195

Carano Pustaka Universitas Andalas

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Carano Pustaka Universitas Andalas
Page 2: Carano Pustaka Universitas Andalas
Page 3: Carano Pustaka Universitas Andalas
Page 4: Carano Pustaka Universitas Andalas

RAJAWALI PERSDivisi Buku Perguruan Tinggi

PT RajaGrafindo PersadaD E P O K

Page 5: Carano Pustaka Universitas Andalas

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT)

Roni Ekha Putera Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi dari Perspektif Implementasi Kebijakan /Roni Ekha Putera —Ed. 1, Cet. 1.—Depok: Rajawali Pers, 2018. xiv, 180 hlm., 23 cm. Bibliografi: hlm. 161 ISBN 978-602-425-676-0

1. Mitigasi Pengurangan. I. Judul

Hak cipta 2018, pada penulis

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit

2018. 2122RAJRONI EKHA PUTERAMITIGASI PENGURANGAN RISIKO BENCANA GEMPA BUMI DARI PERSPEKTIF IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Cetakan ke-1, November 2018

Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok

Desain cover oleh [email protected]

Dicetak di Rajawali Printing

PT RAJAGRAFINDO PERSADAAnggota IKAPIKantor Pusat: Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16956Tel/Fax : (021) 84311162 – (021) 84311163 E-mail : [email protected] http: // www.rajagrafindo.co.id

Perwakilan:Jakarta-16956 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162. Bandung-40243, Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan Indah Blok A1, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan Blok A No. 09, Telp. 031-8700819. Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294, Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan Damai, Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl. Sultan Alauddin Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3, Telp. 0411-861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt 05, Telp. 0511-3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No. 2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115, Jl. P. Kemerdekaan No. 94 LK I RT 005 Kel. Tanjung Raya Kec. Tanjung Karang Timur, Hp. 082181950029.

Page 6: Carano Pustaka Universitas Andalas

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi Allah Swt., atas segala rahmat dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini yang berjudul Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi dari Perspektif Implementasi Kebijakan. Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman penelitian dari Hibah Disertasi Doktor yang di danai oleh Ristek Dikti Tahun 2017. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Kemristek Dikti yang telah memberikan bantuan berupa dana penelitian dari SKIM PDD tersebut. Penulis juga persembahkan tulisan ini kepada kedua orang tua tercinta. Ayahanda H. Musfar A. Malin Janiah dan Mamanda Hj. Ermidawati, S.Pd., yang selalu mendoakan penulis tanpa hentinya demi kelancaran penulisan ini. Terima kasih teruntuk ayah dan mama tercinta. Tanpa doa dari beliau niscaya studi ini dapat terselesaikan dengan baik. Mama mertua, Netty Herawati yang juga memberikan dukungan baik moral maupun doa yang selalu beliau panjatkan kehadiran Allah demi lancarnya studi penulis. Kepada adinda dr. Rikho Ade Putera, SP.Jp., dan Merry Elvira Musfar, S.S, yang telah memberikan semangat dan motivasi untuk studi abangnya, supaya segara meraih gelar Doktor. Kepada yang saya cintai dan sayangi, istriku adinda Tengku Rika Valentina, yang dengan kasih sayang dan kelembutannya selalu menjadi motivasi yang tiada tara bagi penulis untuk menyelesaikan tulisan ini. Spesial untuk ananda kami tercinta “anak gadis papi” yang telah banyak terampas kasih sayangnya selama papi menyelesaikan tulisan

KATA PENGANTAR

v

Page 7: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumivi

ini, Ananda Rassyasyatul Ibtisama, pelihata hati dalam keluarga. Semoga kelak ananda menjadi anak yang soleha. Amin.

Kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis Bapak Dr. Heru Nurasa, Bapak Prof. Tachjan, Bapak Yogi Suprayogi, Ph.D; dan seluruh informan yang penulis wawancarai demi terbitnya tulisan ini Bapak Walikota Padang, Bapak Kepala Dinas PU, Kepala Dinas RTRW, Kepala Dinas Sosial, Kepala BPBDPK dan jajarannya, LSM Jemari, Mercy Corps, Tagana, KSB, dan Pihak-pihak lainnya tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini, baik bantuan secara langsung ataupun tidak langsung.

Demikianlah yang bisa penulis sampaikan, semoga apa yang penulis lakukan ini dapat bermanfaat bagi khalayak ramai yang konsen terhadap upaya penanggulangan bencana dan kebijakan yang dilakukan, jika ada yang kurang berkenan penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya, semoga Allah Swt., membalas kebaikan dan kemurahan hati dari bapak/ibu/sdr/i yang telah dengan ikhlas membantu penulis selama menyelesaikan tulisan ini. Aaminn.

Padang-Bandung, Agustus 2017

Roni Ekha Putera

Page 8: Carano Pustaka Universitas Andalas

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR ISTILAH xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Permasalahan Penelitian 11

B. Metode Penelitian 12

C. Kondisi Umum Kota Padang 21

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS PENANGGULANGAN

DAN MITIGASI BENCANA 27

A. Konsep Penanggulangan Bencana 27

B. Mitigasi Bencana 37

BAB 3 PERSPEKTIF IMPLEMENTASI KEBIJAKAN 43

A. Kosep Implementasi Kebijakan 43

B. Pembabakan Teori Implementasi Kebijakan Publik 60

DAFTAR ISI

vii

Page 9: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumiviii

BAB 4 KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA 67

A. Penanggulangan Bencana: Antara Mitigasi dan Pasca Bencana 67

B. Pendekatan dalam Penanggulangan Bencana 73

1. Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas 73 2. Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Mitigasi 77

BAB 5 BELAJAR DARI PENGALAMAN KOTA

PADANG DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

MITIGASI PENANGGULANGAN BENCANA

GEMPA BUMI 85

A. Implementasi Kebijakan Mitigasi Penanggulangan Bencana 85 1. Pelaksanaan Tata Ruang yang Berbasis Mitigasi Bencana 86 2. Pengaturan Pembangunan, Pengaturan Infrastruktur, dan Tata Bangunan 92 3. Penyelenggaraan Pendidikan, Penyuluhan, dan Pelatihan Baik Secara Konvensional Maupun Modern 100 B. Beberapa Faktor yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan Mitigasi Penanggulangan Bencana Gempa Bumi 115

1. Translation Ability 115 2. Resources 122 C. Tugas Birokrasi/Tupoksi 134

1. Limited Number of Player 139 2. Accountability 152

BAB 6 PENUTUP DAN REKOMENDASI 157

A. Saran Akademis 158 B. Saran Praktis 158

DAFTAR PUSTAKA 161INDEKS 175BIODATA PENULIS 179

Page 10: Carano Pustaka Universitas Andalas

Tabel 1.1 Kejadian Bencana Alam Gempa Bumi dan

Tsunami di Indonesia 4

Tabel 1.2 Jumlah Korban Jiwa Gempa 30 September 2009 7

Tabel 2.1 Landasan Internasional Pengurangan Risiko Bencana 33

Tabel 3.1 Perbandingan Pendekatan Top-down dan Bottom –up 62

Tabel 3.2 Perkembangan Teori Implementasi Kebijakan 65

Tabel 5.1 Kegiatan-kegiatan dalam Rangka Mitigasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami 113

Tabel 5.2 Nama-nama Kepala Pelaksana BPBDPK Kota Padang 121

Tabel 5.3 Jumlah Personil BPBDPK Per November 2016 124

Tabel 5.4 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota

Padang 127

Tabel 5.5 Jenis dan Sumber Pendanaan Penanggulangan

Bencana di di Kota Padang 130

Tabel 5.6 Per-Bidang Kegiatan BPBDPK Kota

Padang Tahun 2016 133

DAFTAR TABEL

ix

Page 11: Carano Pustaka Universitas Andalas

[Halaman ini sengaja dikosongkan]

Page 12: Carano Pustaka Universitas Andalas

Gambar 1.1 Peta Zonasi Gempa Besar yang Melanda Indonesia 3

Gambar 1.2 Perkiraan Sumber Gempa yang Mungkin Terjadi

di Masa Datang 6

Gambar 1.3 Analisis Data Model Interaktif 17

Gambar 1.4 Peta Kerentanan Kota Padang terhadap Gempa

dan Tsunami 24

Gambar 1.5 Peta Per sektor Kerentanan Kota Padang terhadap

Gempa dan Tsunami 25

Gambar 2.1 Siklus Penanggulangan Bencana 35

Gambar 2.2 Bagan Mitigasi Struktur 41

Gambar 3.1 Model Implementasi Kebijakan menurut George

C. Edward III 49

Gambar 3.2 Model Implementasi Kebijakan menurut Van

Meter dan Van Horn 50

Gambar 3.3 Model Implementasi Kebijakan menurut

Merilee S. Grindle 53

Gambar 3.4 Model Implementasi Kebijakan

menurut Goggin, dkk. 57

Gambar 3.5 Model Implementasi Kebijakan 64

DAFTAR GAMBAR

xi

Page 13: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumixii

Gambar 5.1 Tsunami Save Zone di Beberapa Ruas Jalan

di Kota Padang 90

Gambar 5.2 Rencana TEP di Kota Padang 95

Gambar 5.3 Jalur Evakuasi Jalan Siteba ke By Pass Korong

Gadang 97

Gambar 5.4 Shelter yang Dibangun oleh BNPB 100

Gambar 5.5 Kegiatan Simulasi Bencana di Kelurahan

Padang Sarai 104

Gambar 5.6 Kegiatan Simulasi Bencana di Kelurahan Air Manis 106

Gambar 5.7 Kegiatan Simulasi Gempa Bumi di Shelter

Nurul Haq 107

Gambar 5.8 Pelatihan SAR se Kota Padang 109

Gambar 5.9 Kejadian Gempa Padang 2 Maret 2016 118

Page 14: Carano Pustaka Universitas Andalas

BAPPEDA Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah

BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana

BPBDPK Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemadam Kebakaran

CBDM Community Base Disaster Management

CDRSS Committe on Disaster Research in The Soscial Science

DRR Disaster Risk Reduction

FPRB Forum Pengurangan Risiko Bencana

KSB Kelompok Siaga Bencana

KSBS Kelompok Siaga Bencana Sekolah

PRB Pengurangan Risiko Bencana

PU Pekerjaan Umum

PUSDALOPS Pusat Pengendali Operasi

RAN Rencana Aksi Nasional

RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah

SAR Search and Rescue

SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah

Tagana Taruna Siaga Bencana

DAFTAR ISTILAH

xiii

Page 15: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumixiv

TES Tempat Evakuasi Sementara

TRTB Tata Ruang Tata Bangunan

Page 16: Carano Pustaka Universitas Andalas

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebencanaan beberapa tahun terakhir ini telah menjadi salah satu kajian yang menarik untuk dibahas, karena berbagai kejadian bencana yang tidak terduga telah membukakan mata semua pihak betapa pentingnya penanggulangan bencana di masa yang datang. Hal ini sejalan dengan kerangka aksi ‘Hyogo’ (Hyogo framework for action) yang menyerukan pada seluruh negara untuk menyusun mekanisme pengurangan risiko bencana sampai separuhnya pada tahun 2015 (Pramusinto, 2009); (Coppola, 2011); (Phibbs, Suzanne; Good, Gretchen; Severensin, Christina; Woodbury, Esther; Williamson, Kerry, 2015); (Johnson, Victoria A.; Ronan, Kevin R.; Johnston, David M.; Peace, Robin, 2014); (Olowu, 2010); (Gaston, Buh-Wung; Tongwa, Aka F.; Burnley, Clementine; Isabella, Zouh T., 2012); (Amadhila, Elina; Shaamhula, Loide; Rooy, Gert van; Siyambango, Nguza, 2013).

Bencana yang terjadi merupakan kejadian yang disebabkan oleh aktivitas alam yang merugikan manusia, sementara masyarakat lain percaya bahwa bencana adalah merupakan takdir yang maha kuasa sebagai salah satu bentuk hukuman atau peringatan bagi umat manusia. Bencana dapat dikategorikan dalam tiga jenis: bencana alam, bencana buatan manusia dan hibrida (Shaluf, 2007). Bencana alam merupakan kejadian bencana akibat dari bahaya alam yang mungkin merupakan hasil dari dalam (di bawah permukaan bumi), dari luar/eksternal (topografi),

BAB 1

1

Page 17: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi2

cuaca (meteorologi/hidrologi) dan fenomena biologi (Kusumasari, 2014a). Seperti yang diungkapkan oleh Shaluf (Shaluf, 2007) bahwa kejadian bencana di muka bumi ini terjadi baik itu karena kehendak Tuhan ataupun bencana hasil perbuatan manusia. Bencana hasil buatan manusia adalah kejadian bencana yang merupakan hasil keputusan atau perbuatan manusia seperti terjadinya reruntuhan bangunan gedung dan runtuhnya tambang. Bencana hibrida muncul dari keterkaitan antara hubungan antropogenik (buatan manusia) dan kejadian alam, seperti terjadinya banjir bandang karena hasil pembalakan liar atas penebangan hutan secara liar (Indian Institut of Disaster Management, 2007 dalam Kusumasari, 2014a). Bertolak dari berbagai definisi bencana tersebut maka dalam buku ini hanya membahas mengenai bencana alam yaitu khususnya gempa bumi.

Berbagai ragam bencana alam telah terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini di Indonesia. Namun terlepas dari hal tersebut berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa 85% bencana yang terjadi selama lima tahun terakhir ini terjadi sebagai akibat dari kerusakan lingkungan hidup dan hampir 80% penduduk Indonesia ternyata tinggal di daerah rawan bencana. Artinya Indonesia adalah sebuah “laboratorium bencana” di mana setiap orang belajar tentang berbagai jenis bencana dan akibat yang mengikutinya seperti Gempa Bumi dan Tsunami (Pramusinto, 2009). Sedangkan Latief (Latief, 2007) menyebutkan bahwa wilayah nusantara adalah “hot spot” dunia untuk sumber bencana alam, khususnya bencana gempa bumi dan letusan gunung berapi.

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami (Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi Sumber Daya Mineral, 2012). Di antaranya Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta bagian Selatan, Jawa Timur bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Kemudian pulau Sulawesi, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balikpapan di Kalimantan Timur. Selain terletak tiga lempeng tektonik dunia, wilyah Indonesia juga berada pada jalur The Pasific Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik, yaitu

Page 18: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 1 | Pendahuluan 3

suatu zona bencana yang sering mengalami kejadian gempa bumi dan gunung meletus. Hal ini bisa dilihat pada peta zonasi gempa besar yang melanda Indonesia berikut ini.

Sumber: http://www.vsi.esdm.go.id/

Gambar 1.1 Peta Zonasi Gempa Besar yang Melanda Indonesia

Seperti yang terlihat pada gambar 1.1 di dalam peta zonasi gempa Indonesia, ada wilayah yang diberi warna biru, kuning, serta merah hingga warna gelap keunguan. Biru dan kuning menandakan kalau wilayah tersebut memiliki tingkat respons spektra atau bahaya gempa yang relatif sangat rendah. Sedangkan wilayah dengan warna merah menunjukkan kalau daerah tersebut struktur batuan dasar dan tanahnya lebih sensitif terhadap getaran. Kondisi ini dapat menimbulkan gempa dengan daya rusak lebih besar jika terjadi pergeseran atau getaran di perut bumi. Warna gelap keunguan menandakan tingkat kerusakan akibat gempa yang mungkin terjadi paling tinggi.

Berbagai kejadian bencana alam yang terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh kondisi alam terutama gempa bumi dan tsunami. Pada tabel 1.1 berikut ini dapat dilihat beberapa kejadian atau peristiwa bencana alam yang terjadi di Indonesia dalam kuran waktu 10 tahun terakhir ini.

Page 19: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi4

Tabel 1.1 Kejadian Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Indonesia

No Nama Kejadian Tanggal kejadian Tempat Korban jiwa

1 Gempa Bumi dan Tsunami Ende, Gempa 7,8 SR

12 Desember 1992 Ende, NTT 2.100 meninggal

2 Gempa Nabire, Gempa 7,2 SR

26 November 2004 Nabire, Papua 27 meninggal100 luka-luka

3 Bencana Tsunami di Aceh, Gempa 9,3 SR

26 Desember 2004 NAD 126.000 meninggal30.000 hilang

4 Gempa bumi Yogyakarta, Gempa 5,9 SR

27 Mei 2006 DIY 6.000 meninggal

5 Gempa Tasikmalaya, Gempa 7,3 Richter

02 September 2009 Jawa Barat 33 meninggal, 40 hilang

6 Gempa Bumi Sumatera Barat, Gempa, 7,6 SR

30 september 2009 Sumbar 6.234 meninggal

7 Bencana Gempa Bumi dan Tsunami, Mentawai, Gempa 7,2 SR

25 Oktober 2010 Sumbar 400 meninggal

8 Gempa Cilacap, Gempa 7,1 SR

4 April 2011 Jawa Tengah 1 meninggal

9 Gempa Bali, 6,8 SR 13 Oktober 2011 Bali 50 orang luka-luka

Sumber: diolah dari BMKG (2016)

Penting dicatat bahwa, kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2001 yang membentuk Bakornas PBP sebagai badan yang bertanggung jawab terhadap penanggulangan bencana di Indonesia, yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Presiden RI Nomor 83 Tahun 2005. SK presiden ini diikuti oleh pendirian Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (PB) pada tingkat nasional dan Satuan Koordinasi Pelaksana dan Satuan Pelaksana Penan PB untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Namun proses penanggulangan bencana yang dilakukan ketika itu masih terkonsentrasi pada kegiatan tanggap darurat, pemulihan dan rekonstruksi yang dilakukan pada saat dan setelah kejadian bencana, sedikit upaya yang dilakukan untuk aktivitas sebelum terjadinya bencana untuk mengurangi risiko yang akan terjadi akibat bencana (Anwar, Herryal Z.; Harjono, Hery, 2013).

Page 20: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 1 | Pendahuluan 5

Kebijakan terhadap penanggulangan bencana baru muncul pada tahun 2007, ketika pemerintah dan DPR menyetujui ditetapkannya Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana yang merupakan landasan hukum bagi aktivitas pengurangan risiko bencana di Indonesia yang harus dilakukan secara lebih komprehensif. Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tersebut pemerintah mereformasi lembaga-lembaga penanggulangan bencana dan membentuk Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). BNPB mengoordinasikan penanggulangan bencana secara nasional dan BPBD di Daerah. Dengan demikian, keterlibatan pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana menjadi suatu keharusan karena terjadinya pergeseran pelimpahan kekuasaan dan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal kegiatan bencana (May, Peter J dan Williams, Walter, 1986).

Setelah pemberlakuan UU No. 24 Tahun 2007 tersebut, pada tingkat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan peraturan daerah tentang penanggulangan bencana. Untuk Provinsi Sumatera Barat diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007, sedangkan untuk Kota Padang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008. Dalam aturan yang ada yang dimaksudkan dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi. Kota Padang dengan adanya pemberlakuan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang penanggulangan bencana, tentunya akan lebih siap dalam menghadapi bencana dan dapat memperkecil risiko yang timbul akibat bencana. Tentunya berbagai langkah perlu dipersiapkan oleh pemerintah daerah dan masyarakat dalam rangka menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

Untuk Sumatera Barat dalam hal ini Kota Padang merupakan salah satu kota yang memiliki ancaman terhadap bencana gempa bumi yang tinggi. Secara geografis Kota Padang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia dan berisiko tinggi terhadap bencana gempa bumi yang disebabkan oleh subduksi Mentawai. Hal ini didasarkan pada penelitian yang dilaksanakan oleh Jamie Mc Caughey dari Earth Observatory of Singapore (EOS) Nanyang Technological University

Page 21: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi6

Singapura dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menurut penelitian tersebut diperkirakan gempa besar berkala 200 tahunan akan terjadi di zona ini. Sementara itu, Presiden Geohazard (sebuah lembaga nonprofit di Amerika yang bergerak dalam bidang pengurangan risiko bencana) Brian Tucker, mengatakan bahwa bukti yang paling kuat untuk prediksi gempa bumi selanjutnya setelah gempa Nepal adalah mengarah ke lepas Pantai Sumatera. Energi yang tersimpan di patahan Sumatera bagian barat masih banyak yang belum terlepas, pelepasan energinya setara dengan 8,8 hingga 8,9 skala richter (http://blog.act.id/risiko-bencana-gempa-bumi-mengintai-padang/, 2015). Seperti contoh banyak gempa besar yang terjadi di dunia sudah diramalkan oleh para ahli. Gempa Nepal April tahun 2015 dan gempa Jepang tahun 2011 sudah diramalkan, dan gempa Megathrust Mentawai tinggal menunggu waktu.

Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1797 dan tahun 1833 Padang pernah terjadi gempa besar yang menyebabkan tsunami. Menurut ahli, gempa yang menghantam Padang tahun 2007 dan tahun 2009 serta gempa Mentawai tahun 2010 semakin memicu Megathrust Mentawai yang besarnya diperkirakan para ahli 8-9 skala Richter. Untuk perkiraan lokasi sumber gempa yang berpotensi terjadi di wilayah Sumatera Barat di masa yang akan datang dapat dilihat pada gambar 1.2 berikut ini.

Sumber: EOS, Nanyang Technological University, 2011

Gambar 1.2 Perkiraan Sumber Gempa yang Mungkin Terjadi di Masa Datang

Page 22: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 1 | Pendahuluan 7

Pada gambar 1.2 terlihat bahwa perkiraan posisi pusat gempa terletak di kepulauan Mentawai dengan sisi barat Sumatera Barat, tersaji fenomena alamiah aktivitas seismik yang berlangsung sangat aktif. Beragam segmen patahan antara lain megathrust Sunda dan megathrust Mentawai menunjam ribuan kilometer menyusuri pantai barat Sumatera, terjadi akibat tabrakan antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia yang terus bergerak tiap tahunnya. Nyatanya memang sepanjang garis pantai barat Sumatera Barat merupakan lokasi masif berkumpulnya energi hebat akibat tumbukan lempeng yang mengakibatkan beberapa patahan aktif.

Para ahli bencana gempa bumi meyakini bahwa Sumatera bagian barat memiliki banyak titik Seismic Gap yaitu lokasi dalam aktivitas seismik aktif namun sunyi tanpa aktivitas gempa hingga ratusan tahun. Lokasi titik seismic gap ini nyatanya justru paling mengancam, karena sedang mengumpulkan energi hasil tumbukan lempeng selama ratusan tahun, dapat terlepas kapan pun. Salah satu bencana alam yang terjadi adalah kejadian gempa bumi Sumatera Barat yang terjadi Tanggal 30 September 2009 telah menyebabkan kerusakan yang parah terutama di Kota Padang. Bencana gempa bumi tersebut telah mengakibatkan kerugian yang besar baik harta maupun jiwa. Tercatat jumlah korban meninggal di Sumatera Barat adalah sebanyak 1.195 Orang, luka berat 619 orang dan luka ringan 1.179 orang. Sementara kerugian materi tercatat 114.797 rumah rusak berat. 676.198 rusak sedang dan 67.828 rusak ringan. Untuk kerusakan sarana fasilitas umum, tercatat jumlah kerusakan sebanyak 2.163 ruang pendidikan, 51 unit fasilitas kesehatan, 1.001 rumah ibadah, 21 unit jembatan, 178 unit ruas jalan dan 130 irigasi rusak berat. Sedangkan untuk Kota Padang jumlah korban dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut ini.

Tabel 1.2 Jumlah Korban Jiwa Gempa 30 September 2009

No Kecamatan Korban Jiwa

Hilang Meninggal Luka Berat

Luka Ringan

Mengungsi

1 Lubuk Kilangan 0 3 1 1 0

2 Koto Tangah 1 20 3 30 0

3 Kuranji 0 6 9 7 0

Page 23: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi8

4 Padang Barat 0 128 90 228 0

5 Padang Utara 0 13 2 0 0

6 Padang Selatan 0 20 2 12 0

7 Padang Timur 0 68 39 82 0

8 Nanggalo 0 17 10 28 0

9 Lubuk Begalung 3 31 24 29 0

10 Pauh 0 4 1 1 0

11 Bungus Teluk Kabung

0 6 0 7 0

Jumlah 4 316 181 425 0

Sumber: http//www.pusdalopspbsumbar.co.id (diakses 4 Januari 2016)

Banyaknya korban yang berjatuhan ditenggarai karena kurangnya pemahaman masyarakat dan pemerintah daerah akan pentingnya mitigasi bencana untuk menghadapi kondisi terburuk dalam menghadapi bencana, terutama bencana gempa bumi yang berpotensi tsunami. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan terlihat adanya jalur evakuasi belum siap untuk menampung masyarakat yang mengungsi, seperti yang diutarakan oleh (Henidal, 2012) bahwa keterbatasan dan belum tersedianya jalur evakuasi menjadi faktor penting Kota Padang belum siap menghadapi gempa bumi yang disertai dengan tsunami. Sehingga dua belas jalur evakuasi yang tersedia di Kota Padang dengan kondisi yang tidak memadai ini belum bisa menampung warga yang hendak menyelamatkan diri jika terjadinya gempa bumi. Persoalan ini terlihat jelas pada pengalaman gempa 7,9 SR yang mengguncang Kota Padang menyebabkan jalanan kota menjadi macet sehingga sulit untuk dilewati. Warga mengungsi menggunakan kendaraan roda empat sehingga membuat sejumlah jalan utama menjadi macet total. Selain itu belum berfungsi peringatan dini gempa dengan baik dan belum terkoordinasinya dengan baik antara lembaga dan dinas terkait, kurangnya informasi yang didapat di saat bencana terjadi.

Berpijak dari permasalahan tersebut menandakan adanya persoalan dengan kebijakan penanggulangan bencana terutama mengenai mitigasi bencana yang ada, padahal aturan tentang kebijakan penanggulangan bencana yang termuat dalam Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana sudah ada, namun kenapa penanggulangan bencana yang ada masih saja belum efektif

Page 24: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 1 | Pendahuluan 9

dilaksanakan. Dengan demikian, persoalan bencana merupakan kondisi kritis bagi setiap pemerintah karena harus menghadapi ketidakpastian. Padahal, pada saat yang sama pemerintah mengalami kekurangan sumber daya yang memadai untuk melakukan tugas-tugas penanggulangan bencana. Selain itu, adanya pemahaman dari aparat birokrat pemerintah yang cenderung kurang memerhatikan upaya-upaya penanggulangan bencana, pandangan ini semakin diperburuk dengan komitmen dari aparat birokrasi yang menempatkan kegiatan penanggulangan bencana bukan sebagai prioritas dibandingkan kegiatan-kegiatan rutin lainnya. Sifat bencana yang incidental ini kemudian melahirkan sikap skeptis pemerintah daerah untuk menjadi tanggap dalam menghadapi dan mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan dampak terburuk dari bencana (Kusumasari, 2014a).

Peristiwa bencana alam gempa bumi yang terjadi di Kota Padang itu sendiri tidak dapat dihindari, namun sebenarnya dampak yang ditimbulkan oleh bencana tersebut dapat diminimalisir. Menurut (Coburn, A.W., dkk, 1994) bencana tidak akan dapat dihindari tetapi dapat disiasati untuk mengurangi timbulnya risiko bencana yang menambah penderitaan masyarakat. Untuk mengurangi terjadinya risiko tersebut maka langkah mitigasi bencana merupakan jalan yang harus ditempuh dan dilakukan karena dengan mitigasi bencana maka risiko bencana yang akan timbul dapat dikurangi/minimalisir.

Akan tetapi menurut Mileti, (1999) dalam Kusumasari (2014a: 23) terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaan mitigasi, seperti biaya, rendahnya dukungan politik, isu-isu sosial budaya dan persepsi risiko. Mitigasi dapat menjadi sebuah kebijakan yang sangat mahal. Faktanya adalah pemerintah memiliki anggaran terbatas untuk mendukung pembangunan dan banyak pemerintah yang menganggap bencana sebagai peristiwa yang kebetulan terjadi dan mungkin tidak akan terjadi. Rendahnya tingkat dukungan politik juga dianggap sebagai kendala dalam pelaksanaan mitigasi pada program pemerintah. Penting bagi para politisi untuk mempertahankan kedudukan yang tinggi di mata publik dan program yang dapat meningkatkan citra politik mereka. Meyakinkan para pengambil keputusan di daerah tentang adanya kebutuhan dalam melakukan langkah-langkah mitigasi sangat penting dalam memastikan pelaksanaan proyek. Mitigasi akan menghadapi hambatan sosial budaya dalam perkembangannya di mana saat pelaksanaan proyek mengubah

Page 25: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi10

sesuatu hal yang selama ini telah ada dan kegiatan tersebut dianggap membuang-buang waktu saja. Hambatan yang juga menjadi kendala adalah bagaimana persepsi masyarakat mengenai risiko penanggulangan bencana, sejauh mana masyarakat mampu dan mau untuk mencegah bencana dan seberapa besar pengorbanan mereka dalam menghadapi risiko bencana tersebut.

Walaupun demikian, proses mitigasi bencana tetaplah merupakan hal yang krusial untuk dilakukan walaupun menghadapi berbagai kendala seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Terkait dengan itu maka kegiatan mitigasi bencana alam yang dilakukan khususnya di Kota Padang menjadi hal yang krusial untuk dibahas dan diterapkan mengingat Kota Padang yang berada di jalur rawan gempa bumi. Dengan demikian, dalam kerangka mitigasi bencana maka diperlukan upaya-upaya dalam mengurangi risiko bencana dengan melakukan perencanaan wilayah permukiman dan infrastruktur serta penataan ruang yang aman terhadap risiko gempa bumi yang seharusnya tidak hanya mempertimbangkan aspek yang berkaitan dengan kepentingan dan aktivitas manusia saja, tapi juga memahami bentang alam dan semua proses yang membentuknya, sehingga diperlukan koordinasi dan komunikasi antar stakeholder yang terkait di mana Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBDPK) sebagai leading sector, tanpa pemahaman dan pengetahuan yang cukup tentang hal ini, maka akan sukar untuk mengembangkan lingkungan hidup yang aman dari bencana alam. Selain itu juga diperlukan pendidikan, penyuluhan dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern betapa pentingnya penanggulangan bencana di masa akan datang.

Ketika mitigasi bencana alam sebelumnya hanya sebatas himbauan dan anjuran pemerintah, sehingga kenyataan ini tidak pernah dilakukan dengan serius. Namun dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 merupakan awal dari era baru dalam mitigasi bencana di Indonesia. Sekarang, mitigasi bencana bukan lagi sekadar anjuran dan himbauan, tapi sudah merupakan kewajiban untuk dilaksanakan, mengingat satu falsafah dasar dalam mitigasi bencana alam, yaitu laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang pesat maka akan menjadi semakin tinggi, karena akan semakin banyak manusia menempati wilayah-wilayah rawan bencana, yang tadinya tidak atau sedikit dihuni atau dikembangkan. Tujuan yang sangat

Page 26: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 1 | Pendahuluan 11

penting dalam mengurangi dampak bencana alam adalah dengan memasukkan faktor bencana alam dalam perencanaan pembangunan dan perluasan wilayah. Di samping itu, juga melakukan usaha-usaha untuk mengurangi kerawanan bencana bagi wilayah yang terlanjur ada di wilayah rawan bencana tidak terkecuali Kota Padang.

Dengan data yang ada tersebut tentunya Kota Padang yang berada di daerah rawan bencana perlu melakukan langkah-langkah untuk dapat mengantisipasi kemungkinan dampak terburuk yang akan ditimbulkan oleh bencana gempa bumi yang akan terjadi. Untuk itu, langkah mitigasi bencana menjadi suatu hal yang perlu dipersiapkan oleh pemerintah Kota Padang, apalagi cara berpikir dalam sistem pengelolaan bencana pada saat ini telah mengalami perubahan dari paradigma “relief ” dan “response” ke “contingency planning”, pengurangan kerentanan dan risiko bencana yang pada akhirnya menuju pengelolaan bencana yang lebih komprehensif (Yodmani, 2001) dalam (Anwar, Herryal Z.; Harjono, Hery, 2013).

B. Permasalahan Penelitian

Dengan telah menjelaskan beberapa hal dalam latar belakang maka penulis mengemukakan beberapa permasalahan penelitian yaitu Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana, telah mengamanatkan bahwa pemerintah daerah diharapkan mampu membuat sistem peringatan dini, kesiap-siagaan pengurangan risiko bencana dan mitigasi bencana. Pengamatan di lapangan masih terdapat sistem peringatan dini yang belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Program pemerintah untuk kegiatan mitigasi bencana juga belum berjalan sebagaimana mestinya, hal ini terihat dari berbagai program yang dilakukan oleh pemerintah kota tidak mendapatkan perhatian dan dukungan yang serius dari masyarakat. Misalnya kegiatan pelatihan dan simulasi bencana yang dilakukan kurang mendapat respons yang baik dari masyarakat. Belum tersedianya Prosedur Operasional Baku (POB) nasional maupun daerah yang dimiliki pemerintah. Hal ini menyebabkan penanggulangan bencana tidak terarah dan tidak terkoordinasinya antarinstansi terkait. Bila mengacu kepada kebijakan penanggulangan bencana, maka diperlukan suatu komando khusus

Page 27: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi12

untuk bisa menggerakkan seluruh sumber daya manusia (SDM) yang ada dan sumber-sumber daya lainnya.

Masih belum optimalnya kinerja BPBDPK dalam menjalankan ketiga fungsinya yaitu fungsi pelaksana, komando dan koordinator. Yang terlihat baru fungsi pelaksana saja, sedangkan fungsi yang lainnya belum, sehingga kecenderungan pelaksanaan penanggulangan bencana tidak bersifat komprehensif karena tidak adanya koordinasi dan komando yang jelas. Dan masih terbatasnya sumber daya yang ada baik sumber daya manusia maupun sumber daya anggaran, sehingga kinerja pemerintah kota dalam pelaksanaan penanggulangan bencana menjadi terkendala. Berdasarkan hal tersebut maka dalam tulisan ini difokuskan kepada implementasi kebijakan mitigasi pengurangan risiko bencana di Kota padang.

C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis untuk meneliti Implementasi Kebijakan Mitigasi Penanggulangan Bencana gempa Bumi di Kota Padang adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif interpretatif (Denzim, Norman K.; Lincoln, Yvonna S., 2005), pilihan terhadap metode kualitatif ini didasarkan pada rumusan dan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini (Neuman, 2014). Metode ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang berbagai aspek yang memengaruhi implementasi kebijakan mitigasi penanggulangan bencana yang ada di Kota Padang.

Metode penelitian kualitatif berguna untuk pemecahan masalah berdasarkan fakta-fakta dan kenyataan yang ada dan memfokuskan pada masalah aktual yang terjadi pada saat penelitian dilakukan. Capaian yang diharapkan dengan metode ini adalah dapat menghasilkan suatu konsep atau temuan baru dalam mengkaji implementasi kebijakan khususnya kebijakan penanggulangan bencana gempa bumi di Kota Padang.

Untuk memberi penjelasan yang rinci terhadap masalah yang diteliti, perlu dikumpulkan data dari berbagai sumber Data primer yaitu data yang diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan responden dan dari hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan terhadap fenomena-fenomena empiris yang terjadi berkaitan dengan

Page 28: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 1 | Pendahuluan 13

Implementasi Kebijakan Mitigasi Penanggulangan Bencana Gempa Bumi Kota Padang. Sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh sudah diolah seperti dokumen-dokumen tertulis dan studi kepustakaan. Data sekunder yang dibutuhkan merupakan data mengenai gambaran umum atau deskripsi wilayah penelitian yang dalam hal ini meliputi: (a) keadaan lingkungan dan keadaan demografis, (b) keadaan ekonomi dan keadaan sosial budaya dan kerawanan bencana. Sedangkan data sekunder lainnya yang dijadikan acuan adalah data-data yang didokumentasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, contohnya keputusan walikota, peraturan daerah serta data lain yang terdokumentasikan yang terkait dengan pencapaian maksud dari penelitian yang dilakukan ini.

Untuk pengambilan informan dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu dengan menentukan informan yang mampu memberikan informasi tentang penelitian yang dilakukan mengenai Implementasi Kebijakan Mitigasi Penanggulangan Bencana Gempa Bumi di Kota Padang. Sedangkan memperoleh data yang valid dan reliabel maka dipilihlah teknik yang tepat dan benar. Dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara bebas (interview) sebagai teknik umum dengan maksud untuk menjaga data primer yang relevan terhadap setiap variabel penelitian maka wawancara yang dilakukan didasarkan pada pedoman wawancara yang berisikan pertanyaan terbuka (open ended question).

Langkah-langkah mengumpulkan/memperoleh data di lapangan atau lokasi penelitian digunakan teknik: pengamatan (observasi), kegiatan ini dilakukan peneliti untuk melihat langsung kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang dengan melibatkan berbagai pihak dalam rangka mitigasi bencana gempa bumi. Salah satu kegiatan yang peneliti ikuti dalam rangka observasi ini adalah kegiatan yang diadakan berupa Pasific Partnership, kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tentara Amerika yang bekerja sama dengan tentara di kawasan Asia Pasifik yang menitik beratkan kegiatannya pada hal mitigasi bencana gempa bumi. Kegiatan ini berlangsung dari Tanggal 20 Agustus sampai dengan 29 Agustus 2016, yang bertempat di Padang dengan berbagai Lokasi yaitu Kapal Angkatan Laut Amerika Serikat USNS Mercy, Kapal Angkatan Laut Indonesia KRI Makassar, Auditorium PT Semen Padang, Kantor Gubernur dan Lapangan Imam Bonjol Padang. Selain itu peneliti juga berkesempatan ikut dan terlibat dalam simulasi Early Warning System Gempa dan Tsunami di

Page 29: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi14

Kelurahan Parupuk Tabing, Kota Padang pada tanggal 7 September 2016 dilanjutkan dengan kegiatan pertemuan dengan BPBD PK dan unsur BMKG, KOGAMI, ORARI, PMI, dan pihak lainnya di kantor BPBDPK Kota Padang.

Kegiatan selanjutnya adalah wawancara (interview). Untuk tahap ini kegiatan wawancara dilakukan dengan mewawancarai pihak-pihak yang terkait dengan kebencanaan di Kota Padang, apakah itu di SKPD di Pemerintah Kota Padang, kelompok masyarakat, LSM yang konsen kepada kebencanaan ataupun juga akademisi dan pakar gempa (geologi dan geofisika). Wawancara dilakukan dengan durasi satu sampai dua jam tergantung dengan kondisi informan dan kedalaman data yang telah diperoleh. Wawancara dilakukan di tempat yang telah disepakati sebelumnya, seperti di kantor atau di rumah informan, sehingga hubungan emosional terjaga dan data yang didapatkan juga bisa menjadi bahan dalam menambah analisis dalam penelitian ini. Selama proses wawancara dilakukan, dapat berjalan dengan lancar walaupun ada beberapa hal yang menjadi penghalang untuk bisa bertemu dengan informan, salah satunya adalah jadwal dan kesibukan informan yang menjadi alasan untuk tertunda-tundanya proses wawancara.

Sedangkan telaah dokumen dan studi kepustakaan, pada tahap ini peneliti mengumpulkan data yang diperoleh melalui bahan yang tertulis seperti dokumen-dokumen yang berupa aturan-aturan yang mengatur tentang penanggulangan bencana dan ataupun literatur berupa buku, jurnal dan makalah-makalah seminar yang membahas tentang hal itu. Sumber dokumentasi ini bisa didapat dari lapangan, sewaktu peneliti melakukan proses observasi dan wawancara.

Setiap peneliti kualitatif memerlukan standar untuk melihat derajat kepercayaan atau kebenaran hasil penelitian, sehingga data yang dikumpulkan dapat dipertanggungjawabkan. Agar dapat memperoleh keabsahan data maka dalam penelitian ini dilakukan langkah-langkah pemeriksaan data seperti dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (1985: 290-296), yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability), sebagai berikut.

Page 30: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 1 | Pendahuluan 15

1. Derajat Kepercayaan (Credibility)

Untuk mendapatkan kredibilitas, peneliti melakukan: (1) pengamatan yang terus-menerus; (2) triangulasi; (3) membicarakan dengan teman sejawat (pear debriefing); (4) kecukupan bahan referensi dan (5) mengadakan member check, dengan pengamatan yang terus menerus, peneliti dapat memerhatikan sesuatu secara lebih cermat, khususnya yang berkaitan fokus penelitian.

Triangulasi dilakukan dengan maksud untuk mengecek kebenaran data tertentu yang telah diperoleh dan membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian lapangan pada waktu yang berlainan dan menggunakan metode yang berlainan pula. Sehubungan dengan hal tersebut ada 3 (tiga) pola triangulasi yang ditempuh oleh peneliti yakni perbandingan terhadap data, sumber data dan teknik pengumpulan data.

Untuk derajat validitas dan kebenaran data yang dikumpulkan maka salah satu teknik yang dilakukan dalam perspektif kualitatif adalah melakukan pendekatan referensial, baik melalui rekaman voice dan video serta bahan dokumentasi yang relevan. Hasil referensial ini kemudian disajikan secara jelas dan presisi berkaitan dengan data apa saja selama waktu penelitian tanpa membuat rekayasa tertentu yang dapat membuat bias dalam proses pengumpulan data yang dilakukan. Teknik ini dikelola menurut prinsip konsistensi yaitu seluruh data dari hasil penelitian lapangan yang diperoleh akan disajikan dalam bagan analisis serta dokumen yang relevan dilampirkan untuk menjaga konsistensi antara analisis dan data lampiran. Triangulasi sumber adalah membandingkan antara sumber data primer dengan sumber data sekunder. Sumber data primer atau hasil wawancara dibandingkan dengan sumber dokumen.

2. Keteralihan (Transferability)

Keteralihan hasil penelitian berkenaan dengan pertanyaan sejauh mana hasil penelitian ini dapat digunakan dalam situasi dan tempat lain atau lokasi penelitian diselenggarakan. Oleh karena itu, peneliti telah berusaha mencari dan mengumpulkan data, menganalisis, menginterpretasi dan mendeskripsikan terkait fokus penelitian dan kondisi realitas lokus penelitian.

Page 31: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi16

Keteralihan juga bergantung pada pemakai dalam konteks situasi tertentu. Dalam hal ini, keteralihan hanya dipandang sebagai suatu kemungkinan. Sehubungan dengan hal ini, peneliti telah berusaha menganalisis, menginterpretasi dan mendeskripsikan data-data tentang bagaimana hasil penelitian dapat dicapai. Apakah hasil penelitian dapat diterapkan sangat tergantung pada kesamaan konteks. Berdasarkan hal ini, maka hasil penelitian ini dapat ditransfer di daerah yang memiliki kesamaan dengan konteks, situasi dan tempat.

3. Ketergantungan (Dependability)

Ketergantungan atau reliabilitas merupakan syarat bagi terwujudnya validitas. Melalui data reliabel maka dapat diperoleh data yang valid. Untuk itu, jaminan ketergantungan dan kepastian hasil penelitian perlu dilakukan penggabungan antara kriteria ketergantungan dengan kriteria kepastian. Untuk menjamin kepastian data seperti dikemukakan Nasution (1996: 56) bahan-bahan yang perlu disediakan antara lain:

a. Data mentah, seperti catatan lapangan, ketika melakukan wawancara atau observasi, hasil rekaman, dokumentasi lainnya yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.

b. Hasil analisis data berupa; kesimpulan, proposisi, konsep, variabel dan model rekomendasi.

c. Catatan mengenai proses yang digunakan seperti; metodologi, de-sain penelitian, prosedur penelitian dan rasionalitas.

4. Kepastian (Confirmability)

Untuk mendapatkan kepastian hasil penelitian maka peneliti melakukan konfirmasi dengan informan di lapangan dengan melakukan crosscheck hasil wawancara dan telaah dokumentasi yang ada.

Sementara itu, untuk analisis data penulis merujuk apa yang dikemukakan oleh Bogdan sebagaimana dikutip Maleong (2008:248) memberikan pemahaman bahwa analisis data kualitatif sebagai berikut.

“Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistetikannya, mencari

Page 32: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 1 | Pendahuluan 17

dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.”

Pendapat tersebut di atas, dapat dimaknai bahwa proses analisis data adalah rangkaian tindakan analisis yang dilakukan secara terus-menerus selama pengumpulan data sampai selesai dilaksanakan melalui beberapa kegiatan di antaranya, yaitu menelaah data, mengelompokkan data, menemukan data yang penting sesuai fokus penelitian dan mempelajari serta memutuskan apa yang perlu disajikan atau dilaporkan. Melalui analisis data, dapat mengungkap data apa yang masih perlu dicari, pertanyaan apa yang perlu dijawab, cara apa yang harus digunakan untuk memperoleh informasi baru dan kesalahan apa yang perlu diperbaiki.

Sejalan dengan pengertian tersebut di atas, dalam menganalisis data penelitian ini, peneliti mengacu pada analisis data “Model Interaktif” dari Miles, Hubermen dan Saldana (2014) yang mengatakan bahwa tahapan analisis data meliputi: koleksi data (data collection); kondensasi data (data condensation); penyajian data (display data) dan kesimpulan/verifikasi (Conclusion Drawing/ Verification). Seperti tampak dalam gambar 1.3 sebagai berikut.

Sumber: Miles, Matthew B.; Huberman, A. Michael; Saldaña, Johnny, 2014

Gambar 1.3 Analisis Data Model Interaktif

Berdasarkan deskripsi gambar 1.3 tersebut di atas, dapat dimaknai proses analisis model analisis interaktif dengan tahapan-tahapan, sebagai berikut.

Page 33: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi18

a. Koleksi Data (Data Collection)

Dalam kegiatan koleksi data untuk jenis penelitian kualitatif ada 3 (tiga) macam kegiatan yang dilakukan peneliti, yaitu (1) proses memasuki lokasi penelitian (getting in), dalam proses ini peneliti mengurus hal-hal yang terkait dengan prosedur izin penelitian di lapangan; (2) ketika berada di lokasi penelitian (getting along), dalam proses ini peneliti melakukan komunikasi membangun kepercayaan pada informan-informan yang dijadikan salah satu sumber data dalam penelitian; (3) pengumpulan data (logging the data) (Miles, Hubermen dan Saldana, 2014).

