41
BAB I ILUSTRASI KASUS I. IDENTITAS Nama : Nn. T Jenis kelamin : Perempuan Umur : 17 tahun Pekerjaan : Pelajar Pendidikan : Tamat SMP Agama : Islam Status perkawinan : Belum menikah Suku bangsa : Indonesia Alamat : Jl. Pintu Air I RT. 010 RW. 002 Tanggal masuk RS : 4 Oktober 2013 II. ANAMNESIS Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 9 Oktober 2013 Keluhan Utama : Tidak sadarkan diri sejak 1½ jam sebelum masuk RS Keluhan Tambahan : sakit kepala Riwayat Penyakit Sekarang : 1

Case II Trauma Capitis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Case II Trauma Capitis

BAB I

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Nn. T

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 17 tahun

Pekerjaan : Pelajar

Pendidikan : Tamat SMP

Agama : Islam

Status perkawinan : Belum menikah

Suku bangsa : Indonesia

Alamat : Jl. Pintu Air I RT. 010 RW. 002

Tanggal masuk RS : 4 Oktober 2013

II. ANAMNESIS

Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 9 Oktober 2013

Keluhan Utama :

Tidak sadarkan diri sejak 1½ jam sebelum masuk RS

Keluhan Tambahan :

sakit kepala

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan keluhan utama tidak sadarkan diri sejak

1½ jam SMRS. Pasien sebelumnya mengalami kecelakaan motor saat ingin pergi ke

rumah temannya. Pasien saat itu tidak memakai helm. Pasien mengaku tidak mengingat

mekanisme terjadinya kecelakaan dan berapa lama pingsannya. Pasien sempat sadarkan

diri saat di IGD sebentar dan merasa kepalanya sakit dan muntah menyembur satu kali.

Kemudian pasien baru benar-benar sadar saat berada di ruang perawatan. Pasien

menjadi cendrung mengantuk. Pasien tidak ada gangguan menggingat setelah sadar.

1

Page 2: Case II Trauma Capitis

Pasien sempat muntah lagi sebanyak tiga kali berwarna hitam dan seperti menggumpal

dan menyembur. Pasien merasa sakit kepala dan pusing jika kepalanya digerakkan.

Pasien juga merasa pendengaran sebelah kanannya berkurang dan menjadi pelo. Pasien

mengaku bahu kanannya sakit dan agak sulit digerakkan. Menurut pengakuan ibunya,

pasien sempat mimisan dan mengeluarkan darah pada telinga sebelah kanan saat di

IGD. Pasien BAK banyak dan belum bisa BAB sejak masuk RS tapi ada keinginan

untuk BAB. Keluhan kejang, demam, gangguan penglihatan, nyeri leher, kelemahan

sesisi, dan rasa kesemutan sesisi disangkal pasien. Saat kejadian pasien tidak sedang

mengkonsumsi alcohol atau obat-obatan.

Riwayat Kebiasaan:

Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan terlarang maupun minuman beralkohol.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik di IGD RSUP Fatmawati tanggal 4 Oktober 2013 jam 24.00 WIB:

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : GCS: E3M5V4

Tekanan Darah : 100 / 60 mmHg

Nadi : 88 x/mnt

Suhu : 37 0C

Pernafasan : 12 x/mnt, teratur

Pengisian kapiler : < 3 detik

Ekstremitas : akral dingin

Pemeriksaan fisik di ruang perawatan tanggal 9 Oktober 2013:

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4M6V5

Sikap : Berbaring

Koperasi : Kooperatif

Keadaan Gizi : Cukup

Tekanan Darah : 120 / 80 mmHg

Nadi : 72 x/mnt

Suhu : 36,9 0C

Pernafasan : 18 x/mnt

2

Page 3: Case II Trauma Capitis

Keadaan Lokal

Trauma Stigmata : tampak bengkak pada wajah sebelah kiri, vulnus eksoriasi

pada kedua punggung tangan

Pulsasi A.Carotis : Teraba, kanan = kiri, reguler

Perdarahan Perifer : capilary refil < 2 detik

Columna Vertebralis : tidak dapat dinilai

Kulit : Warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-)

Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah

dicabut, tidak ada alopesia, wajah sebelah kiri bengkak.

