Upload
lykien
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ii
Eastern Light Publication
Http://www.facebook.com/EL.Publish
© Hak Cipta 2011 Helmy Kusuma All rights
reserved.
Tidak ada bagian dari buku ini boleh direproduksi
ulang, disimpan dalam sistem, atau
ditransmisikan dengan cara apapun tanpa
persetujuan dari penulis.
Cinta 3 Sisi oleh Helmy Kusuma
Edisi Pertama 2011 dipublikasikan dan dicetak di
www.nulisbuku.com
Desain Sampul oleh Helmy Kusuma
[ISBN 978-602-98507-2-7]
iii
Ini adalah karya fiksi. Nama, karakter, tempat,
merk dagang, media dan kejadian adalah hasil
dari imajinasi penulis atau digunakan secara
fiksi. Penulis mengakui status merk dagang dan
pemilik merk dagang dari berbagai produk yang
mungkin direferensikan dalam karya fiksi ini,
yang telah digunakan tanpa persetujuan.
Publikasi atau penggunaan merk dagang ini tidak
di otorisasi, berhubungan ataupun disponsori oleh
pemegang merk dagang.
****
iv
Kata Pengantar
Cinta 3 Sisi ini saya buat berdasarkan
permintaan teman-teman yang merasa
keberatan membaca buku saya yang pertama
“Mementoes of Mai” yang memakai bahasa
Inggris. Namun karena terus terang saya
malas untuk menerjemahkan, apalagi karya
sendiri, maka saya putuskan untuk membuat
suatu karya dengan sudut pandang yang
berbeda.
Dalam Cinta 3 Sisi ini saya
menyertakan 3 tokoh dengan jalan ceritanya
masing-masing yang saling terkait pada suatu
titik. Salah satu tokoh, yaitu Mai, adalah
sang tokoh utama dari "Mementoes of Mai".
Saya harap anda menyukainya.
Selamat membaca.
vi
Daftar Isi
Bab Satu
Bab Dua
Bab Tiga
Bab Empat
Bab Lima
Bab Lima#
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Delapan
Bab Sembilan
Bab Sepuluh
Bab Sepuluh#
1
Bab Satu
Kring.
Jam weker itu berdering, awalnya pelan kemudian makin lama makin keras. Dia telah setia membangunkan tuannya untuk waktu yang lama sekali, ah tidak ingat dia sudah berapa jam atau berapa menit atau berapa detik, yang pasti pagi ini dia sudah berdering setengah jam lamanya.
04:30. "Aduh, sudah jam setengah lima!"
Seorang wanita dengan mata masih setengah tertutup segera dengan sigap dan sedikit terhuyung turun dari tempat tidur, melirik ke punggung seorang lelaki yang tampak masih asyik tidur yang tidak terganggu sama sekali oleh jeritan sang weker.
Agnes si wanita itu bergegas mematikan weker, menggelung dan mengikat rambutnya dengan sebuah karet gelang, rambutnya bagaikan rami-rami kasar pada sebuah sapu. Gerakannya sudah terprogram dengan rapi, bagaikan aktivitas yang sudah ratusan bahkan ribuan kali dilatih berulang. Dia mematikan AC kemudian turun ke bawah.
Aktivitas selanjutnya sudah seperti konser musik yang di-gladiresik-kan dengan sempurna, begitu mengalir, sambung-menyambung dan tidak terputus. Dia adalah konduktor sekaligus pemain piano dan pemain biola dan pemain saxophone dan pemain bass. Piring, gelas, sendok garpu,
2
wajan, kompor, mangkuk, pisau adalah alat musiknya. Pemirsa setianya selama lebih dari lima belas tahun lamanya tak lain adalah ruangan dapur mungil dengan kitchen set lebar dua meter lengkap dengan kitchen sink dan lemari untuk menyimpan peralatan masak. Di sebelahnya terdapat ruangan makan dengan satu buah meja oval terbuat dari kayu yang difurnish, tiga buah kursi kayu dan dua buah kursi plastik warna merah. Tidak jauh dari sana ada sebuah galon air lengkap dengan pompanya dan sebuah lemari es dua pintu.
