Upload
phungkien
View
265
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DISTRIBUSI UKURAN PERKOTAAN DI INDONESIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Oleh
ANNISA FITRIA H14104115
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN ANNISA FITRIA. Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS ).
Kawasan perkotaan di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan ini antara lain dicerminkan oleh peningkatan pertumbuhan penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan serta besarnya kontribusi sektor-sektor ekonomi yang digerakkan dari kawasan ini terhadap ekonomi nasional. Penduduk perkotaan yang digunakan untuk mengestimasi ukuran perkotaan suatu wilayah di Indonesia terlihat cenderung terkonsentrasi pada daerah tertentu. Hal tersebut mendorong dilakukannya penelitian mengenai distribusi ukuarn perkotaan di Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji apakah rank-size rule berlaku di Indonesia. Ruang lingkup penelitian ini adalah kawasan perkotaan pada kota dan kabupaten di Indonesia yang dikelompokan ke dalam 25 provinsi. Pengelompokan dilakukan berdasarkan provinsi yang ada pada tahun awal penelitian dan Provinsi DKI Jakarta yang dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Barat. Provinsi yang baru lahir akibat proses pemekaran wilayah setelah tahun 2000 dimasukkan ke dalam provinsi sebelum pemekaran dilakukan.
Identifikasi rank-size rule di Indonesia dilakukan dengan membandingkan ukuran perkotaan aktual dengan ukuran perkotaan menurut prediksi rank-size rule. Berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa rank-size rule selalu memberikan prediksi ukuran perkotaan yang lebih besar atau lebih kecil dari ukuran perkotaan aktual. Rank-size rule dapat dengan tepat memprediksi ukuran perkotaan jika nilai eksponen pareto, yang menggambarkan distribusi ukuran perkotaan, sama dengan satu. Kemudian menjadi penting untuk mengidentifikasi dan menganalisis mengapa nilai pareto ini tidak sama dengan satu dan cenderung berbeda pada setiap wilayah, serta faktor apa yang mempengaruhinya?.
Identifikasi distribusi ukuran perkotaan suatu wilayah dilakukan dengan mengestimasi nilai pareto eksponen yang diperoleh dari penerapan rank-size rule dengan menggunakan data penduduk perkotaan pada kota dan kabupaten di Indonesia tahun 1995, 2000 dan 2005. Berdasarkan hasil identifikasi nilai eksponen pareto yang diestimasi dengan regresi OLS dapat diketahui bahwa distribusi ukuran perkotaan di Indonesia semakin terpolarisasi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai pareto yang terus menurun selama kurun waktu analisis. Secara umum, Pulau Jawa memiliki distribusi yang lebih merata dibandingkan pulau-pulau utama lainnya.
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan dengan menggunakan pendekatan efek tetap diperoleh hasil bahwa tingkat penghematan karena urbanisasi dan karena lokalisasi serta peningkatan rasio pengeluaran pemerintah untuk pembangunan terhadap penerimaan totalnya dan jumlah daerah administrasi yang cenderung meningkat mempengaruhi ukuran perkotaan tumbuh terkonsentrasi pada suatu daerah. Ukuran perkotaan di Indonesia cenderung lebih terdistribusi dengan merata pada wilayah yang
memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja serta tingkat keterbukaan wilayah yang tinggi. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan keterkaitan aktivitas ekonomi antara satu daerah dengan daerah lain antara lain dengan mendorong terciptanya pemisahan sistem manajemen dan sistem produksi. Hal tersebut dapat terealisasi dengan adanya dukungan sistem transportasi yang saling terintegrasi antar daerah.
DISTRIBUSI UKURAN PERKOTAAN DI INDONESIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Oleh ANNISA FITRIA
H14104115
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Annisa Fitria
Nomor Registrasi Pokok : H14104115
Program studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia dan Faktor-
Faktor yang Mempengaruhinya
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131 846 872
Tanggal kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2008
Annisa Fitria H14104115
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Annisa Fitria dilahirkan di Jakarta, 11 Juli 1986 sebagai
anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan H. Abdul Fatah dan Hj. Srihartati.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SD Negeri Guntur 01 Jakarta,
kemudian pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001
pada SMPN 57 Jakarta, dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun
2004 di SMUN 3 Jakarta.
Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih
tinggi dengan harapan agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola
pikir. Institut Pertanian Bogor menjadi pilihan penulis dan diterima sebagai
mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif dalam beberapa organisasi seperti
Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
(HIPOTESA) pada kepengurusan tahun 2007.
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur segalanya milik Allah SWT dan karena izin
dari-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang merupakan syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, dengan judul “Distribusi
Ukuran Perkotaan di Indonesia dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya”.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Muhammad
Firdaus, Ph.D yang telah memberikan bimbingan baik secara teoritis maupun
teknis serta menyisihkan waktu untuk penulis selama proses pengerjaan skripsi
ini. Bapak D.S. Priyarsono, Ph.D sebagai dosen penguji dan Ibu Widyastutik, Ms.i
sebagai perwakilan dari Komisi Pendidikan atas saran yang diberikan pada ujian
sidang 9 Juli 2008.
Penulis juga berterima kasih kepada Irma A. atas saran yang diberikan
serta telah bersedia menjadi pembahas dalam Seminar Hasil Penelitian. Angga O.
atas bantuan dalam pengolahan data. A. Niken M., Maharani T.S., Della P.R.,
Dila V., Septi A., Hana A., Henni S., Noorish H., Ebrinda D.G., Fanya T.K.,
Amalia D.S.L., Rizki S.F., Arif R., yang membantu penulis dalam bertukar
pikiran. Teman-teman di Ilmu Ekonomi 41, teman-teman di Ginastri, teman-
teman satu bimbingan, teman-teman di HIPOTESA 2007 khususnya Discussion
and Analysis (DnA) Division, HMI Komisariat FEM, SES-C, dan pihak-pihak lain
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua
penulis yang selalu memberikan doa dan dukungan. Kakak-kakak penulis, Selvi
A., Shandy Y.N., dan Fahrizal sebagai motivator dan teladan bagi penulis, serta
keluarga besar.
Segala kesalahan yang terjadi pada skripsi ini sepenuhnya merupakan
tanggung jawab penulis. Saran serta kritik yang bertujuan untuk memperbaiki
kekurangan yang ada sangat penulis harapkan. Akhirnya semoga skripsi ini
bermanfaat serta menambah pengetahuan kita.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ v
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................ 1
Perumusan Masalah ................................................................................ 3
Tujuan ..................................................................................................... 5
Manfaat Penelitian ................................................................................. 6
Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... 6
II. TINJAUAN STUDI TERDAHULU
Penelitian Mengenai Pertumbuhan Kota dan Primate City .................... 7
Penelitan Mengenai Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Rank Size Rule ................................................................................ 9
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teori ....................................................................... 11
Definisi Wilayah ..................................................................................... 11
Definisi Kota dan Perkotaan .................................................................... 12
Central Place Theory ............................................................................... 13
Ukuran KotaDistribusi Ukuran Kota ....................................................... 18
Determinan Distribusi Ukuran Perkotaan ................................................ 19
Metode Panel Data ................................................................................... 24
3.2.Kerangka Pemikiran Operasional ................................................... 34
IV. METODE PENELITIAN
4.1.Jenis dan Sumber Data ................................................................... 37
4.2.Perumusan Model ........................................................................... 37
4.3.Metode Analisis Data ...................................................................... 39
4.4.Evaluasi Model................................................................................ 40
4.5.Definisi Operasional........................................................................ 44
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Perkembangan Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia............. 47
5.2. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Ukuran
Perkotaan ......................................................................................... 52
5.3. Implikasi Kebijakan ....................................................................... 66
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan .............................................................................................. 70
Saran ........................................................................................................ 70
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 72
LAMPIRAN ................................................................................................. 74
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Penduduk Perkotaan di Indonesia Tahun 1980, 1990, 2000 dan 2005 ............................................................................................ 1
2. Kerangka Identifikasi Autokorelasi ............................................ 43
3. Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia Tahun 1995, 2000 dan 2005 ..................................................................................... 49
4. Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia Menurut Prediksi Rank-Size Rule Tahun 1995, 2000 dan 2005 .............................. 50
5. Hasil Uji Hausman ..................................................................... 60
6. Estimasi Pengaruh Karakteristik Wilayah Terhadap Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Pendekatan Efek Tetap Pembobotan dan White Cross Section Covariance ......................................... 61
7. Nilai Koefisian Intersep Pengaruh Karakteristik Wilayah terhadap Distribusi Ukuran Perkotaan ........................................ 66
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kontribusi Sektoral Terhadap PDB Indonesia .................................. 2
2. Distribusi Penduduk Perkotaan pada 5 Pulau Utama di Indonesia Tahun 1995, 2000 dan 2005 ............................................................ 5
3. Perkembangan Pusat Pelayanan .................................................. 14
4. Model Sistem K = 7 .................................................................... 15
5. Distribusi Ukuran Kota dengan Model Central Place ................ 16
6. Grafik Estimasi dengan Pendekatan Pooled Least Square ......... 27
7. Grafik Estimasi dengan Pendekatan Within Group Estimator .... 29
8. Skema Kerangka Pemikiran dan Alur Penelitian ........................ 36
9. Nilai Eksponen Pareto Indonesia Tahun 1995, 2000 dan 2005 .. 51
10. Nilai Rata-rata Eksponen Pareto 5 Pulau Utama Tahun 1995, 2000 dan 2005 ............................................................................................ 52
11. Nilai Eksponen Pareto Menurut Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005 .................................................................................................. 53
12. Tingkat Kepadatan Jalan Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005 ............................................................................................ 54
13. Tingkat Penghematan Urbanisasi Tahun 1995, 2000 dan 2005 .. 55
14. Tingkat Penghematan Lokalisasi Tahun 1995, 2000 dan 2005 .. 56
15. Tingkat Penghematan Spesialisasi Tahun 1995, 2000 dan 2005 56
16. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perkotaan Tahun1995, 2000 dan 2005 ............................................................................................ 57
17. Tingkat Pendapatan per Kapita Tahun 1995, 2000 dan 2005 ..... 58
18. Persentase Pengeluaran Pembangunan terhadap Penerimaan Total Pemerintah Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005 ............................ 58
19. Jumlah Kota/Kabupaten Tahun 1995, 2000 dan 2005 ............... 59
20. Tingkat Keterbukaan Wilayah Tahun 1995, 2000 dan 2005 ......... 59
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Grafik Ukuran Perkotaan Aktual dan Ukuran Perkotaan Prediksi Rank-Size RuleTahun 1995, 2000 dan 2005 ................. 75
2. Distribusi Ukuran Perkotaan Aktual Tahun 1995, 2000 dan 2005 ...................................................................................... 77
3. Nilai Eksponen Pareto Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005 ... 90
4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Pengujian Hausman .......................... 91
5. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Pendekatan Fixed Effect, Pembobotan dan White Cross Section Covariance .......................................... 92
6. Uji Kenormalan ........................................................................... 93
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan perkotaan terus mengalami perkembangan yang pesat dalam
pertumbuhan populasi penduduknya. Secara kuantitatif, data menunjukkan bahwa
jumlah penduduk perkotaan di Indonesia mengalami pertumbuhan dari sekitar
32.8 juta atau 22.3 persen total penduduk nasional pada tahun 1980, meningkat
menjadi 55.4 juta atau 30.9 persen di tahun 1990, dan 86.6 juta atau 42 persen
pada tahun 2000. Pada tahun 2025 diperkirakan 68.3 persen penduduk Indonesia
akan mendiami kawasan perkotaan1.
Tabel 1. Penduduk Perkotaan di Indonesia Tahun 1980, 1990, 2000 dan 2005 Jumlah penduduk (dalam juta jiwa) Pertumbuhan (dalam persen)
1980 1990 2000 2005 1980-1990 1990-2000 2000-2005
Total 147.0 179.2 206.2 219.2 2.2 1.5 0.6
Perkotaan 32.8 55.4 6.6 105.8 6.9 5.6 2.2
Sumber: Sensus Penduduk (SP) 1980, 1990, 2000 dan Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005
Tabel 1 memperlihatkan selama kurun waktu sepuluh tahun (1980-1990),
angka pertumbuhan penduduk perkotaan sebesar 6.9 persen per tahun. Itu berarti
jauh lebih tinggi daripada angka pertumbuhan penduduk secara nasional, yaitu 2.2
persen per tahun. Demikian juga pada periode 1990-2000, angka pertumbuhan
penduduk perkotaan mencapai 5.6 persen per tahun yang juga melebihi
pertumbuhan penduduk nasional yang hanya sebesar 1.5 persen per tahun.
Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi tersebut disebabkan oleh tiga
faktor yaitu pertambahan jumlah penduduk yang secara alami terjadi melalui
proses kelahiran, migrasi penduduk dari pedesaan ke perkotaan dan adanya
1 BPS, BAPPENAS dan UNFPA dalam Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2025
perubahan status kawasan pedesaan menjadi perkotaan. Para ahli kependudukan
memperkirakan bahwa pertumbuhan penduduk di kawasan perkotaan terutama
akibat dari migrasi penduduk ke kawasan ini serta adanya perubahan status
pedesaan menjadi perkotaan.
Besarnya arus migrasi penduduk ke kawasan perkotaan dan perubahan
kawasan pedesaan menjadi perkotaan, tidak terlepas dari bentuk pembangunan
yang memperlihatkan besarnya peranan perkotaan dalam aktivitas ekonomi.
Aktivitas ekonomi yang digerakkan dari kawasan ini merupakan tulang punggung
pembangunan Indonesia dan memberikan kontribusi yang besar dalam
pertumbuhan ekonomi. Hal ini dicerminkan oleh besarnya kontribusi sektor-
sektor sekunder dan sektor tersier, terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Gambar 1. Kontribusi Sektoral Terhadap PDB Indonesia2
Gambar 1 memperlihatkan kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap
PDB. Jika pada tahun 1960, sektor sekunder hanya memberikan kontribusi
sebesar 15.05 persen maka kemudian pada tahun 2000 kontribusi itu meningkat
hingga hampir setengah dari komposisi PDB.
2 Tahun 1970-2000: www.publication.worldbank.org/wdi dan tahun 2005: BPS
0
20
40
60
80
100
1 2 3 4 5
Tahun
Pers
enta
se
PRIMER
SEKUNDER
TERSIER
1970 1980 1990 2000 2005
Sektor sekunder dan tersier merupakan sektor yang memiliki pengaruh
terbesar dalam perekonomian Indonesia. Naik atau turun produktivitas pada kedua
sektor ini memberikan efek yang meluas bagi perekonomian. Seperti yang terjadi
pada tahun 1997. Akibat guncangan yang terjadi pada ekonomi perkotaan
berdampak besar bagi perekonomian Indonesia.
Keberadaan berbagai kegiatan ekonomi baik sekunder maupun tersier serta
fungsi-fungsi pelayanan yang lebih memadai menimbulkan daya tarik bagi
penduduk untuk bermigrasi ke kawasan ini. Pada sisi lain, pengelompokan
kegiatan, fasilitas dan penduduk serta berpusatnya berbagai keputusan yang
menyangkut publik merupakan faktor yang menarik bagi kegiatan ekonomi
(Prabatmodjo, 2000). Hal ini merupakan akibat dari pertimbangan para pelaku
ekonomi, akan pentingnya kedekatan secara spasial untuk menghasilkan efisiensi
yang mempengaruhi penentukan lokasi usaha maupun tempat tinggal.
Perkotaan memiliki nilai strategis dalam perkembangan suatu negara.
Perkotaan tidak hanya berperan sebagai pemusatan penduduk serta berbagai
fungsi sosial, ekonomi, politik dan administrasi, tetapi juga potensial sebagai
instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan pada tingkat nasional dan
regional (Prabatmodjo, 2000). Oleh karena itu, perkembangan perkotaan perlu
dicermati.
1.2. Perumusan Masalah
Dalam tinjauan teori ekonomi regional, besarnya kota-kota dapat
ditentukan dengan cara merangking pusat-pusat yang bersangkutan menurut
jumlah penduduknya atau yang dikenal dengan rank-size rule. Rank size rule
menggambarkan distribusi ukuran perkotaan pada suatu wilayah mengikuti pola
tertentu yang ditunjukkan oleh suatu nilai pareto (eksponen pareto). Penelitian
yang pernah mengestimasi nilai pareto ini menunjukkan bahwa negara-negara di
kawasan Amerika Utara dan Eropa memiliki nilai pareto yang lebih tinggi
dibandingkan dengan negara-negara di kawasan lainnya, artinya negara-negara di
Amerika Utara dan Eropa cenderung memiliki distribusi ukuran perkotaan yang
lebih merata dibandingkan kawasan lainnya. Hal ini menimbulkan tanda tanya
yaitu apakah distribusi ukuran perkotaan yang relatif lebih merata berkaitan
dengan karakteristik yang dimiliki kedua kawasan tersebut, mengingat keduanya
relatif memiliki karakteristik yang hampir sama?.
Bagaimana dengan distribusi ukuran perkotaan di Indonesia? Pada kurun
waktu 1995 hingga 2005 tidak mengherankan Pulau Jawa mendominasi populasi
penduduk perkotaan dengan proporsi yang terus meningkat. Gambar 2
memperlihatkan sebanyak lebih dari setengah penduduk perkotaan di Indonesia
berada di Pulau Jawa. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa penduduk
perkotaan di Indonesia semakin terkonsentrasi pada pulau ini.
Hasil SUPAS 1995 memberikan gambaran mengenai pertumbuhan
penduduk perkotaan yang semakin terkonsentrasi tidak hanya terjadi antar pulau,
tapi juga semakin terkonsentrasi pada daerah tertentu. Sebagian besar penduduk
yang pindah selama lima tahun terakhir ke kota-kota besar berasal dari kawasan
perkotaan, sedangkan sisanya berasal dari pedesaan3. Sebagai contoh, migran
yang masuk ke DKI Jakarta selama periode 1990-1995, 61.7 persen berasal dari
perkotaan. Pola yang sama juga terlihat di Kota Medan, Bandung, dan Surabaya,
3 S.G Made Mamas (2000): Proyeksi Penduduk Kota Kota di Indonesia Periode 1995 - 2005
dimana migran masuk yang berasal dari perkotaan masing-masing 70.9 persen,
62. 4 persen, dan 53.2 persen.
Perkembangan perkotaan yang seperti ini mengindikasi pertumbuhan yang
tidak paralel, dimana kota-kota besar cenderung untuk tumbuh lebih cepat dari
kota-kota di bawahnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran munculnya
eksternalitas negatif pada pertumbuhan perkotaan di Indonesia, yang pada
awalnya diharapkan mampu mendorong efisiensi dalam perekonomian regional
justru berjalan kearah yang sebaliknya. Pada tahap lanjut, dekonsentralisasi
menjadi lebih efisien karena dua hal (Henderson, 2000). Pertama, perekonomian
telah mampu memperluas jangkauan infrastruktur dan sumberdaya pengetahuan
sampai ke daerah pinggiran. Kedua, daerah dengan konsentrasi diawal yang tinggi
berubah menjadi biaya tinggi dan lokasi-lokasi yang dipenuhi dengan kemacetan
sehingga menimbulkan disefisiensi bagi produsen dan konsumen.
1.3 Tujuan
Penduduk perkotaan yang digunakan untuk mengestimasi ukuran
perkotaan suatu wilayah di Indonesia terlihat cenderung terkonsentrasi pada
68.1
17.25 5.2 4.6
68.5
16.94.6 4.8 5.3
68.7
16.14.9 4.9 5.5
0
20
40
60
80
100
1 2 3 4 5
Pulau Utama
Per
sen
tase Series1
Series2
Series3
Jawa Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya
1995
2000
2005
Sumber: SP 2000 dan SUPAS 1995 dan 2005 Gambar 2. Distribusi Penduduk Perkotaan pada 5 Pulau Utama di Indonesia Tahun
1995, 2000 dan 2005 (dalam persentase)
daerah tertentu. Berdasarkan permasalahan tersebut tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah:
1. Mengkaji apakah rank-size rule berlaku di Indonesia.
2. Mengidentifikasi distribusi ukuran perkotaan di Indonesia.
3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi ukuran
perkotaan di Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan memahami distribusi ukuran perkotaan di Indonesia diharapkan
hasil dari penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para
pembuat kebijakan untuk mengatur dan mengelola tingkat pertumbuhan perkotaan
dan distribusinya, sehingga dapat mengurangi dampak negatifnya terhadap
pertumbuhan ekonomi wilayah.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan data 25 provinsi di Indonesia tahun 1995,
2000 dan 2005. Jumlah unit cross section yang digunakan dalam penelitian ini
mengikuti jumlah provinsi yang ada pada tahun awal penelitian (1995) dikurangi
Timor-Timor serta Provinsi DKI Jakarta yang dimasukkan ke dalam Provinsi
Jawa Barat. Provinsi yang baru lahir akibat proses pemekaran wilayah setelah
tahun 2000 dimasukkan ke dalam provinsi sebelum pemekaran dilakukan.