Adapun mekanisme kerja masing-masing dari ketiga tahapan yang dimaksudkan oleh Miles, Hubermen dan Saldana (2014), sebagai berikut.

1) Memasuki Wilayah Penelitian (Getting in); merupakan suasana yang mencapai kondisi agar diterima oleh objek yang diteliti. Dalam memperoleh izin penelitian, peneliti berupaya keras agar materi yang diajukan untuk diteliti dapat diterima dengan baik. Peneliti berupaya melakukan pendekatan baik secara personal maupun prosedural, dengan meminta surat izin penelitian pada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dalam hal ini melalui Kantor Kesbangpol Provinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Kota Padang melalui Kantor Kesbangpol Pemerintah Kota Padang terhadap objek-objek yang akan diteliti.

Sebelum mulai mengumpulkan data, sesuai anjuran dari Lofland dan Lofland (1984: 30) bahwa supaya tercipta suasana yang nyaman dalam wilayah penelitian (getting in) maka dianjurkan: a) menjalin hubungan terpercaya dengan menciptakan koneksi, seperti kawan, kenalan, kolega yang mempunyai akses terhadap subjek penelitian dan informan-informan penting lainnya; b) memberikan gambaran mengenai penelitian yang akan dilakukan; c) belajar membiasakan diri di lapangan, kemudian berperan sebagai orang yang melakukan pembelajaran; d) berperilaku sopan santun dalam melakukan negosiasi agar mendapatkan data lapangan yang akurat melalui; surat izin penelitian, observasi, dan interaksi dalam bentuk wawancara dengan para informan kunci (key informan).

Page 34: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 1 | Pendahuluan 19

Dalam tahap ini peneliti memupuk dan memelihara kepercayaan kepada orang-orang di lapangan, dan menjalin hubungan dengan orang yang bisa memberikan informasi yang diperlukan. Sehingga selama melakukan penelitian peneliti tidak pernah membuat masalah dengan informan, sehingga segala jenis informasi maupun data yang diharapkan oleh peneliti dapat peneliti dapatkan, hingga akhirnya disertasi ini dapat terselesaikan.

2) Menjalin Hubungan dengan Subjek Penelitian (Getting along); selama peneliti berada di lokasi penelitian (getting along), hubungan dengan beberapa subjek penelitian telah terbangun, sehingga dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan melalui metode yang telah ditetapkan sebelumnya dapat dengan mudah didapatkan oleh peneliti. Menurut Lofland dan Lofland (1984) agar informasi yang diperoleh akurat, maka peneliti menciptakan (1) stance, yaitu menciptakan kepercayaan timbal balik antara peneliti dan subjek peneliti; (2) style, yaitu gaya peneliti merendah sehingga dapat diterima dan tidak menimbulkan ancaman terhadap peneliti; (3) situation, yaitu berusaha menyelesaikan masalah dengan bersikap netral jika saat itu peneliti menghadapi pertentangan di antara subjek peneliti.

3) Pengumpulan Data (Logging the Data); pengumpulan data dilakukan secara integrative terhadap data-data yang relevan serta lengkap melalui sumber utama. Dalam penelitian ini, peneliti memulai proses pengumpulan data sumber informan-informan kunci dari pihak-pihak yang terkait dengan kebencanaan di Kota Padang, seperti beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Pemerintah Kota Padang, kelompok masyarakat, LSM yang konsen kepada kebencanaan ataupun juga akademisi dan pakar gempa (geologi dan geofisika). Dalam kegiatan ini, peneliti telah melakukan sesuai dengan pendapat Lofland dan Lofland (1984) yang mengemukakan bahwa langkah-langkah pengumpulan data dilakukan dengan (1) Prime source of data (sumber utama data), yaitu word and action yang terdiri dari kombinasi melihat dan mengamati, mendengar dan menyimak, lalu menanyakan; (2) supplementary data (sumber pelengkap), yaitu melakukan pengumpulan dokumen melalui sumber pendukung.

Page 35: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi20

b. Kondensasi Data (Data Condensation)

Dalam langkah ini peneliti melakukan penelaahan terhadap semua data yang diperoleh berbagai sumber dan berbagai metode pengumpulan data yang telah dijelaskan di atas. Peneliti melakukan proses kondensasi data terhadap data yang dikumpulkan dengan cara membuat abstraksi dan rangkuman artikulasi dan telaah pemaknaan terhadap fokus penelitian, yaitu Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana Gempa Bumi Berbasis Mitigasi Bencana di Kota Padang.

Dalam proses kondensasi data ini, peneliti mengabaikan data atau informasi yang tidak sesuai dengan permasalahan, tujuan, dan fokus penelitian. Namun hasil kondensasi data yang tidak atau belum terpakai tidak langsung peneliti buang atau abaikan, akan tetapi peneliti menyimpan data-data tersebut karena tidak menutup kemungkinan untuk digunakan kembali, sehingga data-data yang tersaji adalah benar-benar data yang berhubungan dengan domain kajian peneliti.

c. Penyajian Data (Display Data)

Dalam mekanisme penyajian data yang telah dikondensasi oleh peneliti, maka peneliti melakukan display data dalam bentuk laporan, penyajian data yang bersumber dari lokasi dan situs penelitian disajikan sesuai dengan format atau panduan penulisan disertasi Pascasarjana Universitas Padjadjaran Program Studi Administrasi Publik, sehingga data tersebut dapat dipelajari oleh berbagai pihak. Penyajian data ini juga diikuti oleh analisis data yakni data yang telah dikondensasi di interpretasikan olah peneliti dan juga dihubungkan dengan fokus penelitian sehingga tersaji laporan yang memiliki kekayaan kompilasi informasi dan pengetahuan terkait domain judul kajian penelitian ini. Selanjutnya data hasil dari proses kondensasi kemudian dipaparkan. Peneliti membuat uraian secara rinci atas hasil temuan penelitian sehingga nilai artikulasi dan pemaknaan display data dapat dipahami. Langkah ini telah sejalan Miles, Matthew B.; Huberman, A. Michael; Saldaña, Johnny, (2014) yang menyatakan bahwa yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif dengan teks yang bersifat naratif. Selain dalam bentuk naratif, display data dapat juga berupa grafik, matriks, network (jejaring kerja).

Page 36: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 1 | Pendahuluan 21

d. Kesimpulan/Verifikasi (Conclusion Drawing/Verification)

Sejak semula peneliti berusaha mencari makna dari data yang dikumpulkan, untuk itu peneliti berusaha mencari pola, model dan tema, persamaan dari data yang diperoleh melalui langkah-langkah yang dilakukan di atas, peneliti dapat memverifikasi dan menafsirkannya secara benar serta menarik kesimpulan atas hasil penelitiannya yang berjudul “Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana Gempa Bumi Berbasis Mitigasi Bencana di Kota Padang”. Selanjutnya dapat dideskripsikan bahwa kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada di lapangan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih belum jelas, sehingga setelah diteliti menjadi jelas.

D. Kondisi Umum Kota Padang

Kota Padang terletak pada jalur gempa besar yang membentang sepanjang semenanjung Asia, sehingga rawan terhadap bencana gempa bumi. Kota Padang juga merupakan salah satu dari enam Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat yang memiliki risiko paling tinggi terhadap ancaman Tsunami, mengingat berada pada jalur megatrust Mentawai, yang merupakan jalur gempa yang bisa mengancam sewaktu-waktu. Sehingga dengan demikian perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah kota terhadap kondisi ini. Perlu upaya-upaya dalam rangka mengurangi risiko bencana alam yang kemungkinan bisa terjadi.

Padang sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Barat memiliki luas wilayah administratif sekitar 1.414,96 km², terletak di pesisir pantai Barat Pulau Sumatera pada posisi astronomis antara 100º05’05’’ BT-100º34’09’’ BT dan 00º44’00’’ LS-01º08’35’’ LS. Wilayah kota Padang terdiri dari 694,96 km² daratan dan 720,00 km² perairan/laut yang merupakan hasil perluasan Kota Padang Tahun 1980, yaitu penambahan 3 kecamatan dan 15 kelurahan menjadi 11 kecamatan dan 104 kelurahan. Dari seluruh Kecamatan tersebut sebanyak 6 kecamatan

Page 37: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi22

dan 22 Kelurahan berada di daerah pesisir. Adapun batas-batas wilayah administratif Kota Padang, adalah sebagai berikut.

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman.

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Solok.

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan.

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

Secara topografi Kota Padang memiliki garis pantai sepanjang 68,126 km, sebagai kota pantai, Kota Padang terdiri atas dataran rendah yang terletak pada ketinggian 0–10 m di atas permukaan laut. Secara keseluruhan, Kota Padang terletak pada ketinggian yang berkisar antara 0-1.853 m di atas permukaan laut. Sedangkan kondisi hidrologi Kota Padang terdiri dari: Daerah Aliran Sungai (DAS), sungai, danau dan rawa dan debit air. Wilayah Kota Padang terbagi dalam 6 (enam) Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu: DAS Air Dingin, DAS Air Timbalun, DAS Batang Arau, DAS Batang Kandis, DAS Batang Kuranji dan DAS Sungai Pisang. Pembagian DAS ini dikarenakan wilayah Kota Padang dilalui oleh banyak sungai besar dan kecil. Terdapat 21 aliran sungai yang mengalir di wilayah Kota Padang dengan total panjang mencapai 133,9 Km (5 sungai besar dan 16 sungai kecil).

Suhu udara Kota Padang sepanjang tahun 2013 berkisar antara 22,0ºC sampai 31,7ºC dan kelembaban udara rata-rata berkisar antara 80%–85% dengan curah hujan rata-rata 347,5 mm/bulan dan rata-rata hari hujan 19 hari. Secara kondisi geologi Wilayah Kota Padang terbentuk oleh endapan permukaan, batuan vulkanik dan intrusi serta batuan sedimen dan metamorf. Sementara itu, berdasarkan data demografi Pada tahun 2014, penduduk Kota Padang mencapai 889.646 jiwa, naik sejumlah 12.968 jiwa dari tahun sebelumnya. Dengan demikian, kepadatannya pun bertambah dari 1.261 jiwa/km2 menjadi 1.280 jiwa/km2.

Untuk daerah yang rawan bencana Kota Padang memiliki berbagai bentuk rawan bencana alam, seperti: gempa bumi (hal ini disebabkan oleh kondisi fisik wilayahnya yang berada pada pesisir pantai yang memiliki zona tumbukan aktif Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia, dekat dengan zona patahan Mentawai dan sesar Semangko.

Page 38: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 1 | Pendahuluan 23

Berdasarkan kondisi geologi tersebut, posisi Kota Padang berada pada peta wilayah rawan bencana gempa bumi di Indonesia. Dengan memerhatikan data sejarah kegempaan yang intensif dengan magnitude rendah sampai tinggi, di Kota Padang terlihat kejadian gempa pada tahun 1833 dengan skala magnitude 9; tahun 1861 skala magnitude 8,5; tahun 1935 skala magnitude 7,7; tahun 2000 skala magnitude 7,8; dan tahun 2002 skala magnitude 7,6. Tahun 2005 terjadi gempa yang berpusat di Samudera Indonesia yang mengguncang Kota Padang dan sekitarnya, serta pada 6 Maret tahun 2007 terjadi gempa patahan sesar semangko yang getarannya juga terasa hingga Kota Padang dan sebagian infrastruktur kota mengalami kerusakan.

Tingginya kerentanan Kota Padang terhadap bencana gempa pada data yang ada yaitu periode 28 Maret s.d 19 April 2005, telah terjadi 2.108 kali gempa dan 238 kali di antaranya dirasakan oleh penduduk Kota Padang. Kejadian Gempa bumi Bengkulu pada tanggal 12 dan 13 September 2007 dengan 7,9 dan 7,7 SR telah menimbulkan kerusakan bangunan sebanyak 4.951 unit dan kepanikan warga kota Padang akan timbulnya bencana tsunami. Gempa dimaksud masih berlanjut sehingga pada periode 16 s.d 25 September 2007, kejadian gempa bumi yang dirasakan di Kota Padang adalah sebanyak 25 kali dengan magnitude antara 3,2 s.d 6.7 SR, gempa tanggal 30 September 2009 berkekuatan 7,9 SR yang memporak–porandakan Kota Padang dan Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat (Data diolah dari BMKG, 2007). Berikut ini dapat dilihat pada peta kerentanan Kota Padang pada ancaman gempa bumi dan tsunami.

Page 39: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi24

Sumber: BPBDPK Kota Padang, Tahun 2016

Gambar 1.4 Peta Kerentanan Kota Padang terhadap Gempa Bumi dan Tsunami

Pada gambar 1.4 terlihat peta yang diwarnai dengan warna merah merupakan daerah yang rawan dan rentan terhadap bahaya gempa bumi dan tsunami. Daerah ini berada di kawasan pantai Kota Padang, sementara itu daerah yang diberi warna coklat muda merupakan daerah yang relatif lebih aman terhadap ancaman gempa disertai dengan

Page 40: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 1 | Pendahuluan 25

tsunami. Daerah yang berada di pinggiran pantai tersebut terdiri dari enam kecamatan yaitu Kecamatan Nanggalo, Kecamatan Padang Utara, Kecamatan Padang Barat, Kecamatan Padang Timur, Kecamatan Bungus Teluk Kabung dan Kecamatan Padang Selatan. Sementara itu, gambar 4.2 berikut ini merupakan peta per sektor tingkat kerentanan dan kerawanan terhadap ancaman gempa bumi dan tsunami.

Sumber: BPBDPK Kota Padang, Tahun 2016

Gambar 1.5 Peta Per Sektor Kerentanan Kota Padang terhadap Gempa Bumi dan Tsunami

Kajian tentang tingkat kerentanan Kota Padang dan rawannya terhadap ancaman bencana gempa bumi dan tsunami pernah dimuat di majalah Time Medio Oktober 2005.

Longsor Lahan (faktor yang memengaruhi tingkat bahaya longsoran lahan di Kota Padang adalah karakteristik lahannya berupa kemiringan lereng berkisar 23-99%). Erosi Pantai (salah satu faktor penyebab tingginya laju abrasi pantai, khususnya di daerah Pasir Parupuk disebabkan oleh konstruksi yang dibangun (creep) kurang memadai

Page 41: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi26

(pemecah gelombang oleh karena konstruksi ini berfungsi menghadang aliran litoral (litoral drift), kondisi semacam ini akan memicu proses abrasi yang terjadi di wilayah tersebut.

Bencana yang terjadi dikarenakan Kota Padang dilalui oleh beberapa sungai besar seperti Batang Bungus, Batang Arau, Batang Kuranji dan Batang Air Dingin serta masih ada lagi 18 sungai kecil lainnya yang mempunyai aliran permanen sepanjang tahun. Oleh karena, Kota Padang merupakan daerah tropis mempunyai curah hujan yang cukup tinggi dengan rata-rata curah hujan 348 mm per bulan dan rata-rata hari hujan 19 hari per bulan, sehingga terjadi luapan sungai dan banjir bandang.

Page 42: Carano Pustaka Universitas Andalas

A. Konsep Penanggulangan Bencana

Pengertian bencana menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 poin 1 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Sedangkan penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi (UU No. 24 Tahun 2007 Pasal 1 poin 5).

Dalam banyak peristiwa bencana, peran yang dilakukan pemerintah yang menyangkut kebijakan publik dan administrasi publik untuk menanggulanginya sangat besar. Dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ada beberapa perubahan paradigma penting yang perlu dicatat menurut Pujiono dalam (Pramusinto, 2009);

1. Dari respons darurat menjadi manajemen bencana: penanggulangan bencana tidak dapat lagi memfokuskan diri hanya pada penanggulangan kedaruratan (emergency response) pada saat bencana sudah terjadi, melainkan lebih pada pengurangan keseluruhan risiko bencana dari pengamatan risiko, pencegahan, mitigasi, kesiapan, respons, pemulihan rehabilitasi dan rekonstruksi.

TINJAUAN TEORETIS PENANGGULANGAN

DAN MITIGASI BENCANA

BAB 2

27

Page 43: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi28

2. Dari bencana alam menjadi bencana umum: karakteristik suatu daerah bisa membuatnya rentan terhadap bencana alam. Tetapi juga patut ditilik bahwa bahaya dan kejadian bencana yang tidak semata-mata disebabkan oleh alam juga sering terjadi dan menimbulkan dampak yang luar biasa. Oleh karenanya diperlukan perluasan cakupan bahasan menjadi definisi bencana yang lebih umum ketimbang sekadar bencana alam.

3. Dari tindakan kemurahan menjadi pemenuhan hak dasar rakyat. Perlindungan rakyat dari dampak bencana bukan lagi sekadar tindakan kemurahan hati pemerintah terhadap rakyatnya, melainkan sebagai tanggung jawab konstitusi negara untuk memenuhi hak dasar rakyat.

4. Dari tanggung jawab pemerintah menjadi tanggung jawab bersama: penanggulangan bencana adalah sedemikian kompleksnya sehingga tidak dapat dibebankan semata-mata kepada pemerintah melainkan menjadi urusan bersama. Bagaimana pada akhirnya pemerintah memegang tanggung jawab terakhir pelaksanaannya.

Makna penanggulangan bencana (PB) telah mengalami evolusi seiring waktu. Dalam bahasanya Capra, kata (dan paduan kata-kata) adalah titik berangkat menuju konsep. Dalam kategorisasi yang mutakhir, istilah “penanggulangan bencana” sering diartikan sebagai paradigma lama yang merespons bencana secara reaktif. Erat keterkaitannya dengan terminologi yang sepadan yakni pengelolaan kedaruratan. Meskipun kalangan awam (dan tentunya sebagian literatur bencana yang lama) kerap menyamakannya dengan pengurangan risiko bencana (PRB) ataupun disaster risk management (DRM), namun penyamaan ini merupakan sebuah penyederhanaan yang tidak tepat serta tidak menghargai perkembangan konseptual tentang bencana itu sendiri (Lassa, Jonatan; Pujiono, Puji, 2009).

Pengurangan risiko bencana (PRB) merupakan istilah yang telah populer dalam studi-studi bencana di Amerika Serikat pasca 1970-an (seperti Pusat Studi Bencana Universitas Delaware). Namun perkembangannya baru mulai kelihatan secara global, sejak dikumandangkannya dekade internasional pengurangan bencana (UNDDR), sehingga istilah PRB lebih kuat memberikan pesan pada aspek antisipatif, preventif, dan mitigatif, yakni praktik pengurangan

Page 44: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 2 | Tinjauan Teoretis Penanggulangan dan Mitigasi Bencana 29

bencana ex-ante. Pada saat yang bersamaan terminologi-terminologi seperti PB tidak lagi populer dan bagian dari status quo (Encyclopedia of International Development, Edisi I, 2006).

Untuk pelaksanaan pengurangan risiko bencana (PRB) di Indonesia yang merupakan bagian awal dari upaya pengurangan risiko bencana di tingkat global dan regional. Di beberapa forum internasional telah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang melandasi upaya PRB di tingkat nasional. Supaya terlaksana dengan efektif dan efisien kegiatan ini, maka upaya pengurangan risiko bencana di Indonesia perlu mendapat dukungan dan landasan yang kuat dengan mengacu kepada kesepakatan-kesepakatan internasional yang telah dihasilkan tersebut dan peraturan perundang-undangan yang telah ada di Indonesia.

Kesadaran untuk melakukan upaya pengurangan risiko bencana pada lingkup internasional merupakan tonggak awal sekaligus landasan bagi pelaksanaan upaya sejenis pada lingkup yang lebih kecil. Di tingkat internasional upaya pengurangan risiko bencana dipelopori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui beberapa resolusi yang menyerukan kepada dunia untuk lebih memprioritaskan upaya pengurangan risiko bencana sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan berkelanjutan.

Perhatian PBB terhadap masalah pengurangan risiko bencana dimulai dengan dikeluarkannya resolusi dalam sidang Majelis Umum ke-2018 mengenai Bantuan dalam Situasi Bencana Alam dan Bencana Lainnya pada tanggal 14 Desember 1971. Resolusi ini kemudian ditindaklanjuti dengan Resolusi Nomor 46/182 tahun 1991 mengenai Penguatan Koordinasi Bantuan Kemanusiaan PBB dalam Hal Bencana. Pada tanggal 30 Juli 1999, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 63 tahun 1999 tentang Dekade Pengurangan Risiko Bencana Internasional. Adapun dengan resolusi ini Dewan Ekonomi dan Sosial mengharapkan agar PBB memfokuskan tindakan kepada pelaksanaan Strategi Internasional dalam upaya PRB (International Strategy for Disaster Reduction/ISDR). Strategi ini merupakan landasan dari berbagai kegiatan PBB dalam upaya pengurangan risiko bencana yang sekaligus memberikan arahan kelembagaan melalui pembentukan kelompok kerja lintas instansi-lembaga-organisasi.

Page 45: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi30

Strategi pengurangan risiko bencana mencakup kegiatan-kegiatan jangka menengah sampai jangka panjang yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sasaran utama ISDR adalah untuk: (1) mewujudkan ketahanan masyarakat terhadap dampak bencana alam, teknologi dan lingkungan; (2) mengubah pola perlindungan terhadap bencana menjadi manajemen risiko bencana dengan melakukan penggabungan strategi pencegahan risiko ke dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan. Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana dilakukan dengan tujuan:

1. meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap bencana alam, teknologi, lingkungan dan bencana sosial;

2. mewujudkan komitmen pemerintah dalam mengurangi risiko bencana terhadap manusia, kehidupan manusia, infrastruktur sosial dan ekonomi serta sumber daya lingkungan;

3. meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko bencana melalui peningkatan kemitraan dan perluasan jaringan upaya pengurangan risiko bencana;

4. mengurangi kerugian ekonomi dan sosial akibat bencana.

Tujuan-tujuan di atas diharapkan dapat menjadi kerangka upaya pengurangan risiko bencana pada semua tingkatan baik untuk kepentingan lokal, nasional, regional dan internasional. Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB No. 63 Tahun 1999 ditindaklanjuti oleh Majelis Umum dengan mengeluarkan Resolusi Nomor 56/195 tanggal 21 Desember 2001 yang menetapkan peringatan Hari Pengurangan Risiko Bencana Internasional dalam usaha mendorong agar upaya-upaya berkelanjutan pengurangan risiko bencana menjadi agenda tahunan negara-negara peratifikasi resolusi.

Untuk menindaklanjuti resolusi PBB tentang pengurangan risiko bencana maka pada tanggal 23-27 Mei 1994 diadakanlah World Conference on Natural Disaster Reduction Yokohama, Japan. Kegiatan ini menetapkan Yokohama Strategy yang menitikberatkan kegiatan kepada upaya pengurangan risiko bencana dalam pembangunan berkelanjutan dan peningkatan ketahanan masyarakat melalui kemampuan masyarakat dalam mengelola dan mengurangi risiko bencana. Adanya perlibatan masyarakat dalam segala aspek pengurangan risiko bencana, disertai dengan dana khusus dalam anggaran yang ada

Page 46: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 2 | Tinjauan Teoretis Penanggulangan dan Mitigasi Bencana 31

dengan tujuan pengurangan risiko bencana. Beberapa isu yang menjadi tantangan yang teridentifikasi dalam Yokohama Strategy antara lain tata pemerintahan, organisasi, hukum dan kerangka kebijakan, identifikasi risiko, pengkajian, monitoring dan peringatan dini, pengetahuan dan pendidikan, mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana dan persiapan tanggap darurat dan pemulihan yang efektif.

Dengan memerhatikan beberapa aspek upaya pengurangan risiko bencana, Konferensi Pengurangan Bencana Dunia (World Conference on Disaster Reduction) yang diselenggarakan pada bulan Januari Tahun 2005 di Kobe, melahirkan Kerangka Aksi Hyogo. Kerangka Aksi ini menghasilkan beberapa substansi dasar dalam mengurangi kerugian akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi dan lingkungan. Substansi dasar tersebut perlu menjadi komitmen pemerintah, organisasi-organisasi regional dan internasional, masyarakat, swasta, akademisi dan para pemangku kepentingan terkait lainnya. Strategi yang digunakan untuk melaksanakan substansi dasar tersebut antara lain:

1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat.

2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta menerapkan sistem peringatan dini.

3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkatan masyarakat.

4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana.

5. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif.

Sejalan dengan Kerangka Aksi Hyogo, maka tanggal 27–29 September 2005 di Beijing Cina diadakan Konferensi Asia tentang pengurangan risiko bencana yang melahirkan Kerangka Aksi Beijing. Dalam kesepakatan ini selain menegaskan kembali komitmen terhadap pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo, Rencana Aksi Beijing juga menghasilkan kesepakatan bahwa semua negara di Asia diharapkan segera memprioritaskan penyusunan RAN-PRB. Kawasan Asia merupakan kawasan yang rawan bencana, baik bencana alam, wabah

Page 47: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi32

penyakit maupun bencana sosial. Untuk itu kerja sama regional dalam pengurangan risiko bencana di Asia mutlak dilakukan dan didukung oleh lembaga dan institusi kerja sama regional dan sub-regional yang ada.

Untuk menindaklanjuti Kerangka Aksi Hyogo (2005-2015), maka pada tanggal 14–18 Maret 2015 di Sendai, Miyagi, Jepang, diadakan Konferensi Dunia ke-3 untuk Pengurangan Risiko Bencana pada tahun 2015–2030. Konferensi ini melahirkan Kerangka Aksi Sendai, Kerangka Kerja Sendai adalah instrumen turunan dari Kerangka Aksi Hyogo (HFA) tahun 2005–2015: Membangun Ketahanan Negara dan Masyarakat terhadap Bencana. HFA dianggap mampu mendorong pekerjaan global di bawah Kerangka Aksi Internasional untuk Dekade Pengurangan Risiko Bencana Alami Internasional tahun 1989 dan Strategi Yokohama untuk Dunia yang Lebih Aman: Panduan untuk Pencegahan Persiapan dan Mitigasi Bencana Alami serta Rencana Aksinya, yang diadopsi pada tahun 1994 dan Strategi Internasional untuk Pengurangan Bencana tahun 1999. Kerangka Kerja Sendai disusun menggunakan elemen-elemen yang dapat memastikan keberlanjutan pekerjaan yang telah dilakukan oleh negara-negara dan pemangku kepentingan di bawah HFA dan mengenalkan beberapa inovasi yang disarankan dalam konsultasi dan negosiasi. Empat area prioritas dari kerangka kerja Sendai sebagai berikut ini.

1. Memahami risiko bencana.

2. Memperkuat tata kelola risiko bencana dan manajemen risiko bencana.

3. Investasi dalam pengurangan risiko bencana untuk ketangguhan.

4. Meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respons yang efektif, dan untuk “membangun kembali dengan lebih baik” dalam pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Berbagai perkembangan internasional tersebut memberikan betapa pentingnya upaya pengurangan risiko bencana. Berikut ini dapat dilihat landasan daripada upaya pengurangan risiko bencana tersebut.

Page 48: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 2 | Tinjauan Teoretis Penanggulangan dan Mitigasi Bencana 33

Tabel 2.1 Landasan Internasional Pengurangan Risiko Bencana

No Kegiatan Tujuan Kegiatan

1 Internasional Strategy For Disaster Reduction

1. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap bencana alam, teknologi, lingkungan dan bencana sosial.

2. Mewujudkan komitmen pemerintah dalam mengurangi risiko bencana terhadap manusia, kehidupan manus ia , in f rastruktur sos ia l dan ekonomi serta sumber daya lingkungan.

3. Meningkatkan partisipasi masyarakat d a l a m p e l a k s a n a a n k e g i a t a n pengurangan risiko bencana melalui peningkatan kemitraan dan perluasan jaringan upaya pengurangan risiko bencana.

4. Mengurangi kerugian ekonomi dan sosial akibat bencana.

2 The Yokohama Strategy for a Saber World: Guidelines for Natural Disaster Prevention, Preparedness, and Mitigation and its Pland Action

1. Tata pemerintahan, organisasi, hukum dan kerangka kebijakan.

2. Identif ikasi r is iko, pengkajian, monitoring dan peringatan dini.

3. Pengetahuan dan pendidikan.4. Mengurangi faktor-faktor penyebab

risiko bencana.5. Persiapan tanggap darurat dan

pemulihan yang efektif.

3 Hyogo Framework for Action 1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat.

2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta menerapkan sistem peringatan dini.

3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkatan masyarakat.

4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana.

5. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif.

Page 49: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi34

4 Beijing Action for Disaster Risk Reduction in Asia

1. Meningkatkan program regional b e r u p a k e r j a s a m a t e k n i s , pengembangan kapasitas dan monitoring bahaya dan kerentanan, pertukaran informasi dan mendukung upaya nasional guna mencapai tujuan aksi.

2. Melakukan dan mempublikasikan status pengurangan risiko bencana.

3. M e l a k u k a n k o o r d i n a s i d a n menerbitkan kajian berkala tentang kemajuan dalam kawasan.

4. Membangun dengan memperkuat pusat-pusat kerja sama regional dalam melakukan pelatihan, pendidikan dan peningkatan kapasitas di bidang pengurangan bencana.

5. Mendukung pengembangan regional dan kapasitas untuk peringatan dini terhadap bencana.

5 Sendai Framework for Disaster Risk Reduction

1. Memahami risiko bencana.2. Memperkuat tata kelola risiko

bencana dan manajemen risiko bencana.

3. Investasi dalam pengurangan risiko bencana untuk ketangguhan.

4. Meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respons yang efektif, dan untuk “membangun kembali dengan lebih baik” dalam pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Sumber: diolah dari berbagai sumber, 2017

Indonesia yang merupakan bagian dari komunitas dunia yang juga bertanggung jawab untuk melindungi rakyatnya sendiri dari ancaman bencana telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada kehidupan dan penghidupan yang ada bagi rakyat Indonesia dari bencana dengan cara menyelenggarakan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan terintegrasi.

Berbagai perubahan yang terjadi cukup signifikan terhadap upaya penanggulangan bencana, baik dari tingkat nasional hingga daerah. Jika sebelumnya upaya penanggulangan bencana di Indonesia bersifat

Page 50: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 2 | Tinjauan Teoretis Penanggulangan dan Mitigasi Bencana 35

tanggap darurat saja (emergency response), maka melalui UU Nomor 24 tahun, 2007 ini mencakup semua fase bencana, diawali dengan fase kesiapsiagaan, tanggap darurat hingga pemulihan pasca bencana. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 terdiri dari 12 pasal, yaitu: pembahasan i), pembagian umum ii), tujuan iii), tanggung jawab dan kekuasaan pemerintah iv), struktur lembaga v), kewajiban dan hak masyarakat vi), peran badan internasional dan dunia usaha vii), organisasi penanggulangan bencana viii), bantuan dana dan penanggulangan bencana dan pengaturan sangsi dan denda. Berikut ini dapat digambarkan siklus penanggulangan bencana.

Sumber: Charter, 2008

Gambar 2.1 Siklus Penanggulangan Bencana

Secara umum, peraturan ini telah mampu memberi keamanan bagi masyarakat dan wilayah Indonesia dengan cara penanggulangan bencana dalam hal karakteristik, frekuensi dan pemahaman terhadap kerawanan dan risiko bencana. Perubahan utama dan sangat besar pengaruhnya terhadap sistem penanggulangan bencana di Indonesia dengan dikeluarkannya UU No. 24 Tahun 2007 adalah perubahan paradigma dari tanggap darurat menjadi siaga bencana. Bencana tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus diterima begitu saja, tetapi bisa dicegah dan diantisipasi, terutama kejadian bencana, korban dan dampaknya. Perubahan paradigma ini tentu saja diikuti dengan

Page 51: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi36

perubahan sistem penanggulangan bencana yang dianut oleh pemerintah selama ini. Penanggulangan bencana juga dibagi ke dalam tindakan, tanggung jawab dan wewenang bagi pemerintah pusat dan daerah melalui kegiatan pembangunan, keamanan masyarakat, dan keamanan bantuan bagi penanggulangan bencana. Di samping itu, aturan ini juga membahas tentang kewajiban dan tanggung jawab masyarakat, badan internasional, dan juga lembaga usaha. Peraturan ini juga membahas tentang pembiayaan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dan juga bantuan dari masyarakat. Terdapat juga sanksi hukum kepada mereka yang menghalangi keamanan negara dalam rangka melaksanakan aktivitas pembangunan. Dengan kata lain, UU ini memaksa semua pihak untuk memandang dan menyusun sistem penanggulangan bencana secara lebih serius dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam sistem penyelenggaraan negara.

Menurut pendapat Smith (Smith K, 2007) ada dua konsep paradigma yang digunakan dalam penelitian bencana perspektif ilmu sosial, yaitu paradigma perilaku dan paradigma struktural. Paradigma perilaku menekankan pada penyebab geografis dari bencana dan penggunaan teknologi untuk mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh dampak bencana. Paradigma ini menahan bencana menjadi kejadian yang tidak sembarangan terjadi dan menekankan pentingnya perilaku manusia mencegah bencana. Namun paradigma ini kurang memerhatikan keadaan sosial daerah yang dilanda bencana. Sebaliknya paradigma struktural menekankan pada pengaruh struktur sosial tempat melekatnya individu dan kelompok (Bolin, 1998); (Smith K., 2007). Sebuah pendekatan penting dalam paradigma struktural adalah pendekatan kerentanan yang berfokus pada dimensi spasial dari stratifikasi sosial dan ekonomi dalam kaitannya dengan bencana (Kusumasari, 2014a).

Setelah adanya kewenangan penanggulangan bencana juga dikelola daerah maka secara umum tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana meliputi hal-hal berikut ini (Solway, 2004) dalam Kusumasari (2014b).

1. Pengenalan, identifikasi dan pengkajian wilayah rentan bencana.

2. Melakukan pemahaman bagi masyarakat dan memastikan bahwa semua anggota masyarakat menyadari akan dampak bencana alam dan kerentanan yang ada di wilayahnya.

Page 52: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 2 | Tinjauan Teoretis Penanggulangan dan Mitigasi Bencana 37

3. Mengidentifikasi rute evakuasi dan lokasi tempat yang aman serta lokasi pengungsi.

4. Menjaga hubungan dengan para berbagai stakeholder dalam perencanaan, kesehatan dan kesejahteraan dengan mengeluarkan kebijakan mitigasi dan persiapan bencana.

5. Mengalokasikan tugas, kewenangan dan sumber daya yang ada.

6. Melaksanakan program pendidikan dan penyadaran masyarakat melalui kegiatan yang bekerja dengan sekolah-sekolah setempat.

Untuk itu, penanggulangan bencana melibatkan semua tingkat pemerintahan, non-pemerintah juga organisasi berbasis masyarakat memainkan peran penting dalam proses penanggulangan bencana. Beberapa tahun terakhir memandang bahwa harus ada pra-mitigasi bencana atau tindakan untuk menghindari atau mengurangi dampak dari bencana.

B. Mitigasi Bencana

Konsep mitigasi bencana merupakan bagian dari manajemen bencana yaitu suatu usaha untuk mengubah paradigma penanggulangan bencana yang sebelumnya lebih banyak menekankan diri pada tindakan pasca terjadinya bencana. Usaha untuk menyebarkan paradigma ini mulai banyak dilakukan sejak awal tahun 1900-an. Berbagai kegiatan dan penelitian menyangkut hal tersebut banyak dilakukan oleh PBB maupun negara-negara lain. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan pada Pasal 1 poin 9 bahwa yang dimaksud dengan mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Sementara itu Clements (2009) mendefinisikan mitigasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana.

Desfandi (2014) menyatakan bahwa mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi korban ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta. Dalam melakukan tindakan mitigasi bencana, langkah awal yang kita harus lakukan ialah melakukan kajian risiko bencana terhadap daerah

Page 53: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi38

tersebut. Dalam menghitung risiko bencana sebuah daerah kita harus mengetahui bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability) dan kapasitas (capacity) suatu wilayah. Mitigasi bencana merupakan kewajiban berbagai pihak, pemerintah, para ahli dan masyarakat. Pengenalan dan pemahaman bencana, proses terjadinya, dan penilaian merupakan tugas para ahli. Pengetahuan, pemahaman dan kesiapsiagaan perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar dapat mengantisipasi, mengatasi, dan meminimalkan kerugian. Kegiatan mitigasi bencana hendaknya merupakan yang bersifat rutin dan berkelanjutan (sustainable disaster mitigation). Kegiatan mitigasi seharusnya sudah dilakukan dalam periode jauh-jauh hari sebelum kejadian bencana, yang seringkali datang lebih cepat dari waktu-waktu yang diperkirakan, dan bahkan memiliki intensitas yang lebih besar dari yang diperkirakan semula. Selain itu, pemerintah hendaknya juga aktif memberikan berbagai arahan yang tepat dan berkesinambungan dalam menghadapi peristiwa bencana atau dengan kata lain bisa beradaptasi dengan risiko potensi bencana alam yang ada.

Berdasarkan kepada hal tersebut di atas, maka ada hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersama-sama oleh pemerintahan, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana (A. Rachmat, 2006) antara lain:

1. Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau mendukung usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tata guna tanah agar tidak membangun di lokasi yang rawan bencana.

2. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang kegiatannya mulai dari identifikasi daerah rawan bencana, penghitungan perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh bencana, perencanaan penanggulangan bencana, hingga penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan.

3. Identifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat yang sifatnya menangani kebencanaan, agar dapat terwujud koordinasi kerja yang baik.

4. Pelaksanaan program atau tindakan riil dari pemerintah yang merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat preventif kebencanaan.

Page 54: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 2 | Tinjauan Teoretis Penanggulangan dan Mitigasi Bencana 39

5. Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam setempat yang memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.

Kegiatan mitigasi bencana merupakan bagian dari tahap pra- bencana yang ada dalam siklus penanggulangan bencana. Pada tahap prabencana ini, berbagai kegiatan penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan oleh pemerintah dan stakeholder terkait, seperti yang diamanatkan dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 34 bahwa kegiatan yang dilakukan itu dalam situasi tidak terjadi bencana; dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Adapun kegiatan yang dilakukan Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a meliputi: a. perencanaan penanggulangan bencana; b. pengurangan risiko bencana; c. pencegahan; d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan; e. persyaratan analisis risiko bencana; f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; g. pendidikan dan pelatihan; dan h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana. Sedangkan Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b meliputi: a. kesiapsiagaan; b. peringatan dini; dan c. mitigasi bencana. Sedangkan tujuan utama dari mitigasi bencana menurut Copalla (2011: 210) adalah risk likelihood reduction, risk consequences reduction, risk avoidance, risk acceptance, and risk transfer or speading.

Merujuk pendapat Carter (2008) mitigasi bencana dibedakan atas dua macam yaitu mitigasi nonstruktural dan mitigasi struktural. Untuk mitigasi non-struktural hal yang dilakukan adalah (1) Penyusunan peraturan perundang-undangan, (2) Pembentukan kelembagaan, (3) Meningkatkan kesadaran masyarakat, (4) Melakukan pelatihan dan pendidikan dan (5) Memberikan insentif. Sedangkan untuk mitigasi struktural yang dilakukan adalah (1) Pembuatan bangunan struktur dan (2) Rekayasa bangunan gedung. Sementara itu, untuk mitigasi bencana yang efektif menurut A. Rachmat (2006) harus memiliki tiga unsur yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan. Ketiga unsur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut ini.

1. Penilaian bahaya hazard assestment diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber

Page 55: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi40

bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya.

2. Peringatan warning diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi. Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.

3. Persiapan preparedness. Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya yaitu penilaian bahaya dan peringatan, yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman.

Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh Wikantiyoso (2010) dalam tulisannya yang menjelaskan bahwa pemanfaatan ruang kota dengan berbagai persyaratan “keselamatan” publik dari gempa bumi, menuntut perlunya perencanaan dan perancangan kota (Planning and Design for Safe City) yang komprehensif. Upaya mitigasi struktur dilakukan dengan cara menghindari wilayah bencana dalam merencanakan dan merancang bangunan dengan mengantisipasi dampak bencana (melalui pertimbangan dan perhitungan konstruksi).

Selain itu perlu dilakukan upaya mitigasi lingkungan nonstruktural di antaranya yakni tidak mengubah lingkungan alam yang dapat melindungi terhadap bencana seperti karang pantai, bukit pasir pantai, danau, laguna, hutan dan lahan vegetatif, kawasan perbukitan karst dan unsur geologi lainnya yang dapat meredam dan mengurangi dampak bencana. Potensi kearifan lokal (local wisdom) melalui pemahaman pengetahuan lokal (local knowledge), teknologi lokal, budaya lokal dan tradisi-tradisi lokal yang telah “teruji” mampu berkontribusi dalam mitigasi bencana. Di sisi lain produk perencanaan dan perancangan kota,

Page 56: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 2 | Tinjauan Teoretis Penanggulangan dan Mitigasi Bencana 41

dengan sebagai produk pemanfaatan ruang (aboveground, underground spaces, urban landscape) sebenarnya merupakan bentuk regulasi (kebijakan publik) yang harus ditaati oleh semua aktor pembangun, (arsitek, perancang struktur, urban planner, dan urban designer, investor, serta aparat birokrasi). Peraturan tata ruang dan peraturan bangunan (building codes) memiliki posisi sangat strategis dalam menentukan produk perancangan kota dan/atau bangunan yang aman bagi penggunanya. Ketaatan terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan bangunan yang ketat berkaitan upaya mitigasi dampak gempa merupakan prasyarat utama yang harus dilakukan.

Gambar 2.2 Bagan Mitigasi Struktur

Sumber: Respati Wikantiyoso. Dalam jurnal. Mitigasi Bencana di Perkotaan; Adaptasi atau Antisipasi Perencanaan dan Perancangan Kota? (Potensi Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kota untuk Upaya Mitigasi Bencana. Volume: II, Nomor: 1. Halaman: 18-29, Januari 2010.

Page 57: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi42

Berkaitan dengan itu maka pemerintah daerah dan masyarakat perlu menentukan langkah-langkah dalam pengurangan risiko bencana, dengan tingkat kepedulian dan pemahaman yang baik tentunya persiapan dalam menghadapi bencana yang akan terjadi akan lebih siap. Perencanaan tata ruang yang menempatkan fasilitas umum dan fasilitas sosial kemasyarakatan berada di luar zona bahaya bencana merupakan bentuk mitigasi nonstruktural, selain bentuk mitigasi struktural yang mendirikan bangunan yang aman dan ramah terhadap bencana gempa. Sedangkan upaya penguatan kelembagaan yang ada di masyarakat, pemerintah, maupun swasta merupakan salah satu faktor kunci dalam mitigasi bencana. Peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaan dapat berupa adanya sistem peringatan dini, manajemen barak, tindakan gawat darurat, dan evakuasi bencana, kegiatan ini merupakan perwujudan terhadap pemberdayaan masyarakat, sehingga dengan demikian akan dapat meminimalkan risiko yang ditimbulkan akibat bencana.

Page 58: Carano Pustaka Universitas Andalas

A. Konsep Implementasi Kebijakan

Kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan memperoleh legitimasi dari lembaga legislatif telah memungkinkan birokrasi untuk bertindak. Dalam pernyataan ini melekat dua makna sekaligus. Pertama, kebijakan hanyalah sebuah dokumen politik yang apabila ia tidak diikuti oleh tindakan yang konkret. Kedua, birokrasi pemerintah akan bertindak kalamana kebijakan tertentu (yang telah terlegitimasi). Birokrasi pemerintah selalu mencarikan pijakan hukum bagi setiap tindakannya. Proses implementasi yang dilakukan setelah ditetapkan dan dilegitimasinya kebijakan dimulai dengan interpretasi terhadap kebijakan itu (Wibawa, dkk. 1994).

Apabila merujuk pendapatnya Pressman dan Wildavsky (1978: xxi) lihat Tachjan (2008), Nugroho (2017), Purwanto dan Sulistyastuti (2012), Frank, dkk., (2007) mengemukakan bahwa ‘implementation as to carry out, accompalish, fulfill, produce, complete. Menurut mereka implementasi dimaknai dengan beberapa kata kunci sebagai berikut: untuk menjalankan kebijakan (to carry out), untuk memenuhi janji-janji sebagaimana yang dinyatakan dalam dokumen kebijakan (to fulfill), untuk menghasilkan output sebagaimana yang dinyatakan dalam tujuan kebijakan (to produce), untuk menyelesaikan misi yang harus diwujudkan dalam tujuan kebijakan (to complete) (Purwanto dan Sulistyastuti, 2012). Proses implementasi kebijakan melihat kesesuaian antara program yang

PERPESKTIF IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

BAB 3

43

Page 59: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi44

telah direncanakan dengan implementasi di lapangan. Implementasi kebijakan merupakan proses yang krusial dalam kebijakan publik karena bukan hanya berkaitan dengan hal-hal mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat jalur birokrasi, melainkan juga menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh kebijaksanaan (Grindle dalam (Wahab, 1997), bahkan Udoji dalam (Agustino, 2008) mengatakan bahwa:

“Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan sekadar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan”.

Senada dengan pendapat Edward III (1980) di mana “without effective implementation the decision of policy makers will not be carried out successfully”. Dari sini dapat dilihat bahwasannya urgensi dari dilakukannya implementasi kebijakan yang merupakan keberlanjutan dari proses formulasi kebijakan. Secara sederhana implementasi kebijakan itu sendiri dapat diartikan sebagai the translation of a policy statement into action (Cooper, 1995). Sedangkan dalam kamus Webster menerangkan implementasi secara pendek yaitu to implement (mengimplementasikan) berarti menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu; menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu. Jika pandangan ini diikuti maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan (biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah) (Wahab, 1997: 64)

Ahli lainnya Van Meter dan Van Horn (1975), melihat implementasi sebagai:

“tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dirumuskan dalam kebijakan”.

Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) memberikan penjelasan tentang makna dari implementasi dengan mengartikan bahwa implementasi merupakan cara memahami apa yang senyatanya terjadi ketika suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan

Page 60: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 45

merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kegiatan-kegiatan dan kejadian-kejadian yang ditimbulkan setelah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat atau dampak yang nyata pada masyarakat. Sedangkan Grindle (1980) mengemukan bahwa implementasi merupakan hubungan antara tujuan kebijakan dengan hasil atau output dari kegiatan pemerintah dengan kata lain keterkaitan implementasi dapat dikemukakan:

“Secara umum tugas pelaksanaannya adalah membuat sebuah hubungan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kapasitas pemerintah.......dengan demikian kegiatan bisa dimulai jika tujuan telah ditetapkan, dan ketika program aksi telah dirancang dan ketika dana telah dialokasikan untuk mencapai tujuan”.

Selain itu, Ripley dan Franklin (1986; 11) menuliskan bahwa dalam implementasi terdapat keterlibatan multiaktor. Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses implementasi melibatkan banyak aktor penting yang memiliki tujuan dan harapan yang saling terkait satu dengan yang lain dan bekerja dalam konteks kebersamaan dan keterpaduan dalam menjalankan program-program pemerintah yang semakin besar dan kompleks, sehingga memerlukan partisipasi dari berbagai lapisan dan unit pemerintahan serta faktor-faktor yang terkena dampak di luar kendali mereka. Dengan demikian, istilah implementasi menunjukkan pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah. Implementasi adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementer kepada kelompok sasaran (target group) sebagai upaya mewujudkan tujuan kebijakan; (Purwanto, Erwan Agus; Sulistyastuti, Dyah Ratih, 2012).

Jika merujuk pendapat Winarno (2002: 125–126) implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan

Page 61: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi46

itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh pelaksana kebijakan.

Berdasarkan dari berbagai definisi implementasi kebijakan tersebut maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan penetapan dari kebijakan publik agar dapat dilaksanakan dengan baik sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya. Jadi pada intinya implementasi kebijakan merupakan sebagai suatu pencapaian tujuan-tujuan daripada kegiatan-kegiatan untuk kepentingan masyarakat banyak (publik) dengan melibatkan berbagai pihak (masyarakat dan swasta) dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut, di lain pihak pemerintah berposisi sebagai regulator. Seperti yang diutarakan oleh L.N. Gerston (2008) bahwa kebijakan publik lebih menekankan kepada upaya-upaya menyelesaikan masalah publik untuk diputuskan oleh pejabat pada setiap tingkatan pemerintahan, dan itu berarti implementasi kebijakan merupakan putusan-putusan para pengambil kebijakan yang harus dijalankan oleh pelaksana kebijakan dalam hal ini adalah pada tingkatan pemerintah daerah.

Kebijakan publik yang dibuat oleh pemegang otoritas kebijakan dalam hal ini pemerintah harus diimplementasikan guna mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam implementasi kebijakan publik hendaknya tidak terlepas dari berbagai faktor yang memengaruhinya, dari berbagai faktor itu nantinya dapat dinilai apakah kebijakan yang dibuat berjalan sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya.

Merujuk pendapat Gerston (Gerston, 2008) yang menyatakan adanya empat aspek yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan yaitu translation ability, yaitu kemampuan staf pelaksana untuk menerjemahkan apa yang sudah diputuskan oleh pengambil keputusan untuk dilaksanakan, resources (sumber daya) khususnya yang berkaitan dengan sumber daya manusia, finansial, dan peralatan/sarana, limited number of player yaitu jumlah pelaksana kebijakan yang ada dalam menjalankan kebijakan baik itu bersifat aktor tunggal ataupun banyak aktor dan accountability yaitu adanya proses pertanggunggugatan dari pelaksana kebijakan terhadap apa yang telah dihasilkan. Lebih lanjut Gerston menjelaskan sebagai berikut.

Page 62: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 47

1. Translation ability merupakan kemampuan orang-orang dalam memahami dengan jelas tugas dan tanggung jawabnya dalam menjalankan kebijakan. Dengan kata lain harus ada komunikasi yang jelas antara yang memberikan perintah (otoritas kebijakan) dengan yang menjalankan kebijakan misalnya dalam hal ini birokrasi. Kebijakan yang dibuat dijalankan sesuai dengan tujuan kebijakan tersebut. Kejelasan akan kebijakan yang dijalankan menjadi acuan akan tercapainya tujuan kebijakan.

2. Resources merupakan suatu yang penting. Sumber daya apa yang dimiliki oleh organisasi untuk mencapai tujuan organisasi tersebut. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan sumber daya adalah sumber daya manusia, sarana dan prasarana, anggaran dan tugas birokrasi. Sumber Daya manusia merupakan unsur personel yang dimiliki oleh organisasi dalam menjalankan tugas-tugas organisasi yang telah dibebankan kepadanya. Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh organisasi memberikan kemudahan bagi organisasi dalam menjalankan tugas yang ada, kelengkapan terhadap sarana dan prasarana yang tersedia memberikan keleluasaan dalam bertugas. Ketersediaan anggaran juga menjadi hal yang penting bagi keberlanjutan suatu organisasi, dengan anggaran yang memadai maka suatu organisasi dapat leluasa dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab pekerjaan yang diberikan. Sedangkan tugas birokrasi merupakan bentuk dari pada penjabaran tugas pokok dan fungsi dari organisasi.

3. Limited number of player merupakan pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi. Dalam proses implementasi tentu saja aktor yang terlibat tidak hanya bersifat tunggal karena pada dasarnya dalam melaksanakan suatu kebijakan perlu koordinasi atau kerja sama dengan pihak lain sehingga kebijakan yang dilaksanakan dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Terdapatnya multi stakeholders dalam hal implementasi kebijakan memerlukan adanya komunikasi dan koordinasi antara pelaksana kebijakan

4. Accountability merupakan pertanggungjawaban terhadap publik. Segala sesuatu kebijakan yang dibuat oleh pengambil kebijakan semestinya perlu dipertanggungjawabkan kepada atasan dan masyarakat. Bentuk pertanggungjawaban tersebut bisa berupa

Page 63: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi48

pertanggungjawaban administrasi vertikal ke atasan dan politis ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta secara moral kepada masyarakat banyak.

Pendapat ahli lainnya tentang implementasi kebijakan disampaikan oleh George C. Edward III (1980). Menurut George C. Edward III terdapat beberapa faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu implementasi kebijakan. Menurut Edward III ada empat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan yang bekerja secara simultan dan saling berinteraksi satu sama lainnya yaitu (1) komunikasi, (2) sumber-sumber daya, (3) disposisi dan (4) struktur birokrasi. Faktor pertama, komunikasi menunjukkan bahwa setiap kebijakan yang diimplementasikan dapat efektif jika terjadi interaksi timbal balik antara para pelaksana kebijakan dengan kelompok sasaran. Terdapat tiga indikator dalam menjalankan komunikasi yang efektif yaitu transmisi (penyaluran informasi), kejelasan (jelas dalam memberi dan menerima informasi), dan konsistensi (keajekan informasi dan ketegasan informasi). Faktor kedua adalah sumber daya, yaitu menunjukkan setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, walaupun kebijakan sudah dikomunikasikan dengan jelas dan tegas, tetapi jika implementor kekurangan sumber daya dalam menjalankannya maka implementasi tidak dapat berjalan dengan efektif. Adapun sumber daya dimaksud adalah sumber daya manusia (staff) yang merupakan kompetensi dari implementor, sumber daya keuangan, sumber daya peralatan (gedung, peralatan, tanah, dan suku cadang lain) dan sumber daya informasi dan wewenang.

Faktor ketiga disposisi (sikap) yang merupakan kemauan, keinginan dan kecenderungan yang menunjukkan karakteristik yang menempel erat pada implementor/pelaksana kebijakan. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh para pembuat kebijakan. Dan faktor keempat adalah struktur birokrasi, menurut Edward III ada dua karakteristik utama dari birokrasi yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau SOP dan fragmentasi. Faktor tujuan dan sasaran komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi sebagaimana telah disebutkan akan memengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan implementasi kebijakan. Secara skematis model proses implementasi kebijakan publik dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Page 64: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 49

Sumber: Edward III, Implementing Public Policy, 1980: 148

Gambar 3.1 Model Implementasi Kebijakan menurut George C. Edward III

Ahli lain dalam studi implementasi kebijakan adalah Van Meter dan Van Horn (1975) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan dilihat sebagai sebuah proses yang mana dalam proses tersebut dipengaruhi oleh enam variabel yaitu pertama, ukuran dan tujuan kebijakan. Ukuran dan tujuan kebijakan harus dapat dilihat secara spesifik sehingga di akhir program dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan dari kebijakan atau program yang dijalankan. Kedua, Sumber daya, menunjuk kepada seberapa besar dukungan finansial dan sumber daya manusia untuk melaksanakan program atau kebijakan untuk menghasilkan implementasi kebijakan dengan kinerja baik dan dapat menjelaskan nilai yang efisien. Ketiga, komunikasi antarorganisasi pelaksana, yaitu komunikasi ini harus ditetapkan sebagai acuan bagi organisasi dalam menjalankan program. Dari berbagai program, implementor suatu program memerlukan koordinasi dan komunikasi dengan lembaga lain, sehingga diperlukan adanya kerja sama dan koordinasi antara lembaga yang ada bagi tercapainya keberhasilan suatu program. Keempat, karakteristik agen pelaksana yaitu seberapa besar daya dukung organisasi mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatu program. Kelima, lingkungan sosial, ekonomi dan politik. Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, dengan arti sejauh mana lingkungan kebijakan memengaruhi implementasi

Page 65: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi50

kebijakan itu sendiri. Keenam, sikap para pelaksana kebijakan, yaitu mencakup tiga hal yang penting, yaitu respons implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, kognisi yaitu pemahaman terhadap kebijakan, intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Seberapa besar demokratis, antusias dan responsif terhadap kelompok sasaran dan lingkungan menunjukkan sikap dari pelaksana kebijakan (Rusli, 2013: 106). Berikut ini dapat dilihat model implementasi yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn.

Sumber: Van Meter dan Van Horn (1975: 463)

Gambar 3.2 Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn

Jika merujuk pada teori yang diajukan oleh Gerston, maka dapat dilihat Pada gambar model di atas, pada variabel ketiga, komunikasi antarorganisasi pelaksana dapat dimasukkan dalam variabel “translation ability” dalam model Gerston. Ini dikarenakan dari penjelasan yang telah ada menunjukkan bahwa diperlukan adanya koordinasi dan komunikasi yang jelas sehingga tidak menimbulkan multiinterpretasi maupun konflik. Sedangkan pada variabel kedua, yaitu sumber daya, mirip dengan variabel “sumber daya” pada model Gerston, yang terdiri dari Sumber daya Manusia dan Non-Sumber Daya Manusia. Untuk variabel keempat yaitu karakteristik agen pelaksana serta variabel keenam, yaitu disposisi implementor, dapat dimasukkan pada variabel “limited number of player” dalam model Gerston. Alasannya adalah pada variabel keempat mengulas tentang ‘aturan-aturan’ dan ‘bentuk-bentuk keterhubungan’ yang terjadi antara implementor. Sehingga dapat menjadi acuan bagi perilaku atau sikap yang terdapat pada implementor dalam menyikapi

Page 66: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 51

dan memahami nilai-nilai yang dibawa oleh kebijakan. Sedangkan pada variabel keenam memberikan penjelasan terhadap keberagaman implementor kebijakan dalam menjalankan kebijakan yang ada.

Dengan demikian, dari keenam variabel yang telah dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn tersebut, yang berbeda barangkali adalah pada variabel satu, yaitu ukuran dan tujuan kebijakan serta variabel kelima yaitu kondisi ekonomi, sosial dan politik, yang tidak terdapat dalam model Gerston. Pada variabel pertama terlihat bahwa Van Meter dan Van Horn memberikan penjelasan bahwa dalam implementasi kebijakan tersebut perlu adanya standar dan sasaran yang jelas dalam kebijakan publik sedangkan pada variabel kelima terlihat bahwa model Van Meter dan Van Horn mempertimbangkan faktor eksternal dalam implementasi kebijakan. Jika dilihat dari teori sistem kebijakan yang dikemukakan oleh Thomas. R. Dye (1995:298) ada terdapat tiga elemen dalam sistem kebijakan, dengan demikian faktor kondisi ekonomi, sosial dan politik dapat dimasukkan ke dalam elemen lingkungan kebijakan/policy environment.

Dengan demikian, muncul suatu pertanyaan mengapa Gerston tidak memasukkan salah satu elemen lingkungan kebijakan ini ke dalam teorinya? Penulis berpendapat, karena Gerston dalam teorinya lebih memberikan fokus perhatian kepada aktor-aktor kebijakan yang ada dalam mengimplementasikan kebijakan itu sendiri (implementor kebijakan), dengan arti kata melihat implementasi kebijakan dari konten internal organisasi, dengan demikian Gerston tidak memfokuskan pembahasan yang terdapat di luar implementor kebijakan. Padahal sebenarnya dengan teori yang dikemukakan tersebut terdapat kelemahan Gerston pada tidak adanya faktor lingkungan luar yang memengaruhi, padahal jika meninjau apa yang dikemukakan oleh Gerston tentang kebijakan publik yang menyatakan bahwa kebijakan merupakan upaya penyelesaian masalah publik untuk diputuskan oleh pejabat pemerintah, maka faktor lingkungan juga memiliki pengaruh yang ada terhadap proses pelaksana kebijakan. Namun, karena penelitian dalam disertasi ini (yang membahas implementasi kebijakan penanggulangan bencana gempa bumi berbasis mitigasi bencana) hanya melihat pada pelaksana kebijakan maka elemen lingkungan kebijakan tidak menjadi perhatian, sehingga model Gerston relevan dijadikan acuan dalam penelitian ini.

Page 67: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi52

Akan tetapi, dalam model implementasi yang dijelaskan oleh Van Meter dan Van Horn terdapat satu hal yang terlihat berbeda dari model-model implementasi yang lainnya yaitu menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan yang ada akan menuju ke arah “kinerja”. Pada umumnya para ahli yang menjelaskan model proses kebijakan seperti Anderson, Patton dan Savicky, Easton, dan Dunn tidak memasukkan “kinerja kebijakan” dalam model proses kebijakan. Hal ini dapat dilihat seperti yang dikemukakan oleh Nugroho (2017: 542):

...Uniknya para akademisi tersebut tidak memasukkan “kinerja kebijakan”, melainkan langsung pada evaluasi kebijakan. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa para akademisi tersebut menilai bahwa “kinerja kebijakan” adalah proses yang “pasti terjadi” (it goes without saying) dalam kehidupan publik, bahkan tanpa harus disebutkan.

Dengan demikian, Soffian Efendi (dalam Nugroho, 2017:542) melihat bahwa implementasi kebijakan merupakan proses yang perlu dinilai kinerjanya setelah dilakukan evaluasi. Sedangkan menurut Grindle dan Thomas (1995) keberhasilan pelaksana suatu kebijakan publik dipengaruhi oleh faktor politik, finansial, manajerial dan kemampuan teknis pelaksana. Sejalan dengan pendapat Grindle dan Thomas tersebut, Weisert dan Goggin (Weissert & Goggin, 2002) juga sependapat bahwa dukungan dan komitmen politik dari para stakeholder untuk melaksanakan kebijakan yang sudah diputuskan merupakan modal dasar bagi keberhasilan suatu kebijakan. Sementara, faktor kecukupan finansial, sistem manajerial yang efektif dan efisien serta kemampuan teknis pelaksana merupakan syarat utama bagi keterlaksanaan suatu kebijakan.

Di lain hal Grindle (Grindle, M.S., 1980) mengutarakan bahwa:

“Pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat pada action program dan individual projects dan yang kedua apakah tujuan program tersebut telah tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan”.

Model Grindle ini memperkenalkan model implementasi kebijakan sebagai suatu proses politik dan administrasi. Model tersebut memberikan gambaran bahwa proses pengambilan keputusan yang

Page 68: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 53

dilakukan oleh berbagai aktor (multy actors), dengan outputnya akhirnya ditentukan oleh baik materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif. Pada proses politik dapat dilihat melalui proses mekanisme pengambilan keputusan yang melibatkan beragam Aktor kebijakan, sedangkan untuk proses administrasi dapat dilihat melalui proses umum mengenai tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.

Pada model ini Grindle menjelaskan bahwa implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks kebijakannya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditansformasikan, barulah implementasi dilaksanakan. Sedangkan keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut (Nugroho, 2017: 745). Lebih lanjut Nugroho menjelaskan bahwa keunikan model ini terletak pada pemahamannya yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima implementasi dan arena konflik yang mungkin terjadi antara para aktor implementasi, serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan. Untuk lebih jelasnya mengenai model implementasi kebijakan menurut Grindle dapat dilihat pada gambar 3.3 berikut ini.

Sumber: Grindle (1980)

Gambar 3.3 Model Implementasi Kebijakan menurut Merilee S. Grindle

Page 69: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi54

Dengan model Grindle ini, maka dapat dicermati bahwa apa yang disampaikan Grindle ini memiliki kemiripan faktor yang ada dengan yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn. Adapun faktor yang sama adalah sama-sama memasukkan elemen lingkungan kebijakan sebagai salah satu faktor yang memengaruhi keberhasilan dan kegagalan implementasi kebijakan. Selain itu, Van Meter dan Van Horn juga mengemukakan faktor kondisi ekonomi, sosial dan politik sebagai salah satu faktor yang memengaruhi implementasi kebijakan, sementara itu Grindle memasukkan faktor yang besar dalam implementasi kebijakan yaitu konteks kebijakan atau lingkungan kebijakan.

Kelebihan daripada model Grindle ini adalah yaitu pada variabel lingkungan kebijakan (context of policy) yang mana model ini lebih menitikberatkan pada proses politik dari para pelaku kebijakan itu sendiri. Faktor pertama dari variabel lingkungan kebijakan yaitu kekuasaan, kepentingan-kepentingan dan strategi dari aktor terlibat menjelaskan bahwa isi kebijakan sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik dari para pelaku kebijakan. Di mana aktor-aktor penentu kebijakan akan berusaha dengan sekuat tenaga mereka menempatkan kepentingan-kepentingan mereka pada kebijakan-kebijakan yang melibatkan interest mereka, dengan demikian kepentingan-kepentingan mereka dapat terakomodasi di dalam kebijakan yang ada. Sedangkan faktor kedua dari model Grindle yaitu karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa (karakteristik institusi dan rezim) dan faktor ketiga yaitu kerelaan/kesediaan dan daya tanggap. Pada unsur kedua yaitu karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa dapat dijelaskan bahwa “implementasi suatu program tentu akan mendatangkan konflik pada kelompok-kelompok yang kepentingannya dipengaruhi”. Jika melihat dari ketiga faktor yang dikemukakan tersebut maka terlihat tidak ada satu faktor pun yang memiliki kesamaan dengan model yang dikemukakan oleh Gerston.

Adapun perbedaannya dengan model Gerston adalah Model Grindle lebih memfokuskan pada unsur disposisi penguasa/rezim/pembuat kebijakan, sementara itu Gerston lebih menekankan pada peranan masing-masing aktor dalam implementasi kebijakan publik. Karena jika pada Gerston dikenal faktor keterlibatan masing-masing aktor (limited number of player) dijelaskan bahwa bagaimana aktor-aktor yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan tidak sampai kepada keterlibatan aktor dalam penentuan kebijakan.

Page 70: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 55

Untuk variabel konten/isi kebijakan, model Grindle memiliki kesamaan pandangan dengan model Gerston maupun model yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn. Untuk unsur yang keenam yaitu sumber daya disebutkan oleh Rusli (2013:96) bahwa implementor harus mempunyai kapabilitas, kompetensi, komitmen dan konsistensi untuk melaksanakan sebuah kebijakan, sesuai dengan arahan dari penentu kebijakan (policy maker). Pendapat tersebut sejalan dengan faktor sumber daya yang dikemukakan oleh Gerston dan Van Meter dan Van Horn. Sedangkan Grindle membedakan sumber daya dari model yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn, akan tetapi mempunyai kesamaan dengan model Gerston tentang sumber daya. Dengan demikian, dari model yang dikemukan Grindle terutama pada faktor yang keenam dapat disimpulkan sama dengan faktor sumber daya sebagaimana dikemukakan Gerston dan Van Meter dan Van Horn, akan tetapi Grindle membedakan sumber daya sebagai sumber daya manusia dan non-sumber daya manusia. Akan tetapi satu hal yang membedakan model Gerston dengan model Grindle dan Van Meter dan Van Horn adalah, adanya akuntabilitas dari pelaksana kebijakan yang menjadi acuan bagi pertanggungjawaban pelaksana kebijakan.

Mazmanian dan Sabatier (Mazmanian, Daniel A.; Sabatier, Paul A., 1983) berpendapat bahwa implementasi kebijakan adalah merupakan upaya melaksanakan keputusan kebijakan dengan mengemukakan model kerangka analisis implementasi (A Framework for implementation Analysis) dengan mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel bebas. Rincian terhadap ketiga variabel yang dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier dapat dijelaskan sebagai berikut ini (Rusli, 2013: 109-109).

1. Risalah tentang tingkat kesulitan permasalahan yang akan dikendalikan dengan indikator sebagai berikut.

a. Ketersediaan teori teknis dan teknologi yang valid.

b. Keragaman perilaku kelompok sasaran.

b. Persentase kelompok sasaran dalam totalitas penduduk.

d. Ruang lingkup/derajat perubahan perilaku yang diinginkan.

2. Kemampuan keputusan kebijakan dalam menstrukturkan proses implementasi, dengan indikator sebagai berikut.

Page 71: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi56

a. Kejelasan dan konsistensi tujuan.

b. Digunakannya teori kasual yang handal.

c. Ketepatan alokasi sumber dana.

d. Keterpaduan hierarki dalam dan di antara institusi pelaksana.

e. Aturan-aturan pembuatan keputusan dari institusi pelaksana.

f. Komitmen dan rekrutmen para pejabat pelaksana.

g. Akses formal pihak luar.

3. Variabel di luar kebijakan

a. Kondisi sosial ekonomi dan teknologi.

b. Dukungan publik.

c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok-kelompok masyarakat.

d. Komitmen dan kepemimpinan para pejabat pelaksana.

Sedangkan tahap-tahap dalam proses implementasi kebijakan publik sebagai variabel tergantung yang dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas terdiri dari

a. Output kebijakan institusi-institusi pelaksana.

b. Kesediaan kelompok sasaran untuk memenuhi output kebijakan.

c. Dampak nyata output kebijakan.

d. Persepsi terhadap dampak nyata output kebijakan.

e. Perbaikan mendasar terhadap kebijakan.

Goggin, dkk; (1990) juga memberikan pendapat bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dikembangkan dengan metode ilmiah yang mereka sebut dengan metode komunikasi. Metode ini merupakan metode implementasi kebijakan yang mengemukakan pendekatan metode penelitian dengan adanya variabel independen, intervening, dan meletakkan komunikasi sebagai penggerak dalam implementasi kebijakan. Menurut mereka implementasi kebijakan akan berhasil jika ada komunikasi yang baik antaraktor pelaksana kebijakan yang dalam hal ini yang menurut Goggin merupakan sebagai fungsi dari hubungan

Page 72: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 57

pemerintah pusat dan daerah. Proses implementasi kebijakan sebagai upaya transfer informasi atau pesan dari institusi yang lebih tinggi ke institusi yang lebih rendah diukur keberhasilan kinerjanya berdasarkan variabel: (1) dorongan dan paksaan pada tingkat federal, (2) kapasitas pusat/negara, dan (3) dorongan dan paksaan pada tingkat pusat dan daerah.

Variabel dorongan dan paksaan pada tingkat pusat ditentukan oleh legitimasi dan kredibilitas, yaitu semakin sahih kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat di mata daerah maka semakin besar kredibilitasnya, begitu pula sebaliknya. Untuk mengukur kekuatan isi dan pesan kebijakan dapat dilihat melalui: (i) besarnya dana yang dialokasikan, dengan asumsi bahwa semakin besar dana yang dialokasikan maka semakin serius kebijakan tersebut dilaksanakan dan (ii) bentuk kebijakan yang memuat antara lain, kejelasan kebijakan, konsistensi pelaksanaan, frekuensi pelaksanaan dan diterimanya pesan secara benar. Sementara itu, untuk mengetahui variabel kapasitas pusat atau kapasitas organisasi dapat dilihat melalui seberapa jauh organisasi pelaksana kebijakan mampu memanfaatkan wewenang yang dimiliki, bagaimana hubungannya dengan struktur birokrasi yang ada dan bagaimana mengoordinasikan berbagai sumber daya yang tersedia dalam organisasi dan dalam masyarakat.

Sumber: Goggin et.al (1990:32)

Gambar 3.4 Model Implementasi Kebijakan menurut Goggin, dkk.

Page 73: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi58

Di lain pihak Weimer dan Vining (Weimer, DL.; Vining, AR., 1992) berpendapat bahwa keberhasilan suatu kebijakan amat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu

“Faktor-faktor apa yang kemungkinan dapat memengaruhi keberhasilan implementasi? Sebuah pertanyaan besar mencoba menjawab hal tersebut dengan mempertimbangkan tiga faktor utama yang menjadi fokus dari banyak literatur yang ada yaitu: logika dari kebijakan, kerja sama yang alamiah, dan ketersediaan sumber daya yang terampil dalam melaksanakan implementasi”.

Pernyataan tersebut secara tegas menunjukkan bahwa faktor policy content yang logis dan rasional, kerja sama dan dukungan stakeholder dalam melaksanakan kebijakan, dan sumber daya manusia yang terampil dan punya komitmen dalam melaksanakan kebijakan merupakan faktor yang menentukan keberhasilan suatu kebijakan publik.

Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan dilihat dari pendekatan atas bawah di mana dalam melakukan implementasi kebijakan terdapat beberapa syarat yaitu

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius.

2. Apakah untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber daya yang cukup memadai.

3. Apakah perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada dan memadai.

4. Apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal.

5. Seberapa banyak hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.

6. Apakah hubungan saling ketergantungan kecil.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

8. Bahwa tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

Page 74: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 59

10. Bahwa pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Pendapat yang lain dikemukakan oleh Smith (1985) menyatakan ada empat variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan yaitu:

1. Idealized policy yaitu suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, memengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya.

2. Target group adalah bagian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena mereka ini banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakunya dengan kebijakan yang dirumuskan.

3. Implementing organization, yaitu badan pelaksana atau unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan.

4. Environmental factor, yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang memengaruhi implementasi (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik).

Dwiyanto (Dwiyanto, 2002) yang lebih menitikberatkan pada faktor internal, menyatakan bahwa adanya beberapa faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan antara lain budaya organisasi, etika pelayanan, kewenangan diskresi, sistem insentif. Dari uraian di atas menyimpulkan bahwa keberhasilan suatu kebijakan publik amat tergantung pada sumber daya organisasi, kemampuan manajemen pelaksana, dan dukungan lingkungan kebijakan.

Sementara itu, Michael Hill dan Peter Hupe (Hill & Hupe, 2002) mengembangkan diskusi meta teori yang komprehensif tentang teori-teori implementasi. Pada dasarnya, tidak terdapat proses kompetisi ataupun kontestasi di antara model implementasi kebijakan karena isu yang relevan adalah kesesuaian implementasi dengan kebijakannya itu sendiri. Sehingga perlu dicatat menurut Nugroho (2017) bahwa setelah mengetahui model-model kebijakan, masalah penting adalah bahwa tidak ada model terbaik dalam setiap implementasi kebijakan. Setiap jenis kebijakan publik memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Ada kebijakan publik yang perlu diimplementasikan secara

Page 75: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi60

top down ada juga kebijakan publik yang perlu diimplementasikan secara bottom-up.

Jika dikaitkan dengan bermacam-macam kasus dan konteks kebijakan, maka diantara semua model tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan jika digunakan sebagai acuan untuk melihat bagaimana kebijakan publik dilaksanakan dalam mencapai tujuannya. Tidak ada model yang cocok dan akurat untuk digunakan sebagai alat bantu melihat gambaran bagaimana sebuah kebijakan itu diimplementasikan (Rusli, 2013: 94–95). Sejalan dengan pendapat Budiman Rusli tersebut Nugroho (2017), menyatakan bahwa memang tidak ada pilihan model yang terbaik yang bisa digunakan dalam implementasi kebijakan, namun yang dimiliki adalah pilihan-pilihan model yang harus dipilih secara bijaksana sesuai dengan kebutuhan kebijakan itu sendiri. Satu hal yang terpenting adalah yakni implementasi kebijakan haruslah menampilkan keefektifan dari kebijakan itu sendiri. Sebagaimana Rusli (2013: 95) mengatakan bahwa keberadaan model bukan digunakan untuk melihat bagaimana tujuan itu diraih, melainkan sebagaimana sasaran atau cara untuk menghantarkan pada tercapainya tujuan.

B. Pembabakan Teori Implementasi Kebijakan Publik

Untuk mengkaji lebih lanjut mengenai implementasi kebijakan publik maka perlu dilihat terlebih dahulu pembabakan atau pengklasifikasian dari teori implementasi kebijakan tersebut dari berbagai pendapat para ahli. Apabila merujuk pendapatnya Goggin, dkk., (1990), Peter dan Linda (2002) maka dapat diklasifikasikan pembabakan generasi dari implementasi kebijakan tersebut menjadi Generasi I, Generasi II dan Generasi III. Pada Generasi I (periode 1970-1975) adalah para ahli yang menggunakan metodologi studi kasus (dengan kasus yang terbatas yaitu satu atau dua kasus). Tujuan studi ini biasanya diarahkan untuk mengetahui mengapa implementasi tersebut gagal dilaksanakan. Dalam generasi pertama ini muncullah konsep yang disebut missing link (DeLeon, Peter; DeLeon, Linda, 2002).

Konsep ini dipakai untuk menjelaskan kegagalan implementasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga niat baik yang ditunjukkan pemerintah tidak akan membuahkan hasil yang positif jika pemerintah sendiri tidak mampu merancang dan mengimplementasikan

Page 76: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 61

kebijakan dengan baik. Dengan demikian, kasus-kasus yang ada itu dalam hal ini dijelaskan dengan metode deskriptif, yaitu menggambarkan kebijakan yang diteliti secara mendetail, mendalam, dan banyak ilustrasi sehingga hasil penelitian sangat menarik untuk dibaca. Namun sayangnya dari apa yang dihasilkan belum mampu melahirkan teori umum tentang implementasi yaitu penjelasan hubungan sebab akibat tentang kegagalan atau keberhasilan implementasi yang dapat diterapkan di mana saja.

Dalam hal ini (Schneide, 1982) sebagai salah satu representasi para ahli tersebut menyebutkan lima faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi yaitu kelangsungan hidup (viability), integritas teori (theoretical integrity), cakupan (scope), kapasitas (capacity) konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences). Sementara itu generasi II (periode 1975–1980) adalah para ahli yang sudah berangkat dari model dan berusaha untuk mengkaji model tersebut di lapangan. Pada generasi II ini memahami dan menjelaskan permasalahan implementasi menjadi dua kelompok yaitu pendekatan Top down dan Bottom-up.

Pada pendekatan Top-down, di mana pendekatan ini menggunakan logika berpikir dari atas kemudian melakukan pemetaan ke bawah untuk melihat keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan. Parsons dalam (Parsons, 2005); menunjukkan bahwa studi ini didasarkan pada “model kotak hitam” proses kebijakan yang terinspirasi oleh analisis sistem yang mengasumsikan hubungan sebab akibat langsung antara kebijakan dan hasil yang diamati dan cenderung mengabaikan dampak pelaksana pada penyampaian kebijakan. Para ilmuwan sosial yang mengembangkan pendekatan ini adalah (Mazmanian, Daniel A.; Sabatier, Paul A., 1983); (Nakamura & Swallood, 1980); (Edward III, 1980); dan oleh (Grindle, M.S., 1980). Mereka diklasifikasikan sebagai pengguna pendekatan top-down karena cara kerja mereka sesuai dengan langkah-langkah yang dimulai dengan memahami kebijakan dan melihat efektivitas pencapaian tujuan kebijakan tersebut di lapangan.

Untuk pendekatan Bottom-up dipelopori oleh Elmore (1978), Lipsky (1971), Berman (1978) dan Hjern, Hanf serta Porter (1978) dalam (Purwanto, Erwan Agus; Sulistyastuti, Dyah Ratih, 2012); (Nugroho, 2008). Para pengikut pendekatan ini menekankan pentingnya memerhatikan dua aspek dalam implementasi suatu kebijakan yaitu

Page 77: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi62

birokrat pada level bawah (street level bureaucrat) dan kelompok sasaran kebijakan (target group). Street level bureaucrat menduduki posisi kunci yang akan sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan dan implementasi juga akan berhasil apabila kelompok sasaran dilibatkan sejak awal dalam proses perencanaan kebijakan ataupun implementasinya.

Agar mendapatkan gambaran yang jelas perbedaan pendekatan top down dan bottom up, Sabatier (1984) dalam (Purwanto, Erwan Agus; Sulistyastuti, Dyah Ratih, 2012); (Fischer, Frank; Miller, Gerald J.; Sidney, Mara S., 2007) membuat suatu ringkasan elemen-elemen yang berbeda dari dua pendekatan tersebut sebagai berikut.

Tabel 3.1 Perbandingan Pendekatan Top-down dan Bottom –up

Top-down Bottom-up

Fokus awal Kebijakan pemerintah Jaringan implementasi pada level paling bawah

Identifikasi aktor utama yang terlibat dalam proses

Dari pusat (atas) dilanjutkan ke bawah sebagai konsekuensi implementasi

D a r i b a w a h , y a i t u p a r a implementer pada level lokal ke atas

Kriteria evaluasi Berfokus pada mencapaian tujuan formal yang dinyatakan dalam dokumen kebijakan

Kurang begitu jelas, apa saja yang dianggap peneliti penting dan punya relevansi dengan kebijakan

Fokus secara keseluruhan B a g a i m a n a m e k a n s i s m e implementasi bekerja untuk mencapai tujuan kebijakan

Interaksi strategis antar- berbagai aktor yang ter l ibat dalam implementasi

Tujuan analisis P r e d i k s i / r e k o m e n d a s i kebijakan

Deskripsi/penjelasan

Model proses kebijakan Tahap Gabungan

Sifat proses implementasi Pedoman hierarkis Pemecahan masalah lokal

Model demokrasi yang mendasari

Elitis partisipatoris

Sumber: Sabatier (1984) dalam (Purwanto, Erwan Agus; Sulistyastuti, Dyah Ratih, 2012); (Fischer, Frank; Miller, Gerald J.; Sidney, Mara S., 2007).

Page 78: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 63

Pada generasi III adalah para ahli yang berusaha lebih scientific dalam melakukan studi implementasi dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif yang mensyaratkan kecukupan jumlah kasus dan keseimbangan jumlah variabel dengan kasus yang di teliti. Ahli yang mengembangkan ini adalah Malcolm L. Goggin (Malcolm L. Goggin; Ann O’M Bowman; James P. Lester; Laurence J. O’Toole,Jr, 1990) yang mana dalam bukunya tersebut mengatakan bahwa agar penelitian implementasi makin diakui kualitas kadar keilmiahannya maka peneliti perlu (1) menjelaskan konsep-konsep yang digunakan, terutama konsep implementasi itu sendiri, (2) memperbanyak kasus yang akan distudi sehingga memberi ruang yang lebih baik untuk menjelaskan hubungan kausal guna menjelaskan fenomena implementasi, (3) membangun model dan indikator yang akan dipakai untuk menguji hipotesis, (4) berani melakukan perbaikan terhadap persoalan penggunaan konsep dan pengukuran yang dihadapi oleh para peneliti generasi sebelumnya.

Fischer (Fischer, Frank; Miller, Gerald J.; Sidney, Mara S., 2007) menyebutkan ada tiga generasi penelitian implementasi menjadi teori implementasi yaitu

1. Model atas bawah menekankan terutama pada kemampuan pembuat keputusan untuk menghasilkan tujuan kebijakan yang tegas dan pada pengendalian tahap implementasi.

2. Kritik bawah atas melihat birokrasi lokal sebagai aktor utama dalam penyampaian kebijakan dan memahami implementasi sebagai proses negosiasi dalam jaringan pelaksana.

3. Teori hibrida mencoba mengatasi kesenjangan antara dua pendekatan tersebut dengan menggabungkan unsur-unsur model atas bawah, bawah atas dan model teroretis lainnya.

Page 79: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi64

Sumber: (Fischer, Frank; Miller, Gerald J.; Sidney, Mara S., 2007)

Gambar 3.5 Model Implementasi Kebijakan

Dari berbagai model dalam pembabakan teori implementasi kebijakan yang telah dikemukan tersebut di atas, terlihat posisi teorinya Gerston (2008) dalam penelitian ini. Gerston berada pada generasi ke dua yang merupakan teori kebijakan yang bersifat top down di mana teori Gerston menjelaskan peran serta yang cukup dominan dari pihak pemerintah sebagai pembuat kebijakan.

Upaya untuk memahami berbagai fenomena implementasi tersebut pada akhirnya dimaksudkan untuk dapat memetakan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi munculnya berbagai fenomena implementasi

Page 80: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 65

tadi. Dari serangkaian kegiatan penelitian yang dilakukan oleh para ahli maka dapat dipetakan apa sebenarnya faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan ataupun kegagalan implementasi suatu kebijakan. Untuk itu dari berbagai pendapat yang dikemukakan mengenai implementasi kebijakan, maka Jr. Laurence O’Toole (1986) dalam tulisan memberikan perkembangan implementasi kebijakan sebagai berikut.

Tabel 3.2 Perkembangan Teori Implementasi Kebijakan

Penulis dan Tahun Variabel-variabel yang Bekerja dalam Proses Implementasi

Gross et. al. (1971) Implementers’ clarity about innovation, needed skills andknowledge, availability of materials, compatability of organizational arrangements with innovation, degree of staff motivation.

Pressman andWildavsky (1973)

Multiplicity of participants, perspectives, decision points,intensity of preferences, resources.

Smith (1973) Various tensions among idealized policy, implementing organization, target group, environmental factors.

Van Meter andVan Horn (1975),Van Horn (1978, 1979a, 1979b),Van Horn andVan Meter (1976)

Policy standards, resources, enforcement, communications, characteristics of implementing agencies, political conditions, economic and social conditions, dispositions of implementers.

Elmore (1976, 1977, 1978,i979-8o, 1985)

Structure of power relationships and incentives, discretion, resources.

Weatherleyand Lipsky (1977)

Resources, coping behaviors of street-level bureaucrats.

Gunn (1978)Hogwood and Gunn (1984)

Nature of policy, implementation structure, outside interference, control over implementers, resources, valid theory.

Majone and Wildavsky (1978) Objectives, resources, theory underlying policy, constraints emerging in the implementation process.

Thomas (1979) Local propensity to accept a program, blend of policy incentives with conditions, how the issue develops.

Montjoy and O’Toole (1979);O’Toole and Montjoy (1984);O’Toole (1983)

Policy specificity, resources, agency goals, routines, world view, structure of interdependence, technical requirements of the task, facilitator, perceived risk for implementers.

Nakamura andSmallwood (1980)

Specificity of policy, technical limitations, actors, arenas, organizational structures, bureaucratic norms, resources, motivations, communication networks, compliance mechanisms.

Larson (1980) Policy goals, implementation procedures, complexity, changes in economic environment.

Berman (1980) Important variables depend on context (organizational,political, social and legal). Clarity of policy goals, number of actors participating, implementers’ degree of resistance, ineffectualness, or inefficiency; degree of control exerted from top.

Page 81: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi66

Edwards (1980) Communication (transmission, clarity, consistency), resources(staff, information, authority, facilities), disposition or attitudes of implementers, bureaucratic structure (standard procedures, fragmentation), complexity.

Grindle (1980, 1981) Content of policy (interests affected, types of benefits, extent of change envisioned, site of decision making, program implementors, resources) and context of implementation (power, interests, strategies of actors involved, institution and regimecharacteristics, compliance and responsiveness).

Scheirer (1981) Decision and control processes, resources, relations withenvironment, supervisory expectations, routines, technical requirements, communication flow, work group norms, behavioral skills, incentives, cognitive supports.

Ackermann andSteinmann (1982)

Resources, interorganizational structure.

Ripley and Franklin (1982) Type of policy.

Hambleton (1983) Policy message; multiplicity of agents, perspectives, andideologies; resources; politics of planning.

Browne andWildavsky (1984)

Formal policy (clarity of objectives and priorities, validity of theory of causality, sufficiency of financial resources, sufficiency of power); learning/adaptation

Ross (1984) Implementation strategy, tractability of policy problem, content of policy, structure of broader sociopolitical and policy systems, number of actors, extent of power diffusion, personal and institutional dispositions of actors, clarity, adequacy of resources, support of leaders, institutional routines.

Alexander (1985) Stimulus, policy, program, implementation; contextual, organizational, environmental, perceptual variables.

Larry N. Gerston (1992, 2008) Translation ability, resources, limited numbers of player, accountability.

Sumber: Laurence J O’Toole, (1986), diolah dari sumber lain

Page 82: Carano Pustaka Universitas Andalas

Penanggulangan bencana yang ada memiliki beberapa tahap atau rangkaian kegiatan, salah satunya adalah kegiatan mitigasi bencana. Tahap ini merupakan tahap yang penting dalam rangka menghadapi kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika bencana melanda. Tahap mitigasi bencana ini merupakan tahapan awal dari siklus manajemen bencana. Di mana tahapan ini merupakan tahapan yang lebih bersifat preventif dan responsif. Pada bagian ini dijelaskan hal mitigasi bencana dan berbagai pendekatan dalam hal penanggulangan bencana yang ada.

A. Penanggulangan Bencana: Antara Mitigasi dan Pasca Bencana

Persoalan penanggulangan bencana menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan mengingat belakangan ini sering kali terjadi bencana alam yang melanda wilayah Indonesia, apakah itu bencana banjir, gunung meletus, tanah longsor ataupun bencana gempa bumi. Untuk itu, dalam Kerangka kerja pengurangan risiko bencana menurut Committe on Disaster Research In The Social Science (CDRSS) (2006), meliputi setidaknya 3 (tiga) proses penting. Pertama, Hazard Mitigation, yang mencakup di dalamnya mitigasi struktural (mencakup perencanaan desain, konstruksi, hingga

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA

BAB 4

67

Page 83: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi68

perawatan dan renovasi struktur dan infrastruktur fisik yang rusak) dan mitigasi nonstruktural yang berorientasi kepada pengaturan-pengaturan mengenai tata guna lahan dan menjaga tingkat kepadatan penduduk pada suatu lokasi. Kedua, Disaster Preparedness, yakni membangun kesiapan warga terhadap risiko bencana. Dalam kegiatan ini, beragam aksi dilakukan dalam penyiapan komunitas menghadapi bencana, seperti penyusunan rencana evakuasi darurat, pelatihan warga yang tinggal di lokasi rawan bencana, sosialisasi tentang risiko dan gejala-gejala bencana, penyiapan perangkat penyelamatan darurat yang mencakup material dan finansial. Ketiga, Emergency Response yang didalamnya termasuk aktivitas yang berhubungan dengan isu diseminasi prediksi bencana dan peringatan, evakuasi dan bentuk-bentuk perlindungan lainnya, mobilisasi dan organisasi darurat, relawan dan sumber daya material, pencarian dan penyelamatan (CDRSS, 2006: 19–20) dalam (Agus Indiyanto, 2002: 28).

Masyarakat memandang bencana sebagai suatu yang datangnya dari luar dan sesuatu yang tidak dapat diprediksi dan diduga, maka hendaknya perlu mempersiapkan diri dalam rangka mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi akibat bencana tersebut. Bencana diyakini sebagai bentuk peringatan, cobaan dan teguran kepada manusia sehingga manusia tidak bisa menghindari atau mempersiapkan diri dalam menghadapinya. Bencana yang terjadi itu ada kehendak tuhan dan tidak bisa dihindari, karena kalau tuhan sudah berkehendak maka apa pun bisa terjadi (Lindell, et. al., 2006).

Dengan pandangan seperti ini maka manusia merupakan korban dan perlu mendapat bantuan dari pihak luar sehingga dengan demikian fokus penanganan bencana pada masa ini terdapat pada pemenuhan bantuan dan kedaruratan. Dengan demikian, pada dasarnya tindakan yang dilakukan adalah berusaha untuk menyelamatkan korban yang masih bisa diselamatkan dan memberikan bantuan darurat berupa pangan, kesehatan dan memulihkan mental mereka sehingga dengan begitu penekanan pada masa ini terdapat kepada pokok persoalan kedaruratan atau pada saat bencana dan pasca bencana dan bukan pada tahap mitigasi penanggulangan bencana.

Paradigma yang berkembang adalah di mana untuk tahap pra bencana atau juga disebut mitigasi bencana kurang mendapat perhatian

Page 84: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 69

yang serius, karena melakukan sesuatu yang belum terjadi menjadi tidak menarik untuk dikerjakan, namun sebenarnya ini merupakan hal yang paling krusial, sehingga pada umumnya fokus dari penanggulangan bencana terdapat pada fase tanggap darurat dan pasca bencana, mengingat letak Indonesia yang secara geografis rentan dan rawan terhadap bencana, seharusnya masyarakat menjadi lebih mawas diri terhadap sistem peringatan dini dan pencegahan bencana yang harus dilakukan mengingat kemungkinan bencana yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu tanpa adanya kesiapan.

Meskipun bencana alam cenderung tidak dapat dihindari, namun dengan kesadaran dan kepedulian yang tinggi terhadap tindakan-tindakan pencegahan bencana, angka kerugian akibat bencana dapat diturunkan pada tingkat yang jauh lebih rendah. Sayangnya, fenomena yang terjadi menunjukkan bahwa kondisi budaya masyarakat Indonesia masih jauh dari harapan. Masyarakat dan pemerintah cenderung bersikap reaktif dan kuratif dalam menghadapi bencana. Penanggulangan bencana lebih banyak dilakukan ketika bencana sudah terjadi. Begitu pula kesadaran masyarakat tentang kebencanaan baru muncul sudah ketika mengalami bencana.

