

tujuan untuk mendapatkan data

evaluasi dalam penerapan pedoman

dan standar kepada dokter penulis

resep (prescriber) dan tenaga

kefarmasian di Rumah Sakit dalam

rangka meningkatkan penggunaan

obat secara rasional.

Pelayanan kesehatan saat ini

memiliki paradigma baru yaitu

menempatkan pasien sebagai fokus

pelayanan. Obat merupakan bagian

penting dari pelayanan kesehatan.

Biaya obat umumnya mencapai 30-

40% dari total biaya pelayanan

kesehatan dan cenderung untuk terus

meningkat. Oleh karena itu diperlukan

pemilihan dan penggunaan obat yang

efektif dan efisien. Konsep obat

esensial merupakan pendekatan yang

telah terbukti paling bermanfaat untuk

menyediakan pelayanan kesehatan

yang bermutu dan terjangkau. Konsep

ini diwujudkan dengan penyusunan

Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)

dan Formularium Nasional (Fornas).

Fornas adalah daftar obat terpilih

yang dibutuhkan dengan

mempertimbangkan rasio manfaat

terhadap risiko maupun manfaat

l Hal.03 Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014

Liputan

EVALUASI IMPLEMENTASI PEDOMAN DAN

STANDAR

Page 4: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

obat lebih cepat.

9. Dari 9 RS yang hadir 8 RS sudah

memiliki KFT: 88.89%

10. RS sudah memiliki Formularium RS:

88,89%

11. Fornas telah digunakan sebagai

acuan dalam penyusunan

Formularium RS: 90%

12. Referensi yang digunakan dalam

penyusunan Formularium Rumah

Sakit: DOEN, Fornas, Formularium

spesialistik, DPHO.

13. Yang telah menggunakan SIM RS:

33,33%

14. Proporsi obat dalam Fornas di RS

rata-rata : 59.99%

15. Jumlah item obat yang tersedia

dalam fasilitas kesehatan Tingkat I

di kab/kota: 85.81%

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

- waktu pengiriman lama/ obat

datang terlambat

- sulit koneksi jaringan

- petugas belum dilatih khusus

- belum tersedia obat generik

dalam Fornas

- ada pabrikan yang tidak bisa

memberikan harga sesuai

e-catalog

4. Masalah dalam ketersediaan item

obat yang tercantum dalam Fornas:

- kosong distributor (5 item obat)

yaitu: diazepam injeksi, efedrin,

kodein, ergotamin, sukralfat

- stok kurang (3 item obat) yaitu:

diazepam tablet, amlodipin,

salbutamol,

- tidak ada di pasaran/tidak

tersedia (9 item obat) yaitu: CTM,

prednison, cimetidin, ampisilin,

GG, lidocain, salicyil, ambroxol,

PCT.

5. Yang menggunakan obat di luar

Fornas: 32,25%

6. Masalah dalam ketersediaan obat

yang tercantum dalam Fornas

terkait dengan dukungan dari

pimpinan/managemen (25,80%)

antara lain:

- obat yang diperlukan kurang atau

tidak tersedia

- pengadaan yang lama

7. Kendala lain dalam penerapan

Fornas:

- menambah obat yang

dibutuhkan/masuk dalam Fornas

- sosialisasi masih kurang

- pasien menuntut obat di luar

Fornas

8. Saran untuk pengembangan

Fornas:

- sosialisasi sampai di tingkat

Puskesmas

- meninjau kembali obat yang

tercantum dalam Fornas

- menambah obat yang tercantum

dalam Fornas

- sosialisasi kepada tenaga medis

agar menggunakan Fornas dan

DOEN

- ketersediaan obat di Puskesmas

harus tersedia untuk 144 jenis

penyakit

- meninjau kembali pabrikan

pemenang tender, agar

menyediakan obat sehingga tidak

terjadi kekosongan obat.

- e-catalog diharapkan pengadaan

Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Hal. 04l

Page 5: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

Pada tanggal 19 s.d 22 Juni 2014

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian

dan Alat Kesehatan menyelenggarakan

Pertemuan Pembinaan

Perbendaharaan Tahun 2014,

bertempat di Hotel Grand Aquila

Bandung, yang bertujuan untuk

meningkatkan kualitas dan kompetensi

serta profesionalitas Pengelola

Keuangan (PPK, PPSPM dan

Bendahara) dalam melakukan

penatausahaan pengelolaan keuangan

meliputi perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan dan pertanggungjawaban

anggaran sesuai dengan peraturan

perundang - undangan yang berlaku.

Berdasarkan Undang Undang

Republik Indonesia No 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara

dinyatakan bahwa pengelolaan

keuangan negara perlu dilaksanakan

secara profesional, terbuka dan

bertanggungjawab.

Pemerintahan yang bersih dan baik

menuntut para pengelola keuangan

Negara untuk dapat bekerja sesuai

dengan tuntutan masyarakat yang

semakin kritis dan transparan dalam

proses penyelenggaraan pemerintah,

maka diperlukan peningkatan kualitas

dan profesionalitas aparatur Negara

khususnya Para Pengelola Keuangan

(Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat

Pembuat Komitmen, Pejabat

Penandatangan SPM dan Bendahara).

Sejalan dengan perkembangan

kebutuhan pengelolaan keuangan

Negara, dirasakan pula semakin

pentingnya fungsi perbendaharaan

dalam rangka pengelolaan sumber

daya keuangan pemerintah yang

terbatas secara efisien, fungsi tersebut

meliputi perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan dan pelaporan yang di

dalamnya terdapat perencanaan kas

yang baik, pencegahan agar jangan

sampai terjadi kebocoran dan

penyimpangan anggaran.

Melalui pertemuan ini diharapkan

dapat meningkatkan kualitas dan

kompetensi serta profesionalitas Para

Pengelola Keuangan Satker Ditjen

Binfar dan Alkes baik di Pusat maupun

di Daerah dalam mengelola DIPA di

unit kerja masing–masing sesuai

dengan perkembangan dan ketentuan

yang berlaku.

Pertemuan ini dihadiri oleh Pejabat

Pembuat Komitmen (PPK), PPSPM dan

Bendahara Pengeluaran (BP) dari

seluruh Satuan Kerja di lingkungan

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian

dan Alat Kesehatan Kementerian

Kesehatan RI, yang terdiri dari 5 Satker

Pusat dan 33 Satker Dekonsestrasi

Dinas Kesehatan Provinsi.

Pertemuan Pembinaan

Perbendaharaan ini merupakan

rangkaian kegiatan sebagai upaya

untuk menerapkan pengelolaan

keuangan yang sejalan dengan prinsip-

prinsip pemerintahan yang baik

terutama dalam pencatatan

pembukuan para Bendahara

Penerimaan dan Pengeluaran.

Dalam pertemuan ini hadir

beberapa narasumber yang

menyampaikan materi-materi dengan

metode penyampaian paparan, diskusi

aktif dan praktek, khususnya tentang

aplikasi SILABI (Sistem Laporan

Bendahara Instansi). Materi yang

disampaikan antara lain berasal dari:

�Biro Keuangan dan BMN

Sekretariat Jenderal Kementerian

Kesehatan menyampaikan materi

tentang Pembinaan

Kebendaharaan dan Pengenalan

SILABI

�Kanwil Direktorat Jenderal

Perbendaharaan Kementerian

Keuangan memberikan materi

PMK 162/PMK/05/2013 tentang

kedudukan dan tanggungjawab

Bendahara pada Satuan Kerja

Pengelola APBN dan Perdirjen

Perbendaharaan Nomor PER-

3/PB/2014 tentang Juknis

Penatausahaan Pembukuan dan

Pertanggungjawaban Bendahara

pada Satker Pengelola APBN

�Kantor Pelayanan Perbendaharaan

Negara Jakarta VII menyampaikan

materi tentang Proses Penerbitan

SP2D atas SPM yang diajukan,

Rekonsiliasi dengan Satker,

Konfirmasi PNBP, Validasi

Penyetoran dan Pemantapan

SILABI.

PERTEMUAN PEMBINAAN PERBENDAHARAAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

l Hal.05 Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014

Page 6: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Hal. 06l

bebas, termasuk alat kesehatan.

Menurutnya, berbagai upaya

telah dilakukan untuk

meningkatkan kemampuan

industri dalam negeri, termasuk

pembinaan industri alat kesehatan

dalam negeri. Peningkatan

kapasitas bagi Sumber Daya

Manusia (SDM) Industri alat

kesehatan dalam negeri melalui

pelatihan teknis harmonisasi

ASEAN dibidang alat kesehatan

yang berpedoman kepada ASEAN

Medical Device Directives yang

direncanakan akan ditandatangani

pada Agustus tahun 2014 dan

diberlakukan segera setelah

diratifikasi oleh negara-negara

ASEAN.

Sementara itu, Dirjen Binfar

menyampaikan bahwa

Kementerian Kesehatan RI telah

menerbitkan Permenkes Nomor 86

tahun 2013 Tentang Peta Jalan

Pengembangan Industri Alat

Kesehatan pada tanggal 24

Desember 2013. Melalui peta jalan

tersebut diharapkan

pembangunan industri alat

kesehatan akan berjalan lebih

Pada tanggal 18 Agustus 2014, telah

dilaksanakan Seminar Peningkatan

Daya Saing Industri Alat Kesehatan

Indonesia: Peran Universitas Sebagai

Mesin Inovasi di Hotel Borobudur

Jakarta. Hadir dalam pertemuan ini

Menteri BUMN, Dahlan Iskan, Wakil

Menteri Kesehatan, Ali Gufron Mukti.

Serta Dirjen Binfar dan Alkes, Maura

Linda Sitanggang. Acara dihadiri oleh

sekitar 400 undangan dari kalangan

mahasiswa, staf pendidik, peneliti serta

praktisi industri.

Wamenkes Al i Gufron dalam

s a m b u t a n n y a m e n g i n g a t k a n

tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN

2015 yang sudah di depan mata,

d imana Indonesia dan negara-

negara ASEAN akan memasuki

babak baru dalam era perdagangan

b e b a s . K a w a s a n A S E A N a k a n

m e n j a d i p a s a r t e r b u k a d a n

terintegrasi yang berbasis produksi

serta mobilitas arus barang, jasa,

investasi, modal, dan tenaga kerja

terampi l akan bergerak bebas.

Untuk itu diperlukan penguatan

terhadap produk-produk loka l

dalam mengahadapi persaingan

yang terjadi akibat perdagangan

terarah dan terbentuknya

kerjasama sinergis antara pihak

akademisi, industri dan

pemerintah (kementerian terkait)

termasuk Kementerian Kesehatan.

“Universitas sebagai lembaga yang

menghasilkan peneliti-peneliti dengan

hasil penelitian yang tentunya bersifat

inovatif, diharapkan mampu menjadi

salah satu faktor yang mendukung

penguatan produk-produk a lat

kesehatan dalam negeri. Dengan

membantu industri dalam negeri untuk

memproduksi alat kesehatan inovatif

yang belum pernah ada di Indonesia

maupun memproduksi produk yang

sejenis dengan produk impor dengan

harga yang lebih ekonomis. Disamping

itu, Universitas harus mengetahui dan

mematuhi regulasi-regulasi yang terkait.

Kementerian Kesehatan mengharapkan

kerjasama antara Akademisi, Pelaku

Usaha dan pihak pemerintah dalam hal

ini Kementerian Kesehatan dapat terus

d i t i n g k a t k a n . Te r u t a m a d a l a m

pengembangan industri alat kesehatan

dalam negeri”, papar Ibu Maura.

Bersamaan dengan acara tersebut

dilakukan pula peluncuran Gama-Cha:

Bone Graft Indonesia. Produk ini

merupakan perancah yang identik

dengan tulang manusia yang mampu

mempercepat pertumbuhan kembali

jaringan tulang. Teknologi CHA pada

perancah tersebut memungkinkan

aplikasi lain seperti perancah untuk

terapi sel, pembawa obat, protein,

maupun molekul aktif lainnya. Produk

yang unggul dari teknologi sebelumnya

ini merupakan produk identik tulang

pertama di dunia yang tersedia secara

komersial. Produk ini dihasilkan oleh

peneliti UGM, Dr Ika Dwi Ana dalam riset

yang berlangsung sejak 1999 dan

dipasarkan oleh PT Kimia Farma Tbk.

SEMINAR PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI ALAT KESEHATANINDONESIA: PERAN UNIVERSITAS SEBAGAI MESIN INOVASI

Page 7: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

Lembaga negara pengawas

pelayanan publik, Ombudsman

Republik Indonesia, menganugerahi

predikat kepatuhan terhadap UU

Pelayanan Publik kepada 78 instansi

negara. Instansi negara penerima

predikat kepatuhan itu terdiri atas 17

kementerian, 12 lembaga negara, 21

pemerintah provinsi dan 26

pemerintah kota.

Penganugerahan predikat

kepatuhan ini dilihat dari upaya

instansi penerima predikat dalam

memenuhi komponen standar

pelayanan sebagaimana tertuang

dalam Pasal 15 dan Bab V UU 25/2009

tentang Pelayanan Publik. Dalam

ketentuan itu tercantum bahwa

sebuah unit layanan harus

menyampaikan informasi, di

antaranya, mengenai kejelasan waktu,

prosedur, persyaratan dan biaya

layanan.

Atas dasar itu, Ombudsman RI

kemudian melakukan pelbagai

observasi di sejumlah unit layanan

pada tingkat kementerian, lembaga,

pemerintah provinsi dan kota.

Hasilnya, pada akhir 2013, masih

banyak unit layanan publik yang belum

memampang standar layanannya.

Padahal penyampaian informasi

mengenai standar layanan kepada

masyarakat selaku pengguna layanan

merupakan sebuah kewajiban yang

harus dilaksanakan. Oleh karenanya,

lembaga negara pengawas pelayanan

publik ini kemudian melakukan

pendampingan pemenuhan

komponen standar pelayanan ke

sejumlah unit layanan publik sejak

awal 2014.

Hasilnya, sebanyak 452 unit

layanan publik pada 78 instansi negara

masuk kategori patuh tinggi terhadap

UU Pelayanan Publik. Rinciannya

terdiri atas 237 SKPD Kota, 178 SKPD

Provinsi, 25 Kementerian dan 12

Lembaga.

