19
Tinjauan Pustaka Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010 CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING POLYRADICULONEUROPATHY (CIDP) Ii Husein Barnedh* ABSTRACT Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP) is caused by damage to the myelin sheath of the peripheral nerve by autoimmun origin. Before the era of modern electrodiagnostic, CIDP is often categorized as corticosteroid responsive polyneuropathy. On 1982 Dyck et al finally introduce the term Chronic inflammatory Demylinating Polyradiculoneuropathy. On daily neurological practice CIDP is difficult to diagnose in spite of clinical variant, segmental and multifocal behaviour of the diasease and it’s predilection on proximal segment of peripheral nerves. The limitation of electrodiagnostic and biopsy technique and no common consensus about diagnostic criteria make the diagnostic more difficult. Because of all uncertainty, CIDP is often underdiagnosed and the condition makes a lot of CIDP patients have undertreatment because the ignorance of the clinicians. This literature review tries to make a whole description mainly about diagnostic criteria for CIDP and latest therapy for the disease. Keywords: CIDP, diagnose, treatment ABSTRAK Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP) merupakan suatu penyakit autoimun yang menyerang mielin saraf perifer. Sebelum era neurofiologi modern penyakit tersebut dimasukkan ke dalam golongan neuropati yang responsif terhadap steroid. Baru pada tahun 1982 istilah Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy diperkenalkan oleh Dyck dkk. Pada praktik neurologi sehari-hari CIDP ini sulit untuk didiagnosis karena banyaknya variasi klinis dari penyakit tersebut, sifatnya yang segmental dan multifokal dan predileksinya yang mengenai segmen proksimal dari saraf tepi. Keterbatasan elektrofisiologis dan teknik biopsi serta tidak adanya suatu kriteria klinis dan pemeriksaan definitif yang dijadikan konsensus bersama makin menyulitkan diagnosis CIDP. Karena semua ketidakpastian ini diagnosis CIDP sering terlewatkan (underdiagnose) sehingga banyak pasien yang mengalami penyakit yang kronik progresif ini dibiarkan tanpa terapi yang seharusnya. Tinjauan pustaka ini berusaha memberi sedikit gambaran terutama mengenai kriteria diagnosis CIDP; kelebihan dan kekurangan serta mengenai terapi terkini dari CIDP. Kata kunci: CIDP, diagnosa, terapi *Fellowship ENMG Departemen Neurologi FK Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun yang menyerang mielin saraf perifer. Sebelum era neurofiologi modern penyakit tersebut dimasukkan ke dalam golongan neuropati yang responsif terhadap steroid. Dulu penyakit ini disebut dengan istilah polineuritis rekuren, neuritis hipertrofik progresif dan GBS kronik progresif. Dyck dkk pada tahun 1975 pertama kali memperkenalkan istilah chronic polyradiculoneuropathy dan Torvik dan Lundar pada tahun 1977 menyebutnya dengan istilah chronic demiyelinating polineuropathy untuk menekankan proses demielinasi penyakit tersebut. Baru pada tahun 1982 istilah chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy kembali diperkenalkan oleh Dyck dkk. Pada praktik neurologi sehari-hari CIDP ini sulit untuk didiagnosis karena banyaknya variasi klinis dari penyakit tersebut, sifatnya yang segmental dan multifokal dan predileksinya yang mengenai segmen proksimal dari saraf tepi (yang tidak karakteristik untuk suatu lesi neurogen

CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Tinjauan Pustaka

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING POLYRADICULONEUROPATHY (CIDP)

Ii Husein Barnedh*

ABSTRACT Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP) is caused by damage to the myelin sheath of the peripheral nerve by autoimmun origin. Before the era of modern electrodiagnostic, CIDP is often categorized as corticosteroid responsive polyneuropathy. On 1982 Dyck et al finally introduce the term Chronic inflammatory Demylinating Polyradiculoneuropathy. On daily neurological practice CIDP is difficult to diagnose in spite of clinical variant, segmental and multifocal behaviour of the diasease and it’s predilection on proximal segment of peripheral nerves. The limitation of electrodiagnostic and biopsy technique and no common consensus about diagnostic criteria make the diagnostic more difficult. Because of all uncertainty, CIDP is often underdiagnosed and the condition makes a lot of CIDP patients have undertreatment because the ignorance of the clinicians. This literature review tries to make a whole description mainly about diagnostic criteria for CIDP and latest therapy for the disease. Keywords: CIDP, diagnose, treatment ABSTRAK Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP) merupakan suatu penyakit autoimun yang menyerang mielin saraf perifer. Sebelum era neurofiologi modern penyakit tersebut dimasukkan ke dalam golongan neuropati yang responsif terhadap steroid. Baru pada tahun 1982 istilah Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy diperkenalkan oleh Dyck dkk. Pada praktik neurologi sehari-hari CIDP ini sulit untuk didiagnosis karena banyaknya variasi klinis dari penyakit tersebut, sifatnya yang segmental dan multifokal dan predileksinya yang mengenai segmen proksimal dari saraf tepi. Keterbatasan elektrofisiologis dan teknik biopsi serta tidak adanya suatu kriteria klinis dan pemeriksaan definitif yang dijadikan konsensus bersama makin menyulitkan diagnosis CIDP. Karena semua ketidakpastian ini diagnosis CIDP sering terlewatkan (underdiagnose) sehingga banyak pasien yang mengalami penyakit yang kronik progresif ini dibiarkan tanpa terapi yang seharusnya. Tinjauan pustaka ini berusaha memberi sedikit gambaran terutama mengenai kriteria diagnosis CIDP; kelebihan dan kekurangan serta mengenai terapi terkini dari CIDP. Kata kunci: CIDP, diagnosa, terapi *Fellowship ENMG Departemen Neurologi FK Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN

Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun yang menyerang mielin saraf perifer. Sebelum era neurofiologi modern penyakit tersebut dimasukkan ke dalam golongan neuropati yang responsif terhadap steroid. Dulu penyakit ini disebut dengan istilah polineuritis rekuren, neuritis hipertrofik progresif dan GBS kronik progresif. Dyck dkk pada tahun 1975 pertama kali memperkenalkan istilah chronic polyradiculoneuropathy dan Torvik dan Lundar pada tahun 1977 menyebutnya dengan istilah chronic demiyelinating polineuropathy untuk menekankan proses demielinasi penyakit tersebut. Baru pada tahun 1982 istilah chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy kembali diperkenalkan oleh Dyck dkk. Pada praktik neurologi sehari-hari CIDP ini sulit untuk didiagnosis karena banyaknya variasi klinis dari penyakit tersebut, sifatnya yang segmental dan multifokal dan predileksinya yang mengenai segmen proksimal dari saraf tepi (yang tidak karakteristik untuk suatu lesi neurogen

Page 2: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

perifer). Keterbatasan elektrofisiologis dan teknik biopsi untuk membedakan lesi demielinisasi primer dan aksonal juga makin mempersulit diagnosis penyakit ini. Selain itu yang lebih menyulitkan diagnosis CIDP adalah tidak adanya suatu kriteria klinis dan pemeriksaan definitif yang dijadikan konsensus bersama. Kriteria diagnostik yang dikenal sekarang lebih merupakan kriteria klinis untuk penelitian (kriteria inklusi). Karena semua ketidakpastian ini diagnosis CIDP sering terlewatkan (underdiagnose) sehingga banyak pasien yang mengalami penyakit yang kronik progresif ini dibiarkan tanpa terapi yang seharusnya. Karena itu sangat penting untuk neurolog yang mempunyai minat dalam bidang saraf perifer untuk memahami penyakit ini dan mempunyai dasar klinis diagnostik dan keterampilan neurofisiologis yang adekuat untuk mendiagnosis penyakit ini. Tinjauan pustaka ini berusaha memberi sedikit gambaran terutama mengenai kriteria diagnosis CIDP; kelebihan dan kekurangan serta sensitifitas dan spesifitasnya; juga dibahas sekilas mengenai terapi terkini dari CIDP.