Walaupun bencana sudah terjadi berulang-ulang di beberapa wilayah di Indonesia seperti gempa bumi Aceh (2004), Yogyakarta (2006) dan Padang (2009), namun sepertinya kesiapan terhadap bencana masih belum juga muncul di masyarakat maupun pemerintah, baik pusat maupun daerah. Ini menandakan bahwa pemerintah dan masyarakat belum memerhatikan persoalan bencana dari tahap pra bencana (mitigasi) sehingga kewaspadaan menjadi berkurang, padahal yang diketahui bahwa Indonesia berada pada jalur gempa besar dunia yang sewaktu waktu gempa dapat terjadi. Pemahaman pemerintah dan masyarakat selama ini masih berfokus kepada saat bencana dan pasca bencana sehingga sumber daya, dana dan program kurang terfokus kepada tahap pra bencana (mitigasi). Program yang selama ini dijalankan misalnya masih berfokus kepada program kedaruratan itu misalnya dengan memberikan bantuan medis bagi mereka yang tertimpa bencana, bantuan sosial kemanusiaan bagi masyarakat yang kehilangan tempat tinggal dan sanak saudara, bantuan pemulihan mental bagi anak-anak korban bencana dan bantuan lainnya.

Page 85: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi70

Namun, bertolak dari itu semua maka pandangan yang konvensional terhadap paradigma penanggulangan bencana yang lebih bersifat reaktif ke arah yang lebih bersifat progresif, karena bencana itu sendiri tidak pernah berhenti, sehingga penanggulangan bencana perlu mendapat perhatian dan diintegrasikan dalam program pembangunan, hal ini juga berarti memberikan porsi yang seimbang dalam hal kebijakan penanggulangan bencana di masa akan datang, di mana penanggulangan bencana tidak hanya fokus kepada masa kedaruratan tetapi juga kepada saat mitigasi bencana (pra bencana).

Pada saat ini, fokus penanggulangan bencana lebih diarahkan kepada kesiapan masyarakat dalam menghadapi bahaya dan meningkatkan kekuatan bangunan dalam memperkecil serta meminimalisir kemungkinan korban yang akan ditimbulkan akibat bencana yang terjadi. Selain itu perubahan pada fokus penanggulangan bencana juga dipertegas dengan adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di mana penanggulangan bencana tidak hanya berada pada tanggap darurat saja tetapi juga pada tindakan prabencana.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah memicu perubahan pandangan tentang penanggulangan bencana di Indonesia. Pertama undang-undang manajemen bencana telah menggeser paradigma dari tanggap darurat pada mitigasi bencana. Manajemen bencana seharusnya tidak lagi dianggap sebagai serangkaian tindakan khusus dan terbatas dalam menanggapi peristiwa bencana. Sebaliknya, manajemen bencana harus mencakup manajemen risiko secara sistematis serta berbagai pemangku kepentingan secara aktif dapat mengendalikan, mencegah, mengidentifikasi, dan menghilangkan potensi bahaya. Kedua, adanya pemahaman yang lebih baik bahwa melindungi manusia dan hak asasi suatu bangsa adalah tanggung jawab pemerintah. Manajemen bencana harus menjadi fungsi pemerintah, yaitu untuk melindungi masyarakat dari bencana. Pemerintah pusat dan daerah harus membentuk sebuah lembaga untuk mendukung kegiatan pengurangan risiko bencana, meningkatkan partisipasi masyarakat dan meningkatkan mekanisme dana untuk mendukung kegiatan pengurangan risiko bencana. Ketiga, mengalihkan tanggung jawab pengelolaan bencana dari pemerintah kepada seluruh pemangku kepentingan. Undang-undang menekankan bahwa peran

Page 86: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 71

dan tanggung jawab dalam pengelolaan bencana terdapat pada semua tingkat pemerintah, masyarakat, serta lembaga lokal dan internasional. Manajemen bencana juga harus menjadi bagian dari usaha, pengetahuan dan domain publik, serta terintegrasi dengan peran pemerintah dalam perencanaan dan koordinasi (Asia Disaster Preparedness Centre, 2008 dalam Kusumasari, 2014a).

Dalam kaitannya dengan kerangka kerja mitigasi bencana, kerugian akibat bencana dapat diminimalkan jika bencana itu dapat diramalkan, diprediksi kapan dan risiko kerusakannya. Persoalan perangkat untuk meramalkan bencana tidak ada yang mampu meramal dengan pasti dan tepat kapan dan seberapa besar dampak yang ditimbulkan bencana tersebut. Kajian bencana sebagian besar berisi tentang dampak sosial, teknologi, politik, hingga ekonomi dan sebagian besar berisi pasca bencana (setelah bencana terjadi).

Ketika sebuah bencana alam memporak-porandakan suatu daerah, pertanyaan pertama yang muncul, selain tentang berapa jumlah korban dan kerusakannya, adalah penyebab dan penjelasan tentang bencana: apa yang menyebabkan kerusakan begitu besar? pertanyaan tentang “penyebab bencana”, biasanya merupakan bagian yang mendasar dari sebuah penjelasan teknis. Misalnya mengapa Kota Padang pada tahun-tahun belakangan ini sering mengalami gempa bumi, banjir dan lainnya? Penjelasan yang paling sering dipakai secara ilmiah adalah bahwa Kota Padang terletak tepat pada titik tabrakan tiga lempeng bumi yang aktif dan secara terus-menerus mengalami pergeseran secara teratur. Satu hal yang tidak banyak diperhatikan dalam studi mitigasi bencana adalah risiko bencana yang menekankan pada upaya menghitung potensi cakupan dan kerusakan yang disebabkan oleh bencana alam. Banyaknya korban jiwa maupun harta benda dalam peristiwa bencana alam selama ini terjadi, lebih sering disebabkan oleh kurangnya kesadaran dan pemahaman pemerintah maupun masyarakat terhadap potensi kerentanan bencana serta upaya mitigasinya (Rahmat, Agus, 2006).

Dengan demikian, kegiatan mitigasi bencana menjadi suatu hal yang sangat penting dalam rangka mengurangi risiko bencana seperti yang diutarakan oleh DH dari LabEarth, Puslit Geoteknologi-LIPI yang mengatakan, bahwa tahap mitigasi merupakan tahap yang penting dalam penanggulangan bencana, karena dengan mitigasi yang baik dan teratur

Page 87: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi72

maka diharapkan akan dapat mengurangi risiko buruk yang diakibatkan oleh bencana alam yang terjadi, misalnya korban harta benda, jiwa menjadi berkurang dan biaya yang dikeluarkan untuk recovery juga menjadi minim.

Pendapat ahli Geofisika dan kegempaan dari Universitas Andalas, BM mengatakan bahwa dari tiga tahapan penanggulangan bencana, tahap mitigasi bencana merupakan hal yang paling penting untuk dilakukan, karena kalau mitigasi bencana sudah dilakukan dengan sebaik-baiknya, dan jikapun terjadi gempa maka bangunan yang ada tidak banyak yang hancur, korban yang jatuh sedikit, dengan sedikitnya korban dan minimnya bangunan yang rusak, maka biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk rehabilitasi menjadi sedikit, untuk tanggap darurat juga sedikit, tetapi jika mitigasi bencana ini diabaikan atau dilakukan dengan asal-asalan maka ketika bencana itu datang terdapat korban yang besar, kerusakan bangunan yang parah dan kerugian menjadi lebih besar dan dana yang dikeluarkan untuk banyak, jika dibandingkan dengan adanya mitigasi bencana yang dikelola dengan baik.

Berkaitan dengan anggaran, jika mitigasi bencana yang ada dilakukan dengan baik, maka setiap US$ 1 belanja publik untuk mitigasi dan kesiapsiagaan bencana dapat menyelamatkan US$ 7 dari kerusakan akibat bencana (United State Geologial Survey (USGS), sedangkan menurut The Federal emergency Management Agency (FEMA), setiap US$ 1 belanja publik yang dibelanjakan untuk mitigasi dan kesiapsiagaan bencana dapat menyelamatkan dana sebesar US$ 2 untuk respons kedaruratan bencana.

Dengan demikian, tahap mitigasi bencana menjadi kegiatan yang memerlukan perhatian yang serius untuk dikerjakan dengan sebaik-baiknya, sehingga kemungkinan terburuk yang akan timbul akibat bencana dapat diminimalisir. Bencana itu tidak dapat dihindari dan tidak dapat pula ditebak kapan akan terjadinya, sehingga kesiapan diperlukan untuk menyongsong semua itu. Mitigasi bencana, menghadapi faktor ketidakpastian, di mana seperti menerapkan prinsip berasuransi, di mana beli saja asuransi untuk keamanan, mitigasi bencana seperti itu, di mana sifatnya terus-menerus, karena yang diketahui sifatnya bencana alam itu terjadi adalah mencari waktu yang lengah, sehingga jika lengah dan bencana itu terjadi, maka dapat dipastikan banyak korban yang akan berjatuhan dan kehilangan nyawa, harta dan benda.

Page 88: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 73

B. Pendekatan dalam Penanggulangan Bencana

Paradigma penanggulangan bencana dalam kapasitasnya tidak hanya melihat bencana itu sebagai keniscayaan yang sudah menjadi takdir untuk diterima, namun sebagai manusia tentu saja berusaha untuk bisa mengurangi dampak yang akan ditimbulkan oleh bencana. Bencana merupakan suatu hal yang sudah lumrah terjadi di negara Indonesia, yang memang kondisi geografis dan geologis berada pada daerah rawan bencana terutama bencana gempa dan tsunami. Untuk itu, ada beberapa pendekatan yang bisa dipakai dalam rangka melakukan pembenahan ataupun mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk yang akan terjadi akibat bencana alam. Adapun dua pendekatan yang dijelaskan yaitu pendekatan penanggulangan berbasis masyarakat/komunitas dan pendekatan penanggulangan bencana berbasis mitigasi. Kedua pendekatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas

Munculnya istilah CBDM (Community Based Disaster Management) relatif baru dimulai di tahun 1996–1998. Penang gulangan Bencana Berbasis Komunitas (PBBK) atau Community Based Disaster Management (CBDM) adalah sebuah pendekatan yang mendorong komunitas akar rumput dalam mengelola risiko bencana lokal setempat. Upaya tersebut memerlukan serangkaian upaya dalam melakukan interpretasi sendiri atas anca man dan risiko bencana yang dihadapinya, melakukan prioritas penanganan/pengurangan risiko bencana yang dihadapinya, mengurangi serta memantau dan mengevaluasi kinerjanya sendiri dalam upaya pengurangan bencana (Jonatan Lassa, dkk., 2009).

Bukan hanya pemaknaan seperti di atas. Masih banyak pendefinisian yang dikemukakan oleh para pelaku PRBBK berdasarkan pengalamannya. Meski de mikian, secara keseluruhan mengarah pada pemaknaan yang cenderung sama. Berikut ini bisa dilihat beberapa definisi tersebut. Asia Disaster Preparedness Centre mendefinisikan CBDRM sebagai berikut.

“Merupakan suatu proses manajemen risiko bencana di mana masyarakat yang berisiko secara aktif terlibat dalam identifikasi, analisis, pelatihan, pemantauan dan evaluasi risiko bencana dalam rangka mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas mereka. Ini berarti bahwa masyarakat menjadi pokok utama dalam pengambilan

Page 89: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi74

keputusan dan melaksanakan kegiatan manajemen risiko bencana. Dalam CBDRM, keterlibatan dan dukungan dari pemerintah daerah dan nasional diperlukan. (ADPC-CBDRM-11, 2003)”.

Sedangkan tujuan dari CBDRM itu adalah sebagai berikut

a. Mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas kelompok dan masyarakat yang rentan dalam rangka mengatasi, mencegah atau meminimalkan kerugian dan kerusakan kehidupan, lingkungan dan harta benda.

b. Meminimalkan penderitaan umat manusia.

c. Mempercepat pemulihan dalam Manajemen Risiko Bencana Berbasis Komunitas (CBDRM), (Abarquez and Murshed. 2004).

Manajemen bencana berbasis masyarakat merupakan salah upaya pemberdayaan komunitas yang dilakukan agar dapat mengelola bencana dengan tingkat keterlibatan pihak/kelompok masyarakat dalam perencanaan dan pemanfaatan sumber daya lokal dalam kegiatan implementasi oleh masyarakat sendiri” (ADPC 2003, Abarquez & Murshed 2004, Lassa, dkk., 2009:12–15).

Definisi lain tentang manajemen bencana berbasis masyarakat (Community Based Disaster Management) menjelaskan bahwa CBDM merupakan suatu kerangka kerja konseptual berfokus pada pengurangan risiko, ancaman dan potensi kerugian dan bukan pada pengelolaan bencana dan konsekuensinya. Manajemen bencana berbasis masyarakat (CBDM) menempatkan kelompok masyarakat sebagai pelaku utama sejak tingkatan yang paling kecil, yaitu kelompok Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), dusun, kampung, sampai kelompok yang lebih besar yaitu desa, kelurahan, kecamatan bahkan sampai tingkat kota dan kabupaten. Manajemen bencana berbasis komunitas dapat terealisasi, jika ada tokoh penggerak (dari aktivitas atau tokoh setempat), konsep yang jelas, objek yang jelas, kohesivitas masyarakat setempat, bahasa komunikasi kerakyatan yang tepat berbasis kearifan budaya setempat dan jaringan informasi yang mudah diakses setiap saat (Wiwik Ratna Kumarasari, 2002).

Di lain hal, pola-pola yang tidak melibatkan masyarakat dalam pencanangan kesiapan penanggulangan bencana, telah menimbulkan kerugian bagi pemerintah Kota Padang, beberapa alat pendeteksi

Page 90: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 75

gempa dan tsunami yang dipasang di beberapa titik di pantai barat Kota Padang mengalami kerusakan atau ada komponen yang hilang karena dicuri oleh orang yang tidak bertanggung jawab, padahal alat tersebut harganya cukup mahal dan merupakan alat yang penting dalam rangka Early Warning System apabila terjadi gempa bumi disertai dengan tsunami (Hasil wawancara dengan kepala BPBDPK, pada tanggal 10 Agustus 2016). Dengan demikian, pengikutsertaan masyarakat dalam setiap kegiatan yang dilakukan pemerintah merupakan suatu keharusan, mengingat persoalan kebencanaan bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga perlu melibatkan komunitas masyarakat dan dunia usaha. Manajemen bencana berbasis masyarakat memfokuskan kepada masyarakat sebagai aktor utama yang mengembangkan dan menerapkan kebijakan penting yang paling sesuai dengan mereka dalam hal penanggulangan bencana (Kusumasari, 2014a). Sehingga dengan demikian, pekerjaan penanggulangan bencana dilaksanakan oleh dan bersama dengan komunitas di mana mereka berperan kunci dalam perencanaan, desain, penyelenggaraan, pengawasan, dan evaluasi. Disepakati bahwa dalam pendekatan ini komunitas adalah pelaku utama yang membuat dan melaksanakan keputusan-keputusan penting sehubungan dengan penanggulangan bencana (Jonatan lassa, dkk., 2009)

Twigg (2006) memberikan pendapat bahwa makna dari berbasis komunitas dalam manajemen bencana berbasis komunitas tentunya bisa diperluas sebagai berikut.

a. Adanya partisipasi penuh yang melibatkan pula partisipasi pihak rentan, laki-laki dan perempuan; anak-anak, kelompok lanjut usia, orang-orang yang berkebutuhan khusus, ras marginal, dan sebagainya.

b. Sinonim dengan bottom-up bukan top-down, partisipasi penuh, akses dan kontrol, pendekatan inklusif sense of belonging terhadap sistem penanganan bencana yang sudah, sedang, dan akan dibangun. Pendekatan top-down pada awal kegiatan memungkinkan untuk dilakukan, namun seiring dengan waktu, masyarakat disiapkan untuk dapat mandiri sehingga mekanisme bottom-up dapat lebih dominan.

c. Menggunakan konsep “dari, oleh, dan untuk” masyarakat dalam keseluruhan proses, di mana masyarakat yang mengontrol sistem dan bukan dikontrol sistem termasuk pula pada Sistem Peringatan Dini.

Page 91: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi76

Merujuk pendapat Lorna P. Victoria (2007), yang merupakan elemen dasar dari pada manajemen bencana berbasis komunitas ini adalah partisipasi masyarakat, prioritas kepada kelompok rentan, pengurangan risiko kepada kelompok tertentu, kapasitas dan mekanisme yang ada, mengurangi kerentanan dengan memperkuat kapasitas; membangun masyarakat tangguh bencana, dukungan pengurangan risiko bencana dan pembangunan, adanya dukungan dan fasilitasi dari pihak luar. Sedangkan perubahan paradigma yang ada pada manajemen bencana berbasis komunitas ini adalah dari tanggap darurat ke manajemen risiko, perlindungan bagi rakyat adalah tanggung jawab pemerintah dan salah satu hak dasar rakyat, dari tanggung jawab pemerintah menjadi tanggung jawab bersama dengan masyarakat (Asia Disaster Preparedness Centre, 2008).

Untuk konteks Indonesia, pengurangan risiko bencana dilakukan dengan mempertimbangkan aspek berkelanjutan dan partisipasi dari semua pihak terkait. Upaya ini dilakukan dengan komitmen yang kuat dengan mengedepankan tindakan-tindakan yang harus diprioritaskan. Penyusunan prioritas ini perlu dilakukan untuk membangun dasar yang kuat dalam melaksanakan upaya pengurangan risiko bencana yang berkelanjutan serta mengakomodasikan kesepakatan internasional dan regional dalam rangka mewujudkan upaya bersama yang terpadu. Lima prioritas pengurangan risiko bencana yang harus dilakukan adalah (Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Risiko Bencana (RAN-PRB), 2006-2009).

a. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat.

b. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta menerapkan sistem peringatan dini.

c. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkatan masyarakat.

d. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana.

e. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif (RAN-PRB, 2006-2009).

Page 92: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 77

Dalam implementasi manajemen bencana berbasis masyarakat perlibatan dan partisipasi multisektoral dan multilevel yang ada tidak hanya untuk melengkapi upaya pemerintah dalam mengelola bencana, tetapi juga dianggap sebagai agen pembangunan untuk meningkatkan kesadaran publik (BNBP, 2008). Kegiatan-kegiatan CBDM meliputi seperti perencanaan kontingensi, workshop, pemetaan daerah rawan, diskusi, dialog dan dengar pendapat, pelatihan, monitoring dan evaluasi yang melibatkan masyarakat, LSM, lembaga donor dan lembaga pemerintah. Keterlibatan para pemangku kepentingan dalam kegiatan bencana dilakukan di bawah kendali CBDM.

2. Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Mitigasi

Kebijakan penanggulangan bencana yang berbasis mitigasi bencana merupakan paradigma yang berusaha dikembangkan untuk pengurangan risiko bencana. Dalam mitigasi bencana menurut Twigg (2000) adalah

“Mitigasi mengurangi dan membatasi dampak kerusakan dan gangguan bahaya pada elemen berisiko. Ukuran berkisar dari fisik seperti pekerjaan rekayasa seperti jembatan, tanggul pelindung, tanggul, dan desain bangunan aman untuk komponen non-struktural, intervensi seperti penilaian masyarakat risiko, masyarakat risiko perencanaan pengurangan, kesadaran masyarakat, program keamanan pangan, tabungan kelompok, koperasi, tanaman asuransi, organisasi masyarakat manajemen bencana, penguatan dan advokasi tentang bencana dan isu-isu pembangunan, peraturan dan zonasi tata guna lahan. Mitigasi dan pencegahan intervensi secara langsung terkait dengan perencanaan pembangunan. Mitigasi bencana adalah intrinsik untuk pembangunan berkelanjutan”.

Lona P. Victoria (2007) mengemukakan bahwa mitigasi bencana dan pengurangan risiko bencana juga menawarkan kesempatan besar untuk bisa diintegrasikan manajemen bencana ke dalam proses perencanaan pembangunan. Dengan demikian nantinya, persoalan kebencanaan merupakan suatu hal yang penting dalam pembangunan. Misalnya Kota Padang, sebelum terjadinya Gempa Aceh tahun 2004, Kota Padang merupakan kota dengan kawasan pantai yang menarik untuk dikembangkan, sehingga dalam rencana strategis Kota Padang, Kota Padang diprioritaskan menjadi sebuah kota dengan julukan Water

Page 93: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi78

From City, yang termuat dalam RTRW Kota Padang Tahun 2008–2028, di mana Kota Padang mempunyai Kota Kembar yang hampir mirip dengan Kota Padang yaitu di Negara Vietnam yaitu Kota Vũng Tàu sebuah kota di Provinsi Bà Rịa–Vũng Tàu dan Kota Hildesheim, sebuah kota di Lower Saxony di Jerman.

Namun setelah terjadinya Gempa Padang Tahun 2009, rencana pembangunan menjadi berubah, di mana perubahan tersebut tertuang dalam revisi RTRW Kota Padang yang dilakukan pada Tahun 2010. Perubahan yang terjadi pada RTRW mulai mempertimbangkan aspek kebencanaan dalam perencanaan daerah. RTRW dibuat dengan tujuan adalah Kota Padang yang metropolitan yang berbasis mitigasi bencana. Dengan demikian, kebencanaan merupakan hal sangat penting, mengingat Kota Padang yang rawan bencana, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pembangunan di daerah-daerah yang rawan bencana. Langkah selanjutnya yang dilakukan dalam rangka memasukkan manajemen bencana ke dalam proses pembangunan adalah dengan adanya pembuatan zonasi-zonasi gempa, di mana diberi tanda dengan warna merah, kuning dan hijau. Dengan demikian, rekomendasi yang dikeluarkan pemerintah adalah dalam perencanaan pembangunan adanya pelarangan untuk membangun di daerah yang zona merah, karena wilayah tersebut merupakan daerah yang rawan bencana.

Selain menawarkan kesempatan yang besar dalam perencanaan pembangunan, mitigasi bencana juga merupakan upaya yang dilakukan untuk memberikan perlindungan sejak dini kepada masyarakat terhadap bahaya yang akan timbul akibat bencana alam yang terjadi. Mengingat sekarang ini paradigma penanggulangan bencana telah mengalami pergeseran hal ini sesuai dengan Deklarasi Kerangka Aksi Hyogo yang disebut dengan The Hyogo Framework for Action (HFA) bahwa tahun 2005-2015 adalah merupakan eranya kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana, sehingga penanggulangan bencana diselenggarakan secara komprehensif, di mana lebih memfokuskan kepada upaya pembangunan kesiapsiagaan dan mitigasi (tahap pra bencana) daripada penanganan korban bencana (tanggap darurat ). Adapun yang merupakan prioritas kegiatan dari The Hyogo Framework for Action (HFA) adalah sebagai berikut.

Page 94: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 79

a. Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana (PRB) ditempatkan sebagai prioritas nasional dan lokal dengan dasar institusional yang kuat dalam pelaksanaannya.

b. Mengidentifikasi, mengevaluasi, dan memonitor risiko-risiko bencana dan meningkatkan pemanfaatan peringatan dini.

c. Menggunakan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangun suatu budaya aman dan ketahanan pada semua tingkatan.

d. Mengurangi faktor-faktor risiko dasar.

e. Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana dengan respons yang efektif pada semua tingkatan. Memperkuat kapasitas-kapasitas pada tingkat komunitas untuk mengurangi risiko bencana pada tingkat lokal, di mana individu dan komunitas memobilisir sumber daya lokal untuk upaya mengurangi kerentanan terhadap bahaya.

Penting dicatatkan di Indonesia, dengan terbitnya Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, telah memulai era baru penanggulangan bencana yang lebih komprehensif, mulai dari prabencana, tanggap darurat, sampai pascabencana. Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga merupakan pengejawantahan dari UU No. 23 Tahun 2007, BNPB dibentuk dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai komando, koordinator dan pelaksana dalam hal penanggulangan bencana di Indonesia. Adapun pembentukan BNPB ini didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dengan dibentuknya BNPB di tingkat nasional, maka untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk juga lembaga yang sifatnya vertikal dari BNPB yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tingkat di tingkat provinsi, kabupaten/kota. Dengan demikian, penyelenggaraan penanggulangan bencana lembaganya ada mulai dari pusat sampai ke daerah kabupaten/kota.

Selain adanya badan khusus yang menyelenggarakan penanggulangan bencana (BNPB dan BPBD), dalam praktiknya jika bencana terjadi maka lembaga-lembaga lain juga ikut ambil peran, seperti SKPD terkait dalam

Page 95: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi80

kebencanaan, bidang kesehatan, bidang sosial, TNI dan POLRI, serta lembaga kemasyarakatan seperti: Organisasi Radio Republik Indonesia (ORARI), RAPI, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), dunia usaha dan organisasi masyarakat lainnya yang peduli pada bencana. Sehingga kesulitan yang dihadapi saat bencana terjadi, sedikit banyaknya terbantu dengan adanya keterlibatan berbagai unsur yang ada, membantu meringankan beban yang terkena musibah bencana.

Untuk itu, dalam rangka mengurangi risiko bencana maka perlu adanya upaya mitigasi dalam penanggulangan bencana. Hal ini berarti bahwa perlu adanya upaya dari masyarakat untuk melakukan pengenalan terhadap daerah yang rentan terhadap bencana dan melakukan pembekalan kesiapsiagaan kepada masyarakat. Pembekalan dapat dilakukan dengan adanya peningkatan kapasitas masyarakat dalam hal kebencanaan, sehingga masyarakat mengerti dan Paham terhadap apa yang mesti dilakukan jika bencana itu datang melanda. Sehingga dengan demikian, dengan adanya peningkatan kapasitas masyarakat maka akan dapat mengurangi korban jiwa yang akan ditimbulkan akibat bencana.

Kegiatan mitigasi dapat dilakukan berupa adanya perubahan perilaku masyarakat yang ada di kala bencana datang melanda, dengan melakukan sosialisasi, simulasi sehingga mereka terbiasa menghadapi bencana, selain itu melalui pembangunan gedung atau rumah yang tahan terhadap gempa, penataan pemukiman dan perumahan di daerah yang zonasinya aman, perubahan RTRW yang berbasis mitigasi bencana. Secara umum yang dimaksud dengan mitigasi bencana itu adalah apa pun upaya yang dilakukan untuk mengurangi atau meminimalisir dampak atau kerugian yang akan diakibatkan oleh terjadinya bencana. Sementara dalam PP 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, mitigasi bencana didefinisikan sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Sedangkan Coppala (2011: 209) mendefinisikan Mitigasi sebagai berikut.

“Mitigasi didefinisikan sebagai upaya berkelanjutan yang dilakukan untuk mengurangi risiko bahaya melalui pengurangan kemungkinan dan/atau komponen konsekuensi dari risiko bahaya tersebut. Dengan kata lain, bahwa mitigasi berusaha sebaik-baiknya

Page 96: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 81

membuat bahaya itu berkurang atau bahkan tidak terjadi sama sekali, atau apabila terjadi maka efek negatifnya dapat dikurangi”.

Namun dalam implementasinya, mitigasi bencana masih minim dalam praktik kehidupan masyarakat terutama di daerah yang rawan bencana, hal ini disebabkan oleh masyarakatnya belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang kebencanaan dan kurang adaptif terhadap proses rehabilitasi setelah bencana. Rendahnya kemampuan ini menyebabkan lambatnya proses pemulihan yang terjadi sehingga sumber daya yang dikerahkan juga menjadi besar. Untuk itu, perlu adanya usaha yang dilakukan untuk mitigasi bencana. Dalam mitigasi bencana diperlukan adanya kajian risiko bencana, sehingga bisa diketahui kira-kira seberapa besar dan parah bencana yang akan terjadi, untuk itu pembedaan bencana berdasarkan penyebabnya juga menjadi penting mengingat beda bencana beda juga penanganannya. Sehingga perlu adanya pemetaan terhadap risiko yang akurat. Bagi pemerintah daerah ini penting, paradigma mitigasi bencana merupakan paradigma dengan melakukan kesiapsiagaan sebelum bencana itu datang, maka kajian risiko bencana menjadi penting, setelah itu ada dibuat rencana penanggulangan bencana, selanjutnya ada rencana aksi penanggulangan risiko bencana, kemudian disusun Rencana Kedaruratan Pengurangan Risiko Bencana daerah (RKPRB) dan pembuatan rencana kontijensi per ancaman bencana.

Dengan demikian, bagi daerah yang memiliki tingkat kerawanan bencana yang sangat tinggi, maka untuk penjabaran mitigasi risiko bencana ke dalam bentuk perencanaan bahkan harus sangat detail. Jika diperlukan, maka penyusunan skenario yang ada harus sampai pada kejadian terburuk sekalipun, karena nantinya akan menyangkut sumber daya yang tersedia, yaitu berupa orang, peralatan dan anggaraan. Dengan adanya pemetaan tersebut akan terlihat adanya kekurangan atau kelemahan yang perlu dicarikan solusinya, dari mana akan di- tambahkan, sehingga dengan demikian perencanaan dalam hal mitigasi bencana memerlukan pertimbangan beberapa hal berikut ini,

a. Kerentanan fisik (konstruksi, kepadatan bangunan, dan bahan bangunan).

b. Kerentanan ekonomi (tingkat kemiskinan), kerentanan sosial (struktur umur, kepadatan penduduk, segregasi sosial).

Page 97: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi82

c. Ketersediaan fasilitas (kesehatan, gawat darurat, tempat evakuasi, pengungsian).

d. Identifikasi macam bahaya (alamiah, antropogenik).

e. Kelengkapan utilitas (sistem peringatan dini, SOP penanganan bencana).

Hal yang tidak kalah urgensinya dari pada menyusun mitigasi bencana adalah dibutuhkan pendekatan yang berbeda untuk setiap bencana yang ada. Sehingga dalam upaya untuk mengurangi jumlah korban dan harta benda serta kerusakan lingkungan maka harus diketahui dan paham terhadap karakteristik bencana yang ada, karena yang sering terjadi adalah bencana tunggal mengakibatkan efek yang besar dikarenakan adanya bencana ikutan. Untuk itu, membangun masyarakat yang memiliki kapasitas dan kapabilitas menjadi suatu hal yang penting khususnya di daerah yang rawan bencana, sehingga kelak mereka bisa menjadi penolong bagi diri mereka sendiri dan lingkungan jika bencana datang melanda.

Adanya kesadaran masyarakat dengan ditingkatkan kapasitasnya, sehingga kesiapan dalam menghadapi bencana menjadi sebuah budaya dan menjadi perilaku masyarakat. Dengan terbangunnya kesadaran tersebut masyarakat memiliki kemampuan untuk responsif terhadap bencana, adanya sistem peringatan dini yang terbangun dan antisipasi terhadap bencana, tanggap darurat dan pascabencana. Kegiatan ini perlu dilakukan terus menerus sehingga tertanam dalam pikiran dan sanubari masyarakat. Untuk efektifnya kegiatan ini tentu saja perlu dilakukan di lingkungan sekolah misalnya, dengan melakukan pembekalan kepada anak-anak sejak dini, maka kelak mereka dapat mengerti dan paham tentang kebencanaan.

Pemahaman yang ada tersebut nantinya dapat ditularkan pengetahuannya dalam keluarga, sehingga masing-masing keluarga yang ada akan memahami dan kapasitasnya tentang kebencanaan akan meningkat, sehingga dengan demikian masing-masing keluarga diharapkan telah memiliki rencana strategis bagi keluarganya yang mana rencana strategis tersebut telah dibicarakan dalam keluarga, sehingga di saat bencana terjadi keluarga tersebut sudah bisa melakukan evakuasi mandiri, masing-masing anggota keluarga sudah mengetahui ke mana mereka harus berkumpul, jika suatu saat bencana terjadi dan

Page 98: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 83

masing-masing anggota keluarga sedang berada di berbagai tempat yang berbeda. Hal ini perlu dibicarakan di dalam keluarga, sehingga saat bencana terjadi anggota keluarga tidak saling mencari satu dengan yang lainnya, sehingga menimbulkan kepanikan, tetapi cukup dibuatkan SOP nya ke mana anggota keluarga harus berkumpul (titik kumpul yang ditentukan) jika terjadi bencana gempa bumi. Selain itu pendidikan kebencanaan juga bisa dilakukan dengan memberikan sosialisasi, penyuluhan ke masyarakat dan sekolah-sekolah, adapun materi yang diberikan tentunya yang menarik dan mudah dipahami oleh masyarakat.

Perubahan sikap perilaku masyarakat Indonesia tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Itu artinya informasi dan pengetahuan deskriptif saja tanpa pengalaman yang menyertainya, tentang risiko bencana alam tidak akan tumbuh menjadi pencetus perilaku manusia terkait dengan kesiapan menghadapi bencana. Secanggih apa pun teknologi pendeteksi gempa bumi yang ada, jika tidak diikuti oleh perilaku sadar dan siaga bencana dari masyarakat, pemanfaatannya tidak akan optimal. Kesadaran dan kesiagaan menghadapi bencana inilah yang seharusnya menjadi perubahan perilaku masyarakat, agar harapan zero victim dalam setiap kejadian bencana alam dapat tercapai secara maksimal (Kwartarini Wahyu Yuniarti, dkk., 2002: 137)

Untuk kelembagaan kebencanaannya adalah dengan melakukan penguatan kelembagaan dalam hal ini BPBDPK, di mana pegawai-pegawai yang ada di BPBDPK tersebut diberikan pelatihan-pelatihan mengenai kebencanaan, misalnya dalam hal pemakaian peralatan, pelatihan penanganan korban, pelatihan pembuatan program mitigasi bencana, serta meningkatkan pemahaman mereka tentang kebijakan kebencanaan yang ada. Hal ini dilakukan mengingat BPBDPK merupakan lembaga yang strategis dan memiliki tanggung jawab yang berat, hal ini dikarenakan banyak nyawa yang dipertaruhkan, terutama bagi daerah yang rawan bencana seperti Kota Padang.

Page 99: Carano Pustaka Universitas Andalas

[Halaman ini sengaja dikosongkan]

Page 100: Carano Pustaka Universitas Andalas

A. Implementasi Kebijakan Mitigasi Penanggulangan Bencana

Tahap mitigasi bencana merupakan bagian dari penanggulangan bencana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Pada tahap ini dijelaskan bahwa mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Sementara itu, berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana pada tahapan mitigasi bencana yang terdapat pada Pasal 20 ayat 1 adalah mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak yang diakibatkan oleh bencana terhadap masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.

Pada ayat 2 dalam UU tersebut dijelaskan bahwa kegiatan mitigasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: (a) perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang yang berdasarkan pada analisis risiko bencana; (b) pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, dan tata bangunan; dan (c) penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan, baik secara konvensional maupun modern. Pemahaman pada peraturan pemerintah tersebut tentang mitigasi bencana sama dengan yang terdapat dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 5 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 40 ayit 1 dan 2, serta Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 37 ayat 1 dan 2.

BELAJAR DARI PENGALAMAN KOTA PADANG DALAM

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MITIGASI PENANGGULANGAN BENCANA

GEMPA BUMI

BAB 5

85

Page 101: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi86

Dengan demikian, berdasarkan aturan yang ada tersebut maka implementasi kebijakan penanggulangan bencana berbasis mitigasi bencana menjadi krusial untuk diterapkan guna mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika bencana datang melanda.

Adapun kebijakan penanggulangan bencana di Kota Padang didasarkan kepada Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam mengimplementasikan peraturan ini yang menjadi leading sectornya adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBDPK) Kota Padang. Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan oleh BPBDPK terkait dengan implementasi kebijakan penanggulangan bencana yang terkait dengan kegiatan mitigasi bencana.

Kegiatan mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Mitigasi bencana dilakukan dengan pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur dan penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern. Untuk itu Kota Padang sebagai daerah yang rawan terhadap bencana gempa bumi maka Pemerintah Kota Padang telah melakukan beberapa kebijakan mitigasi bencana yang diamanatkan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana, yakni berupa kegiatan yang dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Pelaksanaan Tata Ruang yang Berbasis Mitigasi Bencana

Peruntukan terhadap tata ruang wilayah yang berbasis terhadap mitigasi bencana menjadi penting hal ini didasarkan bahwa Kota Padang merupakan salah satu daerah yang memiliki tingkat kerentanan dan kerawanan yang tinggi terhadap bencana alam berupa gempa bumi. Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan adanya peruntukan tata ruang Kota Padang yang berbasis mitigasi terhadap bencana. Ini juga sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (poin menimbang huruf e) yang menyatakan bahwa bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai

Page 102: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 87

upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Selain itu program ini juga sejalan dengan prioritas pembangunan Kota Padang tahun 2014-2019 yaitu pada poin 9, yang menyebutkan bahwa penataan lingkungan perkotaan yang hijau, berkelanjutan dan berbasis mitigasi bencana. ini berarti arah penataan ruang Kota Padang ke depan berorientasi kepada mitigasi bencana.

Sebelum kejadian Gempa Aceh Tahun 2004, untuk peruntukan tata ruang wilayah Kota Padang lebih diarahkan ke Timur Kota Padang, yaitu dengan membangun Kawasan Pantai Padang atau dengan istilah lainnya Padang water from city. Namun, perencanaan tersebut mengalami perubahan seiring dengan terjadinya gempa bumi tahun 2007 yang berpusat di Solok dan Kota Padang adalah salah satu daerah yang terkena dampaknya. Dengan kejadian tersebut maka terjadi perubahan peruntukan pembangunan wilayah di Kota Padang, ditambah dengan adanya hasil penelitian dari LIPI dan NTU Singapura yang menyatakan Kota Padang merupakan daerah yang rawan terhadap gempa dan tsunami yang diakibatkan oleh Megatrust Mentawai yang diperkirakan mempunyai kekuatan gempa sampai 8,8 SR.

Dengan adanya beberapa kejadian bencana gempa bumi tersebut, maka Kota Padang melakukan revisi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang merupakan pedoman pemerintah kota dalam melakukan penataan pembangunan wilayah. RTRW Kota Padang disusun dalam jangka waktu 20 tahun. Pedoman dalam tersebut maka dilakukan revisi terhadap RTRW Kota Padang tahun yaitu periode 2008-2028. Dalam perkembangannya adalah Pemerintah Kota Padang Tahun 2010 sudah melakukan penyusunan RTRW Kota Padang. Revisi ini dilakukan dalam rangka menyikapi kejadian gempa bumi tahun 2009 yang telah banyak menelan korban harta benda maupun jiwa. Untuk itu revisi terhadap ini merupakan salah satu langkah dalam mitigasi bencana, karena pada RTRW sebelumnya belum mempertimbangkan mitigasi bencana.

Revisi terhadap RTRW tersebut tertuang dalam perubahan RTRW 2010–2030 yang telah ditetapkan dalam Perda Kota Padang No. 4 Tahun 2012. Perda ini menjadi acuan bagi Pemko Padang dan masyarakat umum dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pembangunan di Kota Padang. Salah satu revisi yang cukup signifikan dalam RTRW

Page 103: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi88

tersebut adalah memperhitungkan daerah-daerah yang rawan terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Maka dalam perbaikannya dijelaskan bahwa membatasi pengembangan hunian di kawasan sepanjang pantai yang rawan terhadap bencana tsunami (Pasal 14).

Dalam rangka mitigasi bencana pemerintah kota juga melakukan strategi-strategi yaitu membuat rencana-rencana ruang evakuasi, tempat evakuasi, jalur evakuasi dengan melakukan koordinasi dengan SKPD terkait dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum. Selain itu, dengan membuat zonasi-zonasi gempa bumi berupa zona merah, zona kuning dan zona hijau. Dalam pembuatan zonasi ini dikerjakan oleh BPBDPK bekerja sama dengan Kogami. Zonasi yang dibuat ini pada awalnya yaitu tahun 2010 zona merah tsunami tidak mempertimbangkan kepadatan bangunan, sehingga zona merah jauh sampai ke Jalan By Pass. Namun, dengan adanya revisi tahun 2013, pembuatan zonasi mulai memperhitungkan kepadatan bangunan, sehingga luasnya zonasi merah sudah berkurang dari yang sebelumnya.

Pada perkembangannya, peruntukan tata ruang tersebut pemerintah daerah sudah menentukan kawasan rawan bencana. Namun belum sepenuhnya dapat berjalan dengan baik, hal ini dikarenakan masih terdapatnya kawasan-kawasan rawan bencana yang tetap digunakan masyarakat untuk perumahan seperti Tabiang Banda Gadang, Parupuk Tabiang. Sebenarnya daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang berada pada zona merah bencana gempa bumi dan tsunami karena daerah tersebut berada pada di pinggir pantai yang rawan terhadap gempa bumi dan tsunami. Namun, karena daerah tersebut sudah terlanjur membangun pemukiman di daerah rawan bencana, maka ada alternatif yang ditawarkan oleh pemerintah kota yaitu berupa relokasi terhadap pemukiman tersebut atau tetap mempertahankan mereka di sana dengan tidak menambah sarana dan prasarana yang ada. Namun yang terjadi adalah pemukiman yang ada tetap dipertahankan dengan alasan kemanusiaan dan secara emosional telah lama menetap di wilayah tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya tahun 2015 dilakukan lagi peninjauan terhadap RTRW Kota Padang di mana dalam salah satu kajiannya memasukkan kajian terhadap risiko bencana, dalam hal ini kajian risiko bencana dilakukan oleh BPBD, yaitu berupa kajian risiko

Page 104: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 89

bencana gempa bumi. Dalam kajian tersebut diberikan aturan yang tegas bahwa dalam peruntukan ruang dan pola ruang dengan menyarankan SKPD terkait dalam hal ini Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Padang untuk tidak memberi izin kepada masyarakat yang membangun pada daerah rawan bencana karena berdampak buruk terhadap masyarakat.

Sejalan dengan itu maka pemberian izin mendirikan bangunan seperti hotel dan perumahan perlu memerhatikan daerah rawan bencana, sedangkan untuk izin bangunan swasta yang bertingkat (hotel) maka disarankan supaya dapat membuat ruang evakuasi, tempat evakuasi, jalur evakuasi, serta mengatur peruntukan ruang yang aman terhadap bencana. Pembangunan tersebut merupakan salah satu program dalam RTRW dalam rangka mitigasi bencana gempa bumi. Hal lain yang juga disarankan kepada pemerintah dan swasta adalah supaya bangunan-bangunan bertingkat yang ada bisa dijadikan shelter (TES = Tempat Evakuasi Sementara). Salah satu langkah yang ditempuh oleh pemerintah Kota Padang saat ini dalam memberikan izin mendirikan bangunan adalah dengan menawarkan kepada pihak terkait untuk membuat surat pernyataan bahwa gedung yang akan dibangun bisa dipergunakan sebagai shelter jika suatu saat nanti terjadi gempa bumi yang disertai dengan tsunami.

Untuk itu, tata ruang yang berbasis mitigasi bencana di Kota Padang masuk dalam prioritas pembangunan Kota Padang Tahun 2014–2019 yaitu penataan lingkungan perkotaan yang hijau, berkelanjutan dan berbasis mitigasi bencana. Hal ini tertuang dalam tujuan RTRW Kota Padang yaitu Kota Padang yang metropolitan yang berbasis mitigasi bencana. Dengan demikian, untuk mendukung tujuan dari RTRW tersebut maka pemerintah dalam hal ini melalui dinas terkait akan melakukan berbagai program/kegiatan, salah satunya adalah adanya kerja sama dengan pihak swasta, di mana pemilik gedung-gedung bertingkat seperti hotel, serta adanya pembuatan tsunami save zone. Tsunami save zone merupakan tanda atau rambu yang dipasang pada jalan raya yang menandakan bahwa daerah tersebut sudah berada pada titik aman bencana gelombang tsunami. Tanda ini dipasang untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat terhadap daerah atau wilayah yang telah mencapai batas aman terhadap bencana gempa yang diikuti tsunami.

Page 105: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi90

Program ini sudah berjalan sejak awal tahun 2017, ditandai dengan telah terpasangnya tsunami save zone di beberapa ruas jalan di Kota Padang. Dengan adanya pemasangan atau penanda ini diharapkan masyarakat mengerti dan paham bahwa tempat mereka berada sudah aman terhadap ancaman tsunami. Sehingga apabila sudah mencapai batas ini masyarakat tidak perlu lagi mengungsi ke tempat lain yang lebih aman, dengan beradanya masyarakat pada zona ini, maka kekhawatiran terhadap tsunami tidak perlu dicemaskan lagi. Berikut ini dapat dilihat pada gambar 5.1.

Sumber: BPBDPK Kota Padang, 2017

Gambar 5.1 Tsunami Save Zone di Beberapa Ruas Jalan di Kota Padang

Selain itu terkait dengan infrastruktur dan pemukiman maka penataan ruang yang berbasis ancaman, perlu dilakukan dengan menggeser manusianya menjauhi ancaman, hal ini bisa dilakukan dengan penggeseran pemukiman, atau dibuatkan ke arah vertikal, bertingkat dan atau berada di atas elevasi. Hal ini dilakukan karena di Kota Padang, kebijakan relokasi terhadap pemukiman tidak ada, hal ini dikarenakan keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah kota dan ketersediaan lahan yang minim atau tidak ada. Untuk itu, bagi masyarakat yang sudah terlanjur membangun di daerah rawan bencana maka edukasi dan sosialisasi kepada mereka sangat diperlukan supaya mereka tanggap dan responsif terhadap bencana yang ada. Selain itu, terkait dengan penataan ruang maka Pemerintah Kota Padang perlu

Page 106: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 91

menyiasati bahwa salah satu aspek risiko yang ditimbulkan oleh bencana alam adalah bidang ekonomi. Di mana tentu saja masyarakat ekonomi lemah lebih rentan dibandingkan dengan yang kuat, hal ini terkait dengan keterbatasan terhadap akses dan modal. Dengan demikian, Pemerintah Kota Padang perlu mengembangkan daerah-daerah ekonomi baru seperti daerah di pinggir Pantai Padang yang merupakan salah satu destinasi baru wisata di Kota Padang. Dengan banyaknya orang berkunjung ke Pantai Padang tentunya akan berdampak baik bagi sektor ekonomi masyarakat sekitar.

