23
5/24/2018 CaraMenaikkanGolongan-slidepdf.com http://slidepdf.com/reader/full/cara-menaikkan-golongan 1/23 ISSN 0215 - 8250 GERAKAN MENULIS KARYA ILMIAH (SEBUAH UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU) oleh I Nengah Suandi Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Fakultas Bahasa dan Seni, Uniersitas Pendidikan !anesha Jln" #" $ani No" %& Singara'a ABSTRAK #da dua (er)asalahan *ang diangkat dala) tulisan ini"  Pertama )enga(a (eningkatan (ro+esionalis)e guru dilakukan )elalui gerakan )enulis kar*a il)iah dan  Kedua agai)ana strategi )enggerakkan guru dala) )enulis kar*a il)iah dala) u(a*a )eningkatkan (ro+esionalis)e guru" Dari (e)ahasan *ang dilakukan, da(atlah ditarik si)(ulan erikut"  Pertama setidak-tidakn*a ada dua (erti)angan )enga(a gerakan )enulis kar*a il)iah di kalangan guru da(at )eningkatkan (ro+esionalis)e guru, *aitu .1/ Pro+esi )enulis ersi+at teruka, sia(a (un da(at )elakukann*a asalkan )au  ela'ar dan eker'a keras dan .2/ enulis kar*a il)iah da(at )eningkatkan ko)(etensi guru khususn*a *ang )en*angkut ko)(etensi (edagogik dan ko)(etensi (ro+esional"  Kedua ada eera(a strategi *ang da(at dite)(uh dala) )elaksanakan gerakan )enulis kar*a il)iah di kalangan guru, *aitu .1/ tingkatkan (elatihan )enulis kar*a il)iah di kalangan guru, .2/  erlangganan )a'alah il)iah'urnal, .3/ )e)uat )a'alah il)iah'urnal )ini)al di tingkat kau(aten4 ./ )eningkatkan +rekuensi (elaksanaan lo)a )enulis kar*a il)iah di idang (endidikan4 dan .5/ )eningkatkan )otiasi guru untuk )enulis kar*a il)iah" 6ata kun7i )enulis kar*a il)iah, (ro+esionalis)e guru  _________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXXI Mei !!" 1

Cara Menaikkan Golongan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Golongan PNS

Citation preview

PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU MELALUI PEMBERDAYAAN GURU DALAM MENULIS KARYA ILMIAH

515ISSN 0215 - 8250

_________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXXI Mei 2008

GERAKAN MENULIS KARYA ILMIAH (SEBUAH UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU)

olehI Nengah SuandiJurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan DaerahFakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha Jln. A. Yani No. 67 Singaraja

ABSTRAK

Ada dua permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini. Pertama mengapa peningkatan profesionalisme guru dilakukan melalui gerakan menulis karya ilmiah? dan Kedua bagaimana strategi menggerakkan guru dalam menulis karya ilmiah dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru. Dari pembahasan yang dilakukan, dapatlah ditarik simpulan berikut. Pertama setidak-tidaknya ada dua pertimbangan mengapa gerakan menulis karya ilmiah di kalangan guru dapat meningkatkan profesionalisme guru, yaitu (1) Profesi menulis bersifat terbuka, siapa pun dapat melakukannya asalkan mau belajar dan bekerja keras dan (2) Menulis karya ilmiah dapat meningkatkan kompetensi guru khususnya yang menyangkut kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Kedua ada beberapa strategi yang dapat ditempuh dalam melaksanakan gerakan menulis karya ilmiah di kalangan guru, yaitu: (1) tingkatkan pelatihan menulis karya ilmiah di kalangan guru, (2) berlangganan majalah ilmiah/jurnal, (3) membuat majalah ilmiah/jurnal minimal di tingkat kabupaten; (4) meningkatkan frekuensi pelaksanaan lomba menulis karya ilmiah di bidang pendidikan; dan (5) meningkatkan motivasi guru untuk menulis karya ilmiah.

Kata kunci : menulis karya ilmiah, profesionalisme guru

ABSTRACT

There were two major problems investigated in the present study. Firstly, why is the improvement of teachers professionalism done through scientific writing movement?; and secondly, what are the strategies used to encourage teachers in producing scientific writing in order to improve their professionalism? From the discussion done, some conclusions could be drawn as follows. First, there are at least two things under consideration as to why the scientific writing movement could improve teachers professionalism, i.e. (1) writing is an open profession in nature, in a way that it could be done by anybody as long as she/he wants to study and work hard for it and (2) scientific writing could improve teachers competences, especially those related to pedagogical and professional competences. Second, there are some strategies that can be employed in implementing the scientific writing movement among teachers, namely: (1) improving workshops on scientific writing among teachers, (2) subscribing to scientific magazines/journals, (3) producing scientific magazines/journals at least at regency level, (4) intensifying the scientific writing competition agenda on educational issues, and (5) improving teachers motivation in producing scientific writing.

