61

Cdk 068 Hepatitis

  • Upload
    revliee

  • View
    3.978

  • Download
    7

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Cdk 068 Hepatitis
Page 2: Cdk 068 Hepatitis

4

68. Hepatitis

Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary Artikel:

5. Hepatitis B dan Pencegahannya melalui Imunisasi di Indonesia – Suriadi Gunawan

8. Penyakit Hepatitis Virus – Imran Lubis 11. Hepatitis B di dalam Keluarga – Tinjauan Kasus – Sujono Nadi 16. Hepatitis pada Kehamilan – Hans Tandra 18. Titer Reseptor Poly–HSA dan HBeAg pada Pengidap HBsAg

Sehat dan Hepatitis B Menahun – W. Soemarto

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

K

arya Sriwidodo 22. Perkembangan Vaksin Hepatitis B – Usman Suwandi 26. Uji Sensitivitas dan Spesifisitas Entebe RPHA Cell Suatu Kit

Diagnosa untuk Deteksi Hepatitis Bs Antigen – Djoko Yuwono, Suharyono W, Imran Lubis

29. Uji Kepekaan Bebek Karawang sebagai Hewan Percobaan untuk Bioessai Ailatoksin–Iwan T. Budiarso, Robert TL Pang, Husaini

33. Masalah Hepatitis B di Indonesia Berbagai Penelitian–Kusnindar 37. Interpreting Hepatitis B Markers

39. Komplikasi Obesitas dan Usaha Penanggulangannya – A Guntur Hermawan

42. Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis – Mycology, Immuno-logy, and Clinical Aspects – Rosihan Anwar, M Mochtar Tarigan

48. Malaria pada Kehamilan – Emiliana Tjitra 53. Laporan Kasus : Tumor Lidah 55. Kalender Kegiatan Ilmiah 56. Pengalaman Praktek

57. Humor Ilmu Kedokteran 58. Abstrak 60. Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Page 3: Cdk 068 Hepatitis

Sejak diketahuinya hubungan antara hepatitis B dengan penyakit-penyakit hati lainnya seperti sirosis hepatis dan karsinoma hati, masalah pencegahannya menjadi pusat perhatian dunia kedokteran. Penelitian-penelitian selanjutnya menemukan bahwa hepatitis dapat disebabkan oleh berbagai jenis virus, masing-masing memberikan gambaran klinis dan epidemiologis yang berbeda, sehingga kadang-kadang memerlukan strategi pencegahan dan pengobatan yang berbeda pula.

Suriadi Gunawan membahas strategi imunisasinya di Indonesia. Penelitian Sujono Hadi menunjukkan bahwa tingkat penularan di

dalam keluarga merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan, demikian juga kemungkinan komplikasinya pada kehamilan, seperti yang dibahas oleh Hans Tandra. Usaha-usaha diagnosis dibicarakan oleh W. Soemarto dan pengembangan vaksinnya diulas oleh Usman Suwandi; sedangkan Djoko Juwono dkk. menguraikan pengembangan tes diagnostik hepatitis yang dilakukan di Mataram, NTB.

Artikel lain ialah Masalah Obesitas oleh A Guntur Hermawan. Selamat membaca,

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 2

Page 4: Cdk 068 Hepatitis

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

REDAKSI KEHORMATAN

– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro

Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. R.P. Sidabutar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra

Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– Drg. I. Sadrach Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

REDAKSI KEHORMATAN

KETUA PENGARAH Dr Oen L.H

KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W

PELAKSANA Sriwidodo WS

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

PENCETAK PT Midas Surya Grafindo

– DR. B. Setiawan

– Drs. Oka Wangsaputra

– DR. Ranti Atmodjo

– Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSe.

– Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

– DR. Susy Tejayadi

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge-nai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di-sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem-baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174–9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 3

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Page 5: Cdk 068 Hepatitis

English Summary THE TITRE OF r-PHSA AND HBeAg IN HEALTHY CARRIERS AND IN PATIENTS WITH CHRONIC LIVER DISEASES W. Soemarto Hepato-Gastroenterology Subdivision, Laboratory of Internal Medicine, Faculty of Medicine, Airlangga University, Surabaya.

Sera of 30 'healthy' carriers and 45 patients with chronic liver diseases were examined to detect the presence and effect of HBeAg and anti-HBe on r-PHSA titre. Patients with chronic liver diseases were further categorized into three different groups: chronic hepatitis (23 people), cirrhosis (14 people) and carci-noma (8 people).

The average r-PHSA titre in the 'healthy' carriers with a positive HBsAg was 5.86a while in those carriers with a positive HBeAg, the titre was only 0.85a. The differ-ence between those two aver-ages was significant (p < 0,01). As the r-PHSA titre determination has a high sensitivity and specificity, it follows that determination of r-PHSAtitre can replace the more expensive and complicated HBeAg test.

The average r-PHSA titre in patients in the group of chronic liver diseases with a positive HBeAg was also found to be higher than in those in the same

group with a positive anti HBe. However, the difference was not significant (p > 0,05).

If the titre of r-PHSA with a dilution factor of 24.5 is used as criteria, then the determination of r-PHSA titre, instead of the HBeAg test is applicable for 'healthy' carriers, but not in those with chronic liver diseases.

Cermin Dunia Kedokt. 1991; 68:15-8 st/olh

HEPATITIS B AMONG FAMILIES Sujono Hadl Gastroenterology Unit, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, PadJadjaran University/Hasan Sadikin General Hospital, Bandung, Indonesia. Athree-year prospective study

on relatives of Hepatitis B patients was carried out during 1987-1989. Ninety-five cases with positive HBsAg were detected, consisting of 37 females and 58 males. At the time of diagnosis, the young-est was 28-year-old while the eldest was 67 years, with a mean of 42,3 years. HBeAg was also determined, resulting in 65 nega-tive and 30 positive cases. Transmission of infection to their children was 37,6% by women with positive HBsAg and negative HBeAg, while men with the same conditions infected 35,7% of their children. The transmission rate of HVB increased to 59A%and 47,5% for female and male patients respectively, if the HBeAg was also positive. The rate was further increased to 86,6% if both parents showed a positive HBsAg test, although the HBeAg was nega-tive. An additional positive HBeAg of one of the parents resulted in a HBV transmission rate of 100%. It was concluded that trans-mission of HVB among close rela-tives can occur vertically as well as horizontally, either maternal or paternal. Therefore, close rela-tives with negative serological markers should be immunized; the earlier the better, to achieve maximal efficacy.

Cermin Dunia Kedokt. 1991; 68:8-12 brw/olh

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 4

Page 6: Cdk 068 Hepatitis

Artikel

Hepatitis B dan Pencegahannya melalui Imunisasi di Indonesia

Suriadi Gunawan Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan, Departemen Kesehatan RJ., Jakarta

PENDAHULUAN

Hepatitis B merupakan penyakit yang tersebar secara global dengan perkiraan lebih dari 200 juta penduduk yang menjadi pengidap kronik (carrier).

Asal usul virus hepatitis B tidak jelas dan manusia me-rupakan satu-satunya reservoir, sekalipun simpansee dan bebe-rapa primata non-manusia dapat diinfeksi secara eksperimental.

Endemisitas penyakit ini berbeda-beda menurut geografi dan etnisitas~'1. Pola epidemiologik hepatitis B di berbagai wilayah dunia dapat dilihat dalam tabel 1.

Tabel 1. Pola epidemiologik hepatitis B.

Endemis Rendah Sedang Tinggi

Prevalensi HBsAg Prevalensi Anti HBs Infeksi anak Infeksi neonatal Wilayah

0,2–0,5% 4–6% jarang jarang Australia Eropa Barat Amerika Utara Amerika Selatan (sebagian)

2 – 7% 20–55% sering jarang Eropa Timur Jepang Timur Tengah Amerika Sltn (sebagian)

8 -20% 70–90% sangat sering sering Cina Asia TenggaraKepulauan Pasifik Amerika Sltn (Amazone)

Hepatitis B ditularkan melalui darah, hubungan seks dan secara perinatal dari ibu ke bayi.

Virus hepatitis B (VHB) dapat menyebabkan serangan hepatitis akut yang menyebabkan mortalitas sekitar 1%. Antara 5% sampai 10% dari infeksi akut menjadi pengidap kronik.

Terjadinya kanker hati memerlukan masa laten yang cukup lama, biasanya 30–40 tahun setelah terjadinya infeksi. Kanker hati primer atau karsinoma hepatoseluler (KHS) adalah salah satu kanker yang sering ditemukan di wilayah yang endemisitas hepatitis B tinggi.Bukti-bukti mengenai adanya hubungan kausal

antara KHS dan infeksi hepatitis B adalah cukup kuat(2). Hingga 80% dari HKS disebabkan VHB. Risiko dari seorang pengidap VHB kronik (HBsAg positif) untuk mendapat KHS adalah sekitar 200 kali lebih besar dibandingkan dengan seorang yang tidak menjadi pengidap kronik (HBsAgnegatif)(3). Diperkirakan sekitar 25% dari pengidap virus akan meninggal akibat sequelae kronik seperti sirosis dan kanker hati.

Vaksin hepatitis B telah ada sejak tahun 1981 dan ternyata vaksin tersebut j uga dianggap sebagai vaksin pertama yang dapat mencegah kanker. Harga vaksin tersebut juga sudah dapat diturunkan dan bisa diperoleh dengan harga saw US $ per dosis bila dibeli dengan, tender internasional, sehingga memungkinkan untuk dimasukkan dalam program imunisasi. MASALAH HEPATITIS B DI INDONESIA

Penelitian prevalensi HBsAg di Indonsia telah dimulai sejak tahun tujuh puluhan. Kelompok yang diteliti adalah antara lain donor darah, penduduk dewasa sehat, wanita hamil, bayi dan anak, karyawan kesehatan. Hasilnya menunjukkan bahwa prevalensi HBsAgbervariasi antara 2,5 – 19%. Data ini menunjukkan bahwa Indonesia tergolong daerah endemis sedang sampai tinggi. Hasil penelitian serologik pada berbagai kelompok tersebut telah ditinjau dan dianalisis oleh Ali Sulaimann41 dan Soewignyo dan Mulyanto(5).

Prevalensi HBeAg pada wanita hamil bervariasi antara 2 sampai 10% dengan 40 – 50% diantaranya HBcAg positif, berarti dapat menularkan kepada bayi yang dilahirkan(6). Pada anak kurang dari 16 tahun di Jakarta ditemukan prevalensi HBsAg sebesar 9,17%, dengan daya tular rata-rata 24,2%. Persentase daya tular tertinggi (66,7%) didapatkan pada kelompok 3–5 tahun. Agaknya di samping transmisi vertikal dari ibu ke anak, transmisi horizontal dari anak ke anak adalah penting di Indonesia.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 5

Page 7: Cdk 068 Hepatitis

Suatu studi di puskesmas Purworejo Klampok menemukan insidens kasus hepatitis B klinis dengan HBsAg positif sebesar 7 per 10.000 penduduk dalam tahun 1987, dengan distribusi menurut golongan umur sebagai berikut : 0-4 tahun: 0,15%, 5–9 tahun: 0,25%, 10–14 tahun: 0,20%, 15–19 tahun: 0,002% dan 20 tahun ke atas: 0,009%01. Survai kesehatan rumah tangga tahun 1980 dan 1986 mengungkapkan bahwa sekitar 4% dari semua kematian disebabkan penyakit hati, sebagian besar sirosis dan kanker hati(9).

Data dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa sekitar 10% dari penderita yang dirawat di bangsal penyakit dalam menderita suatu penyakit hati dengan pola sirosis 40%, hepatitis 40%, kanker 15% dan penyakit hati lainnya 5%00). Kalil= hati adalah salah satu kanker yang paling sering ditemukan di Indo-nesia, terutama pada pria. Sekitar 10% dari semua kanker yang dirawat di rumah sakit di Jakarta adalah kanker hati(11). Diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 18.000 kasus kanker hati dan 45.000 kasus sirosis hati baru di Indonesia. VAKSIN HEPATITIS B

Pengembangan vaksin hepatitis B telah dimulai dalam tahun tujuh puluhan di Perancis dan Amerika Serikat dan pada tahun 1982 berhasil mendapat ijin untuk dipasarkan bagi masyarakat umum.

Vaksin generasi pertama itu dihasilkan dengan ekstraksi, purifikasi dan inaktivasi HBsAg dari plasma pengidap kronik. Proses inaktivasi dilkukan dengan pemanasan ensim dan bahan kimia, sehingga mematikan virus hepatitis maupun virus AIDS yang mungkin ada. Berbagai uji coba klinik menunjukkan ke-amanan dan efektivitas dari vaksin plasma tersebut(12).

Perkembangan di bidang rekayasa genetik dan bioteknologi memungkinkan pembuatan vaksin hepatitis B dengan teknik rekombinan DNA. DNA yang memiliki kode protein s selain virus hepatitis B disisipkan ke dalam sel ragi. DNA yang disi-sipkan memberi instruksi pada sel ragi untuk membuat antigen permukaan virus (HBsAg).Sel ragi kemudian dipecah dan HBsAg didalamnya dimurnikan. Proses DNA rekombinan lain ialah dengan menggunakan sel mammalia hidup. Prosesnya mirip dengan pembikan dalam sel ragi,hanya dalam mammalia HBsAg disekresi, sehingga sel tidak perlu dipecahkan untuk memanen HBsAg(13). Vaksin rekombinan ini telah mengalami uji coba klinik dan terbukti mempunyai keamanan, imunogenisitas dan efektivitas yang sebanding dengan vaksin plasma(14).

Baik vaksin plasma maupun vaksin rekombinan sangat jarang menimbulkan efek samping, mempunyai daya imuno-genesitas tinggi, tidak bereaksi dengan antibodi HBs maternal dan tidak bereaksi dengan vaksin BCG, polio dan DPT(1).

Cana pembuatan vaksin DNA rekombinan yang sedang dikembangkan ialah dengan memasukkan gen hepatitis B ke dalam virus besar, yakni virus Vaccinia atau vaksin cacar. Uji coba klinik sedang dikerjakan untuk menentukan keamanan dan efektivitas vaksin ini(15). Bila berhasil, maka biaya pembuatan vaksin bisa diturunkan lagi.

Bila vaksin disuntikkan, tubuh akan membentuk anti-HBs. Satu seri vaksinasi yang tepat dapat membentuk antibodi yang

cukup pada 95% orang sehat. Respons pembentukan antibodi berkurang pada usia lebih tua dan adanya gangguan daya tahan tubuh. Pada bayi dan anak respons umumnya sangat baik dan menghasilkan kadar antibodi yang tinggi walaupun dengan dosis yang lebih rendah dari orang dewasa. Berapa lama antibodi dapat bertahan dalam tubuh belum diketahui dengan pasti, tapi diperkirakan lebih dari 5 tahun. Perlindungan dalam 5 tahun pertama kehidupan sudah cukup baik untuk mengurangi jumlah pengidap kronik, sekalipun booster tidal( diberikan.

Dosis yang dianjurkan berbeda sesuai dengan jenis vaksin (tabel 2). Tabel 2. Vaksin Hepatitis B.

Dosis (micrograms HBsAg)Manufacturer/

Pembuat Vaksin

Anak Dewasa

Jadwal suntik (bulan)

Cheil Sugar Co. Hepaccine B 1.5 3 0 , 1 , 2 Ltd. Chemo-Sero- HB Vaccine 10 20 0 , 1 , 6

Therapeutic Green Cross

"Kaketsuken" Hepatitis B 10 20 0 , 1 , 6

of Japan Kitasato Hepatitis B 10 20 0 , 1 , 6

Institute Korean Green Hepavax-B, 10 20 0 , 1 , 6

Cross Lifeguard

Hepa-B LGVAC–B 5 5 0,1,2;

Merck Sharp Heptavax 10 20 booster–14 0 , 1 , 6

and Dohme Merck Sharp Recombivax 5 10 0 , 1 , 6

and Dohme Pasteur Vaccin Hevac B 5 5 0, 1, 2;

Smith Kline Engerix–B 20 20 booster–12 0 , 1 , 2 ;

Biological booster–12 atau0,1,6

Suntikan sebaiknya diberikan ke dalam otot deltoid pada

orang dewasa dan ke dalam otot pada bayi dan anak. Suntikan di pantat (gluteus) tidak dianjurkankarena terbukti mengakibatkan respons antibodi yang rendah"). Berbagai percobaan memberi-kan suntikan secara intradermal menunjukkan bahwa dengan dosis 1/10 dapat diperoleh respons yang cukup baik. Suntikan intradermal secara teknis lebih sulit dan memerlukan latihan khusus untuk petugas. Apakah cara ini bisa diapakai dalam program skala besar masih perlu diteliti lebih lanjut(16).

Di negana maju, seorang yang mengalami kontak dengan VHB diberikan imunoglobulin HVB (HBIG). HBIG diperoleh dari pemurnian plasma yang mengandung anti–HBs dalam kadar tinggi. Antibodi ini memberi perlindungan segera namun cepat hilang dari peredanan danah. Kombinasi HBIG dan vaksin hepatitis B yang diberikan kepada bayi dan ibu pengidap HBeAg akan memberikan perlindungan sampai 90% pada bayi. Pemberian vaksin semata memberikan perlindungan sebesar 70–90%(1)7. Karena mahalnya HBIG dan sifatnya yang tidak tahan panas, sebagian besanneganaberkembang tidak dapat menggunakannya dan hanya memberikan vaksin.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 6

Page 8: Cdk 068 Hepatitis

PROGRAM IMUNISASI HEPATITIS B Tujuan utama ialah pencegahan hepatitis kronik, sirosis dan

karsinoma hepatoseluler melalui pencegahan terjadinya peng-idap kronik. Terjadinya infeksi hepatitis dan serangan hepatitis klinis akut tidak begitu penting dari sudut kesehatan masyarakat.

Di negara dengan endemisitashepatitis B sedang dan tinggi seperti di Indonesia bayi dan anak harus menjadi sasaran pro-gram imunisasi karena mempunyai risiko terbesar untuk menjadi pengidap kronik bila terinfeksi. Bila dana cukup, program imunisasi untuk penduduk dewasa yang termasuk kelompok risiko tinggi dapat dipertimbangkan. Yang termasuk kelompok risiko tinggi ialah antara lain pemakai obat bius suntikan, pria homoseksual, pasien hemodialisa, orang yang sering beganti partner seks, petugas kesehatan yang banyak berhubungan dengan darah dan cairan tubuh.

Untuk mencegah penularan pada bayi dan anak ada dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pencegahan penularan vertikal dengan memberikan imunisasi kepada semua bayi yang dilahirkan ibu HBsAg positif, khususnya yang HBeAg positif. Pendekatan kedua adalah pencegahan penularan horisontal, yakni memberikan imunisasi kepada semua bayi dan anak yang masih rentan terhadap infeksi VHB.

Pendekatan pertama adalah tepat untuk negara dengan pe-nularan vertikal sebagai cara penularan utama, dan sebagian besar ibu bersalin ditolong rumah sakit, misalnya di Jepang dan Taiwan". Di daerah atau negara dengan penularan horizontal juga penting seperti di Indonesia dan Singapura, imunisasi atas bayi-bayi yang dilahirkan ibu HBsAg positif saja belum cukup untuk menurunkan pengidap kronik secara bermakna, maka pendekatan kedua dimana semua bayi mendapat imunisasi tanpa melakukan skrining pada ibu adalah lebih tepat(1). Program imunisasi hepatitis B semacam ini sebaiknya diintegrasikan dengan program imunisasi (EPI) yang ada.

Proyek di Lombok menunjukkan bahwa pemberian imu-nisasi hepatitis B dapat diintegrasikan dalam program EPI(19). Suatu studi lain yang menunjukkan kemungkinan diintegrasi-kannya vaksinasi hepatitis B dengan EPI telah dilaksanakan di Gambia(20). Bila dibeli melalui tender internasional, harga vaksin hepatitis B menjadi kurang dari satu US$ per dosis.

Indonesia akan membutuhkan sekitar 15 juta dosis vaksin per tahun bila vaksinasi hepatitis B dimasukkan dalam EPI. Kebutuhan vaksin sebesar ini sebaiknya diproduksi di dalam negeri. Suatu unit produksi vaksin plasma membutuhkan inves-tasi sekitar 4 juta US$ sedangkan unit produksi vaksin rekombinan membutuhkan sekitar 20 juta US$. RINGKASAN DAN KESIMPULAN

Hepatitis B merupakan masalah kesehatan penting dan lebih dari 200 juta pengidap kronik terdapat di seluruh dunia. Hepatitis kronik, sirosis dan kanker hati merupakan sequelae dari infeksi hepatitis B.

Indonesia termasuk negara dengan endemisitas hepatitis B sedang sampai tinggi karena berbagai survai mendapatkan pre-

valensi HBsAg positif antara 2,5% sampai 20%, sedangkan sekitar 4% dari semua kematian diakibatkan penyakit hati.

Baik vaksin yang berasal dari plasma maupun yang rckom-binan adalah vaksin yang aman dan efektif.

Harga vaksin ini juga sudah banyak menurun dan kini dapat diperoleh melalui tender internasional seharga saw US$ per dosis. Vaksin dengan harga kurang dari satu US $ mungkin dapat dimasukkan ke dalam program imunisasi rutin. Integrasi vaksinasi hepatitis B ke dalam Extended Programme of Immuni-zation untuk semua bayi merupakan strategi yang tepat untuk mencegah hepatitis B dan sequelae-nya di Indonesia. Produksi vaksin Hepatitis B di Indonesia perlu dipertimbangkan.

KEPUSTAKAAN

1. Maynard JE, Kane A, Hadler C. Global Control of Hepatitis B through Vaccinaton. Rev Infect Dis 1989; 11 (Supp13) : 5574–8.

2. WHO Techn Rep Ser No. 691. Prevention of Liver Cancer, Geneva, 1983. 3. Beasley RP. et al. Hepatocellular carcinoma and hepatitis B virus, a

prospective study of 22707 men in Taiwan. Lancet 1981; 2 : 1129-33. 4. Ali Sulaiman. Epidemiologi infeksi virus hepatitis B di Indonesia. Maj

Kedokt Indon 1989; 39 (11) : 652-63. 5. Soewignyo, Mulyanto. Epidemiologi Infeksi Hepatitis Virus B di Indo-

nesia. Acta Medica Indon 1984; 15 : 215–28. 6. Soewignyo. Pecan penularan infeksi virus hepatitis B perinatal dalam

terbentuknya karier HBsAg anak-anak di Mataram. Naskah Lengkap KONAS III PGI–PEGI/Pertemuan Bmiah IV PPHI, Surabaya 3–5 Desem-ber 1987.

7. Wiharta AS. et al. The prevalence of HBsAg and anti HBs in pregnant women and young generation in Jakarta, Indonesia. Naskah Pertemuan llmiah III/KONAS II PGI–PEGI, 31 Agustus 1986, Palembang.

8. Elias Winoto, Agus Suwandono. Gambaran epidemiologik secara deskrip-tif hepatitis B di daerah pedesaan wilayah Kecamatan Purworejo – Klam-pok, Kabupaten Banjamegara, Jawa Tengah. Media Infonnasi & Komu-nikasi Epidemiologi 1990; 1 (1) : 5–8.

9. Ratna P. Budiarso dkk. Survai Kesehatan Rumah tangga 1986. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta 1987.

10. SuriadiGunawan. Kebijaksanaan Pemberantasan Penyakit. Naskah Lengkap Seminar Pencegahan dan Deteksi Dini Kanker Hati yang disebabkan Virus Hepatitis B. Jakarta, 8 Desember 1984.

11. Marwoto Partoatmodjo et al.Survey ofcancer in 17 hospitals in Jakarta. Bul Penelit Kes 1987; 16 (1) : 18–25.

12. Prince AM. Hepatitis B Virus vaccine : a current appraisal of human plasma derived vaccine. Ann Clin Res 1982; 14 : 225–35.

13. Zuckerman AJ. Immunization againts Hepatitis B. Br Med Bul 1990; 46 (2): 383–98.

14. Adrian Eddleston. Modem Vaccine : Hepatitis. Lancet 1990; 335 : 1142-5. 15. Hadler SC. Vaccines to prevent hepatitis B and hepatitis A virus

infections. Infect Dis Clin N Am 1990; 4 (1) : 29–46. 16. PADA. Health Technology Directions : Hepatitis B. 1986; 6 (3) : 1-12. 17. Beasley RP et al. Prevention of perinatally transmitted hepatitis B virus

infections with hepatitis B vaccine. Lancet 1983; 2 : 1099–102. 18. Hsu–Mei Hsu et al. Efficacy of a mass hepatitis B vaccination program in

Taiwan. JAMA 1988; 260 (15) : 2231–5. 19. Gustian D et al. Integration of hepatitis B immunization into the Expanded

Program for Immunization : the Lombok experience. Unpublished report, PADA, Jakarta 1990.

20. The Gambia Hepatitis Study Group. Hepatitis B vaccine in the Expanded Programme of Immunization : the Gambian experience. Lancet 1989; 1: 1057-60.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 7

Page 9: Cdk 068 Hepatitis

Penyakit Hepatitis Virus

Dr. Imran Lubis Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan R.I., Jakarta PENDAHULUAN

Paling sedikit ada 4 virus hepatitis yang dapat dibedakan dengan jelas yaitu : hepatitis A, hepatitis B, hepatitis non-A non-B dan hepatitis Delta.' Karakteristik virus penyebab hepa-titis A dan hepatitis B telah diketahui sehingga kit diagnosa antibodi dan antigen dapat dibeli di pasaran. Baru sebagian karakteristik virus hepatitis non-A non-B dan hepatitis Delta telah diketahui, sehingga pemeriksaan antibodi dan antigen hanya dapat dilakukan di laboratorium tertentu saja sedangkan kit diagnostik kedua virus ini masih belum bisa didapatkan di pasaran.

Tampak pada Tabel I keadaan penyakit hepatitis di negaranegara Asia Tenggara.2 Penyakit hepatitis A mencakup 47% - 72% sebagai penyebab hepatitis pada anak dan 6,9% - 45% pada dewasa. Untuk hepatitis B berkisar antara 10% - 30% pada anak dan 16% - 79% pada dewasa, dan untuk hepatitis NANB adalah 4,6% - 40% pada anak dan 8,7% - 76% pada dewasa. Tabel 1. Hepatitis virus sporadik di Asia Tenggara

Frekuensi tipe vines Hepatitis

Negara Hepatitis A Hepatitis B Hepatitis NANB

Anak Dewasa Anak Dewasa Anak Dewasa

Bangladesh – 6,9 – 16,0 – 76,0 Burma 49,0 10,0 15,0 21,0 35,9 69,0 India 50,0 8,1 10,0 31,0 40,0 60,9 Indonesia 71,0 45,0 16,0 20,0 23,0 35,0 Mongolia 65,0 12,0 30,0 79,0 4,6 8,7 Nepal 49,0 11,0 19,0 37,5 32,0 52,0 Sri Lanka 58,0 10,7 20,0 44,0 22,0 45,3 Thailand 72,0 34,0 11,0 36,0 17,0 30,0

(Sumber : Viral Hepatitis in South-East Asia Region, WHO)

HEPATITIS A Penyakit hepatitis A masih endemis di negara berkembang,

terutama karena keadaan lingkungan yang masih buruk.3 Cara penularan yang umum adalah melalui kontaminasi makanan dan air minum oleh tinja penderita. Terakhir dilaporkan gejala penyakit hepatitis A lebih berat di negara Thailand dan Indo-nesia, karena keadaan lingkungan sudah membaik dan lebih banyak menyerang penderita umur lebih dewasa.

Hepatitis A dapat didiagnosis dengan salah satu cara sbb.: 1) Isolasi partikel virus atau antigen virus HAV (Hepatitis A

Virus) dalam tinja penderita. 2) Kenaikan titer anti-HAV 3) Kenaikan titer IgM anti-HAV.

Cara yang terbaik adalah cara ke tiga karena kenaikan anti-bodi yang pertama kali terjadi pada kasus akut adalah kelas IgM dan IgM ini tidak lama kemudian akan menghilang. Kedua tes lainnya memerlukan pemrosesan tinja yang makan waktu dan tenaga lebih banyak atau memerlukan jumlah serum yang lebih banyak.

Pada tahun 1986, P.J. Provost dkk telah menemukan Live Attenuated vaksin hepatitis A, dari strain CR326F yang berasal dari tinja penderita hepatitis A, di Costa Rica.4 Virus hepatitis A ini telah mengalami beberapa kali pasase pada jaringan fetal rhesus monkey kidney (FRhK6). Human Diploid Lung (MRCS) yang akhirnya dapat menurunkan faktor-faktor patogennya dan dapat digunakan untuk manusia sebagai vaksin dengan hasil yang baik. HEPATITIS B

Penyakit hepatitis B menjadi sangat penting karena : 1) Makin lama jumlah penderita makin meningkat 2) Dapat menimbulkan sequelae (gejala sisa) dan 60% sebagai

penyebab kanker hepatoseluler. . 3) Dapat ditularkan dari ibu pengidap (terutama dengan

HBeAg positif) ke bayi yang dilahirkannya. Penyakit hepatitis B merupakan penyakit yang dapat sembuh

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 8

Page 10: Cdk 068 Hepatitis

sendiri (self limiting disease), dengan atau tanpa gejala klinik berat. Tetapi 90% penderita golongan bayi dan 10% penderita dewasa biasanya tidak dapat sembuh dan dapat menjadi kronik persisten sepanjang hidupnya (persistent life-long chronic).

Selama penderita sakit hepatitis B, berbagai macam antibodi dibentuk dan dapat diperksa, misalnya HBsAg, anti-ABsAg, HBcAg, anti-HBcAg, HBeAg, anti-HBeAg, anti-Delta. Kegunaan pemeriksaan hepatitis marker tersebut adalah untuk menentukan prognosis penyakit, status sebagai pengidap yang di sini tidak akan dibicarakan lebih lanjut. HEPATITIS DELTA

Delta antigen adalah suatu antigen dari virus hepatitis yang rusak yang kemudian menginfeksi orang yang telah mengandung virus hepatitis B; tanpa adanya virus hepatitis B maka Delta antigen ini tidak dapat menimbulkan penyakit.1,3 Infeksi ini terjadi akibat suatu infeksi bersama (co-infection) antara Delta antigen dan hepatitis B atau infeksi Delta antigen pada orang yang telah menjadi pengidap kronis hepatitis B (superinfection).

Diagnosis hepatitis Delta ini sulit karena antigen timbul hanya sebentar sekali pada fase akut penyakit, titer IgM anti-Delta sangat rendah.5

Delta antigen ini diduga tersebar luas di seluruh dunia, dan pernah dilaporkan epidemik di Amerika Selatan. HEPATITIS NANB

Penyakit hepatitis NANB dibagi menjadi dua bentuk yaitu : bentuk post transfusion (PT NANB) yang masih jarang ditemukan dan enterically transmitted (ET NANB) yang merupakan cetusan wabah dan mulai banyak dilaporkan. Angka case fatality rate (CFR) ET NANB pada saat wabah terjadi adalah 2% – 5%, tenatama pada ibu hamil trimester ke tiga dengan CFR sebesar 10% – 15%, pada trimester pertama angka kematiannya rendah. Masa inkubasi rata-rata adalah 6 minggu, banyak menyerang golongan dewasa muda.

Penelitian di Jakarta dan Bandung menunjukkan bahwa gejala penyakit hepatitis NANB di Jakarta lebih berat daripada di Bandung.6 Paling sedikit ada 2 wabah hepatitis NANB pada tahun 1987 - 1988 yaitu di Sintang (2.000 kasus) dan Sandai (508 kasus) dan telah dapat diisolasi virus hepatitis NANB yang pertama kalinya, wabah lain yang pernah dilaporkan dari Bandung tahun 1985. Angka kematian pada wanita usia subur adalah 19% – 26%. DASAR PEMERIKSAAN HEPATITIS MARKER

Pemeriksaan hepatitis B yang paling penting adalah HBsAg. HBsAg ini dapat diperiksa dari serum, semen, air liur, urin dan cairan tubuh lainnya. HBsAg diperiksa pertama kali secara metoda imunodifusi, yang mudah dikerjakan, murah, dan spesi-fik, tetapi lambat dan tidak sensitif.1 Generasi kedua pemeriksa-an HBsAg adalah dengan metoda counter-immunoelectrophoresis (CIEP) dan complement fixation (CF) yang lebih sensitif 2 – 10 kali daripada imunodifusi. Metoda paling sensitif adalah radio-immunoassay (RIA) dan enzyme-immunoassay (EIA-ELISA). Tes ini sangat sensitif (36 kali dari tes imunodifusi) dan sangat spesifik. Pembuatan antigen untuk pemeriksaan ELISA didapat-kan dari hasil monoklonal dan pembuatan antibodi dari radio-aktif. Metoda EIA mampu mendeteksi HBsAg sekecil 0,5 µg/l

(konsentrasi HBsAg dalam plasma. dapat mencapai 1 g/1). Tes EIA dan RIA mampu mendeksi 95% penderita hepatitis B. Metoda EIA yang dipasarkan menggunakan metoda double sandwich seperti yang direkomendasikan oleh WHO.

Kit diagnosa HBsAg buatan Indonesia adalah Entebe RPHA, yang mempunyai sensitivitas 78,6% dan spesifisitas 80% (Djoko Yuwono, 1988) dibandingkan dengan kit Hepates-3.7 Kit Entebe RPHA ini berharga lebih murah dari kit impor seperti Hepatest-3, Hepatek-HBsAg, Serodia-HBs. Dasar metoda pemeriksaan RPHA dan Elisa tersebut dapat dibaca pada leaflet masingmasing kit, dan tidak akan diulang disini.

Dengan menggunakan pemeriksaan 2 marker hepatitis yaitu HBsAg dan IgM anti-HAV diagnosis dapat ditegakkan pada 95 – 99% penyakit hepatitis B. Bila menggunakan cara ini ada dua keadaan penting yang perlu diperhatikan, yaitu : 1) Misdiagnosis keadaan hepatitis B dengan non-A non-B 2) Misdiagnosis hepatitis non-A non-B dengan hepatitis B.

Keadaan pertama terjadi pada kasus hepatitis B stadium akut atau late acute dengan titer HBsAg sangat rendah. Dan keadaan kedua terjadi pada infeksi hepatitis non-A non-B pada pengidap kronis hepatitis B. Kemungkinan terjadinya misdiagnosis ter-sebut tergantung pada angka endemisitas pengidap kronis HBsAg di suatu daerah, misalnya di Amerika Utara dan Eropa Barat sebesar 1%, di Asia Tenggara dan RRC sebesar 15%.

