281

Click here to load reader

Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Citation preview

Page 1: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN

DI WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT

DISERTASI

WIWIEK RINDAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

Page 2: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

ABSTRACT

WIWIEK RINDAYATI. The Impact of Fiscal Decentralization on Poverty and Food Security in the Region of West Java. (BUNASOR SANIM as Chairman, M. PARULIAN HUTAGAOL and HERMANTO SIREGAR as Members of the Advisory Committee)

The implementation of fiscal decentralization in accordance with Law No 32/2004 regarding of local government and No 33/2004 regarding of inter-government fiscal relationship was considered as the new era management and local government budget. Fiscal decentralization gives the opportunity for local government in order to increase income and the expenses side within the controlling of budget has more ability to spend the facilities in accordance to the people needs that gives externality for local economic activities that may increase the income of people, food security performance and to reduce poverty.

The objectives of this research were to (1) describe regional fiscal, economic, poverty and food security performance in the fiscal decentralization, (2) analyze factors affecting regional fiscal, economic, poverty and food security performance, and (3) analyze the impact of fiscal decentralization policies and external factor on poverty and food security in West Java.

The descriptive analysis and dynamic simultaneous equation models that were used in this research, using polled time series data of 1995 – 2005 and cross section data of 13 districts. Econometric model is constructed by 4 blocks, consisting of the regional fiscal, regional economic, poverty, and food security performance. Model was estimated using the 2SLS (Two Stage Least Squares) method SYSLIN procedure and simulation used the SIMNLIN procedure.

The result of the research shows that fiscal decentralization gives significant effect on the increasing of regional income and expenses. The DAU was the source of 68 percent of regional income, and the routine expenditures were the largest regional expenditures (77 percent) in the fiscal decentralization. The mix policies of increasing agricultural development expenditures, paddy price, and health and education development expenditures will have the most impact to reduce of poverty and increase food security in West Java. Key word : fiscal decentralization, economic growth, poverty reduce, food security

Page 3: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak cipta dilindungi Undang- Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk

kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,

penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak

merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan

memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa

izin IPB.

Page 4: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan berwasiat

dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran QS 103 ( 1 – 3)

Tahukah engkau orang yang mendustakan agama?

Itulah orang yang menelantarkan anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi pangan bagi orang miskin

QS 107 ( 1– 3)

Page 5: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI WILAYAH

PROVINSI JAWA BARAT

Oleh :

WIWIEK RINDAYATI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

Page 6: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Judul Disertasi : Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Wiwiek Rindayati Nomor Pokok : A546010011 Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.Bunasor Sanim, M.Sc

Ketua

Dr.Ir.M.Parulian Hutagaol, MS Prof.Dr.Ir.Hermanto Siregar, M.Ec

Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian,

Prof.Dr.Ir.Bonar M. Sinaga, MA Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 15 September 2008 Tanggal lulus :

Page 7: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat terselesaikannya disertasi ini. Disertasi ini disusun

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi

Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pemenuhan pangan untuk dapat hidup sehat dan aktif bagi setiap individu

merupakan salah satu hak azasi manusia yang hakiki. Indonesia turut memberikan

komitmen yang tinggi untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dan rawan pangan.

Hal ini sejalan dengan Deklarasi World Food Summit Tahun 1996 dan ditegaskan

kembali pada WFS lima tahun kemudian di Roma yang menegaskan bahwa diharapkan

dari 800 juta penduduk dunia yang kelaparan dikurangi separuhnya pada tahun 2015.

Komitmen Indonesia pada hak untuk akses pangan bagi setiap penduduknya dituangkan

dalam Undang-Undang No 7 tahun 1996 tentang Pangan. Pelaksanaan desentralisasi

fiskal dengan memberi kewenangan yang lebih luas pada pemerintah daerah dalam

mengelola keuangan baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran akan memberi

peluang bagi pemerintah dalam upaya untuk mengurangi kemiskinan dan kerawanan

pangan tersebut. Namun keterbatasan anggaran dan sumberdaya lainnya menjadi kendala

bagi pencapaian tujuan mulia tersebut, sehingga diperlukan komitmen yang tinggi dan

kerja keras dari pemerintah daerah. Sehubungan hal tersebut penulis tertarik menulis

disertasi dengan judul ” Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan dan

Ketahanan Pangan di Provinsi Jawa Barat”.

Selesainya disertasi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak untuk itu pada

kesempatan ini dengan setulus hati penulis sampaikan terima kasih terutama kepada :

Page 8: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

1. Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu meluangkan

waktu di tengah kesibukan beliau yang padat untuk memberikan arahan, bimbingan dan

masukan pada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini.

2. Dr.Ir.M.Parulian Hutagaol, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang selalu memberikan

waktu untuk berdiskusi dengan penulis untuk memberikan masukan terutama pada

perumusan masalah penelitian, kerangka pemikiran, penulisan dan sintesis dalam tinjauan

referensi penelitian dan penulisan hasil penelitian.

3. Prof.Dr.Ir.Hermanto Siregar, M.Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing yang selalu

meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau yang padat untuk memberikan koreksi, arahan,

masukan dan bimbingan terutama dalam penentuan topik, membangun model, analisis data,

dan penulisan hasil penelitian.

4. Prof. Dr. Ir. Wilson H. Limbong, MS selaku Panitia dan Moderator Seminar Hasil Penelitian

Pascasarjana serta para peserta seminar Pascasarjana atas masukan dan saran perbaikan pada

waktu seminar hasil penelitian.

5. Dr.Ir.Harianto, MSc selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup yang telah meluangkan

waktu untuk menguji penulis dan memberikan saran-saran perbaikan dan penyempurnaan

disertasi pada Ujian Tertutup.

6. Prof. Dr.Ir. Bonar M Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

atas saran-saran perbaikan pada Ujian Tertutup dan atas ilmu-ilmu yang telah diwariskan

kepada penulis selama perkuliahan serta atas layanan administrasi dan akademik selama ini.

7. Dr.Ir. Eka Intan Kumala Putri selaku Wakil Dekan FEM dan Ketua Sidang pada Ujian

Tertutup atas segala masukan dan saran-saran perbaikan pada waktu Ujian Tertutup.

8. Dr. Ir.Kaman Nainggolan, MS selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka yang telah

meluangkan waktu untuk menguji penulis dan memberikan saran-saran perbaikan dan

penyempurnaan disertasi pada Ujian Terbuka.

Page 9: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

9. Dr Ir. Arief Daryanto, M.Ec selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka yang telah

meluangkan waktu untuk menguji penulis dan memberikan saran-saran perbaikan dan

penyempurnaan disertasi pada Ujian Terbuka.

10. Dr.Ir.Sri Hartoyo, MS selaku Dekan FEM dan Ketua Sidang pada Ujian Terbuka atas

segala masukan dan saran-saran perbaikan pada waktu Ujian Terbuka dan atas kesempatan

yang telah diberikan kepada penulis dalam menempuh Program Doktor.

11. Dr.Ir.Rina Oktaviani, MS selaku Ketua Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB atas

kesempatan dan waktu yang telah diberikan kepada penulis dalam menempuh Program

Doktor.

12. Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional Indonesia atas kesempatan dan beasiswa

TMPD yang telah diberikan kepada penulis pada penyelesaian Program Doktor.

13. Karyawan BPS Pusat Jakarta, Departemen Keuangan, Departemen Pertanian, BPS Provinsi

Jawa Barat, Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, Badan Ketahanan Pangan Jawa

Barat, Dinas Kesehatan Jawa Barat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda )

Jawa Barat yang telah banyak membantu penulis dalam pencarian dan penelusuran data-data

penelitian.

14. Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB khususnya kepada: Irmayanti, Diana,

Imam, Andros, Junaidi, Mardi dan Retno yang telah banyak membantu dalam pencarian dan

penelusuran data-data penelitian.

15. Kepada rekan penulis Dr. Djaimi, Dr .Yundi dan Dr. Aldolf yang telah banyak berdiskusi

dengan penulis dalam memberikan masukan dan berbagi ilmu dan pengalaman dalam

membangun model dan analisis data.

16. Kedua orang tua penulis Bapak Adi Prayitno dan Ibu Moedjinah atas bimbingan, asuhan,

didikan dan kasih sayangnya selama ini sejak bayi sampai sekarang.

17. Bapak dan Ibu Mertua penulis Bapak Soeratman (Alm) dan Ibu Taryam atas perhatian,

bimbingan dan kasih sayangnya selama ini.

Page 10: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

18. Suami penulis Herry Agus Suroto dan putra-putri penulis Arie Satryo Wibowo, Bramastyo

Agung Wibowo dan Caselia Ajeng Puspitasari atas pengertian, bantuan, dukungan, motivasi

dan pengorbannya selama ini.

19. Adik-adik dan kakak- kakak penulis atas bantuan, dukungan, motivasi dan perhatiannya

selama ini.

20. Rekan-rekan penulis di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, khususnya angkatan tahun

2000, 2001 dan 2002 yang menjadi sahabat dalam suka duka pada masa perkuliahan dan

belajar bersama dalam menghadapi prelim.

21. Rekan-rekan penulis di Fakultas Peternakan IPB dan Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB

khususnya kepada Ir.Lucia Cyrilla MS, Ir Anggraeni MM, Dr.Ir. Sri Mulatsih MSc.Agr dan

Ir. Yetti Lies P. M Sc atas perhatian, dukungan dan motivasinya.

22. Ucapan terima kasih yang tulus penulis ucapkan pada semua pihak yang tidak sempat penulis

sebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu kelancaran penyelesaian disertasi ini

baik mulai dari proses pembuatan proposal, pengambilan data lapang, analisis data, penulisan

laporan sampai pada penyelesaian studi ini.

Bogor, Januari 2009

Penulis

Page 11: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi

saya yang berjudul ”DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP

KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI WILAYAH PROVINSI JAWA

BARAT” merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan

pembimbingan Komisi Pembimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat

diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2009

WIWIEK RINDAYATI

NRP A546010011/ EPN

Page 12: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 16 Agustus 1962 di Malang Jawa Timur sebagai anak

pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Adi Prayitno dengan Ibu Moedjinah.

Penulis bersuamikan Herry Agus Suroto dan dikaruniai tiga putra-putri yaitu Arie Satryo

Wibowo, Bramastyo Agung Wibowo dan Caselia Ajeng Puspitasari.

Pendidikan penulis dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah

Menengah Atas (SMA) penulis selesaikan di kota Malang. Pendidikan sarjana peternakan

(S1), dapat penulis selesaikan pada tahun 1984 di Universitas Brawijaya Malang. Pada

tahun 1986 penulis diangkat sebagai dosen tetap pada Fakultas Peternakan Universitas

Brawijaya Malang. Pada tahun 1994 penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada

Program Magister (S2) pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) di Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1997 penulis diangkat menjadi dosen

tetap di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 2000 penulis bergabung sebagai tenaga pengajar pada Fakultas

Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor di Departemen Ekonomi dan Studi

Pembangunan yang sekarang berubah menjadi Departemen Ilmu Ekonomi pada bidang

konsentrasi Ekonomi Industri, Perdagangan dan Pembangunan. Pada tahun 2001 penulis

terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor (S3) dengan mendapat beasiswa dari

TMPD Dirjen Dikti pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada bidang konsentrasi Ekonomi Pembangunan.

Penulis pernah aktif sebagai peneliti pada Pusat Studi Wanita ( PSW) dan Pusat

Pengembangan Ilmu- Ilmu Sosial (PPIIS).

Page 13: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

RINGKASAN

WIWIEK RINDAYATI. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat ( BUNASOR SANIM sebagai Ketua, M. PARULIAN HUTAGAOL dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Permasalahan dalam membangun ketahanan pangan berkelanjutan adalah terkait adanya fakta bahwa kemiskinan di Indonesia sebagian besar berada di perdesaan dan di sektor pertanian khususnya pada subsektor tanaman pangan (Susenas, 2002; Yudhoyono, 2004; Herliana, 2004). Demi terwujudnya ketahanan pangan berkelanjutan pemerintah harus punya keberpihakan sehingga dalam membangun ketahanan pangan harus diikuti oleh peningkatan kesejahteraan petani pangan sebagai pelaku produksi bahan pangan.

Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ketahanan pangan sebagian besar menjadi kewenangan pemerintah daerah bersama masyarakat. Peran pemerintah daerah bersama masyarakat diharapkan lebih besar karena pemerintah daerah dianggap lebih tahu dalam mengatasi permasalahan secara lebih spesifik berdasarkan pada potensi dan keunggulan serta keaneka-ragaman sumberdaya. Kondisi ini memungkinkan berkembangnya kreativitas masyarakat daerah dalam mengembangkan potensi pangan sesuai dengan sumber daya, budaya dan selera masyarakat setempat.

Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis kinerja fiskal daerah sebelum dan masa desentralisasi fiskal, (2) membangun model ekonomi daerah untuk menganalisis keterkaitan antara kinerja fiskal daerah (penerimaan dan pengeluaran), kemiskinan dan ketahanan pangan, (3) menganalisis dampak penerapan berbagai skenario kebijakan dalam meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan dalam konteks desentralisasi fiskal, dan (4) merumuskan implikasi kebijakan strategis dalam meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan dalam konteks desentralisasi fiskal di Jawa Barat.

Untuk menjawab tujuan penelitian digunakan analisis diskriptif dan analisis ekonometrika model sistem persamaan simultan dinamis yang terdiri 4 blok yaitu blok fiskal daerah, PDRB, kemiskinan dan ketahanan pangan. Model yang dibangun disusun dalam 19 persamaaan struktural dan 9 persamaan identitas. Model diduga dengan metoda Two Stage Least Squares (2 SLS), selanjutnya dilakukan analisis struktural dan analisis simulasi kebijakan. Analisis simulasi historis (post ante) dilakukan pada periode sebelum desentralisasi fiskal tahun 1995 – 2000 dan masa desentralisasi fiskal tahun 2001 – 2005 dengan berbagai skenario kebijakan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan.

Penelitian dilakukan di Jawa Barat dengan unit analisis daerah kabupaten. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa pooled data (time series tahun 1995 – 2005 dan cross section 13 kabupaten) dari BPS Pusat Jakarta, BPS Provinsi Jawa Barat, BPS Kabupaten, Departemen Pertanian, Dinas Pertanian Provinsi Jabar, Dinas Kesehatan Provinsi Jabar, Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Keuangan, Pemda Kabupaten dan instansi terkait.

Page 14: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Barat secara absolut berpengaruh pada peningkatan penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah, namun penerimaan terbesar terjadi pada dana transfer dari pemerintah pusat (DAU dan DAK) yang proporsinya mencapai 68 persen sedang penerimaan dari pos Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih kecil sehingga menimbulkan ketergantungan fiskal yang semakin besar terhadap pemerintah pusat. Sedang struktur pengeluaran daerah didominasi oleh pengeluaran rutin yang komponennya mencapai 77 persen.

Pada masa desentralisasi fiskal tahun 2001 – 2005 perekonomian Jawa Barat mengalami pertumbuhan namun tingkat pertumbuhannya lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi nasional, pada tahun 2006 dan 2007 pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mulai berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor industri mempunyai kontribusi terbesar dalam perekonomian Jawa Barat (43.17 persen) dengan laju yang relatif tinggi (6.74 persen), namun pertumbuhan sektor industri kurang mempunyai kaitan kuat dengan pertumbuhan sektor pertanian yang tumbuh sebesar 2.36 persen dengan kontribusi sebesar 14 persen dengan komponen terbesar pada sub sektor tanaman pangan yang mencapai 70 persen dari perolehan sektor pertanian. Dari sisi penyerapan tenaga kerja sektor industri hanya menyerap tenaga kerja sebesar 19.68 persen sementara sektor pertanian berkontribusi sebesar 33.72 persen.

Pada masa desentralisasi fiskal terjadi perlambatan pada laju penurunan jumlah penduduk miskin dan terjadi peningkatan jumlah penduduk sangat rawan pangan. Kabupaten-kabupaten yang menjadi sentra produksi beras mempunyai tingkat kemiskinan yang relatif lebih tinggi dengan laju penurunan jumlah penduduk miskin yang relatif lebih lambat. Tingkat kemiskinan di Jawa Barat selalu lebih rendah dari tingkat kemiskinan nasional.

Pada masa desentralisasi fiskal terjadi penurunan ketahanan pangan dari sisi konsumsi yaitu terjadinya penurunan rata-rata konsumsi beras, konsumsi energi dan konsumsi protein, namun dari sisi produksi dan ketersediaan pangan selalu terjadi surplus ketersediaan dan peningkatan produksi beras. Surplus ketersediaan beras terjadi pada semua kabupaten di Jawa Barat kecuali Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bogor, sedang untuk daerah kota semua mengalami defisit ketersediaan beras. Walaupun terjadi banyak kendala seperti bencana alam, iklim dan alih fungsi lahan sawah namun produksi padi sawah di Jawa Barat pada tahun 2001 – 2006 terus mengalami peningkatan dengan laju peningkatan produksi sebesar 2.62 persen yang disebabkan peningkatan laju luas panen sebesar 0.92 persen dan laju produktivitas sebesar l.78 persen. Dari sisi outcome terjadi peningkatan terhadap kinerja ketahanan pangan yaitu prevalensi gizi kurang dan gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup.

Kebijakan fiskal berupa peningkatan pengeluaran pada sektor pertanian berpengaruh signifikan pada peningkatan kinerja perekonomian daerah khususnya berupa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, PDRB sektor Pertanian, produksi gabah, pendapatan petani dan pendapatan per kapita. Kinerja perekonomian daerah selanjutnya secara signifikan mempengaruhi pengurangan jumlah penduduk miskin dan kinerja ketahanan pangan daerah berupa peningkatan rata-rata konsumsi beras, energi dan protein per kapita serta outcome katahanan pangan daerah berupa prevalensi gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup. Jumlah penduduk miskin secara signifikan mempengaruhi kinerja fiskal daerah berupa penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, dimana penerimaan pajak daerah secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah penduduk

Page 15: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

miskin, PDRB. Jumlah penduduk miskin berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak daerah. Kinerja perekonomian daerah pada sektor pertanian juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal berupa harga input dan harga output.

Berdasarkan hasil simulasi historis menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan pajak dan retribusi daerah berpengaruh terhadap penerimaan daerah dan selanjutnya akan mempengaruhi pengeluaran rutin dan pembangunan, meningkatkan kinerja perekonomian dan menurunkan kemiskinan.

Kebijakan relokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan berpengaruh pada kinerja perekonomian, kinerja ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian berdampak pada peningkatan PDRB sektor pertanian, produksi gabah, pendapatan sektor pertanian, dan pendapatan per kapita. Selanjutnya meningkatkan konsumsi beras, energi dan protein, kemudian menurunkan jumlah penduduk miskin, angka gizi buruk dan angka kematian bayi serta meningkatkan umur harapan hidup. Selanjutnya meningkatkan kinerja fiskal daerah karena penurunan jumlah penduduk miskin berarti mengurangi beban subsidi dan meningkatkan pendapatan dari sektor pajak.

Peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan pendidikan berpengaruh meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan pangan yaitu meningkatkan konsumsi energi dan protein serta menurunkan angka gizi buruk angka kematian bayi dan meningkatkan umur harapan hidup.

Kebijakan peningkatan harga pupuk berdampak pada penurunan penggunaan pupuk, penurunan produksi gabah dan penurunan PDRB sektor pertanian. Sehingga menurunkan pendapatan pada sektor pertanian, pendapatan per kapita, konsumsi beras, energi dan protein. Meningkatkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan umur harapan hidup. Peningkatan harga pupuk mempunyai dampak yang besar pada penurunan produksi gabah dan penurunan pendapatan pertanian.

Kebijakan peningkatan harga gabah berdampak pada peningkatan produksi gabah, penggunaan pupuk, pendapatan sektor pertanian, PDRB Pertanian, pendapatan per kapita, konsumsi beras, energi dan protein, serta menurunkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan umur harapan hidup. Dampak paling besar dari peningkatan harga gabah adalah peningkatan produksi gabah yang didahului oleh peningkatan penggunaan pupuk.

Kebijakan kombinasi peningkatan harga gabah dan harga pupuk dengan proporsi yang sama memberi dampak pada penurunan penggunaan pupuk sehingga menurunkan produksi gabah dan PDRB Pertanian. Hal ini berdampak pada penurunan pendapatan sektor pertanian dan pendapatan per kapita, menurunkan konsumsi beras, energi dan protein serta meningkatkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan umur harapan hidup. Dampak negatif dari peningkatan harga pupuk lebih dominan dibanding dampak positif dari peningkatan harga gabah.

Kebijakan kombinasi peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan peningkatan harga gabah memberi respon yang lebih besar dibanding apabila kebijakan dilakukan secara tunggal. Karena dampak peningkatan produksi gabah dari peningkatan pengeluaran sektor pertanian berpengaruh pada penurunan harga, apabila dibarengi oleh kebijakan peningkatan harga gabah akan menghilangkan trade off negatif tersebut.

Terjadinya perlambatan laju penurunan jumlah penduduk miskin, peningkatan jumlah penduduk sangat rawan pangan, penurunan ketahanan pangan dari sisi konsumsi

Page 16: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

(beras, energi dan protein) serta meningkatnya angka penderita gizi buruk pada masa desentralisasi fiskal mengisyaratkan adanya kebijakan yang kurang berpihak pada masyarakat golongan bawah sehingga menurunkan daya belinya dan membuat mereka tidak bisa akses terhadap pangan secara sehat. Untuk itu sebaiknya kebijakan yang dilakukan pada masa desentralisasi fiskal memberi kesempatan bagi golongan pendapatan rendah untuk bisa akses dalam pembangunan dengan program padat karya di sektor pertanian pangan.

Peningkatan pengeluaran sektor pertanian berdampak meningkatkan kinerja perekonomian melalui peningkatan PDRB Pertanian dan penyerapan tenaga kerja sehingga meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Untuk itu dalam keterbatasan dana anggaran pembangunan, pemerintah daerah harus masih punya keberpihakan pada sektor pertanian karena sektor ini masih merupakan tempat bergantungnya hidup sebagian besar penduduk. Peningkatan harga pupuk mempunyai dampak negatif yang lebih besar dibanding dampak positif dari peningkatan harga gabah, untuk itu pemerintah pusat dalam menetapkan kebijakan harga gabah besaran nilai kenaikan harga gabah harus mengakomodasi besaran nilai kenaikan harga pupuk agar kebijakan harga yang dilakukan mencapai sasaran dan efektif meningkatkan kesejahteraan petani.

Peningkatan harga gabah berdampak pada peningkatan produksi dan pendapatan petani serta meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Dalam konsteks desentralisasi fiskal, pemerintah daerah bisa mengefektifkan berlakunya kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang dilakukan pemerintah pusat yang sering tidak berlaku efektif dengan melakukan pembelian dan pengelolaan stok (cadangan) beras di daerah bekerjasama dengan bulog dan masyarakat dengan membangun fasilitas penjemuran gabah, gudang penyimpanan, pengembangan resi gudang serta mengoptimalkan dana Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP) di daerah dalam upaya menjaga kestabilan harga. Sehingga pada saat panen raya harga di tingkat petani tidak jatuh dan HPP yang ditetapkan pemerintah pusat bisa berlaku efektif bagi petani. Peningkatan harga gabah diharapkan dibarengi oleh pelaksanaan diversifikasi pangan non beras.

Untuk meningkatkan produksi gabah dan pendapatan petani serta mengurangi jumlah penduduk miskin, sebaiknya pemerintah melakukan kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan pengeluaran dana kesehatanan dan pendidikan yang dikombinasikan dengan peningkatan harga gabah dengan mengakomodasi adanya besaran tambahan biaya akibat peningkatan harga pupuk.

Meningkatnya angka gizi buruk pada era desentralisasi fiskal bisa ditanggulangi dengan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan. Dana tersebut bisa digunakan untuk melakukan revitalisasi peran puskesmas dan posyandu dalam melakukan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Mengupayakan pendidikan gratis bagi golongan penduduk miskin dan menggalakan pelatihan ketrampilan bagi penduduk miskin di perdesaan agar tercipta kemandirian.

Penyaluran subsidi input maupun output yang langsung bisa dirasakan oleh petani pangan masih diperlukan, begitu pula pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis bagi masyarakat miskin juga masih perlu dilakukan dan ditingkatkan. Selain itu juga perlu dikembangkan kerjasama antara pemerintah dan swasta, dalam upaya penciptaan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, kompetitif dan efisien.

Page 17: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL............................................................................................... i

DAFTAR GAMBAR. ........................................................................................ii

DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................iii

I. PENDAHULUAN. ............................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang. ........................................................................................... 1

1.2. Perumusan Masalah. ................................................................................... 9

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. ............................................................. 12

1.4. Ruang Lingkup Penelitian......................................................................... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA. .................................................................................. 15

2.1. Peranan Pemerintah. ................................................................................. 15

2.1.1. Peranan Alokasi.............................................................................. 17

2.1.2. Peranan Distribusi. ......................................................................... 19

2.1.3. Peranan Stabilisasi.......................................................................... 21

2.1.4. Peranan Pemerintah dalam Pembangunan..................................... 23

2.1.5. Kebijakan Fiskal dalam Pembangunan Ekonomi.......................... 25

2.1.6. Kegagalan Pemerintah.................................................................... 28

2.2. Desentralisasi Fiskal. ................................................................................ 29

2.2.1. Konsep Desentralisasi Fiskal.......................................................... 30

2.2.2. Permasalahan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia. ..... 38

2.2.3. Dampak Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal.................................... 40

2.2.4. Upaya Fiskal dan Kinerja Perekonomian Daerah. ......................... 45

2.3. Kemiskinan. .............................................................................................. 50

2.3.1. Konsep dan Indikator Kemiskinan. ................................................ 51

2.3.2. Tipe dan Faktor Penyebab Kemiskinan.......................................... 55

2.4. Ketahanan Pangan..................................................................................... 58

2.4.1. Konsep Ketahanan Pangan. ............................................................ 59

2.4.2. Ketahanan Pangan Sebagai Suatu Sistem....................................... 62

2.4.3. Indikator Ketahanan Pangan........................................................... 65

2.5. Studi- studi Terdahulu............................................................................... 68

Page 18: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

III. KERANGKA TEORI DAN PEMIKIRAN KONSEPTUAL............................ 75

3.1. Kerangka Teori........................................................................................... 75

3.1.1. Kaitan Desentralisasi, Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. .......... 75

3.1.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah. ............................................. 78

3.1.3. Teori Distribusi Pendapatan............................................................. 80

3.1.4. Teori Permintaan Faktor Produksi dan Penawaran Pangan. ............ 83

3.1.5. Teori Permintaan Pangan. ................................................................ 86

3.1.6. Indikator Kemiskinan....................................................................... 88

3.1.7. Kinerja Ketahanan Pangan............................................................... 89

3.2. Kerangka Konseptual Penelitian. ............................................................... 89

3.3. Hipotesis Penelitian. ................................................................................... 91

IV. METODE PENELITIAN. ................................................................................. 93

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................................... 93

4.2. Data dan Sumber Data................................................................................ 93

4.3. Metode Analisis.......................................................................................... 93

4.4. Kontruksi Model Ekonometrika. ................................................................ 94

4.5. Spesifikasi Model Ekonometrika. .............................................................. 95

4.6. Identifikasi dan Pendugaan Model. .......................................................... 101

4.7. Validasi Model. ........................................................................................ 103

4.8. Simulasi Kebijakan dan Faktor Eksternal. ............................................... 104

V. GAMBARAN UMUM KONDISI FISKAL, KEMISKINAN DAN

KETAHANAN PANGAN DI JAWA BARAT. .............................................. 107

5.1. Kondisi Wilayah Provinsi Jawa Barat...................................................... 107

5.2. Kondisi Fiskal Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat................. 111

5.3. Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Barat. ......................................... 115

5.4. Kemiskinan di Wilayah Provinsi Jawa Barat. .......................................... 121

5.5. Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat................................. 126

VI. KERAGAAN MODEL DAN PEMBAHASAN. ............................................ 136

6.1. Analisis Umum Model Dugaan. ............................................................... 136

6.2. Dugaan Parameter Persamaan Struktural. ................................................ 137

6.2. 1. Penerimaan Daerah......................................................................... 137

Page 19: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

6.2. 2. Pengeluaran Daerah....................................................................... 141

6.2. 3. PDRB Kabupaten. ........................................................................ 143

6.2. 4. Produksi Gabah. ............................................................................ 147

6.2. 5. Pendapatan Pertanian.................................................................... 149

6.2. 6. Tenaga Kerja Pertanian. ................................................................ 151

6.2. 7. Penggunaan Pupuk. ....................................................................... 153

6.2. 8. Harga Gabah.................................................................................. 154

6.2. 9. Harga Beras. .................................................................................. 155

6.2.10. Konsumsi Beras............................................................................. 157

6.2.11. Konsumsi Energi. .......................................................................... 160

6.2.12. Konsumsi Protein. ......................................................................... 161

6.2.13. Jumlah Penduduk Miskin. ............................................................. 163

6.2.14. Prevalensi Angka Gizi Buruk........................................................ 165

6.2.15. Angka Kematian Bayi. .................................................................. 168

6.2.16. Umur Harapan Hidup. ................................................................... 170

VII. EVALUASI KEBIJAKAN DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP

KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA BARAT ........................................................................................................... 172

7.1. Validasi Model. ........................................................................................ 172

7.2. Simulasi Historis Periode Sebelum Desentralisasi Fiskal. ....................... 173

7.2. 1. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan............................... 173

7.2. 2. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan............................... 175

7.2. 3. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan............................... 176

7.2. 4. Dampak Peningkatan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan.............................. 179

7.2. 5. Dampak Peningkatan Harga Pupuk t erhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan.............................................. 180

7.2. 6. Dampak Peningkatan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. ................................................................. 183

7.2. 7. Dampak Peningkatan Harga Pupuk dan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan.............................................. 185

7.2. 8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan................... 187

Page 20: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

7.2. 9. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Dana Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan

Ketahanan Pangan. ....................................................................... 189

7.3. Simulasi Historis Periode Masa Desentralisasi Fiskal.. ........................... 191

7.3. 1. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan............................... 191

7.3. 2. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. ..... 193

7.3. 3. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pertanian terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan.............................................. 194

7.3. 4. Dampak Peningkatan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan.............................. 197

7.3. 5. Dampak Peningkatan Harga Pupuk terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. ................................................................. 199

7.3. 6. Dampak Peningkatan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. ................................................................. 200

7.3. 7. Dampak Peningkatan Harga Pupuk dan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan.............................................. 202

7.3. 8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan....... 203

7.3. 9.Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Dana Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan

dan Ketahanan Pangan. ................................................................. 205

7.3.10.Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian, Harga Gabah serta Dana Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan

dan Ketahanan Pangan. ................................................................ 207

7.4. Rekapitulasi Hasil Simulasi Kebijakan Potensial dalam Menurunkan Kemiskinan dan Meningkatkan Ketahanan Pangan. ................................ 208

7.5. Ringkasan Hasil. ........................................................................................ 211

VIII KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................ 216

8.1. Kesimpulan.. ............................................................................................. 216

8.2. Implikasi Kebijakan. ................................................................................. 218

8.3. Saran Penelitian Lanjutan. ........................................................................ 223

DAFTAR PUSTAKA. ...................................................................................... 225

LAMPIRAN...................................................................................................... 235

Page 21: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Dana Perimbangan Menurut UU No 25 tahun 1999........................................... 44

2. Rekapitulasi Hasil- Hasil Penelitian Terdahulu. ............................................... 69

3. Keterangan Peubah Penelitian dan Satuannya. ................................................. 100

4. Struktur Penggunaan Lahan di Wilayah Jawa Barat tahun 2005...................... 109

5. Potensi Sumber Daya Air di Wilayah Provinsi Jawa Barat 2007. ................... 110

6. Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat .......................................................................................... 112

7. Perkembangan dan Struktur PDRB Jawa Barat Tahun 2001 – 2005................ 117

8. Rataan Pertumbuhan dan Kontribusi Sektor Perekonomian Jawa Barat Tahun 2001 – 2005. .......................................................................................... 118

9. Perkembangan Tenaga Kerja Menurut Sektor Perekonomian Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Barat. .......................................................................... 121

10. Jumlah dan Presentase Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 2004.... 122

11. Perkembangan dan Keragaan Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2003 – 2005..................................................................... 125

12. Perkembangan Produksi Gabah, Produksi Beras, Ketersediaan Beras untuk Konsumsi, Jumlah Konsumsi Beras dan KondisiPersediaan Beras .................128

13. Perkembangan Produksi Sumber Pangan Palawija di Jabar Tahun 2001 - 2005. ....................................................................................................... 129

14. Perkembangan dan Keragaan Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Buruk Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2003 – 2005............................ 132

15. Perkembangan dan Keragaan Angka Kematian Bayi Menurut Kabupaten/ Kota di Jawa Barat Tahun 2003 – 2005............................................................. 133

16. Perkembangan dan Keragaan Umur Harapan Hidup Menurut Kabupaten/ Kota di Jawa Barat Tahun 2003 – 2005............................................................ .134

17. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Daerah Kabupaten di Jawa Barat. ....................................................................................................... 139

18. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran Daerah.Kabupaten di Jawa Barat. ........................................................................................................ 142

Page 22: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

19. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi PDRB Kabupaten di Provinsi Jawa Barat. ........................................................................................................ 146

20. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Gabah Kabupaten di Jawa Barat. ........................................................................................................ 148

21. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Sektor Pertanian.Kabupaten. di Jawa Barat..................................................................................................... 150

22. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tenaga Kerja Sektor Pertanian............... 151

23. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Pupuk................................. 153

24. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Gabah............................................154

25. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Beras.............................................156

26. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Beras....................................... 157 27. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Energi.....................................161

28. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Protein....................................162 29. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin........................164 30. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Angka Gizi Buruk...................................166 31. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Angka Kematian Bayi.............................168 32. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Umur Harapan Hidup..............................171 33. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 – 2000.....................................................174 34. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 – 2000.................................175 35. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 – 2000.....................................................177 36. Dampak Peningkatan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 – 2000.................................179 37. Dampak Peningkatan Harga Pupuk terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 – 2000......................................................181 38. Dampak Peningkatan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 - 2000..............................................................183

Page 23: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

39. Dampak Peningkatan Harga Pupuk dan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 -2000....................185 40. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 – 2000.................188 41. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Peningkatan Dana Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 – 2000..............................................................190 42. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 -2005.........................................................192 43. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 - 2005....................................194 44. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 - 2005.......................................................195 45. Dampak Peningkatan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 - 2005...................................198 46. Dampak Peningkatan Harga Pupuk terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 - 2005.......................................................199 47. Dampak Peningkatan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 - 2005..............................................................201 48. Dampak Peningkatan Harga Pupuk dan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 – 2005..................203 49. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001- 2005.....................204 50. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Peningkatan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001- 2005...............................................................206 51. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian, Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan serta Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanann Pangan Tahun 2001- 2005.................................................................................208 52. Rekapitulasi Hasil Simulasi Kebijakan Potensial dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Menurunkan Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat.......210

Page 24: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Presentase Angka Kecukupan Ketersediaan dan Konsumsi Energi dan Protein di Indonesia Tahun 2005……………………………………………..……...........6 2. Perkembangan Jumlah Penduduk sangat Rawan Pangan dan Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1996 – 2005 ………………………………….…............….10 3. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan………………...……..………………....... 64 4. Sistem Ketahanan Pangan Rumah Tangga..…………...…………..……….........66

5. Dampak Pola Penyaluran Dana Bantuan terhadap Kesejahteraan.……………..77

6. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian .........................................................91

7. Tahapan Membangun Model Analisis Ekonometrika .........................................96

8. Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat dan Nasional Tahun 2001 – 2005…..........................................................................................116 9. Perkembangan Presentase Penduduk Miskin di Indonesia dan Jawa Barat Tahun 1996 – 2007.……………………………………………………………124

10. Perkembangan Produksi Padi Ladang, Sawah dan Ladang + Sawah di Jabar Tahun 2001 – 2007…………………………………………………………… 127

11. Perkembangan Persentase Kecukupan Konsumsi Energi dan Protein Per Kapita Penduduk Jawa Barat...…………………………………………………130

Page 25: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Identifikasi Persamaan Struktural Model Penelitian ....................................235

2. Perhitungan MSE, U Theil Untuk Validasi....................................................236

3. Hasil Pendugaan Model Penelitian.................................................................237

Page 26: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Pada hakekatnya pembangunan nasional ditujukan untuk mewujudkan suatu

masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian segala upaya pelaksanaan kegiatan

pembangunan diarahkan kepada pemanfaatan sumber daya nasional bagi

peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Meier (1978) mendefinisikan

pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang dapat menyebabkan terjadinya

peningkatan pendapatan riil per kapita tanpa menyebabkan terjadinya peningkatan

kesenjangan distribusi pendapatan dan peningkatan jumlah penduduk miskin. Tiga

aspek tersebut sangat penting bagi kesejahteraan suatu masyarakat, karena

peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja tidaklah cukup apabila

kesenjangan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan semakin meningkat.

Setiap negara yang melakukan pembangunan ekonomi mengharapkan terjadinya

peningkatan kesejahteraan bagi semua penduduknya. Pertumbuhan ekonomi yang

tinggi menjadi lebih berarti jika diikuti oleh pemerataan atas hasil-hasil

pembangunan.

Pemerataan hasil-hasil pembangunan biasanya dikaitkan dengan masalah

kesenjangan dalam distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Pertumbuhan

ekonomi yang menyebabkan terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan semakin

besar antar kelompok masyarakat akan menyebabkan adanya kemiskinan semakin

meluas.Oleh karena itu orientasi dari pemerataan merupakan usaha untuk

mengurangi kemiskinan. Anggapan bahwa jika pertumbuhan ekonomi berjalan cepat

maka kemiskinan dengan sendirinya akan terkikis melalui proses trickle down effect.

Ternyata kondisi tersebut tidak terjadi, karena seiring berjalannya pembangunan dan

tumbuhnya perekonomian diikuti pula terjadinya tingkat ketimpangan distribusi

Page 27: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

2

pendapatan yang dapat menyebabkan munculnya kantong-kantong kemiskinan. Oleh

karena itu muncul strategi pembangunan, dimana pemerataan distribusi pendapatan

dan pengikisan kemiskinan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam

pembangunan (Meier, 1978; Donalson, 1984; Todaro, 2000).

Chenery, et al. (1974), Adelman dan Robinson (1978) mengemukakan

bahwa kebijakan harus diarahkan pada sasaran kelompok-kelompok tertentu yang

miskin. Pendekatan yang lebih mengena bagi pengikisan kemiskinan dianjurkan ILO

( 1976) dengan strategi kebutuhan dasar yang sasarannya adalah peningkatan taraf

hidup kaum miskin secara langsung. Apabila kebutuhan dasar semua masyarakat

dapat dipenuhi, maka akan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan kaum

miskin sehingga tidak saja menurunkan tingkat kemiskinan akan tetapi juga

mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Peningkatan produktivitas dan

pendapatan kaum miskin akan meningkatkan kemampuannya dalam konsumsi,

menabung dan investasi, sehingga dengan asumsi kemampuan menabung kaum kaya

tidak berkurang maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi (Bigsten, 1992;

Adelman dan Robinson, 1978; Todaro, 2000).

Sumber daya manusia merupakan subjek dan objek dalam pembangunan

nasional. Sebagai objek, maka pelaksanaan dalam pembanguanan tersebut harus

mengarah pada peningkatan dan pemerataan kesejahteraaan manusia. Sebagai

subjek pembangunan, maka manusia merupakan pelaku dalam pelaksanaan

pembangunan yaitu merupakan human capital yang berfungsi sebagai faktor

produksi tenaga kerja, fungsi wiraswasta dan pengelola dalam proses pembangunan

(Todaro, 2001; Mulyadi, 2003).

Dalam fungsinya sebagai subjek dalam pembangunan nasional maka kualitas

dari sumber daya manusia merupakan syarat keharusan yang perlu ditingkatkan baik

Page 28: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

3

melalui pendidikan, kesehatan maupun pemenuhan pangan dan gizinya. Jika pada

masa lalu jumlah sumber daya manusia bisa menjadi salah satu keunggulan

komparatif, maka pada masa sekarang dan yang akan datang jumlah saja tidak cukup

tetapi harus juga disertai dengan kualitas yang tinggi. Pada masa yang akan datang,

sumber daya manusia lebih dominan pengaruhnya pada pembangunan suatu bangsa

dibanding dengan kekayaan sumber daya alam. Bukti empiris menunjukkan negara-

negara yang memberikan perhatian serius pada investasi sumber daya manusia

(misalnya Jepang dan Singapura), maka akan terjadi percepatan pembangunan

ekonomi yang lebih baik (Mulyadi, 2003).

Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup dan seimbang merupakan

prasyarat bagi perkembangan organ-organ fisik manusia yang akan berpengaruh pada

perkembangan intelegensia dan daya tahan fisiknya. Generasi yang mempunyai

kondisi fisik yang tangguh dan intelegensia yang tinggi sangat diperlukan sebagai

tulang punggung bagi berkembangnya kehidupan sosial, ekonomi dan politik suatu

bangsa. Sehingga demi terbentuknya suatu bangsa yang tangguh, unggul dan berdaya

saing tinggi, maka pemenuhan pangan dan gizi yang cukup dan seimbang bagi

setiap individu anggota masyarakat harus menjadi prioritas utama bagi pemerintah.

Kesejahteraan gizi (nutrition well being) merupakan salah satu indikator kualitas

sumber daya manusia yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan

nasional. Peranan tersebut dapat dikaji dari dua sisi yaitu peranan gizi terhadap

pembangunan maupun dampak pembangunan terhadap status gizi masyarakat,

sehingga penduduk yang berstatus gizi baik merupakan hasil sekaligus modal dari

pembangunan ( Baliwati, 2001; Mulyadi, 2003).

Pemenuhan pangan dan gizi yang cukup dan seimbang bagi semua anggota

masyarakat akan memberikan sumbangan pada peningkatan produktivitas dan

Page 29: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

4

kualitas hidup terutama bagi masyarakat golongan miskin. Sebagaimana dikatakan

oleh Leibenstein (Jhingan, 2000) bahwa kesehatan kaum miskin membawa kepada

rendahnya produktivitas dan rendahnya pendapatan, karena kesehatan kaum miskin

merupakan bagian dari vicious circle of poverty. Oleh karena itu peningkatan

kesehatan kaum miskin melalui kecukupan pangannya akan meningkatkan

produktivitas kerja yang berimplikasi pada peningkatan pendapatan dan tingginya

pendapatan akan diikuti oleh perbaikan pangan, sehingga bisa memecahkan vicious

circle of poverty tersebut. Dengan demikian, mencukupi kebutuhan dasar terutama

tentang pangan menjadi suatu keharusan dalam upaya untuk memecahkan vicious

circle of poverty (Gemmell, 1992; Todaro, 2000; Reutingler, 1987; Kirwan dan

Mcmillan, 2007).

Ketahanan pangan merupakan salah satu pilar bagi pembangunan nasional.

Hal ini terjadi karena suatu negara dalam membangun perekonomiannya harus

terlebih dahulu dapat menyelesaikan masalah pangannya dalam istilah Robert Fogel

disebut sebagai “escape from hunger” (menyelamatkan diri dari kelaparan). Ketidak

tahanan pangan atau kerawanan pangan sangat berpotensi dalam memicu terjadinya

kerawanan sosial, politik maupun keamanan. Sehingga kondisi yang demikian tidak

akan mendukung dalam pelaksanaan program-program pembangunan secara

keseluruhan, yang berarti menunjukkan tidak terwujudnya kondisi ketahanan

nasional (Selowky, 1981; Berg, 1981; Simatupang, 1999; Badan Ketahanan Pangan,

2005a).

Kejadian rawan pangan dan gizi buruk mempunyai makna politis yang negatif

bagi penguasa. Bahkan di beberapa negara berkembang, krisis pangan dapat

menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa. Dengan demikian komitmen

negara untuk mewujudkan tercapainya ketahanan pangan bagi setiap penduduknya

Page 30: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

5

menjadi sangat penting, hal ini karena didasarkan pada peran strategis perwujudan

ketahan pangan tersebut yaitu dalam (1) memenuhi salah satu hak azasi manusia, (2)

membangun kualitas sumber daya manusia, dan (3) membangun salah satu pilar bagi

ketahanan nasional (Suryana, 2001; Saliem et al , 2002 ; Badan Ketahanan Pangan,

2005a).

Komitmen pemerintah Indonesia pada hak untuk akses terhadap pangan bagi

setiap penduduknya, dituangkan dalam Undang-Undang No 7 tahun 1996 tentang

pangan. Sehingga pemenuhan utama hak dasar atas pangan kepada setiap warga

masyarakat menjadi kewajiban bagi pemerintah Indonesia, yaitu setiap penduduk

Indonesia berhak memperoleh pangan yang cukup, aman dan bergizi yang

merupakan pencerminan kondisi ketahanan pangan Negara. Hal ini sejalan dengan

World Food Summit (WFS) tahun 1996 di Roma yang kemudian ditegaskan kembali

pada Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2000 bahwa diharapkan

dari 800 juta penduduk dunia yang kelaparan dapat dikurangi menjadi separuhnya

pada tahun 2015, sehingga Indonesia berkomitmen akan menurunkan angka

kemiskinan dan kelaparan dari 15.1 persen menjadi 7.0 persen pada tahun 2015

(Badan Ketahanan Pangan, 2005a; Badan Ketahanan Pangan, 2005b).

Dalam upaya memenuhi amanat Undang-Undang Pangan maka

memantapkan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga mempunyai arti dan

peran startegis sebagai media untuk menjamin akses pangan bagi setiap anggota

masyarakat. Karena kecukupan dalam ketersediaan pangan saja pada tingkat nasional

maupun regional tidak menjamin tercapainya kondisi ketahanan pangan bagi setiap

anggota masyarakat (IFPRI, 1999; Maxwell dan Frankenberger, 1992; Badan

Ketahanan Pangan 2005a; Badan Ketahanan Pangan, 2006). Sebagaimana tersaji

pada Gambar 1 yang ditunjukkan angka rata-rata ketersediaan pangan berupa energi

Page 31: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

6

dan protein yang cukup menurut standar norma gizi Widya Karya Pangan dan Gizi

VIII tahun 2004 yaitu ketersediaan energi sebesar 2200 kkal per kapita per hari dan

ketersediaan protein sebesar 57 gram per kapita per hari. Namun karena adanya

kendala akses dari rumah tangga dan individu berupa kendala fisik maupun

ekonomi maka pada rata-rata tingkat konsumsi belum mencukupi sesuai dengan

standar norma gizi yang direkomendasikan, yaitu untuk kecukupan konsumsi energi

adalah sebesar 2000 kkal per kapita per hari dan kecukupan konsumsi protein

adalah 52 gram per kapita per hari (Badan Ketahanan Pangan, 2005a).

020406080

100120140160

1993 1996 1999 2002 2005

KetersediaanEnergi

KonsumsiEnergi

KetersediaanProtein

KonsumsiProtein

Sumber : Susenas, BPS berbagai tahun terbitan.

Gambar 1. Persentase Angka Kecukupan Ketersediaan dan KonsumsiEnergi dan Protein di Indonesia (%)

Dalam membangun ketahanan pangan golongan penduduk yang rawan

pangan harus mendapat perhatian. Penduduk rawan pangan menjadi beban bagi

pemerintah, karena pangan merupakan hak dasar rakyat sehingga pemerintah harus

mengupayakan golongan penduduk rawan pangan untuk keluar dari kemiskinan

sehingga mempunyai kemandirian dalam mencukupi kebutuhan dasar pangannya.

Kondisi ketahanan pangan rumah tangga dan individu suatu wilayah berhubungan

Page 32: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

7

erat dengan tingkat kemiskinan, karena golongan masyarakat rawan pangan sebagian

besar adalah golongan masyarakat miskin. Sehingga terdapat hubungan erat antara

pengurangan kemiskinan dengan perbaikan ketahanan pangan rumah tangga dan

individu ( Reutingler, 1987; Badan KetahananPangan, 2005a).

Permasalahan dalam membangun ketahanan pangan berkelanjutan terkait

adanya fakta bahwa kemiskinan di Indonesia sebagian besar berada di perdesaan

pada sektor pertanian khususnya pada subsektor pangan (Susenas, 2002; Sipayung,

2002; Yudhoyono, 2004; Herliana, 2004; Muharminto, 1993). Tingginya angka

kemiskinan disebabkan pada sektor ini menanggung beban berlebih dalam

penyerapan tenaga kerja akibat adanya perubahan struktural tidak seimbang sehingga

angka pengangguran tersembunyi cukup besar dan produktivitas menjadi rendah

(Ellies,1992; Ikhsan, 2001; Maksum, 2005; Soetrisno, 1999; Fane and Warr, 2008).

Ikhsan (2001), Ellies (1992) dan Soetrisno (1999) menyatakan tingginya

beban penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian disebabkan karena human capital

endowment di sektor pertanian yang tidak memadai sehingga menyulitkan proses

transformasi tenaga kerja antar sektor, sehingga sektor pertanian berfungsi sebagai

employment of last resort. Selama ini kebijakan-kebijakan pembangunan yang

diambil pemerintah masih kurang menyentuh kepentingan sektor pertanian. Sektor

pertanian sengaja dibangun sebagai produsen bahan pangan murah, tumbal

ketahanan pangan nasional, bemper ketenagakerjaan dan tumbal inflasi (Maksum,

2005; Norton, 2004).

Demi terwujudnya ketahanan pangan berkelanjutan pemerintah harus punya

keberpihakan sehingga dalam membangun ketahanan pangan juga diikuti oleh

peningkatan kesejahteraan petani pangan sebagai pelaku produksi bahan pangan.

Peningkatan pendapatan bagi petani pangan merupakan insentif yang bisa

Page 33: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

8

merangsang untuk meningkatkan produksi pangan. Apabila petani pangan tidak

terinsentif untuk memproduksi bahan pangan maka dikawatirkan akan terjadi alih

fungsi lahan pertanian khususnya pada lahan pangan secara besar-besaran sehingga

dalam jangka panjang akan mengancam keberlangsungan ketahanan pangan nasional

(Simatupang, 1999; Dorosh, 2008; Fane and Warr, 2008; McCulloch, 2008;

McCulloch and Timmer, 2008).

Peningkatan produktivitas pada petani pangan akan meningkatkan

pendapatan dan daya belinya, terutama bagi petani berlahan sempit dan buruh tani

sehingga akan efektif dalam mengurangi kemiskinan di perdesaan karena angka

kemiskinan banyak terdapat pada subsektor pangan (Herliana, 2004). Peningkatan

produktivitas pada subsektor pangan selain efektif dalam pengurangan kemiskinan

sekaligus juga sebagai penarik bagi pelaku-pelaku produksi pangan untuk

meningkatkan produksi dan usahanya sehingga akan meningkatkan ketahanan

pangan secara berkelanjutan ( Maksum, 2005; Norton, 2004; Dorosh, 2008).

Berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal maka telah terjadi

perubahan paradigma dalam pelaksanaan pembangunan nasional di Indonesia,

dimana apabila sebelumnya ditunjukkan oleh peran pemerintah pusat yang dominan

maka peran tersebut telah dialihkan pada pemerintah daerah. Undang-Undang No 22

Tahun 1999 dan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan

Undang-Undang No 25 tahun 1999 dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang

perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah, telah merubah sistem

sentralisasi yang mendominasi selama 32 tahun menjadi sistem desentralisasi

( Departemen Dalam Negeri, 2002).

Desentralisasi fiskal memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk lebih

mampu menggali potensi daerah dalam meningkatkan penerimaannya. Dari sisi

Page 34: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

9

pengeluaran dengan kendala anggaran yang ada diharapkan lebih mampu

membelanjakan pada fasilitas yang sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat.

Sehingga bisa memberikan eksternalitas terhadap tumbuhnya investasi swasta dan

kegiatan ekonomi masyarakat dan berdampak pada peningkatan pendapatan

masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Hal ini sesuai dengan tuntutan

desentralisasi, yaitu berkembangnya demokratisasi, peningkatan partisipasi

masyarakat, pemerataan, keadilan dan lebih memperhatikan potensi dan keaneka-

ragaman sumber daya (Sondakh, 1999; Mahi, 2000; Rao, 2000; Paul, 2001).

Dana alokasi umum (DAU) yang bersifat block grant lebih memudahkan bagi

pemerintah daerah untuk membelanjakan sesuai dengan prioritas pembangunan

daerah sehingga diharapkan memberi kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang

lebih baik yang akan berpengaruh pada kegiatan perekonomian daerah, pendapatan

masyarakat dan kemiskinan. Sejalan dengan fungsi Jawa Barat sebagai lumbung padi

nasional diharapkan pengaruh perubahan struktur anggaran belanja daerah memberi

pengaruh positif terhadap kinerja ketahanan pangan di Jawa Barat.

Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia, dan

usahatani padi merupakan tempat dimana sebagian besar penduduk Indonesia

menggantungkan hidupnya. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah

potensi penyangga pangan nasional, yaitu berkontribusi terbesar pada luas panen

padi yang pada tahun 2004 sebesar 15.3 persen dan merupakan penyumbang terbesar

produksi padi yaitu sebesar 17.8 persen dari produksi nasional ( BPS Jabar, 2005).

1.2. Perumusan Masalah

Dalam implementasi desentralisasi fiskal, diharapkan pemerintah daerah di

Jawa Barat bisa mempertahankan tingkat produksi yang sudah dicapai dan bisa

Page 35: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

10

meningkatkan produktivitas dengan menggali potensi yang ada melalui fasilitasi

kepada masyarakat. Sehingga bisa menimbulkan eksternalitas pada pengembangan

usahatani padi, pangan lainnya, kegiatan ekonomi perdesaan serta agribisnis pangan

daerah. Hal ini akan berdampak pada peningkatan produksi pangan dan pendapatan

petani, pengembangan perekonomian daerah sehingga tidak saja akan mencukupi

kebutuhan pangan di wilayahnya, tetapi juga meningkatkan pendapatan masyarakat

serta sebagai penyangga ketahanan pangan di wilayah regional maupun nasional.

Fenomena yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal

adalah terjadinya penurunan kinerja ketahanan pangan yang ditunjukkan oleh

peningkatan jumlah penduduk sangat rawan pangan, kasus gizi buruk bahkan

ditemukan sejumlah balita yang meninggal karena penyakit kekurangan gizi kronis

atau busung lapar yang disebabkan karena tidak bisa akses terhadap pangan secara

sehat dan berkecukupan. Menurut data BPS jumlah balita di Indonesia tahun 2005

sebesar 20.87 juta jiwa dan sebesar 8 persen menderita kasus gizi buruk. Pada

Gambar 2 diperlihatkan pada masa pelaksanaan desentralisasi fiskal terjadi

peningkatan terhadap jumlah penduduk sangat rawan pangan.

Sumber : Susenas, BPS berbagai tahun terbitan diolah

Gambar 2. Perkembangan Jumlah Penduduk Sangat Rawan Pangandan Miskin di Indonesia Tahun 1996 - 2005 ( % )

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

1996 1999 2002 2004 2005

Pendudukrawan pangan

Penduduksangat rawanpangan

Pendudukmiskin

Page 36: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

11

Desentralisasi fiskal yang memberi esensi kebebasan pada pemerintah daerah

dalam pengelolaan anggaran dan pembelanjaan publik seharusnya memberi pengaruh

positif terhadap kinerja ketahanan pangan yang merupakan pencerminan pemenuhan

kebutuhan dasar hakiki manusia. Munculnya fenomena gizi buruk dan jumlah

penduduk sangat rawan pangan yang mencerminkan penurunan kinerja ketahanan

pangan dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, mengindikasikan adanya kendala

dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal. Untuk itu diperlukan kreativitas dari

pemerintah untuk mengoptimalkan perannya dalam meningkatkan ketahanan pangan

dan menurunkan kemiskinan.

Sebagai daerah agraris prestasi pembangunan tidak cukup hanya dicapai

dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi kemandirian dalam memenuhi

pangan semua penduduknya dan peningkatan kesejahteraan petani merupakan faktor

penting dalam upaya tercapainya pembangunan yang berkelanjutan (Soetrisno, 1999;

Badan Ketahanan Pangan, 2006).

Penurunan status gizi masyarakat mempunyai dampak yang luas terhadap

jalannya pembangunan, karena status gizi selain merupakan pencerminan hasil dari

pembangunan juga mencerminkan kondisi kualitas dari pelaku pembangunan. Status

gizi yang buruk mencerminkan buruknya kinerja dari pembangunan karena target

dari pembangunan salah satunya adalah tercapainya masyarakat yang sejahtera yang

salah satu tolok ukurnya adalah status gizi yang baik. Buruknya status gizi

masyarakat akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia, terutama terhadap

kesehatan fisik, jiwa dan perkembangan intelektualitasnya. Kondisi status gizi yang

buruk akan menghasilkan sumberdaya manusia yang rendah dan tidak berdaya saing.

Sebaliknya tingginya kualitas sumberdaya manusia akan mampu menciptakan suatu

lompatan hasil pembangunan yang tinggi dengan memadukan antara kekuatan fisik,

Page 37: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

12

mental, ilmu pengetahuan yang melekat pada diri manusia sebagai satu kesatuan

modal manusia dengan kapital dan teknologi yang ada dalam proses pembangunan.

Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian secara

mendalam yang mengkaji keterkaitan antara kinerja fiskal daerah, perekonomian,

ketahanan pangan dan kemiskinan dalam suatu model ekonomi daerah, serta

mengkaji optimalisasi peran pemerintah daerah dalam meningkatkan ketahanan

pangan dan menurunkan kemiskinan.

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka yang menjadi permasalahan

dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana performance fiskal daerah, kondisi perekonomian daerah, kemiskinan

dan ketahanan pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat ?

2. Bagaimana keterkaitan antara kinerja fiskal dalam desentralisasi fiskal dengan

perekonomian daerah, kemiskinan dan ketahanan pangan?

3. Bagaimana pemerintah daerah mengoptimalkan perannya dalam meningkatkan

ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan dalam konteks implementasi

desentralisasi fiskal ?

4. Strategi kebijakan-kebijakan yang bagaimana yang dapat efektif dalam

mengurangi kemiskinan dan mendukung ketahanan pangan dalam konteks

implementasi desentralisasi fiskal ?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak berbagai

alternatif kebijakan dalam konteks implementasi desentralisasi fiskal terhadap

kemiskinan dan ketahanan pangan di Provinsi Jawa Barat.

Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah :

Page 38: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

13

1. Mengkaji performance fiskal daerah, perekonomian daerah, kemiskinan dan

ketahanan pangan pada masa desentralisasi fiskal di Wilayah Jawa Barat.

2. Membangun model ekonomi daerah untuk menganalisis keterkaitan antara

kinerja fiskal daerah (penerimaan dan pengeluaran), perekonomian, kemiskinan

dan ketahanan pangan dalam konteks desentralisasi fiskal di Wilayah Provinsi

Jawa Barat.

3. Menganalisis dampak penerapan berbagai skenario kebijakan dan faktor

eksternal dalam mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan

dalam konteks desentralisasi fiskal di Wilayah Jawa Barat.

4. Merumuskan implikasi kebijakan strategis guna mengurangi kemiskinan dan

meningkatkan ketahanan pangan dalam konteks desentralisasi fiskal di Wilayah

Jawa Barat.

Kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan dalam mengelola kebijakan pembangunan daerah

khususnya yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan dan peningkatan

ketahanan pangan serta dalam penyusunan program pembangunan daerah.

2. Sebagai salah satu sumber informasi dalam upaya mencari bentuk/ formula

desentralisasi fiskal yang ideal di Indonesia.

3. Sebagai referensi penelitian lebih lanjut dengan tema yang sama.

4. Bagi penulis penelitian ini merupakan salah satu prasyarat untuk memenuhi

kelulusan Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB serta merupakan

suatu exercise akademik dari ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan di

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB.

Page 39: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

14

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini mempunyai berbagai keterbatasan diantaranya adalah : (1) kinerja

perekonomian daerah lebih mengeksplorasi pada kinerja PDRB sektor pertanian, (2)

indikator kinerja ketahanan pangan dalam penelitian meliputi kinerja pada subsistem

ketersediaan, konsumsi dan pemanfaatan pangan yang diproksi dengan produksi

gabah, rata-rata konsumsi beras, konsumsi energi dan konsumsi protein per kapita,

pendapatan sektor pertanian, pendapatan per kapita serta status gizi dan derajat

kesehatan masyarakat yang diproksi dengan prevalensi balita gizi kurang dan buruk,

jumlah kematian bayi pada kelahiran, dan umur harapan hidup yang merupakan

muara akhir dari kinerja ketiga subsistem ketahanan pangan, (3) komoditi pangan

yang dikaji dalam penelitian yang dikaitkan dengan ketahanan pangan rumah tangga

dan kemiskinan yaitu komoditi beras, hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa

selama ini beras masih merupakan makanan pokok (kontribusinya dalam penyediaan

zat gizi yaitu kalori dan protein), kontribusinya dalam penciptaan lapangan kerja dan

sumber pendapatan, kontribusinya dalam total nilai hasil produksi serta beras

merupakan komoditi pangan unggulan wilayah Provinsi Jawa Barat, (4) unit analisis

kajian adalah daerah pemerintahan kabupaten pada wilayah Jawa Barat yang tidak

mengalami perubahan/ pemekaran, (5) model yang dibangun merupakan model

ekonomi tertutup karena ketiadaan data ekspor impor di tingkat kabupaten serta

pendekatan model perekonomian hanya dari sisi produksi sedang dari sisi demand

tidak dapat disajikan karena data investasi swasta sangat terbatas, dan (6) karena

data yang diperlukan berupa pool data yaitu data cross kabupaten di wilayah Provinsi

Jawa Barat dan time series tahun 1995 sampai dengan tahun 2005 maka banyak

ditemukan kendala ketersediaan data fiskal yang tidak lengkap sehingga membatasi

dalam formulasi model dan pilihan skema kebijakan dengan instrumen fiskal.