Agnes sibuk memotong, mencacah, menggoreng, menumis, merebus, menanak, mencuci, menggerus, menggeprok dan menata, sementara tepat disamping dapur – di luar ruangan, Iyem, sang mbok yang sudah membantu dirinya semenjak anak keduanya, Hendri, lahir, sedang memainkan konsernya sendiri. Mencuci baju.
Jam sudah menunjukkan pukul 05:30 ketika Agnes meletakkan sendok garpu terakhir pada piring yang sudah tertata rapi di meja makan.
"Doni, Hendri! Ayo bangun! Sudah siang!"
Paul, suaminya, baru saja selesai mandi dan masih berbalut handuk di lehernya ketika dia masuk ke dalam kamar. "Sudah selesai mandi?" yang disambut dengan deheman. Dia mengenakan kemeja putih bergaris, celana kain hitam dan
3
sedang bersisir di depan cermin oval yang terpatri di pintu lemari pakaian.
Selesai mandi jam bulat di atas pintu kamar sudah menunjukkan pukul 05:50; tidak sempat lagi Agnes untuk berdandan selain menyapukan bedak tipis pada wajahnya. Wajahnya. Dia terpaku sejenak melihat wajah itu di dalam cermin. Rambut ikal yang lebih panjang sedikit dari bahu dibiarkan saja tergerai setelah disisir lima kali, dan tulang pipi yang terlihat agak menonjol. Dia memiringkan sedikit wajahnya ke kiri dan ke kanan, pipinya terlihat agak tirus dan pandangan itu, pandangan dari mata yang tidak terlihat lagi kilaunya, padam oleh beratnya kehidupan.
Dia menghela napas dan memaksakan sebuah senyum yang terlihat agak menyedihkan karena tarikan sudut mata yang kurang tepat dan aroma ragu-ragu dari sudut bibirnya. Segera dia berpaling, memasukkan pemulas bibir, sisir, perona pipi, bedak, pensil alis dan cermin kecil ke dalam tas hitam berbahan kulit – ehm lebih tepatnya tas hitam berbahan yang menyerupai kulit – dengan pegangan dari stainless steel dan menutup pintu kamar kemudian turun ke ruang makan.
Ruang makan yang sebelumnya menjadi penonton bisu konser paginya sekarang sudah diinvasi oleh celotehan-celotehan Maria anaknya yang paling kecil, suara televisi yang terdengar dari ruang tamu, Hendri dan Doni yang sedang
4
asyik menonton acara kartunnya, dan Paul yang sesekali menimpali Maria sambil menyeruput kopi dan membaca koran paginya.
Sambil mencomot bakwan jagung, Agnes memasukkan nasi dan lauknya pada dua wadah plastik segi empat: satu buat dirinya dan satu buat suaminya.
"Ayo pa, sudah siang, baca korannya dilanjutkan nanti saja. Doni, Hendri sudah siap belum? Sebentar lagi mobil jemputannya datang. Maria, jangan lupa makan siangnya sama mbak Iyem ya."
Konser pun bergeser ke ruang tamu, kemudian ke luar rumah ketika Paul melipat korannya, memasukkan wadah makan ke dalam tasnya, mengambil kunci mobil dan menstarternya sementara Agnes bergegas membereskan perlengkapan sekolah Maria, memberi wejangan singkat pada Doni dan Hendri agar jangan nakal di sekolah, berpesan pada si Iyem untuk makan siang anak-anaknya, terutama Maria yang masih minta disuap, dan lalu menggendong Maria masuk ke mobil.
Seperti layaknya hari-hari kerja lainnya – apalagi hari senin seperti hari ini – jalanan ibukota menjadi konser selanjutnya: konser besar tanpa kondektur dimana para pemain dan pemirsa mempunyai interpretasi sendiri tentang apa yang dianggapnya sebagai konser musik: masing-masing mempunyai partitur tersendiri dengan tempo yang berbeda yang kadang kala di-
5
paksaseragam-kan oleh lampu merah dan lampu hijau yang menyala bergantian.