Misdiagnosis ini dapat diatasi dengan tampilnya pemeriksaan IgM anti-HBc (deteksi antibodi terhadap antigen core pada stadium akut) yang dapat dengan mudah membedakan antara hepatitis B dan hepatitis non-A non-B. DIAGNOSIS

Diagnosis penyakit hepatitis virus terdiri dari : 1) Gejala klinik penyakit hepatitis 2) Gejala laboratorium klinik : kenaikan 3 kali kadar ALT

(SGPT, SGOT, Alkaline Phosphatase). 3) Konfirmasi dari hasil serologi hepatitis marker. Tampak pada Tabel 2 cara melakukan diagnosis penyakit hepatitis berdasarkan hasil serologi hepatitis marker. 1 Tabel 2. Diagnosis penyakit hepatitis virus

Marker Serologi

HBsAg IgM anti–HAV

IgM anti–HBc

IgM anti–Delta Diagnosis

+ – + – Hepatitis B Akut – – + – Late Hepatitis B Akut + – + + Hepatitis B Akut dan Hepa–

+ – – + titis Delta Akut (Coinfection) Hepatitis Delta pada pe–

– – – ngidap kronik Hepatitis B (Superinfection) Hepatitis non–A non–B Akut

+ – – – Hepatitis non–A non–B Akut pada pengidap kronis

– + – – hepatitis B Hepatitis A Akut

+ + – – Hepatitis AAkut pada pe–

ngidap kronis hepatitis B

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 9

Page 11: Cdk 068 Hepatitis

Keadaan penyakit Hepatitis di Indonesia Penyakit hepatitis virus di Indonesia mencakup 60% dari

seluruh penyakit hati yang dirawat di rumah sakit, penyakit hati sendiri merupakan 16 - 17% dari seluruh penyakit yang dirawat. HBsAg rate pada donor darah pada umumnya berkisar antara 5% – 6%, pada setiap daerah mempunyai nilai yang berbeda-beda antara 3% – 20%. Sedangkan anti-HBsAg berkisar antara 46% – 48%.2

Di antara tenaga rumah sakit angka pengidap sama dengan di masyarakat, hanya nilai anti-HBs lebih tinggi. Hubungan antara sirosis hepatis dengan hepatitis B di Jakarta adalah 49% dan dengan hepatocellular carcinoma adalah 68%. Data rumah sakit menunjukkan bahwa penderita hepatitis ternyata 40 – 50% karena HAV, 20% karena HBV dan 30 – 40% karena hepatitis NANB. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2,5 : 1 dan puncak penyakit terjadi pada musim hujan.

Pengembangan dan percobaan vaksin Hepatitis B bentuk plasma derived sedang dilakkan di Lombok sebagai pilot project ntk melakuan imnisasi di Ldoensia masa mendatang, bersama dengan program EPI Tabel 3. Status pengidap hepatitis B di Asia Tenggara

Negara Rate pengidap %

Jumlah penduduk (X 103)

Jumlah pengidap(X103)

Bangladesh 9 1000.000 900 Buena 10 -12 39.000 4.100 India 5 760.000 38.000 Indonesia 6 164.000 9.840 Mongolia 12 -14 2.000 280 Nepal 6 16.000 960 Sri Lanka 0,9 16.000 159

Thailand 8 -10 51.000 5.100

Sumber : viral Hepatitis in South-East Asia Region, WHO) VAKSINASI HEPATITIS B

Dasar pemikiran dari imunisasi terhadap hepatitis B yang terpenting adalah fakta bahwa anti-HBsAg yang merupakan antibodi humoral yang ditujukan terhadap HBsAg adalah suatu antibodi yang dapat mencegah terjadinya penularan infeksi hepatitis B.8 Karena itu untuk mencegah infeksi HBV dapat diberikan suntikan anti-HBs (imunisasi pasif) atau dengan memberikan suntikan HBsAg untuk menimbulkan anti-HBsAg dalam tubuh resipien (imunisasi aktif).

Macam-macam Vaksin Hepatitis B A) Vaksin yang dibuat dari sera carrier : Dari sera yang mengandung HBsAg dipisahkan partikel 22nm yang berasal dari virusnya yang secara teoritik sudah tidak me-ngandung partikel infektif. Untuk menambah amannya vaksin ini masih dilakukan inaktifasi dengan proses enzimatik, pe-manasan atau pemberian formalin. Pembuatan vaksin ini di-lakukan oleh Netherland Blood Transfusion Centra dan vaksin buatan Korea. B) Vaksin yang tidak dibuat dari sera carrier : 1) HBsAg yang dibuat dari kultur sel-sel hepatoma yang mem-produksi HBsAg (Alexander cell). Sel ini hanya memproduksi HBsAg saja (tanpa core) sehingga tidak infeksius.

2) HBsAg yang diperoleh dari genetic engineering atau teknologi rekombinasi DNA. DNA dari HBV "disisipkan" dalam genome dari inti sel organisme lain yang struktumya sederhana sehingga organisme tersebut akhirnya memproduksi HBsAg. Dengan melakukan pembiakan sel organisme tersebut maka dapat diperoleh HBsAg dalam jumlah besar.

Organisme yang pernah dipergunakan untuk memproduksi HBsAg dengan teknik rekombinasi DNA adalah : kuman E. coli, sel-sel eukaryotik dari mammalia (rodentia) serta sel ragi yeast). Yang sekarang digunakan adalah dengan menggunakan sel ragi, bahkan telah dicoba pada manusia dengan hasil yang baik.

Di samping itu teknik rekombinasi juga telah dilakukan dengan menggunakan virus vaccinia yang genomenya disisipi DNA HBV. Virus vaccinia yang telah disisipi ini dapat disuntikkan hanya satu kali saja sebab di samping infeksi dengan virus vaccinia tersebut maka virus tersebut dapat terus memproduksi HBsAg yang memberikan imunisasi aktif dalam waktu yang lama. 3) Polipeptida yang dibuat secara sintetik yang bila disuntikkan akan menimbulkan anti-Hbs. PENUTUP

Masalah penyakit Hepatitis B di Indonesia sudah menjadi panting melihat dari angka pengidap tersebut di atas. Minimal exposure rate atau presentase dari kelompok individu sehat dewasa yang pernah kena infeksi HBV yang diperoleh dengan menjumlahkan frekuensi HBsAg dan anti-HBs berkisar antara 40% – 60%, dan bila dipakai parameter RIA maka diperoleh angka 60% – 80% penduduk dewasa di Indonsia pemah kena infeksi HBV.

Berbagai penelitian di rumah sakit di Indonsia menunjukkan angka frekuensi sirosis hepatis sekitar 3,5%, hepatoma 2,2% – 2,8% dari seluruh penderita. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa untuk meningkatkan umur harapan hidup penduduk Indonesia di masa mendatang perlu dilakukan imunisasi ter-hadap penyakit Hepatitis B.

Selama 3 tahun terakhir ini telah dilaporkan 3 wabah hepatitis NANB, sehingga untuk mengurangi kematian pada ibu hamil trimester ketiga perlu dipikirkan juga pengumpulan antibodi konvalesen penderita yang sudah sembuh untuk menurunkan angka kematian tersebut.

KEPUSTAKAAN

1. Field HA, Maynard JE. Sērodiagnosis of acute viral hepatitis, PAHO/83.16. 1983.

2. Andjaparidze AG. Viral Hepatitis in South-East Asia Region, SEA Adv. Comm. on Health Research, Fifteenth Session, Jakarta 6-12 June 1989.

3. Andjaparidze AG. Global Situation of ET-NANB Hepatitis, Intercountry Meeting, WHOISEARO, 10-13 July 1989.

4. WHO, Second Technical Advisory Group on Viral Hepatitis, Geneva 2-6 December 1985.

5. WHO, Scientific group on viral Hepatitis B and its related liver diseases, Nagasaki, 29 Sept - 2 Oct 1982.

6. Imran Lubis et al. Report on ET NANB Hepatitis in Indonesia Intercountry Meeting on Review of ongoing studies on non-A non-B hepatitis, WHO/ SEARO, 10–13 July 1989.

7. Djoko Yuwono, Perbandingan mutu RPHA (Reversed Passive Hemagluti-nation) kit virus hepatitis B, buatan Mataram, Lombok, Laporan intern Puslit Penyakit Menular. 1988.

8. Soewignyo Soemohardjo, Vaksinasi Hepatitis B, Naskah lengkap Simposium Hepato-Gastroenterologi, Mataram, 4 Oktober 1986.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 10

Page 12: Cdk 068 Hepatitis

Hepatitis B di dalam Keluarga, Tinjauan Kasus

Sujono Hadi Sub Unit Gastroenterologi, Laboratorium/UPFIImu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/

RSU dr. Hasan Sadikin, Bandung

ABSTRAK Penelitian prospektif pada kelompok keluarga pengidap/penderita hepatitis virus B

(HVB) selama tiga tahun mulai tahun 1987 sampai akhir tahun 1989, menemukan 95 kasus dengan HBsAg positif. Mereka terdiri atas' 37 wanita dan 58 pria pada saat pertama kali ditemukan. Umur termuda 28 tahun, dan tertua 67 tahun, dengan umur rata-rata 42,3 tahun.

Semua kasus tersebut diperiksa HBeAg, dengan hasil 65 negatif, dan 30 positif. Hasil pemeriksaan dari kelompok keluarga wanita dengan HBsAg positif tetapi HBeAg negatif, ternyata ditularkan kepada anaknya 37,6%, sedangkan pada kelompok keluarga laki-laki menularkan kepada anaknya 35,7%. Penularan HVB lebih meningkat bila disertai HBeAg positif – pada kelompok keluarga wanita terjadi penularan 59,4% dan pada kelompok keluarga laki-laki sebanyak 47,5%. Lebih-lebih lagi bila kedua suami istri HBsAg positif walaupun HBeAg negatif, akan menularkan HVB sebanyak 86,6%. Apalagi bila salah seorang di antara kedua suami istri tersebut disertai HBeAg positif, penularan HVB mencapai 100%.

Dapat diambil kesimpulan bahwa penularan HVB antara keluarga dekat (transmisi intrafamilial) dapat terjadi secara vertikal maupun horizontal, atau terjadi baik maternal maupun paternal. Risiko tertulari di dalam keluarga lebih meningkat bila disertai HBeAg positif apalagi kedua orang tua adalah penderita/pengidap HVB. Semua keluarga dekat dengan petanda serologis semuanya negatif, harus diberi imunisasi untuk mencegah terjadinya penularan. Imunisasi sebaiknya dilakukan sedini mungkin, terutama pada bayi atau anak-anak balita, karena memiliki efektivitas yang tinggi.

PENDAHULUAN

Sampai sekarang hepatitis virus B (HVB) masih tetap me-rupakan masalah hangat, baik ditinjau secara epidemiologis maupun secara klinis. Secara epidemiologis HVB tersebar di seluruh dunia, ditemukan sepanjang tahun, khususnya di Afrika, Asia Tenggara termasuk Indonesia prevalensinya ter-golong tinggi, yaitu berkisar antara 6–17%.'

Sebagaimana diketahui, HVB mudah ditularkan kepada semua orang dan semua kelompok umur. Percikan sedikit darah yang mengandung HVB sudah dapat menularkan pe-nyakit. Dikenal dua macam cara penularan yaitu: penularan secara horizontal dan penularan secara vertikal. Penularan secara vertikal ialah merupakan penularan infeksi dari se-'seorang ibu pengidap/penderita HVB kepada bayinya sebelum atau pada saat atau beberapa saat setelah persalinan. Sedang-

kan penularan secara horizontal lebih sering ditemukan, yaitu penularan secara parenteral perkutan dan non-kutan.2 Oleh karena itu tidak mengherankan terjadi penularan HVB di dalam lingkungan penderita/pengidap dengan HBsAg positif, terutama bagi anggauta keluarga serumah yang selalu berhubungan langsung.

Berdasarkan latar belakang inilah, maka dilaporkan penelitian HVB di dalam keluarga.

BAHAN DAN METODE Bahan

Sebagai bahan penelitian ialah 95 kasus dengan HBsAg positif. Mereka terdiri atas 37 wanita dan 58 pria. Umur ter-muda 28 tahun, dan tertua 67 tahun dengan umur rata-rata 42,3 tahun. Semua kasus tersebut di atas datang berobat jalan selama permulaan Januari 1987 sampai akhir Desember

Page 13: Cdk 068 Hepatitis

1989 dan tidak memperlihatkan tanda-tanda ikterus.

Tata Cara Penelitian ini merupakan penelitian prospektif studi kasus.

Tujuan penelitian untuk melihat penularan atau sumber penularan HVB di dalam keluarga.

Semua kasus yang datang berobat dengan HBsAg positif atau yang mempunyai riwayat pernah menderita penyakit hati atau hepatitis diamati atau diperiksa lebih lanjut terhadap HBeAg, guna melihat infektivitas penyakitnya. Kepada, seluruh keluarga dekat (istri/suami, dan anak-anak) juga diperiksa petanda serologis terhadap HBsAg, Anti HBs dan HBeAg dengan menggunakan metode ELISA.

Selain daripada itu juga ditanyakan riwayat orang tua dan saudara sepupu penderita, apakah ada di antara mereka yang pernah menderita penyakit hati dengan HBsAg positif, guna mencari sumber penularan.

HASIL

Dui 95 kasus dei.gan HBsAg positif, ditemukan 65 dengan HBeAg negatif dan 30 dengan HBeAg positif. Semua keluarga dekat telah diperiksa petanda serologis terhadap HVB, dan selanjutnya dibagi dalam dua kelompok, yaitu : Kelompok Keluarga yang hanya suami/istri dengan HBsAg Positif

Dari kelompok ini ditemukan 86 kasus yang hasilnya se-bagai berikut : • Mereka dengan HBsAg positif tetapi dengan HBeAg negatif,

sebanyak 59 kasus, terdiri atas 24 wanita dan 35 pria. • Mereka dengan HBeAg dan HBeAg positif sebanyak 27

kasus, terdiri atas 9 wanita dan 18 pria. Selanjutnya diteliti keluarga masing-masing terhadap

petanda serologis, yang dapat dibagi atas 4 sub kelompok, yaitu : a) Istri dengan HBsAg positif dan HBeAg negatif. Jumlah anak dari 24 kasus ini ialah 53 orang, terdiri atas 25 wanita dan 28 pria. Hasil pemeriksaan petanda serologis dari keluarga sub kelompok ini tertera pada tabel 1. Tabel 1. Petanda Serologis dari Keluarga Dekat dari 24 Wanita dengan

HBsAg Positif dan HBeAg Negatif.

n HBsAg Anti HBs HBeAg + + –

Suami Anak wanita Anak laki4aki

24 25 28

– 3 3

8 6 9

– – –

Jumlah 77 6 23

Berdasar data di atas yang pernah tertulari HVB 29 orang (37,6%) yang terdiri 6 HBsAg positif (7,8%) dan 23 Anti HBs positif. Sisanya itu sebanyak 48 orang dengan HBsAg dan Anti HBs negatif terdiri atas 16 suami, 16 anak wanita, dan 16 anak laki-laki yang perlu mendapat vaksinasi. b) Suami dengan HBsAg positif dan HBeAg negatif sebanyak 35 kasus, yang mempunyai anak 79 orang terdiri atas 39 wanita dan 40 pria. Hasil pemeriksaan petanda serologis dari keluarga sub kelompok ini tertera pada tabel 2.

Berdasar data di atas yang pernah tertulari HVB sebanyak 35 (35,7%) yang terdiri dari 5 HBsAg positif (4,4%) dan 30 Anti HBs positif. Sisanya 79 orang dengan HBsAg dan Anti

Tabel 2. Petanda Serologis dan Keluarga Dekat dari 35 Pria dengan HBsAg Positif dan HBeAg Negatif.

Keluarga n HBsAg Anti HBs HBeAg + + +

Istri 35 – 10 – Anak wanita 39 2 9 –Anak laki-laki 40 3 11 –

Jumlah 114 5 30 –

HBs negatif terdiri atas 25 istri 28 anak wanita dan 26 anak laki-laki yang perlu mendapat vaksinasi. c) Istri dengan HBsAg dan HBeAg positif sebanyak 9 kasus, yang mempunyai anak 23 orang, terdiri atas 13 wanita, dan 10 pria. Hasil pemeriksaan petanda serologis dari keluarga sub kelompok ini tertera pada tabel 3. Tabel 3. Petanda Serologis dari Keluarga Debt dari 9 kasus Wanita

dengan HBsAg dan HBeAg Positif.

Keluarga n HBsAg Anti HBs HBeAg + + +

Suami 9 – 3 – Anak wanita 13 3 6 1Anak laki-laki 10 2 5 –

Jumlah 32 5 14 1

Berdasar data di atas jumlah yang pernah tertulari sebanyak 19 orang (59,4%), yaitu 5 dengan HBsAg (+) (15,6%), bahkan salah seorang anak wanita disertai HBeAg (+), dan 14 dengan Anti HBs positif. Sisanya 13 orang dengan HBsAg dan Anti HBs negatif terdiri atas 6 suami, 4 anak wanita, dan 3 anak laki-laki yang perlu mendapat vaksinasi. d) Suami dengan HBsAg dan HBeAg positif sebanyak 18 kasus yang mempunyai anak 43 orang terdiri atas 20 wanita dan 23 pria. Hasil pemeriksaan petanda serologis dari keluarga dekat sub kelompok ini, tertera pada tabel 4. Tabel 4. Petanda Serlologis dari Keluarga Dekat dari 18 kasus pria

dengan HBsAg dan HBeAg Positif.

Keluarga n HBsAg Anti HBs HBeAg

Istri Anak wanita Anak laki-laki

18 20 23

– 3 4

6 7 9

- - -

Jumlah 61 7 22 –

Berdasar data di atas dari 61 orang keluarga penderita yang pernah tertulari HVB sebanyak 29 (47,5%) terdiri atas 7 dengan HBsAg positif dan 22 dengan Anti HBs positif. Sisanya 32 orang dengan HBsAg dan Anti HBs negatif, terdiri atas 12 istri, 10 anak wanita dan 10 anak laki-laki yang perlu mendapat vaksinasi. Kelompok Keluarga dari Suami dan Istri dengan HBsAg Positif

Dari kelompok ini ditemukan 9 kasus yang hasilnya se-bagai berikut • Suami dan istri dengan HBsAg positif tetapi HBeAg negatif

ada 6 kasus. • Suami dan istri dengan HBsAg positif tetapi salah seorang di

antaranya dengan HBeAg positif 3 kasus.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 12

Page 14: Cdk 068 Hepatitis

a) Suami dan istri dengan HBsAg positif tetapi HBeAg negatif 6 kasus mempunyai anak 15 orang terdiri atas 6 wanita dan 9 laki-laki. Hasil pemeriksaan petanda serologis tertera pada tabel 5. Tabel 5. Petanda Serologis Putra dan Putri dari 6 Suami Istri dengan

HBsAg Positif dan HBeAg Negatif.

Anak n HBsAg +

Anti HBs +

HBeAg +

Wanita Laki–laki

6 9

2 2

3 6

– –

Jumlah 15 4 9 –

Berdasar data di atas 13 dari 15 orang (86,6%) yang pemah tertulari HVB terdiri atas 4 dengan HBsAg positif dan 9 dengan anti HBs positif. Sisanya sebanyak 2 orang dengan HBsAg dan anti HBs negatif yang perlu mendapat vaksinasi, yaitu anak wanita 1 dan anak laki-laki 1 orang. b) Suami dan istri dengan HBsAg positif, dan salah seorang di antaranya dengan HBeAg positif sebanyak 3 kasus, mempunyai anak 11 orang terdiri atas 5 wanita, dan 6 laki-laki. Hasil pemeriksaan petanda serologis tertera pada tabel 6. Tabel 6. Petanda Serologis Putra dan Putri dari 3 Suami Istri dengan

HBsAg Positif dan Salah Seorang diantaranya dengan HBeAg Positif.

Anak n HBsAg +

Anti HBs +

HBeAg +

Wanita Laki-laki

5 6

2 4

3 2

– 1

Jumlah 11 6 5 1

Berdasar data di atas, 11 dari 11 orang anak (100%) anak pernah tertulari HVB, terdiri 6 orang dengan HBsAg positif, bahkan salah seorang putra disertai HBeAg positif, dan 5 orang dengan anti HBs positif.

Riwayat Keluarga Semua kasus tersebut di atas diusahakan untuk diketahui

riwayat keluarganya (masing-masing orang tua suami/istri), paman dan bibinya, kakak atau adik dari kasus tersebut). Walaupun demikian hanya 11 kasus saja yang dapat mem-berikan data riwayat keluarga yang berkaitan dengan HVB. Dari sebelas kasus tersebut dapat dilaporkan tiga contoh kasus. a) Seorang ibu dengan HBsAg positif dan HBeAg negatif se-bagaimana terlihat pada bagan 1 di bawah ini.

Dari bagan 1 tersebut di atas, tampak seorang ibu dengan HBsAg positif mēmpunyai anak laki-laki dengan anti HBs positif. Dari riwayat keluarga yang dapat ditelusuri ternyata ibu dari kasus ini juga mempunyai HBsAg positif, tetapi Saudara-saudara lainnya semua petanda serologis yang negatif. Sedangkan dari keluarga pihak suami tidak ada seorangpun yang pernah menderita hepatitis, dan pemeriksaan petanda serologis terhadap HVB hasilnya negatif. b) Seorang bapak dengan HBsAg positif dan HBeAg juga positif, sebagaimana terlihat pada bagan 2 di bawah ini.

Berdasar bagan 2 di atas, tampak seorang bapak dengan HBsAg dan HBeAg positif yang ditemukan mempunyai anak 4 orang, dua di antaranya dengan anti HBs positif. Kedua

orang tuanya telah meninggal dunia, ibu penderita ini telah meninggal dunia yang penyebabnya tidak diketahui serta tidak pernah menderita hepatitis. Sedang bapak penderita menderita kanker hati primer (KHP). Saudara kandung pen-derita salah seora 1g yaitu kakak perempuan juga telah me-ninggal dunia diduga karena kanker hati, dan salah seorang kakak laki-laki mempunyai anti HBs positif. Pemeriksaan petanda serologis istri penderita menemukan anti HBs positif dengan titer cukup tinggi. Semua keluarga (kakak, adik dan kedua orang tua) dari pihak istri memperlihatkan petanda serologis terhadap HVB negatif. c) Riwayat keluarga dari suami istri dengan HBsAg positif, dan istri juga dengan HBeAg positif, sebagaimana terlihat pada bagan 3 di bawah ini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 13

Page 15: Cdk 068 Hepatitis

Berdasar bagan 3 di atas, tampak seorang bapak yang di-temukan pada saat penelitian dengan HBsAg positif, tetapi HBeAg negatif. Riwayat keluarga penderita ibu penderita ditemukan HBsAg positif, tetapi bapaknya telah meninggal dunia karena sirosis hati. Mempunyai empat saudara, salah seorang kakak wanita juga dengan HBsAg positif, sedang dua orang lain (adik perempuan dan adik laki-laki) telah mem-punyai anti HBs positif yang belum pernah mendapat vaksi-nasi. Salah seorang kakak laki-laki perlu mendapat vaksinasi karena HBsAg dan anti HBs negatif.

Hasil pemeriksaan petanda serologis istri penderita 'me-nemukan HBsAg dan HBeAg positif. Kedua orang tua dari pihak istri telah meninggal dunia, bapaknya karena KHP, sedangkan ibunya tidak tahu penyebabnya. Istri penderita mempunyai dua saudara, kakak laid-laki juga telah meninggal dunia karena KHP, sedang adik perempuan masih hidup dengan HBsAg positif tetapi HBeAg negatif.

Keluarga kasus ini mempunyai empat orang anak, dua orang telah meninggal dunia. Anak perempuan meninggal dunia karena hepatitis kronis pada usia 13 tahun, dan anak laki-laki meninggal karena KHP pada usia 15 tahun yang waktu masa anak-anak pernah menderita hepatitis. Dua puteranya masih hidup dengan HBsAg positif dan HBeAg negatif. PEMBAHASAN

Hepatitis virus B (HVB) sampai saat sekarang masih tetap menarik perhatian untuk diadakan penelitian, pengobatan, pengelolaan serta pencegahan karena penyakit ini dapat me-nimbulkan berbagai _ macam manifestasi klinis, mulai dari hepatitis akut, pengidap virus, hepatitis kronis yang dapat berkembang_menjadi sirosis hati rnaupun kanker hati primer (KHP).

Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 316 juta orang

pembawa virus dan sekitar 70 juta penderita bermukim di Asia Pasifik. Secara epidemiologi HVB tersebar di seluruh dunia, dan ditemukan sepanjang tahun, khususnya di Afrika. Asia Tenggara termasuk Indonesia prevalensinya tergolong tinggi yaitu berkisar antar. 6-17%.' Berdasarkan hasil pengolahan data selama dua tahun (mulai 1985 sampai dengan 1986), dari laporan 10 cabang Laboratorium Prodia di seluruh Indonesia yang memeriksa HBsAg secara ELISA pada 40.035 orang, ditemukan 17,78% positif. Dari sejumlah penderita tersebut di atas yang diperiksa HBeAg sebanyak 2.128 orang dan ditemukan positif sebanyak 30,7%.3 Berarti angka penderita yang sangat infektif cukup tinggi.3

Penyakit HVB mudah dapat ditularkan kepada semua orang, dan semua kelompok umur secara menyusup, percikan sedikit darah yang mengandung HVB sudah dapat menularkan penyakit. Pada umumnya cara penularan HVB adalah parenteral. Semua penularan HVB diasosiasikan dengan transfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik.

Tetapi setelah ditemukan berbagai bentuk dari HVB, makin banyak laporan tentang cara penularan lainnya. Hal ini disebabkan karena HVB dapat ditemukan dalam setiap cairan yang dikeluarkan dari tubuh penderita atau pengidap penyakit, misaln_'a melalui: darah, air liur, air seni, keringat, air mani, air susu .bu, cairan vagina, air mata, dan lain-lain. Oleh karena itu dikenal cara penularan perkutan dan non-kutan, di samping itu dikenal pula penularan horizontal dan vertikal.2'4 Penularan horizontal sering ditemukan, yaitu yang dapat ditularkan kepada sekitar penderita, baik laki-laki maupun wanita. Pe-nularan vertikal dapat diartikan penularan dari seseorang ibu pengidap/penderita HVB kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat persalinan dan beberapa saat setelah persalinan.

Berdasar cara penularan HVB tersebut d3 atas, maka dikenal kelompok risiko tinggi yang mudah tertulari, yaitu: 1) Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, apalagi bila disertai HBeAg positif, sudah pasti akan tertulari. 2) Lingkungan penderita/pengidap dengan HBsAg positif ter-utama anggota keluarga/mereka yang serumah yang selalu berhubungan langsung. 3) Tenaga medis, paramedis, petugas laboratorium yang selalu kontak langsung dengan darah pen derita HVB. 4) Calon penderita bedah, gigi, penerima transfusi darah, pasien dialisa, dan lain-lain. 5) Mereka yang hidup di daerah endemis HVB dengan pre-valensi tinggi.

Dari kelompok risiko tinggi yang menarik perhatian adalah butir I dan 2 tersebut di atas, sebagaimana yang dilaporkan oleh para peneliti terdahulu.5,6. Demikian pula pernah dilaporkan pe-nelitian Julius dkk (1981) di desa Talang Sumatera Barat yang menemukan penularan intra familial (suami-itri,ibu-anak, bapak-anak, arftar saudara) sebanyak 25,8%, yang kemungkinan di-sebabkan oleh karena transmisi secara vertikal dan kontak antar keluarga dekat7. Laporan selanjutnya dari hasil penelitian Wibowo dkk (1984) yang mencari prevalensi HBsAg di antara keluarga penderita hepetitis virus yang dirawat di RSUP Sanglah Den-pasar, menemukan 37,68% keluarga dengan HBsAg positif, terdiri atas 35,29% suami dan 38,46% istri.8 Selanjutnya laporan penelitian Jnlius(1990) pada 212 keluarga penderita penyakit

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 14

Page 16: Cdk 068 Hepatitis

hati menemukan 35% dengan HBsAg positif, bila dibanding-kan dengan keluarga bukan penderita penyakit hati menemukan 5,9%, dan pada keluarga populasi normal ditemukan 8,3% dengan HBsAg positif.9 Dari hasil penelitian sendiri pada 95 kasus yang ditemukan HBsAg positif, terlihat jelas penularan antar keluarga dekat penderita.

Penularan tersebut dapat berupa transmisi vertikal maupun horizontal yang sexing kontak antar keluarga dekat yang dapat terlihat jelas pada tabel dan bagian riwayat keluarga. Penularan dapat secara maternal maupun paternal. Lebihlebih mudah terjadi penularan pada suami dan` istri dengan HBsAg positif dan salah seorang di antaranya dengan HBeAg positif, sebagaimana terlihat pada tabel 6 dan bagan 3.

Selain daripada itu risiko infeksi pada bayi dari seorang ibu pengidap HBsAg yang tanpa gejala menunjukkan angka yang bervariasi antara 10–80%; apalagi bila si ibu tadi disertai HBeAg positif1,2,4,e Dengan demikian dapat disimpulkan adanya•suatu lingkaran setan, sebagaimana terlihat pada gb. 1. Gb. 1 Lingkaran Setan penularan HVB.

Lingkaran setan seperti tersebut di atas juga dapat di-temukan di bagan 1 dan 3 dari penelitian ini. Infeksi pada bayi dapat terjadi bila ibu menderita hepatitis akut pada trimester III atau bila ibu adalah pengidap HBsAg. Apalagi bila si ibu tersebut disertai HBeAg positif. Transmisi virus dari ibu ke bayi dapat terjadi pada masa intrauterin, pada masaperinatal atau postnatal4,10

Perjalanan HVB pada bayi yang tertulari berbeda dengan orang dewasa, umumnya mempunyai prognosis buruk. Hampir sepertiga bayi tersebut akan menderita penyakit hati kronis

yang menjurus ke arah sirosis hati atau KHP pada masa akhir hidupnya 4,10,11, sebagaimana tampak jelas pada bagan 3 dari hasil penelitian ini.

Berdasar hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1) Penularan HVB antar keluarga dekat (transmisi intra-familial) dapat terjadi secara vertikal maupun horizontal. 2) Penularan maternal dapat terjadi pada ibu dengan HBsAg positif, apalagi bila disertai HBeAg positif angka kejadiannya lebih meningkat, yang transmisinya dapat secara vertikal maupun horizontal. 3) Penularan paternal terjadi secara horizontal sebagai akibat lebih sering kontak langsung antar keluarga. 4) Pada keluarga yang kedua suami istri mempunyai HBsAg positif apalagi disertai HBeAg, sudah pasti semua anaknya akan tertulari. 5) Oleh karena itu perlu sekali bagi mereka yang hidup di keluarga dekat diperiksa petanda serologis terhadap HVB. Dan bila ditemukan semua petanda serologis negatif perlu sekali diberi imunisasi untuk mencegah penularan. Imunisasi sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yaitu terutama pada bayi yang baru lahir dari kelompok keluarga pengidap/pen- derita HVB.

KEPUSTAKAAN

1. Beasley RP. Hepatitis B Virus as the Etiologic Agent in Hepatocellular

Carcinoma. Epidemiologic Consideration. Hepatology 1982; 2 218–66 S. 2. Deinhart F, Gust ID. Viral Hepatitis. Bull WHO 1982 : 661. 3. Hadi S. Petanda Serologis Infeksi Hepatitis B di Beberapa Kota Besar di

Indonesia. Naskah Lengkap KOPAPDI VII. Ujung Pandang 1987 : 557–66.

4. Gaiety RJ, Schoertzer IL. Viral Hepatitis type B during Pregnancy, the Neonatal Period and Infancy. J Pediatr 1977; 90 : 368–74.

5. Ohbayashi A, Okuchi K, Mayumi M. Familial Clustering of Asymptomatic Carier of Australian Antigens and Patients with Chronic Liver Disease or Primary Liver Cancer. Gastroenterology 1972; 62 : 618–23.

6. Chen DS, Sung JL. Vertical and Intra-familial Transmission of Hepatitis B Virus. Proc 5th Asian Pacific Congress of Gastroenterology. Singapore 1976 : 68–72.

7. Julius, Sanin N, Hanif. Survai Hepatitis B Antigen Orang Dewasa pada Suatu Masyarakat Pedesaan di Sumatera Barat. Naskah Lengkap KOPAPDI V. Semarang 1981; 1 : 347–53.

8. Wabawa IDN, Bakta IM, Suhardjojo T, dkk. Prevalensi Hepatitis Surface Antigen pada Suami-Istri Penderita Hepatitis Virus Akut. Naskah Lengkap KOPAPDI VI. Jakarta 1984; 2 : 1322–29.

9. Julius. Intra-familial Spreading of Viral Hepatitis B Infection in Family of Livei Diseases. Abstract. VIIth Biennial Scientific Meeting of APASL. Jakarta. February 19–21, 1990 : 55.

10. Boxall AEH, Tarloro MJ, Flewett TH. Transmission of HBsAg from Mother to Infant in Four Ethnic Groups. BMJ 1978, i : 949–52.

11. Hoofnagle JH, Alter HJ. Chronic Viral Hepatitis. In: Vyas GN, Dienstag JL, Hoofnagle JH, (eds.): Viral Hepatitis and Liver Disease. Orlando:Grune–Stratton Inc. 1984. bal. 97–114.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 15

Page 17: Cdk 068 Hepatitis

Hepatitis pada Kehamilan

Hans Tandra Rumah Sakit Umum Trenggalek Jawa Timut

PENDAHULUAN

Penyakit hati biasanya jarang terjadi pada wanita hamil, namun apabila timbul ikterus pada kehamilan, maka penyebab-nya yang paling sering adalah hepatitis virus.'

Adapun ikterus pada kehamilan sebenamya dapat disebab-kan oleh beberapa keadaan2 3 :A) Ikterus yang terjadi oleh karena kehamilan

1. perlemakan hati akut 2. toksemia 3. kolestasis intrahepatik.

