74

Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

Embed Size (px)

DESCRIPTION

buletin terkait pengelolaan hutan

Citation preview

Page 1: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011
Page 2: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

DARI REDAKSI

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Buletin Planolog Edisi Pertama Tahun 2011 ini dapat diterbitkan kembali, semuanya ini tentunya bisa dilaksanakan atas dukungan dan kontribusi aktif keluarga besar Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. Pembaca yang budiman, tema yang diusung pada edisi ini “Inisiatif Baru Pemantapan Kawasan Hutan Menuju Beroperasinya KPH”. Hal ini terkait dengan adanya Inisiatif Baru Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan untuk mempercepat penyelesaian sisa batas kawasan hutan yang belum ditata batas dan mendorong beroperasinya KPH. Artikel yang mendukung antara lain tentang KPH, Pengukuhan, Kedudukan Fungsional Perencana serta rubrik anda bertanya kami menjawab termasuk informasi Mekanisme Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Melengkapi informasi tersebut, kami sajikan reportase kegiatan Rakornis Ditjen Planologi Kehutanan yang diselenggarakan di Jakarta dan Mukon Ditjen Planologi Kehutanan di Denpasar. Beberapa artikel yang perlu diketahui antara lain tentang Teknologi Informasi, Pendidikan serta Pendidikan dan Pelatihan Teknis Kehutanan. Dibulan penuh berkah ini pula, Redaksi mengucapkan selamat Selamat menjalankan ibadah puasa dan sekaligus mengucapkan ”Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 H”, Mohon Maaf Lahir dan Batin. Redaksi.

Menu Buletin Era Baru Ditjen Planologi………………………………. Percepatan Pengukuhan Membangun Kesatuan Pengelolaan Hutan……………………………………… Rapat Koordinasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Sehangat Minyak Kayu Putih ………………………… Implikasi Triple Strategi Berbasis Pedesaan …………... Pertemuan Konsultasi (MUKON)…………………….. Status Kemajuan Implementasi Prepres No.85 ……….. Partisipasi Masyarakat Sekitar Hutan………………….. Rapat Koordinasi Teknis (RAKORNIS)……………… Jabatan Fungsional Menuju PNS Profesional………….. Mekanisme Pinjam Pakai Kawasan Hutan……………... Cybercrime di Indonesia………………………………. Metode E-learning…………………………………….. Menulis dan Mengirimkan Surat Via E-Mail………….. Anda Bertanya Kami Menjawab………………………

1 5

14 17 22 32 35 41 48 51 55 58 61 65 70

  

  

 

 

Pelindung :

Pelindung :

Direktur Jenderal Planologi Kehutanan

Penanggung Jawab : Sekretaris Ditjen Planologi Kehutanan

Dewan Pembina : Direktur Lingkup Ditjen Planologi Kehutanan

Pemimpin Redaksi : Yana Juhana

Anggota Redaksi : Gunardo Agung Prasetyo

Syaiful Ramadhan Triyono Saputra

Redaksi Pelaksana : Didik Setyawan

Sudjoko Prajitno Yos Nelson Makalew

Editor : Watty Karyati

Deazy Rachmi Tommy M Nainggolan

Jati Wisnu Murthy Lilit Siswanti

Sutoto

Sekretariat : Ira Patanduk

Yusmaini Suyitno

Desain Grafis : Emma Yusrina Wulandari

Niken Pramest

Sekretariat : Bagian Program dan Evaluasi Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan 

Gd. Manggala Wanabakti Blok I Lantai 8 Telp. (021) 5730289 E‐mail : [email protected] 

[email protected]  

Page 3: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

  

Page 4: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 1   

ERA BARU DITJEN PLANOLOGI

Sudah dua tahun Badan Panologi Kehutanan berubah kembali menjadi Direktorat Jenderal di Kementerian Kehutanan. Eksistensinya makin ditantang oleh pesatnya

perubahan dan perkembangan zaman. Dan, tak kalah peliknya, tuntutan layanan dari para pemangku kepentingan juga makin beragam dan kompleks. Segudang persoalan yang menjadi tanggung jawab institusi yang dulu bernama Ditjen Inventarisasi dan Tata

Guna Hutan era Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap ini pun sudah menunggu

Sebut saja, soal tata batas yang tak kunjung tuntas, lalu soal penyelesaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) – yang sarat dengan kepentingan, juga sebagian masih terkatung-katung. Belum lagi persoalan lain yang juga tak kalah urgensinya, seperti izin pinjam pakai kawasan hutan untuk keperluan pertambangan dan kegiatan lainnya di luar kehutanan, kemudian masalah penanganan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan atau transmigrasi. Masalah lain, yang juga terkait dengan Ditjen Planologi adalah menyangkut dukungan terhadap komitmen Pemerintah Indonesia untuk berpartisipasi menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 26 persen.

Ini semua masalah prioritas yang membutuhkan jawaban cepat, lugas dan tuntas, dengan mengedepankan aspek profesionalitas. Tentu saja semuanya mengacu pada visi maupun misi baru (2010-2014) yang diemban Ditjen Planologi, yang antara lain bertekad mewujudkan kepastian kawasan hutan dan optimalisasi penatagunaan kawasan hutan; mengendalikan penggunaan kawasan hutan; memantapkan prakondisi pengelolaan kawasan hutan; serta mewujudkan kesatuan pengelolaan hutan dan optimalisasi penyiapan areal pemanfaatan hutan.

Lantas bagaimana langkah konkret jajaran aparatur Ditjen Planologi Kehutanan, berikut kami sampaikan publikasi ulang wawancara Ir. Bambang Soepijanto, MM., Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dengan wartawan Majalah Tropis pada Majalah Tropis Edisi 01/ Tahun IV/Maret 2011 adalah sebagai berikut:

Berkaitan tata ruang, dunia usaha menilai tidak ada kepastian, hingga ragu dalam berusaha? Harusnya tidak ada keraguan. Sebelum masalah tata ruang selesai, kan sudah ada TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan). Dan ini sudah sejak tahun 80-an. TGHK ini merupakan kesepakatan para pemangku hutan. Lagipula, dalam penyelesaian RTRWP itu kan ada dua institusi yang harus serasi; Kemenhut dan Pekerjaan Umum. Keduanya harus matching dan dipaduserasikan. Kalau sudah selesai ya segera diperdakan, dan berlaku untuk semua. Tapi kalau belum matching, itu yang menjadi persoalan. Apalagi pengaturan ruang itu kan bagian Pekerjaan Umum. 1

Kalau begitu kalau menetapkan RTRW ini Kemenhut tidak sendiri? Ya, tidak. peran dari Pekerjaan Umum sangat besar, karena ini berkaitan dengan ruang. Kementerian Kehutanan itu sifatnya hanya penetapan kawasan. Artinya kawasan mana saja

Page 5: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan mana yang berfungsi sebagai kawasan hutan

produksi dan kawasan lindung.

Apa yang menjadi kesulitan dalam menyelesaikan perubahan tersebut? Sebenarnya kalau lurus-lurus, misalnya untuk kepentingan umum saja, biasanya mudah. Tapi kalau sudah masuk berbagai kepentingan, ini yang agak sulit karena harus mengakomodir semua kepentingan yang ada. Apalagi Pemda sekarang mengharapkan nilai tambah dari perubahan tersebut.

Mengapa RTRW selalu menjadi persoalan dalam berinvestasi? Sebenarnya, tidak akan timbul permasalahan, bila Kepala Daerah tetap menggunakan TGHK (Tata GUna Hutan Kesepakatan). TGHK sudah menetapkan berapa luas hutan, letaknya dimana saja. “kan semua sudah ditetapkan dalam TGHK”. Bukankah TGHK itu merupakan kesepakatan tertinggi dari semua pemangku kehutanan. Kalau itu kawasan lindung dan kawasan hutan produksi, jangan diberikan izin untuk kelapa sawit atau kegiatan non kehutanan. Semua dalam TGHK sudah jelas.

Tapi nyatanya kebanyakan seperti itu seakan mengabaikan keberadaan TGHK? Ya kebanyakan para Bupati atau pejabat di daerah tersebut tidak sabar. Ini mungkin karena didesak peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), mereka mengundang investor di daerahnya untuk berinvestasi. Lantaran keterbatasan lahan, mungkin terhadap kawasan hutan pun mereka keluarkan izin. Semestinya tidak demikian, mereka punya hak untuk mengusulkan perubahan tata ruang wilayah.

Maksudnya, mereka mengusulkan ke Pemerintah Pusat? Benar. Karena penetapan kawasan, khususnya kehutanan, itu wewenang pusat. Dalam hal ini Menteri Kehutanan. Mereka usulkan perubahan ke Menteri Kehutanan, kalau ada perubahan. Tapi bisa juga mengusulkan tidak ada perubahan. Bagi yang tidak ada perubahan, Menteri hanya menetapkan kembali tata ruang yang lama. Gubernur declare bahwa Provinsi tersebut tidak ada perubahan tata ruang. Dalam dinamikanya, tata ruang itu memang bisa berubah, ini disebabkan pemekaran daerah, pembangunan infrastruktur dan lain-lain yang membutuhkan ruang untuk menampung semua perubahan itu.

Usul tersebut tidak serta merta disetujui kan? Tidak. Ini semua melalui proses. Bagi daerah yang mengajukan perubahan, harus dilihat dulu cakupan luasnya, strategis tidaknya. Nah, untuk menentukan itu, Kementerian Kehutanan menurunkan, Tim Terpadu –yang beranggotakan instansi dan lembaga, termasuk LIPI dan Perguruan Tinggi. Tim Terpadulah yang berperan sebagai penentu. Menteri Kehutanan sifatnya hanya menetapkan, dan itupun bila sudah mendapat persetujuan DPR-RI.

Artinya keputusan tertinggi ada pada Tim Terpadu? Ya. Tapi sebelumnya, Tim Terpadu melakukan paparan di hadapan Menteri kehutanan dan sejumlah Pejabat Daerah, termasuk Gubernur dan Bupati, serta instansi yang terkait. Dalam paparan ini, pejabat daerah yang mengusulkan diberikan kesempatan untuk mempertanyakan, bila hasil kajian Tim Terpadu tidak sesuai dengan yang mereka usulkan. Tim Terpadu ini sifatnya independen, dan diberikan hak penuh untuk memutuskan bahwa layak atau tidak layak kawasan itu diubah. Sebut saja misalnya pengajuan perubahan 100 Ha tapi hanya disetujui 20 Ha, itulah yang harus disepakati.

Kalau begitu, usulan Gubernur dan Bupati bisa saja tidak disetujui Tim terpadu? Bisa saja. Tim Terpadu punya pertimbangan sendiri berdasarkan hasil kajiannya. Tim Terpadu bekerja atas dasar amanah Undang-Undang. Jadi tidak ada lagi tim yang bisa menentukan selain Tim Terpadu. Maka disitulah kenapa kedua Tim Terpadu dan Instansi Independen, biasanya dari LIPI. Karena sebagai lembaga penelitian LIPI dianggap independen. Bagi kehutanan tidak ada sandaran yang lain dalam memutuskan, boleh tidaknya perubahan, selain dari hasil penelitian kajian Tim Terpadu.

Apa saja biasanya yang menjadi pertimbangan Tim terpadu dalam memutuskan suatu wilayah boleh berubah atau tidak? Masalah geografis. Wilayah tersebut sudah ada perkampungan. Di dalamnya berdiri fasilitas umum, seperti jalan raya, pelabuhan, dan lain-lain. Terhadap kawasan hutan yang seperti ini, Tim Terpadu punya pertimbangan lain. Kendati demikian, Tim Terpadu tidak bisa memutihkan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan. Undang-Undang tidak memperkenankan adanya pemutihan terhadap keterlanjuran penggunaan kawasan hutan. Amanat Undang-Undang tidak

2  

Page 6: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

mengatur masalah pemutihan dan juga tukar menukar lokasi.

Terhadap yang keterlanjuran ini, seperti halnya di Kalimantan Tengah, bagaimana solusinya? Akan kita selesaikan secara adil. Ada beberapa pertimbangan. Terhadap perusahaan yang memiliki izin berdasarkan kepada perundangan yang berlaku, hanya mungkin mereka kurang prosedural, harus diberlakukan dengan adil. Tapi tidak terhadap yang bodong, tanpa izin, ini jelas akan ditindak. Inventarisasi terhadap persoalan ini sudah dilakukan sejak 2010 kemarin. Dan terhadap beberapa kasus yang berinvestasi tanpa izin, dari Kemenhut ditargetkan 2011 sudah selesai.

Terjemahan secara adil itu bagaimana? Adil itu bisa terima semua pihak. Kebetulan, saya ditunjuk sebagai ketua, dalam proses penyelesaian masalah itu. Persoalan itu menyangkut kepentingan nasional, telah membuka lapangan kerja, mendorong pertumbuhan, dan mengentaskan kemiskinan. Kita targetkan selesai dalam 3 tahun. Dalam penyelesaian kasus ini, tidak semua harus dihukum atau dipidanakan. Bukankah ada istilah di bidang hukum, lebih baik melepaskan 1000 orang yang bersalah, daripada memenjarakan 1 yang tidak salah.

Sebenarnya dalam kasus ini dimana letak kesalahan? Ada kecederaan dalam proses. Hanya memang dalam posisi saat ini, tidak terlalu jelas mana yang salah dan mana yang benar. Apalagi kalangan investor merasa mereka telah mendapat izin dari Pemda setempat. Dan bagi Pemda sendiri pun punya alasan, memberikan pemasukan bagi daerah, demi peningkatan PAD. Jadi penyelesaian yang terbaik adalah bagaimana kita berlaku adil, bisa diterima semua pihak.

Lalu strategi penyelesaian yang akan Anda lakukan? Ada berbagai tipologi. Misalnya, izin benar tapi ruangannya salah. Atau sebaliknya. Ada yang tanap izin. Tipologi ini harus dipilah-pilah. Makanya di dalam penyelesaian ini, anggotanya lengkap. Ada kejaksaan, Bareskrim, Kepolisian, Kehutanan, Pekerjaan Umum, Pemda. Jadi ketika diusulkan, semua pihak menerima jangan sampai nantinya hanya pihak kehutanan saja yang dipersalahkan dalam kasus ini, seperti yang sudah-sudah.

Apa hikmah dari persoalan ini? Ini pembelajaran bagi Pemda agar tidak mudah menggunakan wewenang dalam memberikan izin tanpa memperhatikan TGHK atau tata ruang. Kalau itu tidak selesai, maka keadaannya seperti sekarang ini, menjadi sumber kemelut. Di daerah banyak batas-batas yurisdiksi yang hilang, tidak jelas, dihilangkan oleh alam, dll.

Persoalan tata batas, hingga saat ini masih berapa panjang yang belum dilaksanakan tata batas, dan bagaimana program Anda ke depan? Sampai saat ini masih ada 63.267 Km yang masih belum terselesaikan dari target awal seluas 282.873 Km. Sebelumnya untuk jangka waktu 5 tahun ini, sampai tahun 2014, diprogramkan 25.000 Km. Tapi kami memandang, kalau dituntaskan semua, 63 ribu Km hingga 2014, mengapa tidak. Bukankah lebih cepat lebih baik, sehingga ke depan, tata batas ini, bukan lagi menjadi hambatan, baik yang berkaitan dengan kehutanan maupun di luar kehutanan.

Apa mungkin? Saya akan minta bantuan Bapenas dan Kemenkeu untuk anggaran. Dan prinsipnya mereka tidak ada masalah. Artinya soal financial aman. Sekarang, kita tinggal fokus pada SDM. Nah, soal ini, kita akan outsourcing dengan konsultan-konsultan. Jadi tidak lagi mengandalkan SDM kehutanan saja.

Soal perizinan yang berkaitan dengan konservasi lahan atau pinjam pakai, sering dikeluhkan terlampau lamban. Apa program Anda? Nah, Planologi sebagai lokomotif namun masih Senja Utama yang masih bisa ditabrak oleh Agro Bromo karena lambat. Maka “kepala” ini saya ganti Shinkansen. Kita berharap dengan Shinkansen bisa lebih cepat. Langkah awal untuk perizinan ini, bahwa terhadap perizinan yang belum tuntas akan dipercepat, sehingga pada akhir Januari pada posisi 0 *(nol). Kalau permohonan itu memenuhi syarat, kita teruskan ke Menteri Kehutanan, dan yang tidak, kita tolak.

Kita sudah masuk babak baru, babak percepatan? Kita berharap seperti itu. Sehingga permohonan-permohonan yang baru itu masuk kepada speed up gaya baru. Tidak boleh bertele-tele lagi.

Berapa lama target waktu sebelum permohonan mulai dari tahap awal sampai naik ke meja Menteri? Kemarin dihitung masih 140 hari karena

3  

Page 7: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

banyak pertimbangan teknis. Tapi kalau bisa dipersingkat. Kalau telaah di kita, 5 hari kerja saja sudah selesai semua, kemudian kalau menunggu dengan instansi lain, kita tunggu sampai 15 hari kerja. Sesungguhnya 30 hari kerja bisa selesai. Yang saya inginkan hanyalah kepastian waktu yang paling singkat sehingga, katakanlah 140, maka pada hari ke 130, si pemohon sudah berandai-andai miliknya akan pasti keluar 10 hari lagi. Pokoknya asal syarat dan kecukupannya oke, maka hanya akan menunggu 140 hari selambat-lambatnya.

Dengan menganalogikan seperti itu segala yang berurusan dengan Ditjen Planologi bisa cepat? Begini tegasnya, Ditjen Planologi harus terdepan, membukakan jalan buat unit-unit lainnya dalam menjalankan program kehutanan dan non kehutanan. Non kehutanan, seperti industri perkebunan dan pertambangan, yang sebagian besar memanfaatkan kawasan hutan.

Bagaimana Anda memaknai Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) dalam proses pembangunan kehutanan ? RKTN itu kita ibaratkan Matahari yang menyinari rencana strategis kehutanan. Adapun rencana strategis itu, rembulan yang member cahaya pada Rencana Kerja Tahunan Kementerian Kehutanan yang di dalamnya ada rencana Kementerian antar lembaga.

Apa program dan stategi Anda hingga eksistensi Planologi tak sekadar menjadi pelengkap pada unit-unit di Kementerian Kehutanan ini? Kementerian Kehutanan, memang merupakan tipe organisasi yang terintegrasi. Mulai dari perencanaan hingga controlling, itu ada pada unit-unit yang berbeda. Berbeda dengan organisasi di Kementerian lain. Sebagai unit yang memiliki tugas pokok dan fungsi, melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perencanaan makro bidang kehutanan, semestinya peran dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan sangat strategis dalam menyiapkan prakondisi pengelolaan hutan.

Maksud Anda biar arah pembangunan kehutanan lebih jelas? Kita berharap seperti itu. Tak ada lagi kisruh karena soal tata ruang, atau persoalan tata batas wilayah. Tata ruang wilayah itu harus match dengan kawasan hutan. Pemberian izin untuk kegiatan investasi yang bukan pada lokasinya tidak terulang lagi. Semua sudah jelas, mana kawasan hutan dan mana non kawasan.

Lantas sekarang, Anda melihatnya? Respon Anda terhadap rekomendasi KPK, apa rencana aksinya? Kita memang masih dituntut kerja keras.

Semestinya, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan ini ibarat gerbong kereta api, adalah lokomotifnya; menarik gerbong lainnya. Dan sekarang, kita ingin memerankan Ditjen Planologi seperti itu, sebagai lokomotif dari unit-unit lain di Kementerian Kehutanan.

Rekomendasi KPK itu utamanya adalah perbaikan peraturan perundangan kehutanan yang wewenangnya Menteri Kehutanan. Yang kedua adalah perbaikan peta. Peta provinsi yang ada sekarang adalah skala 1:250.000 sedangkan KPK minta 1:50.000. Namun hal itu tidak mungkin karena terlalu besar jadinya. Apa mereka mau memahami, tentang keinginan

Anda menempatkan Ditjen Planologi seperti itu? Apa sebab? Kita sudah sampaikan, mereka cukup memahami, bahwa peran Ditjen Planologi sebagai perumus kebijakan makro dan perencanaan kawasan hutan, memang harus menjadi penunjuk arah bagi pembangunan kehutanan keseluruhan. itu, tugas besar Ditjen Planologi.

4  

Ya….kalau skala 1:50.000 itu di unit pengelola. Tapi nantinya akan dibuatkan di Kabupaten peta berskala 1:100.000. Namun target Ditjen Planologi adalah ada peta kawasan hutan tingkat desa. Supaya aparat desa ikut mengawal batas-batas yang dia miliki. Jadi nantinya, peta kawasan itu ada ditingkat kabupaten berskala 1:100.000 dan didesa skala 1:50.000. tidak di kecamatan, karena kecamatan itu ‘kan tidak punya wilayah, sifatnya koordinator. Yang punya wilayah itu desa. Sama dengan Gubernur, ada provinsi yang tidak punya wilayah, yang punya adalah Kabupaten.

Jadi dengan lokomotif ini, Anda berharap semua bisa ketarik? Keinginan seperti itu. Tapi saat ini, Ditjen Planologi masih berupa lokomotif Senja Utama yang bisa ditabrak Agro Bromo karena lambat. Makanya, kedepan lokomotifnya kita ganti dengan Shinkansen (kereta Jepang yang cepatnya luar biasa).

Page 8: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

5  

PERCEPATAN PENGUKUHAN MEMBANGUN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN

OLEH SUDJOKO PRAJITNO

PENDAHULUAN

Perencanaan Kehutanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 merupakan mandat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/2010 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan, Rencana Kehutanan terdiri dari rencana kawasan hutan dan rencana pembangunan kehutanan. Rencana kawasan hutan dalam skala geografis, terdiri dari Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN), Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi (RKTP), Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten (RKTK) dan Rencana Pengelolaan Hutan di Tingkat Kesatuan Pengelolaan Hutan (RKPH). Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2011 tanggal 28 Juni 2011 merupakan arahan makro indikatif pemanfaatan dan penggunaan spasial/ ruang disusun berdasarkan hasil inventarisasi hutan nasional.

Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan antara lain:

Pengukuhan Hutan : penunjukan kawasan hutan sesuai fungsi dan peruntukannya; proyeksi batas; pemancangan patok batas; pengukuran dan pemetaan termasuk pemasangan pal batas; pembuatan Berita Acara Tata Batas. penetapan kawasan hutan sesuai status, batas, dan luas wilayah hutannya.

Penatagunaan Hutan : penetapan fungsi kawasan hutan; penetapan penggunaan kawasan hutan; Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan : Penyusunan rancang bangun KPHL dan KPHP oleh Gubernur dengan pertimbangan Bupati/ Walikota; penetapan arahan pencadangan

KPHL dan KPHP; Pembentukan/ Usulan Penetapan KPHL dan KPHP; Penetapan KPHL dan KPHP.

Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan : Tata hutan yang meliputi kegiatan inventarisasi hutan, pembagian kedalam blok, pembagian kedalam petak, tata batas dalam wilayah KPHL/KPHP, pemetaan; Rencana pengelolaan hutan meliputi rencana pengelolaan hutan jangka panjang 10 tahun dan rencana pengelolaan hutan jangka pendek 1 tahun;

Pengukuhan kawasan hutan secara bertahap dansimultan dapat dilaksanakan percepatannya dengan langkah-langkah kebijakan identifikasi permasalahan, analisa kebijakan, pengendalian dan pengawasan.

Pelaksanaan seminar dalam rangka pengembangan jabatan fungsional lingkup Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dimaksudkan untuk memberikan peluang/ aktivitas kepada pejabat fungsional sebagaimana tema seminar yaitu ”Terwujudnya Peran Aktif Pejabat Fungsional untuk Pencapaian Target Percepatan Tata Batas dalam rangka Pemantapan Kawasan Hutan”.

Tujuan yang diharapkan dapat dicapai adalah ”Terbangunnya Dinamika Pembangunan Kehutanan yang Serasi, Seimbang dan Sukses Progresif untuk Mewujudkan Sistem Manajemen Hutan Lestari ”.

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN

Pengukuhan kawasan hutan sebagai kegiatan prakondisi sebelum kegiatan perencanaan kawasan hutan lanjutan, dalam realitanya banyak mengalami hambatan dan kendala. Berdasarkan data Statistik Kehutanan

Page 9: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

6  

Indonesia tahun 2009, pengukuhan batas kawasan hutan tahun 2005 – 2009 sampai tahap penataan batas kawasan hutan sepanjang 2.218,99 km, pengesahan Berita

Acara Tata Batas mencapai 703.283,01 km, dan penyelesaian penetapan kawasan hutan seluas 159.807,60 hektar sebagaimana tabel berikut.

Tabel 1 : Perkembangan Penataan Batas Luar Kawasan Hutan Tahun 2005 – 2009. No. Provinsi Tahun (km) Jumlah

2005 2006 2007 2008 2009 (km) 1 N. A.Darussalam - 30,34 - - - 30,342 Sumatera Utara - 33,75 - 69,34 - 103,093 Sumatera Barat - 69,11 - - - 69,114 Riau - - - - - -5 Jambi - - - - - -6 Sumatera Selatan - - - - - -7 Bengkulu - - - 0,51 - 0,518 Lampung - - - - 129,74 129,749 Bangka Belitung - - - - - -10 Kepulauan Riau - - - - - -11 D.K.I Jakarta - - - - - -12 Jawa Barat 117,14 - - - 0,47 117,6113 Jawa Tengah - - - - - -14 D.I Yogyakarta - - - - - -15 Jawa Timur - 31,04 - - - 31,0416 Banten - - - - - -17 Bali - - - - - -18 N. T. Barat - - - - - -19 N. T. Timur - 74,52 - 46,63 - 121,1520 Kalimantan Barat 27,18 - - 21,20 - 48,3821 Kalimantan Tengah - - - - - -22 Kalimantan Selatan - - - - - -23 Kalimantan Timur 174,79 80,91 155,96 - - 411,6624 Sulawesi Utara 23,84 - - - - 23,8425 Sukawesi Tengah - - 106,86 - - 106,8626 Sulawesi Selatan - - - - - -27 Sulawesi Tenggara - - 41,03 43,43 216,92 301,3828 Gorontalo - - - - - -29 Sulawesi Barat - - - - - -30 Maluku - 30,55 63,74 - 629,99 724,2831 Maluku Utara - - - - - -32 Papua Barat - - - - - -33 Papua - - - - - -

Jumlah 342,95 350,22 367,59 181,11 977,12 2 218,99

Sumber : Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2009

Page 10: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

7  

Tabel 2 : Perkembangan Pengesahan Berita Acara Tata Batas Luar Kawasan Hutan Tahun 2005 – 2009.

Tahun Jumlah No. Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009

Unit km Unit km Unit km Unit km Unit km Unit km 1 N.A. Darussalam - - - - - - - - - - - - 2 Sumatera Utara - - - - - - - - 5 198 927,26 5 198 927,263 Sumatera Barat 3 74,55 - - - - - - 8 200 071,56 11 200 146,114 Riau - - - - - - - - 7 284 177,02 7 284 177,025 Jambi - - - - - - - - - - - -

6 Sumatera Selatan - - - - - - - - 1 14 910,00 1 14 910,00

7 Bengkulu - - - - - - - - - - - - 8 Lampung - - - - - - - - - - - 9 Bangka Belitung - - - - - - 1 8,26 - - 1 8,26 10 Kepulauan Riau - - - - - - - - - - - - 11 D.K.I Jakarta - - - - - - - - - - - - 12 Jawa Barat 3 140,82 - - - - - - - - 3 140,82 13 Jawa Tengah - - - - - - - - - - - - 14 D.I Yogyakarta - - - - - - - - - - - - 15 Jawa Timur - - - - - - - - - - - - 16 Banten - - - - - - - - - - - - 17 Bali - - - - - - - - - - - - 18 N. T. Barat - - - - - - - - - - - - 19 N. T.Timur - - - - - - - - 5 122.91 5 122.91

20 Kalimantan Barat - - - - - - - - 2 60,39 2 60,39

21 Kalimantan Tengah 2 78,28 - - - - - - 2 40,00 4 118,28

22 Kalimantan Selatan - - - - - - - - - - - -

23 Kalimantan Timur 4 169,74 - - - - 1 33,82 11 325,70 15 529,26

24 Sulawesi Utara - - - - - - - - 3 43,40 3 43,40

25 Sukawesi Tengah - - - - - - - - 29 1 576,08 29 1 576,08

26 Sulawesi Selatan 1 86,71 - - - - - - 6 260,21 7 346,92

27 Sulawesi Tenggara - - - - - - - - 9 1 036,56 9 1 036,56

28 Gorontalo - - - - - - - - - - - - 29 Sulawesi Barat -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- 30 Maluku - - - - - - - - - - - - 31 Maluku Utara - - - - - - - - - - - - 32 Papua Barat - - - - - - - - 6 1 045,32 6 1 045,32 33 Papua 1 43,72 - - - - - - 2 51,70 3 95,42

Jumlah 14 593,82 - - - - 2 42,08 96 702647,11 112 703 283,01

Sumber : Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2009

Page 11: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

8  

Tabel 3 : Perkembangan Penetapan Kawasan Hutan Tahun 2005 - 2009 Tahun Jumlah

No. Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 Unit ha Unit ha Unit ha Unit ha Unit ha Unit ha

1 N.A. Darussalam - - - - - - - - 1 80,00 1 80,00 2 Sumatera Utara - - - - - - - - 1 2 372,40 1 2 372,40 3 Sumatera Barat - - - - - - - - 2 9 490,08 2 9 490,08 4 Riau - - - - - - - - 6 10 642,30 6 10 642,305 Jambi - - - - - - - - 1 13 529,40 1 13 529,406 Sumatera

Selatan - - - - - - - - 5 63 416,01 5 63 416,01

7 Bengkulu - - - - - - - - 2 6 30- 2 6 30- 8 Lampung - - - - - - - - 1 175,00 1 175,00 9 Bangka Belitung - - - - - - - - - - - - 10 Kepulauan Riau - - - - - - - - - - - - 11 D.K.I Jakarta - - - - - - - - - - - - 12 Jawa Barat 2 2 929,86 - - - - - - 2 86,53 4 3 012,39 13 Jawa Tengah - - - - - - - - 2 13 740,65 2 13 740,6514 D.I Yogyakarta - - - - - - - - - - - - 15 Jawa Timur - - - - - - - - - - - - 16 Banten - - - - - - - - - - - - 17 Bali - - - - - - - - - - - - 18 N. T. Barat - - - - - - - - - - - - 19 N. T. Timur - - - - - - - - 2 7 945,32 2 7 945,32 20 Kalimantan Barat 2 2 618,25 - - - - - - - - - - 21 Kalimantan

Tengah - - - - - - - - - - - -

22 Kalimantan Selatan - - - - - - - - - - - -

23 Kalimantan Timur - - - - - - - - - - - - 24 Sulawesi Utara 1 31 172,20 - - - - - - - - - - 25 Sukawesi

Tengah 1 1 502,00 - - - - - - - - - -

26 Sulawesi Selatan - - - - - - - - - - - - 27 Sulawesi

Tenggara - - - - - - - - - - - -

28 Gorontalo - - - - - - - - - - - - 29 Sulawesi Barat - - -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- 30 Maluku 1 105,30 - - - - - - - - - - 31 Maluku Utara - - - - - - - - - - - - 32 Papua Barat - - - - - - - - - - - - 33 Papua - - - - - - - - - - - -

Jumlah 7 38 327,61 - - - - - - 25 121 479,99 32 159 807,60Sumber : Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2009.