Salah satu daerah pinggir Pantai Padang yang dikembangkan adalah pembangunan Taman Muaro Lasak di Pantai Padang telah menjadi daya tarik tersendiri bagi Kota Padang. Kota Padang mulai berbenah diri dan menjadikan kawasan pantai yang dulunya “horor” untuk dikunjungi sekarang sudah berubah menjadi salah satu tujuan wisata yang menarik di Kota Padang. Strategi ini menjadi berjalan dengan mengembangkan wilayah pantai yang berbasis mitigasi bencana sekaligus menjadikan wilayah pantai wilayah pertumbuhan baru ekonomi masyarakat, sehingga ketakutan masyarakat selama ini untuk berkunjung ke Pantai Padang berangsur-angsur mulai hilang.

Namun, masih terdapat hal yang menjadi ganjalan dalam penataan ruang Kota Padang saat ini, di mana kebijakan tata ruang yang ada belum sepenuhnya mengadopsi ancaman, misalnya di wilayah Air Pacah, Kota Padang menurut penelitian yang dilakukan oleh ahli geologi Sumatera Barat adalah merupakan daerah zona merah untuk amplifikasi gempa bumi dan sudah ada peta ancaman gempanya. Dengan arti kata, jikalau terjadi gempa di Padang maka daerah yang paling parah terkena dampaknya adalah Air Pacah, hal ini dikarenakan wilayah Air Pacah memiliki zonasi gempanya paling tinggi amplifikasinya dan getaran yang dirasakan lebih besar. Akan tetapi sepertinya pemerintah kota mengabaikan persoalan itu karena yang terjadi sekarang di kawasan Air Pacah tersebut malah terdapat beberapa gedung perkantoran, termasuk pusat perkantoran pemerintahan Kota Padang. Padahal sudah dilakukan kajian risiko bencana oleh BPBDPK, yang menyatakan bahwa daerah tersebut termasuk zona merah bencana, namun sepertinya kajian yang dilakukan oleh lembaga terkait belum dimasukkan dalam rencana pembangunan daerah. Semestinya penelitian yang sudah lengkap dan detail tersebut dapat dijadikan acuan untuk perencanaan pembangunan

Page 107: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi92

yang akan dilakukan ke depan, mengingat Kota Padang yang rawan bencana gempa bumi.

2. Pengaturan Pembangunan, Pengaturan Infrastruktur, dan Tata Bangunan

Bagi daerah yang memiliki tingkat kerentanan dan kerawanan yang tinggi terhadap ancaman gempa bumi seperti Kota Padang, tentunya perlu memerhatikan aspek pengaturan pembangunan fisik, pengaturan infrastruktur dan penataan bangunan.

a. Pengaturan Pembangunan Gedung dan Perumahan

Berdasarkan kepada kejadian gempa Padang tahun 2009, yang menyebabkan banyaknya korban jiwa dan kerusakan bangunan, maka saat ini Kota Padang telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung. Di mana dalam peraturan tersebut diatur bagaimana suatu bangunan itu dibuat dan dibangun dari segi konstruksi bangunannya dan ketahanannya terhadap getaran atau gempa. Peraturan tersebut dibuat untuk mempersiapkan seluruh bangunan yang ada di Kota Padang memenuhi standar, sehingga Pemerintah Kota Padang dalam hal ini Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan (TRTB) telah memberikan perhatian yang serius terhadap pembangunan-pembangunan yang dilakukan di Kota Padang, khususnya bangunan bertingkat, misalnya Ruko, Hotel, Sekolah dan lain-lain, hal ini dikarenakan dengan adanya pembangunan tersebut diharapkan nantinya akan dapat memberikan manfaat ganda yaitu bisa sebagai bangunan shelter.

Dalam hal penyusunan peraturan daerah, mengenai bangunan gedung maka yang terlibat dari unsur pemerintah adalah Dinas TRTB, BPBDPK, BAPPEDA dengan SKPD terkait. Dalam melakukan penyusunan peraturan daerah tersebut dilakukan rapat koordinasi dalam satu kali sebulan, dalam peraturan tersebut yang menjadi perhatian adalah kualitas bangunan. Hal ini berdasarkan pengalaman kejadian gempa Solok yang berkekuatan 6,7 SR menelan Korban jiwa sebanyak 60 orang, sementara itu gempa Yogyakarta 2006 dengan kekuatan gempa 6,4 SR menelan korban jauh lebih banyak yaitu 6.000

Page 108: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 93

orang, ini menandakan kualitas bangunan di Yogyakarta jauh lebih rendah dibandingkan dengan Solok dan sekitarnya, sehingga yang perlu diperhatikan adalah bangunannya, bukan gempanya. Sehingga faktor bangunan yang kurang berkualitas juga bisa menentukan banyak sedikitnya jumlah korban jiwa. Berdasarkan pengalaman tersebut maka Kota Padang menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2015 dengan harapan jika gempa bumi terjadi maka bangunan yang ada bisa bertahan dari getaran gempa dengan memerhatikan kualitas bangunan yang ada.

Terkait dengan bangunan fisik gedung sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2015. Dalam peraturan tersebut ditetapkan syarat dalam pembangunan gedung yang aman terhadap gempa bumi yaitu misalnya untuk gedung layanan publik yang harus ada penetapan kelayakan gedung oleh tim ahli gedung yang dihadiri oleh pemilik gedung dan dinas terkait seperti Dinas PU, BPBDPK, BAPPEDA, Dinas TRTB. Dengan demikian dapat dilihat bahwa, bangunan gedung yang akan dibangun mulai dari perencanaan, pendirian sampai berfungsinya bangunan gedung tersebut semestinya harus mendapat izin resmi dari dinas TRTB, apakah memang layak dan memerhatikan kondisi daerah yang rawan bencana.

Mengenai pembangunan gedung yang ramah terhadap bencana gempa sebenarnya sudah lama dilakukan advokasi oleh beberapa NGO yang ada di Padang seperti Mercy Corps, yang merupakan LSM internasional dari Amerika. Mercy Corps bekerja sama dengan BPBDPK, Dinas PU, dan Dinas TRTB telah melaksanakan program terkait dengan pembangunan bangunan ramah gempa. Program ini juga melakukan advokasi kepada para pengelola gedung yang sudah dibangun supaya gedung tersebut bisa di uji oleh PU, apakah sudah ramah dan aman gempa sehingga bisa dijadikan sebagai shelter. Namun yang terjadi dengan program ini adalah menjadi terputus, karena Mercy Corps sudah berakhir kegiatannya di bidang ini, sehingga perlu niat baik dari pemerintah kota untuk melanjutkan, namun yang peneliti temui di lapangan, kegiatan ini terhenti sering dengan terhentinya program dari Mercy Corps tersebut.

Selain itu kajian risiko bencana juga telah dilakukan oleh BPBD dan dinas terkait guna melihat kemungkinan risiko bencana yang akan dihadapi Kota Padang dalam melakukan pembangunan, namun karena

Page 109: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi94

kurangnya koordinasi antarorganisasi di daerah dan mengakibatkan pada akhirnya program pembangunan menjadi tidak sinkron, mitigasi menjadi tidak terlaksana dengan baik, dokumen ancaman risiko bencana yang sudah dibuat sebelumnya tidak masuk dalam perencanaan dan kebijakan yang ada, sehingga berdirilah bangunan-bangunan yang tidak memerhatikan kajian yang sudah dilakukan. Dan itu berlanjut misalnya dengan berdirinya perumahan Tabiang Banda Gadang, yang lokasinya berada di daerah rawan bencana banjir, yaitu di kawasan rawa-rawa dan dikala terjadi hujan, perumahan itu akan selalu terkena banjir. Semestinya setelah kejadian gempa tahun 2009, Pemerintah Kota Padang perlu melakukan revisi terhadap wilayah-wilayah yang menjadi ancaman gempa bumi.

Perubahan tata ruang pembangunan wilayah hendaknya juga dijalankan secara perencanaan teknis dan juga pelan-pelan, karena selain aspek teknis tersebut ada juga aspek psikologis, bagaimana cara membuat masyarakat pindah dari daerah yang sudah lama mereka tempati, ada cara-cara persuasif yang perlu dilakukan bukan hanya dengan cara penggusuran yang seperti banyak dilakukan kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta. Selain itu juga harus diperhatikan juga bagaimana mengubah dan membangun persepsi masyarakat untuk bisa memperbaiki kualitas bangunan, karena selama ini yang terjadi di Kota Padang, banyak bangunan yang dibangun asal jadi saja tanpa memperhitungkan kualitas dari bangunan tersebut, terutama perumahan rakyat, karena menjadi dilema juga bagi masyarakat, karena untuk membangun rumah yang aman terhadap gempa itu memerlukan dana yang sedikit lebih banyak dari pada membangun rumah yang biasa saja, karena ada beberapa spek dan komponen yang perlu ditambahkan supaya bangunan tersebut menjadi kuat dan tahan terhadap goncangan.

Namun semenjak gempa tahun 2009, di beberapa tempat pembangunan gedung-gedung pemerintah dan swasta, sudah memerhatikan ancaman terhadap gempa, misalnya untuk keperluan bisnis, sudah ada hotel-hotel yang dibangun dengan memerhatikan kondisi ini, sehingga apabila hotel atau atau Convention Hall tersebut tidak aman terhadap gempa, maka masyarakat tidak akan bersedia untuk memanfaatkannya, begitu juga dengan bangunan rumah, jika rumah tidak aman dan ramah terhadap gempa maka masyarakat tidak bersedia bertamu ke rumah tersebut. Selain itu, perhatian terhadap

Page 110: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 95

hal ini, bukan saja hanya pada bangunan, namun juga pada orang yang ada dalam bangunan tersebut, di mana karyawan-karyawan yang ada diberikan pelatihan tentang gempa, dan ini menjadi salah satu cara yang dilakukan oleh pihak hotel untuk mempromosikan hotel-hotel yang ramah dan tahan terhadap gempa. Selain itu, ditambah dengan tersedianya SOP di masing-masing kamar hotel.

Selanjutnya hal yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang dalam rangka mitigasi bencana gempa bumi adalah Pemerintah Kota Padang merencanakan pembangunan bukit Buatan seperti TEP (tsunami evacuation park) dan emergency landing. Untuk rencana pembangunan TEP tersebut yang nantinya dapat berfungsi sebagai tempat evakuasi sementara bagi masyarakat yang terkena bencana gempa bumi yang diikuti dengan tsunami. Rencana pembangunan TEP ini ditempatkan di daerah Landasan Udara Tabing yang berjarak sekitar 500 Meter dari garis Pantai Padang. Penyiapan TEP ini untuk evakuasi vertikal, mengingat topografi di sekitar wilayah ini yang landai, sehingga tidak memungkinkan masyarakat untuk bisa melarikan diri (evakuasi horizontal) ke arah perbukitan dalam rentang waktu yang cepat jika seandainya bencana gempa bumi disertai tsunami datang melanda, untuk itu pembangunan TEP yang direncanakan tahun 2017 ini bisa segera terealisasikan. Seperti gambar 5.2 berikut ini.

Sumber: BPBDPK Kota Padang, 2017

Gambar 5.2 Rencana TEP di Kota Padang

Page 111: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi96

Pada gambar 5.2 terlihat bahwa rencana pembangunan TEP ini nantinya terdapatnya bukit buatan yang merupakan untuk keperluan evakuasi secara vertikal, adapun dalam persiapan pembangunan TEP ini bekerja sama dengan TNI AU, karena berkaitan dengan rencana lokasi pembangunan TEP yang berada di dekat Lapangan Udara TNI AU Tabing. Sedangkan rencana luas dari TEP ini adalah dipersiapkan adalah seluas 2 ha, dengan ketinggian 12M. Bukit ini diharapkan bisa berguna dan bisa menampung masyarakat yang menyelamatkan diri dari ancaman gempa bumi dan tsunami.

Pembangunan TEP ini merupakan salah satu langkah yang dilakukan Pemerintah Kota Padang dalam rangka mitigasi bencana struktural. Selain rencana pembangunan TEP, Pemerintah Kota Padang juga berencana membangun emergency landing. Hal ini, dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya gempa besar yang akan melanda Kota Padang (belajar dari kasus gempa Aceh, 2004), ada kemungkinan, di mana seluruh fasilitas publik yang dekat dengan pantai seperti Bandara Internasional Minangkabau, Bandara Tabing, Pelabuhan Teluk Bayur dan Pelabuhan Bungus Teluk Kabung tentu akan hancur. Fungsi dari emergency landing adalah untuk mengirimkan logistik lewat udara serta bantuan kepada masyarakat. Emergency landing itu sendiri direncanakan dibangun di Jalan Padang by pass yang segmennya bisa antara TVRI Sumatera Barat dan Lubuk Minturun, hal ini dengan pertimbangan jarak dan track yang lurus sepanjang 1km, sehingga hal ini mencukupi untuk dijadikan sebagai landasan pesawat (runway) untuk melakukan pendaratan. Rencana pembangunan emergency landing tersebut mendapat respons positif dari Presiden Joko Widodo sewaktu melakukan kunjungan kerja ke Sumatera Barat.

b. Pengaturan Infrastruktur dengan Membangun Jalur Evakuasi

Penyediaan prasarana dan infrastruktur, merupakan bagian dari mitigasi struktural, misalnya penyediaan jalur evakuasi. Untuk pelaksanaannya tanggung jawab diserahkan ke Dinas Pekerjaan Umum, sedangkan perencanaannya ada di Dinas TRTB dan Bappeda. Dalam rangka penyediaan jalur evakuasi ini, pemerintah kota telah mencanangkan jalur-jalur evakuasi, yang melintang dari barat ke timur, yaitu mulai dari pesisir barat Kota Padang menuju ke jalan by pass, hal ini karenakan Kota Padang memanjang dari utara ke selatan. Terdapat

Page 112: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 97

12 ruas jalur evakuasi yang telah disiapkan. Dalam hal pelaksanaan pekerjaan jalan tersebut dilakukan bekerja sama dengan Provinsi Sumatera Barat dan Balai Jalan Nasional. Di mana masing-masing instansi memiliki tugas dan kewenangan yang berbeda terkait dengan pembangunan jalur evakuasi tersebut. Beberapa jalur evakuasi telah dilebarkan dan ditingkatkan kualitasnya, baik jalur yang besar seperti jalan Alai-By Pass, ataupun jalan-jalan yang kecil seperti jalan inspeksi di sepanjang jalan Banda Bakali. Sementara itu jalan-jalan yang di kompleks perumahan juga diupayakan ditingkatkan kualitasnya dan dilebarkan sebagai jalur evakuasi.

Dengan terlambatnya pembangunan beberapa ruas jalan yang diakibatkan oleh pembebasan lahan yang belum selesai maka tentu saja juga berakibat kepada tersendatnya program pembangunan jalur evakuasi ini. Berikut ini salah satu gambar dari foto satelit jalur evakuasi gempa dan tsunami yang membentang dari barat ke timur Kota Padang, yaitu dari Jalan Siteba menuju jalan By Pass dengan lebar 15 m dan panjangnya 4,1 km. Pada gambar 4.5 dapat dilihat arah panah yang berwarna kuning ada pada gambar dapat memberikan penjelasan terhadap arah jalur evakuasi tersebut.

Sumber: Bappeda Kota Padang, 2017

Gambar 5.3 Jalur Evakuasi Jalan Siteba ke By Pass Korong Gadang

Page 113: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi98

Pembangunan jalur evakuasi ini juga mendapat dukungan dari pihak dunia internasional, dengan pembangunan salah satu jalur evakuasi di daerah Pasir Nan Tigo Kota Padang, pembangunan jalur ini dilakukan dalam rangka kegiatan/program Pasific Partneship yang dikerjakan oleh tentara Amerika dengan membangun jalan sepanjang 1 km. Dengan adanya pembangunan jalan ini diharapkan masyarakat akan bisa memanfaatkannya nanti untuk evakuasi jika terjadi bencana gempa bumi yang diikuti tsunami. Di samping adanya pembangunan jalur dan pelebaran jalan arteri maka Pemerintah Kota Padang juga merencanakan pelebaran beberapa unit jalan di daerah Kota Tangah dan Kuranji yang pembangunan jalan tersebut dianggarkan dalam APBD Kota Padang. Akan tetapi, tidak semua jalur bisa dibangun dengan baik, kondisi di lapangan menjadi kendala, di antaranya mengenai kepemilikan lahan. Kepemilikan lahan di Kota Padang dimiliki oleh kaum atau suku atau disebut juga tanah ulayat, di mana kepemilikannya menyangkut banyak orang, sehingga timbul kesulitan bagi pemerintah untuk melakukan pembebasan lahan, ini berakibat kepada lamanya waktu penyelesaian jalur evakuasi.

c. Penataan Bangunan dengan Pembangunan Shelter

Pembangunan shelter evakuasi ini merupakan bagian dari mitigasi struktural yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang. Shelter yang dibangun merupakan bentuk daripada proses evakuasi vertikal yang dilakukan jika gempa yang terjadi menimbulkan tsunami. Shelter-shelter yang ada merupakan bangunan pemerintah yang bisa dipakai oleh masyarakat, selain itu juga bangunan milik perorangan, atau swasta yang bisa dimanfaatkan untuk evakuasi. Dalam hal ini pemerintah telah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait terutama yang dari swasta atau perorangan bahwa bangunan milik mereka suatu saat jika terjadi bencana bisa dipakai oleh masyarakat menjadi shelter.

Strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang dalam penyediaan shelter adalah dengan menjadikan sekolah, perkantoran, pasar, rumah ibadah dan seluruh bangunan bertingkat seperti hotel-hotel bisa dapat dipakai untuk shelter. Dengan adanya strategi tersebut maka pemerintah dapat menghemat biaya dalam penyediaan shelter. Karena menurut data di lapangan untuk membangun satu shelter saja Pemerintah Kota Padang membutuhkan dana sampai 20 miliar. Akan

Page 114: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 99

tetapi, dengan adanya pemanfaatan gedung-gedung tersebut, maka biaya yang dikeluarkan menjadi berkurang.

Dengan adanya, pemanfaatan gedung milik swasta sebagai shelter maka Pemerintah Kota Padang perlu membuat MoU dengan pihak terkait, karena pemerintah perlu menjelaskan kepada pemilik gedung, bahwa apabila terjadi bencana maka gedung tersebut bisa dipakai oleh masyarakat untuk menyelamatkan diri. Salah satu pihak swasta yang menyambut baik program ini adalah Hotel Grand Zuri. Menurut hasil wawancara dengan RR dan MD, Hotel Grand Zuri adalah satu-satunya hotel di Kota Padang yang telah menandatangani kerja sama (MoU) dengan pemerintah kota, pihak hotel bersedia menampung masyarakat yang ingin menyelamatkan diri dari ancaman gempa yang disertai tsunami, di hotel ini juga sudah tersedia gudang untuk camp pengungsian sementara dan juga telah dipasangi sirine tsunami.

Selain itu beberapa shelter dari sejumlah gedung di Kota Padang yang sudah diperuntukkan seperti SMA 1 Padang, SMK 5 Padang, SMP 25 Padang, SMP 7 Padang, escape building di Kantor Gubernur Sumatera Barat, Gedung Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Pasar Raya dan juga beberapa gedung yang ada di kampus Universitas Negeri Padang Air Tawar. Namun hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa ada beberapa shelter yang dibangun oleh pemerintah dalam hal ini BNPB pengelolaan shelternya tidak jelas, karena sampai sekarang ini ada dua shelter yang belum diserahterimakan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (BPBD) yaitu shelter Nurul Haq dan shelter Darussalam walaupun sudah diresmikan pada tanggal 23 April 2015. Berikut ini dapat dilihat gambar shelter yang dibangun oleh BNPB di Kota Padang.

Page 115: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi100

Sumber: BPBDPK Kota Padang, 2016

Gambar 5.4 Shelter yang Dibangun oleh BNPB

Dengan belum diserahterimakannya kedua shelter tersebut maka pemanfaatan terhadap shelter tersebut menjadi sulit, dikarenakan akses ke shelter menjadi terkendala. Hal ini berdampak kepada pengelolaan shelter menjadi tidak jelas.

3. Penyelenggaraan Pendidikan, Penyuluhan, dan Pelatihan Baik Secara Konvensional Maupun Modern

Kegiatan dalam rangka mitigasi bencana pada poin ini, ada beberapa kegiatan/program yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang yang dapat dijelaskan pada poin ini. Berdasarkan data yang didapat di lapangan maka dikelompokkan beberapa kegiatan yang termasuk ke dalam hal yang berupa kegiatan yang bersifat konvensional dan hal yang bersifat modern. Untuk kegiatan yang bersifat konvensional terdiri dari: (1) pemberian sosialisasi dan mengadakan simulasi evakuasi bencana, (2) pemberdayaan masyarakat melalui Kelompok Siaga Bencana (KSB)

Page 116: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 101

sedangkan pelatihan yang dilakukan secara modern adalah pelatihan radio komunikasi.

Kegiatan-kegiatan yang disebutkan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut ini.

a. Pemberian Sosialisasi dan Mengadakan Simulasi Evakuasi Bencana

Kegiatan sosialisasi tentang gempa bumi sudah dilakukan pasca kejadian gempa tahun 2009, itu artinya butuh pemahaman dari masyarakat dan upaya melibatkan komponen lebih banyak lagi dalam meningkatkan kewaspadaan dan pengetahuan masyarakat terhadap bencana. Pemahaman masyarakat yang masih kurang dan peduli terhadap bencana, serta informasi yang diterima masyarakat tidak komprehensif, maka menyebabkan ada ketakutan dalam diri masyarakat. Untuk itu, dalam rangka pengurangan risiko bencana maka sosialisasi dilakukan Pemerintah Kota Padang bekerja sama dengan NGO yang peduli dengan kebencanaan. Selain itu, sosialisasi ini juga melibatkan masyarakat dengan pembentukan Forum Kelompok Siaga Bencana, forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB), Forum PRB ini ada di tingkat kelurahan, kecamatan dan kota. Selain itu juga ada Palang Merah Indonesia, dan ada kelompok-kelompok yang dibentuk masyarakat, mereka dilatih dan mensosialisasikan tentang kebencanaan kepada masyarakat.

Kegiatan sosialisasi dilakukan ke sekolah-sekolah, hal ini penting karena anak-anak termasuk kelompok yang rentan terhadap bencana. Sosialisasi diberikan ke sekolah mulai dari PAUD sampai SMA baik itu untuk anak sekolah maupun guru (kepada semua guru sekolah, mereka nantilah yang akan sampaikan itu nanti kepada anak didiknya di daerah yang terdampak dan terpapar gempa dan tsunami). Adapun salah satu bentuk sosialisasi yang dilakukan pemerintah kota dalam hal ini BPBDPK dengan melakukan sosialisasi ke sekolah, sosialisasi dilakukan bekerja sama dengan tim dari Jepang. Adapun bentuk sosialisasi dilakukan adalah dengan cara melakukan permainan, seperti permainan dengan kartun Doraemon. Untuk kegiatan ini sendiri telah berlangsung semenjak tahun 2012 sampai sekarang (2016).

Bentuk lain dari sosialisasi yang dilakukan adalah dengan cara membuat leflat yang berisikan bahasa-bahasa yang ringan dan mudah

Page 117: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi102

dipahami. Di leflat tersebut berisikan tentang cara-cara yang perlu dilakukan di saat terjadinya gempa bumi. Jika belajar dari Jepang mengenai bencana gempa bumi maka sejak dini mereka sudah mengajarkan anak-anak untuk mengerti dan paham tentang kondisi daerah yang rawan terhadap bencana, mengajarkan bagaimana cara menghadapi keadaan pada waktu terjadinya bencana, sehingga tidak menimbulkan kepanikan. Selama ini anak-anak diajarkan, jika bencana gempa bumi terjadi bersembunyi di bawah meja. Namun sekarang hal ini perlu dievaluasi, belajar dari kejadian gempa Padang tahun 2009 di mana banyak bangunan yang roboh dan menimpa masyarakat, serta menimbulkan banyak korban jiwa. Maka cara bersembunyi di bawah meja menjadi kurang relevan lagi. Untuk itu, bagaimana membuat pemahaman kepada murid-murid untuk bisa mengetahui dan memberikan kondisi gempa, hal ini bisa dilakukan oleh guru dalam memberikan sosialisasi.

Selanjutnya adalah sosialisasi dengan cara latihan mandiri evakuasi gempa, perlu pengenalan terhadap tipologi gempa, maka masyarakat perlu cerdas dalam menanggapi gempa dan melakukan evakuasi sendiri secara mandiri dan ini memerlukan sosialisasi yang terus-menerus kepada masyarakat. Kearifan yang juga perlu diperhatikan oleh masyarakat terkait dengan fenomena gempa di Padang adalah jika terjadi gempa pada patahan Sumatera maka kondisi gempanya pasti bergetar dan kecenderungan tidak berpotensi tsunami. Akan tetapi, jika kondisi gempa mengayun pusat gempanya Mentawai dan kecenderungan potensi tsunami ada.

Adapun sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat di beberapa kecamatan dan kelurahan yang melibatkan kelompok siaga bencana dilakukan dengan cara sosialisasi melalui media cetak dan elektronik, misalnya dengan berbagai radio seperti RRI dan Clasy FM, dengan televisi nasional dan lokal seperti TVRI dan Padang TV. Sosialisasi juga dilakukan oleh KSB dan Kogami ke masjid-masjid melalui majelis taklim dan juga kepada Kaum Difabel melalui Dinas Sosial. Selain itu juga melakukan sosialisasi kepada masyakat di sepanjang pantai dengan menyebarkan informasi yang lengkap.

Namun dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa sosialisasi masih lemah karena memang tidak mudah melakukan edukasi kepada warga, hal ini dikarenakan kapasitas masyarakat itu sendiri

Page 118: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 103

yang rendah, misalnya jika terjadi gempa masyarakat disarankan tidak memakai kendaraan roda empat, karena itu akan membuat jalan menjadi macet, namun apa yang terjadi masyarakat masih saja menggunakan kendaraan untuk menyelamatkan diri, sehingga kemacetan parah terjadi saat bencana melanda. Ini terbukti dengan kejadian gempa 2 Maret 2016, di mana masyarakat menjadi cemas dan panik, apalagi ditambah dengan informasi di media massa bahwa gempa yang terjadi merupakan gempa Mentawai, yang mana masyarakat teringat dengan potensi gempa Megatrust Mentawai, maka dengan itu masyarakat menjadi cemas, padahal itu jauh di luar Mentawai dengan jarak episentrumnya yang jauh dari Kota Padang yaitu 800 km arah Barat Laut Kepulauan Mentawai, Kecemasan ini tentu saja sangat beralasan, karena ketidaktahuan masyarakat tentang info yang sebenarnya selain itu juga ada trauma dengan kejadian gempa Aceh tahun 2004, gempa Nias tahun 2006, gempa Padang tahun 2007 dan gempa Mentawai tahun 2010.

Jadi memang yang namanya masyarakat, ketika terjadi suatu bencana, mereka lupa dengan sosialisasi dan latihan yang sudah pernah dilakukan. Ketika gempa masyarakat keluar rumah dan mencari tempat yang tinggi, masyarakat lupa bahwa untuk mencari tempat evakuasi tidak seharusnya membawa kendaraan karena itu akan semakin membuat jalan menjadi macet. Untuk itu lebih intens lagi melakukan sosialisasi kepada masyarakat apalagi masyarakat yang berada pada zona merah. Sehingga masyarakat paham apa yang perlu dilakukan saat gempa terjadi, pemerintah dalam hal ini sudah mengusahakan membuat buku saku tentang ini, namun yang terjadi di lapangan jauh dari harapan. Di saat gempa terjadi apa yang diajarkan dan disosialisasikan menjadi tidak terpakai masyarakat tetap saja tidak memerhatikan apa yang telah disosialisasikan.

Lemahnya sosialisasi juga disebabkan oleh kurangnya instruktur yang mempunyai kapasitas dalam menyampaikan sosialisasi, sehingga kadang kala dalam menyampaikan materi sosialisasi keliru, kekeliruan ini berdampak kepada masyarakat yang menerima sosialisasi. Dengan demikian, keberhasilan sosialisasi tidak mesti tergantung kepada kuantitas atau seringnya melakukan sosialisasi tetapi juga kepada sumber daya dan materi yang disampaikan. Walaupun sosialisasi sering dilakukan namun jika pesan dari sosialisasi tersebut tidak sampai ke masyarakat maka sosialisasi menjadi tidak efektif.

Page 119: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi104

Pemerintah kota mengakui bahwa sosialisasi masih lemah, masyarakat masih banyak yang belum tahu tentang kegiatan penanggulangan bencana, selain itu juga masih banyak shelter belum bisa dipakai, sistem evakuasi yang belum jelas, belum banyak yang bisa dilakukan pemerintah hal ini dikarenakan keterbatasan anggaran dan waktu untuk sosialisasi tersebut. Untuk itu ke depannya perlu adanya sosialisasi dengan metode yang lebih efektif. Dengan memberikan informasi terhadap tempat-tempat evakuasi sementara, walaupun gedung ada yang bisa dipakai, sepanjang jalur evakuasi.

Adapun kegiatan simulasi bencana yang dilakukan oleh BPBDPK dengan melibatkan pihak terkait antara lain Dinas Sosial, Tagana, Dinas Pendidikan, antara lain dilakukan di beberapa tempat antara lain di Kelurahan Padang Sarai yang terlihat pada gambar 5.5 berikut ini.

Gambar 5.5 Kegiatan Simulasi Bencana di Kelurahan Padang Sarai

Page 120: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 105

Pada gambar 5.5 tersebut terlihat kegiatan simulasi bencana yang dilakukan di Kelurahan Padang Sarai. Pada gambar poin 1, 2 dan 3 terlihat sebelum kegiatan simulasi diadakan maka perlu dipersiapkan pemandu yang akan menjalankan kegiatan simulasi di lapangan. Untuk itu para pemandu atau mentor ini perlu dibekali terlebih dahulu dalam rangka menyamakan persepsi mengenai kegiatan simulasi yang akan diadakan. Selain itu juga pada gambar poin 4 terlihat foto siswa/i yang sedang berlari untuk menyelamatkan diri dari ancaman gempa bumi dan tsunami yang dilakukan dalam kegiatan simulasi tersebut.

Selain di Kelurahan Padang Sarai, kegiatan simulasi bencana gempa bumi ini juga diadakan di Kelurahan Air Manis yang melibatkan berbagai pihak terutama masyarakat sekitar. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat terhadap pentingnya upaya penyelamatan diri secara dini terhadap ancaman gempa bumi yang bisa datang secara tiba-tiba, untuk itu masyarakat perlu diedukasi supaya bisa menyelamatkan diri sedini mungkin jika bencana gempa bumi datang melanda. Pada gambar 5.6, poin 1, 2 dan 3 terlihat sekelompok masyarakat melakukan evakuasi ke daerah yang lebih aman, baik itu menjauhi daerah yang berbahaya ataupun evakuasi secara vertikal dengan mencari tempat yang lebih tinggi, selain masyarakat, kegiatan ini juga melibatkan siswa/i yang ada di kelurahan ini. Pada gambar 5.6 poin 4 terlihat sejumlah siswa/i melakukan evakuasi secara horizontal menjauhi daerah yang rawan bencana gempa bumi. Berikut ini dapat disajikan gambar 5.6.

Page 121: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi106

Sumber: BPBDPK, 2016

Gambar 5.6 Kegiatan Simulasi Bencana di Kelurahan Air Manis

Pada tahun 2016 simulasi evakuasi bencana gempa bumi ditempatkan di shelter Nurul Haq dengan melibatkan masyarakat dan anak sekolah serta semua stakeholders yang ada seperti LSM, PMI, ORARI, KSB, Forum PRB dan masyarakat difabel. Pada gambar 5.7 poin 1 terlihat gambar peserta simulasi gempa yang berfoto bersama setelah kegiatan selesai dilaksanakan, peserta berasal dari berbagai elemen masyarakat antara lain pemuda pancamarga, kelompok siaga bencana, dan lain-lain. Sementara itu gambar 5.7 poin 2 memperlihatkan gambar shelter tempat pelatihan simulasi bencana gempa bumi diadakan

Page 122: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 107

yaitu shelter Nurul Haq yang bertempat di Parupuk Tabing. Sedangkan pada gambar 5.7 poin 3 terlihat suasana simulasi evakuasi bencana yang dilakukan oleh anak sekolah dasar dengan turut serta hadir para peneliti asing dari berbagai negara yang konsen terhadap kebencanaan, dan untuk gambar 5.7 poin 4 terlihat suasana rapat koordinasi yang dipimpin oleh kepala pelaksana BPBDPK Kota Padang dalam rangka melakukan evaluasi terhadap kegiatan simulasi bencana yang telah selesai dilaksanakan. Rapat koordinasi ini dihadiri oleh berbagai unsur antara lain dari BMKG, Orari, KSB, Kogami, Mercy Corps, peneliti dari ITB. Berikut ini dapat dilihat pada gambar 5.7 secara keseluruhan.

Sumber: Dokumen Pribadi, 2016

Gambar 5.7 Kegiatan Simulasi Gempa Bumi di Shelter Nurul Haq

Page 123: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi108

b. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kelompok Siaga Bencana

Sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, maka pada Tahun 2011 telah dibentuk Kelompok Siaga Bencana (KSB) sebanyak 2.080 orang di 104 Kelurahan. Pembentukan KSB dan dilakukan edukasi supaya KSB menjadi kelompok yang kuat, kelompok ini yang nantinya akan mentransfer ke masyarakat pengetahuan mereka terhadap kebencanaan, bagaimana kelompok ini memberikan pengetahuan kepada masyarakat jika bencana terjadi. Untuk itu, sejak tahun 2011 s.d sekarang, secara bertahap anggota KSB diberikan pendidikan dan pelatihan oleh pemerintah melalui BPBD-PK Kota Padang. Salah satu bentuk pelatihan yang diberikan adalah yaitu pada Tahun 2015 telah dilaksanakan Pelatihan SAR bagi KSB kelurahan dan instansi/lembaga terkait kebencanaan yang melibatkan 230 orang peserta, dengan fokus pada materi Rescue Air. Kegiatan Pelatihan KSB dilakukan setiap tahun baik itu kegiatan yang dilakukan oleh BPBD maupun yang dilakukan oleh NGO dan LSM yang bergerak di bidang kebencanaan seperti Mercy Corps, Kogami dan Jemari Sakato.

Dengan adanya KSB di tengah-tengah masyarakat, diharapkan akan mampu melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang mitigasi bencana karena KSB termasuk ujung tombak pelaksana penanggulangan bencana di daerah. Karena berada di komunitas, dan berhadapan langsung dengan masyarakat, dan mendapatkan risiko dari bencana yang terjadi, KSB berada paling depan dalam penanggulangan bencana. Dengan 104 KSB yang ada di kelurahan sekarang ini, banyak dari mereka yang kapasitas personal dan kelembagaannya sangat lemah.

Lemahnya kapasitas tersebut dikarenakan secara personal KSB tidak mempunyai kapasitas sebagai kelompok siaga bencana karena yang terlihat justru KSB itu menjadi tim SAR, di mana di saat bencana terjadi mereka melakukan penyelamatan, hal demikian tidak sepenuhnya keliru, namun secara fungsional KSB berfungsi sebagai elemen kelompok siaga bencana (hal ini tercermin dari namanya), berarti kelompok ini bukan hanya berfungsi sebagai Tim Rescue saja, namun juga perlu memiliki kompetensi yang mesti dimiliki oleh KSB ini adalah yang lebih dominan apa yang didorong oleh UU No. 24 Tahun 2007, upaya prabencana (mitigasi) itu yang seharusnya ditingkatkan, dengan mempersiapkan mitigasi, membangun upaya peringatan dini dan kesiapsiagaan serta

Page 124: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 109

melakukan upaya pencegahan. KSB yang sebagai ujung tombak mestinya memiliki kemampuan sebagai fasilitator dalam melakukan upaya-upaya membangun kesiapsiagaan dan membangun mitigasi sesuai dengan konteks daerah, ini yang belum terjadi di Kota Padang. Untuk itu pembekalan dan keterampilan KSB perlu ditingkatkan, karena nanti juga selain berfungsi sebagai Tim Reaksi Cepat (TRC) dan Rescue, juga memberikan pembekalan kepada masyarakat di saat kondisi tidak terjadi bencana. Gambar berikut ini dapat dilihat berbagai pelatihan-pelatihan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kapasitas KSB.

Sumber: BPBDPK Kota Padang, 2016

Gambar 5.8 Pelatihan SAR se Kota Padang

Page 125: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi110

Kegiatan lain yang dilakukan oleh Kelompok Siaga Bencana adalah melakukan sosialisasi kepada masyakat untuk evakuasi mandiri dan evakuasi keluarga. Dalam hal ini setiap keluarga dihimbau untuk melakukan evakuasi keluarga, di mana mereka merencanakan sendiri mengenai evakuasi keluarga dan itu disimulasikan. Sosialisasi ini dilakukan, karena berdasarkan pengalaman pada saat terjadi gempa itu kondisi anggota keluarga bervariasi, tidak semua berada pada tempat yang sama, ada yang di sekolah, di tempat kerja dan ada juga yang di rumah. Sehingga dalam menyusun rencana evakuasi keluarga ini beberapa kondisi tersebut menjadi rumusan, dari rumusan itu dibuatlah keputusan apa yang harus dilakukan pada saat terjadi gempa, sehingga masing-masing anggota keluarga itu tidak mencari satu sama lain, anggota keluarga sudah paham apa yang harus dikerjakan, sehingga dengan demikian yang perlu dilakukan oleh anggota keluarga itu menyepakati di mana titik kumpul bagi anggota keluarga tersebut setelah kondisi aman. Perihal ini disampaikan kepada masyarakat dalam usaha menghindari banyaknya korban-korban yang tidak perlu saat terjadinya gempa bumi yang menimbulkan kepanikan, menurut pemerintah kota dalam hal ini BPBDPK edukasi ini disadari masih kecil dipahami oleh masyarakat sehingga masih perlu terus-menerus dilakukan dan memiliki tantangan yang berat, kerja sama dari semua pihak akan sangat membantu ke arah kegiatan ini.

Di Kota Padang, salah satu KSB yang cukup aktif melaksanakan kegiatan adalah KSB Parupuk Tabing. Mereka bekerja sebagai relawan tanpa didukung oleh finansial yang kuat dan bekerja secara sukarela. KSB Parupuk Tabing, yang di daerahnya memiliki jumlah penduduk yang cukup padat yaitu 24.000 jiwa, dan di mana 50% nya berada pada garis pantai yang berarti 100% berada pada zona merah gempa bumi dan tsunami. Namun dengan demikian, KSB Parupuk Tabing ini merupakan salah satu dari sekian banyak KSB yang ada di Kota Padang yang dapat dikategorikan masih aktif beraktivitas walaupun tidak ada dukungan finansial secara simultan dari pemerintah kota, namun mereka tetap melakukan kegiatan dalam rangka pengurangan risiko bencana.

Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh KSB Parupuk Tabing antara lain dengan menyampaikan informasi kepada masyarakat melalui masjid, mereka mengunjungi masjid-masjid yang ada di wilayahnya dan menyampaikan materi tentang kebencanaan, selain itu juga mereka

Page 126: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 111

menyampaikan ceramah kebencanaan pada saat bulan puasa, bersamaan dengan diadakan ceramah agama pada malam-malam di bulan ramadhan, selain itu juga masuk ke sekolah-sekolah yang mengadakan pesantren ramadhan, mereka memberikan materi kebencanaan kepada anak-anak sekolah.

Kegiatan yang dilakukan ini tidak lepas dari adanya kerja sama KSB dengan pengurus masjid, RW setempat dengan mendatangkan juga para pakar kebencanaan dari perguruan tinggi dan praktisi untuk memberikan materi bencana. Adapun cara yang dilakukan KSB Parupuk Tabing dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat adalah dengan membuatkan surat ke masjid-masjid memberitahukan bahwa akan ada talkshow di radio classy FM, yang di-relay di corong masjid-masjid yang ada di Parupuk Tabing. Sehingga masyarakat mengetahui ada kegiatan talkshow di radio mengenai kebencanaan, acara dilakukan dengan interaktif, sehingga ada kesempatan masyarakat juga untuk bertanya.

Sedangkan untuk di tingkat sekolah, hal yang dilakukan adalah adanya upaya pembentukan Kelompok Siaga Bencana Sekolah (KSBS). Namun untuk KSBS sampai hari ini masih belum signifikan responsnya, masih tergantung pihak sekolah, dan belum ada instruksi dan mewajibkan sekolah, namun seharusnya pemerintah sudah tegas, membentuk KSBS di sekolah dan menjadikan materi mitigasi bencana dalam muatan lokal. Tahun 2007–2008, Ada inisiatif untuk implementasi kurikulum mutan lokal siaga bencana, sebelumnya tahun 2007 itu juga sudah ada inisiatif dari Kogami bersama pihak-pihak terkait juga, bagaimana mitigasi bencana ini bisa masuk dalam mata pelajaran anak-anak sekolah, Kogami membentuk waktu itu kelompok MGMP kurikulum siaga bencana, jadi tahun 2007-2008 sudah ada kurikulum muatan lokal, dan bahan ajar, Kogami melakukan pendampingan terhadap 4 SD, 4 SMP dan 4 SMA di Kota Padang.

Namun sampai saat ini hanya ada satu SMA yang mengimple-mentasikan kurikulum tersebut yaitu SMA Pertiwi 1, sehingga sekolah ini sekarang menjadi barometer kurikulum kebencanaan di Kota Padang, sekolah ini juga pernah mendapat penghargaan dari BPBD, selain itu SMA Pertiwi 1 ini juga pernah dikunjungi oleh komunitas internasional di bidang kebencanaan dan diliput oleh televisi asing dalam kegiatan mereka mengenai kebencanaan, masuk majalah National Geography dan

Page 127: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi112

buletin BNPB dengan sekolah siaga bencananya. Tahun 2014 ketika sekolah lain kekurangan murid karena takut isu gempa dan tsunami malah sekolah ini ada penambahan murid baru.

c. Pelatihan Radio Komunikasi

Selain itu juga KSB yang ada di Kota Padang juga mendapatkan Pelatihan alat radio komunikasi yang dilakukan bekerja sama dengan Mercy Corp, PT. Semen Padang, dan USAID. Pelatihan ini dilakukan dengan maksud memberikan pemahaman kepada pelaku kebencanaan untuk bisa saling berkomunikasi di saat bencana terjadi, sehingga koordinasi tetap bisa berjalan di kala bencana melanda. Dengan adanya pelatihan ini diharapkan tidak terjadi lagi yang namanya “miss communication” di lapangan. Adapun pelatihan ini diikuti sebanyak 50 orang peserta dari perwakilan seluruh Forum Kelompok Siaga Bencana setiap kecamatan di Kota Padang dan TRC Semen Padang.

Sedangkan dalam rangka mendukung penanggulangan bencana di Kota Padang terkhusus gempa bumi dan tsunami, maka beberapa kegiatan kebencanaan yang berfokus kepada mitigasi bencana di- pusatkan di Kota Padang. Kegiatan ini melibatkan dari berbagai pihak, seperti Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, pemerintah pusat, lembaga asing ataupun negara asing. Dengan demikian, dari berbagai kegiatan tersebut diharapkan mampu memberikan kesiapan dan kesiapsiagaan bagi Kota Padang dalam penanggulangan bencana gempa bumi. Untuk itu ada beberapa kegiatan yang dilakukan tersebut dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut ini.

Page 128: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 113

Tabe

l 5.1

Keg

iata

n-ke

giat

an d

alam

Ran

gka

Miti

gasi

Benc

ana

Gem

pa B

umi d

an T

suna

mi

No

Nam

a Ke

giat

anTa

ngga

l Ke

giat

anTu

juan

Keg

iata

nRe

kom

enda

si d

an a

tau

Man

faat

Keg

iata

n

1D

ekl

aras

i P

adan

g (

De

cla

ra

tio

n of

Par

tici

pant

s in

th

e In

tern

atio

nal

Conf

eren

ce o

n th

e Su

mat

ran

Eart

hqua

ke

Chal

leng

e)

24-2

8 A

gust

us

2005

Men

disk

usik

an b

enca

na g

empa

bum

i di b

agia

n ba

rat

Sum

ater

a. P

ara

pene

liti m

elap

orka

n ha

sil p

enel

itian

te

rakh

irnya

mas

ing-

mas

ing

men

gena

i gem

pa b

umi d

an

tsun

ami d

i Pro

vins

i Sum

ater

a U

tara

dan

Pro

vins

i Ace

h se

rta

pene

litia

n te

rbar

u m

erek

a te

rhad

ap a

ncam

an

pote

nsi g

empa

bum

i Sum

ater

a Ba

rat.

Rek

omen

dasi

kh

usus

/spe

sifi

k di

sam

paik

an k

epad

a pe

mer

inta

h da

n or

gani

sasi

-org

anis

asi l

ainn

ya u

ntuk

men

gura

ngi/

m

empe

rkec

il ris

iko

akib

at b

enca

na g

empa

bum

i dan

ts

unam

i.

