18
4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fraktur Maksilofasial Cedera atau fraktur pada daerah wajah memiliki signifikansi yang tinggi karena berbagai alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan terhadap kepala dan memiliki peran penting dalam penampilan. Daerah maksilofasial berhubungan dengan sejumlah fungsi penting seperti penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga memakan. Fungsi-fungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan berakibat kepada kualitas hidup yang buruk (Singh, 2012). Cedera maksilofasial mencakup jaringan lunak dan tulang-tulang yang membentuk struktur maksilofasial. Tulang-tulang tersebut antara lain (Japardi, 2004): 1. Os. Nasoorbitoethmoid 2. Os. Zygomatikomaksila 3. Os. Nasal 4. Os. Maksilla 5. Os. Mandibula Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang nasoorbitoethmoid, temporal, zygomatikomaksila, nasal, maksila, dan juga mandibula (Muchlis, 2011). 2.1.1 Epidemiologi Fraktur Maksilofasial Cedera meliputi 9% dari kematian di dunia dan 12% dari beban penyakit di dunia pada tahun 2000. Lebih dari 90% kematian di dunia akibat cedera terjadi di negara berkembang (Devadiga, 2007).

Chapter II Fraktur Maksilofasial

Embed Size (px)

DESCRIPTION

KLK

Citation preview

Page 1: Chapter II Fraktur Maksilofasial

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur Maksilofasial

Cedera atau fraktur pada daerah wajah memiliki signifikansi yang tinggi

karena berbagai alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan terhadap kepala dan

memiliki peran penting dalam penampilan. Daerah maksilofasial berhubungan

dengan sejumlah fungsi penting seperti penglihatan, penciuman, pernafasan,

berbicara, dan juga memakan. Fungsi-fungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan

berakibat kepada kualitas hidup yang buruk (Singh, 2012).

Cedera maksilofasial mencakup jaringan lunak dan tulang-tulang yang membentuk

struktur maksilofasial. Tulang-tulang tersebut antara lain

(Japardi, 2004):

1. Os. Nasoorbitoethmoid

2. Os. Zygomatikomaksila

3. Os. Nasal

4. Os. Maksilla

5. Os. Mandibula

Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.

Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu

tulang nasoorbitoethmoid, temporal, zygomatikomaksila, nasal, maksila, dan juga

mandibula (Muchlis, 2011).

2.1.1 Epidemiologi Fraktur Maksilofasial

Cedera meliputi 9% dari kematian di dunia dan 12% dari beban penyakit di

dunia pada tahun 2000. Lebih dari 90% kematian di dunia akibat cedera terjadi di

negara berkembang (Devadiga, 2007).

Page 2: Chapter II Fraktur Maksilofasial

5

Pasien pria merupakan pasien dengan fraktur maksilofasial tersering yaitu

sebanyak 75,9% di India. Hasil serupa juga didapatkan dari penelitian di Israel

sebanyak 74,2% dan Iran dengan proporsi 4,5 banding 1 untuk pria. Usia dekade

ketiga mendominasi pasien dengan fraktur maksilokranial (Guruprasad, 2014; Yoffe,

2008; dan Zargar, 2004). Di Indonesia, pasien fraktur maksilofasial dengan jenis

kelamin pria mewakili 81,73% (Muchlis, 2011).

2.1.2 Etiologi Fraktur Maksilofasial

Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus meningkat

disebabkan terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas dan kekerasan.

Hubungan alkohol, obat-obatan, mengemudi mobil, dan peningkatan kekerasan

merupakan penyebab utama terjadinya fraktur maksilofasial (Ykeda, 2012).

Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tertinggi dari fraktur maksilofasial. Di

India, 97,1% fraktur maksilofasial disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dengan

penyebab lain yaitu terjatuh dari ketinggian, kekerasan, dan akibat senjata api (Singh,

2012). Penelitian lain di India menunjukkan bahwa 74,3% fraktur maksilofasial

disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (Guruprasad, 2011).