Key words: scientific writing, teachers professionalism

1. Pendahuluan Persoalan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia masih saja mendapat sorotan meskipun berbagai upaya telah, sedang, dan akan tetap dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Departemen Pendidikan Nasional. Rendahnya mutu pendidikan tersebut bukanlah sebuah opini belaka, tetapi didukung oleh data yang bisa diterima kebenarannya. Hasil studi UNDP (United Nation and Development Program) mengenai IPM (Indeks Pembangunan Indonesia) yang meliputi penilaian bidang kesehatan, pendidikan, dan pendapatan per kapita, misalnya, menunjukkan bahwa peringkat Indonesia terus mengalami penurunan sejak tahun 1995, yaitu: tahun 1995 menduduki peringkat ke-104; tahun 2000 menduduki peringkat ke-109; tahun 2002 menduduki peringkat ke-110; dan tahun 2003 menduduki peringkat ke-112 dari 175 negara (Koster, 2006:5). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengalaman di beberapa negara yang telah maju menunjukkan bahwa pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan pembangunan bangsanya mampu menjadi lokomotif dalam pembangunan di segala bidang. Dengan pendidikan yang bermutu dan relevan, mampu dihasilkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga walaupun negaranya memiliki sumber daya alam yang terbatas, mereka mampu memajukan bangsanya, menyejahterakan rakyatnya, dan membangun daya saing bangsanya. Mewujudkan pendidikan bermutu memang tidak semudah membalik telapak tangan karena hal itu ditentukan oleh sejumlah komponen dan salah satunya menyangkut komponen guru. Harus diakui bahwa yang paling penting dalam membangun pendidikan bermutu harus dimulai dari membangun guru. Guru merupakan inti dari pendidikan itu sendiri. Dengan kurikulum serta sarana dan prasarana yang baik, tidak mungkin bisa diwujudkan pendidikan yang bermutu tanpa ditunjang oleh guru yang bermutu. Oleh karena itu, dalam membangun pendidikan yang berkualitas dan kompetitif, keberadaan guru profesional memiliki peran yang sangat strategis sehingga setiap guru harus secara terus-menerus meningkatkan profesionalismenya. Sesungguhnya, banyak hal bisa dan sudah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru. Upaya strategis yang sudah dan sedang dilakukan pemerintah adalah sertifikasi guru, yaitu proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru atau dosen. Sertifikat pendidik adalah bukti formal pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai jabatan profesional.Dalam penilaian portofolio guru, serangkaian dengan proses sertifikasi, ternyata hampir semua guru tidak mencantumkan karya tulis ilmiah yang berupa artikel yang dimuat dalam suatu majalah atau jurnal. Oleh karena itu, salah satu upaya yang perlu dilakukan ke depan dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru adalah gerakan menulis, khususnya gerakan menulis karya ilmiah. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 tahun 2005 pasal 20 bagian b, yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berkewajiban untuk meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Keterampilan menulis khususnya menulis karya ilmiah sangat penting artinya bagi guru. Guru yang tidak mampu menulis dengan baik akan mengalami berbagai kendala dalam berkomunikasi karena dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari seorang guru dituntut mampu menulis seperti menulis surat lamaran pekerjaan, menulis surat dinas, dan menulis laporan suatu kegiatan, dan yang terutama menulis karya ilmiah dalam rangka kenaikan pangkat (Cf. Keraf, 1996). Senada dengan hal di atas, Akhadiah (1998) mengatakan bahwa menulis membawa seseorang mengenali potensi diri, memperluas cakrawala, mendorong seseorang belajar aktif, dan membiasakan seseorang berpikir dan berbahasa secara tertib. Melalui kegiatan menulis, seseorang dapat merekam, memberitahukan, meyakinkan, dan mempengaruhi orang lain. Bahkan, kiranya tidak berlebihan apa yang dikatakan Tarigan (1984:4) bahwa menulis merupakan suatu ciri orang terpelajar atau bangsa terpelajar. Pada satu sisi, memang disadari betapa pentingnya keterampilan menulis karya ilmiah bagi guru, tetapi pada sisi lain, seperti yang dikemukakan dalam Kompas, 14 Desember 2007, bahwa banyak guru yang stagnan pada pangkat/golongan IVA karena untuk naik ke jenjang pangkat berikutnya mengharuskan mereka untuk menulis karya ilmiah. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa realitas seperti ini secara statistik sangat jelas terlihat, misalnya, pada data Badan Kepegawaian Nasional tahun 2005. Dari 1.461.124 orang guru saat itu, ditinju dari golongan/ruang kepangkatannya, tercatat sebanyak 22.87% guru golongan IVA; 0.16% guru golongan IVB; 0.006% guru golongan IVC; 0.001% golongan IVD, dan 0,00% guru golongan IVE. Data ini jelas menunjukkan betapa rendahnya aktivitas guru di Indonesia dalam menulis karya ilmiah. Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah (1) Mengapa peningkatan profesionalisme guru dilakukan melalui gerakan menulis karya ilmiah? dan (2) Bagaimana strategi menggerakkan guru dalam menulis karya ilmiah dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru. Sebagai landasan dalam membahas permasalahan ini, dipandang perlu dikemukakan secara singkat tentang hakikat karya ilmiah dan langkah-langkah menulis karya ilmaiah.