Page 12: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

9  

Pemantapan kawasan hutan merupakan satu langkah awal (prakondisi) dalam mewujudkan kehutanan yang efisien, efektif, rasional dan progresif. Hasil pembangunan kawasan hutan terutama pengukuhan batas kawasan hutan telah mengalami pasang surut, baik karena: - terbatasnya tenaga terampil dan tenaga ahli

dalam pengukuran, pemetaan dan penataan batas hutan serta dalam proses pengukuhan;

- terbatasnya anggaran pemerintah; - belum optimalnya cara pandang nilai

prioritas pengukuhan batas hutan dalam pembangunan kehutanan;

- konsistensi kebijakan yang tidak mendukung dan hal-hal lain;

sehingga setelah berjalan lama hasil pemantapan kawasan hutan dengan fakta dan juridis batas hutan dilapangan masih sangat kecil yaitu kurang dari 25 %. Permasalahan dan kendala yang dihadapi secara berjenjang dapat dipahami sebagai berikut : 1. Kebijakan pemerintah dan pemerintah

daerah masih sebatas slogan ”prioritas” tidak sesuai dengan kebijakan nyata.

2. Kebijakan dalam pengaturan hak wewenang dan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat terhadap pelaksanaan pengukuhan dan pemeliharaan batas hutan tidak konsisten.

3. Pengukuhan Batas Hutan seolah berdiri sendiri, sedang amanah Undang Undang nomor 41 Tahun 1999 pada Pasal 1 amar 14, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 18 dan Pasal 19, jelas mengatur bahwa keberadaan dan penggunaan kawasan hutan menjadi mandat Negara kepada Pemerintah Pusat.

4. Terbatasnya tenaga terampil dan tenaga ahli, baik dalam jumlah, persebaran, pembinaan maupun pengadaannya.

5. Biaya tata batas hutan sangat mahal dan tidak menjanjikan dalam kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

6. Kebijakan prioritas pelaksanaan pengukuhan batas hutan parsial belum menempatkan terbentuknya Unit Pengelolaan Hutan secara de facto dan de jure sebagai kebutuhan/ kepentingan utama untuk mewujudkan manajemen hutan yang stabil/ mantap, efisien, efektif, progresif dan optimal lestari.

7. Dokumen pengukuhan batas hutan belum diperlakukan sebagaimana dokumen negara yang harus dikelola secara benar, cepat, aman, spesial, prioritas.

8. Kebijakan perencanaan kurang memperhatikan target akhir atau titik terselesaikannya pengukuhan batas hutan dan sanksinya.

9. Penganggaran pengukuhan batas hutan belum menjadi pertimbangan pertama dan terbesar.

ANALISA KEBIJAKAN

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 399/Kpts-II/1990 tanggal 6 Agustus 1990 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan, yang dimaksud dengan : a. Pengukuhan hutan adalah kegiatan yang

berhubungan dengan penataan batas suatu wilayah yang telah ditunjuk sebagai wilayah hutan guna memperoleh kepastian hukum mengenai status dan batas kawasan hutan.

b. Penataan batas adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pemancangan patok batas, pengukuran dan pemetaan termasuk pemasangan pal batas serta pembuatan BATB.

c. Berita Acara Pengumuman Trayek Batas adalah berita acara yang di dalamnya memuat penjelasan tentang ada atau tidak adanya hak-hak pihak ketiga.

d. Berita Acara Tata Batas adalah berita acara tentang penataan batas yang disusun oleh Panitia Tata Batas dengan dilampiri peta tata batas, berita acara pengumuman pemancangan batas, surat-surat bukti yang diperlukan serta penjelasannya.

e. Penetapan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas, dan luas suatu wilayah hutan menjadi kawasan hutan tetap.

f. Kesatuan Pengelolaan Hutan adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.

Page 13: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

10  

Alur kegiatan pelaksanaan pengukuhan batas kawasan hutan sebagai berikut :

ARSIPARIS ←←←←←←←← DOKUMEN NEGARA tentang

KAWASAN HUTAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN

→ PENETAPAN Status, luas, letak, fungsi

DITJEN PLANOLOGI KEHUTANAN

VERIFIKASI DAN PENGESAHAN

B.A.T.B

B.A.T.B dan Peta dilampiri B.A.P.T.B. serta Draf S.K. Penetapan

KEPALA BPKH + PANITIA TATA BATAS HUTAN

BERITA ACARA TATA BATAS

HUTAN

B.A.T.B dan Peta dilampiri B.A.P.T.B.

TIM TATA BATAS HUTAN

PENGUKURAN, PEMETAAN DAN PEMASANGAN PAL

BATAS

Pal beton atau kayu kelas I

KETUA TIM, KEPALA DESA, CAMAT, KEPALA

BPKH

B.A.P.T.B. DAN PETA PEMANCANGAN TRAYEK

BATAS

Penandatanganan

TIM TATA BATAS, KEPALA DESA DAN

MASYARAKAT

PENGUMUMAN TRAYEK BATAS HUTAN

Rintis dan Tanda Batas Hutan dilapangan dan Peta Trayek Batas Hutan

TIM, KEPALA DESA, PANITIA TATA BATAS

HUTAN

INVENTARISASI DAN PENYELESAIAN HAK-HAK

PIHAK KETIGA

Hak-Hak Pemilikan, Hak Guna Bangunan, Hak Adat, Hak Penggunaan, Hak Pemanfaatan

TIM DAN KEPALA DESA

PEMANCANGAN PATOK BATAS

KEPALA BPKH + PANITIA TATA BATAS

HUTAN

RAPAT PANITIA TATA BATAS HUTAN

FUNGSIONAL SURTA BPKH

PEMBUATAN PETA KERJA TRAYEK BATAS HUTAN

KEP.MENTERI KEHUTANAN →

PENUNJUKAN KAWASAN HUTAN

Keterangan : B.A.P.T.B = Berita Acara Pengumuman Trayek Batas Hutan. B.A.T.B. = Berita Acara Tata Batas Hutan. Tim Tata Batas = Fungsional SURTA, PEH dari BPKH dan Anggota dari Dinas/ Pemda.

Page 14: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

11  

Kegiatan pengukuhan hutan dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut: 1. Persiapan yang terdiri dari penyusunan

peta kerja dan konsep trayek batas 2. Penyelenggaraan rapat-rapat Panitia Tata

Batas 3. Pemancangan patok batas 4. Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak

pihak ketiga yang berkaitan dengan trayek batas

5. Pengumuman trayek batas 6. Pembuatan dan penanda-tanganan Berita

Acara Pengumuman Trayek Batas 7. Pengukuran dan pemetaan serta

pemasangan pal batas 8. Pembuatan dan penanda-tanganan Berita

Acara Tata Batas 9. Penetapan kawasan hutan Percepatan pengukuhan batas kawasan hutan dapat ditempuh melalui beberapa pilihan kebijakan : 1. Sinkronisasi pengukuhan batas kawasan

hutan sebagai bagian dari pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam perencanaan pembangunan terpadu.

2. Pembenahan organisasi dengan menyertakan Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan setempat sebagai Anggota Panitia Tata Batas Hutan.

3. Kebijakan prioritas bahwa keberhasilan pengukuhan batas luar kawasan hutan sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugas seorang Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan.

4. Optimalisasi dan penambahan serta mutasi tenaga fungsional Survei dan Pemetaan (SURTA) terutama tingkat terampil ke wilayah Balai Pemantapan Kawasan Hutan.

5. Penyelenggaraan Sistem Kearsipan Elektronik Dokumen Negara untuk seluruh dokumen pengukuhan kawasan hutan menjadi Dokumen Negara Bidang Kehutanan.

Berdasarkan kelebihan dan kekurangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan dapat disusun rencana sebagai berikut :

Tabel. Standar Kegiatan (Pegunungan Jawa Barat)

Kegiatan Tenaga (orang) Hari Biaya Teknis Buruh (Rp)

Inventarisasi Trayek Batas dan Identifikasi Hak-Hak Pihak Ketiga (1 lks/35 km)

Pemancangan Batas Sementara ( 1 lks/35 km)

Penataan Batas Definitif (1 lks/ 35 km)

2 + 1

3 + 1

3

-

12

27

50

55

41

92.045.000;

144.020.000;

246.255.000;

Jumlah 9 + 2 39 146 482.230.000;

Tenaga teknis untuk setiap lokasi diperlukan 1 orang fungsional SURTA. Beban kerja yang dapat diberikan kepada setiap orang tenaga fungsional SURTA adalah 2 (dua) kali atau 2 (dua) lokasi penataan batas untuk menyelesaikan penataan batas sepanjang 70 km. Berdasarkan perhitungan diatas maka pelaksanaan pengukuhan batas hutan perlu optimalisasi anggaran sesuai jumlah tenaga fungsional SURTA yaitu M orang SURTA x 2 x Rp. 482.230.000; dengan hasil kerja setiap akhir tahun 70 M km. Penyelesaian Berita Acara Tata Batas menjadi tugas utama Kepala

Balai Pemantapan Kawasan Hutan dibantu Kepala Seksi.

PENGENDALIAN PENGAWASAN Penentuan ukuran kemajuan dimaksudkan dengan menetapkan tolok ukur selesai proses pengukuhan kawasan hutan sesuai penanggung jawab dan penilaian kinerja seorang pemangku jabatan pengukuhan hutan dalam tiga tahap yaitu : 1) Tahap penataan batas hutan.

Tahap penataan batas kawasan hutan adalah tahapan proses pengukuhan batas kawasan hutan sampai penataan batas

Page 15: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

12  

yang didukung dengan ditandatanganinya Berita Acara Tata Batas Hutan oleh Panitia Tata Batas Hutan dan Gubernur. Tahap ini merupakan tanggung jawab Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan. Oleh karena itu efisiensi, efektivitas dan kecepatan penyelesaian tata batas fisik lapangan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas Hutan oleh Panitia Tata Batas Hutan dan Gubernur dapat sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugas seorang Kepala Balai Pamantapan Kawasan Hutan.

2) Tahap Pengesahan Berita Acara Tata Batas Hutan. Tahap Pengesahan Berita Acara Tata Batas Hutan adalah tahapan proses pengukuhan batas kawasan hutan sampai pengesahan Berita Acara Tata Batas Hutan dilampiri draf Surat Keputusan Penetapan Kawasan Hutan. Oleh karena itu efisiensi, efektivitas dan kecepatan penyelesaian pengesahan Berita Acara Tata Batas Hutan dan usulan Penetapannya dapat sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugas oleh Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan.

3) Tahap Penetapan Kawasan Hutan. Tahap Penetapan Kawasan Hutan adalah tahapan proses pengukuhan batas kawasan hutan telah selesai secara fisik dan hukum. Tindak lanjut penetapan kawasan hutan diperlukan untuk kearsipan sebagai Dokumen Negara Bidang Kehutanan. Penetapan, Dokumentasi, dan Sosialisasi status kawasan hutan dan Perencanaan penggunaan menjadi tanggung jawab Kementerian Kehutanan c.q Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.

Perkembangan pengukuhan batas kawasan hutan perlu dipantau secara sistematis untuk mengetahui dan mengambil kebijakan yang diperlukan, baik proses maupun tindak lanjut dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan.

Berdasarkan tolok ukur diatas dapat dipantau kualitas dan kuantitas pengukuhan hutan yang secara obyektif dapat sebagai landasan kebijakan pengelolaan hutan. Pemantauan

melalui kegiatan evaluasi dan monitoring serta pembinaannya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan untuk menetapkan kebijakan pemeliharaan dan rekonstruksi batas hutan.

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan beberapa permasalahan dan alternatif serta rencana pelaksanaan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pekerjaan utama dari Planologi

Kehutanan adalah menyiapkan keberadaan hutan, kawasan hutan dan penggunaannya secara de facto dan de jure yang didukung oleh konsistensi, transparansi Kebijakan Pemerintah dalam perencanaan, pelaksanaan dan penetapan tolok ukur pelaksanaan pengukuhan dan pemeliharaan batas hutan.

2. Sebagaimana amanah Undang Undang nomor 41 Tahun 1999 pada Pasal 1 amar 14, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 18 dan Pasal 19, bahwa keberadaan dan penggunaan kawasan hutan menjadi mandat Negara kepada Pemerintah Pusat. Oleh karena itu seluruh kegiatan pengukuhan, pemeliharaan dan rekonstruksi batas kawasan hutan menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah.

3. Pengadaan dan peremajaan tenaga terampil dan tenaga ahli SURTA baik dalam jumlah, persebaran, pembinaan harus disesuaikan dengan beban kerja untuk pengukuhan, pemeliharaan dan rekonstruksi batas hutan.

4. Biaya tata batas hutan sangat mahal dan tidak menjanjikan dalam kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karena itu harus tetap menjadi beban Pemerintah.

5. Kebijakan prioritas pelaksanaan pengukuhan batas hutan parsial harus dapat menempatkan pembentukan Unit Pengelolaan Hutan secara de facto dan de jure sebagai kebutuhan/ kepentingan utama untuk mewujudkan manajemen hutan yang stabil/ mantap, efisien, efektif, progresif dan optimal lestari.

6. Dokumen pengukuhan batas hutan harus diperlakukan sebagaimana dokumen negara yang dikelola secara benar, cepat,

Page 16: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

13  

aman, spesial, prioritas terutama di Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.

7. Kebijakan pimpinan harus mengutamakan kredibilitas seorang Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan maupun Sub Direktorat Pengukuhan dalam memenuhi tolok ukur keberhasilan pengukuhan hutan dalam penempatan pejabatnya.

Saran Alternatif dan Rencana 1. Penempatan nilai prioritas utama kegiatan

pengukuhan kawasan hutan secara nyata baik kebijakan, kegiatan, dan penganggarannya harus menjadi kesepakatan para penentu kebijakan Kementerian Kehutanan.

2. Kegiatan yang bersifat ”syiar” perlu pembatasan untuk dialokasikan kepada kegiatan pengukuhan hutan.

3. Perencanaan pengukuhan kawasan hutan harus mempunyai tolok ukur selesai kapan dan berapa secara rialita, bukan sekedar menetapkan angka 25.000 km per tahun yang belum tentu didukung kemampuan dan kebijakan apa yang harus segera diterbitkan.

4. Penetapan tolok ukur keberhasilan pengukuhan hutan sebagaimana Tahap Penataan Batas Hutan, Tahap Pengesahan Berita Acara Tata Batas Hutan, Tahap Penetapan Kawasan

Hutan agar dipertimbangkan dalam penempatan dan penilaian seorang Aparatur Pengukuhan Kawasan Hutan.

5. Optimalisasi tenaga fungsional SURTA yang ada di BPKH dan penempatan tenaga fungsional SURTA yang ada di Pusat ke BPKH perlu dipertimbangkan dalam percepatan pengukuhan batas kawasan hutan.

6. Dokumen pengukuhan kawasan hutan harus diperlakukan sebagaimana Dokumen Negara lainnya dan disimpan dalam Sistem Kearsipan Elektronik maupun penyimpanannya secara baik

7. Sinkronisasi pengukuhan batas kawasan hutan sebagai bagian dari pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam perencanaan pembangunan terpadu.

Pembenahan organisasi dengan menyertakan Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan setempat sebagai Anggota Panitia Tata Batas Hutan di wilayah kerjanya.

Page 17: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

RAPAT KOORDINASI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) MENUJU PEMENUHAN TARGET BEROPERASINYA 120 KPH TAHUN 2014

30 Mei - 1 Juni 2011

Oleh : Ubaidillah Salabi

Bertempat di Hotel Permata, Bogor, pada tanggal 30 Mei s.d. 1 Juni 2011, Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan menyelenggarakan kegiatan “Rapat Koordinasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)”. Rakor KPH dihadiri berbagai stake holder dari Pusat dan Daerah, diantaranya 33 Kepala KPH (KKPH) dan calon KKPH, 20 Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, 8 Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten, Bappenas, Eselon I Lingkup Kementerian Kehutanan, Perguruan Tinggi, NGO, Mitra, dan Donor.

Penyelenggaraan Rakor KPH bertujuan untuk menggali beberapa hal pokok yaitu: a. Mengidentifikasi isu utama pembangunan

KPH dan percepatan pembangunan KPH, b. Mengidentifikasi kegiatan-kegiatan

pengelolaan hutan pada wilayah KPH yang akan dijadikan bahan untuk melakukan konvergensi kegiatan Eselon I dengan lokus wilayah KPH, dan

c. Merumuskan rincian kegiatan dalam tata hubungan kerja antara KPH-Dinas Kehutanan Prov./Kab./Kota-Kementerian Kehutanan.

14  

Gb : Arahan Dirjen Planologi, Ir. Bambang Soepijanto, MM. (Dok. Dit. WP3H)

Hari pertama, Rakor KPH dibuka dengan Arahan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan,

dilanjutkan paparan materi seputar permasalahan KPH oleh Kepala KPHL Rinjani Barat, Kepala KPHL Batu Tegi kemudian disusul Kepala KPHP Banjar.

Dalam arahannya, Direktur Jenderal Planologi antara lain menyatakan bahwa untuk mewujudkan pengelolaan hutan di tingkat tapak pada tahap awal dibangun KPH Model sebagai stimulan. Pada saat ini organisasi KPH didesain memiliki eseloneering, namun nantinya diharapkan dapat menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Di masa mendatang KPH diharapkan menjadi organisasi profesional berbasis bisnis yang mampu menghidupi organisasi menjadi mandiri. Dengan adanya KPH yang mandiri akan terbentuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang berbasis kawasan hutan. Dalam pengelolaan hutan perlu ditumbuhkan semangat dan kreatifitas berbisnis serta think out of the box.

Forum Rakor berlanjut dengan tanggapan dari beberapa Narasumber seperti Ir. Soetrisno, M.M., Dr. Hadi Pasaribu, M.Sc., Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo, Prof. Dr. Soeyitno, Dr. Agus Setyarso, M.Sc., dan Ir. Karta Sirang, M.S. Para narasumber memberikan beberapa catatan penting sebagai bahan diskusi berikutnya. Rakor kemudian berlanjut dengan diskusi sebagai persiapan diskusi utama yang akan diselenggarakan pada esok harinya.

Diskusi pada hari ke-2 dilakukan dalam dua Focus Groups Discussion (FGD) yaitu FGD A dan FGD B dengan tujuan mengidentifikasi isu-isu pembangunan KPH, kegiatan-kegiatan pengelolaan dalam KPH dan mengindentifikasi peran KPH, Dinas Kehutanan Kab./Kota, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kementerian Kehutanan untuk setiap kegiatan.

Page 18: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

Pembagian Kelompok FGD Kelompok A Kelompok B Dinas Kehutanan Riau, Sijunjung, Jambi, Merangin, Kalbar,

Kalsel, Gorontalo, DIY, Banjar, Sulbar, Malinau

Sorolangun, Babel, Lampung, Kalteng, Bali, Papua Barat, Sorong, Sumsel, Kaltim, Tarakan, Kapuas Hulu, Sultra

KPH Pocut Meurah Intan, Sungai Beram Hitam, Merangin, Merakai, Sintang, Bali Barat, Bali Timur, Dampelas Tinombo, Sorong, Kapuas, Madina, Lakitan, Gedong Wani, Kapuas Hulu, Malinau, Jeneberang, Gunung Sinopa, Poigar

Sijunjung, Sorolangun, Batu Tegi, Banjar, Bali Tengah, Pohuwato, Kapuas, Lalan, Muara Dua, Yogyakarta, Berau, Rinjani Barat, Lariang, Biak Numfor, Wae Sapalewa

Kementerian Kehutanan Donor dan NGO

15  

Gb. Suasana Selama Diskusi FGD B (Dok. Dit WP3H)

Focus Groups Discussion yang dipandu seorang Fasilitator dan Narasumber menghasilkan identifikasi permasalahan yang berkembang di masing-masing daerah. Beberapa kata kunci yang dibahas dalam grup diskusi adalah berbagai isu pembangunan KPH, langkah-langkah percepatan pembangunan KPH, kegiatan utama KPH, tata hubungan kerja KPH-Pemda-Kemenhut, dan dukungan Eselon I terhadap KPH.

Isu-isu utama pembangunan KPH yang dapat diidentifikasi meliputi enam aspek, yakni : 1. Kawasan

Isu-isu kawasan yang mengemuka mencakup konflik tenurial, tumpang tindih kawasan, pengukuhan yang belum selesai, kepastian batas kawasan, izin pemanfaatan yang tidak aktif dan masih adanya kontradiksi peraturan pengukuhan kawasan hutan. Khusus untuk wilayah pengelolaan KPH, masih adanya ketidaksepakatan dalam pembentukan wilayah KPH lintas kabupaten/kota dan wilayah KPH dalam kabupaten/kota.

2. Sumber Daya Hutan Isu sumber daya hutan yang dapat diidentifikasi meliputi ketersediaan data dan informasi sumber daya hutan yang tidak memadai, penentuan nilai manfaat sumber daya hutan untuk menentukan core business KPH, pemanfaatan sumber daya hutan illegal, konflik dengan masyarakat adat dan tekanan terhadap sumber daya hutan yang semakin meningkat.

3. Sumber Daya Manusia Dari aspek sumber daya manusia, muncul beberapa isu pokok, yakni : penempatan personil sangat dipengaruhi oleh dinamika politik lokal yang seringkali tidak mempertimbangkan kompetensi personil, keterbatasan jumlah dan kualifikasi tenaga teknis kehutanan yang bertugas di pemerintah daerah, dan perlunya mekanisme yang memungkinkan memberikan insentif bagi personil KPH sesuai dengan kinerja pengelolaan hutan.

4. Organisasi Aspek organisasi yang mengemuka sebagai isu pembangunan KPH meliputi: a. Organisasi KPH lebih dipandang sebagai

penambahan beban bagi daerah dibanding sebagai penyelesaian masalah pengelolaan hutan.

b. Pembentukan organisasi KPH sesuai Permendagri Nomor 61 tahun 2010 memerlukan waktu lama.

c. Belum ada kriteria tipe organisasi KPH sebagai tindak lanjut Permendagri Nomor 61 tahun 2010.

d. Hirarki tatakelola dan tata hubungan kerja yang belum jelas.

e. Kehutanan dalam PP Nomor 41 Tahun 2007 merupakan urusan pilihan sehingga terdapat Gubernur/Bupati/Walikota yang kurang serius dalam pembentukan organisasi KPH.

Page 19: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

16  

f. UPT Kemenhut belum sepenuhnya mendukung KPH.

5. Sarana Prasarana Dalam pemenuhan sarana dan prasarana KPH, dukungan pemerintah provinsi/pemkab/pemkot masih kurang.

6. Dana Isu pendanaan merupakan isu yang sangat krusial dalam pembangunan KPH. Beberapa isu pendanaan yang diidentifikasi adalah : a. Keterbatasan APBD untuk pembangunan

KPH yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan daerah dan atau kurangnya political will dalam alokasi anggaran untuk pembangunan kehutanan di daerah.

b. Dana pembangunan kehutanan masih banyak terfokus di UPT Pusat.

c. KPH tidak memiliki kewenangan untuk mengelola cash flow anggaran.

d. Mekanisme pendanaan rumit dan dana dekonsentrasi sulit masuk ke kabupaten.

Rakor KPH juga telah melakukan identifikasi kegiatan pengelolaan hutan dalam wilayah KPH. Hasil identifikasi ini akan menjadi bahan dalam penyusunan konvergensi kegiatan eselon I dalam lokus wilayah KPH. Sebagaimana tujuan Rakor, Rakor KPH juga telah memberikan masukan penyempurnaan rincian kegiatan dalam tata hubungan kerja antara KPH-Dinas Prov/Kab/Kota-Kemenhut yang draftnya telah disiapkan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.

Selain apa yang telah dicapai di atas, Rakor juga menghasilkan rumusan rekomendasi sebagai berikut : 1. Program jangka panjang mengenai

transformasi kelembagaan nasional. Pusdal bertugas memastikan perencanaan di tingkat regional termasuk evaluasinya. Pusdal sebagai brigade planologi di tingkat regional bertugas memastikan rencana-rencana regional.

2. KPH mengubah total bangunan kelembagaan kehutanan. Oleh karena itu perlu dirumuskan strategi pembangunan manusia kehutanan. SDM kehutanan akan sangat tergantung dari pendidikan dan latihan.

3. Agenda penting Pokja Percepatan Pembangunan KPH: a. Jangka pendek : melihat peran UPT

dalam pembangunan KPH. Perlu rapat khusus Pokja untuk memastikan

pembangunan KPH secara nasional. Berdasarkan Inpres 3/2010, Kemenhut ditargetkan membangun 60 unit KPH Model dan 20% berlembaga. Sebagai tindak lanjutnya, Menhut perlu membuat instrumen kebijakan yang diturunkan ke UPT sebagai arahan untuk mendukung target Inpres tersebut.

b. Perlu tim pendamping guna melakukan road show ke daerah untuk percepatan pembangunan KPH.

4. Organisasi dan sarpras adalah isu politis. Oleh karenanya, perlu Surat Edaran Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur terkait Permendagri No. 61 Tahun 2010. Selain itu diperlukan pula Surat Menteri Kehutanan ke Gubernur, Bupati/Walikota untuk memformulasikan political will daerah dalam pembangunan KPH, khususnya mengenai pembentukan kelembagaan dan sararan prasarana KPH.

5. Perlu dibentuk Sekretariat Nasional (Seknas) sebagai instrumen nasional yang memperkuat pembangunan KPH. Relevansi Seknas KPH sangat penting terkait dengan tata kelola pemerintahan, mekanisme REDD, dan bagian dari mekanisme penurunan GRK 26%.

6. Revisi peraturan perundangan yang menjadi kendala dalam implementasi pembangunan KPH.

7. KPH adalah organisasi yang (diharapkan) mandiri. Untuk itu, diperlukan kreatifitas pengelola KPH untuk melakukan inovasi-inovasi kegiatan. Perlu dipertimbangkan opsi lain KPH mendapatkan dana selain BLU atau badan usaha.

8. Konvergensi UPT masih berjalan sendiri-sendiri, sehingga diperlukan sinergitas program.

9. Perlu sosialisasi kelembagaan KPH di tingkat provinsi, kabupaten/kota untuk mentransformasi kelembagaan KPH sesuai dengan Permendagri 61/2010 agar KPH tidak menjadi bentuk lain dari Dinas.

10. Kawasan dan sumber daya hutan (SDH) merupakan kewenangan KPH, jika mengikuti hukum positif maka tidak ada kawasan clear and clean. Keberadaan KPH menjadi percepatan untuk penyelesaian masalah.

