12

Dialektika edisi nopember

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dialektika edisi bulan Nopember 2015 khusus membahas masalah lingkungan. Selamat Membaca.

Citation preview

Page 1: Dialektika edisi nopember
Page 2: Dialektika edisi nopember
Page 3: Dialektika edisi nopember

khir-akhir ini, seringkali mencuat berita Amengenai kebakaran hutan dan lahan

serta kabut asap di media banyak

med ia nas iona l Indones ia . Kabar in i

meresahkan semua masyarakat, khususnya

masyarakat yang mengalami secara langsung

dari bencana kebakaranhutan dan lahan serta

kabut asap ba ik d i Sumatra maupun

Kalimantan. Keresahan semakin meningkat

akibat dari adanya status darurat terhadap

pencemaran udara. Dampak yang dirasakan

secara langsung ada lah kesehatan ,

khususnya pada saluran pernapasan.

Kasus Infeksi Saluran Pernapasan

Akut (ISPA) adalah kasus yang saat ini sangat

populer di daerah bencana kabut asap dan

kebakaran lahan dan hutan. ISPA merupakan

infkesi akut yang menyerang salah satu

bagian atau lebih dari saluran napas mulai

hidung sampai alveoli termasuk jaringan

disekitarnya seperti sinus, rongga telinga

tengah, dan pleura (Kementerian Kesehatan

RI, 2011). Oleh karena daruratnya status

pencemaran udara, maka masyarakat

dengan lingkungan tersebut memiliki risiko

tinggi terhadap penyakit ISPA. ISPA menjadi

penyakit yang sangat lazim pada kondisi

udara yang tindak baik untuk tubuh seperti

asap dan polusi udara akibat emisi

kendaraan.

Page 4: Dialektika edisi nopember

ISPA memiliki tanda dan gejala yang

mudah dikenali. Bagi seseorang yang diduga

terkena ISPA akan mengalami batuk, pilek,

sakit kepala, sakit tenggorokan, atau bahkan

sesak dan demam. Adapun penyakit yang

termasuk kedalam ISPA, terdiri atas dua bagian,

yaitu saluran pernapasan atas dan saluran

pernapasan bawah. Penyakit yang dapat terjadi

pada saluran pernapasan atas, diantaranya

adalah flu, tonsillitis (peradangan tonsil atau

amandel), sinusitis, dan laryngitis. Sedangkan

jenis penyakit ISPA pada saluran pernapasan

bawah adalah flu, bronchit is ( radang

tenggorokan), pneumonia, dan tuberkulosis

(National Health Service, 2015).

Seluruh lapisan masyarakat dengan

semua jenis usia dapat rentan terkena ISPA.

ISPA dapat menyerang baik lansia, dewasa,

anak-anak, terlebih balita. Selain itu, usia yang

paling rentan terkena ISPA adalah anak dengan

usia 0-4 tahun (Chen, et al, 2014). Lansia serta

orang dengan asma dan penyakit paru

obstruksi kronik (PPOK) juga memiliki risiko

tinggi (Regina et al, 2015). Hal itu terjadi karena

fisiologis organ anak-anak belum matur secara

utuh layaknya orang dewasa. Sedangkan lansia

mengalami penurunan fungsi fisiologis akibat

faktor usia. Terlebih pada kasus kebakaran

hutan dan lahan, asap yang ditimbulkan dapat

menyerang semua lapisan masyarakat.

Sebenarnya, ISPA dapat dicegah dan

ditanggulangi agar tidak terjadi keparahan.

Menurut WHO (2008), pencegahan dan

pengendalian infeksi saluran pernapasan akut

adalah dengan melakukan perlindugan

terhadap mukosa mulut dan hidung, dan

kebersihan tangan. Upaya yang dapat

dilakukan dengan menggunakan masker dan

kacamata pelindung, menjaga etika batuk

dengan menutup mulut dan hidung saat batuk

dan bersin serta membersihkan tangan dengan

sabun dan air. Sedangkan upaya yang dapat

dilakukan pada lingkungan adalah menjaga

ventilasi tetap baik. Dalam hal ini, sumber dari

timbulnya asap harus dihentikan.

ISPA merupakan dampak kesehatan yang

signifikan bagi masyarakat di daerah rawan

kebakaran hutan dan lahan seperti Sumatera

dan Kalimantan. Bencana kabut asap yang

selalu terjadi meningkatkan risiko ISPA bagi

masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi

masyarakat untuk dapat mengenali ISPA.