Page 40: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peranan Pemerintah

Desentralisasi fiskal memberi peranan yang cukup penting terhadap fungsi dan

wewenang pemerintah. Dalam implementasi desentralisasi fiskal, peranan pemerintah

daerah dalam melakukan upaya fiskal dengan menggali potensi fiskal sebagai sumber

penerimaan daerah dan peranan pemerintah dalam membelanjakan fasilitas publik

akan sangat mempengaruhi kinerja perekonomian daerah. Peranan pemerintah harus

dioptimalkan supaya dalam melakukan intervensi dengan biaya sosial tertentu akan

memberi dampak yang maksimal terhadap kinerja perekonomian. Pemerintah dalam

melaksanakan kebijakan sedapat mungkin harus menghindarkan terjadinya distorsi

yang bisa menimbulkan kegagalan pasar dan kontra produktif. Untuk itu dalam

tinjauan pustaka ini menjadi penting untuk membahas peranan pemerintah dalam

upaya mendapatkan gambaran yang lengkap tentang lingkup peranan pemerintah,

bagaimana pemerintah harus berperanan dalam sistem perekonomian dan bagaimana

mengoptimalkan peranan tersebut dalam pembangunan ekonomi daerah sehingga

peranannya tidak bersifat kontra produktif dan justru menimbulkan permasalahan

dalam perekonomian.

Adam Smith mengemukakan teori bahwa pemerintah hanya mempunyai tiga

fungsi : (1) untuk memelihara keamanan dalam negeri dan pertahanan, (2) untuk

menyelenggarakan peradilan, dan (3) untuk menyediakan barang-barang yang tidak

disediakan oleh pihak swasta, seperti halnya jalan , jembatan, saluran irigasi dan lain

lain (Pogue and Sqontz, 1976; Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001;

Musgrave and Peggy, 1989).

Page 41: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

16

Dalam dunia modern, pemerintah diharapkan peranannya semakin besar

mengatur jalannya perekonomian. Adam Smith, konseptor sistem kapitalis murni

mengemukakan ideologinya karena menganggap bahwa dalam perekonomian

kapitalis setiap individu yang paling tahu apa yang paling baik bagi dirinya, sehingga

dia akan melaksanakan apa yang dianggap terbaik bagi dirinya sendiri. Setiap

individu akan melaksanakan aktivitas yang harmonis seakan-akan diatur oleh tangan

yang tidak kentara. Karena itu perekonomian dapat berkembang secara maksimum

tanpa banyak campur tangan pemerintah. Sehingga lingkup aktivitas pemerintah

sangat terbatas, yaitu hanya melaksanakan kegiatan yang tidak dilaksanakan oleh

pihak swasta. Peranan pemerintah meliputi tiga bidang saja yaitu : (1) melaksanakan

peradilan, (2) melaksanakan pertahanan/ keamanan, dan (3) melaksanakan pekerjaan

umum (Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989; Mangkoesoebroto,

2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Prinsip kebebasan ekonomi dalam praktek menghadapi perbenturan

kepentingan, karena tidak adanya koordinasi yang menimbulkan harmonisasi dalam

kepentingan masing-masing individu, misalnya kepentingan pengusaha sering tidak

sesuai dengan kepentingan karyawan bahkan sering terjadi kepentingan kedua pihak

saling bertentangan. Dalam hal ini pemerintah mempunyai peranan untuk mengatur,

memperbaiki atau mengarahkan aktivitas sektor swasta. Hal ini disebabkan karena

sektor swasta tidak dapat mengatasi masalah perekonomian, sehingga perekonomian

tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada sektor swasta. Dalam sistem modern

peranan pemerintah dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan besar yaitu : (1)

peranan alokasi, yaitu peranan pemerintah dalam alokasi sumber-sumber ekonomi, (2)

peranan distribusi, dan (3) peranan stabilisasi (Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave

and Peggy, 1989; Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Page 42: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

17

2.1.1. Peranan Alokasi

Tidak semua barang dan jasa yang ada dapat disediakan oleh sektor swasta.

Barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar disebut barang publik,

yaitu barang yang tidak dapat disediakan melalui transaksi antara penjual dan

pembeli. Barang swasta adalah barang yang dapat disediakan melalui sistem pasar,

yaitu melalui transaksi antara antara penjual dan pembeli. Adanya barang yang tidak

dapat disediakan melalui sistem pasar disebabkan karena adanya kegagalan sistem

pasar ( market failure). Sistem pasar tidak dapat menyediakan barang/ jasa tertentu

oleh karena manfaat dari adanya barang tersebut tidak hanya dirasakan secara pribadi

akan tetapi dinikmati oleh orang lain. Jadi dalam hal ini dikatakan bahwa sistem pasar

gagal menyediakan barang dan jasa yang tidak mempunyai sifat pengecualian, yaitu

pengecualian oleh orang yang memiliki suatu barang terhadap orang lain dalam

menikmati barang tersebut. Pengecualian tidak dapat dilakukan secara teknis. Suatu

barang disebut barang publik juga karena secara ekonomis pengecualian dapat

dilaksanakan akan tetapi biaya untuk mengecualikan segolongan masyarakat dari

manfaat suatu barang sangat besar dibanding dengan biayanya. Jadi yang disebut

dengan barang publik murni adalah barang yang baik secara teknis maupun secara

ekonomis tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian atas barang tersebut

(Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Lain halnya dengan barang swasta, seperti sepatu dan sebagainya. Barang-

barang swasta dapat disediakan melalui sistem pasar oleh karena barang-barang

tersebut mempunyai sifat pengecualian. Seorang produsen dapat mengecualiakan

setiap orang untuk menikmati barang yang dihasilkannya kecuali apabila orang yang

bersangkutan itu bersedia mengemukakan kesukaannya atas barang itu ( revealing

Page 43: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

18

preference) dengan cara membayar sejumlah yang diminta produsen tersebut

(Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Ada barang lain yang termasuk dalam barang publik walaupun mempunyai

sifat pengecualian, misalnya jalan-jalan dapat disediakan melalui sistem pasar oleh

karena orang yang membuat jalan dapat mengecualikan orang lain dari manfaat jalan

tersebut misalnya dengan tol (pajak jalan), sehingga orang yang tidak mau membayar

pajak dapat dikecualikan dalam menggunakan jalan tersebut.Akan tetapi pemungutan

pajak jalan (tol) ini akan menyebabkan penggunaan jalan menjadi tidak efisien

apabila jalan tersebut tidak digunakan secara optimum, atau biaya pemungutan pajak

menjadi sangat tinggi, sehingga penyediaan jalan akan menjadi lebih efisien apabila

dilakukan oleh pemerintah walaupun sistem pengecualian dapat diterapkan pada jalan

(Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Untuk barang-barang yang manfaatnya dirasakan oleh semua orang, sekali

barang ini tersedia, tidak ada seorangpun yang bersedia untuk membayar biaya

penyediaan barang tersebut, oleh karena setiap orang tahu bahwa apa yang mereka

bayar hanya merupakan sebagaian kecil dari total biaya. Disini timbul masalah

pengutaraan nilai kesukaan (reveal preference).Pada barang swasta tidak ada masalah

pengutaraan nilai oleh karena setiap individu mengutarakan kesukaan mereka dengan

harga. Pada barang swasta nilai kesukaan seseorang ditentukan oleh harga barang

tersebut. Hal yang sama tidak terjadi pada barang-barang publik. Tidak ada

seorangpun yang bersedia mengemukakan nilai kesukaannya terhadap suatu barang

publik sehingga tidak ada orang/ pengusaha yang mau menyediakan barang tersebut

karena itu barang-barang publik disediakan oleh pemerintah karena sistem pasar gagal

dalam menyediakan barang tersebut (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo,

2001; Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989).

Page 44: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

19

Masalahnya adalah seberapa banyak pemerintah harus menyediakan barang-

barang publik? Berapa besar dana yang harus disediakan oleh pemerintah untuk

penyediaan jalan, jembatan, saluran irigasi, dan sarana transportasi lain? Oleh karena

untuk barang-barang publik terdapat masalah pengutaraan nilai kesukaan, maka

pembayaran untuk penyediaan barang tersebut tidak dapat dilakukan melalui sistem

harga melainkan harus melalui sistem pemungutan suara. Dengan sistem pemungutan

suara, setiap orang berusaha menggunakan haknya sehingga hasil pemungutan suara

tersebut sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Hasil pemungutan suara tidak

akan dapat memuaskan setiap orang, akan tetapi dengan menggunakan kriteria

tertentu hasil pemungutan suara akan mendekati penyelesaian yang efisien seperti

halnya sistem pasar. Peranan pemerintah dalam alokasi adalah untuk mengusahakan

agar alokasi sumber-sumber ekonomi dilaksanakan secara efisien. (Pogue and Sqontz,

1976; Musgrave and Peggy, 1989; Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

2.1.2. Peranan Distribusi

Peranan pemerintah lain adalah sebagai alat distribusi pendapatan atau

kekayaan. Distribusi pendapatan tergantung dari pemilikan faktor-faktor produksi,

permintaan dan penawaran faktor produksi, sistem warisan dan kemampuan

memperoleh pendapatan. Kemampuan memperoleh pendapatan tergantung dari

pendidikan, bakat dan sebagainya sedangkan warisan tergantung dari hukum yang

berlaku. Pemilikan faktor produksi sebagai sumber pendapatan tergantung dari

permintaan akan faktor produksi dan jumlah yang ditawarkan oleh pemilik faktor

produksi. Permintaan dan penawaran akan faktor produksi menentukan harga dari

faktor produksi yang bersangkutan. Permintaan akan suatu faktor produksi tergantung

pada teknologi. Apabila teknologi dalam menghasilkan suatu barang adalah teknologi

Page 45: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

20

padat karya, maka permintaan akan tenaga kerja relatif lebih besar daripada

permintaan akan modal, dan pengusaha bersedia membayar tenaga kerja lebih besar

daripada modal dan sebaliknya untuk faktor produksi modal. Penawaran suatu faktor

produksi tergantung dari pemilikan faktor produksi yang juga dipengaruhi oleh

warisan dan jumlah yang ditawarkan. Semakin banyak jumlah yang ditawarkan,

semakin rendah harga yang didapat oleh pemiliknya (Mangkoesoebroto, 2000;

Reksohadiprodjo, 2001).

Distribusi pendapatan dan kekayaan yang ditimbulkan oleh sistem pasar

mungkin dianggap oleh masyarakat sebagai tidak adil. Masalah keadilan dalam

distribusi pendapatan merupakan masalah yang rumit dalam ilmu ekonomi. Ada

sebagian ahli ekonomi yang berpendapat bahwa masalah efisiensi harus dipisahkan

dari masalah keadilan, atau dengan arti kata lain, masalah keadilan dan masalah

efisiensi adalah berkebalikan. Perubahan ekonomi ini dikatakan efisien apabila

perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan suatu golongan dalam

masyarakat dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak memperburuk keadaan

golongan yang lain. Dapat dipahami bahwa pandangan ini adalah pandangan yang

sangat ektrim sebab tidak ada satupun tindakan yang tidak mempengaruhi pihak lain

secara positif maupun negatif (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Ahli ekonomi Kaldor mengatakan bahwa suatu tindakan dikatakan bermanfaat

(baik) apabila golongan yang memperoleh manfaat dari tindakan “dapat” (secara

konseptual) memberikan kompensasi bagi golongan yang mengalami kerugian

sehingga posisi golongan yang rugi tetap sama seperti halnya sebelum adanya

tindakan yang bersangkutan (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Masalah keadilan ini tidak sepenuhnya berada dalam ruang lingkup ilmu

ekonomi oleh karena masalah keadilan tergantung daripada pandangan masyarakat

Page 46: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

21

terhadap keadilan itu sendiri. Keadilan bukanlah suatu hal yang statis dan absolut

akan tetapi merupakan suatu hal yang dinamis dan relatif, tergantung dari persepsi

masyarakat terhadap keadilan. Jadi masalah keadilan harus diserahkan kepada

masyarakat, yang melalui wakil-wakil mereka dalam Dewan Perwakilan Rakyat

merumuskan keadilan publik yang mereka inginkan, dan selanjutnya pemerintah

melalui kebijaksanaan fiskal dan moneter merubah keadaan masyarakat sehingga

sesuai dengan distribusi pendapatan yang diinginkan oleh masyarakat. Pemerintah

dapat merubah distribusi pendapatan secara langsung dengan pajak yang progresif

yaitu relatif beban pajak yang lebih besar bagi orang kaya dan relatif lebih ringan bagi

orang miskin, disertai dengan subsidi bagi golongan miskin. Pemerintah dapat juga

secara tidak langsung mempengaruhi distribusi pendapatan dengan kebijakan

pengeluaran pemerintah misalnya pendidikan dan kesehatan gratis bagi golongan

tertentu, subsidi pupuk untuk petani, subsidi harga bagi petani pangan, subsidi bunga

pada kredit ketahanan pangan (KKP), subsidi pangan untuk masyarakat miskin dan

sebagainya (Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989; Stiglitz, 2000;

Simatupang dan Timmer, 2008).

2.1.3. Peranan Stabilisasi

Selain peranan alokasi dan distribusi, pemerintah mempunyai peranan utama

sebagai alat stabilisasi perekonomian. Perekonomian yang sepenuhnya diserahkan

kepada sektor swasta akan sangat peka terhadap goncangan keadaan yang akan

menimbulkan pengangguran dan inflasi. Tanpa campur tangan pemerintah gangguan

permintaan di suatu sektor akan berpengaruh pada sektor lain sehingga akan

menimbulkan pengangguran tenaga kerja yang akan mengganggu stabilisasi ekonomi.

Inflasi atau deflasi juga merupakan hal yang dapat mengganggu stabilisasi ekonomi.

Page 47: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

22

Masalah inflasi atau deflasi harus ditangani pemerintah melalui kebijakan moneter

(Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Peranan pemerintah sebagai alat untuk mengalokasikan sumber-sumber

ekonomi, distribusi pendapatan dan stabilisasi ekonomi dapat menimbulkan

pertentangan kebijakan pemerintah. Misalnya, inflasi yang ditimbulkan karena

besarnya permintaan agregat (demand pull) mengharuskan pemerintah untuk

mengenakan pajak yang tinggi terhadap golongan miskin dari pada golongan kaya,

oleh karena golongan miskin mempunyai proporsi pengeluaran yang lebih besar dari

pada golongan kaya. Oleh karena itu pajak yang tinggi yang dikenakan terhadap

golongan miskin akan lebih efektif dalam mengurangi permintaan golongan miskin

terhadap barang-barang dan jasa sehingga tingkat inflasi dapat diturunkan. Akan

tetapi pengenaan pajak yang tinggi terhadap golongan miskin dan pajak yang rendah

pada golongan kaya akan menyebabkan distribusi pendapatan masyarakat menjadi

semakin pincang sehingga peranan pemerintah sebagai alat untuk memperbaiki

distribusi pendapatan menjadi gagal (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo,

2001; Musgrave and Peggy, 1989).

Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila investasi masyarakat semakin

besar. Pada umumnya investasi dilakukan oleh golongan kaya. Golongan kaya secara

relatif menabung lebih banyak dari pada golongan miskin oleh karena average

propensity to save mereka lebih besar dari pada golongan miskin. Apabila pemerintah

menghendaki perkembangan ekonomi yang pesat, dana swasta dalam negeri harus

dikerahkan sebesar mungkin yang berarti golongan kaya harus dikenakan pajak yang

lebih redah dari pada golongan miskin sehingga golongan kaya menggunakan

tabungan mereka untuk investasi. Pengenaan pajak yang rendah terhadap golongan

kaya dan pajak yang tinggi terhadap golongan miskin adalah bertentangan dengan

Page 48: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

23

kebijakan pemerintah untuk memperbaiki distribusi masyarakat (Pogue and Sqontz,

1976; Musgrave and Peggy, 1989; Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Peranan stabilisasi dalam ketahanan pangan adalah peranan pemerintah dalam

menstabilkan harga pangan yaitu menjaga harga pangan tidak anjlok pada saat masa

panen raya dan harga pangan tidak melambung pada saat masa paceklik. Peranan

stabilisasi tersebut dilakukan dengan menerapkan kebijakan harga dasar dan harga

atap. Dalam implementasinya untuk mengefektifkan berlakunya kebijakan harga

dasar gabah, pemerintah melalui bulog melakukan kebijakan pembelian gabah oleh

pemerintah dengan harga pembelian pemerintah (HPP) dan kebijakan stok pangan

pada saat panen raya. Implementasi dari kebijakan harga atap adalah dengan

melakukan operasi pasar murni (OPM) beras pada saat harga beras mulai naik, yaitu

bulog melakukan penjualan beras ke pasar dengan harga subsidi yang ditetapkan

pemerintah (Handerson and Quandt, 1980; Ellis, 1992; McCulloch, 2008; McCulloch

and Timmer, 2008; Norton, 2004). Peranan stabilisasi terhadap pangan juga bisa

dilakukan melalui fasilitasi pemerintah dengan terselenggaranya lumbung-lumbung

pangan masyarakat di daerah ( Saliem et al., 2004).

2.1.4. Peranan Pemerintah dalam Pembangunan

Dalam rangka mengatasi sifat kaku yang melekat di negara berkembang,

pemerintah harus memegang peranan positif dan tidak boleh berlaku sebagai

penonton pasif. Problema di negara berkembang yang begitu besar sehingga tidak

dapat diserahkan begitu saja kepada mekanisme pasar. Untuk meningkatkan negara

keluar dari titik stagnasi diperlukan adanya pembaharuan rasio ekonomi secara cepat.

Pada fase awal pembangunan, investasi harus dilakukan di bidang-bidang yang

meningkatkan ekonomi eksternal yaitu yang mengarah pada penciptaan overhead

Page 49: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

24

sosial dan ekonomi seperti tenaga kerja, transportasi, pendidikan, kesehatan dan

lainnya (Donalson , 1984; Ellies, 1992; Todaro, 2000; Meier,1995; Norton, 2004 ).

Perusahaan swasta tidak akan tertarik melaksanakan kegiatan-kegiatan

tersebut karena resiko besar dan keuntungan kecil. Dari sini timbul kebutuhan untuk

menyeimbangkan pertumbuhan berbagai sektor ekonomi sehingga penawaran sesuai

dengan permintaannya. Oleh karena itu pengawasan dan pengaturan oleh negara

menjadi penting dalam rangka mencapai keseimbangan pertumbuhan. Keseimbangan

memerlukan pengawasan atas produksi, distribusi dan konsumsi komoditi. Untuk

tujuan ini pemerintah harus merencanakan pengawasan fisik dan langkah-langkah

fiskal dan moneter. Langkah-langkah ini memang tidak dapat dihindarkan, untuk

mengurangi ketidak-seimbangan ekonomi dan sosial yang mengancam negara

berkembang. Mengatasi perbedaan sosial dan menciptakan situasi psikologis,

ideologis, sosial dan politik yang menguntungkan bagi pembangunan ekonomi

merupakan tugas terpenting pemerintah. Karena itu ruang lingkup tindakan

pemerintah sangat luas dan menyeluruh.Menurut Lewis lingkup itu mencakup

penyelenggaraan pelayanan umum, menentukan sikap, membentuk lembaga-lembaga

ekonomi, menentukan penggunaan sumber, menentukan distribusi pendapatan,

mengendalikan jumlah uang, mengendalikan fluktuasi, menjamin pekerjaan penuh

menentukan laju investasi (Todaro, 2000; Ellis, 1992; Norton, 2004; Jhingan, 2000).

Kebijakan pemerintah di bidang ekonomi merupakan kebijakan dan strategi

yang dipakai oleh pemerintah untuk mengelola perekonomian dalam mencapai tujuan

ekonominya. Pemerintah mengusahakan pada tingkat makro tercapainya kesempatan

kerja penuh, stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan neraca

pembayaran dan pada tingkat mikro terjadinya pemakaian sumber daya yang efisien.

Dalam prakteknya, dalam kondisi kerumitan ekonomi yang ada dan terbukanya

Page 50: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

25

perekonomian pada pengaruh-pengaruh internasional, pencapaian semua tujuan ini

sekaligus secara berkesinambungan sering kali tidak mungkin, sehingga dibutuhkan

skala prioritas serta pertimbangan politik dan ekonomi akan mempengaruhi proses

kebijakan ekonomi tersebut (Donalson, 1984; Todaro, 2000; Norton, 2004).

Pada tingkat kebijakan makroekonomi beberapa ukuran umum dapat

dipergunakan oleh pemerintah yang melaksanakan sistem ekonomi campuran untuk

mencapai tujuannya, yang meliputi kebijakan fiskal yang berupa manipulasi tingkat

pajak dan pengeluran pemerintah dan kebijakan moneter yang utamanya berupa

pengawasan persediaan uang dan tingkat bunga, kebijakan harga dan pendapatan yang

utamanya berupa pengawasan atas biaya dan harga serta pengaruh kurs valuta asing

untuk mempengaruhi perdagangan internasional dan posisi neraca pembayaran.

Kebijakan-kebijakan ini dikembangkan secara spesifik dengan ukuran-ukuran yang

didesain untuk merangsang investasi dibidang industri, penelitian dan pengembangan

serta mengembangkan usaha dan perlindungan kepentingan konsumen (Donalson,

1984 ; Norton, 2004).

Kebijakan fiskal dan moneter yang merupakan kebijakan makro utama yang

dipakai pemerintah adalah bermanfaat bagi pengaturan tingkat penyebaran

pembelanjaan dalam ekonomi, kebijakan ini merupakan strategi pokok pada sisi

permintaan (Donalson, 1984; Todaro, 2000; Jhingan 2000).

2.1.5. Kebijakan Fiskal dalam Pembangunan Ekonomi

Kebijaan fiskal berarti penggunaan pajak, subsidi, pinjaman masyarakat,

pengeluaran masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan stabilisasi. Dalam konteks

negara terbelakang, peranan kebijakan fiskal adalah untuk memacu laju pembentukan

modal yang dirancang sebagai piranti pembangunan ekonomi. Kebijakan fiskal

Page 51: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

26

sebagai sarana menggalakkan pembangunan ekonomi bermaksud mencapai tujuan

berikut : (1) untuk meningkatkan laju investasi, (2) untuk mendorong investasi

optimal secara sosial, (3) meningkatkan kesempatan kerja, (4) untuk meningkatkan

stabilitas ekonomi di tengah ketidakstabilan internasional, (5) untuk menanggulangi

inflasi, dan (6) untuk meningkatkan dan meredistribusikan pendapatan nasional

(Jhingan, 2000).

Perusahaan swasta di negara berkembang biasanya enggan menanamkan

modal di bidang-bidang yang riskan dan tidak cepat menghasilkan. Sebagian orang

kaya tidak mempunyai inisiatif dan usaha serta menanamkan modalnya dalam bentuk

emas, intan, real estate, tindakan spekulasi dan sebagainya. Hanya sedikit yang

menginvestasikan pada industri barang konsumsi, perkebunan dan pertambangan.

Dalam keadaan seperti itu, pembangunan ekonomi yang cepat hanya dimungkinkan

melalui pengeluaran negara. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab negara untuk

menciptakan infrastruktur yang diperlukan bagi pembangunan. Negara memiliki

sumber keuangan yang lebih besar dan berada dalam posisi yang memungkinkan

untuk melancarkan overhead sosial dan ekonomi yang memerlukan jangka waktu

persiapan lama. Peranan belanja negara dalam pembangunan ekonomi terletak di

dalam peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja,

peningkatan pendapatan dan standar kehidupan, penurunan kesenjangan pendapatan

dan kemakmuran, dalam mendorong inisiatif dan usaha swasta dan dalam

mewujudkan keseimbangan regional di dalam perekonomian (Todaro, 2000;

Donalson, 1984; Jhingan, 2000).

Kebijakan fiskal merujuk kepada ukuran-ukuran fiskal yang komplek seperti

pajak, subsidi dan pengeluaran pemerintah untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi.

Dengan mengontrol antara 15 sampai 50 persen dari GDP, pemerintah merupakan

Page 52: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

27

kekuatan utama dalam menggerakkan perekonomian di banyak negara berkembang.

Jadi berdasarkan volume, kebijakan fiskal berpengaruh secara substansial pada semua

lingkaran ekonomi. Kebijakan fiskal mempengaruhi kegiatan perekonomian melalui :

(1) alokasi dari sumber anggaran terhadap berbagai kegiatan yang merupakan

pengeluaran publik, (2) bentuk-bentuk pembiayaan dalam pengeluaran pemerintah,

dan (3) keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah (Todaro, 2000;

Musgrave and Peggy, 1989; Jhingan, 2000).

Permasalahan dalam bidang fiskal tidak hanya mencakup kompleksitas dalam

memformulasikan besaran penerimaan dan mengatur kombinasi alokasi pengeluaran

negara yang optimal, melainkan yang lebih menonjol adalah kearah upaya menutup

kekurangan pembiayaan (financing gap) berkaitan dengan pembayaran hutang.

Sehingga tantangan kebijakan fiskal ke depan tidak hanya dalam penentuan strategi

pembiayaan yang tepat, tetapi juga kepada masalah pengendalian defisit anggaran

(Departemen Keuangan, 2004).

Defisit anggaran merupakan penyebab utama ketidak seimbangan

makroekonomi, dan mengurangi defisit anggaran merupakan komponen utama pada

kebanyakan program penyesuaian. Secara prinsip pengurangan defisit anggaran dapat

dilakukan melalui dua hal : (1) dapat dikurangi melalui pengeluaran anggaran, dan (2)

peningkatan pendapatan pemerintah. Walaupun kedua pendekatan tersebut digunakan

secara bersamaan, penekanan diberikan kepada pendekatan pertama karena alasan

sebagai berikut : (1) pengurangan pengeluaran anggaran lebih mudah, lebih

substansial dan lebih cepat pengurangannya dibandingkan meningkatkan pajak serta

peningkatan dalam pajak pendapatan sering memerlukan perubahan dalam sistem

pajak dan aturan mengenai pajak yang memakan waktu, dan (2) tujuan utama dari

program penyesuaian secara struktural adalah dalam arti luas mengurangi aturan

Page 53: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

28

negara dalam perekonomian dan menyiapkan insentif untuk meningkatkan produksi

serta peningkatan pajak untuk mengelola tingkat pengeluaran yang ada akan

bertentangan dengan tujuan dari program penyesuaian struktural (Jhingan, 2000;

Todaro, 2000).

Dampak dari pengurangan defisit anggaran dan pengaruhnya terhadap

ketahanan pangan dapat dikaji lebih lanjut melalui : (1) pengurangan tenaga kerja di

sektor publik dan upah, (2) pengurangan investasi publik, (3) pengurangan subsidi,

dan (4) pengurangan /pemotongan pelayanan publik. Kebijakan fiskal dengan

pengurangan pengeluaran publik akan mempengaruhi ekonomi pangan dan ketahanan

pangan melalui pengaruh pada harga dan volume dari penawaran dan permintaan

tenaga kerja, kredit, komoditi yang di pasarkan dan menyebabkan perubahan dalam

infrastuktur sosial dan ekonomi. Penekanan khusus pada pendapatan rumah tangga,

permintaan pangan dan produksi pangan. Arah dan intensitas dari pengaruh tersebut

tergantung pada pendekatan terhadap pengeluaran untuk publik, kondisi sosial dan

ekonomi suatu negara, kerangka waktu dan pada suksesnya program penyesuaian

yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi (FAO, 1997).

2.1.6. Kegagalan Pemerintah

Adanya kegagalan pasar merupakan salah satu sebab mengapa pemerintah

harus turun tangan dalam perekonomian agar kesejahteraan masyarakat dapat

tercapai secara optimal. Namun demikian, tidak selamanya campur tangan

pemerintah menyebabkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bahkan secara

sistematis senantiasa terjadi kegagalan pemerintah (government failures). Hal ini

disebabkan karena pemerintah melaksanakan fungsi alokasi tidak dengan cara

Page 54: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

29

yang efisien. Ketidak efisienan pemerintah disebabkan karena empat hal yaitu :

(1) informasi yang terbatas, (2) pengawasan yang terbatas atas reaksi pihak

swasta, (3) pengawasan yang terbatas atas perilaku birokrat, dan (4) hambatan

dalam proses politik. Kegagalan pemerintah adalah kegagalan dalam menciptakan

kondisi pareto optimal yang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah :

(1) campur tangan pemerintah yang dapat menimbulkan dampak yang tidak

diperkirakan terlebih dahulu, (2) campur tangan pemerintah memerlukan biaya

yang tidak murah sehingga harus dipertimbangkan secara cermat manfaat dan

biayanya agar tidak lebih besar dari pada biaya masyarakat tanpa adanya campur

tangan pemerintah, (3) adanya kegagalan dalam pelaksanaan program pemerintah

karena itu memerlukan tender dan sistem yang komplek, dan (4) perilaku

pemegang kebijakan pemerintah yang bersifat mengejar keuntungan pribadi (rent

seeking behaviour). Dari faktor-faktor tersebut menyebabkan bahwa tidak

selamanya campur tangan pemerintah menyebabkan terjadinya peningkatan

kesejahteraan masyarakat atau pareto optimal (Pogue and Sqontz, 1976;

Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001; Musgrave and Peggy, 1989).

2.2. Desentralisasi Fiskal

Dalam bahasan ini akan dikaji konsep-konsep tentang desentralisasi fiskal,

bagaimana desentralisasi fiskal dijalankan pada berbagai negara, implementasi

desentralisasi fiskal di Indonesia dengan berbagai permasalahan yang timbul, dampak

dari desentralisasi fiskal terhadap perekonomian, peran-peran pemerintah dalam

desentralisasi fiskal. Dari bahasan ini diperoleh pemahaman yang komperhensif

tentang konsep dari desntralisasi fiskal dan bagaimana desentralisasi fiskal

Page 55: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

30

mempengaruhi variabel-variabel perekonomian, bagaimana pemerintah

mengoptimalkan peran dan fungsinya dalam implementasi desentralisasi fiskal.

2.2.1. Konsep Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemeritah pusat (nasional)

kepada pemeritah lokal / daerah dan kewenangan daerah untuk mengatur dan megurus

kepentingannya sesuai dengan aspirasi dan keputusannya sebagai daerah otonom,

sehingga otonomi daerah merupakan inti dari desentralisasi (Ulla, 2003; Smoke,

2001). Telaah konseptual dari desentralisasi dapat dilihat dari dua sisi ganda yaitu

meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintah pusat (nasional) dan

mengaktualisasi representasi lokalitas ( Ebel and Yilmaz, 2002; Roy, 1999; Woller

and Kerk, 1998).

Pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan pemberian peran yang lebih besar

kepada pemerintah daerah yang dilegalkan dengan lahirnya undang-undang otonomi

daerah yang terdiri dari Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah

dan Undang-Undang No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara

pemerintah daerah dan pusat, yang selanjutnya direvisi menjadi UU No 32 Tahun

2004 dan UU No 33 Tahun 2004. Tujuan perubahan kewenangan dalam

penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat,

pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal

serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah (Sondakh, 2000; Vazques

and McNab, 2001; Simanjuntak, 2002).

Perubahan tersebut terjadi karena kondisi sosial ekonomi masyarakat yang

menjadi pemicu, yaitu adanya sentimen regional, ketimpangan dan ketidakberdayaan

ekonomi, represi serta pelanggaran hak-hak masyarakat lokal. Dengan ditetapkan

Page 56: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

31

Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, maka setiap daerah di

kabupaten dan kota diberi kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam

melaksanakan pemerintahannya. Sehingga memberi peluang kepada daerah untuk

lebih leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai

dengan kepentingan masyarakat dan potensi di setiap daerah ( Departemen Dalam

Negeri, 2002 a).

Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor

25/1999, pada dasarnya diarahkan untuk : (1) meningkatkan ketahanan fiskal

berkesinambungan (fiscal sustainability), (2) memperkecil ketimpangan keuangan

pusat dan daerah (vertical imbalance), (3) mengkoreksi ketimpangan kemampuan

keuangan antar daerah (horizontal imbalance), (4) meningkatkan akutanbilitas,

efektivitas dan efisiensi kinerja pemerintah daerah, dan (5) meningkatkan kualitas

pelayanan dan partipasi masyarakat di sektor publik ( Mahi, 2000).

Alasan yang mendasari pemikiran bahwa pengelolaan keuangan negara secara

terdesentralisasi lebih baik dibanding dengan pengelolaan secara sentralistik adalah

karena akan terjadi efisiensi dalam pengalokasian sumber daya. Desentralisasi

membuat pemerintah lebih responsif terhadap aspirasi dan preferensi kebutuhan

masyarakat dibanding dengan pemerintah yang terpusat (Lin and Liu, 2000; Kerk and

Garry, 1997 ; Rao, 2000; Smoke, 2001; Ebel and Yilmaz, 2002). Hipotesis serupa

juga disampaikan oleh Tiebout, yang dikenal dengan Tiebout Hypotesis yaitu untuk

barang publik yang memungkinkan perbedaan permintaan antar daerah maka efisiensi

alokasi sumber daya akan lebih baik jika produksi barang tersebut dilakukan secara

terdesentralistik (Stiglitz, 2000).

Pola bantuan atau sistem transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah merupakan inti dari kebijakan desentralisasi fiskal, sistem transfer ini

Page 57: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

32

mempunyai arti yang sangat penting karena pengeluaran pemerintah daerah sebagian

besar yaitu sekitar dua per tiganya berasal dari dana transfer dari pemerintah pusat.

Pada masa sebelum desentralisasi program bantuan pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah sebagian besar dilakukan dalam bentuk spesifik grant, dimana

penentuan alokasi anggaran sudah ditentukan dari pemerintah pusat dengan format

yang sangat rigid sehingga seringkali implementasi di lapangan banyak terkendala

pada urusan administratif. Dengan desentralisasi pola penyaluran bantuan pemerintah

pusat berubah menjadi bentuk block grant, sehingga perencanaan program,

implementasi dan monitoring serta evaluasi dilakukan pada pemerintah daerah.

Bentuk block grant dalam kerangka desentralisasi fiskal berupa Dana Alokasi Umum

(DAU) (Simanjuntak, 2001; Ritonga, 2002; Mawardi dan Sumarto, 2003).

Secara konseptual desentralisasi fiskal berhubungan dengan perumusan

kewenangan atas sumber- sumber dana yang ada atau akses terhadap dana transfer

dan pembuatan berbagai keputusan baik yang menyangkut pengeluaran rutin maupun

pengeluaran investasi/ pembangunan (Braun and Grote, 2002; Ritonga, 2002).

Transfer fiskal merupakan inti dari suatu hubungan fiskal antar pemerintahan dan

memiliki peranan penting dan menentukan dalam mendukung program desentralisasi

fiskal, karena pengeluaran pemerintah daerah dua per tiganya merupakan dana

transfer dari pemerintah pusat. Dana transfer yang berupa dana block grant akan

memberikan pengaruh yang lebih efisien terhadap peningkatan kesejahteraan

masyarakat dibanding dengan dana trannsfer berupa spesific grant (Simanjuntak,

2001; Stiglitz, 2000).

Kaitan desentralisasi fiskal dengan kemiskinan dan ketahanan pangan terjadi

melalui dua jalur yaitu (1) desentralisasi - partisipasi/ pemberdayaan/ tata kelola –

kemiskinan dan ketahanan pangan, dan (2) desentralisasi - pelayanan publik/ investasi

Page 58: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

33

yang lebih memihak kaum miskin/ petani – kemiskinan dan ketahanan pangan ( Rao,

2000; Braun and Grote, 2002; Vazques and McNab, 2001; Wasylenko, 1987).

Jalur pertama, menunjukkan bahwa desentralisasi memungkinkan civil society

untuk berpartisipasi di dalam proses kebijakan dan dengan demikian meningkatkan

transparansi dan predictability dari pengambilan keputusan. Desentralisasi akan

menyebabkan terjadinya demokratisasi dalam masyarakat sehingga terjadi proses

pemberdayaan pada masyarakat. Masyarakat akan berpartisipasi aktif dalam

pembangunan, sehingga aspirasi masyarakat dalam proses pembangunan akan lebih

terakomodasi karena masyarakat ikut aktif dalam pengambilan keputusan. Dengan

demikian kebijakan pembangunan daerah akan berpihak pada masyarakat banyak dan

masyarakat akan bisa akses dalam proses pembangunan sehingga akan berdampak

pada peningkatan perekonomian, penurunan kemiskinan dan peningkatan ketahanan

pangan.

Jalur kedua, menunjukan bahwa desentralisasi fiskal akan membuat

pemerintahan lebih dekat dengan rakyat sehingga pemerintah daerah akan lebih tahu

kebutuhan masyarakatnya, dengan demikian akan terjadi efisiensi dan efektivitas

dalam melakukan alokasi sumberdaya karena terjadi penghematan pada biaya

administrasi dan biaya transaksi. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pelayanan

publik yang lebih baik yang akan berdampak pada peningkatan perekonomian

daerah, pengurangan kemiskinan dan peningkatan kinerja ketahanan pangan.

Pemerintah daerah memiliki informasi yang lebih baik dan lebih responsif terhadap

kebutuhan dan preferensi penduduk lokal dari pada pemerintah pusat. Dampak

desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di Indonesia bisa

terjadi melalui jalur pertama, kedua maupun jalur pertama dan kedua terjadi secara

bersamaan.

Page 59: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

34

Desentralisasi fiskal di Indonesia akan berpengaruh terhadap peranan

pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah. Sumber-

sumber keuangan daerah yang diatur dalam pasal 3 Undang-Undang No 25 tahun

1999, meliputi : (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terdiri dari : (a) Hasil Pajak

Daerah, (b) Hasil Restribusi Daerah, (c) Hasil Perusahaan Daerah (BUMD), (d) Hasil

Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan (e) Lain-lain Pendapatan Asli

Daerah, dan (2) Dana Perimbangan atau disebut juga bantuan atau transfer dari

pemerintah pusat yang terdiri dari : (a) Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, (b) Dana

Alokasi Umum (DAU), dan (c) Dana Alokasi Khusus (DAK) ( Departemen Dalam

Negeri, 2002 b).

Pada implementasi desentralisasi fiskal pemerintah daerah berperan dalam

meningkatkan penerimaan asli daerah (PAD) dari berbagai sumber seperti pajak

daerah, retribusi daerah, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan penerimaan daerah

lainnya. Kontribusi PAD relatif kecil dibandingkan dengan penerimaan yang berasal

dari pusat. Pajak yang memberi kontribusi terbesar dari PAD masih memiliki

kelemahan di daerah karena bagian yang paling besar dari pajak seperti pajak

pendapatan dan pajak penghasilan masih didominasi oleh pemerintah pusat. Pada

tingkat Provinsi terdapat hanya dua jenis pajak daerah yang diperkirakan signifikan

terhadap penerimaan daerah seperti Pajak Kepemilikan Kendaraan Bermotor (PKKB)

dan Pajak Perpanjangan Kendaraan Bermotor (PPKB), sedangkan dua jenis pajak

lain seperti Pajak Minyak dan Pajak Eksploitasi Air Bawah Tanah memberi kontribusi

yang tidak signifikan. Pada tingkat kabupaten/ kota terdapat tujuh jenis pajak daerah

tetapi hanya beberapa jenis pajak yang memberi kontribusi signifikan terhadap

penerimaan daerah. Pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan dan pajak iklan

Page 60: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

35

memberi kontribusi besar di kota, sedang penerimaan penting di kabupaten yang

berasal dari jenis pajak adalah Pajak Bahan Galian Tipe C (Brojonegoro, 2001).

Desentralisasi memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk

menentukan basis pajak dalam rangka memaksimumkan pendapatan tetapi di sisi lain

menimbulkan persaingan antar daerah dalam mendatangkan investor. Undang-

Undang No 34 tahun 2000 mengatur batasan maksimum basis pajak daerah. Pajak

Provinsi antara lima persen (pajak kendaraan bermotor) hingga 20 persen (pajak

pemanfaatan air bawah tanah), sedang batasan basis pajak di kabupaten/ kota antara

10 persen (pajak hotel dan restoran) hingga 35 persen (pajak iklan). Beberapa

pemerintah daerah di Indonesia memusatkan perhatian untuk memaksimumkan basis

pajak tanpa mempertimbangkan pengaruh buruk terhadap investasi daerah. Tetapi

juga ada pemerintah daerah yang menggunakan basis pajak yang lebih rendah dari

batasan maksimum dengan tujuan agar para investor lebih tertarik masuk ke daerah

tersebut (Brodjonegoro, 2001).

Keberhasilan peningkatan penerimaan pajak dan restribusi daerah tergantung

kepada badan pemungut pajak di daerah yang dikenal dengan Dinas Pendapatan

Daerah (Dispenda). Kemampuan administratif dinas tersebut akan menetukan apakah

penerimaan daerah dari pajak sama besarnya dengan besarnya potensi pajak.

Walaupun sulit mengharapkan besarnya penerimaan daerah sama dengan potensial

pajak tetapi diharapkan selisihnya tidak terlalu signifikan. Beberapa permasalahan

yang krusial dalam hal pemungutan pajak adalah kelemahan data dan sistem

informasi serta lemahnya tindakan dalam pelaksanaan undang-undang yang telah

ditetapkan. Adminitrasi harus diperbaiki mulai dari proses pendaftaran hingga proses

pengumpulan. Selanjutnya tindakan yang tegas dalam mengimplementasikan undang-

Page 61: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

36

undang menjadi prioritas yang menjamin bahwa setiap orang mempunyai perlakuan

yang sama dalam hukum dan undang-undang (Mahi, 2000 ; Brodjonegoro, 2001).

Pemerintah daerah mempunyai peran dalam memperoleh dana transfer dari

pemeritah pusat, dana tersebut diperoleh berdasarkan kebutuhan dan kapasitas fiskal

daerah. Terdapat tiga jenis transfer antar pemerintah yang dinyatakan dalam Undang-

Undang No 25 tahun 1999, yaitu : (1) Bagi Hasil ( Revenue Sharing), (2) Dana

Alokasi Umum (General Allocation Fund), dan (3) Dana Alokasi Khusus (Spesific

Allocation Fund) (Departemen Dalam Negeri, 2002 b).

Dana bagi hasil diklasifikasikan menjadi bagi hasil pajak dan bagi hasil

sumber daya alam (SDA). Bagi Hasil SDA merupakan jenis baru dalam undang-

undang tersebut yang diharapkan dapat memberi kompensasi yang besar terhadap

daerah kaya SDA yang selama ini diperas tanpa mendapatkan bagi hasil yang sesuai

dengan potensi SDA yang dimiliki. Terdapat empat jenis hasil SDA yang dibagikan

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yaitu : (1) minyak dan gas, (2)

pertambangan, (3) kehutanan, dan (4) perikanan (Departemen Dalam Negeri, 2002b).

Bagian kedua dari dana transfer antar pemerintah adalah Dana Alokasi Umum

(DAU) yang merupakan bagian yang sangat penting dalam penerimaan pendapatan di

Indonesia. Total DAU untuk kabupaten/ kota secara nasional adalah 90 persen

dikalikan dengan 25 persen Penerimaan Dalam Negeri (PDN) Nasional, sedang

10 persen dialihkan ke Provinsi. Salah satu tujuan penting pengalokasian DAU adalah

pemerataan kemampuan penyediaan fasilitas publik di antara pemerintah daerah di

Indonesia. Meskipun dinyatakan bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya dengan

SDA, namun distribusi SDA itu sendiri di antara provinsi dan juga di antara

kabupaten di Indonesia tidak merata. Oleh karena itu, sumber perimbangan dana

keuangan pusat ke daerah yang berasal dari SDA akan menimbulkan ketidakmerataan

Page 62: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

37

antara daerah. Dalam konteks ini, DAU dimaksudkan untuk dapat memperbaiki

pemerataan perimbangan keuangan yang ditimbulkan oleh bagi hasil SDA

(Departemen Dalam Negeri, 2002 b).

Prinsip dasar rumus DAU adalah konsep selisih fiskal dimana DAU

dialokasikan menutupi selisih antara kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal.Variabel

yang diestimasi dalam kebutuhan fiskal adalah populasi, luas daerah, kondisi

geografis, kondisi kemiskinan. Sedang dalam kapasitas fiskal yang diestimasi adalah

potensi SDA, potensi SDM, PDRB dan potensi industri. DAU dapat diklasifikasi

sebagai bantuan umum yang memberi kebebasan penuh kepada daerah untuk

membelanjakannya sesuai dengan prioritas daerah (Departemen Dalam Negeri, 2002 b).

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah jenis transfer terakhir dari pemerintah

pusat. Sesuai dengan hukum dan undang-undang, DAK dimaksudkan untuk

membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus seperti prioritas nasional, kejadian-kejadian

bahaya lainnya yang tidak dapat dibiayai dengan menggunakan DAU (Departemen

Dalam Negeri, 2002 b).

Pada sisi pengeluaran pemerintah daerah mempunyai peranan dalam

mengalokasikan pengeluaran berupa pengeluaran rutin dan pengeluaran

pembangunan. Implikasi desentralisasi fiskal memberi wewenang penuh kepada

pemerintah daerah untuk mengalokasikan pengeluarannya karena dianggap bahwa

yang lebih mengetahui tentang kebutuhan masyarakat adalah pemerintah daerah

sendiri bukan pemerintah pusat. Pemerintah daerah mengalokasikan pengeluaran rutin

ke dalam berbagai jenis pengeluaran seperti : belanja pegawai, belanja barang, biaya

pemeliharaan, biaya perjalanan dinas, belanja lain-lain, angsuran hutang dan bunga,

ganjaran/sumbangan/bantuan, pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan

pengeluaran tidak terduga.

Page 63: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

38

Pada saat ini belanja rutin lebih didominasi pengeluaran gaji pegawai karena

banyaknya pegawai negeri sipil yang didaerahkan yang tentu membawa konsekuensi

dalam pembayaran gaji yang dibebankan terhadap anggaran pemerintah daerah. Di

setiap kabupaten/ kota pengeluaran rutin memiliki alokasi yang lebih besar dari

pengeluaran pembangunan.

Pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran yang ditujukan untuk

membiayai proses perubahan, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju ke

arah yang ingin dicapai. Pada umumnya biaya pembangunan tersebut sudah

diprogram dalam Daftar Isian Proyek Daerah (DIPDA). Pengeluaran pembangunan

semuanya diprogramkan dalam berbagai proyek di setiap sektor dan subsektor.

Pengeluaran pembangunan dialokasikan ke berbagai sektor sesuai dengan urutan

prioritas dan kebijakan pembangunan daerah. Pengeluran pembangunan di kabupaten/

kota dialokasikan ke berbagai sektor perekonomian mulai dari sektor industri, sektor

pertanian dan kehutanan, sektor sumber daya air dan irigasi, sektor tenaga kerja,

sektor perdagangan, sektor transportasi, sektor pertambangan dan energi, sektor

pariwisata, sektor kependudukan, sektor pendidikan, sektor agama, sektor hukum

hingga sektor keamanan dan ketertiban umum (Departemen Dalam Negeri, 2002a).

2.2.2. Permasalahan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia

Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan No 25 Tahun 1999 yang

mengamanatkan pelaksanaan otonomi daerah serta biaya penyelenggaraannya telah

diimplementasi di daerah kabupaten dan kota seluruh provinsi di Indonesia.

Pelaksanaan yang dimulai sejak 1 Januari 2001 tersebut walaupun masih singkat

tetapi sudah ditemukan beberapa permasalahan. Masalah yang muncul dan esensial

menurut Wardhono (2001) dan Raharjo (2001) adalah pemerintah daerah yang

Page 64: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

39

menginginkan sumber pendapatan baru dapat dengan memperluas pajak dan pungutan

(retribusi). Kondisi tersebut harus diimbangi dengan insentif terhadap masyarakat.

Masalah pajak dan pungutan lainnya di era desentralisasi fiskal memang menjadi

topik utama dalam rangka kewenangan pemerintah daerah mengeksplorasi potensi

daerah. Namun masalah pajak harus benar-benar diperhatikan dan diperhitungkan

terutama masalah pungutan lain seperti retribusi yang sangat beragam dengan

berbagai PERDA.

Kekhawatiran lain adalah adanya dana perimbangan bagi hasil sumberdaya

alam yang dapat meningkatkan ketimpangan ekonomi antar daerah yang kaya SDA

dengan daerah yang miskin. Namun menurut Mubyarto (2001) bahwa kekhawatiran

tersebut dapat dikompensasi dengan peningkatan kualitas SDM dan sumber daya

ekonomi di daerah.

Pengalokasian anggaran juga menjadi masalah dalam keuangan daerah,

sehingga dibutuhkan efektivitas dan efisiensi anggaran pengeluaran. Menurut Ritonga

(2002) dibutuhkan beberapa langkah yaitu : (1) keselarasan antara pengeluaran dan

sumber daya yang tersedia melalui strategi skala prioritas perencanaan pengeluaran,

(2) konsistensi setting skala prioritas dan implementasinya dalam pencapaian sasaran

melalui teknik pembahasan, monitoring, evaluasi, pelaporan dan pengendalian

pembayaran (manajemen kas), (3) penentuan sasaran pengeluaran yang efisien

melalui pengembangan standar harga dan pemgembangan sistem tender, (4)

penentuan sistem keuangan yang dapat memberikan informasi akurat melalui standar

akuntansi yang layak, (5) penentuan prosedur pengambilan keputusan yang jelas

dalam pengelolaan anggaran melalui pembagian wewenang otorisator, ordonator dan

computable, (6) sistem dan prosedur usulan, penyaluran, pertanggungjawaban

Page 65: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

40

anggaran sederhana, transparan, informatif, dan (7) pemberdayaan masyarakat untuk

berpartisipasi dalam aspek penganggaran antara lain dengan kontrol masyarakat.

Permasalahan yang penting lainnya adalah masalah kelembagaan, menurut

Sumodiningrat (1999) bahwa dalam mengimplementasi undang-undang serta

melembagakan partisipasi rakyat hal yang penting untuk mencapainya tergantung

pada pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat atau kelompok sasarannya.

Secara bersama-sama harus menentukan fungsi kontrol dan pengawasan dalam

pembangunan daerah. Kontrol dan pengawasan kinerja fiskal dan perekonomian

daerah sesudah desentralisasi fiskal berada di eksekutif dan legislatif daerah

kabupaten/ kota. Jika kondisi ini diharapkan pemerintah pusat terhadap kemandirian

daerah, maka sewajarnya pemerintah daerah harus memiliki kapabilitas dan loyalitas

yang tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat dan memiliki visi

meningkatkan social welfare daerah yang salah satunya dengan menetapkan

kebijakan anggaran yang berpihak pada masyarakat.

2.2.3. Dampak Pelaksanaaan Desentralisasi Fiskal

Berbagai studi yang membahas tentang pelaksanaan desentralisasi fiskal

mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai dampak dari desentralisasi

fiskal. Ada yang mengatakan dampaknya positif terhadap perekonomian daerah, dan

ada pula yang menganggap dampaknya negatif. Berikut ini disampaikan beberapa

kajian yang menyajikan tentang dampak positif dan dampak negatif dari desentralisasi

fiskal.

Terdapat beberapa hal positif yang sekiranya dapat dijadikan bahan acuan

tentang urgensi pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam pembangunan daerah, yaitu:

(1) daerah lebih mampu memacu pembangunan daerahnya sendiri, (2) dapat

Page 66: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

41

meningkatkan pertumbuhan antar daerah yang berimbang, (3) pembagian dana yang

rasional dan adil kepada daerah penghasil sumber utama penerimaan negara, (4)

meningkatkan pemerataan pembangunan, (5) mengurangi kesenjangan sosial antar

daerah, (6) memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah

daerah yang bersangkutan, (7) meredakan ketidakpuasan daerah, (8) meningkatkan

respek daerah terhadap pusat, sehingga hubungan yang harmonis dan sesuai antara

pusat dan daerah, dan antar daerah lebih meningkat, dan (9) memperkuat integrasi

nasional ( Sondakh, 1999).

Selanjutnya Ulla (2001) mengatakan ada empat indikator yang dapat dijadikan

sebagai acuan untuk keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu : (1) akan

terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB) riil dimana dengan

meningkatnya PDRB riil, maka akan mendorong peningkatan pendapatan per kapita,

(2) terjadi kecenderungan peningkatan investasi baik investasi asing (PMA) maupun

domestik (PMDN), (3) ada kecenderungan semakin berkembangnya prospek bisnis/

usaha di daerah, dan (4) ada kecenderungan meningkatnya kreativitas pemerintah

daerah dan masyarakatnya.

Pelaksanaan desentralisasi fiskal juga mempunyai potensi yang positif

terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan (Mawardi dan Sumarto, 2003).

Beberapa faktor yang dapat membuat pelaksanaan otonomi daerah kondusif terhadap

kebijakan penanggulangan kemiskinan adalah:

1. Dana Alokasi Umum (DAU) diberikan kepada daerah dalam bentuk block grant,

sehingga pemerintah daerah mempunyai fleksibilitas tinggi dalam menggunakan

dana tersebut sesuai dengan kepentingan dan prioritas daerah, termasuk

kepentingan dalam menanggulangi kemiskinan.

Page 67: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

42

2. Ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan

di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan biaya lebih murah.

Bila iklim usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif maka investor akan

tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah, sehingga akan lebih banyak

lapangan kerja yang tersedia.

3. Daerah yang kaya SDA memperoleh penerimaan alokasi dana yang besar. Dengan

dana tersebut daerah yang bersangkutan relatif lebih mudah menentukan prioritas

langkah-langkah penanggulangan kemiskinan.

Roy (1999) dan Rao (2000) menyebutkan bahwa pada pemerintah yang

terdesentralisasi akan terjadi efisiensi alokatif dan efisiensi produksi yang terjadi

melalui efisiensi pada biaya administrasi dan biaya transaksi, sehingga akan

memberikan publik output dan publik servis yang lebih baik dan akhirnya akan

berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat. Pemerintah lokal

juga akan lebih efisien dalam identifikasi pada kemiskinan sehingga akan lebih tahu

faktor penyebab kemiskinan serta bisa memberikan kebijakan yang spesifik sesuai

kondisi kehidupan masyarakat miskin sehingga menghasilkan strategi yang lebih

efektif.

Menyimak berbagai pandangan positif tentang manfaat desentralisasi, dapatlah

dikatakan bahwa penjabaran dari pelaksanaan desentralisasi fiskal bisa membuat

perekonomian suatu daerah lebih maju, yang diindikasikan dengan naiknya

pertumbuhan PDRB, investasi, ekspor, penerimaan daerah, dan pendapatan per kapita.

Pada akhirnya, upaya untuk meningkatkan pemerataan pendapatan, dan mengurangi

tingkat kemiskinan dalam perekonomian nasional dapat terealisir dengan lebih baik

melalui pelaksanaan desentralisasi fiskal (Swasono, 2007; Syahrial, 2005; Arisandi,

2000; Vazques and McNab, 2001; Wasylenko, 1987; Woller and Kerk, 1998).

Page 68: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

43

Berbagai kalangan banyak juga yang meragukan tentang keberhasilan

pelaksanaan desentralisasi fiskal di dalam pembangunan ekonomi daerah. Pada awal

diberlakukan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 memang telah banyak pengamat ekonomi

yang merasa khawatir dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal. Apabila daerah diberi

keleluasaan berkreasi untuk memperbesar PAD, maka kemungkinan terjadi ekonomi

biaya tinggi. Hal ini dapat dilihat dari sisi produksi, melalui naiknya biaya produksi

sehingga harapan menjadikan produk lokal sebagai primadona akan semakin kecil.

Akibat struktur biaya yang tinggi dengan sendirinya harga komoditas akan mengikuti,

dengan demikian kebijakan desentralisasi fiskal akan mengubah struktur harga

komoditas yang akhirnya adalah rendahnya daya saing produk lokal di pasaran

(Wardhono, 2001).

Adanya target untuk meningkatkan PAD mengakibatkan terjadinya berbagai

pungutan yang secara langsung maupun tidak langsung memberatkan pihak

pengusaha maupun masyarakat umum. Walaupun dalam UU No.25 Tahun 1999 telah

diatur ada 4 (empat) sumber penerimaan daerah yaitu : (1) PAD, (2) Dana

Perimbangan, (3) Pinjaman Daerah, dan (4) Penerimaan sah lainnya, namun dalam

kenyataannya banyak daerah yang sangat menggantungkan penerimaannya dari DAU

semata. Daerah yang tidak memiliki SDA dan tidak kreatif dalam menggali

penerimaan selain dana perimbangan akan mengalami kesulitan dalam

menyelenggarakan otonomi karena kekurangan sumber pembiayaan. Implementasi

UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan

daerah telah mendorong daerah miskin SDA untuk mengejar penerimaan melalui

pajak dan retribusi daerah. Dari sekian banyak pajak dan retribusi daerah tersebut

beberapa diantaranya dikenakan terhadap komoditi hasil pertanian, hasil perkebunan,

hasil perikanan, hasil kehutanan, hasil pertambangan, industri dan sebagainya.

Page 69: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

44

Dilihat dari aspek pemerataan, ternyata ada juga yang berpendapat bahwa

desentralisasi fiskal tidak akan menciptakan pemerataan pembangunan, bahkan

sebaliknya bisa menaikkan ketimpangan antar daerah. Hal ini disebabkan karena

distribusi kekayaan SDA yang meliputi perikanan, kehutanan, minyak bumi, dan gas

alam, menyebar tidak merata di Indonesia, padahal pembagiannya yang diatur pada

Dana Perimbangan didasarkan atas lokasi SDA tersebut, sebagaimana tersaji pada

Tabel 1. Oleh karena itu mudah diperkirakan bahwa bagi hasil SDA cenderung

menimbulkan dan memperbesar ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia

(Simanjutak, 2001).

Tabel 1. Dana Perimbangan menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun1999 (%)

Jenis Penerimaan Pemerintah Pusat Provinsi Kab / Kota Penerimaan dari PBB 10 90 - Penerimaan dari Provisi SDH 20 16 64 Peneriman dari luran Tetap 20 16 64 Penerimaan dari Royalty 20 16 64 Penerimaan dari Sektor Perikanan 20 - 80 Penerimaan bersih dari : Minyak bumi 85 3 12 Gas alam 70 6 24 Dana Alokasi Umum * - 10 90 Dana Alokasi Khusus : Dana Reboisasi 60 40% **

Sumber : UU Nomor 25/1999 (Simanjutak, 2001) * Dana alokasi umum untuk daerah otonom maksimal 25% Penerimaan Dalam Negeri APBN ** 40% tersebut dibagikan kepada daerah penghasil hutan sebagai Dana Alokasi Khusus

Bila diamati secara cermat, daerah-daerah yang memiliki peranan PAD tinggi

umumnya adalah daerah-daerah yang memiliki sektor sekunder (industri manufaktur)

dan sektor tersier (jasa-jasa) yang kuat. Sedangkan daerah yang peranan PAD-nya

kecil merupakan daerah yang tumpuan ekonominya berbasis pada sektor primer dan

Page 70: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

45

tradisional (Ismail, 2001). Dengan melihat struktur ekonomi yang ada pada setiap

daerah sangat beragam, dimana ada daerah yang mempunyai struktur ekonominya

pada sektor industri, dan ada pula yang struktur ekonominya pada sektor primer dan

tradisional, maka sangat dimungkinkan pelaksanaan otonomi daerah bisa

menimbulkan ketimpangan yang sangat tinggi dalam hal PAD, yang akhirnya

menyebabkan pula ketimpangan pembangunan antar daerah.

2.2.4. Upaya Fiskal dan Kinerja Perekonomian Daerah

Kinerja fiskal daerah dapat diukur dengan tiga konsep yang merupakan

kerangka dasar kinerja fiskal daerah yaitu : (1) kebutuhan fiskal, (2) ketersediaan

fiskal yang merupakan proksi dari potensi daerah, dan (3) kesenjangan fiskal. Ketiga

konsep ini sangat terkait dengan perekonomian daerah dalam hal pembiayaan

pembangunan daerah termasuk pengadaan barang-barang publik untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat (Simanjuntak, 2001).

Kebutuhan fiskal daerah merupakan konsep yang menunjukkan jumlah fiskal

yang dibutuhkan daerah dalam menjalankan pembangunan baik untuk pengeluaran

rutin dan pembangunan daerah agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat

daerah. Secara umum dan mendasar bahwa kebutuhan fiskal sebenarnya adalah total

pengeluaran pemerintah daerah yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD). Secara teori kebutuhan fiskal bukan ditentukan oleh

penerimaan daerah namun justru sebaliknya, yaitu penerimaan daerahlah yang

dipengaruhi oleh kebutuhan daerah. Bila kebutuhan fiskal meningkat maka akan

berdampak meningkatkan penerimaan daerah. Hal ini terjadi karena pemerintah harus

memenuhi kebutuhan publik untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial

rakyatnya. Cara pemikiran keuangan negara ini berbeda dengan keuangan rumah

Page 71: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

46

tangga dan perusahaan. Pembangunan fasilitas publik merupakan salah satu indikasi

peningkatan kesejahteraan masyarakat. Fasilitas kesehatan, fasilitas jalan, jembatan

serta fasilitas lainnya yang menunjang aktivitas masyarakat dan pengelolaannya oleh

pemerintah (Stiglitz, 2000; Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989).

Dalam menentukan kebutuhan fiskal daerah ada beberapa konsep yang dibuat

untuk lebih mengakomodasikan berapa sebenarnya kebutuhan fiskal daerah, apakah

seperti yang telah terealisasi atau yang terealisasi sebenarnya belum

mengakomodasikan kebutuhan fiskal daerah yang sebenarnya. Beberapa cara yang

dilakukan antara lain adalah menetapkan standar pelayananan minimum tertentu.

Kebutuhan fiskal daerah tercermin dari total pengeluaran atau belanja daerah tersebut.

Sehingga kebutuhan fiskal merupakan total kebutuhan belanja pemerintahan daerah

untuk menjalankan seluruh fungsinya dan tugas pemerintahan daerah dengan standar

pelayanan minimum tertentu ( Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).

Kapasitas fiskal atau disebut juga dengan potensi daerah berdasarkan Undang-

Undang No 22 tahun 1999, yang disesuaikan untuk formulasi DAU memiliki

variabel-variabel yang membentuk potensi daerah tersebut terdiri dari indeks industri,

bagi hasil sumber daya (BHSDA), pajak penghasilan orang pribadi (PPh) serta pajak

bumi bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHATB)

(Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).