DEFINISI

Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy atau CIDP adalah suatu gangguan neurologis yang ditandai dengan kelemahan yang (kronik) progresif dan gangguan fungsi sensorik dari tungkai dan lengan disertai menurunnya refleks tendon. Gejala neurologis tersebut diakibatkan oleh kerusakan pada selubung mielin dari radiks dan saraf perifer yang merupakan proses autoimun. Meskipun dapat terjadi pada segala usia, penyakit ini lebih sering terjadi pada usia dewasa muda dan usia pertengahan. 2

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

CIDP merupakan suatu gangguan sistem saraf perifer kronis yang dimediasi oleh proses imun (immunomediated). Gambaran histopatologis yang patognomonik adalah adanya infiltrasi sel-sel mononuklear (limfosit, makrofag) di endoneurium dan epineurium dari serabut saraf. Gambaran patologis yang predominan adalah demielinisasi segmental, meskipun biasanya terdapat juga kerusakan sejumlah akson. Perubahan patologis ini ditemukan pada radiks,pleksus dan trunkus saraf proksimal serta kadang-kadang pada saraf kranialis dan saraf otonom. Keterlibatan radiks dan saraf proksimal dapat menjelaskan mengapa pada CIDP yang lebih menonjol adalah kelemahan proksimal; yang membedakannya dengan neuropati difus yang lain. Kerusakan mielin yang predominan pada penyakit ini menghasilkan pola karakteristik pada elektrodiagnostik yaitu perlambatan kecepatan hantar saraf dan blok konduksi. Proses imun dan gambaran klinis yang terjadi pada CIDP menyerupai gambaran patologis dan klinis dari AIDP/sindroma Guillain Barre dan neuropati eksperimental yang dimediasi proses imun terutama experimental allergic neuritis (EAN). Lebih lanjut lagi keberadaan sel-sel efektor imun serta deposisi antibodi dan komplemen di serabut bermielin merupakan bukti tidak langsung dari proses yang dimediasi imun baik seluler maupun humoral. Faktor seluler yang berperan terutama sel limfosit T dan makrofag; seperti disebutkan di atas bahwa terdapat infiltrasi kedua sel tersebut di perineural pada biopsi n. suralis pasien CIDP; yang menimbulkan dugaan bahwa penyebab kerusakan inflamatif dari mielin tersebut disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang dimediasi oleh limfosit T. Reaksi imun seluler dimulai dengan migrasi sel limfosit T ke endotel vaskular, diikuti pelepasan protease dan recruitment dari sel makrofag. Faktor humoral meliputi interleukin-2 (IL-2), tumor necrosis factor (TNF), dan interferon (IFN)-� yang diproduksi limfosit T-helper1 (Th1). Sitokin inilah yang mengaktifkan makrofag dan mencetuskan respon hipersensitifitas tipe lambat. Hal tersebut dibuktikan dengan meningkatnya kadar IL-2 dan reseptor IL-2 pada pasien CIDP.3 Lebih jauh lagi ditemukan aktifitas T-supressor yang menurun ditandai dengan turunnya kadar IL-4, IL-5 dan IL-10 . TNF-α mempunyai peran penting pada proses demielinisasi dan rusaknya barrier antara vaskular dan saraf tepi (blood-nerve barrier). TNF-α telah diketahui mempunyai efek toksik pada

Page 3: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

mielin, sel Schwann dan endotel. Misawa dkk membuktikan hal tersebut dengan mengukur kadar TNF-α pada 20 pasien CIDP dan menghubungkan kadar TNF-α dengan gejala klinis dan kelainan neurofisiologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada 5 pasien TNF-α meningkat seiring fase akut dari penyakit tersebut . Sebagai tambahan pasien yang mengalami kenaikan TNF-α menunjukkan kelainan neurofisiologis bermakana yang konsisten dengan demielinisasi dibandingkan dengan pasien yang kadar TNF-α nya normal. Kadar TNF-α yang tinggi berhubungan dengan latensi distal yang memanjang dan kecepatan hantar saraf yang menurun pada n.medianus,ulnaris dan tibialis. 4

PREVALENSI DAN INSIDENSI

CIDP merupakan penyakit yang jarang. Prevalensi nya di Inggris, Australia, Italia, Norwegia dan Jepang diperkirakan berkisar antara 0,8-7,7 per 100.000. Sebuah penelitian tahun 2009 menyebutkan bahwa insidensi dan prevalensi nya bergantung kriteria diagnostik mana yang dipakai. Di Inggris pada bulan Mei tahun 2008 prevalensi CIDP 4,77 per 100.000 dengan memakai kriteria EFNS tapi hanya 1,97 per 100.000 jika kriteria AAN yang dipakai. Demikian juga insidensi per tahun adalah 0,7 per 100.000 dengan memakai kriteria EFNS dan 0,35 dengan kriteria AAN. Prevalensi CIDP paling tinggi didapatkan di Norwegia.5,6

DEMOGRAFI

Baik pria maupun wanita mempunyai angka kejadian yang relatif sama, tetapi pria lebih sering mendapatkan degenerasi aksonal dibandingkan wanita. CIDP menyerang segala usia, tetapi sering mengenai pasien dekade ke-5 dan 6; sedangkan dekade 3 dan 4 (atau lebih muda) lebih sering berhubungan dengan CIDP tipe relaps-remisi.5,6 Beberapa laporan kasus juga menyebutkan CIDP pada anak-anak.

GEJALA KLINIS

CIDP umumnya bersifat kronis progresif selama berbulan-bulan. Perjalanan penyakit bervariasi dari beberapa bulan sampai 2 tahun. Beberapa pasien menampakkan gejala akut seperti sindroma Guillain Barre sebelum berlanjut ke fase relaps yang khas untuk CIDP. Perjalanan penyakit CIDP dapat bervariasi; yang pertama dapat bersifat monofasik dimana pasien langsung mencapai nadir dan kemudian perlahan-lahan membaik dengan pengobatan dan biasanya tidak relaps , yang kedua kronik progresif dimana pasien mengalami perburukan perlahan-lahan sebelum diberikan terapi; yang kedua dapat bersifat relaps-remisi dimana pasien mengalami remisi di antara fase relaps yang bersifat akut dan dapat merupakan bentuk kronis dari sindroma Guillain Barre.7 Kebanyakan pasien dengan CIDP mengalami gejala sensorik dan motorik; sementara sebagian kecil hanya mengalami gejala motorik murni (10-22%) dan sensorik murni (6%). Lebih dari 90 % pasien CIDP mengalami kelemahan pada saat onset dan 17% mengalami kelemahan berat yang mengakibatkan disabilitas bermakna dan dependensi total. Rasa kebas (khas:stocking&glove) dan kesemutan dialami oleh 64-82% pasien; sedangkan nyeri bukan merupakan gejala sensorik yang umum dan hanya terjadi pada 14-20% kasus. Gejala nervus kranialis termasuk disartria, disfagia, kebas di wajah, paresis nervus facialis, diplopia atau pandangan kabur dan ptosis dapat terjadi pada sebagian kecil pasien. Gejala otonom sangat jarang meskipun pernah dilaporkan inkontinensia dan impotensi. Baik kelemahan proksimal maupun distal umum didapatkan pada pemeriksaan fisik dan biasanya bersifat simetris. Rata-rata kelemahan distal lebih menonjol dibandingkan proksimal. Meskipun demikian Gower sign kadang-kadang didapatkan karena keterlibatan otot-otot proksimal. Refleks berkurang atau bahkan hilang pada kebanyakan pasien dengan hilangnya refleks tendon achilles yang paling sering. Arefleksia total terjadi pada 70% pasien CIDP. Defisit sensorik terjadi pada 80% pasien dengan gangguan proprioseptif (vibrasi) lebih sering dibandingkan hipestesi. Disfungsi nervus kranialis terdapat pada 16% pasien8.

Page 4: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

CIDP dapat muncul sebagai manifestasi sensorik murni. Kekuatan otot pasien tersebut umumnya normal tetapi mempunyai gambaran neurofisiologis yang sesuai dengan polineuropati sensorimotor tipe demielinisasi yang didapat (acquired) yang akan kita bahas kemudian. Gambaran neuropati tipe demielinisasi dapat terjadi pada ekstremitas atas saja dan merupakan varian dari CIDP yang dinamakan sindroma Lewis-Sumner yang juga akan kita bahas kemudian.

KRITERIA DIAGNOSTIK

Sampai saat ini sudah ada beberapa kriteria diagnostik untuk CIDP yang dianut, yaitu kriteria American Academy of Neurology (AAN) yang dibuat dan diajukan oleh panitia ad hoc AAN pada tahun 1991, modifikasi AAN oleh Saperstein dkk di tahun 2001, kriteria yang dibuat oleh grup INCAT ( the Inflammatory Neuropathy Cause and Treatment) pada tahun 2003; serta kriteria dari European Federation of Neurological Society/Peripheral Nerve Society (EFNS) yang diajukan oleh Hadden dkk pada tahun 2006 yang kemudian direvisi tahun 2010 . Kriteria AAN sejak tahun 1991 telah secara luas digunakan sebagai dasar untuk mendiagnosis pasien CIDP dan banyak pula digunakan sebagai kriteria inklusi bagi penelitian mengenai CIDP. Dalam kriteria AAN, diagnosis ditegakkan atas dasar gejala klinis, pemeriksaan neurofisiologis, patologi anatomi (biopsi) dan gambaran cairan serebrospinal (lihat tabel 1). Meskipun kriteria ini sangat spesifik untuk demielinisasi primer, tetapi kriteria tersebut sangat tidak sensitif dan hanya dapat mendiagnosis maksimal dua pertiga pasien CIDP. 9,10 Beberapa tahun kemudian Saperstein membuat suatu kriteria diagnostik yang kemudian direvisi pada tahun 2003. Kriteria tersebut sebenarnya merupakan modifikasi dari kriteria AAN tetapi dalam bentuk yang lebih dapat diaplikasikan, lebih tidak invasif dan mempunyai spesifitas yang hampir sama dengan sensitifitas lebih tinggi; sehingga persentase pasien yang terdiagnosis CIDP lebih tinggi (lihat tabel 2).11