Daftar Pustaka

National Health Service. (2015). Respiratory

Tract Infection.

http://www.nhs.uk/conditions/Respiratory-

tract-infection/Pages/Introduction.aspx

Regina, Cetal. (2015). Respiratory Infections.

http://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2

016/the-pre-travel-

consultation/respiratory-infections

Chen, Y., Williams, E., & Kirk, M. (2014). Risk

Factors for Acute Respiratory Infection in

the Australian Community. PLoS ONE, 9(7),

e101440.

http://doi.org/10.1371/journal.pone.010144

0

Kementrian Kesehatan RI. (2011). Pedoman

Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan

Akut. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI

World Health Organization. (2008). Infeksi

Saluran Pernapasan Atas yang Cenderung

Epidemi dna Pandemi. The United States

Centers for Disease Control and Prevention

(US CDC)

Sumber gambar: selasar.com

Page 5: Dialektika edisi nopember

encana pengerukan pasir pantai di RLombok Timur dan lombok Barat dalam

r a n g k a r e k l a m a s i Te l u k B e n o a

menimbulkan pro dan kontra di berbagai pihak

baik pemerintah maupun masyarakat Bali

maupun Lombok. Latar belakang reklamasi Teluk

Benoa ini dilakukan dengan pertimbangan untuk

menyelaraskan arahan pengaturan peruntukan

dan pemanfaatan ruang di Kawasan Teluk Benoa

seperti diatur dalam Perpres No. 45/2011 dengan

Perpres No. 12/2012 tentang Rencana Tata Ruang

Pulau Jawa-Bali. Berdasarkan laman setkab.go.id

reklamasi ini direncanakan untuk membangun

lahan baru sebagai kawasan pengembangan

kegiatan ekonomi serta sosial budaya dan

agama.

Secara teoritis, penambangan pasir

dikawasan pantai mengakibatkan terjadinya

perubahan geomorfologi pantai dan

batimetri yang selanjutnya akan mengubah

pola arus usus pantai. Hal ini dapat

mengakibatkan erosi dan akresi pantai di

kawasan penambangan pasir dan sekitarnya.

Adanya penambangan pasir mengakibatkan

teraduknya lumpur, sehingga dapat

mempengaruhi kualitas air, dimana terjadi

kekeruhan air yang kontinyu dan/atau

tersuspensinya kandungan biogeokimia

lainnya. Keruhnya air tersebut dapat

menghambat penetrasi sinar matahari yang

menjadi penggerak dalam siklus kehidupan

ekosistem perairan pesisir. Ada dua

kemungkinan yang akan terjadi j ika

ekosistem terganggu, pertama ekosistem

tersebut mencari keseimbangan yang baru

dan kedua ekosistem tersebut akan hilang.

Page 6: Dialektika edisi nopember

Oleh karena itu, dikhawatirkan apabila proses

pengerukan pasir ini di lakukan dapat

menyebabkan rusaknya keseimbangan

ekosistem perairan pesisir. Sedangkan untuk

dampak yang lebih jauh lagi akan memberikan

dampak kepada aktivitas kelautan dan

perikanan di Lombok.

J ika d i l ihat dar i segi ekonomi ,

pengerukan pasir ini dapat mengakibatkan

menurunnya penghasilan masyrakat daerah

sekitar pesisir khususnya para nelayan. Pada

pengerukan pasir ini bisa jadi tidak hanya pasir

yang dikeruk melainkan ikan dan terumbu

karang juga bisa ikut tersedot sehingga

produktifitas penangkapan ikan oleh nelayan

akan menurun. Selain itu juga, dengan adanya

truk-truk pengangkut pasir yang berlalu-lalang

di sekitar pantai memberikan getaran dan

tekanan yang besar secara kontinyu, hal ini

menjadi pemicu terjadinya abrasi. Abrasi

pantai tidak hanya terjadi pada daerah

pengerukan, melainkan hampir sepanjang

Pantai Tanjung Luar juga akan mengalami

abrasi sehingga ombak laut akan semakin

deras. Selain itu, sejumlah pulau kecil juga

terancam akan tenggelam akibat galian

dengan kedalaman 40 hingga 50 meter. Selain

nelayan, sawah-sawah yang ada disekitar

pantai juga akan mati disebabkan naiknya air

laut yang asin.