2. Hakikat Karya IlmiahSudjana (1987:4) mengatakan bahwa setiap karya ilmiah harus mengandung kebenaran ilmiah, yakni kebenaran yang tidak hanya didasarkan atas rasio, tetapi juga dapat dibuktikan secara empiris. Rasionalisme dan empirisme inilah yang menjadi tumpuan berpikir manusia. Rasionalisme mengandalkan kemampuan otak atau rasio atau penalaran, sedangkan empirisme mengandalkan bukti-bukti atau fakta nyata. Menggabungkan kedua cara di atas, yakni berpikir rasional dan berpikir empiris, disebut berpikir ilmiah. Operasionalisasi berpikir ilmiah disebut penelitian ilmiah, sedangkan hasil penerapan metode ilmiah disebut karya ilmiah. Dengan demikian tidak semua karya tulis boleh disebut sebagai karya ilmiah. Sebuah karya tulis baru dapat digolongkan sebagai sebuah karya ilmiah jika telah memenuhi sejumlah persyaratan baik dari segi isi, pengerjaan, dan sosoknya. Dari segi isi, karya ilmiah hendaknya mengandung kebenaran ilmiah, yaitu kebenaran yang tidak hanya berdasar pada rasio, tetapi juga dapat dibuktikan secara empiris. Dari segi pengerjaannya, karya ilmiah hendaknya disusun berdasarkan metode ilmiah. Dari segi sosoknya, karya ilmiah hendaknya disusun sesuai dengan sistematika karya ilmiah yang ada. Ada beberapa jenis karya ilmiah seperti laporan penelitian (skripsi, tesis, dan disertasi), artikel, dan makalah. Artikel itu sendiri dapat dibedakan atas dua macam, yaitu artikel rangkuman hasil penelitian dan artikel kajian pustaka.Artikel berbeda dengan opini. Tulisan yang berisi pendapat tentang rencana Pemerintah Daerah Bali untuk menetapkan kawasan Bedugul sebagai tempat dibangunnya PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi), misalnya, tidak disebut sebagai artikel, melainkan opini. Penulisnya berpendapat bahwa rencana pembangunan PLTB itu akan mengganggu kawasan Bedugul yang selama ini dikenal sebagai daerah wisata dan justru akan mengganggu ekosistem di sekitar daerah itu. Isinya hanya pendapat. Tidak ada angka statistik dan bukti pengalaman sebelumnya yang mendukungnya. Satu-satunya pendukung hanya argumentasi berdasarkan penalaran menurut pandangan subjektif penulis sendiri.Sebaliknya, sebuah tulisan yang isinya fakta berikut masalah-masalah yang saling berkaitan diikuti dengan pendirian subjektif yang disertai argumentasi berdasarkan teori keilmuan dan data-data empiris yang mendukung pendirian itu disebut artikel (Soesono, 1995: 104-105). Ditinjau dari segi teknik penulisan dan media yang akan dituju, artikel dapat dibedakan atas dua macam yaitu artikel ilmiah dan artikel populer. Yang pertama biasanya dikirim ke majalah ilmiah atau jurnal, sedangkan yang kedua biasanya dikirim ke media cetak seperti koran. Artikel ilmiah ini pun masih dapat dibedakan atas dua macam, yaitu artikel ilmiah yang berupa rangkuman hasil penelitian dan artikel ilmiah yang berupa kajian pustaka.Artikel kajian pustaka yang sering disebut artikel konseptual atau artikel nonpenelitian adalah artikel yang memuat hasil pemikiran penulis atas suatu permasalahan yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Bagian yang paling vital dari artikel ini adalah adanya pendapat atau pendirian penulis tentang hal yang dibahas (Ibnu, 2000: 22). Artikel kajian pustaka bukanlah sekadar kolase cuplikan-cuplikan dari sejumlah buku/ artikel, tetapi hasil pemikiran analitis dan kritis dari penulis.3. Langkah-Langkah Menulis Karya IlmiahDi dalam pengajaran menulis, dikenal sejumlah pendekatan. Satu pendekatan yang terbukti memudahkan siswa dalam belajar menulis adalah pendekatan proses (Sutama, dkk. 1998). Pendekatan proses memiliki asumsi bahwa sebuah tulisan tidak dihasilkan dengan sekali menulis langsung jadi, tetapi dihasilkan melalui suatu proses kognitif yang kompleks (Hull, 1989), dan terdiri atas beberapa tahap, yaitu: penentuan topik tulisan, penggalian materi tulisan, penulisan draf awal, revisi draf awal, dan penulisan draf akhir. Akhadiah, dkk. (1988:2) mengatakan bahwa kegiatan menulis itu merupakan suatu proses. Artinya kegiatan menulis itu dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap prapenulisan, tahap penulisan, dan tahap revisi. Tahap prapenulisan merupakan tahap perencanaan atau persiapan yang pada dasarnya meliputi menentukan topik atau masalah tulisan, mengumpulkan bahan tulisan, dan menyusun kerangka karangan. Tahap penulisan pada intinya berupa pengembangan kerangka karangan menjadi karangan yang utuh dengan membahas setiap ide pokok yang ada pada kerangka karangan. Selanjutnya, revisi tidak hanya dilakukan terhadap aspek isi dan sistematika tulisan, tetapi juga gramatika dan ejaan. Revisi tidak hanya dilakukan oleh penulis/siswa terhadap tulisannya sendiri, tetapi juga dapat dilakukan oleh guru dan siswa yang lain.Dari kedua pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sebagai sebuah proses, menulis terdiri atas beberapa langkah/tahap. Pada garis besarnya tahapan-tahapan itu meliputi tahap persiapan atau tahap prapenulisan, tahap penulisan draf awal, tahap revisi, dan tahap penulisan draf akhir. Dalam kaitannya dengan kegiatan menulis artikel ilmiah tentu tahapan-tahapan tersebut juga dapat dilalui oleh guru. Pada tahap persiapan atau tahap prapenulisan, guru berusaha memburu topik tulisan yang layak untuk diangkat sebagai karya ilmiah. Berdasarkan topik itu, guru mencoba menyusun kerangka karangan Pada tahap penulisan draf awal, guru berusaha mengembangkan kerangka karangan yang telah disusunnya menjdi sebuah artikel. Pada tahap revisi, guru melakukan perbaikan terhadap karangannya baik dari segi isi, sistematika, maupun dari segi bahasa. Pada tahap penulisan draf akhir, guru menyusun kembali karangannya berdasarkan revisi tadi.