Page 20: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

SEHANGAT MINYAK KAYU PUTIH, SEHANGAT PROSPEK PENGELOLAAN HUTAN

PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) YOGYAKARTA

oleh: Deazy Rachmi Trisatya

(Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan Pertama pada Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan)

Di pagi yang cerah itu, rombongan peserta Sosialisasi Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) melakukan peninjauan lapangan ke lokasi KPH Yogyakarta. Peninjauan lapangan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman para pengelola KPH melalui berbagi pengalaman dalam pengelolaan KPH yang sudah beroperasi di tingkat tapak dengan melihat secara langsung dan berdiskusi dengan pengelola KPH Yogyakarta.

Dua unit bus yang membawa rombongan peserta tiba di lokasi peninjauan pertama yaitu Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole di Gunung Kidul sekitar pukul 09.30 WIB. Rombongan disambut dengan bau semerbak khas kayu putih dan hawa yang terasa lebih ‘hangat’ jika tidak dapat dikatakan panas. Setelah sambutan dan penjelasan mengenai pengelolaan Pabrik Minyak Kayu Putih (Gambar 1) dalam konteks KPH Yogyakarta dari Kepala Balai KPH Yogyakarta,

Kepala Pabrik Minyak Kayu Putih, Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Tim Pokja Percepatan Pembangunan KPH (Dr. Agus Setyarso), peserta dibagikan sampel minyak kayu putih hasil produksi Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole. Peserta sangat antusias menerimanya dan beberapa peserta terlihat langsung membaui aroma minyak kayu putih tersebut (Gambar 2).

Minyak kayu putih merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang berpotensi untuk terus dikembangkan. Minyak kayu putih merupakan hasil destilasi ranting dan daun Kayu Putih (Melaleuca leucadendron) yang banyak ditanam di KPH Yogyakarta. Pada awalnya tanaman Kayu Putih ditanam pada tahun 1950 di RPH Dlingo (Kabupaten Bantul) dan di kawasan Gunung Kidul pada tahun 1960 sebagai upaya konservasi tanah dan air

Gambar 1. Sambutan dan penjelasan

pengelolaan Pabrik Minyak Kayu Putih

Sumber: Trisatya (tidak dipublikasikan)

Gambar 2. Peserta yang tampak antusias

menerima sampel Minyak Kayu Putih

Sumber: Trisatya (tidak dipublikasikan)

17  

Page 21: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

untuk mengatasi tanah kritis di daerah tersebut. Tanaman Kayu Putih dipilih karena merupakan jenis tanaman pioneer yang cepat tumbuh dan diharapkan dapat segera menutup tanah kritis yang menjadi masalah di wilayah Gunung Kidul. Bertahun-tahun kemudian, saat tanaman Kayu Putih berhasil menghijaukan kawasan Gunung Kidul, pada tahun 1971 didirikan Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole untuk pemanfaatan daun Kayu Putih sebagai bahan baku pembuatan Minyak Kayu Putih. Pemanfaatan daun Kayu Putih juga dilakukan pada wilayah lain yaitu dengan dengan didirikannya empat buah pabrik Minyak Kayu Putih lainnya pada tahun 1980 di Gelaran (BDH Karangmojo), Kediwung, Dlingo (BDH Yogyakarta) dan Sermo (BDH Kulonprogo). Dalam kegiatan peninjauan lapangan ini, peserta berkesempatan melihat proses penyulingan Minyak Kayu Putih di pabrik dengan luas 446 m2 yang terletak di Bagian Daerah Hutan (BDH) Playen ini. Penyulingan daun Minyak Kayu Putih yang dilakukan di Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole saat ini telah mempertimbangkan nilai ekonomis dan finansial antara lain dengan digantinya peralatan lama dengan peralatan yang sistem pengolahannya lebih maju. Hal ini diakui oleh Kepala Balai KPH Yogyakarta, Ir. Sri Haryanto yang mengemukakan bahwa untuk menuju beroperasi dan berproduksinya KPH diperlukan proses yang panjang dan tidak sebentar sehingga diperlukan

strategi yang tepat untuk menyakinkan pemerintah daerah untuk memberikan dukungan pendanaan. Strategi yang dilakukan oleh KPH Yogyakarta adalah menggunakan APBN untuk pemanfaatan tanaman Kayu Putih. Setelah tanaman Kayu Putih tersebut berhasil menyumbangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), pengelola KPH melakukan lobby dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bagi pembangunan KPH. Pada awalnya kegiatan pemanenan daun Kayu Putih dilakukan setiap dua tahun sekali dan setelah mendapatkan dukungan pemerintah daerah kegiatan pemanenan dilakukan setiap satu tahun sekali, sehingga ada perubahan bentuk pemanenan dari pemanfaatan menjadi pengusahaan. Selain kegiatan pemanenan Kayu Putih, KPH Yogyakarta melakukan kegiatan penyadapan Pinus. Alokasi APBD Provinsi DIY tahun 2009 untuk KPH Yogyakarta sebesar Rp. 16.000.610.891,- dengan fokus kegiatan sebesar 80% dialokasikan untuk pembangunan Pabrik Minyak Kayu Putih karena memberikan hasil PAD yang cukup signifikan. Dalam satu hari, Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole dapat memproduksi Minyak Kayu Putih sebanyak 170-190 liter. Gambar 3 menunjukkan produksi Minyak Kayu Putih di Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole pada tahun 2000-2009.

Gambar 3. Produksi Minyak Kayu Putih di Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole

18  

Page 22: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole dan empat pabrik lainnya yang berada di bawah Balai Pengolahan Hasil Hutan dan Perkebunan

memiliki rencana produksi daun Kayu Putih sebagaimana dalam Gambar 4.

Gambar 4. Rencana Produksi Daun Kayu Putih 2009-2014 Daun Kayu Putih sebagai bahan baku Minyak Kayu Putih diperoleh dari areal Kayu Putih di lima

BDH di KPH Yogyakarta dengan luas total 4,472.72 ha (Tabel 1).

Tabel 1. Luas Hutan Kayu Putih Balai KPH Yogyakarta

No BDH RPH Luas (ha) 1.

Karangmojo Kenet 534.10Gelaran 710.90Nglipar 690.70Candi 130.70

2. Paliyan Karangmojo 371.663. Yogyakarta Dlingo 137.80

Mangunan 110.204. Kulon Progo Sermo 66.405. Playen Bunder 371.40

Banaran 251.90Wonolagi 281.82Gubugrubuh 448.72Menggoran 233.72Kepek 132.70

TOTAL 4,472.72 Daun Kayu Putih dipetik dengan sistem rimbas, yaitu pemangkasan tanaman Kayu Putih yang berumur lima tahun atau lebih dengan ketinggian satu meter. Sistem rimbas dinilai lebih efisien dibandingkan dengan pemetikan sistem urut, yaitu pemetikan dengan alat khusus (arit) untuk daun-daun yang sudah cukup umur. Pada sistem

urut, pemetik harus memilih satu per satu daun-daun yang sudah cukup umur. Selain itu, sistem rimbas dinilai dapat mengimbangi kebutuhan pabrik akan kebutuhan daun Kayu Putih yang cukup besar. Kebutuhan daun untuk pabrik sekitar 10,000 kg/hari dengan kemampuan rata-rata setiap pemetik daun sekitar 150 kg/hari.

19  

Page 23: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

Tenaga kerja/pemetik daun Kayu Putih yang berasal dari desa-desa sekitar hutan dapat mengantongi Rp. 30,000,-/hari untuk pekerjaan ini. Pemangkasan dengan sistem rimbas dapat dilakukan setiap sembilan bulan, tetapi di KPH Yogyakarta pemangkasan biasa dilakukan setiap satu tahun sekali setelah tanaman Kayu Putih berdaun lebat. Pemangkasan selanjutnya dilakukan setinggi satu meter yang bertujuan agar ketinggian tanaman Kayu Putih dipertahankan pada ketinggian satu meter. Pemangkasan dilakukan pada awal musim

kemarau saat tanaman telah menumbuhkan daun dalam jumlah yang cukup banyak. Tegakan Kayu Putih di KPH Yogyakarta ditanam dengan sistem tumpangsari dengan proporsi 70% : 30% untuk tanaman pangan dan Kayu Putih. Untuk meningkatkan produksi daun Kayu Putih, tumpangsari antara tanaman pangan dan Kayu Putih dilakukan dengan Sistem Jalur dengan jarak tanam 1 meter x 1 meter dengan proporsi 50% : 50% atau 5,000 tanaman Kayu Putih per hektar (Gambar 5). Dengan pola ini, masyarakat dapat memanen hasil tanaman tumpangsari tiga kali dalam setahun.

Gambar 5. Tumpangsari tanaman pangan dan Kayu Putih dengan Sistem Jalur Setelah pemetikan/pemangkasan, daun yang siap disuling disimpan dengan menebarkan daun di lantai yang kering dengan kondisi suhu kamar dan sirkulasi udara yang terbatas untuk mencegah proses hidrolisis. Waktu penyimpanan dibatasi paling lama satu minggu untuk mencegah pendamaran komponen-komponen dalam daun. Proses selanjutnya adalah penyulingan minyak kayu putih yang terbagi dalam tahapan sebagai berikut: pembuatan uap, penguapan daun, pendinginan dan pemisahan minyak (Gambar 6).

Setelah pemetikan/pemangkasan, daun yang siap disuling disimpan dengan menebarkan daun di lantai yang kering dengan kondisi suhu kamar dan sirkulasi udara yang terbatas untuk mencegah proses hidrolisis. Waktu penyimpanan dibatasi paling lama satu minggu untuk mencegah pendamaran komponen-komponen dalam daun. Proses selanjutnya adalah penyulingan minyak kayu putih yang terbagi dalam tahapan sebagai berikut: pembuatan uap, penguapan daun, pendinginan dan pemisahan minyak (Gambar 6).

20  

 

Pendinginan  

   Pembuatan 

Uap Penguapan 

Daun Pemisahan Minyak 

Gambar 6. Proses Penyulingan Minyak Kayu Putih

Page 24: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

Setelah proses pemisahan minyak, Minyak Kayu Putih ditampung dalam jerigen dan diendapkan selama 24 jam untuk memisahkan kotoran atau air yang tersisa. Daun sisa pemasakan dikeluarkan dari bak daun, dijemur dan dicetak dalam bentuk briket/bahan bakar dengan ukuran berat kurang lebih 5 kg/briket. Untuk tahun 2010 diperkirakan hasil penjualan produksi Minyak Kayu Putih sebesar Rp. 4,458,792,000,- dengan PSDH sebesar Rp.

15,840,000,- dengan asumsi harga Rp. 117,000,-/liter yaitu Harga Jual Dasar (HJD) Perum Perhutani yang merupakan besaran minimal yang ditetapkan Direksi Perum Perhutani untuk kepentingan penjualan di dalam negeri (Gambar 7). Pemasaran dilakukan dengan cara lelang dengan mengacu pada HJD tersebut.

Gambar 7. Hasil Penjualan Produksi Minyak Kayu Putih KPH Yogyakarta Tahun 2004-2010 Penjelasan Kepala Balai KPH Yogyakarta dan Kepala Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole tentang pendapatan yang diperoleh dari produksi Minyak Kayu Putih ditanggapi positif para peserta Sosialisasi Pembangunan KPH. Tak pelak hal ini semakin menyadarkan para pengelola KPH di daerah lain, yang selama ini beranggapan bahwa pengelolaan KPH sulit untuk berkembang/mandiri dan tidak dapat mendatangkan keuntungan. Pemanfaatan hasil hutan non kayu, dalam hal ini daun Minyak Kayu Putih, terbukti dapat memberikan hasil yang tidak sedikit bagi pengelola dan pemerintah daerah. Pengusahaan hutan yang pada awalnya ‘sekedar’ pemanfaatan sebagian kecil dari hasil hutan non kayu jika dikelola dengan profesional dalam suatu institusi di tingkat tapak terbukti dapat memberikan keuntungan yang tidak sedikit,

baik dari segi ekonomi, ekologi maupun sosial. Kemandirian pengelolaan KPH dapat dicapai dengan menumbuhkan jiwa enterpreunership dan kreatif dalam memanfaatkan peluang pada pengelolaan KPH sehingga pengelolaaan hutan yang dilakukan sejalan dengan prinsip sustainable forest management, sustainable business management dan sustainable livelihood management. REFERENSI BPKH Wilayah XI Jawa Madura. 2009. Penataan

Wilayah/Blok Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Yogyakarta. Tidak Dipublikasikan.

BP2HP. 2005. Sekilas Pabrik Penyulingan Minyak Kayu Putih. Tidak Dipublikasikan.

21  

Page 25: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

22  

IMPLIKASI TRIPLE STRATEGY

BERBASIS PEDESAAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN

Oleh : Syaiful Ramadhan*) I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang Pembangunan Kehutanan merupakan bagian integral dari pendukung Kebijakan Kabinet Indonesia Bersatu II yang telah menetapkan penyelenggaraan pembangunan dengan target pencapaian pertumbuhan 7 % melalui triple track strategy yaitu, pengurangan kemiskinan dan pengangguran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi (pro poor, pro job, pro growth) yang berbasis pedesaan. Sementara isu perubahan iklim menuntut pembangunan dengan emisi karbon yang rendah (pro environment) berdampak pada kehutanan untuk wajib berkontribusi menurunkan emisi karbon 14 % dari target penurunan emisi karbon 26 % secara Nasional.

Pemanfaatan sumber daya hutan selama ini diarahkan pada pembangunan kehutanan, dan penyediaan lahan untuk pembangunan non kehutanan (konversi hutan). Meskipun hasil-hasil pembangunan tersebut secara ekonomi telah berkontribusi positif terhadap pembangunan nasional, namun pemanfaatan tersebut telah memunculkan kondisi yang kontra produktif seperti berkurangnya penutupan lahan (deforestasi) dan degradasi fungsi yang secara fisik menurunnya produktifitas kehutanan akibat meluasnya lahan kritis (Renstra Dephut, 2005-2009).

Fakta empiris menunjukkan, bahwa terdapat kesenjangan kemampuan pemulihan lahan kritis dengan laju deforestasi yang terjadi. Data Rencana Strategis Kementerian Kehutanan tahun 2010 – 2014 menunjukkan, bahwa sampai dengan periode tahun 1985 terjadi laju kerusakan 600 ribu ha – 1,2 juta ha pertahun, 1985 - 1997 laju deforestasi rata-rata 1,7 juta pertahun,

periode 1998 – 2000 rata-rata laju deforestasi 2,8 juta ha per tahun, dan pada 10 tahun terakhir terakhir tercatat laju deforestasi 1,6 juta ha pertahun. Sementara alokasi pelaksanaan rehabilitasi lahan nasional untuk 5 tahun hanya mencakup tanaman seluas 2,5 juta ha atau rata-rata 500.000 ha termasuk pembangunan Hutan Rakyat 250.000 ha pertahun (Renstra Kemenhut 2010-2014).

Penurunan produktifitas pembangunan kehutanan akibat luasnya lahan kritis tersebut, berdampak pada penurunan kontribusi kehutanan terhadap PDRB (penurunan proporsi sumbangan pembangunan kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi). Data statistik kehutanan dan BPS tahun 2007 atas dasar harga konstan tahun 1993, menunjukkan penurunan kontribusi kehutanan terhadap PDRB dari 1,66 % pada tahun 1997 menjadi hanya 0,91 % pada tahun 2006. Jika dampak terhadap krisis air, produksi pangan, dan kontribusi terhadap perubahan iklim diperhitungkan, maka dapat dipastikan didapatkan total penurunan kemampuan pembangunan yang lebih besar lagi.

Kondisi hutan selalu dikaitkan dengan bencana alam, banjir, dan longsor, serta menurunnya kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Air dan bahkan dengan ketahanan pangan. Oleh karena itu, luas hutan ideal untuk mendukung keseimbangan ekosistem seperti yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 tentang Kehutanan minimal harus 30 persen dari luas wilayah. Dari berbagai evaluasi baik melalui mekanisme lokakarya, forum group discussion (FGD), dan konsultasi publik, didapatkan pengerucutan kesimpulan

Page 26: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

23  

yang sangat obyektif, bahwa akar penyebab terjadinya kondisi tersebut di atas, adalah belum optimalnya manajemen hutan yang dipicu dari kurang tersedianya data dasar sumberdaya hutan yang akurat, baik lokasi, luas, dan potensi. Lemahnya data dasar tersebut melemahkan basis perencanaan pengelolaan secara menyeluruh, melemahkan posisi kepastian status kawasan hutan sebagai aset Negara secara hukum, sehingga lebih banyak energi, materi dan waktu yang terkuras untuk penyelesaian konflik status lahan (tenurial) dan hal tersebut mengurangi kapasitas pembangunan kehutanan.

Pengukuhan dan penatagunaan hutan kedalam fungsi produksi, lindung dan konservasi di masa lalu, menghasilkan terlampau besarnya luasan kawasan hutan dalam satuan luas per fungsi yang kurang mempertimbangkan aspek optimalisasi pengelolaan dan rentang kendali pengawasan. Dalam konteks itulah, sesuai mandat perundangan, harus segera dilakukan kelanjutan penatagunaan hutan menuju pembentukan wilayah pengelolaan dan khususnya pada unit manajemen hutan terkecil yang dapat dikelola secara optimal dan lestari (alokasi efisien sumberdaya hutan). Diharapkan dalam satuan luas tersebut, pengelolaan hutan mulai akurasi data dasar letak, luas, dan kondisi potensinya dapat dioptimalisasikan. Pembentukan KPH ini juga menuntaskan tugas pemantapan kawasan hutan sebagai prakondisi pembangunan kehutanan, sebagaimana telah ditegaskan dalam Permenhut nomor P.42/Kpts-II/2010 tentang Sistem Perencanaan Hutan, yaitu rencana pembangunan kehutanan wajib mengacu pada rencana kawasan hutan.

Selanjutnya dari aspek kebijakan pembangunan nasional juga telah menginternalisasikan mandat global, seperti MDG’s dan isu Perubahan Iklim, dimana dua kabinet pemerintahan RI secara berturut-turut telah mencanangkan komitmen strategi pembangunan yang berpihak pada

pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran (pro poor & pro job), serta keberpihakan pada pertumbuhan yang ramah lingkungan (pro growth & pro environment) diujungi dengan kata kunci “berbasis pedesaan” (RPJM 2010-2014). Kata kunci tersebut menggagas ide pokok, bahwa hasil pembangunan wajib merupakan agregat dari pembesaran perekonomian pedesaan yang berdampak langsung pada nikmat meningkatnya kesejahteraan masyarakat sebagai pelaku pembangunan yang berhubungan langsung dengan kondisi keberadaan, keberagaman, sampai dengan dampak akibat ketiadaan suatu sumberdaya.

Ide pokok pembangunan di atas, sangat selaras dengan prinsip desentralisasi dan demokratisasi yang terus berproses dalam pembelajaran menuju terbentuknya tata kelola Negara (Pemerintah, Masyarakat dan Sumberdaya) yang baik sesuai dengan tujuan Nasional yang termaksud dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu hakikinya adalah “mencerdaskan kehidupan Bangsa, sehingga mampu berperan aktif dalam pergaulan global dengan tetap mempertahankan kedaulatan”.

Khususnya dalam pembangunan kehutanan dengan mandat mentransformasikan potensi multi manfaat sumberdaya hutan menjadi barang dan jasa nyata bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Hal tersebut kini kerap menjadi jargon pembangunan berupa pengelolaan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial dari hutan secara berkelanjutan dan distribusinya secara berkeadilan.

Mandat yang sedemikian luas, jelas hanya dapat diwujudkan dengan kecerdasan dalam arti luas pula, karena sesungguhnya sumberdaya hutan sebagai Anugerah-Nya, sesungguhnya merupakan guru, sumber kitab ilmu yang paling asli yang memberi pembelajaran bagaimana melakukan tata kelola sumberdaya hutan yang baik, guna mendapatkan sebesar-besar manfaat

Page 27: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

24  

dengan minimal dampaknya pada kehidupan dalam jangka panjang.

Sumber daya alam telah mengajarkan teori kesetaraan yang dinyatakan oleh seorang Guru Besar Pertanian Syamsoeoed Sajad pada era tahun tujuhpuluhan, memandu para pengelola, agar tingkat ekploitasi terhadap suatu sumberdaya berbanding lurus atau tidak melebihi kedalaman pengetahuan kita tentang sumberdaya tersebut. Eksploitasi sumberdaya hutan misalnya disebut berlebihan, bila jenis-jenis pohon terlanjur di ekploitasi padahal pengetahuan budidaya seperti asal bibit, tehnik peremajaan, tingkat ketersediaan (stock) dan pertimbangan jangka waktu rehabilitasi serta riap, dan resiko kehilangan jenis maupun ekosistem tidak/belum cukup dikuasai.

Sumberdaya yang berbasis lahan juga telah mengajarkan Hukum Pertambahan yang Menurun (Law of Diminishing Return), yaitu : Eksploitasi yang terus menerus pada sumberdaya yang tetap akan secara pasti menurunkan produktifitas, dan bahkan akan merusak dan menghilangkan manfaatnya. Sumberdaya hutan secara kodrati membutuhkan waktu pemulihan keberadaan dan manfaat yang lama, sehingga ketiadaan tempo untuk pembaharuannya akan berkonsekuensi pada percepatan dimensi waktu berlakunya hukum pertambahan yang menurun, bahkan terbentuknya lahan kritis yang non produktif dan mengundang bencana.

Strategi pengelolaan hutan dengan pendekatan proses menjamin keberadaannya (keep it), mengenali karakteristik, multi fungsi manfaatnya dan menjadikannya menjadi data dasar/baseline (learn/study it), baru memanfaatkannya dengan alokasi secara efisien (use it), merupakan filosofy tata kelola hutan yang baik. Hal yang mendasari pengelolaan tersebut, didahului dengan perencanaan kawasan hutan yang secara spasial akan menjadi baseline keberadaan, letak, dan fungsi manfaat sumberdaya secara

berkelanjutan lintas generasi, sesuai kodrat penciptaannya.

Indikator keberhasilan kinerja akan sangat ditentukan oleh keberadaan unit-unit kelola yang terukur, ketiadaan unit analisis tersebut, akan mengkondisikan kinerja yang tidak jelas (disclaimer opinion). Secara empirik satuan ukuran berbasis pada ukuran satuan terkecilnya, contohnya : ukuran kinerja pertanian pangan dari sisi produksi adalah tonase per unit satuan sawah (ha), ukuran kinerja tranportasi salah satunya unit panjang dan kelas jalan, ukuran kinerja transmigrasi satuan pemukiman, ukuran kinerja perkebunan adalah unit kebun, unit industri pengolahan dlsb. Ukuran kinerja kehutanan selayaknya diukur dari unit analisis/kelola terkecil pula, yaitu : kelola di tingkat tapak, yang didefinisikan oleh peraturan perundangan sebagai unit pengelolaan hutan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.

Kenyataan sejarah menunjukkan, bahwa proses pembentukan unit kelola hutan terkecil tersebut telah memakan waktu yang panjang. Tak kurang dukungan regulasi dari UU nomor 5 tahun 1967 sampai dengan UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dukungan alih teknologi dan pengetahuan melalui mekanisme bantuan hibah bilateral, multilateral, bahkan dari sistem pemerintahan sentralistik menjadi sistem terdesentralisasi (otonomi) yang didukung proses demokratisasi.

Dengan tidak bermaksud menghilangkan upaya keras dan melelahkan para pihak, kenyataannya harus diakui jangankan beroperasi, pembentukan unit kelola/manajemen yang dimandatkan pembentukan mulai dari UU saat ini masih “terkendala” oleh berbagai isu bias persepsi kepemilikan KPH, dan isu kelembagaan mulai penyamaan persepsi konsepsi kelembagaan sampai dengan sumber dan mekanisme pendanaan pembentukannya.

Secara teoritis akan melembaganya operasionalisasi suatu KPH sebagai

Page 28: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

25  

sistem unit kelola hanya bila terpenuhinya kesamaan persepsi terutama menyangkut, kejelasan kesepakatan para pihak atas; payung hukum aturan main (rule), batasan peran/uraian tugas (role restriction), batasan tanggung jawab/resiko (risk), dan distribusi reward (revenue) atau selanjutnya disebut 4 (empat) R.

Dari aspek argumen validitas substansi KPH, maka mandat peraturan perundangan terkait pemenuhan syarat pengelolaan lestari dengan kewajiban pembentukan KPH, memenuhi syarat harus dan masih perlu didukung argumen syarat perlu keberadaannya ditinjau dari berbagai aspek manfaat. Proses yang masih dan sedang berlangsung saat ini adalah negosiasi kesepakatan pelembagaan KPH dalam rangka pemenuhan 4 R, sebagai syarat kecukupan.

1.2. Maksud Tujuan Maksud kajian ini adalah untuk menganalisis aspek syarat harus dan perlu serta aspek syarat kecukupan dalam rangka percepatan pembentukan sampai dengan beroperasinya KPH. Tujuan dan manfaat kajian yang diharapkan adalah menjadi bagian masukan penyamaan persepsi dan pengembangan upaya percepatan bagi para pihak yang berkepentingan dengan KPH.

1.3. Rumusan Masalah Pembangunan Kehutanan kedepan sebagaimana sektor lainnya diselenggarakan dengan berbasis kinerja. Agregasi kinerja KPH sebagai satuan unit perencanaan, pelaksanaan kelola akan menjadi ukuran kinerja kehutanan di tingkat lokal, regional dan nasional. Dalam rangka terimplementasinya keberadaan dan fungsi KPH, tidak cukup hanya berangkat dari cara pandang “pembela pentingnya keberadaan KPH”, namun terlebih jauh lagi cara pandang “pemanfaat dan pengembangan KPH’. Cara pandang pembelaan hanya membuat kita terjebak pada konflik debat, yang membuat kita berkutat pada tahap wacana, sedangkan cara pandang

pemanfaat dan pengembangan KPH akan memacu kita pada implementasi (just do it) yang dicerminkan dari beroperasinya KPH, walaupun pada awalnya belum sempurna, namun dalam pengembangannya akan memenuhi syarat harus/perlu dan syarat kecukupannya.

Permasalahannya apakah syarat harus/perlu serta syarat kecukupan KPH telah didefinisikan secara tepat dan penuh? Untuk itu diperlukan kajian dengan cara pandang yang keluar dari kebiasaan (business as usual) yang terkondisi dalam pemikiran yang bersifat teknis, atau dengan kata lain harus bergeser kepada pemikiran yang melampaui dari batas-batas ( think out the box/beyond the boundaries/extra ordinary).

Kajian akan difokuskan pada analisis yang menjawab pertanyaan-pertanyaan : a. Apa syarat harus dan perlu yang

masih diperlukan untuk penguatan penyamaan persepsi pembentukan hingga beropersinya KPH, dan bagaimana implikasinya pada upaya percepatan yang telah ada ?

b. Apa syarat kecukupan (4 R) yang belum terpenuhi, sehingga beresiko menghambat upaya percepatan ?

1.4. Manfaat Kajian Diharapkan dari hasil kajian yang bersifat pengayaan masukan percepatan terbentuk dan beroperasinya KPH ini, menjadi masukan penyempurnaan aspek-aspek yang masih terindikasi menjadi kelemahan yang menjadi penghambat.

1.5. Ruang lingkup dan Keterbatasan

kajian Lingkup kajian adalah telaah deskriptif dari sumberdaya upaya yang telah berjalan. Kajian ini dibatasi pada pengayaan aspek-aspek peningkatan upaya percepatan.

II. TINJAUAN LANDASAN KONSEPTUAL

Pengelolaan hutan secara lestari bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana dimandatkan pasal 33 UUD 1945 berimplikasi pada kewajiban dari

Page 29: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

26  

terwujudnya proses transformasi potensi multi fungsi manfaat menjadi barang dan jasa nyata yang terukur untuk mendukung kesejahteraan masyarakat secara luas dengan keharusan tetap memenuhi syarat kelestarian.

Mengacu pada strategi pembangunan berkelanjutan/ramah lingkungan (pro environment) dengan keberpihakan pada pengentasan kemiskinan (pro poor), keberpihakan pada penurunan jumlah pengangguran (pro job), dan peningkatan pertumbuhan ekonomi (pro growth) berbasis pedesaan (RPJP-RPJMN 2010-2014), maka secara integral pembangunan kehutanan berbasis pemberdayaan KPH sebagai unit kelola tingkat tapak yang terdekat dengan masyarakat pedesaan menjadi sangat relevan. Relevansi menjadi semakin kuat ketika kinerja didasarkan pada agregasi kinerja KPH unit kelola terkecil tersebut.

Dari konsep bauran pemasaran(Mix marketing) (Kotler, 2000), agar keberadaan KPH sebagai entitas pelaku usaha kehutanan memiliki daya saing, maka KPH harus sekaligus merupakan kemasan promosi yang lebih menarik, dan mampu memberi informasi produk, tempat, distribusi, dan harga yang lebih detil dan akurat. Kondisi minimal informasi asimetri yang meminimalisir kegagalan pasar akan menjadi insentif yang mendorong transformasi potensi produk barang jasa kehutanan yang lebih intensif dan fokus pada unggulan lokal yang dipunyainya secara spesifik yang mampu bersaing di pasar.