Tabel 1: Kriteria AAN Klinis Pola klinis

Perjalanan penyakit Refleks

Disfungsi motorik dan/atau sensorik simetris yang melibatkan lebih dari satu ekstremitas Minimal 2 bulan Arefleksia atau hiporefleksia

Neurofisiologis (minimal 3 dari 4)

Blok konduksi (definite,probable,possible) ; harus ada pada minimal 1 saraf motorik

>20% penurunan amplitudo (perubahan durasi <15%) antara segmen proksimal dan distal (blok konduksi parsial) atau perubahan durasi >15% antara segemen proksimal dan distal (temporal dispersion)

Kecepatan Hantar Saraf (harus abnormal minimal pada 2 saraf motorik)

Penurunan <80% dari BBN jika amplitudo CMAP >80% BBN ATAU penurunan <70% dari BBN jika amplitudo CMAP < 80% BBN

Latensi Distal (harus abnormal minimal pada 2 saraf motorik)

Perlambatan >125% BAN jika amplitudo CMAP > 80% BBN ATAU perlambatan > 150% BAN jika amplitudo CMAP < 80% BBN

Latensi F-wave (harus abnormal minimal pada 2 saraf motorik)

Absen atau pemanjangan latensi >125% BAN jika amplitudo CMAP >80% BBN ATAU pemanjangan latensi >150% BAN jika amplitudo CMAP <80% BBN

Patologi Biopsi n.suralis Bukti adanya demielinisasi dan remielinisasi minimal pada 4 internodal (mandatory). Supportif: edema subperineural atau endoneural, infiltrasi sel mononuklear dan formasi bawang (onion bulb) pada lesi demielinisasi antara fasikulus

Laboratorium Likuor serebrospinal Mandatory: sel < 10/mm3, VDRL negatif. Suportif: protein meningkat >50 g/dL

Catatan: BBN= batas bawah normal; BAN = batas atas normal; CMAP= compound muscle action potential.Blok konduksi dan temporal dispersion hanya diperhitungkan pada segmen saraf sbb: n.peroneus antara ankle dan caput fibula; n.medianus antara wrist dan elbow; n.ulnaris antara wrist dan below elbow. Definite: Klinis, Neurofisiologi, LCS,biopsi. Probable:Klinis,Neurofisiologi,LCS. Possible:Klnis,Neurofisiologi

Page 5: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

Tabel 2:Kriteria Saperstein (modifikasi AAN) Klinis Pola klinis

Mayor: kelemahan proksimal dan distal yang simetris; minor:hanya kelemahan distal atau gangguan sensorik murni

Perjalanan penyakit Minimal 2 bulan Refleks Arefleksia atau hiporefleksia Neurofisiologi minimal 2 dari 4

Blok konduksi >40-60-% penurunan amplitudo CMAP proksimal dibandingkan distal atau penurunan area >40-50%

Temporal dispersion Peningkatan durasi >30% proksimal dibandingkan distal (medianus,ulnaris,radialis, tibialis dan peroneus)

Kecepatan Hantar Saraf Penurunan <80% dari BBN jika amplitudo CMAP >80% BBN ATAU penurunan <70% dari BBN jika amplitudo CMAP < 80% BBN

Latensi Distal Perlambatan >125% BAN jika amplitudo CMAP > 80% BBN ATAU perlambatan > 150% BAN jika amplitudo CMAP < 80% BBN

Latensi F-wave Absen atau pemanjangan latensi >125% BAN jika amplitudo CMAP >80% BBN ATAU pemanjangan latensi >150% BAN jika amplitudo CMAP <80% BBN

Patologi Biopsi Tanda-tanda demielinisasi Laboratorium Likuor serebrospinal Definite: Protein > 45 g/dL, supportive: sel <10 g/DL Definite: Klnis major,neurofisiologi,LCS. Probable:Klinis major, neurofisiologi atau LCS dan biopsi. Possible: 1)Klinis major dan 1 dari 3 pemeriksaan penunjang 2)Klnis minor dan 2 dari 3 pemeriksaan penunjang. Tabel 3: Kriteria INCAT (2003) Klinis Pola klinis

Perjalanan penyakit Refleks

Disfungsi motorik dan sensorik yang melibatkan lebih dari 1 ekstremitas; ketidakmampuan bermakna pada fungsi lengan atau tungkai Minimal 2 bulan; stabil maupun perburukan Arefleksia atau hiporefleksia

Neurofisiologi Blok konduksi atau temporal dispersion minimal pada 2 saraf; harus ada penurunan KHS atau pemanjangan latensi distal atau F-wave bermakna minimal pada 1 saraf ATAU Jika tidak ada blok konduksi atau temporal dispersion ; penurunan KHS bermakna atau pemanjangan latensi distal bermakna atau pemanjangan/ absen F-wave bermakna harus ada minimal pada 3 saraf ATAU Jika kelainan neurofisiologis yang bermakana tersebut hanya pada 2 saraf, diperlukan bukti histologis/ biopsi berupa serabut saraf yang mengalami demielinisasi

Definisi: Blok konduksi Penurunan amplitudo antara proksimal dan distal

>30% Temporal dispersion Perubahan durasi >15% antara proksimal dan distal Penurunan KHS yang bermakna <80% BBN atau <70% BBN jika amplitudo CMAP

distal <80% BBN Pemanjangan latensi distal yang bermakna >125% BAN atau >150% BAN jika amplitudo

<80% BBN Pemanjangan latensi F-wave yang bermakna >120% BAN atau >150% BAN jika amplitudo <80% Patologi Biopsi n.suralis Tidak mandatory

Page 6: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

Tabel 4: Kriteria EFNS (versi 2010) Kriteria Inklusi:

a. CIDP  tipikal:  Kelemahan   dan   disfungsi   sensorik   proksimal   dan   distal   simetris   yang   bersifat   Kronik   progresif,   bertahap   atau  rekuren/berulang   pada   semua   ekstremitas   yang   berlangsung  minimal   2   bulan;   dapat  mengenai   nervus   kranialis;   serta  menurun/hilangnya  refleks  tendon  pada  semua  ekstremitas.  

b. CIDP  atipikal  (masih  dianggap  CIDP  tapi  dgn  gambaran  klinis  berbeda)  Salah   satu   dari   yang   berikut;   selain   itu   sama   dengan   CIDP   tipikal   (refleks   tendon   dapat   normal   pada   ektremitas   yang  normal)  

• Kelemahan  distal  yang  predominan  (DADS:  distal  acquiring  demyelinatins  symmetric)      • Kelainan  yang  asimetris  (MADSAM:  multifocal  acquired  demyelinating  sensory  and  motor/  Lewis-­‐Sumner  syndrome)  • Kelainan  fokal  (mis:  kelainan  pleksus  brakialis  dari  1/lebih  saraf  ekstremitas  atas)  • Motorik  murni  • Sensorik  murni  

Kriteria suportif: a. Peningkatan  protein  LCS  dengan  sel  <10g/dL  b. MRI  dengan  penyangatan  atau  hipertrofi  kauda  ekuina,  radiks,  atau  pleksus  c. Biopsi  saraf  menunjukkan  demielinisasi  atau  remielinisasi  d. Respon  yang  baik  terhadap  terapi  imunologis  

 Kriteria ekslusi:

a. Neuropati  yang  disebabkan  oleh  diptheria,  Lyme  disease,toksin  atau  obat  b. Neuropati  demielinisasi  herediter,  umumnya  dengan  riwayat  keluarga(+),  deformitas  kaki,  mutilasi  tangan/kaki,  retinitis  

pigmentosa,  ichtyosis,dll.  c. Disertai  kelainan  spinchter  (otonom)  d. Multifocal  motor  neuropathy  e. Antibodi  terhadap  glikoprotein  yang  berhubungan  dengan  mielin    

Kriteria elaktrodiagnostik:

1. Definite:minimal  1  dari  yang  berikut:  a. Perlambatan  latensi  motorik  minimal  50%  BAN  pada  minimal  2  saraf  (n.medianus  diekslusi  jika  terdapat  tanda  CTS)  b. Penurunan  KHS  minimal  30%  BBN  pada  minimal  2  saraf  c. Pemanjangan   latensi   F-­‐wave   minimal   30%   BAN   pada   minimal   2   saraf   (minimal   50%   jika   amplitudo   gelombang  

negatif  CMAP  distal  <80%  BBN)  d. Absen-­‐nya   F-­‐wave   pada   2   saraf   jika   amplitudo   CMAP   distal   saraf   tersebut   ≥   20%   BBN   +   minimal   1   parameter  

demielinisasi  di  minimal  1  saraf  lainnya  e. Blok  konduksi  parsial;  minimal  50%  penurunan  CMAP  segmen  proksimal  dibandingkan  distal  jika  CMAP  distal  ≥  20%  

BBN   pada   minimal   2   saraf   atau   1   saraf   bila   terdapat   minimal   1   parameter   demielinisasi   pada   minimal   1   saraf  lainnya.  

f. Temporal  dispersion  yang  abnormal  (>  30%  peningkatan  durasi  antara  segmen  proksimal  dibandingkan  distal  pada  minimal  2  saraf  

g. Peningkatan   durasi   CMAP   distal   (interval   antara   onset   dari   gelombang   negatif   pertama   dan   gelombang   negatif  terakhir   yang  mencapai   baseline  pada  minimal   1   saraf   (n.medianus   6,6  ms;   n.ulnaris   6,7  ms;   n.peroneus   7,6  ms;  n.tibialis  8,8  ms)  ditambah  minimal  1  parameter  demielinisasi  pada  minimal  1  saraf  lainnya.  

