16

Buletin Informatika Edisi 167

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Buletin Informatika adalah buletin di bawah naungan ICMI

Citation preview

Page 1: Buletin Informatika Edisi 167
Page 2: Buletin Informatika Edisi 167

Edisi: 167/Februari 2013

◙Editorial

2

Email: [email protected]

Telp / Mobile: 02-226 092 68

Alamat Redaksi: Wisma Nusantara, 8 Wahran St. Rabea el-Adawea , Nasr City, Cairo, Egypt.

Web Master: Agususanto, Fauzul Hanif, Lukmanul Hakim

Distributor dan Periklanan: Fitra Yuzarni: +201119865823 Nurul Azizah: +201119865847

Layouter & Ilustrator: Arif Yusuf

Editor: Dana Ahmad Dahlani, Kurniawan Saputra, Umar Abdulloh

Reporter: Achmad Fawatih, Barmawi Mahral, Fahrizal, Fakhry Emil Habib, Firdaus Fadillah, Harun Ar-Rasid Mahmud, Ilham Sujefri, Khalid Muddatstsir, Yusrizal, Akfini Bifadlika Ghofar, Lina Nabila Ahmad, Nisa’ul Mujahidah, Rafika Nur Jannah, Ummah Dayanah Futuhat

Redaktur Ahli: Ajib Akbar Velayati, Lc., Fajar Pradika, Lc., Jauhar Ridloni Marzuq, Lc., Sayyid Zuhdi, Nikmah Mawaddati, Lc., Rini Arianti, Ayu Rizki Amalia

Penanggungjawab: Koordinator Departemen Media dan Komunikasi ICMI Orsat Kairo

Pengarah: Drs. Ahmad Isrona Alfakhri Zakirman, Lc. Indra Gunawan, Lc.

Pelindung: Ketua Umum ICMI Orsat Kairo

Informatika

Dewan Redaksi: Ahmad Satriawan Hariadi, Ahwazy Anhar, Hilmy Mubarok, Ikfil Hasan, Muhammad Arief, Nurkosin Daiman, Ety Najihah, Evia Jannatul Firdaus, Farida Prima Pratista, Selvia Mei

Sekretaris Redaksi: Abdul Wahid Satunggal, Nurul Azizah

Pemimpin Redaksi: Sifrul Akhyar

Pemimpin Usaha: Fitra Yuzarni

Pemimpin Umum: Tsaqofina Hanifah

K edatangan penulis novel Ayat-

Ayat Cinta, Habiburrahman El-

Shirazy atau akrab disapa Kang

Abik di tengah-tengah Masisir setidaknya

memberikan stimulus untuk kembali menu-

lis. Di saat geliat menulis Masisir sedang

menurun, kehadiran Kang Abik bak oasis di

tengah gersangnya gurun pasir. Kehe-

batannya dalam menulis sudah tidak dira-

gukan lagi. Seabrek novel best seller telah

ia lahirkan dari tangan dinginnya. Bahkan

sebagian besar karyanya sudah diangkat

ke layar lebar.

Menjadi penulis hebat adalah cita-cita

semua orang. Penulis yang bukunya ban-

yak dibeli khalayak ramai. Bahkan orang-

orang mengantri untuk membeli buku se-

lanjutnya, meski masih dalam proses pem-

bangunan konsep. Barangkali itulah definisi

penulis hebat. Namun jika menerjemahkan

makna penulis hebat dalam skala kecil sep-

erti di buletin dan koran, rasanya akan lebih

sulit untuk dinilai.

Apakah penulis hebat itu dilihat dari

jumlah pembacanya? Agaknya hal ini tidak

sepenuhnya benar. Jika dilakukan tes in

the water atau eksperimen dengan menu-

liskan sebuah artikel yang tidak ada isinya,

namun diselipkan judul yang provokatif

atau bertemakan cinta misalkan, maka hal

ini dapat memancing jumlah pembaca yang

membludak. Tak dapat dielakkan lagi, pem-

baca lebih sering terhipnotis dengan judul

sebuah tulisan yang nyentrik dan bombas-

tis, tanpa dibarengi dengan melihat kualitas

isi. Cara itu memang tidak sepenuhnya

salah. Tapi, sebagai penulis yang baik sey-

ogyanya dapat bersikap arif dan bijak untuk

menyajikan sebuah tulisan yang renyah

dan berisi.

Artinya, penulis hebat bukan melulu

mereka yang tulisannya banyak dibaca

orang. Tetapi, salah satu ciri penulis hebat

adalah yang sentuhan penanya banyak

dinikmati orang-orang. Lagi-lagi, kata

‘banyak’ di sini pun memiliki makna yang

relatif. Bagi sebagian orang, sebuah tulisan

yang dibaca oleh seratus orang bisa

dikatakan banyak, namun masih sedikit

bagi sebagian yang lain. Dari sini dapat

ditarik kesimpulan, untuk menjadi penulis

hebat tidak perlu bercermin pada penilaian

orang.

Agaknya, teralu rumit untuk mendefinisi-

kan penulis hebat secara objektif, karena

belum ada formula baku yang merumus-

kannya. Hal yang paling penting sebetulnya

adalah bagaimana seseorang bisa belajar

menjadi penulis hebat. Pada prinsipnya,

ada dua tahapan yang harus dilalui

seseorang untuk menjadi penulis hebat.

Pertama, perbanyak membaca. Modal

utama yang harus dimiliki oleh penulis he-

bat adalah membaca. Tak heran jika mem-

baca menjadi langkah awal, karena dengan

membaca seorang penulis akan mendapat-

kan bermacam wawasan dan menambah

pengetahuan. Sebagaimana kita tahu bah-

wa membaca merupakan jendela dunia.

Langkah kedua adalah menulis, menulis

dan menulis. Ini merupakan resep yang

dipaparkan oleh Kuntowijoyo. Tidak logis

apabila seseorang yang bercita-cita men-

jadi penulis hebat enggan atau malas

menulis. Untuk mempermudah latihan

menulis bagi pemula, J.K. Rowling mem-

berikan tips: mulai menulis tentang hal-hal

yang diketahui. “Mulai menulislah tentang

pengalamanmu dan perasanmu sendiri!

Itulah yang saya lakukan.”

Seringkali orang dibuat bingung dengan

standar penulis hebat. Namun, yang sering

dilupakan adalah bagaimana menjadi penu-

lis hebat itu sendiri, bukan sekedar menilai.

Kedua resep di atas agaknya patut untuk

diaplikasikan jika Anda benar-benar ingin

menjadi penulis hebat. Di tengah geliat

kepenulisan Masisir yang mulai lesu ini,

hendaknya kita mulai merajutnya kembali.

Mahasiswa adalah agen perubahan. Tidak

akan ada perubahan pada bangsa apabila

sang agen sendiri tidak mau berubah.

Maka, mulailah dari diri sendiri dan mu-

lailah dari sekarang! ◙

PENULIS HEBAT

Melayani cetak , foto copy dan Majalah

Page 3: Buletin Informatika Edisi 167

Edisi: 167/Februari 2013

3

Selengkapnya...Hal 8

◙Suara Mayoritas

A da pemandangan lain di kota Holly-wood musim

panas yang lalu. Lebih dari empat ribu warga Indonesia berkumpul di sana. Mulai pejabat, pengusaha, ilmuwan, artis tenar, profesional hingga penjaga keamanan masjid turut menyemarakkan per-temuan itu. “Sumpah Pemu-da” abad ke-21 telah lahir di sana.

Awal Juli 2012, telah dige-lar Kongres Diaspora Indone-sia di Los Angeles, Amerika Serikat. Pertemuan akbar yang dihadiri oleh ribuan WNI di Amerika serta perwakilan dari 32 negara lainnya ini mengusung tema “The Power of Unity in Diversity”. Kongres ini dianggap sebagai wadah induk yang ingin menyatukan seluruh potensi diaspora In-donesia, tidak hanya bersifat parsial, tapi lintas sektor. Sa-yangnya, Mesir tidak mengi-rimkan perwakilannya sama sekali.

Sampai saat ini, istilah diaspora sendiri masih ku-rang populer di kalangan masyarakat dan mahasiswa

Indonesia di Mesir (Masisir). Namun setelah setelah diberi penjelasan tentang esensi dan spirit yang dibawanya, sebagian kalangan menya-takan dukungannya. “Di ting-kat KBRI, kami masih dalam tahap mempopulerkanA ma-

salah diaspora ini. Dan dalam waktu dekat, insyaallah, KBRI akan menyelenggarakan Kongres Diaspora Indonesia di Mesir,” papar Muhammad Nur Salim, Sekretaris III Fungsi Pensosbud KBRI Kairo. Jamil Abdul Latief, Presiden PPMI turut menya-

takan dukungannya, “Untuk yang baik seperti ini, kenapa tidak! Dan semua elemen harus dilibatkan.” Hal senada diungkapkan oleh Rifqi Qoi.

Lain halnya dengan Ah-mad Yani, Syukri dan Fajar Irawan. Mereka menilai dias-

pora di sini justru akan men-imbulkan perpecahan. “Mending kita jaga yang sudah ada, seperti PPMI, kekeluargaan, almamater.” Demikian halnya dengan Malfi, ia kurang sepakat jika semua organisasi Indonesia di Mesir harus berada di bawah Diaspora. “Gak set-uju! Karena ada motifnya, dengan dalih meningkatkan potensi. Sebenarnya, tanpa mengadakan diaspora pun kita sudah bisa, tinggal me-maksimalkan apa yang su-dah ada,” ucapnya.

Menurut kepala Pensos-bud, Indonesian Diaspora Network (IDN) nantinya bisa dijadikan wadah yang dapat menyatukan diaspora Indone-sia di manapun berada. Dengan adanya IDN, tiap-tiap

◙Sorot Ketika Diaspora Menyatu

“Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka akan diberikan jalan keluar baginya dan diberikan rezki dari

arah yang tak disangka-sangka.“

Sebelum menjelaskan mengenai ayat di atas, alangkah baiknya kita menyimak sebuah kisah yang mungkin berkaitan dengan ayat di atas. “Pada suatu hari ada empat ibu-ibu pergi kepasar ingin membeli baju. Sesampainya di pasar, mereka lang-sung memasuki toko si A dan tawar-menawar pun terjadi. Namun ibu-ibu itu tidak langsung membeli, mereka ingin mencari-cari di toko yang lain. Hingga tanpa sadar, mereka telah menghabiskan waktu empat jam untuk berkeliling, hanya untuk menanyakan harga dari toko ke toko. Lalu mereka berunding untuk mem-ilih toko mana yang akan mereka pilih dari semua toko tadi untuk membeli baju. Sam-pai akhirnya mereka putuskan untuk mem-

beli baju di toko B –misalnya-“. Orang bisa saja berdalih dan menga-

takan “Jika dia meninggalkan toko untuk shalat zhuhur, maka pasti ia akan ke-hilangan pembeli“. Sekilas memang tam-pak benar, tetapi jika ditanyakan siapa yang berkuasa membukakan kunci rezeki? Sudah pasti jawabannya adalah Allah. Siapa pula yang menggerakkan hati para pembeli tersebut untuk mengatakan, “Saya ingin membeli baju di toko ini!”, maka ja-wabannya adalah Allah ar-Razaq (Yang Maha Pemberi Rezki).

Cerita di atas menggambarkan bahwa Allah Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Kehendak-Nya ditunjukan dengan cara-cara yang seringkali tidak diketahui oleh manusia atau tidak disa-darinya. Sebagai contoh kita lihat saja:

Bukankah setiap hari ribuan sales asuransi menawarkan berbagai produk asuransi dari ratusan asuransi, tapi hanya satu atau dua yang kita pilih?

Bukankah setiap hari tender dilakukan dengan belasan hingga puluhan peserta, tapi hanya satu yang menjadi juara?

Bukankah puluhan ribu calon maha-siswa yang mengikuti ujian beasiswa ke luar negeri, tetapi hanya beberapa orang

yang mendapatkan kesempatan? Begitu-lah Jika Allah berkehendak.

