209

BUNGA RAMPAI GERONGGANG · 2020-02-01 · iv. Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning . Tuan berpetuah kata terangkai Puanpun duduk senyum mengembang Buku

  • Upload
    others

  • View
    33

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

BUNGA RAMPAI GERONGGANG Jenis Lokal Potensial

Bumi Lancang Kuning

Bunga Rampai Geronggang

Jenis Lokal Potensial

Bumi Lancang Kuning Ahmad Junaedi, Danu, Avry Pribadi, Yeni Aprianis, Eka

Novriyanti, Eko Sutrisno, Opik Taupik Akbar, Michael Daru

Enggar W dan Hery Kurniawan

Editor :

Foto Halaman Depan :

Ahmad Junaedi

ISBN: 978-623-92561-5-9

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang

memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi

buku dalam bentuk apapun, secara elekteronik atau mekanis,

termasuk memfotokopi, merekam atau dengan teknik

perekaman lain, tanpa seizin tertulis dari penerbit.

Diterbitkan melalui:Diandra Kreatif/Mirra Buana Media(Grup Penerbitan CV. Diandra Primamitra Media)(Anggota IKAPI, 062/ DIY/ 08)Jl. Melati No. 171 Sambilegi Baru Kidul, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta Telp. (0274) 2801996, Fax. (0274) 485222E-mail: [email protected]. DiandraCreative SelfPublishing dan Percetakan Instagram: diandraredaksi, diandracreative www.diandracreative.com

Yanto Rochmayanto

Eka Novriyanti

Copyright@2019

User
Typewritten text
Rochmayanto

Bunga Rampai Geronggang

Jenis Lokal Potensial

Bumi Lancang Kuning

Editor

YANTO ROCHMAYANTO

EKA NOVRIYANTI

Diandra Kreatif

ii Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

iii Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

SAMBUTAN GUBERNUR RIAU

Puji syukur atas karunia Allah untuk nikmat kesempatan dan keilmuan

sehingga terbitlah buku “Geronggang: Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang

Kuning” ini. Penerbitan buku ini tentunya bentuk apresiasi atas berbagai hasil

penelitian dan pengembangan terkait kayu geronggang yang telah dilakukan oleh

Balai Litbang Teknologi Serat Tanaman Hutan (BP2TSTH), Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Adanya buku ini dapat dianalogikan sebagai

oase di tengah kebutuhan informasi dan teknis pemanfaatan kayu geronggang di

Indonesia khususnya di Provinsi Riau. Melalui buku ini kita dapat memahami

mengenai karakteristik pertumbuhan kayu geronggang hingga skema

pemanfaatannya yang tuntas dari segi keekonomiannya.

Pemerintah Provinsi Riau melalui program “Riau Hijau” sudah tidak

asing lagi dengan komoditi ini, terlebih masyarakat di Kabupaten Bengkalis. Kayu

geronggang telah memberikan kontribusi ekonomis pada pendapatan masyarakat

dan berdampak pada kondisi ekologis. Karakteristiknya yang memiliki nilai kalor

yang rendah dapat dijadikan sebagai teknis pengendalian dari perspektif

penanganan kebakaran hutan dan lahan. Di samping itu kemampuannya yang

adaptif pada suksesi sekunder, tentunya kayu geronggang ini dapat berperan

sebagai penyangga hutan payau guna mengatasi abrasi di kawasan pantai.

Kontribusi lembaga litbang melalui penerbitan buku ini patut diapresiasi

dan hendaknya terus bergulir setiap tahunnya. Buah pikir dan gagasan yang

tertuang melalui tulisan di buku ini merupakan warisan tak ternilai untuk

generasi mendatang dan Insya Allah bernilai jariyyah bagi penulisnya.

Kebanggaan saya atas karya ini juga ditujukan kepada penulis yang telah

berkontribusi atas penuangan idenya di atas kertas. Mari terus berkarya dan

berinovasi untuk membangun sinergitas antar lini pemerintah guna mewujudkan

SDM Unggul – Indonesia Maju.

iv Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Tuan berpetuah kata terangkai

Puanpun duduk senyum mengembang

Buku yang terbit bertajuk bunga rampai

Sampaikan potensi kayu geronggang

Riau hijau untuk kemaslahatan

Merawat alam tak hanya menanami

Mari membaca guna berwawasan

Agar berilmu juga memahami

Pekanbaru, Desember 2019

Gubernur Riau,

Drs. H. Syamsuar, M.Si

v Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

PENGANTAR KEPALA BALAI

Segala puji teruntuk Allah SWT dan syukur atas karunia dan ridhaNya

dalam penerbitan buku “Geronggang: Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang

Kuning” ini. Komoditi geronggang yang telah menjadi trendsetter perbanyakan

massal berbasis native species menjadi sebuah fenomena di bidang kehutanan

saat ini. Kemampuannya mencekam air dan nilai kalor yang rendah dapat

dijadikan sebagai alternatif pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Selanjutnya,

dengan potensi nektar yang dimilikinya dapat pula dimanfaatkan sebagai sumber

pakan lebah penghasil madu. Banyaknya manfaat dari komoditi ini namun belum

dibarengi dengan penguasaan iptek dan teknis perbanyakan di kalangan umum.

Peluang potensi yang dimiliki oleh kayu geronggang dapat

direkomendasikan kepada masyarakat dalam konsep hutan kemasyarakatan dan

perhutanan sosial. Hadirnya buku ini tentunya mengangkat dan

mempublikasikan nilai tambah kayu geronggang kepada khalayak umum.

Hadirnya buku ini dirasa tepat dan sangat bermanfaat dalam konteks diseminasi

hasil kajian yang telah kami lakukan. Hal ini tentunya sejalan dengan amanat

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi. Kepada para pembaca, besar harapan kami

kontribusi ini dapat dimanfaatkan secara maksimal terkhusus kepada peminat

dan penggiat kayu.

Keberhasilan penulis dalam mengemas hasil kegiatan litbang dalam

tulisan buku ini sangat saya apresiasi dan berharap akan selalu ada dengan tema

baru secara periodik. Dengan terbitnya buku ini diharapkan dapat menciptakan

atmosfer menulis dan ekosistem riset lingkup BP2TSTH. Melalui buku ini juga,

kerja nyata dan berdampak itu dapat terealisasi hingga ke stakeholder. Insan

litbang berkarya, generasi ilmiah berkader.

Kuok, Desember 2019

Kepala Balai,

Priyo Kusumedi, S.Hut, MP

vi Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

vii Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Daftar Isi

I Pendahuluan ............................................................................ 1 Ahmad Junaedi II Mengenal Geronggang …………………….……………………. 15 Ahmad Junaedi III Informasi Awal Teknik Budidaya Geronggang …… 31 Ahmad Junaedi IV Perbanyakan Tanaman Geronggang ………...…………. 45 Danu & Ahmad Junaedi V Status Kesehatan Tanaman Jenis Geronggang (Studi

57 Tahun 2012-2014) ………………………………………………… Avry Pribadi VI Sifat Dasar Kayu Geronggang ………………………………... 71 Yeni Aprianis VII Kualitas Kayu dan Serat Geronggang …………………… 83 Eka Novriyanti VIII Pengolahan Pulp dan Kertas Kayu Geronggang …… 101 Yeni Aprianis & Eka Novriyanti IX Konsep Pikir: Peluang Kayu Geronggang Sebagai

111 Material Maju Berbasis Nanoteknologi ……………….. Eko Sutrisno X Potensi Geronggang Sebagai Tanaman Obat …………. 129 Opik Taupik Akbar XI Hutan Tanaman Geronggang Sebagai Sumber Pakan

143 Lebah ……………………………………… Avry Pribadi XII Nilai Harapan Lahan Pengusahaan Geronggang

di Kabupaten Bengkalis ……………………………………….. 161 Hery Kurniawan & Michael Daru Enggar W

XIII Kearifan Lokal Terhadap Geronggang 185 di Kabupaten Bengkalis ………………………………………..

Michael Daru Enggar W & Hery Kurniawan

viii Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Daftar Gambar

Gambar 1.1. Hamparan hutan tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus pellita di riau (Ahmad Junaedi, 2018)

Gambar 1.2. Distribusi luasan hutan tanaman di Dunia (FAO, 2006 dalam Anonim, 2009)

Gambar 1.3. Kondisi Hutan Acacia crassicarpa di Riau (a: tegakan tinggal

yang sudah banyak mati, b: salah satu pohon mati diduga

karena penyakit

Gambar 1.4 Distribusi jenis pohon yang dikembangkan pada hutan

tanaman di dunia (Carle et al., 2002)

Gambar 2.1 Bentuk helai (a) jorong, (b) memanjang dan (c) lanset); tangkai

daun geronggang (d) lurus , (e) bengkok); dan adanya buku

berupa garis lengkung(ditunjukkan anak panah)

Gambar 2.2 Pertulangan daun geronggang (a) menyirip dan membentuk

tulang pinggir (ditunjukkan anak panah) dan (b) tulang utama

yang melengkung/cekung

Gambar 2.3 Permukaan kulit batang geronggang (a) warna coklat

kemerahan, (b) warna abu-abu, (c) lichen pada permukaan

kulit batang geronggang

Gambar 2.4 Bagian dalam kulit batang geronggang (a) berwarna coklat

kemerahan dan mengandung resin berwarna coklat

kemerahan (tanda panah), (b) berlapis-lapis dan (c) bagian

kayu dibawah kulit berwarna putih/kuning terang

Gambar 2.5 Bentuk tajuk dan percabangan geronggang (a) rauh, (b)

scarrone, (c) percabangan geronggang yang mengalami self pruning)

Gambar 2.6 Bunga (a) bunga kuncup, (b) bunga mekar); buah (c) buah

muda/mentah, (d) buah tua/kering

Gambar 2.7 Rambut akar geronggang yang berada di permukaan/bawah

serasah

Gambar 2.8 Contoh pemanfaatan kayu geronggang untuk cerocok dan

papan/dinding rumah

Gambar 2.9 Lebah penghasil madu dan propolis dari jenis Trigona sp yang

mengambil nektar dan serbuk sari di bunga geronggang

Gambar 2.10 Kehadiran beberapa binatang di tegakan geronggang seperti

burung dan serangga

ix Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 3.1 Kondisi lahan gambut terdegradasi yang didominasi alang-

alang dan paku-pakuan

Gambar 3.2 Penyiapan lahan secara manual dan kondisi lahan yang sudah

disiapkan (dibabat)

Gambar 3.3 Salah satu contoh program pemuliaan yang bisa dilakukan

untuk mendapatkan bibit unggul geronggang (Junaedi, 2014)

Gambar 3.4 Pohon geronggang berfenotipe relatif baik di Desa Wonosari,

Bengkalis, Riau

Gambar 3.5 Bibit geronggang yang sudah layak ditanam

Gambar 3.6 Pembuatan lubang tanam geronggang di lahan gambut

Gambar 3.7 Kondisi tajuk dan bawah tegakan geronggang berumur satu

dan tiga tahun

Gambar 3.8 Serangan ulat pada daun geronggang

Gambar 3.9 Contoh penggunan kurva MAI dan CAI untuk menentukkan

daur optimal pada jenis Acacia crassicarpa yang diperoleh

pada umur sekitar lima tahun (Suhartati et al., 2013)

Gambar 4.1 Bunga dan biji/benih geronggang

Gambar 4.2 Ektraksi benih geronggang dengan sistem kering (a) dan

basah (b dan c)

Gambar 4.3 Pengadaan bibit geronggang dengan sistem cabutan alam

untuk jarak jauh (a) anakan alam, (b) pengambilan anakan

alam, (c) cabutan alam dan (d) anakan alam yang sudah

disapih)

Gambar 4.4 Pembibitan geronggang dengan sistem cabutan alam untuk

jarak dekat (a) mencabut anakan alam, (b) cabutan alam, (c)

pemotongan daun dan akar dan (d) bibit asal cabutan alam

yang sudah stabil

Gambar 4.5 Pembibitan geronggang sistem generative dengan

menggunakan benih yang disemaikan (a) penyemaian benih,

(b) kecambah , (c) semai yang sudah bisa disapih dan (d) bibit

yang dihasilkan)

Gambar 4.6 Pembibitan gerunggang sistem vegetativ stek pucuk (a) bahan

stek, (b) stek ditanam pada media dengan rumah tumbuh

sisten KOFCO, (c) stek gerunggang umur tiga bulan setelah

tanam

Gambar 5.1 Kerusakan yang ditimbulkan akibat serangan hama ulat

pemakan daun

x Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 5.2 Tanda kehadiran lichen ataupun penyakit karat daun pada

permukaan daun geronggang yang menutupi permukaan daun

sehingga menghalangi proses fotosintesa

Gambar 5.3 Potongan melintang lichen Lobaria pulmonaria yang

merupakan simbiosis antara fungus, algae, dan cyanobacteria.

Fungi berada pada bagian atas (upper cells/UC), medulla (M),

dan lapisan kortex bawah (LC). Fotosintesa terjadi pada

lapisan algae (A) and cyanobacteria akan memfikasasi

nitrogen menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh

tanaman (CB) (Jovan, 2008). Photo: Eric Peterson from

www.crustose.net

Gambar 5.4 Kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas rusa atau babi

(terlihat kulit batang seperti terkelupas)

Gambar 5.5 Diagram persentase penyebab kerusakan (tipe kerusakan)

pada jenis geronggang 2012 s.d 2014

Gambar 5.6 Diagram persentase kerusakan (severity level) pada jenis

geronggang tahun 2012 s.d 2014

Gambar 5.7 Kepik penghisap ujung daun (Hemiptera) di pohon

geronggang

Gambar 6.1 Kayu gerunggang diameter 15 cm (a) penampang lintang

makro, (b) penampang lintang mikro, (c) penampang radial

mikro, (d) penampang tangensial mikro (d)

Gambar 6.2 Kayu gerunggang diameter 20 cm (a) penampang lintang

makro, (b) penampang lintang mikro, (c) penampang radial

mikro, (d) penampang tangensial mikro

Gambar 6.3 Kayu gerunggang diameter 25 cm (a) penampang lintang

makro, (b) penampang lintang mikro, (c) penampang radial

mikro, (d) penampang tangensial mikro

Gambar 6.4 Grafik sifat fisika dan mekanik geronggang (Paradis et al.,

2012)

Gambar 7.1 Beberapa contoh produk komposit kayu (Stark et al., 2010)

Gambar 8.1 Tipe pemisahan serat (Sumber: Johansson et al., 2011)

Gambar 8.2 Pohon industri pulp dan kertas

Gambar 9.1 Building block system selulosa pada tanaman

Gambar 9.2 Susunan komponen penyusun dinding sel tanaman (Wertz,

Bedue, & Mercier, 2010)

Gambar 9.3 Teknik integrasi fabrikasi nanoselulosa (Kargarzadeh,

Ioelovich, et al., 2017)

xi Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 9.4 Pemisahan rantai selulosa menjadi monomer glukosa

menggunakan hidrolisis asam (Girisuta, Janssen, & Heeres,

2007)

Gambar 9.5 Reaksi kimia dengan adanya penambahan katalis (Girisuta

et al., 2007)

Gambar 10.1 Struktur kimia α-mangostin (kiri) (Kaomongkolgit et al.,

2011) dan struktur kimia β-mangpostin (kanan) (Sidahmed et

al., 2016)

Gambar 12.1 Tual sagu siap diangkut ke kilang pengolahan (kiri); kondisi

salah satu hutan sagu di Bengkalis (kanan)

Gambar 12.2 Tanaman geronggang milik LSM Ikatan Pemuda Melayu

Peduli Lingkungan Bengkalis (kiri); Salah satu produk pintu

menggunakan bahan kayu geronggang (kanan)

Gambar 12.3 Geronggang di lahan milik masyarakat Bengkalis

Gambar 12.4 Nilai Harapan Lahan (LEV) pengusahaan tanaman

geronggang, sagu dan karet

Gambar 12.5 Grafik perubahan LEV geronggang oleh perubahan harga jual

produk pada tiga tingkat suku bunga

Gambar 12.6 Persentase penurunan nilai LEV pengusahaan geronggang

oleh penurunan harga jual produk kayu geronggang

Gambar 12.7 Penurunan nilai nominal LEV (Rp) oleh penurunan harga jual

produk kayu geronggang

Gambar 12.8 Grafik perubahan LEV sagu oleh perubahan harga jual produk

pada tiga tingkat suku bunga

Gambar 13.1 Peta Kabupaten Bengkalis

Gambar 13.2 Persentase penduduk bekerja menurut lapangan kerja utama

(BPS Kab. Bengkalis, 2018)

Gambar 13.3 (a) Diskusi menggali informasi dengan masyarakat pegiat

geronggang, (b) Bersama Pembina dan praktisi usaha tani

gerongggang dari LSM Ikatan Pemuda Melayu Peduli

Lingkungan

Gambar 13.4 (a) Rumah menggunakan bahan baku kayu geronggang, (b)

Papan kayu geronggang sebagai dinding rumah

xii Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Daftar Tabel

Tabel 2.1 Lokasi sebaran alam geronggang di Indonesia

Tabel 5.1 Kodefikasi tentang lokasi atau bagian tanaman dimana terjadinya

kerusakan

Tabel 5.2 Kodefikasi mengenai jenis-jenis kerusakan yang dialami oleh tanaman

Tabel 5.3 Kodefikasi untuk penentuan tingkat keparahan (severity level)

Tabel 5.4 Rekapitulasi tingkat kesehatan tegakan geronggang tahun 2012

Tabel 5.5 Rekapitulasi tingkat kesehatan tegakan Geronggang tahun 2013

Tabel 5.6 Rekapitulasi tingkat kesehatan tanaman jenis geronggang tahun 2014

Tabel 6.1 Dimensi serat dan diameter geronggang

Tabel 6.2 Nilai kualitas kayu geronggang dari beberapa diameter

Tabel 6.3 Sifat kimia kayu geronggang

Tabel 7.1 Rangkuman atribut kayu dan serat geronggang

Tabel 7.2 Dimensi serat yang digunakan sebagai bahan baku pulp

Tabel 7.3 Kriteria kualitas serat kayu untuk bahan baku pulp dan kertas dan

kualitas serat geronggang

Tabel 7.4 Kriteria karakter kayu sebagai bahan baku pulp dan karakter kayu

geronggang

Tabel 7.5 Klasifikasi produk komposit kayu

Tabel 8.1 Revolusi kertas

Tabel 8.2 Pengaruh diameter setinggi dada (dbh) dan konsentrasi NaOH terhadap

rendemen pulp putih

Tabel 8.3 Sifat pulp kraft geronggang dan hasil analisis uji-T serta konsumsi kayu

Tabel 8.4 Sifat fisik pulp geronggang yang diolah secara mekanis

Tabel 9.1 Komposisi dan formulasi hidrolisis untuk fabrikasi serat nanoselulosa

Tabel 9.2 Formulasi kelarutan pulp selulosa pada larutan elektrolit (Lin et al., 2014)

Tabel 9.3 Kombinasi teknik dalam fabrikasi serat nanoselulosa dari berbagai

material

Tabel 10.1 Bagian tanaman geronggang yang dimanfaatkan sebagai biofarmaka

Tabel 10.2 Fitokimia dalam geronggang

Tabel 11.1 Perkiraan nilai potensi nektar pada jenis geronggang di provinsi Riau

dengan beberapa asumsi

Tabel 11.2 Perhitungan carrying capacity dan perkiraan jumlah madu yang

dihasilkan

1 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

I.

PENDAHULUAN (Ahmad Junaedi)

(Ahmad

Degradasi dan pengurangan luas hutan (deforestasi) masih terjadi dengan

tingkat yang mengkhawatirkan di berbagai belahan dunia, terutama di daerah

tropis seperti Indonesia. Total deforestasi di dunia dari tahun 1990 – 2015 adalah

sebesar 129,1 juta ha, sedangkan untuk wilayah tropis sebesar 195,4 juta ha

(Keenan et al., 2015). Ini menunjukkan bahwa tingkat degradasi dan deforestasi

hutan di wilayah tropis ternyata 51% lebih tinggi dibandingkan dengan rerata

deforestasi yang terjadi di dunia, dikarenakan pada beberapa negara non tropis

angka deforestasinya sudah negatif. Sementara itu pada kurun waktu yang sama,

deforestasi Indonesia mencapai 27,5 juta ha atau sebesar 21% dan 14% dari

deforestasi dunia dan Tropis (FAO, 2015). Laju deforestasi Indonesia pada kurun

waktu tersebut adalah lebih dari 1 juta ha/tahun. Sementara itu, angka deforestasi

terbaru yang dilaporkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

(2018) berdasarkan data deforestasi netto pada kurun waktu 2016 – 2017 adalah

sebesar 0,48 juta ha. Walaupun angka ini menunjukkan sudah terjadinya

penurunan laju deforestasi, namun upaya penurunan deforestasi harus tetap

digalakkan dan tidak boleh berhenti.

Pengurangan tutupan hutan (deforestasi) menjadi sinyal lampu kuning

adanya potensi bencana. Banyak bencana alam yang dihubungkan dengan

deforestasi; seperti kabut asap, banjir, longsor dan lain lain. Bahkan fenomena

global perubahan iklim yang dicirikan oleh peningkatan suhu (efek rumah kaca),

juga diduga berkaitan erat dengan deforestasi. Perubahan biomassa hutan

menjadi karbon ini dianggap berbahaya, mengingat CO2 adalah salah satu jenis

gas rumah kaca yang mempunyai peran kunci dalam memanasakan lapisan udara

bawah/troposfer (Junaedi, 2007). Emisi gas ini dari deforestasi Indonesia jika

diakumulasikan bersama Brazil menyentuh angka signifikan, mencapai 55% dari

total emisi karbon yang dihasilkan dari deforestasi di wilayah tropis (Harris et al.,

2012).

Berbagai upaya dalam rangka menurunkan laju deforestasi harus semakin

digalakkan. Namun, upaya ini hendaknya tidak dimaknai sebagai tindakan yang

2 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

meninggalkan pemanfaatan hutan secara paripurna, dikarenakan masih adanya

kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya yang ada di dalam hutan, baik

terhadap kayu maupun non-kayu. Peningkatan jumlah penduduk berikut ragam

kebutuhannya berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan sumber daya yang

ada di dalam hutan dan bahkan lahan hutan itu sendiri.

Hutan menyediakan ragam kebutuhan hidup manusia yang cukup

lengkap dan beragam seperti kayu (sumber papan), sumber serat (sandang, kertas

dll), obat–obatan, beraneka sumber makanan (pangan), minyak atsiri, jasa

lingkungan, ecosystem services dll. Hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada

tahun 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta jiwa

dengan laju pertumbuhan 1,49 %/tahun (BPS, 2019). Untuk itu, pengelolaan

hutan melalui pemanfaatan sumber daya hutan yang berkelanjutan perlu

diterapkan dengan sebenar-benarnya. Pengelolaan hutan ini pun diharapkan

dapat juga berperan dalam upaya penurunan deforestasi dan degradasi hutan.

Pembangunan hutan tanaman muncul sebagai salah satu metode

pengelolaan hutan yang memungkinkan dapat dicapainya kelestarian hutan.

Walaupun metode ini masih menimbulkan pro kontra di antara pihak yang

berkepentingan dalam pengelolaan hutan dan lingkungan hidup, tetapi

nampaknya cara lain yang paling ideal dalam rangka pemanfaatan hutan dengan

paling bijak masih belum ditemukan.

Gambar 1.1. Hamparan hutan tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus pellita

di Riau

Pengelolaan hutan tanaman sudah cukup lama dipraktekkan di

Indonesia, dan hutan tanaman pertama adalah hutan jati di Pulau Jawa. Jati

sempat diduga sebagai jenis asli Indonesia yakni dari Pulau Jawa dan Muna

(Pratiwi & Lust, 1994), tetapi belakangan berdasarkan penelitian Verhaegen et al.

(2013) ada dugaaan bahwa jati Indonesia diduga berasal dari Laos Tengah. Hutan

3 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

tanaman lain yang juga cukup lama dikenal adalah Pinus spp. Kemudian, jenis

hutan tanaman yang terbaru adalah hutan tanaman industri (HTI) kayu pulp

dengan jenis Acacia dan Eucalyptus. Adapun lokasi pengembangan HTI-pulp

sampai saat ini terkonsentrasi di Sumatera dan Kalimantan, dan hanya sedikit di

wilayah lainnya. Keberadaan HTI jenis eksotik ini sangat diandalkan mengingat

kayu yang dipanen merupakan bahan baku utama industri pulp dan kertas di

Indonesia yang kapasitasnya cukup besar yakni mencapai 7,9 dan 12,9 juta

ton/tahun (Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia, 2017). Bahkan, belakangan jenis-

jenis ini pun sudah dimanfaatkan untuk bahan baku produksi viscose-rayon

(Rafael, 2019).

A. Memilih Hutan Tanaman Sebagai Solusi

Era pengusahaan hutan di Indonesia dimulai pada tahun 1967-an atau

pada masa orde baru (orba). Pengusahaan hutan tersebut dilakukan dengan

pemanenan kayu (secara selektif) dari hutan alam yang jumlahnya masih

melimpah. Masa itu telah mengantarkan sektor kehutanan menjadi bagian

penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia, yakni kedua setelah sektor

migas. Nilai ekspornya hingga akhir tahun 1971 mencapai USD 440 juta (BEM

Fahutan-IPB, 2013). Kemudian, pendapatan negara dari sektor ini pada tahun

1974 mencapai USD 564 juta (Hidayat, 2016).

Sayangnya, praktek pengusahaan hutan melalui Hak Pengusahaan Hutan

(HPH) menimbulkan dampak negatif. Ada tiga dampak yang ditimbulkannya

yakni: Pertama, kelestarian hutan dalam arti meningkatnya produktivitas lahan

hutan dan kelestarian hasil kayu tidak tercapai; Kedua, muncul konflik antara

pengusaha HPH, pemerintah dengan penduduk lokal; dan Ketiga terjadi banyak

perubahan sosial, politik dan budaya di desa-desa sekitar hutan terutama sekali

jika dilihat dari sistem land tenurial, dan terganggunya akses penduduk atas

sumber daya hutan (Awang, 2000). Selain itu, distribusi manfaat yang

diperolehnya pun cenderung timpang karena banyak dinikmati para pemodal

besar.

Perusahaan HPH menguasai hutan Indonesia dalam jumlah yang sangat

luas. Akibatnya, praktek pengelolaan mereka yang cenderung buruk

menimbulkan kerusakan hutan yang tidak sedikit. Kartodihardjo & Supriono

(2000) melaporkan bahwa sampai tahun 1998 saja degradasi hutan di areal HPH

sudah mencapai 16,57 juta ha dan cenderung terus meningkat dari tahun ke

4 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

tahun. Jumlah pemegang konsesi HPH dan luasan hutan yang dikelolanya hingga

tahun 2000 adalah sebanyak 600 unit dan 64 juta ha (Suparna, tanpa tahun).

Namun, Jumlah unit dan luasan tersebut sudah jauh menurun dan sampai pada

tahun 2015 tinggal 269 unit dan 20,62 juta ha (Yasman et al., 2016).

Dampak dari kinerja HPH yang rendah menyebabkan banyaknya areal

hutan dalam kondisi terdegradasi. Kerusakan tersebut pun sampai saat ini belum

dapat diatasi secara optimal, sehingga menurunkan fungsi ekologi hutan seperti

pengatur tata air (hidrologi), penyimpan biomassa (karbon), pengatur iklim

mikro, biodiversitas dll.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berupaya membuat konsep,

panduan ataupun model untuk diterapkan dalam pengeloaan hutan berbasis HPH

yang lestari (secara produksi, sosial dan ekologi). Panduan ini pun terus menerus

diperbaiki sehingga harapannya dapat ditemukan formula yang paling cocok

untuk mengelola hutan alam di Indonesia secara lestari. Beberapa konsep dan

panduan pengelolaan ini telah dituangkan dalam berbagai bentuk sistem

silvikultur yang terus dibenahi antara lain Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang

Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI), Silvikultur

Intensif (SILIN). Belakangan, muncul pemikiran baru yakni multi sistem

silvikultur. Namun, faktanya secara umum pengelolaan hutan berbasis HPH

belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kalaupun ada yang dianggap

berkinerja baik jumlahnya tidak banyak yakni di bawah 8% dari total HPH yang

ada (FWI, 2011).

Namun demikian, kita perlu menemukan strategi untuk mengatasi

kawasan hutan yang terdegradasi. Bagaimanapun kebutuhan terhadap sumber

daya hutan masih tetap ada dan bahkan cenderung meningkat. Salah satunya

adalah kebutuhan kayu yang secara konsisten dianggap masih melebihi pasokan

yang bisa disediakan. Kebutuhan ini harus dipenuhi, namun dalam

pemenuhannya sebisa mungkin tidak menambah luas kerusakan hutan dan

deforestasi.

Pengelolaan hutan melalui pembangunan hutan tanaman merupakan

salah satu cara terbaik yang bisa dipilih untuk menyelamatkan hutan Indonesia.

Pengelolaan hutan tanaman ini sangat berbeda dengan HPH, karena yang

dilakukan adalah dengan menanami hutan yang rusak untuk kemudian dipanen

dalam suatu siklus rotasi, lalu ditanami kembali, demikian seterusnya. Lokasi

5 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

pembangunan hutan tanaman diarahkan pada kawasan hutan produksi yang

terdegradasi, sehingga pembangunan hutan tanaman sekaligus merupakan

kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Hal ini menunjukkan bahwa jika dilakukan

secara benar, pembangunan hutan tanaman setidaknya akan menghasilkan dua

dampak positif. Dampak positif yang pertama adalah akan tetap terpenuhi

kebutuhan terhadap sumber daya yang ada di dalam hutan baik berupa kayu

maupun non kayu. Kalaupun tidak terpenuhi sepenuhnya untuk kebutuhan

kayu, tetapi gap antara permintaan dengan pasokannya bisa diperkecil. Dampak

positif yang kedua adalah semakin bekurangnya tekanan terhadap hutan alam

yang tersisa.

Pembangunan hutan tanaman di beberapa negara telah menunjukkan

hasil yang menggembirakan dalam hal menghutankan kembali hutan yang rusak

dan sekaligus memasok kebutuhan bahan baku untuk industri. Beberapa di

antaranya adalah Amerika Serikat, Brazil, Jepang, China dll yang memiliki luasan

hutan tanaman cukup signifikan di dunia (Gambar 1.2). Indonesia secara luasan

termasuk sepuluh besar di dunia (Gambar 1.2). Namun, secara presentase belum

optimal, jika ditinjau relatif terhadap luas daratan, terutama terhadap luasan

kawasan hutan yang terdegradasi dan terdeforestasi, sehingga kegiatan

pembangunan hutan tanaman ini harus semakin digalakkan.

Gambar 1.2. Distribusi luasan hutan tanaman di Dunia (FAO, 2006 dalam

Anonim, 2009)

B. Sekilas Perjalanan Hutan Tanaman di Indonesia

Pengelolaan hutan dan kehutanan berbasis hutan tanaman bukan hal

baru di Indonesia. Praktik hutan tanaman jauh telah ada sebelum kemerdekaan,

yakni telah ada pada era penjajahan Belanda berupa hutan tanaman jati dan pinus

6 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

di Pulau Jawa. Keduanya sampai saat ini masih eksis dan dikelola oleh perusahaan

BUMN PT. Perhutani. Selain itu, kedua jenis tersebut pun (terutama jati) banyak

ditanam oleh masyarakat di lahan miliknya, berupa hutan rakyat. Adapun, topik

perbincangan pada tahun 1980 adalah mengenai perlunya membangun hutan

tanaman industri (HTI). Berawal dari perbincangan tersebut yang ditindaklanjuti

dengan berbagai forum serupa maka terbentuklah berbagai kebijakan dan aturan

tentang pembangunan HTI di Indonesia. Selanjutnya, beberapa perusahaan HTI

pun muncul. Jenisnya didominasi oleh HTI yang ditujukan untuk memenuhi

kebutuhan industri pulp/kertas, sedangkan HTI yang diarahkan untuk

memenuhi kebutuhan lainnnya seperti pertukangan dan HHBK, hampir tidak

ada. Lokasi HTI dibagun di luar Jawa yakni di kawasan hutan produksi yang

sudah tidak produktif yang salah satunya dicirikan oleh kuantitas tegakannya

yang kurang dari 20 m3/ha (Srihardiono, 2005). Realisasi pembangunan sampai

tahun 2016 sekitar 2,45 juta ha. Realisasi ini baru sebesar 23,2% dari luas total

konsesi HTI atau 38,6 persen dari luas lahan efektif (Yasman et al., 2016).

Belum genap setengah abad sejak digagas, HTI di Indonesia ternyata

menghadapi masalah yang serius terkait penurunan produktivitas. Penurunan

ini terjadi baik pada HTI yang dibangun di tanah mineral maupun gambut.

Nampaknya, serangan organisme penggangu tanaman menjadi salah satu

penyebab serius penurunan produktivitas tersebut. Serangan Ganoderma spp,

Ceratocystis spp menyerang Acacia mangium di HTI lahan mineral dan Acacia

crassicarpa di HTI lahan Gambut (Rimbawanto, 2014; Tarigan et al., 2011;

Junaedi, 2018). Bahkan, binatang pengerat (tupai) dan mamalia (kera) turut

menyerang HTI Acacia mangium (Kurniawan 2009; Inhutani II, 2014).

Akibatnya, standing stock dan produktivitas hutan tanaman Acacia spp umur 5

tahun pada rotasi kedua dan berikutnya relatif rendah di bawah 30% dan 140

m3/ha (Nurcan et al. , 2014; Suhartati et al, 2013; Suhartati et al. , 2014). Bahkan

pada tingkat plot penelitian yang relatif berukuran kecil, persen hidup dan

produktivitasnya rendah yakni hanya sekitar 22% pada umur 5,5 tahun (Junaedi,

2018).

Penurunan performa jenis yang dikembangkan oleh HTI tersebut cepat

atau lambat berpotensi menimbulkan masalah serius bagi industri pulp dan kertas

di Indonesia, sehingga perlu segera ditemukan solusinya. Upaya peningkatan

daya tahan terhadap penyakit pada jenis eksotik tersebut melalui pemuliaan dan

bioteknologi hutan serta memperbaiki teknik silvikultur merupakan solusi yang

7 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

memungkinkan. Solusi lain yang logis untuk dilakukan adalah dengan mengganti

jenis eksotik yang saat ini masih dikembangkan dengan jenis lainnya. Salah satu

jenis pengganti yang bisa dipromosikan adalah jenis pohon asli setempat/lokal

(native species).

Selain adanya permasalahan penurunan produktivitas pada jenis eksotik

di HTI-pulp, masalah lainnya adalah cenderung berkutatnya pembangunan

hutan tanaman hanya pada jenis HTI-pulp, sedangkan untuk jenis lain seperti

untuk kayu pertukangan atau bahkan penghasil HHBK belum nampak

kiprahnya. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan kayu pertukangan atau

HHBK di Indonesia masih sangat tergantung terhadap hutan alam. Seharusnya,

Hutan Tanaman (HT) pertukangan pun bisa berkembang dengan baik mengingat

kebutuhan kayu untuk pertukangan baik untuk masyarakat ataupun industri

akan tetap tinggi. Contoh hutan tanaman untuk kebutuhan bahan baku non kayu

(HT HHBK) sebenarnya sudah ada yakni pada jenis kayu putih di Jawa dan

Kepulauan Maluku yang mana luasannya mencapai 248.756 Ha (Sunanto, 2003

dalam Kartikawati et al., 2014). Tentu, jika dikaji secara serius dan digalakkan,

pembangunan HT-HHBK untuk jenis selain kayu putih nampaknya akan sangat

memungkinkan.

Gambar 1.3. Kondisi Hutan Acacia crassicarpa di Riau (a = tegakan tinggal yang

sudah banyak mati, b = salah satu pohon mati diduga karena

penyakit

C. Jenis Lokal atau Eksotik

Suatu jenis tanaman dikategorikan sebagai jenis asli setempat jika

tumbuh, hidup dan tersebar alami pada suatu lokasi tanpa ada campur tangan

manusia (Morse et al., 2007). Jenis tanaman yang tidak sesuai dengan kategori ini

(

a)

(

b)

8 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

merupakan jenis eksotik. Secara lebih detail, penentuan apakah suatu jenis

termasuk native species atau eksotik tergantung dari sudut pandang wilayah

sebaran alaminya, yakni apakah berdasarkan wilayah administrasi atau

ekosistem. Misalnya, jenis pohon tertentu bisa dikatakan sebagai jenis

lokal/eksotik Indonesia, Sumatera, Jawa dll jika berdasarkan lokasi administrasi,

sedangkan berdasarkan sudut pandang tipe ekosistemnya, jenis pohon tertentu

bisa dikategorikan sebagai jenis lokal/eksotik ekosistem lahan gambut, eksosistem

hutan pegunungan, ekosistem lahan kering dll. Sebagai contoh jabon adalah jenis

lokal Sumatera, tetapi bukan jenis lokal lahan gambut.

Jenis lokal merupakan jenis yang paling dominan (> 80%) dikembangkan

oleh hutan tanaman di dunia, terutama jenis pinus yang mencapai 20% (Payn et

al., 2015; Carle et al., 2002) (Gambar 1.4). Namun, hutan tanaman di Indonesia

berbeda dengan trend tersebut karena justru cukup luas mengembangkan Acacia

mangium, Acacia crassicarpa dan Eucalyptus pellita di luar lokasi sebaran

alaminya, sehingga masuk dalam kategori jenis eksotik. Acacia mangium dan

Eucalyptus pellita sebenarnya merupakan asli Indonesia karena sebaran alamnya

ada di wilayah Indonesia yakni Acacia mangium pada lahan mineral di

Kepulauan Aru, Pulau Seram dan P. Papua dan Eucalytus pellita pada lahan

mineral di Pulau Papua (Sein & Mitlöhner, 201 & Hung et al., 2015). Namun,

ketiganya ditanam pada lahan kering di P. Sumatera dan Kalimantan yang bukan

lokasi sebaran alamnya.

Jenis lokal maupun jenis eksotik masing-masing mempunyai kelebihan.

Beberapa kelebihan jenis lokal antara lain adalah mampu beradaptasi pada

kondisi lokasi dan toleran terhadap kondisi lingkungan (termasuk dari serangan

hama penyakit); menjadi bagian penting dalam menjaga biodiversitas (apalagi

ketika keberadaannya di alam sedang terancam atau bahkan hampir punah);

menjadi bagian penting dari keseimbangan dan kesinambungan alami untuk

organisme lainnya di habitat alamnya; berkontribusi terhadap produktivitas

lahan dan membuat bentang alam yang khas (Jhonson & Stawell, 2001; Harrison

et al., 2005). Sementara itu, jenis eksotik pun mempunyai kelebihan antara lain:

beberapa jenis mampu beradaptasi dan tumbuh baik pada kondisi lahan yang

kritis/marginal, bahan perbanyakan (benih dan bibit) relatif lebih mudah

diperoleh serta pengetahuan silvikulturnya lebih lengkap dan memadai.

Kelebihan jenis eksotik inilah yang menyebabkan hutan tanaman jenis eksotik

dikembangkan cukup luas di Indonesia. Namun demikian, sebagaimana telah

9 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

diungkapkan sebelumnya bahwa dengan berjalannya waktu, nampak bahwa ada

penurunan performa jenis eksotik antara lain dikarenakan serangan hama dan

penyakit. Kondisi ini melatarbelakangi perlunya mencari jenis baru yang

potensial untuk dikembangkan di hutan tanaman. Salah satu jenis yang bisa

dipromosikan adalah jenis lokal.

Gambar 1.4. Distribusi jenis pohon yang dikembangkan pada hutan tanaman di

dunia (Carle et al., 2002)

D. Geronggang Jenis Lokal Potensial

Indonesia adalah negeri yang terkenal dengan mega biodiversitasnya,

karena memiliki kekayaan hayati yang sangat melimpah. Untuk jenis pohon saja,

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (2005) menyebutkan lebih dari

4000 jenis terdapat di Indonesia. Sementara itu, Wardani et al. (2018) melaporkan

bahwa untuk Pulau Sumatera saja terdapat 1737 species pohon, yang berasal dari

363 genera dan 86 famili. Angka yang cukup besar sekaligus modal berharga bagi

pencarian jenis pohon yang menjanjikan untuk dikembangkan di hutan tanaman,

baik untuk tujuan pemenuhan bahan baku pulp, pertukangan ataupun HHBK.

Geronggang merupakan jenis asli eksositem hutan Indonesia yang diduga

memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di hutan tanaman. Beberapa

penelitian telah menunjukkan jenis ini memiliki karakteristik serat kayu yang

baik untuk bahan baku pulp (Junaedi & Aprianis, 2010; Aprianis, 2016). Kayunya

telah sejak lama digunakan untuk kayu pertukangan di beberapa daerah di

Indonesia. Kayu geronggang bisa juga digunakan sebagai bahan baku untuk

10 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

arang. Beberapa penelitian yang relatif baru menunjukkan bahwa kulit kayu jenis

ini memiliki bahan kimia yang diduga bisa digunakan sebagai bahan baku obat-

obatan (Sidahmed et al., 2013; Omer et al., 2017). Beberapa bagian geronggnag,

seperti kulit batang, daun, akar dan resin secara tradisional telah digunakan

sebagai obat untuk mengatasi gatal, luka dan sakit perut (Soerinegara &

Lemmens, 2001).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Ten countries with the largest area of productive forest plantation.

www.grida.no. Diakses 2 September 2019

Aprianis, Y. 2016. Peluang beberapa jenis kayu alternatif untuk pulp. Dalam A. Hidayat,

Sudarmalik, E. Novriyanti, H. H. Rachmat, & A. Wahyudi (Editor.). Prosiding

Hasil Penelitian : Peluang dan tantangan pembangunan LHK di Riau (Hal. 1 -

12). Kuok: Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman

Hutan.

Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia. 2017. Dampak penerapan regulasi gambut terhadap

kinerja industri pulp dan kertas. APKI. Jakarta.

Awang, S.A. 2000. Dinamika proses RUU kehutanan (disparitas cita-cita dan fakta).

Jurnal PSDA 1(1) : 13 – 17.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2005. Atlas kayu Indonesia, Jilid I.

Badan Penelitian dan Kehutanan. Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2019. Jumlah dan Distribusi Penduduk. BPS.

https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/index. Diakses 12 Agustus 2019.

BEM Fahutan-IPB. 2013. Profesi Kehutanan (Part III).

https://bemfahutanlkipb.wordpress.com/2013/06/15/profesi-kehutanan-part-

iii/. Diakses 12 Agustus 2019.

Carle, J,P. Vuorinen, & A.D. Lungo. 2002. Status and Trends in Global Forest Plantation

Development. Journal Forest Products 52(7) : 1 – 13

FAO. 2015. Global forest resources assessment 2015. FAO. Rome.

FWI. 2011. Potret keadaan hutan Indonesia periode tahun 2000 – 2009. Forest Watch

Indonesia. Bogor.

Harris, N.L., S. Brown, S. C. Hagen, S. S. Saatchi, S. Petrova, etal. 2012. Baseline map of

carbon emissions from deforestation in tropical regions. Science 336: (1573-

1575). doi:10.1126/science.1217962

Harrison, S., T.J. Venn, R. Sales, E.O. Mangaoang & J.F. Herbohn. 2005. Estimated

financial performances of exotic and indigenous tree species in smallholder

plantations in Leyte Province. Annals of Tropical Research 27(1): 67 – 80.

11 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Hidayat, H. 2016. Forestry Industry (Logging, HTI, Plywood, Pulp, and Paper) in Forest Resources Management in Indonesia (1968–2004). Springer Science+Business

Media .Singapore.

Hung, T.D.,J.T. Brawner, R. Meder, D.J. Lee, S. Southerton, H.H. Thinh & M.J. Dieters .

2015. Estimates og genetic parameters for growth and wood properties in

Eucayptus pellita F. Muell. To support tree breeding in Vietnam. Annals of

Forest Science, 72, 2015 – 217.

Jhonson, H & Stawell. 2001. The benefits of usig indigenous Plants. Landcare Note. State

of of Victoria Department of Natural Resources and Environment, Australia.

Junaedi & Aprianis. 2010. Sifat kayu gerunggang sebagai jenis pulpable alternatif pada

lahan gambut. Buletin Hasil Hutan 6(1).

Junaedi, A. 2018. Growth performance of three native tree species for pulpwood

plantation in drained peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal

of Forestry Research 5(2), 119-132.

Junaedi, A. 2007. Kontribusi hutan sebagai rosot karbon dioksida. Info Hutan 5(1) : 1-7.

Kartikawati, N.K., A. Rimbawanto, M. Susanto, L. Baskorowati & Prastyono. 2014.

Budidaya dan prospek pengembangan kayu putih (Melaleuca cajuputi). IPB

Press. Bogor.

Kartodihardjo, H., Supriono, A. 2000. The Impact of sectoral development on natural

forest conversion and degradation: the case of timber and tree crop plantations

in Indonesia. CIFOR Occasional Paper No.26 (E). Bogor, Indonesia, CIFOR.

14p.

Keenan, R.J., G.A. Reams, F. Achard, J.V. de Freitas, A. Grainger, E. Lindquist. 2015.

Dynamics of global forest area: Results from the FAO Global Forest Resources

Assessment 2015. Forest Ecology and Management 352: 9–20.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Status Hutan dan Kehutanan Indonesia

2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.

Kurniawan, A. 2009. Serangan awal kera ekor panjang (Macaca fascicularis) pada HTI

Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. Tekno Hutan

Tanaman 2(2):77 – 82.

Morse, L.E., J.M. Swearingen & J.M. Randall. 2007. Defining what is native- what is

native plant www.fhwa.dot.gov/environment/rdsduse. Diakses Tanggal 9

Oktober 2013.

Nurcan, Refdanil, Sribudiani, E., & Sudarmalik. 2014. Analisi harga jual kayu akasia

berdasarkan pendekatan biaya produksi pembangunan hutan tanaman

industri.

https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFAPERTA/article/viewFile/1873/1836

Omer, F.A.A , N.B.M Hashim,M.Y. Ibrahim, F. Dehghan, M. Yahayu, H. Karimian, L.Z.A

Salim & S. Mohan. Beta-mangostin from Cratoxylumarborescens activates the

intrinsic apoptosis pathway through reactive oxygen species with

12 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

downregulation of the HSP70 gene in the HL60 cells associated with a G0/G1

cell-cycle arrest. Tumor Biology : 1– 12

Payn, T, J.M. Carnus, P.F. Smith, M. Kimberley, W. Kollert, S. Liu, C. Orazio, L.

Rodriguez, L.N. Silva & M.J. Wingfield. Changes in planted forests and future

global implications. Forest Ecology and Management 352 : 57–67

Pratiwi & N. Lust. 1994. Teak (Tectona grandis L.f.) Forests in Java, Indonesia plantations,

management and policy. Silva Gandavensis 59 : 97 – 118.

PT. Inhutani II. 2014. Hasil kunjungan pakar hama penyakit di Pulau Laut.

www.bumn.go.id. Diakses 3 September 2019.

Rafael, E.C. 2019. APR menyasar industry fesyen global. Dikutip

dariamp.kontan.co.id/news/apr-menyasar-industri-fesyen-global. E.C. Rafael.

Diakses 1 Nopember 2019.

Rimbawanto, A. (2014). Managing root rot diseases in Acacia mangium. In Seminar

Nasional. Retrieved from http://www.forda-

mof.org/files/Mengelola_Penyakit_ Busuk_Akar_-_Anto_R.pdf. on 16 March

2018 Yogyakarta.

Sein, C.C & R. Mitlöhner. 2011. Acacia mangium Willd: Ecology and silviculture in

Vietnam. Bogor : Center for International Forestry Research.

Sidahmed, Heyam & Abdelwahab, Siddig & Mohan, Syam & Abdulla, Mahmood & Taha,

Manal & Mohd Hashim, Najihah & Hamid A Hadi, A & Vadivelu, Jamuna &

Loke, Mun Fai & Rahmani, Mawardi & Yahayu, Maizatulakmal. (2013). α-

Mangostin from Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume Demonstrates Anti-

Ulcerogenic Property: A Mechanistic Study. Evidence-based complementary

and alternative medicine : eCAM. 2013. 450840. 10.1155/2013/450840.

Srihardiono, U. 2005. Hutan tanaman industry : skenario masa depan kehutanan

Indonesia. PT. Musi Hutan Persada & Wana Aksara.

Soerinegara, I. & R.H.M.J. Lemmens. (Eds). (2001). Plant resources of South-East, Timber trees : Major commercial timbers. Bogor : Prosea.

Suhartati, Y. Aprianis, A. Pribadi & Y. Rochmayanto. 2013. Kajian dampak penurunan

daur tanaman Acacia crassicarpa A. Cunn terhadap nilai produksi dan sosial.

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 10(2): 109 – 118.

Suhartati, Y. Rochmayanto & Y. Daeng. 2014. Dampak penurunan daur tanaman Acacia

terhadap kelestarian Produksi, Ekologis dan Sosial. Buletin Eboni 11(2):103 –

116.

Suparna, N. tanpa tahun. Peran HPH dalam menjaga keberlanjutan hutan alam. Lestari

Paper No.3. USAID.

Tarigan, M., Roux, J., Wyk, M. Van, Tjahjono, B., & Wingfield, M. J. (2011). A new wilt

and dieback disease of Acacia mangium associated with Ceratocystis manginecans and C. acaciivora sp. In Indonesia. South African Journal of Botany, 77(2), 292–304.doi:10.1016/j.sajb.2010.08.006.

13 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Wardani, M., Denny & Sutiyono. 2018. Spesies pohon hutan rawa gambut Sumatera.

Dalam E. Martin,H.L. Tata, L. Syaufina & M. Rachmat (Editor.). Prosiding

Seminar Merawar Asa Restorasi Gambut, Pencegahan Kebakaran dan

Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (Hal. 1 - 10). Palembang: Balai

Penelitian dan Pengembangan LHK Palembang.

Yasman, I., R. Benyamin, H. Siswoyo, N. Suparna, B. Widyantoro, I. Kusuma, I. Harmain,

Sugijanto, A. Wahyudi, S. Karim & B. Prayitno. 2016. Roadmap pembangunan

hutan produksi Tahun 2016 – 2024. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.

Jakarta.

14 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

15 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

II.

MENGENAL GERONGGANG (Ahmad Junaedi)

(Ahmad

Geronggang (Cratoxylon arborescens) merupakan salah satu jenis pohon

lokal lahan gambut yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, karena memiliki

potensi yang menjanjikan untuk dikembangkan dalam bentuk hutan tanaman,

baik untuk hutan tanaman industri (HTI) maupun di masyarakat (Hutan Rakyat).

Hal ini antara lain mengemuka dalam pertemuan antara Balai Besar Bioteknologi

dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) dengan Bagian Research and

Development PT. Arara Abadi, Sinar Mas serta Balai Litbang Serat Tanaman

Hutan (BP2TSTH) di Yogyakarta pada tahun 2015. Pertemuan ini membahas

peluang pengembangan jenis-jenis alternatif tanaman HTI, terkhusus untuk HTI-

pulp (Badan Litbang dan Inovasi Kehutanan, 2015). Dalam kesempatan tersebut,

BP2TSTH salah satunya mempromosikan pohon lokal geronggang untuk HTI-

Pulp. Promosi geronggang ini dilakukan atas dasar hasil penelitian yang

dilakukan BP2TSTH sejak tahun 2011 pada aspek silvikultur, sifat kayu dan

pengolahan pulp. Hal ini juga didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya yang

dilakukan pada tahun 2007 mengenai sebaran dan syarat tumbuh serta sifat dasar

kayu geronggang. Kemungkinan Pengembangan jenis ini untuk tujuan

rehabilitasi lahan gambut terdegradasi maupun untuk hutan tanaman juga

dikemukakan pada acara seminar hasil penelitian BP2TSTH di Pekanbaru pada

tahun 2015.

Perusahaan pengelola HTI-pulp berskala besar seperti PT. Arara Abadi

(Sinar Mas Group) juga tak luput memberikan perhatiannya pada geronggang.

Perusahaan ini sudah merintis pengembangan jenis ini antara lain dengan

melakukan penelitian yang lebih intensif terutama pada aspek silvikultur dan

pemuliaannya (Giesen & Sari, 2018). Kemungkinan hal ini dilatarbelakangi oleh

hasil penelitian pendahuluan mereka bersama Badan Litbang dan Inovasi

Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI) dan Korea Forest Research Institute

(KFRI) mengenai uji jenis pohon lokal lahan gambut untuk pulp yang

menunjukkan geronggang sebagai salah satu jenis pohon lokal lahan gambut yang

cukup menjanjikan dibandingkan jenis pohon lokal gambut lainnya.

16 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Berita mengenai potensi geronggang ini pun semakin booming ketika

berbagai komponen masyarakat di Bengkalis, Riau yang dimotori LSM Ikatan

Pemuda Melayu Peduli Lingkungan mulai mengembangkan jenis ini. Gubernur

Riau pun telah terjun langsung untuk melihat geronggang yang ditanam

masyarakat tersebut dan memberikan apresiasi, hingga mempromosikan

penanaman jenis geronggang ini sebagai salah satu upaya antisipasi/mencegah

kebakaran hutan dan lahan (karhutla) (“Antisipasi Karhutla”, 2019). Informasi

mengenai pohon geronggang dan bagaimana status budi dayanya

(silvikulturnya), akan diuraikan pada bab ini.

A. Taksonomi dan Sebaran Alami Geronggang

Geronggang adalah jenis pohon asli Indonesia dan beberapa negara

lainnya di Asia Tenggara dengan nama lokal yang berbeda-beda. Beberapa nama

lain dari jenis ini adalah serungan (Sabah, Malaysia), gerunggang (Brunei),

geronggang (nama umum di Indonesia dan Malaysia), lede (Sumatera bagian

utara) (Sabah Forestry Department, 2007; Soerinegara & Lemmens, 2001).

Adapun nama ilmiahnya adalah Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume yang juga

sinonim dengan nama ilmiah Ancistrolobus glaucescnes Turz., Cratoxylum

arborescens var. miquelli King, Cratoxylum cuneatu Miq., Hyperricum

arborescens Vahl dan Hypericum coccineum Wall (“Cratoxylum arborescens”,

tanpa tahun). Secara taksonomi geronggang termasuk ke dalam filum

Tracheophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Malpighiales, family Hypericaceae dan

genus Cratoxylum Blume (GBIF Secretariat, 2017).

Jenis Cratoxylum arborescens tersebar alami di Myanmar/Burma bagian

selatan, semenanjung Malaysia (Malaysia & Singapura), Kalimantan (Indonesia

dan Malaysia) dan Sumatera (Gogelein, 1967; Soerinegara & Lemmens, 2001).

Wong et al. (2013) dalam Neo et al. (2016) melaporkan bahwa geronggang di

Singapura berada di Hutan Rawa Nee Soon. Sementara itu, laporan dari Malaysia

menunjukkan bahwa jenis ini secara alami ditemukan di Sabah dan Serawak,

salah satunya di Hutan Sekunder Universitas Malaysia Serawak, Malaysia Timur

(Sabah Forestry Department, 2007; Karyati et al., 2017). Di Indonesia, sebaran

alami geronggang menurut Gogelein (1967) mencakup seluruh wilayah di Pulau

Kalimantan dan Sumatera, walaupun laporan terkini tidak menunjukkan adanya

sebaran geronggang di semua provinsi yang ada di Sumatera dan Kalimantan

17 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

(Tabel 2.1). Sebaran alami geronggang pada lokasi yang lebih spesifik di

Burma/Myanmar belum ditemukan laporannya.

Tabel 2.1. Lokasi sebaran alam geronggang di Indonesia

Khusus di Riau, Tim Peneliti BP2TSTH telah melakukan survei sebaran

alami geronggang, walaupupun belum secara menyeluruh menjangkau wilayah

yang ada di Riau. Hasilnya menunjukan bahwa geronggang ditemukan di

Kabupaten Bengkalis, Siak, Kuansing, Rokan Hilir dan Indragiri Hilir (Suhartati

et al., 2012). Selanjutnya, beberapa informasi tambahan menunjukkan bahwa

selain di kabupaten-kabupaten tersebut, ternyata di Provinsi Riau geronggang

secara alami juga dapat ditemukan di Kab. Kepulauan Meranti yakni di Desa

Tanah Merah dan Tanjung Sari (Pemerintah Desa Tanah Merah, 2017; Sepka et

al., 2017).