2. Probable  :  Penurunan  CMAP  proksimal  ≥30%  dibandingkan  distal  pada  2  saraf  (tidak  termasuk  n.tibialis),  jika  CMAP  ≥  20%  BBN;  atau  pada  1  saraf  disertai  min  1  parameter  demielinisasi  pada  min  1  saraf  lainnya.  

3. Possible:  sama  dengan  kriteria  1,  tetapi  hanya  pada  1  saraf    

Definite: Klinis tipikal dan atipikal dan dan neurofisiologi definite atau neurofisiologi probable dengan 1 kriteria suportif atau neurofisiologi possible dengan 2 kriteria suportif. Probable: Klinis tipikal dan atipikal dan neurofisiologi probable atau neurofisiologi possible dengan 1 kriteria suportif. Kriteria klinis dan neurofisiologi possible atau CIDP dengan penyakit penyerta. Kriteria AAN membuat tiga kategori diagnosis yaitu definite, probable dan possible. Ketiga kategori tersebut memerlukan satu set pemeriksaan neurofisiologis dengan batasan yang ketat. Secara garis besar kriteria ini memerlukan beberapa kelainan yang mengindikasikan adanya proses demielinisasi. Lebih jauh lagi kelainan tersebut harus meliputi minimal 3 dari 4 parameter neurofisiologis yang berbeda (blok konduksi atau temporal dispersion , penurunan KHS,

Page 7: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

perlambatan latensi distal dan F-wave) bahkan pada diagnosis possible sekalipun. Selain itu kriteria definite memerlukan biopsi n.suralis dan LCS. Karena kriteria neurofisiologis dan penunjang lain yang ketat tersebut memang spesifitasnya tinggi tetapi banyak pasien CIDP yang terekslusi dan menimbulkan false negatif yang cukup besar. Sedangkan kriteria yang diajukan oleh Saperstein merupakan modifikasi dari kriteria AAN dan mempunyai batasan inklusif yang lebih longgar dibandingkan kriteria diagnostik pendahulunya. Kriteria ini mempunyai parameter yang mirip dengan pendahulunya, tetapi hanya memerlukan 2 dari 4 parameter neurofisiologis. Selain itu batasan blok konduksi parsial dan temporal dispersion mengalami perubahan. Kriteria blok konduksi menjadi penurunan proksimal amplitudo 40-60% (vs 20% pada AAN) dan temporal dispersion adalah pemanjangan durasi proksimal sebesar 30% (vs 15% pada AAN). Biopsi n.suralis pun bukan merupakan keharusan untuk kriteria definite dan hanya merupakan salah satu penunjang bila klinis atau neurofisiologi meragukan. Parameter LCS pun sedikit berbeda dengan kriteria AAN peningkatan protein ( >45 g/dL) lebih ditekankan dibandingkan jumlah sel. 11,12

Kriteria INCAT secara klinis tidak menekankan simetrisitas disfungsi motorik/sensorik, yang penting melibatkan lebih 1 ektremitas (lihat tabel 3). Parameter neurofisiologinya pun lebih longgar dibandingkan kriteria AAN yang mensyaratkan blok konduksi/temporal dispersion pada 2 saraf disertai kelainan KHS/distal latensi atau F-wave pada 1 saraf lainnya sedangkan parameter neurofisiologisnya persis sama dengan kriteria AAN . Selain itu kriteria tersebut tidak mempunyai batasan definite,probable ataupun possible dan biopsi saraf tidak merupakan keharusan. Meskipun demikian penelitian menunjukkan kriteria ini lebih sensitif dibandingkan kriteria AAN11,12

Kriteria yang keempat adalah kriteria yang dibuat oleh EFNS (European Federation of Neurological Society). Secara klinis CIDP dibagi menjadi tipikal dan atipikal. EFNS memasukkan MADSAM/sindroma Lewis-Sumner dan DADS (Distal Acquiring Demyelinating Simmetric) yang pada kriteria AAN original tidak dimasukkan sebagai CIDP menjadi bagian dari CIDP atipikal. Meskipun kriteria neurofisiologi dibuat lebih longgar dibandingkan kriteria AAN, tetapi batasan demielinisasi terutama blok konduksi parsial dan temporal dispersion dibuat lebih detail dibandingkan dengan kriteria AAN dan lebih sesuai dengan kriteria yang diajukan AAEM pada tahun 1999. Selain itu EFNS juga menambahkan kriteria suportif yang tidak ada pada kriteria CIDP lainnya; dimana biopsi hanyalah salah satu dari kriteria suportif tersebut dan tidak mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis CIDP seperti pada kriteria AAN (tabel 4). Sebagai catatan EFNS menambahkan bahwa sensitifitas kriteria tersebut akan meningkat bila pada pemeriksaan neurofisiologis bila yang diperiksa minimal 4 saraf; dan menambahkan stimulasi proksimal pada ekstremitas atas serta melibatkan pemeriksaan saraf sensorik.13,14

Kesamaan pada semua kriteria diagnostik CIDP adalah bahwa pemeriksaan neurofisiologis merupakan keharusan (mandatory) untuk menegakkan diagnosis. Pada tahun 2007 AAN mempublikasikan penelitian yang membandingkan sensitifitas dan spesifitas 3 kriteria diagnostik untuk CIDP, yaitu kriteria AAN, Modifikasi AAN (Saperstein) dan kriteria yang diajukan EFNS. Hasil dari penelitian tersebut didapatkan bahwa kriteria EFNS mempunyai sensitifitas dan spesifitas yang paling tinggi yaitu 95% dan 96%; diikuti oleh kriteria Saperstein 83% dan 90% dan kriteria AAN mempunyai sensitifitas yang paling rendah, yaitu 52% dan spesifitas 94%. Kriteria EFNS juga mempunyai PPV dan NPV paling tinggi yaitu 97% dan 92% Saperstein 89% dan 85% dan AAN 89% dan 68%.15. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa sensitifitas kriteria EFNS paling tinggi, meskipun spesifitas nya tidak berbeda jauh dengan kriteria diagnostik lainnya14,. Hal ini menunjukkan bahwa sampai sekarang kriteria EFNS merupakan kriteria diagnosis untuk CIDP yang paling dapat diandalkan. Hal yang masih menjadi kendala yaitu belum ada kesepakatan mengenai sindroma Lewis-Sumner dan DADS.15

Page 8: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

KLASIFIKASI CIDP

EFNS membagi CIDP menjadi atipikal dan tipikal. CIDP tipikal adalah CIDP dengan gambaran klinis yang klasik yang diajukan pertamakali oleh Dyck dkk; yaitu gangguan motorik dan atau sensorik kronik progresif yang bersifat simetris (baik proksimal maupun distal) disertai hiporefleksia / arefleksia pada semua ekstremitas (umumnya mulai dari tungkai bawah) disertai tanda2 demielinisasi pada pemeriksaan neurofisiologis dan peningkatan protein LCS tanpa peningkatan sel. Sedangkan CIDP atipikal merupakan varian CIDP yang tidak memenuhi kriteria tersebut di atas misalnya dalam hal kelemahan yang asimetris ataupun hanya segmen distal saja yang terkena. Mereka adalah Sindroma Lewis Sumner/MADSAM, DADS (distal acquired demyelinating symmetric neuropathy), CIDP sensorik dan CIDP motorik murni. EFNS tidak memasukkan MGUS (monoclonal gammopathies of undetermined significance) dan MMN (multiple motor neuropathy) yang sebelumnya dimasukkan dalam kriteria AAN karena dianggap tidak memenuhi kriteria CIDP meskipun sama-sama berespon terhadap terapi imunologi. Berikut ini akan dibahas beberapa varian CIDP tersebut: Sindroma Lewis Sumner/MADSAM Tahun 1982 Lewis menyebutkan lima pasien dengan polineuropati demielinisasi yang bersifat kronis dan asimetris yang menyerupai mononeuritis multipleks. Pada sindroma ini gejala motorik dan sensorik dapat terdistribusi secara individual ke beberapa saraf (multifokal). Onset penyakit ini sering dimulai di ekstremitas atas dengan gejala sensorik yang lebih menonjol. Gejala klinis dapat dimulai dari satu saraf, kemudian berlanjut ke beberapa saraf dengan distribusi asimetris. Perjalanan penyakit cenderung lambat dan dan tidak kentara (insidious) tetapi progresif. Neurofisiologis menunjukkan blok konduksi yang bersifat persisten dan multifokal pada saraf motorik. Saraf sensorik juga menunjukkan kelainan. Gambaran LCS hampir sama dengan CIDP dimana terjadi peningkatan minimal protein LCS dan dapat normal. Sindroma Lewis Sumner dapat berespon terhadap terapi steroid dan IVIg. Sindroma ini juga sering disebut sebagai neuropati MADSAM (Multifocal Acquired Demyelinating Sensory and Motor Neuropathy).16,17,18

