39
IDENTITAS PASIEN : Nama : Tn. M Umur : 60 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Buruh Alamat : Antasari Status : Menikah Suku : Jawa Agama : Islam KELUHAN UTAMA: Mati rasa pada jari kaki kiri, tangan kanan dan betis kiri KELUHAN TAMBAHAN: Bentol-bentol pada wajah, dada, perut dan punggung Bercak putih pada tangan kiri RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG: Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSAM dengan keluhan mati rasa pada jari kaki kiri, tangan kanan serta betis kiri sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan ini diawali dengan munculnya bercak putih pada wajah dan badan. Awalnya, bercak putih muncul pada wajah dan badan, berbentuk bulat, dengan ukuran sebesar uang logam kurang berasa. 1 minggu kemudian pasien juga menemukan ada bercak putih lain

Case Report Morbus Hansen

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Case report morbus hansen pada pasien rawat jalan RSUD Abdoel Moeloek

Citation preview

IDENTITAS PASIEN :

Nama : Tn. M Umur : 60 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Buruh Alamat : Antasari Status : Menikah Suku : JawaAgama : Islam

KELUHAN UTAMA: Mati rasa pada jari kaki kiri, tangan kanan dan betis kiri

KELUHAN TAMBAHAN:Bentol-bentol pada wajah, dada, perut dan punggungBercak putih pada tangan kiri RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG: Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSAM dengan keluhan mati rasa pada jari kaki kiri, tangan kanan serta betis kiri sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan ini diawali dengan munculnya bercak putih pada wajah dan badan.

Awalnya, bercak putih muncul pada wajah dan badan, berbentuk bulat, dengan ukuran sebesar uang logam kurang berasa. 1 minggu kemudian pasien juga menemukan ada bercak putih lain pada lengan kanan atas dan kurang berasa. 1 bulan kemudian muncul bercak putih pada kedua pergelangan tangan yang kurang berasa. Bercak semakin meluas dan sekarang dirasakan mati rasa. Bercak meluas pada daerah dada, perut, punggung, dan juga kaki. Bercak tersebut kering, tidak bersisik dan tidak gatal.

Setelah itu pasien pergi ke puskesmas dan mendapatkan obat paket. Setelah 5 bulan mengkonsumsi obat paket tersebut, pasien mengeluh timbul bentol-bentol pada wajah, dada, perut dan punggung yang awalnya bercak keputihan yang berganti menjadi bentol-bentol. Bentol-bentol tersebut dirasakan tidak gatal dan juga tidak nyeri.

Karena keluhan munculnya bentol-bentol tersebut, pasien berobat ke Klinik Kosasih dan mendapatkan obat tablet berwarna putih, hijau dan kuning. Selama pengobatan tersebut, nodul tidak mengalami perubahan dan semakin meluas.

Riwayat timbul bercak merah disertai demam dan nyeri sendi saat bercak muncul tidak ada. Riwayat keluarga, saudara atau lingkungan sekitar yang menderita penyakit seperti ini tidak ada.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU: Tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA / ATOPI / ALERGI: Tidak ada anggota keluarga dan kerabat dengan keluhan yang sama.

PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALISATA: Keadaan Umum : Tidak tampak sakit Kesadaran : Compos mentis Status gizi : Cukup Tanda vital :a. Tekanan darah : 120/70b. Nadi : 74 x/mntc. RR : 18 x/mntd. Suhu : 36,90 Ce. Berat badan : 65 kgf. Tinggi badan : 162 cmg. Bentuk badan : atletikus

Thorax : Dalam batas normalAbdomen : Dalam batas normalKGB : Dalam batas normal

STATUS DERMATOLOGIK : Lokasi: regio facial, regio thorak anterior-posterior, regio abdomen, ekstremitas superior-inferiorInspeksi: terdapat macula hipopigmentasi dengan permukaan halus, berukuran plakat, batas jelas, banyaknya multiple (> 5 buah)Ditemukan nodul-nodul urtikaria, multiple ( > 5 buah), eritem, tidak nyeri Kelainan selaput : Tidak ditemukan kelainan Kelainan kuku : Jaringan sekitar kuku tidak ditemukan kelainanKelainan rambut : Tidak ditemukan kelainan Kelainan Kelenjar Limfe : Tidak ditemukan pembesaran KGB di axilla, regio colli dan inguinal

Pemeriksaan Sensibilitas : Rasa raba : anestesi di kedua lengan atas, jari kaki dan tungkai bawah. Rasa tusuk : anestesi di lengan atas kanan dan ujung jari I kaki kiri, jari II, jari III, serta tungkai kiri bawah bagian belakang Suhu: tidak dilakukan

Pembesaran Saraf Perifer : N. aurikularis magnus : tidak membesar, tidak ada nyeri tekan N. ulnaris : membesar, sisi kanan, tidak ada nyeri tekan N. medianus : tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri tekan N. peroneus lateral : tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri tekan N. tibialis posterior : ada pembesaran di bagian kiri, tidak ada nyeri tekan

