65

Cdk 107 Dengue

  • Upload
    revliee

  • View
    2.516

  • Download
    8

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Cdk 107 Dengue
Page 2: Cdk 107 Dengue

CCeerrmmiinn DDuunniiaa KKeeddookktteerraann

Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary Artikel 5. Manfaat Pemeriksaan Radiologik Toraks Posisi Lateral Dekubitus

Kanan sebagai Alat Bantu Diagnosis Demam Berdarah Dengue di

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

K

107. DengueMaret 1996

Rumah Sakit Kabupaten – Husein Albar, Azis Tanra, Dasril Daud 9. Hasil Uji Coba Dengue Stick IgG – Faisal Yatim 11. Efek Residu Permethrin yang Dipoles pada Berbagai Macam

Benda Tempat Istirahat Aedes aegypti dalam Upaya Pemberan-tasan Demam Berdarah Dengue – Amrul Munif, M. Soekirno, A. Madjid

17. Pengaruh Jarak Pengasapan ULV dengan Beberapa Insektisida dalam Uji Hayati terhadap Aedes aegypti – Hasan Boesri, Hadi Suwasono, Tri Sumaryono

20. Pengaruh Suhu dan Kelembaban Udara Alami terhadap Jangka Hidup Aedes aegypti Betina di Kotamadya Salatiga dan Sema- rang – Eni Ratna Mintarsih, Ludfi Santoso, Hadi Suwasono

23. Kepadatan Aedes albopictus di Lingkungan Beberapa Rumah Sakit di Jakarta Selatan – IG Seregeg

26. Respon Aedes aegypti terhadap Ekstrak Jamur Beauveria bassi-ana, Mucor haemalis dan Geotrichum candidum – Nunik Sri Ami-nah, Enny W. Lestari, Amrul Munif, Koesnindar, Mardiana

31. Perbedaan Virulensi Cendawan Metarhizium anisopliae yang Dikultur pada Berbagai Medium terhadap Larva Aedes aegypti – Amrul Munif, Supraptini

37. Pengujian Patogenisitas Isolat Bacillus thuringiensis terhadap

arya Sriwidodo WS Jentik Nyamuk Vektor Secara Semi Kuantitatif - Umi Widyastuti, Blondine Ch.P Subiantoro

40. Dermatitis Kontak Karena Pestisida – M. Syafei Hamzah 44. Dermatosis Akibat Kerja – RS Siregar 48. Kondisi Jaringan Periodonsium pada Kelompok Masyarakat de-

ngan Perbedaan Frekuensi Penyikatan Gigi – Prijantojo 53. Penelitian Proses Pembuatan Tempe Kedelai: I. Pengaruh lama pe-

rendaman, perebusan dan pengukusan terhadap kandungan asam fitat dalam tempe kedelai – Hestining Pupus Pangastuti, Si- toresmi Triwibowo

57. Nyeri Kepala Kiaster – Budi Riyanto W. 61. Pengalaman Praktek 62. Abstrak 64. RPPIK

Page 3: Cdk 107 Dengue

Dengue – atau lebih populer dengan nama Demam Berdarah – kembali menjadi topik utama bahasan edisi Cermin Dunia Kedokteran kali ini, mengingat masih banyaknya masalah, baik dari sudut diagnostik, pengobatan, maupun cara-cara pencegahannya.

Beberapa usaha klinis untuk menajamkan kemampuan diagnostik antara lain dengan foto Thorax dan penggunaan uji serologik akan di-bahas, bersamaan dengan usaha-usaha pengendalian vektor, baik secara kimiawi maupun secara biologik.

Beberapa artikel lain yang menyertainya ialah mengenai risiko dermatitis akibat kerja dan akibat pestisida – suatu hal yang harus selalu diperhatikan, terutama dalam program pemberantasan vektor.

Selamat membaca.

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 2

Page 4: Cdk 107 Dengue

CCeerrmmiinn DDuunniiaa KKeeddookktteerraann

REDAKSI KEHORMATAN – Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro

Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD.

Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

– Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soe-

darmo Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– DR. Arini Setiawati

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

DEWAN REDAKSI

KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc

KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W

PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi

PELAKSANA Sriwidodo WS

TATA USAHA Sigit Hardiantoro

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. 4208171/4216223, Fax. 4203194 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

PENCETAK PT Temprint

– Dr. B. Setiawan Ph.D – DR. Ranti Atmodjo

- Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto

Zahir MSc.

PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai

aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau di-bacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di-sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem-baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) penga-rang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta.

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Page 5: Cdk 107 Dengue

English Summary RIGHT LATERAL DECUBITUS THO-RAX RADIOLOGICALEVALUATION AS AN AID TO DHF DIAGNOSIS IN REGIONAL HOSPITAL Husein Albar, Azis Tanra*, Dasril Daud*, M. Farid* Department of Child Health. Ternate General Hospital. Ternate, Indonesia * Department of Child Health, Faculty of Medicine, Hasanuddin University/ Central General Hospital, UjungPan- dang, Indonesia

The advantage of a chest X- ray in the RLD position in 15 chil-dren with DHF hospitaH at the paediatric ward of the Ternate General Hospital within the pe- riod of May-June-July 1990 and June-July 1991 were evaluated.

Besides clinical and laboratory assessment to establish the diagnosis of DHF according to the WHO guidelines (1975), a chest X-ray in the RLD position was performed on each child and a haemaglutination-inhibition test was also done to confirm the diagnosis.

Chest X-rays in the RLD position found pleural effusion (PE) in 11 out of 15 patients with DHF (76.33%), especially in those with dengue shock syndrome (66.67%).

A positive serological test was always associated with the pres- ence of PE (100%), while this could be shown in only 2 patients with negative test results (33.33%). It can be concluded that the WHO criteria for the clinical diagnosis of DHF (1975) can be confirmed not only by the serological test but also by the presence of PE on chest X-ray in the RLD position

and therefore this examination may play an important role in establishing a diagnosis of DHF in a regency hospital.

Cermin Dunia Kedokt. 1996; 107: 5-8 Ha, At, Dd, Mf

THE EFFECT OF PERMETHRIN SPRAYED TO COMMON MEDIA OF RESTING PLACE OF THE AE. AEGYPTI

Amrul Munif, M. Soekirno, A. Madjid Health Ecology Research Centre. Health Research and Development Board, De- partment of Health, Jakarta, Indonesia

The effect of the insecticide

permethrin 100 EC on Ae, aegypti. the vector for Dengue Hemorrhagic Fever; was studied at the Entomology Laboratory, Health Research and Develop- ment Board, Department of Health. Permethrin 100 EC was sprayed (0.125 g/m2) to common media of resting places of the Ae. aegypti: board, nylon cloth, cotton cloth, wool and straw mats. A significant difference of mosquito knock down was found. Fifty percent knock down (LK 50) of the mosquitoes was found after 7.6 minutes on sprayed board and after 16.8 min. on wool. Slow effect was seen on sprayed straw mats (40.4 min.). cotton cloth (61.7 min.) and nylon cloth (157.4 min.). The time needed for a 95% knock down (LK 95) was longer, but of the same sequence. Bioassay showed that percentage of mos-quito death was again higher on sprayed board (96.8%) and wool (84.8%) and again lower on

sprayed straw mat (68%), cotton cloth (56.8%) and nylon cloth (22.4%).

Cermin Dunia Kedokt. 1996; 107: 11-6 ssz

FIELD BIOASSAY TEST OF LORSBAN 480EC, LORSBAN 150ULV AND MALATHION 96EC ON AE. AEGYPTI

Hasan Boesri, Hadi Suwasono, Tri Suwaryono Vector Control Research Station. Health Research and Development Board. Department of Health. Salatiga, Indo-nesia.

A trial was conducted using

ULV spraying of Lorsban 480 EC (dosages 100 ml/ha and 150 ml/ ha), Lorsban 150 ULV (dosages 250 ml/ha, 500 ml/ha and 1000 ml/ha) and Malathion 96 EC (dosages 500 ml/ha) against Aedes aegypti-vector of DHF-in Semarang regency in 1994. Spray-ing was conducted using port- able ULV fontan generator in the morning for two cycles with 7 days interval. The air bioassay test for all insectisides tested showed a 100% mortality of Aedes aegypti obtained from a distance of 45 m from spraying point after 24 hours observation in the laboratory.

Cermin Dunia Kedokt. 1996; 107; 17–9 Hb, Hs, Ts

(Bersambung ke halaman 61)

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 4

Page 6: Cdk 107 Dengue

Artikel HASIL PENELITIAN

Manfaat Pemeriksaan RadiologikToraks Posisi Lateral Dekubitus Kanan sebagai Alat Bantu Diagnosis Demam Berdarah

Dengue di Rumah Sakit Kabupaten

Husein Albar*, Azis Tanra**, Dasril Daud**, M. Farid ** * UPF Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Ternate, Ternate

** Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Rumah Sakit Umum Pusat Ujung Pandang, Ujung Pandang

PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti(1). DBD masih merupa- kan masalah kesehatan masyarakat antara lain karena angka kematiannya tinggi, penyebarannya makin meluas dan lebih banyak menyerang anak-anak(2).

Peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah, sebagai salah satu proses patofisiologi DBD, akan menyebabkan kebo-coran plasma ke daerah ekstravaskuler dengan akibat menurun- nya volume plasma dan meningkatnya nilai hematokrit (Ht)(3). Keadaan ini dibuktikan oleh adanya timbunan cairan di dalam

rongga pleura, peritoneum dan perikard pada otopsi. Cairan yang terdapat di dalam rongga pleura berkisar antara 25 ml sampai 900 ml (dikutip dari 3,4).

Adanya efusi pleura (EP) dapat dibuktikan melalui pe- meriksaan radiologik toraks posisi anteroposterior (AP) tegak dan berbaring(4). Tarau dkk melaporkan bahwa pemeriksaan radiologik toraks posisi lateral dekubitus kanan (LDK) secara bermakna lebih sensitif daripada posisi AP tegak dan berbaring (p < 0,05)(5). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui manfaat pemeriksaan radiologik toraks posisi LDK dalam mendeteksi diri efusi pleura sebagai alat bantu diagnosis DBD.

ABSTRAK

Telah dilaporkan hasil evaluasi pemeriksaan radiologik toraks posisi LDK pada 15penderita DBD yang dirawat inap di UPF Anak RSU Ternate pada bulan Mei, Juni danJuli 1990 serta bulan Juni dan Juli 1991.

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan laboratorik sesuai dengan pedoman diagnosis DBD menurut kriteria WHO (1975). Selain diagnosis menurut pe-doman WHO, dilakukan juga foto toraks posisi LDK pada setiap anak yang.masuk dalam penelitian ini, dan uji HI untuk konfirmasi diagnosis.

Efusi pleura ditemukan pada foto toraks posisi LDK pada 11 dari 15 penderita DBD yang diteliti (76,33%), terutama pada penderita dengan renjatan (90%). Semua pen-derita DBD dengan hasil Uji HI positif memperlihatkan gambaran efisi pleura (100%) dan 2 penderita dengan hasil uji negatif juga menunjukkan adanya efusi pleura pada foto toraks (33,33%).

Dapat disimpulkan bahwa pedoman diagnosis DBD menurut kriteria WHO (1975) dapat dikonfirmasi selain oleh uji HI, juga oleh adanya efusi pleura pada foto toraks. Oleh karena itu, pemeriksaan radiologik toraks posisi LDK sangat berperan dalam membantu menegakkan diagnosis DBD di RS Kabupaten.

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 5

Page 7: Cdk 107 Dengue

BAHAN DAN CARA Penelitian ini dilakukan secara prospektif terhadap pende-

rita tersangka DBD yang dirawat di UPF Anak RSU Ternate selama bulan Mei-Juni-Juli 1990 dan Juni-Juli 1991.

Dicatat data semua penderita tersangka DBD yang dirawat dalam kurun waktu tersebut, meliputi umur, jenis kelamin, berat dan tinggi badan, demam, tanda-tandaperdarahan, hepatomegali, nyeri uluhati, tanda-tanda ensefalopati, tanda-tanda renjatan dan jumlah trombosit serta peninggian nilai Ht.

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria WHO 1975: (1) Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2–7 hari, (2) Manifestasi perdarahan termasuk uji tourniquet positif dan salah satu bentuk lain seperti petekia, purpura, ekimosis, epi-staksis, perdarahan gusi, hematemesis atau melena, (3) hepa-tomegali, (4) disertai/tanpa renjatan, (5) trombositopeni dan (6) peninggian nilai Ht>20% dibandingkan nilai Ht konvalesen. Di samping itu ditambahkan pula gejala nyeri uluhati dan ense-falopati(3,6).

Derajat DBD dikelompokkan menurut kriteria WHO 1975 sebagai berikut(3) :

Derajat 1 : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan uji tourniquet positif.

Derajat 2 : Derajat 1 disertai perdarahan spontan di kulit atau tempat lain.

Derajat 3 : Ditemukannya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat, dangkal dan lembut, tekanan nadi menurun atau hipotensi disertai kulit yang dingin dan lembab dan penderita gelisah.

Derajat 4 : Renjatan berat dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.

DBD tanpa renjatan meliputi derajat 1 dan 2, sedangkan DBD yang disertai renjatan, derajat 3 dan 4 (dengue shock syndrome).

Pemeriksaan radiologik toraks posisi LDK dilakukan pada waktu penderita Masuk Rumah Sakit (MRS) dan diulangi pada saat penderita akan dipulangkan (masa konvalesen). Dikatakan tampak EP pada foto toraks LDK bila terdapat bayangan pene- balan pleura (radioopaque) di antara dinding toraks dan paru. Makin banyak jumlah cairan dalam rongga pleura, makin besar bayangan radioopaque tersebut(5,7).

Pemeriksaan serologis uji Haemagglutination-Inhibition (HI) dilakukan pada saat penderita MRS (demam akut) dan akan pulang (masa konvalesen). Pemeriksaan ini dilakukan dengan metoda kertas saring (filter paper disc). Contoh darah tersebut akan dikirim ke Balai Laboratorium Kesehatan Manado untuk pemeriksaan uji HI. Tabel 1. Interpretasi Hasil Uji HI(3)

Titer Akut

Antibodi Konvalesen Interpretasi

< 1:20 > 4x < 1:2560 Infeksi primer < 1:20 > 4x > 1:2560 Infeksi sekunder < 1:20 > 4x Infeksi sekunder > 1:1280 Tetap untuk naik Infeksi sekunder yang baru terjadi

Penderita dikeluarkan dari penelitian bila tidak ada hasil/ hasil tidak terbaca/tidak dilakukan pemeriksaan radiologis atau serologis.

Analisis statistik menggunakan uji X2 dan student’t. HASIL

Dalam bulan Mei-Juni-Juli 1990 dan Juni-Juli 1991 telah dirawat 32 penderita tersangka DBD di UPF Anak RSU Ternate. 15 dari 32 penderita tersebut dimasukkan di dalam penelitian ini, meliputi 8 laki-laki (53,33%) dan 7 perempuan (46,67%) dengan rasio 1.14:1 (tabel 3). Umur berkisar antara 2 sampai 13 tahun, dengan umur rata-rata 8.3 ± 0.19 tahun.

Tabel 2. Distribusi Jenis Kelamin Penderita DBD

Jenis kelamin N % Laki-laki 8 53,33 Perempuan 7 46,67

Jumlah 15 100,00

Keterangan: Rasio laki-laki : perempuan = 1.14: 1.

Pada penelitian ini ditemukan 11 penderita DBD (73,33%) dengan efusi pleura pada pemeriksaan radiologik posisi lateral dekubitus kanan (tabel 2). Tabel 3. Efusi Pleura dan Umur Rata-rata Penderita DBD

Efusi pleura N % X umur (tahun)

Positif 11 76,33 8.42 ± 2.96 Negatif 4 23,67 8.00 ± 1.11

Keterangan. t15 = 0.441 p > 0.05

Umur rata-rata penderita DBD dengan efusi pleura tidak berbeda bermakna dan penderita DBD tanpa efusi pleura (tabel 3).

Tabel 4. Distribusi Efusi Pleura menurut Jenis Kelamin Penderita DBD Laki-laki Perempuan Jumlah

Efusi pleura n % n % N %

Positif Negatif

6 2

54,55 50,00

5 2

45,55 50,00

11 4

100,00 100,00

Jumlah 8 53,33 7 46,67 15 100,00

Keterangan: X2 (df) = 0.5676 p > 0.05

Tidak ada perbedaan bermakna distribusi jenis kelamin antara penderita DBD dengan efusi pleura dari penderita DBD tanpa efusi pleura (tabel 4). Pada tabel 5 terlihat bahwa frekuensi efusi pleura penderita dengue shock syndrome (DSS) 66,67% dan pada penderita tanpa renjatan 33,33%.

Pada tabel 6 tampak bahwa hasil serologis uji HI positif pada 60% kasus DBD dan negatif pada 40% kasus.

Tabel 7 menunjukkan semua penderita DBD dengan pe-

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 6

Page 8: Cdk 107 Dengue

Tabel 5. Frekuensi Efusi Pleura menurut Derajat DBD

Efusi pleura (+) Efusi pleura (-) Jumlah Derajat DBD N

n % n % n %

DSS (-) DSS (+)

5 10

2 9

40,00 90,00

3 1

60,00 10,00

5 10

33,33 66,67

Jumlah 15 11 73,33 4 26,67 15 100,00

Tabel 6. Distribusi Hasil Serologis Penderita DBD

Hasil serologis n %

Negatif 6 40,00 Positif 60,00 - Infeksi primer 1 6,67 - Infeksi sekunder 3 20,00 - Infeksi sekunder yang baru terjadi

5

33,33

Jumlah 15 100,00

Tabel 7. Hubungan Kejadian Efusi Pleura Penderita DBD dan Hasil Pemeriksaan Serologis

Positif Negatif Jumlah Hasil

serologis Efusi pleura n % n % N %

Positif 9 100,00 2 33,33 11 73,33 Negatif 0 00,00 4 66,67 4 2667

Jumlah 9 100,00 6 100,00 15 100,00

Keterangan : X2 (df) = 8.1817 p < 0.001 meriksaan serologis positif (100%) menunjukkan adanya efusi pleura sedangkan pada hasil pemeriksaan negatif ternyata 33,33% kasus memperlihatkan adanya efusi pleura pada foto toraks LDK. Menurut analisis statistik ada hubungan bermakna antara hasil pemeriksaan serologik dan efusi pleura penderita DBD (p <0.001). Dengan kata lain, bila hasil pemeriksaan serologik positif berarti ada efusi pleura dan bila hasil serologik negatif belum tentu tidak ada efusi pleura karena 2 (33,33%) penderita DBD dengan hasil serologik negatif menunjukkan adanya efusi pleura; efusi pleura dapat merupakan alat bantu dalam diagnosis DBD. DISKUSI

Penulis menemukan demam berdarah dengue sedikit lebih banyak pada laki-laki (53,33%) daripada perempuan (46,67%) dengan rasio 1.14 : I (tabel 2). Hasil serupa juga pernah di-laporkan oleh Sunoto dkk(8) dengan rasio 1.34 : 1 dan Tarau dkk(5) rasio 1.4: 1.

Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa pada DBD terjadi perubahan paru yang tampak pada foto toraks posisi AP tegak/tiduran yaitu bayangan udem paru, berupa pelebaran pembuluh darah dan perkabutan sekitarnya (100%), dan efusi pleura (50%) Sumarmo melaporkan efusi pleura pada 20,30% penderita DBD tanpa renjatan dan 77,60% kasus dengan renjatan(3)

sedangkan Tarau dkk mencatat efusi pleura pada 43,64% kasus tanpa renjatan dan 56,36% dengan renjatan . Pada penelitian ini,(5) penulis menemukan efusi pleura pada 33,33% penderita DBD tanpa renjatan dan 66,67% kasus dengan renjatan (tabel 5).

Efusi pleura ditemukan pada penderita DBD tanpa renjatan dan ternyata makin berat derajat DBD makin tinggi persentase efusi pleura yang tampak pada pemeriksaan radiologik toraks. Meschan mengatakan bahwa efusi pleura dengan cairan se- banyak 100 ml sudah dapat dibuktikan pada pemeriksaan radio- logik toraks posisi lateral dekubitus kanan; sedangkan pada posisi AP tegak maupun tiduran, efusi pleura baru terlihat jelas apabila jumlah cairan 300 ml atau lebih(9). Hal ini telah dibukti-kan pula oleh Azis dan Makaliwy(7) serta Tarau dkk(5) pada peng-amatan yang terpisah di BIKA FKUH/RSU Ujung Pandang.

Pada pengamatan ini penulis dapat membuktikan adanya efusi pleura secara pemeriksaan radiologik toraks posisi lateral dekubitus kanan pada73,33% penderitademam berdarah dengue (tabel 3–5) dan setelah dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan serologis ternyata ada hubungan bermakna antara hasil peme- riksaan serologis dengan kejadian efusi pleura: penderita demam berdarah dengue dengan hasil serologis positifjuga menunjuk- kan adanya efusi pleura. Dalam hal in penulis berpendapat bahwa kriteria klinik yang digunakan WHO (1975) dapat dikon-firmasi selain oleh hasil serologis, juga secara cepat oleh hasil pemeriksaan radiologik toraks posisi lateral dekubitus kanan.

Peneliti-peneliti sebelumnya(4,5,7) beranggapan bahwa efusi pleura yang dibuktikan secara radiologis dapat membantu me-negakkan diagnosis demam berdarah dengue Iebih cepat ter- utama bila gambaran klinik dan laboratorik belum lengkap. Azis dan Makaliwy mengatakan bahwa untuk mendeteksi adanya efusi pleura pada penderita demam berdarah dengue sudah cukup dengan pemeriksaan radiologik toraks posisi lateral dekubitus kanan untuk menghemat biaya, tenaga dan waktu(7).

Adanya efusi pleura subpulmonal selain dengan pemeriksa-an radiologik toraks, juga dapat dideteksi secara cepat dengan menggunakan ultrasonografi(10). Oleh karena alat ini belum tersedia di RS kabupaten, maka pemeriksaan radiologik toraks posisi lateral dekubitus kanan lebih memungkinkan dalam membantu diagnosis segera DBD di RS Kabupaten.

Penulis menganjurkan pemeriksaan radiologik toraks pada setiap penderita tersangka demam berdarah dengue di Rumah Sakit Kabupaten yang fasilitas roentgennya tersedia agar para dokter lebih waspada dalam menegakkan diagnosis, menangani secara adekuat sedini mungkin tanpa menunggu hasil pemeriksa-an serologis; dengan catatan bahwa penderita tersangka demam berdarah dengue dengan hasil pemeriksaan radiologik toraks tidak memperlihatkan efusi pleura, tidak menyingkirkan ke- mungkinan demam berdarah dengue. Pedoman demikian di- harapkan dapat menurunkan angka kematian demam berdarah dengue serendah-rendahnya. KESIMPULAN 1) Kejadian efusi pleura pada penderita demam berdarah dengue sekitar 73,33%, terutama pada penderita detnam ber-

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 7

Page 9: Cdk 107 Dengue

darah dengue dengan renjatan (90%). 2) Ada hubungan yang bermakna antara hasil pemeriksaan serologis dan kejadian efusi pleura pada penderita demam berda-rah dengue yaitu bila hasil pemeriksaan serologis positif, maka efusi pleura juga positif. 3) Pemeriksaan radiologik toraks posisi lateral dekubitus ka- nan bermanfaat sebagai alat bantu diagnosis demam berdarah dengue di rumah sakit kabupaten untuk penanganan segera.

KEPUSTAKAAN

1. Feign RD, Cherry D. Textbook of pediatric infectiousdiseases. Philadel- phia, London, Toronto: WB Saunders Co. 1st ed. 1989; 1140–1148.

2. Suroso T. Status epidemiologi dan strategi pemberantasan demam berdarah dengue. Naskah Iengkap pendidikan tambahan berkala ilmu kesehatan anak. Demam berdarah (dengue). Jakarta, 1982; hal. 74–8.

3. Sumarmo. Demam berdarah dengue pada anak. Tesis UI. Penerbit Univer-

sitas Indonesia (UI-Press), 1983. 4. Tamaela LA, Karjomanggolo HWT. Peranan pemeriksaan radiologik toraks

pada dengue haemorrhagie fever. Naskah lengkap Pendidikan Tambahan Berkala Ilmu Kesehatan Anak. Demam berdarah (dengue), 23 Januari 1982. Jakarta, 63–57.

5. Tarau H, Azis Tanra, Dasnl Daud. Efusi pleura pada demam berdarah dengue. Naskah lengkap Pendidikan Spesialisasi Ilmu Kesehatan Anak FKUH, 1987.

6. Sumarmo. Demam berdarah dengue. Aspek klinis dan penatalaksanaan. CDK 1990; 60: 3–8.

7. Azis Tanra, Makaliwy Ch. Pemeriksaan radiologik pada demam berdarah dengue. Simposium Demam Berdarah Dengue. Ujung Pandang, 1989; 11–15.

8. Sunoto dkk. Demam berdarah dengue. Sepuluh tahun penelitian pada anak di Jakarta. Jakarta, 1985; 37–39.

9. Meschan I. Synopsis of analysis of roentgen signs in general radiology. Philadelphia, London, Toronto: WB Saunders Co. 1969; 13–53.

10. Gyn C, Blake N. Pediatric diagnostic imaging. London: William Heine- mann Medical Books, 1986; 193–197.

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 8

Page 10: Cdk 107 Dengue

HASIL PENELITIAN

Hasil Uji Coba Dengue Stick IgG

Faisal Yatim DTM & H, MPH. Direkto rat Jenderal PPM/PLP Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Seperti diketahui penyakit Demam Berdarah Dengue masih merupakan masalah kesehatan yang serius di tanah air kita. Jumlah kasus flap tahunnya masih tetap tinggi dan wabah masih terjadi sewaktu-waktu.

Banyak masalah yang belum diketahui secarajelas tentang penyakit DBD ini, sehingga sulit melakukan tindakan diagnosis, pengelolaan penderita, dan pencegahan secara tepat. Untuk diagnosis penyakit DBD, di samping berdasarkan patokan gejala klinik yang dianjurkan WHO, diperlukan pemeriksaan laborato- rium; baik klinik maupun serologi.

Sejak tahun 1970-an, program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue (P2 DBD) mengerjakan pemeriksaan laboratorium serologi dengan cara Haemagglutination Inhibition Test (HI). Tetapi karena memerlukan persiapan dan prosedur yang agak rumit, pemeriksaan HI ini baru bisa dikerjakan di 14 Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi. Agar pemeriksaan serologi DBD dapat dikerjakan Iebih luas di berbagai tempat, sejak tahun 1990, program P2 Arbovirosis mulai menggunakan tes serologi dengan Dengue Blot Kit yang lebih sederhana pro- sedur kerjanya dibandingkan dengan HI. Dengan cara ini, pe- meriksaan serologi DBD dapat dilakukan di seluruh BLK Propinsi dan Laboratorium Rumah Sakit.

Pada tahun 1994 mulai diperkenalkan di pasaran suatu cara pemeriksaan serologi DBD mirip Dengue Blot Kit yang dipro- duksi oleh perusahaan dalam negeri dengan harga Iebih murah dan kesinambungan pengadaannya lebih lancar dibanding dengan kit yang masih didatangkan dari luar negeri. Untuk men-jajagi pemakaian tes ini, Subdirektorat Arbovirosis bekerjasama dengan Badan Litbangkes dan Kelompok Kerja DBD LPUI, melakukan uji coba.

CARA KERJA Dikumpulkan serum akut dan konvalesen penderita DBD

dan beberapa tempat di Indonesia periode tahun 1993/1994. Diambil 240 sera yang terdiri dari paired sera akut dan kon-

valesen sebanyak 112 pair. Single sera akut titer tinggi sebanyak 16 buah. Semuanya positif tes HI (Hemagglutinasi Inhibisi) dengan menggunakan 3 antigen yaitu dengue- 1, dengue-2 dan dengue-3.

Sera tersebut dikelompokkan dalam: 1) Kelompok I: positif HI, infeksi dengue primer sebanyak 29 pair. 2) Kelompok 2 : positif HI, infeksi sekunder dengan titer akut rendah sebanyak 45 pair. 3) Kelompok 3 : positif HI, infeksi sekunder dengan titer HI akut tinggi, sebagian single sera (16 spesimen), sebagian paired sera (30 spesimen).

Semua serum akut dan konvalesen dites terhadap Dengue Blot IgG (Singapura) dan Dengue Stick lgG (Kalbe Farma). Hasil tes Dengue Blot lgG dan Dengue Stick IgG dinyatakan sebagai: Positif atau negatif. Tes HI masih dipakai sebagai standar meng- ingat sampai saat ini belum ada tes lain yang lebih baik.

Tes dilakukan di Balai Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr Sardjito Yogyakarta, masing-masing sebanyak 120 spesi- men. Kedua laboratorium telah biasa mengerjakan tes Dengue Blot IgG. HASIL

Dalam uji coba ini, hasil inkonklusif thanggap negatif, sedang hasil invalid yang terdapat pada tes Dengue Blot lgG, yaitu sebanyak 4 buah dianggap negatif. Seperti diketahui hasil invalid pada umumnya disebabkan adanya ikatan non-spesifk

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 9

Page 11: Cdk 107 Dengue

terhadap kontrol antigen negatif. Dari kelompok I, yaitu serum yang positif tes HI infeksi

dengue primer didapatkan hasil seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil tes Dengue Blot IgG dan Dengue Stick IgG menggunakan serum akut dan konvalesen infeksi primer

Positivity rate

Dengue Blot IgG Dengue Stick IgG

Serum akut 5/29 (17,2%) 2/29( 6,8%) p = 0 42

Serum konvalesen 21/29 (72,4%) 20/29 (68,9%)

Dari kelompok 2, yaitu kelompok serum yang positif tes HI infeksi sekunder, dengan titer serum akut rendah, didapatkan hasil seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil tes Dengue Blot IgG dan Den Stick IgG menggunakan serum akut dan konvaselen infeksi sekunder titer akut rendah

Positivity rate

Dengue Blot IgG Dengue Stick IgG

Serum akut 30/45 (66,6%) 29/45 (64,4%) p = t,0

Serum konvalesen 45/45 (100%) 44/45 (97,8%)

Dari kelompok 3, yaitu kelompok serum dengan tes HI po- sitif infeksi sekunder dimana titer akutnya tinggi didapatkan hasil seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil tes Dengue Blot IgG dan Dengue Stick IgG menggunakan serum akut dan konvalesen infeksi sekunder titer akut tinggi

Positivity rate

Dengue Blot IgG Dengue Stick IgG Serum akut 54/54 (100%) 54/54 (100%) p = 1,0 Serum konvalesen 38/38 (100%) 38/38 (100%)

PEMBAHASAN 1) Untuk infeksi primer, dengan menggunakan serum akut saja, kedua tes (Dengue Blot dan Dengue Stick) menunjukkan hasil negatif masing-masing sebesar 82,8% dan 93,2%.

Seharusnya hasil kedua tes ytersebut 100% negatif karena pada infeksi primer serum akut belum mempunyai IgO. Hal ini mungkindisebabkan karena pada tes HI hanya dipakai 3 antigen sehingga belum dapat secara pasi menunjukkan infeksi primer. Baru apabila serium komvalesen juga diperiksa didapatkan hasil 72,4% positif untuk Dengue Blot IgG dan 68,9% positif untuk Dengue Stick IgG. Hasil ini tidak berbeda bermakna.

Hasil positif dapat juga terjadi bila penderita infeksi primer tersebut terlambat diambil serumnya pada masa akut sehingga serum diambil dalam masa konvalesen. 2) Untuk infeksi sekunder dengan serum akut mempunyai titer HI yang rendah terlihat bahwa positive rate nya adalah 66,6% untuk Dengue Blot IgG dan 64,4% untuk Dengue Stick IgG. Hasil ini tidak berbeda bermakna.

Dengan menggunakan serum konvalesen positive rate naik menjadi 200% untuk Dengue Blot igG dan 97,8% untuk Dengue Stick lgG: juga tidak berbeda bermakna. 3) Untuk infeksi sekunder dengan titer HI serum akutnya tinggi, semua spesimen baik akut saja rnaupun konvalesen me-

nunjukkan hasil 100% positif, dengan menggunakan kedua test kit ini.

Karena kedua test kit tersebut dasarnya adalah mendeteksi adanya antibodi IgG maka wajar apabila positive rate akan tinggi pada infeksi dengue sekunder; sedang untuk infeksi primer se- harusnya negatif atau rendab kalau hanya dipakai serum akut saja.

Satu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah tentang mutu penyimpanan dan pengiriman test kit tersebut sebab kesalahan dalam penyimpanan dan waktu pengiriman akan sangat mempengaruhi mutu dan test kit tersebut. Mutu serum kontrofl positif akan sangat mempengaruhi/pengiriman yang salah) titer serum turun maka semua hasil tes akan salah.

Dari hasil tersebut di atas tampak bahwa kedua test kit tersebut sensitivitasnya akan sangat tergantung dari keadaan setempat apakah daerah tersebut telah endemis dengue ataukah daerah yang baru pertama kali terinfeksi dengue. Sebab apabila daerah baru dengan sendininya kasus-kasus yang terjadi adalah kasus infeksi primer yang tidak akan terdeteksi dengan tes IgG tersebut hanya dengan menggunakan serum akut. Sebaliknya bila daerah endemis dengan sendirinya kasus-kasus adalah kasus infeksi sekunder yang kemungkinan besar akan dapat terdeteksi dengan tes IgG tersebut. KESIMPULAN I) Dengue Blot IgG dan Dengue Stick IgG mempunyai sensi- tivitas yang sarna. 2) Dengan menggunakan serum akut saja kedua test kit mem- berikan sensitivitas yang tinggi untuk infeksi dengue sekunder. 3) Dengan menggunakan serum akut saja kedua test kit mem berikan sensitivitas yang rendah untuk infeksi dengue primer. 4) Dengan memeriksa serum konvalesen sensitivitas dapat di pertinggi baik untuk infeksi primer maupun infeksi sekunder. SARAN 1) Dengue Blot IgG dan Dengue Stick IgG baik dipakai di daerah endemis Demam Berdarah Dengue. 2) Sebaiknya tes 1gM juga disertakan agar infeksi primer dapat terdeteksi. 3) Jika diperlukan, serum konvalesen dapat diperiksa untuk menaikkan sensitivitasnya. 4) Monitoring kualitas test kit perlu dilakukan untuk menjaga reliability hasil.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimna kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada DR.

Sutaryo DSAK dari Bag. Ilmu Kesehatan Anak RSDr. Sardjito UGM Yogyakarta dan dr. Wibisono Suwarno Kepala Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi Jawa Barat di Bandung yang telah melakakukan pemeriksaan menggunakan Dengue Blot IgG kit dan Dengue Stick IgG kit di laboratorium beliau.

Juga ucapan terima kasih kepada PT. Kalbe Farma yang telah membantu kelancaran terlaksananya uji coba ini.

Serta terima kasih kepada tim pelaksana uji coba dan POKJA DBD LPUI yang terdiri dari : Penanggung jawab Dr. Sri Rezeki Harun DSAK, UPFAnak RSCM Jakarta, dan penasehat Dr. Thomas Suroso MPH. Subdit Arbovirosis Dit-Jen PPM-PLP Depkes, dan Drh. Suharyono Wuryudi MPH.

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 10

Page 12: Cdk 107 Dengue

HASIL PENELITIAN

Efek Residu Permethrin yang Dipoles pada Berbagai Macam Benda Tempat Istirahat Aedes aegypti dalam Upaya Pemberantasan

Demam Berdarah Dengue

Amrul Munif*, M. Soekirno*, A. Madjid** * Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta ** Mahasiswa Fakultas Biologi, UNAS, Jakarta

PENDAHULUAN

Penyakit demam berdarah dengue (DBD), walaupun pe- nanggulangannya telah diprogramkan oleb Departemen Kese- hatan pada tingkat Puskesmas, tetapi wabah penyakit ini masih sering terjadi di banyak daerah.

Selama ini upaya difokuskan pada pemberantasan nyamuk Aedes aegypti sebagai penular penyakit (vektor), karena ter- hadap virus (agen) sendiri belum diternukan obatnya. Kegiatan yang dilakukan program adalah pengabutan dan pengasapan menggunakan malathion untuk memberantas nyamuk dan tin- dakan pembunuhan larva dengan penaburan temephos (Abate)

pada tempat-tempat perindukan Ae. aegypti dan pembersihan atau memanipulasi tempat pen ndukan nyamuk tersebut.

Upaya paling efektif untuk pemberantasan DBD dapat ter- capai dengan baik, bila dilakukan melalui peran aktif masyara- kat. Di Indonesia, masyarakat belum berperan aktif sepenuhnya seperti yang diharapkan.

