110
Balon Keinginan Oleh: Yanti Susanti (Bobo No. 10/XXX) Setiap warga kerajaan Khayali bisa mendapatkan apa saja yang mereka inginkan. Di sebelah timur istana Raja Don ada sebuah ruangan ajaib. Kamar Keinginan namanya. Kamar itu sangat luas. Di langit-langitnya yang tinggi terdapat Balon-Balon Keinginan berwarna-warni. Besar, kecil, berterbangan dan bergerak bebas. Permukaaan balon-balon itu berkilauan. Kalau saling bertabrakan akan memantul-mantul. Setiap warga Khayali boleh memasuki kamar itu. Jika membayar dua keping, mereka bisa menyewa alat penangkap balon. Warga tidak boleh membawa alat sendiri. Berbagai macam balon keinginan ada di situ. Asal sabar, siapa saja bisa meraih balon-balon tersebut. Balon berisi keinginan yang mudah dikabulkan biasanya melayang lebih rendah. Gerakannya juga lebih lamban. Tipo kecil adalah warga kerajaan Khayali. Ia sering berkhayal memiliki dua keping uang. Ia ingin menangkap balon “Pembuat PR”. Supaya ia tak perlu mengerjakan PR-nya setiap hari. Namun, Tipo merasa heran melihat ayahnya. Ayah Tipo, Pak Seblu, tidak tertarik pada balon keinginan. Pada suatu hari, Pak Seblu dipanggil menghadap Raja Don. Raja Don memerintahnya untuk membuat Gapura Istana yang baru. Gapura itu harus lebih bagus dan megah. Pak Seblu memang sudah biasa merancang rumah dan taman. Tapi baru kali ini mendapat pesanan dari Raja. Pak Seblu senang, tapi juga gugup dan takut akan mengecewakan Raja Don. Tiga hari Pak Seblu melamun saja di bawah pohon halaman Istana. Kertas dan pena tergeletak di sampingnya. Setelah itu, Pak Seblu mengurung diri di ruang kerjanya. Hanya sesekali ia keluar. Kumis dan jenggotnya memanjang tak terurus. Tipo kesepian, karena biasanya ia bercanda dan mengobrol dengan ayahnya. Untung ibunya tahu kesepian hati Tipo. Setiap sore, saat ayahnya di ruang kerja, Tipo

Dongeng Sebelum Bobo

  • Upload
    tuwiw

  • View
    366

  • Download
    18

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bvngfjgfhfdhfgnvn

Citation preview

Page 1: Dongeng Sebelum Bobo

Balon KeinginanOleh: Yanti Susanti (Bobo No. 10/XXX)

Setiap warga kerajaan Khayali bisa mendapatkan apa saja yang mereka inginkan. Di sebelah timur istana Raja Don ada sebuah ruangan ajaib. Kamar Keinginan namanya. Kamar itu sangat luas. Di langit-langitnya yang tinggi terdapat Balon-Balon Keinginan berwarna-warni. Besar, kecil, berterbangan dan bergerak bebas. Permukaaan balon-balon itu berkilauan. Kalau saling bertabrakan akan memantul-mantul. Setiap warga Khayali boleh memasuki kamar itu. Jika membayar dua keping, mereka bisa menyewa alat penangkap balon. Warga tidak boleh membawa alat sendiri. Berbagai macam balon keinginan ada di situ. Asal sabar, siapa saja bisa meraih balon-balon tersebut. Balon berisi keinginan yang mudah dikabulkan biasanya melayang lebih rendah. Gerakannya juga lebih lamban. Tipo kecil adalah warga kerajaan Khayali. Ia sering berkhayal memiliki dua keping uang. Ia ingin menangkap balon “Pembuat PR”. Supaya ia tak perlu mengerjakan PR-nya setiap hari. Namun, Tipo merasa heran melihat ayahnya. Ayah Tipo, Pak Seblu, tidak tertarik pada balon keinginan. Pada suatu hari, Pak Seblu dipanggil menghadap Raja Don. Raja Don memerintahnya untuk membuat Gapura Istana yang baru. Gapura itu harus lebih bagus dan megah. Pak Seblu memang sudah biasa merancang rumah dan taman. Tapi baru kali ini mendapat pesanan dari Raja. Pak Seblu senang, tapi juga gugup dan takut akan mengecewakan Raja Don.

Tiga hari Pak Seblu melamun saja di bawah pohon halaman Istana. Kertas dan pena tergeletak di sampingnya. Setelah itu, Pak Seblu mengurung diri di ruang kerjanya. Hanya sesekali ia keluar. Kumis dan jenggotnya memanjang tak terurus. Tipo kesepian, karena biasanya ia bercanda dan mengobrol dengan ayahnya. Untung ibunya tahu kesepian hati Tipo. Setiap sore, saat ayahnya di ruang kerja, Tipo berjalan-jalan dengan Ibu.

“Bu, kenapa Ayah tidak mengambil saja balon keinginan “Gapura Baru Istana”? Supaya Ayah tak perlu susah-susah bekerja.”

Ibu tersenyum sedikit, lalu berkata, “Tipo, jawaban pertanyaan itu harus kamu temukan sendiri. Semua warga negeri ini harus menemukan jawaban masalahnya sendiri. Kalau belum mendapatkannya, dia tidak akan pernah menjadi dewasa.” Mendengar jawaban itu, Tipo hanya diam. Ia tidak mengerti maksud

Page 2: Dongeng Sebelum Bobo

perkataan ibunya. Suatu sore, Tipo mengisi waktunya dengan menyusun pasel

dari Paman Miwin. Pasel kayu itu susah sekali. Tapi menurut gambar petunjuknya, pasel itu akan membentuk gambar jembatan gantung yang indah sekali.

Esoknya, ayah Tipo sudah bercukur rapi. Dengan wajah berseri Pak Seblu berkata bahwa gambar rancangannya sudah selesai. Sambil sarapan ayah Tipo berkata ia akan menghadap Raja. Tipo senang sekali. “Ah, Ayah akan segera bisa menemaniku membuat pasel itu,” pikirnya.

Di jalan sepulang sekolah Tipo menemukan sekeping uang. “Wow, ini hari keberuntunganku,” serunya. Tetapi di rumah, Ayah belum pulang dari istana. Sampai petang juga belum. Akhirnya ketika Tipo sudah mengatuk barulah Ayah pulang. Rupanya Raja Don menyetujui rancangan Pak Seblu. Dan langsung menyuruh Pak Seblu untuk mempersiapkan bahan bangunan dan pekerjanya.

Tipo tidur dengan gelisah. “Ayah pasti akan sibuk lagi sampai Gapura itu selesai,” keluhnya. Bangun tidur, dipandanginya pazel yang setengah jadi itu. Rasanya Tipo ingin menendangnya. Mula-mula ia memang senang mengerjakannya. Tetapi sekarang ia menemukan bagian yang sulit. Tipo ingin dibantu ayahnya. Sambil bersiap ke sekolah Tipo melamun. Lalu, “Aha, aku tahu!” Ia berlari menemui Ibu dan meminta uang, “Satu kepiiiiing, saja Bu, boleh ya?” rayunya. Ibu ingin menggembirakan hati Tipo, jadi ia memberikan satu keping.