Pemeriksaan Motoris : M. abd digiti minimi : 5/5 M. abd policis brevis : 5/5 M. introsseus dorsalis : 5/5 M. orbicularis oculi : 5/5

Pemeriksaan kecacatan : Mutilasi : tidak ada Atrofi otot : tidak ada Xerosis kutis : ada Ulkus trofik : tidak ada Madarosis : tidak ada Lagoftalmus : tidak ada Claw hand : tidak ada Wrist drop : tidak ada Dropped foot : tidak ada Facies leonine : tidak ada

PEMERIKSAAN PENUNJANG : Darah : tidak diperiksa Urin : tidak diperiksa Feses : tidak diperiksa Pemeriksaan bakterioskopik : tidak dilakukan

DIAGNOSIS KERJA: Morbus Hansen tipe MB + ENL

PENATALAKSANAAN : Terapi Umum: Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit kusta bukan merupakan penyakit kutukan dan menganjurkan kepada pasien untuk berobat secara teratur Lindungi kaki dengan selalu memakai alas kaki, alas kaki yang cocok adalah yang empuk di bagian dalamnya, keras di bagian bawah supaya benda tajam tidak dapat menembusnya, ada tali pada bagian belakang sehingga tidak mudah lepas. Sering memeriksa kaki jika ada yang luka atau lecet sedikit apapun Segera rawat dan istirahatkan kaki (jangan diinjakkan) jika ada luka, memar atau lecet. Memakai sarung tangan jika bekerja dengan benda tajam atau panas Memakai kacamata untuk melindungi mata Tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah Jika anggota keluarga yang lain mempunyai gejala yang sama segera dibawa ke rumah sakit.

Terapi Khusus: Rifampisin 600 mg 1 x tab I Ofloksacin 400 mg 1 x tab I Metilprednisolon 4 mg 1 x tab II Neurodex 1x tab I

PROGNOSIS: - Quo Ad Vitam : dubia ad bonam - Quo Ad Functionam : dubia ad bonam - Quo Ad Sanationam : dubia ad bonam

BAB IPENDAHULUAN

Kusta (Morbus Hansen) merupakan suatu infeksi granulomatosa kronis, disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang terutama menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis. Kusta mengenai susunan saraf tepi sehingga dapat menyebabkan kecacatan. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun pada sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki.1

Kusta adalah satu dari sekian banyak masalah kesehatan di sejumlah Negara berkembang. Kusta sering terjadi di daerah tropis dan subtropics di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Penyebaran secara geografik mungkin berhubungan dengan standar kehidupan rendah dan kebersihan, iklim yang lebih panas.2

Diagnosis dini dan terapi yang tepat adalah kunci keberhasilan untuk mengendalikan penyakit infeksi ini. Kusta dapat mengenai semua umur, namun dua kelompok umur yang dilaporkan sering terkena kusta yaitu anak-anak umur 10 sampai 20 tahun dan dewasa 30 sampai 60 tahun.1

Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta yang merupakan episode akut hipersensitivitas terhadap M. leprae yang menyebabkan gangguan dalam keseimbangan sistem imunologi.3

Beberapa faktor risiko yang telah diketahui berpengaruh terhadap terjadinya reaksi kusta diantaranya adalah umur saat didiagnosis kusta lebih dari 15 tahun, jenis kelamin, tipe kusta MB, indeks bakteri positif, status nutrisi, lama pengaobatan, pembesaran saraf lebih dari 5, infiltrasi kulit, lesi di wajah, kelelahan, stress, laktasi, kehamilan, dan nifas.3 BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 EpidemiologiEpidemiologi kusta menarik perhatian sejak berpuluh tahun yang lalu. Sulit untuk memperkirakan prevalensi kusta di dunia. Penyakit kusta biasanya disebut penyakit daerah pedalaman namun sering pula terjadi di daerah perkotaan dan sering terkena pada pria dengan perbandingan 2:1.1 Rerata penyakit kusta menyerang usia sekitar kurang dari 35 tahun namun orang tua juga dapat terkena.4 Penyakit ini dapat menular melalui mukosa oral, pernapasan, mukosa genitalia, air susu, dan kulit. Prevalensi di Indonesia berkisar 1,57 per 10.000 penduduk.4 Indonesia adalah Negara ketiga terbanyak kasus kusta setelah India dan Myanmar.