Dalam hal tertentu, mungkin Allah be-lum mengabulkan permintaan kita, akan tetapi itulah yang menjadi keputusanNya. Dan Allah mungkin saja mempunyai ra-hasia mengapa tidak dikabulkannya per-mintaan kita, karena baik bagi kita, belum tentu baik bagi Allah. Akan tetapi, apa saja yang baik bagi Allah sudah pasti baik bagi kita, meski kita belum menyadarinya. Maka daripada itu, sikap terbaik setelah bersungguh-sungguh berikhtiar dan berdo’a adalah bertawakal kepada Allah.

Manusia acapkali lupa, bahwa ada zat

yang memegang dunia dalam geng-

gamanNya, zat yang dengan segala kredi-

bilitasnya mampu membolak-balikkan ke-

hidupan makhlukNya, mampu merubah

segalanya dalam satu jentikan jari. Maka

jangan tanggung-tanggung! Berdoalah

untuk sesuatu yang besar, memintalah

dengan harapan yang besar pula. Karena

sungguh, Allah Maha Segalanya. ◙

*Kru Informatika

G urat penat terukir di wajahnya. Keringat membasahi wajah,

kontras dengan cuaca penghujung musim dingin yang masih men-usuk. Farisan, mahasiswa tingkat satu Syariah Islamiyyah, tampak kelelahan mengelilingi kawasan Cairo International Book Fair. Ia baru saja membeli kitab-kitab

Masisi, Ma’ridh dan Hunting Kitab

Oleh: Ilham Sujefry*

◙Gerbang

Meyakini Kredibilitas Allah

Selengkapnya... Hal 4 Selengkapnya... Hal 7

Page 4: Buletin Informatika Edisi 167

Edisi: 167/Februari 2013

negara diharapkan mendirikan IDN Local Chapter. Ambil contoh Mesir. Kalau Mesir punya IDN Local Chapter, maka ia akan menjadi pintu masuk bagi diaspora Indone-sia yang lain yang ingin berhubungan dan bekerja sama dengan diaspora di sini. Be-gitu pula sebaliknya. “Kekeluargaan dan PPMI hanyalah bagian atau elemen dari IDN Local Chapter Mesir. Diaspora Indone-sia di Mesir ini tidak semuanya masuk da-lam PPMI dan kekeluargaan. Masih ada diaspora yang bekerja sebagai profession-al, bekerja di KBRI, dan lain-lain,” tambah pria berkacamata yang pernah menjabat sebagai ketua Kelompok Studi Walisongo (KSW) ini.

Setelah memperhatikan potensi dan peluang warga Indonesia di Mesir yang beraneka ragam, beberapa pihak menilai hal ini harus segera dikelola seoptimal mungkin. “Memang kita kaya dengan keilmuan, akan tetapi dari segi metode dan riset, kita masih kurang. Nantinya, itulah yang akan kita tonjolkan,” tutur Jamil. Kultur dan budaya juga menjadi nilai plus Indone-sia di sini, termasuk di dalamnya kuliner. Selain itu, dari sisi bisnis, diaspora Indone-sia di Mesir juga dapat menawarkan kerja sama di bidang ekonomi dan perdagangan.

“Dari pertama kali datang ke Mesir, saya melihat orang Indonesia di sini selalu lebih unggul dibandingkan yang lain, khu-susnya lingkup Asia Tenggara,” ungkap pemilik Anami Travel, Habibul Anami. Se-dangkan menurut Rifqi Qoi, selain memiliki potensi keilmuan dalam agama, Masisir juga mempunyai organisasi-organisasi yang mampu meningkatkan nasionalisme semisal PPMI.

Selama ini, konsep persatuan warga Indonesia dan pembangunan koneksi sebenarnya sudah berjalan dalam berbagai kegiatan massif, seperti olahraga bersama ataupun ajang perlombaan. “Dari dulu su-dah ada. Cuma kelanjutannya setengah-setengah, karena sibuk dengan aktivitas masing-masing,” tutur Habibul Anami. Be-

berapa seminar ataupun kongres yang pernah diadakan sebelumnya masih terke-san sektoral, belum mencakup semua ka-langan. Kebanyakan masih terbatas pada bidang masing-masing. Dengan diaspora ini, diharapkan ada forum yang mewadahi semua elemen warga Indonesia di luar negeri.

Terkait pemakaian istilah diaspora, se-bagian kalangan menilai tak ada masalah, meskipun sebagian lainnya kurang setuju karena dianggap meniru istilah dari perjan-jian lama. “Terkait istilah dan hubungannya dengan Yahudi, tentunya kita pakai kaidah al-‘ibrah bi al-ma’ani la bi al-mabani. Nama boleh mirip, tapi kalau esensinya berbeda kan nggak apa-apa. Toh kongres pertama di Amerika yang dihadiri oleh ribuan orang sudah setuju dengan nama itu,” ujar Nur Salim. “Soal istilah, tidak perlu dilihat. Tapi lihat maslahat yang kembali kepada kita,” dukung Rifqi.

Di lain sisi, Rifqi menilai istilah diaspora ini masih luas. Karena itu tujuan dan manfaatnya harus ditentukan supaya jelas.

“Kalau sifatnya simbiosis mutualisme, kerja sama dan tolong menolong, secara prinsip kita setuju. Tapi kalau ada kepentingan lain, (nanti dulu .red). Intinya, konsepnya harus jelas!” imbuhnya.

Menurut kepala Pensosbud, IDN Local Chapter ini nantinya bersifat mandiri dan independen, tidak terikat oleh lembaga manapun, termasuk pemerintah. Lembaga itu merupakan wadah yang dibentuk karena kepedulian dan kesadaran tingkat tinggi dari diaspora Indonesia untuk berkontribusi dalam membangun bangsa Indonesia, di manapun mereka berada. Pemerintah Indo-nesia sendiri telah memberikan dukungan penuh terhadap program ini. Presiden RI telah menunjuk Kementerian Luar Negeri sebagai “pengawal” untuk mengurus segala hal yang berkaitan dengan diaspora ini. Desk Diaspora Indonesia (DDI) telah diben-tuk sebagai badan “resmi” pemerintah yang akan mengeksekusi kebijakan dalam rang-ka pengembangan diaspora Indonesia di luar negeri.

Ketika ditanya mengenai pihak-pihak terkait yang bertanggung jawab dalam per-siapan Kongres Diaspora Indonesia ke de-pannya, sebagai Presiden PPMI, Jamil mengusulkan, “Pertama kita harus duduk bareng, antara KBRI, PPMI dan elemen-elemen terkait. Lalu kita merembet ke ma-salah-masalah lainnya. Karenanya, diper-lukan sinergi.” Habibul Anami mengamini apa yang diutarakan Jamil tentang perlunya duduk bareng. “Sangat-sangat setuju. Kare-na dengan kumpul, kita tahu satu sama lain,” komentarnya. Rifqi menambahkan “Pertama KBRI, karena ia kepalanya. Se-lanjutnya, kepala menggerakkan tangan-kakinya. Kita di sini sudah memilki persatu-an. Cuma terkadang ideologi masing-masing saja yang masih ber-beda.” (Fawatih, Ilham) ◙

4

Diaspora … Halaman 3

Doc. Konggres Diaspora Indonesia di London

Doc. Google

Page 5: Buletin Informatika Edisi 167

Edisi: 167/Februari 2013

Ketika masyarakat Indonesia dilanda krisis identitas, Sukarno mengajukan kopiah hitam

sebagai ikon nasional.

S uasana Indonesia menjelang ke-merdekaan sangat rumit. Situasinya tak sesederhana ber-

taruh nyawa demi mengusir penjajah kulit putih, ada masalah sosial, ekonomi, bu-daya, politik, dan banyak lagi yang harus turut serta dituntaskan. Tak bisa dianaktiri-kan. Kemerdekaan bukan saja perihal berkuasanya pribumi di tanah sendiri, tapi yang lebih penting adalah bagaimana ber-dikari di tumpah darah pertiwi.

Masalah demi masalah itu merupakan efek domino dari politik kaum imprealis. Penjajah memberlakukan politik divide et impera (pecah belah dan kuasai) untuk melemahkan kekuatan pribumi. Ulama dan santri diadu dengan para priayi dan kaum adat. Antar suku diintimidasi untuk saling benci. Perbedaan mazhab dikompori untuk menjadi akar perpecahan. Semua itu dalam rangka mencegah timbulnya kebersamaan dan persatuan pribumi.

Di antara berjubel masalah, krisis identi-tas adalah yang paling fundamental. Rakyat Indonesia tak tahu lagi bagaimana mereka beridentitas. Belanda sukses menanamkan rasa inferior terhadap budaya asli pribumi. Keadaan demikian memang merupakan tujuan utama dari misi penjajahan, men-galahkan penduduk negara jajahan secara fisik dan mental. Seperti diungkapkan oleh Carl Von Clausewitz dalam On War, bahwa untuk dapat memenangkan perang, maka yang harus diutamakan dan dijadikan target serangan adalah destruction of enemy’s will (penghancuran kemauan lawan).

Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah kolonial melarang penggunaan bahasa Belanda oleh rakyat. Selain itu, selaras dengan pelaksanaan politik tanam paksa, Belanda melakukan pemindahan masal penduduk ke daerah lain dengan budaya berbeda untuk menjadi buruh. Ini menyebabkan generasi baru dari komunitas

tersebut kehilangan identitas budaya ibunya karena tumbuh dalam lingkungan yang ber-beda.

Strategi lain, untuk melepaskan pribumi dari ikatan tradisi dan budaya, pemerintah Belanda membuat politik asosiasi. Dalam praktiknya, politik asosiasi mengembangkan budaya barat untuk mengikis tradisi Islam. Sehingga generasi baru pribumi tumbuh sebagai generasi yang tidak lagi memiliki rasa tanggungjawab dan tidak mampu mempertahankan jati diri, atau menurut istilah Erich Kahler, generasi yang ting-kahnya lack of definite style of life (tidak lagi memiliki gaya hidup yang jelas).

Rasa inferior itu begitu berpengaruh dalam jiwa pribumi, terutama rakyat ka-langan bawah. Dalam diri rakyat timbul semacam paradigma bahwa masyarakat kulit berwarna (Asia & Afrika) tak akan bisa mengalahkan orang kulit putih (Eropa). Bahkan, inferioritas itu juga mendera mind-set para intelektual. Efeknya, kaum intel-ektual jadi benci semua hal yang berbau Indonesia, termasuk cara berpakaian. Mere-ka mencemooh pemakaian blangkon, sar-ung, serta peci yang biasa dipakai tukang becak dan rakyat biasa lainnya.

Tapi penyakit rendah diri ini tak men-jangkiti jiwa seorang Sukarno. Dengan bangga Sukarno memperkenalkan pemakaian peci, dan akhirnya hingga kini -meski mulai surut- menjadi identitas nasion-alisme bangsa Indonesia. Cindy Adam, da-lam biografi Bung Karno, mengutip kata-kata Bung Karno tentang peci:

“Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh peker-ja-pekerja bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Tapi istilahnya berasal dari pen-jajah. Dalam bahasa Belanda ‘pet’ berarti kopiah, ‘je’ akhiran untuk menunjukkan ‘kecil’, dan kata itu –peci- sebenarnya ‘petje’. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini se-bagai lambang Indonesia Merdeka.”

Perkara peci tersebut adalah contoh tindak nyata Sukarno mengusahakan ke-merdekaan dengan memberi solusi ter-hadap permasalahan yang melanda bangsa Indonesia.

Masisir dan Identitas Masisir adalah potret mini Indonesia.

Keragaman budaya, latar belakang, para-digma, kecenderungan, serta perbedaan lainnya mencerminkan sepenuhnya ladang perjuangan Masisir sebenarnya, Indonesia. Dalam kebinekaan majemuk itu Masisir berdinamika.

Dalam dinamika Masisir di bumi Kinanah ini, kita dipertemukan dengan budaya yang lebih beragam lagi dari berbagai penjuru dunia. Setiap komunitas membawa serta ciri

khas masing-masing. Tingkah laku, karak-ter, makanan, bahasa, logat, dll, menc-erminkan keadaan lingkungan yang menerpa tumbuh kembang entitas tertentu. Sederhananya, semua itu terbias dalam ragam pakaian masing-masing entitas.