Rencana reklamasi pada teluk Benoa

j u g a m e m i l i k i d a m pa k n e g a t i f ba g i

kelangsungan dan kesimbangan ekosistem

biota laut. Mengapa demikian ? Jawaban dari

pertanyaan ini perlu dipertimbangkan dengan

matang sebelum melakukan reklamasi

tersebut. Reklamasi dapat mempercepat

pendangkalan, hilangnya hutan mangrove,

abrasi dan menghilangnya habitat/ekosistem

teluk Benoa.

Vegetasi mangrove di kawasan Teluk

Benoa didominasi oleh jenis prapat (Sonneratia

spp.), vegetasi jenis ini sangat sensitive

terhadap sedimentasi . Adanya proyek

reklamasi unuk memebentuk pulau-pulau

baru dapat mempercepat proses sedimentasi

atau pendangkalan. Pendangkalan tersebut

disebabkan oleh material-material sedimen

dari sungai-sungai yang bermuara di Teluk

Benoa akan terhalang oleh pulau baru hasil

reklamasi. Adanya sedimentasi ini akan

mengakibatkan banjir karena volume air

berkurang akibat menumpuknya padatan

sehingga air meluap.

Proses pembuatan pulau-pulau baru

akan merusak habitat dan ekosistem

ekosistem mangrove Teluk Benoa yang

berperan sebagai sumberdaya hayati wilayah

peisir dan pulau-pulau kecil yang merupakan

daerah asuhan (nursery ground), pemijahan

(spawning ground) dan tempat mencari

makan bagi ikan (feeding ground) beberapa

jenis biota perairan seperti udang, ikan dan

kerang-kerangan serta sebagai sanctuary

kehidupan liar dan mangrove yang dikenal

sebagai pemasok hara dan makanan bagi

plankton serta menciptakan suatu rantai

makanan yang kompleks di perairan

sekitarnya. Selain itu, sedimentasiyang

dihasilkan dapat mematikan polip karang

dan merusak terumbu karang di kawasan

sekitarnya. Secara sistemik perusakan

terumbu karang tersebut akan berdampak

langsung terhadap rusaknya jejaring terumbu

karang ataupun keanekaragaman hayati yang

lain, khususnya koneksitas “kawasan segitiga

emas” yaitu kawasan Candi Dasa dan Nusa

Penida.

Adanya kegiatan ini, wilayah pantai

yang semula merupakan ruang publik bagi

masyarakat akan hilang atau berkurang

karena dimanfaatkan untuk kegiatan pribadi.

Keanekaragaman biota laut juga akan

berkurang, karena timbunan tanah urugan

mempengaruhi ekosistem yang sudah ada.

Dit injau dari aspek sosialnya,adanya

reklamasi akan mempengaruhi has i l

tangkapan petani tambak di sekitar dan

berimbas pada penurunan pendapatan .

Page 7: Dialektika edisi nopember
Page 8: Dialektika edisi nopember
Page 9: Dialektika edisi nopember

amaku adalah Hadija. Aku hidup

Ndi antara pecahan sejarah yang

memisahkanku dengan keluarga

besarku. Dulu, aku satu dengan mereka,

namun asing telah mengubah segalanya.

Keluarga yang dahulu hidup dalam satu

tempat, dalam satu naungan yang bernama

Tanah Melayu kini harus hidup berbeda dalam

dua negara. Begitulah kata ibuku yang sering

menceritakan betapa rindunya ia dengan

sanak saudaranya. Ia begitu mengutuk asing

yang telah mengirim ia ke pulau ini puluhan

tahun yang lalu.

Kini aku tinggal di sebuah tempat

yang banyak orang kutemui sering keluar

masuk hutan. Aku heran dengan kegiatan

mereka. Entah mengapa, ketika mereka keluar

dari luasnya hutan di samping aku tinggal,

selalu muncul kabut dan itu membuatku

sesak. Satu, dua, tiga hari, bahkan satu

minggu aku menghirup sesaknya udara

tersebut. Banyak anak tak sekolah, ibu-ibu tak

ke pasar, masjid tak ada tuannya. Melihat itu,

maka kuputuskan pada suatu sore “Sore, Sore

yang begitu aku cintai, Sore yang begitu

membuatku gila ketika aku kehilangan waktu

bersamamu, Sore yang selalu menjadi

Page 10: Dialektika edisi nopember

inspirasi bagiku, kini aku akan lepas darimu,

restuilah aku Sore. Aku meminta restumu. Aku

kan pergi dan kan kembali tepat di waktu itu,

Sore.” Sorepun merestuiku dalam berat tatap

matanya. Dan malam itu, malam terakhirku

b e r a d a d i s a m p i n g S o r e s e b e l u m

meninggalkannya.