B) Ikterus yang terjadi bersama dengan suatu kehamilan 1. hepatitis virus 2. batu empedu 3. penggunaan obat-obatan hepatotoksik 4. sirosis hati. Ikterus dapat timbul pada satu dari 1500 kehamilan, 41%

di antaranya adalah hepatitis virus, 21% oleh karena kolestasis intrahepatik, dan kurang dari 6% oleh obstruksi saluran empedu di luar hati.3 FAAL HATI PADA KEHAMILAN NORMAL

Pada kehamilan normal, tes faal hati seperti bilirubin dan transaminase serum biasanya tidak menunjukkan kelainan.1 2 3 4 Ekskresi BSP biasanya normal, dapat sedikit terganggu pada trimester ke tiga.' 3 Peningkatan fosfatase alkali dalam serum dapat terjadi pada bulan ke sembilan kehamilan;3 peningkatan ini disebabkan oleh produksi dari sinsisiotrofoblas dari plasenta.1

Kolesterol serum total meningkat sejak bulan ke empat, biasanya mencapai puncaknya sekitar 250 mg% pada bulan ke delapan, dan jarang melebihi 400 mg%. Albumin 'serum me-nurun sampai maksimal 1 g% dari keadaan sebelum hamil pada trimester ke tiga, yang biasanya berhubungan dengan status nutrisi orang hamil tersebut. Globulin meningkat, demikian pula fibrinogen. Dengan pemeriksaan elektroforesis protein serum penderita, tampak globulin alfa-2 dan beta meningkat, sedang-kan globulin gama sedikit menurun.1 4

Adanya spider nevi dan eritema palmaris bukan disebabkan oleh gangguan faal hati, melainkan oleh karena estrogen yang

6

Dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah IBI Cabang Trenggalek 20 Maret 1990.

meningkat pada kehamilan;' 3 tanda-tanda ini dapat terjadi pada 2/3 wanita hamil yang berkulit putih, dan sedikit pada kulit berwama. 4

Pemeriksaan biopsi hati tidak menunjukkan kelainan, meskipun kadang-kadang tampak infiltrasi limfosit yang ringan pada daerah portal, dan pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron terlihat peningkatan retikulum endoplasmik.3

Aliran darah ke hati juga tidak mengalami perubahan yang berarti.3 4

HEPATITIS VIRUS PADA KEHAMILAN Pada wanita hamil kemungkinan untuk terjangkit hepatitis

virus adalah sama dengan wanita tidak hamil pada usia yang sama. Sarjana lain mengatakan bahwa di negara sedang ber-kembang, wanita hamil lebih mudah terkena hepatitis virus, hal ini erat hubungannya dengan keadaan nutrisi dan higiene sani-tasi yang kurang baik.5 6 7 8

Hepatitis virus dapat timbul pada ketiga trimester kehamilan dengan angka kejadian yang sama;8 9 tetapi Siegler dan Keyser mendapatkan angka 9.5% hepatitis virus terjadi pada trimester I, 32% terjadi pada trimester II, dan 58,5% terjadi pada tri-mester III.8

Gambaran klinik, laboratorium, dan histopatologi adalah sama dengan penyakit hepatitis virus pada orang tidak hamil.3

Gambaran Klinik Penyakit ini biasanya memberikan keluhan mual, muntah,

anoreksia, demam ringan, mata kuning. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai ikterus dan hepatomegali, sedangkan spleno-megali hanya ditemukan pada 20–25% penderita.' 3 4

Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium akan didapatkan gambaran

kerusakan parenkim hati. Bilirubin serum meningkat, demikian pula, transaminase serum.'

Pemeriksaan Histopatologi Pemeriksaan histopatologi menunjukkan nekrosis sel hati

sentrilobuler, infiltrasi sel radang di segitiga portal, sedangkan kerangka retikulin masih baik.1

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 1

Page 18: Cdk 068 Hepatitis

Diagnosis Diagnosis hepatitis virus pada kehamilan ditegakkan atas

dasar gambaran klinik dan laboratorik yang cukup khas, serta pemeriksaan petanda serologik dari virus hepatitis.

Dalam membuat diagnosis,perlu dibedakan dengan penyakit lain seperti batu saluran empedu, mononukleosis infeksiosa, leptospirosis, dan penyakit ikterus obstruktif lainnya.1 4 Adanya ikterus yang berat, bilirubin dan transaminase serum yang sangat tinggi, leukositosis, suhu tubuh meningkat, kes tdaran yang menurun sampai koma, defisiensi faktor pembekuan darah, serta tanda-tanda perdarahan, menggambarkan adanya nekrosis sel parenkim hati yang luas, dan menunjukkan adanya suatu hepatitis virus tipe fulminan.10

Pengelolaan Pengelolaan secara konservatif adalah terapi pilihan untuk

penderita hepatitis virus pada kehamilan.1 2 8 11 12

Penderita harus tirah baring di rumah sakit sampai gejala ikterus hilang dan bilirubin serum menjadi normal, makanan yang diberikan menzandung kaya kalori dan protein. Obat- obat hepatotoksik harus dihindari, termasuk alkohol dan obat-obat yang diekskresi dan dikonjungasi di hati. Obat-obat yang hepatotoksik antara lain adalah klorpromasin, derivat fenotiasin, eritromisin estolat, PAS, halotan, klorpropamid, thiourasil, dan nitrofurantoin.1

Bila diduga akan terjadi perdarahan pasca persalinan karena defisiensi faktor pembekuan darah, perlil diberikan vitamin K dan transfusi plasma. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus diperhatikan. 1 3 4 8 11 12

Apabila terdapat tanpa-tanda menjurus ke arah hepatitis fulminan, diit penderita harus diganti dengan rendah atau tanpa protein; tindakan sterilisasi usus perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya amoniak yang berlebihan.10 Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa pemakaian kortikoste-roid pada hepatitis fulminan tidak bermanfaat sama sekali.12

Hepatitis virus pada kehamilan bukan mempakan indikasi untuk tindakan terminasi kehamilan, dan tindakan anestesi serta pembedahan akan menambah morbiditas dan mortalitas pen-derita.1 3 4 9 11

Prognosis Prognosis tergantung pada status nutrisi penderita.4 Untuk

hepatitis fulminan prognosis biasanya jelek, angka kematian mencapai lebih dari 85%.1 3 6

PENGARUH HEPATITIS PADA KEHAMILAN Pengaruh hepatitis virus pada ibu hamil adalah meningkatkan angka kejadian abortus, partus prematums, dan perdarahan. Risiko bagi janin dalam kandungan adalah prematurus, kematian janin dan penularan hepatitis virus. Kelainan kongenital pada janin belum pernah dilaporkan.1 Transmisi virus hepatitis dari ibu ke anak dapat terjadi transplasental, melalui kontak dengan darah atau tinja ibu waktu persalinan, kontak yang intim antara ibu dan anak setelah persalinan, atau melalui air susu ibu.13

Beberapa teori lain yang menjelaskan mekanisme penularan virus perinatal adalah11: 1) Adanya kebocoran plasenta yang menyebabkan tercampur-nya darah ibu dengan darah fetus.

2) Tertelannya cairan amnion yang terinfeksi. 3) Adanya abrasi pada kulit selama persalinan yang menjadi tempat masuknya virus. 4) Tertelannya darah selama persalinan. 5) Penularan melalui selaput lendir. Bayi yang lahir dari ibu dengan hepatitis B akut maupun kronik, perlu diberi pengobatan imunoprofilaksis.3 IMUNOPROFILAKSIS HEPATITIS VIRUS B PADA ANAK BARU LAHIR

Terhadap bayi baru lahir dari ibu penderita hepatitis virus B, imunisasi pasifdengan menggunakan Immunoglobulin Hepa-titis B (HBIG) diberikan untuk mendapatkan antibodi secepat nya guna memerangi virus hepatitis B yang masuk; selanjutnya disusul dengan imunisasi aktif dengan memakai vaksin. HBIG diberikan selambat-lambatnya 24 jam pasca persalinan, kemudian vaksin Hepatitis B diberikan selambat-lambatnya 7 hari pasca persalinan. Dianjurkan HBIG dan'vaksin Hepatitis B diberikan segera setelah persalinan (masing-masing pada sisi yang berlawanan) untuk mencapai efektivitas yang lebih tinggi.11

Dosis HBIG yang dianjurkan adalah 0,5 ml i.m. waktu lahir; sedangkan untuk vaksin dari MSD misalnya diberikan 10 ug (0,5 ml) i.m. bulan 0,1 dan 6 atau vaksin dari Pasteur 5 ug (1 ml) bukan 0, 1, 2 dan 12.1

KEPUSTAKAAN

1. Barnes 0G. Dirsorders of the liver. In : Medical Disorders in Obstetric Practice. 4th ed. Blackwell Scientific Publication, Oxford, 1974; 157.

2. Krejs GJ, Haemmerli UP : Jaundice during pregnancy. In : Schiff L, Schiff ER (ads) : Diseases of the Liver. 5th ed. JB Lippincott Co, Philadelphia-Toronto. 1982; 1561.

3. Sherlock S. The Liver in Pregnancy. In : Diseases of the Liver and Biliary System. 6th ed. Blackwell Scientific Publication, Oxford. 1982; 400.

4. Iber FL : Jaundice in pregnancy : A review. Am J Obstet Gynecol 1965; 91 : 721.

5. Christine AB, Allam AA, Aref MK, El-Muntasser IH, El-Nageh M : Pregnancy hepatitis in Libya. Lancet 1975; 2 : 827.

6. D'Cruz IA, Balani SC, Iyer LS : Infectious hepatitis and pregnancy. Obstet Gynecol 1968; 31 : 449.

7. Peretz A, Paldi E, Brandstaedter S, Barzilai D : Infectious hepatitis in pregnancy. Obstet Gynecol 1959; 14 : 435.

8. Siegler AM, Keyser H. Acute Hepatitis in Pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1963; 86 : 1068.

9. Holden TE, Sherline DM. Hepatitis and hepatic failure in pregnancy. Obstet Gynecol 1972; 40 : 586.

10. Hans Tandra, Moh. Yogiantoro, Achmad Hassan, Widawati Soemarto, Hendra Rahardja. Hepatitis Virus tipe Fulminan pada kehamilan. Acta Media Indon 1988; XX : 3.

11. Achmad Hassan, Widawati Soemarto, Hendra Rahardja. Aspek klinik dan epidemiologik Hepatitis Virus B Akut. Majalah lima Penyakit Dalam 1987; 13 : 61.

12. Dienstag Jl. Isselbacher KJ. Therapy for acute and chronic hepatitis. Arch Intern Med 1981; 141 : 1419.

13. Hill LM, Marcus WM, Kempers RD, Taswell HF : Hepatitis B surface antigen during pregnancy. Obstet Gynecol 1977; 50 : 78.

14. Hans Tandra, Widawati Soemarto. Penyakit hati pada kehamilan. Maj Ilmu Penyakit Dalam 1988; 14 : 37.

15. Mohamad Diman Angsar : Hepatitis virus pada kehamilan. Cermin Dania Kedokteran 1979; 15 : 13.

16. Seeff LB, Hoofnagle JH. Immunoprophylaxis of viral hepatitis. Gastro-enterol 1979; 77 : 161.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 17

Page 19: Cdk 068 Hepatitis

Titer Reseptor Poly-HSA dan HbeAg pada Pengidap HBeAg Sehat

dan Hepatitis B Menahun

W. Soemarto Sub Raglan Hepato-Gastroenterologi, Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

RSUD Dr Soetomo, Surabaya PENDAHULUAN

Secara ideal pada semua orang yang mengandung HBsAg perlu dilakukan pemeriksaan HBeAg di samping HBV–DNA untuk mengetahui daya penularannya. Seperti telah diketahui, HBeAg merupakan salah satu petunjuk adanya replikasi VB di samping HBV–DNA, karena bila HBeAg positif, artinya di dalam darah terdapat partikel Dane lengkap dalam jumlah besarl ).

Mengingat pentingnya arti pemeriksaan HBeAg dari segi klinik dan epidemiologik, maka diupayakan mencari parameter lain yang setara nilainya dengan HBeAg tetapi dapat dikerjakan dengan alat sederhana agar biayanya terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Pemeriksaan HBeAg yang sampai sekarang dilakukan dengan cara RIA maupun ELISA biayanya cukup mahal karena memerlukan peralatan dan reagensia yang mahal serta teknis juga relatif sulit dikerjakan.

Pada penelitian-penelitian terdahulu ditemukan bahwa banyak serum yang mengandung HBeAg dapat bereaksi dengan albumin serum manusia yang telah dipolimerisasikan (PHSA). Diduga bahwa reseptor untuk PHSA ini terdapat pada VB, dan akan mengikat PHSA dari serum manusia untuk menempel pada reseptor di dinding hepatosit'4. Jadi dalam serum yang mengandung HBsAg terdapat r–PHSA dari VB yang akan bereaksi dengan PHSA; dan menurut Imai dkk (1979) serum yang mengandung HBsAg dan bereaksi dengan PHSA ini "sebagian besar" mengandung HBeAg. Temyata serum dengan HBeAg positif akan bereaksi lebih kuat dari pada yang anti–HBe positif2. Imai dkk (1979) menemukan tes untuk mendeteksi r–PHSA dari VB ini yang sangat praktis dan mudah dikerjakan. Penelitian ini dilakukan untuk menilai apakah titer r–PHSA ini sejalan dengan ada tidaknya HBeAg. BAHAN DAN CARA

Penelitian dilakukan secara prospektif dalam periode antara September 1988 sampai Pebruari 1989 pada pen-

derita yang sedikitnya sejak 6 bulan sebelumnya mengandung HBsAg.

Pada semua penderita dilakukan pemeriksaan fisik, pe-meriksaan laboratorium, termasuk pemeriksaan serologik, pemeriksaan ultrasonografi, dan bila diperlukan pemeriksaan dilanjutkan dengān pemeriksaan foto esofagus dan pemeriksaan endoskopi. Bila pada dugaan hepatoma, juga dilakukan pemeriksaan AIpha Feto Protein dan pemeriksaan arteriografi. Pada beberapa pen derita dilakukan biopsi hati. HBsAg diperiksa dengan metoda Reversed Passive Hemag-glutination, menggunakan kit (Entebe cell, Hepatika Lab, Mataram). Titer HBsAg ditentukan oleh pengenceran tertinggi (serial 2 kali) yang masih memberikan hemaglutinasi. Reseptor albumin serum manusia yang dipolimerisasikan (r–PHSA) diperiksa dengan metoda hemaglutinasi, menggunakan reagen yang dibuat di Laboratorium Hepatitis NTB. Reagen hemaglutinasi dibuat dari eritrosit domba (SRBC) yang ditempeli PHSA. (Imai dkk, 1979). Sampel serum diencerkan secara serial dua kali dalam lempeng mikrositer, kemudian diteteskan 25 mikroliter suspensi 1% SRBC yang telah ditempeli PHSA. Setelah inkubasi 1 jam pada temperatur kamar, hemaglutinasi yang terjadi dibaca. Titer ditunjukkan oleh pengenceran tertinggi (2 pangkat n) dari sampel yang masih memberikan hemaglutinasi.

HBeAg dan anti–HBe diperiksa dengan metoda solid phase enzyme immunoassay, dengan kit Institute of Immu-nology Co., Ltd., Tokyo, Japan.

Tes faal hati dan AFP dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik, sedangkan foto esofagus dan arteriografi dilakukan di Laboratorium Radiologi FK Unair–RSUD Dr. Soetomo.

Analisa statistik dilakukan dengan tes t–Student.

HASIL Tujuh puluh lima penderita yang diikut sertakan terdiri

2 kelompok besar; yaitu kelompok I 30 penderita pengidap sehat (P), dan kelompok II 45 penderita penyakit hati me-

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 18

Page 20: Cdk 068 Hepatitis

nahun yang terdiri dari 23 Hepatitis Menahun (HM), 14 Sirosis Hati (SH) dan 8 Hepatoma (H).

Pada kedua kelompok besar ini diperbandingkan titer r–PHSA pada HBeAg dan anti–HBe positif. Penderita dengan HBeAg dan anti–HBe negatif tidak diperbandingkan karena, jumlahnya dianggap terlalu sedikit.

Kelompok I. Pada gambar 1 tampak bahwa ada 11 penderita HBeAg

positif, dengan –log titer r–PHSA rata-rata 5.86a (t = 5.86a) sedangkan 17 penderita pada anti–HBe positif dengan –log titer r–PHSA rata-rata 0.85a (r72 = 0.85a). Temyata pada kelompok I ini (pengidap sehat) titer r–PHSA rata-rata pada HBeAg positif (5.86a) lebih tinggi dari pada yang anti–HBe positif (0.85a), dan perbedaan ini secara statistik bermakna (p<0.01). Gambar 1. Titer r–PHSA pada HBeAg dan anti–HBe + pada ke-

lompok I. (pengidap sehat)

HBeAg + anti–HBe + HBeAg/anti–HBe -

- Log titer r–PHSA

10a *

8a **

6a **a** **

4a * ++

2a +++ A ++++++++

0 +++ A

Sigma : 64.5a 14.5a 1.5a N : 11 17 2 Jumlah 30 Mean : 5.86a 0.85a 0.75a SD : 1.45a 0.82a 1.06a Keterangan : * = titer r–PHSA pada pengidap dengan HBeAg yang positif + = titer r–PHSA pada pengidap dengan anti–HBe positif A = titer r–PHSA pada pengidap yang baik HBeAg maupun anIt HBe-nya negatif A = log. 2 = 0.3010

Untuk mencari titer r–PHSA yang dapat dipakai sebagai pembatas antara kemungkinan adanya HBeAg positif: atau negatif pada kelompok I ini, maka diambil titer r–PHSA sebesar RI – 1 SD, yaitu 5.86a – 1.45a = 4.41a atau dibulatkan menjadi 4.5a. Apabila titer r–PHSA 4.5a ini dipakai sebagai titer pembatas maka dari gambar 1 terdapat 10 dari 11 penderita pada HBeAg positif yang titer r–PHSAnya di atas 4.5a, hanya seorang dengan titer r–PHSAnya di bawah 4.5a; sedangkan tidak seorangpun pada anti–HBe positif yang titer r–PHSAnya di atas 4.5a (tabel 1).

Kelompok II. Pada gambar 2 terdapat 10 penderita penyakit hati dengan

HBeAg positif. dengan -log titer r–PHSA rata-rata 2.5a (xr = 2.5a) dan 32 orang dengan anti–HBe positif dengan –log titer r–PHSA rata-ratal .03a(x2 = 1.03a).

Tabel 1. Titer r–PHSA pada HBeAg dan anti–HBe positif pada ke-lompok I.

Titer r–PHSA HBeAg + Anti–HBe +

> 4.5a 10 0

< 4.5 a 1 17 2 sisa

n = 30 11 17 2 sisa

Keterangan : Sensitivitas = 10/11 = 90.9 % Spesifisitas = 17/17 = 100 % Positive predictive value = 10/10 = 100 % Negative predictive value = 17/18 = 95 % Gambar 2. Titer r–PHSA pada HBeAg dan anti–HBe pada kelompok II

(penyakit hati menahun).

HBeAg + Anti–BHe + 'HBeAg/anti–HBe -

- Log. titer r–PHSA

7a 6a

5a * *

4a 3a *a + ++

2a + +

la * *** +++++ A

0 ** *********+ Sigma : 25a 33a 2a n : 10 32 3 Jumlah 45 Mean : 2.5a 1.03a 0.66a SD : 2.53a 1.40a 1.15a Keterangan : * = Hepatitis Manahan (HM + = Sirosis Hepatis (SH ) A = Hepatoma (H) a = log. 2 = 0.3010

Di sinipun terlihat bahwa xt (2.5a) lebih tinggi dari x2

(1.03a), tetapi perbedaan ini secara statistik tidāk bermakna (p>0.05).

Apabila titer r–PHSA 4.5a sebagai pembahas diterapkan pada kelompok II, maka akan terdapat gambaran seperti terlihat pada tabel 2, dengan mengabaikan 3 penderita yang HBeAg dan anti–HBe negatif. PEMBAHASAN

Pada tahun 1974 dilaporkan adanya faktor yang dapat menimbulkan aglutinasi eritrosit domba yang ditempel dengan polimer albumin serum manusia (PHSA). Faktor tersebut didapatkan pada serum penderita penyakit hati yang HBsAg-nya positif. Pada tahun 1979 Imai dkk melaporkan bahwa faktor tersebut berkaitan langsung dengan HBsAg, walaupun tidak semua serum dengan HBsAg positif dengan titer yang kurang lebih sama menunjukkan reaktivitas yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 19

Page 21: Cdk 068 Hepatitis

Tabel 2. Titer r–PHSA pada HBeAg dan anti–HBe positif pada ke-lompok II.

Titer r–PHSA HBeAg + Anti–HBe +

> 4.5a 3 2

< 4.5a 7 30 3 sisa

n = 45 10 32 3 sisa

Keterangan : Sensitivitas = 3/10 = 30 % Spesifisitas = 30/32 = 94.5 % Positive predictive value = 3/5 = 60 % Negative predictive value = 30/37 = 82.5 % Catatan : Nilai pembatas 4.5a = 4.5 log.2 = titer r–PHSA pada peng-

enceran 2 pangkat 4.5 ( 4.52 ). sama. Ternyata serum dengan HBsAg positif akan bereaksi lēbih kuat bila juga didapatkan HBeAg, sedangkan bila ter-dapat anti–HBe maka serum kurang bereaksi2. Pada penelitian lebih lanjut ternyata bahwa r–PHSA didapatkan pada partikel Dane, yaitu partikel HBsAg yang bulat maupun yang memanjang yang dihasilkan pada fase HBeAg masih positif. Jadi HBsAg dari serum.yang HBeAg-nya positif berbeda dengan HBsAg dari serum dengan anti–HBe, dalam arti bahwa HBsAg pada serum yang HBeAg positif mempunyai r–PHSA yang lebih tinggi titernya dari pada yang anti–HBe positif4.

Pada tahun 1983 dilaporkan bahwa titer reseptor ini mem-punyai arti panting terhadap prognosis penyakit. Apabila nilai awal dari reseptor ini pada hepatitis B rendah, maka akan terjadi konversi menjadi anti–HBe.

Dari uraian di atas jelas adanya dugaan keterkaitan yang erat antara r–PHSA dengan HBeAg. Maka apabila r–PHSA dapat diperiksa, hasil yang didapat sedikit banyak 'akan men-cerminkan pula keadaan HBeAg dalam serum yang diperiksa.

Tes aglutinasi untuk mengetahui adanya r–PHSA telah dikembangkan oleh Imai dkk. (1979). Tes ini dianggap lebih sederhana, lebih mudah dilaksanakan dan memerlukan per-alatan yang lebih murah dari pada tes untuk menentukan HBeAg dengan cara ELISA dan RIA. Yang perlu diteliti lebih lanjut ialah apakah r–PHSA ini mempunyai arti yang sama untuk berbagai keadaan penyakit hati seperti penyakit hati akut, menahun dan pengidap sehat.

Pada penelitian ini diperbandingkan titer r–PHSA pada pengidap sehat dengan HBeAg dan dengan anti–HBe. Ter-nyata bahwa titer r–PHSA pada yang HBeAg positif me-ngelompok pada titer yang lebih tinggi daripada yang dengan anti–HBe, sehingga nilai rata-ratanya jauh berbeda (Gambar 1). Hal ini sesuai dengan pernyataan lmai dkk (1979). Nilai rata-rata r–PHSA pada HBeAg (5.86a, SD 1.45a) berbeda secara bermakna dengan nilai rata-rata pada anti–HBe untuk ke-lompok pengidap sehat (0.85a, SD 0.82a) ( p < 0.01 ). Bila dibandingkan nilai rata-rata r–PHSA pada HBeAg dengan anti–HBe pada kelompok penyakit hati menahun, maka terdapat perbedaan yang tidak terlalu besar dan juga tidak bermakna pada tingkat p > 0.05. Apabila perbedaan HBeAg dari anti–HBe dalam nilai titer r–PHSA dinyatakan dengan suatu nilai pembatas atau nilai ambang, yang pada penelitian ini diambil Mean – 1 SD atau 5.86a – 1.45a, atau 4.5a, maka

didapatkan angka-angka sensitivitas, spesifisitas dan nilai pre-diksi seperti yang terpapar pada tabel 1 dan 2.

Nampaknya dad penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pada pengidap sehat pemeriksaan r–PHSA dapat meng-gantikan pemeriksaan HBeAg, oleh karena sensitivitas maupun spesifisitasnya, yang cukup tinggi. Hal ini berbeda dengan apa yang ditemukan oleh Soewignyo dkk, yang mendapatkan nilai sensitivitas hanya sekitar 50%3.

Di pihak lain, pada penderita penyakit hati menahun, dengan nilai rata-rata sebesar 1.5, maka nilai ambang 4.5 tak dapat menjaring arti yang bermakna, oleh karena semua penderita baik dengan HBeAg maupun dengan anti–HBe mempunyai nilai r–PHSA di bawah nilai ambang. Pada gambar 2 juga dapat terlihat, bahwa sebaran nilai r–PHSA pada penderita penyakit hati menahun dengan HBeAg .yang positif terlalu bervariasi, sehingga karenanya juga didapatkan nilai simpangan baku (SD) yang lebih tinggi dari nilai rata-rata (mean).

Nampaknya pada penderita penyakit hati menahun dalam berbagai bentuknya, secara kelompok, pemeriksaan r–PHSA tidak dapat memberikan informasi apa-apa tentang ada tidak-nya HBeAg. Apakah hal ini juga berlaku bagi masing-masing jenis penyakit hati menahun secara sendiri-sendiri, masih perlu diteliti lebih lanjut dengan jumlah penderita yang lebih banyak. RINGKASAN DAN KESIMPULAN

Telah diteliti titer r–PHSA dan HBeAg seta anti–HBe pada 30 pengidap sehat dan 45 penderita penyakit hati menahun, yang terdiri dari 23 penderita penyakit hepatitis menahun, 14 penderita sirosis hati dan 8 penderita karsinoma hati.

Pada pengidap sehat didapatkan titer r–PHSA rata-rata 5.86a pada penderita yang HBeAg positif, dan berbeda bar-maka dengan yang anti–HBe positif (0.85a) ( p < 0.01 ).

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 20

Page 22: Cdk 068 Hepatitis

Bila dibandingkan dengan sensitivitas dan spesifisitas terhadap HBeAg/anti–HBe, maka didapatkan nilai-nilai yang cukup tinggi, sehingga dapat disimpulkan, bahwa pemeriksaan r–PHSA pada pengidap sehat dapat menggantikan pemeriksa-an HBeAg.

Pada kelompok penyakit hati menahun, secara kelompok didapat titer rata-rata r–PHSA yang juga lebih tinggi pada yang HBeAg positif daripada yang anti–HBe positif, tetapi perbedaan ini tidak bermakna ( p > 0.05 ). Apabila sebagai nilai batas diambil titer r–PHSA pada pengence,Jan 2 pangkat 4.5, maka pemeriksaan r–PHSA sebagai pengganti pemeriksaan HBeAg hanya akan berguna untuk pengidap sehat dan tidak pada kelompok penyakit hati menahun.

KEPUSTAKAAN

1. Miyakawa Y, Mayumi M. Hepatitis B e antigen and Antibody (HBeAg/Anti–HBe) in: Gerēty RY (ed): Hepatitis. New York Academic Press Inc.; 1985. p 47–76.

2. Thung SN, Gerber MA. Hepatitis B virus and Poly-albumin receptors. Progress in Liver Diseases, VIII. Grune and Stratton; 1986 : p. 335–45.

3. Soewignjo S, Widjaja A, Muljanto D, Sumarsidi, Mayumi M. Aglu- tinasi eritrosit yang diliputi Albumin Serum Manusia, suatu petunjuk dari adanya HBeAg dalam sera yang HBsAg positif. Pertemuan Ilmiah ke II, PPHI, Jakarta, 1983, hal. 327–36.

4. Alberti A, Pontisso E, Schiavon E, Realdi G. An antibody which precipitates Dane particles ini Acute Hepatitis type B; relation to receptor sites which bind Polymerized Human Serum Albumin on virus particles. Hepatology 1984; p 4 : 220-6.

5. Gerken G, Manns M, Wass G. Virus associated receptors for Polymerized Human Serum Albumin (r–PHSA) in patients with Chronic Active Hepatitis B treated with Recombinant Leucocyte A Interferon, Digestion 1987; p 37 : 96-102.

6. Milich DR, Gottfried TB, Vyas GN. Characterization of the inter-action berween Polymerized Human Albumin and Hepatitis B Surface Antigen. Gatroenterology 1981; p 81 : 219-25.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih saya sampaikan kepada dr. Siswanto dari Lab/UPF Patologi Klinik F.K. UNAIR Surabaya yang telah membantu dalam pengambilan dan pengiriman sampel darah penderita ke Lab. Hepatitis Mataram, serta kepada dr. Mulyanto beserta Staf dart Lab. Hepatitis Mataram yang telah melakukan pemeriksaan laboratorium yang diperlukan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 21

Page 23: Cdk 068 Hepatitis

Perkembangan Vaksin Hepatitis B

Usman Suwandi Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma, Jakarta

PENDAHULUAN

Infeksi virus hepatitis B dapat menyebabkan penyakit hati menahun, sirosis dan karsinoma hepatoselular. Di seluruh dunia diperkirakan ada lebih 200 juta orang sebagai karier virus hepati tis B. Oleh karena itu, imunisasi diperlukan terutama bagi yang mempunyai risiko infeksi tinggi, antara lain berdacarkan pola epidemiologi, faktor sosio ekonomi, budaya dan lingkungan. Selain itu adanya transmisi perinatal virus hepatitis B di beberapa tempat, menunjukkan pentingnya imunisasi bayi, terutama yang lahir dari ibu karier.

Tujuan vaksinasi hepatitis B antara lain untuk mencegah penyakit klinis dan transmisi virus hepatitis B ke individu lain. Faktor yang mempengaruhi imunogenisitas pada waktu imu-nisasi antara lain faktor host dan faktor imunisasi. Faktor host meliputi umur, lingkungan dan genetik, sedang faktor imunisasi meliputi tempat inokulasi, dosis vaksin dan program imunisasi

Virus hepatitis B hanya hidup di dalam sel dan plasma manusia (dan simpanse). Virus ini tidak dapat berkembang biak pada media biakan standar yang biasa digunakan membiakkan virus untuk pembuatan vaksin konvensionil. Kesulitan ini sedikit menghambat perkembangan pembuatan vaksin hepatitis B.

Pelaksanaan imunisasi aktif terhadap virus hepatitis B pada manusia, pertama kali dilakukan oleh Krugman dan koleganya tahun 1971 yaitu menggunakan sediaan serum yang diperoleh dari karier virus hepatitis B dan diinaktifasi menggunakan panas. Hasilnya 20 dari 29 anak terlindung dari infeksi virus hepatitis B. Imunitas dijumpai pada anak-anak yang mempunyai antibodi terhadapHepatitisB Surf ace Antigen (HBs Ag).Hasil ini memacu perkembangan pembuatan vaksin hepatitis B lebih maju, terutama untuk produksi skala besar dair plasma karier.

Vaksin HBs Ag yang dimumikan dari plasma karier dan inaktifasiformalin/panas telah diproduksi di beberapa laborato-

rium. Namun dengan terbatasnya persediaan plasma, perlunya seleksi dan kontrol yang ketat untuk mendapatkan vaksin murni dan bebas sumber infeksi lain, maka pendekatan lain terus dicari. Problem ini akhirnya dapat teratasi dengan pendekatan rekombinan DNA. Salah satu sintesis HBs Ag yang telah berhasil dari sel ragi (yeast) rekombinan. Partikel ini memperlihatkan sifat imunogenik pada binatang percobaan; pengujian pada manusia telah berhasil menginduksi anti HBs dan melindungi dari infeksi virus hepatitis B.

Saat ini setidaknya ada 3 sumber partikel HBs Ag yang digunakan untuk vaksinasi hepatitis B. Peutama HBs Ag dimur-nikan dari plasma karier. Metode ini telah berhasil dan efikasinya tidak disangsikan. Dua sumber lain yaitu melalui pendekatan teknologi rekombinan DNA, dengan memasukkan gen virus hepatitis B pengkode HBs Ag ke dalam sel ragi dan sel mamalia. Selain itu, HBs Ag juga dapat disekresi oleh E. coli, namun jumlahnya relatif kecil, demikian juga sifat antigeniknya.

Walaupun vaksin hepatitis B sudah dapat diproduksi dan manfaat serta efikasinya tidak diragukan, para ahli masih di-sibukkan dengan berbagai percobaan bagi perkembangan vaksin ini. Usaha mendapatkan vaksin hidup juga dilakukan, misalnya menggunakan virus vaccinia. Percobaan untuk menguji titer antibodi yang terinduksi dilakukan pada berbagai hewan per-cobaan dan hasilnya cukup menggembirakan. Penelitian pem-buatan antigen secara kimia juga telah berhasil mendapatkan peptida sintetik yang mampu menginduksi antibodi yang me-netralisir HBs Ag asli. VAKSIN DARI PLASMA KARIER

Penggunaan vaksin hepatitis B yang diekstraksi dari plasma manusia dimulai sejak keberhasilan penelitian Krugman dan

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 22

Page 24: Cdk 068 Hepatitis

koleganya tahun 1971. Mereka menggunakan serum yang me-ngandung virus hepatitis B. Serum ini mereka encerkan 1:10 dan diinaktivasi panas 90° C selama 1 menit. Vaksinasi dilakukan pada 29 anak, hasilnya lebih dari separuh terlindung dari infeksi hepatitis B. Pengembangan vaksin ini selanjutnya menggunakan antigen lain untuk imunisasi aktif yaitu "Hepatitis B Surface Antigen" (HBs Ag). Antigen inimerupakan permukaan virus yang diambil dan dimurnikan dari plasma manusia karier. Vaksin HBs Ag in merupakan partikel 22 nm mumi, diiriaktivasi panas, diadsorbsi alum dan bebas dari asam nukleat; dimaMikan melalui tahap presipitasi, ultrasentrifugasi, gel filtrasi dan afinitas kromatografi.