Mata : konjungtiva anemis +/+, sclera ikterik -/-, ptosis -/-,

lagoftalmus +/-, hematom subkonjungtiva sinistra, hematoma

periorbita sinistra, pupil bulat isokor, 3mm/3mm, refleks

cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+.

Telinga : Normotia +/+, perdarahan +/-, lapang -/+, battle sign -/-

Hidung : Deviasi septum -/-, epistaksis +/+

Mulut : Bibir pucat, sianosis -, lidah kotor -

Tenggorok : Faring hiperemis -, tonsil T1-T1

Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba

pembesaran KGB dan tiroid.

Pemeriksaan Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis teraba di ICS 5 linea midklavikula sinistra.

Perkusi : batas kanan jantung di ICS 4 linea sternalis dekstra, batas kiri

jantung di 1 ICS 5 linea midklavikula sinistra, pinggang

jantung di ICS 3 linea para sternalis sinistra.

Auskultasi : S1 dan S2 normal reguler, murmur -, gallop -

Pemeriksaan Paru

Inspeksi : pergerakkan dada simetris pada statis dan dinamis

Palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama

Perkusi : perkusi di seluruh lapang paru sonor

3

Page 4: Case II Trauma Capitis

Auskultasi : suara nafas vesikuler, rhonki - / -, wheezing - /-

Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : datar, efloresensi -, venektasi -

Palpasi : supel, nyeri tekan -, hepar dan lien tidak teraba membesar

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus + normal, 3 x/menit

Pemeriksaan Ekstremitas

Atas : akral hangat + / +, edema - / -, tampak vulnus ekskoriasi pada

kedua punggung tangan

Bawah : akral hangat + / +, edema - / -

Status Lokalis regio bahu kanan

Look : deformitas (-), perdarahan (-), Luka terbuka (-)

Feel : Nyeri tekan Vas 3, Krepitasi (-), NVD (-)

Move : pergerakan aktif dan pasif terbatas nyeri

IV. STATUS NEUROLOGIS

Rangsang Selaput Otak

Kaku kuduk : tidak dikerjakan

Laseque : >700 / >700

Kerniq : > 1350 / > 1350

Brudzinsky I : -

Brudzinsky II : - / -

Saraf-saraf Kranialis

N.I (olfaktorius) : anosmia / normosmia

N.II (optikus)

Acies visus : baik / baik (2/60, terbatas ruangan)

Visus campus : baik / baik

Lihat warna : baik / baik

Funduskopi : tidak dilakukan

4

Page 5: Case II Trauma Capitis

N.III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducen)

Kedudukkan bola mata : ortoposisi + / +

Pergerakkan bola mata : baik ke segala arah +/+ (nasal, temporal, superior,

inferior, nasal atas dan bawah, temporal atas dan

bawah)

Exopthalmus : - / -

Nystagmus : - / -

Pupil

Bentuk : bulat, isokor, 3mm/3mm

Reflek cahaya langsung : +/+

Reflek cahaya tidak langsung : +/+

Reflek akomodasi : +/+

Reflek konvergensi : +/+

N.V (Trigeminus)

Cabang Motorik : tidak valid dinilai

Cabang sensorik

Ophtalmikus : baik / baik

Maksilaris : baik / baik

Mandibularis : baik / baik

N.VII (Fasialis)

Motorik

Orbitofrontalis : dahi sebelah kanan tidak dapat dikerutkan

Orbikularis okuli : pasien tidak dapat memejamkan mata kanan saat

diberikan tahanan ringan

Orbikularis oris : plica nasolabialis dextra datar ketika pasien

menyeringai

Pengecapan lidah : baik / baik

N.VIII (Vestibulocochlearis)