No. Lokasi Pulau/Propinsi Tipe Lahan Referensi

1 HL. Gunung Tarak Kalimantan/Kalimantan Barat Mineral Desi et al. , 2017

2 TN. Sebangau Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Istomo et al., 2010;Lestariningsih, et al, 2018

3 Eks Mega Rice Project Area Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Blackham et al. , 2014

4 Cagar Alam Muara Kendawangan Kalimantan/Kalimantan Barat Gambut Siregar & Ruskandi, 2006

5 KHDTK Tumbang Nusa Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Tata & Pradjadinata (2013)

6 Kelampangan Canal , Palangkaraya Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Saito et al. (2005) ; Simbolon (2004)

7 Hutan Sungai Berpasir-Sungai Siduung, Tanjung Redeb Kalimantan/Kalimantan Timur Heriyanto & Subiandono (2007)

8 Hutan kerangas sekitar Danau Tahai Kalimantan/Kalimantan Tengah Mineral Sigit , 2014

9 HL. Gambut Lahai, Kuala Kapuas Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Nugraha, 2014

10 TN. Tanjung Putting, Kotawaringin Barat Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Mirmanto et al., 2000

11 Hutan WisataRawa Gambut Baning, Sintang Kalimantan/Kalimantan Barat Gambut Syukur et al., 2007

12 Cagar Alam Kersik Luway, Kutai Barat Kalimantan/Kalimantan Timur Mineral Budiman et al. (2016)

13 HL. Lahai Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Istomo et al. (2010)

14 Hutan Rawa Gambut Tripa Sumatera/NAD Gambut Universitas Syiah Kuala,

15 TN. Berbak Sumatera/Jambi Gambut Istomo et al. (2010)

16 HLG. Tanjung Jabung Barat Sumatera/Jambi Gambut Istomo et al. (2010)

17 Cagar Alam Durian Luncuk I, Sarolangon Sumatera/Jambi Mineral Ariyanto (2017)

18 PT. Putra Duta Indah Wood , Muaro Jambi Sumatera/Jambi Gambut Mawazin (2013)

19 Kubah gambut merang, Bayung Lencir, Musi Banyuasin Sumatera/Sumatera Selatan Gambut Pemerintah Prov. Sumsel (2017); Barkah, 2009

20 TN. Zamrud, Siak Sumatera/Riau Gambut Suhartati et al (2012)

21 HL. Bukit Betabuh, Kuantan Singingi Sumatera/Riau Mineral Suhartati et al (2012)

22 PT. Diamond Raya Timber, Dumai Sumatera/Riau Gambut Mawazin & Subiakto (2013); Sufaidah (2016)

23PT. Mutiara Sabuk Khatulistiwa & PT. Sumatera Riang

Lestari, Inderagiri HilirSumatera/Riau Gambut

24 Kecamatan Bangko, Rokan Hilir Sumatera/Riau Gambut

25 Tahura Sutan Syarif Hasyim II & TN. Zamrud, Siak Sumatera/Riau Mineral &

Gambut26 Kecamatan Bengkalis, Bengkalis Bengkalis/Riau Gambut

27 Tanah Merah, Rangsang Pesisir, Kep. Meranti Sumatera/Riau Gambut Pemerintah Desa Tanah Merah, 2017

28 Tanjung Sari, Tebing Tinggi Timur, Kep. Meranti Sumatera/Riau Gambut Sepka et al., 2017

Suhartati et al (2012)

18 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Geronggang secara alami dapat ditemukan di hutan rawa gambut maupun

di lahan mineral. Seperti yang dilaporkan oleh Sabah Forestry Department (2007)

bahwa geronggang secara alami tumbuh pada hutan pegunungan (ketinggian

1.400 m dpl). Bahkan, geronggang juga ditemukan secara alami mampu hidup dan

bertahan pada lahan mineral yang marginal seperti lahan bersubstrat pasir silika

dan podsol (merah kuning) serta lahan yang berjenis gley soil (Sigit, 2014; Karyati

et al., 2017). Bukti-bukti ini sesuai dengan syarat tumbuh yang dilaporkan

Soerinegara & Lemmens (2001) bahwa geronggang dapat tumbuh pada rentang

ketinggian tempat yang lebar yakni 0 – 1800 m dpl. Kemudian, Wahyuningtyas

& Ariani (2015) melaporkan bahwa pada tingkat semai jenis ini relatif tidak tahan

genangan. Penelitiannya di Kalimantan menunjukkan bahwa sebanyak 68%

semai mati saat kondisi tergenang.

B. Morfologi Pohon Geronggang

Geronggang merupakan jenis pohon sedang sampai besar dengan tinggi

dan diameternya dapat mencapai 50 m dan 85 cm (Soerinegara & Lemmens,

2001). Beberapa karakteristik yang terkait dengan morfologi pohon ini dijelaskan

berikut ini:

B.1. Daun

Daun geronggang termasuk daun tunggal yang mempunyai tiga bentuk

helai daun yaitu jorong (elliptic), memanjang (oblong) dan lancet (lanceolate).

Letak daunnya berhadapan sederhana dengan tangkai daun yang umumnya lurus,

tetapi terdapat juga tangkai daun yang nampak bengkok. Pada tiap bagian

pertemuan dua tangkai daun tersebut (bagian pelepah daun) terdapat semacam

buku yang berbentuk garis cembung (Gambar 2.1). Pangkal dan ujung daun

geronggang umumnya meruncing, sedangkan tepi daunnya rata. Ukuran tulang

daun utama (midrib) mengecil dari pangkal ke ujung dan umumnya berbentuk

cekung (Gambar 2.1). Pertulangan daunnya menyirip yang mana tulang daun

ordo 1 tumbuh lancip (membentuk sudut < 90o terhadap tulang daun utama)

sampai mendekati tepi daun (1-2 mm dari tepi daun), kemudian melengkung dan

saling berhubungan dengan tulang daun ordo 1 lainnya secara berkesinambungan

(kontinu), sehingga membentuk tulang daun pinggir (Gambar 2.2). Warna daun

geronggang cenderung hijau tua untuk bagian atas dan hijau muda pada bagian

bawahnya dan relatif mengkilap di kedua bagian tersebut. Kesan raba pada bagian

atas dan bawah daun geronggang adalah relatif agak licin (tidak kasar) atau tidak

19 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

berbulu. Daging daunnya tipis dan kaku karena mengandung lignin yang relatif

tinggi, > 30% (Junaedi, 2014).

Gambar 2.1. Bentuk helai (a) jorong, (b) memanjang dan (c) lanset); tangkai

daun geronggang (d) lurus, (e) bengkok, dan adanya buku berupa

garis lengkung (ditunjukkan anak panah)

Gambar 2.2. Pertulangan daun geronggang (a) menyirip dan membentuk tulang

pinggir (ditunjukkan anak panah) dan (b) tulang utama yang

melengkung/cekung

B.2. Batang

Batang geronggang relatif silindris dan tumbuh lurus ke atas (erectus).

Kulit batang geronggang dapat ditemukan dalam berbagai variasi warna yakni

abu-abu, coklat dan coklat kemerahan; walaupun ada dugaan bahwa warna asli

kulit batang geronggang adalah merah atau merah kecoklatan. Adapun warna

kulitnya yang berwarna abu-abu diduga karena adanya pengaruh asosiasi jamur

dengan lumut (lichen) yang menempel menyelimuti permukaan kulit batang

geronggang (Gambar 2.3). Permukaan kulit batang geronggang termasuk kasar

dan beralur (lebar alur 1- 2 cm). Kulit batang geronggang memiliki tebal yang

relatif sedang (sekitar 2 mm pada tanaman muda). Dalam kondisi basah, kulitnya

berwarna merah kecoklatan pada bagian luar serta kuning pada bagian dalamnya.

D E

D E

20 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Kulit geronggang berlapis-lapis dan apabila dilihat penampang melintangnya,

nampak seperti lapisan kertas yang bertumpukan (Gambar 2.4). Apabila bagian

kayu disayat, beberapa jam kemudian akan mengeluarkan resin yang berwarna

merah kecoklatan. Pada saat basah, permukaan kayu berwarna putih/kuning

muda.

Gambar 2.3. Permukaan kulit batang geronggang (a) warna coklat kemerahan,

(b) warna Abu-abu, (c) lichen pada permukaan kulit batang

geronggang

Gambar 2.4. Bagian dalam kulit batang geronggang (a) berwarna coklat

kemerahan dan mengandung resin berwarna coklat kemerahan

(tanda panah), (b) berlapis-lapis dan (c) bagian kayu dibawah kulit

berwarna putih/kuning terang

B.3. Arsitektur pohon (tajuk)

Setidaknya ada dua model pertajukan geronggang yang umum ditemukan

di lapangan, yakni rauh dan scarrone (Gambar 2.5). Percabangan umumnya

monopodial, walaupun pada kondisi tertentu dapat ditemukan yang simpodial.

Di dalam tegakan, percabangan geronggang dapat memangkas sendiri (self

pruning) (Gambar 2.5), walaupun memerlukan waktu yang relatif lama (tahunan)

untuk mengeringkan dan “menggugurkan” percabangannya. Namun,

pemangkasan sendiri ini nampaknya relatif sulit ditemukan untuk pohon yang

tumbuh soliter.

(

a)

(

b)

(

c)

(

a)

(

b)

(

c) C

21 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 2.5. Bentuk tajuk dan percabangan geronggang (a) rauh, (b) scarrone,

(c) percabangan geronggang yang mengalami self pruning)

B.4. Bunga dan buah

Ket : = Biji/geronggang kering yang akan ke luar

Gambar 2.6. Bunga (a) bunga kuncup, (b) bunga mekar); buah (c) buah

muda/menta, (d) buah tua/kering

Bunga geronggang berwarna merah muda, baik saat kuncup maupun

mekar (Gambar 2.6). Bunga geronggang termasuk jenis majemuk dischasial yang

(

a)

(

b)

(

c)

C

22 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

dicirikan oleh adanya dua cabang yang saling berhadapan di ibu tangkai. Buah

geronggang berjenis buah kapsul yang mana di dalamnya terdapat ruang-ruang

(lokus). Dalam setiap kapsul terdapat 6 lokus dan dalam setiap lokus terdapat 10–

18 biji/benih (Neo et al, 2016). Buah geronggang yang mentah berwarna merah

muda yang akan berubah menjadi hijau, kuning, merah keungu-unguan dan

kemudian coklat dengan semakin matangnya buah. Apabila semakin tua, buah

akan kering, merekah dan pecah sehingga biji/benih yang ada didalamnya akan

beterbangan jika terkena guncangan baik oleh angin atau satwa (Gambar 2.6).

Biji/benih geronggang bersayap pada semua sisinya.

B.5. Perakaran

Geronggang memiliki sistem perakaran sebagiamana jenis pohon lainnya

yakni berakar tunggang yang bercabang (ramous). Perakaran geronggang

umumnya tidak berbanir, walaupun banir pada beberapa pohon bisa ditemukan

sampai ketinggian 1 m di atas permukaan tanah (Neo et al., 2016). Namun

demikian perakaran geronggang mempunyai ciri khas yakni terkait penyebaran

rambut akarnya yang menjelajah jauh baik secara vertikal mapun horizontal.

Bahkan rambut akar ini bisa ditemukan di permukaan tanah/bawah serasah

(Gambar 2.7). Ciri khas lainnya adalah kemampuan perakarannya untuk dapat

berkolonisasi dengan jamur mikoriza (Tawaraya et al., 2003).

Gambar 2.7. Rambut akar geronggang yang berada di permukaan/bawah serasah

C. Pemanfaatan

Sudah sejak lama pohon geronggang banyak dimanfaatkan untuk

berbagai tujuan. Kayu geronggang berukuran besar dimanfaatkan untuk bahan

23 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

bangunan rumah (papan, kayu broti, kayu lapis dll), sedangkan yang berukuran

kecil untuk cerocok (Gambar 2.8). Kayu geronggang dapat digunakan sebagai

bahan baku kayu energi, yakni untuk arang (Prosea, 2001). Selain itu, penelitian

telah menunjukkan bahwa kayu geronggang ternyata mempunyai sifat yang

cocok sebagai bahan baku kayu akustik seperti untuk pembuatan biola dan gitar

(Sedik et al., 2010). Masyarakat pun sudah mengenal pemanfaatan daun dan kulit

geronggang sebagai obat tradisional untuk sariawan, gatal, luka, obat sakit perut

dan lain lain (Prosea, 2001). Beberapa penelitian di tingkat laboratorium telah

menunjukkan potensi bagian kulit batang geronggang untuk bahan obat–obatan

karena mengandung senyawa kimia yang bermanfaat bagi kesehatan (Sim et al.,

2011; Ibrahim et al., 2017; Omer et al., 2017). Kemudian, serat kayu geronggang

mempunyai sifat yang baik jika akan digunakan untuk bahan baku pulp (kelas II),

dimana untuk menghasilkan 1 ton pulp maka dibutuhkan kayu sekitar 4,83 m3

(Aprianis, 2015: Junaedi & Aprianis, 2010). Bagian bunga geronggang pun dapat

dimanfaatkan sebagai pakan lebah dalam usaha budidaya lebah madu karena

mengandung nektar yang disukai jenis-jenis lebah penghasil madu seperti jenis

Triogona spp (Gambar 2.9). Selain itu, getah dan resinnya juga berpotensi untuk

dimanfaatkan sebagai pakan bagi jenis lebah penghasil propolis.

Peluang lain dalam pemanfaatan bagian tanaman geronggang adalah pada

bagian daunnya. Daun geronggang kemungkinan dapat dimanfaatkan sebagai

bioreduktor dalam sintesis nanopartikel (green synthesis). Hal ini didasarkan

pada keberhasilan species Cratoxylum lainnya yakni Cratoxylum glaucum yang

mana ekstrak daunnya bisa digunakan sebagai bioreduktur nanopartikel perak

(Fabiani et al., 2018; Sutanti et al., 2018).

Geronggang mempunyai manfaat ekologi yang besar. Kaitannya dengan

keanekaragaman hayati (biodiversitas), jenis ini mempunyai nilai yang tinggi

karena merupakan jenis asli ekosistem hutan rawa gambut. Selain itu, tegakan

geronggang merupakan tempat yang mendukung bagi kehadiran beberapa satwa

seperti burung dan beberapa serangga (Gambar 2.10). Kemudian kaitannya

dengan upaya pencegahan kebakaran lahan dan hutan, geronggang termasuk

jenis pohon dengan tingkat kerentanan terhadap kebakaran yang relatif lebih

rendah dibandingkan jenis pohon lainnya karena mempunyai nilai kalor

terendah yakni sekitar 16 kJ/g (Usup, 2004 dalam Yulianti, 2018). Penelitan

Junaedi (2014) pun menunjukkan bahwa pada kondisi tegakan yang terjaga (jarak

tanam 2 x 3 m), tegakan geronggang mampu menjaga kelembaban lahan gambut.

24 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Penelitiannya pada lahan gambut didrainase di Pelalawan Riau menunjukkan

bahwa pada musim kemarau tahun 2015 kelembaban serasah dan tanah di bawah

tegakan geronggang mampu dipertahankan pada angka 89%. Toriyama et al.

(2014) menyatakan bahwa bersama tumih (C. rotundatus), geronggang adalah

jenis pohon yang tergolong relatif tahan kebakaran dibandingkan jenis pohon

lainnya. Untuk itu, pohon lokal ini dibandingkan jenis pohon lainnya lebih

direkomendasikan untuk dimanfaatkan sebagai pohon rehabilitasi pencegah

kebakaran hutan dan lahan gambut.

Gambar 2.8. Contoh pemanfaatan kayu geronggang untuk cerocok dan

papan/dinding rumah

Gambar 2. 9. Lebah penghasil madu dan propolis dari jenis Trigona sp yang

mengambil nektar dan serbuk sari di bunga geronggang

25 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 2.10. Kehadiran beberapa binatang di tegakan geronggang seperti

burung dan serangga

Daftar Pustaka

Antisipasi Karhutla, Gubernur Riau: “Penanaman Kayu Gerunggang Salah Satu

Alternatifnya”.2019. Dikutip dari https://suarapersada.com/bengkalis/

antisipasi-karhutla-gubernur-riau penanaman-kayu-gerunggang-salah-satu-

alternatifnya/.

Aprianis, Y. 2015. Peluang jenis kayu alternatif sebagai bahan baku pulp. Prosiding

Seminar Hasil Penelitian BP2TSTH. Balai Penelitian dan Pengembangan

Teknologi Serat Tanaman Hutan. Kuok.

Ariyanto. 2017. Keanekaragaman dan pola sebaran spesies tumbuhan asing invasif di

Cagar Alam Durian Luncuk I Sarolangu Jambi. Skripsi. Fakultas Kehutanan-

IPB. Bogor

Badan Litbang dan Inovasi Kehutanan. 2015. Peluang pengembangan jenis-jenis alternatif

tanaman HTI. www.forda-mof.org. diakses 9 Agustus 2019. Berita 5 Februari

2015.

Barkah, B.S. 2009. Panduan Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Berbasis

Masyarakatdi Areal MRPP Kabupaten Musi Banyuasin. German Technical

Cooperation-

26 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Blackham, G.V., E.L. Webb & RT. Corlett. 2014. Natural regeneration in a degraded

tropical peatland, Central Kalimantan, Indonesia: Implications for forest

restoration. Forest Ecology and Management 324 : 8–15.

Budiman, F. Kristianto & Sumarso. 2016. Diversitas dan Karakter Kulit Batang

Pohon Inang Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata Lind.) di Kawasan

Cagar Alam Kersik Luway. J-PAL, Vol. 7, No. 1, 2016.

Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume. Tanpa tahun. Dikutip dari

http://www.asianplant.net/

Desi, R. Linda & I. Winarti. 2017. Struktur dan Profil Vegetasi Habitat Kukang

Kalimantan (Nycticebus menagensis) Pelepasliaran Yayasan IAR Indonesia Di

Hutan Lindung Gunung TarakProtobiont, 6 (1) : 1-9

Fabiani, V.A., F. Sutanti, D. Silvia & M.A. Putri. 2018. Green symthesis nanopartikel

perak menggunakan ekstrak daun pucuk idat (Cratoxylum glaucum) sebagai

bioreduktor. Indo. J. Pure App. Chem. 1 (2) : 68-76.

GBIF Secretariat. 2017. Cratoxylum arborescens Blume.

https://www.gbif.org/species/7330035. Diakses 12 Agustus 2019.

Giesen, W., E.N. Sari. 2018. Tropical Peatland Restoration Report: The Indonesian Case.

Euroconsult Mott MacDonald in association with: Universitas’ Jambi, Mitra

Aksi Foundation. Perkumpulan Gita Buana, Perkumpulan Walestra.

Heriyanto, N.M & E. Subiandono. 2003. Status Kelangkaan Jenis Pohon di Kelompok

HutanSungai Lekawai-Sungai Jengonoi, Sintang, Kalimantan Barat Buletin Plasma Nutfah Vol.9 No.2 Th.2003

Heriyanto, N.M & E. Subiandono. 2007. Studi Ekologi dan Potensi Geronggang

(Cratoxylon arborescens Bl.) di Kelompok Hutan Sungai Bepasir-Sungai

Siduung, Kabupaten Tanjung Redeb, Kalimantan Timur. Buletin Plasma Nutfah Vol.13 No.2 Th.2007

Ibrahim, M.Y, N.M. Hashim, S.Mohan, M.A. Abdulla, S.I. Abdelwahab, I.A. Arbab,

Istomo, T. E. Komar, S.I. Suryaman, B. A. Marpaung B.M. Purba. 2010. Disain

dan pembuatan plot pengamatan ekologi dan dinamika populasi ramin dan

jenis-jenis lain di Hutan Rawa Gambut Sumatera dan Kalimantan. ITTO CITES

Project bekerjasama dengan Pusat Litbang Konservasi Alam.

Junaedi, A. 2014. Pertumbuhan tegakan dan produktivitas serta laju dekomposisi seresah

beberapa jenis pohon lokal pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan, Riau.

Tesis. Program Pasca Sarjana, Fahutan-UGM. Yogyakarta.

Junaedi, A., Y. Aprianis. 2010. Sifat kayu geronggang sebagai jenis pulpable alternative

pada lahan gambut. Bulletin Hasil Hutan Vol.16 (1). Pusat Litbang Teknologi

Hasil Hutan. Bogor.

Karyati, I.B. Ipor, I. Jusoh, M.E. Wasli. 2017. The diameter increment of selected tree

species in a secondary tropical forest in Sarawak, Malaysia. BIODIVERSITAS

18 (1) : 304 - 311

27 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Lestariningsih, F. Handayani & Salasiah. 2018. Karakteristik tanah gambut dan

keanekaragaman tumbuhan tinggi di Taman Nasional Sebangau Kalimantan

Tengah. BIOSFER Jurnal Tadris Pendidikan Biologi 9(1): 114-139

M. Yahayu, L.Z. Ali, O.E. Ishag. 2015. a-Mangostin from Cratoxylum arborescens: An in

vitro and in vivo toxicological evaluation. Arabian Journal of Chemistry 8, 129–

137

Mawazin & A. Subiakto. 2013. Keanekaragaman dan Komposisi Jenis Permudaan Alam

Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan di Riau. Jurnal Rehabilitasi Hutan1(1) :

59 – 73.

Mawazin. 2013. Tingkat kerusakan tegakan tinggal di hutan rawa gambut Sungai

Kumpeh-Suangai Air Hitam Laut Jambi. Indonesian Forest Rehabilitation

Journal Vol. 1 No. 1, September 2013: 39-50

Mirmanto, R. Polosakan & H. Simbolon. 2000. Ekologi hutan gambut di Taman Nasional

Tanjung Putting, Kalimantan Tengah. Berita Biologi, Volume 5, Nomor 3, Desember 2000

Neo, L. , K. Y. Chong, S. Y. Tan, C. Y. Koh, R. C. J. Lim, J. W. Loh, W. Q. Ng, W.

W. Seah, A.T. K. Yee & H. T. W. Tan. 2016. Towards a field guide to

the trees of the Nee Soon Swamp Forest (II): Cratoxylum (Hypericaceae). Nature In Singapore 2016 9: 29–39

Nugraha, A. 2014. Struktur tegakan dan sebaran jenis jelutung (Dyera costulata Hook. f.)

dan tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser) di hutan rawa gambut

(studi kasus di kawasan lindung gambut Lahai, Kalteng). Skripsi. Departemen

Silvikultur Fahutan-IPB. Bogor.

Omer, F.A.A, N.B.M Hashim, M.Y. Ibrahim, F. Dehghan, M. Yahayu, H. Karimian, L.Z.A.

Salim, S. Mohan. 2017. Beta-mangostin from Cratoxylum arborescens activates

the intrinsic apoptosispathway through reactive oxygen specieswith

downregulation of the HSP70 genein the HL60 cells associated with a

G0/G1cell-cycle arrest. Tumor Biology November 2017: 1–12.

Pemerintah Desa Tanah Merah. 2017. Pohon Geronggang Kayu Pilihan di Desa Tanah

Merah Meranti. https://desariau.com/2017/09/23/pohon-geronggang-kayu-

pilihan-di-desa-tanah-merah-meranti/. Diakses 12 Agustus 2019.

Pemerintah Prov. Sumsel. 2017. Strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati

Provinsi Sumatera Selatan/SeHati Sumsel (2017 – 2021). Pemerintah Prov.

Sumsel. Palembang

Sabah Forestry Department. 2007. Serungan/geronggang tree species. Sabah Forestry

Department. Sabah, Malasyia

Saito , H., M. Shibuya., S.J. Tuah., M. Turjaman., K. Takahashi., Y. Jamal., H. Segah., P.E.

Putir & S.H. Limin. 2005. Initial screening of fast growing tree species being

tolerant of dry tropical peatland in Central Kalimantan, Indonesia. Journal of

Forestry Research. 2 (2): 1 – 10.

28 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Sedik, Y., S. Hamdan, I. Jusoh, M. Hasan. 2010. Acoustic Properties of Selected Tropical

Wood Species. J Nondestruct Eval 29: 38–42

Sepka, M.S., Andriko & R. Syahputra. 2017. Profil Desa Tanjungsari Kecamatan

Tebing Tinggi Timur Kabupaten Kepulauan Meranti Tahun 2017. Badan

Restorasi Gambut. Jakarta.

Sigit, R.R. 2014. Sains: Hutan Kerangas, Ekosistem Rapuh di Atas Lahan Kritis.

Mongabay, situs berita lingkungan.

https://www.mongabay.co.id/2014/05/10/sains-hutan-kerangas-ekosistem-

rapuh-di-atas-lahan-kritis/. Diakses 12 Agustus 2019.

Sim, W.C, G.C.L. Ee, C.J. Lim & M.A. Sukari. 2011. Cratoxylum glaucum and Cratoxylum arborescens (Guttiferae Two Potential Source of Antioxidant Agents. Asian

Journal of Chemistry 23 (2):569-572.

Simbolon, H. 2004. Proses awal pemulihan hutan gambut Kelampangan – Kalimantan

Tengah pasca kebakaran hutan Desember 1997 dan September 2002. Berita Biologi Volume 7, Nomor 3, Desember 2004

Siregar, M & A. Ruskandi. 2000. Studi ekologi hutan Cagar Alam Muara Kendawangan,

Kalimantan Barat. Laporan Teknik Tahun 2000, Hal 39 - 58. Pusat Litbang

Biologi-LIPI. Bogor.

Soerinegara, I. & R.H.M.J. Lemmens. (Eds). (2001). Plant resources of South-East, Timber trees : Major commercial timbers. Bogor : Prosea.

Sufaidah. 2016. Asosiasi ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) dengan jenis dominan

di IUPHHK-HA PT Diamond Raya Timber, Riau. Skripsi. Departemen

Silvikultur Fahutan-IPB. Bogor.

Suhartati, S. Rahmayanti, A. Junaedi & E. Nurrohman. 2012. Sebaran dan persyaratan

tumbuh jenis alternatif penghasil pulp di wilayah Riau. Badan Litbang

Kehutanan. Jakarta.

Sutanti, F, D. Silvia, M.A. Putri & F.A. Fabiani. 2018. Pengaruh konsentrasi AgNO3 pada

sintesis nanopartikel perak menggunakan bioreduktor ekstrak pucuk idat

(Cratoxylum glaucum KORTH). Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan

Pengabdian pada Masyarakat.

Syukur, M., A.A. Bratawinata & M. Sumaryono. 2007. Komposisi dan asosiasi vegetasi

hutan gambut berdasarkan ketebalan lapisan gambut di Hutan Wisata Rawa

Gambut Baning, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Jurnal Kehutanan UNMUL 3 (2), 163 – 173.

Tata, M.H.L & S. Pradjadinata. 2013. Regenerasi alami hutan rawa gambut terbakar dan

lahan gambut terbakar di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah dan implikasinya

terhadap konsevasi. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 10 No.

3, Desember 2013 : 327-342

Tawaraya, K. , Y. Takaya, M. Turjaman, S.J. Tuah, S.H. Limin, Y. Tamai, J.Y. Cha, T.

Wagatsuma, M. Osaki. 2003. Arbuscular mycorrhizal colonization of tree

29 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

species grown in peat swamp forests of Central Kalimantan, Indonesia. Forest

Ecology and Management 182: 381–386.

Toriyama, J., T. Takahash., S. Nishimura., T. Sato., Y.Monda., H. Saito., Y. Awaya., S.H.

Limin., A.R. Susan.t, F. Darma., Krisyoyo & Y.Kiyono. 2014. Estimation of fuel

mass and its loss during a forest fire in peat swamp forests of Central

Kalimantan, Indonesia. Forest Ecology and Management 314 (2014) 1–8

Universitas Syiah Kuala. Tanpa tahun. Biodiversitas. Project Implementation Unit – Studi

Eksosistem Rawa Tripa. http://cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/03-

Biodiversity-B.pdf. Diakses 5 September 2019.

Wahyuningtyas, R.S., & R. Ariani. 2015. Pengaruh gundukan terhadap pertumbuhan

tanaman gerunggang (Cratoxylon arborescens) di lahan rawa gambut. Leaflet.

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.

Yulianti, N. 2018. Pengenalan bencana kebakaran dan kabut asap lintas batas (studi kasus

eks proyek lahan gambut sejuta hektar). IPB Press. Bogor.

30 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

31 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

III.

INFORMASI AWAL TEKNIK BUDIDAYA GERONGGANG

(Ahmad Junaedi)

(Ahmad

Informasi yang lengkap dan tuntas mengenai teknik budidaya

(silvikultur) geronggang (Cratoxylum arborescens) masih belum tersedia sampai

saat ini. Hal ini dimungkinkan salah satunya karena minat untuk

membudidayakannya relatif masih baru, walaupun pemanfaatannya sudah lama

dikenal. Penelitian maupun contoh praktek budidaya di lapangan terkait

pengembangannya masih sangat awal dan terbatas. Silvikultur yang dimaksud

meliputi persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Sementara

untuk teknik perbanyakan tanaman (pembibitan), kendatipun penelitiannya juga

relatif belum banyak, tetapi informasi yang ada sudah cukup memadai dan bisa

digunakan di tingkat lapangan (persemaian). Informasi mengenai teknik

pembibitan tersebut akan disampaikan dalam bab tersendiri.

Penelitian yang terkait budidaya geronggang bukan sama sekali tidak ada,

namun jumlahnya masih relatif sedikit. Untuk itu, beberapa informasi terkait

budidaya geronggang yang disampaikan pada bab ini merupakan hasil

pendekatan dari hasil-hasil penelitian ataupun contoh praktek pada jenis pohon

lain yang dianggap memiliki sifat silvik yang mirip dengan geronggang. Dengan

demikian, informasi yang disampaikan masih bersifat informasi awal, sehingga

seiring dengan berkembangnya penelitian mengenai silvikultur geronggang

pembaharuan perlu dilakukan.

A. Penyiapan lahan

Kondisi optimal untuk pertumbuhan geronggang adalah di lahan terbuka

karena geronggang merupakan jenis pioneer. Untuk itu, metode persiapan lahan

yang paling tepat adalah dengan pembersihan total. Namun, jika ada kendala

untuk melakukan pembersihan total karena adanya keterbatasan biaya atau

tenaga, pembersihan lahan sebagian dapat dilakukan dengan catatatan tetap

berupaya agar titik tanam memperoleh pencahayaan yang optimal.

32 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Penanaman geronggang sebaiknya diarahkan pada lahan tidak produktif

seperti di lahan marginal atau kritis, khususnya yang berada di Sumatera dan

Kalimantan yang merupakan wilayah sebaran alami jenis ini. Karakteristik lahan

kritis secara umumnya dicirikan oleh: vegetasi yang didominasi oleh rumput-

rumputan, alang-alang, paku-pakuan dan jenis semak belukar lainnya; kesuburan

tanah rendah dan kondisi iklim mikro yang relatif ektrim dan tidak stabil

(Gambar 3.1). Di beberapa lokasi bahkan ditemukan pohon eksotik dari jenis

Acacia spp yang diduga sudah masuk kategori invasive alien species pada berbagai

strata (semai, pancang, tiang dan pohon).

Gambar 3.1. Kondisi lahan gambut terdegradasi yang didominasi alang-alang

dan paku-pakuan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/LHK (2018) melaporkan

bahwa berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai dan Hutan Lindung (Dirjen PDASHL) luas lahan kritis di Sumatera dan

Kalimantan pada tahun 2013 adalah lebih dari 6,5 juta dan 7,7 juta ha. Dari luasan

tersebut, luasan terbesar ada di Riau untuk Pulau Sumatera yang mencapai lebih

dari 1,8 juta ha dan Kalimantan Tengah untuk Pulai Kalimantan yakni mencapai

lebih dari lima juta ha. Sementara, target luasan lahan kritis yang akan

direhabilitasi untuk seluruh Indonesia adalah seluas 5,5 juta untuk periode 2015–

2019 dengan anggaran 39 triliun rupiah (Kementerian LHK, 2018). Penanaman

geronggang bisa dimasukkan ke dalam program ini, terutama pada lahan kritis

bertipe gambut. Salah satu lokasi tersebut adalah Riau, yang hingga tahun 2010

saja hutan rawa gambutnya hanya tinggal sekitar 36% (Nurjanah et al., 2013).

33 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Pembersihan secara total bisa dilakukan dengan alat berat (eskavator)

atau secara manual dengan pembabatan menggunakan parang atau sejenisnya

(Gambar 3.2). Lahan yang dibuka dengan eskavator tidak memerlukan

pembersihan lanjutan, tetapi jika pembersihannya manual maka harus

dilanjutkan dengan penyemprotan herbisida terhadap sisa-sisa tebasan, sebelum

dilakukan penanaman.

Kegiatan pembersihan sebaiknya tidak dilakukan pada musim kering,

agar terhindar dari bahaya kebakaran. Sisa tebasan dari pembersihan hendaknya

tidak dibakar tetapi dibiarkan di lapangan karena nantinya jika terdekomposisi

akan menjadi sumber hara bagi tanaman, selain akan berperan sebagai mulsa yang

akan mengurangi penguapan dan juga menjaga stabilitas iklim mikro.

Gambar 3.2. Penyiapan lahan secara manual dan kondisi lahan yang sudah

disiapkan (dibabat)

Pembersihan jalur (sistem jalur) bisa dipilih jika dikehendaki

pembersihan lahan yang tidak secara total (sebagian). Hal ini antara lain

dikarenakan alasan sumber daya yang terbatas (biaya dan tenaga kerja) atau

alasan ekologi. Jalur yang dibersihkan bisa dibuat secara manual dan memanjang

(tergantung lapangan) dengan lebar sekitar 1 – 1,5 m. Dengan lebar ini sistem

jalur hanya akan bisa diterapkan untuk jarak tanam yang relatif lebar. Adapan

jarak antar jalur bisa disesuaikan dengan jarak tanam yang dipilih.

B. Penyiapan dan Perlakuan Bibit Pra Tanam

Idealnya, bibit yang akan ditanam hendaknya dipilih dari bibit yang

berkualitas baik ditinjau dari aspek genetik, fenotip dan fisiologi. Bibit dengan

34 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

kategori ini akan lebih bisa diharapkan hidup dan tumbuh dengan baik di

lapangan.

Saat ini, secara genetik bibit unggul jenis geronggang belum diperoleh.

Hal ini masih menjadi kendala tersendiri, mengingat tanpa menggunakan bibit

yang berkualitas, Junaedi (2018) melaporkan bahwa produktivitas geronggang

relatif belum optimal. Untuk mendapatkan bibit dengan kualitas genetik yang

baik bisa dilakukan dengan program pemuliaan (Gambar 3.3). Saat ini program

pemuliaan pada geronggang masih berada pada tahap awal. Sambil menunggu

dihasilkannya bibit unggul, yang bisa dilakukan saat ini setidaknya adalah

memilih bibit yang berasal dari pohon induk yang fenotipenya baik. Hal ini

dicirikan oleh penampilan fenotip (tinggi dan diameter) yang menonjol di

lapangan. Salah satu lokasi dengan kondisi pohon geronggang berfenotip cukup

baik bisa didapatkan di Desa Wonosari, Bengkalis, Riau (Gambar 3.4).

Gambar 3.3. Salah satu contoh program pemuliaan yang bisa dilakukan untuk

mendapatkan bibit unggul geronggang (Junaedi, 2014)

Secara fisik, dimensi bibit geronggang yang akan ditanam bisa mengacu

pada standar fisik bibit jenis tanaman HTI yang selama ini ditanam yakni yang

tingginya lebih dari 17 cm (Christianus, 2006). Selanjutnya, jika mengacu pada

hasil penelitian sementara Wahyuningtyas di Banjarbaru yang dilaporkan oleh

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Banjarbaru (2019) batas atas tinggi geronggang yang disarankan ditanam adalah

35 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

40 cm, sehingga kisaran tinggi geronggang yang disarankan layak tanam adalah

17 - 40 cm. Untuk variabel mutu fisik bibit lainnya dapat mengikuti kaedah

umum pada bibit tanaman hutan yakni diameter pangkal lebih dari 2 cm, Rasio

Pucuk Akar (RPA) 2 – 5 dan Indeks Mutu Bibit (IMB) lebih dari 0,09 (Omon,

2009; Alrasyid, 1972 dalam Mindawati & Susilo, 2005; Lackey & Alm, 1982 dalam

Durahim & Hendromono, 2006).

Gambar 3.4. Pohon geronggang berfenotipe relatif baik di Desa Wonosari,

Bengkalis, Riau

Gambar 3.5. Bibit geronggang yang sudah layak ditanam

Kegiatan penting lainnya yang dilakukan sebelum penanaman adalah

aklimatisasi yakni upaya adaptasi bibit dengan iklim mikro lokasi penanaman.

Hal ini diperlukan mengingat bibit sebelumnya berada di persemaian yang

kondisi lingkungannya relatif terkontrol dan sangat mungkin berbeda dengan

kondisi lingkungan di lokasi penanaman. Aklimatisasi bisa dilakukan dengan

menempatkan bibit di lokasi sekitar penanaman selama 1 - 2 pekan. Pada tahap

awal aklimatisasi (hari I - III), bibit tetap secara rutin dipelihara/disiram dan

36 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

diberi naungan atau ditempatkan di bawah pepohonan. Berikutnya, secara

bertahap penyiraman dan naungan dikurangi sampai pada dua sampai tiga hari

menjelang waktu tanam, naungan sudah dibuka 100% (tanpa naungan). Jika satu

hari menjelang penanaman tidak ada hujan, penyiraman bibit sebaiknya

dilakukan pada hari tanam dan diupayakan mencapai kapasitas lapang.

C. Penanaman

Kegiatan penanaman sangat terkait dengan jarak tanam yang dipilih.

Jarak tanam geronggang dapat disesuaikan dengan tujuan pengembangannya.

Jarak tanam sempit seperti 1 x 1 (m) atau 1,5 X 1,5 (m) bisa dipilih untuk tujuan

produksi kayu cerocok. Untuk tujuan bahan baku serat dan pertukangan, sebagai

acauan awal jarak tanam bisa dipilih 2 x 2 (m), 2 x 3 (m), 2,5 x 3 (m) dan 3 x 3

(m). Jarak tanam tersebut adalah jarak tanam yang biasa digunakan untuk jenis

pohon penghasil serat maupun pertukangan antara lain Acacia spp., Eucalyptus

spp., jati dan meranti (Wahyudi et al., 2014; Mawazin & Suhaendi, 2008; Xu et

al., 2008 & Sankaran et al., 2008). Penelitian dalam rangka memastikan jarak

tanam terbaik untuk geronggang masih perlu dilakukan untuk ke depannya.

Bibit ditanam pada lubang tanam yang sudah disiapkan sebelumnya,

sesuai jarak tanam yang telah ditentukan. Di lahan gambut, lubang tanam relatif

mudah dibuat yakni cukup dengan menugalnya menggunakan kayu berdiameter

sekitar 15 cm atau menggunakan alat dodos kelapa sawit. Pembuatan lubang

tanam dapat juga menggunakan dodos (alat panen kelapa sawit). Adapun

kedalaman lubang tanam yang dibuat adalah sekitar 15 – 20 cm (Gambar 3.6).

Sementara itu, lubang tanam berukuran 20 x 20 x 20 (cm) di lahan mineral dibuat

dengan menggunakan cangkul atau alat sejenisnya.

Penanaman geronggang baik di lahan gambut maupun mineral,

sebaiknya tidak dilakukan pada musim kering. Hal ini dikarenakan umumnya

kondisi lahan gambut yang mengalami drainase sudah rusak yang dicirikan oleh

menurun drastisnya kemampuan menyerap lengas pada bagian atas tanah.

Akibatnya, zona lembab pada bagian atas tanah relatif sudah hilang. Padahal,

zona ini adalah daerah sekitar perakaran bibit yang ditanam, sehingga jika kering

akan membahayakan bibit yang ditanam. Akan tetapi, jika kondisi kelembaban

tanah gambutnya relatif masih terjaga yang dicirikan dengan masih lembabnya

zona perakaran bibit (kedalaman 0 – 20 cm dari permukaan), maka penanaman

pada musim kering pun masih bisa dilakukan. Waktu yang relatif paling tepat

37 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

untuk penanaman adalah pada awal musim hujan, walaupun penanaman bisa

dilakukan di sepanjang musim hujan kecuali pada kondisi lahan gambut yang

mengalami genangan temporal. Penanaman di lahan gambut tergenang temporal

sebaiknya tidak dilakukan menjelang dan saat puncak musim hujan, karena ada

potensi terjadinya genangan. Adanya genangan bukan hanya menyulitkan proses

penanaman, juga akan menyebabkan kematian bibit. Hal ini dikarenakan

umumnya bibit geronggang yang baru ditanam belum mampu beradaptasi

dengan genangan.

Gambar 3.6. Pembuatan lubang tanam geronggang di lahan gambut

D. Pemeliharaan

Fokus utama pemeliharaan adalah pada tahun pertama setelah

penanaman yang meliputi pemberian pupuk, pengendalian organisme

pengganggu tanaman (OPT) dan pemangkasan cabang. Namun, akan lebih baik

jika pemeliharaan bisa dilanjutkan sampai tiga tahun setelah penanaman.

Pupuk bisa berupa pupuk awal yakni pupuk yang diberikan sebelum atau

bersamaan penanaman dan dapat dilanjutkan dengan pemupukan susulan. Akan

tetapi, berhubung belum tersedianya informasi mengenai teknik pemupukan

untuk geronggang maka beberapa pendekatan alternatif pemupukan bisa dipilih.

Alternatif pemupukan ini didasarkan kepada hasil penelitian teknik pemupukan

pada jenis pohon lain dengan karakter dan tujuan penggunaan mirip dengan

38 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

geronggang yakni pada jenis Eucalyptus, Acacia dan jelutung rawa. Teknik

pemupukan ini pun relatif bisa digunakan untuk pengembangan geronggang di

lahan gambut dan mineral, berhubung secara umum permasalahan terkait

kondisi tanah di kedua lahan tersebut adalah mirip yakni rendahnya kandungan

hara makro (N,P,K) tingginya kemasaman tanah serta kandungan Fe dan Al.

Berikut adalah alternatif pemupukan yang salah satunya bisa dipilih dalam

pengembangan geronggang :

1. Pupuk awal berupa rockphosphat 250 g/tanaman, Ertibor 10 g/tanaman,

Zincop 10 g/tanaman (Junaedi, 2014)

2. Pupuk awal yang diberikan pada tiap tanaman berupa 100 g NPK

(16:16:8) dan 403 g superphospat yang diberikan sebelum penanaman di

berikan pada lubang tanam (Bon & Hardwood, 2016)

3. Pupuk awal diberikan saat tanam berupa 70 g TSP/tanaman dan 40 g

KCl/tanaman; kemudian pupuk susulan 40 KCl/tanaman diberikan pada

umur empat bulan dan 200 g ZA/tanaman pada umur delapan bulan

(Halomoan et al., 2015)

4. Pupuk diberikan pada saat tanam berupa campuran 100 g NPK dan 200 g

kompos/tanaman (Van Do et al., 2017)

5. Pupuk NPK tablet sebanyal 20–30 g/tanaman yang diberikan rutin dua

kali setahun (awal dan akhir musim hujan) sampai umur tiga tahun

(Bastoni, 2014).

Pengendalian OPT terutama diarahkan untuk mengurangi kompetitor

tanaman utama (gulma). Pengendalian gulma dilakukan tiap empat bulan pada

tahun pertama, namun tergantung kondisi lahan penanaman. Pengendalian

gulma dilanjutkan pada tahun kedua dengan intensitas tiap enam bulan. Namun,

kemungkinan tajuk geronggang pada jarak tanam yang rapat sudah menutupi

permukaan tanah sehingga tidak diperlukan lagi pengendalian gulma pada tahun

kedua dan seterusnya (Gambar 3.7). Gulma dikendalikan dengan cara gabungan

sistem fisik dan kimia. Beberapa gulma yang berkayu dan relatif tingi dibabat

dengan parang lalu disemprot herbisida, sedangkan gulma yang relatif lebih kecil

dan sukulen seperti paku-pakuan dan rumput–rumputan bisa langsung disemprot

denga herbisida. Pengendalian OPT lainnya adalah dengan penyemprotan

insektisida pada daun geronggang yang terkena serangan ulat. Pengamatan

menunjukkan bahwa pada awal tanam dan terutama pada musim yang lebih

kering, ulat menyerang pucuk tanaman muda geronggang (Gambar 3.8).

39 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 3.7. Kondisi tajuk dan bawah tegakan geronggang berumur satu dan

tiga tahun

Singling (penunggalan cabang) merupakan kegiatan penting yang juga

harus dilakukan dalam budi daya geronggang, terutama untuk tujuan kayu

pertukangan. Singling dilakukan pada tanaman yang berpotensi mempunyai

lebih dari satu cabang utama. Singling dilakukan satu kali pada tahun pertama

yakni pada umur tanaman lebih dari enam bulan dan jika masih ditemukan

tanaman yang mempunyai dua cabang utama pada umur satu sampai dua tahun.

e

Gambar 3.8 . Serangan ulat pada daun geronggang

40 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

E. Pemanenan

Geronggang dapat dipanen pada berbagai umur sesuai peruntukan dan

karakteristik pertumbuhannya, terutama pertumbuhan diameter batang setinggi

dada (DBH). Untuk kayu cerocok, geronggang bisa dipanen apabila memiliki

batang yang berdiameter lebih dari delapan cm (Departemen Pekerjaan umum,

1999). Kemudian untuk kayu serat, diameter kayu lebih dari lima cm sudah bisa

dimanfaatkan. Sementara itu, untuk pertukangan memerlukan kayu berdiameter

lebih besar yakni di atas 20 cm (Leksono, 2010 ). Akan tetapi, untuk kayu

pertukangan ternyata hutan rakyat di Pulau Jawa sudah ditebang/dipanen pada

diameter yang lebih kecil dari 20 cm yakni diameter lebih dari 10 cm

(Sukadaryati et al., 2018).

Belum banyak penelitian yang melaporkan performa pertumbuhan

geronggang terutama kaitannya dengan teknik silvikultur yang diterapkan. Ada

empat publikasi yang dapat diperoleh terkait hal tersebut yakni dari Saito et al.

(2005), Daryono (2009), Karyati et al. (2017) dan Junaedi (2018). Kisaran riap

tinggi dan diameter berdasarkan hasil penelitian tersebut adalah 1,18 – 2,89

m/tahun dan 0,96 – 2,08 cm/tahun. Jika mengacu pada pertumbuhan terbaik yang

dilaporkan maka untuk cerocok kemungkinan geronggang baru mulai dapat

dipanen pada umur empat tahun. Sedangkan pemanenan kayu untuk serat baru

bisa dilakukan pada umur lebih dari tiga tahun, dan untuk pertukangan baru bisa

dipanen pada umur lebih dari sepuluh tahun.

Dalam prakteknya, waktu panen yang paling tepat tidak hanya

didasarkan pada batas minimal diameter yang bisa dipanen, tapi juga harus

mengacu kepada daur optimal tegakan. Informasi daur optimal ini akan diperoleh

dari hasil pengamatan dan analisa data pertumbuhan yang dilakukan secara

series/tiap tahun (kontinu) sampai pada umur tertentu. Daur optimal dihitung

berdasarkan hasil perpaduan dua kurva yakni kurva rerata riap tahunan (MAI)

dan rerata riap berjalan (CAI). Titik di mana kedua kurva tersebut berpotongan

merupakan umur/waktu yang paling optimal untuk melakukan pemanenan

(Gambar 3.9).

41 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 3.9. Contoh penggunan kurva MAI dan CAI untuk menentukkan daur

optimal pada jenis Acacia crassicarpa yang diperoleh pada umur

sekitar lima tahun (Suhartati et al., 2013)

Daftar Pustaka

Alrasyid, H. 1972. Teknik Persemaian dan Penanaman di Jepang. Laporan No.142.

Lembaga Penelitian Hutan, Bogor. hal 21-23. Dikutip dari : Mindawati, N & Y.

Susilo. 2005. Pengaruh macam media terhadap pertumbuhan semai Acacia mangium Willd. Jurnal Penelitian Hutan & Konservasi Alam 2(1): 53-59.

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru. 2019.

Ukuran bibit gerunggang (Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume.) kurang dari

40 cm lebih adaptif menghadapi kondisi ekstrim di lahan gambut.

www.foreinanjarbaru.or.id. Diakses 8 Oktober 2019.

Bastoni. 2014. Budidaya jelutung rawa (Dyera lowii Hook.F). Balai Kehutanan

Palembang. Palembang.

Bon, P.V., Hardwood, C.E. 2016. Effects of stock plant age and fertilizer

application at planting on growth and form of clonal Acacia hybrid.

Journal of Tropical Forest Science 28(2): 182–189

Christianus, A.P. 2006. Pengalaman pembangunan hutan tanaman industri di lahan

gambut oleh PT.RAPP. www.wetland.com. Diakses 31 Maret 2010.

Daryono, H. 2009. Potensi, permasalahan dan kebijakan yang diperlukan dalam

pengelolaan hutan dan lahan rawa gambut secara lestari. Jurnal Analisis

Kebijakan Kehutanan 6(2): 71-101.

Departemen Pekerjaan umum. 1999. Tata cara pelaksanaan pondasi cerucuk kayu di atas

tanah lembek dan tanah gambut. Pedoman Teknik. PT. Mediatama Saptakarya.

42 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Halomoan, S.S.T, Wawan, Adiwirman. 2015. Effect of Fertilization on the Growth and

Biomass of Acacia mangiumand Eucalyptus hybrid (E. grandis x E. pellita). J Trop Soils 20(3): 157-166.

Junaedi, A. 2014. Pertumbuhan tegakan dan produktivitas serta laju dekomposisi seresah

beberapa jenis pohon lokal pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan, Riau.

Tesis. Universitas Gadjah Mada.

Junaedi, A. 2014. Strategi pemuliaan geronggang (Cratoxylum arborescens) untuk

penghasil kayu pulp. Mitra Hutan Tanaman 9(1).

Junaedi, A. 2018. Growth performance of three native tree species for pulpwood

plantation in drained peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal

of Forestry Research 5(2): 119-132.

Karyati, I.B. Ipor, I. Jusoh, Wasli, M.E. 2017. The diameter increment of selected tree

species in a secondary tropical forest in Sarawak, Malaysia. Biodiversitas 18(1):

304-311.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Status hutan dan kehutanan

Indonesia 2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.

Lackey, M. & A. Alm. 1982. Evaluation of growing media for culturing containerized Red

Pini and White Spruce. Tree Planterrs’ Notes 33(1) : 3 – 7. Dikutip dari :

Durahim & Hendromono. 2006. Pengaruh media dan pupuk NPK terhadap

pertumbuhan dan mutu bibit eboni. Jurnal Penelitian Hutan & Konservasi

Alam 3(1): 9 - 17.

Leksono, B. 2010. Efisiensi seleksi awal pada kebun benih semai Eucalyptus pellita. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman 7(1): 1 – 13.

Mawazin, Suhaendi, H. 2008. Pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan

diameterShorea parvifolia Dyer. Jurnal Penelitian Hutan & Konservasi Alam

5(4): 381-388.

Mindawati, N & Y. Susilo. 2005. Pengaruh macam media terhadap pertumbuhan semai

Acacia mangium Willd. Jurnal Penelitian Hutan & Konservasi Alam 2(1): 53-

59.

Nurjanah, S., Octavia, D., Kusumadewi, F. 2013. Identifikasi lokasi penanaman kembali

ramin (Gonystylus bancanus Kurz) di hutan rawa gambut Sumatera dan

Kalimantan. Forda Press. Bogor.

Omon, R.M. 2009. Uji coba indikator mutu bibit meranti merah di HPH PT. Sari Bumi

Kusuma dan PT. Ikani Kalimantan. Jurnal Standarisasi 11(2): 119–125.

Saito, H., M. Shibuya, S.J. Tuah, M. Turjaman, K. Takashi, YT. Jamal, P.E. Putir & S.H.

Limin. 2005. Initial Screening of fast growing tree species being tolerant of dry

peatland in Central Kalimantan, Indonesia. Journal of Forestry Research 2(2),

1 – 10.

Sankaran, K.V., Mendham, D.S., Chacko, K.C., Pandalai, R.C., Pillai, P.K.C, Grove, T.S.,

O’Connell, A.M. 2008. Impact of Site Management Practices on Growth of

Eucalypt Plantations in the Monsoonal Tropics in Kerala, India. Proceedings of

43 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Workshops in Piracicaba (Brazil) 22-26 November 2004 and Bogor (Indonesia)

6-9 November 2006. CIFOR. Bogor.

Suhartati, Y. Aprianis, A. Pribadi & Y. Rochmayanto. 2013. Kajian dampak penurunan

daur tanaman Acacia crassicarpa A. Cunn terhadap nilai produksi dan sosial.

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 10(2): 109-118.

Sukadaryati, Yuniawati, & Dulsalam. 2018. Pemanenan Kayu Hutan Rakyat (Studi Kasus

di Ciamis, Jawa Barat). Jurnal Ilmu Kehutanan 12: 142-155.

Wahyudi, I., Dinata, D.K.S., Muhran, Jasni, L.B. 2014. Pengaruh Jarak Tanam Terhadap

Pertumbuhan Pohon dan Beberapa Sifat Fisis-Mekanis Kayu Jati Cepat

Tumbuh. Jurnal Ilmu Pertanian 19(3): 204 – 210.

Xu, D.P., Yang, Z.N., Zhang, N.N. 2008. Effects of Site Management on Tree Growth,

Above ground Biomass Production and Nutrient Accumulation of a Second-

rotation Plantation of Eucalyptus urophylla in Guangdong Province, China.

Proceedings of Workshops in Piracicaba (Brazil) 22-26 November 2004 and

Bogor (Indonesia) 6-9 November 2006. CIFOR. Bogor.

44 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

45 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

IV.

PERBANYAKAN TANAMAN GERONGGANG (Danu & Ahmad Junaedi)

A. Pengumpulan Benih

Buah geronggang memiliki tipe buah kering indehicent (benih lepas

ketika buah mekar) (Smith, 2000). Untuk mengumpulkan benih gerongang dapat

dilakukan dengan pemanjatan atau perontokan sebagian dahan dengan

menggunakan galah berkait ketika benih sudah masak fisiologis, karena bila

terlambat tidak akan dapat benih. Buah masak akan mekar di atas pohon

sehingga benih sulit dikumpulkan. Bila diunduh terlalu awal benih yang

diperoleh masih muda dan jadinya bermutu rendah. Buah yang sudah terkumpul

kemudian dikemas dalam kantong plastik dan diberi label yang berisi lokasi dan

tanggal pengunduhan.

Berdasarkan penelitian Alimah dan Rusmana (2013) serta Dharmawati,

et al. (2013), tanaman geronggang mulai berbunga serentak pada bulan Mei dan

Oktober, setelah 4-8 bulan kemudian bunga berkembang menjadi buah masak

(Februari-Maret dan September-Oktober). Bunga geronggang berukuran kecil

berbentuk malai, berwarna merah hingga merah tua dengan panjang malai 10 –

15 cm. Setiap malai memiliki 120-198 kuntum bunga/buah. Buah geronggang

berbentuk oval dan ujung bagian luar meruncing berukuran ± 0,5 cm berwarna

keungu-unguan, mempunyai tiga ruang yang berisi benih. Buah masak dicirikan

dengan warna kulit buah coklat. Biji geronggang memiliki panjang sekitar 6 – 7

mm dan tebal 0,3 – 0,5 mm.

Gambar 4.1. Bunga dan biji/benih geronggang

46 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Lokasi sumber benih yang sampai saat ini teridentifikasi dengan jelas

untuk wilayah Riau adalah di sekitar Kecamatan Bengkalis, Riau, Kawasan TN.

Zamrud, Siak dan KHDTK Kepau Jaya (milik BP2TSTH). Kemungkinan lokasi

lainnya adalah di sekitar Musi Banyuasin, Sumatra Selatan. Sementara itu, di

Kalimantan benih geronggang bisa dikumpulkan di KHDTK Tumbang Nusa,

Kecamatan Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Di lokasi

KHDTK Tumbang Nusa memiliki 162–208 pohon/ha (Dharmawati, et al., 2013).

Untuk meningkatkan produksi dapat dilakukan penjarangan berbentuk rumpang

yaitu pembukaan tajuk tanaman pokok. Penjarangan dengan metode rumpang

dapat meningkatkan rata-rata diameter batang 1,07 cm dan pertumbuhan tunas

generatif (bakal bunga) setelah delapan bulan (Dharmawati, 2015).

Pengumpulan benih sebaiknya dilakukan di sumber benih yang

bersertifikat. Apabila sumber benih untuk suatu jenis belum tersedia, beberapa

lokasi lain dapat dipertimbangkan seperti hutan alam, hutan rakyat dan hutan

tanaman lainnya yang dikumpulkan dari minimal 25 pohon induk tidak

berkerabat. Pengumpulan buah harus dilakukan pada saat puncak musim buah.

Dari sejumlah pohon tersebut diharapkan dapat menangkap genotif yang cukup

tinggi. Walaupun belum ada ketentuan yang pasti, Graudal dan Kjaer (1998),

menyarankan agar untuk pengumpulan benih dari 25 pohon tidak berkerabat

dari populasi 100 pohon, untuk konservasi jangka pendek sejumlah 50 pohon

yang tidak berkerabat dengan asumsi terjadi inbreeding < 1 % dengan 95%

memiliki frekuenasi alel > 0,05, sedangkan untuk konservasi jangka panjang

sebanyak 500 pohon induk. Wright (1962), menyarankan agar populasi dasar

sumber benih untuk tanaman cepat tumbuh dan berbuah banyak adalah

sebanyak 50 sampai dengan 100 pohon induk, untuk lahan kosong, namun secara

umum antara 25 sampai 200 pohon. Sedangkan untuk tanaman yang lambat

tumbuh dan berbuah sedikit perlu lebih banyak lagi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2009

yang telah direvisi menjadi P.72/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan

Perbenihan Tanaman Hutan, sumber benih terbagi atas: 1) Tegakan benih

teridentifikasi, 2) Tegakan benih terseleksi, 3) Areal produksi benih, 4) Tegakan

benih provenan, 5) Kebun benih semai, 6) Kebun benih klon dan 7) Kebun

pangkas. Tegakan Benih Teridentifikasi yaitu sumber benih dengan kualitas rata-

rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat

diidentifikasi dengan tepat. Tegakan Benih Terseleksi yaitu sumber benih dengan

47 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

fenotipe pohon baik yang mempunyai karakter penting seperti batang lurus,

tidak cacat dan percabangan ringan. Areal Produksi Benih yaitu sumber benih

yang dibangun khusus atau berasal dari tegakan benih teridentifikasi dan/atau

terseleksi yang kemudian ditingkatkan kualitasnya melalui penebangan pohon-

pohon berfenotipa tidak bagus. Tegakan Benih Provenan yaitu sumber benih

yang dibangun dari benih yang provenannya telah teruji dan diketahui

keunggulannya. Kebun Benih Klon adalah sumber benih yang dibangun dengan

bahan vegetatif antara lain ranting, tunas, dan mata tunas yang berasal dari pohon

plus hasil uji klon atau hasil uji keturunan. Kebun Benih Semai adalah sumber

benih yang dibangun dengan benih berasal dari pohon plus hasil uji keturunan.