Ketua Ombudsman RI, Danang

Girindrawardana, mengatakan,

penyampaian predikat kepatuhan ini

merupakan salah satu bentuk

apresiasi atas usaha peningkatan

kualitas pelayanan publik di tingkat unit

layanan. Penganugerahan ini sekaligus

juga memperingati lima tahun

kelahiran UU 25/2009 tentang

Pelayanan Publik.

“Sudah saatnya birokrasi kita

menjadi birokrasi yang turun tangan

untuk menggiatkan peningkatan

kualitas pelayanan publik," terang

Danang.

Empat kementerian mendapat

rapor hijau atau memiliki tingkat

kepatuhan yang tinggi terhadap UU

Pelayanan Publik. Mereka adalah

Kementerian ESDM, Kementerian

Kesehatan, Kementerian Perdagangan

dan Kementerian Perindustrian.

Kementerian Kesehatan telah

menerima penghargaan "Tingkat

Kepatuhan Terhadap Standar

Pelayanan Publik" dari Ombudsman RI

dengan nilai yang tinggi yaitu 965 atau

berada pada zona hijau dengan nilai

800-1000. Kementerian Kesehatan

masuk dalam Lima besar kementerian

yg mendapatkan penghargaan zona

hijau. Sementara 4 Kementerian

lainnya adalah Kementerian Keuangan,

Kementerian Hukum dan HAM,

Kementerian Perindustrian, dan

Kementerian Perdagangan.

Penghargaan dari Ombudsman RI

diberikan utk tingkat Kementerian/

Lembaga dan tingkat pemerintah

daerah. Ombudsman RI memberikan

penghargaan berdasarkan hasil

observasi langsung ke unit layanan

perizinan di Kementerian/Lembaga

tanpa pemberitahuan.

Ditjen Binfar dan Alkes turut

berperan aktif sehingga Kemenkes

mendapat penghargaan ini, mengingat

Unit Layanan Terpadu di Kemenkes

banyak didominasi oleh pelayanan

publik yang diberikan oleh Ditjen Binfar

dan Alkes.

Memberikan pelayanan publik yang

terbaik telah dan akan terus menjadi

komitmen Ditjen Bina Kefarmasian dan

Alat Kesehatan. Sehingga prestasi

penghargaan dari Ombudsman RI ini

dapat terus dipertahankan.

PENGHARGAAN TINGKAT KEPATUHAN TERHADAP STANDAR

PELAYANAN PUBLIK

l Hal.07 Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014

Page 8: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

Dalam rangka meningkatkan

pemahaman dalam penerapan terkait

pengembangan dan produksi BBOT

terutama pada stakeholder industri

obat tradisional, Ditjen Bina

Kefarmasian dan Alkes telah

melaksanakan sosialisasi Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 88 Tahun 2013 tentang

Rencana Induk Pengembangan Bahan

Baku Obat Tradisional, yang berlokasi

di Hotel Quest, Semarang, pada 11 s.d.

13 Agustus 2014.

Sosialisasi diikuti oleh 39 orang

yang terdiri pimpinan dan

penanggungjawab produksi industri

obat tradisional di wilayah Provinsi

Jawa Tengah; pejabat dan staf Dinas

Kesehatan Provinsi Jawa Tengah; serta

pejabat dan staf Ditjen Bina

Kefarmasian dan Alkes.

Bertindak sebagai narasumber

pada sosialisasi tersebut ialah Direktur

Bina Produksi dan Distribusi

Kefarmasian – Kemenkes, Dra. R.

Dettie Yuliati, Apt., M.Si.; Direktur Obat

Asli Indonesia – Badan POM, DR.

Sherley, Apt., M.Si.; Kepala Bidang

Teknologi Rekayasa Biomedik – BPPT,

Dr.rer.nat. Chaidir, Apt.; Kepala Subdit

Kemandirian Obat dan Bahan Baku

Obat – Kemenkes; Dita Noviansi S. A.,

S.Si., Apt., MM.

Sosialisasi diawali dengan

pemberian arahan dari Direktur Bina

Produksi dan Distribusi Kefarmasian

lalu dilanjutkan dengan pemberian

materi terkait pengembangan bahan

baku obat tradisional (BBOT). Dalam

arahannya, Direktur Bina Produksi dan

Distribusi Kefarmasian menyampaikan

bahwa dalam rangka mensinergiskan

seluruh gerak langkah pengembangan

bahan baku obat tradisional telah

disusun suatu pedoman sebagai

kerangka perencanaan strategis dan

komprehensif yang melingkupi

kegiatan pengembangan, peningkatan

kemandirian, dan daya saing industri

bahan baku simplisia dan bahan baku

ekstrak tanaman obat melalui

Permenkes Nomor 88 Tahun 2013

tentang Rencana Induk

Pengembangan Bahan Baku Obat

Tradisional. Pedoman (masterplan) ini

diharapkan dapat menjadi dokumen

dasar perencanaan dan operasional

pengembangan BBOT. Pedoman ini

tentu merupakan guideline umum

yang dalam penerapannya perlu

disinergiskan dengan peraturan dan

pedoman lain yang sudah ada.

Lebih jauh dikatakan, pedoman ini

diharapkan dapat diimplementasikan

oleh pelaku produsen obat tradisional

dalam meningkatkan kemampuan dan

pemahaman dalam proses

pengembangan dan produksi BBOT

(simplisia dan ekstrak) sehingga produk

(jamu, obat herbal terstandar,

fitofarmaka, suplemen, maupun

kosmetik) yang dihasilkan dapat

terjamin mutu, keamanan, dan

kemanfaatannya, serta berdaya saing.

Hasil akhir pada proses ini diharapkan

dapat mewujudkan kemandirian bahan

baku obat dan bahan baku obat

tradisional melalui produksi BBOT

produksi dalam negeri.

Produksi BBOT Masih Terkendala

Berdasarkan laporan produksi

BBOT, pemanfaatan potensi tanaman

herbal termasuk biota laut Indonesia

dirasakan belum dioptimalkan

termasuk untuk pengembangan dan

produksi sehingga dapat bersaing di

SOSIALISASI PEDOMAN PENGEMBANGAN BAHAN BAKU

OBAT TRADISIONAL

Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Hal. 08l

Page 9: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

pasar. Padahal, berdasarkan data GP

Jamu, pasar herbal internasional tahun

2020 diperkirakan akan mencapai 150

USD dan Indonesia diperkirakan hanya

meraup 0.22% pangsa pasar herbal

tersebut.

Berdasarkan analisis, telah

dipetakkan kendala-kendala

pengembangan BBOT di Indonesia

yang melingkupi ketersediaan dan

kontinyuitas tanaman, kualitas proses

penanaman dan pengolahan pasca

panen, dukungan penelitian

pendukung yang applicable di industri,

hambatan investasi dan upscalling

produksi, kurangnya inovasi, serta

kekuatan networking pasar.

Kualitas dan Daya Saing

Pengembangan dan produksi

BBOT sebagai bagian dari

pemanfaatan obat asli Indonesia

sangat penting untuk dapat applicable

di industri. Beberapa instansi

pemerintah seperti Kementan,

Kemenkes (melalui Badan Litbang

Kesehatan), dan Badan POM telah

melaksanakan pemetaan

etnomedicine di Indonesia sebagai

salah satu tahap optimalisasi

pengembangan dan produksi BBOT.

Lebih lanjut disebutkan bahwa

pengembangan dan produksi BBOT

harus berorientasi pada pemenuhan

persyaratan good agriculture practice,

good post harvest practice, good

production practice (cara pembuatan

obat tradisional yang baik), dan good

distribution practice. Keseluruhan hal

tersebut diatas diharapkan dapat

menghasilkan produk yang memenuhi

persyaratan mutu, keamanan, dan

kemanfaatan, berkualitas dan berdaya

saing.

Alternatif Solusi Komprehensif

Disebutkan bahwa Rencana Induk

Pengembangan Bahan Baku Obat

Tradisional merupakan suatu guideline

yang melingkupi prioritas, strategi,

peran dari berbagai pihak dalam

menyusun program/kegiatan sesuai

koridor tupoksinya dalam rangka

pengembangan BBOT. Rencana induk

ini merupakan suatu pedoman

perencanaan strategik dan

komprehensif yang dapat dijadikan

acuan stakeholder terkait

pengembangan dan produksi BBOT di

Indonesia.

Sebagai suatu alternatif solusi,

perlu dilaksanakan analisis terkait

implementasi masterplan oleh seluruh

stakeholder terkait dengan bersinergis

satu sama lain sehingga keseluruhan

proses dapat dioptimalisasi agar dapat

meningkatkan daya saing produk obat

tradisional dalam negeri di pasar

regional dan internasional. Analisis

implementasi ini antara lain

melingkupi pemetaan dan optimalisasi

industri hulu; kelembagaan; arahan

program (riset, sarana prasarana,

jejaring, dan kebijakan).

Untuk mendukung implementasi di

lapangan dalam meningkatkan

pengembangan dan produksi BBOT,

saat ini Pemerintah telah menerbitkan

kebijakan termasuk melaksanakan

koordinasi dan kerjasama strategis

antara lain melalui koleksi,

karakterisasi, seleksi dan budidaya

tanaman obat Indonesia; penerbitan

peraturan, pedoman dan referensi

acuan terkait mutu dan standarisasi

penanaman, pengolahan pasca panen,

dan produksi bahan baku simplisia

dan ekstrak; penerapan teknologi

produksi simplisia dan ekstrak; serta

bimtek cara produksi yang baik.

Setelah pelaksanaan sosialisasi ini,

diharapkan para stakeholder

khususnya industri obat tradisional

dapat menganalisis Rencana Induk

Pengembangan Bahan Baku Obat

Tradisional tersebut lebih lanjut dan

menerapkan hal-hal terkait dalam

proses produksi dan operasional-

isasinya.

-Zul-

l Hal.09 Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014

Page 10: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

Kementerian Kesehatan secara

bertahap beralih ke penggunaan

vaksin polio berupa suntikan (injeksi).

Dari empat kali pemberian vaksin

polio, tiga kali masih oral dan satu

sisanya, suntikan.

Penerapan pemberian vaksin polio

suntikan merupakan rekomendasi

World Health Assembly (WHA), forum

tertinggi World Health Organization,

agar pada 2016 tidak lagi

menggunakan vaksin polio oral

melainkan injeksi. Vaksin suntik lebih

aman dan mampu mengeradikasi

kasus polio secara global ketimbang

dalam pemberian secara oral.

"Selain katanya agar bisa

mengeradikasi polio secara global,

mereka membuat konsep ini karena

kalau oral, dikhawatirkan nanti ketika

buang air besar, kalau kebetulan tidak

di wc, seperti di sungai misalnya,

virusnya bisa berpindah dan berubah.

Tapi itu sebenarnya teori, faktanya

masih perlu diselidiki," kata Wakil

Menteri Kesehatan Prof. Ali Gufron

Mukti di Kementerian Kesehatan,

Jakarta, Selasa (22/07/2014).

Peralihan ini, lanjut Wamenkes adalah

tantangan untuk negara Indonesia.

Selain karena harganya lebih mahal

40-50 kali lipat dari vaksin oral, dari sisi

ekonomi akan menyebabkan kerugian

bagi pemasukan pendapatan ke

negara. Itu terkait karena Indonesia

juga merupakan negara pengekspor

vaksin polio oral lebih ke 118 negara di

dunia melalui Bio Farma.

Ali Gufron Mukti menyebutkan

untuk membeli kebutuhan vaksin polio

suntik setidaknya membutuhkan biaya

Rp 500 miliar. Itu sudah berlangsung

di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai

provinsi pilot project untuk penerapan

vaksin polio suntik.

"Karenanya kami akan lakukan

secara bertahap, vaksin oral tidak

langsung ditinggalkan, dari empat kali

pemberian, sebanyak tiga vaksi

diberikan secara oral dan satu sisanya

adalah suntik. Ini juga yang sudah

diterapkan oleh beberapa negara lain

seperti India, Myanmar, Bangladesh

dan Korea Utara," papar Wamenkes.

Sambil bertahap, pemerintah

Indonesia, lanjut Wamenkes, juga

meminta WHO segera memberikan

fasilitas agar Indonesia melalui Bio

Farma bisa memproduksi sendiri

vaksin polio injeksi.

PEMERINTAH BERTAHAP BERALIH KE VAKSIN POLIO INJEKSI

Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Hal. 10l

Page 11: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

Ramadhan telah berlalu, namun

demikian suasana Idul Fitri masih lekat

dan kental. Animo umat muslim untuk

saling menjalin silaturahmi bersama

pun masih tinggi. Begitupun dengan

jajaran pegawai di lingkungan Ditjen

Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,

momen Idul Fitri merupakan saat yang

tepat untuk meruntuhkan keegoisan

dan membuka hati untuk saling

memaafkan.

Pada hari Selasa (08/07) Ditjen Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan

menggelar acara halal bi halal dan

ramah tamah dalam rangka

menyambut Hari Raya Iedul Fitri 1435

Hijriah.

Acara ini digelar di Ruang 803 - 805

Gedung Adhyatma Kementerian

Kesehatan, dengan dihadiri oleh

Direktur Jenderal Bina Kefarmasian

dan Alat Kesehatan Dra. Maura Linda

Sitanggang Ph.D beserta para pejabat

eselon II dan seluruh jajaran staf di

lingkungan Ditjen Bina Kefarmasian

dan Alat Kesehatan.

Dalam kesempatan ini seluruh

jajaran di lingkungan Ditjen Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan

bersilaturahmi dan saling bermaaf-

maafan.

Hikmah Idul Fitri adalah kembali ke

fitrah. Ibarat bayi yang baru dilahirkan

lagi dan diibaratkan kain yang masih

bersih. Seperti itulah kondisi umat

muslim setelah menunaikan ibadah

puasa selama sebulan lamanya.

Halal Bi Halal adalah refleksi ajaran

Islam yang menekankan sikap

persaudaraan, persatuan, dan saling

memberi kasih sayang. Fenomena

Halal bi halal sudah menjadi budaya.

Budaya memaafkan, saling

mengunjungi dan saling berbagi kasih

sayang.

Halal Bi Halal yang merupakan

tradisi khas bangsa Indonesia akhirnya

menjadi sebuah simbol yang

merefleksikan bahwa Islam adalah

agama toleran, yang mengedepankan

pendekatan hidup rukun dengan

semua agama. Perbedaan agama

bukanlah tanda untuk saling

memusuhi dan mencurigai, tetapi

hanyalah sebagai sarana untuk saling

berlomba-lomba dalam kebajikan.