Merujuk pada karakteristik pengembangan sumberdaya yang berbasis lahan yang mengikuti hukum pertambahan yang menurun (Law Diminishing of Return), maka pada cakupan luasan KPH yang mencerminkan alokasi sumberdaya yang efisien, pengelolaan stock dan riap akan dapat terselenggara secara lebih optimal, khususnya pada berkelanjutannya kontribusi multi manfaat hutan dalam menjawab krisis bahan baku kayu industri, krisis air, krisis pangan, krisis energi, kelangkaan sumberdaya alam hayati sebagai sumber plasma nutfah bagi pengembangan teknologi, ilmu

pengetahuan obat-obatan serta stabilitas iklim bagi kesejahteraan ekonomi umat manusia secara luas.

Terakhir yang tak kalah penting, dalam rangka validitas dan reliabilitas suatu kajian, harus dipenuhi aspek kelogisan dalam bentuk terpenuhinya syarat harus dan perlu (necessary condition) dan syarat kecukupan (sufficient condition). Dalam kajian percepatan operasionalisasi KPH ini syarat harus dan perlu adalah 4 R yang berbasis adanya kesamaan persepsi dalam : a) penetapan KPH, b) Terbentuknya kelembagaan KPH yang mencerminkan tata kelola hutan yang baik (forest good governance); sedangkan syarat kecukupan adalah : a) Adanya rencana, pelaksaaan kelola KPH dalam mentransformasikan fungsi manfaat sumberdaya hutan menjadi barang dan jasa nyata, yang memenuhi tujuan kelestarian sumberdaya hutan dan distribusi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara simultan dan berkeadilan.

III. METODOLOGI Pada dasarnya metode pengolahan/analisis data akan dilakukan melalui Pendekatan Deskriptif, meliputi aspek Persepsi para pihak dan dampaknya pada proses, dengan substansi a). Analisa aspek kelembagaan dan insentif, serta b). Analisa aspek manfaat, sedangkan aspek teknis diasumsikan yang sedang berjalan dan diselenggarakan Ditjen Planologi, telah memenuhi kriteria tenis pembentukan KPH. Aspek kelembagaan dan insentif dilakukan melalui kekuatan dan kelemahan berbasis 4 R, sedangkan aspek manfaat dilakukan mengacu pada manfaat nyata keberadaan KPH bagi para pihak seperti Pemerintah Daerah, masyarakat dan investor.

IV. KERANGKA PIKIR

Pada dasarnya pengelolaan KPH akan mengoptimalkan nilai return dari lahan (land rent) yang dicerminkan dari meningkatnya produksi yang mendukung kontribusi hasil pengelolaan sumberdaya hutan secara mikro pada pendapatan rumah tangga masyarakat dan secara makro pada

Page 30: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

perekonomian pedesaan, kabupaten, provinsi dan nasional.

Selanjutnya dari sisi pandang keseimbangan ekosistem, maka entitas KPH didasari terlebih dahulu dari posisinya dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) atau SubDAS, sedangkan distribusi manfaat per wilayah administratif akan didasari pada proporsi letak, peran wilayah tersebut dalam DAS. Hal ini menjadi penting, karena hakekatnya baik hutan lindung, konservasi dan hutan produksi secara proporsional tetap mempunyai manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan.

Cara pandang keseimbangan ekosistem menjadi mutlak, karena baik KPHP, KPHL, maupun KPHK, harus dikelola secara inklusif sesuai proporsi manfaat yang dipunyainya. Pengelolaan suatu KPH secara ekslusif dengan mengabaikan dampaknya pada KPH lainnya, akan menimbulkan biaya pemulihan

keseimbangan yang sering lebih mahal daripada manfaat yang didapat.

Jadi selain tercapainya tujuan kelola secara sempit (pendapatan KPH itu sendiri), indikator keberhasilan operasi KPH juga harus dilihat secara agregat dengan pendekatan pareto optima, yaitu: Terjadinya keuntungan suatu KPH tanpa membuat KPH lain dirugikan.

Secara grafis kerangka fikir kajian pada percepatan terbentuknya dan beroperasinya KPH sebagai unit manajemen kelola hutan yang terukur dan efisien, akan menjadi insentif pembesaran daya dukung produktifitas fungsi dan manfaat sumberdaya (dari AA’ ke BB’), sebaliknya perlambatan terbentuknya KPH akan menjadi insentif berjalannya kondisi kelola business us usual yang meningkatkan laju kontra produktif sampai menghilangkan produktifitas sumberdaya hutan yang tak terkendali dan sulit diukur. (AA’ ke CC’)

Kondisi dengan KPH (Benefit)/Kondisi yang dinginkan

B A Kondisi awal (baseline)

27  

C Pelanjutan kondisi tanpa KPH (Risk) 0 C’ A’ B’ Produktifitas hutan per ha Gambar 1. Benefit dan resiko percepatan pembentukan dan beroperasinya KPH

Luas hutan

Kondisi awal “business as usual” 

Tanpa KPH

Gambar 2. Kerangka Fikir Kajian

S   I   N   T   E   S   A

Tata Kelola Hutan Yang Baik Dengan KPH :  

Maksimal multi manfaat  dan minimal konflik Meningkatnya kontribusi pada Kesejahteraan

Aspek  Teknis dan biofisik : Argumen alokasi  sumberdaya hutan  efisien dari sisi luas dan rentang kendali pengawasan kelola 

Aspek Kelembagaan : Argumen kondisi pemungkin; intervensi regulasi (rule), intervensi pembiayaan (risk), identifikasi dan alokasi SDM professional, dan tata hubungan kerja (role), dan distribusi manfaat/ endapatan (revenue) 

Aspek Manfaat  Sosek : 

A      N     A     L     I     S     A 

 Argumen identifikasi  multi  fungsi dan manfaat utuh sumberdaya hutan,  kontribusi terhadap minimalisasi dampak krisis dan peningkatan kesejan teraan rumah tangga masyarakat dan terhadap PDRB  

Page 31: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

28  

Dalam kajian analisa akan disimplifikasi kedalam analisa deskriptif menyangkut fokus pada hal-hal penting mengenai aspek persepsi dan dampaknya pada substansi pembentukan dan beroperasinya KPH.

V. PEMBAHASAN

4 R sebagai unsur syarat harus dan perlu serta syarat kecukupan, khususnya untuk percepatan pembentukan dan beroperasinya KPH, selanjutnya dibahas dengan sistematika deskripsi fakta dan analisa sebagai berikut :

5.1. Fakta Secara keseluruhan target pembentukan KPH adalah lebih kurang 600 unit, sedangkan sampai dengan tahun 2014 adalah 120 unit yang telah operasional (Renstra Kemenhut 2010-2014). Data perkembangan pembentukan KPH (Ditjen Planologi, 2011), dari sisi pembiayaan proyek membagi KPH dalam 2 (dua), yaitu : a) dalam KPH Model dan b) tidak dalam KPH model. Sedangkan dari sisi tahapan terbagi dalam 3(tiga) kelompok, yaitu :a) KPH sedang dalam proses pembentukan kelembagaan, b) KPH yang telah terbentuk namun belum operasional, dan c) KPH yang telah terbentuk dan beroperasi.

Rule atau aturan main pembentukan KPH, mulai dari mandat perundangan, mulai dari UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, PP nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, PP. 6 Tahun 2007 juncto PP. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, Permenhut No P. 06 Tahun 2010 tentang NSPK KPH, dan Permendagri No. 61 Tahun 2011 tentang Kelembagaan KPH, sebagai payung hukum telah ada, walaupun masih ada beberapa hal yang masih diperdebatkan, misal : kesepakatan bentuk KPH sebagai UPTD, menjadi SKPD, yang berdampak pada kejelasan otoritas KKPH dalam berbagai aspek manajemen.

Role atau kejelasan peran para pihak khususnya Pusat, Daerah dan di internal Daerah, yaitu mulai dari tugas pokok fungsi masing-masing pihak, tata hubungan kerja antar (antara lain: Pusat,

Pemda, SKPD, dan UPT) masih berproses menuju pemantapan penyamaan persepsi.

Risk atau distribusi proporsi resiko seperti pembiayaan pembentukan, penguatan kapasitas kompetensi SDM, dan tahapan penguatan institusi KPH dan lainnya belum terdefinisikan dengan jelas. Sampai dengan saat ini masih beragam ada Daerah yang telah berinisiasi dengan APBD, namun sebagian besar masih tergantung dukungan APBN.

Revenue atau distribusi proporsi rente pendapatan paska beroperasinya KPH dari pendapatan secara keseluruhan ataupun masing-masing komoditi/manfaat barang dan jasa, selain untuk hasil hutan kayu belum diatur secara jelas.

5.2. Analisa

Dari fakta pendapat dari berbagai diskusi yang berkembang, pembagian KPH, menjadi KPH model dan “bukan model” yang tidak jelas pula bedanya, ternyata berimplikasi pada bias persepsi KPH dipandang sebagai “hanya proyek Pusat”. Hal tersebut menjadi kontra produktif pada syarat harus dan perlu, yaitu “tidak berkembangnya persepsi mendasar, bahwa KPH adalah milik dan kebutuhan para pihak !”, namun yang berkembang lebih pada KPH adalah “milik Pusat”, sedangkan Daerah hanya menjalankan sebagaimana kepatutan menjalankan proyek lainnya yang di drop dari Pusat dengan kewajiban melaporkan “kinerja” penyerapan dana dan persentase capaian kegiatan. Padahal seharusnya kinerja adalah evaluasi cost benefit berbasis biofisik, sosek KPH.

Syarat harus dan perlu yang pertama, bahwa dalam penetapan KPH harus didasari oleh kepentingan bersama para pihak, pendekatan pelaksanaan mandat yang lebih pada pendekatan top down wajib diikuti dengan timbulnya kebutuhan Daerah yang dicerminkan dari keseriusan inisiasi Gubernur dan Bupati dalam pengusulannya (bukan hanya

Page 32: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

29  

memenuhi kewajiban, namun lebih pada bentuk kebutuhan). Bias persepsi pada tahap awal ini berdampak pada “rendahnya rasa memiliki dan kebutuhan keberadaan KPH (KPH bukan milik dan kebutuhan bersama, namun hanya kebutuhan “ kehutanan” sebagai salah sektor pilihan pembangunan Daerah.

Implikasi bias persepsi ditunjukkan, terjadinya kesenjangan prioritasisasi pembentukan KPH di tingkat Nasional, tidak serta merta diikuti dengan prioritasinya di tingkat Daerah. Ketergantungan mulai dari pembiayaan, pemenuhan SDM dan sarana prasarana pada Pusat, harus segera diantisipasi salah satunya dengan pendekatan “pembesaran proporsi transfer fiscal Kehutanan ke Daerah” dimulai dari bentuk insentif bagi Daerah yang telah berinisiasi membentuk KPH, menerapkan NSPK, menyusun rencana pengelolaan, tata hutan. Hal tersebut akan menjadi “acuan model pembiayaan secara konkuren Pusat Daerah”.

Dukungan pembiayaan (risk) melalui UPT Pusat di Daerah yang lebih ditujukan pada “KPH model”, bukan solusi yang tepat, bahkan hanya makin mengurangi rasa kepemilikan dan tanggung jawab daerah terhadap percepatan KPH. Apalagi ditambah dengan kondisi rule dan role berupa belum jelasnya tata hubungan kerja yang menjadi dasar koordinasi.

Keragaman bentuk “calon/bakal” organisasi pada KPH model dikomparasikan dengan ketetapan bentuk yang tadinya direncanakan UPTD (cat : beberapa Daerah telah menetapkan KPH sebagi UPTD) terakhir menjadi SKPD (Permendagri no : 61) mengkondisikan kerancuan persepsi Daerah atas syarat harus dan perlu serta syarat kecukupan untuk percepatan pembentukan beroperasinya KPH. Selain itu menjadikan “terbatasan sumber”dalam mekanisme role/peran konkurensi pendanaannya.

Dari aspek resiko (risk) dan pendapatan (revenue), maka sangatlah logis ketika pengelolaan sumberdaya hutan baik dengan atau tanpa KPH tidak memberikan kontribusi benefit pendapatan yang nyata bagi modal pembangunan wilayah baik dari sisi peningkatan dari tambahan pendapatan (laba pengelolaan/profit centre) maupun dari sisi penghematan akibat menurunnya resiko bencana yang menghilangkan hasil-hasil pembangunan, maka pembangunan KPH tidak akan menjadi prioritas bagi Daerah. Dalam hal ini diperlukan langkah antisipasi penghitungan peningkatan nilai ekonomi yang dimonetasi dari pengelolaan hutan dengan basis KPH walaupun secara indikatif, contohnya : pendekatan penghitungan potensi kayu dan karbon hutan rakyat di Jawa melalui kerjasama BPKH XI dan MFP tahun 2008, referensi hasil-hasil penelitian nilai utuh ekonomi hutan, yang dikemas dalam bentuk bahasa pemasaran/prospektus setiap KPH.

Mengacu pada hasil diskusi yang menarik di tahun 2009, dengan pakar kelembagaan KPH dari Hessenforst (Dr. Christian) dan Dr. Haryadi Kartodiharjo, maka dari sisi aspek substansi factor pemungkin melembaganya sistem KPH, sesuai dengan tujuan pembentukan KPH adalah efisiensi alokasi sumber daya, harus dipenuhi syarat harus dan perlu serta syarat kecukupan untuk optimalisasi pembentukan dan beroperasinya KPH maupun percepatannya sbb : 1. Otonomi. Kejelasan seberapa besar

kewenangan Menteri yang diserah kuasakan pada seorang KKPH agar terjadi penyederhanaan birokrasi ? Hasil diskusi tersebut di atas, menunjukkan semua pengesahan proses manajemen dan penyelesaian konflik “kembali ke Pusat”, sehingga sama sekali sebenarnya tidak terjadi debirokratisasi, bahkan ada kecenderungan penambahan (dalam hal pengesahan

Page 33: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

30  

rekomendasi KPH, yang tadinya hanya Dinas) dan atau “tumpang tindih” antara Dinas sebagai institusi yang bertanggung jawab bidang kehutanan di daerah dengan KPH ( Contoh dalam hal, bila suatu KPH sepenuhnya dikelola oleh Investor (pihak ketiga).

2. Insentif. Secara sempit perlu kejelasan korelasi hasil pendapatan kelola KPH dengan take home pay para pengelola KPH yang notabene terikat dengan peraturan batasan penggajian PNS dalam institusi struktural. Hal ini menjadi penting karena merupakan insentif utama bagi pengelola yang mensyaratkan profesionalisme tinggi dalam pengelolaan KPH. Hal tersebut hanya bisa terjadi apabila KPH dalam bentuk Badan Usaha. Secara luas perlu kejelasan keberadaan KPH pada peningkatan sumbangan PAD bagi insentif wilayah.

3. Demokratisasi. Tumbuhnya rasa kepemilikan dan kebutuhan bersama dan utuh dari para pihak yang berwenang dan kompeten atas KPH yang didasari keyakinan bermanfaatnya keberadaan KPH bagi peningkatan kontribusi perekonomian Daerah secara luas (perekonomian rumah tangga petani, perekonomian Desa yang akan mengagregat kedalam pembesaran ekonomi Kabupaten, Provinsi dan Nasional.

Di akhir analisa ini, Penulis mempunyai satu pertanyaan menggelitik dikaitkan dengan pendekatan property right sebagai unsur inti dalam berjalannya suatu kelembagaan, yaitu : “Bagaimana dengan penguatan status untuk keberlanjutan “ KPH Rakyat” (agroforestry) dalam DAS (khususnya di DAS Hulu), yang telah terbukti menjadi bagian solusi strategis pada tanggung jawab kehutanan, seperti masalah pengurangan lahan kritis, krisis air, stabilisasi cuaca (iklim mikro), alternatif sumber pendapatan/pengurangan pengangguran (pencapaian tujuan kehutanan berupa peningkatan kesejahteraan dan konservasi). Mudah-mudahan jawabannya bukan “boro-boro hutan rakyat, kawasan saja belum

tuntas”, jawaban tersebut sangatlah tidak bijak, karena dalam pengelolaan hutan subyek utamanya tetap masyarakat.

VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. Kesimpulan a. Masih terdapat kesenjangan persepsi

mengenai KPH yang cukup lebar dalam internal Kementerian maupun Pusat- Daerah.

b. Keberadaan terminasi KPH model dan bukan model dengan argumentasi “mekanisme pembiayaan” mengkondisikan KPH adalah proyek pusat, bukan milik dan kebutuhan bersama para pihak untuk efisiensi pengelolaan menuju manfaat optimal sumberdaya hutan.

c. Dari aspek Rule dan Role, masih terkondisi pembentukan sampai dengan beroperasinya KPH adalah sepenuhnya tugas pokok dan fungsi Ditjen Planologi, padahal secara jelas perundangan telah memberikan batasan ; (1) Pembentukan KPH adalah pemenuhan syarat harus dan perlu keberadaan entitas unit manajemen yang terukur bagi kinerja prakondisi pengelolaan hutan yang efisien dalam kerangka syarat tata kelola hutan yang baik (Muara mandat PP no. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan) inilah batasan tugas pokok fungsi Ditjen Planologi dengan Kelembagaannya menjadi tugas Sekjen, dan (2) Beroperasinya KPH adalah pemenuhan syarat kecukupan wujud kinerja eksplorasi dan transformasi multi fungsi manfaat sumberdaya hutan menjadi barang dan jasa nyata bagi kesejahteraan kehidupan secara luas (Muara PP no. 6 tahun 2006 juncto PP 3 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan ) yang merupakan tugas fungsi Eselon I teknis sesuai fungsi hutannya (Con : lead KPHP adalah Ditjen BUK, lead KPHK adalah Ditjen PHKA dst).

d. Dari aspek risk dan revenue, maka dalam rangka percepatan pembentukan pelembagaan dan beroperasinya KPH dengan ketergantungan minimal Daerah pada

Page 34: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

31  

Pusat, masih diperlukan pemenuhan hal mendasar dalam syarat harus dan perlu serta kecukupannya, yaitu : (1) Penguatan persepsi di semua lini dari cara pandang “proyek kehutanan Pusat” menuju “milik dan pemenuhan kebutuhan bagi peningkatan kesejahteraan bersama (konkurensi) yang bersifat bukan sektor tunggal, melainkan multi sektor”. (2) Mengedepankan indikasi distribusi dari keuntungan dari nilai ekonomi utuh hutan (termasuk monetasi nilai jasa lingkungan/nilai ekonomi pengurangan resiko bencana), pada perekonomian rumah tangga masyarakat lokal, wilayah, dan kontribusi pada kesejahteraan sosial masyarakat secara luas, selain aspek teknis pembagian luas KPH, (3) Kejelasan insentif pada inisiasi pembentukan dan pengoperasionalan KPH oleh Daerah, dan (4) Komitmen implementasi desentralisasi serta demokratisasi proses.

e. Implementasi secara obyektif otonomi, insentif dan demokratisasi proses masih perlu penguatan, seperti pelimpahan otorisasi, fleksibilitas bentuk organisasi KPH, dan dukungan bentuk dan mekanisme insentif.

f. Fakta berkembangnya potensi usaha kehutanan langsung oleh rakyat nyata di tanah miliknya (pro poor) yang memenuhi syarat harus dan perlu serta syarat kecukupan manajemen hutan di tingkat tapak, belum menjadi alternatif pencapaian pembentukan dan beroperasinya +/- 120/ 600 KPH.

6.2. Rekomendasi

a. Dalam rangka menanggulangi batasan kerancuan tugas pokok dan fungsi, agar dibentuk Satgas Percepatan yang operasional lintas Eselon I Kementerian dan Sektor terkait (Bappenas, Kemendagri, Kemenpan) yang bertugas secara simultan meyakinkan Kepala Daerah serta mengawal prioritasisasi pembentukan dan beroperasinya KPH sesuai target jumlah dan waktu.

b. Dalam rangka mendukung tumbuh kembangnya mutual trust, mutual benefit di antara para pihak, agar disiapkan

penguatan bahan diseminasi KPH yang dikemas dalam bentuk indikasi proyeksi / prospek benefit ekonomi dari implikasi keberadaan KPH sebagai entitas profit centre langsung dan tidak langsung pada pembangunan wilayah.

c. Tata hubungan kerja antar unit satuan kerja di Daerah perlu segera dipertegas, walaupun dengan konsekuensi bila diperlukan adanya penyederhanaan organisasi Pusat di Daerah.

d. Agar operasionalisasi KPH sesuai tujuan efiensi, diperlukan batasan pelimpahan kewenangan Menteri yang mendukung debirokratisasi pelayanan, pertimbangan bentuk dan mekanisme yang mendukung legalitas insentif yang berkorelasi dengan kinerja pengelola KPH (system remunerasi), serta demokratisasi dalam bentuk kejelasan dimungkinkannya ragam bentuk KPH yang berbeda sesuai karakteristik kondisi biofisik hutan dan sosek (site specific).

VII. PENUTUP

Kajian ini ditulis dengan penuh ketulusan rasa memiliki kami sebagai rimbawan, dimana di dalam era reformasi yang menuntut semangat keterbukaan, dan kesetaraan setiap insan berkewajiban berkontribusi positif sesuai bidangnya. Mudah-mudahan bermanfaat.

*) Fungsional Perencana Madya

Page 35: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

32  

PERTEMUAN KONSULTASI (MUKON) DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DENPASAR, 13-15 APRIL 2011 Oleh : Desna Yuhana, S.IKom *)

 

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan pada tanggal 13 – 15 April 2011, bertempat di Inna Grand Bali Beach Hotel, Denpasar, Bali melaksanakan Pertemuan Konsultasi (Mukon) dengan tema ”SINKRONISASI DAN PERCEPATAN PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN GUNA MENDUKUNG TERWUJUDNYA PENGELOLAAN HUTAN LESTARI”.

Mukon ini merupakan agenda rutin yang diadakan setahun sekali, dengan maksud untuk merumuskan implementasi dan perkembangan pelaksanaan Rencana Kerja Pembangunan Bidang Planologi Kehutanan Tahun 2011, permasalahan yang dihadapi dan langkah strategis yang perlu ditempuh dalam mengatasi permasalahan, serta tersusunnya arahan Rencana Kerja Pembangunan Planologi Kehutanan tahun 2012.

Acara pembukaan Mukon dilaksanakan pada tanggal 13 April 2011 oleh Ir. Bambang Soepijanto, MM., Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, yang dihaditi peserta berjumlah ± 120 orang, terdiri dari Pejabat Esselon II, III, dan IV lingkup Ditjen Planologi Kehutanan, serta Kepala BPKH Wilayah I - XVII dan beberapa pejabat IV lingkup BPKH tersebut.

Penyelenggaraan mukon ini, pada dasarnya menindaklanjuti beberapa peraturan

perundangan terkait, khususnya: 1). PP No. 21 tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga, 2). Permenhut No. P.01/Menhut-II/2006 tentang Mekanisme Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Departemen Kehutanan; dan 3). Keputusan Dirjen Planologi Kehutanan No. SK9/VII-SET/2011 Tentang Pembentukan Panitia Penyelenggara Pertemuan Konsultasi Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Tahun 2011.

Dalam acara Mukon diadakan Warung Konsultasi oleh masing-masing Direktorat untuk membahas kegiatan masing-masing UPT lingkup Ditjen Planologi Kehutanan.

Melalui Mukon diharapkan dapat terjalin komunikasi dan diskusi yang intensif dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas serta sinkronisasi dan sinergitas kegiatan pembangunan bidang planologi kehutanan sesuai tupoksi masing-masing.

Di penghujung acara pada tanggal 15 April 2011 Dr. Ir. Sylvana Ratna, M.Si membacakan Rumusan Mukon Ditjen Planologi Kehutanan, kemudian penutupan dilaksanakan oleh DR. Ir. Dwi Sudharto, M.Si., Sekretaris Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.

*) Bagian Program dan Evaluasi

 

Page 36: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

33  

RUMUSAN PERTEMUAN KONSULTASI DITJEN PLANOLOGI KEHUTANAN TAHUN 2011

Denpasar, 13 s/d 15 April 2011 Memperhatikan arahan Dirjen Planologi Kehutanan, paparan dari Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Bappenas, paparan Kepala Biro Perencanaan Setjen Kementerian Kehutanan, paparan wakil Ditjen Perbendaharaan Negara, sidang komisi regional I s/d V, tanggapan masing-masing Eselon II lingkup Ditjen Planologi Kehutanan, dapat dirumuskan sebagai berikut:

A. KESEKRETARIATAN

1. Kaderisasi tenaga pengelola DIPA di Pusat dan BPKH melalui pelatihan.

2. Penyelenggaraan diklat pengadaan barang dan jasa untuk tenaga di Pusat dan BPKH.

3. Penyelenggaraan diklat tenaga inventarisasi hutan dan penafsiran citra penginderaan jauh.

4. Penggantian peralatan perpetaan yang rusak dilakukan sepanjang anggaran tersedia.

5. Sambil menunggu payung hukum pelimpahan sarpras KPH kepada pengelola untuk sementara menjadi Aset BPKH dan masuk Simak BMN BPKH.

6. Pola karir pejabat dan staf lingkup Ditjen planologi dengan melakukan rotasi/ mutasi maksimal 5 tahun.

7. Percepatan pencairan tanda bintang dengan melengkapi persyaratan yang diminta DJA.

8. Perbaikan Standar biaya dan kegiatan untuk TSP/PSP, tata batas dan NSDH sesuai dengan jarak, tingkat kesulitan lokasi dan perkembangan teknologi dan waktu penyelesaiannya kurang dari 30 hari.

9. Koordinasi dengan Itjen terkait dengan audit kinerja.

10. Setiap eselon II dan BPKH harus menyusun Renstra.

B. PERENCANAAN KAWASAN HUTAN

1. Perencanaan kehutanan dilakukan berbasis spasial.

2. BPKH agar mengambil peran aktif dalam penyusunan RKTP.

3. BPKH agar lebih berperan dalam proses review tata ruang denbgan menjadi

anggota BKPRD. Pusat akan membuat surat ke Gubernur dan Bupati/ Walikota.

4. Percepatan penyelesaian review tata ruang akan mempengaruhi penyelesaian target tata batas dan pembangunan KPH.

5. Review tata ruang kabupaten tetap mengacu pada tata ruang provinsi.

C. PENGUKUHAN DAN PENATAGUNAAN

KAWASAN HUTAN

1. Komunikasi yang lebih intens dari BPKH untuk memberikan pemahaman tugas dan kewenangan PTB kepada para bupati/ walikota.

2. Pengembangan metode tata batas dan pelibatan pihak ke 3 dan penyelesaian klaim hak-hak pihak ke 3 akan diatur dalam revisi SK menhut 32/2001 yang akan diselesaikan paling lambat Juni 2011.

3. Untuk mengatasi kebutuhan jumlah dan kompetensi SDM dalam pelaksanaan tata batas dilakukan dengan mobilisasi juru ukur (melalui) dari BPKH yang sudah selesai tata batasnya, penyelenggaraan diklat dan sertifikasi juru ukur.

4. Untuk sementara target tata batas masih ditetapkan sepanjang 63.000 km sampai dengan tahun 2014.

5. BPKH menyiapkan lokasi/ sasaran target tata batas tahun 2012 sepanjang 16.000 km paling lambat awal Juni 2011.

6. BPKH mencermati lagi rekalkulasi, untuk meningkatkan akurasi data target tata batas.

D. BIDANG WILAYAH PENGELOLAAN DAN

PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN

1. Peningkatan pemahaman mengenai KPH yang meliputi 3 aspek yaitu wilayah, kelembagaan dan perencanaan pengelolaan serta sosialisasinya.

2. Kriteria KPH yang sudah beroperasi sekurang-kurangnya telah memiliki wilayah, kelembagaan (Sarpras, SDM, Dana) dan rencana pengelolaan.

Page 37: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

3. Peran BPKH dalam pembangunan KPH disesuaikan dengan tupoksi dan anggaran yang tersedia.

BPKH mengidentifikasi isu utama untuk percepatan pembangunan KPH di regionnya mengingat setiap region.

4. mempunyai kekhasan tersendiri dan melaporkan ke Dirjen Planologi Kehutanan.

E. PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

34  

1. BPKH memberikan analisa fungsi kawasan hutan dalam rangka pemberian rekomendasi Gubernur untuk proses penerbitan izin penggunaan kawasan (Permenhut 18/2011).

2. Direktorat Penggunaan Kawasan melakukan sosialisasi Permenhut 18/2011 ke BPKH dan daerah.

3. BPKH agar menganggarkan kegiatan verifikasi areal terganggu penggunaan kawasan sebanyak wajib bayar yang ada di wilayahnya.

4. Menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat teknis dalam.

5. pelaksanaan supervisi tata batas IPPKH.

F. INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SDH

1. Standar kegiatan TSP/PSP akan dikaji ulang terkait dengan perkembangan teknologi.

2. Pelaksanaan redesign TSP/PSP harus dilakukan secara nasional. Penambahan klaster dilakukan bukan hanya karena redesign saja akan tetapi berdasarkan periode lima tahunan inventarisasi hutan nasional.