Kapasitas fiskal merupakan penjumlahan dari PAD dan Total Bagi Hasil

(TBHS) yang terdiri dari Bagi Hasil Pajak (BHTX) dan Bagi Hasil SDA atau Bagi

Hasil Bukan Pajak (BHNT). Indeks industri dihitung dengan membandingkan PDRB

sektor industri dan jasa daerah tertentu dengan rata-rata PDRB industri dan jasa

nasional. Indeks industri merupakan faktor penyesuaian terhadap PAD suatu daerah

karena sektor yang termasuk di dalam sektor industri dan jasa adalah sektor yang

Page 72: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

47

diperkirakan dapat mempengaruhi besar kecilnya PAD. BHSDA secara langsung

menunjukkan berapa besar potensi SDA di suatu daerah. Sedang pajak penghasilan

(PPh) orang pribadi, menunjukkan perbedaan potensi daerah atas dasar potensi SDM-

nya. Suatu daerah yang memiliki SDM yang besar secara relatif akan memilki

potensi penerimaan yang lebih baik, misalnya potensi penerimaan yang berasal dari

pajak penghasilan (PPh) orang pribadi dan PAD. Formulasi potensi daerah

berdasarkan perumusan dalam DAU tahun 2002 adalah : Potensi Daerah = PAD + (

PBB + BPHTP + BHSDA +PPh), dimana PAD adalah angka estimasi penerimaan

PAD yang dihitung dengan mengalikan PAD rata-rata dengan indeks industri daerah

tersebut ( Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2002).

Fiskal gap atau kesenjangan fiskal adalah selisih antara ketersedian fiskal

daerah dengan kebutuhan fiskal daerah. Dengan kondisi tersebut maka bila suatu

daerah memerlukan pembiayaan kebutuhan daerah yang lebih besar tetapi tidak

mampu membiayai sendiri dengan kemampuan atau potensi daerah yang ada, maka

akan menyebabkan kesenjangan fiskal yang lebih besar. Berdasarkan formulasi DAU,

maka daerah yang memiliki kesenjangan fiskal yang semakin besar akan memperoleh

bobot yang lebih besar, sehingga akan menerima DAU yang lebih besar. Artinya

daerah yang menerima DAU yang lebih besar, menunjukkan daerah tersebut potensi

sumber dayanya serta PADnya kecil. Sehingga pemerintah pusat melalui instrumen

dana penyeimbang akan memenuhi kekurangan dari potensi daerah untuk pembiayaan

pengeluaran daerah, dengan standar kebutuhan mininum daerah dan berdasarkan

besarnya dana untuk DAU yang tersedia untuk Provinsi (Brodjonegoro, 2001).

Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa DAU yang diharapkan daerah dapat

menutupi kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan fiskal daerah, tidak dapat

dijadikan satu-satunya upaya menutupi kesenjangan fiskal. Perhitungan formulasi

Page 73: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

48

DAU dari pusat, tidak akan mampu menutupi kebutuhan fiskal daerah, sehingga

diperkirakan masih ada daerah yang dalam kinerja keuangan daerahnya akan terus

mengalami defisit dan pembangunan daerahnya tidak dapat berjalan sesuai dengan

rencana akibat kesenjangan fiskal tersebut (Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).

Keadaan tersebut akan menimbulkan manuver-manuver politik termasuk lobi-

lobi dari pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat untuk meningkatkan

penerimaan DAU untuk daerahnya. Bila kondisi tersebut terus terjadi maka

kemandirian daerah yang merupakan tujuan dari otonomi daerah, akan semakin jauh

untuk dicapai. Pembangunan daerah yang hanya mengandalkan standar mininum

tentu saja tidak akan memuaskan masyarakat, sehingga akan berdampak terhadap

kinerja perekonomian daerah. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa bila daerah

menginginkan kebutuhan masyarakat tidak standar minimum, tapi lebih besar dari itu

maka daerah tidak boleh hanya berharap dari DAU tersebut. Daerah harus

meningkatkan upaya fiskalnya dengan meningkatkan potensi daerah, sesuai dengan

kemampuan daerahnya atau menggalakan investasi daerah (Brodjonegoro, 2001;

Simanjuntak, 2001).

Upaya fiskal merupakan upaya yang dilakukan pemerintah yang berkaitan

dengan kinerja keuangan daerah. Bagaimana pemerintah daerah berusaha agar dapat

meningkatkan ketersediaan fiskal atau mengintensifikasi dan mengekstensifikasi

potensi daerah. Usaha pajak merupakan jumlah pajak yang sungguh-sungguh

dikumpulkan oleh kantor pajak dan dibandingkan dengan potensi pajak (tax capacity)

yaitu jumlah pajak seharusnya mampu dikumpulkan dari obyek pajak (tax base), yang

berupa pendapatan per kapita.Rasio antara usaha pajak dan potensi pajak ini disebut

dengan kinerja pajak (tax performance) (Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).

Page 74: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

49

Kinerja keuangan akan berpengaruh pada kinerja perekonomian suatu daerah.

Daerah yang pandai dalam mengupayakan fiskalnya sehingga memiliki kinerja

keuangan yang baik akan memberikan pengaruh positif pada kinerja perekonomian.

Kinerja keuangan yang baik akan berpengaruh dalam alokasi barang publik sehingga

pemerintah akan bisa memberikan pelayanan publik yang lebih baik, dan hal ini akan

berdampak pada kinerja perekonomian daerah (Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak,

2001).

Anggaran adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang

penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu.

Anggaran pemerintah daerah merupakan : (1) arah kebijakan pemerintah daerah

dalam hal-hal penerimaan maupun pengeluaran, (2) pencapaian atau realisasi dari

pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah yang direncanakan di awal periode

anggaran, (3) kapasitas pemerintah daerah untuk melaksanakan rencana yang sudah

ditetapkan di awal, (4) kemampuan pemerintah daerah dalam memilih kebijakan yang

sesuai dengan kapasitasnya, dan (5) kemampuan pemerintah daerah untuk menjaga

kesinambungan kebijakan anggaran tahun tertentu dengan menimbang pencapaian

annggaran di periode sebelumnya (Brodjonegoro, 2001; Jhingan, 2000; Departemen

Keuangan, 2004).

Anggaran pemerintah memiliki beberapa fungsi dasar yang dapat

dikelompokkan dalam kebijakan fiskal dan manajemen. Sebagai instrumen kebijakan

fiskal pertama, anggaran dapat digunakan untuk mengatur alokasi belanja untuk

pengadaan barang-barang dan jasa-jasa publik (public goods dan public services).

Berdasarkan skala prioritas yang ditetapkan, pemerintah dapat mengalokasikan nilai

belanja tertentu untuk kebutuhan atau kegiatan tertentu. Fungsi fiskal kedua, yaitu

anggaran berfungsi distribusi, melalui anggaran pemerintah dapat membuat kebijakan

Page 75: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

50

yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan atau mengurangi kesenjangan antar

wilayah, kelas sosial maupun sektoral.Fungsi fiskal ketiga adalah stabilisasi, yaitu bila

terjadi ketidakseimbangan yang ekstrem misalnya harga bahan pokok yang sangat

tinggi atau sangat rendah maka pemerintah dapat melakukan intervensi melalui

anggaran untuk mengembalikan tingkat harga pada titik yang rasional (Departemen

Keuangan, 2004; Jhingan, 2000).

Anggaran dari sisi manajemen memiliki beberapa fungsi antara lain yaitu

sebagai (1) pedoman bagi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya pada

periode yang akan datang, (2) sebagai produk politik yang dibuat oleh eksekutif dan

legeslatif atas nama kepentingan masyarakat dan pembebanan konsekuensi diatas

pundak publik, maka anggaran bisa berfungsi sebagai alat kontrol masyarakat

terhadap pelaksanaan kebijakan yang dibuat pemerintah, dan (3) anggaran dapat

digunakan masyarakat untuk menilai seberapa jauh pencapaian pemerintah dalam

melaksanakan kebijakan dan program-program yang direncanakan (Departemen

Keuangan, 2004; Jhingan, 2000).

2.3. Kemiskinan

Dalam pokok bahasan ini akan dikaji tentang konsep kemiskinan secara

mendalam, tipe dan faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dan dijelaskan

beberapa indikator yang digunakan sebagai tolok ukur untuk mengukur tingkat

kemiskinan. Kemiskinan menyangkut konsep yang multidemensional dalam

penelitian ini kemiskinan dibatasi pada konsep yang berhubungan dengan faktor

ekonomi dan kriteria yang digunakan dalam mengukur kemiskinan adalah kriteria

yang menurut Badan Pusat Statistik ( BPS).

Page 76: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

51

2.3. 1. Konsep dan Indikator Kemiskinan

Persoalan kemiskinan barangkali seumur dengan sejarah manusia dan

mungkin akan tetap ada selama kehidupan manusia di bumi ini masih ada. Hal ini

tersirat pula di semua ajaran agama, untuk memberikan derma kepada orang miskin.

Dengan kata lain yang miskin itu akan tetap ada sepanjang masa. Masalahnya adalah

bagaimana meminimumkan jumlahnya dan memberikan perlakuan yang adil dan

sewajarnya kepada kelompok masyarakat miskin ( Hasibuan, 2000).

Walaupun kemiskinan telah ada sepanjang sejarah manusia, tetapi

mendefinisikannya tidaklah mudah karena adanya berbagai pandangan tentang

masalah kemiskinan itu sendiri. Itulah sebabnya kemiskinan menjadi tidak mudah

menjabarkannya maupun mengukurnya secara persis karena kemiskinan mengandung

unsur-unsur dan juga menyangkut nilai dan persepsi yang sering kali bersifat relatif

(Supriatna, 1997).

Pengertian kemiskinan ada bermacam-macam, diantaranya adalah : kriteria

kemiskinan menurut BPS dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam

memenuhi kebutuhan dasar baik kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.

Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi

kebutuhan pangan maupun non pangan yang bersifat mendasar seperti sandang,

perumahan, pendidikan, kesehatan. Kebutuhan dasar untuk makanan adalah sebesar

2100 kkal energi per kapita per hari ( Makmun, 2003; Muharminto, 1993).

Sedang kriteria kemiskinan menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana

Nasional (BKKBN) adalah keluarga miskin pra sejahtera yaitu apabila : (1) tidak

dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, (2) seluruh anggota keluarga tidak

mampu makan dua kali sehari, (3) seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian

berbeda untuk di rumah, bekerja/ sekolah dan bepergian, (4) bagian terluas dari

Page 77: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

52

rumahnya berlantai tanah, dan (5) tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana

kesehatan. Kemiskinan menurut Bank Dunia adalah keadaan tidak tercapainya

kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1.00 per hari ( Supriatna, 1997).

Kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena

dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari

dengan kekuatan yang ada padanya. Kemiskinan ditandai oleh sikap dan tingkah laku

yang mencerminkan keadaan yang seakan-akan tidak dapat diubah yang tercermin

dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia,

lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang

dimiliki, rendahnya pendapatan dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam

pembangunan (Supriatna, 1997).

Bigsten (1992) mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah keadaan serba

kekurangan harta dan benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok

orang yang hidup dalam lingkungan serba miskin atau kekurangan modal, baik dalam

pengertian uang, pengetahuan, kekuatan sosial, politik, hukum maupun akses terhadap

fasilitas pelayanan umum, kesempatan berusaha dan bekerja.

Menurut Todaro (2000) bahwa pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan

dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar

minimum yang memungkinkan untuk hidup layak. Bila pendapatan tidak dapat

memenuhi kebutuhan minimum, maka orang dapat dikatakan miskin. Jadi tingkat

pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin,

atau sering disebut sebagai garis batas kemiskinan. Konsep ini sering disebut dengan

kemiskinan absolut, yang dimaksudkan untuk memenuhi tingkat pendapatan

minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti makan, pakaian dan

perumahan guna menjamin kelangsungan hidup.

Page 78: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

53

Kemiskinan adalah suatu kondisi dimana orang atau kelompok orang tidak

mempunyai kemampuan, kebebasan, asset dan aksesibilitas untuk kebutuhan mereka

di waktu yang akan datang serta sangat rentan (vulnerable) terhadap resiko dan

tekanan yang disebabkan oleh penyakit dan peningkatan secara tiba-tiba atas harga-

harga bahan pangan dan uang sekolah (Gemmel, 1992). Berg (1981) dan Sen (2002)

mengukur kemiskinan dari perspektif yang lebih luas yaitu minimnya penghasilan,

tidak tersedianya akses kepada pengetahuan, sumber daya serta layanan sosial dan

kesehatan, keterasingan dari arus utama pembangunan dan ketidak mampuan

memenuhi kebutuhan pokok. Dengan perspektif ini minimnya penghasilan hanyalah

merupakan salah satu unsur, yang lebih mendasar adalah ketidakmampuan untuk

mengakses sumber-sumber ekonomi.

Sen (1981) mencoba melihat kemiskinan melalui pendekatan kapabilitas

(capability approach). Konsep kemampuan menunjukkan adanya kebebasan atau

peluang yang dimiliki oleh seseorang untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Seseorang disebut miskin apabila dia tidak memiliki kapabilitas dan peluang yang

sangat terbatas untuk meningkatkan kesejahteraannya, minimnya kemampuan dasar

untuk mencapai tingkat kesejahteraan minimal yang telah ditentukan.

Indikator yang digunakan untuk melihat kemiskinan adalah tingkat

kemiskinan dan kesenjangan kemiskinan, pendekatan di dalam mengukur tingkat

kemiskinan tersebut yaitu (1) headcount measure, yaitu memperkirakan jumlah orang

yang berada dibawah garis kemiskinan, dan (2) poverty gap adalah memperhitungkan

jumlah dana yang diperlukan untuk mengatasi masalah kemiskinan (BPS; 2005).

Ukuran lain yang digunakan untuk melihat tingkat garis kemiskinan yang ada di

tingkat masyarakat adalah dengan melihat pengeluaran dan penerimaan per kapita

yang akan dibandingkan dengan tingkat kemiskinan yang dikeluarkan BPS.

Page 79: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

54

Menurut Esmara ada beragam alternatif ukuran garis kemiskinan dengan

memakai ukuran ”dibawah rata-rata”, yaitu angka (1) konsumsi beras (kg per

orang), (2) konsumsi sembilan bahan pokok, (3) pengeluaran rumah tangga (Rp/

orang), dan (4) konsumsi kalori dan protein / orang/ hari (secara terpisah) dengan

membedakan nilai rata-rata menurut Jawa dan lain daerah, dan desa atau kota. Di

bawah rata-rata itulah yang disebut miskin. Tetapi masih ada alternatif lain yang lebih

tepat yaitu di bawah 50 dan median. Kekurangan pada cara / ukuran relatif tersebut

adalah garis kemiskinan itu tidak dihubungkan dengan keperluan pokok, paling tidak

keperluan pangan dimana patokannya makin mantap, yaitu berdasarkan susunan

umur/ sex, rumah tangga, jenis pekerjaan dan sebagainya. Cara dari segi kebijakan,

yaitu bagaimana dan berapa besarnya biaya usaha mengatasi kemiskinan oleh

masyarakat luas dan oleh golongan miskin tersebut ( Makmun, 2003).

Menurut Sajogyo (1996) garis kemiskinan mempunyai ciri-ciri : (1) spesifikasi

atas tiga garis kemiskinan yang mencakup konsepsi ”nilai ambang kecukupan

pangan” (food threshold), dan (2) menghubungkan tingkat pengeluaran rumah tangga

dengan ukuran kecukupan pangan (kalori dan protein). Garis kemiskinan ciri pertama

dinyatakan dalam Rp /bulan, dalam bentuk equivalen nilai tukar beras (kg/ orang/

bulan) agar dapat saling dibandingkan nilai tukar antar daerah dan antar zaman.

Memakai data tingkat pengeluaran rumah tangga dinilai lebih tepat karena : (1) dalam

survei data ini dapat lebih tepat dilaporkan dibandingkan dengan angka penghasilan,

(2) sudah mencakup penghasilan bukan uang, pemakaian tabungan masa lalu,

pinjaman, pemberian barang modal yang dimakan, mekanisme transfer penghasilan

di lingkungan masyarakat tersebut, dan (3) data dari BPS mulai banyak tersedia. Hasil

klasifikasi adalah sebagai berikut : (1) untuk perdesaan: (a) miskin = pengeluaran

rumah tangga di bawah 320 kg nilai tukar beras/ orang/ tahun, (b) miskin sekali =

Page 80: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

55

pangan tak cukup di bawah 240 kg nilai tukar beras/ orang/ tahun, dan (c) paling

miskin dengan pengeluaran di bawah 180 kg nilai tukar beras/ orang/ tahun., dan (2)

untuk perkotaan : (a) miskin = pengeluaran rumah tangga di bawah 480 kg nilai tukar

beras/ orang/ tahun, (b) miskin sekali = dibawah 380 kg nilai tukar beras/ orang/

tahun, dan (c) paling miskin = dibawah 270 kg nilai tukar beras/ orang/ tahun.

2.3.2. Tipe dan Faktor Penyebab Kemiskinan

Ditinjau dari kelompok sasaran, terdapat beberapa tipe kemiskinan.

Penggolongan tipe kemiskinan ini dimaksudkan agar setiap tujuan program memiliki

sasaran dan target yang jelas. Hasibuan (2000) membagi kemiskinan menjadi tiga

kategori, yaitu : (1) kemiskinan absolut dimana pendapatan di bawah garis

kemiskinan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, (2) kemiskinan relatif

dimana situasi kemiskinan di atas garis kemiskinan berdasarkan pada jarak antara

miskin dan non-miskin dalam suatu komunitas, dan (3) kemiskinan struktural dimana

kemiskinan ini terjadi saat orang atau kelompok masyarakat enggan untuk

memperbaiki kondisi hidupnya sampai ada bantuan untuk mendorong mereka keluar

dari kondisi tersebut.

UNDP meninjau kemiskinan dari dua sisi, yaitu dari sisi pendapatan dan dari

sisi kualitas manusia. Dilihat dari sisi pendapatan, kemiskinan ekstrim (extreme

poverty) atau kemiskinan absolut adalah kekurangan pendapatan untuk keperluan

pemenuhan kebutuhan dasar atau kebutuhan minimal kalori yang diperlukan. Dari sisi

kualitas sumber daya manusia, kemiskinan secara umum (overall poverty), atau

sering disebut sebagai kemiskinan relatif, adalah kekurangan pendapatan untuk

memenuhi kebutuhan non pangan seperti pakaian, energi dan tempat bernaung

(UNDP, 2001).

Page 81: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

56

Menurut Jhingan (2000) kemiskinan secara sederhana disebabkan karena

rendahnya produktivitas tenaga kerja yang menyebabkan pendapatan per kapita

rendah, sehingga mereka kekurangan biaya untuk konsumsi dan kebutuhan penting

lainnya. Karena pendapatan rendah maka tabungan untuk keluarga juga rendah yang

menyebabkan investasi untuk pengelolaan usaha juga rendah. Rendahnya investasi

menyebabkan tingkat produktivitas tenaga kerja yang mengelolanya juga rendah.

Demikian siklus perangkap kemiskinan tersebut terus menerus berjalan tanpa akhir,

yang menyebabkan golongan masyarakat miskin sulit untuk berkembang.

Kemiskinan di Indonesia mempunyai empat dimensi pokok, yaitu: (1)

kurangnya kesempatan (lack of opportunity), (2) rendahnya kemampuan (low af

capabilities), (3) kurangnya jaminan (low-level of security), dan (4) ketidak berdayaan

(low of capacity or empowerment). Kemiskinan dapat dilihat secara global, yakni

kemiskinan kolektif atau kemiskinan massa, kemiskinan musiman (cyclical) dan

kemiskinan individu. Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau negara

yang mengalami kekurangan pangan, kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai

sebagai penyebab keadaan itu. Sedang kemiskinan musiman atau periodik dapat

terjadi ketika daya beli masyarakat turun atau rendah. Ketika terjadi inflasi dengan

tingkat pendapatan relatif tetap maka daya beli masyarakat akan turun. Kemiskinan

individu dapat terjadi pada setiap orang, terutama kaum cacat fisik atau cacat mental,

anak-anak yatim dan kelompok lanjut usia (Yudhoyono dan Harniati , 2004).

Kemiskinan menurut penyebabnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : (1)

kemiskinan alamiah, (2) kemiskinan struktural, dan (3) kemiskinan kultural.

Kemiskinan alamiah timbul karena sumber daya alam, sumber daya manusia dan

sumber daya pembangunan lainnya yang langka jumlahnya, karena perkembangan

teknologi yang rendah, sehingga masyarakat tidak dapat berperan aktif dalam

Page 82: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

57

pembangunan. Kemiskinan struktural timbul disebabkan hasil pembangunan yang

belum merata, kepemilikan sumber daya yang belum merata, kemampuan tidak

seimbang, ketidak merataan kesempatan, menyebabkan keterlibatan masyarakat

dalam pembangunan tidak merata. Kemiskinan kultural disebabkan pemahaman suatu

sikap, kebiasaan hidup dan data seseorang atau masyarakat yang merasa kecukupan

dan tidak kekurangan. Kelompok ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam

pembangunan dan cenderung tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya.

Dengan ukuran absolut mereka dapat dikatakan miskin, tetapi mereka tidak merasa

miskin atau tidak mau disebut miskin (Soegijoko, 1997).

Alla (1981) menyebutkan bahwa kemiskinan secara garis besar disebabkan

oleh faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen adalah faktor-faktor dari

dalam diri individu sendiri yang menyebabkan kemiskinan, atau sikap mentalnya

yang menyebabkan mereka miskin. Sedang faktor eksogen yang mempengaruhi

kemiskinan adalah faktor alamiah dan faktor struktural. Apabila ditinjau dari segi

penyebabnya konsep kemiskinan dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu : (1)

kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang terjadi karena langkanya sumber daya

dan rendahnya produktivitas; dan (2) kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang

terjadi karena lembaga-lembaga yang ada menjadikan sekelompok masyarakat atau

secara perorangan tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan fasilitas yang tersedia

secara merata. Kemiskinan alamiah disebabkan oleh faktor sumber daya manusia;

daya dukung wilayah dan ekologi manusia (Muharminto,1993).

Ikhsan (2001) menunjukkan beberapa determinan kemiskinan di daerah pedesaan

yaitu: (1) human capital endowment yang belum memadai yang menyulitkan proses

transformasi tenaga kerja antar sektor, (2) kuantitas dan kualitas infrastuktur, (3)

kontribusi pendapatan usahatani padi terhadap pendapatan keluarga petani hanya

Page 83: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

58

berkisar 17 - 30 persen, karena luas lahan yang kecil dan curahan jam kerja yang

hanya 10 hari dalam satu bulan, dan (4) faktor yang berkaitan dengan kebijakan

pemerintah.

Kemiskinan yang digunakan dalam penelitian adalah pengukuran kemiskinan

yang ditetapkan berdasarkan kriteria BPS dengan pendekatan kebutuhan dasar, yaitu

penduduk miskin adalah penduduk yang tidak bisa mencukupi kebutuhan dasarnya

berupa kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. Penduduk miskin menurut kriteria

penelitian ini adalah jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan

(headcount measure). Penentuan garis kemiskinan didasarkan pada pengukuran

pendapatan/ pengeluaran penduduk untuk mencukupi kebutuhan dasar yaitu berupa

kebutuhan untuk konsumsi energi sebesar 2100 kkal per kapita per hari, sehingga

apabila penghasilannya ada dibawah konversi tersebut maka termasuk pada kategori

penduduk miskin. Besaran garis kemiskinan akan berbeda antar waktu karena adanya

perubahan harga antar waktu, antar wilayah karena adanya perbedaan tingkat

kemahalan antar wilayah dan antara desa dan kota (Todaro, 2000).

2.4. Ketahanan Pangan

Pada pokok bahasan ini akan dikaji secara komperhensif tentang

pemahaman dari konsep ketahanan pangan, mulai dari konsep yang paling sederhana

pendekatan ketersediaan pangan, sampai pada konsep yang paling mutakhir yang

melihat dari berbagai dimensi yaitu selain dari ketersediaan pangan juga tentang

keterjangkauan pangan baik secara fisik dan ekonomi, faktor keamanan sampai pada

faktor akses pangan secara individu terhadap pangan yang diukur dengan indikator

status gizi masyarakat yang merupakan muara akhir dari semua subsistem ketahanan

pangan.

Page 84: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

59

2.4.1. Konsep Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan yang merupakan terjemahan dari food security merupakan

fenomena yang komplek mencakup banyak aspek dan faktor lain yang terkait secara

luas sehingga setiap orang mencoba menterjemahkan sesuai dengan tujuan dan

ketersediaan data. Seperti diungkapkan oleh Reutlinger (1987) bahwa ketahanan

pangan diinterprestasikan dengan banyak cara sesuai kebutuhan dan tujuannya. Berg

(1981) juga mengungkapkan bahwa pamakaian istilah ketahanan pangan dapat

menimbulkan perdebatan dan banyak isu yang membingungkan karena aspek

ketahanan pangan adalah luas dan banyak tetapi merupakan salah satu konsep yang

sangat penting bagi banyak orang di seluruh dunia. Definisi ketahanan pangan

berubah dari satu periode waktu ke periode waktu berikutnya (Salim et al, 2005).

Sebenarnya sejak tahun 1970-an ketahanan pangan mulai menjadi issue

internasional seiring terjadinya krisis pangan global ( Maxwell and Frankenberger,

1992). Pada awalnya konsep ketahanan pangan sebagai terjemahan dari istilah food

security yang difokuskan kepada kondisi ketersediaan pangan baik di tingkat nasional

maupun internasional terutama padi-padian, hal ini karena terjadinya krisis pangan

dunia pada waktu itu tahun 1972 – 1974. Sehingga pada masa awal orde baru

kebijakan ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada pendekatan penyediaan

pangan yang lebih dikenal dengan istilah Food Availability Approach (FAA).

Pendekatan ini tidak memperhatikan aspek distribusi dan aspek akses terhadap

pangan. Asumsi yang mendasari pendekatan ini adalah jika pasokan pangan tersedia

maka (1) para pedagang akan menyalurkan pangan tersebut ke seluruh wilayah secara

efisien, dan (2) harga pangan akan tetap stabil pada tingkat yang wajar sehingga dapat

dijangkau oleh seluruh keluarga.

Page 85: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

60

Tetapi dalam kenyataan, meskipun tersedia pangan yang cukup sebagian orang

masih menderita kelaparan karena tidak mempunyai cukup akses terhadap pangan.

Fenomena ini disebut sebagai hunger paradox. Sehingga pendekatan ketersediaan

pangan mengalami kegagalan dalam mencapai ketahanan pangan berkelanjutan di

beberapa negara. Dalam periode tersebut ketahanan pangan lebih ditekankan pada

unsur ketersediaan pangan di tingkat nasional dan global (Simatupang, 1999).

Pada tahun 1980-an konsep ketahanan pangan beralih dari konsep

ketersediaan pangan ke konsep akses pangan pada tingkat rumah tangga dan individu.

Kalau pada awalnya ketahanan pangan masih berkisar pada pertanyataan “ dapatkah

dunia memproduksi pangan yang cukup,” kemudian pertanyaan tersebut dipertajam

lagi oleh International Food Policy Recearch Institute (IFPRI) menjadi “dapatkah

dunia memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan

terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan hidup.” Pada waktu

itu terjadi pergeseran konsep ketahanan pangan yang ditekankan pada akses pangan

di tingkat rumah tangga dan individu. Definisi ketahanan pangan tersebut adalah

setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap

pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif

dan sehat. Analisis terhadap ketahanan pangan rumah tangga. harus memperhatikan

empat konsep utama yaitu : (1) kecukupan (sufficiency) ), (2) akses (acces),

(3) keterjaminan (security ), dan (4) waktu (time) (Maxwell and Frankenberger,

1992).

Komponen akses ekonomi bagi individu untuk memperoleh pangan, hal ini

berkaitan dengan pemilikan sumberdaya untuk memproduksi pangan, harga pangan,

maupun daya beli. Ketidaktahanan pangan rumah tangga disebabkan oleh kemiskinan

atau pendapatan yang rendah. Dalam konteks rumah tangga, definisi tersebut

Page 86: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

61

didasarkan pada konsep entitlement atau kemampuan untuk menguasai pangan.

Lemahnya entitlement (faktor kepemilikan) rumah tangga dan individu yang

menyebabkan ketidak mampuannya melakukan kontrol terhadap pangan. Derajat

entitlement berhubungan linier dengan tingkat stabilitas akses rumah tangga dan

individu terhadap pangan karena derajat entitlement tersebut ditentukan oleh apa yang

mereka miliki, produksi, jual dan diwariskan atau diberikan (Sen, 1981).

Konferensi FAO tahun 1992 mencetuskan dasar-dasar ketahanan pangan yang

pada intinya menjamin kecukupan ketersediaan pangan bagi umat manusia dan

terjaminnya setiap individu untuk dapat memperoleh pangan. Definisi tersebut

disempurnakan pada waktu International Congress of Nutrition (ICN) di Roma

pada tahun 1994 menjadi, ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah

tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar

dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Dalam sidang

Committee on Work Food Security tahun 1995 definisi di atas diperluas dengan

menambah persyaratan harus diterima oleh budaya setempat. Definisi tersebut

dipertegas lagi pada Deklarasi Roma pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan

pangan terwujud apabila semua orang setiap saat memiliki akses secara fisik maupun

ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan

sesuai seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat (Badan Ketahanan Pangan,

2005a; Saliem et al. , 2005).

Indonesia sebagai salah satu negara yang menyatakan komitmen untuk

melaksanakan deklarasi Roma menerima konsep ketahanan pangan tersebut yang

kemudian dilegitimasi pada rumusan dalam Undang-Undang Pangan No.7 tahun

1996. Namun konsep ketahanan pangan di Indonesia telah memasukkan aspek

keamanan, mutu dan keragaman sebagai kondisi yang harus dipenuhi dalam

Page 87: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

62

pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata serta terjangkau.

Sementara itu lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga pada tahun 1996 juga

menghasilkan rumusan baru konsep ketahanan pangan rumah tangga yaitu : ketahanan

pangan rumah tangga adalah kemampuan untuk memenuhi pangan anggota keluarga

dari waktu dan berkelanjutan baik dari produksi sendiri maupun membeli dalam

jumlah, mutu dan ragamnya sesuai dengan lingkungan setempat serta sosial budaya

rumah tangga agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari

secara produktif (Badan Ketahanan Pangan, 2005a; Saliem et al., 2005; Maxwell and

Frankenberger, 1992).

Konsep dari ketahanan pangan sangat luas dan beragam yang meliputi dimensi

sasaran global, nasional, regional, rumah tangga dan individu serta dimensi waktu

atau musim, ruang dan dimensi sosial ekonomi masyarakat. Ketahanan pangan global,

nasional, regional, lokal dan rumah tangga serta individu merupakan suatu rangkaian

sistem hirarkis, dimana ketahanan pangan nasional dan regional merupakan syarat

keharusan (necessary condition ) bagi ketahanan pangan masyarakat, rumah tangga

dan individu. Dan ketahanan pangan individu merupakan syarat kecukupan

(sufficiency condition) bagi ketahanan pangan nasional (Simatupang, 1999).

Ketahanan pangan merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu : (1)

ketersediaan dan stabilitas pangan ( food availability and stability) , (2) kemudahan

memperoleh pangan (food accessibility), dan (3) pemanfaatan pangan (food

utilization) (FAO, 1996).

2.4.2. Ketahanan Pangan Sebagai Suatu Sistem

Dalam upaya memudahkan pemetaan tugas dan wewenang antara pemerintah

dan masyarakat dalam koordinasi di bidang perencanaan, pelaksanaan, monitoring

Page 88: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

63

dan evaluasi, maka Badan Ketahanan Pangan (2005a) mengkategorikan ketahanan

pangan sebagai suatu sistem ekonomi pangan yang terdiri subsistem penyediaan,

distribusi dan konsumsi yang berinteraksi secara berkesinambungan. Ketahanan

pangan sebagai suatu sistem digambarkan dalam Gambar 3, yang menunjukkan

adanya keterkaitan yang erat antar subsistem dalam sistem ketahanan pangan.

Pembangunan subsistem penyediaan mencakup pengaturan kestabilan dan

kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam negeri,

cadangan maupun impor. Pembangunan subsistem distribusi mencakup pengaturan

untuk menjamin aksesibilitas penduduk secara fisik dan ekonomis terhadap pangan

antar wilayah dan antar waktu, serta stabilitas harga pangan strategis. Pembangunan

subsistem konsumsi mencakup pengelolaan pangan di tingkat daerah maupun rumah

tangga, untuk menjamin setiap individu memperoleh pangan dalam jumlah, mutu gizi,

keamanan dan keragaman sesuai kebutuhan dan pilihannya. Ketiga subsistem

merupakan satu kesatuan yang didukung adanya berbagai input sumberdaya alam

(lahan, air, perairan darat dan laut), kelembagaan, budaya, permodalan dan teknologi.

Proses pembangunan ketahanan pangan digerakkan oleh kekuatan masyarakat

dalam usaha agribisnis pangan yang ditopang oleh fasilitasi pemerintah. Peran

fasilitasi pemerintah diimplementasikan dalam bentuk kebijakan ekonomi makro dan

perdagangan, pelayanan dan pengaturan, penyediaan prasarana dan sarana publik

serta intervensi atas kegagalan pasar untuk mendorong terciptanya pasar agribisnis

pangan yang berkeadilan. Peran pemerintah adalah memberdayakan masyarakat agar

mampu mengatasi masalah pangannya secara mandiri. Hasil yang diharapkan adalah

terpenuhinya hak azasi manusia atas pangan, berkembangnya SDM yang berkualitas,

dan terciptanya kondisi kondusif ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan

ketahanan nasional.

Page 89: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

64

Partisipasi Masyarakat • Produsen Pertanian • Indutri Pengolahan • Pedagang • Jasa Pelayanan

Input :

• SD alam (lahan, air, peraiaran)

• Kelmbaga an • Budaya • Teknologi

Ketersediaan

• Produksi • Cadangan • Impor

Distribusi:

Akses fisik dan ekono mi antar

• Wilayah • Waktu • Individu

Konsumsi :

• Kecukupan • Keragaman • Mutu gizi • Keamanan • Keterjangka uan

Output :

• Pemenuhan HAM

• Pengembang an SDM ber kualitas

• Ketahanan pangan, eko nomi dan na sional

Partisipasi Pemerintah • Kebijakan ekonomi makro • Kebijakan perdagangan dalam negeri dan

internasional • Pelayanan/fasilitasi • Intervensi/pengelolaan pasar terkendali

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Nasional Jakarta (2005)

Gambar 3. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan

Page 90: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

65

Produksi Daerah

Perdagangan : Cadangan Pangan :

- Antar Daerah

- Antar Negara

- Pemerintah

- Pemda

- Bantuan LN

Cadangan Pangan

Masyarakat

Bantuan Pangan

Ketersediaan

Di Pasar

Cadangan Pangan RT

Produksi Usaha Tani

Ketahanan Pangan RT

Konsumsi pangan Yang cukup untuk Hidup sehat dan

Produktif : - Setiap individu

- Setiap saat - Sesuai pilihan

Pendapatan

Usaha lain/ Off-farm

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Nasional Jakarta (2005) Gambar 4. Sistem Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Page 91: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

66

Produksi Daerah

Perdagangan : Cadangan Pangan :

- Antar Daerah

- Antar Negara

- Pemerintah

- Pemda

- Bantuan LN

Cadangan Pangan

Masyarakat

Bantuan Pangan

Ketersediaan

Di Pasar

Cadangan Pangan RT

Produksi Usaha Tani

Ketahanan Pangan RT

Konsumsi pangan Yang cukup untuk Hidup sehat dan

Produktif : - Setiap individu

- Setiap saat - Sesuai pilihan

Pendapatan

Usaha lain/ Off-farm

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Nasional Jakarta (2005) Gambar 4. Sistem Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Page 92: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

65

Perwujudan sistem ketahanan pangan di tingkat rumah tangga (mikro) dalam

kerangka hubungannya dengan sistem ketahanan pangan tingkat wilayah atau negara

(makro) dapat digambarkan pada Gambar 4. Pada gambar tersaji bagaimana

hubungan ketahanan pangan di tingkat mikro dengan ketahanan pangan tingkat

makro. Tercapainya ketahanan pangan di tingkat makro belum tentu tercapai

ketahanan pangan di tingkat mikro karena pengaruh faktor individu dan rumah

tangga.

Ditinjau dari sistem kelembagaan sosial pangan masyarakat, terwujudnya

ketahanan pangan dihasilkan oleh bekerjanya secara sinergis suatu sistem yang terdiri

dari subsistem rumah tangga, subsistem lingkungan masyarakat dan subsistem

pemerintah. Subsistem rumah tangga mengelola penyediaan, cadangan dan pola

konsumsi yang menjamin setiap individu memperoleh asupan gizi yang cukup.

Subsistem lingkungan masyarakat mengatur penyelenggaraan produksi, distribusi dan

pemasaran yang menjamin penyediaan pangan di seluruh wilayah setiap saat. Adapun

subsistem pemerintah mengelola kebijakan, fasilitasi, pelayanan dan pengawasan

yang menjamin sistem usaha pangan secara adil dan bertanggung jawab.

2.4 3. Indikator Ketahanan Pangan

Konsep dari ketahanan pangan berubah-ubah dan aspeknya sangat luas,

sehingga indikator, cara dan data yang digunakan oleh peneliti untuk mengukur

ketahanan pangan juga sangat beragam tergantung dari tujuan dan kepentingannya.

Untuk mengukur ketahanan pangan baik tingkat mikro dan makro dapat dicerminkan

oleh beberapa indikator yang tergantung dari tujuan dan kepentingan dari penelitian

yang dijalanlankan serta ketersediaan data.

Page 93: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

67

Indikator-indikator ketahanan pangan tersebut diantaranya adalah : (1)

produksi pangan baik tingkat rumah tangga, wilayah, regional, nasional, (2) tingkat

ketersediaan pangan di rumah tangga, wilayah, regional, nasional, (3) proporsi

pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumah tangga, (4) fluktuasi harga

pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga, (5) keadaan konsumsi pangan,

(6) status gizi, (7) angka indek ketahanan pangan rumah tangga, (8) angka rasio antara

stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan wilayah; (9) skor Pola Pangan

Harapan (PPH) untuk tingkat ketersediaan dan konsumsi, (10) kondisi keamanan

pangan, (11) keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat, (12) tingkat

cadangan pangan pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan, (13) kemampuan untuk

melakukan stok pangan, (14) indeks deversifikasi pangan (indeks herfindahl, indeks

simpson, indeks entropy), dan (15) indeks kemandirian pangan (Saliem et al., 2005;

Ariani et al., 2007).

Penentu utama ketahanan pangan di tingkat nasional, regional dan lokal dapat

dilihat dari tingkat produksi, permintaan, persediaan dan perdagangan pangan.

Sementara penentu utama di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan,

ketersediaan pangan dan resiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan

tersebut (Saliem et al., 2005; Badan Ketahanan Pangan, 2005a).

Salah satu kunci terpenting dalam mendukung ketahanan pangan adalah

tersedianya dana yang cukup (negara dan rumah tangga) untuk memperoleh pangan

(FAO, 1996). Indikator outcome ketahanan pangan yang direkomendasikan oleh FAO

tahun 2001 mencakup umur harapan hidup, prevalensi anak kurang gizi dan gizi

buruk dan angka kematian bayi dimana umur harapan hidup dan angka kematian bayi

merupakan komponen dalam indikator pembangunan manusia (IPM).

Page 94: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

68

Pengukuran kinerja ketahanan pangan pada penelitian ini menyangkut

berbagai dimensi baik ketahanan pangan secara makro yang merupakan syarat

keharusan juga ketahanan pangan secara mikro pada individu yang merupakan syarat

kecukupan, yaitu meliputi : produksi beras, rata-rata konsumsi beras, konsumsi

energi, konsumsi protein, pendapatan sektor pertanian, pendapatan per kapita dan

outcome ketahanan pangan yang direkomendasikan FAO (2001) yaitu umur harapan

hidup, angka kematian bayi dan prevalensi anak kurang gizi dan gizi buruk.

2.5. Studi Studi Terdahulu

Tinjauan penelitian terdahulu dilakukan terhadap penelitian dengan topik

desentralisasi fiskal, kemiskinan, ketahanan pangan, perananan sektor pertanian dan

permintaan dan penawaran komoditi (beras). Perbedaan penelitian yang sedang

dilakukan dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah, pada penelitian terdahulu

lingkup kajian agregat nasional sedang pada penelitian yang sedang dilakukan lingkup

kajian agregat regional pada tingkat kabupaten yang merupakan refleksi dari

implementasi desentralisasi fiskal dan kinerja perekonomian lebih difokuskan pada

kinerja sektor pertanian dan produksi beras.

Desentralisasi fiskal dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai kebebasan

berinovasi dan berkreasi dari pemerintah daerah sebagai pelaksana fungsi inisiator,

fasilitator dan regulator dalam mengoptimalkan perannya pada lingkup payung UU

No 22 dan UU No 25 Tahun 1999 dan UU No 32 dan UU No 33 Tahun 2004 dalam

mengelola anggaran belanja daerah untuk meningkatkan ketahanan pangan dan

menurunkan kemiskinan di daerahnya. Ketahanan pangan yang merupakan suatu

sistem dari beberapa subsistem, maka optimalisasi peran pemerintah sebagai

pelaksana fungsi inisiator, fasilitator dan regulator dalam implementasi desentralisasi

Page 95: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

69

fiskal dilakukan pada semua subsistem dari sistem ketahanan pangan. Sehingga

indikator ketahanan pangan pada penelitian ini diukur dari semua subsistem dari

ketahanan pangan, yaitu mulai dari peningkatan produksi gabah dan beras yang

memproksi ketersediaan pangan, pendapatan sektor pertanian dan pendapatan per

kapita yang memproksi daya beli, rata-rata tingkat konsumsi beras, energi, dan protein

yang memproksi tingkat akses pada pangan secara agregat sampai pada indikator

akses pangan secara individu dengan melihat status gizi masyarakat yang diukur

dengan prevalensi naka kurang gizi dan gizi buruk, angka kematian bayi dan umur

harapan hidup.

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu tentang Desentralisasi Fiskal, Kemiskinan dan Ketahanan Pangan

No. 1. 2. 3. 4.

Peneliti dan Tahun Zhang and Zhao (1997) Rao (2000) Lin and Liu (2000) Capuno (2001)

Topik dan Metode

Desentralisasi yang ditunjukkan dengan kontribusi yang besar pada pengeluaran daerah terhadap GDP terhadap pertumbuhan ekonomi India. Poverty Alleviation under Fiscal Decentralization in Transitional Economy The Case of Vietnam. Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi di China, Fungsi Produksi Cobb-Douglas. Elastisitas Pendapatan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah pada Era Desentralisasi

Hasil dan Implikasi Kebijakan

Desentralisasi berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, karena terjadi efisiensi alokasi sumber daya dan stabilitas ekonomi makro.

Desentralisasi berpengaruh efektif dalam mengurangi kemiskinan karena terjadi efisiensi dalam identifikasi kemiskinan dan mampu merumuskan strategi pengurangan kemiskinan yang lebih tepat sesuai kondisi si miskin. Desentralisasi fiskal berkontrbusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan efisiensi alokasi sumberdaya Elastisitas pendapatan pemerintah daerah bernilai elastis sedang elastisitas pengeluaran in-elastis, yang

Page 96: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

70

5. 6. 7.

Vazques and McNab (2001) Brodjonegoro et al. (2001) Pardede (2004)

Fiskal di Philipina,OLS, Panel Data. Fiscal Decentralization and Economic Growth in Vietnam. Alokasi Bagi hasil dan DAU kaitannya dengan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi daerah, persamaan simultan. Desentralisasi Fiskal; Input-Output

berarti peningkatan transfer dana dari pusat memberi tekanan positif pada penerimaan yang lebih besar dibanding pengeluaran daerah. Desentralisasi berpengaruh pada efisiensi alokatif dan efisiensi produksi karena pemerintah lokal lebih responsif terhadap kebutuhan dan preferensi masyarakat sehingga akan memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Kebijakan pengeluaran pemerintah melalui konsep bagi hasil menimbulkan kesenjangan antar daerah dan alokasi DAU mampu memperkecil kesenjangan. Simulasi terhadap peningkatan bagi hasil memberikan hasil pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibanding peningkatan alokasi DAU. Kombinasi peningkatan bagi hasil dan DAU memberikan pertumbuhan lebih besar. G berasal dari transfer pusat sangat berperan dalam penciptaan output, pendapatan dan kesempatan kerja. Kebijakan Desentralisasi Fiskal dapat meningkatkan perekonomian daerah dan memperbesar disparitas. Daerah penelitian belum mempertimbangkan sektor unggulan dalam alokasi anggaran pembangunan. Realokasi anggaran pembangunan ke sektor

Page 97: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

71

8. 9. 10.

Pakasi (2005) Asra (2000) Simatupang dan Darmoredjo (2003)

Desentralisasi Fiskal, Ekonometrika Persamaan Simultan, Pooled data Poverty and Inequality in Indonesia: Estimates, Decomposition and Key Issue. Produk Domestik Bruto (PDB), Harga dan Kemiskinan

unggulan akan meningkatkan erekonomian di dua daerah. Kebijakan DF berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal namun relatif kecil terhadap perekonomian daerah; dampak transfer DAU lebih besar terhadap kinerja fiskal daerah, sedangkan dampak investasi daerah lebih besar terhadap perekonomian daerah, realokasi anggaran rutin ke anggaran sektor terkait masyarakat (infrastruktur, kesejahteraan sosial, pendidikan) berdampak lebih besar terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Penurunan kemiskinan perdesaan merupakan penyumbang terbesar terhadap penurunan kemiskinan agregat, pertumbuhan ekonomi merupakan komponen terpenting dari upaya pengurangan kemiskinan, kemiskinan perdesaan lebih elastis terhadap pertumbuhan ekonomi, hasil simulasi menunjukkan bahwa pergeseran dalam angkatan kerja dan perbaikan peluang kerja di sektor perkotaan memainkan peranan penting dalam mengurangi kemiskinan agregat. Dampak PDB terhadap kemiskinan bervariasi menurut sektor, PDB sektor pertanian memiliki dampak lebih besar terhadap

Page 98: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

72

11. 12.

Yudhoyono (2005) Jayawinata (2005)

Kebijakan Fiskal (Pembangunan Pertanian dan Perdesaan) Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan, Ekonometrika Persamaan Simultan Time Series Kebijakan Makro terhadap Ketahanan Pangan Nasional, Ekonometrika Persamaan Simultan Time Series

kemiskinan perdesaan dan kemiskinan perkotaan dipengaruhi terutama PDB sektor industri, kemiskinan agregat dipengaruhi PDB sektor pertanian dan non pertanian, insiden kemiskinan juga dipengaruhi oleh harga beras, strategi pembangunan yang efektif untuk pengentasan kemiskinan adalah strategi pembangunan yang lebih menitik beratkan pada sektor pertanian khususnya subsektor tanaman pangan. Pemerintahan Pasca Orde Baru cenderung menurunkan PDB pertanian dan non pertanian, akibatnya kemiskinan di perdesaan dan perkotaan meningkat. Peningkatan G untuk pembangunan infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran.Mengurangi kemiskinan, khususnya di perdesaan diperlukan policy mix antara G untuk pembangunan pertanian dan kebijakan upah. Kebijakan suku bunga, nilai tukar, penawaran uang dan pengeluaran pemerintah merupakan variabel kebijakan makroekonomi yang memiliki dampak terhadap ketahanan pangan nasional. Kebijakan makroekonomi yang sangat mempengaruhi kelompok masyarakat rawan pangan

Page 99: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

73

13. 14. 15.

Herliana (2004) Ilham ( 2006) Mulyana (1998 )

Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian Indonesia, Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan dan Dampaknya pada Stabilitas Ekonomi Makro. S dan D Beras dalam rangka Mempertahankan Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas, Ekonometrika Persamaan Simultan Time Series

adalah kombinasi penurunan suku bunga dan peningkatan G Produktivitas sektor pertanian (tingkat kesejahteraan) relatif rendah dibanding sektor lain, subsektor tanaman pangan mempunyai nisbah nilai tambah per tenaga kerja paling rendah; koefisien-koefisien pengganda pada sektor pertanian secara umum relatif lebih besar dari pada sektor lainnya, untuk meningkatkan pendapatan kelompok miskin di perdesaan sektor yang paling efektif diinjeksi adalah sektor tanaman pangan. Kebijakan harga pangan berpengaruh positif inelastis terhadap ketersedian energi, namun tidak mempengaruhi ketersediaan protein. Kebijakan harga output signifikan terhadap ketersediaan energi, sedang harga input tidak signifikan. Kebijakan harga pangan tidak signifikan terhadap konsumsi energi per kapita.

Perlu pengembangan areal sawah intensifikasi dan irigasi di wilayah Sumatera dan Sulawesi. Dalam jangka pendek, kebijakan untuk meningkatkan harga dasar gabah yang lebih tinggi dari kenaikan harga pupuk masih diperlukan. Penghapusan peran bulog dan intervensi harga belum direkomendasikan.

Page 100: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

74

16. 17. 18. 19. 20.

Sawit (1994) Sudaryanto dan Sayuti (1990) Tabor et al. (1989) Nainggolan and Suprapto (1987) Mears et al. (1981)

Analisa Permintaan Pangan : Bukti Empiris Teori Rumah Tangga Pertanian. Model Permintaan Rumah Tangga Pertanian (MPR). Analisis Permintaan Bahan Pangan dengan Pendekatan Persamaan Sistem. Almost Ideal Demand System (AIDS). Food Crop Demand in Indonesia : A System Approach. Supply Response for Rice in Java : Empirical Evidence Income Elasticity of Demand for Rice in Indonesia.

Respons penawaran padi terhadap harga padi positif inelastis, harga palawija positif inelastis, harga pupuk negatif inelastis, upah tenaga kerja negatif inelastis, luas tanah garapan positif inelastis. Elastisitas permintaan padi terhadap harga padi negatif inelastis, harga palawija negatif inelastis, upah tenaga kerja negatif inelastis, pendapatan riil per kapita positif inelastis, jumlah tenaga kerja negatif inelstis. Elastisitas harga pangan inelatis dan bertanda negatif, elastisitas beras inelastis dan relatif lebih inelastis dibanding pangan lain. Elastisitas untuk harga lebih rendah dibanding terhadap pengeluaran. Respons padi terhadap harga tidak elastis. Harga tidak signifikan terhadap areal tetapi signifikan terhadap produktivitas Income elastisitas permintaan beras wilayah luar Jawa relatif lebih tinggi dibanding wilayah Jawa, elastisitas pada daerah perdesaan relatif lebih tinggi dibanding daerah perkotaan dan elastisitas golongan penduduk tingkat konsumsi kalori tinggi relatif lebih rendah dibandingkan golongan penduduk tingkat konsumsi kalori rendah.

Page 101: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

III. KERANGKA TEORI DAN PEMIKIRAN KONSEPTUAL

3.1. Kerangka Teori

3.1.1. Kaitan Desentralisasi Fiskal dengan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan

Dari penelusuran tinjauan pustaka didapatkan pemahaman tentang konsep

desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal memberi eksensi kebebasan berinovasi dan

berkreasi kepada pemerintah daerah dalam mengoptimalkan perannya sebagai

pelaksana fungsi-fungsi inisiator, fasilitator dan regulator dalam mengelola anggaran

pendapatan belanja daerah baik dari sisi peneriman maupun pengeluaran untuk

meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan di daerahnya.

Kaitan desentralisasi fiskal dengan ketahanan pangan dan kemiskinan dapat

dijelaskan dari beberapa teori sebagaimana yang dikatakan oleh (Pogue and Squant,

1976; Lin and Liu, 2000; Roy, 1999 ; Rao, 2000; Smoke, 2001; Ebel and Yilmaz,

2002) bahwa desentralisasi fiskal membuat pemerintah lebih responsif terhadap

aspirasi dan preferensi kebutuhan masyarakat dibanding dengan pemerintah yang

terpusat. Hipotesis serupa juga disampaikan oleh Tiebout, yang dikenal dengan

Tiebout Hypotesis yaitu untuk barang publik yang memungkinkan perbedaan

permintaan antar daerah maka efisiensi alokasi sumber daya akan lebih baik jika

produksi barang tersebut dilakukan secara terdesentralistik (Stiglitz, 2000).

Selanjutnya dikatakan desentralisasi fiskal berhubungan dengan perumusan

kewenangan atas sumber- sumber dana yang ada atau akses terhadap dana transfer

dan pembuatan berbagai keputusan baik yang menyangkut pengeluaran rutin maupun

pengeluaran investasi/ pembangunan (Braun and Grote, 2002). Transfer fiskal

merupakan inti dari suatu hubungan fiskal antar pemerintahan dan memiliki peranan

penting dan menentukan dalam mendukung program desentralisasi fiskal, karena

pengeluaran pemerintah daerah dua per tiganya merupakan dana transfer dari

Page 102: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

76

pemerintah pusat. Dana transfer berupa dana block grant akan memberikan pengaruh

yang lebih efisien terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dibanding dengan

dana transfer berupa spesific grant (Stiglitz, 2000; Simanjuntak, 2001). Pada masa

sebelum desentralisasi program bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah

sebagian besar dilakukan dalam bentuk spesific grant, dimana penentuan alokasi

anggaran sudah ditentukan dari pemerintah pusat dengan format yang sangat rigid.

Dengan desentralisasi pola penyaluran bantuan pemerintah pusat berubah menjadi

bentuk block grant, bentuk block grant dalam kerangka desentralisasi fiskal berupa

Dana Alokasi Umum (DAU)(Departemen Dalam Negeri, 2002b; Simanjuntak, 2001).

Dampak desentralisasi fiskal terhadap kesejahteraan dieksensikan pada

dampak pola penyaluran dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah

untuk pembelanjaan barang publik dalam upaya peningkatan kesejahteraan, karena

dua per tiga dari sumber dana daerah adalah dana transfer dari pemerintah pusat yang

pola penyalurannya mengalami perubahan dari pola spesific grant menjadi block

grant pada masa desentralisasi fiskal (Simanjuntak, 2001).

Diasumsikan ada dua pola penyaluran dana bantuan dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah yaitu : (1) dalam bentuk spesific grant yang

mempresentasikan kondisi sebelum desentralisasi fiskal, dan (2) dalam bentuk block

grant yang mempresentasikan kondisi masa desentralisasi fiskal. Dari dua pola

penyaluran dana transfer ini akan dianalisis pola penyaluran mana yang paling efisien

dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pola penyaluran spesific grant

menggeser garis anggaran melalui proses efek substitusi karena bentuk bantuan sudah

rigid, sedang pola block grant menggeser garis anggaran melalui proses efek

pendapatan.

Page 103: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

77

Gambar 5. Dampak Pola Penyaluran Dana Bantuan terhadap Tingkat Kesejahteraan

Sumber : Stiglitz, 2000.

Bagaimana dan berapa besar pengaruh desentralisasi fiskal terhadap

peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat diilustrasikan pada Gambar 5.Garis BB

menunjukkan garis anggaran masyarakat sebelum adanya bantuan dana transfer dari

pemerintah pusat kepada pemerintah lokal dan keseimbangan terjadi pada titik E dan

anggaran pengeluaran kesejahteraan untuk belanja barang publik sebesar W. Adanya

penyaluran dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal dengan pola

bantuan spesific grant untuk pembelanjaan barang publik, maka akan menggeser

garis anggaran masyarakat menjadi BB’. Garis anggaran menjadi lebih landai karena

harga barang publik menjadi relatif lebih murah daripada barang privat.

Keseimbangan terjadi pada titik E* dan pengeluaran anggaran kesejahteraan untuk

belanja barang publik pada titik W*. Tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat

yang ditunjukkan oleh pergeseran kurva indiferent dari titik E ke titik E* yang lebih

Page 104: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

78

tinggi. Pola bantuan spesific grant memberikan pengaruh pada harga barang publik

yang relatif lebih murah dan menggeser garis anggaran melalui proses efek substitusi.

Apabila pola bantuan dari pemerintah pusat berupa block grant maka akan

menggeser garis anggaran melalui proses efek pendapatan, yaitu garis anggaran

slopenya bergeser sejajar dengan garis anggaran awal dan bergeser kekanan sampai

menyinggung kurva indiferent yang sama dengan kurva indiferen setelah subsidi atau

pada tingkat kesejahteraan yang sama. Keseimbangan tercapai pada titik E** dan

pengeluaran anggaran kesejahteraan untuk belanja barang publik sebesar W**. Hal

ini menunjukkan pada pola bantuan block grant untuk mencapai tingkat kesejahteraan

yang sama dibutuhkan pengeluaran anggaran yang lebih rendah dibandingkan dengan

pola bantuan spesific grant. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal

memberi dampak yang relatif lebih efisien dalam mencapi kesejahteraan masyarakat

yaitu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan

3.1.2.Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya menggunakan konsep-konsep

pertumbuhan ekonomi secara agregat. Perbedaan pokok antara analisis pertumbuhan

ekonomi nasional dengan pertumbuhan ekonomi daerah menurut Ricardson (2001)

adalah titik berat dalam analisis perpindahan faktor. Analisis untuk suatu negara dapat

diasumsikan dengan perekonomian tertutup, namun untuk daerah asumsi tersebut

tidak berlaku. Daerah bersifat terbuka, karena kemungkinan masuk dan keluarnya

arus perpindahan tenaga kerja dan modal sangat besar. Hal ini memungkinkan

terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan

ekonomi nasional dan sebaliknya.

Page 105: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

79

Konsep yang paling sering digunakan untuk menggambarkan pendapatan

daerah adalah produk domestik regional bruto (PDRB) yaitu nilai tambah bruto atau

gross value added ( output dikurangi intermediate cost) dari seluruh sektor

perekonomian di suatu daerah. Pada tingkat nasional pertumbuhan ekonomi diukur

dari laju nilai produk domestik bruto (PDB) dan pada daerah merupakan laju dari nilai

produk domestik regional bruto (PDRB) yang merupakan ukuran dasar dari

penampilan performansi perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Nilai

PDRB suatu daerah merupakan penjumlahan dari PDRB beberapa sektor

perekonomian yang ada pada daerah tersebut. Sektor perekonomian tersebut

diantaranya adalah sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri

pengolahan, listrik gas dan air bersih, kontruksi dan bangunan, perdagangan hotel dan

restoran, pengangkutan dan telekomunikasi, bank dan jasa dan keuangan lainnya,

jasa-jasa dan lainnya.

Dari sisi penawaran agregat pertumbuhan ekonomi daerah didasarkan pada

pendekatan fungsi produksi agregat yang merupakan fungsi dari teknologi, kapital

(modal fisik dan finansial) dan tenaga kerja (Dornbusch and Fischer,1989).

Berdasarkan teori pertumbuhan baru/ endogenous (Todaro, 2000), pertumbuhan

output dipengaruhi oleh teknologi, kapital dan modal manusia yang menyatu dengan

ilmu pengetahuannya. Secara matematis dapat dirumuskan yaitu :

Y(t) = T(t) K(t) L(t).................................................................................(3.1)

dimana :

Y = tingkat output daerah (PDRB)

T = tingkat teknologi

K = kapital/ modal fisik dan finansial

L = modal manusia beserta ilmu pengetahuan yang dikuasai

Page 106: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

80

3.1.3. Teori Distribusi Pendapatan

Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi

pendapatan yang keduanya digunakan untuk berbagai keperluan kajian kuantitatif dan

analisis kualitatif. Kedua ukuran tersebut adalah : (1) ukuran distribusi, yaitu besar

atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang, dan (2)

distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi (Todaro,

2000).

Bagian pendapatan masing-masing orang (personal distribution of income) atau

distribusi ukuran pendapatan merupakan indikator yang paling sering digunakan oleh

para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang

diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa mempersoalkan cara

mendapatkan penghasilan tersebut apakah yang satu dengan cara membanting tulang

dan yang lain hanya dengan bersantai tidak dipersoalkan. Para ekonom

mengelompokkan masing-masing individu tersebut semata berdasarkan pendapatan

yang diterima, kemudian membagi total populasi menjadi sejumlah kelompok atau

ukuran berdasarkan besaran nominal. Biasanya populasi dibagi lima kelompok yang

biasa disebut kuintil atau sepuluh kelompok atau desil sesuai dengan tingkat

pendapatan mereka, kemudian menetapkan proporsi yang diterima masing-masing

kelompok. Kemudian menghitung berapa persen dari pendapatan nasional yang

diterima oleh masing-masing kelompok. Dari perhitungan tersebut langsung dapat

memperkirakan tingkat pemerataan atau tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di

masyarakat atau negara. Indikator yang memperlihatkan tingkat ketimpangan atau

pemerataan distribusi pendapatan diperoleh dari perbandingan antara pendapatan yang

diterima oleh 40 persen anggota kelompok bawah yang mewakili lapisan penduduk

Page 107: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

81

termiskin dan 20 persen anggota kelompok teratas yaitu yang mewakili lapisan

penduduk terkaya.

Metoda lain yang dipakai menganalisis pendapatan perorangan adalah dengan

menggunakan kurva Lorenz. Jumlah penerimaan pendapatan dinyatakan pada sumbu

vertikal, tidak dalam arti yang absolut (satuan numerik), melainkan dalam persentase

kumulatif. Sumbu horisontal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima

oleh masing-masing persentase jumlah (kelompok) penduduk. Kedua sumbu yaitu

vertikal dan horisontal sama panjangnya dan secara keseluruhan berbentuk segi

empat yang dibelah oleh sebuah diagonal lurus yang ditarik dari titik nol pada sudut

kiri bawah menuju ke sudut kanan atas. Setiap titik yang terdapat pada garis diagonal

melambangkan persentase jumlah penerimanya (persentase penduduk yang menerima

pendapatan terhadap total penduduk atau populasi). Persentase pendapatan yang

ditunjukkan oleh titik-titik di sepanjang garis diagonal tersebut persis sama dengan

persentase penduduk penerimanya terhadap total penduduk. Kurva Lorenz

memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase jumlah penduduk

penerima pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase pendapatan yang

benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan selama waktu tertentu.

Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal yang merupakan garis

pemerataan sempurna, maka semakin timpang distribusi pendapatan yang ada. Kasus

ekstrem dari ketidakmerataan yang sempurna yaitu apabila hanya seorang saja yang

menerima seluruh pendapatan nasional, sementara orang-orang lain sama sekali tidak

menerima yang dalam hal ini diperlihatkan oleh kurva Lorenz yang berimpit dengan

sumbu horisontal sebelah bawah dan sumbu vertikal di sebelah kanan. Semua kurva

Lorenz dari setiap negara akan berada di sebelah kanan garis diagonal. Semakin

melengkung kurva Lorenz semakin tidak merata distribusi pendapatannya.

Page 108: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

82

Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relatif

sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang

yang terletak antara garis diagonal pada korva Lorenz dibagi dengan luas separuh

bidang dimana kurva Lorenz itu berada. Rasio inilah yang dikenal sebagai Rasio

Kosentrasi Gini (gini cocentration ratio) yang sering disingkat dengan koefisien Gini.