Kebun Pangkas adalah sumber benih yang dibangun dari klon-klon yang telah

teruji untuk memproduksi materi vegetatif guna memperbanyak bibit unggul

tanam

Nurhasybi dan Sudrajat (2008) berpendapat bahwa penentuan jumlah

pohon minimal sebanyak 25-30 pohon dalam kegiatan pengumpulan benih

didasarkan pada beberapa asumsi: Pertama, jumlah tersebut dianggap dapat

mewakili keragaman genetik yang ada dalam populasi tersebut (Lauridsen, 2000;

IFSP, 2000). Secara statistik jumlah sampel 30 pohon didasarkan pada Central

Limit Theorem, dimana sampel yang mewakili suatu populasi harus ≥ 30. Metode

ini umumnya berlaku untuk distribusi sampling yang mendekati normal (Spiegel,

1972). Kedua, jumlah pohon tersebut juga dapat diartikan sebagai ukuran sampel

populasi minimal yang dihubungkan dengan perkiraan laju inbreeding per

generasi (rate of inbreeding per generation). Jika dianalogikan dengan keragaman

pada populasi binatang, maka menurut para ahli hilangnya keragaman yang

disebabkan inbreeding dapat ditolerir apabila nilainya di bawah 2%. Laju

inbreeding per generasi (F)=1/2 ukuran efektif populasi (Ne), maka jumlah

ukuran efektif populasi tersebut adalah 25 pohon (National Research Council,

1991). Dalam kondisi terpaksa dapat dilakukan dengan mengumpulkan 10 pohon

induk yang baik, atau menggabungkan dari beberapa petani masing-masing enam

pohon kemudian benih digabung sehingga menjadi lebih dari 30 pohon, sehingga

masing-masing petani mendapatkan benih dari lebih 30 pohon (Mulawarman et

al. 2003). Untuk jenis-jenis tanaman asli Indonesia, penentuan jumlah minimal

pohon induk untuk sumber benih sebanyak 25 pohon, bila seluruh pohon induk

berbunga serempak dan dapat melakukan kawin silang satu sama lain, tegakan

48 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

tersebut memiliki keragaman genetik minimal antara 0,10 - 0,20 pada tingkat

kepercayaan 95%.

B. Ekstraksi Benih

Ekstraksi benih adalah kegiatan mendapatkan biji/benih dari dalam buah

geronggang. Kegiatan ini dilakukan untuk biji unduhan langsung dari pohon.

Sementara itu, umumnya benih yang jatuh atau berada di sekitar pohon sudah

dalam bentuk biji yang siap disemai. Ekstraksi benih bisa dilakukan dengan cara

dijemur sinar matahari selama tiga hari, buah geronggang akan terbuka (sistem

kering). Buah geronggang yang telah kering dapat juga dibuka secara manual

dengan cara membuka satu persatu buah dengan tangan hingga biji/benihnya

keluar. Biji yang keluar ditampung di wadah, sedangkan kulit dan bagian lainnya

bisa dibuang. Kemudian campuran biji dan bagian buah lainnya ditampung di

wadah, kemudian untuk mensortasi benihnya bisa dilakukan dengan cara

penampian. Buah/benih yang telah berhasil dipisahkan dari kotoran (kulit buah

dan serasah), kemudian diambil untuk dikemas atau langsung disiapkan untuk

disemai. Ekstraksi benih geronggang bisa juga dilakukan dengan sistem basah

yakni dengan menghancurkan atau menggosok-gosokan buah dengan kedua

belah tangan hingga hancur atau benih/bijinya keluar. Dengan cara ini sebagian

besar biji akan keluar dan mengapung di permukaan. Untuk memisahkan antara

benih dengan bagian buah lain yang tidak dikehendaki, bisa dilakukan dengan

penyaringan (Gambar 4.2).

Biji/benih yang sudah diekstrakasi bisa langsung disemai atau disimpan.

Sampai saat ini belum ada penelitian yang melaporkan kondisi penyimpanan

terbaik untuk geronggang dan batas waktu penyimpanan benih geronggang.

Akan tetapi, jika mengacu pada penyimpanan beberapa benih rekalsitran yang

hampir sejenis seperti benih suren. Benih suren dengan kadar air 6,1% - 10,8%

dikemas dalam wadah alumunium disimpan dalam dry cold storage selama empat

minggu memiliki daya kecambah 71% (Suryanto, 2013). Biji geronggang diduga

termasuk golongan biji intermediate yang memiliki karakter antara biji ortodoks

dan rekalsitran. Daya simpan diperkirakan selama maksimal tiga bulan karena

cadangan makanan untuk embrio dalam biji sangat sedikit. Viabilitas biji akan

meurun setelah masa simpan maksimal terlewati.

49 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 4.2. Ektraksi benih geronggang dengan sistem kering (a) dan basah (b)

dan (c)

C. Pembibitan

Setidaknya ada tiga cara dalam pembibitan geronggang. Cara pertama

adalah dengan memanfaatkan cabutan alam, sistem generatif (menyemai biji) dan

cara vegetatif dengan stek pucuk.

C.1. Sistem cabutan alam

Sistem cabutan alam bisa dilakukan dengan dua cara yakni pemanfaatan

cabutan alam untuk dibibitkan lebih lanjut di persemaian yang letaknya relatif

jauh dari lokasi sumber cabutan alam dan cabutan yang letaknya tidak terlampau

jauh. Teknik cabutan maupun perlakuan terhadap cabutan alam yang diperoleh

akan berbeda untuk dua kondisi tersebut.

C.1.1. Sistem cabutan alam yang berjarak jauh

Cara puteran nampaknya cara terbaik untuk membibitan geronggang

yang sumber anakan alamnya cukup jauh dari persemiaan. Inti dari teknik ini

adalah terletak pada cara pengambilan anakan yakni dengan cara sebisa mungkin

anakan alam bersama media tumbuhnya/tanah gambut secara kompak ikut

terbawa. Pengambilan anakan alam dengan sistem puteran pada jenis geronggang

ini sedikit berbeda dengan yang biasa dilakukan di lahan mineral (kering) karena

umumnya jenis tanah gambut ini lebih lunak. Akibatnya, pengambilan anakan

alam beserta tanahnya tidak selalu dilakukan dengan membuat semacam lubang

yang mengitari anakan alam. Anakan alam geronggang di lahan gambut cukup

mudah diambil dengan cara mencongkelnya dengan golok atau tangan pun sudah

bisa terambil berikut dengan tanahnya. Bahkan, seringkali ditemukan jumlah

anakan alam yang berdekatan dan melimpah di lapangan, sehingga satu

congkelan golok/tangan bisa mendapat beberapa anakan sekaligus (Gambar 4.3).

a b c

50 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Anakan alam yang telah diambil berserta tanahnya kemudian

dikumpulkan dan dikemas ke dalam wadah. Wadah yang dipakai bisa berupa

ember, baskom atau semacamnya yang penting intinya mudah dibawa dan dapat

memuat anakan dalam jumlah yang banyak. Kemudian diangkut ke mobil untuk

dibawa ke persemaian. Jika anakan tersebut dibawa dengan jenis mobil bak

terbuka, untuk menghindari transpirasi berlebihan dan juga stres panas dan

tekanan angin yang berlebihan maka harus ditutup dengan dua lapis paranet, dan

kemudian disiram dengan air.

Ketika anakan alam sampai ke persemaian jika waktnya memungkinkan

sebaiknya segera disapih ke wadah bibit atau polibag. Wadah berikut medianya

tersebut sudah disiapkan sebelumnya sehingga mempercepat pengerjaaan

pemindahan bibit. Junaedi (2015) melaporkan salah jenis satu wadah dan media

terbaik yang bisa dipilih adalah polibag volume 200 m3 dengan media campuran

kompos dan tanah (1:1, v/v). Akan tetapi jika tanahnya relatif subur, cukup

menggunakan tanah saja. Naungan yang disarankan untuk bibit geronggang

adalah sebesar 25%. Hal ini sebagaimana yang dilaporkan Danu & Kurniati

(2013b) bahwa penggunaan media tanah dengan naungan 25 % pada pembibitan

geronggang memberikan pertumbuhan dan kualitas bibit terbaik. Adapun sifat

tanah yang digunakan sebagai media pembibitan mengandung N 0,56%, P 0,11

ppm, dan K 2,1 cmol/kg (Danu & Kurniaty, 2013a).

Gambar 4.3. Pengadaan bibit geronggang dengan sistem cabutan alam untuk

jarak jauh (a) anakan alam, (b) pengambilan anakan alam, (c)

cabutan alam dan (d) anakan alam yang sudah disapih)

C. 1.2. Sistem cabutan alam jarak dekat

Pembibitan geronggang dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan

anakan alam yang jumlahnya melimpah di hutan alam dengan cara cabutan.

Pengumpulan cabutan dapat dilakukan sekitar bulan Juli – bulan Desember.

Anakan dicabut tidak perlu dengan tanahnya kemudian di bawa ke lokasi

persemaian. Sebelum disapih atau ditanam di polibag, cabutan alam digunting

a b c

D

d

51 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

sebagian daun dan akarnya (Gambar 4.4). Anakan alam yang dipilih sebaiknya

yang tingginya lebih dari 10 cm. Jenis wadah, media dan naungan yang

digunakan sama dengan untuk teknik pembibitan untuk cabutan alam jarak jauh.

Dengan cara ini, bibit sudah stabil setelah dua bulan, dan mencapai persen hidup

sekitar 90%.

Pemberian atau inokulasi mikoriza disarankan untuk meningkatkan

performa bibit dan juga kemampuan hidup dan tumbuh bibit saat ditanam di

lapangan. Yuwati et al. (2008) melaporkan bahwa inokulasi mikoriza arbuskula

(isolat Gigaspora sp.4) memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan

tinggi, penambahan jumlah daun dan persen kolonisasi akar geronggang setelah

tiga bulan di persemaian.

Gambar 4.4. Pembibitan geronggang dengan sistem cabutan alam untuk jarak

dekat (a) mencabut anakan alam, (b) cabutan alam, (c)

pemotongan daun dan akar dan (d) bibit asal cabutan alam yang

sudah stabil

C.2. Sistem penyemaian benih/generatif (dari benih/biji)

Biji geronggang termasuk memiliki perkecambahan epigeal yaitu keping

lembaganya (cotyledon) terangkat ke atas tanah. Sehingga dalam proses

penaburan benih tidak terlalu dalam. Benih ditabur pada media tabur pasir: tanah

(1:1,v/v) kemudian benih ditutup media tipis-tipis, setebal 2/3 tebal benih

(panjang benih). Setelah benih berkecambah kemudian disapih ke dalam media

sapih. Media sapih yang bisa digunakan antara lain adalah campuran arang sekam

padi dan serbuk sabut kelapa (1 : 2, v/v) dengan naungan 25% menghasilkan

pertumbuhan bibit geronggang tertinggi dibandingkan dengan media lainnya

pada umur tiga bulan, yaitu tinggi 11,1 cm, diameter 1,51 mm, persen hidup

99,04% dan jumlah daun 11 (Danu & Kurniaty, 2013b). Media sapih lain yang

bisa digunakan adalah campuran kompos degan top soil (1:1, v/v) (Junaedi, 2015).

(

a)

(

b)

(

c)

D (

d)

a b c d

52 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 4.5. Pembibitan geronggang sistem generative dengan menggunakan

benih yang disemaikan (a) penyemaian benih, (b) kecambah , (c)

semai yang sudah bisa disapih dan (d) bibit yang dihasilkan)

C.3. Sistem vegetatif dengan stek pucuk

Teknik perbanyakan vegetatif tanaman geronggang dengan stek dapat

menggunakan media pasir dengan tambahan zat pengatur tumbuh IBA 1500

ppm. Perlakuan ini dapat menghasilkan persen berakar 66,67% dan panjang tunas

enam cm. Media zeolite, media campuran sabut kelapa dan arang sekam padi

(2:1,v/v), dan media campuran serbuk sabut kelapa dan sekam padi (2:1,v/v)

dengan tambahan zat pengatur tumbuh IBA 1500 ppm dapat menghasilkan

persentase berakar stek geronggang masing-masing sebesar 43,33%, 60% dan

53,33% (Danu & Putri, 2014). Prosedur penyetekan dilakukan dengan cara bahan

stek pucuk dipotong dengan ukuran minimal dua ruas daun atau tiga nodul.

Daun-daun pada bahan stek dipotong separuhnya, bila ada tunas atau daun muda

(shoot tip) sebaiknya dibuang. Bagian dasar bahan stek kemudian direndam

dalam larutan IBA 1500 ppm selama sepuluh menit, kemudian ditanam pada

media stek dalam pot tray yang telah disterilkan. Selanjutnya pot tray diletakan

di rumah kaca yang dilengkapi dengan sistem pendingin (cooling sistem) (Sakai

&Subiakto, 2007) atau sungkup plastik yang memiliki suhu 25 °C - 30°C dengan

kelembaban ≥ 90%.

a b

d c

53 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Media pasir dan zeolit serta campuran serbuk sabut kelapa + sekam padi

(2:1, v/v) dapat digunakan sebagai media perakaran stek geronggang, karena

media pasir dan zeolit memiliki kerapatan lindak yang tinggi (0,98 g/cc dan 0,85

g/cc) dengan drainase yang baik (16,52% dan 25,08%). Namun kemampuan

kedua media ini untuk mempertahankan ketersediaan air dalam media sangat

rendah (7,34% dan 3,21%) sehinga perlu dilakukan menyiraman lebih intesif

(setiap hari). Media campuran serbuk sabut kelapa + sekam padi (2:1, v/v)

memiliki bulk density yang rendah (0,46 g/cc dan 0,34 g/cc), drainasi yang baik

(8,71% dan 9,05%) dan daya simpan air yang cukup (13,24% dan 15,50%) (Danu

& Putri, 2014).

Hasil penelitian Wahyuningtyas (2016) menunjukkan penggunaan media

pasir sungai, campuran gambut+sekam padi (3:1), campuran top soil+sekam padi

(3:1), campuran sabut kelapa+sekam (2:1) mampu menghasilkan persen stek

berakar geronggang 56,25-80%. Untuk meningkatkan pertumbuhan akar stek

dapat menggunakan hormon perangsang akar (Rootone F). Stek geronggang

mulai berakar setelah empat minggu. Bibit dapat disapih dengan media top

soil+sekam (3:1) atau gambut+sekam (3:1). Pertumbuhan tinggi bibit dengan

kedua media tersebut berkisar satu cm/minggu dan pertambahan daun dua

lembar per tiga minggu. Bibit geronggang umumnya siap tanam setelah umur

enam bulan di persemaian.

Gambar 4.6. Pembibitan gerunggang sistem vegetative stek pucuk (a) bahan

stek, (b) stek ditanam pada media dengan rumah tumbuh sisten

KOFCO, (c) stek gerunggang umur tiga bulan setelah tanam)

D. Penutup

Pembangunan hutan tanaman geronggang dapat menggunakan bibit

yang bermutu secara genetik dan fisiologis. Hal ini dapat dilakukan dengan cara

(

b)

b a c

54 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

menggunakan benih yang dikumpulkan dari tegakan yang unggul dan memiliki

keragaman genetik yang luas serta pembibitan yang tepat. Pengadaan bibit juga

dapat dilakukan melalui pengumpulan anakan alam maupun bibit yang

dihasilkan dari perbanyakan vegetatif.

Daftar Pustaka

Alimah, D. & Rusmana. 2013. Fenologi berbunga dan berbuah jenis-jenis pohon hutan

rawa gambut. Prosiding Ekpose Hasil Penelitian. 30 tahun BPK Banjarbaru

dalam pembangunan Kehutanan. BPK banjarbaru, 19 September 2013. 100 -

106. Editor: Tjuk Sasmito, Yudi Firmanl Arifin, Hamdani Fauzi.

Danu & Putri, K.P. (2014). Teknik perbanyakan tanaman geronggang (Cratoxylem

arborescens (Vahl) Blume dengan stek pucuk. Prosiding Seminar Nasional

Silvikultur II. Pembaruan Silvikultur untuk mendukung pemulihan fungsi

hutan menuju ekonomi hijau. Yogyakarta 28-29 Agustus 2014. Editor:

Daryono Prehaten, Atus Syahbudin, Roma Dian Andiyani. Fakultas Kehutanan

Universitas Gajah Mada, Masyarakat Silvikultur Indonesia (MASSI) dan DITjen

BPDAS PS Kementerian Kehutanan.

Danu & R. Kurniaty (2013a). Pengaruh media dan naungan terhadap pertumbuhan

pembibitan geronggang (Cratoxylom arborescens (Vahl) Blume). Jurnal

Perbenihan Tanaman Hutan Volume 1 (1). 43-50.

Danu & R. Kurniaty (2013b). Penggunaan beberapa macam media dan naungan dalam

pembibitan geronggang (Cratoxylom arborescens (Vahl) Blume). Prosiding

Seminar Nasional Silvikultur I & Pertemuan Ilmiah Masyarakat Silvikultur

Indonesia. Optimalisasi Peran Silvikultur intuk menjawab tantangan

Kehutanan masa depan. Makasar, 29-30 Agustus 2013. Editor: Baharuddin

Nurkin, H.M. Restu, Samuel A. Paembonan, Syamsuddin Millang, Mukrimin.

Fakultas Kehutanan UNHAS dan Masagena Press dan Masyarakat Silvikultur

Indonesia.

Dharmawati F.D., Danu, Yulianti, Mindawati, N., & Wahyuningtyas, R.S. (2013). Potensi

pengembangan sumber benih jenis geronggang (Cratoxylem arborescens

(Vahl) Blume di lahan gambut Kalimantan. Prosiding Seminar Nasional

Agroforsstri IV.Banjarbaru, 26-27 Oktober 2013. Editor: Mahrus Aryadi,

Hamdan Fauzi, Trisnu Satriadi. (Fakultas Kehutanan Univ Lambung

Mangkurat, Pemkab Banjar, Indonesia Network For Agroforstry Education).

Dharmawati, F.D. (2015). Metode Rumpang mempengruhi produktivitas tanaman

geronggang (Cratoxylom arborescens (Vahl) Blume). Di dalam KHDTK

Tumbang Nusa-Kalimantan Tengah. Buletin Penelitian Hutan Lestari

Produktif. Volume 18 Eds Oktober 2015. Perhutani.

Graudal, L. and E.D. Kjaer. 1998. Priorities and strategies for tree improvemen. Danida

Forest Seed Centre. Humlebaek. Denmark.

55 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

IFSP (Indonesia Forest Seed Project). 2000. Pengaruh dari kegiatan penanganan benih

dan persemaian terhadap mutu benih. Bahan Kursus Biologi Benih, 7-18

Februari 2000 di Bogor.

Junaedi, A. 2015. Pertumbuhan dan mutu bibit geronggang (Cratoxylum arborescens)

pada tiga wadah bibit. Prosiding Workshop ITTO Project PD. 710/13 Rev.1 (F)

“Improving appreciation and awareness on conservation of high value

indigenous wood species of Sumatra” pada Tanggal 23 April 2015 di Pekanbaru.

Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. Kuok.

Lauridsen, E.B. 2000. Monitoring seed quality in seed production. Lecture note for course

in seed biology. Bogor 12-24 June 2000. Indonesia Forest Seed Project.

Bandung.

Mulawarman, JM Roshetko, SM Sasongko and D Irianto. 2003. Tree Seed Management –

Seed Sources, Seed Collection and Seed Handling: A Field Manual for Field

Workers and Farmers. International Centre for Research in Agroforestry

(ICRAF) and Winrock International. Bogor, Indonesia. 54

National Research Council. 1991. Managing global genetic resources, forest trees.

National Academy Press, Washington D.C.

Nurhasybi & D.J. Sudrajat. 2008. Optimalisasi pengumpulan benih tanaman hutan sebagai

salah satu upaya memperbaiki mutu benih. Info Benih (in press). Balai

Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Bogor.

Peraturan Menteri Kehutanan No:P.1/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan

Perbenihan Tanaman Hutan. Jakarta

Sakai, C. & Subiakto A. (2007). Manajemen Persemaian KOFFCO Sistem. Bogor:

Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan - Komatsu-JICA.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.

Spiegel, M.R. 1972. Theori and problems of statistics. S1 (Metric) edition. Schaum’s

Outline Series. McGraw-Hill Book Company. New York.

Suryanto, H. 2013. Pengaruh beberapa perlakuan penyimpanan terhadap perkecambahan

benih suren (Toona sureni). Jurnla Penelitian Kehutanan Wallcea. Volme 2 (1):

26-40

Wahyuningtyas, R & A. Susianto. 2016. The Effect Of Rooting Media On The Success Of

Cratoxylum arborescens Cuttings. Proceeding International Seminar “The 1st

International Conference on Innovation and Commercialization of Forest

Product”. Lambung Mangkurat University.

Wright, J.W. 1962. Genetics of Forest Tree Improvement. Food and Agriculture

Organization of The United Nations (FAO). Rome.

Yuwati, T.W., Hakim, S.H., & Alimah, D. (2008). Pengaruh aplikasi mikoriza arbuskula

terhadap pertumbuhan geronggang (Cratoxylon arborescens) di persemaian.

Jurnal Hutan Trofis. Volume 6 (2). 170 – 176

56 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

57 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

V.

STATUS KESEHATAN GERONGGANG (Studi Tahun 2012 – 2014)

(Avry Pribadi)

(Ahmad

A. Parameter Kesehatan Hutan

Hutan memiliki peranan penting sebagai sumber biodiversitas dunia dan

penyeimbang ekosistem. Hal tersebut menjadikan hutan haruslah dijaga

kelestariannya dari berbagai kerusakan baik yang sifatnya dari hutan itu sendiri

ataupun dari faktor eksternal. Salah satu usaha untuk mewujudkan hal tersebut

adalah dengan melakukan kegiatan monitoring. Kegiatan monitoring bertujuan

selain untuk melakukan deteksi dini tentang perubahan yang terjadi di hutan,

juga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat perkembangan hutan dari waktu

ke waktu. Menurut United States Department of Agriculture (USDA), Forest

Health Monitoring (FHM) adalah suatu kegiatan yang menggunakan data dari

survei lapangan untuk faktor biotik dan abiotik yang dianalisis untuk menjawab

permasalahan kesehatan hutan yang pada akhirnya akan mempengaruhi

kelestarian ekosistem hutan itu sendiri.

Pada pelaksanaannya, FHM memiliki lima tahapan, yaitu (i) identifikasi

berbagai jenis potensi gangguan terhadap kondisi ekosistem, udara dan tanah

untuk kemudian dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam

menentukan status perubahan ekosistem yang terjadi, (ii) menentukan jumlah

luasan, tingkat keparahan, dan faktor penyebab perubahan ekosistem yang tidak

diinginkan dalam kesehatan hutan, (iii) monitoring terhadap faktor-faktor

abiotik, (iv) studi tentang beberapa indikator kesehatan dan penentuan faktor-

faktor biotik penyebab, dan (v) pelaporan yang mudah dimengerti oleh pihak

yang berkepentingan (Mangold, 1998).

Oleh karena hutan memiliki nilai yang tinggi dan penting, sehingga

upaya pelestarian hutan merupakan sesuatu hal yang wajib dilakukan. Perubahan

dalam ekosistem hutan yang mengarah pada kerusakan, perlu dicari solusi yang

tepat untuk mempertahankan produktivitas tegakan ataupun ekosistem hutan

sehingga kelestarian hutan dapat dijaga.

58 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Kerusakan pada tingkat tegakan dapat disebabkan oleh serangan

serangga, patogen, maupun aktivitas manusia. Kerusakan yang ditimbulkan oleh

ketiga faktor tersebut dapat terjadi secara sinergitas ataupun berdiri sendiri-

sendiri. Kegiatan identifikasi terhadap tanda dan gejala dari kerusakan yang

terjadi merupakan informasi yang penting agar dapat diketahui seluruh

kemungkinan penyimpangan dari kondisi yang telah stabil. Untuk itu diperlukan

kegiatan untuk memonitor tingkat kesehatan hutan pada tingkat tegakan yang

akan berkaitan dengan survey untuk produktivitas tegakan. Beberapa hal yang

perlu diperhatikan antara lain adalah mengetahui tanda dan gejala kerusakan,

kemungkinan tegakan menjadi mati sebagai akibat dari kerusakan yang terjadi,

penentuan kategori tingkat kerusakan, dan meminimalisasi terjadinya double

interpretation terhadap satu obyek yang sama.

Salah satu pedoman dalam melakukan monitoring adalah dengan

menggunakan Forest Health Monitoring Field Methods Guide. Pada pedoman ini

terdapat tujuh indikator pokok yang digunakan untuk menilai kesehatan hutan,

yaitu klasifikasi kondisi tajuk, nilai hutan, radiasi aktif, penentuan kerusakan dan

kematian, struktur vegetasi, laju fotosintesis, keberadaan lichen, dan tanaman

bioindikator keberadaan ozon. Akan tetapi menurut Supriyanto et al. (2001)

terdapat empat indikator dari tujuh indikator pada FHM Methods Guide yang

memiliki kesesuaian untuk hutan tropis seperti Indonesia. Empat faktor tersebut

adalah produksi, keragaman (biodiversitas), kesehatan, dan kualitas tapak. Untuk

memperoleh informasi yang lengkap mengenai keempat faktor tersebut,

dibutuhkan beberapa parameter pendekatan seperti tingkat pertumbuhan pohon,

periode permudaan dan kematian, keadaan tajuk dan strukturnya, struktur

vegetasi, biodiversitas, kerusakan tegakan yang disebabkan oleh faktor biotik dan

abiotik, hama dan penyakit, dan kondisi sosial ekonomi.

Dalam kasus tegakan geronggang ini, indikator tingkat kesehatan hutan

hanya dibatasi pada tingkat kerusakan dan kematian tegakan geronggang yang

ditanam di lahan gambut pada tahun 2012 s.d 2014. Konsep penilaian kesehatan

hutan berdasarkan pada tingkat kerusakannya ini menilai kesehatan hutan

dengan berdasar pada kesehatan pohon penyusunnya dan kesehatan pohon itu

sendiri dipengaruhi oleh keberadaan dan level kerusakan yang ada pada pohon

tersebut (Mangold, 2000).

59 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Berikut beberapa parameter tentang kriteria tingkat kesehatan hutan

yang hanya menggunakan parameter tingkat kerusakan dan kematian tegakan

kesehatan tegakan berdasarkan Irwanto (2006), yaitu:

1. Kematian Pohon

Setiap pohon sampel diamati penampilan fisik pada seluruh bagiannya dan

seluruh parameter yang ditemukan diuraikan singkat. Kodefikasi untuk

parameter yang menyebabkan tegakan mati ini dimulai dari angka 001 hingga

999 berdasar perkiraan tingkat penyebab kematiannya.

2. Kerusakan Pohon

Pada parameter ini, tingkat kerusakan pohon didasarkan pada beberapa

faktor penentu, yaitu

a. Gejala dan tanda kerusakan pada setiap pohon sampel

b. Penampakan kemunculan perakaran di permukaan tanah

c. Kerusakan diklasifikasikan menurut lokasi tempat terjadinya kerusakan

d. Penilaian tingkat keparahan (severity level).

Untuk lokasi kerusakan menggunakan kodefikasi 0 s.d 9 yang tentang

berisi tentang bagian-bagian tanaman yang mengalami kerusakan, mulai dari

akar sampai pucuk (Irwanto, 2006). Berikut adalah tabel yang menjelaskan

mengenai kodefikasi tersebut:

Tabel 5.1. Kodefikasi tentang lokasi atau bagian tanaman dimana terjadinya

kerusakan

Lokasi Pengertian 0 Tidak ada kerusakan

1 Akar terlihat sekitar 30 cm dari permukaan tanah

2 Bagian akar yang tampak dan separuh dari batang bagian bawah

3 Bagian akar dan bagian batang diantara batang bawah dan cabang pertama

4 Batang bawah dan batang atas

5 Batang atas sebelum tajuk

6 Batang dalam tajuk

7 Cabang

8 Tunas

9 Daun

Lebih lanjut, menurut Irwanto (2006), dalam memudahkan untuk

melakukan penentuan terhadap tipe kerusakan maka diberikan kodefikasi antara

01 s.d 31. Berikut adalah keterangan dari kodefikasi tersebut:

60 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Tabel 5.2. Kodefikasi mengenai jenis-jenis kerusakan yang dialami oleh tanaman

No. Kode Jenis Kerusakan 01 Kanker

02 Terdapat jamur yang terlihat dari adanya fruiting body 03 Luka terbuka

04 Gumosis

11 Akar atau batang patah

12 Tunas berair

13 Akar patah > 0,91 m

21 Die back 22 Patah dan mati

24 Kerusakan pada daun dan tunas

25 Warna daun berubah

31 Kerusakan lain

Sedangkan untuk tingkat keparahan dari masing-masing tipe kerusakan

menggunakan klasifikasi yang sedikit dimodifikasi untuk memperlebar kisaran

sebagai berikut:

Tabel 5.3. Kodefikasi untuk penentuan tingkat keparahan (severity level)

Kode Kisaran Keparahan (%) Keterangan 1 0 – 20 Sangat ringan

2 21 – 40 Ringan

3 41 – 60 Sedang

4 61 – 80 Berat

5 81 – 100 Sangat Berat

B. Status Kesehatan Tegakan Geronggang

Kegiatan observasi status kesehatan tegakan geronggang di lahan gambut

pada periode waktu tahun 2012 – 2014 dilakukan dengan menggunakan beberapa

parameter untuk melihat tingkat kerusakan dan kematian pohon dalam tegakan

yang digunakan oleh Irwanto (2006). Kegiatan ini dilakukan pada tahun 2012 s.d

2014 yang berlokasi di desa Lubuk Ogong, Kab. Pelalawan, Provinsi Riau.

Kegiatan observasi dilakukan pertama kali di tahun 2012 pada tegakan

geronggang umur satu tahun yang ditanam pada jenis tanah gambut pada bulan

Juni, Agustus, dan November. Pada tahun 2013, ketika tegakan geronggang telah

mencapai umur dua tahun, pengamatan dilakukan pada bulan Maret, Juni, dan

Agustus. Sedangkan pengamatan pada tahun 2014 atau pada saat tegakan telah

berumur tiga tahun dilakukan pada bulan Maret, Agustus, dan November.

61 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Pengamatan tingkat kesehatan geronggang di tahun 2012 menunjukkan

bahwa jenis atau tipe kerusakan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT)

tertinggi adalah jenis ulat pemakan daun (defoliator) yang termasuk dalam ordo

Lepidoptera. Serangan ulat tertinggi terjadi pada bulan Juni dan Agustus yang

menyerang hampir 50% dari seluruh tegakan Geronggang. Akan tetapi, infestasi

ulat pemakan daun ini memiliki kecenderungan menurun di akhir pengamatan

pada bulan November 2012 yang hanya mencapai nilai 31,28%. Berbeda dengan

ulat pemakan daun, jenis kerusakan yang disebabkan oleh jenis kepik penghisap

daun muda (ordo Hemiptera) menunjukkan kecenderungan meningkat pada

akhir pengamatan di bulan November. Hama ini cenderung menyerang daun

muda dan pucuk-pucuk daun sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah daun

jika serangan hama ini mewabah dan menyebabkan munculnya terubusan. Tipe

kerusakan lainnya adalah luka terbuka yang diduga disebabkan oleh rusa ataupun

babi. Bagian batang yang diserang akan tampak seperti terkelupas dan apabila

kerusakan ini terjadi pada hampir seluruh keliling batang, maka dapat

menimbulkan kematian.

Salah satu hama pemakan daun adalah jenis ulat yang berasal dari ordo

Lepidoptera. Ordo Lepidoptera merupakan kelompok kupu-kupu dan ngengat.

Pada fase dewasa hama ini memiliki ciri-ciri seperti kupu-kupu pada umumnya

yaitu memiliki (i) dua pasang sayap bersisik halus, (ii) bermetamorfosis secara

sempurna, (iii) tipe mulut menghisap, dan (iv) memiliki mata faset besar.

Sedangkan pada fase ulat atau larva memiliki tipe mulut menggigit dan nafsu

makan yang sangat besar. Hama ulat yang ditemukan di tanaman geronggang

memiliki kecenderungan untuk menempelkan dua daun dengan menggunakan

jalinan benang halus terutama jika mendekati fase pupa (Gambar 5.1). Pada fase

awalnya, ulat akan memakan jaringan yang ada pada daun berawal dari bagian

dalam daun sehingga akan tampak semacam terowongan-terowongan nekrosis di

permukaan daun. Fase pupa atau kepompong memiliki ukuran tidak lebih dari

satu cm dengan warna kecoklatan.

62 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 5.1. Kerusakan yang ditimbulkan akibat serangan hama ulat pemakan

daun

Pengamatan terhadap tingkat keparahan (severity level) dari akumulasi

berbagai tipe-tipe kerusakan menunjukkan kecenderungan peningkatan sampai

pada akhir pengamatan di bulan November. Hal ini menunjukkan bahwa sampai

pada akhir tahun 2012, tegakan geronggang menunjukkan tingkat kesehatan

yang semakin menurun jika dinilai dari akumulasi tingkat keparahan yang

dialami pada seluruh organ tanamannya (daun, batang, ujung tunas, dan akar)

meskipun masih termasuk pada kategori ringan. Parameter lainnya adalah

persentase jumlah tegakan yang berada pada kategori sehat yang menurun pada

akhir pengamatan di bulan November. Pada tahun 2013 pun, tegakan

geronggang masih berada pada kategori tingkat kerusakan yang ringan karena

lebih dari 80% tanamannya masih berada pada kategori ringan.

Gambar 5.2. Tanda kehadiran lichen ataupun penyakit karat daun pada

permukaan daun geronggang yang menutupi permukaan daun

sehingga menghalangi proses fotosintesa

63 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Pada pengamatan tahun 2013, hama ulat pemakan daun masih menjadi

hama yang dominan sama seperti yang terjadi pada tahun 2012. Meskipun sempat

turun pada pengamatan bulan Juni, persentase serangan jenis hama ini kembali

mengalami peningkatan pada bulan Agustus. Sedangkan pada kelompok hama

kedua yang mendominasi adalah kepik (Hemiptera) yang menunjukkan

kecenderungan menurun. Lebih lanjut, pada tahun 2013 muncul jenis kerusakan

lain yaitu nekrosis yang disebabkan oleh keberadaan lichen ataupun penyakit

jarat daun yang menutup permukaan daun. Sampai saat ini penulis belum

mengetahui secara pasti organisme penyebab penyakit ini (Gambar 5.2). Infestasi

jenis penyakit ini menjadi yang paling mendominasi pada akhir pengamatan di

bulan Agustus dibandingkan dengan ulat.

Gambar 5.3. Potongan melintang lichen Lobaria pulmonaria yang merupakan

symbiosis antara fungus, algae, dan cyanobacteria. Fungi berada

pada bagian atas (upper cells/UC), medulla (M), dan lapisan kortex

bawah (LC). Fotosintesa terjadi pada lapisan algae (A) and

cyanobacteria akan memfikasasi nitrogen menjadi bentuk yang

dapat dimanfaatkan oleh tanaman (CB) (Jovan, 2008). Photo: Eric

Peterson from www.crustose.net

Lichen adalah suatu bentuk symbiosis antara kelompok fungi dengan satu

atau lebih organisme yang memiliki kemampuan berfotosintesa seperti alga

ataupun cyanobacterium (Jovan, 2008). Dari potongan secara melintang, dapat

dilihat bahwa bagian organisme yang berfotosintesis berada di tengah atau

diselimuti oleh fungi. Fungi memiliki fungsi untuk menyediakan air yang

diperlukan oleh proses fotosintesa yang akan dilakukan oleh algae sedangkan

algae akan menghasilkan produk fotosintesa yang akan dimanfaatkan oleh fungi.

64 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Adapun fungsi cyanobacteria adalah memfiksasi nitrogen di alam untuk dapat

digunakan oleh algae sebagai sumber nitrogen (Gambar 5.3). Sebenarnya lichen

jika tumbuh pada bagian tanaman tidak bersifat parasit, melainkan

memanfaatkan bagian tanaman tersebut sebagai substrat. Terhalangnya bagian

daun oleh lichen dapat mengurangi luas permukaan daun yang terekspose oleh

matahari dan dapat menjadikannya lembab sehingga dapat memicu terjadinya

nekrosis sebagai akibat dari kehadiran mikroorganisme pathogen.

Kemungkinan kedua adalah disebabkan oleh penyakit karat daun. Pada

umumnya, penyakit karat yang menyerang daun ditandai dengan kemunculan

bercak nekrosis kecil yang tidak beraturan pada permukaan dorsal daun.

Sedangkan pada fase awal serangan biasanya muncul gejala karat pada bagian

ventral daun (Sumartini, 2010). Lama kelamaan, bercak tersebut akan berubah

warna menjadi kuning tua hingga kecoklatan dan membentuk suatu bentuk yang

disebut pustule. Pustule merupakan sekumpulan uredium yang berbentuk seperti

tepung yang memiliki warna orange atau jingga menyerupai karat besi (Sugiarti,

2017). Tepung ini sebenarnya merupakan spora-spora jamur (urediospora).

Untuk menginfeksi, urediospora harus masuk ke dalam tumbuhan melalui

stomata. Ketika mencapai mulut stomata, spora akan mulai berkecambah

kemudian membesar dan membentuk apresorium yang merupakan alat untuk

mempenetrasi masuk ke dalam lubang stomata. Lama kelamaan, akan terbentuk

substansi yang berbentuk seperti gelembung yang kemudian tumbuh menjadi

hifa yang kemudian akan membentuk alat yang bernama haustorium yang

berfungsi untuk menghisap makanan dari sel induk (Semangun, 1996).

Tingkat keparahan (severity level) selama pengamatan tahun 2013

menunjukkan kecenderungan peningkatan sampai akhir pengamatan. Tingkat

keparahan dari seluruh bagian tanaman yang diobservasi seperti daun, batang,

ujung tunas, dan akar yang berada pada kategori 4 (berat) pada akhir pengamatan

mengalami peningkatan menjadi 4,14% dari hanya 0,25% pada awal pengamatan

di bulan Maret sedangkan tingkat keparahan 1 (sangat ringan) mengalami

penurunan dari 68,96% menjadi 50,83% pada akhir pengamatan. Hal ini

memperlihatkan bahwa tingkat kesehatan tegakan Geronggang terus menurun

memasuki umur dua tahun, meski begitu, secara umum tegakan geronggang

masih berada pada kategori tingkat keparahan yang ringan dan sangat ringan.

65 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 5.4. Kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas rusa atau babi (terlihat

kulit batang seperti terkelupas)

Salah satu jenis kerusakan yang dominan pada tegakan geronggang pada

tahun 2013 adalah luka terbuka. Luka ini terlihat seperti disebabkan oleh

aktivitas hewan liar karena terlihat tidak beraturan. Di beberapa pengamatan,

luka yang disebabkan hanya berupa gesekan kecil tetapi terdapat juga beberapa

tegakan yang terluka hampir di seluruh keliling bagian batang (Gambar 5.4) yang

disebabkan oleh gesekan babi ataupun rusa hutan terhadap batang. Rusa

merupakan jenis hewan nocturnal yang hanya aktif pada malam hari. Rusa jantan

memiliki tanduk yang akan terus tumbuh dan harus terus menggosokkan

tanduknya agar menjaga tetap tumbuh. Aktivitas menggosok inilah yang

mengakibatkan kerusakan pada batang tanaman. Kulit pohon yang terkelupas

dapat membuat pohon rentan akan serangan hama dan penyakit. Selain itu,

apabila aktivitas menggosok tanduk ini menyebabkan kerusakan hingga

mencapai lapisan kambium maka akan dapat berakibat lebih fatal bagi tanaman.

Jaringan pengangkut seperti floem dan xylem akan rusak yang lama kelamaan

tenaman akan mati karena kekurangan nutrisi sebagai akibat rusaknya jaringan

pengangkut. Sedangkan babi, lebih banyak menyerang batang tanaman yang

masih muda.

66 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Tabel 5.4. Rekapitulasi tingkat kesehatan tegakan geronggang tahun 2012

No Parameter Rangking

1 2 3 4 5

1 Tipe kerusakan Ulat

(Lepidoptera)

Kepik

(Hemiptera)

Luka

terbuka

Leaf

spot Lichen

% Maret 46.11 4.66 3.37 3.89 41.97

% Agustus 31.70 9.81 0.00 5.66 52.83

% November 45.31 4.74 0.00 8.55 40.31

2 Lokasi kerusakan Daun Batang Akar

% Maret 91.46 8.04 0.50

% Agustus 94.21 5.03 0.50

% November 81.92 4.37 0.44

3 Tingkat keparahan 1 2 3 4 5

% Maret 48.58 23.58 20.17 7.67 0.00

% Agustus 94.21 5.03 0.50 5.64 0.23

% November 96.12 1.71 0.17 1.92 0.08

Tabel 5.5. Rekapitulasi tingkat kesehatan tanaman jenis geronggang tahun 2014

No Parameter Rangking

1 2 3 4 5

1 Tipe kerusakan Ulat

(Lepidoptera)

Kepik

(Hemiptera)

Luka

terbuka

Leaf

spot Lichen

% Maret 46.11 4.66 3.37 3.89 41.97

% Agustus 31.70 9.81 0.00 5.66 52.83

% November 45.31 4.74 0.00 8.55 40.31

2 Lokasi kerusakan Daun Batang Akar

% Maret 91.46 8.04 0.50

% Agustus 94.21 5.03 0.50

% November 81.92 4.37 0.44

3 Tingkat keparahan 1 2 3 4 5

% Maret 48.58 23.58 20.17 7.67 0.00

% Agustus 94.21 5.03 0.50 5.64 0.23

% November 96.12 1.71 0.17 1.92 0.08

Pada tahun 2014, hasil observasi memperlihatkan bahwa tipe kerusakan

oleh OPT tertinggi masih oleh jenis ulat pemakan daun (defoliator). Tipe

kerusakan yang disebabkan oleh ulat ini memiiliki kecenderungan berfluktuasi

pada dua pengamatan berikutnya. Jenis kerusakan lain yang mendominasi adalah

jenis tutupan lichen ataupun penyakit karat daun yang menyebabkan permukaan

daun tampak tertutup oleh bercak berwarna hijau muda sampai kuning (orange)

sehingga diduga dapat menghalangi proses fotosintesa bahkan jika sangat parah

67 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

dapat menimbulkan nekrosis. Hal yang menarik adalah meningkatnya infestasi

lichen ataupun penyakit karat daun secara drastis dari tahun 2013 ke tahun 2014

(Tabel 5.4 dan Tabel 5.5). Diduga hal ini ada kaitannya dengan kelembaban yang

semakin tinggi sebagai akibat dari semakin lebar dan tinggi tajuk yang terbentuk

dan sudah saling menutup sehingga mampu mengurangi penetrasi sinar matahari

sampai ke lantai hutan sehingga menyebabkan meningkatkan kelembaban yang

sesuai bagi perkembangan lichen ataupun jamur penyebab penyakit karat daun.

Menurut Grabow (2016), kelembaban yang tinggi (>87%) dapat meningkatkan

posibilitas jamur karat daun untuk menginfeksi inangnya sampai 89%.

Pengamatan tingkat keparahan (severity level) selama pengamatan tahun

2014 menunjukkan kecenderungan semakin baik sampai akhir pengamatannya.

Hasil ini berkebalikan dengan fenomena yang terjadi pada pengamatan dua tahun

sebelumnya yang cenderung menurun atau semakin parah. Pada tahun 2014,

seluruh bagian tanaman yang diobservasi seperti daun, batang, ujung tunas, dan

akar didominasi oleh kerusakan kategori 1 (sangat ringan) yang berarti tegakan

geronggang berada pada kondisi yang dominan sehat. Meskipun jenis kerusakan

tutupan lichen ataupun penyakit karat daun hampir mendominasi seluruh

tegakan, persentase tingkat keparahannya masih berada pada kategori ringan.

Pada pengamatan tahun 2014 ini untuk pertama kalinya ditemukan beberapa

pohon geronggang yang berada pada kategori kerusakan sangat berat (kategori 5)

yang terjadi pada pengamatan di bulan Agustus dan November.

Dari pengamatan secara time series terhadap tipe kerusakan yang dialami

oleh geronggang dari tahun 2012 hingga tahun 2014 (Gambar 5.5) terlihat bahwa

tipe kerusakan yang disebabkan oleh serangan ulat pemakan daun (Lepidoptera),

kepik penghisap daun muda dan tunas muda (hemiptera), dan tutupan lichen

pada permukaan daun merupakan penyebab kerusakan yang dominan pada

tegakan geronggang. Khusus kerusakan yang disebabkan oleh tutupan lichen

ataupun penyakit karat daun menunjukkan peningkatan yang cukup drastis pada

pengamatan di bulan Juni 2013. Diduga hal ini berkaitan dengan meningkatnya

kelembaban udara di tegakan geronggang yang menyebabkan kondisi yang ideal

bagi pertumbuhan lichen ataupun penyakit karat daun untuk berkembang.

Sedangkan untuk hama ulat pemakan daun, intensitas serangannya mengalami

penurunan sampai pada akhir pengamatan di tahun 2014. Sedangkan tipe

kerusakan berupa luka terbuka dan mati pucuk menunjukkan kecenderungan

tidak mengalami perubahan yang berarti.

68 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 5.5. Diagram persentase penyebab kerusakan (tipe kerusakan) pada

jenis geronggang 2012 s.d 2014

Gambar 5.6. Diagram persentase kerusakan (severity level) pada jenis

geronggang tahun 2012 s.d 2014

Faktor abiotik juga berpengaruh terhadap turgoritas dan fisiologi

tanaman yang akhirnya akan mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap hama

(Salisbury & Ross, 1995). Temperatur lingkungan berpengaruh terhadap sintesis

senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid dan flavonoid yang mempengaruhi

ketahanan tumbuhan terhadap hama dan penyakit (Smith, 1997). Temperatur

tidak hanya berpengaruh terhadap fisiologis tanaman, akan tetapi juga terhadap

serangga hama. Faktor makanan adalah unsur utama dalam menentukan

perkembangan serangan hama dan penyakit tanaman (Petzoldt & Seaman, 2010).

Selain itu faktor lain berupa predator dan kompetitor juga akan mempengaruhi

keberadaan hama dan penyakit. Sehingga faktor temperatur memilki pengaruh

tidak hanya terhadap tanaman inang tetapi juga kepada organisme pengganggu.

0

10

20

30

40

50

60

Juni 2012 Agustus 2012 November 2012Maret 2013 Juni 2013 Agustus 2013 Maret 2014 Agustus 2014 November 2014

Defoliator (31)

Kepikpenghisap (32)Luka terbuka (3)

Die back (21)

0

20

40

60

80

100

120

Juni 2012 Agustus2012

November2012

Maret 2013 Juni 2013 Agustus2013

Maret 2014 Agustus2014

November2014

sangatringan

ringan

sedang

69 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Selanjutnya, tingkat korelasi faktor lingkungan terhadap tingkat

keparahan menunjukkan beberapa variasi. Pada musim hujan, peningkatan

temperatur, curah hujan, dan jumlah hari hujan berbanding terbalik dengan

tingkat keparahan serangan dan begitu juga sebaliknya. Sedangkan peningkatan

kelembaban akan menyebabkan peningkatan tingkat keparahan (severity level)

pada musim hujan dan sebaliknya (Petzoldt & Seaman, 2010; Smith, 1997).

Sebaliknya, pada musim kemarau menunjukkan bahwa peningkatan temperatur

dan curah hujan berbanding lurus dengan meningkatnya tingkat keparahan

(Reddy, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa semakin sedikit hari hujan dan

kelembaban yang semakin rendah maka tingkat keparahan pada daun semakin

meningkat.

Organisme pengganggu tanaman lainnya yang ditemukan banyak

menyerang geronggang adalah kepik penghisap (hemiptera). Hama ini bersifat

polyphagus dan memiliki kisaran inang yang luas (Pan et al., 2015). Kepik ini

menyerang dengan cara menghisap cairan sel pada bagian pucuk dan daun muda.

Hasil obsevasi memperlihatkan bahwa bagian yang terserang akan layu dan mati.

Pucuk yang mati ini kemudian akan tumbuh trubusan lebih dari satu cabang.

Kerusakan akibat serangan hama ini cukup serius tetapi tidak mengakibatkan

kematian. Terlihat hama ini hanya dominan pada periode permudaan (di bawah

dua tahun). Kepik ini termasuk dalam ordo hemiptera memiliki mulut seperti

jarum untuk menghisap cairan. Kepik ini memiliki ciri-ciri tubuh berwarna

kecoklatan dan pada bagian sisi abdomen tampak seperti melipat ke atas dan

bermotif loreng. Panjang tubuh imago sekitar 10 s.d 15 mm (Gambar 5.7)

Gambar 5.7. Kepik penghisap ujung daun (Hemiptera) di pohon geronggang

70 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Daftar Pustaka

Grabow, B. (2016). Enviromental Conditions Associated with Stripe Rust and Leaf Rust. Kansas State university.

Irwanto. (2006). Penilaian kesehatan hutan tanaman tegakan Jati (Tectona grandis) dan Eucalyptus (Eucalyptus pellita) pada kawasan hutan Wanagama i. Yogyakarta.

Jovan, S. (2008). Lichen Bioindication of Biodiversity , Air Quality, and Climate : Baseline Results From Monitoring in Washington, Oregon, and California. Washington.

Mangold, R. D. (1998). Overview of the Forest Health Monitoring Program. Integrated Tools Proceedings, 129–140.

Mangold, R. D. (2000). Overview of the Forest Health Monitoring Program; In Hansen,

Mark; Burk, Thomas, eds. Integrated tools for natural resources inventories in

the 21st century. An International Conference on the Inventory and Monitoring of Forested Ecosystems, 129–140. Idaho: U.S. Department of

Agriculture.

Pan, H., Liu, B., Lu, Y., & Wyckhuys, K. A. G. (2015). Seasonal Alterations in Host Range and Fidelity in the Polyphagous Mirid Bug, Apolygus lucorum (Heteroptera : Miridae ) 1–17. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0117153

Petzoldt, C., & Seaman, A. (2010). Climate Change Effect on Insects and Pathogens.

Reddy, P. P. (2013). Impact of climate change on insect pests, pathogens and nematodes.

Pest Management in Horticultural Ecosystems, 19(2), 225–233.

Salisbury, J. W., & Ross, C. W. (1995). Fisiologi Tumbuhan. Bandung: Institut Teknologi

Bandung.

Semangun, H. (1996). Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah mada

University Press.

Smith, R. (1997). Phisiology of Tree Resistance to Insect. Annual Review of Entomology,

20, 75–91.

Sugiarti, L. (2017). Analisis Tingkat Keparahan Penyakit Karat Daun pada Tanaman Kopi

Arabika di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti

Tanjungsari. JAGROS, 1(2), 80–89.

Sumartini. (2010). Penyakit karat pada kedelai dan cara pengendaliannya yang ramah

lingkungan. Jurnal Litbang Pertanian, 29(3), 107–112.

Supriyanto, Soektjo, & Justianto, A. (2001). Assessment of Production Indicator in Forest Health Monitoring to Monitor the Sustainability of Indonesian Tropical Rain Forest (I. C. Stuckle, C. A. Siregar, Supriyanto, & J. Kartana, Eds.). Bogor: ITTO

and SEAMEO-BIOTROP.

71 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

VI.

SIFAT DASAR KAYU GERONGGANG

Geronggang (Cratoxylon arborescen) merupakan kayu lokal yang

ditemui di Riau dan dapat tumbuh dengan baik di lahan gambut. Hasil survey

Suhartati et al. (2012) menunjukkan bahwa sebaran geronggang di Riau

ditemukan di Kabupaten Bengkalis, Siak, Pelalawan dan Rokan Hilir. Sifat

pertumbuhan geronggang membuat tumbuhan ini sangat sesuai sebagai salah satu

alternatif dalam mengantisipasi bencana kebakaran hutan yang terus melanda

Propinsi Riau, seperti yang diungkapkan oleh Gubernur Riau di Tribun Sabtu,

Rabu, 06/03/2019. Kayu lokal jenis geronggang ini juga dapat dijadikan sebagai

salah satu jenis tanaman dalam rehabilitasi lahan dan hutan (Pratiwi et al., 2014).

Pada bab ini penulis tidak membahas mengenai fungsi geronggang dalam

rehabilitasi lahan, namun lebih kepada pemanfaatan kayu geronggang.

Walaupun geronggang telah sejak lama telah dimanfaatkan sebagai bahan

konstruksi di Bengkalis, disisi lain geronggang juga memiliki kualitas sebagai

bahan baku pulp (Aprianis et al., 2018). Hal ini menjadi suatu yang menarik bagi

industri pulp dan kertas karena geronggang ini dapat tumbuh di lahan gambut

sehingga dapat menjadi substitusi bagi jenis Acacia crassicarpa yang selama ini

menjadi andalan HTI pulp di lahan gambut namun memiliki berbagai

permasalahan seperti tingginya mortalitas dan tingkat kerobohannya yang juga

tinggi.

Kayu sendiri merupakan material yang unik bila dibandingkan dengan

bahan lain seperti besi, baja, alumunium dan kaca. Karena sifat-sifatnya, kayu

memiliki multifungsi yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pertukangan, kayu

lapis, papan partikel ataupun bahan kertas. Pemanfaatan yang tepat suatu jenis

kayu didasari oleh sifat dasar yang dimiliki oleh kayu tersebut. Dengan

diketahuinya sifat kayu yang paling menonjol maka pemanfaatan kayu tersebut

akan menjadi lebih maksimal. Sifat dasar kayu merupakan sifat-sifat kayu yang

paling penting untuk diperhatikan sebelum kayu tersebut dimanfaatkan untuk

tujuan pemanfaatan tertentu. Pemanfaatan kayu yang sesuai dengan sifat

dasarnya akan memberikan hasil yang lebih efisien. Sifat bahan baku kayu

pertukangan akan berbeda dengan sifat kayu untuk produk pulp dan juga untuk

(Yeni Aprianis)

(Ahmad

72 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

penggunaan lainnya. Dalam bagian ini akan dibahas mengenai sifat dasar yang

meliputi struktur anatomi, sifat fisika, sifat mekanika, sifat kimia dan beberapa

sifat tambahan lainnya.

A. Stuktur Anatomi dan Dimensi Serat

Struktur anatomi kayu geronggang telah dimuat di buku Atlas Kayu Jilid

1 yang telah dilaporkan oleh Martawijaya, et al (2005), namun untuk BP2TSTH

juga melakukan kajian ini pada tahun 2012 untuk pengayaan dan update

infromasi. Pada kajian tahun 2012 ditambahkan informasi dari kelas diameter

geronggang yang tumbuh di Kab. Bengkalis, kemudian tahun 2015-2017

BP2TSTH mengkaji sifat kayu geronggang pada berbagai umur yang tumbuh di

Kabupaten Kampar. Menurut Rinanda (2012) kayu gerunggang berwarna merah

bata. Kayu bertekstur agak kasar dan saat diraba memberi kesan kesat.

Permukaan kayunya agak mengkilap. Batang kayu mengeluarkan getah kuning.

Penampang lintang makro dan penampang mikro (lintang, radial dan tangensial)

kayu gerunggang pada tiga kelas diameter disajikan pada Gambar 6.1, 6.2, dan

6.3.

Menurut Rinanda (2012) kayu geronggang memperlihatkan ciri anatomi

berupa lingkaran tumbuh yang tidak jelas; pembuluhnya baur dan berganda

radial empat atau lebih; panjang pembuluh 514,48±123,80 (µ), diameter

pembuluh 158,59±32,06 (µ) (gerunggang diameter 15 cm); panjang pembuluh

549,35±111,52 (µ), diameter pembuluh 186,37±34,83 (µ) (gerunggang diameter 20

cm); panjang pembuluh 484,72±92,96 (µ), diameter pembuluh 187,35±34,57 (µ)

(gerunggang diameter 25 cm); frekuensi pembuluh 5-20 per mm; bidang perforasi

sederhana; ceruk antar pembuluh selang-seling dengan ukuran sedang > 4-7 (µ);

ceruk antar pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang sempit serupa dalam

ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh. Parenkim geronggang

merupakan parenkim aksial paratrakea yang jarang dan vaskisentrik. Tipe sel

parenkim aksial delapan (5-8) sel per untai. Pada kayu dengan umur yang lebih

tua ditemukan parenkim pita sempit ≤ 3 lapis sel. Jari-jari kayu geronggang

terdiri dari satu sampai tiga seri dan jari-jari besar yang terdiri dari empat sampai

sepuluh dapat ditemukan pada kayu dengan umur lebih tua. Komposisi sel jari-

jari seluruhnya berupa sel bujur sangkar atau sel tegak; tubuh jari-jari sel baring

dengan satu jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal.

73 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 6.1. Penampang lintang makro (a), penampang lintang mikro (b),

penampang radial mikro (c), penampang tangensial mikro (d) kayu

gerunggang diameter 15 cm

Gambar 6.2. Penampang lintang makro (a), penampang lintang mikro (b),

penampang radial mikro (c), penampang tangensial mikro (d)

kayu gerunggang diameter 20 cm

Gambar 6.3. Penampang lintang makro (a), penampang lintang mikro (b),

penampang radial mikro (c), penampang tangensial mikro (d) kayu

gerunggang diameter 25 cm

Dimensi serat geronggang yang telah dilaporkan pada Jurnal Ilmu Kayu

Tropis Indonesia adalah dimensi serat kayu geronggang yang diperoleh dari alam

yaitu dari Kabupaten Bengkalis yang tidak diketahui umurnya, sedangkan yang

a b c d

b a c d

a b c d

74 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

dari Lubuok Ogung, Kab. Pelalawan berumur 4,5 tahun. Dimensi serat

geronggang dapat dilihat pada Tabel 6.1. Bila geronggang dibandingkan dengan

A. crassicarpa, terlihat bahwa A. crassicarpa memiliki serat yang lebih panjang.

Perbedaan panjang serat ini disebabkan oleh perbedaan jenis kayu namun

ditenggarai juga disebabkan oleh sumber benih A. crassicarpa yang telah melalui

kegiatan pemuliaan.

Tabel 6.1. Dimensi serat dan diameter geronggang

Dimensi serat

Geronggang A.

crassicarpac Alam (Bengkalis) 4,5

tahunb G1a G2a G3a G4b

Panjang serat (µm) 1230 1327 1257 1156 1134 1306

Diameter serat (µm) 28,09 31,18 28,85 24,63 25,60 34,24

Tebal dinding sel (µm) 2,10 2,07 2,00 7,17 7,43 -

Diameter setinggi dada (cm) 15 20 25 24,30 11,04 18

a) Rinanda et al (2012); b) Aprianis, et al (2018); c) Suhartati, et al (2014)

Menurut Aprianis et al. (2018), hasil analisis Uji T menunjukkan bahwa

semua parameter dimensi serat antara geronggang alam (G4a) dan umur 4,5 tahun

bernilai sama, artinya tidak ada perbedaan dimensi serat kedua geronggang

tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh genetik kedua geronggang sama,

karena asal bibit geronggang umur 4,5 tahun (Pelalawan) diperoleh bibitnya di

Kabupaten Bengkalis dan kemungkinan memiliki tingkat kesuburan lahan

gambut yang sama, walaupun ditanam pada kondisi yang berbeda. Menurut

Ibrahim & Abdelazim (2015) menunjukkan bahwa dimensi serat Eucalyptus

camaldulensis dipengaruhi oleh laju pertumbuhan pohon (grow rate).