4. Mengapa Melalui Gerakan Menulis Karya Ilmiah?4.1 Profesi Menulis Bersifat TerbukaProfesi menulis, pada umumnya, dan profesi menulis karya ilmiah, pada khususnya, adalah profesi yang paling terbuka, di antara berbagai macam profesi yang ada. Profesi menulis tidak memakai persyaratan sebagaimana layaknya melamar menjadi seorang pegawai negeri sipil. Cacat atau tidak cacat bukan persoalan (Cf. Gong, 2007:5). Irawan (2008:3) mengatakan bahwa siapapun Anda, dari mana pun asal Anda, lahir dalam dan dari lingkungan keluarga apa pun Anda, berapa banyak uang saku yang ada di kantong celana Anda, cantik, tampan, seksi atau bukan semua itu tidak penting untuk dibicarakan ketika Anda bermaksud menjadi seorang penulis. Banyak orang mengatakan bahwa kesuksesan dapat diraih melalui kerja keras dan tidak ada alasan gagal bagi seorang pekerja keras. Demikian ungkapan Mujiran (2002:15), seorang penulis sukses yang sebenarnya berasal dari keluarga miskin dan hidup di daerah perbukitan Kulon Proga Yogyakarta. Dia tidak pernah membayangkan bahwa kegemaran dan kerja kerasnya membaca sejak kecil, seperti membaca koran bekas, buku bekas, majalah bekas (bekas pembungkusan tempe), menjadikan dirinya sebagai seorang penulis sukses. Jika seseorang yang berasal dari keluarga miskin dan hidup di daerah perbukitan yang diliputi berbagai keterbatasan bisa menjadi penulis sukses dengan modal kerja keras dan rajin membaca, apalagi seorang guru tentu bisa mengembangkan profesinya menjadi seorang penulis, khususnya penulis karya ilmiah. Profesi penulis merupakan peluang yang sangat besar dan sangat relevan dengan profesi seorang guru mulai dari guru SD sampai dengan guru SMA atau SMK atau yang sederajat.Profesi menulis memang benar-benar terbuka untuk siapa saja. Hal ini ini juga dapat kita lihat dari kehadiran organisasi (calon) penulis yang bernama Forum Lingkar Pena yang didirikan oleh sastrawan Helvy Tiana Rosa pada tanggal 22 Februari 1997. Tujuan organisasi ini adalah agar Indonesia cinta membaca dan menulis. Yang menarik adalah organisasi ini memiliki anggota yang sangat beragam, mulai dari ibu rumah tangga sampai pembantu; dari mahasiswa sampai penulis terkenal. Di samping itu, organisasi ini ternyata memiliki cabang hampir di 30 provinsi dan di mancanegara dan beranggotakan sekitar 5000 orang. Dari jumlah tersebut, 500 orang di antaranya menulis secara aktif pada berbagai media massa (Liputan SCTV, 24 Agustus 2008). Tujuan dan kiprah Forum Lingkar Pena di atas tentu patut dijadikan contoh oleh para guru dan pihak lembaga pendidikan dari berbagai jenjang.