2.2 PatogenesisBanyak pasien terlihat kebal, tapi dapat menunjukkan kejadian imunologi tanpa pajanan utama dengan aktivasi limfosit ketika terpapar antigen lepra. Pasien yang terinfeksi, penyembuhan sendiri terjadi pada tubekuloid polar. Tipe borderline dan lepromatous bersifat progresif. Spektrum penyakit ini dan basilnya berhubungan dengan fungsi imun host mediasi sel untuk melawan basil lepra, itu sebabnya pasien tuberkuloid memiliki tes lepromin positif dan pasien tipe lepromatous negatif.1

Pasien tipe tuberkuloid membuat granuloma well-formed yang mengandung sel T helper, sedangkan pasien lepromatous memiliki gambaran granuloma yang tidak terlalu baik, dan dominasi oleh sel T supresor. Profil sitokin pada lesi tuberkuloid terdiri dari imunitas mediasi selyang baik dengan interferon gama dan interleukin 2 ada. Pada pasien lepromatous, sitokin berkurang, IL-4, -5, -10, sitokin yang meregulasi turunnya imunitas mediasi sel dan mengubah fungsi supresor dan produksi antibodi tetap. Pasien lepromatous punya hipergamaglobulinemia poliklonal dan serologi sifilis positif palsu, faktor rematoid dan antinuclear antibody lepra lepromatous dengan cara ini mengahasilkan respon sel T helper tipe 2 (Th2) klasik terhdap M.leprae.1

Patogenesis dan gambaran klinis merefleksikan 4 sebab utama kerusakan jaringan. Pertama, derajat dimana imunitas mediasi sel diekspresikan. Lepra lepromatous merepresentasikan kegagalan imun mediasi sel terhadap M.leprae dengan multiplikasi bakteri, penyebaran dan akumulasi antigen pada jaringan terinfeksi. Ketidakadaan limfosit yang teraktivasi dan makrofag berarti kerusakan saraf berlangsung lambat dan gradual. Pada lepra tuberkuloid, imun mediasi sel terkspresi secara kuat. Jadi infeksi direstriksikan pada satu atau beberapa daerah kulit dan saraf tepi. Infiltrasi limfosit secara cepat menyebabkan kerusakan saraf. Diantara 2 polar, ada bentuk borderline penyakit, dengan tingkat penyakit merefleksikan keseimbangan imun mediasi sel dan beban basil.2

Kedua, tingkat penyebaran basil dan multiplikasi. Dalam lepra lepromatous, penyebaran basil melalui darah terjadi pada bagian superfisial, termasuk mata, mukosa respiratori atas, testis, otot kecil, tulang tangan, kaki, dan wajah, sebagaimana penyebaran pada saraf dan kulit. Pada lepra tuberkuloid, multiplikasi bakteri terbatas pada tempat tertentu dan basil tidak ditemukan pada pembacaan.2

Ketiga, kehadiran komplikasi imunologi kerusakan jaringan: reaksi lepra. Pasien borderline, (borderline tuberkuloid, BT; borderline, BB; borderline lepromatous, BL) secara imunologi tidak stabil dan berisiko mengembangkan reaksi mediasi imunologi. Reaksi tipe 1 (reversal) adalah reaksi hipersensitivitas delayed disebabkan peningkatan munculnya M.leprae di kulit dan saraf. Reaksi tipe 2, eritema nodosum leprosum (ENL) karena sebagian komleks imun mengendap, dan terjadi pada pasien BL dan LL, yang memproduksi antibodi dan punya beban antigen yang besar.2

Keempat, perkembangan kerusakan saraf dan komplikasinya. Kerusakan saraf terjadi dalam 2 pengaturan, pada lesi kulit dan batang saraf tepi. Pada lesi kulit, serabut saraf otonom dan sensoridermal yang mensuplai dermis dan subkutan rusak, mengakibatkan kehilangan sensori lokal, dan tidak dapat berkeringat pada area lesi kulit.2

Kelima, batang saraf tepi rentan terkena dimana mereka terletak superfisial dan dalam terowongan fibrosa. Pada tahap ini, peningkatan kecil diameter saraf menyebabkan naiknya tekanan intraneural, dengan konsekuensi kompresi saraf dan iskemik. Kerusakan pada batang saraf perifer menghasilkan karakteristik, kehilangan sensori dermatomal dan disfungsi otot yang disuplai saraf tersebut. Bukti fisiologi dari keterlibatan saraf otonom perifer dan sentral telah dilaporkan.2

Walaupun respon imunitas mediasi sel dari pasien lepromatous terhadap M.leprae menurun, pasien tidak tersupresi imunnitasnya terhadap agen infeksius lain. Tuberkulosis dapat terjadi pasien lepra lepromatous. Makrofag pasien lepra lepromatous memfagosit M.leprae tidak sempurna tapi agen infeksius lain dapat difagosit. Glikolipid fenolik dan lipoarbinomanan mengimbangi monosit dan fungsi imun melawan M.leprae pada pasien lepromatous. Kerusakan yang menyertai, yang secara genetik dapat dideteksi dan merancang bagaimana host bereaksi terhadap M.leprae belum diketahui.1

Kerusakan saraf mengakibatkan anestesia, kelemahan otot, dan kontraktur, dan disfungsi otonom. Hal ini memungkinkan trauma, memar, terpotong, dan khususnya nekrosis jaringan dari trauma berkelanjutan, trauma berulang, mengakibatkan ulserasi, selulitis sekunder, osteomielitis, dan kerusakan jaringan, sehingga deformitas terjadi, disamping disabilitas.2