Pertumbuhan kayu yang cepat (fast growing species) cenderung menurunkan

dimensi sel kayu karena semakin cepat pembelahan sel di kambium terjadi

sehingga tebal dinding sel semakin tipis dan diameter serat semakin menurun

dengan meningkatnya laju pertumbuhan (Ibrahim & Abdelazim, 2015; Roque &

Fo, 2007). Menurut Saito et al. (2005) kayu geronggang dikategorikan dalam

kelompok pohon cepat tumbuh (Saito et al., 2005).

Secara morfologi serat geronggang memiliki ceruk sederhana sampai

dengan berhalaman sangat kecil. Tebal dinding seratnya termasuk dalam kategori

tipis sampai tebal (Rinanda, et al. 2012). Inklusi mineral tidak ditemukan, tapi

berdasarkan Prosea (1994) seharusnya ditemukan silika pada jari-jari, pada kayu

contoh uji silika belum ditemukan, kemungkinan kayu masih berumur muda dan

silika belum terbentuk.

75 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Nilai kualitas serat kayu dapat diketahui berdasarkan perhitungan

turunan dimensi serat. Hal ini menentukan kemungkinan penggunaan kayu

untuk bahan baku pulp dan kertas. Nilai kualitas serat kayu geronggang

selengkapnya disajikan dalam Tabel 6.2. Peranan dimensi serat sebagai parameter

kualitas bahan baku pulp dan kertas memiliki hubungan yang komplek dan akan

berpengaruh terhadap sifat fisik pulp kertas yang dihasilkannya seperti densiti,

fleksibilitas, kelicinan, porositas dan kekuatan fisiknya (Haroen, 2016).

Tabel 6.2. Nilai kualitas kayu geronggang dari beberapa diameter

Parameter

Diameter (cm)

15 20 25

X SD NKK X SD NKK W SD NKK

Panjang serat (μm)

1231 85 50 1327 112 50 1258 102 50

Daya tenun 44,46 5,67 25 42,42 4,69 25 44,02 6,23 25

Muhlsteph ratio (%)

27,86 4,60 100 24,84 4,76 100 26,11 6,67 100

Rasio Fleksibilitas

0,85 0,03 100 0,86 0,03 100 0,86 0,04 100

Bilangan runkel

0,18 0,04 100 0,16 0,04 100 0,17 0,06 100

Koefisien kekakuan

0,08 0,01 100 0,07 0,01 100 0,07 0,02 100

Total nilai 475 475 475

Kelas kualitas I I I

Sumber: Rinanda et al. (2012)

Tabel 6.2 menunjukkan bahwa turunan dimensi serat geronggang pada

semua sampel dengan diameter yang berbeda, 15, 20, 25 cm, termasuk dalam

kualitas serat kelas I (satu). Panjang serat dianggap sebagai salah satu dimensi

yang memegang peranan penting dalam menentukan kekuatan sobek lembaran

kertas yang nanti dihasilkan. Panjang serat berpengaruh terhadap sifat fisik

kertas, semakin tinggi perbandingan panjang serat dengan diameter serat akan

memberikan kekuatan sobek dan daya tenun yang lebih baik. Serat panjang akan

membentuk ikatan antar serat lebih luas dan penyebaran tekanan yang lebih

baik. Kekuatan lembaran kertas yang dipengaruhi oleh panjang serat adalah

ketahanan tarik, ketahanan lipat dan ketahanan sobek. Bilangan Runkel ketiga

geronggang dengan diameter yang berbeda bernilai kecil dari 0,25 yang

menunjukkan bahwa geronggang termasuk dalam kualitas serat kelas I. Serat

dengan bilangan Runkel rendah lebih mudah digiling dan memiliki ikatan antara

76 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

serat lebih luas, akan menghasilkan lembaran pulp dengan kekuatan jebol, tarik

dan lipat yang tinggi. Serat dengan bilangan Runkel yang rendah juga memiliki

dinding sel yang tipis dan diameter lumen lebar sehingga serat dalam lembaran

dapat menggepeng seluruhnya dan ikatan antar serat dapat terjadi lebih baik.

Nilai daya tenun merupakan perbandingan panjang serat dengan

diameter serat. Semakin besar perbandingan tersebut maka semakin tinggi

kekuatan sobek dan semakin baik daya tenun seratnya. Semakin panjang serat

maka semakin tinggi kekuatan sobek karena serat yang panjang menyebabkan

jalinan antara serat yang juga semakin panjang dan gaya sobek akan terbagi dalam

luasan yang lebih besar (Syafii & Siregar, 2006). Nilai daya tenun serat

geronggang berkisar 42-44. Nilai daya tenun geronggang yang berasal dari

Bengkalis ini tidak terlalu berbeda dengan daya tenun kayu Macaranga hypoleuca

dari Jambi, yaitu 40 (Aprianis dan Rahmayanti, 2009).

Muhlsteph ratio adalah perbandingan antara luas penampang dinding

serat terhadap luas penampang melintang serat. Muhlsteph ratio geronggang

berkisar 24-27% (Tabel 6.2) yang berdasarkan klasifikasi termasuk pada golongan

II, karena berada dalam range 20-30% (Haroen, 2016). Namun menurut Anonim

(1976) bahwa Muhlsteph ratio kecil atau dibawah 30% termasuk dalam klasifikasi

kualitas kelas I. Sedangkan Rasio flexibilitas (kelemasan) adalah perbandingan

diameter lumen dengan diameter serat. Pada Tabel 6.2 terlihat bahwa rasio

felxibilitas geronggang adalah 0,85.

B. Sifat fisika dan mekanika

Sifat fisika kayu adalah sifat-sifat yang melekat pada susunan strukturnya

(Marsoem, 2011). Sifat fisika ini penting bagi penggunaan kayu, terutama kayu

sebagai bahan konstruksi dan rekayasa. Sifat ini disebabkan oleh perubahan

kondisi atmosfir atau udara yang ada di sekitarnya. Kayu sangat sensitif terhadap

perubahan kadar air udara atau kelembaban. Hal ini dikarenakan kayu bersifat

higroskopis yang meyebabkan kayu dapat menyerap atau kehilangan air

tergantung suhu dan kelembaban udara di atmosfer.

Pada bab ini sifat fisika yang dikupas adalah berat jenis. Berat jenis adalah

perbandingan massa kayu sebagai jumlah sel-sel penyusun kayu. Berat jenis

mempengaruhi rendemen dan kualitas pulp. Variasi berat jenis kayu setiap jenis

kayu akan berbeda tergantung tergantung strukturnya terutama tebal dinding

77 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

selnya. Umumnya kayu berberat jenis tinggi akan menghasilkan pulp yang sulit

digiling, tebal, kekuatan sobek tinggi, kekuatan tarik, jebol dan lipatnya rendah.

(Haroen, 2016). Kayu dengan berat jenis tinggi biasanya digunakan untuk

konstruksi. Menurut Paradis et al. (2012) bahwa berat jenis geronggang adalah

0,45 dimana tergolong kayu dengan berat jenis ringan. Rerata berat jenis untuk

kayu pulp berkisar 0,4-0,6 sehingga geronggang berada dalam kategori kayu

dengan berat jenis yang sesuai untuk tujuan produk pulp.

Sifat mekanika kayu adalah perilaku kayu terhadap beban luar yang

mengenainya. Sehingga sifat mekanika dikenal dengan kekuatan tekan, kekuatan

tarik, kekuatan geser, kekuatan lengkung, kekuatan belah, kekerasan dan

lainnya. Mengetahui sifat mekanika lebih diperuntukan untuk kayu konstruksi.

Kekuatan kayu tergantung kerapatannya. Semakin tinggi kerapatannya maka

semakin tinggi pula kekuatannya (Desch, 1996). Pada Gambar 6.4 terlihat bahwa

sifat mekanik geronggang seperti kekuatan kayu, kekuatan pukul, kekuatan

lentur statis dan modulus elastis tergolong rendah, sedangkan penyusutan

koefisien volumetrik dan total penyusustan tangensial tergolong medium. Dari

data ini geronggang dapat dimanfaatkan untuk konstruksi ringan, seperti selama

ini yang sudah dilakukan oleh masyarakat Bengkalis, Riau yang menggunakan

kayu geronggang sebagai kayu pancang.

Gambar 6.4. Grafik sifat fisika dan mekanik geronggang (Paradis et al., 2012)

78 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

C. Sifat Kimia Kayu

Sifat kimia kayu adalah perilaku kayu berdasarkan sifat kimia penyusun

kayu. Kayu tersusun atas bahan penyusun dinding sel dan bahan di luar dinding

sel kayu. Bahan kimia yang menyusun dinding sel kayu adalah selulosa, lignin

dan hemiselulosa, serta zat ekstraktif. Seringkali kegagalan pengolahan kayu

menjadi pulp disebabkan oleh adanya lignin atau ekstraktif kayu. Penggunaan

kayu untuk tujuan konstruksi lebih banyak berhubungan dengan berat jenis

kayu, kekuatan, kekerasan dan bukan karena adanya zat ekstraktif. Bahan kimia

yang terkandung dalam kayu berhubungan dengan sifat keawetan atau

ketahanan kayu. Selulosa memiliki persentase yang tinggi dari penyususn kayu,

diiikuti oleh lignin dan hemiselulosa. Ketiga penyususun kayu tersebut bersifat

higroskopis atau sangat suka air. Kemudian bahan kimia yang ada diluar dinding

sel adalah zat ekstraktif yang dapat diekstrak keluar dengan mudah (Prayitno,

2007).

Pada kajian ini penulis lebih banyak membahas mengenai sifat dasar kayu

geronggang sebagai bahan baku pulp. Komponen kimia kayu sangat

mempengaruhi kualitas dan kuantitas pulp yang dihasilkan. Seperti yang

disampaikan sebelumnya, secara umum komponen kimia penyusun kayu adalah

selulosa, hemiselulosa, lignin, dan ekstraktif.

C.1. Selulosa

Selulosa merupakan komponen terbanyak dalam kayu lunak dan kayu

keras dengan jumlah mencapai hampir setengahnya yaitu 40–50% (Fengel dan

Wegener, 1995). Kadar selulosa geronggang berkisar 39,71–40,72% (Tabel 6.3).

Selulosa adalah polimer rantai lurus yang tersusun oleh monomer unit β (1-4)

glukosa (Pettersen, 1984). Ikatan hidrogen antara molekul selulosa

mengakibatkan kekuatan serat selulosa yang tinggi (kekuatan tarik) dan tidak

mudah larut dalam kebanyakan pelarut (Sjӧstrӧm, 1995). Kandungan selulosa

pada kayu mempengaruhi kekuatan tarik pada pulp (Casey, 1980).

C.2. Hemiselulosa

Pada kayu, hemiselulosa hadir berdampingan dengan selulosa dan sangat

penting dalam proses pembuatan kertas karena dapat meningkatkan ikatan antar

serat. Hemiselulosa adalah campuran polisakarida yang rantainya bercabang

terdiri dari glukosa, mannosa, galaktosa, xylosa, arabinosa, asam glukoronik, dan

asam galaktoronik (Pettersen, 1984). Fengel dan Wegener (1995) menyatakan

79 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

hemiselulosa dapat meningkatkan kekuatan kertas (khususnya kekuatan tarik,

jebol, dan lipat) dan rendemen pulp. Kandungan hemiselulosa terbukti

berhubungan dengan hidrasi pulp yang cepat, pembentukan ikatan antar serat

yang lebih banyak dan lebih baik, dan pembentukan lembaran yang rapat

(Bowyer et al., 2007).

Komposisi hemiselulosa pada kayu keras antara 20–30% (Sjӧstrӧm, 1995).

Kandungan hemiselulosa geronggang berada pada kisaran tersebut yaitu 29,97–

30,68% (Tabel 6.3). Sebagai perbandingan, kandungan hemiselulosa pada kayu

Eucalyptus hibrid umur 4, 5, 6, dan 10 tahun berturut-turut sebesar 29,86%,

29,33%, 28,55%, dan 31,09% (Roliadi et al., 2010). Peningkatan kadar

hemiselulosa memberikan hasil kekuatan tarik lembaran pulp yang cenderung

meningkat mengikuti komposisi hemiselulosa (Roliadi et al., 2010).

C.3. Lignin

Keberadaan lignin dalam dinding sel berfungsi untuk memberikan

ketegaran pada sel. Lignin berpengaruh dalam memperkecil perubahan dimensi

dan mengurangi degradasi pada sel. Konsentrasi lignin tertinggi terdapat dalam

lamela tengah dan akan semakin mengecil pada lapisan dinding sekunder

(Bowyer et al., 2007). Menurut Fengel dan Wegener (1995) lignin adalah struktur

makromolekul berbentuk amorf yang terdiri atas sistem aromatik yang tersusun

atas unit-unit fenil propana. Di dalam sel kayu tidak diendapkan begitu saja

antara polisakarida dinding sel, tetapi terikat dan terasosiasi dengan polisakarida.

Bahkan polisakarida (karbohidrat) merupakan prasyarat untuk membentuk

makromolekul lignin dalam dinding sel tumbuhan. Ikatan antara polisakarida

dan lignin dinamakan komplek lignin-polisakarida.

Kandungan lignin pada kayu keras di daerah sub tropis bekisar antara 20–

25%, sedangkan pada kayu tropis kandungannya bisa lebih besar dari 30%

(Sjӧstrӧm, 1995). Kadar lignin geronggang berada pada kisaran 21,71-23,70%

(Tabel 6.3). Nilai ini masuk dalam kisaran yang dinyatakan oleh Sjostrom (1995).

Sedangkan kandungan lignin pada kayu A. mangium berkisar 27,30% (Marsoem,

2004).

Keberadaan lignin di dalam serat akan mengganggu ikatan gugus-gugus

hidroksil dari selulosa dan hemiselulosa sehingga akan menurunkan indeks jebol

lembaran kertas yang dihasilkan (Biermann, 1996). Selain itu keberadaan lignin

dalam kertas juga dapat menyebabkan kertas berubah warna menjadi kekuningan

80 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

apabila dibiarkan dalam udara terbuka dan terkena sinar matahari (Bowyer et al.,

2007). Dari itulah, untuk kayu pulp lebih diinginkan kandungan lignin yang

rendah atau sebisa mungkin untuk menghilangkan kandungan lignin yang

dikandung oleh kayu tersebut.

C.4. Ekstraktif

Ekstraktif merupakan komponen kayu yang dapat larut dalam pelarut

polar dan nonpolar. Sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa ekstraktif

bersifat racun yang dapat mencegah bakteri, jamur, dan rayap (Fengel dan

Wegener, 1995). Keberadaan ekstraktif dalam kayu ini dapat menurunkan

rendemen pulp, meningkatkan konsumsi bahan kimia, dan jika tidak dihilangkan

akan menimbulkan masalah seperti munculnya busa selama proses pembuatan

kertas (Marsoem, 2012). Kadar ekstraktif kayu di daerah subtropis berkisar 4-

10%, sedangkan ekstraktif kayu tropis dapat melebihi 20% (Pettersen, 1984).

Pada Tabel 6.3 terlihat bahwa ekstraktif etanol-toluena kayu geronggang berkisar

4,74 –4,89%.

Tabel 6.3. Sifat kimia kayu geronggang

Sifat kimia Geronggang

Alam Umur 4,5 tahun

Ekstraktif (%) 4,89 ± 1,44 4,74 ± 1,14

Lignin (%) 21,71 ± 1,79 23,70 ± 1,45

Selulosa (%) 40,72 ± 1,79 39,71 ± 0,76

Hemiselulosa (%) 29,97 ± 1,51 30,68 ± 0,93

Sumber : Aprianis et al (2018)

Menurut Aprianis, et al. (2018) kadar lignin kedua geronggang tersebut

menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kadar lignin geronggang tanaman dan

alam berturut-turut adalah 23,70 dan 21,71%. Dari data lignin terlihat bahwa

kemungkinan geronggang tanaman berumur lebih muda dibandingkan dengan

geronggang alam, karena lignin dibutuhkan sebagai penompang tanaman dalam

masa pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Zobel (1998) dimana

kayu muda memiliki kayu juvenil dan kandungan lignin yang lebih tinggi

dibandingkan dengan kayu dewasa (mature wood). Sebaliknya semakin tua

tanaman maka kayu dewasanya semakin besar dan kadar lignin semakin kecil

(Osman et al., 2015). Perbedaan kadar lignin yang sangat nyata juga ditemukan

pada kayu populus yang ditanam pada daerah yang berbeda (Kacik et al., 2012).

81 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Daftar Pustaka

Anonim. (1976). Vademecum Kehutanan Indonesia. Departemen Pertanian. Direktorat

Jenderal Kehutanan, Jakarta.

Aprianis, Y & Rahmayanti. S. (2009). Dimensi serat dan nilai turunannya dari tujuh jenis

kayu asal Propinsi Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol. 27 (1), 11-20.

Aprianis, Y., Akbar, O.T & Rizqiani, K.D. (2018). Perbandingan sifat bahan baku dan pulp

kraft geronggang (Cratoxylon arborescen) alam dan tanaman. Jurnal Ilmu dan

Teknologi Kayu Tropis. Vol 16 (2), 177-183.

Bierman, C.J. 1(996). Handbook of pulping and papermaking second edition. Academic

Press, California.

Bowyer, J.L., R. Shmulsky & J.G Haygreen. (2007). Forest product and wood science an intoduction fifth edition. Blackwell Publishing, Oxford.

Casey JP. 1980. Pulp and paper chemistry and chemical technology vol.II. Interscience

Publishing Inc., New York.

Desch, H.E. (1996). Timber: Structure, Properties, Conversion and Use, 7thedition. Food

Products Press, New York.

Fengel. D dan G. Wegener. (1995). Kimia, ultrastruktur, reaksi-reaksi kayu. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Haroen, W.K. (2016). Teknologi serat bahan baku pulp kertas. CV. Agung Ilmu, Bandung.

Ibrahim, M & Abdelazim (2015). Effect of Growth Rate on Fiber Characteristics of

Eucalyptus camaldulensis Wood of Coppice Origin Grown in White Nile State,

Sudan. Journal of Natural Resource and Enviromental, 6456(3), 14–23.

Kacik, F., Durkociv, J., & Kacikova, D. (2012). Chemical Profiles of Wood Components

of Poplar Clones for Their Energy Utilization. Energies, 5:5243–5256.

http://doi.org/10.3390/en5125243.

Marsoem, S.N. (2004). Pemanfaatan hasil hutan tanaman Acacia mangium. Pembangunan

Hutan Tanaman Acacia mangium : Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada.

Hardiyanto E.B dan H. Arisman (Ed). Palembang PT. Musi Hutan Persada,

Sumatera Selatan.

Marsoem, S.N. (2011). Sifat-sifat dasar kayu. Buku Ajar Fakultas Kehutanan, Universitas

Gadjah Mada.

Marsoem, S.N. (2012). Pulp dan kertas. Bahan Kuliah Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil

Hutan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. (Tidak dipublikasikan).

Yogyakarta.

Martawiajaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K & Prawira, S.A. (2005). Atlas Kayu Indonesia

Jilid I. Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan.

Osman, S.O., Ahmed, A.A & Yaseen, A.A. (2015). Study the effect of age wood chemical

compound of Eucalyptus camaldulensis and Populus nigra growing in erbil

governorates. International Journal of Life Sciences Research. Vol 3 (4), 61-66.

82 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Paradis, S., Thevenon, M.F., Brancheriau, L & Langbour, P. (2012). Tropix 7: The main

technological characteristics of 245 tropical wood species. Conference: IUFRO

Conference-Division 5: forest products. At Estoril, Portugal.

DOI:10.5281/zenodo.44995.

Pettersen, R.C. (1984). The chemical composition of wood. The Chemistry of Solid Wood.

Rowell. R (Ed). American Chemical Society. Washington.

Pratiwi, B.H. Narendra, G.M.E. Hartoyo, T. Kalima & S. Pradjadinata. (2014) Atlas jenis-

jenis pohon andalan setempat untuk rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia.

A. Ngaloken Gintings (Ed). Forda Press, Bogor.

Prayitno. (2007). Teknologi Hasil Hutan. Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas

Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.

Prosea. (1994). Soerianegara, I & Lemmens, R. H. M. J (eds). Plant Resources of South-East Asia No 5 (1). Timber trees : minor commercial timber. Genus:

Cratoxylum. Backhuys Publishers, Leiden.

Rinanda, R., Suhartati, Rahmayanti, S., Winarsih, A., Sutrisno, E., & Putra., A.M. (2012).

Kajian Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)

dan gerunggang (Cratoxylon arborescens BI.) Laporan Hasil Penelitian. Balai

Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. Kuok-Riau.

Roliadi, H., Dulsalam, dan D. Anggraini. (2010). Penentuan Daur Teknis Optimal dan Faktor Eksploitasi kayu Hutan Tanaman Jenis Eucalyptus Hybrid sebagai Bahan Baku Pulp. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan

dan Pengolahan Hasil Hutan. Jurnal Penelitian Hutan .Vol 28 (4): 332-357.

Roque, R. M. & Fo, M. T. (2007). Wood Density and Fiber Dimensions of Gmelina arborea

in Fast Growth Trees in Costa Rica : Relation to the Growth Rate. Investigacion Agraria : Sistemas y Recurcos Forestales, 6(3), 267–276.

Saito, H., Shibuya, M., Tuah, S. J., Turjaman, M., Takahashi, K., Jamal, Y., Segah, H., Putir,

P. E., & Limin, S. H. (2005). Initial Screening of Fast-Growing Tree Species

Being Tolerant of Dry Tropical Peatlands in Central Kalimantan, Indonesia.

Journal of Forestry Research, 2, 1–10.

Sjöström, E. 1995. Kimia Kayu, Dasar-Dasar dan Penggunaan. Terjemahan Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Suhartati, S. Rahmayanti, A. Junaedi & E. Nurrohman. 2012. Sebaran dan Persyaratan Tumbuh Jenis Alternatif Penghasil Pulp di Wilayah Riau. Kementerian

Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.

Suhartati, Rochmayanto, Y., & Daeng, Y. (2014). Dampak penurunan daur tanaman HTI

acacia terhadap kelestarian produksi, ekologis dan sosial. Info Teknis Eboni, 11

(2):103–116.

Syafii, W & Siregar, I.Z. (2006). Sifat kimia dan dimensi serat kayu mangium (Acacia mangium Willd) dari tiga provenans. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis.

Vol. 4 (1): 29-32.

Zobel, B.J. (1998). Juvenil wood in forest tress. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

83 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

VII.

KUALITAS KAYU DAN SERAT GERONGGANG: DAMPAKNYA PADA POTENSI PEMANFAATAN

(Eka Novriyanti)

(Ahmad

Ringkasan

Kayu geronggang merupakan kayu lokal Sumatera yang sangat potensial

dikembangkan sebagai hutan tanaman. Pertumbuhannya yang baik di lahan

gambut yang sering tergenang dan atribut kayu serta seratnya membuka peluang

untuk pemanfaatan yang lebih luas. Potensinya sebagai bahan baku pulp dan

kertas sudah cukup banyak dibahas, namun karakter dan kualitas kayunya

memungkinkan untuk lebih lanjut dikaji potensinya sebagai bahan baku produk

hasil hutan maju lainnya seperti komposit kayu dan produk nanocellulose.

Geronggang termasuk kayu dengan kekuatan rendah dan tidak awet, namun

dengan investasi nanoteknologi, propertis kayu yang lemah ini dapat

ditingkatkan, misalnya dengan impregnasi nanopartikel untuk memperbaiki

stabilitas dimensi, keawetan dan daya tahan bakarnya, selain juga berpotensi

sebagai bahan baku untuk nanomaterial.

A. Sekilas Mengenai Geronggang

Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa dan

merupakan salah satu negara mega biodiversitas di dunia. Banyak sekali

tumbuhan lokal kurang dikenal yang sebenarnya memiliki potensi besar untuk

untuk dikembangkan dan bernilai ekonomi. Sebanyak 17% dari total spesies

dunia berada di Indonesia yang tersebar di seluruh ekosistem daratan dan

perairannya (MoEF, 2014). Namun kekayaan hayati tersebut terus menghadapi

ancaman dari laju degradasi dan deforestasi yang terbilang tinggi di Indonesia

(Barri et al., 2018; MoEF, 2018). Hilangnya penutupan hutan baik dikarenakan

deforestasi, perubahan peruntukan lahan ataupun sebab lainnya juga

menyebabkan hilangnya banyak jenis kayu lokal belum dikenal yang memiliki

potensi pemanfaatan yang besar. Dengan lenyapnya jenis lokal potensial, selain

hilang fungsi ekologisnya akan hilang juga peluang potensi pemanfaatannya yang

bisa meningkatkan penghidupan masyarakat.

84 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Geronggang merupakan salah satu jenis lokal di Riau yang saat ini sedang

bergaung terutama karena potensinya untuk dikembangkan sebagai tanaman HTI

pulp (Akbar et al., 2016; Aprianis et al., 2018). Jenis ini juga memiliki kandungan

kimiawi yang juga dapat dimanfaatkan untuk pengobatan dan kayunya memiliki

potensi untuk bahan baku pulp. Saat ini kayu dari jenis ini sudah dimanfaatkan

secara lokal oleh masyarakat Riau untuk cerocok dan bahan bangunan (Lumy,

2019). Di belahan bumi yang lain, kayu geronggang dimanfaatkan untuk

konstruksi ringan, kotak dan crate yang tidak membutuhkan kekuatan tinggi,

cement-board, papan partikel, wool kayu, pulp dan kayu energi (arang dan kayu

bakar), paneling untuk interior, furnitur, blockboard, fiberboard, veneer

plywood, bahkan instrumen musik (CIRAD, 2012; Fern, 2019; ITTO, 2012;

PlantUse, 2017). Pengembangan pemanfaatan kayu dan serat geronggang masih

sangat terbuka lebar dengan semakin beragamnya kebutuhan manusia dan

semakin mutakhirnya perkembangan di bidang teknologi produk hasil hutan,

tentunya dengan memperhatikan atribut yang dimiliki oleh kayu geronggang

sendiri.

Di Malaysia, hanya dalam jumlah kecil kayu geronggang yang ditemukan

di pasaran. Meskipun begitu, perdagangan komersial kayu geronggang di

Malaysia sudah tercatat sejak tahun 1983 dalam bentuk kayu bulat maupun kayu

gergajian yang pada umumnya diekspor ke Singapura. Ekspor kayu geronggang

dari Malaysia ini mencapai nilai hingga 1,5 juta dolar Amerika dari volume ekspor

8500 m3 log dan 5000 m3 kayu gergajian pada tahun 1992 (PlantUse, 2017).

Nilai dan volume ekspor kayu geronggang Indonesia belum tersedia

laporannya. Nilai komersil geronggang di Indonesia tercatat di Bengkalis, Riau.

Di lokasi tersebut, geronggang sudah diusahakan dalam bentuk tanaman rakyat

dengan jarak tanam 1 x 1 (m) sehingga dalam 1 ha bisa menghasilkan setidaknya

9500 batang geronggang (Syamsuar, 2018). Jika batang geronggang dijual untuk

tujuan cerocok saja (tujuan penggunaan yang paling sederhana) dan dianggap

nilai jualnya sama dengan harga saat ini (tahun 2019) di Riau yaitu Rp

10.000/batang, maka dalam tiga hingga empat tahun saat dipanen dari areal seluas

satu ha akan diperoleh Rp 95.000.000. Namun agar diperoleh tujuan

pembangunan yang lestari maka pengusahaan geronggang haruslah dalam bentuk

hutan tanaman, baik yang diusahakan oleh rakyat maupun oleh perusahaan.

Pengusahaan dalam bentuk hutan tanaman ini direkomendasikan karena potensi

alami geronggang yang tercatat saat ini tidaklah besar. Secara alami, geronggang

85 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

bukan merupakan tumbuhan dominan di habitatnya. Laporan Heriyanto dan

Subiandono (2007) menyebutkan bahwa INP geronggang pada tingkat pohon

hanya 8,8% di kelompok hutan Sungai Bepasir - Sungai Sidung (Kabupaten

Tanjung Redep, Kalimantan Timur).

Geronggang, Cratoxylon arborescens (Vahl) Blume, secara alami tersebar

di Asia Tenggara seperti di Indonesia, Malaysia, Myanmar dan Filipina (Aprianis

et al, 2018; Barri et al., 2018; CIRAD, 2012;). Di Indonesia, geronggang ditemukan

di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi (PlantUse, 2017). Jenis ini biasanya

ditemukan tumbuh tersebar berasosiasi dengan dipterokarpa di hutan rawa, rawa

gambut mulai dari pesisir pantai hingga hutan sub-pegunungan (ketinggian > 900

m dpl) (Fern, 2019; Heriyanto & Subiandono, 2007; ITTO, 2012).

Geronggang dapat berupa perdu hingga pohon yang jika tempat

tumbuhnya sesuai tingginya dapat mencapai 50 m dengan diameter hingga 120

cm yang terkadang menggugurkan daun namun biasanya merupakan evergreen

(PlantUse, 2017; ITTO, 2012). Jenis ini diklasifikasikan sebagai ‘less concern’

dalam The IUCN Red List (Fern, 2019). Perbanyakan geronggang dapat

diilakukan melalui biji yang prosedurnya tidak terlalu rumit untuk dilakukan.

Batang geronggang lurus dan jarang berbanir dengan bebas cabang yang cukup

tinggi. Junaedi (Junaedi, 2018) melaporkan bahwa riap pertumbuhan tinggi dan

diameter geronggang adalah 1,18-2,89 m/tahun dan 0,96-2,08 cm/tahun.

Informasi yang lebih lengkap mengenai budidaya geronggang dapat disimak pada

bab sebelumnya mengenai informasi awal budidaya geronggang. Pada bagian ini

pembahasan akan lebih ditekankan kepada potensi pemanfaatan kayu dan serat

geronggang untuk berbagai produk akhir berdasarkan karakteristik kayu dan

seratnya.

B. Kualitas Kayu dan Serat Geronggang

Kualitas kayu diterjemahkan berbeda-beda tergantung sudut pandang

bidang masing-masing dari pelaku usaha perkayuan. Di bidang silvikultur, kayu

berkualitas adalah yang volume dan pertumbuhannya tinggi serta memiliki

bentuk yang baik (Bayne, 2015; Zhang, 2003); bagi pengguna kayu bulat, kualitas

kayu ditentukan oleh bebas cacat, kekuatan, kekakuan, stabilitas dimensi dan

keawetan (Bayne, 2015); sedangkan untuk pulp dan kertas, kualitas kayu akan

ditentukan oleh dimensi serat dan berat jenis (Zhang, 2003); kualitas kayu untuk

tujuan energi yang diinginkan adalah yang berat jenis dan nilai kalornya tinggi;

86 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

dan seterusnya. Walaupun hampir semuanya berkonsensus bahwa kualitas kayu

didefinisikan dengan mempertimbangkan penggunaan akhir yang spesifik, secara

umum kualitas kayu dianggap tergantung pada berat jenis dan panjang serat

terlepas dari penggunaan akhirnya (Zhang, 2003).

Zhang (2003) sendiri mendefinisikan kualitas kayu sebagai semua

karakteristik kayu yang mempengaruhi nilai rantai pemulihan dan kemampuan

melayani dari produk akhir. Definisi yang paling sering disitir adalah yang

disampaikan oleh Mitchell (Mitchell, 1961): kualitas kayu merupakan hasil dari

karakteristik fisis dan kimiawi yang dimiliki oleh pohon atau bagian dari pohon

yang menyebabkannya dapat memenuhi sifat yang diperlukan dari suatu produk

akhir yang berbeda-beda. Sedangkan Savidge (Savidge, 2003) menyatakan

kualitas kayu sebagai ‘derajat ekselensinya’ yang dikaitkan dengan tujuan atau

rencana penggunaannya.

Jika mengacu pada konsensus umum definisi kayu, maka kayu dan serat

geronggang termasuk dalam kategori rendah hingga moderat karena memiliki

berat jenis yang sedang dan berserat pendek. Kualitas kayu geronggang pada

bagian ini akan dibahas lebih lanjut juga dari parameter karakterisitik kayu

lainnya yang dianalisis melalui kajian sifat dasarnya yang meliputi anatomi, sifat

fisis mekanis, dan kimia yang dikaitkan dengan persyaratan yang harus dipenuhi

untuk tujuan produk akhir (end-products) tertentu.

Pemanfaatan kayu dalam bentuk kayu solid menuntut kualitas mutlak

dari bahan kayunya. Sedangkan untuk turunan kayu seperti vinir, serpih, blok,

serat, hingga nano selulosa, walaupun kualitasnya mutlak jika berdiri sendiri

namun kualitas tersebut semestinya dapat ditingkatkan dengan suatu perlakuan

atau teknik tertentu atau mengasosiasikannya dengan bahan lain dalam

penggunaannya. Hal ini termasuk yang kita singung dalam pembahasan di bagian

ini untuk mengkaji peluang pemanfaatan kayu dan serat geronggang.

87 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Tabel 7.1. Rangkuman atribut kayu dan serat geronggang

Atribut kayu

Sifat yang

dipengaruhi

terkait end-product

Potensi

penggunaan

Nilai atribut kayu

geronggang Sumber

Anatomi

Micro Fibril Angle

Kekakuan dan

penyusutan;

stabilitas

dimensi

Konstruksi,

komposit

n/a (Zhang, 2003)

Dimensi serat Kekuatan pulp Pulp,kertas,

komposit

Panjang serat 1250

µm

(Rinanda et al.,

2012)

Fisis mekanis

kerapatan/

berat jenis

Kekuatan

produk, pulp yield

0,45 (CIRAD, 2012;

ITTO, 2012;

Rinanda et al.,

2012)

Warna n/a Putih pink hingga

coklat merah (color

index 5 dengan 1-7

= gelap-terang)

(CIRAD, 2012;

ITTO, 2012;

PlantUse, 2017)

Tekstur Mempengaruhi

sifat permesinan

Kekasaran sedang (CIRAD, 2012;

ITTO, 2012;

PlantUse, 2017)

Grain Sifat

permesinan dan

stabilitas

dimensi

Lurus, interlocked (CIRAD, 2012;

ITTO, 2012;

PlantUse, 2017)

Permeabilitas Mempengaruhi

keterawetan,

assembling,

impregnasi,

stabilitas

dimensi

Konstruksi,

komposit

Relative tinggi (CIRAD, 2012;

PlantUse, 2017)

Penyusutan

radial, %

Stabilitas

dimensi

Furniture,

papan,

konstruksi

2,2-2,6 (PlantUse,

2017)

Penyusutan

tangensial, %

Stabilitas

dimensi

Furniture,

papan,

konstruksi

4,2-4,7 (PlantUse,

2017)

Modulus of elasticity (MOE),

kg/cm2

Kekuatan konstruksi 67,520.5 (Rinanda et al.,

2012)

Modulus of rupture (MOR),

kg/cm2

Kekuatan konstruksi 600.6 (Rinanda et al.,

2012)

88 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Keteguhan tekan

// serat, kg/cm2

Kekuatan konstruksi 288.1 (Rinanda et al.,

2012)

Keteguhan tekan

//serat, kg/cm2

Kekuatan konstruksi 96.8 (Rinanda et al.,

2012)

Keteguhan geser

(R), kg/cm2

Kekuatan konstruksi 83.2 (Rinanda et al.,

2012)

Keteguhan geser

(T), kg/cm2

Kekuatan konstruksi 96.3 (Rinanda et al.,

2012)

Keteguhan pukul

(R), kg m/dm3

Kekuatan konstruksi 17.4 (Rinanda et al.,

2012)

Keteguhan pukul

(T), kg m/dm3

Kekuatan konstruksi 16.8 (Rinanda et al.,

2012)

Keteguhan belah

(R), kg/cm

Kekuatan konstruksi 21.9 (Rinanda et al.,

2012)

Keteguhan belah

(T), kg/cm

Kekuatan konstruksi 27.4 (Rinanda et al.,

2012)

Keteguhan

tarik//(R),

kg/cm2

Kekuatan konstruksi 20.9 (Rinanda et al.,

2012)

Keteguhan

tarik//(T), kg/cm2

Kekuatan konstruksi 32.8 (Rinanda et al.,

2012)

Keteguhan tarik

sejajar // (R),

kg/cm2

Kekuatan konstruksi 507.0 (Rinanda et al.,

2012)

Keteguhan tarik

sejajar // (T),

kg/cm2

Kekuatan konstruksi 592.9 (Rinanda et al.,

2012)

Kekerasan ujung,

kg/cm2

Kekuatan konstruksi 354.1 (Rinanda et al.,

2012)

Kekerasan sisi,

kg/cm2

Kekuatan konstruksi 240.5 (Rinanda et al.,

2012)

Kimia

Titik jenuh air

(%)

Kekuatan,

keawetan,

proses

pengerjaan

Furniture,

konstruksi

31 (CIRAD, 2012)

Kadar abu (%) Proses pulping Pulp, kertas,

selulosa dan

turunan

0,64 (Rinanda et al.,

2012)

Kadar silika (%) Proses pulping,

proses

permesinan

kayu

Pulp, kertas,

selulosa dan

turunan

0,21 (Rinanda et al.,

2012)

Ekstraktif dalam

air dingin

Pulping dan

pengerjaan kayu

Pulp, kertas,

selulosa dan

turunan

1,65 (Rinanda et al.,

2012)

89 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Ekstraktif dalam

air panas

Pulping dan

pengerjaan kayu

Pulp, kertas,

selulosa dan

turunan

5,77 (Rinanda et al.,

2012)

Ekstraktif dalam

alkohol –

benzene

Pulping dan

pengerjaan kayu

Pulp, kertas,

selulosa dan

turunan

1,87 (Rinanda et al.,

2012)

Ekstraktif dalam

NaOH 1%

Pulping dan

pengerjaan kayu

Pulp, kertas,

selulosa dan

turunan

11,21 (Rinanda et al.,

2012)

Kadar lignin (%) Pulping dan

rendemen pulp

Pulp, kertas,

selulosa dan

turunan

22,7 (Aprianis et al.,

2018)

Kadar pentosan

(%)

Pulping dan

rendemen pulp

Pulp, kertas,

selulosa dan

turunan

14,98 (Rinanda et al.,

2012)

Kadar selulosa

(%)

Pulping dan

rendemen pulp

Pulp, kertas,

selulosa dan

turunan

51,87 (Rinanda et al.,

2012)

Hemiselulosa Pulping dan

rendemen pulp

Pulp, kertas,

selulosa dan

turunan

30,32 (Aprianis et al.,

2018)

Nilai kalor

(kal/gr)

Fire safety n/a 4,29 (Rinanda et al.,

2012)

Keawetan Serviceability Konstruksi,

papan,

furniture

Non-durable (CIRAD, 2012;

ITTO, 2012;

PlantUse, 2017)

Keterawetan Serviceability Konstruksi,

papan,

furniture

Mudah (CIRAD, 2012;

PlantUse, 2017)

Pengeringan Stabilitas

dimensi,

serviceability

Konstruksi,

papan,

furniture

Laju cepat, resiko

cacat akibat

pengeringan

rendah

(CIRAD, 2012;

PlantUse, 2017)

Pengergajian dan Permesinan

Blunting effect n/a Kayu

gergajian

Normal (CIRAD, 2012)

Rekomendasi

gigi gergaji

n/a Kayu

gergajian

Biasa atau alloy

baja

Rekomendasi

alat potong

n/a Kayu

gergajian

Biasa

Pengupasan n/a Vinir,

plywood

Baik namun vinir

mudah sobek

Penyayatan n/a Vinir,

plywood

Tidak

direkomendasikan

Assembling

90 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Paku/sekrup n/a Komposit,

engineered wood

mudah (CIRAD, 2012;

ITTO, 2012)

Adhesive n/a Komposit,

engineered wood

UF baik, PF tidak

direkomendasikan

(PlantUse,

2017)

Faktor kualitas

musical

n/a Alat musik 101,6 pada 2589 hz (CIRAD, 2012)

B.1. Pulp dan kertas

Karakter kayu yang diutamakan dalam pertimbangan sebagai bahan baku

pulp dan kertas adalah sifat fisik (anatomi, dimensi serat) dan sifat kimia (Tabel

7.2, 7.3 dan 7.4). Faktor produktifitas pohon yang terkait dengan laju

pertumbuhan biasanya juga menjadi tambahan pertimbangan, biasanya

cenderung dipilih spesies cepat tumbuh yang produktifitasnya tinggi. Namun

berdasarkan berat jenis dan panjang seratnya, geronggang sangat sesuai sebagai

bahan baku pulp kraft (Tabel 7.3 dan 7.4) (Aprianis et al., 2018).

Tabel 7.2. Dimensi serat yang digunakan sebagai bahan baku pulp Panjang (mm) Lebar (µm)

Softwood (trakeid) 1.4-6 20-50

Hardwood (fiber dan vessel) 0.2-1.6 10-300

Straw 0.5-1.5 8-15

Sugar cane bagasse 1.2-2 15-25

Cotton 25-65 18-30

Flax 10-36 12-20

Ramie 100-150 35-50

Sisal 2.5-3 18-25

Bamboo 2-3.5 12-18

Sumber: (Perez & Fauchon, 2003)

Geronggang termasuk dalam kelompok kayu daun lebar sehingga panjang

seratnya 1200-1300 µm (Rinanda et al., 2012) yang walaupun termasuk kelas II,

merupakan nilai yang wajar untuk kayu daun lebar. Berdasarkan total skor untuk

karakter serat dan turunannya, kayu geronggang berada dalam rentang kualitas

kelas I sebagai bahan baku pulp karena hasil total penilain karakter seratnya 475

(Tabel 7.3). Sedangkan dari berat jenis dan sifat kimianya kayu gerongang juga

diklasifikasikan sebagai kualitas tinggi (Tabel 7.4). Rendemen pulp geronggang

adalah 48,15% (Akbar et al., 2016) yang merupakan nilai yang wajar untuk kayu

daun lebar (Fengel & Wegener, 1995).

91 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Tabel 7.3. Kriteria kualitas serat kayu untuk bahan baku pulp dan kertas dan

kualitas serat geronggang

Sumber: (Rachman & Siagian, 1976; *Rinanda et al., 2012)

Tabel 7.4. Kriteria karakter kayu sebagai bahan baku pulp dan karakter kayu

geronggang

Sumber: (Aprianis et al., 2018; ITTO, 2012; Wardany, 2002)

Walaupun termasuk dalam kategori kelas I untuk kualitasnya sebagai

bahan baku pulp, peruntukan kertas yang dihasilkan dari serat geronggang ini

tetap menyesuaikan dengan panjang seratnya yang merupakan serat berukuran

sedang. Panjang serat mempengaruhi kekuatan mekanis lembaran yang

dihasilkan. Serat yang panjang akan menghasilkan kontak permukaan dan ikatan

antar serat yang lebih baik sehingga menghasilkan lembaran yang memiliki

kekuatan mekanis yang baik (Ververis et al., 2004). Kekuatan mekanis lembaran

juga diberikan oleh serat dengan Runkel ratio, felting power, rasio fleksibilitas

serta Muhlsteph ratio yang baik karena dapat meningkatkan kekuatan tarik dan

Sifat kayu Kualitas pulp Karakter kayu geronggang*

Tinggi Sedang Rendah Nilai kualitas

Warna kayu Putih-

kuning

Coklat-

hitam

Hitam Coklat -merah Sedang**

Kerapatan kayu < 0,501 0,501-0,600 > 0,600 0,445-0,515 tinggi

Holoselulosa (%) > 65 60-65 < 60 70,39-70,69 tinggi

Lignin (%) < 25 25-30 > 30 21,71-23,70 tinggi

Ekstraktif (%) < 5 5-7 > 7 4,74-4,89 tinggi

92 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

sobek yang tinggi pada lembaran (Casey et al., 1980; Ververis et al., 2004). Serat

geronggang memiliki Runkle, Muhlsteph dan fleksibilitas yang sangat baik,

walaupun felting power atau daya tenunnya rendah, namun secara umum serat

geronggang akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan mekanis yang cukup

baik dengan kekuatan sobek dan tarik yang tinggi. Lembaran dengan kekuatan

mekanis tinggi cocok sebagai bahan baku pembuatan kertas tulis, print dan

kemasan (Ververis et al., 2004).

B.2. Konstruksi

Penggunaan kayu sebagai material konstruksi suatu struktur memiliki

nilai lebih dari sisi estetika, lebih ramah lingkungan (Kuzman & Grošelj, 2012)

juga toleransi terhadap gempa apabila desainnya sesuai. Namun begitu sifat-sifat

alami kayu menyebabkan keterbatasan pemanfaatannya sebagai kayu konstruksi,

hanya kayu yang memiliki kekuatan tinggi dan awet yang bisa dipilih. Karena

itulah struktur bangunan yang dikonstruksi dari kayu solid bernilai luxurius yang

tinggi karena hanya menggunakan kayu berkualitas tinggi yang mahal. Biasanya

kayu dengan kekuatan yang tinggi tersebut memiliki sifat pertumbuhan yang

lambat sehingga ketersediaan kayu tersebut biasanya terbatas. Pemanfaatan

keteknikan kayu dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan keawetan

jenis-jenis kayu yang kurang kuat dan awet sehingga memberikan alternatif

produk di pasaran.

Penggunaan kayu untuk peruntukan konstruksi tidak hanya dapat

ditutupi dari kayu solid namun juga dari produk komposit kayu dan engineered

wood. Tiang yang terbuat dari laminated timber dan laminated veneer lumber

(LVL) seringkali memiliki kekuatan yang jauh lebih tinggi dari kayu aslinya.

Walaupun begitu, pada bagian ini hanya dibahas mengenai karakter kayu

geronggang dalam penggunaannya sebagai kayu konstruksi secara konvensional

dalam bentuk kayu solid.

Kayu solid akan berkualitas tinggi jika memilliki bentuk yang lurus, bebas

cacat, kestabilan dimensi yang tinggi, awet, kuat dan kaku. Sifat fisis mekanis

merupakan karakter atribut kayu yang menentukan kualtasnya. Kayu

geronggang sudah dimanfaatkan sebagai kayu konstruksi ringan di Malaysia dan

di Indonesia tercatat di Riau (Lumy, 2019; PlantUse, 2017). Secara umum,

geronggang tidak memiliki sifat fisik dan mekanikal yang tinggi dan juga

termasuk dalam kelompok kayu tidak awet yang memerlukan perlakuan

93 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

pengawetan untuk meningkatkan masa pakainya (Tabel 7.1) sehingga

pemanfaatannya untuk konstruksi hanya direkomendasikan untuk penggunaan

konstruksi ringan di dalam ruangan. Pemanfaatan kayu solid sebagai cerocok

tidak menuntut kekuatan yang tinggi dan masa pakai yang panjang karena

penggunaannya hanya bersifat sementara atau tidak lama, karena itulah

geronggang yang tidak memiliki kekuatan tinggi dan tidak awet dimanfaatkan

sebagai kayu cerocok di Riau.

Seperti yang disampaikan sebelumnya, kayu konstruksi eksterior

menuntut kekuatan dan keawetan yang tinggi dari kayu bahan bakunya agar

service yang diperoleh maksimal dan masa penggunaanya panjang. Dalam

meningkatkan nilai pemanfaatan kayu geronggang untuk tujuan konstruksi,

diperlukan aplikasi keteknikan kayu dan proses pengawetan. Namun belum

tersedia data mengenai performa peningkatan kualitas geronggang melalui wood

engineering sehingga masih diperlukan penelitian dan kajian terkait hal tersebut.

B.3. Komposit/wood engineering

Kayu komposit didefinisikan sebagai material yang merupakan campuran

dari kayu dan turunannya (serat, chip, blok, dan sebagainya) dengan material lain

yang digabung melalui suatu agen pengikat/penghubung tertentu. Barbu et al.

(Barbu et al., 2014) menyatakan bahwa kayu komposit dibuat dari bahan kayu

dan non kayu berlignoselulosa yang diikat/disatukan dengan perekat alami

ataupun sintetis. Sedangkan Stark et al. (Stark et al., 2010) menggunakan

terminologi komposit untuk semua material kayu yang digabung menggunakan

perekat.

Komposit kayu berkembang karena semakin sulitnya didapatkan kayu

berkualitas tinggi dengan ukuran yang diperlukan. Tujuan utama pengembangan

komposit kayu adalah untuk mengefisienkan penggunaan kayu (Barbu et al.,

2014) dan memperoleh produk dengan kekuatan dan derajat ekselensi yang

tinggi. Kayu komposit tidak dipengaruhi oleh karakter yang disebabkan oleh

pertumbuhan alami kayu sehingga kualitas alami kayu dapat dikesampingkan dan

kayu dengan kekuatan rendah dapat digunakan dalam fabrikasinya. Lebih lanjut,

seperti halnya kayu solid grade rendah, ekselensi kayu komposit bahkan dapat

lebih ditingkatkan dengan penambahan keawetan dan daya tahan bakarnya (fire

resistant).

94 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Komposit kayu dan produk keteknikan kayu (wood engineering)

memiliki kelebihan daripada kayu solid dalam hal: keseragaman yang tinggi,

karakter kinerja yang didefinisikan dengan baik, membutuhkan lebih sedikit

bahan kayu untuk mendapatkan karakter kekuatan yang sama, memiliki sumber

bahan baku yang sangat luas, dan dapat menggunakan kayu berkualitas rendah

(de la Roche et al., 2003) yang kekuatanya rendah secara alami maupun yang

disebabkan cacat. Di balik kelebihan produk komposit kayu, tidak semua produk

komposit memiliki karakter yang lebih baik dari kayu solid, beberapa produk

papan serat dan papan partikel tidak sesuai untuk penggunaan eksterior karena

daya adsorbsi airnya lebih tinggi sehingga mudah mengalami perubahan bentuk

(melengkung) atau mengembang, kadang dibutuhkan energi pemrosesan yang

besar, dan yang paling krusial adalah masalah emisi bahan beracun formaldehid

yang berasal dari perekat UF dan PF yang umum digunakan dalam produk

komposit kayu. Kekurangan ini dapat ditutupi dengan investasi penambahan

bahan lain untuk mengurangi daya adsorbsi air dan menggunakan perekat alami

atau perekat lain yang ramah lingkungan.

Komposit kayu menggunakan bahan dasar kayu dan turunannya dalam

berbagai bentuk dan ukuran, yaitu serat, partikel, serbuk kayu, serpih, vinir,

papan lamina dan kayu gergajian (Stark et al., 2010). Komposit kayu bahkan dapat

menggunakan limbah prosesing kayu atau limbah pertanian sebagai bahan

bakunya (Maloney, 1996). Dengan pengembangan komposit kayu maka

pemanfaatan kayu dapat lebih efisien menuju zero waste production. Klasifikasi

produk komposit kayu dapat dilihat pada Tabel 7.5.

Gambar 7.1. Beberapa contoh produk komposit kayu (Stark et al., 2010)

95 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Tabel 7.5. Klasifikasi produk komposit kayu Sumber Kelompok produk Jenis produk

Maloney

(1996)

Produk panel Kayu lapis, blokboard, papan serat

(insulation dan hardboard), medium density fiberboard (MDF), papan

partikel, waferboard, oriented strand board (OSB), com-ply panel

Produk lumber dan timber Laminated veneer lumber (LVL), com-ply lumber, parallel strand lumber (parallam), oriented strand lumber

(OSL), railroad ties

Produk molding Panel automobile, door skins

Produk inorganic-bonded Wood-cement, wood gypsum

Stark et al.

(2010)

Produk berbasis vinir Kayu lapis, LVL, parallam (PSL),

Laminates Glue laminated timber, overlayed materials, laminated wood-nonwood komposit, multiwood komposit (com-

ply)

Material komposit Papan serat (low, medium, high

density), cellulosic fiberboard, hardboard, papan partikel, waferboard,

flakeboard, OSB, laminated strand lumber (LSL), OSL

Wood-nonwood komposit Wood fiber-polimer komposit, Inorganic-bonded komposit

Produk komposit kayu dapat digunakan pada aplikasi non struktural dan

struktural baik untuk penggunaan interior maupun eksterior. Dalam hal ini,

komposit kayu harus memiliki sifat fisik mekanik yang baik. Geronggang dapat

dimanfaatkan menjadi produk komposit kayu untuk meningkatkan

penggunaannya hingga tujuan struktural eksterior yang sebelumnya tidak

memungkinkan dengan sifat alami kayunya. Kayu geronggang dapat dibuat vinir

dengan rotary peeling dan juga dengan metode slicing (ITTO, 2012) dan

selanjutnya dapat dikembangkan menjadi kayu lapis atau Laminated Veneer

Lumber (LVL). Kajian mengenai hal tersebut sejauh ini memang belum tersedia

untuk kayu geronggang dan perlu dilakukan, namun potensi pengembangan

geronggang sebagai produk komposit sangatlah besar. Potensi pengembangan

kayu geronggang untuk wood dan non-wood dan plastik komposit juga sangat

terbuka dikaji dan dikembangkan.

96 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

B.4. Nanomaterial dan nanoteknologi

Berbicara tentang ukuran nano berarti berbicara tentang material

berukuran < 100 nanometer. Keterlibatan kayu geronggang dalam bahasan bisa

ditinjau dari dua sisi, sebagai bahan baku produk nano dan sebagai objek

peningkatan mutu dengan teknologi nano. Tentu saja prospek pengembangan

tersebut perlu dipertimbangkan dengan memperhatikan atribut dari kayu

geronggang sendiri. Kayu sebagai bahan berlignoselulosa dan interaksinya

dengan nanomaterial lain masih sangat terbuka luas untuk dikaji dan

dikembangkan (Anonymous, 2005).

Baik sebagai bahan baku produk nano (misalnya serat nanoselulosa dan

kristal nanoselulosa) maupun sebagai objek teknologi nano, karakter kayu

geronggang sangat memungkinkan untuk hal tersebut. Kayu geronggang

termasuk dalam kelas kayu tidak awet dengan kekuatan fisis mekanis yang

rendah (Tabel 7.1) sehingga perlu dilakukan peningkatan kualitas kayunya untuk

memperluas bidang pemanfaatannya. Kemudahan kayu geronggang untuk

diimpregnasi dengan suatu bahan (CIRAD, 2012; ITTO, 2012; PlantUse, 2017)

membuat hal ini dimungkinkan melalui aplikakasi teknologi nano. Kandungan

kimia kayu geronggang (Tabel 7.1 dan 7.4) juga membuka peluang bagi kayu ini

untuk dijadikan bahan baku produk nano karena memiliki kandungan selulosa

yang baik, kandungan lignin dan ekstaktif yang tolerable.

Kayu pada umumnya, termasuk geronggang, merupakan materi

biopolymer berlignoselulosa yang memiliki keunikan sifat dan karakteristik

sehingga merupakan area yang sangat potensial dalam hal nanoteknologi. Kayu

memiliki ketersedian yang melimpah di alam, renewable, memiliki struktur

nanofibril, memiliki potensi multifungsional dan dapat dikontrol dalam proses

assemblingnya (Anonymous, 2005; Beecher, 2007) Selulosa nanofibril memiliki

kekuatan yang tinggi dan juga fleksibilitas sehingga sangat berpotensi untuk

menghasilkan bahan yang kuat namun ringan dan awet (Anonymous, 2005).

Pada skala nano, sifat mekanis, elektris, optis, magnetis dan berbagai atribut

lainnya akan menunjukkan perilaku yang berbeda dari ukuran bulk-nya sehingga

dapat diperoleh bahan dengan kekuatan lebih tinggi, opasitas lebih besar, serta

kinerja elektris magnetis yang lebih baik (Anonymous, 2005).

97 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Lebih dari dua per tiga biomasa kayu dapat dirubah menjadi biofuel cair

dan monomer melalui fermentasi dan gasifikasi. Sisanya merupakan daerah dari

selulosa kristalin, yaitu polimer berbasis glukosa yang tersedia melimpah di alam.

Selulosa kristalin tersusun dari selulosa nanofibril yang berukuran kurang lebih

diameter 5-20 nm dan panjang 100-an nm, yang memerlukan teknologi tertentu

untuk dipecah dari bahan bulknya namun merupakan sumber potensial bagi

nanomaterial (Beecher, 2007). Sebuah matrik polimer yang melibatkan berbagai

tipe selulosa nanofibril – nanokristal, selulosa whiskers dan nanoselulosa dibuat

untuk menghasilkan komposit reinforced yang memiliki kekakuan 145 GPa dan

tensile strength 7,5 GPa. Nilai tersebut menyerupai nilai karbon nanotubes yang

saat ini digunakan untuk reinforcement pada berbagai material. Produksi

reinforcement dari nanomaterial kayu tentu saja akan lebih murah untuk

dilakukan jika dibandingkan karbon nanotubes (Beecher, 2007).

Beecher (2007) melaporkan bahwa penelitian di Amerika yang dimotori

oleh John Simonsen yang menggabungkan 10% selulosa nanofibril dalam poly-

(vinyl alcohol) dan matriknya ditautkan secara silang dengan poly-(acrylic acid)

menghasilkan bahan yang memiliki ekselensi tinggi. Bahan ini memiliki tensile

strength, keteguhan dan kestabilan thermal yang tinggi, serta karakter pelapisan

yang mendekati difusi molekul hidrofobik. Ini hanya salah satu contoh yang luar

biasa dari kajian produk nano dari kayu/selulosa.

Nanoteknologi juga dapat melibatkan kayu dan komposit kayu sebagai

objek dalam tujuan untuk meningkatkan proteksi terhadap kayu,

memperpanjang masa pakai dan meningkatkan kinerjanya. Taghiyari (2014)

menyampaikan berbagai peningkatan kualitas kayu dan kayu komposit dengan

nanoteknologi, diantaranya:

metal nano-partikel untuk memperbaiki konduktifitas termal.

Impregnasi kayu dengan metal nanopartikel, perak dan tembaga,

meningkatkan konduktifitas termalnya, mempercepat transfer panas dari

permukaan ke bagian dalam sehingga mengurangi over-heated dan

penurunan sifat mekanis oleh panas.

mineral dan metal nano-material untuk meningkatkan resistensi terhadap

serangan biologis dan api.