Halal bi halal juga dapat diartikan

sebagai hubungan antar manusia

untuk saling berinteraksi melalui

aktivitas yang tidak dilarang serta

mengandung sesuatu yang baik dan

menyenangkan. Atau bisa dikatakan,

bahwa setiap orang dituntut untuk

tidak melakukan sesuatu apa pun

kecuali yang baik dan menyenangkan.

Lebih luas lagi, berhalal bi halal,

semestinya tidak semata-mata dengan

memaafkan (yang biasanya hanya

melalui lisan atau kartu ucapan

selamat), tetapi harus diikuti

perbuatan yang baik dan

menyenangkan bagi orang lain.

Selamat Idul Fitri 1435 H, mohon

maaf lahir dan batin. Semoga seluruh

amal ibadah kita diterima Allah SWT.

Semoga kita semua semakin sehat wal

afiat, semakin produktif dan semakin

sukses dalam berkarya

l Hal.11 Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014

HALAL BI HALAL DAN RAMAH TAMAH IDUL FITRI 1435 HDITJEN BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Page 12: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

Undang-undang No 36 tahun 2009

tentang Kesehatan menyebutkan

bahwa praktik kefarmasian dilakukan

oleh tenaga kesehatan yang mempu-

nyai keahlian dan kewenangan sesuai

dengan ketentuan perundang-

undangan, begitu pula halnya dengan

terbitnya PP 51 tahun 2009 tentang

Pekerjaan Kefarmasian, peran

Apoteker sangat diperlukan pada

fasilitas kesehatan sebagai tenaga yang

professional di bidang Pelayanan

Kefarmasian. Akan tetapi masih banyak

puskesmas di Indonesia, dimana

tugas-tugas yang berhubungan

dengan obat (baik distribusi atau

penggunaan obat) belum dilaksanakan

oleh Apoteker atau Tenaga

Kefarmasian. Dengan perubahan

paradigma tadi, maka Apoteker sangat

diharapkan untuk ikut berperan dalam

mendukung patient safety.

“Oleh karena itu dalam mendukung

perubahan paradigma Patient Safety,

berarti Apoteker harus turut serta

dalam melaksanakan pelayanan

Kefarmasian yang langsung pada

pasien. Kegiatan yang dilakukan dalam

pelayanan kefarmasian antara lain

memberikan informasi obat. Pasien

berhak memperoleh informasi obat

agar tidak terjadi penyalahgunaan

obat atau kesalahan penggunaan

obat”. Demikian disampaikan oleh

Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian

Drs. Bayu Teja Muliawan, Apt,

M.Pharm, MM dalam acara Pertemuan

Percepatan Peningkatan Mutu

Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas

Perawatan, yang berlangsung pada

tanggal 19 s.d 21 Agustus 2014 di

Hotel Sanur Paradise Plaza Denpasar,

Bali.

Dalam mendukung terbitnya

Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun

2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian,

serta adanya perubahan paradigma

Pelayanan Kefarmasian dari drug

oriented menjadi Patient Oriented,

serta diperlukannya apoteker dalam

mendukung pelaksanaan JKN, maka

apoteker sebagai tenaga profesi

kefarmasian mempunyai tanggung

jawab memberikan pelayanan

kefarmasian yang baik.

Dengan berkembangnya

paradigma pelayanan Kefarmasian

dari Drug Oriented menjadi Patient

Oriented, maka Direktorat Bina

Pelayanan Kefarmasian

mensosialisasikan kepada Kepala

Puskesmas tentang pentingnya

peningkatan pengetahuan mutu

Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker

atau Pengelola Obat untuk di terapkan

di Puskesmas.

Kegiatan Pertemuan Percepatan

Peningkatan Mutu Pelayanan

Kefarmasian Di Puskesmas Perawatan

Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Hal. 12l

PERTEMUAN PERCEPATAN PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS PERAWATAN

Page 13: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

dilaksanakan dengan tujuan untuk men-

dukung peningkatan mutu pelayanan

kefarmasian serta pembelajaran bagi

para Apoteker/Tenaga Teknis Kefarma-

sian di Puskesmas. melalui kegiatan Per-

cepatan Peningkatan Mutu Pelayanan

Kefarmasian di Puskesmas Perawat-an.

Kegiatan ini dilaksanakan melalui

pertemuan dengan diikuti oleh 57

orang (dari 6 Dinkes Kab/Kota dan 16

Puskesmas), yang terdiri dari Kepala

Puskesmas dan Pengelola Obat, serta

undangan dari organisasi profesi (PD IAI

Bali).

Narasumber yang terlibat dalam

kegiatan ini diantaranya dari Direktorat

Bina Pelayanan Kefarmasian, Praktisi

dari RSU Santosa, Psikolog Klinis dari

Universitas Gadjah Mada, praktisi dari

Puskesmas Sumber Asih dan Dinas

Kesehatan Provinsi Jawa Timur

Kegiatan ini dilaksanakan dalam

bentuk paparan dan diskusi dengan

narasumber dan di lanjutkan dengan

praktek lapangan di Puskesmas

Denpasar Timur I. Adapun praktek

lapangan pelayanan kefarmasian ini

dilakukan oleh para peserta Pengelola

Obat dari puskesmas yang diundang.

Dalam praktek lapangan ini para

peserta turun langsung melakukan

pelayanan kefarmasian kepada

masyarakat yang berobat di

Puskesmas Denpasar Timur I. Terjadi

interaksi langsung antara pasien

dengan para peserta pengelola obat,

terutama dalam hal pelayanan

informasi obat (PIO)

Dari kegiatan ini ini diharapkan

dapat berlanjut dengan pelaporan

yang baik dan berjenjang dari

puskesmas ke Dinkes

kab/kota/provinsi yang selanjutnya

menjadi praktek rutin Apoteker di

Puskesmas, dalam rangka menunjang

pelaksanaan Percepatan Peningkatan

Mutu Pelayanan Kefarmasian di

Puskesmas Perawatan agar di peroleh

hasil yang lebih optimal.

l Hal.13 Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014

Page 14: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

Pengobatan sendiri atau

swamedikasi (self medication)

merupakan upaya yang paling banyak

dilakukan oleh masyarakat untuk

mengatasi keluhan atau gejala

penyakit, sebelum mereka

memutuskan untuk mencari

pertolongan ke fasilitas pelayanan

kesehatan/tenaga kesehatan. Lebih

dari 60% masyarakat mempraktekkan

self-medication ini, dan lebih dari 80%

di antara mereka mengandalkan obat

modern (Flora, 1991). Data Susenas

Badan Pusat Statistik juga

menunjukkan bahwa lebih dari 60 %

masyarakat melakukan pengobatan

sendiri. Hasil Riset Kesehatan Dasar

tahun 2013 menunjukkan bahwa 35,2

% masyarakat Indonesia menyimpan

obat di rumah tangga, baik diperoleh

dari resep dokter maupun dibeli

sendiri secara bebas, di antaranya

sebesar 27,8 % adalah antibiotik.

(Kementerian Kesehatan, 2013).

Apabila dilakukan dengan tepat dan

benar, swamedikasi dapat menjadi

sumbangan yang besar bagi

pemerintah, terutama dalam

pemeliharaan kesehatan secara

Nasional. Namun jika sebaliknya,

swamedikasi dapat menyebabkan

permasalahan kesehatan akibat

kesalahan penggunaan, tidak

tercapainya efek pengobatan,

timbulnya efek samping yang tidak

diinginkan, penyebab timbulnya

penyakit baru, kelebihan pemakaian

obat (overdosis) karena penggunaan

obat yang mengandung zat aktif yang

sama secara bersama, dan

sebagainya. Permasalahan kesehatan

yang baru dapat saja timbul

menyebabkan penyakit yang jauh lebih

berat. Hal ini dapat disebabkan karena

terbatasnya pengetahuan masyarakat

dan kurangnya informasi yang

diperoleh dari tenaga kesehatan,

maupun kurangnya kesadaran dan

kemampuan masyarakat untuk

mencari informasi melalui sumber

informasi yang tersedia. Untuk

melakukan swamedikasi secara benar,

masyarakat memerlukan informasi

yang jelas, benar dan dapat dipercaya,

sehingga penentuan jenis dan jumlah

obat yang diperlukan harus

berdasarkan kerasionalan

penggunaan obat. Swamedikasi

hendaknya hanya dilakukan untuk

penyakit ringan dan bertujuan

mengurangi gejala, menggunakan

obat dapat digunakan tanpa resep

dokter sesuai ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.

Metode Cara Belajar Insan Aktif

(CBIA) atau “community based

interactive approach” merupakan salah

satu kegiatan pemberdayaan

masyarakat yang dapat digunakan

dalam mengedukasi masyarakat untuk

memilih dan menggunakan obat yang

benar pada swamedikasi. Melalui

metode ini diharapkan masyarakat,

terutama para ibu agar lebih aktif

dalam mencari informasi mengenai

obat yang digunakan oleh keluarga.

Informasi tersebut dapat berguna

antara lain agar dapat menggunakan

dan mengelola obat di rumah tangga

secara benar. Selain itu diharapkan

agar tujuan self-medication dapat

MENCERDASKAN MASYARAKAT DALAM PENGGUNAAN OBAT

MELALUI METODE CARA BELAJAR INSAN AKTIF (CBIA)

Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Hal. 14l

Ulasan

Page 15: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

tercapai secara optimal. Sumber

informasi produk tersebut dapat

dicantumkan pada kemasan maupun

package insert/brosur.

Metode edukasi masyarakat

melalui CBIA pertama kali

dikembangkan oleh Prof. Dr. Sri

Suryawati sejak tahun 1992, guru

besar farmakologi dari Fakultas

Kedokteran, Universitas Gajah Mada.

Bersama timnya di Pusat Studi

Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat

UGM, metode ini telah dikembangkan

selama bertahun-tahun, dan telah

diadopsi oleh beberapa negara di Asia

serta diakui oleh WHO. Pada tahun

2007, bekerja sama dengan Direktorat

Penggunaan Obat Rasional, Direktorat

Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan, Kementerian Kesehatan,

dilaksanakan kegiatan pilot project

selama dua hari di Pandeglang,

Banten.

Selanjutnya kegiatan pemberdayaan

masyarakat dengan metode CBIA

dilaksanakan secara rutin oleh

Kementerian Kesehatan RI mulai tahun

2008 hingga saat ini. Agar kegiatan ini

dapat dilaksanakan pada sasaran yang

lebih luas dan lebih banyak, maka

pada tahun 2010 Kementerian

Kesehatan telah menerbitkan Modul

Peningkatan Keterampilan Memilih

Obat untuk Swamedikasi. Modul ini

terdiri dari 2 (dua) buku, yaitu Modul I

untuk Tenaga Kesehatan dan Modul II

untuk Kader Kesehatan. Modul ini

dapat menjadi panduan bagi

Pemerintah Daerah, dalam hal ini

Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/

Kota dan institusi lain yang berminat

untuk melaksanakan kegiatan CBIA di

wilayah kerjanya.

Pelaksanaan Kegiatan

Berbeda dengan kegiatan edukasi

atau pelatihan pada umumnya,

kegiatan edukasi masyarakat dengan

metode CBIA dilaksanakan dengan

cara melibatkan peserta secara aktif.

Salah satu studi yang dilakukan oleh

UGM, menunjukkan bahwa metode

CBIA secara signifikan dapat

meningkatkan pengetahuan dan

pemahaman peserta dibandingkan

dengan metode ceramah dan tanya

jawab (presentasi/ penyuluhan).

Dengan CBIA, peserta dapat

mengingat dengan lebih baik, karena

dilakukan secara aktif dan visual

melalui pengamatan secara langsung.

Tutor dan fasilitator hanya berperan

sebagai pemandu dalam diskusi,

sedangkan informasi lebih lanjut yang

dibutuhkan dapat disampaikan oleh

Narasumber yang diundang. Dengan

demikian kader yang sudah pernah

dilatih, atau mahasiswa juga dapat

dilibatkan sebagai tutor, sedangkan

tenaga kesehatan Puskesmas atau

Dinas Kesehatan dapat menjadi

fasilitator. Narasumber dapat

didatangkan dari profesi apoteker

yang telah berpengalaman.

Dalam CBIA, peserta dapat terdiri

dari ibu rumah tangga, kader

kesehatan (posyandu), tokoh

masyarakat, anggota tim penggerak

PKK, atau unsur/organisasi masyarakat

lainnya. Untuk melatih cara

melaksanakan CBIA, dilakukan

pelatihan untuk pelatih (training of

trainer, TOT) sekaligus melibatkan

kader kesehatan di Puskesmas atau

unsur masyarakat sebagai peserta

edukasi secara langsung. Kegiatan TOT

yang dilaksanakan di Propinsi

umumnya melibatkan peserta dari

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

dan/atau tenaga kesehatan

Puskesmas setempat serta kader

kesehatan (Posyandu) atau

unsur/organisasi masyarakat lainnya.

Dalam kegiatan CBIA, peserta

dibagi menjadi beberapa kelompok

terdiri dari 6-8 orang kader. Kegiatan

yang dilaksanakan dibagi menjadi 3

tahap yaitu:

1. Kegiatan I ( kelompok)

Setiap kelompok dibagikan paket

obat tertentu yang telah disiapkan,

lalu peserta diminta untuk :

a. Mengamati kemasan obat

dan mempelajari informasi yang

tertera yaitu nama dagang,

nama bahan aktif,

dosis/kekuatan bahan aktif,

bahan aktif utama dan

tambahan pada obat kombinasi.

b. Mengelompokkan obat

berdasarkan bahan aktif, bukan

berdasarkan indikasi.

c. Mendiskusikan hasil

pengamatan di atas.

2. Kegiatan II (Kelompok)

Tahap kegiatan ini bertujuan

agar peserta berlatih mencari

informasi dari kemasan, dengan

cara meneliti setiap tulisan yang

tersedia pada produk. Beberapa

sediaan obat dalam bentuk cairan

seperti sirup, eliksir, obat tetes

atau obat luar berupa krim dan

salep, disertakan brosur dari pabrik

sebagai informasi produk.

Sedangkan sediaan tablet dalam

kemasan obat bebas (over the

counter/OTC) seringkali hanya

menyediakan informasi produk

pada kemasan terluar.