2.3 Klasifikasi Tujuan klasifikasi adalah:1. Penentuan prognosis2. Penentuan terapi3. Penentuan kriteria bebas dari obat dan pengawasan4. Mengantisipasi terjadinya reaksi5. Penyeragaman secara internasional untuk kepentingan epidemiologis.1

Beberapa klasifikasi kusta antara lain:1. Klasifikasi Internasional Madrid (1952)a. Lepromatous (L)b. Tuberculoid (T)c. Indeterminate (I)d. Borderline (B)

2. Klasifikasi Ridley Jopling (1962)a. Tuberkuloid (TT)b. Borderline tuberculoid (BT)c. Mid-borderline (BB)d. Borderline lepromatous (BL)e. Lepromatosa (LL)

3. Klasifikasi WHO (1981)a. Paucibacillary (PB)b. Multibacillary (MB).1

2.4 Gejala Klinis Morbus Hansen dapat menyerang kulit, saraf, otot, mata, jantung, dan testis. Pada kulit, terdapat makula yang hipopigmentasi yang kurang rasa atau tidak ada rasa, kulit kering dan pecah-pecah, dan sering terjadi madarosis. Pada saraf, gejala sensorik berupa hipestesi sampai anestesi, kemudian ulkus. Pada sistem saraf motoris, terjadi paralisis otot, atropi otot, dan kontraktur. Pada saraf otonom dapat terjadi gangguan pengeluaran keringat. Pada susunan saraf perifer, dapat terjadi penebalan saraf tepi. Pada testis, terjadi orkitis. Pada mata, dapat terjadi keratitis, iridosiklitis. Secara umum, permukaan tubuh yang sering diserang adalah permukaan tubuh yang memiliki suhu rendah seperti: muka, telinga, hidung, dan ekstremitas. Tanda-tanda khas pada makula adalah 5 A (anestesi, achromi, atropi, anhidrosis, alopesia).4

Gambar 1. Lesi soliter, anestesi, anular dari morbus hansen tuberkuloid polar yang sudah berlangsung 3 bulan. Titik merah pada bagian tangah merupakan sekuele.5

2.5 DiagnosisUntuk mendiagnosis Morbus Hansen, diperlukan tanda-tanda utama (cardinal sign) yaitu:1. Bagian kulit dengan hipopigmentasi atau eritematous dengan kehilangan sebagian (hipestesi) atau seluruh (anestesi dari perasaan kulit terhadap rasa, suhu, nyeri, dan sentuh.2. Kerusakan (penebalan atau nyeri) dari saraf kutan atau saraf perifer pada tempat-tempat predileksi.3. Smear kulit yang diambil dengan teknik standar menunjukkan adanya kuman dengan morfologi M.leprae yang khas.Dibutuhkan minimal satu tanda kardinal untuk mendiagnosis Morbus Hansen.

2.6 Borderline Lepromatous

Gambar 2. Lepra tipe lepromatous. Hiperpigmentasi karena klofazimin.1Pada kusta tipe borderline lepromatous, lesi simetris, banyak, sukar dihitung, dan dapat termasuk makula, papula, plak, dan nodul (Gambar 2). Gambar 2 menunjukkan lepra tipe lepromatous tetapi menunjukkan gambaran makula, papul, palak, nodul yang lengkap seperti tipe BL. Jumlah lesi kusta yang berukuran kecil lebih banyak dalam hal jumlah daripada lesi tipe borderline yang berukuran lebih besar.1

Gambar 3. Karakteristik tipe borderline atau lesi dimorfik, dengan plak indurasi dan anular yang meninggi yang memiliki batas inferior tuberkuloid well-defined, tapi batas eksterior tidak terinci. dengan dua morfologi, disebut dimorfik.5

Gangguan saraf muncul kemudian; saraf menebal, nyeri pada perabaan, atau keduanya; penting untuk diingat bahwa gangguan saraf bersifat simetris. Pasien biasanya tidak menunjukkan gambaran lepra lepromatous yang berubah cepat pada lesi, seperti madarosis, keratitis, ulserasi nasal, dan facies leonina.1

Pada tipe borderline lepromatous, resistensi terlalu rendah untuk secara signifikan mengontrol proliferasi basil, tapi masih dapat menginduksi inflamasi yang merusak jaringan, terutama pada saraf. Kategori borderline lepromatous sangat bervariasi dalam hal manifestasi klinis (Gambar 3). Walaupun terlihat pada satu pertiga pasien borderline lepromatous, lesi dimorfik klasik (pada satu lesi terdapat dua morfologi) paling khas, dengan konfigurasi anular, dengan batas luar tidak tegas (lepromatous like) tetapi bagian dalam berbatas tegas (tuberculoid-like). Plak berbatas kurang jelas dan jelas dengan punch out atau keju Swiss area kulit normal bagian dalam yang berbatas tegas, juga merupakan tanda khas.lesi anular dengan batas dalam yang tegas tidak jarang terjadi. Jika terjadi, lepromatous-like, papul dan nodul yang sangat banyak, tetapi disertai lesi berbatas tegas di mana saja (Gambar 5).5