98 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Wollastonite nano-fiber dilaporkan dapat meningkatkan ketahanan kayu

poplar. NS, NC dan nao-zinc oxide juga meningkatkan resistensi kayu

terhadap serangan jamur pelapuk putih.

nanoteknologi untuk mengurangi waktu produksi dari panel komposit kayu,

Mineral dan metal nano-material yang memiliki koefisien konduktifitas

panas yang baik dilaporkan dapat mengurangi waktu pengempaan dan juga

memperbaiki sifat mekanis papan partikel.

nano-teknologi untuk meningkatkan water-resistant.

Nano-zycosil secara signifikan dapat mengurangi permeabilitas MDF

terhadap cairan dan gas, sehingga lebih memiliki kestabilan dimensi yang

baik.

Daftar Pustaka

Akbar, O. T., Aprianis, Y., & Novriyanti, E. (2016). Performance of geronggang

(Cratoxylon arborescens) at 4.5 years old as potential substitute for Acacia

crassicarpa in peat land. In H. Ohi, T. Ryohei, H. Liu, H. Zhang, Z. Lv, R. Daik,

… et al. (Eds.), Proceedings International Symposium on 2nd Resource Efficiency in Pulp and Paper Technology (pp. 59–65). Bandung: Center for

Pulp and Paper.

Anonymous. (2005). Nanotechnology for the forest product industry. Wood and Fiber Science, 37(4), 549–551.

Aprianis, Y., Akbar, O. T., & Rizqiani, K. D. (2018). Perbandingan sifat bahan baku dan

pulp kraft geronggang (Cratoxilum arborescen) alam dan tanaman. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kayu Tropis, 16(2177–183).

Barbu, M. C., Reh, R., & Irle, M. (2014). Wood-based composites. In A. Aguilera & J. P.

Davim (Eds.), Research developments in wood engineering and technology

(pp. 1–45). https://doi.org/10.4018/978-1-4666-4554-7

Bayne, K. (2015). Wood quality considerations for radiata pine in international markets.

NZ Journal of Forestry, 59(4), 23–31.

Beecher, J. F. (2007). Organic materials: wood, trees, and nanotechnology. Nature, 2, 466–

467.

CIRAD. (2012). Tropix 7: Geronggang’s datasheet. Montpelleir: Tropical and

Mediterranean Forest Products Research Unit .

de la Roche, I. A., O’Connor, J., & Tetu, P. (2003). Wood products and sustainable

construction. Proceedings of the XII World Forestry Congress. Quebec.

Fengel, D., & Wegener, G. (1995). Kimia, ultrastruktur, reaksi-reaksi kayu. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Fern, K. (2019). Tropical plants database, Cratoxylum arborescens.

99 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Heriyanto, N. & Subiandono, H. (2007). Studi ekologi dan potensi geronggang

(Cratoxylon arborescens Bl.) di kelompok hutan Sungai Bepasir-Sungai

Siduung, Kabupaten Tanjung Redeb, Kalimantan Timur. Buletin Plasma Nutfah, 13(2), 82–87.

ITTO. (2012). ITTO Lesser use species: geronggang. Yokohama.

Junaedi, A. (2018). Growth performance of three native tree species for pulpwood

plantation in drained peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal of Forestry Research, 5(2), 119–132.

Kuzman, M. K., & Grošelj, P. (2012). Wood as a construction material: Comparison of

Different construction types for residential Building using the analytic

hierarchy process. Wood Research, 57(4), 591–600.

Lumy, F. E. (2019, March). Hari Ini Gubri Syamsuar meninjau budidaya udang vaname

dan pohon geronggang di Pulau Bengkalis. GoRiau.

Maloney, T. M. (1996). The family of wood composite materials. Forest Product Journal, 46(2), 19–25.

Mitchell, H. L. (1961). A concept of intrinsic wood quality and nondestructive methods for deermining quality in standing timber. Madison, Wisconsin.

MoEF. (2014). The fifth national report of Indonesia submitted to the Convention on Biological Diversity (1st ed.; A. Suseno, V. S. Nalang, & L. Agustina, Eds.).

Jakarta: Deputy Minister of Environmental Degradation Control and Climate

Change Ministry of Environment and Forestry.

Perez, D. D. S., & Fauchon, T. (2003). Wood quality for pulp and paper. In J. R. Bartnett

& G. Jeronimidis (Eds.), Wood quality and its biological basis (pp. 157–186).

Boca Raton: Blackwell Publlishing.

PlantUse. (2017). Cratoxylum (PROSEA) -.

Rachman, A. N., & Siagian, R. M. (1976). Laporan LPHH No. 75: Dimensi serat jenis kayu Indonesia Bagian III. Bogor.

Rinanda, R., Suhartati, Rahmayanti, S., Winarsih, A., Sutrisno, E., & Putra, A. (2012).

Laporan Hasil Penelitian: Sifat dasar dan kegunaan kayu jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) dan gerunggang (Cratoxylon arborescens BI.). Kuok, Riau.

Savidge, R. A. (2003). Tree growth and wood quality. In J. R. Bartnett & G. Jeronimidis

(Eds.), Wood quality and its biological basis (pp. 1–26). Boca Raton: Blackwell

Publlishing.

Stark, N. M., Cai, Z., & Carli, C. (2010). Wood-based composite materials panel products,

glued-laminated timber, structural composite lumber, and wood–nonwood

composite materials. In R. J. Ross (Ed.), Wood Handbook, wood as engineering material (Centennial, pp. 11.2-11.26). Madison, Wisconsin: Forest Product

Laboratory, USDA.

Syamsuar. (2018). Geronggang, alternatif masa depan ekonomi Riau.

100 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Taghiyari, H. R. (2014). Nanotechnology in wood and wood-composite materials. Journal of Nanomaterials & Nanotechnology, 3(1), 1–2.

https://doi.org/:http://dx.doi.org/10.4172/2324-8777.1000e106

Ververis, C., Georghiou, K., Christodoulakis, N., Santas, P., & Santas, R. (2004). Fiber

dimensions, lignin and cellulose content of various plant materials and their

suitability for paper production. Industrial Crops and Products, 19, 245–254.

https://doi.org/10.1016/j.indcrop.2003.10.006

Wardany, H. . (2002). Analisis sifat kimia dan sifat anatomi kayu mangium (Acacia mangium Wild) pada berbagai provenansi. Institut Pertanian Bogor.

Zhang, S. Y. (2003). Wood quality attributes and their impacts on wood utilization.

Proceedings of the XII World Forestry Congress. Quebec.

101 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

VIII.

PENGOLAHAN PULP DAN KERTAS

KAYU GERONGGANG (Yeni Aprianis & Eka Novriyanti)

(Ahmad

Pulp merupakan bahan berserat yang dihasilkan dari pengolahan bahan

berselulosa menjadi komponen-komponennya, baik secara mekanis, kimia atau

kombinasi dari keduanya (kimia dan mekanis/semikimia) dan merupakan bahan

baku pembuatan lembaran pulp, kertas dan papan serat, rayon serta produk

turunan sintesis lainnya (Marsoem, 2012). Salah satu contoh bahan berselulosa

adalah tanamam berkayu baik yang berupa perdu maupun pohon besar. Namun

seperti halnya bahan alam lainnya, bahan berlignoselulosa dari tanaman berkayu

ini memiliki keragaman karakterisitik yang sangat tinggi yang sangat

mempengaruhi pengerjaannya dalam menghasilkan produk serat alam.

Kertas terdiri dari jalinan serat selulosa berasal dari tumbuhan yang

memiliki dimensi panjang, lebar dan tebal dinding sel yang bervariasi tergantung

jenis, posisi dan genetis pohon serta tempat tumbuhnya. Pembuatan kertas

merupakan proses penyusunan kembali serat kedalam bentuk lembaran. Selama

proses pengeluaran air dari jaringan serat maka akan terjadi pembentukan jalinan

antar serat yang lebih rapat dan terjadi perubahan bentuk serat menjadi pipih

(Haroen, 2016). Sejarah peradaban atau revolusi tulis menulis dapat di lihat pada

Tabel 8.1. Kertas dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan yang begitu banyak,

seperti penulisan, pencetakan, pembungkus, pakaian, industri, sanitasi dan

kesehatan.

Pada Tabel 8.1 terlihat bahwa pengolahan pulp untuk dijadikan kertas

diawali dengan proses pulping secara mekanis, soda, sulfit dan sulfat. Selain

proses tersebut, pengolahan pulp secara biologi (menggunakan jamur dan enzim)

juga dapat dilakukan meskipun saat ini masih dalam skala pilot atau penelitian.

Pengolahan pulp secara biologi biasanya dikombinasikan dengan proses mekanis

ataupun semi-mekanis dengan harapan nantinya dapat mengurangi energi dalam

penguraian serat, mengurangi penggunaan bahan kimia, dan tentu saja ada

pertimbangan nilai lingkungan karena proses ini lebih ramah lingkungan.

102 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Pengolahan pulp secara bio-semi mekanis telah diteliti untuk jenis kayu yang

lebih ringan dibandingkan dengan kayu geronggang, yaitu pada jenis kayu

terentang (Camnosperma auriculta Blume Hook.F). Inkubasi kayu terentang

dengan jamur Phanerochaete chrysosporium dapat menghemat energi refening

sekitar 22,7% (Aprianis et al., 2016). Pengolahan pulp biologi ini mengharuskan

kondisi yang steril, memerlukan waktu yang lebih lama dan tempat inkubasi yang

luas. Batasan-batasan tersebut menyebabkan proses biologi ini belum dapat

digunakan secara luas.

A. Pengolahan Pulp

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, pulp dapat diperoleh

melalui berbagai proses tergantung pada peruntukkannya. Pada bagian ini akan

disampaikan mengenai pengolahan pulp dari kayu geronggang secara semi

mekanis dan kraft.

A.1. Pengolahan pulp semi mekanis

Pengolahan pulp semi mekanis sudah mulai diterapkan semenjak tahun

1970-an. Walaupun saat ini pengolahan pulp kayu lebih banyak dilakukan secara

kimia karena memprioritaskan kekuatan atau sifat fisik pulp, namun pembuatan

pulp melalui proses mekanis/semi mekanis masih dilakukan dan terus mengalami

perkembangan teknologi. Pulp mekanis/semi mekanis merupakan bahan untuk

pembuatan kertas koran, majalah, kalender dan kertas gelombang yang

kebutuhannya mencapai 20-25% dari total kebutuhan pulp dunia (Yang et al.,

2008). Beberapa jenis proses pembuatan pulp mekanis dan semi mekanis yaitu:

RMP (Refiner Mechanical Pulping), TMP (Thermo mechanical Pulping) dan

CTMP (Chemo thermo mechanical Pulping) (Cameron, 2004).

Proses semi mekanis merupakan kombinasi pengolahan pulp melalui aksi

kimia dan mekanis. Tujuan utama dari proses mekanis adalah menguraikan serat

(refining) dengan memisahkan serat dari matrik kayu sebagai bahan kertas

dengan mempertahankan rendemen yang tinggi. Idealnya proses mekanis dapat

menghasilkan kondisi sebagai berikut: serat terpisahkan dari matrik kayu,

panjang serat dipertahankan, kumpulan serat harus diikuti dengan pengupasan

lapisan terluar lamela tengah, lapisan dinding primer, dan terakhir penguraian

permukaan dinding sekunder (Ilikainen, 2008).

103 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Tabel 8.1. Revolusi kertas

No Tahun Penemu /bangsa Keterangan

1 Tidak

diketahui

Bangsa sumeria Informasi ditulis di batu, kayu, bambu, kulit,

daun lontar dan tulang binatang

2 Tidak

diketahui

Peradaban mesir

kuno

Menggunakan papirus sebagai media tulis pada

zaman Firaun, kemudian menyebar ke Timur

Tengah, Romawi dan Eropa

3 101 M Tsai Lun (Cina) Membuat kertas dari bambu

4 751 M Masa Abbasiyah

(Arab)

Didirikan industri kertas di Baghdad, Samarkand

dan kota industri lainnya

5 Abad ke-

12

Gutenberg

(Eropa) Menemukan mesin cetak kertas

6 1799

Nicholas Louis

Robert

(Perancis)

Menemukan screen wire yang digunakan untuk

pembuatan kertas

7 1809 John Dickinson Membuat kertas lebih tipis menggunakan

fourdrinier

8 1814 Friedrich gottlob

keller

Menemukan proses mekanis untuk pembuatan

pulp dari kayu

9 1826 Tidak diketahui Ditemukan steam cylinder untuk pengeringan

pembuatan kertas

10 1827 Amerika serikat

Mengoptimalkan penggunaan fourdinier sehingga kertas dari kain bekas menjadi

berkurang

11 1853-1854 Charles watt dan

Hugh Burgess Menemukan proses kimia soda

12 1857

Benjamin Chew

Tilghman

(Amerika)

Menemukan proses sulfit

13 1884 Carl Dahl

Menemukan proses kraft yang berkembang &

merupakan proses yang paling banyak

digunakan saat ini.

Sumber : disimpulkan dari buku (Haroen, 2016)

Pada proses refining, serat terpisahkan pada bagian dinding primer-

sekunder melalui aksi mekanis. Pulp hasil proses mekanis permukaan seratnya

masih dibungkus oleh lamela tengah yang kaku, sehingga konsentrasi lignin di

permukaan masih tinggi dan mengakibatkan rendahnya kekuatan pulp yang

dihasilkan. Tipe pemutusan serat pada proses pulp mekanis dan semi mekanis

104 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

diilustrasikan secara sistematik oleh Franzen (Johansson et al., 2011) pada

Gambar 8.1.

Gambar 8.1. Tipe pemisahan serat (Sumber: Johansson et al., 2011)

Salah satu faktor yang penting pada proses pulping semi mekanis adalah

konsentrasi bahan kimia pemasak. Menurut Bierman (1996) variabel pada proses

pulp semi mekanis diantaranya adalah: jenis kayu, pola pisau refiner (disk dan

conical refiner), jarak antara plat refiner (0,005-0,1 inci), kecepatan refiner (800-

2000 rpm), suhu pemasakan (110-130 oC), dan jenis bahan kimia yang digunakan

(NaOH atau Na2SO3).

Pengolahan pulp semi mekanis kayu geronggang dilakukan dengan

menggunakan NaOH pada konsentrasi 6, 8 dan 10%, sedangkan variasi diameter

kayu geronggang yang digunakan adalah 10, 15 dan 20 cm. Rendemen pulp putih

yang diperoleh disampaikan pada Tabel 8.2. Rendemen terendah 73,76%

dihasilkan oleh geronggang berdiameter 15 cm dan perlakuan kondisi 10%,

sedangkan yang tertinggi sebesar 81,99% dari kayu geronggang berdiameter 10

cm dan perlakuan 6%. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa diameter

dan konsentrasi NaOH serta interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata

terhadap rendemen pulp putih (Aprianis & Sugesty, 2013).

Pada Tabel 8.2 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH maka

rendemen yang dihasilkan semakin sedikit, artinya NaOH yang terlalu tinggi

akan ikut mendegradasi lapisan dinding sel kayu berupa selulosa dan

hemiselulosa. Perbedaan diameter kayu menyebabkan fluktuasi rendemen yang

dihasilkan, namun dari hasil penelitian ini terlihat kecenderungan bahwa

garis perkiraan pemisahan

serat

105 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

semakin besar diameter maka semakin kecil rendemennya. Meski begitu, perlu

dilakukan kajian dengan menggunakan sampel yang jauh lebih banyak untuk

menghasilkan suatu pernyataan yang ideal terkait faktor diameter ini. Rendemen

pulp putih kayu geronggang melalui proses ini rata-rata sebesar 77,86%.

Tabel 8.2. Pengaruh diameter setinggi dada (dbh) dan konsentrasi NaOH

terhadap rendemen pulp putih

Konsentrasi

NaOH

dbh (cm)

10 15 20

6% 81.99i 77.54e 80.69h

8% 77.67f 77.37d 78.12g

10% 77.02c 73.76a 76.6b

Keterangan: Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti dengan huruf kecil yang

sama dan baris yang diikuti dengan huruf kecil kedua yang sama tidak berbeda nyata

dengan uji Tukey

Sumber : (Aprianis & Sugesty, 2013)

A.2. Pengolahan pulp secara kimia (kraft)

Pengolahan pulp secara kimia lebih banyak dilakukan oleh industri. Dua

proses kimia yang dominan digunakan adalah proses sulfit dan proses kraft.

Kedua proses tersebut sama-sama menggunakan tabung pemasak bertekanan atau

digester, namun proses sulfit yang ditemukan lebih dulu menggunakan berbagai

garam dari asam sulfur (SO3-2 atau HSO3-) untuk mengekstrak lignin dalam

menghasilkan selulosa. Kata kraft diambil dari bahasa jerman yang berarti kuat.

Ada juga yang mengistilahkan proses kimia ini sebagai proses alkali dan proses

sulfat, padahal larutan yang digunakan tidak menggunakan sulfat namun

menggunakan natrium hidroksida (NaOH) dan natrium sulfida (Na2S). Proses

sulfat memiliki keunggulan dibandingkan dengan proses sulfit, yaitu (Marsoem,

2012):

dapat menggunakan segala macam jenis kayu, sehingga pasokan

kayunya memiliki fleksibilitas yang tinggi (termasuk kayu residu)

memiliki toleransi terhadap serpih yang mengandung kulit cukup

banyak

waktu pemasakannya singkat

tidak ada masalah peresinan

pulp yang dihasilkan memiliki kekuatan tinggi

dari beberapa jenis kayu dapat dihasilkan produk berharga dalam

bentuk tall oil dan terpentin

pemulihan (recovery) bahan kimia yang digunakan relatif murah

106 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Dengan berbagai keunggulannya, namun untuk membangun pabrik

untuk proses kraft diperlukan investasi modal yang tinggi. Kelemahan lainnya

adanya masalah bau yang ditimbulkan oleh limbah gasnya, warna yang jelek dari

pulp yang tidak diputihkan, biaya pemutihan yang tinggi, kesulitan dalam

penghalusan kembali (refenning) dengan alkali untuk menghasilkan pulp

larut/encer dan kualitas penggilingan pulp yang lamban (Marsoem, 2012).

Kayu geronggang juga telah dipelajari pembuatan pulpnya melalui proses

kraft. Dalam kajian tersebut digunakan kayu geronggang yang tumbuh alami dan

geronggang tanaman berumur 4,5 tahun. Sifat pengolahan pulp geronggang yang

dihasilkan melalui proses kraft tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.3.

Tabel 8.3. Sifat pulp kraft geronggang dan hasil analisis uji-T serta konsumsi

kayu

Sifat pulp kraft Geronggang

t Probabilitas alam umur 4,5 tahun

Rendemen, % 46,75±0,92 48,15±0,83 -1,604 0,250

Bilangan kappa 20,05±0,30 16,09±2,17 2,558 0,125

Lignin pulp, % 7,21±0,26 4,28±0,10 14,788 0,005*

Konsumsi kayu, m3t-1 4,55 4,83 - -

Keterangan: * berbeda nyata pada taraf uji 95%

- = data tidak tersedia

Sumber : (Aprianis et al., 2018)

Pengolahan pulp geronggang secara kraft menghasilkan rendemen

berkisar 46,75-48,15% dengan reject yang hampir tidak ada. Rendemen pulp

geronggang tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan geronggang alam,

walaupun secara statistik nilainya tidak berbeda nyata. Nilai rendemen ini masuk

dalam rentang rendemen pada proses pulp alkali (kraft) dari bahan berkayu, yaitu

berkisar 45-50% (Fengel & Wegener, 1995).

Geronggang dapat tumbuh dengan baik di lahan gambut sehingga

merupakan substitusi yang potensial untuk Acacia crassicarpa yang saat ini

merupakan primadona HTI pulp di lahan gambut. Dari kajian proses kraft untuk

geronggang, rendemen yang dihasilkan memang masih lebih rendah

dibandingkan rendemen pulp A. crassicarpa. Suhartati et al. (2014) menyebutkan

bahwa rendemen pulp A. crassicarpa umur lima tahun sebesar 50,46% sedangkan

rendemen pulp geronggang 48,15%. Perbedaan nilai rendemen ini disebabkan

perbedaan berat jenis, kayu yang memiliki berat jenis tinggi menghasilkan

107 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

rendemen pulp yang tinggi juga (Casey, 1980). Pada penelitian ini berat jenis

geronggang alam dan tanaman masing-masing 0,47 dan 0,43, sedangkan berat

jenis A. crassicarpa 0,49 (Suhartati et al., 2014) sehingga rendemen pulp yang

dihasilkan A. crassicarpa lebih tinggi. Konsumsi kayu geronggang alam dan

tanaman untuk memproduksi satu ton pulp berturut-turut adalah 4,55 dan 4,83

m3ton-1, sedangkan A. crassicarpa hasil pemuliaan sebesar 4 m3ton-1. Geronggang

tanaman membutuhkan bahan baku yang lebih banyak dibandingkan dengan

geronggang alam untuk menghasilkan satu ton pulp. Konsumsi kayu geronggang

memang masih di bawah konsumsi kayu krasikarpa, namun perlu diperhatikan

bahwa tanaman krasikarpa di sini telah melewati proses pemulian sehingga tidak

menutup kemungkinan geronggang akan menyamai bahkan melebihi

keunggulan krasikarpa jika dilakukan pemuliaan pada tanaman ini.

Bilangan kappa pulp geronggang yang dihasilkan berkisar 16,09-20,05

(Tabel 8.3). Bilangan kappa menunjukkan residual lignin yang masih terdapat di

dalam pulp setelah proses pulping. Bilangan kappa yang terlalu rendah berakibat

pada terjadinya disolusi karbohidrat pada saat proses pulping yang akhirnya

berefek pada berkurangnya rendemen pulp. Namun bilangan kappa yang tinggi

menyebabkan konsumsi bahan kimia yang tinggi pula saat pemutihan sehingga

meningkatkan biaya produksi (Correia et al. 2018; Segura et al., 2016). Namun,

dewasa ini industri cenderung lebih mementingkan aspek rendemen sehingga

terjadi kecenderungan untuk menghasilkan pulp dengan bilangan kappa yang

tinggi (Correia et al., 2018) sehingga diperoleh rendemen pulp yang tinggi dan

peningkatan kapasitas pemulihan bahan kimia tanpa mempengaruhi kualitas

pulp (Patrick, 2005).

B. Sifat Fisik Pulp

Pada bagian ini dibahas mengenai sifat fisik pulp yang diolah secara

mekanis yang dibandingkan dengan pulp dari jenis kayu lain menggunakan

proses pengolahan pulp yang sama. Sifat fisik pulp geronggang yang diolah secara

mekanis disampaikan pada Tabel 8.4.

Bila dibandingkan sifat fisik pulp geronggang dengan mangium dan

kertas koran terlihat bahwa pulp mekanis geronggang memiliki kriteria sebagai

bahan pembuat kertas koran (Tabel 8.4). Komposisi kertas koran sebagian besar

terdiri dari pulp mekanis dan juga campuran pulp kimia untuk memberi kekuatan

pada lembaran kertas dan tidak mudah putus. Proses kombinasi kimia-mekanis

108 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

dapat secara langsung menghasilkan pulp dengan karakter yang serupa dengan

komposisi campuran untuk kertas koran. Menurut Roliadi et al. (2010),

penggunaan bahan kimia diatas 8% termasuk kedalam pengolahan kimia

mekanis.

Tabel 8.4. Sifat fisik pulp geronggang yang diolah secara mekanis

Hendrik, M.T (1998) 1); SNI 14-0091-19872); Kokta, et al., 19933); Aprianis & Sugesty,

2013

Jika dilihat dari sisi rendemen geronggang mempunyai peluang besar bila

dibandingkan dengan mangium (Tabel 8.4). Nilai indeks tarik dan sobek pulp

geronggang juga lebih baik daripada mangium. Sedangkan ekaliptus yang diolah

secara semikimia menggunakan larutan pemasak NaOH dan Na2SO3 memberikan

hasil rendemen, brightness dan opasitas yang lebih tinggi bila dibandingkan

dengan geronggang dan mangium. Untuk pemakaian sebagai kertas koran, maka

pulp geronggang masih memerlukan perbaikan dalam hal gramatur yaitu berat

perluas lembaran pulp, brightness dan penentuan opasitas cetak.

C. Pohon Industri Pulp dan Kertas

Sekilas proses pembuatan pulp dan kertas dapat dilihat pada Gambar 8.2.

Bahan baku berupa kayu bulat yang diperoleh dari hutan tanaman dan limbah

pertanian dibuat menjadi serpih yang kemudian dimasak menjadi pulp. Jika pulp

yang dihasilkan merupakan serat pendek maka kemudian dibuat menjadi

lembaran kertas dengan berbagai macam jenis peruntukan seperti kertas budaya,

kertas industri, kertas tisu dan kertas percetakan. Sedangkan pulp yang berasal

dari serat panjang yang biasanya digunakan untuk kertas kemasan kantong semen

masih diimpor dari luar negeri. Pulp yang diperuntukkan untuk rayon yang

berasal dari serat panjang masih dalam bentuk pilot project, sedangkan yang

berasal dari serat pendek sudah dilakukan oleh PT. RAPP sejak dua tahun

Parameter Satuan Geronggang Mangium

1)

Kertas koran 2)

Eucalyptus 3)

Brightness % ISO 53,17 48,98 min. 55 63

Indeks Tarik N.m/g 33,22 19,68 min. 23,46 -

Indeks retak k.Pa.m/g 11,9 - - 1,7

Indeks sobek Nm2/kg 3,85 4,17 min. 3,56 3,4

Ketahanan

lipat - 10,07 - -

-

Opasitas % - 91,46 min. 89 93

109 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

terakhir ini dimana bahan bakunya diperoleh dari akasia. Bila dilihat dari sifat

bahan bakunya, geronggang juga berpotensi sebagai bahan baku pulp rayon dari

serat pendek.

Gambar 8.2. Pohon industri pulp dan kertas (Kementrian Perindustrian, 2018)

Daftar Pustaka

Aprianis, Y., Akbar, O. T., & Rizqiani, K. D. (2018). Perbandingan sifat bahan baku dan

pulp kraft geronggang (Cratoxilum arborescen) alam dan tanaman. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kayu Tropis, 16(2177–183).

Aprianis, Y., Irawati, D., & Marsoem, S. . (2016). Penggunaan Phanerochaete auriculata

pada pengolahan pulp bio-semi-mekanis kayu terentang (Camnosperma

auriculata Hook.f). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 34(3), 231–239.

Aprianis, Y., & Sugesty, S. (2013). Sifat pulp semimekanis kayu geronggang (Cratoxylum

arborescen). In Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas 2013. Bandung.

Bierman, C. . (1996). handbook of pulping and papermaking (Second Edi). California:

Academic Press.

Cameron, J. (2004). Mechanical pulping. USA: Elsevier.

Casey, J. P. (1980). Pulp and paper chemistry and chemical technology (Volume II). New

York: Interscience Publishing Inc.

Correia, F. M., Hallak D’angelo, J. V., Almeida, G. M., & Mingoti, S. A. (2018). Predicting

kappa number in a kraft pulp continuous digester: a comparison of forecasting

methods. Brazilian Journal of Chemical Engineering, 35(03), 1081–1094.

https://doi.org/10.1590/0104-6632.20180353s20160678

Fengel, D., & Wegener, G. (1995). Kimia, ultrastruktur, reaksi-reaksi kayu. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

110 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Haroen, W. K. (2016). Teknologi serat bahan baku pulp kertas. Bandung: CV. Agung

Ilmu.

Ilikainen, M. (2008). Mechanism of thermo-mechanical pulp refining. University of

Oulu.

Johansson, L., Hill, J., Gorski, D., & Axelson, P. (2011). Improvement of energy efficiency

in TMP refining by selective wood disintegration and targeted application of

chemical. Nordic Pulp and Paper Research Journal, 26(1), 31–46.

Kementrian Perindustrian. (2018). Perkembangan regulasi terbaru mengenai industri pulp dan kertas termasuk sertifikasi dan pemasaran hasil hutan serta potensi bisnis hasil hutan lestari. Jakarta.

Marsoem, S. (2012). Pulp dan kertas, bahan kuliah mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.

Patrick, K. (2005, March). Mills boost production, cut fiber cost by cooking to optimum

kappa levels. Paper Age. Cohasset.

Roliadi, H., Dulsalam, & Anggraini, D. (2010). Penentuan daur teknis optimal dan faktor

eksploitasi kayu hutan tanaman jenis eucalyptus hibrid sebagai bahan baku

pulp. Jurnal Penelitian Hutan, 28(4), 332357.

Segura, T. E. S., dos Santos, J. R. S., Sarto, C., & da Silva Jr, F. G. (2016). Kappa number

&amp; pulping. BioResources, 11(4), 9842–9855. Retrieved from

https://bioresources.cnr.ncsu.edu/wp-

content/uploads/2016/10/BioRes_11_4_9842_Segure_SSg_Effect_Kappa_No_

Variation_Mod_Pulping_Eucalyptus_10052.pdf

Suhartati, Rochmayanto, Y., & Daeng, Y. (2014). Dampak penurunan daur tanaman HTI

acacia terhadap kelestarian produksi, ekologis dan sosial. Info Teknis Eboni, 11(2), 103–116.

111 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

IX.

KONSEP PIKIR: Peluang Kayu Geronggang

Sebagai Material Maju Berbasis Nanoteknologi (Eko Sutrisno)

(Ahmad

A. Tinjauan Historis

Material maju saat ini telah menjadi sebuah arah baru dalam ilmu

rekayasa material yang diantaranya memproduksi dan menghasilkan material

berukuran nanometer. Penggunaan material dengan ukuran nanometer memiliki

keuntungan yang signifikan jika diaplikasikan pada produk-produk berbasis

komposit. Ukuran nanometer akan meningkakan luas permukaan sehingga

memperlebar area yang akan bersentuhan. Disisi lain, ukuran nano akan lebih

efektif menjangkau bagian terdalam sebuah produk dan meminimalisir

penggunaannya secara kuantitas. Salah satu material berukuran nanometer

berbasis alam berasal dari lignoselulosa. Pemanfaatan lignoselulosa dilakukan

dengan pertimbangan lignoselulosa bersifat terbarukan, tersedia dalam jumlah

besar, tersedia sepanjang tahun, mudah diisolasi dan diekstraksi serta bersifat

biodegradable. Tanaman sendiri yang merupakan sumber lignoselulosa

merupakan material alami yang terdiri dari berbagai komponen seperti selulosa,

hemiselulosa, lignin dan zat ekstraktif.

Selulosa sebagai komponen utama kayu merupakan polimer alami yang

terdiri unsur C, H dan O yang berikatan pada atom C1 ke atom C4 pada molekul

ß-D-glucopyranose sehingga membentuk rantai linear. Ikatan hidrogen yang

terdapat pada rantai polimer sakarida pada selulosa akan membentuk mikrofibril.

Selanjutnya ikatan antara mikrofibril akan membentuk jaringan kayu dan begitu

seterusnya sehingga membentuk kayu yang kasat mata. Konsep asosiasi polimer

ini dikenal dengan konsep “building block system” yang mana penyatuan antar

unit-unit terkecil menjadi sebuah sistem yang komplek (Schacht et al., 2008).

Kompleksitas terbentuknya jaringan kayu diilustrasikan pada Gambar 9.1.

112 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 9.1. Building block system selulosa pada tanaman

Secara umum selulosa ditemukan pada dinding sel tanaman terlepas itu

pada dinding sel primer atau dinding sel sekunder (Gambar 9.2), sehingga proses

pemanenan selulosa dilakukan dengan memisahkannya dari komponen

penyusun kayu lainnya. Fabrikasi material nano berbasis selulosa pada prinsipnya

dilakukan dengan cara pemurnian dan pemisahan selulosa dari komponen

penyusun kayu lainnya tersebut (Kargarzadeh et al., 2017). Dengan keragaman

hayati yang dimiliki oleh Indonesia, beragam spesies tanaman sebagai sumber

selulosa tersedia untuk dipilih. Pemilihan jenis kayu sebagai sumber selulosa

bergantung pada perbandingan antara kandungan selulosa dan non-selulosa.

Dengan demikian, kandungan selulosa diharapkan mendominasi dibandingkan

dengan komponen penyusun jaringan kayu lainnya (Logothetidis, 2011).

Gambar 9.2. Susunan komponen penyusun dinding sel tanaman (Wertz, Bedue,

& Mercier, 2010)

113 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Karakter yang menjadi pertimbangan selanjutnya adalah sifat

pertumbuhan, apakah cepat tumbuh (fast growing) atau tidak. Karakteristik

pertumbuhan ini akan berkaitan dengan produktifitas suatu jenis kayu pada saat

panen. Junaedi (2018) menyampaikan bahwa geronggang merupakan salah satu

jenis cepat tumbuh dan pada umur 5,5 tahun memiliki riap pertumbuhan

diameter 2,08 cm/tahun, pertumbuhan tinggi 1,96 m/tahun dan menghasilkan

13,1 m³/ha/tahun. Ditambahkan oleh Aprianis et al. (2018), kayu geronggang

yang dikembangkan dengan input silvikultur dalam bentuk demplot tanaman

memiliki kesamaan karakteristik dengan kayu geronggang yang tumbuh secara

alami. Kayu geronggang mengandung selulosa 41% dan memiliki panjang serat

1.134 μm dan diameter serat 25,60 μm.

Tantangan dalam fabrikasi nanomaterial berbahan baku gerunggang,

seperti halnya jenis kayu lainnya, adalah ketika kandungan komponen non-

selulosa menyamai kandungan selulosa di dalam kayu. Meskipun relatif memiliki

kandungan selulosa yang tinggi, namun geronggang juga memiliki kandungan zat

ekstraktif yang tinggi (4,7 – 4,9%) termasuk adanya pembuluh getah (Aprianis et

al., 2018). Dengan komposisi kimia kayu gerunggang seperti itu dan adanya

pembuluh getah tersebut perlu menjadi catatan pada saat fabrikasi. Komponen

non-selulosa tersebut membuat fabrikasi khususnya pada saat pre-treatment

harus dilakukan secara berulang kali untuk menghilangkannya (Wang et al.,

2018) Pengulangan tersebut bertujuan untuk memastikan fase pemurnian dan

pemutusan polimer selulosa berjalan dengan efektif sehingga selulosa berukuran

nanometer yang dihasilkan adalah benar nanomaterial (<100 nm).

Berdasarkan potensi dan karakteristik yang dimiliki, kayu geronggang

sangat mungkin untuk diaplikasikan sebagai bahan baku pembuatan material

nano berbasis lignoselulosa. Peluang kayu geronggang untuk menghasilkan

material nanoselulosa akan menjadi sebuah sumber daya baru lignoselulosa

dengan kekhususan properti produk yang dimilikinya. Perhitungan potensi dan

peluang sebagai bahan baku material nanoselulosa dilakukan melalui pendekatan

kesesuaian dengan aplikasi berbasis komposit.

B. Nanomaterial Berbasis Selulosa

Nanoselulosa merupakan material alam yang berasal dari lignoselulosa

dan berukuran pada skala nanometer. Nanomaterial ini biasanya diekstrak dari

komponen selulosa yang umumnya ditemukan pada dinding sel tanaman. Secara

114 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

garis besar nanomaterial yang diproduksi dari dinding sel tanaman ini dibagi

menjadi dua tipe yaitu kristal nanoselulosa (CNC) dan serat nanoselulosa (CNF)

(Moon et al., 2011). Kedua nanomaterial ini dapat dihasilkan dalam sebuah

rangkaian proses fabrikasi yang terintegrasi (Chen et al. 2017). Secara umum,

pada tahap awal fabrikasi akan dihasilkan CNC dan pada proses berikutnya akan

dihasilkan CNF (Bian et al., 2017b). Rangkaian proses terintegrasi tersebut

diilustrasikan pada Gambar 9.3. Berdasarkan struktur selulosa dalam mikrofibril,

akan ditemukan struktur penyusun dalam bentuk amorphous dan crystalline

(Kargarzadeh et al., 2017). Fabrikasi nanoselulosa merupakan implementasi

konsep eliminasi dan konservasi. Eliminasi bermakna menghilangkan struktur

amorphous sedangkan konservasi diasumsikan mempertahankan adanya struktur

amorphous dan crystalline. Selain komposisi penyusunan struktur, fabrikasi

berupaya untuk menurunkan dimensi material hingga berskala nanometer.

Namun pada buku ini hanya akan disampaikan mengenai karakteristik serat

nanoselulosa (CNF) dengan asumsi peluang pemanfaatannya yang lebih banyak.

Gambar 9.3. Teknik integrasi fabrikasi nanoselulosa (Kargarzadeh, Ioelovich, et

al., 2017)

C. Serat Nanoselulosa (CNF)

Serat nanoselulosa atau cellulose nanofiber (CNF) diproduksi dengan

memisahkan ikatan nanoselulosa dari mikrofibril. Biasanya serat nanoselulosa

memiliki diameter 20 – 50 nm dan panjang 500 – 2000 nm dan dapat bervariasi

tergantung teknik fabrikasi yang digunakan (Tabel 9.3). Secara strukturnya, serat

115 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

nanoselulosa tetap mengandung bagian amorphous dan bagian crystalline

(Brinchi et al., 2013). Serat nanoselulosa dapat diproduksi dari berbagai material

berbasis lignoselulosa seperti tanaman berkayu, tanaman perdu, limbah panen

pertanian hingga ke bakteri selulosa (Patel, 2009). Dengan demikian, kayu

gerunggang sebagai kayu lokal sangat berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai

sumber material baru untuk menghasilkan serat nanoselulosa.

D. Teknik Fabrikasi Serat Nanoselulosa

Selulosa yang terdapat pada dinding sel tanaman adalah bahan baku yang

diperlukan untuk fabrikasi serat nanoselulosa sehingga hal yang pertama

dilakukan adalah mengisolasi selulosa dari komponen lainnya (Zhu et al., 2014).

Selulosa yang kita panen dari mikrofibril yang ada di dinding sel tanaman

biasanya masih berukuran mikrometer. Selanjutnya yang dilakukan adalah

mengurangi ukuran hingga menjadi berskala nanometer. Pemilihan metode pada

fabrikasi nanoselulosa mempertimbangkan jenis material, kemudahan proses dan

efisiensi dari waktu bereaksinya (Patel, 2009). Dengan demikian, prinsip yang

dilakukan pada tahap fabrikasi adalah pemisahan, pemurnian dan penurunan

skala selulosa.

Teknik fabrikasi nanoselulosa secara umum terbagi menjadi tiga yaitu

secara biologi, mekanis dan kimia. Ketiga teknik tersebut memiliki keunggulan

dan kelemahan tersendiri dalam memproduksi serat nanoselulosa. Hal tersebut

mencakup faktor rendemen, kemudahan pengerjaan, lama waktu bereaksi dan

keekonomisannya (Kargarzadeh et al., 2017). Sehingga untuk mengantisipasi

kelemahan dari setiap teknik dilakukan kombinasi diantaranya.

Biasanya sebelum melakukan teknik fabrikasi tahap awal yang dilakukan

adalah pre-treatment. Tahap ini bertujuan untuk memaksimalkan pemisahan

komponen non-selulosa (hemiselulosa, lignin dan zat ekstraktif). Tindakan pre-

treatment ini umumnya mengikuti teknik fabrikasi yang akan dipilih namun

tidak menutup kemungkinan dapat berbeda. Metode pre-treatment yang

dilakukan secara fisik dilaksanakan secara mekanisasi meliputi penghancuran

dan penghalusan. Hal tersebut berguna untuk mengurangi ukuran bahan baku

dan menghancurkan bagian kristal selulosa. Pre-treatment menggunakan bahan

kimia dilakukan dengan pelarutan pada larutan asam ataupun alkali dengan

harapan pelemahan dan pemutusan ikatan polimer selulosa (Neto et al., 2013).

Tahap pre-treatment secara biologis dilakukan dengan penambahan enzim

116 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

selulase kedalam larutan material dengan tujuan untuk mendegradasi polimer

selulosa dari komponen lainnya (Tibolla et al., 2014; Tibolla et al., 2016). Setelah

tahap pre-treatment, baru dilakukan fabrikasi serat nanoselulosa yang mana

sebelumnya dilakukan pengaturan pH terhadap material menjadi normal.

Formulasi perlakuan pada setiap tahapan fabrikasi dapat dilakukan dengan

mengkombinasikan beberapa teknik (Tabel 3).

Mempertimbangkan beberapa faktor diatas, terkait keefektifan fabrikasi

serat nanoselulosa maka pada bab ini hanya akan dijelaskan mengenai fabrikasi

dengan mengkombinasikan teknik kimia dan mekanis. Hal ini dengan asumsi

keefektifan larutan kimia dalam memutus ikatan polimer selulosa dan tingginya

rendemen yang diperoleh setelahnya dengan menggunakan perlakuan mekanis

(Chen et al., 2011). Secara singkat teknik fabrikasi serat nanoselulosa dijelaskan

pada sub bab berikut ini.

D.1. Teknik Kimia

Teknik kimia merupakan tahap kedua setelah dilakukannya pre-

treatment dalam fabrikasi serat nanoselulosa. Material yang telah melalui fase

tersebut dan dengan kondisi pH normal selanjutnya diperlakukan secara kimia

melalui hidrolisis asam. Pelarut yang digunakan dapat berupa asam, katalis garam

logam ataupun larutan ion (Kargarzadeh et al., 2012). Hidrolisis sendiri

merupakan reaksi kimia yang memecah molekul air (H2O) menjadi kation

hidrogen (H+) dan anion hidrosida (OH-). Proses pemutusan rantai polimer ini

biasanya digunakan untuk memutus rantai polisakarida. Prinsipnya adalah

pendekomposisian menggunakan larutan untuk memutus ikatan kimia material

sehingga diperoleh lebih banyak monomer glukosa (Mahecha, Pelissari, Tapia-

Blacido, & Menegalli, 2015).

Larutan asam pada fase hidrolisis ditujukan untuk melepaskan ion atau

proton dari hidrogen yang ada di polimer selulosa. Larutan asam yang umum

digunakan seperti asam sulfat, asam kloric dan asam hidrokloric. Penggunaan

asam dari golongan asam kuat dilakukan untuk mendapatkan monomer glukosa

dari polimer polisakarida. Namun apabila larutan yang digunakan terlalu pekat

konsentrasinya dapat saja menghancurkan monomer glukosa (Valdebenito et al.,

2017). Proses dekomposisi polisakarida menjadi monomer glukosa dengan teknik

hidrolisis asam diilustrasikan pada Gambar 9.4.

117 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 9.4. Pemisahan rantai selulosa menjadi monomer glukosa

menggunakan hidrolisis asam (Girisuta, Janssen, & Heeres, 2007)

Komposisi hidrolisis asam yang digunakan akan disesuaikan dengan jenis

material atau bahan baku, jenis pelarut asam dan formulasinya (waktu reaksi,

temperatur, tekanan dan kondisi lingkungan sekitarnya). Rangkuman beberapa

kondisi komposisi hidrolisis asam yang digunakan pada teknik kimia untuk

fabrikasi serat nanoselulosa disampaikan pada Tabel 9.1. Setelah tahapan teknik

kimia menggunakan hidrolisis asam, proses dilanjutkan dengan teknik mekanis

untuk fabrikasi serat nanoselulosa.

Komposisi dan perlakukan yang terdapat pada Tabel 9.1 diatas, masih

membuka peluang untuk diperbaiki dan ditingkatkan. Selanjutnya, penambahan

katalis dapat dilakukan untuk meningkatkan rendemen dan kecepatan bereaksi.

Kehadiran katalis akan mempercepat reaksi pada kondisi lingkungan yang sama

pada dengan reaksi tanpa katalis (Girisuta et al., 2007). Korelasi antara material,

reaksi dan hasil akhir digambarkan pada Gambar 9.5. Sedangkan peningkatan

kelarutan selulosa dengan penambahan katalis dalam bentuk larutan ionic dalam

berbagai formulasi disampaikan dalam Tabel 9.2.

118 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Tabel 9.1. Komposisi dan formulasi hidrolisis untuk fabrikasi serat nanoselulosa Material /

bahan baku

Konsentrasi

asam

Suhu

(°C)

Waktu

(min)

Rasio asam

/material

Referensi

Mikrokristalin

selulosa

HBr, 1.5-2.5

M 100 240

- Lee et al., 2009 (2009)

Kulit kentang H2SO4, 64% 45 90 17.5 : 1 v/w Chen et al., 2012 (2012)

Batang padi H2SO4, 64% 45 45 8.75 : 1 v/w Lu et al., 2012 (2012)

Rumput ilalang H2SO4, 60% 45 45 15 : 1 v/w Wu et al., 2013 (2013)

Tongkol jagung H2SO4, 9.7 M 45 60 15 : 1 v/w Silvrio et al., 2013 (2013)

Kulit kacang H2SO4, 64% 30 40 30 : 1 v/w Neto et al., 2013 (2013)

Agave H2SO4, 60% 45 45 20 : 1 v/w Rosli et al., 2013 (2013)

Sabut kelapa H2SO4, 30%

v/v 60 144

8.75 : 1 v/w Nascimento et al., 2014

(2014)

Batang kelapa

sawit

H2SO4, 64% 45 60

- Lamaming et al., 2015

(2015)

Kulit tomat H2SO4, 64% 45 30 - Jiang et al., 2015 (2015)

Limbah kertas H2SO4, 64%

v/v 45 60

20 : 1 v/w Danial et al., 2015 (2015)

Kulit bawang H2SO4, 45% 60 1800 20 : 1 v/w Rhim et al., 2015 (2015)

Bambu HNO3, - 40-

60 240

30 : 1 v/w Lu et al., 2015 (2015)

Kapas H2SO4, 60% 45 90 20 : 1 v/w Oun et al., 2015 (2015)

Pulp eucalyptus C2H2O4,

50-70% 100 45 -90

- Chen et al., 2016 (L. Chen,

Zhu, Baez, Kitin, & Elder,

2016) C4H4O4,

50-70% 100 45

-

CH₃C₆H₄S,

50% 100 45

-

Ampas tebu H2SO4, 60% 45 75 20 : 1 v/w Lam et al., 2017 (Lam,

Chollakup, Smitthipong,

Nimchua, & Sukyai, 2017)

Pohon birch &

maple

C4H4O4, 60% 120

60 -

120

10 : 1 w/w Bian et al., 2017a (2017a)

Pulp eucalyptus C4H4O4, 60% 120 120

10 : 1 w/w Bian et al., 2017b (Bian et

al., 2017b)

Pulp eucalyptus C4H4O4, 15-

75%

60-

120 5 -300

- Wang et al., 2017 (R. Wang,

Chen, Zhu, & Yang, 2017)

119 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Tabel 9.2. Formulasi kelarutan pulp selulosa pada larutan elektrolit (Lin et al.,

2014) Larutan ionic Metode kelarutan

(weight %)

1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride

[C4mim]Cl

1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride

[C4mim]Cl

1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride

[C4mim]Cl

1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride

[C4mim]Cl

1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride

[C4mim]Cl

1-butyl-3-methylimidazolium bromide

[C4mim]Br

1-butyl-3-methylimidazolium

tetrafluoroborate

[C4mim]SCN

1-butyl-3-methylimidazolium

tetrafluoroborate

[C4mim][BF4]

1-butyl-3-methylimidazolium

hexafluorophosphate [C4mim][PF6]

1-Hexyl-3-methylimidazolium chloride

[C6mim]Cl

1-methyl-3-octylimidazolium

hydrochloride [C8mim]Cl

Heat (100º C)

70 ºC

Heat (80º C) +

sonication

Microwave heating

3 – 5 s pulses

Microwave

Microwave

Microwave

Microwave

Heat 100º C

Heat 100º C

10%

3%

5%

25% clear

Larutan menjadi

viscous

5 – 7%

5 – 7%

Tidak larut

Tidak larut

5%

Cukup terlarut

Gambar 9.5. Reaksi kimia dengan adanya penambahan katalis (Girisuta et al.,

2007)

120 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

D.2. Teknik Mekanis

Tabel 9.3. Kombinasi teknik dalam fabrikasi serat nanoselulosa dari berbagai

material No. Material Metode Karakteristik Referensi 1 Softwood chipping pulping high

shear homogenizer

a= - b= 16.0-28.0 nm c= 79.5% d= 315.16 ± 0.63

°C

Zhao et al., 2013 (Zhao et al., 2013)

2 Kulit pisang

2x alkali treatment (KOH)

1x bleaching (NaClO2) acid

hydrolysis (H2SO4) homogenizer

a= - b= 10.9-22.6 nm c= 58.6-64.9% d= 371.8 ± 0.7 -

375.0 ± 0.7 °C

Pelissari et al.,2014 (Pelissari, Sobral, & Menegalli, 2014)

3 Kulit pisang

2x alkali treatment (KOH)

2x bleaching (NaClO2) enzymatic (xylase)

a= 10% b= 7.6 ± 1.5 nm c= 49.2% d= -

Tibolla et al., 2014 (Tibolla et al., 2014)

4 Achira

(rhizome) 1st alkali treatment (KOH)

1st bleaching (H2O2) 2nd

bleaching (CH3CO3H) 2nd

alkali treatment (KOH)

acid hydrolysis (HCl) high pressure homogenizer

a= 3.3 - 12.9% b= 13.8 - 37.2 nm c= 57.5 - 69.8% d= -

Mahecha et al., 2015 (Mahecha et al., 2015)

5 Kulit pisang

alkali treatment (KOH) enzymatic (xylase)

a= 60.0 - 97.0% b= 5.2 - 15.8 nm c= 57.2 - 67.0% d= -

Tibolla et al., 2016 (Tibolla et al., 2016)

6 Kulit pisang

1st alkali treatment (NaOH)

1st bleaching (NaClO2)

2nd bleaching (NaClO2) 2nd

alkali treatment (KOH)

acid hydrolysis (H2SO4) ultrasonication

a= 8.9% b= 20 ± 5.2 nm c= 63.64% d= 295.33 °C

Khawas et al., 2016 (Khawas & Deka, 2016)

7 Limbah gergaji (Pinus sylvestris)

1x bleaching (NaClO2)

1x alkali treatment (NaOH)

5x bleaching (NaClO2) 5x alkali treatment (NaOH)

a= 82% b= 15-90 nm c= - d= -

Wang et al., 2018 (H. Wang et al., 2018)

Catatan: a = rendemen, b = diameter, c = indeks kristalinitas, d =

temperatur maksimum selulosa terdekomposisi.

Teknik mekanis dilakukan sebagai langkah akhir dalam fabrikasi serat

nanoselulosa dengan skema kombinasi dua teknik. Teknik mekanis bertujuan

untuk memisahkan ikatan serat nanoselulosa di dalam mikrofibril. Proses ini

dikenal dengan istilah proses defibrilasi atau penguraian serat. Teknik mekanis

ini biasanya menggunakan mesin ultrasonikasi, homogeniser, mikrofluidik dan

grinder (Kargarzadeh et al., 2017). Penggunaan mesin ultrasonikasi saat ini

121 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

menjadi pilihan utama dalam fabrikasi serat nanoselulosa. Mesin ini bekerja

dengn spektrum suara dengan rentang 20 kHz hingga 10 Mhz dimana mengubah

energi listrik menjadi energi akustik. Ultrasonikasi menciptakan gelombang yang

dapat memproduksi “oscillation mechanical” sehingga membuat gelembung

udara didalam larutan. Selanjutnya, gelombang ini dapat meletus menjadi

gelombang udara berukuran mikroskopis sehingga energi ulrasonik ini dapat

diserap oleh material. Adanya letusan mikroskopis ini membuat kerusakan pada

bagian amorphous dan beberapa bagian lainnya pada selulosa. Dengan demikian,

ikatan hidrogen polimer selulosa dalam mikrofibril akan terputus hingga terlepas

menjadi bentuk serat selulosa (Nechyporchuk et al., 2016).

Kombinasi antara teknik kimia dan mekanis ini ditujukan untuk

menutupi kelemahan dari masing-masing teknik jika diaplikasikan secara

terpisah, berdasarkan pada peningkatan rendemen yang akan dicapai, keefektifan

mekanisme kerja dan keekonomisan produksi pada fase fabrikasi serat

nanoselulosa. Tabel 9.3 mendeskripsikan hasil serat nanoselulosa yang diperoleh

dengan kombinasi teknik fabrikasi ini.

E. Karakteristik dan Aplikasi Serat Nanoselulosa

Serat nanoselulosa yang dihasilkan melalui fabrikasi selanjutnya

dikarakterisasi untuk memastikan apakah serat yang kita hasilkan adalah material

nano atau hanya sebatas berukuran nano berserta sifat lain yang menyertainya.

Selanjutnya setelah diketahui karakter serat nanoselulosa yang dihasilkan, maka

akan lebih mudah memperlakukannya pada saat pengaplikasian (Logothetidis,

2011). Karakterisasi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yang tentunya

dilakukan dengan penggunaan teknologi maju. Pengukuran dimensi berskala

mikroskopis dapat dilakukan menggunakan Scanning Electron Microscope

(SEM), Transmission Electron Microscope (TEM) dan juga Atomic Force

Microscope (AFM) (Wertz et al., 2010). Selanjutnya akan dikarakterisasi lebih

detail terkait kandungan komponen kimia penyusun, indeks kristalinitas,

temperatur maksimum terdekomposisi dan rendemen arangnya (Patel, 2009).

Pendalaman karakter dari serat nanoselulosa dari kayu gerunggang

dilakukan melalui pendekatan dengan karakterisasi serat nanoselulosa yang

dihasilkan dari kayu sesendok (Endospermum sp). Asumsi persamaan karakter

dikarenakan kemiripan berat jenis (BJ) kayu gerunggang dengan kayu sesendok

yang berada pada nilai 0,4 (Aprianis et al., 2018). Menimbang komposisi kimia

122 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

kayu yang dimiliki, maka kayu geronggang sangat layak untuk dijadikan sebagai

sumber lignoselulosa baru untuk fabrikasi serat nanoselulosa. Pemilihan metode

yang tepat pada tahap pre-treatment sebelum fabrikasi akan mempermudah

pemisahan dan penguraian serat selulosa. Keberhasilan ini ditandai dengan

semakin banyaknya komponen non-selulosa yang terpisahkan (Wang et al.,

2018).

Disamping itu, keberhasilan memisahkan dan memurnikan selulosa dari

komponen kimia kayu lainnya menjadi faktor penentu berikutnya (Okamura,

1991). Dimensi serat nanoselulosa dari kayu geronggang nantinya akan

dipengaruhi juga oleh kemampuan larutan kimia untuk melakukan penetrasi

sedalam mungkin dan kemampuannya untuk memutuskan ikatan intra molekul

selulosa (Lengowski et al., 2018). Jika hal tersebut berhasil maka ikatan quinone

methid dengan gugus hidrosil antara hemiselulosa dan lignin juga dapat

didegradasi secara optimal (Nishimura et al., 2018) sehingga rendeman yang

diperoleh pun akan tinggi.

Selanjutnya dianalisis senyawa kimianya menggunakan Fourier

Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) maka akan terlihat terjadinya

pergeseran peak penanda selulosa. Hal tersebut mengindikasikan perubahan

bahan baku dari selulosa tipe I menjadi selulosa tipe II selain terjadi penurunan

dimensi ukuran (Wang et al., 2018). Hasil FTIR kemungkinan masih akan

memperlihatkan terdapatnya peak penanda untuk komponen hemiselulosa dan

lignin (Tanpichai et al., 2018).

Pengamatan indeks kristalinitas pada serat nanoselulosa dilakukan

menggunakan x-ray Diffraction (XRD). Pada analisis menggunakan XRD, peak

yang semakin meruncing akan berkorelasi dengan semakin tingginya derajat

kristalinitas serat nanoselulosa (Chen et al., 2011). Fluktuasi indeks kristalinitas

ini berhubungan dengan ikatan intramolekuler dan intermolekuler hidrogen

yang ada pada rantai selulosa. Sedangkan durasi dan proses pemutusan rantai

hidrogen tersebut bergantung dengan pendekomposisian ikatan kovalen dan

struktur selulosa (Ciolacu et al., 2011).

Aplikasi serat nanoselulosa yang bersinggungan langsung dengan suhu

tinggi mengharuskan karakterisasi menggunakan Thermogravimetric Analysis

(TGA) dan Derivative Thermogravimetric (DTG). Melalui analalisis ini kita dapat

mengetahui suhu dimana serat nanoselulosa melepaskan molekul air dan akan

123 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

terdekomposisi. Komposisi kimia yang terkandung pada serat nanoselulosa turut

mempengaruhi proses pendekomposisian ini. Komponen hemiselulosa akan

terdekomposisi pada suhu 200 – 300°C, selulosa akan terdekomposisi pada suhu

275 – 400°C sedangkan lignin akan terdekomposisi pada suhu 600°C (Pelissari et

al., 2014).

Berdasarkan gambaran umum karakterisasi serat nanoselulosa tersebut,

serat nanoselulosa yang dihasilkan dari kayu geronggang akan dapat kita

aplikasikan pada bermacam skema. Komposit adalah salah satu skema yang

umum digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan sifat produk (Wertz et

al., 2010). Serat nanoselulosa dengan derajat kristalinitas dan suhu

terdekomposisi yang tinggi akan sangat potensial digunakan untuk pelapis

(coating) peralatan yang berhubungan dengan suhu tinggi (Phiriyawirut &

Maniaw, 2012). Selanjutnya untuk memperbaiki sifat fisik mekanik melalui

peningkatan MoE dan MoR, serat nanoselulosa dapat diaplikasikan sebagai bahan

pengisi komposit (Yue & Qian, 2018). Selain itu juga dapat memanfaatkan serat

nanoselulosa untuk menghasilkan produk berbasis nanoteknologi di antaranya

kertas transparan untuk pembungkus makanan (Zhu et al., 2014), tinta ataupun

pelapis panel surya dengan sifat konduktor (Nogi et al., 2015), piranti printer

elektronik (Koga et al., 2013), perekat (epoxy) (Kargarzadeh et al., 2017) dan lain

sebagainya. Banyaknya aplikasi serat nanoselulosa dikarenakan sifatnya yang

mudah beradabtasi (Abraham et al., 2011), transparan (Cherian et al., 2011), kuat

(Chun et al., 2012) namun bersifat degradable (George & Sabapathi, 2015).