Koefisien gini adalah ukuran ketidakmerataan pendapatan agregat yang angkanya

berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna).

Secara matematika rasio Gini dapat dihitung dengan rumus :

n

G = 1 - ∑ (X i + 1 – Xi) ( Yi + Y i+l ) 1 n

G = 1 - ∑ fi ( Yi + Y i+l ) ; 0 < G < 1

1

dimana :

G = Rasio Gini

fi = Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas – i

Xi = Proporsi jumlah kumulatip rumah tangga dalam kelas – i

Yi = Proporsi jumlah kumulatip pendapatan dalam kelas - i

Indikator distribusi pendapatan kedua adalah distribusi fungsional atau

distribusi pangsa pendapatan per faktor. Indikator ini berfokus pada bagian dari

pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga

kerja dan modal). Teori distribusi fungsionil ini pada dasarnya mempersoalkan

persentase penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha

atau faktor produksi yang terpisah secara individual. Dengan membandingkannya

dengan persentase total pendapatan yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga dan

laba masing-masing merupakan perolehan dari tanah, uang simpanan dan modal fisik.

Page 109: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

83

3.1.4. Teori Permintaan Faktor Produksi dan Penawaran Pangan

Teori produksi bertumpu pada fungsi produksi, yaitu suatu fungsi yang

menggambarkan hubungan teknis antara faktor-faktor produksi (input) dan hasil

produksinya (output). Fungsi produksi dapat menggambarkan teknologi yang

digunakan oleh suatu perusahaan, suatu industri, atau suatu perekonomian secara

keseluruhan.

Pada pasar produk dan pasar faktor produksi yang bersaing sempurna, fungsi

penawaran merupakan kuantitas produk yang ditawarkan sebagai fungsi dari harga

produk dan harga faktor. Suatu fungsi penawaran dapat diturunkan dari fungsi

keuntungan yang dimaksimumkan. Fungsi keuntungan akan maksimum jika

memenuhi dua syarat yaitu syarat orde satu (first order condition) dan syarat orde dua

(second order condition). Menurut syarat orde satu, fungsi keuntungan akan

maksimum jika turunan pertama (first partial derivative) dari fungsi tersebut sama

dengan nol, berarti nilai produk marjinal masing-masing faktor harus sama dengan

harga masing-masing faktor yang digunakan. Sedangkan syarat orde dua terpenuhi

jika turunan kedua dari fungsi tersebut lebih kecil dari nol, atau untuk kasus n-faktor

adalah matrik Hessian-nya harus bernilai negative semidefinite atau principal minor

determinan matrik Hessian-nya mempunyai tanda yang bergantian atau naturally

ordered principal minor determinant berganti tanda (Hartono, 1999).

Untuk menyederhanakan persoalan, dimisalkan bahwa pada tingkat teknologi

tertentu, fungsi produksi pangan (beras) dapat dirumuskan sebagai berikut :

Q = q (L,F, Z) …......…………………………………………………….(3.2)

dimana :

Q = jumlah produksi pangan

L = jumlah tenaga kerja

F = jumlah pupuk yang digunakan

Z = jumlah pemakaian faktor-faktor produksi lainnya

Page 110: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

84

Jika diketahui bahwa harga faktor produksi tenaga kerja, pupuk dan faktor-

faktor produksi lainnya masing-masing adalah PL, PF, PZ, maka persamaan biaya total

dapat dirumuskan sebagai berikut :

C = PL*L + PF*F + PZ*Z + C0 …………………………………….........(3.3)

dimana C adalah biaya total dan C0 adalah biaya tetap.

Keuntungan adalah merupakan selisih antara penerimaan dan biaya-biaya.

Dengan denikian fungsi keuntungan produksi pangan dapat dirumuskan sebagai

berikut (Herderson dan Quandt, 1980) :

π = PQ*Q – C

atau π = PQ*Q (L,F,Z) – (PL*L + PF*F + PZ*Z + C0) ……………………….(3.4)

dimana π adalah keuntungan dan PQ adalah harga pangan.

Jika produsen pangan diasumsikan rasional, maka dia akan berproduksi pada

tingkat yang memberikan keuntungan maksimum. Fungsi keuntungan (3.4) akan

maksimum jika turunan pertama dari fungsi tersebut sama dengan nol dan turunan

kedua lebih kecil dari nol. Turunan parsial pertama dari fungsi (3.4) terhadap variabel

L, F, dan Z adalah :

∂π / ∂L = PQ*L’ – PL = 0 atau PQ*L’ = PL ...…..……………………..(3.5)

∂π / ∂F = PQ*F’ – PF = 0 atau PQ*F’ = PF .........……………………..(3.6)

∂π / ∂Z = PQ*Z’ – PZ = 0 atau PQ*F’ = PZ ..........…………………….(3.7)

dimana L’, F’, Z’ masing-masing adalah produk marjinal dari faktor-faktor

tenaga kerja (L), pupuk (F), dan faktor-faktor lainnya (Z). Jadi dapat dilihat bahwa

menurut syarat orde satu, keuntungan akan maksimum jika pada setiap tingkat

produksi pangan, nilai produk marjinal masing-masing faktor sama dengan harga

yang harus dibayar untuk memperoleh faktor-faktor tersebut.

Page 111: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

85

Dari fungsi (3.5), (3.6), dan (3.7) diketahui bahwa faktor-faktor produksi

(L,F,Z) merupakan peubah endogen, sedangkan harga pangan (PQ) dan harga faktor-

faktor (PL, PF,PZ) merupakan peubah eksogen. Oleh karena itu, fungsi permintaan

faktor dapat dirumuskan sebagai berikut :

LD = L (PQ, PL, PF, PZ) …………………………………………….........(3.8)

FD = F (PQ, PF, PL, PZ) ……………………………………………..........(3.9)

ZD = L (PQ, PZ, PL, PF) ……………………………………………......(3.10)

dimana LD, FD, dan ZD masing-masing merupakan permintaan akan faktor tenaga

kerja, pupuk dan faktor-faktor lainnya.

Dengan mensubstitusikan fungsi permintaan faktor (3.8), (3.9), dan (3.10) ke

fungsi produksi (3.2), maka fungsi penawaran pangan dapat dirumuskan sebagai

berikut :

QS = f (PQ, PL, PF, PZ) …………………………………………….........(3.11)

Jadi penawaran pangan merupakan fungsi dari harga pangan (PQ) dan harga faktor-

faktor produksi (PL, PF, PZ).

Akan tetapi penawaran suatu komoditi bukan hanya ditentukan oleh harga

komoditi tersebut dan harga-harga faktor produksi. Beberapa peubah penting lain

yang mempengaruhi penawaran komoditi adalah harga komoditi lain, kebijakan

pemerintah, tingkat teknologi, pajak, subsidi, dan keadaan alam.

Teori penawaran bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang

mempengaruhi penawaran. Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa

adalah jumlah komoditi yang ditawarkan kepada konsumen pada suatu pasar dan pada

tingkat harga serta waktu tertentu.

Jumlah yang ditawarkan tidak selalu sama dengan jumlah komoditi yang

benar-benar dijual oleh produsen. Jumlah yang ditawarkan menunjuk pada penjualan

Page 112: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

86

yang terus-menerus yang disebut konsep flow. Jumlah barang yang ditawarkan pada

suatu tahun tertentu tidak sama dengan jumlah barang yang diproduksi pada tahun

tersebut. Sumber penawaran suatu komoditi terdiri dari stok barang yang disimpan

pada waktu sebelumnya dan produksi pada waktu tertentu, yang keduanya

mempengaruhi penawaran. Sehingga jumlah produk yang ditawarkan pada tahun

tertentu sama dengan jumlah produksi pada tahun tersebut ditambah dengan jumlah

stok produk tersebut pada tahun sebelumnya ( Handerson and Quandt, 1980).

3.1.5. Teori Permintaan Pangan

Permintaan suatu komoditi adalah jumlah komoditi yang dibeli konsumen

dengan harga, tempat dan waktu tertentu. Permintaan akan komoditi tertentu

dipengaruhi oleh banyak faktor secara simultan (Koutsoyiannis, 1977). Antara harga

dan jumlah komoditi yang diminta atau yang ingin dibeli oleh konsumen, terdapat

hubungan yang negatif, dalam arti jika harganya semakin tinggi maka jumlah

komoditi yang diminta atau yang ingin dibeli akan semakin sedikit, dan demikian pula

pada keadaan sebaliknya.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap permintaan suatu komoditi antara

lain adalah : harga komoditi tersebut, harga komoditi substitusi, pendapatan

konsumen, selera, distribusi pendapatan, jumlah penduduk, kesejahteraan konsumen,

kredit, dan kebijaksanaan pemerintah.

Dalam pasar persaingan sempurna, perubahan harga komoditi ceteris paribus

akan menyebabkan perubahan jumlah komoditi yang diminta atau terjadinya

pergerakan (movement) sepanjang kurva permintaan. Sedangkan perubahan harga

yang disebabkan faktor-faktor (selain harga komoditi tersebut) akan mengakibatkan

kurva permintaan mengalami pergeseran (shift).

Page 113: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

87

Pada hakekatnya permintaan konsumen terhadap suatu jenis barang

mencerminkan posisi keseimbangan konsumsi yang telah mempertimbangkan

berbagai tujuan untuk mencapai utilitas maksimum dengan jumlah anggaran belanja

(pendapatan) yang tertentu. Seorang konsumen dikatakan berada dalam posisi

keseimbangan apabila pendapatannya telah dialokasikan pada pembelian barang-

barang yang memberikan utilitas maksimum. Dengan demikian titik tolak teori

permintaan adalah fungsi utilitas dimana fungsi permintaan dapat diturunkan dari

fungsi utilitas.

Untuk menyederhanakan persoalan, dimisalkan fungsi utilitas seorang

konsumen pangan (beras) adalah :

U = U ( Q, Qs ) ..………………………………………………......(3.12)

dimana :

U = total utilitas dari mengkonsumsi pangan (beras)

Q = jumlah konsumsi pangan

Qs = jumlah konsumsi barang lain

Bila harga beras adalah PQ dan harga barang lainnya adalah PS maka alokasi

pendapatan tertentu (I0) dari konsumen untuk kedua jenis barang tersebut adalah :

I0 = PQ * Q + PS * QS ……………………………………………(3.13)

Berdasarkan aksioma rasionalitas, konsumen akan berusaha untuk

memaksimumkan Q dan Qs sedemikian rupa sehingga dengan pendapatan sebesar Io

dia memperoleh utilitas maksimum. Dengan demikian pokok persoalannya adalah

memaksimumkan fungsi Utilitas (3.12 dengan kendala pada persamaan (3.13). Jadi

fungsi yang akan dimaksimumkan adalah :

L = U (Q, Qs) + λ (I0 – PQ*Q – PS*Qs) ……………………………(3.14)

Dimana λ adalah Lagrange Multiplier.

Page 114: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

88

Fungsi (3.14) maksimum jika telah memenuhi kondisi syarat pertama untuk

maksimum (first order condition for a maximum) yaitu dengan mencari turunan

(derivative) pertama dengan menurunkan L terhadap variabel Q, Qs, dan λ.

∂L/∂Q = Q’ - λP*QQ = 0 atau λPP

Q = Q’ ……………………………(3.15)

∂L/∂Qs = Qs’ - λPP

S = 0 atau λPSP = Qs’ ……………………………(3.16)

∂L/∂λ = I0 – PQ*Q – PS*Qs = 0 ……………………………………(3.17)

Dengan menyelesaikan persamaan (3.15 dan (3.16) secara serentak diperoleh :

λ = Q’/PQ = Qs’/ PS ……………………………………………………(3.18)

dimana Q’ dan Qs’ masing-masing adalah utilitas marjinal dari barang Q dan Qs.

Persamaan (3.18) dikenal sebagai Equimarginal Principle dari teori pemaksimuman

utilitas yang berarti konsumen akan berada pada posisi keseimbangan jika rasio antara

utilitas marjinal dan harga masing-masing barang yang dikonsumsi adalah sama dan

harus sama dengan utilitas marjinal pendapatan.

Jadi fungsi permintaan terhadap suatu barang konsumsi, dalam hal ini adalah

pangan (beras) dapat dirumuskan sebagai berikut :

Q = f ( PQ, PS, I ) .……………………………………………….......(3.19)

dimana PQ, PS, I masing-masing adalah harga barang tersebut, harga barang

substitusi, dan pendapatan konsumen ( Handerson and Quandt, 1980).

3.1.6. Indikator Kemiskinan

Kriteria kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kriteria

kemiskinan menurut BPS yang menggunakan standar kebutuhan dasar, batas

kemiskinan adalah besarnya pengeluaran dalam rupiah yang dapat memenuhi

kebutuhan dasar berupa kebutuhan makanan sebesar 2100 kkal/ kapita/ hari dan

kebutuhan non makanan lainnya. Indikator yang digunakan dalam mengukur

Page 115: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

89

kemiskinan adalah jumlah penduduk atau proporsi penduduk yang pengeluaran atau

pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan.

3.1.7. Indikator Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan dalam penelitian ini direfleksikan pada kondisi tercapainya

ketahanan pangan sampai tingkat individu yang tercermin dari status gizi masyarakat

yang diukur dengan prevalensi gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan

hidup. Untuk tercapainya ketahanan pangan pada tingkat mikro/ individu tersebut

yang merupakan syarat kecukupan dari indikator ketahanan pangan maka perlu

diketahui syarat keharusan dari kondisi ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan

secara agregat daerah yang diukur dengan produksi gabah dan beras daerah, rata-rata

tingkat konsumsi beras, energi, protein daerah, juga perlu diketahui faktor daya beli

yang dilihat dari pendapatan per kapita daerah, dan pendapatan sektor pertanian yang

merupakan daya beli dari kelompok penduduk dengan jumlah penduduk miskin besar

yang juga bertindak sebagai kelompok penduduk produsen bahan pangan.

3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian

Desentralisasi fiskal memberi implikasi pada pemerintah daerah berupa

keleluasaan untuk mengatur penerimaan dan pengeluarannya sesuai dengan prioritas

pembangunan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini pemerintah daerah diasumsikan

lebih tahu dalam menggali potensi-potensi daerah untuk meningkatkan

penerimaannya. Selain itu pemerintah daerah juga diasumsikan lebih bisa secara

efisien dan efektif dalam membiayai pengeluarannya sesuai dengan prioritas

pembangunan daerah yang telah ditetapkan untuk tercapainya kesejahteraan

masyarakatnya karena pemerintah daerah lebih dekat dengan rakyat.

Page 116: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

90

Dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan

terjadi melalui perubahan penerimaan daerah dan perubahan alokasi anggaran yang

berpengaruh pada kinerja fiskal dan kinerja perekonomian daerah yang arahnya

dipengaruhi oleh prioritas pembangunan daerah melalui alokasi dana pembangunan

daerah. Dana alokasi umum yang bersifat block grant akan memberi keleluasaan

bagi pemerintah daerah untuk mengalokasikan pengeluaran pembangunan pada

sektor- sektor yang menjadi prioritas pembangunan daerah.

Desentralisasi fiskal dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai kebebasan

berinovasi dan berkreasi dari pemerintah daerah sebagai pelaksana fungsi inisiator,

fasilitator dan regulator dalam mengoptimalkan perannya pada lingkup payung UU

No 22 dan UU No 25 Tahun 1999 serta UU No 32 dan UU No 33 Tahun 2004 serta

UU No 7 Tahun 1976 dalam mengelola anggaran belanja daerah untuk meningkatkan

ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan di daerahnya. Ketahanan pangan yang

merupakan suatu sistem dari beberapa subsistem, maka optimalisasi peran pemerintah

sebagai pelaksana fungsi inisiator, fasilitator dan regulator dalam implementasi

desentralisasi fiskal dilakukan pada semua subsistem dari sistem ketahanan pangan.

Sehingga indikator ketahanan pangan pada penelitian ini diukur dari semua subsistem

dari ketahanan pangan, yaitu mulai dari peningkatan produksi gabah dan beras yang

memproksi ketersediaan pangan, pendapatan sektor pertanian dan pendapatan per

kapita yang memproksi daya beli, rata-rata tingkat konsumsi beras, energi, dan protein

yang memproksi tingkat akses pada pangan secara agregat sampai pada indikator

akses pangan secara individu dengan melihat status gizi masyarakat yang diukur

dengan prevalensi gizi kurang dan buruk, angka kematian bayi dan umur harapan

hidup. Kerangka pemikiran konseptual penelitian secara rinci tersaji pada Gambar 6.

Page 117: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

91

Fiskal Daerah : -Penerimaan : - PAD - DAU - Lainnya

Pengeluaran Daerah: -Rutin -Pembangunan -.Pertanian - Infrastruktur - Pendidikan - Kesehatan - Lainnya

Produksi Pangan

Harga Pangan

Konsumsi Pangan

Ketahanan Pangan Kemiskinan

UU No.22Thn 1999 UU No.25Thn 1999

dan UU No 32Th 2004 UU No 33 Th 2004

PDRB : -Pertanian -NonPertanian

TENAGA KERJA -Pertanian -NonPertanian

PDRB/KAPIT

A

PENDAPATAN PERTANIAN

Gambar 6. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian

3.3. Hipotesis

Hipotesis mayor dalam penelitian ini adalah desentralisasi fiskal berpengaruh

pada kemiskinan dan ketahanan pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Dalam

membangun model keterkaitan antar blok di dalam satu sistem persamaan simultan

harus didasarkan pada hubungan sebab akibat yang didasarkan pada pemikiran logika

dari fenomena yang terjadi dan teori ekonomi. Hipotesis minor yang menghubungkan

keterkaitan antar blok dalam sistem persamaan penelitian adalah :

Page 118: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

92

1. Pajak daerah dipengaruhi oleh kinerja perekonomian daerah dan kondisi

kemiskinan daerah, akan berpengaruh pada kinerja fiskal daerah melalui PAD

dan penerimaan daerah

2. Kinerja fiskal daerah berpengaruh pada kinerja perekonomian daerah melalui

pembiayaan pada pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pembangunan ke

sektor pertanian berpengaruh pada PDRB sektor pertanian, produksi pangan

(beras) dan pendapatan sektor pertanian

3. Kinerja perekonomian daerah berpengaruh pada ketahanan pangan dan kondisi

kemiskinan daerah melalui penyerapan tenaga kerja, peningkatan PDRB, produksi

pangan (beras)

4. Kemiskinan daerah berpengaruh pada ketahanan pangan melalui daya beli,

penduduk miskin adalah penduduk yang mempunyai daya beli rendah sehingga

merupakan penduduk mempunyai resiko rawan pangan tinggi.

5. Kondisi kemiskinan dan ketahanan pangan daerah berpengaruh pada kinerja fiskal

daerah melalui penerimaan pajak daerah

Hipotesis secara keseluruhan dari model sistem persamaan dalam penelitian

tercermin dari tanda parameter pada setiap persamaan struktural pada model

penelitian.

Page 119: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

penelitian dilaksanakan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah

tersebut merupakan sentra produksi beras terbesar di Indonesia. Dimana beras sampai

sekarang masih merupakan makanan pokok sebagian besar bangsa Indonesia. Dan

usahatani padi juga masih merupakan tempat dimana masyarakat Indonesia khususnya

pada wilayah Jawa Barat menggantungkan hidupnya sebagai mata pencarian.Daerah kajian

sebagai unit analisis adalah semua kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Barat yang tidak

mengalami perubahan / pemekaran pada periode waktu analisis. Pengambilan data

dilaksanakan mulai bulan Maret 2006 sampai dengan bulan Desember 2006.

4.2. Data dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang diperoleh

dari BPS Pusat Jakarta, Provinsi dan Kabupaten di Wilayah Jawa Barat, Departemen

Keuangan, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Bulog, Dewan Ketahanan

Pangan,Bapeda Jawa Barat, Pemda Kabupaten/ Kota dan instansi terkait lainnya.

4.3. Metode Analisis

Untuk menjawab tujuan pertama dilakukan analisis deskriptif baik secara kualitatif

maupun secara kuantitatif dengan melakukan kajian secara makro regional terhadap kinerja

fiskal, kemiskinan dan ketahanan pangan di Jawa Barat.

Page 120: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

94

Tujuan kedua dan ketiga digunakan pendekatan model ekonometrika dengan

persamaan sistem simultan dengan melakukan analisis struktural, evaluasi kebijakan dan

non kebijakan yang dilakukan dengan analisis simulasi historis periode sebelum

desentralisasi ( tahun 1995 – 2000) dan periode desentralisasi fiskal (tahun 2001 – 2005).

4.4.Konstruksi Model Ekonometrika

Model ekonomi daerah dibangun dengan sistem persamaan simultan dinamis yang

dikontruksi menjadi empat blok yaitu blok fiskal daerah, blok perekonomian daerah, blok

kemiskinan dan blok ketahanan pangan. Blok fiskal menggambarkan perilaku fiskal daerah

yang terdiri dari penerimaan dan pengeluaran daerah, perilaku fiskal akan menghasilkan

kinerja fiskal daerah yang selanjutkan akan mempempengaruhi kinerja perekomian daerah

berupa penyerapan tenaga kerja, PDRB dan PDRB per kapita. Kinerja perekonomian akan

mempengaruhi kondisi kemiskinan daerah dan kondisi kemiskinan akan mempengaruhi

kinerja ketahanan pangan. Selanjutnya kondisi kemiskinan dan kinerja ketahanan pangan

daerah akan mempengaruhi kinerja fiskal, karena kapasitas fiskal daerah akan dipengaruhi

oleh kondisi masyarakatnya. Masyarakat dengan daya beli rendah yang dicerminkan

tingginya tingkat kemiskinan dan rendahnya kinerja ketahanan pangan akan menghasilkan

potensi pajak daerah yang rendah sehingga akan menghasilkan kinerja fiskal yang rendah.

Dalam implementasi desentralisasi fiskal akan dikaji bagaimana pemerintah

daerah mengoptimalkan peran sebagai pelaksana fungsi inisiator, fasilitator dan regulator

di daerah sehingga menciptakan kondisi yang bisa meningkatkan ketahanan pangan dan

menurunkan kemiskinan di daerahnya. Optimalisasi peran pemerintah dilakukan melalui

analisis simulasi kebijakan dan faktor eksternal, diharapkan dari analisis ini akan

Page 121: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

95

didapatkan alternatif-alternatif kebijakan dalam meningkatkan ketahanan pangan dan

menurunkan kemiskinan di daerah. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa pool

data yaitu data cross section pada seluruh kabupaten yang tidak mengalami perubahan

wilayah di Wilayah Provinsi Jawa Barat dan time series tahun 1995 sampai dengan tahun

2005. Tahapan membangun model analisis ekonometrika tersaji pada Gambar 7.

4.5. Spesifikasi Model Ekonometrika

Ketahanan pangan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tercapainya kondisi

ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu yang tercermin pada status gizi

masyarakat yang diukur dengan angka prevalensi gizi buruk, angka kematian bayi dan

umur harapan hidup. Untuk mencapai kondisi ketahanan pangan di tingkat mikro /

individu, maka kondisi ketahanan pangan makro merupakan syarat keharusan yaitu berupa

produksi pangan khususnya gabah dan beras sampai pada rata-rata tingkat konsumsi beras,

energi dan protein serta tingkat pendapatan per kapita dan pendapatan petani yang

menggambarkan daya beli masyarakat.

Model hipotesis secara keseluruhan dijelaskan dalam persamaan-persamaan:

A. Blok Fiskal

1. Persamaan Penerimaan Pemerintah Daerah

RevDae = PAD + DBgHsl + DAlok + RevDaeL ……………………………...(1) 2. Persamaan PAD

PAD = PjkDae + Rtrbs + BUMD + PADL ………………………………............(2)

3. Persamaan Pajak Daerah

PjkDae = a0 + a1 PDRB + a2 JmlTmis + a3 JmlMis + a4 DMDF +

a5 LpjkDae + e1..........................................................................................................................................................(3)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : a1, a2, a4, a5 > 0; a3 <0

Page 122: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

96

TEORI

Peran Pemerintah Kebijakan Fikal Desentralisasi Fiskal PDRB & Prtumbuhan Ekonomi Distribusi Pendapatan Kemiskinan Ketahanan Pangan Produksi dan Penawaran Konsumsi

TUJUAN PENELITIAN

KERANGKA PEMIKIRAN

- Konseptual

EMPIRIS Desentralisasi Fiskal dan Perekonomian Daerah (Pakasi, 2005) Kebijakan Makro Terhadap Ketahanan Pangan Nasional (Jayawinata, 2005) Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Terhadap Kemiskinan dan Pengnggrn (Yudhoyono, 2004)

LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN

PENDEKATAN Model Ekonometrika Dampak Desentralisasi Fiskal

terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan

PEMILIHAN DAN SPESIFIKASI MODEL 1. Blok Fiskal Daerah 2. Blok PDRB 3. Blok Kemiskinan 4. Blok Ketahanan Pangan

Identifikasi Model Overidentified

ESTIMASI MODEL 2-SLS ( Two-Stage Lease Squares )

EVALUASI (INTERPRETASI HASIL) apriori, statistik, ekonometrika

VALIDASI MODELUji statistik MSE, U-Theil

SIMULASI MODEL - Analisis struktural - Evaluasi kebijakan dan non kebijakan

(pendekatan historis)

Gambar 7. Tahapan Membangun Model Analisis Ekonometrika Penelitian

Page 123: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

97

4. Persamaan Dana Alokasi Umum

DAlok = b0 + b1 JmlPdk + b2 LuDae + b3 JmlMis + b4 PAD + b5 DMDF

+ b6 LDAlok + e2 ...................................................................................(4)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : b1, b2, b3,, b5, b6, > 0 ; b4 < 0

5. Persamaan Pengeluaran Rutin

PRutin = c0 + c1 JmlPeg + c2 BljBrg + c3 PAD + c4 DAlok + c5 DMDF c6 LPRutin + e3…………………………...............................................(5)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : c1, c2, c3, c4, c5 > 0

6. Pengeluaran Pembangunan

PPemb = PSekP + PsekLn......................................................................................(6)

7. Pengeluaran Pembangunan Sektor Lain

PSekLn = PSekT + PsekL ....................................................................................(7)

8. Persamaan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian

PSekP = d0 + d1 Areal + d2 DAlok + d3 PAD + d4 DMDF + d5LPSekP + e4............................................................................................................................................................(8)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : d1, d2, d3, d4, d5 > 0

9. Persamaan Pengeluaran Pemerintah Daerah

GDae = PPemb + PRutin.......................................................................................(9)

10. Persamaan Kesenjangan Fiskal

KesFis = RevDae - GDae ................................................................................. .(10)

B. Blok Kinerja Perekonomian Daerah / Produk Domestik Regional Bruto

11. Persamaan PDRB Sektor Pertanian

PDRBP = e0 + e1 TKP + e2 PSekP + e3 DMDF + e4 LPDRBP + e5..................(11)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : e1, e2, e3, e4 > 0

12. Persamaan PDRB Sektor Non-Pertanian

PDRBNP = f0 + f1 TKNP + f2 PSekLn + f3 PDRBP + f4 DMDF + f5 LPDRBNP + e6 .......................................................................................(12)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : f1, f2, f3, f4, f5 > 0

13. Persamaan Total PDRB

PDRB = PDRBP + PDRBNP.........................................................................(13)

14. Persamaan Pendapatan Per Kapita

IKAP = PDRB/JmlPdk........................................................................................(14)

Page 124: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

98

C. Blok Ketahanan Pangan

15. Persamaan Produksi Gabah

ProdGab = g0 + g1 PGap + g2 QPuk + g3TKP + g4 PSekP + g5 DMDF + 6LProdGab + e7 ……………………………………………………………………………………………………(15)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : g1, g2, g3, g4, g5, g6 > 0

16. Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian

TKP = h0 + h1 WTKP + h2 AK + h3 Areal + h4 PSekP + h5 LTKP + e8........……………............................................................................................ (16)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : h1, h2, h3, h4, h5 > 0

17. Persamaan Penggunaan Pupuk

QPuk = i0 + i1 PPuk + i2 PGab + i3 Areal + i4 DMDF + i5 LQPuk + e9 ................(17)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : i2, i3, i4, i5 > 0 ; i1 < 0

18. Persamaan Harga Gabah

PGap = jo + j1 PPuk + + j2 WTKP + j3 PBrs + j4 PSekP + j5 LPGap + e10…...(18)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : j1, j2, j3, j4, j5 > 0

19. Persamaan Produksi Beras

ProdBrs = ProdGab * R …………..…………………………………….............(19)

20. Persamaan Harga Beras

PBrs = k0 + k1 ProdBrs + k2 PRutin + k3CadBrs + k4LPBrs + e11.............................(20)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : k2, k4 > 0 ; k1, k3 < 0

21. Persamaan Konsumsi Beras

ConBrs = l0 + l1 PBrs + l2 IKAP+ l3 JmlMis+ l4DMDF + l5 LConBrs + e12.........(21)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : l2, l4, l5 > 0 ; l1, l3 < 0

22. Persamaan Konsumsi Energi

Consen = m0+ m1 Conbrs + m2 IKAP + m3 JmlMis + m4 DMDF

+ m5 LConsen + e13.............................................................................................................................................(22)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : ml, m2, m4, m5 > 0; m3 < 0

23. Persamaan Konsumsi Protein

Conprot = n0 + n1 Consen + n2 IKAP + n3 JmlMis + n4DMDF +

n5 LConprot +

e14......……………………………………………………………………………..................................(23)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : n1, n2 , n4, n5 > 0; n3 < 0

Page 125: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

99

D. Blok Indikator Kemiskinan 24. Persamaan Income Per Capita Sektor Pertanian

IncPP = o0+ o1 ProdGab + o2 TKP + o3 PSekL + o4 DMDF + o5 LIncPP + e15 ................................................................................................................... (24)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : o1, o2, ,o4,o5 > 0; o3 < 0

25. Persamaan Jumlah Penduduk Miskin

JmlMis = p0 + p1 IKAP + p2 IncPP + p3 DKesMis + p4 PPemb + p5 JmlPdk +p6 LJmlMis + e16...................................................................................................................... (25)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : p5, p6 > 0; p1, p2, p3, p4 < 0

E. Blok Outcome Ketahanan Pangan 26. Persamaan Jumlah Anak Gizi Buruk

AGzBrk = q0 + q1 Conprot + q2 IKAP + q3 JmlMis + q4 JmlPsm +

q5 DMDF + q6 LAGzBrk+ e17 ................................................................................................................(26)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : q1, q2, q4, q5 < 0 ; q3, q6 > 0

27. Persamaan Angka Kematian Bayi

AKmtBy = r0 + r1AgzBrk + r2 IKAP + r3 JmlMis + r4 JmlBdn + r5 JmlPsm

+ r6 DMDF + r7 LAKmtBy + e18 ............. ..............................................................................................(27)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : : r1, r3, r7 > 0 ; r2, r4, r5, r6 < 0

28. Persamaan Usia Harapan Hidup

UHHdp = s0 + s1Conprot + s2 AKMBY + s3 IKAP+ s4 JmlMis + s5 DMDF +

s6 DPKes + s7 DPPen + s8 LUHHdp + e19 .............................................................................. ..... (28)

Tanda koefisien yang diharapkan adalah : s1, s3, s5, s6, s7, s7, s8 > 0 ; s2, s4 < 0

Page 126: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

100

Tabel 3. Keterangan Peubah Penelitian dan Satuannya

Peubah Keterangan Satuan AgzBrk Angka Gizi Buruk Persen AK Angkatan Kerja Ribu Orang AkmBy Angka Kematian Bayi per 1000 Proses kelahiran Jiwa Areal Areal Tanam Padi Ha BljBrg Belanja Barang Milyar rupiah BUMD Laba BUMD Milyar rupiah ConBrs Konsumsi Beras Kg/Kapita/ Th Conprot Konsumsi Protein Gr/Kapita/ Hr Consen Konsumsi Energi Kkal/ Kapita/Hr Dalok Dana Alokasi Umum Milyar rupiah DBgHsl Dana Bagihasil Milyar rupiah DKes Dana Kesehatan Milyar rupiah DPKsMis Dana Kesehatan Penduduk Miskin Ribu rupiah DMDF Dummy Desentralisasi Fiskal 0/1 = DF DPed Dana Pendidikan Milyar rupiah GDae Pengeluaran Daerah Milyar rupiah IKAP Pendapatan per Kapita Juta rupiah IncPP Pendapatan Perkapita Sektor Pertanian Ribu rupiah JmlBthrp Jumlah Buta Hurup Jiwa JmlMis Jumlah Penduduk Miskin Ribu jiwa JmlPdk Jumlah Penduduk Ribu jiwa JmlPeg Jumlah Pegawai Ribu Jiwa JmlPkm Jumlah Puskesmas Buah JMlSkl Jumlah Sekolah Buah JmlTkMds Jumlah Tenaga Medis Ribu jiwa JMlTMis Jumlah Penduduk Tidak Miskin Ribu jiwa KesFis Kesenjangan Fiskal Milyar rupiah LAgzBrk Lag Angka Gizi Buruk Persen LAkmBy Lag Angka Kematian Bayi Jiwa LConbrs Lag Konsumsi Beras Kg/Kapita/ Th LConprot Lag Konsumsi Protein Gr/Kpt/Hr LConsen Lag Konsumsi Energi Kkal/Kpt/Hr LDAlok Lag Dana Alokasi Umum Milyar rupiah LIncPP Lag Pendapatan Sektor Pertanian Ribu Rp LJmlMis Lag Jumlah Penduduk Miskin Ribu Jiwa LPBrs Lag Harga Beras Rp/Kg LPDRBNP Lag PDRB Non Pertanian Milyar Rp LPDRBP Lag PDRB Pertanian Milyar Rp LPGap Lag Harga Gabah Rp/Kg LPjkDae Lag Pajak Daerah Milyar Rp LProdGab Lag Produksi Gabah Ton GKG

LPRutin Lag Pengeluaran Rutin. Milyar Rp

LPSekP Lag Pengeluaran Sektor Pertanian Milyar Rp LQPuk Lag Penggunaan Pupuk Ton LTKP Lag Tenaga Kerja Pertanian Ribu Jiwa LuDae Luas Daerah Km2 LUHHdp Lag Umur Harapan Hidup Tahun

Page 127: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

101

Peubah

Keterangan

Satuan

MDKSPN MJPGBB PAD PBrs PDRB PDRBNP PDRBP PGab PjkDae Ppemb Ppuk ProdBrs ProdGab PRutin PSekL PSekLn PSekP QPuk R* RevDae RevDaeL Rtrbs TKNP TKP UHHdp WTKP

Multiple pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan Multiple belanja pegawai dan barang Pendapatan Asli Daerah Harga Beras Produk Domestik Regional Bruto Total Produk Domestik Regional Bruto Non Pertanian Produk Domestik Regional Bruto Pertanian Harga Gabah Pajak Daerah Pengeluaran Pembangunan Harga Pupuk Produksi Beras Produksi Gabah Pengeluaran Rutin Pengeluaran Sektor Lain Pengeluaran Sektor Lain dan Transportasi Pengeluaran Sektor Pertanian Penggunaan Pupuk Anorganik Rendemen Gabah menjadi Beras sebesar 0.65 Penerimaan Daerah Penerimaan Daerah Lain Retribusi Daerah Tenaga Kerja Non Pertanian Tenaga Kerja Pertanian Umur Harapan Hidup Upah Sektor Pertanian

Milyar Rp Milyar Rp Milyar Rp Rp/ Kg Milyar Rp Milyar Rp Milyar Rp Rp/Kg Milyar Rp Milyar RP Rp/Kg Ton Ton GKG Milyar Rp Milyar Rp Milyar Rp Milyar Rp Ton Konversi Milyar Rp Milyar Rp Milyar Rp Ribu Jiwa Ribu Jiwa Tahun Ribu Rupiah

4.6. Identifikasi dan Pendugaan Model

Dalam formulasi model, identifikasi menjadi persoalan penting. Apabila model

tidak teridentifikasi maka parameter-parameternya tidak bisa diestimasi. Suatu model

dikatakan identified jika dinyatakan dalam bentuk statistik unik, yang menghasilkan

estimasi parameter yang unik. Menurut Koutsoyianis (1977) terdapat dua dalil pengujian

identifikasi yaitu order condition dan rank condition yang diterapkan pada bentuk

struktural model.

Page 128: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

102

Dalil order condition menyatakan bahwa suatu persamaan dikatakan identified bila

jumlah seluruh variabel (predetermined dan endogen) yang tidak terdapat dalam

persamaan tersebut tetapi terdapat dalam persamaan lain harus sama banyaknya dengan

jumlah seluruh variabel endogen dalam model dikurangi satu.

Order condition diekspresikan sebagai berikut :

(K - M ) ≥ (G – 1),

dimana :

G = Jumlah peubah endogen dalam model

K = Total peubah dalam model (peubah endogen dan eksogen)

M = Jumlah peubah endogen dan eksogen yang dimasukan

dalam suatu persamaan.

Jika (K – M) = (G – 1) maka suatu persamaan dikatakan exactly identified, (K – M) > (G

– 1) dikatakan overidentified, dan (K – M) < (G – 1) dikatakan underidentified. Order

merupakan necessary condition tetapi not sufficient artinya walaupun satu persamaan

identified menurut oder condition, tetapi bisa saja menjadi not-identified bila diuji dengan

rank condition. Dalam penelitian ini total peubah (K) sebesar 74 yang terdiri dari 28

peubah endogen (G) dan 46 peubah predetermined yang terdiri dari 19 peubah beda kala

dan 27 peubah eksogen. Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 1 maka masing-masing

persamaan struktural pada model penelitian dapat terdidentifikasi berlebih

(overidentified).

Untuk menguji apakah peubah-peubah penjelas secara bersama-sama berpengaruh

nyata atau tidak terhadap peubah endogen, maka pada masing-masing persamaan

digunakan uji statistik F. Untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas secara

Page 129: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

103

individual berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen pada masing-masing

persamaan digunakan uji statistik t.

Selanjutnya karena model mengandung persamaan simultan dan peubah bedakala

(lag endogenous variable), maka uji serial korelasi dengan menggunakan statistik dw

(Durbin-Waston Statistics) tidak valid untuk digunakan. Sebagai penggantinya untuk

mengetahui apakah terdapat serial korelasi (autocorelation) atau tidak dalam setiap

persamaan maka digunakan statistik dh (Durbin-h statistics), sebagi berikut.

)][(var1211

βnndh

−⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −= .…………………………………………...............(29)

dimana:

d = dw statistik,

n = jumlah observasi, dan

var (β) = varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable.

Apabila hhitung lebih kecil dari nilai kritis h dari tabel distribusi normal, maka dalam

persamaan tidak mengalami serial korelasi.

Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1991), masalah serial korelasi hanya mengurangi

efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter

regresi.

4.7. Validasi Model

Untuk keperluan simulasi terlebih dahulu model divalidasi untuk mengetahui

apakah model sudah cukup baik atau belum. Untuk itu digunakan kriteria statistik Mean

Squares Error (MSE) dan U-Theil (Theil’s Inequality Coefficient) Penggunaan kriteria

Page 130: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

104

statistik bertujuan untuk membandingkan nilai aktual dengan nilai dugaan peubah

endogen. Kriteria statistik dirumuskan sebagai berikut :

( )

( ) ( )∑∑

==

=

+

−=

n

t

at

n

t

st

n

t

at

st

Yn

Yn

YYnU

1

2

1

2

1

2

11

1

………………………………………(30)

dimana:

stY = Nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi

atY = Nilai aktual variabel observasi

n = Jumlah periode observasi.

Semakin kecil nilai U semakin baik modelnya, nilai U berkisar antara 0 dan 1.

4.8. Simulasi Kebijakan dan Faktor Eksternal

Desentralisasi fiskal memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk

berinovasi dan berkreasi dalam mengoptimalkan perannya sebagai pelaksana inisiator,

fasilitator dan regulator di daerah dalam fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi dalam

meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Simulasi kebijakan

dilakukan untuk mendapatkan alternatif-alternatif kebijakan yang dapat meningkatkan

ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan dalam konstek implementasi desentralisasi

fiskal, simulasi yang dilakukan adalah :

1. Peningkatan pajak dan retribusi daerah sebesar 35 persen, implementasi

desentralisasi fiskal membuat pemerintah daerah mempunyai kebebasan dalam

menggali potensi penerimaanya hal ini secara absolut telah menyebabkan kenaikan

Page 131: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

105

penerimaan daerah dari sisi pajak daerah dan retribusi daerah. Berdasarkan data yang

ada selama desentralisasi fiskal secara rata-rata telah terjadi kenaikan sebesar 35

persen per tahun terhadap pajak dan retribusi daerah kabupaten di wilayah Jawa

Barat.

2. Realokasi pengeluaran rutin sebesar 10 persen ke pengeluaran pembangunan. Masa

desentralisasi fiskal telah menyebabkan terjadinya kenaikan pengeluaran rutin yang

cukup signifikan, rata-rata kontribusi pengeluaran rutin kabupaten di Jawa Barat

berkisar 80 persen sehingga pengeluaran pembangunan menjadi relatif kecil.

Dengan melakukan efisiensi pada pelaksanaan operasional pemerintahan maka dana

untuk pengeluaran rutin bisa dihemat sebesar 10 persen diharapkan tidak mengurangi

kualitas pelayanan publik, yang kemudian besaran dana tersebut dialokasikan pada

pengeluaran pembangunan.

3. Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian sebesar 20 persen, selama

implementasi desentralisasi fiskal kontribusi anggaran pembangunan mengalami

penurunan dan pengeluaran pembangunan sektor pertanian rata-rata masih dibawah 5

persen. Dalam persaingan penggunaan dengan sektor lain, peningkatan anggaran

sektor pertanian sebesar 20 persen diharapkan dapat meningkatkan produktivitas

pada sektor tersebut.

4. Peningkatan dana kesehatan dan pendidikan sebesar 20 persen, selama implementasi

desentralisasi fiskal telah terjadi penurunan kualitas pada pelayanan kesehatan dan

pendidikan masyarakat terutama bagi masyarakat golongan miskin. Peningkatan

dana kesehatan dan pendidikan sebesar 20 persen diharapkan bisa digunakan untuk

Page 132: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

106

melakukan revitalisasi program-program kesehatan dan perbaikan pelayanan

pendidikan terutama bagi golongan penduduk miskin.

5. Peningkatan harga gabah sebesar 15 persen merupakan faktor eksternal adanya

kebijakan HPP dari pemerintah pusat maupun apabila ada kebijakan dari pemerintah

daerah yang bekerjasama dengan pemerintah pusat dalam upaya mengamankan HPP.

6. Peningkatan harga pupuk sebesar 15 persen, kebijakan ini dilakukan dalam rangka

untuk mengakomodir tuntutan yang berkembang yaitu semakin meningkatnya derajat

liberalisasi dan terbatasnya anggaran pembangunan sehingga muncul tuntutan untuk

menghapuskan segala bentuk subsidi, keterbatasan anggaran mengharuskan

penggunaan subsidi seselektif mungkin. Subsidi pupuk selama ini juga kurang

efektif mencapai sasaran, munculnya fenomena pupuk bersubsidi menghilang di

pasaran pada saat dibutuhkan petani sehingga harga pupuk bersubsidi menjadi mahal.

Simulasi peningkatan harga pupuk sebesar 15 persen adalah merupakan faktor

eksternal untuk memproksi kondisi penghapusan subsidi pupuk oleh pemerintah

pusat.

Selain dilakukan simulasi dengan kebijakan tunggal juga dilakukan simulasi

kebijakan ganda yang berfungsi untuk melihat dampak kebijakan secara simultan apabila

dilakukan secara bersamaan, yaitu terjadinya trade off antara satu kebijakan dengan

kebijakan yang lain.

Page 133: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

V. GAMBARAN UMUM, KONDISI FISKAL, KEMISKINAN, DAN KETAHANAN PANGAN DI JAWA BARAT

5.1. Kondisi Wilayah Provinsi Jawa Barat

Jawa Barat merupakan provinsi yang dibentuk pertama kali di wilayah Indonesia

(staatblad Nomor : 378) berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1950. Kemudian

pada tahun 2000 Banten melepaskan diri dari Provinsi Jawa Barat dan resmi berdiri

menjadi Provinsi Banten dengan Undang-Undang No. 23 tahun 2000. Pada tahun 2001

Jawa Barat terdiri dari 16 daerah kabupaten yaitu : Bogor, Bandung, Bekasi, Sukabumi,

Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Majalengka, Sumedang, Indramayu,

Subang, Purwakarta, Bekasi dan Karawang, dan terdiri 9 daerah kota yaitu : Bogor,

Bandung, Sukabumi, Cirebon, Depok, Bekasi, Tasikmalaya, Cimahi dan Banjar.

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2001 tentang

Rencana Strategis Provinsi Jawa Barat, Visi Provinsi Jawa Barat adalah ” Jawa Barat

dengan Iman dan Taqwa sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibu

Kota Negara Tahun 2010.” Dengan visi pembangunan pangan ” Terciptanya sistem

ketahanan pangan yang andal dan bertumpu pada optimalisasi pemanfaatan potensi

produksi dan keragaman pangan nasional”. Untuk mencapai visi tersebut dalam

pengelolaan pemerintahan perlu memiliki tekat yang kuat untuk mewujudkannya,

sehingga ditetapkan visi ”Akselerasi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Guna

Mendukung Pencapaian Visi Jawa Barat 2010.” Dalam rangka mewujudkan visi

akselerasi tersebut ditetapkan lima misi pemerintah Provinsi Jawa Barat yaitu : (1)

meningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia Jawa Barat, (2)

Page 134: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

108

mengembangkan struktur perekonomian regional yang tangguh, (3) memantapkan

kinerja pemerintahan daerah, (4) meningkatkan implementasi pembangunan

berkelanjutan, dan (5) meningkatkan kualitas kehidupan sosial yang berdasarkan agama

dan budaya daerah.

Berbagai upaya akan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk menuju

pencapaian target indikator makro pembangunan, upaya tersebut antara lain melalui

pengembangan enam core busines Jawa Barat yaitu : (1) pengembangan sumber daya

manusia, (2) agribisnis, (3) bisnis kelautan, (4) pariwisata, (5) industri manufaktur, dan

(6) jasa yang didukung oleh penataan ruang yang mantap dan tersedianya infrastruktur

yang memadai. Keberhasilan dalam mendorong core businis ini, pada gilirannya

diharapkan dapat menjadi pendorong dalam proses pembangunan dalam rangka

akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat tahun 2010.

Untuk mewujudkan sinergitas dan akselerasi pencapaian prioritas

pembangunan, telah dirumuskan tujuan bersama (common goal) yang menjadi komitmen

semua pihak serta pelibatan secara aktif lintas SKPD dan para pelaku pembangunan

dalam pelaksanaannya. Berdasarkan hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan

Provinsi Jawa Barat ditetapkan delapan tujuan bersama (common goal ) sebagai berikut

: (1) peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia, (2) ketahanan pangan,

(3) peningkatan daya beli masyarakat, (4) peningkatan kinerja aparatur, (5) penanganan

pengelolaan bencana, (6) pengendalian dan pemulihan kualitas lingkungan, (7)

pengelolaan, pengembangan dan pengendalian infrastruktur, dan (8) kemandirian energi

dan kecukupan air baku. Untuk mewujudkan tujuan bersama tersebut dilaksanakan

Page 135: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

109

prioritas pembangunan daerah beserta fokus-fokus yang harus dilaksanakan pada

masing- masing prioritas.

Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak diantara 5o50’ - 70o50’ LS dan

104o48’ – 108º 48’ BT. Luas wilayah Jawa Barat 44 354.61 Km2 atau 4 435 461 Ha.

Lahan di Jawa Barat cukup subur karena mengandung endapan vulkanis serta banyaknya

aliran sungai, sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar digunakan sebagai lahan

pertanian dan Jawa Barat ditetapkan sebagai lumbung pangan nasional. (BPS, 2005).

Tabel 4 menunjukkan struktur penggunaan lahan di Jawa Barat.

Tabel 4. Struktur Penggunaan Lahan di Jawa Barat Tahun 2005

Penggunaan Lahan Luas ( Ha ) Persentase ( % )

Hutan Primer 321 377 .68 8.66

Hutan Sekunder 269 885 .68 7.27

Kawasan Industri 15 825 .21 0.43

Kawasan Pertambangan 3 350 .92 0.09

Kebun Campuran 849 294 .72 22.89

Tegalan 368 265 .51 9.93

Padang Ilalang 128 207 .61 3.46

Perkebunan 646 100.43 17.41

Pemukiman 178 329 .75 4.81

Sawah 752 130.90 20.27

Semak 53 244.10 1.44

Sungai, waduk dll 54 932.49 1.48

Tambak 51 525.09 1.39

Tanah Kosong 17 591.20 0.47

Jumlah 3 710 061.29 100

Sumber : Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2005.

Page 136: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

110

Dengan kondisi topografis pegunungan pada bagian selatan dan pedataran pada

bagian utara, sekitar 20.2 persen luas wilayahnya terdiri dari sawah, sekitar 40 persen

perkebunan dan kebun campuran, 15 persen hutan, 4.81 persen pemukiman dan

penggunaan lahan lainnya. Hal ini akan mempengaruhi pembentukan dan aksesibilitas

berbagai sarana prasarana di Jawa Barat. Pada daerah-daerah selatan yang bergunung,

aksesibilitas relatif memiliki kendala alam lebih besar daripada daerah utara yang berupa

dataran dan sebagian besar wilayahnya berupa lahan persawahan beririgasi teknis.

Sumber air untuk pengairan di Jawa Barat terdiri dari sungai, situ, waduk yang

jumlahnya cukup banyak untuk mengairi lahan persawahan di Jawa Barat. Potensi

sumber daya air yang cukup baik di Jawa Barat menjadi faktor pendukung yang penting

dalam mewujudkan Provinsi Jawa Barat sebagai lumbung pangan terbesar di Indonesia.

Data sumber air dan areal beririgasi di Jawa Barat selengkapnya tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Potensi Sumber Daya Air di Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2007

Uraian Kuantitas Satuan (Persen) Sungai 3 048 Buah 100.00Sungai Lintas 1 878 Buah 61.61Sungai Lintas Provinsi 4 Buah 0.13Sungai Lintas Kabupaten/ Kota 1 874 Buah 61.48Sungai Lokal Kabupaten 1 170 Buah 38.39Situ 53 Buah Waduk 20 Buah Areal Irigasi 1 086 908 Ha 100.00Irigasi Kewenangan Pusat 407 168 Ha 37.50Irigasi Kewenangan Provinsi 85 730 Ha 7.90Irigasi Kewenangan Kabupaten/ Kota 97 339 Ha 9.00Irigasi Desa 382 691 Ha 33.10Sawah Tadah Hujan 113 980 Ha 10.50 Sumber : PSDA Jawa Barat, 2007.

Page 137: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

111

5.2. Kondisi Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota di Provinsi Jawa Barat

Desentralisasi fiskal membawa perubahan pada struktur penerimaan pemerintah

daerah baik yang berasal dari pendapatan asli daerah maupun transfer dana dari

pemerintah pusat, pengelolaan sumber-sumber penerimaan dan pengeluaraan pemerintah

daerah, dan juga terhadap hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Penerimaan

dan pengeluaran daerah kabupaten/ kota di Jawa Barat selama implementasi

desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang signifikan. Pada Tabel 6 ditunjukkan

keragaan rata-rata per tahun penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/

kota seluruh Jawa Barat kondisi sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal.

Penerimaan daerah setelah desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang cukup

signifikan, jika sebelum desentralisasi penerimaan daerah secara riil di Jawa Barat rata-

rata per tahun sebesar 575.10 milyar rupiah maka setelah desentralisasi fiskal meningkat

menjadi 3 544.54 milyar rupiah. Peningkatan penerimaan pemerintah daerah ini

disebabkan peningkatan semua komponen penerimaan daerah baik dari PAD, bagi hasil

maupun dana transfer dari pusat.

Kebijakan desentralisasi fiskal yang memberi kewenangan daerah untuk menggali

potensi pajak dengan mengeluarkan perda terhadap beberapa jenis pajak dan retribusi

daerah memungkinkan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan melalui

ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dan retribusi daerah, sehingga penerimaan daerah

dari pos pajak daerah dan retribusi daerah meningkat. Namun kenaikan tersebut apabila

dilihat secara proporsional dengan seluruh kenaikan penerimaan daerah, proporsi dari

penerimaan pajak dan retribusi daerah justru semakin menurun hal ini karena adanya

peningkatan penerimaan dari pos DAU yang relatif besar proporsinya. Sehingga PAD

Page 138: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

112

walaupun secara absolut meningkat tetapi proporsinya juga menurun yaitu apabila

sebelum desentralisasi fiskal kontribusinya sebesar 18.78 persen terhadap penerimaan

daerah menurun menjadi 10.11 persen pada masa desentralisasi fiskal, pajak dan

retribusi daerah turun dari 6.96 persen dan 9.76 persen menjadi 4.15 persen dan 4.17

persen.

Tabel 6. Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota Rata-rata Per Tahun di Jawa Barat Tahun 1995 - 2005 (Tahun Dasar 1993)

(Milyar rupiah) Uraian Sebelum Desentralisasi

Fiskal (1995 – 2000) Sesudah Desentralisasi Fiskal (2001 -2005)

Pendapatan Asli Daerah Pajak Daerah Retribusi Daerah Laba BUMD PAD Lainnya Dana Perimbangan Bagi Hasil Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil SDA DAU & DAK Pinjaman Daerah Sisa Anggaran Pendapatan Lain Total Pendapatan Daerah Pengeluaran Rutin Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian & Irigasi Sektor Pertanian Sektor Irigasi Sektor Industri Sektor Infrastruktur Sektor Pelayanan Umum Sektor Lainnya Total Pengeluaran Daerah

108.03 (18.78) 40.05 ( 6.96) 56.11 ( 9.76)

2.21 ( 0.38) 17.98 ( 3.13)

426.41 (74.15) 91.89 (15.98) 39.40 (13.81) 12.49 ( 2.17)

334.52 (58.17) 3.32 ( 0.58)

21.57 (03.75) 7.48 (01.30)

575.10 ( 100 )

416.74 (64.37) 230.67 (35.62) 11.56 ( 1.74)

7.37 ( 1.14) 4.19 ( 0.65) 1.11 ( 0.17)

121.98 (16.84) 56.84 ( 8.78) 39.18 ( 6.05) 647.46 ( 100 )

358.26 ( 10.11) 146.96 ( 4.15) 147.85 ( 4.17)

6.22 ( 0. 20) 55.99 ( 1.58)

2 859.45 (80. 67) 462.83 (13.06) 388.86 (10.97) 73.98 ( 2.09)

2 396.62 (67.61) 15.61 ( 0.44)

154.94 ( 4.37) 156.30 ( 4.41)

3 544.54 ( 100 )

2 671.15 (76.87) 803.67 (23.13)

57.54 ( 1.66) 25.25 ( 0.73) 32.29 ( 0.93)

3.74 ( 0.11) 315.97 ( 9.08) 278.60 ( 8.02) 147.82 ( 4.25)

3 474.82 (100 )

Sumber : Statistik Keuangan Daerah Kabupaten/ Kota, berbagai tahun terbitan. Angka di dalam ( ) merupakan persentase.

Page 139: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

113

Komponen bagi hasil pajak dan sumber daya alam juga meningkat secara signifikan

yang disebabkan oleh peningkatan porsi bagi hasil pajak dan sumberdaya yang diberikan

kepada daerah seperti pajak bumi bangunan, pengelolaan sumberdaya hutan, tambang

dan perikanan sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 1999 dan UU No 33 Tahun

2004, namun secara relatif sharenya terhadap penerimaan daerah menurun dari 15.98

persen sebelum desentralisasi fiskal menjadi 13.06 persen setelah desentralisasi fiskal.

Komponen dana transfer dari pemerintah pusat yang berupa dana Subsidi Daerah

Otonom (SDO) pada masa sebelum desentralisasi fiskal dan Dana Alokasi Umum

(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) setelah desentralisasi fiskal mengalami

peningkatan sangat besar, bahkan merupakan komponen yang peningkatannya paling

besar. Apabila sebelum desentralisasi fiskal sebesar 334.52 milyar rupiah dengan share

terhadap penerimaan sebesar 58.17 persen maka meningkat menjadi 2 396.62 milyar

rupiah dengan share sebesar 67.61 persen. Tingginya dana tranfer dari pemerintah pusat

ini karena besarnya pengeluaran yang dibutuhkan untuk membiayai pembelanjaan

pemerintah daerah dan kondisi ini menunjukkan tingkat ketergantungan keuangan

pemerintah daerah sebagai sumber pembiayaan terhadap pemerintah pusat. Desentralisasi

fiskal yang diharapkan menumbuhkan kemandirian daerah dalam menggali dan

mengelola keuangannya tetapi justru menimbulkan ketergantungan terhadap pusat.

Sebagai masa transisi mungkin masih bisa dibenarkan, namun dengan berjalannya waktu

diharapkan pemerintah daerah akan semakin pandai dalam menggali potensi penerimaan

daerah dengan melibatkan masyarakat dan pihak swasta sehingga akan semakin mandiri

dan ketergantungan dengan pemerintah pusat bisa semakin dikurangi.

Page 140: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

114

Desentralisasi fiskal membawa perubahan yang besar terhadap pengeluaran daerah,

yaitu apabila sebelum desentralisasi fiskal pengeluaran sebesar 647.46 milyar rupiah

maka meningkat manjadi 3 474.82 milyar rupiah. Komponen pengeluaran mengalami

peningkatan pada semua sektor, namun yang paling besar terjadi pada komponen

pengeluaran rutin yaitu apabila sebelum desentralisasi fiskal sebesar 416.79 milyar rupiah

dengan share sebesar 64.37 persen maka meningkat menjadi 2 671.15 milyar rupiah

dengan nilai share sebesar 76.87 persen. Tingginya pengeluaran rutin setelah

desentralisasi fiskal karena terjadinya peningkatan yang cukup signifikan terhadap

jumlah pegawai pusat yang didaerahkan pada masa awal desentralisasi juga adanya

peningkatan terhadap pengeluaran sehubungan penyelenggaraan pemilihan kepala

daerah, perencanaan dan evaluasi pembangunan di daerah.

Pengeluaran pembangunan secara absolut mengalami peningkatan yaitu dari

230.67 milyar rupiah sebelum desentralisasi menjadi 803.67 milyar rupiah setelah

desentralisasi, namun sharenya mengalami penurunan dari 35.62 persen menjadi 23.13

persen. Turunnya proporsi dana pembangunan dalam pengeluaran daerah membawa

konsekuensi pada penurunan proporsi pengeluaran sektoral. Pengeluaran pembangunan

sektor pertanian pada masa sebelum desentralisasi sebesar 1.14 persen terhadap total

pengeluaran. Pada masa desentralisasi fiskal pengeluaran pembangunan sektor pertanian

sebesar 0.73 persen dari total pengeluaran walaupun secara absolut meningkat dari 7.37

milyar menjadi 25.25 milyar rupiah.

Kapasitas fiskal adalah kemampuan daerah dalam membiayai pengeluarannya

dengan sumber pembiayaan yang diperoleh dari pendapatan daerah tanpa bantuan dari

pemerintah pusat. Kapasitas fiskal merupakan penjumlahan dari PAD dan dana bagi hasil

Page 141: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

115

dari sumber daya alam dan pajak, dan idealnya semua pengeluaran daerah mampu

dibiayai oleh kapasitas fiskal daerah. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal kapasitas

fiskal di Jawa Barat sebesar 0.35 artinya kemampuan keuangan daerah dari PAD dan

Bagi Hasil besarnya hanya sebesar 35 persen untuk dapat membiayai pengeluaran yang

dibutuhkan daerah. Sedang pada masa desentralisasi fiskal kapasitas fiskal malah

menurun menjadi 0.23. Kondisi ini mencerminkan terjadinya penurunan kemandirian

keuangan daerah yang semakin besar pada pelaksanaan desentralisasi fiskal. DAU

keberadaannya diperlukan sebagai penyeimbang bagi daerah yang kaya dengan daerah

yang miskin.

5.3. Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Barat

Kontribusi ekonomi Jawa Barat terhadap perekonomian nasional rata-rata selama

tahun 2001 – 2005, adalah 13.8 persen. Kontribusi ini lebih besar bila dibandingkan

dengan provinsi lainnya. Sebelum masa krisis moneter dan sebelum pembentukan

Provinsi Banten, peran ekonomi Jawa Barat dalam perekonomian nasional jauh lebih

besar.Tingkat pertumbuhan ekonomi Jawa Barat selalu lebih tinggi daripada

perekonomian nasional. Artinya Jawa Barat telah menjadi salah satu sumber

pertumbuhan ekonomi nasional yang dominan. Namun pada saat terjadi krisis moneter,

perekonomian Jawa Barat mengalami tingkat kemunduran yang sangat besar, yaitu lebih

besar daripada penurunan perekonomian nasional. Setelah masa krisis moneter berlalu,

pemulihan ekonomi Jawa Barat relatif lambat. Dari tahun 2001- 2005 pada masa

implementasi desentralisasi fiskal ekonomi Jawa Barat mengalami pertumbuhan namun

tingkat pertumbuhannya lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi nasional, dan

Page 142: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

116

karena mengalami akselerasi relatif lebih baik sehingga pada tahun 2006 laju

pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mulai ada di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional.

Pada tahun 2006 laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mencapai 6.02 persen,

sedangkan ekonomi nasional sebesar 5.40 persen dan pada tahun 2007 pertumbuhan

ekonomi Jawa Barat sebesar 6.41 persen sedang laju pertumbuhan ekonomi nasional

sebesar 5.25 persen.

0

1

2

3

4

5

6

7

2001 2003 2005 2007

LajuPertumbuhanEkonomi Jabar

LajuPertumbuhanEkonomiNasional

Gambar 8. Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi Jabar dan Nasional pada Masa Desentralisasi Fiskal Tahun 2001-2007 (%)

Transformasi ekonomi nasional yang terjadi sejak tahun 80-an hingga tahun 2000-

an telah membawa konsekuensi pada rendahnya pertumbuhan sektor pertanian di Jawa

Barat. Pertumbuhan sektor industri, sektor-sektor utilitas dan jasa sedemikian pesat

sehingga jauh meninggalkan sektor pertanian. Sampai dengan tahun 2005, sektor industri

pengolahan memberikan kontribusi sekitar 43.2 persen dari seluruh ekonomi Jawa Barat,

Page 143: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

117

disusul sektor jasa penunjang seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 19.6

persen. Sektor pertanian hanya memberikan kontribusi sekitar 14.4 persen. Berikut tersaji

Perkembangan dan Struktur PDRB di Jawa Barat.