2.1.3 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial

2.1.3.1 Fraktur Nasoorbitoethmoid (NOE)

Anatomi kompleks ini yang berliku-liku mengakibatkan fraktur NOE

merupakan fraktur yang paling sulit untuk direkonstruksi. Kompleks NOE terdiri dari

sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior cranial fossa, orbita, tulang temporal, dan

tulang nasal (Tollefson, 2013). Medial canthal tendon (MCT) berpisah sebelum

masuk ke dalam frontal process dari maksila. Kedua tungkai dari tendon ini

mengelilingi fossa lakrimal. Komponen utama dari NOE ini dikelilingi oleh tulang

lakrimal di posterior, tulang nasal dan pyriform aperture di anterior, oleh tulang

Page 3: Chapter II Fraktur Maksilofasial

6

frontal di kranial, maksila di inferior, rongga udara ethmoid di tengah, dan orbita di

lateral (Nguyen, 2010).

Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi Markowitz-

Manson. Klasifikasi Markowitz-Manson terdiri dari tiga tipe yaitu (Aktop, 2013):

1. Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar.

2. Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun dapat

diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk

memungkinkan osteosynthesis.

3. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat

diatasi atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya

osteosynthesis atau telah terlepas total.

Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilafasial pada orang

dewasa. Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III

merupakan fraktur yang paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh kasus

fraktur NOE (Nguyen, 2010).

Gambar 2.1 Klasifikasi Markowitz-Manson

Sumber: S. Aktop dalam A Textbook of Advanced Oral and Maxillofacial Surgery (2013)

Page 4: Chapter II Fraktur Maksilofasial

7

Gambar 2.2 Klasifikasi Markowitz-Manson

Sumber: T. Galloway dalam Midface Trauma (2012) 2.1.3.2 Fraktur Zygomatikomaksila

Zygomaticomaxillary complex (ZMC) memainkan peran penting pada

struktur, fungsi, dan estetika penampilan dari wajah. ZMC memberikan kontur pipi

normal dan memisahkan isi orbita dari fossa temporal dan sinus maksilaris. Zygoma

merupakan letak dari otot maseter, dan oleh karena itu berpengaruh terhadap proses

mengunyah (Tollefson, 2013).

Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding penopang

yaitu zygomaticomaxillary, frontozygomatic (FZ), zygomaticosphenoid, dan

zygomaticotemporal. Fraktur ZMC merupakan fraktur kedua tersering pada fraktur

fasial setelah fraktur nasal (Meslemani, 2012).

Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi Knight

dan North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap fraktur ZMC.

Klasifikasi tersebut dibagi menjadi enam yaitu (Dadas, 2007):

Page 5: Chapter II Fraktur Maksilofasial

8

1. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara

klinis dan radiologi

2. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh

gaya langsung yang menekuk malar eminence ke dalam

3. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi

4. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial

5. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral

6. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan

sepanjang fragmen utama

Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2 dan 5 hanya

membutuhkan reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur kelompok 3, 4, dan 6

membutuhkan fiksasi untuk reduksi yang adekuat (Meslemani, 2012).

2.1.3.3 Fraktur Nasal

Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi

fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat baik

dalam prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan trauma dan kecelakaan lalu

lintas (Baek, 2013). Fraktur tulang nasal mencakup 51,3% dari seluruh fraktur fasial

(Haraldson, 2013).

Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik, 2009):

1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah

2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah

3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan

penopang septal yang utuh

Page 6: Chapter II Fraktur Maksilofasial

9

4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya

garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi

septum

5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak,

saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan

Gambar 2.3 Klasifikasi Fraktur Nasal

Sumber: M.P. Ondik dalam Archives of Facial Plastic Surgery edisi 11 (2009)

Page 7: Chapter II Fraktur Maksilofasial

10

2.1.3.4 Fraktur Maksila dan LeFort

Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng

oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung,

dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di dalamnya dan melekat dengan

maksila merupakan struktur yang penting baik secara fungsional maupun kosmetik.

Fraktur pada tulang-tulang ini memiliki potensi yang mengancam nyawa (Moe,

2013).

Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort

pada tahun 1901 di Prancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu (Aktop,

2013):

1. Le Fort I

Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng

horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid

processes dari dua pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila

dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign)

dan epistaksis dapat timbul.

2. Le Fort II

Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang

nasal dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk

sepertiga inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut sepanjang

sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid.

3. Le Fort III

Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya

yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio nasofrontal

sepanjang orbita medial melalui fissura orbita superior dan inferior, dinding

lateral orbita, melalui sutura frontozygomatic. Garis fraktur kemudian

Page 8: Chapter II Fraktur Maksilofasial

11

memanjang melalui sutura zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura

sphenoid dan pterygomaxillary.