Daftar Pustaka

Abraham, E., Deepa, B., Pothan, L. A., Jacob, M., Thomas, S., Cvelbar, U., & Anandjiwala,

R. (2011). Extraction of Nanocellulose Fibrils from Lignocellulosic Fibres: A

Novel Approach. Carbohydrate Polymers, 86(01), 1468-1475.

doi:10.1016/j.carbpol.2011.06.034

Aprianis, Y., Akbar, O. T., & Rizqiani, K. D. (2018). Comparison the Properties of Raw

Material and Kraft Pulp from Nature and Plantation of Geronggang Wood

(Cratoxylon arborescens). Ilmu Teknologi Kayu Tropis, 16(2), 177-183.

Bian, H., Chen, L., Dai, H., & Zhu, J. Y. (2017a). Effect of Fiber Drying on Properties of

Lignin Containing Cellulose Nanocrystals and Nanofibrils Produced Through

Maleic Acid Hydrolysis. Cellulose, 24(10), 4205-4216. doi:10.1007/s10570-017-

1430-7.

Bian, H., Chen, L., Dai, H., & Zhu, J. Y. (2017b). Integrated Production of Lignin

Containing Cellulose Nanocrystals (LCNC) and Nanofibrils (LCNF) Using an

124 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Easily Recyclable Di-carboxylic Acid. Carbohydrate Polymers, 167(01), 167-

176. doi:10.1016/j.carbpol.2017.03.050.

Brinchi, L., Cotana, F., Fortunati, E., & Kenny, J. M. (2013). Production of Nanocrystalline

Cellulose from Lignocellulosic Biomass: Technology and Applications.

Carbohydrate Polymers, 94(1), 154-169. doi:10.1016/j.carbpol.2013.01.033.

Chen, D., Lawton, D., Thompson, M. R., & Liu, Q. (2012). Biocomposites Reinforced with

Cellulose Nanocrystals Derived From Potato Peel Waste. Carbohydrate Polymers, 90(01), 709-716. doi:10.1016/j.carbpol.2012.06.002.

Chen, L., Zhu, J. Y., Baez, C., Kitin, P., & Elder, T. (2016). Highly Thermal-stable and

Functional Cellulose Nanocrystals and Nanofibrils Produced Using Fully

Recyclable Organic Acids. Green Chemistry, 18(13), 3835-3843.

doi:10.1039/c6gc00687f.

Chen, W., Yu, H., Liu, Y., Chen, P., Zhang, M., & Hai, Y. (2011). Individualization of

Cellulose Nanofibers from Wood Using High-intensity Ultrasonication

Combined with Chemical Pretreatments. Carbohydrate Polymers, 83(04),

1804-1811. doi:10.1016/j.carbpol.2010.10.040.

Chen, W., Yu, H., Liu, Y., Hai, Y., Zhang, M., & Chen, P. (2011). Isolation and

Characterization of Cellulose Nanofibers from Four Plant Cellulose Fibers

Using a Chemical-ultrasonic Process. Cellulose, 18(02), 433-442.

doi:10.1007/s10570-011-9497-z.

Chen, Y. W., Tan, T. H., Lee, H. V., & Hamid, S. B. A. (2017). Easy Fabrication of Highly

Thermal-Stable Cellulose Nanocrystals Using Cr(NO3)3 Catalytic Hydrolysis

System: A Feasibility Study from Macroto Nano-Dimensions. Materials, 10(42),

01-24. doi:10.3390/ma10010042.

Cherian, B. M., Leão, A. L., Souza, S. F., Costa, L. M. M., Olyveira, G. M., Kottaisamy, M.,

. . . Thomas, S. (2011). Cellulose Nanocomposites with Nanofibres Isolated

From Pineapple Leaf Fibers for Medical Applications. Carbohydrate Polymers, 86(04), 1790– 1798. doi:10.1016/j.carbpol.2011.07.009.

Chun, S. J., Lee, S. Y., Jeong, G. Y., & Kim, J. H. (2012). Fabrication of Hydrophobic Self-

Assembled Monolayers (SAM) on The Surface of Ultra-Strength Nanocellulose

Film. Journal of Industrial and Engineering Chemistry, 18(03), 1122 - 1127.

doi:10.1016/j.jiec.2012.01.001.

Ciolacu, D., Ciolacu, F., & Popa, V. I. (2011). Amorphous Cellulose - Structure and

Characterization. Cellulose Chemistry and Technology, 45(01), 13-21.

Danial, W. H., Majid, Z. A., Muhid, M. N. M., Triwahyono, S., Bakar, M. B., & Ramli, Z.

(2015). The Reuse of Waste Paper for the Extraction of Cellulose Nanocrystals.

Carbohydrate Polymers, 118(01), 165-169. doi:10.1016/j.carbpol.2014.10.072.

George, J., & Sabapathi, S. N. (2015). Cellulose Nanocrystals: Synthesis, Functional

Properties, and Applications. Nanotechnology Science and Applications, 8(01),

45-54. doi:10.2147/NSA.S64386.

125 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Girisuta, B., Janssen, L. P. B. M., & Heeres, H. J. (2007). Kinetic Study on the Acid-

Catalyzed Hydrolysis of Cellulose to Levulinic Acid. Industrial & Engineering Chemistry Research, 46(06), 1696-1708. doi:10.1021/ie061186z.

Jiang, F., & Hsieh, Y. L. (2015). Cellulose Nanocrystal Isolation From Tomato Peels and

Assembled Nanofibers. Carbohydrate Polymers, 122(01), 60-68.

doi:10.1016/j.carbpol.2014.12.064.

Junaedi, A. (2018). Growth Performance of Three Native Tree Species for Pulpwood

Plantation in Drained Peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal of Forestry Research, 5, 119-132.

Kargarzadeh, H., Ahmad, I., Abdullah, I., Dufresne, A., Zainudin, S. Y., & Sheltami, R.

M. (2012). Effects of Hydrolysis Conditions on the Morphology, Crystallinity,

and Thermal Stability of Cellulose Nanocrystals Extracted From Kenaf Bast

Fibers. Cellulose, 19(3), 855-866. doi:10.1007/s10570-012-9684-6.

Kargarzadeh, H., Ioelovich, M., Ahmad, I., Thomas, S., & Dufresne, A. (2017). Methods

for Extraction of Nanocellulose from Various Sources Handbook of Nanocellulose and Cellulose Nanocomposites (First ed., pp. 1-49). NJ, USA:

John Wiley & Son/Wiley: Hoboken.

Kargarzadeh, H., Mariano, M., Huang, J., Lin, N., Ahmad, I., Dufrense, A., & Thomas, S.

(2017). Recent Developments on Nanocellulose Reinforced Polymer

Nanocomposites: A Review. Polymer, 132(01), 368-393.

doi:10.1016/j.polymer.2017.09.043.

Khawas, P., & Deka, S. C. (2016). Isolation and Characterization of Cellulose Nanofibers

from Culinary Banana Peel Using High-intensity Ultrasonication Combined

with Chemical Treatment. Carbohydrate Polymers, 137(01), 608-616.

doi:10.1016/j.carbpol.2015.11.020.

Koga, H., Saito, T., Kitaoka, T., Nogi, M., Suganuma, K., & Isogai, A. (2013). Transparent,

Conductive, and Printable Composites Consisting of TEMPO-oxidized

Nanocellulose and Carbon Nanotube. Biomacromolecules, 14(04), 1160-1165.

doi:10.1021/bm400075f.

Lam, N. T., Chollakup, R., Smitthipong, W., Nimchua, T., & Sukyai, P. (2017). Utilizing

Cellulose from Sugarcane Bagasse Mixed with Poly (Vinyl Alcohol) for Tissue

Engineering Scaffold Fabrication. Industrial Crops and Products, 100(01), 183–

197. doi:10.1016/j.indcrop.2017.02.031.

Lamaming, J., Hashim, R., Leh, C. P., Sulaiman, O., Sugimoto, T., & Nasir, M. (2015).

Isolation and Characterization of Cellulose Nanocrystals from Parenchyma and

Vascular Bundle of Oil Palm Trunk (Elaeis guineensis). Carbohydrate Polymers, 134(01), 534-540. doi:10.1016/j.carbpol.2015.08.017.

Lee, S. Y., Mohan, D. J., Kang, I. A., Doh, G. H., Lee, S., & Han, S. O. (2009). Nanocellulose

Reinforced PVA Composite Films: Effects of Acid Treatment and Filler

Loading. Fibers and Polymers, 10(01), 77-82. doi:10.1007/s12221-009-0077-x

126 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Lengowski, E. C., Muñiz, G. I. B., Andrade, A. S., Simon, L. C., & Nisgoski, S. (2018).

Morphological, Physical, and Thermal Characterization of Microfibrillated

Cellulose. Resvita Arvore, 42(01), 1-12. doi:10.1590/1806-90882018000100013

Lin, J., Yu, L., Tian, F., Zhao, N., Li, X., Bian, F., & Wang, J. (2014). Cellulose Nanofibrils

Aerogels Generated from Jute Fibers. Carbohydrate Polymers, 109(01), 35-43.

doi:10.1016/j.carbpol.2014.03.045.

Logothetidis, S. (2011). Nanostructured Materials and Their Applications. London, New

York: Springer.

Lu, P., & Hsieh, Y. L. (2012). Preparation and Characterization of Cellulose Nanocrystals

from Rice Straw. Carbohydrate Polymers, 87(01), 564–573.

doi:10.1016/j.carbpol.2011.08.022.

Lu, Q., Lin, W., Wang, S., Tang, L., Chen, X., & Huang, B. (2015). A Mechanochemical

Approach to Manufacturing Bamboo Cellulose Nanocrystals. Journal of Materials Science, 50(02), 611–619. doi:10.1007/s10853-014-8620-6.

Mahecha, A. M. M., Pelissari, F. M., Tapia-Blacido, D. R., & Menegalli, F. C. (2015).

Achira as A Source of Biodegradable Materials: Isolation and Characterization

of Nanofibers. Carbohydrate Polymers, 123(01), 406-415.

doi:10.1016/j.carbpol.2015.01.027.

Moon, R. J., Martini, A., Nairn, J., Simonsen, J., & Youngblood, J. (2011). Cellulose

Nanomaterials Review: Structure, Properties and Nanocomposites. Chemical Society Review, 40(7), 3941-3994. doi:10.1039/c0cs00108b

Nascimento, D. M., Almeida, J. S., Dias, A. F., Figueiredo, M. C. B., Morais, J. P. S., Feitosa,

J. P., & Rosa, M. D. F. (2014). A Novel Green Approach For the Preparation of

Cellulose Nanowhiskers from White Coir. Carbohydrate Polymers, 110(01),

456-463. doi:10.1016/j.carbpol.2014.04.053.

Nechyporchuk, O., Belgacem, M. N., & Bras, J. (2016). Production of Cellulose

Nanofibrils: A Review of Recent Advances. Industrial Crops and Products, 93(01), 2-25. doi:10.1016/j.indcrop.2016.02.016.

Neto, W. P. F., Silvério, H. A., Dantas, N. O., & Pasquini, D. (2013). Extraction and

Characterization of Cellulose Nanocrystals from Agro-Industrial Residue – Soy

Hulls. Industrial Crops and Products, 42(01), 480-488.

doi:10.1016/j.indcrop.2012.06.041.

Nishimura, H., Kamiya, A., Nagata, T., Katahira, M., & Watanabe, T. (2018). Direct

Evidence for Alpha Ether Linkage Between Lignin and Carbohydrates in Wood

Cell Walls. Sciencetific Reports, 8(01), 1-8. doi:10.1038/s41598-018-24328-9.

Nogi, M., Karakawa, M., Komoda, N., Yagyu, H., & Nge, T. T. (2015). Transparent

Conductive Nanofiber Paper for Foldable Solar Cells. Sci Rep, 5(01), 17254.

doi:10.1038/srep17254.

Okamura, K. (1991). Wood and Cellulosic Chemistry. New York: Marcel Dekker Inc.

Oun, A. A., & Rhim, J. W. (2015). Effect of Post-treatments and Concentration of Cotton

Linter Cellulose Nanocrystals on the Properties of Agar-based Nanocomposite

127 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Films. Carbohydrate Polymers, 134(01), 20-29.

doi:10.1016/j.carbpol.2015.07.053.

Patel, M. (2009). Micro and Nano Technology in Paper Manufacturing. India: Industry

Paper Patel Avenue.

Pelissari, F. M., Sobral, P. J. A., & Menegalli, F. C. (2014). Isolation and Characterization

of Cellulose Nanofibers from Banana Peels. Cellulose, 21(01), 417-432.

doi:10.1007/s10570-013-0138-6.

Phiriyawirut, M., & Maniaw, P. (2012). Cellulose Microfibril from Banana Peels as A

Nanoreinforcing Fillers for Zein Films. Journal of Polymer Chemistry, 02(02),

56-62. doi:10.4236/ojpchem.2012.22007.

Rhim, J. W., Reddy, J. P., & Luo, X. (2015). Isolation of Cellulose Nanocrystals from

Onion Skin and Their Utilization for the Preparation of Agar-based Bio-

nanocomposites Film. Cellulose, 22(01), 407-420. doi:10.1007/s10570-014-

0517-7.

Rosli, N. A., Ahmad, I., & Abdullah, I. (2013). Isolation and Characterization of Cellulose

Nanocrystals from Agave Angustifolia Fibre. BioResources, 08(02), 1893-1908.

Schacht, C., Zetzl, C., & Brunner, G. (2008). From Plant Materials to Ethanol by Means

of Supercritical Fluid Technology. The Journal of Supercritical Fluids, 46(03),

299-321. doi:10.1016/j.supflu.2008.01.018.

Silvério, H. A., Neto, W. P. F., Dantas, N. O., & Pasquini, D. (2013). Extraction and

Characterization of Cellulose Nanocrystals from Corncob for Application as

Reinforcing Agent in Nanocomposites. Industrial Crops and Products, 44(01),

427– 436. doi:10.1016/j.indcrop.2012.10.014.

Tanpichai, S., Witayakran, S., & Boonmahitthisud, A. (2018). Study on Structural and

Thermal Properties of Cellulose Microfibers Isolated from Pineapple Leaves

Using Steam Explosion. Journal of Environmental Chemical Engineering, 7(01), 1-25. doi:10.1016/j.jece.2018.102836.

Tibolla, H., Pelissari, F. M., & Menegalli, F. C. (2014). Cellulose Nanofibers Produced

from Banana Peel by Chemical and Enzymatic Treatment. LWT - Food Science and Technology, 59(02), 1311-1318. doi:10.1016/j.lwt.2014.04.011

Tibolla, H., Pelissari, F. M., Rodrigues, M. I., & Menegalli, F. C. (2016). Cellulose

Nanofibers Produced From Banana Peel by Enzymatic Treatment: Study of

Process Conditions. Industrial Crops and Products, 95(01), 664-674.

doi:10.1016/j.indcrop.2016.11.035.

Valdebenito, F., Pereira, M., Ciudad, G., Azocar, L., Briones, R., & Carrasco, G. C. (2017).

On the Nanofibrillation of Corn Husks and Oat Hulls Fiber. Industrial Crops and Products, 95(01), 528-534. doi:10.1016/j.indcrop.2016.11.006.

Wang, H., Chen, C., Fang, L., Li, S., Chen, N., Pang, J., & Li, D. (2018). Effect of

Delignification Technique on the Ease of Fibrillation of Cellulose II Nanofibers

from Wood. Cellulose, 25(12), 7003-7015. doi:10.1007/s10570-018-2054-2.

128 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Wang, R., Chen, L., Zhu, J. Y., & Yang, R. (2017). Tailored and Integrated Production of

Carboxylated Cellulose Nanocrystals (CNC) With Nanofibrils (CNF) Through

Maleic Acid Hydrolysis. ChemNanoMat, 3(05), 328-335.

doi:10.1002/cnma.201700015.

Wertz, J. L., Bedue, O., & Mercier, J. P. (2010). Cellulose Science and Technology (First

ed. Vol. 01). Switzerland: EPFL Press.

Wu, Q., Meng, Y., Concha, K., Wang, S., Li, Y., Ma, L., & Fu, S. (2013). Influence of

Temperature and Humidity on Nano-mechanical Properties of Cellulose

Nanocrystal Films Made from Switchgrass and Cotton. Carbohydrate Polymers, 48(01), 28-35. doi:10.1016/j.indcrop.2013.03.032.

Yue, D., & Qian, X. (2018). Isolation and Rheological Characterization of Cellulose

Nanofibrils (CNFs) from Coir Fibers in Comparison to Wood and Cotton.

Polymers, 10(03), 320. doi:10.3390/polym10030320.

Zhao, J., Zhang, W., Zhang, X., Zhang, X., Lu, C., & Deng, Y. (2013). Extraction of

Cellulose Nanofibrils from Dry Softwood Pulp Using High Shear

Homogenization. Carbohydrate Polymers, 97(02), 695-702.

doi:10.1016/j.carbpol.2013.05.050.

Zhu, H., Fang, Z., Preston, C., Li, Y., & Hu, L. (2014). Transparent Paper: Fabrications,

Properties, and Device Applications. Energy & Environment Science, 7(01),

269-287. doi:10.1039/c3ee43024c.

129 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

X.

POTENSI GERONGGANG SEBAGAI TANAMAN OBAT

(Opik Taupik Akbar)

(Ahmad

Sejak lama masyarakat Indonesia sudah menggunakan tanaman obat

tradisional secara turun temurun untuk mengobati berbagai macam penyakit.

Tanaman obat yang juga dikenal dengan sebutan tanaman herbal di Indonesia

umumnya diramu dalam bentuk jamu. Geronggang (Cratoxylum arborescens)

merupakan salah satu tanaman lokal yang dimanfaatkan sebagai tanaman obat

secara tradisional. Namun pemanfatannya belum dikenal luas di Indonesia, hanya

beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan saja yang sudah memanfaatkan

tanaman ini sesuai daerah penyebarannya (Nguyen & Harrison, 1998).

Geronggang dimanfaatkan sebagai tanaman biofarmaka dengan

mengambil bagian daun, kulit kayu, dan akar untuk pengobatan. Secara

tradisional tanaman ini digunakan untuk mengobati demam, batuk, diare, gatal,

bisul, dan gangguan perut di Malaysia, Burma Selatan, Sumatera, dan Kalimantan

(Nguyen & Harrison, 1998). Getah kulit batang geronggang juga digunakan untuk

perawatan luka (Jusoh et al., 2013). Di Malaysia, kulit batang geronggang yang

biasanya mengeluarkan resin telah dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional

oleh penduduk lokal (Bennett & Harrison, 1993).

Selain sebagai obat, geronggang juga digunakan untuk meningkatkan

sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh dapat ditingkatkan oleh

berbagai senyawa dari tanaman ini. Mekanisme tanaman untuk meningkatkan

sistem kekebalan tubuh adalah dengan melawan penyebab penyakit secara

langsung sebagai efektor dan juga bekerja dengan mengatur imunitas (Yusro,

2010).

Pemanfatan geronggang sebagai obat tradisional umumnya dilakukan

berdasarkan resep turun temurun (Bennett & Harrison, 1993; Suhartono et al.,

2012). Namun berdasarkan beberapa manfaat yang tercatat, geronggang juga

memiliki prospek untuk dikembangkan sebagai nanomedicine (Chabib et al.,

2018). Beberapa penelitian mengenai pemanfaatan geronggang sebagai

nanomedisin sudah dilakukan dengan teknologi yang lebih maju dengan

130 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

memanfaatkan beberapa senyawa fitokimia yang terkandung dalam geronggang

yang daoat dilihat dalam tabel 2.

Beberapa penelitian kandungan fitokimia menyebutkan bahwa

geronggang kaya akan kandungan flavonoid (Jusoh et al., 2013), xanthone (Sia et

al., 1995) dan triterpenoid (Bennett & Harrison, 1993; Nguyen & Harrison, 1998).

Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa beberapa kandungan fitokimia

memiliki sifat antibakteri (Boonsri et al., 2006), cytotocic (Pattanaprateeb et al.,

2005; Ren et al., 2011; Syam et al., 2014; Yahayu et al., 2013) dan anti HIV

(Reutrakul et al., 2006).

A. Fitokimia Geronggang

Hampir semua bagian pohon geronggang dapat dimanfaatkan sebagai

obat. Batang, kulit batang kering, kulit batang basah, akar, dan daunnya bisa

diambil untuk diekstrak. Setiap bagian pohon memiliki kandungan berbeda yang

mempengaruhi perbedaan khasiat dan penggunaannya. Beberapa penelitian

menganalisis perbedaan kandungan zat dalam geronggang yang dapat dilihat

dalam Tabel 10.1.

Tabel 10.1. Bagian tanaman geronggang yang dimanfaatkan sebagai biofarmaka Nama bagian Sumber

Kulit (Ibrahim et al., 2015), (Mian, 2007), (Sim, Jiang, Ee, &

Sukari, 2011), (Jusoh, Din, & Zakaria, 2015), (Sia et al.,

1995)(Bennett & Harrison, 1993)

Daun (Jusoh et al., 2013; Reutrakul et al., 2006)

Ranting (Reutrakul et al., 2006)

Batang (Sim et al., 2011)(Ren et al., 2011)(Nguyen & Harrison,

1998)

Akar (Jusoh et al., 2015), (Boonsri et al., 2006; Iinuma, Tosa,

Ito, Tanaka, & Madulid, 1996; Jusoh et al., 2015)

Batang dan kulit geronggang dilaporkan mengandung xanthone dan

anthrakuinon (Jusoh et al., 2015). Daun dan ranting geronggang dilaporkan

mengandung dua jenis xanthones 1,3,8-trihydroxy-2,4-dimethoxyanthone, 1,7-

dihydroxy-2,8-dimetho-xyxanthone dan komponen 3-14 (Jusoh et al., 2013).

Meskipun beberapa spesies Cratoxylum dilaporkan memiliki beberapa

khasiat, sangat sedikit yang memberikan perhatian untuk mengidentifikasi

kandungan fitokimianya. Beberapa spesies pada genus Cratoxylum yang diteliti

diantaranya species Cratoxylum chochinchinense (Bennett & Harrison, 1993, Sia

131 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

et al., 1995, Nguyen & Harrison, 1998) dan Cratoxylum formosanum, (Iinuma et

al., 1996).

Genus Cratoxylum menghasilkan berbagai jenis metabolit sekunder

seperti xanthones (Jusoh et al., 2015; Pattanaprateeb et al., 2005; Reutrakul et al.,

2006; Sia et al., 1995), triterpenoids (Bennett & Harrison, 1993; Mian, 2007;

Nguyen & Harrison, 1998), kuinon (Mian, 2007), flavonoid (Jusoh et al., 2013),

dan anthraquinon (Ee et al., 2010; Jusoh et al., 2015).

Sebuah xanthone baru (1,3-dihydroxy-6,7-dimethoxy-

2,8,diprenylxanthone) dan 4 xanthone yang sudah dikenal (Fuscaxanthone C,

1,7-dihydroxyxanthone, 3-geranyloxy-6-methyl-1,8-dihydroxyanthrakuinon, 2-

geranylemadin dilaporkan terkandung dalam geronggang (Pattanaprateeb et al.,

2005). Dua jenis xanthone baru (1,3,8-trihydroxy-2,4-dimethoxyanthone dan

1,7-dihydroxy-2,8-dimethoxyxanthone bersamaan dengan dua belas xanthone

yang sudah dikenal (1,3,7-trihydroxy-6-methoxy-4,5-di(3-methylbut-2-

enyl)xanthone, euxanthone, friedelin, friedelinon, methoxyemodin, betulinic

acid, lup-20(29)-ene-3B,30-diol, 3B-hydroxylup20(29)-en-30-oic acid, 3,4-

dihydroxy-benzoic acid, eucryphin, astiblin, dan isoastiblin juga ditemukan

dalam daun dan ranting geronggang (Reutrakul et al., 2006). Tiga jenis

anthraquinon ditemukan dalam kulit batang geronggang, yaitu 1,8-dihydroxy-3-

methoxy-6-methylanthrakuinon, vismiakuinon dan vismione. Kandungan

tersebut diidentifikasi menggunakan 1D dan 2D NMR spectroscopy. Ini adalah

laporan pertama tentang kimia Cratoxylum arborescens (Ee et al., 2010).

Dalam penelitian Mian (2007), kulit batang geronggang juga

mengandung triterpenoid (friedelin) dan tiga jenis kuinon, visimione,

vismiakuinon, dan 1,8-dihydroxy-3-methoxy-6-methyl anthrakuinon. Senyawa

ini diisolasi menggunakan teknik kromatografi umum dan diidentifikasi

menggunakan eksperimen spektroskopi seperti NMR, MS, IR dan UV (Mian,

2007).

Kulit kayu gerunggang juga mengandung beberapa senyawa seperti tanin,

saponin, flavonoid, dan quinon. Flavonoid memiliki sifat anti-virus, anti-

mikroba, anti-inflamasi dan penyembuhan perdarahan kapiler ubkutan.

Sedangkan saponin memiliki fungsi sebagai imunostimulan yang merangsang

sistem kekebalan dalam tubuh (Yusro, 2010).

132 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Cratoxylum spp. adalah sumber alami dari xanthone terprenilasi. Sebagai

kelanjutan dari studi tentang komposisi fitokimia dari tanaman obat Cratoxylum

cochinchinense (Lour.) Bl., Ren et al. (2011) melaporkan komposisi xanthone

yang diprenilasi.

Senyawa fitokimia utama yang ditemukan dalam C. arborescens adalah

xanthones, yang menunjukkan berbagai sifat farmakologis yang signifikan

(Sidahmed et al., 2013). Lateks oranye seperti iodin dari kulit batang geronggang

mengandung senyawa xanthone tersebut (Jusoh et al., 2015).

Xanthone adalah senyawa fitokimia yang ditemukan di sejumlah buah

dan sayuran. Secara karakteristik biologis, biokimia dan farmakologis, xanthone

memiliki sifat yang beragam. Kandungan fitokimia dalam geronggang dapat

dilihat dalam tabel 10.2.

Ekstraksi kulit batang menggunakan pelarut organik yang dilanjutkan

dengan pemurnian menggunakan prosedur pemurnian standar menghasilkan tiga

xanthones yang sudah dikenal, pruniflorone H, cochinchinone C dan

macluraxanthone. Dengan menggunakan prosedur yang sama, antrakuinon,

vismiaquinon diisolasi dari akar tanaman (Jusoh et al., 2015)

Studi fitokimia yang dilakukan pada daun geronggang dengan metode

pemurnian yang sama mengidentifikasi adanya kandungan senyawa astilbin.

Senyawa ini memiliki aktivitas imunosupresif yang unik yang dapat melakukan

penghambatan selektif terhadap limfosit T teraktivasi. Astilbin ini bermanfaat

untuk pengobatan penyakit kekebalan tubuh manusia (Jusoh et al., 2013).

Senyawa astilbin yang merupakan salah satu jenis flavonoid yang ditemukan

dalam daun geronggang diidentifikasi menggunakan Nuclear Magnetic

Resonance (NMR). Spektroskopi NMR ini merupakan metode yang sangat

berguna dalam berbagai bidang ilmu farmasi seperti analisis farmasi, kimia obat,

kimia produk alami, dan teknologi farmasi.

133 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Tabel 10.2. Fitokimia dalam geronggang Nama Senyawa Golongan Sumber

α-Mangostin

Xanthone

(Sim et al., 2011), (Jusoh

et al., 2015), (Reutrakul

et al., 2006),

(Sim et al., 2011),

(Pattanaprateeb et al.,

2005)

β-mangostin

pruniflorone H

cochinchinone C

Macluraxanthone

1,3,8-trihydroxy-2,4-

dimethoxyxanthone

1,7-dihydroxy-2,8-dimethoxyxanthone

1,3,7-trihydroxy-6-methoxy-4,5-di(3-

methylbut-2-enyl)xanthone

5'-demethoxycadensin G

fuscaxanthone C

3-geranyloxy-6-methyl-1,8-

dihydroxyanthrakuinon

Vismiakuinon

1,8-dihydroxy-3-methoxy-6-

methylanthrakuinon

stigmasterol

Friedelin

1,3-dihydroxy-6,7-dimethoxy-

2,8,diprenylxanthone

Fuscaxanthone C

1,7-dihydroxyxanthone

3-geranyloxy-6-methyl-1,8-

dihydroxyanthrakuinon

2-geranylemadin

Vismion Kuinon

(Mian, 2007)

Vismiakuinon

1,8-dihyroxy-3-methoxy-6-methyl

anthrakuinon

Friedelin Triterpenoid (Mian, 2007)

Vismiaquinon Antrakuinon (Jusoh et al., 2015)

Astilbin Flavanonol (Jusoh et al., 2013)

134 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

B. Pemanfaatan Geronggang Sebagai Biofarmaka

Struktur kimia yang beragam dalam obat alami telah menjadi sumber

penting untuk penemuan obat. Tanaman obat yang memiliki banyak keunggulan

dapat dikembangkan sebagai nanomedisin imunomodulator. Ada banyak

tanaman obat yang mengandung senyawa yang memiliki aktivitas

imunomodulator, baik menekan atau merangsang kekebalan yang dapat

digunakan dalam pengobatan sebagian besar penyakit (Habbash et al., 2017).

Pemanfaatan geronggang di bidang kesehatan dapat diketahui dari

beberapa penelitian, diantaranya sebagai obat maag (H. M. A. Sidahmed et al.,

2013), obat kanker (Ibrahim, Hashim, Mohan, Abdulla, Abdelwahab, et al.,

2014), Anti HIV (Reutrakul et al., 2006), obat tumor (Ibrahim, Hashim, Mohan,

Abdulla, Kamalidehghan, et al., 2014), obat leukimia (Mian, 2007) dan anti

inflamasi (Liu et al., 2012). Geronggang juga mengandung antioksidan dengan

efek chelating pada ion ferro, radikal hidroksil, dan scavenging hidrogen

peroksida. (Suhartono et al., 2012)

Pemanfaatan geronggang sebagai biofarmaka yang telah diketahui adalah

α-mangostin (AM) dan β-mangostin (BM). Keduanya merupakan zat yang paling

banyak diteliti kegunaannya karena kedua zat tersebut sudah banyak ditemukan

pada tanaman lain dan terbukti memiliki banyak manfaat. Tes antioksidan yang

dilakukan juga memberikan hasil yang menjanjikan dengan kedua senyawa

mangostin menunjukkan sifat penghambat oksidasi (antioksidan) yang baik.

Hasil Ini ditunjukkan oleh 5'-demethoxycadensin G (1) dan β-mangostin (3) dari

Cratoxylum glaucum (Sim et al., 2011).

B.1. α-Mangostin (AM)

α-Mangostin (AM), adalah xanthone terprenilasi yang diisolasi dari

bagian tanaman geronggang. Senyawa alami ini dilaporkan sebelumnya memiliki

banyak sifat biologis, seperti anti inflamasi, dan aktivitas antioksidan (Liu et al.,

2012). α-Mangostin (AM) berbentuk bubuk kuning dengan struktur inti

xanthone yang merupakan salah satu metabolit sekunder pada tanaman. AM ini

diyakini bermanfaat bagi kesehatan karena menunjukkan spektrum yang luas

untuk aktivitas biologis seperti anti inflamasi (Perez-Rojas et al., 2009; Saleem,

2009), anti tumor (Kaomongkolgit et al., 2011; Wang et al., 2012), anti diabetes

(Nelli et al., 2013), anti bakteri (Koh et al., 2013), antijamur (Kaomongkolgit et

al., 2009), antioksidan (Ngawhirunpat et al., 2010; Perez-Rojas et al., 2009),

135 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

antiparasit (Kumar et al., 2010), antiobesitas (Devalaraja et al., 2011) dan

perlindungan kesehatan jantung (Sampath & Kannan, 2009).

AM juga menunjukkan efek apoptosis pada sel kanker serviks manusia

(HeLa). Efek sitotoksik AM terhadap viabilitas HeLa dan garis sel ovarium normal

manusia (SV40) dievaluasi dengan menggunakan uji MTT. Hasilnya

menunjukkan bahwa AM menghambat viabilitas sel HeLa dengan nilai IC50 24,53

± 1,48 µM. AM menginduksi apoptosis mitokondria tergantung pada dosis yang

digunakan. AM memberikan efek antitumor yang luar biasa dan menginduksi

perubahan morfologi apoptogenik yang khas pada sel HeLa, yang ditunjukkan

dengan terjadinya kematian sel. Studi ini mengungkapkan bahwa AM bisa

menjadi senyawa anti tumor potensial pada kanker serviks in vitro dan dapat

dipertimbangkan untuk pengujian praklinis dan in vivo kanker serviks lebih

lanjut (Habbash et al., 2017).

Sebagai agen anti-kanker, AM telah dilaporkan mampu menginduksi

apoptosis dan kematian sel pada berbagai jenis sel kanker (Ibrahim et al., et al.,

2014). AM menginduksi apoptosis dan penangkapan siklus sel pada kanker kolon

manusia sel DLD-1 (Matsumoto et al., 2005), apoptosis pada sel kanker payudara

manusia MCF-7 dengan regulasi modulasi protein NF-κB dan Hsp70 (Ibrahim et

al., 2014), apoptosis pada sel kanker payudara manusia MDA-MB-231 oleh NF-

κB dan jalur pensinyalan HSP70 (Ibrahim et al., 2014), dan disfungsi mitokondria

pada sel HL60 leukemia manusia (Matsumoto et al., 2004). Sejauh ini, efek

sitotoksik AM yang signifikan belum teramati dalam sel kanker serviks, namun

hasil penelitian menemukan efek anti tumor dari senyawa ini pada garis sel

kanker serviks HeLa.

Ibrahim et al. (2014) mengisolasi α-mangostin 4 dari ekstrak kulit batang

geronggang dan secara ekstensif mempelajari mekanisme di balik efek apoptosis

pada garis sel kanker MDA-MB-231 (kanker payudara manusia). Ren et al (2011)

pada awalnya menunjukkan bahwa peningkatan lipofilisitas inti mangostin

berkontribusi terhadap aktivitas penghambatan pertumbuhan keseluruhan sel

kanker MDA-MB-231 ini. Penelitian lebih lanjut harus dilakukan untuk

mengumpulkan informasi lebih dalam mengenai kontribusi penurunan polaritas

α-mangostin dalam aktifitasnya.

136 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

AM menunjukkan sitotoksisitas selektif terhadap sel kanker tanpa

memberikan efek toksisitas terhadap sel normal bahkan pada dosis 30 μg/ml.

Lebih lanjut, konsumsi AM pada 30 dan 60 mg/kg secara signifikan mengurangi

ukuran tumor pada hewan model kanker payudara. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa AM adalah agen yang berpotensi untuk pengobatan kanker

payudara (Ibrahim et al., 2014)

Peneltian efek a-mangostin untuk mengobati tukak lambung pada tikus

sudah dilakukan (Sidahmed et al., 2013). AM (10 dan 30 mg/kg) masing-masing

menghambat luka lambung yang diinduksi etanol secara signifikan (P<0,05)

masing-masing sebesar 66,04% dan 74,39%. Senyawa tersebut juga menginduksi

ekspresi Hsp70, mengembalikan kadar GSH, mengurangi peroksidasi lipid, dan

menghambat aktivitas COX-2. AM menunjukkan efektifitas dalam mengobati

tukak labung secara in vitro.

Sidahmed et al (2013) mengisolasi beberapa xanthone yang diprenilasi

dari fraksi terlarut kloroform dari ekstrak metanol batang kering, di antaranya

adalah -mangostin 4 dan 1,3,7-trihy-droxy-2,4-diisoprenylxanthone 5. Hanya

satu senyawa -mangostin dalam uji pendahuluan yang memperlihatkan aktifitas

sebagai agen sitotoksik terhadap garis sel kanker HT-29 (kanker usus manusia).

Senyawa 3,6-Di-O-asetil-a-mangostin 6 dan 6-O-ben-zoyl-a-mangostin 7

ditemukan sebagai agen yang paling aktif, dengan nilai IC50 masing-masing 1,0

mM dan 1,9 mM. Namun, aktivitas tersebut tidak dapat direproduksi secara in

vivo menggunakan uji serat berlubang pada dosis tertinggi yang diuji (20 mg/kg).

Sehingga, bahan-bahan ini perlu segera diuji secara in vitro dan in vivo lebih

lanjut untuk menggali lebih dalam potensi mereka sebagai agen antikanker.

Peran penting Senyawa -mangostin dalam patogenesis kanker usus juga diteliti

oleh Hassanzadeh (2011), yang melaporkan nilai IC50 untuk -mangostin 4 dan

3,6-di-O-methyl-a-mangostin 8 masing-masing 3,3 mM dan 0,9 mM.

B.2. β-mangostin (BM)

β-mangostin (BM) dari Cratoxylum arborescens menunjukkan berbagai

aktivitas farmakologis seperti antikanker, anti inflamasi dan anti-HIV (Reutrakul

et al., 2006). Sidahmed et al. (2016) melaporkan bahwa BM berpotensi untuk

melindungi mukosa lambung dari kerusakan histolis oleh alkohol. BM secara

signifikan mengurangi pembentukan daerah ulkus, edema submukosa, dan

infiltrasi leukosit. Senyawa ini secara signifikan meningkatkan kandungan

137 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

homogenat lambung prostaglandin E2 glutathione, superoksida dismutase,

katalase, dan senyawa sulfhidril nonprotein. BM juga menghambat peroksidasi

lipid yang ditunjukkan oleh berkurangnya kandungan malondialdehida di

lambung. BM memiliki aktivitas gastroprotektif, yang dapat dikaitkan dengan

antisekresi, produksi lendir, antioksidan, HSP70, antiapoptotik, dan anti-H

(Sidahmed et al., 2016).

Mekanisme apoptosis yang diinduksi oleh β-mangostin dalam garis sel

leukemia promyelositik manusia (HL60) in vitro dilaporkan oleh Abdelmutaal et

al. (2017). Hasil pengujian yang dilakukan mengungkapkan bahwa β-mangostin

menghambat pertumbuhan HL60 pada 58 µM dalam 24 jam. Secara keseluruhan,

β-mangostin menunjukkan efek antiproliferasi pada HL60 melalui penghentian

siklus sel pada fase G0/G1 dan mendorong jalur apoptosis intrinsik.

Gambar 10.1. Struktur kimia α-mangostin (kir) (Kaomongkolgit et al., 2011)

dan struktur kimia β-mangpostin (kanan) (Sidahmed et al., 2016)

B.3. Zat Lainnya

Ekstrak kasar klorofom dan metanol menunjukkan aktivitas sitotoksik

yang baik dengan nilai IC50 masing-masing 16 dan 18 μg/ml. Namun begitu,

aktivitas antimikroba pada empat jenis bakteria (Methicilin Resistant

Staphylococcus aures, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus typhimurium

dan Bacillus subtilis) hanya menunjukkan aktifitas lemah. Uji larva dilakukan

terhadap larva jenis Aedes aegyti menggunakan prosedur WHO (1981) yang

dimodifikasi. Namun hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ekstrak kasar

heksana, kloroform dan metanol dari geronggang tidak memiliki efektifitas

terhadap larva Aedes aegyti. (Mian, 2007).

Beberapa jenis xanthone dalam daun dan ranting geronggang diketahui

sebagai anti-HIV. (1,3,8-trihydroxy-2,4-dimethoxyanthone (1) euxanthone (4),

betulinic acid (8), lup-20(29)-ene-3B,30-diol (9), 3B-hydroxylup20(29)-en-30-

138 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

oic acid (10), 3,4-dihydroxy-benzoic acid (11) menunjukkan aktivitas anti HIV-

1 dalam pegujian syncytium menggunakan virus MC99 dan sistem garis sel 1A2

(IC50 bernilai antara 3.9 dan 32.2 μg/mL dengan jangkauan TI dari 1.5 sampai

11.7) sementara (1,3,7-trihydroxy-6-methoxy-4,5-di(3-methylbut-2-

enyl)xanthone (3), euxanthone (4), betulinic acid (8), lup-20(29)-ene-3B,30-diol

(9), 3B-hydroxylup20(29)-en-30-oic acid (10) menghambat HIV-1 dengan nilai

IC50 8.7 dan 84.9 μg/ml (Reutrakul et al., 2006).

C. Evaluasi Efek Samping dan Bahaya

Untuk mengevaluasi efek samping dan bahaya penggunaan β-mangostin

dari geronggang, Syam et al. (2014) sudah melakukan pengujian pada tikus.

Penelitian tersebut bertujuan untuk menyelidiki sitotoksisitas dan toksisitas akut.

Pengujian terhadap tikus ICR jantan dan betina yang sehat dilakukan untuk

melihat parameter biokimiawi, hematologis dan klinis serta analisis

histopatologis. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada toksisitas akut terkait

pengobatan pada tikus setelah pemberian oral selama 14 hari sebanyak 250 dan

500mg/kg β-mangostin, sehingga senyawa tersebut dapat dipilih untuk penelitian

kanker payudara in vitro dan in vivo. Tingkat stres oksidatif juga dianalisis

menggunakan pengukuran MDA dan GSH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pemberian β-mangostin secara oral tidak menyebabkan penurunan tingkat

pertumbuhan, hematologi dan parameter biokimiawi klinis serta tidak mengubah

biomarker stres oksidatif. Secara histologis juga tidak nampak perubahan

patologis pada hati dan ginjal (Syam et al., 2014).

Efek toksisitas dari penggunaan AM dan BM untuk menyelidiki

sitotoksisitas in vitro pada sel normal WRL-68 dan efek in vivo pada parameter

histobiochemical ginjal dan hati, berat organ relatif, profil lipid, peroksidasi dan

berkurangnya glutathione pada ICR tikus betina dan tikus jantan juga sudah

dilakukan. AM diambil dari kulit batang kering geronggang yang diekstraksi

secara berurutan dengan heksana, kloroform, dan metanol. AM diberikan secara

oral dengan dosis tunggal 0, 100, 500 dan 1000 mg/kg berat badan. Hasil

pengujian menunjukkan bahwa AM tidak menyebabkan efek buruk pada berat

badan, berat organ, biokimia serum, histopatologi dan biomarker stres oksidatif.

Di sisi lain, senyawa alami ini menunjukkan aktivitas sitotoksik yang rendah

terhadap sel-sel hati normal (WRL-68) dengan IC50 = 65 μg/ml (Ibrahim et al.,

2015).

139 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Tidak ada perubahan fisiologis, perilaku yang abnormal atau perubahan

berat badan oleh pemberian AM pada setiap titik waktu pengamatan selama dua

minggu. Pemeriksaan histologis untuk hati dan ginjal dan analisis biokimia serum

juga tidak menunjukkan perbedaan dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Dengan kata lain, AM dapat digunakan dengan aman tanpa menimbulkan

masalah toksikologis (H. M. A. Sidahmed et al., 2013).

Daftar Pustaka

Bennett, G. J., & Harrison, L. J. (1993). Triterpenoids, tocotrienols and xanthones from

the bark of Cratoxylum choichinense. Phytochemistry, 32(5), 13–19.

Boonsri, S., Karalai, C., & Ponglimanont, C. (2006). Antibacterial and cytotoxic xanthones

from the roots of Cratoxylum formosum, 67, 723–727.

https://doi.org/10.1016/j.phytochem.2006.01.007

Chabib, L., Muhtadi, W. K., Rizki, M. I., Rahman, R. A., & Rahman, M. (2018). Potential

medicinal plants for improve the immune system from Borneo Island and the

prospect to be developed as nanomedicine. In MATEC Web if Conferences

(Vol. 4006, pp. 1–6). Les Ulis. https://doi.org/10.1051/matecconf/201815404006

Devalaraja, S., Jain, S., & Yadav, H. (2011). Exotic fruits as therapeutic complements for

diabetes , obesity and metabolic syndrome Oxidative stress. Food Research International, 44(7), 1856–1865. https://doi.org/10.1016/j.foodres.2011.04.008

Ee, G. C. L., Jong, V. Y. M., Sukari, M. A., Lee, T. K., & Tan, A. (2010). Anthraquinones

from Cratoxylum aborescens ( Guttiferae ). Pertanika J. Sci. Technol, 18(April

2008), 77–81.

Habbash, A. I. El, Hashim, N. M., Ibrahim, M. Y., Yahayu, M., Abd, F., Omer, E., &

Rahman, M. A. (2017). In vitro assessment of anti-proliferative effect induced

by α-mangostin from Cratoxylum arborescens on HeLa cells. PeerJ, 5(e), 1–20.

https://doi.org/10.7717/peerj.3460

Ibrahim, M. Y., Hashim, N. M., Mohan, S., Abdulla, M. A., Abdelwahab, S. I., Arbab, I.

A., … Ali, L. Z. (2015). α-Mangostin from Cratoxylum arborescens: An in vitro

and in vivo Toxicological Evaluation. Arabian Journal of Chemistry, 8, 129–

137. https://doi.org/10.1016/j.arabjc.2013.11.017

Ibrahim, M. Y., Hashim, N. M., Mohan, S., Abdulla, M. A., Abdelwahab, S. I.,

Kamalidehghan, B., … Ali, H. M. (2014). Involvement of NF- κ B and HSP70

signaling pathways in the apoptosis of MDA-MB-231 cells induced by a

prenylated xanthone compound , α-angostin , from Cratoxylum arborescens.

Drug Design, Development and Therapy, 8(December), 2193–2211.

https://doi.org/10.2147/DDDT.S66574

Ibrahim, M. Y., Hashim, N. M., Mohan, S., Abdulla, M. A., Kamalidehghan, B.,

Ghaderian, M., … Ali, H. M. (2014). α-Mangostin from Cratoxylum

arborescens demonstrates apoptogenesis in MCF-7 with regulation of NF-κB

140 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

and Hsp70 protein modulation in vitro, and tumor reduction in vivo. Drug Design, Development and Therapy, 8(October), 1629–1647.

https://doi.org/10.2147/DDDT.S66105

Iinuma, M., Tosa, H., Ito, T., Tanaka, T., & Madulid, D. A. (1996). Two xanthones from

roots of cratoxylum formosanum. Phytochemistry, 42(4), 1195–1198.

Jusoh, S., Din, L. B., & Zakaria, Z. (2015). Xanthones and an anthraquinone from stem

bark and roots of Cratoxylum Arborescens. The Malaysian Journal of Analytical Sciences, 19(4), 745–751.

Jusoh, S., Zakaria, Z., & Din, L. B. (2013). Isolation of astilbin from leaves of Cratoxylum

arborescens. The Malaysian Journal of Analytical Sciences, 17(3), 430–435.

Kaomongkolgit, R., Chaisomboon, N., & Pavasant, P. (2011). Apoptotic effect of alpha-

mangostin on head and neck squamous carcinoma cells. Archives of Oral Biology, 56(5), 483–490. https://doi.org/10.1016/j.archoralbio.2010.10.023

Kaomongkolgit, R., Jamdee, K., & Chaisomboon, N. (2009). Antifungal activity of alpha-

mangostin against Candida albicans. Journal of Oral Science, 51(3), 401–406.

Koh, J., Qiu, S., Zou, H., Lakshminarayanan, R., Li, J., Zhou, X., … Beuerman, R. W.

(2013). Biochimica et Biophysica Acta Rapid bactericidal action of alpha-

mangostin against MRSA as an outcome of membrane targeting. Biochimia et Biophysica Acta, 1828(2), 834–844.

https://doi.org/10.1016/j.bbamem.2012.09.004

Kumar, R. B., Shanmugapriya, B., Thiyagesan, K., Kumar, S. R., & Xavier, S. M. (2010). A

search for mosquito larvicidal compounds by blocking the sterol carrying

protein , AeSCP-2 , through computational screening and docking strategies.

Pharmacognosy Research, 2(4), 247–254. https://doi.org/10.4103/0974-

8490.69126

Liu, S., Lee, L., Hu, N., Huange, K., Shih, Y., Munekazu, I., … Chen, T. (2012). Effects of

alpha-mangostin on the expression of anti-inflammatory genes in U937 cells.

Chinese Medicine, 7(19), 1–11.

Mian, V. J. Y. (2007). Chemical Constituents from Bintangor (Calophyllum inophyllum)and Geronggang (Cratoxylum arborescens) and Their Biological Activities. Universitu Putra Malaysia.

Nelli, G. B., K, A. S., & Kilari, E. K. (2013). Antidiabetic effect of α -mangostin and its

protective role in sexual dysfunction of streptozotocin induced diabetic male

rats. Informa Healthcare, 59(6), 319–328.

https://doi.org/10.3109/19396368.2013.820369

Ngawhirunpat, T., Opanasopi, P., Sukma, M., Sittisombut, C., & Adachi, I. (2010).

Antioxidant , free radical-scavenging activity and cytotoxicity of different

solvent extracts and their phenolic constituents from the fruit hull of

mangosteen ( Garcinia mangostana ). Pharmaceutical Biology, 48(1), 55–62.

https://doi.org/10.3109/13880200903046138

141 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Nguyen, L. H. D., & Harrison, L. J. (1998). Triterpenoid and xanthone constituents of

Cratoxylum cochinchinense. Phytochemistry, 50, 471–476.

Pattanaprateeb, P., Ruangrungsi, N., & Cordell, G. A. (2005). Cytotoxic Constituents from

Cratoxylum arborescens. Planta Med, 71, 181–183. https://doi.org/10.1055/s-

2005-837788

Perez-Rojas, J. M., Cruz, C., Garcia-Lopez, P., Sanchez-Gonzales, D. J., Martinez-

Martinez, C. M., Ceballos, G., … Pedraza-Cheverri, J. (2009). Renoprotection

by a-mangostin is Related to The Attenuation in Renal Oxidative/Nitrosative

Stress Induced by Cisplatin Nephrotoxicity. Free Radical Research,

43(November), 1122–1132. https://doi.org/10.1080/10715760903214447

Ren, Y., Matthew, S., Lantvit, D. D., Ninh, T. N., Chai, H., Fuchs, J. R., … Kinghorn, A.

D. (2011). Cytotoxic and NF-K B Inhibitory Constituents of the Stems of

Cratoxylum cochinchinense and Their Semisynthetic Analogues. Journal of Natural Products, 74(5), 1117–1125.

https://doi.org/https://doi.org/10.1021/np200051j

Reutrakul, V., Chanakul, W., & Pohmakotr, M. (2006). Anti-HIV-1 Constituents from

Leaves and Twigs of Cratoxylum arborescens. Planta Med, 72, 1433–1435.

https://doi.org/10.1055/s-2006-951725

Saleem, M. (2009). Lupeol , a Novel Anti-inflammatory and Anti-cancer Dietary

Triterpene. Cancer Letters, 285(2), 109–115.

https://doi.org/10.1016/j.canlet.2009.04.033

Sampath, P. D., & Kannan, V. (2009). Mitigation of Mitochondrial Dysfunction and

Regulation of eNOS Expression During Experimental Myocardial Necrosis by

Alpha-Mangostin , a Xanthonic derivative from Garcinia mangostana. Drug and Chemical Toxicology, 32(June), 344–352.

https://doi.org/10.1080/01480540903159210

Sia, G., Bennett, G. J., Harrison, L. J., & Sim, K. (1995). MINOR XANTHONES FROM

THE BARK OF C R A T O X Y L U M. Phytochemistry, 38(6), 1521–1528.

Sidahmed, H. M. A., Abdelwahab, S. I., Mohan, S., Abdulla, M. A., Mohamed, M., Taha,

E., … Yahayu, M. (2013). α-Mangostin from Cratoxylum arborescens ( Vahl )

Blume Demonstrates Anti-Ulcerogenic Property : A Mechanistic Study.

Evidence-Based Complementary and AlternativeMedicine, 2013, 1–10.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1155/2013/450840

Sidahmed, H. M. Al, Mashim, N. M., Mohan, S., Abdelwahab, S. I., Taha, M. M. E.,

Dehghan, F., … Vadivelu, J. (2016). Evidence of the gastroprotective and anti-

Helicobacter pylori activities of β -mangostin isolated from Cratoxylum ...

Evidence of the gastroprotective and anti- Helicobacter pylori activities of β -

mangostin isolated from Cratoxylum arborescens (vahl) bl. Drug Design, Development and Therapy, 10(January), 297–313.

https://doi.org/10.2147/DDDT.S80625

142 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Sim, W. C., Jiang, L. C., Ee, G. C. L., & Sukari, M. A. (2011). Cratoxylum glaucum and

Cratoxylum arborescens (Guttiferae) - Two Potential Source of Antioxidant

Agents. Asian Journal of Chemistry, 23(2), 569–572.

Suhartono, E., Viani, E., Rahmadhan, M. A., Gultom, I. S., Rakhman, M. F., &

Indrawardhana, D. (2012). Total flavonoid and Antioxidant Activity of Some

Selected Medicinal Plants in South Kalimantan of Indonesian. APCBEE Procedia, 4, 235–239. https://doi.org/10.1016/j.apcbee.2012.11.039

Syam, S., Bustamam, A., Abdullah, R., Sukari, M. A., Hashim, N. M., Yahayu, M., …

Abdelwahab, S. I. (2014). Cytotoxicity and Oral Acute Toxicity Studies of β -

mangostin Isolated from Cratoxylum arborescens. PHCOG J, 6(1), 47–56.

https://doi.org/10.5530/pj.2014.1.8

Wang, J. J., Sanderson, B. J. S., & Zhang, W. E. I. (2012). Significant Anti-invasive

Activities of α-Mangostin from the Mangosteen Pericarp on two Human Skin

Cancer Cell Lines. Anticancer Research, 32(9), 3805–3816.

Yahayu, M. A., Rahmani, M., Hashim, N. M., Ee, G. C. L., Sukari, M. A., & Akim, A. M.

(2013). Cytotoxic and antimicrobial xanthones from Cratoxylum arborescens (

Guttiferae ). Malaysian Journal of Science, 32(1), 53–60.

Yusro, F. (2010). Rendemen Ekstrak Etanol Dan Uji Fitokimia Tiga Jenis Tumbuhan Obat

Kalimantan Barat. Jurnal Tengkawang Fakultas Kehutanan Universitas

Tanjungpura. 1(1):29-36. Jurnal Tengkawang, 1(1), 29–36.

143 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

XI.

HUTAN TANAMAN GERONGGANG

SEBAGAI SUMBER PAKAN LEBAH (Avry Pribadi)

A. Jenis-jenis Lebah yang dapat Dimanfaatkan di Hutan Tanaman

Geronggang

Lebah madu merupakan salah satu dari kelompok serangga yang seluruh

kegiatannya memberikan dampak positif bagi manusia baik sebagai penghasil

madu maupun sebagai agen penyerbuk. Lebih lanjut, menurut Puslitbang

Perkebunan (2015), terdapat sekitar 95% dari 3 juta koloni lebah madu yang

dibudidayakan di Amerika Serikat digunakan sebagai serangga polinator

dibandingkan sebagai penghasil madu. Kini, tidak kurang dari 30% produk

pangan yang diproduksi di Amerika Serikat membutuhkan jasa lebah madu

sebagai serangga polinatornya.

Sedikitnya terdapat 2 jenis lebah madu ternak yang banyak dan umum

digunakan oleh masyarakat, yaitu Apis cerana dan Apis mellifera. Kedua jenis

lebah ini termasuk ke dalam jenis lebah bersengat. Jenis lebah lain adalah Trigona

itama yang termasuk ke dalam kelompok lebah tidak bersengat (stingless bee).

Apis cerana adalah jenis lebah madu lokal Asia yang menyebar hampir di

seluruh Indonesia kecuali Maluku dan Papua (Hadisoesilo, 2001). A. cerana

merupakan salah satu jenis lebah madu lokal yang banyak diternakkan. Akan

tetapi sekarang populasinya terdesak oleh kedatangan A. mellifera yang berasal

dari Eropa dan Australia. Sebenarnya lebah A. cerana memiliki keunggulan

dalam hal beradaptasi dengan lingkungan tropis dan lebih tahan serangan hama

dan penyakit terutama Varoa sp akan tetapi produktivitas madunya lebih rendah

dibandingkan lebah A. mellifera.

Lebih lanjut, lebah lokal ini umumnya dikenal sebagai lebah unduan,

lebah lalat, tawon laler (bahasa Jawa), lebah gula, lebah sirup atau lebah kecil.

Lebah A. cerana ada yang dipelihara (diternakkan) dan ada juga yang hidup liar.

Lebah A. cerana merupakan lebah asli Asia dan memiliki ukuran tubuh yang

lebih kecil dan relatif lebih galak dibandingkan lebah A. mellifera. Produksi

144 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

madunya tidak begitu banyak, yaitu sekitar 6-12 kilogram setiap tahun untuk satu

koloni lebah. Lebah ini cukup banyak dipelihara di desa-desa dengan

menggunakan sistem gelodok yang tempatnya terbuat dari batang pohon kelapa

yang dibelah dua dan biasanya diletakkan di dahan pohon yang ada di sekitar

rumah. Lebah A. cerana yang hidup liar tinggal di rongga- rongga pohon atau di

dahan-dahan pohon besar yang terlindung dari terik sinar matahari dan hujan,

ada juga yang hidup di atap rumah-rumah tua yang sudah tidak dihuni (Warisno.,

1996).

Jenis lebah lain yang berasal dari genus Apis adalah A. mellifera. Jenis ini

menjadi pilihan utama para peternak lebah madu dikarenakan produksi madunya

yang tinggi dan juga tidak terlalu agresif seperti A. cerana. Kemampuan

memproduksi madu yang sangat tinggi menjadikan lebah ini banyak

diperkenalkan ke wilayah baru yang sebelumnya merupakan daerah penyebaran

A. cerana (Free, 1982). Akan tetapi, jenis ini memiliki kelemahan yaitu sangat

rentan terhadap serangan hama dan penyakit terutama Varroa sp. Selain itu,

lebah A. mellifera membutuhkan jumlah pakan yang banyak sehingga kurang

menyukai lokasi yang memiliki sumber pakan sedikit.

A. mellifera sering juga disebut dengan lebah Eropa, namun lebih dikenal

dengan nama lebah Italia ataupun lebah Australia. Ukuran lebah ini lebih besar

bila dibandingkan dengan A. cerana dan sifatnya tidak terlalu ganas meskipun

dapat menyengat. Lebah ini cukup mudah untuk diternakkan karena selain jinak

juga dapat memproduksi madu yang cukup tinggi, yaitu sekitar 30-60 kg/tahun

pada setiap koloni lebah. Lebah ini banyak diternakkan oleh pemerintah (Dinas

Kehutanan/Perum Perhutani) dan perusahaan-perusahaan swasta.