Penanggulangan secara kimia di antaranya pengabutan malathion dan penaburan temephos pada tempat perindukan, akan menyerap biaya besar sehingga sering mengalami ham- batan karena terbatasnya dana. Kecuali keterbatasan dana, hambatan lainnya ialah bahwa masyarakat sudah mulai me-

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian pengaruh residu permethrin 100 EC yang dipoleskan pada berbagai benda tempat istirahat nyamuk Ae. aegypti di laboratorium Entomologi, Puslit Ekologi Kesehatan sebagai analisis strategi pengendalian vektor demam berdarah dengue yang murah dalam program pemberantasan demam berdarah dengue. Hasil pengujian lima jenis benda: papan, nilon, kain katun, wol dan tikar yang dipoles permethrin 0,125 g/m2 ternyata memberikan pengaruh persentase kelumpuhan dan ke-matian terhadap Ae. aegypti yang berbeda sangat nyata (p >001). Hasil analisis regresi kelumpuhan separuh populasi nyamuk (LK 50) uji pada berbagai bahan media hinggap tercepat ditemukan pada media papan (7,6 menit), dan wol (16,8 menit) sebaliknya efek yang lambat pada pemolesan media tikar (40,4 menit), kain katun (61,7 menit) dan kain nilon (157,4 menit). Kejadian pada LK 95 untuk kelima jenis bahan media hinggap hasil urutannya sama dengan LK 50 namun berbeda lama waktu kontaknya. Sedangkan dari hasil uji bioassay terlihat angka kematian Ae. aegypti tertinggi ditemukan pada tempat hinggap media papan (96,8%) dan wol (84,8%) sebaliknya angka kematian rendah ditemukan pada media tikar (68%), kain katun (56,8%) dan kain nilon (22,4%).

Disajikan pada Kongres Nasional ke 8 JAKPI, di Yogyakarta. tgl. 9–11 Oktober 1995

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 11

Page 13: Cdk 107 Dengue

ngendur dukungannya terhadap kedua cara tersebut. Kelemahan lain cara pengabutan ialah perlakuan pengabutan yang hanya dilakukan satu atau dua kali sehingga belum dapat menyelesai- kan masalah. Sementara menunggu kemandirian masyarakat, upaya pemberantasan Ae. aegypti memerlukan metode pembe- rantasan yang efektif dengan penggunaan dana yang seefisien mungkin. Berdasarkan keadaan dan perilaku Ae. aegypti, dikaitkan dengan uji coba pemakaian kelambu dipoles permethrin untuk pengendalian Anopheles, maka perlu dicoba metode yang hanya memerlukan biaya sedikit mungkin, tetapi mempunyai harapan hasil yang maksimal.

Ae. aegypti merupakan salah satujenis nyamuk yang tinggal bersama manusia di dalam perumahan. Secara tidak disengaja, tempat perindukan dibuat oleh manusia sendiri di dalam maupun di luar rumah berupa segala jenis bejana, wadah dengan air bersih, di antaranya: tempayan, drum, bak mandi dan ban bekas terisi air hujan. Nyamuk jenis ini aktif mencari darah manusia pada pagi hari pukul 08.00–11 00 dan sore hari pukul 15.00– 17.00. Tempat hinggap atau istirahat jenis nyamuk ini sebelum dan sesudah menggigit manusia adalah semua benda yang ada di dalam rumah baik yang bergantungan maupun tempat tidur dari bambu, dipan dan papan, tikar, kain gorden dan nilon maupun katun dan barang-barang lainnya. Karena perilaku istirahat ter- sebut, maka untuk Ae. aegypti dapat dibunuh dengan menempel-kan residu insektisida pada benda-benda yang dimanfaatkan sebagai tempat istirahat atau hinggap tersebut. Insektisida yang banyak digunakan untuk tujuan itu adalah permethrin, yaitu insektisida golongan piretroid sintetis. Insektisida ini relatif aman bagi manusia, tetapi mempunyai daya bunuh terhadap nyamuk yang cukuplinggi.

Ae. aegypti akan terbunuh, karena sebelum dan sesudah menggigit, maupun waktu menunggu proses perkembangan telur, harus hinggap di tempat istirahat yang ada di lingkungan dalam rumah; diharapkan semua nyamuk Ae. aegypti akan kon- tak dengan residu permethrin yang dipasang dalam rumah. Untuk itu dilakukan uji coba efektivitas insektisida permethrin yang dipoles pada berbagai benda sebagai tempat istirahat.

Penelitian ini dilakukan di labonatorium Entomologi, Puslit Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan, Jakarta pada bulan Pebruari sampai dengan Juni 1995.

BAHAN

a) Media hinggap Bahan yang diuji adalah bahan-bahan yang sering dijumpai

dalam rumah, yang dimanfaatkan nyamuk Ae. aegypti sebagai tempat istirahat sebelum dan sesudah menggigit manusia. Bahan tersebut terdini dan kayu, tikar, wol, kain katun, kain nilon, masing-masing dengan ukuran satu meter persegi. Bahan ini di-semprot dengan permethnin 100 EC. Jumlah bahan dan setiap jenis media hinggap masing-masing sebanyak 5 buah.

b) Nyamuk uji Nyamuk uji yang digunakan adalah dewasa betina yang mengandung darah. Nyamuk betina diperoleh dari hasil pem-

biakan di laboratorium sehingga umur dan kondisi nyamuk uji ini seragam.

c) Insektisida Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Imperator 100 EC dengan bahan aktif permethrin 105,98 g/l yang telah diperiksa dan disetujui, serta bersegel komisi pestisida no. 317/kp/12/93. Dosis yang digunakan dalam aplikasi pada ber- bagai macam media adalah dosis 0,125 g/m yang diperoleh dari campuran 23,75 ml permethrin ditambahkan 26 1,25 ml air. CARA KERJA

a) Penyemprotan bahan media hinggap Larutan insektisida Imperator 100 EC yang mengandung

bahan aktif insektisida permethrin 105,98 g/l sebanyak 23,75 ml dituang dan dicampur dengan air volume 261,25 ml di dalam ember plastik, maka akan diperoleh dosis bahan aktif 0,125 g/l. Campuran larutan tadi diaduk sampai benar-benar homogen. Setelah larutan menjadi homogen, dituangkan ke dalam hand sprayer. Selanjutnya setiap bahan media hinggap disemprot sampai larutan meresap ke bahan media. Media hinggap yang telah disemprot insektisida didiamkan di tempat yang tidak tembus sinar matahari langsung selama 24 jam. Untuk media hinggap sebagai kontrol hanya disemprotkan air sebanyak 285 ml, tanpa insektisida. Selanjutnya media hinggap tersebut di- gantung di ruangan yang berbeda.

b) Uji Bioassay Pada setiap bahan media hinggap yang telah disemprot dan

didiamkan selama satu hari, dipasang 5 buah kerucut bioassay (conus). Dengan menggunakan aspirator dimasukkan masing- masing 25 ekor nyamuk uji pada setiap kerucut. Setiap jenis bahan media hinggap diletakkan saling berjauhan dan untuk kontrol dilakukan di ruang lain. Nyamuk uji akan kontak dengan residu insektisida permethrin dosis 0,125 g/m2 yang melekat pada setiap bahan media hinggap. Kemudian nyamuk uji diamati setelah kontak 5 menit, 10, 15, 20, 25, 30, 40, 50 dan 60 menit. Selama waktu pengamatan tersebut dicatat jumlah nyamuk uji yang lumpuh (knock down) untuk memperoleh LK 50 dan LK 95 dari setiap jenis media hinggap.

Uji bioassay diperoleh dari nyamuk uji yang kontak selama satu jam dengan insektisida kemudian diistirahatkan selama 24 jam. Dengan menggunakan aspirator seluruh nyamuk uji di- pindahkan ke dalam paper cup dan diberi makan gula 10% pada kapas untuk diuji bioassay. Untuk nyamuk kontrol diberikan perlakuan sama tetapi dikontakkan dengan bahan media yang hanya disemprot dengan air. Setelah 24 jam pengamatan dihitung jumlah nyamuk yang mati dan persentase kematiannya, untuk setiap bahan media, uji bioassay ini dilakukan dengan 5 kali ulangan.

Setelah kurun waktu 24 jam pengamatan, apabila persentase kematian nyamuk kontrol berkisar antara 5–20%, maka angka kematian nyamuk uji dikoreksi dengan menggunakan rumus Abbot yaitu: % kematian nyamuk uji – % kematian nyamuk kontrol Xl00% 100% .- % kematian nyamuk kontrol

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 12

Page 14: Cdk 107 Dengue

Namun jika kematian nyamuk kontrol melebihi dari 20% maka uji bioassay dianggap gagal.

Kriteria efikasi insektisida Imperator 100 EC pada setiap media hinggap ditentukan berdasarkan kurun waktu kontak (menit) yang dibutuhkan untuk melumpuhkan semua nyamuk uji (knock down) periode, persentase kelumpuhan separuh nyamuk uji serta 95% diperoleh dari hasil analisis persamaan regresi. Analisis pengaruh bahan media hinggap yang dipoles permethrin menggunakan rancangan faktorial. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Persentase ke- lumpuhan tertinggi ditemukanpadatempathinggap media bahan papan (93,6%). Sedangkan terendah ditemukan pada media bahan nilon (18,4%) setelah waktu kontak 60 menit. Sebaliknya setelah waktu kontak 5 menit persentase angka kelumpuhan ter-tinggi ditemukan pada media papan (41,6%) dan terendah pada tempat hinggap yang terbuat dari nilon (0%). Tabel 1 memper- lihatkan bahwa jumlah kelumpuhan nyamuk Ae. aegypti me- ningkat sejalan dengan makin lamanya waktu kontak dengan insektisida pada media hinggap.

Tabel 1. Persentase angka kelumpuhan (knock down) Ae. aegypti setelah kontak dengan permethrin yang terkandung pada berbagai macam media hinggap

Rata-rata persentase angka kelumpuhan pada media hinggap (%)

Waktu Kontak (menit) Nilon Katun Mar Wol Papan/kayu

5 0 4,8 20,0 32,0 41,6 10 0 7,2 22,4 45,6 59,2 15 0,8 11,2 29,6 49,6 70,4 20 1,6 17,6 34,4 52,8 73,6 25 3,2 20,8 40,8 59,2 75,2 30 6,4 28,8 45,6 66,4 80,8 40 10,4 35,2 52,0 72,8 88,0 50 12,0 40,8 57,6 76,8 89,6 60 18,4 45,6 61,6 79,2 93,6

Kontrol 0 0 0,75 1,5 0

Setiap uji perlakuan sebanyak 5 kali

Pada media hinggap yang terbuat dari bahan nilon, kelum- puhan nyamuk Ae. aegypti belum terlihat pada waktu kontak 5 dan 10 menit. Kelumpuhan pertama terjadi 15 menit setelah kontak dengan persentase kelumpuhan kumulatif 0,8%. Hasil analisis regresi linier untuk kelumpuhan nyamuk Ae. aegypti pada media tempat hinggap bahan nilon adalah: Y = – 3,8 177 + 0,34 18 X. Untuk mencapai kelumpuhan sebanyak 50% (LK 50) berdasarkan persamaan regresi tersebut dibutuhkan waktu kon- tak selama 157,45 menit. Selanjutnya untuk memperoleh ke- lumpuhan 95% nyamuk uji (LK 95) dibutuhkan waktu kontak selama 289,11 menit. Ternyata media tempat hinggap bahan nilon kurang efektif, karena jumlah kelumpuhan secara kumu- latif untuk LK 50 belum dapat dicapai pada pemaparan 60 menit (Tabel 1). Hasil uji bioassay menunjukkan angka kematian se- cara kumulatif mencapai 22,4% dan nyamuk uji. Dilihat secara rinci ternyata persentase kematian terendah dijumpai pada ulang-an ke 5 (16%). Persentase kematian tertinggi ternyata ditemukan

pada ulangan ke 2 (28%) (Tabel 2). Tabel 2. Hasil bioassay persentase kematian secara kumulatif dan Ae. aegypti terhadap permethrin yang terkandung pada berbagai macam media hinggap.

Ulangan (%) Macam media hinggap

I II III IV V Rata-rata

Nilon 24 28 24 20 16 22,4 Katun 60 52 52 60 60 56,8 Mar 72 56 64 76 72 68,0 Wol 80 80 84 92 88 84,8 Papan 100 96 100 88 100 96,8

Jumlah persentase kelumpuhan kumulatif yang ditemukan

pada media hinggap yang terbuat dari katun terendah 4,8% dan yang tertinggi 45,6% dengan waktu kontak selama 5 sampai 60 menit (Tabel 1). Dibandingkan dengan media hinggap bahan nilon, ternyata media hinggap katun lebih baik, ditinjau dari persentase kelumpuhan kumulatif. Walaupun demikian media hinggap katun masih kurang efektif karenajumlah persentase ke-lumpuhan tertinggi masih di bawah LK 50 dalam waktu kontak 60 menit. Hasil analisis regresi linier untuk bahan katun dengan lama waktu kontak 5 sampai 60 menit adalah Y = 1,12 ÷ 0,79 X. Persentase kelumpuhan 50% (LK 50) nyamuk uji memerlu- kan waktu kontak selama 61,7 menit, sedangkan LK 95 memer-lukan waktu kontak selama 118,6 menit. Persentase kematian kumulatif hasil uji bioassay hanya mencapai 56,8%, berarti persentase kematian kumulatifnya di atas LI 50. Hasil uji pada perlakuan setiap ulangan menunjukkan persentase tertinggi (60%) ditemukan pada ulangan ke I, IV dan V. sebaliknya per- sentase kematian terendah (52%) dijumpai pada ulangan II dan III (Tabel 2).

Persentase kelumpuhan kumulatif tertinggi pada media hinggap tikar ialah 61,6% dengan lama waktu kontak selama 60 menit. Berarti knock down (kelumpuhan) melebihi 50% (LK 50) di waktu sebelum 60 menit. Berdasarkan analisis regresi diper- oleh Y = 17,913 + 0,795 X. Sehingga LK 50 dicapai pada waktu kontak selama 40,35 menit, lebih singkat bila dibandingkan hasil pengamatan, karena LK 50 dicapai dengan lama waktu kontak 40 sampai 50 menit, dengan masing-masing jumlah kelumpuhan kumulatif 52% dan 57,6% (Tabel 2). Hasil uji bioassay dengan persentase kematian pada bahan media tikar mencapai 68%. Persentase kematian tertinggi ditemukan pada perlakuan ulang- an ke IV (76%) dan terendah pada ulangan ke II(56%) (Tabel 2). Berdasarkan jumlah persentase kelumpuhan dan kematian Ae. aegypti, ternyata media hinggap yang terbuat dari tikar lebih baik jika dibandingkan dengan media hinggap dari nilon dan katun.

Persentase kelumpuhan kumulatif pada media wol lama waktu kontak 5 menit mencapai 32%. Persentase kelumpuhan kumulatif tertinggi pada media hinggap wil mencapai 79,2% dengan lama waktu kontak 60 menit. Sehingga LK 50 terdapat pada waktu kontak antara 15 sampai 20 menit dengan jumlah angka kelumpuhan kumulatif mencapai sampai 52,8% sedang- kan LK 95 tidak terdapat pada lama waktu kontak 60 menit. Berdas analisis regresi diperoleh Y = 36,19 + 0,818 X. Sehingga LK 50 dicapai pada waktu kontak 16,87 menit dan

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 13

Page 15: Cdk 107 Dengue

Jumlah persentase kelumpuhan untuk 50% (LK 50) terdapat pada waktu kontak antara 5 sampai 10 menit dengan jumlah persentase kelumpuhan kumulatif 4l,6– 59,2%. Analisis regresi linier memperoleh persamaan Y = 51,918 + 0,803 X, sehingga LK 50 yang diperoleh dengan menggunakan persamaan regresi tersebut, memerlukan waktu kontak 7,61 menit dan LK 95 di-capai dengan waktu kontak 53,66 menit. Hasil uji bioassay memperoleh jumlah persentase kematian kumulatif 96,8%, de-ngan persentase kematian tertinggi ditemukan pada ulangan I, II dan V masing-masing 100% dan kematian terendah pada ulangan ke IV (88%) (Tabel 2). Ternyata permethrin media hinggap terbuat dan bahan papan mempunyai kemampuan me-nyerap secara merata sehingga daya efektifitasnya lebih tinggi dibanding media hinggap terbuat dan nilon, katun, tikar dan wol

LK 95 dicapai dengan waktu kontak 71,86 menit. Persentase angka kematian kumulatif dan hasil uji bioassay mencapai 84,87% pada media bahan wol dengan persentase angka kemati- an tertinggi ditemukan pada perlakuan ulangan ke IV (92%) dan terendah pada ulangan I dan II (80%) (Tabel 2). Berdasarkan hasil pengamatan ternyata efek residu insektisida permethrin yang terkandung dalam media hinggap yang terbuat dan wol mampu melumpuhkan dan mematikan nyamuk Ae. aegypti lebih banyak, bila dibandingkan dengan media hinggap yang terbuat dan nilon, tikar dan katun. Bahan wol kemungkinan besar mampu menyerap dan menyimpan residu insektisida permethrin lebih optimal, sehingga efektifitasnya cukup tinggi.

Pengamatan pada media hinggap yang terbuat dan bahan papan, persentase kelumpuhan kumulatif mencapai 41,6 sampai

(Tabel 3). 93,6% untuk waktu kontak selama 5 sampai 60 menit (Tabel 1).

Tabel 3. Data persentase kelumpuhan Ae. aegypti pada perlakuan media hinggap dan lamanya waktu kontak yang berbeda

Media Hinggap Ulangan rata-rata

Waktu Kontak (Menit) Jumlah

5 10 15 20 25 30 40 50 60 1440 (24 jam)

I 0 0 0 0 4 8 12 16 24 2 0 0 4 4 4 8 8 12 20 28 Nilon 3 0 0 0 0 0 4 12 12 20 24 4 0 0 0 0 4 4 8 8 12 20 0 0 0 4 4 12 16 16 24 16 Jumlah 0 0 4 8 16 32 52 60 92 112 376 Rata-rata 0 0 0,0 0,8 1 6 3 2 6 4 10,4 12,0 18,4 224 7,52 1 8 8 12 20 28 36 40 48 52 60 2 0 4 8 12 16 24 32 36 44 52 Katun 8 12 16 24 24 32 40 44 48 52 4. 4 8 12 16 20 28 36 40 44 60 5 4 4 8 16 16 24 28 36 40 60 Jumlah 24 36 56 88 104 144 176 204 228 284 1344 Rata-rata 4,8 7,2 11,2 17,6 20,8 288 35 2 408 45,6 56,8 26 88 I 16 16 28 i2 40 48 56 56 P 64 , 72 2 24 28 36 36 40 40 48 52 56 56 Tikar 3 16 20 24 32 36 44 48 56 56 64 4 20 20 28 40 44 52 56 64 68 76 5 24 28 32 32 44 44 52 60 64 72 Jumlah 100 112 148 172 204 228 260 288 308 340 2160 Rata-rata 4 8 7,2 11,2 17 6 20,8 28,8 35,2 40,8 45 6 568 26 88

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 14

Page 16: Cdk 107 Dengue

1 36 40 48 48 5'' 60 64 68 72 80 2 38 72 52 52 60 68 68 76 76 80 Wol 3 32 40 48 52 56 64 72 76 80 84 4 28 40 56 60 68 72 80 84 84 92 20 30 44 52 60 68 80 80 84 88 Jumlah 160 228 248 264 296 332 364 384 396 424 3096 Rata-rata 320 45,6 49,6 528 592 66,4 728 76,8 792 848 61 92 I 44 60 68 72 72 80 88 92 96 100 2 36 44 60 64 68 76 92 92 92 96 Papan 3 48 68 76 80 80 84 88 88 96 100 4 44 64 72 76 76 80 80 84 88 88 5 36 60 76 76 80 84 92 92 96 100 Jumlah 208 296 352 368 376 404 440 448 468 484 3844 Rata-rata 41 6 592 70,4 73,6 752 808 88,0 89,6 936 96,8 76 88 Total 492 672 808 900 996 1140 1292 1384 1492 10820 1644 Rata-rata 19,68 26,88 32,32 36,00 39,84 45,60 51,68 55,36 59,68 43,28 keseluruhan 65,76

Kerapatan serat yang menyusun bahan tempat hinggap nyamuk akan mempengaruhi jumlah residu yang diserap, makin banyak residu terserap, makin tinggi tingkat daya bunuhnya.

Berdasarkan hasil analisis faktorial, jenis media hinggap dan waktu kontak residu insektisida permethrin yang terkandung di dalamnya sangat berpengaruh nyata terhadap persentase kelum- puhan dan kematian nyamuk Ae. aegypti; F hitung pada per- lakuan lebih besafdaripada F tabel berarti terdapat perbedaan yang sangat nyata di antara perlakuan (Tabel 4).

Tabel 4. Analisis ragam persentase kematian nyamuk Ae. aegypti karena pemberian permethrin pada media hinggap dan waktu kontak yang berbeda

Sumber Ragam DB JK KT F Hit F 0,65 F 0,01Kelompok 4 208 52 2,02 2,420 3,425 (Ulangan) Perlakuan

49

206190,40

4207,97

163,6P*7*

1,445

1,673

Media hinggap 4 151207,68 37801,92 1470,3*2* 2,420 3,425 (A) Waktu kontak

9

50176,32

5575,15

216,85

1,930

2,515

(B) Interaksi

36

4806,40

133,51

5,1*9*

1,495

1,758

A X B Galat Percobaan

196

5040,00

25,71

Untuk melihat derajat perbedaan tersebut, dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT); ternyata persentase kelumpuhan kumulatif nyamuk Ae. aegypti pada perlakuan jenis media hinggap sangat berbeda nyata (p > 0,01). Ternyata pada media hinggap nilon persentase kelumpuhan secara kumulatif sangat berbeda nyata bila dibandingkan dengan media hinggap katun, tikar, wol dan papan (Tabel 5).

Hasil uji BNT kelumpuhan kumulatif antar perlakuan la- manya waktu kontak, hampir semuanya berbeda sangat nyata, kecuali pada perlakuan Iamanya waktu kontak 15 menit dan 20

Tabel 5. Uji Beda Nyata Terkecil persentase kelumpuhan nyamuk Ae. aegypti betina karena pemberian Permethrin pada media hinggap yang berbeda

Beda dua rata-rata Media Hinggap

Rata–ratanilai

tengah Nilon Katun Tikar Wol Papan

Nilon Katun Tikar Wol Papan

7,52 26,88 43,20 61,92 76,88

– 19,36**35,68**54,40**69,36**

– 16,32** 35,04** 50,00**

– 18,72**43,68**

– 14,96** –

Se (Y.– Yx) = 1,014 BNT (0,05) = 1,99 BNT (0,01) = 2,61

Keterangan: * : Berbeda nyata ** : Sangar berbeda nyata menit berbeda nyata saja. Berdasarkan kenyataan tersebut maka Iamanya waktu kontak nyamuk dengan media hinggap sangat mempengaruhi angka kelumpuhan dan kematian. Juga hasil uji BNT ini menunjukkan bahwa interaksi antara jenis media hinggap (nilon, katun, tikar, wol dan papan) dengan lamanya waktu kon-tak memberikan perbedaan yang sangat nyata (p >0,01). Berarti ada interaksi antara faktorjenis media dan lamanya waktu kontak untuk melumpuhkan dan membunuh nyamuk (Tabel 6).

Berdasarkan hasil penelitian ternyata media hinggap yang terbuat dari nilon mempunyai persentase angka kematian kumul-atif paling rendah bila dibandingkan media hinggap yang terbuat dari katun, tikar, wol dan papan. Mungkin bahan nilon sukar menyerap residu insektisida permethrin sehingga akan cepat menguap pada kondisi suhu ruang kamar. Penguapan ini akan menyebabkan berkurangnya efektifitas. Kekurangmampuan menyerap residu insektisida disebabkan bahan nilon tersusun

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 15

Page 17: Cdk 107 Dengue

Tabel 6. Uji Beda Nyata Terkecil persentase kelumpuhan nyamuk Ae. aegypti betina karena pemberian thrin pada media hinggap dalam waktu kontak yang berbeda

Beda dua rata–rata Waktu kontak

Rata–rata nilai

tengah 5 10 15 20 25 30 40 50 60 1440 5

10 15 20 25 30 40 50 60

1440

19,68 26,88 32,32 36,00 39,84 45,60 51,68 55,36 59,68 65,76

– 7,20

12 64 16,32 20,16* 25 91 32 00 35,68 40,00 46,08

– 5,44 9,12 1296 18,72 24,80 28 48 32 80

38,88 -

– 3 68 7,52

13 28 1936 23 04 27,36 33,44

– 3,84 9,60

15,68 19,36 23,68 29,76

– 5 76 1 11 84- 15,52 *

1984 25 92

– 6,08

9,76 - 14,08 20,16

– 3 68 8 00

14,08

– 4,32

10 40 - –

6 08* – Se (YA – Y,,) = 1,434 BNT (0,05) = 2,81 BNT (0,01) = 3,69

Keterangan: * : Berbeda nyata ** : Sangat berbeda nyata

dari serat-serat plastik (polimer) yang padat, sedangkan media hinggap papan, katun, wol dan tikar tersusun dan serat yang lebih jarang, sehingga larutan terserap secara merata dan tidak mudah menguap maupun terdegradasi pada suhu kamar. Berku-rangnya daya bunuh insektisida yang dipoles pada benda dise-babkan oleh karena (a) degradasi kimia, khususnya jika pem-aparan terkena sinar matahari langsung. (b) Faktor lingkungan, adanya asap rokok dan suhu ruang yang tinggi. (c) Cara mem-bawa dan menyimpan, terutama pembungkus untuk beberapa hari. (d) Pencucian(1). Sedangkan dalam aplikasi metode bio-assay variasi penyebab yang mempengaruhi efektifitas adalah waktu pemaparan, spesies nyamuk, material kelambu, formulasi dan dosis insektisida yang hasilnya tidak selalu dapat diperban-dingkan secara 1angsung(2). Bahkan ternyata pencelupan kelambu katun, sesudah 1 tahun aktifitas residu pada kelambu masih cukup membunuh lebih dan 99% nyamuk(3).

Aktifitas residu insektisida aktif dan permulaan, setelah 4 bulan akan menurun aktifitasnya sehingga merupakan batas penggunaan kelambu celup yang digantung terus menerus(4). Bahkan pada pemakaian yang teramat berat, umur residu men-jadi hanya mencapai 2 bu1an(5).

Dengan dosis 0,08 g/m permethrin periode pemaparan 15 menit maka diperoleh 40% angka kematian, sedangkan pada pemaparan 1 menit untuk An. gambiae maka diperoleh angka kematian pada tes bioassay(5). Pada kelambu celup yang sama ternyata pengamatan angka kematian bioassay mencapai 100% Ae. aegypti dengan waktu pemaparan 1 jam(5). Hal ini menunjuk-kan bahwa waktu pemaparan akan mempengaruhi jumlah ke-matian nyamuk uji.

Penggunaan kelambu nilon yang dicelupkan dalam insek-tisida permethrin 25% EC dengan dosis 0,20 g/m2 dalam peneli-tian di lapangan ternyata dapat menununkan kepadatan nyamuk An. barbirostris yang menggigit di dalam rumah dengan penurunan sekitar 56% sampai 82% (rata-rata 68%) dan yang istirahat antara 95–100% (rata-rata 94%)(5).

KESIMPULAN 1) Jenis tempat hinggap media papan, tikar, katun, nilon dan wol mempengaruhi persentase angka kelumpuhan dan persen-tase kematian nyamuk Ae. aegypti. 2) Separuh kelumpuhan (LK5O) dan populasi nyamuk uji paling cepat diperoleh pada media hinggap yang terbuat dan papan (7,6 menit), wol (16,8 menit) sebaliknya kurang efektif pada pemolesan permethrin pada media nilon (157,4 menit), katun (61,7 menit) dan tikar (40,4 menit). 3) Kelumpuhan 95% (LK95) populasi nyamuk uji paling cepat diperoteh pada media hinggap yang terbuat dan papan (53,7 menit), wol (71,86 menit) sebaliknya paling lambat ditemukan pada media hinggap nilon (289,11 menit) katun (118,6 menit) dan tikar (96,9 menit). 4) Uji bioassay dengan waktu pemaparan 60 menit menunjuk-kan bahwa media hinggap terbuat dari bahan papan (96,8%) dan wol (84,8%) lebih efektif dibandingkan dengan media hinggap tikar (68,0%), katun (56,8%) dan media nilon paling tidak efektif (22,4%).

KEPUSTAKAAN

1. Rozendaal JA. Impregnated mosquito netandcurtains forself protection and

vector. Bureau of Hygiene Tropical Diseases 1989; 86(7): 7–13. 2. Loong KP. Naudu 5, Theavasagayam ES, Cheong WE. Evaluation of the

effectiveness of permethrin and DDT impregnated bed-nets against Anophe-les macularus. Med and PubI Health 1985; 16: 554-59.

3. Li Zuzi, Xu Jingjiang, Li Banquan, Zhu Taihua. Cheong WH. Mosquito nets impregnated with deltamethrin against malaria vectors in China. WHO mimeographed document. WHO/VBC/87.939, 1985: 2–5.

4. Dariet F, Robert V. Tho Vien N, Carnepale P. Evaluation of the efficacy of permethrin impregnated intact and purported mosquito nets against vectors of malaria. WHO mimeographed document, WHO/VBC/84.899, 1984: 2–4.

5. Lines JD, Myabai, Curtis CF. Experimental hut trials of permethrin impreg-nated mosquito nets and cave curtains against malaria vectors in Tanzania Med and Vet Entomol 1987; 1:37–51.

6. Barodji, Sumardi, Mujiono. Penggunaan kelambu celup insektisida oleh petani Se Lahir, Flores Timur. Bull. Penelit. Kes. 1994; 22(4): 30–44.

7. WHO. The use impregnated bed nets and other materials for vector-borne disease control. WHO/VBC/89/98l, 1989: 17–25.

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 16

Page 18: Cdk 107 Dengue

HASIL PENELITIAN

Pengaruh Jarak Pengasapan ULV dengan Beberapa Insektisida

dalam Uji Hayati terhadap Aedes aegypti

Hasan Boesri, Hadi Suwasono dan Tri Suwaryono

Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Salatiga

ABSTRAK

Telah dilakukan pengasapan Ultra Low Volume dengan insektisida Lorsban 480 EC (dosis 100 ml/ha dan 150 ml/ha), Lorsban 150 ULV (dosis 250 ml/ha, 500 ml/ha dan 1000 ml/ha) dan Malathion 96 EC (dosis 500 ml/ha) terhadap vektor DHF Ae. aegypti di Kabupaten Semarang. Penyemprotan dilakukan pada pagi hari dengan menggunakan alat merk Fontan ULV, untuk tiap dosis insektisida dilakukan pengasapan dua siklus dengan interval waktu 7 hari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap dosis insektisida yang diuji hayati ter- hadap Ae. aegypti pada jarak 0—45 meter dan rute pengasapan, mampu membunuh 100% nyamuk yang diuji selama 24 jam pengamatan. Key Words: ULV spraying, insecticide, Aedes aegypti.

PENDAHULUAN

Di Indonesia Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Upaya yang dilakukan dalam menghadapi letusan penyakit DBD adalah penyemprotan insektisida dengan sistem pengabutan (fogging) atau pengasapan (Ultra Low Volume = ULV)(1). Penyemprotan dengan sistem ULV (Ultra Low Volume) memiliki kelebihan dibandingkan dengan pengabutan (thermal fogging) antara lain lebih ekonomis (volume yang digunakan lebih sedikit) dan tidak terlalu mengganggu aktivitas penduduk(2). Malathion telah di-gunakan untuk penyemprotan sejak tahun 1972(3), maka dipan-dang perlu melakukan uji coba insektisida alternatif.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh insektisida alternatif dalam pemberantasan vektor Demam Berdarah Dengue Ae. aegypti dengan menggunakan alat pengasap ULV (Fontan ULV) dan memperhatikan jarak pengasapan.

BAHAN DAN CARA KERJA 1. Lokasi

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni – Juli 1994 di Desa Beji, Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang. Untuk menen-tukan lokasi pengasapan dipilih 6 RW (Rukun Warga) dan 1 RW sebagai pembanding dan 13 RW yang ada berdasarkan atas data entomologi dan situasi pemukiman.

Lokasi penelitian adalah RW I sebagai daerah kontrol yang mempunyai luas 3 hektar dengan jumlah rumah 80 buah; RW 2 yang mempunyai luas 4 hektar denganjumlah rumah 140 buah, sebagai daerah perlakuan Lorsban 150 ULV dengan dosis 250 ml/hektar; RW 4 yang mempunyai luas 2 hektar dengan jumlah rumah 65 buah, sebagai perlakuan Lorsban 150 ULV dengan dosis 500 ml/hektar; RW 5 yang mempunyai luas 3 hektar dengan jumlah rumah 69 buah, sebagai perlakuan Lorsban 150 ULV

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 17

Page 19: Cdk 107 Dengue

dengan dosis 1000 ml/hektar; RW 12 yang mempunyai luas 6 hektar dengan jumlah rumah 330 buah, sebagai perlakuan Lorsban 480 EC dengan dosis 100 ml/hektar; RW 13 yang mempunyai luas 7 hektar dengan jumlah rumah 430 buah, sebagai perlakuan Lorsban 480 EC dengan dosis 150 mllhektar; RW 8 yang mem- punyai luas 2 hektar dengan jumlah rumah 74 buah, sebagai daerah penlakuan Malathion 96 EC, dosis 500 ml/hektar.

Air untuk keperluan sehari-hari penduduk Desa Beji diper-oleh dan sumur, air pompa dan PAM (Perusahaan Air Minum) sedangkan tempat penampungan air berupa tempayan, bak mandi dan ember plastik.

2. Penyemprotan ULV Penyemprotan dengan alat ULV (Fontan ULV) dilakukan di

luar rumah (tidak masuk ke dalam rumah) sesuai dengan rute jalan desa, sebanyak dua siklus dengan selang waktu 7 hari. Penyemprotan dikerjakan pada pagi hari (jam 08.00–10.00) oleh petugas Dinas Kesehatan Tingkat II, Kabupaten Semarang. Insektisida yang digunakan Lorsban 480 EC, Lorsban 150 ULV dan Malathion 96 EC disediakan oleh PT. PCI Pestisida.

3. Evaluasi Entomologi Evaluasi efikasi uji hayati insektisida Lonsban 480 EC, 150

ULV dan Malathion 96 EC terhadap Ae. aegypti hanya dilakukan

dengan Uji Hayati Air Bioassay(4). Untuk uji ini disiapkan ku-rungan nyamuk berukuran 12 x 12 x 12 cm yang masing-masing diisi 15 ekor nyamuk Ae. aegypti betina yang telah kenyang darah. Kurungan tadi digantungkan setinggi 160 cm dari tanah baik di dalam maupun luar rumah dan ditempatkan pada jarak 0 meter (kurang dari 5 meter), 15 meter, 30 meter dan 45 meter dari rute penyemprotan ULV.

Penghitungan jumlah nyamuk yang mati/pingsan dilakukan 15 menit dan 24 jam setelah penyemprotan. Setelah penyemprot-an berakhir (15 menit) nyamuk di dalam kurungan dipindahkan ke dalam monocup bersih (tidak terkontaminasi) menggunakan aspirator kemudian dipelihara dan diamati jumlah kematiannya setelah 24 jam di laboratorium. Pengamatan nyamuk di daerah kontrol dilakukan dengan cara yang sama seperti di daerah perlakuan. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji hayati untuk menentukan efektivitas insektisida Lorsban 150 ULV, 480 BC dan Malathion 96 BC dengan alat penyemprotan ULV dikemukakan pada Tabel 1.

Perbedaan persentase kematian langsung (knock down) per jarak pengasapan pada tiap-tiap dosis setelah dianalisis statistik dengan uji X2 terbukti ada perbedaan yang bermakna (p <

Tabel 1. Persentase kematianAedes aegypti pada uji hayati “Air Bioassay dengan insektisida Lorsban 150 ULV, 480 EC dan Malathion 96 EC dari berbagai jarak pengamatan dan rute pengasapan

% kematian setelah 15 menitpada jarak pengamatan

% kematian setelah 24 jam pada jarak pengamatan Siklus Insektisida Dosis Letak bahan

yang diuji 0 m 15m 30m 45m 15m 30m 45m

-Pertama Lorsban 250 Luar 10,0 1,6 0,0 0,0 80,0 50,0 45,0 28,3 150 ULV mi/ha Dalam 1,6 0,0 0 0 0,0 68,3 36,7 26,7 16,7 500 Luar 5 0 5 0 1 6 0,0 53,3 350 267 25,0 mUha Dalam 0,0 0,0 0,0 0 0 517 250 21,7 183 1000 Luar 1000 417 31,7 25,0 100,0 100,0 100,0 100,0 mUha Dalam 68,3 31,7 21,0 20,0 1000 100,0 100,0 100,0 Lorsban 100 Luar 86,7 76,7 60,0 35,0 100,0 100,0 100,0 100,0 480 EC ml/ha Dalam 733 68,3 51,7 31,7 100,0 100,0 100,0 100,0 150 Luar 100,0 93,3 867 63,3 1000 100,0 100,0 100,0 MI/ha Dalam 88,3 850 50,0 43,3 100,0 100,0 100,0 100,0 Malathion 500 Luar 93,3 51 7 457 417 100,0 100,0 100,0 100,0 96 EC mUha Dalam 88,3 41,7 36,7 30,0 1000 100,0 1000 100,0 Kontrol - Luar 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Dalam 0 0 0 0 0,0 0 0 0,0 0,0 0,0 0,0Kedua Lorsban 250 Luar 100,0 33,3 13,3 10,0 1000 100,0 100,0 100,0

150 ULV ml/ha Dalam 75,0 700 18,3 100 100,0 100,0 100,0 100,0 500 Luar 100,0 80,0 200 100 100,0 1000 100,0 100,0 ml/ha Dalam 80,0 73,3 16,7 10,0 1000 1000 100,0 100,0 1000 Luar 100,0 783 61,7 53,3 1000 100,0 100,0 100,0 mUha Dalam 95,0 80,0 61,7 200 100,0 100,0 1000 100,0 Lorsban 100 Luar 667 633 467 250 100,0 100,0 100,0 100,0 480 EC ml/ha Dalam 48,3 417 283 117 1000 100,0 100,0 100,0 150 Luar 100,0 75,0 56,7 38,3 100,0 100,0 100,0 100,0 ml/ha Dalam 53,3 450 25,0 11,7 1000 100,0 1000 100,0 Malathion 500 Luar 83,3 50,0 26,7 25,0 100,0 100,0 100,0 1000 96 EC mUha Dalam 76,7 267 200 167 100,0 1000 100,0 100,0 Kontrol - Luar 0,0 0 0 0,0 0,0 0,0 0 0 0,0 0,0 Dalam 0,0 0,0 0 0 0,0 0 0 0,0 0,0 0,0

Keterangan: – Pengamatan tiap jarak menggunakan 4 kurungan @ 15ekor nyamuk Aedes aegypti betina hasil kolom di Laboratorium. – Penyemprotan dilakukan dengan alat jantan ULV dari rute jalan desa. – Pada 0 meter = kurang dari 5 meter.

