bunga rampai 2

Embed Size (px)

Citation preview

Komisi Yudisal dan Reformasi Peradilan

i

ii

Kata Pengantar Ketua Komisi Yudisial Republik IndonesiaPendekatan transdisipliner dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia dipandang penting dan relevan oleh ekonom berkarakter kerakyatan dan egaliter, Prof. Dr. Mubyarto. Dalam pandangannya, koperasi merupakan pilar dan sistem ekonomi yang kompatibel untuk pendemokratisasian ekonomi bangsa yang berpihak pada rakyat sebagai pemegang tunggal kedaulatan rakyat. Jauh sebelumnya, Bung Hatta salah satu penyusun UUD Tahun 1945 adalah Negarawan yang telah berjuang keras memasukkan ekonomi kerakyatan sebagai prinsip dasar penyelenggaraan perekonomian Indonesia. Dalam tulisannya yang berjudul Demokrasi Kita, ia menegaskan pentingnya peranan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi dalam mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Dikatakan selanjutnya, bahwa demokrasi politik saja tidak dapat mewujudkan persamaan dan persaudaraan, maka harus ada demokrasi ekonomi. Jika tidak, manusia belum merdeka dan persamaan serta persaudaraan belum ada. Maka, cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial, yang melingkupi seluruh tatanan hidup yang akan menentukan nasib manusia. Dua di antara ekonom langka yang kini amat sulit ditemukan kader penerusnya dengan kepribadian ilmu dan kejelasan serta ketegasan secara lugas dalam sikap pembelaannya terhadap rakyat, memiliki spirit keadilan sosial yang dikaitkan dengan demokrasi sosial. Suatu pandangan kalangan ekonom yang berkir transdisipliner. Secara elaboratif, kedua almarhum yang kini telah tenang (muthmainnah) di alam kubur karena kesalehan akademiknya menegaskan suatu ideologi ekonomi kerakyatan. Dan keyakinan ideologis inilah yang melekat hingga akhir jabatan dan hayatnya.

iii

Di negeri dengan ribuan kampus yang tersebar di berbagai daerah ini, rasanya, lebih sulit ditemukan akademisi yang beruntung dengan memiliki watak dan kepribadian yang jelas, yang clean dan clear. Entah karena begitu kuatnya main stream pragmatisme dan hedonisme yang sudah mengideologis, atau bahkan sudah setingkat menjadi falsafahnya, teramat langka terdengar suara nyaring, lugas dan kritis dari lembaga kampus pencetak SDM Pemimpin yang iImuan, dalam mengkritisi situasi bangsa yang mengitarinya. Apakah untuk mengkloning frame of thinking konstruksi dan kepribadian ilmiah kedua ekonom kerakyatan di atas, kita harus set back ke masa lalu yang jelas bertentangan dengan watak sejarah itu? Jelas mustahil. Karena, salah satu dimensi sejarah ialah suatu kesadaran untuk melakukan gerakan-gerakan serius dengan misi transformation to the future. Yang pantas diteladani adalah, bahwa keadilan sosial dipandang dan diletakkan sebagai cara pandang untuk menata perekonomian bangsa, untuk mewujudkan persamaan dan persaudaraan antar anak bangsa dan bahkan menentukan nasib manusia Indonesia. Demokrasi ekonomi dipandang penting yang dikaitkan dengan demokrasi sosial. Suatu cara pandang yang begitu luhur, jelas keberpihakannya kepada rakyat dan mereeksikan spirit Pembukaan UUD Tahun 1945. Namun sejarah kehidupan ketatanegaraan dalam era orla dan orba telah tidak menghargai pemikiran di atas. Tentu hal inilah yang kemudian telah melahirkan suatu bencana ketidakadilan ekonomi yang berdampak luas dalam kehidupan sosial budaya lainnya, termasuk dalam bidang hukum dan law enforcement. Politik dan ekonomi sebagai panglima pembangunan pada era rezim-rezim yang lalu, tidak apresiatif dan artikulatif terhadap posisi dasar rakyat sebagai yang paling berhak atas seluruh kekayaan bangsa sebagai anugerah Allah. Mainstream pemikiran ekonomi yang jelas pro rakyat diabaikan dengan kebijakan ekonomi neoliberal yang telah melahirkan birokrasi korup yang ditandai dengan KKN. Di penghujung kejatuhan Soeharto, Indonesia telah dikenal oleh masyarakat internasional sebagai salah satu negara terkorup di level dunia. Anggaran negara Indonesia telah dibocorkan hingga mencapai angka rata-rata 30% pertahun, sebagaima-

iv

na diungkap oleh Prof Sumitro. Meminjam teori korupsi oleh Syed Hussein Alatas, dikenal ada tiga lapis korupsi. Lapis pertama, yang melibatkan warga dengan aparatur negara, berupa suap (bribery) yang prakarsanya datang dari warga, dan pemerasan (extorsion) yang diperankan olah aparatur negara. Lapis kedua, korupsi dalam lingkaran dalam (inner circle) di pusat pemerintahan dalam ketegori nepotisme, dimana ada hubungan darah antara pelayan publik dengan pemangku kepentingan yang menerima berbagai kemudahan; kronis-isme, yang tidak ada hubungan darah antara para pelaku korupsi dan yang diuntungkannya, dan kelas baru, dimana antara pengambil kebijakan dengan yang menerima kemudahan telah menjadi satu kesatuan organik. Meminjam George J Aditjondro, korupsi di Indonesia dibedakan antara korupsi yang didorong oleh faktor kemiskinan (corruption driven by poverty) dan yang di dorong oleh kerakusan (corruption driven by greed). Yang pertama disebut korupsi kerah biru yakni pelakunya mereka yang berseragam dan yang kedua disebut korupsi kerah putih yakni mereka yang berdasi. Apapun kategorisasinya, kita berbahagia, bahwa secara alamiah di negeri ini, kita memperoleh pengayaan tentang puluhan modus dan pelaku korup. Terakhir kita membaca terdapatnya executive corruption, legislative corruption dan judicial corruption. Masing-masing telah memberikan ragaan dan contoh sempurna tentang kualitas dan sejumlah modus kejahatannya yang pasti telah, sedang dan akan terus menerus secara berkesinambungan (sustainable) menciptakan mesin korupsi yang berjalan secara mekanis dan organik. Keganasan dan kekejaman terus berjalan dengan pasti di atas kepatuhan ideologi korupsi para koruptor di negeri yang masih dihuni oleh sekitar 37 juta rakyat miskin, dan puluhan juta mereka yang terbatas mampu memenuhi hajat makan yang tak mampu berpikir masa depan pendidikan para pewarisnya. Dalam situasi mengenaskan dan menyayat ulu hati rakyat miskin inilah, kalangan ahli hukum dan penegak hukum, telah disapa dan diundang oleh kedua ekonom di atas, untuk berbicara dan melangkah atas nama dan untuk keadilan sosial, demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Suatu ajakan luhur, yang menjadi ranah dan agenda mereka yang terpanggil nurani dan akal budinya untuk agenda re-

v

formasi peradilan. Suatu agenda yang menuntut kesadaran sejarah untuk bersama-sama dalam ketulusan dan kejiwabesaran merintis proses penegakan hukum yang benar, adil, jujur, transparan dan profesional. Kendatipun berdasarkan survey dari Partnership for Governance Reform tahun 2002, terdapat persepsi masyarakat bahwa badan peradilan merupakan badan terkorup dibandingkan badan-badan lainnya, demikian halnya survey dari Transparansi Internasional Indonesia (TII) tahun 2006 yang mengungkapkan bahwa inisiasi dari badan peradilan untuk melakukan praktik suap lebih tinggi daripada lembaga publik lainnya dan laporan dari Global 2007 Transparency International (TI) yang bermarkas di Jerman telah menempatkan badan peradilan Indonesia dalam kategori badan paling korup di antara badan peradilan di beberapa negara (Yunani, Albania, Meksiko, Moldova, Maroko, Peru, Taiwan dan Venezuela), hingga muncul penilaian Syahrir, bahwa badan peradilan telah menjadi black market of justice, namun, di atas semua penilaian ini, kita sebagai bangsa besar, tentu memiliki jiwa besar, dada lebar dan nafas panjang serta emosi yang menep untuk melakukan self correction. Dalam kerangka untuk mendorong terwujudnya hakekat kemerdekaan bangsa dalam usia kemerdekaan ke-62, patut kita memulai lembaran putih baru. Yakni niat dan kesadaran baru untuk menjadikan proses-proses peradilan sebagai pilar moral menuju terdorongnya tatanan kehidupan hukum yang benar-benar berkeadilan, dan membawa dampak konstrukrif bagi terwujudnya persamaan dan persaudaraan antar anak bangsa, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan dan perlindungan hukum atas hajat hidup dan hak-hak asasi rakyat. Siapapun, semuanya, sudah saatnya untuk kembali kepada otentisitas diri (trah), yang menyadari dan memerlukan pemenuhan hak-hak trah sesama. Hak itu antara lain, pada satu sisi memperoleh perlindungan hukum dan keadilan sehingga tidak lagi terdapat kesenjangan yang mencolok di antara sesama, dan pada sisi lain, kita bisa memperoleh hak yang berasal dari dipenuhinya kewajiban dari orang lain karena kita telah memberikan hak kepada mereka. Penegakan hukum adalah proses mewujudkan hak menjadi suatu hukum positif, atau mengurangi dan meniadakan sesuatu yang bukan hak menjadi hukum posi-

vi

tif. Di antara keduanya terdapat ukuran sebagai patokan, yaitu moral, yang merupakan nilai (value) yang membedakan apa yang benar dan salah yang haq dan bathil. Disini, moral adalah esensi dan ruh dari hukum. Maka, terdapat pepatah there is no law without morality. Yang oleh Prof. Senoadji disempurnakan menjadi there is no morality without religion. Pepatah klasik harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, bisa dielaborasikan dalam pandangan yang sedikit lsafati. Yaitu, Polisi, Jaksa, Hakim dan Lawyer mati meninggalkan contoh penegakan hukum yang berkeadaban. Suatu putusan hakim yang merupakan produk bersama secara etis-profesional dari pemberfungsian suara nurani yang bening dan akal budi yang sehat oleh empat profesi terpuji di atas dalam keseluruhan proses peradilan. Putusan yang teruji secara moral dan hukum disertai asupan yurisprudensi dan doktrin hukum yang selektif yang kemudian melahirkan situasi hukum yaitu menyelesaikan sengketa dan tegaknya hukum dan keadilan terhadap siapapun. Putusan semacam inilah yang memenuhi kriteria ranah-ranah demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Tentu, untuk menuju kearah mimpi indah itu, selalu saja ada pihak-pihak yang melakukan perlawanan. Ini lumrah secara sosiologis dalam masyarakat kita yang untuk sebagian telah terwarisi budaya suap menyuap dalam bentuk dan dalih apapun juga. Namun, untuk kedepan, memang harus dimulai dari sekarang. Tak salah jika kita berobsesi, akan haknya di Amerika Serikat, seperti ditulis oleh Prof. Satjip-to Rahardjo mengutip penelitian Dirk dan Bridwell, bahwa Amerika Serikat adalah merupakan a society designed by the judiciary, dimana pengadilan melahirkan putusan-putusan sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan-perubahan penting dalam masyarakat. Di Indonesia, untuk menuju pada putusan hakim yang mengkarakterkan sebagaian instrument of social engineering atau social reconstruction, masih memerlukan pembenahan yang tidak sederhana. Penormaan moral menjadi hukum positif bukan saja masih terkendala dari berbagai faktor penyebabnya. Mendesain putusan yang memenuhi ajakan kedua ekonomi kerakyatan di atas, agar dengan putusan hakim dapat diperoleh suatu tatanan baru dimana proses