Selain jenis lebah yang berasal dari genus Apis, terdapat juga jenis lebah

dari kelompok tidak bersengat (stingless bees) dari genus Trigona sp. yang sudah

lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Di Jawa, lebah jenis tersebut dikenal

dengan sebutan lanceng, didaerah sunda biasa disebut teuwel, di Riau dan

Sumatera Barat biasa disebut galo-galo atau lebah lilin. Kelebihan lebah Trigona

sp. adalah tidak mempunyai sengat (Stinglees bee). Sebagai kompensasi tidak

adanya sengat pada lebah Trigona sp., koloni tersebut memproduksi propolis

lebih banyak sebagai mekanisme pertahanan diri yang berfungsi mensterilkan

sarang dari organisme pengganggu seperti bakteri, cendawan dan virus. Ukuran

tubuh lebah ini relatif kecil sehingga mampu mengambil nektar di bunga yang

145 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

relatif kecil. Dengan demikan lebah Trigona sp. mempunyai variasi makanan

yang lebih banyak dibanding lebah jenis Apis sehingga sangat memungkinkan

diternak secara menetap tanpa harus digembala.

Stingless bees (Apidae: Melliponinae) merupakan lebah sosial yang tidak

memiliki sengat. Lebah T. laeviceps merupakan salah satu spesies dari stingless

bees yang berperan penting dalam penyerbukan tanaman di daerah tropis

(Willms, Imperatriz-Fonseca, & Engels, 1996). Kahono et al. (2012) melaporkan

bahwa ditemukan sebanyak enam jenis lebah (Apidae) yang diduga sebagai

penyerbuk potensial kelapa sawit, salah satunya yaitu T. laeviceps. Di Brazil, T.

spinipes dapat meningkatkan hasil panen pada jambu monyet (cashew) dari rata-

rata 780 g per pohon menjadi 3890 g per pohon (Freitas et al., 2014). Sedangkan

jenis lain, yaitu lebah T. itama memiliki penyebaran di daerah Sumatera,

Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia (Purnomo et al., 2012). Ukuran tubuh

lebah T. itama ini lebih besar jika dibandingkan lebah Trigona spp. lainnya,

begitu juga dengan pot-pot madu dan bee bread tepung sari yang dihasilkannya

juga relatif lebih besar dan mencapai ukuran volume 0,01 liter.

B. Kebutuhan pakan lebah madu

B.1. Karbohidrat

Serupa dengan kelompok hewan pada umumnya, lebah madu

membutuhkan karbohidrat sebagai sumber energi. Seluruh bentuk dari

karbohidrat akan dikonversi menjadi glukosa yang akan memasuki siklus Krebs

untuk memproduksi energi dalam bentuk ATP dan karbondioksida serta air

sebagai hasil akhirnya. Seekor lebah madu (A. mellifera) membutuhkan paling

sedikit 11 mg gula per hari. Sehingga sebuah koloni yang memiliki anggota 50.000

lebah akan membutuhkan paling sedikit 1,1 liter air gula 50% per harinya.

Lebah madu merupakan serangga herbivora yang hidup dengan

mengumpulkan makanan berupa nektar dan polen. Bagi lebah madu, nektar

adalah sumber utama karbohidrat. Nektar pada dasarnya terdiri atas dua

kelompok gula, yaitu sukrosa sebagai komponen penyusun utama, monosakarida

yang terdiri atas glukosa, fruktosa, dan bentuk lainnya sebagai komponen

penyusun kedua. Kosentrasi gula pada nektar bervariasi antara 10% s.d. 70%

(Nicolson & Thornburg, 2007). Akan tetapi lebah forager lebih menyukai nektar

dengan kandungan gula 30%-50% dan menghindari nektar dengan kandungan

146 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

gula lebih dari 60% karena nektar akan terlalu kental dan sukar untuk diambil

(Wright et al., 2018). Terdapat dua tipe nektar yang diambil oleh lebah forager,

yaitu nektar floral yang disekresikan oleh bunga dan nektar ekstrafloral yang

disekresikan oleh bagian lain selain bunga, seperti ketiak daun tanaman Acacaia

mangium. Sumber nektar lain adalah honey dew yang disekresikan oleh serangga

dari kelompok aphids. Adapun jenis tanaman geronggang menghasilkan nektar

dari bagian bunga.

Di dalam aktivitasnya mengumpulkan nektar, lebah forager lebih

memilih nektar yang didominasi oleh gula sukrosa dibandingkan gula-gula

monosakarida. Pada uji coba yang dilakukan di laboratorium, lebah-lebah forager

menunjukkan perilaku yang lebih sensitif terhadap sukrosa dibandingkan dengan

glukosa yang ditandai dengan aktivitas pemanjangan proboscis dan antena

(Simcock et al., 2017). Sukrosa dipilih oleh lebah forager karena memiliki nilai

rata-rata metabolis per berat unit yang lebih tinggi dibandingkan gula sederhana.

B.1.1. Pengumpulan nektar.

Untuk mengumpulkan nektar, seekor lebah madu menggunakan

proboscis-nya untuk menghisap nektar dari bunga dan menyimpannya dalam

organ yang bernama honey crop yang berlokasi di organ proventrikulus. Honey

crop adalah bagian yang penting dalam sistem pencernaan yang berada pada

lokasi di antara foregut dan midgut dimana aktivitas pencernaan berlangsung

(Wright et al., 2018). Proventrikulus berfungsi melewatkan nektar ke midgut

untuk diproses sebagai energi yang kemudian digunakan ketika lebah pekerja

yang bertugas sebagai pencari nektar untuk menjalankan aktivitasnya (Lee et al.,

2015).

B.1.2 Konversi nektar ke madu.

Lebah pekerja yang bertugas sebagai pencari nektar akan menambahkan

enzim invertase dan glucose oxidase ke nekctar yang disimpan dalam organ

honey crop sebelum mereka terbang kembali ke koloninya untuk kemudian

diserahkan kepada lebah yang bertugas sebagai penerima dan penyimpan nektar.

Enzim invertase mengkonversi sukrosa yang merupakan disakarida menjadi dua

monosakarida, yaitu glukosa dan fruktosa. Selanjutnya beberapa bagian dari

glukosa akan bereaksi dengan enzim glukose oxidase dan akan dikonversi

menjadi asam dan hidrogen peroksida yang berfungsi untuk membunuh mikroba

dan menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan mikroba

147 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

tersebut (Lee et al., 2015). Setelah sampai di koloni, nektar tersebut akan

diberikan kepada lebah penerima dan oleh lebah penerima akan disimpan di sel-

sel heksagonal. Proses selanjutnya adalah menurunkan kadar air madu tersebut

menjadi 17% s.d 18% untuk kemudian ditutup dengan lilin lebah sebagai

cadangan makanan (Donkersley et al., 2017).

Pada dasarnya, madu yang tersimpan di dalam sel madu di dalam koloni

lebah memiliki kandungan gula dengan kosentrasi yang tinggi (80%) yang

didominasi oleh kelompok monosakarida seperti glukosa dan fruktosa, sedikit

sukrosa, dan kandungan air yang rendah (<20%). Tingginya kandungan gula

tersebut berakibat pada terbentuknya larutan gula kental yang dapat mencegah

pertumbuhan mikroorganisme (Donkersley et al., 2017). Selain itu, madu juga

mengandung asam amino dalam jumlah yang sedikit sebagai akibat dari aktivitas

lebah pekerja. Jenis asam amino proline merupakan asam amino yang dapat

dikonversi menjadi sumber energi bagi lebah untuk terbang. Kandungan lain

yang terdapat dalam madu adalah enzim diastase yang berfungsi untuk

menghidrolisis senyawa pati dan enzim invertase yang penting dalam

menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan sukrosa. Lebih lanjut, senyawa fenol

juga merupakan komponen minor yang berkontribusi terhadap aroma, bau, dan

warna.

B.2. Protein

B. 2.1. Nilai pentingnya protein

Seluruh hewan membutuhkan asam amino esensial bagi kehidupannya

yang harus diperoleh dengan cara mencari karena tidak dapat disintesis oleh

mereka sendiri. Jika nektar digunakan lebah sebagai sumber energi, polen

berfungsi sebagai sumber protein, mineral, lipid, dan vitamin (Herbert jr. &

Shimanuki, 1978). Serupa dengan manusia, lebah madu juga membutuhkan 10

asam amino yang hanya dapat diperoleh dari polen. Kebutuhan polen untuk

setiap koloni bervariasi antara 10 kg s.d 26 kg per tahun. Kualitas polen sangat

menentukan kemampuan ratu lebah untuk bertelur, bahkan jumlah telur yang

diproduksi akan turun secara signifikan ketika koloni lebah mendapat diet polen

dengan kualitas rendah (G. J. Kleinschmidt & Kondos, 1976) dan juga

menurunkan umur lebah pekerja (Knox et al., 1971). Sehingga secara tidak

langsung, kekurangan ataupun kualitas polen yang buruk akan mempengaruhi

produktivitas koloni.

148 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Polen sebagai sumber protein disimpan di sel-sel dalam koloni lebah

dalam bentuk bee bread. Kandungan nutrisi bee bread berbeda-beda tergantung

asal sumber bunganya dan bervariasi antara 10%-30% protein, lipid sebanyak

3%-8%, dan karbohidrat yang berkontribusi 25%-30% yang berasal dari netar

atau madu yang sengaja ditambahkan oleh lebah (Susan Wendy Nicolson &

Human, 2013; Somerville, 2005). Komponen lain yang terdapat pada polen adalah

lemak. Lemak memiliki pengaruh yang penting karena berfungsi sebagai

attractant untuk lebah pekerja (Somerville, 2005). Selama masa hidupnya, lebah

madu membutuhkan sedikitnya sepuluh asam amino esensial yang tersedia pada

polen. Asam amino tersebut adalah methionine, threonine, valine, isoleucine,

histidine, leucine, phenylalanine, arginine, lysine, and tryptophan. Komposisi

karbohidrat dan protein pada bee bread sangat tergantung pada musim.

B. 2.2.Pengumpulan polen

Aktivitas pengumpulan polen dilakukan oleh lebah pekerja yang

memiliki tugas khusus sebagai pengumpul polen atau lebah pekerja yang mencari

nektar dan secara tidak sengaja tubuhnya terekspose atau menyentuh polen.

Setelah seluruh polen menempel pada tubuh lebah pekerja, lebah tersebut akan

mulai mengumpulkan polen tersebut dengan menirukan aktivitas seperti

menyisir dengan menggunakan kaki depan dan tengah untuk kemudian

dikumpulkan pada struktur khusus pada bagian kaki belakang yang disebut

cubicula atau pollen basket. Berbeda dengan madu, lebah pekerja pencari polen

akan langsung meletakkan polen yang diperoleh ke dalam sel-sel. Dikarenakan

adanya sekresi oleh beberapa lebah pekerja lainnya, polen yang berada di dalam

sel tersebut akan mengalami fermentasi yang membuat kandungan

karbohidratnya menurun, meningkatkan gula reduksi, dan menurunkan pH.

Terdapat tiga kelompok bakteri yang aktif dalam proses fermentasi ini, yaitu

Pseudomonas, Lactobacillus, and Saccharomyces.

Aktivitas pengumpulan makanan yang dilakukan oleh lebah tidak

semudah yang kita kira. Lebah-lebah pekerja yang bertugas sebagai pencari

makan (foragers) tidak mengumpulkan makanan secara random. Koloni lebah

memiliki mekanisme yang menarik dalam segala aktivitasnya terutama

pengumpulan makanannya. Aktivitas pengumpulan makanan yang dilakukan

lebah forager dimulai oleh lebah-lebah perintis yang memiliki tugas

mengumpulkan dan mencari informasi mengenai lokasi dimana sumber pakan

berada baik jarak dan jumlahnya. Setelah itu, lebah-lebah perintis tersebut akan

149 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

kembali ke sarang dan melakukan aktivitas yang disebut tarian lebah (waggle

dance) dan berusaha untuk menarik lebah-lebah forager (Seeley, 2010). Sehingga

di dalam koloni lebah bisa terdapat lebih dari satu tarian lebah. Beberapa lebah

forager akan datang dan mengevaluasi mengenai lokasi tersebut baik kuantitas

maupun jaraknya dan setelah kembali lebah tersebut akan menjadi “pendukung”

lebah yang menari tersebut. Setelah semua lebah forager bersepakat dengan

lokasi tersebut maka seluruh lebah-lebah foragers tersebut akan pergi dan

memulai aktivitas pengumpulan makanannya.

Tidak seperti nektar atau madu yang disimpan oleh lebah pekerja yang

bekerja di dalam sarang (nurse bee), polen langsung disimpan di sel-sel dalam

sarang secara acak oleh lebah forager tanpa melalui perantara nurse bees. Proses

selanjutnya adalah pemindahan dan realokasi polen yang berada di sel-sel

tersebut ke sel-sel yang berada di sekeliling sel-sel anakan (brood cells). Hal ini

bertujuan untuk mendekatkan jarak antara polen dan brood cells sehingga

memudahkan proses pemberian makan oleh nurse bees ke larva-larva lebah.

Polen atau bee bread akan langsung dikonsumsi paling lama 3 hari oleh nurse

bees sehingga sangat jarang ditemukan sel bee bread sampai ditutup oleh lilin

seperti halnya pada madu (Anderson et al., 2014). Selanjutnya, beberapa studi

berhipotesa bahwa mikroorganisme anaerobic memberikan pengaruh yang

signifikan terhadap proses fermentasi polen menjadi bee bread. Terutama karena

mikroorganisme anaerobic tersebut seperti bakteri asam laktat yang banyak

ditemukan pada bagian crop perut lebah, ternyata juga ditemukan pada bee

bread. Oleh karena itu, peranan mikroorganisme seperti bakteri asam laktat

memiliki peranan yang penting dalam pembentukkan nektar menjadi madu dan

proses pematangan polen menjadi bee bread.

B.2.3. Proses konversi polen menjadi protein

Polen yang disimpan dalam sel-sel di dalam sarang lebah dicampur

dengan sekresi dari kelenjar glandular yang kemudian mengalami proses

fermentasi dan berubah menjadi bee bread. Bee bread inilah yang kemudian

dikonsumsi oleh lebah muda yang bertugas sebagai “dapur umum” untuk

kemudian didistribusikan ke seluruh anggota lebah. Sebagai contoh seekor larva

lebah membutuhkan 25-37.5 mg protein yang setara dengan 125-187.5 mg polen

(Hrassnigg & Crailsheim, 2005).

150 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Kemampuan lebah untuk menkonsumsi polen berbeda-beda bergantung

pada asal sumber polen tersebut. Hal tersebut diduga disebabkan oleh adanya

perbedaan komponen penyusun lapisan dinding sel polen (Wright et al., 2018).

Bagian terluar polen adalah exine yang tersusun atas sporopollenin. Kemudian

bagian selanjutnya adalah pollen kitt yang tersusun atas karbohidrat, protein, and

lemak. Sedangkan bagian ketiga adalah intine yang terdiri atas pectin dan

selulosa. Ketiga lapisan inilah yang perlu dihancurkan untuk memperoleh nutrisi

yang terdapat pada bagian sitoplasma. Sebagai akibatnya, polen sukar untuk

dicerna oleh lebah sehingga dibutuhkan bantuan dari mikroorganisme lain untuk

mempermudahnya.

Studi tentang peranan mikroorganisme dalam peningkatan kandungan

nutrisi bee bread masih belum banyak dilakukan. Satu studi melaporkan bahwa

dari tiga belas jenis bakteri asam laktat, dua jenis bakteri yang paling

mendominasi adalah Lactobacillus kunkeei and Alpha 2.2 (Acetobacteraceae)

yang hidup pada bagian crop di tubuh lebah dimana nektar disimpan sementara

oleh lebah pekerja dan nektar yang berada di crop inilah yang akan ditambahkan

pada polen. Lebih lanjut, aktivitas mikroba yang ditambahkan ke bee bread dapat

juga memicu pembentukan senyawa yang penting seperti vitamin B (Nicolson &

Human, 2013). Akan tetapi, terdapat hal yang menarik yang menyatakan bahwa

tidak ditemukannya keberadaan bakteri tersebut pada bee bread. Sehingga diduga

telah terbentuk kondisi lingkungan cocok untuk usaha pengawetan bee bread

dari aktivitas pembusukan (Anderson et al., 2014).

C. Pendugaan Jumlah Nektar dan Polen yang Dihasilkan oleh

Geronggang

Berbeda dengan jenis Acacia mangium dan Acacia crassicapa yang

mensekresikan nektar dari ketiak daun (nektar ekstraflora), jenis geronggang

hanya mensekresikan nektar melalui bunga. Perbedaan lainnya adalah jika A.

mangium dan A. crassicarpa sudah dapat mensekresikan nektar pada umur tiga

bulan dan setiap hari dapat mensekresikan nektar setiap hari sampai pada masa

tebang, maka geronggang hanya akan mensekresikan nektar pada masa berbunga

saja. Geronggang memiliki waktu berbunga hingga berbuah selama delapan bulan

(Alimah & Rusmana, 2013) yang meliputi masa berbunga pada bulan Juli hingga

September (Alimah & Rusmana, 2013) atau Agustus hingga November (Harrison

et al., 2013). Sedangkan masa berbuah bulan September hingga Desember

151 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

(Alimah & Rusmana, 2013). Bunga geronggang termasuk bunga yang berukuran

kecil dan bertipe malai. Kelompok bunga ini terletak di ujung daun dan berwarna

merah hingga merah tua atau ungu tua dan memiliki panjang tangkai malai

mencapai 15 cm.

Selain itu, bunga geronggang tidak hanya menghasilkan nektar saja tetapi

juga pakan lebah berupa pollen atau tepung sari. Hal ini berbeda dengan A.

mangium dan A. crassicarpa yang meskipun telah menghasilkan nectar extraflora

pada umur tiga bulan, pollen baru akan muncul pada musim berbunga yang

dimulai pada saat umur empat atau lima tahun dimana sudah memasuki masa

tebang. Pribadi dan Purnomo (2013) menyatakan bahwa perkembangan koloni

lebah A. cerana dan A. mellifera yang ditempatkan di bawah tegakan A. mangium

menunjukkan kecenderungan penurunan tingkat kesehatan yang dilihat dari

rendahnya nilai crude protein tubuh lebah pekerja. Hal ini disebabkan oleh tidak

adanya tepung sari yang merupakan sumber protein bagi lebah. Menurut

Mourizio (1975), tepung sari penting bagi koloni lebah untuk menjaga tingkat

kesehatan lebah dan juga tingkat fekunditas ratu lebah. Sehingga hal ini juga

menjadi kelebihan lain yang dimiliki oleh jenis geronggang. Akan tetapi, belum

ada informasi yang lengkap mengenai potensi pollen baik berupa kualitas

maupun kuantitasnya terutama jika dikaitkan sebagai sumber protein bagi lebah

madu.

Sampai saat ini, belum diketahui mengenai potensi nektar sebagai sumber

pakan lebah yang sekaligus sebagai sumber pembuatan madu bagi koloni lebah.

Keterbatasan informasi ini yang menyulitkan untuk melakukan perkiraan jumlah

nektar pada tanaman geronggang. Sebagai pendekatn, maka akan dilakukan

estimasi dengan menggunakan data-data hasil penelitian terdahulu dengan

menggunakan jenis-jenis tanaman yang memiliki sifat yang sama, misalnya

kesamaan jenis tipe bunga, dan lainnya. Berdasarkan hal tersebut, maka pada

tabel 1 menyajikan secara rinci mengenai perhitungan dugaan potensi nektar

pada geronggang.

Pada Tabel 11.1 menunjukkan perkiraan jumlah sekresi nektar pada

bunga tipe malai adalah 0,5 µl/ bunga/hari. Nilai ini diperleh dari bunga jenis

tanaman alpukat yang memiliki tipe bunga malai dan hanya menghasilkan nektar

< 1 µl/ bunga/hari. Jika diasumsikan jumlah bunga dalam satu malai ada 100 dan

dikalikan dengan jumlah cabang yang menghasilkan bunga selama musim

152 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

berbunga (empat bulan) (Harrison et al., 2013), maka akan diperoleh jumlah

nektar 0,28 liter/tanaman selama empat bulan. Asumsi selanjutnya adalah,

apabila dalam satu hektar terdapat 833,34 tegakan (Soerianegara & Lemmens,

2001)) maka akan diperoleh jumlah nektar sebanyak 240,25 liter/ha selama empat

bulan. Jika kita berandai-andai bahwa seluruh luasan HTI dan alokasi perhutanan

sosial di Riau digunakan untuk pertanaman geronggang, maka akan diperoleh

nektar sebanyak 792.831.342,60 liter selama empat bulan.

Tabel 11.1. Perkiraan nilai potensi nektar pada jenis geronggang di provinsi Riau

dengan beberapa asumsi

Parameter Asumsi Keterangan Referensi

Luas 1,900,000

luas areal HTI mineral dan

gambut

(Jikalahari,

2014)

1,400,000 luas alokasi perhutanan sosial

Jumlah tegakan

per ha 833.34

jarak tanam

(2 x 6 m)

(Soerianegara &

Lemmens,

2001)

Jumlah %

fruiting stem /

fruit periode

bulan Agustus

s.d November)

5766

Agustus, September, Oktober,

November (1.82%, 29.61%,

21.47%, 4,76%)

(Harrison et al.,

2013)

Jumlah bunga

per malai 100

Rata-rata Pengamatan

(estimasi)

Jumlah sekresi

nektar per

bunga

0.0000005

estimasi menggunakan

parameter sekresi nektar

harian bunga tipe malai pada

umumnya per hari (liter)

(Dixon &

Lamond, 2004)

Total potensi

nectar

240.25

Total produksi nektar setiap hari selama musim

bunga (yang berlangsung selama empat bulan)

[per ha/hari (liter)]

792,831,342.

60

Total potensi nektar selama empat bulan untuk

luasan areal HTI dan perhutanan sosial (liter)

yang tercantum pada baris satu tabel ini

D. Perkiraan carrying capacity dan jumlah madu yang diperoleh

Jumlah nektar yang terdapat pada tegakan geronggang memiliki potensi

untuk dimanfaatkan sebagai sumber pakan lebah bagi usaha ternak lebah madu.

Akan tetapi informasi mengenai carrying capacacity atau jumlah koloni yang

mampu ditempatkan pada areal tegakkan geronggang dan berapa potensi madu

153 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

yang akan diperoleh belum diketahui karena belum ada informasi mengenai hal

tersebut. Oleh sebab itu, pada bagian ini akan dilakukan perkiraan mengenai

kemampuan carrying capacity geronggang per hektar dan jumlah koloni lebah

jenis A. mellifera yang dapat diusahakan pada areal tersebut.

Untuk menghitung perkiraan jumlah madu yang diperoleh, perlu

diketahui nilai estimasi tentang kemampuan setiap individu lebah pekerja yang

bertugas sebagai lebah pencari nektar untuk kemudian diekstrapolasi ke tingkat

koloni. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah berapa kali lebah tersebut

mampu untuk pergi dan pulang mengambil nektar. Berdasarkan hal tersebut,

maka diperoleh jumlah nektar yang berhasil dikumpulkan oleh satu koloni (rata-

rata jumlah lebah pekerja 50000 lebah) per hari sebanyak 12 liter. Akan tetapi

jumlah tersebut masih harus dikurangi oleh aktivitas penurunan kadar air,

kebutuhan untuk membuat sarang, dan konsumsi oleh lebah itu sendiri. Sehingga

diperkirakan akan diperoleh 0,25 liter madu/hari untuk setiap koloninya selama

empat bulan. Sedangkan untuk mengetahui carrying capacity koloni lebah madu

pada areal tegakan geronggang, maka total nektar yang dihasilkan geronggang

dengan luasan satu hektar harus dibagi dengan total produksi nektar sebelum

dikurangi aktivitas penurunan kadar air, kebutuhan untuk membuat sarang, dan

konsumsi oleh lebah itu sendiri. Sehingga diperoleh nilai sebesar 20 koloni.

Dengan kata lain satu hektar geronggang memiliki nilai carrying capacity sebesar

20 koloni lebah jenis A. mellifera. Akan tetapi data perkiraan perhitungan

tersebut tidak dapat digunakan tanpa memperhatikan faktor lain seperti iklim,

kehadiran serangga kompetitor nektar, hama dan penyakit.

Selain nektar dan polen, lebah juga mengumpulkan getah resin dari

tanaman. Resin tanaman mengandung senyawa anti mikroorganisme yang

merupakan salah satu strategi pertahanan koloni (Huang Z, 2012; The ‘Bee’ a

Detective Scavenger Hunt Team, 2019). Resin adalah komponen utama penyusun

propolis yang digunakan oleh lebah untuk menambal bagian sarang yang terbuka

dengan tujuan untuk mencegah potensi hama dan penyakit masuk serta menjaga

kelembaban dan temperature di dalam sarang. Resin tersusun atas campuran

komplek isoprenoid dan phenolic yang merupakan senyawa yang disekresikan

oleh tanaman sebagai mekanisme pertahanan melawan predator dan

mikroorganisme pathogen (Wright et al., 2018). Pada jenis lebah A. mellifera,

resin banyak terakumulasi pada bagian inner cover, pintu masuk, dan sisiran.

154 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Tabel 11.2. Perhitungan carrying capacity dan perkiraan jumlah madu yang

dihasilkan

Parameter Asumsi Keterangan Referensi Volume

nectar / lebah

0.00004 Kapasitas maksimal of honey

crop (liter)

(M. H. Huang &

Seeley, 2003)

Rata-rata

jumlah lebah

per koloni

50000 Jumlah maksimal populasi lebah

per koloni

(Sagili & Burgett,

2011)

Populasi yang

pencari makan

0.4 Rata-rata persentase dari seluruh

populasi lebah dalam satu koloni

(G. Kleinschmidt,

1990)

Pencari nectar 0.75 Rata-rata persentase dari seluruh

populasi lebah dalam satu koloni

(G. Kleinschmidt,

1990)

Pembawa

nectar

0.8 Rata-rata persentase dari seluruh

populasi lebah dalam satu koloni

(G. Kleinschmidt,

1990)

Jumlah nektar

yg dibawa

lebah per

koloni /hari

0.48 Liter Diperoleh dari

perhitungan

jumlah lebah

pembawa nectar

dikalikan dengan

volume nectar/

lebah

Jumlah

rata-rata trip

25 Kali (Apex Bee

Company, 2018;

“The ‘ Bee ’ a

Detective

Scavenger Hunt

Team,” 2019)

Total nektar

yang

dihasilkan

lebah

perkoloni

12 Liter per hari (Z. Huang, 2012)

Potensi madu

yg dihasilkan

perkoloni per

hari (liter)

0.25 Dikurangi kadar air (30% dari

total nektar), kebutuhan untuk

pondasi sarang, dan konsumsi

oleh koloni itu sendiri

(Bogdanov, 2016)

Jumlah koloni 20.0 jumlah koloni lebah Apis

mellifera per ha

155 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Tidak semua jenis resin disukai oleh lebah. Tanaman geronggang

merupakan salah satu tanaman penghasil resin yang disukai lebah karena bersifat

aromatik sehingga diduga memiliki senyawa antioksidan yang penting untuk

mekanisme pertahanan koloni dari mikroorganisme patogen. Beberapa negara

yang berlokasi di zona temperate seperti Amerika Utara, Eropa utara, dan Asia

barat, lebah banyak mengambil resin yang disekresikan oleh tanaman jenis black

poplar (Populus nigra) pada bagian pucuk daun (Wright et al., 2018). Sedangkan

pada jenis tanaman geronggang, resin banyak dihasilkan pada bagian batang

apabila batang dilukai. Jenis lebah yang banyak berkunjung ke resin yang

dihasilkan oleh geronggang adalah dari kelompok family Meliponine, seperti

Trigona itama dan Trigona laeviceps.

Dalam proses pengumpulan resin, lebah forager menggunakan

mandibula mereka untuk menggali resin dari sumbernya, seperti batang dan

pucuk daun. Setelah resin dikumpulkan dengan menggunakan mandibula, resin

akan diteruskan ke bagian kaki belakang (hind legs) untuk kemudian disimpan

pada bagian yang dinamakan corbiculae atau pollen basket yang merupakan

tempat yang sama dimana polen diletakkan. Ketika lebah forager kembali ke

sarang, resin akan dicampur dengan lilin dan polen yang selanjutnya disebut

sebagai propolis. Propolis didominasi oleh 50% resin, 30% lilin, 10% minyak

aromatis, 5% pollen, dan 5% komponen organik.

Beberapa hasil studi mengungkapkan bahwa bagian batang geronggang

memiliki kandungan senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi. Lebih lanjut,

pada bagian batang geronggang memiliki senyawa yang disebut xanton. Salah

satu fraksi dari xanton adalah mangostin yang memiliki sifat antibakterial

antitumor, antidiabetik, antioksidan, antifungal, antiparasitic. Keberadaan

senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri Bacillus subtilis, Bacillus

cereus, Staphylococcus aureus, dan Salmonella typhimurium (“The ‘Bee' a

Detective Scavenger Hunt Team,” 2019) Selain bagian batang, bagian daun

geronggang memiliki banyak senyawa fenolik yang memiliki sifat aktif dalam

menghambat serangan terhadap sel darah putih (Alimah, 2016). Keberadaan

senyawa antioksidan tersebut memiliki potensi yang besar untuk dapat

dimanfaatkan sebagai bahan baku propolis. Lebah madu tidak mengambil semua

jenis getah sebagai bahan baku propolis, melainkan hanya getah yang memiliki

kandungan antioksidan dan bersifat aromatik seperti resin geronggang.

156 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Beberapa permasalahan yang timbul dalam pengelolaan lebah madu di

areal geronggang adalah kelangkaan polen baik dari segi kualitas maupun

kuantitasnya dan tidak adanya produksi nektar di luar musim berbunga. Terlebih

lagi sampai sekarang belum ada studi tentang kandungan protein polen

geronggang. Lebah harus mengkonsumsi sepuluh asam amino esensial yang

berasal dari polen selama hidupnya. Sepuluh asam amino tersebut adalah

arginine, histidine, isoleucine, leucine, lysine, methionine, phenylalanine,

threonine, trypthopan, dan valine. Untuk melihat apakah tegakan geronggang

memiliki polen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan minimal asam amino

esensial atau tidak, dapat diketahui dari kadar crude protein tubuh lebah pekerja

atau dengan kata lain kadar crude protein dapat dijadikan indikator apakah

kebutuhan protein lebah tersebut terpenuhi atau tidak.

Namun kalaupun geronggang tidak memiliki cukup polen dan nektar

yang cukup baik secara kualitas maupun kuantitas, maka dapat diatasi dengan

pemberian pakan tambahan. Pakan tambahan tersebut sedikitnya harus memiliki

karakteristik palability, digestibility, dan seimbang (memiliki cukup kandungan

asam amino dalam jumlah yang seimbang). Beberapa contoh yang sering

digunakan adalah tepung kedelai, tepung jagung, dan tepung tempe. Untuk

kekurangan pakan berupa nektar, dapat dilakukan pemberian pakan tambahan

berupa air gula (1:1). Alternatif lain adalah dengan menggembalakan koloni lebah

pada lokasi yang memiliki produksi polen dan nektar sepanjang tahun, terutama

apabila tanaman geronggang tidak berada musim berbunga. Tanaman penghasil

polen tersebut antara lain adalah jagung dan kelapa sawit, sedangkan tanaman

penghasil nektar sepanjang tahun adalah Acacia mangium dan Acacia crassicarpa.

Kondisi koloni yang lemah sebagai akibat dari kurangnya sumber

makanan berupa nektar dan polen dapat mengundang beberapa masalah,

misalnya serangan hama dan penyakit. Beberapa hama yang biasa menyerang

koloni lebah adalah wax moth (ngengat lilin) dan tabuhan. Ngengat lilin adalah

salah satu serangga yang berasal dari ordo Lepidoptera yang menyerang sarang

lebah. Gejalanya adalah koloni lebah yang mengalami kemunduran

pertumbuhan sisiran dan cenderung mengelompok pada satu sisi stup. Akan

tetapi, jenis lebah A. mellifera lebih rentan terhadap serangan hama wax moth

terutama pada kondisi yang lemah. Sedangkan tanda kehadiran hama ini adalah

keberadaan serat-serat kapas yang lengket dan bersifat melengketkan frames.

Kerusakan yang disebabkan oleh ngengat lilin dimulai dengan memakan sisiran

157 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

yang terbuat dari lilin. Sedangkan tabuhan merupakan serangga dari ordo

Hymenoptera yang bersifat predator dan memakan lebah dewasa dan anakan

lebah madu. Gejala yang ditimbulkan oleh serangan hama ini adalah

berkurangnya jumlah lebah pekerja akibat dari dimangsa oleh tabuhan sampai

pada merusak sisiran sarang. Pada gejala ringan, tabuhan akan menunggu lebah

pekerja di depan pintu masuk dan bersiap untuk menangkap lebah pekerja A.

cerana dan A. mellifera yang akan pergi mencari makan. Sedangkan pada kondisi

yang berat, tabuhan sudah dapat merusak struktur sarang dan tidak hanya

memakan persedian makanan (madu dan bee bread) akan tetapi juga memangsa

sel anakan. Adapun tanda kehadiran tabuhan adalah keberadaan belasan sampai

puluhan ekor tabuhan yang terbang di sekitar stup terutama terbang dalam posisi

menunggu di depan pintu keluar dan masuk.

Daftar Pustaka

Alimah, D. (2016). Kandungan bahan aktif Gerunggang (Cratoxylon arborescens (Vahl.)

Blume) dan potensi pemanfaatannya. Galam, 2(1), 33–39.

Alimah, D., & Rusmana. (2013). Fenologi berbunga dan berbuah jenis – jenis pohon hutan

rawa gambut. Ekspose Hasil Penelitian BPK Banjarbaru, 136-146. Banjarnbaru:

BPK Banjarbaru.

Anderson, K. E., Carroll, M. J., Sheehan, T., Mott, B. M., Maes, P., & Corby-Harris, V.

(2014). Hive-stored pollen of honey bees: Many lines of evidence are consistent

with pollen preservation, not nutrient conversion. Molecular Ecology, 23(23),

5904–5917. https://doi.org/10.1111/mec.12966

Apex Bee Company. (2018). Honey Bee Facts.

Bogdanov, S. (2016). Beeswax: Production, Properties, Composition, Control. In Bee Product Science. Switzerland: Bee Product Science.

Borba, R. S., Klyczek, K. K., Mogen, K. L., & Spivak, M. (2015). Seasonal benefits of a

natural propolis envelope to honey bee immunity and colony health. Journal of Experimental Biology, 218(22), 3689–3699.

https://doi.org/10.1242/jeb.127324

Dixon, J., & Lamond, C. B. (2004). Research note: nectar content of New Zealand “Hass”

avocado flowers at different floral stages: New Zealand avocado growers

association. Annual Research Report, 4, 25–31.

Donkersley, P., Rhodes, G., Pickup, R. W., Jones, K. C., Power, E. F., Wright, G. A., &

Wilson, K. (2017). Nutritional composition of honey bee food stores vary with

floral composition. Oecologia, 185(4), 749–761.

https://doi.org/10.1007/s00442-017-3968-3

Free, B. J. (1982). Bees and Mankind. London: George Allen & Unwin Ltd.

158 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Freitas, B. M., Filho, A. J. S. P., Andrade, P. B., Lemos, C. Q., Rocha, E. E. M., Pereira, N.

O., … Mendonca, K. S. (2014). Forest remnants enhance wild pollinator visits

to cashew flowers and mitigate pollination deficit in NE Brazil. J. Poll. Ecol., 12, 22–30.

Hadisoesilo, S. (2001). Review: Keanekaragaman Spesies Lebah Madu Asli Indonesia.

Biodiversitas, 2(1), 123–128.

Harrison, M. E., Husson, S. J., Zweifel, N., D’Arcy, L. J., Morrogh-Bernard, H. C., van

Noordwijk, M. A., & van Schaik, C. P. (2013). Trends in fruiting and flowering

phenology with relation to abiotic variables in Bornean peat-swamp forest tree

species suitable for restoration activities. Kalimantan Forests and Climate

Partnership.

Herbert jr., E. ., & Shimanuki, H. (1978). Chemical composition and nutritive value of

bee-collected and bee-stored pollen. Apidologie, 9, 33–40.

https://doi.org/10.1051/apido:19780103

Hrassnigg, N., & Crailsheim, K. (2005). Differences in drone and worker physiology in

honeybees (Apis mellifera). Apidologie, 36, 255–277.

https://doi.org/10.1051/apido:2005015

Huang, M. H., & Seeley, T. . (2003). No TitleM.H. Huang and T.D. Seeley. Multiple Unloadings by Nectar Foragers in Honey Bees: A Matter of Information Improvement or Crop Fullness?, 50, 1–10. https://doi.org/10.1007/s00040-003-

0682-4

Huang, Z. (2012). Honey Bee Nutrition [Internet]. Michigan State University. 2012 [cited

2019 Jul 8]. Available from: https://articles.extension.org/pages/28844/honey-

bee-nutrition%0D%0D%0A

Jikalahari. (2014). Fakta Kritis Analisa Tata Kelola Kehutanan di Provinsi Riau.

Kahono, S., Lupiyaningdyah, P., Erniwati, H., & Nugroho. (2012). Potensi dan

pemanfaatan serangga penyerbuk untuk meningkatkan produksi kelapa sawit

di perkebunan kelapa sawit Desa Api-Api, Kecamatan Waru, Kabupaten

Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Zoo Indonesia, 21, 23–34.

Kleinschmidt, G. (1990). The parameters of protein in bee biology. Honey Research Council Nutrition Workshop. Brisbane: The University of Queensland Gatton

College.

Kleinschmidt, G. J., & Kondos, A. C. (1976). The influence of crude protein levels on

colony production. Aust. Beekeep, 78, 36–39.

Knox, D. A., Shimanuki, H., & Herbert, W. (1971). Diet and the longevity of adult honey

bee. Journal of Economic Entomology, 64, 1415–1416.

https://doi.org/10.1093/jee/64.6.1415

Lee, F. J., Rusch, D. B., Stewart, F. J., Mattila, H. R., & Newton, I. L. G. (2015). Saccharide

breakdown and fermentation by the honey bee gut microbiome.

Environmental Microbiology, 17(3), 796–815. https://doi.org/10.1111/1462-

2920.12526

159 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Mourizio, A. (1975). Bienenbotanik. Illonois: Dadant and Sons Hamilton.

Nicolson, S.W., & Thornburg, R. . (2007). Nectar chemistry. In Nectar and Nectaries, ed.

SW Nicolson, M Nepi, E Pacini. Dordrecht,. In Neth.: Springer.

Nicolson, Susan Wendy, & Human, H. (2013). Chemical composition of the “low quality”

pollen of sunflower (Helianthus annuus, Asteraceae). Apidologie, 44(2), 144–

152. https://doi.org/10.1007/s13592-012-0166-5

Pribadi, A., & Purnomo. (2013). Agroforestry Sorghum (Sorghum Spp.) pada HTI Acacia

crassicarpa sebagai Sumber Pakan Lebah Apis cerana di Propinsi Riau untuk

Mendukung Budidaya Lebah Madu. Prosiding Seminar Masyarakat Agroforestri Indonesia. Malang.

Purnomo, Pribadi, A., Janneta, S., & Suhendar. (2012). Tehnik produksi raw propolis lebah Trigona itama dengan modifikasi kotak dan lingkungan. Kuok.

Puslitbang Perkebunan. (2015). Lebah Madu (Apis spp.) Sebagai Agens Penyerbuk Pada

Tanaman Kelapa.

Sagili, R. R., & Burgett, D. M. (2011). Evaluating Honey Bee Colonies for Pollination: A

Guide for Commercial Growers and Beekeepers.

Seeley, T. D. D. (2010). Honeybee Democracy. New Jersey: Princeton University Press.

Simcock, N. K., Gray, H., Bouchebti, S., & Wright, G. A. (2017). Appetitive olfactory

learning and memory in the honeybee depend on sugar reward identity.

Journal of Insect Physiology, (August).

https://doi.org/10.1016/j.jinsphys.2017.08.009

Soerianegara, I. ., & Lemmens, R. H. M. J. (2001). Plant Resources of South East Asia Timber Trees. Major commercial timbers 5(1). Bogor: Prosea.

Somerville, D. (2005). Fat Bees Skinny Bees -a manual on honey bee nutrition for

beekeepers-. Australian Government Rural Industries Research and Development Corporation, (05), 1–142.

The ‘ Bee ’ a Detective Scavenger Hunt Team. (2019).

Warisno. (1996). Budidaya Lebah Madu. Yogyakarta: Kanisius.

Willms, W., Imperatriz-Fonseca, V. L., & Engels, V. (1996). Resource partitioning

between highly eusocial bees and possible impact of the introduced Africanized

honey bee on native stingless bees in the Brazilian Atlantic Rainforest. Stud. Neotrop. Fauna Environ, 31, 137–151.

Wilson, M. B., Brinkman, D., Spivak, M., Gardner, G., & Cohen, J. D. (2015). Regional

variation in composition and antimicrobial activity of US propolis against

Paenibacillus larvae and Ascosphaera apis. Journal of Invertebrate Pathology,

124, 44–50. https://doi.org/10.1016/j.jip.2014.10.005

Wright, G. A., Nicolson, S. W., & Shafir, S. (2018). Nutritional Physiology and Ecology

of Honey Bees. Annual Review of Entomology, 63(1), annurev-ento-020117-

043423. https://doi.org/10.1146/annurev-ento-020117-043423

160 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

161 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

XII.

NILAI HARAPAN LAHAN PENGUSAHAAN GERONGGANG DI BENGKALIS

(Hery Kurniawan & Michael Daru Enggar W.)

(Ahmad

A. Tanaman Pertanian Prioritas: Sagu, Karet, Geronggang

Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau

yang memiliki luas wilayah 7.773,93 km2, terdiri dari pulau-pulau dan lautan,

dengan 17 pulau utama disamping pulau-pulau kecil lainnya. Luas lahan untuk

perkebunan di Kabupaten Bengkalis adalah 133.941,45 ha.

Kabupaten Bengkalis memiliki visi menjadi salah satu pusat perdagangan

di Asia Tenggara dengan dukungan industri yang kuat dan sumber daya manusia

yang unggul guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan makmur pada

tahun 2020. Jumlah penduduk Kabupaten Bengkalis pada tahun 2017,

berdasarkan penghitungan proyeksi penduduk 2010-2020 mencapai 559.081 jiwa

(BPS Kab. Bengkalis, 2017a). Berbagai sektor turut memacu pertumbuhan

ekonomi di Kabupaten Bengkalis. Salah satunya adalah sektor pertanian termasuk

di dalamnya perkebunan. Persentase tenaga kerja yang bekerja pada sektor

pertanian di Kabupaten Bengkalis masih menempati posisi tertinggi dengan

angkanya mencapai 34,23% (BPS Kab. Bengkalis, 2017b). Sekitar 77 ribu tenaga

kerja usia di atas 15 tahun bekerja di sektor pertanian termasuk perkebunan di

Bengkalis (BPS Kab. Bengkalis, 2018).

Perekonomian Riau pada triwulan IV 2016 mengalami peningkatan, yang

diantaranya disebabkan oleh meningkatnya penawaran di seluruh sektor utama

seperti pertanian, industri, pengolahan, konstruksi, dan perdagangan. Memasuki

triwulan I 2017 indikasi peningkatan ekonomi Riau juga masih cukup kuat. Selain

faktor konsumsi, perbaikan harga komoditas dan kondisi perekonomian negara

mitra dagang juga diperkirakan mampu memberikan dampak terhadap

peningkatan kinerja sektor perkebunan dan industri pengolahan (Perwakilan BI

Prov. Riau, 2017).

Kontribusi sektor perkebunan terhadap PDRB Provinsi Riau pada tahun

2015 mencapai 12,6%, dan sekitar 59% kontribusi perkebunan dalam pertanian.

162 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Saat ini sekitar 65% penduduk Riau menggantungkan hidupnya pada sektor

perkebunan. Pembangunan perkebunan perlu diupayakan dengan baik, secara

sinergis memperhatikan kepentingan lingkungan, ekonomi dan sosial agar tidak

merugikan masyarakat secara umum sehingga dapat berlangsung secara

berkelanjutan, mampu memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa

mengabaikan hak generasi anak cucu yang akan datang (Kusumawati, 2017).

Analisis profil pertumbuhan menunjukkan, berdasarkan PDRB dengan

atau tanpa migas, sektor pertanian termasuk di dalamnya perkebunan menempati

kuadran IV, yang artinya dikategorikan ke dalam sektor yang berpotensi (Novita

et al., 2015). Komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kelapa, sagu,

pinang dan kopi masih merupakan komoditas andalan di sektor ini.

PDRB Kabupaten Bengkalis pada tahun 2017 mencapai 133,04 triliun

rupiah. Struktur ekonomi Bengkalis masih didominasi oleh tiga sektor utama

yang sering disebut dengan leading sector. Posisi pertama leading sector adalah

sektor pertambangan dan penggalian (66,74%), diikuti oleh sektor industri

pengolahan (12,90%), dan yang ketiga adalah sektor pertanian, kehutanan dan

perikanan (9,01%). Subsektor dari sektor pertanian yang menjadi andalan di

Kabupaten Bengkalis adalah subsektor perkebunan yang didominasi oleh

perkebunan kelapa sawit, karet dan sagu. Produksi sagu pada tahun 2015

meningkat hampir 80 persen menjadi sebanyak 15.124,30 ton dengan

produktivitas sebesar 5,27 ton/ha dibanding tahun sebelumnya (BPS Kab.

Bengkalis, 2017b).

Analisis nilai harapan lahan pada bab ini tidak hanya dilakukan pada

pengusahaan tanaman geronggang, namun dilakukan juga terhadap dua

komoditas lain sebagai pembanding, yakni karet dan sagu. Perbandingan nilai

harapan lahan antar beberapa komoditas biasa dilakukan agar dapat diketahui

keunggulan finansial yang sesungguhnya terhadap pengusahaan komoditas yang

dilakukan dalam masa yang panjang (selama-lamanya).

A.1. Karet

Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai

peran penting dalam perekonomian Indonesia. Karet juga salah satu komoditas

ekspor penghasil devisa selain minyak dan gas. Indonesia merupakan negara

produsen dan eksportir karet terbesar dunia.

163 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Riau merupakan produsen karet kering terbesar ketiga di Indonesia

(10%) setelah Sumatera Selatan (27,5%) dan Sumatera Utara (12,79%). Sekitar

12.608 ha merupakan Perkebunan Besar Negara, 27.585 ha merupakan

Perkebunan Besar Swasta, dan sekitar 310.121 ha merupakan Perkebunan Rakyat

(BPS, 2018). Masih menurut BPS (2018), luas perkebunan karet yang ada di

Provinsi Riau adalah 350,3 ribu ha, dengan produksi totalnya mencapai 362,8

ribu ton. Sehingga produktivitas per hanya adalah 1173 Kg. Sedangkan untuk

Kabupaten Bengkalis, pada tahun 2017 luas perkebunan karet mencapai

21.125,10 ha dengan produksinya mencapai 44.281,9 ton. Sehingga rata-rata

produksi per hanya adalah 2,1 ton (BPS Kabupaten Bengkalis, 2018).

Sisi keberlanjutan keberadaan komoditas karet sebenarnya perlu untuk

diupayakan oleh seluruh pihak. Meskipun harga karet alam mengalami

penurunan sejak tahun 2013 (Anonim, 2017), akan tetapi karet alam merupakan

komoditas yang memiliki kontribusi signifikan terhadap perkonomian

masyarakat di pedesaan. Petani karet alam menghadapi kondisi pasar yang

monopsoni. Ketiadaan lembaga ekonomi formal yang mampu meningkatkan

daya tawar dan pendapatan petani di pedesaan, menjadikan penjualan karet

banyak melalui para tauke (tengkulak yang bertindak sebagai middle-man di

pedesaan)(Syahza et al., 2016). Di sisi lain karet alam pun ramah lingkungan

karena sejalan dengan perlindungan keanekaragaman hayati yang ada di

sekitarnya (Ramdani et al., 2018). Berbeda dengan industri perkebunan kelapa

sawit, sekalipun sawit memberikan sumbangsih yang tidak sedikit terhadap GNP

dan ekspor nasional, akan tetapi risiko lingkungan, berupa kebakaran hutan dan

deforestasi, cukup tinggi (Miettinen et al., 2012).

Industri karet alam Indonesia, khususnya Provinsi Riau, sampai dengan

saat ini, masih “terperangkap” pada pengembangan produk-produk antara,

sedangkan pengembangan industri hilir yang menghasilkan produk-produk

akhir masih terbatas. Lebih dari 90% produk-produk karet yang dihasilkan

(Crump Rubber, SIR, RSS, dan Crepe) diekspor, hanya kurang dari 5% yang

diolah menjadi produk-produk akhir (Bakce, 2014). Kondisi ini semakin

memperlambat perbaikan kondisi pasar karet alam serta perkembangan produk-

produk karet olahan.

Perkembangan komoditi kelapa sawit di satu sisi, menimbulkan

ketimpangan pendapatan antar daerah dan antar petani terutama dengan petani

164 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

karet dan kelapa. Pasar komoditi kelapa sawit saat ini cukup terjamin, berbeda

dengan pasar komoditi karet yang cenderung melemah. Perkembangan komoditi

kelapa sawit di Riau telah menggeser usaha tani komoditi karet alam. Perkebunan

karet di Riau masih dikelola secara tradisional, pengelolaannya dilakukan secara

sederhana. Tingkat produktivitasnya rendah, yaitu sekitar 738 kg/ha/tahun

(Syahza et al., 2016).

Pemerintah dapat berperan dalam membantu petani karet berupa

memberikan bantuan bibit unggul dan biaya pupuk sehingga dapat memangkas

operasional, atau mengeluarkan kebijakan lain untuk mengendalikan harga karet.

Produktivitas getah karet masih bisa ditingkatkan dengan cara memakai bibit

unggul dan peremajaan tanaman yang sudah tua/rusak (Ardiansyah et al., 2017).

Pemerintah juga diharapkan dapat membantu memberikan penyuluhan tentang

teknik penanaman dan pemeliharaan kebun karet yang baik agar dapat

meningatkan produksi getah. Selain itu, perlu adanya peningkatan kesadaran

petani karet terhadap pentingnya pendidikan yang lebih baik, karena tingkat

pendidikan dapat berpengaruh pada tinggi rendahnya pendapatan rumah tangga

(Arianto et al., 2014).

A.2. Sagu

Sagu telah menjadi komoditas pertanian unggulan di Riau. Sebarannya

meliputi daerah pesisir, pulau-pulau besar dan kecil di Kabupaten Bengkalis,

Indragiri Hilir, Kampar, Pelalawan dan Siak. Setidaknya terdapat tiga lokasi

utama penghasil sagu di Riau, yakni Kabupaten Meranti, Kabupaten Indragiri

Hilir, dan Kabupaten Bengkalis. Luas lahan pertanian sagu di Riau pada tahun

2018 adalah 82.257 ha, sedangkan produksinya adalah 328.257 ton (Kementerian

Pertanian, 2018).

Luas perkebunan sagu di tingkat nasional pada tahun 2018 mencapai

208.752 ha, dengan produksinya mencapai 390.155. Dari jumlah produksi ini

71,79% dihasilkan oleh perkebunan rakyat dan 28,21% dari perkebunan besar

swasta. Riau memiliki lahan perkebunan sagu seluas 71.004 ha dengan

produksinya mencapai 1.572 ton pada tahun 2018. Di Bengkalis terdapat 2.875 ha

lahan sagu dengan lahan produktifnya mencapai sekitar 1500 ha (Kementan,

2017).

Masyarakat Bengkalis telah lama mengenal sagu sebagai sumber bahan

pangan yang dijadikan tepung sebelum diolah menjadi berbagai macam panganan

165 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

seperti mie sagu, kue tradisional, bubur dan sebagainya. Menurut Nusantara et al.

(2014), diversifikasi produk pertanian seperti sagu, akan menjadikan produk

pertanian tersebut lebih terbuka ke pasar yang lebih luas, tidak hanya di pasar

domestik tapi juga pasar luar negeri. Namun demikian masih dijumpai beberapa

kendala pengembangan agroindustri sagu, diantaranya kurangnya strategi

promosi yang mengedepankan sagu sebagai pati serbaguna, pengembangan

produk sagu di segmen pasar tertentu dan ekspansi pasar untuk produk sagu yang

dihasilkan oleh usaha kecil menengah (FAO, 2013).

Gambar 12.1. Tual sagu siap diangkut ke kilang pengolahan (kiri); Kondisi

salah satu hutan sagu di Bengkalis (kanan)

Potensi produksi tepung sagu dapat mencapai 20 – 40 ton pati

kering/ha/tahun apabila dibudidayakan dengan baik. Pati sagu selain dapat

digunakan sebagai makanan pokok yang potensial, dapat pula dijadikan bahan

baku agroindustri misalnya bahan baku penyedap makanan (monosodium

glutamate), asam laktat (bahan baku plastik yang dapat terurai), gula cair (high

fructos syrup) dan bahan baku energi terbarukan. Sagu juga dapat menyerap CO2

dalam jumlah besar sehingga dapat membantu mengatasi ancaman pemanasan

global. Pada lahan gambut yang ditumbuhi sagu akan terjaga dari kerusakan

lingkungan, karena sagu mempunyai anakan yang banyak sebagai mekanisme

peremajaannya, sehingga dapat mencegah penurunan permukaan tanah gambut

(subsiden) (Astuti et al., 2014).

Sagu menempati peringkat I dalam hal kelayakan sebagai bahan baku

agroindustri pedesaan di Kabupaten Bengkalis berdasarkan kriteria utama

166 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

penilaian, yaitu aksesibilitas ketersediaan bahan baku, potensi pasar,

keterampilan masyarakat, tingkat produksi bahan baku, daya serap tenaga kerja,

teknologi yang tersedia serta kelembagaan. Berdasarkan analisis SWOT dan

QSPM, strategi pengembangan agroindustri pedesaan unggulan berbasis sagu di

Kabupaten Bengkalis perlu dilakukan melalui penetrasi pasar dan pengembangan

produk agroindustri berbasis sagu. Strategi ini dapat dilakukan melalui program

revitalisasi alat pengolahan agroindustri sagu (Sufandi, 2006).

A.3. Geronggang

Geronggang (Cratoxylon arborescens (Vahl.) Blume) merupakan jenis

tumbuhan asli hutan rawa gambut dari famili Guttiferae (Hypericaceae) yang

banyak dijumpai di Sumatera dan Kalimantan (Alimah, 2016). Tingginya bisa

mencapai > 40 m dengan diameter > 60 cm, statusnya saat ini di Indonesia

menurut IUCN adalah terkikis (lower risk) dan kurang diperhatikan (least

concern) (Wardani et al., 2018). Geronggang kini menjadi tumbuhan komersial

andalan di lahan rawa gambut. Tumbuhan yang dikenal dengan bahasa latin

Cratoxylon arborescens ini sudah mulai banyak dibudidayakan oleh masyarakat

Bengkalis (Widana, 2018). Pemanfaatan geronggang saat ini masih terbatas pada

kayunya, meskipun penelitian tentang kandungan senyawa berkhasiat sudah

cukup banyak. Kayu geronggang banyak digunakan untuk konstruksi ringan,

jembatan, kapal, furnitur, flooring, panel, papan partikel, dan lain-lain

(Soerianegara dan Lemmens, 2001). Kayu geronggang memiliki sifat kelas awet

IV, kelas kuat III-IV dengan berat jenis 0,46 (0,36-0,71), kayu ini banyak

dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai papan dan konstruksi ringan di bawah

atap, peti, kayu lapis, meubel murah dan cetakan beton (Daryono, 2009). Bagian

tanaman gerunggang dapat digunakan sebagai anti mikroorganisme, antioksidan

dan penangkal radikal bebas, dan anti kanker (Alimah, 2016). Selain memiliki

nilai ekonomi, geronggang juga mempunyai fungsi lingkungan yang besar.

Tanaman gerongang sangat berguna untuk mengantisipasi kebakaran lahan,

apabila pohon geronggang ditanam di lahan warga, lahan akan mengandung air

(Hamid, 2018).

Kelengkapan informasi suatu jenis pohon merupakan syarat yang harus

dipenuhi dalam pemilihan jenis yang akan dikembangkan. Selain dari informasi

yang telah tersedia (sifat kayu dan sebaran alam), beberapa informasi lain perlu

diketahui. Penelitian oleh Junaedi (2014) di Pelalawan Riau, menunjukkan

geronggang sebagai jenis pohon lokal mampu memproduksi seresah dan input

167 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

hara dari seresah ke lantai hutan, dengan produksi tertingginya adalah pada umur

tegakan dua sampai tiga tahun di lahan gambut yang didrainase. Produktivitas

dan input hara geronggang tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan

krassikarpa.

Gambar 12.2. Tanaman geronggang milik LSM Ikatan Pemuda Melayu Peduli

Lingkungan Bengkalis (atas); Salah satu produk pintu

menggunakan bahan kayu geronggang (bawah)

Hasil penelitian Indriani et al. (2015), jenis pohon geronggang memiliki

nilai rata-rata akumulasi biomassa atas tanah sebesar 135,029kg/ha/tahun, dengan

nilai presentase kelulushidupannya (survival rate) adalah 69% pada lahan gambut

bekas terbakar. Hasil penelitian lainnya oleh Junaedi (2018), menunjukkan

bahwa kemampuan hidup geronggang di lahan gambut yang dikeringkan

mencapai 80% pada umur 5,5 tahun setelah penanaman. Sedangkan hasil

penelitian Mojiol et al. (2014), menyatakan bahwa tingkat kemampuan hidup

geronggang pada lahan gambut bekas terbakar di Klias Forest Reserve, Sabah,

Malaysia mencapai 93,33%.