Distal Acquired Demyelinating Simmetric Neuropathy (DADSN)

Secara klinis varian CIDP ini menunjukkan gejala sensorik atau sensorik dan motorik pada distal ekstremitas ; dan gangguan neurologis tersebut bersifat simetris dan tentu saja kronis progresif. Pemeriksaan neurofisiologis menunjukkan tanda-tanda demielinisasi terutama pada saraf motorik (umumnya neuropati distal kronis hampir selalu menunjukkan tanda-tanda degenerasi aksonal). DADS dibagi menjadi DADS-I (idiopatik) dan DADS-M. DADS-M berhubungan dengan IgM, protein M (monoclonal) atau anti MAG (antibodies reactive to myelin associated glycoprotein). DADS-M tersebut tidak terlalu berespon terhadap terapi standar CIDP.19,20

CIDP Sensorik

CIDP jenis ini kadang-kadang secara kebetulan didiagnosis dari pasien yang diduga neuropati sensorik biasa. Ataksia sensorik sering merupakan gejala pertama dan dapat menimbulkan gangguan gait. Pasien-pasien tersebut umumnya pada pemeriksaan neurofisiologis didapatkan tanda-tanda demielinisasi pada saraf motorik meskipun secara klinis tidak ditemukan kelemahan sama sekali. Tanda-tanda demielinisasi saraf sensorik umumnya sering tidak terdeteksi pada pemeriksaan neurofisiologis biasa dan SNAP dapat tidak timbul. Penyakit ini berespon baik terhadap terapi standar CIDP 18,20.

Page 9: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

CIDP motorik

Secara klinis pasien yang mendapatkan penyakit ini tidak mengalami gejala sensorik sama sekali. Pemeriksaan neurofisiologis dan biopsi n.suralis tidak menunjukkan adanya keterlibatan saraf sensorik; tetapi terdapat bukti demielinisasi (blok konduksi dsb) yang jelas pada saraf motorik serta amplitudo CMAP distal yang normal pada pemeriksaan neurofisiologis. Tipe CIDP ini tidak berespon terhadap pemberian kortikosteroid tetapi berespon terhadap terapi IVIg dan plasmaferesis39. Jenis CIDP ini sangat jarang sekali didapatkan pada anak-anak dan hanya 3 laporan kasus yang menyebutkan CIDP motorik murni pada anak20,21

PENYAKIT LAIN YANG BERHUBUNGAN DENGAN CIDP

Berdasarkan banyak laporan kasus, beberapa penyakit dapat berhubungan dengan CIDP, antara lain adalah: diabetes melitus, MGUS, gamopati monoklonal yang tidak berhubungan dengan antibodi anti-mielin, infeksi HIV, hepatitis kronis aktif, systemic lupus erythromatosus, atau penyakit jaringan longgar lain; sarcoidosis, gangguan fungsi tiroid, IBD (inflammatory bowel disease), glomerulonefritis membranosa, dan transplantasi sumsum tulang atau organ lain dan bahkan pernah dilaporkan pasca vaksinasi influenza14,22. Yang perlu diperhatikan adalah CIDP yang berhubungan dengan HIV karena gambaran LCS yang berbeda (terjadi peningkatan sel) dan merupakan salah satu neuropati yang sering terdapat pada HIV selain GBS/AIDP. Umumnya CIDP ini terjadi pada waktu masa laten, asimtomatis atau stadium awal dari HIV dimana CD4+ nya masih di atas 500 sel/mm3. Karena itu perlu dipikirkan infeksi HIV pada pasien CIDP dengan risiko tinggi dan bila HIV masih negatif pemeriksaan tersebut dapat diulangi kembali 6 bulan kemudian 8,14,23. Selain itu CIDP pada pasien diabetes perlu pula diperhatikan karena frekuensi nya yang lebih tinggi dibandingkan frekuensi CIDP secara umum. Perlu diingat bahwa pasien diabetes dengan CIDP mempunyai kontraindikasi terhadap terapi steroid; untungnya CIDP pada pasien diabetes berespon baik terhadap terapi lain seperti IVIg dan plasmapheresis24,25.

DIAGNOSIS BANDING Pada pemeriksaan klinis murni, CIDP dapat salah didiagnosis dengan berbagai polineuropati sensorimotorik kronis termasuk yang berhubungan dengan diabetes, uremia, hipotiroid, toksin dan alkoholisme. Karena itu pemeriksaan neurofisiologis sangat penting untuk mendeteksi adanya demielinisasi segmental dan membedakan CIDP dengan polineuropati aksonal. Meskipun demikian beberapa penyakit dapat sulit dibedakan dengan CIDP; misalnya seperti sindroma POEMS (Polineuropathy, Organomegaly, Endocrinopathy, M-protein, Skin changes) yang berhubungan dengan mieloma multipel, MGUS (monoclonal gammopathies of undetermined significance), macroglobulinemia Waldenstrom. Penyakit-penyakit tersebut dapat dibedakan dengan CIDP oleh adanya protein M didalam darah dan urin dan adanya lesi litik pada tulang. Neuropati familial (mis:Charcot Marie Tooth tipe 1) perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding CIDP terutama bila riwayat keluarga tidak berhasil didapatkan. Perjalanan penyakit dapat membantu membedakan dengan CIDP dimana tipe familial progresifitasnya lebih lambat . Dalam hal ini pemeriksaan neurofisiologis sangat membantu. Pada kelainan familial, demielinisasi yang didapatkan umumnya bersifat uniform dan simetris. Jarang sekali didapatkan blok konduksi fokal atau perlambatan KHS fokal seperti pada CIDP. Pada pasien diabetes , CIDP harus dibedakan dengan neuropati diabetes jenis lain terutama DLRPN (diabetic lumbosacral radiculoplexus neuropathy). Secara klinis DLRPN umumnya bersifat subakut,disertai nyeri radicular dan asimetris dan lebih sering mengenai ekstremitas bawah (berlawanan dengan CIDP yang simetris dan tidak disertai nyeri). Meskipun pada pemeriksaan neurofisiologis didapatkan tanda-tanda demielinisasi, tetapi denerasi aksonal lebih menonjol24. Kadang-kadang CIDP agak sulit dibedakan dengan GBS/AIDP, terutama CIDP yang bersifat relaps-remisi pada fase awal. Diagnosis bandingnya penting karena perjalanan penyakit,

Page 10: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

manajemen terapi dan prognosis yang berbeda. Beberapa hal yang dapat membedakann antara lain GBS/AIDP umumnya jarang mencapai nadir setelah 4 minggu; GBS lebih jauh lebih sering mengenai nervus kranialis dibandingkan CIDP. Selain itu CIDP lebih jarang didahului infeksi pendahulu dan antibodi terhadap campylobacter jejuni tidak pernah dijumpai pada CIDP26.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Neurofisiologis Pemeriksaan neurofisiologis terutama pemeriksaan NCS (nerve conduction study) merupakan pemeriksaan yang sangat penting dan mutlak untuk mendapat mendiagnosis CIDP. Gambaran NCS yang cukup karakteristik untuk CIDP merupakan gambaran demielinisasi segmental yang ditandai dengan penurunan kecepatan hantar saraf, perlambatan latensi distal, temporal dispersion dan adanya perlambatan latensi ataupun blok dari F-wave. Yang akan dibahas adalah kriteria neurofisiologis yang dianggap paling sensitif saat ini, yaitu kriteria EFNS yang juga sudah memenuhi batasan demielinisasi yang diberikan oleh AAEM (American Association of Neuromuscular and Electrodiagnostic Medicine) 27

Penurunan kecepatan hantar saraf yang mendukung ke arah diagnosis CIDP adalah perlambatan lebih dari 30% dari batas bawah normal (BBN) minimal pada 2 saraf. Perlambatan latensi distal yang bermakna untuk CIDP adalah pemanjangan latensi distal lebih dari 50% dari batas atas normal (BAN) pada minimal 2 saraf (singkirkan sindroma terowongan karpal bila terjadi perlambatan latensi distal pada n.medianus) 14,27. Blok konduksi parsial didefinisikan sebagai penurunan amplitudo CMAP segmen proksimal sebesar 50% jika dibandingkan dengan distal (gambar 1). Blok konduksi parsial ini harus terdapat minimal pada 2 saraf untuk diagnosis CIDP . Jiika blok konduksi tidak didapatkan, maka pada n.medianus dan n.ulnaris (dapat bilateral) dilakukan stimulasi sampai ke proksimal sekali (Erb point). Sedangkan temporal dispersion didefinisikan sebagai pemanjangan durasi CMAP proksimal sebesar 30% jika dibandingkan dengan distal dan harus terdapat pada minimal 2 saraf (gambar 3). Abnormalitas F-wave yang didapatkan pada CIDP adalah pemanjangan latensi F-wave minimal 30% dari batas atas normal (atau 50% bila CMAP distal saraf tersebut < 80% batas bawah normal) pada minimal 2 saraf atau tidak timbulnya gelombang F-wave pada minimal 2 saraf (gambar2).