Di sini kita mengenal keffiyeh, sorban Arab, dan mulai mengerti fungsinya selain sekedar tutup kepala. Sebagian wanita kita bahkan mulai akrab mengenakan pashmina. Lelaki-lelaki kita mengagumi wanita-wanita Turki beserta kerudung scarf khas mereka yang elegan. Mata kita juga terbiasa mengenali pelajar Malaysia dengan baju kurung Melayu dan peci putih terongok di atas kepala.

Masisir sendiri masih setia dengan plu-ralitas. Tak ada penanda khusus yang membuat orang mengenal manusia Indone-sia kecuali raut muka Asia. Karena itu, seringkali orang Mesir memanggil kita dengan sebutan Shinî (orang China). Kita patut bersyukur, di ranah akademis, secara umum kecerdasan manusia Indonesia men-jadi pembeda dari komunitas Asia Tenggara lainnya. Tapi di luar itu, terutama dari cara berpakaian, kita tak dikenal dengan baik.

Akhir-akhir ini, bersamaan dengan merebaknya demam batik di Indonesia, sebagian Masisir mulai akrab dengan baju batik. Ini adalah perkembangan bagus. Masisir mulai memiliki ikon diferensial. Tapi batik tak dikenali di musim dingin, karena kita harus mengenakan pakaian berlapis yang menutupi pengenaan batik.

Maka, memopulerkan kembali pengenaan kopiah hitam dapat menjadi solusi. Hingga saat ini, kopiah hitam masih menjadi bagian dari pakaian resmi nasional. Presiden -juga para mentri, dll- selalu mengenakan kopiah hitam sebagai akseso-ris foto resmi . Kopiah hitam pun, seperti kata Sukarno, adalah asli milik bangsa kita. Pemakaiannya di kalangan rakyat Indonesia telah membudaya. Lagipula, kopiah hitam lebih nasional dari tutup kepala khas dae-rah, blangkon misalnya, sekaligus lebih praktis.

Dalam beberapa kesempatan, reaksi

teman-teman dari negara lain sangat positif

mengenai pengenaan kopiah hitam ini.

Bahkan, beberapa kali kopiah hitam yang

saya kenakan dipuji oleh dosen pengajar.

Saya telah membuktikan sendiri kesan Su-

karno bahwa kopiah hitam memberikan

kesan anggun dan gagah. Lagipula, di negri

orang lain, terutama karena kita dihadapkan

dengan budaya-budaya dari bangsa lain,

kata-kata Sukarno berikut menjadi relevan,

“Kita memerlukan sebuah simbol dari

kepribadian Indonesia.” ◙

*Keluarga Informatika

◙Dinamika

5

Oleh : Kurniawan Saputra*

Kopiah Hitam dan Masisir

Page 6: Buletin Informatika Edisi 167

Edisi: 167/Februari 2013

D ewasa ini, di Indo-nesia. isu lama mengenai sunat

perempuan kembali mengemu-ka. Desas-desus ini berawal dari kecaman KNAKP (Komisi Na-sional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) terhadap Menteri Kesehatan yang mengizinkan sunat perempuan. KNAKP menilai sunat perempuan se-bagai diskriminasi sekaligus membahayakan kaum perempu-an. Sementara itu Majlis Ulama Indonesia (MUI) menolak pelarangan sunat perempuan dan menilai peraturan mengenai sunat perempuan sudah sesuai dengan UUD 1945. Di lain pihak Menteri Kesehatan menampik kabar bahwa pihaknya melarang sunat perempuan seperti berita yang berkembang selama ini (www.tempo.co. 21/1/2013). Kontroversi kasus tersebut terus bergulir sampai saat ini.

Dalam Islam,untuk menyim-pulkan suatu hukum, selain me-lalui pertimbangan syar’î juga berdasarkan pertimbangan ahli bidang terkait. Masalah kesehatan diserahkan pada ahli kesehatan, masalah hukum diserahkan pada ahli hukum, dll. Jika tidak demikian, maka terjadi kezaliman (penempatan sesuatu tidak pada tempatnya).

Pula, relevansi hukum berkaitan erat dengan peru-bahan ruang dan waktu (zamân wa makân). Masalah fikih klasik belum tentu cocok ditempatkan dalam konteks modern. Sebab itu, ulama menetapkan bahwa hukum fikih berubah bersama perubahan ruang dan waktu –dengan perubahan situasi dan kondisi di dalamnya-, kecuali sedikit perkara definitif (qath’i). Diantara faktor yang menuntut hukum fikih diperbarui (tajdîd), sebagaimana menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi, adalah perkembangan pesat ilmu pengetahuan modern. Salah satunya ilmu kedokteran. Ban-yak hal medis yang belum diketahui pada masa klasik kemudian tersingkap jelas saat ini. Masalah sunat perempuan dapat kita jadikan contoh.

Masalah sunat perempuan tak bisa dipisahkan dari per-spektif medis. Ahli di bidang

tersebut adalah para dokter, sementara fukaha mencetuskan hukum. Merujuk pada kaidah penyimpulan hukum dalam Is-lam yang mengharuskan pertim-bangan para ahli terkait, kasus sunat perempuan pun harus diputuskan berdasarkan pen-dapat dan informasi para dokter terlebih dahulu.

Dalam hal ini, Syekh Ali Jum’ah (ulama besar al-Azhar bermazhab Syafi’i sekaligus Mufti besar Mesir) dalam bukunya “Perempuan dalam Pe radaban I s l a m a n t a r a Teks Syari- a t d a n

Tradisi F i k i h ” m e n g a t a k a n , “dan yang dijadikan pedoman adalah pendapat para dokter dan nasehatnya”. Ulama al-Azhar lainya, Dr. Abdul Mu’thi (anggota Maj’ma’ al-Buhûs al-Islâmiyyah al-Azhar) menegas-kan dalam bukunya “Ijtihad-Ijtihad Kontemporer” bahwa tatkala ditemukan fakta bahwa sunat perempuan menimbulkan dharar (bahaya) yang belum pernah tersingkap ulama klasik, sebab ilmu kedokteran pada masanya belum mampu me-nyingkapnya, maka sunat per-empuan dapat dilarang di masa kini.

Imam al-Kamal bin al-Hamam (wafat tahun 861 H), tokoh besar mazhab Hanafi, dalam kitab Syarh Fath al-Qadîr-nya mengatakan, “sunat adalah ‘makrumah’ bagi perempuan karena menyetubuhi wanita yang disunat lebih nikmat. Dan apabila perempuan meninggal-

kanya (sunat), maka tak boleh dipaksa”. Dr. Abdul Mu’thi lantas mengomentari pendapat ini dengan mengatakan, “lihatlah alasan Imam al-Kamal yang didasarkan pada perkiraan pemikirannya sendiri.” Pendapat ini juga menunjukkan bahwa ilmu kedokteran pada masa itu belum berkembang seperti sekarang.

Sampai di sini cukup jelas bahwa dalam kasus sunat per-empuan peran ahli medis san-gat penting dan fundamental. Karena timbulnya bahaya atau tidak -menurut Syekh Ali Jum’ah- disebabkan perbedaan za-man, makanan, suhu udara, dsb. Pengetahuan tentang

perkara tersebut adalah objek para pakar medis.

Selanjutnya masalah rokok. Rokok tak

bisa dipisahkan dari sudut pan-dang medis. M a k a m e n g h u k u m i rokok berdasar-k a n

p e n g a r u h n y a bagi kesehatan

tak bisa dilepaskan dari pendapat para

dokter. Karena mereka-lah ahlinya, bukan ulama.

Menentukan hukum merokok tanpa melibatkan pendapat para dokter bertentangan dengan ajaran Islam yang mengharus-kan penyerahan perkara pada ahlinya. Jadi, ketika para dokter (misalnya) sepakat bahwa rokok membahayakan kesehatan, maka tugas para ulama adalah menentukan hukum selaras dengan pendapat ahli medis. Para dokter merumuskan baha-ya-tidaknya dan para ulama meninjau hukumnya. Demikian seharusnya relasi ideal antara nalar fikih dengan pengetahuan umum, dalam hal ini kedokteran. Namun di Indonesia, acapkali penentukan hukum fikih tanpa melibatkan pertimbangan pakar dalam bidang yang bersangku-tan.

Kembali ke masalah sunat perempuan, dalam literatur fikih klasik sendiri para ulama ber-beda pendapat: ada yang mengatakan sunat perempuan

wajib (mazhab Imam Syafi’i dan beberapa ulama lainya), dan ada yang mengatakan sunah (mazhab Imam Ahmad bin Han-bal, sebagian santri Syafi’i, Imam Malik, Abu Hanifah). Bagaimanapun, mereka (para Imam) merumuskan hukum di konteks ruang dan waktu yang sama sekali berbeda dengan ruang dan waktu kita saat ini -Arab dahulu dengan Indonesia masa kini-.

Dalam konteks keindonesi-aan, akan lebih bijaksana apabi-la reformasi hukumnya sesuai dengan keadaan ruang dan waktu masyarakat Indonesia, dengan melibatkan berbagai pihak terkait-terlepas dari ma-zhab Syafi’i yang mengakatakan wajib-. MUI sendiri tak menga-takan wajib. Artinya, dalam hal ini MUI juga sudah keluar dari mazhab Syafi’i yang dianut mayoritas bangsa Indonesia.

Selain itu, pada dasarnya sunat perempuan merupakan adat. Ketika nabi datang ke Madinah -praktik ini tak ter-dapat di Mekah- praktik terse-but direduksi oleh nabi (sebagaimana dalam hadis Um-mu Athiyah). Berkenaan dengan hadis ini harus diperhatikan bah-w a n a b i b e r d a k w a h menggunakan metode tadarruj (merubah secara bertahap). Ketika nabi datang ke Madinah dan menemukan tradisi khitan telah cukup mengakar maka merubahnya secara tiba-tiba dan drastis akan menimbulkan gejolak. Karena itu nabi mer-eduksinya secara bertahap. Sementara menurut Syekh Ali Jum’ah tak ada keterangan yang menga takan na b i mengkhitan putrinya.

Walhasi l , merumuskan hukum Islam tak cukup ber-dasarkan teks fikih klasik saja. Tetapi juga harus mempertim-bangkan pendapat pakar bidang terkait dan relevansinya dengan konteks kontemporer. ◙

*Pegiat Lakpesdam PCINU

Relevansi Hukum dan Nalar Fikih Indonesia ◙Keislaman

6

Oleh: Muhammad Amrullah*

Page 7: Buletin Informatika Edisi 167

Edisi: 167/Februari 2013

penting ditemani seorang seniornya. Ma’ridh tahun ini mengalami perpanjan-

gan waktu. Awalnya ma’ridh dijadwalkan berlangsung mulai hari Rabu, tanggal 23 Januari dan berakhir pada Sabtu, 2 Febru-ari 2013. Akan tetapi, jadwal ini mengalami perubahan. Ma’ridh diperpanjang sampai Sabtu, 9 Februari 2013.Tempatnya, seperti biasa, Cairo International Fair Grounds di Hay Sadis, Nasr city .

Momentum ma’ridh jadi berkah bagi sebagian Masisir. Di acara tahunan ini mereka dapat sepuasnya memborong buku-buku. Salah satunya adalah Hamda Malik. Mahasiswa tingkat dua fakultas Ushuluddin asal Sumatera Barat. Setelah mendapat beasiswa dari Pemda, ia langsung mem-borong kitab-kitab besar. Al-jami’ li Ahkâm al-Quran karya Syekh Al-Qurthubi, Mau-sû’ah al-Fiqh al-Islamiy wa al-Qadhâya al-Mu’âshirah karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Nail al-Awthar karya Imam Muham-mad bin Ali Al--Syaukani, dan ban-yak kitab lain me-menuhi rak bukunya. Hamda menghabis-kan sekitar 7000 pound Mesir demi melengkapi koleksi kitabnya.

“Mumpung ada beasiswa dari Pem-da. Jadi, ya, kita gunakan untuk mem-beli kitab-kitab besar yang butuh biaya besar. Sedangkan untuk kitab-kitab kecil, sebagian beli sekarang. Sebagian lain bisa dibeli nanti dengan kelebihan uang jajan atau dengan minhah lain,” ujarnya saat wawancara dengan kru In-formatika.