Tipo punya rencana. Sepulang sekolah, ia pergi ke Kamar Keinginan. Ia ingin menangkap balon “Gapura Baru Istana” supaya tugas Bapak segera selesai. Dimasukinya Kamar Keinginan itu dengan takjub. Kamar itu lebih indah dari cerita orang kepadanya. Pak Penjaga tersenyum-senyum melihat Tipo masih melongo. “Nak, ini tangga dan jaringnya. Maaf, saya hanya boleh membantu sampai di pintu saja”, katanya. “Selamat, semoga keinginanmu tercapai, Nak.” Lalu ditutupnya pintu besar itu. Bam!

Tipo repot menggeret tangga dan mengempit jaring yang lebih panjang dari tubuhnya. Dipanjatnya tangga di tengah ruangan. Matanya mencari-cari. Tak lama kemudian ia melihat balon “Gapura” sedang melayang menjauh. Susah payah diraihnya dengan jaring. Tidak berhasil. Dilihatnya balon “Pembuat PR” lewat. Dia tak mau balon itu.

Tipo akhirnya merasa lelah. Ia berbaring di lantai, beristirahat. Kemudian dicobanya lagi. Sampai pegal leher dan lengannya, tapi balon “Gapura” itu tak juga tertangkap. Ia tak mau menyerah. Ia ingin membebaskan ayahnya dari kerja kerasnya. Akhirnya yang tertangkap malah balon kecil bertulisan “Pasel Selesai”. Ingin dilepasnya lagi balon ini, dan menangkap balon “Gapura” itu. Tapi dia sudah sangat lelah. Diputuskannya untuk membawa balon itu

Page 3: Dongeng Sebelum Bobo

pulang. Daripada uang dua kepingnya habis percuma. Sampai di rumah, Ibu dan Ayah sudah cemas menunggunya.

Mereka menemani Tipo ke kamarnya. Dan ajaib betul! Pasel jembatan itu sudah jadi! Indah sekali, tapi anehnya Tipo tidak terlalu senang. “Ah, lebih jika aku sendiri yang berhasil menemukan keping pasel yang tepat. Lebih puas!” katanya.

“Sudah mulai besar anak kita, ya?” kata Ayah tersenyum pada Ibu. “Sudah tahu kalau bersusah payah mencapai keinginan akan lebih memuaskan.”

“Sebetulnya, di Kamar Keinginan itu aku juga bekerja keras, lo, Yah, Bu. Padahal kupikir menangkap Balon Keinginan itu gampang,” celetuk Tipo. Mereka bertiga pun tertawa terbahak-bahak.

Mengapa Beo Selalu Menirukan Suara

Page 4: Dongeng Sebelum Bobo

Oleh: Maria Erliza (Bobo No. 8/XXX)

Dahulu kala, hewan-hewan di hutan bisa berbicara seperti manusia. Mereka bercakap, bekerja sambil bercakap, juga hidup rukun dan damai. Pada suatu hari Ibu Peri Penjaga Hutan mengumpulkan penghuni rimba. Ia berkata, “Anak-anakku, Sang Pencipta telah menciptakan makhluk baru. Namanya manusia. Sang Pencipta memutuskan bahwa manusialah yang akan berbicara dengan bahasa kita. Dan kita diperintahkan untuk mencari bahasa dan suara baru untuk kita pakai mulai saat ini.” Pada mulanya para penghuni rimba terkejut. Namun mereka sadar bahwa tidak mungkin menolak kehendak Sang Pencipta. “Ibu Peri Penjaga Hutan, kami tunduk kepada kehendak Sang Pencipta. Tapi sekarang kami belum bisa mencari bahasa baru untuk kami pakai. Berilah kami waktu,” ujar Singa mewakili teman-temannya. “Aku mengerti. Kalian diberi waktu satu minggu. Kalian akan berkumpul lagi disini dan memberitahu padaku bahasa apa yang kalian pilih. Setelah itu, pakailah bahasa serta suara itu, dan lupakan bahasa manusia.” Maka pulanglah penduduk hutan ke tempat masing-masing. Mereka mulai berpikir keras untuk mencari suara yang gagah dan cocok untuk mereka masing-masing. Begitulah, hari demi hari penduduk hutan sibuk bersuara. Mencari-cari suara yang akan mereka pakai selanjutnya. Singa yang telah dinobatkan sebagai raja hutan karena keberaniannya, lebih dahulu memilih suara mengaum. “Aouuuuum,” katanya dengan gagah memamerkan suaranya. Penduduk hutan yang lain senang mendengarnya. Mereka merasa suara itu pas benar dengan bentuk tubuh singa yang gagah. Tapi tidak semua hewan senang mendengarnya. Burung Beo yang usil malah menertawakan suara itu.

“Hahaha, mirip orang sakit gigi,” cetus Beo sambil tertawa terbahak-bahak.

Singa sangat malu mendengarnya. Begitulah, hari berganti hari, semuanya mencoba berbagai

suara kecuali Beo. Ia sibuk mengejek suara-suara yang berhasil ditemukan.

“Hahaha, seperti suara pintu yang tidak diminyaki,” ejek Beo kepada Jangkrik yang menemukan suara berderik.

“Hahaha, kudengar nenek-nenek tertawa,” ejeknya kepada Kuda.

“Ban siapa yang bocor? Hahaha,” ia menertawakan suara desis

Page 5: Dongeng Sebelum Bobo

Ular. Begitulah pekerjaan Beo setiap hari. Ia sibuk mengintip dan

menertawakan penduduk hutan lainnya yang mencoba suara baru. Teman-temannya tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka malu dan langsung menghindar dari Beo. Tapi Beo selalu berhasil menemukan dan menirukan suara mereka.

“Mbeeeek,” tirunya ketika melihat Kambing. “Ngok-ngooook,” tirunya ketika melihat Babi. Tak terasa sudah satu minggu. Penduduk hutan harus

berkumpul kembali untuk mengumumkan suara yang mereka pilih. Ibu Peri Penjaga Hutan memanggil mereka satu per satu. Beo

saja yang masih saja tertawa. Ia pikir teman-temannya bodoh, karena suara yang mereka temukan lucu-lucu.

Tibalah giliran Beo untuk mengumumkan suara barunya. Ia maju ke depan.

“Mbeeeek,” jeritnya. “Hei itu suaraku,” kata Kambing. Yang lain tertawa. Beo tertegun. Ia baru sadar, selama ini ia terlalu sibuk

mengejek teman-temannya sehingga lupa untuk mencari suaranya sendiri.

“Muuu,…guk-guk,…meong,” Beo panik. Ia menirukan saja suara yang pernah ia dengar. Tentu saja Sapi, Anjing, dan Kucing tertawa terbahak-bahak.