vii

pendemokratisasian hukum bisa berdampak konstruktif pada terciptanya keadilan sosial, bukan perkara mudah. Ia memerlukan pendekatan kemampuan intelektualitas tinggi, dalam dan komprehensif serta transdisipliner, tapi juga memerlukan kondisi psikologis dimana para penegak hukum memiliki dan merasakan makna dari hakekat diri yang tri, yang memerlukan asupan spiritualitas dosis tinggi serta lingkungan keluarga dan budaya organisasi di instansi dimana ia berhikmat dengan profesi luhurnya itu. Maka, berbagai himpunan pemikiran yang menuju pada bagaimana agenda reformasi peradilan dapat dipersepsi dan diusung bersama, adalah merupakan misi Komisi Yudisial. Kita amat memerlukan kontribusi pemikiran dan aktualisasi komitmen moral bersama menuju kearah terdorongnya proses pencapaian lahirnya putusan hakim yang memiliki utilitas atau kemaslahatan bagi pemerdekaan anak bangsa ini dari himpitan kemiskinan masif, yang salah satu penyebabnya bisa datang dari produk legislasi dan kebijakan nasional maupun putusan hakim yang tercerabut dari kesadaran nurani dan akal sehat serta rasa keadilan masyarakat. Dalam kerangka demikian, langkah untuk mendemokratiskan secara berkeadaban proses-proses peradilan, hendaknya menjadi komitmen dan agenda sistemik dan simultan. Dari sisi legislasi di DPR, semua pihak yang pro pembebasan rakyat dari lilitan kemiskinan masif tentu berharap lahirnya revisi Undang-Undang Komisi Yudisial, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam satu nafas baru. Yaitu terwujudnya proses penguatan dan sekaligus pengawasan terhadap badan peradilan melalui mekanisme undang-undang yang akan diiringi dengan pemeranan seluruh elemen masyarakat madani sebagai bagian terpenting bagi terwujudnya peradilan yang Jujur, Bersih dan Profesional. Dimintakannya para penulis dari berbagai latar belakang akademisi, tokoh agama dan masyarakat, anggota DPR, para pengamat dan aktivis NGO dalam Buku Bunga Rampai Komisi Yudisial edisi kedua ini, dikandung maksud untuk memperoleh pandangan-pandangan yang komprehensif dan komplementer untuk memperoleh pandangan mengenai gagasan dan langkah menuju bagaimana proses reformasi peradilan bisa segera dimulai dengan pemeranan elemen masyarakat madani, pengefektifan pengawasan yang lebih proporsional

viii

baik oleh Komisi Yudisial sebagai wujud amanat reformasi bersama-sama dengan seluruh elemen masyarakat madani. Kita berkepentingan akan lahirnya putusan-putusan hakim yang berkeadaban, yang mencerminkan suara dan hakekat keadilan bagi terwujudnya perlindungan hukum terhadap para pencari keadilan tetapi juga sekaligus dalam rangka perubahan tatanan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih berkeadilan. Semoga tulisan dalam Buku Bunga Rampai ini memberikan wacana yang lebih luas kearah pembenahan peradilan kita kedepan. Jakarta, 2 Agustus 2007

M. Busyro Muqoddas

ix

x

Penghargaan dan Ucapan Terima KasihProgram penyusunan buku Bunga Rampai Dua Tahun Komisi Yudisial Republik Indonesia ini adalah salah satu program yang diamanatkan oleh Rapat Kerja Komisi Yudisial Republik Indonesia pada bulan Februari 2007 di Bandung. Banyak pihak yang telah memberikan kontribusi yang sangat berharga dalam proses penyusunan buku ini, yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Ucapan terima kasih kepada Bapak M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum., Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia yang telah memberikan kontribusi pemikiran, dukungan dan motivasi, serta membuat kata pengantar dalam buku ini. Secara khusus, kami menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada para penulis (kontributor) yang telah memberikan artikel untuk materi buku ini. Untuk itu, diucapkan terima kasih kepada: Bapak Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., Bapak Arbab Paproeka, S.H., Bapak Firmansyah Arin, S.H., Bapak Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Bapak M. Hatta Ali, S.H., M.H., Ibu Prof. DR. Komariah Emong Sapardjaja, S.H., Bapak M. Ali Zaidan, S.H., M.H., Bapak A. Pandupraja, S.H., Sp.N., LL.M., Bapak Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., Bapak Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA., Bapak Trimedya Panjaitan, S.H., Bapak F.X. Soekarno, S.H., Bapak Dr. John Pieris, S.H., Bapak Prof. DR. Ermaya Suradinata, S.H., MS., M.H., Bapak Dr. Marwan Mas, S.H., M.H., Bapak Asep Rahmat Fajar, S.H. dan Bapak Ir. Andi Djalal Latief, MS. Penghargaan yang tinggi, atas dukungan dan kontribusi pemikiran dalam proses penyusunan buku ini, juga disampaikan kepada Bapak Wakil Ketua, Bapak-bapak Anggota Komisi Yudisial Republik Indonesia, para Tenaga Ahli dan

xi

Bapak Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia. Buku Bunga Rampai ini dapat diselesaikan adalah tidak terlepas dari dukungan dan dedikasi yang sangat tinggi dari Sekretariat Tim Penyusun Buku Bunga Rampai, serta dukungan Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial. Semoga dengan hadirnya buku ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Jakarta,

2 Agustus 2007

Hermansyah Redaktur

xii

Daftar IsiPrakata Ketua Komisi Yudisial M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum. Penghargaan dan Ucapan Terima Kasih Daftar Isi iii xi xiii

Bagian Kesatu Reformasi Peradilan1. Komisi Yudisial Dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. 2. Perubahan Bidang Politik dan Pengaruhnya Terhadap Reformasi Peradilan Arbab Paproeka, S.H. 3. Komisi Yudisial Pengawal Reformasi Pengadilan Mendayung diantara Simpati dan Resistensi Firmansyah Arin, S.H. 4. Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi Peradialn Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. 1 21

43 65

5. Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Transformasi M. Hatta Ali, S.H., M.H. 83 6. Hakim Agung dan Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Pada Era Reformasi dan Transformasi Hukum Prof. DR. Komariah Emong Sapardjaja, S.H. 7. Kontribusi Lembaga Kejaksaan Dalam Mempercepat Reformasi Peradilan M. Ali Zaidan, S.H., M.H. 8. Kontribusi Komisi Kepolisian Nasional Dalam Mempercepat Reformasi Peradilan A. Pandupraja, S.H., Sp.N., LL.M.

95

107

135

xiii

9. Peran Serta Elemen Masyarakat Sipil Dalam Mendorong Proses Reformasi Peradilan dan Penegakan Hukum Prof. Dr. M. Din Syamsuddin 10. Reformasi Pendidikan Hukum Untuk Menghasilkan SDM Penegak Hukum Yang Kompeten dan Profesional Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H.

155

165

Bagian Kedua Penguatan Kelembagaan1. Komisi Yudisial Yang dicita-citakan Oleh Masyarakat dan Pencari Keadilan Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA. 2. Sinkronisasi Sistem Perundang-undangan Lembaga Peradilan Dalam Menciptakan Peradilan Yang Lebih Baik Trimedya Panjaitan, S.H. 3. DPR dan Perubahan Atas Undang-Undang Komisi Yudisial F.X. Soekarno, S.H. 4. Gerak dan Langkah Nyata Komisi Yudisial Dalam Mengemban Amanat UUD 1945 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Dr. John Pieris, S.H. 5. Pentingnya Peran Komisi Yudisial Berdasarkan Pendekatan Geopolitik dan Geostrategi Indonesia Prof. DR. Ermaya Suradinata, S.H., M.S., M.H. 6. Memulihkan Kewenangan Komisi Yudisial Dengan Melibatkan Kemitraan (Jejaring) di Daerah Dr. Marwan Mas, S.H., M.H. 7. Urgensi dan Fungsi Pembentukan Jejaring di Daerah Oleh Komisi Yudisial Asep Rahmat Fajar, S.H. 8. Urgensi Pembuatan Data Base Hakim Sebagai Media Penunjang Pelaksanaan Wewenang dan Tugas Komisi Yudisial Ir. Andi Djalal Latief, MS. Redaksi

185

197 221

249

259

275

287

301 319

xiv

Bagian Kesatu

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

xv

xvi

Komisi Yudisial dalam Mosaik Ketatanegaraan KitaMoh. Mahfud MD

Pujian dan cercaan Kehadiran Komisi Yudisial (KY) di Indonesia telah memperkaya khazanah kita tentang pembangun hukum, pengayaan mana dibangun oleh banyaknya kontroversi atas langkah-langkah KY yang begitu dibentuk langsung tancap gas tinggi untuk mengawasi perilaku dan moralitas hakim. Pujian dan cercaan terus bermunculan yang sampai saat ini (Juli 2007) menyebabkan KY berada pada posisi yang menggantung karena setelah wewenangnya untuk melaksanakan fungsi pengawasan dipangkas melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Agustus 2006, praktis pekerjaannya hanya menyeleksi calon hakim agung. Itu pun masih menimbulkan kontroversi karena produknya tentang calon hakim agung tahun 2007 banyak yang menilainya tidak berkualitas apalagi Irawady Joenoes, salah seorang anggotanya, memprotes karena keputusan KY ditetapkan dalam rapat yang, katanya, sengaja dilakukan tanpa kehadirannya. Meskipun sudah pernah menulis tentang KY dari aspek politik hukum untuk buku peringatan Satu Tahun Komisi Yudisial (2006), penulis diminta mengelaborasi lebih lanjut optik politik hukum tentang KY tersebut berkenaan dengan perkembangan-perkembangan baru menyusul putusan MK pada akhir Agustus 2006 yang memangkas hampir seluruh kewenangan KY yang semula diberikan oleh UU No. 22 Tahun 2004 berdasar atribusi kewenangan legislasi yang sah. Kontroversi sambutan atas kehadiran KY dapat ditelusuri dari latar belakang kehadirannya di dalam sistemKomisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

1

ketatanegaraan kita. Saat kita melakukan reformasi pada tahun 1998 bermunculan wacana untuk memperbaiki penegakan hukum kita dengan asumsi bahwa terjerumusnya Indonesia ke dalam krisis multidimensi yang sulit disembuhkan disebabkan oleh bobroknya dunia peradilan. Maa peradilan (judicial corruption) yang melibatkan hakim-hakim terasa menyengat tetapi tak dapat terlihat atau dibuktikan secara formal karena pelaku-pelakunya terdiri dari orangorang yang pandai memanipulasi hukum untuk saling melindungi. Pada saat yang sama dirasakan juga bahwa banyak produk UU yang secara substantif bertentangan dengan UUD 1945 sehingga isinya banyak yang lahir dari korupsi politik tetapi tidak ada instrumen hukum dan lembaga yang dapat mengoreksinya melalui pengujian kecuali pengujian legislatif (legislative review) yang sudah pasti sangat bergantung pada kehendak lembaga-lembaga poltik yang korup. Itulah sebabnya dua hal untuk memmperbaiki kinerja hukum kita segera menyeruak ke dalam wacana yang kemudian diterima dengan baik di dalam proses politik yang lahir di awal reformasi. Pertama, untuk mengawasi perilaku hakim agar tidak melakukan judicial corruption harus dibentuk Komisi Yudisial (KY). Kedua, untuk menguji UU terhadap UUD dibentuk Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga negara baru pemegang kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung (MA). Gagasan tentang kedua lembaga ini mendapat sambutan posistif baik dari kampus-kampus dan LSM maupun dari parpol dan Fraksi-fraksi di DPR dan MPR. Bahkan orang-orang yang sekarang duduk di MA maupun MK yang terkesan ikut menghantam KY, pada waktu itu memberi dukungan kuat dengan argumen-argumennya yang sangat meyakinkan tentang KY dan segala kewenangannya yang kemudian dituangkan di dalam UU No. 22 Tahun 2004. Perubahan Positif Ketika gagasan tentang pembentukan KY dan MK ini diproses secara legislasi di DPR kewewenangan yang diberikan kepada keduanya ternyata berkembang secara lebih baik. KY diberi tugas melakukan pengawasan terhadap hakim baik secara preventif maupun represif. Secara preventif KY dapat mengusulkan calon hakim agung agar tampil hakim agung-