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 18

Page 20: Cdk 107 Dengue

0,05)(5).Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan hasil disebabkan oleh adanya jarak pengasapan, dosis yang digunakan, arah dan kecepatan angin(2). Kecepatan angin ideal dalam pelaksanaan pengasapan atau penyemprotan ULV ialah antara 2–4 km per jam(6).

Setelah observasi selama 4 jam. sesuai dengan standar WHO, uji hayati insektisida Lorsban 150 ULV, Lorsban 480 EC dan Malathion 96 EC dengan berbagai dosis dan jarak peng-asapan masing-masing memberikan efek kematian sebesar 100%. Pada analisis statistik dengan uji X2 terbukti tidak ada beda yang bermakna (P > 0,05)(5). Hal ini menunjukkan bahwa insektisida Lorsban 150 ULV dengan dosis minimal 250 ml/ha dan Lorsban 480 EC dengan dosis minimal 100 ml/ha dapat digunakan untuk memberantas nyamuk Ae. aegypti. Jarak pengasapan yang efektif adalah kurang dan 5 meter terhadap nyamuk beristirahat. KESIMPULAN DAN SARAN

Penyemprotan Lorsban 480 EC (dosis 100 ml/ha, 150 ml/ ha), Lorsban 150 ULV (250 ml/ha, 500 ini/ha dan 1000 ml/ha) dan Malathion 96 EC (500 mLlha) dengan alat ULV (Fontan ULV) dalam radius 45 meter dari rute penyemprotan mampu membunuh nyamukAe. aegypti 100% selama observasi 24 jam.

Disarankan bila pemberantasan vektor DBD (Ae. aegypti) memakai insektisida Lorsban 150 ULV maupun Lorsban 480 EC, sebaiknya menggunakan dosis minimal yang telah diuji, karena dalam 24 jam pengamatan mampu membunuh nyamuk sampai 100,0%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Atas selesainya penelitian ini kami ucapkan terima kasih kepada Ka. SPVP Litbangkes Salatiga, Ka. Kanwil Dep. Kes. di Semarang, Ka. Dinas Kesehatan Tingkat I di Semarang, Ka. Dinas Kesehatan Tingkat II di Ungaran atas bimbingan dan bantuannya dan PT. Pacific Chemicals Indonesia yang telah membantu biaya penelitian.

KEPUSTAKAAN

1. Sudiyono. Malathion. DitJen. P3M. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

1983. 2. Hadi Suwasono, Barodji.Susthayu Nalim. Uji Coba penyemprotan ULV

(ULV Spraying) Insektisi4a Bendocarb 20% (Flcan ULV) terhadap Vektor Demam Berdarah Dengue Aedes aegypti. But Penelit Kes 1993; 21: 46–51.

3. Suharyono. Penanggulangan Demam Berdarah Dengue dengan fogging malathion pada tempat penularan potensial di Jakarta, 1987.

4. Pedoman pelaksanaan program pemberantasan Demam Berdarah Dengue. Dit. Jen. P3M. Departemen Kesehatan RI. Jakarta, 1983.

5. Sudjana. Metoda Statistika. Bandung: Penerbit Tarsito, 1985. 6. WHO. Chemical methods for the control of arthropode vectors and pests of

public health importance, 1983.

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 19

Page 21: Cdk 107 Dengue

HASIL PENELITIAN

Pengaruh Suhu dan Kelembaban Udara Alami terhadap Jangka Hidup Aedes aegypti Betina di

Kotamadya Salatiga dan Semarang

Eni Retna Mintarsih*, Ludfi Santoso**, Hadi Suwasono*** * Alumna Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro

** Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro * * * Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Salatiga

A

Suhu dan kelembaban udara antara Penelitian di Salatiga (ketinggian 600 punyai topografi dan ketinggian tem aegypti betina di dalam sangkar yang d

PENDAHULUAN

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan ssatu penyakit menular yang angka kesakitan dan kematianmasih tinggi. Menurut laporan DitJen. PPM dan PLP, pendeyang meninggal akibat penyakit tersebut terus meningkat stahun 1968. Dewasa ini penyakit DBD telah menyebar kepropinsi, 300 kabupaten yang pada tahun 1988 dilaporkan dapat 45.791 penderita dengan 1.432 kematian(1)..

Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegyptisampai sekarang belum ditemukan obat/vaksinnya sehinsalah satu cara pengendaliannya adalah dengan memberavektor penyakit tersebut. Nyamuk Ae. aegypti yang hidupsekitar manusia terutama banyak dijumpai di daerah padat pduduk, akan dapat menjadi vektor apabila nyamuk terseantara lain berumur lebih dan 14 hari. Hal tersebut erat kainya dengan masa inkubasi ekstrinsik virus dengue di dalam tu

rata-rata dan kelembaban rata-rata selsebesar 29,41°C dan 75,07%, jangka hlebih pendek dan siklus gonotrofiknyakelembaban 85,37%). Dengan demikiasangat besar dan pembersihan tempabiakan nyamuk tersebut hendaknya Ieb

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 20

BSTRAK

lain berpengaruh terhadap jangka hidup nyamuk.m) dan Semarang (ketinggian 200 m) yang mem-pat yang berbeda telah dilakukan terhadap Ae.iletakkan di luar dan di dalam rumah. Dengan suhu

enelitian di Semarang yang masing-masingnyamuk lebih lama, waktu siklus gonotrofik banyak daripada di Salatiga (suhu 23,56°C,ensi Ae. aegypti sebagai vektor di Semarangampungan air sebagai tempat perkembang-ng dilakukan dalam seminggunya.

ama pidup lebihn pott penih seri

alah nya rita

ejak 27

nyam uk yang berkisar antara 11–14 hari. Salah satu faktor yang

ter-

ini, gga ntas di en-but

tan-buh

vektor berdasarkan penelitian yang dilakukan selama 3 bulan (Oktober–Desember 1992). LOKASI PENELITIAN 1) Salatiga (7°23’ LS dan 110°26’ BT, ketinggian 600 m dpI)

Penelitian di Kodya Salatiga dilakukan di Desa Mangunsari yang mempunyai luas 24,50 km2 dan jumlah penduduk 13.044 jiwa. Desa ini merupakan daerah non endemis DBD. Suhu udara rata-rata selama penelitian berkisar antara 21–25°C, kelembab-annya antara 83–86% dengan curah hujan antara 300– 540 mm.

mempengaruhi umur nyamuk tersebut adalah suhu dan kelem-baban udara(2).

Pada makalah ini akan diteliti pengaruh suhu dan kelem-baban udara alami di dua tempat yang berbeda ketinggiannya terhadap jangka hidup dan potensi Ae. aegypti betina sebagai

Page 22: Cdk 107 Dengue

2) Semarang (6°50’LS dan 110o31 BT, ketinggian 200m dpl) Penelitian di Kodya Semarang dilakukan di Desa Tandang,

Kec. Semarang Timur yang mempunyai luas 160 km2 dengan 13.851 jiwa. Desa ini merupakan daerah endemis DBD. Suhu udara rata-rata selama penelitian berkisar antara 28 –3 1°C, ke- embabannya antara 70 – 82% dan curah hujannya antara 39 –257 mm. BAHAN DAN CARA KERJA 1) Nyamuk Ae. aegypti

Nyamuk yang digunakan dalam penelitian ini merupakan generasi I hasil tetasan telur yang diperoleh dan Stasiun Pene- titian Vektor Penyakit Salatiga. 2) Pelaksanaan Penelitian

Pengamatan dilakukan terhadap nyamuk Ae. aegypti betina yang telah kenyang mengisap darah dan berada di dalam sangkar ukuran 15 x 15 x 30 cm yang sisi-sisinya, kecuali sebelah bawah, tertutup kain kasa dan yang diletakkan di luar dan di dalam rumah pada tempat yang tidak terkena sinar matahari Iangsung. Untuk masing-masing lokasi ditempatkan 3 sangkar di luar dan 3 sangkar di dalam rumah. Tiap sangkar diisi 133 Ae. aegypti betina.

Pengamatan yang dilakukan meliputi: Pengukuran suhu

Suhu lingkungan penelitian. di luar dan di dalam rumah di- ukur tiap hari pada setiap pukul 06.00; 14.00 dan 18.00. Data yang dihimpun merupakan suhu udara rata-rata mingguan dari hasil pengukuran suhu rata-rata harian. Pengukuran kelembaban

Kelembaban udara rata-rata mingguan di luar dan di dalam rumah diperoleh dan hasil pengukuran kelembaban rata-rata harian yang dilakukan pada pukul 06.00; 14 18.00. Jangka hidup nyamuk

Jangka hidup nyamuk Ae. aegypti betina diamati dan dihi- tung mulai dan saat nyamuk mengisap darah (marmot) pertama sampai nyamuk tersebut mati. Siklus gonotrofik

Waktu yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk perkembangan dan pemasakan telur dihitung dan saat mengisap darah pertama sampai peletakan telur paling banyak. Banyaknya siklus gono- trofik dihitung menurut jumlah dilatasi pada hasil pembedahan ovarium nyamuk yang mati. 3) Analisis

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji chikuadrat. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Tabel 1 tampak bahwa suhu rata-rata mingguan di dalam rumah di Salatiga berkisar antara 21,95 – 25,05°C sedangkan di luar rumah antara 22,29 – 24,47°C. Di Semarang, suhu rata-rata mingguan di dalam rumah berkisar antara 28,05 – 29,73°C sedang di luar rumah antara 28,70 – 3 1,09°C. Hasil pengukuran kelembaban udara di Salatiga dan Semarang me- nunjukkan bahwa kelembaban rata-rata mingguan di dalam rumah di Salatiga berkisar antara 84,99 – 86,62% sedangkan di

Semarang antara 70,0 1 – 81,51%. Untuk yang di luar rumah tercatat bahwadi Salatiga berkisar antara 83,43–86% sedangkan di Semarang antara 70,59 – 82,14%. Tampak bahwa suhu di Salatiga lebih rendah daripada di Semarang sedangkan kelem-babannya lebih tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh perbedaan topografi dan ketinggian dan permukaan laut. Jika keadaan tersebut dihubungkan dengan suhu optimum bagi perkembang-an nyamuk yang berkisar antara 25 – 27°C (WHO, 1975) maka suhu rata-rata sebesar 23,56°C di Salatiga masih berada di bawah suhu optimum untuk perkembangan nyamuk. Sebaliknya, suhu rata-rata sebesar 29,41°C di Semarang berada di atas suhu optimum tersebut. Sementara itu keiembaban rata-rata di Sala-tiga dan Semarang yang selama penelitian berturut-turut sebesar 85,37% dan 75,07% masih berada pada kelembaban udara opti-mum bagi kehidupan nyamuk Ae. aegypti (70 – 90%). Tabel 1. Suhu dan Kelembaban Udara Rata-rata Mingguan di Salatiga dan Semarang

Suhu (°C) Kelembaban (%)

Dalam rumah Luar rumah Dalam rumah Luar rumah Minggu ke

A B A B A B A B

I 25 05 28,20 24,36 28,70 85,14 73 64 83 43 73 92 II 24,48 29,73 24,47 30,76 85,05 71,43 84,67 71,71III 23,78 29,96 23 69 30,97 86 62 71 62 84,38 70 80 IV 2407 28,87 24,01 29,98 84,99 77 81 84,52 78 97 V 23,48 29,00 23,43 30 16 85,48 78,04 85 86 76 56 VI 21,95 28,31 22,29 29 19 85,15 80,52 85 97 70 59 VII 23,25 28,08 22,64 2941 86 12 81,51 85,19 82,14 VIII 23 25 29,17 23,50 31,09 86 57 70,01 8600 72,00

Keterangan: A : Salatiga B : Semarang

Jumlah kematian nyamuk Ae. aegypti betina baik di dalam maupun di luar rumah yang ada di Salatiga dan Semarang di- gunakan untuk menggambarkan jangka hidup nyamuk tersebut (Tabel 2). Setelah minggu ke-4 jumlah kematian Ae. aegypti betina di dalam numah di Salatiga mencapai 57,6% dengan jumlah kematian terbesar tenjadi pada minggu ke-1 (24,8%) se-dangkan di Semarang jumlah kematian sebesar 63,45% dijumpai setelah minggu ke-5 dengan jumlah kematian terbesar terjadi pada minggu ke-4 (28,69%). Jumlah kematian Ae. aegypti betina di luar rumah sebesar lebih dari 50% yang berada di Salatiga dan Semarang berturut-turut dijumpai setelah minggu ke-2 dan ke-6 dengan jumlah kematian terbesar terjadi masing-masing pada minggu ke-1 (32,68%) dan minggu ke-6 (25,83%). Berdasarkan catatan hasil penganlatan harian, tennyata Ae. aegypti betina di Salatiga mempunyai jangka hidup selama 50 hari untuk yang di dalam rumah sedangkan yang di luar numah selama 52 hari. Di Semanang tercatat bahwa jangka hidup nyamuk tersebut baik di dalam maupun di luar rumah adalah selama 53 hari. Keadaan ter-sebut menunjukkan bahwa daya tahan hidup Ae. aegypti betina di Semanang lebih besar danipada di Salatiga. Hal ini mungkin di- sebabkan oleh proses metabolisme yang lambat akibat suhu yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 21

Page 23: Cdk 107 Dengue

rendah berlangsung dalam kelembaban optimum dapat meng- akibatkan kematian.

Tabel 2. Jumlah Kematian Ae. aegypti Betina di Dalam dan Luar Rumah di Salatiga dan Semarang

Jumlah kematian

Dalam rumah Luar rumah

A B A B Minggu ke

n % n % n % n %

I 62 24,80 3 1,19 84 32,68 10 4,17 II 43 17,20 8 3,19 60 23 35 7 2,92 III 5 2,00 1 0 39 13 5,45 21 8,75 IV 34 13,60 72 28,69 7 2 72 33 13,75 V 21 8,40 26 10,36 10 3 89 13 5,42 VI 56 2240 49 19,52 43 16,73 62 25,83 VII 26 10,40 53 21,12 35 13,62 60 25,00 VIII 3 1 20 39 15 54 4 1,56 34 14,13

Jumlah 250 251 257 240

Keterangan: A : Salatiga B : Semarang Angka di dalam kurung menyatakan persentase kematian

Siklus gonotrofik Ae. aegypti betina di Salatiga dan Sema- rang seperti tersaji pada Tabel 3 masing-masing berlangsung selama 3–7 hari dan 3–4 hari. Keadaan ini menunjukkan bahwa siklus gonotrofik di Salatiga berjalan lambat oleh karena seperti diketahui bahwa pada suhu rendah metabolisme berlangsung lambat sehingga mempengaruhi perkembangan telur.

Tabel 3. Lama Siklus Gonotrofik Ae. aegypti betina di Dalam dan di Luar Rumah di Salatiga dan Semarang

Lama siklus (hari)

Dalam rumah Luar rumah Pemberian makan darah ke

A B A B

1 4 3 4 3 II 4 4 5 3 III 4 3 5 4 IV 4 3 3 3V 3 3 7 4 VI 7 3 7 4 VII – 3 4 4 VIII – 3 – 3 IX – 3 – 3

Keterangan: A : Salatiga B : Semarang

Banyaknya siklus gonotrofik Ae. aegypti betina di Salatiga dan Semarang dapat dilihat pada Tabel 4. Sekitar 38,53% Ae. aegypti yang berada di dalam rumah di Salatiga mempunyai siklus gonotrofik sebanyak I – 3 kali sedangkan selebihnya yakni 61,47% bisa mencapai antara 4–6 kali. Bagi yang berada di luar rumah sekitar 56,64% mempunyai siklus gonotrofik antara I – 3 kali dan 43,36% mencapai 4 –7 kali. Di Semarang

sekitar 4,77% nyamuk yang berada di dalam rumah mempunyai siklus gonotrofik sebanyak I – 3 kali sedangkan 95,23% dapat mencapai antara 4 – 9 kali. Untuk yang berada di luar rumah sekitar 13,34% mempunyai siklus gonotrofik antara 1 – 3 kali sedangkan yang dapat mencapai 4 – 9 kali sekitar 86,64%. Ba- nyaknya siklus gonotrofik yang dapat dilalui menggambarkan potensi vektor dalam penularan penyakit; maka dapat dikatakan bahwa Ae. aegypti yang berada di Semarang lebih potensial daripada yang berada di Salatiga. Hal ini dibuktikan dengan uji statistik (chi-kuadrat) terhadap beda frekuensi banyaknya siklus gonotrofik yang dilalui nyamuk selama hidupnya yang diamati dan jumlah kematiannya pada periode tertentu baik untuk yang berada di dalam maupun di luar rumah di Salatiga dan Semarang menunjukkan beda yang sangat bermakna (p <0,01). Tabel 4. Banyaknya Siklus Gonotrofi yang Dicapai Ae. aegypti betina di Dalam dan di Luar Rumah di Salatiga dan Semarang

Jumlah nyamuk

Dalam rumah Luar rumah

A B A B Jumlah siklus

gonotrofik

n % n % n % n % 1 69 2160 5 1,99 110 42,80 10 417 2 7 2,83 6 2,39 12 4,70 7 2,92 3 8 3,67 1 0,39 6 2,65 15 6,25 4 32 14 68 0 0,00 11 4,87 37 15,47 5 73 3349 94 37,43 41 18,14 7 2,926 29 13,30 24 9,56 40 17,69 18 7,50 7 – 29 11,55 6 2,69 77 32,08 8 – 64 25,49 – 55 22,92 9 – 28 1160 – 14 5,83

Jumlah 218 251 226 240

KESIMPULAN DAN SARAN

Dengan suhu udara yang lebih tinggi dan kelembaban yang lebih rendah nyamuk Ae. aegypti betinadi Semarang mempunyai jangka hidup lebih lama, waktu siklus gonotrofik lebih pendek dan siklus gonotrofik lebih banyak daripada di Salatiga. Oleh karena itu potensinya sebagai vektor dalam penularan penyakit Demam Berdarah Dengue sangat besar. Mengingat bahwa waktu siklus gonotrofik Ae. aegypti di Semarang relatif lebih pendek (3 – 4 hari) daripada di Salatiga (3–7 hari) maka disarankan pembersihan tempat-tempat penam-pungan air yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk tersebut untuk Semarang dilakukan lebih sering.

KEPUSTAKAAN 1. Sumengen S. Suroso 1, Kasnodiardjo, Pranoto, Sutardjomartono, Kadir

AA, Hari P. Pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue melalui peng-awasan kualitas lingkungan. Medika 1991; 7: 1–4.

2. Rivers TM, Horstall F. Viral and Ricketsial of Man. Philadelphia, Montreal: J.B. Lippincott Co. 1959. 256 p.

3. WHO. Manual on practical entomology in malaria. Part I and II. Geneva 1975.

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 22

Page 24: Cdk 107 Dengue

HASIL PENELITIAN

Kepadatan Aedes albopictus di Lingkungan Beberapa

Rumah Sakit di Jakarta Selatan

IG. Seregeg Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Jakarta Selatan merupakan daerah dengan keadaan ling-kungan alami yang relatif lebih baik dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Jakarta. Beberapa hal yang menyebabkannya dapat disebutkan di bawah ini yaitu: pertama, posisi bentang alam yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain dan berdampingan dengan Kabupaten Bogor yang dikenal memiliki udara sejuk dan banyak hujan. Kedua, tanahnya yang terdiri dari tanah hat merah, cocok untuk tanaman buah-buahan yang biasa menghiasi halaman-halaman rumah, dengan pekarangan yang relatif lebih luas dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Jakarta. Aedes albopictus (Diptera: Culicidae) dikenal sebagai nyamuk yang habitatnya banyak berasosiasi dengan bentang alam dengan keteduhan yang tinggi. Upaya penghijauan yang bertujuan memberikan kesegaran udara di daerah perkotaan

dapat mempunyai dampak negatif berupa peningkatan kepadat-an Ae. albopictus yang disebabkan oleh banyak faktor antara lain jenis-jenis tumbuhan, penampung air hujan, seperti sendi-sendi daun, tonggak-tonggak bekas tebangan bambu, pot, kaleng bekas, kantong-kantong plastik yang akan digunakan untuk pembibit-an. Luasnya area! pertamanan diduga berkaitan langsung dengan banyaknya benda-benda dan bagian-bagian tanaman yang dapat menampung air hujan, dan keadaan ini berkaitan dengan kepa-datan Ae. albopictus, sehingga diduga ada kaitan antara luasnya pertamanan dan kepadatan Ae. albopictus yang berbiak di areal pertamanan tersebut. Tujuan penelitian ini ada!ah untuk mengetahui kepadatan Ae. albopictus di lingkungan RS Pusat Pertamina, RS Bersalin Asih dan RS Pondok Indah yang berlokasi di Kebayoran Baru dan Pondok Indah, Jakarta Selatan.

ABSTRAK

Jakarta Selatan merupakan daerah yang secara relatif memiliki lingkungan lebih baik dibandingkan dengan daerah lain di Jakarta; halaman perumahan relatiflebih luas, suatu keadaan yang menunjang habitat Aedes albopictus. Suatu studi mengenai keadaan Ae. albopictus telah dilakukan mulai bulan Januari sld Juni 1993. Tiga rumah-sakit yaitu RS Pusat Pertamina, RS Pondok Indah, dan RS Bersalin Asih, dengan lingkungan perta-manan yang berbeda-beda, dipilih sebagai tempat pengambilan contoh untuk melakukan landing rate. Hasilnya menunjukkan rumah-sakit dengan lingkungan pertamanan yang paling luas memiliki man hour density (MHD) yang paling tinggi yaitu RS Pusat Pertamina dengan rata-rata MHD = 60, disusul berturut-turut oleh RS Pondok Indah dengan rata-rata MHD = 37,3 dan RS Bersalin Asih dengan rata-rata MHD = 2,5 dengan luas pertamanan yang makin kecil.

DA

isajikan pada Seminar Parasitologi Nasional VII dan Kongres P4.1., 23–25 gustus 1993, di Denpasar, Bali.

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 23

Page 25: Cdk 107 Dengue

BAHAN DAN CARA KERJA Tempat penelitian adalah pertamanan DKI dalam lingkung- an (ekologik) RS Pusat Pertamina, pertamanan dalam halaman RS Bersalin Asih dan pertamanan DKI dalam lingkungan (ekolo- gik) RS Pondok Indah di Jakarta Selatan. Penentuan kepadatan nyamuk dilakukan dengan cara landing rate, selama 15 menit pada pagi hari antara jam 9.00 sampai jam 11.00 oleh seorang petugas penangkap nyamuk, dengan jalan memapar kaki ter-hadap hinggapnya nyamuk di bagian bawah lutut. Nyamuk yang hinggap ditangkap dengan aspirator standar dan dimasukkan ke dalam bejana plastik yang ditutup dengan kain kasa berlubang dengan ukuran diameter = 2,25 cm. Lubang kain kasa ini ditutup lagi dengan gulungan kapas secukupnya, sehingga gulungan kapas tersebut dapat berfungsi seperti pintu yaitu dibuka untuk memasukkan aspirator dan ditutup kembali bila nyamuk dalam aspirator sudah tertiup ke dalam bejana. Nyamuk-nyamuk yang tertangkap dibawa ke laboratorium Puslit Ekologi Kesehatan untuk diidentifikasi mengikuti kunci identifikasi dan Yiau Min Huang (1972) dan Stojanovich et al. (1966). Landing rate ini dilakukan sebulan sekali untuk satu ling- kungan rumah sakit. Teknik pelaksanaannya dipilih pada waktu cuaca terang, tidak hujan, di pagi hari, dengan cara duduk di bawah pohon yang teduh dan lembab. Jenis-jenis pohon yang ada, keanekaannya dan tingkat peneduhannya dicatat sebagai informasi tambahan dalam menelusuri keterkaitan ekologis; nama-nama pohon tersebut tidak dicantumkan dalam makalah ini. Tingkat peneduhan diukur langsung di lapangan dengan menghitung luas lahan yang tidak terkena sinar matahari pada tengah hari dibagi dengan luas lahan seluruhnya kali 100%. HASIL Hasil landing rate menunjukkan bahwa rumah sakit dengan lingkungan pertamanan yang luas dan keanekaan flora yang tinggi (minimal 56 spesies) menimbulkan kepadatan yang tinggi pula yaitu di lingkungan RS Pusat Pertamina dengan kepadatan rata-rata Man Hour Density (MHD) mencapai 60. Di RS Pondok Indah yang lingkungan pertamanannya lebih sempit dan ke- anekaan tanaman yang lebih sedikit (minimal 32 spesies) mem- punyai kepadatan rata-rata MHD = 37,3. Di RS Bersalin Asih yang pertamanannya paling sempit, hanya menupakan bagian dan pekarangan rumah sakit, memiliki kepadatan yang paling rendah yaitu MHD = 2,5 (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil landing rate MHD di lingkungan RS Pusat Pertamina, RS Pondok Indah dan RS Bersalin Asih, di Jakarta Selatan

1993

Lokasi lingkungan

Januari Februari Maret April Mei Juni Ratarata

RS Pusat Pertamina 12 40 36 76 84 92 60 RS Pondok Indah 32 36 44 40 36 36 37,3 RS Bersalin Asih 3 12 0 0 0 0 2,5

Di lingkungan RS Pusat Pertamina jenis-jenis tanaman adalah berbagai jenis bakung, berbagai jenis pinang, andong,

yang sebagian besar merupakan tumbuh-tumbuhan berdaun rimbun, lebar dan berwarna hijau gelap. Dalam pertamanan tersebut tercatat ada minimal 56 spesies dengan tingkat peneduhan mencapai 90%. Di RS Pondok Indah, jenis-jenis tanaman yang terkait adalah bambu bias (Bambosa sp), kayu putih (Eucalyptus sp), angsana (Pterocarpus indicus), ketapang (Terminalia cat-apa); sebagian besar merupakan tanaman berdaun hijau terang dan tidak lebar, kecuali ketapang. Dalam pertamanan ini tercatat minimal 32 spesies tanaman dengan tingkat peneduhan 60%. Di RS Bersalin Asih MHD hanya mencapai 2,5. Jenis-jenis tanaman yang terkait adalah terang-bulan (Calancheo sp), pinang kuning (Chrysaldocarpus sp), pisang bias (Musa sp), pangkas kuning/ teh-tehan yang merupakan vegetasi bawah. Vegetasi atas dido-minasi oleh mangga (Mangifera sp) dan mahoni (Suietenia sp). Di pertamanan ini tercatat minimal 14 spesies tanaman dengan tingkat peneduhan mencapai 70%. PEMBAHASAN Hubungan antara luasnya pertamanan dan tingginya kepa- datan Ae. albopictus dalam suatu daerah yang mempunyai kesa-maan bentang alam dan sifat fisik-kimia tanah, secara garis besar berbanding langsung yaitu makin luas pertamanan, kepadatan Ae. albopictus makin tinggi. Hal ini dapat dimengerti karena biomasa flora yang tumbuh di atas tanah dengan kesamaan ke- adaan fisiografi akan berbanding langsung dengan luas tanah, dengan catatan ada kesamaan perlakuan dalam memelihara per- tamanan tersebut. Fisiografi tanah tempat rumah sakit-rumah sakit tersebut dan lingkungannya adalah sama yaitu: dataran kipas volkan dengan jenis tanah merupakan asosiasi latosol merah dan latosol coklat kemerahan yang bertekstur halus dari bahan induktif andesit. Tanah jenis ini dikenal sebagai tanah yang subur cocok untuk hampir segalajenis tanaman. Tanah di Jakarta Selatan memang cukup subur baik untuk vegetasi atas (pohon-pohonan) maupun vegetasi bawah (semak, perdu, herba dan lain-lain). Kehidupan Ae. albopictus sedikit banyak tergantung pada penimbangan kerapatan antara vegetasi atas dan vegetasi bawah. Vegetasi atas mempunyai kecenderung-an memberikan keteduhan dan iklim mikro yang menyenangkan dengan kelembaban yang memadai, sedangkan vegetasi bawah cenderung membenikan kemudahan-kemudahan untuk istirahat (resting place) dan tempat penindukan. Di Iingkungan pertamanan RS Pusat Pertamina vegetasi bawah cukup banyak karena selain untuk resapan air daerah Jakarta Selatan, digunàkan juga untuk penghijauan (paru-paru kota) dan kebun pembibitan, sehingga menjadi salah satu sebab kepadatan yang cukup tinggi. Di lingkungan pertamanan RS Pondok Indah memang tingkat peneduhan paling rendah, namun vegetasi bawah masih cukup banyak dan breeding place berupa tonggak-tonggak bambu bekas tebangan dan potongan-potong- an pipa pralon yang tertancap di tanah. Rupa-rupanya keadaan ini yang memberikan kepadatan agak tinggi, yaitu 37,3; jauh di atas RS Bersalin Asih, yaitu 2,5. Di RS Bersalin Asih tingkat peneduhan lebih tinggi dibandingkan dengan RS Pondok Indah, yaitu 70% dibandingkan dengan 60%, tetapi vegetasi bawah

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 24

Page 26: Cdk 107 Dengue

tidak begitu banyak dan terkelola dengan baik dan umumnya terdiri dari tumbuh-tumbuhan berwarna terang, sehingga rupa-rupanya kurang menarik bagi Ae. albopictus untuk resting maupun breeding. Bila dikaitkan dengan basil penelitian Pranoto (1979) yang memberikan perlakuan jenis-jenis warna pada aktivitas harian peletakan telurAe. albopictus, terdapat beberapa kesamaan yaitu: warna hitam paling banyak menghasilkan perangkap mengan-dung telur, disusul oleh warna merah; sedangkan untuk warna hijau dan warna kuning, jumlah perangkap yang mengandung telur hanya sedikit. Dalam penelitian penulis kepadatan Ae. albopictus lebih tinggi pada lokasi yang dikelilingi oleh tumbuh-tumbuhan berwarna hijau gelap dibandingkan dengan lokasi yang berwarna hijau terang atau kekuning-kuningan. Demikian pula mengenai keterkaitan kelembaban dengan vegetasi bawah dan peneduhan, Ae. albopictus lebih banyak terdapat pada lokasi yang memiliki kerapatan vegetasi bawah lebih tinggi dibanding-kan dengan peneduhannya. Rupa-rupanya vegetasi bawah lebih berperan dalam menjamin kelembaban, sedangkan vegetasi atas lebih berperan dalam intensitas penyinaran. Selain suhu, kedua variabel ini yaitu kelembaban dan intensitas penyinaran, diduga cukup berperan dalam aktivitas peletakan telur dan resting dari Ae. albopictus. Penelitian serupa oleh Wilton (1968) yang me-nyatakan bahwa Ae. triseriatus memilih tempat peletakan telur- nya pada perangkap dengan dinding berwarna gelap dan dengan latar belakang gelap. Gubler (1970) lebih jauh menyebutkan

kelembaban nisbi bahkan berpengaruh terhadap umur nyamuk. KESIMPULAN Kepadatan Ae. albopictus di lingkungan beberapa rumah sakit di Jakarta Selatan mempunyai hubungan langsung dengan luas pertamanan, berkenaan dengan perimbangan kerapatan vegetasi atas dan kerapatan vegetasi bawah. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan: Ir. P. Simbolon (PT. Riung Pulung Mahkota), Sudjono SKM.Dipl.S.E. dan Suyono SKM., MSPH. (PAM-SKL, Jakarta) yang telah membantu penulis di lapangan.

KEPUSTAKAAN 1. Gubler DJ. Comparison of reproductive potentials of Aecles (Stegomyia)

albopictus Skuse and Aedes (Stegomyia) polynesiensis Marks. Mosq. News. 1970; 30(2): 20 1–208.

2. Huang YM. Contributions of the American Entomological Institute. Vol. 9. No. 1. The subgenus Stegomyia of Aedes in South East Asia. The scutelaris group of species. 1972. p. 13.

3. Pranoto. Tesis, Aktivitas harian peletakan telur Aedes albopictus skuse (Diptera: Culicidae) di kelurahan Kuningan Timur, iakarta. Tesis. 1979.

4. Stojanovich CJ, Scott HG. illustrated key to mosquitoes of Vietnam. US Department of Health, Education and Welfare. Public Health Service. CDC Atlanta, Georgia. 1966.

5. Wilton DP. Oviposition site selection by the tree hole mosquito. Aedes triseriatus (Say). I. Med. Entomol. 1968; 5(2): 189–194.

Kalender Peristiwa

M

arch 9-13, 1996 – 8th CONGRESS OF ASEAN FEDERATION OF PLASTIC SURGERY 1st SCIENTIFIC MEETING OF THE ASIAN PACIFIC CRANIOFACIAL ASSOCIATION POST CONGRESSIONAL INSTRUCTIONAL COURSE AESTHETIC SURGERY Grand Bali Beach Hotel, Sanur Bali, INDONESIA Secr. : Bisono MD Plastic Surgery Dept., FKUI-RSCM Jl.Diponegoro7l Tel. (62-21) 3905556 Regristration : c/o Pacto Convex Ltd. Fax (62-21) 3905556 Lagoon Tower, Jakarta Hilton International JI. Gatot Subroto, Jakarta 10002 INDONESIA Tel. (62-21) 5705800 Fax (62-21) 5705798

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 25

Page 27: Cdk 107 Dengue

HASIL PENELITIAN

Respon Aedes aegypti terhadapEkstrak Jamur Beauveria bassiana, Mucor

haemalis dan Geotrichum candidum

Nunik Siti Aminah, Enny W. Lestari, Amrul Munif, Koesnindar, Mardiana Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Dari bulan Mei 1990 mulai dilakukan koleksi jamur Beauveria bassiana dari Pusat Penelitian Manihot Pematang Siantar, Mucor haemalis dari BIOTROP Bogor, Geo-trichum candidun dari Institut Pertanian Bogor. Jamur-jarnur tersebut dibiakkan di laboratorium Entomologi Litbangkes. Pembiakan dilakukan pada suhu 25°C. Untuk isolasi biakan murni digunakan medi urn Saboraud Agar dan untuk memperbanyak jataur menggunakan media jagung giling. Untuk semua perlakuan digunakan dosis tunggal 3 mg/l air karena dosis tersebut mendekati Lc95. Ketiga jenis jamur di atas ternyata dapat menimbulkan kerusakan pada organ tubuh nyarnuk terutama pada bagian thorax. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang lebih berpotensial sebagai insektisida rnikroba berturut-turut ialah jarnur G. candidum, M. haemalis dan B. bassiana. G. candidum dapatrnembunuh nyarnuk Ae. aegypti hari ke 1 sarnpai hari ke 3 berturut-turut 26%, 79% dan 100%, M. haemalis dapat mernbunuh hari ke I sarnpai hari ke 3 berturut-turut 0%, 28% dan 100%, B. bassiana dapat mernbunuh hari ke I sarnpai hari ke 4 berturut-turut 0%, 37%, 100%. Sedangkan G. candidum menekan pertumbuhan larva Ae. aegypti selama 14 hari dan 13 hari pada perlakuan I dan II, M. haemalis rnenekan pertumbuhan larva Ae. aegypti 14 hari dan 12 hari pada perlakuan I dan II, B. bassiana rnenekan pertumbuhan larva Ae. aegypti 13 hari dan 11 hari pada perlakuan I dan II.

PENDAHULUAN

Serangga selain membeni rnanfaat bagi manusia, tidak sedikit pula yang merugikan baik sebagai hama tanaman maupun se-bagai vektor penyakit. Berbagai penel itian telah dilakukan untuk rnendapatkan cara pengendalian yang efektif terhadap penurunan populasi senangga vektor (1).

Beberapa tahun terakhir alternatif pengendalian serangga secara biologis mulai mendapat perhatian karena memiliki ke-untungan antara lain: toksisitas yang selektif hanya pada se-rangga sasaran dan aman terhadap lingkungan(2). Cara pengen-

dalian biologis rnasih mernpunyai beberapa kendala antara lain bekerjanya lambat dalarn menurunkan peledakan populasi se-rangga dan spektrurn sasarannya yang sernpit(3).