Beo sangat malu. Akhirnya ia menangis tersedu-sedu. Ia minta maaf kepada teman-temannya.

Dengan tersenyum Ibu Peri Penjaga Hutan berkata, “Sudahlah, kamu akan tetap kuhadiahkan sebuah suara. Tapi sebagai pelajaran, kau akan tetap menirukan suara orang, sehingga kau akan ditertawakan selamanya.”

Begirulah riwayatnya, mengapa burung beo selalu menirukan suara-suara.

Kasut BidadariOleh: Emmi Mira (Bobo No. 35/XXIX)

Kasut Bidadari adalah nama sejenis anggrek yang tumbuh di hutan. Kasut berarti sepatu. Anggrek Kasut Bidadari yang

Page 6: Dongeng Sebelum Bobo

tumbuh di tanah ini sangat indah. Bunganya seperti disulam dengan benang emas. Tepiannya berwarna perak. Karena indahnya, ada dongeng tentang anggrek Kasur Bidadari ini. Beginilah ceritanya… Dahulu kala, di kerajaan kahyangan, ada tujuh puteri yang sangat jelita. Nama-nama mereka diambil dari nama bunga. Mawar, Dahlia, Cempaka, Tanjung, Kenanga, Cendana dan si bungsu Melati. Mereka masing-masing mempunyai kesukaan yang berbeda. Yang paling menonjol dari antara mereka adalah si bungsu Melati. Melati sangat suka bemain-main di hutan Rimba Hijau. Hutan itu sering dikunjungi manusia. Ayah mereka berulang kali melarang Melati bermain di hutan itu. Sang ayah takut jika puterinya itu bertemu dengan manusia. Di rimba itu terdapat sungai dengan air terjun yang indah. Di saat cuaca cerah, gemercik airnya membias memantulkan sinar matahari. Sehingga terbentuklah warna-warna indah seperti pelangi.

Suatu hari Melati mengajak semua kakaknya ke Rimba Hijau. Mereka turun ke bumi dengan meneliti pelangi. Mereka mengenakan pakaian dan sepatu yang indah. Setibanya di bumi, mereka asyik bermain di air terjun.

Sedang asyiknya mereka bermain, lewatlah seorang pemburu. Ia sangat terkejut melihat ketujuh bidadari itu.

"Hei, siapa kalian? Aku belum pernah melihat kalian!" seru pemburu itu.

Ketujuh puteri itu sangat terkejut. Mereka langsung terbang melayang ke angkasa. Saking terburu-buru, sebelah sepatu Melati jatuh ke bumi. Melati bermaksud mengambilnya. Namun kakak-kakaknya melarangnya. Ketujuh bidadari itu lalu kembali meniti pelangi. Perlahan-lahan pelangi itu pun mulai menghilang.

Pemburu tadi terpana menyaksikan kepergian ketujuh bidadari itu. Ia lalu memungut sebelah sepatu Melati yang tadi terjatuh. Namun, sepatu itu tiba-tiba terjatuh lagi dari tangannya. Pada saat itulah terjadi kejadian aneh. Sepatu tadi perlahan-lahan berubah menjadi bunga yang indah. Setiap helai kelopaknya seperti tersulam dari benang emas dan perak.

"Aneh… kasut tadi mengapa bisa menjadi bunga? Tentu ketujuh gadis tadi adalah bidadari…" gumam pemburu itu. "Karena berasal dari kasut, kunamakan saja bunga ini Kasut Bidadari," gumamnya lagi.

Demikianlah… Akhirnya sampai kini bunga itu dinamakan Kasut Bidadari.

Page 7: Dongeng Sebelum Bobo

Lo SunDongeng Cina/diceritakan kembali oleh Kadir Wong (Bobo No. 31/XXIX)

Lo Sun seorang anak buta. Ia hidup bersama ayahnya di sebuah gubuk reot. Suatu hari, saat Lo Sun berusia lima tahun, ayahnya mengusirnya. Sebab sang ayah sudah tak sanggup membiayai hidup Lo Sun. "Kau pergi saja mengemis. Nanti akan banyak orang memberimu sedekah. Mereka pasti kasihan padamu karena kau buta."

Page 8: Dongeng Sebelum Bobo

Lo Sun meninggalkan rumah tanpa bekal apapun. Ia ditemani Fan, anjingnya yang setia. Mereka pergi ke kota. Mereka mencari nafkah dengan meminta-minta. Lo Sun berjalan memakai tongkat. Di jalanan yang terjal dan berbatu-batu, Fan menjadi penunjuk jalan. Fan adalah anjing yang pandai. Sesekali ia membantu majikannya mencari uang. Apabila Lo Sun menepuk tangan tiga kali, Fan berlutut dan menjatuhkan kepalanya ke tanah. Orang-orang di jalan menyukai tontonan ini, sehingga mereka memberi Lo Sun uang receh. Lima tahun telah berlalu. Sejak matahari terbit sampai tenggelam ke peraduan, Lo Sun menyusuri jalan-jalan kota, mencari sesuap nasi. Pada malam hari mereka tidur di sembarang tempat. Kadang di depan pintu rumah orang, kadang di lapangan terbuka. Suatu malam, Fan menuntun majikannya ke sebatang pohon berdaun lebat di tepi jalan. Lo Sun menyantap makanan malam, berupa sekerat kecil roti. Roti itu dimakannya berdua dengan Fan. Mereka lalu tidur. Dalam tidurnya Lo Sun bermimpi. Seorang peri cantik datang dan berbicara lembut padanya, "Lo Sun, apa kau dapat melihatku?" Lo Sun menjawab sedih, "Tidak, aku buta." "Kasihan," sahut sang peri, "Tapi jangan sedih. Barangkali aku bisa menolongmu." "Apa kau bisa memulihkan mataku?" tanya Lo Sun penuh harap. "Maksudku, kau bisa menolong dirimu sendiri. Aku hanya membantu. Kalau kau berbuat baik, maka secercah cahaya kecil akan memasuki rongga matamu. Semakin banyak kau beramal kebaikan, semakin bertambah baik penglihatanmu." Si peri lalu menambahkan, "Tapi ingat, apabila perbuatanmu kurang baik, sinar itu akan meredup, dan kau akan kembali buta." Suara itu menjadi sayup-sayup, dan Lo Sun terbangun. Matahari hangat menerpa wajahnya. Bocah pengemis itu menjadi penuh semangat. Begitu juga Fan yang menyalak-nyalak gembira. "Fan, bantulah aku agar bisa melihat lagi," cetus Lo Sun. "Tanpa kau, aku tak bisa berbuat banyak." Mereka berjalan bersama menyelusuri jalan-jalan di kota. Tanpa disadari, mereka melintas di depan seorang pengemis tua yang duduk di tepi jalan. Pengemis itu berkata, "Kasihani aku! Beri pengemis buta uang satu kepeng!" Lo Sun menjawab, "Tapi aku juga buta, Kek. Aku juga pengemis, seperti Kakek."