Vaksin HBs Ag mempunyai keamanan dan imunogenisitas baik. $etelah mengalami berbagai perbaikan, lebih dari 30 juta dosis telah tersebar di dunia dan memperlihatkan keamanan yang menggembirakan. Hal ini dicapai karena ketatnya inaktifasi dan purifikasi untuk memusnahkan sumber infeksi serta pengujian kontrol kualitas untuk menjamin kemurnian produk. VAKSIN DARI SEL YEAST DAN SEL MAMALIA

Kemajuan di bidang genetika molekuler dan kimia asam nukleat, telāhh memungkinkan identifikasi dan analisis gen pengkode substansi aktif, transfer di antara organisme dan memproduksinya di bawah kondisi terkontrol. Gen pengkode produk tertentu dapat diisolasi dan dibiakkan untuk mempro-duksi zat tersebut, dengan cara memasukkan molekul DNA (alami atau sintetik) ke dalam vektor yang sesuai, kemudian dimasukkan ke dalam host.

Teknik rekombinan ini telah membuka jalan untuk mengem-bangkan produksi vaksin, terutama sumber infeksi yang belum tersedia vaksinnya dan untuk meningkatkan vaksin yang ada. Pendekatan baru terhadap perkembangan vaksin ini sangat ber-harga terutama untuk mikroorganisme/virus yang tidak dapat dibialdcan dengan metoda yang ada, seperti virus hepatitis B. Teknologi rekombinan DNA ini telah berhasil digunakan untuk memproduksi HBs Ag dengan berbagai sel antara lain sel prokariot seperti E. coli dan B. subtilis, sel eukariot seperti sel S. cerevisiae, sel CHO dan sebagainya.

Vaksin hepatitis B yang diproduksi sel ragi rekombinan telah menjalani pengujian keamanan, imunogenisitas dan evaluasi klinis. Hasilnya menunjukkan bahwa vaksin ini aman, antigenik dan relatif bebas efek samping yang merugikan, bahkan vaksin ini telah dilisensikan dan diproduksi di berbagai negara. Salah satu keuntungan vaksin dari sel ragi dibanding dari plasma yaitu siklus produksinya dapat dikurangi, dan konsistensi dari batch ke batch lebih mudah diperoleh. Bahkan antigen yang berasal dari sel ragi juga telah dicoba disiapkan dalam bentuk micellar. Vaksin polipeptida micelle ini di dalam laboratorium dilaporkan lebih antigenik.

HBs Ag dilepaskan dari sel dengan homogeniser atau disrup-tion menggunakan glass bead. Pemurnian melalui tahap clarifi-cation, ultrafiltrasi, kromatografi dan ultrasentrifugasi serta diabsorbsi dengan alum hidroksida; sebagai pengawet ditam-bahkan thiomerosal. Karakterisisasi partikel dilakukan dengan

membandingkan HBs Ag dari plasma antara lain meliputi berat molekul, kompisiii asam amino, densitas dalam CsC12 dan se-bagainya. Analisis imunologis menggunakan antibodi mono-kional memperlihatkan vaksin dari plasma dan ragi mengandung epitope yang berperan menginduksi antibodi setelah vaksinasi.

Vaksin HBs Ag rekombinan juga diproduksi menggunakan sel mamalia yaitu sel Chinese Hamster Ovary (CHO). Gen HBs Ag dimasukkan ke dalam sel CHO dan sel ini dapat mensintesis dan mensekresikan partikel HBs Ag 22 nm. Cell line CHO'dapat mensintesis HBs Ag 15 mcg/106 sel/hari. Bahkan bila cell line ditumbuhkan pada fase stasioner, mereka dapat mensintesis secara terus menerus dan isolasi HBs Ag dapat dilakukan berulang-ulang dari supemat biakan sel selama 2 – 3 minggu. HBs Ag yang dimumikan dari supernat biakan sel CHO terdiri dari patikel 22 nm yang sangat homogen dan identik dengan HBs Ag dari serum manusia.

Pada percobaan imunogenisitas pada guinea pig, temyata 50% binatang mempunyai antibodi HBs sesudah imunisasi HBs Ag 1,5 ug dari sel CHO dan 2 ug HBs Ag dari serum manusia. Pada simpanse, vaksin HBs Ag rekombinan dari sel CHO terlihat lebih imunogenik daripada vaksin yang diperoleh dari ragi. Selain itu simpanse yang divaksinasi dengan vaksin dari sel CHO mempunyai respon imun seluler dan binatang yang divaksinasi dengan HBs Ag rekombinan (subtipe ad) terlindung dari infeksi virus HB subtipe ad & ay.

Jelas bahwa sel CHO rekombinan dapat mensekresikan par-tikel HBs Ag pada kondisi biakan tertentu dalam bentuk partikel 22 nm yang secara morfologik, biokemik dan antigenik identik dengan HB sAg plasma. Hasil penelitian pendahuluan melaporkan bahwa antibodi yang diinduksi setelah 3 bulan infeksi ke tiga, lebih superior daripada vaksin dari plasma (18,892 MIU/ml vs. 7,586 MIU/ml). Walaupun hasil ini memberikan harapan, penggunaan cell line CHO untuk memproduksi vaksin hepatitis B masih dikhawatirkan karena adanya kemungkinan potensi onkogenik. Untuk menghindari masalah ini, para ahli sudah mencoba menggunakan virus insekta (baculovirus) sebagai vektor dalam biakan sel insekta atau larva. Vektor ini tidak patogenik terhadap vertebrata dan tanaman. Protein disekresikan dalam jumlah relatif besardengan interval waktu lebih singkat. Perkem-bangan sistem ini dan aplikasinya untuk produksi vaksin di masa mendatang mungkin sangat berharga.

VAKSIN VACCINIA

Imunisasi dengan satu kali inokulasi merupakan salah satu cara vaksinasi yang sangat didambakan terutama untuk vaksi-nasi masal dengan populasi eukup besar. Saat ini para peneliti telah berusaha mendapatkan vaksin hidup terhadap hepatitis B menggunakan virus vaccinia. Vaksin hidup ini sangat potensial dan telah digunakan untuk memproduksi vaksin hepatitis B, herpes simpleks, rabies dan lain-lain di dalam laboratorium.

Percobaan pendahuluan pada kelinci telah menyimpulkan bahwa penggunaan virus vaccinia rekombinan untuk vaksinasi sangat mungkin. Karakteristik biofisik dan biokimia partikel

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 23

Page 25: Cdk 068 Hepatitis

antigenik yang disekresikan oleh virus ini identik dengan HBs Ag asli. Kelinci dan binatang laboratorium lain yang diinokulasi dengan virus hibrida ini mampu memproduksi anti-HBs. Simpanse yang divaksinasi dengan virus vaccinia rekombinan terlindung dari infeksi virus hepatitis B.

Beberapa keuntungan virus vaccinia rekombinan untuk memproduksi vaksin antara lain biaya produksinya relatif lebih rendah, cara vaksinasi relatif lebih mudah, stabilitas baik, mempunyai shelf life panjang, tidak onkogenik dan tidak hersifat laten. VAKSIN POLIPEPI'IDA DAN PEPTIDA SINTETIK

Partikel HBs Ag 22 nm telah terbukti merupakan imunogen yang baik, namun penelitian lebih lanjut telah memperlihatkan bahwa komponen imunogenik tersebut mungkin merupakan bagian dari HBs Ag komplek. Para ahli akhirnya dapat memper-oleh 2 polipeptida dari partikel HBs Ag murni.Kedua polipeptida mengandung determinan antigenik hepatitis B. Pertama berupa polipeptida dengan BM 25.000 – 26.000 (P25) dan bentuk glikosilatnya dengan BM 28.000 – 30.000 (GP 30). Keduanya ternyata merupakan antigen yang efektif. Da purifikasi peptida ini akhirnya diperoleh antigen dalam bentuk micellar.

Pada pengujian potensi pada mencit, vaksin polipeptida subunit ini ternyata menimbulkan respon antibodi lebih kuat daripada antigen partikel 22 nm utuh. Vaksin ini telah menjalanipengujian keamanan dan efrkasi pada primata non manusia dan sedang dikembangkan untuk uji klinis. Vaksin polipeptida micelle ini juga telah dibuat dari HBs Ag yang dihasilkan oleh sel ragi dan sel mamalia rekombinan.

Keberhasilan isolasi polipeptida p25 dan gp30 dari HBsAg

murni dan bukti bahwa polipeptida tersebut mengandung deter-minan antigen yang mampu menginduksi anti HBs, telah men-dorong para ahli untuk mensintesis peptida tersebut secara kimia. Di swiping itu, dorongan juga diperkuat dengan keber-hasilan peptida sintetik menginduksi antibodi penetral bakteri dan virus tanaman.Vaksin peptida sintetik pertama tersebut dibuat untuk tobacco mosaic, virus, sesudah mengidentifikasi determi-nan antigeniknya dan rangkaian asam aminonya. Rangkaian asam amino tersebut ternyata dapat dibuat sintetik dan mampu menginduksi antibodi dalam binatang percobaan.

Beberapa laboratorium akhirnya berhasil membuat peptida sintetik yang mengandung rangkaian asam amino identik dengan molekul p25 HBs Ag. Respon antibodi terhadap peptida ini muncul 1 – 2 minggu sesudah imunisasi primer dan semua binatang menginduksi antibodi sesudah inokulasi kedua. Mencit yang diimunisasi secara intraperitoneal, menginduksi anti HBs setelah 7 – 14 hari inokulasi.

Perkembangan vaksin polipeptida yang disintesis secara kimia memberikan banyak keuntungan antara lain dapat memproduksi imunogen yang relatif murah, aman dan uniform secara kimia, sehingga dapat menggantikan vaksin yang ada saat ini, yang relatif kurang murni atau mungkin mengandung determinan antigen mikroba lain.

PENUTUP

Tidak dapat dipungkiri, betapa besar minat para ahli untuk mengembangkan vaksin hepatitis B. Hal ini dapat dimengerti, karena hepatitis B merupakan penyakit yang tersebar di berbagai penjuru dunia dan akibat yang dapat diitimbulkannya bagi penderita penyakit ini seperti sirosis, penyakit hati kronis, kanker dan sebagainya. Pengembangan vaksin ini menjadi lebih menarik dengan kemajuan bidang pendukung yang begitu pesat seperti rekombinan DNA, antibodi monoklonal, sintesis kimia oligopeptida, pemrograman komputer, kristalografi, sehingga struktur protein mudah digambarkan dan determinan antigen mudah ditentukan.

Berangkat dari antigen virus yang diekstrak dari plasma manusia karier, vaksin hepatitis B mulai dikembangkan. Antigen yang lebih spesifrk diidentifikasi dan diisolasi, sehingga diper-oleh partikel HBs Af 22 nm yang mempunyai sifat imunogenik dan dapat digunakan untuk vaksinasi. Karena terbatasnya donor dan rumitnyapurifikasi serta keamanan yang masih disangsikan walaupun tak terbukti, para ahli mulai memanfaatkan teknologi rekombinan DNA untuk membuat vaksin hepatitis B. Vaksin rekombinan pertama yang dipasarkan yaitu antigen HBs Ag yang diproduksi oleh sel ragi rekombinan. Vaksin ini sudah terbukti manfaatnya. Untuk mencari vaksin yang imunogenik lebih kuat, maka dicoba sel lain sebagai host dan didapatkan sel mamalia Chinese Hamster Ovary. Sel E. coli juga dapat mengekspresikan HBs Ag, tetapi titernya terlalu rendah.

Dengan vaksin yang sudah ada, para ahli masih disibukkan mencari kemungkinan lain untuk memproduksi vaksin ini. Dari hasil analisa HBs Ag, didapatkan polipeptida p25 dan bentuk glikosilatnya gp30 yang mengandung determinan antigen, se-hingga dapat digunakan sebagai vaksin. Dengan mengetahui rangkaian asam amino penyusunnya, maka para ahli dapat mem-buat peptida secara kimia. Dalam berbagai pengujian ternyata peptida sintetik mampu menginduksi antibodi terhadap antigen hepatitis B. Tentu keberhasilan ini sangat menggembirakan, ka-rena bila vaksin ini dibuat secara kimia, maka homogenitas dan kemumiannya tak perlu diragukan.

Vaksin hidup menggunakan virus rekombinan juga telah diuji. Mereka menggunakan virus vaccinia sebagai vektor. Vaksin ini sudah diuji dengan berbagai hewan percobaan dan hasilnya cukup menggembirakan. Apabila pendekatan ini berhasil untuk pembuatan vaksin komersiil, tentu akan memberi banyak keuntungan seperti cara inokulasi yang relatif mudah, stabilita, shelf – life dan sebagainya.

Selain itu ada lagi pendekatan pembuatan vaksin hepatitis B menggunakan antibodi sebagai imunogen vaksin. Antibodi ini diproduksi dengan mengimunisasi binatang menggunakan antibodi yang mengenai virus HE sebagai antigennya. Vaksin ini dikenal dengan istilah Anti – idiotypes. Pada berbagai percobaan, antibodi (imunogen) ini mampu menginduksirespon kekebalan terhadap antigen asli pada mencit dan hamster. Simpanse yang diimunisasi dengan antibodi ini, dapat terlindung dan serangan virus HB. Gencarnya para ahli mencari vaksin alternatif untuk menggan-

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 24

Page 26: Cdk 068 Hepatitis

tikan vaksin yang sudah ada bukan berarti vaksin yang ada ini kurang layak digunakan, tetapi untuk mencari vaksin yang paling baik dipandang dari berbagai segi.

KEPUSTAKAAN

1. Hollinger FB. Hepatitis B Virus. Dalam: Virology 2nd ed. New York:

Raven Press Ltd. 1990.2171– 2236. 2. Jin OC. Experiences of Clinical Trials d New Biological Products e.g.

Hepatitis B Vaccine in Singapore. World Biotech Rep. W85; 93 : 119 – 28. 3. Kitano K. et al. Recombinant Hepatitis B Virus Surface Antigen P31

Accumulates as particlesin Saccharomyces cerevisiae. Biotechnology 1987 (5) : 281– 2.

4. Michel ML et al. Expression of amplified Hepatitis B Virus Surface Antigen genes in Chinese Hamster Ovary Cells. Biotechnology 1985 (3) : 561– 6.

5. Patzer El. et al. Cell culture derived recombinant HBs Ag is highly immunogenic and protects chimpanzees from infection with Hepatitis B Virus. Biotechnol 1986 (4) : 630 – 6.

6. Valenzuela Pet al. Synthesis and Assembly in Yeast of Hepatitis B Surface Antigen particles containingthe Polyalbumin Receptor. Biotechnol 1985 (3): 317 – 20.

7. Valenzuela P. et aL Antigen Engineering in Yeast : Synthesis and assembly of hybrid Hepatisis B Surface Antigen – Herpes Simplex 1 GD particles. Biotechnol 1985 (3) : 323 – 32.

8. Zuekennan AJ. New Hepatitis B Vaccines. BMJ 1985; 290 : 492 – 6. 9. Zuckerman AJ. Novel approaches to Hepatitis B Vaccine development.

DN & P. 1988 (1); 1:22 – 6.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 25

Page 27: Cdk 068 Hepatitis

Uji Sensitivitas dan Spesifisitas Entebe RPHA Cell-Suatu Kit Diagnosa untuk Deteksi Hepatitis Bs Antigen

Djoko Yuwono, Suharyono W., Imran Lubis

Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRAK

Suatu studi perbandingan yang mencoba membandingkan dua jenis kit diagnosa untuk pemeriksaan Hepatitis B surface antigen (HBs Ag) yaitu ENTEBE RPHA Cell produksiHepatikaLaboratories,Mataram,Lombokdengan Hepatest–3produksi Wellcome Research Labortories, England, telah dilakukan sampai pada tingkat sensitivitas dan spesifisitasnya.

Untuk keperluan tersebut sebanyak 250 spesimen sera yang terdiri dari 40 spesimen pendertita yang positif hepatitis B (HBs Ag positif) dengan metoda ELISA dan 210 spesimen yang berasal dari orang sehat, telah diperiksa adanya HBsAg dengan menggunakan kit diagnosa ENTEBE RPHA Cell dan HEPATEST–3.

Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tingkat sensitivitas dan spesifisitas kit ENTEBE RPHA Cell sebesar 92,5% dan 82,0%. Beberapa hal yang bersifat teknis mengenai teknik pengemasan dan petunjuk penggunaan juga telah dibahas.

PENDAHULUAN

Dengan makin berkembangnya teknologi dalam bidang ke-dokteran khususnya untuk diagnosis penyakit, maka untuk ke-perluan tersebut telah banyak diperoleh kern udahan. Terutama bagi laboratorium klinik yang harus meaakukan diagnosa pe-nyakit-penyaldt tertentu, adanya kit diagnosa yang dapat diper-oleh dengan mudah di pasaran secara komersial akan sangat membantu. Beberapa contoh kit diagnosa yang pada saat ini telah dapat diperoleh dengan mudah di pasaran misalnya: kit diagnosa cara ELISA untuk mendeteksi Hepatitis B surface antigen (HBs Ag); anti Hepatitis B core antigen (HBc Ag); IgM anti Hepatitis A virus (HAY); anti rubella IgM; kit untuk mendeteksi rotavirus dan masih banyak kit diagnosa serupa yang lainnya. Salah satu kit diagnosa kini telah diporoduksi oleh kelompok peneliti Hepatitis B di Mataram, Lombok, adalah kit diagnosa untuk pemeriksaan HBs Ag dengan metoda Hemaglutinasi Pasif (Reverse Passive Hemagglutination), yang lebih dikenal dengan nama kit ENTEBE RPHA Cell(1,2).

Adanya kit HBsAg ini akan sangat menunjang usaha pen-

cegahan dan penanggulangan penyakit Hepatitis B yang saat ini sedang dilaksanakan di Indonsia. Untuk melakukan hal tersebut diperlukan reagensia daiam jumlah yang sangat banyak. Reagen-sia yang ada selama ini masih harus didatangkan dari luar negeri dan harganya sangat mahal, bahkan untuk sampai di tempat tujuan memerlukan waktu yang relatif cukup lama. Dengan adanya kit ENTEBE RPHA Cell ini maka penggunaannya untuk pemeriksaan HBsAg di dalam negeri akan sangat bermanfaat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat sensitivitas dan spesifisitas kit ENTEBE RPHA Cell untuk HBsAg ini dibandingkan dengan kit HBsAg metoda RPHA yang telah dikenal luas di berbagai negara yaitu HEPATEST–3 produksi Wellcome Research Laboratories, England. Selain dari itu juga ingin diketahui kelebihan maupun kekurangan yang mungkin ada, guna perbaikan sehingga dapat meningkatkan mutu kit ENTEBE RPHA ini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 26

Page 28: Cdk 068 Hepatitis

BAHAN DAN CARA KERJA Spesimen berupa serum darah penderita dan orang sehat

yang dikirim Ice laboratorium virologi Pusat Penelitian Penyakit Menular. Spesimen disimpan beku pada suhu -20°C dan merupakan koleksi serum dalam periode 1988.

Untuk penelitian ini telah dideleksi secara acak sebanyak 250 spesimen. Empat puluh spesimen berasal dari penderita Hepatitis B positif yang dideteksi dengan uji ELISA, 210 spe-simen berasal dari orang sehat. Terhadap spesimen tersebut di-lakukan pemeriksaan HBsAg dengan memakai kit ENTEBE RPHA Cell dan HEPATEST–3 sebagai pembanding.

Perlu diketahui bahwa dalam pemeiksaan ini hanya dilakukan pengujian skrining saja, sedangkan pengujian sertifikasi (konfirmasi)untuk yang positif tidak dilakukan lebih lanjuL Perlu ditambahkan pula bahwa kit diagnosa yang dipakai diperoleh secara komersial di pasaran bebas.

HASIL

Seperti telah dikemukakan, dari 250 spesimen yang diperiksa terdapat40 spesimen berasal dari penderita yang memiliki HBsAg positif dengan pemeriksaan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), sedang dari 210 spesimen lainnya yang berasal dari orang sehat ternyata ditemukan HBsAg positif sebesar 6,7% dengan HEPATEST–3 dan 5,2% dengan ENTEBE RPHA Cell (Tabel 1 dan Tabel 2). Tabel 1. Perbandingan hasil HEPATEST–3 dan ENTEBE RPHA CELL

pada serum penderfta Hepatitis B yang telah diketahui HBsAg positif dengan Uji ELISA, serum koleksi tahun 1988.

HEPATEST–3 ENTEBE RPHA Cell HBs Ag

n % n %

Positif Negatif

37 3

92,5 7.5

32 8

80,0 20.0

Jumlah 40 100.0 40 100.0

Tabel 2. Perbandingan hasil HEPATEST–3 dan ENTEBE RPHA Cell

pada serum orang sehat yang merupakan serum koleksi Puslit Penyakit Menular tahun 1988.

HEPATESI'–3 ENTEBE RPHA CELL HBs Ag

n % n %

Positif Negatif

14 196

6,7 93,3

11 199

5,2 94,8

Jumlah 210 100 210 100

PEMBAHASAN

Dewasa ini penelitian mengenai hepatitis B telah banyak dilakukan di Indonesia. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa prevalensi hepatitis di Indonesia terletak di antara daerah pre-valensi menengah dan prevalensi tinggi, yaitu antara 3% – 17%, sedangkan di kalangan orang dewasa terlihat bahwa lebih dari

50% orang dewasa pernah mendapat infeksi hepatitis B11.3.<l; fakta tersebut menunjukkan bahwa hepatitis B merupakan suatu masalah panting dan mendesak di Indonesia, dan untuk menanggulangi masalah penyakit tersebut diperlukan suatu pro-gram pencegahan. Departemen Kesehatan telah mempunyai program imunisasi hepatitis B yang akan dijalankan di beberapa propinsi untuk tahun 1992, antara lain: Nusa Tenggara Barat, Bali, Yogyakarta. Pelaksanaan program tersebut memerlukan biaya yang sangat mahal mengingat harga vaksin; selain itu reagensia untuk diagnosa penyakit masih harus didatangkan dari luar negeri.

Hepatika Laboratories Ltd. di Mataram, Lombok telah ber-hasil membuat suatu reagensia untuk pemeriksaan Hepatisis B surface antigen (HBsAg) untuk pertama kali di Indonesia, hal ini merupakan suatu terobosan yang sangat besar artinya dalam upaya menunjang program penanggulangan penyakit hepatitis B dan upaya alih teknologi(1,2,5). Untuk itulah kami mencoba melakākan pemeriksaan dengan maksud ingin membandingkan tingkat sensitifitas dan spesifisitas reagensia tersebut terhadap suatu reagensia yang menggunakan metoda serupa yaitu Hepatest 3produksi Wellcome Reagents Limited,England.Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kit diagnosa ENTEBE RPHA Cell memeliki tingkat sensitifitas sebesar 92,5% sedangkan tingkat spesifisitasnya sebesar 82,0%. Dari hasil pemeriksaan tersebut, kiranya kit diagnosa tersebut dipergunakan, paling tidak untuk keperuan pemeriksaan skri-ning terhadap penyakit hepatitis B,misalnya pada donor darah di PMI. Untuk keperluan tersebut hasilnya dapat diper-tanggungjawabkan karena memiliki tingkat sensitifitas dan Tabel 3. Beberapa kelebihan kekurangan dari kit diagnosa ENTEBE

RPHA Cell untuk pemeriksaan HBs Ag dibandingkan dengan reagensia Hepatest–3.

Komponen Kelebihan Kekurangan

Hasil uji : Sensitifitas Spesifisitas Nilai prediksi Posiotif Reagensia : RPHA sel (indikator eritrosit)

92,5% * 82,0% 55,0%

Perlu dilakukan liofili- sasi agar masa dalu warsa reagensia dapat diperpanjang. Lebih lanjut agar didistribu- sikan ke dalam vial 2 mlsehinggapemakaian eel indikator dapat di- atur sesuai dengan ke- butuhan spesimen yang akan diperiksa.

Cara kerja :

Dapat diketahui besar titer antigen yang di- periksa (apalagi setelah uji konfrrmasi/sertifi- kasi)

Masih diperlukan alat tambahanberupamikro diluter untuk melaku- pengenceran serum yang diperiksa.

Keterangan : * : Analisa statistik dilakukan berdasarkan metoda penghitungan sensitifUas

dan spesifisitas Lilienfeld(3).

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 27

Page 29: Cdk 068 Hepatitis

spesifisitas yang cukup tinggi, sehingga hasilnya akan lebih aman. Namun apabila kit diagnosa tersebut dipakai untuk kepentingan diagnostik penyakit hepatitis agaknya masih perlu dikonfirmasi dengan metoda pengujian yang lebih tinggi tingkat sensitifitas maupun spesifisitasnya, misalnya dengan metoda ELISA.

Beberapa hal lain yang lebih bersifat teknis antara lain adalah teknik pengawetan RPHA sel yang merupakan indikator yang dipakai dalam metoda pemeriksaan ini. Teknik tersebut menggunakan suatu larutan yang masih harus dicuci `feerlebih dahulu karena bersifat toksik. Setelah indikator yang berupa eritrosit dicuci dan dilarutkan menjadi konsentrasi tertentu maka masa pakainya menjadi lebih pendek jika dibandingkan apabila diawetkan dalam bentuk kering beku (freeze dried). Jika dibandingkan dengan Hepatest-3 temyata masih ada satu kelebihan yang dimilild ENTEBE RPHA Cell ini yaitu kita dapat mengetahui besamya titer antigen yang terdeteksi di dalam serum penderita.

KESIMPULAN

Pengamatan ini melakukan pengujian tingkat sensitifitas dan spesifisitas suatu kit diagnosa untuk mendeteksi HBsAg, yang merupakan suatu produk dalam negeri yang dikenal dengan nama ENTEBE RPHA Cell buatan Hepatika Laboratories, Mataram, Lombok. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tingkat sensitifitas dan spesifisitasnya cukup baik yaitu sebesar 92,5% dan 82,0%. Beberapa hal yang bersifat teknis, misalnya cara pengemasan, petunjuk pemakaian, teknik pengawetan sel

kiranya masih memerlukan perbaikan dan pengembangan lebih lanjut apabila kit diagnosa ini ingin bersaing dengan produk lain yang beredar di pasaran bebas.

Mengingat kit diagnosa tersebut merupakan produk dalam negeri yang pertama untuk pemeriksaan HBsAg sedangkan kebutuhan reagensia tersebut untuk keperluan sendiri masih cukup besar, maka sewajarnyalah apabila pengembangan dan peningkatan mutu harus tetap ditingkatkan. UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Wibisono Suwamo, Kepala Balai Laboratorium Kesehatan Jawa Barat di Bandung yang telah bersedia memberikan saran-saran serta mengijinkan penggunaan spesimen untuk penelitian ini.

KEPUSTAKAAN

1. Suwignyo Soemohardjo: Infeksi Virus Hepatitis B (VHB). In: ENTEBE RPHA dan PHA Cell, Brosur PT. Sindhu Mas Mutiara, J1. Cideng Timur No. 75B, Jakarta.

2. Suwignyo Soemohardjo. Entebe RPHA dan PHA Cell, Brosur PT. Sindhu Mas Mutiara, Jl. Cideng Timur No. 75B, Jakarta.

3. Suwignyo, Mulyanto. Strategi pencegahan infeksi Virus Hepatitis B. Maj Kedokilndon 1987; 37 (2).

4. Erwin Silman, Siti Boedina Kresno. Petanda serologik Virus Hepatitis B, pemeriksaan laboratorium dan penafsirannya. Maj Kedolalndon 28 Februari 1987; 37 (2).

5. Yamaoka K. JICA Consultant on Virology Report. Biomedical Research Center, National Institute of Health for Research and Development, Jakarta 1983.

6. Lilienfeld AM, Lilienfeld DA. Foundations of Epidemiology. 2nd. Ed. New York, Oxford: Oxford University Press, 1980. pp. 150-3.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 28

Page 30: Cdk 068 Hepatitis

Uji Kepekaan Bebek Karawang sebagai Hewan Percobaan untuk Bioessai Aflatoksin*

!wan T. Budiarso*, Robert T.L. Pang**, dan Husaini***

* Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Tarumanagara, Jakarta. ** Divisi Hepatologi, Bagian Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

*** Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Bogor.

ABSTRACT' Day-old Peking and Karawang ducklings which fed daily with either chloroform extract aflatoxin or peanut culture of Aspergillus flavus showed signs of intoxication. These included roughened coats, stunted growth and high mortality. Gross findings consisted of few to numerous petechiae in the liver lobes. The livers appeared yellowish to greyish white in color. Microscopically, the liver parenchym underwent fatty degeneration, haemorrhages and necrosis. The bile ductule cells underwent mild to extensive proliferation. Mitotic figures underwent mild to extensive proliferation. Mitotic figures were observed in the epithelial cells of the proliferating bile ducts. Both Peking and Karawang ducklings were very susceptible to aflatoxin. The severity and intensity of lesions in the organs of these two species could not be differentiated from each other either grossly or microscopically. It is concluded that Karawang ducklings are as good as Peking ducklings for the laboratory bioassay of aflatoxins.

PENDAHULUAN

Turky "X" disease yang pertama kali dilaporkan pada tahun 1960 dan mengakibatkan kematian lebih dari 100.000 ekor ayam kalkun di Inggris, terbukti disebabkan oleh keracunan aflatoksin. Toksin ini adalah hasil sekunder metabolisme jenis kapang saprofit yang disebut Aspergillusflavus. Kapang ini adalah kosmopolitan dan biasanya mencemari segala macam jenis biji-bijian, palawija dan hasil komoditi pertanian lainnya.

Aflatoksin adalah salah satu jenis mikotoksin yang paling potensial dan dapat mengakibatkan kesakitan, kematian dan tumbuh ganda pada pelbagai jenis hewan ternak, laboratorium dan juga manusia. Hasil penelitian aflatoksikosis yang pernah dilaporkan antara lain pada bebek,1 2 tikus,3 4 marmot,5 6 anjing,8 kera9 10 11 12 dan manusia.8 13 14 Di antara pelbagai jenis hewan percobaan yang pernah digunakan untuk penelitian aflatoksin,.temyata itik jenis bebek Peking adalah yang paling peka bila dibandingkan hewan laboratorium lain seperti mencit, tikus, marmot, anjing, kera dan lainnya. Tinjauan kepustakaan yang lebih terperinci mengenai aflatoksikosis pada pelbagai jenis hewan ternak dan laboratorium dapat dibaca pada hasil penelitian yang dilaporkan oleh Bu. tier5 dan Allcraftt.15

* Data hasil penelitian ini diperoleh sewaktu penulis masih sebagai dosen di Bagian Patologi, FKH, IPB, Bogor.

Jenis bebek Peking adalah jenis bebek yang paling umum ditemukan dan paling mudah didapatkan di luar negeri seperti di Inggris, Eropa dan Amerika. Sebaliknya jenis bebek ini di Indonesia sulit sekali dibeli dan sangat langka, karena tidak umum untuk diternakkan baik sebagai kebutuhan rumah tangga maupun secara komersial.

Pada laporan ini penulis ingin menyampaikan informasi bahwa jenis bebek Karawang sama pekanya seperti jenis bebek Peking terhadap keracunan aflatoksin. Dengan demikian bagi para peneliti di Indonsia yang ingin melakukan penelitian biologis tentang keracunan aflatoksin pada bebek, tidak perlu lagi secara khusus mencari bebek Peking, sebab bebek lokal jenis Karawang yang mudah didapat dan murah harganya dapat digunakan sebagai penggatinya. BAHAN DAN METODA

Pupukan Kacang Tanah : Dua kg kacang tanah dibasahi akuades sampai lembab, lalu diinokulasi dengan kapang Asper-gillusflavus kemudian diinkubasikan pada suhu kamar beberapa minggu sampai kadar aflatoksin B1 mencapai 6,5 mikrogram/ gram kacang tanah. Pupukan kacang tanah lalu digiling sampai

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 29

Page 31: Cdk 068 Hepatitis

halus dan dicampurkan ke dalam makanan bebek menurut kadar yang dikehendaki. Ekstrak Aflatoksin B1 : Dua puluh lima mikrogram ekstrak kloroform aflatoksin B1 diserapkan dalam 500 milligram tepunl terigu lalu dimasukkan dalam kapsul gelatin. Kapsul-kapsul ini disimpan di dalam lemari es sampai digunakan. Makanan 50% Pupukan Kacang Tanah: Satu bagian pupukan kacang tanah (KT) yang mengandung 6,5 mikrograrn aflatoksin BI per gram KT dicampurkan dengan 1 bagian makanan bebek. Campuran ini adalah makanan 50% pupukan KT. Hewan Percobaan : Dua jenis itik umur 1 hari, yakni jenis bebek Peking dan Karawang. Perlakuan Hewan Percobaan :

Percobaan I : Tujuh betas ekor itik Peking dibagi menjadi 4 kelompok. Grup P-K terdiri dari 5 ekor, diberi makanan bebek standar dan digunakan sebagai kelompok kontrol. Grup P-I terdiri dari 6 ekor, setiap ekor dicekok dengan 25 mikrogram ekstrak kloroform aflatoksin B1. Grup P-11 dan Grup P-III masing-masing terdiri dari 3 ekor itik.Itik Grup P-II diberi makan makanan 50% pupukan KT. Setiap itik Grup P-III mula-mula dicekok dengan 2 gram bubuk pupukan KT, lalu diberi makan makanan 50% pupukan KT secara ad libitum. (Tabel 1).

Percobaan II : Tujuh betas ekor itik umur 1 hari jenis Karawang dibagi menjadi 3 kelompok. Grup K K terdiri dari 5 ekor, diberi makanan standar dan digunakan sebagai kelompok kontrol. Grup K I dan Grup K-11 masing-masing terdiri dari 6 ekor. Setiap ekor itik Grup K-I dicekok dengan mikrogram ekstrak kloroform aflatoksin B1 dan itik Grup K-11 diberi makan makanan 50% pupukan KT secara ad libitum (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah Kematian Itik Peking dan Karawangselama Masa

Percobaan Keracunan Atlaloxin dan Pupukan Kacang Tanah.

Jumlah Kematian Itik (Kumulatif)

Muiai pada hari ke Grup Jumlah Itik Perlakuan

2 3 4 5 6 7 8

P-K 5 Makanan normal 0/5 0/5 0/5 0/5 0/5 0/5 -

P-I 6 25 =gram aflatoxin 2/6 4/6 6/6 - - - -

P-II 3 50% KT 0/3 0/3 0/3 1/3 2/3 3/3 -

P-III 3 2 gram KT 50% KT 1/3 1/3 2/3 2/3 3/3 - -

K-K 5 Makanan normal 0/5 0/5 0/5 0/5 0/5 0/5 0/5

K-I 6 25 =gram aflatoxin 2/6 5/6 6/6 - - - -

K-II 6 50% KT 0/6 0/6 1/6 1/6 1/6 3/6 6/6

Keterangan : +) KT – Pupukan kacang tanah Aspergillus jlavus. P-K – Peking kontrol, K -K – Karawang /control.