Rentang lesi dalam jumlah dari soliter (beberapa terjadi pertama, fenomena puncak gunung es) hingga berjumlah banyak dan penyebaran luas. Lesi anular dan plak, walaupun dalam jumlah banyak, simetris, tetapi nodul lepromatous-like, jika dalam jumlah banyak, simetris. Kelumpuhan batang saraf punya prevalensi paling tinggi pada tipe borderline lepromatous, tapi bervariasi dalam jumlah, dengan rentang dari tidak ada sampai defisit berat, motorik dan sensorik, di keempat ekstremitas. Infeksi saraf medianus dan ulnaris, yang simetris merupakan karakteristik.5

Secara histologi, respon klasik adalah infiltrat limfosit berdensitas yang terkurung dalam ruangan yang diisi makrofag. Respon klasik yang lain adalah pelapisan perineurium dengan infiltrat limfosit. Pola ini terbentuk karena inflamasi kronik. Makrofag dapat berbentuk busa atau tidak terpisah. Basil tahan asam mudah ditemukan.5

Gambar 4. Lesi mutipel pada pasien tipe borderline lepromatous. Lesi anular dengan ukuran bervariasi dan distribusi asimetris. Sebaliknya, lesi papular dan lesi nodular secara kasar simetris. Gangguan sensasi ada di hampir semua kasus.5

2.7 Histopatologi Secara ideal, biopsi harus dilakukan dari batas aktif lesi tipikal dan harus meluas ke jaringan subkutan. Biopsi punch biasanya adekuat. Biakan Fite Faraco merupakan media yang baik untuk biakan M.leprae. Karena diagnosis kusta berkaitan dengan implikasi sosial, pemeriksaan harus lengkap, untuk memasukkan pemeriksaan pada kasus pausibasiler, dan konsultasi jika merupakan tersangka kusta, tapi organisme tidak dapat diidentifikasi dalam jaringan, pada tipe pausibasiler dan reaksi kusta. Gambaran histologik dari penyakit Hansen berhubungan dengan pola klinis penyakit. Gangguan saraf adalah karakteristik kusta, keterlibatan jaringan neural dan perineural pada tingkat histologik meningkatkan posibilitas kusta.1

Lesi borderline lepromatous: histiosit berbentuk busa, lebih besar dari sel epiteloid, membentuk gambaran granuloma. Limfosit masih ada dan mungkin sulit dihitung pada granuloma, tapi tersebar difus diantara granuloma, tidak tersebar rata pada perifer. Infeksi perineural dengan infiltrasi limfosit dapat terjadi. Organisme berjumlah banyak, dan dapat ditemukan dalam susunan berkelompok. Secara histopatologi sama dengan tipe tuberkuloid, hanya sel epiteloid menunjukkan vakuola, basil lebih banyak, dan daerah grenz memisahkan infiltrat inflamasi dengan epidermis di atasnya.1

2.8 Reaksi Morbus HansenReaksi digunakan untuk menggambarkan keadaan mengenai berbagai gejala dan tanda radang akut pada lesi, dalam perjalanan penyakit yang kronis. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum, selama, dan sesudah pengobatan. Faktor yang sering menimbulkan reaksi kusta adalah setelah pengobatan antikusta yang intensif, imunisasi, kehamilan, persalinan, stress fisik, infeksi rekuren, trauma, dan lain-lain.1

Ada dua reaksi hipersensitivitas, reaksi tipe 1 dan reaksi tipe 2. Reaksi tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas seluler dan reaksi tipe 2 dikenal dengan ENL (Eritema Nodosum Leprosum) yang disebabkan hipersensitivitas humoral. Berikut adalah tipe-tipe dan penjelasannya:

A. Tipe 1 (Reaksi reversal)Tipe 1 reaksi morbus Hansen memiliki ciri-ciri: peningkatan sistem imunitas seluler, lesi lama lebih aktif (eritematosa, edem, menimbul), dapat disertai neuritis akut, dapat muncul lesi baru, kadang-kadang ada gejala prodormal, terjadi pada tipe BT-BB-BL, episode inflamasi akut terjadi akibat hipersensitivitas tipe lambat, terjadi pada kusta borderline, berhubungan dengan upgrading atau downgrading, ditandai gambaran yang mengenai kulit dan syaraf, ditandai gejala sistemik tidak ada sampai dengan ringan.1

B. Tipe 2 (Reaksi ENL)Pada tipe 2, dapat ditemukan karakteristik sebagai berikut: merupakan reaksi antigen-antibodi-komplemen, muncul nodus eritematosa yang nyeri, terutama di ekstremitas, terdapat gejala prodormal dan gejala sistemik (misalnya arthritis, neuritis), terjadi pada tipe lepromatosa, disebabkan karena pengendapan kompleks antigen-antibodi, terjadi pada tipe multibasiler, disebut juga erythema nodosum leprosum, ditandai lesi mengenai kulit dan saraf, ada gejala sistemik, ada demam.1

Gambar 4. Reaksi tipe1. Reaksi lepra borderline pada pria Etiopia:Lesi mengalami inflamasi akut, memungkinkan ulserasi. Banyak lesi kecil dan baru muncul. Pemeriksaan histologi menunjukkan pola BT.2