Tabel 7. Perkembangan dan Struktur PDRB Provinsi Jawa Barat Tahun 2001 - 2005 Harga Konstan Tahun 2000

(dalam Trilyun Rupiah) Struktur PDRB 2001 2002 2003 2004 2005

1. Pertanian 31.88 E32.40 34.46 34.73 34.94

1.1. Pangan 23.54 23.69 24.85 25.49 25.28

1.2. Perkebunan 1.82 1.85 1.95 1.90 2.03

1.3. Peternakan 4.20 4.49 5.12 5.28 5.22

1.4. Kehutanan 0.52 0.59 0.77 0.44 0.48

1.5. Perikanan 1.80 1.78 1.77 1.82 1.71

2. Penggalian dan Pertambangan 8.95 8.23 7.71 7.20 7.02

3. Industri Pengolahan 91.76 93.93 96.98 105.33 114.30

3.1. Industri Pengolahan Migas 2.63 2.61 2.61 2.30 2.32

3.2. Industri Pengolahan Non Migas 90.13 91.32 94.37 103.04 111.98

4.Listrik, Gas dan Air Bersih 4.52 4.92 5.34 5.65 5.76

5.Bangunan / Kontruksi 5.14 5.98 6.60 7.78 8.11

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 41.72 42.76 45.53 47.26 50.61

7. Perhubungan dan Telekomunikasi 9.03 9.38 10.31 10.33 11.14

8.Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

6.43 6.97 7.25 7.72 7.67

9.Jasa-jasa 14.36 14.94 15.84 16.82 18.20

PDRB 213.79 219.53 230.00 242.94 257.54Sumber : PDRB Jawa Barat (BPS), 2005.

Tingginya kontribusi sektor industri pengolahan selama ini relatif kurang

memiliki kaitan kuat dengan perkembangan sektor pertanian. Dalam jangka pendek

kondisi ini dapat dimaklumi untuk mempercepat peningkatan pendapatan untuk

Page 144: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

118

selanjutnya membuka peluang usaha masyarakat di Jawa Barat. Namun demikian

perhatian terhadap perkembangan sektor pertanian dalam jangka panjang patut mendapat

perhatian serius untuk dapat dikaitkan dengan pengembangan sektor industri. Sektor

pertanian di Jawa Barat didominasi oleh subsektor tanaman pangan yang berkontribusi

lebih dari 70 persen dalam perolehan PDRB sektor pertanian di Jawa Barat. Pertumbuhan

dan kontribusi sektor perekonomian Jawa Barat tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8. Rata-rata Pertumbuhan dan Kontribusi Sektor Ekonomi Jawa Barat Tahun

2001-2005 ( %)

Sektor Perekonomian Kontribusi Pertumbuhan

1. Pertanian 14.40 2.38

1.1. Pangan 10.48 2.21

1.2. Perkebunan 0.81 3.26

1.3. Peternakan 2.12 5.35

1.4. Kehutanan 0.24 0.99

1.5. Perikanan 0.75 1.24

2. Penggalian dan Pertambangan 3.20 5.16

3. Industri Pengolahan 43.17 6.79

4.Listrik, Gas dan Air Bersih 2.28 5.42

5.Bangunan / Kontruksi 2.29 10.81

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 19.59 5.79

7. Perhubungan dan Telekomunikasi 4.33 5.99

8.Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 3.12 3.31

9.Jasa-jasa 6.92 6.30

PDRB 100.00 5.47

Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Barat, 2005.

Page 145: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

119

Sektor industri pengolahan, sektor utilitas dan sektor jasa di Jawa Barat pada

umumnya tumbuh cepat di atas rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE). Kondisi ini

terkait dengan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dan struktur kota yang semakin kuat.

Sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah sektor bangunan sebesar

10.81persen, sektor jasa-jasa 6.8 persen, dan sektor industri pengolahan 6.79 persen.

Sektor konstruksi berkembang sebagai respon terhadap peningkatan jumlah penduduk

yang membutuhkan tempat tinggal dan respon terhadap perkembangan kegiatan ekonomi.

Sektor pertanian tumbuh relatif lambat (di bawah LPE), yaitu sekitar 2.38 persen per

tahun, sub sektor pangan yang berkontribusi terbesar pada sektor pertanian di Jawa Barat

tumbuh lebih lambat dibanding sektor pertanian. Melambatnya pertumbuhan sektor

pangan salah satunya disebabkan adanya perlambatan pada laju peningkatan produksi

padi (levelling off) yang merupakan komponen pangan utama di Jawa Barat. Hal ini

patut mendapat perhatian dari Pemerintah Jawa Barat untuk perencanaan pembangunan

ke depan, diharapkan tingginya kontribusi dan pertumbuhan dari sektor industri

pengolahan di Jawa Barat mempunyai kaitan kuat dengan perkembangan sektor pertanian

juga subsektor pangan hal ini sesuai dengan potensi wilayah yang dimiliki oleh Jawa

Barat. Pengembangan industri di Jawa Barat diharapkan dapat memacu pengembangan

sektor pertanian dan subsektor pangan melalui penggunaanya dalam bahan baku.

Studi empirik Bank Dunia dalam World Development Report menyebutkan bahwa

perkembangan sektor industri yang berhasil sejalan dengan keberhasilan dalam

pertumbuhan yang sustainable dan perbaikan produktivitas sektor pertanian. Pengalaman

historis negara-negara industri menunjukkan pertumbuhan berkelanjutan akan terjadi jika

ditunjang dengan pertumbuhan sektor pertanian yang memadai.

Page 146: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

120

Sub-sektor pertanian yang tumbuh besar adalah sub-sektor peternakan sebesar

5.36 persen dan sub-sektor perkebunan tumbuh sekitar 3.26 persen. Sektor pertambangan

dan penggalian di Jawa Barat mengalami penurunan yang relatif tajam, yaitu rata-rata -

5.16 persen. Sub-sektor perikanan turun sekitar -1.24 persen.

Sektor pertanian walaupun kontribusi dalam perekonomian Jawa Barat hanya

14.40 persen karena pertumbuhannya yang relatif lambat, namun sektor ini menampung

tenaga kerja yang cukup besar. Tahun 2001 – 2005 pada masa implementasi

desentralisasi fiskal sektor pertanian sanggup menampung tenaga kerja sebesar 4 856

ribu jiwa atau sebesar 33.72 persen dari total tenaga kerja. Sementara sektor industri

yang kontribusi dalam perekonomian sebesar 43.17 persen hanya menampung tenaga

kerja sebesar 2 834 ribu jiwa atau 19.68 persen dari total penyerapan tenaga kerja.

Tingginya beban penyerapan tenaga kerja dengan kontribusi pada perekonomian yang

semakin kecil karena semakin kecilnya laju pertumbuhan pada sektor pertanian,

menyebabkan pada sektor pertanian terjadi penurunan produktitivitas per tenaga kerja

atau penurunan pada kesejahteraan petani. Peningkatan penyerapan tenaga kerja pada

sektor pertanian yang tidak proporsional dengan peningkatan PDRB, selain dipengaruhi

oleh proses perubahan struktural ekonomi yang tidak seimbang juga karena sektor

pertanian berfungsi sebagai employment of last resort dimana sektor pertanian akan

menyerap tenaga kerja seiring dengan adanya peningkatan angkatan kerja namun

angkatan kerja yang masuk pada sektor pertanian adalah yang menjadikan sektor

pertanian sebagai pilihan terakhir. Sehingga tenaga kerja pada sektor pertanian

kualitasnya relatif lebih rendah dari sektor lain dan menghasilkan produktivitas yang

relatif lebih rendah dan pada sektor pertanian ditemukan banyaknya pengangguran tidak

Page 147: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

121

kentara. Hal ini menyebabkan banyaknya kemiskinan terdapat pada sektor pertanian.

Menurut data BPS sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan yang

menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Penduduk di sektor pertanian

menempati proporsi 55 persen dari total penduduk miskin dan diketahui 75 persen

diantaranya pada subsektor tanaman pangan. Jumlah tenaga kerja berdasarkan sektor

perekonomian tersaji pada Tabel 9 dibawah ini.

Tabel 9. Jumlah Tenaga Kerja Menurut Sektor Perekonomian Kabupaten/ Kota di

Provinsi Jawa Barat, Tahun 2001 – 2005

Sektor Perekonomian Jumlah Tenaga Kerja ( Ribu Jiwa) Persentase (%)

Pertanian 4 856 33.72 Industri 2 834 19.68 Jasa 6 332 43.97 Sektor Lainnya 879 6.10 Total Tenaga Kerja 14 402 100.00 Sumber : Statistik Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat, Tahun 2001 – 2005.

5.4. Kemiskinan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Dilihat dari persebaran penduduk miskin menunjukkan bahwa sekitar 20.48 juta

orang atau sekitar 56.67 persen terdapat di pulau Jawa, dan sebagian besar berada di

daerah perdesaan. Dari fenomena ini menunjukkan bahwa Pulau Jawa menanggung

beban yang sangat berat dalam memenuhi kesejahteraan penduduknya, terlebih bila

dikaitkan dengan kondisi lahan pertanian di Pulau Jawa yang semakin menipis akibat

pertambahan penduduk yang relatif tinggi dan meningkatnya konversi lahan pertanian

untuk kepentingan perumahan dan industri. Konversi lahan pertanian terus meningkat

dari sebesar 85 500 hektar per tahun pada tahun 1981 – 1999, menjadi 141 286 hektar

per tahun pada tahun 1999 – 2002. Kondisi ini telah menyebabkan meningkatnya jumlah

Page 148: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

122

petani gurem yaitu petani yang menguasai lahan rata-rata 0.25 hektar. Pada saat ini

diperkirakan jumlah rumah tangga petani gurem sudah mencapai 75 persen dari total

rumah tangga petani di Jawa, padahal pada tahun 1993 masih 70 persen ( BPS, 2005).

Tabel 10. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 2004

Provinsi

Jumlah Penduduk Miskin (Ribu jiwa)

Kota Desa Total

Tingkat Kemiskinan ( % )

Kota Desa Total Nangroe Aceh Darusalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DKI Jogjakara Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Indonesia

98.40 958.80 1157.20 633.40 1166.70 1800.10 167.80 304.60 472.40 160.50 583.90 744.40 130.80 194.30 325.10 455.10 924.20 1379.30 112.80 232.30 345.10 317.30 1244.40 1561.70 33.00 58.80 91.80 277.10 - 277.10 2243.20 2411.00 4654.20 2346.50 4497.30 6843.80 301.40 314.80 616.20 2230.60 5081.90 7312.50 279.90 499.30 779.20 87.00 144.90 231.90 492.50 539.10 1031.60 122.70 1029.40 1152.10 143.80 414.40 558.20 33.00 161.10 194.10 63.50 167.50 231.00 84.30 233.90 318.20 35.90 156.30 192.20 70.50 415.80 486.30 152.20 1089.30 1241.50 38.00 380.40 418.40 43.70 215.40 259. 10 41.10 356.50 397 .60 23.00 83.90 107.80 49.10 917.70 966.80 11 369.00 24 777.90 36 146.90

17.58 32.66 28.47 12.02 17.19 14.93 12.28 9.67 10.46 6.44 18.36 13.12 17.34 10.46 12.45 20.13 21.33 20.92 25.43 21.16 22.39 20.17 22.81 22.22 7.73 10.06 9.07 3.18 - 3.18 11.21 13.08 12.10 17.52 23.64 21.11 15.96 23.65 19.14 14.62 24.02 20.08 5.69 11.99 8.58 5.05 8.71 6.85 32.66 21.09 25.38 18.11 29.77 27.66 13.29 14.15 13.91 6.13 12.20 10.44 5.28 8.33 7.19 5.63 18.68 11.57 4.37 11.76 8.94 15.33 23.33 21.69 6.11 18.65 14.90 9.21 25.39 21.90 18.63 32.70 29.01 11.99 39.86 32.13 10.50 13.10 12.42 7.71 49.28 38.69 12.13 20.11 16.66

Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan, BPS, Tahun 2004.

Page 149: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

123

Namun berdasarkan tingkat kemiskinan maka provinsi yang mempunyai tingkat

kemiskinan tertinggi terdapat di luar Jawa yaitu Provinsi Papua, Maluku, Gorontalo,

NAD, NTT, NTB. Tingkat kemiskinan dari enam provinsi diatas jauh diatas tingkat

kemiskinan Indonesia dengan jumlah penduduk yang hanya sebesar 4.97 juta jiwa .

Sementara pulau Jawa yang memiliki luas kurang dari 10 persen wilayah Indonesia harus

menampung penduduk miskin 20.48 juta jiwa penduduk miskin atau 56.67 persen dari

total penduduk di Indonesia. Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk

miskin terbesar ketiga di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun apabila

dilihat dari tingkat kemiskinan Jawa Barat memiliki tingkat kemiskinan di bawah tingkat

kemiskinan rata-rata nasional, bahkan merupakan provinsi ketiga di Pulau Jawa yang

mempunyai tingkat kemiskinan terendah setelah DKI Jakarta dan Banten.

Tingkat kemiskinan di Jawa Barat dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang

berfluktuatif seiring dengan terjadinya penurunan kemiskinan di Indonesia. Pada waktu

terjadi krisis kemiskinan meningkat tajam baik Indonesia maupun Jawa Barat kemudian

menurun kembali dengan penurunan yang relatif kecil. Tingkat kemiskinan di Jawa

Barat selalu berada di bawah tingkat kemiskinan Indonesia. Gambar 9 disajikan

perbandingan perkembangan tingkat kemiskinan di Jawa Barat dan di Indonesia.

Persebaran penduduk miskin di wilayah Provinsi Jawa Barat tidak merata, daerah

kabupaten jumlah penduduk miskin relatif lebih besar dibanding daerah kota. Daerah

yang mempunyai struktur ekonomi berbasis pertanian jumlah penduduk miskin relatif

lebih besar dibanding dengan daerah yang mempunyai struktur ekonomi berbasis

industri dan perdagangan.

Page 150: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

124

Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan BPS, 2005.

Gambar 9. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Indonesia dan Jawa Barat ( % )

0

5

10

15

20

25

30

35

40

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

PersentasePendudukMiskinIndonesia

PersentasePendudukMiskinJabar

Kabupaten Cianjur, Indramayu, Kuningan, Majalengka yang dikenal sebagai

sentra penghasil beras di Jawa Barat menunjukkan tingkat kemiskinan yang relatif

tinggi dengan laju pengurangan kemiskinan yang relatif lambat. Hal ini perlu mendapat

perhatian bagi pemerintah bagaimana petani-petani di daerah sentra beras, dimana

komodiiti beras telah mengalami levelling off pada peningkatan produksinya bisa

meningkat produktivitasnya. Peningkatan produktivitas petani beras bisa dilakukan selain

melalui peningkatan produktivitas tanaman padi juga perlu diupayakan sumber-sumber

pertumbuhan baru dari sektor tanaman pangan selain padi dan subsektor lain seperti

peternakan dan perikanan melalui usahatani terpadu. Selain itu juga perlu diupayakan

terciptanya nilai tambah bagi petani pada tingkat off farm activities dengan melakukan

kegiatan agribisnis maupun agroindustri pangan. Kota Bekasi, Depok dan Bandung yang

dikenal sebagai daerah industri dan perdagangan menunjukkan tingkat kemiskinan paling

Page 151: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

125

kecil di Jawa Barat. Berikut disajikan perkembangan dan persebaran jumlah penduduk

miskin di kabupaten/ kota di Wilayah Provinsi Jawa Barat.

Tabel 11. Perkembangan dan Keragaan Persentase Penduduk Miskin menurut Kabupaten / Kota di Jawa Barat Tahun 2003 – 2005 ( % ) No

Kabupaten/ Kota PendudukMiskin Tahun 2003

Penduduk Miskin Tahun 2004

Penduduk Miskin Tahun 2005

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.

Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab.Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Jawa Barat

12.54 17.03 18.49 12.53 15.40 16.21 16.22 20.36 19.64 18.89 14.40 18.65 16.59 13.99 14.55 6.61 7.34 8.29 3.51 9.00 3.66 5.62 13.16

12.56 16.32 19.05 12.78 15.48 17.99 15.18 19.50 17.33 17.66 12.82 17.46 16.07 13.09 13.60 6.86 8.22 7.67 3.95 7.76 3.15 4.96

12.70

11.94 14.70 17.36 11.84 15.37 16.14 14.73 18.95 16.59 17.42 11.74 16.49 14.67 12.60 13.28 6.35 7.85 6.16 3.38 7.52 3.04 4.84

12.10

Sumber : BPS Jawa Barat, 2005.

Laju pengurangan kemiskinan di Jawa Barat berjalan sangat lambat pada masa

implementasi desentralisasi fiskal. Apabila dicermati pada masing- masing kabupaten/

kota di Jawa Barat penurunan kemiskinan berjalan sangat fluktuatif yaitu ada yang

Page 152: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

126

tingkat kemiskinannya naik kemudian turun namun secara rata-rata berkecenderungan

menurun.

5.5. Kinerja Ketahanan Pangan di Wilayah Propinsi Jawa Barat

Ketahanan pangan adalah keterjaminan akses terhadap kecukupan pangan

sepanjang waktu agar dapat melakukan aktifitas dan hidup sehat. Sedang kerawanan

pangan merupakan kondisi suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tingkat

ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan

fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian masyarakat. Ada beberapa aspek

yang menyebabkan terjadinya kerawanan pangan yaitu : (1) aspek produksi, (2) aspek

distribusi, dan (3) aspek konsumsi. Melalui aksesibilitas terhadap pangan akan menjadi

penentu tercapainya konsumsi pangan dan selanjutnya akan mempengaruhi status gizi

masyarakat yang merupakan faktor determinan terhadap derajat kesehatan masyarakat

yang dicerminkan pada ukuran umur harapan hidup.

Ketahanan pangan merupakan satu dari delapan common goals Provinsi Jawa

Barat yang pada tahun 2007 difokuskan pada ketahanan pangan fokus beras melalui

sinergitas lintas SKPD, dimana tujuan bersama tersebut merupakan komitmen program

dan kegiatan yang disepakati untuk dikerjakan melalui model pendekatan sinergitas lintas

SKPD Provinsi dengan penggalangan segenap pelaku pembangunan Jawa Barat yang

relevan. Sasaran common goals ketahanan pangan fokus beras pada tahun 2007 adalah :

(1) terpenuhinya stok beras regional Jawa Barat, (2) tertatanya distribusi dan perdagangan

beras, dan (3) menurunnya tingkat kehilangan pasca panen.

Page 153: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

127

Provinsi Jawa Barat sebagai daerah produsen beras nomer satu di Indonesia,

menggunakan indikator produksi padi dan beras sebagai salah satu ukuran kinerja

ketahanan pangan. Walaupun banyak terjadi kendala yang salah satunya adalah alih

fungsi lahan sawah yang cukup signifikan, namun produksi padi sawah Jawa Barat pada

masa implementasi desentralisasi tahun 2001 – 2005 terus mengalami peningkatan

dengan laju peningkatan produksi sebesar 2.62 persen yang disebabkan laju luas panen

sebesar 0.92 persen dan laju produktivitas sebesar 1.70 persen. Peningkatan produksi padi

hampir terjadi di seluruh kabupaten/ kota kecuali Kabupaten Bandung, Kota Bogor, Kota

Depok dan Kota Bekasi (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2007).

Gambar 10 menunjukkan perkembangan produksi padi sawah, padi ladang dan padi

sawah + ladang di Jawa Barat.

Sumber : Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2006.

Gambar 10. Produksi Padi Ladang, Padi Sawah, Padi Ladang + SawahTahun 2001 – 2005 Jawa Barat (Ton)

0

1000000

2000000

3000000

4000000

5000000

6000000

7000000

8000000

9000000

10000000

2001 2002 2003 2004 2005

ProduksiPadiLadang

ProduksiPadiSawah

ProduksiPadiLadang +Sawah

Peningkatan produksi belum cukup untuk dapat dijadikan ukuran kinerja

ketahanan pangan, tetapi perlu juga diketahui ketersediaan beras yang tersedia untuk

Page 154: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

128

dikonsumsi serta jumlah konsumsi beras bagi masyarakat. Berikut ini disajikan

perkembangan produksi beras, ketersediaan beras untuk konsumsi, jumlah konsumsi

beras dan kondisi persediaan daerah.

Tabel 12. Perkembangan Produksi Gabah, Produksi Beras, Ketersedian Beras untuk Konsumsi, Jumlah Konsumsi Beras dan Kondisi Persediaan Beras Daerah

Tahun Produksi

Padi (Ton GKG)

Produksi Beras (Ton)

Ketersediaan Konsumsi

Beras (Ton)

Total Konsumsi

Beras (Ton)

Surplus/ Defisit (Ton)

Rasio S / K

2001 9 166 872 5 958 466.8 5 362 620.1 4 475 033.5 + 887 586.5 1.20

2002 8 776 889 5 704 977.9 5 134480.1 4 557 650.6 + 576 829.4 1.13

2003 9 602 302 6 241 496.3 5 617 346.7 4 696 897.4 + 920 449.3 1.20

2004 9 787217 6 361 691.1 5 725 522.1 4 795 304.3 + 930 217.8 1.19

2005 9 418 572 6 122 071.8 5 509 864.6 4 888 511.3 + 621 353.3 1.13 Sumber : Dinas Tanaman Pangan Jawa Barat, 2005 dan BPS Jawa Barat, 2005.

Pada tahun 2001 produksi padi sawah dan ladang Jawa Barat mencapai 9 166 872

ton GKG apabila dikonversi ke beras sebesar 5 958 466.8 ton beras, dengan populasi

penduduk sebanyak 37 291 946 jiwa dan apabila jumlah kebutuhan per kapita sebanyak

120 kg per tahun, maka surplus beras Jawa Barat dengan memperhitungkan tercecer dan

benih sebesar 887 586.5 ton beras. Berdasarkan rasio antara ketersediaan beras untuk

konsumsi dengan jumlah konsumsi, pada tahun 2001 di Jawa Barat mengalami surplus

beras sebesar 20 persen dari tingkat ketersediaan konsumsi beras. Sebanyak 14

kabupaten mengalami surplus beras sedang sisanya dua kabupaten Kabupaten Bogor dan

Kabupaten Bandung serta semua kota di Jawa Barat mengalami defisit beras. Selama

Page 155: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

129

tahun 2001 sampai 2005 pada masa implementasi desentralisasi fiskal Jawa Barat secara

umum mengalami surplus beras pada kisaran 13 sampai 20 persen.

Produksi palawija di Jawa Barat masih di bawah kebutuhan penduduk

berdasarkan norma gizi, dimana pencapaian produksi komoditas jagung baru mencapai

51.83 persen, umbi-umbian 55.36 persen dan kacang-kacangan 19.82 persen (Dinas

Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2005). Pada Tabel 13 ditunjukkan

perkembangan potensi sumber pangan non beras yang dihasilkan Jawa Barat.

Tabel 13. Perkembangan Produksi Sumber Pangan Palawija di Jawa Barat Tahun 2001 – 2005 (Ton)

Nama Pangan 2001 2002 2003 2004 2005

Jagung 464 163 461 930 549 441 587 189 573 263

Kedele 29 790 19 893 29 090 23 712 24 494

Kacang Tanah 66 468 91 867 97 723 100 684 91 817

Kacang Hijau 12 602 11 178 13 950 15 612 13 228

Ubi Kayu 1 800 257 1 661 558 2 074 023 2 054 747 2 044 674

Ubi Jalar 367 786 342 794 389 640 390 382 389 043Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2005.

Indikator kinerja ketahanan pangan dari aspek konsumsi secara agregat diukur

dari rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein per kapita. Indikator ini memberikan

gambaran kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi, yang ditentukan

secara langsung oleh kemampuan daya beli dan perilaku. Pada Gambar 11 ditunjukkan

bahwa konsumsi energi per kapita per hari penduduk Jawa Barat masih belum memenuhi

standar kecukupan gizi yaitu sebesar 2200 kkal /kapita / hari. Perkembangan rata-rata

Page 156: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

130

tingkat konsumsi energi per kapita penduduk Jawa Barat mengalami penurunan,

penurunan konsumsi energi pada tahun 1996 – 1999 relatif lebih kecil dibanding

penurunan pada tahun 1999 – 2005 pada masa desentralisasi fiskal. Namun untuk tingkat

konsumsi protein sudah memenuhi standar kecukupan gizi yaitu sebesar 52 gram per

kapita per hari, walaupun dalam perkembangannya juga mengalami penurunan tetapi

tingkat penurunan tidak sebesar pada penurunan konsumsi energi.

0%

20%

40%

60%

80%

100%

120%

1996 1999 2002 2005

KonsumsiEnergi

KonsumsiProtein

Sumber : Susenas BPS, berbagai tahun terbitan.

Gambar 11. Perkembangan Persentase Kecukupan KonsumsiEnergi dan Protein per Kapita per HariPenduduk Jawa Barat

Pencapaian konsumsi energi per kapita penduduk menurut kabupaten / kota

masih jauh dari Angka Kecukupan Gizi (AKG energi 2 200 Kkal), hanya ada satu kota

Bekasi yang pencapaian konsumsi energi diatas 80 persen AKG dan ada empat

kabupaten/ kota yaitu : Kabupaten. Karawang, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut

dan Kota Bandung yang pencapaian konsumsi berada diatas 70 - 80 persen. Sedang

sisanya merupakan kabupaten/ kota yang mengalami defisit konsumsi energi

(<70 persen AKG). Pencapaian konsumsi protein per kapita seluruh kabupaten/ kota

Page 157: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

131

sudah diatas batas 80 persen AKG, bahkan beberapa kabupaten/ kota mecapai diatas 100

persen AKG.

Angka rata-rata konsumsi energi di atas belum memberikan gambaran besarnya

masalah defisit energi pada populasi penduduk. Kabupaten yang mempunyai.proporsi

rumah tangga mengalami defisit konsumsi energi paling tinggi adalah dialami dua

kabupaten, yaitu Majalengka dan Purwakarta. Kabupaten/ kota dengan proporsi rumah

tangga defisit energi sedang sebanyak sembilan kabupaten/kota yaitu : Kabupaten Bogor,

Cianjur, Kuningan, Indramayu, Ciamis serta Kota Bogor, Sukabumi, Depok dan

Tasikmalaya dan sisanya merupakan kabupaten/ kota dengan proporsi rumah tangga

defisit energi rendah.

Berdasarkan data pencapaian konsumsi protein terhadap AKG semua kabupaten/

kota diatas 80 persen, ternayata bila dirinci pada tingkat rumah tangga masih cukup

banyak rumah tangga yang mengalami defisit protein. Kabupaten yang proporsi rumah

tangga mengalami defisit protein tinggi adalah Kabupaten Majalengka, Purwakarta dan

Tasikmalaya. Sedang yang termasuk kategori sedang adalah Kabupaten Bogor, Cianjur,

Kuningan, Indramayu, Bekasi, Kerawang, Subang, Garut, Ciamis, Kota Bogor, Kota

Sukabumi dan Kota Bandung. Sedang sisanya termasuk kabupaten/ kota dengan proporsi

rumah tangga defisit konsumsi protein rendah.

Indikator lain yang mencerminkan penyerapan pangan oleh tubuh adalah status

gizi, dimana status gizi merupakan gambaran kerawanan pangan di tingkat individu.

Rumah tangga dengan ketahanan pangan yang baik, belum menjamin bahwa seluruh

anggota keluarga terlindungi dari status gizi yang baik terlebih untuk anggota keluarga

yang peka terhadap kerawanan pangan seperti ibu hamil dan balita. Prevalensi balita gizi

Page 158: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

132

kurang dan buruk merupakan salah satu indikator yang mengambarkan kondisi terjadinya

kerawanan pangan pada anggota masyarakat yang peka terhadap kerawanan pangan.

Pada Tabel 14 ditunjukkan bahwa angka prevalensi gizi kurang dan buruk di Jawa Barat

secara umum terjadi kecenderungan meningkat, walaupun ada beberapa kabupaten / kota

yang mengalami penurunan. Angka prevalensi gizi kurang dan buruk terbesar didapat

oleh Kabupaten dan Kota Cirebon yang pada tahun 2005 mencapai seperempat dari

populasi balita yang ada.

Tabel 14. Perkembangan dan Keragaan Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Buruk Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 – 2005

( % ) Kabupaten/ Kota Balita Gizi Buruk

Tahun 2003 Balita Gizi Buruk

Tahun 2004 Balita Gizi Buruk

Tahun 2005 Kab Bogor Kab Sukabumi Kab Cianjur Kab Bandung Kab Garut Kab Tasikmalaya Kab Ciamis Kab Kuningan Kab Cirebon Kab Majalengka Kab Sumedang Kab Indramayu Kab Subang Kab Purwakarta Kab Karawang Kab Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Jawa Barat

14.51 15.01 16.61 11.22 12.93 16.14 13.11 12.20 21.54 12.94 11.93 15.92 10.68 9.12 14.18 10.99 11.48 11.67 10.13 18.04 18.05 10.14 13.57

19.70 20.90 23.00 14.90 21.00 14.60 7.70 17.90 24.70 17.30 17.50 19.90 16.60 16.30 22.30 20.50 21.30 17.10 16.20 26.90 18.40 18.90 18.80

16.58 18.24 23.28 15.20 20.18 14.20 8.26 18.21 25.40 19.55 12.50 23.70 18.20 14.26 24.80 18.70 16.85 13.60 12.30 24.20 16.40 12.50 17.64

Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2005.

Page 159: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

133

Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator penyerapan pangan, dimana

angka kematian bayi merupakan indikator yang bisa mencerminkan perubahan status

sosial dan ekonomi. Tingginya angka kematian bayi di suatu daerah bisa disebabkan oleh

beberapa faktor seperti kemiskinan, penyakit infeksi, pendidikan yang rendah, akses ke

pelayanan kebutuhan dasar yang rendah. Angka kematian bayi merupakan jumlah bayi

yang mati dalam usia dibawah satu tahun dari 1000 kelahiran.

Tabel 15. Perkembangan dan Keragaan Angka Kematian Bayi Menurut Kabupaten / Kota di Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 – 2005

(Jiwa / 1000 Kelahiran Hidup) Kabupaten/ Kota Angka Kematian

Bayi Tahun 2003 Angka Kematian Bayi Tahun 2004

Angka Kematian Bayi Tahun 2005

Kab Bogor Kab Sukabumi Kab Cianjur Kab Bandung Kab Garut Kab Tasikmalaya Kab Ciamis Kab Kuningan Kab Cirebon Kab Majalengka Kab Sumedang Kab Indramayu Kab Subang Kab Purwakarta Kab Karawang Kab Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Jawa Barat

53.54 58.67 60.00 40.67 57.01 54.90 56.75 48.77 55.00 55.25 42.37 64.58 47.67 63.41 60.30 51.00 29.00 40.26 36.21 39.33 40.30 44.20 49.96

47.41 51.45 52.10 38.50 56.98 55.50 53.51 48.50 54.70 49.78 41.85 55.64 42.39 57.32 58.50 50.22 28.47 38.96 36.10 37.71 35.54 33.38 46.57

45.85 44.50 54.00 38.76 48.76 53.40 56.70 49.30 52.80 56.40 44.20 66.20 49.45 62.58 60.48 52.60 25.80 41.70 32.30 38.20 34.80 32.40 43.70

Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2005.

Page 160: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

134

Angka harapan hidup merupakan indikator yang dapat menggambarkan dampak

kerawanan pangan yang terjadi di suatu wilayah. Umur harapan hidup dipengaruhi oleh

kondisi kesehatan termasuk status gizi. Seseorang yang sejak lahir hingga usia lanjut

hidup dengan kondisi kesehatan, sosial, ekonomi yang baik lebih berpeluang mencapai

usia hidup yang tinggi. Berikut disajikan perkembangan dan keragaan angka harapan

hidup menurut kabupaten/ kota di Jawa Barat.

Tabel 16. Perkembangan dan Keragaan Harapan Hidup Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 – 2005

( Tahun ) Kabupaten/ Kota Angka Harapan

Hidup 2003 Angka Harapan

Hidup 2004 Angka Harapan

Hidup 2005 Kab Bogor Kab Sukabumi Kab Cianjur Kab Bandung Kab Garut Kab Tasikmalaya Kab Ciamis Kab Kuningan Kab Cirebon Kab Majalengka Kab Sumedang Kab Indramayu Kab Subang Kab Purwakarta Kab Karawang Kab Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Jawa Barat

66.10 63.00 64.10 66.80 59.90 66.10 64.00 65.10 63.30 63.50 66.70 63.70 65.60 64.10 62.90 67.00 68.00 66.20 68.80 67.60 68.10 71.80 64.50

67.20 65.10 64.60 68.45 62.30 66.60 65.10 65.90 62.80 67.00 67.80 64.20 66.50 64.80 65.80 68.50 68.40 67.50 70.80 68.20 69.60 71.90 65.70

68.85 65.70 65.65 70.20 63.20 65.35 65.85 66.65 64.10 67.40 67.87 64.08 66.95 65.97 65.08 68.13 71.30 69.10 71.50 70.60 70.80 72.10 66.80

Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2005.

Page 161: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

135

Secara nasional usia harapan hidup telah mengalami peningkatan demikian pula

dengan Jawa Barat. Pencapaian angka harapan hidup ternyata tidak harus sejalan dengan

peningkatan ekonomi semata tetapi juga dominan dipengaruhi faktor pendidikan dan

kesehatan. Pencapaian angka harapan hidup di daerah perkotaan relatif lebih tinggi

dibanding daerah perdesaan.

Page 162: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

VI. KERAGAAN MODEL DAN PEMBAHASAN

6.1. Analisis Umum Model Dugaan

Dalam bab ini akan disajikan dan dibahas nilai-nilai hasil pendugaan

parameter dari persamaan struktural pada model penelitian yang ada. Dalam

proses spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami

beberapa kali modifikasi karena ditemukan beberapa hasil dugaan yang tidak

konsisten dengan teori dan beberapa dugaan parameter yang tidak nyata. Sehingga

akhirnya didapatkan model dengan keragaan hasil pendugaan parameter yang cukup

representatif untuk menggambarkan fenomena yang ada.

Nilai koefisien determinasi (R2) masing-masing persamaan struktural dalam

model relatif tinggi yaitu berkisar antara 0.53 sampai 0.99. Dengan demikian secara

umum peubah-peubah penjelas yang dimasukkan dalam persamaan struktural dalam

penelitian ini mampu menjelaskan dengan baik keragaman setiap peubah

endogennya, dan semua peubah penjelas tersebut mempunyai parameter dugaan

yang tandanya sesuai dengan harapan teori dan fenomena ekonomi yang ada.

Nilai- nilai statistik F yang pada umumnya cukup tinggi yaitu berkisar antara

12.25 sampai 14705.74, maka dapat diinterprestasikan bahwa variasi peubah-

peubah dalam setiap persamaan struktural secara bersama-sama dapat menjelaskan

dengan baik variasi peubah endogennya masing-masing. Hasil statistik t

menunjukkan bahwa terdapat beberapa peubah penjelas yang secara individual

tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen apabila menggunakan taraf nyata

sebesar 0.05. Namun dengan taraf nyata yang lebih fleksibel, yaitu menggunakan

taraf nyata yang lebih besar hingga 0.20, maka dapat dilihat bahwa sebagian besar

peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural berpengaruh nyata terhadap

peubah endogennya masing-masing.

Page 163: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

137

Berdasarkan hasil uji statistik Durbin-h menunjukkan bahwa dari semua

persamaan ada dua persamaan struktural yang tidak dapat ditentukan karena

mempunyai nilai akar yang negatif dan ada empat persamaan struktural yang

ditemukan ada masalah korelasi serial pada taraf nyata 0.05. Menurut Pindyck dan

Rubinfeld (1991), masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan

parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi. Dengan

demikian secara umum dapat dikatakan bahwa pendugaan model dalam penelitian

ini cukup representatif menggambarkan fenomena ekonomi kemiskinan dan

ketahanan pangan di Jawa Barat.

6.2. Dugaan Parameter Persamaan Struktural

Secara rinci dugaan parameter dari persamaan - persamaaan struktural

dalam model akan dibahas secara mendalam dalam masing- masing persamaan.

6.2.1. Penerimaan Daerah

Penerimaan daerah terdiri dari PAD, dana alokasi, dana bagi hasil dan

penerimaan sah lainnya sedang PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan

laba usaha daerah. Hasil pendugaan pada Tabel 17 menunjukkan bahwa faktor-

faktor yang signifikan berpengaruh positif terhadap pajak daerah adalah PDRB,

jumlah penduduk tidak miskin, dummy desentralisasi fiskal dan lag pajak daerah,

sedang jumlah penduduk miskin berpengaruh negatif terhadap pajak daerah.

Dummy desentralisasi fiskal bernilai positif menunjukkan bahwa penerimaan

pajak daerah setelah desentralisasi fiskal secara signifikan bernilai lebih besar, hal

ini menunjukkan bahwa dengan desentralisasi fiskal daerah lebih bisa menggali

potensi penerimaan daerah melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak daerah

( Sondakh, 1999; Vasques and McNab, 2001; Lin and Liu, 2000; Mahi, 2000;

Ismail 2001; Kerk and Garry, 1997).

Page 164: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

138

Jumlah penduduk miskin berhubungan negatif dan mempunyai elastisitas yang

elastis dengan penerimaan pajak daerah, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat

miskin selain tidak berpotensi menghasilkan pajak juga justru memerlukan subsidi

hasil pajak dari pemerintah. Hasil analisis menunjukkan apabila jumlah penduduk

miskin berkurang sebesar 10 persen maka penerimaan pajak daerah akan meningkat

sebesar 17 persen. Nilai elastisitas dalam jangka panjang semakin elastis, karena

terjadinya pengaruh multiplier efek sehingga pengaruhnya tidak hanya secara

langsung saja tetapi juga pengaruh tidak langsung. Mengurangi penduduk miskin

mempunyai dampak positif yang luas dalam pembangunan, dampak secara langsung

terhadap pemerintah adalah berupa peningkatan kinerja fiskal melalui penerimaan

potensi pajak dan pengurangan subsidi untuk masyarakat miskin. Jumlah penduduk

miskin merupakan salah satu indikator yang digunakan oleh pemerintah pusat untuk

pertimbangan penyaluran dana alokasi (DAU) ke pemerintah daerah, apabila jumlah

penduduk miskin relatif tinggi dalam suatu wilayah menunjukkan bahwa dalam

wilayah tersebut masih membutuhkan banyak dana bantuan untuk subsidi.

PDRB merupakan salah satu indikator kinerja perekonomian suatu daerah,

dimana peningkatan PDRB merupakan indikator adanya peningkatan aktivitas

ekonomi daerah yang merupakan faktor potensi dalam menggali objek pajak.

Dalam penelitian ini PDRB mempunyai elastisitas yang inelastis yaitu sebesar

0.0747 terhadap pajak daerah, artinya apabila PDRB meningkat sebesar 10 persen

maka pajak daerah akan meningkat hanya sebesar 0.7 persen. Kecilnya nilai

elastisitas penerimaan pajak terhadap PDRB menunjukkan bahwa pemerintah daerah

di wilayah penelitian masih belum optimal dalam menggali potensi pajaknya

sehingga peningkatan nilai PDRB sebagai potensi penerimaan pajak tidak responsif

dengan penerimaan aktual pajaknya. Sebagai implementasi otonomi daerah maka

Page 165: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

139

perlu dilakukan upaya-upaya fiskal berupa intensifikasi dan ekstensifikasi dalam

penggalian potensi pajak sehingga peningkatan PDRB memberi pengaruh yang

besar pada peningkatan penerimaan pajak daerah namun jangan sampai menurunkan

tingkat investasi daerah. Peubah-peubah penjelas yang digunakan dalam persamaan

pajak daerah mampu menjelaskan variasi yang terjadi dalam penerimaan pajak

sebesar 69. 45 persen.

Tabel 17. Faktor-Faktor Yang Mempempengaruhi Penerimaan Daerah Kabupaten

di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan Pajak Daerah

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel

Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J. Panjang

INTERCEP -551.819796 -0.269 0.7880 - -

PDRB 0.187383 1.237 0.2181 0.0747 0.1717 PDRB

JMLTMIS 13.205164 6.036 0.0001 2.2525 11.2077 Jumlah penduduk tidak miskin

JMLMIS -48.345719 -6.098 0.0001 -1.6868 -8.3930 Jumlah penduduk miskin

DMDF 6267.430335 4..538 0.0001 - - Dummy desentralisasi

LPJKDAE 0.799019 6..277 0.0001 - - Lag pajak daerah

F Value Prob>F R-Square Dh

31.458 0.0001 0.694 2..273

Persamaan Dana Alokasi

Parameter T for H0: Elastisitas Variable Estimate Parameter=0

Prob > |T| J. Pendek J. Panjang

Label Variabel

INTERCEP -4374.654926 -0.232 0.8183 - - Intercep

JMLPDK 50.306315 3.276 0.0013 0.4263 0.9159 Jumlah penduduk

LUDAE 11.243174 1.295 0.1975 0.1212 0.2604 Luas daerah

JMLMIS 28.696834 2.257 0.0038 0.1824 0.3919 Jumlah penduduk miskin

PAD -4.567846 -1.013 0.2564 - - Pendapatan asli

DMDF 234633 13.546 0.0001 - - Dummy desentralisasi fiscal

LDALOK 0.534633 18.434 0.0001 - - Lag dana alokasi

F Value Prob>F R-Square Dh

138.249 0.0001 0.749 1.695

Temuan dalam studi ini mempunyai implikasi yaitu untuk meningkatkan

penerimaan daerah khususnya penerimaan dari sektor pajak, maka selain harus

Page 166: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

140

melakukan peningkatan aktivitas ekonomi daerah melalui peningkatan PDRB yang

tidak kalah penting untuk dilakukan adalah pengurangan jumlah penduduk miskin.

Penduduk miskin hanya akan menjadi beban bagi pemerintah, sehingga

meningkatkan kemandirian bagi penduduk miskin untuk mencukupi kebutuhan

dasarnya akan mengurangi beban untuk subsidi bagi pemerintah. Selanjutnya

kenaikan kesejahteraan bagi penduduk miskin akan menaikkan potensi penerimaan

pemerintah dari sektor pajak, karena tingkat kesejahteran masyarakat sebagai

potensi sumber penerimaan pajak daerah.

Dana alokasi secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah penduduk, luas

daerah, jumlah penduduk miskin, dummy desentralisasi fiskal. Dummy

desentralisasi fiskal bernilai positif menunjukkan bahwa setelah desentralisasi

fiskal telah terjadi kenaikan dana alokasi yang merupakan dana transfer dari

pemerintah pusat. Walaupun pada masa desentralisasi fiskal PAD lebih besar,

tetapi karena pengeluaran juga relatif lebih besar pada masa desentralisasi fiskal

sehingga diperlukan dana alokasi yang lebih besar. Fenomena ini menunjukkan

bahwa dengan desentralisasi fiskal ketergantungan daerah terhadap dana dari

pemerintah pusat semakin besar. Peningkatan PAD sehubungan dengan kebebasan

menggali potensi daerah pada masa desentralisasi fiskal belum bisa menutupi

kebutuhan daerah sehingga masih dibutuhkan dana alokasi yang juga lebih besar

pada masa desentralisasi fiskal. Dengan berjalannya waktu dalam implementasi

desentralisasi fiskal diharapkan penerimaan pemerintah daerah dari PAD akan

semakin besar sehingga dana transfer DAU dari pemerintah pusat akan bisa

semakin dikurangi untuk menuju pada kemandirian fiskal daerah sesuai dengan cita-

cita dari otonomi daerah.

Page 167: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

141

PAD berhubungan negatif tidak signifikan terhadap dana alokasi, besar dan

kecilnya PAD akan mempengaruhi perolehan dana alokasi umum dari pemerintah

pusat dimana daerah yang nilai perolehan PADnya relative besar akan mendapat

dana alokasi umum yang relative kecil karena daerah lebih mampu membiayai

pengeluarannya.

6.2.2. Pengeluaran Daerah

Pengeluaran daerah terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran

pembangunan, pengeluaran pembangunan terdiri dari pengeluaran pembangunan

sektor pertanian dan pengeluaran sektor lain. Pengeluaran rutin secara signifikan

dipengaruhi multiple belanja pegawai dan belanja barang, PAD, dana alokasi,

dummy desentralisasi fiskal, dan lag pengeluaran rutin.

Dummy desentralisasi fiskal bernilai positif menunjukkan adanya intersep

yang lebih besar, berarti nilai pengeluaran rutin pada masa desentralisasi fiskal

relatif lebih besar.Tingginya pengeluaran rutin pada masa desentralisasi fiskal

disebabkan banyaknya pegawai pusat yang didaerahkan pada masa desentralisasi

fiskal. Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi pembangunan yang didaerahkan juga membutuhkan pengeluaran rutin

sebagai dana operasional yang relatif lebih besar pada masa desentralisasi fiskal.

Rata-rata dana pengeluaran rutin pada masa sebelum desentralisasi fiskal berkisar

71 persen dari total pengeluaran daerah, sedang pada masa desentralisasi fiskal

meningkat menjadi berkisar sebesar 78 persen dari total pengeluaran daerah.

Peningkatan dalam belanja pegawai dan belanja barang akan diikuti oleh

peningkatan dana pengeluaran rutin tetapi dalam proporsi yang jauh lebih kecil, hal

ini wajar karena keterbatasan anggaran sehingga responsibilitas pengeluaran dana

Page 168: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

142

terhadap belanja operasionalnya akan kecil dan pemerintah daerah diharapkan

melakukan efisiensi dalam penggunaan anggaran rutinnya sebagai dana operasional.

Tabel 18. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran Daerah Kabupaten di

Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan Pengeluaran Rutin

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel

Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J.

Panjang

INTERCEP 53437 6.889 0.0001 - - Intercep

MJPGBB 0.015572 2.065 0.0408 0.0555 0.5393 Multiple belanja pegawai dan barang

PAD 265780 1.860 0.4260 - - Pendapatan asli daerah

DALOK 564328 3.835 0.0620 0.1652 1.6055 Dana alokasi

DMDF 252609 18.480 0.0001 - - Dummy desentralisasi fiscal

LPRUTIN 0.897104 9..362 0.0001 - - Lag pengeluaran rutin

F Value Prob>F R-Square Dh

212.556 0.0001 0.821 2..282 Persamaan Pengeluaran Sektor Pertanian

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel

Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J.

Panjang

INTERCEP 369.026425 0.666 0.5066 - - Intercep

AREAL 0.010038 2.556 0.0116 0.4632 1.0617 Luas areal tanaman padi

PAD 3.6534 24 3.128 0.0026 0.0634 0.1453 Pendapatan asli daerah

DALOK 0.003198 1..346 0.1806 0.3248 0.7445 Dana alokasi

DMDF 2640.285718 7.640 0.0001 - - Dummy desentralisasi fiscal

LPSEKP 0..563788 6..598 0.0001 - - Lag pengeluaran sektor pertanian

F Value Prob>F R-Square Dh

38.763 0.0001 0.655 1..846

PAD berhubungan positif dengan pengeluaran rutin tetapi tidak signifikan,

artinya apabila PAD meningkat maka akan meningkatkan penerimaan daerah

sebagai sumber pengeluaran yang digunakan untuk pengeluaran rutin dan

pengeluaran pembangunan. PAD tidak signifikan terhadap pengeluaran rutin, karena

kontribusi PAD yang relatif kecil dalam penerimaan daerah dan pengeluaran rutin

merupakan pengeluaran yang kontribusinya relatif besar. Dana alokasi berhubungan

Page 169: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

143

positif dan signifikan terhadap pengeluaran rutin, karena dana alokasi merupakan

sumber penerimaan terbesar daerah yang bisa digunakan untuk membiayai

pengeluaran operasional daerah sehingga signifikan terhadap pengeluaran rutin.

Pengeluaran pembangunan sektor pertanian secara signifikan dipengaruhi

positif oleh areal tanaman padi, PAD, dana alokasi, dummy desentralisasi fiskal dan

lag pengeluaran sektor pertanian. Areal tanaman padi signifikan mempengaruhi

pengeluaran pembangunan sektor pertanian dengan elastisitas sebesar 0.4632,

artinya apabila areal tanaman padi meningkat 10 persen maka dana pembangunan

sektor pertanian akan naik 4.63 persen. Walaupun nilai kenaikan anggaran tidak

proporsional dengan kenaikan areal tanaman padi, namun hal ini menunjukkan

komitmen pemerintah daerah kabupaten di Jawa Barat terhadap usahatani padi,

yaitu dana pembangunan sektor pertanian masih dominan dan lebih diprioritaskan

pada peningkatan produktivitas tanaman padi. Fenomena ini cukup beralasan karena

sebagian besar wilayah kabupaten di Jawa Barat mempunyai potensi dan

keunggulan pada produksi padi, sehingga mengantarkan wilayah Jawa Barat sebagai

lumbung padi nasional terbesar.

PAD sebagai sumber penerimaan lokal daerah dan dana alokasi sebagai

sumber penerimaan dari pusat merupakan sumber penerimaan daerah berhubungan

positif dan signifikan terhadap pengeluaran pembangunan sektor pertanian.

Peningkatan penerimaan dari PAD dan dana alokasi dari pemerinah pusat akan

meningkatkan pengeluaran daerah untuk pembangunan di sektor pertanian.

6.2.3. PDRB Kabupaten di Provinsi Jawa Barat.

PDRB dalam model penelitian ini dibedakan antara PDRB sektor pertanian

dan PDRB non pertanian. Hasil estimasi PDRB pertanian dipengaruhi positif oleh

Page 170: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

144

tenaga kerja sektor pertanian, pengeluaran pembangunan sektor pertanian,

pendapatan penduduk sektor pertanian, dan lag pembagunan sektor pertanian.

Sedang PDRB non pertanian dipengaruhi positif oleh tenaga kerja sektor non

pertanian, pengeluaran pembangunan sektor lain dan pendapatan penduduk non

pertanian, sedang PDRB Pertanian berhubungan positif dengan PDRB Non

Pertanian tetapi tidak signifikan.

Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian berpengaruh positif dengan nilai

elastisitas sebesar 0.7078 artinya apabila jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian

meningkat sebesar 10 persen maka PDRB sektor pertanian meningkat sebesar 7

persen. Tenaga kerja merupakan input dalam proses produksi sektor pertanian,

sehingga peningkatan jumlahnya akan memberi pengaruh pada peningkatan

outputnya. Peningkatan PDRB sektor pertanian yang relatif lebih kecil dibanding

peningkatan input tenaga kerja menunjukkan bahwa penambahan input tenaga kerja

pada sektor pertanian tidak elastis. Kurang responsifnya penambahan tenaga kerja

terhadap peningkatan PDRB sektor pertanian, menunjukkan bahwa pada sektor

tersebut penggunaan tenaga kerja relatif berlebih sehingga penambahan jumlah

tenaga kerja tidak memberi respon yang besar pada peningkatan outputnya.

Peningkatan tenaga kerja walaupun berpengaruh pada peningkatan PDRB sebagai

output, tetapi akan menurunkan output per tenaga kerja atau produktivitas tenaga

kerja dalam menghasilkan output. Fenomena ini sesuai dengan kondisi yang ada di

daerah penelitian, bahwa sektor pertanian merupakan sektor padat karya sehingga

peningkatan tenaga kerja akan berpengaruh pada peningkatan PDRB dengan nilai

yang lebih kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Ikhsan (2001) bahwa pada sektor

pertanian terdapat tenaga kerja yang berlebih karena terjadinya perubahan

struktural yang tidak seimbang. Namun demikian dari semua peubah yang ada

Page 171: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

145

tenaga kerja mempunyai kontribusi paling besar dalam peningkatan PDRB sektor

pertanian, untuk itu dalam upaya meningkatkan PDRB pada sektor pertanian

memperbaiki produktivitas tenaga kerja dengan cara memperbaiki kualitas SDM

merupakan pilihan yang perlu dilakukan.

Pengeluaran pembangunan sektor pertanian signifikan berpengaruh positif

pada PDRB sektor pertanian. Peningkatan dana pembangunan pada sektor pertanian

akan meningkatkan investasi pemerintah pada pelayanan publik di sektor pertanian

sehingga akan memberi eksternalitas pada peningkatan PDRB sektor pertanian.

Nilai elastisitas yang kecil sebesar 0.0773 menunjukkan bahwa apabila terjadi

peningkatan dana pembangunan sektor pertanian sebesar 10 persen maka akan

terjadi peningkatan PDRB sektor pertanian hanya sebesar 0.7 persen. Kecilnya

nilai elastisitas ini ada berbagai kemungkinan yang bisa menjadi penyebab

diantaranya adalah : (1) karena dana yang dialokasikan pada sektor pertanian

jumlahnya relatif kecil sehingga dampak yang ditimbulkan terhadap PDRB juga

kecil pengaruhnya; (2) kemungkinan adanya faktor time-lag yang berperan yaitu

pengeluaran pembangunan sektor pertanian tidak langsung pengaruhnya tetapi baru

memiliki pengaruh terhadap PDRB sektor pertanian setelah beberapa tahun

kemudian melalui mekanisme transmisi; (3) kurang tepatnya pemerintah daerah

melakukan stimulus belanja terhadap kebutuhan dalam sektor pertanian sehingga

pengeluaran dana yang ada kurang memberikan pengaruh yang berarti terhadap

PDRB sektor pertanian. Hasil kajian ini berbeda dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Nanga (2006) dengan wilayah kajian di Indonesia dan Pakasi (2005)

dengan wilayah kajian di Sulawesi Utara yang memberikan hasil bahwa pengeluaran

pembangunan sektor pertanian tidak signifikan mempengaruhi PDRB.

Page 172: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

146

Tabel 19. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi PDRB Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan PDRB Sektor Pertanian

Parameter T for H0: Elastisitas Variable Estimate Parameter=0

Prob > |T| J. Pendek J. Panjang

Label Variabel

INTERCEP -90.156349 -3.110 0.0023 - - Intercep

TKP 1.399257 15.461 0.0001 0.7078 1.5585 Jumlah tenaga kerja pertanian

PSEKP 0.014812 4.452 0.0001 0.0773 0.1702 Pengeluaran sektor pertanian

INCPPI 0.569273 5..580 0.0001 0.3781 0.8325 Pendapatan per kapita petani

AREAL 3.145720 1.013 0.3976 - - Areal tanaman padi LPDRBP 0.545846 6..324 0.0001 - - Lag PDRB sektor pertanian

F Value Prob>F R-Square Dh

221.056 0.0001 0.865 1..994 Persamaan PDRB Non Pertanian

Parameter T for H0: Elastisitas Variable Estimate Parameter=0

Prob > |T| J. Pendek J. Panjang

Label Variabel

INTERCEP -1918.283489 -13.090 0.0001 - - Intercep

TKNP 5.158899 13.320 0.0001 0.7758 1.4788 Jumlah tenaga kerja non pertanian

PSEKLN 0.003415 3.697 0.0003 0.1043 0.1988 Pengeluaran sektor lainnya

INCNP 338.119562 74.180 0.0001 0.9185 1.7509 Pendapatan / kapita non pertanian

PDRBP 0.436852 1.020 0.4102 - - PDRB sector pertanian LPDRBNP 0.4754332 5.250 0.0001 - - Lag PDRB non pertanian

F Value Prob>F R-Square Dh

1963.726 0.0001 0.976 3.096

Pendapatan per kapita sektor pertanian signifikan mempengaruhi PDRB

pertanian, pendapatan yang tinggi pada masyarakat di sektor pertanian akan menjadi

insentif bagi masyarakat di sektor pertanian untuk meningkatkan aktivitas ekonomi

pada sektor tersebut sehingga memberikan peningkatan PDRB di sektor pertanian.

Penyerapan tenaga kerja pada sektor non pertanian berpengeruh positif dengan

nilai elastisitas sebesar 0.7758, hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja sebagai

faktor produksi mempengaruhi PDRB non pertanian tetapi kurang responsif.

Pengeluaran pembangunan sektor non pertanian berpengruh secara nyata

terhadap PDRB sektor non pertanian dengan elastisitas sebesar 0.1043, artinya

apabila pengeluaran pembangunan sektor non pertanian dinaikkan sebesar 10 persen

Page 173: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

147

maka PDRB sektor non pertanian akan meningkat sebesar 1.04 persen. Secara

umum baik pada sektor pertanian maupun sektor non pertanian tenaga kerja

mempunyai pengaruh yang dominan dalam pembentukan PDRB, sehingga

penyerapan tenaga kerja dengan dibarengi peningkatan kualitasnya akan memberi

pengaruh yang baik pada peningkatan PDRB.

6.2.4. Produksi Gabah

Faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap produksi gabah adalah

harga gabah, permintaan pupuk, permintaan tenaga kerja pada sektor pertanian,

dummy desentralisasi fiskal dan produksi gabah tahun sebelumnya. Sedang dana

pengeluaran sektor pertanian tidak signifikan mempengaruhi produksi gabah.

Harga gabah berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi gabah, nilai

elastisitasnya relatif kecil yaitu sebesar 0.1540. Hasil ini lebih kecil dibanding hasil

penelitian Siregar (1991) elastisitas produksi gabah terhadap harganya sebesar 0.45.

Begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nainggolan dan Suprapto

(1987), Sawit (l994), Hartoyo (1995), Mulyana (1998) bahwa elastisitas produksi

padi terhadap harganya inelastis. Menurut Mulyana (1998) di wilayah Jawa dan

Bali, Kalimantan dan Sumatra respons produktivitas terhadap harga gabah lebih

elastis dibanding respons terhadap arealnya dan sebaliknya untuk wilayah Sulawesi

dan wilayah sisa Indonesia respons areal lebih elastis dibanding respons terhadap

produktivitas. Kenaikan harga gabah merupakan insentif bagi petani untuk

berproduksi lebih besar karena harga yang tinggi akan memberi pendapatan yang

lebih besar pada petani (Timmer, 2008). Respons yang kecil produksi gabah

terhadap perubahan harga gabah di wilayah penelitian karena adanya beberapa

kendala, diantaranya adalah keterbatasan areal tanam padi dimana lahan sawah

Page 174: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

148

jumlahnya semakin berkurang karena lajunya proses konversi lahan pertanian

khususnya lahan sawah irigasi ( Irawan et al., 2003; Saliem et al., 2002).

Jumlah penggunaan pupuk dan tenaga kerja pertanian merupakan input pada

produksi gabah sehigga berhubungan positif dengan outputnya. Input pupuk

mempunyai elastisitas produksi sebesar 0.6970 dan tenaga kerja mempunyai

elastisitas produksi sebesar 0.4417. Pengaruh input pupuk lebih dominan

kontribusinya terhadap produksi gabah dibanding kontribusi input tenaga kerja, hal

ini karena nilai produktivitas marginal pupuk lebih besar. Untuk itu dalam upaya

meningkatkan produksi gabah pemerintah bisa mempengaruhi penggunaan input

pupuk dengan melakukan subsidi harga pupuk maupun menata distribusi pupuk

untuk sampai ke petani secara lebih baik, tepat waktu dan efisien.

Tabel 20. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Gabah Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan Produksi Gabah

Parameter T for H0: Elastisitas Variable Estimate Parameter=0

Prob > |T| J. Pendek J. Panjang

Label Variabel

INTERCEP -191906.027 -3.051 0.0027 - - Intercep

PGAP 0.561906 2..353 0.0056 0.1540 0.2771 Harga gabah QPUK 0.081642 10.370 0.0001 0.6971 0. 9254 Jumlah pupuk

TKP 9.59.734694 7.880 0.0001 0.4417 0.7948 Jumlah tenaga kerja pertanian

PSEKP 5.810158 0.751 0.4537 - - Pengeluaran sektor pertanian

DMDF 256025 5..578 0.0001 - - Dummy desentralisasi

LPRODGAB 0.444217 2.686 0.0081 - - Lag produksi gabah

F Value Prob>F R-Square Dh

35.79 0.0001 0.566 0.864

Pengeluaran pembangunan sektor pertanian merupakan stimulus dalam

peningkatan produksi gabah, apabila dana pembangunan sektor pertanian meningkat

maka akan banyak program-program yang diharapkan bisa meningkatkan produksi

gabah terlebih pada daerah sentra usahatani padi. Namun berdasarkan hasil analisis

Page 175: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

149

ternyata dana pembangunan sektor pertanian tidak signifikan mempengaruhi

produksi gabah. Produksi gabah lebih dominan dipengaruhi secara langsung pada

penggunaan input yaitu penggunaan pupuk dan tenaga kerja, sedang dana

pengeluaran sektor pertanian pengaruhnya tidak secara langsung tetapi

membutuhkan time-lag melalui mekanisme transmisi yang panjang terhadap

produksi gabah.

Dummy desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan dan bernilai positif

terhadap produksi gabah, hal ini menunjukkan bahwa pada masa desentralisasi fiskal

produksi gabah relatif lebih besar. Hal ini sesuai dengan kondisi yang ada yaitu pada

saat desentralisasi fiskal pemerintah daerah Jawa Barat lebih fokus dalam

mengupayakan peningkatan produksi gabah melalui berbagai program dan kegiatan

sesuai dengan rencana strategis yang ditetapkan pemerintah Jawa Barat bahwa

ketahanan pangan merupakan salah satu dari common goal pencapaian

pembangunan yang berfokus pada pangan beras (Pemprov Jawa Barat, 2007).

6.2.5. Pendapatan Per Kapita Sektor Pertanian

Pendapatan per kapita sektor pertanian dipengaruhi positif secara signifikan

oleh poduksi gabah, tenaga kerja sektor pertanian, lag pendapatan sektor pertanian.,

dan pengeluaran pembangunan sektor lain berpengaruh negatif terhadap pendapatan

sektor pertanian. Sebagai daerah sentra produksi pangan khususnya beras,

pendapatan sektor pertanian dominan dipengaruhi oleh produksi gabah karena

usahatani padi merupakan mata pencaharian pokok sebagian besar penduduk di

daerah penelitian. Nilai elastisitas sebesar 0.2515 menunjukkan bahwa bila produksi

gabah meningkat sebesar 10 persen maka pendapatan per kapita sektor pertanian

akan meningkat sebesar 2.51 persen. Hal ini sesuai dengan kondisi pertanian yang

Page 176: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

150

ada pada daerah penelitian bahwa produksi padi bukan merupakan sumber

pendapatan satu-satunya bagi petani di daerah penelitian, tetapi masih ada sumber

pendapatan lain dari subsektor lain pada sektor pertanian.

