160
SKRIPSI DEKONSTRUKSI NILAI-NILAI KELUARGA DALAM FILM NOIR Analisis Struktur Naratif Double Indemnity, The Postman Always Rings Twice, dan Kiss Me Deadly Oleh Adrian Jonathan Pasaribu 06/195675/SP/21601 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIVERSITAS GADJAH MADA 2011

Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

SKRIPSI

DEKONSTRUKSI NILAI-NILAI KELUARGA DALAM

FILM NOIR

Analisis Struktur Naratif Double Indemnity, The Postman Always Rings Twice,

dan Kiss Me Deadly

Oleh

Adrian Jonathan Pasaribu

06/195675/SP/21601

Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2011

Page 2: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

1

Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

(Analisis Struktur Naratif Double Indemnity, The Postman Always Rings Twice,

dan Kiss Me Deadly)

S K R I P S I

Disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

dengan Spesialisasi Ilmu Komunikasi

Disusun oleh:

Nama : Adrian Jonathan Pasaribu

NIM : 06/195675/SP/21601

Telah disetujui oleh,

Pulung Setiosuci Perbawani, S.I.P, M.M.

Dosen Pembimbing

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2011

Page 3: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

2

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan dan disahkan di depan Tim Penguji Jurusan Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta pada:

Hari : Selasa

Tanggal : 8 Maret 2011

Pukul : 10.00 WIB

Tempat : Ruang Sidang Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Gadjah Mada

Tim Penguji

1. Pulung Setiosuci Perbawani, S.I.P, M.M.

Ketua Penguji/Dosen Pembimbing _________________

2. Dr. Kuskridho Ambardi, M.A.

Penguji Samping I __________________

3. Muhamad Sulhan, S.I.P, M.Si.

Penguji Samping II __________________

Page 4: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

3

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

N a m a : Adrian Jonathan Pasaribu

No. Mahasiswa : 06/195675/SP/21601

Angkatan tahun : 2006

Jurusan : Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM

Judul skripsi : Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

(Analisis Struktur Naratif Double Indemnity, The

Postman Always Rings Twice, dan Kiss Me Deadly)

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi saya tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu

Perguruan Tinggi dan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah itu dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan saya bersedia

menerima sangsi apabila kemudian hari diketahui tidak benar.

Yogyakarta, 18 April 2011

Yang membuat pernyataan

Adrian Jonathan Pasaribu

Page 5: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

4

ABSTRAK

Film noir merupakan anomali tersendiri dalam sejarah Hollywood.

Dengan segala variasinya tentang misteri pembunuhan dan perselingkuhan rumah

tangga, film noir menjadi hiburan populer masyarakat Amerika dari tahun 1942

sampai 1958. Periode tersebut merupakan pertama kalinya dalam sinema

Hollywood karakter perempuan digambarkan memiliki kebebasan atas tanggung

jawab domestik. Dalam perspektif yang lebih makro, film noir tidak menjadikan

rumah dan keluarga sebagai solusi konflik cerita, yang sebelumnya merupakan

tradisi bercerita mayoritas film-film keluaran Hollywood.

Secara historis, kemunculan film noir terjadi bersamaan dengan perubahan

lanskap sosial-politik Amerika Serikat pasca Perang Dunia II. Negara adidaya

tersebut mengalami transformasi peran gender yang drastis, di mana laki-laki

kembali ke lapangan kerja usai mengabdi untuk negara di medan perang, dan

perempuan kembali ke kehidupan domestik setelah menikmati kebebasan merintis

karier di luar rumah. Pada saat yang bersamaan, pemerintah mengkampanyekan

pentingnya kehidupan komunal, dengan harapan keluarga dapat menjadi unit

pemantap ideologi negara dalam level akar rumpun.

Ada kontras yang mencolok dalam pendirian terhadap keluarga dalam film

noir dan lanskap-sosial politik yang melingkupinya. Kontras tersebut yang

diharapkan dapat dijembatani melalui penelitian ini.

Page 6: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

5

Sejatinya, skripsi ini setangkai bunga rampai

Untuk mimpi-mimpi yang belum sampai

Page 7: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

6

TERIMA KASIH

1

Bagian ini khusus untukMu, Tuhan. Fakta bahwa hamba masih bergulat dengan

iman hanya membuktikan bahwa Engkau ada. Terima kasih untuk segalanya.

2

Konon, ada empat hal yang manusia sulit ucapkan ke sesamanya: maaf, selamat

tinggal, aku cinta kamu, dan terima kasih. Bagian ini aku dedikasikan sepenuhnya

untuk ucapan yang terakhir.

Pertama, orang tua saya. Papa dan Mama adalah alasan kenapa aku ada di dunia

ini, dan dukungan konstan yang telah membawaku hingga ke titik ini. Mungkin

pada akhirnya setiap anak seperti karakter anak kecil dalam buku The Giving

Tree, karya Shel Silverstein, dimana anak kecil tersebut terus-menerus meminta

kepada sebuah pohon, tanpa bisa membalas budi si pohon dengan layak. Dalam

kasus ini, ucapan terima kasih saja jelas tidak cukup untuk membalas budi apa

yang orang tuaku sudah lakukan hingga saat ini. Semoga, dalam fase hidupku

berikutnya, aku bisa menerjemahkan ucapan terima kasih ini menjadi tindakan-

tindakan, yang ke depannya dapat membuat mereka bangga. Amin.

Kedua, kakakku satu-satunya, Stefanie Desiana Pasaribu. Dari lahir sampai

sekarang, kita selalu berbeda. Satu-satunya yang membuat kita sama: kepedulian

kita terhadap satu sama lain. Kepedulian kakakku adalah salah satu alasan kenapa

skripsi ini akhirnya selesai. Kakakku yang terus menerus mengingatkan untuk

segera menyelesaikan skripsi, dan kakakku rela mencarikan buku-buku, yang

akhirnya menjadi sumber referensi yang penting bagi skripsi ini. Terima kasih

kakak.

Page 8: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

7

Ketiga, mbak Pulung, dosen pembimbing saya. Tanpa kehadirannya, skripsi ini

tidak akan pernah mulai, dan jelas tidak akan mungkin selesai. Sepanjang setahun

saya mengerjakan skripsi, ada beberapa bulan dimana aku benar-benar takut untuk

sekadar online dan mengecek hal-hal terbaru dari sejumlah jejaring sosial yang

saya ikuti. Alasannya: takut salah satu hal terbaru itu adalah peringatan lama

tentang skripsiku yang belum selesai. Ketakutanku adalah bukti kepedulian dan

dedikasi mbak Pulung sebagai seorang dosen. Aku harap aku hanya satu-satunya

mahasiswa yang skripsinya ia bimbing sampai setahun. Lewat ucapan terima

kasih ini, aku panjatkan harapan saya akan segala yang baik untuk mbak Pulung

ke depannya.

Keempat, teman-teman terbaik saya. Mereka adalah Windu W. Jusuf, Corry

Elyda, Makbul Mubarak, Asep Muizudin, Mahar Gireta Rosalia (lebih beken

dengan panggilan Ocha), Saila Muti Rezcan, Damar Nugroho Sosodoro, Kartika

Wijayanti, Ananditya Hadi Soenodjo, Muhammad Hussein, Elsa Mareta, Merio

Felindra dan Anisa Titisari (lazimnya dipanggil Icha). Muhammad Ali pernah

berkata, “Persahabatan bukanlah sesuatu yang bisa kamu pelajari di sekolah. Tapi

kalau kamu belum belajar arti dari persahabatan, anggap dirimu tidak pernah

belajar sepanjang hidupmu.” Walaupun saya tidak pernah menggemarinya

maupun olahraga yang ia lakoni, Muhammad Ali dalam kasus ini benar sebenar-

benarnya. Peluk dan cium untuk kalian semua.

Berikutnya, para penghuni Gang Mawar. Mereka adalah Irfan dan Wiman

Rizkydarajat, serta Beni Satryo. Terima kasih atas tawa canda serta dukungan

kalian setiap harinya. Serumah bersama kalian adalah alasan kenapa Jogja adalah

kota yang menyenangkan. Berteman dengan kalian adalah alasan kenapa hidup di

Jogja begitu menyenangkan.

Lalu, para penghuni dan pengunjung tetap YCAD: Paul Agusta, Kyo Hayanto

Agusta dan Tommy WP. Aku bersyukur kita pernah bertemu dan kemudian akrab.

Dalam kesempatan ini, aku tidak bisa tidak mengulangi kata-kata yang pernah aku

Page 9: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

8

tulis untuk kalian, “You guys are one-of-a-kind filmmakers and genuinely kind

persons. Thank you”

Kemudian, teman-teman KKN saya, yang pernah menjadi saksi mata pergulatan

saya dengan skripsi selama KKN berlangsung. Malam terakhir kita di lokasi

KKN, aku pernah bilang, “Sebulan pertama KKN, kita kangen sama orang-orang

yang kita tinggal di Jogja. Sebulan setelah KKN, aku yakin kita bakal kangen

sama teman-teman KKN.” Hampir setahun KKN lebih, aku rasa ucapanku waktu

itu masih relevan. Aku kangen kalian, dan berharap bisa bertemu lagi.

Pada akhirnya, terlalu banyak orang baik yang terlibat dalam skripsi ini, yang

namanya tidak bisa saya tuliskan di sini satu per satu. Untuk kalian, semoga jalan

kita berseberangan lagi, dan semoga beruntung di jalan yang masing-masing dari

kalian tempuh. Amin.

Condongcatur, 18 April 2011

Page 10: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

9

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN PENGESAHAN

SURAT PERNYATAAN

ABSTRAK

1

2

3

4

TERIMA KASIH

DAFTAR ISI

6

9

BAB I | LATAR BELAKANG PENELITIAN 11

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Objek Penelitian

E. Kerangka Pemikiran

1. Film Noir

2. Keluarga

F. Metodologi

G. Tahap Penelitian

11

15

15

15

19

19

27

31

36

BAB II | ASAL USUL FILM NOIR

37

A. Akar Literer Film Noir

B. Akar Sinematik Film Noir

41

59

BAB III | MODUS NARATIF FILM NOIR

72

A. Prinsip Dasar Naratif Film Noir

B. Tipologi Karakter Laki-laki dalam Film Noir

C. Tipologi Karakter Perempuan dalam Film Noir

72

83

85

BAB IV | ANALISIS TIGA FILM NOIR

94

A. Double Indemnity (1944)

1. Latar Belakang Historis

2. Pengakuan, Kilas Balik dan Konstruksi Keluarga

94

94

99

Page 11: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

10

3. Konstruksi Rumah Sebagai Penjara

4. Konsensus Sosial Versus Keinginan Individual

5. Formasi Keluarga di Tengah Paranoia

6. Keakraban Menjelang Kematian

B. The Postman Always Rings Twice (1946)

1. Latar Belakang Historis

2. Formasi Hubungan Sebagai Modus Naratif

3. Papan Pengumuman dan Prospek Hubungan

4. Dua Konteks Hubungan Protagonis

5. Interpretasi Kegagalan Hubungan Protagonis

C. Kiss Me Deadly (1955)

1. Latar Belakang Historis

2. Bom Atom, Naratif Nihilis dan Relasi Protagonis

3. Christina sebagai Mediator yang Menghilang

4. Lily sebagai Femme Fatale

5. Velda sebagai Potensi Keluarga yang Tak Terwujud

D. Konstruksi Keluarga dalam Film Objek Penelitian

1. Konstruksi Pro-Keluarga

2. Konstruksi Anti-Keluarga

102

106

108

110

113

113

117

119

125

129

132

132

136

139

141

145

148

148

150

BAB V | KESIMPULAN

152

A. Film Noir, Deviasi Konvensi dan Konstruksi Keluarga

B. Kelemahan dan Saran

152

153

DAFTAR PUSTAKA

155

Page 12: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

11

BAB I

LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. Latar Belakang Masalah

Perempuan modern dalam film-film Hollywood selalu ditandai oleh satu

karakteristik: kebebasan akan tanggung jawab domestik. Sepanjang sejarah

Hollywood, penggambaran perempuan semacam ini pertama kali ditemukan

sekitar pertengahan 1940-an sampai akhir 50-an. Tepatnya pada era film noir.

Sebelumnya, baik dalam sinema Hollywood klasik maupun budaya Amerika pada

umumnya, kehidupan rumah tangga selalu digambarkan sebagai solusi dari segala

masalah yang dialami protagonis di awal film. Pada masa itu, ketika sebuah film

dikatakan berakhir bahagia, dapat dipastikan bahwa yang sebenarnya dimaksud

adalah protagonis kembali ke rumah di akhir film. Berdasarkan sudut pandang

tersebut, masuk akal rasanya kalau melihat Dorothy di The Wizard of Oz (1939)

memilih kembali pulang ke rumah setelah berpetualang di negeri ajaib, atau

Scarlet O‟Hara di Gone With the Wind (1939) memutuskan untuk pulang

kampung setelah mendapati pernikahan idamannya kandas di tengah jalan.

Pertanyaannya: apa itu film noir? Film noir adalah label para kritikus

Prancis untuk drama kriminal dengan setting urban yang dirilis Hollywood antara

tahun 1942 sampai tahun 1958.1 Dalam bahasa Prancis, noir artinya „gelap‟.

Alasan para kritikus Prancis tersebut sederhana: film-film produksi Hollywood

pada periode tersebut mengusung mood yang sangat pesimis, bahkan mendekati

nihilis. Saking pesimisnya, konflik dalam film noir seakan-akan tidak ada

solusinya, selain pengkhianatan atau kematian. Kritikus Prancis melihat ini

sebagai sebuah refleksi atas kegelisahan terpendam masyarakat Amerika saat itu,

dan menganggap film noir indeks yang komprehensif tentang kondisi sosial

1 Mike Chopra-Gant. Hollywood Genres and Postwar America. New York: I.B. Tauris, 2006, hal.

4.

Page 13: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

12

masyarakat Amerika pada jamannya. Singkatnya, film noir dianggap sebagai

kritik sosial dalam kedok hiburan massal.

Kecenderungan nihilistik film noir terlihat dari elemen cerita yang selalu

ada dalam film noir. Ada tiga elemen cerita yang lazim: lanskap kota yang suram,

protagonis laki-laki yang depresi karena kerja, serta perempuan penggoda yang

akrab dengan bar-bar berasap dan bertindak sesuka hati tanpa adanya beban

moral. Arketip karakter perempuan film noir lazimnya disebut sebagai femme

fatale: femme yang berarti „perempuan‟ dan fatale yang berarti „berbahaya‟.

Perempuan berbahaya, seperti itulah memang fungsi femme fatale dalam film

noir, dan pada perkembangannya arketip karakter tersebut yang menjadikan film

noir signifikan dalam sejarah film. Untuk pertama kalinya dalam sejarah film, ada

satu kategori film yang secara kontinu menampilkan protagonis laki-laki yang

tidak bisa melepaskan dirinya dari pengaruh antagonis perempuan, dan hanya bisa

memperoleh kebebasanya hanya dengan membunuh perempuan tersebut. Untuk

pertama kalinya dalam sejarah representasi sinematik di Hollywood, perempuan

memperoleh kekuatan sebesar itu atas lingkungannya, dan tidak ada cara lain bagi

laki-laki untuk menegosiasi keberadaannya selain dengan membunuhnya.

Adalah kondisi sosial politik Amerika yang menyebabkan adanya femme

fatale dalam film noir. Paska Perang Dunia II, yakni sekitar pertengahan 1940-an,

Amerika berada dalam posisi yang sangat unik. Ia keluar sebagai pemenang tanpa

mengalami kerusakan infrastruktur sedikit pun. Pasalnya, Perang Dunia II tidak

terjadi di lahan Amerika. Hasilnya, Amerika dapat melanjutkan pembangunannya,

sambil meningkatkan reputasinya dengan meminjamkan utang ke negara-negara

Eropa yang mengalami kerusakan akibat perang. Perekonomian Amerika pun

berkembang pesat. Kehidupan normal lanjut lagi, kali ini dengan perputaran uang

yang lebih banyak. Banyak orang yang sukses dalam iklim perekonomian paska

perang tersebut, yang kemudian menjadi kelas menengah baru. Borjuis baru

tersebut kemudian memilih tinggal di pinggiran kota, untuk mencari lingkungan

yang kondusif untuk kehidupan berkeluarga.

Efek sampingnya, mayoritas perempuan Amerika kembali ke tanggung

jawab tradisionalnya, yakni mengurusi anak dan kebutuhan rumah tangga.

Page 14: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

13

Kondisi ini kontras dengan kondisi saat perang berlangsung.2 Pasalnya, kaum

perempuan terpaksa menghidupi keluarga serindian, karena suami mereka

dipanggil militer untuk berperang di benua sebelah. Banyak perempuan kemudian

masuk ke dunia kerja, untuk mengganti penghasilan suami mereka yang absen

selama perang. Perubahan peran tersebut mendorong perempuan untuk menjadi

independen, dan hasilnya memang wacana emansipasi perempuan berderai

kencang saat itu. Ketika harus kembali ke peran tradisionalnya, banyak kaum

perempuan yang merasa tidak terbiasa harus dikekang lagi. Femme fatale menjadi

simbol dari kegelisahan perempuan Amerika paska perang.

Namun femme fatale tidak signifikan bila hanya berdiri sendiri. Ia

signifikan karena dalam setiap film noir ia selalu dihadapkan pada institusi

keluarga, baik itu keluarga protagonis laki-laki maupun keluarga femme fatale itu

sendiri. Pada dasarnya, femme fatale adalah sebuah anomali dalam kesadaran

masyarakat Amerika paska perang. Saat itu, pemerintah Amerika menekankan

kehidupan komunal, demi terjalinnya persatuan antar komponen negara setelah

masa-masa konflik. Berkembangnya pemukiman pinggiran kota jelas mendukung

program pemerintah tersebut. Keluarga menjadi unit politik terkecil dalam

kehidupan bernegara, dimana pemerintah bisa memanfaatkan keluarga sebagai

sarana penjagaan moral dan etika generasi muda Amerika.3 Oleh karena itu,

karakter femme fatale dalam film noir menjadi signifikan, karena sebagai sebuah

deviasi ia dihadapkan dengan suatu institusi yang merupakan bagian tradisi yang

ingin dijaga.

Melihat latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti konsep

keluarga dalam film noir. Dengan adanya femme fatale sebagai oposisi, peran dan

fungsi masing-masing anggota keluarga pastinya berbeda dibanding dengan

keluarga Amerika sebelum perang. Diharapkan dari penelitian ini dapat

diformulasikan pesan apa yang sebenarnya tertanam dalam mayoritas film noir.

2 John Connor dan Peter Rollins. Why We Fought: America’s Wars in Film and History.

Kentucky: The University Press of Kentucky, 2008, hal. 265. 3 C.P. Hill. A History of the United States, 2

nd edition. Edward Arnold, Ltd.: London, 1966, hal.

257.

Page 15: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

14

Sebagai hiburan massal waktu itu, film noir jelas memegang peranan dalam

pembentukan wacana di masyarakat Amerika paska perang.

Ada tiga alasan kenapa penelitian ini penting. Pertama, film noir

merupakan anomali dalam sejarah Hollywood. Sampai sekarang kritikus dan

sejarawan menganggap film noir sebagai satu-satunya gerakan estetis yang secara

alami berkembang di industri film Hollywood. Oleh karena itu, film noir tidak

bisa dan tidak akan pernah bisa disebut sebagai sebuah genre film. Film noir

sejatinya adalah sebuah periode. Ia lahir dari fenomena yang terjadi di lanskap

sosial politik, dan berakhir karena hal yang sama pula. Alasan utama kenapa

sejarawan selalu yakin film noir berhenti pada tahun 1958, karena pada tahun itu

terjadi paranoia nasional akan ancaman komunisme dari Uni Soviet. Waktu itu

sedang terjadi Perang Dingin, dan kebanyakan sutradara dan penulis naskah film

noir yang beraliran kiri. Akibatnya, mereka diburu dan diseret ke pengadilan oleh

sebuah komite pemerintah. Para pemilik studio pun takut tidak bisa produksi lagi,

sehingga menyetop produksi film noir sepenuhnya.4 Namun, sebagai anomali,

film noir juga menjadi salah satu bagian dari sejarah film Hollywood yang paling

sering salah dipahami. Studi film noir yang ada selama ini baru sampai analisa

visual dan representasi perempuan sebagai femme fatale. Belum ada yang melihat

film noir sebagai sebuah sistem komunikasi yang terdiri dari kontradiksi dua

wacana: stabilitas negara yang diwakili keluarga dengan wacana emansipasi

perempuan dalam wujud femme fatale.

Kedua, film noir masih berpengaruh pada film-film Hollywood sekarang.

Paling terasa pengaruhnya adalah karakter femme fatale, yang didaur ulang dalam

beberapa versi di film-film Hollywood kontemporer.5 Selain itu, plotnya. Plot film

noir yang cenderung nihilistik umumnya memiliki protagonis yang tidak simpatik

di tengah situasi yang amoral. Protagonis tersebut kemudian dihadapkan dengan

femme fatale yang sama amoralnya dan punya agenda terselubung. Di akhir film,

salah satu atau keduanya harus mati atau cerita tidak akan selesai. Namun karena

4 Op. Cit.,Chopra-Gant, hal. 15.

5 Helen Hanson. Hollywood Heroines: Women in Film Noir and Female Gothic and the Female

Gothic Film. New York: I.B. Tauris, 2006, hal. 176.

Page 16: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

15

kedua karakter didesain untuk terlihat tidak simpatik, penonton dihadapkan pada

plot yang berujung pada dua kemungkinan solusi yang sama tidak baiknya. Plot

nihilis macam ini juga banyak didaur ulang di film Hollywood kontemporer.6

Artinya juga, elemen-elemen cerita film noir yang cenderung pesimis dan ambigu

secara moral masuk ke dalam budaya pop kontemporer. Mengingat film

Hollywood merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budaya pop di banyak

belahan dunia, termasuk Indonesia, maka mempelajari film noir sama dengan

mempelajari sebagian dari film kontemporer.

Alasan terakhir, penelitian film di Indonesia masih bersifat sangat

kasuistik. Maksudnya, studi atau kritik film di sini masih berputar pada kasus-

kasus baru yang terjadi di industri perfilman. Alhasil, produk kritikus film di

Indonesia sangat didominasi resensi, ulasan regulasi dan studi representasi.

Sedikit atau mungkin belum ada yang memfokuskan kritiknya dalam kerangka

sejarah, atau setidaknya mencoba menempatkan studinya dalam suatu paradigma

yang menyeluruh tentang suatu bagian dari perkembangan sinema. Untuk kasus

ini, penulis melihat adanya peluang untuk memberi suatu bentuk penyegaran di

bidang yang saat ini sedang jenuh.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana konsep keluarga dikonstruksi secara sinematik dalam struktur

naratif film Double Indemnity, Postman Always Rings Twice dan Kiss Me Deadly?

C. Tujuan Penelitian

Dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan mengetahui

konsep keluarga dalam film noir, dengan menganalisa objek penelitian tiga film

noir: Double Indemnity, Postman Always Rings Twice dan Kiss Me Deadly.

D. Objek Penelitian

Objek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah film noir. Spesifiknya:

Double Indemnity, Postman Always Rings Twice, dan Kiss Me Deadly.

6 Ibid., 207.

Page 17: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

16

Film pertama adalah drama kriminal karya Billy Wilder pada tahun 1944.

Film tersebut dibintangi oleh tiga aktor lakon yang cukup terkenal di jamannya:

Fred MacMurray, Barbara Stanwyck, dan Edward G. Robinson. Naskahnya

diadaptasi oleh sang sutradara dan Raymond Chandler, salah satu penulis cerita

kriminal penting waktu itu, dari novel berjudul Double Indemnity karya James M.

Cain, yang juga merupakan penulis cerita kriminal yang cukup populer di

jamannya.

Film kedua adalah Postman Always Rings Twice karya Tay Garrett tahun

1946. Film ini juga merupakan adaptasi dari salah satu novelnya James M. Cain.

Literatur tersebut sebenarnya sudah diadaptasi dua kali menjadi film. Pertama

jelas pada tahun 1946, sementara yang kedua pada tahun 1981. Meskipun

mayoritas kritikus film menganggap adaptasi tahun 1946 sebagai versi yang lebih

superior, generasi sekarang lebih familiar dengan adaptasi yang kedua, karena

film tersebut dibintangi oleh Jack Nicholson. Reputasi dia jelas lebih dikenal

generasi sekarang ketimbang Lana Turner, John Garfield, dan Cecil Kellaway,

nama-nama yang membintangi adaptasi Postman tahun 1946.

Film ketiga adalah Kiss Me Deadly karya Robert Aldritch tahun 1955.

Seperti dua objek lainnya dalam penelitian ini, film ini juga merupakan dari novel

kriminal yang cukup populer di jamannya. Adalah novelnya Mike Hammer yang

menjadi basis bagi naskah film Kiss Me Deadly. Ketika dirilis, film ini menjadi

debut akting layar lebar bagi Cloris Leachman dan Maxine Cooper.

Ada dua alasan yang mendasari pemilihan tiga film ini sebagai objek

penelitian. Pertama, ketiganya merupakan film-film yang sering digadang sebagai

pencapaian tertinggi dalam film noir, baik secara artistik maupun komersil. Oleh

karena itu, ketiga film ini sering disebut juga sebagai wajah populis dari film noir.

Maksudnya, ketiga film itulah yang menjadi referensi utama publik tentang film

noir. Mengenai hal ini, Leonard Maltin, seorang kritikus film, berkomentar,

Page 18: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

17

“kalau ada orang bertanya apa itu film noir, maka saya akan merekomendasikan

Double Indemnity.”7

Komentar Maltin bukan sekadar kelakar sinefil belaka. Secara komersil,

ketiganya cukup laris untuk ukuran film noir. Ketiganya rata-rata sukses meraih

hasil penjualan tiket sekitar 1.1 sampai 1.2 juta dollar. Memang angka tersebut

tidak cukup tinggi untuk menempatkan ketiganya dalam daftar sepuluh film

terlaris di jamannya masing-masing, yang rata-rata mencapai tiga sampai lima juta

dollar.8 Namun, meski dalam beberapa kasus bisa jadi tolok ukur yang akurat,

hasil penjualan tiket hanya memberi pandangan yang imparsial mengenai

signifikansi suatu film. Logikanya: membeli bukan artinya mendukung apa yang

dibeli. Logika ini semakin kentara dalam hal menonton film. Ketika seseorang

membeli tiket untuk menonton suatu film tidak berarti orang tersebut suka dengan

film yang ia tonton. Ada faktor-faktor lain yang mungkin turut berperan, seperti

rasa penasaran, ajakan teman, trend, dan sebagainya. Alasan-alasan yang terkesan

trivial namun sebenarnya esensial inilah yang tidak terdeteksi ketika suatu film

diukur berdasarkan hasil penjualan tiketnya.9

Signifikansi film noir lebih akurat dilihat dari pencapaian artistiknya.

Dalam kasus ini, pencapaian artistik mencakup gaya visual dan struktur

naratifnya. Bila diturunkan lagi, gaya visual mencakup permainan kontras cahaya

dan komposisi gambar film noir yang klaustrofobik. Sementara struktur naratif

film noir mencakup struktur cerita nonlinear, dimana keluarga, polisi dan femme

fatale memainkan perannya masing-masing dalam drama kriminal yang penuh

lika-liku. Film noir adalah genre pertama yang secara sadar menggunakan elemen-

elemen tersebut dalam bangunan sinematiknya. Pengaruhnya, seperti yang

ditunjukkan para kritikus, bisa terlihat di film-film Hollywood kontemporer,

dimana elemen-elemen tersebut kembali muncul dalam versi modern. Ketiga film

yang dijadikan objek penelitian bisa dibilang sebagai film-film yang memiliki

7 Komentar Leonard Maltin dapat ditemukan dalam dokumenter pendek berjudul Shadows of

Suspense, fitur tambahan DVD Double Indemnity, yang dirilis oleh Universal Studio Home

Entertainment pada tahun 2003. 8 Op. Cit., Chopra-Gant, hal. 13.

9 David Bordwell. Poetics of Cinema. New York: Routledge, 2008, hal. 30.

Page 19: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

18

semua elemen yang diasosiasikan dengan film noir. Ketiganya merupakan katalog

yang kredibel bagi genre film noir itu sendiri. Hal ini mengingatkan penulis pada

mantra favorit para statistikawan: untuk mencari tahu rasa daging sapi, kita tidak

perlu memakan seluruh badan sapi. Prinsip yang sama berlaku dalam penelitian

ini.

Kedua, ketiga film objek penelitian tersebut mewakili perkembangan film

noir selama keberadaannya di Hollywood. Double Indemnity dirilis pada tahun

1944, dua tahun setelah dirilisnya The Maltese Falcon, film yang sejarawan film

setujui sebagai film noir pertama. Sepanjang dua tahun tersebut, pembuat film di

Hollywood belum menemukan formula yang stabil dalam mengeksekusi

konvensi-konvensi film noir. Terlihat dari kedua film adanya perbedaan

karakterisasi antara protagonis laki-laki dan femme fatale. The Maltese Falcon

membingkai kedua karakter tersebut dalam sebuah cerita perebutan artefak

berharga, yang tidak menghubungkan keduanya dalam sebuah konteks keluarga.

Sejak awal relasi keduanya berjalan sendiri-sendiri dan terus begitu sampai akhir

film. Mereka saling menikam dan menipu karena mereka ingin memastikan uang,

yang mungkin didapat dari artefak berharga, mendarat di kantong mereka. Tidak

ada kebersamaan dan harapan untuk bersama yang dipertaruhkan, hanya uang dan

keuntungan pribadi.

Double Indemnity menambahkan satu elemen yang absen dalam The

Maltese Falcon: keluarga. Ada kebersamaan dan harapan untuk bersama yang

dipertaruhkan sepanjang film, bukan hanya uang dan keuntungan pribadi saja.

Menurut Leonard Maltin, Double Indmenity adalah film noir pertama yang

menjadikan keluarga sebagai lokus pemantik dan pengembang konflik dalam

kerangka ceritanya. Menurut Maltin, konvensi cerita tersebut yang kemudian

dapat ditemukan dalam film-film noir setelah Double Indemnity, termasuk The

Postman Always Rings Twice dan Kiss Me Deadly. Sederhananya, Double

Indemnity menjadi cetak biru bagi Hollywood dalam memproduksi film noir.

Pembuat film dan produser sudah menemukan formula yang stabil dalam

mengeksekusi konvensi-konvensi film noir.

Page 20: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

19

Ketika penggunaan konvensi naratif sudah mencapai tahap yang stabil,

tahap perkembangan selanjutnya adalah variasi. The Postman Always Rings Twice

dan Kiss Me Deadly berada di tahap perkembangan tersebut. The Postman Always

Rings Twice dirilis pada tahun 1946, dimana Hollywood baru segar-segarnya

mereplika cetak biru yang disediakan oleh Double Indemnity. Tidak heran kalau

The Postman Always Rings Twice terlihat seperti versi minimalis dari Double

Indemnity. Sepanjang cerita The Postman Always Rings Twice, konflik selalu

dimulai dan dikembangkan pada kebersamaan dan harapan untuk bersama

protagonis laki-laki dan femme fatale. Motif cerita perebutan keuntungan finansial

malah tidak ditemukan sama sekali. Kiss Me Deadly dirilis pada tahun 1955,

sebelas tahun setelah Double Indemnity masuk bioskop. Berbeda dengan Double

Indemnity dan The Postman Always Rings Twice, film tersebut hanya membuat

rujukan kalau keluarga adalah konsep yang mungkin dicapai, namun tidak

menujukkannya sama sekali dalam cerita.

Dalam konteks penelitian ini, menganalisa ketiga film tersebut sama

dengan menganalisa bagaimana keluarga, sebagai konvensi cerita yang penting

dalam film noir, berkembang sepanjang periode film noir.

E. Kerangka Pemikiran

1. Film Noir

a. Film Noir dalam Sejarah

Andre Bazin, kritikus film asal Prancis, pernah memprediksikan

bahwa sejarah film akan terus bergerak menuju realisme. Maksudnya,

teknologi film yang makin canggih akan mendorong pembuat film untuk

merekam kenyataan semurni mungkin, tanpa adanya rekayasa artifisial.10

Prediksi tersebut ditulis Bazin pada dekade 50-an. Pada waktu yang

sama, film noir sedang naik daun, tidak saja di Hollywood tapi juga di

kalangan kritikus film Prancis. Penyebabnya satu: gaya visual film noir,

10

Donato Totaro. Andre Bazin Revisited, Part 1: Film Style Theory in its Historical Context. 31

Juli 2003. (http://www.horschamp.qc.ca/new_offscreen/bazin_intro.html)

Page 21: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

20

yang penuh permainan cahaya dan beragam teknik ekspresionis lainnya.

Praktis prediksi Bazin tidak berumur panjang.

Kehadiran film noir tidak saja menjadi anomali dalam kerangka

sejarah versi Bazin, tapi juga di sejarah Hollywood sendiri. Hadir dengan

gaya tutur yang belum pernah disaksikan penonton Amerika sebelumnya,

baik secara visual maupun secara naratif, film noir digadang-gadang para

kritikus film sebagai gerakan estetis pertama yang secara organis

berkembang di Hollywood. Klaim ini bukan berarti film-film sebelum

era noir bukanlah produk asli Hollywood. Mengingat industri film

Hollywood sejak awal dikembangkan oleh para pebisnis, sah rasanya

mengatakan kalau film-film komedi, musikal dan horror yang

mendominasi Hollywood sejak 1900 sampai 1930-an sebagai produk asli

Hollywood.11

Para pebisnis lebih mementingkan pencapaian finansial,

dan jenis film yang menarik perhatian penonton adalah komedi, musikal

dan horror. Pantaslah yang diproduksi film-film semacam itu.

Film noir dikatakan sebagai perkembangan yang organis, karena

film noir hadir di saat Amerika sedang mempertanyakan identitasnya

sendiri. Peristiwa tersebut terjadi setelah Perang Dunia II baru saja

selesai, dan Amerika memperoleh keuntungan yang tidak terduga.

Kondisi paska perang memberikan dua hal bagi Amerika: infrastruktur

negara yang utuh dan reputasi sebagai peminjam dana bagi negara-negara

korban perang. Hal tersebut bisa terjadi karena perang tidak terjadi di

tanah Amerika, melainkan di benua Eropa. Praktis Amerika memperoleh

kekayaan yang berlimpah, baik dari bunga hasil pinjaman maupun dari

hasil industri yang terus berjalan ketika perang berlanjut. Keuntungan

finansial tersebut berujung pada iklim ekonomi yang kondusif, yang

menciptakan lapangan kerja yang luas dan peluang kesejahteraan yang

lebih terbuka bagi masyarakat Amerika. Pendapatan rata-rata per orang

11

Wheeler Dixon dan Gwendolyn Foster. A Short History of Film. New Jersey: Rutgers University

Press, 2008, hal. 24.

Page 22: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

21

pun meningkat, dan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan

menurun.

Naiknya tingkat kesejahteraan kemudian melahirkan tiga

kebutuhan baru di kalangan masyarakat. Pertama adalah kebutuhan akan

tempat tinggal yang lebih baik. Alhasil, terjadi perpindahan penduduk

besar-besaran dari kota ke pinggir kota. Orang-orang mulai

menginginkan rumah yang luas dan halaman yang lapang bagi

keluarganya. Kemudian, kebutuhan material. Rumah baru di lingkungan

baru, yang cenderung jauh dari pusat kota, praktis memerlukan perabotan

dan kendaraan baru pula. Kebutuhan lainnya adalah jaminan masa depan.

Kesejahteraan paska perang diprediksi tidak bisa selamanya berlangsung.

Persaingan di dunia kerja semakin ketat. Lapangan kerja yang tadinya

luas mulai sesak oleh tenaga kerja baru. Ditambah dengan ancaman

perang nuklir yang bisa meletus kapan saja, mengingat beberapa saat

setelah Perang Dunia II Amerika memasuki Perang Dingin dengan Uni

Soviet, kebutuhan akan jaminan masa depan tersebut makin terasa

mendesak.

Banyaknya kebutuhan baru tersebut menciptakan budaya

materialisme yang mengakar di masyarakat Amerika. Para laki-laki harus

bekerja keras untuk menafkahi keluarganya. Namun semakin keras

mereka bekerja, semakin banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhi.

Mereka seperti terperangkap dalam lingkaran setan. Di sisi lain, para

perempuan hanya bisa mengerjakan urusan rumah tangga. Kondisi ini

kontras dengan saat perang dulu, dimana para perempuan memperoleh

kebebasan untuk memilih pekerjaan mereka sendiri. Waktu itu banyak

laki-laki yang dipanggil militer untuk ikut berperang. Alhasil, banyak

perempuan yang masuk dunia kerja untuk menyambung hidup

keluarganya. Ketika perang usai, lanskap sosial berbalik lagi: dunia kerja

Page 23: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

22

kembali jadi milik para suami, dan rumah tangga kembali diakrabi para

istri.12

Kebingungan sosial inilah yang tertangkap dalam film noir. Ada

dua jalur yang membawa fenomena di lanskap sosial sampai ke layar

lebar. Jalur pertama adalah novel-novel kriminal, yang pada tahun 40

sampai 50-an menjadi budaya pop di Amerika. Pihak percetakan

menamai novel-novel tersebut dengan label hardboiled pulp fiction, yang

artinya adalah cerita fiksi kriminal yang dicetak di kertas kualitas rendah.

Dengan bahan dasar yang murah, harga novel dapat ditekan serendah

mungkin. Oleh karena itu, novel-novel kriminal tersebut bisa dengan

mudah diakses masyarakat kelas menengah ke bawah.

Daya tarik novel-novel kriminal tersebut ada pada protagonisnya:

detektif laki-laki yang terbelah antara konflik di tempat kejadian perkara

dan roman dengan perempuan-perempuan yang ia temui di bar. Detektif

tersebut tanpa pikir panjang bisa menggunakan kekerasan dan cara-cara

di luar hukum lainnya untuk mencapai tujuan mereka. Kehidupan

romantis macam ini jadi semacam obat bius bagi masyarakat Amerika,

yang mayoritas terjebak dalam lingkaran kerja yang tidak ada habisnya.

Berkat sirkulasi penjualan novel yang tinggi dan eksposur lewat beragam

cerita pendek di koran harian, beberapa dari tokoh detektif tersebut,

seperti Sam Spade di cerita-ceritanya Dashiell Hammett atau Mike

Hammer di karya-karyanya Mickey Spillane, menjadi idola tersendiri di

masyarakat Amerika.

Jalur kedua datang dari para pekerja film. Perang di benua Eropa

dan ancaman Nazi sebagai kekuatan politik membuat banyak sutradara

dan penulis naskah di Jerman hijrah ke Amerika. Alasan mereka ada dua.

Pertama, Hollywood menawarkan jaminan keselamatan dan prospek

karier. Dua hal tersebut jelas tidak dapat mereka temui di benua Eropa

yang sedang diamuk perang antar bangsa. Kedua, mereka lebih mungkin

12

Eugenia Kaledin. Mothers and More: American Women in the 1950s. Boston: Twayne

Publishers, 1984, hal. 5.

Page 24: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

23

hidup dan berkarya sesuai orientasi ideologis mereka di Amerika.

Naiknya Nazi sebagai kekuatan fasis di Eropa jelas tidak sesuai dengan

apa yang mereka percayai selama ini, terutama mayoritas imigran

tersebut berideologi kiri. Status Amerika sebagai negeri yang bebas,

meski dikuasai oleh praktek kapitalis dan paranoia anti kiri, jelas menjadi

pilihan yang lebih aman. Hijrahlah para pekerja film tersebut dari Eropa

ke Amerika. Nama-nama yang nantinya akan memperkaya khazanah film

noir, seperti Michael Curtiz, Billy Wilder dan Fritz Lang, termasuk di

dalamnya. Sambil menyelematkan diri dari ancaman perang, para

imigran tersebut turut membawa pengetahuan film yang mereka pelajari

selama berkarier di Eropa dan menerapkannya di Hollywood.

Oleh karena itu tidak heran film noir sangat sarat dengan

permainan cahaya dan kontras yang tinggi. Karakteristik visual tersebut

sangat mirip dengan karakteristik film-film ekspresionisme Jerman, suatu

aliran estetika yang dominan di Eropa sejak tahun 1920-an. Ciri khas

ekspresionisme Jerman adalah pemanfaatan mise-en-scene untuk

menggambarkan suatu kondisi mental. Ambil contoh Cabinet of Doctor

Caligari, film ekspresionis Jerman yang diproduksi tahun 1920 oleh

Robert Wiene. Dalam film tersebut, mise-en-scene, yang mencakup latar,

cahaya dan kostum, terlihat sangat berlebihan dan tidak proporsional. Hal

tersebut sengaja dilakukan untuk membingkai protagonis film tersebut

sebagai karakter yang eksentrik.

Langkah yang sama diambil oleh para sutradara film noir, namun

dengan tujuan yang berbeda. Film noir memang banyak memainkan

elemen-elemen dalam mise-en-scene untuk menggambarkan

kebingungan dan kegelisahan yang dihadapi protagonisnya. Bedanya

dengan film-film ekspresionis Jerman, permainan mise-en-scene dalam

film noir terjadi secara teratur dan diusahakan terlihat senyata mungkin.

Maksudnya, jendela dalam film noir akan tetap terlihat seperti jendela

yang kita lihat di kehidupan sehari-hari: suatu lubang di tembok

berbentuk persegi atau persegi panjang, yang dilengkapi kaca dan teralis.

Page 25: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

24

Dalam film ekspresionis, jendela bisa jadi sesuatu yang tidak berbentuk

persegi atau persegi panjang dan tidak dilengkapi kaca dan teralis, tapi

tetap berfungsi sebagai jendela.

Komitmen formalis terhadap kenyataan tersebut diakali para

sutradara noir dengan memainkan cahaya. Teralis jendela, misalnya,

disorot dengan lampu berkekuatan tinggi untuk menciptakan bayangan

mirip jeruji penjara di tembok. Teknik tersebut seringkali ditemukan

dalam film noir, dan biasanya berarti kondisi karakter yang sedang

merasa „terpenjara‟ oleh masalah yang sedang ia hadapi. Teknik lainnya:

wajah karakter yang disorot cahaya terang sebagian dan sebagian lainnya

dibiarkan gelap. Teknik tersebut seringkali digunakan sutradara film noir

untuk menggambarkan ambigunya aliansi yang dijalani suatu karakter

untuk menyelesaikan konfliknya.

Dari sini terlihat bagaimana film noir merupakan sinergi dari dua

hal yang sangat kontradiktif. Di satu sisi ada sekelompok produser yang

ingin mengeksploitasi novel-novel kriminal sebagai bahan jualan tiket,

sementara di sisi lain ada sekelompok pekerja film dari Eropa yang ingin

terus berkarier sesuai ideologinya, baik secara politis maupun artistik.

Sinergi inilah yang menjadi awal kelahiran film noir, yang pada

perkembangannya menjadi fenomena industri film di Hollywood sampai

akhir dekade 50-an.

b. Film Noir sebagai Genre

Sebelum menjelaskan film noir sebagai suatu genre, patut

dijelaskan terlebih dahulu apa itu genre. Tony Bennet menjelaskan ada

kalau ada dua pendekatan dalam menjelaskan genre.13

Pertama adalah

dengan melihat genre secara sosiologis. Pendekatan ini dimulai dari teks

lalu bergerak ke konteks. Cara kerjanya: beberapa film sejenis dilihat dan

dicatat karakteristik-karakteristiknya yang ada di semua objek penelitian.