Tahap ini merupakan kegiatan

untuk mengumpulkan informasi

yang diperlukan sebagai dasar

melakukan self-medication, yaitu

nama bahan aktif, indikasi, aturan

penggunaan, efek samping dan

kontraindikasi.

Peran Tutor dalam tahap ini

cukup besar, untuk mendorong

semua kebutuhan informasi, yakni

5 (lima) komponen utama

informasi ditemukan secara

lengkap.

Dalam kegiatan ini digunakan

lembar kerja yang telah disediakan

dengan jumlah lembar kerja yang

tidak perlu dibatasi. Kelengkapan

pengisian lembar kerja diharapkan

dapat memacu aktifitas peserta

pada tahap selanjutnya. Dengan

dipimpin ketua kelompok,

pencarian informasi dilakukan

secara bersama - sama, sambil

membandingkan kelengkapan

informasi dari satu nama dagang

dengan nama dagang yang lain.

l Hal.15 Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014

Page 16: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

Walaupun kegiatan ini dilakukan

dalam kelompok, namun tiap

peserta harus mencatat untuk

keperluan sendiri. Sambil mencatat

informasi, peserta sekaligus dapat

menelaah secara sederhana

kelengkapan dan kejelasan

informasi yang disajikan pada tiap

kemasan.

3. Kegiatan 3 (individual)

Kegiatan ini bertujuan untuk

memupuk keberanian peserta

mencari informasi sendiri. Perlu

dipastikan dahulu bahwa lembar

kerja pada kegiatan 2 telah terisi

dengan baik. Dalam tahap ini,

peserta diminta untuk mengerjakan

pencatatan informasi seperti

kegiatan 2, terhadap obat yang ada

di rumah masing - masing.

Setelah menjelaskan kegiatan 3,

diskusi ditutup dengan rangkuman

oleh salah satu Tutor atau

Narasumber, mengidentifikasi

kembali temuan-temuan penting

yang diperoleh di masing-masing

kelompok, dan memberikan pesan-

pesan untuk memperkuat dampak

intervensi.

Hasil Kegiatan

Sampai dengan tahun 2013,

kegiatan Pemberdayaan Masyarakat

dengan metode CBIA oleh Pemerintah

Pusat melalui Direktorat Jenderal Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan,

Kementerian Kesehatan telah

dilaksanakan sebanyak 32 kali di 24

provinsi. Kegiatan ini dilaksanakan

bersamaan dengan kegiatan

Penggerakan Penggunaan Obat

Rasional maupun kegiatan tersendiri di

Propinsi yang bersangkutan.

Sedangkan jumlah tenaga

kesehatan yang telah dilatih sampai

dengan tahun 2012, adalah sebanyak

1.077 orang, kader kesehatan

(Posyandu) sebanyak 2.098 orang, dan

masyarakat umum sebanyak 4.657

orang. Adapun perkembangan jumlah

tenaga kesehatan, kader kesehatan

(Posyandu) dan masyarakat yang telah

dilatih adalah sebagai berikut:

Jumlah tenaga kesehatan, kader

kesehatan dan masyarakat yang telah

dilatih tersebut di atas masih belum

mencakup jumlah peserta pelatihan

yang diadakan oleh Dinas Kesehatan

Propinsi/Kabupaten/Kota. Kegiatan

CBIA yang dilaksanakan oleh Dinas

Kesehatan Propinsi dapat melalui

anggaran APBN (dana dekonsentrasi)

maupun APBD. Sedangkan Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota umumnya

melaksanakan kegiatan ini dengan

menggunakan anggaran APBD

maupun swadaya masyarakat.

Kegiatan ini merupakan salah satu

program yang menjadi perhatian dan

memberikan daya ungkit dalam

peningkatan peran masyarakat dalam

kesehatan khususnya dalam upaya

peningkatan penggunaan obat secara

rasional, di samping upaya kesehatan

masyarakat lainnya.

Keberhasilan pelaksanaan kegiatan

CBIA dapat terlihat melalui adanya

peningkatan pengetahuan peserta

khususnya kader kesehatan dan

masyarakat setelah pelatihan

dibandingkan dengan sebelumnya.

Antusiasme dari peserta masyarakat

terlihat dari diskusi dan pembahasan

yang berlangsung, dimana peserta di

seluruh kegiatan menyampaikan

apresiasi mereka terhadap

penyelenggaraan kegiatan CBIA yang

dapat meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan. Peserta tenaga

kesehatan umumnya menyampaikan

ketertarikan untuk melaksanakan

kegiatan yang sama di wilayah kerja

masing–masing, sebagai bagian dari

upaya edukasi dan pemberdayaan

masyarakat, karena metode yang

diakukan sederhana, namun hasilnya

cukup signifikan.

Manfaat kegiatan CBIA

Manfaat yang dapat diterima oleh

masyarakat dengan adanya kegiatan

edukasi melalui CBIA antara lain

adalah:

1. Peningkatan pengetahuan tentang

cara memilih dan menggunakan

Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Hal. 16l

Page 17: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

obat yang benar, antara lain

dengan memahami bahwa:

�Logo lingkaran berwarna yang

tertera memiliki arti tertentu yang

tidak dijelaskan pada kemasan.

Masyarakat dapat mengetahui

bahwa swamedikasi dapat

dilakukan hanya untuk obat yang

berlogo hijau (obat bebas) dan biru

(obat bebas terbatas). Obat berlogo

biru disertai dengan peringatan

yang harus diperhatikan oleh

masyarakat sebelum minum obat.

Sedangkan obat dengan logo

merah dengan tulisan K berwarna

hitam (obat keras) hanya dapat

dibeli dengan resep dokter.

Pencantuman logo berwarna ini

mengikuti ketentuan dari

Kementerian Kesehatan.

�Informasi dalam kemasan obat

lebih lengkap dibandingkan dengan

iklan. Kemasan obat selalu

mencantumkan informasi bahan

aktif. Apabila dijumpai keraguan

terhadap iklan, informasi dapat

dicek langsung pada kemasan obat.

�Nama bahan aktif tercantum

dibawah nama dagang. Kecuali

obat kombinasi tertentu yang

kandungannya banyak, misalnya

hanya ditulis “multivitamin dan

mineral”.

�Berbagai obat yang ada di pasaran,

baik sirup atau tablet, sebagian

besar isi bahan aktifnya sama atau

hampir sama. Bila gejala sakit yang

diderita memerlukan jenis obat

tertentu, sebaiknya periksa dulu

persediaan obat di rumah, apakah

ada obat dengan kandungan zat

aktif dan indikasi yang dibutuhkan

tersedia, walaupun nama

dagangnya berbeda.

�Adanya persamaan kandungan zat

aktif antara obat bernama dagang

dengan obat generik. Masyarakat

dapat mengetahui dan menyadari

bahwa obat generik yang umumnya

tersedia di fasilitas pelayanan

kesehatan pemerintah

mengandung bahan aktif yang

sama dengan obat bernama

dagang yang banyak beredar di

pasaran dengan harga yang

bervariasi. Misalnya parasetamol

tablet/sirup dan Antasida DOEN

tersedia dalam berbagai nama

dagang, dengan harga yang jauh

lebih tinggi dari harga obat generik.

�Terdapat perbedaan atau

persamaan kandungan zat aktif

antara sediaan obat untuk orang

dewasa dan anak-anak, yang nama

dagangnya dibuat mirip atau

menyerupai. Misalnya Bodrex-

Bodrexin, Inza-Inzana, Mixagrip-

Minigrip, padahal kandungan zat

aktifnya berbeda walaupun indikasi

sama.

�Harga obat bisa sangat bervariasi,

walaupun kandungan isinya sama.

Sediaan cairan seperti sirup

umumnya lebih mahal dari pada

tablet dengan kandungan bahan

aktif yang sama. Harga obat eceran

tertinggi (HET) tertera pada

kemasan obat.

�Nama dagang dengan tambahan

“Forte”, “Plus”, dan sebagainya,

perlu dipelajari perbedaan

kandungan dan kekuatannya

dengan yang biasa. Sehingga

peserta dapat lebih hati–hati dalam

l Hal.17 Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014

Page 18: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

penggunaan dan dapat

mengefisienkan biaya obat.

�Untuk tujuan promosi, seringkali

nama bahan aktif ditulis dengan

nama latin yang jarang diketahui

masyarakat awam, padahal tersedia

nama yang lazim. Sehingga sulit

dikenali apakah obat tersebut sama

dengan obat dengan nama dagang

lain padahal kandungannya sama.

Misalnya 1.3.7 trimetilxanthin

merupakan kafein, acetaminophen

dan para-aminophenol untuk

mengganti parasetamol, dan lain -

lain.

2. Masyarakat dapat melakukan

swamedikasi dengan benar dan

rasional dengan memahami bahwa:

�Penggunaan sendok takar yang

disediakan dalam kemasan pada

saat meminum obat sirup sangat

penting, karena tidak sama dengan

sendok teh atau sendok makan

yang tersedia di rumah tangga.

�Waktu minum obat harus dipatuhi

sesuai aturan agar obat menjadi

lebih efektif. Efek samping obat

tidak dialami oleh semua pasien

yang minum obat tertentu, namun

dapat meningkatkan kewaspadaan

masyarakat pada saat minum obat

tersebut.

�Informasi bahwa obat tidak dapat

digunakan pada kondisi tertentu

tertera pada bagian Kontra Indikasi,

yang umumnya jarang diketahui

oleh masyarakat awam.

3. Menurunkan penggunaan

antibiotik yang tidak tepat oleh

masyarakat karena dalam diskusi

ditegaskan bila terkena flu, demam

atau diare tidak selalu harus

menggunakan antibiotik.

Penggunaan antibiotik secara tidak

tepat dapat menyebabkan

resistensi.

4. Meningkatkan penggunaan obat

generik dengan memahami bahwa

obat bernama dagang (branded)

dan obat generik dengan

kandungan bahan aktif yang sama

pasti memiliki khasiat yang sama.

Sehingga masyarakat dapat lebih

cerdas untuk memilih obat generik

yang harganya jauh lebih rendah,

namun tidak meragukan mutunya.

Rencana Tindak Lanjut

Mengingat tingkat keberhasilan

edukasi masyarakat dengan metode

CBIA cukup signifikan dalam upaya

peningkatan penggunaan obat

rasional, Kementerian Kesehatan akan

terus meningkatkan sasaran edukasi

dan memperluas daerah pelatihan

bekerjasama dengan Dinas Kesehatan

Provinsi/Kabupaten/Kota dan institusi

atau unit kerja lainnya yang terkait.

Metode ini akan disempurnakan

melalui revisi modul pelatihan dan

penyusunan instrumen pemantauan

dan evaluasi indikator keberhasilan

CBIA. Melalui edukasi masyarakat

dengan metode CBIA, diharapkan

penggunaan obat secara rasional pada

masyarakat dapat meningkat, sehingga

menurunkan kesalahan dalam

penggunaan obat.

Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Hal. 18l

Page 19: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

1. Pendahuluan

Manajemen resiko alat kesehatan

(ISO 14971:2007 Medical Devices –

Application Of Risk Mangement To

Medical Devices) merupakan bagian

yang tidak dapat dipisahkan dari

sistem manajemen mutu alat

kesehatan itu sendiri (ISO 13485,

Medical Devices- Quality Management

Systems-Requirements For Regulatory

Purposes) karena keluaran dari hasil

manajemen resiko menjadi masukan

untuk desain dan pengembangan

untuk produk alat kesehatan itu

sendiri dan mejadi prosedur wajib bagi

industri alat kesehatan.

Perlu diketahui juga ISO 14155:

2011, Clinical Investigation Of Medical

Devices For Human Subjects – Good

Clinical Practice menerapkan

manajemen resiko alat kesehatan (ISO

14971) untuk mengestimasi resiko

yang terkait dengan alat kesehatan

sebelum investigasi klinis dilaksanakan.

Persyaratan yang terdapat di dalam

standar ini memberikan pabrik suatu

kerangka untuk mengatur resiko yang

terkait dengan penggunaan alat

kesehatan berdasarkan pengalaman,

pemahaman yang mendalam,

pertimbangan yang diterapkan secara

sistimatik

Standar ini dikembangkan secara

khusus untuk pabrik alat kesehatan/

sistem yang menggunakan prinsip

penetapan manajemen resiko. Untuk

pabrik lain, contoh industri pelayanan

kesehatan lain, standar ini dapat

digunakan sebagai petunjuk informatif

di dalam mengembangkan dan

memelihara sistem dan proses

manajemen resiko.

Standar ini sejalan dengan proses

manajemen resiko yang dikhususkan

untuk pasien, juga untuk operator,

personil lain, peralatan lain dan

lingkungan.Manajemen resiko adalah

subjek yang komplek karena setiap

stakeholder menempatkan suatu nilai

yang berbeda terhadap kemungkinan

tentang bahaya yang terjadi dan

keparahannya.

Konsep resiko memiliki dua

komponen sebagai berikut:

a) Kemungkinan terjadinya bahaya;

b) Konsekwensi bahaya tersebut,

separah apa bahaya itu terjadi.

Konsep manajemen resiko secara

khusus penting dalam keterkaitannya

dengan alat kesehatan karena

bervariasinya stakeholder termasuk

praktisi medis, organisasi yang

menyediakan pelayanan kesehatan,

pemerintah, industri, pasien dan

anggota masyarakat.

Semua stakeholder perlu

memahami bahwa penggunaan alat

kesehatan dapat mengakibatkan

beberapa tingkat resiko.

Keberterimaan satu resiko untuk satu

stakeholder dipengaruhi oleh

komponen yang tersebut diatas dan

persepsi stakeholder tentang resiko.

Setiap persepsi stakeholder tentang

resiko dapat sangat berbeda

tergantung pada latar belakang

budaya mereka, sosial ekonomi dan

latar belakang pendidikan tentang

pemahaman sosial, aktual dan

persepsi tentang kesehatan pasien,

dan banyak faktor lain. Persepsi suatu

resiko juga memperhitungkan

beberapa hal contoh apakah terpapar

bahaya karena tidak sengaja, apakah

bahaya dapat dicegah, dari suatu

sumber, karena kelalaian, muncul

karena pemahaman yang kurang, atau

langsung dari kelompok rentan dalam

masyarakat.