Ketika Agnes melambaikan tangannya pada Maria yang berlari ke dalam kelasnya dan kepada Paul yang mengendarai mobilnya untuk berlomba dengan sesama pengguna jalan: motor, metromini, kopaja, patas AC, patas non AC, bus transjakarta, bajaj, pejalan kaki dan pedagang kaki lima, Agnes sudah sempat memulas bibir, menggambar alisnya, meronakan pipinya, menyapukan bedaknya sekali lagi, dan membaca headline dari koran-koran yang dijajakan penjual koran di sela-sela kemacetan : 'Korupsi sudah menjadi darah daging', 'Lagi seorang nenek menjadi korban keganasan pemerkosa', 'Aktor Dodi ketahuan selingkuh, istri minta cerai', 'Banjir bandang terjadi di desa'.
"Ck, ck, ck. Mau jadi apa negara ini?" Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutnya yang kalau saja para pejalan kaki dan mobil disekitarnya bisa mendengarkan perkataannya pasti mereka akan mengangguk setuju. Belum sempat Agnes meneruskan pemikirannya, dia sudah dikagetkan oleh rem mendadak: ada motor yang menyelonong dari samping mobilnya ngotot bersaing dengan metromini dan bus transjakarta di sebelah kanan. "Sialan! Cari mati aja!" Dia mengumpat sementara Paul masih menggeram dengan klaksonnya.
*
6
"Sampai nanti sore Pa" Sambil mengucapkan salamnya, dia melirik ke jam tangannya. 07:58. Bergegas dia masuk dan berlari kecil untuk menempelkan ibu jarinya pada mesin absensi yang sekarang terlihat begitu angker: siap memvonisnya dengan satu kata, 'telat'. Untung tidak ada lagi yang sedang menunggu untuk memberikan sidik jarinya pada kaca sensor itu, sehingga dia langsung saja menempatkan jarinya pada alat kotak disamping tangga itu. 'Tidak dikenal'. "Sial!" Dicobanya lagi menempelkan jarinya setelah mengusap-usap dulu ke bajunya. 'Absen 08:00 Tercatat'. "Fuu!"
*
Ting.
Lift sudah berhenti pada lantai empat dan bersiap untuk membuka pintunya. Dia menghela napas sekali lagi dan memasang senyum pada wajahnya kemudian melangkah keluar.
"Pagi, Bu Agnes. Tumben datang siang." Adam office boy yang belum jauh beranjak dari umur delapan belas menyapanya.
"Iya, macet dijalan. Bubur ayam sudah kamu beli kan?"
"Siap! Sudah ada dimeja ibu."
Sambil berjalan menuju tempat duduknya dia membalas ucapan selamat pagi dari sejawatnya yang lalu lalang sambil membawa mangkok dan bungkusan makan pagi. Tak ketinggalan mereka yang sudah tenggelam di balik kotak partisi ikut menimpali. Sejenak dia
7
bergosip tentang headline yang dibacanya tadi di jalan terutama tentang aktor yang ketahuan berselingkuh dan sedang mengikuti sidang gugatan cerai dari istrinya. Sesekali dia menyela ceritanya dengan sendokan bubur ayam yang rutin menjadi makan paginya setiap hari jumat.
Waktu sudah mulai beranjak mendekati makan siang ketika telepon di mejanya berdering. "Bu Agnes, mau nanya sisa cuti nih. Aku denger dari Pak Joni cuti tahun lalu hangus tahun ini kalau tidak diambil."
"Siapa ini?"
"Ini Helmy, masak lupa. Itu tuh yang ganteng."
"Gombal! Iya paling telat besok sudah harus diambil kalau tidak hangus."
"Waduh! Jadi gimana nih bu Agnes?"
Dia yang disebut sebagai bu Agnes agak mengernyitkan kening dan sudut mulutnya, "Kan sudah pernah ambil cuti masak lupa?"
"Udah lama bu Agnes, kan tahun lalu." Agnes bisa merasakan seringai serigala dari balik telepon.
"Kirim email ke kantor pusat minta sisa cutimu, baru nanti tulis di kartu cutimu ini. Habis makan naik ke atas ambil kartu cutimu."
Terdengar suara menepuk kening, "Oh iya terima kasih bu Agnes. Habis makan siang aku ke atas."
Klik.
8
12:03. Ruangan itu terasa sepi. Hanya terdapat beberapa rekannya yang mulai membuka bekal makan siangnya. Agnes menyempatkan diri menelpon Maria dan si Iyem untuk memastikan bahwa Maria tidur setelah makan siang, kemudian dia bergabung dengan koleganya.