Karakteristik-karakteristik tersebut kemudian diperlakukan sebagai faktor

13

Tony Bennett. Outside Literature. New York: Routledge, 1990, hal. 16.

Page 26: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

25

dominan, yang menjadi penyusun utama film-film dari suatu genre.

Faktor dominan tersebut kemudian dianalisa dengan tujuan mencari

korelasi antara faktor dominan suatu genre dengan konteks sosial tempat

dimana genre tersebut berada.

Pendekatan kedua sebaliknya: mulai dari konteks, baru lanjut ke

teks. Dalam mendedah film, pendekatan ini bergantung pada penonton

dan media. Pasalnya, penonton menjadi institusi yang mendefinisikan

potensi-potensi suatu genre. Film horror, misalnya, diasumsikan secara

umum bakal memberi rasa takut pada penontonnya. Buktinya terlihat dari

setiap publikasi film horror yang baru rilis cenderung mengklaim bahwa

filmnya lebih seram dari film-film horror sebelumnya. Kebanyakan

penonton film horror datang ke bioskop juga karena rasa penasaran

apakah film horror yang satu ini lebih seram dari film horror lainnya.

Dari sini terlihat adanya kesadaran di kalangan penonton dan media

bahwa film yang berasal dari genre horror pasti punya elemen-elemen

yang menakutkan.

Film noir merupakan kasus yang problematis. Dianalisa

menggunakan pendekatan manapun, film noir memiliki inkonsistensi

internal yang membuatnya tidak bisa disebut sebagai genre. Melalui

pendekatan pertama, kebanyakan film noir cenderung memiliki

kesamaan di karakter, yakni protagonis pria yang terepresi di bidang

profesional maupun di relasi personal. Karakter lainnya adalah femme

fatale. Meski keduanya lahir dari konteks sosial yang ada, kedua tipologi

karakter tersebut tidak bisa disebut eksklusif milik film noir. Tipologi

protagonis pria film noir sudah ada di film-film detektif dan gangster

Hollywood sejak tahun 80-an, sementara femme fatale berlanjut

kariernya hingga sinema kontemporer, baik di Hollywood maupun di luar

Hollywood.

Pendekatan kedua juga sama bermasalahnya. Pasalnya, istilah

film noir sendiri aslinya tidak berasal dari penonton maupun media,

melainkan dari lingkaran kritikus. Lebih spesifik lagi, lingkaran kritikus

Page 27: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

26

film Prancis. Istilah film noir baru masuk khazanah perfilman Hollywood

setelah tahun 70-an, jauh setelah film noir sudah tidak diproduksi lagi di

Hollywood. Sebelum itu, tidak ada satu pun literatur berbahasa Inggris

yang membahas film noir14

. Masalah klasifikasi ini makin runyam,

karena beberapa kritikus menambahkan „label pengantara‟, macam semi

noir atau film gris (film abu-abu). Label-label tersebut dibuat untuk

menjelaskan film-film yang punya karakteristik seperti film noir, tapi

sejatinya bukan film noir.

Pendekatan paling aman dalam menganalisa film noir adalah

dengan memperlakukannya sebagai genre yang terbatas secara temporal.

Sederhananya, memperlakukan film noir bukan sebagai genre, tapi

sebagai suatu periode. Melalui pendekatan ini, film noir dipandang

sebagai suatu fenomena perfilman Hollywood antara tahun 1942 sampai

tahun 1988. Titik mulanya adalah waktu dirilisnya Maltese Falcon karya

John Huston, yang digadang-gadang sebagai film noir pertama, dan titik

akhirnya adalah Touch of Evil karya Orson Welles, yang disebut sebagai

film noir terakhir yang diproduksi di Hollywood.

Dengan memperlakukannya sebagai suatu periode, film noir

kemudian dapat diteliti berdasarkan satu atau dua esensinya. Pemikiran

ini sejalan dengan pemikiran Raymond Borde dan Etienne Chaumeton,

sepasang kritikus film Prancis yang termasuk salah satu pionir dalam

studi film noir. Borde dan Chaumeton berargumen bahwa “film noir pada

umumnya berfokus pada satu karakter, satu adegan dan satu lokasi

saja...”15

Menganalisa film noir layaknya drama kriminal biasa hanya

akan menghasilkan kebingungan, karena film noir pada dasarnya

merupakan suatu tautan ide-ide yang berhubungan dengan genre-genre di

luar film noir.

14

Rebecca House Stankowski. Night of the Soul: American Film Noir. Studies in Popular Culture,

Ver. 9, No. 1, 1986, hal. 65. 15

Raymond Borde, Etienne Chaumeton. A Panorama of American Film Noir, 1941-1953. San

Francisco: City Lights Book, 1955, hal. 3.

Page 28: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

27

Keuntungan lainnya dari analisa film noir sebagai suatu periode

adalah fokus. Dengan menempatkan batas awal dan akhir, film noir dapat

dianalisa sesuai konteks historisnya. Tidak dapat dipungkiri banyak

elemen-elemen film noir yang diserap oleh sinema kontemporer, dan

mengalami modernisasi baik secara penyajian maupun pemaknaan.

Namun, perkembangan tekstual tersebut hanya bisa terjadi karena ada

perkembangan di konteksnya. Dengan menganalisa film noir secara

menyeluruh dari teks hingga konteksnya, dapat ditemukan sejauh mana

elemen-elemen film noir dalam sinema Hollywood kontemporer

berkembang dari makna aslinya.

2. Keluarga

Dalam penelitian ini, keluarga dilihat sebagai unit produksi.

Konsep tersebut membingkai keluarga sebagai agen dari perkembangan

ekonomi yang menghidupi dirinya sendiri. Berdasarkan konsep tersebut,

setiap anggota keluarga dinilai dari kemampuannya berkontribusi dalam

segi ekonomi, yang berarti menakar setiap anggota keluarga dari potensi

pemasukan dan pengeluaran finansialnya.16

Untuk bertahan hidup

tentunya dibutuhkan pemasukan yang lebih besar dari pengeluarannya.

Oleh karenanya, keluarga sebagai unit produksi yang ideal adalah

keluarga yang setiap anggota keluarganya mampu memperoleh

pemasukan yang lebih besar ketimbang pengeluaran finansialnya.

Konsep keluarga sebagai unit produksi sejatinya adalah refleksi

dari fenomena yang terjadi selama revolusi industri di Inggris. Sebelum

terjadi revolusi industri, kerja terjadi di dalam rumah. Keluarga bekerja

layaknya pabrik, yang membeli bahan mentah dan mengolahnya menjadi

produk jadi atau semi-jadi.17

Produk-produk tersebut kemudian yang

dipasarkan. Pada tahun 1750, keberadaan sejumlah pabrik menyebabkan

16

Stephanie Coontz. Marriage, A History: How Love Conquered Marriage. New York: Penguin

Books, 2005, hal. 216-217 17

Bonnie Smith. Changing Lives: Women in European History Since 1700. Lexington: D.C.

Heath, 1989, hal. 89-91.

Page 29: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

28

Inggris memasuki fase industrialisasi. Dalam kasus ini, industrialisasi

berarti mekanisasi dari proses produksi, yang mensubstitusi tenaga

makhluk hidup dengan mesin.

Konsekuensi dari industrialisasi bagi kehidupan keluarga adalah

keluarga yang semakin kecil. Keberadaan industri memindahkan kerja

dari rumah tangga ke pabrik dan kantor. Rumah menjadi murni untuk

kehidupan pribadi. Namun, keberadaan pabrik juga menciptakan adanya

siklus ketergantungan antara rumah dan tempat kerja. Rumah tak lagi

menjadi unit produksi yang independen seperti sebelum revolusi industri,

yang berarti keluarga tidak lagi menentukan hajat hidupnya sendiri.

Kemampuan suatu keluarga untuk bertahan hidup bergantung pada

penghasilan yang diterima dari tempat kerja. Konsekuensinya: ukuran

keluarga ditekan sekecil mungkin, sehingga bujet untuk mengurus

keluarga tidak melebihi penghasilan yang diterima dari tempat kerja.

Terbukti di Inggris, salah satu konsekuensi dari revolusi industri adalah

menurunnya populasi negara.

Di Amerika, konsep keluarga sebagai unit produksi menyeruak ke

ranah publik ketika depresi ekonomi melanda pada tahun 1929. Banyak

pabrik dan kantor yang tutup, yang menyebabkan pengangguran massal.

Banyak keluarga yang menderita karenanya. Untuk menghadapi masalah

pelik tersebut, seorang intelektual bernama Ralph Borsodi mencangkan

sebuah program, yang intinya mengembalikan produksi ke lingkungan

rumah. Dalam bukunya Flight from the City (1933: 11-17), Borsodi

memaparkan bagaimana keluarganya bisa bertahan selama depresi

ekonomi berlangsung. Bersama keluarganya, Borsodi pindah ke luar

kota, dari New York ke sebuah pemukiman sederhana di Dayton, Ohio.

Di situ, Borsodi memulai suatu pertenakan, yang pada perkembangannya

sukses menghidupi keluarganya sendiri.

Tindakan Borsodi adalah cerminan dari tindakan serupa yang

diambil sebagaian keluarga di Amerika Serikat sepanjang dekade 1930-

an, ketika depresi ekonomi kian memuncak. Sebagian lainnya memilih

Page 30: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

29

untuk bertahan di kota. Pada jaman itu, bertahan di kota berarti setia

dengan pola kehidupan keluarga jaman industri, yakni menggantungkan

harapan hidup keluarga pada pemasukan dari tempat kerja. Namun,

meningat pabrik dan kantor di kota sudah banyak tutup, keluarga-

keluarga tersebut mencoba bertahan hidup dengan memperbanyak

anggota keluarga yang masuk ke lapangan kerja, yang berarti tidak saja

suami yang bekerja, tapi juga istri.18

Statistik mencatat bahwa selama dekade 1900-an, kurang dari 6%

perempuan bersuami yang bekerja di luar rumah. Statistik tersebut dapat

dijelaskan dari kondisi Amerika Serikat yang waktu itu belum terkena

depresi ekonomi. Keluarga dapat bertahan hanya dengan pemasukan

suami saja, sementara istri mengurus rumah dan anak (kalau punya).

Pada dekade 1930-an, jumlah perempuan bersuami yang bekerja di luar

rumah meningkat hingga lebih dari 15%. Menurut Stephanie Coontz,

statistik pada tahun 1930-an tersebut hanya mencakup perempuan yang

bekerja di kantor dan pabrik yang secara legal resmi. Padahal,

kenyataannya waktu itu masih ada ribuan istri-istri lainnya yang bekerja

di sektor non-formal, di pekerjaan-pekerjaan yang secara legal tidak

terdaftar resmi.19

Ketika depresi ekonomi usai, maka konsep keluarga sebagai unit

produksi di Amerika Serikat turut berubah. Hal tersebut kentara ketika

Amerika Serikat mengalami kemakmuran pasca Perang Dunia II. Pada

dekade 1950-an, ketika perang sudah usai, peran perempuan kembali dari

tempat kerja ke rumah, dan laki-laki dari medan perang ke tempat kerja.

Keluarga sebagai unti produksi yang ideal berarti menjadi lebih spesifik:

suami sebagai yang bertugas mencari uang, sementara istri sebagai yang

mengatur rumah tangga dan mengurus anak (kalau punya). Ada

pembagian peran yang jelas, yakni suami sebagai pencari nafkah, dan

istri sebagai pengatur pengeluaran.

18

Steven McLaughlin. The Changing Lives of American Women. Chapel Hill: University of North

Carolina Press, 1988, hal. 55-56. 19

Op cit. Coontz, hal. 219.

Page 31: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

30

Adalah regulasi pemerintahan Amerika yang menciptakan konsep

keluarga sebagai unit produksi yang ideal di atas. Pada tahun 1950,

pemerintah merilis sebuah undang-undang bernama The GI Bill. Undang-

undang tersebut menjamin adanya bantuan finansial bagi para veteran

perang.20

Ada dana bagi mereka yang ingin melanjutkan sekolah, setelah

sebelumnya terputus oleh perang. Ada subsidi bagi veteran yang

memiliki keluarga. Subsidi tersebut yang kemudian menjadi modal

banyak keluarga Amerika Serikat untuk menata kembali rumah tangga

mereka, dan kembali ke lapangan kerja.

Sebelum ada The GI Bill, pemerintah Amerika Serikat sebenarnya

sudah mengarahkan keluarganya untuk membagi peran suami sebagai

pencari nafkah dan istri sebagai pengatur pengeluaran. Pada tahun 1948,

pemerintah Amerika Serikat merevisi kebijakan pajak penghasilan, yang

dalam prakteknya lebih menguntungkan pasangan suami-istri dengan

satu pencari nafkah (primary earner).21

Kebijakan pajak tersebut

memungkinkan suami dan istri untuk melaporkan pajaknya secara

terpisah, yang berarti juga memungkinkan keduanya membagi

pendapatan suaminya. Modus tersebut memungkinkan seorang suami

membagi setengah pendapatannya ke istri, walaupun si istri tidak

memiliki penghasilan sama sekali. Di mata Departemen Pajak, istri yang

tuna karya membuat seorang suami pantas dimasukkan ke dalam

kelompok yang dikenai pajak rendah. Berbeda dengan laki-laki yang

hidup sendiri dan suami yang istrinya punya pekerjaan. Kedua kelompok

tersebut dikenai pajak yang tinggi oleh pemerintah.22

Kebijakan pajak yang pemerintah Amerika rilis pada tahun 1948

sebenarnya kontras dengan kebijakan mereka selama Perang Dunia II

berlangsung. Ketika para laki-laki mengabdi pada negara di medan

perang, pemerintah memasang banyak iklan sosial di kota-kota, yang

20

Ibid., hal. 223. 21

Ibid., hal. 224 22

Stanley Surrey, Federal Taxation of the Family-The Revenue Act of 1948 dalam Harvard Law

Review 61, 1948, hal. 1112.

Page 32: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

31

semuanya meminta para perempuan untuk masuk dunia kerja. Pesan

yang seluruh iklan tersebut sampaikan: perempuan diharapkan pekerja,

atau para tentara akan mati di medan perang, karena kekurangan pangan

dan bahan untuk kehidupan sehari-hari. Waktu itu, pesan tersebut sudah

cukup untuk memotivasi para istri untuk masuk ke lapangan kerja.

Selama Perang Dunia II berlangsung, pemerintah memberi signifikansi

yang khusus pada perempuan. Namun, setelah perang usai, kembali laki-

laki yang diberikan signifikansi khusus, sementara perempuan

diposisikan kembali ke habitus mereka sebelum perang: rumah.

Model keluarga, dimana suami sebagai pencari nafkah dan istri

sebagai pengatur keluarga, adalah model keluarga yang kemudian banyak

ditemukan di keluarga-keluarga Amerika Serikat pasca perang. Model

keluarga yang serupa dapat ditemukan dalam film noir, yang juga

berkembang dalam periode yang sama. Dalam penelitian ini, film noir

berarti dilihat sebagai cerminan dari apa yang terjadi di lanskap sosial

jamannya.

F. Metodologi

Penelitian ini merupakan study of poetics atau, bila diterjemahkan secara

harafiah, studi karya-karya puitis. Keterbatasan bahasa Indonesia menjadikan

istilah poetics sempit artinya. Secara etimologi, poetics berasal dari bahasa

Yunani yang berarti “membuat”. Objek yang dibuat adalah karya seni.

Berdasarkan genealogi tersebut, poetics merujuk pada aspek estetis suatu karya

seni. Oleh karena itu, study of poetics dalam prakteknya menganalisa konvensi-

konvensi yang terdapat dalam suatu karya seni.

Ketika pertama kali dirumuskan oleh Aristoteles 350 tahun sebelum

masehi, poetics eksklusif merujuk pada puisi dan drama panggung.23

Penerapan

poetics versi Aristotles ke film jelas akan mengalami kesenjangan, karena film

secara estetis berbeda dengan puisi dan drama panggung. Film dibangun lewat

23

Bernard Dukore. Dramatic Theory and Criticism: Greeks to Grotowski. Florence: Heinle &

Heinle, 1974, hal. 31.

Page 33: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

32

dua unsur: materi audiovisual dan naratif berbasis realita filmis. Keduanya jelas

tidak dapat ditemukan dalam puisi dan drama panggung. Puisi terdiri dari kata-

kata, bukan gambar dan suara. Sementara itu, dramaturgi drama panggung

berbeda dengan naratif film. Drama panggung sangat bergantung pada akting

pemainnya, sementara film tidak. Gerakan kamera dan editing memungkinkan

penonton untuk sesuka hati mengeksplorasi detail-detail dalam film. Film, puisi,

dan drama panggung masing-masing dipahami dengan cara yang berbeda. Oleh

karena itu, poetics hanya bisa diterapkan dalam film apabila prinsip-prinsipnya

disesuaikan dengan karakterisitik medium film.

David Bordwell, seorang teoritisi film kelahiran Amerika, adalah salah

satu figur yang sukses merekontekstualisasi poetics ke dalam kerangka estetis

film. Dalam buku Poetics of Cinema, Bordwell mendefinisikan study of poetics

sebagai “suatu program riset yang menganalisa prinsip-prinsip yang membangun

suatu film dan efeknya bagi penonton”.24

Berdasarkan definisi Bordwell, analisis

film berbasis poetics merupakan kegiatan penelitian yang sangat tekstual, karena

fokusnya adalah konvensi yang terdapat dalam film. Oleh karena itu, fenomena-

fenomena di luar film, seperti distribusi film atau demografi audiens, tidak

menjadi prioritas utama dalam studi poetics. Namun, hal ini bukan berarti kalau

fenomena-fenomena di luar film tidak perlu diteliti. Informasi mengenai distribusi

film atau demografi audiens tetap perlu diteliti, asalkan hal tersebut berkaitan

dengan konvensi yang terdapat dalam film objek penelitian.

Analisis film berbasis poetics dapat difungsikan berdasarkan dua orientasi.

Orientasi pertama adalah orientasi analitis. Berdasarkan orientasi ini, analisis film

dilihat berdasarkan prinsip-prinsip yang membangun suatu film dan bagaimana

prinsip-prinsip tersebut kemudian mempengaruhi penonton secara psikologis.

Sederhananya, film dianalisis berdasarkan elemen pembangunnya dan efeknya ke

penonton. Orientasi yang kedua adalah orientasi historis. Dalam perspektif ini,

film dilihat berdasarkan kondisi empiris yang melingkupinya. Film dalam periode

waktu tertentu, dengan fenomena sosial-politiknya yang distingtif, cenderung

memiliki gaya tutur dan visual yang berbeda dengan film dari periode waktu

24

Op. Cit., Bordwell, hal. 23.

Page 34: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

33

lainnya. Kondisi historis tersebut menjadi semacam syarat terwujudnya suatu gaya

tutur dan visual yang terdapat dalam film periode tertentu.

Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa penelitian ini

berada pada orientasi kedua. Tanpa ada setting sosial-politik yang melatari

pembentukannya, film noir tidak akan mengusung estetika yang kita kenal

sekarang: naratif non-linear, kontras warna hitam-putih yang tinggi dan komposisi

visual yang klaustrofobik. Film noir tidak akan berkembang di tempat atau

periode waktu lainnya, karena memang hanya situasi Amerika periode 1940

sampai 1950-an yang bisa menginspirasi studio-studio Hollywood saat itu untuk

memproduksi film noir.

Meski berbeda, kedua orientasi analisis film berbasis poetics sejatinya

memiliki pola kerja yang sama. Kerangka kerjanya menurut Bordwell mencakup

enam elemen: detail (particulars), pola (patterns), tujuan (purposes), prinsip

(principles), praktek (practices) dan efek ke penonton (processing).25

Semuanya

berhubungan dengan satu sama lain. Ketika menganalisa suatu film, setiap detail

jadi bisa diteliti, sekecil apapun itu. Mulai dari sebaris kalimat dalam suatu dialog

hingga bebunyian dalam suatu adegan, masing-masing memiliki siginifkansinya

sendiri. Pada konteks yang lebih luas, detail-detail tersebut bisa jadi berulang dan

membentuk suatu pola. Protagonis dalam suatu film bisa jadi mengulangi kalimat

tertentu beberapa kali, atau suatu lokasi bisa jadi diterangi dengan cahaya tertentu.

Pertanyaannya kemudian: apa yang membuat suatu pola layak diikuti, terutama

dalam menganalisa suatu film?

Tujuannya. Suatu pola atau motif menjadi signifikan apabila ia punya

tujuan untuk eksis dalam kerangka naratif film. Tata cahaya, misalnya, kerap

menjadi petunjuk bagi penonton untuk menebak karakter suatu lokasi atau

seorang karakter. Film horror begitu rajin memanfaatkan penerangan yang

minimal untuk memaksimalkan efek misterius suatu lokasi. Sebaliknya, film

komedi kerap begitu meriah dalam menerangi lokasinya, karena setting dalam

film komedi bisa menjadi sumber kelucuan tersendiri.

25

Ibid., hal. 24.

Page 35: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

34

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap motif

yang signifikan memiliki tujuan, dan tujuan tersebut didasari oleh suatu prinsip.

Prinsip tersebut terwujud dalam bentuk norma, yang menjadi semacam panduan

bagi para pembuat film untuk mendesain bangunan filmnya. Beberapa norma

mempengaruhi kualitas formal banyak film. Glorifikasi adegan klimaks, misalnya,

menjadikan mayoritas film Hollywood sangat berpusat pada protagonis. Secara

visual, mayoritas film Hollywood hampir selalu menempatkan karakter protagonis

di tengah frame. Perhatian penonton jadi terpusat dengan segala gerak-gerik

protagonis. Secara naratif, inisiatif protagonis dalam mayoritas film Hollywood

memiliki dampak langsung pada cerita. Total dari tindakan protagonis tersebut

yang kemudian diuji di adegan klimaks. Penonton pun menanti di ujung kursi,

sambil menebak-nebak apakah seluruh tindakan protagonis bakal terbayar lunas

atau tidak.

Beberapa norma lainnya berpengaruh pada skala lokal. Maksudnya,

norma-norma tersebut merupakan kasus khusus, yang hanya ditemukan dalam

beberapa film saja. Hal tersebut biasa terjadi dalam film-film garapan sutradara

eksentrik, macam Jean-Luc Godard dan Michelangelo Antonioni. Film-filmnya

Godard, misalnya, kerap mengandalkan inkoherensi audio dan visual dalam

narasinya. Dalam British Sounds (1970), Godard menggabungkan potongan

gambar suasana pabrik mobil dengan suara orang membaca artikel tentang

feminisme dan politik kiri26

. Di film Weekend (1967), Godard mengkombinasikan

adegan suami istri di ranjang dengan scoring film horror. Konvensi semacam itu

Godard terapkan dengan memegang prinsip bahwa audio dan visual masing-

masing memiliki potensi naratifnya sendiri. Oleh karena itu, sah-sah saja baginya

untuk membuat keduanya bercerita sendiri-sendiri.

Namun, menganalisa konvensi bukan berarti mengamini keberadannya

begitu saja. Konvensi tidak ada dengan sendirinya, baik yang umum maupun yang

marjinal. Konvensi, beserta tujuan yang diusung serta prinsip yang mendasarinya,

bisa ada karena ia berakar pada aktivitas penonton dan para pembuat film.

26

Jonathan Dawson. British Sounds. Senses of Cinema, 2005.

(http://archive.sensesofcinema.com/contents/cteq/05/37/british_sounds.html)

Page 36: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

35

Kemampuan penonton memahami film berakar pada kehidupan dan konsumsi

film mereka sehari-hari. Penonton cenderung lebih mudah memahami konvensi

filmis yang menyerupai fenomena yang mereka temui sehari-hari.27

Bila dalam

suatu adegan ada karakter masuk dari pintu di sebelah kanan frame, orang bisa

memprediksi karakter itu akan keluar dari pintu di sebelah kiri frame dalam

adegan berikutnya. Prediksi tersebut bisa ada, karena seperti itulah yang orang

biasa lihat dalam kehidupan sehari-hari.

Konsumsi film sehari-hari kemudian menjadi pemantap kemampuan

visual penonton. Bahasa film pada dasarnya berbeda dengan bahasa visual dalam

media lain, seperti lukisan atau komik. Bahasa film sangat bergantung pada

gerakan, baik secara visual maupun aural. Gerakan tersebut berbeda di setiap film,

tergantung dari budaya mana film itu berasal. Ada perbedaan estetis yang kentara

dalam film Hollywood, Eropa dan Asia. Oleh karenanya, penggemar film

Hollywood cenderung tidak nyaman dengan gaya film Asia yang cenderung lebih

implisit dalam menyampaikan pesan. Di sisi lain, penggemar film Eropa

cenderung menyepelekan gaya film Hollywood yang bombastis dan mendikte

penonton.

Pada titik inilah, para pembuat film menentukan pilihannya. Dengan

asumsi mereka sejatinya penonton film juga, para pembuat film mendesain

bangunan filmnya dalam perspektif penonton: apakah cara mengambil gambar

seperti ini mengganggu penonton? Apakah tata cahaya seperti ini bisa

menyampaikan emosi film ini? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang jadi

pertimbangan pembuat film dalam memilih konvensi apa saja yang akan ia pakai

dalam filmnya.

Namun, patut diingat bahwa kerja pembuat film diatur oleh regulasi

industri perfilman. Regulasi institusional macam sensor dan kode produksi

menentukan apa yang dilarang dan yang sebaiknya muncul dalam film.28

Konsekuensinya, pembuat film tidak punya kebebasan penuh atas kreativitasnya

sendiri. Walau pembuat film sudah yakin dengan desain filmnya, kalau memang

27

Op. Cit., Bordwell, hal. 67. 28

Ibid., hal. 28.

Page 37: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

36

dilarang filmnya jelas tidak akan mungkin dirilis ke publik. Berdasarkan

perspektif ini, dapat disimpulkan kalau film berada pada dua faktor ekstrem:

kreativitas pembuat film dan regulasi industri. Kedua faktor itulah yang dimaksud

sebagai praktek (practices) dalam kerangka kerja analisis film yang ia rumuskan.

G. Tahap Penelitian

Penelitian ini terbagi ke dalam tiga tahap besar, dimana masing-masing

tahap punya langkah kerjanya sendiri yang distingtif. Tahap pertama penelitian ini

adalah pembagian film ke unit filmis terkecil berupa scene. Shot tidak dipilih

sebagai unit terkecil, karena satu shot belum tentu membentuk suatu ide. Scene,

yang bisa terdiri dari satu atau banyak shot, sebaliknya menawarkan ruang yang

cukup luas bagi fungsi dan peran cerita untuk membentuk suatu ide yang koheren.

Berikutnya scene-scene tersebut ditandai dan diurutkan secara numerik.

Masing-masing scene kemudian diberikan deskripsi kejadian, karakter yang

terlibat dan relasi antar karakter. Dengan begitu dapat ditentukan konklusi atau

solusi yang laten dalam masing-masing scene. Penentuan konklusi atau solusi

tersebut berguna dalam melihat fungsi-fungsi yang terkandung dalam suatu narasi

film.

Suatu fungsi yang muncul dalam satu scene bisa jadi berlanjut pada scene-

scene berikutnya, bisa juga tidak. Pada akhirnya ada fungsi yang dominan dalam

suatu film. Fungsi yang dominan tersebut diteliti lebih lanjut supaya diketemukan

alasan penggunaannya dalam film objek. Alasan itu merupakan relasi antara film

dengan konteks produksi kultural film tersebut dalam wujud representasi atau

ekspresi figuratif.

Tahap terakhir adalah peletakkan karakter dalam bagan oposisi biner. Hal

tersebut dilakukan untuk melengkapi pendekatan sintagmatik yang sudah

dipraktekkan di tahap sebelumnya. Pelengkapan metode tersebut menjadi

signifikan karena memungkinkan penelitian ini untuk menggali lebih dalam

struktur narasi film yang diteliti, bukan sekadar menganalisa urutan fungsi belaka.

Page 38: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

37

BAB II

ASAL USUL FILM NOIR

Setiap studi film noir selalu memulai analisanya dengan pertanyaan yang

sama: apa itu film noir? Pertanyaan tersebut, bila dilacak lagi, bisa muncul karena

beragamnya pendapat para akademisi perihal film noir. Kebingungan tersebut

diperburuk dengan banyaknya kontradiksi yang ditemukan dalam pendapat-

pendapat tersebut. Mana yang benar: film noir sebagai genre, siklus, atau

gerakan?

Melihat film noir sebagai genre berarti melihat film noir sebagai

sekumpulan ide, yang direproduksi dalam ratusan film berjenis serupa. Dalam

pandangan ini film noir berarti suatu tipologi, yang dapat dipakai untuk

mengidentifikasi kualitas intrinsik suatu film. Satu elemen yang menjadikan film

noir terlihat sebagai sebuah genre adalah melodrama. Dalam konteks yang lebih

luas, melodrama adalah kesamaan kualitatif yang ditemukan dalam film-film

Hollywood klasik. Seperti yang ditulis Linda Williams, melodrama adalah

“modus utama seluruh sinema Amerika populer.” Williams berargumen lebih

lanjut kalau melodrama “sudah ditemukan sejak sinema Hollywood klasik” dan

“merupakan cara bercerita yang sangat Amerika, karena mengungkapkan

kenyataan moral dan emosional melalui dialektika antara pathos dan action29

.”

Dalam film noir, pathos dan action dikemas ulang dalam wujud plot cerita

kriminal dan konstelasi karakter dengan kode moral yang ambigu.

Namun beberapa akademisi menolak pandangan tersebut, dan memilih

melihat film noir sebagai sebuah siklus. Argumen mereka: bila film noir memang

genre, kenapa ada perbedaan yang esensial dalam film noir periode 40 sampai 50-

an dengan variasi-variasinya setelah periode tersebut? Sebagai sebuah siklus, film

noir dipandang elemen-elemen yang berulang sepanjang sejarah film. Esensinya

29

Linda Williams. Melodrama Revised dalam Nick Browne. Refiguring American Film Genres.

Los Angeles: University of California Press, 1998., hal. 42.

Page 39: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

38

boleh beda, namun kemasan yang dipakai tetaplah film noir. Perspektif film noir

sebagai siklus di satu sisi mengakomodasi keberadaan film-film yang mirip film

noir, tapi aslinya bukan film noir. Di sisi lain, perspektif ini menyiratkan adanya

semacam kode suci, atau sekumpulan syarat yang menentukan apakah suatu film

murni noir atau tidak. Petunjuknya ada pada keberadaan film-film yang

dikategorikan dalam terminologi paska film noir, mulai dari neo-noir, post-noir

dan modern noir. Sisi kedua inilah yang menjadi dasar bagi perspektif film noir

sebagai suatu gerakan.

Alain Silver dan Elizabeth Ward pernah menulis bahwa film noir setara

dengan film western. Keduanya “merupakan estetika yang berakar langsung dari

psikis bangsa Amerika”, karena keduanya terwujud sebagai “refleksi diri bangsa

Amerika dalam bentuk film”.30

Faktor yang membedakan western dan film noir

adalah komitmen politiknya. Penulis dan sutradara film noir mayoritas beraliran

kiri, yang praktis memiliki faham liberal. Bahan mentah yang mereka gunakan

adalah novel-novel kriminal, yang mayoritas mengekspos kebobrokan yang

terjadi di lanskap sosial Amerika. Jangan dilupakan juga kalau pembaca novel-

novel tersebut adalah kelas pekerja, yang notabene merupakan perhatian utama

politik kiri.

Namun, perspektif film noir sebagai gerakan ini runtuh bila dihadapkan

pada fakta bahwa film noir merupakan fenomena komersil. Di satu sisi, betul ada

komitmen tersendiri dari banyak sutradara dan penulis film noir. Mereka

seringkali memasukkan kritik sosial ke dalam film-film yang mereka produksi. Di

sisi lain, popularitas film noir kurang lebih disokong oleh novel-novel kriminal

yang laku di pasaran.31

Para produser kemudian melihat novel-novel tersebut

sebagai materi yang secara finansial prospektif. Terjadilah perang pembelian hak

cipta dari novel-novel Raymond Chandler, Dashiell Hammett, James M. Cain,

Mickey Spillane, dan penulis-penulis cerita kriminal lainnya. Dari novel-novel

kriminal itulah, film noir menemukan basis ekonominya. Fakta lain yang

30

Alain Silver & Elizabeth Ward. Film Noir: An Encyclopedic Reference to the American Style.

New York: The Overlook Press, 1992, hal. 1. 31

Jean Pierre Chartier, The Americans Are Making Dark Films Too, dalam R. Barton Palmer.

Perspectives on Film Noir. New York: G. K. Hall and Co., 1996, hal. 25.

Page 40: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

39

meruntuhkan perspektif film noir sebagai gerakan adalah belum ditemukannya

bukti adanya afiliasi antara para sutradara dan penulis naskah film noir. Bila

memang film noir merupakan suatu gerakan kolektif, seharusnya sudah ditemukan

semacam manifesto.

Dari penjelasan di atas, terpetakan konstelasi kebingungan seputar istilah

film noir. Perspektif genre melihat film noir sebagai elemen-elemen sinematik

yang direproduksi dalam karya-karya sejenis. Namun, sejarah menunjukkan

adanya perbedaan yang esensial dalam film-film sejenis noir yang muncul paska

tahun 60-an. Karena itu, ada yang beranggapan bahwa film noir sebagai siklus.

Mengambil inspirasi dari film-film noir era 40 sampai 50-an, yang dianggap

sebagai film noir „murni‟, beberapa pembuat film memproduksi film sejenis dari

tahun 60-an sampai sekarang. Pandangan ini pada perkembangannya melahirkan

pandangan lainnya: film noir sebagai gerakan. Maksudnya, ada semacam usaha

kolektif yang berkomitken mengembangkan film noir, baik secara estetis maupun

politis. Hal tersebut, menurut pendukung pandangan tersebut, yang menjadikan

film noir suatu badan karya yang sangat koheren. Namun, dari bukti yang ada,

tidak ada afiliasi yang termanifestasikan antara sutradara dan penulis naskah film

noir. Absennya manifesto di antara mereka menjadikan pandangan film noir

sebagai gerakan valid di beberapa aspek saja.

Pada titik ini terlihat bahwa masing-masing pandangan tentang film noir

memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Menyikapi

kebingungan tersebut, James Naremore punya tesis yang cukup revolusioner.

Dalam bukunya yang berjudul Film Noir and Its Context (1998), Naremore

berpendapat bahwa film noir merupakan “sebuah warisan sinematik dan sebuah

ide yang kita proyeksikan ke masa lalu.” Pengaruh Michel Foucault sangat terasa

dalam pernyataan Naremore tersebut. Film noir bukanlah sebuah elemen yang

bisa dimaknai secara konstan seiring berjalannya waktu. Perkembangan sejarah,

baik di sejarah dunia maupun di sejarah film sendiri, membuat makna film noir

berubah bagi peneliti di masa depan.

Pemikiran Naremore tersebut juga menjelaskan esensi dari eksistensi film

noir: suatu ide dalam sinema Amerika yang diproyeksikan dari luar Amerika. Hal

Page 41: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

40

ini bisa dilihat dari istilah film noir itu sendiri. Pada esensinya istilah film noir

tidak berarti apa-apa. Meski merujuk pada fenomena yang sangat Amerika, istilah

tersebut tidak berasal dari Amerika, melainkan dari Perancis. Lebih spesifik lagi,

dari Borde dan Chaumeton, dua kritikus Perancis yang memperhatikan

kecenderungan studio Hollywood memproduksi banyak film melodrama kriminal

dalam beberapa tahun terakhir. Di Hollywood sendiri, belum ada istilah untuk

menjelaskan keberadaan film noir. Baru pada era 70-an, satu dekade setelah film

noir berhenti diproduksi, istilah film noir mulai ramai dipakai di Amerika.32

Sebelumnya, kritikus Hollywood lebih memilih menggunakan istilah murder

melodrama, brass-knuckled thriller, atau hardboiled crime fiction: tiga istilah

prokem yang sampai sekarang tidak pernah diresmikan dalam kanon film noir.33

Sulitnya Hollywood menemukan istilah yang tepat untuk „film-film gelap‟

produksinya sendiri menyiratkan satu hal, yakni banyaknya elemen-elemen non-

Amerika yang terkombinasi dalam kosmos film noir. Istilah film noir yang berasal

dari Perancis hanyalah contoh kecil. Modus naratif, karakterisasi sampai kode

visual film noir bisa dilacak akarnya hingga ke luar Amerika. Dari sini terlihat

adanya kebutuhan meletakkan film noir dalam suatu kerangka besar, yang

mendedah Hollywood sebagai suatu panci besar, dimana pengaruh-pengaruh dari

luar Amerika tersebut digodok bersama kondisi sosial politik di Amerika. Oleh

karena itu, penelitian ini memulai pembahasannya dari kronologi perkembangan

ide yang terjadi sebelum film noir populer di Hollywood. Perkembangan ide yang

dimaksud terjadi pada dua ranah: di Amerika dan di luarnya. Pengaruh dari dua

ranah tersebut saling melengkapi dan mematangkan satu sama lain. Analisis dari

aspek yang sangat makro ini pada perkembangannya dapat berlanjut ke analisis ke

aspek-aspek yang lebih mikro dalam film noir.

Secara umum, elemen-elemen dasar film noir dapat dipilah ke dalam dua

kategori: literer dan sinematik. Kedua bidang tersebut masing-masing mendapat

pengaruh dari segala dinamika di lanskap sosial Amerika, dan masing-masing

32

Rebecca House Stankowski. Night of the Soul: American Film Noir. Studies in Popular Culture,

vol. 9, no. 1, 1986, hal. 63. 33

James Naremore. More Than Night: Film Noir in its Contexts. Berkeley: University of

California Press, 1998, hal. 17.

Page 42: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

41

punya kontribusi terhadap terbentuknya film noir. Bidang literer

mengkontribusikan stok cerita dan penulis yang siap dipakai Hollywood dalam

produksinya. Dalam level yang lebih mikro, bidang literer merumuskan modus

naratif film noir. Kontribusi bidang literer tersebut dimatangkan oleh kontribusi

dari bidang sinematik. Kebingungan dan ambiguitas moral yang tadinya verbal

diterjemahkan jadi bahasa visual. Kolaborasi keduanya menghasilkan sebuah

fenomena dalam sejarah Hollywood yang kita kenal sebagai film noir.

A. AKAR LITERER FILM NOIR

Berkaitan dengan kelahiran film noir, Perang Dunia II merupakan fase

krusial bagi dunia literer Amerika, baik waktu perang berlangsung maupun

beberapa tahun setelah perang usai. Signifikansi periode tersebut disulut oleh

kehadiran teknologi baru yang menggemparkan industri percetakan Amerika:

paperback, alias cetakan buku dengan sampul tipis.34

Sebelum kehadiran

paperback, rumah-rumah penerbitan di Amerika begitu memandang format

hardcover, atau cetakan buku dengan sampul tebal. Bila ada seorang penulis yang

karyanya dirilis dalam format hardcover, bisa dijamin reputasinya akan

melambung naik.35

Sejak kehadiran paperback, segalanya berubah. Perubahan-

perubahan itulah yang nantinya menyiapkan panggung bagi kehadiran film noir di

Hollywood.

Publikasi dalam format paperback memiliki satu keunggulan, yang

dinikmati secara mutual oleh pihak penerbit dan penulis. Pihak penerbit dapat

mencetak dalam volum massal dengan harga yang sangat murah. Kualitas buku

yang dicetak memang tidak begitu baik: kertas tipis, sampul buku tipis, dan

penjilidannya hanya menggunakan lem saja.36

Untuk penyimpanan jangka

panjang, buku paperback kertasnya terlalu cepat menguning dan jilidannya mudah

lepas. Namun, bagi pihak penerbit, ketahanan produk bukanlah prioritas utama.

Pihak penerbit lebih mementingkan keuntungan yang cepat dari penjualan yang

34

Lee Server. Over My Dead Body: The Sensational Age of the American Paperback: 1945-1955.

San Francisco: Chronicle Books, 1994, hal. 34-35. 35

Ibid., hal. 42. 36

Ibid., hal. 37.

Page 43: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

42

massif. Apalagi mereka sudah punya pasar sendiri: masyarakat kelas pekerja,

yang haus hiburan cepat dan murah.

Penulis di sisi lain memperoleh kebebasan artistik dalam merancang

karyanya. Pihak penerbit tidak memberi batasan apapun kepada penulis. Memang

ada konsumen yang harus dipikirkan, namun resikonya sangat kecil. Seperti yang

sudah dijelaskan: mayoritas pembaca novel-novel paperback adalah kelas pekerja

yang sangat haus hiburan. Hal ini jelas menguntungkan bagi penulis-penulis yang

butuh uang. Mereka dapat menulis cerita sevulgar, sebanal dan sekonyol yang

mereka inginkan. Mereka dapat menulis apapun yang mereka mau, asal cerita

mereka bisa dihabiskan dalam sekali duduk.37

Pada tahun 1946, tercatat ada 350 judul yang dicetak dalam format

tersebut. Bila dibandingkan dengan data tahun 1945, jumlah tersebut tiga kali

lipatnya. Ada lima penerbitan yang berjasa mempopulerkan format tersebut:

Signet, Avon, Popular Library, Dell, dan Bantam.38

Kelima penerbitan besar

tersebut dan beberapa perusahaan lainnya yang lebih kecil memproduksi

paperback secara massal. Konsekuensinya: penjualan majalah murah di loper-

loper koran menurun drastis, karena tergeser oleh novel-novel paperback.39

Kondisi ini kemudian melahirkan sejumlah nama tenar. Sebut saja: John

D. MacDonald, Charles Williams, Gil Brewer, David Goodis, dan Mickey

Spillane. Nama terakhir merupakan cerita sukses yang mentransformasi industri

percetakan di Amerika paska perang. Waktu itu, bagi banyak rumah penerbitan,

Spillane merupakan penulis kelas dua. Karyanya belum ada yang pernah dirilis

dalam hardcover. Cerita yang ia tulis hanyalah cerita kriminal biasa, jenis-jenis

cerita yang bisa ditemukan di koran kuning. Konsekuensinya: bayaran yang

Spillane terima juga kelas dua. Terlilit dalam kesulitan ekonomi akut, Spillane

sampai harus tinggal di tenda. Butuh suntikan dana cepat, ia pun menulis I, the

Jury.40

Di luar dugaan, ketika Signet merilisnya dalam format paperback, karya

37

Geoffrey O'Brien. Hardboiled America: Lurid Paperbacks and the Masters of Noir. New York:

Da Capo Press, 1997, hal. 32-33. 38

Ibid., hal. 22. 39

Op. Cit., Server, hal. 15. 40

Op. Cit., O‟Brien, hal. 34.

Page 44: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

43

Spillane terjual laris sampai dua juta eksemplar.41

Pencapaian ini jelas

mengejutkan banyak rumah penerbit. Ketika novel tersebut akhirnya dirilis dalam

format hardcover, penjualannya hanya sampai angka tujuh ribu. Lantas beberapa

rumah penerbitan langsung rebutan meneken kontrak dengan Spillane. Beberapa

rumah penerbitan lainnya merilis ulang karya Spillane dalam format paperback.