Vestibular

Vertigo : tidak dikerjakan

5

Page 6: Case II Trauma Capitis

Nistagmus : - / -

Koklearis

Tuli Konduktif : + / -

Tuli Perseptif : - / -

Test penala weber : lateralisasi ke telinga yang sakit

N.IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)

Motorik : baik / baik

Sensorik : baik / baik

N.XI (Accesorius)

Mengangkat bahu : baik/ baik

Menoleh : baik / baik

N.XII (Hypoglossus)

Pergerakkan lidah : baik

Atrofi : -

Fasikulasi : -

Tremor : -

Sistem Motorik

Ekstremitas atas proksimal - distal : 5555 / 5555

Ekstremitas bawah proksimal - distal : 5555 / 5555

Gerakkan Involunter

Tremor : - / -

Chorea : - / -

Atetose : - / -

Miokloni : - / -

Tics : - / -

Trofik : eutrofik + / +

Tonus : normotonus + / +

Sistem Sensorik

6

Page 7: Case II Trauma Capitis

Propioseptif : baik

Eksteroseptif : baik

Fungsi Serebelar

Ataxia : tidak dilakukan

Tes Romberg : tidak dilakukan

Disdiadokokinesia : baik

Jari-jari : baik

Jari-hidung : baik

Tumit-lutut : baik

Rebound phenomenon : baik

Hipotoni : - / -

Fungsi Luhur

Astereognosia : -

Apraxia : -

Afasia : -

Fungsi Otonom

Miksi : baik

Defekasi : baik

Sekresi keringat : baik

Refleks Fisiologis

Kornea : + / +

Biceps : +2 / +2

Triceps : +2 / +2

Dinding perut : + / +

Otot perut : + / +

Lutut : +2 / +2

Tumit : +2 / +2

Kremaster : tidak dilakukan

Refleks Patologis

7

Page 8: Case II Trauma Capitis

Hoffman Tromer : - / -

Babinsky : - / -

Chaddok : - / -

Gordon : - / -

Schaefer : - / -

Klonus lutut : - / -

Klonus tumit : - / -

Keadaan Psikis

Intelegensia : baik

Tanda regresi : -

Demensia : -

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tanggal 5 Oktober 2013

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL

HEMATOLOGI

Hb 12,2 14 – 18 g/dL

Ht 36 33 – 45 %

Leukosit 12,9 (4,5 – 13). 103/uL

Trombosit 407 (150 – 440). 103/uL

Eritrosit 4,44 3.8-5,2 106/uL

VER/HER/KHER/RDW

VER 80,4 80,0 - 100,0 fl

HER 27,4 26,0 - 34,0 pg

KHER 34,1 32,0 - 36,0 g/dl

RDW 13,7 11,5 - 14,5%

FUNGSI HATI

SGOT 28 0 - 34 u/L

SGPT 15 0 - 40 u/L

FUNGSI GINJAL

Ureum Darah 19 20 - 40 mg/dl

Kreatinin Darah 0,4 0,6 - 1,5 mg/dl

8

Page 9: Case II Trauma Capitis

DIABETES

GDS 124 70 - 240 mg/dl

ELEKTROLIT

Natrium 137 135 - 147 mmol/L

Kalium 3,44 3,10 - 5,10 mmol/L

Klorida 104 95 - 108 mmol/L

SERO - IMUNOLOGI

Golongan Darah AB / Rh (+)

VI. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Foto thoraks:

Jenis foto : foto AP

Deskripsi : trakea ditengah

Jantung tidak membesar

Aorta baik

Kedua hilus tidak menebal

Infiltrate parakardial kanan

9

Page 10: Case II Trauma Capitis

Kedua sinus kostofrenikus dan diafragma baik

Fraktur inkomplit klavikula kanan

Kesan : jantung dalam batas normal dan infiltrat di parakardial kanan

Fraktur inkomplit klavikula kanan

CT Scan kepala potongan axial interval 3 mm, 10mm non kontras:

10

Page 11: Case II Trauma Capitis

Deskripsi : sulci dan gyri baik

Tak tampak hematom epidural, subdural, subaraknoid maupun

intracerebri

Tak tampak midline shift/desak ruang

System ventrikel dan sisterna normal

Pons dan cerebellum baik

Perselubungan dengan HU perdarahan di sinus masksilaris kiri,

sphenoid kiri dan ethmoid kanan-kiri

Perselubungan dengan HU perdarahan di mastoid air cell kanan

11

Page 12: Case II Trauma Capitis

Tampak fraktur dinding lateral sinus maksilaris kiri dan mastoid

kanan

Kesan : tak tampak hematoma epidural, subdural maupun intracerebri saat

ini

Fraktur dinding lateral sinus maksilaris kiri dan mastoid kanan

dengan hematosinus maksilaris kiri, sphenoidalis kiri dan ethmoid

kanan-kiri dan hematomastoid kanan.

VII. RESUME

Pasien perempuan 17 tahun datang ke IGD dengan keluhan tidak sadarkan diri sejak 1½

jam SMRS. Pasien mengalami kecelakaan motor dan tidak menggunakan helm.

Amnesia retrograde +. Pasien sempat sadar sebentar di IGD mengeluh sakit kepala serta

muntah menyembur. Ketika di ruang perawatan, pasien menjadi cendrung mengantuk,

muntah tiga kali berwarna hitam dan menggumpal menyembur, pusing, pendengaran

sebelah kanan berkurang, pelo, bahu kanannya sakit. Pasien sempat mimisan dan otore

telinga kanan, bisa BAK dan ada rasa ingin BAB. Dari pemeriksaan fisik didapatkan

bengkak pada wajah kiri, hematom periorbita sinistra, hematom subkonjungktiva

sinistra, epistaksis, rinore, parese n. VII perifer dextra, lesi n. I dextra, tuli konduktif

dextra. Pada pemeriksaan lab didapatkan Hb 12,2 g/dL. Pada pemeriksaan thoraks foto

didapatkan fraktur inkomplit klavikula dextra dan CT scan kepala didapatkan fraktur

dinding lateral sinus maksilaris kiri dan mastoid kanan dengan hematosinus maksilaris

kiri, sphenoidalis kiri dan ethmoid kanan-kiri dan hematomastoid kanan.

VIII. DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis klinis : penurunan kesadaran, sefalgia, muntah proyektil,

amnesia retrograde, hematom periorbita sinistra,

hematom subkonjungtiva sinistra, epistaksis, otore,

gangguan pendengaran dextra, lesi n. I dextra, parese

n. VII perifer dextra, fraktur basis kranii media dan

anterior, fraktur inkomplit klavikula dextra

Diagnosis etiologi : commusio

Diagnosis topis : dinding lateral sinus maksilaris sinistra dan mastoid

dextra, klavikula dextra

12

Page 13: Case II Trauma Capitis

IX. TATALAKSANA

Head elevation 30, tidak boleh menunduk

Diet tinggi kalori, tinggi protein, dan tinggi serat ± 1800 kkal/hari dengan konsistensi

makanan lunak

Perawatan luka

Kompres hangat mata kanan

IVFD manitol 4 x 125 cc iv

IVFD NaCl 0,9% 500 cc + citicolin 500 mg + tramadol 100 mg + Vit B1, B6, B12

5000 setiap 8 jam iv

Ceftriaxone 2 x 1 g iv

Ranitidine 2 x 50 mg iv

Ketorolac 2 x 30 mg iv

Laxadine 2 x cII PO

Kaltrofen sup extra

Konsul THT, orthopedic, dan bedah saraf

X. PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad functionam : bonam

Ad sanationam : bonam

XI. FOLLOW UP

Tanggal 10 Oktober 2013

S : masih pusing, bahu kanan masih sakit tapi sudah bisa digerakkan

O : Kesadaran : composmentis

TD : 120/70 mmHg, N: 80 x/menit

Status neurologi:

GCS : E4M5V6

N. cranialis : parese N. VII perifer dextra, lesi N. I dextras

Motorik : 5555∨55555555∨5555

sensoris : baik

Reflex patologis : - / - reflex fisiologis : +2∨+2+2∨+2

13

Page 14: Case II Trauma Capitis

A : commusio, fraktur basis kranii media dan anterior, fraktur inkomplit

klavikula dextra

P : terapi lanjut

Tanggal 11 Oktober 2013

S : pusing berkurang, bahu kana sudah bisa digerakkan

O : Kesadaran : composmentis

TD : 120/80 mmHg, N: 84 x/menit

Status neurologi:

GCS : E4M5V6

N. cranialis : parese N. VII perifer dextra, lesi N. I dextra

Motorik : 5555∨55555555∨5555

sensoris : baik

Reflex patologis : - / - reflex fisiologis : +2∨+2+2∨+2

A : commusio, fraktur basis kranii media dan anterior, fraktur inkomplit

klavikula dextra

P : terapi lanjut

14

Page 15: Case II Trauma Capitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun

tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik,

kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.

B. EPIDEMIOLOGI

Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52.000 pasien

meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab

kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian.

Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma

kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000. Angka kematian trauma kepala

akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9

per100.000 dan 1,8 per100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun ke atas, kematian akibat

trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mangalami

trauma kepala akibat terjatuh. Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala pada tahun

1995 sampai 1998 terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala

ringan sebanyak 60,3% (2463 kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus)

dan trauma kepala berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian akibat trauma kepala

mencatatkan sebanyak 11% berjumlah 448 kasus. Angka kejadian trauma kepala pada

tahun 2004 dan 2005 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), FKUI mencatat

sebanyak 1426 kasus.

Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh.

Pejalan kaki yang mengalami tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma

kepala terhadap pasien anak-anak bila dibandingkan dengan pasien dewasa.

C. KLASIFIKASI

Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara

praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera,

dan morfologi.

15

Page 16: Case II Trauma Capitis

1. Mekanisme Cedera Kepala

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul

biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda

tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

2. Beratnya Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya

penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara

spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15,

sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak

membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama

dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera

otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13

dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15

dikategorikan sebagai cedera otak ringan.

Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari

Traumatic Brain Injury yaitu :

3. Morfologi

a. Fraktur Kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk

garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur

dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone

Universitas Sumatera Utarawindow” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya

16

Page 17: Case II Trauma Capitis

tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk

melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan

adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena

robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena

menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.

Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut;

Gambaran fraktur, dibedakan atas :

o Linier

o Diastase

o Comminuted

o Depressed

Lokasi Anatomis, dibedakan atas :

o Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )

o Basis cranii ( dasar tengkorak )

Keadaan luka, dibedakan atas :

o Terbuka

o Tertutup

b. Lesi Intra Kraniald

Cedera otak difus

Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai

kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan

kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak

difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok

yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma.

Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau

gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini

dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma

otak berat dengan Universitas Sumatera Utaraprognosis yang buruk.

Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson

dan terlihat pada manifestasi klinisnya.

17

Page 18: Case II Trauma Capitis

Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak di luar

dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan

gambarannya berbentuk bikonveks atau

menyerupai lensa cembung. Sering terletak di

area temporal atau temporo parietal yang

biasanya disebabkan oleh robeknya arteri

meningea media akibat fraktur tulang

tengkorak.

Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi

daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini

terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di

permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural

biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer

otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan

prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan

perdarahan epidural.

18

Page 19: Case II Trauma Capitis

Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian

besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal,

walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian

dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu

beberapa jam atau hari, berubah menjadi

perdarahan intra serebral yang membutuhkan

tindakan operasi.