3. Entri data untuk pengolahan data TSP/PSP dengan menggunakan piranti lunak sesuai pelatihan tahun 2011.

4. Piranti lunak pengolah data NSDH akan disempurnakan sebelum Juni 2011. Demikian hasil rumusan Musyawarah Konsultasi Ditjen Planologi Kehutanan (Mukon) tahun 2011.

TIM PERUMUS

Page 38: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

STATUS KEMAJUAN IMPLEMENTASI PERPRES NO. 85 TENTANG JARINGAN DATA SPASIAL NASIONAL

PADA SIMPUL JARINGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN O l e h : S e t i a j i

Dengan telah terbitnya Peraturan Presiden

No. 85 Tahun 2007 peran para pimpinan lembaga/ Kementerian/ Pemerintah Daerah sangat diperlukan dalam upaya mensukseskan berjalannya implementasi Perpres JDSN, Apabila kita meninjau seberapa jauh status kemajuan dari implementasi Perpres No.85 tentang Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN), tentunya kita

harus mengetahui hal apa saja yang perlu diimplementasikan sehingga dapat dilihat masing-masing kemajuannya. Hal-hal yang diatur dalam JDSN secara garis besar dapat dikelompokkan dalam hal penghubung simpul jaringan, simpul jaringan/unit kliring dan unit kerja pengelola data spasial kehutanan, dan standar data spasial kehutanan.

A. Penghubung Simpul Jaringan

Gambar 1 : Proses Bisnis Pengelolaan JDSN Sehubungan dengan tugas penghubung simpul jaringan yang berkewajiban membangun koneksi yang dapat menghubungkan seluruh simpul jaringan menjadi satu sistem yang standar. Telah disepakatinya tahapan pencapaian pembangunan JDSN diantaranya adalah adanya kemudahan mencari informasi tentang keberadaan data spasial, kemudahan untuk menghubungi contact

person dimasing-masing unit kerja pengelola jaringan data spasial, ketersediaan data spasial, kemudahan melihat kondisi/visualisasi data spasial yang diperlukan, kemudahan memperoleh data spasial yang diperlukan, kemudahan menggunakan data spasial yang diperlukan.

35  

Page 39: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

Guna mendukung hal di atas telah terbentuk unit kliring di masing –masing unit kerja pengelola data spasial, terbangunnya metadata sesuai standar yang ditetapkan, terjadinya koneksitas antara simpul jaringan dengan unit kerja pengelola data spasial, terbangunnya directory contact person, terbangunnya aplikasi pencarian data, dan terbangunnya portal pengelolaan data spasial pada simpul jaringan.

Pekerjaan penghubung simpul jaringan dilakukan oleh Subdit Jaringan Data Spasial, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Direktorat Planologi Kehutanan. Dalam hal penyelenggaraan JDSN, penghubung simpul jaringan bertugas membangun sistem akses JDSN, memfasilitasi pertukaran data spasial, memelihara sistem akses JDSN, dan melakukan pembinaan.

Sampai saat ini pembangunan sistem akses sudah disiapkan dan sudah dapat dinikmati terutama dalam akses informasi yang rinci tentang data (metadata) yang dipunyai oleh Pengelola Data Spasial Kehutanan. Status kemajuannya yaitu metadata baru diisi oleh beberapa pengelola data spasial saja, sehingga

perlu diteruskan oleh para pengelola data spasial yang lain agar informasi tentang keberadaan data spasial kehutanan di seluruh Indonesia dapat dinikmati oleh masyarakat pengguna. Pertukaran data spasial secara teknis sudah disiapkan sistemnya dan sudah dapat dilakukan dengan baik, permasalahannya belum banya unit kerja pengelola data spasial yang siap tersambung dalam jaringan, sehingga untuk mendukung hal ini diharapkan setiap unit kerja pengelola jaringan data spasial segera menyiapkan perangkat sistemnya agar dapat bergabung dan bertukar data spasial secara elektronik.

Mengenai tugas pemeliharaan sistem akses manjadi tanggung jawab pengelola simpul jaringan, status kemajuannya sudah bias beroperasi. Hal terbut dinilai baik karena kondisinya yang masih baru. Pembinaan Pengelola Data Spasial Kehutanan sudah dilakukan oleh Direktorat Planologi selaku unit kliring jaringan data spasial kehutanan, antara lain kepada pengelola data spasial Planologi, P-DAS&PS, PHKA, BUK dan Unit Kerja Lainnya. Tabel kemajuan implementasi JDSN Kemenhut adalah sebagai berikut :

Tabel. Kemajuan Implementasi JDSN Kementerian Kehutanan

Sampai saat ini status kemajuannya yaitu

simpul jaringan sudah pernah melakukan sosialisasi berupa pengiriman salinan naskah Perpres No. 85 tentang JDSN, pengiriman salinan

naskah SK Unit Kliring Data Spasial Kehutanan, pengiriman kamus data spasial kehutanan, bimbingan teknis/magang/pelatihan di bidang pengelolaan data spasial kehutanan.

JDSN Kemajuan Penghubung Simpul Jaringan Pembangunan sistem akses JDSN, sudah siap pakai dan metadatanya baru diisi

oleh beberapa unit kerja pengelola data spasial kehutanan Pertukaran data spasial, sistem sudah siap pakai, baru digunakan beberapa unit

kerja pengelola data spasial kehutanan Pemeliharaan sistem akses : sudah beroperasi Pembinaan unit kerja pengelola data spasial kehutanan, Pusat dan Daerah/17

BPKH/Provinsi Simpul Jaringan/Unit Kliring dan Unit Kerja Pengelola Data Spasial Kehutanan

Unit kliring berada di Subdit Jaringan Data Spasial, Dit. IPSDH, Ditjen Planologi Kehutanan, disetiap unit kerja (Tim Pengelola Data Spasial Kehutanan) pengelola data spasial di Pusat sudah tersedia, Di Daerah/ BPKH masih sedikit dan masih terus ditingkatkan.

Standar Data Spasial Kehutanan Terbentuknya Tim Pengelola Data Spasial Kehutanan yang beranggotakan

perwakilan Unit Kerja di setiap eselon I Kementerian Kehutanan yang mengupdate/menetapkan kamus data spasial kehutanan

36  

Page 40: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

B. Simpul Jaringan / Unit Kliring dan Unit Kerja Pengelola Data Spasial Kehutanan

37  

 

Untuk melaksanakan tugas simpul jaringan dalam hal pertukaran dan penyebarluasan data spasial penyebarluasan data spasial (berupa metadata) ditetapkan unit kliring oleh masing-masing simpul jaringan. Fungsi unit kliring dalam jaringan adalah sebagai pintu gerbang dari simpul jaringan / unit kerja pengelola data spasial mewakili unit kerja pengelola data spasial dalam simpul jaringan /geodatabase.

Tabel Kontak Person Sebagian Daftar Personal Kontak Person Tim Pengelola Data Spasial Kehutanan berdasar pada Keputusan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan No.SK.59/II-KUM/2010, tanggal 25 Mei 2010 adalah dalam tabel sebagai berikut :

Tabel. Kontak Person Tim Pengelola Data Spasial Kehutanan Unit Kerja Kontak PersonSekretariat Jenderal Suryanto (Staf TU dan Biro Hukum dan Organisasi Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Deny Haryanto, Amd. (Staf Subdit Program dan Evaluasi pengendalian, Dir. Pengendalian Kebakaran Hutan)

Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial

Hari Tri Budianto, Ssi., Msi., (Staf Subdit Pemolaan DAS, Dir. Pengelolaan DAS), Drs. Sam Karya, S.Si.,M.Si. (Staf Bag. Evalap, Setditjen RLPS)

Dirjen Bina Produksi Kehutanan Ninik Damayanti, S.Hut. (Staf Subdit Informasi SDH Produksi, Dir. Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi)

Dirjen Planologi Kehutanan Iphan Rangga Permana, S.Hut, Judin Purwanto, S.Hut (Staf Subdit Jaringan Data Spasial, Dir. IPSDH)

Page 41: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

Tabel Custodian/Walidata Kehutanan yang tergabung dalam Tim Pengelola Jaringan Data Spasial Kehutanan sampai dengan tahun 2010 adalah sebagai berikut :

No. Kebutuhan Informasi Jenis Informasi Custodian

38  

Penyedia / Sumber Data

Custodian/Walidata Kehutanan

1 Kawasan Hutan spasial dan non spasial

Dit. Kuh Ditjen Planologi Kehutanan

2 Izin pemanfaatan - IUPHHK-HA

spasial - Dit. Wil Ditjen Planologi Kehutanan

non spasial - Dit. BPHA Ditjen BUK 3 - IUPHHK-HA Restorasi spasial - Dit. Wil Ditjen Planologi Kehutanan

non spasial - Dit. BPHA Ditjen BUK 4 - IUPHHK-HT spasial - Dit. Wil Ditjen Planologi Kehutanan

non spasial - Dit. BPHT Ditjen BUK 5 - HTR spasial - Dit. Wil Ditjen Planologi Kehutanan

non spasial - Dit. BPHT Ditjen BUK 6 - HKM spasial - Dit. Wil Ditjen Planologi Kehutanan

non spasial - Dit. Pengelolaan DAS Ditjen RLPS

7 HD spasial - Dit. Wil Ditjen Planologi Kehutanan

non spasial - Dit. Pengelolaan DAS Ditjen RLPS 8. Perubahan fungsi dan

peruntukan kebun spasial dan non spasial

Dit.Kuh Ditjen Planologi Kehutanan

9 Perubahan fungsi dan peruntukan Transmigrasi

spasial dan non spasial

Dit.Kuh Ditjen Planologi Kehutanan

10 Ijin pinjam pakai kawasan hutan

Data spasial dan non spasial

Dit.Penggunaan Ditjen Planologi Kehutanan

11 Penyebaran kawasan hutan yang telah disusun rancang bangun pengelolaannya (KPHP, KPHK, KPHL)

spasial dan non spasial

Dit.Wil Ditjen Planologi Kehutanan

12 KPH Model (Kesatuan Pengelolaan Hutan Model)

spasial dan non spasial

Dit.Wil Ditjen Planologi Kehutanan

13 DAS dan Prioritas Pengelolaannya

Spasial dan non spasial

Dit. Pengelolaan DAS dan Setditjen RLPS

Ditjen RLPS

14 GNRHL/Gerhan Spasial dan non spasial

Dit. Bina RHL dan Setditjen RLPS

Ditjen RLPS

15 Sebaran Potensi hasil hutan

Spasial dan non spasial dibutuhkan data sampai tingkat provinsi/kab

Dit.IPSDH Ditjen Planologi Kehutanan

16 Sebaran Titik Panas Spasial dan non spasial (Data parsial)

Dit. PKH Ditjen PHKA

17 Penutupan lahan spasial dan non spasial

Dit. IPSDH Ditjen Planologi Kehutanan

18 Pal Batas Kawasan Hutan spasial dan non spasial

Dit Kuh Ditjen Planologi Kehutanan

19 Biodiversity spasial dan non spasial

Dit KKH Ditjen PHKA

20 Zonasi Kawasan Konservasi

spasial dan non spasial

Dit.KK Ditjen PHKA

21 Zonasi Benih spasial dan non spasial

Dit. Perbenihan Tanaman Hutan dan Setditjen RLPS

Ditjen RLPS

22 Kebun Bibt Rakyat spasial dan non spasial

Dit. Perbenihan Tanaman Hutan dan Setditjen RLPS

Ditjen RLPS

23 RTKRHL spasial dan non spasial

Dit. Perbenihan Tanaman Hutan dan Setditjen RLPS

Ditjen RLPS

Page 42: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

C. Tantangan Pengelolaan Geodatabase Spasial Kehutanan

Berkembangnya isu-isu pemanfaatan / pembangunan geospasial di Indonesia seperti government architectur, disaster management, natural resource management, economic management memerlukan dukungan infrastruktur yang mendukung, sementara ini kondisi yang ada SDM secara kuantitas dan kualitas kurang memadai, Walidata belum melaksanakan perannya sebagaimana yang diharapkan (upload dan update secara mandiri, real time dan on line melalui jaringan yang ada, bukan diantar pakai CD/eksternal, dijemput, data belum shapefile/masih text koordinat dan memposisikan sendiri seperti sekarang ini dsb yang sangat menguras waktu, ), Belum semua sumber data (peta lampiran SK Menhut) ditemukan, Kualitas sebagian peta pada waktu yang lalu kurang memadai (koordinat lokal, skala, peta dasar yang kurang baik sehingga perlu upaya ekstra untuk memposisikan kembali ke PDTK), Kondisi geodatabase pada saat ini sudah digunakan untuk mendukung berbagai perencanaan (ada kekhawatiran untuk analisa, tapi itulah data yang terbaik yang ada, sambil terus melengkapi dan memperbaiki). Integrasi jaringan dan data spasial dilakukan untuk standarisasi, meminalimalisir duplikasi data, kualitas data, dan sharing data spasial kehutanan.

D. Standar Data Spasial Kehutanan

39  

Gambar 3 : Aplikasi Metadadata (http://appgis.dephut.go.id:8080/geonetwork/srv/id/main.home )

Prinsip-prinsip utama dalam Perpres No. 85 Tahun 2007 diantaranya adalah pengaturan dan penetapan siapa berbuat apa, tentang

data spasial tertentu, produk yang dihasilkan harus memenuhi standar yang ditetapkan, dapat secara nasional atau internasional, dan dapat diakses oleh para pengguna. Peran standar data spasial adalah dalam hal menyediakan data spasial yang berkualitas, sehingga mudah diintegrasikan antara satu data yang diproduksi oleh unit kerja pengelola data spasial yang satu dengan yang lainnya atau dengan kata lain adanya standar data spasial kehutanan, sehingga permasalahan integrasi antar data spasial kehutanan menjadi tidak ada lagi. Agar dapat mengetahui status kemajuan dari sisi standar data spasial secara nasional, maka perlu kita melihat pasal 8 JDSN sebagai berikut, Data spasial sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 harus memenuhi standar nasional Indonesia, dalam hal belum ada standar nasional Indonesia, digunakan spesifikasi data spasial dari simpul jaringan yang pemberlakuannya bersifat sementara, berlakunya spesifikasi data spasial yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diinformasikan melalui penghubung simpul jaringan, pemberlakuan spesifikasi data spasial sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pimpinan simpul jaringan paling lama 3 (tiga) tahun.

Fungsi komunikasi pada penghubung simpul jaringan akan dapat dikatakan sukses apabila komunikasi baik pemerintah dan masyarakat dalam kebutuhannya terhadap informasi tentang keberadaan data spasial tertentu dapat berjalan dengan lancar.

E. Tematik Kehutanan yang telah ada di

Geodatabase sampai Desember 2010

Kawasan hutan, Penutupan lahan (time series), Kluster, Pemanfaatan (IUPHHK - HA/RE/HT/HTR/HKM/HD), Penggunaan (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan), Pelepasan (Trans/Kebun), Gambut (Sumatera, Kalimantan dan Papua), DAS, Lahan kritis , GNRHL (tahun 2003,2004), Hot Spot (1997 – 2010), Informasi dasar lain (sungai, jalan, base, administrasi, lereng).

F. Kegiatan dan Upaya Rutin yang Dilakukan

Page 43: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

Memperkuat simpul-simpul SIG yang ada dalam lingkup Kemenhut (sistem perawatan pusat data SIG, aplikasi SIG untuk tukar/distribusi data, peningkatan pusat data SIG/clearing house database spasial), Penyediaan basisdata geospasial kehutanan seluruh wilayah Indonesia (pelatihan dan forum komunikasi SIG, pembuatan matrik kustodian data lingkup Kemenhut, koordinasi dengan Bakosurtanal )., Memberikan akses informasi spasial kehutanan yang lebih luas kepada publik (peningkatan Jaringan LAN dan Internet).

H. Daftar Pustaka

1. Peraturan Presiden (Perpres) No. 85 Tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional

2. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.02/Menhut-II/2010 Tentang Sistem Informasi Kehutanan

G. Keberlanjutan Usaha - usaha Pengelolaan Jaringan dan Data Spasial Kehutanan

3. John E. Harmon, Steven J. Anderson. 2003. Design and Implementation of Geographic Information

Melakukan update data dan jaringan spasial, kebijakan yang ada, sumberdaya manusia, peningkatan riset and development, dan teknologi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.

4. Systems. John Wiley and Sons : New Jersey. 5. Paul Longley et.al. 2001.Geographic Information

System and Science. John Wiley and Sons : NewYork. 6. Burrough, P.1986. Principle of Geographical

Information System for Land Resources Assesment. Claredon Press : Oxford.

7. Philippe Rigaux et.al, 2002. Spatial Databases With Application to GIS. Morgan Kaufman : San Francisco.

8. http://www.esri.com 9. http://www.inovagis.org/ 10. http://webgis.dephut.go.id/

40  

Page 44: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

41  

PARTISIPASI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN

DALAM REHABILITASI HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK UNTUK MENDUKUNG TERBENTUKNYA KPHL MANGROVE

Oleh :

Destiana Kadarsih, S. Hut, MT

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Di era reformasi, perubahan paradigma menjadi partisipatif dengan pendekatan bottom-up terjadi di dalam perencanaan dan pengelolaan hutan dimana kegiatan pembangunan kehutanan termasuk rehabilitasi hutan dilaksanakan dalam kerangka “Multistakehoder Forestry Program” (Program Kehutanan Multipihak). Dengan pendekatan baru ini stakeholder kehutanan, yaitu masyarakat sekitar hutan ditempatkan sejajar sebagai mitra utama dengan stakeholder lainnya seperti pemerintah, pihak swasta dan LSM. Menurut Simon (1993) dalam Kasim (2003), masalah sosial sering menyebabkan kerusakan hutan dan menyebabkan kegagalan rehabilitasi hutan. Oleh karena itu pelibatan masyarakat sekitar hutan dilaksanakan dalam kerangka pengentasan kemiskinan untuk mengurangi tekanan terhadap hutan dan membangkitkan rasa memiliki dan menjaga tanaman rehabilitasi agar tetap hidup. Salah satu kawasan lindung di Jakarta Utara yang terancam keberadaannya dan memerlukan rehabilitasi adalah kawasan hutan lindung mangrove Angke-Kapuk. Dalam upaya menyelamatkan ekosistem mangrove yang ada, pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencanangkan kawasan hutan lindung mangrove Angke-Kapuk sebagai bagian dari program pengembangan “Kawasan Sabuk Hijau(Greenbelt) Mangrove Angke-Kapuk” melalui berbagai kegiatan yang salah satunya adalah kegiatan rehabilitasi hutan dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan. Partisipasi masyarakat sekitar hutan merupakan hal penting bagi keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi hutan dan merupakan salah satu modal bagi upaya mewujudkan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL)

mangrove di tahap selanjutnya. Partisipasi suatu kelompok masyarakat dalam suatu kegiatan pembangunan tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berbagai faktor tersebut dapat berasal dari dalam individu (faktor internal) maupun faktor dari luar individu (faktor eksternal) yang biasanya berupa pendekatan dari proyek atau faktor lingkungan setempat (Indrawati dkk, 2003). Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengkaji berbagai faktor yang mendorong partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam rehabilitasi hutan dan strategi peningkatan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam upaya mendukung terwujudnya KPHL mangrove.

II. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-explanatory yang bertujuan untuk menjelaskan, mendeskripsikan situasi, fakta dan hubungan-hubungan yang terjadi antar variabel (Nazir, 1999).

A. Pemilihan Responden Responden yang menjadi obyek penelitian dibagi menjadi 4 kelompok yang mempunyai hubungan dan ruang lingkup kegiatan dengan kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk yang terletak di Kelurahan Kamal Muara dan Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan. Keempat kelompok tersebut adalah: 1. Keseluruhan anggota kelompok

masyarakat sekitar hutan yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang berjumlah 57 orang dan tinggal di RW 01, RW 11 dan RW 20, Kampung Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara.

2. Tokoh masyarakat yang terlibat aktif mengkoordinir masyarakat sekitar hutan

Page 45: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

42  

untuk berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi hutan yaitu Bapak Kayat

3. Pihak pemerintah daerah yang diwakili oleh Kepala Seksi Pengelolaan Hutan pada Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi DKI Jakarta yaitu Bapak Ir. Sukardi selaku pengelola kawasan hutan lindung

4. Perwakilan LSM LPP Mangrove yang ikut dalam kegiatan rehabilitasi hutan lindung mangrove Angke-Kapuk yaitu Bapak Ir. Chandra

B. Penentuan Faktor dan Indikator

Pemilihan faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi partisipasi masyarakat sekitar hutan menggunakan dasar berpikir deduktif yang mana dimulai dari teori-teori yang sudah ada kemudian melihat kenyataan di lapangan (berawal dari aras teoritik ke aras

empirik). Oleh karena itu, pemilihan faktor yang diperkirakan mempengaruhi didasarkan pada kajian dari beberapa literatur dan teori yang membahas tentang partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan pada umumnya dan program rehabilitasi hutan dan konservasi tanah. Selanjutnya faktor-faktor tersebut dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu faktor internal dan faktor eksternal berdasarkan pada pendapat Indrawati dkk., (2003) bahwa faktor yang mempengaruhi partisipasi ada yang bersifat internal dan eksternal. Faktor Internal, adalah apa yang ada dalam diri individu yang akan mempengaruhi individu tersebut untuk berpartisipasi. Sedangkan Faktor Eksternal, adalah faktor stimulus dari luar masyarakat dan faktor lingkungan dimana kegiatan yang melibatkan partisipasi masyarakat itu berlangsung.

Tabel 1. Faktor, Sub Kelompok, Kelompok dan Indikator yang Mempengaruhi Partisipasi

Masyarakat Sekitar Hutan dalam Rehabilitasi Hutan Lindung Mangrove Angke Kapuk Kelompok Sub

Kelompok

Faktor

Indikator Faktor Internal

Sosial Ekonomi Masyarakat

Jenis kelamin

Mayoritas masyarakat dengan jenis kelamin laki-laki berpartisipasi dalam rehabilitasi hutan.

Umur

Mayoritas masyarakat yang berada dalam rentang usia muda (produktif ) berpartisipasi dalam rehabilitasi hutan

Lama tinggal

Mayoritas masyarakat dengan kategori lama tinggal lebih dari 5 tahun berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi

Tingkat pendidikan

Mayoritas masyarakat dengan tingkat pendidikan lebih tinggi dari SD berpartisipasi dalam rehabilitasi hutan

Jenis pekerjaan atau mata pencaharian

Mayoritas masyarakat yang memiliki jenis mata pencaharian tertentu seperti nelayan yang mempunyai kepentingan dengan keberadaan hutan mangrove berpartisipasi dalam rehabilitasi hutan

Tingkat penghasilan

Mayoritas masyarakat dengan tingkat penghasilan yang lebih tinggi berpartisipasi dalam rehabilitasi hutan

Faktor Internal Lain

Tingkat Pengetahuan manfaat kegiatan rehabilitasi

Mayoritas masyarakat dengan tingkat pengetahuan manfaat rehabilitasi yang baik berpartisipasi dalam rehabilitasi hutan

Aspek komunikasi

Tipe ajakan

Mayoritas masyarakat dengan tipe ajakan tertentu (tokoh masyarakat/ pihak kehutanan/kelompok) berpartisipasi dalam rehabilitasi

Aspek Perencanaan kegiatan

Partisipasi masyarakat dalam perencanaan memiliki makna dalam rencana final

Mayoritas urutan rangking atau peringkat yang diberikan oleh masyarakat

Faktor Eksternal

Aspek Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat

Penyuluhan dan percontohan Adanya dukungan dari pihak luar (LSM & Universitas) Pelibatan kelompok masyarakat setempat sebagai mitra proyek Insentif untuk mendorong partisipasi

Page 46: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

43  

Kelompok Sub Kelompok

Faktor

Indikator

Penggunaan usaha yang dimiliki

masyarakat sekitar dalam kegiatan rehabilitasi

Penggunaan spesies yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat dan penting untuk mata pencaharian penduduk Keberlajutan proyek rehabilitasi hutan dan menguntungkan secara ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan

Sumber:: Hasil kajian 2009

C. Metode Analisa Data Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis data kualitatif dengan teknik analisis data dari

model Miles dan Huberman (1984) yang dimuat dalam Sugiyono (2007) yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Data Collection 

Data Display

Data Reduction

Conclusion: Drawing/Verifying 

Gambar 1. Analisis Data Model Interaktif dari Miles dan Huberman (1984)

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua kali pengamatan/penelitian lapangan. Tahapan penelitian yang pertama dilakukan pada tanggal 16 Oktober sampai dengan 16 Nopember 2009 dan tahap penelitian kedua dilakukan pada tanggal 11–25 Januari 2010. Penelitian tahap pertama, analisis data diterapkan untuk menganalisis hasil jawaban dari kuesioner yang dibagikan kepada keempat kelompok responden yang telah ditentukan. Sedangkan tahap penelitian kedua adalah menguji kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian tahap pertama dengan melakukan trianggulasi dengan cara melakukan wawancara dan observasi kembali dan membandingkan dengan berbagai literatur yang mendukung sehingga dapat menghasilkan kesimpulan final yang valid.

III. HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil kuesioner diketahui bahwa mayoritas masyarakat sekitar hutan

terlibat dalam kegiatan perencanaan dan penanaman (36%) dan sebagian kecil yang terlibat dari tahap perancanaan, penanaman, pemeliharaan sampai pengawasan(14,04%). Sebanyak 53% masyarakat tersebut terlibat dalam kegiatan perencanaan. Adapun bentuk partispasi masyarakat dalam kegiatan perencanaan, umumnya didominasi dalam bentuk kegiatan penentuan lokasi penanaman (53,33%). Perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam rehabilitasi hutan hampir sama banyaknya (47% : 53%). Mayoritas masyarakat tersebut berumur antara 30-45 tahun (52,63%) dan mempunyai lama tinggal lebih dari 10 tahun (56,14%). Mayoritas masyarakat yang berpartisipasi dalam rehabilitasi hutan berpendidikan SD (84,21%) dan bermata pencaharian sebagai nelayan (49,12%). Mayoritas masyarakat tersebut berpenghasilan

Page 47: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

44  

rendah yaitu rata-rata tingkat penghasilan dibawah Rp 900.000,- sebulan (82,46%) dan tingkat pengetahuan manfaat rehabilitasi yang mereka miliki termasuk kategori baik (87,72%). Masyarakat umumnya ikut rehabilitasi hutan karena diajak oleh tokoh masyarakat(47,37%).

Adapun urutan peringkat faktor- faktor eksternal yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan adalah sebagai berikut: 1. Faktor Penggunaan Usaha Yang Dimiliki

oleh Masyarakat Setempat. Diwujudkan dengan adanya penggunaan bibit dan acir dari masyarakat setempat dalam kegiatan rehabilitasi hutan. Diketahui bahwa rata-rata dalam satu bulan, penyelenggara kegiatan rehabilitasi hutan mengeluarkan dana antara Rp 3.500.000 s/d Rp 10.500.000,- untuk membeli bibit dan acir dari masyarakat sekitar hutan. Dana tersebut terbukti memberikan multiplier effect (efek untuk mengerakkan ekonomi setempat) dalam konteks penyediaan bibit.

2. Faktor Adanya Insentif, merupakan faktor yang mendorong karena memberikan manfaat ekonomi.

3. Faktor Pelibatan Kelompok Masyarakat Setempat Sebagai Mitra Proyek oleh Dinas kehutanan membuat masyarakat merasa senang dan dihargai, diakui keberadaannya dan sejajar dengan stakeholder lain. Pendekatan ini mengakomodir unsur lokalitas sebagai salah satu strategi pemberdayaan masyarakat.

4. Faktor Partisipasi masyarakat setempat bermakna dalam rencana final yaitu didengarkannya pendapat masyarakat tentang jenis tanaman, pengaturan lokasi penanaman dan kesanggupan jumlah bibit yang mampu disediakan oleh masyarakat membuat masyarakat menjadi lebih mempercayai proyek rehabilitasi, lebih mengetahui tentang proyek tersebut sehingga mendorong rasa memiliki terhadap keberhasilan proyek rehabilitasi tersebut.

5. Faktor Keberlanjutan Manfaat Ekonomi Proyek membuat masyarakat menilai bahwa kegiatan rehabilitasi merupakan proyek yang berkelanjutan dan secara ekonomis menguntungkan mereka.

Masyarakat meminta peran serta mereka dapat berlanjut dalam kegiatan di hutan lindung.

IV. KESIMPULAN Faktor-faktor yang mempengaruhi

partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam rehabilitasi hutan lindung Angke Kapuk adalah faktor usia produktif (usia 20-45 tahun), faktor lama tinggal lebih dari 5 tahun, faktor jenis pekerjaan sebagai nelayan, faktor tingkat penghasilan yang rendah, faktor tingkat pengetahuan manfaat rehabilitasi hutan yang baik dan faktor tipe ajakan dari tokoh masyarakat.