2

Bunga Rampai

hakim agung yang baik melalui seleksi yang ketat dan obyektif; sedangkan secara represif KY dapat mengawasi perilaku hakim dalam pelaksanaan tugas-tugasnya sekaligus memutuskan tindakan yang dapat direkomendasikan kepada MA. Begitu pun dengan MK, lembaga kekuasaan kehakiman yang baru ini bukan hanya diberi wewenang melakukan pengujian UU terhadap UUD tetapi juga diberi wewenangwewenang lain yakni memutus sengketa antar lembaga negara yang wewenangnya ditentukan di dalam UUD, memutus pendapat atau dakwaan (impeachment) DPR bahwa Presiden telah melakukan salah satu atau lebih dari lima hal yang ditentukan di dalam UUD yang dapat dijadikan alasan untuk memberhentikan Presiden/Wapres dalam masa jabatannya, memutus pendapat DPR bahwa Presiden/Wapres tak lagi menuhi syarat, memutus sengketa hasil pemilu, dan memutus pembubaran partai politik. Dalam pada itu pembuat Konstitusi menetapkan juga bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dilakukan oleh MA. Sebelum reformasi ketentuan ini oleh beberapa peraturan perundang-undangan memang sudah dijadikan wewenang MA tetapi karena pengaturannya kacau secara teoretis maka ketentuan itu tak pernah dapat diimplementasikan.1 Itulah sebabnya ketentuan tentang itu ditegaskan di dalam UUD hasil amandemen sehingga pengaturan operasionalnya dengan atribusi kewenangan legislasi menjadi jelas dan dapat diimplementasikan. Kemajuan nyata Harus diakui secara jujur bahwa mosaik lembaga peradilan, terutama kekuasaan kehakiman, menjadi lebih baik setelah perubahan UUD 1945 yang menegaskan fungsi-fungsi konstitusional dengan proliferasi kelembagaan dalam bidang ini. Kita mencatat sampai sekarang MK sudah memeriksa dan memutus lebih dari 100 kasus pengujian UU terhadap UUD. Terlepas dari soal, apakah kita setuju atau tidak setu-

1

Bahasan meluas tentang ini lihat dalam buku saya, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

3

ju dengan sebagian putusan MK, ini harus dicatat sebagai kemajuan karena membuktikan bahwa memang benar banyak UU yang dapat dipermasalahkan konstitusionalitasnya dan MK telah menjadi lembaga yang tepat untuk melakukan itu. Benar juga ketika kita menguatkan wewenang MA untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi, terbukti sekarang MA telah menguji dan membatalkan beberapa peraturan perundang-undangan yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Langkah KY pun sudah mendorong ke arah kemajuan, sebab dengan gebrakannya menyorot dan memeriksa hakimhakim yang dilaporkan dan diduga nakal, mulai dari hakim pengadilan negeri sampai ke hakim agung ternyata meningkatkan gairah masyarakat untuk menyorot dan melaporkan hakim-hakim nakal, meski tak semua laporan itu benar adanya.2 Banyak hakim yang kemudian lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya. Dalam melakukan seleksi terhadap calon hakim agung pun, terlepas dari kritik dan kontroversi atas produknya, KY sudah memberi sumbangan yang cukup baik terutama untuk memilih yang terbaik dari jelek-jelek serta dalam membuat kontrak moral agar kalau sudah menjadi hakim agung seseorang dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh integritas. Ini sudah tentu jauh berbeda dengan zaman sebelumnya di mana hakim agung diangkat berdasar kontrak politik dan ditengarai kuat hanya berdasar kedekatan dengan pimpinan MA. Kebenaran relatif putusan MK Tetapi langkah-langkah KY yang cukup memberi harapan ternyata telah menjadi bumerang yang sama sekali tidak diharapkan baik oleh KY sendiri maupun oleh masyarakat. MA yang merasa kewibawaannya diobrak-abrik merasa tersinggung, terutama ketika KY mengundang ketua

2

Denny Indrayana, seorang ahli Hukum Tata Negara dari UGM, menyatakan bahwa maraknya kontroversi yang muncul dari konik antara MA dan KY yang disusul dengan putusan MK yang sangat kontroversial yang memangkas wewenang-wewenang KY justru menunjukkan adanya kemajuan dalam sistem ketatanegaraan kita sebab kegiatan saling kontrol menjadi tumbuh.

4

Bunga Rampai

MA untuk dimintai keterangan dan ketika KY mengundang beberapa hakim agung untuk diperiksa berkenaan dengan masuknya beberapa laporan dari masyarakat. Kalangan hakim banyak yang mengatakan bahwa KY bukannya menjaga martabat hakim melainkan justru menjatuhkan martabat hakim, bahkan mengintervensi kemandirian hakim. 30 orang hakim agung kemudian menggugat judicial review UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY terhadap UUD. Bahwa yang menggugat adalah pribadi-pribadi hakim agung itu hanyalah taktik saja, sebab jika dilihat dari suasana dan sikap-sikap petinggi MA tampak jelas bahwa MA memang merasa gerah dengan sepak terjang KY, hanya saja karena MA secara institusi tidak mempunyai legal standing atau tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa di MK maka yang dimajukan (sekurang-kurangnya dibiarkan dan didorong maju) adalah para hakim agung secara perseorangan. Isi gugatan itu pada pokoknya berkisar pada tiga hal. Pertama, meminta MK memutus bahwa hakim agung bukanlah bagian dari hakim yang dapat diawasi oleh KY sebab menurut pasal 24B ayat (1) untuk hakim agung sudah disebutkan KY hanya mengusulkan pencalonannya, sedangkan untuk mengawasi perilaku disebutkan berlaku untuk hakim. Jadi bagi para penggugat harus dibedakan pengertian antara hakim agung dan hakim sehingga isi UU No. 22 Tahun 2004 yang menyamakan keduanya harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Kedua, para penggugat meminta agar hakim konstitusi tidak dijadikan bagian dari pengertian hakim yang dapat diawasi oleh KY karena hakim konstitusi berbeda dari hakim lain dan baru dimasukkan di dalam UUD lebih belakang dari pengaturan tentang KY.3 Argumennya, ketika KY ditentukan di dalam UUD belum ada gagasan tentang hakim konstitusi, sehingga tak mungkin ketika KY dibentuk sudah terpikir untuk mengawasi hakim konstitusi. Ketiga, wewenang-wewenang KY untuk mengawasi para hakim harus dinyatakan bertentangan dengan UUD karena kriterianya tidak jelas dan bersifat eksesif apalagi dalam prakteknya

3

Seperti diketahui pengaturan tentang KY dicantumkan di dalam pasal 24B sedangkan pengaturan tentang MK dicantumkan dalam pasal 24C.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

5

KY sering memeriksa hakim dengan mempersoalkan isi putusan.4 Putusan judicial review MK pada Agustus 2006 tentang UU No. 22 Tahun 2004 itu memang agak kompromistis tetapi juga dapat dipersoalkan karena selain dianggap mengandung ultra petita5 juga bertentangan dengan asas nemo judex in causa sua sekaligus juga tidak sesuai dengan konsepsi hakim yang dimaksud dalam UUD. Pertama, dinilai kompromistis karena karena menolak gugatan bahwa hakim agung berada di luar subyek yang dapat diawasi oleh KY, namun hampir semua pedoman pengawasan untuk mengawasi para hakim sebagaimana diatur di dalam UU No. 22 Tahun 2004 dipangkas sehingga meskipun boleh mengawasi tetapi terjadi kekosongan hukum dalam operasionalisasi pengawasan itu sendiri. Kedua, dinilai ultra petita dan bias karena salah satu dasar pertimbangan pemangkasan wewenang-wewenang KY itu didasarkan pada pertentangan (tidak sinkronnya) ketentuan yang ada antar UU yakni pertentangan UU KY (yang dapat merekomendasikan pemberian sanksi pada hakim) dengan UU lain seperti UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 2 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum yang menentukan bahwa pemberhentian hakim agung dan hakim dilakukan setelah melalui Majelis Kehormatan Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim. Bias terjadi dan dapat dianggap ultra petita di sini karena MK hanya boleh menguji UU terhadap UUD bukan UU terhadap UU lainnya. Persoalan belum adanya ketentuan tentang kriteria pelanggaran moral oleh hakim mestinya tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan kewenangan KY sebab masalah tersebut merupakan ranah legislatif. Lagi pula jika UU tentang KY bertentangan dengan UU lain mengapa isi

4

5

KY sendiri memberikan argumen yang dapat dipahami ketika menyatakan bahwa sulit untuk tidak membaca dan menilai putusan hakim sebab pengaduan yang masuk pada umumnya menyangkut kejanggalan dalam pemeriksaan perkara dan putusan hakim. Tentang ini dapat dibaca secara lebih rinci di dalam buku saya, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945, LP3ES, Jakarta, 2007.

6

Bunga Rampai

UU KY yang dibatalkan? Mengapa tidak diberlakukan ketentuan bahwa hukum yang datang kemudian (UU No. 22 Tahun 2004) menghapus hukum yang terdahulu yakni UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 2 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum sesuai dengan asas lex posteriori derogat lex anteriori? Ketiga, putusan MK tersebut agak berbenturan juga dengan asas nemo judex in causa sua karena MK memutus hal-hal yang menyangkut kepentingannya sendiri yakni meletakkan hakim konstitusi sebagai subyek yang berada di luar pengawasan KY . Di dalam asas ini ditentukan bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang menyangkut diri-nya sendiri. Dalam saya catatan sudah dua kali MK memutus hal-hal yang menyangkut dirinya sendiri. Selain memutus bahwa hakim konstitusi bukanlah bagian dari hakim yang dapat diawasi KY, MK juga pernah membatalkan ketentuan UU tentang MK yang menentukan bahwa MK hanya boleh melakukan pengujian atas UU yang lahir setelah terbentuknya MK. Putusan MK menyatakan bahwa MK boleh menguji semua UU termasuk semua UU yang sudah ada sebelum terbentuknya MK. Selain berbenturan dengan asas nemo judex in causa sua bias putusan MK tidak sesuai dengan ide dan konsep tentang hakim di dalam konstitusi dan tata hukum kita sebab ide dan konsep dasar hakim adalah semua pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Putusan MK, belum tentu benar tapi mengikat Meskipun begitu harus diingat bahwa, terlepas dari soal benar atau salah, menurut pasal 24C ayat (1) putusan MK itu bersifat mengikat, nal and binding, tak dapat dilawan lagi secara hukum. Tegasnya, putusan MK itu belum tentu benar, tetapi sudah pasti mengikat. Kebenaran putusan MK itu bersifat relatif, tergantung pada pilihan perspektif, dalil, atau pasal-pasal yang dipergunakan untuk memutus; artinya sebuah putusan MK bisa salah jika yang dipakai untuk memutus adalah perspektif, dalil, dan pasal-pasal lain. Dengan kata lain, seandainya yang menjadi hakim pada Mahkamah Konstitusi itu adalah hakim lain yang menggunakan atau mengikuti paradigma,Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