Cendawan Metarhizium anisopliae yang merupakan mikroba patogen pada harna tanaman Orycras rhinoceros rnudah dikem-bangkan di laboratoniurn. sehingga membenikan harapan sebagai pengendali vektorsecara biologis untuk menekan populasi hama tanaman(4).

Beberapa agen pengendali biologi vektor penyakit yang dikembangkan WHO antara lain jenis cendawan yang berperan

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 26

Page 28: Cdk 107 Dengue

sebagai agen pengendali biologis yang berpotensial terhadap serangga vektor penyakit dan serangga hama tanaman, di antara-nya: Coeloniomyces spp., Culicinomyces spp., Entomophilio-raceae, Legenidium gigcinteum. Laptolegnia spp., Metarhizum spp., Beauveria spp. dan Tolypoc1adium(5).

Pada penelitian ini digunakan ekstrak Beauveria bassiana, Mucor haemalis dan Geotrichum candidum untuk pengendal an nyamuk Aedes aegypti di laboratorium. METODOLOGI PENELITIAN

a) Bahan Mucor haemalis yang digunakan dalam penelitian ini ber-

asal dan BIOTROP Bogor, Geotrichum candidum dan laborato-rium Mikrobiologi IPB Bogor dan Beauveria bassiana dari Pusat Penelitian Manihot Pematang Siantar. Ketiga jenis cendawan tersebut dibiakkan di laboratorium Litbangkes Jakarta. .Jenis nyamuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ae. aegypti dari Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Isolasi biakan murni menggunakan media Sabouraud Agar. pada suhu rata-rata 25°C.

Media yang dipakai untuk memperbanyak koloni cendawan adalah jagung giling yang dicuci sampai bersih kemudian di- rendam dalam air panas selama 60 menit sehingga menjadi nasi jagung. Nasi jagung tersebut disterilkan selama 30 menit. Media steril ditambah biakan murni dengan perbandingan 20:1, di- kemas dalam kantong plastik kemudian disimpan selama 7 sampai 10 hari. Bahan tersebut merupakan insektisida asal cendawan yang siap pakai. Selanjutnya agar cendawan tidak menggumpal maka ke dalam 3 mg/l air cendawan ditambahkan 3 g serbuk gergaji halus/l air. Hal ini dilakukan berdasarkan penelitian bahwa dosis 4 mg/l air dapat mematikan larva Ae. aegypti 100% di laboratorium(6).

b) Cara Kerja 1) Uji hayati

Perlakuan cendawan terhadap nyamuk Ae. aegypti sebagai berikut: Nyamuk Ae. aegypti betina sebanyak 10 ekor dimasuk-kan ke dalam kontainer plastik berdiameter 15 cm, tinggi 10 cm, pada bagian atasnya diberi lubang 6 cm. Lubang diberi tutup kain kasa dan diusahakan dapat dibuka/ditutup dengan mudah. Me- lalui lubang tersebut disemprotkan insektisida (cendawan) de- ngan menggunakan semprotan untuk menyiram anggrek; setiap wadah disemprot 4 kali dan setiap perlakuan menggunakan 10 ulangan.

Setiap hari dilakukan pengamatan untuk mengetahui jumlah nyamuk yang mati dan diamati di bawah mikroskop; pengamatan diakhiri setelah seluruh nyamuk yang diperlakukan mati semua (100%). 2) Uji ekstrak cendawan

Uji daya bunuh ekstrak cendawan terhadap larva Ae. aegypti sebagai berikut:

Perlakuan I, Gelas beker diisi air sebanyak 100 ml, kemu- dian ekstrak cendawan 3 mg/l air dimasukkan dan diaduk se- hingga rata. Larva stadium III sebanyak 20 ekor yang diperoleh dan penetasan telur Ae. aegypti di laboratorium dimasukkan ke

dalam gelas beker, kemudian ditambah air sampai volume men-jadi 200 ml. Setelah 24 jam mulai dilakukan pengamatan. Peng-amatan diakhiri setelah sebagian larva yang tahan berhasil men-jadi nyamuk dewasa.

Selama pengamatan larva yang mati tidak diambil dari medium dengan harapan sebagai sumber infeksi untuk perlakuan berikutnya, yaitu perlakuan II.

Pada perlakuan II (merupakan perlakuan daur ulang) di-gunakan medium yang berasal dari perlakuan I dan cara kerja selanjutnya sama dengan yang di atas. Perlakuan II ini bertujuan untuk mengetahui apakah medium bekas ekstrak cendawan tersebut rnasih efektif untuk membunuh larva Ae. aegypti. HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase kematian nyamuk Ae. aegypti yang diperlakukan dalam ekstrak B. bassiana, M. haemalis dan G. candidum dengan dosis 3 mg/I air sebagai berikut (Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah prosentase kematian nyamuk Aedes aegypti pada per- lakuan ekstrak jamur Beauveria bassiana, Mucor haemalis dan Geotrichum candidum dengan dosis 3 mg/l air

Bauveria bassiana

Mucor haemalis

Geotrichum candidum N

I II III IV I II III I II III

1 0 0 5 10 0 4 7 3 9 10 2 0 0 10 15 0 7 16 7 17 20 3 0 0 14 26 0 9 22 11 25 29 4 0 0 16 38 0 13 28 13 32 39 5 0 0 19 47 0 16 34 14 40 49 6 0 0 24 55 0 19 42 17 47 58 7 0 0 27 67 0 20 50 19 56 70 8 0 0 31 76 0 22 57 21 63 79 9 0 0 33 88 0 24 72 22 70 88 10 0 0 37 100 0 28 100 26 79 100

N.B. Usia nyamuk kontrol 7 hari Keterangan : N = ulangan, I = Hari pertama II = Hari kedua III = Hari ketiga IV = Hari keempat

Perlakuan dengan cendawan B. bassiana, pada hari ke I sampai hari ke 4 berturut-turut mematikan nyamuk Ae. aegypti sebagai berikut 0%, 0%, 37% dan 100%.

Perlakuan dengan M. haemalis, pada hari i sampai hari ke 3 kematian nyamuk Ae. aegypti sebesar 0%, 28% dan 100%.

Perlakuan dengan G. candidum pada hari ke I sampai hari ke 3, kematian nyamuk Ae. aegypti sebesar 26%, 79% dan 100% sedangkan pada kontrol nyamuk Ae. aegypti bertahan hidup sampai hari ke 7.

Dari ketiga jenis cendawan yang paling efektif membunuh nyamuk Ae. aegypti dewasa berturut-turut ialah G. candidum, M. haemalis dan B. bassiana. Setelah aplikasi 48 jam, konidiospora mulai melakukan penetrasi dalam organ tubuh nyamuk dengan baik. Pada hari ke empat dilakukan pengamatan miknoskopis, dan ketiga jenis cendawan yang diperlakukan ternyata dapat menimbulkan kerusakan pada organ nyamuk yaitu terbentuknya tonjolan-tonjolan pada bagian thorax terutama pada bagian

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 27

Page 29: Cdk 107 Dengue

mesothorax dan metathorax. Pengamatan pada M. haemalis, hari keempat hampir meru-

sak seluruh bagian abdomen nyamuk Ae. aegypti, sedangkan B. bassiana dan G. candidum hanya merusak 2/3 bagian dan abdo-men. Kematian pada nyamuk dewasa karena adanya penetrasi miselium pada organ tubuhnya.

Kerusakan tubuh akibat penetrasi cendawan dapat diketahui dalam Tabel 2. Tabel 2. Organ tubuh nyamuk Aedes aegypti yang mengalami kerusakan akibat perlakuan Beauveria bassiana, Mucor haemalis dan Geo- tridium candidum

Jenis jamur yang tumbuh pada nyamuk Ae. aegypti

Organ tubuh Ae. aegypti yang

mengalami kcrusakan B. bassiana M. haemalis G. candidum 1. Kepala a. pruhoscis ++ – + b. palpus + – – 2. Thorax a. pruihorax ++ ++ ++++ b. iucsulhorax +++ +++ +++ c. methathorax +++ +++ +++ 3. Abdomen +++ ++++ +++ 4. Kaki a. femur ++ ++ ++ b. tibia + ++ + c. tarsus – ++ +++ 5. Sayap – – +

Keterangan : + = 1 koloni ++ = 2 koloni +++ = 3 koloni ++++ = 4 koloni

Organ nyamuk Ae. aegypti yang mengalami kelainan akibat

penetrasi konidiospora dan cendawan B. bassiana antara lain terbentuknya tonjolan-tonjolan pada proboscis dan palpus, ruas-ruas kaki bagian femur dan tibia, thorax retak terbagi menjadi 2 atau 3 bagian dan seluruh abdomen hampir terisi hyphe dan

konidiospora. Cendawan M. haemalis, menyerang tubuh nyamuk Ae.

aegypti pada sebagian besar kaki, terbentuknya celah pada ba-gian thorax dan seluruh segmen abdomen terisi spora.

Cendawan G. candidum menyerang tubuh nyamuk Ae. aegypti terutama pada bagian prothorax terjadi kerusakan organ yang lebih parah daripada bagian mesothorax dan metathorax. Sebagian abdomen terisi hyphe, perbatasan antara kepala dan thorax terlihat adanya pembengkakan dan terbentuknya ton--jolan-tonjolan di bagian tarsus, juga terlihat adanya hyphe yang melilit sayap.

Pengamatan tentang perlakuan ekstrak cendawan untuk membunuh larva Ae. aegypti dapat diketahui dan Tabel 3 dan 4 clengan hasil sebagai berikut: perlakuan dengan B. bassiana pada perlakuan I larva Ae. aegypti yang berhasil menjadi nyamuk dewasa sampai hari ke 13 sebesar 38% dan perlakuan II sampai hari ke II sebesar 19%. Berarti pada perlakuan I B. bassiana dapat menekan populasi larva Ae. aegypti yang menjadi nyamuk dewasa sampai hari ke 14 sebesar 34% dan perlakuan II sampai hari ke I 2 sebesar I 8%. Berarti pada perlakuan I M. haemalis dapat menekan populasi larva Ae. aegypti sebesar 66% dan 82% pada perlakuan II.

Pada perlakuan I dengan S. candidum, larva Ae. aegypti yang berhasil menjadi nyamuk dewasa sampai hari ke 14 sebesar 28% dan perlakuan II sampai hari ke 13 sebesar 15%.

Kontrol pada perlakuan I larva Ae. aegypti mati 6% (hidup 94%) dan perlakuan II mati 8% (hidup 92%), yang berhasil menjadi nyamuk dewasa 94% clan 92% pada perlakuan I dan perlakuan II (Tabel 5).

Pengamatan pada larva Ae. aegypti yang mati akibat per- lakuan ekstrak cendawan mulai tampak setelah aplikasi 24 jam yaitu adanya konidiospora pada lubang perispirakel dan siphon. Selanjutnya konidiospora tumbuh dan terbentuklah miselium yang hampir menyerang 1/3 bagian dan siphon. Larva Ae. aegypti mengalami kematian setelah terserangnya haemocoel.

Tabel 3. Prosentase kematian larva Aedes aegypti pada perlakuan jamur Beauveria bassiana, Mucor haemnalis dan Geotrichum candidum dengan dosis 3 mg/l air (Perlakuan I)

Beauveria bassiana Mucor haemalis Geotrichum candidum N

I II III IV V Rata-rata I II III IV V Rata-

rata I II III IV V Rata rata

1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 5 0 3 2 0 0 10 0 10 4 0 10 10 10 15 9 10 10 5 5 5 15 3 0 0 10 0 30 8 0 20 15 10 I5 12 10 10 10 I5 15 12 4 0 0 10 10 30 10 10 30 40 I5 I5 2" 10 10 15 35 15 17 5 0 0 10 20 30 12 10 30 40 25 I5 24 10 15 20 35 20 20 6 0 0 10 "5 30 17 10 30 40 25 10 30 10 30 30 40 30 28 7 10 10 25 35 40 24 14 30 40 30 25 27 25 40 35 45 35 36 8 25 25 30 35 40 31 15 30 50 40 25 32 25 50 45 50 45 43 9 30 25 45 50 40 38 35 30 50 45 25 36 25 55 55 55 50 48

10 40 35 50 55 45 45 40 45 55 45 40 45 30 60 60 60 60 54 II – – 60 55 45 53 50 50 60 50 40 5I 30 60 60 65 70 57

12 – – 60 55 45 53 52 60 60 55 50 54 40 60 65 65 75 61 13 – – 60 60 65 6" 55 65 65 65 55 61 50 65 70 70 75 66 14 – – – – – – 60 75 70 65 – 66 60 70 75 75 80 72

Keterangan : N = ulangan II = hari kedua IV = hari keempat

I = hari pertama III = hari ketiga V = hari kelima

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 28

Page 30: Cdk 107 Dengue

Tabel 4. Prosentase kematian larva Aedes aegypti pada perlakuan jamur Beauveria bassiana, Mucor haemalis dan Geotrichum candidum dengan dosis 3 mg/l air (Perlakuan II)

Beauveria bassiana Mucor haemalis Geotrichum candidum N

I II III IV V Ratarata I II III IV V Rata

rata I II III IV V Ratarata

1 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 3 15 0 10 10 0 7 2 5 0 0 0 0 1 0 10 0 0 0 3 20 10 20 10 5 13 3 5 0 0 0 0 1 0 10 15 10 15 10 30 20 20 10 10 18 4 5 0 0 0 15 4 5 10 25 20 15 25 45 30 30 10 25 27 5 5 5 10 10 25 11 15 25 35 25 15 23 50 40 35 25 40 58 6 10 15 25 25 45 24 30 25 40 30 30 31 60 50 40 25 40 43 7 25 30 40 25 45 33 35 25 40 30 30 32 60 55 40 30 40 45 8 25 35 60 30 60 42 50 35 55 50 40 46 60 65 50 50 50 55 9 40 45 70 40 65 52 65 40 70 70 65 62 70 70 55 60 50 61 10 65 65 80 60 75 67 75 50 80 80 70 67 85 80 70 70 65 7011 75 – 80 85 85 81 75 55 85 90 70 75 85 80 70 70 65 74 12 – – – – – – 85 65 90 – 90 82 100 90 80 85 70 85 13 – – – – – – – – – – – – – – 90 90 80 –

Keterangan : N = ulangan III = hari ketiga I = hari pertama IV = hari keempat II = hari kedua V = hari kelima

Tabel 5. Jumlah prosentase kematian larva Aedes aegypti untuk perlakuan kontrol

Kontrol perlakuan I Kontrol perlakuan II

I II III IV V Rata-rata I II III IV V Rata

rata N

M D M D M D M D M D M D M D M D M D M D M D M D

1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 2 0 25 0 20 0 1S 0 15 0 20 0 19 0 20 0 0 0 30 0 1 5 0 10 0 15 3 0 45 0 30 0 35 0 40 0 40 0 38 0 35 0 15 0 50 0 25 0 25 0 30 4 0 55 0 45 0 50 0 50 0 55 0 51 0 45 0 25 0 60 0 30 0 25 0 37 5 0 70 0 50 0 70 10 50 1 70 2 62 10 55 0 55 0 60 10 30 0 40 4 48 6 0 90 0 75 0 70 10 60 2 70 2 73 10 65 5 55 5 80 10 40 0 50 5 58 7 0 9S – 95 5 95 10 90 – 90 6 94 10 80 5 75 0 90 10 60 0 65 5 74 8 0 – – – – – – – – – – – 10 90 – 95 – 95 10 90 10 90 – 92

Keterangan : M = kematian I = hari pertama D = nyamuk Ae. aegypti dewasa II = hari kedua N = ulangan III = hari ketiga

Keberhasilan larva menjadi nyamuk dewasa normal untuk

setiap perlakuan berlainan: pada perlakuan I berturut-turut cen-dawan B. bassiana, M. haemalis dan G. candidum dapat mene-kan pertumbuhan larva selama 13 hari, 14 hari dan 15 hari, larva yang berhasil menjadi nyamuk Ae. aegypti dewasa berturut-turut 38%, 34% dan 28%.

Sedangkan pada perlakuan II berturut-turut, cendawan B. bassiana, M. haemalis dan G. candidum dapat menekan pertum-buhan larva Ae. aegypti selama 11 hari, 12 hari dan 13 hari, berarti lebih pendek daripada perlakuan I dan yang berhasil menjadi nyamuk dewasa lebih sedikit daripada perlakuan I yaitu berturut-turut 19%, 18% dan 14%. Keadaan seperti di atas dapat disebab-kan karena perlakuan I medium untuk pertumbuhan larva masih baru berarti medium mengandung konidiospora lebih sedikit daripada perlakuan II. Sedangkan pada perlakuan II menggunakan medium bekas yaitu medium bekas perlakuan I ditambah larva perlakuan I yang tidak diambil dengan asumsi konidiospora pada tubuh larva yang telah mati dapat merupakan sumber infeksi untuk perlakuan berikutnya.

Sebaiknya perlakuan daur ulang ini diteruskan sampai bekas medium ekstrak cendawan tidak efektif lagi untuk membunuh larva nyamuk sehingga semua larva yang diberi perlakuan ber-hasil menjadi nyamuk.

Apabila dosis 3 mg/l air bisa dipakai untuk 5 kali perlakuan berarti unit cost bisa diperkecil. Jika dibandingkan dengan peng-gunaan insektisida botani (tumbuhan) untuk pengendalian larva nyamuk maka inrektisida yang berasal dari cendawan (mikroba) lebih menguntungkan karena bisa didaur ulang sedangkan insek-tisida botani apabila diaplikasikan di lapangan Iangsung terurai menjadi senyawa-senyawa sederhana dan tidak toksik lagi ter-hadap larva nyamuk. Karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai daur ulang penggunaan insektisida mikroba ini dan pengaruhnya pada hewan non target. KES1MPULAN

Setiap jenis cendawan mempunyai daya virulensi yang berlainan. Dan ketigajenis cendawan yang paling efektif mem-bunuh nyamuk Ae. aegypti berturut-turut ialah G. candidum, M

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 29

Page 31: Cdk 107 Dengue

haemalis dan B. bassiana. Konidiospora mulai melakukan penetrasi dalam organ tu-

buh nyamuk pada 48 jam setelah aplikasi dan ketiga jenis cendawan yang diperlakukan, dapat menimbulkan kerusakan organ pada sasaran yang sama yaitu terbentuknya tonjolan-tonjolan pada thorax terutama pada bagian mesothorax dan methathorax.

Insektisida mikroba m Iebih menguntungkan karena bisa didaur ulang. SARAN

Untuk mendapatkan dampak negatif sekecil mungkin dan memperoleh manfaat sebesar-besarnya diperlukan tindakan ke-terpaduan antara pengendalian kimiawi dan biologis secara ter-padu. UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Ibu Ir. Ny. H.Sri Soewasti Soesanto, MPH selaku Kepala Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan. Departemen Kesehatan dan Bapak DR.

M. Sudomo, selaku pembina yang telah bersedia memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga selesainya tulisan ini.

KEPUSTAKAAN

1. Metcalf R, Luckman W. Introduction to Insect Pest Management, New York, 1975. p. 587.

2. Bosch Van den, Mesenger P. An Introduction to Biological Control. New York: Plenum Press. 1982. p. 60.

3. Carlton BC, Gonzales YM. Bio Control in Insect B. thuringiensis. Biotech- nology for Solving Agriculture Problems. Amsterdam: Martines Nijhoff Publishers. 1906. p. 235.

4. Child R. Coconuts 2nd Ed. Longman, London. 1974. 5. Baeki SE. Rhabdionvirus dan Metarhizium kontra kumbang kelapa (Oryctes

rhinoceros) suatu metoda pemberantasan secara biologis. Disbun Prop. Dati 6. Martono. Pengendalian Hayati dalam Bidang Kesehatan, Simposium Biologi

Lingkungan, Surabaya. 1988. 7. Amrul Munif, Mardiana. Patogenitas cendawan Beauveria bassiana ter-

hadap larva nyamuk Aedes aegypti dan Culex pipien.c quinqueflisciatus di laboratorium. Pertemuan llmiah Tahunan Perhiinpunan Mikrobiologi Indo-nesia di Bogor, 2–3 Desember 1991.

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 30

Page 32: Cdk 107 Dengue

HASIL PENELITIAN

Perbedaan Virulensi Cendawan Metarhizium anisopliae

yang Dikultur pada Berbagai Medium terhadap Larva Aedes aegypti

Amrul Munif, Supraptini

Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pen gembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Penyakit menular yang ditularkan oleh serangga vektor saat ini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia terutama pada penyakit malaria, demam berdarah dengue dan filariasis. Salah satu cara pemberantasan penyakit tersebut yaitu dengan memutuskan rantai penularan yang ditujukan pada vektor de-ngan menggunakan pestisida maupun pengendali hayati. Akhir-akhir ini pengendalian vektor/hama secara biologi atau pengen-dali hayati mendapat perhatian cukup besar. Hal ini antara lain disebabkan oleh kesadaran masyarakat yang semakin tinggi akan

bahaya pengaruh samping penggunaan pestisida kimia baik terhadap manusia maupun lingkungan. Dampak negatif peng-gunaan pestisida yang kurang bijaksana akan menimbulkan resistensi vektor, resurgensi hama, munculnya vektor kedua, terbunuhnya jasad bukan sasaran (parasitoid, predator dan se-rangga berguna lainnya), residu pestisida dan pencemaran ling-kungan(1).. Salah satu alternatif pengendali hayati adalah memanfaat-kan agen yang bersifat patogen yang diketemukan pada serangga tersebut. Cendawan M. anisopliae merupakan salah satu dari

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian pendekatan cara memproduksi cendawan Metarhizium anisopliae melalui antibiosis untuk meningkatkan virulensi sebagai agen pengendali di laboratorium Entomologi Puslit Ekologi Kesehatan, Jakarta dari bulan Mei 1994 sampai April 1995. Tujuan penelitian untuk memproduksi konidiospora M. anisopliae dengan mudah serta meningkatkan virulensi strain agar diperoleh kualitas cendawan yang hipervirulen. Di samping itu diharapkan dapat menentukan tingkat kepekaan larva nyamuk Ae. aegypti dengan menggunakan agen konidiospora yang dikultur pada berbagai medium.

Pengamatan dilakukan dengan cara mengkultur spora cendawan M. anisopliae pada berbagai macam media di antaranya pada agar dektrosa sabouraud buatan, kentang (potato dektrosa agar), beras, gandum dan jagung. Ternyata media tumbuh cendawan M. anisopliae telah mempengaruhi kualitas dan kuantitas konidiospora yang dihasilkan nya. Produksi masal konidiospora yang dikultur pada kentang/PGA buatan menghasil kan kualitas dan kuantitas yang lebih baik dibandingkan pada medium jagung, beras dan agar dektrosa sabouraud buatan. Berdasarkan analisis Rancangan Acak Lengkap hasil uji konidiospora M. anisopliae dan berbagai medium terhadap larva Ae. aegypti me-nunjukkan LD 50 dan LD 95 berbeda sangat nyata (p <0,01).

MK

akalah ini telah disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Regional Parasitologi edokteran (PIRPK) VIII, Denpasar, Bali, tgI 25 Agustus 1995.

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 31

Page 33: Cdk 107 Dengue

cendawan yang ditemukan pada larva nyamuk yang bersifat patogen dan tergolong dalam kelompok Entomopatogenik. Pada umumnya cendawan entomopatogenik mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, dapat bertahan lama di alam, bahkan dalam kondisi yang tidak menguntungkan sekalipun. Di samping itu relatif aman, bersifat selektif, kom-patibel dengan berbagai insektisida, relatif mudah diproduksi dan kemungkinan menimbulkan resistensi sangat kecil(2). Keberhasilan pemantaatan cendawan entomopatogenik sebagai pengendali vektor atau hama di lapangan sangat di-pengaruhi oleh faktor lingkungan (suhu, kelembaban), jumlah spora (termasuk viabilitas dan virulensmnya) yang disemprotkan, sehingga kemungkinan spora sampai pada serangga sasaran cukup banyak(3). Viabilitas spora dipengaruhi oleh suhu, kelembahan, pH, radiasi sinar matahari dan senyawa kimia seperti nutrisi dan pestisida(3). Hal ini penting untuk dipelajari agar suatu agen patogenik berhasil baik digunakan sebagai agen pengendali, yaitu memiliki virulensi yang tetap terpelihara atau tinggi(4).

Cendawan Metarhizium anisopliae merupakan salah satu cendawan entomopatogenik yang selalu ditemukan pada se-rangga. Konidiospora yang rnenginfeksi inang akan berkembang menjadi hifa di rongga haemocoel yang mengakibatkan kema-tian serangga. Kemampuan cendawan M. anisopliae untuk rnenginfeksi inang serangga tergantung pada kualitas cendawan tersebut yang meliputi jumlah spora (sporulasi), viabilitas dan patogenitasnya(5). Kualitas cendawaa M. anisopliae akan mempengaruhi kehidupan larva, karena cendawan semakin virulen, larva yang terinfeksi akan semakin cepat mati. Cendawan ini juga meng-hasilkan metabolisme yang dapat mematikan larva nyamuk. Endotoksin yang dihasilkan jenis cendawan ini adalah destruxin A dan B yang telah menunjukkan keampuannya terhadap se-rangga dewasa maupun pradewasa dan berbagai spesies larva nyamuk di berbagai habitat. Endotoksin mempunyai peranan sebagai bioinsektisida yang dapat dikembangkan melalui proses antibiosis(6). Telah dibuktikan ada hubungan erat antara aktivitas enzim dengan tingkat virulensi dalam cendawan entomopato-genik(6). Kenyataannya tingkat virulensi pada berbagal macam spesies cendawan dipengaruhi oleh berbagai aktivitas enzim amilolitik, proteolitik dan lipolitik(7). Seleksi perubahan mutan dalam sel tunggal dipengaruhi oleh aktivitas enzim yang spesifik. Aktivitas enzim protease dan amilase dapat mempengaruhi ting- kat virulensi M. anisopliae terhadap larva nyamuk. Ternyata mutan dan M. anisopliae yang terseleksi dapat mempertinggi produksi amilase secara serempak untuk memperoleh strain yang hipervirulen terhadap larva nyamuk Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mernproduksi konidiospora dengan mudah. 2) Menungkatkan virulensi strain untuk memperoleh kualitas cendawan yang hipervirulen. 3) Menentukan tingkat kepekaan larva nyamuk dengan meng- gunakan konidiospora yang dihasilkan cendawan M. anisopliae dari berbagai media. Dengan mengetahui hal tersebut di atas, maka penelitian

diharapkan dapat memberikan informasi tentang virulensi, kapa-sitas reproduksi yang tinggi, kualitas cendawan, media tumbuh yang baik sehingga dapat mempengaruhi patogenitasnya. Hal ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai dasar pengendalian hayati terhadap serangga vektor. METODOLOGI

A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratormum Entomologi Puslit Ekologi Kesehatan dan Laboratorium Toksikologm Balam Pene-litian Tanaman Pangan Sukamandi pada bulan Mei 1994 sampai dengan April 1995.

B. Pembuatan Medium Bahan yang digunakan adalah isolat Metarhizium aniso- pliae dan Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi dan BalitroBogor sebagai media pemurnian PDA (Potato Dekstrosa Agar) dan media patogenisitasnya adalah air.Perbanyakan masal dilakukan sendiri dengan menanam isolat M. anisopliae pada berbagai media buatan di antaranya beras/nasi, gandum,jagung, kentang dan agardektrosa sabouraud (Gambar 1). Media buatan untuk kentang sebagai PDA dibuat dengan komposisi sebagai berikut: Bactoagar 20 gram Dekstrosa 20 gram Kentang kupas 200 gram Air suling 1000 ml Kloramfenikol 500 mg

Kentang kupas direbus dengan 1000 ml air, sampai air ber- warna kuning. Setelah umbi kentang dipisahkan, ke dalam la- rutan tadi ditambahkan bactoagar,dekstrosa dan kloramfenikol. Larutan tersebut dipanaskan sampai mendidih sambil diaduk agar merata. Kemudian dibuat agar miring pada tabung reaksi. Dalam tabung reaksi tersebut dibuat perbanyakan sebagai sum-ber benih. Perbanyakan masal dilakukan pada cawan petri se-banyak 100 buah. Setelah media dituangkan pada cawan petri tersebut, selanjutnya disterilkan dalam autokiaf selama 20 menit pada temperatur 115°C. Setelah media dalam cawan petri dan tabung reaksi dingin, dilakukan inokulasi cendawan dari sumber isolat pada permukaan agar. Cendawan yang ditanam pada cawan petri disimpan dalam stoples plastik. Pada umur I sampai dengan 2 minggu, konidiospora dipanen untuk digunakan pada uji virulensi dan isolasi destruxinnya.

Perbanyakan masal pada media agar dekstrosa sabouraud buatan yang komposisinya sebagai berikut Diftolaboratorium R/Dekstrosa 40 g Pepton 10 g Agar 20 g Air suling 1000 ml Kloramfenikol 0,5 mg/ml

Media agar dekstrosa dilarutkan dalam tabung Erlenrneyer 1000 ml yang telah disterilkan, diisi dengan 70 gram agar dekstrosa sabouraud yang kemudian dipanaskan hingga mendi-dih. Pada saat pemanasan larutan diaduk sampai agar sabouraud

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 32

Page 34: Cdk 107 Dengue

Gambar 1. Proses Pemurnian/Pembiakan Cendawan Metarhizium aniso- pliae

tersebut larut sempurna. Ke dalam larutan agar sabouraud yang telah dimasak dimasukkan 500 mg kloramfenikol yang diaduk sampai larut merata. Kemudian agar sabouraud dituang ke dalam tabung reaksi sebagai media sumber bibit dan selebihnya pada cawan petri untuk pembiakan masal. Sebelum cendawan di-inokulasikan pada agar terlebih dahulu disteril basah pada suhu 115°C selama 20 menit di autokiaf.

Selanjutnya untuk media gandum tersusun dan komposisi: Bactoagar 20 g Dekstrosa 20 g Tepung gandum 200 g Air suling 1000 ml Kloramfenikol 500 mg Cara pernbuatan agar ini sama dengan pembuatan agar dekstrosa sabouraud buatan.

Medium beras dan jagung dibersihkan terlebih dahulu de-

ngan air panas selama 30–60 menit. Setelah direndam kemudian dikukus selama 1 jam, sampai media menjadi matang. Beras dan jagung secukupnya dikemas dalam kantong plastik tahan panas, untuk setiap kantong berisi 1/2 kg. Kantong plastik yang berisi media beras dan jagung disterilkan pada suhu 115°C selama 20 menit. Kemudian setelah media dingin ditanami isolat M. anisopliae secara acak.

C. Uji Virulensi/Bioassay Konidiospora Uji bioassay dilakukan menggunakan rancangan acak

lengkap yang terdiri dari lima perlakuan yaitu dengan media jagung, kentang, beras, gandum, agar dektrosa sabouraud dan kontrol. Uji bioassay berguna untuk mengetahui daya patogeni-tas cendawan Metarhizium anisopliae terhadap larva Aedes aegypti. Aplikasi konidiospora pada permukaan air dilakukan dengan berbagai dosis, masing-masing 0,5 mg, 1 mg, 2 mg, 4 mg, dan 8 mg dalam 250 ml air. Dalam setiap pengujian akan di-peroleh angka kematian separuh dan populasi dan 95 persen yang diperoleh dan analisis regresi.

Inang serangga percobaan ini menggunakan larva instar III dan IV hasil pembiakan di laboratorium. Larva uji di-kontakkan dengan konidiospora hasil pembiakan di berbagai media selama 48 jam. Konidiospora ditebarkan pada permukaan air dalam gelas ukur. Setiap gelas ukur berisi 250 ml air ditambah 25 ekor larva pada setiap perlakuan dosis dan kontrol. Pencatatan hasil uji diperoleh setelah larva kontak dengan konidiospora dalam waktu 48 jam. Pemberian konidiospora setiap uji diulang 4 kali untuk setiap konsentrasi. Sebelum kontak dengan koni-diospora larva diberi makan pelet yang telah dihaluskan.

Penghitungan konidiospora pada setiap perlakuan dosis yang diletakkan pada kaca benda. Kemudian dihitung jumlah dalam 250 ml air, dengan cara masing-masing diambil 1 tetes spora yang terlihat di bawah mikroskop. Hasil jumlah spora ini kemudian dikalikan dengan nilai multiplication factor.

D. Rancangan Penelitian dan Analisis Data Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dalam

pengujian virulensi terhadap larva Ae. aegypti. Masing-masing pengujian dikerjakan dengan 5 perlakuan yang diulang 4 kali. Perlakuan menggunakan medium jagung, kentang, beras, gan-dum dan SAD buatan. Data variabel dosis/konsentrasi, jumlah kumulatif larva yang mati dalam aplikasi diolah dengan menggunakan analisis regresi linier yang dirumuskan sebagai berikut(10) :

y = a + bx b = n x y – ( x ) ( ) N X2 – (x)2

a = Y – b x n

X = adalah variabel dosis atau konsentrasi yang diberikan y = adalah jumlah persentase kematian larva Aedes aegypti n = adalah jumlah ulangan dalam pengamatan HASIL DAN PEMBAHASAN Selama dua belas bulan (Mei 1994 sampai dengan April 1995) telah dapat diselesaikan produksi M. anisopliae pada

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 33

Page 35: Cdk 107 Dengue

berbagai macam media, uji virulensi konidiospora, untuk uji ketahanan terhadap larva Aedes aegypti di laboratorium.

1) Pengaruh media terhadap sporulasi cendawan Perlakuan menggunakan media kentang dan gandum untuk

perbanyakan konidiospora M. anisopliae memberikan jumlah spora tertinggi dibandingkan dengan media jagung, beras dan agar dektrosa sabouroud. Agar Potato Dektrosa (APD) merupa-kan media untuk memelihara spora M. anisopliae agar tetap manjur/toksis di laboratorium Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi.

2) Virulensi konidiospora terhadap larva Ae. aegypti Persentase kematian larva Ae. aegypti hasil uji virulensi

konidiospora dan berbagai media disajikan pada Tabel 1. Rata-rata kematian larva Ae. aegypti pada dosis rendah (0,5 mg) sebesar 23,5% dan pada dosis tertinggi (16 mg) larva uji yang mati hanya 73,5%. Angka kematian pada tiap uji tidak banyak berbeda, dan kematian larva pada kontrol hanya mencapai 2,25%, hal ini menunjukkan bahwa hasil uji virulensi konidiospora berlaku baik.

Tabel 1. Rata-rata kematian (%) larvaAe. aegypti dengan perlakuan ber- bagai dosis konidiospora M. anisopliae yang dikultur pada media beras

Ulangan Perlakuan (miligram)

dalam 250 cc I II III IV JumlahRata-rata

0,5 28 21 19 26 94 23,5 1,0 38 31 48 38 155 38,75 2,0 53 65 60 58 236 594,0 66 71 69 62 268 67 8,0 73 72 74 69 288 72 16 75 73 75 71 294 73,5 Kontrol 0 3 3 3 9 2,25

Pada pengujian virulensi konidiospora asal media beras

diperoleb persamaan regresi Y = 42, 6 + 2, 48 X sehingga dosis untuk mematikan separuh dan populasi (LD50) mencapai 2,98 mg1250 ml air, sedangkan untuk 95% populasi larva uji (LD95) diperoleh 21,1 mg/250 ml air (Tabel 6).

Tabel 2 menunjukkan hasil pengujian konidiospora M. anisopliae yang dikultur pada agar dektrosa sabouroud terhadap larva Ae. aegypti. Pada dosis 0,5 mg dalam 250 ml diperoleh angka kematian dan hasil rata-rata mencapai 46,33%, sedangkan kematian larva pada dosis tertinggi, yaitu 16mg adalah 95,25%.

Tabel 2. Rata-rata kematian (%) larvaAe. aegypti dengan perlakuan ber- bagai dosis M. anisopliae yang dikultur pada agar sabouroud Dektrosa buatan

Ulangan Perlakuan (mg)

dalam 250 cc I II III IV JumlahRata-rata

0,5 48 46 45 49 188 46,33 1 65 49 60 57 231 57,75 2 72 67 71 65 275 68,75 4 85 75 86 75 321 80,258 88 82 89 93 152 88 16 96 94 92 99 381 95,25 Kontrol 0 0 3 2 5 1,25

Angka kematian pada setiap uji ulangan tidak menunjukkan per-bedaan. Bahkan kematian larva pada kontrol hanya mencapai 1,25%. Dari hasil pengujian virulensi konidiospora M. aniso-pliae yang ditanam pada media agar dektrosa sabouroud diper-oleh persamaan regresi Y = 44,58 + 3,49X. Sehingga dosis yang diperlukan untuk separuh kematian larva (LD 50) mencapai 1,94 mg dan LDF 95 pada dosis 3,91 mg dalam 250 ml air.

Tabel 3 menunjukkan hasil pengujian virulensi konidio-spora M. anisopliae yang dikultur pada media kentang (PDA). Hasil rata-rata presentase kematian untuk dosis 0,5 mg/250 ml air menunjukkan 59,25% kematian larva uji; hasil ini menunjukkan lebih virulen dibandingkan konidiospora dan medium beras dan agar dektrosa sabouroud; lebih jelas terlihat pada dosis 2,0 mg yang kematiannya mencapai 99%. Berdasarkan analisis regresi diperoleh persamaan Y = 49,9 + 25,36 X, sehingga LD 50 diperlukan dosis 0,04 mg/250 ml dan LD 95 mencapai 1,78 mg/ 250 ml.