Urutan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi partisipasi masyarakat sekitar hutan adalah: 1. Penggunaan usaha yang dimiliki

masyarakat sekitar dalam kegiatan rehabilitasi

2. Adanya Insentif 3. Pelibatan kelompok masyarakat

setempat sebagai mitra proyek 4. Partisipasi masyarakat dalam

perencanaan memiliki makna dalam rencana final

5. Adanya keberlanjutan proyek rehabilitasi hutan dan menguntungkan secara ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan

Jika dianalisis, kelima faktor tersebut diatas menggambarkan adanya penerapan (1) prinsip lokalitas melalui pelibatan kelompok masyarakat lokal sebagai mitra proyek dan pelibatan mereka dalam kegiatan perencanaan. (2) prinsip pemberdayaan masyarakat melalui penggunaan usaha masyarakat setempat yang memberikan peningkatan produksi dan ekonomi rakyat.

V. STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN UNTUK MENDUKUNG KPHL MANGROVE.

Pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam kegiatan rehabilitasi di hutan lindung Angke Kapuk dilakukan sebagai upaya untuk tercapainya keberhasilan proyek rehabilitasi dan terwujudnya pemeliharaan dan perlindungan kawasan hutan. Pelibatan masyarakat sekitar hutan ini merupakan

Page 48: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

45  

salah satu strategi pemberdayaan masyarakat yang dapat dijadikan modal bagi upaya pembentukan KPHL mangrove baik di hutan lindung Angke Kapuk maupun di kawasan hutan lindung mangrove lainnya. Belajar dari berbagai faktor yang diketahui telah mampu mendorong partisipasi masyarakat lokal seperti diuraikan diatas maka beberapa hal perlu diimplementasikan sebagai strategi pemberdayaan masyarakat guna mendukung KPHL mangrove : 1. Peran serta masyarakat dalam tahap

perencanaan kegiatan rehabilitasi yaitu dengan terlibatnya mereka dalam penentuan jenis tanaman dan lokasi penanaman menunjukkan adanya proses bottom up planning dan terbukti mampu mendorong mereka untuk lebih berpartisipasi karena adanya rasa memiliki terhadap proyek tersebut. Adanya partnership ditunjukkan dengan pemberian kesempatan oleh Dinas Kehutanan bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam pengadaan bibit dan peralatan lain yang digunakan dalam kegiatan rehabilitasi. Untuk tahap selanjutnya diperlukan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses informasi dan ilmu dari pusat bibit sehingga bibit yang dihasilkan oleh masyarakat dapat lebih berkualitas (bersertifikat) dan kemampuan masyarakat memproduksi bibit dapat terus meningkat.

2. Untuk menjaga kontinuitas partisipasi masyarakat sekitar hutan sebaiknya dilaksanakan kegiatan yang mendukung peningkatan kapasitas masyarakat lokal yang berorientasi kepada pertumbuhan kondisi dimana masyarakat tersebut dapat belajar sambil bekerja untuk dirinya sendiri yang dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan, studi banding dan lain-lain.

3. Penerapan prinsip – prinsip pemberdayaan masyarakat dan prinsip lokalitas yang dapat memberi kesempatan masyarakat untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya melalui kegiatan yang mempunyai efek langsung pada peningkatan produksi dan ekonomi masyarakat sekitar hutan harus terus dilaksanakan. Antara lain

dengan tetap menggunakan usaha-usaha yang dimiliki oleh masyarakat setempat dalam penyediaan kebutuhan kegiatan rehabilitasi.

VI. HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil kuesioner diketahui bahwa mayoritas masyarakat sekitar hutan terlibat dalam kegiatan perencanaan dan penanaman (36%) dan sebagian kecil yang terlibat dari tahap perancanaan, penanaman, pemeliharaan sampai pengawasan(14,04%). Sebanyak 53% masyarakat tersebut terlibat dalam kegiatan perencanaan. Adapun bentuk partispasi masyarakat dalam kegiatan perencanaan, umumnya didominasi dalam bentuk kegiatan penentuan lokasi penanaman (53,33%). Perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam rehabilitasi hutan hampir sama banyaknya (47% : 53%). Mayoritas masyarakat tersebut berumur antara 30-45 tahun (52,63%) dan mempunyai lama tinggal lebih dari 10 tahun (56,14%). Mayoritas masyarakat yang berpartisipasi dalam rehabilitasi hutan berpendidikan SD (84,21%) dan bermata pencaharian sebagai nelayan (49,12%). Mayoritas masyarakat tersebut berpenghasilan rendah yaitu rata-rata tingkat penghasilan dibawah Rp 900.000,- sebulan (82,46%) dan tingkat pengetahuan manfaat rehabilitasi yang mereka miliki termasuk kategori baik (87,72%). Masyarakat umumnya ikut rehabilitasi hutan karena diajak oleh tokoh masyarakat(47,37%).

Adapun urutan peringkat faktor- faktor eksternal yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan adalah sebagai berikut: 1. Faktor Penggunaan Usaha Yang Dimiliki

oleh Masyarakat Setempat. Diwujudkan dengan adanya penggunaan bibit dan acir dari masyarakat setempat dalam kegiatan rehabilitasi hutan. Diketahui bahwa rata-rata dalam satu bulan, penyelenggara kegiatan rehabilitasi hutan mengeluarkan dana antara Rp 3.500.000 s/d Rp 10.500.000,- untuk membeli bibit dan acir dari masyarakat sekitar hutan. Dana tersebut terbukti memberikan multiplier effect (efek untuk mengerakkan ekonomi setempat) dalam konteks penyediaan bibit.

Page 49: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

46  

2. Faktor Adanya Insentif, merupakan faktor yang mendorong karena memberikan manfaat ekonomi.

3. Faktor Pelibatan Kelompok Masyarakat Setempat Sebagai Mitra Proyek oleh Dinas kehutanan membuat masyarakat merasa senang dan dihargai, diakui keberadaannya dan sejajar dengan stakeholder lain. Pendekatan ini mengakomodir unsur lokalitas sebagai salah satu strategi pemberdayaan masyarakat.

4. Faktor Partisipasi masyarakat setempat bermakna dalam rencana final yaitu didengarkannya pendapat masyarakat tentang jenis tanaman, pengaturan lokasi penanaman dan kesanggupan jumlah bibit yang mampu disediakan oleh masyarakat membuat masyarakat menjadi lebih mempercayai proyek rehabilitasi, lebih mengetahui tentang proyek tersebut sehingga mendorong rasa memiliki terhadap keberhasilan proyek rehabilitasi tersebut.

5. Faktor Keberlanjutan Manfaat Ekonomi Proyek membuat masyarakat menilai bahwa kegiatan rehabilitasi merupakan proyek yang berkelanjutan dan secara ekonomis menguntungkan mereka. Masyarakat meminta peran serta mereka dapat berlanjut dalam kegiatan di hutan lindung.

VII. KESIMPULAN Faktor-faktor yang mempengaruhi

partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam rehabilitasi hutan lindung Angke Kapuk adalah faktor usia produktif (usia 20-45 tahun), faktor lama tinggal lebih dari 5 tahun, faktor jenis pekerjaan sebagai nelayan, faktor tingkat penghasilan yang rendah, faktor tingkat pengetahuan manfaat rehabilitasi hutan yang baik dan faktor tipe ajakan dari tokoh masyarakat.

Urutan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi partisipasi masyarakat sekitar hutan adalah: 1. Penggunaan usaha yang dimiliki

masyarakat sekitar dalam kegiatan rehabilitasi

2. Adanya Insentif 3. Pelibatan kelompok masyarakat

setempat sebagai mitra proyek

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan memiliki makna dalam rencana final

5. Adanya keberlanjutan proyek rehabilitasi hutan dan menguntungkan secara ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan

Jika dianalisis, kelima faktor tersebut diatas menggambarkan adanya penerapan (1) prinsip lokalitas melalui pelibatan kelompok masyarakat lokal sebagai mitra proyek dan pelibatan mereka dalam kegiatan perencanaan. (2) prinsip pemberdayaan masyarakat melalui penggunaan usaha masyarakat setempat yang memberikan peningkatan produksi dan ekonomi rakyat.

VIII. STRATEGI PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT SEKITAR HUTAN UNTUK MENDUKUNG KPHL MANGROVE. Pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam kegiatan rehabilitasi di hutan lindung Angke Kapuk dilakukan sebagai upaya untuk tercapainya keberhasilan proyek rehabilitasi dan terwujudnya pemeliharaan dan perlindungan kawasan hutan. Pelibatan masyarakat sekitar hutan ini merupakan salah satu strategi pemberdayaan masyarakat yang dapat dijadikan modal bagi upaya pembentukan KPHL mangrove baik di hutan lindung Angke Kapuk maupun di kawasan hutan lindung mangrove lainnya. Belajar dari berbagai faktor yang diketahui telah mampu mendorong partisipasi masyarakat lokal seperti diuraikan diatas maka beberapa hal perlu diimplementasikan sebagai strategi pemberdayaan masyarakat guna mendukung KPHL mangrove :

1. Peran serta masyarakat dalam tahap perencanaan kegiatan rehabilitasi yaitu dengan terlibatnya mereka dalam penentuan jenis tanaman dan lokasi penanaman menunjukkan adanya proses bottom up planning dan terbukti mampu mendorong mereka untuk lebih berpartisipasi karena adanya rasa memiliki terhadap proyek tersebut. Adanya partnership ditunjukkan dengan pemberian kesempatan oleh Dinas Kehutanan bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam pengadaan bibit dan peralatan lain yang digunakan dalam kegiatan rehabilitasi. Untuk tahap

Page 50: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

47  

selanjutnya diperlukan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses informasi dan ilmu dari pusat bibit sehingga bibit yang dihasilkan oleh masyarakat dapat lebih berkualitas (bersertifikat) dan kemampuan masyarakat memproduksi bibit dapat terus meningkat.

2. Untuk menjaga kontinuitas partisipasi masyarakat sekitar hutan sebaiknya dilaksanakan kegiatan yang mendukung peningkatan kapasitas masyarakat lokal yang berorientasi kepada pertumbuhan kondisi dimana masyarakat tersebut dapat belajar sambil bekerja untuk dirinya sendiri yang dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan, studi banding dan lain-lain.

3. Penerapan prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat dan prinsip lokalitas yang dapat memberi kesempatan masyarakat untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya melalui kegiatan yang mempunyai efek langsung pada peningkatan produksi dan ekonomi masyarakat sekitar hutan harus terus dilaksanakan. Antara lain dengan tetap menggunakan usaha-usaha yang dimiliki oleh masyarakat setempat dalam penyediaan kebutuhan kegiatan rehabilitasi.

4. Tingkatan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam kegiatan rehabilitasi ini masih berada pada level/tingkatan yang prematur. Agar konsep pemberdayaan masyarakat dapat lebih diterapkan dalam mendukung KPHL mangrove, maka pada tahap selanjutnya diharapkan adanya kegiatan untuk membangun dan mengembangkan kelembagaan masyarakat lokal melalui pembentukan kelompok mereka secara definitif yang pada tahap selanjutnya akan terus mendorong terbangunnya inisiatif dan pembiayaan (cost sharing) dari masyarakat setempat bagi pelaksanaan kegiatan rehabilitasi untuk mewujudkan KPHL mangrove. Guna tercapainya tujuan tersebut maka dapat digunakan pendekatan melalui tokoh masyarakat setempat dan LSM yang terlibat.

5. Pendekatan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam kegiatan rehabilitasi sebaiknya tetap dilaksanakan dalam kerangka proyek yang tidak menimbulkan efek ketergantungan dari masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi. Agar dapat

menumbuhkan komitmen jangka panjang mereka dalam upaya rehabilitasi hutan maka perlu adanya perencanaan kolaboratif antara berbagai pihak yang terlibat yang dapat membuka akses masyarakat sekitar hutan untuk terlibat dalam pengelolaan KPHL mangrove melalui pelibatan mereka dalam mengembangkan pariwisata di kawasan hutan lindung. Hal ini guna mendukung perubahan orientasi kawasan KPHL yang mandiri (dari cost center menjadi profit center) tanpa menghilangkan fungsi lindungnya.

6. Apabila KPHL mangrove telah terwujud maka pemberdayaan masyarakat tetap dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip : Masyarakat sebagai pelaku utama dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengambilan manfaat; masyarakat sebagai pengambil keputusan; Pemerintah sebagai pendamping dan pengendalian kegiatan; kepastian hak dan kewajiban semua pihak dan kelembagaan masyarakat ditentukan oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Indrawati, D,R., Irawan, Evi., Haryanti, Nana.,

Yuliantoro, Dody. (2003), Partisipasi Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Lahan Dan Konservasi Tanah (RLKT), Jurnal Pengelolaan DAS: Kajian Finansial Usaha Tani Hutan Rakyat Pada Strata Luas, Vol. IX, 1 2003, Surakarta

Kasim, Kasman. (2003), Strategi Perencanaan Pengembangan Hutan Kayu Hitam. Tesis, Pasca Sarjana UGM Yogyakarta Nazir, Mohammad, 1999, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta

Pretty, J. (1995), Regenerative Agriculture: Policies and Practice for Sustainability and Selfreliance. London, Earthscan. (Dalam: R. Ramírez. “Participatory Learning and Communication Approaches for Managing Pluralism, http://www.fao.org/documents/show_cdr.asp?url_file=/DOCREP/W8827E/w8827e08.htm., 9 Mei 2005).

Sofhani, T.Furqon. (2005), Community Participation in Indonesian Development Policy: Neo Liberal and Post-Marxism Perspective. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota , Volume 16/No.1 April 2005 hal 56-68

Sugiyono. (2007), Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Penerbit Alfabeta, Bandung

Page 51: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

48  

RAPAT KOORDINASI TEKNIS (RAKORNIS) DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

JAKARTA, 08 – 11 JUNI 2011 Oleh : Desna Yuhana, S.Ikom. *)

Tanggal 8-11 Juni 2011 bertempat di Hotel Le Meridien kav. 18-20 Jakarta telah melaksanakan Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) dengan tema “Mewujudkan Sinergitas Perencanaan Makro dan Pemantapan Kawasan Hutan Untuk Pengelolaan Hutan Lestari”. Rakornis Tahun 2011 ini dimaksudkan untuk membahas usulan rencana kerja pembangunan bidang Planologi Kehutanan selaras dengan arah kebijakan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Tahun 2012 dalam Renstra Kementerian Kehutanan dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional. Acara pembukaan dilaksanakan pada tanggal 8 Juni 2011 jam 19.30 oleh Dr. Ing. Ir. Hadi Daryanto, D.E.A, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan mewakili Menteri Kehutanan. Peserta Rakornis berjumlah Orang terdiri dari : 1). Tingkat Pusat: Dirjen Planologi Kehutanan, Pejabat Esselon II lingkup Ditjen Planologi Kehutanan, serta beberapa Pejabat Esselon III dan IV lingkup ditjen Planologi Kehutanan; 2) Tingkat Daerah: Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, Kepala Balai Pemantapan

Kawasan Hutan Wilayah I s/d XVII, serta UPT Daerah Bidang Planologi Kehutanan Provinsi. Dalam Rakornis ini diadakan Warung Konsultasi oleh masing-masing Direktorat yang merupakan media pembahasan dan diskusi lebih intensif dalam rangka pemantapan penyusunan Rencana Kerja (Renja) dan RKAKL tahun 2012. Penutupan Rakornis dilaksanakan tanggal 10 Juni 2011 jam 19.00 WIB oleh DR. Ir. Dwi Sudharto, M.Si, Sekretaris Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. *)Staf Bagian Program dan Evaluasi, Sekditjen Planologi Kehutanan

Page 52: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

49  

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS TAHUN 2011

DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN JAKARTA, 8 – 11 JUNI 2011

Memperhatikan tugas pokok dan fungsi Ditjen Planologi Kehutanan, arahan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, arahan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Paparan Eselon II lingkup Ditjen Planologi Kehutanan, Kepala Biro Perencanaan Kementerian Kehutanan, dan beberapa paparan narasumber dari Biro Organisasi (Kemendagri), Direktorat Kehutanan dan Sumberdaya Air (Bappenas), Bakosurtanal, Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan serta sesi diskusi dan warung konsultasi usulan kegiatan tahun 2012, dirumuskan beberapa hal sebagai berikut: 1. Rakornis tahun 2011 dimaksudkan untuk

menyusun rencana kerja dan anggaran bidang planologi kehutanan tahun 2012 melalui Sinergitas Perencanaan Makro dan Pemantapan Kawasan Hutan untuk Pengelolaan Hutan Lestari antara pusat dan daerah.

2. Dalam prioritas pembangunan kehutanan dari tahun 2010 - 2014, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan mendapat mandat untuk menyelesaikan prioritas nasional yaitu: Pengukuhan Kawasan Hutan dan Pembangunan KPH, serta prioritas bidang SDA-LH yaitu: Review Tata Ruang dan Penyediaan data informasi SDH.

3. Capaian penyelenggaraan kegiatan pembangunan bidang planologi kehutanan tahun 2010 serta periode s/d Mei 2011 sebagai berikut: a. Capaian tahun 2010 : 84,93 %

— Pusat : 79,88 % — BPKH : 89,13 % — Dekonsentrasi : 85,69%

b. Capaian s/d Mei 2011 : 22,80 %

— Pusat : 20,34 % — BPKH : 25,26 % — Dekonsentrasi :20,17%

4. Dalam rangka mempercepat penyelesaian prioritas pembangunan kehutanan bidang planologi kehutanan, Kementerian Kehutanan (cq. Ditjen Planologi Kehutanan) telah mendapatkan persetujuan atas inisiatif baru dari semula penyelesaian tata batas sepanjang 4.000 Km menjadi 16.000 Km,

penetapan wilayah KPH seluruh Indonesia menjadi beroperasinya 60 KPH, serta enumerasi dan re-enumerasi TSP/PSP sebanyak 274 klaster/tahun menjadi 599 klaster/tahun.

5. Sasaran pokok Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan pada tahun 2012, dengan adanya inisiatif baru yaitu: a. Tata batas kawasan hutan 16.000 km. b. Beroperasinya 60 unit KPH. c. Enumerasi/Re-enumerasi di 33 Provinsi

sebanyak 599 klaster/plot. d. Fasilitasi review tata ruang pada 17

provinsi. e. Monitoring, supervisi dan verifikasi PNBP

ijin pinjam pakai kawasan hutan di 109 lokasi.

6. Dalam upaya pencapaian sasaran pokok teridentifikasi kegiatan prioritas di Pusat, BPKH dan Daerah sebagai berikut: a. Pengukuhan Kawasan hutan, tata batas

sepanjang 16.878 Km. b. Pembangunan KPH pada 60 KPH. c. Fasilitasi review tata ruang pada 17

provinsi dan penyusunan Rencana Makro Kawasan Hutan 28 kegiatan

d. Inventarisasi dan Pemantauan SDH, enumerasi/re-enumerasi sebanyak 600 klaster.

e. Monitoring, supervisi dan verifikasi PNBP ijin pinjam pakai kawasan hutan di 109 lokas dan Pengendalian Penggunaan Kawasan Hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan 18 kegiatan

f. Penyiapan Pemantapan Kawasan Hutan, tata batas 16.878 km dan 17 kegiatan.

g. Dukungan Manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Ditjen Planologi Kehutanan 24 kegiatan pada 36 satker Daerah dan 17 satker BPKH.Dukungan Manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Ditjen Planologi Kehutanan 24 kegiatan. Untuk mendukung sasaran pokok dan kegiatan prioritas tersebut telah dialokasikan anggaran (pagu indikatif)

Page 53: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

50  

Ditjen Planologi Kehutanan tahun 2012 sebesar Rp. 681,803 Milyar (berupa RM sebesar Rp. 650.732 Milyar dan PNP sebesar Rp. 31,071 Milyar).

7. Dari proses Rakornis serta memperhatikan sasaran pokok Ditjen Planologi Kehutanan tahun 2012 telah diidentifikasi kegiatan-kegiatan pembangunan planologi dan kebutuhan anggaran kegiatan pada tahun 2012 untuk masing-masing satker di Pusat, Dinas yang menangani kehutanan Provinsi dan BPKH, sebagai berikut: a. Pusat dengan jumlah usulan anggaran

Rp. 187.225.320.000,- b. Dinas yang menangani kehutanan

Provinsi jumlah usulan anggaran Rp. 42.678.640.000,-

c. BPKH dengan jumlah usulan anggaran Rp. 451.898.040.000,- Total usulan anggaran mencapai Rp. 681.802.000.000,-

Dengan demikian tidak terdapat perbedaan yang signifikant antara pagu (anggaran) indikatif dan total usulan anggaran.

8. Dalam penyiapan RKA-KL tahun 2012 agar setiap Satker menyiapkan TOR/RAB dan harus telah lengkap pada saat pagu anggaran tahun 2012 ditetapkan.

9. Penyelenggaraan kegiatan pembangunan planologi tahun 2012 sebagaimana yang telah disepakati dalam Rakornis ini, agar memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut: a. Dalam proses percepatan pengukuhan

kawasan hutan agar: — BPKH melaksanakan pembahasan

rencana trayek batas untuk setiap Kabupaten, pelibatan rekanan pelaksana/konsultan dalam pemasangan pal batas dan pengukurannya, jumlah pal batas dibatasi 1 km sebanyak 2 buah, pemanfaatan teknologi GPS dan citra satelit resolusi tinggi.

— BPKH harus mengacu pada kriteria bahwa kinerja penataan batas ditentukan oleh terkirimnya BATB ke Pusat.

— Dinas Kehutanan melaksanakan identifikasi permasalahan kawasan dan sosialisasi batas kawasan, termasuk mempercepat pembentukan Panitia Tata Batas.

b. Dalam proses review tata ruang perlu keterlibatan aktif Pusat - BPKH - Dinas dalam mempercepat proses review tata ruang, melalui komunikasi, sinergi, koordinasi dengan pihak terkait di daerah.

c. BPKH dan Dinas Kehutanan berkoordinasi untuk menyusun Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi.

d. Dalam proses penggunaan Kawasan Hutan perlu keterlibatan aktif BPKH dan Dinas Kehutanan dalam memberi pertimbangan teknis untuk pemberian rekomendasi Gubernur; Peran BPKH dalam verifikasi PNBP; Peran Dinas Kehutanan dalam monitoring dan evaluasi pelaksanaan pemenuhan kewajiban pemegang ijin persetujuan prinsip, dispensasi dan IPPKH.

e. Dalam proses pembangunan KPH perlu Koordinasi dan sinergi Pusat-BPKH-Dinas untuk mempercepat beroperasinya 60 KPH yang telah teridentifikasi.

f. Dalam proses penyediaan data informasi numerik dan spasial kehutanan perlu koordinasi dan konsolidasi antara Pusat – BPKH – Dinas dalam integrasi data numerik dan spasial kehutanan terutama dalam validasi dan updating data termasuk penyusunan statistik kehutanan di wilayahnya.

Demikian rumusan ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya. TIM PERUMUS

Page 54: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

51  

JABATAN FUNGSIONAL MENUJU PNS PROFESIONAL

Harun Waskito, S.Sos *)

Pendahuluan

Kawasan hutan Indonesia seluas 136 Juta Ha sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tidak ternilai harganya, wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus dijaga, serta dikelola berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari (sustainable forest manage) dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mengurus, mengelola, dan memanfaatkan dengan baik berdasarakan prinsip hutan lestari diperlukan orang yang kompeten dan profesional dibidangnya. Hutan Indonesia adalah milik kita dan anak cucu yang nantinya merupakan warisan yang tidak ternilai harganya, disisi lain kita tidak bisa menafikkan sisi globalisasi yang menjadi kenyataan, karena siap atau tidak, mau atau tidak mau, Indonesia akan memasuki era pasar bebas. Tentunya sumber daya manusia di Indonesia akan bersaing dengan sumber daya manusia dari negara luar. Begitupun sumber daya manusia di bidang kehutanan, dituntut untuk terus meningkatkan kompetensi, sehingga bisa menjadi tenaga yang profesional sesuai dengan bidangnya. Peningkatan kompetensi itu didapatkan melalui pendidikan dan pelatihan yang terus-menerus, berkaitan dengan keahlian yang dimilikinya.

Profesional merupakan salah satu nilai dari sembilan nilai dasar rimbawan. Kata profesional tidak pernah lepas dari kata kompetensi, sesuatu yang mutlak harus dimiliki oleh sumber daya manusia, terutama bagi aparatur negara, khususnya aparatur di bidang kehutanan. Diberbagai belahan dunia, saat ini menghadapi gelombang besar berupa meningkatnya isu globalisasi. Salah satu persyaratan menghadapi tantangan globalisasi adalah kompetensi. Tentunya sumber daya manusia di Indonesia akan bersaing dengan sumber daya manusia dari negara luar, termasuk sumber daya manusia di bidang kehutanan, dituntut untuk terus

meningkatkan kompetensi, sehingga bisa menjadi tenaga yang professional sesuai dengan bidang keahliannya.

Sebagai PNS Kementerian Kehutanan mempunyai tanggung jawab memberikan pelayanan terhadap publik. Tentunya untuk memberikan pelayanan yang baik, dibutuhkan aparatur yang benar-benar berkompeten. Faktor yang memberi keberhasilan dalam dunia kerja adalah, soft skill (40 %), networking (30%), keahlian di bidangnya (20%), Finansial (10%). Tentunya 4 (empat ) faktor tersebut harus dimiliki oleh aparatur kehutanan untuk mempersiapkan menghadapi pasar global. Untuk itu dalam meningkatkan soft skill dan keahlian dibidangnya, didapatkan melalui pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan.

Tentunya pelatihan yang diikuti adalah pelatihan yang berkaitan dengan kompetensi dan sesuai dengan bidang kerjanya, karena kompetensi adalah standar keahlian seseorang dalam bekerja. Profesional akan dimiliki apabila memiliki kompetensi. Sudah saatnya diklat yang diikuti oleh PNS kehutanan adalah diklat yang berbasis kompetensi, sesuai dengan bidang keahliannya. Tidak hanya diklat yang kompeten tapi bidang kerja yang sesuai dengan ilmu yang dimiliki akan membentuk profesionalisme kerja.Ilmu yang segaris dengan bidang kerja dan diklat berjenjang yang tersusun dan sistematis merupakan sarana untuk membentuk sosok PNS yang profesional, salah satu caranya adalah melalui jabatan fungsional. Kementerian Kehutanan mempunyai 6.949 pegawai yang menjabat sebagai pejabat fungsional yang tersebar di 26 jenis jabatatan fungsional.

Page 55: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

52  

TABEL. JUMLAH PEGAWAI KEMENTERIAN KEHUTANAN YANG MENDUDUKI JABATAN FUNGSIONAL TAHUN 2010

No Jenis Jabatan

Fungsional Jumlah Pegawai

No Jenis Jabatan

Fungsional Jumlah Pegawai

1. Polisi Kehutanan 3.077 14. Pranata Humas 3

2. Pengendali Ekosistem

Hutan 2.276 15. Arsiparis 52

3. Penyuluh Kehutanan 217 16. Auditor 139

4. Peneliti 490 17. Fisioterapis 1

5. Widyaiswara 167 18. Bidan 1

6. Perencana 9 19. Radiografer 1

7. Perancang Perundangan 10 20. Teknisi Litkayasa 342

8. Dokter 6 21. Instruktur 2

9. Dokter Gigi 9 22. Guru 38

10. Perawat 7 23. Surveyor Pemetaan 19

11. Perawat Gigi 1 24. Pranata Komputer 45

12. Assisten Apoteker 1 25. Pustakawan 14

13. Pranata Lab. Kesehatan 2 26. Analis Kepegawaian 20

Jumlah dipindahkan 6.272 Jumlah Total 6.949 *) Sumber biro kepegawaian Kemenhut

sehingga tidak semua pegawai dapat mendudukinya. Disamping itu juga ada persyaratan tentang keterkaitan yang sangat erat antara jabatan dan pangkat. Artinya seseorang yang ditunjuk untuk menduduki suatu jabatan struktural haruslah mempunyai pangkat/golongan yang sesuai dengan jabatan tersebut. Melalui jalur fungsional dianggap dapat menampung semua aspirasi dan keinginan pegawai, sesuai dengan moto “Miskin Struktural Kaya Fungsi”, yang nantinya pada suatu saat semua PNS adalah pejabat yaitu sebagai pejabat struktural dan fungsional. Bagaimana Pegawai Kementerian Kehutanan yang berkarier di jalur fungsional yang berjumlah 6.949 orang menuju profesionalisme kerja? Jumlah yang tidak sedikit yang ikut andil menentukan kinerja Kementerian Kehutanan dalam rangka menuju visi hutan lestari untuk kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan.

Jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian/ dan atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri. Jabatan fungsional pada hakekatnya adalah jabatan teknis yang tidak tercantum dalam

struktur organisasi, namun sangat diperlukan dalam tugas-tugas pokok dalam organisasi pemerintah. Jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil terdiri atas jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan. Penetapan jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut: 1. Mempunyai metodologi, teknik analisis, teknik

dan prosedur kerja yang didasarkan atas disiplin ilmu pengetahuan dan/ atau pelatihan teknis tertentu dengan sertifikasi.