4.2 Menulis Karya Ilmiah Dapat Meningkatkan Kompetensi Guru Guru adalah pendidik profesional. Sebagai pendidik profesional, guru bertugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluasi peserta didik. Westly Gibson dalam Rindjin (1991:8) mengatakan bahwa ciri-ciri profesionalisme itu antara lain (1) masyarakat mengakui layanan yang diberikan atas dasar dimilikinya seperangkat ilmu dan keterampilan yang mendukung profesi itu; (2) diperlukan adanya proses pendidikan tertentu sebelum seseorang dapat atau mampu melaksanakan tugas profesi tersebut; (3) dimilikinya mekanisme seleksi standar sehingga hanya mereka yang kompeten boleh melakukan pekerjaan atau profesi itu; dan (4) dimilikinya organisasi profesi untuk melindungi kepentingan anggotanya serta meningkatkan layanan kepada masyarakat termasuk adanya kode etik profesi sebagai landasan perilaku keprofesionalannya. Dalam upaya mewujudkan guru profesional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 (pasal 28 ayat 3) tentang Standar Pendidikan Nasional menyatakan bahwa guru diharapkan memiliki empat kompetensi. Pertama kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan guru untuk mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi. Kedua kompetensi kepribadian, yaitu kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Ketiga kompetensi profesional, yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara meluas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Keempat kompetensi sosial, yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, semua pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali, dan masyarakat umum.Sesungguhnya banyak upaya dapat dilakukan dalam rangka mewujudkan keempat kompetensi guru tersebut seperti melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan yang relevan, menghadiri berbagai pertemuan ilmiah, mengadakan penelitian, khususnya PTK (Penelitian Tindakan Kelas), melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan menulis karya ilmiah. Dalam kaitannya dengan penulisan karya ilmiah, ternyata pemerintah telah mengambil langkah nyata berupa bimbingan karya tulis imiah bagi 10.000 orang guru dengan alokasi dana sebesar 50 milyar (Kompas, 14 Desember 2007). Dana sebesar itu tentu tidak kecil, tetapi tampaknya aktivitas menulis karya ilmiah di kalangan guru masih tergolong rendah sehingga tetap perlu dilakukan gerakan menulis karya ilmiah secara berkelanjutan demi terwujudnya guru profesional. Dari keempat kompetensi itu, gerakan menulis karya ilmiah itu cukup besar kontribusinya terutama pada kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Mengapa? Keberhasilan guru melaksanakan profesinya terutama dapat dilihat dari kadar kualitas pengelolaan pembelajaran yang diciptakan. Pembelajaran merupakan inti proses pendidikan. Melalui pembelajaran yang berkualitas, dapat dihasilkan lulusan yang cerdas, adaptif, kompetitif, dan berbudi luhur. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional guru adalah meningkatkan aktivitas guru dalam menulis karya ilmiah. Untuk meningkatkan aktivitas guru dalam menulis karya ilmiah, perlu ada semacam gerakan untuk menulis karya ilmiah yang berkaitan dengan ikhwal kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Ke dalam kompetensi pedagogik termasuk pemahaman guru terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi, sedangkan ke dalam kompetensi profesional termasuk kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara meluas dan mendalam. Dengan kegiatan menulis karya ilmiah, mau tidak mau, guru dituntut untuk banyak membaca, dalam hal ini membaca berbagai tulisan/bacaan yang menyangkut kedua kompetensi tersebut. Banyak orang yang muncul minat bacanya setelah orang tersebut memulai aktivitas menulis. Jadi, bukan hanya aktivitas membaca yang mempengaruhi aktivitas menulis, seperti yang banyak dikatakan orang selama ini, tetapi bisa juga sebaliknya; aktivitas menulis pun bisa mempengaruhi aktivitas membaca.Jika dikaitkan dengan langkah-langkah menulis di atas, sesungguhnya mulai pada tahap prapenulisan atau tahap perencanaan, khususnya mencari topik yang akan ditulis, penulis sudah dituntut banyak membaca. Tanpa banyak membaca, sulit diperoleh topik yang baik atau layak untuk diangkat menjadi karya ilmiah. Memang sumber topik itu tidak semata-mata dapat digali dari bacaan, tetapi banyak orang mengatakan dan merasakan bahwa sumber topik yng paling menjanjikan adalah bacaan seperti laporan penelitian dan jurnal. Demikian juga pada tahap penulisan dan tahap revisi, penulis masih dituntut untuk banyak membaca. Pada tahap penulisan atau tahap mengembangkan kerangka tulisan menjadi tulisan yang utuh (draf tulisan) maupun pada tahap revisi, sebenarnya juga masih diperlukan adanya aktivitas membaca untuk keperluan pengembangan dan perbaikan tulisan. Harefa (2007:61) menegaskan bahwa penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Sulit menjadi penulis yang baik tanpa menjadi pembaca yang baik. Pengakuan Mujiran (2002:2-3) yang mengatakan bahwa kegemarannya membaca sejak kecil menjadikan dirinya sebagai seorang penulis sukses merupakan salah satu contoh pendukung pandangan bahwa penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Tinggi rendahnya aktivitas membaca seseorang akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran sekaligus tinggi rendahnya kualitas tulisan yang dihasilkannya. Membaca itu tak ubahnya minum, sedangkan menulis itu tak ubahnya kencing. Artinya orang yang banyak minum akan banyak kencing bahkan kencingnya lancar, sebaliknya orang yang sedikit minum akan sedikit kencing dan kencingnya mungkin tersendat-sendat. Jika menulis dapat memotivasi seseorang untuk membaca, maka konsekuensinya adalah perlu adanya gerakan menulis, dalam hal ini menulis karya ilmiah di kalangan guru. Tanpa adanya semacam tuntutan untuk menulis, guru enggan untuk membaca. Jika guru enggan atau malas membaca bagaimana mungkin guru dapat meningkatkan kompetensinya. Jika keempat kompetensi guru di atas tidak pernah mengalami peningkatan, omong kosong profesionalisme guru meningkat. Dengan banyak membaca, wawasan/ pengetahuan guru menjadi semakin luas dan mendalam. Dengan luasnya wawasan guru, terutama yang berkaitan dengan kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional, guru akan berhasil menciptakan pembelajaran yang berkualitas. Dengan pembelajaran yang berkualitas, akan diperoleh hasil belajar atau mutu pendidikan yang berkualitas juga. Dengan aktivitas menulis, seseorang tidak hanya dituntut untuk banyak membaca, tetapi juga dituntut untuk banyak menyimak atau mendengarkan berbagai informasi yang terkait dengan topik tulisan. Oleh karena itu, masuk akal jika banyak pembimbing skripsi, tesis, dan disertasi menyarankan agar mahasiswa bimbingannya rajin menghadiri pertemun-pertemuan ilmiah seperti seminar dan lokakarya. Dengan menyimak berbagai informasi dalam pertemuan ilmiah, proses menulis akan dapat berjalan lebih kancar sehingga diperoleh tulisan yang berkualitas. Di samping itu, dengan aktivitas menulis, seseorang juga sering diminta untuk berbicara. Dengan menulis, seseorang sering diminta untuk mengkomunikasikan buah pikirannya secara lisan dalam berbagai forum pertemuan ilmiah sehingga mau tidak mau sang penulis harus benar-benar mendalami karya tulisnya untuk bisa dipertahankan dalam forum tersebut. Demikianlah efek sampingan yang diperoleh dari aktivitas menulis karya ilmiah. Oleh karena itu, engan gerakan menulis karya ilmiah di kalangan guru, mau tidak mau guru iru akan rajin melakukan aktivitas membaca, menyimak, dan berbicara secara intensif. Jika keempat kegiatan itu bisa dilakukan secara intensif, niscaya kompetensi guru dapat ditingkatkan secara berkelanjutan sehingga pada gilirannya profesionalisme guru juga meningkat.