Gambar 5. Reaksi tipe 2 pada lepra lepromatous pada pria Nigeria: Eritema Nodosum Leprosum (ENL). Beberapa nodul akibat reaksi rusak dan pecah, mengeluarkan pus.2

Reaksi LucioFenomena Lucio terbatas terjadi pada pasien Latapi Lepromatosis (Lepra Lucio). Ini terjadi karena konsekuensi infark di atas vaskulitis kutaneus yang dalam dan mengakibatkan munculnya patch eritem dengan bentuk ireguler yang menjadi gelap dan menyembuh atau bentuk bula dan nekrosis, meninggalkan ulserasi yang nyeri dan lambat untuk menyembuh (gambar 6). Gejala sistemik berat dan fatal.

Gambar 6. Fenomena Lucio. Ulserasi rekuren berat karena vaskulitis kutaneus yang dalam, dapat fatal.

Secara praktis, tabel 1 di bawah ini menunjukkan perbedaan reaksi tipe 1 dan 2.6

Tabel 1. Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2.6GejalaReaksi tipe 1Reaksi tipe 2

Keadaan umumUmumnya baik, demam ringan (subfebris) atau tanpa demamRingan sampai berat disertai kelemahan umum dan demam tinggi

Peradangan di kulitBercak kulit lama menjadi lebih meradang (merah), dapat timbul bercak baruTimbul nodul kemerahan, lunak, dan nyeri tekan. Biasanya pada lengan dan tungkai. Nodul dapat pecah (ulserasi).

SarafSering terjadi, umumnya berupa nyeri tekan saraf dan/atau gangguan fungsi sarafDapat terjadi

Peradangan organ lainHamper tidak adaTerjadi pada mata, kelenjar getah bening, sendi, ginjal, testis, dan lain-lain.

Waktu manifestasiSegera setelah pengobatanSetelah mendapatkan pengobatan yang lama, umumnya lebih dari 6 bulan.

Tipe kustaDapat terjadi pada kusta tipe PB maupun MBHanya pada kuata tipe MB.

Untuk mengetahui perbedaan gejala klinis ringan dan berat reaksi tipe 1 dan 2, dapat dilihat pada tabel berikut.Tabel 2. Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi tipe 1 dan 2.6Gejala/tandaReaksi tipe 1Reaksi tipe 2

RinganBeratRinganBerat

KulitBercak: merah, tebal, panas, nyeriBercak: merah, tebal, panas, nyeri yang bertambah parah sampai pecahNodul: merah, panas, nyeriNodul: merah, panas, nyeri yang bertambah parah sampai pecah

Saraf tepiNyeri pada perabaan: (-)Nyeri pada perabaan: (+)Nyeri pada perabaan: (-)Nyeri pada perabaan: (+)

Gangguan fungsi: (-)Gangguan fungsi: (+)Gangguan fungsi: (-)Gangguan fungsi: (+)

Keadaan umumDemam (-)Demam Demam Demam (+)

Gangguan organ lain(-)(-)(-)(+)Terjadi peradangan pada:Mata:IridosiklitisTestis:EpididimoorchitisGinjal:NefritisKelenjar limfe:LimfadenitisGangguan pada tulang, hidung, dan tenggorokan.

2.9 Penatalaksanaan Reaksi Morbus Hansen Manajemen medis ditujukan untuk infeksi itu sendiri, dan jika ada, pada saat terjadi reaksi (Tabel 3 dan tabel 4). Pasien disebut sebagai pausibasiler jika tidak ada basil tahan asam ditemukan pada jaringan atau apusan dan menjadi multibasiler jika satu atau lebih basil tahan asam ditemukan. Tabel 3 menunjukkan regimen berbeda yang direkomendasikan World Health Organization (WHO) dan U.S. Public Health Service (USPHS).5

Rasionalisasi untuk merekomendasikan reimen 3 obat karena rifampin (bakterisidal) akan membunuh semua organisme sensitive, termasuk yang resisten terhadap dapson (bakteriostatik), dan dapson akan mengeliminasi semua organisme sensitive, termasuk yang resisten terhadap rifampin. Klofazimin (bakterisid lemah, lebih bersifat bakteriostatik) ditambahkan untuk menyingkirkan risiko resisten terhadap dapson. Ketiadaan follow up rutin pada rekomendasi WHO mungkin merefleksikan dugaan rerata kekambuhan yang jarang, sebagaimana tingkat yang rendah dari keadaan reaksi setelah pengobatan.5

Tabel 3. Penatalaksanaan antibakteri dari rekomendasi lepra5

Organisasi TipeRifampinDapsonKlofaziminDurasiFollow up

WHOPB600 mg/bln100 mg/hari-6 bulanTidak diharuskan, kembali jika perlu

MB600 mg/bln100 mg/hari50 mg/hari300 mg/bln1 tahunTidak diharuskan, kembali jika perlu

USPHSPB600 mg/hari100 mg/hari-1 tahunInterval 6 bulan, selama 5 tahun

MB600 mg/hari100 mg/hari50 mg/hari2 tahunInterval 6 bulan, selama 5 tahun

Mikrobisidal Dosis

KlaritromisinMinosiklinLevofloksasin500 mg/hari100 mg/hari500 mg/hari

MB=multibasiler atau 1 atau lebih basil tahan asam ditemukan dari apusan atau biopsi; PB=pausibasiler atau tidak ada basil tahan asam ditemukan pada apusan atau biopsi.