II. TINJAUAN STUDI TERDAHULU
2.1 Penelitan Mengenai Pertumbuhan Kota dan Primate City
Penelitian mengenai distribusi ukuran perkotaan tidak dapat terlepas dari
penelitian mengenai pertumbuhan kota dan primate city. Junius (1999) dalam
”Primacy and Economic Development: Bell Shaped or Parallel Growth of Cities”
mengidentifikasi pola pertumbuhan kota, apakah membentuk primasi
(terkonsentrasi) ataukah tumbuh secara paralel. Junius (1999) menggunakan data
penduduk perkotaan pada 70 negara.
Rasio primasi diestimasi dengan membagi populasi kota terbesar terhadap
total populasi perkotaan. Berdasarkan hubungan antara tingkat primasi dan
pembangunan ekonomi yang diperoleh dari kurva bell shaped, Junius (1999)
menyimpulkan bahwa indeks primasi pada suatu negara berhubungan erat dengan
faktor sejarah. Negara yang sudah lama merdeka cenderung memiliki konsentrasi
perkotaan yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang baru
merdeka. Kondisi sistem transportasi yang ada juga turut mempengaruhi
konsentrasi perkotaan, sedangkan keterbukaan ekonomi dan kebebasan politik
memberikan pengaruh yang kurang signifikan.
Menggunakan metode GMM, Henderson (2000) dalam ”The Effect of
Urban Concentration in Economic Growth” mengidentifikasi determinan dari
konsentrasi perkotaan dengan menggunakan data 80 negara-negara di dunia tahun
1960 hingga 1995 (interval 5 tahun). Henderson (2000) menjelaskan bahwa
konsentarasi perkotaan pada suatu wilayah meningkat seiring dengan kenaikan
pendapatan. Ketika pendapatan meningkat, kemudian terjadi peningkatan
kepadatan jalan menyebabkan berkurangnya tingkat primasi secara
signifikan. Faktor perdagangan internasional dan tingkat desentralisasi politik
menyebabkan berkurangnya konsentrasi penduduk perkotaan di wilayah tertentu.
Prabatmodjo (2000) mengidentifikasi perkembangan urbanisasi di
Indonesia dengan menggunakan data tahun 1971 dan 1980. Dalam tulisannya
yang berjudul “Perkotaan Indonesia pada Abad ke-21: Menuju Urbanisasi
Menyebar?” menyatakan secara umum kota-kota besar memiliki kontribusi tinggi
dalam pertambahan penduduk perkotaan.
Distribusi perkotaan di Indonesia relatif seimbang dengan tingkat primasi
yang relatif rendah. Bentuk kepulauan, yang menghasilkan rintangan ruang yang
signifikan, lebih memungkinkan berkembangnya kota-kota di luar Jawa serta
menghindarkan tingkat primasi yang berlebihan. Meskipun demikian, Jawa
memiliki lebih banyak kota dengan penduduk diatas sepuluh ribu jiwa
dibandingkan dengan pulau lain. Indonesia secara umum telah masuk pada tahap
advanced primate city yaitu kota-kota metropolitan sudah mulai jenuh karena
keterbatasan ruang. Di lain pihak, kota-kota menegah mulai meningkat perannya
sebagai konsentrasi penduduk.
Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kota
di Indonesia pernah dilakukan oleh Mulatip dan Brodjonegoro (2002), dengan
menggunakan data tahun 1990 yang mencakup 56 kota. Penelitiannya yang
berjudul “Determinan Pertumbuhan Kota”, pertumbuhan kota diestimasi dengan
pertumbuhan jumlah angkatan kerja dan pertumbuhan jumlah penduduk. Dengan
menggunkan analisi regresi, Mulatip dan Brodjonegoro (2002) menyimpulkan
bahwa kepadatan penduduk, spesialisasi ekonomi mempengaruhi pertumbuhan
kota secara negatif. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kota secara positif
ditunjukkan oleh tingkat penghematan karena urbanisasi, tingkat penghematan
karena lokalisasi dan tingkat pendidikan penduduk.
2.2. Penelitan Mengenai Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Rank Size Rule
Duranton (2002) menyatakan dalam “City Size Distribution As a
Consequence of Growth Process” bahwa ukuran distribusi penduduk di banyak
negara mengikuti suatu pola yang umum. Beberapa teori mengenai distribusi
ukuran kota memungkinkan menghitung pola tersebut dengan menggunakan
mekanisme ekonomi seperti adanya penghematan karena agglomerasi dan biaya
kepadatan. Duranton (2002) menyimpulkan bahwa inovasi merupakan mesin
penggerak dibalik tumbuh atau tidaknya kota. Kota tumbuh atau tidak sejalan
dengan berhasil atau gagalnya industri-industri yang ada di dalamnya dalam
melakukan inovasi.
Crampton (2005) menggunakan data 14 negara di Eropa mengestimasi
tingkat primasi dan distribusi ukuran perkotaan dengan penerapan rank-size rule.
Dalam penelitiannya yang berjudul ”The Rank Size Rule in Europe”, Crampton
(2005) menyimpulkan bahwa negara yang memiliki pemerintahan relatif keras
(strong) dan memiliki sejarah regional city-state memiliki pola distribusi ukuran
perkotaan yang anti-primate.
Penelitian mengenai rank-size rule masih sangat terbatas. Penelitian yang
dilakukan Rossen dan Resnick (1980) yang berjudul “The Size Distribution of
Cities: An Examination of Pareto Law and Primacy” merupakan penelitian yang
cukup penting. Rossen dan Resnick (1980) mengidentifikasi distribusi ukuran
kota pada 44 negara di dunia dengan menggunakan data tahun 1970. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa nilai eksponen pareto berkisar antara 0.88
hingga 1.96. Hasil ini membuktikan bahwa secara empiris ukuran kota selalu lebih
besar ataupun lebih kecil dari ukuran kota yang diprediksi rank-size rule.
Soo (2002) memperbarui penelitian Rossen dan Resnick (1980) dengan
menambah jumlah negara yang diteliti menjadi 73 negara (salah satunya
Indonesia). Dalam penelitiannya yang berjudul ”Zipf’s Law for Cities: A Cross
Country Investigation” menggunakan dua definisi kota yaitu menggunakan
pendekatan kota menurut definisi administratif dan kota menurut konsep
agglomerasi. Distribusi ukuran kota pada suatu negara dapat diestimasi dengan
sebuah nilai eksponen pareto yang diperoleh dari rumusan rank-size rule. Nilai ini
diestimasi dengan dua pendekatan yaitu regresi OLS dan Hill Estimator. Soo
(2002) juga meneliti faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan dalam nilai
pareto ini antar negara.
Hasil estimasi nilai pareto terbesar dipegang oleh Kuwait yaitu sebesar
1.719. Nilai pareto ini berasosiasi dengan banyaknya kota-kota kecil dan tidak
adanya kota primasi di Kuwait. Hasil investigasi terhadap 6 benua utama
menghasilkan bahwa secara rata-rata, negara-negara di Kawasan Eropa, Amerika
Utara dan Oceania memiliki nilai pareto diatas 1.2, sedangkan negara-negara di
Asia, Afrika dan Amerika Latin memiliki rata-rata nilai pareto dibawah 1.1.
Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi ukuran kota
yang dilakukan Soo (2002) menunjukkan bahwa faktor ekonomi politik seperti
kebebasan sipil, pengeluaran pemerintah, keterlibatan pada perang dunia dan usia
negara tersebut merdeka, lebih baik dalam menjelaskan perbedaan dalam nilai
pareto dibandingkan dengan faktor ekonomi geografi seperti derajat skala
ekonomi, biaya transportasi, nilai tambah produk non pertanian dan perdagangan
internasional.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Definisi Wilayah
Teori ekonomi regional memberikan tekanan akan pentingnya
memasukkan dimensi lokasi dalam menganalisis masalah-masalah ekonomi.
Dalam menerangkan unsur lokasi tersebut, teori ekonomi regional memakai
konsep region (wilayah). Konsep wilayah mempunyai tiga macam pengertian,
yaitu (Adisasmita, 2005):
1. Konsep Homogenitas
Wilayah homogen diartikan sebagai suatu konsep yang menganggap bahwa
wilayah-wilayah geografis dapat dikaitkan bersama-sama sehingga dapat
dipandang sebagai sebuah wilayah tunggal. Ciri atau karakteristik tersebut
dapat bersifat ekonomi, geografis, dan dapat bersifat sosial atau politis.
Misalnya konsep homogenitas berdasarkan kesamaan pendapatan per kapita,
kesamaan kepribadian masyarakat yang khas, kesamaan topografi wilayah,
ataupun kesamaan sejarah, budaya dan sebagainya.
2. Konsep Nodalitas
Wilayah dibedakan atas perbedaan struktur tata ruang dimana terdapat
hubungan saling ketergantungan yang bersifat fungsional. Keadaan ini dapat
dibuktikan dengan mobilitas penduduk, arus produksi dan arus barang,
pelayanan ataupun arus komunikasi dan transportasi. Hubungan saling
keterkaitan ini terlihat pada hubungan antara pusat dengan wilayah
belakangnya (inti dengan hinterland).
3. Konsep Administrasi atau Wilayah Program
Pengelompokan yang dilakukan berdasarkan kepentingan administrasi
pemerintahan, dimana batas-batas daerah ditentukan oleh struktur administrasi
pemerintahan tertentu. Wilayah perencanaan merupakan suatu wilayah
pengembangan, dimana program-program pembangunan dilaksanakan.
Penelitian ini menggunakan definisi wilayah menurut konsep administrasi.
Hal ini berkaitan dengan ketersediaan data yang dikumpulkan berdasarkan
wilayah administrasi.
3.1.2. Definisi Kota dan Perkotaan
Pendefinisian tentang kota tidak selalu tepat dan tergantung pada
pendekatannya. Pendekatan dari segi ekonomi melihat kota sebagai pusat
pertemuan lalu lintas ekonomi, perdagangan, kegiatan industri serta tempat
perputaran uang yang bergerak dengan cepat dan dalam volume yang banyak
(Marbun, 1994). Dalam konteks administrasi pemerintahan di Indonesia, kota
adalah pembagian wilayah administratif setelah provinsi. Selain kota, pembagian
wilayah administratif setelah provinsi adalah kabupaten.
Berbeda dengan definisi kota secara administratif, definisi perkotaan
menurut BPS yaitu wilayah yang memiliki kepadatan penduduk mencapai 5 ribu
jiwa atau lebih per kilometer persegi, jumlah rumah tangga dengan pola usaha
pertanian maksimum 25 persen dan menunjukkan adanya delapan atau lebih jenis
fasilitas perkotaan, seperti sekolah, pasar, rumah sakit, jalan aspal dan listrik. Baik
kabupaten maupun kota (dalam pengertian administrasi) memiliki wilayah
perkotaan. Adanya keunggulan komparatif, skala ekonomi dalam produksi dan
agglomerasi ekonomi pada suatu wilayah, membentuk suatu tekanan pasar
sehingga terbentuk wilayah dengan ciri-ciri perkotaan (Sullivan, 2000).
Dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan
bahwa kawasan perkotaan dapat dibedakan atas empat hal, yaitu:
(a) Kawasan perkotaan yang berstatus administratif kota.
(b) Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari daerah kabupaten.
(c) Kawasan perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang
mengubah kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan.
(d) Kawasan perkotaan yang menjadi bagian dari 2 atau lebih daerah yang
berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi dan fisik perkotaan.
3.1.3. Central Place Theory
Walter Christaller memperkenalkan sebuah teori yang dikenal sebagai
Central Place Theory. Teori ini menjelaskan mengenai bagaimana susunan dari
besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya dalam satu wilayah (Priyarsono,
Sahara dan Firdaus, 2007).
Teori central place memiliki tiga konsep fundamental yaitu konsep
ambang batas (threshold), lingkup (range) dan hierarki (Richardson dalam
Adisasmita, 2005).
1. Ambang Batas (Threshold)
Suatu pusat memiliki ambang batas tertentu dalam memberikan pelayanan.
Sebuah pusat yang kecil akan memberikan penawaran pelayanan yang
lebih terbatas jika dibandingkan dengan pusat yang lebih besar. Tidak
mudah untuk mengukur ambang batas. Untuk mengukur ambang batas
digunakan jumlah orang yang membutuhkannya.
2. Lingkup (range)
Keberadaan ambang batas suatu pusat menimbulkan jangkauan pelayanan.
Lingkup (range) digambarkan sebagai area (luas jangkauan area yang
dilayani) dari kepusatan suatu pusat. Jangkauan ini dapat juga
dianalogikan sebagai asal konsumen yang diukur dari jarak tempat tinggal
pembeli menuju ke pusat pelayanan tempat konsumen membeli barangnya.
Jangkauan pelayanan dipengaruhi oleh harga barang, biaya transportasi,
tingkat kebutuhan terhadap barang yang akan dibeli, selera konsumen, dan
kesempatan memilih.
3. Hierarki
Hasil penelitian Christaller menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan
penduduk membentuk hierarki pelayanan, dengan sebuah pusat utama
yang didukung oleh beberapa pusat pelayanan dengan skala yang lebih
rendah.
Hubungan antara ambang batas, lingkup dan hierarki dapat dijelaskan
dalam suatu sistem geometri dimana angka tiga yang diterapkan secara arbiter
memiliki peran yang sangat berarti, sehingga disebut sistem k=3 dari Christaller
(Priyarsono, et.al., 2007).
Sumber: Hoover dan Giarratani, 2002 Gambar 3. Perkembangan Pusat Pelayanan
A B C
Mula-mula terbetuk area perdagangan yang berbentuk lingkaran-lingkaran.
Setiap lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan ambang batas masing-
masing dengan jangkauan yang tidak tumpang tindih serta terdapat area yang
tidak terlayani (Bagian A Gambar 3). Kemudian muncul adanya kompetisi yang
mengakibatkan perebutan jangkauan pelayanan. Hal tersebut mengakibatkan
adanya penciutan jangkauan sebagaimana yang tercipta sebelumnya (Bagian B
Gambar 3). Dengan tumpang tindihnya area perdagangan mengakibatkan
jangkauan pelayanan yang semula berupa lingkaran mengalami penyesuaian
sehingga berbentuk heksagonal (Bagian C Gambar 3).
Sumber: Priyarsono, et al., 2007 Christaller melihat sistem k=3 menjadi tidak realistik dan berinovasi
menggunakan K=7, dimana pusat dari beberapa wilayah yang lebih rendah berada
di dalam heksagonal dari pusat yang lebih tinggi (Gambar 4). Ia kemudian
mengaitkan teorinya ini dengan susunan orde perkotaan. Kota yang dapat
memberikan pelayanan yang besar dan beragam dinyatakan sebagai kota orde I,
sedangkan makin rendah pelayanan yang tersedia maka orde kotanya juga
semakin rendah (Priyarsono, et.al., 2007).
Gambar 4. Model Sistem K = 7
Central Place Theory mengidentifikasi pengaruh kekuatan pasar terhadap
terbantuknya hierarki sistem perkotaan. Hal ini menjelaskan mengapa ada kota
yang lebih besar dari yang lain (Sullivan, 2000).
Gambar 5, menunjukkan ukuran distribusi kota-kota dalam suatu wilayah.
Garis tegak lurus menunjukkan populasi kota (populasi) dan garis mendatar
menunjukkan peringkat (rank) kota. Kota terbesar (orde I) memiliki populasi
20.000 jiwa, kota orde II memiliki populasi 10.000 jiwa, kota orde III memiliki
populasi 5000 jiwa. Secara total, wilayah ini terdapat 11 kota dengan rincian
terdapat sebuah kota berpopulasi 20.000 jiwa, dua buah kota berpopulasi 10.000
jiwa dan 8 kota berpopulasi 5.000 jiwa. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa distribusi ukuran kota dalam suatu wilayah menunjukkan
semakin tinggi orde suatu kota maka jumlahnya akan semakin sedikit.
Penelitian Chritaller diawali dengan menetapkan beberapa asumsi, yakni:
1. Daerah yang akan menjadi wilayah penelitian merupakan wilayah yang
homogen, datar, dan penduduk dapat mencapai semua arah tanpa
hambatan.
0
5000
10000
15000
20000
25000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Rank
Siz
e
Sumber: Sullivan (2000) Gambar 5. Distribusi Ukuran Kota dengan Model Central Place
2. Pelanggan bertindak rasional serta memiliki daya beli yang sama dan
tersebar secara merata pada seluruh daerah. Mereka hanya akan membeli
barang dari pusat yang terdekat dari tempat tinggalnya (prinsip minimisasi
biaya).
Beberapa ahli telah menyampaikan kritik terhadap Teori Central Place ini,
antara lain penggunaan asumsi bahwa keadaan penduduk adalah homogen,
termasuk tindakan yang mengabaikan kebutuhan individu. Walaupun terdapat
kelemahan-kelemahan pada teori ini, namun teori Central Place tetap
memberikan sumbangan yang berarti untuk memahami pola dan keteraturan
keruangan serta hirarki pusat pelayanan.
3.1.4. Ukuran Kota
Pada dunia nyata, model hierarki sistem perkotaan dalam teori central
place dirumuskan dalam bentuk rank-size rule, dimana ukuran besarnya kota-kota
dapat ditentukan dengan cara merangking pusat-pusat yang bersangkutan menurut
jumlah penduduknya (Adisasmita, 2005). Rumusan ini pertama kali diperkenalkan
oleh Auerbach pada tahun 1913 (Gabaix dan Ionnides, 2003). Rank-size rule
menggambarkan hubungan antara ukuran populasi kota dan peringkatnya dengan
bentuk yaitu:
Rank x Size = Constant
atau
dimana rank adalah peringkat kota ke-n, size adalah ukuran kota ke-n dan
constant adalah ukuran kota terbesar. Misalkan, populasi penduduk di kota
terbesar adalah 16 juta maka rank-size rule menduga bahwa populasi penduduk di
(3.1.4.2)
Constant Size
Rank =
(3.1.4.1)
kota terbesar kedua adalah setengah dari populasi penduduk di kota terbesar
pertama, dan populasi penduduk di kota terbesar ke-n adalah seper-n kali dari
populasi penduduk di kota besar pertama. Penelitian secara empiris
menyimpulkan bahwa ukuran kota-kota secara nyata selalu lebih besar ataupun
lebih kecil dari prediksi rank-size rule.
3.1.5. Distribusi Ukuran Kota
Rank-size rule dapat dengan tepat memprediksi ukuran kota-kota, jika
pangkat dari size sama dengan 1. Pada perkembangan secara empiris, nilai ini
bervariasi di setiap wilayah, sehingga rumus ini menjadi:
Rank =
dimana nilai α atau yang dikenal sebagai eksponen pareto, menunjukkan distribusi
ukuran kota suatu wilayah. Persamaan tersebut dapat ditransformasi ke dalam
bentuk persamaan log menjadi:
log Rank = log Constant – α log Size
Jika nilai α semakin mendekati tak hingga, maka semua kota pada wilayah
tersebut memiliki ukuran yang sama. Persamaan diatas lebih dikenal sebagai
Zipf’s Law.
Perkembangan penelitian mengenai distribusi ukuran kota dengan
penerapan rank-size rule seringkali menggunakan populasi penduduk pada
kawasan perkotaan, seperti pada Junius (1999), Duranton (2000), Crampton
(2005). Dalam tinjauan ekonomi perkotaan, jumlah penduduk pada kawasan
perkotaan menggambarkan ukuran perkotaan (Sullivan, 2000). Distribusi ukuran
perkotaan menggambarkan bagaimana penduduk perkotaan tersebar pada suatu
wilayah sehingga membentuk peringkat tertentu.
(3.1.5.1)
Constant Size
α
(3.1.5.2)
3.1.6. Determinan Distribusi Ukuran Perkotaan
Pada awalnya semua wilayah memiliki tingkat pembangunan yang sama,
namun masing-masing berbeda dalam karakteristik dasarnya. Tiap-tiap wilayah
memiliki kekuatan yang berbeda dalam mendukung tiap bagian dalam
wilayahnya, menyebabkan terbentuklah suatu sistem kota kewilayahan (regional
system of cities) (Sulivan, 2000). Kota yang satu dikatakan lebih besar dari yang
lain yaitu apabila ia dapat menyediakan lebih banyak barang dan jasa yang tidak
hanya dapat memenuhi kebutuhan internal tapi juga dapat melayani wilayah di
sekitarnya.
Perkembangan kota merupakan bagian integral dari perkembangan suatu
wilayah ekonomi yang lebih besar (Sullivan, 2000), maka distribusi ukuran
perkotaan merupakan akibat dari suatu proses pertumbuhan (Duranton, 2002).
Berdasarkan hal tersebut maka distribusi ukuran perkotaan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu:
1. Congestion Effect
Analisis pengaruh kepadatan terhadap distribusi ukuran perkotaan sangat
terkait dengan sistem transportasi yang ada (Soo, 2002). Untuk mencapai suatu
lokasi tertentu, seorang agen ekonomi harus mengeluarkan biaya perjalanan yang
bukan hanya biaya dalam satuan moneter tapi juga biaya akibat lamanya
perjalanan. Jika diasumsikan biaya per satuan jarak adalah sama, maka perbedaan
biaya transportasi antara wilayah satu dengan yang lain dipengaruhi oleh biaya
akibat lamanya perjalanan.