Tabel 3. Rata-rata kematian (%) larva Ae. aegypti dengan perlakuan berbagai dosis M. anisopliae yang kultur pada media kentang (PDA)

Ulangan Perlakuan (mg)

dalam 250 cc I II III IV JumlahRata-rata

0,5 60 61 57 59 237 59,25 1,0 80 81 82 79 322 80,5 2,0 96 100 100 100 396 99 4,0 100 100 100 100 400 100 Kontrol 0 0 0 0 0 0

Tabel 4 memperlihatkan hasil pengujian virulensi konidio- spora yang dikultur pada media jagung. Hasil rata-rata kematian larva Ae. aegypti pada dosis rendah yaitu 0,5 mg/250 ml air adalah 20%. Sedangkan pada dosis tertinggi yaitu 8 mg dalam 250 ml air 98% larva mati. Angka kematian pada tiap uji ulangan tidak banyak berbeda dan pada uji kontrol larva Ae. aegypti hanya 1% yang mati, hal ini menunjukkan bahwa hasil uji virulensi konidiospora berlaku.

Tabel 5 menunjukkan hasil pengujian virulensi konidio- spora M. anisopliae yang dikultur pada media gandum. Hasil rata-rata presentase kematian secara kumulatif pada dosis teren-dah (0,5 mg/250 ml) adalah 58,75%, pada dosis 2,0 mg dari 3 Tabel 4. Rata-rata kematian (%) larva Ae. aegypti dengan perlakuan berbagai dosis Konidiospora M. anisopliae yang dikultur pada media jagung

Ulangan Perlakuan (mg)

dalam 250 cc I II III IV JumlahRata-rata

0,5 26 24 18 22 80 20 1,0 68 62 68 68 266 66,50 2,0 80 72 72 52 276 694,0 100 96 92 88 376 94 8,0 100 96 100 96 392 98 Kontrol 0 4 0 0 4 1

ulangan mencapai 100% larva mati; walaupun pada ulangan ke 4 hanya 92% larva yang mati, namun keseluruhan angka kema-tian pada setiap ulangan pada dosis yang sama tidak berbeda dan

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 34

Page 36: Cdk 107 Dengue

pada perlakuan kontrol tidak ditemukan larva yang mati. Tabel 5. Rata-rata kematian (%) larva Ae. aegypti dengan perlakuan berbagai dosis konidiospora M. anisopliae yang dikultur pada media gandum

Ulangan Perlakuan (mg)

dalam 250 cc I II III IV JumlahRata-rata

0,5 60 59 56 60 233 58,75 1,0 78 81 82 79 320 80 2,0 100 100 100 92 392 98 4,0 100 100 100 100 400 100 Kontrol 0 0 0 0 0 0

Hal yang sama pada perlakuan konidiospora asal media ken- tang yaitu nilai virulensinya tinggi karena berdasarkan analisis regresi diperoleh persamaan Y = 49,64 + 25, 02 X, sehingga diperlukan dosis 0,014 mg untuk mematikan separuh larvanya (LD 50), sedangkan untuk mematikan 95% larva uji diperlukan dosis 1,82 mg dalam 250 ml air. Tabel 6. Analisa regresi dan pengaruh konidiospora M.anisopliae yang dikultur pada berbagai medium terhadap kematian larva Ae. aegypti

Medium (gram/250 cc air) LD 50 LD 95

1. Beras Y = 42,6 + 2,48 X 2,98 21,15 2. S.A.D Buatan Y = 44,58 + 3,49 X 1,36 12,643. Kentang/PDA Y = 49,9 + 25,36 X 0,04 1,70 4. Jagung Y = 44,895 + 7,94 X 0,64 6,31 5. Gandum Y = 49,64 + 25,02 X 0,014 1,82

Analisis sidik ragam konidiospora yang dihasilkan dan ber-bagai macam media diuji cobakan pada larva Ae. aegypti untuk LD 50 menunjukkan perbedaan yang sangat nyata antar per-lakuan pada p < 0,01 (Tabel 7a). Berdasarkan uji beda nyata terkecil (Tabel 7b) rata-rata uji kematian pada LD 50 terdapat perbedaan yang sangat nyata (p <0,01); konidiospora yang di-kultur pada media kentang dan gandum lebih virulen dibanding hasil konidiospora yang dikultur pada jagung, SAD dan beras.

Tabel 8a menunjukkan LD 95 populasi larva Ae. aegypti yang diuji dengan konidiospora hasil kulturberbagai media; ter-nyata basil analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan nyata Tabel 7a. Analisa Sidik Ragam Perbedaan Penganuh Konidiospora M. anisopliae yang dihasilkan dan berbagai media terhadap larva Ae. aegypti untuk LD 50

Sumber Variasi

Derajat Bebas

Jumlah Kwadrat

Kwadrat Tengah F Hitung F Tabel

005 001 Mean 1 (dbi) 40996,513 40996,513 Antar (t-1) = 4 20660,93 5165 197,74** 3,24 5,29 Perlakuan Acak

t(n-I) 5(4-1)=15 391,81 26,12

Total t-n = 20

Uji BNT (beda nyata terkecil) Least signific, diff. BNT 005 = t 005 (db acak)X2- KTR acak = 2.331 2 x 26,12 = 2,331 x 3,614 = 7,7 BNT 00I = 2,947 2 x 26,12 = 2,947 x 3,6 10,65

antar perlakuan (p <0,05). Berdasarkan uji beda nyata terkecil Tabel 7b. Uji beda nyata terkecil untuk berbagai macam media dan beda harga rata-rata

Rata-rata Beras Jagung SAD Gandum Kentang 48,875 Beras 5 6 9,88 * 11,6 **53,875 Jagung 1 4,88 * 6,63 54,875 SAD 3,88 5,63 58,75 Gandum 1,75 50,50 Kentang 1,75

(Tabel 8b) ternyata konidiospora yang dikultur pada media gandum dan kentang masib tetap virulen di samping Agar dektrose sabouroud bila dibandingkan konidiospora yang dikultur pada beras, jagung dan kentang. Kejadian pada LD 50 dan LD 95 populasi Ae. aegypti mungkin karena media gandum dan kentang berbeda formulasinya. Tabel 8a. Analisis Sidik Ragam Perbedaan pengaruh konodiospora M. anisopliae yang dihasilkan dan berbagai media terhadap larva Ae. aegypti untuk LD 95

Sumber Variasi

Derajat Bebas

Jumlah Kwadrat

Kwadrat Tengah F Hitung F Tabel

005 001

Mean I (dbi) 40996,513 40996,513 Antar (t-1)=4 20660,93 5165** 197,74 3,24 5,29 PerlakuanArah

t (n-1) 5(4-I)=15 391,81 26,12

Total t-n = 20 *) F hit < 3,06 median beras, jagung, SAD, gandan dan kentang mempunyai perbedaan virulensi yang nyata satu sama lain (Iji BNT (Beda nyata terkecil) BNT t005 (db acak x 2– KTacak = 2,131 x 2 x 8,36 = 4,357 N 4 BNT t001 = t005 (db acak)x 2KTacak = 2,947x 2,05 = 6,04 n

Media jagung dan beras dalam bentuk butiran ternyata lebih sulit untuk pertumbuhan spora M. anisopliae. Media kentang/ PDA digunakan sebagai media pemurnian karena tidak merusak virulensi, patogenitas serta toksikologinya(11). KESIMPULAN 1) Terdapat perbedaan yang nyata antara lain jenis media perbanyakan: kentang lebih baik daripada SAD,jagung, gandum dan beras terhadap jumlah spora cendawan M. anisopliae. 2) Virulensi konidiospora yang dikultur pada media kentang, gandum dan jagung lebih tinggi dengan LD 50 = 0,004 mg/250 ml dan LD 95 = 1,78 mg/250 ml konidiospora, sebaliknya pada Tabel 8b. Uji beda nyata terkecil untuk pengamatan macam dan beda harga rata-rata

Rata-rata Beras Kentang Jagung Gandum S.A.D 86,75 Betas 3 3,75 4,875 * 8,5 ** 84,75 Kentang 0,75 1,875 5,5 90,5Jagung 1,125 4,7591,625 Gandum 3,625 95,25 SAD

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 35

Page 37: Cdk 107 Dengue

CONTOH PERHITUNGAN MENCARI LD 50 DAN LD 95 MENURUT ANALISA REGRESI

n X Y XY X2

1 0,5 23,50 11,75 0,25 2. 1,0 38,75 38,75 1 3. 2,0 59 118 4 4. 4,0 67 268 16 5. 8,0 72 576 64 6. 16,0 73,5 1176 256

Jumlah 31,5 333,75 2188,5 341,25

Rata-rata 5,25 55,625 364,75 56,88

bl = n X X Y – x X Y nX X2 – (X) = 6 X 2188,5 – 31,5 X 333,75 = 13131 – 10513,13 6 X 341,25 – (31,5) 2 2047– 992,25 bl = 2617,875 = 2,48 1055,25 a = Y – blX = 55,625 – 2,48 X 5,25=42,6 Y = a + blX + 42,6 + 2,48X LD 50 50 = 42.6 + 2,48X X = 7.399 = 2,98 gr/250 cc 2.48 LD 95 95 = 42,6 + 2,48X X = 624 = 21,13 gr/250 cc media beras dan SAD buatan nilai virulensinya berkurang. 3) Media tumbuh cendawan M. anisopliae mempengaruhi kualitas konidiospora dan cendawan yang dihasilkan. SARAN

Pengembangan lebih lanjut potensi entamopatogen perlu terus dilakukan dengan mengadakan berbagai penelitian untuk meningkatkan viabilitas, virulensi dan peningkatan toksisitas- nya. Percobaan di lapangan sangat diperlukan untuk dapat

mengevaluasi efek samping dan penggunaan jamur entomo- patogen serta kendala-kendala yang timbul.

KEPUSTAKAAN 1. Untung. Masalah resurgensi hama setelah penggunaan insektisida. Sim-

posium Pengolahan Pestisida Pertanian. Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta, 8–l0ianuari 1987. JSpp.

2. Kendrick B, Cole GT. Biology of conidial fungi - Vol 2. New York, London: Academic Press, 1981.

3. Robert DW, Yendol WQ. Use of fungi for microbial control of insect. Dalam Barger HD, Hussey NW (Eds.). Microbiology of Insect and Mite. London, New York: Academic Press, 1971; P. 125.

4. Angus TA, Luthy P. Formulatif of microbial insect Aedes dalam Burges HD. Hussey NW (Eds). Microbial control of insect. London, New York: Academic Press, 1971; p.

5. Gabriel BP. Microbial Control for Insect Pest Management. National Estate Crop Protection. Project Directorate of Estate Crop Protection. Directorate General of Estate, Jakarta, 1989; 36 P.

6. Ferron. Biological control of insect pests by entornogenous fungi. Ann Rev Entomol 1978; 23: 409–4423.

7. Paris, Sergetain. Submerge cultivation of fungus Metarhizium anisopliae (Metsch). Trans Brit Mycol Soc 1975; 48 (2).

8. Robert DW. Toxin from Entomogenous fungus Metarhizium anisopliae. II. symptoms and detection in moribund host. J Invertebrate Pathol 1966; 8: 222–27.

9. Robert A. Karen MA. Acid production by Marhizium anisopliae: effection vorulence against mnosquitoes and detection of in vitro. Amylase Protease and Lipa.se Activity. J Invertebrate Pathol 1985; 45: 9–5.

10. Steel RGD, Torrie JH. Principles and procedures of statistics, 2nd. ed. McGraw-Hill Book Company. Tokyo 1980; 633 hal.

11. World Health Organization. Instructions for determining the susceptibity or resistance of mosquito larva to insecticides. Document. WHO/VBc/75. 1975; 583.

2. Baehaki SE. Noviyanto. Pengaruh umur biakan Metarhizium., anisopliae strain lokal Sukamandi terhadap perkembangan wereng coklat. Pros Simp Patologi Serangga I, PEt Cab. Yogyakarta, 12–13 Oktober 1993.

13. Achmadi Susilo, Sutrio Santosa, Tatang H.A. Sporulasi, viabilitas cen- dawan Metarhizium anisopliae pada media jagung dan patogenitasnya terhadap larva 0. rhinoceros. Proc Simp Patologi Serangga, PEI Cab. Yogyakarta. 12–13 Oktober 1993.

If you don’t do better today, you’ll do worse tomorrow

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 36

Page 38: Cdk 107 Dengue

HASIL PENELITIAN

Pengujian Patogenisitas Isolat Bacillus thuringiensis terhadap Jentik Nyamuk

Vektor secara Semi Kuantitatif

Umi Widyastuti, Blondine Ch.P, Subiantoro Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Salatiga

ABSTRAK

Isolat B. thuringiensis dipelihara dan dikembangkan di laboratorium Stasiun Pene-litian Vektor Penyakit, Salatiga, agar dapat digunakan untuk menunjang penelitian-penelitian lain baik di laboratorium maupun lapangan.

Jasad hayati tersebut telah diteliti di laboratorium dengan tujuan melakukan peng-ujian patogenisitas isolat B. thuringiensis terhadap jentik nyamuk vektor secara semikuantitatif untuk mendapatkan isolat strain lokal yang mempunyai daya bunuh tinggi.

Tujuh isolat B. thuringiensis (strain lokal) telah diuji patogenisitasnya secara semi kuantitatif terhadap jentik nyamuk Anopheles aconitus, Culex quinquefasciatus dan Aedes aegypti. B. thuringiensis standar IPS 82 sebagai bahan pembanding diuji dengan cara yang sama dengan ketujuh isolat tersebut.

Hasil pengujian patogenisitas 7 isolat B. thuringiensis terhadap jentik nyamuk vektor menunjukkan bahwa isolat 31B3 mampu membunuh 90% jentik A. aconitus dengan konsentrasi paling rendah dibandingkan dengan isolat-isolat yang lain (7,45 ml/l00 ml pada pengujian 24 jam dan 4,15 ml/100 ml pada pengujian 48 jam). Demikian pula isolat tersebut mampu membunuh 90% jentik Cx. quinquefasciatus dengan konsentrasi paling rendah dibandingkan dengan isolat yang lain (12,24 ml/100 ml selama pengujian 24 jam). Sementara itu isolat 31AP3 membunuh 90% jentik Ae. Aegypti dengan konsentrasi paling rendah dibandingkan dengan isolat yang lain (13,24 ml/ 100 ml pada pengujian 24jam dan 9,60 ml/100 ml pada pengujian 48 jam).

Untuk membunuh 90% jentik nyamuk (An. aconitus, Cx. quinquefasciatus dan Ae. aegypti) dibutuhkan konsentrasi isolat 31B3 ataupun 3 1AP3 lebih kurang 10.000 sampai100.000.000 kali lebih besar dibandingkan dengan B. thuringiensis standard IPS 82.

PENDAHULUAN

Timbulnya resistensi nyamuk terhadap insektisida kimia dan pertimbangan terhadap keamanan lingkungan mendorong adanya pengembangan jasad hayati yang diharapkan mempu-nyai prospek yang baik, seperti bakteri patogen jentik nyamuk sebagai tindakan alternatif untuk mengendalikan nyamuk vektor (Aly et al, 1987).

B. thuringiensis merupakan bakteri pembentuk spora yang memproduksi kristal protein toksin dalam sel selama fase sporu-lasi(1). Bakteri ini dikenal mempunyai patogenisitas tinggi ter-hadap jentik nyamuk dan jentik lalat hitam(2). Distribusi bakteri patogen tersebut bersifat kosmopolitan, antara lain ditemukan pada tanah, soil aquatic system, tempat perindukan jentik nyamuk ataupun pada jentik nyamuk yang sakit(1,3,4).

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 37

Page 39: Cdk 107 Dengue

Beberapa negara seperti India, Thailand, Ghana dan Filipina telah mengembangkan kemampuan teknis untuk memproduksi B. thuringiensis(5). Meskipunjasad hayati tersebut sudah banyak dikembangkan di negara lain, akan tetapi di Indonesia belum banyak dilakukan usaha untuk mengisolasi dan mengevaluasi khususnya strain lokal bakteri tersebut.

• Bahan pembanding pengujian digunakan B. thuringiensis standar (IPS 82) yang dikerjakan dengan cara yang sama dengan kultur isolat B. thuringiensis hasil isolasi Stasiun Penelitian Vektor Penyakit. • Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali. • Pengamatan terhadap kematian jentik nyamuk dilakukan setelah 24 jam dan 48 jam pengujian. Pada prinsipnya pengujian patogenisitas isolat baru B.

thuringiensis (hasil isolasi) dilakukan dalam 3 tahap yaitu peng ujian secara kualitatif, semi kuantitatif dan kuantitatif(6).

• Untuk mendapatkan nilai LC5O dan LC9O, data yang diper-oleh dihitung dengan analisa probit(8). Penelitian ini bertujuan melakukan uji patogenisitas isolat

B. thuringiensis terhadap jentik nyamuk vektor secara semi kuantitatif untuk mendapatkan isolat strain lokal yang mem- punyai daya bunuh tinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian patogenisitas secara semi kuantitatif 7 isolat B.

thuringiensis terhadapjentik An. aconitus, Cx. quinquefasciatus dan Ae. aegypti disajikan pada Tabel 1.

BAHAN DAN CARA KERJA Hasil analisa probit(8) menunjukkan bahwa isolat 31B3 mampu membunuh 90% jentik An. aconitus dengan konsentrasi yang paling rendah (7,45 ml/100 ml pada pengujian 24 jam dan 4,15 ml/100 ml pada pengujian 48 jam) dibandingkan dengan isolat-isolat yang lain. Demikian pula isolat tersebut (31B3) mampu membunuh jentik Cx. quinquefasciatus dengan kon- sentrasi paling rendah dibandingkan dengan isolat yang lain (12,24 ml/100 ml selama pengujian 24 jam).

A. Bahan penelitian Jasad hayati yang diteliti adalah 7 isolat B. thuringiensis

potensial yang sebelumnya telah diuji patogenisitasnya secara kualitatif menggunakan metoda Chilcott dan Wiglet(7), dan B. thuringiensis standar IPS 82 yang diperoleh dari Institut Pasteur, Paris sebagai pembanding.

Jentik nyamuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah An. aconitus, Cx. quinquefasciatus dan Ae. aegypti hasil koloni laboratorium.

Isolat 31AP3 mampu membunuh 90% jentik Ae. aegypti dengan konsentrasi paling rendah dibandingkan dengan isolat yang lain. Ulituk membunuh 90% jentikAe. aegypti dibutuhkan 13,24 ml/100 ml selama pengujian 24 jam dan 9,60 ml/100 ml pada pengujian 48 jam.

B. Pelaksanaan penelitian

Pengujian patogenisitas isolat B. thuringiensis terhadap jentik nyamuk vektor secara semi kuantitatif dilakukan menurut prosedur Becker(6) sebagai berikut:

Apabila isolat-isolat tersebut dibandingkan dengan B. thuringiensis standar (IPS 82), akan terlihat bahwa IPS 82 jauh lebih efektif membunuh 90% jentik nyamuk An. aconitus, Cx. quinquefasciatus dan Ae. aegypti. Untuk membunuh 90% ketiga spesies jentik nyamuk tersebut dibutuhkan konsentrasi IPS 82 lebih kurang 10.000 sampai 100.000.000 kali lebih kecil, yang berarti bahwa untuk membunuh 90% jentik nyamuk An. aconi- tus, Cx. quinquefasciatus dan Ae. aegypti dan isolat 31 B3 atau- pun 31AP3 dibutuhkan konsentrasi 10.000 sampai 100.000.000 kali lebih besar dibandingkan dengan B. thuringiensis standar IPS 82.

• 2 loopsful kultur isolat dikocok (shake) dalam 50 ml Tryp- tose Phosphate Broth selama 48 jam. • Dibuat konsentrasi bertingkat dari larutan yang sudah di- kocok tersebut, misalnya I ml, 3 ml, 5 ml dan seterusnya dalam mangkok plastik yang diisi 100 ml air (volume total). • Ke dalam mangkok-mangkok plastik tersebut selanjutnya dimasukkan 15 ekor jentik nyamuk vektor yang akan diuji (instar IV awal). • Sebagai kontrol, mangkok plastik hanya diisi dengan 100 ml air dan 15 ekor jentik nyamuk. Variasi hasil pengujian patogenisitas berbagai isolat B.

Tabel 1. Patogenisitas isolat B. thuringiensis terhadap jentik nyamuk vektor selama 24 jam dan 48 jam pengujian di laboratorium

Jentik nyamuk

An. aconitus Cx. quinquefasciatus Ae. aegypti

24 jam 48 jam 24 jam 48 jam 24 jam 48 jam Isolat

LC 50 LC 90 LC 50 LC 90 LC 50 LC 90 LC 50 LC 90 LC 50 LC 90 LC 50 LC 90

13B51 8 98 71 38 5 33 35,20 5,41 20,46 2,83 12,30 14,05 28,94 11,16 21,04 23B3 418 24,80 2,04 6,39 3,78 17,21 3,18 15,99 19,79 29,82 16,05 25,86 23AP3 5 35 22 91 2,70 12,01 6,38 17,41 3,59 14,52 17,94 33,41 13,24 25,31 24B5 1 96 11,64 1,15 5,84 5,62 13,74 4 02 9,84 14 10 36 52 9 87 25,57 24AP5 2 09 9,90 1,14 4 30 3,98 23,28 2 22 11,95 17 06 35,95 11 15 22,08 3103 1 79 7,45 1,09 4 15 3,66 12,24 3,24 15 40 13,26 20,06 9,78 16 94 31 AP3 591 10,71 2,77 10 16 8,72 18,61 6,84 14 72 4,05 13,24 2,48 9,60 IPS 82 42.10-7 10.10-5 24.10-7 64.10-7 23.10-7 10.10-7 22.10-7 59.10-7 99.10-6 31.10-5 61.10-6 20.10-5

* Nilai LC dalam satuan ml/100 ml

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 38

Page 40: Cdk 107 Dengue

thuringiensis terhadap berbagai jentik nyamuk vektor tersebut dapat terjadi karena adanya berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi patogenisitas B. thuringiensis. Berbagai faktor tersebut antara lain adalah instar jentik, makanan, periode pe- maparan (expose period), kualitas air, strain bakteri, perbedaan kepekaan masing-masing spesies nyamuk yang diuji, suhu air dan formulasi B. thuringiensis khususnya tingkat sedimentasi/ pengendapan(9-11). Di samping itu efektivitas larvisida bakteri juga dipengaruhi oleh adanya toksin di daerah makan jentik dan perilaku makan dari jentik nyamuk sasaran(10).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut masih perlu dilakukan lebih lanjut pencarian dan pengujian patogenisitas isolat-isolat B. thuringiensis sehingga diharapkan dapat diperoleh strain lokal yang mempunyai patogenisitas tinggi terhadap jentik nyamuk vektor.

KESIMPULAN Hasil pengujian patogenisitas berbagai isolat B. thuringien-

sis terhadap jentik nyamuk vektor menunjukkan bahwa isolat 31B3 mampu membunuh 90% jentik An. aconitus dengan kon- sentrasi paling rendah dibandingkan dengan isolat-isolat yang lain (7,45 ml/100 ml pada pengujian 24 jam dan 4,15 ml/100 ml pada pengujian 48 jam). Demikian pula isolat tersebut mampu membunuh 90%jentik Cx. quinquefasciatus dengan konsentrasi paling rendah dibandingkan dengan isolat yang lain (12,24 ml/ 100 ml selama pengujian 24 jam). Sementara itu isolat 31AP3 membunuh 90% jentik Ae. aegypti dengan konsentrasi paling rendah dibandingkan dengan isolat yang lain (13,24 ml/100 ml pada pengujian 24 jam dan 9,60 ml/l00 ml pada pengujian 48 jam).

Untuk membunuh 90% jentik nyamuk (An. aconitus, Cx. quinquefasciatus dan Ae. aegypti) dibutuhkan konsentrasi isolat 31B3 ataupun 31AP3 lebih kurang 10.000 sampai 100.000.000 kali lebih besar dibandingkan dengan B. thuringiensis standar IPS 82.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut masih perlu dilakukan

lebih lanjut pencarian dan pengujian patogenisitas isolat-isolat B. thuringiensis sehingga diharapkan dapat diperoleh strain lokal yang mempunyai patogenisitas tinggi terhadap jentik nyamuk vektor. UCAPAN TERIMA KASIH

Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada DR. Sustriayu Nalim, Pjh. Kepala Stasiun Penelitian Vektor Penyakit (SPVP) yang telah membina dalam penelitian, memberikan komentar dan saran dalam pem- buatan makalah ini, serta para teknisi Laboratorium Pengendalian Hayati SPVP yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.

KEPUSTAKAAN

1. WHO. Data sheet on the biological control agent. B. thuringiensis serotype

H-l4. WHO/VBCI79.750. hal. 1–13. 2. Aly C. Feeding behavior of Aedes vexans larvae (Diptera: Culicidae) and

its influence on the effectiveness of Bacillus thuringiensis var. israelensis. Bull. Soc. Vector Ecol. 1983; 8(2): 94–100.

3. WHO. Data sheet on the biological control agent. B. sphaericus, strain 1593. WHOIVBC/80.777. hal. 1–13.

4. Lee HL. Isolation and evaluation of two isolates of Bacillus sphaericus for the control of mosquitoes of public health importance in Malaysia. Mosq.- Borne Disease Bull. 1988; 5(3–4): 39–47.

5. WHO. Informal consultation on the development of B. sphaericus as a microbial larvicide. TDRJBCV/Sphaericus/85.3. hal. 1–24.

6. Becker N. Report on the visit of the Vector Control Research Station (VCRS) and recomendations for the further development of the VCRS. 1991.

7. Chilcott CN, Wigley PJ. Technical note : an improved method for differen- tial staining of B. thuringiensis crystals. Letters in Applied Microbiology 1988; 7: 67–70.

8. Finney Di. Probit analysis. 3rd ed. London: Cambridge Univ. Press 1971. 9. Mian LC, Mulla MS. Factor influencing activity of the microbial agent B.

sphaericus against mosquito larvae. Bull. Cos. Vector Ecol. 1983; 8(2): 128–34.

10. Mulla MS, Darwazeh HA, Aly C. Laboratory and field studies on new formulations oftwo microbial control agents against mosquitoes. Bull. Soc. Vector Ecol. 1986; 11(2): 255–63.

11. Becker N. Margalit i. Control of Diptera with B. thuringienis israelensis 1992.

12. Aly C, Mulla MS. Schnetter W, Bo-Zhao Xu. Floating bait formulations increase effectiveness of B. thuringiensis var. israelensis against Anopheles larvae. J. Am. Mosq. Contr. Assoc 1987; 3(4): 583–588.

If the time don’t suit you, suit your self to the time

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 39

Page 41: Cdk 107 Dengue

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dermatitis Kontak Karena Pestisida

M. Syafei Hamzah UPF Penyakit Kulit dan Kelamin, Rumah Sakit Umum Dr. Abdul Muluk, Bandar Lampung

A

Pestisida yang mengandung berma dan alergi dalam bentuk dermatitis koningkat maka hal ini akan dapat men

Uji tempel merupakan suatu pem

PENDAHULUAN

Dewasa ini telah diakui bahwa penggunaan pestisida bainegara-negara maju maupun yang sedang berkembang telahbukti berhasil meningkatkan hasil produksi pertanian dan jmerupakan metode efektif, relatif sederhana dan cepat dapengendalian hama(1).

Sehubungan dengan sifatnya yang dapat mematikanganisme hidup, maka penggunaan pestisida dapat memberipengaruh yang tidak diinginkan bagi kesehatan manusia. Sedapat menimbulkan keracunan, pestisida yang mengandung macam bahan aktif dapat pula menyebabkan reaksi iritasi alergi terhadap individu yang menggunakannya yaitu dabentuk dermatitis kontak(2,3,4).

Saat ini di Amerika lebih dari 13.000 macam pestisida yterdaftar dan beredar di pasaran. Produk tersebut mengandsatu atau lebih bahan aktif dan sekitar 800 bahan aktif yterdaftar(3). Di California saja lebih dari 600 juta pounds pestiyang terjual setiap tahun. Sedangkan di Indonesia saat ini dapat lebih dari 500 jenis pestisida yang mengandung satu

pestisida. Gambaran klinik yang timbul bias

yaitu di daerah tangan, lengan, leher dvesikel, eksudasi dan rasa gatal yang he

menegakkan diagnosis. Penanggulangan yang penting dila

alergen penyebab dan menekan erupsi

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 40

BSTRAK

cam bahan aktifdapat menyebabkan reaksi iritasintak; karena pemakaiannya yang cenderung me-yebabkan peningkatan insiden dermatitis kontak

be ubungan erat dengan tempat absorbsinyadengan bentuk yang khas berupa papulo-

eriksa ang sangat penting untuk membantu

n alah pencegahan terhadap pajanan ulangimbul.

anyaan muka bat.

rh

an y

adkukayang t

k di ter-uga lam

or- kan lain ber-dan lam

ang ung ang sida ter-

atau

ga penyebab penyakit dan pemakaian di rumah sakit; bidang pemukiman dan pariwisata mencakup perumahan, hotel, restoran dan sebagainya. Dari berbagai bidang tersebut di atas ternyata penggunaan pes- tisida sebagian besar pada bidang pertanian yaitu sekitar 75%(4).

Pada lebih dua dekade yang lalu dermatitis kontak karena pestisida masih jarang dijumpai, juga dermatitis kontak pada petani atau pekerja perkebunan kurang mendapat perhatian di- banding pekerja lainnya. Namun pada dekade terakhir ini tampak ada peningkatan insiden dermatitis kontak pestisida(8,9). Luasnya pemakaian pestisida dalam bidang pertanian dan perkebunan akan menyebabkan kemungkinan terjadinya insiden dermatitis kontak karena pestisida akan makin meningkat(9).

lebih bahan aktif dari 298 bahan aktif yang terdaftar dan beredar di pasaran Indonesia(1,6).

Penggunaan pestisida meliputi berbagai bidang mulai dari bidang pertanian yang mencakup tanaman pangan, tanaman hasil perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan; bidang ke- sehatan yang terutama untuk memberantas serang

Page 42: Cdk 107 Dengue

DEFINISI DAN KLASIFIKASI Pestisida adalah kelompok heterogen bahan kimia toksik

yang digunakan untuk mengendalikan, mencegah, membasmi, menangkis dan mengurangi jasad pengganggu(1,4).

Dermatitis kontak pestisida adalah dermatitis yang terjadi disebabkan karena kulit berkontak dengan bahan pestisida(10).

Pembagian pestisidadapat berdasarkan urutan nama, struktur kimia dan jenis penggunaannya(11). Sesuai dengan penggunaan- nya pestisida dapat dibagi menjadi : fungisida, insektisida, roden-tisida, akarida, molukisida dan herbisida. Pestisida mempunyai formulasi yang berbeda-beda dalam sediaannya seperti : cairan, emulsi padat, butiran dan bubuk (dust)(1,2,12). Di antara fungisida, bahan inorganik (sulfur, copper sulfat) dan bis-dithiocarbamat (maneb, zineb, mancozeb) adalah yang terbanyak dijual; sedang-kan insektisida dan akarida golongan organofosfat merupakan bahan yang paling sering dipergunakan(6,8).

INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

Hampir lebih dua dekade yang lalu dermatitis kontak karena pestisida masih jarang dijumpai, juga dermatitis kontak pada petani atau pekerja perkebunan kurang mendapat perhatian di- banding dengan pekerja yang lain, tetapi pada penelitian terakhir seperti yang dilaporkan dari California (740 kasus) dan Jepang (815 kasus) menunjukkan peningkatan insiden yang cukup tinggi (55% dan 26,5%)(8,9).

Dermatitis kontak karena pestisida terutama didapati pada pekerja yang mencampur dan menggunakannya di lapangan se- perti juga di antara pekerja pabrik dan formulator. Mereka yang mempunyai risiko termasuk pekerja perkebunan, petani, tukang bunga, tukang kebun, pengontrol hama, pekerja galangan kapal, dokter hewan dan sebagainya(4).

Epidemiologi dermatitis kontak karena pestisida sedikit sekali diketahui. Dermatitis kontak pestisida tampaknya lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada wanita terutama pada usia empat puluhan dan selama musim semi dan musim panas(2,9). GAMBARAN KLINIK

Gambaran klinik dermatitis kontak karena pestisida ber- hubungan erat dengan tempat absorbsi pestisida, yang berkaitan dengan karakteristik dan formula aktif yang dikandungnya se- perti susunan kimia, kelarutannya dalam lemak, konsentrasi dan bahan-bahan yang berikatan dengannya; lokasi yang paling sering tampak pada daerah tangan, lengan, leher dan muka. Gambaran klinik yang khas dijumpai adalah papulo-vesikel, eksudasi dan rasa gatal yang hebat(4,8,9). Selain itu pada pestisida tertentu dapat timbul gambaran seperti allergic dyshidrosiform, morbiliform, urticarial eruption, erysipeloid like lesion, ery- thema multiforme, pellagroid dermatitis dan hiperpigmentasi. Dapat juga berupa leukoderma yang disebabkan oleh pestisida seperti barban, alachlor dan paraquat dichloride(8).

Pestisida golongan paraquat yang sering digunakan sebagai pembasmi rumput dapat menimbulkan kerusakan kuku disertai dermatitis kontak iritan periungual. Hal ini dapatjuga dijumpai pada golongan acarida : dinobuton, dan insektisida(4,6) : dinitro o-cresol. Lesi umumnya tampak lembut dan disertai kerusakan

kuku yang hebat, perubahan warna menjadi kekuningan, onicho-lisis dan sampai terlepasnya kuku(4,8). ETIOLOGI

Dermatitis kontak pestisida dapat disebabkan oleh ber- macam bahan aktif yang dipakai, juga dapat oleh karena cairan pelarut emulsifler, adjuvant, surfactant, propelan dan kadang- kadang kontaminannya. Untuk mencari penyebab sesungguhnya yang berhubungan dengan bahan-bahan tersebut tidaklah mu- dah, sebab penyelidikan epidemiologi pada bahan tersebut tidak banyak dan sering tidak lengkap(8,9).

Kleinmann dkk (1960) melaporkan bahwa penyebab utama dermatitis kontak pestisida yang didapatkan adalah golongan herbisida dan defoliant (15%), halogen hidrokarbon (10%) dan organofosfat (8%) Matsushita dkk (1980) mendapatkan bahwa bahan kimia utama yang menyebabkan timbulnya ledakan der- matitis kontak pada daerah rural di Jepang adalah : captafol (28,7%), sulfur (18,5%), fosfat organik (18,1%) dan chlorinate hidrokarbon (9,7%)(9). DERMATITIS KONTAK IRITAN

Sebagian besar pestisida dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan, terutama bila bahan tersebut digunakan dalam konsentrasi yang tinggi dengan/tanpa memakai pelindung yang adekuat. Di antaranya fungisida seperti copper sulfat, barium polysulfide, thiophanat methyl, chlorthalonil dan captafol di- kenal sebagai bahan iritan(8).

Telah dilaporkan bahwa 173 pekerja pada industri kayu dijumpai dermatitis kontak iritan yang disebabkan oleh captatol, tetapi risiko ini dapat dikurangi dengan pemakaian pelindung yang adekuat dan kesehatan lingkungan yang baik(4,8). Juga chiorothalonil merupakan iritan kulit yang kuat dan kadang- kadang juga sebagai alergen, yang sering dijumpai pada petani sayur dan bunga. Selain itu juga telah dilaporkan adanya kasus dermatitis kontak iritan yang disebabkan oleh dichiorvost, naled, mevinphos, parathion, piondrel, promecard, tetrachloracetaphe- non dan thiometon(8). DERMATITIS KONTAK ALERGI

Pestisida dapatjuga menyebabkan dermatitis kontak alergi, walaupun insidennya tidak terlalu tinggi(4). Penyebab utama timbulnya dermatitis kontak alergi adalah golongan fungisida seperti : bis-dithiocarbamat misalnya maneb, zineb, mancozeb, benomyl dan golongan thiuram sulfide seperti:thiram, tetramethyl thioram disulfide(7,14,15,16). Maneb dan zineb mempunyai tingkat keracunan yang rendah tetapi sebaliknya merupakan sensitizer yang penting.

Dermatitis kontak alergi dapatjuga terjadi terhadap golong- an pestisida lain seperti : captan, dithianon, caftafol, ethyline diamine, mercaptobenzothiazole, rodannitrobenzene, dithia- none, dichlorvos, difolatan, atrazin, benomyl, nitrofurazon, naphthylthioure, 2,6 dinitro cresol(9,15,17). Sedangkan terhadap golongan herbisida seperti : alachlor, amitrole, barban, chlori- dazon, nitratin, nitrofen, phenmedipham telah pernah dilapor- kan, walaupun agak jarang terjadi. Alergi terhadap pestisida

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 41

Page 43: Cdk 107 Dengue

yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (pyrethrum, nicotine, ro- tenone) dan Lindane® sangat jarang(8).

Juga perlu diperhatikan bahwa beberapa kasus dermatitis kontak alergi dapat terjadi karena bahan kontaminan yang ter- dapat pada pestisida seperti : diethyl fumarat dan hepta chiorocy-clohexan yang terdapat pada malathion dan Iindane(8).