Bagi

pem

erin

tah

daer

ah y

aitu

ber

upa

seca

ra b

erta

hap,

up

aya

sist

emat

is d

alam

mem

perk

ecil

risi

ko t

imbu

lnya

ko

rban

jiw

a, h

arta

-ben

da d

an p

rodu

ktiv

itas h

arus

men

jadi

su

atu

tuju

an u

tam

a. U

paya

-upa

ya t

erse

but

mel

iput

i tig

a ha

l, ya

itu p

endi

dika

n, p

ersi

apan

tan

ggap

-dar

urat

da

n pe

ruba

han

infr

astr

uktu

r. 1

). U

ntuk

pen

didi

kan

dire

kom

enda

sika

n ag

ar p

endi

dika

n m

enge

nai

gem

pa

bum

i da

n ts

unam

i di

mas

ukka

n ke

dal

am k

urik

ulum

se

kola

h. H

al i

ni b

eser

ta u

paya

-upa

ya k

epen

didi

kan

lain

nya

haru

s dap

at m

enja

ngka

u le

bih

bany

ak k

omun

itas

mas

yara

kat

yang

ber

isik

o te

rken

a da

mpa

k be

ncan

a se

rta

mes

ti d

isus

un p

rogr

am j

angk

a pe

njan

g se

cara

be

rkes

inam

bung

an. 2

) unt

uk p

ersi

apan

tang

gap

daru

rat,

akse

s (t

rans

port

asi &

kom

unik

asi)

ke d

aera

h ya

ng a

kan

terk

ena

peng

aruh

gem

pa b

umi b

esar

dan

tsun

ami d

i mas

a ya

ng a

kan

data

ng m

erup

akan

hal

yan

g sa

ngat

pen

ting

bagi

upa

ya p

enye

lam

atan

jiw

a da

n ha

rta-

bend

a se

rta

upay

a pe

mul

ihan

kem

bali

sete

lah

gem

pa b

umi

besa

r da

n ts

unam

i ya

ng a

kan

terj

adi

ters

ebut

. Pe

rlu

upay

a m

emas

tikan

/re-

eval

uasi

terh

adap

aks

es je

mba

tan

utam

a,

jala

n, p

elab

uhan

laut

dan

pel

abuh

an u

dara

yan

g da

pat

sege

ra d

ifung

sika

n se

cara

cepa

t set

elah

terk

ena

peng

aruh

te

rjad

inya

gem

pa b

umi

besa

r da

n ts

unam

i. Re

ncan

a Ti

ndak

Tan

ggap

-Dar

urat

seb

elum

ter

jadi

ben

cana

(pr

a-be

ncan

a) h

arus

dip

ersi

apka

n, d

ieva

luas

i dan

dis

imul

asik

an

seca

ra b

erka

la p

ada

sem

ua le

mba

ga d

an m

asya

raka

t.

Pere

ncan

aan-

pere

ncan

aan

ini

dipe

rluk

an b

agi

daer

ah

yang

ber

ada

dala

m z

ona

land

aan

tsun

ami.

Page 129: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi114

2M

enta

wai

M

egat

hrus

t Disa

ster

Re

lief E

xerc

ise 2

013

– 20

14 (M

M D

irex)

Ta

hu

n

20

13

-20

14Se

baga

i sa

lah

satu

upa

ya p

enin

gkat

an k

apas

itas

da

n ke

siap

siag

aan

mas

yara

kat

di d

aera

h ra

wan

be

ncan

a ad

alah

mel

alui

latih

an d

an p

elat

ihan

, Unt

uk

men

gura

ngi r

isik

o an

cam

an G

empa

Bum

i dan

Tsu

nam

i di

Pro

vins

i Sum

ater

a Ba

rat,

BN

PB t

ahun

201

4 te

lah

mem

fasi

litas

i pen

yele

ngga

raan

Gel

adi P

enan

ggul

anga

n Be

ncan

a M

M D

iREX

.

Kegi

atan

MM

DiR

ex 2

014,

kaw

asan

pri

orit

as a

dala

h se

panj

ang

Pant

ai B

arat

Pul

au S

umat

era.

Keg

iata

n ra

ngka

ian

pela

tihan

kes

iaps

iaga

an d

ari M

M D

iRex

201

4 ba

ik d

i tin

gkat

loka

l, na

sion

al b

ahka

n re

gion

al m

erup

akan

ca

ra u

ntuk

mem

perk

uat k

etan

gguh

an d

alam

men

ghad

api

benc

ana,

yan

g di

ant

aran

ya m

elip

uti:

Gel

adi R

uang

/Tab

le

Top

Exrc

ise (T

TX),

Gel

adi P

osko

/Com

man

d Po

st E

xerc

ise

(CPX

), G

elad

i La

pang

an/F

ield

Tra

inin

g Ex

erci

se (

FTX)

, Ev

akua

si M

andi

ri/In

depe

nden

t Eva

cuat

ion

(IM),

Kegi

atan

So

sial

Kem

asya

raka

tan/

Hum

anita

rian

Civi

c Act

ion

(HCA

) .

3Pa

sifi

c Pa

ther

nsip

20

1622

- 3

1 Ag

ustu

s 20

16M

elak

ukan

pel

atih

an p

enan

gana

n ko

rban

ben

cana

de

ngan

mel

ibat

kan

piha

k as

ing

(int

erna

sion

al),

se

hing

gga

dipe

rluka

n ko

ordi

nasi

yan

g te

rpad

u an

tara

se

mua

pih

ak d

alam

pen

anga

nan

benc

ana.

Men

ingk

atka

n in

tero

pera

bilit

as k

eseh

atan

mili

ter,

Pe

ngob

atan

dan

pem

bang

unan

fas

ilita

s ke

seha

tan,

M

empe

rkua

t dan

mem

pere

rat h

ubun

gan

anta

ra n

egar

a pe

sert

a, d

an f

orum

per

tuka

ran

peng

etah

uan

dan

peng

alam

an b

idan

g ke

seha

tan

mili

ter,

ter

utam

a da

lam

m

eres

pons

anc

aman

non

trad

isio

nal d

i mas

a de

pan.

4In

dian

-Oce

an Ts

unam

i Ea

rly

War

ning

and

M

itig

atio

n Sy

stem

at

au d

isin

gkat

IO

-TE

WS

7 S

ep

tem

be

r 20

16M

embe

rikan

pen

geta

huan

kep

ada

pem

erin

tah

daer

ah

men

gena

i sis

tem

per

inga

tan

dini

gem

pa d

an ts

unam

i.M

embe

rika

n re

kom

enda

si m

enge

nai

kebi

jaka

n ya

ng

kom

preh

ensi

f pa

da t

ahap

kes

iaps

iaga

an d

an t

angg

ap

daru

rat b

agia

n hi

lir d

alam

pen

ingk

atan

sist

em p

erin

gata

n di

ni ts

unam

i di K

ota

Pada

ng P

rovi

nsi S

umat

ra B

arat

.

5Ky

oto

Uni

vers

ity

Dis

aste

r Pr

even

tion

Scho

ol (K

iDS)

201

6

31 a

gust

us –

4

Sept

embe

r 201

6Ke

giat

an i

ni d

ilaku

kan

dala

m r

angk

a m

embe

rika

n pe

ngen

alan

aw

al k

epad

a an

ak s

ekol

ah d

asar

ten

tang

M

itiga

si B

enca

na d

enga

n m

elak

ukan

per

mai

nan

dan

sim

ulas

i gem

pa.

Adan

ya p

enge

tahu

an d

ini t

erha

dap

kebe

ncan

aan

yang

di

terim

a ol

eh a

nak-

anak

sek

olah

das

ar d

i Kot

a Pa

dang

Sum

ber:

dio

lah

dari

berb

agai

dat

a ol

eh p

enel

iti, 2

016

Page 130: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 115

Berbagai kegiatan yang dilakukan tersebut merupakan langkah-langkah atau upaya daripada pemerintah kota dan pihak terkait dalam rangka mitigasi pengurangan risiko bencana. Upaya tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan melibatkan banyak pihak, baik dari pemerintah itu sendiri maupun pihak asing. Dengan adanya kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengurangan risiko bencana gempa bumi.

B. Beberapa Faktor yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan Mitigasi Penanggulangan Bencana Gempa Bumi

Keberhasilan dan ketidakberhasilan dalam mengimplementasikan suatu kebijakan tergantung kepada beberapa aspek atau syarat-syarat. Dalam hal ini aspek-aspek yang memengaruhi daripada Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Mitigasi Bencana di Kota Padang dapat dijelaskan sebagai berikut ini.

1. Translation Ability

Translation Ability (Gerston, 2008) merupakan kemampuan aktor penentu kebijakan menerjemahkan dan memahami kebijakan penanggulangan bencana dan merefleksikan serta menjabarkannya dalam bentuk implementasi. Jika merujuk pendapatnya Edward III, faktor Translation Ability mirip dengan faktor Komunikasi (transmisi) yaitu merupakan faktor yang memberikan pemahaman kepada pelaksana kebijakan terhadap kebijakan yang ada. Dengan arti kata, transmisi ini merupakan pemahaman pejabat terhadap kebijakan yang telah dibuat dan perintah pelaksanaannya telah dikeluarkan. Oleh karena itu, Translation Ability merupakan salah satu “faktor kunci” dalam implementasi kebijakan penanggulangan bencana gempa bumi berbasis mitigasi bencana. Pemahaman terhadap peraturan daerah yang melandasi kebijakan penanggulangan bencana menjadi acuannya.

Translation Ability merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung efektivitas implementasi suatu kebijakan publik. Intelektual pelaksana yang dipresentasikan dengan jenjang pendidikan merupakan salah satu variabel yang mempunyai pengaruh terhadap Translation Ability. Hasil penelitian di lapangan mencerminkan fenomena

Page 131: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi116

pemahaman para pengelola kebijakan penanggulangan bencana di Kota Padang sangat parsial dan cenderung adanya ego sektoral antarbidang dalam organisasi perangkat daerah, di mana seolah-olah tanggung jawab persoalan bencana di daerah hanya oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBD-PK) saja, padahal sebenarnya di setiap organisasi perangkat daerah memiliki tanggung jawab ini.

Kegiatan mitigasi bencana yang ada dapat dikoordinasikan oleh BPBDPK, sehingga kegiatan yang diselenggarakan oleh masing-masing SKPD menjadi lebih sinkron dan tidak terjadi pengulangan program dengan objek yang sama. BPBDPK merupakan pihak yang secara teknis dianggap lebih mengetahui, cenderung mengatakan bahwa para pejabat, terutama di Lingkungan BPBDPK dan SKPD terkait dengan kebencanaan pada umumnya mengetahui, meskipun juga mengakui tidak semuanya mengetahui dan belum tentu mengetahui semuanya tentang penanggulangan bencana sebagaimana yang tertuang dalam peraturan daerah. Informan lebih cenderung berharap dengan kebijakan penanggulangan bencana dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat terhadap ancaman bencana yang akan melanda, sehingga Pemerintah Kota Padang, sudah memiliki rencana atau langkah-langkah ke depan dalam rangka mengurangi risiko bencana.

Hasil penelitian di lapangan juga mengindikasikan bahwa pemahaman BPBDPK dan SKPD terkait dengan kebencanaan masih belum memadai, dan bahkan masih ada yang belum tahu. Pemahaman BPBDPK dalam penanggulangan bencana baru sampai batas pelaksana kebijakan saja, padahal BPBDPK mempunyai kewenangan yang lebih luas lagi sebagai komando dan koordinator dari pada kebijakan penanggulangan bencana di daerah. Namun selama ini baru kewenangan sebagai pelaksana saja yang bisa diterapkan, hal ini menjadikan BPBDPK sebagai lembaga yang mengalami disfungsi. Dengan demikian, ketika fungsi yang diemban oleh BPBDPK dapat berjalan dengan baik, maka kegiatan mitigasi bencana yang ada juga akan dapat terlaksana dengan baik, karena melibatkan segenap unsur yang ada. Di samping pemahaman informan penelitian terhadap Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008, pemerolehan data juga dimaksudkan untuk mendapatkan data-data tentang tanggapan informan penelitian terhadap kebijakan penanggulangan bencana dalam hal ini lebih difokuskan kepada bencana gempa bumi. Dalam hal ini, informan diminta memberikan tanggapan

Page 132: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 117

atau penilaian mengenai kebijakan yang telah dilakukan oleh Kota Padang selama ini dalam hal mitigasi bencana.

Pemerintah Kota Padang dalam hal ini BPBDPK telah melaksanakan berbagai kegiatan dalam rangka mitigasi pengurangan risiko bencana gempa bumi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan tersebut merupakan bentuk dari tanggap jawab mereka dalam hal melindungi masyarakat dari kemungkinan terburuk yang akan diakibatkan oleh bencana yang akan terjadi.

Di lain hal, DPRD memberikan dukungan terhadap pemerintah Kota Padang dalam menjalankan kegiatan mitigasi bencana. Kemitraan yang dijalin antara pemerintah Kota (BPBDPK) dengan DPRD melalui Komisi IV. Dalam hal ini BPBDPK sebagai mitra komisi IV tentunya akan selalu berkoordinasi dan berkomunikasi apa yang akan dilakukan dalam program mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi gempa bumi. Disamping itu DPRD sebagai wakil rakyat juga perlu mendengarkan aspirasi masyarakat tentang mitigasi bencana, selain mendorong BPBD untuk menyiapkan segala macam program dalam antisipasi bencana, DPRD juga melakukan komunikasi dan koordinasi dengan dinas terkait misalnya dinas PU dan Dinas TRTB. Dengan demikian upaya yang dilakukan oleh Kota Padang dalam rangka pengurangan risiko bencana gempa bumi dirasakan sudah maksimal, berbagai kegiatan dan program untuk mengantisipasi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana sudah dikerjakan, namun semua terpulang kepada masyarakat yang akan terkena dampak dari bencana tersebut, dalam artian berbagai usaha preventif seperti simulasi dan sosialisasi sudah dilakukan pemerintah, kini tinggal masyarakat yang dengan bijak mampu menyikapinya.

Menurut peneliti, belum efektifnya sosialisasi yang ada terlihat pada kejadian gempa pada tanggal 2 Maret 2016, di mana pada gambar di bawah ini terlihat terjadi kepanikan di masyarakat saat gempa bumi melanda Kota Padang.

Page 133: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi118

Sumber: BPBDPK Kota Padang, Tahun 2016

Gambar 5.9 Kejadian Gempa Padang 2 Maret 2016

Gambar 5.9 tersebut menunjukkan betapa tidak siapnya masyarakat Kota Padang menghadapi bencana gempa, sosialisasi dan simulasi yang selama ini dilakukan seakan-akan menjadi tidak berguna dengan melihat kejadian pada gambar tersebut. Sebenarnya apa yang terjadi di masyarakat, kenapa masih saja terjadi kepanikan dan menyelamatkan diri memakai kendaraan roda empat, bukannya di saat sosialisasi dan simulasi sudah dijelaskan tata cara menyelamatkan diri. Asumsi peneliti melihat kejadian ini adalah bahwa ada yang keliru dalam pelaksanaan sosialisasi ke masyarakat, sehingga di saat bencana terjadi masyarakat masih saja panik dan terjadi kemacetan di jalan raya. Untuk itu Pemerintah Kota Padang perlu lebih intensif lagi dalam melakukan sosialisasi dan tidak hanya berhenti pada anak-anak sekolah saja, tetapi

Page 134: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 119

juga kepada masyarakat umum baik di daerah yang terpapar ataupun daerah yang terdampak tsunami, sehingga masyarakat menjadi lebih paham dan mengerti terhadap apa yang terjadi.

Menurut analisis peneliti, apa yang dilakukan Kota Padang hal penanggulangan bencana sudah menunjukkan hal yang positif, namun karena masih adanya keterbatasan sumber daya manusia, sumber daya anggaran makanya beberapa kegiatan yang sudah direncanakan kurang bisa berjalan dengan baik antara lain hal ini berdampak kepada rendahnya informasi yang didapat masyarakat.

Namun hal yang positif yang dilakukan oleh BPBDPK dalam hal ini kerja sama dengan KOGAMI. Dengan demikian, keikutsertaan Kogami dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Padang menunjukkan adanya kerja sama antara pihak pemerintah dan LSM dalam mitigasi penanggulangan bencana. Namun sangat “disayangkan” setelah kegiatan NGOs itu selesai di suatu tempat di kota Padang, tidak ada keberlanjutan yang dilakukan oleh pemerintah Kota. Ini menandakan ketidakpedulian pemerintah terhadap program yang telah ada, sehingga tidak ada keberlanjutan program. Sehingga program-program yang ada selama ini tidak begitu memiliki dampak yang signifikan kepada masyarakat. Kebijakan penanggulangan bencana yang dilaksanakan pada waktu itu tidak memberikan pemahaman yang berarti kepada masyarakat dan pemerintah. Buktinya beberapa kali Kota Padang dilanda gempa tetap saja sikap dan perilaku masyarakat tidak berubah.

Ke depannya Pemerintah Kota Padang melalui SKPD terkait hendaknya lebih tanggap dan paham dengan gejala alam yang terjadi dan berusaha untuk menyikapinya dengan baik, sehingga program-program yang ada dapat diarahkan untuk memperbaiki tingkat pemahaman dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana yang akan datang. Di lain pihak BPBDPK sebagai leading sector penanganan kebencanaan di daerah juga perlu berbenah diri dan meningkatkan pemahaman dari masing-masing aparatur yang ada, sehingga setiap kebijakan yang ada, dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya.

Dengan demikian, translation ability dipahami sebagai kemampuan yang dimiliki untuk menerjemahkan suatu kebijakan yang bersifat umum ke khusus atau dengan kata lain kebijakan yang berskala nasional

Page 135: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi120

menjadi kebijakan yang bersifat teknis dengan konteks lokal. Kebijakan penanggulangan bencana yang ada di Kota Padang jika diterapkan dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh anggota masyarakat terutama dalam hal mitigasi penanggulangan bencana. Untuk itu, translation ability pejabat/pelaksana kebijakan penanggulangan bencana tidak semata-mata dilihat dari kemampuan intelektual setiap individu pejabat/pelaksana kebijakan, akan tetapi juga pada kemampuan mengartikulasikan kewenangan yang dimiliki dalam penempatan dalam jabatan tertentu.

Namun yang terjadi adalah sering kali penempatan pejabat di SKPD tidak sesuai dengan kualifikasinya dan berimbas kepada tingkat pemahaman mereka terhadap tupoksi dan kebijakan yang ada menjadi rendah.

Rendahnya kapasitas kelembagaan dan personal BPBDPK bisa juga dilihat dari proses mutasi dan rotasi yang cukup cepat sehingga kemudian berdampak terhadap kualitas sumber daya yang ada. Sehingga faktor sumber daya menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, menurut Budiman Rusli (2013: 102) syarat berjalannya suatu organisasi adalah kepemilikan terhadap sumber daya (resources). Kekurangan terhadap sumber daya yang ada akan membuat organisasi tidak berjalan secara efektif dan efisien. Organisasi BPBDPK ini merupakan organisasi yang penting dan strategis, sehingga semestinya yang ditempatkan di BPBDPK hendaklah orang-orang yang mempunyai kompetensi dan mengerti dengan tupoksinya. Kondisi BPBDPK saat ini adalah proses turn of stafnya sangat tinggi, sehingga di waktu melakukan penguatan kapasitas serta pemahaman mereka tentang penanggulangan bencana, orang yang baru disiapkan peningkatan kapasitasnya sudah dipindah. Dengan masuknya staf baru tentu saja perlu dimulai lagi dari awal penguatan kapasitas, maka secara kelembagaan BPBDPK menjadi lemah, karena kemudian diisi oleh SDM yang tidak siap dalam menjalankan tupoksinya dalam penanggulangan bencana. Berikut ini dapat dilihat tabel 5.2 tentang pergantian pejabat di BPBDPK Kota Padang, kurun waktu dari tahun 2013-2017 yang sudah empat kali berganti kepala pelaksana BPBDPK.

Page 136: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 121

Tabel 5.2 Nama-nama Kepala Pelaksana BPBDPK Kota Padang

No Nama Tahun

1 Budhi Erwanto, M.M. 2014

2 Dedi Henidal, M.M. 2015

3 Rudi Rinaldy, M.T. 2016

4 Dr. Edi Hasymi 2017

Sumber: BPBPPK, 2017

Ada indikasi negatif, dengan seringnya pergantian kepala SKPD memberikan pemahaman yang kurang terhadap kebijakan yang akan dilaksanakan. Jika orang yang memegang kendali tersebut kurang tepat dalam mengambil kebijakan maka upaya penanggulangan bencana bisa dikhawatirkan tidak akan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan (Kusumasari, 2014b).

Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pimpinan yang sebelumnya akan berganti seiring dengan bergantinya pimpinan SKPD. Selain itu, adanya stigma negatif yang berkembang di kalangan pemerintah kota, bahwa lembaga BPBDPK ini adalah merupakan lembaga bagi orang-orang yang dianggap kurang berkompeten dan tidak penting sehingga sebelum seseorang mendapatkan jabatan yang tetap maka untuk sementara ditempatkan terlebih dahulu di BPBDPK. Padahal lembaga ini merupakan lembaga yang strategis terutama bagi daerah yang memiliki kerentanan dan kerawanan yang tinggi terhadap ancaman gempa.

Dengan demikian sudah seharusnya stigma negatif itu diperbaiki oleh Pemerintah Kota Padang, mengingat Kota Padang yang rawan terhadap bencana gempa bumi. Untuk itu kapasitas kelembagaan dan personel yang ada di BPBDPK perlu ditingkatkan, sehingga ke depannya dapat menjalankan kegiatan dan kebijakan yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, aspek translation ability dapat menjelaskan bagaimana tingkat pemahaman dan kejelasan yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan sehingga kebijakan penanggulangan bencana gempa bumi dapat berjalan dengan baik, namun yang terjadi di Kota Padang adalah pemahaman dari pelaksana kebijakan masih rendah kecenderungan ini dikarenakan adanya ego sektoral dari masing-masing lembaga yang terkait, rendahnya kapasitas personel dan lembaga dari

Page 137: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi122

BPBDPK yang merupakan leading sector dari aktor pelaksana kebijakan. Rendahnya kapasitas ini disebabkan oleh salah satunya adalah dari seringnya rotasi pejabat dan personel di lembaga ini.

2. Resources

Adapun pada penelitian ini aspek sumber daya yang dimaksud adalah berupa staff/sumber daya manusia (personnel), sarana/prasarana (equipment), dana/biaya (funding) dan tugas birokrasi (enforcement assignment bureucracies). Pada subbab berikut ini dapat dijelakan hal-hal sebagai berikut.

a. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia merupakan salah satu unsur penting dalam implementasi kebijakan penanggulangan bencana di Kota Padang. Kemampuan sumber daya manusia menentukan keefektivan daripada implementasi kebijakan. Persoalan sumber daya, merujuk pendapat Edwards III (1980: 11) bahwa hal yang diperlukan agar implementasi berjalan efektif adalah:

Important resources include staff of the proper size and with the necessary expertise; relevant and adequate information on how to implement policies and on the compliance of others involved in implementation; the authority to ensure that policies are carried out as they are intended; and facilities (including buildings, equipment, land, and supplies) in which or with which to provide services.

Sedangkan dalam konteks implementasi kebijakan penanggulangan bencana, kapasitas para pelaksana di daerah baik secara kuantitatif maupun kualitatif sangat menentukan dalam proses mentransfer kebijakan yang ada di atasnya ke dalam implementasinya. Pelaksana dalam hal kebijakan penanggulangan bencana gempa bumi berbasis mitigasi bencana yang dimaksud adalah pemerintah Kota Padang sebagai unsur penentu kebijakan dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemadam Kebakaran sebagai unsur pelaksana kebijakan. Untuk itu, perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya kapasitas sumber daya para aktor yang nantinya akan memengaruhi keterpaduan kerja dan hubungan kerja dengan lembaga terkait.

Page 138: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 123

Untuk BPBDPK Kota Padang, pada awal berdirinya bernama BPBD Kota Padang, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang dibentuk pada tahun 2008. Berdasarkan Perda Kota Padang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Padang. Namun karena perubahan SOTK berdasarkan PP 41 Tahun 2007 terjadi perubahan nama menjadi BPBDPK Kota Padang. Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBDPK) Kota Padang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 17 Tahun 2012. Pada awal berdirinya BPBD di Kota Padang, sumber daya aparatur yang ada di ‘datangkan’ dari SKPD-SKPD lain, sehingga ketercukupan terhadap sumber daya yang ada terpenuhi. Namun pemenuhan kebutuhan sumber daya tersebut tidak berdasarkan kebutuhan atau kompetensi yang diharapkan dalam organisasi BPBD. Karena orang-orang yang ditempatkan di BPBD bukanlah orang-orang yang sesuai dengan kompetensinya, sehingga pada awal pembentukan organisasi ini masih memiliki kelemahan di kapasitas personel maupun lembaga BPBD itu sendiri dalam penanggulangan bencana.

Dari hasil penelitian terlihat bahwa kondisi sumber daya manusia (staf/personel) di BPBD waktu itu memang masih belum memadai, namun ada upaya untuk yang dilakukan oleh Pemerintah Kota ke depannya untuk bisa memperbaiki kualitas sumber daya yang ada. adapun upaya yang dilakukan tersebut antara lain dalam hal rekrutmen staf. Di mana rekrutmen staf di BPBD PK (red-sekarang) dilakukan dengan memerhatikan kompetensi yang ada yaitu dalam tahap awal rekrutmen CPNS, BPBDPK mengusulkan kebutuhan untuk kualifikasi keilmuan bidang teknik geologi, teknik sipil, teknik transportasi dan tata ruang. Hal ini dilakukan guna memenuhi kebutuhan yang ada di organisasi. Selain itu juga mengajukan penambahan pegawai dari existing yang dibutuhkan, misalnya untuk rehabilitasi dan rekonstruksi BPBDPK membutuhkan penambahan personel yang sesuai dengan kualifikasi yang ada.

Intensitas bencana di Kota Padang yang tinggi baik itu bencana gempa bumi, banjir, angin puting beliung, kebakaran dan lainnya membutuhkan sumber daya manusia yang terampil dan mumpuni

Page 139: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi124

untuk menangani itu semua. Bencana unpredictable dan lingkungan bencana semakin hari-semakin naik, sehingga dibutuhkan kecakapan yang tinggi terhadap itu.

Selain adanya proses rekrutmen personel yang memerhatikan kompetensi, dalam rangka meningkatkan kualitas SDM yang ada BPBDPK Kota Padang juga melakukan pendidikan dan pelatihan. Pelatihan yang diadakan dilakukan secara reguler dan periodik, misalnya pelatihan mengikuti SAR Air, Pelatihan SCUBA, Pelatihan peningkatan kapasitas personel. Sedangkan untuk pendidikan, staff diberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan lanjut, pendidikan yang dimaksud bisa berupa capaian mendapatkan gelar ataupun non- gelar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal ini merupakan bentuk apresiasi terhadap personel yang memiliki kemampuan dan kecakapan untuk bisa meningkatkan kemampuan dan kapasitas personel dengan memberikan kesempatan untuk studi lanjut, dan setelah yang bersangkutan menyelesaikan studinya, ilmu yang didapat dapat diaplikasikan untuk kepentingan Pemerintah Kota Padang. Mengenai jumlah personel yang dimiliki oleh BPBDPK Kota Padang sampai Bulan November Tahun 2016 adalah sebanayak 108 orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 5.3 Jumlah Personel BPBDPK per November 2016

No. Unsur Pelaksana Jumlah(orang)

1. Kepala Pelaksana 1

2. Sekretariat 18

3. Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan 10

4. Bidang Kedaruratan dan Logistik 20

5. Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi 7

6. Bidang Proteksi dan SDM 11

7. Bidang Pemadam Kebakaran 41

JUMLAH 108

Sumber: BPBDPK, Tahun 2016

Berdasarkan tabel 5.3 tersebut dapat dilihat bahwa jumlah keseluruhan personel tetap (PNS) yang ada di BPBDPK adalah 108 orang. Selain itu ada juga tenaga honorer (honor daerah) berjumlah 31

Page 140: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 125

orang. Sehingga dengan demikian jumlah personel yang ada di BPBDPK berjumlah 139 orang. Dengan jumlah pegawai yang ada tersebut menurut BPBDPK dirasakan masih kurang, mengingat tingginya intensitas bencana yang terjadi di Kota Padang.

Dengan kekurangan personel yang ada di BPBDPK maka cara lain yang ditempuh untuk dapat melaksanakan kebijakan penanggulangan bencana di daerah adalah dengan membuat panitia ad hoc kebencanaan. Di mana panitia ad hoc yang dibentuk melibatkan SKPD lain yang terkait dalam hal mitigasi penanggulangan bencana, misalnya Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja. Sehingga sumber daya yang ada di masing-masing SKPD ini dapat dioptimalkan.

Dengan demikian, kekurangan personel di BPBDPK seharusnya tidak menjadikan lembaga ini menjadi tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Karena menurut Budi Winarno (2007: 181) yang dikutip dari Edward III, bahwa jumlah personel tidak selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan. Hal ini berarti bahwa jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kecakapan atau keterampilan yang dimiliki oleh para pegawai pemerintah ataupun staf yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, namun di sisi lain kekurangan staf juga akan menimbulkan persoalan yang pelik menyangkut implementasi kebijakan publik yang efektif.

b. Sarana dan Prasarana

Pemenuhan terhadap sarana dan prasarana dalam mitigasi penanggulangan bencana merupakan faktor penting. Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai, memahami apa yang harus dilakukan, dan mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi tanpa tersedianya sarana dan prasarana yang memadai maka besar kemungkinan implementasi kebijakan yang direncanakan tidak akan berhasil (Budi Winarno, 2007: 188). Kota Padang sebagai daerah yang rawan terhadap bencana gempa bumi, tentunya memerlukan sarana dan prasarana pendukung untuk melakukan mitigasi bencana. Dalam hal ini Pemerintah Kota Padang telah melakukan berbagai kegiatan dalam rangka pengurangan risiko bencana. Berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan telah tersedia, walaupun sepenuhnya belum memenuhi kebutuhan yang ada.

Page 141: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi126

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan selain adanya kekurangan sarana dan prasarana yang ada, kondisi yang terjadi saat ini di Kota Padang adalah peralatan yang tersedia di Pusat Kendali Operasional (Pusdalops) Kota Padang juga sudah ketinggalan zaman, sementara di tempat lain sudah memakai alat yang canggih, sehingga ke depannya perlu melakukan upgrade terhadap peralatan yang ada, sehingga apabila bencana terjadi Pusdalops bisa dengan segera memberikan informasi kepada pengambil kebijakan (walikota) dan masyarakat.

Untuk itu, dalam rangka meningkatkan ketersediaan peralatan yang dibutuhkan dalam rangka kebijakan mitigasi bencana gempa bumi, Pemerintah Kota Padang telah melakukan kerja sama dengan pihak ketiga, dalam hal ini baik dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumatera Barat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana ataupun pihak asing. Misalnya dalam pembangunan bukit Buatan setinggi 12 m di dekat Lapangan Udara Tabing. Pembangunan ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi gempa bumi yang disertai dengan tsunami.

Bukit buatan yang akan dibangun tersebut nantinya akan berfungsi sebagai shelter yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat evakuasi sementara jika bencana gempa bumi disertai tsunami melanda Kota Padang. Peralatan lainnya yang dipersiapkan oleh Pemerintah Kota Padang dalam rangka mitigasi bencana gempa bumi adalah pengadaan alat yang disebut sebagai Earthquake Early Warning System (EEWS), alat ini merupakan alat yang bisa dipakai untuk mendeteksi sedini mungkin kejadian gempa bumi. Alat ini merupakan hibah dari Pemerintah Cina.

Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut, diharapkan akan memberikan kesiapan kepada pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi ancaman yang akan datang. Untuk itu, pemenuhan akan sarana dan prasarana merupakan faktor penting alam upaya pengurangan risiko bencana. Dengan sarana dan prasarana yang memadai risiko yang akan datang dapat diperkecil, walaupun untuk menghilangkan bencana tersebut tentu saja tidak bisa.

c. Anggaran

Salah satu faktor yang penting dalam implementasi kebijakan penanggulangan bencana gempa bumi adalah faktor anggaran/dana. Persoalan anggaran ini selalu saja menjadi permasalahan yang klasik

Page 142: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 127

bagi pemerintah daerah dalam setiap terjadi bencana alam termasuk gempa bumi, tidak terkecuali Pemerintah Kota Padang. Dengan kondisi geografis Kota Padang yang merupakan daerah dengan intensitas bencana yang tinggi tentu saja memerlukan anggaran yang besar dalam rangka penanggulangan bencana salah satunya adalah bencana gempa bumi. Berbagai kejadian bencana alam yang terjadi di Kota Padang memberikan kontribusi terhadap ketersediaan anggaran yang memadai.

Ketersediaan dana tentu saja berimplikasi kepada adanya ketersediaan besaran Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah. Pada tabel 5.4 berikut ini dapat dilihat besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota Padang dari tahun 2013-2016.

Tabel 5.4 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Padang

Tahun Total Belanja(dalam Rp)

Total Pengeluaran Pembiayaan(dalam Rp)

2016 2.546.950.844.341 22.500.000.000

2015 2.303.776.915.505 7.500.000.000

2014 2.166.166.603.015 10.824.000.000

2013 1.679.115.884.343 12.729.140.781

Sumber: diolah dari APBD Kota Padang, Tahun 2013–2016

Jika dilihat pada tabel 5.4 anggaran belanja Kota Padang meningkat setiap tahunnya, hal ini tentu saja diharapkan akan membawa dampak yang baik juga bagi peningkatan anggaran kebencanaan. Sementara dana kebencanaan yang dianggarkan oleh Pemerintah Kota Padang dari tahun ke tahun juga terjadi peningkatan, di mana tahun 2015 anggaran kebencanaan ada sebesar 1 miliar sedangkan untuk tahun 2016 ini ada sekitar 2 miliar.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa telah terjadi peningkatan anggaran kebencanaan, namun dana yang dianggarkan tersebut mencakup untuk semua jenis bencana yang terjadi di Kota Padang, apakah itu banjir, gempa bumi, kebakaran, tanah longsor, angin badai dan banjir rob. Dana yang berjumlah 2 Miliar tersebut dirasakan masih kurang untuk pendanaan kebencanaan di Kota Padang, apalagi intensitas bencana yang terjadi di Padang dari waktu ke waktu semakin tinggi. Tingginya intensitas bencana yang terjadi di Kota Padang menyebabkan ketersediaan dana kebencanaan menjadi berkurang maka

Page 143: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi128

jika sewaktu waktu bencana yang lebih besar datang (gempa bumi misalnya) maka Pemerintah Kota Padang akan kekurangan dana.

Selama ini penganggaran Pemerintah Kota Padang untuk dana kebencanaan masih sebatas dana tak terduga. Anggaran tersebut digunakan untuk penanganan tanggap darurat pascabencana terjadi, ini sudah pernah dilakukan sewaktu kejadian gempa bumi Padang tahun 2009. Kebijakan anggaran ini menunjukkan bahwa penanggulangan bencana masih sebatas pada penanggulangan pascabencana. Paradigma penanggulangan bencana yang hanya bertumpu pada penanggulangan pasca bencana semakin lama terbukti tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang terjadi seputar penanggulangan bencana.

Seiring dengan itu maka di beberapa tempat di wilayah nusantara sering didengar dan dilihat tayangan atau berita di media masa dan elektronik bahwa pemerintah setempat sudah tidak memiliki anggaran untuk merespons bencana yang terjadi, terutama jika bencana tersebut terjadi pada akhir anggaran. Begitu juga dengan di Padang, pengalaman gempa tahun 2009 memberikan pelajaran yang berharga bagi Pemerintah Kota Padang betapa pentingnya ketersediaan anggaran kebencanaan terutama bagi masyarakat yang terkena dampak bencana. Karena dampak lanjutan keterbatasan anggaran dan keterbatasan pengelolaan bantuan tanggap darurat adalah yang terjadi misalnya naiknya angka kesakitan di masyarakat yang terkena dampak terutama kelompok rentan (balita, anak-anak, lansia dan lain-lain). Sedangkan dampak lanjutan yang lain adalah munculnya potensi konflik terkait dengan pengelolaan dan pendistribusian bantuan baik; konflik bisa terjadi antara pemberi bantuan dengan penerima bantuan maupun antarpenerima bantuan. Kejadian konflik ini pernah terjadi di Kota Padang terkait dengan bantuan rehabilitasi kejadian gempa tahun 2009.

Page 144: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 129

Berdasarkan hasil penelitian juga dapat dilihat bahwa mengenai anggaran kebencanaan di Kota Padang dapat disiasati dengan perlunya BPBDPK melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga lain yang terkait. Sehingga anggaran kebencanaan yang ada tidak harus masuk dalam anggaran BPBDPK tetapi bisa juga terdapat di SKPD terkait. Tugas BPBDPK adalah bagaimana melakukan komunikasi dengan SKPD terkait tersebut mengenai program kerja yang dilakukan terkait dengan kebencanaan. Sehingga anggaran yang ada di masing-masing SKPD tersebut dapat dioptimalkan penggunaannya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, maka persoalan anggaran dalam kebencanaan lebih komprehensif. Dalam Peraturan tersebut dijelaskan mengenai Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana terlihat berbagai jenis dana dari berbagai sumber dan yang bisa dipergunakan oleh pemerintah daerah dalam rangka penanggulangan bencana. Jadi pemerintah daerah tidak semata-mata mengandalkan dana dari APBD sebagai dana kebencanaan. Lebih lanjutkan dapat dilihat pada tabel 5.5 berikut ini.

Page 145: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi130

Tabe

l 5.5

Jeni

s dan

Sum

ber P

enda

naan

Pen

angg

ulan

gan

Benc

ana

di K

ota

Pada

ng

No

Jeni

sSu

mbe

rD

eskr

ipsi

Perm

asal

ahan

nya

Exis

ting

Kota

Pad

ang

1.D

ana

Kont

ijens

i Be

ncan

aAP

BN·

Dan

a ya

ng d

icad

angk

an u

ntuk

m

engh

adap

i ke

mun

gkin

an

be

nca

na

te

rte

ntu

ya

ng

dise

diak

an u

ntuk

keg

iata

n ke

siap

siag

aan

pada

tah

ap

prab

enca

na.

· D

an

a

Pe

na

ng

gu

lan

ga

n b

en

ca

na

y

an

g

tela

h di

alok

asik

an d

alam

APB

N a

tau

APB

D u

ntuk

mas

ing-

mas

ing

inst

ansi

/lem

bag

a te

rkai

t (P

asal

15

PP. 2

2/20

08).

PP 2

2/20

08 ti

dak

men

gatu

r den

gan

tega

s pe

ncai

ran,

pen

gelo

laan

dan

pe

rtan

ggun

gjaw

aban

dan

a in

i. Bi

la

dana

ini d

ilaks

anak

an d

enga

n sk

ema

yang

mir

ip d

ana

deko

nsen

tras

i m

aka

akun

tabi

litas

nya

akan

bur

uk.

Pad

a ke

jad

ian

Ge

mp

a Pa

dang

30

Sept

embe

r 200

9 ya

ng l

alu,

dan

a in

i bi

sa

dipe

rgun

akan

.

2.D

ana

Pena

nggu

lang

an

Benc

ana

APBN

/AP

BDD

ana

Pena

nggu

lang

an b

enca

na

tela

h di

alok

asik

an d

alam

APB

N

dan

atau

APB

D u

ntuk

mas

ing-

mas

ing

inst

ansi

/lem

baga

ter

kait

(Pas

al 1

5 PP

. 22/

2008

).

Unt

uk K

ota

Pada

ng t

elah

di

angg

arka

n da

lam

APB

D

setia

p ta

hunn

ya, s

edan

gkan

un

tuk

nom

inal

nya

men

capa

i 2

Mili

ar p

ada

tahu

n 20

16.

Page 146: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 131

3.D

ana

Siap

Pak

aiAP

BN/

APBD

Dan

a ya

ng h

arus

sel

alu

ters

edia

da

n di

cada

ngka

n ol

eh p

emer

inta

h u

ntu

k d

igu

nak

an p

ada

saat

ta

ngga

p da

rura

t ben

cana

sam

pai

deng

an w

aktu

tan

ggap

dar

urat

be

rakh

ir.

Dan

a in

i di

sedi

akan

da

n di

tem

patk

an d

alam

ang

gara

n BN

PB u

ntuk

keg

iata

n pa

da s

aat

tang

gap

daru

rat.

Pem

erin

tah

dae

rah

dap

at m

enye

dia

kan

dana

sia

p pa

kai d

alam

ang

gara

n p

en

an

gg

ula

ng

an

b

en

can

a ya

ng b

eras

al d

ari

APB

D y

ang

dite

mpa

tkan

dal

am a

ngga

ran

BPBD

.

Penc

aira

n da

na, p

engg

unaa

n da

na,

audi

t da

n pe

rtan

ggun

gjaw

aban

ke

uang

anny

a be

lum

jela

s, te

rlebi

h ya

ng m

enya

ngku

t pe

ngad

aaan

ba

rang

ata

u ja

sa (

proc

urem

ent)

. P

emb

elan

jaan

dan

a in

i ti

dak

m

emili

ki n

omen

klat

ur y

ang

jela

s,

satu

-sat

un

ya r

eke

nin

g ya

ng

ters

edia

ada

lah

reke

ning

dan

a ta

k te

rdug

a ya

ng a

kunt

abili

tasn

ya

rend

ah d

an s

arat

den

gan

beba

n po

litis

. B

ila d

ana

ini

dica

irka

n d

alam

kea

daa

n d

aru

rat

mak

a p

rose

du

rnya

ru

mit

dan

lam

a.

Dan

a si

ap p

akai

yan

g be

rsum

ber

dari

APB

D b

elum

ada

atu

rann

ya,

item

ang

gara

n in

i di

khaw

atir

kan

men

imbu

lkan

ker

enta

nan

kare

na

alok

asin

ya m

engu

rang

i an

ggar

an

kese

jaht

eraa

n so

sial

.

Dan

a in

i bis

a di

perg

unak

an

atas

per

setu

juan

kep

ala

daer

ah y

ang

men

etap

kan

kond

isi d

arur

at b

enca

na.

4.D

ana

Bant

uan

Sosi

al

berp

ola

hiba

hAP

BND

ana

yang

dis

edik

an p

emer

inta

h p

usa

t ke

pad

a p

em

eri

nta

h d

ae

rah

se

ba

ga

i b

an

tua

n p

enan

gan

an p

asca

ben

can

a.

Unt

uk m

empe

rola

h da

na i

ni,

pem

erin

tah

daer

ah m

enga

juka

n pe

rmoh

onan

ter

tulis

kep

ada

pem

erin

tah

pusa

t mel

alui

BN

PB.

Pe

ng

ala

ma

n

me

nu

nju

kk

an

akun

tabi

litas

dan

a in

i bur

uk k

aren

a m

asal

ah m

islo

kasi

dan

ves

ted

inte

rest

biro

kras

i yan

g m

enya

lurk

an

dana

Pem

erin

tah

Kota

Pad

ang

pern

ah m

enga

juka

n da

na in

i pa

sca

Gem

pa 3

0 Se

ptem

ber

2009

. D

i man

a m

asya

raka

t m

end

apat

kan

dan

a in

i b

eru

pa

dan

a b

antu

an

gem

pa.

Page 147: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi132

5D

an

a

ya

ng

be

rsu

mb

er

da

ri

Mas

yara

kat

Mas

yara

kat

Da

na

ya

ng

dih

imp

un

da

ri

mas

yara

kat

atas

sw

aday

a ya

ng

dila

kuka

n ol

eh m

asya

raka

t da

n d

icat

at s

ebag

ai p

ener

imaa

n ne

gara

pad

a AP

BD.

Pe

ng

gu

na

an

d

an

a

ini

ren

da

h

ak

un

tab

ilit

asn

ya

, ka

ren

a ad

a ke

suli

tan

un

tuk

mem

pert

angg

ungj

awab

kan.

Da

pa

t b

eru

pa

d

an

a su

mb

anga

n d

ari

pih

ak

swas

ta,

kala

u d

i K

ota

Pa

dang

mis

alny

a m

enda

pat

ban

tuan

dar

i PT

Sem

en

Pada

ng,

PT T

elko

m d

an P

T Pe

rtam

ina

beru

pa d

ana

CSR

peru

saha

an

6D

an

a

Du

kun

ga

n K

om

un

it

as

Inte

rnas

iona

l

Ko

mu

nit

as

Inte

rnas

iona

lD

an

a

yan

g

dit

eri

ma

d

ari

ko

mu

nit

as i

nte

rnas

ion

al i

ni

mas

uk k

e ka

s neg

ara

seba

gai y

ang

terc

atat

pad

a pe

nerim

aan

APBN

, da

na y

ang

mas

uk h

arus

men

dapa

t pe

mer

iksa

an d

ulu

dari

piha

k ya

ng

berw

enan

g, a

paka

h da

na i

ni

mur

ni u

ntuk

kem

anus

iaan

ata

u ad

a fa

ktor

lain

nya.

Kebe

rada

an d

ana

dari

pih

ak l

uar

nege

ri in

i kem

ungk

inan

sul

it un

tuk

dica

irkan

ole

h da

erah

, kar

ena

haru

s m

inta

izin

dul

u pe

mer

inta

h pu

sat.

Den

gan

atur

an y

ang

ada

tida

k m

udah

unt

uk b

isa

men

dapa

tkan

dan

a da

ri

piha

k as

ing,

apa

lagi

dal

am

jum

lah

yang

ban

yak.

Sum

ber:

Val

entin

a Sr

i Wiji

yant

i (Pe

nyun

ting)

, 201

0; 3

8-40

, Bad

an N

asio

nal P

enan

ggul

anga

n Be

ncan

a (B

NPB

) 201

7 da

n BP

BD K

ota

Pada

ng (2

017)

.

Page 148: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 133

Pada tahun 2016 Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Padang mendapatkan Anggaran Belanja sebesar Rp21.290.834.197,00, anggaran tersebut dipergunakan untuk pelaksanaan program/kegiatan yang ada di BPBDPK antara lain dapat dilihat pada tabel 5.6 berikut ini.