2. Memiliki etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi.

3. Dapat disusun dalam suatu jenjang jabatan berdasarkan: a. Tingkat keahlian, bagi jabatan fungsional

keahlian. b. Tingkat keterampilan, bagi jabatan

fungsional keterampilan. 4. Pelaksanaan tugas bersifat mandiri. 5. Jabatan fungsional tersebut diperlukan dalam

pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi.

Page 56: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

53  

Angka Kredit Jabatan Fungsional

Penilaian prestasi kerja bagi pejabat fungsional ditetapkan dengan angka kredit oleh pejabat yang berwenang. Angka kredit adalah satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan/ atau akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh pejabat fungsional dalam rangka pembinaan karier yang bersangkutan. Butir-butir kegiatan yang dinilai adalah tugas-tugas yang dilaksanakan oleh setiap pejabat fungsional yang terdiri atas tugas utama (tugas pokok) dan tugas penunjang, yaitu tugas-tugas yang bersifat menunjang pelaksanan tugas utama. Tugas utama adalah tugas-tugas yang tercantum dalam uraian tugas (job description) yang ada pada setiap jabatan, sedangkan tugas penunjang tugas pokok adalah kegiatan-kegiatan pejabat fungsional di luar tugas pokok yang pada umumnya bersifat tugas kemasyarakatan.

Dalam pelaksanaan tugas-tugas utama/ pokok seorang pejabat fungsional harus mengumpulkan sekurang-kurangnya 70% atau 80% dari angka kredit yang ditetapkan, sedang pelaksanaan tugas penunjang tugas-tugas pokok sebanyak-banyaknya hanya 30% atau 20%. Ketentuan tersebut diatur untuk menjamin agar pejabat fungsional benar-benar mengutamakan pelaksanaan tugas pokoknya dibandingkan dengan tugas-tugas penunjang. Profesional Melalui Jabatan Fungsional

Kebijakan jabatan fungsional akan meningkatkan sikap profesional pegawai dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, karena setiap pejabat fungsional senantiasa dipacu untuk memperoleh angka kredit tertentu atas setiap pekerjaan yang dilakukan. Sikap profesional dimaksud terutama dalam bentuk kemampuan untuk menyelesaikan suatu beban pekerjaan dengan tingkat produktifitas, efektifitas dan efisiensi yang tinggi, bertanggung jawab dan memberikan hasil yang baik. Sikap profesional ini dianggap sangat penting, sebab setiap hasil prestasi kerja yang akan diusulkan penilaian, terlebih dahulu diperiksa oleh atasan langsung. Jalur fungsional akan lebih mempermudah dan mempercepat karier orang yang mempunyai kompetensi untuk menuju profesionalisme kerja. Jalur fungsional dirancang dari tingkat mudah menuju tingkat sulit, seperti menaiki tangga dari tangga terendah sampai tangga tertinggi, satu persatu tangga akan ditapaki, yang membedakan adalah waktu yang dibutuhkan untuk menapaki tangga karier.

Tingkatan jabatan fungsional juga dibedakan berdasarkan beban kerja seseorang yang menduduki jabatan fungsional. Syarat pendidikan dan pelatihan menjadi faktor mendasar untuk menduduki jabatan fungsional, tidak setiap orang berijasah sarjana bisa masuk langsung untuk menjadi fungsional. Disisi lain syarat pendidikan dan latihan khusus harus dilalui oleh orang yang akan menduduki jabatan tertentu, sehingga syarat kompetensi harus terpenuhi. Dari kompetensi yang dimiliki digunakan untuk mengerjakan uraian tugas dalam jabatan fungsional yang tidak jauh berbeda dengan ilmu dan kompetensi yang yang dimiliki sehingga mempercepat menuju profesional. Bandingkan bila orang yang mempunyai kompetensi tertentu ditempatkan di luar kompetensi yang dimiliki, dibutuhkan waktu lama, pemikiran lebih, kerja keras untuk memulai pekerjaan mudah bagi orang yang sejak awal mempunyai kompetensi dibidang tersebut. Jabatan fungsioanal menganut prinsip seperti hal tersebut, orang yang tidak punya ilmu yang sama dalam rumpun jabatan fungsional tertentu tidak bisa menduduki jabatan fungsional tersebut. Melalui jalur fungsional seorang PNS belajar, bekerja secara mendalam terhadap profesi yang digelutinya untuk menuju profesional secara berjenjang. Jabatan Fungsional Mengahapus Stigma “Pintar, Bodoh, Rajin, Malas, Sama Saja”

Rimbawan yang bekerja sebagai PNS di Kementerian Kehutanan, salah satu cara untuk mengaplikasikan kompetensi dan membuktikan profesionalisme adalah memilih jabatan fungsional sebagai jenjang karier. Jabatan fungsional akan memberikan ruang untuk bertindak, berkarya, berekspresi demi kepentingan umum tanpa meninggalkan jati diri seorang rimbawan sebagai individu yang mempunyai kebutuhan dasar untuk berprestasi dan memperoleh imbalan yang layak untuk hidup.Tidak bisa dipungkiri bagi seorang manusia, butuh untuk berprestasi dalam bekerja dan memperoleh imbalan yang layak akan prestasi yang dicapainya. Dan jabatan fungsional mengakomodir salah satu kebutuhan dasar manusia sebagai individu yang butuh akan prestasi dan imbalan.

Jabatan fungsional memberikan uraian tugas yang jelas dan imbalan yang jelas bagi seorang pejabat fungsional. Kegiatan dalam jabatan fungsional punyai nilai ukur dalam kegiatan, punya diskrispsi pekerjaan dengan

Page 57: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

54  

detail, imbalan berupa angka kredit tersusun berdasarkan beban kerja terendah sampai tersulit bisa dipilih dan dilakukan oleh setiap pejabat fungsional, sehingga tidak harus diperintah dan dikomando, seseorang yang mempunyai kompetensi sudah bisa mengerjakannya. Profesionalisme rimbawan akan teruji bagaimana mengerjakan uraikan kegiatan sesuai dengan job diskripsi dalam jabatan fungsional yang diduduki untuk mencapai prestasi tertinggi dengan cara mengumpulkan angka kredit yang nantinya akan ditetapkan dalam Penetapan Angka Kredit (PAK) sabagai alat ukur untuk menentukan reward dan punishment akan prestasinya.

Bila seorang rimbawan yang menempuh jalur fungsional ada target empat tahunan harus bisa mengumpulkan angka kredit untuk naik jabatan maupun naik pangkat. Bila empat tahun tidak bisa mengumpulkan angka kredit dari butir kegiatan yang ditentukan dia akan memperloeh punishment, tetapi sebelum empat tahun rimbawan yang menduduki jabatan fungsional sudah bisa mengumpulkan angka kredit yang telah ditentukan akan memperolah reward kenaikan pangkat ataupun kenaikan jabatan sesuai dengan jenjang fungsional yang dijabat. Kenaikan pangkat atau pun kenaikan jabatan ini akan berdampak langusung kepada tingkat penghasilan. Bila seorang rajin tiap tahun dia bisa naik jabatan, dan paling cepat dua tahun sekali bisa naik pangkat. Ini amat sangat berbeda dengan sesorang yang menduduki jabatan struktural umum yang tidak dibebani target tugas maupun waktu. Disisi lain tidak ada target tugas, maupun waktu secara otomatis setiap empat tahun sekali akan naik pangkat, sehingga menyebabkan motifasi untuk berprestasi rendah, kalau dalam bahasa kasarnya tidak melakukan apa-apapun bisa naik pangkat asal masuk kerja. Sehinga muncul kata-kata, bodoh, pintar, rajin, malas, sama saja tiap empat tahun sekali pasti naik pangkat.

Pekerjaan strutural umum ini mendasarkan pada disposisi atau perintah atasan, bila tidak ada perintah atau disposisi atasan, tidak ada pekerjaan yang mereka kerjakan. Ini sangat berbeda dengan jabatan fungsional, tugas mereka selain ada disposisi atasan atau perintah atasan

adalah uraian tugas yang ada dalam jabatan fungsional disandangya. Pekerjaan sudah menunggu tidak harus diperintah, bila ada waktu longgar digunakan waktu tersebut untuk meng upgrade ilmu dengan menulis, membuat artikel atau makalah yang sesuai dengan bidang tugasnya. Sehingga hukum alam yang menentukan suksesnya seorang fungsional, bila malas kena hukumannya secara sendirinya berupa terlambat naik pangkat dan jabatan, bila rajin, cepat naik jabatan atau naik pangkat dengan cepat. Peribahasa yang mengatakan rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya, berlaku juga bagi pejabat fungsional, rajin mengumpulkan angka kredit cepat naik pangkat dan jababatan, naik juga tunjangan jabatan dan gaji pokoknya, berarti juga naik pendapatannya. Kesimpulan

Salah satu cara mewujudkan profesionalisme PNS di Kementerian Kehutanan adalah melalui jabatan fungsional. Jumlah PNS Kementerian Kehutanan yang meniti karier malalui jabatan fungsional adalah sejumlah sebanyak 6.949 orang, bukan jumlah yang sedikit. Profesional terbentuk karena pegawai mempunyai kompetensi dalam bidang kerjanya. Bidang kerja yang mengakomodir pegawai yang sudah mempunyai landasan kompetensi adalah jabatan fungsional. Jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri. Untuk membentuk pegawai yang profesional mandiri dibutuhkan pendidikan dan pelatihan yang teratur dan terstruktur. Jabatan fungsional akan menghapus stigma yang selalu melekat pada PNS bahwa pintar, bodoh, rajin, malas sama saja. PNS yang menduduki jabatan fungsional yang masih punya gaya kerja tersebut akan terhambat kariernya, karena tidak bisa mengumpulkan angka kredit yang ditentukan.

*) Calon Analis Kepegawaian Bagian Kepegawaian, organisasi dan tatalaksana Sekretariat Ditjen Planologi Kehutanan

Page 58: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

55  

MEKANISME

PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor. 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman

Pinjam Pakai Kawasan Hutan, mekanisme atau prosedur Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) adalah sebagai berikut.

Oleh : Ajeng Dian Purbarani

Bentuk IPPKH

IPPKH terdiri dari dua bentuk, yaitu dengan kompensasi dan tanpa kompensasi. IPPKH dengan kompensasi terbagi atas dua kriteria, pertama apabila kawasan hutan yang dimohon untuk dipinjam pakai berada pada provinsi dengan luas kawasan hutan kurang dari tiga puluh persen (<30%) dari luas provinsinya maka menyediakan kompensasi berupa lahan dengan rasio paling sedikit 1:1 untuk kepentingan non komersial dan rasio 1:2 untuk kepentingan komersial. Kedua, apabila kawasan hutan yang dipinjam berada pada provinsi dengan luas kawasan lebih dari 30% (<30%) dari luas provinsinya maka dikenakan kompensasi membayar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) kepada Kementerian Kehutanan dan melakukan kegiatan penanaman dengan rasio paling sedikit 1:1 untuk kegiatan komersil dan rasio 1:1 untuk kegiatan non komersil. Bentuk IPPKH tanpa kompensasi diberikan untuk kegiatan survey/eksplorasi dan untuk kegiatan pertahanan negara, sarana keselamatan lalu lintas laut atau udara, sarana meteorologi, klimatologi, dan geofisika. Kegiatan-kegiatan yang dapat dipinjampakaikan adalah 1. Religi antara lain tempat ibadah, tempat

pemakaman dan wisata rohani; 2. Pertambangan meliputi pertambangan minyak

dan gas bumi, mineral, batubara dan panas bumi termasuk sarana dan prasarana;

3. Instalasi pembangkit, transmisi dan distribusi listrik serta teknologi energi baru dan terbarukan;

4. Jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio dan stasiun relay televisi;

5. Jalan umum, jalan tol dan jalur kereta api;

6. Prasarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai prasarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi;

7. Sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air dan saluran air bersih dan/atau air limbah;

8. Fasilitas umum; 9. Industri terkait kehutanan; 10. Pertahanan dan keamanan, antara lain pusat

latihan tempur, stasiun radar dan menara pengintai;

11. Prasarana penunjang keselamatan umum antara lain keselamatan lalu lintas laut, lalu lintas udara dan sarana meteorologi, klimatologi dan geofisika; atau

12. Penampungan sementara korban bencana alam. Tata Cara dan Persyaratan Permohonan

Permohonan diajukan oleh Menteri/Pejabat setingkat Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Pimpinan Badan Usaha, Ketua Yayasan. Permohonan diajukan kepada Menteri (tanpa tembusan). Persyaratan permohonan:

Rencana kerja Peta Lokasi Citra Satelit (hanya untuk kegiatan Operasi

Produksi) Rekomendasi Gubernur atau Rekomendasi

Bupati Pernyataan (bermaterai cukup)

kesanggupan untuk memenuhi semua kewajiban dan biaya, semua dokumen sah serta belum melakukan kegiatan sebelum IPPKH terbit

Pertimbangan Teknis Perum Perhutani (khusus Jawa)

Page 59: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

56  

Izin atau perjanjian disektor non kehutanan (KK/KP/IUP/lainnya)

AMDAL/UKL-UPL (hanya untuk kegiatan Operasi Produksi)

Untuk kegiatan pertambangan yang diterbitkan oleh Propinsi/Kabupaten, diperlukan pertimbangan dari Kementerian ESDM.

Kewajiban Pemegang Izin PPKHSurvei/eksplorasi

Melaksanakan reklamasi dan reboisasi tanpa menunggu selesai IPPKH.

membayar ganti rugi nilai tegakan hutan tanaman dan PSDH atau membayar PSDH dan DR atas pohon yang rusak/ditebang;

Mengganti biaya investasi pengelolaan. Menyelenggarakan perlindungan hutan. Menanggung seluruh biaya sebagai akibat

adanya PPKH. Memberikan kemudahan kepada aparat

kehutanan dan mengkoordinasikan kegiatan kepada instansi kehutanan.

Membuat laporan secara berkala 6 bulan sekali.

Dilarang membuat bangunan yang bersifat permanen. Masa berlaku IPPKH survey/eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi.

Kewajiban

Pemegang Persetujuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan

Melaksanakan tata batas dengan supervisi BPKH setempat;

Melaksanakan inventarisasi tegakan dengan supervisi Dinas Kehutanan Provinsi setempat;

Membuat pernyataan kesanggupan: a. Melaksanakan reklamasi b. Melaksanakan perlindungan hutan c. Menanggung seluruh biaya sebagai

akibat adanya PPKH d. Membayar ganti rugi nilai tegakan hutan

tanaman dan PSDH atau membayar PSDH dan DR atas pohon yang rusak/ditebang;

e. Kesanggupan membayar PNBP dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS (untuk kompensasi dengan PNBP)

Membayar biaya investasi dan iuran izin (bila berada di IUPHHK)

Untuk PPKH dengan kompensasi Lahan;

menyerahkan LK yang clear & clean, melaksanakan tata batas dan proses pengukuhannya.

Menyampaikan base line (bagi yang bayar PNBP dan penanaman di DAS).

Masa berlaku Persetujuan Prinsip 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi

Kewajiban Pemegang Izin PPKH-Operasi Produksi

Melakukan reboisasi lahan kompensasi. Membayar PNBP PKH dan melaksanakan

penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS (untuk kompensasi dengan PNBP).

Melaksanakan reklamasi dan reboisasi tanpa menunggu selesai IPPKH.

Membayar penggantian nilai tegakan, PSDH dan/atau DR sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

Memelihara batas PPKH. Menyelenggarakan perlindungan hutan. Mengamankan kawasan konservasi dan HL,

bila areal PPKHnya berbatasan. Menanggung seluruh biaya sebagai akibat

adanya PPKH. Memberikan kemudahan kepada aparat

kehutanan dan mengkoordinasikan kegiatan kepada instansi kehutanan.

Menyerahkan rencana kerja pemenuhan kewajiban (100 hari kerja setelah terbit IPPKH).

Menyerahkan laporan secara berkala 6 (enam) bulan sekali.

Masa berlaku IPPKH 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi

Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dilakukan 1 (satu) tahun sekali dan Evaluasi 5 (lima) tahun sekali.

Pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan.

Perpanjangan Izin Persetujuan Prinsip & PPKH

Permohonan Perpanjangan Persetujuan Prinsip dan Izin Pinjam Pakai untuk survey/eksplorasi diajukan paling lama 3 (tiga) bulan sebelum berakhrinya izin.

Permohonan Perpanjangan izin pinjam pakai kawasan selain untuk survey/eksplorasi diajukan paling lama 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya izin.

Permohonan perpanjangan ditujukan kepada

Page 60: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

57  

Menteri dengan dilampiri hasil evaluasi. Kegiatan yang bersifat non komersial. Tata cara dan persyaratan permohonan

mutatis mutandis. Izin PPKH yang Dilimpahkan kepada Gubernur Ketentuan:

Luasan paling banyak 1 (satu) hektar. Pembangunan fasilitas umum.

 BAGAN PROSES

 

 

Permohonan  

 

Izin PPKH 

Syarat‐syarat 

Persetujuan Prinsip 

IPPKH Eksplorasi 

Syarat tdk Lengkap (TOLAK) 

Pemenuhan Kewajiban  Monitoring

Perpanjangan

Evaluasi

 

 DR       : Dana Reboisasi

PSDH   : Provisi Sumber Daya Hutan 

IPPKH : Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan 

PPKH  : Pinjam Pakai Kawasan Hutan

 

Page 61: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

58  

CYBERCRIME DI INDONESIA:

TEKNIK KEJAHATAN DALAM DUNIA MAYA

Oleh : Suyitno

Pesatnya perkembangan zaman melahirkan berbagai macam kemajuan dalam berbagai bidang, salah satunya dalam bidang teknologi informatika. Kemajuan dalam teknologi informatika melahirkan internet, sebuah fenomena yang berkembang menjadi salah satu hal terpenting dalam kehidupan manusia. Penggunaan teknologi komputer, telekomunikasi, dan informasi tersebut mendorong berkembangnya transaksi melalui internet di dunia. Perusahaan-perusahaan berskala dunia semakin banyak memanfaatkan fasilitas internet. Sementara itu tumbuh transaksi-transaksi melalui elektronik atau on-line dari berbagai sektor, yang kemudian memunculkan istilah e-banking, e-commerce, e-trade, e-business, e-retailing.

Internet yang didefinisikan oleh the U.S. Supreme Court sebagai: "international network of interconnected computers" telah menghadirkan kemudahan-kemudahan bagi setiap orang, bukan saja sekedar untuk berkomunikasi tapi juga melakukan transaksi bisnis kapan saja dan di mana saja (Gema, A.J, 2010). Selain sebagai media penyedia informasi, internet juga menjadi media atau wadah terbesar dan terpesat bagi kegiatan komunitas komersial di dunia dengan jaringan luas dan bersifat “borderless”.

Namun, walaupun perkembangan dunia internet membawa dampak positif yang menguntungkan bagi kita, meskinya kita juga tidak bisa mengabaikan dampak negatif yang akan kita rasakan dengan adanya perkembangan internet tersebut. Salah satunya adalah kejahatan di dunia cyber atau yang lebih kita kenal dengan cybercrime. Sebagaimana sebuah teori mengatakan: "crime is a product of society itself", yang secara sederhana dapat diartikan bahwa masyarakat itu sendirilah yang melahirkan suatu kejahatan. Semakin tinggi tingkat intelektualitas suatu masyarakat, semakin canggih pula kejahatan yang mungkin terjadi dalam masyarakat itu.

PENGERTIAN CYBERCRIME

Menurut situs www.cybercrimelaw. net, cybercrime adalah tindakan yang mengancam dan dapat merusak infrastruktur teknologi informasi, seperti: akses ilegal, percobaan atau tindakan mengakses sebagian maupun seluruh bagian sistem komputer tanpa izin dan pelaku tidak memiliki hak untuk melakukan pengaksesan. Cybercrime sering diidentikkan dengan computer crime. The U.S. Department of Justice memberikan pengertian computer crime sebagai: “…any illegal act requiring knowledge of computer technology for its perpetration, investigation, or prosecution”. Computer crime pun dapat diartikan sebagai kejahatan di bidang komputer yang secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal.

Secara ringkas cybercrime didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih. Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, pengrusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer atau program tertentu sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang diperintahkan oleh pengguna.

JENIS CYBERCRIME

Berdasarkan jenis aktifitas yang dilakukannya, cybercrime dapat digolongkan menjadi beberapa jenis sebagai berikut:

a. Unauthorized Access

Merupakan kejahatan yang terjadi ketika seseorang memasuki atau menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah.

Page 62: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

59  

b. Illegal Contents

Merupakan kejahatan yang dilakukan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang suatu hal yang tidak benar.

c. Penyebaran virus secara sengaja

Penyebaran virus pada umumnya dilakukan dengan menggunakan email.

d. Data Forgery

Kejahatan jenis ini dilakukan dengan tujuan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang ada di internet.

e. Cyber Espionage, Sabotage and Extortion

Cyber Espionage merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain.

f. Cyberstalking

Kejahatan jenis ini dilakukan untuk mengganggu atau melecehkan seseorang dengan memanfaatkan komputer, misalnya menggunakan e-mail dan dilakukan berulang-ulang.

g. Carding

Carding merupakan kejahatan yang dilakukan untuk mencuri nomor kartu kredit milik orang lain dan digunakan dalam transaksi perdagangan di internet.

h. Hacking dan Cracker

Aktivitas cracking di internet memiliki lingkup yang sangat luas, mulai dari pembajakan account milik orang lain, pembajakan situs web, probing, menyebarkan virus, hingga pelumpuhan target sasaran.

i. Cybersquatting and Typosquatting

Cybersquatting merupakan kejahatan yang dilakukan dengan mendaftarkan domain nama perusahaan orang lain dan kemudian berusaha menjualnya kepada perusahaan tersebut dengan harga yang lebih mahal. Adapun typosquatting adalah kejahatan dengan membuat domain plesetan yaitu domain yang mirip dengan nama domain orang lain. Nama tersebut merupakan nama domain saingan perusahaan.

CONTOH KASUS CYBERCRIME DI INDONESIA

Dunia perbankan melalui Internet (e-banking) Indonesia, dikejutkan oleh ulah seseorang bernama Steven Haryanto, seorang hacker dan jurnalis pada majalah Master Web. Lelaki asal Bandung ini dengan sengaja membuat situs asli tapi palsu layanan Internet banking Bank Central Asia, (BCA). Steven membeli domain-domain dengan nama mirip www.klikbca.com (situs asli Internet banking BCA), yaitu domain wwwklik-bca.com, kilkbca.com, clikbca.com, klickca.com. dan klikbac.com. Isi situs-situs plesetan inipun nyaris sama, kecuali tidak adanya security untuk bertransaksi dan adanya formulir akses (login form) palsu. Jika nasabah BCA salah mengetik situs BCA asli maka nasabah tersebut masuk perangkap situs plesetan yang dibuat oleh Steven sehingga identitas pengguna (user id) dan nomor identitas personal (PIN) dapat di ketahuinya. Diperkirakan, 130 nasabah BCA tercuri datanya. Menurut pengakuan Steven pada situs bagi para webmaster di Indonesia, www.webmaster.or.id, tujuan membuat situs plesetan adalah agar publik menjadi lebih berhati - hati dan tidak ceroboh saat melakukan pengetikan alamat situs (typo site), bukan untuk mengeruk keuntungan.

PENANGANAN CYBERCRIME

Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanganan

Cybercrime adalah:

1. Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut.

2. Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional.

3. Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime.

4. Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi.

Page 63: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

60  

5. Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties.

USAHA PEMERINTAH DALAM MENANGANI CYBERCRIME

Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk memerangi cybercrime adalah dengan diberlakukannya cyber law atau hukum dunia maya, yaitu dengan adanya Regulasi Undang-Undang Cybercrime atau UU Informasi dan Transaksi Eletronik (UU ITE). Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR. Banyak pihak menyatakan persetujuannya, terutama yang ada kaitannya dengan situs porno. UU ITE ini akan bermanfaat, terlebih untuk perlindungan hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights) dan jaminan keamanan sistem elektronik serta penindakan kejahatan di dunia maya (cybercrime).

Pada kenyataannya, UU ITE tersebut belum berfungsi secara maksimal dalam mengatasi cybercrime di Indonesia karena adanya kendala-kendala dalam pelaksanaannya, antara lain kendala dari sisi kemampuan penyidik dan kendala dari sisi fasilitas komputer forensik.

KENDALA DALAM PENANGANAN CYBERCRIME

Beberapa faktor yang menghambat penanganan cybercrime di Indonesia:

1. Kurangnya pengetahuan tentang komputer dan sebagian besar dari mereka belum menggunakan internet atau menjadi

pelanggan pada salah satu ISP (Internet Service Provider).

2. Pengetahuan dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus-kasus cybercrime masih terbatas. Mereka belum mampu memahami teknik hacking, modus-modus operandi para hacker dan profil-profilnya.

3. Faktor sistem pembuktian yang menyulitkan para penyidik karena Jaksa (PU) masih meminta keterangan saksi dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) formal sehingga diperlukan pemanggilan saksi/korban yang berada di luar negeri untuk dibuatkan berita acaranya di Indonesia. Hukum di Indonesia belum bisa menerima pernyataan korban atau saksi dalam bentuk faksimili atau e-mail sebagai alat bukti.

Referensi Bacaan

1. Arifiyadi, Teguh. SH. 2008. Cybercrime dan Upaya Antisipasinya Secara Yuridis (I). (online) http://www.depkominfo.go.id/. Diakses pada 15 Juni 2011.

2. Petrus Reinhard Golose. 2006. Perkembangan Cybercrime dan Upaya Penanganannya di Indonesia Oleh Polri dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol 4.

3. Romi Satria Wahono. 2008. Kita Perlu Jujur bahwa UU ITE Belum Sempurna di seluruh Sisi. (online) http://www.bz.blogfam.com/. Diakses pada 15 Juni 2011.

Page 64: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

61  

Metode E-Learning dalam Pelatihan dan Pendidikan 

Oleh : Midian Manurung, S.Kom *) 

Teknologi Informasi dan Komunikasi telah merambah ke segala aspek kehidupan kita. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah banyak memberikan sumbangsihnya untuk perkembangan dunia pendidikan saat ini. Program – program yang dihasilkan untuk membantu tenaga pendidik dalam proses transfer ilmu pengetahuan merupakan implikasi dari perkembangan teknologi dan informasi. Saat ini konsep e-Learning sudah banyak diterima oleh masyarakat dunia, terbukti dengan maraknya implementasi e-Learning di lembaga pendidikan (sekolah, training dan universitas) maupun industri (Cisco System, IBM, HP, Oracle, dsb).

Istilah e-Learning mengandung pengertian yang sangat luas, sehingga banyak pakar yang menguraikan tentang definisi e-Learning dari berbagai sudut pandang. Salah satu definisi yang cukup dapat diterima banyak pihak misalnya dari Darin E. Hartley yang menyatakan: e-Learning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media Internet, Intranet atau media jaringan komputer lain serta memungkinkan informasi (bahan belajar) selalu dimutakhirkan, disimpan, didistribusikan dan dipertukarkan. Informasi disampaikan langsung kepada pengguna akhir melalui teknologi serta difokuskan pada kegiatan belajar secara luas.

E-learning atau pembelajaran elektronik pertama kali diperkenalkan oleh universitas Illionis di Urbana-Champaign dengan menggunakan sistem instruksi berbasis komputer (computer-assisted instruktion) dan komputer bernama PLATO. Tahun 1990 : Era CBT (Computer-Based Training) di mana mulai bermunculan aplikasi e-learning yang berjalan dalam PC standlone ataupun berbentuk kemasan CD-ROM. Isi materi dalam bentuk

tulisan maupun multimedia (Video dan Audio) berekstensi mov, mpeg-1, atau avi. Tahun 1994 : Seiring dengan diterimanya CBT oleh masyarakat sejak tahun 1994 CBT muncul dalam bentuk paket-paket yang lebih menarik dan diproduksi secara masal. Tahun 1997 : LMS (Learning Management System). Seiring dengan perkembangan teknologi internet, masyarakat di dunia mulai terkoneksi dengan internet. Kebutuhan akan informasi yang dapat diperoleh dengan cepat mulai dirasakan sebagai kebutuhan mutlak dan jarak serta lokasi bukanlah halangan lagi. Dari sinilah muncul LMS. Perkembangan LMS yang makin pesat membuat pemikiran baru untuk mengatasi masalah interoperability antar LMS yang satu dengan lainnya secara standar. Bentuk standar yang muncul misalnya standar yang dikeluarkan oleh AICC (Airline Industry CBT Commettee), IMS, IEEE LOM, ARIADNE, dsb.