Selain itu ada beberapa kasus yang dilaporkan sehubungan dengan dermatitis kontak alergi-foto karenapestisida, antara lain dapat disebut bahan-bahan seperti : dimethyl dichioronyl phos- phate, malation, parathion methyl, tributyltin oxide, trichlor- form, trichiorometaphos. Jika memakai pestisida jenis ini di- perlukan pelindung surya (sun protection)(4).

Pyrethroid merupakan suatu insektisida sintetis yang mirip pyrethrum, bahan tersebut dapat menimbulkan dermatitis kontak iritan dan a1ergi(18). SENSITIVITAS MULTIPEL

Lisi (1992) melaporkan adanya sensitivitas multipel pada 10 orang dan 652 individu yang dilakukan uji tempel dengan meng-gunakan sen pestisida sebanyak 36 alergen, 6 di antaranya sensitif terhadap 2 fungisida (zineb dan folpet; captan dan di- folatan; captan dan folpet) dan 4 lainnya sensitif terhadap 3 fungisida (zineb, maneb dan difolatan; captan, folpet dan pho- rase; maneb, thiram dan captan; captan, folpet dan difolatan)(8,14).

Peluso dkk (1991) pernah melaporkan adanya kasus sensi- tivitas multipel terhadap golongan bisdithiocarbamate (maneb) dan golongan thiophthalimide (captan, captafol, folpet). Walau- pun reaksi sensitivitas multipel terhadap bis-dithiocarbamat dan golongan thiuram telah sering dilaporkan pada beberapa kasus, namun hal ini dianggap suatu reaksi sensitisasi si1ang(19). DIAGNOSIS

Menegakkan diagnosis dermatitis kontak pestisida tidaklah mudah karena gambaran klinisnya hampir selalu singkat dan sering tidak jelas pada pemeriksaan klinik. Riwayat perjalanan penyakit yang lengkap dan teliti, riwayat timbulnya dermatitis sebelumnya dan dua minggu setelah bekerja serta pemeriksaan uji tempel biasanya dapat membantu menentukan apakah kasus tersebut ada hubungannya dengan pestisida(8). Uji Tempel (Patch test)

Pemeriksaan uji tempel harus dilakukan, walaupun inter- pretasinya berhubungan dengan riwayat penyakit sebelumnya dan hubungan reaksi yang positip harus diperhatikan terutama bila uji tempel yang dilakukan bukan dengan bahan aktif yang dikandungnya(8,21).

Untuk pemeriksaan uji tempel terhadap alergen pestisida di-perlukan suatu pemeriksaan yang bersifat standard yang dikenal sebagai pemeriksaan alergen seri pestisida. Standar seri pestisida masih belum seragam, parapeneliti masih menyesuaikan dengan kondisi di negaranya masing-masing(6,8). Konsentrasi yang di- anjurkan di dalam literatur untuk sebagian pestisida tidak lengkap; pada beberapa laporan kasus konsentrasi yang digunakan terlalu tinggi sehingga merupakan iritan, akibatnya terjadi reaksi iritan atau reaksi positip palsu(4). Konsentrasi yang optimal adalah yang

memberikan reaksi initan seminimal mungkin tanpa menyebab- kan reaksi alergi yang negatip palsu. Pada beberapa pestisida ternyata tingkat reaksi iritan dan alergi sangat dekat sehingga sukar dibedakan(4,8). Kebanyakan pestisida biasanya dibuat uji tempel dengan konsentrasi 1% (Van Joost, l983)(3), tetapi ka- dang-kadang ada juga yang dibuat dengan pengenceran sampai 0,1% untuk menghindari hasil reaksi positip pa1su(3).

Sebagian pestisida yang dijual telah mempunyai bahan uji tempel dengan konsentrasi dan vehikulum yang sesuai. Di sam- ping itu juga biasanya dijumpai keterangan tentang sifat iritasi dan allergenicity produk tersebut(3). Selain itu untuk uji tempel seri pestisida dapat diperoleh secara komersial(4,8). PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN

Yang penting dilakukan adalah pencegahan terhadap pajanan ulang dan alergen dan menekan erupsi yang timbul. Dari kedua pendekatan tersebut, prioritas utama tergantung dan keadaan, misalnyapada dermatitis kontak yang berasal dari industri ataupun yang berkaitan dengan pekerjaan termasuk karena pestisida, tindakan utama adalah mencari alergen penyebab kemudian menghindaninya supaya tidak terjadi pajanan ulang, sehingga pengobatan yang diberikan menjadi bermanfaat dan tidak kam- buh kemba1i(20,21).

Prinsip pengobatan dermatitis kontak karena pestisida sama seperti pengobatan dermatitis lainnya, tergantung dari berat ringannya manifestasi klinik yang dijumpai yaitu terdiri dari pengobatan sistemik dan topikal(20,22).

Usaha mencegah timbulnya dermatitis kontak pada pekerja industri, termasuk industri pestisida dan pemakai pestisida dapat dilakukan dengan menggunakan pakaian pelindung, sarung tangan, ventilasi yang baik, lingkungan yang bersih dan teknik pengolahan yang modern seperti proses yang tertutup(20,22). Se- bagaimana terjadi pada sektor produksi lain, insiden dermatitis kontak karena pestisida diharapkan dapat menurun dengan upaya pencegahan yang baik. Lokasi daenah pertanian dan keadaan cuaca/iklim dapat menyebabkan perbedaan bahan kimia yang dipergunakan serta metode penggunaannya. Dengan alasan ini maka penyuluhan kesehatan harus dilakukan lebih luas dan intensif pada semua orang yang berhubungan dengan pestisida, tentang kemungkinan terjadinya kelainan kulit dan sistemik akibat pemakaian pestisida(8).

Pencegahan utama yang harus dilakukan adalah menentu- kan bahan-bahan yang potensial dapat menimbulkan iritasi dan alergi melalui binatang percobaan pada saat pendaftaran pesti- sida, untuk menentukan pestisida yang boleh diedarkan dan juga dilanjutkan dengan penelitian epidemiologi secara multisenter, sehingga bahan-bahan iritan dapat diubah formulasinya menjadi bahan yang kunang merusak kulit(8,16).

Hal yang penting diperhatikan dalam pemakaian pestisida adalah menggunakan pelindung yang adekuat sepenti : masker, sarung tangan, baju dan sepatu, menggunakan barrier krim bila mencampur dan membawa pestisida serta menggunakan pem- bersih yang cocok sesudah bekerja(8).

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 42

Page 44: Cdk 107 Dengue

KESIMPULAN 9. Matsushita T, Nomura 5, Wakatsuki T. Epidemiology of contact dermatitis from pesticide in Japan. Contact Dermatitis, 1980; 6: 255–59. Pemakaian pestisida cenderung meningkat setiap tahun.

Selain akan meningkatkan kemungkinan kasus keracunan juga akan menyebabkan peningkatan insiden dermatitis kontak pes- tisida. Sebetulnya insiden dermatitis kontak pestisida lebih banyak dijumpai daripada yang dilaporkan, hal ini karena gejala kliniknya yang singkat, penyebarannya yang terbatas dan ber- sifat sementara sehingga tidak begitu dirasakan oleh para petani, akibatnyasering tidak dilaporkan.

10. Adam RM. Occupational skin disease, 2nd ed. Philadelphia, London, Toronto, Tokyo: WB Saunders, 1990.

11. Buchel KH. Chemistry of Pesticides. New York, Singapore: John Wiley & Sons. 1993: 1–21.

12. Magallona ED, Soehardjan M, Lumbantobing H. Pesticides in estate crop protection in Indonesia. Directorate General of Estate Crops, Jakarta, 1990.

13. Goh CL. Prevalence of contact allergy by sex, race and age. Contact Dermatitis Environmental and Occupational Dermatitis, 1986; 14(4): 237–240.

14. Adam RM, Manchester RD. Allergic contact dermatitis to maneb in a house wife. Contact Dermatitis, 1982; 8: 272. Dermatitis kontak pestisida dapat disebabkan oleh ber-

macam bahan aktif yang ada di dalam pestisida tersebut; tidak hanya tergantung dari tingkat keracunan dan bahan kimia yang dikandungnya tetapi juga karena faktor-faktor seperti lingkung- an, cara penggunaan, pemakaian alat pelindung yang tidak adekuat dan buruknya kesehatan individu dan lingkungan para pekerja.

15. Fregert S. Manual of Contact Dermatitis, (published on behalf of the ICDRG), 2nd ed. Chicago, Munksgaard, Copenhagen: Yearbook Medical PubI, 1981.

16. Lisi P, Caraffini 5, Assalve D. Irritation and sensitization potential of pesticides. Contact Dermatitis 1987; 17: 212–18.

17. Lisi P. Caraffini 5, Assalve D. A test series for pesticides dermatitis. Contact Dermatitis 1986; 15: 226–69.

Untuk itu perlu dilakukan penyuluhan yang lebih intensif tentang bahaya pemakaian pestisida kepada para pekerja pabrik, petani, pekerja perkebunan dan orang-orang yang sering ber-

18. Lisi P. Sensitization risk of pyrethroid insecticides. Contact Dermatitis 1992; 26: 349–50.

19. Peluso AM, Tardio M, Adamo F, Venturo N. Multiple sensitization due to bis-dithiocarbamate and thiopthalmide Pesticides. Contact Dermatitis 1991; 25: 327. hubungan dengan langsung dengan pestisida.

20. Larsen WG, Maibach HI. Contact Dermatitis. In: Moschella’s Dermato- logy, 2nd ed. Philadelphia, London. Toronto, Tokyo: WB Saunders, 1985 289–322.

21. Wilkinson ID, Rycroft RiG. Contact Dermatitis. In: Champion’s Textbook of Dermatology, 5th ed. London: Blackwell Scient PubI, 1992.

22. Rycroft RIG. Contact Dermatitis. Internal Medicine, 1983; 1(25): 261–65. 23. Nater JP, Terpetra H, Bluemink B. Allergic contact sensitizxation to

fungicides Maneb. Contact Dermatitis 1979; 5: 24–6. KEPUSTAKAAN

24. Sharma VK. Kaur S. Contact sensitization by pesticide in farmers. Contact

Dermatitis 1990; 23: 77–80. 1. Sastroutomo SS. Pestisida, Dasar-dasar dan dampak penggunaannya. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1992: 1–17. 25. Nasution D, Lubis SE. Dermatitis kontak iritan. Kumpulan Makalah

Lokakarya Dermatitis kontak, Yogyakarta, 1994. 2. Goodman, Gilman S. The Pharmacological Basis of Therapeutics, 7th ed.

New York: Macmillan Pubi Co, 1985 : 1638–46. 26. Nugroho SA, Sainan E, Siregar RS. Dermatitis kontak. Dalam Simposium

Dermatitis akibat kerja. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI, Jakarta, 1980: 15–23.

3. Hogan Di. Pesticides and otheragricultural chemicals. In: Adams Occupa tional Skin Disease, 2nd ed. Philadelphia, London, Toronto, Tokyo: WB Saunders Co, 1990: 1–13,

27. Syafei MH. Dermatitis kontak karena pestisida di P’FP IX Medan. Thesis, FK USU Medan, 1995.

4. Schubert HJ. Pesticides. In: Rycroft’s Textbook of Contact Dermatitis. Berlin, New York: Springer-Verlag, 1992 : 527–37.

28. Benezra C, Docombs, Sell, Fourssereau J. Plant contact Dermatitis. To ronto, Philadelphia. London: B.C. Decker Inc. 1985 : 5–8; 226–227.

5. Cronin E. Contact Dermatitis. Edinburg, London, New York: Churchill Livingstone, 1980: 1–10; 390–412.

29. Maibach HI. Occupational and Industrial Dermatology, 2nd ed. Chicago, London: Yearbook Medical PubI Inc. 1987 : 23–48.

6. Simarmata RU dkk. Pestisida untuk bidang perkebunan, Dirjen Perke bunan, Departemen Pertanian Republik Indonesia, 1992.

30. Wirtzer A, Ringen RM, Lawlor GJ, Fisher TJ. Allergic disease of the skin, in: Lawlor’s Manual of Allergy, Immunology, Diagnosis and Therapy. Tokyo: Little Brown and Co. Boston: Medical Sciences mt. Ltd. 1981191–204.

7. Manuzzi P, Borello PM, Misciali C, Guerba L. Contact dermatitis due to ziram and maneb. Contact Dermatitis, 1988: 19.

8. Lisi P. Pesticides in occupational contact dermatitis. Clin Dermatol 1992; 10: 175–84.

Better a friendly refusal than an unwilling consent

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 43

Page 45: Cdk 107 Dengue

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dermatosis Akibat Kerja

RS. Siregar

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/ Rumah Sakit Umum Pusat, Palembang

PENDAHULUAN

Pembangunan di Indonesia sekarang ml sedang menuju industrialisasi, artinya industri merupakan sarana utama untuk menunjang pembangunan. Hasil positif yang diperoleh diba- rengi dengan dampak negatif proses industrialisasi itu sendiri berupa berbagai gangguan kesehatan akibat kerja. Salah satu penyakit akibat kerja itu ialah dermatosis akibat kerja.

Gangguan kesehatan berupa dermatosis akibat kerja akan mengurangi kenyamanan dalam melakukan tugas dan akhirnya akan mempengaruhi proses produksi; secara makro akan meng- ganggu proses pembangunan secara keseluruhan. Di Indonesia, dermatosis akibat kerja belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah atau pemimpin perusahaan walaupun jenis dan tingkat prevalensinya cukup tinggi.

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain: 30% dan pekerja penebang kayu di Palembang dan 11,8% dan pekerja perusahaan kayu lapis menderita dermatitis kontak(1). Utama Wijaya (1972) menemukan 23,75% dan pe- kerja pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita derma-titis akibat kerja, sementara Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82%(2). Sumamur (1986) memperkirakan bahwa 50–60% dari seluruh penyakit akibat kerja adalah dermatosis akibat kerja(3). Dari data sekunder ini terlihat bahwa dermatosis akibat kerja memang mempunyai prevalensi yang cukup tinggi, walaupun jenis dermatosisnya tidak sama pada semua perusahaan.

Variasi penyakit kulit di setiap perusahaan sangat berbeda, karena setiap perusahaan/industri proses produksi dan lingkung-an dalam perusahaan serta bahan yang dipergunakan di setiap perusahaan berbeda-beda. Untuk itu perlu kejelian dan ketram- pilan petugas kesehatan termasuk dokter perusahaan untuk me- nilai dan melihat proses produksi dalam perusahaan, serta me- nilai bahan yang dipergunakan/dipakai/diperoleh dalam per- usahaan tersebut, yang mungkin dapat menimbulkan dermatosis akibat kerja.

BATASAN Yang dimaksud dengan dermatosis akibat kerja ialah proses

patologis kulit yang timbul pada waktu melakukan pekerjaan dan pengaruh-pengaruh yang terdapat di dalam lingkungan kerja.

Dari batasan ini terlihat bahwa penyakit kulit akibat kerja ini boleh disebut sebagai gejala sampingan usaha manusia atau sebagai buatan manusia. Oleh karena itu manusia dituntut untuk mencegah atau memperkecil kemungkinan terjadinya dengan menerapkan teknologi pengendalian. PENYEBAB/ETIOLOGI

Penyakit kulit akibat kerja dapat disebabkan oleh 4 faktor: 1) Faktor kimiawi, dapat berupa iritasi primer, alergen atau karninogen. 2) Faktor mekanis/fisik, seperti getaran, gesekan, tekanan, trauma, panas, dingin, kelembaban udara, sinar radioaktif. 3) Faktor biologis, seperti jasad renik (mikroorganisme) hewan dan produknya, jamur, parasit dan virus. 4) Faktor psikologis (kejiwaan); ketidakcocokan pengelolaan perusahaan sering membuat konflik di antara pegawai dan dapat menimbulkan gangguan pada kulit seperti neurodermatitis.

Sebenarnya kulit mempunyai fungsi untuk mempertahankan diri dari serangan/rangsangan luar. Epidermis berfungsi meng- hambat penguapan air yang berlebihan dari tubuh, menghambat penyerapan berlebihan dari luar. Pigmen di dalam kulit me- lindungi tubuh dari pengaruh sinar matahari. Selain itu kulit mengandung kelenjar keringat dan pembuluh darah yang ber- fungsi sebagai alat penjaga keseimbangan cairan tubuh, mem- permudah timbulnya kelainan kulit. DIAGNOSIS

Untuk menegakkan diagnosis suatu penyakit kulit akibat kerja, sebagaimana penyakit lain, dilakukan: a) Anamnesis

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 44

Page 46: Cdk 107 Dengue

b) Pemeriksaan klinis c) Pemeriksaan laboratorik d) Percobaan tempel/uji tempel

a) Anamnesis Yang perlu ditanyakan antara lain ialah : • Apakah sudah ada penyakit kulit sebelum masuk kerja di perusahaan yang sekarang. • Jenis pekerjaan penderita. • Pengaruh libur/istirahat terhadap penyakitnya. • Apakah ada karyawan lain menderita penyakit yang sama. • Riwayat alergi penderita atau keluarganya. • Prosedur produksi di tempat kerja dan bahan-bahan yang digunakan di tempat pekerjaan. • Apakah kelainan terjadi di tempat-tempat yang terpajan. • Bahan yang dipakai untuk membersihkan kulit dan alat proteksi yang dipakai. • Lingkungan pekerjaan, tempat kerja terutama mengenai ke-bersihan dan temperatur. • Kebiasaan atau hobi penderita yang mendorong timbulnya penyakit, dan lain-lain.

b) Pemeriksaan klinis Pertama-tama tentukan lokalisasi kelainan apakah sesuai

dengan kontak bahan yang dicurigai; yang tersering ialah daerah yang terpajan, misalnya tangan, lengan, muka atau anggota gerak.

Kemudian tentukan ruam kulit yang ada, kelainan kulit yang akut dapat terlihat berupa eritem, vesikel, edema, bula, dan eksudasi. Kelainan kulit yang kronis berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, kering dan skuamasi. Bila ada infeksi terlihat pustu-lasi. Bila ada penumbuhan tampak tumor, eksudasi, lesi verukosa atau ulkus.

c) Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah, urine, tinja hendaknya dilakukan secara

lengkap. Bila ada infeksi bakteri hendaknya pus atau nanah dibiak dan selanjutnya dilakukan tes resistensi. Bila ada jamur perlu diperiksa kerokan kulit dengan KOH 10% dan selanjutnya dibiak dalam media Sabouraud agar.

Pemeriksaan biopsi kulit kadang-kadang perlu dilakukan.

d) Uji tempel Karena dermatosis akibat kerja sebagian besar berbentuk

dermatitis kontak alergis (80%) maka uji tempel perlu dikerjakan untuk memastikan penyebab atergennya.

Bahan tersangka dilarutkan dalam pelarut tertentu dengan konsentrasi tertentu. Sekarang udah ada bahan tes tempel yang sudah standar dan disebut unit uji tempel; unit ini terdiri atas filter paper disc, yang dapat mengabsorbsi bahan yang akan diuji. Bahan yang akan diuji diteteskan di atas unit uji tempel, kemu- dian ditutup dengan bahan impermeabel, selanjutnya ditutup lagi dengan plester yang hipoalergis. Pembacaan dilakukan setelah 48, 72 dan 96 jam. Setelah penutup dibuka, ditunggu dahulu 15–30 menit untuk menghilangkan efek plester. Hasil 0 : bila tidak ada reaksi. + : bila hanya ada eritema.

++ : bila ada eritema dan papul. +++ : bila ada eritema, papul dan vesikel. ++++ : bila ada edema, vesikel.

Dalam penilaian ini harus dapat dibedakan antara reaksi iritasi dan reaksi alergi, reaksi negatif semu dan reaksi positif semu, untuk itu diperlukan pengalaman dan penilaian khusus. BENTUK-BENTUK DERMATOSIS AKIBAT KERJA

Dermatitis kontak 1) Dermatitis kontak iritan

Dapat disebabkan oleh bahan iritan absolut seperti asam kuat, basa kuat, garam logam berat dengan konsentrasi kuat dan bahan iritan relatif, seperti sabun, deterjen, dan pelarut organik.

Dermatitis kontak oleh karena iritan absolut biasanya timbul seketika setelah berkontak dengan iritan, dan semua orang akan terkena. Sedangkan dermatitis kontak karena iritan relatif dapat timbul sesudah pemakaian bahan yang lama dan berulang, dan seringkali baru timbul bila ada faktor fisik berupa abrasi, trauma kecil dan maserasi; oleh karena itu sering disebut traumatic dermatitis. Kelainan yang timbul biasanya berupa hiperpigmen-tasi, hiperkeratosis, likenifikasi, fisur dan kadang-kadang eritem dan vesikel. 2) Dermatitis kontak alergis

Biasanya disebabkan oleh bahan dengan berat molekul ren-dah yang disebut hapten. Kelainan kulit terjadi melalui proses hipersensitivitas tipe IV atau proses alergi tipe lambat (Gell & Coombs).

Hapten bergabung dengan protein pembawa menjadi aler- gen lengkap. Alergen Iengkap difagosit oleh makrofag dan me- rangsang limfosit yang ada di kulit yang mengeluarkan limfosit aktivasi faktor (LAF). Sel limfosit kemudian berdiferensiasi membentuk subset sel limfosit T memori (sel Tdh) dan sel limfosit T helper dan sel T suppresor. Sel T memori ini bila me-nerima informasi alergen yang sudah dikenal masuk ke dalam kulit, maka sel Tdh akan mengeluarkan limfokin (faktor sito- toksis, faktor inhibisi migrasi, faktor kemotaktik dan faktor aktivasi makrofag. (Diagram). Diagram

Dengan dilepaskannya berbagai faktor m maka akan ter- jadi pengaliran sel mas dan sel basofil, ke arah lesi, dan timbul- lah proses radang yang merupakan manifestasi reaksi dermatitis kontak alergis.

Gambaran klinis umumnya berupa papul, vesiket dengan dasar eritem dan edema, disertai rasa gatal.

Dalam perusahaan sering ditemukan beberapa bahan kimia yang mempunyai gugusan rumus kimia yang sama. Apabila

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 45

Page 47: Cdk 107 Dengue

Tabel 1. Perbedaan Dennatitis Kontak Iritan (DKI) dan Dermatitis Kon- tak Alergis (DKA)

DKI DKA 1. 2. 3. 4.

4.

Penyebab Permulaan penyakit Penderita Kelainan Wit Uji tempel

Iritan primer Kontak pertama Semua orang Hebat: eritem, bula batas tegas Eritem berbatas tegas, bila uji tempel diangkat reaksi berkurang

Alergen = sensitizer Kontak berulang Orang yang sudah alergisRingan, tidak akut, eritem, erosi, batas tidak tegas Eritem tidak berbatas tegas; bila uji tempel diangkat reaksi menetap atau bertambah.

pekerja sudah sensitif terhadap suatu zat kimia, maka ia akan mudah menjadi sensitif terhadap zat-zat lain yang mempunyai rumus kimia yang bersamaan, misalnyaprokain, benzokain, para aminobensen mempunyai gugus bensen yang sama. Apabila seseorang sensitif terhadap prokain maka akan lebih mudah sensitif terhadap benzokain atau PABA; ini disebut sensitisasi silang.

Pengetahuan sensitisasi silang ini sangat penting untuk menentukan penempatan seseorang pegawai. Yang sudah sen- sitif terhadap suatu zat, jangan lagi ditempatkan pada tempat yang mengandung bahan yang mempunyai rumus kimia serupa. Contoh yang mempunyai rumus kimia yang sama ialah: • Rhus antigen : poison ivy, poison sumac, mangga, Japanese decyl catechol. • Streptomisin, kanamisin, kiomisin. • Fenotiazin : prometazin, khlorpromazin, biru metilen.

Reaksi fotosensitisasi 1) Reaksifototoksik Reaksi fototoksik terjadi karena adanya bahan iritan, tetapi baru dapat timbul dengan bantuan sinar matahari (sinar ultra violet); bentuk klinisnya sama seperti dermatitis kontak iritan. Reaksi fotoiritan dapat timbul karena bahan pengawet kayu atau residu beberapa zat lem kayu dan keramik. 2) Reaksifotoalergi Reaksi fotoalergi terjadi oleh karena bahan photosensitizer, dibantu dengan sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 320–425 nm. Bentuk klinis reaksi fotoalergis umumnya menyerupai dermatitis kontak alergis. Daerah tubuh yang terkena terutama bagian tubuh yang terpajan matahari seperti dahi, pipi, dan lengan bagian luar. Reaksi fotoalergi dapat timbul karena bahan seperti ter kayu, obat antihistamin topikal, zat warna, dan lain- lain.

Kelainan oleh karena faktor fasik a) Luka bakar (karena panas) dalam bentuk luka bakar tingkat I, II, dan III. b) Cold urticaria timbul oleh karena dingin. c) Immersion foot timbul bila kaki terlampau lama terendam dalam air dingin, tanpa menjadi beku tetapi timbul gangren. d) Frostbite/congelatio, radang kedinginan, kulit terasa sakit, menjadi bengkak, pucat, mengeluarkan cairan serous.

e) Radiodermatitis, dapat berupa eritem, ulserasi, dan hiper- pigmentasi, actinic keratosis atau permulaan keganasan. f) Heat rash, miliaria rubra; kulit menjadi merah disertai papulovesikel yang milier.

Kelainan karena faktor biologis Dapat berupa infeksi kulit. Yang disebabkan oleh bakteri dapat menimbulkan folikulitis, akne, pioderma atau ulkus pio- genik. Yang disebabkan oleh jamur ialah dermatofitosis dan yang disebabkan kandida menyebabkan kandidiasis. PENGOBATAN Tindakan pertama ialah memutuskan mata rantai kontak dengan penderita, selanjutnya dapat diberikan pengobatan yang sesuai dengan jenis penyakitnya. Bila kelainan kulit akut dapat diberi obat kompres, sampai eksudasi kering. Sesudah itu dapat dilanjutkan dengan diberi salep yang mengandung kortikosteroid. Bila ada infeksi sekun- der dapat diberi antibiotika seperti tetrasiklin atau eritromisin. Bila ada infeksi jamur diberi obat anti jamur. PENCEGAHAN Prevalensi dermatosis akibat kerja dapat diturunkan melalui pencegahan yang sempurna; antara lain: 1) Pendidikan Diberi penerangan atau pendidikan pengetahuan tentang kerja dan pengetahuan tentang bahan yang mungkin dapat me- nyebabkan penyakit akibat kerja. Selai itu, cara mempergunakan alat dan akibat buruk alat tersebut harus dijelaskan kepada karyawan. 2) Memakai alat pelindung Sebaiknya para karyawan diperlengkapi dengan alat pe- nyelamat atau pelindung yang bertujuan menghindari kontak. dengan bahan yang sifatnya merangsang atau karsinogen. Alat pelindung yang dapat dipergunakan misalnya baju pelindung, sarung tangan, topi, kaca mata pelindung, sepatu, krim pelin- dung, dan lain-lain. 3) Melaksanakan uji tempel/uji tempel foto Maksudnya ialah mengadakan uji tempel pada calon pekerja sebelum diterima pada suatu perusahaan. Berdasarkan hasil uji tempel ini karyawan barn dapat ditempatkan di bagian yang tidak mengandung bahan yang rentan terhadap dirinya. 4) Pemeriksaan kesehatan berkala Bertujuan untuk mengetahui dengan cepat dan tepat apakah karyawan sudah menderita penyakit kulit akibat kerja. Apabila dapat diketahui dengan cepat, dapat diberi pengobatan yang adekuat atau dipindahkan ke tempat lain yang tidak membahaya-kan kesehatan dirinya. 5) Pemeriksaan kesehatan secara sukarela Karyawan dianjurkan untuk memeriksakan diri ke dokter secara sukarela apakah ada menderita suatu dermatosis akibat kerja. 6) Pengembangan teknologi Kerjasama antara dokter, ahli teknik, ahli kimia dan ahli dalam bidang tenaga kerja untuk mengatur alat-alat kerja, cara

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 46

Page 48: Cdk 107 Dengue

kerja atau memperhatikan bahan yang dipergunakan dalam me- lakukan pekerjaan untuk mencegah kontaminasi kulit.

2. Raharjo D. Dermatitis kontak akibat kerja pada pengolahan minyak bumi di Pertamina Plaju–Sungai Gerong. Tesis Magister Sains Jurusan Fliperkes, 1982.

3. Sumamur PK. Pandangan Hiperkes mengenai dermatosis akibat kerja. Simposium dermatosis akibat kerja. Jakarta. 19 JuJi 1986. PENUTUP

Dengan kemajuan industri sekarang ini, penyakit akibat kerja diperkirakan akan semakin banyak dan salah satunya ada- lah dermatosis akibat kerja. Umumnya dermatosis akibat kerja dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor kimiawi, fisik/mekanis dan biologis. Dermatitis kontak merupakan ke- lainan kulit yang terbanyak di antara dermatosis akibat kerja. Dalam makalah ini telah diterangkan mengenai patogenesis, cara menegakkan diagnosis, pengobatan dan cara pencegahan derma-tosis akibat kerja.

4. Adhi Djuanda. Diagnosis dan diagnosis banding dermatitis kontak. Sim- posium Dermatitis Kontak. Jakarta, 16 April 1983.

5. Bemandir. Dermatosis padapekerjabalai Hiperkes dan kesehatan kerja Dl. Yogyakarta. Simposium Penyakit Kulit Alergi. Yogyakarta, 19 September 1981.

6. Fisher AA. Contact dermatitis. 3rd ed. Philadelphia: Lea and Febiger 1986. 7. Hari Sukanto. Tes tempel. Lokakarya Dermatitis Kontak. Yogyakarta, 30

Januari 1994. 8. Made Bratiarta. Dermatitis kontak pada pekerja. Lokakarya Dermatitis

Kontak. Yogyakarta, 30 Januari 1994. 9. Maibach HI, Gallin GA. Occupational and Industrial Dermatoses in Der-

matology. 1st ed. Chicago: Year Book Medical Publ. Inc. 1982. 10. Pramudianto. Epidemiologi dermatitis kontak akibat kerja. Simposium Dermatitis Kontak. Jakarta, 16 April 1983. KEPUSTAKAAN

11. Sahat Pohan, Hari Sukanto. Introduksi dermatitis kontak akibat keija. Simposium Dermatosis akibat Kerja. Jakarta, 19 Juli 1986.

1. Siregar, RS. Penyakit kulit akibät kerja pada pabnk kayu lapis. Konas I PADVI Surabaya 1976.

12. Rycroft RIG. Occupational dermatitis in Rook et al. Textbook of dermato logy, lVth ed. Oxford: Blackwell Scientific Publications 1988.

Kalender Peristiwa

J J

uni 16–20, 1996 – KONGRES NASIONAL ILMU KESEHATAN ANAK (KONIKA) X Bukittinggi, INDONESIA Sekr.: SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP DR. M. Djamil Jl. Perintis Kemerdekaan Padang, INDONESIA Tel/Fax: (0751) 37913

uli 3–6, 1996 – KONGRES NASIONAL RADIOLOGI ke VIII Hotel Papandayan, Bandung, Indonesia Bandung, INDONESIA Sekr.: Bagian Radiologi RS Hasan Sadikin/FK Universitas Padjadjaran Jl. Pasteur 38 Bandung, INDONESIA

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 47

Page 49: Cdk 107 Dengue

HASIL PENELITIAN

Kondisi Jaringan Periodonsium pada Kelompok Masyarakat dengan Perbedaan

Frekuensi Penyikatan Gigi

Prijantojo Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

PENDAHULUAN Sampai dekade terakhir telah berkembang dan terbbahwa mikroorganisme dalam plak merupakan penyebab utkelainan periodontal(1,2). Dari studi epidemiologi dinyatabahwa ada hubungan yang positif antara keradangan gingikelainan periodontal dengan banyaknya plak(3). Bahwa bakplak merupakan penyebab utama kelainan periodontal telahbuktikan dengan studi longitudinal pada manusia dan pada btang(1,2,4). Demikian juga penelitian dengan menggunakan baantibakteri plak baik pada manusia maupun binatang denkelainan periodontal terbukti dapat mengurangi terjadinyalainan periodontal(5). Beberapa penelitian telah dilakukan dalam usaha menceterjadinya kelainan periodontal dengan mencegah terjadiakumulasi plak. Usaha dapat dilakukan secara kheniis maumekanis dengan menggunakan sikat gigi. Dari beberapa pelitian telah dibuktikan bahwa pencegahan pembentukan pecara mekanis merupakan cara yang paling efektif bila dila

A

Penelitian dilakukan terhadap ke melibatkan 81 orang yang dibagi menu obyek penelitian. Delapanpuluh satu ( masing-masing terdiri dari 43 orang m melakukan penyikatan gigi 3x sehari d analisis data yang diperoleh ternyata ti plak antara kedua kelompok. Juga tindeks keradangan gingiva pada permu atas serta permukaan bukal rahang badangan gingiva pada permukaan lingu dengan kelompok yang menyikat gigi 3

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 48

BSTRAK

lompok masyarakat dari daerah pedesaan yangrut kebiasaan melakukan penyikatan gigi sebagai81) obyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompokelakukan penyikatan gigi 2x sehari dan 38 orang

engan mengguinakan pasta gigi. Setelab dilakukandak didapat perbedaan yang bermakna dari indeksidak didapatkan perbedaan yang bermakna darikaan bukal rahang atas, permukaan palatal rahangwah. Ada perbedaan bermakna dan indeks kera-al rahang bawah dan kedua kelompok (p <0,05)x sehari menunjukkan hasil yang lebih baik.

ukti ama kan val/ teri di- ina-han gan ke-

gah nya pun ne- lak ku-

kan secara baik dan benar(6,7). Karena cara-cara yang baik belum banyak diketahui oleh masyarakat serta kondisi dari gigi pen- derita yang tidak sama maka kelainan periodontal masih banyak terjadi. Tujuan dari penelitian ini untuk mengevaluasi kondisi ja- ringan periodonsium pada masyarakat dengan frekuensi penyi- katan gigi yang berbeda. Hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai pedornan untuk menentukan berapa kali sebaiknya se- seorang melakukan penyikatan gigi agar kelainan periodontal yang terjadi di masyarakat tidak banyak terjadi. TINJAUAN PUSTAKA Telah dikemukakan di atas bahwa penyebab utama kelainan periodontal adalah bakteri p1ak(1,2). Keradangan gingiva meru- pakan manifestasi dan kelainanjaringan periodonsium yang di- sebabkan oleh mikroorganisme. Penel itian secara longitudinal pada manusia maupun binatang menunjukkan bahwa terjadinya radang gingiva disebabkan oleh peningkatan akumuIasi(1,8).

Page 50: Cdk 107 Dengue

Banyak usaha telah dilakukan untuk mencegah terjadinya ke- lainan periodontal dengan tujuan agar gigi dapat bertahan lama dalam rongga mulut. Usaha itu ditujukan untuk mencegah ter- jadinya akumulasi plak yang merupakan penyebab utama dari kelainan periodontal(8,9,10). Survei epidemiologi menemukan bahwa 90% kelainan periodontal ada hubungan antara umur dan timbunan plak(3). Plak merupakan indikator untuk menentukan kebersihan mulut seseorang; 50% kehilangan gigi setelah umur 40 tahun disebabkan oleh kelainan periodontal(11). Sebagian besar kelainan periodontal merupakan akibat hubungan lang- sung antara jumlah bakteri plak dan jaringan periodonsium. Usaha untuk mencegah terjadinya timbunan plak dapat dilakukan secara khemis dan mekanis. Pencegahan pembentukan plak secara khemis banyak meng-gunakan antiseptik yang pada umumnya dipasarkan dalam ben- tuk obat kumur(12,13). Pemakaian obat kumur sebagai antiplak sebenarnya berfungsi untuk membantu pembersihan plak secara mekanis(14). Sampai saat ini sebagai antibakteri plak yang paling efektif adalah khlorhexidin(15). Larutan khlorhexidin dengan konsen- trasi 0,2% sebagai obat kumur dapat menghambat pembentukan plak sebanyak 72% pada hari ke 3 dan sebanyak 85% pada hari ke 7, serta terjadi penurunan indeks peradangan sebanyak 32% pada hari ke 3 dan sebanyak 77% pada hari ke 7(13,15).