Gambar 2.4 Klasifikasi LeFort

Sumber: L. Gartshore dalam British Journal of Oral Maxillofacial Surgery edisi 48 (2010)

Dua tipe fraktur maksila non-Le Fort lain relatif umum. Yang pertama adalah

trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur

yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai senjata

penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction

merupakan lokasi yang umum pada cedera ini. Yang kedua adalah gaya dari

submental yang diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa

fraktur vertikal melalui beberapa tulang pendukung horizontal seperti alveolar ridge,

infraorbital rim, dan zygomatic arches (Moe, 2013).

Page 9: Chapter II Fraktur Maksilofasial

12

2.1.3.5 Fraktur Mandibula

Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial

yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh

darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua buah tulang yang menyatu

menjadi satu pada simfisis (Stewart, 2008).

Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular

(TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup dari gigi.

Fraktur mandibula dapat mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan jangka

pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan mengatupkan gigi,

ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan nyeri kronis. Fraktur mandibula

diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari simfisis, badan, angle,

ramus, kondilar, dan subkondilar (Stewart, 2008).

Gambar 2.5 Lokasi Fraktur Mandibula

Sumber: C. Stewart dalam Emergency Medicine Practice volume 10 (2008)

2.2 X-Ray

Fisikawan Jerman yang pertama sekali menemukan X-ray adalah Wilhelm

Rontgen pada tahun 1895. Dia jugalah yang memberi nama X-ray meskipun banyak

yang menyebut sebagai “Rontgen” (Assmus, 1995). Selama lebih dari dua dekade,

nilai dari X-ray kepala pada pasien dengan cedera kepala telah dipertanyakan.

Page 10: Chapter II Fraktur Maksilofasial

13

Meskipun begitu, pada tahun 1999, The Royal College of Surgeons of England

(RCSE) mengeluarkan panduan untuk penggunaan X-ray pada cedera kepala. Kriteria

untuk dilakukan X-ray pada cedera kepala di rumah sakit yang tersedia CT scan

selama 24 jam adalah (Soysa, 2005):

• Kecurigaan cedera yang bukan disebabkan oleh kecelakaan (pada anak-anak)

• Keberadaan benjolan lunak khususnya di regio parietotemporal

• Kecurigaan terjadi trauma penetrasi

• Kecurigaan terjadi fraktur compound

2.3Computed Tomography Scanning (CT-scan) Kepala

CT-scan kepala adalah prosedur pengabaran X-ray yang menghasilkan

gambar dari isi intrakranial sebagai hasil dari penyerapan X-ray yang spesifik oleh

jaringan yang diperiksa. Alat CT-scan menghasilkan sejumlah gambar cross-

sectional dari otak dan gambar tiga dimensi dari kranium dan pembuluh darah dapat

dihasilkan apabila diperlukan. CT-scan tidak menyakitkan, tidak invasif, dan secara

umum akurat (Fertikh, 2013).

Terdapat beberapa indikasi dilakukan CT-scan kepala yaitu (Fertikh, 2013):

1. Trauma kepala

2. Stroke

3. Nyeri kepala

4. Lesi yang meningkatkan tekanan intrakranial

5. Kejang

6. Kecurigaan terhadap hidrosefalus

7. Kecurigaan terhadap perdarahan intrakranial

8. Penyakit vaskular intrakranial

Page 11: Chapter II Fraktur Maksilofasial

14

Menurut National Institute for Health and Clinical Excellence (2007), khusus

pada trauma kepala, terdapat indikasi-indikasi yang mengharuskan dilakukan CT-

scan segera yaitu:

1. Glasgow Coma Scale (GCS) kurang dari 13 pada penilaian awal di instalasi

gawat darurat

2. GCS kurang dari 15 selama 2 jam sejak terjadinya trauma pada penilaian di

instalasi gawat darurat

3. Kecurigaan fraktur tulang tengkorak yang terbuka atau tertekan

4. Tanda-tanda adanya fraktur basis kranial

5. Kejang post-trauma

6. Defisit neurologis fokal

7. Lebih dari satu episode muntah

8. Amnesia selama lebih dari 30 menit sebelum kejadian

Selain indikasi yang disebutkan di atas, pada trauma kepala minor beberapa

indikasi perlu dipertimbangkan untuk melakukan CT-scan kepala. Indikasi-indikasi

tersebut antara lain nyeri kepala, muntah, penurunan kesadaran atau amnesia, dan

intoksikasi alkohol (Sharif-Alhoseini, 2011).