Sisanya mulai mencari penulis-penulis yang mirip dengan Spillane.

Dalam waktu singkat, tercipta kebutuhan yang besar akan penulis cerita

kriminal. Sepanjang pertengahan era 40-an sampai awal 50-an, cerita kriminal

merupakan komoditas panas yang diincar para rumah penerbit.42

Rumah penerbit

yang mengeksploitasi perkembangan ini adalah Gold Medal. Mereka langsung

mengontrak tiga nama sebagai penulis regulernya: John D. MacDonald, Charles

Williams dan Gil Brewer. Mereka semua penulis muda, dan belum pernah merilis

ceritanya ke publik. Sejak tahun 1950 sampai 1951, mereka menulis secara

reguler dan karya-karyanya dirilis secara beruntun oleh Gold Medal.

Nama lain yang dikontrak oleh Gold Medal adalah David Goodis.43

Waktu

itu Goodis sudah tidak terlalu dipandang sebagai seorang penulis. Dulu ia pernah

sukses besar ketika merilis novel Dark Passage pada tahun 1946. Setahun

kemudian Warner Brothers mengadaptasinya ke format layar lebar. Film tersebut

tidak saja menjadi film noir awal-awal, tapi juga satu dari empat film yang

dibintangi oleh Humphrey Bogart dan Lauren Bacall. Keduanya merupakan

pasangan selebritis terkenal di Hollywood. Waktu itu hubungan mereka sedang

panas-panasnya dan ramai dibicarakan media. Bisa diprediksi film tersebut

sukses, dan Goodis menikmati keuntungannya.44

Dia pun direkrut oleh Warner

Brothers sebagai penulis naskah selama enam tahun. Sialnya, karier Goodis di

Hollywood tidak sukses. Beberapa naskahnya tidak diproduksi, karena dianggap

tidak memenuhi standar. Akhirnya, ia pun dipecat dan kembali menulis di

Philadelphia, kampung halamannya. Gold Medal pun mengontraknya, dengan

41

Op. Cit., Server, hal. 26. 42

Woody Haut. Pulp Culture and the Cold War . London: Serpent's Tail, 1995, hal. 9. 43

James Sallis. Difficult Lives: Jim Thompson, David Goodis, Chester Himes. New York:

Gryphon Books, 1993, hal. 42. 44

Ibid., hal. 48.

Page 45: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

44

iming-iming kontrak yang besar dan prospek kesuksesan yang menggiurkan.

Goodis pun membayar kepercayaan Gold Medal dengan novel Cassidy’s Girl,

yang sukses memuncaki daftar penjualan buku di Amerika tahun 1951.45

Antusiasme terhadap cerita kriminal yang melanda industri percetakan

Amerika semakin ditunjang oleh publikasi cerita bersambung di koran-koran.

Setiap harinya di koran-koran Amerika ada segmen yang dikhususkan untuk cerita

bersambung. Cerita yang paling banyak diterbitkan adalah melodrama dan cerita

kriminal.46

Alasannya sederhana: cerita horror dan komedi terlalu sulit untuk

dijadikan bersambung. Dalam format pendek, cerita horror dan komedi hanya bisa

mengejutkan pembaca sekali. Bila dijadikan bersambung, mereka akan kehilangan

pesonanya. Sementara roman dan cerita kriminal bisa disambung berkali-kali,

asalkan intrik dan misteri dalam plotnya terus dinaikkan.

Berkaitan dalam film noir, ada tiga nama yang tenar karena rutin menulis

cerita bersambung di koran. Mereka adalah Dashiell Hammett, James M. Cain,

dan Raymond Chandler. Ketiganya pernah terlibat dalam kegiatan militer,

tepatnya di Angkatan Udara. Hammett malah pernah bekerja sebagai detektif

swasta. Pengalaman tersebut yang membedakan mereka dari kebanyakan penulis

cerita kriminal lainnya. Pasalnya, pengalaman mereka berpengaruh signifikan

terhadap proses kreatif mereka. Cerita-cerita yang mereka tulis jadi sangat detail.

Pembaca dapat mengikuti alur cerita mereka layaknya prosedur investigasi

kriminal. Selain itu, lagi-lagi berkat pengalaman di ranah militer, mereka dapat

merancang lanskap emosi karakter mereka begitu riil. Bahkan ketika mereka

memakai tokoh yang ambigu secara moral sebagai protagonis cerita, pembaca

tetap tertarik mengikuti, karena segalanya terasa riil.47

Regularitas kemunculan

cerita mereka di koran-koran memastikan nama mereka terpatri jelas di budaya

pop Amerika paska perang.

Dari perkembangan ini, Hollywood yang paling merasakan

keuntungannya. Ada tiga hal yang Hollywood dapatkan, dan ketiganya

45

Ibid., hal. 55. 46

Op. Cit., Haut, hal. 33. 47

Alexander N. Howe. It Didn't Mean Anything: A Psychoanalytic Reading of American Detective

Fiction. North Carolina: McFarland, 2008, hal. 78.

Page 46: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

45

menciptakan semacam lingkaran yang menghidupi dirinya sendiri. Pertama, dan

ini yang paling kentara, Hollywood memperoleh stok cerita kriminal yang

melimpah. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hal ini bisa terjadi berkat rumah-

rumah penerbit yang merilis novel kriminal secara massal, dan koran-koran yang

mempublikasi cerita kriminal bersambung di halaman belakangnya. Ratusan

cerita kriminal tersebut kemudian menjadi bahan mentah yang Hollywood olah

menjadi sajian sinematik.

Lebih menguntungkan lagi buat Hollywood, cerita-cerita kriminal tersebut

hadir dalam berbagai macam tema. Film-film yang diproduksi jadinya sangat

beragam, meski tetap dapat dikotakkan dalam satu pendirian moral yang sama.48

Tema yang paling sering diangkat adalah cerita detektif yang pendiriannya mulai

goyah. Cerita detektif semacam itu berakar dari cerita-ceritanya Dashiell Hammett

di awal 40-an. Dua ceritanya, Maltese Falcon di tahun 1941 dan The Glass Key

setahun setelahnya, dianggap sebagai dasar dari modus naratif film noir. Tidak

heran kalau kemudian keduanya dianggap klasik dalam kanon film noir.

Memasuki pertengahan 40-an, pola cerita detektif dalam film noir

mengalami perkembangan. Kebimbangan yang dialami detektif, alias protagonis,

mulai dikaitkan dengan isu-isu politis, macam keluarga, lapangan pekerjaan, dan

mentalitas masyarakat Amerika yang konformis.49

Perkembangan tersebut paling

kentara dalam cerita-ceritanya Raymond Chandler, yang notabene merupakan

nama besar di budaya pop Amerika kala itu. Dibandingkan dengan cerita

Hammett yang mayoritas cerita investigasi kriminal, cerita Chandler lebih

memiliki muatan politis. Ada tiga cerita karya Chandler yang kemudian diadaptasi

oleh Hollywood, dan masing-masing mendapat nilai cemerlang baik dari kritikus

maupun penonton pada umumnya. Ketiga cerita itu adalah Farewell, My Lovely

(1942), The Big Sleep (1946), dan Lady in the Lake (1947).

Dua cerita terakhir bisa dianggap sebagai arketip penggarapan tema cerita

detektif dalam film noir pertengahan 40-an. Keduanya disatukan dalam modus

naratif yang serupa: seorang protagonis yang mendapati dirinya dalam suatu kasus

48

Ibid., hal. 33. 49

Ibid., hal. 53-55.

Page 47: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

46

yang awalnya sederhana. Ketika kasus itu mulai berjalan, protagonis mendapati

banyak faktor-faktor luar yang tiba-tiba masuk. Tujuan awal dari kasus tersebut

pada perkembangannya tidak lagi jadi penting. Protagonis pun melakukan apapun

asal dia bisa bertahan hidup. Mendekati akhir cerita, dia pun baru menyadari kalau

sebenarnya kasus tersebut hanyalah konspirasi dari pihak-pihak yang hampir tidak

ada hubungannya dari protagonis. Dengan kata lain, protagonis mendapati

eksistensi dirinya hanyalah periferi dari eksistensi orang lain. Dia tidak penting,

dan oleh karena itu keberlangsungan hidupnya juga tidak signifikan. Pada titik ini,

protagonis biasanya mendapati dirinya dalam dua kondisi. Pertama, dia sukses

bertahan hidup tapi telah kehilangan segala hal penting dalam hidupnya. Kedua,

mati.

Dari pertengahan 40-an sampai akhir 50-an, mayoritas film noir dengan

tema cerita detektif memakai pola cerita yang nihilistik seperti yang dijelaskan di

atas. Dead Reckoning, misalnya.50

Film tahun 1947 karya John Cromwell tersebut

mengusung Rip Murdoch sebagai karakter protagonisnya. Sepanjang film,

Murdoch dibuat bingung oleh temannya yang mendadak hilang, persis setelah

temannya itu mendapat penghargaan dari militer. Saat mencoba menginvestigasi,

dia mendapati dirinya dijebak dalam konspirasi seorang perempuan yang ia tidak

kenal sama sekali. Perempuan itu pernah melakukan kesalahan di masa lalu, dan

ingin membersihkan namanya dengan mengorbankan hidup temannya Murdoch.

Out of the Past, film karya Jacques Tourneur tahun 1947, memiliki tema yang

serupa.51

Si protagonis cerita tiba-tiba didatangi oleh orang-orang dari masa

lalunya, yang ternyata belum selesai berurusan dengan si protagonis. Film D.O.A.,

karya Rudolph Mate tahun 1950, sejak awal malah memvonis kematian si

protagonis sejak awal cerita. Di awal cerita protagonis mendapati dirinya disuntik

oleh semacam racun yang akan membunuhnya dalam Sialnya lagi, racun tersebut

tidak ada penawarnya. Dia pun menghabiskan tiga hari berikutnya untuk melacak

siapa yang meracuninya, walaupun dia tahu usahanya sebenarnya sia-sia. Pada

akhirnya dia mati juga.

50

Frank Krutnik. In a Lonely Place: Film, Genre, Masculinity. London: Routledge, 1991, hal. 103-

114. 51

Ibid., hal 132-135.

Page 48: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

47

Bila dilacak lagi, nihilisme dalam film noir sebenarnya tidak berakar dari

Hammett maupun Chandler. Keduanya memang meletakkan dasar dari plot film

noir, namun Cornell Woolrich yang secara detail mengembangkan nihilisme

dalam film noir. Woolrich adalah seorang penulis cerita kriminal yang sejaman

dengan Hammett dan Chandler. Seperti mereka berdua, karya Woolrich juga

cukup banyak dibeli Hollywood. Pada tahun 1942 sampai 1949, tercatat ada

sebelas cerita Woolrich yang diadaptasi ke versi layar lebar. Berkaitan dengan

proses kreatif, kesamaan Woolrich dengan Hammett dan Chandler terletak pada

protagonis cerita yang bimbang dengan pendirian moralnya. Namun, terlepas dari

kesamaan tadi, gaya berceritanya sangat jauh dari tradisi cerita kriminal „kasar‟

ala Hammett dan Chandler. Dia lebih menekankan pada pengalaman eksistensial

yang dialami saat investigasi ketimbang investigasinya sendiri. Bila

diterjemahkan dalam penuturan cerita, deskripsi tentang paranoia dan rasa

ketidakberdayaan lebih ditekankan ketimbang deskripsi investigasi dan prosedural

polisi.52

Dengan cara bertutur semacam itu, Woolrich dapat menulis berbagai

macam cerita di luar cerita detektif. Hollywood pun dapat mengolahnya jadi film

noir, yang meski masih mendepankan proses investigasi, namun berada di luar

tradisi cerita detektif. Fear in the Night, misalnya. Film karya Maxwell Shane

pada tahun 1947 merupakan adapatasi dari cerita Woolrich yang berjudul

Nightmare.53

Premisnya berkisar seputar seorang pekerja bank yang mimpi

membunuh seseorang dan menyembunyikannya di ruang antah berantah. Saat

terbangun, dia mendapati ada luka gores di lehernya, dan kunci di kantong

bajunya. Jadilah, dia mulai menginvestigasi dari mana sebenarnya semua itu. Pada

akhirnya, dia baru tahu kalau dirinya pernah dihipnotis oleh seorang mentalis.

Tentu saja mentalis punya agendanya sendiri. Contoh lainnya adalah Night Has a

Thousand Eyes. Film karya John Farrow tahun 1948 tersebut, yang diadaptasi dari

novelnya Woolrich, bercerita tentang seorang peramal yang sebenarnya tidak bisa

52

Alain Silver & Elizabeth Ward. Film Noir. London: Secker and Warburg, 1992, hal. 120. 53

Op. Cit., Krutnik, hal. 85-87.

Page 49: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

48

meramal.54

Pada suatu hari dia mendadak bisa meramal, dan ramalannya itu

kelam. Temannya kemudian memanfaatkan ramalan tersebut untuk menumpuk

kekayaan, sementara si peramal menghadapi masalah-masalah gara-gara

kekuatannya tersebut.

Pada perkembangannya, penulis-penulis dengan gaya tutur seperti

Woolrich yang karya-karyanya diadaptasi jadi film noir non cerita detektif.55

High

Sierra adalah salah satu contohnya. Film garapan Raoul Walsh tahun 1941

tersebut diadaptasi dari novelnya W.R. Burnett. Novel tersebut berputar pada

sebuah aksi pencurian kasino, namun secara naratif novel tersebut didominasi

oleh kontemplasi sang protagonis, yang merasa bersalah terlibat dalam kegiatan

kriminal tersebut. Protagonisnya juga bukan seorang detektif, melainkan mantan

kriminal kelas kakap yang sudah uzur. Contoh lainnya adalah Dark Passage. Film

karya Delmer Davis tahun 1947 tersebut diproduksi dari novelnya David Goodis.

Novel tersebut menarasikan usaha seorang buronan yang mencoba mencari

pembunuh istrinya. Dia pun operasi untuk mengganti wajahnya, dan

konsekuensinya polisi jadi sulit menemukan keberadaan dia. Mirip seperti

Woolrich, Goodis juga lebih menekankan pada kebingungan yang dihadapi si

protagonis dalam melacak pembunuh istrinya. Hal tersebut kentara pada klimaks

cerita tersebut, ketika si protagonis menghadapi dilema moral saat mengetahui

identitas pembunuh istrinya. Mirip seperti Woolrich juga, Goodis tidak memakai

seorang detektif sebagai protagonis ceritanya.

Banyak karya dari penulis-penulis cerita kriminal yang ceritanya

diadaptasi Hollywood kemudian diterjemahkan oleh Gallimard, sebuah rumah

penerbitan di Perancis. Gallimard merilis karya-karya tersebut dengan tajuk Serie

Noire, atau bila diterjemakan „serial cerita kelam‟.56

Antara tahun 1948 sampai

1953, Gallimard secara reguler menerbitkan novel-novel karya Chandler,

Hammett, Burnett dan Goodis dalam bahasa Perancis. Novel-novel tersebut

54

Ibid., hal. 89. 55

Nino Frank, The Crime Adventure Story: A New Kind of Detective Film, dalam R. Barton

Palmer. Perspectives on Film Noir. New York: G. K. Hall and Co., 1996, hal. 23. 56

Brian Rigby & Nicholas Hewitt. France and the Mass Media. Houndmills: Macmillan, 1993,

hal. 90.

Page 50: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

49

Gallimard terbitkan dalam format paperback juga, sehingga mudah dijangkau

oleh pembaca dari semua kalangan ekonomi. Tidak heran kalau kemudian

publikasi Gallimard ini kemudian jadi cukup populer di Perancis. Serie Noire pun

jadi bagian budaya pop Prancis di akhir 40-an sampai pertengahan 50-an. 57

Serial publikasi Gallimard tersebut berjasa jadi semacam pendongkrak

popularitas istilah film noir di Perancis. Sejarah mencatat bahwa istilah film noir

secara „resmi‟ diformulasikan pada tahun 1955. Adalah Borde dan Chaumeton

yang mencoba mendedah dan mendefinisikan film noir dalam buku mereka, A

Panorama of Film Noir. Sebelum itu, istilah film noir memang sudah digunakan

di kalangan kritikus Perancis. Hal tersebut terlihat dalam jurnal-jurnal film

Perancis kala itu yang secara reguler meresensi film noir.58

Namun, dunia kritikus

adalah dunia yang sangat eksklusif. Sedikit sekali kontak mereka dengan

masyarakat Perancis pada umumnya, kecuali tentu saja di klub film dan kalangan

penggemar film. Penonton yang melihat film murni sebagai hiburan tidak terlalu

terpengaruh dengan opini para kritikus film Perancis, yang mayoritas sangat

filosofis dan jarang menggunakan bahasa sehari-hari. Wawasan dan ketertarikan

mereka terhadap film noir praktis disemai melalui novel-novel kriminal yang

diterbitkan Gallimard. Melalui buku-buku itulah, istilah film noir tersebar luas di

masyarakat Perancis, jauh sebelum ia resmi dirumuskan.59

Satu alasan kenapa Perancis jadi negara pertama yang menggandrungi film

noir adalah berubahnya lanskap sosial Perancis paska Perang Dunia II. Waktu itu,

Perancis mengalami kondisi yang terbalik dari Amerika. Meski sama-sama baru

berpartisipasi dalam Perang Dunia II, Perancis tidak mengalami kemakmuran

ekonomi yang dialami Amerika. Banyak infrastruktur negara yang hancur karena

amukan perang. Industri sinema Perancis praktis turut tersendat, meski tidak

separah Italia yang sampai tidak punya studio film lagi. Untuk memenuhi

bioskop-bioskop, dan menyediakan hiburan bagi rakyatnya yang baru saja didera

57

Op. Cit., Naremore, hal. 12. 58 Robert Ottoson. A Reference Guide to the American Film Noir: 1940-1958. Metuchen, N.J.:

Scarecrow Press, 1981. (hal. 217) 59

Op. Cit., Stankowski, hal. 62.

Page 51: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

50

perang, Perancis mengimpor film-film dari Amerika.60

Pada saat yang sama, film

noir sedang naik daun di Hollywood. Jadilah, film-film kriminal beratmosfer

kelam tersebut migrasi massal menyeberangi samudera Atlantis.

Namun, relasi Amerika dan Perancis tidak berhenti sampai perumusan

istilah film noir saja. Masuknya film noir berdampak besar bagi perkembangan

wacana di Perancis. Kecenderungan novel-novel kriminal tersebut memakai

protagonis yang kode moralnya ambigu sangat menarik perhatian para pemikir

Perancis. Mayoritas pemikir Perancis yang tertarik dengan ide tersebut adalah

para pemikir eksistensialis. Sudah jadi rahasia umum juga kalau Jean-Paul Sartre,

pemikir eksistensialis paling terkenal di Perancis dan seantero dunia, punya

kecintaan yang besar terhadap novel-novel petualangan dan kriminal. Secara

spesifik, mereka menyorot bagaimana film noir tidak terlalu menekankan peran

detektif sebagai investigator, melainkan sebagai individu yang kesadarannya

terganggu karena hambatan-hambatan yang ia hadapi selama menjalani suatu

kasus. Mereka juga sama tertariknya dengan kecenderungan kedua dalam naratif

film noir, yang memasang karakter-karakter yang sejak awal ambigu kode

moralnya, seperti mantan kriminal di High Sierra dan buronan di Dark Passage,

sebagai protagonis. Semua itu sejalan dengan garis pemikiran mereka, yang

melihat manusia bukan sebagai individu yang utuh dengan segala esensinya yang

terpetakan secara jelas, melainkan sebagai eksistensi yang kosong. Manusia harus

berusaha mendefinisikan dirinya terus-menerus, di hadapan setiap hambatan yang

mereka lalui selama hidupnya. Dalam pandangan eksistensialis, manusia dikutuk

untuk terus berubah. Ia akan selalu menyangkal masa lalunya, dan merevisi

dirinya sampai akhir hayatnya.

Kondisi paska perang juga turut mengompori ketertarikan pemikir

eksistensialis terhadap film noir. Perang Dunia II secara umum merupakan

pengalaman yang traumatis bagi masyarakat Perancis. Menurut Naremore,

Perancis sebelum dan sesudah perang adalah „negara yang terjebak dalam

60

Raymond Borde & Etienne Chaumeton. A Panorama of American Film Noir: 1941-1953. San

Francisco: City Lights Publishers, 2002. (hal 1-2)

Page 52: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

51

sejarah‟.61

Masyarakat Perancis adalah masyarakat yang sangat terbebani dengan

sejarah mereka yang penuh dengan revolusi. Perang Dunia II, periode yang penuh

penderitaan dan ketidakberdayaan, jadi semacam bercak hitam di lembaran

sejarah Perancis yang penuh kegemilangan. Tidak heran kalau masyarakat

Perancis kemudian menyebut periode tersebut sebagai les annees noires, atau

„tahun-tahun kegelapan‟.62

Krisis tersebut mendorong banyak pemikir

eksistensialis untuk menyorot film-film noir Amerika, yang notabene

membahasakan kegelisahan mereka dalam format yang sangat populis. Para

pemikir tersebut kemudian menuangkan hasil refleksi mereka dalam bentuk esai

dan buku.

Di sisi lain, Amerika mulai menyerap pemikiran dari kawan Eropanya.

Berkembangnya industri percetakan di Amerika, yang disebabkan oleh

meningkatnya kondisi perekonomian Amerika paska perang, menyebabkan

banyak literatur asing yang diterjemahkan dan diterbitkan di Amerika. Literatur

yang cukup banyak dipublikasikan di Amerika adalah karya-karya para pemikir

eksistensialis tersebut, mengingat di waktu yang sama eksistensialisme sedang

jadi trend di Perancis dan Eropa pada umumnya. Novel-novel eksistensialis

macam La Nausee karya Sartre dan L’estranger karya Albert Camus mulai

mendapatkan audiens di Amerika. Konsekuensinya: masyarakat Amerika secara

umum mulai familiar dengan istilah-istilah eksistensialis, seperti kegelisahan,

kecemasan dan kesendirian. Konsekuensi yang lebih mikro: komunitas praktisi

literer di Amerika turut terpengaruh dan mulai merajut pemikiran eksistensialis ke

dalam karya-karya mereka. 63

Termasuk dalam komunitas itu adalah para penulis

cerita kriminal.

Adalah kondisi paska perang yang menyemai ketertarikan masyarakat

Amerika terhadap eksistensialisme. Pada titik ini, diperlukan adanya semacam

penjelasan tentang kondisi sosio-politik Amerika paska perang. Pasalnya, hal

itulah yang kemudian berpengaruh ke perkembangan dunia literer Amerika paska

61

Op. Cit., Naremore, hal. 22-23. 62

Ibid., hal. 25. 63

Malcolm Bradbury, The Modern American Novel. Oxford: Oxford University Press, 1992, hal.

165.

Page 53: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

52

perang, dan film noir di Hollywood. Seperti yang sempat disinggung sebelumnya,

Amerika mengalami kemakmuran yang tidak terduga paska Perang Dunia II.64

Hal ini mengejutkan karena beberapa tahun sebelum perang terjadi, Amerika

sedang tertatih-tatih bangkit dari depresi ekonomi yang melanda seantero negeri.

Setelah depresi ekonomi, Amerika perlahan-lahan membangun industrinya

kembali, dengan mental siaga satu kalau-kalau ekonomi negara kembali ambruk.

Namun, Perang Dunia II mengubah segalanya. Ada dua alasan kenapa Perang

Dunia II jadi titik balik perekonomian Amerika. Pertama, perang tersebut tidak

berlangsung di tanah Amerika, tapi di Eropa. Alhasil, infrastruktur Amerika tidak

ada yang tersentuh tembakan peluru maupun ledakan bom, sementara kota-kota di

Eropa luluh lantak akibat amukan perang. Kedua, Amerika terlibat dalam banyak

perdagangan dan kegiatan ekonomi di Eropa, baik saat perang maupun setelahnya.

Sewaktu perang berlangsung, kebutuhan senjata dan kendaraan tempur di Eropa

sangatlah tinggi. Amerika yang memenuhi kebutuhan tersebut dengan

memproduksi peralatan perang secara massal. Seusai perang, negara-negara di

Eropa banyak mengalami kerugian. Amerika yang membantu dengan

menyuntikkan dana bantuan. Dari kegiatan tersebut, Amerika menikmati bunga

dari piutang yang dibayar oleh negara-negara Eropa tersebut.

Kemajuan ekonomi paska perang berujung pada membaiknya kondisi

hidup di Amerika. Perekonomian negara terus berkembang dan Amerika memiliki

kekuatan militer dan ekonomi yang besar. Belum lagi, pendapatan dari piutang

memastikan adanya pendapatan tetap dalam jumlah yang besar ke kas negara.

Masa depan terlihat begitu cerah bagi Amerika. Namun, hal ini kemudian

berimplikasi pada kesadaran masyarakat Amerika. Kondisi kritis selama depresi

ekonomi dengan cepat dilupakan oleh masyarakat Amerika. Kekayaan yang tak

terhingga menjadikan depresi ekonomi terlihat sebagai suatu pengecualian dalam

sejarah Amerika. Konsekuensinya: mentalitas dan pola hidup masyarakat

Amerika ikut berubah.

Ada dua isu yang berkembang di masyarakat Amerika paska perang.

Pertama, materialisme. Membaiknya perekonomian negara sangat membantu

64

Ibid., hal. 262.

Page 54: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

53

kemajuan industri. Lapangan kerja, yang tadinya dijalankan dengan penuh siaga,

kini begitu bebas dan terbuka. Masyarakat Amerika, terutama mereka yang

kembali seusai bertugas sebagai tentara sukarela selama perang, berbondong-

bondong mendaftarkan diri ke pabrik dan kantor terdekat. Memasuki dunia kerja,

para pekerja pabrik dan karyawan kantor dapat dengan cepat menumpuk

kekayaan, karena iklim kerja sedang sangat kondusif. Akibatnya, konsumsi

masyarakat meningkat drastis. Pusat perbelanjaan terus berkembang, karena

masyarakat dapat belanja sesuka hati dengan pendapatannya yang melimpah.

Tempat-tempat hiburan, seperti taman bermain dan bar-bar, juga ramai didatangi

pengunjung. Alasannya: kondisi hidup masyarakat yang terus meningkat

memungkinkan pemanfaatan waktu luang yang lebih hedonistik.65

Tadinya, waktu

depresi ekonomi masih melanda, masyarakat Amerika harus mengeluarkan

banyak usaha dan menghabiskan banyak waktu hanya untuk memastikan ada

cukup makanan di meja makan setiap hari. Dengan kondisi perekonomian yang

membaik setelah perang, masyarakat Amerika tidak perlu bekerja sekeras dulu.

Waktu luang makin banyak. Makanan, kebutuhan dasar yang tadinya begitu sulit

dipenuhi, tidak lagi jadi masalah. Apalagi dengan adanya inovasi industri, seperti

kulkas dan makanan kaleng, masyarakat Amerika tidak perlu lagi repot soal isi

perut. Waktu luang masyarakat untuk senang-senang jadi lebih banyak.

Banyaknya waktu luang tersebut mendorong perpindahan penduduk dari

kota ke pinggir kota. Dihadapkan dengan waktu luang yang banyak, masyarakat

Amerika tentu harus mencari cara bagaimana menikmati semua itu sebaik

mungkin. Mereka pun memilih untuk pindah dan menetap di pinggir kota.

Kehidupan di pinggir kota menjadi begitu menggoda, karena di sana tidak seramai

di tengah kota. Orang dapat menjalani hobi dan kesenangannya masing-masing

tanpa harus terganggu bisingnya pabrik dan lalu lintas kota yang semakin padat.

Kepemilikan mobil pribadi yang terus meningkat, ditambah dengan membaiknya

sistem transportasi publik, masyarakat Amerika dapat pergi pagi ke kota untuk

kerja dan pulang sore ke rumah dengan mudah.

65

Nina C. Leibman. The Family Spree of Film Noir. Journal of Popular Film and Television, 1989,

hal. 173.

Page 55: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

54

Namun, kehidupan di pinggir kota sangatlah jauh dari keramaian. Daerah

pinggir kota belum dikembangkan sebaik daerah di tengah kota. Pusat

perbelanjaan dan hiburan tidak begitu banyak di sana. Oleh karena itu, di pinggir

kota banyak berkembang kegiatan komunitas untuk mengisi kekosongan hidup

para penghuninya. Gereja, kegiatan pemuda dan arisan ibu-ibu merupakan

kegiatan yang sangat populer di sana. Pada perkembangannya, kegiatan-kegiatan

komunitas tersebut berpengaruh ke pembentukan keluarga di Amerika. Setiap

anggota keluarga di Amerika, kecuali bapak yang sebagian waktunya terpakai

untuk kerja, mendapati dirinya berkembang dalam ruang yang komunal.66

Dalam

kegiatan-kegiatan komunitas yang berkembang di daerah pinggir kota, terdapat

semacam hukum tak tertulis yang mewajibkan individu untuk mengikuti

konsensus komunitas. Kegiatan di gereja secara makro mengacu pada isi kitab

suci, dan secara mikro mengikuti kebijakan yang diterapkan pendeta dan dewan

gereja. Sementara, kegiatan pemuda dan arisan ibu-ibu sangat menekankan

kebersamaan para anggota, yang diikat oleh kebutuhan dan tujuan bersama.

Pola kehidupan komunal tersebut yang menjadi dasar bagi isu kedua

dalam lanskap sosial Amerika paska perang: konformisme. Kehidupan komunal

menyaratkan setiap individu menekan kepentingan pribadi, dan mengedepankan

kepentingan bersama. Bila dikaitkan dengan konteks negara, tendensi komunal

tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah Amerika saat itu. Perang

mendorong pemerintah Amerika untuk menuntut integritas masyarakatnya. Dalam

rasional pemerintah, masyarakat perlu mendukung tentara-tentara Amerika yang

terjun ke medan perang, karena mereka yang membawa nama baik dan harga diri

bangsa. Setelah perang usai, pemerintah tetap menuntut integritas masyarakatnya.

Pasalnya, meningkatnya kesejahteraan hidup paska perang membuat pemerintah

bisa berdalil bahwa „cara Amerika‟ (the American way) adalah cara yang sudah

terbukti sukses. Penyelewengan atau subversi dari cara Amerika jelas hanya akan

membawa kemalangan, baik bagi individu yang menyeleweng maupun negara

yang menanggung kebebalan individu tersebut. Perang dingin dengan Uni Soviet

66

Sylvia Harvey, Women's Place: The Absent Family of Film Noir, dalam E. Ann Kaplan. Women

in Film Noir. London: British Film Institute, 1972., hal. 23-25.

Page 56: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

55

membuat pemerintah Amerika makin punya alasan untuk mengagungkan cara

Amerika. Bagi pemerintah Amerika, perang dingin mengerucutkan antagonis

negara ke satu hal: komunisme. Siapapun yang hidup dengan cara komunis di

tanah Amerika, maka ia akan dianggap tidak relevan dan pantas disingkirkan.

Fenomena tersebut pada perkembangannya merasuk ke kehidupan

keluarga. Sebagai unit politik terkecil, keluarga menyerupai negara. Ada figur

pemimpin dan perumus kebijakan, yaitu bapak. Ada figur penyeimbang dan

partner bertukar ide, yaitu ibu. Ada figur yang kesejahteraan hidupnya tergantung

pada pemimpinnya, yaitu anak-anak. Seperti yang sudah dijelaskan, pemerintahan

Amerika paska perang sangat mendorong kebersamaan. Keluarga pun dituntut

untuk melakukan hal yang sama. Pemerintah melihat keluarga sebagai medium

yang efektif untuk penanaman nilai-nilai yang dibutuhkan pemerintah. Sasarannya

utamanya jelas anak-anak, mengingat orang tua yang berperan sebagai penentu

orientasi dapat memanajemen anaknya agar berkembang dengan nilai-nilai

patriotik. Perihal kebutuhan ini, laki-laki memegang peran yang sangat penting.

Dengan industri Amerika paska perang yang sangat padat tenaga kerja, laki-laki

jelas sangat dibutuhkan kontribusinya. Apalagi Amerika baru kedatangan stok

laki-laki pengangguran, yakni laki-laki yang kembali dari tugasnya sebagai tentara

sukarelawan. Tidak heran kalau kemudian laki-laki sangat mendominasi lapangan

kerja.

Sebagai yang menafkahi keluarga, laki-laki tentu perlu mendapat

perlakuan khusus dalam keluarga.67

Mereka, seperti tentara yang terjun ke medan

perang, yang membawa nama baik dan harga diri keluarga. Dengan kentalnya

kultur materialistis di Amerika paska perang, nilai suatu keluarga di hadapan

lingkungannya praktis ditentukan oleh kesejahteraan hidupnya. Laki-laki yang

bertanggungjawab atas kesejahteraan hidup keluarganya. Oleh karena itu, secara

sadar maupun tidak sadar, laki-laki diperlakukan khusus dalam keluarganya. Laki-

laki sebagai suami dan bapak sangat dipatuhi oleh istri dan anak-anaknya, karena

mereka dianggap telah mengorbankan kepentingan pribadinya demi

67

Deborah Thomas. Film Noir: How Hollywood Deals with the Deviant Male. CineAction!, 1986,

hal. 21-22.

Page 57: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

56

keberlangsungan keluarganya. Hanya lewat kepatuhan terhadap suami/bapak,

suatu keluarga bisa berjalan optimal pada dasar nilai yang sama. Singkatnya, di

Amerika paska perang, keluarga merupakan cerminan dari pemerintahan yang

totaliter.

Kecenderungan tersebut tentunya mempengaruhi formasi keluarga. Ada

tiga aksioma yang mendasari pembentukan mayortias keluarga Amerika paska

perang. Pertama, ego laki-laki berkaitan erat dengan potensi ekonominya. Bagi

masyarakat Amerika waktu itu, keluarga yang baik adalah keluarga yang

dipimipin oleh laki-laki yang sehat dan siap kerja. Hal ini penting bagi citra laki-

laki di pergaulannya, baik di lingkungan kerjanya, lingkungan tempat tinggalnya,

maupun di hadapan keluarganya sendiri. Kedua, kelayakan perempuan berkaitan

erat dengan dukungannya pada suami. Dukungan tersebut terwujud dalam

keberadaan mereka di rumah untuk menyediakan rumah tangga yang kondusif

bagi suaminya, dan menjaga perilakunya sebagai perempuan dengan hidup sesuai

norma yang berlaku. Dengan menjaga citra baik dirinya, perempuan turut menjaga

citra baik suaminya. Kepatuhan yang serupa juga harus dijalankan oleh anak-

anak. Sampai pada batas tertentu, mereka adalah wajah dari keluarganya. Semua

kegiatan yang anak-anak jalani pada akhirnya akan dikaitkan dengan bapaknya.

Kepatuhan anak-anak pada bapaknya, itulah aksioma ketiga dalam pembentukan

keluarga Amerika paska perang.

Aksioma-aksioma tersebut pada perkembangannya jadi tekanan tersendiri

bagi laki-laki dan perempuan yang menjalani kehidupan berkeluarga. Laki-laki,

sebagai yang menghidupi keluarga, tertekan harus terus menerus menjalani siklus

kerjanya. Kehidupan mereka sangat diatur oleh jam kerjanya. Pasalnya, jam kerja

yang tadinya merupakan kesempatan untuk aktualisasi diri, kini jadi tekanan

untuk terus menerus aktualisasi diri. Laki-laki harus menjaga citra baik tentang

dirinya. Mereka sangat menghindari cacat fisik dan melakukan kesalahan fatal di

pekerjaannya, karena kedua hal tersebut akan berpengaruh ke potensi ekonomi si

laki-laki. Tanpa fisik yang optimal dan reputasi yang bersih, seorang laki-laki

akan tercoreng citranya. Dia pun akan sulit memperoleh perhatian di lingkungan

kerjanya, tempat tinggalnya, dan tentu saja keluarganya.

Page 58: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

57

Di sisi lain, perempuan sangat tertekan oleh batasan-batasan yang harus ia

alami sebagai istri dan ibu rumah tangga.68

Eksistensi perempuan terbatas pada

eksistensi suaminya, dan hal tersebut menempatkan perempuan dalam kondisi

yang serba salah. Kalau istri tidak mampu menyediakan rumah tangga yang

kondusif bagi suaminya, maka ia akan dianggap tidak layak oleh lingkungannya.

Kalau ia tidak mau melayani suaminya, maka ia akan dianggap membangkang

dari keluarga. Kalaupun ia mampu menjalani perannya sebagai seorang istri tapi

suaminya gagal dalam pekerjaannya, perempuan tetap disalahkan, karena itu

berarti perempuan kurang mendukung suaminya. Kondisi ini sangat kontras

dengan kondisi perempuan saat perang. Mereka dapat keluar rumah untuk kerja di

pabrik maupun di kantor. Dengan begitu mereka dapat menghidupi keluarganya,

dan hal tersebut membuat perempuan jadi percaya diri dan punya harga diri.

Perang usai, para suami kembali, dan perempuan kembali jadi pengurus rumah

tangga lagi. Batasan tersebut menjadi tekanan tersendiri bagi perempuan di

Amerika paska perang.

Tekanan-tekanan itulah yang kemudian diolah para penulis cerita kriminal

ke dalam karya-karyanya. Menolak potret Amerika yang digembar-gemborkan

pemerintah, mereka menulis cerita-cerita kriminal yang membingkai negaranya

dalam potret kegelisahan.69

Protagonis yang mereka pakai adalah laki-laki yang

jadi korban alienasi sosial. Mereka teralienasi karena satu kesalahan fatal yang

mereka lakukan dalam pekerjaannya. Opsi lainnya: para protagonis tersebut

melakukan penyelewengan dalam pekerjaannya. Mereka mengambil keputusan

yang berlawanan dari apa yang seharusnya dilakukan, dan itu dilakukan untuk

kepentingan pribadi. Kepalang basah, ia pun mengambil segala cara untuk

menyelesaikan masalahnya. Tentu saja usahanya menyelesaikan masalah pada

akhirnya banyak melabrak batas-batas sosial yang menghadangnya.

Di tengah usahanya menyelesaikan masalah, protagonis laki-laki tersebut

bertemu dengan seorang femme fatale. Istilah tersebut berasal dari bahasa

Perancis, dimana femme berarti „perempuan‟ dan fatale berarti „berbahaya‟.

68

Op. Cit., Leibman, hal. 170. 69

Op. Cit., Bradbury, hal. 256-258.

Page 59: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

58

Perempuan tersebut dianggap berbahaya, karena ia mewakili segala hal yang laki-

laki tidak temui di istrinya dan keluarganya.70

Dengan kata lain, femme fatale

mewakili segala penyelewengan norma yang berlaku di Amerika paska perang.71

Namun, femme fatale menjadi semacam terapi bagi protagonis laki-laki.

Keberadaannya jadi semacam insentif bagi protagonis laki-laki untuk menata

pikirannya, membangkitkan semangat hidupnya, dan mengambil inisiatif untuk

menyelesaikan segala masalah yang melingkarinya.

Femme fatale sendiri, dalam novel-novel kriminal, selalu dikontraskan

dengan suami yang cacat secara fisik. Baik itu suami yang sedang ia nikahi, yang

dulu pernah ia nikahi, maupun yang sudah ia bunuh. Kontras tersebut jadi

semacam satir dari tekanan yang dialami perempuan Amerika paska perang. Para

femme fatale tersebut gelisah dengan batasan-batasan yang harus jalani di

rumahnya. Sementara itu, suaminya, yang notabene menjadi pembatas eksistensi

si femme fatale, tidak mampu berbuat apa-apa untuk memperbaiki suasana di

rumah.72

Hal itu yang kemudian jadi motivasi bagi femme fatale untuk keluar dari

rumah, dan merumuskan segala konspirasi untuk memuaskan dirinya.73

Korban

dari semua ini tentu saja para laki-laki di sekitar femme fatale.

Relasi laki-laki dan perempuan yang dijelaskan di atas merupakan plot

dasar novel-novel kriminal Amerika paska perang. Plot tersebut yang kemudian

tercetak dalam ratusan novel kriminal, yang dirilis secara massal oleh rumah-

rumah penerbitan. Format paperback memungkinkan masyarakat umum

mengakses novel-novel tersebut dengan harga murah. Oleh karena itu, pada

perkembangannya, masyarakat Amerika mulai familiar dengan konvensi-konvensi

yang ada dalam novel kriminal. Semua itu sudah terpatri dalam memori kolektif

dan budaya pop masyarakat Amerika. Studio-studio Hollywood pun melihatnya

sebagai kesempatan untuk mengais keuntungan. Produksi film noir pun dimulai.

70

Janey Place, Women in Film Noir, dalam E. Ann Kaplan. Women in Film Noir. London: British

Film Institute, 1978, hal. 52. 71

Ibid., hal. 54. 72

Ibid,. hal. 36. 73

Ibid,. hal. 53.

Page 60: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

59

B. AKAR SINEMATIK FILM NOIR

Layaknya yang terjadi dengan dunia literer Amerika, tahun-tahun paska

Perang Dunia II merupakan tahun yang krusial bagi Hollywood. Pasalnya, tahun-

tahun tersebut adalah tahun dimana Amerika banyak menyerap pengaruh dari

Eropa, yang pada perkembangannya menjadi formula visual bagi film noir. Era

40-an sebenarnya merupakan periode yang sangat berwarna di Hollywood.

Bioskop-bioskop di Amerika waktu itu masih bekerja di bawah satu standar

pemutaran. Pemutaran setiap harinya selalu terdiri dari laporan berita, kartun

pendek, informasi film-film yang akan rilis, dan dua slot film panjang.74

Dua slot

film panjang tersebut dilabeli dengan slot A dan slot B. Slot A dikhususkan untuk

film-film blockbuster, film-film yang diproduksi oleh studio besar dan

memperoleh publikasi yang massal. Slot B dikhususkan untuk film-film

pelengkap, atau istilah populernya film B, alias film-film yang diproduksi oleh

studio kecil dengan bujet yang sangat murah dan publikasi yang ultra minim. Bila

dipilah berdasarkan genre, slot A biasanya memutar film-film kolosal, drama dan

komedi; sementara slot B umumnya memutar film horror, kriminal, dan sains-

fiksi.75

Dari sini terlihat bahwa dengan duduk seharian penuh di bioskop, orang

Amerika bisa memperoleh berbagai macam hiburan tanpa harus bersusah payah.

Sekuens pemutaran di bioskop yang variatif tersebut ditopang dengan

produksi film di Hollywood yang sama variatifnya. Setiap minggunya,

masyarakat Amerika rata-rata dapat memilih di antara 8-12 film baru.76

Bila

dipilah berdasarkan genre, masyarakat Amerika setiap minggunya dapat memilih

antara film musikal, western, kriminal, dan drama. Empat genre itulah yang paling

banyak diproduksi selama dekade 40-an. Kalau melihat film-film populer tahun

1940-an yang masuk ke dalam daftar Badan Pendaftaran Film (National Film

Registry), atau film-film populer Amerika dari periode tersebut yang dianggap

penting secara kultural dan estetis, maka akan muncul judul-judul seperti The

Great Dictator (disutradarai oleh Charlie Chaplin, pada tahun 1940), Citizen Kane

74

Op. Cit., Stankowski, hal. 61. 75

Joel W. Finler. The Hollywood Story, 3rd edition. London and New York: Wallflower, 2003.,

hal. 47-49. 76

Op. Cit., Stankowski, hal. 62.