Berbeda dengan Hamda, Khalilur Rah-man, mahasiswa tingkat dua Syariah, pu-nya selera lain. Meski sama-sama mendapat beasiswa dari Pemda , ia lebih tertarik membeli kitab-kitab yang tidak berji-lid-jilid.

“Yah, selain kitab-kitab besar akan menempati space yang tidak sedikit, kitab-kitab besar juga mudah didapat. Makanya, saya lebih tertarik membeli kitab-kitab pent-ing yang jarang dibeli kawan-kawan. Setid-aknya jika saya belum sempat membeli kitab-kitab besar, saya bisa dengan mudah membacanya dari koleksi kawan-kawan,” terangnya.

Sayangnya, antusiasme Masisir mem-beli kitab kerap tidak diimbangi dengan pengetahuan tentang kualitas buku. Mem-beli buku ternyata memerlukan keterampi-lan. Khususnya kitab-kitab klasik. Karena

biasanya, sebuah kitab tidak hanya diterbit-kan oleh satu penerbit, namun oleh bebera-pa penerbit berbeda. Seperti Muhammad Awaluddin, mahasiswa KSH (Komunitas Santri Husein) tingkat II pernah membeli kitab Majmû’ Muhimmâti’l Mutûn terbitan Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah (DKI) yang banyak menyajikan kesalahan penerbitan.

Menurut Awaludin, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membeli kitab. Urgensi kitab, kualitas pen-tahqiq, serta kualitas penerbit.

“Pertama sekali, tentu harus kita per-hatikan sejauh mana pentingnya kitab ter-sebut untuk jurusan, dan untuk kebutuhan wawasan kita. Jangan sampai kita membeli kitab tanpa tahu apa kegunaannya nanti,” Jelas Awaludin.

“Untuk muhaqqiq, bisa kita ketahui dari rekomendasi para ulama. Contohnya, Sy-ekh Muhammad Zahid Al-Kautsari yang merekomendasikan tahqîq Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitabnya Muqaddimat al-Imam al-Kautsari. Selain itu,

bisa juga dengan bertanya kepada para Syekh. Dari keterangan mereka kita bisa dapatkan beberapa nama pen-tahqîq yang mumpuni, seperti Syekh Syu’aib Arnauth. Dan yang lebih penting, bidang yang dige-luti pen-tahqîq harus sesuai dengan kitab yang di-tahqîq. Jangan sampai, misalnya, pen-tahqîq-nya ahli Komputer tapi men-tahqîq kitab Hadis, hehe,” Ujarnya diakhiri dengan canda.

“Kita juga bisa mengetahui kualitas mu-haqqiq dari internet. Intinya, untuk mendapatkan kitab yang benar-benar berkualitas, kita juga harus benar-benar tahu bagaimana mendapatkannya,” tam-bahnya lebih lanjut.

Sedangkan dalam memilih penerbit, Awaludin mengatakan bahwa tiap penerbit memiliki keunggulan. Namun, ada bebera-pa penerbit yang kurang teliti memeriksa kesalahan-kesalahan redaksi. Seperti Darul Hadits dan Darul Kutub Ilmiyyah (DKI).

Kesalahan-kesalahan tersebut berupa kata-kata atau huruf yang tertinggal saat proses pengetikan, sehingga amanah ilmiahnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Con-tohnya buku Majmû’ Muhimmâti’l Mutûn terbitan Darul Kutub Al-Ilmiyyah. Matan Tuhfatu’l Athfâl yang ada di dalamnya, , memiliki banyak kesalahan hampir di tiap halaman. Karena itu, untuk kitab Majmû’ Muhimmâti’l Mutûn, sebaiknya beli di pen-erbit Halabi, belakang Al-Azhar, saran Awaludin.

“Selain membeli kitab, mahasiswa al-Azhar juga harus mengimbanginya dengan talaqqiy. Karena dengan talaqqiy, kita bisa menggali ilmu lebih dalam dari Masyayikh al-Azhar,” imbuhnya.

Ternyata, tidak semua Masisir selaras dalam memanfaatkan momentum ma’ridh edisi 44 ini. Kebanyakan Masisir me-manfaatkannya untuk memborong buku. Alasannya, harga yang relatif lebih ter-jangkau dan banyak pilihan. Namun, adap-ula yang berpendapat bahwa jalan-jalan ke

ma’ridh tak lebih dari sekedar formalitas. Demikian seperti yang dipaparkan oleh mahasiswi al-Azhar tingkat tiga fakultas Ushuluddin berinisial ‘DI’ : “Kayaknya, Masisir lebih banyak menge-tahui ma’ridh se-b a g a i s e k e d a r pameran buku yang diadakan satu tahun sekali . Jadi, ketika ditanya udah ke ma’ridh belum, jawa-bannya harus su-dah,” katanya. Lain halnya pengakuan d a r i s a u d a r i Nayyrotul Huda bah-wa “Saya termasuk

orang yang mutawassith saja. Nggak terla-lu memborong, tapi juga bukan yang sama sekali tidak beli buku,” terangnya.

Bahkan, ada segelintir Masisir yang

malah sama sekali tidak pernah ke ma’ridh

dengan berbagai macam alasan. Ada yang

berpendapat bahwa membeli buku tidak

harus ketika pameran. ”Kalau mau beli bu-

ku, kenapa juga pas di ma’ridh. Padahal di

Darrasah juga ada,” ungkap salah satu ma-

hasiswa al-Azhar ini. ”Jadi, ma’ridh buku itu

cuma sekedar untuk jalan-jalan saja. Kalau

pun ada yang membeli buku, itu sekedar

untuk pajangan di kamarnya,” lanjutnya.

Lain lagi keterangan Nayyrotul Huda, ketika

ditanya tentang alasan mereka yang tidak

ke ma’ridh, “mungkin mereka tidak ke

ma’ridh karena nggak punya uang, atau

berfikir beli buku bisa di Indonesia.” (Habib,

Lina, Fini) ◙

7

Masisir … Halaman 3

Page 8: Buletin Informatika Edisi 167

Edisi: 167/Februari 2013

8

◙Kolom

Oleh: Ahwazy Anhar*

Partai Islam di Ufuk Senja

B eberapa pekan terakhir,

panggung politik Indonesia

disibukkan dengan gempa-

gempa politis yang dihadapi beberapa

partai papan atas. Terlepas apakah

guncangan tersebut hanya konspirasi

belaka atau tidak, setidaknya hal tersebut

membuat kepercayaan masyarakat

terhadap sistem demokrasi perlahan mulai

luntur. Apalagi setelah mendengar

beberapa kasus korupsi yang menyeret

beberapa nama anggota dewan yang kian

hari terus bertambah, tampaknya rakyat

Indonesia akan semakin enggan untuk

bergabung di bilik suara.

Masih terngiang jelas bagi kita

bagaimana track record para wakil rakyat

yang relatif kurang bagus dan apatis

terhadap tugasnya sebagai ‘kaki tangan

Tuhan’ di

senayan.

Contohnya saja,

pada tanggal 30

Agustus 2012

lalu, dari 500-an

anggota dewan

yang akan

membahas uang

rakyat (RAPBN)

sebesar 1.657

triliun, yang

hadir hanya 78

orang.

Tidak hanya

terlihat buruk

dari luar,

beberapa partai

besar juga

diguncang

gempa internal. Misalkan saja kasus yang

menjerat beberapa pemimpin Partai

Demokrat yang berbuntut pada

dipenjarakannya beberapa elit partai

tersebut. Sepertinya, tidak sedikit anggota

Partai Demokrat yang berkantor di

Senayan, ingin mengembalikan modal yang

dikeluarkan dahulu semasa kampanye

melalui jalan pintas.

Ada lagi konflik internal partai NasDem

yang berujung pada kaburnya ribuan kader

dari markasnya. Hal ini terealisasi karena

mereka tidak puas dengan kepemimpinan

Surya Paloh yang sangat ambisius

mencalonkan diri sebagai presiden

nantinya. Sikap ini juga berimbas kepada

mundurnya Hary Tanoe dari salah satu

tampuk kepemimpinan di partai tersebut

karena merasa visi dan misi partai NasDem

tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan.

Tampaknya, gempa politis ini tidak

pandang bulu dalam menguji parpol di

indonesia. Semuanya diuji. Termasuk partai

yang konon berasaskan Islam, terutama

dalam kasus korupsi impor daging sapi

yang menjerat Presiden PKS, Lutfi Hasan

Ishaq.

Terkait kasus korupsi impor daging sapi

yang berujung pada ditahannya Presiden

PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), sedikit

banyaknya telah membuat elektabilitas

partai Islam di indonesia kian merosot. Hal

ini terlepas apakah korupsi yang

dialamatkan kepada salah seorang petinggi

PKS tersebut benar atau tidak.

Khusus untuk masalah ini, kita lihat

masyarakat Indonesia akan lebih kritis

terhadap partai yang membawa label

agama dari pada partai yang tidak. Hal ini

terjadi karena ekspektasi masyarakat

menuntut lebih kepada partai Islam karena

keislamannya.

Sayangnya, pasca penahanan LHI yang

dijadikan tersangka korupsi oleh KPK,

masyarakat Indonesia mulai sedikit pesimis

untuk memilih dan mempercayakan tampuk

kepemimpinan diserahkan kepada partai

ini.

Selain PKS, ada PPP yang dalam

pemilu 2009 hanya memperoleh suara 5,32

persen. Suara yang relatif sangat kecil.

Bisa dilihat menurut survei Saiful Mujani

Research and Consulting (SMRC), PPP

hanya akan mendapat suara 4,1 persen

saja dalam Pemilu 2014.

Di samping itu, masih ada PAN dan

PKB yang juga merupakan partai

bernafaskan Islam, meski ada beberapa

kalangan yang menganggap kedua partai

ini sudah menyatu dengan asas

nasionalisme. PAN dikatakan kian

renggang dengan Muhammadiyah, begitu

juga PKB yang hanya bisa menampung

sebagian kecil suara Nahdiyyin. Oleh sebab

itu, Azzumardi Azra mengatakan bahwa

kedua partai ini paling banter hanya bisa

dikatakan sebagai partai yang memiliki

massa muslim, tidak sebagai partai Islam.

Dari tahun ke tahun, perolehan suara

partai-partai Islam secara keseluruhan pun

nyaris anjlok. Pada pemilu 1955, partai-

partai Islam secara keseluruhan meraih

43,7 persen suara. Pada 1999 menjadi 36,8

persen, 2004 naik lagi menjadi 38,1 persen,

dan pada 2009 anjlok menjadi 23,1 persen.

Pada survei Lingkaran Survei Indonesia

Network pada Oktober 2012 perolehan

partai Islam turun lagi menjadi 21,1 persen.

Sedangkan survei SMRC pada Desember

2012 menunjukkan bahwa partai Islam

hanya memperoleh dukungan 13,9 persen.

Jika kecenderungan ini terus berlangsung

hingga pemilu

2014, maka

partai Islam

berada pada

situasi sangat

kritis.

Tentunya kita

t i d a k

menginginkan

p a r t a i - p a r t a i

Islam tersebut

diluluhlantakkan

oleh guncangan

seper t i i n i .

Untuk itu, partai

Islam dituntut

agar bekerja

lebih keras dan

kreatif. Mereka

h a r u s

memperlihatkan kesahajaannya dan

menjadikan dirinya sebagai teladan yang

baik di tengah-tengah masyarakat. Mereka

harus menampakkan sikap asketisisme,

profesionalisme, dan kedekatannya dengan

masyarakat.

Semisal, untuk para anggota PKS,

mereka harus berusaha keras untuk

membersihkan namanya dalam jangka

waktu yang sangat singkat. Mereka harus

siap menghadapi pertarungan politik yang

nantinya akan diadakan pada tahun 2014.