13:15. Dia sudah mulai berkutat lagi mensortir data para pelamar yang masuk ketika pemuda dengan langkah kikuk itu datang. Pemuda itu dengan senyum lebarnya berdiri di samping mejanya dan selama beberapa saat hanya berdiri saja disana tidak yakin dengan apa yang akan diperbuat.
"Halo bu Agnes. Mau ambil kartu cuti nih."
"Oh, udah nyampe toh Hel. Nih kartunya jangan lupa diisi lengkap sisa cutinya isi di sini, jumlah cuti yang diambil di sini terus tanda tangan, jangan lupa petugas pengganti juga."
Dia sibuk menerangkan sambil menunjuk-nunjuk kertas yang disodorkannya kepada pemuda itu yang diterima oleh pemuda itu dengan wajah sedikit terbengong.
"Ngerti kan"
"Oh iya iya, terima kasih bu Agnes. Besok aku kembaliin lagi."
"Mau kemana lagi Hel? Amerika lagi?"
"Ah kagak...kan tempo hari itu gak dapet visa, sekarang hanya deket doang kok, ke Vietnam."
9
Pikiran Agnes melayang sejenak ke desa-desa dan hutan-hutan serta rawa-rawa pada semasa perang yang tergambarkan dalam film rambo yang entah sudah berapa kali dilihatnya diputar di televisi. Dan bom. Dan anak-anak menjerit. Dan..
"Ada apa emang di Vietnam? Bukannya lagi perang tuh?"
Pemuda itu tertawa, "Ah itu kan tahun tujuhpuluhan, bu Agnes. Sekarang sudah kagak perang lagi kok, sama lah kayak negara kita, hanya kita duluan saja merdekanya. Aku mau lihat itu loh Halong Bay, di koran bagus sekali pemandangannya."
"Ya sudah...nanti jangan lupa bawa oleh-oleh."
Agnes pun kembali menekuni pekerjaannya dan si pemuda yang sadar sudah habis masa berbicaranya segera berlalu dengan secarik kertas di tangannya.
Tidak terasa waktu sudah jam setengah lima, waktunya para pekerja kantoran yang sudah berkerut keningnya untuk memijit kepala, menghembuskan nafas dan menggerakkan punggung yang kaku. Waktunya mematikan komputer, menyusun semua berkas-berkas dan menyimpannya di dalam laci atau diletakkan saja di atas meja dan mempersiapkan tas untuk dibawa pulang. Nah, ada banyak sekali langkah untuk mempersiapkan tas ini yaitu mengeluarkan isinya dan menyusunnya kembali dengan urutan
10
yang sesuai serta meletakkannya di atas meja dengan posisi yang pas untuk menggantikan berkas-berkas yang sebelumnya ada di sana. Dan tentunya setelah selesai mempersiapkan tas untuk kemudian bergosip sebentar sambil harap-harap cemas melihat pergerakan tangan jam yang tergantung dengan cueknya di samping foto sang presiden.
Ketika tangan jam itu menunjuk angka dua belas, ramai-ramai Agnes bersama rekan sekerjanya berlomba untuk menjadi yang pertama menginjakkan kakinya di dalam lift yang sialnya hanya bisa memuat empat orang atau lima orang saja. Pernah dia memaksa masuk ketika sudah ada lima orang didalam lift dan segera saja lift itu menjerit protes seakan punggungnya sakit dibebani terlalu banyak beban.
Selanjutnya ibu-ibu jari saling berjuang untuk menempel pada mesin absensi dan kaki-kaki bergegas menghambur ke luar dari gedung kantor seperti narapidana yang menemukan kebebasannya. Ah, padahal minggu depan mereka masih harus masuk ke dalam gedung ini lagi, tapi untuk saat ini biarlah mereka menikmati terbang bebasnya dari sangkar batu bata dan kaca ini.