5. Strategi Pelaksanan Gerakan Menulis Karya Ilmiah dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme GuruDi atas, telah dikemukakan bahwa ada beberapa kemungkinan penyebab rendahnya kemampuan guru dalam menulis karya ilmiah, yaitu: (1) kurangnya pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan guru dalam menulis karya ilmiah, khususnya menulis artikel ilmiah, (2) terbatasnya sarana bacaan ilmiah terutama yang berupa majalah ilmiah atau jurnal, (3) belum tersedianya majalah atau jurnal di lingkungan sekolah atau dinas pendidikan kabupaten yang bisa menampung tulisan para guru, (4) masih terbatasnya penyelenggaraan lomba menulis karya ilmiah yang diselenggarakan oleh dinas pendidikan baik pada tingkat nasional, tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten, dan (5) masih rendahnya motivasi guru untuk mengikuti lomba menulis karya ilmiah. Sehubungan dengan itu, ada beberapa strategi yang ditawarkan melalui tuilisan ini dalam rangka melakukan gerakan menulis di kalangan guru di Indonesia.

Tingkatkan Pelatihan Menulis Karya IlmiahDalam berbahasa, keterampilan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang paling tinggi tingkatannya dibandingkan keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menyimak/ mendengarkan. Hal ini mudah dipahami karena dilihat dari segi tahapan pemerolehan bahasa, keterampilan menulis dilakukan pada tahapan terakhir setelah pemerolehan keterampilan menyimak, berbicara, dan membaca. Akhdiah, dkk. (1996/1997:iii) mengatakan bahwa berbeda dengan kemampuan menyimak dan berbicara, kemampuan menulis tidak diperoleh secara alamiah. Kemampuan menulis harus dipelajari dan dilatihkan dengan sungguh-sungguh.

Belakangan ini, di Provinsi Bali, memang sudah pernah diadakan pelatihan menulis karya ilmiah oleh pihak sekolah dan pihak dinas pendidikan baik pada tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dengan melibatkan para guru sebagai peserta. Di samping itu, pelatihan menulis karya ilmiah juga sudah pernah dilakukan oleh pihak perguruan tinggi di Bali, khususnya oleh pihak Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja terkait dengan Program Kerja Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Pendidikan Ganesha. Akan tetapi, secara kuantitas, frekuensi pelatihan penulisan karya ilmiah itu tampaknya masih tergolong rendah. Oleh karena itu, pada masa-masa mendatang, secara kuantitas, pelaksanan pelatihan penulisan karya ilmiah bagi guru-guru masih perlu ditingkatkan lagi. Di samping oleh pihak dinas/instansi terkait, pelatihan penulisan karya ilmiah hendaknya diprogrankan secara rutin, minimal sekali dalam satu semester, oleh masing-masing sekolah dengan mendatangkan narasumber dari luar sekolah.Secara kualitas, dari beberapa kegiatan pelatihan penulisan karya ilmuiah yang sudah pernah dilaksanakan tampaknya kurang mengembirakan. Mengapa? Motivasi para guru peserta pelatihan penulisan karya imiah itu lebih banyak mengarah pada pemerolehan sertifikat atau piagam pelatihan dalam rangka untuk mengikuti sertifikasi guru, bukan untuk pemerolehan pengetahuan dan keterampilan menulis karya ilmiah dalam rangka peningkatan profesionalismenya sebagai guru. Motivasi ini tentu menyimpang dari tujuan pelatihan penulisan karya ilmiah itu sendiri. Hal ini dirasakan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Klungkung ketika memberikan sambutan dalam rangka pelatihan penulisan artikel ilmiah bagi guru-guru di Kabupaten Klungkung beberapa bulan yang lalu di SMA PGRI Klungkung. Oleh karena itu, dalam sambutannya, beliau sangat menekankan agar pelatihan penulisan artikel tersebut tidak dimaksudkan untuk mendapatkan sertifikat, tetapi benar-benar diarahkan agar profesionalisme guru meningkat.