"Tapi kau lebih beruntung, anak muda," sahut lelaki tua, "Karena kau masih bisa berjalan. Tapi aku…, aku buta dan lumpuh."

"Oh, ya," pekik Lo Sun. Ia segera memberi si Kakek sekeping uang receh. Itu satu-satunya uang yang dimilikinya.

Pengemis tua mengucapkan terima kasih. Tiba-tiba Lo Sun merasakan secercah cahaya melintas di depan matanya.

Page 9: Dongeng Sebelum Bobo

Dikerjapkan matanya, dan ketika dibuka dunia nampak sedikit terang. Ia sudah tidak buta total. "Fan, mimpiku menjadi kenyataan!" pekiknya. "Kata Peri, kalau aku berbuat amal dan kebajikan, buta mataku jadi berkurang!"

Malam harinya Lo Sun tidur di Kuil Pengemis. Yaitu bangunan berupa puing-puing kuno, letaknya di luar kota. Kuil Pengemis adalah tempat singgah para pengemis. Di pojok kuil ada seorang nenek pengemis. Tubuhnya kurus kering. Ia sakit karena kurang makan. Lo Sun hanya memiliki sepotong kecil roti kering untuk makan malam. Tapi diberikannya roti itu kepada nenek itu. Nenek itu mengucapkan terima kasih. Tiba-tiba ada secercah cahaya lain melintas di depan mata Lo Sun. Dikerjapkan matanya. Sekarang ia bisa melihat malam itu ada bulan purnama.

Malam itu Lo Sun tidur dengan perut kosong. Tapi ia tidak peduli. Rasa bahagia karena matanya mulai pulih membuat ia lupa bahwa ia lapar.

Esok harinya, Lo Sun dan Fan kelaparan. Mereka tidak punya roti lagi. Lo Sun dan Fan kembali ke kota untuk mengemis. Mereka telusuri jalanan berdebu. Tiba-tiba mereka melihat seekor ayam tersesat di jalan. Fan mengejarnya, lalu menangkapnya, dan memberikannya kepada Lo Sun.

Lo Sun merasa amat lega. Ayam itu dijualnya di pasar. Tapi ketika Lo Sun menerima beberapa keping uang dari si pembeli, tiba-tiba seberkas awan gelap melintas di depan mata Lo Sun. Pemandangan di depannya pun menjadi gelap.

Lo Sun teringat kata-kata peri dalam mimpi. "Pasti ini hukuman karena aku berbuat jahat," batinnya. "Ayam itu bukan milikku. Aku telah mencurinya."

Meskipun merasa amat lapar, Lo Sun tidak mau berbuat dosa. Ia harus mengembalikan ayam itu kepada pemiliknya. Tapi karena pembelinya sudah pergi, Lo Sun kembali ke desa, mencari pemilik ayam, dan menyerahkan semua uang hasil penjualan ayam kepadanya. Maka seberkas cahaya kembali melintas di depan matanya. Bumi nampaknya lebih cerah daripada semula. Lo Sun kembali tersenyum senang.

Sebulan kemudian, Lo Sun sudah bisa membedakan benda-benda yang dilihatnya. Sekarang Fan tak perlu lagi menuntunnya.

Suatu hari, ia dan Fan sedang duduk di pinggir sungai. Semalam turun hujan lebat. Langit diselimuti mendung tebal. Air sungai meluap, arusnya deras sekali. Tiba-tiba terdengar jeritan seorang lelaki, "Tolong! Aku tenggelam!"

Lelaki itu pasti tercebur ke sungai, dan kini terseret arus deras! Batin Lo Sun. Lo Sun tidak tahu haru berbuat apa. Ia masih kecil dan matanya setengah buta. Bagaimana ia bisa menolong orang tenggelam? Tapi Lo Sun ingat, Fan bisa berenang dan pandai. Ia pasti bisa menolong orang itu. "Tapi bagaimana kalau Fan

Page 10: Dongeng Sebelum Bobo

tenggelam?" gumam Lo Sun ragu. "Aku tak akan punya teman lagi." Teriakan laki-laki tadi terdengar lagi. Kali ini Lo Sun tidak ragu-

ragu. "Lari, Fan! Selamatkan lelaki yang tenggelam itu!" Lo Sun berdoa agar si pria dan Fan selamat. Akhirnya terdengar suara si lelaki naik ke tepian dan

merebahkan tubuh dari tepi sungai. Lo Sun menghampirinya, dan bertanya, "Apakah anda baik-baik saja? Di mana anjingku?"

Lelaki itu duduk nyaris tak bisa bicara. Tapi ia kemudian berkata pelan, "Menyesal sekali, anjingmu terseret arus. Aku telah berusaha menariknya. Tapi kami berdua sama-sama lemah…"

Lo Sun menangis meraung-raung di rerumputan. "Fan! Apa yang bisa kulakukan tanpa kau di sampingku? Kau satu-satunya sahabatku!" Lo Sun terisak, membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya.

Lelaki itu duduk dan melingkarkan lengannya ke bahu Lo Sun yang malang. "Jangan menangis!" katanya menghibur. "Pulanglah, ceritakan pada ayahmu. Aku yakin dia akan membelikanmu anjing lain."

"Tapi aku tak punya rumah," jawab Lo Sun. "Aku buta, dan ayah mengusirku lima tahun lalu. Fan satu-satunya sahabatku."

Tangisan lelaki itu pun meledak. "Angkatlah mukamu, Nak," katanya. Lo Sun menengadah dan memandangi lelaki itu. Ya, ia dapat melihat wajah lelaki itu! Matanya telah pulih. Perbuatan baiknya yang terakhir telah menyembuhkan kebutaannya. Lelaki itu bicara dengan suara pelan, "Apakah namamu Lo Sun?"

"Ya, benar," jawab Lo Sun. "Tapi darimana Anda tahu?" "Lo Sun, anakku, maafkan aku!" ujar lelaki itu. "Aku ayahmu.

Aku telah berlaku kejam dengan mengusirmu. Ayo pulang bersamaku, aku berjanji tak akan berbuat kejam padamu. Aku akan membelikan kau seekor anjing lain…."

Sesaat Lo Sun marah. Lelaki di depannya ternyata ayahnya yang telah membuat hidupnya sengsara! Tapi Lo Sun kemudian sadar, bahwa ia harus memaafkan. Jawabnya, "Aku maafkan, Ayah. Aku akan pulang bersama Ayah!"

Ayahnya memekik kegirangan. Saat mereka berjalan berangkulan pulang, Lo Sun bercerita tentang peri baik hati yang datang ke mimpinya.

Lo Sun kini mempunyai anjing lain bernama Min. Namun bagaimana pun akrabnya ia dengan Min, kenang-kenangan manisnya bersama Fan tak pernah bisa dilupakannya.

Page 11: Dongeng Sebelum Bobo

Nala dan DamayantiDari Myths an Legend of India, diceritakan kembali oleh Ratna Sunaryo (Bobo No. 29/XXIX)

Dahulu kala, negeri Nishadha India diperintah oleh raja bernama Nala. Ia sangat bijaksana, rendah hati dan juga tampan.