Gambar 1. Blok konduksi Gambar 2. Perlambatan latensi & blok

parsial F-wave n.medianus

Page 11: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

Gambar 3. Temporal dispersion Laboratorium Punksi lumbal diindikasikan pada pasien yang dicurigai CIDP. Peningkatan protein LCS >45 mg/dL didapatkan pada minimal 80% pasien. Hitung sel LCS umumnya normal tetapi dapat meningkat >5 limfosit/mm3 pada 10% pasien. Kriteria AAN mensyaratkan hitung sel tidak boleh melebihi 10 /mm3 kecuali pada pasien dengan HIV (<50/mm3); tetapi peningkatan sel dalam LCS harus didiagnosis banding dengan penyakit Lyme, meningitis limfomatous dan sarcoidosis bila HIV negatif. Sebagai catatan diagnosis CIDP tidak dapat diekslusi hanya dari LCS yang normal. Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat diperiksa antara lain darah lengkap, fungsi ginjal, titer HIV, glukosa darah, antibodi antinuklear (ANA) dan pemeriksaan elektroforesis untuk protein M. Adanya protein M menuntut adanya evaluasi ke arah mieloma multipel (bone scan/bone survey, biopsi sumsum tulang) atau MGUS28.

Biopsi

Nilai diagnostik dari biopsi untuk mendiagnosis CIDP sedang diperdebatkan akhir-akhir ini. Pada kriteria AAN biopsi merupakan keharusan untuk menegakkan diagnosis CIDP secara definite; sedangkan kriteria lain yang dibuat sesudah kriteria AAN (Saperstein, INCAT, EFNS) tidak memasukkan biopsi sebagai keharusan menegakkan diagnosis definite. Meskipun biopsi sudah mulai ditinggalkan untuk menegakkan diagnosis tetapi beberapa ahli masih menggunakan biopsi pada beberapa keadaan. Biopsi dianjurkan terutama pada pasien yang dicurigai CIDP tetapi pada pemeriksaan neurofisiologis tidak didapatkan tanda- tanda demielinisasi atau pada pasien yang dicurigai mengalami vaskulitis. Bouchard dkk meneliti 100 pasien dan menemukan bahwa tanda-tanda degenerasi aksonal pada biopsi merupakan faktor penentu prognosis yang paling sensitif yang dapat memprediksi perjalanan penyakit dengan prognosis yang tidak baik. Mereka menemukan tanda-tanda demielinisasi pada 71% pasien, degenerasi aksonal pada 5% pasien dan campuran 21%. Biopsi umumnya dilakukan pada nervus suralis karena aksesnya yang mudah dengan menggunakan pewarnaaan imunohistokimia. Pada pemeriksaan mikroskopis secara karakteristik didapatkan degenerasi mielin (segmental) dan penurunan densitas dari saraf (yang bermielin) disertai infiltrasi sel T (terutama CD3+) dan makrofag ke perivascular, epineurium dan perineurium (gambar 4,5). Didapatkan juga tanda-tanda edema perineural berupa peningkatan sinyal (dengan pewarnaan alkaline toluidine blue). Pemeriksaan mikroskopis menggunakan mikroskop elektron formasi onion bulb dari sel Schwann disekeliling akson yang mengalami

Page 12: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

demielinisasi (gambar 4). Pada sebagian kecil pasien dapat ditemukan tanda-tanda degenerasi aksonal.29 Pada vaskulitis yang mengenai saraf perifer juga dapat ditemukan infiltrasi makrofag seperti pada CIDP, tetapi degenerasi aksonal jauh lebih menonjol dibandingkan demielinisasi segmental seperti yang didapatkan pada CIDP.30 Sedangkan pada neuropati demielinisasi yang herediter didapatkan tanda-tanda demielinisasi, tetapi infiltrasi sel T dan makrofag tidak begitu menonjol.29,30

Gambar 4. Formasi Onion bulb dari sel Schwann menggunakan mikroskop elektron (panah putih) dan akson yang mengalami demielinisasi (panah besar) disertai infiltrasi makrofag (panah)

Gambar 5. Sel makrofag mempenetrasi sitoplasma sel Schwann yang selubung mielin nya hampir seluruhnya habis (demielinisasi total)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI tidak rutin digunakan untuk mendiagnosis pada praktik sehari-hari dan lebih banyak digunanakan pada penelitian. MRI umumnya dipakai dengan menggunakan kontras dan dapat menunjukkan penyangatan dan hipertrofi/pelebaran saraf proksimal atau radiks yang menunjukkan adanya inflamasi aktif pada kauda ekuina atau pleksus brakialis (Gambar 6).

Page 13: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

Abnormalitas pleksus brakialis dengan pembengkakan ireguler dan peningkatan sinyal pada T2 terlihat pada sekitar 50% pasien CIDP. Pemeriksaan MRI dapat dipertimbangkan bila pada klinis, neurofisiologis, LCS dan biopsi tidak khas untuk CIDP.31

Gambar 6. Hipertrofi pleksus lumbosakral pada MRI T1 (kiri) dan T2

PENATALAKSANAAN Kortikosteroid Pada suatu penelitian RCT ditemukan bahwa pengobatan CIDP dengan kortikosteroid lebih superior dibandingkan dengan placebo (evidens kelas II). Pengobatan dianjurkan dimulai dengan prednison atau prednisolon 60 mg/hari selama minimal 6 minggu, kemudian bila didapatkan perbaikan klinis dosisnya ditappering off dan dipertahankan selama beberapa bulan/ tahun. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pemberian loading kortikosteroid tersebut tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan terapi inisial IVIg (evidens kelas II).13,14 Hampir semua jenis CIDP berespon oleh terapi kortikosteroid kecuali jenis CIDP yang murni motorik (pure motor CIDP) dan terapi steroid malah dapat menyebabkan perburukan pada penyakit tersebut.32 Rata-rata waktu yang diperlukan untuk menghasilkan respons adalah 2 bulan dengan perbaikan maksimal setelah 3-6 bulan. Bahkan Hughes dkk melaporkan perbaikan skor disabilitas dalam waktu 2 minggu setelah pemberian terapi prednisolon.33 Sebagian kecil pasien mengalami remisi setelah kortikosteroid ditappering off, tetapi sebagian besar (70%) mengalami relaps setelah terapi dihentikan sehingga membutuhkan terapi ulangan prednisolon/prednison atau imunoterapi lainnya untuk mengurangi kebutuhan kortikosteroid. Usia muda, durasi penyakit <6 bulan, gangguan neurologis dan neurofisiologis yang ringan umumnya berhubungan dengan respon terapi yang baik terhadap terapi kortikosteroid. Dosis standar prednison/prednisolon adalah 1,0-1,5 mg/kgBB/hari (atau 60 mg/hari) dengan pemberian minimal 6 minggu. Bila berespon dengan terapi, dosis rumatan dapat diganti dengan dosis intermiten (alternate-day regimen) yang kemudian dapat di-tappering off 5-10 mg tiap 2-4 minggu selama dosis intermiten tersebut. Jika pasien kemudian mengalami perburukan kembali dosis tersebut dapat dinaikkan ke dosis minimum yang mengakibatkan perbaikan.

Page 14: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

Terapi kortikosteroid umumnya berespon baik terhadap pasien muda, tetapi sering tidak dapat ditoleransi oleh pasien lansia karena penyakit yang diderita sebelumnya (diabetes, hipertensi,obesitas). Karena itu diperlukan evaluasi berkala berat badan, tensi, glukosa darah, elektrolit, pemeriksaan mata, dan jika perlu BMD. Sebaiknya diberikan pula suplemen kalsium dan vitamin D dan jika perlu preparat biphosphonate. Kontraindikasi kortikosteroid adalah ulkus peptikum aktif, diabetes atau hipertensi yang tidak terkontrol, osteoporosis berat dan infeksi jamur sistemik. Kelebihan terapi steroid adalah biaya yang murah dan praktis; tetapi pengobatan steroid jangka panjang mempunyai banyak efek samping seperti sindroma Cushing, dispepsia, hiperglikemia, osteoporosis, dll dan dapat mengakibatkan perburukan untuk CIDP yang murni motorik.13,14,33

Intravenous Immunoglubulin (IVIg)