Keputusan menggunakan alat

kesehatan untuk tujuan prosedur

klinis khusus mesyaratkan resiko

residu yang seimbang terhadap

antisipasi manfaat dari prosedur.

Keputusan tersebut sebaiknya

memperhitungkan maksud

penggunaan, kinerja dan resiko yang

terkait dengan alat kesehatan, juga

resiko dan manfaat yang terkait

dengan prosedur klinis atau

lingkungan penggunaan. Beberapa

dari keputusan ini hanya dapat

dilakukan oleh praktisi klinis yang

sesuai dengan kualifikasinya dalam

pemahamannya terhadap kondisi

SEKILAS TENTANG MANAJEMEN RESIKO ALAT KESEHATAN

ISO 14971:2007 Medical Devices – Application of Risk Management

To Medical Devices

l Hal.19 Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014

Oleh:Beluh Mabasa Ginting, ST, M.Si

Ulasan

Page 20: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

kesehatan seorang pasien atau opini

yang dimiliki pasien.

Sebagai stakeholder, pabrik

membuat keputusan terkait dengan

keselamatan dari alat kesehatan,

termasuk keberterimaan resiko,

memperhitungkan tingkat

perkembangan industri yang dapat

diterima pada umumnya dalam rangka

untuk menentukan kesesuaian alat

kesehatan untuk ditempatkan di pasar

sesuai dengan maksud

penggunaannya.

Standar ini menetapkan satu

proses dimana pabrik alat kesehatan

dapat mengidentifikasi bahaya,

memperkirakan dan mengevaluasi

bahaya yang menyatu dengan alat

kesehatan, mengendalikan resiko dan

memantau keefektifan dari

pengendalian resiko itu sendiri.

2. Ruang lingkup

Standar ini menetapkan proses

untuk pabrik alat kesehatan untuk

mengidentifikasi bahaya yang menyatu

dengan alat kesehatan, termasuk alat

kesehatan diagnostik in vitro, untuk

mengestimasi, mengevaluasi dan

mengendalikan resiko yang menyatu,

dan memantau keefektifan kendali

resiko.

Persyaratan standar ini dapat

diterapkan untuk semua tahap siklus

hidup (life-cycle) alat kesehatan.

Resiko dapat diketahui melalui

siklus hidup (life cycle) alat kesehatan,

dan resiko yang dapat timbul pada

satu titik siklus hidup alat kesehatan

dapat diatur dengan menentukan titik

yang benar-benar berbeda di dalam

siklus hidup alat kesehatan. Oleh

karena itu standar membutuhkan

standar siklus hidup yang lengkap dari

alat kesehatan.Ini berarti bahwa

standar merekomendasikan pabrik

mengaplikasikan prinsip-prinsip

manajemen resiko terhadap alat

kesehatan dari permulaan kosep

sampai pengadaan dan pembuangan.

Standar ini tidak dapat diterapkan

untuk membuat keputusan klinis.

Ruang lingkup standar ini tidak

mencakup keputusan tentang

penggunaan alat kesehatan.

Keputusan penggunaan alat kesehatan

dalam konteks prosedur klinis khusus

mensyaratkan resiko residu seimbang

terhadap manfaat yang telah

diantisipasi dari prosedur atau resiko

dan manfaat yang telah diantisipasi

dari prosedur alternatif.Keputusan

tersebut sebaiknya memperhitungkan

maksud penggunaan, kinerja dan

resiko yang terkait dengan alat

kesehatan juga resiko dan manfaat

yang menyatu dengan prosedur klinis

atau lingkungan

penggunaan.Beberapa dari keputusan

ini dapat dilakukan oleh professional

pelayanan kesehatan yang

berkualifikasi dengan kemampuan

memahami kondisi kesehatan seorang

pasien dan opini yang dimiliki oleh

pasien.

Standar ini tidak menetapkan level

resiko yang dapat diterima (acceptable

risk level).Meskipun telah terjadi

perdebatan yang signifikan tentang

apa yang dimaksud dengan level resiko

yang dapat diterima, standar ini tidak

menetapkan level keberterimaan

resiko. Menetapkan universal level

untuk resiko yang dapat diterima tidak

lah tepat karena didasari atas

pendapat sangat bervariasinya alat

kesehatan dan situasi yang dicakup

oleh standar ini akan membuat

universal level tidak berarti

Sistem manajemen mutu sangat

membantu di dalam mengatur resiko

dengan tepat.Karena sebagian besar

pabrik alat kesehatan menerapkan

sistem manajemen mutu maka

standar ini dibentuk sedemikian rupa

agar dapat dengan mudah

digabungkan ke dalam sistem

manajemen mutu yang digunakan

oleh pabrik.

3. Istilah dan definisi

Sebagaimana diketahui bahwa

manajemen resiko sebaiknya

diwajibkan baik secara eksplisit atau

implisit di banyak negara dan kawasan

dunia. Oleh karena itu telah dilakukan

usaha untuk menggunakan definisi

yang akan diterima secara luas oleh

regulator. Sebagai contoh, Definisi

istilah “maksud penggunaan (intended

use)” mengkombinasikan definsi

“maksud penggunaan (intended use)”

yang digunakan di Amirika dan “tujuan

penggunaan (intended purpose)” yang

digunakan di masyarakat Eropah.

Istilah ini secara esensial memiliki

definisi yang sama. Ini dimaksudkan

agar ketika mempertimbangkan

maksud penggunaan alat kesehatan,

pabrik harus memperhitungkan

maksud si pengguna produk. Sumber

utama untuk definisi adalah:

�ISO/IEC Guide 51:1999, Safety

aspects – Guidelines for the

inclusion in standards

�ISO 9000: 2005, Quality

management systems –

Fundamentals and vocabulary

�ISO 13485:2003, Medical devices –

Quality management systems –

Requirements for regulatory

purposes.

Beberapa defisi yang terkait

dengan manajemen resiko alat

kesehatan sebagai berikut:

1. Cedera (harm)

Cedera fisik atau merusak

kesehatan masyarakat, atau

merusak hak milik atau lingkungan.

2. Bahaya (hazard)

Sumber potensi cedera

3. Situasi berbahaya.

Lingkungan dimana masyarakat,

hak milik, atau lingkungan terpapari

satu atau lebih bahaya.

4. Maksud penggunaan (intended use)

Tujuan penggunaan (intended

purpose).

Penggunaan satu produk, proses

atau layanan yang dimaksudkan

sesuai dengan spesifikasi, petunjuk

dan informasi yang disediakan oleh

pabrik.

5. Alat kesehatan diagnostik in vitro

Alat kesehatan yang dimaksudkan

oleh pabrik untuk memeriksa

Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Hal. 20l

Page 21: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

spesimen yang berasal dari tubuh

manusia yang memberikan

informasi untuk tujuan diagnostik,

pemantauan atau kompatibilitas

6. Siklus hidup (life-cycle)

Semua fase dalam hidup alat

kesehatan, dari konsep awal

sampai pengadaan akhir dan

pembuangan.

7. Alat kesehatan

Alat kesehatan adalah instrumen,

apparatus, implement, mesin,

appliance , implan, reagen untuk

penggunaan in vitro, perangkat

lunak, material atau artikel serupa

lainnya atau yang terkait sesuai

dengan maksud penggunaan

sebagaimana yang dimaksud oleh

produsen, dapat digunakan sendiri

maupun kombinasi untuk manusia

dengan satu atau beberapa tujuan

sebagai berikut:

�diagnosis, pencegahan,

pemantauan, perlakuan atau

pengurangan penyakit;

�diagnosis, pemantauan,

perlakuan, pengurangan atau

kompensasi kondisi sakit;

�penyelidikan, penggantian,

pemodifikasian, mendukung

anatomi atau proses fisiologis;

�mendukung atau

mempertahankan hidup;

�menghalangi pembuahan;

�desinfeksi alat kesehatan;

�menyediakan informasi untuk

tujuan pengujian in vitro

terhadap spesimen dari tubuh

manusia.

�dan tidak mencapai kerja utama

pada atau dalam tubuh

manusia melalui proses farma-

kologi, imunologi atau metabo-

lisme tetapi dapat membantu

fungsi yangdiinginkan dari alat

kesehatan dengan cara tersebut.

8. Pasca-produksi (post-production)

Bagian dari siklus hidup produksi

setelah desain lengkap dan alat

kesehatan telah diproduksi.

9. Resiko residu (residual risk)

Resiko yang tetap ada setelah

tindakan kendali resiko dilakukan

10. Resiko

Kombinasi kemungkinan terjadinya

cedera dan keparahan cedera

11. Analisis resiko

Penggunaan sistimatik informasi

yang tersedia untuk

mengidentifikasi bahaya dan untuk

mengestimasi resiko.

12.Penilaian resiko

Keseluruhan proses yang

membandingkan analisis resiko dan

evaluasi resiko

13.Kendali resiko

Proses dimana keputusan harus

diambil dan dilakukan

diimplementasikan dengan

mengurangi resiko, atau

dipertahankan dalam level yang

ditetapkan.

14.Estimasi resiko

Proses yang digunakan untuk

menentukan nilai untuk

kemungkinan terjadinya cedera

dan keparahan dari cedera

tersebut.

15.Evaluasi resiko

Proses yang membandingkan

estimasi resiko terhadap kriteria

resiko yang diberikan untuk

menentukan keberterimaan resiko.

16.Manajemen resiko

Penerapan sistimatik kebijakan

manajemen, prosedur dan praktek

terhadap pelaksanaan analisis,

evaluasi, kendali dan pemantauan

resiko.

17.File manajemen resiko

Sekumpulan rekaman dan

dokumen lain yang dihasilkan oleh

manajemen resiko

18. Keamanan (safety)

Bebas dari resiko yang tidak dapat

diterima

19.Keparahan

Ukuran dari kemungkinan

kosekuensi dari bahaya

20.Kesalahan guna

Tindakan atau mediadakan

tindakan yang mengakibatkan

respon dari alat kesehatan berbeda

dari yang dimaksudkan oleh pabrik

atau dari yang diharapkan oleh

pengguna

Catatan 3: Respon fisiologi yang tidak

diharapkan dari pasien tidak dianggap

sebagai kesalahan guna

4. Persyaratan umum untuk

manajemen resiko

4.1Proses manajemen resiko

Pabrik menetapkan proses

manajemen resiko sebagai bagian dari

desain alat kesehatan agar pabrik

dapat menjamin secara sistematik

bahwa elemen manajemen resiko yang

disyaratkan ada di dalam proses.

Analisis resiko, evaluasi resiko dan

kendali resiko secara umum dikenal

sebagai elemen penting dari

manajemen resiko.Sebagai tambahan

untuk elemen ini, standar ini

menekankan bahwa proses

manajemen resiko tidak hanya

berakhir pada desain dan produksi

(termasuk, jika relevan, sterilisasi,

pengemasan, dan pelabelan) alat

kesehatan, tetapi berlanjut pada fase

pasca produksi. Oleh karena itu

mengumpulkan informasi pasca

produksi diidentifikasi sebagai bagian

yang disyaratkan dari proses

manajemen resiko. Lebih jauh lagi,

disadari bahwa ketika pabrik

menerapkan sistem manajemen,

proses manajemen resiko sebaik

terintegrasi secara keseluruhan ke

dalam sistem manajemen mutu.

Secara umum skematis proses

manajemen resiko alat kesehatan

dapat di gambarkan sebagai berikut:

l Hal.21 Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014

Page 22: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

4.2Tanggung jawab manajemen

Manajemen puncak harus memberikan bukti komitmennya terhadap proses manajemen resikodengan :

�menjamin ketersedian sumber daya yang cukup

�menjamin pengangkatan personil yang bermutu untuk manajemen resiko

�mendefinisikan dan mendokumentasikan kebijakan untuk menentukan kriteria keberterimaan resiko, kebijakan ini harus

Analisis resiko

Maksud penggunaan dan

Identifikasi karakteristik terkait dengan keamanan

alat kesehatan

Indentifikasi bahaya

Estimasi resiko

untuk setiap situasi

berbahaya

Evaluasi resiko

Kendali resiko

Analisis opsi kendali resiko

Implementasi tindakan kendali resiko

Evaluasi resiko residu

Analisis resiko/manfaat

Resiko

yang timbul dari tindakan kendali resiko

Kelengkapan kendali resiko

Evaluasi keseluruhan

Laporan manajemen resiko

Informasi produksi dan

Pasca produksi

Pen

ilaia

nR

eksi

ko

Man

aje

me

nR

eksi

ko

Gambar – Skematis Yang Menggambarkan Proses Manajemen Resiko

Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Hal. 22l

Page 23: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

menjamin bahwa kriteria didasari

pada regulasi nasional atau

regional yang dapat diterapkan dan

standar internasional yang relevan,

dan memperhitungkan informasi

yang tersedia seperti kondisi yang

diterima secara umum dengan

memperhatikan pendapat

stakeholder.

�meninjau ulang kesesuaian proses

manajemen resiko pada interval

terencana untuk menjamin

keberlanjutan efektivitas proses

manajemen resiko dan dokumen

setiap keputusan dan tindakan

yang diambil; jika pabrik memiliki

sistem manajemen mutu, tinjau

ulang ini harus menjadi bagian dari

tinjau ulang sistem manajemen

mutu.

4.3Kualifikasi personil

Personilberpengalaman

dibutuhkan untuk melakukan tugas

manajemen. Proses manajemen resiko

mensyaratkan orang dengan bidang

seperti berikut:

�bagiamana alat kesehatan

dikonstruksikan;

�bagaimana alat kesehatan

berkerja/berfungsi;

�bagaimana alat kesehatan

diproduksi;

�bagaimana alat kesehatan

digunakan secara tepat;

�bagaimana menerapkan proses

manajemen resiko.

4.4Rencana manajemen resiko

Kegiatan manajemen resiko harus

terencana. Oleh karena itu untuk alat

kesehatan khusus harus

dipertimbangkan, pabrik harus

menetapkan dan mendokumentasikan

rencana manajemen resiko sesuai

dengan proses manajemen resiko.

Rencana manajemen resiko harus

menjadi bagian dari file manajemen

resiko.