Page 61: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

60

(Orson Welles, 1941) How Green Was My Valley (John Ford, 1941), Maltese

Falcon (John Huston, 1941), Shadow of a Doubt (Alfred Hitchcock, 1943), Laura

(Otto Preminger, 1944) , Meet Me in St. Louis (Vicente Minelli, 1944), Mildred

Pierce (Michael Curtiz, 1945), It’s a Wonderful Life (Frank Capra, 1946), The

Treasure of Sierra Madre (John Huston, 1948) dan All the King’s Men (Robert

Rossen, 1949).77

Dari daftar itu saja, sudah terlihat betapa variatifnya film-film

yang Hollwood produksi selama periode 40-an.

Namun, dari segala jenis film tersebut, ada satu jenis film yang secara

konstan diproduksi: film kriminal. Genre film lainnya mengalami pasang surutnya

masing-masing. Film musikal tidak lagi diproduksi secara massal menjelang awal

50-an. Alasannya: kesulitan mencari ide yang segar, karena film musikal adalah

genre yang hampir tidak mungkin dibuat sekuelnya.78

Sementara film western

mulai kehilangan penonton, karena penduduk Amerika pada umumnya mulai

terbiasa dengan pemandangan kota. Seperti yang sudah dijelaskan, pertumbuhan

ekonomi paska perang menyebabkan banyak desa yang tumbuh jadi kota kecil,

dan banyak kota kecil yang jadi kota besar. Pemandangan alam yang banyak

disuguhkan dalam film western jadi tidak relevan lagi.79

Film drama, di sisi lain,

tetap konstan diproduksi. Sebagai sebuah genre, film drama sebenarnya tidak

terlalu terikat kondisi sosial. Apapun trend yang sedang hangat, film drama dapat

dirilis kapanpun dan dimanapun. Namun, film drama adalah genre yang sangat

tidak ramah penonton. Genre tersebut sulit dijual ke masyarakat kelas bawah,

yang notabene di Amerika bioskopnya lebih menjamur ketimbang bioskop kelas

menengah. Oleh karena itu, film mayoritas dirilis oleh studio-studio besar. Hanya

mereka yang mampu mengontrak bintang mahal, mengadakan publikasi mahal,

dan mampu menanggung kerugian ongkos produksi yang tidak tertutup penjualan

tiket.80

77

National Film Registry (http://en.wikipedia.org/wiki/National_film_registry). 5 Mei 2010.

Diakses pada 15 Mei 2010. 78

James Monaco. How to Read a Film. Oxford: Oxford Universtiy Press, 2000, hal. 358. 79

Ibid., hal. 362. 80

Ibid., hal. 365.

Page 62: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

61

Di sisi lain, era 40-an begitu ramah terhadap film kriminal. Alasan

utamanya tentu saja stok cerita kriminal yang melimpah. Seperti yang sudah

dijelaskan, selama tahun 40-an novel-novel kriminal begitu menjamur di

Amerika. Penyulut trend tersebut adalah teknologi paperback, yang

memungkinkan rumah penerbitan mencetak buku dalam volum massal dengan

harga yang sangat rendah. Tentu hal ini dapat dilakukan dengan mengorbankan

kualitas fisik buku, yang cenderung tidak tahan lama dibanding buku yang dicetak

dalam format hardcover. Namun, kualitas fisik buku tidak jadi masalah,

mengingat penjualan buku-buku paperback tersebut begitu mendominasi pasaran.

Masyarakat dapat mengaksesnya dengan harga yang murah. Hal tersebut

memungkinkan novel kriminal cepat naik popularitasnya di masyarakat Amerika.

Belum lagi koran-koran secara reguler memasukkan cerita kriminal bersambung

di halaman belakangnya, jadilah masyarakat Amerika makin familiar dan

menggandrungi cerita kriminal sebagai teman waktu luangnya.

Fenomena tersebut tentu saja diendus oleh studio-studio Hollywood, baik

yang kecil maupun yang besar. Sebagai industri yang sangat terobsesi dengan

hasil akhir, Hollywood tentulah melihat cerita kriminal sebagai ladang emas yang

belum tergali. Modal pertama yang Hollywood eksploitasi adalah penulis-penulis

cerita kriminal populer, seperti James M. Cain, Raymond Chandler, Dashiell

Hammett dan Mickey Spillane. Berkat kesuksesan cerita-cerita mereka, penulis-

penulis tersebut bak selebritis di kalangan masyarakat Amerika. Hollywood pun

dapat memanfaatkan mereka lewat dua cara. Pertama, dengan mengadaptasi

cerita-cerita mereka ke layar lebar. Cara ini adalah cara yang paling umum,

mengingat lebih banyak penulis yang terkenal ceritanya saja, alias penulis-penulis

one hit wonder yang merilis satu cerita terkenal dan kemudian hilang ditelan

persaingan industri. Cara ini tentu juga berlaku buat penulis-penulis yang

namanya sudah besar, seperti James M. Cain dan para kontemporernya tersebut.

Dengan mengadaptasi cerita mereka, Hollywood malah mendapat keuntungan

publikasi ganda: dari judul ceritanya dan nama penulis novelnya. Keduanya dapat

dieksploitasi Hollywood untuk menarik perhatian penonton.

Page 63: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

62

Khusus untuk penulis-penulis besar tersebut, studio-studio Hollywood

punya cara lain untuk memanfaatkan ketenaran mereka, yakni dengan merekrut

mereka sebagai penulis naskah film. Cara ini menguntungkan Hollywood dalam

dua hal. Pertama, Hollwood mendapat jaminan kualitas dari profesi mereka

sebagai penulis. Siapa lagi yang lebih mengerti soal cerita kriminal selain penulis

kriminal itu sendiri? Tentu ada logika sendiri yang harus dipertimbangkan dalam

mengadaptasi novel ke layar lebar, mengingat cerita tertulis memiliki sistem

naratif yang berbeda dari cerita dalam gambar bergerak. Namun, itu bukan

masalah. Studio-studio Hollywood dapat merekrut satu atau dua penulis naskah

lagi, yang terbiasa bekerja dengan standar Hollywood, untuk mendampingi

penulis cerita kriminal tersebut. Dengan melakukan hal tersebut, Hollywood tetap

dapat menikmati kualitas para penulis cerita kriminal tersebut, dan tentu saja nilai

publikasi tambahan. Film kriminal yang publikasinya dibubuhi kalimat “diangkat

dari novel ....” dan “dengan .... sebagai penulis naskah” jelas lebih menjual,

dibandingkan film kriminal lainnya yang dirilis tanpa embel-embel tersebut.

Segmen cerita sudah beres, Hollywood tinggal memikirkan seksi teknis

yang akan mengurusi visualisasi cerita-cerita kriminal tersebut. Pada titik inilah,

Perang Dunia II menjadi berkah terselubung bagi sinema Amerika. Selama Perang

Dunia II, kegiatan perfilman Eropa banyak terhenti. Hancurnya infrastruktur dan

kondisi perang banyak membuat studio memilih tutup. Ada tiga pilihan yang

tersedia bagi para pekerja film di Eropa: ikut perang sebagai tenaga sukarelawan,

sembunyi atau imigrasi. Mereka yang memilih imigrasi kebanyakan memilih

Amerika sebagai rumah barunya. Alasan yang logis, mengingat waktu itu

Amerika satu-satunya industri film yang bisa berkembang tanpa terganggu

perang. Pasar film pun terus bergerak, karena kehidupan masyarakat di sana tetap

berjalan normal tanpa adanya gangguan perang. Dengan pindah ke Amerika, para

pembuat film dari Eropa tersebut memperoleh dua keuntungan. Pertama, mereka

dapat melanjutkan kesenangan mereka pada film, atau minimal memperoleh

penghidupan dari bidang yang mereka geluti selama di Eropa. Kedua, mereka

dapat hidup aman tanpa adanya gangguan dari senapan dan letusan meriam.

Seperti kontribusi penulis eksistensialis ke bidang literer Amerika paska perang,

Page 64: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

63

perpindahan para pembuat film dari Eropa ke Amerika menjadi penyulut

perkembangan film noir di Hollywood.81

Berkaitan dengan film noir, para imigran Eropa tersebut punya modal

yang sangat esensial, yakni ekspresionisme Jerman. Aliran estetik khas Jerman

itulah yang nantinya bakal menjadi rumus dasar visual film noir. Ekspresionisme

sebenarnya sudah berkembang di Jerman dua dekade sebelum Perang Dunia II

meletus. Waktu itu, di era 20-an, banyak budaya Eropa mencoba mencari inovasi,

dengan bereksperimen dengan ide-ide baru. Salah satunya Jerman.82

Terbatas

secara ekonomi akibat Perang Dunia I, industri film Jerman kesulitan

mengimbangi film-film Hollywood, yang umumnya diproduksi dengan bujet

besar. Para pembuat film Universum Film AG, studio film terbesar di Jerman

waktu itu, kemudian mencoba bereksperimen dengan properti dalam film-film

mereka. Ide mereka adalah dengan menata setting dalam film mereka di luar

proporsi.

Pemikiran ini jelas merupakan antitesis dari prinsip produksi Hollywood,

yang mengedapankan keutuhan dalam film-film mereka, baik secara spasial

maupun temporal. Letika menonton film-film Hollywood, kita pasti

mengharapkan seorang aktor keluar dari pintu di kiri layar, setelah mereka masuk

dari pintu di kanan layar. Logika ruang-waktu semacam itulah yang menjadi

prinsip produksi Hollywood selama ini. Namun, para praktisi ekspresionisme

Jerman memilih untuk mengabaikan logika tersebut, dan mendesain properti

dalam film-film mereka sekacau mungkin. Kontras dibuat setinggi mungkin,

dengan mengecat lantai dan dinding dengan pola warna hitam yang asimetris,

untuk merepresentasikan cahaya dan bayangan. Setting pun dibuat seabsurd

mungkin, dengan tidak menghiraukan tata ruang yang rapi dan teratur. Ruang

dalam film-film ekspresionis Jerman seringkali memiliki atap yang tidak tegak

lurus dengan dasarnya, dan cenderung dipenuhi ornamen-ornamen yang lebih

besar dari ukuran aslinya.

81

Andrew Dickos. Street with No Name: A History of the Classic Film Noir. Lexington:

University of Kentucky Press, 2002, hal. 10. 82

Ibid., hal. 15-22

Page 65: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

64

Ketidakaturan properti tersebut dimanfaatkan para pembuat film

ekspresionis sebagai motif cerita. Properti-properti tersebut menjadi wujud

simbolik dari emosi-emosi gelap manusia, seperti kegelisahan, kebingungan, dan

kegilaan. Keberadaan karakter film dalam ruang yang tidak proporsional

merupakan cerminan dari kondisi mental manusia, yang tidak pernah akur dengan

realita di sekitarnya. Tidak heran kalau kemudian gerakan ekspresionisme Jerman

melahirkan film-film bertema „intelek‟, bila dibandingkan dengan film laga dan

roman yang banyak diproduksi Hollywood waktu itu. The Cabinet of Dr.

Caligari, produksi tahun 1920, bercerita tentang halusinasi seorang pasien

gangguan mental. Dua karya epik Fritz Lang, Metropolis (1927) dan M (1931),

bercerita tentang kota yang panik karena perkembangan peradaban modern. Kalau

di film pertama, kota panik karena terciptanya robot yang disetir penguasa untuk

menghancurkan seluruh kelas pekerja; di film kedua, kota ketar-ketar karena

keberadaan pembunuh berantai yang pedofil. Ketiga film tersebut bisa dibilang

sebagai film-film yang merepresentasikan segala konvensi ekspresionisme

Jerman, mulai dari aspek visual sampai tema cerita.

Ekspresionisme Jerman berkembang jadi kekuatan utama sinema dunia

sampai Perang Dunia II meletus. Menjelang Perang Dunia II, kenaikan Nazi

sebagai kekuatan politik mengancam keberadaan industri film Jerman. Pada

waktu itu, industri film Jerman banyak menampung pelajar film dari negara

tetangganya dan Eropa Timur. Banyak pelajar film dari Austria, Polandia,

Hungaria, Cekoslovakia, dan Slovakia yang masuk ke Jerman. Tidak heran kalau

kemudian banyak sutradara dan sinematografer lulusan Jerman yang sangat

menguasai teknik-teknik ekspresionis. Keberadaan Nazi dan kondisi politik Eropa

yang kian memanas memaksa mereka keluar dari Jerman. Perpindahan mereka ke

Amerika jadi keuntungan sendiri bagi Hollywood.83

Dalam produksi film noir, simbolisasi emosi karakter merupakan hal yang

esensial. Pasalnya, naratif film noir sangat bergantung pada simbolisasi karakter

tersebut. Tanpanya, film noir akan kehilangan kualitas mitisnya, dan hanya akan

menjadi cerita kriminal biasa dengan karakter-karakter yang dapat ditemukan di

83

Ibid., hal. 33.

Page 66: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

65

ratusan cerita kriminal lainnya.84

Simbolisasi emosi tersebut yang menjadikan

film noir terlihat begitu pesimis, sekaligus begitu akurat dalam memotret psike

masyarakat Amerika paska perang. Pada titik ini, kedatangan para imigran dari

Eropa terasa manfaatnya. Dengan kualifikasi mereka selama bekerja di Eropa,

para imigran tersebut dengan mudah dapat memperoleh pekerjaan di Hollywood.

Film noir jelas berbeda dengan film-film ekspresionis, namun naratif keduanya

bergantung pada hal yang sama: eksposisi emosi internal karakter. Oleh karena

itu, dalam film noir, emosi para karakternya diekspresikan layaknya yang

dilakukan dalam film-film ekspresionis: kontras cahaya dan penataan properti.

Sentuhan ekspresionis dalam film noir dapat dilihat dari motif-motif

ceritanya. Salah satu motif utama film noir adalah protagonisnya yang selalu

terbelah dalam ambiguitas moralnya sendiri. Mereka tidak tahu mana yang pantas

dilakukan: menerima jalan hukum dan menderita dalam segala ketidakadilannya,

atau mengambil jalan di luar hukum dan bersiap menerima segala

konsekuensinya. Keharusan memilih inilah yang memenjarakan karakter-karakter

film noir dalam rasa bersalah. Pasalnya, pilihan apapun yang mereka ambil pasti

akan berakhir di titik yang sama: kehancuran.85

Para pembuat film noir

memvisualisasikan fatalisme tersebut lewat pencahayaan, yang selalu membingkai

protagonis film noir dalam bayangan setengah gelap setengah terang.

Pembingkaian setengah-gelap-setengah-terang ini semakin ditekankan dalam shot

khas film noir: close-up wajah protagonis, yang terbelah oleh cahaya/bayangan

secara vertikal.

Motif lainnya dalam film noir: relasi protagonis dengan orang yang cocok

dengannya, umumnya femme fatale, selalu didasari oleh suatu kepentingan.86

Sialnya, kepentingan tersebut hanya bisa dipenuhi lewat plot atau tindakan

terencana yang berada di luar jalur hukum. Hal inilah yang semakin menambah

rasa bersalah karakter-karakter film noir. Mereka tidak nyaman dengan orang-

orang di lingkaran personalnya, baik keluarga maupun lingkungan kerja.

84

Ibid., hal. 39 85 Robert G. Porfirio. No Way Out: Existential Motifs in the Film Noir. Sight and Sound, vol. 4,

no. 45, 1976, hal. 213. 86

Ibid., hal. 215.

Page 67: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

66

Masalahnya, satu-satunya orang yang cocok dengan mereka malah punya

kepentingan pribadi, yang hanya bisa terpenuhi dengan memanfaatkan sumber

daya milik protagonis. Karakter-karakter film noir selalu terjebak dalam lingkaran

setan, dimana tidak ada yang benar-benar bisa keluar dari penjara kegelisahan

dirinya, bahkan melalui relasi intim sekalipun. Para pembuat film noir

menggambarkan pesimisme sosial tersebut melalui pencahayaan dan tata letak

properti. Shot yang paling umum dari fenomena ini adalah dua karakter, biasanya

laki-laki dan perempuan, yang terproyeksikan oleh bayangan teralis jendela.

Bayangan tersebut menjadi simbolisasi dari ketidakmampuan karakter-karakter

film noir keluar dari kegelisahannya. Seakan-akan selalu ada jeruji yang

menghalangi jalan keluar mereka.

Dominannya pengaruh ekspresionisme Jerman membuat Hollywood

seakan-akan tidak punya kontribusi estetis dalam produksi film noir. Ditambah

lagi fakta bahwa mayoritas film noir merupakan adaptasi dari novel-novel

kriminal di jamannya, Hollywood makin terlihat tidak punya saham dalam

kelahiran film noir. Mengingat Hollywood adalah salah satu arus utama di

konstelasi sinema dunia, agak mengherankan rasanya apabila Hollywood seperti

tidak punya pendirian estetisnya sendiri. Apalagi yang sedang jadi fokus adalah

film noir, yang seringkali digadang sebagai satu-satunya estetika yang lahir secara

organis dari tanah Amerika. Opini miring mengenai kapabilitas estetis Hollywood

tersebut wajar. Pasalnya, kontribusi Hollywood bagi estetika film noir tidak

terwujud dalam faktor teknis, melainkan dalam Kode Produksi, alias kode-kode

yang meregulasi produksi di Hollywood dari 1930 sampai 1968.87

Sepanjang masa berlakunya, Kode Produksi merupakan momok bagi para

pekerja film di Hollywood. Ditilik dari bentuk pelaksanaannya, Kode Produksi

bukanlah sensor, melainkan semacam rambu-rambu peringatan. Ia menjadi

semacam panduan regulasi diri bagi para pembuat film, untuk mendesain filmnya

supaya tidak melenceng dari prinsip-prinsip yang ditetapkan MPAA (Motion

Picutre Association of America/Asosiasi Perfilman Amerika). Ada tiga prinsip

87

Thomas Doherty. The Code Before Da Vinci. Washington Post

(http://my.brandeis.edu/news/item?news_item_id=105052&show_release_date=1). 20 Mei 2006.

Diakses pada 22 Mei 2010.

Page 68: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

67

yang harus dipatuhi. Pertama, film tidak boleh merendahkan standar moral

penontonnya. Simpati audiens harus selalu ditujukan pada protagonis berwatak

baik, dan tidak boleh pada pelaku kriminal. Kedua, film harus menganut

pandangan hidup yang positif. Pandangan hidup tersebut hanya boleh

dibengkokan sementara untuk kebutuhan drama dan hiburan, yang pada akhir film

harus diluruskan kembali, supaya tidak terjadi penyebaran wacana yang salah di

masyarakat. Ketiga, nilai-nilai luhur dalam peradaban manusia tidak boleh

diinjak-injak. Para pembuat film dilarang mencoba menarik simpati penonton

melalui cara-cara yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Di luar ketiga prinsip

makro tersebut, MPAA merilis daftar hal-hal yang dilarang muncul dalam film-

film Hollywood. Larangan-larangan tersebut spesifik dan cenderung moralis,

mulai dari seks, penggunaan narkotika, sampai tindakan kriminal.88

Kode Produksi sendiri bisa lahir karena masyarakat Amerika tersulut oleh

kejadian di pengadilan negara tahun 1915. Waktu itu, pemerintah daerah Ohio

terlibat persidangan panas dengan Mutual Film Corporation, sebuah perusahaan

distribusi film. Pemda Ohio kala itu memiliki kebijakan membentuk badan sensor

regional, yang ditujukan untuk memantau film-film yang masuk ke bioskop di

Ohio. Bagi pemda Ohio, kebijakan tersebut penting dijalankan demi terjaganya

moral masyarakat. Namun, Mutual menentang kebijakan pemda Ohio, dengan

alasan film sebagai suatu karya seni seharusnya dilindungi oleh amandemen

pertama Undang-Undang Negara, yakni kebebasan berekspresi. Selain itu,

menurut Mutual, kebijakan pemda Ohio menganggu kebebasan berbisnis antar

negara bagian. Sayangnya, panel juri tidak simpatik dengan argumen yang

diberikan Mutual. Pengadilan pun mengambil keputusan bahwa film tidak layak

disebut sebagai karya seni, dengan alasan ia merupakan komoditas yang

diperjualbelikan. Konsekuensinya: film dianggap tidak mendapat perlindungan

bebas berekspresi, dan dapat dikenakan sensor oleh badan film setiap negara

bagian.89

88

Leonard J. Dame Leff. The Kimono Hollywood, censorship, and the production code from the

1920s to the 1960s. New York: Grove Weidenfeld, 1990, hal. 9. 89

John Wertheimer. Mutual Film Reviewed: The Movies, Censorship, and Free Speech in

Progressive America. American Journal of Legal History. Temple University, 1993, hal. 158–189.

Page 69: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

68

Kasus tersebut membuka wacana tentang sensor dan regulasi film di

Hollywood. Popularitas film sebagai hiburan massal di Amerika semakin lama

semakin membawa kekhawatirannya sendiri. Kultur selebritis pun mulai terbentuk

di Hollywood, dan mulai menarik perhatian publik. Sialnya, sepanjang tahun 20-

an, Hollywood digoyang oleh tiga kasus besar yang melibatkan selebritis:

kematian aktris Virginia Rappe di suatu pesta tahun 1921, pembunuhan sutradara

William Desmond Taylor pada tahun 1922, serta kematian dan kasus narkotik

aktor Wallace Reid pada tahun 1923. Kejadian-kejadian ini kemudian diliput dan

dibesar-besarkan di koran-koran Amerika.90

Publik pun mulai gerah dengan

amoralitas yang menyelimuti Hollywood, dan mulai menuntut semacam bentuk

pendisiplinan. Akhirnya, setelah kampanye beberapa politisi, Kode Produksi pun

diresmikan pada 13 Juni 1934. Setelah tanggal 1 Juli 1934, studio-studio

Hollywood haruslah mengirim filmnya terlebih dahulu ke MPAA. Suatu panel

kemudian akan menganalisa film tersebut, dan memberinya ijin rilis kalau

ternyata filmnya sesuai dengan Kode Produksi.

Era film noir, yakni dari tahun 1942 sampai 1958, masih termasuk dalam

masa berlakunya Kode Produksi di Hollywood. Bila dilihat dari sejarah penerapan

Kode Produksi di Hollywood, film noir bisa dibilang merupakan hasil dari

pertemuan dua fenomena: berubahnya tradisi film gangster akibat Kode Produksi

dengan pergolakan politik Amerika. Sebelum film noir jadi trend, tradisi film

kriminal Hollywood didominasi oleh film-film gangster sejak akhir 1920-an.

Popularitas film gangster kala itu disokong oleh ketidakstabilan sosial Amerika

akibat kebijakan pemerintah melarang produksi dan distribusi minuman

beralkohol.91

Kebijakan tersebut berlangsung dari tahun 1919 sampai 1933.

Menjelang akhir dari masa pelarangan tersebut, tepatnya pada tahun 1929, depresi

ekonomi melanda seantero Amerika. Konsekuensinya: industri luluh lantak, dan

tingkat pengangguran melonjak.

Dua kejadian tersebut menjadikan film gangster terlihat seperti mitos yang

menyenangkan bagi penonton Amerika. Pelarangan alkohol terbukti sulit

90

Op. Cit., Leff, hal. 12. 91

Susan Hayward. Cinema Studies: The Key Concepts, 2nd

edition. Bury: St. Edmundsbury Press,

2000, hal. 153.

Page 70: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

69

digalakkan. Pasalnya, jumlah gangster yang berkeliaran di jalan jauh lebih banyak

dari aparat keamanan yang bertugas. Perang antar gang dan tindakan kriminal pun

sering terjadi. Koran-koran tentunya meliput itu semua. Konsekuensinya:

kehidupan gangster jadi santapan harian masyarakat Amerika. Faktanya: banyak

film gangster Hollywood yang diadaptasi dari tokoh-tokoh gangster nyata, yang

kisah-kisah pelanggaran hukumnya setia dikronologikan oleh ratusan harian di

Amerika. Oleh karena itu, penonton Amerika bisa dengan mudah menerima

segala brutalitas dan ketamakan yang ditunjukkan film-film gangster waktu itu,

karena agresivitas gangster di ruang-ruang urban sudah tertanam dalam memori

kolektif masyarakat.

Memasuki depresi ekonomi, film gangster berubah signifikansinya. Dari

gambaran tentang kenyataan pahit yang ada di Amerika, film gangster

berkembang jadi potret idealis tentang harapan-harapan yang tak pernah tercapai.

Depresi ekonomi membuat mimpi yang dijanjikan pemerintah Amerika jadi

sesuatu yang usang. Dalam undang-undang negara, terdapat suatu testamen bahwa

Amerika merupakan suatu masyarakat yang bebas, demokratis, dan tidak tersekat

oleh kelas sosial. Hal itu yang digembar-gemborkan pemerintah Amerika selama

ini, dan kemudian menjadi mentalitas Amerika pada umumnya. Semua orang

bangun pagi dan masuk kerja dengan yakin, bahwa kesuksesan tidaklah jauh dari

ujung jari dan bisa diperoleh dengan terus bekerja keras. Namun, depresi ekonomi

meruntuhkan keyakinan tersebut. Carut marut perekonomian dengan jelasnya

menunjukkan bahwa Amerika sebenarnya terbelah ke dalam dua kubu besar:

borjuis dan proletar.

Film gangster memperoleh simpati yang besar di kalangan proletar. Bagi

mereka, gangster merupakan simbol dari keinginan terpendam kaum proletar, dan

skenario alternatif yang mungkin terjadi kalau saja mereka tidak terlalu termakan

janji surga pemerintah. 92

Sebagai figur yang melabrak batasan kelas sosial,

gangster dalm film-film Hollywood memperoleh kesuksesannya bukan dengan

rajin bekerja, melainkan dengan mencuri dan memuaskan nafsu pribadinya.

Individualisme itulah yang waktu itu belum dilakukan masyarakat Amerika,

92

Ibid., hal. 154.

Page 71: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

70

mengingat pemerintah terus menerus mengampanyekan pentingnya kebersamaan

dan keutuhan komponen bangsa. Di sisi lain, individualisme tersebut menjadi

kritik pedas terhadap mitos kesuksesan versi Amerika: seseorang hanya mungkin

memperoleh kesuksesan, setelah ia menghabisi orang-orang di sekitarnya. Potret

kelam ini jadi representasi dari harapan mayoritas kelas pekerja Amerika jaman

depresi. Tidak heran kalau film gangster waktu itu begitu populer banyak

diproduksi.

Memasuki pertengahan 30-an, pesimisme yang disajikan film gangster

mulai terasa tidak relevan.93

Pasalnya, perekonomian Amerika perlahan-lahan

berhasil memulihkan dirinya, dan kehidupan masyarakat normal kembali.

Masyarakat pun mulai gerah dengan kekerasan dan pembunuhan yang jadi sajian

mingguan Hollywood di bioskop-bioskop. Mereka menuntut adanya semacam

pendisiplinan bagi Hollywood, yang mereka anggap kian amoral. Jadilah, pada

tahun 1934, Kode Produksi diberlakukan. Film gangster, yang mengambil

protagonisnya adalah pihak di luar hukum, terpaksa direvisi besar-besaran.

Hollywood pun tanpa sengaja telah menyemai bibit-bibit film noir.

Demi kesesuaian dengan prinsip-prinsip yang dikedepankan Kode

Produksi, studio-studio Hollywood memindahkan protagonis film-film

kriminalnya dari gangster ke detektif.94

Rasionalnya: detektif berasal dari pihak

yang benar, oleh karenanya kalaupun penonton simpatik dengan mereka,

setidaknya mereka simpatik dengan figur yang tepat. MPAA pun tidak keberatan

dengan perkembangan ini. Namun, yang luput dari perhatian MPAA adalah

keputusan studio-studio tersebut mempertahankan bangunan emosional protagonis

film gangster di film-film detektif tersebut, dengan beberapa penyesuaian

tentunya. Brutalitas gangster dirias ulang oleh para pembuat film jadi

kebingungan eksistensial seorang investigator. Mereka adalah orang-orang

pinggiran yang mencoba mengaktualisasi dirinya, di tengah kondisi ekonomi yang

carut marut dan kasus kriminal yang mendatangkan penderitaan dan kematian.

Sama seperti gangster yang menginspirasi keberadaan mereka, para detektif

93

Ibid., hal. 155. 94

Ibid., hal. 156.

Page 72: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

71

tersebut tidak segan-segan mengambil jalan di luar hukum untuk memenuhi

ambisi pribadinya.

Popularitas novel kriminal paska Perang Dunia II memperkanalkan konsep

femme fatale ke khazanah perfilman Amerika. Keberadaan femme fatale semakin

memungkinkan studio-studio Hollywood untuk membuat film dengan level

vulgaritas yang mereka inginkan, dan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip yang

ditekankan Kode Produksi. Vulgaritas dalam hal ini bukanlah sebagai keputusan

yang disengaja oleh Hollywood, namun suatu konsekuensi dari mengadaptasi

novel-novel kriminal yang pada dasarnya vulgar. Femme fatale memungkinkan

meletakkan protagonis dalam suatu konflik yang pasti berujung pada kematian.

Kalau tidak protagonisnya, femme fatale-nya yang mati. Finalitas tersebut menjadi

dalil bagi studio Hollywood untuk mengeksposisi amoralitas protagonis film noir

dan seksualitas femme fatale secara eksesif. Rasionalnya: meski melenceng dari

normalitas masyarakat, salah satu karakter tersebut ujung-ujungnya akan mati

juga.95

Motif tersebut jadi semacam hukuman bagi deviasi sosial yang dilakukan

karakter-karakter tersebut. MPAA tentu saja menyetujui motif cerita semacam itu,

karena sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka tekankan. Dengan adanya

persetujuan dari MPAA, studio-studio Hollywood pun memproduksi film noir

berdasarkan pola cerita tersebut.

95

John Blaser. No Place for a Woman: The Family in Film Noir

(http://www.filmnoirstudies.com/essays/no_place.asp). 2008. Diakses pada 15 Mei 2010.

Page 73: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

72

BAB III

MODUS NARATIF FILM NOIR

A. Prinsip Dasar Naratif Film Noir

Membahas naratif film noir berarti membahas dua elemen yang

mendasarinya: pathos dan action.96

Pathos, dari bahasa Yunani, artinya

penderitaan. Dalam teori naratif, pathos adalah satu dari tiga modus dasar dalam

retorika. Dua lainnya adalah ethos dan logos. Menurut Aristoteles dalam Ars

Rhetorica, ethos berpijak pada etika dan moral, dimana pembicara harus konsisten

melakukan apa yang ia bicarakan.97

Ia tidak ingkar dari apa yang ia bicarakan,

dan menjalani kehidupannya sesuai dengan apa yang ia ceritakan ke orang lain.

Logos berorientasi pada logika bahasa, dimana pembicara dapat meyakinkan

lawan bicaranya dengan tata bahasa dan pemilihan kata yang tepat. Sementara

ethos dan logos menakar suatu retorika dalam standar moral dan kompetensi

bahasa, pathos mendefinisikannya melalui simpati.98

Berdasarkan ukuran pathos,

keberhasilan suatu retorika dilihat dari kemampuannya menarik simpati

audiensnya. Bila retorika tersebut berupa cerita, maka cerita dikatakan berhasil

apabila audiens bersimpati pada protagonisnya.

Dalam teori naratif, action berarti tindakan yang dipahami sebagai usaha

yang dikeluarkan suatu karakter untuk menyelesaikan konfliknya. Konflik

merupakan elemen yang penting dalam setiap narratif, terutama narratif klasik.

Struktur naratif klasik, yang notabene merupakan dasar mayoritas narratif, terdiri

dari tiga babak: perkenalan (set up), komplikasi (complication), dan penyelesaian

(resolution).99

Bila dilihat satu per satu, keberadaan masing-masing babak

ditentukan oleh jumlah konflik di dalamnya. Babak perkenalan ada karena konflik

96

Geoff Mayer & Brian McDonnell. Encyclopedia of Film Noir. Westport, CT: Greenwood

Publishing Group, 2007, hal. 12. 97

Robert Audi. Cambridge Dictionary of Philosophy, 2nd

Edition. Cambridge: Cambridge

University Press, 1999, hal. 347. 98

Ibid., hal. 217. 99

Robert McKee. Story: Substance, Structure, Style, and the Principles of Screenwriting. New

York: Harper-Collins, 1997, hal. 45.

Page 74: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

73

dalam cerita baru dimulai, babak komplikasi merupakan tempat dimana konflik

berkembang, sementara babak penyelesaian menjadi titik reda dan berhentinya

konflik dalam cerita. Pada pandangan yang lebih makro, konflik berarti

merupakan elemen yang menggerakkan narratif dari satu babak ke babak

lainnya.100

Benang merah dari dialektika pathos-action ini adalah protagonis dan

konflik yang menimpanya. Kedua hal tersebut merupakan syarat dasar suatu

narratif. Protagonis berfungsi sebagai titik fokal narratif, sementara konflik

menjadi dinamo penggerak narratif. Film noir bukan pengecualian. Film noir

adalah drama domestik dan cerita kriminal yang dikemas dalam struktur narratif

klasik. Ada protagonis laki-laki yang kita ikuti dari awal cerita, ada perempuan

yang ditemui seiring berkembangnya cerita, ada kasus kriminal yang dengan

peliknya mengikat mereka, dan ada kematian yang menanti mereka di akhir cerita.

Pola ini merupakan formula standar yang dipakai mayoritas produsen film noir.

Namun, pembacaan di atas hanyalah analisis di level permukaan. Melihat

lebih dalam pada detail-detail subtil film noir akan menunjukkan fakta-fakta

fundamental yang kerap terkubur sejarah. Tiga detail film noir yang perlu dilihat

lebih jauh adalah karakter laki-laki, perempuan dan relasi keduanya, baik di dalam

maupun di luar konteks keluarga. Seperti kata Francois Truffaut, pasangan laki-

laki dan perempuan merupakan unit politik terkecil dalam masyarakat.101

Suatu

pasangan berfungsi dalam semangat pengaturan diri, baik dari urusan sentimental

sampai kegiatan fungsional. Oleh karenanya, apapun yang terjadi di dalam suatu

pasangan mencerminkan fenomena di lingkungan sekitarnya. Begitu juga

sebaliknya.

Amerika tahun 40 sampai 50-an, seperti yang sudah dijelaskan di bab

sebelumnya, merupakan periode yang sangat represif. Perang Dunia II di awal dan

Perang Dingin di akhir periode tersebut menjadikan pemerintah Amerika sangat

waspada dengan perkembangan domestiknya. Masyarakat Amerika dituntut untuk

mengekang hasrat pribadinya, dan sebagai gantinya mendukung segala yang

100

Ibid., hal. 210-213. 101

James Monaco. The New Wave: Truffaut, Godard, Chabrol, Rohmer, Rivette. Oxford: Oxford

University Press, 1977, hal. 44.

Page 75: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

74

komunal. Dalam kasus ini, komunal tidak saja merujuk pada kehidupan bersama,

tapi juga kehidupan bernegara. Batu pijakannya adalah keluarga. Melalui

propaganda dan iklan sosial, pemerintah menekankan pentingnya keluarga

sebagai pihak pertama perihal penjagaan moralitas bangsa. Keluarga tidak saja

diharapkan menjadi pendidikan pertama generasi muda tentang kehidupan

bersama, tapi juga sebagai imaji keutuhan bangsa. Keluarga Amerika ideal pada

saat itu terdiri dari seorang bapak yang bekerja dan ibu rumah tangga. Anak-

anaknya dituntut untuk mengikuti jejak yang sama. Singkatnya: pembagian peran

berbasis gender. Masalahnya, karena dipaksakan, pembagian tersebut berujung

pada kegelisahan.

Kegelisahan itulah yang tertangkap oleh produsen budaya di Amerika.

Seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya, industri percetakan dibanjiri

oleh novel-novel kriminal. Harganya murah, ceritanya ringan, dan mayoritas bisa

dihabiskan dalam sekali duduk. Alhasil, cerita kriminal menjadi bagian penting

dalam budaya pop Amerika. Hollywood pun berinisiatif mengadaptasi novel-

novel tersebut ke pita seluloid. Prinsip utama dalam mengadaptasi suatu karya

populer menjadi film adalah menjaga familiaritas. Pasalnya, familiaritas

berbanding lurus dengan aksesibilitas.102

Semakin familiar penonton dengan

filmnya, semakin mudah pula ia mencernanya.103

Kemudahan penonton mencerna

film berpotensi mendongkrak penjualan tiket. Oleh karena itu, Hollywood

mempertahankan banyak aspek dari novel, mulai dari struktur narratif hingga

karakterisasi.

Film noir, seperti novel-novel kriminal yang menjadi inspirasinya,

berpijak pada struktur cerita melodrama. Melodrama adalah salah satu modus

narratif tertua dalam sejarah manusia. Akarnya bisa dilacak sampai Abad

Pertengahan, dimana waktu itu melodrama berwujud drama panggung. Bila

disederhanakan jadi suatu formula sederhana, maka melodrama sama dengan

moralitas plus emosi. Dalam dialektika pathos-action, moralitas merupakan

pathos. Semua karakter dalam melodrama selalu dilihat dalam tatanan baik-

102

Op. Cit., McKee, hal. 58. 103

Ibid., hal. 61.

Page 76: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

75

versus-jahat (good-versus-evil).104

Begitu juga perkembangan karakternya. Basis

moralnya adalah nilai-nilai universal kemanusiaan, seperti kejujuran, kebaikan

dan kearifan. Penderitaan protagonis datang dari penyalahan nilai-nilai

kemanusiaan tersebut yang dilakukan oleh antagonis. Usaha protagonis

memperbaiki yang salah itulah yang menjadi tulang punggung cerita melodrama.

Action-nya adalah emosi. Bukan sekadar emosi, tapi emosi yang

berlebihan. Dikatakan berlebihan karena protagonis mencoba mendamaikan

emosinya tanpa ada pertimbangan ke masa depan. Fokus protagonis murni pada

pendamaian emosinya, seakan-akan dunia hanya berputar pada satu masalah itu

saja. Dalam cerita melodrama, motivasi protagonis tidak dapat dan tidak perlu

dinalar. Satu-satunya alasan rasional kenapa protagonis harus mendamaikan

emosinya adalah tuntutan narratif. Protagonis harus berusaha menyelesaikan

masalahnya, kalau tidak tidak akan ada cerita. Entah berakhir sebagai tragedi atau

komedi, ketika masalah dalam cerita melodarama selesai, cerita pun selesai.105

Oleh karena itu, melodrama tidak membutuhkan karakter yang rumit.

Melodrama hanya butuh cetakan beberapa karakter, yang sesuai dengan

pergolakan emosi yang dituntut oleh cerita. Tidak heran kalau kemudian

melodrama punya stok karakternya sendiri: mulai dari laki-laki petualang yang

macho, penjahat berwatak jahat, perempuan cantik tapi rapuh, hingga partner

protagonis yang setia tanpa syarat.106

Variasi tema ceritanya juga sudah bisa

diprediksi: cerita petualangan, kriminal, dan drama kehiupan domestik. Cetakan-

cetakan karakter dan tema cerita tersebut yang kemudian dikombinasikan dalam

membuat melodrama.

Sebagai hiburan massal, melodrama jelas sangat efektif. Tatanannya yang

tersusun atas banyak cetakan membuat melodrama begitu mudah diakses. Audiens

tidak perlu banyak berpikir saat mengkonsumsi melodrama. Mereka, sadar tidak

sadar, hanya perlu merujuk pada hiburan-hiburan sejenis yang mereka pernah

104

Peter Brook. The Melodramatic Imagination: Balzac, Henry James, Melodrama, and the Mode

of Excess. New Haven: Yale University Press, 1995, hal. 85. 105

Ibid., hal. 40. 106

Thomas Elsaesser. Tales of Sound and Fury: Observations on the Hollywood Melodrama,

dalam Marcia Landy (ed.). Imitations of Life. Detroit: Wayne State University Press, 1991, hal. 85.

Page 77: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

76

tonton sebelumnya. Pasalnya, sejak kemunculannya, melodrama berpijak pada

satu konvensi yang sama: memainkan harapan dan ketakutan terpendam audiens

dengan cara yang sangat emosional. Konvensi melodrama tersebut tidak saja

menuntun naik turunnya emosi sepanjang jalannya cerita, tapi juga menjadi

katharsis bagi perasaan-perasaan yang sulit atau tidak dirasakan penonton dalam

kehidupan sehari-harinya.107

Di satu sisi, melodrama adalah pabrik mimpi. Inilah kritikan pedas yang

diterima penulis dan pembuat film melodrama sepanjang karier mereka.

Melodrama nyaris tidak memberi kontribusi intelektual pada audiensnya. Namun,

pada bacaan lebih lanjut, melodrama adalah mimpi yang mencerminkan realita

terkini. Sebagai cerminan yang tidak realistis akan realita, melodrama menjadi

kebalikan dari kondisi kehidupan sehari-hari audiensnya.108

Konsekuensinya

audiens jadi bermimpi. Namun, di balik konsekuensi tersebut, ada potensi audiens

menyadari bahwa dunia di sekitarnya tidak seperti dunia dalam cerita melodrama.

Potensi itulah yang dieksploitasi habis-habisan dalam film noir. Ada tiga elemen

film noir yang menunjukkan fenomena tersebut. Pertama, lokasi cerita. Elemen ini

adalah setengah dari keseluruhan jiwa film noir. Membahasnya merupakan

langkah pertama dari mengetahui modus narratif film noir.

Semua film noir bertempat di kota yang menyerupai labirin: ramai, penuh

tikungan, dan seperti tidak berujung. Penggambaran ini adalah metafor dari kota

Amerika sesungguhnya, yang modern, tersusun rapi dan penuh dengan penanda

geografis yang jelas. Lokasi cerita tersebut tentunya melayani kebutuhan narratif

film noir. Sejak awal cerita, protagonis langsung ditempatkan dalam lokasi yang

penuh resiko. Di dalam labirin kota, ada petualangan berbahaya yang menantinya,

dengan sedikit kemungkinan bisa selamat. Seiring berkembangnya cerita,

protagonis semakin menyadari bahwa kota tersebut bukan saja sekadar kota, tapi

juga penjara. Artinya: tidak ada kemungkinan protagonis untuk keluar dari

bahaya. Kota dalam film noir adalah semesta tertutup yang tidak mengijinkan

kebahagiaan bagi individu di dalamnya.

107

Ibid., hal. 72. 108

Op. Cit., Brook, hal. 5.

Page 78: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

77

Lokasi cerita tersebut terlihat sensasional, dan menambah daya tarik cerita.

Audiens dijanjikan petualangan tiada henti hingga akhir cerita. Namun, pada

bacaan lebih lanjut, lokasi cerita tersebut sebenarnya melayani kepentingan yang

lebih besar. Merujuk kembali pada prinsip melodrama, kota dalam film noir

adalah gambaran terbalik dari kota Amerika sesungguhnya. Pada era film noir,

yakni periode akhir 40-an sampai 50-an, perkotaan berkembang pesat di iklim

ekonomi Amerika paska perang.109

Pembangunan terjadi di mana-mana, dan

konsekuensinya lapangan pekerjaan pun meningkat. Fenomena ini berujung pada

pertukaran peran gender. Mayoritas laki-laki, yang baru saja kembali dari perang,

terserap ke dalam dunia kerja, dan kaum perempuan kembali mengurus rumah

tangga.