Tabel 5.6 Per-Bidang Kegiatan, BPBDPK Kota Padang Tahun 2016

No Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan

1 Pelatihan kelompok siaga bencana (KSB) kelurahan.

2 Simulasi evakuasi bencana.

3 Pemeliharaan rambu-rambu dan baliho evakuasi.

4 Pencegahan bahaya dan ancaman daerah rawan bencana (pemasangan plang daerah rawan bencana).

No Bidang Kedaruratan dan Logistik

1 Perawatan berkala sirine peringatan dini tsunami.

2 Peremajaan dan optimalisasi pusat kontrol sirine/pusdalops.

3 Penyediaan peralatan dan perlengkapan kebencanaan.

4 Pemeliharaan peralatan kebencanaan.

No Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi

1 Penyusunan detail engenering design.

2 Pengendalian dan pengawasan bencana alam.

3 Rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.

No Bidang Proteksi dan SDM

1 Pelatihan teknis sumber daya manusia aparatur.

2 Pelatihan penanganan bencana dan kebakaran.

3 Pelatihan peningkatan kemampuan sumber daya aparatur.

4 Pengembangan sumber daya aparatur.

5 Intensifikasi dan eksentifikasi alat pencegahan pencegahan kebkaran.

6 Pencegahan dan pengendalian bahaya kebakaran .

Sumber: Dokumentasi BPBPK Kota Padang tahun 2016

Dengan demikian, dari faktor anggaran Kota Padang untuk program penanggulangan bencana dari data yang tertera tersebut menunjukkan

Page 149: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi134

adanya pos anggaran pada BPBDPK Kota Padang. Namun untuk menjalankan kegiatan yang ada BPBDPK Kota Padang masih kekurangan misalnya untuk pembangunan fisik seperti shelter perlu dana 10 miliar sampai 20 miliar, sementara ketersediaan anggaran yang terbatas, sehingga Pemerintah Kota Padang melakukan kerja sama dengan pihak ketiga terutama individu-individu yang mempunyai gedung-gedung bertingkat semisal hotel. Kebijakan belanja anggaran pembangunan fisik untuk fasilitas umum seharusnya cukup aman untuk dapat menjadi shelter bagi warga ketika bencana terjadi.

Namun pengalaman gempa Padang 30 September 2009 menunjukkan fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah dan bangunan kantor pemerintah tidak cukup memadai untuk menjadi tempat berlindung yang aman bagi masyarakat saat bencana terjadi. Alokasi anggaran belanja untuk penanggulangan risiko bencana di daerah rawan bencana gempa lebih banyak terpusat pada pengurangan ancaman, yang berarti alokasi belanjanya lebih banyak untuk pembangunan fisik seperti pembuatan tanggul pemecah ombak di pinggir pantai Kota Padang, membenahi drainase yang rusak di daerah by Pass Air Pacah dan lain-lain.

C. Tugas Birokrasi/Tupoksi

Jika selama ini lembaga seperti Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) baru berfungsi sesudah bencana, maka berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 Pasal 12 ayat 2b mengenai Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) menyatakan bahwa salah satu tugasnya adalah memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara. Sementara itu untuk tingkat pemerintah daerah, Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terdapat pada Pasal 18 yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

Page 150: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 135

1. Badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib; dan

2. Badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa.

Menurut aturan tersebut pimpinan BPBD adalah seorang pejabat eselon IIa. Padahal dalam praktiknya di tata pemerintahan daerah hanya ada seorang pejabat setingkat eselon IIa di kabupaten/kota yaitu Sekretaris Daerah. Sehingga dengan demikian untuk menyiasati dari kebijakan ini maka sekretaris daerah merangkap jabatan menjadi kepala BPBD (ex officio) sementara untuk menjalankan tugas rutin ditunjuklah seorang kepala pelaksana (kalaksa) setingkat kepala dinas atau badan. Dengan demikian, tentunya tugas dan tanggung jawab kepala pelaksana menjadi cukup berat dan penting dalam setiap kebijakan penanggulangan bencana yang ada di daerah.

Kota Padang yang merupakan wilayah yang rawan dan rentan terhadap bencana gempa bumi yang disertai tsunami. Dengan kondisi ini tentu saja BPBDPK Kota Padang sebagai leading sector kebencanaan memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dijelaskan bahwa tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: (a) penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum; (b) perlindungan masyarakat dari dampak bencana; (c) pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; dan (d) pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai. Melihat bunyi pasal-demi pasal terlihat bahwa beban dan tanggung jawab pemerintah dalam penyediaan anggaran kebencanaan menjadi penting, mengingat pemerintah memiliki kewenangan dalam hal tersebut.

Fungsi Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang disebut sebagai unsur pelaksana dalam undang-undang tersebut dijelaskan pada Pasal 15 ayat 2 yaitu unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi koordinasi, komando, dan pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sehingga dengan demikian BPBD tidak hanya menjalankan fungsi sebagai pelaksana saja namun

Page 151: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi136

juga menjalankan fungsi sebagai koordinator dan komando saat bencana terjadi. Aturan lain yang menjelaskan mengenai fungsi BPBD adalah Peraturan Kepala (Perka) BNPB No. 3 Tahun 2008 tentang pedoman pembentukan BPBD, pada hal 17 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan tata Kerja Badan Penanggulangan Daerah Pasal 11 yang menjelaskan bahwa dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, BPBD mempunyai fungsi koordinasi, komando dan pelaksana, oleh karenanya hubungan kerja antara BPBD dengan instansi atau lembaga terkait dapat dilakukan secara koordinasi, komando dan pengendalian.

Namun, untuk kasus BPBDPK Kota Padang dalam praktiknya yang terlihat baru pelaksanaan fungsi sebagai pelaksana, di mana fungsi koordinasi dan komando masih belum terselenggara dengan baik. Padahal pelaksanaan fungsi ini penting bagi pembangunan kapasitas kelembagaan, dalam hal ini yang dimaksud adalah bahwa dalam menyusun dokumen perencanaan PRB termasuk aspek kebijakan yang merupakan tanggung jawab dan wewenang Kepala BPBD dan bukan kepala pelaksana. Namun sangat disayangkan, yang terjadi adalah kepala pelaksana seolah-olah telah menjadi kepala BPBD, dan ini merupakan salah satu hal yang menghambat daripada fungsi komando, dan ini merupakan pengkerdilan terhadap lembaga BPBD itu sendiri. Dalam hal menjalankan fungsi koordinasi dimaksudkan untuk mendistribusikan informasi-informasi yang terkait dengan kajian risiko dengan SKPD terkait, sehingga dokumen yang tela dibuat oleh BPBD dapat diseminasikan kepada SKPD terkait guna ditindaklanjuti dalam rencana aksi masing-masing SKPD tersebut. Terkait dengan fungsi koordinasi ini juga maka BPBD, secara berkala mengajak SKPD terkait rapat koordinasi dan melakukan cross check terhadap rencana Aksi SKPD yang sudah ditarik menjadi rencana kerja dari pada SKPD terkait.

Kerancuan dalam menjalankan fungsi ini disebabkan salah satunya dengan tidak adanya unsur pengarah dalam struktur BPBDPK Kota Padang, dengan tidak adanya unsur pengarah maka kepala pelaksana bekerja sendiri dan seolah-olah menganggap dirinya sebagai kepala BPBD. Padahal unsur pengarah ini memiliki peran yang penting di BPBD, yaitu sebagai tink tank nya sekretaris daerah dalam menjalankan fungsi sebagai kepala BPBD. Unsur pengarah tersebut terdiri dari lembaga/instansi pemerintah daerah yakni dari badan/dinas terkait dengan

Page 152: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 137

penanggulangan bencana dan masyarakat profesional yakni dari pakar, profesional dan tokoh masyarakat di daerah. Untuk tingkat kabupaten/kota anggota unsur pengarah berjumlah 9 (sembilan) anggota, terdiri dari 5 (lima) pejabat instansi/lembaga pemerintah daerah dan 4 (empat) anggota dari masyarakat profesional di daerah. Dalam Perka BNPB No. 3 Tahun 2008 dijelaskan bahwa tugas dan fungsi dari pada unsur pengarah adalah memberikan masukan dan saran kepada Kepala BPBD dalam penanggulangan bencana. Dalam melaksanakan tugas tersebut unsur pengarah menyelenggarakan fungsi: (a) perumusan kebijakan penanggulangan bencana daerah; (b) pemantauan; dan (c) evaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Untuk unsur kelembagaan itu sendiri dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 19 ayat 1 dijelaskan Badan Penanggulangan Bencana Daerah terdiri atas unsur: pengarah penanggulangan bencana; dan pelaksana penanggulangan bencana. Dipertegas dengan Perka BNPB No. 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD, di mana organisasi BPBD terdiri dari: (a) Kepala, (b) Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana, dan (c) Unsur Pelaksana Penanggulangan Bencana. Untuk BPBDPK Kota Padang belum ada tersedia unsur pengarah.

Unsur pengarah yang akan membantu kepala BPBD dalam menyiapkan konsep-konsep kebijakan untuk penyelenggaraan pengurangan risiko bencana di Kota Padang. Dengan ketiadaan unsur ini fungsi BPBD menjadi lemah dan lebih banyak menjalankan fungsi pelaksana daripada fungsi koordinasi, dikarenakan sekda selaku kepala BPBD tidak bisa menjalankan perannya dengan baik, sehingga yang lebih dominan dalam menjalankan pelaksanaan PRB adalah kepala pelaksana (kalaksa).

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa fungsi BPBD dalam rangka PRB yang terlihat baru pada fungsi pelaksana saja, hal ini berdampak kepada upaya-upaya dalam menjalankan fungsi yang lain yaitu fungsi koordinasi. Sebagai bagian dari mitigasi bencana maka daerah harus menyiapkan dokumen dalam PRB yang merupakan amanat dari undang-undang, dokumen tersebut nantinya ditetapkan melalui peraturan daerah atau peraturan walikota.

Page 153: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi138

Adapun dalam rangka penyusunan rencana PRB tersebut basisnya adalah kajian risiko, sehingga dalam penyusunan dokumen tersebut akan melibatkan banyak pihak dan lintas sektoral dalam organisasi pemerintah daerah, dengan demikian dibutuhkan kewenangan sekda selaku kepala BPBD untuk bisa mengoordinasikan kegiatan ini, namun yang terjadi adalah sekda tidak dapat berfungsi dengan baik sehingga proses penyusunan dokumen menjadi tidak maksimal. Masing-masing SKPD yang ada dalam penyusunan dokumen tersebut keikutsertaan mereka hanya kadang kala menjadi prasyarat saja, karena pada waktu penyusunan dokumen yang diharapkan hadir adalah pejabat eselon yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan namun ternyata yang diutus adalah staf yang tidak memiliki wewenang sehingga penyusunan dokumen menjadi lebih lama.

Proses inilah yang membuat penyusunan suatu dokumen PRB menjadi lama, sehingga dengan demikian semestinya harapan besar ada pada sekda, dengan kedudukan sekda sebagai kepala BPBD, sekda yang mempunyai kewenangan dalam menggerakkan lintas sektor selain itu sekda juga bisa menekankan kepada masing-masing SKPD terkait untuk dapat menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk penyusunan rencana PRB. Di sinilah fungsi koordinasi dan komando bisa berjalan, sekda sebagai pejabat eselon yang paling tinggi di daerah bisa memerintahkan kepada semua kepala SKPD untuk bisa bekerja sama dalam proses penyusunan rencana PRB yang turunannya melahirkan rencana aksi daerah dalam PRB, rencana kedaruratan, tanggap darurat dan SOP.

Dengan demikian, dalam menjalankan tupoksinya BPBDPK Kota Padang dalam fungsi kooordinasinya masih lemah karena BPBDPK masih belum bisa melaksanakan tiga fungsinya yang baru dijalankan oleh BPBD saat ini adalah fungsi pelaksana, yang fungsi koordinasi masih lemah apalagi fungsi komando, yang mana sebenarnya pada saat terjadi bencana BPBD memang menjadi leading sector-nya yang bisa menggerakkan sumber daya yang ada mulai TNI, Polri sampai masyarakat. Untuk itu, ke depannya diharapkan adanya kebijakan dari Pemerintah Kota Padang untuk bisa memperkuat tupoksi dari BPBDPK sehingga dapat berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan.

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas maka faktor sumber daya merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana. Kota Padang masih memiliki kekurangan

Page 154: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 139

dalam hal sumber daya yang ada baik dari segi kualitas maupun kuantitas sumber daya manusia, sarana dan prasarana dan anggaran yang tersedia. Pada bagian sumber daya telah dijelaskan bahwa kekurangan personel secara kualitas adalah kurang kompetennya para pegawai dikarenakan personel yang ada di BPBDPK tidak memiliki kapasitas yang memadai baik dari segi kemampuan ataupun dari segi kinerjanya, ini menyebabkan kinerja lembaga secara umum menjadi rendah, sedangkan dari segi kuantitas dikarenakan ada keterbatasan penambahan pegawai yang merupakan kebijakan pusat, sehingga pegawai yang ada tidak mencukupi untuk melaksanakan kegiatan yang ada. Sedangkan dari segi saranan dan prasarana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah bahwa sarana dan prasarana yang dimiliki belum memadai dan cenderung sudah tidak up to date lagi sehingga perlu adanya pengadaan baru, namun dikarenakan kecukupan keuangan yang terbatas maka sarana atau peralatan yang ada tetap digunakan. Untuk anggaran bencana sendiri Kota Padang telah menganggarkan setiap tahunnya dan itu masuk ke dalam dana yang tidak terduga, jadi tidak ada pos anggaran khusus mengenai bencana alam gempa bumi.

Dengan demikian, jika dilihat dari aspek sumber daya maka memberikan kecenderungan bahwa adanya kelemahan yang perlu diperbaiki oleh Pemerintah Kota Padang dalam implementasi kebijakan penanggulangan bencana gempa bumi, karena dengan kondisi yang ada maka Kota Padang akan mendapat kesulitan dalam melaksanakan kebijakan ini.

1. Limited Number of Player

Dalam kerangka mitigasi penanggulangan bencana alam secara menyeluruh (komprehensif), terdapat tiga aktor atau unsur yang berperan yaitu pemerintah (public sector), swasta (privat sector) dan masyarakat (community). Keterlibatan berbagai aktor tersebut dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana menjadi suatu yang penting. Seperti yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007. Pasal 16 ayat (3) ditegaskan bahwa Kegiatan kesiapsiagaan merupakan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah dan dilaksanakan bersama-sama masyarakat dan lembaga usaha. Sedangkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi

Page 155: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi140

penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah multi stake holder terlibat, baik itu dari pihak pemerintah (mulai dari tingkatan pemerintah yang paling rendah sampai yang paling tinggi, mulai dari kelurahan sampai pusat), lembaga legislatif, lembaga swadaya masyarakat (NGOs baik lokal maupun asing) dan pihak swasta. Untuk konteks Kota Padang pranata kelembagaan yang terbentuk dalam rangka kegiatan pengurangan risiko bencana sudah tertata dengan baik dan dapat dikatakan sudah lengkap, kenapa demikian, karena hampir semua lembaga yang bergerak di bidang kebencanaan ada di Kota Padang. Dalam hal ini, BPBDPK sebagai leading sector-nya harus bisa mengelola lembaga yang sudah ada ini.

Selain itu juga di setiap lembaga pemerintah/SKPD terkait juga ada kegiatan kebencanaannya. Berikut ini dapat dilakukan pengklasifikasian SKPD, LSM dan Pihak swasta yang terkait dengan kegiatan kebencanaan di Kota Padang antara lain Dinas Pekerjaan Umum (PU), Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan (TRTB), Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker), Dinas Pendidikan (Diknas), Dinas Kesehatan (Dinkes), Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), kecamatan (Kasi Keamanan, Ketertiban dan Penanggulangan Bencana), kelurahan (Taruna Siaga Bencana). Sementara itu di LSM ada Komunitas Siaga Tsunami (Kogami), Jemari Sakato, Mercy Corps. Dan dari swasta ada PT Semen Padang, yang didukung oleh radio bencana Classy FM. Kesemuanya pihak tersebut terlibat dalam proses pelaksanaan penanggulangan bencana di Kota Padang.

Masing-masing aktor menjalankan fungsinya masing-masing namun masih dalam koridor saling keterkaitan dengan organisasi yang lainnya, di sinilah peran dan fungsi BPBDPK sebagai komando dan koordinator dalam penanggulangan bencana, dengan bagaimana menggerakkan lembaga-lembaga tersebut agar bisa bersinergi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di Kota Padang, terutama pada tahap pra bencana (mitigasi bencana), sehingga risiko yang akan ditimbulkan oleh bencana dapat diminimalisir.

Page 156: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 141

Peran BPBDPK sebagai leading sector penanggulangan bencana di daerah didasarkan kepada Perka BNPB No. 23 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah, selanjutnya disebut BPBD adalah perangkat daerah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi penanggulangan bencana di daerah. Pada Bab IV peraturan tersebut dijelaskan fungsi BPBD dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, BPBD mempunyai fungsi koordinasi, komando dan pelaksana, oleh karenanya hubungan kerja antara BPBD dengan instansi atau lembaga terkait dapat dilakukan secara koordinasi, komando dan pengendalian.

Terkait dengan fungsi koordinasi, koordinasi BPBD dengan instansi atau lembaga dinas/badan secara horizontal pada tahap prabencana, saat tanggap darurat dan pascabencana, dilakukan dalam bentuk: (a) penyusunan kebijakan dan strategi penanggulangan bencana; (b) penyusunan perencanaan penanggulangan bencana; (c) penentuan standar kebutuhan minimun; (d) pembuatan prosedur tanggap darurat bencana; (e) pengurangan risiko bencana; (f) pembuatan peta rawan bencana; (g) penyusunan anggaran penanggulangan bencana; (h) penyediaan sumber daya/logistik penanggulangan bencana; dan (i) pendidikan dan pelatihan, penyelenggaraan gladi/simulasi penanggulangan bencana. Koordinasi penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga/organisasi dan pihak-pihak lain yang terkait sesuai dengan ketentuan yang berlaku sementara itu kerja sama yang melibatkan peran serta negara lain, lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah dilakukan melalui koordinasi BNPB sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan untuk melakukan rapat koordinasi penanggulangan bencana dilakukan minimal 1 (satu) kali dalam satu tahun dan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan: antara BPBD kabupaten/kota dan instansi terkait/organisasi/lembaga terkait di tingkat kabupaten/kota, antara BPBD provinsi dengan instansi/organisasi/lembaga terkait di tingkat provinsi dan antara BPBD provinsi dengan BPBD kabupaten/kota.

Terkait dengan fungsi komando BPBD menjalankan fungsi Dalam hal status keadaan darurat bencana, gubernur/bupati/walikota menunjuk seorang komandan penanganan darurat bencana atas usulan Kepala BPBD. Komandan Penanganan Darurat Bencana sebagaimana yang disebutkan di atas, mengendalikan kegiatan

Page 157: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi142

operasional penanggulangan bencana dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Sedangkan Komandan Penanganan Darurat Bencana memiliki kewenangan komando memerintahkan instansi/lembaga terkait meliputi: (a) pengerahan sumber daya manusia; (b) pengerahan peralatan; (c) pengerahan logistik; dan (d) penyelamatan; Komandan Penanganan Darurat Bencana berwenang mengaktifkan dan meningkatkan Pusat Pengendalian Operasi menjadi Pos Komando.

Berkaitan dengan fungsi BPBDPK sebagai fungsi pelaksana adalah merupakan fungsi pelaksana unsur pelaksana BPBD dilaksanakan secara terkoordinasi dan terintegrasi dengan satuan kerja perangkat daerah lainnya di daerah, instansi vertikal yang ada di daerah dengan memerhatikan kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana dan ketentuan peraturan yang berlaku (Permendagari No. 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD).

Untuk kasus Kota Padang, pelaksanaan fungsi yang baru terlihat dilaksanakan oleh BPBDPK dari ketiga fungsi tersebut adalah fungsi pelaksana, sementara fungsi komando dan koordinator belum berjalan sebagaimana mestinya. Dalam menjalankan tugas sebagai fungsi pelaksana maka BPBDPK yang dikepalai oleh seorang Kepala Pelaksana menjalankan program-program/kegiatan mitigasi bencana yang sudah dianggarkan sebelumnya di Rencana Anggaran Belanja (RAB) BPBDPK. Seperti sosialisasi ke masyarakat tentang bencana, pelatihan anggota KSB, pembuatan leafleat, pemeliharaan rambu-rambu, dan simulasi gempa.

Di sisi lain koordinasi yang dilakukan oleh BPBDPK dengan dinas dan badan terkait masih lemah, sehingga ini terlihat dari program yang diselenggarakan oleh masing-masing SKPD terkait masih bersifat parsial, masing-masing SKPD membuat program sendiri-sendiri, padahal sebenarnya ada beberapa program yang terkait dengan kebencanaan bisa disinkronkan. Misalnya untuk program simulasi kebencanaan ke masyarakat dan sekolah ada di beberapa SKPD tertentu yaitu di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan BPBD itu sendiri. Menurut peneliti, program ini cukup satu saja di BPBDPK jadi lembaga yang terkait turut serta juga melakukannya dengan berkoordinasi dengan BPBD, sehingga pos anggaran untuk kegiatan serupa bisa dialihkan untuk kegiatan yang lainnya. Berikut ini dapat

Page 158: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 143

dijelaskan peran daripada masing-masing SKPD, lembaga yang terkait dengan kegiatan mitigasi bencana;

Dinas Pekerjaan Umum mempunyai tugas pokok dan fungsi yang tertuang dalam Peraturan Walikota Padang No. 58 Tahun 2012 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pekerjaan Umum. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa tugas daripada Dinas PU dalam kerangka mitigasi penanggulangan bencana adalah sebagai penyedia sarana dan prasarana (infrastruktur), misalnya menyediakan shelter (Tempat Evakuasi Sementara) di beberapa titik yang rawan terhadap bencana, membangun jalur evakuasi gempa dan tsunami, yang pada saat ini sedang dikerjakan tersedia untuk 12 jalur, selain itu juga melakukan pengawasan terhadap pembangunan gedung-gedung yang tahan terhadap gempa dan melakukan evaluasi terhadap gedung-gedung bertingkat yang dibangun sebelum gempa 2009, ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah bangunan tersebut masih layak dipergunakan atau tidak, jika masih layak maka bisa jadi dipergunakan sebagai tes atau jika tidak layak maka lebih baik diruntuhkan. Dengan demikian, untuk kegiatan mitigasi penanggulangan bencana, Dinas PU merupakan tim teknis, yang melakukan pekerjaan berdasarkan perencanaan atau usulan dari dinas lain. Keterkaitan pekerjaan tersebut bisa dilihat dari misalnya Dinas Pendidikan mempunyai program pembangunan sekolah yang ramah terhadap gempa, maka pelaksanaan pembangunan sekolah tersebut merupakan pekerjaan Dinas PU, Dinas Pendidikan cukup mengusulkan hal dan dimasukkan dalam pos anggaran Dinas Pendidikan. Contoh lainnya adalah pembangunan Jalur Evakuasi Gempa dan Tsunami, perencanaannya ada pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan, sedangkan yang melakukan eksekusi pelaksanaannya adalah Dinas Pekerjaan Umum, sehingga kegiatan ini masuk dalam Pos Anggaran Dinas TRTB. Dengan demikian, ada keterkaitan kegiatan daripada masing-masing SKPD yang terkait dengan kebencanaan.

Dinas Pendidikan mempunyai tugas pokok dan fungsi yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 53 Tahun 2012 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa salah satu tupoksi daripada Dinas Pendidikan dalam hal mitigasi penanggulangan bencana gempa bumi adalah melakukan edukasi kepada anak didik dan guru-guru di sekolah. Memberikan sosialiasi dan pembelajaran kepada anak-anak sekolah serta guru-guru.

Page 159: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi144

Saat ini yang sudah dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Padang baru tahap sosialisasi dan edukasi. Pada tahap sosialisasi Dinas Pendidikan bekerja sama dengan BPBDPK untuk melakukan kegiatan ini, di mana Dinas Pendidikan dalam hal ini sekolah menyiapkan anak sekolah dan guru-guru untuk menerima materi tentang kebencanaan, selain itu juga melakukan latihan berupa simulasi gempa yang melibatkan banyak anak sekolah beserta guru-guru. Sedangkan untuk tahap edukasi, kegiatan mitigasi bencana diupayakan masuk ke dalam kurikulum kebencanaan, ada tiga cara yang bisa dipakai supaya materi kebencanaan ini bisa masuk ke sekolah yaitu melalui integrasi ke dalam mata pelajaran, menjadi mata pelajaran muatan lokal, dan integrasi dalam kegiatan ekstrakurikuler. Yang saat ini terlaksana di Kota Padang baru pada tahap kegiatan ekstrakurikuler dan integrasi ke mata pelajaran yang terkait seperti fisika, geografi, biologi. Untuk kegiatan ekstrakurikuler seperti kegiatan olahraga sedangkan untuk integrasi ke mata pelajaran, dimasukkan dalam pembahasan di salah satu subbab mata pelajaran.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa kegiatan mitigasi bencana merupakan kegiatan yang dilakukan bersama antara BPBDPK dan Dinas Pendidikan. Selain itu untuk materi kebencanaan di sekolah-sekolah di Kota Padang masuk dalam kegiatan ekstrakurikuler dan terintegrasi ke beberapa mata pelajaran. Namun fakta dilapangan kegiatan ini masih dirasakan kurang, karena dengan hanya memasukkan program kebencanaan sebagai ekstrakurikuler dan terintegrasi ke mata pelajaran, maka materi kebencanaan yang diberikan kepada siswa terasa kurang. Padahal Kota Padang sudah mempunyai peraturan daerah yang mengatur tentang implementasi kurikulum kebencanaan, peraturan tersebut adalah Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Kota Padang, pada bagian kurikulum lokal Pasal 50 huruf f yaitu pengetahuan dan keterampilan kesiapsiagaan bencana dan kebutuhan daerah lainnya. Dengan adanya peraturan ini terbuka peluang untuk Kota Padang memasukkan kurikulum kebencanaan sebagai muatan lokal. Dengan masuknya kurikulum kebencanaan sebagai muatan lokal maka harapannya adalah materi yang diberikan dan waktu penyajian lebih banyak, sehingga diharapkan siswa akan lebih paham dan mengerti tentang kebencanaan. Kondisi ini memungkinkan, mengingat Kota Padang merupakan kota yang rawan terhadap bencana alam, terutama gempa bumi, sehingga

Page 160: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 145

sejak awal perlu diperkenalkan kepada anak-anak sekolah tentang kondisi ini. Anak-anak adalah termasuk kelompok yang rentan terhadap risiko bencana di samping orang tua dan kaum difabel. Maka pengintegrasian materi kebencanaan ke dalam muatan lokal menjadi suatu keniscayaan untuk dilakukan.

Dinas Sosial dan tenaga kerja mempunyai tugas pokok dan fungsi yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 55 Tahun 2012 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa salah satu tugas Dinas Sosial dan tenaga kerja dalam mitigasi bencana adalah melakukan kegiatan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat yang rentan terhadap bencana, misalnya ibu-ibu, masyarakat miskin kota, kaum difabel. Pemberian sosialisasi ini melibatkan unsur dari Tagana (taruna siaga bencana) yang berada di bawah koordinasi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja. Sosialisasi dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja kepada kaum difabel, antara lain Tuna Rungu dan Tuna Netra.

Secara umum peran serta Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam penanggulangan bencana pada dasarnya adalah pada tahap bencana dan pascabencana. Pada saat bencana/tanggap darurat bagaimana Dinas Sosial dan Tenaga Kerja menyediakan dapur umum (logistik bencana), tempat pengungsian sementara, menyediakan Tim SAR, dan pada saat pasca bencana bagaimana Dinas Sosial dan Tenaga Kerja melakukan pemulihan terhadap korban bencana. Trauma healing setelah pasca gempa perlu dilakukan, guna memulihkan mental para korban yang terkena bencana.

Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan mempunyai tugas pokok dan fungsi yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 59 Tahun 2012 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan. Dalam peraturan tersebut salah satu fungsi daripada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan dalam kebijakan penanggulangan bencana adalah melakukan perencanaan terhadap jalur-jalur evakuasi gempa, perencanaan terhadap Rencana Tata Ruang dan Wilayah dan mengeluarkan izin mendirikan bangunan. Terkait dengan perencanaan jalur evakuasi gempa, Dinas Tata Ruang dan Bangunan merencanakan 12 jalur yang terbentang dari barat ke timur Kota Padang. Dalam pelaksanaan program pembuatan jalur evakuasi ini, tanggung jawabnya ada pada Dinas Pekerjaan Umum dan Badan Penanggulangan Bencana

Page 161: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi146

Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBDPK). Sedangkan untuk revisi atas RTRW dilakukan oleh Dinas TRTB bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Dalam rangka menyikapi perubahan yang terjadi terhadap peruntukan ruang terutama setelah gempa Padang tahun 2009, maka ada perubahan terhadap RTRW yang ramah terhadap bencana. Sedangkan untuk izin mendirikan bangunan, Dinas TRTB mengeluarkan rekomendasi terhadap pembangunan gedung, sementara itu juga menginisiasi lahirnya Peraturan Daerah Kota Padang No. 7 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung. Ada pengaturan terhadap pembangunan gedung terutama gedung untuk layanan publik milik pemerintah.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) mempunyai tugas pokok dan fungsi yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 44 Tahun 2012 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Dalam peraturan tersebut salah satu fungsi daripada adalah melakukan perencanaan terhadap pembangunan daerah, perencanaan penganggaran bidang kebencanaan. Dalam kaitannya dengan kebijakan mitigasi bencana, bappeda dengan SKPD terkait melakukan revisi terhadap RTRW Kota Padang. Yang disesuaikan dengan salah satu program prioritas Kota Padang Tahun 2014–2019 yaitu penataan lingkungan perkotaan yang hijau, berkelanjutan dan berbasis mitigasi bencana.

Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) mempunyai tugas pokok dan fungsi yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 63 Tahun 2012 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Deerah. Dalam peraturan tersebut diatur salah satu fungsi daripada BPKAD adalah menyiapkan anggaran untuk semua kegiatan yang ada di Kota Padang, termasuk kegiatan kebencanaan. Dalam anggaran tahun 2016 dianggarkan untuk kebencanaan sebesar 2 miliar rupiah.

Dinas Kesehatan (Dinkes) mempunyai tugas pokok dan fungsi yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 54 Tahun 2012 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kesehatan. Dalam peraturan tersebut salah satu fungsi dari pada Dinkes adalah melakukan pelatihan-pelatihan kepada tim medis dalam rangka mitigasi bencana. Pelatihan diberikan kepada tim medis untuk mempersiapkan mereka dalam

Page 162: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 147

menghadapi bencana yang akan terjadi. Persiapan ini diperlukan, karena jika bencana datang maka tim medis sudah siap sedia.

Dukungan pemerintah terhadap kebencanaan terlihat dari keseriusan mempersiapkan lembaga yang mempunyai kepentingan dalam penanggulangan bencana. Kementerian Sosial melalui Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial telah membentuk Taruna Siaga Bencana (TAGANA). Pembentukan Tagana merupakan respons pemerintah terhadap perlunya komponen kesiapsiagaan bencana yang berasal dari masyarakat. Tagana sendiri dibentuk tanggal 23 Maret 2004. Tagana sebenarnya itu dilahirkan oleh pemikir yang peduli terhadap bencana, tagana posisinya sebagai relawan yang memiliki kemampuan yang serba bisa, tujuan pemerintah membentuk kepedulian masyarakat terhadap penanganan persoalan bencana dan bagaimana tagana bisa berperan aktif dalam masyarakat. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Tagana Kota Padang adalah melakukan pelatihan kepada anggota Tagana tentang bagaimana mempersiapkan dapur umum, penyediaan logistik bencana, simulasi gempa, dan sosialisasi bencana gempa kepada kaum difabel dan lansia.

Konsekuensi sebagai tindak lanjut UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana maka di Kota Padang Tahun 2011 telah dibentuk Kelompok Siaga Bencana (KSB) sebanyak 2080 orang di 104 kelurahan. Pembentukan KSB ini diinisiasi oleh BPBDPK, bersama dengan Jemari Sakato, Mercy Corps dan Kogami. Sejak tahun 2011 s.d sekarang, secara bertahap anggota KSB diberikan pendidikan dan pelatihan oleh pemerintah melalui BPBD-PK Kota Padang. KSB ini merupakan ujung tombak dan kepanjangan tangan dari BPBDPK dalam mitigasi penanggulangan bencana. Dari tujuan pembentukan KSB adalah sebagai tim advance dalam mitigasi bencana. KSB yang melakukan sosialisasi dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam hal kebencanaan, KSB yang berdiri paling depan dalam mitigasi penanggulangan bencana, KSB yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat dan KSB pulalah yang membuat peta evakuasi gempa. Dengan demikian, keberadaan KSB akan dapat membantu BPBDPK dalam mentransformasikan kegiatan-kegiatan mitigasi bencana yang telah dirancang oleh BPBDPK.

Page 163: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi148

Kedudukan legislatif (Komisi IV DPRD Kota Padang) dalam kebijakan penanggulangan bencaan memiliki peran yang penting. Komisi IV merupakan bidang yang membawahi kegiatan kebencanaan. Melalui program-program yang dibuat Komisi IV juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai kebencanaan. Sosialisasi dilakukan biasanya pada masa reses yaitu di saat kunjungan anggota DPRD kepada konstituennya. DPRD dalam hal ini Komisi IV mempunyai peran yang cukup strategis dalam persoalan kebencanaan. BPBDPK sebagai mitra Komisi IV DPRD Kota Padang, selalu melakukan koordinasi dan berkomunikasi tentang apa yang akan dilakukan dalam program mitigasi bencana. Yang membuat program adalah BPBDPK sedangkan DPRD mengawasi dan melakukan perencanaan anggaran. Di samping itu, DPRD yang merupakan perwakilan masyarakat juga mendengarkan aspirasi masyarakat tentang program mitigasi bencana, makanya DPRD mendorong BPBDPK untuk menyiapkan segala macam program dalam mitigasi bencana, dorongan tidak hanya kepada BPBDPK tetapi juga kepada SKPD terkait misalnya Dinas PU, Dinas TRTB.

Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan oleh DPRD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam rangka mitigasi penanggulangan bencana. Selain dari pada itu, unsur LSM atau NGOs yang terlibat dalam kegiatan penanggulangan bencana di Kota Padang adalah antara lain Jemari Sakato, Kogami, dan Mercy Corps. Jemari sakato merupakan LSM yang memberikan perhatian yang serius terhadap program pengurangan risiko bencana di Kota Padang. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Jemari Sakato pasca gempa Padang tahun 2009 adalah vulnerability and capacity assessment (VCA) bekerja sama dengan Mercy Corps atas dukungan UKAid, Program READY bekerja sama dengan KSB, Mercy Corps atas dukungan dana dari Usaid dan Prepare Sumbar. Umumnya kegiatan itu didukung oleh Amerika dan Inggris, dengan perpanjangan tangan dari Mercy Corps.

Kegiatan lain yang dilakukan oleh Jemari Sakato adalah membantu BPBD Kota Padang dalam membentuk KSB di setiap kelurahan yang ada di Kota Padang. Pembentukan KSB dan memberikan edukasi kepada mereka, sehingga KSB menjadi kelompok yang kuat, kelompok ini yang akan mentransfer ke masyarakat pengetahuan mereka terhadap kebencanaan, bagaimana kelompok ini memberikan pengetahuan kepada masyarakat jika bencana terjadi. Dengan demikian, Jemari Sakato lebih banyak melakukan mitigasi nonstruktural, dengan melakukan

Page 164: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 149

edukasi dan advokasi terhadap masyarakat yang rentan bencana gempa dan tsunami, mengedukasi dan mengadvokasi masyarakat bagaimana siap menghadapi bencana.

Jemari Sakato mengadvokasi masyarakat dengan mempertemukan ketiga pilar yaitu pemerintah, masyarakat dan swasta serta DPRD. Sehingga kegiatan mitigasi ini juga bisa diketahui oleh pemerintah, nagari, kecamatan. Kebutuhan-kebutuhan mitigasi tidak hanya masyarakat saja yang tahu. Tapi juga diberitahukan kepada pemerintah, Jemari Sakato mengadvokasi masyarakat untuk mitigasi dengan pemerintah dan swasta. Edukasi dan advokasi dilakukan dengan cara memberikan pemahaman kepada masyarakat berupa pelatihan, mengkaji kerentanan dan kapasitas, bersama dengan masyarakat membuat dokumen tentang daerah mereka.

Dari dokumen tersebut dilakukan lokakarya, dengan mereka mengetahui seperti inilah kondisi wilayah mereka. Setelah dokumen fix dan diperbaiki serta dijadikan dokumen itu sebagai pembelajaran dari mereka. Selain itu juga melakukan program pendampingan kepada kelurahan, kelurahan yang dampingi banyak program yang hasilkan dari penjaringan yang dilakukan itu diakomodir oleh pemerintah.

Pendampingan dilakukan oleh jemari dengan mengintegrasikan program ke dalam program pemerintah. Pendampingan dilakukan dalam merencanakan kegiatan apa yang akan dilakukan dalam rangka peningkatan kapasitas mereka dalam kebencanaan, bagaimana menghadapi bencana, karakteristik bencana, memberikan pemahaman dan pelatihan teknis bagaimana jika bencana terjadi, evakuasi, tidak saja hanya edukasi tetapi juga hal teknis. Kegiatan yang lakukan adalah workshop dan hearing dengan pemerintah, dan itu dimasukkan ke dalam program pemerintah.

Pada tingkat pemerintah daerah, Jemari Sakato melakukan edukasi terhadap BPBDPK. Edukasi dilakukan dengan asumsi BPBD ini baru jadi staf-staf yang ditempatkan masih awam terhadap konsep kebencanaan, Jemari Sakato mentransfer pengetahuan terhadap upaya-upaya mitigasi bencana, memberikan penguatan-penguatan dalam bentuk seminar dan workshop yang diikuti oleh BPBD dan SKPD terkait.

Berkaitan dengan upaya kepedulian terhadap bencana gempa bumi dan tsunami maka lahirlah Komunitas Siaga Tsunami (Kogami). Kogami

Page 165: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi150

lahir pasca terjadinya tsunami Aceh, secara defacto lahir di bulan April 2005, dan secara deyure Kogami lahirnya pada 21 September 2005 di Sumatera Barat. Kogami merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat yang juga ikut menginisiasi lahirnya KSB bersama dengan BPBD. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh Kogami dalam rangka mitigasi penanggulangan bencana di Kota Padang adalah melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai bencana gempa bumi dan tsunami. Relawan-relawan Kogami turun ke masyarakat dan sekolah untuk turut serta menyebarkan informasi dan mengedukasi masyarakat dan sekolah tentang upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam rangka mengurangi risiko bencana gempa bumi dan tsunami. Dalam melakukan kegiatan tersebut tidak jarang Kogami mendapat pertentangan dari masyarakat.

Namun, walaupun mendapatkan pertentangan dari masyarakat, Kogami tetap saja melakukan kegiatannya. Kegiatan lain yang dilakukan Kogami adalah melakukan pendampingan/advokasi kurikulum kebencanaan ke beberapa sekolah baik tingkat SD, SLTP ataupun SLTA, selain itu juga melakukan pelatihan kepada kaum difabel, serta melakukan pelatihan peningkatan kapasitas personel dan lembaga BPBDPK serta SKPD terkait.

Lembaga lain yang juga terlibat dalam kegiatan mitigasi penanggulangan bencana di Kota Padang adalah Mercy Corps yang merupakan LSM Internasional yang bermarkas di Amerika. Mercy Corps juga ikut serta menginisiasi lahirnya KSB di Kota Padang, bersama dengan BPBD pada saat itu. Peran dari pada Mercy Coprs dalam mitigasi bencana di Kota Padang adalah memberikan pelatihan-pelatihan dan bantuan teknis kepada masyarakat melalui KSB yang sudah dibentuk. Diberikan peningkatan kapasitas melalui pelatihan-pelatihan kepada anggota KSB dan Anggota BPBD itu sendiri, Mercy Corps melakukan kerja sama dengan Jemari Sakato, membantu membuat SOP di kelurahan. Selain itu juga melakukan Pelatihan dasar bagaimana penanggulangan bencana, pelatihan bagaimana mempergunakan alat komunikasi, simulasi-simulasi, Mercy Corps membantu masyarakat dan mengarahkan untuk mempersiapkan mitigasi bencana di daerahnya.

Pihak swasta yang terlibat cukup aktif dalam upaya penanggulangan bencana di Kota Padang selama ini adalah PT Semen Padang. PT Semen

Page 166: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 151

Padang sebagai salah satu BUMN yang berlokasi di Kota Padang, mempunyai peran yang penting dalam rangka mitigasi penanggulangan bencana di Kota Padang. Bersama-sama dengan pemerintah dan LSM (Jemari Sakato, Kogami dan Mercy Corps) melakukan kegiatan mitigasi bencana berupa sosialisasi bencana ke masyarakat dan sekolah-sekolah yang berada di ring satunya Semen Padang.

Sosialisasi juga dilakukan bekerja sama dengan radio Classy FM, yang merupakan satu-satunya radio yang mendeklarasikan dirinya sebagai Radio Siaga Bencana. Bersama Classy FM melakukan berbagai acara Talkshow tentang kebencanaan. Selain itu Semen Padang melalui pendanaan dari dana CSR nya melakukan berbagai simulasi gempa di sekolah-sekolah yang berada di sekitar kawasan PT Semen Padang. Selain melakukan kegiatan sosialisasi dan simulasi, PT Semen Padang juga melakukan pelatihan, salah satu pelatihan yang diadakan adalah pelatihan radio komunikasi, kegiatan pelatihan ini merupakan kerja sama antara PT Semen Padang, Mercy Corp dan Usaid. PT Semen Padang juga mempunyai Tim Reaksi Cepat (TRC), yang mana tim ini aktif mengikuti pelatihan dan melakukan simulasi serta sosialisasi ke masyarakat, tim ini juga memiliki kemampuan dalam reaksi cepat jika bencana datang.

Dengan demikian, stakeholders yang terlibat dalam mitigasi bencana mempunyai peran masing-masing sehingga bisa saling mendukung satu dengan yang lainnya. Di sinilah seharusnya BPBDPK memainkan fungsinya sebagai koordinator, bagaimana BPBDPK bisa mengajak dan berkoordinasi dengan SKPD terkait dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka mitigasi bencana.

Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan tersebut diharapkan terkoneksi sehingga memberikan efek dan stimulasi yang besar terhadap kegiatan mitigasi bencana secara keseluruhan. Namun, yang terjadi di Kota Padang saat ini adalah BPBDPK sebagai koordinator dalam penyelenggaraan penanggulangan bencan belum mampu melaksanakan fungsinya dengan baik, yang terlihat sekarang ini adalah fungsi pelaksana yang lebih dominan dijalankan oleh BPBDPK. Padahal dengan potensi yang besar dan kewenangan yang ada BPBDPK tinggal menggerakkan SKPD terkait untuk melaksanakan kegiatannya, sehingga sinkronisasi kegiatan antara satu SKPD dengan SKPD yang lain bisa terjadi.

Page 167: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi152

Dengan demikian, berdasarkan pemaparan dari aspek limited number of player tersebut di atas dapat memberikan arti bahwa perlu adanya koordinasi dan sinkronisasi antara para aktor pelaksana kebijakan, sehingga kebijakan penanggulangan bencana gempa bumi dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dalam hal ini, peran serta beberapa SKPD terkait dalam kegiatan mitigasi bencana yang bisa dikoordinir oleh BPBDPK, misalnya dalam hal pembangunan jalur evakuasi maka BPBDPK bekerja sama dengan Dinas PU, karena Dinas PU merupakan lembaga teknis yang menjalankan fungsi pembangunan sarana dan prasarana serta infrastruktur. Sementara itu, fungsi Dinas Sosial adalah membantu penyediaan logistik bagi pengungsi bencana, Dinas Pendidikan melakukan sosialisasi dan penerapan kurikulum kebencanaan di sekolah, Dinas TRTB membuat aturan tentang bangunan gedung serta pembangunan di zona merah, BAPPEDA melakukan perencanaan penganggaran dan peninjauan terhadap RTRW yang aman terhadap gempa, Dinas Kesehatan melakukan pelatihan tenaga medis.

Oleh sebab itu, sinergisitas antara lembaga yang terkait dengan kebencanaan di daerah sangat diperlukan sehingga kebijakan penanggulangan bencana dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah dibuat.

2. Accountability

Akuntabilitas merupakan salah satu faktor yang penting dalam memengaruhi keberhasilan dari proses implementasi kebijakan, dengan akuntabilitas yang baik dan terarah tentu saja akan memberikan pelaksanaan kebijakan yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, akuntabilitas dalam hal penyelenggaraan penanggulangan bencana menjadi suatu hal yang krusial mengingat setiap kegiatan atau program pemerintah yang memakai anggaran rakyat harus dipertanggungjawabkan. Begitu juga dengan kegiatan mitigasi penanggulangan bencana.

Accountability dimaknai sebagai kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan indikator seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk minta keterangan atau pertanggungjawaban (LAN, 1999 dalam

Page 168: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 153

Tachjan, 2006: 146). Menurut UNDP, akuntabilitas adalah evaluasi terhadap proses pelaksanaan kegiatan/kinerja organisasi untuk dapat dipertanggungjawabkan serta sebagai umpan balik bagi pimpinan organisasi untuk dapat lebih meningkatkan kinerja organisasi pada masa yang datang.

Akuntabilitas dalam arti sempit dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban yang mengacu kepada siapa organisasi (atau pekerja individu) bertanggung jawab dan untuk apa organisasi (pekerja individu) bertanggung jawab. Sedangkan dalam pengertian luas, akuntabilitas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak tersebut.

Kamus Oxford mendefinisikan akuntabilitas sebagai liable to be called to answer for responsibilities and conduct; able to be reckoned, or explained (Oxford, 1992 dalam (Schwartz & Sharkansky, 2000). Sedangkan Romzek and Dubnick (1998: 228) dalam (Brandsma & Schillemans, 2012) mendefinisikan akuntabilitas sebagai “The means by which public agencies and their workers manage the diverse expectations generated within and outside the organization.”