Rerata relaps setelah selesai pengobatan dengan regimen 3 obat merupakan kontroversial. Banyak ahali sependapat dengan WHO bahwa kekambuhan adalah jarang. Minoritas yang sedang berkembang menunjukkan bukti bahwa relaps adalah masalah serius, mencapai 20% dari 10 tahun setelah berhenti pengobatan pada pasien dengan IB 3. Shetty dkk. melaporkan satu grup dilaporkan mengalaminya pada 6 tahun pertama setelah pengobatan 2 tahun dari terapi dengan 3 obat. Dua kelompok dilaporkan mengalami relaps setelah apusan negatif. Juga, 1 tahun pengobatan mempunyai angka relaps lebih tinggi daripada pengobatan 2 tahun. Relaps yang dilaporkan tidak disadari sebagai reinfeksi. Rekomendasi USPHS mengizinkan untuk melanjutkan pengoabtan lagi setelah berhenti berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang. Pendekatan lain, melanjutkan dapson sendiri dengan tidak ada batas waktu, setelah menyelesaikan multidrug therapy.5

Tabel 4. Penatalaksanaan reaksi morbus hansen5

ThalidomidePrednison atau prednisolonDurasiAgen lain (belum terbukti)

Reaksi reversal (reaksi tipe 1)Tidak bermakna0,5-1 mg/kg. rifampin dapat meningkatkan katabolisme.Diturunkan perlahan. Pengobatan hari alternatif dapat ditoleransi.6 bulan-2 tahun. Dapat lebih lama atau lebih cepat. Antiinflamasi nonsteroid

Eritema Nodosum Leprosum (reaksi tipe 2)Efikasi paling tinggi jika sediaan ada dan tidak ada kontraindikasi. Dosis tunggal inisial 100 mg-200 mg qd hsRentang dosis maintenance 50 mg tiap hari lain sampai 500 mg/hariJika thalidomide tidak tersedia, 0,5-2 mg/kg/hariRerata durasi pengobatan 5 tahun. Dapat menetap untuk 10 tahun.Pentoksifilin

Fenomena Lucio (timbul bersamaan penggunaan mikrobisidal)Tidak bermaknaMungkin berguna-Plasmapheresis dilaporkan berguna pada pasien yang tidak remisi

Sebagai tambahan selain rifampin, sejumlah antibiotik punya aktivitas bakterisidal poten, termasuk minosiklin, klaritromisin, dan fluorokuinolon, ofloksasin, dan levofloksasin. Saat mengkonsumsi dosis tunggal 3 obat, rifampin, minosiklin, ofloksasin, sedang diteliti sebagai pengobatan untuk pausibasiler, tapi rerata relaps belum diketahui. Karena harga yang maha, penggunaan ketiga obat tersebut dilarang dimana lepra masih banyak dan biaya kesehatan pemerintah sedikit.5Sering digunakan kombinasi rifampin 600 mg perhari dan dapson, 100 mg perhari, untuk 2 sampai 3 tahun. Pilihan untuk melanjutkan dapson sampai batas waktu yang tidak diketahui untuk mengnggulangi relaps yang tidak diketahui saat terjadi disepakati dengan pasien.5

Pada reaksi reversal (tabel 4), karena risiko kerusakan saraf permanen, pengobatan segera prednison (0,5 sampai 1 mg/kg/ hari) direkomendasikan. Dosis prednison dititrasi untuk mengatasi nyeri raba saraf yang jelas, dan pemeriksaan sensorik tangan dan kaki, sebagai contoh dengan filament Semesten Weisten. Terapi harus diturunkan perlahan dan pasien diberitahu bahwa selam 6bulan atau lebih akan terus mengkonsumsi prednison. Jika respon neuritis terhadap prednison tidak cepat, istirahatkan pasien, pasang bidai pada ekstremitas.5

Pada ENL, (tabel 4), thalidomide efektif pada mayoritas pasien jika ada sediaan dan tidak dihalangi oleh efek teratogenik. Dimulai dengan 100 sampai 200 mg malam hari, jika tidak begitu efktif, tambahkan prednison 0,5-1 mg/kg/hari, turunkan prednison ketika 6 sampai 8 mnggu kemudian. Tingkatkan dosis tahalidomide sambil menunggu efek terapetik maupun efek toksik, dapat diberi hingga 600 mg pada malam hari. Thalidomide dturunkan perlahan saat gejala sistemik atau morbiditas dari lesi kulit tapi bukan saat lesi kulit menyembuh sempurna. Jika thalidomid tidak bisa digunakan, kortikosteroid dibutuhkan. Penatalaksanaan dengan antiinflamasi nonsteroid, klofazimin, atau pentoksifilin dapat sangat berguna pada beberapa pasien, tapi tidak disetujui secara formal.5