7

perspektif teori, dan dalil-dalil lain maka putusan bisa berbeda. Kalau soal rasionalitas, paradigma apa pun yang dipergunakan pasti bisa dibangun rasionalitas untuk membenarkan pilihan perpspektif dan paradigma. Tidak sulit untuk mencontohkan ini. Dalam kasus putusan MK yang memangkas hampir semua kewenangan KY seandainya kita memakai perspektif, dalil, dan teori yang dipergunakan oleh pihak termohon atau pihak terkait langsung, Tim Hukum KY misalnya, maka semua dalil yang dipergunakan oleh MK bisa salah. Dalam bahasa sehari-hari dapatlah dikatakan bahwa putusan MK itu bisa sesuka-suka MK dengan kebenaran yang relatif karena logikanya hanya dibangun dari perspektif tertentu yang hanya bisa logis dari perspektif itu sendiri. Dari perspektif teori tertentu misalnya, bisa benar ketika MK mengatakan bahwa KY adalah auxiliary agent (lembaga negara penunjang) karena ia merupakan lembaga negara yang bukan pemegang kekuasaan kehakiman tetapi memiliki tugas yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan karenanya KY tidak bisa dijadikan bandul checks and balances dengan MK maupun MA. Tetapi dari segi lain bisa ditegaskan bahwa tak ada satu pun ketentuan UUD kita maupun dalam sejarah pembahasan ketika membentuk KY bahwa KY adalah lembaga penunjang. Itu hanya pendapat MK berdasar teori yang dipilihnya sendiri untuk kemudian dijadikan bahan pertimbangan vonis. Menurut UUD sendiri dan berdasar latar belakang pembahasannya di PAH I MPR tak pernah ada gagasan KY dijadikan sebagai lembaga penunjang. Dengan demikian jika dilihat dari perspektif lain maka KY bukanlah lembaga penunjang lembaga lain. Ia adalah lembaga negara yang otonom sebagai lembaga pengawas eksternal. Sebagai lembaga negara pengawas eksternal ia bukan penunjang, tetapi bidang tugasnya memang berkaitan dengan kekuasaan lembaga negara yang lain yakni kekuasaan kehakiman. Begitu juga putusan MK bahwa hakim MK tak bisa diawasi oleh KY karena KY lahir lebih dulu dari MK itu bisa benar dari perspektif tertentu sebab tak mungkin sesuatu yang dipikirkan dan lahir kemudian sudah dicakup untuk diawasi oleh lembaga yang ada lebih dulu. Tetapi jika konsep hakim dilihat dari teori tentang tugas-tugas untuk mengadili, siapa pun yang melakukan dan kapan pun dibentuk,

8

Bunga Rampai

maka hakim konstitusi pun harus dipandang sebagai hakim yang juga harus diawasi oleh KY. Jadi tampak jelas bahwa ini tinggal pilihan paradigma dan perspektif teorianya serta tergantung pada siapa, dan apa yang dimainkan hakim-hakim yang memeriksa dan memutus. Meskipun begitu, seperti dikemukakan di atas, putusan MK bersifat nal dan mengikat dan harus dilaksanakan. Bukan karena benar, tetapi karena hal itu sudah diputuskan oleh lembaga yang diberi wewenang oleh konstitusi untuk memutus sengketa tentang itu. Di sini berlaku prinsip hukmul haakim yarfaul khilaaf, putusan hakim menyelesaikan semua pertentangan, terlepas dari soal kita senang atau tidak senang. Namun agar putusan hakim dapat diterima dan tidak menimbulkan persoalan baru di dalam sistem hukum kita sebenarnya sudah ada penggarisan bahwa penegakan hukum di Indonesia haruslah mengintegrasikan secara padu tiga asas yakni asas kepastian hukum dan asas keadilan sesuai dengan ketentuan pasal 24 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1) dan asas kemanfaatan sesuai dengan ketentuan pasal 28H ayat (2). Jika hanya mendasarkan pada asas kepastian hukum, tepatnya pada formal dan prosedural semata, maka manipulasi bisa dilakukan oleh pihak yang punya otoritas untuk memutus dengan cara memilih perspektif dan teori serta dalil-dalil sesuai dengan selera dan kehendaknya sendiri. Oleh sebab itu di dalam konstitusi kita juga dianut asas keadilan dan kemanfaatan yang harus bersumber dari jeritan hati nurani masyarakat serta manfaat bagi masyarakat. Berdasar ini, setidak-tidaknya menurut penulis, maka putusan MK tentang KY lebih merupakan pilihan selera hakim konstitusi yang tentu bisa lain putusannya kalau hakim-hakim dan pilihan perspektifnya juga lain dengan argumen yang juga bisa kuat. Untuk banyak pihak putusan MK tentang KY itu memang mengikat tetapi tidak sejalan dengan latar belakang sejarah politik hukum, rasa keadilan, dan manfaat bagi masyarakat sebagaimana digagas ketika KY akan dijadikan bagian di dalam mosaik ketatanegaraan kita. Pilihan politik, tak terikat teori Seperti dikemukakan di atas, salah satu pertimbanganKomisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

9

putusan MK ketika memangkas hampir semua wewenang pengawasan KY terhadap hakim adalah karena KY bukan main organ melainkan hanya auxiliary organ, bukan lembaga negara utama seperti MA dan MK melainkan hanya lembaga pembantu atau penunjang. Pandangan seperti ini dapat dipertanyakan, sebab di dalam UUD sendiri tidak disebutkan tentang itu. Memang dapat diterima pandangan bahwa KY bukan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang mempunyai tugas yang berkaitan dengan kekuasaan tersebut. Namun sebagai lembaga pengawas eksternal lembaga ini dapat dipandang sebagai lemabaga negara yang sejajar dengan MK maupun MA meski pun kompetensi tugas-tugasnya membantu kekuasaan kedua lembaga tersebut. Jadi jika dilihat dari sudut lembaga negara maka KY ini tidak pernah dimaksudkan sebagai lembaga pembantu atau penunjang lembaga lain, melainkan merupakan lembaga pengawas eksternal yang berdiri sendiri; tetapi jika dilihat dari tugasnya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman maka bidang tugas KY memang hanya menunjang lembaga yudikatif dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Selain itu harus diingat bahwa Hukum Tata Negara itu bukanlah apa yang ada di dalam teori atau yang berlaku di negara lain. Hukum Tata Negara adalah apa yang digagas dan kemudian ditulis di dalam konstitusi oleh bangsa suatu negara. Jadi Hukum Tata Negara itu adalah apa yang diperdebatkan dan ditulis sebagai pilihan politik di dalam konstitusi, bukan apa yang ada di dalam teori atau yang berlaku di negara lain betapa pun dianggap sudah mapan. Meminjam ungkapan KC Wheare di dalam bukunya, the Modern Constitution, konstitusi adalah resultante atau kesepakatan yang dibuat oleh bangsa yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu serta situasi. Harus juga diingat bahwa dalam kenyataannya tidak ada satu sistem ketatanegaraan yang benar-benar asli dan tidak ada satu sistem ketatanegaraan yang secara persis dianut oleh lebih dari satu negara karena setiap negara memberikan sentuhan-sentuhan atau warna khusus sesuai dengan kebutuhan dan pilihan politiknya. Tidak ada teori Trias Politika asli dan tidak ada sistem pemerintahan yang murni karena hampir semua negara membuat sistem dengan sentuhan

10

Bunga Rampai

dan modikasinya sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan domistiknya. Teori Trias Politika yang selalu dikaitkan dengan Montesquieu misalnya, sebenarnya berasal dari John Locke ketika mengajarkan pemisahan kekuasaan atas legislatif, eksekutif, dan federatif namun kemudian dimodikasi oleh Montesquieu menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hasil modikasi oleh Montesquieu inilah yang umumnya dianggap sebagai dasar teori Trias Politika padahal Montesquieu sendiri mengambilnya dari John Locke; sedangkan nama dan uraian teoresasi tentang Trias Politika itu selanjutnya diberikan oleh Emmanuel Kant. Trias Politika yang dikira berasal dari Montesquieu itu pun kemudian melahirkan sistem pemerintahan yang berbeda-beda yang juga dapat dipertanyakan keasliannya. Amerika Serikat melahirkan sistem Presidensial yang memisahkan secara tegas antara legislatif dan eksekutif dengan mekanisme checks and balances antar poros-porosnya. Inggris melahirkan sistem Parlementer yang menganut supremasi parlemen, sedangkan di Swiss lahir sistem badan pekerja. Uniknya di negara Montesquieu sendiri, Perancis, dianut hybrid parliamentary-presidential system. Montesquieu sendiri mengatakan, penerapan yang benar adalah sistem parlementer seperti yang berlaku di Inggris. Tampak jelas bahwa sistem ketatanegaraan yang asli atau murni itu tidak ada karena semuanya merupakan penafsiran dan modikasi sendiri-sendiri. Amerika, Inggris, Perancis, Swiss, dan lain-lain membuat sistem ketatanegaraan berdasar pilihan politiknya sendiri. Berbagai contoh kasus6 Antara April dan Juli tahun 2007 ini penulis mengunjungi beberapa negara demokrasi di Asia dan Eropa yang ternyata mengatur sistem ketatanegaraannya secara berbeda-beda meskipun mengatakan menganut sistem terten-

6

Lihat dalam tulisan saya, Tak Ada Sistem Ketatanegaraan Asli, dalam Jawa Pos, 2 Mei 2007. Juga tulisan saya, Mencontoh Kehidupan Beragama di Lebanon, Harian Seputar Indonesia, 2 Mei 2007.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

11

tu dari Trias Politika. Libanon yang secara resmi menganut sistem Parlementer ternyata menyerahkan kekuasaan tertentu kepada Presiden yakni kekuasaan bidang pertahanan dan intelijen; jadi pemerintahan dilakukan oleh kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri tetapi untuk masalah pemerintahan tertentu dilakukan oleh Presiden. Di Yordania juga dianut sistem parlementer tetapi yang sangat menentukan jabatan perdana menteri adalah raja, bukan parlemen. Di Suriah pemilu untuk 250 kursi parlemen hanya dilakukan untuk memperebutkan 70 kursi karena nama wakil rakyat yang untuk 180 kursi sudah ditentukan lebih dulu oleh pemerintah dari partai yang berkuasa. Polandia juga menganut sistem parlementer tetapi uniknya Presiden dapat membubarkan parlemen dengan dua alasan yakni jika sampai waktu tertentu parlemen tidak mensahkan anggaran yang diajukan oleh pemerintah atau jika parlemen tidak menyetujui susunan kabinet yang diajukan oleh pemerintah dan sampai waktu tertentu parlemen tidak mengajukan alternatif untuk menggantikan penolakannya itu. Yang juga menarik di Polandia adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan judicial preview atau menilai satu RUU sebelum disahkan oleh (dan atas permintaan) Presiden; tetapi MK juga dapat melakukan judicial review atas UU yang sudah disahkan oleh Presiden jika ada gugatan, termasuk UU yang sudah dimintakan judicial preview sebelum diundangkan. Ini unik karena berarti MK dapat menilai kembali UU yang telah dinyatakan konstitusional oleh MK sendiri sebelum UU itu disahkan. Tapi itulah sistem yang dipilih oleh Polandia. Sistem presidensial di Indonesia juga tidak mengikuti pola yang umum meski pola umum itu tidak murni juga. Pada umumnya di dalam sistem presidensial kekuasaan membentuk UU hanya ada di parlemen tetapi Presiden mempunyai hak veto (hak menolak) yang kemudian dapat diuji kembali melalui sejumlah dukungan minimal tertentu di parlemen. Namun di Indonesia Presiden mempunyai hak bersama DPR untuk membentuk UU. Sistem Presidensial seperti yang dianut di Indonesia ini hanya dipakai oleh satu negara lain di dunia, yakni Puerto Rico. Di Republik Rakyat Cina (RRC) yang menganut sistem yang agak unik, Socialist Democratic

12

Bunga Rampai

Dictatorship,7 Kejaksaan Agung dijadikan lembaga yang sejajar dengan Mahkamah Agung dan lembaga negara yang lainnya. Jadi di RRC kejaksaan bukan bagian dari Pemerintah dan bukan bagian dari Mahkamah Agung melainkan dijadikan lembaga yang sejajar dengan kedua lembaga negara itu. Namun seperti dikenal luas penegakan hukum dan pemerintahan di RRC berjalan sangat efektif. Itu pun merupakan pilihan politik atau resultante bangsa Cina dalam membuat konstitusinya. Desain Komisi Yudisial Uraian di atas bermaksud meyakinkan kita bahwa sistem ketatanegaraan kita pun adalah sistem yang dapat kita buat sendiri, bukan sistem yang harus dipaksakan untuk sama atau menganut teori atau sistem yang berlaku di negara lain, termasuk ketika kita menempatkan KY di dalam mosaik ketatanegaraan kita. Dalam kaitan dengan KY ini penulis dapat mengatakan bahwa menurut risalah persidangan-persidangan MPR yang merancang perubahan UUD 1945 tidak muncul sama sekali pemikiran untuk menjadikan KY sebagai supporting atau auxiliary organ. Yang menonjol ketika itu adalah pemikiran tentang perlunya lembaga pengawas eksternal yang dapat menyeleksi hakim agung dan mengawasi perilaku hakim sebab lembaga pengawas internal yang ada di lembaga yudikatif sampai saat itu sama sekali tidak efektif. Sebagai pilihan politik penempatan posisi KY yang seperti itu sah saja dan mengikat secara konstitusional, sebab seperti dikemukakan di atas setiap konstitusi dapat menentukan pilihannya sendiri-sendiri. Di berbagai negara pun pemosisian KY bervariasi, tergantung pada kebutuhan masing-masing, bahkan ada negara yang menempatkan KY sebagai lembaga yang bukan di ranah yuridis melainkan bersifat politis. Di Polandia, misalnya, Dewan Yudisial Nasional atau the National Council of the Judiciary berfungsi untuk