Bila dibandingkan dengan apa yang terjadi selama perang, pertukaran

peran ini sangatlah drastis. Ada dua hal yang dinikmati laki-laki Amerika selama

perang: status dan petualangan. Partisipasi dalam perang menjadi kesempatan

aktualisasi diri bagi mereka. Dalam hierarki militer, status berwujud sebagai

pangkat terhormat sebagai jenderal dan komandan, yang diperoleh berdasarkan

kontribusi selama perang. Kehidupan di medan perang, walaupun mencekam dan

traumatik, memberikan kesempatan sebebas-bebasnya bagi para laki-laki untuk

melakukan itu.110

Tanpa ada tuntutan moral dan etika yang membebani, mereka

dapat membunuh orang dan mengebom rumah sesuka hati demi status. Kalaupun

status tak jua diperoleh, aktivitas medan perang menawarkan cukup petulangan

bagi mereka untuk menyalurkan hasrat maskulinnya. Oleh karenanya, jadi

tekanan sendiri bagi mereka ketika harus kembali ke rumah setelah perang usai.

Mereka kembali menjadi orang biasa dalam rutinitas kehidupan yang

menjemukan.

Di lain pihak, perempuan juga terpaksa meninggalkan petualangannya di

dunia kerja. Migrasi para laki-laki ke Eropa selama perang memberi kesempatan

bagi perempuan untuk keluar dari rumah. Awalnya, keluarnya mereka dari rumah

109

Jane Jacobs. The Death and Life of Great American Cities. New York: Modern Library, 1993,

hal. 317. 110

Woody Haut. Pulp Culture: Hardboiled Fiction and the Cold War . London: Serpent's Tail,

1995, hal. 17.

Page 79: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

78

merupakan alasan yang logis. Tanpa ada suami, siapa lagi yang dapat menghidupi

keluarga kecuali perempuan itu sendiri. Mereka pun mencari kerja dan pada

perkembangannya memperoleh apa yang tidak pernah mereka nikmati

sebelumnya: status dan petualangan. Status dalam dunia kerja menjadi

kesempatan bagi perempuan untuk membuktikan dirinya sendiri.111

Memperoleh

status di dunia kerja membutuhkan usaha sendiri: mulai dari persaingan antar

kolega hingga kualifikasi yang harus dipenuhi. Dengan memperoleh status

tersebut, perempuan dapat dengan bangga melihat dirinya sebagai individu yang

kompeten. Beda dengan status ibu rumah tangga, yang diperoleh secara otomatis

setelah menikah. Rumah pun bukan tempat yang ideal untuk berpetualang,

mengingat segala di dalamnya harus dinegosiasikan dalam konteks keluarga.

Wajar kemudian bila para perempuan gelisah ketika harus kembali mengurusi

rumah tangga. Tidak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk hidup bebas sebagai

seorang individu.

Berdasarkan penjabaran di atas, potret kota dalam film noir dapat dilihat

sebagai potret suatu kegelisahan. Kegelisahan tersebut terkait dengan ruang yang

ditempati oleh karakter cerita. Dalam film noir, rumah memang tempat yang

aman. Tembok rumah memastikan individu steril dari segala kekacauan moral

yang ada di luar sana, yang ada di kota.112

Namun, sterilisasi tersebut mencuri

kesempatan individu untuk mengakutalisasikan dirinya. Selalu ada batasan yang

harus ditaati, dan selalu ada bagian dari diri sendiri yang harus kompromi.

Sebaliknya, kota terlihat sangat menakutkan dengan segala lika-likunya. Bahaya

seakan-akan bisa muncul dari mana saja, dan tidak ada tembok rumah yang dapat

melindungi individu. Namun, hanya di jalan-jalan kota, individu bisa nyaman

menjadi dirinya. Tidak ada batasan yang harus dituruti, dan tidak ada tuntutan

orang lain yang harus dipatuhi.

Kontras memang kalau melihat apa yang individu peroleh di dalam dan

luar rumah. Kontras itulah yang dimanfaatkan para pembuat film noir sebagai

111

Nina C. Leibman. The Family Spree of Film Noir. Journal of Popular Film and Television,

1989, hal. 175 112

John T. Irwin. Unless the Threat of Death is Behind Them: Hardboiled Fiction and Film Noir.

Baltimore, Maryland: Johns Hopkins University Press, 2006, hal. 210.

Page 80: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

79

bumbu dramatik, sekaligus basis penyusunan diskursus tentang kehidupan

masyarakat Amerika. Pasalnya, kontras tersebut yang mendefiniskan perilaku

karakter dan kematian mereka, dua elemen cerita lainnya dalam film noir.113

Dengan keluar dari rumah, karakter menukarkan keamanan hidupnya demi

kebebasan di luar sana. Namun, justru kebebasan tersebut yang kemudian

menuntun karakter film noir pada kematiannya.

Tentu saja pola dan makna kematian berbeda bagi setiap karakter film

noir. Setiap karakter punya signifikansinya sendiri. Konsekuensinya, tidak semua

karakter punya pengaruh terhadap narratif film noir. Oleh karena itu, untuk

memahami modus narratif film noir tidak membutuhkan analisis semua karakter

dalam film noir. Analisis cukup dibatasi pada karakter-karakter yang mempunyai

pengaruh atas progresi narratif. Dari semua karakter film noir, hanya dua yang

mempunyai kuasa atas narratif: protagonis laki-laki dan femme fatale. Keduanya

adalah satu-satunya pihak dalam film noir yang berpotensi mengembangkan

cerita. Melalui tindakan keduanya, cerita dalam film noir berjalan. Relasi

keduanya yang mengimbuhkan makna atas kematian yang terjadi dalam film noir.

Keduanya adalah dua elemen penting lainnya dalam film noir, yang bersama

lokasi cerita menjadi jiwa film noir. Membahas keduanya akan semakin

menjelaskan bagaimana modus narratif film noir sebenarnya.

Dalam film noir, relasi protagonis laki-laki dengan femme fatale adalah

relasi yang seksual. Pertemuan mereka didasari atas kebutuhan kesenangan, suatu

kebutuhan dasar yang tidak dapat dipenuhi dalam rutinitas kehidupan keduanya.

Masing-masing karakter punya alasan yang berbeda. Protagonis laki-laki,

layaknya para laki-laki di Amerika periode 50-an, dibebani oleh pekerjaan.114

Rutinitas pekerjaan tidak memberikan mereka waktu yang cukup luang untuk

kehidupan pribadi mereka. Kalau protagonis laki-laki tersebut seorang detektif,

maka kehidupan pribadinya hanyalah transit singkat dari kasus ke kasus. Kalau

pekerjaannya pebisnis atau karyawan kantor, ia hanya bisa memikirkan dirinya

sendiri setelah jam kerja usai. Konsekuensinya: lingkup pertemanan mereka

113

Ibid., hal. 89-90. 114

Richard Maltby, The Politics of Maladjusted Text, dalam Ian Cameron (ed.). The Movie Book of

Film Noir. London: Studio Vista, 1992, hal. 40.

Page 81: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

80

didominasi oleh klien dan rekan kerja saja. Satu-satunya waktu luang bagi mereka

adalah malam hari, waktu dimana kota sudah mengendurkan sendi-sendi

ekonominya, dan para konsumen sudah tertidur pulas di rumahnya masing-

masing.

Femme fatale sendiri merupakan cerminan terbalik dari tipikal perempuan

Amerika periode 50-an. Jaman-jaman dimana perempuan terpaksa menjaga rumah

dan mengasuh anak, femme fatale merupakan representasi dari segala keinginan

terpendam. Ia punya rencananya sendiri, dan siap mengusahakannya sampai mati,

baik secara metafor maupun harafiah. Femme fatale selalu dikontraskan dengan

impotensi suaminya.115

Ia tidak didampingi oleh suami yang secara fisik mampu

menyeimbanginya. Kondisi ini secara implisit menggambarkan dua hal. Pertama,

gairah femme fatale yang secara fisik sudah tidak bisa diimbangi lagi oleh

suaminya. Kedua, status femme fatale sebagai perempuan parasit yang menghisap

segala sumber daya dari laki-laki pendampingnya. Setelah laki-laki tersebut tidak

dapat memenuhi kebutuhannya lagi, femme fatale pun mencari laki-laki lain.

Begitulah cara femme fatale bertahan hidup. Terus ia meloncat dari satu laki-laki

ke laki-laki lain, sampai kematian mengakhiri kariernya.

Sama seperti protagonis laki-laki mencari kesenangannya, femme fatale

mencari korban barunya pada malam hari. Inilah kenapa malam hari menjadi

elemen cerita yang sangat penting dalam film noir. Pada malam hari, pertemuan

protagonis dan femme fatale terjadi. Pada malam hari juga, semua intrik dan tipu

daya antara protagonis dan femme fatale dimainkan. Pada dasarnya, malam hari

mengimbuhkan dua makna pada relasi protagonis laki-laki dan femme fatale.

Pertama, malam hari selalu menjadi waktu kejadian perkara dalam film noir.116

Mayoritas kantor dan fasilitas publik sudah tutup, dan hanya segelintir saja polisi

yang patroli. Singkat kata, Mata publik dan hukum sedang oleng-olengnya.

Individu dapat berbuat sesuka hatinya, termasuk selingkuh dan membunuh orang

untuk mempertahankan perselingkuhan tersebut.

115

Op. Cit., Irwin, hal. 57-60. 116

Ibid., hal. 238.

Page 82: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

81

Kedua, malam hari menyimbolkan ketidakpastian eksistensial yang

menyelimuti hubungan tersebut. Dalam konstelasi moral film noir, hubungan

protagonis dengan femme fatale tersebut salah tempat. Hubungan tersebut

melanggar apa yang disucikan dalam film noir: rumah dan tali pernikahan. Saking

sucinya, kedua hal tersebut digambarkan sangat steril. Partisipan kedua hal

tersebut digambarkan sangat khusyuk, alias kaku dan menekan segala keinginan

duniawi. Di luar area rumah dan tali pernikahan adalah kota, lokus di mana segala

yang duniawi berkumpul.117

Protagonis dan femme fatale memilih untuk keluar

dari lingkaran suci rumah, dan mengadu nasib mereka di pojok-pojok gelap

perkotaan. Alhasil, hubungan mereka pun adalah hubungan yang dimulai dari nol.

Mereka tidak lagi didefinisikan oleh amannya lingkungan rumah. Mereka yang

mendefinisikan definisi mereka di tengah kota yang absen oleh moralitas. Dalam

kasus film noir, siapa yang sukses mendefinisikan berarti dia yang selamat dari

hubungan tersebut.

Dari penjelasan hubungan protagonis dan femme fatale di atas, semakin

terkuak detail-detail modus narratif film noir. Pada titik ini, dialektika pathos-

action dalam film noir dapat diturunkan lagi ke unsur yang lebih kecil, atau lebih

tepatnya, ke unsur yang lebih individual. Dengan mempertimbangkan kontras

kota dan rumah, serta karakteristik hubungan protagonis dan femme fatale, pathos

yang menggerakkan film noir adalah kebebasan individu. Dalam hal ini,

kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan individu bertindak di tengah segala

batasan moral. Karakter dalam film noir selalu dibatasi oleh kode moral.

Walaupun ada malam hari yang menjadi kesempatan bagi protagonis dan femme

fatale untuk bertindak sesuka hati, mereka tetap harus kembali ke rumah dan

tempat kerja, yang notabene memiliki kode moralnya sendiri.118

Mereka tetap

harus berkompromi dengan lingkungannya demi menjaga kebebasan yang mereka

temukan satu sama lain. Parahnya lagi, ketika protagonis dan femme fatale mulai

saling tidak percaya, mereka harus mencoba menjaga kebebasannya dari moralitas

117

Op. Cit., Maltby, hal. 42. 118

Op. Cit., Irwin, hal. 23-25.

Page 83: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

82

semu hubungan mereka. Kondisi karakter di tengah genggaman kode moral inilah

yang menjadi senjata film noir menarik simpati penontonnya.

Action-nya tentu saja pelanggaran kode moral. Protagonis dan femme

fatale melanggar kode moral lingkungannya, dan nantinya hubungan mereka

sendiri, demi mendamaikan emosi mereka. Seperti yang sudah dijelaskan di atas,

pendamaian emosi tersebut tidak dimotivasi apa-apa, kecuali emosi. Tidak ada

pertimbangan rasional di dalamnya. Bila dilogikakan, keputusan protagonis laki-

laki dan femme fatale untuk meninggalkan keamanan kantor dan rumahnya

sangatlah absurd. Mereka semata-mata bosan dan hidup dalam tekanan. Oleh

karenanya, mereka ingin cari petualangan. Namun, tanpa petualangan itu, tidak

akan ada cerita dalam film noir. Singkatnya, tuntutan narratif. Ketika salah satu

atau keduanya mati, petualangan selesai, cerita pun usai.

Oleh karena itu, dalam film noir, setiap pelanggaran selalu berbuah

perkembangan narratif. Setiap kali protagonis atau femme fatale melakukan suatu

jenis pelanggaran kode moral, cerita pun berjalan mendekati garis akhir. Sembari

melayani kepentingan dramatik, pelanggaran dalam film noir selalu mengikuti

pola yang sama: dari makro ke mikro. Awalnya protagonis dan femme fatale

melanggar lingkungannya, dengan memutuskan untuk menjalani hubungan illegal

bersama. Kemudian, mereka melanggar kode moral habitusnya masing-masing.

Protagonis mulai membohongi rekan kerjanya, dan femme fatale menyusun

rencana busuk untuk menyingkirkan suami dan keluarganya. Berikutnya,

komplikasi. Protagonis dan femme fatale saling tidak percaya satu sama lain, dan

mulai mencurigai hubungan mereka sendiri. Mereka pun saling berusaha

menyingkirkan satu sama lain, biasanya lewat pengkhianatan dan pembunuhan.

Pada akhirnya, kematian pun datang mengakhiri rangkaian pelanggaran tersebut.

Kemungkinannya hanya dua: protagonis selamat atau keduanya mati.

Kematian pun menjadi sesuatu yang simbolik. Bila dilihat secara sempit,

kematian merupakan lonceng pengingat bahwa tidak ada harapan dalam dunia

film noir. Dalam perspektif yang lebih luas, kematian merupakan simbol dari

Page 84: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

83

represi hasrat seksual dalam film noir.119

Siapapun karakter yang mempunyai

hasrat seksual, maka ia dinyatakan menyimpang dan semesta film noir seakan-

akan berkonspirasi untuk menyadarkan mereka. Kalau tidak sadar juga, terpaksa

disingkirkan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, hubungan protagonis

laki-laki dan femme fatale adalah hubungan yang seksual. Semakin mereka

berusaha mempertahankan hubungan tersebut, semakin besar pula antagonisme

yang mendera mereka.120

Pada perkembangannya, mereka menjadi antagonis satu

sama lain dan saling menyingkirkan. Kematian pun menjadi hukuman sekaligus

peringatan bagi mereka berdua. Selalu tampil sebagai bongkahan energi seksual,

femme fatale oleh karenanya selalu mati di akhir cerita film noir. Protagonis

kadang kala mati, kadang kala bertahan hidup. Mereka yang selamat sudah

kehilangan bnayak hal dalam hidupnya, dan tidak punya pilihan lain selain

kembali mengikuti kode moral yang berlaku.

Bila disederhanakan menjadi suatu formula, modus naratif film noir adalah

usaha manusia memperoleh kebebasan individunya, di hadapan kode moral yang

secara aktif mengekang hasrat seksual mereka.

B. Tipologi Karakter Laki-laki dalam Film Noir

Tipologi karakter dalam film noir ditentukan oleh pendirian moral

karakternya. Pendirian moral tersebut kemudian menentukan pengaruh karakter

tersebut terhadap perkembangan narratif. Hal ini berlaku bagi karakter laki-laki

dan perempuan, namun berbeda dalam perwujudannya. Signifikansi karakter laki-

laki dalam narratif film noir dicirikan dengan dua hal: profesi dan ambiguitas.121

Profesi adalah definisi pertama karena ia menjelaskan bagaimana laki-laki

tersebut bertindak dan mengambil keputusan. Profesi juga yang menjelaskan

preferensi laki-laki tersebut, baik dari urusan politik maupun seksual. Maksudnya,

119

Catherine Russell. Narrative Mortality: Death, Closure and New Wave Cinemas. Minneapolis:

University of Minnesota, 1995, hal. 46. 120

Ibid., hal. 54. 121

Frank Krutnik. In a Lonely Street: Film Noir, Genre, Masculinity. New York: Routledge, 1991,

hal. 52.

Page 85: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

84

polisi tidak akan melakukan hal-hal yang seorang polisi tidak mungkin lakukan.

Polisi hanya akan melakukan apapun yang diijinkan oleh kode moral profesinya.

Ambiguitas adalah definisi kedua, yang menjadi antitesis dari profesi. Saat

sudah selesai didefinisikan berdasarkan profesinya, maka karakter tersebut

dianalsis berdasarkan tekadnya membengkokkan kode moral profesinya. Suatu

karakter disebut ambigu apabila dia berusaha secara konkrit melakukan hal-hal

yang sebelumnya dianggap tabu oleh profesinya. Semakin ia berusaha melepaskan

diri dari kekangan kode moral profesinya, semakin ambigu dan abu-abu

pendiriannya di wilayah moral. Tentu saja, layaknya film noir, pembangkangan

kode moral profesi tersebut dilakukan demi terpenuhinya kepentingan pribadi.

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dibentuk suatu rumus dalam

menentukan signifikansi karakter laki-laki dalam film noir. Karakter laki-laki

yang memenuhi definisi pertama adalah karakter pendukung, dan yang memenuhi

definisi pertama dan kedua adalah karakter protagonis. Dengan begitu, tipologi

karakter laki-laki dalam film noir hanya ada dua: protagonis dan pendukung

cerita. Bila kemudian diterapkan dalam struktur narratif, tipologi ini menentukan

sejauh mana laki-laki tersebut berpengaruh pada progresi plot. Karakter

pendukung adalah laki-laki yang memenuhi kode moral profesinya. Maka bisa

diprediksi bahwa laki-laki yang berprofesi sebagai polisi akan meneliti TKP dan

menangkap penjahat. Atau, laki-laki yang berprofesi sebagai pengacara akan

mengumpulkan data tentang suatu kasus dan membela kliennya di pengadilan.

Dalam struktur narratif film noir, mereka mewakili konsensus moral

lingkungannya. Mereka hanya akan muncul saat narratif membutuhkan mereka,

yakni saat protagonis melanggar kode moral lingkungan dan perlu dihentikan.

Karakter protagonis adalah laki-laki yang melanggar kode moral

profesinya, dan memilih untuk memenuhi kepentingan pribadinya.122

Tindakannya tersebut berseberangan dari konsensus moral lingkungannya.

Tindakannya tersebut merupakan suatu bentuk subversi konstelasi moral

lingkungannya. Subversi berujung pada konflik, dan konflik dalam setiap struktur

narratif klasik adalah pemantik perkembangan cerita. Dari sini dapat dilihat bahwa

122

Ibid., hal. 119.

Page 86: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

85

keberadaan protagonis dalam narratif film noir adalah sebagai awal mula konflik.

Dengan posisi tersebut, karakter protagonis memiliki pengaruh dan kuasa atas

struktur narratif film noir. Tidak heran juga kalau dalam film noir karakter

protagonis adalah karakter yang paling banyak disorot gerak-geriknya oleh lensa

kamera.

Tipologi karakter laki-laki dalam film noir sebenarnya adalah warisan dari

pendahulunya: novel kriminal. Carroll John Daly, penulis seangkatan Dashiell

Hammett, mengatakan bahwa protagonis novel kriminal bersemayam di antara

peradaban yang taat hukum dan dunia kriminal bawah tanah.123

Asosiasinya

dengan hukum adalah murni karena asas kebutuhan, sementara asosiasinya

dengan kriminal adalah karena tuntutan pekerjaan. Ketika dihadapkan dengan

kepentingan pribadinya, ia lebih memilih untuk berusaha dengan cara dan hukum

versinya sendiri.

Secara singkat, Daly menyebut protagonis sebagai seorang petualang dan

karakter laki-laki lainnya sebagai halangan dalam petualangan sang protagonis.124

Petualangan tersebut terjadi secara spasial maupun moral. Spasial merujuk pada

ruang-ruang yang ditembus oleh protagonis, mulai dari tempat kerjanya, jalanan

kota hingga rumah perempuan idamannya. Moral merujuk pada pendirian

protagonis yang terus berayun antara yang legal dan illegal, tergantung mana yang

paling baik melayani kepentingan pribadi protagonis. Laki-laki lainnya terlalu

terikat pada kode moral profesinya. Mereka otomatis menjadi bagian dari

kekuatan yang merepresi segala yang melenceng dari moralitas lingkungan,

termasuk hasrat protagonis untuk mendapatkan apa yang ia idamkan.

C. Tipologi Karakter Perempuan dalam Film Noir

Berbeda dengan signifikansi laki-laki yang terikat dengan profesi dan kode

moralnya, signifikansi perempuan dalam film noir terletak pada cara dia

memperlakukan seksualitasnya. Seksualitas merupakan faktor yang krusial di sini.

Pasalnya, film noir diproduksi dengan asumsi semua perempuan dewasa di

123

Op. Cit., Mayer & McDonnell, hal. 21. 124

Ibid., hal. 22.

Page 87: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

86

Amerika adalah ibu rumah tangga. Kode moral seorang ibu rumah tangga adalah

keluarga di atas segalanya. Perempuan yang hidup di luar aksioma tersebut praktis

adalah subversi. Namun, subversi tersebut adalah satu-satunya cara bagi

perempuan dalam film noir untuk memeperoleh kebebasannya. Tanpa profesi dan

nilai yang datang sepaket dengan profesi tersebut, perempuan film noir hanya

punya seksualitasnya untuk menarik perhatian lawan jenis. Bagaimana dia

kemudian mengolah seksualitasnya yang menentukan karakter dan posisi

perempuan dalam narratif film noir.

Berangkat dari argumen di atas, dapat dipetakan tiga jenis karakter

perempuan dalam film noir: femme fatale, perempuan baik-baik (the good

woman), dan perempuan domestik (the marrying type). Dua yang pertama adalah

standar karakter perempuan sejak awal kemunculan film noir, sementara yang

terakhir adalah fenomena yang baru ditemukan dalam film noir tahun 50-an.125

Ketiganya punya versinya masing-masing dalam mengolah seksualitasnya, namun

ketiganya berujung pada kesimpulan yang sama: kehidupan domestik yang

kondusif adalah suatu ketidakmungkinan. Ketiganya menjadi semacam

pernyataan bahwa, di tengah tuntutan untuk hidup komunal, laki-laki dan

perempuan akan lebih memilih untuk mengurusi kepentingan individual.

Dari ketiga jenis perempuan dalam film noir, femme fatale merupakan

serangan terbesar pada peran tradisional perempuan. Femme fatale menolak untuk

berperan sebagai istri yang taat dan ibu yang mengasuh, layaknya yang didkte

oleh masyarakat pada mereka. Di mata para femme fatale, pernikahan adalah

sesuatu yang membatasi, dingin, dan tidak bergairah.126

Pernikahan bukanlah

fenomena yang dilandaskan pada perasaan, melainkan pada asas kebutuhan.

Dalam film noir, tak sedikit femme fatale yang sejak awal cerita digambarkan

sudah punya suami. Sebagai jalan keluar dari ikatan keluarga tersebut, atau

minimal untuk meringangkan tekanan hidup berkeluarga. dia pun memanfaatkan

seksualitasnya untuk memulai hubungan di luar rumah. Di luar rumah, femme

125

Janey Place, Women in Film Noir, dalam Ann Kaplan (ed,). Women in film noir. London:

British Film Institute, 1978, hal. 45. 126

Sylvia Harvey, The Absent Family, dalam Ann Kaplan (ed.). Women in film noir. London:

British Film Institute, 1978, hal. 24.

Page 88: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

87

fatale menjadikan dirinya sebagai gairah yang absen dalam kehidupan laki-laki

film noir. Banyak laki-laki yang tertarik, namun hanya protagonis yang terlihat

meresponsnya dengan tindakan dan pada akhirnya penderitaan. Seperti yang

dijabarkan oleh Janey Place, femme fatale jarang sekali terbuai oleh cinta dan

kasih sayang protagonis laki-laki.127

Femme fatale tetap setia pada dirinya dan

kemandiriannya sebagai seorang perempuan. Dia tetap independen walau

hidupnya sedang dalam keadaan terancam.

Ketika dihadapkan dengan laki-laki yang ingin mengontrol dan

memilikinya, femme fatale memilih untuk melakukan pembunuhan demi menjaga

kebebasannya. Masalahnya, dalam semesta film noir, hampir setiap laki-laki

memperlakukan perempuan sebagai barang atau properti. Menurut Sylvia Harvey,

perempuan dalam film noir merupakan perhiasan yang bisa dilepas dan dipakai

seenaknya oleh para laki-laki. Motif cerita ini sudah seringkali dipakai dalam film

noir. Dalam satu adegan di I Wake Up Screaming, film noir tahun 1941, ada tiga

laki-laki yang sedang meratap ketika hubungannya kandas dengan femme fatale

film tersebut. Salah satu di antaranya berkata, “Semua perempuan sama saja.”

Temannya kemudian membalas, “Tapi kita tetap membutuhkan mereka. Mereka

adalah perlengkapan standar.” Contoh lainnya ada di dua film noir tahun 1947. Di

Dead Reckoning, protagonis yang diperankan Humphrey Bogart mengandaikan

semua perempuan seukuran saku baju, sehingga bisa disimpan kalau sedang tidak

dibutuhkan. Di Out of the Past, seorang femme fatale bernama Kathie Moffett

tega menembak suaminya sendiri ketika merasa dikekang. Sang suami kemudian

bertanya pada seorang detektif, yang merupakan protagonis film tersebut. apa

penyebabnya. Detektif tersebut menjawab dengan membandingkan Kathie dengan

seekor kuda balap.

Perlakuan para laki-laki tersebut yang menjadikan femme fatale tidak

percaya dengan institusi pernikahan. Bagi mereka, rumah dan keluarga pada

akhirnya hanya menciptakan kondisi di mana perasaan dan kebahagiaan tidak lagi

relevan. Di mata para femme fatale, pernikahan, atau segala bentuk komitmen

afektif, itu palsu, penuh kebohongan, dan tidak lebih dari sekadar asas kebutuhan.

127

Op. Cit., Place, hal. 54.

Page 89: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

88

Dalam Double Indemnity, film noir tahun 1944, Phyllis Dietrichson merasa bahwa

suaminya memperlakukannya sebagai binatang dalam sangkar. “Aku merasa dia

selalu mengawasiku. Dia masih peduli memang, tapi peduli dengan mengikatku

begitu kencang, sampai aku tidak bisa bernafas lagi.” Pada akhirnya, Phyllis pun

berkonspirasi dengan protagonis untuk membunuh suaminya tersebut.

Dalam beberapa film noir, ketidaktertarikan suami terhadap istrinya malah

sangat sadis. Suami malah senang mempermainkan istrinya, sampai-sampai

istrinya tersebut berevolusi menjadi seorang femme fatale. Dalam Postman

Always Rings Twice, film tahun 1946, suami Cora Smith menyarankan istrinya

untuk menghabiskan waktu bersama selingkuhannya, Frank Chambers. Melalui

hal ini, suami mendorong istrinya untuk menjadi femme fatale, dan

menyajikannya ke protagonis laki-laki. Dalam Gilda (1946) dan The Lady from

Shanghai (1948), Rita Hayworth memperoleh perlakuan yang serupa. Dalam

kedua film tersebut, dia menikah dengan suami yang dingin, bosan, dan

berselingkuh dengan protagonis cerita. Saat ketahuan selingkuh, dia ditekan terus-

menerus oleh suaminya. Titik puncaknya adalah saat dia dipaksa suaminya untuk

memanggil selingkuhannya lover di hadapan suaminya sendiri.

Rumah pun menjadi tempat yang sangat steril. Film noir selalu

menggambarkan rumah femme fatale sebagai istana mini yang dipenuhi dengan

perabotan dan pajangan foto yang besar. Banyaknya objek di rumah membingkai

femme fatale menjadi semacam perabotan juga di rumahnya sendiri.128

Ia adalah

properti milik suaminya, dan oleh karenanya tidak punya hak untuk punya inisiatif

dan mengambil keputusan sendiri. Merasa sebagai propertinya, suami punya hak

untuk tidak membuka dan menutup akses femme fatale terhadap hubungan afektif.

Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, suami femme fatale hampir

pasti memilih untuk mengabaikan istrinya, dan akibatnya tidak memberi

kemungkinan sedikit pun bagi istrinya untuk berhubungan secara afektif di rumah.

Sterilnya pernikahan dalam film noir semakin diperkuat dengan hampir

tidak adanya anak dalam keluarga femme fatale. Suatu kondisi yang kontras

128

Dana B. Polan. Blind Insights and Dark Passages: The Problem of Placement in Forties Film.

Velvet Light Trap, edisi 20, 1983, hal. 29.

Page 90: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

89

dengan realita yang ada: 89% keluarga di Amerika periode 40 sampai 50-an

punya anak. Suami femme fatale bisa jadi punya anak dari pernikahan

sebelumnya, seperti yang digambarkan dalam Double Indemnity dan Murder, My

Sweet. Namun, bila menilik umur anaknya, ada implikasi bahwa kegiatan seksual

terakhir sang suami sudah terjadi lama sekali.

Jadilah, femme fatale mencari kesenangannya di luar rumah. Kamera pun

tak segan-segan mengeksploitasi fitur sensual femme fatale ketika dia pertama kali

bertemu dengan protagonis laki-laki. Satu fitur tubuh femme fatale yang paling

sering dieksploitasi kamera adalah kakinya yang jenjang. Penampakan pertama

Velma dalam Murder, My Sweet dan Cora di The Postman Always Rings Twice,

misalnya, adalah gerakan kamera dari kaki lalu zoom out ke badan mereka. Dalam

The Lady from Shanghai, kamera bergerak dari kaki Rita Hayworth lalu ke

badannya yang dibalut oleh pakaian renang. Protagonis Double Indemnity, Walter

Neff, mengaku bahwa gelang kaki milik femme fatale begitu berkesan sampai dia

tidak bisa melupakan pemilik gelang kaki tersebut.

Seksualitas yang secara vulgar ditampilkan femme fatale menjadi

kontradiksi sendiri. Keberadaannya mengancam banyak status quo, mulai dari

moralitas lingkungannya hingga keberlangsungan hidup protagonis. Dia

menggunakan seks sebagai sumber kesenangan dan alat untuk mengontrol para

laki-laki. Hal tersebut jelas berseberangan dengan pandangan seks yang diakui

publik, yakni sebagai aktivitas prokreasi dalam pernikahan. Emansipasi seksual

tersebut menjadi sesuatu yang begitu menarik perhatian, mulai dari protagonis

hingga mata kamera. Usaha-usaha untuk menghentikan gerak-gerik femme fatale

hanya semakin menegaskan betapa signifikannya kebebasan yang ia pancarkan.

Kematiannya di akhir cerita terasa tragis, karena mayoritas yang penonton lihat

adalah imaji femme fatale sebagai perempuan yang sensual dan independen.

Pandangan subversif film noir tentang keluarga dan peran perempuan di

masyarakat juga tercermin dalam jenis kedua karakter perempuannya, perempuan

baik-baik (the good woman). Tidak seperti femme fatale, karakter perempuan ini

menikmati peran tradisionalnya di keluarga dan masyarakat dengan senang hati.

Perannya dalam film noir biasanya dua: istri atau tunangan protagonis.

Page 91: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

90

Kemunculannya di film noir menjadi relaksasi bagi protagonis dari ancaman

femme fatale. Namun, saat dihadapkan dengan pilihan, protagonis akan lebih

memilih menderita dengan femme fatale ketimbang hidup nyaman dengan

perempuan baik-baik. Alasannya, sekali lagi, seksualitas. Janey Place melihatnya

bahwa kontras film noir antara perempuan baik-baik dengan femme fatale

sebenarnya adalah kontras antara kenyamanan yang steril dan seksualitas yang

berbahaya.129

Kekalahan perempuan baik-baik terhadap femme fatale

mengimplikasikan bahwa resep kebahagiaan yang dirumuskan masyarakat, yakni

rumah dan pernikahan, itu tidak menarik dan tidak mungkin tercapai.

Kehidupan perempuan baik-baik memang seperti salah tempat dalam

dunia film noir. Nilai-nilai yang ia anut sama dengan nilai-nilai yang

digembargemborkan pemerintah sepanjang pertengahan 40-an sampai akhir 50-

an, yakni kebersamaan dan keakuran komunal. Cara kamera membingkainya juga

sama persis dengan cara film Hollywood klasik membingkai karakter

perempuannya: cahaya terang, kontras rendah, dan ruang terbuka.130

Berbeda

dengan femme fatale yang selalu dibingkai dengan cahaya nyaris gelap, kontras

tinggi, dan ruang yang sempit. Perlakuannya terhadap protagonis juga sangat

berbeda dengan femme fatale: pasif, mengayomi, dan tidak punya konspirasi

untuk menelikung protagonis. Singkatnya, dalam kelamnya film noir, perempuan

baik-baik adalah malaikat yang siap melindungi protagonis dalam dekapan

kekeluargaannya.

Namun, sama juga seperti malaikat, perempuan baik-baik adalah fantasi

yang tidak mungkin digapai oleh protagonis film noir. Keberadaannya hanya

mengimplikasikan bahwa pernikahan dan kehidupan domestik yang kondusif

hanyalah mimpi. Dalam struktur film noir, sedikit sekali adegan yang

menampilkan perempuan baik-baik dan rumahnya. Saking sedikitnya, ketika

adegan tersebut muncul, penonton langsung dikembalikan ke adegan protagonis

dan femme fatale di jalanan gelap kota. Seakan-akan yang nyata dalam film noir

ada di luar rumah, dan apa yang ada di dalam rumah hanyalah mimpi yang tidak

129

Op. Cit., Place, hal. 58. 130

Op. Cit., Polan, hal. 32.

Page 92: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

91

pantas bertahan lama. Benar saja, dalam film noir, perempuan baik-baik memang

hampir tidak pernah keluar dari rumahnya. Dalam Out of the Past, Ann tetap setia

pada protagonis cerita walau tahu kehidupannya kelam dan terlibat hubungan

panas dengan femme fatale. Saat ia bertekad mengikuti protagonis dalam

petualangannya, Ann dibohongi agar tetap menjaga rumahnya dan melanjutkan

hidupnya sebagai perempuan baik-baik. The Big Heat malah lebih ekstrem lagi.

Saat mendapat ancaman terhadap suaminya melalui telepon, istri protagonis

langsung keluar rumah dan terbunuh seketika oleh bom di mobilnya.

Dengan tidak memberi protagonisnya kesempatan untuk menikah atau

memiliki kehidupan domestik yang baik, film noir sebenarnya mengulang formula

melodrama Hollywood klasik, namun dengan cara yang terbalik. Protagonis laki-

laki dalam film Hollywood klasik selalu berakhir menikah atau minimal bersama

dengan perempuan idamannya. Dalam film noir, dua perempuan yang menjadi

opsi bagi protagonis sama-sama tidak bisa diakses. Femme fatale selalu menemui

ajalnya sebelum sempat dinikahi, sementara perempuan baik-baik tidak

menjanjikan kebahagiaan jangka panjang.

Memasuki akhir 40-an, para pembuat film noir akhirnya memberi

kesempatan bagi protagonis untuk menikah dalam wujud karakter perempuan

yang ketiga: perempuan domestik (the marrying type). Karakter ini sebenarnya

mirip dengan karakter perempuan baik-baik (the good woman): mereka

memegang nilai yang sama, dan tindakan mereka berorientasi pada keutuhan

rumah. Mereka juga menikmati menjalankan peran tradisional perempuan sebagai

istri yang taat dan ibu yang mengasuh. Bedanya: perempuan baik-baik sikapnya

pasif dan tidak menuntut protagonis, sementara perempuan domestik secara aktif

menekan protagonis untuk memenuhi perannya sebagai suami dan penghidup

keluarga.

Tuntutan inilah yang membuat perempuan domestik bukan pilihan yang

lebih baik dari femme fatale. Ia sama mengancamnya dengan femme fatale, namun

dengan cara yang berbeda. Bila femme fatale dengan seksualitasnya mengajak

protagonis untuk melanggar status quo, perempuan domestik membuat protagonis

ketakutan untuk melanggar status quo. Masalahnya, perempuan domestik tidak

Page 93: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

92

memilki sikap mengayomi yang ada dalam perempuan baik-baik. Sebagai istri ia

memang efisien dalam mengurus rumah, namun nol besar soal hubungan afektif.

Perlakuan ke suaminya terdiri dari sarkasme dan peringatan supaya tidak telat

kerja. Protagonis yang ada jadi jengah dengan istrinya, dan memilih mencari

kesenangan di luar rumah. Masalahnya lagi, perempuan domestik seakan-akan

mendapat dukungan penuh dari konstelasi moral film noir, sehingga protagonis

pasti akan ketiban sial sekalinya ia mangkir dari perannya sebagai suami dan

penghidup keluarga. Ganjaran minimalnya adalah penderitaan, ganjaran

maksimalnya tentu saja kematian.

Kemunculan karakter perempuan domestik bertepatan dengan perubahan

karakterisasi protagonis dalam film noir sejak awal 50-an. Bila sebelumnya

protagonis film noir rata-rata berprofesi sebagai detektif swasta, protagonis film

noir awal 50-an dan seterusnya rata-rata merupakan bagian dari kepolisian atau

pekerja kantoran biasa.131

Protagonis dalam Pitfall (1948) bekerja untuk

perusahan asuransi, D.O.A. (1950) sebagai akuntan, The Big Heat (1953) sebagai

penyelidik pembunuhan di kesatuan polisi, sementara Touch of Evil (1958)

sebagai agen pemberantas narkoba di PBB. Profesi yang mereka lakoni

menjanjikan kehidupan dengan gaji yang lebih tetap dan waktu luang yang lebih

stabil ketimbang pekerjaan seorang detektif swasta. Oleh karenanya, pernikahan

bukan lagi suatu ketidakmungkinan, melainkan sesuatu yang sangat mungkin.

Namun, seperti yang sudah dijelaskan, pernikahan dalam film noir sayangnya

tidak didesain sebagai sesuatu yang menyenangkan.

Pitfall memberikan gambaran yang jelas tentang bahayanya perempuan

domestik. Protagonisnya adalah seorang laki-laki yang bosan dengan

pekerjaannya di kantor asuransi. Ia berharap bisa menemukan kesenangan di

rumahnya, namun istrinya seperti tidak simpatik. Saat bangun pagi dan

bernostalgia tentang jaman mereka sekolah dulu, protagonis malah diingatkan

untuk cepat sarapan supaya tidak telat kerja. Saat cerita tentang pekerjaan yang

membosankan, protagonis malah ditanggapi dingin oleh istrinya. Kata istrinya,

131

Deborah Thomas. Film Noir: How Hollywood Deals with the Deviant Male. CineAction!

Journal, 1986, hal. 23.

Page 94: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

93

“Kamu tidak sendiri. Ada 50 juta orang lainnya yang merasakan hal yang sama.”

Jadilah, protagonis mencari kesengangan di luar rumah dan menemukannya dalam

wujud seorang model. Sialnya, model tersebut merupakan obsesi dari seorang

teman kerjanya, seorang detektif yang magang di kantor asuransinya. Detektif,

paham dengan status protagonis yang sudah menikah, menjebak protagonis dalam

berbagai kesulitan. Protagonis pun kembali ke rumah dalam keadaan babak belur,

yang lagi-lagi ditanggapi dengan dingin oleh istrinya.

Page 95: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

94

BAB IV

ANALISIS TIGA FILM NOIR

A. Double Indemnity (1944)

1. Latar Belakang Historis

Membahas Double Indemnity memerlukan pemahaman perihal

materi serta kejadian-kejadian yang melatari produksi film tersebut. Materi

yang menjadi basis film produksi 1944 tersebut adalah novel Double

Indemnity karya James M. Cain, yang bercerita tentang seorang penjual

asuransi yang jatuh cinta dengan istri kliennya. Karena bosan dan tergiur

dengan uang yang bisa ia dapatkan, perempuan tersebut ingin membunuh

suaminya. Si penjual asuransi setuju membantunya, dan petualangan

keduanya pun berlangsung. Ide untuk Double Indemnity Cain dapatkan dari

kejadian serupa di dunia nyata. Pada tahun 1927, Ruth Snyder, seorang

perempuan New York, membunuh suaminya dan menuntut ganti rugi ke

perusahaan asuransi atas kematian suaminya.132

Cain, yang menghadiri

pengadilan perempuan New York tersebut, mencari tahu lebih detail perihal

pembunuhan tersebut. Dia mendapati bahwa Ruth bertindak demikian atas

bantuan selingkuhannya, yang sudah memanipulasi data asuransi atas nama

suaminya. Cain tertarik menulis ulang kasus tersebut. Dia reka ulang kasus

pembunuhan tersebut menjadi misteri kriminal dengan sentuhan melodrama

rumah tangga.

Pada tahun 1936, Cain akhirnya merilis Double Indemnity ke publik

Amerika. Pada rilisan pertamanya tersebut, Double Indemnity berwujud

sebagai cerita bersambung yang diterbitkan dalam delapan edisi majalah

Liberty. Tujuh tahun kemudian, Cain menyunting kembali cerita

bersambungnya tersebut, dan menjadikannya satu cerita panjang. Cikal

132

Roy Hoopes. Cain: The Biography of James M. Cain. Illnois: Southern Illnois University Press,

1987, hal. 54.

Page 96: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

95

bakal novel Double Indemnity tersebut kemudian ia publikasikan dalam

buku Three of a Kind, yang turut mengkompilasi dua cerita pendek karya

Cain. Dalam tiga bulan, buku tersebut menduduki peringkat pertama tangga

penjualan buku di Amerika.133

Kesuksesan Double Indemnity sontak menarik perhatian para

produser di Hollywood. Kesuksesan Maltese Falcon pada tahun 1941

memulai trend film kriminal di Hollywood.134

Ditambah lagi dengan

banyaknya pemberitaan kejadian kriminal di koran-koran, dan populernya

novel kriminal di kalangan kelas pekerja Amerika. Di mata para produser,

Double Indemnity jelas punya potensi ekonomi yang tinggi. Hanya dalam

periode satu minggu, MGM, Warner Bros, Paramount, 20th

Century Fox

dan Columbia bersaing menawarkan harga tinggi pada Cain. Menanggapi

ketertarikan para studio besar atas novelnya, Cain berkomentar, “Para

produser paham kalau faktanya banyak kejahatan terjadi di jalanan, tapi

sedikit film bagus yang menyorot fenomena tersebut. Novel saya jelas akan

jadi film yang disukai publik. Penonton sudah bosan dengan melodrama

murahan, di mana lewat pertengahan film mereka akan berteriak-teriak

minta ganti film. Mereka sudah tahu siapa penjahatnya.”135

Cain benar. Double Indemnity memang nantinya menjadi film yang

disukai publik. Masalahnya, sebelum film tersebut diproduksi, Cain sudah

tidak lagi percaya dengan Hollywood. Ia pernah terlibat dalam produksi

film Hollywood, dan mengaku tidak nyaman dengan segala tekanan yang

harus ia hadapi. Konsekuensinya: Cain urung terlibat. Pada tahun 1943,

Cain mengijinkan Paramount membeli hak adaptasi bukunya seharga

$25.000, namun menolak menandatangani kontrak kerja dengan

Paramount.136

Tanpa keterlibatan Cain, Paramount kekurangan tenaga ahli

untuk menerjemahkan Double Indemnity ke layar lebar. Bila dibandingkan

133

Ibid., hal. 61. 134

Frank Krutnik. In a Lonely Street: Film Noir, Genre, Masculinity. New York: Routledge, 1991,

hal. 11. 135

Op. Cit., Hoopes, hal. 49. 136

Kevin Lally. Wilder Times: The Life of Billy Wilder. New York: Henry Holt & Company, 1996,

hal. 126.