168 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Kemampuan hidup geronggang yang tinggi diduga karena jenis asli

(native species) ini tidak rentan terhadap serangan hama dan penyakit (Junaedi,

2018). Saat ini jenis tanaman ini dengan beberapa kelebihan dan potensinya,

banyak direkomendasikan sebagai jenis alternatif prioritas dalam pembangunan

hutan tanaman penghasil kayu pulp (Mindawati et al., 2010; Bogidarmanti et al.,

2011). Geronggang termasuk jenis tanaman yang mampu tumbuh kembali pasca

terjadinya kebakaran, sistem perakarannya berada jauh di dalam tanah dan

memiliki jumlah akar lateral yang cukup banyak (Zainun, 2017). Karakteristik

geronggang yang memiliki pertumbuhan yang cepat menjadikan jenis ini cocok

digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan gambut (Junaedi, 2015).

B. Nilai Harapan Lahan Pengusahaan Sagu, Karet dan Geronggang

Data luas lahan gambut di Indonesia bervariasi dari 13 sampai 26,5 juta

ha. Guna mendukung kebijakan “One Map Policy”, pemutakhiran data dilakukan

oleh Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP), yang

mengeluarkan data paling terpercaya, luas lahan gambut Indonesia adalah 14,9

juta ha (Wahyunto, et al., 2016). Riau merupakan provinsi dengan luas gambut

terbesar di Indonesia yakni 4,044 juta ha atau 56,1 % dari luas total gambut di

Sumatera. Dari tahun 1982-2007 daratan Riau kehilangan 57% dari luas total

yang dimiliki atau tersisa sekitar 1,8 juta Ha (Gunawan et al. 2012). Sedangkan

untuk Kabupaten Bengkalis luas lahan gambutnya adalah 803.891,1Ha (Mubekti

2011).

Gambar 12.3. Geronggang di lahan milik masyarakat Bengkalis

169 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Hasil penelitian Sufandi (2006), bahwa sub sektor perkebunan

menempati peringkat pertama dari empat sub sektor yang dinilai sebagai sub

sektor agroindustri pedesaan di Bengkalis berdasarkan sebelas kriteria yang

digunakan dalam penelitian. Sub sektor perkebunan layak dijadikan sebagai sub

sektor agroindustri pedesaan di Kabupaten Bengkalis dari beberapa kriteria

utama, yaitu kondisi lingkungan/alam, potensi pasar dan produktivitas lahan,

ketersediaan lahan dan aksesibilitas serta kebijakan pemerintah.

Masyarakat Bengkalis saat ini banyak menanam geronggang karena

dianggap sangat cocok dilestarikan di lahan gambut (Hamid, 2019). Beberapa

keunggulan geronggang antara lain adalah jenis tumbuhan asli lahan gambut,

mudah ditanam, tanpa perlu perawatan, dan bernilai ekonomis tinggi. Pohon ini

memiliki kemampuan bertahan dari panas, cepat tumbuh dan dapat hidup di

lahan yang pernah terbakar. Batang kayunya yang keras dan liat mampu

membuat vegetasi ini bertahan dalam kondisi kering dan panas. Menurut Solihin,

salah satu petani geronggang, satu ha lahan bisa ditanam geronggang sebanyak

9500 batang, dengan masa panen sekitar 10 tahun. Satu ha lahan yang ditanam

geronggang saat ini bernilai 3 milyar rupiah (Syamsuar, 2018).

Pengusahaan geronggang tentu mendatangkan keuntungan yang dapat

diukur, demikian juga pengusahaan tanaman perkebunan lainnya. Bagi mereka

yang berminat untuk mengusahakannya tentunya memerlukan analisis tingkat

keuntungan masing-masing komoditas, agar diperoleh gambaran yang setidaknya

tidak berbeda jauh dengan kenyataan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,

tanaman karet dan sagu juga merupakan jenis prioritas yang banyak diusahakan

oleh masyarakat. Perbandingan nilai harapan lahan perlu dilakukan terhadap tiga

komoditas ini. Analisis finansial tunggal tentu akan mendatangkan pertanyaan

terkait adanya perbedaan daur (lama jangka produksi), sehingga diperlukan

analisis finansial yang secara logis dapat diperbandingkan.

Land Expectation Value merupakan suatu metode yang mampu

memberikan analisis komprehensif dalam mengukur kemampuan petani.

Analisis LEV menuntut adanya data yang detil terkait pembiayaan dan

pendapatan yang muncul selama usaha dalam satu daur. Nilai LEV sangat

dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi pada suatu unit pengusahaan komoditas

yang menimbulkan konsekuensi terjadinya perubahan baik pada sisi

170 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

pengeluaran/biaya (cost) maupun pendapatan (revenue) (Kurniawan dan Yuniati,

2015).

Analisis nilai harapan lahan (Land Expectation Value) adalah suatu istilah

yang biasa digunakan untuk menerangkan nilai bersih saat ini dari suatu lahan

kosong yang digunakan untuk menghasilkan kayu dihitung selama jangka tak

hingga (perpetual series) atas tanaman kayu yang ditumbuhkan di atas lahan

tersebut (Davis, 1987). LEV juga mencerminkan nilai tambahan maksimum yang

dapat dihasilkan pada permulaan rotasi untuk pembelian aktual lahan dan masih

mampu manghasilkan pengembalian atas total investasinya sebesar discount rate

yang digunakan. Sehingga LEV juga merupakan kesanggupan maksimum untuk

membayar lahan untuk penggunaan kehutanan berdasarkan harapan-harapan

manajemen (Klemperer, 1996).

Formula dasar nilai harapan lahan (LEV/SEV) adalah,

LEV = a

(1 + i)n − 1

a = pendapatan bersih (NPV) pada umur/daur tertentu (Rp/luas/daur)

i = suku bunga riil (%) per satuan waktu

n = jangka waktu dalam perioda investasi

Rumus di atas, oleh Faustman (1846) dikembangkan menjadi formula

yang penjabarannya sebagai berikut : (disebut dengan formula Faustmann)

dimana :

Le = nilai harapan tanah (LEV, Rp./satuan luas/daur)

Yr = pendapatan pada umur daur tertentu (r tahun)

Ta,Tb = pendapatan hasil penjarangan pada umur a dan b

(luas)

I = pendapatan tahunan selama umur r tahun

C = biaya pembuatan tanaman pada umur a

Sa,Sb = biaya-biaya penjarangan pada umur a dan b

𝐿𝑒

=𝑌𝑟 + 𝑇𝑎(1 + 𝑖)𝑟−𝑎 + 𝑇𝑏(1 + 𝑖)𝑟−𝑏 + 𝐼

(1 + 𝑖)𝑟 − 1𝑖

− 𝐶𝑎(1 + 𝑖)𝑟−𝑎 + 𝑆𝑏(1 + 𝑖)𝑟−𝑏 − 𝑒 (1 + 𝑖)𝑟 − 1

𝑖

(1 + 𝑖)𝑟 − 1

171 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

e = biaya-biaya rutin (biaya operasional yang dikeluarkan

secara periodik)

i = tingkat bunga (dalam persen)

r = jangka waktu (dalam tahun) antara investasi awal

s/d investasi akhir

Harga yang digunakan adalah harga konstan pada tahun dasar 2019,

sedangkan suku bunga yang digunakan adalah suku bunga riil untuk sepuluh

tahun terakhir berdasarkan suku bunga pasar dan rata-rata inflasinya. Suku

bunga riil didapatkan menggunakan formula Heers dan Lefers,

𝑖 = 𝑚 − 𝑓

1 + 𝑓

dimana :

I = suku bunga riil (dalam %)

f = angka inflasi rata-rata per tahun (dalam %)

m = suku bunga pasar (dalam %)

Sedangkan untuk penghitungan nilai harapan lahan digunakan

formula Faustman (1849) dengan memanfaatkan data pada cash flow dan

kemudian di-compound pada akhir daur. Sebagai pembanding, digunakan juga

suku bunga riil pembanding untuk perhitungan kelayakan usahanya. Suku bunga

riil lebih mencerminkan kondisi perekonomian yang sesungguhnya pada saat

analisis dilakukan.

B.1. Asumsi-asumsi

Beberapa asumsi perlu digunakan dalam penghitungan LEV ini, asumsi-

asumsi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Analisis ini menggunakan tiga komoditas perkebunan yakni geronggang,

sagu dan karet.

2. Jarak tanam yang digunakan adalah 1 x 1(m), dan 1 x 0,5 (m) untuk

geronggang, 10 x 10 (m) untuk sagu, sedangkan karet jarak tanamnya 7 x 3

(m) atau 5 x 4 (m).

3. Estimasi produksi, hasil penjarangan dan tebangan akhir dihitung

berdasarkan hasil wawancara dengan petani dan data sekunder lainnya,

diasumsikan tiap pohon menghasilkan :

172 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

a. Pola Usaha 1 = Jarak tanam geronggang 0.5 x 0.5 (m), tebang penjarangan

pertama enam tahun (569 tan), selanjutnya ditanami lagi untuk dipanen

enam tahun kemudian; Jumlah tanaman awal adalah 18.430 batang

dengan hasil akhir yang dipanen adalah 1.488 batang (1081 tan), afkir

sebanyak ±942 btg.

b. Pola Usaha 2 = Jarak tanam geronggang 1 x 0,5 (m), tebang penjarangan

pertama enam tahun (285 tan), selanjutnya ditanami lagi untuk dipanen

enam tahun kemudian (285 tan); Jumlah tanaman awal adalah 9.215

batang dengan hasil akhir yang dipanen adalah 744 batang (541 tan), afkir

sebanyak ±471 btg.

c. Pola Usaha 3 = Untuk kayu cerocok tiga tahunan, dengan jarak tanam 0,5

x 0,5 (m). Jumlah tanaman adalah 18.430 batang.

d. Pola Usaha sagu = Jarak tanam sagu adalah 10 x 10 (m), pada tengah-

tengah ditambah satu tanaman lagi. Panen umur sepuluh tahun, harga

batang sagu adalah Rp. 40.000,-/tual. Harga bibit Rp. 5000,-/bibit, harga

pupuk dolomite Rp. 40.000,-/sak, dan urea Rp. 15.000,-/Kg. Pemupukan

dilakukan dengan alternative 1 kali dan 2 kali pemupukan.

e. Pola Usaha Karet, jumlah tanaman adalah 476-500 tanaman per ha. Data

produksi mengacu pada hasil penelitian produksi karet di Kabupaten

Kampar oleh Utari dkk. (2016), yang dianggap memiliki karakteristik

lahan yang tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Bengkalis. Produksi

rata-rata getah karet di Kabupaten Bengkalis pada tahun 2017 menurut

data BPS adalah 2,1 ton/ha, sedangkan rata-rata produksi dalam

penelitian ini adalah 2,4 ton/ha (selama daur 25 tahun).

4. Harga yang digunakan adalah harga konstan pada tahun dasar 2019 (hasil

wawancara), untuk kayu geronggang dengan satuan tan. Tan merupakan

satuan lokal yang setara dengan volume kayu 7200 inchi, harganya pada saat

pengambilan data adalah Rp. 3.500.000,-/tan, dan Rp. 20.000,-/tan untuk

cerocok. Harga sagu per tualnya (ukuran ±40 inchi) adalah Rp. 40.000,-.

Harga karet menggunakan harga Rp. 6000.-/kg, yakni harga pada saat

dilakukan wawancara, yang kemudian di-crosscheck dengan harga rata-rata

lima tahun terakhir. Sedangkan suku bunga yang digunakan adalah suku

bunga riil untuk sepuluh tahun terakhir berdasarkan suku bunga pasar dan

rata-rata inflasinya.

173 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

5. Untuk mengukur kelayakan usaha karena perubahan suku bunga, digunakan

suku bunga pembanding di atas dan dibawah suku bunga riil (5,9% dan 7,9%).

6. Harga Jual Dasar dan volume kayu yang dihasilkan pada akhir daur

didasarkan pada perkiraan minimal yang dapat dihasilkan.

7. Daur yang dipakai sebagai dasar perhitungan adalah tiga tahun (kayu

cerocok), sepuluh tahun (jarak tanam 1 x 1 (m)) dan 12 tahun (jarak tanam 1

x 0,5 (m)) untuk geronggang, 12 tahun untuk sagu, dan 25 tahun untuk karet.

Analisis LEV dilakukan untuk ketiga komoditas secara perpetual atau daur

pengelolaan tak terhingga lamanya.

8. Pada pengusahaan sagu, hanya pada daur pertama (12 tahun pertama) muncul

biaya-biaya awal seperti penyiapan lahan, pembelian bibit, pembuatan

lubang tanaman, dsb. Selanjutnya mulai tahun ke-13, pemanenan dilakukan

setiap tahun dengan biaya-biaya tertentu saja seperti pemupukan dan

pemanenan. Sehingga analisis LEV nya adalah penjumlahan NPV daur

pertama ditambah LEV perpetual annual series dari tahun ke-13 dan

seterusnya.

9. Biaya investasi tetap seperti biaya pengadaan jalan, pengadaan bangunan,

pengadaan peralatan kantor diasumsikan tidak ada, biaya pembuatan

bangunan persemaian tidak permanen dimasukkan dalam tahun nol.

10. Biaya sewa lahan (Pajak Bumi dan Bangunan) diasumsikan berdasarkan NJOP

berupa kebun, dengan asumsi harga jual Rp. 100.000,-/m2. Dengan rumus

perhitungan PBB = 0,5% x 40% x (NJOP – NJOPTKP) = Rp. 1.976.000,-

/ha/tahun untuk semua pola usaha.

11. Biaya pemupukan untuk pengusahaan geronggang diasumsikan nol (tidak

memerlukan pemupukan). Biaya pemupukan untuk pengusahaan sagu, pada

awal penanaman dibutuhkan dolomite sebanyak 60 kg, harga per 20 kg/sak

adalah Rp. 40.000,-. Pupuk urea 2 kali setahun, per rumpun memerlukan 300

gram sekali pemupukan.

12. Jumlah kayu afkeer untuk geronggang diperkirakan 942 batang pada

pengusahaan tanaman geronggang dengan jarak tanam 1 x 0,5 (m).

B.2. Nilai Harapan Lahan Pengusahaan Geronggang, Sagu dan Karet

Hasil penghitungan nilai harapan lahan pengusahaan geronggang, sagu

dan karet disajikan pada gambar 12.4. Pada grafik dapat dibaca bahwa nilai

harapan lahan pengusahaan tanaman geronggang terdapat tiga macam pola

pengusahaan, yakni dengan jarak tanam 1 x 0,5 (m); dengan jarak tanam 1 x 1(m);

174 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

dan kayu cerocok. Sedangkan pada pengusahaan tanaman sagu terdapat dua pola,

yakni dengan satu kali pemupukan dan dua kali pemupukan. Sementara pada

pengusahaan karet hanya dengan satu pola pengusahaan. Pola-pola ini

merupakan pola atau sistem pertanian yang biasa dilakukan oleh masyarakat di

Bengkalis. Pada kenyataannya pola pertanaman yang ada bisa sangat bervariasi

sesuai dengan kemauan dan potensi lahan yang dimiliki masyarakat.

Penyederhanaan menjadi tiga pola, dua pola dan satu pola penanaman

sebagaimana di atas, dimaksudkan untuk lebih memudahkan dalam memahami

namun tetap tidak keluar dari praktek pertanian sesungguhnya yang dilakukan

oleh masyarakat Bengkalis.

Gambar 12.4. Nilai Harapan Lahan (LEV) pengusahaan tanaman geronggang,

sagu dan karet

Pada grafik di atas (Gambar 12.4.) diketahui pengusahaan tanaman

geronggang memiliki nilai harapan lahan tertinggi. Nilainya mencapai Rp.

4.110.873.368,- pada pengusahaan dengan jarak tanam 1 x 0,5 (m) pada suku

bunga 6,9% dan Rp. 2.488.976.228,- dengan jarak tanam 1 x 1 (m). Pada

pengusahaan tanaman geronggang dengan peruntukan kayu cerocok nilai

harapan lahannya mencapai Rp. 1.091.738.640,-. Pada pengusahaan sagu nilai

harapan lahan tertingginya adalah pada pola pengusahaan dengan satu kali

pemupukan, nilainya mencapai Rp. 490.106.402,- dan Rp. 479.298.547,- untuk

pengusahaan sagu dengan dua kali pemupukan. Sedangkan untuk nilai harapan

1mx0,5m 1mx1m Cerocok 1x pupuk 2x pupuk 25 tahun

Geronggang Sagu Karet

Rate Interest 5,9% 5.021.519.97 3.030.266.17 1.302.606.21 595.225.149 564.482.159 120.835.068

Rate Interest 6,9% 4.110.873.36 2.488.976.22 1.091.738.64 490.106.402 479.298.547 99.445.132

Rate Interest 7,9% 3.436.807.70 2.087.434.27 934.413.280 409.354.653 415.746.517 83.476.350

LEV (Rp)

175 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

lahan terendah adalah pada pengusahaan karet dengan nilai Rp. 99.445.132,-.

Perbedaan nilai harapan lahan berdasarkan hasil perhitungan di atas terlihat

cukup besar nilainya, selisih antara nilai harapan lahan pengusahaan geronggang

dengan sagu mencapai sekitar dua milyar rupiah. Demikian juga bila

dibandingkan dengan pengusahaan karet. Nilai harapan lahan yang tinggi ini

lebih disebabkan oleh komponen harga kayu geronggang yang relatif tinggi. Oleh

karenanya perlu diketahui juga seberapa besar perubahan yang terjadi apabila

muncul perubahan dari sisi harga yang disebabkan oleh kondisi pasar dan

perekonomian yang ada. Sehingga perlu dilakukan analisis sensitivitas atau

kepekaan usaha terhadap perubahan faktor harga. Pada analisis sensitivitas usaha,

dilakukan penghitungan nilai harapan lahan pada dua komoditas yang

menghasilkan nilai harapan lahan tertinggi yakni geronggang dan sagu.

Perubahan harga berupa penurunan harga sebesar 25% dan 50% dari harga

normal sebagaimana di atas, diujikan pada pengusahaan tanaman geronggang dan

sagu dengan beberapa pola tanaman seperti dijelaskan di atas. Hasil dari analisis

sensitivitasnya dapat dilihat pada Gambar 12.5. dan 12.8.

Gambar 12.5. Grafik perubahan LEV geronggang oleh perubahan harga jual

produk pada tiga tingkat suku bunga

Pada Gambar 12.5. di atas, terlihat bahwa penurunan harga jual produk

kayu geronggang akan mengurangi nilai harapan lahannya. Pada analisis

kepekaan usaha, diasumsikan penurunan harga terjadi pada 25% dan 50%.

Penurunan harga sebesar ini apakah berpengaruh kuat terhadap pengusahaan

-

2.000.000.000

4.000.000.000

6.000.000.000

norm

al

harg

a-25

%

harg

a-50

%

norm

al

harg

a-25

%

harg

a-50

%

norm

al

harg

a-25

%

harg

a-50

%

1mx0,5m 1mx1m Cerocok

Geronggang

Suku Bunga 5,9%

Suku Bunga 6,9%

Suku Bunga 7,9%

LEV (Rp)

176 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

geronggang? Berdasarkan grafik diatas, penurunan yang cukup besar terjadi pada

nilai harapan lahan pada setiap level penurunan harga yang diujikan pada

komoditas geronggang. Pada pola penanaman geronggang jarak tanam 1 x 0,5 (m),

dengan penurunan harga sebesar 25% maka penurunan atau selisih LEV dengan

harga normal mencapai hingga 40%. Sedangkan pada penurunan harga sebesar

50% maka selisih nilai LEV nya bisa mencapai 85%. Namun demikian, nilai LEV

pada penurunan harga hingga 50% masih bernilai positif, artinya pengusahaan

geronggang pada level harga tersebut masih memberikan keuntungan dan masih

layak dilanjutkan. Nilai nominal LEV pada penurunan harga 25% dan pada tiga

suku bunga berturut turut Rp. 2.913.830; Rp. 2.377.978; Rp. 1.981.000.

Gambar 12.6. Persentase penurunan nilai LEV pengusahaan geronggang

oleh penurunan harga jual produk kayu geronggang

Pada pengusahaan geronggang dengan jarak tanam 1 x 1 (m) pada suku

bunga riil 6,9%, penurunan harga jual produk geronggang sebesar 25% akan

menurunkan nilai LEV dengan penurunan mencapai 43%, dan pada penurunan

harga 50% akan meng urangi nilai LEV sebesar 86% dari nilai LEV dengan harga

normal yang digunakan. Namun demikian sebagaimana pada pengusahaan

geronggang dengan jarak tanam 1 x 0,5 (m), maka nilai LEV nya masih positif

yakni Rp. 1.417.381,- pada penurunan harga sebesar 25%, dan Rp. 345.787,- pada

penurunan harga 50%. Artinya pengusahaan geronggang dengan jarak tanam 1 x

1 (m) masih layak dijalankan dengan kondisi penurunan harga hingga 50%

-

20

40

60

80

100

norm

al

harg

a-25

%

harg

a-50

%

norm

al

harg

a-25

%

harg

a-50

%

norm

al

harg

a-25

%

harg

a-50

%

1mx0,5m 1mx1m Cerocok

Geronggang

%

Suku Bunga 5,9% Suku Bunga 6,9% Suku Bunga 7,9%

177 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

bahkan lebih. Demikian pula halnya dengan pengusahaan kayu cerocok

geronggang, penurunan harga sebesar 25% dan 50% masih memberikan nilai

LEV yang positif, namun dengan nominal yang lebih kecil dari pengusahaan

geronggang peruntukan kayu sebagaimana di atas.

Gambar 12.7. Penurunan nilai nominal LEV (Rp) oleh penurunan harga jual

produk kayu geronggang

Pada gambar 12.7., di atas dapat kita lihat grafik menunjukkan adanya

penurunan nilai LEV dengan nominal yang berbeda-beda. Secara nominal

penurunan terbesar adalah pada pengusahaan geronggang dengan jarak tanam 1

x 0,5 (m), diikuti jarak tanam 1 x 1 (m) baru kemudian nilai penurunan LEV

terkecil adalah pada kelas pengusahaan cerocok geronggang. Sehingga terlihat

grafiknya untuk pengusahaan kayu cerocok adalah lebih landai dibandingkan

grafik lainnya. Namun demikian pada gambar 12.8, dapat kita pahami pula,

bahwa ternyata perbedaan suku bunga tidak berpengaruh terhadap persentase

(bukan nominal) nilai penurunan LEV oleh penurunan harga jual produk, hal ini

dapat diketahui dari posisi grafiknya yang berhimpit. Namun demikian,

perubahan secara nominal terlihat berbeda berdasarkan gambar 12.7. di atas.

Berdasarkan grafik di atas, dapat dijelaskan pula bahwa resiko pengusahaan

geronggang dengan jarak tanam 1 x 0,5 (m) memiliki tingkat LEV tertinggi,

-

1.000.000.000

2.000.000.000

3.000.000.000

4.000.000.000

5.000.000.000

6.000.000.000no

rmal

harg

a-25

%

harg

a-50

%

norm

al

harg

a-25

%

harg

a-50

%

norm

al

harg

a-25

%

harg

a-50

%

1mx0,5m 1mx1m Cerocok

Geronggang

Rp

Suku Bunga 5,9% Suku Bunga 6,9% Suku Bunga 7,9%

178 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

namun sangat sensitif terhadap perubahan harga, sehingga fluktuasinya lebih

tajam dibandingkan dengan kelas pengusahaan geronggang lainnya.

Gambar 12.8. Grafik perubahan LEV sagu oleh perubahan harga jual produk

pada tiga tingkat suku bunga

Pada pengusahaan tanaman sagu, nilai LEV nya juga mengalami

perubahan yang cukup besar terutama pada penurunan harga hingga 50%.

Dengan satu kali pemupukan pada tingkat suku bunga 6,9% dan penurunan harga

sebesar 25%, maka nilai LEV akan berkurang hingga sebesar 38%. Sedangkan

pada penurunan harga 50% maka nilai LEV berkurang sebesar 84%. Demikian

halnya dengan pengusahaan sagu dengan dua kali pemupukan nilai LEV nya akan

berkurang dengan penurunan harga jual produk, dengan besar penurunan

berturut-turut untuk penurunan harga 25% dan 50% adalah sebesar 57% dan

89%. Persentase ini tak akan berubah dengan perbedaan suku bunga yang

digunakan dalam analisis atau perhitungan, sebagaimana yang dijelaskan pada

kelas pengusahaan geronggang di atas. Berdasarkan grafik di atas juga diketahui

bahwa nilai persentase penurunannya untuk pengusahaan sagu dengan dua kali

pemupukan justru lebih besar dibandingkan satu kali pemupukan. Kemungkinan

hal inilah yang menyebabkan mengapa ada kecenderungan para petani sagu

cenderung meminimalkan pemupukan pada tanaman sagu yang sudah besar dan

mampu mereproduksi sendiri.

normal harga-25% harga-50% normal harga-25% harga-50%

1x pupuk 2x pupuk

Sagu

Suku Bunga 5,9% 595.225.149 374.945.095 116.765.136 564.482.159 344.055.545 85.875.586

Suku Bunga 6,9% 490.106.402 304.481.709 81.311.646 479.298.547 274.636.324 51.466.262

Suku Bunga 7,9% 409.354.653 249.515.251 52.478.444 415.746.517 220.093.549 23.056.741

LEV (Rp)

179 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

C. Prospek Pengusahaan Tanaman Geronggang

Geronggang merupakan tanaman asli lokal Riau yang memiliki habitat

utama di lahan gambut dan mampu tumbuh baik juga di lahan mineral. Sifat

kayunya yang mudah dikerjakan, awet serta memiliki tekstur dan warna kayu

yang menarik menjadikannya sebagai kayu primadona di wilayah Riau dan

sekitarnya. Pemanfaatannya banyak digunakan sebagai papan dan kayu

gergajian, serta untuk profil. Saat ini kayu geronggang cukup langka di pasaran

karena semakin menyusutnya potensi geronggang di hutan alam. Hutan alam di

Bengkalis seringkali mengalami kebakaran, kebakaran hebat pada tahun 2014

telah memusnahkan sebagian besar pohon geronggang. Langkanya kayu

geronggang ini menjadi sebab harganya yang tinggi di pasaran. Saat ini banyak

petani geronggang, termasuk LSM yang sangat giat dalam pengusahaan tanaman

geronggang. Puluhan kelompok tani pembudidaya tanaman geronggang telah

terbentuk baik yang diprakarsai oleh LSM maupun yang menanam sendiri. Salah

satu LSM pegiat geronggang adalah Ikatan Pemuda Melayu Peduli Geronggang

(IPMPL).

Tiga komponen penting sebagai pilar pengusahaan geronggang sangat

kondusif dalam mendorong iklim pengusahaan atau budidaya tanaman

geronggang di Kabupaten Bengkalis. Tiga komponen tersebut adalah faktor edafis

dan habitat yang cocok bagi budidaya geronggang, minat masyarakat yang tinggi,

serta potensi pasar yang besar menjadikan geronggang layak untuk diusahakan

dalam bentuk hutan tanaman, sehingga Bengkalis layak menjadi sentra

pengusahaan dan pengembangan kayu beserta produk-produk berbahan kayu

geronggang. Pengalaman masa lalu masyarakat dalam mengeksploitasi dan

mengolah kayu geronggang juga menjadi faktor pendorong lainnya yang

menempatkan geronggang sebagai kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi di

Bengkalis. Informasi yang diperoleh dari para pembalak kayu geronggang di masa

lalu, permintaan pasar dari negara-negara tetangga juga cukup tinggi. Beberapa

komponen yang kondusif ini diperkuat lagi dengan kemauan politik para pejabat

negara, termasuk Bupati Siak, Gubernur Riau serta Menteri Lingkungan Hidup

dan Kehutanan. Pada tahun 2018, harga jual kayu geronggang di Bengkalis

mancapai Rp. 3.000.000,-/tan. Sementara informasi yang didapatkan pada tahun

2019 harganya telah mencapai Rp. 3.500.000,-/tan. Tren kenaikan ini

diperkirakan masih akan terjadi mengingat makin langkanya kayu dari hutan

alam dan makin meningkatnya kebutuhan kayu untuk berbagai keperluan.

180 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Geronggang bukan hanya memiliki nilai jual secara finansial saja, namun

juga memiliki nilai ekonomi dalam arti yang luas, termasuk kemampuannya

dalam mempertahankan air di lahan gambut. Secara alami geronggang mampu

bertahan pada lokasi dengan permukaan air tanah gambut yang lebih tinggi

dibandingkan jenis tanaman lainnya seperti akasia. Sebagaimana akasia,

geronggang juga memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai kayu penghasil

pulp. Kemampuan bertahan geronggang terhadap genangan akan mampu

mencegah dan mengurangi terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama pada

lokasi berlahan gambut yang banyak tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Selain itu telah banyak hasil penelitian yang termuat dalam beberapa jurnal

ilmiah, menunjukkan potensi kandungan kimia geronggang memiliki khasiat

sebagai obat beberapa penyakit. Dengan adanya potensi yang beragam dari

geronggang ini yakni manfaat finansial, ekonomi, lingkungan dan medis,

menjadikan geronggang akan tetap menarik untuk dibudidayakan.

Daftar Pustaka

Alimah, D. 2016. Kandungan Bahan Aktif Gerunggang (Cratoxylon arborescens

(Vahl.)Blume) dan Potensi Pemanfaatannya. Galam Volume 2 Nomor 1, Juni

2016. Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Banjarbaru.

Anonim. 2017 Natural rubber prices expected to decline. Weibold. the UK.

Ardiansyah, D. Yoza dan Y. Oktorini. 2017. Pengembangan Hutan Rakyat Berbasis

Tanaman Karet (Hevea brasilliensis) di Kecamatan Tanah Putih Kabupaten

Rokan Hilir. JOM Faperta UR Vol.4 No.1 Februari 2017.

Arianto, D., H. Ekwarso dan D. Tampubolon. 2014. Analisis Pendapatan Petani

Karet Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis.

Astuti, M., Hafiza, E. Yuningsih, A.R. Wasingun, I.M. Nasution dan D. Mustikawati.

2014. Pedoman Budidaya Sagu (Metroxylon spp.) Yang Baik. Direktorat

Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian.

Bakce, Djaimi. 2014. Supply chain management industri karet di Indonesia. Makalah

disajikan pada Seminar Nasional Ekonomi Pertanian dengan tema: “Mensiasati

ancaman degradasi industri perkebunan di Provinsi Riau” yang

diiselenggarakan oleh UIN SUSKA Riau bekerjasama denganPerhimpunan

Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Komisariat Daerah Pekanbaru pada

tanggal 1 November 2014 di Pekanbaru.

Bogidarmanti, R., N. Mindawati, dan Suhartati. 2011. Gerunggang (Cratoxylon arborescens Blume.) dan Terentang (Campnosperma coriaceum Jack. Dan C.

181 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

auriculata Hook.f) : Jenis Alternatif Potensial Sebagai Bahan Baku Kayu Pulp.

Proceeding of the National Seminar of MAPEKI XIV, pp 315-326.

BPS. 2018. Statistik Karet Indonesia 2017. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.

BPS Kabupaten Bengkalis. 2018. Kabupaten Bengkalis Dalam Angka. BPS Kabupaten

Bengkalis.

BPS Kabupaten Bengkalis. 2017a. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Bengkalis

Tahun 2017. BPS Kabupaten Bengkalis.

BPS Kabupaten Bengkalis. 2017b. Statistik Daerah Kabupaten Bengkalis 2018. BPS

Kabupaten Bengkalis.

Daryono, H. 2009. Potensi, Permasalahan dan Kebijakan yang Diperlukan dalam

Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Gambut Secara Lestari. Jurnal Analisis

Kebijakan Kehutanan Vol. 6 No. 2, Agustus 2009: 71-101.

FAO. 2013. Expert Consultation on the Establishment of A Sago Network for Asia and the Pacific. Roundtable Report.

Gunawan H, Kobayashi S, Mizuno K, dan Kono Y. 2012. Peat swamp forest types and

their regeneration in Siak Kecil-Bukit Batu Biosphere Reserve, Riau, East

Sumatra, Indonesia. Mires and Peat 10:1-17

Hamid, A. 2018. Warga Desa Wonosari, Bengkalis Budidayakan Tanaman Geronggang.

m.medialaskar.com. Diakses tanggal 16 Mei 2019.

Hamid, A. 2019. Dianggap Cocok di Lahan Gambut, Warga Bengkalis Budidayakan

Pohon Geronggang di Desa Air Putih. www.medialaskar.com. Diakses tanggal

17 Mei 2019.

Indriani, D., H. Gunawan dan N. Sofiyanti. 2015. Survival Rate dan Total Akumulasi

Biomassa Permukaan Dari Lima Jenis Pohon Yang Digunakan Dalam

Eksperimen Restorasi Pada Lahan Gambut Bekas Terbakar di Area Transisi

Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu Desa Tanjung Leban, Bengkalis, Riau.

JOM FMIPA Volume 2 No 1 Februari 2015.

Junaedi, A. 2014. Pertumbuhan Tegakan dan Produktivitas Serta Laju Dekomposisi

Seresah Beberapa Jenis Pohon Lokal Pada Lahan Gambut di Kabupaten

Pelalawan, Riau. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Kehutanan Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta.

Junaedi, A. 2015. Pertumbuhan dan Mutu Bibit Geronggang (Cratoxylon arborescens)

Pada Tiga Wadah Bibit. Prosiding Workshop: promoting appreciation and awareness on conservation of high value indigeneous wood species of Sumatra.

Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok.

Junaedi, A. 2018. Growth Performance of Three Native Tree Species for Pulpwood

Plantation in Drained Peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal

of Forestry Research Vol. 5, No. 2, October 2018, 119-132.

Kemenhut. 2014.Statistik Kementerian KehutananTahun 2013. Jakarta (ID):

Kementerian Kehutanan.

182 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Kementan. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia 2016-2018. Direktorat Jenderal

Perkebunan. Kementerian Pertanian.

Kurniawan, H. dan Yuniati, D. 2015. Pengaruh Biaya Pengendalian Hama Kutu Sisik

(Chionaspis sp.) Terhadap Nilai Harapan Lahan Budidaya Cendana (Santalum album Linn.). Prosiding Diskusi Ilmiah: Sinergitas Peneliti, Widyaswara dan

Penyuluh Kehutanan dalam Diseminasi Informasi Guna Mendukung

Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTT. Balai Penelitian dan

Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang.

Kusumawati, S.A. 2017. Kebijakan dan Realita Perkebunan dan Industri Kelapa Sawit di

Provinsi Riau. Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan. Focus

Working Group “Dampak PP 57-2016 tentang Gambut dan Implementasinya”.

Jakarta, 18 Mei 2017.

Miettinen J, Hooijer A, Shi C, et al. 2012 Extent of industrial plantations on Southeast

Asian peatlands in 2010 with analysis of historical expansion and future

projections. Gcb Bioenergy 4: 908-918.

Mindawati, N., R. Bogidarmanti, H.S. Nuroniah, A.S. Kosasih, Suharti, S. Rahmayanti, A.

Junaedi, E. Rahmat, Y. Rochmayanto. 2010. Silvikultur Jenis Alternatif

Penghasil Kayu Pulp. Sintesa Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.

Mojiol, A.R., Wahyudi and N. Nasly. 2014. Growth Performance of Three Indigenous

Tree Species (Cratoxylum arborescensVahl. Blume, Alstonia spathulata Blume,

and Stemonurus scorpioides Becc.) Planted at Burned Area in Klias Peat Swamp

Forest, Beaufort, Sabah, Malaysia. Journal of Wetlands Environmental

Management, Volume 2, Number 1, April 2014.

Mubekti. 2011. Studi pewilayahan dalam rangka pengelolaan lahan gambut berkelanjutan

di Provinsi Riau. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia13(2): 88- 94.

Novita, Y., Rosnita dan Eliza. 2015. Analisis Sektor Ekonomi Unggulan Kabupaten

Bengkalis dengan Pendekatan Sektor Pembentukan Produk Domestik Regional

Bruto. JomFaperta Vol. 2, No.1 Februari 2015.

Nusantara AW, Baheri, dan Tondi L. 2014. Competitiveness analysis and development of

agroindustry in southeast sulawesi. International Journal Business and Management Invention. 3 (3):80-86.

Ramdani, R., E.P. Purnomo dan R.D.P. Ahsani. 2018. Karet Alam Sebagai Basis

Pembangunan Pedesaan dan Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat yang

Berkelanjutan. Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja Vol. 44, No. 1, Oktober

2018: 21-36.

Sufandi. 2006. Strategi Pengembangan Agroindustri Perdesaan di Kabupaten Bengkalis.

Tugas Akhir. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Soerianegara, I. dan R.H.M.J. Lemmens. 2001. Plant Resources of South East Asia Timber

Trees. Major Commercial Timbers, 5(1) : 102-108. Bogor : Prosea.

183 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Syahza, A., Bakce, D., Suarman & Hamlin, N. 2016. Strategi percepatan pembangunan

ekonomi melalui penataan kelembagaan dan industri karet alam di Provinsi

Riau. Penelitian MP3EI tahun II. Universitas Riau Pekanbaru.

Syamsuar. 2018. Geronggang Alternatif Masa Depan Ekonomi Riau. www.madaniy.com.

Diakses tanggal 17 Mei 2019.

Syaufina, L. dan D.A.F. Hafni. 2018. Variabilitas Iklim dan Jejadian Kebakaran Huran dan

Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Jurnal Silvikultur

Tropika, Vol. 09 No. 1, April 2018, hal 60-68. ISSN: 2086-8227.

Utari, M., Yusmini dan S. Edwina. 2016. Analisis Kelayakan FInansial Usaha Perkebunan

Karet Program Eks UPP TCSDP di Desa Bina Baru Kecamatan Kampar Kiri

Tengah Kabupaten Kampar. Jom Faperta Vol. 3 No. 2 Oktober 2016.

Wahyunto, K. Nugroho dan F. Agus. 2016. Perkembangan Pemetaan dan Distribusi

Lahan Gambut di Indonesia. Buku: Lahan Gambut Indonesia (Edisi Revisi), Bab

2. Ed.: F. Agus, M. Anda, A. Jamil dan Masganti. IAARD Press. Badan Litbang

Pertanian.

Wardani, M., Denny dan Sutiyono. 2018. Spesies Pohon Hutan Rawa Gambut Sumatera.

Prosiding Seminar Nasional. Merawat Asa Restorasi Gambut, Pencegahan

Kebakaran dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Balai Penelitian dan

Kehutanan Palembang.

Widana, I. 2018. Banyak Nilai Ekonomisnya, Syamsuar Ajak Masyarakat Siak Manfaatkan

Lahan Gambut Tanam Geronggang. www.gonews.co.diakses tanggal 15 Mei

2019.

Zainun, W. Syafii, Y. Fauziah dan L.N. Firdaus. 2017. Morfologi Akar Tumbuhan di

Lahan Gambut Pasca Kebakaran. Handout Pembelajaran Biologi SMP Berbasis

Riset. Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Riau.

184 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

185 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

XIII.

KEARIFAN LOKAL TERHADAP GERONGGANG

DI KABUPATEN BENGKALIS (Michael Daru Enggar W. & Hery Kurniawan)

(Ahmad

A. Gambaran Umum Kabupaten Bengkalis

Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu Kabupaten terluar di Provinsi

Riau yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia. Kabupaten

Bengkalis berada wilayah dengan tinggi tempat (altitude) 5 – 55 m di atas

permukaan laut. Secara geografis Bengkalis terletak pada 20 30’ – 00 30’ Lintang

Utara dan 1020 52’ – 1020 10’ Bujur Timur. Wilayah Bengkalis termasuk dalam

daerah beriklim tropis dengan curah hujan sepanjang tahun. Temperature harian

wilayah di Bengkalis berkisar 26 – 32º C. Dari kondisi lingkungan dan iklim

tersebut Kabupaten Bengkalis menjadi habitat alam tanaman geronggang

(Cratoxylon arborescens).

Batas-batas Kabupaten Bengkalis adalah sebagai berikut :

a. sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka

b. sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka dan Kabupaten Kepulauan

Meranti

c. sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Kepulauan

Meranti

d. sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Rokan

Hulu dan Kota Dumai.

Luas wilayah Kabupaten Bengkalis adalah 7.773,93 Km yang terdiri atas

daratan dan lautan. Tercatat ada 33 sungai, 10 danau, dan 17 pulau besar berada

di wilayah Kabupaten Bengkalis. Sungai di wilayah Bengkalis berperan sebagai

sarana penghubung utama dan menyokong perekonomian penduduk,

diantaranya adalah Sungai Siak dengan panjang 300 km, Sungai Siak Kecil dengan

panjang 90 km, dan Sungai Mandau 87 km. Pulau terluar di Bengkalis yaitu Pulau

Bengkalis dan Pulau Rupat merupakan jalur pelayaran internasional yang

melewati Selat Malaka dan sebagai pintu masuk ke Negara Indonesia.

186 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

Sumber://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Lokasi_Riau_Kabupaten_Bengkalis.svg

Gambar 13.1. Peta Kabupaten Bengkalis

Wilayah Kabupaten Bengkalis terbagi menjadi 11 Kecamatan yaitu

Mandau, Pinggir, Bathin Solapan, Talang Muandau, Bukit Batu, Siak Kecil,

Bandar Laksamana, Rupat, Rupat Utara, Bengkalis, dan Bantan. Kecamatan

Pinggir menjadi kecamatan terluas dengan luas wilayah 2.503 km dan kecamatan

Bantan menjadi kecamatan terkecil dengan luas wilayah 424,40 km. dari 11

kecamatan tersebut terbagi lagi menjadi 155 Desa/kelurahan, kecamatan

Bengkalis menjadi kecamatan dengan desa/kelurahan paling banyak sebanyak 31

desa/kelurahan dan kecamatan Bandar Laksamana menjadi kecamatan dengan

desa/kelurahan paling sedikit sebanyak tujuh desa/kelurahan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis tahun 2018

jumlah penduduk pada tahun 2017 berjumlah 559.081 jiwa yang terdiri atas

286.865 jiwa laki-laki dan 272.216 jiwa perempuan. Laju pertambahan penduduk

di bengkalis adalah 1,59%/tahun. Kepadatan Penduduk di Bengkalis rata-rata 72

jiwa/km denagan kepadatan penduduk tertinggi terdapat di kecamatan Mandau

yaitu 263 jiwa/km dan terendah terdapat di Kecamatan Rupat Utara yaitu 23

jiwa/km.

Tingkat pertumbuhan angkatan kerja di Kabupaten Bengkalis termasuk

cukup tinggi, data BPS tahun 2018 menunjukkan jumlah angkatan kerja pada

tahun 2017 sebanyak 385.583 jiwa yang terdiri atas: bekerja sebanyak 225.043

jiwa, belum bekerja sebanyak 21.225 jiwa, dan bukan angkatan kerja (sekolah,

ibu rumah tangga, dan lainnya) sebanyak 139.315 jiwa. Tingkat partisipasi kerja

187 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

sebesar 63,67% dengan jumlah penduduk yang bekerja dan tingkat pengangguran

sebesar 8,62%. Sektor yang membuka kesempatan kerja di Kabupaten Bengkalis

dapat disajikan pada grafik berikut :

Gambar 13.2. Persentase penduduk bekerja menurut lapangan kerja utama (BPS

Kab. Bengkalis, 2018)

Upah Minimum (UMK) Kabupaten Bengkalis secara konsisten

mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016 UMK Kabupaten

Bengkalis sebesar Rp 2.480.875,- kemudian meningkat menjadi Rp. 2.685.547,-

pada tahun 2017.

Bentang alam di Kabupaten Bengkalis terdiri atas dataran rendah yang

ditumbuhi hutan tropis, kawasan coastal (pantai) dan daerah endapan lumpur

sebagai hasil erosi sungai terutama di Pulau Rupat, Pulau Bengkalis, Pulau Babi

dan Pulau Halang. Daerah perbukitan yang tingginya lebih dari 25 meter di atas

permukaan laut hanya ditemukan di wilayah Kecamatan Mandau. Ekosistem

pesisir di Kabupaten Bengkalis berupa rawa gambut dan mangrove. Rawa gambut

didominasi oleh hutan gambut tropis dan sagu. Sedangkan areal mangrove

didominasi oleh hutan bakau, api-api dan nipah. Pada umumnya kawasan hutan

mangrove (bakau) di Kabupaten Bengkalis sudah banyak mengalami kerusakan,

khususnya yang berada disekitar kawasan pemukiman di bagian utara Pulau

Bengkalis, Rupat, Pesisir Bukit Batu-Sei Pakning dan Pulau Padang.

34,23

20,83

18,56

8,18

5,19

4,94

4,34,13

0,16

pertanian

jasa

perdagangan

konstruksi

industri pengolahan

pertambangan

angkutan dan komunikasi

keuangan dan asuransi

listrik, gas, dan air bersih

188 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

B. Kearifan Lokal: Konsep dan Fungsinya

Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang

berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil

pengamatan selama kurun waktu yang lama (Babcock, 1999). Kearifan lokal

tumbuh dan berkembang di masyarakat sebagai adaptasi masyarakat terhadap

kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Salah satu aspek kearifan lokal masyarakat

tercermin dalam pengelolaan sumber daya alam hayati. Pendekatan kultural

dalam pengelolaan sumber daya hayati tidak saja ditujukan kepada pemenuhan

nilai-nilai spiritual dan kultural masyarakat, tetapi juga diarahkan untuk

menjamin kesinambungan sumber daya di alam agar tetap mampu dimanfaatkan

masyarakat (Droste 1995). Teknik-teknik pengelolaan ini telah dikenal luas

sebagai indigenous knowledge, local wisdom, ethnoecology, ethnobiology atau

istilah-istilah lain yang merujuk pada dominansi pengetahuan lokal dalam

pengelolaan sumber daya (Grenier 1998).

Menurut hasil penelitian Noor dan Rahman (2015), kearifan lokal

berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan

masyarakat yang merupakan hasil kreativitas dan inovasi secara terus-menerus

dengan melibatkan masukan internal dan eksternal. Dengan demikian, kearifan

lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu

yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat (Rahyono 2009). Sumarmi dan

Amirudin (2014) menjelaskan beberapa fungsi kearifan lokal, yaitu:

a. penanda identitas sebuah komunitas,

b. elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan

c. kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas,

d. mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok

dengan meletakkannya di atas kebudayaan yang dimiliki, dan

e. mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah

mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang mereduksi,

bahkan merusak, solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh

di atas kesadaran bersama dari sebuah komunitas terintegrasi.

Bagi masyarakat tradisional, alam merupakan gudang persediaan bahan

pangan yang dapat diambil kapan saja guna mempertahankan kelangsungan

hidupnya. Faktor ini menjadi penyebab sebagian flora yang awalnya hidup liar di

alam berubah menjadi tanaman pangan yang dibudidayakan (Sembori dan

189 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Tanjung 2009). Nenek moyang kita sudah sejak dahulu memanfaatkan sumber

daya alam hayati tumbuhan di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup,

baik sebagai obat, pangan, bangunan, sandang, maupun alat rumah tangga

lainnya (Khazara dan Austin 1999).

C. Kearifan Lokal Penanaman Geronggang

Masyarakat Melayu di Pulau Bengkalis memiliki beberapa kearifan lokal

terkait geronggang, yang tercermin sejak proses penanaman sampai dengan

pemanfaatannya. Masyarakat melakukan perbanyakan geronggang melalui biji di

alam. Biji geronggang yang ringan akan tertiup angin dan terbawa oleh aliran air

sehingga akan tumbuh secara alami di tepi parit/kanal. Setelah anakan

geronggang tumbuh, masyarakat kemudian memindahkannya di lahan milik

mereka. Terdapat dua sumber bahan pertanaman geronggang, yaitu

menggunakan anakan alam dan menanam bibit hasil persemaian. Pertanaman

mengandalkan anakan alam biasanya satu rangkaian dengan perbanyakan secara

alam (memelihara anakan geronggang yang tumbuh). Anakan geronggang yang

tumbuh secara alami diseleksi untuk memilih anakan terbaik, anakan yang

kurang baik atau mati akan dicabut. Sedangkan bibit hasil persemaian diperoleh

dengan menyemaikan biji geronggang seperti yang dilakukan oleh masyarakat

penggiat geronggang di Bengkalis. Penanaman bibit hasil persemaian biasanya

dilakukan pada saat umur bibit tiga bulan atau setinggi 30 cm.

Teknik menanam biasanya dilakukan dengan memindahkan anakan alam

untuk ditanam di lahan sendiri. Petani yang memiliki modal akan

mempersiapkan bibit terlebih dulu dengan menyemaikan biji geronggang

ataupun dengan sistem cabutan. Tujuan mereka mempersiapkan bibit adalah

untuk meningkatkan persentase hidup dari anakan geronggang, bersamaan

dengan mempersiapkan lahan untuk penanaman.

Penanaman geronggang di lahan masyarakat biasanya dilakukan dengan

sistem tanam campur. Dalam satu hamparan lahan biasanya ditanam berbagai

tanaman sumber penghidupan seperti karet, pinang, sagu, kelapa sawit dan lain

sebagainya. Luas penanaman tergantung dari kemampuan setiap petani dalam

mengolah lahan, biasanya antara satu hingga dua ha. Sesudah bibit geronggang

ditanam, petani melakukan pemeliharaan dengan membuat tebas piringan di

sekitar tanaman dan melakukan pemupukan. Pemupukan yang utama dilakukan

pada tanaman sumber penghidupan, sedangkan geronggang jarang dipupuk oleh

190 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

pemilik lahan. Petani melakukan penyulaman untuk mengganti tanaman yang

mati. Tanaman geronggang akan dibiarkan sampai umur dua tahun dan dilakukan

tebangan penjarangan. Penjarangan bertujuan memberikan ruang tumbuh

sehingga dapat memacu pertumbuhan diameter batang. Kayu hasil penjarangan

sudah dapat dijual untuk dijadikan kayu cerucuk. Tebangan penjarangan

dilakukan secara periodik setiap dua tahun atau tiga tahun sampai dengan

tebangan akhir pada umur tanaman di atas 12 tahun.

Gambar 13.3. (a) Diskusi menggali informasi dengan masyarakat pegiat

geronggang; (b) Bersama Pembina dan praktisi usaha tani

gerongggang dari LSM Ikatan Pemuda Melayu Peduli Lingkungan

D. Kearifan Lokal Pemanfaatan Geronggang

Pemanfaatan kayu geronggang dapat dilihat dalam keseharian

masyarakat di Pulau Bengkalis salah satunya dari rumahnya. Pada rumah

masyarakat Pulau Bengkalis, kayu geronggang dimanfaatkan sebagai bahan piri-

piri, dinding, rangka atap, dan lantai rumah. Hal ini diperkuat juga dari studi pada

salah satu di desa tanah merah, Kabupaten Kepulauan Meranti, terdapat banyak

pohon geronggang yang bisa diolah menjadi kayu atau papan, dan berguna untuk

membuat rumah. Masyarakat desa banyak menggunakan kayu tersebut untuk

membuat rumah dikarenakan potensinya sangat besar dan mudah tumbuh. Selain

itu umur produksi kayu geronggang lebih singkat dibanding kayu jenis lain.

Setiap warga memiliki pohon geronggang di tepian jalan atau kebun, yang umur

kurang lebih puluhan tahun dan sudah bisa memanfaatkan pohonnya untuk

diolah menjadi kayu/papan. Kayu geronggang mudah dibelah atau dipotong

dengan gergaji, baik pada kayu basah maupun kering udara. Kayu geronggang

biasa digunakan untuk papan dan konstruksi ringan di bawah atap, kursi, kayu

lapis dan cetakan beton.

a b

191 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Gambar 13.4. (a) Rumah menggunakan bahan baku kayu geronggang; (b)

Papan kayu geronggang sebagai dinding rumah

Selain pemanfaatan hasil kayu dari geronggang, masyarakat juga

melakukan pemanfaatanbagian non kayu geronggang, antara lain kulit batang

geronggang yang digunakan untuk obat luka dan gatal pada kulit. Bentuk

pemanfaatan lainnya adalah sebagai tanaman sumber pakan lebah madu. Bunga

geronggang disukai lebah madu karena mengandung nektar. Namun bunga

geronggang hanya bersifat musiman sehingga tidak bisa dimanfaatkan untuk

pakan lebah sepanjang tahun. Pemanfaatan lain yang memegang peranan penting

bagi ekologi adalah peranan tanaman geronggang sebagai penyimpan air. Peranan

kayu geronggang secara ekologi ini akan dijabarkan pada sub bab berikut.

E. Kearifan Lokal Perlindungan Geronggang

Masyarakat Bengkalis sudah menerapkan pengetahuan-pengetahuan

lokal dalam perlindungan geronggang. Perlindungan geronggang didorong oleh

kelangkaan kayu yang bisa dimanfaatkan di hutan. Kultur masyarakat Melayu

yang dikenal sebagai tapak lapan (delapan jalan mata pencaharian) terdapat salah

satu aspek yaitu bertukang atau membangun rumah yang sangat bergantung pada

ketersediaan kayu. Pada jaman dahulu waktu hutan masih terjaga dan kayu

melimpah, masyarakat tidak terlalu memikirkan kayu untuk pembuatan rumah

mereka. Namun saat ini seiring pertambahan jumlah penduduk dan

meningkatnya kebutuhan akan kayu, keberadaan kayu di hutan semakin sedikit.

Bahkan kayu geronggang yang sebelumnya dipandang sebelah mata mulai dilirik

oleh masyarakat sehingga jumlahnya pun berkurang drastis di hutan. Ditambah

lagi dengan peristiwa bencana kebakaran lahan dan hutan. Kondisi ini

a b

192 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning

menyadarkan masyarakat tentang pentingnya konservasi terhadap kayu

geronggang.

Pemanenan kayu geronggang oleh masyarakat Bengkalis dilakukan

dengan sistem tebang habis lorong (jalur). Sistem ini dilakukan dengan menebang

habis satu lorong dan membiarkan lorong sebelahnya. Fungsi dari perlindungan

lorong di sebelahnya adalah untuk konservasi air. Kayu geronggang hidup di

lahan gambut yang rawan terbakar sehingga keberadaannya cukup penting untuk

mengurangi risiko kebakaran lahan. Pohon geronggang secara ekologis mampu

menahan air tanah seperti spons raksasa sehingga apabila terjadi kebakaran lahan

tidak akan meluas karena adanya sekat bakar. Penebangan sistem jalur mampu

menjaga tata air dan mencegah kebakaran dengan geronggang sebagai sekat

bakar.

Salah satu LSM peduli lingkungan di Bengkalis sejak beberapa tahun

terakhir gencar menggalakkan konservasi dan budidaya tanaman geronggang

kepada masyarakat. LSM yang menamakan dirinya “Ikatan Pemuda Melayu

Peduli Lingkungan” telah berhasil membudidayakan tanaman geronggang di

Bengkalis. Budidaya geronggang yang dipelopori oleh LSM ini dilakukan dengan

menyemaikan biji geronggang yang dikumpulkan dari berbagai wilayah di Pulau

Bengkalis. LSM ini mempunyai beberapa persemaian permanen dan kebun

pertanaman yang tersebar di Pulau Bengkalis. Kebun tanaman geronggang yang

sudah dibangun oleh LSM ini kerjasama dengan masyarakat bervariasi mulai

umur tanaman nol sampai dengan siap panen 12 tahun lebih. LSM ini membantu

masyarakat dalam menyediakan bibit dan penyuluhan mengenai budidaya

geronggang serta berharap dapat menjaga kelestarian tanaman geronggang

sebagai tanaman asli dari Pulau Bengkalis.

Konservasi geronggang memang tidak dapat dipisahkan dengan aspek

pemanfaatan kayunya (faktor ekonomi). Adanya keuntungan finansial akan

mendorong masyarakat untuk ikut serta dalam konservasi dan pelestarian

tanaman geronggang. Tetapi perlu diperhatikan juga jangan sampai karena

mengejar finansial sampai mengesampingkan dampak lingkungan yang

ditimbulkan sesudahnya.

193 Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Daftar Pustaka

Babcock, TG., 1999. Kearifan Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Implikasi untuk Penelitian dan Praktis. Bahan Kursus TOT. Kendari : CEPI-

PSL UNHALU: 311 - 325 Sistem Pertanian Di Sulawesi Tenggara

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis. 2018.

Bogidarmanti R., Mindawati N., dan Suhartati. 2011. Geronggang (Cratoxylon arborescens Blume.) dan Terentang (Campnosperma coriaceum Jack. Dan

C.Auriculata Hook.f) : Jenis Alternatif Potensial Sebagai Bahan Baku Kayu

Pulp. Prosiding Seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

: 315-326.

Droste BV, Plachter H, Rossler M. 1995. Cultural landscapes of universal value:

components of a global strategy. Paris (FR): UNESCO

Grenier L. 1998. Working with indigenous knowledge. International Development

Research Centre, Ottawa, Ontario,Canada.

Khazara N, Agustin V. 1999. Pemanfaatan Tumbuhan oleh Suku Walak di Kecamatan

Kelila Kabupaten Jayawijaya. Jayapura (ID): Laporan Penelitian.

Martawijaya, A. I.Kartasujana, K. Kadir dan S. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia .Jilid

I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor.

Martawijaya, A. I.Kartasujana, K. Kadir dan S. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia .Jilid

, II dan III. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.

Noor M, Rahman A. 2015. Biodiversitas dan kearifan lokal dalam budidaya tanaman

pangan mendukung kedaulatan pangan: kasus di lahan rawa pasang surut.

[Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon]. Banjarbaru (ID): Balittra. Vol 1(8): 1861-

1867.

Prawira, R.S.A. 1979. Pengenalan jenis-jenis kayu ekspor. Seri IX. Bagian Botani Hutan,

Lembaga Penelitian Hutan. Bogor

Rahyono FX. 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta (ID): Wedatama Widyasastra

Sembori F, Tanjung RHR. 2009. Inventarisasi jenis tumbuhan pangan lokal pada

masyarakat Ambaidiru, Distrik Kasino, Kabupaten Yapen Waropen. [Jurnal

Biologi Papua]. Papua (ID): Universitas Papua. Vol. 1(36-41).

Soerianegara, I dan R.H.M.J Lemmens (eds). 2001. Plant Resources of South East Asia

Timber Trees. Major commercial timbers 5(1): 102-108. Prosea. Bogor.

Sumarmi, Amirudin. 2014. Pengelolaan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal. Malang:

Aditya Median Publishing.

http://tanahmerah-kepulauanmeranti.desa.id/2017/09/20/pokok-gerongang-sebagai-

kayu-pilihan/