7

Bagi penulis konsep ini terasa unik, sebab pada umumnya agak sulit menyatukan sosialis-komunis dengan demokrasi, juga agak sulit memahami demokrasi yang dikatatorship. Ternyata konsep ini berjalan efektif karena dictatorship di sana diartikan kekuasan hukum (dikatatorial hukum) secara mutlak, siapa pun harus tunduk kepada hukum.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

13

menjaga dan melindungi kebebasan/kemandirian pengadilan dan hakim. Lembaga ini lebih bersifat politis karena keanggotaannya terdiri dari Ketua I Mahkamah Agung, Ketua I Mahkamah Tinggi Tata Usaha Negara, Menteri Kehakiman, 6 orang anggota Parlemen yang masing-masing 4 orang dari Majelis Rendah dan 2 orang dari Majelis Tinggi, 15 orang hakim, dan seorang lain yang ditunjuk oleh Presiden. Jadi posisi konstitusional KY dengan berbagai kewenangan yang kemudian dituangkan ke dalam UU No. 22 Tahun 2004 sebagai pilihan politik yang khas Indonesia sebenarnya sudah cukup baik, tak ada hal-hal yang bertentangan dengan UUD baik secara semantik maupun secara historik dalam garis politik hukum kita. Tetapi MK dengan pilihan paradigma dan dalil serta pasal-pasal yang dipilihnya sendiri telah memangkas hampir semua kewenangan KY. MK menyatakan bahwa KY bukan lembaga negara utama padahal ketentuan yang seperti itu hanyalah tafsir teoretis dari MK yang bisa dibantah dengan tafsir teoretis lain. MK mengatakan bahwa KY hanyalah supporting atau auxiliary organ sehingga tak bisa melakukan peran checks and balances padahal tak ada sama sekali pemosisian yang seperti itu ketika MPR membahas dan merumuskan fungsi KY di dalam konstitusi kita. MK juga menyatakan bahwa ketentuan kewenangan KY untuk mengawasi tingkah laku hakim tumpang tindih dengan berbagai UU lain yang terkait dengan kekuasaan kehakiman sehingga karena itu MK membatalkan berbagai kewenangan KY, padahal MK hanya boleh memutus atau membatalkan isi UU jika bertentangan dengan isi UUD, bukan bertentangan dengan UU lain yang sejajar. Namun seperti dikemukakan di atas, terlepas dari soal benar atau salah, kita suka atau tak suka, putusan MK itu bersifat nal dan mengikat yang karenanya harus diterima dan dilaksanakan. Setelah terjadi kekosongan hukum dalam bidang pengawasan perilaku hakim oleh KY kini kita dituntut untuk segera membentuk UU baru yang memuat dan mengatur kewenangan KY ini. Yang harus diperhatikan dalam pembentukan UU baru ini adalah bahwa kita harus kembali ke semangat atau garis politik hukum tentang KY itu sebagaimana diperdebatkan di MPR pada saat masalah KY itu dibicarakan dan diputuskan. Pada saat itu ada semangat bahwa KY dibentuk un-

14

Bunga Rampai

tuk memenuhi kebutuhan akan lembaga pengawas ekternal yang mandiri untuk mengawasi perilaku hakim dan hakim yang dimaksud ketika itu adalah semua hakim yang bekerja di lembaga kekuasaan kehakiman. Terkait dengan ini maka di dalam disain baru nanti harus tetap dibuka kemungkinan KY membaca dan mendalami putusan hakim jika terkait dengan dugaan penyimpangan perilaku hakim. Di sini meskipun KY boleh membaca putusan hakim tidaklah dapat diartikan bahwa KY boleh melanggar independensi hakim sebab KY tetap tidak boleh mempengaruhi apalagi mengubah putusan hakim. Hakim tetap bebas memeriksa dan memutus perkara dan putusannya tetap mengikat, KY hanya boleh membaca dan menilai putusan setelah ada vonis tanpa boleh mengubah putusan hakim. Adalah sulit untuk tidak membolehkan KY membaca dan menilai suatu kasus pengaduan tentang pelanggaran perilaku oleh hakim sebab pada umumnya pengaduan perilaku hakim itu terkait dengan perkara yang kemudian diputus oleh hakim. Berdasar diskusi-diskusi di Badan Legislasi (Baleg) DPRRI8 yang kini sedang menyiapkan RUU tentang KY yang baru ada beberapa hal yang sudah dimasukkan di dalam buram (draft mentah) berkaitan dengan lingkup kewenangan KY di masa depan yang beberapa hal di antaranya dapat dikemukakan seperti di bawah ini: 1. Istilah menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim (pasal 1 butir 6 draft Juli 2007) diartikan sebagai upaya yang meliputi pencegahan dan penindakan atas perbuatan hakim, baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Dalam cakupan pengertian yang seperti ini maka pengawasan atas hakim mencakup pengawasan preventif (misalnya dalam hal seleksi hakim) dan pengawasan represif (misalnya pemeriksaan dan penindakan atau penjatuhan sanksi).

8

Penulis adalah anggota Badan Legislasi DPR-RI yang saat tulisan ini dibuat sedang menyiapkan tiga RUU yang terkait dengan kekuasaan kehakiman yakni RUU tentang MA, RUU tentang MK, dan RUU tentang KY.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

15

2.

3.

4.

Dalam upaya melakukan seleksi atas kualitas dan kepribadian calon hakim agung KY, antara lain, dapat mewajibkan calon hakim agung menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan (pasal 18 ayat (2) draft Juli 2007). Mungkin perlu ditekankan agar pembuatan karya ilmiah tersebut dilakukan seketika di tempat seleksi, bukan dibuat di rumah atau diserahkan beberapa hari sebelumnya. Ini dimaksudkan untuk menjaga orisinalitas dan menyaring kemampuan artikulatif setiap calon hakim agung. Selain itu perlu juga ditentukan pembacaan rekam jejak (track record) melalui telaah atas semua putusan yang pernah dibuat disertai investigasi secara diam-diam tetapi dapat dipertanggungjawabkan. Untuk melaksanakan wewenang konstitusional (menurut pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (3) draft Juli 2007) KY mempunyai tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Untuk tugas ini KY dapat melakukan pengawasan atas perilaku hakim serta memeriksa dan memutus terhadap dugaan pelanggaran kode etik dan keharusan perilaku baik atas pengaduan masyarakat maupun atas temuan KY sendiri. Dalam kaitan ini perlu dipertimbangkan atau ditegaskan tentang apa yang dimaksud hasil temuan KY sendiri, sebab konsep dasar yang dianut adalah sikap pasif bagi KY dalam arti KY hanya memproses laporan dari masyarakat tanpa boleh mencari-cari kasus sendiri. Selain itu perlu juga diperhatikan dalam kaitan ini tentang pemberian peluang bagi KY untuk membaca dan menilai putusan hakim yang diadukan atau dilaporkan oleh masyarakat dengan penekanan bahwa hal itu tak boleh bertendensi intervensif yang dapat mempengaruhi putusan berikutnya apalagi sampai mengubah putusan hakim. Memang di dalam pasal 22 ayat (2) draft Juli 2007 sudah dicantumkan ketentuan bahwa dalam melaksanakan tugas KY tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, tetapi ketentuan pasal 22 ayat (2) ini tidak terkait secara spesik bagi kemungkinan pembacaan dan penilaian putusan hakim oleh KY. Tentang sifat putusan KY yang berupa penjatuhan sanksi tertentu seperti pemberhentian, sebagaimana dimuatBunga Rampai

16

5.

di dalam pasal 22B ayat (4) draft Juli 2007, dinyatakan mengikat dan disampaikan oleh KY kepada Presiden dengan tembusan kepada pimpinan MA, pimpinan DPR, dan pimpinan badan peradilan dimana hakim yang bersangkutan bertugas. Ketentuan ini sangat penting agar maksud keberadaan KY untuk mengawasi dan menentukan sanksi dan tindakan dapat terpenuhi. Tetapi ketentuan ini harus disertai dengan pemosisian ketentuan di dalam UU lain yang menyatakan bahwa pemberhentian dilakukan setelah melalui pembelaan dan keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim. Mungkin dapat diatur bahwa dengan adanya KY tidak diperlukan lagi pemberian kompetensi bagi Majelis Kehormatan Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim untuk memutus/merekomendasikan pemberhentian hakim. Mungkin juga dapat diatur bahwa keputusan KY tentang pemberhentian dapat dilaksanakan tanpa pemeriksaan ulang di Majelis Kehormatan Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim, sedangkan pemberhentian hakim berdasar hasil pengawasan internal MA sendiri tetap harus melalui Majelis Kehormatan Hakim. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (pasal 25B ayat (2) draft Juli 2007) ditentukan beberapa larangan bagi hakim, tetapi tidak tercantum larangan bagi hakim untuk memeriksa dan memutus perkara yang berkaitan dengan dirinya (asas nemo judex in causa sua). Meskipun ini sudah menjadi asas di dalam hukum tetapi perlu juga dicantumkan di dalam bagian ketentuan tentang kode etik bahwa hakim tidak boleh atau harus mengundurkan diri dari (penanganan) perkara yang ada kaitan dengan dirinya. Ini penting juga karena dalam praktik selama ini masih banyak hakim yang menangani perkara yang ada kaitan dengan kepentingan dirinya.

Pengawasan atas MK Sebenarnya garis politik hukum tentang pembentukan KY menginginkan pengawasan atas perilaku hakim oleh KY mencakup semua hakim yang mempunyai fungsi kehakiman, termasuk semua hakim konstitusi. Tetapi ketentuan

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

17

tentang ini yang sudah dimuat dengan tegas di dalam UU tentang KY dibatalkan oleh putusan MK yang menyatakan bahwa hakim dalam pengertian pasal 24B UUD 1945 tidak mencakup hakim konstitusi karena selain konteksnya hanya dengan hakim agung pasal 24B yang menentukan pembentukan KY itu lahir lebih dulu daripada pasal 24C yang menentukan pembentukan MK sebagai lembaga negara. Putusan MK tentang cakupan pengertian hakim ini, sesuai dengan ketentuan pasal 24C UUD 1945, bersifat nal dan mengikat sehingga tak bisa dimasukkan lagi di dalam UU tentang KY yang baru nanti. Satu-satunya jalan untuk mengembalikan masalah ini ke garis politik hukum yang benar hanyalah melalui amandemen konstitusi yang harus menegaskan tentang itu secara eksplisit; sebab kita tak bisa membiarkan MK dan hakim-hakimnya menjadi lembaga super yang tak bisa diawasi. Memang setelah empat tahun perjalanan MK, selain banyak memberi angin segar bagi kehidupan ketatanegaraan yang lebih sehat, juga menimbulkan komplikasi berkait dengan wewenangnya dalam memutus yang harus diterima secara nal dan mengikat; padahal selain sering berdasar pilihan perspektif sepihak putusan MK itu bisa berlawanan dengan fakta hukum lain yang diputus oleh pengadilan. Contohnya, MK pernah menyatakan menolak gugatan permohonan pembatalan hasil perhitungan suara dalam pemilu di suatu daerah karena terjadi kecurangan, namun di dalam peradilan umum kecurangan itu terbukti dan pelakunya dijatuhi hukuman pidana. Karena putusan MK bersifat nal dan mengikat maka fakta hukum di pengadilan umum itu tidak dapat mengubah lagi putusan MK yang secara substantif nyata-nyata salah. Itulah sebabnya dalam Amandemen UUD 1945 berikutnya9 kita harus merumuskan dengan cermat tentang pengawasan terhadap hakim konstitusi dan tentang cara mengatasi jika putusan MK yang bersifat nal dan mengikat itu ternyata tidak sesuai dengan politik hukum di dalam konstitusi dan bertentangan dengan fakta hukum yang kemudian muncul.9

Wacana untuk melakukan amandemen kelima atas UUD 1945 pada saat ini sedang gencar; ada yang ingin segera dan ada yang menghendaki ditunda dulu, ada yang ingin partial dan ada yang ingin komprehensif.