Konser serabutan kembali mengemukakan dirinya, hanya saja sekarang latar belakang langit terlihat merah dan oranye seakan merundungi nasib para pemirsa konser dan para pemainnya. Mobil, motor, bajaj, metromini, kopaja, patas AC, patas non AC, bus transjakarta kembali
11
mengambil bagiannya secara buru-buru dalam lembar musik yang tidak pernah selesai ditulis. Para penjaja minuman dingin berkeliaran pada saat lampu hijau bermain mata dengan warna merah dan tak ketinggalan para peminta-minta dengan berbagai macam gaya dan kondisi: buta, pincang, lumpuh, koyak-koyak, dekil.
Di sanalah Agnes kembali berkutat sementara Paul sekali-kali mengoper tongkat persneling dan memukul klakson layaknya hakim yang menjatuhkan palu vonis berharap mereka yang menghalangi jalannya segera tersingkir dan menerima hukuman.
Sesampai di rumah Agnes bergegas melanjutkan kembali konsernya dengan alat-alat musik yang sudah dikenalnya dan para pemirsa bisu yang sudah menjadi langganannya, biarpun mereka suka atau tidak suka. Dia kembali memotong, menggoreng, menumis, menyaring, merebus, menanak dan menata. Hari itu pun akan ditutup dengan si Iyem dengan konsernya: mencuci piring, gelas, sendok, garpu, wajan, mangkuk, panci. Puncaknya adalah saat Agnes merebahkan diri di kamar tidurnya di lantai dua untuk mencuri sedikit istirahat. Minggu depan sang weker akan kembali berteriak dan Agnes akan kembali menjalani perhelatan yang sudah ribuan kali digelar tanpa pernah mengenal kata bosan itu. Perbedaannya hanyalah terletak pada headline yang dilihatnya : 'Kakek sendirian di rumah dirampok dan dihajar sampai babak belur', 'Gempa bumi di kota anu', 'Aktris itu mencari
12
pacar baru', 'Pemimpin partai ono membantah pernyataan penyalahgunaan wewenang' dan pada mereka yang datang ke mejanya.
Mari kita tinggalkan sejenak Agnes dengan rutinitas kesehariannya dan berpaling ke nun jauh di sana, di seberang lautan dan melintasi daratan, tepat pada saat Agnes merebahkan diri di sisi sebelah kiri kasurnya, Mai di Ho Chi Minh City Vietnam sedang terbuka lebar matanya.
*
vii
Tentang Penulis
Helmy Parlente Kusuma lahir di Palembang dan
menghabiskan 18 tahun disana. Dia pergi ke
Jakarta untuk melanjutkan kuliah di IT dan
bekerja di dunia yang sama untuk satu decade.
Sekarang dia tinggal di Jakarta dan masih
mencari-cari tempat terbaik untuk menghabiskan
dekade berikutnya.
Buku lain oleh penulis:
Mementoes of Mai (Inggris)
A Flash of Inspiration (Inggris)
There Is Hope (Inggris)
Koneksi Online Saya:
Twitter: http://www.twitter.com/hanzpk
Facebook: http://www.facebook.com/helmy.kusuma
Smashwords:
https://www.smashwords.com/profile/view/helmyp
k
Goodreads:
http://www.goodreads.com/user/show/4797189
Situs Web: http://www.helmykusuma.com
viii
A mundane office life is
suddenly changed into
something entirely
different in a flick of a
hand...
And now he must make
up his mind to pursue
the love of his life...
Would he be able to
reconcile his past and
his present to step into
the unknown territory
of the probable future?
A review by Gary Hoover. "Mementoes of Mai is a relatively simple, personal
and very genuine feeling work. The length puts it
somewhere between a long short story and a short
novel. The length works well for the story. The
events feel very ‘real’ and the protagonist and
narrator (Helmy) shares his name with that of the
author. But the book is listed as ‘fiction’, so I
suspect it is a fictionalized story but based heavily
on real events in the author’s life.
The story is set mostly in Vietnam, but also has
some events in Indonesia. I have never been to
either place and the glimpses of those cultures
presented in the story were very interesting to me
(My favorite TV show is “Bizarre Foods” – not
because of the food, but because of the glimpses of
ix
culture that show presents. This book worked in a
similar way).
There are no murders, spies, monsters or other
sensational elements, so if you’re looking for
something like that, this may not be your thing.
But if you’re looking for a simple, personal story
with elements that touch on the real drama that
we experience in our lives, and if you enjoy
learning about and experiencing other cultures, I’d
highly recommend it."
****