Begitu juga dengan partai Demokrat,

NasDem, dan yang lainnya, secara fisik

dan mental mereka harus berjuang mati-

matian untuk memberikan mengambil hati

rakyat. Kita lihat saja aksi mereka dalam

satu tahu ke depan. ◙

*Pemimpin Redaksi Buletin Mitra

Page 9: Buletin Informatika Edisi 167

Edisi: 167/Februari 2013

9

◙Kolom

Belajar dari Negeri Boyband

S elama ini saya salah menilai Ko-rea. Sebelumnya, saya begitu membenci negara satu ini. Pasal-

nya, banyak bocah-bocah Republik Indone-sia yang terinfeksi virus ‘alay’ setelah menonton para artis Korea menari-nari di layar kaca. Begitupun dengan drama serial Korea yang tidak kalah dramatisnya dengan sinetron Indonesia. Hal ini salah satu penyebab maraknya generasi mellow alias melodramatik. Menjamurnya boyband ditanah air juga tidak lepas dari pengaruh yang telah ditularkan Negara Gingseng tersebut. Namun, ini sekedar perspektif pribadi saya.

Ada sebuah ungkapan yang menga-takan, “Menggeneralisasi sesuatu merupa-kan sebuah kesalahan.” Ini pun berlaku ketika kita menilai Korea hanya dari satu sisi. Jika kita membenci Korea dari sisi en-tertainment-nya saja, kemudian mengang-gap semuanya buruk, maka Indonesia-lah yang seharusnya lebih pantas kita benci. Maaf, kita tidak sedang berbicara tentang nasionalisme, tapi mencoba mengompara-sikan kedua negara secara objektif.

Singkirkan sejenak kebencian itu, mulailah mencoba untuk menonton drama-drama Korea walau seki-las. Bukan untuk mengenal artis atau mengikuti alur ceritanya, tapi sejenak mengamati pemandangan sepanjang jalanan di Negara Se-menanjung itu. Mengagumkan, ham-pir seluruh kendaran yang berlalu-lalang mengunakan buatan dalam negeri. Berbeda dengan negara kita yang masih bangga dan pede me-memakai kendaraan produk impor. Ja-rang kita temukan mobil dan motor hasil karya anak bangsa. Justru yang kita lihat antara lain mobil dan motor bermerek Hyunday, KIA, Daewo dan Ssangyong, yang semuanya adalah produk Korea. Tux-uci, sebuah mobil listrik garapan putra Indo-nesia yang belakangan sering dipakai Men-teri BUMN Dahlan Iskan untuk ngantor, belum mampu menarik minat penduduk Tanah Air.

Bagaimana dengan perindustrian el-ektronik di Nusantara? Lagi-lagi, Korea tidak mau ketinggalan untuk menginvestasi-kan produknya di Indonesia. Siapa anak Ibu Pertiwi yang tidak mengenal Samsung? Pabrik elektronik yang semula berupa in-dustri makanan, membanting setirnya men-jadi salah satu perusahaan elektronik terbesar di dunia. Sebenarnya bukan Indo-nesia yang tidak mampu bersaing dengan Korea. Brand asli Indonesia seperti Maspi-on dan Polytron sempat menjadi idola, na-mun lambat laun mereka mulai tenggelam. Jika kita melihat prestasi anak-anak Indo-nesia pada ajang olimpiade Internasional

misalkan, para duta bangsa didikan Dr. Johanes Surya tersebut mampu meraih juara dalam bidang Matematika, Fisika dan Biologi. Menakjubkan. Apabila terus diasah kemampuannnya, tidak mustahil jika mere-ka sanggup menggedor kebuntuan Indone-sia dalam industri elektronik.

Bukan hanya dari segi otomotif dan elektroniknya kita tertinggal dari Korea, perlahan-lahan Indonesia pun mulai terjajah dalam kulinernya. Setelah Chinatown, kini Koreatown mulai menyerbu pasaran Indo-nesia. Sebut saja kimchee dan lauk pauknya, banchan begitu mudah kita temukan didaerah Kebayoran. Padahal, ketika berbicara kuliner, Indonesia adalah surganya. Aneka rempah-rempahan tum-buh subur dan melimpah di Negeri Khatu-listiwa ini. Sebagai contoh, sebut saja satu jenis makanan soto. Maka, kita akan dapat-kan berbagai jenis soto. Ada soto Pekalon-gan yang spesial dengan bumbu tauconya, soto Betawi d e n g a n ciri khas w a r n a

kuningnya, soto Padang yang identik dengan rasa pedasnya, dan lainnya.

Barangkali, salah satu penyebab kema-juan Korea d isebabkan karena ‘kebenciannya’ terhadap Jepang. Seperti yang kita tahu, bahwa hubungan antara Jepang dan Korea memang merenggang. Namun, ‘kebencian’ itu justru mampu ditransfer menjadi energi positif dalam per-saingan produk.

Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Siapakah kira-kira ‘musuh’ terdekatnya? Mungkin kita dapat sebut Malaysia sebagai contoh, karena mereka berulang kali men-curi tradisi dan kebudayaan kita. Sayang, ‘permusuhan’ ini pun belum mampu men-dongkrak produktivitas kita untuk menjadi lebih unggul dari Malaysia. Dalam dunia olahraga misalkan, beberapa kali Timnas Garuda dipecundangi oleh Harimau Ma-laya. Pun dalam hal pendapatan perkapita kita masih tertinggal jauh dari negara jaja-han Inggris tersebut, Indonesia hanya mampu meraih USD 3.425 sementara Ma-laysia sudah di angka lebih dari USD 9.000.

Malaysia juga pernah dinobatkan sebagai negara dengan tingkat penduduk suka bekerja tertinggi sejagat oleh sebuah lem-baga survei independen.

Benar-benar, bangsa kita butuh stimu-lus untuk menjadi dewasa. Tidak selaman-ya kata ‘musuh’ selalu diartikan lawan bertengkar yang harus diperangi secara fisik. Namun sebagai pendobrak kita dalam kompetisi menuju kesuksesan.

…Orang bilang tanah kita tanah surga….

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman….

Lirik tembang Koes Plus di atas agaknya membuat kita miris. Indonesia yang dijuluki negeri gemah ripah loh jinawi ini malah kalah bersaing dengan Korea dalam berbagai aspek. Tanpa kita sadari, suasana serba enak yang dilukiskan musisi legenda itu menjadi bumerang. Konon, ka-rena kesuburan alam dan hasil bumi yang melimpah ruah itulah justru membuat Indo-nesia menjadi pemalas dan mudah dijajah. Terkadang kekayaan justru menjadi ujian terbesar sebuah bangsa, karena menjadi-kan penduduknya lalai dan berleha-leha

karena merasa cukup. Sebaliknya, kesulitan dapat menciptakan gen-

erasi bangsa yang ulet dan gigih, karena hanya keduanya yang mere-ka punya. Berhentilah menghina Korea bila kita hanya tahu boyband-nya saja. Jika sebagian orang bisa anti dengan drama Korea, kenapa tidak mencoba

untuk anti dengan produk-produknya dan mencoba mandiri. Melek dengan

realita yang ada bahwa negara kita masih tertinggal. Terlalu banyak rakyat mengkon-sumsi barang-barang impor dan menga-baikan produk sendiri.

Namun, saya tidak setuju seratus per-

sen bahwa bangsa kita selamanya menjadi

konsumen. Tanpa disadari, semakin hari

kita dituntut untuk menjadi bangsa pro-

dusen, mengingat alam yang mulai tidak

ramah lagi. Bencana alam yang silih ber-

ganti menjadi cambukan bagi kita untuk

bergegas bangun dari tidur. Selain itu,

penulis pun optimis karena produk-produk

Indonesia sudah mulai mempunyai tempat

di luar negeri. Indomie, sebuah mie instan

produk dalam negeri ini sudah menjajah

mancanegara. Ada pula sepeda Polygon

yang selama ini dikira produk luar, ternyata

dibuat di Surabaya. Belum lagi sepatu dan

sandal yang perlahan menghiasi disetiap

sudut pasar Eropa. Maka, sepantasnya kita

harus optimis bahwa Indonesia sanggup

bersaing dengan dunia! ◙

Oleh: Sifrul Akhyar*

Page 10: Buletin Informatika Edisi 167

Edisi: 167/Februari 2013

10

◙Laporan Khusus

S elang hampir sebulan ujian ter-

min satu telah berselang. Setelah

dijubeli dengan muqarar yang

bertumpuk, Masisir sudah kembali dalam

rutinitas mereka masing-masing. Beberapa

ada yang melepas penat dengan mengada-

kan rihlah dan aktivitas penghibur lain yang

masih dalam ruang lingkup edukatif, be-

berapa lainnya malah sibuk kembali

menghadiri kuliah, pelbagai acara talaqqi,

diskusi kajian, ataupun kegiatan-kegiatan

organisasi. Walaupun begitu, tidak sedikit

Masisir yang bergerak dalam sirkulasi

hidup tak menentu, dibandingkan mereka

yang sudah bergerak mapan menuju

tujuan.

Mempertanyakan seputar ihwal

kegiatan yang sedang dilakukan, tentunya

jawaban pun beragam sesuai pribadi yang

bersangkutan. Masisir sebagai mahasiswa

Al-Azhar, pastinya memiliki idealisme yang

berbeda. Menurut Muhammad Yusuf, ma-

hasiswa tingkat tiga, menyatakan bahwa

Masisir sebagai mahasiswa Al-Azhar, pasti-

nya memiliki idealisme yang berbeda. Ayal-

nya, banyak juga yang terhipnotis dengan

fasilitas dan kenikmatan yang ada sehingga

melupakan rencana dan tujuan awal yang

telah mereka atur pada awal kedatangan

mereka.

Sebagian mereka yang bermalas-

malasan menghabiskan waktu sehari-hari

cuma berada di rumah, tidur dan online di

depan komputer. Tentu hal ini kurang baik.

Jika di depan komputer membaca berita-

berita online yang aktual itu sih tidak ma-

salah. Tapi jika onlinenya itu cuma update

status atau main-main belaka itu kurang

bermanfaat.

Lain halnya bagi siapa yang benar-

benar mengerahkan seluruh tenaganya

untuk suatu idealisme tertentu. Ketika ia

mencapai sebuah titik jenuh, ia pasti akan

mencari aktifitas lain yang menurutnya ber-

manfaat, walaupun kegiatan tersebut

bukanlah target prioritas yang akan dicapai.

Ada juga mereka yang tekun belajar, kuliah

atau talaqqi ada pula yang terjun ke organ-

isasi baik dari kekeluargaan, almamater

maupun organisasi lain.

Bagi seorang pebisnis misalkan, lahan

satu ini merupakan ajang jihad bagi mere-

ka. Alasannya pun berbeda-beda. Sebagi-

an mereka berniat untuk berbisnis sebagai

penunjang faktor finansial pribadi, baik

yang sudah berkeluarga maupun yang

masih bergantung pada orang tua. Dulu

ada sebagian masisir yang berbisnis kare-

na memang kebutuhan tapi sekarang ban-

yak pula yang cuma having experience pun

ikut melakukannya. ”Bisnis sejak dari dulu

sudah ada cuma belum banyak dan sema-

rak orang untuk berbisnis baru kelihatan

sekarang,”kata Fathul Machasin, Lc., ketua

KSW 2011-2012.

Menurut pandangan ketua PMIK,

Mukhlis Hasballah, Masisir terbagi menjadi

tiga karakteristik. Pertama, mereka yang

hanya fokus kepada study tanpa

mempedulikan hal lain selain belajar. Baik

itu dengan metode talaqqi, maupun oto-

didak. Mereka yang berkarakter seperti ini

biasanya keluar rumah hanya untuk

menghadiri dars, setor hafalan al-Qur’an,

ikut ziarah makam ulama dan para Nabi,

serta kegiatan yang berkaitan dengan

keilmuan.

Kedua, mereka yang hanya mengalir

mengikuti arus kehidupan. Mereka yang

berkarakter seperti ini biasanya pandai

membagi waktu antara belajar dan kegiatan

lainnya, mengerti kapan waktu belajar, ka-

pan waktu berorganisasi, kapan waktunya

memenuhi kegiatan lain. Berbeda dengan

sifat pertama, yang menutup mata dari hal

selain belajar.