Di sebuah negeri lain bernama Vidharba terdapat seorang raja besar bernama Bhima. Ia memiliki seorang putri bernama Damayanti, dan tiga orang putra. Damayanti tumbuh menjadi gadis tercantik di negeri itu. Ia sering mendengar kabar tentang Nala, raja tampan di Nishadha. Begitu pun Nala, sering mendengar betapa cantiknya Damanyanti.

Suatu hari, Raja Nala melihat sekelompok angsa cantik dengan sayap berbintik emas di taman istana. Ditangkapnya seekor angsa berbulu cantik. Ia terkejut mendengar angsa itu berbicara seperti manusia.

"Lepaskan aku, wahai Raja Nala. Dan aku akan pergi untuk memberitahu putri Damayanti betapa hebat dan mulianya anda. Ia tidak akan memikirkan siapa pun selain anda." Nala segera

Page 12: Dongeng Sebelum Bobo

melepaskan angsa itu. Dan angsa itu pun terbang bersama angsa-angsa lain ke istana Damayanti.

Damayanti sedang berada di taman ditemani dayang-dayangnya. Betapa terkejutnya ia melihat angsa-angsa yang datang bertamu. Dan ia lebih terkejut lagi ketika didengarnya seekor dari mereka berkata, "Damayanti, Nala, raja Nishadha adalah laki-laki tertampan dan termulia di dunia. Kau juga mutiara paling sempurna di antara wanita lain. Kalian berdua diciptakan untuk bersama."

Damayanti menjawab, "Aku mendengarmu, pergi dan katakan hal yang sama kepada Raja Nala!"

Sejak hari itu Damayanti hanya memikirkan Nala. Sampai akhirnya ia jatuh sakit. Dayang-dayangnya yang khawatir pergi menemui Raja Bhima dan menceritakan yang terjadi. Setelah berpikir keras, Raja Bhima mengundang seluruh raja untuk datang ke istananya. Barangkali saja ada di antara mereka yang bisa menenangkan hati putrinya. Karena berita tentang kecantikan Damayanti tiada tara, banyak raja yang ingin mengikuti kontes itu.

Pada saat itu, Dewa Indra, Dewa Surga yang berada di puncak Meru, juga ingin mengikuti kontes. Begitu pula dengan tiga dewa lainya. "Ayo kita pergi ke sana dan mengadu nasib," ujar para dewa itu dengan gembira.

Ketika mereka sedang terbang di angkasa, mereka melihat Nala yang juga sedang dalam perjalanan ke Vidharba. Karena terkesan dengan sifat Nala yang mulia, mereka turun ke bumi dan memerintah Nala untuk menyampaikan pesan pada Damayanti.

Dengan penuh hormat Nala berkata, "Siapakah kalian? Dan mengapa aku harus menuruti kemauan kalian?"

Indra menjawab, "Kami penjaga dunia! Kau harus memberitahu Damayanti untuk memilih salah satu dari kami untuk menjadi suaminya."

Tentu saja Nala terkejut, "Kumohon," pintanya, "Jangan menyuruhku melakukan itu. Aku sendiri juga berusaha untuk memenangkan hatinya."

Dewa-dewa itu tetap memaksa. Kemudian Nala memikirkan alasan lain. "Istana Bhima dijaga ketat," ujarnya "Baigamana aku bisa masuk ke sana?"

"Jangan khawatir," sahut dewa-dewa itu. "Kau berada di sana sekarang!"

TRING! Sekejap mata, Nala pun sudah berada di taman istana raja

Bhima. Ia langsung berada di hadapan Damayanti. Gadis itu terkejut melihat seorang laki-laki tampan tiba-tiba berdiri di hadapannya. "Siapa kau dan bagaimana kau bisa masuk ke sini?"

"Aku Nala, Raja Nishadha, "jawab Nala. "Dan aku datang kesini untuk menyampaikan pesan dari empat dewa."

"Pesan apa….?"

Page 13: Dongeng Sebelum Bobo

"Mereka ingin kau memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi suamimu."

Damayanti berkata, "Katakan pada mereka bahwa aku sangat tersanjung. Tapi beritahu mereka bahwa hatiku telah menjadi milikmu, Nala."

Meskipun gemetar karena senang, Nala tidak berani menentang para dewa. Ia mendesak Damayanti untuk melakukan seperti yang mereka minta.

"Tapi aku akan kembali ke sini dan berlomba bersama yang lain untuk memenangkanmu menjadi istriku," janji Nala.

Terlintas ide di kepala sang putri, "Ketika kau kembali, datanglah bersama dewa-dewa. Jadi mereka tidak bisa menyalahkanku karena memilihmu."

Ketika tiba hari perlombaan, aula istana penuh denga raja-raja. Semuanya tampan, kuat dan berpakaian indah. Tapi ketika Damayanti memasuki aula dan memandang ke sekelilingnya, tiba-tiba ia merasa takut. Karena ia melihat lima orang raja yang seperti Nala. Keempat dewa itu ternyata menyamar menjadi Nala, si Raja Nishadha. Untuk menentukan siapa Nala yang sebenarnya sangatlah sulit.

Damayanti melangkah dan membungkuk di hadapan kelima Nala itu. Ia berkata, "Aku telah memberikan hatiku pada Nala. Jadi, ijinkan aku memilikinya. Tunjukkan diri kalian dengan cara-cara khusus agar aku tahu siapa Nala yang sesungguhnya di antara kalian."

Karena tersentuh kejujuran dan keberanian sang putri, keempat dewa itu menunjukkan ciri-ciri surgawi mereka. Mereka tidak memiliki bayangan, tidak berkeringat, kakinya tidak menyentuh tanah dan matanya tidak pernah berkedip. Maka, sang putri dapat memilih Nala yang sesungguhnya.

Damayanti menyentuh jubah Nala dan memasangkan rangkaian bunga merah di leher raja itu. Itu adalah tanda bahwa ia telah memilih Nala untuk menjadi suaminya. Lalu mereka menikah dan keempat dewa itu memberi mereka hadiah yang menakjubkan. *****

Page 14: Dongeng Sebelum Bobo

Asal Mula GunturOleh: Timbul Sudradjat (Bobo No. 27/XXIX)

Dahulu kala peri dan manusia hidup berdampingan dengan rukun. Mekhala, si peri cantik dan pandai, berguru pada Shie, seorang pertapa sakti. Selain Mekhala, Guru Shie juga mempunyai murid laki-laki bernama Ramasaur. Murid laki-laki ini selalu iri pada Mekhala karena kalah pandai. Namun Guru Shie tetap menyayangi kedua muridnya. Dan tidak pernah membedakan mereka. Suatu hari Guru Shie memanggil mereka dan berkata, "Besok, berikan padaku secawan penuh air embun. Siapa yang lebih cepat mendapatkannya, beruntunglah dia. Embun itu akan kuubah menjadi permata, yang bisa mengabulkan permintaan apapun." Mekhala dan Ramasaur tertegun. Terbayang oleh Ramasaur ia akan meminta harta dan kemewahan. Sehingga ia bisa menjadi orang terkaya di negerinya. Namun Mekhala malah berpikir keras. Mendapatkan secawan air embun tentu tidak mudah, gumam Mekhala di dalam hati. Esoknya pagi-pagi sekali kedua murid itu telah berada di hutan.