2.3.1 Kelainan Intrakranial pada CT-scan Kepala

2.3.1.1 Fraktur

Ketebalan tulang kranial tidak merata. Oleh karena itu, daya benturan yang

dibutuhkan untuk mengakibatkan fraktur tergantung pada lokasi benturan. Fraktur

kranial lebih mudah terjadi pada tulang temporal dan parietal yang tipis, sinus

sphenoid, foramen magnum, petrous temporal ridge, dan bagian dalam dari sphenoid

wings pada basal kranial (Khan, 2013).

Page 12: Chapter II Fraktur Maksilofasial

15

Fraktur kranial linear merupakan fraktur yang paling sering dan melibatkan

fraktur pada tulang namun tidak dijumpai pergeseran. Fraktur ini umumnya

disebabkan karena perpindahan energi yang rendah akibat trauma tumpul di seluruh

permukaan tengkorak yang luas (Khan, 2013).

Fraktur kranial linear terjadi karena efek kontak yang terjadi sekunder

terhadap impact. Pergerakan kepala dan akselerasi tidak memegang peranan dalam

terjadinya fraktur. Ketika tengkorak terkena impact pada daerah yang luas, dapat

terjadi deformasi (perubahan bentuk) daro tengkorak dengan inward dan outward

bending. Fraktur kranial linear yang terjadi pada tulang temporal dapat memutuskan

arteria meningea media yang berjalan di dalam sebuah alur pada tulang temporal,

sehingga terjadi EDH (Sastrodiningrat, 2012).

Page 13: Chapter II Fraktur Maksilofasial

16

Gambar 2.6 Fraktur Linear

Sumber: University of Virginia (2013)

Perpindahan energi yang tinggi dapat mengakibatkan fraktur kranial

terdepresi, dimana fragmen tulang terdorong ke dalam. Fraktur ini biasanya memecah

dengan fragmen tulang dimulai dari titik benturan maksimal dan menyebar ke perifer

(Khan, 2013). Fraktur kranial terdepresi ditentukan apabila segmen fraktur terletak

lebih rendah dibandingkan segmen yang normal (Prashkant, 2011).

Gambar 2.7 Fraktur Kranial Terdepresi

Sumber: J. Paulsen dalam WestJEM volume 12 (2010)

Page 14: Chapter II Fraktur Maksilofasial

17

Pada anak-anak, garis fraktur terkadang susah dibedakan dengan garis sutura

aksesoris. Terlebih pada pemakaian foto polos, penilaian fraktur lebih menantang

akibat ketidakmampuan untuk menilai keadaan jaringan otak. Sutura aksesoris dapat

dibedakan dari fraktur melalui poin-poin berikut (Sanchez, 2010):

1. Fraktur yang sederhana dan tidak terdepresi memiliki kepadatan yang tinggi

dan tepi yang tidak sklerotik. Sebaliknya, sutura aksesoris biasanya memiliki

pola zigzag dengan tepi sklerotik.

2. Fraktur akibat benturan yang kuat dapat melewati garis sutura atau

memanjang dari satu sutura besar ke sutura lainnya, sementara sutura

aksesoris umumnya bergabung dengan sutura besar.

3. Sutura aksesoris sering sekali dijumpai pada kedua sisi dan simetris terutama

pada tulang parietal.

4. Pembengkakan jaringan lunak atau hematoma sering sekali dijumpai pada

fraktur kranial yang akut. Namun, tidak adanya hematoma subgaleal tidak

menyingkirkan diagnosa fraktur terutama apabila cedera terjadi beberapa hari

sebelumnya.

2.3.1.2 Perdarahan Epidural

Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) merupakan perdarahan

pada ruang antara duramater dengan tulang kranial. EDH dapat menjadi berbahaya

apabila tidak didiagnosis dan ditangani dengan baik (McDonald, 2013). Epidural

hematoma biasanya terjadi akibat cedera pada arteri meningeal media atau cabang-

cabangnya. Hematoma epidural dapat menekan lobus temporal, frontal, dan parietal

tergantung pada ukurannya dan arteri yang cedera. Epidural hematoma terlihat

sebagai gambaran hiperdens bikonveks (Al-Nakshabandi, 2001).