Selama sepuluh tahun terakhir IVIg telah dipakai sebagai terapi utama CIDP. Beberapa penelitian menunjukkan 60-70% pasien CIDP berespon baik terhadap terapi IVIg. Perbaikan klinis yang nyata terjadi dalam beberapa minggu dan pada beberapa kasus yang jarang malah terjadi beberapa hari setelah infus IVIg diberikan. Meskipun demikian efek dari IVIg hanya bersifat sementara (1-6 minggu) dengan 50% pasien mengalami relaps dalam waktu beberapa minggu-bulan sehingga memerlukan infus IVIg berkala untuk mempertahankan perbaikan yang optimal. Menurut penelitian Mendell dkk 11 dari 29 pasien mengalami perbaikan setelah pemberian IVIg 1g/kgBB/hari dibandingkan dengan 2 dari 21 pasien yang diberikan plasebo; dan setelah 3 minggu 76% pasien mengalami perbaikan motorik. Perbaikan mulai terlihat setelah 10 hari pasca pemberian IVIg.28 Metaanalisis dari 4 penelitian RCT double blind dengan 235 pasien menunjukkan bahwa pemberian IVIg 2 g/kg BB menunjukkan perbaikan signifikan yang bertahan selama 2-6 minggu (evidens Kelas I, rekomendasi level A). Penelitian internasional mutakhir yang melibatkan 117 pasiendari 33 negara menunjukkan bahwa efikasi IVIg yang optimal adalah dengan pemberian loading dose 2 g/kgBB dibagi dalam 2-4 hari diikuti dosis rumatan 1g/kgBB selama 1-2 hari setiap 3 minggu selama minimal 24 minggu dan bila perlu sampai 48 minggu dengan perbaikan disabilitas yang lebih nyata dan kejadian relaps yang lebih jarang bila dibandingkan dengan plasebo. Regimen terapi tersebut harus diulang pada interval tertentu karena efek IVIg hanya bersifat sementara.14,34 Kelebihan terapi IVIg adalah respon nya yang lebih cepat dibandingkan steroid dan praktis digunakan dengan efek samping yang relatif minimal. Kekurangannya adalah harganya yang mahal.

Plasma Exchange (PE)

Dua penelitian RCT double blind menunjukkan bahwa PE menunjukkan perbaikan jangka pendek pada sekitar dua pertiga pasien tetapi perburukan yang cepat dapat terjadi sesudahnya (evidens kelas I). PE dapat dipertimbangkan sebagai terapi inisial karena perbaikan klinis yang cepat sesudah terapi (rekomendasi level A). Setelah pengobatan PE umumnya pasien membaik dalam waktu 4 minggu sesudah terapi pertama, dan CIDP yang bersifat kronik progresif lebih berespon dibandingkan tipe relaps-remisi. Meskipun efikasi jangka pendek menunjukkan perbaikan nyata, tetapi 50-67% pasien mengalami perburukan kembali beberapa minggu-bulan setelah terapi. Karena itu untuk stabilisasi diperlukan kombinasi dengan terapi lain seperti kortikosteroid atau terapi imunosupresif. PE berfungsi untuk membuang imunoglobulin atau autoantibodi yang bersifat patologis. Satu sesi PE membuang kurang lebih 3-5 liter plasma dan mengurangi IgG intravaskular sampai 45% sehingga diperlukan 3-5 kali PE untuk membuang 90% IgG. Plasma yang dibuang digantikan

Page 15: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

dengan albumin 5% dan cairan NaCl fisiologis; kadang diperlukan suplemen kalsium atau dextrose dengan asam sitrat. Umumnya frekuensi PE ditentukan oleh beratnya penyakit dan respon klnis. Sebagai contoh, pasien CIDP dengan disabilitas umumnya diterapi dengan 5 sesi PE (setiap exchange 250mL/kgBB) selama 7-10 hari. Sedangkan pasien dengan CIDP ringan/sedang mungkin hanya memerlukan 2-3 PE per minggu selama periode 2-3 minggu diikuti PE seminggu 1-2 kali selama 3 minggu berikutnya. Infus NaCl dapat diberikan (500-1000cc) beberapa jam sebelum PE dimulai untuk mengurangi risiko hipotensi atau refleks vagal. PE dapat diulangi dengan regimen yang sama secara periodik untuk memepertahankan perbaikan klinis. Penambahan kortikosteroid atau obat imunosupresif dapat memperpanjang periode remisi dan mengurangi frekuensi PE. PE dapat digunakan dengan aman dalam jangka panjang terutama untuk pasien yang mempunyai kontraindikasi terhadap kortikosteroid karena diabetes atau terhadap IVIg karena insufisiensi renal. Pasien dengan akses intravena yang sulit mungkin memerlukan kateter vena sentral dengan risiko penumotoraks dan infeksi serta trombosis vena sentral. Kontraindikasi relatif PE antara lain koagulopati, trombositopenia atau hipotensi. Komplikasinya antara lain hipotensi, aritmia kordis, reaksi vasovagal, intoksikasi sitrat (mual/muntah, gangguan elektrolit), reaksi alergi terhadap albumin, anemia, trombositopenia, perdarahan, trombosis vena dan pneumotoraks.13,14

Obat-obat Imunosupresan

Beberapa RCT melaporkan hanya penelitian terhadap azatriopin dan methotrexat. Kombinasi Azatriopin (2mg/kgBB) dengan prednison tidak menunjukkan hasil bermakna pada 14 pasien selama 9 bulan; mungkin karena waktu penelitian yang pendek dan dosis yang kecil. Juga tidak didapatkan hasil bermakna pada terapi methotrexat 15 mg perhari selama 24 minggu dibandingkan dengan plasebo pada 62 pasien yang sudah diterapi IVIg atau kortikosteroid. Obat-obat imunosupresif dalam praktik memang sering digunakan sebagai kombinasi dengan kortikosteroid atau untuk mengurangi dosis IVIg atau PE atau untuk mengobati pasien CIDP yang sudah resisten terhadap pengobatan standar CIDP (evidens kelas IV). Sementara ini terapi imunosupresan dapat dipertimbangkan bila respon terhadap terapi IVIg, PE atau kortikosteroid tidak adekuat.13,14,35

CIDP PADA ANAK

CIDP pada anak merupakan penyebab neuropati yang jarang. Dari 125 kasus neuropati pada anak, hanya 11 (8,8%) di antaranya terdiagnosis CIDP. Deskripsi CIDP pada anak umumnya berasal dari laporan kasus dan jarang dari penelitian. Infeksi pendahuluan (antecedent event) yang umumnya berupa infeksi saluran napas atas terjadi pada sepertiga pasien CIDP anak; kurang lebih sama seperti orang dewasa. Penyakit ini berkembang lebih cepat pada sepertiga anak dan dapat menyerupai sindroma Guillain Barre (berbeda dengan orang dewasa). Anak dengan onset CIDP yang cepat rata-rata umurnya lebih muda dibandingkan rata-rata pasien CIDP anak. Pada anak CIDP bersifat difus,simetris dengan areflexia dan manifestasi klinis umumnya mirip dengan orang dewasa; hanya gejala minor lebih jarang terjadi pada anak. Gejala motorik umumnya lebih menonjol dibandingkan dewasa dan pertama kali muncul sebagai gangguan gait dan kejadian jatuh (umumnya kelemahan dan disabilitas lebih sering dijumpai dan lebih berat pada anak). Gejala sensorik lebih jarang dibandingkan dewasa dan anak yang lebih besar umumnya lebih dapat menceritakan gejala sensorik. Neuropati kranial dan keluhan nyeri sangat jarang didapatkan pada anak. Berlawanan dengan pendapat sebelumnya yang menganggap bahwa CIDP pada anak sebagian besar bersifat relaps-remisi, ternyata penelitian yang dilakukan Ryan dkk tahun 2000 menyebutkan bahwa dari 16 pasien CIDP anak, 7 monofasik, 3 progresif lambat dan 6 berupa relaps-remisi.36,37

Page 16: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

Pemeriksaan neurofisiologis pada anak CIDP tidak berbeda jauh dengan dewasa dengan penurunan KHS, perlambatan latensi distal, blok konduksi parsial dan temporal dispersion merupakan gambaran yang umum didapatkan. Perlu ditekankan, meskipun sulit tetapi pemeriksaan NCS harus dibuat sama banyaknya dengan dewasa karena hasil neurofisiologi mempengaruhi diagnosis dan pengobatan.Bila perlu selama dilakukan pemeriksaan NCS anak diberikan sedasi. Hasil hitung protein LCS yang didapatkan pada anak sedikit lebih tinggi dibandingkan dewasa, yaitu 39-1200/dL dengan rata-rata 200 mg/dL. Pengobatan CIDP pada anak hampir sama dengan dewasa. IVIg menjadi pilihan utama terapi karena efek sampingnya yang lebih sedikit dan lebih praktis. Dosis IVIg umumnya dimulai dari 2g/kgBB/hari selama 2-5 hari diikuti dosis rumatan 1g/kgBB/hari untuk 1-2 hari tiap 1-6 minggu bergantung respon terapi. Plasmaferesis dapat dilakukan pada anak yang lebih besar yang akses intravena-nya lebih mudah. Prednison atau prednisolon dapat diberikan bila respon terhadap imunomodulator lain tidak adekuat. Dosisnya dimulai dari 1-2mg/kgBB/hari tiap hari/ selang-seling sampai terdapat respon kemudian baru ditappering off .37