Page 15: Dongeng Sebelum Bobo

Ramasaur dengan ceroboh mencabuti rumput dan tanaman kecil lainnya. Tetapi hasilnya sangat mengecewakan. Air embun selalu tumpah sebelum dituang ke cawan. Sebaliknya, Mekhala dengan hati-hati menyerap embun dengan sehelai kain lunak. Perlahan diperasnya lalu dimasukan ke cawan. Hasilnya sangat menggembirakan. Tak lama kemudian cawannya telah penuh. Mekhala segera menemui Guru Shie dan memberikan hasil pekerjaannya. Guru Shie menerimanya dengan gembira. Mekhala memang murid yang cerdik. Seperti janjinya, Guru Shie mengubah embun itu menjadi sebuah permata sebesar ibu jari. " Jika kau menginginkan sesuatu, angkatlah permata ini sejajar dengan keningmu. Lalu ucapkan keinginanmu," ujar Guru Shie. Mekhala mengerjakan apa yang diajarkan gurunya, lalu menyebut keinginannya. Dalam sekejap Mekhala telah berada di langit biru. Melayang-layang seperti Rajawali. Indah sekali. Sementara itu, baru pada senja hari Ramasaur berhasil mendapat secawan embun. Hasilnya pun tidak sejernih yang didapat Mekhala. Tergopoh-gopoh Ramasaur menyerahkannya pada Guru Shie.

"Meskipun kalah cepat dari Mekhala, kau akan tetap mendapat hadiah atas jerih payahmu," kata Guru Shie sambil menyerahkan sebuah kapak sakti.

Kapak itu terbuat dari perak. Digunakan untuk membela diri bila dalam bahaya. Bila kapak itu dilemparkan ke sasaran, gunung pun bisa hancur.

Ternyata Ramasaur menyalahgunakan hadiah itu. Ia iri melihat Mekhala yang bisa melayang-layang di angkasa. Ramasaur segera melemparkan kapak itu ke arah Mekhala. Tahu ada bahaya mengancam, Mekhala menangkis kapak itu dengan permatanya. Akibatnya terjadilah benturan dahsyat dan cahaya yang sangat menyilaukan. Benturan itu terus terjadi hingga saat ini, berupa gelegar yang memekakkan telinga. Orang-orang menyebutnya "guntur".

Page 16: Dongeng Sebelum Bobo

Raja KayuOleh: Hariyadi (Bobo No. 23/XXIX)

Seperti biasanya, Sukresh mengikuti ayahnya ke hutan. Setelah menebang satu dua pohon, ayah Sukresh mengajak Sukresh beristirahat. Bekal kue beras buatan ibu, mereka lahap habis. "Kalau kau besar nanti, kau akan mampu menebang pohon lebih banyak dari Ayah," ujar ayah Sukresh sambil membetulkan sorbannya. Sukresh hanya terdiam. Ketika hari menjelang siang, ayah segera memotong kayu menjadi kecil-kecil dan mengikatnya menjadi satu. Kayu-kayu itu akan diangkut dan dijual ke pasar. Pasti ibu senang melihat mereka mampu menjual kayu lebih banyak lagi pada hari itu. Namun ketika akan mengangkut kayu ke pundaknya, tiba-tiba kaki ayah tergelincir. Tubuh ayah terperosok ke tepi tebing kecil. Sukresh terkejut. Dengan tertatih-tatih ia menuruni tebing. Diperiksanya setiap rerimbunan. Betapa terkejut ketika ia menemukan ayahnya yang pingsan. Namun lebih terkejut lagi ketika ia melihat seekor ular besar siap mematuk ayahnya. "Jangan gigit ayahku!" teriak Sukresh keras.

Page 17: Dongeng Sebelum Bobo

Ajaib. Ular itu memandang Sukresh. "Tubuh ayahmu menindih tiga anakku hingga mati. Maka balasan yang setimpal adalah nyawa ayahmu juga," jawab ular itu. "Apa pun akan kulakukan asal kau tidak menggigit ayahku," pinta Sukresh. "Baiklah. Sebagai gantinya, setiap mencari kayu bakar, kau harus menyediakan kayu bakar untukku sebanyak tiga ikat sebagai ganti nyawa tiga anakku. Kau hanya boleh membawa pulang satu ikat kayu bakar sebagai pengganti nyawa ayahmu. Dan ingat, perjanjian ini tidak boleh ada yang tahu. Termasuk ayah dan ibumu." "Baik, kalau itu yang kau minta. Asal kau lepaskan ayahku." Sejak saat itu Sukresh menggantikan ayahnya mencari kayu bakar di hutan. Ayahnya tidak dapat berjalan karena kakinya luka akibat tergelincir. Hari-hari penuh kerja keras dilalui Sukresh. Setiap ia menebang empat pohon, tiga pohon dilemparkannya ke dalam jurang. Satu pohon dibawanya ke pasar untuk dijual. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Sukresh tumbuh menjadi pemuda berbadan besar dan kuat. Namun setiap kembali dari hutan dia hanya membawa satu ikat kayu bakar. Orang-orang desa mulai berbisik-bisik mengejek. Sungguh tidak pantas bila Sukresh hanya membawa satu ikat. Tidak sepadan dengan besar tubuhnya. "Sukresh anak pemalas. Di hutan kerjanya hanya melamun," begitu cibiran pemuda-pemuda di desa itu. Sukresh hanya diam. Ia tidak marah, karena tidak boleh ada yang tahu kisah yang sebenarnya. Sementara itu, ayah Sukresh sedih mendengar ejekan terhadap anaknya. Dan karena hasil penjualan kayu Sukresh hanya sedikit, keluarga mereka hidup miskin.

Hingga suatu hari datanglah ke rumah reot mereka dua orang menunggangi kuda. Jubah mereka seperti yang dikenakan orang-orang kaya di sungai Indus.

"Benarkah anda yang bernama tuan Sukresh?" tanya tamu itu penuh hormat saat melihat Sukresh.

"Benar," jawab Sukresh. "Hamba diutus tuanku Raja untuk menyampaikan dua pesan.

Pesan pertama, perjanjian antara tuan Sukresh dan tuanku Raja telah berakhir. Pesan kedua, apa yang saya bawa adalah milik tuan semuanya. Itu adalah hasil keikhlasan dan pengorbanan tuan selama bertahun-tahun dalam mencintai ayah Tuan," ujar tamu itu sambil menunjukkan barisan gerobak berderet-deret berisi kayu bakar.