Grup P-I dari Percobaan I dan Grup K -1 dari Percobaan II, setelah dicekok ekstrak aflatoksin, selanjutnya diberi makan makanan standar secara ad libitum. Pemeriksaan Makroskopik :

Semua hewan yang ditemukan mati dalam masa observasi, diotopsi dan diperiksa alat-alat tubuhnya. Semua hewan ke-lompok kontrol, yakni Grup P-K dan K -K, dibunuh dan di-otopsi setelah semua hewan kelompok percobaan mati semua (Tabel 1.). Pemeriksaan Histologik :

Semua alat tubuh seperti otak, hati, jantung, paru, limpa, ginjal, lambung dan usus dari semua hewan percobaan di-kumpulkan dan diawetkan dalam larutan buffer formalin 10%. Setelah matang, diambil secuil jaringan dari setiap alat tubuh dan dibuat sediaan histologik menurut metoda standar rutin dan diwamai dengan hematoksilin dan eosin.

HASIL Gejala Klinik

Semua itik percobaan baik dari kelompok Percobaan I mau-pun Percobaan II memperlihatkan gejala klinis kurang lebih sama. Sernua itik nampak kerdil, bulu-bulu menjadi agak kering dan kasar, lesu dan lemah, serta akhirnya mati. Kematian yang pertama ditemukan mulai hari ke-2 dan terus berlangsung sampai yang terakhir pada hari ke-8. Itik kelompok-kelompok kontrol tetap hidup dan sehat semuanya (Tabel 1). Perincian Kematian

Percobaan I: Grup P-I, 2 ekor itik ditemukan mati pada hari ke 2 setelah dicekok 2 kali dosis 25 mikrogram aflatoksin. Dua ekor berikutnya mati pada hari ke 3 setelah dicekok 3 kali dosis aflatoksin. Dan sisanya 2 itik mati pada hari ke 4 setelah masing-masing 3 kali dicekok aflatoksin (Tabel 1). Grup P-II, pada hari ke 5, 6 dan 7, masing-masing ditemukan 1 ekor itik mati (Tabel 1). Jumlah konsumsi rata-rata 50% pupukan KT adalah 3,5 gram/ekor/hari. Grup P-III, pada hari ke 2, 4 dan 6, masing-masing ditemukan 1 ekor itik mati (Tabel 1). Jumlah rata-rata konsumsi makanan 50% pupukan KT adalah 3,2 gram/ekor/hari.

Percobaan II : Grup K -I, 2 ekor itik mati pada hari ke 2 setelah 2 kali dicekok aflatoksin, tiga ekor mati pada hari ke 3 setelah dicekok 2 kali aflatoksin. Dan sisanya seekor mati pada hari ke 4 setelah dicekok 3 kali aflatoksin (Tabel 1). Grup K-II, pada hari ke 4 ditemukan seekor mati. Pada hari ke 7 dan 8, ditemukan masing-masing mati 2 dan 3 ekor (Tabel 1). Jurnlah konsumsi rata-rata makanan 50% pupukan KT adalah 3,0 gram/ ekor/hari. Perubahan Makroskopik

Perubahan patologik yang mencolok ditemukan pada hati, limpa dan sumsum tulang (Tabel 2 dan 3). Pada Percobaan I, Grup P-I dan Percobaan II, Grup K-I, masing-masing ditemukan 1 dan 4 ekor itik yang hatinya mengalami perdarahan. Sedangkan alat tubuh hati dari sisa itik lainnya berwama kekuningan sampai putih kelabu.

Semua limpa dari hewan percobaan baik Grup P-I maupun Grup K-1 nampak mengecil dan pucat bila dibandingkan dengan limpa hewan kelompok kontrol. Kecuali hati seekor itik Grup K-11 yang menunjukkan bercak

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 30

Page 32: Cdk 068 Hepatitis

perdarahan, semua sisa itik, dari Grup P-11 dan Grup P-III alat tubuh hatinya nampak kekuningan sampai putih kelabu (Tabel 2 dan 3). Sedangkan limpa semua itik dari kelompok-kelompok tadi nampak sedikit mengecil dan pucat. Tabel 2. Jumlah Perdarahan Hati dan Perubahan Mikroskopis Hati, Limpa

dan Sums= Tuaang, Mk Peking yang Diberi Makan Ailatoxin.

Perubahan Mikroskopis

Grup Jumlah Perlakuan Perdarahan Hati Hati Limpa Sumsum

Tulang

P-K 5 Normal 0/5 0/5 0/5 0/5

P-I 6 25 mcgram Aflatoksin 1/6 6/6 5/6 6/6

P-II 3 50% KT 0/3 3/3 1/3 1/3

P-Ill 3 2 gram KT 50% KT 0/3 3/3 1/3 2/3

Keterangan : P-K – Peking kontrol. KT – Kacana tanah Tabel 3. Jumlah perdarahan hati dan perubahan mikroskopis hati, limpa

dan sumsum tulang itik Karawang yang diberi makan atlatoxin.

Pernbaban Mikroskopis

Grnp Jumlah Itik Perlakuan Perdarahan

Hati Hati Limpa Sumsum

Tuaang

K-K 5 Normal 0/5 0/5 0/5 0/5

K-I 6 25 mcgram Aflatoksin 4/6 6/6 4/6 5/6

K-II 6 50% KT 1/6 6/6 3/6 6/6

Keterangan : K-K – Karawang kontrol. KT – Kacang tanah.

Pemeriksaan histologik semua hati itik percobaan, baik jenis

Peking maupun Karawang, memperlihatkan perubahan kurang lebih sama. Perubahan ini terdiri dari perdarahan, degenerasi lemak dan nekrosis. Sel-sel epitel saluran empedu, terutama yang terletak di daerah portal, mengalami proliferasi yang pro-gresif dan berkembang meluas menyusup di antara balok-balok hati dan lobuli hati. Sitoplasma sel epitel saluran etppedu nampak kebiruan, inti hiperkromatik dan nukleolus sedikit membengkak. Di tempat proliferasi sel epitel saluran empedu tampak menonjol dan ekstensif, kadang-kadang ditemukan pembentukan saluran empedu baru dengan lumen yang paten.

Lima dari 6 ekor itik Peking Grup P-I, 1 ekor masing-masing dari Grup P-II dan Grup III, 4 ekor itik Karawang Grup K -1 dan 3 ekor Grup K -II, limpanya memperlihatkan keausan jaring-

an limfoid dengan derajat keausan dari ringan sampai moderat. Sel retikuler tampak bengkak dan sitoplasma terlihat pucat.

Enam dan 6 ekor itik Peking Grup P-I, 1 ekor Grup P-II, 2 ekor Grup P-111, 5 dari 5 ekor itik Karawang Grup K -1 dan 6 dari 6 ekor itik Grup IC II, sumsum tulangnya nampak aus, sebagian elemen jaringan hematopoetik menghilang dan bekas tempatnya diganti dengan jaringan lemak (Tabel 2 dan 3). Namun saluran pembuluh darah dan sinusoid tampak dan terisi sel-sel darah merah.

DISKUSI

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua jenis bebek yang digunakan sebagai hewan percobaan, yakni bebek Peking dan Karawang, semuanya mengalami keracunan dan kematian akibat aflatoksin, bail( yang diberi makan makanan pupukan kacang tanah maupun yang dicekok ekstrak kiorofonn. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bebek Karawang sama pekanya terhadap aflatoksin seperti bebek Peking.

Telah diakui di seluruh dunia bahwa sebagai hewan per-cobaan yang paling peka untuk bioesai aflatoksin adalah jenis bebek Peking. Bebek Peking di luar negeri seperti di Amerika dan Eropa sangat mudah didapat dan bahkan sebagai komoditi komersial yang populer, baik sebagai bahan makanan maupun hewan percobaan laboratorium. Sebaliknya di Indonesia, jenis bebek Peking sangat langka dan sukar didapat. Sedangkan yang banyak sekali dan mudah dibeli di mana-mana dengan harga relatif murah di Indonesia adalah jenis bebek Karawang. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa jenis bebek Karawang adalah sama pekanya seperti bebek Peking. Dengan demikian penulis berani menganjurkan bahwa untuk bioesai aflatoksin di Indonesia tidak mutlak harus menggunakan bebek Peking, sebab bebek Karawangpun juga sama pekanya.

Perubahan yang khas dalam hati seperti degenerasi lemak, perdarahan dan nekrosis serta proliferasi dan mitosis sel epitel saluran empedu pada kedua jenis bebek ini, baik mengenai derajat dan intensitas lesinya kurang lebih sama. Gambaran lesi ini adalah sesuai dengan hasil percobaan aflatoksikosis pada bebek Peking yang pernah dilaporkan dalam kepustakaan.2 5 16

Limpa dari kedua jenis bebek nampak lebih kecil bila di-bandingkan dengan masing-masing kelompok kontrol dan se-cara mikroskopik limpa ini mengalami kehilangan jaringan limfoid. Perubahan mikroskopik demikian belum pernah di-laporkan dalam kepustakaan sebelumnya. Hal ini mungkin karena peneliti terdahulu hanya memperhatikan lesi yang di-temukan dalam hati saja dan mengabaikan pemeriksaan pada alat-alat tubuh lainnya.

Yang cukup menarik pada hasil percobaan ini adalah bahwa sumsum tulang beberapa bebek memperlihatkan keausan jaring-an hematopoetik, dan bekas tempat tersebut diganti oleh jaring-an lemak. Perubahan ini mirip sekali seperti keracunan Peni-cillium viridicatum pada bebek Peking, ayam leghom, mencit dan kera 17 dan keracunan khloramfenikol pada manusia dan anjing.16 Jadi tampaknya aflatoksin di samping bersifat hepa-totoksik dan hepatokarsinogenik, juga bersifat racun pada jaring-an limfoid limpa dan hematopoetik sumsum tulang. Untuk ke-dua kelainan yang akhir ini perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 31

Page 33: Cdk 068 Hepatitis

KEPUSTAKAAN

1. Alpert ME, Hutts MSR, Wopgan GN, Davidson CS. Association between aflatoxin content of food and hepatoma frequency in Uganda. Cancer 1972; 24 : 206-216.

2. Wogan GN, Carlton WW, Kader MMA. Histopathologic lesions in duck-lings caused by Aspergillus flavus cultures, culture extracts and crystalline aflatoxin. Toxicol. Appl. Pharmacol 1964; 6 : 542-56.

3. Gopalan C. Studies on aflatoxin. Presented before P.A. G (WHO/FAO/ UNICEF), Geneva, August 1966.

4. Salmon WD, Newbeme PN. Occurence of hepatomas in rats fed diets containing peanut meal as a major source of protein. Cancer Res. 1963; 23 : 571-5.

5. Butler WH. Aflatoxicosis in laboratory animals. In Aflatoxin : Scientific Background, Control and Implications, by Goldblatt LA. Ed. Academic Press. N.Y. 1969; pp. 223-4.

6. Butler WH, Barnes JM. Toxic effects of groundnut meal containing afla-toxin to rats and guinea pigs. Brit J. Cancer. 1963; 7 : 699-710.

7. Butler WH. Acute toxicity of aflatoxin B in guinea pigs. J. Pada. Bact 1966; 91 : 277-280.

8. Krishnamachari KAVR, Bhat RV, NagaNjauh V, Tilak TBG. Hepatitis due to aflatoxicosis. Lancet 1975; 1 : 1061-3.

9. Bourgois CH, Shank RC, Grossman RA, Johnson DO, Wooding WL, Chandavinol P. Acute aflatoxin B toxicity in the Macaque and its similiari-ties to Reye's syndrome. Lab. Invest. 1971; 24 : 206-216.

10. Gopalan C, Tulpule PC, Krishnamurti D. Induction of hepatic carcinoma

with aflatoxin in rhesus monkey. Toxicol. 1972; 519-21. 11. Svoboda DJ, Reddy JK, Liu C. Multinucleate giant in liver cells of

marmoset given aflatoxin. Br. Arch. Pathol. 1972; 91 : 425. 12. Tulpule PG, Madhavan TV, Gopalan G. Effect of feeding aflatoxin in

young monkeys. Lancet 1964; 962-3. 13. Pang RTL. Aflatoxin dalam'Epidemiologi karsinoma Kati primer. Kertas

kerja yang disajikan pada Simposium Nasional Kanker Saluran Makanan. Jakarta, 24-26 Nopember, 1977.

14. Pang RTL, Husain and Karyadi, D. : Aflatoxin and primary hepatic cancer in Indonesia. Paper presented at the V World Congress of Gastro-enterology. Mexico, 13-19 October, 1974.

15. Allacraft R. Aflatoxicosis in farm animals. In Aflatoxin Scientific Back-ground, Control and Implication. Ed. by L.A. Goldblatt pp 237-261, 1969. Academic Press.

16. Allcraft R, Carnagahn RBA. Toxic product in ground nuts-biological effects. Chemistry and Industry 1963 : 50.

17. Budiarso IT. Aplastic anemia in animals induced by Penicillium viridi-catum cultures and mycelia. Paper presented at 3rd Meeting of Asian Pacific Division of International Society of Haematology. Jakarta, Indo-nesia, 8-12 June, 1975.

18. Yunis AA, Pathogenic mechanism in drug induced bone marrow injury. Paper presented at the 3rd Meeting of the Asian Pacific Division of Inter-national Society of Hematology, Jakarta, Indonesia, 8-12 June, 1975.

19. Shank R, Wogan GN. Survey of mycotoxin contamination of food and food stuffs in Southeast Asia (July 1967-1970). P.A.G. Report 30 September 1971.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 32

Page 34: Cdk 068 Hepatitis

Masalah Hepatitis B di Indonesia menurut.Berbagai Penelitian

Kusnindar Atmosukarto

Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta

ABSTRAK

Berdasarkan hasil berbagai penelitian di beberapa daerah, diperkirakan ± 7,8% atau ± 13.728.000 orang penduduk Indonesia merupakan HBsAg carriers pada akhir Pelita IV. Setelah jangka waktu tertentucarrierstersebut sebanyak± 5.491.200 orang akan menjadi pengidap kanker hati, sirhosis hepatis pada sejumlah ± 2.059.200 orang dan nekrosis hepar diderita oleh sebanyak 274.560 orang, sisanya akan meninggal oleh sebab lain. HBsAg carriers paling banyak dijumpai pada kelompok umur sekitar 20 tahun. Angka kesakitan hepatitis B ± 8.273 orang/tahun dengan kematian ± 2.868 orang per tahun.

Penyelenggaraan donor darah melalui bank-bank darah di kota-kota di Indonsia, memungkinkan 2,49% penerima donor darah mendapatkan penularan hepatitis B.

PENDAHULUAN Masalah Hepatitis B di Dunia

Diperkirakan di seluruh dunia lebih dari 200 juta orang merupakan carrierkhrones virus hepatitis B (HBV). Di Asia hampir semua individu menjelang umur dewasa telah terinfeksi dengan hepatitis B dan 8% – 15% penduduk dewasa menderita infeksi khronis(1); sehingga hepatitis B merupakan masalah ke-sehatan masyarakat di Asia. Jenis-jenis Hepatitis

Infeksi virus hepatitis B antara lain dibuktikan dengan cara menemukan antigen hepatitis B. Hepatitis virus tipe B dibedakan dari hepatitis virus tipe A yang jarang memberikan akibat khronik; secara imunologik dapat diungkapkan 4 tipe hepatitis yakni he-patitis A, hepatitis B, hepatitis non A dan non B serta hepatitis D.

Ditinjau dari segi epidemiologis, hepatitis B sangat penting artinya karena 10 – 20% pengidap sehat yang ada menjadi sum-ber penularan yang berkepanjangan; sedangkan virus hepatitis non A dan non B serta hepatitis D (VHD) belum banyak diketahui. Khusus VHD merupakan agen virus baru yang unik, yang juga

dapat menyebabkan hepatitis akut atau khronik. Hepatitis akut yangdisebabkan koinfeksi virus A dan D biasanya diikuti dengan penyembuhan total; sebaliknya superinfeksi VHD terhadap penderita hepatitis B khronis akan menimbulkan efek lebih serius yang memperberat penyakit dan berakibat fatal(2).

EPIDEMIOLOGI HEPATITIS B

Virus hepatitis B ditemukan dalam darah, juga dalam ber-bagai sekret tubuh seperti saliva, keringat, urine, sekret naso-faring, sperma, air susu ibu dan feses (Siegel C,1981)(2); dengan demikian penularan dapat berlangsung secara parenteral dan non parenteral dengan masa inkubasi ± 70 hari (50 – 100 hari). Penularan HBV melalui tinja jarang ditemukan, berbeda dengan virus hepatitis A (HAV). Hepatitis B penularannya cenderung secara parenteral, melalui darah karena luka, suntikan, gigitan, infus, transfusi dan lain-lain(2,3). Penularan perinatal dan hepatitis B amat panting artinya dalam penyebaran penyakit, dan pence-gahan penularan secara vertikal ini dapat dipertimbangkan dalam upaya pemberantasan. Menurut data dari Hongkong, Thailand dan Korea, penularan secara vertikal mengenai lebih 50% dari

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 33

Page 35: Cdk 068 Hepatitis

jumlah carrier. Di Singapura dan Philipina penularan secara horizontal lebih besar. Distribusi carrier di dunia sejumlah 200 juta, 150 juta suku bangsa Cina dan 50 juta suku bangsa lainnya; oleh karena itu Prof. RP Beasley menyimpulkan bahwa imunisasi HBV terhadap suku bangsa Cina perlu dilakukan secara masal(1). Penelitian terbesar dan paling lama telah dilakukan di Taiwan terhadap 22.707 penduduk laki-laki Cina pada umur pertengah-an, diikuti selama rata-rata 8,2 tahun dan pengidap.HBV,tanpa gejala dihitung tiap tahun. Dari 151 kematian yang dilaporkan, 143 adalah HBsAg carrier dengan kematian akibat karsinoma hepatoselular (HCC) pada 104 orang; dibandingkan dengan 8 orang di kelompok non carrier. Hasil penelitian tersebut selaras dengan penelitian di negara-negara lain yakni kematian dari kelompok carriers 40% karena HCC, 15% karena sirosis, 2% karena nekrosis hepar; dibandingkan dengan kematian oleh HCC sebesar 1% dan sirosis sebesar 1,5% dari kelompok non carrier. Ibu-ibu HBV carrier yang khronis dapat memindahkan virus ke bayi-bayi mereka; 4% dari bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibuibu carriers adalah HBeAg positif waktu lahir. Penelitian terhadap ibu-ibu hamil mendapatkan 12% positif HBsAg carrier, dan 5% positif HBeAg. Bayi-bayi dari ibu yang HBeAg positif 80% telah terinfeksi dengan HBV. HBV DNA telah diidentifikasi dalam serum dari 94% bayi pengidap HBsAg tanpa gejala (Prof. M.J. Tong, Los Angeles) (1).

Philipina menunjukkan kecenderungan rata-ratacarrieryang tinggi di daerah perkotaan(12%), sedang rata-rata di seluruh wi-layah 6% – 8%, dan pada kelompok social ekonomi tinggi 2% – 5% (Dr. AL. Lingao, Manila)('). Di Malaysia incidence carrier adalah sebesar 15% (Dr. R. Sarvanathan, Kualalumpur); di Korea incidence rata-rata 10% -14%, puncaknya pada umur 20 tahun dan 81% penduduk terpapar terhadap HBV (Dr. HS. Sun, Seoul). Di Sri Langka carrier sangat rendah yakni 2% sedang penduduk yang terpapar HBV sekitar 10% (Dr. U.T. Vitanara, Colombo).

Secara keseluruhan diperkirakan 8% – 10% orang dewasa di Asia Tenggara merupakan carrier hepatitis B yang khronis sejak masa kanak-kanak dan mungkin meninggal karena hepatitis aktif yang khronis, sirosis atau kanker hati(1).

Salah saw usaha pencegahan penyebaran hepatitis B ialah melalui vaksinasi, Hevac B Pasteur adalah vaksin hepatitis B yang pertamakali dipasarkan tahun 1981, diikuti oleh Hepavac® dari Merck, Sharp & Dohme (MSD) dalam tahun 1982 dan vaksin dari Netherland dan Korea (Hepaccin®).

Dari percobaan vaksinasi 6.162 pekerja dengan Hevac B hanya 4% menderita efek samping yang ringan, seperti rasa sakit di sekitar tempat suntikan, demam, tidak nafsu makan, diare (Dr. Nutini, Paris) (1). Suatu percobaan imunisasi terhadap 354 tenaga kesehatan dan 113 penderita haemodialisis, yang diberi 3 kali suntikan @ 5 p.g Hevac B dengan interval waktu sebulan dengan dosis booster setelah 13 – 15 bulan, menunjukkan bahwa rata-rata infeksi HBV secara bermakna turun menjadi 4% untuk tenaga kesehatan yang diimunisasi dan 18% untuk penderita, dibandingkan dengan kelompok plasebo sebesar masing-masing

12% dan 42% (Dr. AM. Courouce, Perancis). Taiwan satu-satunya negara Asia Tenggara yang melaksanakan program imunisasi secara nasional. Vaksinasi dilakukan ter-hadap bayi yang dilahirkan dari ibu-ibu HBsAg positif dan anakanak di bawah umur 4 tahun (Dr. L.Y. Hwang, Taipei) (1).

HASIL-HASIL PENELITIAN DI INDONESIA

Penelitian NG. Suryadhana, Ali Tirta dan Winoto S (1986) terhadap 107 mahasiswa dan 108 dokter gigi Fakultas Ke-dokteran Gigi UI di Jakarta melalui pemeriksaan antigen dan antibodi HB dengan cara aglutinasi lateks menyimpulkan adanya HBsAg pada 1,86% dan Anti HBsAg pada 28,03% mahasiswa dan tidak ada perbedaan bermakna menurut golongan umur. Pada kelompok staf pengajar (dokter gigi) ditemukan 3,70% HBsAg positif dan 33,33% Anti HBsAg positif; dinyatakan tidak ada perbedaan nyata menurut golongan umur, demikian pula tidak ada perbedaan nyata antara mahasiswa dan staf pengajar (x2 = 0,59 dan p > 0,050). Prevalensi HBsAg dan Anti HBsAg menurut jeniskelamin menunjukkan HBsAgpadalaki-laki4,59%, perempuan 1,56% sedang Anti HBsAg pada laki-laki 27,58% dan perempuan 32,81%. Dalam hal inipun perbedaan tidak bermakna (x2 = 1,01; p > 0,050). (Tabel 1). Tabel 1. Prevalensi HBsAg dan Anti HBsAg pada Pengajar FKG UI dan

Mahasiswa Menurut Jenis Kelamin, dl Jakarta, 1986(1).

Jenis Kelamin Jumlah yang diperiksa

HBsAg positif

Anti HBsAg positif

n % n %

Laki-laki Perempuan

87 128

4 2

4,59 1,56

24 42

27,58 32,81

Jumlah 215 6 2,79 66 30,69

Suwignyo Soemohardjo dkk. (1979), melakukan penelitian

terhadap 1009 orang murid-murid SD, SLP, SLA dan mahasiswa di Mataram (16 sekolah dan perguruan tinggi). Pemeriksaan HBsAg dan Anti HBsAg dengan complement fixation cara mikroteknik dari Server yang dimodifikasikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa HBsAg positif pada laki-laki 9,58%, pe-rempuan 6,48% sedang Anti HBsAg positif pada laki-laki 3,34% dan perempuan 4,16%. Secara statistik tidak ada porbedaan bermakna antara laki-laki dan perempuan (Tabel 2 dan 3). Tabel 2. HBsAg dan Anti HBsAg pada Pelajar dan Mahasiswa di Ma-

taram menurut Jenis Kelamin(4)

Pemeriksaan HBsAg Pemeriksaan Anti HBsAg HBsA,g posltif

Anti HBsAg positif Jenis Kelamin sampel

diperiksa n %

sampel diperiksa n %

Laki-laki Perempuan

793 216

76 14

9,58 6,48

748 216

25 9

3,34 4,16

Jumlah 1009 90 8,92 964 34 3,53

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 34

Page 36: Cdk 068 Hepatitis

Tabel 3. HBsAg, Anti HBsAg pada Pelajar dan Mahasiswa di Miasma menurut Kelompok Umur

Kelompok HBsAg Anti HBsAg

Umur Sampel positif Sampel positif

n % n % 5 -12 341 17 4,98 316 4 1,26 13-20 374 44 11,76 359 17 4,73 21 - 28 252 26 10,31 247 4 1,61 29 - 36 26 2 7,69 26 - - 37 - 44 16 1 6,29 16 - -

Jumlah 1009 90 8,91 964 34 3,69

Penelitian pada kelompok keluarga kasta Brahmana di

desa Banjar Bali meliputi 84 kepala keluarga terdiri dari 188 orang rata-rata umur 37,71 tahun (13 - 70 tahun), dilakukan oleh K. Kuastika dkk.,1981. Pemeriksaan HBsAg dengan caraReversed Passive Hemaglutination (Raphadex B Ortho). Hasil penelitian adalah 3 orang (1,59%) pernah menderita hepatitis lebih dari 6 bulan, 1 orang (0,53%) dengan tanda-tanda penyakit hati menahun. Prevalensi HBsAg menurut golongan umur dan jenis kelamin digambarkan dalam tabel 4.

Tabel 4. Prevalensi HBsAg menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin

di Desa Banjar Bali, 1981(8)

Jumlah laki•Iski Jumlah Wanda Total

Golongan Dipe- HBsAg Dipe- HBsAg Dipe- HBsAg Umur riksa positif riksa positif riksa positif

n % n % n %

12-19 3 1 33,33 8 1 12,50 11 2 18,18 20 - 29 26 4 15,38 19 4 21,08 46 8 17,77 30 - 39 24 2 8,33 27 5 18,51 41 7 17,07 40 - 49 17 5 29,41 21 3 14,28 38 8 21,05 50 - 59 15 - - 12 2 16,66 27 4 14,81 60 - 69 4 - - 8 3 37,50 12 3 25,00 70-79 2 - - 2 - - 4 - -

Jumlah 91 14 15,38 97 18 18,55 188 32 17,02

Moeslichan dkk., dalam tahun 1975 melakukan penelitian

terhadap 5054 contoh darah yang diterima dari 13 bank darah di berbagai kota di Indonesia (Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan)t~. Pemeriksaan Antigen HB dilakukan dengan dua cara yakni Cara imunodifusi (ID) dan metoda counter inununo-electrophoresis (CLEF). Hasil penelitian tentang prevalensi HB Antigen carriers menurut kota disajikan dalam tabel 5.

Penelitian tentang prevalensi hepatitis A di Jakarta telah dilakukan oleh HM. Syaifoellah Noer dkk. terhadap 127 pen-derita tersangka hepatitis A dari 3 rumah sakit di Jakarta. Dilaku-kan pemeriksaan HBsAg (RPHA), Anti HBs (PHA), HBeAg, Anti HBe, Anti HBc dan 1gM anti HA (RIA, Danabot). Dari 127 penderita yang berumur 11 s/d 65 tahun ditemukan 123 penderita positif hepatitis tipe A, B, non A dan B atau HBV carrier. He-patitis B ditemukan sebagai infeksi primer pada 7 orang (5,5%)

Tabel 5. HB Antigen dl antara Donor Darah di berbagai Bank Darah

Positif Bank darah Jumlah HB-Antigen

di kola-kola contoh darah ID CIEF diperiksa n % n %

Bandung 569 2 1,0 16 2,8 Bogor 145 2 1,4 2 1,4 Cirebon 255 4 1,6 5 2,0 Jakarta 652 12 1,8 13 2,0 Madiun 722 7 1,0 16 2,2 Semarang 503 7 1,4 12 2,4 Sukabumi 266 8 3,0 12 2,6 Sumbawa 624 11 1,7 7 2,1 Denpasar 277 5 1,8 13 1,1 Padang 171 6 3,5 6 3,5 Tanjung Karang 254 10 3,9 10 3,9 Ujungpandang 362 16 4,4 21 5,8 Pontianak 254 1 0,4 2 0,8 Jumlah 5054 95 1,88 126 2,49

dan carrier pada 13 orang (10,2%). (tabel 6). Tabel 6. Prevalensi Hepatitis Virus Akut FKUI-RSCM Jakarta

Hepatitis A Hepatitis B Hepatitis non A non BJumlah kasus putt diduga primer carrier

127

52 (5) 40,9%

4 3,1%

7 5,5%

13 10,2%

51 40,2%

Keterangan : ( ) - HBV carrier Hepatitis A didapatkan lebih banyak pada umur kurang dari

40 tahun, hepatitis B hanya didapatkan pada umur kurang dari 30 tahun sedang hepatitis non A non B terdiri dari semua umur. HBV carrier didapatkan pada 25 orang dari 127 penderita (19,6%), 5 orang dinyatakan superinfeksi dengan HBV dan HAV. PEMBAHASAN

Empat penelitian HBV carrier menggunakan sampel penduduk dan metoda yang berbeda-beda, tidak menggunakan sampel masyarakat umum yang representatif untuk seluruh penduduk Indonesia; sehingga hasilnya tidak mewakili Indonesia secara nasional. Namun demikian hasil-hasil tersebut dapat membtrikan gambaran bahwa rata-rata 7,8% penduduk di Indonsia merupakan HBV carrier; seperti perkiraan kejadian di Philipina sekitar 6 - 8%, sedang rata-rata di Asia Tenggara 8 - 10% penduduk dewasa terinfeksi khronis.

Bila jumlah penduduk di Indonsia adalah 176 juta (akhir Pelita IV), maka diperkirakan HBV carrier di Indonesia se-jumlah 13.728.000 orang. Bila menurut Prof. RP. Beasley, 40% HBsAg carrier akan menjadi karsinoma hepatoselular, 15% menjadi sirosis dan 2% akan mengidap nekrosis hepar, maka dapat diperkirakan bahwa penderita HCC di Indonesia akan mencapai 5.491.200 orang, penderita sirosis sebesar 2.059.200 orang dan nekrosis hepar 274.560 penderita yang berasal dari carriers, belum terhitung yang berasal dari penderita yang secara

klinis telah menunjukkan gejala-gejala. Penelitian HM. Syaifoellah Noer dkk., terhadap 127 ter-

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 35

Page 37: Cdk 068 Hepatitis

sangka hepatitis A dari 3 rumah sakit di Jakarta, ternyata 40,9% hepatitis A, 19,9% hepatitis B dan 40,2% non A dan non B setelah dilakukan pemerticsaan Antigen HA dan HB serta non A non B. Ratna Budiarso dkk., (1986) mendapatkan penderita tersangka (5)

hepatitis A sebanyak 23,62 orang per 100.000 penduduk atau 41.571 orang di seluruh Indonesia. Bila hasil penelitian HM. Syaifoellah Noer dkk., dapat diterapkan terhadap tersahgka hepatitis A dari Survai Rumah Tangga, maka jumlah penderita HBV dengan gejala-gejala klinis ± 19,9% = 8.273 orang per tahun di seluruh Indonesia. Seluruh penderita hepatitis B baik yang khronis maupun akut = 13.728.000 + 8.273 = 13.736.273 orang, berkembang menjadi pengidap HCC 40% = 5.494.008 orang, sirosis 15% = 2.060.430 penderita dan nekrosis hepar 2% = 274.724 orang. Kematian oleh tersangka HAV adalah 8.19 per 100.000 penduduk atau 14.414 orang di seluruh Indonesia; kematian oleh HBV = 2.868 per tahun.

Penerima donor darah mendapatkan risiko penularan hepa-titis B sebesar 2,49%, lebih kecil dari rata-rata carrier di Indo-nesia; mungkin karena perbedaan populasi golongan umur donor darah; penelitian Suwignyo S dkk., serta K. Kuastika dkk., menunjukkan bahwa HBV carrier paling besar pada umur di sekitar 20 tahun, sesuaipulayang dikemukakanProf. RP. Beasley–90% penduduk menjelang umur 20 tahun ditemukan mengandung Anti-HBs antibodi dalam darahnya.

HBs carrier yang rendah dari staf pengajar dan mahasiswa FKG UI, diperkirakan akibat kekebalan alamiah karena sering terulangnya infeksi, dihubungkan pula dengan besarnya persen-tase Anti HBs positif (33,33%). KESIMPULAN DAN SARAN

Hepatitis B menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena diperkirakan 13.728.000 orang menjadi carrier dan dapat berkembang menjadi pengidap kanker hati sebanyak

± 5.491.200 orang, sirosis hepatis sebanyak 2.059.200 orang dan penderita nekrosis hepar 274.560 orang. Angka kesakitan ber-dasarkan Survai Rumah Tangga 1986 dan penelitian HM.Syaifoel-lah Noer dkk. (1983) sebanyak kira-kira 8.273 orang, dan ke-matian karena hepatitis B sebanyak 2.868 orang per tahun.

Penyelenggaraan donor darah oleh bank-bank darah di kotakota besar di Indonsia memungkinkan 249% penerima donor dārah mendapatkan penularan hepatitis B.

HBsAg carrier paling banyak didapatkan pada kelompok umur menjelang 20 tahun.

Perlu dipertimbangkan program imunisasi hepatis B, ter-utama kepada bayi yang baru lahir dari ibu-ibu HBsAg positif, mengingat ± 7,8% penduduk di Indonsia menjadi sumber pe-nularan hepatitis B dan akan timbulnya penderita-penderita kanker hati dan sirosis hepatis di masa mendatang.

KEPUSTAKAAN

1. Asian Symposium on Strategies for large scale Hepatitis B Immunisation, Hongkong, June 12 – 13, 1986.

2. NO. Suryadhana, Ali Tina, Winoto S. Kekerapan HBsAg dan Anti HBsAg pada sejumlah dakter gigi dan mahasiswa FKG UI, Jurusan Emu Kedokteran Gigi Dasar FKG UI, 1986.

3. Abdoerachman Mc. Kumpulan Mulish I1n h Kesehatan Anak, FK UI, 1968.

4. Suwignyo Soemōhard jo dkk. Antigen dan Antibodi Hepatitis B (HBsAg dan Anti HBsAg) pada pelajar dan mahasiswa di Mataram (laporan penelitian), Bagian Emu Penyakit Dalam RSU Mataram – Balai Lab. Kesehatan Surabaya – Balai Lab. Kesehatan Mataram, 1979.