Jumlah keterlibatan penduduk pada sektor pertanian sebagai tenaga kerja akan

mempengaruhi pendapatannya, karena pada sektor pertanian khususnya padi

sebagian besar pemilik juga ikut terlibat sebagai tenaga kerja. Penyerapan tenaga

kerja sektor pertanian mempunyai nilai elastisitas sebesar 0.3793 terhadap

pendapatan per kapita di sektor pertanian. Kurang responsifnya penyerapan tenaga

kerja terhadap pendapatan per kapita, menunjukkan bahwa produktivitas pada sektor

ini relatif rendah sehingga peningkatan penyerapan tenaga kerja kurang dibarengi

dengan peningkatan pendapatan per kapita. Kondisi ini menyebabkan sektor

pertanian menjadi kurang diminati karena kurang bisa memberikan peningkatan

pendapatan, sehingga sektor pertanian menjadi sektor yang termarginalkan dan lebih

didominasi oleh tenaga kerja dengan ketrampilan dan pendidikan yang relatif lebih

rendah.

Tabel 21. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan per Kapita Sektor Pertanian Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan Pendapatan Per Kapita Petani

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel

Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J. Panjang

INTERCEP 159.154332 7.899 0.0001 - - Intercep

PRODGAB 0.000152 4.594 0.0001 0.2515 0.2859 Produksi gabah

PSEKL -0.000459 -4.035 0.0001 -0.0740 -0.0841 Pengeluaran non pertanian

TKP 0.498065 8.129 0.0001 0.3793 0.4312 Jumlah tenaga kerja pertanian

LINCPPI 0.120290 0.450 0.6533 - -

Lag pendapatan per kapita petani

F Value Prob>F R-Square Dh

40.505 0.0001 0.548 1.954

Page 177: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

151

6.2.6. Tenaga Kerja Sektor Pertanian

Tenaga kerja sektor pertanian dipengaruhi positif oleh angkatan kerja, upah

pada sektor pertanian, areal padi dan lag tenaga kerja sektor pertanian. Angkatan

kerja merupakan jumlah penduduk usia kerja baik yang sedang bekerja maupun

yang tidak bekerja. Peningkatan angkatan kerja diikuti oleh peningkatan penyerapan

tenaga kerja pada sektor pertanian dengan nilai elastisitas sebesar 0.8211. Hal ini

karena sektor pertanian berfungsi sebagai employment of last resort (Ikhsan, 2001;

Soetrino, 1999).

Sebagai employment of last resort maka sektor pertanian dalam menyerap

tenaga kerja seiring terjadinya peningkatan angkatan kerja harus dibarengi dengan

peningkatan ketrampilan dan pendidikan, sehingga peningkatan tenaga kerja tidak

akan menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas per tenaga kerja dari sektor

tersebut.

Tabel 22 . Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Tenaga Kerja Sektor Pertanian Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat Persamaan Tenaga Kerja Pertanian

Parameter T for H0: Elastisitas Variable Estimate Parameter=0

Prob > |T| J. Pendek J. Panjang

Label Variabel

INTERCEP -10..291493 -0.196 0.8445 - - Intercep

AK 0.000330 8.752 0.0001 0.8211 1.2936 Jumlah angkatan kerja

WTKP 0.004909 1.267 0.2073 0.1939 0.3054 Upah tenaga kerja pertanian

AREAL 0.000050371 0.270 0.7873 - - Luas areal tanaman padi

PSEKP 1..240132 1.620 0.1245 0.1026 0.1616 Pengeluaran sector pertanian

LTKP 0..365210 2.485 0.0141 - - Lag jumlah tenaga kerja pertanian

F Value Prob>F R-Square Dh

25.353 0.0001 0.524 0..824

Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian bersifat inferior apabila

dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor industri maupun sektor lain, maka

mempunyai hubungan positip dengan tingkat upahnya artinya apabila upah naik

Page 178: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

152

justru penyerapan meningkat. Selain itu pada sektor pertanian tenaga kerja keluarga

ikut dominan terlibat dalam proses produksi, maka jumlah keterlibatan tenaga kerja

mempunyai hubungan positif dengan tingkat upah. Upah merupakan insentif bagi

tenaga kerja sehingga semakin besar tingkat upah maka akan meningkatkan jumlah

tenaga kerja yang terlibat pada sektor tersebut. Nilai elastisitas sebesar 0.1939

artinya apabila tingkat upah pada sektor pertanian meningkat sebesar 10 persen

maka tenaga kerja pada sektor pertanian akan meningkat sebesar 1.94 persen. Hasil

ini sesuai dengan hasil penelitian Pakasi (2005) bahwa upah pada sektor pertanian

berhubungan positif dengan tenaga kerja pada sektor peranian. Rendahnya respons

peningkatan upah terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, karena pada

sektor pertanian tingkat upah relatif konstan apabila dibanding besarnya penyerapan

tenaga kerja pada sektor tersebut. Peningkatan upah tidak responsif terhadap

penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, penambahan penyerapan tenaga kerja

pada sektor pertanian lebih dominan karena adanya penambahan angkatan kerja

sehingga terpaksa harus kerja pada sektor pertanian daripada disebabkan karena

perubahan dalam peningkatan upah.

Sebagai daerah sentra produksi pangan beras, jumlah tenaga kerja pada sektor

pertanian berhubungan positif dengan luas areal tanaman padi walaupun secara

statistik tidak signifikan. Usahatani padi merupakan matapencaharian pokok

sebagian besar penduduk sehingga besar kecilnya areal tanaman padi akan

mempengaruhi penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian.Tidak signifikan luas

areal terhadap penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, karena luas areal

tanaman padi relatif konstan pertambahannya dibanding dengan pertambahan tenaga

kerja yang terus bertambah seiring dengan bertambahnya angkatan kerja setiap

tahun.

Page 179: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

153

6.2.7. Penggunaan Pupuk

Jumlah penggunaan pupuk dipengaruhi positif areal tanaman padi, harga gabah

dan lag pemakaian pupuk, sedang harga pupuk berpengaruh negatif terhadap jumlah

pemakaian pupuk. Elastisitas permintaan pupuk terhadap harganya inelastis sebesar

-0.6015 nilai ini relatif lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Siregar (1999)

sebesar -0.97. Harga gabah merupakan insentif bagi petani, karena apabila harga

gabah naik dengan faktor lain konstan maka pendapatan petani naik sehingga petani

terinsentif untuk memproduksi gabah lebih banyak. Dengan kenaikan pendapatan

maka daya beli petani akan meningkat sehingga petani akan mampu membeli input

pupuk yang lebih banyak untuk produksi gabah karena pupuk merupakan input yang

dominan. Nilai elastisitas perubahan harga gabah terhadap permintaan pupuk

sebesar 0.1246, hasil ini lebih kecil bila dibandingkan hasil penelitian Siregar (1999)

sebesar 0.45.

Tabel 23. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Pupuk Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan Penggunaan Pupuk

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel

Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J. Panjang

INTERCEP 2547265 5.253 0.0001 - - Intercep

AREAL 38.482878 12.554 0.0001 0.9877 1.0931 Luas areal tanaman padi

PPUK -2665.41062 -5.819 0.0001 -0.6015 -0.7266 Harga pupuk

PGAB 516..228199 1.064 0.2893 0.1246 0.1505 Harga gabah LQPUK 0.172170 1.382 0.1692 - - Lag jumlah pupuk

F Value Prob>F R-Square Dh

65.118 0.0001 0.6537 2..976

Areal tanaman padi mencerminkan kondisi skala usaha pada usahatani padi

sehingga mempunyai hubungan positif dengan penggunaan pupuk, dimana areal

tanaman padi yang lebih luas juga memerlukan penggunaan pupuk yang lebih

Page 180: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

154

banyak. Nilai elastisitas sebesar 0.9877 menunjukkan bahwa apabila areal tanaman

padi meningkat 10 persen maka penggunaan pupuk akan meningkat sebesar 9.88

persen. Hal ini mencerminkan kondisi yang relatif konstan pada penggunaan pupuk

per satuan areal tanaman padi, dimana apabila areal tanaman padi berubah pada

satuan luas tertentu maka akan diikuti oleh penggunaan pupuk dengan satuan

jumlah yang proporsional.

6.2.8. Harga Gabah

Harga gabah dipengaruhi positif oleh pengeluaran pembangunan sektor

pertanian, harga pupuk, upah sektor pertanian, harga beras, dan lag harga gabah.

Harga gabah tidak mengikuti mekanisme pasar sehingga tidak dipengaruhi oleh

produksi gabah, tetapi pemerintah cenderung mengintervensi dengan penerapan

harga dasar gabah (HDG) yang selanjutnya berubah menjadi harga pembelian

pemerintah (HPP). Efektifitas HPP sangat tergantung dari ketersediaan dana yang

disediakan oleh pemerintah dalam mengendalikan harga gabah yaitu diantaranya

kemampuan bulog melakukan stok dengan membeli / menyerap gabah petani

(Simatupang dan Darmorejo, 2003; Simatupang dan Timmer, 2008).

Tabel 24. Faktor-Faktor Yan Mempengaruhi Harga Gabah Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan Harga Gabah

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel

Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J. Panjang

INTERCEP -137.84452 -10.668 0.0001 - - Intercep

PPUK 0.876850 6.768 0.0067 0.4562 0.4715 Harga pupuk

WTKP 0.015005 11.729 0.0001 0.1324 0.1368 Upah tenaga kerja pertanian

PBRS 0.489051 196.943 0.0001 0.9777 1.0106 Harga beras

PSEKP 0.000055 0.052 0.9588 - - Pengeluaran sektor pertanian

LPGAP 0.032548 3.758 0.0003 - - Lag harga gabah

F Value Prob>F R-Square Dh

14705.734 0.0001 0.9977 7.574

Page 181: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

155

Harga pupuk berhubungan positif dan signifikan terhadap harga gabah, karena

pupuk merupakan input dominan didapat petani secara tunai sehingga peningkatan

harga input pupuk akan ditransformasikan pada harga outputnya. Elastisitas harga

pupuk terhadap harga gabah inelastis menunjukkan bahwa kenaikan harga pupuk

tidak responsif terhadap perubahan harga gabah sehingga petani akan menanggung

biaya pupuk yang lebih besar apabila terjadi kenaikan harga pupuk karena tidak

diikuti oleh perubahan harga gabah yang seimbang. Harga gabah selalu

mendapatkan intervensi dari pemerintah sehingga kenaikan harga input tidak diikuti

oleh perubahan harga output yang seimbang. Hal ini membuat pendapatan petani

secara riil akan menurun karena perubahan penerimaan tidak seimbang dengan

perubahan biaya dan hal tersebut akan berdampak pada penurunan kesejahteraan

petani. Harga gabah dipengaruhi oleh harga beras berhubungan positif dengan nilai

elastisitas sebesar 0.9777 artinya apabila harga beras naik sebesar 10 persen maka

harga gabah akan naik sebesar 9.78 persen, merupakan perubahan yang mendekati

simetris / proporsional.

6.2.9. Harga Beras

Harga beras berhubungan negatif dengan produksi beras artinya apabila

produksi beras meningkat maka harga beras akan turun, hal ini sesuai dengan

fenomena ekonomi apabila produksi meningkat maka ketersediaan di pasar akan

berlebih sehingga harga akan cenderung turun. Hasil analisis secara statistik tidak

signifikan hal ini disebabkan karena harga beras tidak sepenuhnya dilepas pada

mekanisme pasar tetapi pemerintah selalu melakukan intervensi untuk menjaga

kestabilan harga beras diantaranya adalah : pemerintah akan melakukan operasi

Page 182: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

156

pasar murni (OPM) apabila harga beras cenderung naik pada batas aman, dan

pemerintah melakukan stok dan pembelian pada saat panen raya dan harga jatuh.

Tabel 25. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Harga Beras Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan Harga Beras

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel

Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J. Panjang

INTERCEP 1212.870707 5.90812 0.0001 - - Intercep

PRODBRS -0.000154 -0.3923 0.6974 - - Produksi beras

PRUTIN 0.006145 13.215 0.0001 0.4637 2.9131 Pengeluaran rutin

CADBRS -4567..9876 -1.229 03260 - - Cadangan beras nasional

LPBRS 0.840819 6.881 0.0001 - - Lag harga beras

F Value Prob>F R-Square Dh

60.379 0.0001 0.6658 2..206

Pengeluaran rutin berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga beras,

hal ini terjadi karena komponen dari pengeluaran rutin salah satunya adalah gaji

pegawai. Kenaikan gaji pegawai biasanya diikuti oleh kenaikan harga barang-barang

terutama harga makanan pokok salah satu diantaranya adalah beras. Elastisitas

pengeluaran rutin terhadap harga beras sebesar 0.4637 artinya adalah kenaikan

pengeluaran rutin sebesar 10 persen maka akan menigkatkan harga beras sebesar

4.6 persen.Cadangan beras nasional berhubungan negatif dengan harga beras,

artinya apabila cadangan beras menipis maka harga beras cenderung mengalami

peningkatan. Namun secara statistik tidak signifikan karena cadangan beras

nasional relatif stabil yang dilakukan bulog dengan cara pengelolaan stok dengan

melakukan pembelian gabah petani pada saat panen raya dan bila cadangan

berkurang dan dirasa perlu bulog akan melakukan impor beras untuk menjaga

kestabilan cadangan beras.

Page 183: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

157

6.2.10. Konsumsi Beras

Konsumsi beras dipengaruhi negatif oleh harga beras, jumlah penduduk

miskin, dummy desentralisasi fiskal, dan dipengaruhi positif oleh pendapatan per

kapita dan lag konsumsi beras. Harga beras secara signifikan berpengaruh negatif

terhadap konsumsi beras dengan elastisitas sebesar -0.0222 artinya. Kecilnya nilai

elatisitas konsumsi beras terhadap perubahan harga menunjukkan bahwa beras

merupakan makanan pokok di Jawa Barat dan belum ada barang substitusinya

yang dekat, perubahan harga hanya sedikit menurunkan konsumsi dan tidak

merubah konsumen beras untuk merubah konsumsinya dengan beralih pada barang

substitusi dari beras.

Tabel 26. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Beras Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan Konsumsi Beras

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel

Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J. Panjang

INTERCEP 14.071878 97.89 0.0001 - - Intercep

PBRS -0.000119 -2.716 0.0073 -0.0222 -0.0337 Harga beras

JMLMIS -0.002361 -6.506 0.0001 -0.0464 -0.0704 Jumlah penduduk miskin

IKAP 0.000021853 1.515 0.1321 0.0032 0.0048 Pendapatan per kapita

DMDF -0.232747 -2.334 0.0210 - - Dummy desentralisasi fiscal

LCONBRSI 0.341672 2.835 0.0053 - - Lag konsumsi beras

F Value Prob>F R-Square Dh

18.404 0.0001 0..5818 12..916

Hasil penelitian ini sesuai dengan kajian yang dilakukan Mears et al. (1981),

Teklu dan Jhohnson (1988), Suryana dan Rachman (1988), Tabor et al. (1989),

Sudaryanto dan Sayuti (1990), Sawit (1994), bahwa respons permintaan beras

terhadap perubahan harga beras negatif inelatis. Elastisitas bahan makanan pokok

lebih kecil dibanding elastisitas untuk bahan makanan mewah seperti kelompok

Page 184: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

158

sayuran, buah-buahan dan minuman. Rendahnya elastisitas harga beras memberi

petunjuk bahwa usaha mempertahankan harga beras yang rendah tidak banyak

berpengaruh terhadap permintaan. Pertumbuhan permintaan beras lebih ditentukan

oleh pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan daripada oleh perubahan

harga.

Jumlah penduduk miskin berhubungan negatif dan signifikan dengan

konsumsi beras dengan nilai elatisitas sebesar 0.0464 artinya apabila jumlah

penduduk miskin meningkat sebesar 10 persen maka konsumsi beras akan turun

sebesar 0.46 persen. Hal ini terjadi karena jumlah konsumsi beras per kapita pada

masyarakat miskin cenderung belum tercukupi sesuai kebutuhan, sehingga

peningkatan jumlah penduduk miskin akan menurunkan rata-rata konsumsi

terhadap beras per kapita. Pada masyarakat miskin makanan pokok beras juga masih

lebih banyak disubstitusi dengan pangan lain yang harganya lebih rendah, dengan

demikian maka peningkatan jumlah penduduk miskin maka akan menurunkan

konsumsi beras. Namun demikian nilai elastisitas yang kecil menunjukkan bahwa

beras masih merupakan makanan dominan bagi penduduk miskin di Jawa Barat.

Pendapatan per kapita berhubungan positif dengan konsumsi beras, hal ini

menunjukan bahwa beras masih merupakan barang normal sehingga apabila

pendapatan naik maka konsumsi beras akan naik. Fenomena ini menunjukan bahwa

kondisi masyarakat di daerah penelitian rata-rata kenaikan pendapatannya masih

digunakan untuk meningkatkan konsumsi makanan pokok beras sumber

karbohidarat walau dalam proporsi yang kecil yang ditunjukkan dengan nilai

elastisitas yang inelastis yaitu sebesar 0.1321. Hasil ini relatif lebih kecil dibanding

oleh temuan beberapa peneliti yang menemukan elastisitas pendapatan atas

permintan beras berkisar antara 0.25 sampai 0.60. Sudaryanto dan Sayuti ( 1990)

Page 185: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

159

menyebutkan bahwa beras merupakan makanan pokok dan mempunyai elastisitas

pendapatan lebih rendah dibanding makanan seperti daging, sayuran,buah-buahan

dan minuman. Mears et al. (1981) menghasilkan berbagai elastisitas permintaan

beras terhadap pendapatan berdasarkan wilayah dan golongan, untuk wilayah Luar

Jawa pada golongan masyarakat berpenghasilan rendah desa elastisitas sebesar 1.52,

rendah kota sebesar 0.96, berpenghasilan menengah desa sebesar 0.56, menengah

kota 0.35, berpenghasilan tinggi desa sebesar 0.28 dan berpenghasilan tinggi kota

sebesar 0.03.

Sedang pada wilayah Jawa pada golongan masyarakat berpenghasilan rendah

desa sebesar 0.97, rendah kota sebesar 0.37, menengah desa sebesar 0.36, menengah

kota 0.06, tinggi desa 0.13 dan tinggi kota 0.04. Pada wilayah Jawa di perkotaan

masyarakat yang tingkat pendapatannya sudah relatif tinggi kenaikan pendapatan

justru akan menurunkan konsumsi beras, karena mereka akan mensubstitusi beras

dengan pangan lain sumber protein, mineral dan vitamin.

Dummy desentralisasi fiskal bernilai negatif menunjukan bahwa pada masa

desentralisasi fiskal rata-rata tingkat konsumsi beras relatif lebih kecil. Turunnya

konsumsi beras pada daerah penelitian pada masa desentralisasi fiskal kemungkinan

disebabkan oleh: (1) turunnya konsumsi beras karena beralih pada makanan yang

lebih baik misalnya tidak hanya sumber karbohidrat tetapi juga sumber protein,

mineral dan zat-zat makanan lain bagi masyarakat golongan yang mampu, dan (2)

turun karena memang jumlah konsumsi turun yang diakibatkan oleh turunnya

kemampuan akses terhadap pangan beras bagi golongan tidak mampu. Namun

apabila dilihat pada nilai elastisitas beras terhadap perubahan pendapatan sebesar

0.13 lebih rendahnya tingkat konsumsi beras pada masa desentralisasi fiskal

Page 186: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

160

disebabkan oleh penurunan rata-rata konsumsi beras terutama oleh golongan

masyarakat berpenghasilan rendah atau golongan masyarakat miskin.

6.2.11. Konsumsi Energi

Konsumsi energi dipengaruhi positif oleh konsumsi beras, pendapatan per

kapita, dana kesehatan, dan lag konsumsi energi. Konsumsi energi merupakan

turunan dari konsumsi beras, apabila konsumsi beras meningkat maka konsumsi

energi akan meningkat karena beras merupakan sumber utama karbohidrat yang

merupakan sumber energi. Nilai elastisitas sebesar 0.8552 menunjukan bahwa

apabila konsumsi beras meningkat sebesar 10 persen maka konsumsi energi akan

meningkat sebesar 8.6 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa pola makan

penduduk di daerah penelitian sebagian besar masih didominasi oleh beras sebagai

makanan pokok, sehingga perubahan konsumsi beras dengan konsumsi energi

searah. Nilai elastisitas kurang dari satu menunjukkan bahwa selain beras masih ada

makanan lain sebagai sumber energi di dalam makanan pokok penduduk di daerah

penelitian.

Pendapatan per kapita berhubungan positif dengan konsumsi energi, hal ini

menunjukan bahwa makanan sumber energi merupakan barang normal sehingga

apabila pendapatan naik maka konsumsi energi akan naik. Kondisi masyarakat di

daerah penelitian rata-rata konsumsi energi masih di bawah angka kecukupan gizi

(AKG) sehingga apabila mengalami peningkatan pendapatan maka sebagian dari

pendapatan itu akan digunakan untuk memenuhi konsumsi energi sehingga apabila

pendapatan per kapita meningkat konsumsi energi juga meningkat. Untuk

masyarakat yang tingkat pendapatannya sudah tinggi dan rata-rata konsumsi energi

sudah melebihi standar kecukupan gizi, maka peningkatan pendapatan justru akan

Page 187: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

161

menurunkan konsumsi energi. Pada tabel 27 tersaji hasil analisis faktor-faktor yang

mempengaruhi konsumsi energi.

Tabel 27. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Energi Kabupaten di

Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan Konsumsi Energi

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel

Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J. Panjang

INTERCEP 312.989317 3..958 0.0001 - - Intercep

CONBRS 141.703236 23.822 0.0001 0.8552 0.9560 Konsumsi beras

IKAP 0.257806 2..515 0.0321 0.1535 0.1716 Pendapatan per kapita

DPKES 0.00066 0.723 0.4708 - - Pengeluaran kesehatan

LCONSENI 0.105435 1.969 0.051 - - Lag konsumsi energi

F Value Prob>F R-Square Dh

243.715 0.0001 0.8403 10.447

Dana kesehatan berhubungan positif tetapi tidak signifikan terhadap konsumsi

energi, peningkatan dana kesehatan akan meningkatkan penduduk untuk akses

terhadap pangan sumber energi. Hal ini terjadi bisa melalui program-program

penyuluhan tentang pentingnya makanan sehat dan seimbang yang diadakan oleh

dinas kesehatan, program makanan tambahan dan program sejenisnya.Variasi

peubah penjelas dapat menjelaskan variasi konsumsi energi sebesar 84.03 persen.

6.2. 12. Konsumsi Protein

Faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi konsumsi protein adalah

konsumsi energi, pendapatan per kapita, dummy desentralasi fiskal, dan konsumsi

protein tahun sebelumnya.Konsumsi energi signifikan berpengaruh positif terhadap

konsumsi protein dengan nilai elastisitas sebesar 0.7827 artinya apabila konsumsi

energi meningkat sebesar 10 persen maka konsumsi protein akan meningkat sebesar

7.8 persen. Makanan pokok penduduk di daerah penelitian mengandung komposisi

Page 188: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

162

kandungan energi dan protein yang relatif imbang, sehingga peningkatan dalam

konsumsi energi diikuti oleh peningkatan dalam konsumsi protein. Beras

mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi sebagai sumber energi disamping

juga kandungan proteinnya relatif tinggi.

Pendapatan per kapita signifikan berhubungan positif dengan konsumsi protein

hal ini menunjukkan bahwa protein merupakan barang normal atau merupakan

barang superior dari sisi nilai gizi, sehingga apabila pendapatan naik maka

peningkatan sebagian pendapatan akan digunakan untuk meningkatkan konsumsi

protein. Kondisi masyarakat di daerah penelitian rata-rata konsumsi protein masih di

bawah angka kecukupan gizi (AKG) sehingga apabila mengalami peningkatan

pendapatan maka sebagian dari pendapatan itu akan digunakan untuk memenuhi

konsumsi protein.

Tabel 28. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Protein Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan Konsumsi Protein

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel

Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J. Panjang

INTERCEP -1414..334811 -9.762 0.0001 - - Intercep

CONSENI 0.020636 12.632 0.0001 0.7827 1.5843 Lag konsumsi energi

IKAP 5..257806 2.015 00832 0..3502 0.7088 Pendapatan per kapita

JMLMIS -2.005260 -3.250 0.0001 -0.0258 -0.0522 Jumlah penduduk miskin

DMDF -4.161020 -9.657 0.0001 - - Dummy desentralisasi

LCONPROT 0.505978 5.255 0.0001 - - Lag konsumsi protein

F Value Prob>F R-Square Dh

65.325 0.0001 0.6544 1.824

Jumlah penduduk miskin berhubungan negatif dan signifikan dengan konsumsi

protein, hal ini terjadi karena jumlah konsumsi protein per kapita pada masyarakat

miskin cenderung belum tercukupi sesuai kebutuhan, sehingga peningkatan jumlah

Page 189: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

163

penduduk miskin akan menurunkan rata-rata konsumsi protein. Pada masyarakat

miskin makanan pokoknya sebagian besar sebagai sumber energi sedang kandungan

proteinnya relatif kurang karena protein merupakan zat gizi yang relatif lebih mahal.

Dummy desentralisasi fiskal bernilai negatif yang menunjukkan pada masa

densentralisasi fiskal konsumsi protein relatif lebih rendah dibanding sebelum

desentralisasi fiskal. Rendahnya konsumsi protein pada masa desentralisasi fiskal

disebabkan karena rendahnya akses masyarakat terutama dari masyarakat golongan

kurang mampu terhadap pangan hal ini juga ditunjukkan bahwa pada masa

desentralisasi fiskal konsumsi beras juga lebih rendah. Kondisi ini patut mendapat

perhatian karena dengan desentralisasi fiskal yang seharusnya memberi pengaruh

kemudahan pada masyarakat untuk bisa mengakses pangan secara seimbang justru

konsumsi protein pada masa desentralisasi fiskal relatif lebih kecil.

6.2. 13. Jumlah Penduduk Miskin

Jumlah penduduk miskin dipengaruhi signifikan oleh pengeluaran kesehatan

per penduduk miskin, pendapatan per kapita, jumlah penduduk dan lag jumlah

penduduk miskin. Sedang pengeluaran pembangunan tidak berpengaaruh signifikan

pada jumlah penduduk miskin.

Pengeluaran kesehatan per penduduk miskin berhubungan negatif dengan nilai

elastisitas sebesar -0.1078 artinya apabila jumlah pengeluaran kesehatan per

penduduk miskin meningkat sebesar 10 persen maka jumlah penduduk miskin akan

turun sebesar 1.08 persen. Dana kesehatan bagi penduduk miskin sangat diperlukan,

dan peningkatan kesehatan bagi masyarakat miskin merupakan peningkatan

produktivitasnya yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bigsten (1992) dan ILO (1976)

Page 190: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

164

yaitu pendekatan yang cocok untuk pengurangan kemiskinan adalah dengan strategi

kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan), yang

sasarannya adalah peningkatan taraf hidup masyarakat miskin karena apabila

kebutuhan dasar masyarakat miskin terpenuhi maka akan menigkatkan produktivitas

dan pendapataannya.

Tabel 29. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten

di Wilayah Provinsi Jawa Barat Persamaan jumlah penduduk miskin

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel

Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J. Panjang

INTERCEP 31.383654 1.405 0.1622 - - Intercep

DPKSMIS -1.813909 -3.225 0.0016 -0.1078 -0.1908

Pengeluaran kesehatan per penduduk miskin

IKAP -0.002598 -1.195 0.2341 -0.0192 -0.0341 Pendapatan per kapita

PPEMB -0.000032 -0.209 0.8346 - - Pengeluaran pembangunan

JMLPDK 0.171142 11.952 0.0001 1.0078 1.7831 Jumlah penduduk

LJMLMIS 0.434785 5.172 0.0001 - - Lag jumlah penduduk miskin

F Value Prob>F R-Square Dh

55.104 0.0001 0.6679 -

Pendapatan per kapita berhubungan negatif dengan elastisitas sebesar -0.0192

artinya apabila pendapatan per kapita meningkat sebesar 10 persen, maka jumlah

penduduk miskin akan berkurang sebesar 0.2 pesen. Peningkatan pendapatan per

kapita yang diikuti oleh pemerataan pendapatan akan cenderung menurunkan

penduduk miskin, karena masyarakat yang paling bawah tingkat pendapatannya juga

akan ikut terangkat bersamaan dengan peningkatan pendapatan per kapita Tetapi

peningkatan pendapatan per kapita yang tidak diikuti oleh pemerataaan, dimana

penyumbang terbesar dari pendapatan itu hanya beberapa golongan masyarakat

yang mampu justeru akan meningkatkan terjadinya kemiskinan. Nilai elastisitas

dari pendapatan per kapita yang inelastis menujukkan bahwa peningkatan

Page 191: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

165

pendapatan tidak sepenuhnya dinikmati oleh golongan masyarakat miskin, tetapi

yang menikmati justru dari golongan masyarakat mampu sehigga peningkatan

pendapatan hanya kecil sekali bisa mengurangi angka kemiskinan.

Jumlah penduduk berhubungan positif dengan jumlah penduduk miskin

dengan nilai elastisitas sebesar 1.0078 artinya apabila jumlah penduduk meningkat

sebesar 10 persen maka jumlah penduduk miskin akan meningkat sebesar 10.08

persen.

Peningkatan jumlah penduduk apabila tidak diimbangi oleh peningkatan

pendapatan dan penciptaan lapangan kerja justru menimbulkan beban sehingga akan

menyebabkan terjadinya kemiskinan. Nilai elastisitas yang elastis menunjukkan

bahwa peningkatan jumlah penduduk harus mendapat perhatian karena kenaikan

jumlah penduduk responsif terhadap jumlah kemiskinan. Dengan demikian untuk

mengurangi jumlah penduduk miskin pemerintah daerah harus mengerem

pertumbuhan penduduk dengan mengatur jumlah dan waktu kelahiran terutama bagi

golongan masyarakat tidak mampu dengan menggalakkan program keluarga

berencana (KB).

Pengeluaran pembangunan berhubungan negatif dengan jumlah penduduk

miskin, diharapkan dengan meningkatnya pengeluaran pembangunan maka akan

semakin banyak dana yang tersedia yang bisa digunakan untuk program-program

pengurangan kemiskinan. Namun dalam kenyataannya pengeluaran pembangunan

tidak signifikan mengurangi jumlah penduduk miskin. Hal ini menunjukkan bahwa

pembangunan yang dijalankan di daerah penelitian masih kurang berpihak pada

masyarakat miskin.

Page 192: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

166

6.2.14. Prevalensi Angka Anak Gizi Buruk

Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap angka anak gizi buruk

adalah konsumsi protein, pendapatan per kapita dan lag angka gizi buruk. Sedang

jumlah puskesmas, jumlah sekolah dan jumlah buta huruf tidak signifikan terhadap

angka anak gizi buruk.

Konsumsi protein berhubungan negatif dengan elastisitas sebesar -2.6763

artinya apabila konsumsi protein meningkat sebesar 10 persen maka angka gizi

buruk akan turun sebesar 26.76 persen. Protein merupakan sumber gizi yang baik

untuk pertumbuhan, apabila konsumsi protein terpenuhi maka kebutuhan gizi relatif

akan terpenuhi.

Untuk mencegah munculnya penyakit karena kekurangan gizi pada balita

maka dianjurkan terpenuhinya konsumsi protein. Nilai elastisitas yang responsif

maka dalam upaya mengurangi angka anak gizi buruk pemerintah daerah bisa

melakukan program yang mengarahkan penduduk miskin untuk sadar

mengkonsumsi pangan yang seimbang dengan kandungan protein yang tinggi

terutama bagi anak balitanya.

Tabel 30. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prevalensi Angka Anak Gizi Kurang dan Gizi Buruk Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan Anak Gizi Buruk

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel

Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J. Panjang

INTERCEP 3525.48931 9.255 0.0001 - - Intercep

CONPROT -1.006225 -2.938 0.0039 -2.6763 -4.3728 Konsumsi protein

JMLPSM -0.010427 -0.652 0.5155 - - Jumlah puskesmas

IKAP -3.025467 -4.255 0.0001 -0.0247 -0.0404 Pendapatan per kapita

JMLSKLH -2.408932 -0.821 0.4351 - - Jumlah sekolah

JMLBHRP 0.423356 1.025 0.3621 - - Jumlah penduduk buta hurup

LAGZBRK 0.387974 3.448 0.0007 - - Lag anak gizi buruk

F Value Prob>F R-Square Dh

23.874 0.0001 0.609 6..962

Page 193: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

167

Jumlah puskesmas berhubungan negatif dengan angka anak gizi buruk tetapi

tidak berpengaruh signifikan, artinya apabila jumlah puskesmas meningkat

diharapkan angka anak gizi buruk akan turun. Agar jumlah puskesmas berpengaruh

signifikan terhadap penurunan angka anak gizi buruk seharusnya setiap puskesmas

memberi pelayanan kesehatan yang baik terhadap masyarakat miskin dan bersikap

proaktif terhadap program-program yang bertujuan meningkatkan kesehatan

masyarakat miskin. Kondisi yang ada sekarang pelayanan kesehatan di puskesmas

terhadap masyarakat miskin masih kurang, sehingga keberadaan puskesmas tidak

signifikan terhadap penurunan angka anak gizi buruk.

Pendapatan per kapita berhubungan positif dan signifikan terhadap angka gizi

buruk, karena pendapatan yang rendah akan membatasi penduduk untuk bisa akses

terhadap makanan yang bergizi seimbang. Keterbatasan akses pada makanan yang

bergizi dan sehat akan menyebabkan penurunan asupan gizi terutama pada

kelompok penduduk rawan pangan yaitu balita, ibu hamil dan ibu menyusui.

Jumlah sekolah berhubungan negatif dengan angka anak gizi buruk tetapi tidak

berpengaruh signifikan, artinya apabila jumlah sekolah meningkat diharapkan

angka anak gizi buruk akan turun karena dengan bertambahnya jumlah sekolah akan

menjangkau semua penduduk untuk bisa akses terhadap pendidikan. Meningkatnya

jumlah penduduk yang bisa akses pada pendidikan akan meningkatkan

pemahamanan masyarakat terhadap pangan yang bergizi seimbang sehingga akan

menurunkan angka gizi buruk.

Jumlah penduduk buta huruf berhubungan positif dan tidak signifikan dengan

angka gizi buruk. Penduduk yang buta huruf akan lambat menerima informasi dan

pemahaman tentang makanan yang bergizi, sehingga penurunan angka buta huruf

diharapkan berdampak pada penurunan angka gizi buruk.

Page 194: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

168

6.2. 15. Angka Kematian Bayi

Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap angka kematian bayi

adalah angka anak gizi buruk, jumlah penduduk miskin, jumlah bidan, pengeluaran

kesehatan dan pendidikan dan dummy desentralisasi fiskal dan lag angka kematian

bayi. Angka anak gizi buruk berhubungan positif dengan nilai elastisitas sebesar

0.1471 artinya apabila angka gizi buruk turun sebesar 10 persen maka angka

kematian bayi akan turun sebesar 1.47 persen. Angka anak gizi buruk mencerminkan

kondisi status gizi masyarakat yang rawan pangan (balita), kondisi status gizi balita

berhubungan positif dengan tingkat kematian bayi artinya hubungan komplementer

yaitu apabila status gizi balita baik juga diikuti oleh kondisi kesehatan ibu hamil

yang baik sehingga akan berpengaruh yang baik pula pada proses kelahiran bayi.

Tabel 31. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Angka Kematian Bayi Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan Angka Kematian Bayi

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel

Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J. Panjang

INTERCEP 48.399147 15.622 0.0001 - - Intercep

AGZBRK 0.395665 4.695 0.0001 0.1471 0.2978 Angka anak gizi buruk

JMLMIS 0.021822 3.886 0.0002 0.0970 0.1598 Jumlah penduduk miskin

JMLBDN -0.010886 -1.638 0.1038 -0.0570 -0.0939 Jumlah bidan

MDKSPN -2.10E-09 -1.837 0.0684 -0.0040 -0.0066 Multiple pengeluaran kesehatan dan pendidikan

DMDF -2.399693 -1.777 0.0779 - - Dummy desentralisasi

LAKMTBY 0.392946 3.800 0.0002 - - Lag angka kematian bayi

F Value Prob>F R-Square Dh

12.246 0.0001 0.5508 1.206

Jumlah penduduk miskin berhubungan positif dengan angka kematian bayi,

karena penduduk miskin adalah penduduk yang tidak bisa mencukupi kebutuhan

dasarnya yaitu pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Sehingga

Page 195: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

169

peluang terjadinya kematian dalam proses kelahiran lebih besar, karena

kemungkinan status gizi yang tidak mendukung, pengetahuan tentang kesehatan

yang kurang juga kondisi kesehatan yang tidak terpenuhi. Nilai elastisitas sebesar

0.0970 artinya adalah apabila jumlah penduduk miskin turun sebesar 10 persen

maka angka kematian bayi akan turun sebesar 0.97 persen.

Jumlah bidan berhubungan negatif dengan angka kematian bayi, karena bidan

merupakan tenaga medis yang bertugas dalam persalinan. Semakin besar jumlah

bidan berarti semakin besar tenaga medis yang bertugas dalam persalinan sehingga

akan memperkecil angka kematian bayi dalam angka kelahiran. Setiap kenaikan

jumlah bidan sebesar 10 persen maka akan menurunkan angka kematian bayi

sebesar 0.57 persen.

Dana pengeluaran kesehatan dan pendidikan berhubungan negatif dengan

angka kematian bayi, karena semakin besar dana kesehatan dan pendidikan maka

semakin besar fasilitas yang disediakan pemerintah untuk meningkatkan kesehatan

dan pendidikan sehingga masyarakat akan semakin sadar akan kesehatan yang

akhirnya akan berpengaruh pada angka kematian bayi. Nilai elastisitas sebesar -

0.0040 artinya setiap kenaikan multiple dana kesehatan dan pendidikan sebesar 10

persen maka angka kematian bayi akan turun sebesar 0.04 persen. Kecilnya

pengaruh dari faktor ini kemumgkinan disebabkan karena adanya faktor time-lag

yaitu pengaruhnya tidak secara langsung tetapi baru beberapa tahun kemudian, atau

kemungkinan karena dananya yang relatif kecil sehingga pengaruhnya juga relatif

kecil.

Dummy desentralisasi fiskal bernilai negatif menunjukkan bahwa pada masa

desentralisasi fiskal angka kematian bayi relatif lebih kecil. Kondisi ini

menunjukkan bahwa dengan desentralisasi fiskal telah terjadi pelayanan yang relatif

Page 196: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

170

lebih baik terhadap proses persalinan akibat semakin berkembangnya pengetahuan

dan teknologi juga jumlah tenaga medis sehingga angka kematian bayi relatif lebih

kecil.

6.2. 16. Umur Harapan Hidup

Faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap umur harapan hidup

adalah konsumsi protein, pengeluaran kesehatan per penduduk miskin, angka

kematian bayi dan lag umur harapan hidup.

Konsumsi protein berhubungan positif dengan angka elastisitas sebesar 0.1123

menunjukkan bahwa apabila tingkat konsumsi protein meningkat sebesar 10 persen

maka umur harapan hidup akan meningkat sebesar 1.12 persen. Protein merupakan

zat gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan mengganti sel-sel yang rusak.

Sehingga apabila tingkat konsumsi protein berkecukupan akan mempengaruhi

kondisi kesehatan konsumen dan kondisi ini akan berpengaruh pada kondisi umur

harapan hidup seseorang.

Pengeluaran kesehatan per penduduk miskin berhubungan positif dengan umur

harapan hidup, pengeluaran kesehatan yang langsung ditujukan oleh penduduk

miskin akan langsung bisa meningkatkan kesehatan masyarakat miskin dan akan

berpengaruh pada umur harapan hidup. Nilai elastisitas sebesar 0.0081 artinya

apabila dana pengeluaran kesehatan per penduduk miskin naik sebesar 10 persen

maka umur harapan hidup akan naik sebesar 0.08 persen. Kecilnya pengaruh dana

tersebut karena adanya faktor time-lag yaitu pengaruhnya tidak langsung tetapi baru

beberapa tahun kemudian.

Angka kematian bayi berhubungan negatif dengan nilai elastisitas sebesar -

0.1353 artinya apabila angka kematian bayi turun sebesar 10 persen maka umur

Page 197: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

171

harapan hidup akan meningkat sebesar 1.35 persen. Angka kematian bayi

merupakan salah satu indikator status gizi dari golongan masyarakat rawan gizi,

apabila kondisi ini semakin baik maka akan mempengaruhi kondisi dan kualitas

SDM sehingga dalam jangka panjang akan mempengaruhi kondisi umur harapan

hidup.

Dummy desentralisasi fiskal bernilai positif menunjukkan bahwa kondisi umur

harapan hidup relatif lebih tinggi pada masa desentralisasi fiskal. Artinya

desentralisasi fiskal telah membawa perubahan pada kualitas SDM yang lebih baik

sehingga memberikan angka harapan hidup yang lebih tinggi.

Tabel 32. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Umur Harapan Hidup Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat Persamaan Usia Harapan Hidup

Elastisitas Variable Parameter

Estimate T for H0:

Parameter=0 Prob > |T| J. Pendek J. Panjang

Label Variabel

INTERCEP 65.157453 15.870 0.0001 - - Intercep

CONPROT 0.126100 1..917 0.0573 0.1123 0.1739 Konsumsi protein

DPKSMIS 0.033875 3..530 0.0006 0.0081 0.0125 Pengeluaran kesehatan per penduduk miskin

AKMBY -0.150308 -7.609 0.0001 -0.1353 -0.2095 Angka kematian bayi

DMDF 0.207502 0.576 0.5656 - - Dummy desentralisasi

LUHHDP 0.354258 3.472 0.0007 - - Lag usia harapan hidup

F Value Prob>F R-Square Dh

24.053 0.0001 0.5675 -

Page 198: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

VII. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN

DI PROVINSI JAWA BARAT

7.1. Validasi Model

Simulasi dilakukan untuk menganalisis dampak perubahan berbagai skenario

kebijakan dan faktor eksternal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di Jawa Barat.

Simulasi historis (ex-post simulation) dilakukan pada periode tahun 1995 – 2000 periode

sebelum desentralisasi dan tahun 2001 – 2005 periode masa desentralisasi fiskal, simulasi

dilakukan dengan kebijakan tunggal maupun kebijakan ganda. Sebelum melakukan

simulasi, terlebih dahulu dilakukan validasi model melalui perhitungan uji statistik

U-Theil dengan dekomposisinya UM (bias proporsi), US ( bias varian) dan UC (bias

covarian). Statistik U-Theil digunakan untuk mengevaluasi kemampuan model dalam

analisis simulasi ( Koutsoyiannis, 1977; Sitepu dan Sinaga, 2006). Nilai U-Theil berkisar

antara 0 – 1, semakin kecil nilai U- Theil menunjukkan bahwa model mempunyai daya

prediksi yang baik untuk melakukan simulasi baik simulasi historis maupun simulasi

peramalan.

Sebagaimana terlihat pada Lampiran 2, dari keseluruhan persamaan dalam model

terdapat 4 persamaan memiliki U-Theil dengan nilai diatas 0.2 namun memiliki UM ( bias

proporsi) dengan nilai nol sehingga mengindikasikan terjadinya bias namun tidak

sistemik, dan selebihnya memiliki nilai U-Theil yang kurang dari 0.2. Hasil validasi ini

menunjukkan bahwa secara umum model yang dibangun memiliki daya prediksi yang baik

untuk melakukan simulasi historis maupun simulasi peramalan ( Koutsoyiannis, 1977).

Page 199: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

173

7.2. Simulasi Historis Periode Sebelum Desentralisasi Fiskal Tahun 1995 – 2000

Simulasi dilakukan secara tunggal maupun ganda dengan perincian sebagai

berikut:

7.2.1. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Desentralisasi fiskal memberi kebebasan pada pemerintah daerah dalam menggali

potensi daerah sebagai sumber penerimaanya. Salah satu tolok ukur kemandirian

pemerintah daerah adalah kemampuannya dalam menghasilkan Penerimaan Asli Daerah

(PAD) . Dalam desentralisasi fiskal diharapkan pemerintah daerah bisa meningkatkan PAD

sebagai sumber penerimaannya. Sumber PAD yang kontribusinya paling besar pada

pemerintah daerah kabupaten di Jawa Barat adalah pajak daerah dan retribusi daerah.

Selama desentralisasi fiskal telah terjadi kenaikan penerimaan rata-rata berkisar 35 persen

akibat adanya ekstensifikasi dan intensifikasi pajak daerah dan retribusi daerah.

Peningkatan 35 persen terhadap penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah

berpengaruh pada peningkatan PAD sebesar 9.12 persen yang selanjutnya meningkatkan

penerimaan daerah dan pengeluaran daerah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran

pembangunan. Pengeluaran rutin meningkat sebesar 1.02 persen dan pengeluaran

pembangunan meningkat sebesar 0.56 persen. Peningkatan pengeluaran pembangunan

selanjutnya meningkatkan pengeluaran sektoral termasuk sektor pembangunan pertanian

meningkat sebesar 0.54 persen. Peningkatan pengeluaran sektoral termasuk sektor

pertanian meningkatkan PDRB Pertanian sebesar 0.02 persen dan PDRB sebesar 0.001

persen, kinerja ketahanan pangan (dari sisi produksi konsumsi dan pemanfaatan pangan)

serta menurunkan kemiskinan sebesar 0.0003 persen. Keterbatasan pada model ini tidak

mengakomodasi kinerja perekonomian dari sisi investasi swasta, sehingga dampak dari

Page 200: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

174

peningkatan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah hanya dilihat dari sisi

penerimaan pemerintah yang meningkat sedang dampak negatif dari peningkatan

penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang berpengaruh terhadap investasi dan

perekonomian daerah tidak bisa dilihat pengaruhnya.

Tabel 33. Dampak Kenaikan Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebesar 35 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)

REVDAE 176 483.0000 177 054.8050 571.8050 0.3240 PAD 10 163.0000 11 094.2865 931.2865 9.1635 PJKDAE 3 083.0000 4 162.0000 1 079.0500 35.0000 DALOK 92 311.0000 90 169.3848 -2 141.6152 -2.3200 PRUTIN 69 391.0000 70 101.2169 710.2169 1.0235 PPEMB 42 160.0000 42 162.3728 2.3728 0.0056 PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 1 710.0000 1719.2682 9.2682 0.5420 GDAE 111 551.0000 111 719.2682 168.2623 0.1508 KESFIS 64 932.0000 64 629.9886 -302.0114 -0.4651 PDRBP 496.2203 496.3171 0.0968 0.0195 PDRBNP 2 392.0000 2 392.0000 0.0000 0.0000 PDRB 2 888.0000 2 888.0029 0.0029 0.0001 PRODGAB 546 930.0000 547 058.0000 128.0000 0.0234 INCPPI 355.4624 355.4700 0.0076 0.0021 TKP 256.7067 256.7724 0.0657 0.0256 QPUK 5 924 984.0000 5 927 365.8440 2 381.8436 0.0402 PGAB 955.4250 955.6161 0.1911 0.0200 PRODBRS 355 505.0000 355 589.0000 84.0000 0.0236 IKAP 2.1381 2.1381 0.0000 0.0000 PBRS 1 925.0000 1 925.3420 0.3420 0.0177 CONBRS 13.1645 13.1655 0.0010 0.0076 CONSEN 2 178.0000 2 178.2350 0.2350 0.0112 CONPROT 57.4755 57.4764 0.0009 0.0016 JMLMIS 271.1851 271.1840 -0.0011 -0.0004 AGZBRK 25.0052 25.0049 -0.0003 -0.0012 AKMTBY 60.8174 60.8164 -0.0010 -0.0016 UHHDP 63.5673 63.5674 0.0001 0.0002

Page 201: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

175

7.2.2. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin sebesar 10 Persen ke Pengeluaran Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Desentralisasi fiskal berpengaruh pada peningkatan pengeluaran rutin yang cukup

signifikan, pada masa desentralisasi fiskal pengeluaran rutin berkontribusi hamper 80

persen terhadap pengeluaran daerah. Dengan melakukan efisiensi pada pembiayaan

operasional pemerintahan maka pengeluaran rutin bisa dihemat dan penghematan sebesar

10 persen dari pengeluaran rutin tersebut dialokasikan pada pengeluaran pembangunan.

Tabel 34. Dampak Relokasi Pengeluaran Rutin sebesar 10 Persen ke Pengeluaran Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 176 483.0000 176 483.0000 0.0000 0.0000 PAD 10 163.0000 10 163.0000 0.0000 0.0000 PJKDAE 3 083.0000 3 083.0000 0.0000 0.0000 DALOK 92 311.0000 92 311.0000 0.0000 0.0000 PRUTIN 69 391.0000 62 452.0000 6 959.0000 -10.0000 PPEMB 42 160.0000 49 160.7941 7 000.7941 37.3738 PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 1 710.0000 1 795.8675 85.8675 5.0215 GDAE 111 551.0000 111 551.0000 0.0000 0.0000 KESFIS 64 932.0000 64 932.0000 0.0000 0.0000 PDRBP 496.2203 501.4355 5.2152 1.0510 PDRBNP 2 392.0000 2 392.0000 0.0000 0.0000 PDRB 2 888.0000 2 893.9204 5.9204 0.2050 PRODGAB 546 930.0000 548 598.1365 1 668.1365 0.3050 INCPPI 355.4624 355.9000 0.4373 0.1230 TKP 256.7067 257.1303 0.4236 0.1650 QPUK 5 924 984.0000 5 953 601.6730 28 617.6727 0.4830 PGAB 955.4250 955.4460 0.0210 0.0022 PRODBRS 355 505.0000 356 582.1800 1 077.1800 0.3030 IKAP 2.1381 2.1449 0.0070 0.3200 PBRS 1 9 250.0000 19 269.8275 19.8275 0.1030 CONBRS 13.1645 13.1654 0.0009 0.0068 CONSEN 2 178.0000 2 178.0087 0.0087 0.0004 CONPROT 57.4755 57.4760 0.0005 0.0009 JMLMIS 271.1851 271.1802 -0.0049 -0.0018 AGZBRK 25.0052 25.0048 -0.0004 -0.0012 AKMTBY 60.8174 60.8166 -0.0008 -0.0013 UHHDP 63.5673 63.5669 0.0004 0.0007

Page 202: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

176

Relokasi pengeluaran rutin sebesar 10 persen meningkatkan pengeluaran

pembangunan sebesar 37.37 persen. Peningkatan pengeluaran pembangunan meningkatkan

pengeluaran sektoral termasuk diantaranya adalah pengeluaran sektor pertanian meningkat

sebesar 5.02 persen sehingga berdampak meningkatkan kinerja perekonomian berupa

PDRB Pertanian 1.05 persen PDRB 0.20 persen pendapatan per kapita 0.32 persen,

meningkatkan kinerja ketahanan pangan baik dari sisi produksi, konsumsi dan

pemanfaatan pangan serta menurunkan kemiskinan sebesar 0.0018 persen. Kebijakan ini

mempunyai pengaruh paling besar pada kinerja fiskal berupa meningkatnya pengeluaran

pembangunan sehingga akan mempengaruhi kinerja perekonomian.

7.2.3. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian 20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Pada skenario ini dilakukan simulasi terhadap kebijakan peningkatan pengeluaran

sektor pertanian sebesar 20 persen. Selama pelaksanaan desentralisasi fiskal proporsi

pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian relatif kecil dan cenderung terabaikan,

padahal sektor pertanian merupakan sektor dimana sebagian besar penduduk terutama di

perdesaan menggantungkan hidupnya.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran sektor pertanian

sebesar 20 persen berpengaruh pada peningkatan PDRB sektor pertanian sebesar 1.2

persen dan peningkatan produksi gabah sebesar 0.4 persen. Hal tersebut menyebabkan

terjadinya peningkatan pendapatan pada sektor pertanian sebesar 0.09 persen dan

pendapatan per kapita sebesar 0.08 persen. Peningkatan pendapatan terutama pada sektor

pertanian menyebabkan terjadinya penurunan jumlah penduduk miskin karena angka

kemiskinan banyak terjadi pada sektor tersebut. Peningkatan pendapatan dan penurunan

Page 203: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

177

jumlah penduduk miskin menyebabkan terjadinya peningkatan rata-rata konsumsi beras,

energi dan protein yang merupakan cerminan adanya peningkatan akses pangan dan

diversifikasi pangan dari sumber karbohidrat kepada pangan sumber protein.

Tabel 35. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 176 483.0000 176 485.0000 2.0000 0.0011 PAD 10 163.0000 10 164.0000 1.0000 0.0098 PJKDAE 3 083.0000 3 085.0000 2.0000 0.0649 DALOK 92 311.0000 92 310.2615 -0.7384 -0.0008 PRUTIN 69 391.0000 69 394.1919 3.1919 0.0046 PPEMB 42 160.0000 42 160.1080 0.1080 0.0005 PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 1 710.0000 2 052.0000 342.0000 20.0000 GDAE 111 551.0000 111 926.0345 375.0345 0.3362 KESFIS 64 932.0000 64 559.0000 -373.0000 -0.5744 PDRBP 496.2203 501.9607 5.7404 1.1568 PDRBNP 2 392.0000 2 392.0334 0.0335 0.0014 PDRB 2 888.0000 2 894.0012 6.0012 0.2078 PRODGAB 546 930.0000 549 104.0000 2 174.0000 0.3975 INCPP 355.4624 355.7929 0.2605 0.0930 TKP 256.7067 257.4416 0.7349 0.2863 QPUK 5 924 984.0000 5 925 025.4750 41.4748 0.0007 PGAB 955.4250 955.3399 -0.0850 -0.0089 PRODBRS 355 505.0000 356 918.1324 1 413.1324 0.3977 IKAP 2.1381 2.1399 0.0018 0.0842 PBRS 1 925.0000 1 924.0000 -1.0000 -0.0519 CONBRS 13.1645 13.1650 0.0005 0.0040 CONSEN 2 178.0000 2 178.0152 0.0152 0.0007 CONPROT 57.4755 57.4757 0.0002 0.0003 JMLMIS 271.1851 271.1729 -0.0122 -0.0045 AGZBRK 25.0052 25.0049 -0.0003 -0.0012 AKMTBY 60.8174 60.8171 -0.0003 -0.0005 UHHDP 63.5673 63.5674 0.0001 0.0002

Page 204: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

178

Hal tersebut berdampak pada penurunan angka gizi buruk dan angka kematian

bayi serta kenaikan umur harapan hidup. Akibat penurunan jumlah penduduk miskin

berdampak pula pada peningkatan penerimaan pajak dan PAD sehingga meningkatkan

penerimaan daerah. Penurunan jumlah penduduk miskin juga mengurangi beban subsidi

yang ditanggung pemerintah sehingga berpotensi pada peningkatan penerimaan daerah.

Peningkatan penerimaan daerah berdampak pada pengurangan kesenjangan fiskal sebesar

0.6 persen, sehingga akan mengurangi beban pemerintah dalam pembiayaan daerah yang

cenderung mengalami defisit. Dengan demikian pengurangan jumlah penduduk miskin dan

peningkatan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu, akan berdampak

pada kinerja fiskal daerah yang semakin baik karena beban subsidi dari pemerintah bisa

berkurang dan pendapatan dari pajak akan meningkat.

Kinerja fiskal daerah yang baik yang dicerminkan dengan meningkatnya PAD dan

penerimaan daerah serta berkurangnya kesenjangan fiskal akan berpengaruh pada kinerja

perekonomian daerah berupa peningkatan PDRB yang selanjutnya akan meningkatkan

tingkat pendapatan penduduk terutama pada sektor pertanian sehingga kemiskinan

menurun dan ketahanan pangan meningkat. Kecilnya respons kebijakan fiskal peningkatan

pengeluaran sektor pertanian terhadap kemiskinan dan indikator outcome ketahanan

pangan karena pengaruhnya tidak langsung dan harus melalui mekanisme transmisi yang

membutuhkan time lag. Hasil temuan ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Jayawinata (2005) dengan wilayah kajian Indonesia bahwa respons kebijakan makro

mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kinerja ketahanan pangan di tingkat mikro yaitu

rumah tangga dan individu. Lebih lanjut disebutkan kecilnya respons disebabkan adanya

Page 205: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

179

mekanisme transmisi dari kebijakan dari tingkat makro ke tingkat mikro sehingga

membutuhkan time lag yang panjang.

7.2.4. Dampak Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Dana Pendidikan sebesar 20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Tabel 36. Dampak Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Dana Pendidikan sebesar 20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 176 483.0000 176 484.5883 1.5883 0.0009 PAD 10 163.0000 10 163.1931 0.1931 0.0019 PJKDAE 3 083.0000 3 083.0370 0.0370 0.0012 DALOK 92 311.0000 92 310.6308 -0.3692 -0.0004 PRUTIN 69 391.0000 69 393.0817 2.0817 0.0030 PPEMB 42 160.0000 42 212.2784 0.0560 0.0012 PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 1 710.0000 1 710.0026 0.0026 0.0000 GDAE 111 551.0000 111 552.3386 1.3386 0.0012 KESFIS 64 932.0000 64 930.9610 -1.0389 -0.0016 PDRBP 496.2203 496.2431 0.0228 0.0046 PDRBNP 2 392.0000 2 392.0000 0.0000 0.0000 PDRB 2 888.0000 2 888.0347 0.0347 0.0012 PRODGAB 546 930.0000 546 975.8342 45.8342 0.0084 INCPP 355.4624 355.6622 0.1998 0.0562 TKP 256.7067 256.7244 0.0177 0.0069 QPUK 5 924 984.0000 5 925 617.973 633.9732 0.0107 PGAB 955.4250 955.4250 0.0000 0.0000 PRODBRS 355 505.0000 355 534.1514 29.1514 0.0082 IKAP 2.1381 2.1384 0.0003 0.0124 PBRS 1 925.0000 1 925.0000 0.0000 0.0000 CONBRS 13.1645 13.1656 0.0011 0.0084 CONSEN 2 178.0000 2 181.3759 3.3759 0.1550 CONPROT 57.4755 57.5362 0.0607 0.1056 JMLMIS 271.1851 271.1840 -0.0011 -0.0004 AGZBRK 25.0052 24.9443 -0.0509 -0.2435 AKMTBY 60.8174 60.7458 -0.0716 -0.1177 UHHDP 63.5673 63.6689 0.1016 0.1598

Page 206: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

180

Selama implementasi desentralisasi fiskal telah terjadi penuruna pada kualitas

pelayanan kesehatan dan pendidikan terutama bagi masyarakat golongan miskin.

Penurunan kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan disebabkan adanya perubahan

manajemen dan kelembagaan pada masa transisi pelaksanaan desentralisasi fiskal.

Meningkatnya angka gizi buruk, jumlah penduduk sangat rawan pangan dan angka

putus sekolah merupakan salah satu indikator terjadinya penurunan kualitas pelayanan

kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat. Peningkatan pengeluaran kesehatan dan

pendidikan sebesar 20 persen diharapkan bisa digunakan untuk melakukan revitalisasi

program-program kesehatan dan perbaikan pelayanan pendidikan terutama bagi golongan

penduduk miskin. Peningkatan dana kesehatan dan pendidikan berpengaruh pada

peningkatan konsumsi beras 0.0084 persen. konsumsi energi 0.1550 persen dan konsumsi

protein 0.1056 persen, selanjutnya menurunkan jumlah angka gizi buruk 0.2434 persen dan

angka kematian bayi 0.1177 persen serta meningkatkan umur harapan hidup sebesar

0.1598 persen. Peningkatan dana kesehatan dan pendidikan juga berpengaruh pada

penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0.0004 persen. Dampak paling besar dari

kebijakan ini adalah terjadinya peningkatan kinerja ketahanan pangan dari sisi konsumsi

pangan dan pemanfaatan pangan berupa derajat kesehatan masyarakat yang diproksi

dengan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup.

7.2.5. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan

dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat Pupuk merupakan input dominan pada usahatani padi dan berbeda dengan input lain

seperti tenaga kerja dan bibit, pupuk merupakan input yang harus dikeluarkan petani

dengan cara pembelian yang harus menggunakan uang tunai. Sehingga keberadaan pupuk

Page 207: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

181

dengan harga yang terjangkau dan sistem tataniaga yang baik sangat berpengaruh besar

terhadap sistem produksi usahatani padi. Pupuk juga merupakan input yang mempunyai

nilai produktivitas marginal paling tinggi dibanding input lain dalam proses produksi padi.

Harga pupuk selalu berkecenderungan mengalami kenaikan sesuai dengan kenaikan pada

proses produksinya.

Tabel 37. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 176 483.0000 176 482.4000 -0.6000 -0.00034 PAD 10 163.0000 10 162.0000 -1.0000 -0.00984 PJKDAE 3 083.0000 3 082.3525 -0.0065 -0.00021 DALOK 92 311.0000 92 311.3692 0.3692 0.00040 PRUTIN 69 391.0000 69 391.1527 0.1527 0.00022 PPEMB 42 160.0000 42 160.0379 0.0379 0.00009 PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.00000 PSEKP 1 710.0000 1 710.0021 0.0021 0.00012 GDAE 111 551.0000 111 551.0223 0.0223 0.00002 KESFIS 64 932.0000 64 932.0909 0.0909 0.00014 PDRBP 496.2203 492.5556 -3.6647 -0.73852 PDRBNP 2 392.0000 2 392.0000 0.0000 0.00000 PDRB 2 888.0000 2 884.9999 -3.0001 -0.10388 PRODGAB 546 930.0000 546 887.6500 -42.3510 -7.74340 INCPPI 355.4624 349.0249 -6.4375 -1.81102 TKP 256.7067 256.0544 -0.6522 -0.25408 QPUK 5 924 984.0000 5 406 239.0000 -518 745.0000 -8.75521 PGAB 955.4250 957.4983 2.0733 0.21700 PRODBRS 355 505.0000 327 976.0000 -27 529.0000 -7.74363 IKAP 2.1381 2.1352 -0.0029 -0.13563 PBRS 1 925.0000 1 929.0000 4.0000 0.20779 CONBRS 13.1645 13.1640 -0.0005 -0.00380 CONSEN 2 178.0000 2 177.8148 -0.1851 -0.00850 CONPROT 57.4755 57.4741 -0.0014 -0.00244 JMLMIS 271.1851 271.1855 0.0004 0.00014 AGZBRK 25.0052 25.0067 0.0015 0.00600 AKMTBY 60.8174 60.8180 0.0006 0.00099 UHHDP 63.5673 63.5670 -0.0003 -0.00047

Page 208: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

182

Bahkan ada kecenderungan bahwa trend kenaikan harga pupuk relatif lebih besar

dibanding dengan trend kenaikan harga gabah. Sehingga pemerintah selama ini masih

melakukan subsidi terhadap input pupuk bagi petani. Namun dengan semakin terbatasnya

anggaran yang dimiliki pemerintah maka pemerintah harus selektif dan efisien dalam

penggunaan anggaran termasuk dalam melakukan subsidi pupuk.