D. PATOFISIOLOGI

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer

dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat

langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan

suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.

Pada trauma kapitis, dapat

timbul suatu lesi yang bisa berupa

perdarahan pada permukaan otak

yang berbentuk titik-titik besar

dan kecil, tanpa kerusakan pada

duramater, dan dinamakan lesi

kontusio. Lesi kontusio di bawah

area benturan disebut lesi

kontusio “coup”, di seberang area

benturan tidak terdapat gaya

kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan

lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan

akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi

rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk

dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan

rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi

kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan

countrecoup.

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan

kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan

19

Page 20: Case II Trauma Capitis

otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra

kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa membentur permukaan dalam

tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia

otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera

sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali

jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat

diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.

Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan

aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang

berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron

atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien

yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera

metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi

otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada

beberapa daerah tertentu dalam otak.

20

Page 21: Case II Trauma Capitis

E. DIAGNOSIS

Anamnesis:

Hampir selalu ditemukan riwayat trauma oleh karena kecelakaan lalu lintas,

kecelakaan kerja atau trauma lainnya. Anamnesis yang lebih terperinci meliputi sifat

kecelakaan atau sebab-sebab trauma untuk estimasi berat ringannya benturan, saat terjadi

beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit, ada tidaknya benturan kepala langsung

dan keadaan penderita saat kecelakaan misalnya kejang, kelemahan motorik, gangguan

bicara dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa serta adanya nyeri kepala, mual

muntah.

Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwa sejak sebelum

terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan

adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial.

Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun kesadarannya), tapi dapat

kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah).

Pemeriksaan fisik:

1. Pemeriksaan kesadaran

Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow

Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga

pengukuran, yaitu: pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari

masing-masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai

terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15. Menurut Japardi (2004), GCS

bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi:

GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat

GCS 9 – 13 : cedera kepala sedang

GCS > 13 : cedera kepala ringan

21

Page 22: Case II Trauma Capitis

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali

pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat

kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah

terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.

Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun

1974. Sejak itu GCS merupakan tolak ukur klinis yang digunakan untuk menilai

beratnya cedera kepala. GCS seharusnya telah diperiksa pada penderita-penderita

awal cedera terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi.

Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan

hidup dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam

menentukan prognosa.

Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan skor GCS

sesudah resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai prediksi GCS. Pada

beberapa penderita, skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada atau yang

bengkak dan setelah tindakan intubasi endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi

rediksi yang kuat; penderita dengan skor mototrik 1 (bilateral flaksid) mempunyai

mortalitas 90 %.

Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera dan usia di atas 60 tahun

merupakan kombinasi yang mematikan. Penentuan skor awal GCS yang dapat

dipercaya dan belum diberi pengobatan apapun atau sebelum tindakan intubasi

mempunyai nilai yang sangat penting.

22

Page 23: Case II Trauma Capitis

2. Pemeriksaan Pupil

Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.

Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.

Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf

okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan

akibat dari cedera kepala.

3. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer.

Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya

harus dicatat.

4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak

Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman

leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak

dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan,

dan memar.

Pemeriksaan penunjang:

1. X-ray Tengkorak

Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala

diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang

sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka

tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan

palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran.

Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal

jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi

maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.

2. CT-Scan

Penemuan awal computed tomography scanner (CT Scan) penting dalam

memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan yang normal pada waktu

masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan

23

Page 24: Case II Trauma Capitis

mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila

dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di

atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan

menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat

berkembang lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan

tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan

dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering

berhubungan dengan outcome yang buruk.

Indikasi CT scan:

Nyeri kepala menetap atau muntah–muntah yang tidak menghilang setelah

pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.

Adanya kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial

dicebandingkan dengan kejang general.

Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor–faktor ekstracranial telah

disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,

febris, dll).

Adanya lateralisasi.

Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi

temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.

Luka tembus akibat benda tajam dan peluru

Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.

Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai

prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang

sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang

luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai

prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT

Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik.

Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah

dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk

mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala

ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada

24

Page 25: Case II Trauma Capitis

pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba.

Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat

masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan

berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera

kepala ringan.

F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk

memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki

keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak

yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa

cedera kepala ringan, sedang, atau berat.

Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam

penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,

circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada

penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah

penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.

Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat

antara lain:

a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)

b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

c. Penurunan tingkat kesadaran

d. Nyeri kepala sedang hingga berat

e. Intoksikasi alkohol atau obat

f. Fraktur tengkorak

g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea

h. Cedera penyerta yang jelas

i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan

j. CT scan abnormal

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan

suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat

berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid,

furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala

25

Page 26: Case II Trauma Capitis

memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi

klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan

panduan sebagai berikut:

a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih

dari 20 cc di daerah infratentorial

b. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis

c. tanda fokal neurologis semakin berat

d. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat

e. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm

f. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.

g. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan

h. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak

i. terjadi kompresi/obliterasi sisterna basalis

G. KOMPLIKASI

1. Koma

Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi

ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini

penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife

state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari

lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang

sembuh.

2. Kejang/Seizure

Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-

kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun

demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.

3. Infeksi

Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran

(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya

karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.

4. Hilangnya kemampuan kognitif

26

Page 27: Case II Trauma Capitis

Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori

merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami

masalah kesadaran.

5. Penyakit Alzheimer dan Parkinson

Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit

Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung

frekuensi dan keparahan cedera.

H. PROGNOSIS

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators

(2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan

terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis. Skor

Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap mortalitas

pasien. Adapun ditemukannya angka mortalitas yang lebih rendah pada GCS 3

dibandingkan dengan GCS 4 mungkin disebabkan skor pasien yang di sedasi dianggap

sebagai 3.

Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi

yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik.

Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk

pemulihan dari cedera kepala. Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada

saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

27

Page 28: Case II Trauma Capitis

BAB III

KESIMPULAN

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun

tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif,

fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. Trauma ini bisa menyebabkan kematian

tetapi juga penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan

tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.

Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera

primer dan cedera sekunder. Trauma kapitis diklasifikasikan berdasarkan mekanisme cedera

kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Kerusakan otak sering kali menyebabkan

kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi,

apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga

tergantung kepada bagian otak mana yang terkena. Penatalaksanaan awal penderita memikili

tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta

memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan

sel-sel otak yang sakit. Prognosis tergantung usia, Glasgow Coma Scale, deficit neurologis,

dan cedera ekstrakranial.

28

Page 29: Case II Trauma Capitis

DAFTAR PUSTAKA

1. Lenzlinger PM, Saatman K, Raghupati R. Overview of basic mechanism underlying

neuropathological consequences of head trauma. In: Miller LP, Hayer RL, editors. Head

trauma basic, preclinical and clinical directions. New York: Wiley-Liss; 2001. p. 3-23.

2. Mardjono mahar, Sidharta priguna. Neurologi Klinis Dasar.Cetakan ke 9. Dian

Rakyat.2003.Bab.VIII Mekanisme trauma susunan saraf. Hal 248-63.

3. Buku Pedoman SPM dan SPO NEUROLOGI. PERDOSSI. Bab. IX. Neurotrauma.

Hal.147-58.

4. Proceeding Updates In Neuroemergencies II. Hotel Aston Atrium. 28 Februari. FKUI.

Penatalaksanaan kedaruratan cedera kranio serebral. Hal 51-72.

5. Penatalaksanaan fase akut cedera kepala, Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992.

6. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P.

EGC, Jakarta,1995, 1014-1016.

7. A Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Kilinis Dasar,

Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259.

8. Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L. Thieme

Medical Publisher, New York,1996, 22.

9. Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition, Williams

& Wilkins, Arizona, 1993, 117 – 178.

10. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah

Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314.

29