Untuk mengestimasi pengaruh kondisi trasportasi terhadap distribusi
ukuran perkotaan yaitu dengan menggunakan tingkat kepadatan jalan.
Kepadatan Jalan =
Ketika tersedia sistem transportasi yang memadai, maka biaya perjalanan
dapat lebih rendah, hal tersebut menyebabkan penduduk akan lebih tersebar.
Peningkatan kepadatan jalan berpengaruh positif terhadap distribusi ukuran
perkotaan.
2. Efek Penghematan Agglomerasi
Penghematan agglomerasi merupakan eksternalitas secara geografi dalam
aktivitas perekonomian. Semakin besar aktivitas perekonomian di suatu lokasi
tertentu akan membuat industri atau tenaga kerja akan berpindah ke lokasi
tersebut. Agglomerasi menyebabkan pertumbuhan pada suatu wilayah
terkonsentrasi pada suatu daerah. Agglomerasi secara umum dikelompokkan
menjadi dua, yaitu penghematan karena lokalisasi dan urbanisasi (Sullivan, 2000).
Bradley dan Gans (1998) menambah jenis agglomerasi dengan penghematan
karena spesialisasi.
2.1. Penghematan Urbanisasi
Agglomerasi ini ditandai dengan pengelompokkan berbagai macam
industri pada lokasi yang sama. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya
pemusatan tenaga kerja yang mempunyai keahlian beragam dan dengan demikian
akan mudah terjadinya pelimpahan pengetahuan. Selain itu, industri juga dapat
memanfaatkan skala ekonomi dalam pengadaan barang dan jasa yang digunakan
sebagai input antara.
Efek urbanisasi ekonomi terhadap distribusi ukuran perkotaan diestimasi
dengan indeks primasi, yaitu kekuatan daya tarik kota terbesar pada suatu wilayah
terhadap daerah-daerah di sekitarnya. Semakin tinggi nilai indeks primasi maka
Panjang Jalan Luas Wilayah (3.1.6.1)
wilayah tersebut memiliki persebaran penduduk yang cenderung berkumpul pada
suatu daerah tertentu, sehingga peningkatan tingkat primasi pada suatu wilayah
berpengaruh negatif terhadap distribusi ukuran perkotaan.
2.2 Penghematan Lokalisasi
Penghematan lokalisasi merupakan penghematan yang muncul akibat
pengelompokan berbagai perusahaan dalam industri yang sama di satu lokasi.
Dengan berada di satu lokasi maka produktivitas dapat meningkat melalui
tersedianya input antara sehingga terjadi skala ekonomi dalam produksi (scale
economies in production), kesesuaian pasar tenaga kerja (labor market pooling)
dan terjadinya aliran pengetahuan antar perusahaan yang akhirnya dapat
mendorong terjadinya pengembangan inovasi (knowledge spillovers). Semakin
tinggi tingkat lokalisasi pada suatu wilayah maka wilayah tersebut akan
cenderung tumbuh dengan konsentrasi pada daerah tertentu, sehingga tingkat
lokalisasi yang tinggi akan berpengaruh negatif terhadap distribusi ukuran
perkotaan.
2.3. Penghematan Spesialisasi
Spesialisasi ini berhubungan dengan komposisi sektoral dalam
perekonomian. Spesialisasi berhubungan dengan suatu tingkat dimana suatu
wilayah terkonsentrasi pada sektor produksi tertentu. Adanya spesialisasi kegiatan
produksi meningkatkan produktivitas input tenaga kerja. Hal ini dipengaruhi oleh
peningkatan keterampilan tenaga kerja sebagai akibat dari pekerjaan dilakukan
secara berulang.
Spesialisasi ini juga menyebabkan tenaga kerja membutuhkan waktu yang
relatif lebih singkat untuk berpindah dari satu tugas ke tugas lainnya (Sullivan,
2000). Semakin tinggi tingkat spesialisasi maka wilayah tersebut akan cenderung
untuk tumbuh terkonsentrasi pada daerah tertentu, dan sebaliknya sehingga
peningkatan tingkat spesialisasi pada suatu wilayah berpengaruh negatif terhadap
distribusi ukuran perkotaan.
3. Kondisi Sumber Daya Manusia
Kondisi para agen ekonomi (SDM) pada suatu wilayah turut
mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan, karena mereka adalah pembuat
keputusan lokasi aktivitasnya dilakukan. Dalam menentukan lokasi tempat
tinggalnya, sebuah rumah tangga menghadapi dua kondisi yaitu memilih sesuai
selera dengan terkendala biaya. Bagi perusahaan, dalam menentukan lokasi
usahanya memiliki pertimbangan tertentu dengan tujuan memaksimalkan
keuntungan dengan sumber daya yang tersedia.
Untuk mengestimasi pengaruh kondisi SDM pada suatu wilayah terhadap
distribusi ukuran perkotaan menggunakan pendekatan pendapatan per kapita (Soo,
2002) dan tingkat partisipasi angkatan kerja yang memungkinkan adanya inisiatif-
inisiatif usaha baru (Duranton, 2002). Tingkat pendapatan per kapita dihitung
dengan rasio PDRB total terhadap jumlah penduduk. Sedangkan tingkat
partisipasi angkatan kerja dihitung dengan persentase angkatan kerja terhadap
penduduk usia kerja. Dengan pendapatan yang tinggi, rumah tangga dapat
menentukan lokasi tempat tinggal menurut selera. Hal ini menyebabkan
pendapatan berpengaruh positif terhadap distribusi ukuran perkotaan. Dengan
jumlah sumber daya manusia yang melimpah, perusahaan dapat melakukan
ekspansi usaha ke setiap daerah, sehingga dengan tingkat partisipasi angkatan
kerja yang besar akan berpengaruh positif terhadap distribusi ukuran perkotaan.
4. Peran Pemerintah
Peran pemerintah terhadap pertumbuhan berhubungan dengan efisiensi
pemerintah dalam menyediakan fasilitas publik. Untuk dapat menyediakan barang
publik, pemerintah memerlukan biaya yang diperoleh dari pendapatan. Semakin
besar pendapatan yang diperoleh pemerintah berkorelasi dengan semakin
besarnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan fasilitas publik. Hal ini
berdampak positif terhadap distribusi ukuran perkotaan.
Di Indonesia, sejak masa desentralisasi telah melahirkan daerah
administrasi baru melalui prosedur pemekaran wilayah. Untuk mengestimasi
situasi ini yaitu dengan menggunakan jumlah pembagian daerah administrasi
kota/kabupaten dalam suatu provinsi. Semakin banyak pembagian daerah
administrasi diharapkan dapat mendorong wilayah untuk tumbuh secara lebih
merata. Hal ini mungkin terjadi karena penambahan daerah administrasi juga
menghasilkan pusat pelayanan baru. Munculnya daerah administrasi yang baru
menyebabkan cakupan pengawasan pemerintahan kota/kabupaten menjadi lebih
sempit, sehingga pembangunan dapat lebih terarah. Peningkatan jumlah daerah
administrasi kota/kabupaten berpengaruh positif terhadap distribusi ukuran
perkotaan.
5. Keterbukaan Wilayah
Dalam konsep regional menurut kesatuan ekonomi secara nasional mudah
mengasumsikan suatu perekonomian tertutup, namun menjadi hampir mustahil
menerapkan konsep region menurut provinsi jika mengasumsikan adanya
peekonomian tertutup. Implikasinya yaitu analisa ekonomi regional harus
mengantisipasi keluar masuknya barang/jasa antar wilayah. Untuk mengestimasi
tingkat keterbukaan wilayah yaitu dengan menjumlahkan nilai ekspor dan impor
dan membaginya dengan PDRB
Efek keterbukaan wilayah terhadap distribusi ukuran perkotaan adalah
positif (Soo, 2002). Hal ini mungkin terjadi jika dengan wilayah yang relatif
terbuka dalam aktivitas ekonominya akan memacu masing-masing daerah untuk
tumbuh.
3.1.7. Metode Panel Data
Kelemahan penggunaan pendekatan cross section yaitu membutuhkan
penyokong dari pendekatan time series. Sebagai contoh, analisis mengenai
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah yang ditinjau melalui pertumbuhan PDRB,
tingkat investasi dan tingkat konsumsi. Jika hanya menggunakan data cross
section, yang diamati hanya pada suatu saat, maka tingkat pertumbuhan wilayah-
wilayah tersebut antar waktu tidak dapat dilihat. Di lain sisi, penggunaan time
series juga menimbulkan persoalan tersendiri melalui peubah-peubah yang
diobservasi secara serentak (aggregat) dari satu unit individu dapat memberikan
hasil estimasi yang bias. Berdasarkan latar belakang tersebut, dewasa ini muncul
perhatian dalam penggunaan pendekatan panel data, yaitu menggunakan informasi
dari kedua pendekatan tersebut (cross section dan time series).
Terdapat dua keuntungan penggunaan model panel data dibandingkan data
time series dan cross section saja (Verbeek, 2004). Pertama, dengan
mengkombinasikan data time series dan cross section dalam panel data membuat
(3.1.5.1) Ekspor + Impor PDRB Total
Keterbukaan Wilayah =
jumlah observasi menjadi lebih besar, dan dapat melihat perubahan peubah
penjelas sepanjang dua dimensi (individu dan waktu), pendugaan yang
berdasarkan panel data seringkali lebih akurat dibandingkan sumber data lain.
Menurut Hsiao (2004), data panel dapat memberikan data yang informatif,
mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat kebebasan yang
artinya meningkatkan efisiensi.
Kedua, keuntungan dari penggunaan panel data adalah mengurangi masalah
identifikasi. Panel data lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek
yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data
time series saja. Panel data mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan
metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur
heterogenitas individu. Panel data juga lebih baik untuk studi dynamics of
adjustment. Hal ini berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka
data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis.
Terdapat dua pendekatan dalam metode panel data, yaitu Fixed Effect
Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan
berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah
bebas.
Misalkan:
yit = αi + Xit β + εit (3.1.7.1)
dan one way komponen error dispesifikasikan dalam bentuk:
εit = λi + uit (3.1.7.2)
sedangkan untuk two way, komponen error dispesifikasi dalam bentuk:
(3.1.7.3) it i t ituε λ µ= + +
dimana uit diasumsikan tidak berkorelasi dangan Xit. One way komponen error
hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu (λi),
sedangakan pada two way telah memasukkan efek dari waktu (µi) ke dalam
komponen error. Jadi dengan tidak adanya korelasi antara uit dan Xit , maka
perbadaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara λi
dan µi dengan Xit.
1. Fixed Effect Model (FEM)
FEM muncul ketika antara efek individu dan periode memiliki korelasi
dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat
komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam konstanta
intersep, yaitu:
untuk one way error component:
yit = αi + λi + Xit β + uit
dan untuk two way error component:
yit = αi + λi + µi + Xit β + uit
Untuk menggambarkan FEM dapat menggunakan empat pendekatan
sebagai berikut:
1.1. Pooled Least Square (PLS)
Pada prinsipnya, pendekatan ini adalah menggunakan gabungan dari
seluruh data (pooled), sehingga terdapat NxT observasi, dimana N menunjukkan
jumlah unit cross section yang digunakan dan T menunjukkan jumlah titik waktu
yang digunakan, yang diregresikan dengan model:
yit = αi + Xit β + uit (3.1.7.6)
dimana αi bersifat konstan untuk semua observasi, atau αi = α, dan dirumuskan:
(3.1.7.4)
(3.1.7.5)
dimana
Dengan mengkombinasikan atau mengumpulkan semua data
dan data time series,
memberikan hasil estimasi yang lebih efisien, sehingga:
Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter
Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan (gradien)
garis regresi dari masing
Gambar 6. Grafik Estimasi dengan Pendekatan
(3.1.7.7
dan
Dengan mengkombinasikan atau mengumpulkan semua data
time series, dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat
hasil estimasi yang lebih efisien, sehingga:
Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter
Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan (gradien) PLS yang tidak sejajar dengan
garis regresi dari masing-masing individu.
Slop yang bias ketika
k Estimasi dengan Pendekatan Pooled Least Square
(3.1.7.7)
Dengan mengkombinasikan atau mengumpulkan semua data cross section
dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat
Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias.
yang tidak sejajar dengan
Slop yang bias ketika fixed effect diabaikan
(3.1.7.9)
(3.1.7.8)
Pooled Least Square
Parameter yang bias ini disebabkan karena
observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan
observasi yang sama pada periode yang berbeda.
1.2. Pendekatan Within Group (WG) Estimator
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa intersep akan berbeda untuk
masing-masing group yang berbeda, misalk
dimana
dan
kurangi dengan pers (3.1.7.1), maka diperoleh:
atau
sehingga,
Berdasarkan persamaan (3.1.7.12) terlihat bahwa
WG tidak memiliki konstanta intersep. Untuk mengilustrasikan bagaimana
pendekatan WG bekerja dapat dilihat pada Gambar 7.
Parameter yang bias ini disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan
berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan
observasi yang sama pada periode yang berbeda.
Within Group (WG) Estimator
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa intersep akan berbeda untuk
masing group yang berbeda, misalkan diberikan:
kurangi dengan pers (3.1.7.1), maka diperoleh:
Berdasarkan persamaan (3.1.7.12) terlihat bahwa FEM dengan pendekatan
tidak memiliki konstanta intersep. Untuk mengilustrasikan bagaimana
bekerja dapat dilihat pada Gambar 7.
tidak dapat membedakan
berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa intersep akan berbeda untuk
dengan pendekatan
tidak memiliki konstanta intersep. Untuk mengilustrasikan bagaimana
(3.1.7.10)
(3.1.7.11)
(3.1.7.12)
(3.1.7.13)
Kelebihan dari
bias, tetapi kelemahannya adalah nilai var (
(βPLS) sehingga dugaan
ini dapat dibuktikan dengan pertama, didefinisikan:
dapat dilihat bahwa:
diketahui bahwa:
sehingga, variance dari penduga
Gambar 7. Grafik Estimasi dengan Pendekatan
Kelebihan dari WG ini adalah dapat menghasilkan parameter
bias, tetapi kelemahannya adalah nilai var (βWG) cenderung lebih besar dari var
) sehingga dugaan WG menjadi relatif lebih tidak efisien. Untuk melihat hal
ini dapat dibuktikan dengan pertama, didefinisikan:
dari penduga β dengan pendekatan WG adalah:
Grafik Estimasi dengan Pendekatan Within Group Estimator
h dapat menghasilkan parameter β yang tidak
) cenderung lebih besar dari var
menjadi relatif lebih tidak efisien. Untuk melihat hal
adalah:
Within Group Estimator
Dari persamaan (3.1.7.14) dapat dilihat bahwa var(
dari var(β) pada PLS
tidak dapat mengakomodir karakteristik
dari tidak dimasukkannya konstanta intersep ke dalam model.
1.3. Least Square Dummy Variable (LSDV)
Metode ini berusaha merepresentasikan perbedaan intersep
menambah dummy variable
diketahui persamaan awal seperti pada persamaan (3.1.7.1) dan diketahui
kelompok dummy variable
dengan memasukkan sejumlah
yit
persamaan (3.1.7.15) dapat diestimasi dengan pendekatan
parameter βLSDV.
Kelebihan pendekatan ini (
parameter β yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumla
observasinya besar maka akan sulit menduga persamaan regresinya karena
penggunaan peubah dummy
Untuk menguji apakah intersep konstan atau tidak dapat menggunkan
test dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : α1 = α2 = α3 = ....
=
=
Dari persamaan (3.1.7.14) dapat dilihat bahwa var(β) pada
PLS pada persamaan (3.1.7.9). Kelemahan lain
tidak dapat mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM
dari tidak dimasukkannya konstanta intersep ke dalam model.
Least Square Dummy Variable (LSDV)
Metode ini berusaha merepresentasikan perbedaan intersep
dummy variable. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini misalkan
diketahui persamaan awal seperti pada persamaan (3.1.7.1) dan diketahui
dummy variable dgit = 1 (g = i).
dengan memasukkan sejumlah dgit = 1 (g = i), persamaan (3.1.7.1) menjadi:
persamaan (3.1.7.15) dapat diestimasi dengan pendekatan OLS sehingga diperoleh
Kelebihan pendekatan ini (LSDV) adalah dapat menghasilkan dugaan
yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumla
observasinya besar maka akan sulit menduga persamaan regresinya karena
dummy yang terlalu banyak.
Untuk menguji apakah intersep konstan atau tidak dapat menggunkan
dengan hipotesis sebagai berikut:
= ..... = αN
uit
) pada WG lebih besar
pada persamaan (3.1.7.9). Kelemahan lain dari WG adalah
FEM, seperti terlihat
Metode ini berusaha merepresentasikan perbedaan intersep dengan
. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini misalkan
diketahui persamaan awal seperti pada persamaan (3.1.7.1) dan diketahui
.1.7.1) menjadi:
sehingga diperoleh
) adalah dapat menghasilkan dugaan
yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumlah unit
observasinya besar maka akan sulit menduga persamaan regresinya karena
Untuk menguji apakah intersep konstan atau tidak dapat menggunkan f-
(3.1.7.14)
(3.1.7.15)
H1 : minimal ada sepasang yang tidak sama ( a
menggunakan F-statistik
dimana:
= koefisien determinasi
= koefisien determinasi
k = banyaknya peubah
Jika nilai F-Stat hasil pengujian lebih besar dari
melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga hipotesi bahwa
konstan dapat ditolak.
1.4. Two Way Fixed Effect Model
Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang
hanya berasal dari observasi individu tetapi juga berasal dari
model dasar yang digunakan adalah:
dimana merepresentasikan
Jika masing
diasumsikan berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah
peubah dummy yang merepresentasikan efek waktu diperoleh persamaan:
Hipotesis ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih baik
menggunakan PLS ataukah LSDV. Dasar penolakan terhadap H
: minimal ada sepasang yang tidak sama ( ai = aj ; untuk i = j).
statistik
= koefisien determinasi LSDV
= koefisien determinasi Pooled Least Square
banyaknya peubah
hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk
melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga hipotesi bahwa
konstan dapat ditolak.
Two Way Fixed Effect Model
Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang fixed
hanya berasal dari observasi individu tetapi juga berasal dari time
model dasar yang digunakan adalah:
merepresentasikan time effect.
Jika masing-masing pengaruh individu (αi) dan
berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah
yang merepresentasikan efek waktu diperoleh persamaan:
is ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih baik
menggunakan PLS ataukah LSDV. Dasar penolakan terhadap H0
, maka cukup bukti untuk
melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga hipotesi bahwa α adalah
fixed effect tidak
time-effect, sehingga
) dan time-effect (γt)
berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah zsit = 1 (s = t)
yang merepresentasikan efek waktu diperoleh persamaan:
(3.1.7.16)
(3.1.7.17)
(3.1.7.18)
is ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih baik
0 adalah dengan
Penambahan sejumlah
masalah pada penggunaan
kebebasan, yang pada akhirnya akan semakin mengurangi efisiensi dari parameter
yang diestimasi.
2. Random Effect Model (REM)
REM muncul ketika antara efek individu dan periode tidak berkorelasi
dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya acak. Asumsi ini membuat komponen
error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam
untuk one way error component:
yit = αi + Xit β + uit+
dan untuk two way error component:
yit = αi + Xit β + uit+
Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM, yaitu:
untuk semua i,t
untuk semua i,t, dan j
untuk i = j dan t = s
untuk i = j
dimana:
untuk one way error component
τi = λi
Penambahan sejumlah dummy variable ke dalam persamaan menyebabkan
masalah pada penggunaan two way fixed effect yaitu berkurangnya derajat
yang pada akhirnya akan semakin mengurangi efisiensi dari parameter
Random Effect Model (REM)
muncul ketika antara efek individu dan periode tidak berkorelasi
memiliki pola yang sifatnya acak. Asumsi ini membuat komponen
dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error, dimana:
error component:
+ λi
two way error component:
+ λi + µi
Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM, yaitu:
untuk semua i,t, dan j
one way error component
ke dalam persamaan menyebabkan
yaitu berkurangnya derajat
yang pada akhirnya akan semakin mengurangi efisiensi dari parameter
muncul ketika antara efek individu dan periode tidak berkorelasi
memiliki pola yang sifatnya acak. Asumsi ini membuat komponen
dimana:
Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM, yaitu:
(3.1.7.19)
(3.1.7.20)
dan untuk two way error component
τi = λi + µi
Dari semua asumsi, asumsi yang paling penting berhubungan dengan REM
adalah nilai harapan dari xit untuk setiap τi adalah 0, atau E(τi xit) = 0. untuk
menguji asumsi ini yaitu dengan menggunakan Haussman Test. Karena berkaitan
dengan ditolak atau diterimanya asumsi ada atau tidaknya korelasi antara
komponen error dengan peubah bebas, maka Haussman test dapat secara
langsung digunakan untuk memilih antara FEM atau REM dengan hipotesis
sebagai berikut:
H0: E(τi xit) = 0
Tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (REM).
H1: E(τi xit) = 0
Komponen error memiliki korelasi dengan peubah bebas (FEM).
Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik hausman dan
membandingkannya dengan Chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan:
H = (βREM – βFEM ) (MFEM –MREM)-1 (βREM – βFEM ) ~ χ2 (k)
dimana:
M adalah matrik kovarians untuk parameter β
k adalah degrees of freedom
Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 – tabel, maka cukup bukti
untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah
model fixed effect, begitu juga sebaliknya. Terdapat dua jenis pendekatan dalam
REM, yaitu:
(3.1.7.21)
2.1. Pendekatan Between Estimator
Pendekatan ini berkaitan dengan dimensi antar data (differences between
individual), yang ditentukan sebagaimana OLS estimator pada sebuah regresi dari
rata-rata individu y dalam nilai x secara individu. Between estimator konsisten
untuk N tak hingga, dengan asumsi bahwa peubah bebas dengan error tidak saling
berkorelasi atau E (xit, εi = 0) begitu juga dengan nilai rata-rata error E (xit, εi =
0).
2.2. Generalized Least Square (GLS)
Pendekatan GLS mengkombinasikan informasi dari dimensi antar dan
dalam (between dan within) data secara efisien. GLS dapat dipandang sebagai
rata-rata yang dibobotkan dari estimasi between dan within dalam sebuah regresi.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Kawasan perkotaan di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat.
Perkembangan ini antara lain dicerminkan oleh peningkatan pertumbuhan
penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan serta meningkatnya kontribusi
sektor-sektor ekonomi yang digerakkan wilayah ini terhadap ekonomi nasional.
Secara teoritis, peningkatan wilayah perkotaan dapat menciptakan
kemudahan-kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses sarana dan prasarana
modern serta peningkatan efisiensi ekonomi melalui tercipta eksternalitas dari
lahirnya agglomerasi-agglomerasi ekonomi di perkotaan. Peningkatan ini juga
menimbulkan permasalahan-permasalahan perkotaan yang semakin kompleks.
Kompleksitas permasalahan perkotaan pada dasarnya dapat diatasi melalui
perencanaan perkotaan yang terpadu melalui terciptanya sistem perkotaan.
Berdasarkan publikasi BPS, penduduk perkotaan, sebagai alat untuk
mengestimasi ukuran perkotaan, cenderung terkonsentrasi pada daerah tertentu.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi ukuran perkotaan di Indonesia apakah
mengikuti rank-size rule atau tidak serta mengidentifikasi pola distribusi ukuran
perkotaan dengan mengestimasi dengan nilai pareto eksponen (α) antar provinsi
melalui penerapkan formula rank-size rule.
Penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja
yang perlu diperhatikan agar pertumbuhan perkotaan pada setiap daerah di
Indonesia tumbuh secara paralel. Untuk tujuan melihat perkembangan distribusi
ukuran perkotaan serta perubahan-perubahan karakteristik ekonomi wilayah
dilakukan dengan metode analisis deskriptif kualitatif.
Untuk merumuskan karakteristik-karakeristik ekonomi yang signifikan
mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan yaitu dengan menggunakan metode
panel data. Diduga faktor yang dapat mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan
menjadi lebih merata adalah pengaruh dari tingkat kepadatan jalan, tingkat
partisipasi angkatan kerja, tingkat pendapatan per kapita, pengeluaran pemerintah
untuk pembangunan, jumlah daerah administrasi dan tingkat keterbukaan wilayah.
Distribusi ukuran perkotaan diduga dipengaruhi secara negatif oleh tingkat
penghematan agglomerasi yaitu peningkatan pada penghematan karena urbanisasi,
penghematan karena lokalisasi dan penghematan karena spesialisasi.
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi suatu rekomendasi kebijakan
agar terwujud keseimbangan ukuran perkotaan di masa yang akan datang
sehingga pembangunan antar daerah terjadi secara hirarkis dalam suatu sistem
pembangunan perkotaan nasional. Secara skematis kerangka pemikiran
operasional dan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Skema Kerangka Pemikiran dan Alur Penelitian
Perkembangan wilayah perkotaan Indonesia menunjukkan peningkatan yang pesat. - Laju pertumbuhan penduduk perkotaan jauh lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk total - Sektor ekonomi yang digerakkan perkotaan semakin mendominasi komposisi perekonomian
Konsentrasi pertumbuhan penduduk perkotaan pada wilayah tertentu
Dominasi perkembangan pada wilayah tertentu
Implikasi teoritis dari peningkatan kawasan perkotaan adalah semakin meluasnya wilayah yang terbangun (urbanized area)
Distribusi Ukuran Perkotaan
log Rank = Constant – α log Size
Nilai α
Faktor yang harus diperhatikan agar daerah-daerah di Indonesia tumbuh secara paralel dalam suatu sistem pembangunan perkotaan nasional
Karakteristik: - Kapadatan - Agglomerasi - SDM - Pemerintah - Keterbukaan
Rank Size Rule
Metode Analisis Deskriptif Kualitatif Model Panel Data
Fixed Effect Random Effect
Parameter yang signifikan mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan
Perkembangan distribusi ukuran perkotaan dan perubahan karakteristik wilayah
VI. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari publikasi
BPS berupa data lima tahunan (1995, 2000, dan 2005) yang mencakup 25
provinsi. Data yang digunakan terdiri dari data penduduk perkotaan
kabupaten/kota, data penduduk total provinsi, luas wilayah provinsi, panjang
jalan, PDRB menurut lapangan usaha, angkatan kerja perkotaan, penduduk
perkotaan usia 15-64 tahun, penerimaan total pemerintah, pengeluaran
pemerintah untuk pembangunan dan atau belanja pelayanan publik, data
pembagian daerah administrasi menurut kabupaten/kota serta nilai ekspor dan
impor provinsi.
4.2. Perumusan Model
Identifikasi apakah rank-size rule berlaku pada distribusi ukuran perkotaan
di Indonesia yaitu dengan membandingkan antara ukuran perkotaan aktual dengan
ukuran perkotaan menurut prediksi rank-size rule. Ukuran perkotaan menurut
prediksi rank-size rule dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan:
Sizej,t =
dimana ukuran perkotaan suatu daerah j pada tahun t menurut prediksi rank-size
rule (Sizej,t) adalah ukuran perkotaan terbesar (Constant) dibagi dengan peringkat
daerah j pada tahun t (Rankj,t).
Identifikasi distribusi ukuran perkotaan dengan penerapan rank-size rule
pada penelitian ini menggunakan rumus Zipf’s Law, yaitu:
log Rankj,t = log Constant – α log Sizej,t (4.2.2)
(4.2.1)
Constant Rankj,t
RSR
RSR
Eksponen pareto (α) menunjukkan distribusi ukuran perkotaan. Dimana nilainya
berkisar antara 0 hingga tak hingga. Jika nilai pareto adalah 0 maka pada wilayah
tersebut hanya terdapat satu kawasan perkotaan, sedangkan jika nilai pareto
menunjukkan nilai yang tak hingga maka semua kawasan perkotaan pada wilayah
tersebut memiliki ukuran yang sama. Nilai α diestimasi dengan pendekatan
analisis regresi Ordinary Least Square (OLS).
Eksponen pareto kemudian menjadi peubah terikat untuk mengestimasi
pengaruh karakteristik wilayah terhadap distribusi ukuran perkotaannya. Untuk
mengestimasi hubungan antara distribusi ukuran perkotaan dengan karakteristik
dasar wilayah dilakukan dengan model panel data. Bentuk model yang digunakan
yaitu:
logαit = β 0 + β1 ROADENSi,t + β2 log URBANi,t + β3 LOCi,t+ β4 log SPECi,t
+ β5 TPAKi,t + β6 GDRPCAPi,t + β7 PUBLICi,t + β8 ADMi,t + β9 log OPENREGi,t + εi,t dimana:
αit = nilai eksponen pareto provinsi i tahun t ROADENSi,t = tingkat kepadatan jalan provinsi i tahun t (kendaraan/km) URBANit = tingkat penghematan urbanisasi provinsi i tahun t LOCit = tingkat penghematan lokalisasi provinsi i tahun t SPECit = derajat penghematan spesialisasi provinsi i tahun t TPAKi,t = tingkat partisipasi angkatan kerja perkotaan provinsi i tahun t GDRPCAPit = tingkat pendapatan perkapita masyarakat provinsi i tahun t PUBLICit = persentase pengeluaran pembangunan terhadap penerimaan total
provinsi i tahun t ADMit = jumlah daerah administrasi kota/kabupaten provinsi i tahun t OPENREGit = tingkat keterbukaan wilayah provinsi i tahun t Nilai dugaan yang diharapkan β1, β2, β3, β4 < 0 dan β5, β6, β7, β8, β9 > 0.
Pengolahan data dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel 2003 dan Eviews 5.1.
Penggunaan tingkat kepadatan jalan, tingkat penghematan agglomerasi,
tingkat pendapatan perkapita, pengeluaran pemerintah dan tingkat keterbukaan
wilayah sebagai faktor yang mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan
(4.2.3)
didasarkan pada penelitian Soo (2002). Penggunaan faktor tingkat partisipasi
angkatan kerja didasarkan pada penelitian Duranton (2002), sedangkan jumlah
daerah administrasi diproxikan untuk mengestimasi pengaruh dari desentralisasi
yang terjadi selama kurun waktu penelitian.
4.3. Metode Analisis Data
4.3.1. Metode Kuadrat Terkecil
Prinsip dasar metode OLS yaitu meminimumkan jumlah kuadrat
simpangan antara data aktual dengan data dugaan.
Y i = α + β Xi + ui ; i=1,2,...,n (4.3.1.1)
akan menghasilkan parameter α dan β yang linear tidak bias, dan memiliki varians
yang minimum jika asumsi-asumsi di bawah ini terpenuhi:
1. Parameter β bersifat linear terhadap peubah terikat.
2. Parameter β bersifat tidak bias, artinya nilai rata-rata atau nilai β yang
diharapkan sama dengan β sesungguhnya.
3. Parameter β memiliki varians yang minimum.
4.3.2. Metode Panel Data
Teknik estimasi dalam penelitian ini menggunakan model panel data.
Panel data menggunakan kombinasi data runut waktu (time series) dan kerat
lintang (cross section). Pemilihan model ini berdasarkan alasan bahwa panel data
dapat menyediakan informasi yang cukup kaya untuk perkembangan teknik
estimasi dan hasil teoretikal. Dalam bentuk praktis, dengan menggunakan panel
data, peneliti dapat menggunakan data time series dan cross section untuk
menganalisis masalah yang tidak dapat diatasi jika hanya menggunakan salah
satunya saja. Penelitian ini hanya mempertimbangkan penggunaan model Fixed
Effect dan Random Effect dengan one way component error, yaitu dengan hanya
memasukkan efek individual. Untuk memutuskan apakah akan menggunkan efek
tetap atau efek acak menggunakan uji Haussman.
4.4. Evaluasi Model
Ada beberapa kriteria untuk menyatakan bahwa model regresi yang
dihasilkan adalah baik, yaitu:
4.4.1. Kriteria ekonomi
Untuk melihat kesesuaian hasil regresi dengan kriteria ekonomi dilakukan
dengan melihat kecocokan tanda dan nilai koefisien penduga dengan teori
ekonomi atau nalar.
4.4.2. Kriteria statistik
1. Uji-F
Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi
secara bersamaan. Secara umum hipotesisnya dituliskan sebagai berikut :
H0 : β1 = β2 = ... = βi = 0
H1 : minimal terdapat βi ≠ 0 ; untuk : i : 1, 2, 3, ..., k
Statistik uji yang dilakukan dalam uji-F :
F-hitung = KTG
KTR (1.1)
KTR = 1−k
JKR (1.2)
KTG = kn
JKG
− (1.3)
dengan derajat bebas = k-1 (n-k)
dimana :
KTR : Kuadrat Tengah Regresi
KTG : Kuadrat Tengah Galat
JKR : Jumlah Kuadrat Regresi
JKG : Jumlah Kuadrat Galat
k : Jumlah Parameter
n : Jumlah Pengamatan
Jika F-hitung > F-tabel, maka tolak Ho berarti minimal ada satu peubah
bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah terikat, dan berlaku sebaliknya.
Selain itu, dapat juga dibandingkan antara nilai probabilitas F-statistic terhadap
taraf nyata yang telah ditetapkan dalam penelitian. Jika nilai probabilitas F-
statistic < taraf nyata, maka tolak Ho dan itu artinya minimal ada satu peubah
bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah terikat, dan berlaku sebaliknya.
2. Uji-t
Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah
selanjutnya adalah menghitung koefisien regresi secara individu dengan
menggunakan uji-t.
Hipotesis pada uji-t adalah :
H0 : βi = 0
H1 : βi ≠ 0
Rumus uji-t adalah :
t-hitung = i
i
Sββ
(2.1)
dimana :
βi : Parameter dugaan peubah ke-i
Sβi : Standar error dari parameter dugaan βi
Jika t-hitung > t-tabel maka H0 ditolak yang berarti peubah bebas secara
statistik nyata pada taraf nyata yang telah ditetapkan dalam penelitian, dan berlaku
hal yang sebaliknya. Jika nilai probabilitas t-statistic < taraf nyata, maka tolak H0
dan berarti bahwa peubah bebas nyata secara statistik, dan sebaliknya.
3. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang
penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model
regresi yang terestimasi. Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi dari
peubah terikat Y dapat diterangkan oleh peubah bebas X. Jika R2 = 0, maka
variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali; jika R2 = 1, artinya
bahwa variasi dari Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X.
Adapun rumus untuk Koefisien Determinasi adalah :
SST
SSRR =2 (3.1)
dimana :
SST : variasi dari data
SSR : variasi dari garis regresi yang dibuat
4.4.3. Uji Asumsi
1. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu
peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Uji
autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang
digunakan. Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya.
Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai
Durbin Watson (DW). Untuk mengetahui ada/tidaknya autokorelasi, maka
dilakukan dengan membandingkan DW-statistiknya dengan DW-tabel. Adapun
kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 2. Korelasi serial
ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini
bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi.
Tabel 2. Kerangka Identifikasi Autokorelasi Nilai DW Hasil
4 - dl < DW < 4 Terdapat korelasi serial negatif 4 - du < DW < 4- dl Hasil tidak dapat ditentukan 2 < DW < 4 - du Tidak ada korelasi serial du < DW < 2 Tidak ada korelasi serial dl < DW < du Hasil tidak dapat ditentukan 0 < DW < dl Terdapat korelasi serial positif
Pada analisis seperti yang dilakukan dalam model, jika ditemukan korelasi
serial, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten.
Treatment untuk pelanggaran ini adalah dengan menambahkan AR (1) atau AR
(2) dan seterusnya, tergantung dari banyaknya autokorelasi pada model regresi
yang digunakan.
2. Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah
bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier
Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua
residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan
homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah
disebut dengan heteroskedastisitas.
Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dalam pengolahan data panel
dengan Eviews 5.1 yaitu dengan menggunakan metode General Least Square
(Cross-section Weights) adalah dengan membandingkan Sum Square Resid pada
Weighted Statistics dengan Sum Square Resid Unweighted Statistics. Jika Sum
Square Resid pada Weighted Statistics lebih kecil dari Sum Square Resid
unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Treatment pelanggaran ini,
bisa dengan mengestimasi GLS dengan white-heteroscedasticity.
4.4.4. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati
distribusi normal atau tidak. Jika asumsi tidak terpenuhi maka prosedur pengujian
menggunakan statistik t menjadi tidak sah.
Uji normalitas error term dilakukan dengan menggunakan uji Jarque Bera
(JB). Uji ini didasarkan pada error penduga least square.
Prosedur pengujian :
1. H0 : error term terdistribusi normal
H1 : error term tidak terdistribusi normal
2. Statistik JB dihitung melalui tahapan berikut :
a. Kecondongan (α3) dan ketinggian (α4) distribusi error term
b. Hitung statistik uji JB dengan rumus berikut
(4.4.4.1)
Daerah kritis penolakan H0 adalah nilai JB > χ2
atau probabilitas lebih
kecil daripada taraf nyata. Jika H0 ditolak maka error term tidak terdistribusi
normal.
4.5. Definisi Operasional
Penelitian ini menggunakan istilah wilayah, daerah dan kawasan. Istilah
wilayah mengacu pada pengertian ruang menurut satuan administrasi provinsi.
Istilah daerah mengacu pada pengertian ruang yang terkait batas administrasi
kota/kabupaten. Istilah kawasan digunakan untuk perkotaan/perdesaan.
JB =
−+
24
)3(
24
24
23 αα
n
Kategori kota yang digunakan berdasarkan jumlah penduduk pada daerah
perkotaan yang lebih dari 20.000 jiwa, sehingga pada penelitian ini menggunakan
distribusi ukuran perkotaan sebagai berikut:
1. Ukuran perkotaan lebih dari 5.120.000 jiwa.
2. Ukuran perkotaan antara 2.560.000 - 5.120.000 jiwa.
3. Ukuran perkotaan antara 1.280.000 - 2.560.000 jiwa.
4. Ukuran perkotaan antara 640.000 - 1.280.000 jiwa.
5. Ukuran perkotaan antara 320.000 - 640.000 jiwa.
6. Ukuran perkotaan antara 160.000 - 320.000 jiwa.
7. Ukuran perkotaan antara 80.000 - 160.000 jiwa.
8. Ukuran perkotaan antara 40.000 - 80.000 jiwa.
9. Ukuran perkotaan antara 20.000 - 40.000 jiwa.
Tingkat kepadatan jalan diestimasi dengan rasio antara panjang jalan aspal
provinsi, baik dalam wewenang kota/kabupaten, provinsi, maupun pemerintah
pusat, terhadap luas wilayah provinsi, atau dirumuskan:
ROADENS = (4.2.4)
Tingkat penghematan karena urbanisasi diestimasi dengan indeks primasi,
yaitu menunjukkan daya tarik kota terbesar terhadap daerah-daerah disekitarnya,
atau dirumuskan:
URBANi,t = (4.2.5)
dimana SIZEjmax,t adalah ukuran perkotaan pada kota/kabupaten dengan ukuran
perkotaan terbesar dan SIZEi,t adalah ukuran perkotaan provinsi i pada tahun t.
Tingkat penghematan karena lokalisasi diestimasi dengan rasio PDRB non
pertanian terhadap PDRB total, penggunaan PDRB berdasarkan lapangan usaha
menurut harga berlaku, dan dirumuskan:
LOC = (4.2.6)
SIZEjmax,t SIZEi,t
PDRB Non Pertanian PDRB Total
Panjang Jalan Aspal Luas Wilayah
Pengukuran tingkat spesialisasi ekonomi suatu wilayah diperoleh dengan
menggunakan indeks Herfindhal yang didasarkan pada proporsi output industri
tertentu terhadap output total sebagaimana yang digunakan oleh Kuncoro (2002),
yaitu:
(4.2.7)
dimana penggunaan PDRB berdasarkan lapangan usaha menurut harga berlaku.
Tingkat partisipasi angakatan kerja perkotaan diestimasi dengan persentase
jumlah angkatan kerja perkotaan terhadap jumlah penduduk usia kerja, yaitu
penduduk yang berusia 15 hingga 64 tahun, atau dirumuskan:
TPAK = x 100 (4.2.8)
Tingkat pendapatan per kapita diestimasi dengan PDRB total terhadap
jumlah penduduk total, atau dirumuskan:
GDRPCAP = (4.2.9)
dimana penggunaan PDRB berdasakan harga berlaku.
Kemampuan pemerintah dalam membiayai pembangunan diestimasi
dengan dengan menggunakan rasio antara pengeluaran pemerintah untuk
pembangunan terhadap penerimaan total pemerintah provinsi, atau dirumuskan:
PUBLIC = (4.2.10)
Tingkat keterbukaan wilayah diestimasi dengan PDRB menurut
pengeluaran atas dasar harga berlaku yang dirumuskan:
OPENREG= (4.2.11)
SPEC =
∑ k =1
k PDRB sektor k 2 PDRB Total [ ]
Angkatan Kerja Perkotaan Penduduk Usia Kerja Perkotaan
PDRB Total Penduduk Total
Pengeluaran Pemerintah Provinsi untuk Pembangnan Penerimaan Total Pemerintah Provinsi
PDRB Ekspor + PDRB Impor PDRB Total
V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil estimasi dan pembahasan akan dijabarkan dalam tiga bagian. Bagian
pertama diawali dengan pembahasan prediksi ukuran perkotaan menurut rank-size
rule dan membandingkannya dengan ukuran perkotaan Indonesia yang
sebenarnya. Kemudian dilanjutkan dengan identifikasi nilai pareto yang
menggambarkan distribusi ukuran perkotaan di Indonesia.
Bagian kedua akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi
perbedaan distribusi ukuran perkotaan antar wilayah (provinsi). Bagian ini diawali
dengan analisis deskriptif perkembangan distribusi ukuran perkotaan serta
karakteristik-karakteristik wilayah yang mencakup tingkat kepadatan jalan,
tingkat penghematan agglomerasi, kondisi sumber daya manusia, peranan
pemerintah dan tingkat keterbukaan wilayah. Selanjutnya dijabarkan hasil
estimasi yang dilakukan dengan metode panel data mengenai faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi pola distribusi ukuran perkotaan secara signifikan.