PROGNOSIS

Secara umum prognosis CIDP baik dan mortalitas jarang sekali didapatkan (berbeda dengan AIDP/GBS). Sebagian besar berespon baik terhadap terapi standar, yaitu kortikosteroid, IVIg dan plasmaferesis dan hanya sebagian kecil yang resisten terhadap terapi standar tersebut. Pada penelitian kohort selama yang dilakukan Kuwabara dkk yang mem-follow up 38 pasien CIDP selama 5 tahun yang mengalami terapi kortikosteroid atau IVIg atau plasmaferesis atau kombinasi didapatkan bahwa 87% pasien CIDP berespon baik terhadap terapi standar . Yang mengalami remisi total (pemeriksaan NCS normal selama minimal 2 tahun) sebesar 26%; remisi parsial 61%. Sebanyak 39% pasien masih harus menjalani terapi ulangan dan 13% pasien tidak berespon baik terhadap terapi standar38. Respon terapi pada pasien anak umumnya lebih baik dibandingkan dengan dewasa dan mempunyai keluaran jangka panjang yang lebih baik.7

KESIMPULAN

CIDP merupakan penyakit saraf perifer yang disebabkan proses autoimun dan bersifat kronik progresif dan lebih sering menyerang orang dewasa. Karena sifatnya yang multifokal, klinis yang bervariasi dan belum ada konsensus untuk kriteria diagnosisnya, sampai saat ini diagnosis CIDP sering menjadi diskusi yang alot antara para ahli saraf tepi. Sampai saat ini kriteria diagnostik yang paling baru dan paling sensitif adalah kriteria yang diajukan EFNS. Lini pertama terapi CIDP adalah pemberian IVIg (intravenous immunoglobulin), PE dan kortikosteroid (prednison/prednisolon) atau kombinasi dari terapi tersebut. Sebagai catatan penggunaan kortikosteroid tidak dianjurkan pada CIDP tipe motorik murni dan menjadi pilihan terakhir untuk pasien anak karena efek sampingnya. Obat-obat imunosupresan seperti azatriophine dan methotrexate masih dalam penelitian dan hanya digunakan pada CIDP yang resisten terhadap semua terapi standar. Umumnya CIDP berespon baik terhadap terapi standar dan kadang diperlukan regimen ulangan terapi pada kasus relaps untuk mempertahankan stabilitas penyakit tersebut dan hanya sebagian kecil yang resisten terhadap terapi; secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa CIDP adalah suatu penyakit dengan prognosis yang baik bila diterapi dengan tepat.

DAFTAR PUSTAKA 1. Latov N. Diagnosis of chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy. Neurology 2002; 59:

S2-S6 2. Definition of chronic inflammatory demylinating poly neuropathy @ http:// medical-

dictionary.thefreedictionary.com/dictaspx?word=chronic+inflammatory+demyelinating+polyneuropathy.

Page 17: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

3. Toyka KV, Gold R. Rationale for treatment with immunomodulatory agents. Neurology 2003;60:S2-S7.

4. Misawa S, Kuwabara S, Mori M et al. Serum levels of tumor necrosis factor-alpha in chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy. Neurology 2001;56:666-669.

5. Lewis RA. Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy @ http :// emedicine.medscape.com/article/1172965-overview; updated April 2010.

6. Lijima M,Koike H, Hattori N, et al. Prevalence and incidence rates of chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy in the Japanese population. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2008;79:1040-1043.

7. Vallat JM, Sommer C, Magy L. chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy: diagnostic and therapeutic challanges for a treatable condition. Lancet Neurol 2010;9:402-412.

8. Shield RW,Willbourn AJ. Denyelinating disease of the peripheral system @ Textbook of Clinical Neurology second edition. Saunders 2003:1090-1093.

9. Bromberg MB. Comparison of electrodiagnostic criteria for primary chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy. Muscle Nerve 1991;14:968-976.

10. Magda P, Latov N, Brannagan TH,et al. Minimal electrodiagnostic criteria for chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy. Neurology 2003;60:A489.

11. Sander HW, Latov N. Research criteria for defining patients with chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy.

12. De Sousa EA, Brannagan TH. Diagnosis and treatments of chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy. Current Tratment Options in Neurologsy 2006;8:91-103.

13. Joint Task Force of the EFNS and PNS. European Federation of Neurological Society Guideline on management of chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy: Report of a joint task force of the EFNS and PNS. J Peripheral Nervous System 2005;10:220-228.

14. Van den Bergh PYK, Hadden RDM, Bouche P. EFNS guideline on management of chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy. Report of a joint task force of European Federation of Neurological Society and the Peripheral Nerve Society- 1st revision. European Journal of Neurology 2010;17:356-363.

15. Tackenberg B, Lunemann JD, Steinrecher A. Classifications and treatment responses in chronic immune-mediated demyelinating polyneuropathy. Neurology 2007;68:1622-1629.

16. Simmons Z, Albers JW. Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy and related disorders. Neuromuscular Disease in Clinical Practice. Butterwort Heinemann 2002:

17. Yang JW, Liu CH, Tsai CH. Multifocal acquired demyelinating sensory and motor neuropathy: report of a case and review of the literature. Acta Neurol Taiwan 2004;13: 24-28.

18. Latov N. Clues to the diagnosis of chronic immune mediated polyneuropathies @ http:// www.neuropathy.org/site/docserver/clues _to_the_diagnosis_of_immune_meidated_neuropathies.pdf?doCID=944.

19. Katz JS,Saperstein DS,Gronseth G. Distal acquired demyelinating symmetric neuropathy. Neurology 2000;54:615.

20. Brannagan TH. Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy @ neuropathy.docserver.CIDP.pdf

21. Sinno DD,Darras BT,Yamout BI. Motor variant of chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy in a child. Pediatr Neurol 2008;38:426-429.

22. Kelkar P. CIDP with rapid progression after influenza vaccination: areport of three cases. J Clin Neuromusc Dis 2006;8:20-25.

23. Pardo CA, McArthur JC, Griffin JW. HIV neuropathy:insights in the pathology of HIV peripheral nerve disease.

24. Sharma KR,Cross J,Farronay O. Demyelinating neuropathy in diabetes melitus. Arch Neurol 2002;59:758-765.

25. Laughin RS,Dyck PJ,Melton et al. Incidence and prevalence of CIDP and the association of diabetes melitus.

26. Ruts L,Drenthen V,Jacobs BC. Distinguishing acute onset CIDP from fluctuating Guillain Barre syndrome: a prospective study. Neurology 2010;74:1680-1684.

27. Olney RK. Consensus criteria for the diagnosis of partial conduction block. Muscle Nerve 1999;22:suppl 8:S225-S229.

Page 18: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010

28. Gorson KC,Ropper AH. Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy: a review of clinical syndromes and treatment approaches in clinical practice.

29. Bouchard C,Lacroix C,Plante’ V. Clinicopathological findings and prognosis of chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy. Neurology 1999;52:498-503.

30. Boosbom WMJ, van den Berg CH, Franssen H. Diagnostic value of sural nerve demyelination in chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy. Brain 2001,124:2427-2438.

31. Hernalsteen D, Cosnard G, Peeters A. Lumbar plexus involvement with chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy: a variant of the generic disorder. JBR-BTR;88:322-324.

32. Hughes RAC. Systematic reviews of treatment for inflammatory demyelinating neuropathy. J Anat 2002;200(4):311-339.

33. Hughes R,Sanders E,Hall S et al. Subacute idiopathic demyelinating polyneuropathy. Arch Neurol 1992;49:612-616.

34. Hughes AC,Donofrio P,BrilV. Intravenous immunoglobulin for the tratment of chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (ICE study): a randomized placebo controlled trial. Lancet neurol 2008;7:136-144.

35. Rogers MM,Rutherford C,Hughes RAC. Randomized clinical trials of methotrexate for chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (RMC trial): a pilot, multicentre study. Lancet Neurol 2009;8:158-164.

36. Ryan MM,Grattan PJ,Procopis PG et al. Childhood chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy: clinical course and long term outcome. Neuromuscular dis 2000;10:398-406.

37. Markowitz JA,Jeste SS,Kong PB.Child neurology: chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy in children. Neurology 2008;71:e74-e78.

38. Kuwabara S,Misawa S,Mori M. Long term prognosis of chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy: a five year follow up of 38 cases. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2006;77:66-70.

39. Donaghy M,Mills KR,Boniface SJ. Pure motor demyelinating neuropathy deterioration after steroid tretment and improvement with intravenous immunoglobulin. J Neurol Neurosurg Psychiatry;57:778-783.

40. Ouvrier RRA, McLeod JG; Chronic peripheral neuropathy in childhood: an overview. Aust Paediatr J 1988; suppl:80-82

Page 19: CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING … · PENDAHULUAN Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy atau sering disingkat menjadi CIDP merupakan suatu penyakit autoimun

Neurona Vol. 28 No. 1 Oktober 2010