5.2 Berlangganan Majalah Ilmiah/JurnalAda satu pengalaman menarik ketika beberapa kali penulis mendapat kesempatan memberikan pelatihan penulisan karya ilmiah di hadapan guru-guru di beberapa kabupaten di Bali. Demikian guru-guru diminta untuk latihan menulis artikel kajian pustaka di rumah masing-masing, mereka mengeluh karena kesulitan mendapatkan sumber bacaan yang relevan. Banyak di antara guru, khususnya guru SD, yang bertanya apa yang kami harus tulis sementara sumber bacaan yang relevan di sekolah kami masih sangat terbatas. Hal serupa juga dirasakan oleh sejumlah dosen Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja ketika mendapat tugas membimbing penyusunan proposal PTK (Penelitian Tindakan Kelas) bagi guru-guru di Provinsi Bali. Keluhan para guru tersebut tentu mudah dipahami karena sarana buku bacaan ilmiah yang berupa laporan penelitian, majalah ilmiah, dan buku-buku metode penelitian atau buku penulisan karya ilmiah di sekolah-sekolah rata-rata kondisinya demikian. Sadar akan kondisi ketersediaan bacaan ilmiah tersebut, sudah sepatutnya setiap sekolah membuat program untuk berlangganan majalah ilmiah atau jurnal secara rutin dari perguruan tinggi yang relevan seperti Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, dan Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja. Ketersedian buku bacan ilmiah sangat penting artinya bagi kepentingan menulis karya ilmiah. Logikanya, dengan sarana bacaan yang memadai, minat baca para guru akan semakin meningkat. Tingginya minat baca guru akan dapat dijadikan modal dalam menulis karya ilmiah. Oleh karena itu, untuk melakukan gerakan menulis karya ilmiah di kalngan guru, idealnya berlangganan majalah ilmiah dilakukan oleh setiap guru. Namun, jika tidak memungkinkan, dengan adanya peningkatan dana pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD pada tahun 2009, sudah sepatutnya setiap sekolah menyisihkan anggaran secara khusus untuk kepentingan berlanganan majalah ilmiah.

5.3 Menerbitkan Majalah Ilmiah/JurnalMenerbitkan majalah ilmiah/jurnal memang tidak gampang karena di samping memerlukan kerja keras para pengelolanya juga memerlukan dukungan dana yang tidak sedikit. Namun, dalam rangka menggalakkan atau menggerakkan aktivitas menulis karya ilmiah para guru, kehadiran majalah ilmiah/jurnal merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Tanpa tersedianya majalah ilmiah/jurnal di suatu sekolah atau dinas pendidikan setempat, tentu laporan-laporan penelitian yang berupa PTK, yang belakangan ini sudah banyak dihasilkan para guru tidak bisa diterbitkan sehingga pengakuan kredit poinnya rendah. Tanpa ketersediaan majalah ilmiah/jurnal, hasil-hasil penelitian para guru menjadi tidak terkomunikasikan secara luas; paling-paling tersimpan di rak buku yang ada pada masing-masing sekolah. Oleh karena itu, sudah sepatutnya direncnakan adanya majalah ilmiah/jurnal minimal satu majalah pada masing-masing dinas pendidikan kabupaten di Indonesia. Keberadaan majalah ilmiah ini sangat penting karena dapat memberikan prestise suatu lembaga, di samping dapat dijadikan sebagai tolok ukur produktivitas lembaga dan pengakuan terhadap para penulis. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kehadiran majalah ilmiah merupakan mercusuarnya suatu lembaga. Sayangnya, sampai saat ini, jumlah majalah ilmiah di lingkungan lembaga pendidikan di luar perguruan tinggi sangat terbatas adanya sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu alasan bagi guru untuk tidak menulis karena tulisan yang diakui kreditnya adalah tulisan yang dimuat di dalam suatu majalah ilmiah. 5.4 Tingkatkan Frekuensi Penyelenggaraan Lomba Menulis Karya Ilmiah dalam Bidang PendidikanSementara ini, frekuensi kegiatan lomba menulis karya ilmiah dalam bidang pendidikan yang melibatkan guru sebagai peserta lomba tampaknya masih terbatas adanya. Lomba semacam ini biasanya dilakukan setiap tahun oleh pihak perguruan tinggi yang mencetak tenaga guru seperti Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja dalam rangka memperingati hari jadinya setiap tahun. Di samping itu, lomba serupa juga dilakukan oleh pihak Departemen Pendidikan Nasional dengan melibatkan guru di seluruh Indonesia. Kedua jenis loma yang biasanya dilakukan setahun sekali itu tentu tidak banyak bisa melibatkan guru untuk ikut sebagai peserta lomba. Itulah sebabnya perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan frekuensi penyelenggaraan lomba menulis karya ilmiah yang mampu memberikan kesempatan secara lebih luas kepada para guru. Untuk itu, dengan ditetapkannya anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD, sudah sepatutnya, pihak dinas pendidikan tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi menyusun program penyelenggaraan lomba penulisan karya ilmiah setahun dua kali atau setiap semester sekali.