18

Bunga Rampai

Bahan Pustaka AV Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10th edition, English Language Book Society and Mac Millan, London, 1971. Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, Weldham, Mass: Blaisdell Publishing Company, 5th edition, 1967. David Kairys, The Politics of Law, a Progressive Critique, Pantheon Books, New York, 1982. C.F. Strong, Modern Political Constitution, The English Language Book Society, Sidgwick and Jackson Limited, London, 1966. Erwin Chemerinsky, Constitutional Law, Principles and Policies, Aspen Law and Business, New York, 1997. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell and Russell, New York, 1973. Jimly Asshiddiqie, Telaah Akademis Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, Volume 1 No.4 Tahun 2001. K.C. Wheare, the Modern Constitutions, Oxford University Press, London-New York-Toronto, 3rd Impression, 1975. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998. Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum, Gama Media-Ford Foundation, Yogyakarta dan Jakarta, 1999. Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media- the Ford Foundation, Yogyakarta dan Jakarta, 1999. Moh. Mahfud MD, Amandemen Konstitusi dalam Rangka ReformasiTata Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999. Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, PT Rinneke Cipta, Jakarta, 2000. Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PT Rinneke Cipta, Jakarta, 2001. Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006. Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945, LP3ES, Jakarta, 2007.

-

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

19

-

Moh. Mahfud MD, Hukum Tak Kunjung Tegak, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung. 2007. RM AB Kusuma, Lahirnya Undang Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. Sri Soemantri M, Undang-Undang Dasar 1945, Kedudukan dan Artinya dalam Kehidupan Bernegara, dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1 No. 4 Tahun 2001. Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, PT Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan Kesatu, 2006.

20

Bunga Rampai

Perubahan Bidang Politik dan Pengaruhnya Terhadap Reformasi PeradilanArbab Paproeka, S.H.1

Pengantar Semangat egalitarian warga negara bangsa berdampak signikan terhadap diskursus-diskursus intelektual dan pembentukan sistem politik Indonesia ketika euforia reformasi dan demokrasi mulai mengemuka di semua ruang publik. Kesadaran diskursif seperti itu menjadi konsensus bersama bagi perwujudan res publica (kepentingan bersama) dalam menata tata kehidupan sosial, politik, ekonomi dan hukum. Atas semua itu, reformasi dan demokrasi dengan ragam pemaknaannya dinilai sebagai tujuan yang harus dicapai ketimbang sekadar menjadi sebuah sarana merebut hasrat kuasa. Dalam banyak pandangan, reformasi dan demokrasi, sejatinya dipahami sebagai imaji ideal kebangsaan yang akan menggiring negara bangsa ke dalam kebajikan dan keadaban. Reformasi dan demokrasi kadang juga diletakkan sebagai nonstrum - obat bagi segala masalah kebangsaan. Kondisi ini memiliki implikasi pada tindakan yang mengarah pada cita ideal tata hidup kebangsaan yang dipandang sebagai ekspresi reformasi dan demokrasi. Namun, dalam sisi yang berbeda, reformasi dan demokrasi sering juga diperspepsikan sebagai imaji yang justru memunculkan sinisme yang tinggi dari entitas negara bangsa. Kondisi ini adalah sebuah reeksi dimana cita ideal mengalami kontradiksi

*

Anggota Komisi III DPR RI

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

21

dengan ekspektasi pada situasi faktualnya. Tuntutan untuk melakukan pendalaman demokrasi (a deepening democracy) terhadap negara bangsa yang sementara mengalami masa transisi memang pelik. Terlebih pada sebuah komunitas yang karakter bangsanya cukup heterogen atau plural semisal Indonesia. Sebagaimana Snyder (2000), menjelaskan bahwa sentimen nasionalisme menjadi salah satu faktor yang bisa mengganggu proses demokratisasi. Tesis ini cukup mudah dikenali. Bahwa demokrasi tidak selamanya akan menguntungkan semua kelompok elit politik. Ia bergerak seperti pendulum. Namun biasanya, kelompok elit yang senantiasa berupaya mencegah berlangsungnya proses demokratisasi adalah kelompok elit yang merasa dirugikan dari proses demokratisasi. Modus yang sering digunakan adalah show power melalui pengumpulan kekuat-an inti dengan penguatan isu sentimen nasionalisme. Sentimen nasionalisme ini setidaknya dapat dijelaskan lewat pengkultusan nilai tatanan dalam sebuah komunitas. Atau mungkin juga bisa dijelaskan dalam gugusan negara bangsa. Sentimen nasionalisme dalam gugusan komunitas terpola melalui penuturan klasik, dimana ia terjelma menjadi suatu nilai (value) sebagai suatu bentuk kebaikan umum dalam makna totalitasnya. Lain halnya dengan, Arend Lijphart dalam Latif (2006), justru memberikan ulasan yang optimistik bahwa adalah mungkin untuk mempertahankan pemerintahan demokratis yang stabil dalam sebuah masyarakat plural sepanjang elit-elitnya bersedia bekerja sama. Namun, kerja sama itu tidak akan tercipta dengan sendirinya. Dibutuhkan sebuah kerangka solidaritas bersama yang baru, yang bergantung secara inter alia pada nasionalisme kewargaan (civic nasionalisme). Perspektif ini memang cukup relevan dalam merepresentasikan bahwa demokrasi tidak jatuh dari langit, tetapi melakukan pendalaman demokrasi dibutuhkan konsensus politik dari semua entitas kewargaan untuk membangun komitmen intelektual bagi keberlanjutannya. Nasionalisme yang berakar dari ikatan nation, pada akhirnya begitu untuk didefenisikan. Namun dalam rangka jelajah pemaknaan tentangnya, mungkin dapat dirunut bahwa nation adalah sesuatu yang direkayabayangkan (imagined). Sebagai bentuk direkayabayangkan, maka variannya

22

Bunga Rampai

pun menjadi sangat beragam. Snyder, menyebut ada empat bentuk utama nasionalisme; nasionalisme sipil, nasionalisme SARA, nasionalisme revolusioner dan nasionalisme kontra revolusioner. Nasionalisme sipil terbentuk jika elite politik yang ada tidak merasa terancam oleh proses demokratisasi, dan kelembagaan negara yang ada cukup kuat untuk menampung proses ini. Ia mendasarkan pada usahanya mempertahankan proses demokratisasi karena dianggap bisa memberikan keadilan. Pada sisi ini, negara menganut prinsip kesetaraan warga negara tanpa memandang suku, warna kulit, agama dan keturunannya. Nasionalisme SARA sebuah solidalitas yang dibangkitkan berdasarkan budaya, agama, bahasa, sejarah dan yang sejenisnya. Nasionalisme SARA terbentuk jika elite politik yang ada merasa terancam oleh proses demokratisasi, dan kelembagaan negara juga masih lemah. Jika terdapat kelompok dominan lebih dari satu maka proses demokratisasi mungkin akan mengakibatkan terjadinya perpecahan di negara tersebut, dan sebagai gantinya akan muncul satu negara federal, atau bahkan beberapa negara baru. Nasionalisme revolusioner merupakan usaha untuk mempertahankan suatu perubahan politik yang melahirkan rezim baru yang dinilai lebih baik dari rezim sebelumnya. Disini terdapat kecenderungan bahwa kekuatan baru mempertahankan perubahan senantiasa menggunakan nasionalisme revolusioner. Nasionalisme terjadi kalau elit politik yang ada tidak dirugikan oleh proses demokratisasi, dan lembaga-lembaga negara yang mau mempertahankan rezim lama lemah. Sedangkan nasionalisme kontra revolusioner merupakan upaya membangun solidaritas untuk mempertahankan kelembagaan negara yang ada terhadap perubahan. Biasanya nasionalisme kontra revolusioner digunakan sebagai instrumen untuk mengembalikan militer ke pentas politik dengan mengatakan bahwa di bawah rezim sebelumnya jauh lebih baik dibanding rezim yang ada sekarang. Masalahnya adalah civil society yang dijadikan sebagai gugus konsep paling mondial belakangan bagi pembelajaran sosial secara kolektif dan produksi simbol-simbol politik secara dominan justru disuplai oleh kelompok komunal. Sehingga demikian, Indonesia pada kurun waktu ini masih merupakan sebuah masyarakat komunal, bukan asosiasio-

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

23

nal. Padahal ekspektasi mengenai civil society adalah ketika asosiasi-asosiasi ini terbentuk menjadi sebuah komunitas produktif sebagai katalis bagi proses transformasi masyarakat dari semangat komunalisme menuju kewarganegaraan yang lebih beradab. Di sisi lain, intelegensia-politisi yang diharapkan membimbing komunitas politik ke arah keadaban politik (political civility) dalam kenyataannya justru menyuburkan tradisi komunalisme. Kondisi ini kian diperparah dengan eksistensi kaum komunitas epistemik sebagai penyangga dalam melahirkan gagasan orisinalitas tampaknya juga harus terjebak dengan gugusan pragmatisme yang luar biasa. Penuturan Gunawan (2006) mungkin benar bahwa pragmatisme sendiri memang lahir sebagai anak haram dari sebuah pergulatan panjang, untuk menjawab berbagai persoalan yang terjadi di abad lalu. Fundamen pemikirannya yang meletakkan pada benar tidaknya suatu dalil tergantung pada manfaatnya bagi manusia, dan tentu saja manfaat pertama yang menikmatinya adalah diri sendiri. Sebetulnya, pragmatisme tidak memiliki perbedaan yang cukup jauh dengan patron Machiavelli, the end justies the means. Keduanya memiliki konsekuensi bagi lahirnya keserakahan dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai moralitas. Bahkan oleh Juliean Benda dalam Gunawan (2006) justru memandang pragmatis lebih radikal. Bahwa pragmatisme merupakan bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai moral yang universal. Pragmatisme dituding sebagai pabrik nilainilai moral yang semu dan artisial, yang diproduksi sesuai dengan keadaan dan kebutuhan akan kekuasaan. Tak heran juga bila pelacur-pelacur intelektual kian marak bermunculan, yang bekerja berdasarkan permintaan pasar. Praktek ini seolah mirip panggadaian intelektual, yang menularkan efek cukup luar biasa. Efek yang patut dipelajari tradisi pencerahan yang melekat pada komunitas epistemik sebagai karakter pokoknya pada gilirannya makin absurd. Padahal dalam tataran normatif-etis, masa transisi seperti ini, justru keberadaan komunitas epistemik diharapkan menjadi avantgarde bagi terciptanya tatanan bangsa yang lebih beradab, bukannya harus ikut dengan permainan kuasa politik, yang senantiasa berada dalam pusaran seni merekayasa. Kegundahan lain yang kerap juga menjadi mo-