Terakhir pada bagian ketiga dijabarkan implikasi kebijakan dari hasil estimasi
pada bagian-bagian sebelumnya.
5.1. Perkembangan Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia
Hasil identifikasi ukuran perkotaan aktual di Indonesia yang dibandingkan
dengan ukuran perkotaan prediksi rank-size rule menunjukkan bahwa rank-size
rule memberikan hasil prediksi yang selalu lebih kecil dan lebih besar dari ukuran
perkotaan sebenarnya. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang pernah
dilakukan oleh Rossen dan Resnick (1980) yang melakukan studi penerapan rank-
size rule pada 44 negara.
Ukuran perkotaan aktual yang lebih kecil dari prediksi rank-size rule pada
periode 1995 hingga 2005 selalu ditunjukkan oleh daerah dengan ukuran
perkotaan terbesar kedua dan ketiga. Ukuran perkotaan aktual yang lebih besar
ukuran perkotaan prediksi rank-size rule ditunjukkan oleh daerah dengan ukuran
perkotaan keempat dan seterusnya hingga pada daerah dengan ukuran perkotaan
dengan peringkat bawah menjadi kembali lebih kecil dari prediksi rank-size rule.
Identifikasi ukuran perkotaan aktual di Indonesia juga memperlihatkan
bahwa terjadi pembentukkan primary city. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh rasio
antara daerah dengan ukuran perkotaan terbesar pertama dengan ukuran perkotaan
terbesar kedua yang mendekati 1 berbanding 3.
Persebaran kota/kabupaten berdasarkan ukuran perkotaan aktual
memperlihatkan tidak terjadi peningkatan jumlah pada daerah dengan ukuran
perkotaan lebih dari 5.120.000 jiwa, hanya saja pada kota itu sendiri yaitu DKI
Jakarta terjadi pertumbuhan populasi penduduk perkotaan yang negatif dalam
kurun waktu 1995 ke tahun 2000. Pada kategori lain terjadi penurunan
kabupaten/kota dengan ukuran perkotaan antara 2.560.000 - 5.120.000 jiwa. Jika
pada tahun 1995 dan 2000 jumlahnya 2, maka di tahun 2005 berkurang menjadi
hanya 1. Pada kategori daerah berukuran perkotaan antara 1.280.000 - 2.560.000
jiwa jumlahnya meningkat dari 4 menjadi 9 kemudian meningkat lagi menjadi 11
di tahun 2005.
Daerah dengan ukuran perkotaan antara 640.000 - 1.280.000 juga
mengalami peningkatan, dari 10 menjadi 15 kemudian menjadi 18 di tahun 2005.
Pada kategori ukuran perkotaan antara 320.000 - 640.000 juga mengalami
pertumbuhan dari 32 menjadi 39 kemudian menurun menjadi 38. Perkembangan
persebaran kota/kabuapten di Indonesia berdasarkan ukuran perkotaan seperti
terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia Tahun 1995, 2000 dan 2005 Ukuran Perkotaan 1995 2000 2005
Lebih dari 5.120.000 1 1 1 2.560.000 - 5.120.000 2 2 1 1.280.000 - 2.560.000 4 9 11
640.000 - 1.280.000 10 15 18 320.000 - 640.000 32 39 38 160.000 - 320.000 46 60 60 80.000 - 160.000 69 65 66 40.000 - 80.000 56 54 73 20.000 - 40.000 40 56 68
Perkembangan jumlah daerah yang memiliki populasi penduduk perkotaan
di Indonesia menunjukkan peningkatan. Bila pada tahun 1995, jumlah daerah
yang berpenduduk diatas 20.000 jiwa berjumlah 259, maka kemudian meningkat
16 persen pada tahun 2000 menjadi 301, yang kemudian meningkat lagi 11 persen
menjadi sebanyak 336. Peningkatan jumlah daerah yang memiliki ukuran
perkotaan lebih dari 20.000 jiwa ini secara garis besar dipengaruhi oleh 2 faktor
yaitu pertama perkembangan yang terjadi pada kota/kabupaten itu sendiri dalam
pertambahan penduduk netto secara alami melalui proses kelahiran dan kematian,
maupun dalam mengembangkan aktivitas ekonomi perkotaan di wilayahnya
sehingga mempengaruhi perkembangan ukuran perkotaannya. Faktor kedua yaitu
adanya pemekaran wilayah mengakibatkan suatu kawasan perkotaan terbagi
menjadi beberapa daerah administrasi.
Setidaknya ada dua pengaruh pemekaran wilayah terhadap distibusi
ukuran perkotaan di Indonesia. Pengaruh yang pertama adalah menyebabkan
peningkatan aktivitas ekonomi pada kota/kabupaten yang baru dimekarkan
sehingga meningkatkan jumlah penduduk perkotaannya. Dampak ke dua yaitu
bagi daerah asal yang sebelumnya memiliki akumulasi penduduk perkotaan yang
cukup tinggi menjadi terbagi akibat pemekaran ini.
Seperti halnya yang terjadi pada Kota Depok yang sebelumnya adalah
bagian dari Kabupaten Bogor. Adanya pemekaran wilayah menyebabkan Kota
Depok muncul sebagai salah satu kota dalam kategori metropolitan. Di sisi lain
walaupun Kabupaten Bogor masih dalam kategori ini namun ukurannya menjadi
mengecil dengan pemisahan wilayah Depok menjadi daerah administrasi sendiri.
Hal yang sama terjadi pada Kota Dumai yang sebelumnya di tahun 1995
merupakan bagian dari Kabupaten Bengkalis. Pada perhitungan ukuran perkotaan
tahun 2000, Kota Bengkalis menjadi salah satu kota yang masuk kategori kota
menengah, sehingga secara akumulasi jumlah kota/kabupaten dalam ketegori kota
menengah meningkat.
Tabel 4. Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia Menurut Prediksi Rank-Size Rule Tahun 1995, 2000 dan 2005
Ukuran Perkotaan 1995 2000 2005 lebih dari 5.120.000 1 1 1
2.560.000 - 5.120.000 2 2 2 1.280.000 - 2.560.000 4 3 3
640.000 - 1.280.000 7 7 7 320.000 - 640.000 14 13 14 160.000 - 320.000 28 26 28 80.000 - 160.000 56 52 55 40.000 - 80.000 113 105 110 20.000 - 40.000 225 209 221
Distribusi ukuran perkotaan menurut prediksi rank-size rule ditunjukkan
pada Tabel 4. Secara umum terlihat bahwa prediksi rank size rule untuk distribusi
ukuran perkotaan di Indonesia menunjukkan bahwa daerah dengan ukuran
perkotaan yang lebih besar memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan
dengan daerah dengan ukuran perkotaan yang lebih kecil. Hal tersebut tidak
terlihat pada distribusi ukuran perkotaan aktual pada Tabel 3.
Permasalahannya sekarang adalah apakah persebaran populasi penduduk
perkotaan yang terjadi semakin merata dapat dijawab dengan nilai pareto
eksponen yang diperoleh dari pengembangan persamaan rank-size rule. Nilai
pareto eksponen Indonesia cenderung menunjukkan nilai yang menurun artinya
distribusi ukuran perkotaan semakin tidak merata.
Pulau Jawa dan Papua menunjukkan rata-rata nilai pareto yang terus
menurun. Sedangkan pada Pulau Sulawesi dan Kalimantan mengalami nilai yang
berfluktuasi, meningkat pada peride 1995 ke 2000 kemudian pada periode 2000
ke 2005 mengalami penurunan. Distribusi ukuran perkotaan yang semakin merata
ditunjukkan oleh Pulau Sumatera. Perkembangan nilai pareto yang terlihat pada
Gambar 10 menunjukkan Pulau Jawa memiliki distribusi ukuran perkotaan yang
relatif lebih merata dibandingkan dengan pulau utama lainnya.
0.846287 0.801916 0.789059
00.20.40.60.8
11.21.4
1 2 3
Tahun
Par
eto
Eks
pone
n
1995 2000 2005
Gambar 9. Nilai Eksponen Pareto Indonesia Tahun 1995, 2000 dan 2005
5.2. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Ukuran Perkotaan Nilai eksponen pareto pada tingkat provinsi di Indonesia yang diestimasi
dengan metode OLS berkisar antara 0.551 dan 1.331. Provinsi dengan nilai rata-
rata pareto terbesar yaitu Provinsi Jawa Tengah (1.331), sedangkan nilai rata-rata
terendah yaitu Provinsi Bengkulu (0.551).
Kondisi disribusi ukuran perkotaan yang semakin merata sepanjang waktu
analisis dengan nilai pareto yang terus meningkata dalah Provinsi N.A.D, Jawa
Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan Maluku. Provinsi yang
mengalami peningkatan nilai pareto pada periode 1995 ke tahun 2000 kemudian
pada periode 2000 ke tahun 2005 mengalami penurunan yaitu Provinsi Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Pada keadaan sebaliknya,
provinsi yang menunjukkan kondisi penurunan nilai pareto pada periode 1995 ke
2000 dan peningkatan pada periode 2000 ke 2005 yaitu Provinsi Riau. Kondisi
disribusi ukuran perkotaan yang semakin tidak merata sepanjang waktu analisis
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1 2 3
Tahun
Pa
reto
Eks
pone
nSeries1
Series2
Series3
Series4
Series5
1995 2000 2005
Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Lainnya
Gambar 10. Nilai Rata-Rata Eksponen Pareto pada 5 Pulau Utama Tahun 1995, 2000 dan 2005
ditunjukkan oleh Provinsi Jambi, Lampung, Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Tengah dan Papua.
Dalam mengestimasi nilai pareto telah dilakukan pengujian secara
ekonometrika. Terdapat dua provinsi yang estimasi pareto eksponen tidak dapat
digunakan menjadi peubah terikat pada model selanjutnya, yaitu Provinsi D.I
Yogyakarta dan Sulawesi Tenggara. Hal ini berkaitan dengan jumlah daerah
kota/kabupaten pada dua provinsi ini yang sedikit, sehingga menghasilkan
estimasi nilai pareto yang tidak memenuhi kriteria ekonometrika dan statistika.
Pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah faktor apa saja yang
mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan ini akan dijawab dengan analisis
kuantitatif dengan panel data. Sebelumnya akan dilakukan analisis deskriptif
kualitatif terhadap karakteristik wilayah yang menjadi sampel penelitian.
Tingkat kepadatan jalan secara rata-rata menunjukkan nilai yang terus
meningkat. Jika pada tahun 1995 rata-rata rasio panjang jalan terhadap luas
wilayah adalah 0.22 per km, maka kemudian di tahun 2005 jumlah tersebut
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Provinsi
Pa
reto
Eks
pone
n
Series1
Series2
Series3
1995 2000 2005
*) Keterangan: 1 N.A.D 6 Sumatera Selatan 11 Yogyakarta 16 Kalimantan Barat 21 Sulawesi Tengah
2 Sumatera Utara 7 Bengkulu 12 Jawa Timur 17 Kalimantan Tengah 22 Sulawesi Selatan
3 Sumatera Barat 8 Lampung 13 Bali 18 Kalimantan Selatan 23 Sulawesi Tenggara
4 Riau 9 Jawa Barat 14 NTB 19 Kalimantan Timur 24 Maluku
5 Jambi 10 Jawa Tengah 15 NTT 20 Sulawesi Utara 25 Papua
Gambar 11. Nilai Eksponen Pareto Menurut Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005
meningkat menjadi 0.25 per km. Pulau Jawa dan Bali memiliki kepadatan jalan
yang lebih tinggi dibandingkan pulau-pulau lainnya. Kepadatan jalan terendah
dipegang oleh Provinsi Papua, sedangkan jalan terpadat dipegang oleh Provinsi
Yogyakarta.
Dari sisi agglomerasi menunjukkan penghematan urbanisasi yang
diestimasi dengan indeks primasi secara rata-rata terus menurun dari sebesar 0.41
ditahun 1995, menjadi 0.38 di tahun 2000, kemudian menurun lagi pada tahun
2005 menjadi 0.37. Dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya, Pulau Jawa
memiliki rata-rata tingkat primasi yang rendah, sedangkan Pulau Sumatera secara
rata-rata memiliki tingkat primasi yang paling tinggi dibandingkan dengan pulau-
pulau lainnya. Perbandingan antar provinsi menunjukkan indeks primasi terbesar
dipegang oleh Provinsi Bengkulu (1995), sedangkan indeks primasi terendah yaitu
Provinsi Jawa Tengah (2005).
Gambar 13 menunjukkan terdapat perubahan tingkat penghematan
urbanisasi yang cukup signifikan pada beberapa provinsi. Perubahan tersebut
antara lain disebabkan oleh pemekaran wilayah sehingga terbentuknya provinsi
baru. Hal ini terjadi pada Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Sulawesi
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Series1
Series2
Series3
1995 2000 2005
Keterangan: lihat *) Gambar 12. Tingkat Kepadatan Jalan Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005
Utara dan Maluku dengan terbentuknya provinsi baru yaitu masing-masing
Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Maluku Utara dan Irian
Jaya Barat. Pembentukkan provinsi baru menyebabkan arah pergerakan
penduduk terbagi. Kota/kabupaten dengan ukuran perkotaan terbesar, yang
biasanya adalah ibu kota provinsi, menjadi menurun daya tarik sebagai tujuan
arah mobilitas penduduk.
Provinsi N.A.D, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan
Tengah terjadi perubahan disebabkan karena kota terbesarnya bukanlah ibukota
provinsi, sehingga ibukota provinsi masing-masing menjadi pembanding dalam
konsentrasi penduduk perkotaan yang terjadi pada wilayahnya. Selain dari kedua
hal tersebut, perubahan indeks primasi pada provinsi lainnya disebabkan oleh ada
beberapa provinsi yang memiliki kota/kabupaten lain selain ibukota provinsinya
sebagai pusat pertumbuhan sehingga menyebabkan distribusi kembar (binary
distribution) pada arah pergerakan penduduk.
Rasio PDRB non pertanian terhadap PDRB total yang merupakan
pendekatan untuk mengukur penghematan lokalisasi di suatu wilayah mengalami
nilai rata-rata yang berfluktuasi sepanjang waktu analisis. Dibandingkan pulau-
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Provinsi
Tin
gka
Urb
anis
asi
Eko
nom
i
Series1
Series2
Series3
1995 2000 2005
Keterangan: lihat *) Gambar 13. Tingkat Penghematan Urbanisasi Tahun 1995, 2000 dan 2005
pulau lainnya Pulau Jawa memiliki rata-rata rasio PDRB non pertanian terhadap
PDRB total terbesar. Penghematan lokalisasi terbesar dipegang oleh Provinsi
Jawa Barat, sedangkan lokalisasi terendah yaitu Provinsi Papua.
Secara rata rata, tingkat penghematan spesialisasi yang diukur dengan
indeks Herfindhal tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pada tahun 2000
mengalami sedikit peningkatan sebesar 0.221 dari 0.220 di tahun 1995, kemudian
menurun di tahun 2005 menjadi 0.210. Tingkat penghematan spesialisasi tertinggi
di tunjukkan oleh Provinsi Papua, sedangkan tingkat penghematan spesialisasi
terendah yaitu Provinsi Sulawesi Utara. Provinsi yang mengalami perubahan yang
cukup besar pada tingkat spesialisasi ini ditunjukkan oleh Provinsi N.A.D dan
Riau.
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Provinsi
Tin
gkat
Lok
alis
asi
Eko
nom
i
Series1
Series2
Series3
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Provinsi
Tin
gkat
Spe
sial
isas
i E
kon
omi
Series1
Series2
Series3
1995 2000 2005
1995 2000 2005
Keterangan: lihat *) Gambar 14. Tingkat Penghematan Lokalisasi Tahun 1995, 2000 dan 2005
Keterangan: lihat *) Gambar 15. Tingkat Penghematan Spesialisasi Tahun 1995, 2000 dan 2005
Kondisi sumber daya manusia perkotaan diestimasi dengan dua
pendekatan yaitu kualitas dan kuantitas. Secara kuantitas diestimasi dengan
tingkat partisipasi angkatan kerja yang ditunjukkan oleh Gambar 16. Pulau Jawa
memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja yang relatif tinggi dibandingkan pulau
besar lainnya. Provinsi Bali memiliki TPAK yang paling tinggi. Faktor
perkembangan pendidikan dan perkembangan peranan wanita di luar rumah
tangga memberikan pengaruh penting terhadap perubahan tingkat partisipasi
angkatan kerja.
Secara rata-rata PDRB per kapita yang dihitung dengan jumlah PDRB
atas harga berlaku dibagi dengan jumlah penduduk cenderung mengalami
peningkatan, namun jika dihitung dengan menggunakan PDRB atas harga konstan
relatif tidak mengalami perubahan. PDRB per kapita tertinggi adalah Provinsi
Kalimantan Timur dan terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tingginya
tingkat pendapatan per kapita di Kalimantan Timur dipengaruhi oleh hasil minyak
dan gas yang tinggi di provinsi ini.
0
20
40
60
80
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Provinsi
TP
AK Series1
Series2
Series3
Keterangan: lihat *) Gambar 16. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perkotaan Tahun 1995, 2000 dan
2005
1995 2000 2005
Dari sisi peran pemerintah, kemampuan fiskal membiayai pembangunan
menunjukkan kondisi yang bervariasi, hal ini dilatar belakangi oleh perbedaan
kemampuan pemerintah provinsi masing-masing dalam penerimaannya. Selain
itu proporsi pengeluaran pembangunan juga berkaitan dengan prioritas
pembangunan pemerintah provinsi masing-masing setiap tahunnya. Terdapat
perbedaan dalam format keuangan pemerintah provinsi. Jika pada tahun 1995 dan
2000 pengeluaran pemerintah dibedakan menjadi pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan, pada 2005 menjadi belanja aparatur daerah dan
belanja pelayanan publik.
Jumlah kota/kabupaten di Indonesia terus meningkat, hal ini merupakan
dampak dari desentralisasi yang terjadi sejak akhir 1999. Otonomi yang berlaku
membuat kebebasan yang melahirkan insiatif pendirian kota/kabupaten baru
010
2030
4050
6070
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Provinsi
Pen
dap
atan
per
Kap
itaSeries1
Series2
Series3
0
20
40
60
80
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Provinsi
Per
sen
tase
Pe
nge
luar
an
Pem
bang
un
an T
erh
adap
P
en
erim
aan
Tot
al
Series1
Series2
Series3
1995 2000 2005
1995 2000 2005
Keterangan: lihat *) Gambar 17. Tingkat Pendapatan per Kapita Tahun 1995, 2000 dan 2005
Keterangan: lihat *) Gambar 16. Persentase Pengeluaran Pembangunan terhadap Penerimaan Total
Pemerintah Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005
bahkan provinsi baru. Secara umum pembagian daerah administrasi yang banyak
adalah pada Pulau Jawa. Hal ini pula yang melatar belakangi banyaknya
kota/kabupaten yang masuk dalam kategori ukuran kota lebih dari 20.000 jiwa di
Jawa, selain dari tingkat pertumbuhan ukuran perkotaan pada masing-masing
daerah itu sendiri.
Keterbukaan wilayah di Indonesia yang diestimasi dengan nilai ekspor dan
impor barang/jasa yang diperjual belikan terhadap PDRB total juga menunjukkan
hal yang berfluktuasi. Rasio yang cenderung rendah ditunjukkan oleh Provinsi
Sumatera Barat. Rasio yang semakin tinggi ditunjukkan oleh Provinsi Kalimantan
Timur, sedangkan rasio yang semakin rendah ditunjukkan oleh Provinsi Maluku.
Hal tersebut terutama disebabkan oleh tinggi/rendahnya nilai ekspor masing-
masing provinsi.
05
10152025303540
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Provinsi
Jum
lah
Kot
a/K
abup
aten
Series1
Series2
Series3
0
0.5
1
1.5
2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Provinsi
Tin
gka
t Ket
erbu
kaan
W
ilaya
h Series1
Series2
Series3
1995 2000 2005
1995 2000 2005
Keterangan: lihat *) Gambar 17. Jumlah Kota/Kabupaten Tahun 1995, 2000 dan 2005
Keterangan: lihat *) Gambar 18. Tingkat Keterbukaan Wilayah Tahun 1995, 2000 dan 2005
Selanjutkan akan diuji secara statistik bagaimana pengaruh karakteristik
karakteristik tersebut terhadap distibusi ukuran perkotaan. Estimasi pengaruh
karakteristik wilayah terhadap distribusi ukuran perkotaan dalam penelitian ini
menggunakan metode panel data. Pemilihan model yang digunakan yaitu
berdasarkan keunggulannya dalam memberikan keleluasaan bagi peneliti untuk
melihat heterogenitas tiap unit crossection dari contoh penelitian. Heterogenitas
unit cross section, yang merupakan perbedaan antar provinsi, dapat diperoleh
dengan pendekatan efek tetap ataupun pendekatan efek acak.