Subsidi dilakukan apabila benar-benar dibutuhkan dan memberi manfaat yang besar

bagi masyarakat dibanding dengan biaya subsidi yang dikeluarkan. Pada simulasi ini akan

dilihat bagaimana pengaruhnya apabila harga pupuk mengalami kenaikan sebesar 15

persen dari rata-rata harga yang berlaku sebagai proksi terhadap adanya penghapusan

/pengurangan subsidi pupuk bagi petani. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan

harga pupuk akan menurunkan penggunaan pupuk sebesar 8.76 persen dan hal ini akan

berpengaruh pada penurunan produksi gabah sebesar 7.74 persen dan penurunan PDRB

sektor pertanian sebesar 0.74 persen. Penurunan produksi gabah akan berpengaruh pada

penurunan pendapatan pada sektor pertanian sebesar 1.81 persen dan penurunan

pendapatan per kapita sebesar 0.14 persen. Hal ini akan berpengaruh pada peningkatan

jumlah penduduk miskin sehingga akan berdampak pada penurunan konsumsi beras,

energi, protein akibatnya akan berpengaruh pada peningkatan angka gizi buruk dan angka

kematian bayi yang selanjutnya menurunkan angka umur harapan hidup. Respons

perubahan harga pupuk terhadap produksi gabah memberi pengaruh yang lebih responsif

dibanding pengaruhnya terhadap konsumsi, jumlah kemiskinan serta outcome ketahanan

pangan. Karena perubahan harga pupuk mempengaruhi langsung penggunaan pupuk yang

merupakan input yang nilai produktivitas marginalnya besar pada usahatani padi, sehingga

berdampak langsung terhadap hasil produksi gabah dan pendapatan sektor pertanian.

Page 209: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

183

Sedang pengaruh terhadap konsumsi, kemiskinan dan outcome ketahanan pangan selain

pengaruhnya tidak langsung juga masih ada faktor lain yang ikut mempengaruhi faktor-

faktor tersebut, diantaranya tingkat daya beli, pendapatan, pendidikan individu, pelayanan

kesehatan, pelayanan pendidikan, informasi dan sosialisasi dari pemerintah.

7.2.6. Dampak Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Tabel 38. Dampak Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 176 483.0000 176 545.1220 62.1220 0.0352 PAD 10 163.0000 10 163.2845 0.2845 0.0028 PJKDAE 3 083.0000 3 084.0000 1.0000 0.0324 DALOK 92 311.0000 92 310.6308 -0.3692 -0.0004 PRUTIN 69 391.0000 69 391.9020 0.9020 0.0013 PPEMB 42 160.0000 42 161.1804 1.1804 0.0028 PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 1 710.0000 1 710.0461 0.0461 0.0027 GDAE 111 551.0000 111 555.5735 4.5735 0.0041 KESFIS 64 932.0000 64 911.8062 -20.1938 -0.0311 PDRBP 496.2203 496.7394 0.5191 0.1046 PDRBNP 2 392.0000 2 392.0143 0.0143 0.0006 PDRB 2 888.0000 2 889.0000 1.0000 0.0346 PRODGAB 546 930.0000 552 930.0000 6 000.0000 1.0970 INCPPI 355.4624 356.3743 0.9119 0.2565 TKP 256.7067 257.1798 0.4731 0.1843 QPUK 5 924 984.0000 5 998 471.5770 73.4875 1.2403 PGAB 955.4250 1 098.7387 143.3137 15.0000 PRODBRS 355 505.0000 359 404.0000 3 899.0000 1.0967 IKAP 2.1381 2.1385 0.0004 0.0187 PBRS 1 925.0000 1 926.0000 1.0000 0.0519 CONBRS 13.1645 13.1688 0.0043 0.0326 CONSEN 2 178.0000 2 178.1241 0.1241 0.0057 CONPROT 57.4755 57.4758 0.0003 0.0005 JMLMIS 271.1851 271.1835 -0.0016 -0.0006 AGZBRK 25.0052 25.0050 -0.0002 -0.0008 AKMTBY 60.8174 60.8173 -0.0001 -0.0002 UHHDP 63.5673 63.5675 0.0002 0.0004

Page 210: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

184

Kebijakan perberasan dilakukan bertujuan untuk mendorong peningkatan produksi

gabah dan peningkatan pendapatan bagi petani, selain itu juga bertujuan untuk menjamin

pasokan beras sebagai bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat dalam jumlah yang

cukup dan harga terjangkau.

Namun yang menjadi permasalahan adalah keberpihakan pemerintah terhadap

kesejahteraan para petani yang tidak maksimal bahkan cenderung terabaikan terutama

sejak segala perangkat kebijakan perberasan dilepaskan. Kebijakan harga dasar gabah

(HDG) telah digantikan oleh kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang cenderung

kurang efektif. Kenaikan harga gabah merupakan eksternalitas akibat adanya kebijakan

HPP dari pemerintah pusat. Karena keterbatasan bulog dalam menyerap gabah petani pada

saat panen raya kadang-kadang harga gabah di tingkat petani yang berlaku cenderung

lebih rendah dibanding harga yang direkomendasikan oleh pemerintah yaitu harga

pembelian pemerintah (HPP). Kenaikan harga gabah diharapkan dibarengi oleh terjadinya

proses diversifikasi pangan non beras terutama bagi penduduk berpenghasilan rendah.

Dari hasil simulasi peningkatan harga gabah sebesar 15 persen dari rata-rata harga

gabah yang berlaku menunjukkan adanya pengaruh terhadap peningkatan penggunaan

pupuk sebesar 1.24 persen dan peningkatan produksi gabah sebesar 1.10 persen serta

peningkatan PDRB sektor pertanian sebesar 0.1 persen. Sehingga berpengaruh pada

peningkatan pendapatan petani sebesar 0.26 persen serta meningkatkan pendapatan per

kapita sebesar 0.02 persen. Peningkatan pendapatan per kapita berpengaruh meningkatkan

konsumsi beras, energi dan protein dan menurunkan angka gizi buruk dan angka kematian

bayi serta meningkatkan umur harapan hidup dengan respon yang relatif kecil. Penurunan

jumlah penduduk miskin mengurangi subsidi pemerintah bagi masyarakat miskin dan akan

Page 211: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

185

meningkatkan penerimaan dari sektor pajak, sehingga akan meningkatkan PAD dan

penerimaan daerah yang selanjutnya akan meningkatkan kinerja fiskal dengan

berkurangnya kesenjangan fiskal daerah. Peningkatan harga gabah sebaiknya dibarengi

pelaksanaan diversifikasi pangan non beras.

7. 2.7. Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen dan Harga Gabah 15 Prsen

terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat Tabel 39. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen dan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 176 483.0000 176 482.4706 -0.5294 -0.0003 PAD 10 163.0000 10 162.4410 -0.5590 -0.0055 PJKDAE 3 083.0000 3 082.5264 -0.4736 -0.0154 DALOK 92 311.0000 92 321.3388 10.3388 0.0112 PRUTIN 69 391.0000 69 398.6330 7.6330 0.0110 PPEMB 42 160.0000 42 170.1184 10.1184 0.0240 PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 1 710.0000 1 710.0325 0.0325 0.0019 GDAE 111 551.0000 111 551.8924 0.8924 0.0008 KESFIS 64 932.0000 64 933.2337 1.2337 0.0019 PDRBP 496.2203 493.1298 -3.0905 -0.6228 PDRBNP 2 392.0000 2 391.4211 -0.5789 -0.0242 PDRB 2 888.0000 2 884.5509 -3.4491 -0.1194 PRODGAB 546 930.0000 512 269.9520 -34 660.0480 -6.3372 INCPP 355.4624 351.5640 -3.8983 -1.0967 TKP 256.7067 255.9717 -0.7350 -0.2863 QPUK 5 924 984.0000 5 393 957.3090 531 026.6910 -8.9625 PGAB 955.4250 1 098.7388 143.3138 15.0000 PRODBRS 355 505.0000 332 421.2426 -23 083.7574 -6.3371 IKAP 2.1381 2.1359 -0.0023 -0.1056 PBRS 1 925.0000 1 927.0000 2.0000 0.1039 CONBRS 13.1645 13.1640 -0.0005 -0.0038 CONSEN 2 178.0000 2 177.8780 -0.1220 -0.0056 CONPROT 57.4755 57.4738 -0.0017 -0.0030 JMLMIS 271.1851 271.1903 0.0052 0.0019 AGZBRK 25.0052 25.0073 0.0021 0.0083 AKMTBY 60.8174 60.8181 0.0007 0.0012 UHHDP 63.5673 63.5670 -0.0003 -0.0005

Page 212: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

186

Adanya trend kenaikan harga pupuk yang lebih tinggi terhadap trend kenaikan

harga gabah. Sehingga kebijakan peningkatan harga gabah biasanya selalu didahului oleh

adanya peningkatan harga pupuk, sehingga insentif yang diberikan pada petani tidak bisa

sampai sebagaimana yang diharapkan. Pada simulasi ini dilakukan kebijakan peningkatan

harga gabah dan harga pupuk secara bersamaan dan secara proporsional.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa adanya kombinasi antara peningkatan harga

gabah dan harga pupuk dengan proporsi yang sama berdampak pada penurunan

penggunaan pupuk sebesar 11.96 persen sehingga menurunkan produksi gabah sebesar

8.38 persen dan PDRB Pertanian sebesar 0.79 persen. Hal ini berdampak pada penurunan

pendapatan pada sektor pertanian sebesar 2.10 persen dan pendapatan per kapita sebesar

0.16 persen. Sehingga meningkatkan jumlah penduduk miskin yang selanjutnya akan

menurunkan konsumsi beras, energi dan protein. Hal ini akan berdampak meningkatkan

angka gizi buruk, angka kematian bayi serta menurunkan umur harapan hidup dengan

respons yang relatif kecil. Kecilnya angka respons tersebut karena panjangnya rangkaian

dari mekanisme transmisi yang harus dilalui oleh suatu kebijakan sehingga memerlukan

time lag yang relatif panjang.

Dari kombinasi kebijakan ini terlihat bahwa insentif dari kenaikan harga output

relatif kurang kuat pengaruhnya terhadap produksi gabah dibanding disinsentif yang

ditimbulkan oleh kenaikan harga input. Hal ini terjadi karena nilai elastisitas perubahan

harga gabah terhadap produksi gabah relatif kecil yaitu hanya sebesar 0.1540, sementara

elastisitas permintaan pupuk terhadap perubahan harga pupuk -0.6015 dan permintaan

pupuk terhadap perubahan harga gabah 0.1246.Elastisitas produksi gabah dari penggunaan

input pupuk sebesar 0.6970.

Page 213: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

187

Kebijakan peningkatan harga gabah sebaiknya harus mengakomodasi adanya

perubahan harga input terutama pupuk. Karena apabila kenaikan harga gabah masih belum

bisa mengkompensasi adanya kenaikan harga dari input pupuk, insentif yang diberikan

kepada petani masih belum bisa diterima sesuai dengan yang diharapkan. Kebijakan

peningkatan harga gabah akan tidak efektif meningkatkan produksi gabah dan pendapatan

petani apabila harga pupuk mengikutinya. Untuk itu dalam perhitungan kenaikan harga

gabah, kenaikan harga pupuk harus diperhitungkan dengan baik agar kenaikan pendapatan

petani dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Dalam rangka meningkatkan

produksi gabah instrumen subsidi harga pupuk lebih efektif dilakukan daripada instrumen

subsidi harga gabah.

7.2.8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan

Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Kebijakan fiskal yang berpihak kepada sektor pertanian dengan memberikan

kenaikan sebesar 20 persen yang direspon dengan memberikan kebijakan kenaikan harga

gabah diharapkan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan petani.

Dengan peningkatan kebijakan pada sektor pertanian akan terjadi peningkatan pada

produksi gabah dan peningkatan produksi ini biasanya akan diikuti oleh turunnya harga

gabah sehingga tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani akan sulit terwujud.

Untuk itu, kenaikan produksi akibat peningkatan pengeluaran sektor pertanian yang

direspon dengan kebijakan harga output diharapkan harga gabah tidak akan jatuh pada

saat terjadi peningkatan produksi sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan petani.

Hasil simulasi menujukkan bahwa kombinasi peningkatan pengeluaran sektor

pertanian dan harga gabah akan memberi dampak pada peningkatan PDRB Pertanian

Page 214: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

188

sebesar 1.26 persen yang lebih besar dibanding apabila kebijakan dilakukan secara tunggal.

Begitu juga pengaruhnya terhadap peningkatan produksi gabah relatif lebih besar yaitu

sebesar 1.5 persen.

Tabel 40. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 176 483.0000 176 485.0000 2.0000 0.00113 PAD 10 163.0000 10 165.0000 2.0000 0.01968 PJKDAE 3 083.0000 3 085.0000 2.0000 0.06487 DALOK 92 311.0000 92 310.8892 -0.1108 -0.00012 PRUTIN 69 391.0000 69 578.5515 187.5515 0.27403 PPEMB 42 160.0000 42 197.7205 37.7205 0.08947 PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.00000 PSEKP 1 710.0000 2 052.5000 342.0000 20.00000 GDAE 111 551.0000 111 926.0000 375.0000 0.33617 KESFIS 64 932.0000 64 559.0000 -373.0000 -0.57445 PDRBP 496.2203 502.4802 6.2599 1.26152 PDRBNP 2 392.0000 2 392.2093 0.2093 0.00875 PDRB 2 888.0000 2 895.0000 7.0000 0.24238 PRODGAB 546 930.0000 555 108.0000 8 178.0255 1.49526 INCPPI 355.4624 356.7054 1.2430 0.34969 TKP 256.7067 257.5162 0.8095 0.31535 QPUK 5 924 984.0000 5 998 474.0000 73 490.0000 1.24034 PGAB 955.4250 1 098.5760 143.2560 15.00000 PRODBRS 355 505.0000 360 820.0000 5 315.0130 1.49506 IKAP 2.1381 2.1402 0.0021 0.09822 PBRS 1 925.0000 1 926.0000 1.0000 0.05195 CONBRS 13.1645 13.1650 0.0005 0.00379 CONSEN 2 178.0000 2 178.1142 0.1142 0.00524 CONPROT 57.4755 57.4759 0.0004 0.00070 JMLMIS 271.1851 271.1729 -0.0122 -0.00450 AGZBRK 25.0052 25.0040 -0.0012 -0.00479 AKMTBY 60.8174 60.8154 -0.0020 -0.00328 UHHDP 63.5673 63.5682 0.0009 0.00136

Page 215: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

189

Hal tersebut berdampak pada kenaikan pendapatan sektor pertanian sebesar 0.35

persen dan pendapatan per kapita sebesar 0.10 persen. Sehingga meningkatkan konsumsi

beras, energi dan konsumsi protein, serta menurunkan jumlah penduduk miskin, angka gizi

buruk dan angka kematian bayi. Dan pada akhirnya meningkatkan umur harapan hidup,

nilai perubahan tersebut relatif lebih besar dibandingkan apabila kebijakan dilakukan

secara tunggal.

7.2.9. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan

Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Dana Pendidikan sebesar 20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Kebijakan fiskal yang berpihak kepada sektor pertanian dengan memberikan

kenaikan sebesar 20 persen yang dibarengi oleh peningkatan dana kesehatan dan

pendidikan sebesar 20 persen sebagai upaya untuk memperbaiki pelayanan kesehatan dan

pendidikan bagi masyarakat miskin diharapkan akan terjadi penurunan yang signifikan

terhadap tingkat kemiskinan dan meningkatkan kinerja katahanan pangan. Peningkatan

pengeluaran sektor pertanian efektif dalam meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari

sisi ketersediaan pangan dan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan efektif dalam

meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan pangan.

Gabungan dari kedua kebijakan tersebut diharapkan memberikan dampak yang saling

melengkapi sehingga akan meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari semua subsistem

dari sistem ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, daya beli, konsumsi serta

pemanfaatan pangan.

Hasil simulasi menujukkan bahwa kombinasi peningkatan pengeluaran sektor

pertanian dan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan akan memberi dampak pada

Page 216: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

190

peningkatan kinerja perekonomian berupa PDRB Pertanian sebesar 1.46 persen, produksi

gabah sebesar 0.59 persen, peningkatan konsumsi beras 0.0038 persen, energi 0.1797

persen, protein 0.1053 persen, turunnya angka gizi buruk sebesar 0.2407 prsen, angka

kematian bayi 0.1177 persen dan meningkatnya umur harapan hidup sebesar 0.1598 persen

serta menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.0045 persen.

Tabel 41. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan

Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Dana Pendidikan sebesar 20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)

REVDAE 176 483.0000 176 485.0000 2.0000 0.00113 PAD 10 163.0000 10 165.0000 2.0000 0.01968 PJKDAE 3 083.0000 3 085.0000 2.0000 0.06491 DALOK 92 311.0000 92 310.8892 -0.1108 -0.00012 PRUTIN 69 391.0000 69 398.8515 7.8515 0.01032 PPEMB 42 160.0000 42 197.7205 37.7205 0.00047 PSEKLN 40 450.0000 40 450.0000 0.0000 0.00000 PSEKP 1 710.0000 2 052.5000 342.0000 20.00000 GDAE 111 551.0000 111 926.0000 375.0000 0.33623 KESFIS 64 932.0000 64 564.0000 -368.0000 -0.56675 PDRBP 496.2203 502.0723 5.8520 1.17932 PDRBNP 2 392.0000 2 392.4093 0.4093 0.01711 PDRB 2 888.0000 2 897.0000 9.0000 0.31163 PRODGAB 546 930.0000 550 180.1258 3 250.1258 0.59425 INCPPI 355.4624 355.8454 0.3830 0.10774 TKP 256.7067 257.5162 0.8095 0.31535 QPUK 5 924 984.0000 5 927 674.0000 2 690.0000 0.48422 PGAB 955.4250 956.8765 1.4515 0.15192 PRODBRS 355 505.0000 357 621.0130 2 116.0130 0.59521 IKAP 2.1381 2.1402 0.0021 0.09822 PBRS 1 925.0000 1 926.0000 1.0000 0.05195 CONBRS 13.1645 13.1650 0.0005 0.00379 CONSEN 2 178.0000 2 181.9142 3.9142 0.17971 CONPROT 57.4755 57.5362 0.0607 0.10561 JMLMIS 271.1851 271.1729 -0.0122 -0.00450 AGZBRK 25.0052 24.9450 -0.0602 -0.24075 AKMTBY 60.8174 60.7458 -0.0716 -0.11773 UHHDP 63.5673 63.6689 0.1016 0.15983

Page 217: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

191

7.3. Simulasi Historis Periode Masa Desentralisasi Fiskal Tahun 2001 - 2005

Simulasi historis pada periode desentralisasi fiskal dilakukan pada range waktu

pada tahun 2001 – 2005. Simulasi dilakukan pada kebijakan tunggal maupun kebijakan

ganda dengan rincian sebagai berikut :

7.3.1. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebesar 35 Persen

terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Implementasi desentralisasi fiskal memberi kebebasan pada pemerintah daerah

dalam menggali potensi daerah sebagai sumber penerimaanya. Salah satu tolok ukur

kemandirian daerah adalah Penerimaan Asli Daerah (PAD). Dalam desentralisasi fiskal

diharapkan pemerintah daerah bisa meningkatkan PAD sebagai sumber penerimaannya.

Sumber PAD yang kontribusinya paling besar di daerah kabupaten di Jawa Barat adalah

pajak daerah dan retribusi daerah. Selama desentralisasi fiskal telah terjadi kenaikan

penerimaan rata-rata berkisar 35 persen akibat adanya ekstensifikasi dan intensifikasi

pajak daerah dan retribusi daerah. Peningkatan 35 persen terhadap penerimaan pajak

daerah dan retribusi daerah berpengaruh pada peningkatan PAD sebesar 9.12 persen yang

selanjutnya meningkatkan penerimaan daerah dan pengeluaran daerah baik pengeluaran

rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin meningkat sebesar 1.02 persen

dan pengeluaran pembangunan meningkat sebesar 0.08 persen. Peningkatan pengeluaran

pembangunan selanjutnya meningkatkan pengeluaran sektoral termasuk sektor

pembangunan pertanian meningkat sebesar 0.54 persen. Peningkatan pengeluaran sektoral

termasuk sektor pertanian meningkatkan PDRB Pertanian sebesar 0.02 persen dan PDRB

sebesar 0.001 persen, kinerja ketahanan pangan (dari sisi produksi konsumsi dan

pemanfaatan pangan) serta menurunkan kemiskinan sebesar 0.0006 persen. Keterbatasan

Page 218: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

192

pada model ini tidak mengakomodasi kinerja perekonomian dari sisi investasi swasta,

sehingga dampak dari peningkatan penerimaan pajak dan retribusi hanya dilihat dari sisi

penerimaan pemerintah yang meningkat sedang dampak negatif dari peningkatan

penerimaan pajak dan retribusi yang berpengaruh terhadap investasi dan perekonomian

daerah tidak bisa dilihat pengaruhnya.

Tabel 42. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebesar 35 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 475 152.0000 477 285.4325 2 133.4325 0.4490 PAD 27 839.0000 32 058.4737 4 219.4737 15.1567 PJKDAE 12 060.0000 16 281.0000 4 221.0000 35.0000 DALOK 282 803.0000 282 900.0000 97.0014 -0.0343 PRUTIN 322 286.0000 327 398.1005 5 112.1005 1.5862 PPEMB 117 005.0000 117 069.5868 64.5868 0.0552 PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 4 142.0000 4 190.2046 48.2046 1.1638 GDAE 439 291.0000 439 327.0219 36.0219 0.0082 KESFIS 35 861.0000 35 856.8760 -4.1240 -0.0115 PDRBP 592.2146 592.4876 0.2730 0.0461 PDRBNP 2 414.0000 2 414.0000 0.0000 0.0000 PDRB 3 007.0000 3 007.0631 0.0631 0.0021 PRODGAB 648 847.0000 649 298.0000 451.0000 0.0695 INCPP 362.2849 362.3820 0.0971 0.0268 TKP 292.6429 293.8275 1.1846 0.4048 QPUK 4 031 705.0000 4 052 125.5860 20 420.5858 0.5065 PGAB 1 552.0000 1 552.0000 0.0000 0.0000 PRODBRS 421 751.0000 422 043.2734 292.2734 0.0693 IKAP 1.9590 1.9590 0.0000 0.0005 PBRS 3 085.0000 3 085.0000 0.0000 0.0000 CONBRS 12.9312 12.9333 0.0021 0.0161 CONSEN 2 149.0000 2 149.0043 0.0043 0.0002 CONPROT 56.6952 56.7013 0.0061 0.0108 JMLMIS 250.6949 250.6939 -0.0010 -0.0004 AGZBRK 17.7094 17.7078 -0.0016 -0.0092 AKMTBY 54.7641 54.7616 -0.0025 -0.0046 UHHDP 65.1320 65.1325 0.0005 0.0008

Page 219: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

193

Dampak kebijakan fiskal dari sisi penerimaan dengan meningkatkan penerimaan

pajak dan retribusi responnya sangat kecil terhadap kinerja ketahanan pangan dan

kemiskinan, karena pengaruhnya tidak langsung tetapi melalui mekanisme transmisi.

Berbeda dengan kebijakan dari sisi pengeluaran akan mempengaruhi langsung pada

kinerja ketahanan pangan dan kemiskinan.

7.3.2. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin sebesar 10 Persen ke Pengeluaran Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Desentralisasi fiskal berpengaruh pada peningkatan pengeluaran rutin yang cukup

signifikan, pada masa desentralisasi fiskal pengeluaran rutin berkontribusi hampir 80

persen terhadap pengeluaran daerah. Dengan melakukan efisiensi pada pembiayaan

operasional pemerintahan maka pengeluaran rutin bisa dihemat dan penghematan sebesar

10 persen dari pengeluaran rutin tersebut dialokasikan pada pengeluaran pembangunan.

Relokasi pengeluaran rutin sebesar 10 persen meningkatkan pengeluaran

pembangunan sebesar 37.37 persen. Peningkatan pengeluaran pembangunan meningkatkan

pengeluaran sektoral termasuk diantaranya adalah pengeluaran sektor pertanian meningkat

sebesar 7.06 persen, sehingga berdampak meningkatkan kinerja perekonomian berupa

PDRB Pertanian 1.25 persen PDRB 0.26 persen pendapatan per kapita 0.35 persen,

meningkatkan kinerja ketahanan pangan baik dari sisi produksi, konsumsi dan

pemanfaatan pangan serta menurunkan kemiskinan sebesar 0.0029 persen. Kebijakan ini

mempunyai pengaruh paling besar pada kinerja fiskal berupa meningkatnya pengeluaran

pembangunan sehingga akan mempengaruhi kinerja perekonomian.

Page 220: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

194

Tabel 43. Dampak Relokasi Pengeluaran Rutin sebesar 10 Persen ke Pengeluaran Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 475 152.0000 475 152.0000 0.0000 0.0000 PAD 27 839.0000 27 839.0000 0.0000 0.0000 PJKDAE 12 060.0000 12 060.0000 0.0000 0.0000 DALOK 282 803.0000 282 803.0000 0.0000 0.0000 PRUTIN 322 286.0000 290 057.4000 -32 228.6000 -10.0000 PPEMB 117 005.0000 150 234.3317 33 229.3317 37.3739 PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 4 142.0000 4 434.4347 292. 4347 7.0602 GDAE 439 291.0000 440 397.1347 1 106.1347 0.2518 KESFIS 35 861.0000 35 842.2088 -18.7912 -0.0524 PDRBP 592.2146 599.6232 7.4086 1.2510 PDRBNP 2 414.0000 2414.0121 0.0121 0.0005 PDRB 3 007.0000 3 014.8332 7.8332 0.2605 PRODGAB 648 847.0000 652 501.9552 3 654.9552 0.5633 INCPPI 362.2849 362.7359 0.4510 0.1245 TKP 292.6429 292.7140 0.0711 0.0243 QPUK 4 031 705.0000 4 050 633.855 18 928 .8550 0.4695 PGAB 1 552.0000 1 556.0000 4.0000 0.2577 PRODBRS 421 751.0077 424 130.1051 2 379.0974 0.5641 IKAP 1.9590 1.9659 0.0060 0.3544 PBRS 3 085.0000 3 093.0000 8.0000 0.2526 CONBRS 12.9312 12.9322 0.0010 0.0077 CONSEN 2 149.0000 2 149.0107 0.0107 0.0005 CONPROT 56.6952 56.6957 0.0005 0.0009 JMLMIS 250.6949 250.6877 -0.0072 -0.0029 AGZBRK 17.7094 17.7091 -0.0003 -0.0016 AKMTBY 54.7641 54.7630 -0.0001 -0.0021 UHHDP 65.1320 65.1314 -0.0006 0.0009

7.3.3. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian 20 Persen terhadap

Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Pada skenario ini dilakukan simulasi terhadap kebijakan peningkatan pengeluaran

sektor pertanian sebesar 20 persen. Selama ini pengeluaran pemerintah pada sektor

pertanian proporsinya relatif kecil dan cenderung terabaikan, padahal sektor pertanian

Page 221: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

195

merupakan sektor dimana sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya dan sektor

pertanian juga merupakan sektor yang mempunyai keterkaitan erat dengan sektor lain.

Tabel 44. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 475 152.0000 475 157.0000 5.0000 0.0011 PAD 27 839.0000 27 843.0000 4.0000 0.0144 PJKDAE 12 060.0000 12 064.0000 4.0000 0.0332 DALOK 282 803.0000 282 802.1516 -0.8484 -0.0003 PRUTIN 322 286.0000 322 292.4457 6.4458 0.0020 PPEMB 117 005.0000 117 006.5211 1.5210 0.0013 PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 4 142.0000 4 970.4000 828.4000 20.0000 GDAE 439 291.0000 439 291.8786 0.8786 0.0002 KESFIS 35 861.0000 34 765.9844 -1 077.7306 -3.0053 PDRBP 592.2146 609.0453 16.8307 2.8420 PDRBNP 2 414.0000 2 414.0145 0.0145 0.0006 PDRB 3 007.0000 3 023.0000 16.0000 0.5321 PRODGAB 648 847.0000 655 222.0000 6 375.0000 0.9825 INCPPI 362.2849 363.2540 0.9691 0.2675 TKP 292.6429 293.5916 0.9487 0.3460 QPUK 4 031 705.0000 4 031 834.9850 129.0146 0.0032 PGAB 1 552.0000 1 551.0000 -1.0000 -0.0644 PRODBRS 421 751.0000 425 894.0000 4 143.0000 0.9823 IKAP 1.9590 1.9669 0.0079 0.4033 PBRS 3 085.0000 3 084.0000 -1.0000 -0.0324 CONBRS 12.9312 12.9319 0.0012 0.0095 CONSEN 2 149.0000 2 149.0107 0.0107 0.0005 CONPROT 56.6952 56.6957 0.0005 0.0009 JMLMIS 250.6949 250.6588 -0.0361 -0.0144 AGZBRK 17.7094 17.7089 -0.0005 -0.0028 AKMTBY 54.7641 54.7631 -0.0010 -0.0018 UHHDP 65.1320 65.1322 0.0002 0.0003

Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran sektor pertanian

sebesar 20 persen berpengaruh pada peningkatan PDRB sektor pertanian sebesar 2.84

Page 222: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

196

persen dan peningkatan produksi gabah sebesar 0.98 persen. Peningkatan PDRB pertanian

dan produksi gabah menyebabkan terjadinya peningkatan pendapatan pada sektor

pertanian sebesar 0.27 persen dan pendapatan per kapita sebesar 0.4 persen. Peningkatan

pendapatan terutama pada sektor pertanian menyebabkan terjadinya penurunan jumlah

penduduk miskin sebesar 0.01 persen karena angka kemiskinan banyak terjadi pada sektor

tersebut. Peningkatan pendapatan per kapita dan penurunan jumlah penduduk miskin

menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi beras, energi dan protein yang merupakan

cerminan adanya peningkatan akses terhadap pangan. Hal tersebut berdampak pada

penurunan angka gizi buruk dan angka kematian bayi serta kenaikan umur harapan hidup.

Akibat penurunan jumlah penduduk miskin berdampak pula pada peningkatan

penerimaan pajak dan PAD sehingga meningkatkan penerimaan daerah. Penurunan

jumlah penduduk miskin mengurangi beban subsidi yang ditanggung pemerintah dan

berpotensi pada peningkatan penerimaan daerah dari sektor pajak. Peningkatan penerimaan

daerah berdampak pada pengurangan kesenjangan fiskal sebesar 3.05 persen, sehingga

akan mengurangi beban pemerintah dalam pembiayaan daerah yang cenderung mengalami

defisit. Dengan demikian pengurangan jumlah penduduk miskin dan peningkatan

ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu, akan berdampak pada kinerja

fiskal yang semakin baik karena beban subsidi dari pemerintah bisa berkurang dan

pendapatan dari pajak akan meningkat. Kinerja fiskal yang baik yang dicerminkan oleh

meningkatnya penerimaan daerah dan berkurangnya kesenjangan fiskal akan berpengaruh

pada kinerja perekonomian daerah berupa peningkatan PDRB yang selanjutnya akan

meningkatkan tingkat pendapatan penduduk terutama pada sektor pertanian sehingga

kemiskinan menurun dan ketahanan pangan meningkat. Pengaruh ini relatif lebih responsif

Page 223: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

197

dibanding simulasi periode sebelum desentralisasi fiskal (1995 – 2000), hal ini

mengindikasikan bahwa pada periode desentralisasi fiskal (2001 – 2005) pemerintah

daerah dan masyarakat di Jawa Barat lebih respon pada perkembangan sektor pertanian

sehingga dengan simulasi yang sama tetapi lebih memberikan dampak yang relatif lebih

besar. Sesuai dengan harapan dari desentralisasi fiskal, bahwa kebijakan ini diharapkan

lebih bisa menimbulkan efisiensi dalam alokasi sumberdaya sehingga setiap dana

pembangunan yang dikeluarkan akan bisa memberi eksternalitas yang optimal pada

perkembangan perekonomian daerah.

7.3.4. Dampak Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Peresn dan Dana Pendidikan sebesar 20 Peresn terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Selama implementasi desentralisasi fiskal telah terjadi penurunan kualitas pada

pelayanan kesehatan dan pendidikan masyarakat terutama bagi masyarakat golongan

miskin. Meningkatnya angka gizi buruk, jumlah penduduk sangat rawan pangan dan angka

putus sekolah merupakan salah satu indikator terjadinya penurunan kualitas pelayanan

kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat. Peningkatan pengeluaran kesehatan dan

pendidikan sebesar 20 persen diharapkan bisa digunakan untuk melakukan revitalisasi

program-program kesehatan dan perbaikan pelayanan pendidikan terutama bagi golongan

penduduk miskin.

Peningkatan dana kesehatan dan pendidikan berpengaruh pada peningkatan

konsumsi beras, energi dan protein, selanjutnya menurunkan jumlah angka gizi buruk dan

angka kematian bayi serta meningkatkan umur harapan hidup. Peningkatan dana kesehatan

dan pendidikan juga berpengaruh pada penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0.0005

Page 224: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

198

persen. Dampak paling besar dari kebijakan ini adalah terjadinya peningkatan kinerja

ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan pangan berupa derajat kesehatan

masyarakat yang diproksi dengan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan umur

harapan hidup.

Tabel 45. Dampak Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Dana Pendidikan sebesar 20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 475 152.0000 475 156.7515 4.7515 0.0010 PAD 27 839.0000 27 842.3128 3.3128 0.0119 PJKDAE 12 060.0000 12 062.5567 2.5557 0.0212 DALOK 282 803.0000 282 801.8688 -1.1312 -0.0004 PRUTIN 322 286.0000 322 295.6686 9.6686 0.0030 PPEMB 117 005.0000 117 043.2606 38.2606 0.0327 PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 4 142.0000 4 142.2402 0.2402 0.0058 GDAE 439 291.0000 439 298.9072 7.9072 0.0018 KESFIS 35 861.0000 35 848.2213 -12.5872 -0.0351 PDRBP 592.2146 592.2478 0.0332 0.0056 PDRBNP 2 414.0000 2 414.0121 0.0121 0.0005 PDRB 3 007.0000 3 007.0361 0.0361 0.0012 PRODGAB 648 847.0000 648 901.5031 54.5031 0.0084 INCPPI 362.2849 363.0682 0.7833 0.2162 TKP 292.6429 292.7026 0.0597 0.0204 QPUK 4 031 705.0000 4 034 297.3850 2 592.3863 0.0643 PGAB 1 552.0000 1 552.7838 0.7838 0.0505 PRODBRS 421 751.0000 421 786.8488 35.8488 0.0085 IKAP 1.9590 1.9590 0.0000 0.0000 PBRS 3 084.9210 3 084.9950 0.0740 0.0024 CONBRS 12.9312 12.9472 0.0160 0.1232 CONSEN 2 149.0000 2 149.0370 0.0370 0.1847 CONPROT 56.6952 56.7664 0.0712 0.1256 JMLMIS 250.6949 250.6936 -0.0013 -0.0005 AGZBRK 17.7094 17.6486 -0.0608 -0.3434 AKMTBY 54.7641 54.5901 -0.1740 -0.3177 UHHDP 65.1320 65.3012 0.1692 0.2598

Page 225: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

199

7.3.5. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 peresn terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Harga pupuk selalu berkecenderungan mengalami kenaikan sesuai dengan kenaikan

pada proses produksinya. Bahkan ada kecenderungan bahwa trend kenaikan harga pupuk

relatif lebih besar dibanding dengan trend kenaikan harga gabah. Bagaimana pengaruhnya

apabila harga pupuk mengalami kenaikan sebesar 15 persen.

Tabel 46. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 475 152.0000 475 150.0000 -2.0000 -0.0004 PAD 27 839.0000 27 837.0000 -2.0000 -0.0071 PJKDAE 12 060.0000 12 058.0000 -2.0000 -0.0165 DALOK 282 803.0000 282 803.2262 0.2262 0.0008 PRUTIN 322 286.0000 322 288.9973 2.9973 0.0009 PPEMB 117 005.0000 117 005.2808 0.2808 0.0002 PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 4 142.0000 4 142.0372 0.0372 0.0009 GDAE 439 291.0000 439 292.4936 1.4936 0.0003 KESFIS 35 861.0000 35 863.0000 2.0000 0.0055 PDRBP 592.2146 584.8056 -7.4090 -1.2511 PDRBNP 2 414.0000 2 413.9952 -0.0048 -0.0002 PDRB 3 007.0000 2 999.0000 -8.0000 -0.2661 PRODGAB 648 847.0000 563 223.0000 -85 624.0000 -13.1963 INCPPI 362.2849 349.2700 -13.0149 -3.5924 TKP 292.6429 292.4568 -0.1861 -0.0636 QPUK 4 031 705.0000 2 982 931.0000 -1 048

774.0000 -26.0131

PGAB 1 552.0000 1 556.0000 4.0000 0.2577 PRODBRS 421 751.0000 366 095.0000 -55 656.0000 -13.1964 IKAP 1.9590 1.9538 -0.0052 -0.2654 PBRS 3 085.0000 3 093.0000 8.0000 0.2593 CONBRS 12.9312 12.9302 -0.0010 -0.0077 CONSEN 2 149.0000 2 148.9888 -0.0112 -0.0005 CONPROT 56.6952 56.6922 -0.0030 -0.0052 JMLMIS 250.6949 250.6956 0.0007 0.0003 AGZBRK 17.7094 17.7124 0.0030 0.0169 AKMTBY 54.7641 54.7653 0.0012 0.0021 UHHDP 65.1320 65.1314 -0.0006 -0.0009

Page 226: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

200

Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan harga pupuk akan menurunkan

penggunaan pupuk sebesar 26 persen dan hal ini akan berpengaruh pada penurunan

produksi gabah sebesar 13 persen dan penurunan PDRB sektor pertanian sebesar 7 persen.

Penurunan produksi gabah akan berpengaruh pada penurunan pendapatan pada sektor

pertanian sebesar 3.60 persen dan penurunan pendapatan per kapita sebesar 0.27 persen.

Hal ini akan berpengaruh pada penurunan konsumsi beras, energi dan protein serta

meningkatkan angka gizi buruk dan angka kematian bayi yang selanjutnya berpengaruh

pada penurunan umur harapan hidup. Respon perubahan harga pupuk pada periode

desentralisasi fiskal relatif lebih besar dibanding periode sebelum desentralisasi fiskal.

7.3.6. Dampak Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Kebijakan perberasan dilakukan bertujuan untuk mendorong peningkatan produksi

gabah dan peningkatan pendapatan bagi petani, selain itu juga bertujuan untuk menjamin

pasokan beras sebagai bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat dalam jumlah yang

cukup dan harga terjangkau. Namun yang menjadi permasalahan adalah keberpihakan

pemerintah terhadap kesejahteraan para petani yang tidak maksimal bahkan cenderung

terabaikan terutama sejak segala perangkat kebijakan perberasan dilepaskan. Kebijakan

harga dasar gabah telah digantikan oleh kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang

cenderung kurang efektif karena keterbatasan bulog dalam menyerap gabah petani pada

saat panen raya sehingga harga gabah di tingkat petani yang berlaku cenderung lebih

rendah dibanding harga pembelian pemerintah. Untuk itu dalam pelaksanaan desentralisasi

fiskal, diharapkan pemerintah daerah Jawa Barat mempunyai keberpihakan terhadap

kesejahteraan petani di daerahnya.

Page 227: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

201

Tabel 47. Dampak Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 475 152.0000 475 161.5030 9.5030 0.0020 PAD 27 839.0000 27 840.4476 1.4476 0.0052 PJKDAE 12 060.0000 12 061.2301 1.2301 0.0102 DALOK 282 803.0000 282 801.8688 -1.1312 -0.0004 PRUTIN 322 286.0000 322 290.1897 4.18979 0.0013 PPEMB 117 005.0000 117 006.0530 1.0530 0.0009 PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 4 142.0000 4 142.0166 0.0166 0.0004 GDAE 439 291.0000 439 295.3929 4.3929 0.0010 KESFIS 35 861.0000 35 860.8207 -0.1793 -0.0005 PDRBP 592.2146 594.0066 1.7920 0.3026 PDRBNP 2 414.0000 2 414.0000 0.0000 0.0000 PDRB 3 007.0000 3 008.0000 1.0000 0.0333 PRODGAB 648 847.0000 669 560.1428 20 713.1428 3.1923 INCPPI 362.2849 365.4332 3.1483 0.8690 TKP 292.6429 293.2316 0.5888 0.2012 QPUK 4 031 705.0000 4 285 408.1010 253 703.1005 6.2927 PGAB 1 552.0000 1 784.8000 232.8000 15.0000 PRODBRS 421 751.0000 435 214.1354 13 463.1354 3.1922 IKAP 1.9590 1.9604 0.0014 0.0715 PBRS 3 085.0000 3 087.0000 2.0000 0.0648 CONBRS 12.9312 12.9315 0.0003 0.0023 CONSEN 2 149.0000 2 149.0086 0.0086 0.0004 CONPROT 56.6952 56.6959 0.0007 0.0012 JMLMIS 250.6949 250.6934 -0.0015 -0.0006 AGZBRK 17.7094 17.7086 -0.0008 -0.0045 AKMTBY 54.7641 54.7637 -0.0004 -0.0005 UHHDP 65.1320 65.1322 0.0002 0.0003

Dari hasil simulasi peningkatan harga gabah sebesar 15 persen dari rata-rata harga

gabah yang berlaku menunjukkan adanya pengaruh terhadap peningkatan penggunaan

pupuk sebesar 6.29 persen dan peningkatan produksi gabah sebesar 3.19 persen dan

peningkatan PDRB sektor pertanian sebesar 0.30 persen. Hal tersebut berpengaruh pada

peningkatan pendapatan petani sebesar 0.87 persen serta meningkatkan pendapatan per

kapita sebesar 0.07 persen. Peningkatan pendapatan per kapita berpengaruh meningkatkan

Page 228: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

202

konsumsi beras, energi dan protein sehingga berpengaruh pada penurunan angka gizi

buruk dan angka kematian bayi serta meningkatkan umur harapan hidup dengan respon

yang relatif kecil. Respon kebijakan pada periode desentralisasi fiskal (2001 – 2005)

relatif lebih besar dibanding simulasi periode sebelum desentralisasi fiskal (1995 – 2000).

7.3.7. Dampak Peningkatan Harga Pupuk Sebesar 15 persen dan Harga Gabah 15

persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Kebijakan peningkatan harga gabah biasanya selalu didahului oleh adanya

peningkatan harga pupuk, sehingga insentif yang diberikan pada petani tidak bisa sampai

sebagaimana yang diharapkan. Pada simulasi ini akan dilakukan kebijakan peningkatan

harga gabah dan harga pupuk secara bersamaan dengan proporsi peningkatan yang sama.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa adanya kombinasi antara peningkatan harga

gabah dan harga pupuk dengan proporsi yang sama berdampak pada penurunan

penggunaan pupuk sebesar 11.96 persen sehingga menurunkan produksi gabah sebesar

8.38 persen dan PDRB Pertanian sebesar 0.79 persen. Hal ini berdampak pada penurunan

pendapatan sektor pertanian sebesar 2.10 persen dan pendapatan per kapita sebesar 0.16

persen. Sehingga menurunkan konsumsi beras dan konsumsi protein dan meningkatkan

angka gizi buruk, angka kematian bayi serta menurunkan umur harapan hidup. Dampak

simulasi pada periode desentralisasi fiskal relatif lebih besar dibanding pada periode

sebelum desentralisasi fiskal. Respon simulasi pada periode desentralisasi relatif lebih

besar dibanding pada periode sebelum desentralisasi fiskal.

Page 229: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

203

Tabel 48. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 15 Persen dan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 475 152.0000 475 147.7235 -4. 2764 -0.0009 PAD 27 839.0000 27 837.3296 -1.6703 -0.0060 PJKDAE 12 060.0000 12 059.7226 -0.2774 -0.0023 DALOK 282 803.0000 282 805.8280 2.8280 0.0010 PRUTIN 322 286.0000 322 294.3794 8.3794 0.0026 PPEMB 117 005.0000 117 006.7551 1.7551 0.0015 PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 4 142.0000 4 142.0621 0.0621 0.0015 GDAE 439 291.0000 439 296.7108 5.7108 0.0013 KESFIS 35 861.0000 35 861.6814 1.3269 0.0037 PDRBP 592.2146 587.5195 -4.6951 -0.7928 PDRBNP 2 414.0000 2 413.9926 -0.0007 -0.0003 PDRB 3 007.0000 3 003.0000 -4.0000 -0.1360 PRODGAB 648 847.0000 594 751.3279 -54 095.6721 -8.3372 INCPPI 362.2849 354.6889 -7.5960 -2.0967 TKP 292.6429 292.5405 -0.1024 -0.0350 QPUK 4 031 705.0000 3 549 412.289 -482 292.7106 -11.9625 PGAB 1 552.0000 1 784.8000 232.8000 15.0000 PRODBRS 421 751.0000 386 589.1974 -35 161.8026 -8.3371 IKAP 1.9590 1.9560 -0.0030 -0.1556 PBRS 3 085.0000 3 091.2903 6.2903 0.2039 CONBRS 12.9312 12.9306 -0.0006 -0.0047 CONSEN 2 149.0000 2 148.9656 -0.0344 -0.0016 CONPROT 56.6952 56.6926 -0.0026 -0.0046 JMLMIS 250.6949 250.7014 0.0065 0.0026 AGZBRK 17.7094 17.7111 0.0017 0.0098 AKMTBY 54.7641 54.7650 0.0009 0.0017 UHHDP 65.1320 65.1325 0.0005 0.0008

7.3.8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian 20 Persen dan Peningkatan Harga Gabah 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Provinsi Jawa Barat

Kebijakan fiskal yang berpihak kepada sektor pertanian dengan memberikan

kenaikan sebesar 20 persen yang direspon dengan memberikan kebijakan kenaikan harga

gabah diharapkan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan petani.

Page 230: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

204

Dengan peningkatan kebijakan pada sektor pertanian akan terjadi peningkatan pada

produksi gabah dan peningkatan produksi ini biasanya akan diikuti oleh turunnya harga

gabah sehingga tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani akan sulit terwujud dan

terealisasi. Untuk itu, kenaikan produksi akibat peningkatan pengeluaran sektor pertanian

yang direspon dengan kebijakan harga output diharapkan harga gabah tidak akan jatuh

pada saat terjadi peningkatan produksi sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan petani.

Tabel 49. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 475 152.0000 475 157.9869 5.9869 0.0012 PAD 27 839.0000 27 844.0000 5.0000 0.0212 PJKDAE 12 060.0000 12 065.9019 5.9019 0.0712 DALOK 282 803.0000 282 802.3213 -0.6787 -0.0002 PRUTIN 322 286.0000 322 286.0000 27.7811 0.0086 PPEMB 117 005.0000 117 050.9596 45.9596 0.0392 PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 4 142.0000 4 970.4000 828.4000 20.0000 GDAE 439 291.0000 439 555.3653 264.3653 0.0601 KESFIS 35 861.0000 35 484.2192 -376.7808 -1.0506 PDRBP 592.2146 610.8382 18.6236 3.1447 PDRBNP 2 414.0000 2 414.1562 0.1562 0.0064 PDRB 3 007.0000 3 025.0000 18.0000 0.5986 PRODGAB 648 847.0000 675 944.9919 27 097.9919 4.1763 INCPPI 362.2849 366.4038 4.1189 1.1369 TKP 292.6429 293.5286 0.8857 0.3026 QPUK 4 031 705.0000 4 285 406.8910 253 701.8910 6.2926 PGAB 1 552.0000 1 784.8000 232.8000 15.0000 PRODBRS 421 751.0000 439 365.0088 17 614.0088 4.1764 IKAP 1.9590 1.9683 0.0093 0.4747 PBRS 3 085.0000 3 088.0000 3.0000 0.0972 CONBRS 12.9312 12.9316 0.0004 0.0030 CONSEN 2 149.0000 2 149.0864 0.0864 0.0040 CONPROT 56.6952 56.6964 0.00120 0.0021 JMLMIS 250.6949 250.6589 -0.04050 -0.0162 AGZBRK 17.7094 17.7082 -0.00120 -0.0067 AKMTBY 54.7641 54.7628 -0.00130 -0.0023 UHHDP 65.1320 65.1323 0.00030 0.0004

Page 231: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

205

Hasil simulasi menujukkan bahwa kombinasi peningkatan pengeluaran sektor

pertanian dan harga gabah akan memberi dampak pada peningkatan PDRB Pertanian

sebesar 3.14 persen yang lebih besar dibanding periode sebelum desentralisasi fiskal.

Begitu juga pengaruhnya terhadap peningkatan produksi gabah relatif lebih besar yaitu

sebesar 4.18 persen. Hal tersebut berdampak pada kenaikan pendapatan sektor pertanian

sebesar 1.14 persen dan pendapatan per kapita sebesar 0.47 persen. Sehingga

meningkatkan konsumsi beras dan konsumsi protein, serta menurunkan jumlah penduduk

miskin, angka gizi buruk dan angka kematian bayi. Dan pada akhirnya meningkatkan umur

harapan hidup, nilai perubahan tersebut relatif lebih besar apabila dibandingkan pada

periode sebelum desentralisasi fiskal. Respon simulasi pada periode desentralisasi relatif

lebih besar dibanding pada periode sebelum desentralisasi fiskal.Hal ini mengindikasikan

bahwa pada periode desentralisasi fiskal telah terjadi proses yang lebih efisien sehingga

dampak kebijakan menjadi lebih signifikan dibanding sebelum desentralisasi fiskal.

7.3.9. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan

Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Pendidikan sebesar 20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Provinsi Jawa Barat

Kebijakan fiskal yang berpihak kepada sektor pertanian dengan memberikan kenaikan

sebesar 20 persen yang dibarengi oleh peningkatan dana kesehatan dan pendidikan sebesar

20 persen sebagai upaya untuk memperbaiki pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi

masyarakat miskin diharapkan akan terjadi penurunan yang signifikan terhadap tingkat

kemiskinan dan meningkatkan kinerja katahanan pangan. Peningkatan pengeluaran sektor

pertanian efektif dalam meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari sisi ketersediaan

pangan dan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan efektif dalam meningkatkan

Page 232: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

206

kinerja ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan pangan. Gabungan dari

kedua kebijakan tersebut diharapkan memberikan dampak yang saling melengkapi

sehingga akan meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari semua subsistem dari sistem

ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, daya beli, konsumsi serta pemanfaatan

pangan.

Tabel 50. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen dan Peningkatan Dana Kesehatan sebesar 20 Persen dan Dana Pendidikan sebesar 20 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%)

REVDAE 475 152.0000 475 157.9869 5.9869 0.0012 PAD 27 839.0000 27 843.0000 4.0000 0.0145 PJKDAE 12 060.0000 12 064.9019 4.9019 0.0405 DALOK 282 803.0000 282 802.3213 -0.8787 -0.0310 PRUTIN 322 286.0000 322 293.0000 7.7811 0.2414 PPEMB 117 005.0000 117 050.9596 5.9596 0.0392 PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 4 142.0000 4 970.4000 828.5000 20.0000 GDAE 439 291.0000 439 555.3653 0.9653 0.0601 KESFIS 35 861.0000 35 484.2192 -376.7808 -1.0506 PDRBP 592.2146 609.2146 17.2145 2.8716 PDRBNP 2 414.0000 2 414.2562 0.2562 0.0106 PDRB 3 007.0000 3 025.0000 18.0000 0.5986 PRODGAB 648 847.0000 655 347.0000 6 400.0000 0.9864 INCPPI 362.2849 363.4038 1.1189 0.3089 TKP 292.6429 293.6286 0.9857 0.3368 QPUK 4 031 705.0000 4 031 840.8910 135.8910 0.0071 PGAB 1 552.0000 1 551 .8600 -0.1400 -0.0090 PRODBRS 421 751.0000 425 901.0088 4 150.0088 0.9840 IKAP 1.9590 1.9674 0.0084 0.4295 PBRS 3 085.0000 3 082.0000 -3.0000 -0.0972 CONBRS 12.9312 12.9472 0.0160 0.1232 CONSEN 2 149.0000 2 149.0370 0.0370 0.1847 CONPROT 56.6952 56.7664 0.0712 0.1256 JMLMIS 250.6949 250.6553 -0.0396 -0.0158 AGZBRK 17.7094 17.6486 -0.0608 -0.3434 AKMTBY 54.9381 54.7628 -0.1740 -0.3177 UHHDP 65.3012 65.1323 0.1692 0.2598

Page 233: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

207

Hasil simulasi menunjukkan bahwa kombinasi peningkatan pengeluaran sektor

pertanian dan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan akan memberi dampak pada

peningkatan kinerja perekonomian berupa PDRB Pertanian sebesar 2.8716 persen,

produksi gabah sebesar 0.9864 persen, peningkatan kinerja ketahanan pangan dari sisi

konsumsi yaitu meningkatnya konsumsi beras 0.1232 persen, energi 0.1847 persen, protein

0.1256 persen, turunnya angka gizi buruk sebesar 0.3434 persen, angka kematian bayi

0.3177 persen dan meningkatnya umur harapan hidup sebesar 0.2598 persen serta

menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.0144 persen.

7.3.10.Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian 20 Persen dan

Peningkatan Dana Kesehatan 20 Persen dan Pendidikan 20 Persen serta Peningkatan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Kombinasi kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian, peningkatan

pengeluaran dana kesehatan dan pendidikan serta diikuti kebijakan peningkatan harga

gabah diharapkan memberikan hasil yang lebih baik terhadap peningkatan kinerja

ketahanan pangan dan penurunan kemiskinan. Dengan peningkatan pengeluaran sektor

pertanian dan peningkatan harga gabah akan memberi stimulus pada peningkatan kinerja

ketahanan pangan pada peningkatan produktivitas terutama pada peningkatan produksi

gabah dan PDRB Pertanian. Peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan pendidikan lebih

memberi stimulus pada peningkatan kinerja ketahanan pangan pada peningkatan konsumsi

energi dan protein serta derajat kesehatan masyarakat Dengan dilakukan kombinasi maka

akan terjadi peningkatan yang saling melengkapi sehingga akan meningkatan kinerja

ketahanan pangan pada sisi produksi, konsumsi dan akses serta pemanfaatan pangan.

Page 234: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

208

Tabel 51. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 Persen, Peningkatan Dana Kesehatan dan Pendidikan sebesar 20 Persen, serta Peningkatan Harga Gabah sebesar 15 Persen terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Peubah Endogen Nilai Dasar Nilai Akhir Perubahan (%) REVDAE 475 152.0000 475 157.9869 5.9869 0.0012 PAD 27 839.0000 27 843.0000 4.0000 0.0145 PJKDAE 12 060.0000 12 064.9019 4.9019 0.0405 DALOK 282 803.0000 282 802.3213 -0.8787 -0.0310 PRUTIN 322 286.0000 322 293.0000 7.7811 0.2414 PPEMB 117 005.0000 117 050.9596 5.9596 0.0392 PSEKLN 112 863.0000 112 863.0000 0.0000 0.0000 PSEKP 4 142.0000 4 970.4000 828.5000 20.0000 GDAE 439 291.0000 439 555.3653 0.9653 0.0601 KESFIS 35 861.0000 35 484.2192 -376.7808 -1.0506 PDRBP 592.2146 610.8382 18.6236 3.1447 PDRBNP 2 414.0000 2 414.2562 0.2562 0.0106 PDRB 3 007.0000 3 025.0000 18.0000 0.5986 PRODGAB 648 847.0000 676 172.0000 27 325.0000 4.2113 INCPPI 362.2849 366.5038 4.2189 1.1645 TKP 292.6429 293.6286 0.9857 0.3368 QPUK 4 031 705.0000 4 285 413.8910 253 708.8910 6.2928 PGAB 1 552.0000 1 784 .8000 232.8000 15.0000 PRODBRS 421 751.0000 439 365.0000 17 854.0000 4.2233 IKAP 1.9590 1.9728 0.0138 0.7044 PBRS 3 085.0000 3 088.0000 3.0000 0.0972 CONBRS 12.9312 12.9472 0.0160 0.1232 CONSEN 2 149.0000 2 149.0370 0.0370 0.1847 CONPROT 56.6952 56.7664 0.0712 0.1256 JMLMIS 250.6949 250.5592 -0.1360 -0.0543 AGZBRK 17.7094 17.6486 -0.0608 -0.3434 AKMTBY 54.9381 54.7628 -0.1740 -0.3177 UHHDP 65.3012 65.1323 0.1692 0.2598

7.4. Rekapitulasi Hasil Simulasi Kebijakan Potensial dalam Penurunan Kemiskinan

dan Peningkatan Ketahanan Pangan pada Implementasi Desentralisasi Fiskal di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Dari hasil berbagai simulasi yang dilakukan untuk meningkatkan ketahanan

pangan dan menurunkan kemiskinan dalam konteks desentralisasi fiskal maka didapatkan

Page 235: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

209

rekapitulasi hasil beberapa alternatif kebijakan potensial dan strategis untuk

diimplementasikan. Hasil evaluasi kebijakan post ante lebih efektif dilakukan pada

periode desentralisasi fiskal tahun 2001 – 2005 untuk itu hasil rekapitulasi hanya

menampilkan simulasi periode desentralisasi fiskal tahun 2001 – 2005. Kebijakan fiskal

dari sisi pengeluaran relatif lebih efektif pengaruhnya terhadap ketahanan pangan dan

penurunan kemiskinan dibanding kebijakan dilakukan dari sisi penerimaan. Kebijakan-

kebijakan yang potensi dan strategis tersebut adalah : (1) kebijakan realokasi pengeluaran

rutin ke pengeluaraan pembangunan, kebijakan ini dilakukan dalam rangka mendapatkan

tambahan sumber dana pembangunan yang terbatas maka perlu melakukan efisiensi

operasional pemerintahan dengan melakukan penghematan biaya rutin yang selanjutnya

disalurkan pada pengeluaran pembangunan, (2) peningkatan pengeluaran sektor pertanian,

merupakan kebijakan fiskal yang berpihak pada sektor pertanian yaitu sektor penghasil

pangan dan menyerap tenaga kerja relatif besar terutama di perdesaan dengan jumlah

penduduk miskin relatif besar, (3) peningkatan pengeluaran kesehatan dan pendidikan,

kebijakan ini efektif meningkatkan ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan

pangan, (4) kebijakan peningkatan harga pupuk dan harga gabah kebijakan ini dilakukan

dalam upaya untuk mengevaluasi efektifitas subsidi harga input dan harga output, (5)

kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian yang dibarengi kebijakan HPP dari

pemerintah pusat, (6) kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian yang dibarengi

peningkatan pengeluaran kesehatan dan pendidikan, dan (7) kombinasi kebijakan

peningkatan pengeluaran sektor pertanian, peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan

pendidikan serta peningkatan harga gabah.

Page 236: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

210

Tabel 52. Rekapitulasi Hasil Simulasi Kebijakan Potensial dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Menurunkan Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat (%)

Peubah Endogen Nilai Dasar S1

S2

S3 S4

S5 S6 S7

KINERJA FISKAL DAERAH :

Penerimaan Fiskal (Milyar Rp) 475152 0.0000 0.0011 0.0010 -0.0009 0.0012 0.0011 0.0012 Pendapatan Asli Daerah (Milyar Rp)

27839 0.0000 0.0144 0.0119 -0.0060 0.0212 0.0144 0.0145

Pajak Daerah (Milyar Rp) 12060 0.0000 0.0332 0.0212 0.0023 0.0712 0.0332 0.0405 Dana Alokasi Umum (Milyar Rp)

282803 0.0000 -0.0003 -0.0004 -0.0004 -0.0002 -0.0003 -0.0310

Pengeluaran Rutin (Milyar Rp)

322286 -10.0000 0.0020 0.0030 0.0010 0.0086 0.0020 0.2414

Pengeluaran Pembangunan (Milyar Rp)

117005 37.3739 0.0013 0.0327 0.0026 0.0393 0.0013 0.0392

Pembangunan Pertanian (Milyar Rp)

4142 16.7174 20.0000 0.0058 0.0015 20.0000 20.0000 20.0000

KINERJA PEREKONOMIAN :

PDRBP (Milyar Rp) 592.2146 1.25107 2.8420 0.0056 -0.7928 3.1447 2.8716 3.1447 PDRB (Trilyun Rp) 3007 0.2605 0.5321 0.0012 -0.1360 0.5986 0.5986 0.5986 Pendapatan Per Kapita (Juta Rp/Th)

1.959 0.3544 0.4033 0.0000 -0.1556 0.4747 0.4295 0.7044

KINERJA KETAHANAN PANGAN :

Produksi Gabah (Ton) 648847 0.5633 0.9825 0.0084 -8.3372 4.1763 0.9864 4.2113 Produksi Beras (Ton) 421751 0.5641 0.9823 0.0085 -8.3371 4.1764 0.9840 4.2233 Konsumsi Beras (Kg/ Kap/ Bl) 12.9312 0.0077 0.0095 0.1232 -0.0047 0.0031 0.1232 0.1232 Konsumsi Energi (Kkal / Kap/Hr)

2149 0.0005 0.0005 0.1847 -0.0016 0.0040 0.1847 0.1847

Konsumsi Protein (Gr/ Kap/Hr) 56.6952 0.0009 0.0009 0.1256 -0.0046 0.0021 0.1257 0.1256 Angka Gizi Buruk (%) 17.7094 -0.0016 -0.0028 -0.3434 0.0098 -0.0068 -0.3434 -0.3434 Angka Kematian Bayi (Jiwa/1000)

54.7641 -0.0021 -0.0018 -0.3177 0.0017 -0.0024 -0.3177 -0.3177

Umur Harapan Hidup (Tahun)

65.132 0.0009 0.0003 0.2598 -0.0008 0.0046 0.2598 0.2598

KEMISKINAN :

Jumlah Penduduk Miskin (Orang)

250.6949 -0.0029 -0.0144 -0.0005 0.0026 -0.0162 -0.0158 -0.0543

Pendapatan Per Kapita Pertanian( Ribu Rp)

362.2849 0.1245 0.2675 0.2162 -2.0967 1.1370 0.3089 1.1645

Keterangan : S1 : Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan S2 : Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian S3 : Peningkatan Pengeluaran Kesehatanan dan Pendidikan S4 : Peningkatan Harga Pupuk dan Harga Gabah S5 : Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Harga Gabah S6 : Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan S7 : Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian, Dana Kesehatan, Pendidikan dan Harga Gabah

Page 237: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

211

7.5. Ringkasan Hasil

Dari hasil penelitian mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan

dan ketahanan pangan, maka didapat ringkasan hasil penelitian sebagai berikut :

Desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Barat secara absolut berpengaruh pada

peningkatan penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah, namun penerimaan terbesar terjadi

pada dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (DAU dan DAK) yang

proporsinya mencapai 68 persen sedang penerimaan dari pos Pendapatan Asli Daerah

(PAD) masih kecil sehingga menimbulkan ketergantungan fiskal yang semakin besar

terhadap pemerintah pusat. Sedang struktur pengeluaran daerah didominasi oleh

pengeluaran rutin yang komponennya mencapai 77 persen, sehingga porsi dana untuk

pembangunan menjadi kecil dan terbatas.