Page 97: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

96

kesulitan yang akan menghadapi Paramount berikutnya, penolakan Cain

sebenarnya masalah yang sepele. Pasalnya, paska tersiarnya kabar

pembelian hak adaptasi Double Indemnity oleh Paramount, pemerintah jadi

gusar. Pemerintah khawatir film-film kriminal bakal mendominasi bioskop,

dan merusak moral masyarakat Amerika. Apalagi, dua tahun setelah

Maltese Falcon, ada The Shadow of a Doubt karya Alfred Hitchcock. Film

tersebut merupakan salah satu film terlaris di jamannya. Tidak heran kalau

kemudian kehausan penonton Amerika akan film kriminal tersulut.

Masalahnya, dengan terlibatnya Amerika di Perang Dunia II, pemerintah

menekan Hollywood untuk memproduksi hiburan-hiburan yang positif.

Dalam kasus ini, positif berarti mempromosikan patriotisme dan

mendukung citra Amerika sebagai negara yang bermoral. Tidak heran kalau

yang terjadi kemudian adalah tidak turunnya ijin dari pemerintah ke

Paramount untuk memproduksi naskah Cain. Double Indemnity pun

tertunda produksinya.

Memasuki tahun 1944, sikap pemerintah terhadap film-film kriminal

tidak juga melunak. Pengajuan ijin mereka yang kedua juga ditolak

pemerintah, namun Paramount memilih untuk maju terus. Baru ketika

Double Indemnity sedang diproduksi, pemerintah akhirnya mengijinkan

Paramount merilis filmnya, dengan syarat Paramount melakukan beberapa

perubahan minor dalam naskahnya. 137

Soal naskah, Paramount telah

menemukan solusinya. Adalah Raymond Chandler yang dipercayai

Paramount untuk mengolah novel James M. Cain. Pemilihan Chandler

sebagai substitusi Cain adalah sebuah keputusan yang bijak, aman sekaligus

pragmatis. Pasalnya, Chandler adalah bagian dari trinitas penulis kriminal

di Amerika, di mana dua lainnya adalah James M. Cain dan Dashiell

Hammett. Dalam kasus Double Indemnity, Chandler dianggap Paramount

dapat mengganti tempat Cain, karena keduanya memiliki latar belakang

137

Ibid., hal. 128.

Page 98: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

97

yang sama.138

Keduanya pernah terlibat dalam dunia militer, dan keduanya

sekali jadi tentara relawan dalam perang. Dalam karier penulisannya,

keduanya sering menulis berdasarkan kejadian nyata yang mereka temukan

dalam koran, dan mengembangkannya menjadi narasi panjang suatu drama

kriminal.

Satu-satunya faktor yang membedakan Cain dan Chander adalah

gaya penceritaannya. Cain, meski karya-karyanya dikategorikan sebagai

misteri kriminal, lebih berfokus pada drama. Mayoritas protagonis

ceritanya adalah orang biasa, yang kebetulan melakukan tindakan

kriminal.139

Rasa bersalah paska melakukan tindakan kriminal yang

dikembangkan Cain sebagai tulang punggung naratifnya. Kecenderungan

karakterisasi tersebut dapat dideteksi dalam bibliografinya Cain. Mulai dari

The Postman Always Rings Twice (1934), Mildred Pierce (1941), The Root

of His Evil (1951), The Magician’s Wife (1965) hingga Cloud Nine (1984),

Cain konsisten menggunakan orang-orang biasa sebagai protagonisnya.

Bagi Cain, kejahatan adalah naluri yang sejak lahir ada dalam alam bawah

sadar manusia.140

Kondisi dan kesempatan yang memungkinkan naluri

tersebut bangkit, dan mendorong manusia untuk bertindak di luar garis

hukum.

Berbeda dengan Cain, Chandler adalah penulis cerita detektif

murni.141

Protagonisnya adalah detektif yang memang menginvestigasi

suatu kasus kriminal. Dalam investigasinya, si detektif menghadapi banyak

komplikasi, mulai dari pertemuannya dengan femme fatale, hingga

pengkhianatan yang dilakukan femme fatale. Faktor yang membuat

Chandler dengan penulis cerita detektif lainnya adalah ambiguitas moral

yang terkandung dalam protagonisnya. Meski bekerja membongkar kasus

kriminal, suatu aktivitas yang normalnya berada di dalam garis hukum,

138

John T. Irwin. Unless The Threat of Death Behind Them: Hard-Boiled Fiction and Film Noir.

Baltimore, Maryland: Johns Hopkins University Press, 2006, hal. 71. 139

Op. Cit., Hoopes, hal. 16. 140

Ibid., Hoopes, hal. 22. 141

Op. Cit., Irwin, hal. 71.

Page 99: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

98

detektif dalam cerita Chandler memilih untuk memakai metodenya sendiri.

Konsekuensinya: detektif dalam cerita Chandler tidak segan terlibat dalam

hubungan tidak senonoh dengan femme fatale, dan membunuh orang ketika

keselamatan dirinya terancam. Chandler mendesain protagonisnya sebagai

individu yang menolak bernegosiasi dengan hukum, walaupun dia

seharusnya bertindak demikian. Ada tuntutan hukum atau tidak,

tindakannya selalu berlandaskan kepentingan dirinya sendiri.

Perbedaan gaya bercerita Cain dan Chandler tersebut berpengaruh

pada kualitas formal film Double Indemnity. Novelnya sendiri mengusung

naratif alur maju dengan sudut pandang orang pertama. Seluruh kejadian

dilihat dari sudut pandan Walter Neff, penjual asuransi yang menjadi

protagonis Double Indemnity. Dalam mengadaptasi novel tersebut ke layar

lebar, Chandler melakukan dua perubahan. Perubahan pertama adalah

struktur temporalnya. Naratif dalam film tidak berjalan maju layaknya di

novel. Sebaliknya, Chandler memotong kejadian-kejadian yang dialami

Neff, dan menyusunnya kembali dalam naratif maju-mundur. Kalau dalam

novel, Neff mengawali ceritanya dengan menawarkan asuransi ke kliennya.

Dalam film, Neff terlihat masuk ke kantornya pada malam hari.

Sesampainya di dalam kantor, dia menceritakan kembali kejadian-kejadian

yang dia alami ke sebuah mesin perekam. Pola ceritanya jadi bolak balik

antara Neff bercerita ke mesin perekam, dan adegan-adegan yang

memvisualisasi kejadian yang dialami Neff.

Dengan struktur temporal yang maju-mundur, Chandler menjadikan

Neff sebagai orang biasa yang menginvestigasi kasusnya sendiri. Dengan

kata lain, apa yang tadinya protagonis orang biasa versi Cain berubah

menjadi detektif versi Chandler dalam film. Inilah perubahan kedua yang

dilakukan Chandler. Setiap awal adegan kejadian yang dialaminya, Neff

menarasikan ambiguitas moral yang ia hadapi. Ia sadar dirinya sedang

bertindak di luar batas yang ditentukan hukum. Namun, apa daya,

pembunuhan sudah terjadi dan Neff siap bertanggung jawab atas

pilihannya. Konsekuensinya: setiap baris pengakuan yang Neff ucapkan ke

Page 100: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

99

mesin perekam menjadi pisau bedah atas anatomi kesalahannya sendiri.

Pada pola cerita tersebut, film Double Indemnity merangkai narasinya.

2. Pengakuan, Kilas Balik dan Konstruksi Keluarga

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, modus naratif Double

Indemnity berporos pada pengakuan protagonis cerita ke sebuah mesin

perekam suara di kantornya. Pengakuan tersebut nantinya yang menjadi

penjelas dari segala visualisasi kejadian yang ada dalam plot film. Sebagai

sebuah bentuk narasi, pengakuan (confession) bersifat personal, atau

setidaknya mempunyai cakupan yang sangat lokal. Semua kejadian didikte

oleh seorang narasumber, yang dilihat dari sudut pandang personal dan

mau tidak mau berkaitan dengan kepentingan pribadi tersebut. Berkaitan

dengan kepentingan penelitian ini, sistem naratif haruslah dibedah dari

pilar-pilar penyokongnya. Apabila pengakuan, sebagai sebuah bentuk

narasi yang sifatnya personal, merupakan modus narasi dari Double

Indemnity, maka hal pertama yang harus dibahas adalah karakteristik dasar

protagonisnya. Analisis protagonis kemudian akan membuka tingkap-

tingkap wawasan yang lebih luas perihal Double Indemnity.

Protagonis Double Indemnity adalah Walter Neff: seorang pekerja

kantor asuransi, dengan pendapatan stabil, dan tidak punya tanggungan

keluarga. Sejak awal film, Neff digambarkan dalam kondisi tidak stabil.

Hal ini terlihat dari gambar pertama yang penonton lihat dalam Double

Gambar A.1 Gambar A.2

Page 101: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

100

Indemnity, yakni siluet seorang laki-laki bertopi bundar, yang jalannya

pincang dengan sepasang tongkat penyokong (Gambar A.1). Gambar

tersebut kemudian berganti ke sekuens pembuka film, dimana penonton

melihat Walter Neff pada suatu malam berjalan lemas ke dalam kantornya

(Gambar A.2). Pada titik ini, penonton belum tahu apa motivasi protagonis

masuk kantornya. Sekuens adegan tersebut terjadi di malam hari, dimana

tidak ada orang dalam kantor Neff, kecuali pegawai penjaga pintu. Neff

masuk ke dalam ruang kerja, menyalakan mesin perekam suara, kemudian

bercerita tentang masalahnya. Pada adegan terakhir tersebut, penonton

dapat melihat atribut Neff sama dengan siluet laki-laki pincang di awal

film (Gambar A.3). Asosiasi antara siluet laki-laki pincang dan Neff pun

tercipta. Bedanya hanya satu: Neff tidak berjalan dengan tongkat

penyokong, walau jalannya sama-sama pincang.

Pada titik ini, informasi yang diketahui penonton adalah

protagonisnya baru saja melewati sebuah masalah. Masalah tersebut yang

kemudian diceritakan Neff melalui pengakuannya ke mesin perekam.

Pengakuan Neff ditujukan pada teman kerjanya bernama Barton Keyes.

Keyes adalah seorang manajer klaim, yang menentukan klaim asuransi

mana yang benar dan mana yang salah. Dia yang menjaga perusahaannya

menghamburkan uang untuk klaim asuransi yang salah. Keyes siap

mengerjakan pekerjaan seorang detektif dan menganalisa apakah suatu

kecelakaan benar-benar terjadi, atau hanya rekayasa orang-orang yang

ingin cari uang saja. Neff dan Keyes sudah kenal dan bekerja sama selama

Gambar A.3

Page 102: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

101

11 tahun. Dalam film, kedekatan keduanya tergambar dari tindakan Neff

mengeluarkan korek untuk menyalakan cerutu Keyes (Gambar A.4, A.5

dan A.6). Sepanjang film, gestur Neff ke Keyes tersebut terus berulang,

dan memperoleh affirmasinya di akhir film.Ada serangkaian kalimat kunci

dalam narasi pembuka pengakuan Neff, yakni “Yes, I killed him. I killed

him for money and a woman. And I didn’t get the money and I didn’t get

the woman. Pretty, isn’t it?” Dalam rangkaian kalimat tersebut, terdapat

empat potongan informasi yang penonton terima: uang, pembunuhan,

perempuan, dan kegagalan usaha protagonis. Keempat potongan informasi

tersebut jelas memainkan ekspetasi penonton tentang kejadian-kejadian

dalam Double Indemnity. Pada level dasar, penonton setidaknya tahu

bahwa film akan bercerita seputar usaha protagonis membunuh seorang

laki-laki demi uang dan seorang perempuan, dan protagonis gagal. Hal

yang belum penonton ketahui adalah caranya bagaimana dan kenapa

protagonis bisa gagal. Dua pertanyaan tersebut yang kemudian satu per

satu terjelaskan dalam naratif maju-mundur Double Indemnity, yang

mengandung empat kilas balik (flashback). Tiga kilas balik pertama

Gambar A.4 Gambar A.5

Gambar A.6

Page 103: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

102

masing-masing berdurasi dari 22 sampai 30 menit, sementara yang

terakhir berdurasi 12 menit. Masing-masing kilas balik memiliki

wacananya sendiri tentang konstruksi keluarga dalam Double Indemnity.

3. Konstruksi Rumah Sebagai Penjara

Kilas balik pertama, yang berlangsung dari menit 00:07:11 sampai

00:29:06, berfungsi layaknya babak pertama dalam struktur cerita tiga

babak, yakni sebagai persiapan cerita (setup). Berdasarkan sudut pandang

Neff, plot film pun mundur ke masa lampau. Adegan pertama yang

penonton lihat adalah Neff mengunjungi rumah Mr. Dietrichson, salah

satu kliennya. Pada adegan tersebut, Neff pertama kali bertemu dengan

Phyllis Dietrichson, istri kliennya. Dilihat dari komposisi ruangnya,

pertemuan pertama Neff dengan Phyllis menyiratkan ketidakseimbangan.

Neff berada dekat pintu masuk di lantai bawah, sementara Phyllis di lantai

atas (Gambar A.7 dan A.8). Phyllis berada lebih tinggi dari Neff. Dalam

kondisi tidak seimbang tersebut, keduanya berkenalan. Posisi yang tidak

seimbang tersebut menjadi petunjuk bagi prospek relasi mereka ke depan,

dimana Phyllis secara metafor akan selalu berada di atas Neff.

Selagi menunggu Phyllis bersiap dan turun ke bawah, Neff masuk ke

ruang tamu kediaman Dietrichson. Di sana, dia menunggu sembari

menganalisa perabot-perabot yang ada di sekitarnya. Ruang tamu dalam

bahasa Inggris adalah living room. Bila dipahami secara harafiah, living

room berarti „ruang untuk hidup‟, baik dalam bahasa Inggris maupun

bahasa Indonesia. Dalam konteks Double Indemnity, pemahaman ruang

Gambar A.7 Gambar A.8

Page 104: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

103

tamu sebagai ruang untuk hidup masuk akal, mengingat di ruangan tersebut

Neff mempelajari detail-detail kehidupan keluarga Dietrichson. Sampai

film berakhir, ruang tamu adalah satu-satunya tempat dalam rumah

keluarga Dietrichson yang menampilkan segala aktivitas keluarga

Dietrichson dan interaksi Neff dengan Phyllis. Detail pertama yang Neff

ketahui adalah Phyllis ternyata merupakan istri kedua dari Mr. Dietrichson.

Istri pertama sudah lama meninggal, tapi sempat melahirkan seorang anak

perempuan. Dalam film informasi tersebut dari dua foto yang ada di atas

piano di ruang tamu. Foto pertama adalah Mr. Dietrichson, foto kedua

adalah Lola. Tidak ada foto Phyllis (Gambar A.9).

Ketiadaan foto Phyllis di ruang tamu menyiratkan seberapa

signifikan posisinya dalam keluarga Dietrichson. Sebagai tempat dalam

rumah yang biasa dikunjungi oleh orang-orang di luar lingkar keluarga,

ruang tamu secara umum menjadi etalase dari keluarga yang mendiami

rumah tersebut. Sebagai sebuah etalase, ruang tamu tentunya dapat

menandakan macam-macam, namun semuanya berujung ke satu hal:

affirmasi keberadaan anggota keluarga. Mr. Dietrichson hanya menganggap

Lola, anaknya dari istrinya yang pertama, ada. Phyllis dianggap tidak ada,

atau lebih tepatnya, ada tapi tidak bermakna.

Menjadi menarik kemudian melihat dua adegan Neff dan Phyllis di

ruang tamu kediaman Dietrichson dalam kilas balik pertama. Dalam kedua

adegan tersebut, terdefinisikan posisi Phyllis dalam naratif Double

Indemnity. Adegan pertama terjadi beberapa menit setelah pertemuan

pertama Phyllis dengan Neff. Sebagai seorang penjaja program asuransi,

Neff tentunya langsung menawarkan dagangannya. Sembari melakukan

pekerjaannya, Neff pun menggoda Phyllis. Jawaban yang ia dapat adalah

penolakan, yang disertai dengan pertemuan satu kali lagi di tempat yang

Gambar A.9

Page 105: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

104

sama. Pada titik ini, Phyllis masih menjaga statusnya sebagai istri orang,

walau keberadaannya secara afektif tidak diakui. Adegan berikutnya

merupakan pertemuan kedua Phyllis dan Neff. Kali ini, Phyllis bertindak

lebih aktif. Dia banyak bertanya soal program asuransi ke, yang dijawab

dengan cergas oleh Neff. Namun, Neff mulai curiga dengan pertanyaan

Phyllis soal asuransi kecelakaan. Neff menuduh Phyllis ingin membunuh

suaminya, lalu kabur membawa uang dari asuransi. Phyllis mencoba

mengelak, namun Neff yakin pada instingnya. Neff pun keluar rumah,

merasa jijik dengan niat Phyllis. Pada titik ini, Phyllis terkesan punya

agenda sendiri. Sederhananya, Phyllis mengaffirmasi perannya sebagai

femme fatale ke penonton.

Rencana Phyllis membunuh suaminya yang tadinya tersirat akhirnya

terkonfirmasi melalui dua hal. Pertama, secara gamblang, dalam adegan

terakhir di kilas balik pertama. Adegan tersebut terjadi di apartemennya

Neff. Tanpa diduga, Phyllis menemukan tempat tinggal Neff. Dia masuk

dan mengaffirmasi niat membunuh suaminya. Neff awalnya menolak, tapi

tidak bisa menyembunyikan perasaannya ke Phyllis. Mereka pun

bercumbu. Pasca momen sentimentil tersebut, Phyllis cerita tentang

suaminya, yang selalu marah setiap Phyllis belanja, dan hanya peduli pada

kesejahteraan hidup Lola. Walaupun melibatkan uang, pembunuhan yang

Phyllis rencanakan sebenarnya adalah usahanya untuk membebaskan

dirinya.

Affirmasi kedua terjadi lebih subtil, yakni melalui pencahayaan dua

adegan ruang tamu. Kedua adegan tersebut divisualisasi melalui teknik

pencahayaan Venetian blind lighting (Gambar A.10 dan A.11). Dalam

Gambar A.10 Gambar A.11

Page 106: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

105

prakteknya, teknik tersebut melibatkan sorotan lampu yang ditabrakkan ke

kontur-kontur di jendela. Hasilnya: tercipta bayangan seperti jeruji penjara

di tembok dan badan karakter. Menurut John F. Seitz, sinematografer

Double Indemnity, teknik tersebut untuk membingkai karakter.142

Efeknya

ke penonton adalah kondisi tertekan dan terjebak. Dibingkai dalam

Venetian blind lighting, ruang tamu dalam Double Indemnity menjadi

semacam „penjara‟ bagi karakter-karakter yang mendiaminya. Bagi Phyllis,

satu-satunya jalan keluar dari „penjara‟ tersebut adalah dengan membunuh

suaminya, orang yang punya kuasa atas ruang tersebut, yang berarti juga

berkuasa atas ruang-ruang yang lebih privat dalam rumah tersebut.

Pembunuhan dalam Double Indemnity memiliki dua muatan makna.

Bagi femme fatale, pembunuhan bermakna jalan menuju kebebasan

domestik. Bagi protagonis laki-laki, pembunuhan berarti petualangan

romantik. Makna keduanya berbeda, namun berujung pada satu hal yang

sama: kegelisahan eksistensial. Kegelisahan eksistensial adalah fenomena

personal, yang dalam prakteknya harus dinegosiasikan dengan lanskap

moral dan sosial di sekitarnya. Tidak semua kegelisahan eksistensial bisa

dituntaskan, karena beberapa berpotensi mengingkari jaring pengaman

yang selama ini terjaga oleh konstelasi moral dan status sosial individu.

Berarti, ada pilihan lain yang tersedia bagi Neff dan Phyllis. Phyllis tidak

harus membunuh suaminya. Neff juga tidak harus membantu Phyllis dan

membahayakan hidupnya sendiri. Keduanya bisa saja menanggung

kegelisahan masing-masing dan membiarkan hidup berjalan seperti

sebelum-sebelumnya. Namun, mereka memilih untuk melakukan

sebaliknya. Usaha mereka itulah yang dikronologikan dalam kilas balik

kedua.

142

Ed Sikov. On Sunset Boulevard: The Life and Times of Billy Wilder. New York: Hyperion,

1998, hal. 206.

Page 107: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

106

4. Konsensus Sosial Versus Keinginan Individual

Kilas balik kedua, yang berlangsung dari menit 00:30:09 sampai

01:00:09. berfungsi sebagai komplikasi plot (plot complication). Pada

bagian ini, konflik cerita mulai berkembang. Sekuens pembukanya adalah

adegan Phyllis dan Neff bermesraan di ruang tamu apartemen Neff. Adegan

penutup sekuens adalah Neff di jendela apartemennya melihat Phyllis pergi.

Sekuens tersebut menegaskan bahwa setiap kilas balik dalam Double

Indemnity merupakan opini seorang laki-laki. Ia bersifat maskulin, dan

melihat segala hal dari kebutuhan dan kerangka referensi seorang laki-laki.

Di satu sisi, terpetakan sebuah relasi yang berulang sampai akhir film,

yakni analisis satu arah dari Neff ke Phyllis, dari protagonis laki-laki ke

femme fatale. Di sisi lain, apabila melihat kembali awal pertemuan mereka,

analisis tersebut terjadi di tengah relasi yang tidak imbang antara Neff dan

Phyllis. Phyllis meminta Neff untuk membantu rencana pembunuhannya,

yang berpotensi membahayakan hidup Neff sendiri. Phyllis sebagai femme

fatale mendorong protagonis laki-laki ke dalam agendanya sendiri,

sementara protagonis laki-laki hanya mampu menganalisa perempuan dari

jarak tertentu. Dalam kerangka tersebut, relasi laki-laki dan perempuan

dalam Double Indemnity terdefinisikan. Dalam kerangka itu juga, detail-

detail pembunuhan dalam Double Indemnity memperoleh maknanya

sendiri.

Pembunuhan yang dijalankan Neff dan Phyllis membutuhkan tanda

tangan Mr. Dietrichson. Neff berharap bisa menjebak suami Phyllis untuk

menandatangani kontrak asuransi kecelakaan, tanpa sepengetahuan Mr.

Dietrichson sendiri. Dengan begitu, Neff dan Phyllis dapat membunuh Mr.

Dietrichson, dan mendapatkan uang dari tindakan kriminal tersebut.

Peniupuan Mr. Dietrichson terjadi di adegan kedua di kilas balik kedua.

Lokasinya di ruang tamu kediaman Dietrichson. Penipuan tersebut berhasil,

yang artinya Phyllis sukses membuat suaminya dalam kapasitas tertentu

menggali kuburnya sendiri. Kondisi keluarga yang sudah terjadi, yakni

antara Phyllis dan Mr. Dietrichson yang sejak awal film berstatus menikah,

Page 108: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

107

tereduksi ke sebuah pengkhianatan dan sekantong uang yang menyertainya.

Kondisi keluarga yang belum dan mungkin terjadi, yakni antara Neff dan

Phyllis yang berharap bisa bersama setelah semuanya selesai, dipantik oleh

aktivitas bersama yang dilumuri oleh darah orang lain.

Dilihat dari simbol-simbol yang menyertai Neff dan Phyllis, kedua

kondisi keluarga yang penonton lihat dalam Double Indemnity berlawanan

dengan konsensus sosial lingkungannya. Maksudnya, kedua kondisi

keluarga tersebut berdasar pada individualitas, sementara lingkungan sosial

lebih mengakui kolektivitas. Di adegan ketiga di kilas balik kedua, Neff

mendapat tawaran kerja yang lebih bergengsi dari Keyes. Neff menolaknya

mentah-mentah. Neff mengaku dia hanya termotivasi oleh aspek finansial

dari pekerjaannya. Walau lebih bergengsi, pekerjaan baru yang ditawarkan

tersebut mengharuskan Neff turun gaji sebesar $50. Neff jelas tidak mau.

Ketika disarankan sebaiknya menikah agar paham dengan signifikansi

pekerjaan baru tersebut, Neff menolak dan menyatakan tidak tertarik untuk

berkeluarga. Neff malah balik mempertanyakan Keyes, yang juga sama-

sama belum menikah dan tidak tertarik untuk keluarga.

Simbol yang menyertai Phyllis lebih subtil. Di adegan keempat

dalam kilas balik kedua, Phyllis terlihat belanja di sebuah mini market.

Sebenarnya Phyllis hanya mencari tempat netral, agar ia tidak dicurigai saat

bertemu dengan Neff. Di lorong makanan bayi, Phyllis dan Neff pun

bertemu dan berbisik perihal perkembangan rencana pembunuhan mereka.

Selama mereka bicara, kamera membingkai Phyllis di dekat dengan papan

bertuliskan baby food, seakan-akan mengasosiasikan status Phyllis sebagai

Gambar A.12

Page 109: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

108

ibu rumah tangga dan rutinitas yang seharusnya ia lakukan (Gambar A.12).

Selain itu, ada dua interupsi yang memotong pembicaraan mereka.

Keduanya adalah ibu rumah tangga, yang berhenti di antara mereka untuk

belanja kebutuhan sehari-hari (Gambar A.13 dan A.14). Interupsi tersebut

menjadi semacam kontras antara Phyllis yang berniat membunuh suaminya

sendiri untuk kepentingan pribadi, dan ibu-ibu rumah tangga biasa yang

mencoba menjaga keluarganya.

Individualitas Neff dan Phyllis direkatkan oleh darah Mr.

Dietrichson, yang mengucur setelah dibunuh oleh Neff. Pembunuhan

tersebut membawa implikasinya sendiri, dan secara signifikan

mempengaruhi relasi Neff dan Phyllis. Keduanya adalah satu-satunya

potensi kondisi keluarga dalam Double Indemnity. Masalahnya,

pembunuhan Mr. Dietrichson hanya semakin memerosokkan Neff dan

Phyllis ke dalam individualitasnya masing-masing. Phyllis punya

rencananya sendiri, sementara Neff gerah dengan perasaan waswas setelah

Keyes berniat menginvestigasi kasus kematian Mr. Dietrichson. Potensi

kondisi keluarga antara Neff dan Phyllis tersebut yang dipertanyakan dalam

kilas balik ketiga.

5. Formasi Keluarga di Tengah Paranoia

Sama seperti kilas balik sebelumnya, kilas balik ketiga juga

berfungsi sebagai komplikasi plot (plot complication), dengan persiapan

menuju klimaks cerita (climax). Kilas balik tersebut berlangsung dari menit

01:00:33 sampai 01:26:49. Adegan pertama dari kilas balik ketiga terjadi di

Gambar A.13 Gambar A.14

Page 110: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

109

kantor Neff. Di sana, Keyes mengajak Neff untuk menemui bos mereka,

untuk membicarakan kasus kematian Mr. Dietrichson. Di luar dugaan, atas

undangan bos Neff dan Keyes, Phyllis datang di tengah-tengah

pembicaraan mereka. Pada adegan inilah, Neff dan Phyllis harus

memainkan perannya masing-masing, untuk menjaga kelanggengan

hubungan mereka. Neff bersikap layaknya penjual program asuransi,

sementara Phyllis sebagai seorang janda yang baru saja kehilangan

suaminya (Gambar A.15). Mereka pura-pura tidak saling kenal akrab,

supaya Keyes dan bosnya tidak curiga. Pengelabuan pun sukses. Bos

mereka beranggapan bahwa Mr. Dietrichson bunuh diri, sementara Keyes

tidak curiga kalau ada orang luar yang terlibat dalam kematian Mr.

Dietrichson. Keyes secara tidak langsung malah mendukung kausa Neff

dan Phyllis, dengan mengatakan bahwa kematian Mr. Dietrichson bukanlah

bunuh diri. Menurut Keyes, Mr. Dietrichson benar-benar kecelakaan, dan

perusahaan harus membayar Phyllis karena kontrak asuransi mereka

dengan suaminya.

Kesuksesan Neff dan Phyllis mengelabui Keyes dan bosnya ternyata

hanya membawa masalah baru. Dalam adegan-adegan berikutnya, Neff dan

Phyllis kesulitan bertemu layaknya mereka biasa bertemu. Keduanya harus

saling sembunyi, karena Keyes berniat mengawasi Phyllis setiap hari

sampai ia menemukan petunjuk lain soal kematian Mr. Dietrichson. Pada

titik inilah, potensi kondisi keluarga antara Neff dan Phyllis mulai meredup.

Satu-satunya penanda hubungan mereka di mata publik adalah pembunuhan

Mr. Dietrichson. Di luar itu, tidak ada penanda lain, yang secara legal dan

moral lebih sesuai dengan lanskap sosial di lingkungan mereka. Keduanya

hanya bisa bertemu diam-diam di tempat netral, alias di sebuah mini market

Gambar A.15

Page 111: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

110

di adegan terakhir di kilas balik ketiga. Pada adegan tersebut, hubungan

mereka berevolusi dari afektif ke destruktif. Keduanya mencurigai satu

sama lain. Neff khawatir Phyllis punya agenda sendiri, dan sebaliknya.

Pembunuhan Mr. Dietrichson menjadi pisau yang bisa digunakan untuk

Neff atau Phyllis untuk menikam satu sama lain. Masalahnya, kondisi

memihak pada Phyllis, si femme fatale. Dia bisa saja membeberkan fakta

tentang keterlibatan Neff tanpa beban. Phyllis bisa berdalil bahwa dia

berada di pihak yang rugi, karena dia baru saja kehilangan seorang suami.

Adegan pertemuan Neff dan Phyllis, yang menggambarkan relasi mereka

yang tidak seimbang, terwujud signifikansinya.

Neff tidak punya alasan yang kuat untuk mendukung dirinya sendiri

nanti kalau buka mulut soal Phyllis. Dia yang mengkonsep pembunuhan

Mr. Dietrichson. Berkat pengetahuannya soal bisnis asuransi, dia tahu

bagaimana cara mendesain sebuah kematian yang sempurna, sebuah

kematian yang tidak akan terlihat salah di mata manajer klaim macam

Keyes. Informasi yang dia punya soal Phyllis juga terlalu rahasia, dan

hanya bisa diakses oleh orang-orang berpengalaman macam Neff. Phyllis

boleh jadi yang punya ide untuk membunuh suaminya, namun di lapangan

Neff akan selalu terlihat lebih salah dari Phyllis. Pembunuhan yang

awalnya menyatukan Neff dan Phyllis malah tidak membebaskan

keduanya. Keduanya malah makin terjebak dalam paranoia masing-masing.

6. Keakraban Menjelang Kematian

Kilas balik keempat merupakan resolusi cerita (resolution), dimana

potensi kondisi keluarga antara Neff dan Phyllis dipertaruhkan di titik

klimaks (climax), dan berlanjut ke kejadian-kejadian pasca klimaks

(aftermath). Berlangsung dari menit 01:27:11 hingga menit 01:47:20, kilas

balik yang satu ini dimulai dengan perkembangan terbaru soal kematian

Mr. Dietrichson. Di adegan kedua, Keyes memanggil Neff dan bilang kalau

dia menemukan orang ketiga dalam kasus Mr. Dietrichson. Menurut Keyes,

orang ketiga itu adalah Nino Zachetti, pacarnya Lola. Neff curiga kalau

Page 112: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

111

Keyes hanya pura-pura dan sebenarnya tahu kalau Neff adalah pelaku

sebenarnya. Neff pun menunggu Keyes pergi, dan diam-diam mengendap

ke kantor Keyes. Adegan ini direkam dengan teknik pencahayaan Venetian

blind (Gambar A.16). Metafora penjara kini diterapkan pada tempat

kerjanya Neff. Dia terjebak dalam pekerjaannya sendiri, dan dia harus

mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Neff memutuskan untuk

menelpon Phyllis dan mengajaknya untuk bertemu.

Pertemuan Neff dan Phyllis menjadi klimaks cerita Double

Indemnity. Kejadiannya mengambil tempat di ruang tamu kediaman

Dietrichson. Awalnya, penonton melihat kejadian yang tidak diketahui oleh

Neff, yakni Phyllis menyelipkan sepucuk pistol di balik sofa. Ketika Phyllis

mematikan lampu dan menunggu di ruang tamu untuk bertemu Neff,

penonton melihat bahwa cahaya di ruangan tersebut bercorak layaknya

jeruji penjara. Teknik Venetian blind lagi-lagi diterapkan, dan metafora

penjara berlaku untuk kejadian yang akan terjadi antara Neff dan Phyllis di

ruang tamu tersebut (Gambar A.17 dan A.18). Neff masuk dan bicara

dengan Phyllis. Dia bilang dia mau meninggalkan Phyllis, dan akan

Gambar A.16

Gambar A.17 Gambar A.18

Page 113: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

112

melimpahkan pembunuhan tersebut ke Zachetti. Phyllis tidak setuju dan

menembak Neff ketika dia sedang lengah. Tembakan tersebut menandai

kematian potensi kondisi keluarga di antara mereka berdua. Keduanya

bukan lagi pasangan, tapi sepasang individu yang tidak segan

menyingkirkan satu sama lain.

Neff tidak langsung mati dari tembakan Phyllis. Dia hanya terluka

parah dan sukses merebut pistol Phyllis. Layaknya femme fatale dalam

setiap film noir, Phyllis memanfaatkan aura fisiknya untuk menggoda Neff,

dan melupakan semua yang baru saja terjadi. Neff tidak percaya dan

menembak Phyllis dua kali. Femme fatale tersebut pun tewas. Setelah

kejadian ini, film pun membaur ke masa sekarang, dimana Neff selesai

menceritakan semua keterlibatannya di kasus Mr. Dietrichson ke mesin

perekam suara. Pada titik ini, terjelaskan sudah kenapa Neff masuk ke

kantor dengan jalan pincang. Ia berusaha menahan sakit dari luka tembakan

Phyllis. Usai menutup pengakuannya ke mesin perekam, Neff balik badan

dan melihat ke arah kamera. Kamera pindah sudut pandang mewakili mata

Neff, dan terlihat Keyes berdiri dengan tampang datar. Keyes mencoba

memanggil ambulans, tapi Neff mencegahnya. Neff memilih untuk kabur,

dan memulai hidup baru di tempat lain.

Dalam perjalanannya keluar kantor, Neff jatuh. Dia sudah tidak

tahan lagi menahan sakit dari luka tembakan Phyllis. Pada titik ini,

terdengan suara Keyes menelfon ambulans. Neff berbaring kesakitan di

pintu, dan Keyes pun datang menghampirinya. Neff mengeluarkan korek

untuk mencoba menyalakan rokok di mulutnya, tapi kesulitan. Keyes pun

Gambar A.19

Page 114: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

113

mengambil korek dan menyalakan rokok di mulut Neff (Gambar A.19).

Gestur ini merupakan balasan dari gestur Neff selama ini menyalakan

cerutu Keyes. Gestur tersebut juga menjadi affirmasi dari relasi Neff dan

Keyes yang tetap seperti biasanya, walaupun sudah terinterupsi oleh Phyllis

dan kasus Mr. Dietrichson. Ketika akhirnya Double Indemnity berakhir

beberapa detik kemudian, tidak seperti relasi-relasi lainnya dalam film

tersebut, relasi profesional protagonis dengan teman kerjanya adalah satu-

satunya relasi yang sampai akhir cerita tetap utuh.

B. The Postman Always Rings Twice (1946)

1. Latar Belakang Historis

Sebagai salah satu rujukan utama film noir di masa sekarang, The

Postman Always Rings Twice pada jamannya adalah sebuah anomali.

Materi dasarnya memang berasal dari salah satu novel James M. Cain,

yang notabene sering diadaptasi jadi film noir. Namun, studio yang

memproduksinya adalah Metro-Goldwyn-Mayer (MGM), yang pada era

40-an lebih akrab dengan film musikal dan epik sejarah. MGM juga

dikenal banyak memanfaatkan teknologi Technicolor dalam film-filmnya.

Technicolor adalah sebuah teknologi pewarnaan pita film, dimana warna

merah, biru, dan kuning memperoleh ketebalannya tersendiri, sehingga

menciptakan kesan yang sangat cerah di mata penonton. Film noir, yang

dikenal suram berkat kemasan hitam putihnya, jelas adalah lahan baru bagi

MGM.

MGM memproduksi The Postman Always Rings Twice setahun

setelah Double Indemnity. Faktanya, kesuksesan Double Indemnity yang

meyakinkan produser-produser di MGM untuk memproduksi The Postman

Always Rings Twice. MGM sebenarnya sudah tertarik memfilmkan The

Postman Always Rings Twice pada tahun 1935, setahun setelah novel

tersebut pertama kali rilis, tapi badan sensor menghalangi niat mereka.143

143

Geoff Mayer & Brian McDonnell. Encyclopedia of Film Noir. Westport, CT: Greenwood

Publishing Group, 2007, hal. 23.

Page 115: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

114

Kesuksesan Double Indemnity di tahun 1944 memberi cukup wawasan

bagi MGM untuk turut memproduksi film noir. Ada dua hal yang MGM

pelajari dari kesuksesan film karya Billy Wilder tersebut. Pertama, cerita

kriminal yang suram ternyata disukai audiens Amerika, terlihat dari

penjualan tiket Double Indemnity yang mencapai sepuluh besar di tahun

rilisnya, plus tujuh nominasi Academy Awards yang film tersebut raih.

Kedua, badan sensor ternyata bisa diakali dengan revisi naskah, sehingga

pesan yang mungkin tersampaikan oleh film sesuai dengan moralitas versi

badan sensor. Melihat sejarah produksi mereka yang dipenuhi film

musikal dan epik sejarah, MGM tidak punya pendirian ideologis tertentu,

kecuali menjual tiket sebanyak mungkin dan meningkatkan reputasinya

sebagai studio film-film populer.144

Studio tersebut ingin memproduksi

The Postman Always Rings Twice bukan karena kritik sosial yang

terkandung di dalamnya, tapi karena novel tersebut sesuai dengan selera

penonton Amerika dekade 40-an. Sederhananya, MGM termotivasi oleh

potensi finansial The Postman Always Rings Twice.

Motivasi finansial MGM tercermin dalam pemilihan lakon utama

The Postman Always Rings Twice, yakni John Garfield dan Lana Turner.

Garfield aslinya berada di bawah kontrak Warner Bros. Sebelum dipinjam

MGM untuk The Postman Always Rings Twice, Garfield telah bermain

untuk 23 film produksi Warner Bros. Dia pernah mendapat nominasi

Academy Award untuk performanya di film Four Daughters tahun 1938.

Prestasinya tersebut menandakan Garfield punya reputasi dalam seni

lakon. Namanaya punya daya jualnya sendiri, dan MGM siap

memanfaatkannya.145

Di sisi lain, Lana Turner adalah bintang andalan

MGM. Namanya menjadi pembicaraan di Hollywood berkat

keterlibatannya dalam tiga film sukses MGM di awal 40-an: Ziegfield Girl

(1941), Johnny Eager (1942), dan Somewhere I’ll Find You (1942).

Sebelumnya, Turner sempat dikenal publik Amerika dengan julukan the

144

Ibid., hal. 340. 145

Ibid., hal. 341.

Page 116: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

115

sweater girl, berkat kostumnya yang membalut lekuk tubuhnya di film

They Won’t Forget (1937).146

Melalui The Postman Always Rings Twice,

MGM memadukan seorang aktor laki-laki yang mapan dalam seni peran

dan selebritis perempuan yang dikenal sebagai simbol seks: dua figur yang

punya kredibilitasnya tersendiri di mata para penonton.

The Postman Always Rings Twice sendiri didasarkan pada novel

yang berjudul sama karya James M. Cain. Pertama kali dirilis pada tahun

1934, The Postman Always Rings Twice sampai sekarang dianggap

sebagai salah satu novel kriminal paling berpengaruh di abad 20, dan salah

satu karya terbaik yang pernah dihasilkan Cain. Karena ceritanya yang

sangat gamblang menceritakan seksualitas dan kekerasan domestik, novel

tersebut dianggap mendahului jamannya. Pemerintah daerah

Massachusetts khawatir akan konten The Postman Always Rings Twice

yang eksplisit, dan mengajukan sebuah mosi untuk melarangnya dijual di

negara bagian yang bersangkutan.147

Badan sensor film mempunyai

kekhawatiran yang sama dengan pemerintah daerah Massachusetts,

sehingga mereka menghalangi usaha MGM untuk mengadaptasi The

Postman Always Rings Twice pada tahun 1935.

Dalam pengantar novel Double Indemnity cetakan 1943, Cain

menjelaskan arti judul The Postman Always Rings Twice dan kaitannya

dengan konten ceritanya yang eksplisit. Cain pertama kali memikirkan

judul novelnya tersebut ketika dia sedang berdiskusi dengan Vincent

Lawrence, seorang penulis naskah film, tentang suka duka menjadi

penulis. Setiap habis mengirimkan naskah ke pihak penerbit, Cain selalu

gugup menanti kedatangan tukang pos. Pasalnya, tukang pos adalah orang

pertama yang membawa kabar perihal diterima atau ditolaknya naskah

Cain, yang punya implikasi tersendiri bagi profesi dan reputasi Cain

sebagai penulis. Di mata Cain, tukang pos adalah “Tuhan” dan

pekerjaannya mengantar kabar adalah “takdir”. Saking gugupnya

146

Menurut salah satu wawancara dalam film Lana Turner... A Daughter’s Memoir (Carole

Lenger, 2001) 147

Op. Cit., Hoopes, hal. 332.

Page 117: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

116

menunggu kabar naskahnya, Cain tidak mau menjawab bel rumah yang

berbunyi tiap kali tukang pos datang. Namun, karena tuntutan pekerjaan,

tukang pos selalu memencet bel dua kali, hanya untuk memastikan ada

orang di rumah atau tidak. Bunyi bel kedua, menurut pengakuannya, yang

menyadarkan Cain bahwa dia tidak bisa menghindar dari panggilan Tuhan

untuk menghadapi takdirnya, walau sukses lari dari panggilan yang

pertama.

Cain kemudian memakai alegori tukang pos dan Tuhan sebagai

basis dari plot The Postman Always Rings Twice. Protagonis cerita adalah

seorang laki-laki tanpa identitas dan tempat tinggal yang tetap. Dia bekerja

di sebuah rumah makan dan jatuh cinta dengan istri bosnya. Pihak

perempuan ternyata juga punya perasaan yang sama, mengingat dia tidak

mencintai suaminya sama sekali. Keduanya pun diam-diam tidur dan

merencanakan pembunuhan bersama. Seks dan pembunuhan mereka

jadikan sarana untuk memenuhi tujuan mereka masing-masing.