Sedangkan tipe ketiga, mereka yang

hidupnya untuk organisasi, lalu menjadikan

kegiatan lainnya sebagai sambilan. Bag-

inya 60 persen dari hidupnya untuk organ-

isasi, dan sisanya untuk kegiatan lain, ter-

masuk belajar. Mereka yang termasuk da-

lam tipe seperti ini sedang berlatih mem-

persiapkan diri menjadi pemimpin di masa

depan, karena dalam jiwanya telah tumbuh

pribadi disiplin berorganisasi. Akan tetapi

organisasi di kalangan Masisir, tidak lebi-

hnya pasti masih berhubungan dengan

belajar mengajar, karena sejatinya pem-

belajaran dan dinamika ajar-mengajarlah

yang dibutuhkan oleh mahasiswa.

Dia menambahkan, berhubung mayori-

tas paradigma Masisir hampir sama, yaitu

hanya membuka diktat kuliah hampir

sebulan sebelum datangnya hari ujian,

maka dibutuhkan sarana penunjang

keilmuan lain yang unik dan atraktif.

Dalam ranah organisasi pun ada

kegiatan yang menunjang keilmuan, con-

tohnya di KSW. Ada agenda di KSW yang

berhubungan dengan study semisal kajian

kitab. “Ada kajian ushul Fiqh kitab Waraqot

hari Senin jam 4.00 sore dibimbing oleh

ustadz Muhakamur Rohman. Lalu dilanjut-

kan ba`da maghrib ada pelatihan baca ko-

ran arab diadakan di rumah ustadz Sugeng

Hariadi MA di Hay tsamin. Kami mengada-

kan pula sekolah menulis walisongo(SMW)

yang diadakan di rumah budaya akar tiap

dua minggu sekali,” tutur ketua KSW Mu-

hammad Yusuf.

“Untuk meningkatkan selera maha-

siswa dalam menggali ilmu, hendaknya

mengadakan seminar-seminar yang berkai-

tan dengan membaca dan menulis. serta

kegiatan penambah wawasan. Sehingga

Masisir lebih cenderung keluar rumah men-

cari hal baru daripada berdiam diri di rumah

tanpa mengerjakan hal yang bermanfaat,”

tegas Mukhlis.

Bahkan dua minggu lalu, telah dibuka

Cairo Internasional Book Fair yang menjadi

sasaran empuk para maniak kitab dan ma-

hasiswa baru yang penasaran dengan fe-

nomena ini. Terbukti dari keberadaan

Masisir hampir di setiap stan buku dengan

wajah-wajah penuh hasrat nan haus akan

ilmu. PMIK pun telah mempersiapkan dua

ratus buku baru bagi Masisir. Besar hara-

pan, buku tersebut dipergunakan dengan

baik dan tidak sebagai pajangan semata.

Lain halnya dalam pandangan Minnatil-

lah, Mahasiswi tingkat tiga fakultas Bahasa

Arab Baginya, rihlah juga termasuk hal

yang wajar jika tidak berlebihan. Sudah

lumrah, jika rihlah dibutuhkan otak dan

jasmani sebagai pemulihan dari efek lelah

emosional setelah terkuras karena ujian.

Hanya saja, bagi mereka yang sehari-

harinya selalu melakukan rihlah tanpa

kepastian, inilah yang tidak normal.

Minna melanjutkan, “Sekarang wak-

tunya memikirkan sekaligus merancang

target kedepan untuk termin dua ini. Se-

hingga Masisir dapat mewujudkan pribadi

yang idealis, jauh dari sifat malas, memiliki

wawasan luas, mempersiapkan dirinya

berkiprah di Masyarakat kelak.” Lebih

lanjut, dia menghubungkan situasi mutakhir

terkait kunjungan Presiden RI Susilo Bam-

bang Yudhoyono, yang berharap lebih pa-

da Masisir dalam perkembangan kemajuan

bangsa dan agama. Mewujudkan Masisir

idealis yang dapat konsisten mencapai

tujuannya masing-masing, walaupun tujuan

tersebut sangat sulit untuk ditempuh.

Hal terpenting, tidak akan ada lagi

Masisir yang membuang waktunya sia-sia

tatkala buku menjadi teman sejati. Tetapi

mengindahkan urusan belajar dalam hal

kemasyarakatan dan berbagi dalam

berbagai hal dengan teman sebaya. Dalam

menempuh target, jika kejenuhan melanda

di tengah perjalanan, maka pergunakan

waktu sempit tersebut dalam mencari hal

baru yang bermanfaat. Selesai terpuaskan

raga batin, seyogyanya untuk kembali

menempuh tujuan awal. “Satu hal yang

perlu diperhatikan konsisten diri dalam sua-

tu tujuan”, ujar salah satu pegiat Matholi’ul

Anwar ini. (Caul, Yusuf, Khalid, Fika) ◙

Masisir Wujudkan Pribadi yang Idealis

Page 11: Buletin Informatika Edisi 167

Edisi: 167/Februari 2013

11

“Mari Menulis!”

◙Wawancara

Mengenai tujuan kedatangan Kang

Abik ke Mesir, apakah karena ada event-

event tertentu, seperti ma’ridh buku,

atau karena ada program lain yang ingin

diselesaikan?

Yang pertama, karena saya rindu sama

Kairo. Jadi, saya terakhir ke Kairo ketika

pembuatan film “Ketika Cinta Bertasbih”.

Pasca tsaurah saya belum pernah ke sini

lagi. Jadi saya rindu sama kampung hala-

man saya ini. Saya ingin tahu, bagaimana

kondisinya setelah tsaurah.

Yang kedua, memang karena mo-

mennya bertepatan dengan Cairo Interna-

tional Book Fair. Saya merasa, ma’ridh itu

surganya para penulis. Maka saya ingin

menambah beberapa referensi yang saya

perlukan. Karena meskipun saya penulis

novel, tapi kalau seminar kadang-kadang

sudah lintas tema. Pernah saya diundang

untuk seminar tentang pendidikan karakter,

dan sebagainya. Tentunya, kita harus siap.

Ada beberapa tema yang ingin saya

cari dan saya kumpulkan. Diantaranya,

kemarin di ma’ridh saya menemukan buku

bagus sekali, judulnya al-Quran wa ‘ilmu al

-nafs. Ada delapan jilid tentang Psikologi.

Dan banyak buku lagi yang saya temukan.

Selain itu, saya ingin melihat perkem-

bangan baru. Karena mi'yâr atau kutub

perkembangan pemikiran di dunia Islam itu

–kalau boleh kita jujur- masih tetap di

Kairo. Maka, akan ketahuan apa yang ter-

jadi di dunia Islam dengan melihat ma’ridh

ini. Di sana akan terlihat apa-apa saja yang

baru. Baik dari kalangan Libraliyyin atau-

pun Islamiyyin.

Selain itu, saya memang ada program

ke Maroko. Saya pengen tahu Maroko.

Maroko adalah merupakan salah satu tem-

pat peradaban dunia Islam yang sangat

penting. Jadi saya ingin melihatnya. Ba-

rangkali bisa menjadi inspirasi, jika suatu

ketika saya menulis tentang Maroko misal-

nya. Itu bagian daripada tabungan bagi

seorang penulis.

Kita dengar, saat ini Kang Abik mulai

terjun dalam dunia perfilman. Apakah

hal ini menghambat semangat anda da-

lam menulis, atau malah menjadi salah

satu faktor pendukung? Saya rasa, itu menjadi pendukung. Ka-

rena perfilman adalah program pengalihan

bahasa. Dari bahasa imajinasi murni men-

jadi bahasa visual. Keduanya mempunyai

kelebihan dan bahasanya masing-

masing. Menulis memang ada kelebi-

hannya, bisa berekspresi lebih luas.

Tapi harus kita akui, bahwa jangkauan

film dan sinetron saat ini –terutama di

Indonesia- lebih luas daripada tulisan.

Kalau menulis, misalnya, untuk menjual

buku hingga seratus ribu copy, mungkin

butuh waktu setengah tahun. Tapi

kalau kita bikin untuk film, misal-

nya Ayat-Ayat Cinta, sebulan

saja sudah empat juta

(penonton). Bahkan sinetron

lebih luas lagi. Contohnya,

ketika saya bikin sinetron

Ketika Cinta Bertasbih.

Baru keluar judulnya

saja, yang menonton

dan share thriller-nya di

sembilan kota besar

sudah lima belas juta.

Kemudian saat masuk

ke konflik dan cerita,

sampai dua puluh lima

juta. Jadi, jangkauannya

lebih luas. Jadi, itu

semua adalah media

untuk menyampaikan

kebaikan, untuk

menyampaikan

dakwah.

Apa yang membu-

at Anda berkarakter

dalam menulis?

Apakah karena

tokoh atau hal

lainnya? Saya kira banyak

ya. Kita berkarakter,

mau tidak mau, kan,

dari bacaan-bacaan

kita baca. (Kalau

saya apa yang saya

Cairo International Book Fair kembali digelar. Para pecinta buku, khususnya buku-buku khazanah keislaman berdatangan dari segala penjuru. Tak terkecuali para penulis buku terso-hor Indonesia. Salah satunya adalah Habiburahman el-Shirazi, atau yang akrab disapa Kang Abik. Penulis buku best seller Ayat-Ayat CInta dan Ketika Cinta Bertasbih yang sudah tak as-ing lagi. Di sela-sela pertemuannya dengan Masisir dalam sebuah seminar, Informatika berkesempatan untuk berbincang santai dengan beliau. Selamat menyimak!

Habiburrahman El Shirazy :

Page 12: Buletin Informatika Edisi 167

Edisi: 167/Februari 2013 12

baca. ed) Sejak dari Aliyah sampai saat ini.

Saya rasa itu mempengaruhi. Bukan hanya

itu, guru-guru kita pun punya andil dalam

membentuk karakter kita. Tokoh-tokoh

yang kita kagumi di al-Azhar misalnya, itu

juga salah satu faktor yang membentuk

karakter.

Realitas saat ini, internet lebih di-

gandrungi oleh sebagian besar Masisir.

Itu berpengaruh bagi dinamika Masisir

terutama dalam bidang kepenulisan.

Apa pandangan anda mengenai hal ter-

sebut?

Internet sudah ada di masa akhir saya

berada disini, sekitar tahun 2000an. Saya

nggak tau perkembangannya saat ini. Na-

mun waktu itu, event organizer berjalan

dinamis. kelompok studi dinamis, buletin-

buletin pun dinamis, apalagi setelah ujian.

Aula wisma selalu penuh dengan acara,

saya rasa itu hal-hal yang positif.

Bagaimana dengan internet? Saya ra-

sa, keberadan internet tidak salah. Tergan-

tung bagaimana kita me-manage dan me-

maintain. Dari internet, kita bisa berbagi

pendapat, menyampaikan pendapat secara

langsung, bahkan bisa lebih dekat dengan

sumber informasi yang kita butuhkan. Con-

tohnya, sumber keislaman. Anda bisa

menulis di situ (internet.ed) mengenai ilmu-

ilmu keislaman, serta dapat menyampaikan

secara langsung. Yang menjadi problem,

mereka (pengguna.ed) hanya sekedar

menggunakannya untuk having fun. Itu

hanya bergantung bagaimana niatnya. Ada

beberapa orang yang sering menggunakan

twitternya untuk ladang menulis, sampai

akhirnya tulisannya dibukukan dan layak

jual, contohnya Salim. A Fillah. Jadi

sebenarnya, teman-teman bisa merancang

apa yang akan disampaikan melalui jejaring

social. Jika yang akan disampaikan itu ber-

tema, lama-lama bisa jadi karya.

Internet juga penting supaya kita juga

tidak gagap teknologi dan tidak salah

langkah. Karena sekarang, semuanya

berkembang. Jejaring sosial banyak dige-

mari. Seandainya teman-teman tidak me-

nyentuh jejaring sosial sama sekali, ujung-

ujungnya Anda hanya bisa jadi ulama atau

ustadz yang kuper ketika pulang ke tanah

air nanti. Saat ini, remaja pelajar di Indone-

sia banyak yang mencari fatwa dari internet

karena dianggap mampu memberikan infor-

masi dengan cepat. Nah, manfaatkan itu

semua (jejaring sosial.red) dengan

menyampaikan kaidah-kaidah Fikih, ilmu-

ilmu al-Azhar, hasil talaqqi, dll.