A d a p u n k e e n g g a n a n m e n t a r i

menampakkan wajahnya memberatkan

langkah kakiku menjalankan kewajibanku

sebagai manusia utuh. Apalah niatan berkokok

di buta pagi?. Apalah. Tak seharusnya sifat

alamiku sebagai manusia membelenggu gerak

langkah tindak tandukku.

Tak ada yang bisa mengalahkan

kembang-kempis nafas te rgesa-gesa

menembus kabut. Kabut ini bukan membawa

dingin, melainkan serpihan-serpihan daun atau

batang yang menjadi abu. Semilir angin

d a m b a a n y a n g t i d a k d a t a n g h a n y a

memperkeruh pikiranku. Walaupun aku sangsi

ia akan melegakan sedikit untukku bernafas.

Perlahan-lahan nafasku semakin berat.

Perjalananku menjadi beban tersendiri.

Perlahan-lahan aku mulai terhuyung-huyung.

Perjalanan ini terasa berhari-hari. Tiba-tiba

semua gelap. Pekat.

Entah berapa lama ku tak sadar, tetapi

siang amat terik. Ku dihadapan pilihan antara

kembali atau meneruskan perjalanan.

Keluargaku harus ditengok bagaimana setelah

mengingat kabut yang kian menguning, yang

ku dibuatnya pingsan. Perasaan menempuh

perjalanan tidak seperti sebelumnya yang

menghela nafas saja sudah menjadi beban.

Sekarang perasaan itu lebih kepada ketakutan.

Kaki dan jantung berkejaran siapakah di antara

mereka yang berpacu lebih cepat. Namun

balapan mereka dikalahkan ketakutan yang

makin menjadi.

Kabut kuning itu mungkin perlahan

membuatku tidak waras. Aku mulai menduga

bahwa asing, yang dulu membuang kami ke

tanah ini, mereka sengaja menyisakan kabut

kuning yang tiada pernah habisnya selama

berabad. Ada suara-suara berkicau dalam

kepalaku bahwa betapa cerdiknya asing itu.

Tidak hanya memisahkan keluarga kami

sejauh ratusan mil. Mereka juga pikirkan

bagaimana caranya agar kami tak akan

pernah bersatu.

“Asing sialan! Asing licik! Asing srigala!

Kau d ipe ra l a t ! Kau te r j ebak da lam

konspirasi!”

Suara-suara itu kian nyaring berkicau.

Itu bukan suaraku. Suara dua orang, pria dan

wanita. Terdengar marah. Terdengar sangat

persuasif dan provokatif. Ketika aku hendak

tidur. Ketika aku sedang membersihkan

rumput di belakang rumah. Bahkan ketika aku

sedang dalam solatku. Tiap hari seperti

itu.

Sejak kecil aku sudah mendengar

kicauan itu. Seperti ada seseorang di samping

kanan dan kiriku selain malaikat pencatat

amal . Suara itu yang menggerakkan

langkahku untuk menembus hutan dan

memungut serpih-serpih sejarah keluargaku.

“Asing sialan! Asing licik! Kau dijebak

Hadija! Kau tak berguna Hadija! Kau

diperdaya Hadija! Tembus hutan! Cari

keluargamu!”

Kian hari kicauannya semakin berisik.

Lebih berisik dari nyanyi jangkrik di malam

hari. Lebih nyaring dari balap kokok ayam

ketika fajar.

H a r i i n i k u p u t u s k a n ke m b a l i

menembus hutan. Aku tidak peduli dengan

k a b u t k u n i n g y a n g m u n g k i n a k a n

membawaku ke dunia yang berbeda. Tidak

apa. Mungkin di dunia i tu aku bisa

menyatukan serpih sejarahku.

Aku bersemangat sekali kali ini. Tidak

ada perasaan takut. Tidak ada balapan antara

degup jantung dan langkah kaki. Yang ku tahu

aku akan segera menemukan keluargaku.

Seper t i yang lalu, hutan sama

gelapnya. Kabut kuning dengan bau khas itu

Page 11: Dialektika edisi nopember

mencekik leherku pelan-pelan.

Kaki ku melangkah terus satu-satu, kian

aku menembus hutan, kabut kuning sialan itu

semakin meledekku. Ah dia mengujiku.