Pada masa desentralisasi fiskal tahun 2001 – 2005 perekonomian Jawa Barat

mengalami pertumbuhan namun tingkat pertumbuhannya lebih rendah daripada

pertumbuhan ekonomi nasional, pada tahun 2006 dan 2007 pertumbuhan ekonomi Jawa

Barat mulai berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor industri mempunyai

kontribusi terbesar dalam perekonomian Jawa Barat 43.17 persen dengan laju yang relatif

tinggi 6.74 persen, namun pertumbuhan sektor industri kurang mempunyai kaitan yang

kuat dengan pertumbuhan sektor pertanian yang tumbuh sebesar 2.36 persen dengan

kontribusi sebesar 14 persen dengan komponen terbesar pada sub sektor tanaman pangan

yang mencapai 70 persen dari perolehan sektor pertanian. Dari sisi penyerapan tenaga

kerja sektor industri hanya menyerap tenaga kerja sebesar 19.68 persen sementara sektor

pertanian berkontribusi sebesar 33.72 persen.

Page 238: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

212

Pada masa desentralisasi fiskal terjadi perlambatan pada laju penurunan jumlah

penduduk miskin dan terjadi peningkatan jumlah penduduk sangat rawan pangan.

Kabupaten-kabupaten yang menjadi sentra produksi beras mempunyai tingkat kemiskinan

yang relatif lebih tinggi dengan laju penurunan jumlah penduduk miskin yang relatif lebih

lambat. Tingkat kemiskinan di Jawa Barat selalu lebih rendah dari tingkat kemiskinan

nasional.

Pada masa desentralisasi fiskal terjadi penurunan ketahanan pangan dari sisi

konsumsi yaitu terjadinya penurunan rata-rata konsumsi beras, konsumsi energi dan

konsumsi protein, namun dari sisi produksi dan ketersediaan pangan di Jawa Barat selalu

terjadi surplus ketersediaan dan peningkatan produksi beras. Surplus ketersediaan beras

terjadi pada semua kabupaten di Jawa Barat kecuali Kabupaten Bandung dan Kabupaten

Bogor, sedang untuk daerah kota semua mengalami defisit ketersediaan beras. Walaupun

terjadi banyak kendala seperti bencana alam, iklim dan alih fungsi lahan sawah yang

signifikan namun produksi padi sawah di Jawa Barat pada tahun 2001 – 2006 terus

mengalami peningkatan dengan laju peningkatan produksi sebesar 2.62 persen yang

disebabkan peningkatan laju luas panen sebesar 0.92 persen dan laju produktivitas sebesar

l.78 persen. Dari sisi pemanfaatan pangan terjadi peningkatan terhadap kinerja ketahanan

pangan (prevalensi gizi kurang dan gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan

hidup).

Model ekonometrika tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan

ketahanan pangan yang dibangun secara umum telah berhasil dirumuskan dan diestimasi

dengan baik, karena dari semua persamaan struktural yang ada nilai koefisien

determinasinya diatas 50 persen, nilai statistik F pada umumnya cukup tinggi yaitu

Page 239: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

213

berkisar antara 12.25 sampai 14705.74. Berdasarkan uji statistik t menunjukkan sebagian

besar peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural berpengaruh nyata pada taraf

kepercayan hingga 80 persen terhadap peubah endogennya dan dengan tanda parameter

yang sesuai dengan fenomena atau teori ekonomi.

Kebijakan fiskal berupa peningkatan pengeluaran pada sektor pertanian

berpengaruh signifikan pada peningkatan kinerja perekonomian daerah khususnya berupa

penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, PDRB sektor Pertanian, produksi gabah,

pendapatan petani dan pendapatan per kapita. Kinerja perekonomian daerah selanjutnya

secara signifikan mempengaruhi pengurangan jumlah penduduk miskin daerah dan kinerja

ketahanan pangan daerah berupa peningkatan rata-rata konsumsi beras, energi dan protein

per kapita serta outcome katahanan pangan daerah berupa prevalensi gizi buruk, angka

kematian bayi dan umur harapan hidup. Jumlah penduduk miskin secara signifikan

mampengaruhi kinerja fiskal daerah berupa penerimaan daerah dari sektor pajak daerah,

dimana penerimaan pajak daerah secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah penduduk

miskin, PDRB dan jumlah penduduk tidak miskin.Jumlah penduduk miskin berpengaruh

negatif terhadap penerimaan pajak daerah. Kinerja perekonomian daerah pada sektor

pertanian juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal berupa harga input, harga output

serta upah pada sektor pertanian.

Berdasarkan hasil simulasi historis menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan

pajak dan retribusi daerah berpengaruh terhadap penerimaan daerah dan selanjutnya akan

mempengaruhi pengeluaran rutin dan pembangunan, meningkatkan kinerja perekonomian

dan menurunkan kemiskinan. Kebijakan relokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran

pembangunan berpengaruh pada kinerja perekonomian, kinerja ketahanan pangan dan

Page 240: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

214

menurunkan kemiskinan. Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian

berdampak pada peningkatan PDRB sektor pertanian, produksi gabah, pendapatan sektor

pertanian, dan pendapatan per kapita. Selanjutnya meningkatkan konsumsi beras, energi

dan protein, kemudian menurunkan jumlah penduduk miskin, angka gizi buruk dan angka

kematian bayi serta meningkatkan umur harapan hidup. Selanjutnya meningkatkan kinerja

fiskal daerah melalui penurunan kesenjangan fiskal, karena penurunan jumlah penduduk

miskin berarti mengurangi beban subsidi pemerintah bagi masyarakat miskin dan

meningkatkan pendapatan dari sektor pajak.

Kebijakan peningkatan harga pupuk berdampak pada penurunan penggunaan

pupuk, penurunan produksi gabah dan penurunan PDRB sektor pertanian. Sehingga

menurunkan pendapatan pada sektor pertanian, pendapatan per kapita, konsumsi beras,

energi dan protein. Meningkatkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan

umur harapan hidup. Peningkatan harga pupuk mempunyai dampak yang besar pada

penurunan produksi gabah dan penurunan pendapatan pertanian.

Kebijakan peningkatan harga gabah berdampak pada peningkatan produksi gabah,

penggunaan pupuk, pendapatan sektor pertanian, PDRB Pertanian, pendapatan per kapita,

konsumsi beras, energi dan protein, serta menurunkan angka gizi buruk, angka kematian

bayi dan menurunkan umur harapan hidup. Dampak paling besar dari peningkatan harga

gabah adalah peningkatan produksi gabah yang didahului oleh peningkatan penggunaan

pupuk.

Kebijakan kombinasi peningkatan harga gabah dan harga pupuk dengan proporsi

yang sama memberi dampak pada penurunan penggunaan pupuk sehingga menurunkan

produksi gabah dan PDRB Pertanian. Hal ini berdampak pada penurunan pendapatan

Page 241: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

215

sektor pertanian dan pendapatan per kapita, menurunkan konsumsi beras, energi dan

protein serta meningkatkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan

umur harapan hidup. Dampak negatif dari peningkatan harga pupuk lebih dominan

dibanding dampak positif dari peningkatan harga gabah.

Kebijakan kombinasi peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan peningkatan

harga gabah memberi respon yang lebih besar dibanding apabila kebijakan dilakukan

secara tunggal. Karena dampak peningkatan produksi gabah dari peningkatan pengeluaran

sektor pertanian berpengaruh pada penurunan harga, apabila dibarengi oleh kebijakan

peningkatan harga gabah akan menghilangkan trade off negatif tersebut.

Dengan mengurangi jumlah penduduk miskin dan meningkatkan kondisi kinerja

ketahanan pangan maka akan berpengaruh pada kinerja fiskal yang selanjutnya akan

mempengaruhi kinerja perekonomian selanjutnya berpengaruh pada kinerja ketahanan

pangan dan penurunan kemiskinan. Dampak simulasi mempunyai pengaruh yang lebih

besar pada saat kebijakan dilakukan pada periode desentralisasi fiskal dibanding simulasi

dilakukan pada periode sebelum desentralisasi fiskal.

Page 242: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

8.1. Kesimpulan

Dari ringkasan hasil penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap

kemiskinan dan ketahanan pangan di Provinsi Jawa Barat, maka dapat disimpulkan sbb:

1. Desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Barat berpengaruh pada peningkatan

pembiayaan rutin yang cukup besar dan belum bisa diimbangi oleh peningkatan

pendapatan asli daerah (PAD) yang proporsional sehingga menimbulkan

ketergantungan fiskal pada pemeintah pusat dan menurunkan secara relatif anggaran

pembangunan daerah.

2. Pada masa desentralisasi fiskal di Jawa Barat terjadi penurunan kinerja ketahanan

pangan, walaupun secara makro regional produksi gabah terus meningkat,

ketersediaan beras untuk konsumsi daerah surplus namun terjadi penurunan dari sisi

konsumsi berupa rata-rata konsumsi beras, energi dan protein serta terjadi

peningkatan jumlah penduduk sangat rawan pangan dan angka penderita gizi buruk

yang disebabkan oleh penurunan akses pangan terutama pada golongan pendapatan

rendah.

3. Kebijakan fiskal daerah dari sisi penerimaan yaitu dengan meningkatkan sumber-

sumber penerimaan berupa pajak daerah dan retribusi daerah kurang memberi

pengaruh langsung terhadap kinerja ketahanan pangan dan kemiskinan.

4. Peningkatan pengeluaran sektor pertanian berdampak pada peningkatan PDRB

sektor pertanian selanjutnya meningkatkan kinerja ketahanan pangan dan

menurunkan kemiskinan serta meningkatkan kinerja fiskal daerah.

Page 243: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

217

5. Peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan pendidikan berpengaruh

meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan pangan

yaitu meningkatkan konsumsi energi dan protein serta menurunkan angka gizi buruk,

angka kematian bayi dan meningkatkan umur harapan hidup.

6. Realokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan berdampak pada

peningkatan kinerja perekonomian, kinerja ketahanan pangan dan penurunan

kemiskinan serta meningkatkan kinerja fiskal daerah.

7. Kebijakan subsidi input maupun output pada sektor pangan berupa subsidi pupuk

maupun kebijakan harga gabah berupa harga pembelian pemerintah (HPP),

berpengaruh pada peningkatan produksi gabah, peningkatan pendapatan petani,

kinerja perekonomian khususnya sektor pertanian, menurunkan kemiskinan dan

meningkatkan kinerja fiskal daerah.

8. Peningkatan harga gabah dan pupuk secara proporsional berpengaruh pada penurunan

produksi gabah, penggunaan pupuk, pendapatan sektor pertanian, menurunkan

kinerja ketahanan pangan dan meningkatkan kemiskinan serta menurunkan kinerja

fiskal.

9. Kebijakan yang pengaruhnya besar terhadap peningkatan kinerja perekonomian,

peningkatan ketahanan pangan dan penurunan kemiskinan adalah kombinasi

kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan peningkatan harga gabah

serta kombinasi peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan pengeluaran

pendidikan dan kesehatan.

10. Kebijakan yang paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan kinerja

perekonomian, peningkatan ketahanan pangan dan penurunan kemiskinan adalah

Page 244: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

218

kombinasi antara kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian, peningkatan

dana kesehatanan dan pendidikan serta peningkatan harga gabah.

8.2. Implikasi Kebijakan

Dari simulasi dan dampak yang ditimbulkan serta dari hasil pembahasan dapat

dihasilkan beberapa implikasi kebijakan dalam pembangunan daerah yang mempunyai

komitmen membangun ketahanan pangan berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan

petani, implikasi kebijakan yang disarankan adalah sebagai berikut :

1. Dalam rangka meningkatkan kinerja perekonomian daerah dan untuk mengatasi

kesenjangan fiskal pada masa desentralisasi fiskal, diharapkan pemerintah daerah

bekerja keras menggali potensi penerimaan dengan melakukan upaya fiskal yang

bisa meningkatkan penerimaan daerah sebagai sumber dana pembangunan tanpa

harus menimbulkan dampak negatif pada perekonomian. Upaya itu bisa dilakukan

dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi dalam penarikan potensi pajak

dan retribusi daerah, memberi stimulus terhadap berkembangnya sektor swasta

dengan memberi pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan iklim usaha

yang kondusif, memfasilitasi berkembangnya sumber-sumber pendanaan mandiri

bagi masyarakat, mengoptimalkan pemanfaatan dana tugas bantuan dan

dekonsentrasi dari pemerintah pusat. Sementara pemerintah pusat diharapkan

menutupi melalui pengalokasian dana alokasi dengan formula yang berkeadilan

dan mendidik supaya tidak menimbulkan kemalasan fiskal dan ketergantungan

bagi pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Dengan memberi insentif

terhadap pemerintah daerah yang berhasil menurunkan kemiskinan dan

Page 245: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

219

meningkatkan ketahanan pangan, dan melakukan disinsentif terhadap daerah yang

tidak berhasil menurunkan kemiskinan maupun meningkatkan ketahanan pangan

melalui formula transfer DAU.

2. Terjadi perlambatan laju penurunan jumlah penduduk miskin, peningkatan jumlah

penduduk sangat rawan pangan, penurunan ketahanan pangan dari sisi konsumsi

(beras, energi dan protein) serta meningkatnya angka penderita gizi buruk pada

masa desentralisasi fiskal mengisyaratkan adanya kebijakan yang kurang berpihak

pada masyarakat golongan bawah sehingga menurunkan daya belinya dan

membuat mereka tidak bisa akses terhadap pangan secara sehat. Untuk itu

sebaiknya kebijakan yang dilakukan pada masa desentralisasi fiskal memberi

kesempatan bagi golongan pendapatan rendah untuk bisa akses dalam

pembangunan dengan program padat karya di sektor pertanian pangan.

3. Peningkatan pengeluaran sektor pertanian berdampak meningkatkan kinerja

perekonomian melalui peningkatan PDRB Pertanian dan penyerapan tenaga kerja

sehingga meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Untuk itu

dalam keterbatasan dana anggaran pembangunan, pemerintah daerah harus masih

punya keberpihakan pada sektor pertanian karena sektor ini masih merupakan

tempat bergantungnya hidup sebagian besar penduduk.

4. Peningkatan harga pupuk mempunyai dampak negatif yang lebih besar dibanding

dampak positif dari peningkatan harga gabah, untuk itu pemerintah pusat dalam

menetapkan kebijakan harga gabah besaran nilai kenaikan harga gabah harus

mengakomodasi besaran nilai kenaikan harga pupuk agar kebijakan harga yang

dilakukan mencapai sasaran dan efektif meningkatkan kesejahteraan petani.

Page 246: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

220

5. Peningkatan harga pupuk mempunyai pengaruh negatif yang besar terhadap

produksi gabah, pendapatan sektor pertanian dan kemiskinan. Untuk itu pemerintah

perlu menjaga kestabilan harga dan ketersediaan pupuk melalui pengawasan

produksi dan distribusinya, sehingga pada waktu diperlukan pupuk tidak

menghilang di pasaran. Bila perlu pemerintah daerah bersama masyarakat ikut

mengawasi peredaran pupuk supaya pupuk bersubsidi sampai pada sasaran/ petani

pangan secara efektif dan efisien.

6. Peningkatan harga gabah berdampak pada peningkatan produksi dan pendapatan

petani serta meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Dalam

konteks desentralisasi fiskal, pemerintah daerah bisa mengefektifkan berlakunya

kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang dilakukan pemerintah pusat

yang sering tidak berlaku efektif dengan melakukan pembelian dan pengelolaan

stok (cadangan) beras di daerah bekerjasama dengan bulog dan masyarakat dengan

membangun fasilitas penjemuran gabah, gudang penyimpanan, pengembangan resi

gudang. Sehingga pada saat panen raya harga di petani tidak jatuh dan HPP yang

ditetapkan pemerintah pusat bisa berlaku efektif bagi petani.

7. Untuk meningkatkan produksi gabah dan pendapatan petani serta mengurangi

jumlah penduduk miskin, dan meningkatkan ketahanan pangan sebaiknya

pemerintah melakukan kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian yang

dikombinasikan dengan peningkatan harga gabah dengan mengakomodasi adanya

besaran tambahan biaya akibat peningkatan harga pupuk serta dibarengi oleh

peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan pendidikan.

Page 247: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

221

8. Meningkatnya angka gizi buruk pada era desentralisasi fiskal bisa ditanggulangi

dengan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan. Dana tersebut bisa digunakan

untuk melakukan revitalisasi peran puskesmas dan posyandu dalam melakukan

pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, menggalakan program-program yang

mengarah pada penduduk miskin bisa akses pangan secara sehat dan seimbang

kandungan gizinya terutama bagi kelompok rawan pangan yaitu balita, ibu hamil

dan menyusui dengan memberi makanan tambahan. Mengupayakan pendidikan

gratis bagi golongan penduduk miskin dan menggalakan pelatihan ketrampilan bagi

penduduk miskin di perdesaan agar tercipta kemandirian.

9. Kurang responsifnya kebijakan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin dan

peningkatan outcome kinerja ketahanan pangan, disebabkan panjangnya mata

rantai kebijakan melalui mekanisme transmisi. Untuk meningkatkan respons dari

kebijakan maka sebaiknya sasaran lebih terfokus, sehingga perlu kebijakan yang

bersifat langsung dan produktif yang ditujukan pada masyarakat miskin dan rawan

pangan khususnya pada buruh tani dan petani gurem dengan melakukan program

pendampingan pada bidang usaha pangan.

10. Penyaluran subsidi input maupun output yang langsung bisa dirasakan oleh petani

pangan masih diperlukan, begitu pula pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis

bagi masyarakat miskin juga masih perlu dilakukan dan ditingkatkan. Selain itu

juga perlu dikembangkan kerjasama antara pemerintah dan swasta, dalam upaya

penciptaan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, kompetitif dan

efisien.

Page 248: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

222

11. Walaupun tidak terformulasi dalam model, dalam rangka meningkatkan ketahanan

pangan berkelanjutan maka perlu dilakukan perbaikan- perbaikan : pengelolaan tata

ruang wilayah, pengoptimalan penggunaan lahan, perbaikan pola tanam, perbaikan

saluran irigasi, pemeliharaan dan pengoptimalan pemanfaatan waduk sebagai

sumber penyimpan air, pemanfaatan lahan tidur yang selama ini belum tergarap

serta mencegah adanya alih fungsi lahan produktif dan sawah dengan menerbitkan

perda maupun undang-undang.

12. Untuk meningkatkan produksi beras pemerintah daerah perlu mendukung kebijakan

Pemantapan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang dilakukan

pemerintah pusat dengan melakukan pengembangan rice centre pada daerah-daerah

sentra produksi beras, pengembangan kawasan estate padi sebagai lembaga bisnis

petani, pengembangan data base padi dan komoditi pangan lain dengan sistem on

line, penataan sebaran komoditi ketahanan pangan di daerah / kabupaten

berdasarkan potensi agroklimat.

13. Pemerintah perlu menumbuh kembangkan kelembagaan usaha ekonomi perdesaan

yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi perdesaan dan terciptanya

kemandirian ekonomi di perdesaan, menjaga harga gabah/ beras yang diterima

petani dalam tingkat yang wajar dan petani bisa mempunyai bargaining dengan

melakukan tunda jual pada saat harga gabah/ beras tidak menguntungkan, dan

menumbuhkan wirausaha baru di bidang perberasan.

Page 249: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

223

8.3. Saran Penelitian Lanjutan

Berdasarkan hasil dan implikasi kebijakan ada beberapa hal yang perlu

disarankan untuk penelitian lanjutan, yaitu :

1. Komoditi yang dikaji dalam model ketahanan pangan sebaiknya tidak hanya beras,

tetapi juga perlu dikembangkan dengan komoditi-komoditi pangan penting lainnya.

Selain itu juga perlu dikembangkan penelitian tentang ketahanan pangan di wilayah

lain dengan komoditi pangan unggulan masing-masing daerah, sehingga bisa

memperlancar proses terjadinya diversifikasi pangan daerah di luar pangan beras,

serta bisa menggali potensi-potensi pangan harapan.

2. Karena keterbatasan data, dalam model ini tidak mengakomodasi data tentang

infrastruktur perdesaan, irigasi, konversi lahan pertanian, input bibit dan obat-obatan,

kredit sektor pertanian. Padahal peubah-peubah tersebut punya pengaruh, sebaiknya

penelitian lanjutan dimasukkan dalam model penelitian.

3. Karena keterbatasan data, dalam model ini tidak mengakomodasi sumber-sumber

penerimaan fiskal daerah dari dana dekonsentrasi maupun sumber-sumber

permodalan lain berupa dana pinjaman daerah, dana kerjasama dengan pihak ketiga

yang merupakan hasil upaya fiskal daerah. Padahal sumber penerimaan tersebut

berpengaruhnya terhadap ketahanan pangan dan kemiskinan, pada penelitian lanjutan

disarankan untuk mengakomodasi sumber-sumber penerimaan tersebut sebagai hasil

dari upaya fiskal daerah kedalam model.

4. PDRB sektor pertanian dalam penelitian ini tidak diagregasi berdasarkan

subsektornya, sebaiknya perilakunya dipisah berdasarkan subsektor yaitu subsektor

Page 250: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

224

bahan makanan, peternakan, perkebunan, perikanan, dan kehutanan sehingga perilaku

masing-masing subsektor bisa diketahui dan kebijakan yang disarankan lebih fokus.

5. Karena keterbatasan data, pengeluaran dana pembangunan dalam model kurang bisa

dipisahkan secara rinci berdasarkan pengeluaran sektoral maupun subsektoralnya

dalam persamaan perilaku. Penelitian lanjutan perlu dilakukan pemisahan lebih rinci

dalam persamaan perilaku agar bisa diketahui perilakunya masing-masing dan

memperluas pilihan skema kebijakan dengan intrumen fiskal dari sisi pengeluaran.

6. Indikator kemiskinan dalam model penelitian ini diproksi dengan jumlah penduduk

yang berada dibawah garis kemiskinan berdasarkan kriteria BPS, sebaiknya perlu

dikembangkan indikator kemiskinan lain yang lebih luas seperti : kedalaman

kemiskinan, indek kemiskinan dan lain-lain.

7. Indikator kinerja ketahanan pangan dalam model sebaiknya bisa dikembangkan lagi

yang lebih luas baik pada subsistem produksi, distribusi, konsumsi pangan, serta

pada indikator outcome ketahanan pangan, seperti ketersediaan energi, protein,

jumlah penduduk sangat rawan pangan, balita dengan berat badan di bawah standar,

jumlah wanita buta huruf, IPM dan lainnya.

Page 251: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

DAFTAR PUSTAKA

Asra, A. 2000. Poverty and Inequality in Indonesia : Estimates, Decomposition and Key Issues. Journal of the Asia Fasific Economy, 5(2) : 91 – 111.

Ariani, M., H.P. Saliem, G.S. Hardono dan T.B. Purwatini.. 2007. Wilayah Rawan

Pangan dan Gizi Kronis di Papua, Kalimantan Barat dan Jawa Timur. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.

Adelman, I. and S. Robinson. 1978. Income Distribition Policy in Developing Countries

A Case Study of Korea. Oxford University Press, Oxford. Alla, A. B. 1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Liberty, Jogjakarta. Arisandi, T. 2000. Peranan DAU dalam Menciptakan Pemerataan dan Keadilan Antar

Daerah. Pemeriksa, 84 : 6 -7. Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2000 – 2004. Neraca Bahan Makanan Indonesia (1999

– 2004). Badan Bimas dan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Badan Ketahanan Pangan.2005a. Kebijakan Umum Pemantapan Ketahanan Pangan

Nasional. Badan Ketahanan Pangan.Departemen Pertanian, Jakarta. ______________________.2005b. A Food Insecurity Atlas of Indonesia. Badan

Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian, Jakarta. _____________________.2006. Pedoman Umum Program Aksi Desa Mandiri Pangan.

Badan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1996. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik,

Jakarta. __________________. 1999. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik,

Jakarta. __________________. 2002. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik,

Jakarta. Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2004/ 2005. Jawa Barat dalam Angka. Badan Pusat

Statistik Provinsi Jawa Barat, Bandung.

Page 252: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

226

Baliwati, Y.F. 2001. Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Desa Sukajadi Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Berg, A. 1981. Malnoutrished People a Policy View, Poverty, and Basic Need. Series

World Bank, Washington. Bigsten, A.1992. Kemiskinan, Ketimpangan dan Pembangunan. Dalam : Gemmell (Eds).

Ilmu Ekonomi Pembangunan Beberapa Survai. Lembaga Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Boediono. 1990. Elastisitas Permintaan untuk Berbagai Barang di Indonesia : Penerapan

Metode Frisch, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 26(3): 345 -363. Braun, V. J. and U. Grote. 2002. Does Decentralization Serve the Poor?. In : Ahmad and

Tanzi (Eds). Managing Fiscal Decentralization. Routledge Studies in the Modern World Economy, London and New York.

Brodjonegoro, B. 2001. Fiscal Decentralization in Indonesia. The Institute of Economics

and Social Research and The Graduate Program of Economics, University of Indonesia, Jakarta.

______________,A.Hendranata dan R.M.Quina. 2001. Model Ekonometrika

Desentralisasi : Analisa Dampak Alokasi SDA dan DAU terhadap Pemerataan dan Pertumbuhan Ekonomi Antar Daerah. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Capuno, J.J. 2001. Estimating the Income Elasticity of Local Government Revenue and

Expenditure in the Philippines under Decentralization. Paper presented at The 3nd IRSA International Conference: Indonesia ‘s Sustainable Development in Decentralization Era. 20 – 21 Maret 2001, Jakarta.

Chenery, H.B., M.S.Ahluwalia, C.L.G.Bell, J.H. Duloy and R. Jolly. 1974. Reditribution

with Growth. Oxford University Press, London.

Departemen Dalam Negeri. 2002a. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Tentang Pemerintahan Daerah. Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

______________________. 2002b. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999. Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

Page 253: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

227

Departemen Keuangan. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2004. Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2007. Database Tanaman Pangan di Provinsi Jawa Barat. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Bandung.

Donalson, L.1984. Economic Development Analysis and Policy. West Publishing

Company, New York. Dornbusch, R. and S. Fischer. 1989. Makroekonomi. Erlangga, Jakarta. Dorosh, P.A. 2008. Food Price Stabilisation and Food Security : International

Experience. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44(1): 93 – 114. Ebel, R.D. and S. Yilmaz. 2002. On the Measurement and Impact of Fiscal

Decentralization. www.worldbank org/ decentralization. Ellis, F. 1992. Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University

Press, New York. Fane, G. and P. Warr. 2008. Agricultural Protection in Indonesia. Bulletin of Indonesian

Economic Studies, 44(1) : 133 – 150. FAO. 1997. Implication of Economic Policy for Food Security. Training Materials for

Agricultural Planing 30, Rome. Gemmel, N. 1992. Ilmu Ekonomi Pembangunan. Lembaga Penerbit Universitas

Indonesia, Jakarta. Hartono, J. 1999. Teori Ekonomi Mikro Analisis Matematis. Penerbit Andi Jogjakarta,

Jogjakarta. Hartoyo, S. 1994. Pengaruh Infrastruktur terhadap Penawaran Tanaman Pangan di Jawa :

Pendekatan Multi-Input Multi-Output. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hasibuan, N. 2000. Kemiskinan Struktural di Indonesia : Menembus Lapisan Bawah.

http// www.geogle.com Henderson, J. M. and R.E. Quandt, 1980. Microeconomic Theory A Mathematical

Approach. McGraw-Hill International Book Company, London. Herliana, L. 2004. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian Indonesia : Analisis

Dekomposisi SNSE. Thesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Page 254: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

228

Ikhsan, M. 2001. Reformasi Kebijakan Ekonomi Beras Nasional. Tim Pengkajian Kebijakan Perberasan Nasional, Departemen Pertanian, Jakarta.

ILO.1976. Employment, Growth, and Basic Needs. ILO, Geneva. Ilham, N. 2006. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan dan

Dampaknya pada Stabilitas Ekonomi Makro. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

International Food Policy Research Institute (IFPRI). 1999. Technical Guides for

Operationality Household Food Security in Development Projects. International Food Policy Research Institute, Washington D.C.

Irawan.B., B. Winarso dan I. Sadikin. 2003. Analisis Faktor Penyebab Perlambatan

Produksi Komoditas Pangan Utama. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Ismail, M. 2001. Pendapatan Asli Daerah dalam Otonomi Daerah.Tema,2(1): 63 -75,

Jakarta. Jayawinata, A. 2005. Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Ketahanan Pangan

Nasional. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Jhingan, M.L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Raja Grafindo Persada,

Jakarta. Kerk, L. P. and W. Garry. 1997. Does Fiscal Decentralization Lead to Economic

Growth? Brigham Young University Provo. www.worldbank.org/ decentralization.

Kirwan, B.E. and M. McMillan. 2007. Food Aid and Poverty. American Journal of

Agricultural Economics, 89(5): 1152 -1168. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics : An Introductory Exposition of

Econometric Methods. McMillan Press Ltd, London. Lin, J. Y. and Z. Liu. 2000. Fiscal Decentralization and Economic Growth in China.

Economics Development and Cultural Change, 49 (1) : 1 – 22. Mahi, R. 2000. Implikasi Fiskal Kebijakan Desentralisasi. Lembaga Penyelidikan

Ekonomi dan Masyarakat. Universitas Indonesia, Jakarta. Makmun. 2003. Gambaran Kemiskinan dan Action Plan Penangannya. Kajian Ekonomi

dan Keuangan, 7(2): 1 – 36.

Page 255: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

229

Maksum, M. 2005. Jangan Lagi Jadi Tumbal Pembangunan. Kompas. 16 Juli 2005, Jakarta.

Mangkoesoebroto, G. 2000. Ekonomi Publik. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi,

Jogjakarta.

Mawardi, S. dan S. Sumarto. 2003. Kebijakan Publik yang Memihak Orang Miskin : Makalah disampaikan pada Pelatihan Fasilitator-Kabupaten dan Koordinator Regional Prakarsa Pembaruan Tata Pemerintahan Daerah (F-KAB dan KR P2TPD), 24 Oktober, Jogjakarta.

Maxwell, S. and T.R. Frankenberger. 1992. Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements : A Technical Review. UNICEF dan IFAD, NewYork.

McCulloch, N. and C.P. Timmer. 2008. Rice Policy in Indonesia : A Spesial Issue.

Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44(1): 33 – 44. McCulloch, N. 2008. Rice Price and Poverty in Indonesia. Bulletin of Indonesian

Economic Studies, 44(1): 45 – 63. Mears, L. A., A. Rachman and Sakrani, 1981. Income Elasticity of Demand for Rice in

Indonesia. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 39(1) 81 – 90. Mier, G.M. 1995. Leading Issues in Economic Development. Sixth Edition. Oxford

University Press Inc, New York. Mubyarto. 2001. Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis

Ekonomi. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, Jogjakarta. Muharminto.1993. Identifikasi Wilayah Miskin dan Alternatif Upaya

Penanggulangannya di Provinsi Jawa Timur. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek

Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas : Suatu Analisis Simulasi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mulyadi, S. 2003. Ekonomi Sumberdaya Manusia dalam Perspektif Pembangunan. Raja

Grafindo Persada, Jakarta. Musgrave, R.A. and B.M.Peggy. 1989. Public Finance in Theory and Practice. McGraw-

Hill Book Company, New York.

Page 256: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

230

Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Norton, R.D. 2004. Agricultural Development Policy : Concepts and Experiences. Jhon

Wiley and Sons Ltd, England. Pakasi,C.B.D. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Kabupaten

dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pardede, R. 2004. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pembangunan Ekonomi

Kabupaten Tapanuli Utara dan Kota Medan : Aplikasi Model Input-Output.Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2002. Rencana Strategis Pemerintah Provinsi Jawa

Barat 2003 – 2008. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Bandung. ___________________________. 2007. Berita Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 37

Seri E. Rencana Kerja Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Bandung.

Pogue, T. F. and L.G. Sqontz. 1976. Government and Economic Choice. An Introduction

to Public Finance. Hiughton MillCompany, USA. Pindyck, R.S. and D.L. Rubienfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecast.

Mcgraw-Hill International Edition, Singapore. Rao, M.G. 2000. Poverty Alleviation under Decentralization. www.worldbank org/

decentralization. Reksohadiprodjo, S. 2001. Ekonomi Publik. Balai Penerbit Fakultas Ekonomi,

Jogjakarta. Richardson, H.W. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional. Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, Jakarta. Ritonga, A.A. 2002. Kebijakan Pengelolaan Anggaran. Tinjauan dalam Aspek

Pengeluaran Anggaran Negara Tahun 2003. Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia. 29 Agustus 2002, Jakarta.

Reutlinger, S. 1987. Food Security and Poverty in Developing Countries. In : Gitinger et

al. (Eds). Food Policy Published for the World Bank. The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London.

Page 257: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

231

Roy, B. 1999. Worldwide Trends in Fiscal Decentralization . www.worldbank org/ decentralization.

Saliem, H.P., M. Ariani, Y. Marisa dan T. Bastuti. 2002. Analisis Kerawanan Pangan

Wilayah dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

_________., A. Purwoto, G.S.Hardono, T.B. Purwantini, Y. Supriyatna, Y. Marisa dan

Waluyo. 2004. Manajemen Ketahanan Pangan Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor.

_________., E.M.Lokollo, M. Ariani, T.B. Purwanti dan Y. Marisa. 2005. Analisis

Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, Bogor.

Sawit, M,H. 1994. Analisa Permintaan Pangan : Bukti Empiris Teori Rumah Tangga

Pertanian. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 42(1): 99 – 120. Sayogyo. 1996. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Yayasan Agro

Ekonomika, Jogjakarta. Selowky, M. 1981. Income Distribution, Basic Needs and Trade-offs withy Growth : The

Case of Semi Industrialized Latin American Countries. World Bank, (9) : 73 – 92.

Sen , A. K. 1981. Poverty and Famines. An Essay on Entlitements and Deprivation. Basil

Blacwell, Oxford. _________. 2002. Demokrasi Bisa Memberantas Kemiskinan. Mizan Pustaka, Bandung. Simanjuntak, R. A. 2001.Kajian Kemampuan Daerah untuk Melakukan Pinjaman di Era

Otonomi Daerah. Makalah Seminar Nasional : Evaluasi Persiapan Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 6 Februari, Jakarta.

_______________. 2002. Transfer Pusat ke Daerah : Konsep dan Praktik di Beberapa

Negara. Dalam Dana Alokasi Umum : Konsep, Hambatan dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Penerbit Kompas, Jakarta.

Simatupang. P. 1999. Towards Sustainable Food Security : The Needs for a New

Paradigm. International Seminar Agricultural Sector During Turbelence of Economic Crisis : Lessons and Future Direction. 17 – 18 Februari 1999. Centre for Agro-Socio Economics Research, AARD.

Page 258: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

232

_____________ dan S. Darmoredjo. 2003. Produk Domestik Regional Bruto, Harga dan Kemiskinan : Hipotesis “ Trickle Down Effect” Dikaji Ulang. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 51(3): 291 – 324.

______________ and C.P. Timmer. 2008. Indonesian Rice Production : Policies and

Realities. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44(1) : 65 – 79. Sipayung, T. 2000. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi terhadap Sektor Pertanian dalam

Pembangunan Ekonomi Indonesia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Siregar, H. 1991. Production Technology in Indonesian Dryland Crop Industry : Multy –

Input, Multy-Output Framework. Dissertation Submited in Partial Fulfilment of the Requirements for the Degree of Master of Economics of the University of New England. Departement of Agricultural Economics and Bisnis Management, University of New England, Armidale, NSW.

Sitepu, R.K. dan B.M.Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika. : Estimasi, Simulasi

dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Smoke, P. 2001. Fiscal Decentralization in Developing Countries : A Review of Current

Concepts and Practice. United Nations Research Institute for Social Development. www.worldbank org/ decentralization.

Soegijoko, S. 1997. Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Gramedia Widiasarana

Indonesia, Jakarta. Soehardjo. 1998. Konsep dan Kebijakan Deversifikasi Konsumsi Pangan dalam Rangka

Ketahanan Pangan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI, Jakarta.

Soetrisno, L. 1999. Pembangunan Pertanian Sebuah Tinjauan Sosiologis. Penerbit

Kanisius, Jogjakarta. Sondakh, L.W. 1999. Mencari Flatform Otonomi Daerah dalam Krisis Ekonomi.

Makalah dalam Seminar Nasional Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Rangka Pemberdayaan Potensi, Jakarta.

Stiglitz. J.E. 2000. Economics of the Public Sector. W.W. Norton and Company, New

York.

Page 259: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

233

Sudaryanto, T. dan R. Sayuti. 1990. Analisa Permintaan Bahan Pangan dengan Pendekatan Persamaan Sistem. Ekonomi dan Keuangan Indonesia,38(2) : 141 -159.

Sumodiningrat, G.1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Supriatna,T. 1997. Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Humaniora

Utama Press, Bandung. Suryana, A. 2001. Tantangan dan Kebijakan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan

pada Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Departemen Pertanian, Jakarta.

Swasono, F. 2007. Fiscal Decentralization and Economic Growth : Evidence from

Indonesia. Economics and Finance in Indonesia, 5(2): 109 – 133. Syahrial, S. 2005. Fiscal Decentralization and Government Size : The Case of Indonesia.

Economics and Finance in Indonesia, 53(2): 117 – 193. Tabor, S.R., K. Altemeier and B. Adinugroho. 1989. Foodcrop Demand in Indonesia : A

Systems Approach. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 25(2) : 31 – 52.

Tim Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Jawa Barat. 2006. Kebijakan

Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam rangka Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Bandung.

Timmer, C.P. 2005. Food Security and Economic Growth : An Asian Perspective. Asian-

Pacific Economic Literature, 19(1): 1 – 17. Teklu, T. and S.R. Jhohnson. 1988. Demand System for Cross Section Data: Application

to Indonesia. Canadian Journal of Agricultural Economics 36(1) : 83 – 101.

Todaro, M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Edisi Ketujuh. Erlangga,

Jakarta. Ulla, M. 2003. Implikasi Otonomi Daerah terhadap Politik, Hukum dan

Ekonomi.http//www.otoda.co.id/artikel/implikasi otonomi htm (10 Juni 2003).

Vazques, J.M. and R.M. McNab. 2001. Fiscal Decentralization and Economic Growth.

International Studies Program. Working Paper. http:// isp-aysp.gsu.edu. www.worldbank org/ decentralization.

Page 260: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

234

Wahlgenant, M.K. 1984. Conceptual and Functional Form Issues in Estimating Demand

Elasticities for Food. American Journal of Agricultural Economics, 66(2): 211 – 215.

Wardhono, A. 2001. Pelaksanaan Otonomi Daerah: Antara Harapan dan Kekhawatiran. Radar Jember- Jawa Pos. 18 April 2001

Wasylenko, M. 1987. Fiscal Decentralization and Economics Development. Public Budgeting and Finance, 7(2) : 57 – 71.

Woller, G. M. and P. Kerk. 1998. Fiscal Decentralization and LDC Economic Growth :

An Empirical Investagation. Journal of Development Studies, 34 (4): 139 – 148.

Wiranto, T. 2003. Profil Kemiskinan di Perdesaan. Newsletter. Urban and Regional

Development Institute, Jakarta. Yudhoyono, S.B. dan Harniati.2004. Pengurangan Kemiskinan di Indonesia : Mengapa

Tidak Cukup dengan Memacu Pertumbuhan Ekonomi. Cetakan Pertama. Brighten Press, Bogor.

Yudhoyono,S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi

Kemiskinan dan Pengangguran : Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Zhang, T. and H. Zhao, 1997. Fiscal Decentralization : The Composition of Public

Spending and Regional Growth in India. Development Research Group Working Paper. World Bank, Washington. D.C.

Zhang, T. and H. Zhao. 1998. Fiscal Decentralization : Public Spending and Economic

Growth in China. Jounal of Public Economics, 67(2): 221 – 240.

Page 261: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

236

Lampiran 1. Identifikasi Persamaan Struktural Model Penelitian

Persamaan Struktural K G M Status Identifikasi Pajak Daerah 74 28 6 Over Identified Dana Alokasi 74 28 7 Over Identified Pengeluaran Rutin 74 28 6 Over Identified Pengeluaran Sektor Pertanian 74 28 6 Over Identified PDRB Sector Pertanian 74 28 6 Over Identified PDRB Non Pertanian 74 28 6 Over Identified Produksi Gabah 74 28 7 Over Identified Pendapatan Pertanian per Kapita 74 28 5 Over Identified Tenaga Kerja Pertanian 74 28 6 Over Identified Penggunaan Pupuk 74 28 5 Over Identified Harga Gabah 74 28 6 Over Identified Harga Beras 74 28 5 Over Identified Konsumsi Beras 74 28 6 Over Identified Konsumsi Energi 74 28 5 Over Identified Konsumsi Protein 74 28 6 Over Identified Jumlah Penduduk Miskin 74 28 6 Over Identified Angka Gizi Buruk 74 28 7 Over Identified Angka Kematian Bayi 74 28 7 Over Identified Umur Harapan Hidup 74 28 6 Over Identified

Page 262: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

237

Lampiran 2. Perhitungan MSE dan U Theil untuk Validasi Model

Variable N MSE Corr Bias Reg Dist Var Covar U1 U

(R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)

REVDAE 143 3,975,276,021.00000 0.95300 0.20900 0.00100 0.79000 0.01000 0.78000 0.18600 0.09020

PAD 143 439,025,877.00000 0.78600 0.00000 0.20300 0.67500 0.54000 0.33800 0.55480 0.35030

PJKDAE 143 57,149,328.00000 0.70600 0.00000 0.00400 0.99600 0.22500 0.77500 0.58320 0.32820

DALOK 143 4,729,229,015.00000 0.86500 0.00000 0.00000 1.00000 0.07200 0.92800 0.30500 0.15620

PRUTIN 143 4,183,112,683.00000 0.90600 0.00000 0.00000 1.00000 0.04900 0.95100 0.27010 0.13760

PPEMB 143 402,342,518.00000 0.98900 0.60400 0.20200 0.19400 0.17300 0.22200 0.23740 0.10780

PSEKLN 143 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000

PSEKP 143 3,816,689.00000 0.67500 0.00000 0.00000 1.00000 0.19400 0.80600 0.50550 0.27130

GDAE 143 4,354,334,394.00000 0.94000 0.05000 0.01500 0.93500 0.00200 0.94800 0.21390 0.10520

KESFIS 143 4,106,000,904.00000 0.53700 0.00000 0.54600 0.40500 0.15100 0.80000 1.04640 0.42450

PDRBP 143 35,897.00000 0.61100 0.00000 0.00000 1.00000 0.23000 0.77000 0.32100 0.16470

PDRBNP 143 453,331.00000 0.98800 0.00000 0.00000 1.00000 0.00600 0.99400 0.13350 0.06700

PDRB 143 396,133.00000 0.99000 0.00000 0.00100 0.99900 0.00100 0.99900 0.11850 0.05930

PRODGAB 143 32,736,700,000.00000 0.67700 0.00000 0.06000 0.94000 0.03300 0.96700 0.28310 0.14280

INCPPI 143 12,576.00000 0.19900 0.00000 0.08800 0.91200 0.23400 0.76600 0.29930 0.15210

TKP 143 7,949.00000 0.65100 0.00000 0.00000 1.00000 0.21100 0.78900 0.30010 0.15350

QPUK 143 2,447,470,000,000.000 0.79100 0.00000 0.00200 0.99800 0.08600 0.91400 0.27590 0.14030

PGAB 143 141,044.00000 0.75000 0.00000 0.00700 0.99300 0.21200 0.78800 0.27890 0.14260

PRODBRS 143 20,967,900,000.00000 0.67700 0.16700 0.00800 0.82600 0.09700 0.73600 0.30210 0.16320

IKAP 143 11,424,385.00000 0.88300 0.00000 0.53200 0.15000 0.68200 0.00000 0.99900 0.39790

PBRS 143 561,619.00000 0.75300 0.00000 0.01300 0.98700 0.23700 0.76300 0.27840 0.14250

CONBRSI 143 0.26296 0.55000 0.01000 0.00000 0.98900 0.26500 0.72400 0.03910 0.01960

CONSENI 143 7,688.00000 0.46400 0.00700 0.00400 0.98800 0.28700 0.70600 0.04030 0.02020

CONPROT 143 6.41036 0.42000 0.00400 0.04300 0.95300 0.17300 0.82300 0.04420 0.02210

JMLMIS 143 4,964.00000 0.81500 0.00400 0.00000 0.99600 0.10500 0.89100 0.24750 0.12480

AGZBRK 143 45.02158 0.61300 0.00100 0.00300 0.99700 0.19100 0.80900 0.28990 0.14740

AKMTBY 143 57.50377 0.48400 0.00000 0.00700 0.99200 0.25300 0.74700 0.12950 0.06490

UHHDP 143 4.10383 0.42100 0.00000 0.03400 0.96500 0.19500 0.80500 0.03150 0.01570

Page 263: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

238

Lampiran 3. Hasil Pendugaan Model Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Jawa Barat

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PJKDAE Dependent variable: PJKDAE PJKDAE Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 5 9133463120.3 1826692624.1 31.458 0.0001 Error 137 7955247593.9 58067500.686 C Total 142 16244156149 Root MSE 7620.20345 R-Square 0.6942 Dep Mean 7378.12120 Adj R-SQ 0.6175 C.V. 103.28108 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 -551.819796 2048.453618 -0.269 0.7880 Intercep PDRB 1 0.187383 0.151445 1.237 0.2181 PDRB JMLTMIS 1 13.205164 2.187758 6.036 0.0001 JMLTMIS JMLMIS 1 -48.345719 7.927990 -6.098 0.0001 JMLMIS DMDF 1 6267.430335 1381.114040 4.538 0.0001 DMDF LPJKDAE 1 0.799019 0.127290 6.277 0.0001 LPJKDAE Durbin-Watson 1.034 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.444

Page 264: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

239

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: DALOK Dependent variable: DALOK DALOK Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 6 2.0178753E12 672625103958 138.249 0.0001 Error 136 676279749071 4865321935.8 C Total 142 2.6941551E12 Root MSE 69751.85973 R-Square 0.7490 Dep Mean 178898.19463 Adj R-SQ 0.7436 C.V. 38.98969 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 -4374.654926 19002 -0.230 0.8183 Intercep JMLPDK 1 50.306315 15.354610 3.276 0.0013 JMLPDK LUDAE 1 11.243174 8.683085 1.295 0.1975 LUDAE JMLMIS 1 28.696834 12.71459 2.257 0.0038 JMLMIS PAD 1 -4.567845 4.50923 -1.013 0.2564 PAD DMDF 1 234633 12728 13.546 0.0001 DMDF LDALOK 1 0.534633 0.029003 18.434 0.0001 LDALOK Durbin-Watson 1.589 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.198

Page 265: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

240

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PRUTIN Dependent variable: PRUTIN PRUTIN Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 5 2.7441958E12 914731921193 212.556 0.0001 Error 137 598185113664 4303490026.4 C Total 142 3.3423809E12 Root MSE 65600.99105 R-Square 0.8210 Dep Mean 184342.69216 Adj R-SQ 0.8172 C.V. 35.58643 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 53437 7756.870771 6.889 0.0001 Intercep MJPGBB 1 0.015572 0.007541 2.065 0.0408 MJPGBB PAD 1 265780 142892.47 1.860 0.4260 PAD DALOK 1 564328 147152.02 3.835 0.0620 DALOK DMDF 1 252609 13669 18.480 0.0001 DMDF LPRUTIN 1 0.897104 0.095822 9.362 0.0001 LPRUTIN Durbin-Watson 0.894 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.529

Page 266: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

241

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PSEKP Dependent variable: PSEKP PSEKP Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 5 456608977.35 152202992.45 38.763 0.0001 Error 137 545786522.71 3926521.7461 C Total 142 1002395500.1 Root MSE 1981.54529 R-Square 0.6555 Dep Mean 2815.86708 Adj R-SQ 0.6438 C.V. 70.37070 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 369.026425 554.177745 0.666 0.5066 Intercep AREAL 1 0.010038 0.003927 2.556 0.0116 AREAL PAD 1 3.653424 1.167974 3.128 0.0026 PAD DALOK 1 0.003198 0.0023759 1.346 0.1806 DALOK DMDF 1 2640.285718 345.603394 7.640 0.0001 DMDF LPSEKP 1 0.563788 0.085453 6.598 0.0001 LPSEKP Durbin-Watson 0.555 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.705

Page 267: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

242

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PDRBP Dependent variable: PDRBP PDRBP Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 5 7006562.4151 1751640.6038 221.056 0.0001 Error 137 1093508.1025 7923.97176 C Total 142 8196584.6024 Root MSE 89.01669 R-Square 0.8650 Dep Mean 539.54928 Adj R-SQ 0.8611 C.V. 16.49834 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 -90.156349 28.991079 -3.110 0.0023 Intercep TKP 1 1.399257 0.090505 15.461 0.0001 TKP PSEKP 1 0.014812 0.003327 4.452 0.0001 PSEKP INCPPI 1 0.569273 0.102020 5.580 0.0001 INCPPI AREAL 1 3.145720 3.105350 1.013 0.3976 AREAL LPDRBP 1 0.545846 0.086319 6.324 0.0001 LPDRBP Durbin-Watson 0.911 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.542

Page 268: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

243

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PDRBNP Dependent variable: PDRBNP PDRBNP Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 5 2747507582.0 915835860.67 1963.726 0.0001 Error 137 64826346.991 466376.59706 C Total 142 2812333929.0 Root MSE 682.91771 R-Square 0.9769 Dep Mean 2402.26010 Adj R-SQ 0.9765 C.V. 28.42813 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 -1918.283489 146.541450 -13.090 0.0001 Intercep TKNP 1 5.158899 0.387313 13.320 0.0001 TKNP PSEKLN 1 0.003415 0.000924 3.697 0.0003 PSEKLN INCNP 1 338.119562 4.558119 74.180 0.0001 INCNP PDRBP 1 0.436852 0.428286 1.020 0.4102 PDRBP LPDRBNP 1 0.4754332 0.090558 5.25 0.0001 LPDRBNP Durbin-Watson 0.846 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.534

Page 269: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

244

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PRODGAB Dependent variable: PRODGAB PRODGAB Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 6 5.1132583E12 1.0226517E12 35.790 0.0001 Error 136 3.9145531E12 28573380222 C Total 142 8.123271E12 Root MSE 169036.62391 R-Square 0.5664 Dep Mean 592949.37434 Adj R-SQ 0.5506 C.V. 28.50777 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 -191906 62913 -3.050 0.0027 Intercep PGAP 1 0.561906 0.238804 2.353 0.0056 PGAP QPUK 1 0.081642 0.007873 10.370 0.0001 QPUK TKP 1 959.734694 121.786753 7.880 0.0001 TKP PSEKP 1 5.810158 7.731807 0.751 0.4537 PSEKP DMDF 1 256025 45902 5.578 0.0001 DMDF LPRODGAB 1 0.444217 0.165397 2.686 0.0081 LPRODGAB Durbin-Watson 0.548 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.723

Page 270: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

245

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: INCPPI Dependent variable: INCPPI INCPPI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 4 932418.79736 233104.69934 40.505 0.0001 Error 138 794184.22770 5754.95817 C Total 142 1707014.3711 Root MSE 75.86144 R-Square 0.5480 Dep Mean 358.33600 Adj R-SQ 0.5267 C.V. 21.17048 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 159.154332 20.149576 7.899 0.0001 Intercep PRODGAB 1 0.000152 0.000033043 4.594 0.0001 PRODGAB PSEKL 1 -0.000459 0.000114 -4.035 0.0001 PSEKL TKP 1 0.498065 0.061274 8.129 0.0001 TKP LINCPPI 1 0.120290 0.267184 0.450 0.6533 LINCPPI Durbin-Watson 0.359 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.813

Page 271: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

246

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: TKP Dependent variable: TKP TKP Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 5 835332.60340 208833.15085 25.353 0.0001 Error 137 1136699.9085 8236.95586 C Total 142 1972032.5119 Root MSE 90.75768 R-Square 0.5236 Dep Mean 272.91634 Adj R-SQ 0.5069 C.V. 33.25476 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 -10.291493 52.375739 -0.196 0.8445 Intercep AK 1 0.000330 0.000037686 8.752 0.0001 AK WTKP 1 0.004909 0.003875 1.267 0.2073 WTKP AREAL 1 0.000050371 0.000186 0.270 0.7873 AREAL PSEKP 1 1.240132 0.7655135 1.620 0.1245 PSEKP LTKP 1 0.365210 0.146963 2.485 0.0141 LTKP Durbin-Watson 0.220 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.868

Page 272: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

247

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: QPUK Dependent variable: QPUK QPUK Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 4 6.0660237E14 1.5165059E14 65.118 0.0001 Error 138 3.2138036E14 2.3288432E12 C Total 142 9.3287207E14 Root MSE1526054.79060 R-Square 0.6537 Dep Mean5062106.07415 Adj R-SQ 0.6436 C.V. 30.14664 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 2547265 484916 5.253 0.0001 Intercep AREAL 1 38.482878 3.065273 12.554 0.0001 AREAL PPUK 1 -2665.410620 458.027228 -5.819 0.0001 PPUK PGAB 1 516.228199 485.270249 1.064 0.2893 PGAB LQPUK 1 0.172170 0.124573 1.382 0.1692 LQPUK Durbin-Watson 0.541 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.711

Page 273: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

248

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PGAB Dependent variable: PGAB PGAB Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 5 41148258.848 10287064.712 14705.734 0.0001 Error 137 96534.79235 699.52748 C Total 142 45796887.633 Root MSE 26.44858 R-Square 0.9977 Dep Mean 1221.95118 Adj R-SQ 0.9976 C.V. 2.16445 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 -137.844520 12.921043 -10.668 0.0001 Intercep PPUK 1 0.876850 0.129558 6.768 0.0067 PPUK PSEKP 1 0.000055959 0.001082 0.052 0.9588 PSEKP WTKP 1 0.015005 0.001279 11.729 0.0001 WTKP PBRS 1 0.489051 0.002483 196.943 0.0001 PBRS LPGAB 1 0.032548 0.008661 3.758 0.0003 LPGAB Durbin-Watson 0.740 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.621

Page 274: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

249

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PBRS Dependent variable: PBRS PBRS Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 4 109206882.99 36402294.329 60.379 0.0001 Error 138 83802001.224 602892.09514 C Total 142 182836171.69 Root MSE 776.46126 R-Square 0.6658 Dep Mean 2442.85341 Adj R-SQ 0.6564 C.V. 31.78501 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 1212.870707 205.300119 5.908 0.0001 Intercep PRODBRS 1 -0.000154 0.000395 -0.390 0.6974 PRODBRS PRUTIN 1 0.006145 0.000465 13.215 0.0001 PRUTIN CADBRS 1 -4567.9876 3716.8328 -1.229 0.3260 CADBRS LPBRS 1 0.840819 0.122192 6.881 0.0001 LPBRS Durbin-Watson 0.631 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.681

Page 275: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

250

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: CONBRSI Dependent variable: CONBRSI CONBRSI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 5 21.00505 4.20101 18.404 0.0001 Error 137 31.27209 0.22826 C Total 142 53.35639 Root MSE 0.47777 R-Square 0.5818 Dep Mean 13.11079 Adj R-SQ 0.5800 C.V. 3.64409 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 14.071878 0.143752 97.890 0.0001 Intercep PBRS 1 -0.000119 0.000043802 -2.716 0.0073 PBRS JMLMIS 1 -0.002361 0.000363 -6.506 0.0001 JMLMIS IKAP 1 0.000021853 0.000014424 1.515 0.1321 IKAP DMDF 1 -0.232747 0.099716 -2.334 0.0210 DMDF LCONBRSI 1 0.341670 0.120529 2.835 0.0053 LCONBRSI Durbin-Watson 0.509 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.734

Page 276: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

251

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: CONSENI Dependent variable: CONSENI CONSENI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 4 760289.09139 253429.69713 243.715 0.0001 Error 138 144540.87082 1039.86238 C Total 142 1384125.7421 Root MSE 32.24690 R-Square 0.8403 Dep Mean 2172.31877 Adj R-SQ 0.8368 C.V. 1.48445 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 312.989317 79.075009 3.958 0.0001 Intercep CONBRSI 1 141.703236 5.948403 23.822 0.0001 CONBRSI IKAP 1 0.25780502 0.102482 2.515 0.0321 IKAP DPKES 1 0.000660 0.000913 0.723 0.4708 DPKES LCONSENI 1 0.105435 0.053553 1.969 0.0510 LCONSENI Durbin-Watson 0.658 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.665

Page 277: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

252

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: CONPROT Dependent variable: CONPROT CONPROT Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 5 473.46551 118.36638 65.325 0.0001 Error 137 250.05191 1.81197 C Total 142 1061.46847 Root MSE 1.34609 R-Square 0.6544 Dep Mean 57.27503 Adj R-SQ 0.6444 C.V. 2.35023 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 -1414.334811 144.886266 -9.762 0.0001 Intercep CONSENI 1 0.020636 0.001634 12.632 0.0001 CONSENI IKAP 1 5.257806 2.608556 2.015 0.0832 IKAP JMLMIS 1 -2.005260 0.616889 3.250 0.0001 JMLMIS DMDF 1 -4.161020 0.430897 -9.657 0.0001 DMDF LCONPROT 1 0.505978 0.096279 5.255 0.0001 LCONPROT Durbin-Watson 1.614 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.189

Page 278: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

253

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: JMLMIS Dependent variable: JMLMIS JMLMIS Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 5 1409573.1312 281914.62625 55.104 0.0001 Error 137 700894.38817 5116.01743 C Total 142 2110835.6043 Root MSE 71.52634 R-Square 0.6679 Dep Mean 257.43083 Adj R-SQ 0.6558 C.V. 27.78468 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 31.383654 22.331668 1.405 0.1622 Intercep DPKSMIS 1 -1.813909 0.562417 -3.225 0.0016 DPKSMIS IKAP 1 -0.002598 0.002174 -1.195 0.2341 IKAP PPEMB 1 -0.000032691 0.000156 -0.209 0.8346 PPEMB JMLPDK 1 0.171142 0.014320 11.952 0.0001 JMLPDK LJMLMIS 1 0.434785 0.084065 5.172 0.0001 LJMLMIS Durbin-Watson 0.586 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.703

Page 279: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

254

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: AGZBRK Dependent variable: AGZBRK AGZBRK Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 6 4476.78032 1119.19508 23.874 0.0001 Error 136 6469.38294 46.87959 C Total 142 10286.33464 Root MSE 6.84687 R-Square 0.6090 Dep Mean 21.53407 Adj R-SQ 0.5919 C.V. 31.79551 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 3525.489310 380.911660 9.255 0.0001 Intercep CONPROT 1 -1.006225 0.342487 -2.938 0.0039 CONPROT JMLPSM 1 -0.010427 0.015994 -0.652 0.5155 JMLPSM IKAP 1 -3.025467 0.711038 -4.255 0.0001 IKAP JMLSKL 1 -2.408932 2.933070 -0.821 0.4351 JMLSKL JMLBTHRP 1 0.423356 0.413O30 1.025 0.3621 JMLBTHRP LAGZBRK 1 0.387974 0.112520 3.448 0.0007 LAGZBRK Durbin-Watson 0.686 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.653

Page 280: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

255

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: AKMTBY Dependent variable: AKMTBY AKMTBY Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 6 3547.73749 591.28958 12.246 0.0001 Error 136 6566.76577 48.28504 C Total 142 10654.73891 Root MSE 6.94874 R-Square 0.5508 Dep Mean 57.90782 Adj R-SQ 0.5221 C.V. 11.99966 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 48.399147 3.098209 15.622 0.0001 Intercep AGZBRK 1 0.395665 0.084280 4.695 0.0001 AGZBRK JMLMIS 1 0.021822 0.005616 3.886 0.0002 JMLMIS JMLBDN 1 -0.010886 0.006648 -1.638 0.1038 JMLBDN MDKSPN 1 -2.104032E-9 1.1453387E-9 -1.837 0.0684 MDKSPN DMDF 1 -2.399693 1.350683 -1.777 0.0779 DMDF LAKMTBY 1 0.392946 0.103413 3.800 0.0002 LAKMTBY Durbin-Watson 0.525 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.735

Page 281: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat

256

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: UHHDP Dependent variable: UHHDP UHHDP Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 5 277.79126 55.55825 24.053 0.0001 Error 137 316.44975 2.30985 C Total 142 688.47445 Root MSE 1.51982 R-Square 0.5675 Dep Mean 64.32169 Adj R-SQ 0.5480 C.V. 2.36284 Parameter Estimates Parameter Standard T for H0: Variable Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| Label INTERCEP 1 65.157453 4.105795 15.870 0.0001 Intercep CONPROT 1 0.126100 0.065772 1.917 0.0573 CONPROT DPKSMIS 1 0.033875 0.009595 3.530 0.0006 DPKSMIS AKMTBY 1 -0.150308 0.019755 -7.609 0.0001 AKMTBY DMDF 1 0.207502 0.360253 0.576 0.5656 DMDF LUHHDP 1 0.354258 0.102047 3.472 0.0007 LUHHDP Durbin-Watson 0.676 (For Number of Obs.) 143 1st Order Autocorrelation 0.659