Dasar statistika pemilihan model efek tetap ataukah efek acak untuk
digunakan dalam penelitian berdasarkan uji Hausman (Hausman test). Nilai
statistik Hausman test menunjukkan angka sebesar 19.978 dengan nilai
probabilitas sebesar 0.018 lebih kecil dari nilai Chi-Square yang berarti hipotesis
untuk menggunakan efek acak ditolak. Berdasarkan hasil pengujian ini maka
digunakan model efek tetap untuk mengestimasi pengaruh karakteristik wilayah
terhadap distribusi ukuran perkotaan. Uji Chow dan uji LM tidak dilakukan dalam
penelitian ini karena jika menggunakan pooled least squre, heterogenitas unit
cross section (provinsi) tidak dapat diestimasi.
Tabel 5. Hasil Uji Hausman Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
19.978 9 0.018
Hasil estimasi dengan menggunakan model efek tetap dapat dilihat dalam
Tabel 6. Berdasarkan tabel tersebut maka dapat dilakukan uji asumsi penting
ekonometrika yang terdiri dari uji multikolinearitas, autokorelasi dan
heteroskedastisitas. Selain itu terlihat juga kemampuan model yang digunakan
dalam menjelaskan keragaman yang terjadi.
Indikasi adanya multikolinearitas tercermin dengan melihat bahwa t-
statistik dan f-statistik hasil regresi. Pada tingkat kepercayaan 95 persen (taraf
nyata 5 persen), nilai probabilitas f-statistik yaitu 0.000. Uji signifikansi individu
(uji t) menggunakan t-statistik dengan taraf nyata 5 persen dan membandingkan
dengan nilai mutlak t-statistik dari hasil estimasi, maka terdapat tiga peubah yang
bersifat tidak signifikan dari sembilan peubah penjelas yang digunakan, sehingga
asumsi adanya multikolinearitas dapat diabaikan.
Tabel 6. Estimasi Pengaruh Karakteristik Wilayah Terhadap Distribusi Ukuran
Perkotaan dengan Pendekatan Efek Tetap Pembobotan dan White Cross Section Covariance
Variable Coefficient Prob.
C -1.281 0.000
ROADENS -0.121 0.196
LOG(URBAN) -0.729 0.000
LOC -0.191 0.023
LOG(SPEC) -0.219 0.146
RPAK 0.006 0.001
GDRPCAP 0.007 0.085
PUBLIC -0.140 0.000
ADM -0.012 0.004
LOG(OPENREG) 0.041 0.000
Kriteria statistik Nilai
R-squared 0.951
Adjusted R-squared 0.910
F-statistic 23.234
Prob(F-statistic) 0.000
Durbin-Watson stat 2.401 Signifikan pada taraf nyata 5%
Uji asumsi ekonometrika penting lainnya yaitu uji autokorelasi.
Berdasarkan Tabel 6, hasil estimasi pengaruh karakteristik wilayah terhadap
distribusi ukuran perkotaan dalam penelitian ini tidak dapat menentukan ada
tidaknya autokorelasi karena pada penggunaan 69 Observasi dan 9 konstanta, dw
berada diantara 4-du dan 4-dl, hal ini bisa terjadi karena jumlah titik waktu yang
digunakan hanya 3. Selain itu, model fixed effect tidak mensyaratkan persamaan
terbebas dari masalah autokorelasi, sehingga asumsi adanya autokorelasi dapat
diabaikan.
Uji penting lainnya yaitu mendeteksi adanya heteroskedastisitas. Estimasi
model dalam penelitian ini diberikan perlakuan cross section weigths dan white
heteroscedasticity consistent standard error and covariant, sehingga asumsi
adanya heteroskedastisitas dapat diabaikan.
Nilai R-square atau koefisien determinasi sebesar 0.951 yang
menunjukkan bahwa 95.1 persen keragaman distribusi ukuran perkotaan pada unit
cross section (provinsi) contoh dapat dijelaskan oleh model tersebut, sedangkan
sisanya dijelaskan oleh peubah lain diluar model. Hasil tersebut diperkuat dengan
probabilitas f-statistik yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Berdasarkan estimasi dan evaluasi terhadap keragaman pada distribusi ukuran
perkotaan maka model ini adalah model terbaik untuk digunakan dalam penelitian
ini.
Selanjutnya akan dianalisis pola hubungan masing-masing karakteristik
terhadap distribusi ukuran perkotaan. Kepadatan jalan memiliki hubungan yang
negatif yang tidak signifikan. Hubungan negatif ini tidak sesuai dengan hipotesis
awal dimana peningkatan kepadatan jalan membuat mobilitas penduduk lebih
efisien sehingga membuat distribusi ukuran perkotaan menjadi lebih tidak merata.
Hal ini dapat disebabkan pembangunan jalan selama ini cenderung pada
penyediaan jalan dalam kota, terutama di kota-kota besar. Nilainya yang tidak
signifikan dapat dipengaruhi oleh sistem transportasi di Indonesia yang bervariasi
sesuai dengan kondisi geografis pada setiap pulau. Misalnya di Pulau Jawa dan
Sumatera memiliki alat transportasi alternatif berupa sistem kereta api. Kenyataan
tersebut membuat kepadatan jalan tidak berpengaruh nyata terhadap distribusi
ukuran perkotaan di Indonesia.
Penghematan urbanisasi dan lokalisasi memiliki pengaruh yang negative
dan sigmnifikan, atau dengan kata lain wilayah yang memiliki dominasi aktivitas
ekonomi yang tinggi pada kota/kabupaten dengan populasi penduduk perkotaan
terbesar dan tingginya tingkat penghematan karena lokalisasi cenderung memiliki
distribusi ukuran perkotaan yang tidak merata. Hal ini sesuai dengan hipotesis
bahwa peningkatan agglomerasi ekonomi menyebabkan distribusi penduduk pada
wilayah tersebut terkonsentrasi pada satu daerah.
Nilai koefisien sebesar -0.729 dapat disimpulkan bahwa setiap kenaikan 1
persen pada tingkat penghematan urbanisasi akan menurunkan nilai pareto sebesar
0.729 persen. Sedangkan koefisien sebesar -0.191 dapat didefinisikan bahwa
setiap kenaikan pada tingkat pehematan karena lokalisasi akan membuat eksponen
pareto menurun sebesar 0.191.
Pengaruh negatif yang tidak signifikan pada tingkat penghematan karena
spesialisasi menunjukkan telah terciptanya perubahan pada spesialisasi sektoral
menjadi spesialisasi fungsional melalui mekanisme pemisahan fasilitas
manajemen dan fasilitas produksi yang dibagi antara kota besar dan kota yang
lebih kecil.
Persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja perkotaan
memiliki pengaruh positif yang signifikan, berdasarkan hal ini dapat disimpulkan
bahwa wilayah yang memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja yang tinggi
memiliki distribusi ukuran perkotaan yang relatif terdistribusi secara lebih merata.
Nilai koefisien sebesar 0.006 menunjukkan peningkatan proporsi angkatan kerja
terhadap penduduk perkotaan usia kerja meningkatkan nilai eksponen pareto
sebesar 0.006 persen. Hal ini dimungkinkan terjadi karena peningkatan angkatan
kerja memunculkan inisiatif-inisiatif usaha baru di kota/kabupaten yang lebih
kecil dan memungkinkan perusahaan untuk melakukan ekspansi usaha dengan
membuka cabang-cabang baru di kota-kota lain.
Pendapatan per kapita memiliki hubungan yang positif yang tidak
signifikan sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan pendapatan per kapita
belum dapat membuat distribusi ukuran perkotaan cenderung terdistribusi secara
lebih merata. Hal ini dapat dijelaskan karena dengan pendapatan yang meningkat
tidak selalu memilih bertempat tinggal pada daerah yang tidak terlalu padat. Hal
ini terlihat pada adanya perumahan-perumahan mewah di Indonesia yang
berlokasi di pusat kota.
Proporsi pengeluaran pemerintah terhadap penerimaan totalnya memiliki
hubungan yang negatif signifikan yang menunjukkan semakin besar proporsi
pengeluaran terhadap penerimaan total secara nyata menyebabkan distribusi
ukuran perkotaan semakin tidak merata. Nilai yang negatif ini dapat disebabkan
oleh kenyataan bahwa pembangunan fasilitas publik yang dilakukan pemerintah
selama ini belum dapat mendorong terbentuknya pusat pelayanan baru sehingga
tetap mendorong mobilitas penduduk perkotaan ke kota-kota yang relatif besar.
Pembagian wilayah administrasi memiliki hubungan yang negatif
signifikan. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal bahwa munculnya
kota/kabupaten baru dapat membuat distribusi ukuran perkotaan menjadi lebih
merata. Hubungan negatif signifikan ini dapat dipengaruhi oleh kenyataan bahwa
pemekaran wilayah tidak membuat pemerintahan berjalan lebih efisien. Kondisi
ini juga dapat disebabkan oleh karena penambahan jumlah kota/kabupaten justru
membuat keterkaitan aktivitas ekonomi antar daerah perkotaan tidak berjalan,
sehingga perekonomian menjadi cenderung terpusat. Faktor penyebab lainnya
adalah proses pemekaran yang terjadi pada sebuah daerah administrasi dengan
menghasilkan sebuah daerah administrasi baru, sehingga menyebabkan perkotaan
masing-masing yang semakin kecil. Nilai koefisien sebesar -0.012 menunjukkan
setiap penambahan pada jumlah kota/kabupaten akan menyebabkan nilai pareto
menurun 0.012 persen.
Keterbukaan wilayah memiliki hubungan yang positif. Nilai koefisien
sebesar 0.041 menunjukkan setiap peningkatan nilai ekspor dan impor terhadap
PDRB membuat nilai pareto meningkat 0.041 persen. Berdasarkan hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa wilayah yang relatif terbuka yang ditandai dengan
peningkatan proporsi jumlah ekspor dan impor terhadap PDRB total cenderung
memiliki distribusi ukuran perkotaan yang relatif merata. Hal tersebut dapat
dikaitkan oleh proses produksi yang menghasilkan barang ekspor dan
menghasilkan barang impor telah dilakukan pada daerah dengan ukuran perkotaan
yang lebih kecil, sehingga mendorong mobilitas penduduk ke daerah-daerah
tersebut.
Distribusi ukuran perkotaan yang kelihatan terbentuk saat ini merupakan
pola yang memusat dan tidak tercipta hierarki pusat-pusat pelayanan. Kondisi
terpusatnya aktivitas ekonomi pada pusat pertumbuhan mengakibatkan besarnya
orientasi pergerakan penduduk menuju kota/kabupaten yang ukuran perkotaannya
relatif besar. Maka tidak mengherankan berdasarkan hasil estimasi model tampak
bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan yaitu
tingkat peghematan urbanisasi.
Tabel 7. Nilai Koefisian Intersep Pengaruh Karakteristik Wilayah Terhadap Distribusi Ukuran Perkotaan
CROSSID Effect CROSSID Effect NAD -0.303 Nusa Tenggara Barat -0.226 Sumatera Utara 0.009 Nusa Tenggara Timur 0.267 Sumatera Barat 0.326 Kalimantan Barat -0.075 Riau -0.319 Kalimantan Tengah -0.017 Jambi 0.193 Kalimantan Selatan 0.104 Sumatera Selatan 0.313 Kalimantan Timur -0.649 Bengkulu -0.056 Sulawesi Utara -0.048 Lampung -0.002 Sulawesi Tengah 0.114 Jawa Barat 0.109 Sulawesi Selatan 0.378 Jawa Tengah 0.149 Maluku -0.211 Jawa Timur 0.118 Papua -0.353 Bali 0.181
Model panel data dengan pendekatan efek tetap dapat mengakomodasi
perbedaan konstanta intersep. Konstanta intersep dalam suatu hasil regresi
menggambarkan komponen peubah terikat yang tidak dapat diterangkan oleh
masing-masing peubah bebas yang digunakan dalam regresi tersebut. Berdasarkan
Tabel 7, masing-masing provinsi memiliki nilai konstanta intersep yang berbeda.
Nilai tersebut menunjukkan jika karakteristik wilayah yang digunakan dalam
model tidak berpengaruh nyata, maka eksponen pareto tertinggi adalah Provinsi
Kalimantan Timur dan terendah adalah Sulawesi Selatan.
5.3. Implikasi Kebijakan
Kenyataan bahwa meningkatnya penduduk perkotaan berkaitan dengan
meningkatnya pertumbuhan ekonomi telah mendorong pemerintah untuk secepat
mungkin meningkatkan proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan. Proses
peningkatan penduduk perkotaan ini perlu diarahkan agar tidak terkonsentrasi
secara berlebihan. Hal ini terkait dengan konsentrasi yang berlebihan dapat
menimbulkan berbagai permasalahan pada daerah tujuan maupun bagi daerah
asal.
Identifikasi distribusi ukuran perkotaan menunjukkan bahwa daerah
dengan ukuran perkotaan terbesar tetap didominasi oleh kota/kabupaten yang
berstatus ibukota provinsi. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan yang difokuskan
untuk membangun sarana dan prasarana pada pusat pertumbuhan, yang justru
menyebabkan semakin besarnya dominasi pusat-pusat pertumbuhan dalam
hierarki aktivitas ekonomi. Harapan pusat-pusat pertumbuhan tersebut sebagai
pemicu pembangunan kota/kabupaten lainnya menjadi tidak terwujud.
Dengan keterbatasan anggaran, pemerintah harus membuat prioritas
pembangunan. Pembangunan jalan harus diprioritaskan pada pembangunan jalan
antar kota untuk memastikan kelancaran mobilitas orang dan barang, yang
tentunya ditujukan untuk meminimisasi biaya transportasi antar kota.
Pengembangan transportasi ditujukan terutama untuk penyediaan akses antar
kota/kabupaten dalam rangka menumbuhkan pusat-pusat palayanan baru. Hal
tersebut seperti yang terjadi pada Pulau Jawa. Kota/kabupaten yang berada
berbatasan dengan kota besar seperti DKI Jakarta, Kota Surabaya, Kota Semarang
dan Kota Bandung mengalami pertumbuhan yang pesat. Hal ini tidak lain karena
adanya akses transportasi yang relatif memadai pada pulau ini.
Mengingat mahalnya harga lahan pada kota besar, pemerintah
kota/kabupaten yang berbatasan dengan kota besar tersebut berinisiatif untuk
menyediakan perumahan pada lokasinya untuk menarik penduduk di kota-kota
besar. Kemudian muncul masalah transportasi seperti kemacetan lalu lintas akibat
peningkatan jumlah komuter karena tingginya daya tarik kota besar sebagai
penyedia lapangan kerja dan kebutuhan lain yang lebih lengkap. Untuk mengatasi
masalah transportasi komuter ini pemerintah melakukan pengembangan
transportasi dengan karakteristik bebas hambatan, cepat, serta daya angkut besar.
Walaupun demikian, aktivitas ekonomi seperti lapangan kerja tetap terkonsentrasi
pada kota besar yang menyebabkan perkembangan perekonomian secara regional
tetap tidak banyak berubah.
Ukuran perkotaan suatu daerah dapat diperbesar ketika kawasan yang
sebelumnya tergolong pedesaan menjadi perkotaan, namun bukan berarti
menomor duakan pembangunan pedesaan, karena pembangunan perkotaan sangat
terkait dengan pedesaaan. Perbesaran ukuran perkotaan dapat terjadi tanpa
mengorbankan pembangunan pedesaan itu sendiri diantaranya melalui penyediaan
berbagai fasilitas perkotaan seperti rumah sakit, pasar, sekolah dan lain lain.
Penggunaan teknologi pertanian yang lebih modern juga penting dilakukan,
sehingga rumah tangga yang tergolong bermata pencarian sebagai petani
berkurang namun produktivitas pertanian tetap tinggi.
Berdasarkan perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi, otonomi daerah
diberikan kepada provinsi dan kabupaten/kota. Otonomi daerah ini lebih condong
diberikan kepada kabupaten/kota, karena jarak antara pemerintah daerah
kabupaten/kota kepada masyarakat relatif lebih dekat dari pada langsung ke
tingkat provinsi. Selain itu, kota/kabupaten dinilai lebih mengetahui karakteristik
daerah, sehingga diharapkan lebih mampu mencari strategi pembangunan terbaik.
Hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota hanya sebatas koordinasi,
kerjasama dan kemitraan.
Pemberlakuan undang-undang otonomi daerah jangan sampai menjadi
hambatan keterkaitan aktivitas ekonomi antar kota/kabupaten. Kebijaksanaan
pengembangan perkotaan di Indonesia dewasa ini dilandasi pada pengaturan
mengenai sistem kota-kota yang terpadu. Dengan semakin terpadunya sistem-
sistem perkotaan yang ada, diharapkan akan terbentuk suatu hierarki perkotaan;
kota besar, menengah, dan kecil tumbuh secara paralel, dimana setiap kota
memiliki peran dalam aktivitas ekonomi regional sesuai hierarkinya masing-
masing.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Ukuran perkotaan di Indonesia secara umum tidak mengikuti ukuran
perkotaan menurut rank-size rule. Identifikasi ukuran perkotaan di
Indonesia menunjukkan bahwa terdapat primary city di Indonesia yang
ditandai dengan rasio antara ukuran perkotaan terbesar pertama dengan
ukuran perkotaan terbesar kedua yang lebih dari 1 berbanding 3.
2. Distribusi ukuran perkotaan di Indonesia pada kurun waktu 1995 hingga
2005 semakin tidak merata. Secara umum Pulau Jawa memiliki distribusi
ukuran perkotaan yang lebih merata dibandingkan dengan pulau besar
lainnya.
3. Kondisi distribusi ukuran perkotaan yang semakin tidak merata di
Indonesia disebabkan oleh tingkat penghematan urbanisasi, tingkat
penghematan karena lokalisasi, tingkat kemampuan pemerintah dalam
membiayai pembangunan dan jumlah daerah administrasi yang cenderung
meningkat. Faktor lain yang mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan di
Indonesia adalah tingkat partisipasi angkatan kerja maupun dalam tingkat
keterbukaan wilayah. Peningkatan pada kedua faktor tersebut
menyebabkan distribusi ukuran perkotaan menjadi lebih merata.
6.2. Saran
1. Pemisahan konsentrasi aktivitas, baik aktivitas produksi dengan aktivitas
manajemen, maupun kawasan pemukiman terhadap lokasi bisnis, perlu
dilakukan agar agglomerasi ekonomi tidak terkonsentrasi pada daerah
tertentu. Hal ini dapat terealisasi dengan adanya dukungan sistem
transportasi yang saling terintegrasi antar daerah, sehingga dapat
meminimisasi biaya perjalanan.
2. Ukuran perkotaan suatu daerah dapat diperbesar ketika kawasan yang
sebelumnya tergolong pedesaan berubah menjadi perkotaan. Perbesaran
ukuran perkotaan dapat dilakukan sejalan dengan pembangunan pedesaan
diantaranya melalui penyediaan berbagai fasilitas perkotaan di pedesaan
seperti pengadaan pasar, sekolah, rumah sakit, serta akses terhadap
perbankan.
DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Graha Ilmu, Yogyakarta. Badan Pusat Statistik. 2005 dan 2000. Statistik Perhubungan 2000 dan 2005. BPS,
Jakarta. ---------. 2005, 2001, dan 1998. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi
1995/1996–1998/1999, 1999/2000-2002, 2003-2006. BPS, Jakarta.
---------. 2005, 2000 dan1995. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha 1995, 2000, 2005. BPS, Jakarta.
---------. 2005, 2000 dan 1995. Produk Domestik Regional Bruto Menurut
Komponen Penggunaan 1995, 2000, 2005. BPS, Jakarta. ---------. 2005 dan 1995. Survei Penduduk Antar Sensus 1995 dan 2005. BPS,
Jakarta. ---------. 2000. Sensus Penduduk 2000. BPS, Jakarta. ---------. 1996. Statistik Kendaraan Bermotor dan Panjang Jalan 1995-1996. BPS,
Jakarta. BPS, BAPPENAS dan UNFPA. 2005. Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2025.
BPS, Jakarta. Bradley, R. dan J.S. Gans. 1998. Growth in Australian City. The Economics
Record 74 (226), 266-277. Crampton, G. 2005. The Rank Size Rule in Europe: Testing Zip’s Law Using
European Data. ERSA2005, Paper 185, Theme K, Amsterdam. Duranton, G. 2002. City Size Distribution As a Consequence of Growth Process.
Centre for economic performance. London School of Economics and Political Science. London.
Gabaix, X dan Y.M. Iolinides. 2003. The Evolution of City Size Distribution.
Working Paper. Departement of Economics Tufts University. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan sumarno [penerjemah].
Erlangga, Jakarta. Henderson, V. 2000. The Effects of Urban Concentration in Economic Growth.
Working Papers. National Bureau of Economic Research. http://www.nber.org/papers/w7503.
Hoover dan Giarratani. 2002. Introduction to Regional Economics. http://www.rri.wvm.edu/webbook/giarratani
Hsiao, C. 2004. Analysis of Panel Data. Cambridge University, UK. Junius, K. 1999. Primacy and Economic Development: Bell Shaped or Parallel
Growth of Cities. Journal of economics Development. Vol.24 no.1. Kuncoro, M. 2002. Analisis Spasial dan Regional. AMP YKPN, Yogyakarta. Landiyanto, E.A. 2005. Spesialisasi dan Konsentrasi Spasial pada Sektor
Industri Manufaktur di Jawa Timur. Disampaikan pada paralel session VIB: Industry and Trade. 17 November 2005. Jakarta.