5. K. Suastika dkk. Prevalensi hepatitis B Antigen pada suatu kelompok Keluarga di desa Banjar Bali, Medika (April) 1982; 8 (4).

6. Moeslichan S dkk. Frekuensi Antigen Hepatitis B dan Antibodi Hepatitis B di Indonesia, Medika (Agustus) 1976; 11 (3).

7. HM. Syaifoellah Noer dkk. Prevalence of acute viral hepatitis in Jakarta, Indonesia. Acta Medics Indon (Juli–Agustus) 1983; 4.

8. L Ratna B dkk. Survai Kesehatan Rumah Tangga 1986, Data Statistik Departemen Kesehatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan. Jakarta, 1986.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 36

Page 38: Cdk 068 Hepatitis

Interpreting Hepatitis B Markers

Hepatitis B Markers Pattern Number HBsAg HBeAg Anti

HBc Anti HBe

Anti HBs

Interpretations

I Indicates susceptibility to hepatitis B infection. Patient has never hati hepatitis B infection or is in the early incubaton period of infection.

II + May indicate past resolved infection with selective loss of anti-HBc and anti-HBeorimmunisation without infection – either passive temporary immunisation with HBIG active long-term immunisation with hepatitis B vaccine. Noninfectious.

III. + Late incubation od or very early stage of acute infection. Infectious

IV + + Early state of acute infection. Highly infectious

V + + Like pattem VI, this indicates past rpsolved HBV infection but anti-HBe not persistent or detectable. Suggests immu- nity to subsequent infections. Noninfectious

VI ± + + Indicates past resolved HBV infection:.suggests immu- nity to subsequent infections. Noninfectious

VII + + + Acute or chronic infection. Highly infectious VIII + + Acute or chronic infection: stage after HBeAg has disap-

peared but anti-HBe not yet detectable. Follow-up sero- logy indicated. Infectious

IX + + + + Mid-to-late stage of acute infection or chronic carrier state. Period of seroconversion from HBcAg to anti- HBe. Follow-up serology indicated. Infectious

X + + + Mid-to-late stage of acute infection or chronic carrier state. Follow-up serology indicated. Potentially infectious

XI + This most often represents remote resolved infection with selective, loss of anti-HBs. This may also represent the 'window' phase of an acute infection; chronic infection with HBsAg below the limits of detection; or an erroneous test result. Remotely potentially infectious

XII + + This may represent resolving infection with anti-HBs not yet detectable; infection in the distant past with non- persistent anti-HBs; or, rarely, current infection with HBsAg below the limits of detection. Remotely poten- tially infectious

XIII + A rate profile that most likely represents an erroneous test result. Repeat serology indicated.

XIV + Probably erroneous test result. If anti-HBe were truly positive, then anti-HBc and perhaps anti-HBs should also be positive. Repeat serology indicated.

XV + + + + A profile observed occasionally that could indicate circu- lating immune complexes of HBsAg in similar propor- tions so that both remain detectable; HBsAg and anti-HBs of different subtypes; or an erroneous anti-HBs test result. Infectious

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 37

Page 39: Cdk 068 Hepatitis

Typical Serologic Profile of Acute HBV Infection

If applicable, marker patterns can be plotted on the graphic dicating the points at which they are most likely to occur. In general for a resolving infection, HBeAg is present more transiently than HBsAg. Anti-HBe may not be detected even in a resolved infection.

HBV = hepatitis B virus HBsAg = hepatitis B surface antigen HBeAg = hepatitis B antigen Anti-HBc = antibody to hepatitis B core antigen Anti-Hbe = antibody to hepatitis B antigen Anti-HBs = antibody to hepatitis B surface antigen

A day is waisted when you haven’t laughed

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 38

Page 40: Cdk 068 Hepatitis

Komplikasi Obesitas dan Usaha Penanggulangannya

A. Guntur Hermawan Laboratorium IlMu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta

PENDAHULUAN

Dahulu, gemuk merupakan suatu kebanggaan dan merupa-kan kriteria untuk mengukur kesuburan dan kemakmuran suatu kehidupan, sehingga pada saat itu banyak orang berusaha men-jadi gemuk dan mempertahankannya sesuai dengan status sosial-nya. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya justru sebaliknya; kegemukan, atau obesitas selalu berhubungan dengan kesakitan dan peningkatan kematian. Sekitar tahun 1970an beberapa penelitian epidemiologik melaporkan bahwa peningkatan berat badan yang berlebihan/obesitas selalu berhubungan dengan resiko tinggi kesakitan dan kematian, sehingga merupakan masalah besar bagi kesehatan masyarakat.1 2

Obesitas biasanya makin tinggi angka kejadiannya sesuai dengan peningkatan usia, kekerapan terjadi obesitas akan makin meningkat. Di Amerika Serikat, 20% laki-laki dan 40% wanita usia pertengahan menderita obesitas. Di Indonsia belum ada penelitian kekerapan obesitas ini, tetapi dari studi pen-dahuluan proyek pencegahan penyakit jantung dan pembuluh darah di Jakarta Selatan didapatkan suatu profit kekerapan obesitas sebesar 11,3%, pria 2,9% dan wanita 18,9%.

Pada penelitian selanjutnya temyata obesitas sering me-nimbulkan komplikasi berupa kelainan jantung, hipertensi, dia-betes melitus, gangguan pernafasan dan pada usia lanjut sering menyebabkan kelainan sendi.2

Walaupun obesitas dapat menimbulkan berbagai penyulit tetapi masih bersifat reversibel, oleh karena itu dianjurkan untuk melakukan pendekatan yang sesuai dan mengena ter-hadap problema masing-masing penderita. BATASAN

Banyak cara untuk menentukan apakah seseorang menderita obesitas atau tidak, yaitu dengan Index Broca, index massa tubuh, mengukur lipatan kulit trisep dan skapula dan berat badan relatif.

Dalam klinis cara yang paling banyak digunakan adalah menghitung berat badan relatif dengan rumus :

Berat Badan Relatif = berat badan

X 100% tinggi badan – 100 Keterangan :

90% – 110% : normal 120% – 130% : obesitas ringan< 90% kurang dari normal 130% – 140% : obesitas sedang

110%– 120% : lebih dari normal > 140% : obesitas berat KOMPLIKASI OBESITAS

Dalam berbagai penelitian telah diketahui bahwa obesitas merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya penyakit lain, misalnya sesak nafas/sistim pernafasan dan pada penderita usia lanjut sering terjadi osteoartrosis.2

Obesitas dan Hipertensi

Penelitian tahun 1959 menunjukkan adanya hubungan lang-sung antara hipertensi dengan berat badan yang berlebihan; penelitian Framingham juga menemukan adanya kenaikan tekanan darah pada dewasa muda yang mempunyai berat badan lebih, namun masih banyak diperlukan informasi untuk men-jelaskannya. Selain itu beberapa penelitian epidemiologi telah membuktikan pula adanya hubungan yang linier antara obesitas dan hipertensi; hubungan kausalnya belum dapat diketahui dengan pasti, namun dalam pengamatan selanjutnya apabila penderita obesitas diturunkan berat badannya maka tekanan darahnya akan turun pula; oleh karena itu timbul beberapa teori yang dikemukakan mengenai adanya hubungan tersebut, diantaranya yaitu :

Mekanisme hemodinamik.

Alexander dalam penelitiannya mendapatkan peningkatan volume darah sekuncup dan volume darah pada penderita obesitas bila dibandingkan dengan yang bukan obesitas. Juga terdapat peningkatan tahanan perifer pembuluh darah penderita obesitas normotensi bila dibandingkan dengan penderita yang bukan obesitas. Sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 39

Page 41: Cdk 068 Hepatitis

volume sekuncup, volume darah dan peningkatan tahanan perifer memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi pada obesitas. Aktivitas saraf simpatis

James dkk. menemukan pada penderita wanita obesitas yang diturunkan berat badannya ternyata terjadi juga penurunan tekanan darah dan denyut jantung serta pada pemeriksaan urinenya terdapat peningkatan sisa-sisa metabolisme kateko-lamin yaitu : 4-hidroksi 3-metoksi mandelikasid, sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan katekolamin merupakan akibat dari aktivitas saraf simpatis yang meningkat. Endokrin

Miller dkk. dalam penelitiannya mendapatkan adanya pening-katan kadar insulin dan aldosteron dalam plasma penderita obesitas. Aldosteron akan mengurangi ekskresi Na dalam glome-ruli, begitu juga insulin pada percobaan binatang dengan jelas mengurangi pula sekresi Na dalam glomeruli; dalam beberapa hal keadaan ini diperkirakan juga terjadi pada manusia, sehingga adanya peningkatan insulin dan aldosteron akan menyebabkan retensi Na dalam darah yang mengakibatkan terjadinya pe-ningkatan volume darah, yang menyebabkan hipertensi.

Para peneliti tersebut di atas semua sepakat bahwa menurun-kan berat badan akan menurunkan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung (dikutip dari 4).

Obesitas dan Penyakit Jantung Iskemik

Penelitian Framingham menunjukkan meningkatnya resiko kematian mendadak yang sangat menyolok baik pada pria ataupun wanita dengan obesitas. Wanita obesitas mempunyai resiko 13 kali lebih banyak mengalami kematian mendadak dan kesakitan dibandingkan dengan wanita yang tidak obesitas. Da hasil penelitian tersebut timbul dugaan apakah obesitas berpengaruh langsung terhadap terjadinyaarteriosklerosiskoro-ner.5

Pada penelitian terhadap binatang yang dibuat obesitas ter-nyata peningkatan terjadinya arteriosklerosis tidak dapat dibukti-kan. Sehubungan dengan keadaan tersebut maka diadakan pengamatan pada penderita obesitas yang dengan pemeriksaan angiografi memperlihatkan sklerosis arteria koronaria, ternyata tidak terbukti pada pemeriksaan bedah mayat; oleh karena itu arteriosklerosis tidak berhubungan dengan kenaikan berat badan. Ada pendapat bahwa obesitas tidak langsung menyebab-kan terjadi arteriosklerosis koroner, tetapi hanya merupakan tambahan risiko terjadinya serangan penyakit jantung koroner.6 Skema hubungan antara obesitas dan penyakit jantung koroner :

Obesitas dan Diabetes Melittus

Obesitas ternyata juga mempengaruhi metabolisme tubuh manusia; yang sangat menyolok dan sering terjadi adalah hubungan langsung antara obesitas dengan diabetes melitus.

Pada obesitas kemungkinan terkena diabetes melitus.2,9 kali lebih sering bila dibandingkan yang tidak obesitas.

Di Amerika telah dilaporkan pula bahwa penderita obesitas yang umumya 20 – 45 tahun mempunyai kecenderungan ter-kena diabetes melitus 3,8 kali lebih sering bila dibandingkan dengan penderita yang berat badannya normal. Sedangkan yang umurnya 45 – 75 tahun kecenderungan terjadinya diabetes melitus 2 kali lebih sering dari yang berat badannya normal.2 Dikemukakan pula bahwa penderita obesitas sering mengalami hiperglikemi tetapi dalam keadaan hiperinsulinisme; keadaan ini mungkin karena adanya resistensi insulin yang meningkat atau kurang pekanya reseptor insulin terhadap adanya hiperglikemi.

Ada pula yang mengatakan bahwa pada penderita obes diabetik, kelainan dasarnya adalah gangguan keseimbangan kinetik sekresi insulin. Sekresi insulin terlambat sehingga kadar glukosa darah tidak dapat dikontrol secara teratur dan terdapat peningkatan sekresi insulin sehingga cenderung terjadi hiper-insulinisme yang disertai dengan peningkatan resistensi insulin. Kecuali itu, hiperglikemi dan hiperinsulinemi dapat pula disebabkan oleh karena kualitas insulin yang abnormal, adanya produk/ hormon yang bersi fat antagonis terhadap insulin atau berkurangnya jumlah reseptor yang sensitif pada membran sel.

Obesitas dan Gangguan Pernafasan Pada penderita obesitas terdapat timbunan lemak pada

rongga dada dan rongga perutnya sehingga akan menyebabkan ganggu= an proses pernafasan; oleh karena itu pada obesitas cenderung terjadi penurunan kapasitas pant yang akan mengakibatkan penurunan fungsi paru. Kelainan ini bila dalam keadaan berat dengan tanda-tanda somnolen dan hipoventilasi disebut dengan Pickwickian syndrome. Keadaan ini akan menghilang bila penderita menurunkan berat badannya.2

Obesitas dan Kelainan Sendi Setiap peningkatan berat badan lebih dari normal akan me-

nimbulkan beban yang berlebihan pada sendi penyangga berat badan, dan ini cenderung menyebabkan trauma ringan tetapi terus-menerus dan akan berakhir menjadi osteoartrosis (OA) baik primer ataupun sekunder.8

Engel dalam penelitiannya atas populasi penduduk yang dibagi menjadi 4 grup, ternyata grup yang mempunyai berat badan berlebihan dengan umur makin tua cenderung lebih cepat menderita OA. Sendi yang terkena adalah sendi penyangga berat badan yaitu punggung, pangkal paha, lutut dan pergelangan kaki.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan obesitas dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu pengobatan dasardan pengobatan terhadap komplikasinya.

Pengobatan Dasar 1) Diet.

Dianjurkan diet dengan rendah kalori tetapi cukup gizi, ialah 15 – 20 kalori/kg.bb.,dengan komposisi 20% protein, 65% karbohidrat dan 15% lemak, komposisi tersebut mirip dengan komposisi diet B1 dari Askandar.4

Diet yang tak lazim misalnya diet hanya dengan protein saja (tiger diet), diet tidak makan nasi sama sekali, pada saat sekarang ini tidak sesuai lagi.3

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 40

Page 42: Cdk 068 Hepatitis

2) Olah Raga. Di samping mempercepat metabolisme, juga dapat membuat

kondisi tubuh lebih segar dan dapat menambah estetika. Olah raga dimaksudkan agar jumlah kalori yang dikeluarkan tubuh lebih banyak daripada jumlah kalori yang masuk.

Dengan olah raga yang baik akan terjadi peningkatan metabolisme. 1 10

3) Obat-obatan. Obat-obatan yang banyak digunakan untuk obesitas terdiri

dari obat penahan nafsu makan di antaranya alah golongan amfetamin, obat yang meningkatkan/mempercepat metabo-lisme tubuh misalnya preparat tiroid, obat pemacu keluarnya cairan tubuh misalnya diuretika; pencahar. Namun obat-obat tersebut bila digunakan dalam jangka panjang akan menyebab-kan efek samping sangat merugikan tubuh. Oleh karena itu penggunaannya sebaiknya disertai kontrol ketat. 11

4) Pembedahan. Operasi jejuno-ileal by-pass dilakukan memotong sebagian

usus halus yang menyerap makanan, tetapi resikonya cukup besar sehingga hal tersebut harus dilakukan dengan indikasi yang cukup kuat, yaitu apabila obesitas tak dapat diobati dengan tindakan konservatif 3

Operasi pengambilan jaringan lemak (adipektomi), lebih cenderung bersifat estetika. Pengobatan terhadap komplikasi 1) Hipertensi

Pada prinsipnya hampir semua peneliti dan para ahli ber-pendapat bila berat badan ditumnkan maka tekanan darah akan turun dengan sendirinya. Tetapi kadang-kadang diperlukan juga pengobatan antihipertensi; juga perlu diperhatikan apakah penderita obesitas menggunakan obat-obat yang dapat meningkatkan tekanan darahnya. 2) Penyakit Jantung Iskemik

Seperti apa yang telah dibicarakan di atas, obesitas bukan merupakan penyebab langsung terjadinya penyakit jantung iskemik, tetapi hanya merupakan faktor resiko saja; (lihat skema) Apabila aktivitas fisik dijalankan dengan baik dan teratur maka kemungkinan terjadinya penyakit jantung iskemik akan berkurang. 3) Diabetes Melittus

Penderita obes dengan diabetes melitus diberi diit rendah kalori yaitu 15 – 20 kalori/kg bb/hari. Selain itu sering didapat-kan kurangnya sensitivitas terhadap pemberian insulin tetapi responsif terhadap sulfonil urea.

Pemberian insulin harus dengan dosis yang lebih tinggi, kemudian ditumnkan secara perlahan-lahan. Askandar (1980) menetapkan penumnan dosis tersebut sebesar 2 unit per kali,

disertai peningkatan penggunaan OAD sampai adekuat.94) Osteoartrosis

Pada obesitas dengan kelainan sendi (OA), tindakan utama adalah memberikan diet untuk menurunkan berat badan dengan tujuan mengurangi beban pada sendi penyangga berat badan; bila nyeri sekali sebaiknya sendi diistirahatkan dan dilakukan fisioterapi, bila tak teratasi dapat diberikan obat-obatan anti radang nonsteroid (NSAID), kadang-kadang dapat pula diberi-kan steroid intra artikuler.8 RINGKASAN

Penderita obesitas adalah penderita yang mempunyai berat badan lebih dari 120% dari berat badan normal. Sering menderita komplikasi yang berupa hipertensi, penyakit jantung iskemik, diabetes melitus, sesak nafas, OA.

Penatalaksanaannya pada dasarnya adalah menurunkan berat badan dengan cara diet rendah kalori, olah raga, obat-obatan dan kadang-kadang pembedahan. Sedang untuk komplikasi kadang-kadang diperlukan obat anti hipertensi, untuk menghindari penyakit jantung iskemik dapat dilakukan dengan mengurangi ataupun menghilangkan faktor resikonya.

Untuk obes diabetes diberikan diet rendah kalori, insulin dari dosis yang adekuat ditmnkan dosisnya secara bertahap dan diberikan OAD. Untuk OA dilakukan diet dan fisioterapi dan bila perlu dapat diberikan obat anti radang bukap steroid dan steroid intra artrikuler.

KEPUSTAKAAN

1. Cahill JG. Obesity. In : Metabolism. Scientific American Inc. 1985. p. 1-6. 2. Van Itallie BT. Health implication of overweight and obesity in United

States. Ann Intern Med 1985; 103 : 983 - 8. 3. Sutedjo. Obesitas, hubungannya dengan kesehatan jantung. Simposium

sehari pengaruh kegemukan pada estetika tubuh, Jakarta 1988. 4. Dustan HP. Obesity and Hypertension.Ann Intern Med 1985;103: 1047-9. 5. Connor ELB. Obesity, Arteriosclerosis and Artery Disease. Ann Intern

Med 1985; 103 : 1010-8. 6. Stallon RA. Epidemiology Studies of Obesity. Ann Intern Med 1985; 103 :

1003-10. 7. Watters K, Aucoin F. Managing the obese diabetic : the value of

Diamicron. Treating Diabetes an educational series. Servier Lab Ltd. 3. p. 5-7.

8. Wallace SL. Gout, Pseudogout and Osteoarthritis. In : Geriatric Medicine the Treatment of Disease in Elderly. Harris R (ed.) 1982. p. 121-6.

9. Askandar Tj. Dasar-dasar pengobatan Diabetes Melittus. Simposium peng-obatan dan perawatan melittus 1980. Hal 1-22.

10. Danfort E. Diet and Obesity. Am J Clin Nutrition 1985. p. 5-7. 11. Hedi Rosmiati, Wardani BP. Penanggulangan kegemukan dengan obat-

obatan. Kegemukan Masalah dan Pengobatannya Jakarta; FKUI 1986. Hal. 45-52.

Don’t just grow old – grow up

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 41

Page 43: Cdk 068 Hepatitis

Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis Mycology, Immunology,

and Clinical Aspects

Rosihan Anwar*, M. Mochtar Tarigan** * Laboratory of Microbiology, Faculty of Medicine, Islamic University of

North Sumatra, Medan ** Laboratory of Pulmonology, Faculty of Medicine, Islamic Universigy of

North Sumatra/PTP IX Hospital, Medan

ABSTRACT Allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) is a chronic disease, occurs in

patients with atopic asthma whose respiratory tracts become colonized with Aspergillus spp.

The most common etiology of ABPA is Aspergillus fumigatus (Al). Antigenic material from Af stimulates production of IgE, IgG, IgA antibodies and possibly sensitizes: lymphocytes. Subsequently causes the generation of immune complexes, the pathogenesis depend on types I dan II of immunologic reactions. Five stages, based on clinical, roentgenographic, and immunologic criteria, have been identified : (I) acute, (II) remission, (III) exacerbation, (IV) corticorsteroid-dependent asthma and (V) pulmonary fibrosis.

The clinical diagnostic features of ABPA include : (1) asthma: (2) blood : eosinophilia (> 1,000/cu mm); (3) immediate cutaneous reactivity to Al antigen; (4) precipitating antibodies against Af antigen; (5) elevated serum IgE concentration (> 1.000 ng/uL); (6) history of roentgenographic infiltrates (transient or fixed); (7) central bronchiectasis; and (8) elevated serum IgE and IgG antibodies to Af. The main treatment of ABPA are bronchodilators and corticosteroids.

Key words : Allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA); Aspergillus fumigatus; immunologic reactions; diagnostic; treatment.

PENDAHULUAN

Aspergilosis bronkopulmonum alergika (allergic bron-chopulmonary aspergillosis = ABPA) ialah penyakit kronis saluran pernafasan, yang terjadi pada penderita asma atopi akibat kolonisasi jamur Aspergillus spp''2. Pertumbuhan jamur tersebut menyebabkan terbentuknya bahan antigen dengan kadar yang tinggi di dalam paru. Faktor predisposisinya belum jelas dan bila tidak diobati akan menyebabkan bronkiektasis dan fibrosis paru' .

Kasus pertama ABPA didiagnosis di Inggris pada tahun 1952 dan kasus pertama di Amerika Serikat ditemukan pada tahun 19683. Di Medan (Indonesia) kasus tersangka ABPA pernah pula dilaporkan pada tahun 19874. Dalam kaitan

penanggulangan ABPA, penting sekali dilakukan diagnosis dini dan pemberian kortikosteroid' 2. Dengan demikian penyakit tersebut dapat dikendalikan untuk mencegah terjadinya bronkiektasis yang menetap.

Untuk mengenal lebih mendalam ABPA maka dalam makalah ini dikemukakan aspek-aspek mikologis, imunologis dan klinis ABPA. MIKOLOGI

Jamur Aspergillus spp terdapat di mana-mana di alam ini. Ia tumbuh sebagai jamur saprofit pada tumbuh-tumbuhan yang membusuk dan terdapat pula pada tanah, debu organik, makanan dan merupakan kontaminan yang lazim ditemukan

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 42

Page 44: Cdk 068 Hepatitis

di rumah sakit dan laboratorium. Jamur tersebut juga merupa-kan flora normal rongga mulut dan saluran pernafasan bagian atass Di dalam paru yang normal adanya jamur tersebut umumnya tidak menimbulkan penyakit. Akan tetapi pada paru dengan kelainan kronik atau adanya gangguan kekebalan akibat pemakaian steroid, sitostatika, antibiotika, kolonisasi jamur itu dapat menjadi permanen.

Aspergillus spp adalah jamur dimorfik, yaitu jamur yang di dalam jaringan membentuk filamen-filamen panjang bercabang dua dan di dalam media biakan membentuk miselia dan konidioforas,6. Di dalam jaringan pant; Aspergillus tumbuh dan membentuk hifa bersepta, bercabang dan banyak di antaranya bercabang dua; gambaran ini dapat digunakan untuk identifikasi jamur tersebut. Bila' jamur tumbuh dalam rongga paru, sering membentuk konidiofora yang tipenya persis sama dengan yang dibentuk dalam pembiakan sehingga dapat diidentifikasis. Aspergillus berkembang biak dengan pembentukan hifa atau tunas dan menghasilkan konidiofora pembentuk spora. Sporanya tersebar bebas di udara terbuka sehingga inhalasinya tidak dapat dihindarkan dan masuk melalui saluran pernafasan ke dalam paru. Spora tersebut dapat pula dengan mudah ditangkap dengan membuka pelat biakan Sabouraud di udara terbuka 3,5,6

Aspergillus dapat diidentifikasi di dalam jaringan dengan pulasan Hematoksilin & Eosin (HE). Akan tetapi identifikasi dan morfologinya akan nampak lebih baik bila dilihat dengan pulasan Gridley, periodic acid-Schiff (PAS) atau Gomori-methenamine-silver (GMS)s''. Hifanya berdiameter 7–10 urn, bersepta, bercabang dengan sudut 45 derajat dan sering mem-bentuk susunan seperti jarijari lingkaran bila ditemukan di tempat-tempat bebas3'5.

Dewasa ini telah dikenal lebih dari 600 spesiesAspergillus dan selusin atau lebih yang dapat menimbulkan penyakit6. Dalam hal ini yang paling sering menyebabkan ABPA adalah Aspergillus fumigatus, A. flavus dan A. niger. Kadang-kadang dapat pula disebabkan oleh A. terreus, A. clavatus dan A. glaucuss,6'8

Aspergillus spp, terutama A. fumigatus dan A. flavus menghasilkan sejumlah metabolit toksik berupa toksin, tetapi tidak ada petunjuk yang membuktikan bahwa toksin tersebut ada hubungannya dengan ABPA. Dalam hal ini A. fumigatus menghasilkan endotoksin, sedangkan A. flavus menghasilkan aflatoksiin s -7. PATOLOGI

Pada dasarnya ABPA terselubung oleh gambaran patologik asma bronkial. Bronki tersumbat oleh plug mukus yang secara histologis mengandung mukus yang melekat, fibrin, spiral Curschman, kristal Charcot-Leyden, eosinofil, sel-sel mononukleus dan aspergilli3'8. Hifa jamur nampak pada lumen bronki dan Aspergillus dapat diisolasi pada biakan.

Meskipun hifa banyak ditemukan di dalam lumen tersebut, tetapi tidak terjadi invasi terhadap dinding bronki. Lesi-lesi morfologik lain yang dapat terjadi pada penderita ABPA ialah pneumonia eosinofilik, pneumonia lipida, vaskulitis pulmonum, fibrosis. pulmonum dan granulomatosis bronki sentral3. Di samping itu dapat pula terjadi bronkiektasis8 .

PATOGENESIS ABPA diawali oleh salah satu sebab, yaitu terperangkap-

nya miselia Aspergillus spp dalam plug mukus penderita asma atau kolonisasi Aspergillus spp pada saluran pemafasan (bronchial tree) penderita asma. Material antigenik dari Asper-gillus spp tersebut merangsang produksi antibodi IgE, IgG, IgA dan mensensitisasi limfosit. Asma bronkial pada sebagian ABPA melibatkan degranulasi sel mast dan melepaskan IgE yang mengakibatkan peningkatan resistensi jalan udara. Ter-jadinya bronkiektasis yang dikaitkan dengan kelainan ini diduga akibat pembentukan 'kompleks-imun di dalam jalan udara proksimal. Reaksi tanggap-kebal (immune-response) ini dapat dilihat pada individu-individu yang terpapar antigen.

Bila dilakukan penyuntikan antigen secara intradermal pada sekelompok penderita, maka akan menyebabkan reaksi indurasi dan kemerahan. Dari percobaan ini diketahui bahwa lebih dari separuh penderitanya memberikan respons terhadap antigen yang disuntikkan. Kemudian akan timbul reaksi Arthus dengan adanya edema dan eritema. Reaksi ini biasanya timbul setelah 3 jam penyuntikan dengan puncak reaktivitas pada jam ke-8 dan resolusinya terjadi dalam 24 jam. Berdasarkan studi imunofluorensi terhadap biopsi kulit dari penderita tersebut di atas ternyata menunjukkan deposisi IgG, IgM, IgA dan komplemen.

Pada keadaan lain, pemberian inhalasi antigen secara dini pada penderita menyebabkan bronkokonstriksi akut. Sedangkan terjadinya reaksi lambat dari paru dimulai kirakira 10 jam setelah inhalasi antigen itu dan berakhir setelah 1–3 hari. Hal ini dikaitkan dengan gejala-gejala konstitusional, termasuk demam, malaise dan anoreksia. Reaksi lambat tersebut berupa peningkatan resistensi jalan udara dan dapat pula disertai wheezing. Reaksi lambat ini tidak responsif . terhadap pemberian bronkodilator. Akan tetapi keadaan itu dapat dihambat dengan pemberian kortikosteroid. Dari bukti tersebut diketahui bahwa antigen yang menyebabkan reaksi Arthus pada kulit sepadan dengan antigen yang menyebabkan reaksi lambat pada paru. Bila rekuren, akan mengakibatkan bronkiektasis proksimal yang menetap.

Pada beberapa penderita telah dibuktikan pula bahwa penyakit saluran pernafasan tersebut disebabkan oleh hiper-sensitivitas lambat (delayed hypersensitivity). Spesimen biopsi paru pada penderita-penderita ini menunjukkan granuloma dan sebukan (infiltrasi) sel mononukleus dalam jaringan peribronkiall. Jadi patogenesis ABPA ini tergantung pada reaksi imunologik tipe I dan III dan mungkin pula tipe IV9. GAMBARAN KLINIK

ABPA khas ditemukan pada individu dewasa muda sampai usia pertengahan dengan asma bronkial atopi dan riwayat asma rekurenl,a,9.. Kendatipun demikian dapat juga terjadi pada usia yang lebih muda dan yang lebih tua. Penderita ABPA ini biasanya menunjukkan reaktivitas kulit yang cepat terhadap A. fumigatus, jamur jamur lain dan antigen inhalan. Mereka juga umumnya memiliki gambaran alergi lainnya, misalnya : rinitis alergika, konjungtivitis alergika, eksema atopik, urtikaria, anafilaksis dan terutama alergi makanan3. Keluhan yang tidak khas antara lain anoreksia, kehilangan berat badan, kelelahan yang progresif dan gejala seperti flu

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 43

Page 45: Cdk 068 Hepatitis

umumnya. Keluhan lain yang lazim ditemukan adalah hemop-tisis dan nyeri dada.

Gejala-gejala dan tanda-tanda yang umum ditemukan adalah : demam, bronkitis, produksi dahak yang banyak disertai dengan cast bronkial kecoklatan mengandung eosinofil dengan kadar yang tinggi dan elemen.elemen jamur serta asmal's'9. Pemeriksaan fisik menunjukkan wheezing menyeluruh dan ronki yang terlokalisasi. Secara ringkas petunjuk klinis-imunologik utama ABPA dapat dilihat pada Tabel I. Tabel 1. Pedoman Klinis-Imunologik Aspergilosis Bronkopulmonum

Alergika

1. Individu atopik dengan riwayat asma. 2. Hipersensitivitas kulit yang cepat (immediate type) terhadap antigen

Aspergillus. 3. Bronkiektasis sentral. 4. Eosinofili dahak dan darah. 5. Peninggian IgE serum total dan IgE spesifik anti Aspergillus. 6. Peninggian IgG precipitin serum terhadap Aspergillus fumigatus.

Sumber : kepustakaan 1.

Stadia ABPA Bertitik tolak dari riwayat alamiahnya telah diketahui lima

stadia ABPA, yang ditentukan atas dasar kriteria klinis, radiologik dan imunologik (Tabel II)10. Kelima stadia tersebut terdiri atas : akut, remisi, eksaserbasi, asma dependen-kortikosteroid dan fibrosis. Stadia ini sering hanya dapat ditetapkan setelah•perawatan selama 1-2 bulan. (I) Stadium akut.

Stadium akut, ciri khasnya ditandai dengan adanya semua tanda-tanda utama, gejala-gejala klasik dan temuantemuan laboratoris pada saat diagnosis10. (II) Stadium remisi.

Stadium remisi dengan ciri khas lesi-lesi radiologik yang menjadi bersih, penurunan IgE serum total, terkendalinya gejala-gejala gangguan pernafasan dan penghentian kortikos-teroid selama lebih dari 6 bulan tidak menimbulkan rekurensi. Remisi yang lama dan menetap dapat terjadi setelah peng-obatan stadium akut dengan kortikosteroid, sedangkan korti-kosteroid oral untuk pemeliharaan tidak dibutuhkan. Pada beberapa penderita yang mengalami remisi, asma dapat men-jadi refrakter terhadap teofilin, beta agonis dan kromolin. Dalam hal ini mungkin diperlukarl pemberian beklometason dipropionat dengan inhalasi. Remisi yang lama tidak berarti menunjukkan remisi yang menetap, karena masih mungkin terjadi eksaserbasi3,10

(III) Stadium eksaserbasi. Stadium eksaserbasi terjadi bila penderita-penderita

menunjukkan semua karakteristik stadium akut atau bila IgE serum total penderita mengalami kenaikan dua kali lipat yang berhubungan dengan gambaran infiltrat radiologik yang baru, sedangkan penyebab infiltrat yang lain telah dikesampingkan (bakteri,'virus dan sebagainya). Remisi setelah eksaserbasi diinduksi dengan kortikosteroid, sedangkan pemberian korti-kosteroid jangka panjang tidak diperlukan pada penderita tersebut3. (IV) Stadium asma dependen-kortikosteroid. Stadium ini timbul bila penderita membutuhkan korti-

Tabel 2. Stadia Aspergilosis Bronkopulmonum Alergika atas dasar kriteria klinis, Radiologik & Imunologik.

Stadium I : Akut

Klinis : demam, bronkitis, produksi dahak. asma. Laboratoris : peninggian IgE serum; eosinofili darah. Radiologis : infiltrat paru. Penatalaksanaan : kortikosteroid untuk mencapai remisi. Stadium II Remisi

Klinis : asimtomatik Laboratoris : penurunan IgE dan eosinofili darah. Radiologis : resolusi infiltrat paru akut. Penatalaksanaan : kortikosteroid pemeliharaan tidak diperlukan. Stadium III : Eksaserbasi Klinis : memperlihatkan simtom akut atau asimtomatik. Laboratoris : bila simtomatik : peninggiān kadar IgE; bila asimtomatik : remisi kadar IgE. Radiologis : penampakan temuan baru, misalnya: infiltrat,

sumbatan mukoid dan sebagainya. Penatalaksanaan : induksi remisi dengan kortikosteroid; kortikosteroid

pemeliharaan tidak diperlukan. Stadium IV Asma dependen-kortikosteroid

Klinis : simtomatik; asmanya membutuhkan pengobatan kortikosteroid jangka panjang.