24

Bunga Rampai

mok bagi komunitas epistemik ini adalah ketika tidak mampu menempatkan dirinya sebagai medium perekat bangsa. Malah yang muncul justru memperlihatkan gejala sebagai kekuatan yang sangat pasif terhadap isu-isu kebangsaan. Padahal salah satu prasyarat lahirnya konsolidasi demokrasi adalah perlunya masyarakat sipil yang bebas dan aktif dalam mengontrol tata kerja demokrasi. Dalam Gunawan (2006) antara sisi intelektualitas dengan kekuasaan memang memiliki korelasi. Walau dalam banyak pemikiran, keduanya melihatnya dalam sisi yang berlawanan. Dua mashab, yakni mashab Bendaian dan mashab Gramscian membedahnya seperti berikut. Mashab bendaian menilai bahwa intelektual harus merentangkan jarak dengan kekuasaan. Sehingga demikian, dosa terbesar yang tak terampunkan dari seorang cendekiawan adalah bila yang bersangkutan turut berputar, menjadi pelumas dalam mesin pemerintahan. Persekutuan ini dinilai mengkhianati jati diri intelektual (La Trahison Des Clercs), sementara mashab Gramscian malah melihat dalam sisi yang terbalik. Baginya cendekiawan harus memihak pada kelas tertentu. Baginya justru menuding ilmuwan yang steril dari persoalan aktual di masyarakat, sekadar mendengungkan kebenaran dari pucuk menara gading, adalah para pengkhianat intelektual (La Trahison de la Trahison de clercs). Bahkan Ivan Illich dalam Gunawan (2006) menyebut Deschooling Society, yang memberikan sindiran halus bahwa buat apa sekolah kalau hanya untuk mengeruk uang. Pergulatan panjang ini tentu saja bukan menjadi sebuah jebakan untuk harus memihak. Justru soal seperti ini, pada gilirannya juga menggiring kita untuk berpikir dan bertindak secara pragmatis. Pada perspektif yang berbeda, antara intelektualitas dan kekuasaan sebetulnya bukanlah dualisme yang harus dipandang sebagai sesuatu yang berlawanan. Keduanya adalah dualitas yang saling membentuk. Kekuasaan menjadi cukup penting bagi kelompok-kelompok intelektual sebagai medium transformasi dalam membentuk komitmen-komitmen baru bagi kepentingan negara bangsa. Yang mungkin dipersalahkan ketika kekuasaan dan intelektual diintegrasikan sebagai perusak nilai tatanan. Sehingga yang terjadi bukan lagi kadar pragmatisme, tetapi kepicikan.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

25

Dalam belantara politik, karakter picik bagi seorang politisi kadang ditemukan, ketika politik ditempatkan sebagai sarana agregasi kepentingan personal. Ia kemudian menjelma menjadi leviathan yang teramat beringas karena meleburnya nilai-nilai intelektualitas dalam kekuasaan, sehingga semakin menjauhkan sisi keadaban publik. Celakanya, karakteristik politisi seperti ini malah mendapat pembenaran oleh Richard Smith dalam Gunawan (2006), ketika mengatakan bahwa pengkhianatan merupakan esensi dari politikus yang sukses. Sisi lainnya adalah kesetiaan, sesuatu kualitas yang sangat mulia namun tak menjadikan dirimu apa-apa. Tetapi semoga saja, tuturan bahasa ini tidak berlabuh dalam tradisi politisi kita untuk menggiring reformasi peradilan ke dalam laboratorium kehancuran. Transformasi Politik: Sebagai Pelatuk Perubahan Ketika tembok Berlin runtuh pada tahun 1989, bayangan indah sempat memukau imajinasi orang Amerika. Liberalisme telah mengalahkan dua lawan tangguhnya: komunisme dan nasionalisme fasis. Imperium dan kediktatoran telah runtuh. Ketika rezim otoritarianisme Orde Baru runtuh, demokrasi pun tampil sebagai pemenang. Pendulum ke arah demokratisasi terjadi pasca isu reformasi meledak tahun 1998. Demokrasi dianggap sebagai pemenang karena berhasil melumpuhkan lawan tangguhnya otoritarianisme. Segera setelah itu, maka isu demokratisasi kian marak dibicarakan dan tampil sebagai euphoria politik yang tak tertandingi. Gagasan demokratisasi senantitasa terikut dengan wacana berkembangnya konsep konsolidasi demokrasi. Isu konsolidasi demokrasi berakar dari sebuah konsep transisi antara berakhirnya rezim otoritarianisme ke demokratisasi. Namun, rute perjalanan transisi, kadang dipahami sebagai fase yang serba memungkinkan. Dalam satu sisi, transisi boleh jadi mengarah pada otoritarianisme baru (re-otoritarianisme), sementara di sisi lain, transisi boleh juga mengarah pada lahirnya konsolidasi demokrasi. Dalam menjelaskan gejala ini, oleh banyak pemikiran menjelaskan dua rumus yang bisa diklasikasi; kapan suatu negara dikatakan sudah terkonsolidasi? Beberapa sarjana bersepakat bahwa untuk menandai demokrasi telah terkonsolidasi, ketika terjadi dua kali pergantian kekuasaan (two turnover

26

Bunga Rampai

rule). Bagi yang menganut rumus ini, mereka menilai bahwa demokrasi dianggap sudah terkonsolidasi apabila kekuasaan sudah dua kali pindah tangan melalui proses pemilihan umum yang luber-jurdil. Tetapi, ada pula yang menyebut bahwa demokrasi sudah terkonsolidasi jika ia merupakan permainan satu-satunya (the only game in town) untuk memilih pejabat publik. Bila menggunakan ukuran pertama, maka fase transisi demokrasi dapat dikualikasi telah terkonsolidasi karena sirkulasi kekuasaan melalui pemilu sudah berlangsung sejak pemerintahan Abdurrachman Wahid walau dalam perjalanan pemerintahannya berhenti ditengah jalan setelah impeacht oleh MPR yang kemudian digantikan Megawati Soekarno Putri untuk melanjutkan episode pemerintahan yang tersisa hingga pemilu 2004. Lain halnya bila menggunakan ukuran kedua, maka fase transisi belum dapat disebut telah terkonsolidasi karena prasyarat-prasyarat tersebut belum memenuhi secara memadai. Indikatornya adalah rule of law sebagai syarat mestinya belum dapat diapresiasi secara memadai dalam mengartikulasikan prinsip-prinsip demokrasi dalam melakukan penataan kelembagaan. Alasan lain juga yang relevan dengan itu adalah kualitas partisipasi publik dalam mengakses lembaga politik formal maupun institusi hukum masih terbilang sangat lemah. Praktek demokrasi yang sementara berlangsung, memang baru sebatas belajar merangkak. Fase perjalanannya baru mencapai pada pemenuhan prosedur-prosedur demokrasi formal, sehingga demokrasi substantif yang sejatinya menjadi buruan kaum demokratik masih jauh dari memadai. Kontrol demokratis yang sejatinya menjadi kunci dalam penerapan demokrasi substantif, pada kadar tertentu bahkan belum menunjukkan suatu perubahan yang signikan. Penuturan Latif (2006) meneragkan secara memadai bahwa dari sisi prosedur demokrasi, transisi demokrasi Indonesia telah siap untuk dikonsolidasikan. Namun, perkembangan ini hanyalah tahap awal dari proses panjang menuju konsolidasi demokrasi. Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substantif. Demokrasi bukan hanya sekadar menjadi medium penghapusan institusi institusi politik yang represif dan sarana pergantian regime yang otoriter, tetapi demokrasi men-

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

27

coba merepresentasikan momentum bagi perbaikan kualitas bangsa yang lebih adil dan beradab. Sehingga demikian, demokrasi harus menjadi jaminan bagi terwujudnya esensi pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik (systemic responsiveness) (Latif; 2006). Sebagai pemantiknya, konsolidasi demokrasi mempersyaratkan perlunya dilakukan transformasi struktural dan kultural secara mendasar. Gelombang demokratisasi ini kian menunjukkan perkembangan yang cukup positif dari semua entitas bangsa untuk membangun konsensus-konsensus baru. Konsensus tersebut kemudian diwujudkan melalui sebuah kesepakatan untuk melakukan amandemen konstitusi secara mendasar. Kepenatan dan kegelisahan yang selama ini hidup dengan belenggu otoritarianisme, seolah kembali memberi energi baru. Amendemen konstitusi yang dilakukan, paling tidak menjadi momentum penting dalam memulai babakan baru dalam menata negara bangsa. Ini adalah sebuah fase sejarah yang patut direkam sebagai memoar penyegaran kembali dalam tata hidup berbangsa dan bernegara. Rentetan peristiwa ini tentu menjadi kisah menarik untuk dipelajari karena memiliki pesan mulia untuk segera diartikulasikan ke ruang publik, yakni adanya transformasi struktural dan kultural dalam sistem ketatanegaraan di republik ini yang harus segera dikomunikasikan. Namun disisi yang berbeda, babakan baru ini patut menjadi referensi awal untuk tidak terjebak pada kepongahan sejarah. Begitulah titahnya bahwa amendemen konstitusi, kini menjadi pelatuk perubahan dalam menata pola hubungan kelembagaan negara. Dan setidaknya, amendemen konstitusi telah meletakkan sebuah kerangka pikir untuk beberapa hal. Pertama, menghendaki adanya proses checks and balances terhadap tiga lembaga negara, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Distribusi kekuasaan (distribution of power) yang disangga oleh tiga lembaga negara berbeda, tentu memiliki karakter fungsi, tugas dan wewenang yang berbeda. Prinsip checks and balances ini, tentu juga menjadi penting untuk mencegah terjadinya sentralisasi kekuasaan pada institusi negara-negara tertentu. Sehingga praktek abuse of power, yang kerap menjadi virus bila tidak ingin

28

Bunga Rampai

disebut penyakit tidak menggerogoti praktek penyelenggaraan negara secara bar barian. Kedua, munculnya lembagalembaga baru (new institutions) dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, yang memiliki kerangka kerja secara berbeda. Bila Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan loso penjaga konstitusi, maka Komisi Yudisial dihadirkan sebagai penjaga maa peradilan dengan menyandang predikat sebagai lembaga yang hanya sifatnya auxiliary. Ketiga, memungkinkan adanya aksesibilitas publik yang tinggi dalam pencapaianpencapaian demokrasi substantif. Keempat, dalam wilayah legislatif dimunculkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai perwakilan perseorangan yang dipilih berdasarkan region, walaupun keberadaannya belum dapat dikualikasi memiliki hubungan yang sifatnya joint session. Kelima, adanya transformasi sistemik, yang dari sistem pemerintahan sentralistik ke sistem pemerintahan desentralistik, yang konsekuensi logisnya berimplikasi pada perubahan pola hubungan kelembagaan pusat daerah. Rentetan perubahan ini, tentu saja muaranya adalah penghormatan nilai-nilai keadilan (justice), memburu keberadaban publik, penciptaan pertanggungjawaban publik yang akuntabel dan transparan serta menghapus segala keserakahan dalam penyelenggaraan tata negara bangsa. Namun demikian, mewujudkan cita ideal ini tentu saja mesti dibarengi dengan pemapanan institusi-institusi demokrasi. Prasyarat dalam memapankan institusi demokrasi, baru dapat mencapai titik maksimun ketika infrastruktur institusional demokrasi eksis, dan didukung oleh adanya masyarakat madani yang berdaya, partai politik yang berfungsi, budaya politik yang independen, pemerintahan yang menjunjung tinggi hukum dan ekonomi yang esien (Latif, 2006). Ini pun juga dapat dikonsolidasikan bila transisi demokrasi bertransformasi menjadi satu kerangka institusional mapan yang terinternalisasi mendalam pada para aktor sosial dan politik. Derajat pemapanan institusi demokrasi dan sekaligus menjadikan institusi demokrasi lebih berwibawa adalah ketika pejabat publik menempatkan rule of law sebagai dasar pijakannya. Bagaimanapun juga, prinsip rule of law harus terinternalisasi ke dalam institusi-institusi negara sebagai