Rencana manajemen resiko ini

paling tidak mencakup berikut:

�lingkup aktivitas manajemen resiko

terencana, identifikasi dan uraian

alat kesehatan dan fase siklus

hidup untuk setiap dari rencana

yang dapat diterapkan;

�penunjukan hak dan tanggung

jawab;

�persyaratan untuk tinjau ulang

kegiatan manajemen resiko;

�kriteria untuk keberterimaan resiko,

berdasarkan kebijakan pabrik

untuk menentukan resiko yang

dapat diterima, termasuk kriteria

untuk penerimaan resiko ketika

kemungkinan terjadinya cedera

yang tidak dapat diestimasi;

�verifikasi aktivitas;

�aktivitas terkait dengan

pengumpulan dan tinjau ulang

tentang produksi relevan dan

informasi pasca produksi.

4.5File manajemen resiko

Untuk alat kesehatan khusus yang

sedang dipertimbangkan, pabrik harus

menetapkan dan memelihara file

manajemen resiko. Sebagai tambahan

untuk persyaratan pasal lain dari

standar ini, file manajemen resiko

harus menyediakan ketertelusuran

untuk setiap bahaya terindifikasi

untuk:

�analisis resiko;

�evaluasi resiko;

�implementasi dan verifikasi

tindakan kendali resiko;

�penentuan keberterimaan setiap

resiko residu.

Standar ini menggunakan istilah file

manajemen resiko untuk menyatakan

kapan pabrik dapat menempatkan

atau menemukan tempat semua

rekaman dan dokumen lain yang

dapat diterapkan untuk manajemen

resiko. Ketertelusuran dibutuhkan

untuk membuktikan bahwa proses

manajemen resiko telah diterapkan

kepada setiap bahaya yang

teridentifikasi.

5. Analisis resiko

Analisis resiko harus dilakukan. Jika

analisis resiko, atau informasi lain yang

relevan tersedia untuk alat kesehatan

serupa, maka analisis atau informasi

dapat digunakan sebagai titik awal

untuk analisis baru. Tingkat keterkaitan

tergantung pada perbedaan diantara

alat kesehatan dan apakah alat

kesehatan memperlihatkan bahaya

baru atau perbedaan yang signifikan di

dalam keluaran, karakteristik, kinerja

atau hasil.Pengembangan analisis yang

ada juga didasari pada evaluasi

sistimatik dari efek perubahan yang

meningkatkan situasi berbahaya.

5.1Maksud penggunaan dan

Identifikasi karakteristik terkait

dengan keamanan alat kesehatan.

Tindakan ini mendorong pabrik

memikirkan tentang semua

karakteristik yang dapat

mempengaruhi keselamatan alat

kesehatan. Pabrik juga harus

mempertimbangkan pengguna yang

dimaksudkan untuk alat kesehatan,

contoh apakah untuk pengguna biasa

(a lay user) atau untuk seorang

professional medis yang terlatih yang

akan menggunakan alat kesehatan.

Analisis ini sebaiknya memper-

timbangkan bahwa alat kesehatan

dapat juga digunakan dalam situasi

selain dari yang dimaksudkan oleh

pabrik dan dalam situasi selain dari

yang diperkirakan ketika alat

kesehatan pertama kali dikonsep.

5.2Identifikasi bahaya

Pabrik harus secara sistematik

dalam melakukan pengidentifikasian

bahaya yang teridentifikasi baik dalam

kondisi normal dan kondisi gagal.

Indentifikasi sebaiknya berdasarkan

karakteristik keselamatan yang

teridentifikasi

5.3 Estimasi resiko untuk setiap situasi

berbahaya

Resiko hanya dapat dinilai dan

diatur pada saat situasi berbahaya

telah diidentifikasi. Pendokumentasian

urutan kejadian yang dapat

diperkirakan secara wajar yang dapat

mentransformasikan bahaya menjadi

situasi berbahaya harus dilakukan

secara sistimatis.

Karena bahaya dapat terjadi baik

ketika alat kesehatan berfungsi secara

normal dan ketika gagal fungsi

l Hal.23 Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014

Page 24: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

Artikel

(malfunctions). Dalam praktek, kedua

komponen resiko, kemungkinan dan

konsekuensi sebaiknya dianalisis

secara terpisah. Ketika pabrik

menggunakan cara yang sistematik

untuk mengkategorikan level

keparahan atau kemungkinan

terjadinya cedera, skema kategori

sebaiknya terdefinisi dan direkam

dalam file manajemen resiko. Ini

mempermudahkan pabrik menangani

resiko yang ekuivalen secara konsisten

dan membuktikan bahwa pabrik telah

berbuat demikian.

5.4Evaluasi resiko

Keputusan tentang keberterimaan

resiko harus dibuat. Pabrik dapat

menggunakan estimasi resiko terbaru

dan mengevaluasi resiko tersebut

menggunakan kriteria untuk

keberterimaan resiko yang terdefinisi

dalam rencana manajemen resiko.

Pabrik dapat mensken resiko untuk

menentukan yang mana perlu

dikurangi.

6. Kendali resiko

6.1Analisis opsi kendali resiko

Pabrik harus mengidentifikasi

tindakan kendali resiko yang sesuai

untuk pengurangan resiko sampai level

yang dapat diterima.

Pabrik harus menggunakan satu

atau lebih opsi kendali resiko berikut

dengan skala prioritas:

�keselamatan yang menyatu karena

desain;

�tindakan protektif terhadap alat

kesehatan itu sendiri atau dalam

proses pembuatan;

�informasi untuk keselamatan.

6.2Implementasi tindakan kendali

resiko

Pabrik harus

mengimplementasikan tindakan

kendali resiko yang dipilih.

Implementasi setiap tindakan kendali

resiko harus diverifikasi. Verifikasi ini

harus direkam di dalam file mana-

jemen resiko. Keefektifan tindakan

kendali resiko harus diverifikasi dan

hasil hasilnya harus direkam di dalam

file manajemen resiko. Sebagai ganti,

studi validasi dapat digunakan untuk

memverifikasi keefektifan tindakan

kendali resiko.

6.3Evaluasi resiko residu

Setelah tindakan kendali resiko

diterapkan, setiap resiko residu harus

dievaluasi menggunakan kriteia yang

didefinisikan dalam rencana mana-

jemen resiko. Hasil evaluasi ini harus

direkam di dalam file manajemen

resiko.

Jika resiko residu tidak dapat

menerima penggunaan kriteria yang

didefinisikan dalam rencana

manajemen resiko, tindakan kendali

resiko selanjutnya harus diterapkan

Untuk resiko residu yang dapat

menerima penggunaan kriteria yang

didefinisikan dalam rencana

manajemen resiko, pabrik harus

memutuskan resiko residu mana yang

diketahui dan informasi apa yang

dibutuhkan untuk disertakan di dalam

dokumen pendamping dalam rangka

untuk mengetahui resiko residu ini.

6.4Analisis resiko/manfaat

Jika resiko residu tidak dapat

menerima penggunaan kriteria yang

ditetapkan di dalam rencana

manajemen resiko dan kendali resiko

selanjutnya tidak dapat dipraktekkan,

pabrik boleh menggumpulan dan

meninjau ulang data dan literatur

untuk menentukan jika manfaat medis

dari maksud penggunaan menjadi

lebih penting dari resiko residu.

6.5Timbulnya resiko dari tindakan

kendali resiko

Dampak dari tindakan kendali

resiko harus ditinjau ulang dengan

memperhatikan:

�pengenalan bahaya baru atau

situasi berbahaya;

�apakah estimasi resiko untuk

situasi berbahaya teridentifikasi

sebelumnya dipengaruhi oleh

pengenalan tindakan kendali

resiko.

Setiap resiko baru atau

peningkatan resiko harus diatur .Hasil

dari tinjau ulang ini harus direkam di

dalam file manajemen resiko.

6.6Kelengkapan kendali resiko

Pabrik harus menjamin bahwa

resiko dari semua situasi berbahaya

yang teridentifikasi telah

dipertimbangkan. Hasil kegiatan ini

harus direkam di dalam file

manajemen resiko.

Pada tahapan ini resiko dari semua

bahaya sebaiknya dievaluasi.

Pemeriksaan ini dibuat untuk

menjamin bahwa tidak ada bahaya

yang masih terresidu dalam kerumitan

dari suatu analisis resiko yang

kompleks.

7. Evaluasi keseluruhan

keberterimaan resiko residu

Setelah tindakan kendali resiko

telah diimplementasikan dan

Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Hal. 24l

Page 25: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

diverifikasi, pabrik harus memutuskan

jika resiko residu keseluruhan yang

dimiliki oleh alat kesehatan dapat

diterima menggunakan kriteria yang

didefinisikan di dalam rencana

manajemen resiko.

Mungkin bisa terjadi semua resiko

residu dapat melampaui kriteria pabrik

untuk resiko yang dapat diterima,

meskipun hal ini tidak terjadi pada

masing-masing resiko residu.Hal ini

bisa terjadi pada sistem yang kompleks

dan untuk alat kesehatan dengan

banyak resiko. Walaupun keseluruhan

resiko residu melebihi kriteria di dalam

rencana manajemen resiko, pabrik

harus memiliki waktu untuk melakukan

semua evaluasi resiko/manfaat untuk

menentukan apakah resiko tinggi,

tetapi manfaat besar, alat kesehatan

harus dipasarkan. Penting bagi

pengguna diinformasikan tentang

pentingnya resiko residu keseluruhan.

Oleh karena itu pabrik diinstruksikan

untuk menyertakan informasi terkait

dalam dokumen pendamping.

8. Laporan manajemen resiko

Laporan manajemen resiko adalah

bagian yang penting dari file

manjemen resiko. Laporan manjemen

resiko dimaksudkan untuk menjadi

ringkasan dari tinjau ulang dari hasil

akhir proses manjemen resiko.

Laporan manajemen resiko bertindak

sebagai dokumen level tinggi yang

memberikan bukti bahwa pabrik telah

menjamin bahwa rencana manajemen

resiko telah benar-benar lengkap dan

hasil konfirmasi menyatakan bahwa

sasaran yang disyaratkan telah dicapai.

Sebelum alat kesehatan dipasar-

kan, pabrik harus melakukan tinjau

ulang proses manajemen resiko. Tinjau

ulang ini paling tidak harus menjamin

bahwa:

�rencana manajemen resiko telah

diimplementasikan secara tepat;

�resiko residu keseluruhan yang

dapat diterima;

�metode yang sesuai yang

diterapkan untuk memperoleh

informasi produksi yang relevan dan

informasi pasca produksi

Hasil tinjau ulang ini harus direkam

seperti laporan manajemen resiko dan

disertakan di dalam file manajemen

resiko dan ditentukan di dalam

rencana manajemen resiko untuk

personil yang memiliki hak yang sesuai

9. Informasi produksi dan pasca

produksi

Manajemen resiko tidak berakhir

meskipun alat kesehatan sudah

diproduksi. Manajemen resiko sering

dimulai dengan satu ide ketika tidak

terdapat manifestasi fisik dari alat

kesehatan. Estimasi resiko dapat

diperbaharui melalui proses desain

dan dibuat lebih akurat ketika satu

prototype utama dirancang. Informasi

yang digunakan dalam manajemen

resiko dapat berasal dari setiap

sumber termasuk produksi atau

rekaman mutu. Bagaimanapun, tidak

terdapat model yang dapat

menggantikan alat kesehatan yang

aktual di dalam pengguna yang

sebenarnya. Oleh karena itu, pabrik

harus memonitor informasi produksi

dan pasca produksi untuk data dan

informasi yang dapat mempengaruhi

estimasi resiko alat kesehatan, dan

konsekuensi terhadap keputusan

manajemen resiko mereka. Pabrik juga

harus memperhitungkan state of the-

art consideration dan kemudahan

penerapannya. Informasi sebaiknya

juga digunakan untuk meningkatkan

proses manjemen resiko. Dengan

informasi pasca produksi maka proses

manajemen resiko benar menjadi

proses tertutup yang berulang

(iterative closed-loop process).

Daftar Pustaka

1. ISO 14971:2007 Medical devices –

Application of risk mangement to

medical devices

2. ISO 13485, Medical devices- Quality

management Systems-

Requirements for regulatory

purposes

3. ISO 14155: 2011, Clinical

investigation of medical devices for

human subjects – Good clinical

practice

Penulis : Beluh Mabasa Ginting, ST,

M.Si

1. Staf Direktorat Bina Produksi dan

Distribusi Alat Kesehatan Dirjen

Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan KemkesRI

2. Alumni Pasca Sarjana UI bidang

studi Teknologi Biomedis

(biomedical engineering)

3. Anggota Masyarakat Standar

(MASTAN)

4. Tenaga Ahli Standardisasi Badan

Standardisasi Nasional (BSN)

Bidang Alat Kesehatan (Health Care

Technology/ICS 11) dengan nomor

anggota 006/BSN/TAS-QC

l Hal.25 Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014

Page 26: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

undang-undang. Diantara regulasi

tersebut adalah: UU No:36 Tahun 1999

tentang Telekomunikasi, UU

No:32/2002/tentang Penyiaran, UU No:

11/2008/tentang ITE dan UU

No:14/2008/tentang KIP. Ke-empat

undang undang tersebut dapat

dijadikan landasan hukum untuk

menuju keterbukaan informasi

publik,apalagi ditambah dengan UU

No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

Publik.

Regulasi melalui perundang-

undangan, serta sosialisasi tetap

belumlah dianggap cukup. Ini berarti

upaya tersebut perlu secara terus

menerus dilakukan melalui berbagai

saluran publikasi di berbagai media

massa, termasuk penerbitan buku.

Revolusi Mental

Diperlukan adanya revolusi mental

dalam keterbukaan informasi publik.

Apalagi dengan berkembangpesatnya

media massa online dan teknologi

informatika. Dengan mengusung

semangat: “Membangun Keterbukaan

Informasi Publik Melalui

Pemberdayaan Teknologi Informasi

dan Komunikasi”. tentunya hal ini

mengandung maksud dan tujuan

tertentu dalam konteks membangun

demokratisasi menuju masyarakat

informasi dimasa mendatang. Untuk

membudayakan dan membangun

interkoneksi terhadap produk regulasi

perundang-undangan serta

implementasinya diperlukan suatu

strategi tertentu Hal ini disamping agar

khalayak masyarakat bisa

mendapatkan ,informasi secara jelas

dan akurat, juga untuk mencari umpan

balik. Keterbukaan informasi publik

yang dilakukan instansi pemerintah

(tidak termasuk informasi yang

dikecualikan) melalui pemberdayaan

teknologi informasi dan komunikasi via

website institusi

Hal ini untuk memberikan ruang

kepada masyarakat untuk ikut

berpartisipasi melakukan pengawasan

di dalamnya.