Pembersihan gigi secara mekanis Pembersihan gigi secara mekanis menggunakan sikat gigi merupakan upaya untuk mencegah terjadinya timbunan plak. Di negara yang sedang berkembang pembersihan gigi mengguna- kan sikat gigi dan pasta gigi merupakan cara yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat(16). Pembersihan plak secara mekanis dengan menggunakan sikat gigi merupakan cara yang paling efektif(17). Di samping sikat gigi sebagian besar dari masyarakat juga menggunakan tusuk gigi. Sedikit data yang dipublikasikan tentang pemakaian tusuk gigi, begitu juga pengaruh terhadap kesehatan jaringan periodonsium. Penelitian yang membanding-kan kesehatan jaringan periodonsium pada orang-orang yang menggunakan sikat gigi atau tusuk gigi atau kedua-duanya untuk pembersihan gigi ternyata tidak mendapatkan perbedaan yang bermakna pada indeks plak dan derajat keradangan gingiva(18). Bentuk sikat gigi serta teknik menyikat gigi mempunyai penga- ruh yang kecil terhadap efektifitas untuk menghilangkan plak(19). Frekuensi pembersihan gigi banyak dihubungkan dengan efektifitas terjadinya pembentukan plak dan kesehatan gingiva. Pembentukan plak lebih banyak terjadi pada kelompok yang jarang melakukan pembersihan gigi daripada kelompok yang sering melakukan pembersihan gigi. Namun perbedaan dari kedua kelompok ini tidak besar. Demikian juga pembentukan kalkulus lebih rendah pada kelompok yang sering melakukan pembersihan gigi. Penelitian terhadap 1015 anak yang berumur 11–12 tahun dilaporkan bahwa ada perbedaan yang kecil antara frekuensi pembersihan gigi dan distribusi dan plak dan kera- dangan gingiva, namun didapatkan perbedaan yang bermakna(20). Peningkatan frekuensi pembersihan gigi hanya mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kesehatan gingiva(21). Sebagai

alasan dikatakan bahwa kemungkinan disebabkan karena ke- biasaan dan ketrampilan individu yang berbeda. Efisiensi pem- bersihan gigi ternyata sangat kecil di daerah interproximal(22). Skor plak yang tinggi sering tendapat di daerah lingual rahang bawah dan permukaan bukal rahang atas(22,23). Ternyata ada hu- bungan antara fnekuensi pembersihan gigi, akumulasi plak di permukaan lingual serta pendanahan gingiva(20). Untuk meningkatkan efektifitas menggunakan sikat gigi, diciptakan sikat gigi listrik yang menggunakan baterai sebagai penggerak. Berbagai penelitian yang membandingkan kelainan sikat gigi konvensional dan sikat gigi listrik ternyata tidak men- dapatkan penbedaan bermakna dalam mencegah atau mengu- rangi terjadinya akumulasi plak(24,25). Hasil optimal dalam me- lakukan pembersihan gigi bukan tergantung dari macam sikat giginya, tetapi sangat tengantung pada motivasi dan teknik pe-nyikatan gigi(23). Penyikatan gigi baik dengan cara konvensional maupun dengan menggunakan sikat gigi listrik memberikan hasil yang sama bila tidak disertai dengan instruksi tentang cara penyikatan gigi yang benar(26). Instruksi tentang cara penyikatan gigi yang benar ternyata harus dilakukan terus-menerus agar motivasi dapat ditingkatkan(27). Pendapat ini dikemukakan se- telah dilakukan penelitian selama 6 minggu dengan hanya sekali penjelasan tentang cara dan teknik penyikatan gigi; walaupun terjadi penurunan indeks plak namun tidak terbukti menurunkan indeks keradangan secara bermakna(24,27,28). Lama serta fnekuensi penyikatan gigi juga berperan terhadap kebersihan mulut tetapi pada penelitian ini sulit dikontrol(16,29). Penelitian terhadap mahasiswa yang menggunakan sikat gigi konvensional, terjadi penurunan indeks plak sebanyak 72% sedang menggunakan sikat gigi listrik sebanyak 83%. Hasil ini mungkin disebabkan karena obyek penelitiannya mahasiswa, yang ketrampilan maupun motivasinyacukuptinggi. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Ainamo tidak mendapatkan per- bedaan yang bermakna antara kelompok yang menggunakan sikat gigi konvensional dan sikat gigi listrik(31). Dari uraian di atas didapat teori-teori yang mendasari pene-litian ini. • Kelainan periodontal disebabkan oleh bakteni plak. • Ada hubungan yang positif antara akumulasi plak dan ter- jadinya kelainan periodontal. • Penyikatan gigi menupakan upaya untuk mengurangi ter- jadinya akumulasi plak dan kelainan periodontal. • Frekuensi penyikatan gigi berpenan untuk mengurangi ter jadinya keradangan gingiva/kelai nan periodontal. Dari uraian di atas dapat diturunkan suatu hipotesis sebagai berikut.

Hipotesis Ada penbedaan kondisi jaringan periodonsium pada penyi- katan gigi 3x sehani dibandingkan dengan penyikatan gigi 2x sehari. Tujuan penelitian ini untuk mengadakan evaluasi kondisi jaringan periodonsium masyarakat yang melakukan penyikatan gigi 3x sehani dan yang melakukan penyikatan gigi 2x sehari. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 49

Page 51: Cdk 107 Dengue

pedoman untuk menentukan frekuensi penyikatan gigi agar kelainan periodontal dapat dikurangi atau dicegah. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan pada masyarakat di desa Cijeruk ka-bupaten Bogor. Masyarakat dikumpulkan di suatu tempat untuk dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan dengan meng- gunakan kaca mulut, pinset, sonde dan pocket probe dengan penerangan lampu listrik. Sebelum pemeriksaan dimulai di- tanyakan berapa kali melakukan penyikatan gigi dalam satu hari. Pemeriksaan dilakukan oleh dua orang, satu memeriksa dan satu mencatat dalam status. Dilakukan pengukuran indeks plak, kalkulus dan indeks perdarahan gingiva sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Banyaknya plak dicatat dengan meng- gunakan indeks dan Silness & Loe yang telah dimodifikasi dengan kriteria sebagai berikut: 0 : Tidak ada plak. 1 : Lapisan plak tipis dan melekat pada tepi gingiva bebas (free gin giva) dan daerah gigi yang berdekatan. Plak hanya dapat diobservasi dengan menggoreskan probe pada permukaan gigi. 2 : Pengumpulan endapan lunak dan sedang (moderate) pada tepi gingiva dan/atau permukaan gingiva yang berdekatatan dan dapat dilihat dengan mata. 3 : Pengumpulan endapan lunak dan banyak di dalam poket dan/atau gingiva dan gigi yang berdekatan. Kalkulus dicatat dengan menggunakan indeks dan Green & Vermillion dengan kniteria sebagai berikut: 0 : Tidak ada kalkulus. 1 : Kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari 1/3 per- mukaan gigi. 2 : Kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 1/3 dan tidak le- bih dari 2/3 permukaan gigi atau adanya kalkulus subgingiva di daerah servikal atau keduanya. 3 : Kalkulus supragingiva yang menutupi lebih dari 2/3 per- mukaan gigi atau kalkulus subgingiva yang melingkari servikal gigi. Perdarahan gingiva dicatat dengan menggunakan indeks perdarahan papil dan gingiva (P.B.I.) dan Muhieman dengan kriteria sebagai berikut: 0 : Tidak ada perdarahan 1 : Perdarahan berupa titik 2 : Perdarahan berupa ganis 3 : Perdarahan berupa segitiga 4 : Perdarahan menyebar Carap emeriksaan dilakukan sebagai berikut: Setelah obyek penelitian duduk pada kursi pemeriksaan, dilihat apakah gigi- gigi yang ada memenuhi persyaratan. Apabila banyak gigi yang hilang maka obyek tersebut tidak diikut sertakan sebagai obyek penelitian. Gigi-gigi yang diperiksa sesuai dengan yang tertera pada status pemeriksaan. Bila gigi yang tertera pada status tidak ada dapat diganti dengan gigi tetangga. Pemeniksaan plak dilaku-kan dengan menggunakan probe padaperbatasan gigi dan gingiva. Kemudian plak dicatat sesuai dengan kriteria yang telah diten- tukan. Ditunggu ± 30 detik, bila terjadi perdarahan, perdarahan

dicatat sesuai dengan kriteria. Di samping pemeriksaan plak dan perdarahan juga dicatat adanya kalkulus pada gigi yang telah ditentukan.

Status Pemeriksaan Nama : Umur : Jenis Kelamin :

Indeks plak PBI Indeks kalkulus

RA RA RA RB RA RB

EL B L EL B L EL B L EL B L EL B L EL B L 6 2 1 1 2 4 6

6 4 2 1 1 2 6

6 2 1 1 2 4 6

6 4 2 1 1 2 6

6 6

6 3 2 1 1 2 3 6

Skor HASIL Pada masyarakat di desa Cijeruk kabupaten Bogor didapat 81 obyek yang memenuhi persyaratan; 43 obyek menyikat gigi-nya sebanyak 2x sehari dan 38 obyek melakukan penyikatan gigi sebanyak 3x sehani. Sikat gigi yang digunakan adalah sikat gigi konvensional dan semuanya memakai pasta gigi. Data yang di- peroleh dianalisis menggunakan uji statistik dengan uji t (t’ test). Hasil evaluasi secara statistik dan indeks plak rata-rata sesuai dengan frekuensi pembersihan gigi adalah sebagai berikut (Tabel 1 dan Gambar 1).

Tabel 1. Indeks plak rata-rata sesuai frekuensi penyikatan gigi

2x sehari 3x sehari Indeks plak pada

N Mean Std - Mean Std t P

Rahang Atas 43 1 3023 0,5311 38 1,5414 0,6865 1,764 > Bukal Rahang Atas 43 2,1063 0,7055 38 2,1917 05953 0,585 > Palatal Rahang Bawah 43 1,3920 0 6915 38 1,5714 0 6871 1,169 > Bukal Rahang Bawah 43 2,6744 0,5059 38 2,5752 0,6029 0,805 > Lingual

Gambar 1. Indeks plak rata-rata

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 50

Page 52: Cdk 107 Dengue

Hasil evaluasi secara statistik dan indeks kalkulus rata-rata dari kedua kelompok dapat dilihat pada Tabel 2, Gambar 2.

Pada tabel tampak bahwa indeks rata-rata dan kalkulus pada kelompok yang menyikat gigi 3x sehari tampak lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang menyikat gigi 2x sehari. Bila dibandingkan tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada semua permukaan gigi (bukal dan palatal rahang atas serta bukal dan lingual rahang bawah). Tabel 2. Indeks kalkulus rata-rata sesuai frekuensi penyikatan gigi

2x sehari 3x sehari Indeks plak pada

N Mean Std N Mean Std t p

Rahang Atas 43 2,1744 0,9315 38 19079 1,0771 1,194 > Bukal Rahang Atas 43 25465 07545 38 2,2368 0,9914 1,592 > Palatal Rahang Bawah 43 1,8459 0,7159 38 0,8487 0 8154 0 016 > Bukal Rahang Bawah 43 2,5407 0,6378 38 2,4046 0,7480 0,884 > Lingual

Gambar 2. Indeks kalkulus rata-rata Hasil evaluasi dan indeks rata-rata perdarahan gingiva dapat dilihat pada Tabel 3, Gambar 3. Tabel 3. Indeks perdarahan rata-rata sesuai frekuensi penyikatan gigi

2x sehari 3x sehari Indeks plak pada

N Mean Std N Mean Std t p

RahangAtas 43 1,1761 0,7971 38 1,2068 0,7152 1,181 > Bukal Rahang Atas 43 1,6545 0,8302 38 1,8271 0,6743 1,018 > Palatal Rahang Bawah 43 1,0399 0,6437 38 1,3120 0,7724 1,729 > Bukal Rahang Bawah 43 1,6711 0,7315 38 2,0414 0,7929 2,186 < Lingual 0.05

Tampak bahwa indeks perdarahan gingiva rata-rata pada kelompok yang menyikat gigi 3x sehari lebih besar dibanding indeks perdarahan rata-rata dari kelompok yang menyikat gigi 2x sehari pada semua permukaan dan gigi. Hasil perbandingan dari

Gambar 3. Indeks perdarahan rata-rata indeks perdarahan rata-rata dari kedua kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna dan kedua kelompok pada per- mukaan bukal dan palatal rahang atas serta perrnukaan bukal rahang bawah. Pada permukaan lingual dan kedua kelompok di-dapat perbedaan yang bermakna (p < 0,05) dengan kelompok yang menyikat gigi 2x sehari menunjukkan hasil yang lebih baik. DISKUSI Dari 81 orang dengan keradangan gingiva yang dibagi men-jadi 2 kelompok sesuai dengan frekuensi penyikatan gigi, ter- nyata pada kelompok yang melakukan penyikatan gigi 2x sehari justru menunjukkan indeks peradangan yang lebih baik diban- dingkan dengan kelompok yang melakukan penyikatan gigi 3x sehari. Hasil ini sesuai dengan penelitian Frandsen yang menya-takan bahwa peningkatan pembersihan gigi hanya mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kesehatan gingiva(16), mungkin disebabkan karena kebiasaan dan ketrampilan individu yang ber-beda. Kemungkinan lain efisiensi pembersihan di bagian inter- proksimal kurang mendapat perhatian(20).

Indeks plak rata-rata dari kelompok yang menyikat gigi 3x sehari ternyata lebih tinggi dari kelompok yang menyikat gigi 2x sehari. Hasil ini menunjukkan adanya hubungan yang positif antara akumulasi plak dan keradangan gingiva. Hasil ini sesuai dengan penelitian dari Russel yang menyatakan ada hubungan yang positif antara akumulasi plak dan umur seseorang(3). Per- bandingan hasil keradangan rata-rata dari kedua kelompok me- nunjukkan adanya perbedaan yang bermakna pada permukaan lingual rahang bawah. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu(22,23). Keadaan ini mungkin disebabkan karena pembersihan di permukaan lingual lebih sulit dibandingkan dengan permukaan lain. ini dibuktikan dengan adanya indeks plak dan indeks kalkulus yang lebih besar dibandingkan dengan permukaan lain; plak dan kalkulus meru- pakan indikaton dan kebersihan mulut seseorang. Ternyata ke- bersihan mulut memegang penanan penting terhadap terjadinya keradangan gingiva. Pada penelitian ini terbukti bahwa peranan plak terhadap keradangan gingiva sangat besar; hasil ini men-

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 51

Page 53: Cdk 107 Dengue

dukung penelitian terdahulu(1,2,3). Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dianjurkan melakukan penyikatan gigi dengan benar terutarna di permukaan lingual selama 6 detik(31,32). Pada penelitian ini peranan kalkulus kecil bila dibandingkan dengan peranan plak. Hal ini dapat dilihat pada hasil evaluasi indeks kalkulus yang lebih besar pada kelompok yang menyikat gigi 2x sehari dibandingkan dengan kelompok yang member-sihkan gigi 3x sehari. Hasil ini sesuai dengan pernyataan bahwa kalkulus tidak berperan secara Iangsung terhadap terjadinya ke- radangan gingiva(33,34). Peran kalkulus karena permukaannya yang kasar akan memudahkan retensi plak, namun kalau pember-sihannya baik maka pembentukan plak dapat dicegah. Sebagai usaha untuk meningkatkan kebersihan mulut telah diciptakan sikat gigi listrik. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membandingkan pemakaian sikat gigi listrik dengan sikat gigi konvensional. Hasil penelitian ternyata tidak mendapatkan perbedaan yang bermakna, bila tidak diberikan petunjuk yang benar tentang teknik dan cara pembersihan gjgi(28,29,30). Peme- liharaan gigi secara profesional serta pendidikan/anjuran kepada pasien lebih penting dibandingkan dengan jenis sikat gigi. Bebe-rapa studi telah membuktikan bahwa pemakaian sikat gigi kon- vensional disertai anjuran terhadap pasien mendapat hasil yang memuaskan(29). KESIMPULAN Terdapat hubungan yang positif antara banyaknya plak dan terjadinya keradangan gingiva. Peningkatan frekuensi pember- sihan gigi tidak banyak membantu meningkatkan derajat kese- hatan gingiva. Peningkatan derajat kesehatan gingiva ternyata tidak tergantung dari frekuensi serta macam sikat gigi tetapi ter-gantung dan motivasi yang tinggi serta teknik yang benar dari seseorang untuk membersihkan gigi.

KEPUSTAKAAN

1. Loe H, Theilade E. Jensen SB. Experimental gingivitis in man. J Periodont. 1965; 36: 177–87.

2. Green JC. Oral hygiene and periodontal disease. Am J PubI Health. 1963; 53: 913–22.

3. Russel AL. Epidemiology of periodontal disease. mt i Dent. 1967; 17: 282–296.

4. Lindhe J, Rylander. Experimental gingivitis in young dogs. A morpho metric study. Scan J Dent Res. 1975; 83: 314–326.

5. Lang NP, Brecx MC. Chlorhexidine digluconate an agent for chemical plaque control and prevention of gingival inflamation. J Periodont Res. Suppl 1986; 74–89.

6. Prayitno SW. Penelitian mengenai pemenksaan oral hygiene di bagian Penodontologi FKGUJ. 1. 1977.

7. Prijantojo. Penelitian mengenai pemeriksaan oral hygiene di bagian Perio dontologi FKGUI. 11. 1978.

8. Lindhe J, Koch 0. The effect of supervised oral hygiene on the gingival of children. J Periodont Res. 1967; 2: 215–20.

9. Hansen F, Gjermo P. Plaque removing effect of our toothbrushing method. Scan J Dent Res. 1971; 79: 502–06.

10. Bergenholtz A, Brithon J. Plaque removal by dental floss of toothpicks. An

intra individual comparative study. J Clin Periodont. 1980; 7: 5 16–24. 11. Bay J, Rolla G. Plaque inhibition and improve gingival condition by use of

stannous fluorida toothpaste. ScanclJ Dent Res. 1980; 88: 3 13–15. 12. Prijantojo. Penurunan radanggingivadengan pemakaian 0,2%khlorhexidin

sebagai obat kumur. Kumpulan Makalah Ilmiah Kongres PDGI XVII. 1992; 329–34.

13. Prijantojo. Pcngaruh hexetidin terhadapkeradangan gingiva. Medika 1985; 11: 735–39.

14. Addy M. Chlorhexidie compare with other locally delivered antimicrobial. J Clin Periodont. 1986; 13: 957–64.

15. Prijantojo. Antiseptik sebagai obat kumur, peranannya terhadap pem- bentukan plak gigi dan radang gusi. One day course on Periodontology. Fakultas Kedokteran Gigi UNPAD 12 Agustus 1993.

16. Frandsen A. Mechanical oral hygiene practices state of the art review. In Loe H and Kleinman DV : Dental Plaque Control Measures and Oral Hygiene Practices. Washington I.R.L. Press. 1986; 43–116.

17. Suomi JD. Prevention and control of periodontal disease. I Am Dent Ass. 1971; 83: 1271–87.

18, Norton MR and Addy M. Chewing sticks versus toothbrushes in West Africa. Clin Prevent Dent. 1989; 11: 11–3.

19. Golinsky M, Placschaert AJM, Konig CKG. Ergonomics of toothbrushing. J Dent Res. 1975; Abstr No 459.

20. Addy M, Griffiths G, Dummer P, Kingdom A, Shaw WC. The distribu- tion of plaque & gingivitis and the influence of toothbrushing hand in a group of South-Wales 11-12 years old children. J Clin Periodontol. 1987b; 14:564-572.

21. Sheiham A. A review of methodes of prevention and control of periodontal disease. International Conference Workshop on Research in the Biology of Periodontal disease. Chicago Illionis 1977.

22. Arno A, Waerhaug I, Lovdal A, Schei 0. Incidence of gingivitis as related to sex, occupation, tobacco consumption, toothbrushing and age. I Oral Surgery, Oral Med and Oral Path. 1958; 11: 587–595.

23. Alexander AG. A study of the distribution of supra and sub gingival calculus bacterial plaque and gingival inflamation in the mouth of 400 individual. J Periodontol. 1971; 42: 21–8.

24. Heckman BWM, Leggott P. Armitage G, Robertson PB. Comparison of manual and power toothbrushing with and without adjunctive oral irriga- tion for controlling plaque and gingivitis. J Clin Periodontol. 1989; 16: 4 19–27.

25. Stolze K, Bay L. Comparison of manual and new electric toothbrush for controlling plaque and gingivitis. J Clin Periodontol. 1994; 21: 86–90.

26. Soparkar PM, Quigley GA. Power versus hand brushing. Effect on gingi vitis. JAm Dent Ass. 1964; 68: 182–87.

27. Robertson PB, Armitage GA, Buchanan SM. Targgat EV. The design of trials to test the efficacy of plaque control agent for periodontal diseases in human. J Dent Res. 1989; 68: 1167–71.

28. Walsh TF, Glenwright HO. Relative effectiveness of rotary and conven- tional toothbrussh in plaque removal. Comm Dent and Oral Epid. 1984; 12: 160–64.

29. Ash MM. A review of the problems and results of studies on manual and power toothbrushes. J Periodont. 1964; 35: 202–13.

30. Van der Weijden GA, Danser M, Nei A, Timmermann MF & Van der Velden U. The plaque removing efficacy of a reciproque rotating tooth brush. J Dent Res 1991; 70: 557.

31. Ainamo J, Hormia M, Kaunisaho K, Sorsa T & Suomilainen K. Effect of manualversus powered toothbrushes. J Dent Res. 1991; 70: 557.

32. Prayitno SWA. A comparison of periodontal health of two groups of young adult Indonesians and characterization of advanced periodontal disease. PhD Thesis. 1990; 467–474.

33. Lindhe J. Textbook of Clinical Periodontology. Copenhagen: Munksgaard. Ed. 1985; 81.

34. Carranza. Glikman’s Clinical Periodontology. Philadelphia: WB Saunders Co. 1990; 3387–4000.

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 52

Page 54: Cdk 107 Dengue

HASIL PENELITIAN

Penelitian Proses Pembuatan Tempe Kedelai: I.

Pengaruh lama perendaman, perebusan dan pengukusan terhadap kandungan

asam fitat dalam tempe kedelai

Hestining Pupus Pangastuti*, Sitoresmi Triwibowo** * Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta ** PPOM Dirjen POM Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Asam fitat merupakan zat anti gizi karena mempunyai kemampuan untuk berikatan a -t

,

dengan mineral yang mengakibatkan kelarutan mineral tersebut menurun, sehinggketersediaan mineral menjadi rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama perendaman, perebusan dan pengukusan terhadap kandungan asam fitapada proses pembuatan tempe kedelai.

Penelitian ini dilakukan dengan rancangan CRD dengan tiga perlakuan yaituperendaman 12 jam (P12), perendaman 18 jam (P18) dan perendaman 24 jam (P24)Inokulum yang digunakan untuk pembuatan tempe adalah Rhizopus oligosporus L41. Analisis asam fitat dilakukan setelah perendaman I, setelah perebusan selama 30 menyang diikuti perendaman II dan setelah pengukusan selama 60 menit. Hasil yang dipeoleh dianalisis dengan analisis variansi dilanjutkan uji Duncan Multiple Range Test padataraf p <0,05.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: kadar asam fitadan kedelai mentahnya sampai tahap perendaman I turun 0,9% untuk perlakuan P12,untuk P18 turun 9,9% dan untuk P24 turun 27,1%. Dari perebusan sampai perendaman IIkadar asam fitat turun 28,5% untuk P12, P18 turun 13,3% dan P24 turun 14,4%.Penurunan kadar asam fitat dan tahap perendaman II ke tahap pengukusan pada perlakuan P12 turun sebesar 18,4%, P18 turun 12,2% dan P24 turun 17,3%.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lama perendaman, perebusan dapengukusan berpengaruh terhadap kadar asam fitat pada proses pembuatan tempe kedelai.

.

it r-

t

-

n

PENDAHULUAN Asam fitat dan senyawa fitat merupakan senyawa fosfat yang disintesis secara alami di dalam biji tanaman, banyak ter- dapat di dalam biji kacang-kacangan dan biji serelia (Anderson, 1914; Averil dan King, 1926)(1). Salah satu kacang-kacangan yang mengandung asam fitat adalah kedelai. Jenis kedelai yang digunakan untuk pembuatan tempe adalah kedelai putih. Asam fitat dapat diekstraksi dengan

air dan dapat dipecah oleh enzim fitase menjadi asam fosfat dan inositol. Karena dalam sistem pencernaan manusia tidak terdapat enzim fitase, maka asam fitat tidak dimetabolisme sehingga dapat merugikan, karena mempunyai kemampuan kuat untuk mengikat mineral dalam bahan makanan membentuk ikatan kompleks, sehingga menurunkan jumlah mineral yang dapat diserap oleh usus halus(2). Oleh karena itu perlu diketahui besar-nya kandungan asam fitat pada produk kacang-kacangan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 53

Page 55: Cdk 107 Dengue

Asam fitat juga dapat mengadakan interaksi dengan protein membentuk senyawa yang tidak larut. Adanya interaksi asam fitat dengan protein perlu diperhitungkan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan berkurangnya nilai gizi suatu bahan makanan, Apabila keadaan kekurangan mineral dan protein ter- sebut berlangsung lama, dapat menyebabkan gangguan kesehat-an misalnya anemia zat besi, pertumbuhan yang tidak normal ataupun penyakit rakhitis(3). Banyak usaha pengurangan kadar asam fitat agar diperoleh bahan makanan dengan kadar asam fitat seminimal mungkin antara lain dengan perendaman, perebusan, pengukusan dan fermentasi(3). Selama perendaman biji mentah akan terjadi pe- ningkatan enzim fitase sehingga pemecahan fitat akan ber- langsung. Selain itujuga akan terjadi pelarutan fitat ke dalam air rendamannya. Sedangkan perendaman biji rebus dalam air akan menyebabkan penurunan fitat yang relatif besar (Sudarmadji, 1978)(3). Perendaman biji rebus banyak dilakukan pada proses pem- buatan tempe. Tabekhia dan Luh (1980) mengamati bahwa perendaman biji kacang buncis selama 12 jam mengurangi kandungan asam fitat antara 9%–19%. Perendaman biji kapri (ercis) diikuti dengan pemasakan, menyebabkan kandungan asam fitat berkurang 13% (Beal dan Mehta, l985)(4).

Penentuan Kadar Asam Fitat Kadar asam fitat ditentukan dengan metoda Davies dan Reid, (1979)(5). Ekstrak untuk analisis diperoleh dengan cara berikut: sam- pel dalam bentuk tepung sebanyak 1 g disuspensikan dalam 50 ml air larutan HNO3 0,5 M. Suspensi ini diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 2 jam pada suhu ruang kemudian disa- ring. Filtrat yang diperoleh digunakan untuk menetapkan kadar asam fitat, Penentuan kadar asam fitat dilakukan dengan cara berikut. Dalam tabung reaksi yang berisi 0,5 ml filtrat, ditambahkan 0,9 ml HNO3 0,5 ml dan 1 ml FeCl3. Kemudian tabung reaksi ditutup, lalu direndam dalam air mendidih selama 20 menit. Setelah didinginkan, ditambah 5 ml amil alkohol dan 1 ml larutan amonium tiosianat. Selanjutnya disentnifus pada kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Setelah terbentuk dua lapisan, lapisan amil alkohol diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer (Coleman junior 11 Spectrophotometer G-20) pada panjang ge- lombang 465 nmdengan blangko amil alkohol, 15 menitsetelah penambahan amonium tiosianat. Hasil yang diperoleh diban- dingkan pada kurva standar Na-fitat yang diperoleh dengan cara seperti di atas. Untuk pembuatan kurva standar Na-fitat, kon- sentrasi larutan Na-fitat yang digunakan adalah 0,025 mM, 0,05 mM, 0,075 mM, 0,1 mM, 0,125 mM, 0,15 mM, 0,175mM dan 0,2 mM. Kadar asam fitat dalam sampel dinyatakan dalam mg/g bahan kering.

Pada penyiapan tempe, perebusan dilakukan selama 30 menit pada suhu 100°C setelah tnelalui tahap perendaman, se- hingga dengan cara tersebut diharapkan semua zat anti gizi yang bersifat tidak tahan panas sudah mengalami kerusakan. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama perendaman, perebusan dan pengukusan terhadap kadar asam fitat pada proses pembuatan tempe kedelai. BAHAN DAN CARA

1) Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kedelai jenis Wilis yang diperoleh dari Pasar Kranggan Yogyakarta dan ragi Rhizopus oligosporous L 41 yang diperoleh dari Laborato- rium Teknik Kimia ITB di Bandung.

2) Cara Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan rancangan CRC (Complete Randomized Design) dengan tiga perlakuan perendaman yaitu perendaman 12 jam (P12), perendaman 18 jam (P18) dan pe- rendaman 24 jam (P24). Pembuatan tempe dalam penelitian ini dimulai dengan pencucian 250 g kedelai, kemudian kedelai yang telah selesai dimasukkan dalam panci aluminium dan direndam dalam 750 ml air bersih. Lama waktu perendaman yaitu l2jam, 18 jam dan 24 jam, untuk tiap perlakuan perendaman kedelai yang digunakan sebanyak 250g. Setelah perendaman, kedelai dicuci dan direbus selama 30 menit. Kulit bijinya dihilangkan, keping biji bebas kulit tersebut kemudian direndam lagi, waktunya sama dengan waktu perendaman pertama dan airnya dibuang. Sesudah itu di- kukus selama 60 menit, ditiriskan dan didinginkan. Proses se-

lanjutnya adalah fermentasi dengan menggunakan ragi Rhizopus oligosporous L 41. Penyiapan contoh bahan dilakukan dengan cara berikut. Tempe dan bahan dari tiap tahap pembuatan tempe diletakkan pada aluminium foil untuk dikeringkan dengan oven pada suhu 70°C selama 6 jam. Setelah itu bahan dihaluskan dengan mortir porselin hingga melewati ayakan 40 mesh. Semua bahan yang telah halus disimpan dalam botol kering, ditutup rapat untuk selanjutnya dilakukan analisis.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1) Kurva standar Na-fitat

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 54

Page 56: Cdk 107 Dengue

Hasil pembuatan kurva baku memberikan persamaan garis regresi (kurva standar): y = 0,715 – 1,839 x; y adalah absorbansi dan x adalah kadar asam fitat (mg/g) bahan kering.

2) Pengaruh Perendaman Terhadap Kadar Asam Fitat Rerata kadar asam fitat dan tiap tahap pembuatan tempe disajikan pada Tabel 1. Dari tabel 1 dapat dilihat pada tahap perendaman pertama terjadi penurunan kadar asam fitat untuk perlakuan perendaman 18 jam dan perlakuan 24 jam jika di- bandingkan dengan kontrol. Sedang untuk perlakuan peren- daman 12 jam tidak berbeda nyata dengan kontrol. Dari analisis statistik ternyata antara ketiga perlakuan ada beda nyata, hal ini membuktikan bahwa lama waktu perendaman mempengaruhi kadar asam fitat. Makin lama waktu perendaman, makin besar penurunan kadar asam fitat (Gambar 2). Hal ini disebabkan makin lama waktu perendaman, makin besar pula waktu yang tersedia bagi kegiatan enzim fitase untuk menghidrolisis asam fitat, sehingga kadar asam fitatnya menjadi berkurang. Penurun-an asam fitat selama perendaman selain disebabkan oleh aktivi- tas fitase (endogen) juga karena sebagian besar asam fitat la- rut dalam air rendaman. Larutnya sebagian asam fitat kacang- kacangan ke dalam air telah terbukti karena air rendaman (air leding) yang semula tidak mengandung asam fitat, setelah pe- rendaman selesai mengandung asam fitat(1,4). Tabel 1. Kadar asam fitat (%) pada tahap-tahap pembuatan tempe sebe- lum fermentasi

Asam fitat (%) setelah Perendaman (Jam) Perendaman I Perebusan Perendaman II Pengukusan

12.00 2,187a 1,903b 1,360b 1,113b

18.00 1,987b 1,707'c 1,480c 1,300c

24.00 1,610c 1,487d 1,273d 1,047d

Keterangan: n = 3 Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom tidak berbeda nyata. Kontrol, kadar asam fitat: 2,207%. Pada perlakuan perendaman 12 jam ternyata kadar asam fitat masih tinggi (2,187%) dan ini tidak berbeda nyata dengan kon- trol. Hal ini mungkin disebabkan asam fitat yang ada dalam biji kedelai akan berikatan dengan mineral yang ada dalam biji ter- sebut, sehingga kadar asam fitat kedelai sedikit berubah atau masih tinggi. Seperti yang dilaporkan oleh Isherwood (1955) da-lam Setyono (1987) asam fitat yang ada di dalam biji kedelai sebelum mengalami difusi ke dalam air rendaman ada sebagian yang berikatan dengan kalsium dan magnesium yang terdapat dalam lamela tengah membentuk senyawa fitin yang tidak larut. Pada tahap perendaman ini selain dapat menurunkan kadar asam fitat juga ada dampak positif terhadap sifat fisik biji yaitu biji menjadi lebih lunak dan lebih besar karena banyak menyerap air. Hal ini akan memperingan tahap pengolahan selanjutnya. Penurunan kadar asam fitat selama perendaman juga di- sebabkan adanya bakteri kontaminan yang berasal dari kedelai, air rendaman maupun dari lingkungan sekitarnya dan berkem- bang selamaperendaman. Samson dkk(1987), melaporkan ada-

Gambar 2. Kadar asam fitat pada berbagai lama perendaman, pengukusan dan perebusan. nyaLactobacillus casei,Streptococcus Jaecium,Klebsiella pneu-moniae, Enterobacter cloaceae, Bacillus brevis dan Bacillus pumilus. Dilaporkan bahwa bakteri jenis Bacillus sp mempunyai aktivitas enzim fitase. Dengan demikian turunnya kadar asam fitat selama perendaman mungkin juga disebabkan adanya aktivi-tas bakteri yang tumbuh selama perendaman.

3) Pengaruh Lama Perebusan terhadap Kadar Asam Fitat Pada tahap perebusan terjadi penurunan kadar asam fitat (Tabel 1). Kadar asam fitat dan tahap perendaman pertama sampai tahap perebusan untuk perlakuan perendaman 12 jam (P12) turun sebesar 13,2% (dari 2,187% menjadi 1,903%), perlakuan 18 jam (P18) asam fitat turun sebesar 14,1% dan untuk perlakuan perendaman 24 jam (P24) asam fitat turun sebesar 7,5% (dari 1,610% menjadi 1,487%). Selama proses perebusan, enzim fitase pada kedelai yang mempunyai aktivitas optimum antara pH 5,0–5,2 pada suhu 50°C–52°C, kemungkinan mengalami inaktivasi sehingga penurunan kadar asam fitat yang terjadi pada proses perebusan kemungkinan adalah karena terlarutnya asam fitat dalam air rebusan. Seperti diketahui asam fitat murni merupakan senyawa yang mudah larut dalam air, sedangkan jumlah asam fitat murni dalam biji kedelai yang dapat larut dalam air sebesar 97% (O’Dell l972)(1). Turunnya kadar asam fitat dan tahap perendaman ke tahap perebusan sesuai dengan laporan Beal dan Mehta (1985)(4). bahwa perendaman yang diikuti dengan pemasakan kadar asam fitat berkurang 13%.

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 55

Page 57: Cdk 107 Dengue

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 56

Setelah tahap perebusan, kulit biji kedelai dihilangkan. Ke- ping biji bebas kulit kemudian direndam Iagi (Perendaman II). Asam fitat juga mengalami penurunan dan tahap perebusan ke tahap perendaman II (Tabel 1). Turunnya kadar asam fitat ini mungkin terjadi ketika proses penghilangan kulit biji kedelai, karena asam fitat sebarannya dalam biji kedelai banyak terdapat pada kulit biji. Erdman (1979)(1), menyatakan bahwa besarnya kadar asam fitat dan sebarannya di dalam biji tergantung pada jenis biji-bijian ter- sebut. Misalnya biji padi, sebaran asam fitat sebagian besar ter- dapat dalam lapisan aleuron dan perikarp, sedikit sekali yang terdapat pada lembaga dan endosperm. Berbeda dengan jenis serealia lain, di dalam biji jagung hampir 99% asam fitat yang dikandungnya terdapat di dalam lembaga. Di dalam biji-bijian yang berminyak asam fitat terdapat di dalam aleuron.

Perlu dilakukan penelitian Iebih lanjut tentang pengaruh lama perendaman, perebusan dan pengukusan pada proses pem-buatan tempe terhadap kehilangan zatgizinya.

Selain karena pengulitan, penurunan kadar asam fitat pada perendaman II, juga karena larutnya asam fitat ke dalam air rendaman seperti yang telah diuraikan pada tahap perebusan diikuti dengan perendaman II pada perlakuan P12 sebesar 28,4% (dari 1,903% menjadi 1,360%), sedang perlakuan P18 kadar asam titat turun sebesar 13,5% dan pada perlakuan P24 kadar asam fitat turun sebesar 14,8% dari (1,487% merijadi 1,273%).

4) Pengaruh lama pengukusan terhadap kadar asam fitat Pada tahap pengukusan juga terjadi penurunan kadar asam fitat baik pada perlakuan P12, P18 maupun P24 (Tabel 1). Penurunan kadar asam fitat dan tahap perendaman II ke tahap pengukusan pada perlakuan P12 sebesar 18,4% (dari 1,360% menjadi 1,113%), pada perlakuan P18 kadar asam fitat turun sebesar 12,2% dan (1,480% menjadi 1,300%) dan untuk per- lakuan P24 kadar asam fital turun sebesar 17,3% (dari 1,273% menjadi 1,047%). KESIMPULAN a) Lama waktu perendaman berpengaruh terhadap kadar asam fitat. Dari kedelai mentah sampai tahap perendaman I, kadar asam fitat turun dari 2,207% menjadi 2,187% untuk perlakuan P12, untuk P18 turun dari 2,207% menjadi 1,987% dan untuk P24 turun dari 2,207% menjadi 1,610%. b) Lama waktu perebusan berpengaruh terhadap kadar asam fitat. Dari tahap perendaman I sampai tahap perebusan kadar

asam fitat turun dari 2,187% 1,903% untuk perlakuan P12. Untuk P18 turun dari 1,987% menjadi 1,707% dan untuk P24 turun dari 1,610% menjadi 1,487%. c) Lama waktu pengukusan berpengaruh terhadap kandungan asam fitat. Penurunan kadar asam fitat dan tahap perendaman II ke tahap pengukusan pada perlakuan P12 turun dari 1,360% menjadi 1,113%. Untuk P18 turun dari 1,480% menjadi 1,300% dan untuk P24 turun dari 1,273% menjadi 1,047%. SARAN

KEPUSTAKAAN

1. Setyono A. Perilaku Asam Fitat Dalam Kedetai Pada Waktu Diolah,

Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1987. 2. Tranggono, Sudarmanto. Kimia: Nutrisi Pangan, Cetakan I, PAU Pangan

dan Gizi Universitas Gad jah Mada. Yogyakarta, 1990. - 3. Suhardi, Supranto, Astuti. Pengaruh Penempean Biji Kecipirlerhadap Zat

Anti Gizi Asam Fitat, PAU Pangan dan Gui Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1988.