Tahun 1999 sebagai tahun Aplikasi E-learning berbasis Web. Perkembangan LMS menuju aplikasi e-learning berbasis Web berkembang secara total, baik untuk pembelajar (learner) maupun administrasi belajar mengajarnya. LMS mulai digabungkan dengan situs-situs informasi, majalah dan surat kabar. Isinya juga semakin kaya dengan perpaduan multimedia, video streaming serta penampilan interaktif dalam berbagai pilihan format data yang lebih standar dan berukuran kecil. Melihat perkembangan e-learning dari dari masa ke masa yang terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi, maka dapat disimpulkan bahwa e-learning akan menjadi sistem pembelajaran masa depan.

Beberapa manfaat e-learning antara lain pengajar dapat tampil percaya diri serta meminimalisir kesalahan informasi, mudah mencari bahan ajar, pengajaran lebih efektif.

Page 65: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

62  

Sementara itu siswa dapat memahami pelajaran lebih mudah dengan tingkat kesalahan informasi dari pengajar lebih kecil, pembelajaran lebih menyenangkan dan bermakna. Bagi institusi pendidikan bermanfaat agar, memudahkan pemetaan kompetensi guru, bahkan prestasi institusi pendidikan tersebut lebih meningkat.

Fungsi e-learning dalam kegiatan belajar adalah sebagai fungsi tambahan, fungsi pelengkap, dan fungsi pengganti. Fungsi tambahan atau fungsi suplemen apabila peserta didik mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik atau tidak. Dalam hal ini tidak ada keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi. Sekalipun sifatnya opsional, peserta didik yang memanfaatkannya tentu akan memiliki tambahan pengetahuan atau wawasan.Fungsi pelengkap atau fungsi komplemen apabila materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima peserta didik di dalam kelas. Sebagai komplemen berarti materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk melengkapi materi pengayaan atau remedial. Dikatakan sebagai pengayaan (enrichment), apabila kepada peserta didik yang dapat dengan cepat menguasai/ memahami materi pelajaran yang disampaikan pada saat tatap muka diberi kesempatan untuk mengakses materi pembelajaran elektronik yang memang secara khusus dikembangkan untuk mereka. Tujuannya agar semakin memantapkan tingkat penguasaan terhadap materi pelajaran yang telah diterima di kelas. Fungsi pengganti atau fungsi substitusi apabila e-Learning dilakukan sebagai pengganti kegiatan belajar, misalnya dengan menggunakan model-model kegiatan pembelajaran. Model yang dapat dipilih, yakni : sepenuhnya secara tatap muka (konvensional), sebagian secara tatap muka dan sebagian lagi melalui internet, atau sepenuhnya melalui internet.

Karakteristik e-learning antara lain pemanfaatan jasa teknologi elektronik yang memudahkan guru dan peserta didik dan sesama peserta didik atau guru dan sesama guru dapat berkomunikasi dengan relatif mudah tanpa dibatasi oleh hal – hal yang protokoler,

pemanfaatan keunggulan komputer (digital media dan jaringan komputer), penggunaan bahan belajar mandiri (self learning materials) yang disimpan di jaringan komputer sehingga dapat diakses oleh guru dan peserta didik kapan dan dimana diperlukan, serta pemanfaatan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar, dan hal – hal yang berkaitan dengan administrasi pendidikan dapat dilihat setiap saat di komputer. Dengan karakteristik tersebut, e-learning memiliki keunggulan antara lain: penghematan waktu proses belajar, penghematan biaya perjalanan, penghematan biaya pendidikan secara keseluruhan (infrastruktur, peralatan, buku – buku), jangkauan wilayah demografis yang lebih luas, kemudahan dalam mengikuti perkembangan – perkembangan terakhir

Contoh Aplikasi e-Learning yaitu Pelaksanaan diklat e-learning Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja yang dilaksanakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Pelaksanaan diklat ini mengandalkan kemandirian peserta didik dalam mempelajari bahan ajar yang didistribusikan dengan media DVD dan komputer. Bahan ajar disajikan dalam bentuk video, audio, maupun dokumen digital biasa. Penerapannya dapat ditunjukkan pada screenshoot di bawah ini.

Gambar 1 E-learning Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja Modul Penyusunan KPJM menu

Kata Sambutan

Page 66: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

63  

Gambar 1 E-learning Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja Modul Penyusunan KPJM menu Leading Story

Disamping karakteristik e-learning menimbulkan serangkaian keunggulan, e-learning juga tidak lepas dari sejumlah kekurangan. Kekurangan dari e-learning antara lain kurangnya interaksi guru dan siswa atau bahkan antar siswa itu sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses belajar dan mengajar, kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis/komersial, proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan daripada pendidikan, berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut mengetahui teknik pembelajaran yang menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung gagal, ketersediaan fasilitas internet, ketersediaan tenaga yang mengetahui dan memiliki keterampilan internet.

Kekurangan dari e-learning terutama sebagai rintangan yang dihadapi pelajar yang akan membawa kesan negatif dalam menggunakan e-learning. Hambatan teknologi terkait kepada halangan mengenai penggunaan teknologi pembelajaran. Hambatan teknologi antara lain terdiri atas kecepatan internet yang lambat, pengaksesan e-learning dan biaya yang tinggi dalam penyediaan sarana, pemeliharaan dan perbaikan. Hambatan teknologi juga terdiri atas kepemilikian komputer yang mampu mengakses internet, konsistensi dalam pengaksesan internet,

kualitas teknologi, penyediaan bantuan teknisi, kemahiran teknisi.

Hambatan personal terkait kepada persepsi peserta didik maupun pendidik sendiri terhadap e-learning. Hambatan dalam teknik pembelajaran peserta didik yang harus disesuaikan dengan metode baru yang ditampilkan dalam e-learning. Demikian pula dengan pendidik yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional dituntut untuk mengetahui dan menyesuaikan dengan teknik pembelajaran yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.

Hambatan situasi terkait dengan keadaan lingkungan dan situasi seseorang itu berada. Hal ini terkait dengan tingkat keterikatan dengan pekerjaan lain, gangguan dari pekerjaan lain, hal di rumah dan tempat belajar, serta kekurangan waktu untuk belajar atau kesulitan dalam memanajemen waktu. Peserta didik diharapkan bukan saja mendapatkan sokongan namun juga tempat untuk belajar tanpa gangguan.

Hambatan institusi terkait dengan pengajar dan bahan pengajaran dalam e-learning. hambatan ini terkait dengan sokongan dari institusi dalam penggunaan e-learning. Hambatan ini juga terkait dengan kualitas bahan pembelajaran, kendala bahasa, keterkaitan penggunaan media, bahkan kuantitas kandungan informasi.

Page 67: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

64  

Referensi:

Hartono, Jogiyanto. 2005. “E-LEARNING KONSEP DAN APLIKASI”. Yogyakarta: Andi OFFSET.

Hartono, Jogiyanto. 2007. “PENGENALAN KOMPUTER: DASAR ILMU KOMPUTER, PEMROGRAMAN, SISTEM INFORMASI DAN

INTELIGENSI BUATAN”. Yogyakarta: Andi OFFSET.

Satria Wahono, Romi. 2003. “Pengantar e-Learning dan Pengembangannya ”.

*) Calon Pranata Komputer, Bagian Program dan Evaluasi, Sekretariat Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan

  

Page 68: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

65  

 

MENULIS DAN MENGIRIMKAN SURAT VIA E-MAIL Tri Wahyudi, A.Md

Calon Pranata Komputer Setditjen Planologi Kehutanan

 eiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan telekomunikasi, penggunaan surat tulis atau cetak yang

dikirim melalui kotak pos sudah jarang dilakukan, karena dianggap kurang praktis, membutuhkan biaya dan juga membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke tempat tujuan. Dengan adanya kemajuan teknologi seperti layanan mobile dan internet, menjadi alternatif lain dalam melakukan komunikasi dengan orang lain. Saat ini, surat tertulis cetak masih digunakan untuk komunikasi yang bersifat formal, baik pada instansi swasta maupun instansi pemerintah. Namun, terkadang banyak yang beralih menggunakan e-mail untuk melakukan pengiriman surat formal, karena mereka menganggap mengirim surat menggunakan e-mail dianggap lebih praktis dan cepat. Sekarang ini pengiriman lamaran pekerjaan juga sudah mulai menggunakan e-mail. Pelamar dapat langsung mengirimkan surat lamaran dan juga CV melalui e-mail tanpa harus mengirimkan surat cetak melalui kantor pos. Ini merupakan gambaran semakin berkembangnya penggunaan dalam kehidupan sehari-hari.

E-mail atau surat elektronik merupakan sarana pengiriman surat melalui internet. E-mail dapat dikirimkan dari rumah, kantor dan dimana saja tanpa harus datang langsung ke kantor pos, tentunya selama masih terhubung dengan internet. Proses pengirimannnya pun jauh lebih cepat dan tepat.

1. Pengertian E-mail E-mail berasal dari kata electronic mail (surat elektronik), disingkat ratel atau surel atau surat-e atau pos elektronik (disingkat pos-el) atau nama umumnya dalam bahasa Inggris “e-mail atau email” (ejaan Indonesia: imel) adalah sarana kirim mengirim surat melalui jalur internet. Seperti mengirim surat melalui jasa pos, e-mail juga mampu menangani jasa pengiriman berita dan dokumen dalam bentuk data elektronik (file), termasuk jasa e-

card (kartu ucapan elektronik). E-mail juga dapat digunakan sebagai sarana komunitas diskusi (groups) dan sarana komunikasi on-line (chat). Untuk memanfaatkan fasilitas e-mail, sebelumnya harus memiliki sebuah alamat e-mail, yang biasa disebut dengan e-mail address atau e-mail account (akun e-mail). Akun e-mail dapat diperoleh dari sebuah situs penyedia fasilitas e-mail dengan cara mendaftar terlebih dahulu. Hingga saat ini, fasilitas e-mail banyak disediakan secara gratis oleh situs-situs internet lokal dan internasional.

Layanan e-mail dapat diperoleh melalui beberapa cara, antara lain : 1. Melalui penyedia e-mail gratis, seperti

Yahoo, Gmail, Hotmail dan Plasa. 2. Melalui undangan yang dikirimkan teman. 3. Melalui ISP (Internet Service Provider). 4. Dari tempat bekerja (perusahaan/instansi

pemerintah). 5. Dengan membeli/menyewa.

Dalam pengiriman e-mail, terdapat istilah CC (Carbon Copy) dan BCC (Blind Carbon Copy), di mana CC yaitu salinan surat yang berisi beberapa alamat e-mail tujuan yang lain, tetapi penerima surat dapat mengetahui kepada siapa saja surat tersebut dikirim. Sedangkan BCC yaitu salinan surat yang berisi beberapa alamat e-mail, tetapi penerima surat tidak dapat mengetahui kepada siapa saja surat tersebut dikirim.

E-mail juga bisa mengirimkan lampiran di dalamnya, sering disebut dengan istilah Attachment File. Fasilitas attachment digunakan untuk mengirimkan file bersama-sama dengan pengiriman e-mail. Berbeda dengan lampiran surat biasa, lampiran e-mail dapat berbentuk file apa saja, antara lain : gambar (*.jpg), video (*.mpg), lagu (.*mp3), dokumen (.*doc), excel (.*xls) maupun file yang telah dikompresi (.*zip).

S

Page 69: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

66  

2. Sejarah E-mail Surat elektronik/e-mail sudah mulai dipakai pada tahun 1960-an. Pada saat itu internet belum terbentuk, yang sudah ada hanyalah kumpulan komputer yang terbentuk sebagai jaringan.

Konsep e-mail pertama kali dikemukan oleh Ray Tomlinson, seorang computer engineer pada akhir tahun 1971. Ray Tomlinson saat itu bekerja pada Bolt, Beranek and Newman (BBN) milik lembaga pertahanan Amerika.

Awalnya Ray bereksperimen dengan sebuah program yang bernama SNDMSG yang bisa digunakan untuk meninggalkan pesan pada sebuah komputer, sehingga orang lain yang memakai komputer itu dapat membaca pesan yang ditinggalkan. Kemudian ia melanjutkan eksperimennya dengan menggunakan file protocol yang bernama CYPNET, sehingga program SNDMSG tadi bisa mengirim pesan ke komputer lain yang berada di dalam jaringan ARPAnet. Itulah awal terciptanya sebuah e-mail. Pesan e-mail yang pertama kali dikirim Ray, dan merupakan e-mail yang pertama di dunia adalah “QWERTYUIOP”.

Pada tahun 1972, Ray mengenalkan icon “@” sebagai identitas e-mail untuk memisah user id dan domain sebuah alamat e-mail, yang berarti “at” atau “pada”.

Contoh alamat e-mail : : [email protected]

• Membutuhkan waktu lebih lama dalam pengirimannya.

kurniawan : nama kotak surat (mailbox) atau nama pengguna (username) yang ingin dituju dalam mailserver.

gmail.com : nama mailserver tempat pengguna yang dituju, rinciannya: - gmail : subdomain (milik pemegang

nama domain), biasanya merujuk ke suatu komputer dalam lingkungan pemilik domain.

- com : menunjukkan bahwa domain ini termasuk kategori bisnis/komersial (commercial).

Sebuah alamat e-mail terdiri atas dua bagian, yaitu di sebelah kiri tanda “@” disebut user id, yang menunjukkan identitas pemilik e-mail tersebut. User id dapat berupa nama pemilik, singkatan nama, nomor dan gabungan dari nama dan nomor. Sedangkan teks setelah tanda “@” disebut domain

name/hostname, yang menunjukkan identitas domain tempat e-mail (mailserver) tersebut disimpan.

Mulai tahun 1980-an e-mail sudah mulai dikembangkan dan sudah bisa dinikmati oleh khalayak umum. Namun perkembangan e-mail juga berdampak pada perusahaan pos di berbagai negara, penghasilan mereka menurun disebabkan masyarakat sudah jarang menggunakan jasa pos untuk mengirimkan surat.

3. Perbedaan E-mail dan Surat Biasa Perbedaan e-mail dengan surat biasa (surat yang menggunakan perangko) adalah : a. E-mail

• Cepat dalam pengirimannya. • Alamat e-mail bukanlah seperti alamat

rumah/kantor, sehingga penulisannya tidak terlalu panjang.

• Cukup dengan adanya jaringan internet e-mail sudah bisa dikirimkan.

• Keamanan data/surat lebih terjamin. b. Surat Biasa (berperangko)

• Pengalamatan rumah/kantor cenderung lebih panjang penulisannya dari penulisan alamat e-mail.

• Membutuhkan biaya yang lebih besar untuk pengiriman ke tempat yang lebih jauh.

• Keamanan surat kurang terjamin, surat bisa hilang pada saat proses pengiriman.

4. Kelebihan Penggunaan E-mail Berikut beberapa kelebihan penggunaan e-mail : a. Nyaman

Surat dapat diketik dan dikirimkan ke alamat tujuan melalui komputer yang terhubung internet, tanpa harus datang langsung ke kantor pos. Sekarang ini e-mail juga bisa dikirimkan melalui telepon

Page 70: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

67  

seluler dan PDA (Personal Assistant Data).

b. Cepat E-mail dapat dikirimkan ke alamat yang dituju memerlukan waktu yang sangat cepat, baik yang dikirimkan dengan tujuan dalam negeri maupun ke luar negeri.

c. Murah Biaya yang dikeluarkan relatif lebih murah dibandingkan dengan pengiriman surat atau penggunaan telepon, terutama jika mengirim surat atau telepon interlokal ke luar negeri.

d. Hemat sumber daya E-mail diketik langsung pada layar komputer. Apabila sudah selesai menuliskannya dapat langsung dikirimkan tanpa harus menuliskannya pada selembar kertas, sehingga tidak perlu membeli kertas, pulpen, atau memboroskan tinta printer untuk digandakan.

e. Global E-mail bisa digunakan oleh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja sebagai sarana komunikasi di seluruh penjuru dunia selama terhubung dengan internet.

f. Reliable E-mail yang sudah dikirimkan maupun yang belum dikirimkan dapat disimpan di server dan tidak akan hilang selama belum dihapus.

g. Pesan multimedia Pesan yang dikirim melalui e-mail tidak hanya sekedar teks/tulisan saja. Melalui fasilitas attachment, pengiriman e-mail dapat berupa gambar, foto, video, dokumen bahkan file suara.

5. Kelemahan Penggunaan E-mail a. Salah kirim

Apabila dalam proses pengiriman e-mail mengalami salah alamat, dan berisi dokumen penting, maka ada kemungkinan dokumen tersebut disalahgunakan.

b. Rawan penyadapan Ada kemungkinan e-mail disadap oleh oknum tertentu, maka perlu berhati-hati apabila mengirimkan dokumen-dokumen penting dan rahasia.

c. Pemalsuan identitas Identitas seseorang tidak bisa dipastikan hanya dengan mengetahui alamat e-mail yang dimilikinya. Bisa saja alamat e-mail

yang dimilikinya tidak sesuai dengan identitas asli pemiliknya.

d. Kebanjiran e-mail Hal ini sering terjadi karena e-mail tidak dibuka dalam waktu yang lama.

e. Sampah e-mail E-mail sampah (junkmail/spam) yang berupa iklan komersial yang tidak diharapkan sering kita jumpai, hal ini tentu sangat menggangu.

f. Respon terlambat Tidak semua orang membaca e-mail setiap hari, sehingga ada kemungkinan balasan e-mail akan mengalami keterlambatan.

6. Tips Menggunakan E-mail di Kantor Agar waktu di kantor selama sehari tidak terbuang percuma hanya karena terlalu sering mengecek apakah ada e-mail baru yang masuk atau tidak, ada baiknya melakukan cara-cara seperti berikut ini: 1) Periksa e-mail dua kali sehari.

Salah satu penyebab banyaknya waktu yang terbuang dalam pekerjaan seseorang adalah karena terlalu seringnya mengecek apakah ada e-mail baru yang masuk. Untuk menghindarinya, atur jadwal berapa kali sehari membuka e-mail. Hal ini dapat dilakukan saat waktu senggang atau tidak ada pekerjaan, atau dilakukan dua kali sehari, pada pukul 8 pagi (sebelum mulai bekerja) dan pada pukul 4 sore (setelah selesai bekerja).

2) Gunakan dua akun yang berbeda untuk e-mail pribadi dan kantor. Buat dua akun yang berbeda untuk memisahkan urusan kantor dan pribadi. Saat bekerja di kantor, hindari untuk membuka e-mail pribadi. Biasakan untuk membagi waktu dengan baik. Di kantor urusan pekerjaan kantor yang paling penting, urusan pribadi dapat dilakukan di rumah atau di luar jam kantor. Apabila tergabung dalam milis, usahakan agar milis tersebut dikirim ke akun pribadi bukan ke akun kantor.

3) Memfilter e-mail yang tidak bermanfaat. Banyak sekali e-mail sampah (junk mail) yang berisi iklan komersil yang masuk. Jumlahnya kadang mencapai puluhan bahkan ratusan. Untuk itu, sangat penting untuk menggunakan program tambahan dalam e-mail yang secara otomatis dapat membuang e-mail sampah (junk mail)

Page 71: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

68  

tersebut. Sehingga dapat menghemat waktu tanpa harus menghapusnya satu-persatu.

4) Mengatur pesan dan alamat yang masuk ke dalam e-mail. Alamat e-mail dapat diatur dengan menggunakan fasilitas address book/buku alamat. Dengan menggunakan fasilitas ini, selain tidak menghabiskan waktu karena harus mengetik alamat satu-persatu, maka akan terhindar dari kesalahan-kesalahan kecil seperti salah ketik alamat yang bisa berakibat pada salah pengiriman e-mail. Pesan yang masuk juga dapat diatur dengan membuat folder-folder tertentu. Masukkan pesan-pesan penting tersebut dalam folder, jadi inbox hanya akan berisi pesan-pesan yang belum terbaca saja.

5) Buat segala sesuatunya sesederhana mungkin. Seandainya harus membalas pesan e-mail, sebaiknya membuat balasannya tidak terlalu panjang lebar, buat sesingkat mungkin. Apabila memungkinkan kirim jawaban balasan hanya dengan ya atau tidak, hal ini sangat menghemat waktu.

6) Hindari chatting. Sebisa mungkin hindari menggunakan fasilitas chatting pada jam kerja. Menggunakan fasilitas chatting hanya akan membuat pekerjaan kantor terbengkalai. Walaupun dilakukan pada waktu istirahat, terkadang membuat lupa waktu.

7. Etika Menggunakan E-mail di Kantor E-mail merupakan salah satu cara berkomunikasi yang sangat penting. Sebaliknya, e-mail juga dapat disalahgunakan bila digunakan dengan cara yang salah. Penulisan e-mail yang berbeda-beda bisa merefleksikan banyak hal. Status di tempat kerja, cara bekerja, tingkat stres, bahkan merefleksikan kepribadian seseorang.

Berikut ini beberapa cara dalam menggunakan e-mail yang baik :

a. E-mail bukan satu-satunya cara berkomunikasi. E-mail merupakan cara berkomunikasi yang cepat, mudah, serta dapat disimpan. Untuk menjaga hubungan antara atasan dengan bawahan, dan antara sesama teman, sebaiknya tidak selalu dilakukan dengan mengirimkan e-mail lakukan

dengan menelepon atau menemuinya secara langsung, karena kehadiran mereka secara langsung akan lebih diterima dan dirasakan.

b. Tuliskan e-mail secara pendek dan dengan kata-kata yang baik. Sebisa mungkin hindari menulis e-mail yang sangat panjang, tulis sesingkat mungkin dan sesuai dengan kebutuhan. Terkadang melihat e-mail yang isinya panjang membuat seseorang malas untuk membacanya, sehingga memungkinkan e-mail tersebut baru dibaca pada sore atau bahkan keesokan harinya. Apabila isinya penting dan harus dibalas saat itu juga, maka sudah dipastikan pesan yang disampaikan mengalami keterlambatan.

c. Tulis isi e-mail dengan jelas. Biasakan menulis e-mail dengan ungkapkan maksud dan tujuan dengan jelas. Perjelas mengenai hal yang penting dan diprioritaskan, serta hal yang harus dikerjakan. Balas e-mail yang sudah dibaca agar pengirim tahu bahwa e-mail yang dikirimkan sudah dibaca dan dimengerti oleh orang yang dituju.

d. Terbuka terhadap pertanyaan. Buatlah suasana yang nyaman dan dukung pegawai untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Dengan demikian memperlihatkan bahwa selalu terbuka bagi mereka, sehingga akan tercipta hubungan yang baik.

e. Ungkapkan kemarahan lewat tatap muka langsung. Penulisan e-mail yang penuh amarah atau yang berisi kritikan yang pedas bisa mengakibatkan terjadinya sebuah keributan. Tulislah e-mail dengan singkat dan jelas agar tidak ada salah interpretasi penerimanya. Kendalikan perasaan pada waktu menulis e-mail, karena terkadang penulisan pesan merupakan gambaran dari perasaan yang sedang dialami. Apabila terjadi masalah dengan seseorang, lakukan dengan cara menelepon atau mendatangi langsung orang tersebut. Hal ini merupakan cara yang jauh lebih baik bila ada hal-hal yang tidak memuaskan yang perlu dibicarakan.

f. Batasi e-mail humor. Tulislah pesan penting yang akan disampaikan dengan jelas tanpa harus memasukkan banyak unsur humor di dalammnya. Hal ini akan bisa menggangu

Page 72: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

69  

penerima pesan, apabila pada saat itu dia sedang dalam keadaan sedih. Sekarang ini beberapa perusahaan/instansi melarang mengirimkan e-mail yang berisi lelucon karena sangat mengganggu.

g. Lima menit antara waktu menerima dan membalas e-mail.

f. CC: Salinan surat yang berisi beberapa alamat e-mail tujuan yang lain, tetapi penerima surat dapat mengetahui kepada siapa saja surat tersebut dikirim.

g. BCC: Salinan surat yang berisi beberapa alamat e-mail tujuan yang lain, tetapi penerima surat tidak dapat mengetahui kepada siapa saja surat tersebut dikirim. Gunakan waktu lima menit untuk

menjawab e-mail. Apabila pada saat akan menulis dan membalas e-mail sedang dalam kondisi marah, sebaiknya ditunda dulu karena akan berpengaruh pada pesan yang dituliskan. Kendalikan perasaan dan buat senyaman mungkin sebelum mulai menulis e-mail kembali.

h. Setiap hari tentukan waktu untuk menjawab e-mail.

h. Draft: Surat yang ditulis tapi belum dikirimkan.

i. Sent: Surat yang ditulis dan sudah terkirim.

j. Spam: Kiriman email yang tidak dikehendaki penerimanya. Biasanya berisi link (tautan) dan kata-kata yang tidak baik/menganggu.

k. Reply: Membalas surat yang diterima. Tentukan jadwal untuk membuka dan menjawab e-mail. Bila terlalu sibuk, delegasikan kepada seseorang untuk menjawabnya (sekretaris atau bawahan yang lain yang bisa dipercaya).

i. Belajar menulis e-mail yang baik.

l. Trash: Melihat e-mail yang sudah dihapus.

m. Bulk: Melihat e-mail yang dicurigai sebagai spam.

n. Forward: Meneruskan surat yang diterima untuk dikirimkan/disampaikan kepada orang lain.

o. Attachment: Fasilitas pada e-mail yang dapat digunakan untuk mengirimkan foto, gambar, video bahkan file yang telah dikompresi, yang diikutsertakan pada e-mail yang akan dikirimkan.

Menulis e-mail yang baik memerlukan banyak latihan. E-mail juga memiliki beberapa peran dalam komunikasi, apakah dengan para pegawai, teman, atau dengan yang lainnya. Gunakan kata-kata sopan dan tidak mengandung SARA dalam penulisan e-mail.

j. Gunakan bahasa yang baik.

Referensi : http://data.tp.ac.id/dokumen/sop+surat+menyu

rat Hindari kesalahan pada saat mengetik dan penggunaan kata-kata yang berantakan serta kata-kata klise yang dapat menggangu maksud dan tujuan e-mail tersebut.

http://id.wikipedia.org/wiki/Surat_elektronik http://www.g-excess.com/id/pengertian-dan-

definisi-dari-e-mail-e-mail-adalah.html http://sarikata.com/2004/06/28/tips-

menggunakan-e-mail-di-kantor.html / 8. Istilah dalam E-mail

http://serematik.blogspot.com/2010/02/materi-e-mail.html

Istilah-istilah yang sering digunakan dalam menggunakan e-mail adalah:

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/wanita/2010/01/20/788/Maksimalkan-E-mail-Kantor

a. Sign Up: Mendaftarkan diri untuk membuat akun e-mail baru.

b. Sign In: Apabila sudah memiliki akun e-mail (terdaftar menjadi anggota), maka dapat langsung masuk ke akun e-mailnya.

http://www.tabloidnova.com/Nova/Karier/Pengembangan-Diri/Etika-Menggunakan-E-mail-di-Kantor

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/12/pengertian-e-mail-cara-pembuataan-e-mail-baru/

c. Compose: Menulis surat/pesan baru. d. Inbox: Surat yang masuk ke pemilik akun

e-mail. e. To: Surat akan dikirim ke alamat e-mail

yang akan dituju.

Page 73: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

 

70  

ANDA BERTANYA KAMI MENJAWABKAMI MENJAWAB   Bung Plano, saya staf di Direktorat Jenderal Planologi, saya ingin bertanya di bagian saya ada kegiatan yang tercantum di DIPA namun belum bisa dilaksanakan, hal ini dikarenakan dana pada kegiatan tersebut terdapat tanda bintang, yang ingin saya tanyakan:

1. Apa yang dimaksud dengan tanda bintang? 2. Kalau sudah ada tanda bintang pada kegiatan DIPA, bagaimana solusinya? 3. Bagaimana cara agar pada kegiatan ke depan itu tidak terkena tanda bintang lagi?

Jawab: Tanda bintang/blokir (*) adalah dana kegiatan dalam DIPA yang tidak diperkenankan untuk dicairkan sebelum tanda bintang/blokir (*) dilepaskan.

Kenapa dibintang? hal ini dikarenakan kegiatan tersebut belum melengkapi data dukung atau data dukung yang dibuat belum memenuhi kaidah dalam sistem penganggaran.

Data dukung: • TOR, RAB (Rincian Anggaran Biaya), SPTJM (Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak), dan data

dukung lainnya (Price list, Khusus bangunan usulan rincian kegiatan diketahui/disahkan oleh Dinas Pekerjaan Umum setempat).

• Kegiatan yang berupa bangunan gedung harus mendapatkan rekomendasi/ clearence dari BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pusat), Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).

Solusi menghilangkan tanda bintang/blokir (*) jika terdapat tanda (*)di RKA-KL: Yaitu dengan mengusulkan revisi penghapusan tanda bintang/blokir (*) dengan melengkapi kembali data dukung sesuai ketentuan dalam sistem penganggaran. Solusi agar kegiatan ke depannya tidak muncul tanda bintang/blokir (*) kembali : yaitu usulan kegiatan (RKA-KL) harus dilengkapi dengan data dukung yang lengkap dan sesuai dengan kaidah dalam sistem penganggaran.

(Sumber: Subbagian Program dan Anggaran, Setditjen Planologi) 

Page 74: Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011