Peran serta masyarakat yang

dikonstruksi dalam bentuk pendapat,

usulan dan kritik merupakan dialektika

untuk mencari kebenaran. Berbagai

pandangan tentang bagaimana

membangun keterbukaan informasi

publik yang terbuka, melalui

pemberdayaan teknologi informasi

dan komunikasi tentu sudah menjadi

tuntutan.

Publik diajak untuk berdiskusi

bagaimana memahami keterbukaan

informasi publik melalui

pemberdayaan teknologi informasi,

kemudian untuk diimplementasikan.

Dengan konsep ini khalayak/publik

bisa mendapatkan informasi yang

sangat berharga, karena keterbukaan

informasi publik akan lebih terbuka

seluas mungkin.

Berbagai konsep-konsep, kritik,

pendapat, dan berbagai pandangan

tentang “Pembangunan Keterbukaan

Informasi Publik Melalui

Pemberdayaan Teknologi Informasi”

Inspirasi ini muncul dari sebuah

fenomena; bahwa regulasi tentang

keterbukaan informasi publik

merupakan “revolusi budaya komunikasi”

di Indonesia. Barangkali tidaklah

berlebihan jika regulasi keterbukaan

informasi publik ini merupakan

pengejawantahan reformasi yang

digagas sejak tahun 1998, oleh

paramahasiswa. Keterbukaan informasi

ini juga akan membawa era baru bagi

kehidupan masyarakat dalam berbangsa

dan bernegara. Pada dasarnya setiap

orang berhak berkomunikasi dan

memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan

lingkungan sosialnya serta berhak untuk

mencari, memperoleh, memiliki,

menyimpan, mengolah dan

menyampaikan informasi dengan

menggunakan segala jenis saluran yang

tersedia (ps,28f Undang Undang Dasar

1945). Dengan merujuk pasal tersebut

maka keterbukaan informasi publik

melalui pemberdayaan TIK menjadi

suatu hal yang sangat penting dan

strategis. Setidaknya untuk menuju

keterbukaan informasi publik

Pemerintah sudah mempersiapkan

4(empat) regulasi melalui penerapan

REVOLUSI MENTAL DALAM

KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Hal. 26l

Artikel

Page 27: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

serta dampaknya dilihat dari berbagai

perspektif ilmu pengetahuan.

Keterbukaan informasi publik melalui

pemberdayaan teknologi informasi,

ditinjau dari berbagai aspek ini akan ter-

lihat bahwa saat ini secara yuridis, ke-

merdekaan media dan akses informasi

telah terlindungi. Siapa pun yang

berkuasa, untuk membatasi keterbukaan

informasi mungkin akan mendapatkan

resistensi dari institusi yang belum

memahami pentingnya keterbukaan

informasi.

Apakah kemudahan akses informasi,

digunakan sebagaimana tujuan yang

telah ditetapkan dalam pasal 3 UU No:

14 tahun 2008 benar-benar bisa

terwujud dengan mudah? mengingat

resistensi awal dari mereka yang belum

mengerti. Karena dalam praktek

pelayanan informasi, tidak sedikit yang

menggunakan kemudahan tersebut

untuk memenuhi sebagaimana maksud

yang di gagas dalam undang-undang

tersebut.

Undang-undang berjalan pararel

dengan perkembangan teknologi yang

demikian pesat. Secara teoritis, kedua

hal tersebut akan mendorong perubah-

an dalam akses dan pelayanan. Fakta-

nya, belum banyak terjadi perubahan

sebagaimana yang diharapkan. Prinsip-

prinsip good governance yang menge-

depankan transparansi dan akuntabilitas

yang menjadi tuntutan semua pihak

sudah semestinya dipegang teguh

bukan saja di lingkup pemerintahan,

namun juga di seluruh elemen

masyarakat.

Kehadiran Undang-Undang Keter-

bukaan Informasi Publik secara sistemik

diharapkan dapat mewujudkan trans-

paransi, peningkatan pelayanan dan

pada gilirannya menghilangkan penyim-

pangan-penyimpangan seperti korupsi,

minimal dapat ditekan ke tingkat yang

paling rendah. Kalau seluruh komponen

bahu membahu dalam melaksanakan

reformasi di segala lini, kepemerintahan

yang baik.

Keterbukaan informasi publik

Peluang untuk memperbaiki kualitas

demokrasi. Bahkan menurut analisis

penulisnya keberadaan Media baru

cenderung mendorong ke arah

radikalisasi demokrasi melalui

partisipasi dan transparansi. Meskipun

demikian, manfaat-manfaat yang besar

dari teknologi tersebut hanya mungkin

bisa diserap dengan baik jika prasyarat

pemanfaatan teknologi terpenuhi,

yakni pendapatan (variabel ekonomi)

dan pendidikan. Tanpa itu, teknologi

justru akan memunculkan kesenjang-

an. Bagi Indonesia, pemanfaatan

teknologi dalam rangka membangun

demokrasi dan pemerintahan yang

baik mutiak dilakukan jika Indonesia

ingin menjadi pemenang dalam

percaturan ekonomi-politik global yang

kompetitif. Dalam artikel ini direko-

mendasikan bahwa usaha memba-

ngun infrastruktur teknologi harus

pula diimbangi dengan pemba-ngunan

infastruktur sosial- ekonomi.

Adapula nyanyian miring yang

berkata bahwa seideal apapun UU KIP,

tanpa pemahaman dan pemaknaan

komprehensif dari pemerintah dan

lembaga-lembaga publik lainnya, para

komisioner informasi publik, dan

masyarakat, hanya akan menjadi

‘nyanyian usang’. Apa lagi jika

kehadiran UU KIP ini hanya

memberikan keuntungan kepada

pihak-pihak tertentu, seperti pemodal

nasional maupun transnasional, maka

idealitas dalam mewujudkan

partisipasi masyarakat akan kembali

tunduk kepada kepentingan modal

dan menyuburkan neoliberalisme di

Indonesia. Maka dari itu, kesiapan

elemen dan piranti pendukungnya

mutlak dibutuhkan.

Teknologi informasi-komunikasi

sebenarnya memberikan peluang bagi

maksimalisasi manfaat berupa

partisipasi masyarakat karena efesiensi

dan efektifitas. Tetapi masih banyak

tantangan dan permasalahan yang

muncul jika tidak dipersiapkan sejak

dini.

Maka penyelenggara negara wajib

memfasilitasi dan mendorong lahirnya

kesadaran informasi warga negara

sehingga mereka bisa memaksimalkan

teknologi informasi komunikasi untuk

kepentingan akses informasi publik.

Apabila fungsi tersebut tidak berja-

lan, maka ketersediaan teknologi in-

formasi-komunikasi sampai ke level

lokal hanya akan memunculkan per-

masalahan sosio-kultural baru dan

menggugurkan idealitas UU KIP ini.

Maka dari itu sinergi dan

pemahaman dari masing-masing pihak

serta kesadaran untuk memaksimalkan

teknologi informasi-komunikasi masih

memberikan peluang bagi munculnya

masyarakat partisipatif. Dengan

munculnya masyarakat partisipatif

tersebut, kepemerintahan yang bersih

dan berdaya akan memberikan

kesejahteraan dan keberadaban bagi

masyarakat.

Dengan demikian carut-marut

reformasi dan berbagai permasalahan

bangsa ini sedikit bisa dikurangi

dengan partisipasi masyarakat secara

maksimal. Negara ini memang harus

‘bergerak’ dan ‘berjalan’, dan

masyarakat partisipatif adalah kunci

dari cita-cita kolektif itu.

Adapula yang menyoroti bahwa

karena keterbatasan akses informasi

maka budaya politik di Indonesia

mengarah pada patrimonial di mana

para pemegang kebijakan cenderung

mengeksploitasi kekuasaan untuk

kepentingan individu, bukan untuk ke-

pentingan rakyat secara universal. Hal

inilah yang melahirkan ketidak- siapan

pejabat badan publik untuk

melaksanakan UU No 14/2008 tentang

KIP.

Di bagian lain kesiapan masyarakat

diharapkan dapat ikut serta ber-

l Hal.27 Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014

Page 28: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

dasar layanan dan teknis-operasional

layanan.

Hal paling mendasar yang perlu di-

perhatikan adalah bagaimana mem-

bentuk kepercayaan publik terhadap

lembaga, yang bisa dimulai dari peru-

musan kebijakan umum, perubahan

paradigma atau mindset sumber daya

manusia, penataan kelembagaan, per-

luasan akses publik, pengemasan in-

formasi yang menarik dan dibutuhkan

oleh publik, serta pengembangan

mekanisme umpan balik untuk publik

kepada lembaga pemerintah.

Tantangan terberat adalah mengem-

bangkan cara-cara deliberatif dengan

mengutamakan pelibatan publik mela-

lui dialog, tukar pengala-man, dan

penggalian masalah antara pemerin-

tah dan warga negara untuk mencapai

hubungan yang harmonis melalui in-

formasi dan komunikasi. Keterlibatan

warga (citizen engagement) yang meru-

pakan inti dari demokrasi deliberatif

mutiak diperlukan.

Kata kunci, memgembangkan kerja-

sama antar-ide dan antarpihak dengan

lebih menonjolkan argumentasi, dia-

log, saling menghormati, dan berupaya

mencapai titik temu dan mufakat de-

ngan menekankan partisipasi dan

keterlibatan langsung warganegara.

Keterbukaan informasi publik,

sebagaimana diamanatkan dalam UU

No: 14/2008 tentang KIP merupakan

pintu masuk untuk melakukan

pengawasan, dan mereformasi

birokrasi. Reformasi birokrasi dianggap

berhasil ketika birokrasi mampu

memberikan nilai tambah bagi

efisiensi nasional, kesejahteraan

rakyat, dan keadilan sosial.

Keterbukaan informasi publik melalui

pemberdayaan teknologi informasi

dan komunikasi yang di lakukan oleh

birokrasi secara profesional diasum-

sikan penulis mampu menjadi agen

perubahan budaya birokrasi yang

demokratis dan transparan.

(terbebasnya budaya korupsi dan

perekayasaan di birokrasi). Dalam

kondisi tersebut kepercayaan publik

terhadap birokrasi dan aparatumya

niscaya akan tumbuh dan menguat

kembali.

Bila membahas keterbukaan

informasi publik menuju e-government,

dapat disimpuikan bahwa konsep e-

government dapat diimplementasikan

pada penyelenggaraan pelayanan in-

formasi publik sebagai amanat UU

No:14/2008 tentang KIP untuk mem-

berikan pelayanan informasi publik

kepada masyarakat.

Regulasi tersebut untuk memudah-

kan kinerja petugas pelayanan infor-

masi, sehingga menciptakan pelaya-

nan informasi publik yang efektif dan

efisien serta mudah diakses para

pemohon informasi.

Keberhasilan suatu sistem informasi

manajemen pelayanan informasi pu-

blik berbasis elektronis yang merupa-

kan penerapan e-government bergan-

tung pada kualitas sistem, kualitas in-

formasi dan kualitas penggunaan yang

membentuk kualistas layanan publik.

Hal ini akan mempengaruhi pada ke-

puasan pengguna/pemanfaat sistem

dan berdampak pada kepuasan in-

dividu serta organisasi secara kese-

luruhan.

Sumber:

Bunga Rampai Membangun

Keterbukaan Informasi Publik

- Puslitbang Aptika Dan IKP

partisipasi dan mendorong keterbukaan

informasi publik ini. Mengubah pola pikir

tidak saja pada tingkatan pimpinan ba-

dan publik tetapi juga bagi masyarakat

itu sendiri.

Keterbukaan informasi publik yang di-

bangun UU KIP tidak akan berjalan jika

tidak ada partisipasi masyarakat. Karena

itu perlu adanya upaya mendorong ma-

syarakat menggunakan hak-haknya un-

tuk mengakses informasi dengan mem-

budayakan keterlibatan mereka di arena

keterbukaan informasi publik.

Kita mungkin bisa berargumentasi

jika,”kebijakan komunikasi publik pada

dasarnya bukan saja menyangkut hubu-

ngan antar berbagai tingkatan kelem-

bagaan pemerintah atau pertimbangan

penggunaan teknologi informasi dan

komunikasi saja, namun juga merupa-

kan persoalan mengenai hubungan an-

tara negara dan warga negara”.

Kebijakan komunikasi tersebut bukan-

lah sekadar tanggung jawab pemerintah

pusat atau daerah semata namun juga

tanggung jawab masyarakat yang memi-

liki hak utama dalam akses informasi

dan komunikasi.

Praktik-praktik komunikasi publik pasti

bersentuhan langsung dengan hajat

hidup orang banyak: hak-hak publik atas

informasi, hak tiap warga negara untuk

mengontrol jalannya pemerintahan.

Layanan informasi bukan sekadar ke-

giatan dan aktivitas yang berkaitan de-

ngan kelembagaan semata, melainkan

juga menyangkut konteks situasi dima-

na lembaga pemerintah ada, konsep

Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Hal. 28l

Page 29: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Aku membencinya, itulah yang

selalu kubisikkan dalam hatiku hampir

sepanjang kebersamaan kami. Meski-

pun menikahinya, aku tak pernah

benar-benar menyerahkan hatiku

padanya. Menikah karena paksaan

orangtua, membuatku membenci

suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku

tak pernah menunjukkan sikap

benciku. Meskipun membencinya,

setiap hari aku melayaninya

sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa

melakukan semuanya karena aku tak

punya pegangan lain. Beberapa kali

muncul keinginan meninggalkannya

tapi aku tak punya kemampuan finan-

sial dan dukungan siapapun. Kedua

orangtuaku sangat menyayangi sua-

miku karena menurut mereka,

suamiku adalah sosok suami

sempurna untuk putri satu-satunya

mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri

yang teramat manja. Kulakukan segala

hal sesuka hatiku. Suamiku juga

memanjakanku sedemikian rupa. Aku

tak pernah benar-benar menjalani

tugasku sebagai seorang istri. Aku

selalu bergantung padanya karena

aku menganggap hal itu sudah

seharusnya setelah apa yang ia

lakukan padaku. Aku telah

menyerahkan hidupku padanya

sehingga tugasnyalah membuatku

bahagia dengan menuruti semua

keinginanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak

punya anak. Meskipun tidak bekerja,

tapi aku tak mau mengurus anak.