Masalahnya, tindakan kriminal yang mereka lakukan tercium oleh pihak

hukum. Investigasi atas mereka pun dijalankan, tapi mereka sukses

membersihkan nama mereka. Relasi keduanya pun berlanjut, namun

dihantui dengan pembunuhan yang mereka lakukan. Kecurigaan satu sama

lain dan kekhawaitran akan masa depan merasuki pikiran mereka. Ketika

akhirnya mereka bisa berdamai dengan kegelisahan eksistensial mereka,

takdir membawa keduanya kembali ke titik nol. Si perempuan mati

ditabrak mobil, dan protagonis laki-laki masuk penjara karena dituduh

membunuh perempuan pasangannya.

Kronologi cerita yang sama dipakai oleh MGM untuk adaptasi film

The Postman Always Rings Twice, dengan beberapa revisi tentunya. Seks,

yang digambarkan nyaris sadomasokistik di novel, dijinakkan hingga

menjadi ciuman saja di film. Pembunuhan juga dikuras detailnya. Dalam

novel, pembunuhan digambarkan sangat sadis dan berdarah-darah. Dalam

film, detail-detail yang tidak cocok dengan badan sensor tersebut diubah

menjadi beberapa shot yang mengalegorikan pembunuhan. Dilihat dari

Page 118: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

117

sudut pandang sekarang, The Postman Always Rings Twice versi film lebih

mengandalkan konflik psikologis ketimbang versi novelnya, yang jauh

lebih detail dalam mengeksplorasi kekerasan dan relasi seksual antar

karakternya.

2. Formasi Hubungan Sebagai Modus Naratif

Plot The Postman Always Rings Twice mempunyai alur lurus dari

awal hingga akhir film. Beberapa sumber mengatakan The Postman

Always Rings Twice beralur maju mundur, dengan alasan adegan terakhir

film menjadi retrospektif dari kejadian sepanjang film. Namun, sepanjang

progresi plot, tidak ditemukan penanda adanya perpindahan temporal dari

waktu sekarang ke masa lalu kembali lagi ke waktu sekarang, atau

sejenisnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa plot film berjalan

lurus dari awal sampai akhir, tanpa ada interupsi temporal sepanjang

progresinya. Plot The Postman Always Rings Twice terjadi dalam sudut

pandang protagonis laki-lakinya, Frank Chambers. Penandanya adalah

narasi suaranya (voice over) yang terdengar dari awal sampai akhir film.

Narasi suara Frank berisikan informasi-informasi yang tak terjelaskan

secara visual. Secara umum, narasi Frank menginformasikan penonton

perihal perubahan emosi yang terjadi di dalam dirinya, dan kondisi

hubungannya bersama Cora Smith, karakter utama perempuan dalam film.

Dalam beberapa kasus, narasi Frank memberi tahu penonton soal

perpindahan tempat yang ia alami.

Konflik film sendiri berporos pada cinta segitiga antara Frank,

Cora dan Nick, suaminya Cora. Fokus utamanya jelas hubungan antara

Frank dan Cora, dengan hubungan Nick dan Cora sebagai catatan kaki di

pertengahan awal film. Apabila dipetakan berdasarkan legalitasnya

sebagai institusi pernikahan, Nick dan Cora adalah hubungan yang sah,

sementara Frank dan Cora tidak. Keberadaan narasi Frank menjadikan The

Postman Always Rings Twice sebagai film yang memandang segala

konfliknya dari sudut pandang laki-laki, atau lebih tepatnya lagi, seorang

Page 119: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

118

laki-laki yang berada di luar institusi pernikahan. Dari sudut pandang

tersebut, konstruksi keluarga dalam The Postman Always Rings Twice

ditabrakkan antara sudut pandang orang luar dan orang dalam. Frank dan

Nick menjadi dua kutub yang berlawanan. Satu merupakan kondisi tanpa

keluarga, sementara satu lagi merupakan kondisi keluarga. Cora menjadi

bandul yang mengubah kondisi keduanya.

Apabila dibandingkan dengan susunan plot Double Inemnity dan

empat kilas baliknya, tatanan plot The Postman Always Rings Twice

hitungannya tidak memiliki penanda yang jelas. Terlalu banyak simbol

yang tidak berulang sampai akhir film, mulai dari kemunculan otoritas

hukum hingga pencahayaan Venetian blind. Satu-satunya elemen yang

berulang sampai akhir film adalah konflik ceritanya, yakni formasi

hubungan antara Frank dan Cora. Oleh karena itu, analisis akan dilakukan

berdasarkan struktur tiga babak, yang menspesifikasi perkembangan cerita

melalui konfliknya. Titik mulai konflik menjadi penanda dari akhir babak

pertama (setup), dimana protagonis mengalami kondisi dimana dia tidak

bisa lagi kembali ke kondisi di awal cerita (point of no return). Puncak

konflik (climax) menjadi penanda dari akhir babak kedua (plot

complication), dimana protagonis mengeluarkan usaha terkerasnya untuk

menyelesaikan konflik. Babak ketiga adalah resolusi (resolution), yang

menampilkan kejadian-kejadian pra dan pasca klimaks (climax), dimana

protagonis mengeluarkan usaha terbaiknya untuk menyelesaikan konflik.

Dalam kasus ini, progresi dan resolusi konflik menjadi faktor-faktor yang

menyibak konstruksi keluarga dalam The Postman Always Rings Twice.

Page 120: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

119

3. Papan Pengumuman dan Prospek Hubungan

Babak pertama film, yang berlangsung dari menit 00:00:00 sampai

00:38:23, dibuka oleh kedatangan Frank ke sebuah kota kecil (Gambar B.1

dan B.2). Protagonis datang melalui tumpangan seseorang yang ia temui di

jalan. Awalnya ia tidak tahu siapa. Dalam tiga adegan berikutnya, ia baru

tahu siapa sebenarnya orang yang dengan baik hati mengantarkannya

tersebut. Rangkaian adegan tersebut dibuka oleh kemunculan seorang

polisi bermotor, yang melintas melewati Frank. Kemudian, polisi tersebut

menghampiri mobil yang baru saja ditumpangi Frank, dengan alasan mobil

tersebut berhenti di tengah jalan (Gambar B.3). Frank melihat polisi

mengetuk jendela mobil, tapi tiba-tiba mundur teratur dengan senyum

kecut. Mobil tersebut kemudian pergi begitu saja tanpa kena sanksi apa-

apa. Ketika Frank bertanya siapa orang itu sebenarnya, polisi menjawab

kalau dia adalah jaksa wilayah (district attorney).

Ada dua hal yang dapat dibaca dari rangkaian adegan pembuka di

atas, dan semuanya berkaitan dengan jejaring aparat hukum yang nantinya

Gambar B.1 Gambar B.2

Gambar B.3 Gambar B.4

Page 121: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

120

akan dihadapi protagonis. Pertama, kehadiran protagonis di dalam cerita

adalah konsekuensi dari kebaikan seorang aparat hukum. Eksistensi

protagonis tidak berdasarkan pada usahanya sendiri, tapi pada seseorang

yang sudah mengetahui „aturan main‟ dari tempat asing yang didatangi

protagonis tersebut. Kedua, ada hukum tersendiri bagi warga sipil dan

aparat hukum. Polisi mendatangi mobil jaksa karena pemahamannya soal

peraturan yang berlaku bagi warga sipil, yakni dilarang berhenti di tengah

jalan. Namun, setelah mengetahui bahwa yang dihadapi adalah seorang

jaksa wilayah, polisi membiarkannya lewat begitu saja. Hukum sejak awal

film digambarkan korup, dan penuh celah-celah yang dapat dieksploitasi

oleh mereka yang punya kuasa. Kedua hal tersebut akan dielaborasi lagi

seiring berkembangnya plot, namun pada titik ini penonton belum tahu apa

signifikansinya bagi protagonis.

Setelah menyorot aparat hukum dan segala relasi mereka, film

berfokus pada Twin Oaks, sebuah rumah makan dekat tempat Frank

diturunkan. Depan rumah makan tersebut, ada sebuah papan putih

bertuliskan MAN WANTED (Gambar B.4). Tulisan tersebut, dalam

perkembangan di adegan-adegan berikutnya, mengkonotasikan dua relasi.

Pertama, relasi profesional antara Frank dan Nick. MAN WANTED dalam

kasus ini berarti merujuk pada kekurangan pegawai di rumah makan. Hal

ini yang secara gamblang ditunjukkan dalam film. Setelah menyaksikan

kejadian antara polisi dan jaksa wilayah, Frank berjalan mendekati Twin

Oaks. Dari dalam rumah makan, tiba-tiba keluar seorang pria tua

menghampiri Frank. Dia adalah Nick, pemilik Twin Oaks. Nick mengajak

Frank masuk dan dengan senang hati menawarkan pekerjaan ke Frank.

Nick menjelaskan sistem kerja di Twin Oaks, yang ternyata juga adalah

rumah pribadi Nick.

Relasi Frank dan Nick kemudian berlangsung dalam kerangka

yang materialistik. Karakteristik tersebut terlihat dari terminologi-

terminologi yang terkandung dalam dialog Nick. Dalam adegan menit

00:06:02 sampai 00:06:37, Nick menolak permintaan istrinya untuk

Page 122: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

121

memecat Frank tanpa alasan. Menurut Nick, Frank adalah seorang pekerja

yang baik, karena ia rela dibayar murah dan tidak memerlukan biaya hidup

yang besar. Dalam adegan yang sama, terjelaskan juga karakterisasi Nick,

yakni laki-laki perhitungan yang melihat segalanya dalam neraca untung

dan rugi. Karakterisasi ini nantinya akan berpengaruh besar pada

konstruksi keluarga dalam The Postman Always Rings Twice.

Relasi kedua yang dikonotasikan oleh papan MAN WANTED

adalah relasi seksual antara Frank dan Cora. Hal ini yang tidak

digambarkan secara gamblang dalam film. Ada tiga sekuens adegan yang

menjadi petunjuk dari relasi tersebut, dan kedua adegan tersebut saling

melengkapi satu sama lain. Petunjuk pertama ada pada sekuens di menit

00:04:07 sampai 00:05:37. Sekuens tersebut dibuka dengan medium shot

sebuah lipstik putih yang tergulir di lantai, kemudian kamera bergerak ke

atas memperlihatkan kaki seorang perempuan (Gambar B.5 dan B.6).

Kamera kemudian menyorot wajah Frank yang terkesima, lalu cut ke shot

seluruh tubuh perempuan tersebut. Sambil berkaca, perempuan tersebut

mengulurkan tangannya, meminta kembali lipstiknya (Gambar B.7). Frank

hanya diam saja, melihat perempuan tersebut sambil tersenyum. Si

Gambar B.5 Gambar B.6

Gambar B.7

Page 123: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

122

perempuan kesal, berjalan menghampiri Frank, mengambil lipstiknya, lalu

pergi menutup pintu.

Sekuens adegan di atas menjadi perkenalan Frank dan karakter

perempuan utama, yang nantinya memperkenalkan diri sebagai Cora

Smith. Frank awalnya tidak tahu apa-apa tentang Cora, kecuali

kecantikannya dan keberadaannya di Twin Oaks. Baru beberapa menit

setelah adegan perkenalan mereka, Frank mengetahui bahwa Cora adalah

istri Nick. Setelah mengetahui status Cora, penonton dapat memetakan

posisi Frank di Twin Oaks. Sebagai pemilik bisnis dan kepala rumah

tangga, Frank telah mengamini satu orang asing ke dalam lingkungan yang

sejatinya privat. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Twin Oaks

adalah sebagian dari rumah pribadi Nick. Keberadaan Frank di Twin Oaks

menjadi semacam intrusi di tengah institusi keluarga, yang sudah ada sejak

awal film.

Intrusi Frank pada keluarga Nick dan Cora memperoleh

momentum pada sekuens adegan di menit 00:07:04 sampai 00:09:39. Pada

sekuens tersebut, Cora memerintah Frank untuk mengecat seluruh kursi di

Twin Oaks. Frank meresponsnya dengan ogah-ogahan. Di akhir sekuens,

keduanya berdiri cukup dekat, sehingga Frank dapat mencium Cora secara

tiba-tiba. Cora meresponsnya dengan muka datar, sembari membersihkan

mulutnya dan memoles lipstik pada bibirnya. Sebelum ciuman tersebut

terjadi, Frank menuduh Cora bahwa pernikahannya hanyalah cara bagi

Cora untuk mengumpulkan uang, dan Cora sebenarnya tidak mencintai

Gambar B.8 Gambar B.9

Page 124: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

123

Nick. Pada titik ini, asumsi Frank menjadi semacam diskursus perihal

konstruksi keluarga di The Postman Always Rings Twice. Dalam kapasitas

tertentu, asumsi Frank memainkan harapan penonton tentang kejadian-

kejadian yang mungkin terjadi di adegan-adegan berikutnya.

Sekuens adegan ketiga, yakni antara menit 00:12:20 sampai

00:15:40, melengkapi gambaran relasi seksual yang disiratkan oleh papan

MAN WANTED. Sekuens adegan tersebut dimulai dengan perayaan Nick

akan papan baru restorannya. Nick minum anggur dan menyanyi

sendirian. Ketika Frank mengajukan diri untuk berdansa dengan Cora,

Nick mengiyakan. Dia malah menyiapkan ruang yang ideal bagi Cora dan

Frank untuk berdansa (Gambar B.8 dan B.9). Cora merasa canggung

berdansa dengan Frank, dan tiba-tiba menghentikan segalanya. Cora malah

mengajak suaminya untuk pergi ke pantai dan berenang malam-malam.

Nick menolak. Dia memilih untuk merayakan papan baru restorannya

sendirian, dan mengijinkan Frank untuk menemani istrinya. Pada titik ini,

terlihat absensi Nick dalam perannya sebagai suami. Dilihat dari sudut

pandang tersebut, MAN WANTED berarti kekurangan figur laki-laki

sebagai pasangan bagi Cora. Sampai adegan tersebut, Nick tidak pernah

terlihat berperan sebagai suami bagi Cora, melainkan sebagai pemilik

bisnis Twin Oaks. Nick lebih peduli pada neraca untung-rugi ketimbang

istrinya sendiri.

Asumsi Frank perihal pernikahan Cora dan Nick sampai kapasitas

tertentu terbukti. Pembuktian tersebut ditegaskan oleh ciuman kedua

mereka, yang terjadi pada menit 00:18:00. Ciuman tersebut terjadi setelah

Cora dan Frank pulang dari pantai. Mereka turun dari mobil, lalu tiba-tiba

pintu rumah terbuka, dan keluarlah Nick. Suaminya mengira Cora adalah

pelanggan yang mau beli makan. Setelah mengetahui ternyata yang datang

itu istrinya, Nick kembali masuk tanpa mengucapkan apa-apa. Cora

depresi, Frank menciumnya, dan penonton pun untuk pertama kalinya

melihat ada simbiosis mutalisme di antara mereka berdua. Cora mencari

pasangan laki-laki yang selama ini absen, sementara Frank mendapatkan

Page 125: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

124

perhatian perempuan yang selama ini ia kejar. Terciptalah relasi afektif

antara Frank dan Cora, yang tentu saja illegal di hadapan ikatan

pernikahan Nick dan Cora. Usaha untuk mempertahankan relasi illegal

tersebut yang menjadi konflik dari The Postman Always Rings Twice.

Hubungan terlarang Frank dan Cora berujung pada sekuens adegan

rencana pembunuhan di menit 00:30:44 sampai 00:35:07. Rencana

pembunuhan tersebut adalah serangan paling konkrit terhadap institusi

keluarga yang dilaksanakan Frank dan Cora. Sebelumnya, keduanya

mencoba lari dari Twin Oaks ke kota lain di menit 00:21:21 sampai

00:24:40 (Gambar B.10). Masalahnya, di tengah jalan, Cora

mengurungkan niatnya karena keinginannya mewarisi Twin Oaks dan

mengelolanya hingga sukses. Cora masih teringat akan keluarga yang ia

miliki karena alasan finansial, tidak ada bedanya dengan Nick. Frank dan

Cora pun kembali dan merencanakan pembunuhan Nick. Pembunuhan

tersebut rencananya dilaksanakan di rumah sendiri, ketika Nick sedang

mandi. Asumsi Cora: apabila ada kematian terjadi di lingkungan rumah,

maka orang akan menganggapnya sebagai kecelakaan atau kesialan.

Investigasi aparat hukum dapat dengan mudah diakali, dan Frank serta

Cora dapat mencuci tangannya bersih dari tindakan kriminal yang baru

saja mereka lakukan. Cora pun merencanakan rencana pembunuhan Nick,

sementara Frank bertugas sebagai pengawas saat rencana tersebut

dijalankan. Cora pada titik ini membingkai dirinya sebagai femme fatale di

hadapan penonton. Dia adalah satu-satunya perempuan yang punya

rencana dan berani mengambil inisiatif untuk kepentingannya sendiri.

Gambar B.10

Page 126: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

125

Frank dan Cora menjalankan pembunuhannya pada menit 00:35:04

sampai 00:38:23. Rencana mereka sejatinya gagal karena dua intervensi:

polisi patroli yang kebetulan lewat, dan seekor kucing yang tidak sengaja

menyenggol sekering Twin Oaks, sehingga menyebabkan mati lampu.

Nick tidak mati, tapi hanya tidak sadarkan diri, karena tersandung waktu

mencoba keluar dari bak rendam pas mati lampu. Meski begitu, plot telah

mencapai kondisi yang tidak mungkin dibalik lagi oleh Frank dan Cora

(point of no return). Keduanya tidak bisa lagi kembali ke keadaan awal,

karena kecelakaan Nick di luar dugaan melibatkan saksi mata seorang

aparat hukum. Frank dan Cora kini harus menjaga diri mereka masing-

masing, kalau-kalau aparat hukum mengendus rencana mereka

sebenarnya.

4. Dua Konteks Hubungan Protagonis

Babak kedua, yang berlangsung dari menit 00:38:24 sampai

01:47:17, berfungsi sebagai komplikasi plot (plot complication). Babak ini

mengambil porsi terbesar dari naratif The Postman Always Rings Twice,

mengingat di dalamnya terjadi dua kali pelapisan konteks pada konflik

cerita, yang masing-masing pada perkembangannya membingkai relasi

Frank dan Cora dalam makna-makna tertentu. Seperti yang sudah

dijelaskan sebelumnya, konflik The Postman Always Rings Twice adalah

usaha Frank dan Cora mempertahankan relasi illegal mereka, yang terjadi

di luar ikatan pernikahan Nick dan Cora. Konteks pertama adalah hukum.

Kecelakaan Nick dicurigai oleh polisi dan jaksa wilayah di awal film, yang

pada menit 00:38:50 memperkenalkan diri sebagai Sackett. Namun, berkat

kucing yang mati akibat menginjak sekering di Twin Oaks, Frank dan

Cora sukses mencuci tangannya dari rencana pembunuhan yang mereka

lakukan. Nick sembuh dan Frank pun memilih pergi dari Twin Oaks.

Masalahnya, Nick sukses menemukan Frank dan membawanya

kembali ke Twin Oaks. Frank bertemu lagi dengan Cora, dan

merencanakan pembunuhan Nick sekali lagi. Mereka berhasil, tapi Frank

Page 127: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

126

turut menjadi korban, sehingga ia harus dirawat di rumah sikit. Pada titik

ini, hubungan Frank dan Cora mendapat sorotan yang intens dari aparat

hukum. Lebih spesifiknya, Sackett dan seorang pengacara bernama

Arthur. Keduanya menjadikan relasi illegal Frank dan Cora sebagai

taruhan profesi mereka. Pada adegan menit 01:09:15, Sackett bertaruh

dengan Arthur sebesar $100 bahwa dia dapat membuktikan bahwa Cora

bersalah (Gambar B.11). Sackett yakin Frank tidak terlibat dalam

pembunuhan Nick, dan hanyalah korban dari rencana yang dirumuskan

oleh Cora. Arthur menyanggupi tantangan Sackett, dan bersiap

membuktikan bahwa Frank juga terlibat dalam pembunuhan Nick.

Dalam konteks hukum, relasi Frank dan Cora dikuras muatan

afektifnya, dan direndahkan menjadi pion dari permainan catur para aparat

hukum. Potensi kondisi keluarga di antara Frank dan Cora terlupakan

sejenak, mengingat keduanya dipermainkan oleh Sackett dan Arthur

sedemikian rupa, sehingga mereka saling mencurigai satu sama lain. Frank

dan Cora tidak lagi punya kuasa atas prospek hubungan mereka ke depan.

Hal tersebut terlukiskan dalam sekuens adegan antara menit 01:12:45 dan

01:19:57. Selama tujuh menit tersebut, Arthur menjelaskan pada Frank

dan Cora bahwa, dengan jabatannya seorang jaksa wilayah, Sackett

sengaja menekan Frank untuk tidak mempercayai Cora. Di sisi lain, Arthur

juga mengakui bahwa dia menipu Cora untuk membuat pengakuan, agar

dia bisa mengalahkan Sackett dalam taruhan mereka.

Sekuens adegan di atas juga menunjukkan bahwa hukum terlalu

korup untuk benar-benar membela kepentingan masyarakat. Hukum hanya

Gambar B.11

Page 128: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

127

berpihak pada mereka yang punya kuasa, di mana kekuasaan tersebut

berasal dari pemahaman tentang celah-celah yang ada di sistem hukum.

Frank dan Cora tidak memiliki wawasan tersebut, sementara Sackett dan

Arthur punya. Keluarga atau setidaknya keinginan untuk berkeluarga

menjadi sesuatu yang sia-sia di hadapan hukum. Intervensi hukum terlalu

kuat dan merampas kemampuan individu dalam berinisiatif. Kondisi

keluarga antara Frank dan Cora diharuskan sesuai dengan hukum yang

berlaku, yang para penegaknya juga tidak lebih baik moralitasnya dari

Frank dan Cora.

Konteks kedua adalah kegelisahan eksistensial Frank dan Cora.

Konteks ini mulai muncul ketika konflik film, yang tadinya berada di

tangan hukum, kembali lagi ke masing-masing individu. Frank dan Cora

harus mengatasi kecurigaan mereka terhadap satu sama lain, untuk

memperbaiki potensi kondisi keluarga yang ada di awal hubungan mereka.

Rekontekstualisasi tersebut dipantik sejak sekuens di menit 01:24:46

sampai 01:27:26. Dalam sekuens tersebut, terkronologikan kembalinya

Frank dan Cora ke Twin Oaks, setelah Arthur menang melawan Sackett di

pengadilan. Pada akhir sekuens tersebut, terjadi perdebatan panjang antara

Frank dan Cora. Cora ingin mengelola Twin Oaks sendirian, dan tidak

peduli dengan apapun yang Frank akan lakukan. Frank di sisi lain tidak

ingin pergi ke mana-mana, dan berniat menetap bersama Cora di Twin

Oaks. Cora hanya mau menerimanya, asalkan Frank berperan sebagai

karyawannya, bukan sebagai pasangannya.

Relasi Frank dan Cora berubah dari relasi seksual ke relasi

profesional. Perubahan tersebut dipantik oleh kegelisahan eksistensial

masing-masing, dimana Frank merasa dirinya pantas menuai haknya

sebagai pasangan Cora, sementara Cora sudah tidak lagi percaya dengan

Frank sejak interaksi mereka di pengadilan. Terlihat ada kontras di antara

pendefinisian mereka terhadap satu sama lain. Frank tidak mereduksi Cora

sebagai titik nol, dan tetap memperhitungkan masa lalu yang telah mereka

lalui bersama. Di sisi lain, Cora tidak lagi menganggap masa lalunya

Page 129: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

128

bersama Frank, dan mendefinisikan ulang hubungannya dengan Frank

sebagai relasi profesional. Di mata Cora, Frank adalah titik nol yang harus

membuktikan dirinya lagi, melalui kinerjanya sebagai karyawan Twin

Oaks. Harapan akan terciptanya kondisi keluarga di antara Frank dan Cora

terletak pada tawar-menawar di antara keduanya. Dalam perspektif ini,

cikal bakal kondisi keluarga antara Frank dan Cora merupakan sebuah

transaksi kebutuhan.

Transaksi kebutuhan antara Frank dan Cora semakin ditekankan

pada adegan menit 01:28:49 sampai 01:29:15. Dalam adegan tersebut,

Arthur kembali datang memperingatkan Frank dan Cora, kalau Sackett

akan mengajukan komplain legal atas status mereka berdua. Keduanya

tinggal seatap tanpa sertifikat pernikahan, dan Sackett siap menuntut

mereka. Dalam adegan selanjutnya, Cora mengadakan pernikahan palsu

dengan Frank, hanya demi mencegah serangan legal Sackett. Usai prosesi

pernikahan dijalankan, Cora dengan santai bilang bahwa dia akan

membingkai sertifikat pernikahannya dengan Frank di sebelah lisensi ijin

menjual minuman keras milik Twin Oaks. Asosiasi pernikahan dengan

kebutuhan finansial dalam The Postman Always Rings Twice pun semakin

tajam tercipta.

Tensi di antara Frank dan Cora mendadak menurun ketika Cora

mendapat kabar kematian ibunya. Cora kembali ke kampung halamannya

untuk berkabung, sementara Frank melampiaskan kekesalannya pada Cora

dengan jalan-jalan bersama perempuan lain. Kematian ibunya membuat

Cora lebih relaks dengan Frank, dan lebih menerima Frank dalam

kehidupannya. Hal tersebut terlihat dalam sekuens di menit 01:35:00

sampai 01:40:33. Ketika itu, anak buah Arthur kembali mendatangi Twin

Oaks untuk memeras Frank dan Cora, sembari mengancam ia akan

membeberkan seluruh bukti pembunuhan Nick ke Sackett. Di luar dugaan,

Frank dan Cora bisa bekerja sama mengatasi anak buah Arthur. Di satu

sisi, kejadian tersebut menunjukkan bahwa kebetulan kebutuhan Frank dan

Cora sama, yakni menghindari jeratan hukum untuk kedua kalinya,

Page 130: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

129

sehingga mereka dapat klop bekerja sama. Kekompakan mereka terbentuk

karena kebutuhan masing-masing, bukan karena kecintaan satu sama lain.

Namun, dalam adegan selanjutnya, Cora terlihat gundah, karena dia tidak

yakin akan nilai dirinya di hadapan Frank. Cora mengandung bayi Frank,

dan dia merasa tidak layak hidup dalam kepura-puraan sebagai pasangan

Frank. Kegelisahan Cora inilah yang menandakan bahwa relasi keduanya

sudah beranjak dari profesional dan kembali ke afektif.

Klimaks cerita pun terjadi pada adegan di menit 01:46:20,

beberapa menit setelah Cora mengakui kalau dirinya mengandung.

Sebelum adegan tersebut, Cora dan Frank kembali ke pantai dan berenang

ke tengah laut. Di tengah laut tersebut, Cora menyerahkan dirinya

sepenuhnya pada Frank. Cora terlalu lelah untuk berenang kembali ke

pantai. Dia pun meminta Frank untuk mengambil pilihan: meninggalkan

dirinya sendirian di tengah laut, atau membopongnya kembali ke garis

pantai. Frank melakukan yang kedua. Mereka mengakui satu sama lain

kembali, dan mencapai kondisi keluarga yang mereka harapkan di awal

hubungan mereka.

5. Interpretasi Kegagalan Hubungan Protagonis

Babak ketiga film, yang berlangsung dari menit 01:47:18 sampai

01:52:50, berisikan tiga kejadian yang terjadi dalam tiga lokasi. Ketiga

kejadian tersebut membentuk sebuah rangkaian yang tidak saja mengakhiri

film, tapi juga mengakhiri hubungan Frank dan Cora secara tiba-tiba, tepat

ketika hubungan keduanya mulai membaik. Kejadian pertama adalah

sekuens adegan tabrakan mobil dari menit 01:47:18 sampai 01:48:29.

Tabrakan tersebut terjadi setelah Frank dan Cora dalam perjalanan pulang

dari pantai ke Twin Oaks. Dalam perjalanan, Frank bilang tidak sabar

ingin mencium Cora, tapi siap menunggu sampai balik ke rumah. Namun,

ketika Frank sedang melihat Cora, mobil mereka menabrak mobil lain.

Frank selamat tapi Cora tewas seketika. Kematian Cora digambarkan

melalui medium shot tangannya yang tergeletak, dan lipstik yang bergulir

Page 131: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

130

jatuh dari genggamannya (Gambar B.12 dan B.13). Lipstik tersebut adalah

lipstik yang sama ketika Frank pertama kali bertemu dengan Cora.

Kejadian kedua adalah pengadilan Frank di sekuens menit

01:48:38 hingga 01:48:46, sekuens terpendek di babak ketiga. Dalam

sekuens tersebut, terlihat Sackett mencoba meyakinkan juri bahwa

kematian Cora bukanlah kecelakaan, tapi pembunuhan yang sudah

direncanakan Frank. Menurut Sackett, Frank berniat menguasai Twin

Oaks sendirian. Sekuens tersebut langsung membaur ke sekuens

berikutnya di penjara, yang berlangsung dari menit 01:48:47 sampai film

habis. Dalam sekuens tersebut, terlihat Frank mengaku dosa ke seorang

pendeta, dan berharap Cora di surga sana paham bahwa ia tidak pernah

berniat membunuhnya (Gambar B.14). Sackett kemudian masuk dan

mengatakan bahwa kali ini dia tidak dapat membantu Frank (Gambar

B.15). Kalaupun Frank bebas, dia harus kembali lagi ke penjara karena

keterlibatannya dalam pembunuhan Nick. Frank mau tak mau harus

menghadapi hukuman mati. Kondisi Frank yang tidak mungkin bebas

Gambar B.12 Gambar B.13

Gambar B.14 Gambar B.15

Page 132: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

131

tergambar dari bayangan jeruji penjara yang mendominasi kedua adegan

tersebut.

Ketiga sekuens di babak ketiga menyiratkan adanya lingkaran

takdir yang menghantui Frank dan Cora. Secara tragis, Cora tewas tepat

ketika ia mencapai kondisi yang kondusif dalam hubungannya bersama

Frank. Secara tragis juga, Frank dihukum mati atas kejahatan yang dia

tidak lakukan. Kematian keduanya bisa dibaca dalam dua perspektif.

Pertama, kematian mereka menjadi penebus dari pembunuhan Nick, yang

mereka berhasil tutup dengan berbagai cara. Nyawa Nick dibayar dengan

nyawa mereka sendiri. Pembacaan ini secara ekstrem moralis dan

menempatkan karakter-karakter dalam relasi mata-ganti-mata yang

simplisistis. Apabila diwujudkan ke dalam sebuah alegori, pembacaan ini

dapat dibayangkan sebagai sebuah neraca, di mana Frank dan Cora berada

di satu sisi, dan Nick di sisi lainnya. Pembunuhan Nick memberatkan

posisi Frank dan Cora, sehingga neraca bergerak ke arah mereka.

Kematian keduanya di akhir film menjadikan neraca kembali seimbang,

dan tidak menyisakan siapapun. Semuanya impas di tangan takdir.

Pembacaan kedua adalah melihat kematian protagonis sebagai

pertanda bahwa basis moral hubungan keduanya tidak sah secara legal.

Dibanding pembacaan pertama, pembacaan kedua menarik asosiasi yang

lebih kompleks perihal kematian protagonis. Asosiasi yang dinalar adalah

asosiasi antara pembunuhan Nick dan implikasinya terhadap Frank dan

Cora. Sejak awal Frank dan Cora sudah salah dan dianggap membangkang

di mata hukum. Alasan kenapa Frank tidak bisa keluar dari penjara, dan

tidak bisa menawar hukuman mati, adalah karena tindakan kriminal yang

ia lakukan supaya bisa bersama Cora, yakni membunuh Nick.

Pembunuhan itu juga yang menjadi titik awal berkembangnya hubungan

Frank dan Cora, dan mendefinisikan hubungan keduanya sepanjang

progresi plot film. Singkatnya, pembunuhan Nick menjadi fondasi dari

hubungan Frank dan Cora. Fondasi tersebut salah dan pada akhirnya

tercium juga oleh hukum, dan konsekuensinya hubungan Frank dan Cora

Page 133: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

132

pada akhirnya harus selesai juga. Kematian Frank dan Cora menjadi

konsekuensi moral dari romantika keduanya yang melenceng secara legal.

C. Kiss Me Deadly (1955)

1. Latar Belakang Historis

Kiss Me Deadly sejatinya merupakan satu bagian dari serial

petualangan seorang detektif bernama Mike Hammer, yang ditulis oleh

Mickey Spillane. Total ada 15 novel Spillane yang menceritakan tindak

tanduk Hammer di dunia kriminal. Petualangan Hammer pertama kali

dinikmati publik Amerika Serikat dalam novel I, The Jury, yang dirilis

pada tahun 1947.148

Lanjutannya, My Gun is Quick, baru terbit pada tahun

1950. Novel tersebut menjadi awal dari periode produktif Spillane di awal

50-an. Sampai tahun 1952, Spillane menerbitkan empat novel petualangan

Hammer lainnya: Vengeance is Mine!, One Lonely Night, The Big Kill

dan Kiss Me Deadly. Banyaknya novel petualangan Hammer yang dirilis

di awal dekade 50-an membuat publik Amerika familiar dengan karakter

detektif tersebut. Saking populernya, Hammer diadaptasi menjadi sebuah

serial radio oleh Mutual Broadcasting System. Serial tersebut dinamai The

Hammer Guy, dan berlangsung selama dua tahun, dari 1952 sampai 1954.

Ketenaran Hammer pun semakin memuncak.

Dalam sejarah fiksi kriminal di Amerika, Mike Hammer bukanlah

karakter detektif pertama yang menjadi bagian dari budaya pop

masyarakat Amerika. Sebelumnya, ada Philip Marlowe dan Sam Spade.

Marlowe adalah hasil kreativitas Raymond Chandler.149

Karakter tersebut

muncul pertama kalinya di novel The Big Sleep tahun 1939, dan terakhir

kalinya di Playback tahun 1958. Dalam periode 29 tahun tersebut, cerita

petualangan Marlowe sudah diadaptasi jadi enam film layar lebar dan

enam serial radio. Spade malah muncul lebih dulu dari Marlowe. Dia

sudah ada sejak tahun 1930 lewat novel The Maltese Falcon karya

148

Rita Elizabeth Rippetoe. Booze and the Private Eye: Alcohol in the Hard-Boiled Novel. North

Carolina: McFarland & Company, 2004, hal. 67. 149

Ibid., hal. 134.

Page 134: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

133

Dashiell Hammett. Sejak kemunculan pertamanya hingga tahun 1941,

petualangan Spade berlanjut dalam tiga cerita pendek dan tiga film

panjang. Salah satu film tersebut adalah The Maltese Falcon tahun 1941,

yang dianggap para sejarawan film sebagai film noir pertama.

Kesuksesan Marlowe dan Spade di satu sisi menyiapkan audiens

bagi kehadiran Hammer, yang hadir kurang lebih satu dekade setelahnya.

Di sisi lain, Marlowe dan Spade menunjukkan transisi selera masyarakat

Amerika, dari dekade 40-an ke dekade 50-an.150

Marlowe dan Spade

menjadi idola pembaca Amerika pada jamannya karena idealisme kedua

karakter tersebut. Sebagai seorang detektif, Spade banyak melihat korupsi

dan kebusukan di lapangan kerjanya. Namun, Spade menghadapinya

dengan logika, kepala dingin, dan keteguhan moral. Spade mampu

menjaga integritasnya di hadapan masyarakat yang sedang mengalami

kemerosotan. Marlowe sama saja, walau pembawaannya cenderung keras

dan tanpa tedeng aling-aling. Di sela-sela profesinya sebagai seorang

detektif, Marlowe banyak berkontemplasi soal kehidupan, main catur, dan

baca puisi. Marlowe memiliki kekuatan mental dan aspirasi artistik

tersendiri, walau profesinya mengharuskannya berhadapan dengan

karakter-karakter yang keji moralitasnya.

Karakterisasi Marlowe dan Spade cocok dengan pembaca Amerika

tahun 1930-an dan awal 1940-an. Dalam periode tersebut, Amerika

sedang mengalami depresi ekonomi besar-besaran. Kelas-kelas pekerja

kehilangan lapangan pekerjaan mereka. Kelas menengah dan atas

kehilangan pasar untuk memutar uang dari modus produksi yang mereka

miliki. Kesejahteraan masyarakat turun drastis, sementara standar hidup

naik sama drastisnya. Dirudung dengan masalah yang begitu besar,

masyarakat Amerika kehilangan harapan dan kemampuannya untuk

berharap. Di jaman yang pesimis tersebut, Marlowe dan Spade dapat

merebut hati pembacanya. Kedua karakter tersebut menunjukkan bahwa

150

Tzvetan Todorov. The Poetics of Prose. Ithaca: Cornell UP, 1977, hal. 42-52.

Page 135: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

134

integritas pribadi dapat terjaga, walau lingkungan sekitar menyajikan

realita yang sebaliknya.

Hammer datang di akhir tahun 40-an, waktu Amerika sudah

mengatasi depresi ekonominya. Perekonomian negara sedang bagus-

bagusnya waktu itu, di mana lapangan pekerjaan menghasilkan

penghidupan yang berlebih bagi kebutuhan sehari-hari masyarakat.

Masalahnya, seperti yang sudah dijelaskan di bab-bab sebelumnya,

masyarakat terlalu lelah mengikuti tuntutan untuk bertahan di persaingan

ekonomi pasca perang. Para suami lelah harus terus-menerus kerja, dan

para istri bosan menunggui rumah. Keduanya menginginkan kebebasan

dari rutinitas sehari-hari mereka, namun tidak bisa karena tekanan dan

tuntutan sosial yang mereka hadapi. Melalui karakterisasinya sebagai

detektif yang menyelesaikan perkara dengan caranya sendiri, Hammer

mewakili kebebasan eksistensial masyarakat Amerika yang terkekang

oleh tekanan dan tuntutan sosial. Hammer tidak segan-segan

menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Dalam setiap

cerita petualangannya, musuh minimal muntah-muntah kesakitan setiap

dipukulnya. Paling parahnya, meninggal dunia dengan badan hancur,

sehingga tidak bisa dikenali lagi oleh aparat hukum. Menariknya,

Hammer diceritakan tetap dapat hidup sesuai keingannya, walau

metodenya tidak direstui moralitas lingkungannya dan terbukti merusak

kehidupan orang-orang di sekitarnya. Hammer adalah tuhan di semesta

dunia kriminalnya.

Popularitas dan familiaritas masyarakat Amerika terhadap Mike

Hammer yang membuat studio United Artists berani memproduksi Kiss

Me Deadly. Apalagi, setelah siaran radio cerita petualangan Hammer usai

di tahun 1954, tidak ada media yang melanjutkan adaptasi novel-novelnya

Mike Hammer. Adaptasi layar lebar menjadi strategi yang potensial bagi

United Artists, karena tidak ada saingan yang membelah perhatian para

penggemar Hammer. Belum lagi, pada dekade 50-an, masyarakat

Amerika sudah terbiasa dengan sajian drama kriminal di layar lebar. Film

Page 136: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

135

noir telah meresap di kesadaran kolektif masyarakat Amerika, sampai

pada titik dimana orang merasa aneh kalau tidak ada film noir di bioskop.

Berkat penonton yang mulai terbiasa tersebut, studio-studio film dapat

merilis film noir dan mengharapkan pendapatan yang minimal bisa

menutupi biaya produksi. Berdasarkan pemahaman mereka akan pasar

film noir, United Artists memberi lampu hijau untuk produksi Kiss Me

Deadly. Ada dua kelompok penonton yang United Artists bisa eksploitasi

lewat Kiss Me Deadly: penggemar Mike Hammer dan penonton film noir.

Dalam mengadaptasi novel Kiss Me Deadly, United Artist

mengontrak A. I. Bezzerides untuk menerjemahkan bahasa verbal

menjadi bahasa audiovisual. Bezzerides adalah seorang penulis naskah

yang sebelum Kiss Me Deadly sudah punya kredit atas lima naskah film,

yakni They Drive By Night (1940), Desert Fury (1947), Thieves’ Highway

(1949), On Dangerous Ground (1952) dan Track of the Cat (1954). Tiga

dari lima naskah tersebut merupakan naskah film noir, namun hanya dua

yang akhirnya diproduksi jadi film noir. Berkat pengalamannya,

Bezzerides tahu apa saja yang ia perlu lakukan untuk menghindari

cegatan lembaga sensor.

Ada dua keputusan yang ia ambil, yang nantinya akan

mempengaruhi aspek formal dari film Kiss Me Deadly. Pertama,

karakterisasi ulang Mike Hammer. Di novel, Hammer digambarkan keras

dan tidak segan menggunakan kekerasan tanpa alasan. Untuk film,

Bezzerides mendesain ulang Hammer sebagai detektif swasta yang

oportunis, yang siap mengambil kasus apapun, asalkan ada keuntungan

finansial yang bisa ia raup. Sifat oportunis tersebut Bezzerides tambahkan

agar kekerasan Hammer terlihat lebih manusiawi di hadapan lembaga

sensor. Kekerasan Hammer versi novel tidak bisa diterima oleh lembaga

sensor, karena secara moral berseberangan dari visi lembaga sensor, dan

kekerasan Hammer tidak pernah dalam cerita tidak pernah bisa

terhentikan. Lembaga sensor mengkhawatirkan karakterisasi Hammer

versi novel akan membentuk pesan moral yang buruk, yang menyatakan

Page 137: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

136

bahwa kekerasan individual itu absolut dan tidak dapat dihentikan dengan

cara apapun. Sebaliknya, kekerasan dengan motif finansial, walau secara

moral juga berseberangan dari visi lembaga sensor, dapat diselesaikan

dengan resolusi yang logis dalam cerita. Resolusi tersebut yang kemudian

dapat dipakai lembaga sensor untuk menyampaikan pesan ideologis

apapun yang ingin mereka sampaikan.

Perubahan kedua yang Bezzerides lakukan adalah menambahkan

bom atom sebagai motif cerita (plot device). Dalam novel Kiss Me

Deadly, sama sekali tidak ada referensi bom atom. Bezzerides sengaja

menambahkannya agar memastikan konflik yang Hammer hadapi tidak

mungkin dilewati dengan tangan manusia belaka, dan sampai kapasitas

tertentu menyudahi perdebatan soal moralitas Hammer. Di satu sisi,

modifikasi Bezzerides bersifat teknis. Di hadapan ancaman bom atom,

manusia tidak lagi terpengaruh oleh kegelisahan moral, tapi kegelisahan

spesies. Sederhananya, orang tidak lagi peduli mana yang benar dan salah,

asalkan dia selamat. Hal ini memberi Bezzerides daya tawar tersendiri di

hadapan lembaga sensor, kalau-kalau modifikasi pertamanya tidak

meloloskan naskah Kiss Me Deadly ke status layak produksi.