EDH terjadi 2% dari seluruh cedera kepala dan lebih dari 15% dari cedera

kepala yang fatal. Bekuan darah paling banyak ditemukan di daerah temporoparietal

(73%) dimana arteri menigea media dan vena-vena mengalami kerusakan (putus)

Page 15: Chapter II Fraktur Maksilofasial

18

biasanya sebagai akibat fraktur tulang temporal. Sebelas persen (11%) dari hematoma

didapatkan di fossa kranial anterior (anterior meningeal artery), 9% di daerah

parasagittal (sinus sagittalis), dan 7% di fossa posterior (occipital meningeal artery

dan sinus-sinus transverses dan sigmoid), 10% - 40% EDH merupakan pendarahan

vena sebagai akibat robekan sinus duramater, vena emissaria atau pelebaran vena

(venous lakes) di duramater (Sastrodiningrat, 2012).

Gambar 2.8 Perdarahan Epidural

Sumber: G.L. Galia dalam New England Journal of Medicine edisi 360 (2009)

2.3.1.3 Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural adalah kumpulan darah di bawah lapisan dalam dari

duramater tapi berada di luar otak dan membran arakhnoid. Perdarahan subdural

timbul tidak hanya pada pasien dengan cedera kepala berart melainkan juga pada

pasien dengan cedera kepala ringan terutama pada orang tua atau pasien yang

mengkonsumsi antikoagulan. Perdarahan subdural juga dapat terjadi secara spontan

(Meagher, 2013).

Page 16: Chapter II Fraktur Maksilofasial

19

Secara umum, perdarahan subdural akut terjadi kurang dari 72 jam dan

terlihat hiperdens pada CT-scan. Fase subakut terjadi 3-7 hari setelah cedera.

Perdarahan subdural yang kronik terjadi dalam rentang waktu berminggu-minggu dan

terlihat hipodens (Meagher, 2013).

Gambar 2.9 Perdarahan Subdural Akut Sumber: P.E. Marik dalam Chest Journal volume 122 (2002)

2.3.1.4 Perdarahan Subaraknoid

Perdarahan subaraknoid atau subarachnoid hemorrhage (SAH) adalah

keadaan dimana terjadi perdarahan pada rongga subaraknoid di sekitar otak dan

medula spinalis. Penyebab paling sering dari perdarahan subaraknoid adalah trauma

kepala dan ruptur dari aneurisma intrakranial (Gershon, 2013).

Page 17: Chapter II Fraktur Maksilofasial

20

Pada CT-scan, perdarahan subaraknoid terlihat sebagai zat tidak berbentuk

dan hiperdens yang mengisi ruang yang normalnya hipodens. Sisterna subaraknoid

dan sulkus yang normalnya berwarna hitam dapat terlihat putih pada perdarahan akut.

Temuan ini terlihat lebih jelas pada ruang subarakhnoid yang besar seperti sisterna

suprasellar dan fissura sylvian (Gershon, 2013).

Gambar 2.10 Perdarahan Subaraknoid

Sumber: H. Koizumi dalam Radiology Case Reports volume 7 (2012)

2.3.1.5 Perdarahan Intraserebral

Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di dalam parenkim

otak. Perdarahan intraserebral terdiri atas tiga fase yaitu perdarahan awal,

pengembangan hematoma, dan edema perihematoma. Perdarahan awal disebabkan

oleh rupturnya arteri di otak. Pengembangan hematoma berlangsung beberapa jam

setelah dimulainya gejala awal melibatkan peningkatan tekanan intrakranial.

Peningkatan tekanan intrakranial ini akan mengganggu blood-brain barrier. Setelah

pengembangan hematoma, terbentuk edema otak di sekitar hematoma disebabkan

oleh inflammasi dan terganggunya blood-brain barrier (Magistris, 2013). Pada CT-

Page 18: Chapter II Fraktur Maksilofasial

21

scan, perdarahan intraserebral terlihat sebagai lesi hiperdens di parenkim otak

(Tshikwela, 2012).

Gambar 2.11 Perdarahan Intraserebral (A) dengan Perdarahan Subarakhnoid (B)

Sumber: K.S. Yew dalam American Family Physician edisi 80 (2009)