Sukresh terkesima. Bukankah itu hasil pekerjaannya selama ini. Sukresh ingat bagaimana cara dia memotong kayu-kayu itu.

"Apakah semua ini untuk saya…" tanya Sukresh terheran-heran kepada tamunya. Namun ketika Sukresh menoleh, tamu itu telah pergi. Tinggallah Sukresh dan kedua orang tuanya yang masih

Page 18: Dongeng Sebelum Bobo

kebingungan. Sejak saat itu Sukresh menjadi orang kaya di desanya. Dialah

raja kayu yang memiliki gudang-gudang berisi kayu bakar terbesar siap untuk dikirim ke seluruh pelosok negeri. (Dongeng ketiga dari Kumpulan Dongeng Kotak Kayu Hitam)

Raja Telinga KeledaiOleh: Timbul Sudradjat (Bobo No. 22/XXIX)

Raja Zanas memerintah dengan sewenang-wenang. Kegemarannya menumpuk harta sebanyak mungkin yang diperolehnya dari pajak rakyatnya.

Raja Zanas selain tamak juga seorang raa yang sangat kikir. Rakyat yang hidup sengsara tidak sekalipun pernah dipikirkannya.

Anehnya raja yang zalim itu mempunyai kegemaran mendengarkan musik. Padahal kata orang-orang bijak musik dapat memperhalus perasaan. Oleh karena itu yang menyukainya akan mempunyai perasaan yang lembut tetapi cerdas.

Salah satu kegemaran Raja Zanas adalah mendengarkan tiupan suling. Kebetulan di negerinya ada seorang peniup seruling yang sangat pandai bernama Tarajan. Raja Zanas sangat memanjakan Tarajan dan kerap mengirim peniup seruling itu ke seluruh penjuru negeri bahkan ke luar kerajaannya untuk berlomba. Tarajan selalu jadi juara pertama dan memperoleh hadiah-hadiah yang menggiurkan. Sayang karena hal itu Tarajan jadi sombong dan congkak.

Karena sombongnya Tarajan mengaku dapat mengalahkan Dewa Apolo. Seorang Dewa bangsa Yunani yang sangat menguasai seni musik.

Tarajan mengusulkan pada Raja Zanas agar ia dipertandingkan dengan Apolo. Usul itu diterima dengan baik bahkan raja merasa

Page 19: Dongeng Sebelum Bobo

bangga jika Tarajan dapat mengalahkan pemain musik dari kerajaan langit itu.

Dewa Apolo yang mendengar tantangan itu menyanggupi. Justru Dewa itu ingin memberi pelajaran pada Tarajan dan Raja Zanas yang berkelakuan tidak lazim.

"Seandainya aku kalah biarlah aku mengabdi pada Raja Zanas seumur hidupku. Tetapi andaikan aku yang menang aku minta separuh kerajaanmu dan kuserahkan pada rakyatmu" kata Dewa Apolo.

Raja Zanas dan Tarajan setuju. Mereka begitu yakin dapat mengalahkan Apolo yang tampak masih sangat muda itu.

Pada hari yang telah ditentukan pertandingan dimulai. Seluruh rakyat tumpah ruah ke halaman Istana. Sedangkan Dewa Zeus sebagai penguasa seluruh khayangan ikut menyaksikan tanpa seorang pun yang tahu.

Sebagai penantang Tarajan dipersilakan meniup seruling terlebih dahulu. Dengan pongah Tarajan naik ke atas podium lalu segera meniup serulingnya. Seruling emas berbalut intan permata milik Tarajan segera mengumandangkan lagu-lagi yang sangat merdu. Naik turun seperti ombak. Lembut seperti angin pesisir. Bergolak seperti ombak menerjang karang.

Semua yang mendengarkan bagaikan tersihir. Begitu hebatnya tiupan seruling Tarajan. Raja Zanas tertawa terbahak-bahak dan yakin sekali peniup serulingnya akan keluar jadi pemenang. Tetapi Dewa Apolo tenang. Diam bagaikan patung, tetapi bibirnya tersenyum. Pertanda kagum juga pada permainan seruling Tarajan. Dan ketika usai sorak ssorai seperti membelah angkasa. Tarajan berdiri berkacak pinggang dengan wajah sangat pongah.

Ketika giliran Dewa Apolo, Dewa kesenian itu mengangkat serulingnya dengan cantik sekali. Lembut bagaikan menimang bayi suci. Dan ketika bibirnya mulai meniupkan sebuah lagu, langit berpendar-pendar antara siang dan malam. Rakyat yang menonton terhanyut dalam irama yang luar biasa indah. Dengan mata terpejam semua menari dengan lembut sekali. Mereka pun menyanyi sebuah lagu kedamaian yang sekonyong saja mampu dinyanyikan. Rakyat yang jumlahnya tidak terhitung itu larut dalam lagu-lagu dan irama yang sebelumnya tidak pernah mereka dengarkan tetapi sangat merdu mendayu-dayu.

Akhirnya Dewa Zeus yang menampakkan diri menyatakan Apolo sebagai pemenangnya. Dan meminta Raja Zanas seger memberikan separuh kerajaannya pada rakyatnya. Tetapi raja kikir itu menolakk hingga membuat Dewa Zeus marah.

"Selama kau tidak memberikan pada rakyat apa yang telah kau janjikan, maka telingamu akan membesar setiap hari." Kata Dewa Zeus.

Memang benar. Telinga Raja Zanas tiap hari semakin besar

Page 20: Dongeng Sebelum Bobo

hingga sangat berat dan membuatnya tidak bisa berdirii apalagi berjalan.

Akhirnya Raja Zanas menyerahkan separuh kerajaannya pada rakyatnya. Dan berjanji tidak lagi kikir dan tamak. Dewa Zeuslah saksi dari ucapannya.

Kisah Bintang KutubDongeng dari India Kuno, diceritakan kembali oleh Elisabeth Widyaningrum (Bobo No. 35/XXVIII)

Di langit malam yang gelap, ada sebuah bintang yang tak pernah berpindah. Orang-orang menyebutnya Bintang Kutub. Bintang ini dapat menjadi pedoman untuk menetukan arah bagi para pelaut dan nelayan di laut lepas. Di India, bintang ini disebut Bintang Dhruva.

Mengapa demikian? Begini ceritanya… Pada jaman dahulu, hiduplah seorang anak bersama Dhruva. Ia

tinggal di tengah hutan bersama ibunya. Ibu Dhruva bernama Ratu Suniti. Ya! Dhruva memang putra mahkota seorang raja! Ayahnya bernama Raja Uttanapada.

Seharusnya Dhruva dan ibunya tinggal di dalam istana. Tapi, karena kedengkian seorang kerabat istana yang ingin anaknya kelak menjadi raja, Dhruva dan ibunya di usir dari istana.

Dalam kehidupannya, Dhruva sangat merindukan ayahnya. Tapi, tiap kali Ratu Suniti menghiburnya,

"Dhruva, anakku," kata Ratu Suniti. "Ada seorang ayah yang sangat menyayangimu. Kelak suatu hari nanti, kau akan bertemu dengannya."