Marbun, B.N. 1994. Kota Indonesia Masa Depan: Masalah dan Prospek.
Erlangga, Jakarta.
Mulatip, I dan B.P.S. Brodjonegoro. 2004. Determinan Pertumbuhan Kota di Indonesia. Jurnal Pembangunan dan Ekonomi Indonesia. FEUI: Depok.
Prabatmodjo, H. 2000. Perkotaan Indonesia pada Abad ke-21: Menuju Urbanisasi Menyebar?. Jurnal Perencanaan Wilayah Kota Vol.11. No.1/Maret 2000.
Priyarsono, D.S., Sahara dan M. Firdaus. 2007. Ekonomi Regional. Universitas Terbuka, Jakarta.
Roosen, K. T. dan M. Resnick, 1980. The Size Distribution of Cities: An
Examination of Pareto Law and Primacy, Journal of Urban Economics 8: 165-186.
Soo, K.T. 2002. Zipf’s Law for Cities: A Cross Country Investigation. Processed,
London School of Economics. Sullivan, A.O. 2000. Urban Economics, 4th edition. Irwin Mc Graw Hill,
Singapore. Verbeek, M. 2004. Modern Econometrics. John Wiley and Sons Inc., USA.
Lampiran 1. Grafik Ukuran Perkotaan Aktual Dibandingkan dengan Ukuran Perkotaan Menurut Rank-SizeRule
1. Tahun 1995
2. Tahun 2000
1.0E+04
2.0E+043.0E+045.0E+04
1.0E+05
2.0E+053.0E+055.0E+05
1.0E+06
2.0E+063.0E+065.0E+06
1.0E+07
0 40 80 120 160 200 240 280
R
SSRSR
1.0E+04
2.0E+043.0E+045.0E+04
1.0E+05
2.0E+053.0E+055.0E+05
1.0E+06
2.0E+063.0E+065.0E+06
1.0E+07
0 40 80 120 160 200 240 280 320
R
SSRSR
3. Tahun 2005
Keterangan: S = Ukuran perkotaan aktual SRSR = Ukuran perkotaan prediksi ran-size rule
1.0E+04
2.0E+043.0E+045.0E+04
1.0E+05
2.0E+053.0E+055.0E+05
1.0E+06
2.0E+063.0E+065.0E+06
1.0E+07
0 50 100 150 200 250 300 350
R
SSRSR
Lampiran 2. Distribusi Ukuran Perkotaan Aktual Tahun 1995, 2000 dan 2005 Tahun 1995 Tahun 2000 Tahun 2005 Rank Size Kota/Kabupaten Rank Size Kota/Kabupaten Rank Size Kota/Kabupaten Ukuran Perkotaan lebih dari 5.120.000
1 9023458 D K I Jakarta 1 8361079 D K I Jakarta 1 8839247 D K I Jakarta
Ukuran Perkotaan antara 2.560.000 - 5.120.000 jiwa
2 2888879 Kab. Bogor 2 2656636 Kab. Bandung 2 2611506 Kota Surabaya
3 2663820 Kota Surabaya 3 2599796 Kota Surabaya Ukuran Perkotaan antara 1.280.000 - 2.560.000 jiwa
4 2356120 Kota Bandung 4 2136260 Kota Bandung 3 2419666 Kab. Bandung
5 2137200 Kab. Bekasi 5 2013987 Kab. Bogor 4 2292672 Kab. Tangerang
6 1843919 Kota Medan 6 1940810 Kab. Tangerang 5 2288570 Kota Bandung
7 1669381 Kab. Bandung 7 1910683 Kota Medan 6 2180910 Kab. Bogor
8 1622170 Kota Bekasi 7 2029797 Kota Medan
9 1437515 Kota Palembang 8 1940308 Kota Bekasi
10 1345232 Kota Semarang 9 1453608 Kab. Sidoarjo
11 1339311 Kab. Sidoarjo 10 1451595 Kota Tangerang
12 1325854 Kota Tangerang 11 1352869 Kota Semarang
12 1339263 Kota Depok
13 1323169 Kota Palembang
Ukuran Perkotaan antara 640.000 - 1.280.000 jiwa
8 1258360 Kab. Tangerang 13 1120892 Kota Depok 14 1272550 Kab. Bekasi
9 1222764 Kota Palembang 14 1082736 Kab. Cirebon 15 1168258 Kota Makassar
10 1104405 Kota Semarang 15 1077225 Kota Ujung Pandang 16 1135530 Kab. Cirebon
11 1060257 Kota Ujung Pandang 16 1044894 Kab. Deli Serdang 17 1065933 Kab. Deli Serdang
12 1046204 Kab. Deli Serdang 17 967740 Kab. Bekasi 18 891467 Kota Bogor
13 974952 Kota Tangerang 18 951446 Kab. Malang 19 886394 Kab. Malang
14 906642 Kab. Sidoarjo 19 784681 Kab. Jember 20 816283 Kab. Sleman
15 887757 Kab. Cirebon 20 766617 Kab. Tegal 21 808112 Kab. Jember
16 716862 Kota Malang 21 746921 Kota Bogor 22 790057 Kota Bandar Lampung
17 680332 Kota Bandar Lampung 22 742826 Kab. Klaten 23 773174 Kota Malang
23 742263 Kota Malang 24 761167 Kab. Tegal
24 738786 Kab. Sleman 25 750929 Kab. Karawang
25 735916 Kota Bandar Lampung 26 726644 Kab. Klaten
26 662211 Kab. Banyumas 27 703956 Kota Pekan Baru
28 688021 Kab. Jombang
29 686908 Kota Padang
30 674937 Kab. Pemalang
31 665026 Kab. Banyumas
Ukuran Perkotaan antara 320.000 - 640.000 jiwa
18 616502 Kab. Tegal 27 660806 Kab. Karawang 32 621794 Kab. Garut
19 578097 Kab. Malang 28 626583 Kab. Pemalang 33 618122 Kab. Bantul
20 534474 Kota Padang 29 614799 Kab. Jombang 34 587227 Kota Batam
21 516594 Kota Surakarta 30 602152 Kab. Tasikmalaya 35 583253 Kab. Sukoharjo
22 516410 Kab. Banyumas 31 601341 Kota Padang 36 576413 Kota Banjarmasin
23 482931 Kota Banjarmasin 32 579773 Kab. Garut 37 574610 Kota Denpasar
24 474251 Kab. Jember 33 576612 Kota Pekan Baru 38 573848 Kab. Gresik
25 457815 Kab. Kudus 34 562051 Kab. Bantul 39 571157 Kab. Brebes
26 448477 Kab. Sleman 35 551786 Kab. Brebes 40 546879 Kota Cimahi
27 445626 Kab. Klaten 36 551572 Kab. Banyuwangi 41 542927 Kab. Sukabumi
28 444482 Kab. Karawang 37 546436 Kab. Sukoharjo 42 535264 Kab. Jepara
29 444207 Kab. Tasikmalaya 38 532944 Kota Denpasar 43 528295 Kab. Banyuwangi
30 443744 Kab. Sukoharjo 39 521999 Kota Banjarmasin 44 520699 Kab. Pasuruan
31 438638 Kota Pekan Baru 40 517315 Kab. Kediri 45 519930 Kab. Kediri
32 438228 Kab. Bantul 41 514894 Kab. Pasuruan 46 513338 Kab. Kudus
33 418944 Kota Yogyakarta 42 508259 Kab. Sukabumi 47 511568 Kab. Cianjur
34 418320 Kab. Brebes 43 500960 Kab. Gresik 48 506397 Kota Surakarta
35 409632 Kota Pontianak 44 493727 Kab. Jepara 49 505664 Kota Samarinda
36 407660 Kab. Sukabumi 45 490853 Kota Surakarta 50 501843 Kota Pontianak
37 399175 Kota Samarinda 46 482603 Kab. Cianjur 51 464418 Kab. Serang
38 395100 Kab. Pemalang 47 478865 Kab. Kudus 52 456278 Kota Tasikmalaya
39 385201 Kota Jambi 48 466350 Kota Samarinda 53 455244 Kab. Cilacap
40 365070 Kab. Banyuwangi 49 465674 Kota Pontianak 54 440552 Kota Balikpapan
41 363474 Kota Denpasar 50 458587 Kab. Serang 55 433539 Kota Yogyakarta
42 362746 Kab. Jombang 51 454843 Kab. Cilacap 56 431741 Kab. Indramayu
43 362283 Kab. Indramayu 52 426496 Kab. Lombok Timur 57 409202 Kota Jambi
44 347616 Kab. Serang 53 414882 Kota Batam 58 406520 Kab. Tulungagung
45 344955 Kab. Cilacap 54 411057 Kab. Indramayu 59 402026 Kab. Mojokerto
46 338752 Kota Balikpapan 55 400351 Kota Jambi 60 396412 Kab. Lombok Timur
47 332948 Kab. Kediri 56 396744 Kota Yogyakarta 61 385269 Kab. Majalengka
48 332288 Kota Manado 57 386362 Kab. Tulungagung 62 370139 Kota Manado
49 328716 Kab. Jepara 58 382453 Kota Balikpapan 63 369591 Kab. Pekalongan
59 379984 Kab. Mojokerto 64 354124 Kab. Karanganyar
60 369737 Kab. Majalengka 65 354002 Kab. Pati
61 357292 Kab. Kendal 66 350054 Kab. Kendal
62 357216 Kab. Pekalongan 67 345014 Kab. Bengkalis
63 356560 Kab. Ciamis 68 342896 Kota Mataram
64 352995 Kota Manado 69 324116 Kab. Nganjuk
65 351140 Kab. Pati
66 341552 Kab. Karanganyar Ukuran Perkotaan antara 160.000 - 320.000 jiwa
50 316758 Kab. Gresik 67 317941 Kab. Nganjuk 70 308771 Kota Cirebon
51 312000 Kab. Pasuruan 68 317288 Kota Mataram 71 305713 Kab. Subang
52 308321 Kab. Garut 69 295953 Kab. Sumedang 72 305256 Kab. Sumedang
53 306440 Kab. Mojokerto 70 291439 Kab. Kebumen 73 294879 Kab. Purwakarta
54 306336 Kota Mataram 71 287430 Kab. Subang 74 293047 Kab. Semarang
55 305490 Kab. Bengkalis 72 282714 Kab. Magelang 75 292382 Kab. Lombok Barat
56 301504 Kota Pekalongan 73 277286 Kab. Kuningan 76 282776 Kab. Kuningan
57 289744 Kota Tegal 74 276595 Kab. Purwakarta 77 282304 Kab. Magelang
58 285114 Kota Bogor 75 275476 Kab. Probolinggo 78 280373 Kota Sukabumi
59 277920 Kab. Labuhan Batu 76 272696 Kab. Demak 79 276820 Kota Cilegon
60 273780 Kab. Cianjur 77 272263 Kota Cirebon 80 274858 Kab. Ciamis
61 263998 Kab. Tulungagung 78 271884 Kab. Semarang 81 270357 Kab. Asahan
62 257895 Kab. Kepulauan Riau 79 270948 Kota Bengkulu 82 270346 Kab. Probolinggo
63 256371 Kab. Gunung Kidul 80 259870 Kab. Blitar 83 264731 Kab. Kebumen
64 254406 Kota Cirebon 81 256824 Kota Pekalongan 84 264368 Kab. Blitar
65 253760 Kota Kediri 82 250790 Kab. Asahan 85 264142 Kab. Demak
66 249312 Kota Ambon 83 248170 Kab. Lombok Barat 86 263921 Kota Pekalongan
67 248018 Kab. Majalengka 84 247154 Kota Cilegon 87 259227 Kab. Sragen
68 244006 Kab. Kuningan 85 245887 Kab. Aceh Utara 88 252768 Kota Bengkulu
69 242653 Kab. Kutai 86 244519 Kota Kediri 89 251844 Kota Palu
70 238080 Kab. Asahan 87 243746 Kota Sukabumi 90 248640 Kota Kediri
71 236250 Kab. Lumajang 88 242712 Kota Pematang Siantar 91 246974 Kab. Gianyar
72 234324 Kota Bengkulu 89 239102 Kab. Sragen 92 243443 Kab. Langkat
73 225784 Kab. Aceh Utara 90 236988 Kota Tegal 93 239833 Kab. Boyolali
74 224640 Kab. Situbondo 91 235548 Kab. Boyolali 94 238676 Kota Tegal
75 222183 Kab. Nganjuk 92 232171 Kota Palu 95 236315 Kab. Buleleng
76 218160 Kab. Pati 93 229968 Kab. Situbondo 96 232801 Kab. Situbondo
77 216864 Kab. Pekalongan 94 229730 Kab. Gianyar 97 231921 Kab. Badung
78 209500 Kota Palu 95 229245 Kab. Bengkalis 98 230784 Kota Kupang
79 208200 Kab. Subang 96 225275 Kab. Kepulauan Riau 99 229525 Kota Pematang Siantar
80 205318 Kab. Magelang 97 218386 Kab. Batang 100 223923 Kab. Batang
81 203360 Kab. Batang 98 216368 Kab. Buleleng 101 222299 Kota Binjai
82 203056 Kota Pematang Siantar 99 216331 Kota Kupang 102 217298 Kab. Lumajang
83 201762 Kota Banda Aceh 100 215711 Kab. Lumajang 103 211510 Kab. Ponorogo
84 201279 Kab. Blitar 101 215085 Kota Banda Aceh 104 207305 Kab. Bojonegoro
85 201216 Kab. Kendal 102 210222 Kota Binjai 105 204218 Kota Ambon
86 199644 Kab. Semarang 103 209444 Kab. Muara Enim 106 203610 Kab. Tuban
87 191391 Kab. Boyolali 104 206460 Kab. Ponorogo 107 203185 Kab. Magetan
88 191168 Kab. Karanganyar 105 202254 Kab. Karimun 108 199973 Kab. Purworejo
89 186150 Kab. Grobogan 106 198377 Kab. Tuban 109 195006 Kota Kendari
90 183612 Kab. Lampung Tengah 107 197056 Kab. Badung 110 194938 Kab. Grobogan
91 182470 Kab. Badung 108 195319 Kab. Bojonegoro 111 194349 Kab. Bangkalan
92 173472 Kab. Kupang 109 195122 Kab. Lamongan 112 194077 Kab. Tasikmalaya
93 172187 Kab. Ciamis 110 194787 Kab. Simalungun 113 193777 Kab. Purbalingga
94 171532 Kota Madiun 111 192863 Kab. Purbalingga 114 189044 Kab. Labuhan Batu
95 165244 Kab. Wonogiri 112 191730 Kab. Magetan 115 185117 Kab. Blora
113 190909 Kab. Minahasa 116 182541 Kab. Lampung Selatan
114 190829 Kab. Langkat 117 182275 Kab. Lamongan
115 185833 Kab. Purworejo 118 179845 Kab. Simalungun
116 181940 Kab. Grobogan 119 177881 Kota Banda Aceh
117 174946 Kab. Ogan Komering Ulu 120 171390 Kota Madiun
118 173566 Kab. Bangkalan 121 169327 Kab. Gowa
119 172973 Kab. Musi Banyu Asin 122 168734 Kota Probolinggo
120 171209 Kab. Blora 123 167958 Kota Tanjung Pinang
121 167898 Kab. Temanggung 124 166519 Kota Pasuruan
122 166268 Kab. Labuhan Batu 125 165628 Kab. Temanggung
123 164426 Kab. Wonogiri 126 164220 Kota Jayapura
124 163956 Kota Madiun 127 163085 Kab. Wonogiri
125 162521 Kota Pasuruan 128 162900 Kab. Serdang Bedagai
126 162272 Kota Kendari 129 161704 Kab. Pandeglang
Ukuran Perkotaan antara 80.000 - 160.000 jiwa
96 158800 Kab. Ponorogo 127 158608 Kab. Pandeglang 130 158467 Kab. Pontianak
97 157042 Kab. Aceh Timur 128 156657 Kota Probolinggo 131 156012 Kab. Banjarnegara
98 155600 Kab. Kebumen 129 156042 Kota Ambon 132 154047 Kab. Bondowoso
99 155290 Kab. Purwakarta 130 154528 Kota Jayapura 133 152913 Kota Salatiga
100 155050 Kab. Pontianak 131 154355 Kab. Lampung Selatan 134 148355 Kab. Banyuasin
101 153549 Kab. Banjar 132 153365 Kab. Bangka 135 148139 Kota Palangka Raya
102 151515 Kab. Demak 133 152219 Kab. Bondowoso 136 147322 Kab. Madiun
103 148423 Kab. Kendari 134 151177 Kab. Banjarnegara 137 147030 Kota Tarakan
104 148010 Kab. Probolinggo 135 150874 Kab. Madiun 138 145929 Kota Banjar Baru
105 143276 Kab. Blora 136 147846 Kab. Tanggamus 139 144383 Kota Lhokseumawe
106 142990 Kab. Tuban 137 145832 Kab. Rembang 140 143430 Kota Sorong
107 142655 Kab. Bangkalan 138 144380 Kab. Aceh Timur 141 143390 Kab. Rembang
108 142610 Kota Binjai 139 142005 Kota Salatiga 142 143228 Kab. Trenggalek
109 140007 Kota Batam 140 141782 Kab. Trenggalek 143 143141 Kab. Tanggamus
110 137855 Kab. Sumedang 141 141215 Kota Palangka Raya 144 140037 Kota Dumai
111 137100 Kota Pasuruan 142 137676 Kab. Lahat 145 139969 Kab. Sumenep
112 136544 Kab. Muara Enim 143 136925 Kab. Gowa 146 139385 Kota Pangkal Pinang
113 135324 Kab. Buton 144 134882 Kab. Kotawaringin Timur 147 137461 Kota Gorontalo
114 134384 Kab. Bulongan 145 133565 Kab. Sumenep 148 136662 Kab. Muara Enim
115 133988 Kab. Buleleng 146 131411 Kota Ternate 149 136346 Kab. Pamekasan
116 133485 Kota Palangka Raya 147 129144 Kab. Sumbawa 150 134550 Kab. Kutai
117 132864 Kab. Bojonegoro 148 128331 Kab. Kutai 151 134548 Kota Tebing Tinggi
118 132319 Kab. Sambas 149 128117 Kab. Pontianak 152 133897 Kota Tanjung Balai
119 131264 Kab. Kulon Progo 150 126965 Kab. Pamekasan 153 133078 Kota Ternate
120 129240 Kota Tebing Tinggi 151 125184 Kota Tebing Tinggi 154 132462 Kab. Tabanan
121 128384 Kab. Lahat 152 124736 Kab. Musi Rawas 155 131999 Kota Bitung
122 127629 Kab. Lombok Timur 153 124188 Kab. Lombok Tengah 156 131638 Kab. Lombok Tengah
123 125766 Kota Sukabumi 154 121997 Kota Pangkal Pinang 157 131345 Kab. Karimun
124 124605 Kab. Sumenep 155 121784 Kab. Wonosobo 158 129489 Kota Padang Sidempuan
125 124196 Kab. Bangka 156 121382 Kab. Kota Baru 159 126776 Kota Blitar
126 123800 Kota Magelang 157 120543 Kab. Bengkayang 160 126491 Kota Langsa
127 120770 Kota Probolinggo 158 119942 Kab. Tabanan 161 126365 Kota Lubuk Linggau
128 117978 Kab. Polewali Mamasa 159 119621 Kota Gorontalo 162 124374 Kota Magelang
129 117972 Kab. Ogan Komering Ulu 160 119372 Kota Blitar 163 123762 Kab. Sumbawa
130 116494 Kab. Rembang 161 119092 Kab. Rejang Lebong 164 121813 Kab. Wonosobo
131 115804 Kab. Purworejo 162 118532 Kota Banjar Baru 165 120142 Kab. Siak
132 114912 Kab. Belitung 163 118237 Kota Tanjung Balai 166 118405 Kota Bontang
133 114224 Kab. Lampung Selatan 164 117553 Kota Magelang 167 113656 Kota Singkawang
134 113895 Kota Pangkal Pinang 165 116723 Kab. Lampung Utara 168 113052 Kota Batu
135 113876 Kota Blitar 166 115714 Kota Dumai 169 111860 Kota Mojokerto
136 112896 Kab. Tapanuli Selatan 167 113302 Kab. Bima 170 109787 Kab. Jembrana
137 112413 Kab. Maluku Utara 168 112851 Kab. Ogan Komering Ilir 171 109033 Kab. Lampung Utara
138 111111 Kab. Lamongan 169 112773 Kota Tarakan 172 104824 Kab. Lebak
139 110770 Kota Gorontalo 170 112366 Kab. Sidenreng Rappang 173 101453 Kota Pare-Pare
140 108696 Kota Jayapura 171 111883 Kab. Belitung 174 100588 Kab. Banjar
141 105792 Kab. Simalungun 172 111716 Kota Bitung 175 100512 Kota Bukittinggi
142 103974 Kota Mojokerto 173 108938 Kota Mojokerto 176 99686 Kab. Bone