Ah sialan, ia menjadi-jadi, sialan! Pening

kepalaku, kepekatannya menerobos lorong-

lorong saluran nafasku, mencekikku. Sel-sel

otakku di obrak-abriknya, hingga sesaat aku

berhenti. Kurasakan dunia di sekelilingku

berputar. Terngiang-ngiang aku, “di manakah

aku?”. Berdiriku runtuh, aku ambruk terkulai di

tanah. Lelah dan sesak.

Aku berdiam, sosok itu tiba-tiba

“Hadija, akhirnya kita berjumpa”. Satu satu

derap langkah itu mendekatiku, mereka,

wajah-wajah itu, kurindui betul dalam setiap

detik waktu yang berlarian. Aku bangun,

berdiri. Aku berlari mendekat ke mereka, aku

ingin memeluk mereka. Semakin dekat, dan

terus ku berlari. “Ayah, Paman, Bibi...” Dekat

sekali sudah dan kupeluk mereka, aku jatuh

terkapar di tanah. “Ah, di mana?”

Aku menangis. Dan imajinasi itu

m e n y a l a k a n a p i s e m a n g a t k u u n t u k

mengalahkan kabut kuning terlaknat itu.

“Berani-beraninya kau, tidak lagi aku akan

mengalah padamu kabut sialan. Asing biadab!”

Aku segera berdiri membereskan baju dari sisa-

sisa tanah dan dedaunan kering. Lantas aku

sigap melangkahkan kaki ku, kiri dan kanan.

Desah nafasku terengah-engah bagai nyanyian

lagu perjuangan.

Ku tembus hutan itu, ku sambangi

berbagai penghuninya yang memerindingkan

bulu kuduk. Semua itu tak lebih mengerikan

dari kebiadaban asing yang terlaknat.

Sampai berapa waktu kemudian,

langitku masih saja beratapkan kegelapan. Ku

lihat abu-abu beterbangan, pepohonan

meranggas sekarat. Bagai tak ada bedanya

dengan tempat tinggalku.

Manusia-manusia berlalu lalang,

sebagian wajahnya tertutup kain. Hanya ada

mata yang saling memandang. Kerlingannya

nampak tak tenang, tak ada raut kebahagiaan.

“Aduhai Tuhan, gerangan apa lagi ini?”, hatiku

memanas seperti panasnya udara siang itu.

Ku lewati sudut-sudut pasar yang

menjadi sepi, sekolah dan kantor yang tutup.

Dari persimpangan jalan, di sudut dalam

rumah melayu itu ku dengar seorang anak

kecil terbatuk-batuk sambil menangis

dibarengi hela nafas yang tersengal-sengal

seorang lelaki tua.

Dadaku melompong, hilang rasa. Otak

dalam tempurung kepalaku berjejalan

dengan sejuta kutukan-kutukan. Tanganku

mengepal, rasa-rasanya ingin memukul

keparat-keparat sialan itu. Aku berjalan ling

lung terus mencari separuh nyawa hidup yang

lama sekali iannya kurindukan. Tibalah aku di

sebuah telaga pada sebuah sore. Di telaga

yang telah membuatku mati rasa. Mataku

berasa tertusuk pasak tenda yang sering ku

bawa. Aku melihat Sore bersama asing di situ.

Sebuah konspirasi. Ya konspirasi yang selama

ini aku buta oleh itu.

Ku tak tahu lagi siapa yang harus

kubenci. Asing? Takdir? Atau Sore yang begitu

kucintai. Yang jelas, rasa sedih amat

mendalam. Kulihat, keadaan semakin

memburuk.

Tuhan, aku percaya engkau tidak akan

menguji hambamu di luar batas kemampuan

kami? Siramlah dengan hujanmu. Padamkan

api dan h i langkan pekat asap yang

menyesakkan rongga dadaku ini. Ah.. aku

hanya bisa mengeluh kepadamu. Apa yang

bisa ku lakukan, aku tahu kami di sini masih

lebih untung dibanding suadara ku yang ada

di Gaza. Ini hanya asap, bukan bom yang

kapanpun bisa merenggut nyawa. Maaf

Tuhan aku hanya bisa mengeluh. Kulihat

kembali ke langit penuh asap yang dulu

terlihat biru , kutitipkan sebait doa kepada Mu

Tuhan, ampuni manusia yang penuh dosa

seperti kami.

Page 12: Dialektika edisi nopember