Akuntabilitas berhubungan terutama dengan mekanisme supervisi, pelaporan, dan pertanggungjawaban kepada otoritas yang lebih tinggi dalam sebuah rantai komando formal. Pada era desentralisasi dan otonomi daerah, para manajer publik diharapkan bisa melakukan transformasi dari sebuah peran ketaatan pasif menjadi seorang yang berpartisipasi aktif dalam penyusunan standar akuntabilitas yang sesuai dengan keinginan dan harapan publik. Oleh karena itu, makna akuntabilitas menjadi lebih luas dari sekadar proses formal dan saluran untuk pelaporan kepada otoritas yang lebih tinggi. Akuntabilitas harus merujuk kepada sebuah spektrum yang luas dengan standar kinerja yang bertumpu yang luas dengan standar kinerja yang bertumpu pada harapan publik sehingga dapat digunakan untuk menilai kinerja, responsivitas dan juga moralitas dari para pengemban amanah publik. Konsepsi akuntabilitas dalam arti luas ini menyadarkan kita bahwa pejabat pemerintah tidak hanya bertanggung jawab kepada otoritas yang lebih tinggi dalam rantai komando institusional, tetapi juga bertanggung

Page 169: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi154

jawab kepada masyarakat umum, lembaga swadaya masyarakat, media masa dan banyak stakeholders lain.

Jadi penerapan akuntabilitas ini di samping berhubungan dengan penggunaan kebijakan administratif yang sehat dan legal, jadi harus bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat atas bentuk akuntabilitas formal yang ditetapkan. Sedangkan menurut World Bank akuntabilitas itu terbagi dua yaitu akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Akuntabilitas vertikal adalah merupakan bentuk dari pertanggungjawaban atas pengelolaan kegiatan dan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggungjawaban SKPD kepada kepala daerah (walikota), pertanggungjawaban walikota kepada gubernur, dan pertanggungjawaban gubernur kepada presiden, serta pertanggungjawaban eksekutif kepada legislatif. Sedangkan akuntabilitas dan pertanggungjawaban horizontal adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat luas.

Dengan demikian, akuntabilitas merupakan hal yang krusial dalam pemerintahan (Tacon, Walters, & Conforth, 2017). Sehingga Dalam konteks organisasi pemerintah, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan disclosure atas aktivitas, kinerja finansial pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan tersebut. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bisa menjadi subjek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik. Terwujudnya akuntabilitas merupakan tujuan utama dari reformasi sektor publik. Tuntutan akuntabilitas publik mengharuskan lembaga-lembaga sektor publik untuk lebih menekankan pada pertanggungjawaban horizontal bukan hanya pertanggungjawaban vertikal. Tuntutan ini kemudian memunculkan perlunya dibuat laporan keuangan eksternal yang dapat menggambarkan kinerja lembaga tersebut.

Berkaitan dengan itu BPBDPK sebagai lembaga publik tentu saja harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada walikota sebagai atasan langsung dan masyarakat sebagai penerima layanan dan yang merasakan dampak dari pekerjaan yang dilakukan. Dalam hal pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari pada BPBDPK, pertanggungjawaban kepada walikota dilakukan dalam bentuk laporan pertanggungjawaban yang dibuat dalam bentuk dokumen pelaksana program, yang dilaporkan sekali setahun. selain itu juga diadakan rapat staf sekali sebulan.

Page 170: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 155

Rapat staf yang diadakan tersebut dihadiri oleh walikota beserta seluruh kepala SKPD, ini juga merupakan bentuk akuntabilitas BPBDPK dalam melaporkan pelaksanaan kegiatan yang telah dikerjakan, sejauh mana capaian pekerjaan yang telah tercapai. Sedangkan tanggung jawab BPBDPK kepada masyarakat sejauh ini hanyalah berupa adanya informasi-informasi kepada masyarakat tentang kegiatan atau program-program yang dilakukan BPBDPK dalam rangka mitigasi bencana gempa bumi. Dengan demikian, masyarakat mengetahui apa yang menjadi kegiatan BPBDPK. Dengan demikian, pertanggungjawaban yang dilakukan oleh BPBDPK kepada masyarakat luas merupakan suatu keharusan, sebagai bentuk tanggung jawab moral pemerintah dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi warganya. Namun baru sebatas pada penyampaian informasi.

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka faktor akuntabilitas merupakan hal yang penting, karena bentuk dari pertanggung- jawaban pelaksana kebijakan kepada atasan, dan masyarakat. Bentuk akuntabilitas dari pelaksana kebijakan penanggulangan bencana gempa bumi ini memberikan arti penting bagi kebijakan ini di masa akan datang, apakah kebijakan yang ada sudah bisa dipertanggungjawabkan keberadaannya dan keberlanjutannya.

Page 171: Carano Pustaka Universitas Andalas

[Halaman ini sengaja dikosongkan]

Page 172: Carano Pustaka Universitas Andalas

Adapun dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan dipaparkan pada bab sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan mitigasi penanggulangan bencana yang berbasis pada mitigasi bencana masih belum efektif dilakukan hal ini disebabkan oleh masih adanya persoalan yang terkait dengan lemahnya pemahaman pelaksana kebijakan terhadap kebijakan yang ada sehingga pelaksanaan kebijakan menjadi terhambat, kapasitas personel dan lembaga yang rendah, lemahnya kemampuan sumber daya manusia yang ada di BPBDPK, ketersediaan sarana dan prasarana yang tersedia tidak memadai serta minimnya anggaran yang tersedia. Namun dari segi pelaksana kebijakan, banyak aktor (multiaktor) sebenarnya memberikan keuntungan tersendiri bagi Kota Padang. Karena lembaga-lembaga yang konsen tentang kebencanaan telah tersedia lengkap di Kota Padang, sehingga sekarang bagaimana pemerintah kota mensinkronkan lembaga-lembaga tersebut dalam satu sistem komando dan koordinasi yang jelas.

Akan tetapi dalam praktiknya belum menunjukkan hal yang semestinya masih kurangnya koordinasi dan komunikasi antara lembaga kebencanaan yang ada, hal ini salah satunya disebabkan oleh lemahnya fungsi BPBDPK sebagai leading sector penyelenggaraan kebijakan penanggulangan bencana di daerah. Lemahnya fungsi koordinasi dan komando, menyebabkan kegiatan kebencanaan yang dijalankan cenderung bersifat temporer dan tidak berkelanjutan, padahal banyak kegiatan yang ada memberikan dampak terhadap upaya pengurangan

PENUTUP DAN REKOMENDASI

BAB 6

157

Page 173: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi158

risiko bencana alam. Di sisi lain, aspek akuntabilitas terdapatnya temuan bahwa akuntabilitas yang ada dari lembaga terkait baru sebatas akuntabilitas administratif yang dilakukan kepada atasan dan minimnya akuntabilitas kepada masyarakat.

Berdasarkan pada temuan-temuan dan kesimpulan yang diperoleh melalui penelitian ini, maka peneliti merekomendasikan beberapa saran akademis dan praktis berikut ini.

A. Saran Akademis

1. Kajian lebih lanjut diperlukan mengenai implementasi kebijakan terutama yang berkaitan dengan penanggulangan bencana gempa bumi berbasis mitigasi bencana. Mengingat kajian tentang kebencanaan terutama bencana alam masih belum banyak dikaji dalam konteks administrasi publik. Sehingga nantinya didapatkan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan selain yang dikemukakan sebelumnya.

2. Pengembangan Teori Implementasi Gerston dimungkinkan untuk mengkaji implementasi kebijakan penanggulangan bencana alam selain gempa bumi.

3. Penelitian tentang Implementasi Kebijakan dari segi Akuntabilitas perlu untuk dikaji lebih lanjut mengingat dalam kajian ini pembahasannya cukup terbatas.

B. Saran Praktis

1. Perlu adanya peningkatan kapasitas masyarakat, personel dan lembaga terkait dengan penyelenggara penanggulangan bencana di daerah, mengingat intensitas bencana yang yang terjadi di Kota Padang.

2. BPBD-PK sebagai leading sector dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai komando, koordinator dan bukan hanya sebagai fungsi pelaksana saja.

3. Sosialisasi mengenai pengurangan risiko bencana kepada masyarakat perlu ditingkatkan dan diperbaiki, baik dari segi materi

Page 174: Carano Pustaka Universitas Andalas

Bab 6 | Penutup dan Rekomendasi 159

sosialisasinya maupun instruktur yang melakukan sosialisasi, sehingga sosialisasi dapat berjalan lebih efektif.

4. Membuat sistem peringatan dini gempa bumi yang dapat dijadikan rujukan oleh masyarakat di kala gempa bumi terjadi.

5. Dalam pengambilan sebuah kebijakan, hendaknya Pemerintah Kota melibatkan masyarakat dan dunia usaha, sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, di mana masyarakat dan dunia usaha terlibat dalam penanggulangan bencana.

6. Perlunya revisi terhadap prosedur tetap penyelenggaraan penanggulangan bencana seperti Peraturan Walikota No. 25 Tahun 2001 dan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana.

7. Penempatan personel dilakukan sesuai dengan kompetensinya masing-masing dan menjadikan BPBDPK sebagai sebuah badan yang strategis sehingga rotasi pegawai di lembaga ini diharapkan bisa disesuaikan dengan kebutuhan yang ada.

8. Penambahan sarana dan prasaran yang ada perlu dilakukan dengan tetap mempertimbangkan anggaran yang tersedia, ini dikarenakan kejadian bencana di Kota Padang dari waktu ke waktu mengalami peningkatan sehingga memerlukan peralatan yang mampu mengikuti perkembangan zaman.

Page 175: Carano Pustaka Universitas Andalas

[Halaman ini sengaja dikosongkan]

Page 176: Carano Pustaka Universitas Andalas

Abarquez dan Murshed. 2004. Community-Based Disaster Risk Management: Field Practitioners Handbook. Bangkok: ADPC.

Agustino, L. (2008). Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Aldunce, Paulina; Beilin, Ruth; Handmer, John; Howden, Mark. (2014). Framing disaster resilience: The Implications of the Diverse Conceptualisations of “Bouncing Back”. Disaster Prevention and Management, 23(3), 252-270.

Amadhila, Elina; Shaamhula, Loide; Rooy, Gert van; Siyambango, Nguza. (2013). Disaster Risk Reduction in The Omusati and Oshana Regions of Namibia. JAMBA: Journal of Disaster Risk Studies, 5(1), 1-9.

Anwar, Herryal Z.; Harjono, Hery. (2013). Menggapai Cita-cita Masyarakat Tangguh Bencana Alam di Indonesia. Bandung: Andira dan LIPI.

Aryal, R. (2014). Disaster Vulnerability in Nepal. International Journal of Disaster Risk Reduction, 9, 137-146.

Bang, Henry N. (2013). ‘Governance of Disaster Risk Reduction in Cameroon: The Need to Empower Local Government. Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies, 5(2).

Bolin, R. (1998). The Northridge Earthquake, Vulnerability And Disaster. London: Routledge.

Bongo, Pathias P.; Chipangura, Paul; Sithole, M.; Moyo, F. (2013). ‘A Rights-Based Analysis of Disaster Risk Reduction Framework in

DAFTAR PUSTAKA

161

Page 177: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi162

Zimbabwe and its implications for policy and practice. Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies, 5(2).

Brandsma, G. J., & Schillemans, T. (2012). The Accountability Cube: Measuring Accountability. Journal Public Administration Research and Theory, 23, 953-975.

Cavallo, Antonella; Ireland, Vernon. (2014). Preparing for complex interdependent risks :A System of approach to building disaster resilience. International Journal of Disaster Risk Reduction, 9, 181-193.

Chang, Yan; Wilkinson, Suzanne; Potangaroa, Regan; Seville, Erica. (2012). “Resourcing for post–disaster reconstruction: a comparative study of Indonesia and China”. Disaster Prevention and Management: An International Journal, 21(1), 7-21.

Charter, W. N. (2008). Disaster Management : A Disaster Manager’s Handbook. Mandaluyong City, Manila: Asian Development Bank.

Chmutina, Ksenia; Bosher, Lee. (2015). Disaster Risk Reduction or Disaster Risk Production: The Role of Building Regulations in Mainstreaming DRR. International Journal of Disaster Risk Reduction, 13, 10-19.

Clements, B.W. (2009). Disaster and Public Health, Planning and Response. Amsterdam: Elsevier.

Coburn, A.W.; dkk. (1994). Mitigasi Bencana (Vol. edisi 2). UNDP.

Coetzee, Christo; Niekerk, Dewald Van. (2012). Tracking the evolution of the disaster management cycle: A general system theory approach. Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies, 4(1).

Cooper, P. J. (1995). Public Administration for Twenty-first Century. Orlando Florida: Harcourt Brace.

Cooper, Tracy. (2015). Empirical Research on Inter-organizational Relations within a National Disaster Management Network in the Caribbean. Public Organization Review, 15(1), 1-16.

Coppola, D. P. (2011). Introduction to International Disaster Management . Burlington, MA: Elsevier.

Committee on Disaster Research in the Social Sciences (CDRSS). (2006). Future Challenges and Opportunities Division on Earth and Life

Page 178: Carano Pustaka Universitas Andalas

Daftar Pustaka 163

Studies, Facing Hazards and Disaster Understanding Human Dimensions. Washington, D.C: The National Academic Press.

Creswell, J. W. (2014). Penelitian Kualitatif dan Desain Riset. Yogyakarata: Pustaka Pelajar.

Cronjé, F.; Reyneke, S.; Wyk, D. Van. (2013). Local Communities and Health Disaster Management in The mining Sector. Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies, 7(1).

DeLeon, Peter; DeLeon, Linda. (2002). What Ever Happened To Policy Implementation? An Alternative Approach. Journal of Public Administration Reseach and Theory, 467-492.

Denzim, N. K., & Lincoln, Y. S. (2005). Handbook of Qualitative Research (3 ed.). (N. K. Denzim, & Y. S. Lincoln, Eds.) Thousand Oaks, California: Sage Publications.

Desfandi, Mirza, 2014, Urgensi Kurikulum Pendidikan Kebencanaan Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia, Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 2 Des 2014 ( journal.uinjkt.ac.id/index.php/Sosio-Fitk)

Dube, E. (2015). ‘Improving Disaster Risk Reduction Capacity of District Civil Protection Units in Managing Veld Fires: A Case of Mangwe District in Matabeleland South Province, Zimbabwe’. Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies, 7(1).

Dückers, Michel; Georg Frerks dan Jörn Birkmann. (2015). Exploring the Plexus of Context and Consequences: An Empirical Test of a Theory of Disaster Vulnerability. International Journal of Disaster Risk Reduction, 13, 85-95.

Dwiyanto, A. (2002). Reformasi Birokrasi Pelayanan Publik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, PSKK.

Edward III, G. C. (1980). Implementing Public Policy,. Washington D.C.: Congressional Querterly Inc.

Farhangfar, Sarvenaz; Bannayan, Mohammad; Khazaei, Hamid Reza; Baygi, Mohammad Mousavi. (2015). Vulnerability assessment of wheat and maize production affected by drought and climate change. International Journal of Disaster Risk Reduction, 13, 37-51.

Fischer, Frank; Miller, Gerald J.; Sidney, Mara S. (2007). Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics, And Methods. (F. Fischer, G. J. Miller, & M. S. Sidney, Eds.) Boca Raton - New York: CRC Press.

Page 179: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi164

Gaston, Buh-Wung; Tongwa, Aka F.; Burnley, Clementine; Isabella, Zouh T. (2012). Local Governance in Disaster Risk Reduction in Cameroon. JAMBA: Journal of Disaster Risk Reduction, 4(1), 1-9.

Gerston, L. (2008). Public Policymaking In a Democratic Society: A Guide Civic Engangement. New York: M.E Sharp, Inc.

Goggin, M. L. (1990). Implementation Theory and Practice: toward a third generation. Illinois: Scoot, Foresman/Little Brown Higher Education.

Grindle, M., & Thomas, J. (1995). Public Choices and Policy Changes : The Political Economy of Reform in Developing Countries. Baltimore and London: The Jhon Hopkins University Press.

Grindle, M.S. (1980). Politics and Policy Implementation in the third World. (M. Grindle, Ed.) New Jersey: Princenton University Press.

Haulle, Evaristo. (2012). ‘Evaluating earthquake disaster risk management in schools in Rungwe Volcanic Province in Tanzania. Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies, 4(1), 1-7.

Hill, M., & Hupe, P. (2002). Implementing Public Policy. Governance in Theory and in Practice. London: Sage.

Hiwasaki, Lisa; Luna, Emmanuel; Syamsidik; Shaw, Rajib. (2014). Process for Integrating Local and Indigenous Knowledge With Science Forhydro-Meteorological Disaster Risk Reduction and Climate Change Adaptation in Coastal and Small Island Communities. International Journal of Disaster Risk Reduction, 10, 15-27.

Hossain, Md. Nazir. (2015). Analysis of Human Vulnerability to Cyclones and Storm Surges Based on Infleuncing Phycal and Socioeconomic factor: evidences from coastal Bangladesh. International Journal of Disaster Risk Reduction, 13, 66-75.

Hosseini, Kambod Amini; Hosseini, Maziar; O.Izadkhah, Yasamin; Mansouri, Babak; Shaw, Tomoko. (2014). Main Challenges on Community-Based Approaches in Earthquake Risk Reduction: Case Study of Tehran, Iran. International Journal of Disaster Risk Reduction, 8, 114-124.

Hughes, O. E. (1994). Public Management and Administration: an Introduction. New York: Martin’s Press.

Page 180: Carano Pustaka Universitas Andalas

Daftar Pustaka 165

IFRCRCS, 2005, IDRL Asia Pacific Study: Indonesia Laws, Policies, Planning and Practises on International Disaster Response, Bangkok.

Indiyanto, Agus, 2002, Risiko Bencana: Mempertemukan Sains dan Pengetahuan Lokal, Dalam Agus Indiyanto dan Arqom Kuswanjono (Ed), 2002, Respons Masyarakat Lokal Atas Bencana, Kajian Integratif Ilmu, Agama Dan Budaya, Seri Agama dan Bencana (Buku II), Yogyakarta: Mizan dan CRCS UGM.

Islam, Rabiul; Walkerden, Greg. (2014). How Bonding and Bridging Networks Contribute to Disaster Resilience and Recovery on The Bangladesh Coast. International Journal of Disaster Risk Reduction, 10, 281-291.

Johnson, Victoria A.; Ronan, Kevin R.; Johnston, David M.; Peace, Robin. (2014). Implementing Disaster Preparedness Education in New Zealand Primary Schools. Disaster Prevention and Management, 23(4), 370-380.

Johnston, Ingrid. (2014). Disaster Management and Climate Change Adaptation: A Remote island Perspective. Disaster Prevention and Management, 23(2), 123-137.

Jufriadi, akhmad; Ayu, Hena Dian; Afandi, Akhmad; Rahman, M.; Raehanayati, Sandy Vikki Ariyanto, Ika Karlina Liala Nur Suciningtyas. (2012). Sosialisasi Pengurangan Risiko Bencana di Kecamatan Tempursari Kabupaten Lumajang sebagai upaya Pendidikan Mitigasi Bencana. Erudio, 1(1).

Khan, Mizan R.; Rahman, M. Ashiqur. (2007). Partnership Approach to Disaster Management in Bangladesh: A Critical Policy Assessment. Natural Hazards, 41(2), 359-378.

Kusumasari, Bevaola; Alam, Quamrul. (2012a). Local Wisdom-Based Disaster Recovery Model in Indonesia. Disaster Prevention and Management, 21(3), 351-369.

.(2012b). Network Organisation in Supporting Post-disaster Management in Indonesia. International Journal of Emergency Services, 1(1), 71-85.

.(2012c). Bridging the Gaps: The Role of Local Government Capability and The Management of a Natural disaster in Bantul, Indonesia. Natural Hazards, 60(2), 761-779.

Page 181: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi166

Kusumasari, B. (2014a). Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintah Daerah. Yogyakarta: Gava Media.

. (2014b). Memahami Bencana dari Perspektif Manajemen dan Kebijakan Publik. (B. Kusumasari, Ed.) Yogyakarta:

Gava Media.Kusumasari, Bevaola; Alam, Quamrul; Siddiqui, Kamal. (2010). Resource capability for local government in managing disaster. Disaster Prevention and Management, 19(4), 438-451.

Kumarasari, Wiwik Ratna., Lady Paula Reveny Mandalika, Sri Ningsih Pudjirahayu, 2002, Membangun Kebijakan Hidup Bersama Risiko Bencana, Dalam Agus Indiyanto dan Arqom Kuswanjono (Ed), 2002, Respons Masyarakat Lokal Atas Bencana, Kajian Integratif Ilmu, Agama dan Budaya, Seri Agama dan Bencana (Buku II), Mizan dan CRCS UGM, Yogyakarta.

Lassa, Jonatan; Pujiono, Puji. (2009). Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK). Jakarta: Kompas Gramedia.

Lassa, Jonatan , Puji Pujiono, Djuni Pristiyanto, Eko Teguh Paripurno, Amin Magatani, Hening Parlan, (2009), Kiat Tepat Mengurangi Risiko Bencana, Pengelolaan Risiko bencana berbasis Komunitas, Jakarta: Grasindo.

Latief, H. D. (2007). History of Natural Disaster of Indonesia. Unpublished, JICA.

. (2014b). The Susceptibility of The Vulnerable: Some Realities Reassessed. Disaster Prevention and Management, 23(1), 2-11.

. (2014a). Processes of Vulnerability in England? Place, Poverty and Susceptibility. Disaster Prevention and Management, 23(5), 586-609.

Lincoln, Y. S., & Guba, E. G. (1985). Naturalistic inquiry. Beverly Hills, CA: Sage Publications, Inc.

Lindell M. K., Prater, C. S., and Perry, R. W. (2006). Fundamentals of emergency management. Emmetsburg, MD: Federal emergency management agency emergency management institute. Retrieved from www.training.fema.gov/EMIWeb/edu/fem.asp or archone.tamu.edu/hrrc/Publications/books/ index.html on August 12, 2017.

Page 182: Carano Pustaka Universitas Andalas

Daftar Pustaka 167

Lofland, John & Lyn.H.Lofland. (1984). Analyzing Social Settings. California: Wadsworth Publishing Company.

Manyena, S. B. (2014). Disaster Resilience: A Question of ‘Multiple Faces’ and “Multiple Spaces”? International Journal of Disaster Risk Reduction , 8, 1-9.

May, Peter J dan Walter Williams. (1986). Disaster Policy Implementation: Managing Programs Under Shared Governance. New York: Plenum Press.

Mazmanian, Daniel A.; Sabatier, Paul A. (1983). Implementation and Public Policy. New Jersey: Scoot, Foresman dan Company.

Meter, Donald S. Van; Horn, Carl E. Van. (1975). The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework. Administration and Society, 6(4).

Miles, Matthew B.; Huberman, A. Michael; Saldaña, Johnny. (2014). Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook (3 ed.). (M. B. Miles, A. M. Huberman, & J. Saldaña, Eds.) Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Miura, Abu Bakar Sambah Fusanori. (2014). Remote Sensing and Spatial Multicriteria Analysis for Tsunami Vulnerability Assessment. Disaster Prevention and Management, 23(3), 271-295.

Mojtahedi, S. Mohammad H.; Oo, Bee Lan. (2014). Stakeholders’ Approaches to Disaster Risk Reduction in Built Environment. Disaster Prevention and Management, 23(4), 356-369.

Moleong, Lexy. J. ( 2008), Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nakamura, R. T., & Swallood, F. (1980). The Politics of Policy Implementation. New York: St. Martins.

Nasution, S. (1996), Metodologi Research, Jakarta: Buni Aksara.

Neuman, W. L. (2014). Social Research Methods: Qualitative and quantitative approaches (7 ed.). London: Pearson Education Limited.

Nugroho, R. (2017). Public Policy. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Nurhayaty, Any; Wimbarti, Supra; Triatmadja, Radianta; Hastjarjo, Thomas D. (2015). Model of Tsunami Preparedness for Indonesian Tsunami Prone, Areas Communities. Journal of Disaster Research, 10(5), 957-965.

Page 183: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi168

Olowu, Dejo. (2010). The Hyogo Framework for Action and its Implications for Disaster Management and Reduction in Africa. JAMBA: Journal of Disaster Risk Studies, 3(1), 303-320.

Oteng-Ababio, Martin. (2013). ‘Prevention is Better Than Cure’: Assessing Ghana’s Preparedness (Capacity) for Disaster Management. JAMBA: Journal of Disaster Risk Studies, 5(2), 1-11.

Parsons, Wayne. (2005). Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana.

Paton, Douglas; Smith, Leigh; Violanti, John. (2000). Disaster Response: Risk, Vulnerability and Resilience. Disaster Prevention and Management, 9(3), 173-180.

Phibbs, Suzanne; Good, Gretchen; Severensin, Christina; Woodbury, Esther; Williamson, Kerry. (2015). Emergency Preparedness and Perceptions of Vulnerability Among disable People Following the Christchurch Earthquakes: Applying Lesson Learnt to the Hyogo Framework for Action. Australasian Journal of Disaster and Trauma Studies, 19(spesial), 37-46.

Pramusinto, A. (2009). Pembangunan dan Reformasi di Bidang Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah. In A. Pramusinto, & E. A. Purwanto, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media-JIAN UGM-MAP UGM.

Pressman, J.L., and Aaron Wildavsky, 1973, Implementation : How Great Expectation in Washington Are Dased in Oakland, London: California Press.

Purwanto, Erwan Agus; Sulistyastuti, Dyah Ratih. (2012). Implementasi Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media dan JMKP-MAP UGM.

Rachmat, Agus. (2006), Manajemen dan Mitigasi Bencana, Makalah, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat.

R. Zorn, Conrad; Shamseldin, Asaad Y. (2015). Post-Disaster Infrastructure Restoration: A Comparison of Events for Future Planning. International Journal of Disaster Risk Reduction, 158-166.

Page 184: Carano Pustaka Universitas Andalas

Daftar Pustaka 169

Rambau, Takalani S.; Beukes, Lukas D.; Fraser, W. (2012). ‘Disaster Risk Reduction Through School Learners’ Awareness and Preparedness. Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies, 4(1), 1-11.

Rautela, Piyoosh. (2015). Traditional practices of the people of Uttarakhand Himalaya in India and relevance of these in disaster risk reduction in present times. International Journal of Disaster Risk Reduction, 13, 281-290.

Ripley, Randall B.; Franklin, Grace A. (1982). Bureaucracy and Policy Implementation. Homewood, Illinois: The Dorsey Press.

Rivera, Claudia; Wamsler, Christine. (2014). Integrating Climate Change Adaptation, Disaster Risk Reduction and Urban Planning: A Review of Nicaraguan Policies and Regulations. International Journal of Disaster Risk Reduction, 7, 78-90.

Roth, Ann-Sofie; Becker, Per. (2011). Challenges to Disaster Risk Reduction: A Study of Stakeholders’ Perspectives in Imizamo Yethu, South Africa. JAMBA: Journal of Disaster Risk Studies, 3(2), 443-452.

Routray, Haitham Bashier Abbas Jayant K. (2014). “Vulnerability to Flood-Induced Public Health Risks in Sudan. Disaster Prevention and Management, 23(4), 395-419.

Rusli, Budiman, 2013, Kebijakan Publik, Membangun Pelayanan Publik yang Responsif, Bandung: Hakim Publishing.

Ruswandi (2009), Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam di Pesisir Indramayu dan Ciamis, Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

S.H.M.Fakhruddin, & Y.Chivakidakarn. (2014). A Case Atudy for Early Warning and Disaster Management in Thailand. International Journal of Disaster Risk Reduction, 159-180.

Schneide, A. L. (1982). Studying Policy Implementation: A Conceptual Framework. Evaluation Review, 6(6), 715-730.

Schwartz, R., & Sharkansky, I. (2000). Collaboration With the “Third Sector’-Issues of Accountability: Mapping Israeli Version of This Problematic. Public Policy and Administration, 15(3).

Page 185: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi170

Shaluf. (2007). Disaster Types. Disaster Prevention and Management, 16(5), 704-717.

Shiwaku, Koichi. (2014). Comparative Study on Teacher Training for School Disaster Management in Armenia and Japan. Disaster Prevention and Management, 23(2), 197-211.

Shreve, C., & I.Kelman. (2014). Does mitigation save? Reviewing Cost-Benefit Analyses of Disaster Risk Reduction. International Journal of Disaster Risk Reduction, 10, 213-235.

Sillah, Ramphal M. (2015). A Call to Establish a Child-Centred Disaster Management Framework in Zimbabwe. Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies, 7(1).

Sinha, Abhinav; Pal, D.K.; Kasar, P.K.; Tiwari, R.; Sharma, A. (2008). Knowledge, Attitude and Practice of Disaster Preparedness and Mitigation Among Medical Students. Disaster Prevention and Management, 503-507.

Skinner, C.; Rampersad, R. (2014). ‘A Revision of Communication Strategies For Effective Disaster Risk Reduction: A Case Study of the South Durban basin, KwaZulu-Natal, South Africa’. Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies, 6(1).

Smith. (1985). Decentralization: The Teritorial Dimension of The State. London: George Allen And Unwin.

Smith, K. (2007). Enviromental Hazards: Assesing Risk and Reducing Disaster. London: Routledge.

Spiekermann, Raphael; Kienberger, Stefan; Norton, John; Briones, Fernando; Weichselgartner, Juergen. (2015). The Disaster-Knowledge Matrix – Reframing and Evaluating the Knowledge Challenges in Disaster Risk Reduction. International Journal of Disaster Risk Reduction, 13, 96-108.

Sudmeier-Rieux, K. I. (2014). Resilience – an Emerging Paradigm of Danger or of Hope? Disaster Prevention and Management, 23(1), 67-80.

Sugino, Mire; Hapsari, Elsi Dwi; Madyaningrum, Ema; Haryant, Fitri; Warsini, Sri; Takada, Satoshi; Matsuo, Hiroya. (2014). Issues Raised by Nurses and Midwives in a Post-Disaster Bantul Community. Disaster Prevention and Management, 23(4), 420-436.

Page 186: Carano Pustaka Universitas Andalas

Daftar Pustaka 171

Tachjan. (2008). Implementasi Kebijakan, Bandung: AIPI Bandung – Puslit KP2W Lemlit Unpad. Bandung: AIPI Bandung - Puslit KP2W Lemlit Unpad.

Tacon, R., Walters, G., & Conforth, C. (2017). Accountability in Nonprofit Governance: A Process-Based Study. Nonprofit and Voluntary Sectro Quarterly, 1-20.

Thayaparan, Menaha; Siriwardena, Mohan; Malalgoda, Chamindi Ishara; Amaratunga, Dilanthi; Lill, Irene; Kaklauskas, Arturas. (2015). Enhancing Post-Disaster Reconstruction Capacity Through Lifelong Learning in Higher Education. Disaster Prevention and Management, 24(3), 338-354.

Tuohy, Robyn; Stephens, Christine; Johnston, David. (2014). Older Adults’Disaster Preparedness in the Context of the September 2010–December 2012 Canterbury Earthquake Sequence. International Journal of Disaster Risk Reduction, 9, 194-203.

Twigg, John, Charlotte Benson, Mary Myers (2000), Research Consultants c/o The Twigg, John, Charlotte Benson and Mary Myers (research consultants), November 2000, NGO Initiatives in Risk Reduction: A Summary of the Research Studies for the British Red Cross Society funded by the Department for International Development.

Twigg, 2006, Disaster Early Warning Systems: People, Politics And Economics Benfield Hazard Research Centre Disaster Studies Working Paper 16, June 2006.

Usamah, Muhibuddin; Handmer, John; Mitchell, David; Ahmed, Iftekhar. (2014). Can the Vulnerable be Resilient ? Co-Existence of Vulnerability and Disaster Resilience: Informal Settlements in the Philippines. International Journal of Disaster Risk Reduction, 10, 178-189.

Victoria, Lorna P. 2007, Community based approached to disaster mitigation. diunduh dari website: www.adpc.net/v2007/IKM/ONLINE%20DOCUMENTS/downloads/.../CBDM.pdf on August 12, 2017.

Wahab, S. A. (1997). Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 187: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi172

Waldt, Gerrit van der. (2009). Public Management and Disaster Risk Reduction: Potential Interdisciplinary Contributions. JÀMBÁ: Journal of Disaster Risk Studies, 2(1).

Waldt, Gerrit Van der. (2013). Disaster Risk Management: Disciplinary Status and Prospects For a Unifying Theory. Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies, 5(2).

Weimer, D., & Vining, A. (1992). Policy Analysis: Concept and Practice. Englowood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.

Weissert, C. S., & Goggin, M. L. (2002). Non-incremental Policy Changes: Lessons From Michigan’s Medical Managed Care Initiative. Public Administration Review, 6(2).

Wibawa, Samodra; Purbokusumo, Yuyun; Pramusinto, Agus. (1994). Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Wikantiyoso, Respati. (2010), Mitigasi Bencana di Perkotaan; Adaptasi atau Antisipasi Perencanaan dan Perancangan Kota? (Potensi Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kota untuk Upaya Mitigasi Bencana. Dalam Jurnal Local Wisdom, Volume:II, Nomor: 1. Halaman: 18 - 29, Januari 2010.

Yau, Nie- Jia; Tsai, Ming-Kuan; Yulita, Eryani Nurma. (2014). Improving Efficiency for Post-Disaster Transitional Housing in Indonesia: An Exploratory Case Study. Disaster Prevention and Management, 23(2), 157-174.

Yogaswara, Herry, Laksmi Rachmawati, Fitrianita dan Ulil Amri, 2012, Kajian Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana yang Berbasiskan Kearifan Lokal: Pembelajaran Perda No. 8 Tahun 2010 Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam Herryzal Z. Anwar, 2012, Menyingkap Tabir Fenomena Bencana Seismik di Indonesia: Perspektif Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi dan Tsunami, Bandung: Andira dan LIPI

Yustiningrum, R. E. (2012). Dinamika Kebijakan Penanggulangan Bencana Tsunami di Kepulauan Mentawai. dalam H. Z. Anwar, Menyikap Tabir Fenomena Bencana Seismik di Indonesia: Perspektif Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi dan Tsunami. Bandung: Andira dan LIPI.

Yuniarti, Kwartarini Wahyu., Prihatiningsih, Silvia Eka Mariskha, Richa Nurhayati,(2002), Berangkat dari Komunitas: Menuju Perubahan

Page 188: Carano Pustaka Universitas Andalas

Daftar Pustaka 173

Kesiapan dalam Menghadapi Bencana Alam, Hlm 137, Dalam Agus Indiyanto dan Arqom Kuswanjono, 2002, Konstruksi Masyarakt Tangguh Bencana, Seri Agama dan Bencana, Buku III, Mizan dan CRCS, Yogyakarta.

Website/internet

http://blog.act.id/risiko-bencana-gempa-bumi-mengintai-padang/. (2015, Juni). Retrieved januari 2016, from Risiko Bencana Gempa Bumi Mengintai Padang.

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi Sumber Daya Mineral. (2012, April). http://www.vsi.esdm.go.id. Retrieved april 2015.

http://www.harianhaluan.com/index.php/laporan-utama/17777-sumbar-tak-punya-grand-designs-mitigasi-kebencanaan. Retrieved Januari 2016.

http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Social-Welfare/Disaster/Manajemen%20dan%20mitigasi.pdf,

http://bpbd.jakarta.go.id/news/detail/1031, Mitigasi Bencana, 31 Mar 2016.

http://www.adpc.net/v2007/IKM/ONLINE%20DOCUMENTS/downloads/ADUMP/CBDM.pdf (Community Based Approaches To Disaster Mitigation, Lorna P. Victoria, Director, Center for Disaster Preparedness, Regional Workshop on Best Practices in Disaster Mitigation).

www.adpc .net/v2007/Programs/CBDRM/. . . /2008/f ina l_crindonesia_23nov.pdf, Monitoring and Reporting Progress on Community-Based Disaster Risk Reduction in Indonesia, April 2008, Partnerships for Disaster Reduction-South East Asia, Phase 4).

http://www.adpc.net/v2007/IKM/ONLINE%20DOCUMENTS/downloads/ADUMP/CBDM.pdf (Community Based Approaches To Disaster Mitigation, Lorna P. Victoria, Director, Center for Disaster Preparedness, Regional Workshop on Best Practices in Disaster Mitigation).

http://ssiteresources.worldbank.orgPUBLICSECTORANDGOVERNANCEResourcesAccountabilityGovernance.pdf.

Page 189: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi174

Peraturan-peraturan

Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana.

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Rencana Aksi Nasional-Pengurangan Risiko Bencana Tahun 2006-2009.

Perwako Nomor 25 Tahun 2011 tentang PROTAP Penanggulangan Bencana Daerah Kota Padang.

Perwako Nomor 37_Tahun_2012 tentang Protap Penanggulangan Bencana.

Perwako Padang 14 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Sistem Peringatan Dini Tsunami di Kota Padang.

Perda Kota Padang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Penanggulangan Bencana BPBD Kota Padang.

Page 190: Carano Pustaka Universitas Andalas

INDEKS

175

Aadministrasi publik, 27, 158aktor, 41, 45-47, 51, 53, 54, 62, 63,

75, 115, 122, 139, 140, 152, 157

akuntabilitas, 55, 131, 152-155, 158alam, 1-3, 7, 9-11, 21, 22, 27, 28, 30,

31, 33, 36, 38-40, 67, 69, 71-73, 78, 83, 86, 91, 119, 126, 127, 133, 139, 144, 158

anggaran, 9, 12, 30, 47, 72, 90, 104, 119, 126-129, 131, 133-135, 139, 141-143, 146, 148, 152, 157, 159

BBadan Nasional Penanggulangan

Bencana, xiii, 2, 79, 132Badan Penanggulangan Bencana

Daerah, 5, 10, 79, 86, 116, 122, 123, 126, 133-135, 137, 141, 145

bencana, vi, 1-14, 21-23, 25, 27-40, 42, 51, 67-83, 85-96, 98-131, 133-152, 155, 157-159, 166, 173

bencana alam, 1-3, 7, 9-11, 21, 22, 28, 30, 31, 33, 36, 38, 67, 69, 71-73, 78, 83, 86, 91, 127, 133, 139, 144, 158

BPBDPK, vi, ix, xiii, 10, 12, 14, 24, 25, 75, 83, 86, 88, 90-93, 95, 100, 101, 104, 106, 107, 109, 110, 116-125, 129, 133-142, 144, 146-152, 154, 155, 157, 159

bumi, xii, 1-25, 40, 51, 67, 69, 71, 75, 83, 86-89, 91-96, 98, 101, 102, 105, 106, 110, 112, 113, 115-117, 121-123, 125-128, 135, 139, 143, 144, 149, 150, 152, 155, 158, 159, 173

Cclassy FM, 111

Ddaerah, 2, 3, 5, 8, 9, 11, 13, 16, 22,

24-26, 28, 31, 33, 34, 36-38, 40, 42, 46, 57, 69-71, 73, 74, 76-83, 86-95, 98, 99, 101, 102, 105, 108, 109, 113, 114-116,

Page 191: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi176

119, 121, 122, 124, 125, 127, 129, 131-142, 144, 146, 149, 152-154, 157, 158

Disaster, xiii, 2, 29-31, 33, 34, 67, 68, 71, 73, 74, 76, 114, 161-173

Disaster Risk Management, 161, 172

EEarthquake Early Warning System,

126edukasi, 90, 102, 108, 110, 143, 144,

148-150evakuasi, 8, 37, 40, 42, 68, 82, 88,

89, 95,-98, 100, 102-107, 110, 126, 133, 143, 145, 147, 149, 152

existing, 123

Ffungsi, 12, 36, 47, 56, 70, 116, 135,

136-138, 140-143, 145, 146, 151, 152, 154, 157, 158

Ggempa bumi, 2, 3, 5-13, 21-25, 40,

51, 67, 69, 71, 75, 83, 86-89, 91-96, 98, 101, 102, 105, 106, 110, 112, 113, 115-117, 121-123, 125-128, 135, 139, 143, 144, 149, 150, 152, 155, 158, 159

Hhearing, 149horizontal, 95, 105, 141, 154

IImplementasi Kebijakan, iv, v, vii,

viii, ix, xi, 12, 13, 20, 21, 43, 50, 53, 57, 60, 64, 65, 85, 115, 158, 168, 171

Indonesia, ix, xi, 2-6, 10, 13, 23, 29,

34, 35, 67, 69, 70, 73, 76, 79, 80, 83, 86, 94, 101, 161-163, 165, 166, 168, 172-174

Jjalur evakuasi, 8, 88, 89, 96-98, 104-

145, 152Jemari Sakato, 108, 140, 147-151

Kkebijakan publik, 27, 41, 44-46, 48,

51, 52, 54, 56, 58-60, 115, 125Kerangka Aksi Beijing, 31Kerangka Aksi Hyogo, 31, 32, 78Kerangka Kerja Sendai, 32Kogami, 88, 102, 107, 108, 111, 119,

140, 147-151komando, 11, 12, 79, 116, 135, 136,

138, 140-142, 153, 157, 158Komisi, 117, 148koordinasi, 10, 12, 34, 38, 47, 49,

50, 58, 71, 88, 92, 94, 98, 107, 112, 114, 117, 129, 135-138, 141, 142, 145, 148, 152, 157

korban, 7, 8, 27, 35, 37, 68-72, 78, 80, 82, 83, 87, 92, 93, 102, 110, 113, 114, 145

KSB, vi, xiii, 100, 102, 106-112, 133, 142, 147, 148, 150

Lleading sector, 10, 119, 122, 135, 138,

140, 141, 157, 158lempeng Eurasia, 7Lempeng Indo-Australia, 22letusan gunung berapi, 2, 40

MMegathrust, 6, 114mitigasi bencana, 8-11, 13, 37-40,

42, 51, 67, 68, 70-72, 77, 78, 80-83, 85, 86-89, 91, 95, 96,

Page 192: Carano Pustaka Universitas Andalas

Indeks 177

100, 108, 111, 112, 115-117, 122, 125, 126, 137, 140, 142-152, 155, 157, 158

NNGOs, 119, 140, 148

Oorganisasi, 29, 31, 33, 35, 37, 47, 49,

51, 57, 59, 68, 77, 80, 113, 116, 120, 123, 137, 138, 140, 141, 152-154, 183

PPadang, vi, vii, ix, xi, xii, 5-14, 18,

19, 20-26, 69, 71, 74, 75, 77, 78, 83, 85-100, 101-105, 107-140, 142-148, 150, 151, 157-159, 173, 174, 183

patahan, 6, 7, 22, 23, 102pemerintah daerah, 5, 8, 9, 11, 36,

42, 46, 74, 81, 88, 99, 113-115, 127, 129, 131, 134-139, 149

Penanggulangan Bencana, vii, viii, xi, xiii, 2, 4, 5, 10, 12, 13, 20, 21, 27, 34, 35, 37, 39, 67, 73, 77, 79, 80, 85, 86, 108, 114-116, 122, 123, 126, 130, 132-135, 137, 139-141, 145, 147, 159, 168, 172, 174

pengurangan risiko bencana, 1, 5, 6, 11, 12, 27, 28-34, 39, 42, 67, 70, 73, 76, 77, 79, 101, 110, 115, 117, 125, 126, 135, 137, 140, 141, 157, 158

peraturan daerah, 5, 13, 92, 115, 116, 137, 144

peta, 3, 23, 24, 25, 91, 141, 147Peta Zonasi, xi, 3PRB, xiii, 28, 29, 31, 76, 79, 101, 106,

136-138

Rrehabilitasi, 5, 27, 32, 34, 72, 81, 123,

129, 134, 140RTRW, vi, xiii, 78, 80, 87-89, 146,

152

Sshelter, 89, 92, 93, 98-100, 104, 106,

107, 126, 134, 143skala richter, 6SKPD, xiii, 14, 19, 79, 88, 89, 92,

116, 119-121, 123, 125, 129, 136, 138, 140, 142, 143, 146, 148-152, 154, 155

TTagana, vi, xiii, 104, 145, 147tanggap darurat, 4, 5, 27, 31, 33, 35,

69, 70, 72, 76, 78, 79, 82, 113, 114, 128, 131, 134, 138, 140, 141, 145

Translation Ability, viii, 115Trauma healing, 145tsunami, 2, 3, 6, 8, 23-25, 40, 73, 75,

87-90, 95-99, 101, 102, 105, 110, 112-114, 119, 126, 133, 135, 143, 149, 150

Tuhan, 2

UUndang-Undang, 5, 10, 27, 34, 37,

70, 85, 86, 108, 135, 137, 159, 174

Wworkshop, 77, 149World Bank, 154

Zzaman, 126, 159zona hijau, 88

Page 193: Carano Pustaka Universitas Andalas

[Halaman ini sengaja dikosongkan]

Page 194: Carano Pustaka Universitas Andalas

BIODATA PENULIS

179

Roni Ekha Putera adalah merupakan dosen di Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang dengan Jabatan Lektor Kepala dengan Spesialisasi bidang pelayanan publik, kebijakan dan manajemen bencana.

Penulis Lahir pada tanggal 3 Mei 1981 di Nagari Panyakalan, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Menamatkan Pendidikan Sarjana Ilmu Politik

(S.IP) pada Jurusan Administrasi Negara, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada Tahun 2003. Master of Public Administration (M.PA) bidang ilmu Administrasi Negara dari Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada tahun 2009. Dan Doktor Administrasi Publik dari Universitas Padjadjaran Bandung Tahun 2017.

Penulis pernah menjadi Sekretaris Jurusan Ilmu administrasi Negara (S1), FISIP, Universitas Andalas, Sekretaris Senat FISIP Universitas Andalas dan Sekarang menjabat sebagai Ketua Penjaminan Mutu, FISIP, Universitas Andalas.

Penulis tercatat sebagai anggota IAPA, AAKI yang merupakan organisasi profesi di bidang Administrasi Publik dan Kebijakan Publik. Selain itu penulis juga aktif menjadi pembicara dalam seminar nasional maupun internasional, dan beberapa tulisannya dimuat di

Page 195: Carano Pustaka Universitas Andalas

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi180

jurnal terakreditasi maupun di jurnal internasional. Buku yang telah diterbitkan oleh penulis antara lain Transisi Demokrasi Lokal Nagari Pasca Otonomi Daerah di Sumatera Barat (2010) bersama Tengku Rika Valentina, dan Model Manajemen Kinerja Pegawai: Sebuah Pembelajaran dari Provinsi Jawa Barat (2015) bersama Yogi Suprayogi Sugandi, dkk. Penulis dapat dihubungi melalui [email protected]