Laboratoris : peninggian kadar IgE. Radiologis : bervariasi. Penatalaksanaan : kortikosteroid jangka panjang. Stadium V Fibrosis

Klinis : dispnea dan manifestasi lain dari penyakit paru fibrotik.

Laboratoris : uji faal paru menunjukkan kelainan obstruktif yang menetap dan atau restriktif; kadar IgE bervariasi (peninggian IgE ini mungkin mencerminkan aktivitas yang berlanjut).

Radiologis : fibrosis pulmonum. Penatalaksanaan : kortikosteroid jangka panjang.

Sumber : kepustakaan 3, 10

kosteroid oral terus-menerus untuk mengendalikan asma atau mencegah eksaserbasi rekuren ABPA atau keduanya. Dosis kortikosteroid oral yang dipeilukan untuk mengendalikan asma tersebut biasanya tidak cukup untuk mencegah eksaserbasi ABPA. Pada keadaan ini, ABPA sukar dibedakan dengan eksaserbasi asma, ABPA yang berkembang atau keduanya3,0

(V) Stadium fibrotik. Stadium fibrotik timbul bila nampak perubahan-perubahan

fibrotik yang meluas pada pemeriksaan radiologis toraks dan adanya penyakit pan.' obstruktif yang menetap yang diketahui dengan uji faal paru. Baik lesi paru mauptln kelainan faal paru tidak dapat lagi berubah secara sempurna dengan pemberian prednison dosis tinggi. Pada beberapa penderita nampak adanya komponen obstruktif yang reversibel dan penderita ini sering memerlukan pemberian kortikosteroid dosis tinggi3"10. Korpulmonal, kegagalan pernafasan dan kematian dapat terjadi pada beberapa penderita ABPA3,10

Uji faal paru penderita-penderita ABPA menunjukkan suatu defek obstruktif, sedangkan penderita dengan penyakit paru kronik dapat pula menunjukkan pola restriktif tetapi dengan persentase yang kecill .

Uji kulit terhadap Aspergillus positif hampir pada seluruh

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 44

Page 46: Cdk 068 Hepatitis

kasus ABPA yang menimbulkan baik reaksi cepat ataupun reaksi lambat/reaksi Arthus selama 5–6 jam. Reaksi cepat harus dipertimbangkan sebagai salah satu penunjang diagnostik karena ditemukan hampir pada semua kasus. Reaksi presipitin Aspergillus diidentifikasi pada lebih kurang 70% penderita. Sedangkan obstruksi jalan nafas hampir merupakan gambaran yang tetap dan pengurangan kapasitas difusi terjadi pada sebagian besar penderita8. RADIOLOGI

Perubahan-perubahan radiologik pada ABPA dapat ber-sifat sementara atau menetap. Perubahan-perubahan radiologik yang bersifat sementara dapat menunjukkan paru yang bersih dengan atau tanpa pemberian kortikosteroid. Gambaran ini terjadi oleh karena timbulnya infiltrat pada lobus bagian atas, sumbatan mukoid atau sekret dalam bronki yang mengalāmi kerusakan. Pola radiologik tersebut dapat menyerupai tuberkulosis, infeksi jamur lain atau fibrosis kistikl,3,°'9. Umumnya gambaran radiologik yang bersifat sementara itu terdiri dari : (1) infiltrat perihiler yang menyerupai adenopati, (2) air fluid level bronki sentral yang mengalami dilatasi terisi cairan dan debris, (3) konsolidasi homogen masif unilateral atau bilateral, (4) infiltrat radiologik, (5) bayangan tooth paste yang ditimbulkan oleh sumbatan mukoid pada bronki yang mengalami kerusakan, (6) bayangan glove finger dari bronki distal yang tertutup oleh sekresi dan (7) bayangan tramline, yang terdiri atas bayangan hairline paralel yang melebar dari hilum dan terjadi karena edema dinding bronkus. Gambaran radiologik yang menetap terjadi dari bronkiektasis proksimal, berupa bayangan-bayangan garis sejajar dan bayangan-bayangan cincin. Bayangan-bayangan garis sejajar merupakan bayangan tramline yang diperbesar akibat bronkiektasis. Sedangkan bayangan cincin adalah bronki yang mengalami dilatasi yang terlihat dari depan (en face)3 . Fibrosis paru juga merupakan kelainan yang menetap.

Gambaran radiologik normal pam belum dapat me-ngesampingkan diagnosis ABPA. Apalagi kalau dugaan ABPA eukup tinggi, maka sebaiknya dilakukan tomografi atau bronkografi. Bronkografi tersebut harus dilakukan terutama pada penderita-penderita tersangka ABPA1'3. Beberapa gam-baran radiologik ABPA lanjut menunjukkan kavitasi, emfisema lokal, lobus atas yang mengkerut dan fibrosis sarang lebah. Kadang-kadang terlihat kolaps pam total yang terjadi sekunder akibat sumbatan mukoid pada bronk utama. Pneumotoraks dapat pula ditemukan pada ABPA yang sudah lanjut (far advanced), terutama bila terlihat adanya bula di dalam pam, namun hal tersebut jarang terjadi3 .

LABORATORIUM3

Penderita-penderita ABPA memperlihatkan reaktivitas kulit wheal dan flare (reaktivitas kulit yang cepat) terhadap antigen A. fumigatus (Af). Kira-kira sepertiganya memiliki reaktivitas kulit bifasik. Bila dilakukan biopsi pada penderita dengan reaksi lambat (4–8 jam), akan menunjukkan adanya IgG, IgM, IgA dan C3 yang menyokong reaksi Arthus (tipe III). Penderita biasanya memiliki antibodi presipitating ter-hadap Af selama stadium akut ABPA. Lebih kurang 25% penderita asmatik tanpa ABPA menunjukkan reaktivitas

kulit yang cepat terhadap Af dan 10% memperlihatkan antibodi presipitating positif terhadap Af. Oleh karena itu parameter tersebut tidak spesifik untuk ABPA.

Biakan dahak positif berulang terhadap Af sangat mem-bantu diagnosis, meskipun bukan gambaran patognomonik ABPA. Eosinofili darah perifer khas terlihat pada penderita-penderita yang tidak diobati, tetapi tidak meninggi pada penderita penderita yang memperoleh kortikosteroid untuk mengendalikan asmanya.

Kadar IgE serum meninggi dan Af yang tumbuh di dalam saluran pernafasan memberikan rangsangan yang poten ter-hadap peninggian IgE serum total. Meskipun kenaikan IgE serum total amat tinggi tetapi tidak seluruhnya merupakan akibat langsung dari Af karena bila diberikan terapi korti-kosteroid, kadar IgE serum total itu akan menurun dalam waktu 4–8 jam.

Pengukuran dengan polystyrene radioimmuno-assay me-nunjukkan bahwa keiiaikan IgE serum dan antibodi IgG terhadap Af paling sedikit 2 dali lebih tinggi pada penderita-penderita asma yang peka terhadap kapang (Molds), yang menunjukkan reaktivitas kulit yang cepat terhadap Af daripada yang bukan penderita ABPA. Pengukuran antibodi ini dapat dilakukan pada seluruh penderita yang diduga ABPA. Meskipun demikian pada uji in vitro transformasi limfosit (LTT) terhadap imunitas seluler (cell-mediated immunity) pada penderita-penderita ABPA menunjukkan hasil positif namun tidak memperlihatkan reaksi hipersensitivitas lambat (tipe IV) terhadap antigen Aspergillus intradermal.

Basofil penderita ABPA umumnya melepaskan histamin yang lebih besar terhadap Af _dan jamur jamur lain daripada penderita asma yang sensitif terhadap kapang. Diketahui pula bahwa basofil penderita ABPA stadium IV dan V melepaskan histamin yang lebih banyak terhadap Af daripada stadium I, II atau III.

Hiperreaktivitas bronki terhadap Af merupakan karak-teristik yang memperlihatkan respons ganda (dual response) pada penderita ABPA. Satu di antarānya adalah penurunan cepat aliran udara yang kemudian dibarengi dengan rekurensi obstruksi dalam waktu 4 – 10 jam terutama pada beberapa penderita. Reaksi cepat dapat dicegah oleh beta-2 agonis dan reaksi lambat dapat dicegah dengan kortikosteroid. Sedangkan Na-kromolin dapat mencegah baik reaksi cepat maupun reaksi lambat.

Uji kepekaan-inhalasi bronki dengan Af tidak diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis ABPA karena kemungkinan timbulnya resiko yang tidak diinginkan, terutama pada pen-derita ABPA yang memberikan reaksi lama dan obstruksi bronkial yang berat.

Kompleks-imun yang beredar dapat terjadi selama reaksi akut/flare dengan aktivasi jalur klasik dari sistem komplemen. Bukti lain dari peranan sistem komplemen pada ABPA adalah Af dapat mengkonversi C3 proaktivator menjadi C3 aktivator. ABPA sendiri tidak menyerupai serum sickness walaupun ia merupakan prototipe penyakit kompleks-imun. Pada keadaan lain kompleks-imun di dalam bronki dapat mengakibatkan kerusakan paru.

DIAGNOSIS Agaknya tidak ada petunjuk patognomonik untuk diag-

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 45

Page 47: Cdk 068 Hepatitis

nosis ABPA, tetapi cukup berdaisar kepada kumpulan pe-nemuan pada pejamu yang rentan dengan riwayat klinis yang sesuai (Tabel III)l"° Kriteria diagnostik primer terdiri atas : riwayat asma, infiltrat paru rekuren, eosinofili darah perifer, peninggian IgE serum, antibodiprecipitating terhadap antigen Aspergillus dan hipersensitivitas kulit yang cepat terhadap antigen Aspergillusl,8. Tidak adanya kriteria yang disebut terakhir ini dan penemuan cast kadang-kadang dapat me-nyangsikan diagnosis ABPA. Umumnya penderita ABPA menunjukkan sebagian besar kriteria yang disebut di .atas. Akan tetapi infiltrat paru mungkin tidak terjadi atau tidak ditemukan. Sedangkan eosinofili, peninggian IgE dan infiltrat paru dapat terselubung karena pemberian kortikosteroid terutama pada asma kronik. Sementara itu antibodi preci-pitating membutuhkan teknik-teknik khusus untuk mem-buktikannyal . Tabel III. Kriteriā Diagnostik Aspergilosis Bronkopulmonum Alergika

Kriteria diagriostik utama

1. Asma bronkial 2. Eosinofili perifer (> 1000/uL) 3. Respons yang cepat berupa wheal & flare terhadap Aspergillus

fumigatus 4. Antibodi presipitin terhadap A. fumigatus 5. Peninggian IgE serum (> 1000 ng/uL) 6. Riwayat infiltrat paru (sementara atau menetap) 7. Bronkiektasis sentral 8. Peninggian kadar IgE serum dan antibodi IgG terhadap antigen A.

fumigatus Kriteria diagnostik tambahan

1. Hasil positif biakan A. fumigatus dari dahak 2. Riwayat pengeluaran plug kecoklat-coldatan dalam dahak 3. Reaktivitas kulit lambat (tipe Arthus) terhadap uji intrakutan dengan

antigen A. f<migatus 4. Penurunan IgE total setelah pemberian prednison.

Sumber: kepustakaan 1,3,10. DIAGNOSIS DIFERENSIAL

Diagnosis diferensial ABPA termasuk penyakit-penyakit yang menyebabkan infiltrat radiologik dan keadaan itu di-hubungkan dengan bronkospasmus. Misalnya penderita-penderita dengan asma yang tidak dikendalikan secara adekuat yang memiliki sumbatan mukoid dan atelektasis3. Di samping itu infiltrat dapat terjadi pada penderita asmatik yang terkena infeksi sekunder bakteri atau virus. Eosinofili darah perifer dapat pula terlihat pada tuberkulosis, sarkoidosis, infeksi parasitik dan sindroma Loeffler, vaskulitis Churg-Strauss, neoplasma, pneumonitis hipersensitivitas dan pneumonia eosinofilik kronikl,3

Penderita-penderita dengan fibrosis kistik yang memiliki asma dan bronkinya disertai dengan kolonisasi Af sukar sekali dibedakan dari ABPA, karena penderita-penderita ini mem-perlihatkan bronkiektasis pada pemeriksaan radiologisl,3

Sebaliknya, patut diperhatikan bahwa ABPA dapat terjadi pada penderita-penderita dengan fibrosis kistik.

Granulomatosis bronki sentral dikaitkan dengan asma, adanya jamur non-invasif dan pada beberapa kasus dengan sumbatan mukoid. Secara histologis granulomatosis meng-gantikan membrana mukosa bronki yang terlihat bersamaan

dengan sebukan eosinofil. Dalam hal ini laporan biopsi akan dapat menentukan kasus tersebut apakah ABPA atau bukan3.

Meskipun secara klasik ABPA disebabkan oleh Af, tetapi ada pula beberapa kasus yang disebabkan oleh spesies Asper-gillus yang lain. Pada tahun-tahun terakhir ini dilaporkan pula organisme penyebab yang lain yang termasuk kapang atau bakteri. Misalnya : Stemphylum sp, Helminthosporium sp, Pseudomonas aeruginosa, Curvularia lunata, Candida albicans, Drechslera hawaiiensis, Torulopsis glabrata yang dapat menyebabkan reaksi bronkopulmonum alergik. Dengan memanfaatkan uji serologik dan kesadaran dokter yang me-ningkat, maka identifikasi jamur lain yang menyebabkan reaksi alergik peru tersebut dapat dibuktikan3"11. Uji faal paru

Uji faal paru tidak secara jelas menunjukkan tingkat kerusakan paru yang diinduksi oleh ABPA. Studi jangka panjang terhadap ABPA memperlihatkan tanda variabilitas dalam kapasitas total paru (TLC), kapasitas vital (VC), volume pernafasan paksa pada menit pertama (FEV1), kapasitas vital paksa (FEV I%) dan kapasitas difusi (Dco). Tetapi pengukuran ini tidak berkorelasi dengan lamanya ABPA atau asma.

Uji faal paru selama eksaserbasi akut ABPA dapat mem-perlihatkan reduksi yang besar dalam TLC, VC, FEV1 dan Dco, yang akan kembali ke garis dasar dengan pemberian kortikosteroid. Akan tetapi pada beberapa kasus tidak ada perubahan dalam volume atau kecepatan aliran yang dapat ditemukan selaina eksaserbasi3. PENGOBATAN

Telah banyak yang digunakan dalam pengobatan ABPA. Beberapa di antaranya ialah amfoterisin-B, mikostatin, Na-kromolin dan beklometason dipropionat3'7. Akan tetapi tidak satu pun yang memuaskan. Pada saat ini, obat utama yang banyak digunakan adalah bronkodilator dan prednison yang merupakan obat terpilih untuk pengobatan ABPA1"3,8. Bronkodilator biasanya memperbaiki komponen asmatik dari penyakit tersebut, sedangkan prednison di samping memper-baiki komponen asma, juga dibutuhkan untuk mencegah bronkiektasisl. Prednison akan memperbaiki lesi-lesi yang terlihat pada hasil pemeriksaan radiologis paru, mengurangi gejala-gejala. klinis, menurunkan kadar IgE serum total dan menurunkan insidensi biakan positif Af dari dahak3. Prednison harus diberikan dalam dosis sedang sampai tinggi selama kurun waktu yang lama, biasanya beberapa minggu sampai beberapa bulan, keeuali bila tidak terbukti penyakitnya mengalami perubahan. Sebagian besar penderita membutuhkan pemberian kortikosteroid terus-menerus, kendatipun sering dengan dosis rendah. Pemberian bahan anti jamur atau hiposensitisasi tidak menunjukkan hasil yang memuaskanl,s

Perlu dijelaskan bahwa kortikosteroid dapat menurunkan volume dahak, sehingga membuat kondisi bronki kurang sesuai untuk Af dan menghambat reaksi imunologik (antigenantibodi) yang bersifat toksik. Menurut salah satu kelompok peneliti yang melakukan follow-up terhadap ABPA selama 5 tahun, dilaporkan bahwa efikasi pemberian prednison dalam mempertahankan hasil pengobatan secara klinis ditemukan pada 80% penderita.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 46

Page 48: Cdk 068 Hepatitis

Pengobatan eksaserbasi ABPA yang ttrbaru adalah pem-berian prednison harian, dengan dosis 0.5 mg/kg/hati yang diberikan sebagai dosis tunggal pagi hari3'8 . Dosis ini biasanya cukup untuk mencapai lesi paru dalam waktu 2 minggu, pada saat itu dosis yang sama dapat diubah menjadi selang sehari ("single alternate-day"). Dosis ini dipertahankan minimal selama 3 bulan. Bila pemeriksaan radiologis menunjukkan kemajuan dan diperoleh penurunan kadar IgE serum total yang besar, dapat dilakukan pengurangan dosis. Dalam hal ini dapat dicoba penurunan 5 mg/bulan.

Pengobatan ABPA umumnya bersifat individual, ber-gantung kepada stadium, frekuensi eksaserbasi dan keparahan asmanya. Setiap bulan kadar IgE serum total harus diperiksa dan bila ada peninggian dua kali lipat dari kadar normal, diperlukan pemeriksaan radiologis untuk mengesampingkan kemungkinan eksaserbasi ABPA. Perlu dicatat bahwa sebagian besar eksaserbasi ABPA terjadi selama kurun waktu tertentu pada saat hitungan jumlah kapang di udara bebas lebih tinggi. Pengurangan kortikosteroid selama kurun waktu ini dapat dilakukan secara selektif. Hal ini bervariasi sesuai dengan lokasi geografik tempat tinggal penderita dan aktivitas individual penyakit.

Pemeriksaan radiologis dilakukan bukan untuk mengetahui frekuensi ABPA, tetapi untuk mengetahui perkembangan kerusakan paru. Pemeriksaan dikerjakan setiap 3–6 bulan pertama tahun pertama dan kemudian tiap tahun. Lebih lanjut dilakukan evaluasi IgE secara berkala dan pemeriksaan radiologis paru untuk mengeluarkan kemungkinan adanya infiltrat yang terjadi selama eksaserbasi. Hal tersebut diperlukan untuk memperoleh serial kadar IgE serum total. Uji faal paru dapat dilakukan tiap tahun.

Imunoterapi dengan Af tidak dapat diberikan kepada penderita ABPA, karena adanya pandangan tentang peranan kompleks-imun dalam patogenesis penyakit tersebut sehingga pemberian imunoterapi tersebut masih harus dipertimbangkan. Sebagai profilaksis, imunoterapi mungkin dapat diberikan untuk memperkecil paparan terhadap penderita ABPA dengan material yang mengandung kadar Af tinggi, misalnya : timbun-an kompos, bahan-bahan organik dan butir-butir padi di tempat penyimpanan3 .

PROGNOSIS Prognosis dikaitkan dengan derajat i eversibilitas bron-

kiektasis atau fibrosis paru. Bila penyakit diketahui secara dini, yakni sebelum adanya perubahan yang ireversibel maka prognosisnya baik dan biasanya hanya membutuhkan prednison dosis kecil. Sedangkan penderita-penderita dengan penyakit paru fibrotik harus lebih berhati-hati karena penyakit berkembang menjadi penyakit paru progresif dan penderita meninggal karena penyakit paru stadium akhir meskipun mendapat pengobatanl .

KEPUSTAKAAN

1. Brown GP, Hunninghake GW. Pulmonary disease. Dalam: Stites DP, Stobo JD, Wells N. (eds.) Basic and Clinical Immunology 6th ed. Norwalk/Los Altos : Appleton & Lange, 1987; hal. 481-488.

2. Halde C. Infectious diseases : mycotic. Dalam : Krupp MA, Chatton MI. (eds.) Current Medical Diagnosis and Treatment. Los Altos Lange Med. Publ., 1983; p. 943–951.

3. Ricketti AJ, Greenberger PA, Mintzer RA, Patterson R. Allergic bronchopulmonary asperg-iilosis. Chest 1984; 86 (5) : 773–778.

4. Tandjung A, Rosihan Anwar, Pelly R, Nasution K. Penelitian mikosis paru. Dalam : Darwis ER, Lubis A. (eds.). Kumpulan Makalah Simposium Penyakit karena Infeksi Jamur dan Penanggulangannya. Medan : Lab. I.P. Kulit & Kelamin FK–USU/ RSPM dan Janssen Research Council Indonesia, 1987; p. 34–44.

5. Emmons CW, Binford CH, Utz JP. Medical Mycology. Philadelphia : Lea & Febiger, 1964; p. 200–217.

6. Rippon JW. Medical mycology : the pathogenic fungi and the pathigenic actinomycetes. Dalam : Freeman BA (ed.), Burrows Textbook of Microbiology, 22th ed. Tokyo : Igaku Shoin/WB Saunders, 1985; p. 874–937.

7. JawetzE, Melnick JL, Adelberg EA. Review of Medical Micro-biology. 15th ed. Los Altos : Lange Med. Publ., 1982; p. 300.

8. Weg JG. Chronic respiratory tract infections. Dalam : Guenter DA, Welch MH. (eds.), Pulmonary Medicine, 2nd ed. Philadelphia: JB Lippincott, 1982; p. 389–473.

9. Hinshaw HC, Murray JF. Diseases of the Chest. 4th ed. Philadelphia : WB Saunders, 1980; p. 409.

10. Mendelson EB, Fisher MR, Mintzer RA, Halwig M, Greenberger PA. Roentgenographic and clinical staging of allergic bronchopulmonary aspergillosis. Chest 1985; 87 (3) : 334 – 339.

11. Akiyama K, Mathison DA, Riker JB, Greenberger PA, Patterson R. Allergic bronchopulmonary candidiasis. Chest 1984; 85 (5) : 699–700.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 47

The only way to help yourself is to help others

(Elbert Hubbard)

Page 49: Cdk 068 Hepatitis

Malaria pada Kehamilan

Emi liana Tjitra

Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN

Angka kematian ibu karena kehamilan dan persalinan, dan angka kematian bayi di Indonesia masih jauh lebih tinggi dibandingkan di negara maju. Oleh sebab itu kesehatan ibu dan anak menjadi prioritas pada Repelita V. Hal ini sangat tepat, karena di tangan ibu terdapat kesejahteraan keluarga dan negara, sedangkan anak adalah penerus pembangunan bangsa.

Dalam Sistim Kesehatan Nasional, malaria merupakan penyakit menular yang perlu diperhitungkan karena selain menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi, juga sewaklu-waktu dapat menimbulkan wabah dan menyerang semua golongan umur (Depkes RI, 1984).

Malaria pada wanita hamil ternyata ditemukan lebih banyak dibandingkan pada wanita yang tidak hamill. Sedang-kan pada kehamilan, malaria berat lebih sering dijumpai dan angka kematiannya lebih tinggi dibandingkan dengan ibu ibu yang tidak hamil2 , selain itu selama kehamilan juga terjadi peningkatan prevalensi dan kepadatan parasit falsiparum3. Sedangkan di daerah tropis, malaria falsiparum pada kehamilan merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian janin dan ibu4 7. Dari hal-hal tersebut di atas terlihat bahwa malaria pada kehamilan perlu mendapat perhatian khusus. BATASAN

Malaria pada kehamilan adalah malaria yang timbul selama kehamilan, yang dibuktikan dengan adanya parasit Plasmodium dalam darah, atau pada plasenta yang dilahir- kan8. INSIDENS

Prevalensi malaria pada wanita hamil paling tinggi di-temukan pada umur kehamilan 13 – 16 minggu8, sedang- kan menurut McGregor dkk (1983) pada umur kehamilan 4 dan 5 bulan6. Dari hasil penelitian McGregor (1984) pada

wanita hamil (15 – 45 tahun) di Gambia, diketemukan bahwa prevalensi dan kepadatan parasit paling tinggi pada primipara, kemudian menurun sesuai dengan bertambahnya paritasl. Sedangkan dari hasil penelitian prospektif terhadap 60 wanita primipara di Afrika, prevalensi dan kepadatan parasit juga lebih tinggi pada wanita hamil dibandingkan baik terhadap wanita tersebut sebelum hamil atau wanita tidak hamil sebagai kelompok kontrol, yang tinggal dalam jangka waktu dan lingkungan yang sama9.

KEKEBALAN

Malaria sendiri bersifat imunosupresif10, dan banyak faktor yang berperan dalam terjadinya imunosupresi pada kehamilan, antara lain tingginya kadar steroid adrenal, korionik gonadotropin dari plasenta, alpha fetoprotein, dan penekanan fungsi limfosit yang ditemui pada wanita hamil. Adanya imunosupresi ini diperkuat dengan menurunnya nilai rata-rata dari IgG dan IgA pada masa kehamilanu

McGregor (1984) juga membuktikan bahwa antibodi spesifik malaria dari wanita hamil dengan parasitemia, lebih rendah dibandingkan dengan wanita hamil sehatl. Hilangnya kekebalan pada hamil muda sama dengan menurunnya 11 (sebeias) kali lipat dari kekebalan pada saat sembuh dari infeksi malaria.8. KEADAAN PLASENTA

Pada intervilli plasenta terdapat banyak eritrosit yang berisi parasit, dan monosit yang memakan pigmen. Juga di-temukan nekrosis fokal dari sinsitia, hilangnya mikrovilli sinsitial, proliferasi sel sitotrofoblas, penebalan yang tak teratur dan nyata dari dasar membran trofoblas, dan penonjolan seperti lidah dari sinsitiotrofoblast ke dalam dasar membran i2 .

Umumnya infeksi pada plasenta lebih berat daripada di darah tepi13. Plasenta dapat mengandung banyak eritrosit yang terinfeksi parasit (sampai 65%), meskipun pada darah

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 48

Page 50: Cdk 068 Hepatitis

tepi dapat tidak ditemukan parasit14. Jadi tidak ada korelasi antara kepadatan parasit pada darah tepi dan plasenta dari wanita hamil yang baik perkembangan kekebalannya's Pada imigran yang datang dari daerah non endemis ke daerah endemis, dapat terjadi keadaan yang berlawanan yaitu sering menunjukkan parasitemia tinggi tanpa infeksi plasenta yang berat16

Plasenta yang banyak mengandung pigmen tetapi tak ada parasitnya, menunjukkan adanya infeksi lama atau infeksi yang tak aktif. Demikian pula tidak tampak kumpulan monosit, atau kelainan trofoblas, tetapi terdapat penebalan dasar membran. Secara imunohistologis tak ada perbedaan bermakna antara plasenta yang positip parasit dengan plasenta yang hanya berpigmen12. KOMPLIKASI Abortus, prematuritas, kematian janin, dan bayi lahir mati.

Hal ini terjadi karena adanya gangguan atau mikrosirkulasi yang berhenti pada plasenta1638

Demam yang tinggi pada penderita malaria, mengaktifkan uterus sehingga dapat menyebabkan pengeluaran hasil pembuahan9. Pada daerah yang rendah endemisitasnya, diduga ada hubungan antara terjadinya abortus dengan infeksi malaria. Sedangkan di daerah yang holoendemis tidak ada hubungan nyata antarainfeksi malaria dan terjadinya abortus16

Mengenai bayi lahir mati, McGregor (1983) berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara bayi lahir mati dengan infeksi plasenta. Ternyata bayi lahir mati di daerah urban tertinggi pada paritas yang tertinggi pula, sedangkan di daerah lain tertinggi pada primigravidal,b

label 1. Angka bayi lahir mati per 1.000 kelahiran menurut tempat

tinggal, jenis kelamin bayi, status infeksi malaria pada plasenta, dan paritas'.

Tempat Janis kelamin Status malaria Paritas

tinggal bayi plasenta 0 1 dan 2 > 2

Urban laki-laki negatif 31,9 64,4 91,1 positif 48,1 37,0 71,4 wanita negatif 21,8 17,9 39,4 positif 59,4 111,1 81,1

Daerah laki-laki negatif 111,6 62,3 84,4 lain positif 118,2 93,0 86,3

wanita negatif 101,1 35,8 79,8 positif 112,2 34,5 51,7

Berat badan lahir rendah.

Insidens tertinggi berat badan lahir rendah diketemukan pada primigravida's,isao Dalam hal ini berat badan lahir rendah ( < 2.500 g ) diduga akibat gangguan sirkulasi darah plasenta sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan.

Beberapa peneliti di Afrika (Nigeria dan Uganda) men- dapatkan adanya hubungan antara berat badan lahir bayi dengan infeksi malaria plasenta17-21. Hubungan ini jelas terlihat pada primigravida; berat badan bayi waktu lahir dari ibu primigravida dengan malaria, lebih rendah dibandingkan ibu multigravida, dan tak tergantung dari jenis kelamin bayi22. McGregor tidak menemukan adanya kecenderungan penurun- an berat badan lahir bayi dengan meningkatnya kepadatan

parasit ibu, dan bayi berat badan lahir rendah tidak selalu dilahirkan oleh ibu dengan plasenta yang terinfeksi berat" Malaria kongenital.

Plasenta merupakan barier utama dari parasit malaria, dan status kekebalan ibu berperan menghambat transmisi tersebut"'23 Oleh sebab itu pada banyak ibu-ibu yang non imun dan semi imun terjadi transmisi malaria intra-uterin ke janin, walaupun mekanisme transplasental dari parasit ini masih belum diketahui. Pada ibu ibu yang berasal dari daerah endemis, meskipun infeksi plasenta sering terjadi, insidens malaria kongenital sangat rendah24. Insidens malaria plasenta di daerah endemis sangat bervariasi, rata-rata 30%. Insidens malaria kongenital pada ibu-ibu semi-imun 0–3%, dan tertinggi pada ibu-ibu non imun : l0%23,25. Mekanisme transplasental ini dapat disebabkan karena penetrasi langsung melalui villi chorion, separasi plasenta yang prematur, dan transfusi fisiologis darah ibu ke sirkulasi darah janin di dalam uterus atau pada saat melahirkan26. Rupanya kekebalan pasif dari ibu (IgG) dapat melindungi janin dalam uterus sampai beberapa minggu setelah dilahirkan27.

Gejala klinis malaria kongenital umumnya ditemui pada bayi umur 3–8 minggu, sesuai dengan umur paruh IgG ibu26. Selain IgG ibu, HbF (hemoglobin fetal), HbS, Thalasemia, defisiensi G–6PD, sekresi limfokin, makrofag, atau pengobatan malaria selama kehamilan, dapat mencegah transmisi dari plasenta ke sirkulasi janin 23,28-3° . Partus sulit.

Pembesaran limpa yang dapat mencapai pelvis, dan pembesaran hati merupakan faktor mekanis yang mendesak diafragma dan menyulitkan persalinan31

Anemia.

Anemia pada kehamilan dengan malaria sering dijumpai, biasanya merupakan anemia hemolitik, dan umumnya pada umur kehamilan 16–24 minggu9,32,33. Patogenesis anemia hemolitik ini masih belum jelas, mungkin merupakan akibat nutrisi dan parasitnya sendiri. Perrin (1982) mengatakan bahwa faktor kekebalan memegang peranan panting dalam menentukan penyebab anemia yang berhubungan dengan malariam. Anemia juga dapat disebabkan karena umur eritrosit yang lebih pendek; sifat itu bertahan sampai beberapa minggi setelah infeksi9,35Adanya eritrofagositosis terhadap eritrosit yang tidak mengandung dan yang mengandung parasit di dalam organ dalam, juga menyebabkan timbulnya anemia36

Hematokrit tak berkorelasi dengan parasitemia atau infeksi plasenta atau plasenta dengan pigmen37. McGregor (1984) mendapatkan data bahwa penurunan kadar hemoglobin dalam hubungannya dengan parasitemia, terbesar terjadi pada primigravida, kemudian berkurang sesuai dengan peningkatan paritas' (tabel 2).

Gangguan ginjal. Hal ini jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh Plasmo-

dium malariae. Dapat juga akibat penyakit lain, misalnya keracunan kehamilan24. Seringkali penderita dengan gangguan ginjal disertai dengan malaria otak, sehingga sukar dibedakan dengan keracunan kehamilan3a

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 49

Page 51: Cdk 068 Hepatitis

Tabel 2. Kadar Hb (g%) dari wanita Kaneba berdasarkan status para-sitemia, kehamilan, dan paritasr .

Parasi- Wanita tak hamil Wanita hamil temia (15–44 tahun) PO P1 dan P2 P3

Negatip 12,18+1,67 11,73+1,92 11,05+1,74 10,92+1,80 ( 1.672 )* (27) (83) (253)

Positip 11,62+1,84 10,55+1,74 10,58+1,71 10,79+1,64 (586) (48) (53) (68)

Perbedaar x 0,56 1,18 0,47 d;13

Keterangan: * jumlah yang diperiksa. P = paritas.

Hipoglikemia Pada wanita hamil dengan infeksi berat sering dijumpai

hipoglikemia39,4o Hipoglikemia ini adalah sebagai akibat berkurangnya suplai glukosa karena terjadinya hiperin-sulinemia, asidemia dan disfungsi hati, yang semuanya meng-hambat proses glukoneogenesis. Di samping itu kebutuhan glukosa meningkat karena adanya hiperinsulinemia, demam, infeksi, dan kehamilan40,41

PENCEGAHAN

Malaria falsiparum sangat berbahaya terutama pada trimester terakhir kehamilan, dan angka kematiannya sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan penderita lain. Seringkali janin-nya juga meninggal seperti ibunya42. Oleh sebab itu pen-cegahan perlu dilakukan sedini mungkin.

Kemoprofilaksis Kemoprofilaksis dianjurkan di daerah endemis tinggi,

terhadap ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita, dengan maksud mengurangi komplikasi pada kehamilan, agar ibu dapat menyusui bayi-bayi yang baru dilahirkan, bayi lahir sehat, dan mengurangi kematian neonatal dari bayi-bayi yang lahir sehat33. Kemoprofilaksis tidak mencegah terjadinya infeksi, tetapi dapat menekan dan membatasi konsentrasi parasit di dalam darah (sison) sehingga tak dijumpai gejala klinis43.

Klorokuin, amodiakuin, dan obat-obatan inhibitor dihi-drofolat reduktase (perimetamin, proguanil dan klorproguanil) cukup aman untuk kemoprofilaksis ibu hamil. Pemberian obat-obatan tersebut harus disertai dengan asam folat terutama pada trimester I. Pada kehamilan lanjut, bila diberikan obat antimalaria yang mengandung sulfonamid, teoritis dapat menyebabkan kernikterus; tetapi ternyata tak ada data kuat-yang melarang menggunakan Fansidar® atau Maloprim® untuk ibu hamil. Wanita menyusui tidak dapat diberi obat, tersebut karena diekskresi melalui air susu ibu sehingga sangat berbahaya untuk bayi berumur kurang dari 6 minggu karena beberapa sistem ensim bayi tersebut belum berkembang; sedangkan penggunaan tetrasiklin harus dihindarkan4 .