BAB IIIKESIMPULAN

Secara epidemiologi, kusta diderita pria disbanding wanita dengan perbandingan 2:1. Prevalensi di Indonesia adalah 1,57 per 1000 penduduk. Patogenesis kusta menggambarkan sebab kerusakan jaringan yaitu: imunitas mediasi sel diekspresikan, penyebaran basil dan multiplikasinya, komplikasi imunologi berupa reaksi lepra, kerusakan saraf dan komplikasinya, tekanan pada saraf tepi. Klasifikasi kusta yang dipakai sekarang adalah klasifikasi Ridley- Joppling, Madrid, dan WHO. Gejala klinis kusta berupa makula hiper atau hipopigementasi disertai anestesi, achromi, alopesia, anhidrosis, atrofi pada daerah kulit yang terkena lesi.

Diagnosis ditegakkan bila terapat satu dari tiga tanda kardinal. Tanda cardinal terdiri dari macula hipo/hiperpigmentasi disertai hiperstesi atau anestesi, adanya penebalan saraf kutan atau saraf perifer pada tempat-tempat predileksi, dan hasil smear kulit menunjukkan adanya BTA. Kusta terdiri dari tipe indeterminate, borderline polar, borderline tuberculoid, mid borderline, borderline lepromatous, lepromatous. Pada borderline lepromatous, lesi simetris, banyak, sukar dihitung, dapat berupa nodul, papul, plak, makula. Gangguan saraf simetris, perkembangan gangguan saraf lebih lambat dari tipe lepromatous. Gambaran khas tipe BL yaitu lesi dimorfik dengan lesi anular, plak yang meninggi, berbatas tegas (tuberkuloid-like) pada batas dalam dan batas luar tidak tegas (lepromatous-like), papul, nodul yang banyak. Kelumpuhan batang saraf paling banyak terjadi pada tipe BL. Kelumpuhan n.medianus dan ulnaris merupakan tanda khas. Secara histologi, respon klasik tipe BL adalah limfosit berdensitas yang terkurung dalam ruangan yang diisi makrofag, atau perineurium yang dilapisi infiltrat limfosit.

Secara bakteriologik, biakan Fite Faraco baik untuk M. leprae. Biopsi Punch dilakukan untuk histopatologi. Tiap tipe kusta berbeda gambaran histopatologinya. Gambaran keterlibatan neural dan perineural meningkatkan posibilitas kusta pada tersangka kusta dalam pemeriksaan klinis. Histopatologi tipe BL: histiosit berbentuk busa, lebih besar dari sel epiteloid, epiteloid menunjukkan vakuola, ada daerah yang memisahkan infiltrat limfosit dan epidermis.

Reaksi kusta merupakan episode akut dari perjalanan penyakit yang kronis akibat gangguan imunologi. Pada reaksi tipe 1, terjadi hipersensitivitas seluler. Terjadi karena delayed hypersensitivity., gejal sistemik ringan (demam ringan). Terjadi pada tipe BT, BB, BL.Lesi lama lebih aktif, berupa eritem, edem. Mengenai kulit dan saraf. Pada reaksi tipe 2, ditandai timbulnya nodus yang nyeri, disertai neuritis, ada gejala sistemik, terjadi karena penimbunan antigen-antibodi- komplemen. Fenomena LUcio terjadi pada lepra lucio. Ini terjadi karena infark dia atas vaskulitis kutaneuus yang dalam. Mengakibatkan nekrosis. Timbul ulserasi yang dalam dan lembat menyembuh, ada gejala sistemik.

DAFTAR PUSTAKA

1. B., Richard Odom et al.. Leprosy. In: Andrews Diseases of The Skin, 9th ed. Massachusets: Saunders Company. 2008. p; 2186-2198.2. D., Lockwood N.J. et al.. Leprosy. In: Rooks Textbooks of Dermatology, 7th ed. Massachussets: Blackwell Publisher. 2004. p;1352-1363.3. Prawoto et al.. Reaksi Kusta. In: Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Terjadinya Reaksi Kusta: Studi di Wilayah Puskesmas Kabupaten Brebes. Available from http://eprints.undip.ac.id/6325. 2008. Accesed Oct, 7th 2012.4. Edward, M.J..Leprosy Classification. In: Leprosy. Available from http://en.wikipedia.org /wiki/leprosy. 2008. Accessed Oct, 7th 2012. 5. H., Reeman Dea and L., Robert Modin. Leprosy. In: Fitzpatricks Dermatology In General Medicine, 7th ed. New York: Mc GrawHill Medical. 2008. p; 2156-2159. 6. K., Rahman. Reaksi Kusta. In: Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 18th ed. Jakarta: PPM&PL Depkes RI. 2006. p; 32-38.

LAMPIRAN