Di sisi lain, modifikasi Bezzerides berkaitan erat dengan lanskap

sosial jamannya. Bom atom secara efektif menggambarkan iklim politik

tahun 50-an, yang didominasi oleh paranoia perang nuklir. Semua orang

merasa terancam dengan perang nuklir, yang menurut rumor bisa terjadi

kapan saja. Karena keterkaitannya dengan lanskap sosiol-politik

jamannya, referensi bom atom dalam naratif Kiss Me Deadly menjadi

faktor tersendiri yang mempengaruhi konstruksi keluarga dalam film

tersebut.

2. Bom Atom, Naratif Nihilis dan Relasi Protagonis

Ditilik dari strukturnya, Kiss Me Deadly adalah sebuah fiksi

petualangan dengan protagonis Mike Hammer. Menurut Don

D‟Ammassa, fiksi petualangan terdefinisikan oleh progresi plotnya yang

Page 138: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

137

terjadi di luar kehidupan sehari-hari protagonisnya, dengan bahaya

sebagai antagonis tetapnya.151

Kiss Me Deadly memenuhi standar

D‟Ammassa tersebut. Dalam film, Mike Hammer diceritakan berprofesi

sebagai detektif swasta yang mengusut kasus-kasus pernikahan, yang

skala dan bayarannya sangat kecil. Pertemuannya dengan Christina

membawa Hammer keluar dari rutinitas profesinya, dan mencoba

mengusut mister di balik kematian Christina yang tiba-tiba. Usut punya

usut, kematian Christina terkoneksi dengan campur tangan sejumlah

pihak, yang saling berkonspirasi menjaga keberadaan dan kerahasiaan

bom atom di tanah Amerika. Dalam petualangannya tersebut, Hammer

berkali-kali terancam dibunuh, karena dia dianggap mengusik proyek

rahasia negara.

Kunci dari naratif Kiss Me Deadly adalah adegan protagonis

menemukan bom atom di akhir petualangannya. Adegan tersebut

mendefinisikan keseluruhan naratif film dan mengerucutkannya ke arah

nihilis. Referensi bom atom dalam adegan tersebut merujuk pada

kehancuran absolut, yang tidak mungkin terhindar oleh siapapun.

Konsekuensinya: pencapaian dan relasi karakter tidak berarti apa-apa,

mengingat pada akhirnya mereka akan hancur oleh sebuah bencana besar

yang berada di luar kendali mereka. Nihilisme tesebut menutup setiap

celah dalam Kiss Me Deadly yang memungkinkan penonton untuk

mengaplikasikan interpretasinya. Naratif film tersebut adalah sebuah

sistem tertutup yang menegasikan dirinya sepenuhnya.

Dibandingkan dengan Double Indemnity dan The Postman Always

Rings Twice, Kiss Me Deadly jauh lebih pesimis. Film karya Robert

Aldrich tersebut menghancurkan semesta ceritanya sendiri, suatu hal yang

tidak terjadi dalam Double Indemnity dan The Postman Always Rings

Twice, dimana hanya karakternya saja yang terjebak dalam konsekuensi

dari kriminal yang mereka lakukan, sementara dunia cerita tetap ada

151

Don D‟Ammassa. Encyclopedia of Adventure Fiction. New York: Infobase Publishing, 2009,

hal. vii-viii.

Page 139: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

138

seperti sedia kala. Di satu sisi, nihilisme dalam Kiss Me Deadly bisa

dianggap sebagai perkembangan teknis film noir di tahun 50-an. Pada

tahun 40-an, naratif film noir masih dalam fase mencari bentuk. Film-film

seperti Double Indemnity dan The Postman Always Rings Twice

mendefinisikan dan memantapkan teknik bercerita film noir. Pada tahun

50-an, naratif film noir sudah cukup mapan penggunaannya, sehingga

beberapa pembuat film mulai melakukan perkembangan atau

penyelewengan dalam produksi film noir. Kiss Me Deadly adalah wujud

konkrit dari perkembangan tersebut.

Di sisi lain, nihilisme naratif Kiss Me Deadly mewakili perubahan

lanskap sosial-politik Amerika di tahun 50-an. Selesai sudah jaman

kegelisahan gender dan individual di tahun 40-an. Kegelisahan Amerika

pasca perang tersebut kini sudah diganti dengan paranoia perang nuklir,

yang merujuk pada suatu kondisi dimana kemanusiaan direduksi kembali

ke titik nol. Paranoia perang nuklir mempengaruhi masyarakat Amerika

sedemikian rupa, sehingga segala konsensus sosial dapat dinegasikan atas

nama pragmatisme. Fenomena sosial tersebut yang tercerap ke dalam

naratif Kiss Me Deadly. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Mike

Hammer versi film adalah seorang detektif swasta yang oportunis. Dia

siap mengambil kasus apapun, asalkan ada keuntungan tersendiri yang

dapat dia eksploitasi. Dalam Kiss Me Deadly, oportunisme Hammer

terlihat ketika polisi memintanya untuk minggir dari kasus Christina.

Hammer menolak, dengan alasan apabila banyak orang yang memintanya

angkat kaki dari kasus Christina, berarti ada suatu hal berharga di balik

kasus tersebut. Hammer siap merebutnya sebelum didahului orang lain.

Oportunisme Hammer berpengaruh pada relasi-relasi yang ia jalani

dengan lawan jenisnya. Bisa dibilang, petualangan Hammer dalam Kiss

Me Deadly adalah satu rajutan panjang relasi-relasinya dengan semua

perempuan yang ia temui sepanjang cerita. Perempuan-perempuan

tersebut mewakili dan terlibat secara aktif dalam fase-fase petualangan

Hammer, yang membawanya menuju penemuan bom atom. Masing-

Page 140: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

139

masing perempuan memiliki ikatannya tersendiri dengan Hammer. Ada

yang profesional, ada yang sentimental, ada yang profesional sekaligus

sentimental, tapi tidak ada satupun yang terikat dengan protagonis dalam

institusi keluarga, walaupun ada yang arahnya ke sana.

Apabila dilihat secara makro, Kiss Me Deadly sama sekali tidak

memberi tempat bagi keluarga dalam naratifnya. Ada rujukan ke suatu

konsep keluarga, namun tidak ada perwujudan konkritnya dalam cerita.

Selain itu, tidak ada karakter yang berkeluarga, tidak ada juga karakter

yang berbagi rumah bersama pasangannya. Masing-masing karakter hidup

sendiri dengan rencananya sendiri-sendiri. Rumah hanya menjadi tempat

singgah bagi karakter di sela usaha mereka menyelesaikan konflik. Dalam

beberapa adegan, rumah malah kehilangan kesakralannya sebagai ruang

pribadi. Rumah dimasuki karakter-karakter seenaknya, dan menjadi lokus

perkembangan konflik cerita.

Dalam Kiss Me Deadly, tidak ada ceritanya rumah dipakai

semestinya untuk keluarga. Film tersebut murni berkisar seputar

petualangan seorang individu, di tengah orang-orang yang tidak kalah

individualnya. Oleh karena itu, analisis tentang konstruksi keluarga dalam

Kiss Me Deadly dapat dilakukan melalui identifikasi relasi karakter-

karakternya. Lebih spesifiknya lagi, relasi Hammer dengan perempuan-

perempuan yang ia hadapi sepanjang petualangannya. Seperti yang sudah

dijelaskan sebelumnya, setiap relasi Hammer dengan perempuan

mewakili satu fase dari petualangan yang terjadi di Kiss Me Deadly.

Membahas masing-masing relasi tersebut sama dengan

mengkronologikan perkembangan konflik cerita, dan melihat bagaimana

konstruksi keluarga terjadi dalam Kiss Me Deadly.

3. Christina sebagai Mediator yang Menghilang

Pertemuan Hammer dan Christina terjadi sepanjang babak pertama

film, tepatnya dari menit 00:00:40 sampai 00:10:20. Dalam periode

sekitar sepuluh menit tersebut, keduanya bertemu secara tidak sengaja

Page 141: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

140

(Gambar C.1), dan berhenti begitu saja ketika Christina dibunuh oleh

suatu sindikat (Gambar C.2). Meski berakhir begitu cepat, pertemuan

Hammer dan Christina bergaung sampai akhir film. Christina adalah satu-

satunya perempuan signifikan di mata Hammer. Dia adalah alasan

Hammer rehat dari profesi sehari-harinya sebagai detektif perceraian.

Misteri kematiannya terlalu menarik bagi Hammer, sehingga detektif

tersebut rela berjibaku dengan polisi dan jaringan kriminal demi

memecahkan misteri di balik kematian Christina. Bahkan ketika terlibat

dalam relasi yang lebih pelik dengan dua perempuan lainnya, Hammer

tetap memikirkan Christina.

Dalam naratif Kiss Me Deadly, Christina berfungsi sebagai

mediator yang menghilang (vanishing mediator). Maksudnya, Christina

adalah sebuah batu penjuru yang menyatukan dua konsep yang berbeda,

dan menghasilkan sebuah konsep baru. Ketika akhirnya konsep baru

tersebut terbentuk, keberadaan mediator tidak lagi dibutuhkan dan ia pun

lenyap begitu saja. Pertemuan Hammer dan Christina adalah pertemuan

dua konsep, yakni kehidupan seorang detektif kelas kakap dan konspirasi

Gambar C.1 Gambar C.2

Gambar C.3

Page 142: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

141

negara di balik eksistensi seorang perempuan. Pertemuan kedua konsep

tersebut menghasilkan petualangan Hammer memecahkan misteri

kematian Christina, yang tentunya tidak melibatkan Christina sama sekali.

Satu-satunya hal yang tersisa dari Christina adalah petunjuk-petujuk yang

ia tinggalkan untuk Hammer.

Posisi Christina sebagai mediator yang menghilang menjadikan

naratif selalu merujuk pada titik mulai konflik. Perkembangan naratif

selalu mengacu pada Christina dan kematiannya. Mengingat satu-satunya

karakter yang punya pengaruh pada perkembangan naratif adalah

Hammer, maka dapat dikatakan setiap tindakan mempunyai asosiasi

tersendiri dengan Christina. Sampai film berakhir, Christina adalah masa

lalu yang menghantui Hammer, yang tersirat dalam adegan antara menit

00:01:28 sampai 00:02:40, ketika naratif film hanya menyisakan suara

desahan Christina dan gambar Hammer menyetir mobil, dengan kredit

film bergulir turun perlahan-lahan (Gambar C.3). Suara lain, seperti suara

mesin mobil dan suara radio, dikecilkan sehingga perhatian penonton

hanya pada suara Christina dan gambar Hammer. Adegan tersebut yang

menjadi acuan bagi penonton bahwa petualangan Hammer adalah

mengejar gaung suara orang mati, yang berarti menegasikan masa

sekarang demi masa lalu.

4. Lily sebagai Femme Fatale

Lily adalah mantan teman sekamar Christina. Kematian Christina

membuatnya dicurigai, dan dia terpaksa sembunyi untuk menghindari

sindikat yang terlibat dalam kematian temannya. Sepanjang film, Lily

bertindak sebagai perempuan rapuh yang mengharapkan perlindungan.

Perlindungan tersebut yang ia harapkan ketika bertemu dengan Hammer.

Di mata Hammer, Lily hanyalah seorang narasumber, satu langkah yang

perlu diambil untuk mencapai tujuannya. Komitmen Hammer terhadap

investigasi membuatnya tidak menanggapi pendekatan dan godaan yang

Lily lancarkan. Konsekuensinya: tidak pernah ada potensi keluarga di

Page 143: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

142

antara Lily dan Hammer. Namun, tanpa sepengetahuan Hammer, Lily

punya rencana untuk kepentingannya sendiri. Rencana Lily tersebut baru

ditunjukkan menjelang kematiannya di akhir film, yang kemudian

menjelaskan siapa yang mendominasi siapa dalam relasi Lily dan

Hammer. Berdasarkan aspek tersebut, Lily memainkan peranan femme

fatale dalam naratif Kiss Me Deadly.

Status Lily sebagai femme fatale terkonstruksi dalam tiga sekuens

adegan, yang ketiganya melibatkan interaksi dengan Hammer. Pertama

adalah sekuens adegan pertemuan mereka, yang terjadi antara 00:33:37

dan 00:36:15. Pembuka sekuens tersebut adalah medium shot tampak

belakang Lily, yang terhalang oleh jeruji ranjang (Gambar C.4). Dari

posisi kamera tersebut, terlihat Hammer masuk ke dalam ruangan, yang

kemudian disambut oleh todongan pistol Lily. Baru setelah Hammer

menjelaskan keadaannya, Lily menurunkan senjatanya, dan keduanya pun

bicara. Rentetan kejadian tersebut menunjukkan dua elemen dari karakter

Lily, yang nantinya akan dikembangangkan sepanjang naratif film.

Elemen pertama adalah kondisi Lily yang terkekang, yang ditunjukkan

oleh jeruji yang menghalangi pandangan penonton. Seperti yang sudah

dijelaskan sebelumnya, Lily terkekang oleh statusnya sebagai mantan

teman sekamar Chrisitna, yang membuatnya dikejar terus menerus oleh

sindikat yang membunuh Christina. Elemen kedua adalah ketidakseganan

Lily membunuh orang untuk melindungi dirinya sendiri, yang ditunjukkan

oleh senjata yang ia todongkan ke Hammer.

Gambar C.4

Page 144: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

143

Dua sekuens adegan berikutnya, yakni antara 01:00:03 sampai

01:01:06 dan antara 01:02:13 sampai 01:04:08, mendefinisikan posisi

rumah dalam Kiss Me Deadly. Dalam sekuens pertama, Lily ketakutan

dan meminta perlindungan dari Hammer. Lily cerita kalau sindikat yang

membunuh Christina mendatanginya malam-malam dan mengancamnya.

Dia pun memohon Hammer untuk mencari tempat persembunyian baru

untuknya, yang akhirnya Hammer kabulkan di sekuens adegan kedua.

Rentetan kejadian tersebut menunjukkan bahwa rumah dalam naratif film

hanyalah tempat yang signifikansinya bisa dibengkokkan sesuai

kepentingan pemiliknya. Dalam Kiss Me Deadly, tidak ada rumah yang

berfungsi sebagai tempat tinggal. Lily berpindah rumah setiap kali dia

merasa terancam, sementara Hammer hanya berada di rumah untuk

kepentingan kasusnya, mulai dari menyembunyikan narasumber sampai

bertarung melawan sindikat yang membunuh Christina.

Dua sekuens terakhir juga memberi petunjuk perihal peran Lily

sebagai femme fatale. Sekuens pertama menghadirkan sosok Lily sebagai

perempuan rapuh yang membutuhkan pertolongan (Gambar C.5). Dia

terlihat ketakutan dan meminta pertolongan Hammer. Ketika Hammer

mengabulkannya, Lily berubah drastis di sekuens kedua. Ia tidak

menunjukkan ketakutan apa-apa, dan tiba-tiba mencium Hammer

(Gambar C.6). Terkejut, Hammer hanya mendiamkan, keluar kamar, dan

melanjutkan investigasinya. Kemudian, muncul sebuah close up yang

membingkai wajah Lily. Ia tidak terlihat takut akan keselamatan

nyawanya, tapi akan Hammer yang pergi meninggalkannya begitu saja

Gambar C.5 Gambar C.6

Page 145: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

144

(Gambar C.7). Dari dua sekuens tersebut, penonton mendapati ada

perbedaan motivasi dalam diri Lily. Satu-satunya yang tetap adalah

rencana pribadi Lily, yang baru diketahui penonton di sekuens adegan

antara 01:38:25 sampai 01:43:43. Sekuens tersebut berada di bagian

menjelang akhir film, menjadi klimaks dari plot film, dan menegaskan

posisi Lily sebagai femme fatale dalam naratif Kiss Me Deadly.

Klimaks film dibuka oleh shot kaki seorang pria. Kamera

kemudian naik ke atas dan menunjukkan wajah pria tersebut, yang

ditemani oleh Lily di sebelahnya. Pria di sebelah Lily adalah kepala dari

sindikat yang membunuh Christina. Dia adalah orang di balik

pembunuhan Christina, yang ternyata dilakukan untuk menutupi

keberadaan sebuah kotak yang berisikan materi radioaktif. Lily adalah

kaki tangan pria tersebut. Lily sebenarnya tidak tahu barang apa yang

sedang dipegang oleh atasannya, namun dia menduga bahwa barang

tersebut pasti berharga. Kalau tidak berharga, menurut rasio Lily, tidak

mungkin banyak orang mati dalam pencarian barang tersebut. Lily pun

membunuh atasannya. Setelah pembunuhan tersebut, Hammer datang.

Gambar C.7

Gambar C.8 Gambar C.9

Page 146: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

145

Lily mengarahkan pistolnya ke arah Hammer, dan memaksanya untuk

mencium Lily. Hammer mendekat, dan Lily pun menembaknya (Gambar

C.8). Hammer terjatuh menahan kesakitan, sementara Lily hanya

tersenyum dan membuka kotak yang ia pegang. Begitu dibuka, kotak

langsung memancarkan gelombang panas radioaktif, yang membakar Lily

dalam sekejap (Gambar C.9).

5. Velda Sebagai Potensi Keluarga yang Tak Terwujud

Relasi Hammer dan Velda terdefinisikan dalam empat sekuens

adegan. Sekuens pertama terjadi di kamar rumah sakit, antara 00:10:21

sampai 00:11:05, ketika Hammer pertama kali siuman usai diserang oleh

sindikat yang membunuh Christina. Velda adalah orang pertama yang

Hammer lihat ketika membuka mata, sekaligus satu-satunya orang yang

diijinkan masuk kamar tempat Hammer dirawat. Dengan kamera

menyorot wajah Velda dalam medium shot, terdengar Hammer berkata,

“You’re never around when I need you.” Velda pun membalas, “You

never need me when I’m around” (Gambar C.10). Kejadian-kejadian

tersebut menyiratkan adanya keintiman dan pengakuan antara keduanya,

yang menjelaskan kenapa Velda bisa berada dalam ruangan yang hanya

bisa dikunjungi orang tertentu saja, dan dialog antara Hammer dan Velda

yang merujuk pada suatu hubungan yang sudah dan sedang berlangsung.

Keintiman dan pengakuan yang tersirat di sekuens pertama

terkonfirmasi pada sekuens adegan 00:19:25 sampai 00:24:36. Mengambil

tempat di apartemen Hammer, sekuens tersebut dibuka dengan Hammer

Gambar C.10 Gambar C.11

Page 147: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

146

dan Velda berciuman (Gambar C.11), ditengahi oleh kedatangan seorang

inspektur dari kepolisian (Gambar C.12), dan ditutup dengan Hammer

memerintah Velda untuk mengumpulkan informasi soal Christina

(Gambar C.13). Rentetan kejadian tersebut menjelaskan bahwa memang

ada relasi afektif antara Hammer dan Velda, sekaligus menambah

informasi bahwa keduanya terikat dalam relasi profesional. Velda adalah

sekretaris pribadi Hammer, yang berarti keduanya terhubung dalam

hubungan yang hierarkis. Velda menerima dan melaksanakan perintah

dari Hammer, tapi tidak bisa sebaliknya.

Kedatangan inspektur polisi menyimbolkan intervensi yang akan

mengganggu relasi Hammer dan Velda. Intervensi tersebut muncul karena

pekerjaan Hammer sebagai seorang detektif, bukan karena relasi

sentimental antara Hammer dan sekretarisnya. Hammer sendiri juga tidak

terlalu menganggap perasaan Velda, melihat dia merespons kedatangan

inspektur polisi dengan memberikan tugas pada Velda. Hammer lebih

memprioritaskan relasi profesionalnya dengan Velda, ketimbang relasi

afektifnya. Padahal, pada relasi afektif tersebut, potensi keluarga antara

Hammer dan Velda tersemai. Dengan Hammer memerintahkan Velda di

rumahnya sendiri, tempat yang sama di mana keduanya melakukan

adegan romantis, semakin terpetakan bahwa relasi profesional Hammer

dan Velda yang diprioritaskan. Relasi profesional itu juga yang penonton

ikuti selama Kiss Me Deadly berlangsung, sementara relasi sentimental

Gambar C.12 Gambar C.13

Page 148: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

147

hanya tersirat tanpa ada konfirmasi lebih lanjut. Keluarga atau

kemungkinan tentangnya dipinggirkan atas nama pekerjaan.

Prioritas akan relasi profesional memperoleh aksentuasi di sekuens

adegan 01:04:52 sampai 01:09:44. Sekuens tersebut terjadi di apartemen

Velda, di mana Hammer datang setelah menemui banyak jalan buntu

dalam investigasinya tentang Christina. Tadinya tertidur, Velda bangun

dan mendengarkan segala keluh kesah Hammer. Selama mendengarkan,

Velda berbaring di paha Hammer, sementara Hammer duduk dan bicara

dengan muka datar (Gambar C.14). Pose duduk keduanya sudah

menunjukkan siapa yang mementingkan hubungan yang mana. Dialog

keduanya berujung pada tugas investigasi lebih lanjut untuk Velda, yang

mengharuskannya mendekati seseorang lelaki, supaya Hammer dapat

mendapat informasi baru perihal kematian Christina. Sekali lagi, relasi

profesional mengalahkan relasi sentimental, yang berarti juga meredupkan

potensi keluarga antara Hammer dan Velda.

Klimaks dari hubungan keduanya terjadi di menit 01:44:04 dan

01:45:39, yang terjadi setelah klimaks plot Kiss Me Deadly. Dalam

adegan tersebut, Hammer menyelematkan Velda, yang tersekap dalam

rumah yang terbakar akibat materi radioaktif (Gambar C.15). Velda

disekap oleh pihak-pihak yang melindungi rahasia negara, yang merasa

terancam dengan investigasi Hammer. Penyelematan Hammer merupakan

pertama kalinya dalam film dia mengesampingkan profesinya, dan

memperlakukan Velda berdasarkan perasaannya. Selamatnya Velda

memastikan bahwa potensi keluarga di antara mereka tetap ada. Namun,

Gambar C.14 Gambar C.15

Page 149: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

148

Hammer dan Velda tetap menjadi sebuah potensi di akhir film, karena

tidak ada petunjuk perihal masa depan keduanya. Satu-satunya petunjuk

ke masa depan adalah keberadaan materi radioaktif di tanah Amerika,

yang berarti suatu saat dunia cerita dalam Kiss Me Deadly bisa saja lenyap

oleh suatu perang nuklir. Dalam perspektif tersebut, berarti Hammer dan

Velda juga bisa lenyap kapan saja, yang membuat apapun yang mungkin

terjadi di antara keduanya jadi tidak berarti.

D. Konstruksi Keluarga dalam Film Objek Penelitian

1. Konstruksi Pro-Keluarga

Dirunut dari perkembangan naratifnya, ketiga film noir yang

menjadi objek penelitian ini memiliki dua pola yang serupa. Pertama,

naratif ketiganya mengambil sudut pandang protagonis laki-laki. Kedua,

ketiga film tersebut memberi hukuman bagi karakter perempuan yang

bertabiat “buruk”, dan melestarikan perempuan yang bertabiat “baik”.

Dalam kasus ini, standar baik dan buruk yang dimaksud adalah peran

tradisional gender, baik dalam film Hollywood maupun dalam kondisi

sosial-politik Amerika. Perempuan baik didefinisikan berdasarkan

komitmennya pada tanggung jawab domestik dan selanjutnya hubungan

dengan lawan jenis. Tanggung jawab domestik dinilai lebih tinggi dari

pada hubungan dengan lawan jenis, karena melibatkan sertifikasi legal,

yang konsekuensinya menciptakan beban moral yang lebih tinggi dari

sekadar relasi kasual.

Dalam tiga film yang diteliti, femme fatale selalu mati di akhir film,

walau dengan cara yang berbeda-beda. Phyllis mati ditembak protagonis

laki-laki di Double Indemnity, Cora mati karena kecelakaan mobil di The

Postman Always Rings Twice, sementara Lily mati karena kecerobohannya

membuka kotak berisi materi radioaktif di Kiss Me Deadly. Sebagai

karakter yang memegang ancaman ke institusi keluarga, kematian femme

fatale merupakan suatu bentuk dukungan pro-keluarga dalam film noir.

Ada kode moral tertentu yang melingkupi semesta cerita-cerita film noir,

Page 150: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

149

yang juga melindungi institusi maupun potensi keluarga di dalamnya,

sehingga siapapun yang melenceng dari kode moral tersebut akan

mendapat ganjarannya. Kematian merupakan ganjaran yang absolut bagi

femme fatale dalam film noir.

Secara ideologis, kematian femme fatale merupakan bentuk

konformitas film noir terhadap status quo yang coba dipertahankan

pemerintah Amerika pasca perang. Selama Dunia II meletus, pemerintah

Amerika menekankan pentingnya keutuhan keluarga, mengingat keluarga

dilihat pemerintah sebagai cara terbaik mengajarkan ideologi negara

terhadap generasi muda. Keluarga merupakan kendaraan ideologis

pemerintah di level akar rumpun. Konformitas film noir terhadap status

quo merupakan konsekuensi dari ketatnya pengawasan badan sensor film,

yang sepanjang periode film noir banyak mengintervensi proses produksi

dan penulisan naskah. Badan sensor memastikan banyak film noir tidak

menyampaikan pesan ideologis yang “salah” kepada penontonnya.

Kode moral dalam semesta cerita film noir tidak berlaku pada

femme fatale saja, tapi juga protagonis laki-laki. Seperti yang sudah

dijelaskan sebelumnya, ketiga film yang menjadi objek penelitan

semuanya menggunakan laki-laki sebagai pandangan cerita.

Konsekuensinya, ketiga film tersebut secara naratif merupakan pandangan

laki-laki terhadap petualangan yang ia lewat, lingkungan yang ia tinggali,

profesi yang ia jalani, dan hubungan interpersonal yang ia jalani.

Sederhananya, film noir merupakan pandangan laki-laki tentang pekerjaan

dan perempuan di Amerika pasca perang. Seperti yang sudah dijelaskan di

Bab 2, Amerika pasca perang merupakan masa di mana laki-laki kembali

ke dunia kerja setelah mengabdi di lapangan perang, yang mengakibatkan

kembalinya perempuan ke urusan rumah tangga. Kembalinya laki-laki ke

dunia kerja berarti juga kembalinya mereka memegang tanggung jawab

mereka ke profesi yang mereka jalani, dan ke peran yang mereka pegang

dalam penghidupan keluarga.

Page 151: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

150

Pelencengan dari dua peran tradisional laki-laki menghadirkan

ganjaran bagi protagonis film noir. Terlihat bagaimana, dalam tiga film

objek penelitian, protagonis laki-laki selalu mendapat intervensi, dan pada

akhirnya gagal mendapat yang ia inginkan dari petualangannya melibas

institusi keluarga. Intervensi yang menghadang protagonis juga selalu

datang dari pihak-pihak yang terkait dengan hukum. Dalam Double

Indemnity, protagonis dihadang oleh detektif perusahaan asuransi, yang

mengecek validitas setiap klaim asuransi yang diajukan ke perusahaan.

Dalam The Postman Always Rings Twice dan Kiss Me Deadly, protagonis

dihadang oleh pihak-pihak yang terkait dengan tatanan legal negara.

Ketiga film tersebut menmbangun asosiasi antara keluarga dan hukum.

Dalam film noir, melibas batas keluarga merupakan tindakan yang dapat

dituntut dan digagalkan oleh hukum.

2. Konstruksi Anti-Keluarga

Sementara keluarga adalah institusi yang disakralkan secara legal

dalam film noir, rumah mengalami perlakuan yang sebaliknya. Dalam film

noir, rumah selalu digambarkan sebagai lokus pembentukan keluarga yang

problematis dan, sampai kapasitas tertentu, paradoksikal. Problematis,

karena rumah dalam film noir kehilangan kemampuannya membatasi dan

melindungi orang yang di dalam rumah dari ancaman yang berada di luar

rumah. Rumah kehilangan privasinya, dan malah menjadi situs inisiasi

sekaligus komplikasi dari konflik yang terjadi sepanjang film.

Ketiga film yang menjadi objek penelitian punya caranya sendiri-

sendiri dalam membingkai rumah sebagai sumber masalah. Dalam Double

Indemnity, rumah konstan diterapkan pencahayaan Venetian blind, yang

menjadikan rumah terlihat seperti penjara. Dalam The Postman Always

Rings Twice, rumah merupakan lokasi perselingkuhan sekaligus

perencanaan pembunuhan. Seiring berkembangannya naratif film tersebut,

rumah menjadi perwujudan dari status pernikahan palsu antara protagonis

laki-laki dan femme fatale. Dalam Kiss Me Deadly, tidak ada rumah yang

Page 152: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

151

ditempati oleh keluarga, mengingat film tersebut sama sekali tidak

menampilkan relasi keluarga dalam bentuk apapun. Naratif Kiss Me

Deadly membingkai rumah sebagai tempat yang mudah dimasuki oleh

pihak asing, sehingga rumah dalam film tersebut menjadi lokasi yang

konstan dijadikan tempat untuk konspirasi dan berkelahi. Tidak ada

kesempatan bagi karakter-karakter dalam Kiss Me Deadly untuk

menikmati rumah sebagai ruang yang aman dan positif.

Dalam ketiga film noir yang diteliti, rumah adalah lokus yang dari

sananya sudah bermasalah. Hal tersebut menjadikan konstruksi keluarga

dalam rumah menjadi sesuatu yang nyaris mustahil. Rumah yang

bermasalah menjadi motivasi bagi protagonis laki-laki dan femme fatale

turun ke jalan, dan menjalani hubungan mereka di luar rumah. Rumah

yang bermasalah juga yang menjadi motivasi keduanya untuk memutus

ikatan mereka ke institusi keluarga, yang tercermin dalam rencana-rencana

pembunuhan yang ada dalam film noir. Namun, seperti yang sudah

dijelaskan sebelumnya, setiap usaha pengingkaran batas institusi keluarga

akan dihadapkan dengan intervensi legal. Intervensi legal tersebut yang

pada perkembangannya menghalangi protagonis laki-laki dari

keinginannya, dan membawa femme fatale ke ajalnya. Keluarga dan

potensi keluarga dalam ketiga film objek penelitian pada akhirnya selalu

dinihilkan.

Page 153: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

152

BAB V

KESIMPULAN

A. Film Noir, Deviasi Konvensi, dan Konstruksi Keluarga

Sebelum melakukan penelitian, penulis meyakini bahwa film noir adalah

anomali dalam sejarah Hollywood. Secara kasat mata, film noir tidak

menempatkan rumah dan keluarga sebagai solusi dari konflik cerita, berlawanan

dengan yang sebelumnya dilakukan oleh film-film Hollywood. Selain itu, penulis

melihat bagaimana film noir membangun femme fatale yang melabrak batas-batas

karakter perempuan dalam film Hollywood sebelumnya, dan protagonis laki-laki

yang tidak dikonstruksi secara heroik layaknya film-film Amerika biasanya.

Ketiga elemen naratif film noir tersebut terjadi di saat pemerintah Amerika

mempromosikan kehidupan komunal, dari level negara hingga keluarga, yang

menjadi unit politis terkecil dalam kehidupan bernegara. Melalui penelitian ini,

penulis berharap dapat meneliti elemen-elemen naratif film noir dalam suatu

kerangka yang holistik, dan menjadikannya sebuah studi eksploratif dan tidak

sekadar deskriptif perihal film noir.

Setelah penelitian, penulis menemukan bahwa film noir pada jamannya

ternyata memainkan dua peran. Pertama, film noir memang menjadi deviasi dari

tradisi bercerita sinema Hollywood, seperti yang diyakini penulis sebelumnya.

Film noir tidak saja tidak menempatkan rumah dan keluarga sebagai solusi dari

konflik cerita, tapi juga mengkonstruksinya sebagai situs formasi dan komplikasi

konflik cerita. Kehidupan domestik selalu menjadi prospek yang tidak

menyenangkan bagi karakter-karakter film noir. Tidak pernah ditemukan adanya

keluarga yang utuh dalam film noir. Protagonis laki-laki dalam film noir hampir

tidak ada yang berkeluarga, sementara femme fatale selalu berusaha keluar dari

keluarganya, yang secara visual kerap ditunjukkan sebagai suatu penjara yang

mengekang.

Di sisi lain, rumah dan keluarga disakralkan secara legal dalam film noir.

Sakralisasi tersebut menjadikan film noir menjalani perannya yang kedua, yakni

Page 154: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

153

sebagai konfirmasi terhadap status quo situasi sosial-politik jamannya. Dalam

film noir, institusi keluarga tidak boleh diganggu, sehingga siapapun yang

melabraknya akan mendapat ganjaran dari pihak-pihak penegak hukum.

Petualangan protagonis laki-laki dan femme fatale dalam film noir selalu melabrak

batas-batas kehidupan domestik dan institusi keluarga. Keduanya pun selalu

mendapat ganjaran dalam wujud kematian, baik bagi salah satu dari mereka

maupun keduanya.

Melalui dua peran yang dijalankannya, film noir membangun suatu mitos

tentang keluarga, yang berlawanan dengan tradisi bercerita Hollywood dan

konsensus sosial-politik jamannya. Relasi protagonis laki-laki dengan karakter

perempuan utama, yakni femme fatale dalam film noir, kontras dengan relasi

sejenis dalam tradisi bercerita Hollywood sebelumnya. Romansa di antara laki-

laki dan perempuan dalam film noir tidak pernah berakhir dengan pernikahan, dan

tidak juga diasosiasikan dengan kondisi rumah yang ideal. Sebaliknya, film noir

mengarahkan relasi lawan jenis ke rasa frustasi dan destruksi bagi para

pelakonnya. Dalam film noir, rumah dan keluarga selalu direduksi menjadi sebuah

potensi, yang pada akhirnya tidak pernah terwujud.

B. Kelemahan dan Saran

Di atas hasil yang telah dicapai, penelitian ini masin mengandung

kelemahan. Kelemahan ini berpangkap pada metode yang digunakan, yakni

analisis struktur naratif, yang didasarkan pada study of poetics yang dirumuskan

ulang David Bordwell sebagai metode analisis film. Analisis film berbasis poetics

bertujuan membedah film melalui enam elemen dalam film, yakni detail

(particulars), pola (patterns), tujuan (purposes), prinsip (principles) dan efek ke

penonton (processing). Dalam konteks analisis berorientasi historis, yang

diterapkan dalam penelitian ini, keenam elemen tadi menghubungkan film objek

penelitan dengan lanskap sosial-politik pada jamannya.

Untuk studi yang eksklusif pada satu genre, jenis, atau periode film,

analisis berbasis poetics adalah metode yang ideal, karena menjelaskan dan

memetakan relasi antara karakteristik produk-produk seni atau budaya pop dengan

Page 155: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

154

perkembangan sosial-politik jamannya, atau sederhananya antara teks dan

konteksnya. Masalahnya, analisis berbasis poetics tidak bisa memetakan relasi

film dengan audiensnya secara komplit. Analisis berbasis poetics cenderung

mengandaikan adanya audiens yang ideal bagi objek penelitiannya, karena hanya

membahas tautan langsung audiens dengan film yang ditonton, seperti yang

terjadi dalam penelitian ini. Kehidupan sosial penonton tidak terlalu diangkat

tersentuh, karena tidak berkaitan langsung dengan modus naratif film objek

penelitian. Konsekuensinya, efek konstruksi keluarga dalam film noir bagi

audiens Amerika secara historis belum dapat dipastikan.

Saran penulis adalah penelitian lanjut mengenai audiens film di Amerika

Serikat dekade 40-an dan 50-an, masa di mana film noir muncul, eksis dan

kemudian lenyap di Hollywood. Penelitian tentang audiens tersebut sebaiknya

melihat posisi film noir di industri film secara umum, yang dapat membuka

wawasan perihal lokasi pemutaran, tingkat penjualan tiket, dan demografi

penonton film noir. Penelitian tentang audiens tersebut akan mengisi informasi-

informasi yang tidak terangkat dalam penelitian ini.

Page 156: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

155

DAFTAR PUSTAKA

____________. Harvard Law Review 61, 1948.

Audi, Robert. Cambridge Dictionary of Philosophy, 2nd

Edition.

Cambridge: Cambridge University Press, 1999.

Bennett, Tony. Outside Literature. New York: Routledge, 1990.

Blaser, John. No Place for a Woman: The Family in Film Noir, yang

bisa diakses di http://www.filmnoirstudies.com/essays/no_place.asp, 15 Mei

2010.

Borde, Raymond dan Chaumeton, Etienne. A Panorama of American

Film Noir, 1941-1953. San Francisco: City Lights Book, 1955.

Bordwell, David. Poetics of Cinema. New York: Routledge, 2008

Borsodi, Ralph. Flight from the City. Charleston: Nabu Press, 1933.

Bradbury, Malcolm. The Modern American Novel. Oxford: Oxford

University Press, 1992.

Brook, Peter. The Melodramatic Imagination: Balzac, Henry James,

Melodrama, and the Mode of Excess. New Haven: Yale University Press, 1995.

Browne, Nick. Refiguring American Film Genres. Los Angeles:

University of California Press, 1998.

Cameron, Ian. The Movie Book of Film Noir. London: Studio Vista,

1992.

Chopra-Gant, Mike. Hollywood Genres and Postwar America. New

York: I.B. Tauris, 2006.

Connor, John dan Rollins, Peter. Why We Fought: America’s Wars in

Film and History. Kentucky: The University Press of Kentucky, 2008.

Coontz, Stephanie. Marriage, A History: How Love Conquered

Marriage. New York: Penguin Books, 2005

D’Ammassa, Don. Encyclopedia of Adventure Fiction. New York:

Infobase Publishing, 2009.

Page 157: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

156

Dawson, Jonathan. British Sounds. Senses of Cinema, yang bisa diakses

di http://archive.sensesofcinema.com/contents/cteq/05/37/british_sounds.html,

2005.

Dickos, Andrew. Street with No Name: A History of the Classic Film

Noir. Lexington: University of Kentucky Press, 2002.

Dixon, Wheeler dan Foster, Gwendolyn. A Short History of Film. New

Jersey: Rutgers University Press, 2008.

Doherty, Thomas. The Code Before Da Vinci. Washington Post, yang

bisa diakses di

http://my.brandeis.edu/news/item?news_item_id=105052&show_release_date=1,

22 Mei 2010.

Dukore, Bernard. Dramatic Theory and Criticism: Greeks to

Grotowski. Florence: Heinle & Heinle, 1974.

Finler, Joel W.. The Hollywood Story, 3rd edition. London and New

York: Wallflower, 2003.

Hanson, Helen. Hollywood Heroines: Women in Film Noir and Female

Gothic and the Female Gothic Film. New York: I.B. Tauris, 2006.

Haut, Woody. Pulp Culture and the Cold War. London: Serpent's Tail,

1995.

Hayward, Susan. Cinema Studies: The Key Concepts, 2nd

edition. Bury:

St. Edmundsbury Press, 2000.

Hewitt, Nicholas dan Rigby, Brian. France and the Mass Media.

Houndmills: Macmillan, 1993.

Hill, C.P.. A History of the United States, 2nd

edition. Edward Arnold,

Ltd.: London, 1966.

Hoopes, Roy. Cain: The Biography of James M. Cain. Illnois: Southern

Illnois University Press, 1987.

Howe, Alexander N.. It Didn't Mean Anything: A Psychoanalytic

Reading of American Detective Fiction. North Carolina: McFarland, 2008.

Page 158: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

157

Irwin, John T.. Unless the Threat of Death is Behind Them: Hardboiled

Fiction and Film Noir. Baltimore, Maryland: Johns Hopkins University Press,

2006..

Jacobs, Jane. The Death and Life of Great American Cities. New York:

Modern Library, 1993.

Kaledin, Eugenia. Mothers and More: American Women in the 1950s.

Boston: Twayne Publishers, 1984.

Kaplan, E. Ann. Women in Film Noir. London: British Film Institute,

1972.

Krutnik, Frank. In a Lonely Place: Film, Genre, Masculinity. London:

Routledge, 1991.

Landy, Marcia. Imitations of Life. Detroit: Wayne State University

Press, 1991.

Lally, Kevin. Wilder Times: The Life of Billy Wilder. New York: Henry

Holt & Company, 1996.

Leff, Leonard J. Dame. The Kimono Hollywood, censorship, and the

production code from the 1920s to the 1960s. New York: Grove Weidenfeld,

1990.

Leibman, Nina C.. The Family Spree of Film Noir. Journal of Popular

Film and Television, 1989.

Mayer, Geoff dan McDonnell, Brian. Encyclopedia of Film Noir.

Westport, CT: Greenwood Publishing Group, 2007.

McKee, Robert. Story: Substance, Structure, Style, and the Principles of

Screenwriting. New York: Harper-Collins, 1997.

McLaughlin, Steven. The Changing Lives of American Women. Chapel

Hill: University of North Carolina Press, 1988.

Monaco, James. How to Read a Film. Oxford: Oxford Universtiy Press,

2000.

Monaco, James. The New Wave: Truffaut, Godard, Chabrol, Rohmer,

Rivette. Oxford: Oxford University Press, 1977.

Page 159: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

158

Naremore, James. More Than Night: Film Noir in its Contexts.

Berkeley: University of California Press, 1998.

O'Brien, Geoffrey. Hardboiled America: Lurid Paperbacks and the

Masters of Noir. New York: Da Capo Press, 1997.

Palmer, R. Barton. Perspectives on Film Noir. New York: G. K. Hall

and Co., 1996.

Polan, Dana B.. Blind Insights and Dark Passages: The Problem of

Placement in Forties Film. Velvet Light Trap, edisi 20, 1983.

Porfirio, Robert G.. No Way Out: Existential Motifs in the Film Noir.

Sight and Sound, vol. 4, no. 45, 1976.

Rippetoe, Rita Elizabeth. Booze and the Private Eye: Alcohol in the

Hard-Boiled Novel. North Carolina: McFarland & Company, 2004.

Russell, Catherine. Narrative Mortality: Death, Closure and New Wave

Cinemas. Minneapolis: University of Minnesota, 1995.

Sallis, James. Difficult Lives: Jim Thompson, David Goodis, Chester

Himes. New York: Gryphon Books, 1993.

Server, Lee. Over My Dead Body: The Sensational Age of the American

Paperback: 1945-1955. San Francisco: Chronicle Books, 1994.

Sikov, Ed. On Sunset Boulevard: The Life and Times of Billy Wilder.

New York: Hyperion, 1998.

Silver, Alain dan Ward, Elizabeth. Film Noir. London: Secker and

Warburg, 1992.

Silver, Alain dan Ward, Elizabeth. Film Noir: An Encyclopedic

Reference to the American Style. New York: The Overlook Press, 1992.

Smith, Bonnie. Changing Lives: Women in European History Since

1700. Lexington: D.C. Heath, 1989

Stankowski, Rebecca House. Night of the Soul: American Film Noir.

Studies in Popular Culture, Ver. 9, No. 1, 1986.

Thomas, Deborah. Film Noir: How Hollywood Deals with the Deviant

Male. CineAction!, 1986.

Todorov, Tzvetan. The Poetics of Prose. Ithaca: Cornell UP, 1977.

Page 160: Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir

159

Totaro, Donato. Andre Bazin Revisited, Part 1: Film Style Theory in its

Historical Context, yang dapat diakses di

http://www.horschamp.qc.ca/new_offscreen/bazin_intro.html, 31 Juli 2003.

Wertheimer, John. Mutual Film Reviewed: The Movies, Censorship,

and Free Speech in Progressive America. American Journal of Legal History.

Temple University, 1993.