Awalnya dia mendukung dan akupun

ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia

menyembunyikan keinginannya begitu

dalam sampai suatu hari aku lupa

minum pil KB dan meskipun ia tahu ia

Ketika mereka pergi, akupun

memutuskan untuk ke salon.

Menghabiskan waktu ke salon adalah

hobiku. Aku tiba di salon langgananku

beberapa jam kemudian. Di salon aku

bertemu salah satu temanku sekaligus

orang yang tidak kusukai. Kami

mengobrol dengan asyik termasuk

saling memamerkan kegiatan kami.

Tiba waktunya aku harus membayar

tagihan salon, namun betapa terkejut-

nya aku ketika menyadari bahwa

dompetku tertinggal di rumah.

Meskipun merogoh tasku hingga

bagian terdalam aku tak

menemukannya di dalam tas.

Sambil berusaha mengingat-ingat

apa yang terjadi hingga dompetku tak

bisa kutemukan aku menelepon

suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan

meminta uang jajan dan aku tak punya

uang kecil maka kuambil dari

dompetmu. Aku lupa menaruhnya

kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku

letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya

menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya

dengan kasar. Kututup telepon tanpa

menunggunya selesai bicara. Tak lama

kemudian, handphoneku kembali

berbunyi dan meski masih kesal,

akupun mengangkatnya dengan

setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku

akan ambil dompet dan mengantarnya

padamu. Sayang sekarang ada

dimana?” tanya suamiku cepat, kuatir

aku menutup telepon kembali. Aku

menyebut nama salonku dan tanpa

menunggu jawabannya lagi, aku

kembali menutup telepon.

Aku berbicara dengan kasir dan

mengatakan bahwa suamiku akan

datang membayarkan tagihanku. Si

membiarkannya. Akupun hamil dan

baru menyadarinya setelah lebih dari

empat bulan, dokterpun menolak

menggugurkannya .

Itulah kemarahanku terbesar

padanya. Kemarahan semakin

bertambah ketika aku mengandung

sepasang anak kembar dan harus

mengalami kelahiran yang sulit. Aku

memaksanya melakukan tindakan

vasektomi agar aku tidak hamil lagi.

Dengan patuh ia melakukan semua

keinginanku karena aku mengancam

akan meninggalkannya bersama kedua

anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak

terasa berulang tahun yang ke-

delapan. Seperti pagi-pagi

sebelumnya, aku bangun paling akhir.

Suami dan anak-anak sudah

menungguku di meja makan. Seperti

biasa, dialah yang menyediakan

sarapan pagi dan mengantar anak-

anak ke sekolah. Hari itu, ia

mengingatkan kalau hari itu ada

peringatan ulang tahun ibuku. Aku

hanya menjawab dengan anggukan

tanpa mempedulikan kata-katanya

yang mengingatkan peristiwa tahun

sebelumnya, saat itu aku memilih ke

mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah,

karena merasa terjebak dengan

perkawinanku, aku juga membenci

kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya

suamiku mencium pipiku saja dan

diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia

juga memelukku sehingga anak-anak

menggoda ayahnya dengan ribut. Aku

berusaha mengelak dan melepaskan

pelukannya. Meskipun akhirnya ikut

tersenyum bersama anak-anak. Ia

kembali mencium hingga beberapa

kali di depan pintu, seakan-akan berat

untuk pergi.

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

“Tuhan tidak selalu memberi yang kita inginkan

Tetapi Tuhan memberikan kita yang terbaik dan dibutuhkan”

l Hal.29 Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014

Kolom Hikmah

Page 30: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

empunya Salon yang sahabatku

sebenarnya sudah membolehkanku

pergi dan mengatakan aku bisa

membayarnya nanti kalau aku kembali

lagi.

Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga

ikut mendengarku ketinggalan dompet

membuatku gengsi untuk berhutang

dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar

dan berharap mobil suamiku segera

sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku

semakin tidak sabar sehingga mulai

menghubungi handphone suamiku. Tak

ada jawaban meskipun sudah berkali-

kali kutelepon. Padahal biasanya hanya

dua kali berdering teleponku sudah

diangkatnya. Aku mulai merasa tidak

enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa

kali mencoba. Ketika suara bentakanku

belum lagi keluar, terdengar suara asing

menjawab telepon suamiku. Aku

terdiam beberapa saat sebelum suara

lelaki asing itu memperkenalkan diri,

“Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari

bapak armandi?” kujawab pertanyaan

itu segera.

Lelaki asing itu ternyata seorang

polisi, ia memberitahu bahwa suamiku

mengalami kecelakaan dan saat ini ia

sedang dibawa ke rumah sakit

kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam

dan hanya menjawab terima kasih.

Ketika telepon ditutup, aku berjongkok

dengan bingung. Tanganku

menggenggam erat handphone yang

kupegang dan beberapa pegawai salon

mendekatiku dengan sigap bertanya

ada apa hingga wajahku menjadi pucat

seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku

sampai di rumah sakit. Entah

bagaimana juga tahu-tahu seluruh

keluarga hadir di sana menyusulku. Aku

yang hanya diam seribu bahasa

menunggu suamiku di depan ruang

gawat darurat. Aku tak tahu harus

melakukan apa karena selama ini dialah

sesak mengingat apa yang telah

kuperbuat padanya terakhir kali kami

berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah

memperhatikan kesehatannya. Aku

hampir tak pernah mengatur

makannya. Padahal ia selalu mengatur

apa yang kumakan. Ia memperhatikan

vitamin dan obat yang harus

kukonsumsi terutama ketika

mengandung dan setelah melahirkan.

Ia tak pernah absen mengingatkanku

makan teratur, bahkan terkadang

menyuapiku kalau aku sedang malas

makan. Aku tak pernah tahu apa yang

ia makan karena aku tak pernah

bertanya. Bahkan aku tak tahu apa

yang ia sukai dan tidak disukai.

Hampir seluruh keluarga tahu

bahwa suamiku adalah penggemar mie

instant dan kopi kental. Dadaku sesak

mendengarnya, karena aku tahu ia

mungkin terpaksa makan mie instant

karena aku hampir tak pernah

memasak untuknya. Aku hanya

memasak untuk anak-anak dan diriku

sendiri. Aku tak perduli dia sudah

makan atau belum ketika pulang kerja.

Ia bisa makan masakanku hanya kalau

bersisa. Iapun pulang larut malam

setiap hari karena dari kantor cukup

jauh dari rumah. Aku tak pernah mau

menanggapi permintaannya untuk

pindah lebih dekat ke kantornya

karena tak mau jauh-jauh dari tempat

tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu

menahan diri lagi. Aku pingsan ketika

melihat tubuhnya hilang bersamaan

onggokan tanah yang menimbun. Aku

tak tahu apapun sampai terbangun di

tempat tidur besarku. Aku terbangun

dengan rasa sesal memenuhi rongga

dadaku. Keluarga besarku

membujukku dengan sia-sia karena

mereka tak pernah tahu mengapa aku

begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah

kepergiannya bukanlah kebebasan

yang melakukan segalanya untukku.

Ketika akhirnya setelah menunggu

beberapa jam, tepat ketika

kumandang adzan maghrib terdengar

seorang dokter keluar dan

menyampaikan berita itu. Suamiku

telah tiada. Ia pergi bukan karena

kecelakaan itu sendiri, serangan

stroke-lah yang menyebabkan

kematiannya.

Selesai mendengar kenyataan itu,

aku malah sibuk menguatkan kedua

orangtuaku dan orangtuanya yang

shock. Sama sekali tak ada airmata

setetespun keluar di kedua mataku.

Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan

mertuaku. Anak-anak yang terpukul

memelukku dengan erat tetapi

kesedihan mereka sama sekali tak

mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah

dan aku duduk di hadapannya, aku

termangu menatap wajah itu. Kusadari

baru kali inilah aku benar-benar

menatap wajahnya yang tampak

tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan

kupandangi dengan seksama.

Saat itulah dadaku menjadi sesak

teringat apa yang telah ia berikan

padaku selama sepuluh tahun

kebersamaan kami. Kusentuh

perlahan wajahnya yang telah dingin

dan kusadari inilah kali pertama kali

aku menyentuh wajahnya yang dulu

selalu dihiasi senyum hangat.

Airmata merebak dimataku,

mengaburkan pandanganku. Aku

terkesiap berusaha mengusap agar

airmata tak menghalangi tatapan

terakhirku padanya, aku ingin

mengingat semua bagian wajahnya

agar kenangan manis tentang suamiku

tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya

berhenti, airmataku semakin deras

membanjiri kedua pipiku. Peringatan

dari imam mesjid yang mengatur

prosesi pemakaman tidak mampu

membuatku berhenti menangis. Aku

berusaha menahannya, tapi dadaku

Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Hal. 30l

Kolom Hikmah

Page 31: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014

Informasi kefarmasian dan alat kesehatan

seperti yang selama ini kuinginkan

tetapi aku malah terjebak di dalam

keinginan untuk bersamanya. Di hari-

hari awal kepergiannya, aku duduk

termangu memandangi piring kosong.

Ayah, Ibu dan ibu mertuaku

membujukku makan. Tetapi yang

kuingat hanyalah saat suamiku

membujukku makan kalau aku sedang

mengambek dulu.

Setiap malam aku menunggunya di

kamar tidur dan berharap esok pagi aku

terbangun dengan sosoknya di

sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur

mendengar suara dengkurannya, tapi

sekarang aku bahkan sering terbangun

karena rindu mendengarnya kembali.

Dulu aku kesal karena ia sering beran-

takan di kamar tidur kami, tetapi kini aku

merasa kamar tidur kami terasa kosong

dan hampa.

Dulu aku paling tidak suka ia

membuat kopi tanpa alas piring di meja,

sekarang bekasnya yang tersisa di

sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau

kuhapus. Semua kebodohan itu

kulakukan karena aku baru menyadari

bahwa dia mencintaiku dan aku sudah

terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri,

aku marah karena semua kelihatan nor-

mal meskipun ia sudah tidak ada. Aku

marah karena baju-bajunya masih di

sana meninggalkan baunya yang mem-

buatku rindu. Aku marah karena tak bisa

menghentikan semua penyesalanku.

Aku marah karena tak ada lagi yang

membujukku agar tenang, tak ada lagi

yang mengingatkanku sholat meskipun

kini kulakukan dengan ikhlas.

Aku sholat karena aku ingin meminta

maaf, meminta maaf pada Allah karena

menyia-nyiakan suami yang dianugerahi

padaku, meminta ampun karena telah

menjadi istri yang tidak baik pada suami

yang begitu sempurna. Sholatlah yang

mampu menghapus dukaku sedikit

demi sedikit. Cinta Allah padaku

hasil warisan ayah kandungnya.

Suamiku membuat beberapa usaha

dari hasil deposito tabungan tersebut

dan usaha tersebut cukup berhasil.

Aku hanya bisa menangis terharu

mengetahui betapa besar cintanya

pada kami, sehingga ketika ajal

menjemputnya ia tetap membanjiri

kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk

menikah lagi. Banyaknya lelaki yang

hadir tak mampu menghapus

sosoknya yang masih begitu hidup di

dalam hatiku.

Kini kedua putra putriku berusia

duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi

putriku menikahi seorang pemuda dari

tanah seberang. Putri kami bertanya,

“Ibu, aku harus bagaimana nanti sete-

lah menjadi istri, soalnya Farah kan ga

bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya

bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata

“Cinta sayang, cintailah suamimu,

cintailah pilihan hatimu, cintailah apa

yang ia miliki dan kau akan mendapat-

kan segalanya. Karena cinta, kau akan

belajar menyenangkan hatinya, akan

belajar menerima kekurangannya, akan

belajar bahwa sebesar apapun

persoalan, kalian akan

menyelesaikanny a atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta

ibu untuk ayah? Cinta itukah yang

membuat ibu tetap setia pada ayah

sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku.

Cintailah suamimu seperti ayah

mencintai ibu dulu, seperti ayah

mencintai kalian berdua. Ibu setia pada

ayah karena cinta ayah yang begitu

besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena

tak sempat menunjukkan cintaku pada

suamiku. Aku menghabiskan sepuluh

tahun untuk membencinya, tetapi

menghabiskan hampir sepanjang sisa

hidupku untuk mencintainya.

islampos.com

ditunjukkannya dengan begitu banyak

perhatian dari keluarga untukku dan

anak-anak. Teman-temanku yang

selama ini kubela-belain, hampir tak

pernah menunjukkan batang hidung

mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah

kematiannya, keluarga

mengingatkanku untuk bangkit dari

keterpurukan. Ada dua anak yang

menungguku dan harus kuhidupi.

Kembali rasa bingung merasukiku.

Selama ini aku tahu beres dan tak

pernah bekerja. Semua dilakukan

suamiku. Berapa besar

pendapatannya selama ini aku tak

pernah peduli, yang kupedulikan

hanya jumlah rupiah yang ia transfer

ke rekeningku untuk kupakai untuk

keperluan pribadi dan setiap bulan

uang itu hampir tak pernah bersisa.

Dari kantor tempatnya bekerja, aku

memperoleh gaji terakhir beserta

kompensasi bonusnya.

Ketika melihatnya aku terdiam tak

menyangka, ternyata seluruh gajinya

ditransfer ke rekeningku selama ini.

Padahal aku tak pernah sedikitpun

menggunakan untuk keperluan rumah

tangga. Yang aku tahu sekarang aku

harus bekerja atau anak-anakku

takkan bisa hidup karena jumlah gaji

terakhir dan kompensasi bonusnya

takkan cukup untuk menghidupi kami

bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku

hampir tak pernah punya pengalaman

sama sekali. Semuanya selalu diatur

oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa

waktu kemudian. Ayahku datang

bersama seorang notaris. Lalu notaris

memberikan sebuah surat. Surat

pernyataan suami bahwa ia

mewariskan seluruh kekayaannya

padaku dan anak-anak, ia menyertai

ibunya dalam surat tersebut.

Notaris memberitahu bahwa

selama ini suamiku memiliki beberapa

asuransi dan tabungan deposito dari

Kolom Hikmah

l Hal.31 Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014

Page 32: Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014