143 101892 Kota Salatiga 174 108493 Kab. Tapanuli Selatan 177 98928 Kab. Lampung Tengah
144 101796 Kota Tanjung Balai 175 105860 Kab. Jembrana 178 98451 Kab. Kotawaringin Timur
145 101250 Kab. Gowa 176 105618 Kota Sorong 179 97290 Kota Palopo
146 99912 Kab. Sorong 177 105115 Kab. Buton 180 97198 Kab. Kotawaringin Barat
147 97614 Kab. Wajo 178 102291 Kab. Luwu 181 96105 Kab. Rokan Hilir
148 97428 Kab. Luwu 179 98910 Kab. Lampung Tengah 182 95904 Kab. Merauke
149 95653 Kota Pare-Pare 180 98591 Kota Pare-Pare 183 95894 Kota Metro
150 93130 Kab. Musi Banyu Asin 181 97791 Kota Bontang 184 95872 Kab. Bangka
151 92225 Kab. Tabanan 182 93422 Kab. Lebak 185 94756 Kota Prabumulih
152 90402 Kab. Madiun 183 91991 Kota Bukittinggi 186 94027 Kota Bima
153 89920 Kab. Bondowoso 184 89885 Kab. Bone 187 92764 Kab. Polewali Mandar
154 89100 Kab. Bone 185 89071 Kota Metro 188 92620 Kab. Rejang Lebong
155 88363 Kab. Langkat 186 88367 Kab. Polewali Mamasa 189 90489 Kota Sibolga
156 87143 Kab. Kota Baru 187 88032 Kab. Kotawaringin Barat 190 89054 Kab. Lahat
157 85484 Kab. Rejang Lebong 188 87081 Kab. Siak 191 89040 Kota Banjar
158 85304 Kab. Kotawaringin Timur 189 84604 Kab. Gorontalo 192 85403 Kab. Minahasa
159 84972 Kab. Lebak 190 82107 Kota Sibolga 193 83694 Kota Baubau
160 82350 Kab. Purbalingga 191 81333 Kab. Banjar 194 83108 Kab. Tanah Bumbu
161 81928 Kota Bukittinggi 195 80266 Kab. Ketapang
162 81540 Kota Bitung
163 80784 Kab. Agam 164 80666 Kab. Bima
Ukuran Perkotaan antara 40.000 - 80.000 jiwa 165 79872 Kab. Banjarnegara 192 79620 Kab. Agam 196 79603 Kab. Agam
166 79632 Kab. Temanggung 193 78866 Kab. Aceh Barat 197 78860 Kab. Sampang
167 79442 Kab. Ogan Komering Ilir 194 78705 Kab. Rokan Hilir 198 78545 Kab. Gorontalo
168 79170 Kab. Kampar 195 76700 Kab. Sampang 199 78356 Kab. Tanjung Jabung Barat
169 77749 Kab. Wonosobo 196 74566 Kab. Padang Pariaman 200 77647 Kab. Wajo
170 76934 Kota Sibolga 197 73685 Kab. Wajo 201 77412 Kab. Ngawi
171 74712 Kab. Sampang 198 73543 Kab. Kapuas 202 76815 Kab. Ogan Komering Ulu
172 74351 Kab. Maluku Tengah 199 72624 Kab. Ngawi 203 76274 Kab. Indragiri Hilir
173 73953 Kab. Poso 200 71257 Kab. Pasir 204 75011 Kab. Klungkung
174 73746 Kab. Sragen 201 70528 Kab. Klungkung 205 74459 Kab. Sambas
175 73556 Kab. Padang Pariaman 202 70366 Kab. Ketapang 206 72261 Kab. Aceh Timur
176 73440 Kab. Pamekasan 203 68345 Kab. Sanggau 207 71390 Kab. Kepulauan Riau
177 73132 Kab. Banggai 204 66556 Kab. Tanjung Jabung Barat 208 71058 Kab. Kulon Progo
178 72496 Kab. Minahasa 205 66374 Kab. Kulon Progo 209 70563 Kab. Belitung
179 71586 Kab. Klungkung 206 66129 Kab. Karo 210 68173 Kota Payakumbuh
180 70027 Kab. Tapanuli Utara 207 65997 Kab. Sambas 211 67100 Kab. Belu
181 68930 Kab. Bungo Tebo 208 65737 Kota Payakumbuh 212 66873 Kab. Karo
182 67950 Kab. Gianyar 209 65674 Kab. Maluku Tengah 213 66063 Kab. Berau
183 66300 Kab. Sawahlunto/Sijunjung 210 62071 Kab. Indragiri Hilir 214 65598 Kab. Banggai
184 65709 Kab. Indragiri Hulu 211 60119 Kab. Ende 215 65346 Kab. Kota Baru
185 64640 Kab. Lampung Utara 212 58420 Kab. Banggai 216 64910 Kab. Sidenreng Rappang
186 63558 Kab. Sumbawa 213 57614 Kab. Pacitan 217 64129 Kab. Kolaka
187 61642 Kota Payakumbuh 214 57112 Kab. Pasaman 218 63969 Kab. Pinrang
188 61370 Kab. Maluku Tenggara 215 56383 Kab. Kolaka 219 63243 Kab. Ende
189 61336 Kab. Kotawaringin Barat 216 55112 Kab. Manggarai 220 60888 Kab. Maluku Tengah
190 61335 Kab. Magetan 217 54635 Kab. Pinrang 221 60602 Kab. Tana Toraja
191 61020 Kab. Pandeglang 218 51438 Kab. Maros 222 60212 Kab. Aceh Besar
192 59170 Kab. Ende 219 51141 Kab. Bolaang Mengondow 223 59412 Kab. Aceh Selatan
193 58374 Kab. Batang Hari 220 51012 Kab. Berau 224 59215 Kab. Bulukumba
194 57368 Kab. Kerinci 221 50514 Kab. Karang Asem 225 58755 Kab. Bolaang Mengondow
195 56028 Kab. Merauke 222 49863 Kab. Tana Toraja 226 58709 Kab. Kapuas
196 53868 Kab. Manokwari 223 49298 Kab. Maluku Utara 227 58688 Kab. Pacitan
197 53856 Kab. Karo 224 49108 Kab. Aceh Tengah 228 58591 Kab. Ogan Komering Ilir
198 53592 Kab. Musi Rawas 225 49018 Kab. Bulukumba 229 57920 Kab. Karang Asem
199 53445 Kab. Lombok Barat 226 48985 Kab. Tanjung Jabung Timur 230 56293 Kab. Maros
200 53244 Kab. Indragiri Hilir 227 48341 Kab. Aceh Selatan 231 54668 Kota Pagar Alam
201 52375 Kab. Tapanuli Tengah 228 47799 Kab. Maluku Tenggara 232 54049 Kota Solok
202 52116 Kab. Ngawi 229 47338 Kota Solok 233 51717 Kab. Manggarai
203 51480 Kab. Aceh Barat 230 46323 Kab. Hulu Sungai Selatan 234 51431 Kab. Kerinci
204 51456 Kab. Hulu Sungai Utara 231 46035 Kab. Mandailing Natal 235 50651 Kab. Ogan Ilir
205 51128 Kab. Sikka 232 45894 Kab. Majene 236 50455 Kab. Aceh Barat
206 50358 Kab. Bulukumba 233 45863 Kab. Merauke 237 49718 Kab. Hulu Sungai Utara
207 48503 Kab. Sumba Timur 234 44845 Kab. Hulu Sungai Utara 238 48535 Kab. Belitung Timur
208 48250 Kab. Maros 235 44527 Kab. Belu 239 48211 Kab. Mandailing Natal
209 47414 Kab. Pinrang 236 44155 Kab. Bangli 240 47793 Kab. Bangli
210 46624 Kab. Trenggalek 237 43167 Kab. Biak Numfor 241 47691 Kab. Tanjung Jabung Timur
211 46516 Kab. Bolaang Mengondow 238 42775 Kab. Sintang 242 47324 Kab. Majene
212 46190 Kab. Jayapura 239 41922 Kab. Sikka 243 47267 Kab. Sanggau
213 45436 Kab. Tanjung Jabung 240 41669 Kab. Tapanuli Utara 244 47026 Kota Tomohon
214 45136 Kab. Takalar 241 40993 Kab. Kerinci 245 46977 Kab. Hulu Sungai Selatan
215 43316 Kab. Biak Numfor 242 40916 Kab. Toba Samosir 246 46968 Kab. Mimika
216 42828 Kab. Nias 243 40818 Kab. Pesisir Selatan 247 46696 Kab. Aceh Utara
217 41008 Kab. Gorontalo 244 40531 Kab. Aceh Besar 248 46274 Kab. Nias
218 40766 Kab. Manggarai 245 40200 Kab. Soppeng 249 45842 Kab. Bungo
219 40260 Kab. Aceh Selatan 250 45662 Kab. Pelalawan
220 40194 Kab. Lombok Tengah 251 45152 Kab. Ogan Komering Ulu Timur
252 43753 Kab. Tabalong
253 43648 Kab. Pasir
254 43584 Kab. Soppeng
255 43504 Kab. Musi Banyu Asin
256 43189 Kab. Sinjai
257 42541 Kab. Pesisir Selatan
258 42491 Kab. Kampar
259 42447 Kab. Sikka
260 42422 Kota Pariaman
261 42298 Kab. Hulu Sungai Tengah
262 41999 Kab. Tanah Laut
263 41696 Kab. Minahasa Utara
264 41617 Kab. Bantaeng
265 41558 Kab. Tapanuli Tengah
266 41068 Kab. Indragiri Hulu
267 40971 Kab. Toli-Toli
268 40732 Kab. Sumba Timur
Ukuran Perkotaan antara 20.000 - 40.000 jiwa
221 39712 Kab. Pidie 246 39740 Kab. Lampung Timur 269 39938 Kab. Nunukan
222 39510 Kab. Sidenreng Rappang 247 39732 Kab. Kutai Timur 270 39694 Kota Padang Panjang
223 37700 Kab. Muna 248 39472 Kab. Donggala 271 39676 Kab. Barru
224 36252 Kab. Buol Toli-Toli 249 39406 Kab. Bungo 272 39537 Kab. Pangkajene Kepulauan
225 36025 Kab. Karang Asem 250 39111 Kab. Luwu Utara 273 37957 Kab. Dairi
226 34440 Kota Padang Panjang 251 38930 Kab. Sinjai 274 37455 Kab. Penajam Paser Utara
227 34221 Kab. Aceh Tengah 252 38225 Kab. Bantaeng 275 37382 Kab. Luwu Timur
228 33712 Kab. Kolaka 253 38150 Kab. Barito Selatan 276 36825 Kab. Dompu
229 31680 Kab. Majene 254 37737 Kab. Kampar 277 36770 Kab. Bengkulu Selatan
230 31312 Kab. Pesisir Selatan 255 37703 Kab. Bengkulu Selatan 278 36383 Kab. Sintang
231 31080 Kab. Donggala 256 37451 Kab. Barru 279 36317 Kab. Lampung Timur
232 30303 Kab. Kapuas 257 37310 Kab. Pangkajene Kepulauan 280 35767 Kab. Pasaman
233 30051 Kab. Sanggau 258 36803 Kab. Indragiri Hulu 281 35617 Kab. Pasaman Barat
234 29547 Kab. Tana Toraja 259 36347 Kab. Toli-Toli 282 35294 Kab. Takalar
235 28710 Kab. Soppeng 260 35385 Kab. Dairi 283 35194 Kab. Tanah Datar
236 28620 Kab. Berau 261 34875 Kab. Gunung Kidul 284 35068 Kab. Muna
237 28324 Kab. Sarolangun Bangko 262 34758 Kab. Dompu 285 34629 Kab. Gunung Kidul
238 27968 Kab. Barru 263 34669 Kota Padang Panjang 286 33960 Kab. Padang Pariaman
239 27918 Kab. Fak-Fak 264 34657 Kab. Tabalong 287 33350 Kab. Bulongan
240 27900 Kab. Barito Utara 265 34204 Kab. Barito Utara 288 33088 Kab. Timor Tengah Selatan
241 27406 Kab. Barito Selatan 266 33566 Kab. Tanah Datar 289 32863 Kab. Aceh Tengah
242 27040 Kab. Timor Tengah Selatan 267 33491 Kab. Barito Kuala 290 31382 Kab. Nabire
243 26910 Kab. Bengkulu Selatan 268 32929 Kab. Muna 291 31028 Kab. Flores Tim ur
244 26404 Kab. Ketapang 269 32818 Kab. Sumba Timur 292 30976 Kab. Kuantan Singingi
245 25840 Kab. Sinjai 270 32261 Kab. Batang Hari 293 30681 Kab. Bangka Selatan
246 25241 Kota Solok 271 32179 Kab. Takalar 294 30469 Kab. Batang Hari
247 24832 Kab. Jembrana 272 32023 Kab. Bengkulu Utara 295 29876 Kab. Aceh Tamiang
248 24332 Kab. Paniai 273 31862 Kab. Manokwari 296 29780 Kab. Alor
249 23868 Kab. Pasaman 274 30986 Kab. Halmahera Tengah 297 29230 Kota Sawah Lunto
250 23842 Kab. Tanah Laut 275 30702 Kab. Tanah Laut 298 29169 Kab. Minahasa Selatan
251 23490 Kab. Sintang 276 30254 Kab. Hulu Sungai Tengah 299 28498 Kab. Aceh Jaya
252 22644 Kab. Jeneponto 277 30215 Kab. Solok 300 28347 Kab. Lingga
253 22386 Kab. Tanah Datar 278 29738 Kab. Tapanuli Tengah 301 28254 Kab. Biak Numfor
254 22185 Kab. Flores Timur 279 29627 Kab. Rokan Hulu 302 28115 Kab. Aceh Barat Daya
255 21424 Kab. Sumba Barat 280 29067 Kab. Pidie 303 28044 Kab. Rokan Hulu
256 21402 Kab. Hulu Sungai Tengah 281 28689 Kab. Bulongan 304 27982 Kab. Kutai Timur
257 21340 Kab. Hulu Sungai Selatan 282 28356 Kab. Kuantan Singingi 305 27939 Kab. Barito Utara
258 21294 Kab. Mamuju 283 28349 Kota Sawah Lunto 306 27874 Kab. Kepulauan Sangihe
259 21060 Kab. Bangli 284 28141 Kab. Nias 307 27741 Kab. Nagan Raya
260 20304 Kab. Jayawijaya 285 28048 Kab. Flores Timur 308 27732 Kab. Toba Samosir
286 27713 Kab. Sawahlunto/Sijunjung 309 27716 Kab. Barito Kuala
287 27003 Kab. Alor 310 27630 Kab. Jayapura
288 26817 Kab. Nunukan 311 27411 Kab. Bima
289 26319 Kab. Timor Tengah Selatan 312 27317 Kab. Bangka Barat
290 26224 Kab. Sangihe Talaud 313 27257 Kab. Pidie
291 25570 Kab. Jayapura 314 26778 Kab. Barito Selatan
292 25532 Kab. Landak 315 26297 Kab. Maluku Tenggara
293 24624 Kab. Poso 316 26202 Kab. Kepulauan Sula
294 23293 Kab. Fak-Fak 317 25959 Kab. Mamuju
295 23028 Kab. Merangin 318 25917 Kab. Sumbawa Barat
296 22704 Kab. Jeneponto 319 25755 Kab. Bireuen
297 22043 Kab. Kendari 320 25546 Kota Tidore Kepulauan
298 21948 Kab. Bireuen 321 25534 Kab. Bener Meriah
299 21186 Kab. Mamuju 322 25068 Kab. Bengkulu Utara
300 21072 Kab. Pelalawan 323 24320 Kab. Natuna
301 20968 Kab. Sumba Barat 324 24240 Kab. Solok
325 23778 Kab. Sumba Barat
326 23573 Kab. Konawe
327 23333 Kab. Jeneponto
328 22692 Kab. Merangin
329 22654 Kab. Tapanuli Utara
330 22429 Kab. Nias Selatan
331 21836 Kab. Yapen Waropen
332 21636 Kab. Tapin
333 20628 Kab. Donggala
334 20286 Kab. Kepulauan Aru
335 20114 Kab. Landak
336 20096 Kab. Fak-Fak
Lampiran 3. Nilai Eksponen Pareto Hasil Estimasi dengan OLS
Provinsi 1995 2000 2005 Nangroe Aceh Darussalam 0.623 0.735 1.089 Sumatera Utara 0.654 0.688 0.643 Sumatera Barat 0.774 0.885 0.845 Riau 0.787 0.682 0.743 Jambi 0.696 0.693 0.677 Sumatera Selatan 0.765 0.854 0.793 Bengkulu 0.491 0.584 0.581 Lampung 0.597 0.564 0.558 Jawa Barat 0.686 0.840 0.796 Jawa Tengah 1.205 1.395 1.395 Yogyakarta 0.931 0.405 0.393 Jawa Timur 0.876 1.017 1.022 Bali 0.742 0.855 0.851 Nusa Tenggara Barat 0.700 0.731 0.613 Nusa Tenggara Timur 1.030 0.971 0.935 Kalimantan Barat 0.507 0.640 0.634 Kalimantan Tengah 0.960 0.992 0.812 Kalimantan Selatan 0.576 0.776 0.849 Kalimantan Timur 0.437 0.722 0.713 Sulawesi Utara 0.623 0.764 0.797 Sulawesi Tengah 0.819 0.665 0.670 Sulawesi Selatan 0.804 0.900 0.869 Sulawesi Tenggara 0.671 0.757 0.680 Maluku 0.572 0.686 0.781 Papua 1.145 0.886 0.810
Keterangan: Signifikan pada taraf nyata 5% Cetak tebal = tidak signifikan pada taraf nyata 5%
Lampiran 4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Pengujian Hausman Test
Correlated Random Effects - Hausman Test Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. Cross-section random 19.978281 9 0.0180 Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. ROADENS -0.112886 0.171381 0.038424 0.1470
LOG(URBAN) -0.497561 -0.375428 0.020665 0.3956 LOC -0.324811 -0.238319 0.063099 0.7306
LOG(SPEC) -0.309977 -0.218776 0.018945 0.5076 RPAK 0.002112 0.001338 0.000019 0.8582
GDRPCAP 0.007703 0.000948 0.000004 0.0012 PUBLIC -0.191465 -0.113190 0.005843 0.3058
ADM -0.007937 0.003106 0.000024 0.0232 LOG(OPENREG) 0.065420 -0.031911 0.002359 0.0451
Lampiran 5. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Pendekatan Efek Tetap Pembobotan dan White Cross Section Covariance
Dependent Variable: LOG(PE) Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Sample: 01 03 Cross-sections included: 23
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -1.280749 0.296288 -4.322644 0.0001
ROADENS -0.121223 0.092088 -1.316385 0.1961 LOG(URBAN) -0.729288 0.074474 -9.792545 0.0000
LOC -0.190657 0.080041 -2.382011 0.0225 LOG(SPEC) -0.218801 0.147282 -1.485593 0.1459
RPAK 0.006364 0.001671 3.808469 0.0005 GDRPCAP 0.007354 0.004155 1.770133 0.0849 PUBLIC -0.140223 0.016260 -8.623642 0.0000
ADM -0.012264 0.004021 -3.049931 0.0042 LOG(OPENREG) 0.041432 0.009520 4.352161 0.0001
Kriteria Statistik Weighted Statistic Unweighted Statistic
R-squared 0.951139 R-squared 0.927593 Adjusted R-squared 0.910201 Sum squared resid 0.510574 Mean dependent var -0.387300 Mean dependent var -0.269608 Durbin-Watson stat 2.401481 Durbin-Watson stat 2.437363 S.D. dependent var 0.394116 Sum squared resid 0.344541 S.E. of regression 0.096498 F-statistic 23.23381 Prob(F-statistic) 0.000000
Effect Specification CROSSID Effect CROSSID Effect
NAD -0.303500 Nusa Tenggara Barat -0.225630 Sumatera Utara 0.009088 Nusa Tenggara Timur 0.266752 Sumatera Barat 0.326346 Kalimantan Barat -0.075140 Riau -0.319300 Kalimantan Tengah -0.017360 Jambi 0.192503 Kalimantan Selatan 0.104221 Sumatera Selatan 0.313251 Kalimantan Timur -0.648830 Bengkulu -0.056500 Sulawesi Utara -0.047650 Lampung -0.002400 Sulawesi Tengah 0.113739 Jawa Barat 0.109354 Sulawesi Selatan 0.377500 Jawa Tengah 0.148903 Maluku -0.211450
Jawa Timur 0.118122 Papua -0.353210 Bali 0.181170
Lampiran 6. Uji Kenormalan
0
1
2
3
4
5
6
7
-0.10 -0.05 -0.00 0.05 0.10
Series: Standardized ResidualsSample 01 03Observations 69
Mean 3.76e-17Median -0.006915Maximum 0.138827Minimum -0.131912Std. Dev. 0.071181Skewness 0.073560Kurtosis 2.067852
Jarque-Bera 2.560314Probability 0.277994