Vaksinasi Sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang aman dan

efektif. PENGOBATAN

Di daerah yang sensitif klorokuin digunakan klorokuin 1,5 g, atau dengan amodiakuin 1,2 g, selama 3 hari.

Tabel 3. Obat-obatan kemoprofilaksis malaria untuk ibu hami1 '43,44

Daerah Obat Dosis oral Efek samping Nama dagang

Sensitif klorokuin Resisten Klorokuin

klorokuin amodiakuin klorokuin+ proguanil SP (sulfa- doksin/sul- falen+piri metamin klorokuin+ dapsone+ pirimetamin

300 mg/mgg 300 mg/mgg 300 mg/mgg 200 mg/hr 1 tab/mgg (S=500 mg P = 25 mg) 300 mg/mgg 100 mg/mgg 12,5 mg/mgg

neuroretinitis gangguan penglihatan neutropenia def.as.folat neutropenia reaksi kulit agranulosi- tosis hemolisis def.as.folat

Nivaquine®

Resochine®

Camoquine®

Paludrine®

Fansidar®

Maloprim®

Tabel 4. Pengobatan oral malaria akut pada kehamilan33'44.

Hari pengobatan Klorokuin Amodiakuin

Hari I 6 jam kemudian Hari II Hari III

600 mg 300 mg 300 mg 300 mg

600 mg –

300 mg 300 mg

Di daerah yang resisten klorokuin digunakan SP (Fan-

sidar®), 3 tablet, dosis tungga144. Menurut Mashaal (1986) kerja Fansidar lambat, sehingga perlu didahului pemberian kina 3 tablet/hari (1 tablet = 600 mg) selama 2 hari dan kemudian diikuti 2 tablet Fansidar33. Penggunaan Fansidar selama kehamilan harus di bawah pengawasan ketat dokter karena efek sampingnya yang teratogenik. Mengingat komplikasi bila tidak diobati, maka pada kasus-kasus yang akut dapat diberikan kina 3 tablet/hari selama 7 hari44.

Pada dosis terapeutik kina sangat cepat mengendalikan infeksi malaria, demam tinggi, mencegah terjadinya kelahiran prematur, dan kematian janin. Kina sendiri dapat merangsang kontraksi otot-otot uterus yang dapat menyebabkan abortus, tetapi hal ini sangat jarang. Kina lebih sering menyebabkan anemia hemolitik akut atau trombositopenia45.

Dari hal-hal yang telah dikemukakan di atas, dapat di-ambil kesimpulan bahwa kina merupakan obat yang efektif dan cepat untuk pengobatan malaria berat pada wanita hamil, dan kehamilan bukan merupakan kontra indikasi penggunaan kina. Pengobatan tambahan

Bila terjadi hipoglikemia, berikan glukosa 50% intravena, dilanjutkan dengan infus 5–10% glukosa44 .

Bila terjadi anemia besi diberikan preparat besi sebagai berikut (tabel 5)

Bila terjadi anemia megaloblastik, diberikan asam folat 5 mg/hari. Asam folat ini sebaiknya diberikan secara rutin untuk profilaksis33'44

Bila terjadi defisiensi vitamin B12, diberikan vitamin B12 dengan dosis 100–1.000 mikrogram sehari46 .

Bila terjadi anemia berat, dikoreksi dengan pemberian

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 50

Page 52: Cdk 068 Hepatitis

transfusi darah. Tabel 5 Pemberian oral preparat besi untuk wanita hamil.

Preparat Kadar Fe (mg/tablet) Dosis (tablet/hari)

Fe–sulfat. 7 H20 Fe–sulfat, desiccated Fe–glukonat Fe–fumarat Fe–glisin sulfat

64 58 39 66

105 40

2 2

2–3 2 1 2

KESIMPULAN 1) Wanita hamil terutama primipara mudah mendapat infeksi malaria, lebih tinggi kepadatan parasitnya, dan lebih berat manifestasi klinisnya karena adanya imunosupresi selama kehamilan. 2) Parasit malaria dapat ditemukan dalam darah wanita hamil, placenta atau keduanya. 3) Abortus, prematuritas, kematian janin, bayi lahir mati, berat badan lahir rendah, malaria kongenital, partus sulit, anemia, gangguan ginjal, dan hipoglikemia merupakan komplikasi malaria pada kehamilan. 4) Pencegahan dengan kemoprofilaksis harus dimulai sedini umur kehamilan, sebelum ditemukan vaksin malaria yang memenuhi syarat. 5) Pengobatan diutamakan pada keselamatan ibu dan anak, dan tampaknya kina aman untuk pengobatan malaria pada kehamilan.

KEPUSTAKAAN

1. McGregor IA. Epidemiology, Malaria and Pregnancy. Am J Trop Med & Hyg 1984; 33 (4) :. 517–25.

2. WHO. The Clinical Management of Acute Malaria. WHO Regional Publ South East Asia Series no. 9. Thomas Press (India) Ltd, 1980.

3. Bray RS, Anderson MJ. Falciparum malaria in pregnancy. Trans Roy Soc Trop Med and Hyg 1979; 73 (4) : 427–31.

4. Wickramasuriya GAW. Clinical features of malaria in pregnancy. In: Wickramasuriya GAW ed. Malaria and Ankylostomiasis in the pregnant women. London: Oxford University Press, 1937: 5–90.

5. Khanavongs M. Maternal mortality rate at Phaholpolpayuhasuna from 1977–1979. Thai Medical Council Bull 1980; 9 : 877–81.

6. McGregor IA, Wilson ME, Billewicz WZ. Malaria infection of the placenta in the Gambia, West Africa; its incidence and relation-ship to stillbirth, birth weight and placental weight. Trans Roy Soc Trop Med & Hyg 1983; 77 (2) : 232–44.

7. Kietinun S, Somlaw S, Samlaw S. Outcome of pregnancy related in malaria P. falciparum treated with quinine. 27th Siriraj Annual Symposium, March 25–29, 1985: 68–72.

8. Brabin BJ. An analysis of malaria in pregnancy in Africa. Bull WHO 1983; 61 (6) : 1005–16.

9. Gilles HM, Lawson JB, Sibelas M, Voller A, Allan N. Malaria, Anaemia and Pregnancy. Ann Trop Med &Parasitol 1969; 63 (2) : 245 -63.

10. Weidanz WP. Malaria and alterations in immune reactivity. Br Med Bull 1982; 38 : 167–72.

11. McGregor IA, Rowe DS, Wilson ME, Billewicz WZ. Plasma immu-noglobulin concentrations in a African (Gambian) community in relation to season, malaria and other infections and pregnancy. Clin & Experiment Immunol 1970; 7 : 51–74.

12. Galbraith RM, Faulk WP, Galbraith GMP, Holbrook TW. The human materno–foetal relationship in malaria : 1. Identification of pigment and parasites in the placenta. Trans Roy Soc Trop

Med Hyg 1980; 74 (1) : 52–72. 13. McGregor IA. Tropical aspects of the epidemiology of malaria. Israel J

Med Sci 1978a; 14 : 523–33. 14. Blacklock DB, Gordon RM. Malaria infection as it occurs in late

pregnancy; its relation to labour and early infancy. Ann Trop Med Parasitol 1925; 19 : 327–63.

15. Kortmann HFCM. Malaria and pregnancy. MD thesis. University of Amsterdam, Utrecht, Drukkerij Elinkwijk 1972.

16. Lowson JB. Malaria in pregnancy. In: Lawson JB and Stewart DB. (eds). Obstetrics and Gynaecology in the Tropics and Developing Countries. London: E Arnold, 1967 : 59–72.

17. Archibald HM. The influence of malaria infection of the placenta on the indicence of prematurity. Bull WHO 1956; 15 : 842–5.

18. Cannon DSH. Malaria and prematurity in the Western Region of Nigeria. BMJ 1958; 2 : 877–8.

19. Spitz AJW. Malaria infection of the placenta and its influence on the incidence of prematurity in Eastern Nigeria. Bull WHO 1959; 21 : 242–4.

20. Jelliffe EFP. Low birth–weight and malarial infection of the placenta. Bull WHO 1968; 38 : 69–78.

21. Archibald HM. Influence of maternal malaria on newborn infants. BMJ 1958; 2 : 1512–4.

22. McGregor IA. Placental malaria. In: Sterky G, Mellander L (eds). Birth–weight distribution an indicator of social development. Uppsala: Swedish agency' for research cooperation with developing countries 1978b : 17–8.

23. Bruce–Chwatt LJ. Acute malaria in newborn infants. BMJ 1970; 3 : 283.

24. Bruce–Chwatt LJ. Essential Malariology. Heinemann, 1980. 25. Quinn TC, Jacobs RF, Mertz GJ dkk. Congenital malaria : a report

of four cases and a review. J Paediatr 1982; 101 : 229–32. 26. Quinn TC. Parasitic diseases during pregnancy. In: Sciarra JW (ed)

Gynaecology and Obstetrics. Philadelphia: Harper and Row, 1985: 1–27. 27. Edozien JC, Gilles HM, Udeozo 1OK. Protective malarial immunity in

newborn Nigerian infants. Lancet 1962; ii : 951. 28. Pasvol G, Weatherall DJ, Wilson RJM. Effects of foetal hemoglobin on

susceptibility of red cells to Plasmodium falciparum. Nature 1977; 270 : 171–3.

29. Friedman MJ. Erythrocytic mechanism of sickle-cell resistance to malaria. Proc Nat Acad Sci (USA) 1978; 75 : 1994–7.

30. Luzzatto L. Genetics of red cells and susceptibility to malaria. Blood 1979; 54 : 961–76.

31. Maegraith B, Browne SG, Gilles HM, Reid HA, Stamm WP. Adams & Maegraith : Clinical Tropical Diseases. Oxford Blackwell; 1980.

32. Fleming AF dkk. Hemolytic anaemia in pregnancy in Nigeria: recognition by simple laboratory procedures. West African Med J 1969; 18 (3) 82–8.

33. Mashaal H. Clinical malariology: Southeast Asian Medical Information Center. International Medical Foundation of Japan, 1986: 158–67.

34. Perrin LH dkk. The haematology of malaria in man. Seminars in Haematology, 1982; 19 : 70–81.

35. Woodruff AW dkk. Cause of anaemia in malaria. Lancet 1979; 1 : 1055–7.

36. Maegraith BG. Pathological process in malaria and blackwater fever. Oxford: Blackwell, 1948.

37. Jilly P. Anaemia in parturient women with special reference to malaria infection of the placenta. Ann Trop Med & Parasitol 1969; 63 : 109–16.

38. Russell PF, West LS, Manwell RC, MacDonald G. Practical Malariology. London: Oxford University Press, 1963.

39. Migasena S. Hypoglycaemia in falciparum malaria. Ann Trop Med & Parasitol 1983;77 (3) : 323–4.

40. White NJ, Warrel DA, Chathavanich P dkk. Severe hypoglycemia and hyperinsulinemia in falciparum malaria. New Engl J Med 1983; 309 (2) : 61–6.

41. Sherman I W. Biochemistry of Plasmodium (malaria parasites). Microbiol Rev 1979; 43 : 453–95.

42. Warrell DA. Clinical management of severe falciparum malaria. Acta Leidensia 1987; 55 : 99–113.

43. Cook GC. Prevention and treatment of malaria. Lancet 1988; 2 (9) : 32–6.

Page 53: Cdk 068 Hepatitis

44. WHO. The clinical management of acute malaria. WHO Regional Publ. Southeast Asia Series no 9, 2nd ed, 1986.

45. WHO. Draft paper by Prof. R. Desjardins on treatment of uncomplicated falciparum malaria. In: WHO Meeting on Drug Resistant malaria at Kuala Lumpur 1981

46. Hudono ST. Penyakit darah. Ilmu Kebidanan, Edisi pertama. Yayasan Bina Pustaka, Jakarta 1976 : 382-421

47. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Sistim Kesehatan Nasional. Cetakan ketiga. Jakarta, 1984 : 39

48. Logie DE, McGregor IA. Acute malaria in newborn infants. BMJ1970; iii : 404-5.

UCAPAN TERIMA KASIH Ditujukan pada Bapak Dr. Suriadi Gunawan, DPH, Kepala Puslit Penyakit Menular dan kepada Ibu Dra. Hariyani AM yang memberikan saran-saran dalam penulisan ini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 52

Page 54: Cdk 068 Hepatitis

Laporan Kasus Tumor Lidah

dr. Yoen Aulina Rumah Sakit Mitra Keluarga, Jakarta

Seorang wanita berusia 42 tahun mulai dirawat di RS Mitra Keluarga pada tanggal 7 Januari 1991, dengan :

Keluhan Utama

Sariawan di lidah yang tidak sembuh-sembuh sejak empat bulan yang lalu.

Riwayat Perjalanan Penyakit

Sejak empat bulan sebelum dirawat, pasien menderita sa-riawan di pinggir lidah sebelah kanan. Sudah mendapat peng-obatan dengan antibiotik, kamilosan tetes di tempat yang sakit dan vitamin C tapi tidak membawa perubahan. Sariawan makin menebal dan terasa mengganggu. Pasien mempunyai kebiasaan merokok, tidak menyirih.

Pemeriksaan Fisik • Status Generalis : Keadaan umum baik; kompos mentis. – Tekanan darah 130/90 mmHg, frekuensi nadi 72/menit,

frekuensi pernapasan 20/menit, suhu – afebril – Jantung : BJ I-II mumi, murmur (–), gallop (–) – Paru : vesikuler, rhonki (–)/(–) – Abdomen : lemas, hepar dan lien tak teraba • Status Lokalis : – Regio lingualis dekstra 2/3 depan lateral : tampak lesi

ukuran 1,5 X 1 X 1 cm. pada perabaan keras, indurasi (+), tidak melewati garis tengah.

– Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening subman-dibula, submentalis maupun kelenjar getah bening servikalis.

Pemeriksaan Tambahan – Laboratorium : dalam batas normal, tes fungsi hepar normal – Foto Thoraks : Tidak ada tanda-tanda metastasis – EKG : Normal.

Diagnosis

Tumor lidah 2/3 depan lateral dekstra, persangkaan ganas. Rencana Tindakan

Eksisi luas dan sediaan potong beku dalam narkose.

Tindak Lanjut

• Tgl 8 Januari 1991 Dilakukan biopsi insisional dan potong beku – hasil potong beku menunjukkan sel ganas (+) yaitu karsinoma planoseluler. Tindakan dilanjutkan dengan hemiglosektomi dekstra. Semua jaringan tumor diambil untuk diperiksa PA. • Tg110 Januari 1991 Hasil PA : – Karsinoma Planoseluler kornifikans, diferensiasi

sedang sampai baik. – Tepi sayatan bebas tumor. Keadaan pasien setelah pembedahan baik, pasien dipulangkan pada hari ke enam perawatan dan dianjurkan kontrol ke poliklinik bedah. • Tgl 18 Januari 1991 Kontrol Poliklinik Keluhan : sakit (+), kesulitan bicara, menelan lancar. Klinis : St. generalis baik St. lokalis : lidah masih udem, luka operasi baik. Kelenjar getah bening regional tak membesar. PEMBICARAAN KASUS

Seorangwanita,42 tahundengankeluhan sariawandipinggir lidah sebelah kanan yang tidak sembuh-sembuh selama empat bulan, didiagnosis sebagai stomatitis dan telah mendapat terapi antibiotik serta kamilosan tetes pada daerah lesi, tetapi tidal memberikan hasil yang baik bahkan pasien mengeluh sariawan

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 53

Page 55: Cdk 068 Hepatitis

makin mengganggu. Setelah kontrol untuk kesekian kalinya di UGD pasien kemudian dirujuk ke dokter ahli bedah untuk tindak selanjutnya, dari hasil pemeriksaan yang dilakukan ditegakkan diagnosis : tumor lidah dengan persangkaan keganasan.

Keterlambatan menegakkan diagnosis ke arah kemungkinan kanker lidah atau dalam hal merujuk pasien ke ahli bedah me-mang dapat terjadi dalam praktek sehari-hari, karena stomatitis yang kemungkinan etiologinya stres dapat terjadi berulang-ulang namun ada selang dimana pasien bebas dari sariawan, sehingga apabila kita memberi perhatian lebih jauh pada kasus pasien ini kejadian di atas tidak perlu terjadi. Sebab lain adalah kasus kanker lidah sendiri tidak begitu sering ditemukan. Pada kasus dini, gambaran makroskopisnya biasanya hanya berupa penebalan mukosa yang terbatas, dengan atau tanpa erosi dan radang epitel, dan pasien biasanya hanya mengeluh rasa tebal di lidah.

Keganasan lidah pada umumnya ditemukan pada usia di atas dekade IV dan lebih sering ditemukan pada laki-laki. Namun

menurut beberapa ahli, keganasan lidah pada wanita cenderung bertambah, hal ini disebabkan adanya kebiasaan-kebiasaan yang sama seperti pada laid-laid. Biasanya mengenal, 2/3 depan bagian lateral lidah dan jenis PA-nya adalah Ca Skuamosa. Pada kasus ini, pasien termasuk dalam kelompok high risk, kareria itu perlu diingat ada faktor-faktor predisposisi yang secara statistik berhubungan dengan timbulnya keganasan lidah antara lain :

– Kebiasaan merokok – Kebiasaan makan sirih – Kebiasaan minum alkohol – Adanya caries dentis Cara pengobatan yang dipilih pada kasus ini adalah

pembedahan, hemiglosektomi saja, mengingat kasus ini masih dini, tidak ada metastase jauh maupun depat (tidak ada pembesaran getah bening regional), Staging T1NOMO, dengan hasil yang diberikan (menurut kepustakaan) cukup baik dan five-years survival rate-nya mencapai 93%.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 54

Page 56: Cdk 068 Hepatitis

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 55

Page 57: Cdk 068 Hepatitis

Pengalaman Praktek

BILA BERAS JADI MAKANAN KECIL

Seorang teman sejawat dokter gigi, mencabut gigi salah seorang pasiennya yang kebetulan seorang nyonya muda yang baru berumur 25 tahun. Setelah giginya dicabut, ia lalu bertanya kepada dokter gigi. "Dokter, .... habis cabut gigi ini boleh nggak saya makan beras ?", tanyanya dengan nada polos. Dokter gigi pun kelihatan agak bingung mendengar pertanyaan itu. Lalu balik bertanya lagi : "Maksud ibu, makan beras atau makan nasi ?" Pasien pun segera menjawab, "Beras pak Dokter." Sang dokter gigi kelihatan keheranan dan ia pun mulai bertanya tentang kebiasaan nyonya muda itu. Dari jawaban pasien terungkaplah tentang kebiasaannya itu.

Semenjak kecil nyonya muda ini sudah sering makan beras, bahkan kemana saja pergi ia selalu mengantongi beras. Bukan hanya itu, setelah makan nasi atau sarapan di rumah, di atas meja makan pun dihidangkan juga sepiring beras. Gunanya apa ? Bukan adat atau persyaratan, tetapi sebagai "pencuci gigi" setelah makan nasi. Yah, .... seperti pengganti makanan kecil bagi yang suka ngemil.

Dr. Refinaldi Puskesmas Tanjung Redeb, Beran

Kalimantan Timur

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 56

Page 58: Cdk 068 Hepatitis

HUMOR ILMU KEDOKTERAN

KKN Ketika mahasiswa kedokteran se-dang KKN di suatu desa yang agak terpencil, datanglah seorang bocah kecil yang nampaknya rasa ingin tahunya besar sekali kepada maha-siswa itu. Bocah : Mas, KKN itu apaan

sih? Mahasiswa : Oo, Kuliah Kerja

Nyata. Besok kamu kalau sudah jadi mahasiswa juga akan KKN.

Bocah : Salah Mas ! Mahasiswa : Lha yang benar apa ? Bocah : (Sambil berlalu) Kesana

Kemari Ngeceng!

Harry Yogyakarta

YAKIN Sepasang suami isteri menanyakan doktemya sebagai berikut : "Dokter, apa sudah yakin kalau obat yang diberikan pada kami benar-benar dapat mencegah kehamilan ?" Dokter : "Kalau masih ragu, ya lebih baik… jangan membuat dulu …"

Juvelin Jakarta

ANAK 12 ORANG, BEBAS AZAB KUBUR Suatu hari saya bersama Ibu Camat menghadiri pembukaan Posyandu Baru yang ada di wilayah kerja puskesmas saya. Pada saat itu seorang kader posyandu memberitahukan pada saya tentang seorang ibu (sambil menunjuk sang ibu yang dimaksud) yang tidak mau ikut Keluarga Berencana, pada hal anaknya sudah 8 orang. Saya panggil ibu itu, kemudian ia duduk di depan saya. Tujuannya tentu ingin mengetahui kenapa ia tidak mau ikut KB. Dokter : "Anak ibu berapa oiang ?" Ibu : "Delapan orang Pak Dokter." Dokter : "Ibu tidak ikut Keluarga Berencana ?" Ibu : "Tidak Pak Dokter." Dokter : "Lho, …… kenapa tidak, anak ibu kan sudah 8 orang ?" Ibu : "Yah, tidak apa-apa, banyak anak kan banyak rezeki. Apalagi kalau sudah 12

orang, saya Kan bebas dari azab kubur, Pak Dokter." Saya, Ibu Camat, dan kader-kaderposyandu jadi geli mendengar pendapatnya, yang tidak tabu dari mana sumbemya.

Dr. Refinaldi Puskesmas Tanjung Redeb

TULANG PATAH Ketika hendak memetik kelapa, PakNababan tergelincir dan jatuh tunggang langgang dari pohon. Tulang keringnya patah sehingga ia tidak bisa jalan. Isterinya tak kuat menggotongnya ke puskesmas, jadi dipanggillah kemenakannya si Ucok. "Cok, pergilah kau ke Puskesmas dan panggil dokter kemari. Bilang tulangku patah" kata sang paman. Maka pergilah si Ucok ke Puskesmas untuk menunaikan tugasnya. Kebetulan yang bertugas di sana adalah dokter baru yang berasal dari Jawa. Setengah jam kemudian kembalilah ia tanpa disertai dokter. "Apa pula hasil kerja kau ini? Mana dokterya?" tanya sang paman sambil menahan sakit. "Aku bilang tulang tulangku patah. Tapi dokter itu bilang aku tak apa-apa, bahkan aku disuruhnya pulang" jawab si Ucok. "Anak bodoh. Kalau kau bilang tulang, tentu dokter itu tidak mengerti. Kau harus bilang paman. Sekarang pergilah kau panggil dia lagi" kata sang paman. Maka pergilah lagi si Ucok memanggil dokter, tapi kali inipun ia pulang dengan tangan hampa. "Apa yang kau bilang padanya?" sergah sang paman. "Paman pamanku patah, tapi ia tetap tidak mengerti" jawab si Ucok.

R Setiabudy Jakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 57

Page 59: Cdk 068 Hepatitis

ABSTRAK JENIS-JENIS VIRUS HEPATITIS

Pengetahuan tentang virus penyebab hepatitis telah berkembang pesat akhir-akhir ini; hepatitis virus tidak hanya menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna, tetapi juga dapat menyebabkan hepatitis kronik aktif, sirosis dan karsinoma hepar di kemudian hari.

Dewasa ini telah diketahui sedikitnya lima jenis virus yang dapat menyebabkan hepatitis, masing-masing dengan perjalanan penyakit yang ber-beda-beda.

Hepatitis A virus (enterovirus tipe 72) – virus RNA kecil, simetrik, unen-veloped; mempunyai sifat-sifat yang mirip dengan golongan picornavirus. Diketahui menyebabkan hepatitis yang menular dan epidemik melalui penularan fekal-oral.

Hepatitis B virus – suatu virus double–stranded DNA, ditularkan- se-cara parenteral; telah menjadi endemis dan di beberapa tempat bahkan telah hiperendemik. Diduga sedikitnya 300 juta orang menjadi carrier penyakit ini.

Hepatitis C virus – enveloped, single stranded RNA virus; agaknya masih berhubungan dengan golongan flavivirus. Infeksi hepatitis C agaknya cukup banyak terdapat di beberapa negara dan dikaitkan dengan kelainan kronik dan kanker hatiprimer di bebe-rapa daerah.

Hepatitis D virus merupakan single–stranded circular RNA virus yang

mempunyaikemiripan denganbeberapa jenis virus tanaman; aktivitasnya me-merlukan bantuan/dukungan dari aktivi-tas hepatitis B virus. Merupakan penye-bab utama kerusakan hepar akut maupun kronik di beberapa daerah.

Akhir-akhir ini ditemukan virus lain yang dinamai virus E; sifat dan penu-larannya belum jelas diketahui, tetapi tertama ditemukan pada dewasa muda dan menyebabkan mortalitas yang tinggi di kalangan wanita hamil.

BMJ 1990; 300 : 1475-6

Brw

KORTIKOSTEROID UNTUK ESO-FAGITIS KOROSIVA

Untuk mengetahui efektivitas kor-tikosteroid atas esofagitis korosiva, para peneliti di Washington, AS melakukan studi prospektif selama 18 tahun atas 60 anak yang menderita esofagitis koro-Siva akibat menelan acairan korosif (kaustik).

Mereka dibagi dua secara acak untuk mendapatkan 2 mg/kg.bb prednison iv/ hari yang dilanjutkan dengan prednison 2,5 mg/kg.bb/hari selama 3 minggu untuk selanjutnya di taperingoff selama 14–21 hari berikutnya.

Evaluasi menggunakan esofagoskopi dan kontras barium menunjukkan bahwa 10 dari 31 anak kelompok terapi dan 11 dari 29 anak kelompok plasebo mende-rita striktur esofagus, dan 4 anak dari kelompok terapi serta 7 anak dari kelom-

pok plasebo harus menjalani operasi. Dan hasil di atas, tampaknya steroid tidals; mempengaruhi beratnya striktur yang terjadi.

N Engl J Med 1990; 323:637-40 Hk

RESISTENSI B. PERTUSSIS

Kultur B. pertussis yang berasal dari 233 spesimen usap faring diuji sensitivi-tasnya terhadap beberapa macam anti-biotikdengan menggunakan teknik disc-diffusion (Kirby Bauer). Ternyata tidak ditemukan resistensi terhadap eritromi-sin, sedangkan resistensi terhadap klo-ramfenikol adalah sebesar 5,6% dan ter-hadap tetrasiklin sebesar 25%.

Para peneliti menganjurkan pemilih-an dan penggunaan antibiotika yang tepat untuk menghindari masalah resistensi dan untuk menghemat biaya pengobatan.

Bul Penelit Kes 1990;I8(2):21-5

Brw PENYEBAB INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Penelitian yang dilakukan atas 28 pasien infeksi saluran pemapasan akut yang dirawat di Bagian Anak RS Cipto Mangunkusumo mendapatkan bahwa sediaan yang berscal dari usap tenggorok dan aspirasi bronkus, temyata mengan-dung berbagai kuman. Kuman-kuman tersebut ialah Staph. albus (10,7%), Strep. alpha (10,7%), Candida (7,1%), Staph. aureus (3,6%) dan Pseudo diph-theri (3,6%). Selain itu telah berhasil pula diisolasi virus measles (14,5%), myxovirus (7,1%) dan virus influenza (0,04%).

Bul Penelit Kes 1990;18(2):26-33 Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 58

Page 60: Cdk 068 Hepatitis

ABSTRAK SUPLEMENTASI VITAMIN A Di Hyderabad, India, 7691 anak di-bed tablet 200.000 U vitamin A setiap 6 bulan selama 2 tahun, kemudian angka morbiditas dan mortalitasnya diban-dingkan dengan 8084 anak lain yang diberi plasebo. Ternyata suplementasi tersebut tidak mempengaruhi baik angka morbiditas maupun mortalitas di kalangan anakanak tersebut.

Lancet 1990;336:1342-45 Brw

RISIKO KANKER AKIBAT DIOK-SIN Pemaparan terhadap dioksin telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker. Untuk menyelidikinya telah diperiksa 5172 pekerja dari 12 pabrik yang mengolah dioksin (TCDD). Ternyata kematian akibat kanker yang dikaitkan dengan TCDD, yaitu kanker lambung, hati dan nasal, penyakit Hodgkin dan limfoma non Hodgkin, tidakberbeda bermakna; kematian akibat sarkoma jaringanlunak meningkat tidak bermakna, yang mungkin disebabkan oleh sedikitnya kasus atau kesalahan klasifikasi sebab kematian. Kematian akibat semua jenis kanker meningkat secara bermakna, terutama pada kelompok yang terpapar selama > 1 tahun dengan > 20 tahun masa laten. Meskipun demikian, para peneliti masih mempertimbangkan kemungkinan faktor lain seperti merokok dan paparan zat kimia lain.

N Engl J Med 1991; 324:212-8 Hk

ANTIBIOTIK UNTUK ARTRITIS Untuk mengetahui efek pemberian antibiotik pada artritis reaktif pasca infeksi sistemik, 20 pasien diberi anti-biotik dan 20 lainnya diberi plasebo; di samping itu juga digunakan obat anti-inflamasi nonsteroid selama 10–14 hari.

Mereka diperiksa kembali setelah 3 dan 6 minggu, dan 3, 6, 9, 12 dan 18 bulan kemudian. Ternyata pemberian antibiotik tidak mempengaruhi masa artritis, derajat inflamasi dan jumlah sendi yang terkena; begitu pula pada parameter laboratorium seperti LED, haptoglobin, IgG dan IgA.

BMJ 1990;301:1299-302 Hk

GEJALA SISA MENINGITIS Penurunan mortalitas di kalangan anak-anak penderita meningitis menye-babkan naiknya angka kecacatan.Untuk memastikannya, 185 anak dan bayi yang sembuh dari meningitis bakterial di-periksa secara berkala selama 0,1 – 15,5 tahun (rata-rata 8,9 tahun). Sebulan setelah sembuh, 69 (37%) anak mempunyai kelainan neurologik, tetapi setelah satu tahun, hanya 26 anak yang mempunyai defisit – 18 (10%) menderita tuli sensorineural dan 8 (10%) menderita kelainan neurologik multipel, sedangkan 13 (7%) menderita kejang. Adanya kejang sangat tergantung dari adanya defisit neurologik; anak yang normal di saat sembuh, kecil kemung-kinannya menderita defisit neurologik, termasuk kejang di kemudian hari.

N Engl J Med 1990; 323:1651-7 Hk

NAFSU MAKAN ANAK-ANAK Penelitian atas 15 anak berusia 2 – 5 tahun menunjukkan bahwa bila anakanak bebas memilih makanan, masukan enersi total dalam sehari tidak berbeda bermakna, meskipun konsumsi makanan mereka dalam sekali makan dapat sangat bervariasi.

Dari hasil di atas, disimpulkan bahwa meskipun jumlah makanan yang dikon-sumsi dalam sekali makan sangat ber-variasi, jumlah total dalam sehari tidak berbeda karena anak-anak dapat me-nyesuaikan diri dengan kebutuhan enersinya.

N Engl J Med 1991; 324:232-5 Hk

PENGARUH TIAZID TERHADAP MINERAL Tiazid diketahui dapat mempengaruhi metabolisme elektrolit dan mineral. Untuk memastikan pengaruhnya ter-hadap bone mineral *loss, telah diteliti 378 pria lanjut usia keturunan Jepang yang tinggal di Hawaii, dibandingkan dengan 639 orang dari kelompok seriipa sebagai kontrol. Dan 378 orang terse-but, 325 menggunakan tiazid dan 53 orang menggunakan antihipertensi lain. Bone loss diukur secara serial photo-absorpn'ometric scanning atas tulang kalkaneus, radius bagian distal dan radius bagian proksimal. Pasien yang menggunakan tiazid ternyata justru lebih sedikit menderita bone loss dibandingkan dengan kontrol; perbedaan tersebut berkisar dari 28,8% (1:=0.02) untuk radius bagian distal sampai 49,2% (p=0.0001) untuk kal-kaneus. Sedangkan pada orang yang menggunakan antihipertensi lain, tingkat bone loss nya lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, meskipun secara statistik tidak bermakna untuk radius distal. Para peneliti menyimpulkan bahwa tiazid memperlambat bone loss pada pria lanjut usia.

BMJ 1990;301:1303-5 Brw

* Para pembaca yang berminat mendapatkan naskah lengkapnya - dalam jumlah terbatas - dapat diminta melalui alamat mdaksi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 59

Page 61: Cdk 068 Hepatitis

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Jenis hepatitis yang dikaitkan dengan risiko kanker hati

a) Hepatitis A. b) Hepatitis B. c) Hepatitis C. d) Hepatitis non A non B. e) Semua benar.

2. Yang bukan merupakan petanda serologik hepatitis virus : a) HBsAg. b) HBcAg. c) HBeAg. d) Anti HBsAg. e) Anti HBcAg.

3. Pemeriksaan HBsAg yang paling sensitif ialah dengan cara: a) Imundifusi. b) Fiksasi komplemen. c) Imunoelektroforesis. d) Radio-immunoassay. e) Semua sama sensitif.

4. Faktor yang dapatberperan dalam penularan hepatitis dalam persalinan : a) Tercampurnya darah ibu dengan darah janin. b) Kontak dengan darah ibu selama proses persalinan. c) Kontak dengan cairan amnion selama proses persalin-

an. d) Adanya luka di kulit bayi. e) Semua benar.

5. Hepatitis B dapat menimbulkan komplikasi berikut ini, kecuali : a) Abses hati. b) Sirosis hepatis. c) Karsinoma. d) Hepatitis kronik. e) Semua dapat.

6. Kit diagnosis HBsAg yang dikembangkan di Lombok, NTB adalah berdasarkan metode : a) Imundifusi. b) Imunoelektroforesis. c) ELISA.

d) RPHA. e) Antibodi monoklonal.

7. Risiko menulari tertinggi terdapat pada individu yang : a) HBsAg positif, TeAg positif. b) HBsAg positif, HBcAg positif. c) HBsAg positif, HBeAg negatif. d) HBsAg positif, HBcAg negatif. e) HBsAg positif, anti HBsAg negatif.

8. Yang bukan merupakan bagian dari pengobatan obesitas : a) Diet. b) Olahraga. c) Obat-obatan. d) Pembedahan. e) Semua termasuk

Cermin Dunia Kedokteran No. 68, 1991 60