5.5 Tingkatkan Motivasi Guru dalam Menulis Karya IlmiahAktivitas menulis karya ilmiah di kalangan guru memerlukan adanya motivasi dari guru. Tanpa adanya motivasi dari dalam diri guru itu sendiri niscaya gerakan menulis karya ilmiah di kalangan guru sulit membuahkan hasil yang memadai. Logikanya dengan adanya program sertifikasi guru seperti sekarang ini guru sepatutnya sudah termotivasi untuk rajin menulis. Namun, tampaknya hingga sat ini, motivasi menulis karya ilmiah di kalangan guru maih tergolong rendah. Oleh sebab itu, salah satu cara meningkatkan motivasi guru untuk menulis karya ilmiah dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru adalah dengan menjadikan prestasi lomba menulis karya ilmiah sebagai salah satu pertimbangan penting dalam pengisian lowongan jabatan tertentu di lingkungan sekolah maupun di lingkungan dinas pendidikan mulai dari tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, tingkat provinsi, bahkan sampai ke tingkat nasional. Adapun dasar berpikirnya adalah guru yang sering memenangkan lomba penulisan karya ilmiah khususnya di bidang pendidikan tentu memiliki wawasan yang luas dan mendalam tentang berbagai persoalan menyangkut lika-liku pendidikan dan pengajaran sehingga hal ini merupakan modal bagi guru dalam memecahkan persoalan-persoalan substansial dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

6. SimpulanSimpulan yang dapat ditarik dari keseluruhan uraian di atas. Pertama setidak-tidaknya ada dua pertimbangan mengapa gerakan menulis karya ilmiah di kalangan guru dapat meningkatkan profesionalisme guru, yaitu (1) Profesi menulis bersifat terbuka, siapa pun dapat melakukannya asalkan mau belajar dan bekerja keras dan (2) Menulis karya ilmiah dapat meningkatkan kompetensi guru khususnya yang menyangkut kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Kedua ada beberapa strategi yang dapat ditempuh dalam melaksanakan gerakan menulis karya ilmiah di kalangan guru, yaitu: (1) tingkatkan pelatihan menulis karya ilmiah di kalangan guru, (2) berlangganan majalah ilmiah/jurnal, (3) membuat majalah ilmiah/jurnal minimal di tingkat kabupaten; (4) meningkatkan frekuensi pelaksanaan lomba menulis karya ilmiah dalam bidang pendidikan; dan (5) meningkatkan motivasi guru untuk menulis karya ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

Akhdiah, Sabarti; Arsjad, Maidar G; Ridwan, Sakura, H. 1998. Menulis I. Jakarta: DepdikbudDaud, Afrianto. 2007. Guru sebagai Peneliti: Mungkinkah? dalam Kompas 14 Desember 2007

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian. Jakarta: DepdiknasGong, Gola. 2007. Jangan Mau Gak Nulis Seumur Hidup. Bandung: Karya KitaHuda, H. Nurul, dkk. 2000. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah. Malang: Universitas Negeri Malang.Hull, Glynda Ann. 1989. Research on Writing:Building a Cognitive and Social Understanding of Composing, in Resnick, Lauren B. and Klopfer E. Toward the Thinking Curriculum:Current Cognitive Research:ASCDIbnu, Suhadi. 2000. Penulisan Artikel Konseptual/ Nonpenelitian dan Artikel Hasil Penelitian dalam Huda, dkk. 2000. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah. Malang: Universitas Negeri Malang.Irawan, Aguk, MN. 2008. Cara Asyik Menjadi Penulis Beken. Yogyakarta: Arti Bumi IntaranKeraf, Gorys. 1996. Terampil Berbahasa Indonesia I. Jakarta:Balai PustakaKompas, 14 Desember 2007Koster, Wayan. 2006. Memperjuangkan Nasib Guru dan Dosen. Jakarta: tanpa penerbitLiputan SCTV, 24 Agustus 2008Marahimin, Ismail. 2005. Menulis secara Populer. Jakarta: Pustaka JayaMujiran, Paulus. 2002. 10 Tahun Belajar Menulis. Yogyakarta: Pustaka PelajarParera, Daniel. 1993. Menulis Tertib dan Sistematis (Edisi Kedua). Jakarta: ErlanggaRindjin, Ketut. 2007. Peningkatan Profesionalisme Guru dalam Jurnal Pendidikan dan Pengajaran (Volome 40 Edisi Khusus Mei 2007). Singaraja: Universitas Pendidikan GaneshaSudjana, Nana. 1987. Tuntunan Menyusun Karya Ilmiah. Bandung: Sinar BaruSupriyadi, dkk. 1992. Pendidikan Bahasa Indonesia 2. Jakarta: DepdikbudSutama, I Made, dkk. 1997. Pembinaan Pembelajaran Menulis Berdasarkan Pendekatan Proses (Laporan P2M STKIP Singaraja)Sutama, I Made, dkk. 1998. Pemaduan Pendekatan Konteks, Proses, dan Pola dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran Menulis (Laporan Penelitian STKIP Singaraja)Sutama, I Made. 2003. Pendahuluan Artikel Ilmiah dalam Jurnal Media Komunikasi FPIPS IKIP Negeri Singaraja (Laporan Penelitian)Swales, John M dan Christine B. Feak. 1977. Academic Writing for Graduate Students. Ann Arbor: The University of Michigan Press Tarigan, Henry Guntur. 1994. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Angkasa: Bandung