Menurut Kang Abik, apa cara efektif

untuk mengembalikan semangat

Masisir? Karena yang kita rasakan

sekarang, dinamika sudah terbalik. Dulu,

Masisir gencar menulis di buletin-

buletin, majalah-majalah, kemudian

sekarang semangat itu merosot.

Ya, mungkin perlu ada rangsangan-

rangsangan. Bentuknya semisal membuat

semacam award. Terserah, apakah ben-

tuknya lomba, atau kompetisi menulis untuk

dimuat di Informatika. Lalu setahun sekali

akan dinilai kemudian diberi penghargaan.

Bekerja sama dengan ATDIKBUD.

Untuk non-fiksi, pernah diadakan lomba

menulis cerpen. Untuk menarik mereka

(peserta), bisa diadakan lomba menulis

cerpen lewat dunia maya. Jadi tidak harus

mengirimkan lewat print out, tapi bisa juga

dikirim lewat file atau email. Lalu kalian

(media) bisa berfungsi seperti penerbit-

penerbit di Indonesia, misalnya memilih

sepuluh terbaik dari cerpen-cerpen itu yang

layak, lalu diterbitkan. Atau melalui diskusi-

diskusi. Itu juga harus di kembangkan.

Kemudian misalnya ada tokoh yang da-

tang, tidak masalah jika kalian mulai

mengundangnya. Karena salah satu tujuan

kita di luar negeri kan, kesempatan ber-

temu dengan orang-orang penting. Tidak

masalah sebenarnya, jika suatu ketika, kita

beri kesempatan teman kita yang cukup

layak mendampingi (tokoh.ed) sebagai

pembicara. Nah, itu akan melatih mental

juga. Karena mungkin di Indonesia nanti

dia akan banyak menyampaikan. Beginilah,

sebagai penggerak, kalian harus banyak

berfikir untuk menggerakkan.

Sebenarnya, sebesar apa respon

masyarakat Indonesia terhadap peran

mahasiswa Kairo? Mengenai tulisan

mereka misalnya.

Sesungguhnya besar. Tapi mana tu-

lisannya? Contohnya sekarang, tentang

kejadian di Mesir. Kejadian di Mesir saat ini

yang sampai ke Indonesia, baik dalam beri-

ta atau pun opini, semuanya sudah bias.

Misalnya dalam hal, apakah kita sepakat

atau tidak dengan Ikhwanul Muslimin? Pen-

dapat tentang itu merupakan representasi

dari teman-teman Islam, kan? Lagipula,

teman-teman di Indonesia sudah nyinyir

kan dengan berita-berita negatif yang sela-

lu diputar. Mereka hanya bisa mengikuti

genderang yang ditabuh oleh CNN. Nah,

perkara macam ini perlu orang dari Kairo

menulis. Tapi nyatanya, tidak ada yang

menulis. Padahal kalian yang lebih tahu,

sesungguhnya apa yang terjadi di Kairo.

Bagaimana situasi yang sebenarnya. Kalau

orang yang di UI saja bisa diterima tu-

lisannya, masa kalian yang di Kairo tidak

diterima.

Sejak kapan Kang Abik memupuk

kecintaan pada menulis?

Sejak di Madrasah Aliyah. Di Madrasah

Aliyah, saya sudah banyak menulis, terma-

suk menulis naskah-naskah teater dan

segala macam. Tapi menulis sebagai se-

buah profesi, maksudnya sudah ada insen-

tif yang jelas, ada honor yang jelas, dan

ada deadline serta perjanjian yang jelas

dari penerbit, ketika di Kairo.

Bagaimana cara memupuk kecintaan

menulis? Mulailah menulis apa saja. Biasanya

penulis pemula menirukan gaya tulisan

penulis yang digemarinya, seperti Asma

Nadia, Helvi Tiana dan lain sebagainya.

Istilahnya copy the master. Tapi hal sema-

cam itu tidak apa-apa, untuk pemula wajar.

Lama kelamaan akan menemukan du-

nianya sendiri dan ciri khas atau karakter

tulisannya sendiri

Seperti yang pernah Kang Abik

bilang, salah satu poin menjadi penulis

adalah wawasan tentang lingkungan

yang mendukung. Namun salah satu

novel Kang Abik, “Bumi Cinta”, latar

belakangnya Rusia. Bagaimana Kang

Abik bisa menceritakan secara detail

tentang keadaan di Rusia, padahal yang

kita tahu Anda belum pernah berkun-

jung ke sana? Memang pada awalnya, pada saat saya

belum tahu tentang Rusia, saya tidak

menulisnya. Setelah itu saya mencari tahu.

Saya riset sampai satu tahun. Dulu di al-

Azhar, saya juga sering ketemu dengan

orang Rusia. Jadi sudah tahu cerita tentang

Rusia.

Untuk menguasai materi tentang Rusia,

saya melakukan riset. Sebagaimana saya

melakukan riset untuk menulis novel Ayat-

Ayat Cinta. Sewaktu saya lihat di internet,

ternyata tidak cukup. Saya belum

mendapatkan pandangan keseluruhan dari

negara itu. Baik dari budaya, masyarakat,

musim-musimnya, dan lain-lain. Tapi itu

tidak memutuskan semangat saya pada

saat itu. Kebetulan saya mempunyai teman

seorang Rusia, saya rela untuk menginap

di rumahnya beberapa bulan, demi

mendapatkan keterangan langsung darinya

tentang Rusia. Tentang bagaimana cuaca

di sana, musim, masyarakat, kebudayaan

mereka. Sampai seakan-akan saya memin-

dahkan apa yang ada dalam pikiran teman

saya itu tentang negaranya ke dalam otak

saya. Sampai saya benar-benar men-

guasainya.

Pesan Anda untuk Masisir?

Pesan saya, belajar di Mesir itu adalah

karunia. Tidak semua orang mendapatkan

kesempatan menimba ilmu disini. Maka,

manfaatkan kesempatan tersebut dengan

baik. Belajarlah yang sungguh-sungguh.

Tingkatkan kualitas wawasan juga skill-skill

yang lain. Jangan hanya terpaku seputar

perkuliahan saja. Juga menulislah, me-

lestarikan sunah ulama terdahulu. Menulis

bisa dilatih dari sekarang, Nah, selamat

menulis. (Tsaqo, Fitra, Ipung) ◙

Page 13: Buletin Informatika Edisi 167

Edisi: 167/Februari 2013

13

B aru kali ini kutemui hujan sepanjang hari, tak kunjung reda. Sejak tadi malam, rintik-rintik air langit tak henti-

hetinya mengguyur macapada. Tidak bi-asanya Kairo seperti ini. Awan kelam men-jabat erat atmosfernya. Sinar kasih mentari yang terhalang semakin menambah dingin suasana.

Tak terbayang bagaimana kondisi jalan-an di kota ini. Guyuran hujan dalam hi-tungan menit saja sudah mampu mengubah jalan raya bak pematang sawah di pedesaan. Apalagi hujan semalam suntuk, bisa-bisa jalanan berubah menjadi kali.

Ah, tak usah pikirkan persoalan itu. Ku-nikmati saja anugerah Tuhan ini. Aroma cipratan air yang menghantam debu jalanan sangat khas, seakan mampu membawaku terbang kembali ke tanah kelahiran. Seha-rusnya hujan ini membawa kabar gembira. Salju di puncak Sinai sana akan semakin menumpuk dan semakin indah.

Sayang, visaku sudah tak berlaku. Sebelum ke Sinai, visa wajib diperbarui untuk jaga-jaga. Sekarang malam Senin. Aku harus segera meluncur ke Jawazat Bu’uts untuk mendapatkan nomor antrian. Berkasku sudah sebulan menginap di sana. Sudah saatnya taslim.

Sebenarnya sudah ada program visa kolektif (viko) dari KBRI dan PPMI. Masisir yang tak mau repot-repot antri berjubel di imigrasi dihimbau untuk menitipkan ber-kasnya (termasuk paspor) ke PPMI. Dua minggu kemudian, kita tinggal terima jadi.

Tapi sebulan yang lalu, aku belum meneri-ma karneh dari kampus. Paspor harus sela-lu dibawa saat memasuki ruang ujian se-bagai pengganti karneh. Program “viko” pun urung kuikuti.

“Kamu belum merasakan nikmatnya Mesir kalau belum pernah antri di Jawazat.” Mas Arman, senior serumahku terus-terusan ngompori. “Lagian kalau nunggu ‘viko’ lama! Dua minggu baru jadi. Akhir-akhir ini molornya malah sampai sebulan, itu saja juga belum pasti. Tenaganya terbatas,” tambahnya. Apa mau dikata, sebulan yang lalu aku terpaksa merasakan pengalaman pertama “nikmatnya” antri taqdim visa.

Konon katanya, antri taslim jauh lebih dahsyat daripada antri taqdim. Langkahku semakin berat untuk keluar rumah. Dit-ambah lagi suhu udara semakin dingin di bawah guyuran hujan. Tapi, kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kumantapkan hati untuk berangkat malam itu juga.

Ting tong…. Bel pintu berbunyi. Pintu kubuka. Tampak sesosok gadis berkerudung dan berjaket cokelat dengan bulu-bulu halus di ujung lengannya. Celana jin yang dikenakannya membuat penam-pilannya semakin modis.

“Mohon sumbangannya, Ustadz, untuk membangun masjid!” Spontan kurogoh kan-tong celana dan mengeluarkan koin satu Pound.

“Saya bukan pengemis. Ini buat bangun masjid.” Tampaknya dia agak tersinggung.

“Maaas, ini ada cewek minta sum-bangan buat masjid….” teriakku ke dalam memanggil senior.

“Lho, bukannya masjid-masjid di Mesir sudah punya Wizâratul Awqâf?” tanyanya heran. Aku mengangkat bahu tanda tidak tahu. Tanpa pikir panjang, teman-teman serumah mengumpulkan koin. Ada yang menaruh dua Pound, tiga Pound hingga sepuluh Pound. Total terkumpul tiga puluh dua Pound yang kemudian diserahkan kepada gadis itu.

Tidak lama berselang, bel kembali ber-bunyi. Kali ini orang Malaysia rumah sebe-lah.

“Nak minta maklumat, Ustadz. Lima minit lepas ada gadis minta sumbangan ke rumah. Apa betul itu mahasiswi Indo?” Mas Arman langsung bergegas lari keluar ru-mah. Aku dan orang Malaysia itu mem-buntutinya dari belakang.

Meski sudah jauh, masih terlihat di ujung jalan sana, gadis itu berbincang dengan pemuda Mesir di bawah rintik hu-jan. “Ah, males banget berurusan dengan orang Mesir yang keras kepala dan sok tahu itu,” Mas Arman ngomel dan balik lagi. Aku yang masih baru hanya bisa mengekor.

***

Ternyata hujannya tidak sederas yang kubayangkan. Segera kemas-kemas, ber-jaket rangkap untuk menghabiskan semal-

Tragedi Visa Oleh: Dana Ahmad Dahlani*

◙Sastra

Selengkapnya... Hal 14

Page 14: Buletin Informatika Edisi 167

Edisi: 167/Februari 2013 14

am suntuk di depan kantor im-igrasi. Benar saja, jalanan Kairo beceknya luar biasa. Di sana-sini air tergenang. Apalagi di kawasan Bawabah, banjir men-jadi sebuah keniscayaan.

Jam tangan digitalku baru menunjukkan pukul 20.55. Di depan Jawazat sudah ada em-pat orang yang mulai membuat perapian sebagai penghangat. Tapi lembaran kertas antrian sudah mencantumkan sebelas nama. Aku mencatatkan diri di nomor 12, Muhammad Tirmizi Taher. Kawanku yang datang bersamaku berada di urutan 13, Dahlan Basuki Musthofa.