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

29

kerangka menghadirkan institusi negara yang kuat, demokratis, transparan, akuntabel dan responsif di mata publik. Prinsip rule of law, juga harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan dalam mengatur tata laku pejabat publik untuk membedakannya dengan negara bar barian. Di negara manapun yang menerapkan prinsip-prinsip demokrasi modern, rule of law selalu menjadi instrumen khusus dan menjadi indikator utama dalam menilai demokrasi telah dikonsolidasikan. Sayangnya, pada konteks kekinian penerapan rule of law sebagai aturan main (rule game) dalam berbangsa dan bernegara, tampaknya masih jauh dari memadai. Aparatur penegak hukum yang terintegrasi dalam konsep criminal justice system (kepolisian, kejaksaan, hakim, pengacara dan lembaga pemasyarakatan) belum menunjukkan suatu kinerja yang menggembirakan. Adanya praktek diskriminasi atau tebang pilih dan tebang pesanan serta maraknya praktek maa peradilan di tubuh kekuasaan kehakiman adalah contoh kecil dari sekian banyak kisah yang dapat disajikan. Padahal kegagalan menegakkan prinsip rule of law dalam penegakan hukum dengan gilirannya akan menjadi kerikil-kerikil tajam dalam memapankan institusi institusi demokrasi. Judicative Power: Sebuah Cermin yang Retak Sebuah pepatah latin kuno, mungkin cukup relevan menggambarkan mengenai mulianya sebuah lembaga peradilan. Bahwa pengadilan adalah nec curia deceret in justitia exhibenda (pengadilan adalah istana di mana dewi keadilan bersemayam untuk menyemburkan aroma keadilan tiada henti). Pepatah ini sejatinya mencoba mereeksikan eksistensi dunia peradilan yang teramat mulia, berwibawa dan tempat bersemayamnya prinsip prinsip ke-tauhidan sebagai asas universal yang suci. Ketika para hakim harus menjelma dan bertindak sebagai mahluk yang suci karena menjadi wali Tuhan di muka bumi ini. Beban moral ini memang cukup berat karena pertanggungjawabannya bukan hanya bersifat horizontal tetapi yang jauh lebih dalam adalah tanggung jawab vertikal kepada Tuhan. Inilah sisi lain yang harus dipertaruhkan sebagai seorang hakim. Kekuasaan kehakiman (judicative power) memang asa bagi pencari keadilan. Tersimpan sejuta harap dari masyara-

30

Bunga Rampai

kat agar keadilan melebur dan menyatu dengan dambaannya. Sayangnya, ekspektasi ini tampaknya akan terkikis dengan sendirinya ketika menyaksikan drama peradilan yang terlalu bobrok. Mereka lupa bahwa disisi lain, ada celah yang menganga di insitusi peradilan yang bisa disusupi. Celakanya, moralitas yang selalu diperdengarkan dengan nyaring oleh penegak hukum dan dipandang cukup mulia, malah berubah bentuk menjadi sesuatu yang utopis. Moralitas hanya diperlakukan bak jubah untuk melakukan penyusupan dan sekaligus sebagai pembenaran atas putusan-putusannya. Pada konteks ini, mungkin ada benarnya apa yang dikatakan oleh Jeremy Bentham (Gunawan; 2006) ketika mengatakan bahwa para aparat penegak hukum adalah segerombolan orang yang dapat mengangkangi hukum tanpa konsekuensi hukum. Pada sisi inilah kekuasaan kehakiman tampil sebagai sebuah cermin yang retak karena belum mampu merekatkan nilai-nilai keadilan masyarakat yang masih berserak. Kegelisahan mengenai tata kerja kekuasaan kehakiman (judicative power) di Indonesia sebetulnya bukan cerita baru. Keprihatinan terhadap sisi gelap penegakan hukum pada ruang publik sudah menjadi momok yang senantiasa terus dipersoalkan. Sisi keadilan (justice) masyarakat yang terus terbelenggu dengan maraknya praktek maa yang berlangsung disekitar proses penegakan hukum. Institusi kepolisian, kejaksaan, kehakiman yang seharusnya menjadi corong bagi terciptanya keadilan bagi semua, gilirannya pun tak bisa berbuat banyak menghadapi derasnya permainan kotor di dunia institusi hukum. Kegundahan ini sebetulnya sudah lama berlangsung. Bahkan para pakar kriminolog pernah melakukan penelitian mengenai penyimpangan dalam dunia peradilan. William J. Chamblis dan Robert B. Seidman dalam Gunawan (2006) dalam bukunya yang berjudul Law, Order, and Power, menuliskan bahwa kebengkokan itu sudah dimulai dari segi hukumnya, yakni karena adanya hukum yang menjadi reeksi dari kepentingan kelompok elite yang berkuasa (the higher a groups political and economic position). Bahkan keduanya mempertegas bahwa penyimpangan dalam dunia peradilan terjadi karena judges must rely on their personal values when they make decisions in trouble cases. Sisi lain yang paling potensial melahirkan kejahatan (judicial crime),

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

31

yakni adanya kecenderungan serta upaya hakim meraup kekayaan dan kekuasaan dari pekerjaan yang diembannya. Sejalan dengan itu, Global Corruption Report 2007 yang diluncurkan oleh Transparency International, sebuah koalisi global antikorupsi memilih tema Corruption in Judicial Systems. Korupsi dianggap melumpuhkan sistem yudisial di seluruh dunia serta menghalangi hak asasi manusia akan peradilan yang adil dan tidak berpihak. Huguette Labelle, ketua Transparency International menegaskan dengan adanya korupsi lembaga peradilan, mereka yang berada di pihak yang benar kehilangan hak didengar sedangkan yang bersalah tidak tersentuh hukum. Uang serta pengaruh politik dalam hukum memecah sistem keadilan sosial: satu sistem bagi si kaya, pada sisi lain bagi si miskin. Jika uang dan pengaruh politik menjadi dasar keadilan, mereka yang miskin tidak dapat berkompetisi (http://www.ti.or.id). Relevansi Indonesia yang dilaporkan Global Corruption Report 2007 telah menunjukkan bahwa sistem peradilan di Indonesia masih sangat korup dan bobrok. Hal ini sangat relevan dengan hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2006 yang dirilis oleh Transparency International (TI) Indonesia. Survey IPK itu menemukan bahwa lembaga vertikal (Polisi, Peradilan, Pajak, BPN, Imigrasi, Bea & Cukai, Militer dll) masih dipersepsikan sangat korup. Lebih memalukan lagi, mereka tidak canggung-canggung dalam meminta suap, hal ini dikonrmasikan oleh laporan para pelaku usaha bahwa inisiatif suap lebih banyak dilakukan oleh aparat. Pengadilan dilaporkan merupakan lembaga yang paling tinggi tingkat inisiatif meminta suap hingga 100%, disusul Bea dan cukai 95%, Imigrasi 90%, BPN 84%, Polisi 78%, dan Pajak 76%. Dua katagori korupsi peradilan yakni campur tangan politik dan penyuapan juga sangat jelas terlihat. (http:// www.ti.or.id). Daniel Kaufman dalam laporan Bureaucarti Judiciary Bribery tahun 1998 menyebutkan, korupsi di peradilan Indonesia memiliki ranking paling tinggi di antara negara-negara seperti Ukraina, Venezeula, Rusia, Kolombia, Mesir, Yordania, Turki, dan seterusnya. Bahkan, hasil survei nasional tentang korupsi yang dilakukan Partnership for Governance Reform pada 2002 juga menempatkan lembaga peradilan di peringkat lembaga terkorup menurut persepsi masyarakat.

32

Bunga Rampai

Hal tersebut diperkuat dengan laporan Komisi Ombudsman Nasional (KON) tahun 2002, bahwa berdasarkan pengaduan masyarakat menyebutkan penyimpangan di lembaga peradilan menempati urutan tertinggi, yakni 45% dibandingkan lembaga lainnya. Bahkan data terakhir yang dilansir Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40 persen dari total 6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai judicial corruption. Realita sistem hukum dan peradilan di negeri ini, nampaknya tergambarkan dalam penelitian yang dilakukan oleh The Asia Foundation & AC Nielsen yang antara lain menyatakan: 49% sistem hukum tidak melindungi mereka (the legal system does not protect them), 38% tidak ada persamaan di muka hukum (there is no such thing as equality before the law), 57% sistem hukum masih tetap korup (the legal system is just as corrupt as it has always been problem). http://ahmadirfan. wordpress.com/ Kondisi ini tentu saja tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran dalam menjustikasi dan terus membiarkan maraknya praktek korupsi dalam dunia peradilan. Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam dunia peradilan, sejatinya mampu menempatkan posisinya pada kerangka yang lebih intensif melakukan pengawasan internal terhadap perilaku koruptif dalam dunia peradilan. Fakta-fakta faktual yang telah dibeberkan seperti di atas, setidaknya menjadi unsur korektif bagi Mahkamah Agung untuk menata kembali berbagai sisi gelap yang menyelimuti institusi peradilan. Di tengah buruknya kinerja peradilan saat ini, tidak serta merta harus dilakukan pembiaran. Episode waktu yang tersisa masih terlalu panjang untuk memperbaikinya, walau butuh energi banyak untuk menafasinya. Sehingga demikian, upaya sistemik mesti dilakukan, terutama dalam kerangka melakukan harmonisasi dan pembenahan sistem hukum kekuasaan kehakiman menjadi mutlak diprioritaskan. Upaya pembenahan dan penataan ini dilakukan, terutama dalam kaitan melakukan reformasi peradilan secara komprehensif sebagai upaya mengembalikan keprcayaan masyarakat terhadap sistem peradilan yang sekarang mengalami keterpurukan.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

33

Pada sisi regulasi, arah untuk melakukan perbaikan sudah mulai ditunjukkan, walaupun belum terlalu memadai. Sebut saja perubahan berbagai kebijakan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman. Perubahan UU pokok-pokok kekuasaan kehakiman, UU Mahkamah Agung, UU Peradilan Tata Usaha Negara, UU Peradilan Agama dan sementara berjalan adalah perbaikan UU Peradilan Militer, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Komisi Yudisial. Kemudian pada aspek kelembagaan, dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melalui UU Nomor 30 Tahun 2002 dan Pembentukan Timtas Tipikor melalui Keppres Nomor 11 Tahun 2005. Tapi sayangnya, pembentukan kedua lembaga ini seperti harus bergerak tanpa amunisi, setidaknya karena beberapa hal. Pertama, Pasal 53 UU Nomor 30 Tahun 2002, mengenai kehadiran pengadilan tindak pidana korupsi harus dicabut oleh Putusan Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan konstitusi. Celakanya, putusan Mahkamah Konstitusi ini justru diinterpretasi lain oleh pihak-pihak tertentu, yang menginginkan agar pengadilan tindak pidana korupsi sebaiknya dihilangkan. Sebagaimana Andi Hamzah berpendapat bahwa korupsi bukanlah extra-ordinary crime artinya, korupsi hanya kejahatan biasa saja, yang sama kelasnya dengan pencurian. Kedua, Timtas Tipikor dengan resmi harus dibubarkan karena masa pembentukannya sudah berakhir hanya dua tahun. Perjalanan panjang untuk memberantas tindak pidana korupsi pada gilirannya pupus sudah. Padahal kinerja lembaga ad hoc dinilai cukup memberi nilai lebih bagi kembalinya kepercayaan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam laporan korupsi global tahun 2007, eksistensi Pengadilan ad hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) perlu diperkuat. Sebab selama dua tahun terakhir (2005-2006) sedikitnya 29 perkara telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan tipikor secara lebih cepat. Seluruh kasus korupsi divonis bersalah dan tidak ada satupun yang vonis bebas. Sebaliknya sepanjang periode tahun 2005-2006 ada kurang lebih 203 perkara yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan. 72 perkara korupsi dengan 171 terdakwa korupsi (36%) telah divonis bebas oleh pengadilan, dan sele-

34

Bunga Rampai

bihnya lebih banyak divonis ringan. Fakta tersebut menunjukan koruptor lebih banyak dapat dibuktikan kesalahannya di pengadilan ad hoc Tipikor daripada di pengadilan negeri biasa (Lubis; 2007) Dalam sisi yang berbeda, juga ditemukan adanya struktur lembaga baru dalam konstitusi, dimana dihadirkannya sebuah institusi baru yang populer dengan Komisi