4. Moeljopawiro S. Bioavalibility ofZinc in Fermented Soybeans, J. Food Sci. 1988; 53: 460–63.

5. Muchtadi D. Aspek Biokimiadan Gizi dalam Keamanan Pangan, Departe- men Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi, IPB, 1989.

6. Sutardi, Buckle KS. Reduction in Phytic Acid Levels in Soybean during Tempeh Production Storage and Frying, J. Food Sci. 1985; 50.

7. Astuti M. Interaksi Zat Besi dengan Asam Fitat dan Protein dalam Tempe. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1989.

8. Kasmidjo RB. Tempe, Kumpulan Hand Out, Kursus Singkat Fermentasi Pangan, PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1989.

9. Kuswanto KR. Fermentasi, PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1988.

10. Mulyowidarso RK. The Microbiology and Biochemistry of Soybean Soak- ing for Tempe Fermentation. Thesis. The University of New South Wales, Department of Food Science and Technology, Australia, 1988.

11. Rahayu K. Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

12. Sitoresmi Triwibowo. Pengaruh Lama Perendaman dan Fermentasi Ter- hadap Kandungan Asam Fitat Pada Pembuatan Tempe Kedelai. Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1992.

13. Sorenson WG, Hesseltine CW. Carbon and Nitrogen Utilization by Rhizopus oligosporus, Mycologia, 1966; 58: 681.

Don't spur a willing horse

Page 58: Cdk 107 Dengue

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Nyeri Kepala Klaster

Budi Riyanto W. Dokter Spesialis Saraf Bogor, Indonesia

3. Nasal congestion

Jenis nyeri kepala ini pertama-tama dideskripsikan oleh Romberg (1840) dan Eulenberg (1874) secara sendiri-sendiri; disebut sebagai migrainous neuralgia oleh Harris (1936) dan rnulai dikenal sebagai sindrom tersendiri oleh Horton dkk. (1939). Sifat periodiknya dikenali oleh Ekbom (1947) dan sifat clustering (serangan dalam kelompok/periode tertentu) dideskrip-sikan oleh Kunkle dkk. (1954) – sejak saat itu nyeri kepala ini dikenal sebagai nyeri kepala kiaster (cluster headache). Istilah nyeri kepala kiaster ini telah dikenal dan dideskrip- sikan sejak tahun 1962 dan terakhir disempurnakan dalam klasi-fikasi menurut International Headache Society (1988). (Tabe 1). Tabel. Diagnostic Criteria Cluster headache and chronic paroxysmal hemicrania 3.1. Cluster headache A. At least 5 attacks fulfilling B-D. B. Severe unilateral orbital. supraorbital and/or temporal pain lasting 15 to 180

minutes untreated. C. Headache is associated with at least one of the following signs which have to

be present on the pain-side: 1. Conjunctival injection 2. Lacrimation

4. Rhinorrhea 5. Forehead and facial sweating 6. Miosis 7. Ptosis 8. Eyelid edema D. Frequency of attacks: from 1 every other day to 8 per day. 3.1.1 Cluster headache periodicily undetermined A. Criteria for 3.1 fulfilled B. Tooearlytocla.ssify as 3 3.1.2 Episodic cluster headache A. All the letter headings of 3.1. B. At least 2 periods of headaches (cluster periods) lasting (untreated patients)

from 7 days to one year, separated by remissions of at least 14 days. 3.1.3 Chronic cluster headache A. All letter headings of 3.1.

B. Absence of remission phases for one year or more or with remissions lasting less than 14 days.

3.2. Chronic paroxysmal hemicrania A. At least 50 attacks fulfilling B-E. B. Attacks of severe unilateral orbital, supraorbital and/or temporal pain

always on the same side lasting 2 to 45 minutes. C. Attack frequency above 5 a day for more than half of the time. D. Pain is associated with at least one of the following signs/symptoms on the

pain side: 1. Conjunctival injection 2. Lacrimation 3. Nasal congestion 4. Rhinorrhea 5. Ptosis 6. Eyelid edema E. Absolute effectiveness of indomethacin (150 mg/day or less). 3.3. Cluster headache-like disorder not fulfilling above criteria DEFINISI Nyeri kepala tipe kiaster adalah jenis nyeri kepala yang berat, unilateral yang timbul dalam serangan-serangan men- dadak, sering disertai dengan rasa hidung tersumbat, rinore, Iakrimasi dan injeksi konjungtiva di sisi nyeri. Dalam klinik dikenal dua tipe – yaitu tipe episodik – orang yang menderita tipe ini mengalami masa serangan nyeri selama waktu tertentu (periode klaster), kemudian diseling dengan masa bebas nyeri (remisi) yang lamanya bervariasi; sedangkan tipe khronik ialah bila serangan-serangan nyeri tersebut masih tetap timbul selama sedikitnya 12 bulan. PREVALENSI Secara pasti tidak diketahui; dan catatan beberapa klinik nyeri kepala, diperkirakan sebesar 0,04% sampai 1,5%. Dide- rita terutama oleh pria; perbandingan antara pria: wanita antara 4,5: 1 sampai 6,7: 1. Mulai diderita umumnya pada usia 27–30 tahun, meskipun

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 57

Page 59: Cdk 107 Dengue

ada beberapa laporan yang menemukan kasus nyeri kepala tipe kiaster pada anak usia 1 tahun sampai pada dewasa usia sekitar 60 tahun. Dibandingkan dengan migren, prevalensinya berkisar an- tara 1: 5,6 sampai 1:47,1. Pada nyeri tipe episodik, 70% pasien menderita serangan 1–2 kali setahun; dan pada penelitian lain diketahui bahwa lamaperiode nyeri antara 2–4 bulan (rata-rata 3 bulan) pada 84% pasien. Lamanya remisi rata-rata kurang dari 2 tahun; dan catat-an 428 pasien nyeri kepala tipe klaster, 19,2% masa remisinya 1–6 bulan, 47,7% antara 7–12 bulan, 14,3% selama 2 tahun dan sisanya mengalami remisi lebih dari 2 tahun. GEJALA KLINIK Nyeri umumnya didahului oleh rasa penuh di telinga yang kadang-kadang meluas ke seluruh kepala, disusul beberapa me- nit kemudian dengan serangan-serangan mendadak berupa rasa seperti tertusuk, biasanya unilateral di daerah okulofrontal atau okulotemporal; serangan tersebut sangat hebat (excruciating) dan menetap, tidak berdenyut, hilang timbul secara tiba-tiba, dapat berpindah-pindah tempat. Serangan-serangan nyeri terse- but membuat penderitanya gelisah, mondar-mandir dan kadang-kadang memukuli kepalanya sendiri; beberapa penderita bahkan merasa ingin bunuh diri untuk mengakhiri nyeninya. Perilaku yang demikian jelas berbeda dengan penderita migren yang justru menghindani aktivitaslkeramaian. Nyeri disertai dengan rinore, laknimasi dan pelebaran pem- buluh darah konjungtiva; kadang-kadang disertai rasa bengkak di wajah dan sekitar mata di sisi nyeri, dapat disertai sindrom Homer di sisi sama. Selama serangan wajah menjadi pucat, sebaliknya konjungtiva tampak kemerahan dan berair. Nyeri dapat dirasakan di 'belakang mata', seolah-olah mendorong mata ke luar. Umumnya dimulai saat bangun tidur siang atau di malam hari, biasanya dalam 90 menit setelah tertidur. Serangan nycri dapat dicetuskàn oleh nitrogliserin, histamin atau alkohol.

Sifat periodisitas Sifat peniodisitas ini khas pada nyeri kepala klaster; terdapat periode tertentu (periode kiaster) saat penderitanya mengalami serangan-serangan nyeri dan rentan terhadap pencetus tertentu; kemudian disusul dengan periode remisi saat penderitanya bebas nyeri sama sekali meskipun terpapar pada hal-hal yang biasanya mencetuskan nyeri di saat periode klaster. Periode klaster umumnya berkisar antara 2–4 bulan, kemu- dian disusul dengan masa remisi yang Iamanya antara 1–2 tahun pada 70% pasien. Periode kiaster cenderung berulang pada selang waktu yang teratur. DIAGNOSIS DIFERENSIAL Bila serangan nyeri kepalanya khas, umumnya diagnosis hampir dapat dipastikan. Beberapa keadaan yang mungkin mi- rip gainbaran klinisnya ialah chronic paroxysmal hemicrania, migren, neuralgia trigeminal, arteritis temporalis, faeokhromo- sitoma dan sindrom Raeder.

Chronic paroxysmal hemicrania Pertama dilaporkan oleh Sjaastad dan Dale (1974). Berbeda dari nyeri kepala tipe kiaster dalam hal serangan nyeri yang lebih sering, tetapi lebih singkat dan kurang menye- babkan kegelisahan. Jenis nyeri kepala ini tidak dapat diatasi dengan obat-obat- an yang biasanya efektif untuk nyeri kepala kiaster, sebaliknya responsif terhadap indometasin.

Migren Serangan migren umumnya 1–3 kali sebulan, berlangsung selama 1–3 hari dan rasa nyeni memberat secara berangsur- angsur; : terutama di satu sisi kepala di daerah temporal. Nyeri bersifat berdenyut disertai mual, muntah, fotofobi dan fonofobi. Serangan migren yang khas didahului oleh aura.

Neuralgia trigeminal Penyakit ini dijumpai baik pada pria maupun wanita, umum-nya pada usia yang lebih lanjut. Nyeri bersifat tajam, seperti teriris.dan mendadak; dirasakan berat. Dapat dicetuskan oleh sentuhan, bahkan kadang-kadang oleh tiupan angin, di daerah wajah tertentu; umumnya di dekat lipatan nasolabial. Kadang-kadangjugadicetuskan oleh gerakan mengunyah.

Arteritis temporalis Umumnya dijumpai pada kelompok usia yang lebih lanjut; mengenai terutama anteri temporalis, arteri vertebralis dan/atau arteri oftaimika. Pada 50% kasus didahului dengan rasa kaku leher dan bahu, atau di daerah panggul (polimialgia reumatika). Nyeri kepala pada kasus ini bersifat persisten, berfluktuasi sepanjang hari, unilateral dan berkaitan dengan daerah arteri temporalis superfisialis. Pada awalnya terasa berdenyut, rasa ter-bakar yang hebat, kemudian berangsur-angsur rasa berdenyutnya mereda. Diagnosis pasti ditetapkan melalui biopsi arteri temporalis.

Faeokromositoma Pada penyakit ini terjadi pelepasan katekolaniin berlebihan yang menyebabkan episode hipertensi yang mendadak, disertai nyeni kepala, pucat, takikardi dan keringat berlebihan; nyeri bersifat mendadak, berat dan panoksismal, sering menyebabkan pasien terbangun dari tidurnya. Nyeri dirasakan berdenyut, bilateral dan di oksipital; diper- berat bila batuk, bersin, mengejan atau membungkuk. Serangan-serangan nyeri dapat dirasakan setiap hari, umumnya singkat, kurang dari satu jam.

Sindrom paratrigeminal Raeder Nyeri pada sindrom ini bersifat menetap (persisten), dapat berlangsung sampai beberapa bulan. Pada minggu-niinggu awal, pasien sering terbangun dari tidur akibat nyeri unilateral yang bersifat membakan(burning), berdenyut atau menetap yang sangat berat; berangsur-angsur nyeri makin berat dan menetap – terasa terus sampai beberapa saat lamanya. Sering disertai dengan ptosis dan miosis di sisi nyeri, sehingga sering dianggap sebagai nyeri kepala tipe klaster; perbedaannya ialah pada sindrom ini nyeri bersifat menetap, di-

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 58

Page 60: Cdk 107 Dengue

bandingkan dengan nyeri kepala tipe kiaster yang sifatnya pa- roksismal. PATOGENESIS

Perubahan vaskuler dan hemodinamik Horton – salah satu ahli yang banyak meneliti penyakit ini– beranggapan bahwa gejala klinis disebabkan oleh dilatasi arteri karotis eksterna yang dicetuskan oleh kenaikan kadar histamin dalam darah. Dia mengamati adanya kemerahan wajah bersa- maan dengan kenaikan suhu kulit 1–2°C; meskipun demikian, peneliti lain menganggap bahwa kemerahan wajah bukanlah gejala yang karakteristik untuk nyeri kepala kiaster. Perubahan-perubahan pada arteri karotis interna juga dite- liti, tetapi temyata tidak dijumpai perubahan aliran darah pada saat serangan. Penelitian menggunakan angiografi karotis dan Doppler juga tidak menghasilkan kesimpulan yang bermakna. Pengukuran aliran darah serebral (cerebral blood flow – CBF) menunjukkan adanya peningkatan selama serangan, mungkin disebabkan gangguan autoregulasi, hiperemi reaktif atau akibat reaksi terhadap nyeri; ada juga yang mengaitkannya dengan reaksi terhadap perubahan kadar gas darah.

Gangguan aktivitas saraf simpatis Beberapa peneliti mengaitkan perubahan vaskuier dengan aktifitas susunan saraf otonom; Fanciullaci dkk (1982) mende- monstrasikan gangguan sistim simpatis yang terbukti dari per- bedaan respons pupil terhadap penetesan larutan tiramin 2%; peneliti lain juga mendapatkan perubahan EKG yang juga di- kaitkan dengan perubahan aktifitas sistim sataf simpatis. Akti- fitas tersebut juga dapat diduga dari berkeringatnya sebagian wajah selama serangan.

Perubahan biokimiawi dan hormonal Dugaan Horton atas peranan histamin diperkuat oleh Sjaastad (1970) yang mendapatkan peningkatan kadar histamin dalam urine selama serangan nyeri; peningkatan kadarhistamin ini juga telah dibuktikan oleh beberapa peneliti lain. Pengukuran kadar histamin darahjuga menunjukkan adanya perbedaan antara pada saat remisi dengan pada saat nyeri; kenaikan kadarnya dapat mencapai 20,5%. Meskipun demikian, pemberian antagonis H2 ataupun H1 tidak mengurangi serangan nyeri. Kadar testosteron dan LH plasma juga dilaporkan menurun selama periode klaster; tetapi penurunan serupa juga terjadi di kalangan penderita neuralgia trigeminal dan di kalangan pen-derita migren dengan aura; oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa perubahan tersebut lebih berkaitan dengan rasa nyeri, bukan pada sindrom tertentu. Teori lain mengaitkan perubahan kadar testosteron dengan irama sirkadian; ada yang berpendapat bahwa siklus nyeri pada nyeri kepala kiaster berkaitan dengan gangguan irama sirkadian dan zat-zat neurohormonal.

Perubahan sistim saraf Kunkle (1959) menganggap bahwa serangan-serangan nyeri kepala klaster disebabkan oleh gangguan parasimpatis n. fasialis dan n. glosofaringeus, yang ditandai dengan ditemukannya zat mirip asetilkolin di cairan serebrospinal; peneliti lain meng-

anggap adanya peranan n. petrosus superfisialis magnus karena reseksi saraf ini menyembuhkan 25% pasiennya dan 50% lain- nya mengalami pengurangan serangan. Peranan n. trigeminus juga diteliti; Moskowitz (1984) menganggap ada reaksi infla- masi n. trigeminus, mungkin di daerah sinus kavernosus. Dari hasil-hasil pengamatan di atas, muncul pendapat bahwa asetilkolin yang berasal dari sistim parasimpatis merangsang pelepasan histamin dan sel mast, menyebabkan respons anti- dromik n. trigeminus dengan pelepasan substance P yang me- nyebabkan degranulasi sel mast lebih lanjut, dengan akibat timbulnya reaksi inflamasi dan nyeri. PENATALAKSANAAN

Penjelasan kepada pasien Pada kebanyakan pasien, ditemukan anxietas dan rasa kuatir akan timbulnya periode nyeri berikut, anxietas juga sering ditemukan pada periode klaster yang berkepanjangan. Perlu dipahami bahwa kebanyakan serangan nyeri dapat di-hindari atau diperpendek/diperingan, meskipun lamanya periode nyeri sampai saat ini belum dapat dipersingkat atau dihilangkan. Para pasien dianjurkan untuk menghindari tidur siang, minuman alkohol, zat mudah menguap, terutama pada periode klaster; sedangkan pengaruh diet sangat kecil. Gangguan emosional seperti rasa marah, frustrasi ataupun aktifitas fisik yang berat dapat mencetuskan serangan atau memulai periode nyeri. Pengaruh ketinggian juga disebut-sebut dapat mencetuskan serangan, sehingga harus diwaspadai bila berada di ketinggian/ pegunungan atau naik pesawat terbang; ada yang menganjurkan penggunaan asetazolamid 2 dd 250 mg. dimulai 2 hari sebelum nya untuk mencegah serangan tersebut. Perubahan siklus tidur juga dapat mencetuskan serangan, misalnya akibat perubahan shift kerja, atau perubahan cara hidup.

Pengobatan pencegahan Serangan saat tidur dapat dicegah dengan 2 mg. ergotamin tartrat 1–2 jam sebelum tidur; penggunaan ergotamin ini harus hati-hati padapasien-pasien dengan gangguan vaskuler,jantung, serebral, atau pada kehamilan, adanya penyakit ginjal atau hati, infeksi dan masa pasca bedah. Serangan di saat lain dapat diatasi dengan metisergid 3–4 dd 40 mg., verapamil 4 dd 80 mg., lithium 2 dd 300 mg. atau prednison 40 mg./hari selama 3 minggu. Metisergid terutama efektif bila digunakan sejak awal, efektivitasnya kira-kira 65%; obatini mempunyai efek samping gastrointestinal, parestesi dan nyeri ekstremitas bawah dan kemungkinan fibrosis retroperi- toneal, endomiokardial atau pulmonal yang berbahaya; obat ini tidak tersedia di Indonesia. Verapamil cukup efektif untuk ke- banyakan pasien, digunakan selama periode nyeri. Penggunaan lithium hams disertai dengan pengamatan efek samping seperti tremor karena obat ini mempunyai rentang dosis terapeutik yang relatif sempit. Kombinasi empat obat di atas dapat mengatasi kira-kira 90% kasus episodik; dalam hal resistensi, dapat dicoba penambahan prednison 40 mg./hari selama 5 hari, kemudian di- turunkan dosisnya selama 3 minggu (tapering off); penggunaan prednison harus hati-hati pada pasien dengan ulkus peptikum, hipertensi atau diabetes melitus.

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 59

Page 61: Cdk 107 Dengue

rangannya makin ringan dan pada 1/3 lainnya sifat serangannya menetap.

Pasien-pasien khronik dapat resisten terhadap pengobatan, mungkin berkaitan dengan sifatlkepribadian tertentu; ada pe- neliti yang mencoba Na valproat 600–2000 mgihari sebagai profilaktik.

Serangan-serangan nyeri dapat diperingan atau dihindari dengan meniperhatikan faktor-faktor pencetus. Pengobatan eksperimental berupa gangliolisis trigeminal,

atau penggunaan cahaya terang untuk mengubah siklus sirka- dian.

RINGKASAN Dibandingkan dengan migren dan nyeri kepala tipe tegang, nyeri kepala kiaster relatifjarang ditemukan dalam klinik.

Pengobatan saat serangan Nyeri kepala jenis ini memiliki sifat periodik yang khas, yang perlu dibedakan dari penyakit-penyakit lain seperti migren, neuralgia trigeminal, arteritis temporalis, faeokhromositoma atau sindrom Raeder.

Serangan klaster akut dapat diatasi dengan inhalasi oksigen; untuk memperoleh manfaat maksimum, oksigen diberikan se- gera di awal serangan sebanyak 7 llmenit menggunakan facial mask; pasien duduk, dianjurkan bemapas biasa selama 15 menit. Penatalaksanaan meliputi pencegahan faktor-faktor pen-

cetus terutatna pada periode nyeri, pengobatan pencegahan dan pengobatan saat serangan.

Alternatif lain ialah menggunakan 1 tablet (1 mg.) ergota- mm sublingual, dapat diulang sampai dua kali setelah 15 menit; dosis maksimum 2 mg./24 jam. Ergotaniin juga dapat diberikan secara intramuskuler dalani bentuk dihidroergotamin 1 mg. atau ergotamin tartrat 0,5 mg.; atau secara inhalasi sebanyak 2 kali dengan interval 5 menit. Dosis maksimum 4 mg./24 jam.

KEPUSTAKAAN

1. Diamond S, Dalessio DJ. Cluster headache. Dalam: Diamond S, Dalessio DJ.

The Practicing Physicians Approach to Headache. 4th ed. 1986. hal. 66-75. Obat simtomatik lain ialah kokain HCI 5% atau lidokain HCI 4% intranasal. 2. International Headache Society. Classification and diagnostic criteria for

headache disorders, cranial neuralgias and facial pain. Cephalalgia 1988; 8 supp. 7: 1–96.

PROGNOSIS 3. Kudrow L. Clusterheadache: diagnosis, management and treatment. Dalam: Dalessio DJ, Silberstein SD. Wolff’s Headache and other head pain. 6th ed. Oxford University Press, 1993. hal. 17 1–97.

Suatu studi longitudinal menunjukkan bahwa setelah 20 tahun, 1/3 pasien akan mengalami remisi total, 1/3 pasien se-

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 60

Page 62: Cdk 107 Dengue

Pengalaman Praktek

English Su (Sambungan dari halaman 4)

G

ni Retna Mintarsih*, Ludfi San so**, Hadi Suwasono***

Alumnae, Faculty of Community Medicine, Diponegoro University, Se-

nesia *** Vector Control Research Station, Department of Health,Salatiga, Indo- nesia

TEMPERATURE AND HUMIDITY IN-FLUENCE ON FEMALE AE. AEGYPTI LIFESPAN IN SALATIGA AND IN SEMARAN Eto* marang, Indonesia ** Faculty of Community Medicine, Di- ponegoro University, Semarang Indo-

O

ot S p K b (

BAT PILEK CAP KUDA SEMBRANI Seorang Bapak datang ke apotik mencari obat pilek. Oleh petugas Apotik ditawarkan

bat-obat OTC seperti Procold, Mixagrip, Decolgen dan lain sebagainya, namun di-olaknya. Si pasien akhirnya bertanya ke petugas apotik “Apakah ada obatpilek Cap Kudaembrani ?“. Petugas apotik bingung, tidak ada pak, mungkin dijual di Toko Obat. Siasien ngotot karena dia pernah dapat obat dan apotik lain, namun nama obatnya lupa.ebetulan apoteker apotik ada di tempat dan mendengar pembicaraan pasien denganawahannya. Akhirnya si Apoteker ingat mungkin yang dimaksud adalah Actifed tablet

bol Kuda Sembrani dan Burrough Wellcome).

SuharjonoFakultas Farmasi, Unair, Surabaya

kemasannya ada sim

mmary

mosquitoes, kept inside and out-side a building were studied in Semarang and Salatiga. During the study, the temperature and the humidity in Semarang (200 m above sea level) were 29,41°C and 75.07% respectively and in Salafiga (600 m abovesealevel) 23.56°C and 85.37%. The results of the study showed that mosqui-

es cultured in Semarang had l

gonotose cultured in Salafiga. It was

concluded that in Semarang the Ae. aegypti is more potential as a vector and therefore water re-servoirs and other breeding places should be cleaned more frequently.

Cermin Dunia Kedokt. 1996; 107: 20-2 Ssz

The temperature and humidity are, among others, factors which affect the life span of mosqui-toes. Caged female Ae. aegypti

toa onger lifespan and a shorter

rophic cycle, compared to th

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 61

Page 63: Cdk 107 Dengue

ABSTRAK TERAPI ALS

ALS (amyotrophic lateral sclerosis) merupakan penyakit motorneuron yang mengenai kira-kira 2,5 per 100.000 penduduk; ditandai dengan kehancuran jaringan otot dan degenerasi .sumsum tulang berupa gliosis dan hilangnya se- rabut saraf terutama di sisi lateral. Prog-nosisnya buruk, kematian umumnya dalam 5 tahun setelah diagnosis akibat kegagalan pernapasan.

Rhone-Poulenc-Rorertelah mengem- bangkan riluzole – suatu antagonis glu- tamat yang mempengaruhi pelepasan neurotransmiter eksitatorik postsinap – sebagai obat neuroprotektif untuk di- gunakan pada pasien-pasien ALS.

Percobaan atas 950 pasien selama 2 tahun dengan dosis 50, 100 atau 200mg/ hari menunjukkan bahwa obat ini me- nurunkan mortalitas, meskipun tidak memperlambat proses penurunan fungsi otot. Obat ini masih dalam fase perco- baan klinis.

lnpharma 1995; 989: 9 Brw

ASAM LEMAK TAK JENUH

Pronova – perusahaan farmasi Nor- wegia – telah memasarkan Omacor® untuk mengobati hipertrigliseridemi; obat tersebut berisi campuran asam lemak tak jenuh yang terdiri dari 49% asam eikosapentanoat dan 35% asam dokosaheksanoat, ditambah dengan 4 IU d-alfa tokoferol sebagai anti oksidan.

Scrip 1995; 2022: 15 Hk

OBAT TERLARIS 1994

Zantac® (ranitidin) kembali men- duduki tempat teratas dalam nilai pen- jualan selama tahun 1994 seb lebih dari 4 miliar dollar dengan pangsa pasar 1,57%.

Tempat ke dua dengan penjualan se- besar lebih dari 2 miliar dollar (0,80%) ditempati oleh Renitec® (enalapril -

Merck), disusul dengan Prozac® (fluoxetine - Merck) dengan nilai 1,578 juta dollar (0,62%).

Pendatang baru dalam daftar 25 pro- duk utama ialah Zoloft (sertraline - Pfizer) yang menempati urutan ke 25 dengan nilai penjualan sebesar 714 juta dollar (0,28%).

Scrip 1995; 2040: 23 Hk

lnpharma 1995; 989: 20

Brw

Lancet 1995; 346: 1065–69 Hk

FAMOTIDIN DALAM BISKUIT Merck telah membuat sediaan famo-

tidin dalam bentuk biskuit wafer yang dapat dimakan tanpa air; sediaan ini mempunyai tmax dalam 2 jam, diban- dingkan dengan sediaan oral (tablet) yang tmax nya 2,1 jam.

Selain itu percobaan pada 192 suka- relawan tidak menunjukkan perbedaan kejadian efek samping bila dibanding- kan dengan penggunaan tablet.

Brw

TIAMIN UNTUK PENYAKIT JANTUNG

Vitamin B 1 (tiamin) dapat memper- baiki fungsi ventrikel kiri pada pasien payah jantung khronik sedang sampai berat yang menggunakan furosemid jangka panjang. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa penggunaan furo- semid ≥ 80 mg/hari dalam jangka pan- jang menyebabkan defisiensi tiamin, dan pemberian tiamin 200 mg/hari dapat memperbaiki fungsi jantung.

lnpharma 1995; 991: 19

GANJA UNTUK TERAPI Cannabis (ganja) sebenarnya dapat

berguna pada beberapa keadaan klinis karena cannabinoids – zat aktif yang terdapat di dalamnya – efektif untuk mengatasi mual dan muntah akibat pengobatan anti kanker, pada lesi me- dulla spinalis,sklerosis multipel dan pada

glaukoma. Selain itu, cannabidiol – derivat lain

yang tidak mempunyai efek psikotro- pik–efektif untuk menghilangkan nyeri trigeminus.

Inpharma 1995; 983: 5

Brw ASI MENGURANGI RISIKO ATOPI

Atopi merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai dalam bentuk alergi makanan, lesi kulit atau gangguan per- napasan. Studi atas 236 bayi – 150 di antaranyarnenyelesaikan studi ini–yang diperiksa pada usia 1, 3, 5, 10 dan 17 tahun menunjukkan bahwa air susu ibu merupakan profilaktik bagi terjadinya atopi.

Mereka terdiri dari tiga kelompok kelompok pertama mendapat air susu ibu selama lebih dari 6 bulan, kelompok ke dua mendapat air susu ibu selama 1–6 bulan dan kelompok ke tiga mendapat air susu ibu kurang dari 1 bulan.

Prevalensi eczema pada usia 1 dan 3 tahun terendah di kelompok pertama (p = 0,03) dan prevalensi alergi ma- kanan tertinggi di kelompok ke tiga (p = 0,02). Prevalensi atopi setelah usia 17 tahun ialah 42% (95%CI: 31–52%) di kelompok pertama, 36% (95%CI: 28– 44%) di kelompok ke dua dan 65% (95%CI: 56–74%) di kelompok ke tiga; sedangkan atopi yang melibatkan dua sistim atau lebih ditemukan pada 8% (95%CI: 6–l0%)di kelompokpertama, pada 23% (95%CI: 2 1–25%) di kelom-pok ke dua dan pada 54% (95%CI: 52– 56%) di kelompok ke tiga.

Hasil penelitian ini menandakan bahwa air susu ibu mempunyai nilai profilaktik terhadap kemungkinan tim- bulnya atopi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 62

Page 64: Cdk 107 Dengue

ABSTRAK FAKTOR RISIKO PERDARAHAN INTRASEREBRAL SPONTAN

Perdarahan intraserebral spontan

merupakan penyakit yang serius; meski-pun dengan perawatan yang baik, mor- talitasnya tetap tinggi.

Studi atas 156 pasien perdarahan intraserebral spontan berusia 16–60 tahun yang dibandingkan dengan 332 orang kontrol menunjukkan bahwa konsumsi alkohol merupakan faktor risiko yang perlu diperhatikan.

Setelah parameter-parameter lain seperti usia, jenis kelamin, hipertensi, kebiasaan merokok disesuaikan, kon- sumsi alkohol 24 jam terakhir mening- katkan risiko perdarahan intraserebral. Pasien yang minum 1–40 g. alkohol mempunyai relative risk sebesar 0,3 (0,2–0,7), konsumsi 41–120 g. alkohol mempunyai relative risk sebesar 4,6 (2,2–9,4) dan bila lebih dari 120 g. mempunyai relative risk sebesar 11,3 (3,0–42,8) bila dibandingkan dengan pasien yang tidak minum alkohol.

Demikian juga konsumsi alkohol dalam 1 minggu terakhir: konsumsi 1–50 g. meningkatkan risiko sebesar 2,0 (1,1–3,5), konsumsi 151–300 g. meningkatkan risiko sebesar 4,3 (1,6– 1,7) sedangkan konsumsi lebih dari 300 g. meningkatkan nisiko sebesar 6,5 kali (2,4–17,7) dibandingkan dengan pasien yang tidak minum alkohol.

Pada penelitian ini juga diketahui bahwa hipertensi mempunyai faktor risiko sebesar 6,6 (3,9–11,3).

St roke 1995; 26: 155–64 Brw

SKIZOFRENI

Sequana Therapeutics – perusahaan di AS–bekerja sama dengan University of New York at Stonybrook dan Oxford University, UK memulai penelitian untuk mengidentifikasi sebab-sebab

genetik dan skizofreni. Mereka mengumpulkan contoh da-

rah dan 200 keluarga di AS, UK dan Italia yang sedikitnya salah satu anggo- tanya mendenita skizofrenia. Contoh- contoh darah tersebut selanjutnya akan dikion dan diteliti sifat-sifat genetiknya.

Scrip 1995; 2020: 25

Brw JUMLAH PENULIS NASKAH ILMLAH

Studi mengenai publikasi ilmiah di majalah-majalah medis menunjukkan bahwajumlah penulis per karangan me- ningkat dari rata-rata 1,3 orang di tahun 1930 menjadi 4,3 orang di tahun 1975.

Di majalah Lancet, angka tersebut meningkat dari rata-rata 3,18 orang di tahun 1975 menjadi rata-rata 4,16 orang di tahun 1990, tetapi selanjutnya turun menjadi 3,99 orang di tahun 1994. Ka- rangan oleh lebih dari 10 penulis tidak ditemukan di tahun 1975, tetapi terdapat sebanyak 36 buah di tahun 1994.

Lancet 1995; 345: 1242 Hk

PRESKRIPSI OBAT ASMA Analisis preskripsi obat asma oleh

para dokter umum di Inggnis selama 4 tahun menunjukkan penurunan peng- gunaan bronkodilator oral yang diim- bangi dengan peningkatan penggunaan preparat inhalasi, khususnya agonis beta. Secara keseluruhan, penggunaan prepanat inhalasi meningkat 11% dari tahun 1991 sampai 1994, terutama di kalangan bayi dan anak yang menunjuk-kan peningkatan hampir 100% (untuk golongan usia 0–3 tahun).

Meskipun secara keseluruhan me- ningkat, bila dilihat dari jenis preparat- nya, penggunaan Na-kromoglikat in- halasi makin berkurang, diimbangi dengan peningkatan penggunaan pre- parat bronkodilator long-acting.

Scrip 1995; 2022; 4 Brw

EFEKTIVITAS VAKSINASI Penelitian akhir-akhir ini menunjuk-

kan bahwa vaksinasi DPT yang diberi- kan mulai usia 2 bulan menghasilkan respons imun yang lebih rendah dari- pada bila diberikan pada usia 15 bulan; sedangkan dua dosis yang masing- masing diberikan pada usia 9 dan 15 bu-lan juga ternyata memberikan respons imun yang lebih rendah daripada dosis tunggal pada usia 15 bulan.

Inpharma 1995; 981: 5 Brw

KOYO ANTI NAFSU MAKAN Mexico baru-baru ini telah mengizin-

kan peredaran/penggunaan fenilpropa- nolamin transdermal patch (koyo) un- tuk mengurangi nafsu makan. Tiap koyo berisi 114 mg. fenilpropanolamin dan akan melepaskan sejumlah 20mg. dalam 12 jam.

Fenilpnopanolamin pertama diguna- kan sebagai anorektik yang dijual bebas (OTC) di Amerika Senikat sejak tahun 1983 oleh Ciba-Geigy, kemudian me-nyusul oleh Eurand di Belgia pada tahun 1988 dan di Swis sejak tahun 1989.

Scrip OTC 1995; 17:6 Brw

PERMEN NIKOTIN

Setelah nicotine patch, para perokok yang ingin menghentikan kebiasaannya dapat memilih cara lain,yaitu mengguna-kan permen nikotin.

Ciba telah memperkenalkan Nico- tinell® gum dalam dua rasa – asli dan pepenmin, terutama dimaksudkan untuk digunakan oleh perokok sedang, dima- kan seperti permen karet. Dosis optimal berkisar antara 8–12 permen, maksimum 15 permen sehari.

Nicotinell® gum ini merupakan pilihan lain dan Nicorette® gum dari Pharmacia.

Scrip 1995; 2038: 23 Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 63

Page 65: Cdk 107 Dengue

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Dari penelitian di Semarang dan di Salatiga, nyamuk Aedes

aegypti betina paling lama hidup di lingkungan yang : a) Suhu udara lebih tinggi, kelembaban lebih rendah b) Suhu udara lebih tinggi, kelembaban lebih tinggi c) Suhu udara Iebih rendah, kelembaban lebih rendah d) Suhu udara lebih rendah, kelembaban Iebih tinggi e) Suhu udara dan kelembaban tidak berpengaruh 2. Penelitian di tiga lingkungan rumah sakit di Jakarta meng-

ungkapkan bahwa Ae. albopictus paling suka dengan ling- kungan yang :

a) Pertamanan luas dengan tanaman beraneka b) Pertamanan sempit dengan tanaman beraneka c) Pertamanan luas berupa padang rumput d) Pertamanan sempit berupa padang rumput e) Semua sama 3. Cendawan M. anisopliae dapat mengurangi kepadatan Ae.

aegypti dengan cara : a) Mempengaruhi pH air b) Menginvasi larva

d) Lateral dekubitus kanan c) Menginvasi nyamuk betina d) Menginvasi telur e) Menggagalkan telur menetas 4. Penelitian atas beberapa benda media hinggap nyamuk, efek

residu insektisida terbaik pada media : a) Papan b) Nilon c) Katun

d) Wol e) Tikar 5. Sedangkan efek residu insektisida yang terrendah pada

media : a) Papan b) Nilon c) Katun d) Wol e) Tikar 6. Gambaran Rö thorax yang sering menyertai DBDIDHF : a) Infiltrat b) Kaverna c) Efusi pleura d) Fibrosis e) Semua bisa 7. Posisi yang sensitifuntuk mendeteksi kelainan tersebut : a) AP tegak b) AP berbaring c) Top lordotic

e) Semua bisa 8. Tes serologik terhadap dengue, paling sensitif pada : a) Infeksi dengue primer b) Infeksi dengue sekunder c) Infeksi dengue akut d) Infeksi dengue kronis e) DSS

JAWABAN RPPIK:1. A5. B2. A6. C3. B7. D4. A8. B

Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 64