Aku ikut melingkar di sekitar perapian. “Mau teh?” Pengertian sekali orang ini, pujiku dalam hati pada kawan sebangsa yang telah mengantri dari tadi. Aku belum tahu siapa namanya. Segera aku seruput teh hangat dalam gelas yang didesain lay-aknya termos itu. “Sebentar ya, saya masuk ke Bu’uts dulu. Kamu tunggu saja di sini!” Dia ngeloyor pergi bersama seorang temannya, menyisakan aku, Dahlan dan dua pelajar Rusia. Enak ya kalau punya teman di Bu’uts, batinku. Sayangnya aku masih baru, belum punya

kenalan orang Bu’uts.

Selang beberapa lama, dua pelajar Rusia itu izin buang air. Lembaran berisi nama-nama antrian dipercayakan kepadaku dan Dahlan. Keduanya hilang dari pandangan. Setelah itu, datang dua orang Rusia yang lain.

“Lho, kok sudah ada 13 na-ma di sini? Kalian cuma berdua, mana yang lain? Bukankah an-triannya baru dimulai pukul 12 malam?” Salah seorang yang berpostur tinggi besar berlagak preman. Bahasanya fusha, mu-dah kutangkap. Saya tidak berani membela diri. Selain ka-rena kurang lancar ngomong Arab, aku juga belum tahu aturan antri di sini.

Dengan sedikit memaksa, dia rebut lembaran nama itu dariku. “Mana namamu?” tan-yanya. Kutunjuk angka 12. Dia tulis kembali namaku di urutan pertama dan Dahlan yang kedua. Kemudian namanya sendiri di urutan ketiga dan te-man satunya di nomor empat. Sebenarnya aku agak senang dengan keputusan itu. Tapi bagaimana pertanggungjawa-banku kepada mereka yang sudah menulis nama dari tadi?

Tiba-tiba empat sepeda mo-tor berderum-derum dari ujung jalan. Salah satunya memutar musik disko keras-keras, iramanya nggak jelas. Begitu mendekat, mata mereka bagai mata elang yang menemukan mangsanya. Melihat tingkah mereka yang cekikikan, aku mencium sesuatu yang men-curigakan.

Benar saja, sepersekian detik kemudian, empat orang yang duduk di boncengan turun dengan mengeluarkan pisau lipat. Kami berempat ditodong senjata. Nahasnya, hanya aku yang ditodong pistol tepat di pelipisku, tak berkutik. Sempat kulihat, keempat pengendara motor masih duduk nyaman di atas joknya masing-masing dengan senyum sinis. Jalanan sudah sepi. Bluk! Aku kaget, tiba-tiba orang Rusia yang ber-lagak preman tadi berani mela-wan dan melarikan diri. Sandera tinggal kita bertiga.

Para perampok itu memaksa kami untuk menyerahkan benda-benda berharga yang kami bawa. Kalau tidak, nyawa jadi taruhannya. Tas dan kantong digeledah. Dari sakuku, mereka hanya menemukan HP QWER-TY dua ratus ribuan buatan Cina. Juga uang tiga belas

Pound yang saya siapkan untuk membayar visa. Sementara Dahlan harus rela menyerahkan HP Samsung SII-nya. Lebih nahas lagi, orang Rusia yang satunya. Dengan terpaksa harus merelakan Laptop Sony VAIO dari dalam tas punggungnya.

Begitu mendapat barang yang diinginkan, gerombolan perampok itu kabur meninggal-kan kegundahan yang men-dalam di hati kami bertiga. Rasa kehilanganku belum seberapa jika dibandingkan kedua te-manku yang kehilangan benda berharga kesayangannya. Tanpa pikir panjang, orang Ru-sia itu membatalkan niatnya untuk mengurus visa. Mencegat taksi dan pulang! Aku dan Dahlan masih bertahan di sini demi visa. Untung masih tersisa uang tiga puluh Pound yang kuselipkan dalam kaus kakiku.

Ah, Kairo! Apa yang membu-at orang-orang betah tinggal di sini bertahun-tahun. Agaknya benar kata Kang Abik, keinda-han Kairo hanya bisa dinikmati orang yang sudah tujuh tahun berada di sini. Tapi suatu ketolo-lan telah terjadi. Sebilah pisau lipat tergeletak di hadapanku. Apa yang bisa aku lakukan dengan pisau itu? ◙

*Keluarga Informatika

U sai ujian, aktivitas non kam-

pus masisir aktif kembali. Tak

terkecuali kegiatan para

wartawan/ti Informatika yang terus membu-

ru berita seputar perkembangan kegiatan

Masisir. Kali ini Informatika membuka

kegiatannya di termin 2 dengan mengada-

kan pelatihan kepenulisan “Quick Training”

pada hari Sabtu, 9/2/2013 yang diseleng-

garakan kerjasama buletin Informatika,

KPMJB dan Ikatan Jurnalis Masisir (IJMA)

di Aula Pesangrahan KPMJB. Para Panitia-

pun terlihat begitu sibuk mempersiapkan

acara tersebut.

Acara tersebut di mulai sekitar pukul

14.00. dengan tema pelatihan “Semua Bisa

Jadi Penulis”. Peserta yang hadir cukup

antusias dalam mengikuti acara pelatihan

tersebut, karena selain materi menulis yang

mereka dapatkan, mereka juga diberi kes-

empatan untuk membuat sebuah karya dan

di koreksi langsung oleh pemateri. Kegiatan

ini berlangsung hangat dan interaktif. Hal

ini ditunjukkan dengan adanya tanggapan

langsung dari para peserta yang ikut serta

memberikan pendapat mengenai tugas

tulisan yang diberikan oleh pemateri. Ini

juga melatih kemampuan mereka dalam

menilai dan mengkritisi sebuah tulisan.

Pelatihan tersebut terbagi dalam dua

sesi, pertama disampaikan oleh Ust. Indra

Gunawan, Lc. dengan materi menulis sas-

tra. Sedangkan sesi kedua, disampaikan

oleh Ust. Surya Fahrizal (Wartawan Maja-

lah Hidayatullah) dengan materi seputar

dunia jurnalistik. Jika di sesi pertama para

peserta disuguhkan motivasi-motivasi untuk

tetap menulis dan berkarya, berbeda

dengan sesi kedua, pemateri sengaja

menyampaikan beberapa pengalamannya

dalam dunia jurnalistik, agar para peserta

mampu mengambil pembelajarannya dan

khususnya bersifat objektif dalam menulis.

Acara pelatihan kepenulisan yang

kerap kali diadakan buletin informatika ter-

sebut bertujuan untuk membangun kembali

kemauan masisir dalam menulis. Salah

satu peserta yang hadir menuturkan

“pelatihannya cukup bagus, materinya yang

pertama lebih condong ke novelis yang

kedua ke berita, tapi sayangnya cuma

sehari pelatihannya, perlu ada follow upnya

klo bisa” ujar khairunnisa, mahasiswi syari-

ah islamiyah tingkat satu. (Hilmi, Tsaqo) ◙

Quick Training untuk Masisir ◙Aktualita

Tragedi Visa … Halaman 13

Page 15: Buletin Informatika Edisi 167

Edisi: 167/Februari 2013

15

◙Language Corner

The Right Path to Reconstruct

M any curses had spread among Islamic world when the cemetery site of Abdul

Salam al-Asmar, the grandchild of Imam Hasan as. were obliterated in the hands of Wahabian on August 25, several months ago. The obliteration has taken various places, including Sha’ab mosque and Zlitan library along with many graves around. As Al-Jazeera’s report said, a day after inci-dent, Mohamed al-Magariaf, the president of Libya, made immediate summon to Prime Minister el-Keib regarding the situa-tion. The result was Fawzi Abdel-Al, the minister of Domestic affairs in Libya, had requested to retire from his position as he did nothing to prohibit this humiliation.

The Wahabian, or Salafi as they address themselves, tried to resurrect Islam back to old school, just like the times when Prophet Muhammad PBUH was still alive. But this claim was based on no foundation, as what they did just some demolition, de-struction, curses and such. Steven Sotloff, a Time World’s journalist, said in his report that throughout Libya, Gaddafi's fall has emboldened Salafis, who were persecuted and imprisoned under the now deceased leader. Since then, they have increased their public presence, taken over mosques, and even hoisted the flag of al-Qaeda over the courthouse in Benghazi where the revo-lution began 11 months ago. In the capital, Tripoli, Salafis have destroyed more than six shrines.

If this is what they claimed as true lesson of The Prophet, then their action which resembles nothing but violation con-tradicts with His verse that indicates Islam spreading peace, not war. Islam taught as

the concept of Hisbah, which literally means enjoining good and forbidding evil. Allah has emphasized at his verses, al-Taubah:67 and 128, a character which dis-cerns the real believers and mere hypo-crites are found within their characters. Dare a Muslim to enjoin goods and forbid evils or not? That’s a remarkably question. But even Hisbah doesn’t work out properly if it’s done without abiding to its essential principle.

Hisbah has four principles stands as a basic foundation of enjoining good and forbidding evil. They are: Muhtasib, as an adult Muslim whom could distinguish be-tween good and evil. What he says must also represent his attitude. He mustn’t sweet-talk and do things that counter his words, or basically said, hypocrite, like Al-lah had warned already in as-Shof verse 2.

Second comes the most significant of all, Hisbah itself. In this concept, Hisbah must fulfill three requirements: Regardless the following action is evil or not, it must be so shameful and disturbed that the action mustn’t show publicly; also the following action which represents Hisbah must be present and takes a place right there before our eyes, not nowhere or some things in the past; the present action must be transpar-ent too, means the sinner doesn’t do any-thing to conceal their sins; and last, the present action mustn’t being discussed in Ijtihad by scholars.

The third principle is al-Muhtasab Ilaihi, or the one who deserves a Hisbah. The sinner, as I say, must be human, and it’s not necessary if he or she being a Mus-lim or not. As long as his/her action is caus-ing uneasy feeling around the people

around. And last, Nafsu al-Ihtisab. means there is a rules as a precaution before tak-ing unnecessary action. The corrector must first introduce him/her/themselves, then explaining the current law regards the mat-ter, prohibit the sinne, then do as follows, giving some advices, cursing the wicked-ness, trying to alternate by hands, and last-ly through a hardest way, by fighting or somewhat the same. But by any means, that is the last order to do if all precautions previously mentioned before bring nothing as a result. These necessities are then required and couldn’t be denied, since the loss of one principle means even a Muslim intends to enjoining good and forbidding evil, it acts nothing but harmful violation against human’s rights.

Understanding these principles is

hard to do and abide, especially if one’s

action was already tied by a ridiculous

method in lecturing people about Islam and

stone-headedly refuse any words against

them. In the moment they try to do any

good, as what they acclaimed it, not their

action only invites a curse and spreading

more bad-words about Islam, they didn’t

follow the basic rules about Ihtisab. Make

sense when we do some evil before our

eyes, we immediately try to act such a hero.

But knowing the human rights which ex-

plains a lot that one’s doing is limited

against another’s doing, so be it in Islam.

Islam taught the concept of Hisbah to un-

derstand it deeply, not using it as a shield of

self-made violations.◙

*Keluarga Informatika

Oleh: Umar Abdullah*

Ini menit, perahuku tak berlaut

Perahuku hilang nakhoda

Melumut. Terus saja tertambat di dermaga

Tak pun kunjung menyisir ombak pelikan

Miris. Terlebih gerimis mengundang

kelam

Apa sebaiknya kutinggalkan saja pijakan

ini?

Tak ada berguna menghitung tetes-tetes

air

Langit sudah semakin senja. Senja

semakin tua.

Burung camarpun berhenti berorkestra...

Karyaku mati di ujung belati.

Kata-kataku habis dimakan hari.

Tamatlah sudah, ternyata aku tak punya

makna.

Layar kapal, tali tambang, setumpuk peti,

bahkan telah rapuh. Kemarin tinggal

kemarun

Aku harus pulang malam ini

Tanpa sepucuk surat di tanganku

Tanpa secawan air. Tanpa kue-kue kering

yang setia. Aku ingin plang tanpa apa-

apa...

Berantakan??

*Pemimpin Usaha Informatika

Oleh: Fitra Yuzarni*

◙Sajak

Perahuku Kandas

Page 16: Buletin Informatika Edisi 167

+201149616691

+201000721126

PIN BB: 27CFB596

PIN BB: 27CFB596