"Siapa dia , Bu?" tanya Dhruva. "Dia adalah Dewa Wishnu," jawab Ratu Suniti. "Kapan saya bisa bertemu denganya, Bu?" tanya Dhruva lagi. "Nanti, bila kau sudah dewasa dan menjadi orang yang

bijaksana," sahut Ratu Suniti sambil membelai kepala Dhruva. Dhruva termenung. Ia benar-benar merindukan seorang ayah!

Page 21: Dongeng Sebelum Bobo

Beberapa bulan yang lalu, ia memang pergi ke istana. Tapi ia tidak bertemu dengan ayahnya. Ia malah bertemu dengan Suruchi, kerabat istana yang dengki itu. Suruchi langsung mengusir Dhruva. Dan dhruva pun kembali ke hutan.

"Saya tidak mau menunggu sampai jadi dewasa dan bijakasana, Bu," kata Dhruva kemudian. "Saya ingin bertemu dengan Dewa Wishnu sekarang."

Ratu Suniti mengetahui betapa kuatnya keinginan Dhruva. "Anakku Dhruva," ucap Ratu Suniti akhirnya. "Kalau kau

memang ingin bertemu Dewa Wishnu, pergilah. Tapi ingat, segera kembali ke sini begitu keinginanmu berkurang walau cuma sedikit."

Dhruva sangat berterima kasih atas kebijaksanaan ibunya. Ia kemudian pamit, lalu meninggalkan ibu dan gubuknya. Ia terus melangkah makin jauh masuk ke dalam hutan. Ya! Dhruva memang sangat ingin bertemu Dewa Wishnu! Berhari-hari Dhruva berjalan, tapi ia belum juga bertemu Dewa Wishnu.

Pada suatu malam, Dhruva merasa sangat lelah dan lapar. Ia berbaring di bawah sebuah pohon besar. Di tengah kegelapan itu, ia melamun. Terbayang di matanya wajah ibunya yang sedih dan kesepian tanpa dirinya. Tapi keinginan Dhruva tak pernah berkurang sedikit pun. Dan dalam kegelapan itu, tiba-tiba seseorang muncul di depan Dhruva. Orang itu adalah Narada yang bijaksana.

"Anak kecil, sedang apa kau malam-malam begini berada di tengah hutan?" tanya Narada.

Lalu Dhruva menceritakan keinginannya untuk bertemu Dewa Wishnu. Kepala Narada mengangguk-angguk begitu cerita Dhruva selesai.

"Kalau begitu, ikutlah denganku," kata Narada kemudian. Sejak saat itu, Dhruva mengikuti Narada. Narada mengajari Dhruva berdoa dan bertapa. Dhruva sangat

tekun belajar bertapa. Ia duduk tak bergerak di atas batu, menutup matanya, kemudian memusatkan pikiran pada satu hal, yaitu Dewa Wishnu.

Suatu hari, terdengarlah suara, "Anaklku Dhruva, aku ada di sini."

Dhruva membuka matanya. Di depan Dhruva, berdirilah seorang laki-laki. Cahaya kemilau menyelimuti tubuh laki-laki itu. Saat itu juga Dhruva tahu bahwa doanya terkabul. Laki-laki itu adalah Dewa Wishnu. Dhruva sangat gembira.

"Anakku," kata Dewa Wishnu. "Kau sudah melakukan segala hal agar bisa bertemu denganku. Kau sudah memegang teguh keinginan itu, dan mengatasi semua rintangan yang menghadangmu. Nah, sekarang apa yang kau inginkan setelah bertemu denganku?"

"Dewa, saya sangat merindukan seorang ayah. Ibu saya berkata bahwa Dewa Wishnu-lah ayah yang terbaik di dunia ini. Saya ingin selalu dekat dengan Dewa," jawab Dhruva. "Selain itu, saya

Page 22: Dongeng Sebelum Bobo

ingin Ibu saya kembali ke istana. Saya ingin Ibu saya bahagia, Dewa."

"Baiklah," sahut Dewa Wishnu. "Ibumu akan kembali ke istana, dan kau akan selalu dekat denganku."

Lalu Dewa Wishnu mengubah Dhruva menjadi sebuah bintang yang amat terang, dan meletakkannya di langit.

Beberapa saat setelah Dhruva menjadi Bintang Kutub, datanglah utusan istana untuk menjemput Ratu Suniti, Ibu dhruva. Raja Uttanapada sudah mengetahui kedengkian Suruchi. Ratu Suniti pun kembali ke istana.

Bila malam tiba, Ratu Suniti selalu menyempatkan diri untuk melambaikan tangan ke arah Bintang Kutub, yang kemudian diketahuinya merupakan penjelmaan dari Dhruva. Dhruva pun membalas lambaian tangan itu dengan kerlipan yang indah.

Bintang Kutub itu tak pernah berpindah, tak seperti bintang-bintang lain yang selalu bergiliran untuk muncul di langit. Bintang Kutub itu ada sepanjang tahun, sebagai lambang keinginan yang begitu kuat, yaitu keinginan Dhruva bertemu dengan Dewa Wishnu. (Dongeng dari India Kuno, diceritakan kembali oleh Elisabeth Widyaningrum)

Page 23: Dongeng Sebelum Bobo

Anak Rajin dan Pohon Pengetahuan

Oleh: Glory Gracia Chirstabelle (Bobo No. 29/XXVIII)

Pada suatu waktu, hiduplah seorang anak yang rajin belajar. Mogu namanya. Usianya 7 tahun. Sehari-hari ia berladang. Juga mencari kayu bakar di hutan. Hidupnya sebatang kara. Mogu amat rajin membaca. Semua buku habis dilahapnya. Ia rindu akan pengetahuan. Suatu hari ia tersesat di hutan. Hari sudah gelap. Akhirnya Mogu memutuskan untuk bermalam di hutan. Ia bersandar di pohon dan jatuh tertidur. Dalam tidurnya, samar-samar Mogu mendengar suara memanggilnya. Mula-mula ia berpikir itu hanya mimpi. Namun, di saat ia terbangun, suara itu masih memanggilnya. "Anak muda, bangunlah! Siapakah engkau? Mengapa kau ada disini?" Mogu amat bingung. Darimana suara itu berasal? Ia mencoba melihat ke sekeliling. "Aku disini. Aku pohon yang kau sandari!" ujar suara itu lagi. Seketika Mogu menengok. Alangkah terkejutnya ia! Pohon yang disandarinya ternyata memiliki wajah di batangnya. "Jangan takut! Aku bukan makhluk jahat. Aku Tule, pohon pengetahuan. Nah, perkenalkan dirimu," ujar pohon itu lagi lembut. "Aku Mogu. Pencari kayu bakar. Aku tersesat, jadi terpaksa bermalam disini," jawab Mogu takut-takut. "Nak, apakah kau tertarik pada ilmu pengetahuan? Apa kau bisa menyebutkan kegunaannya bagimu?" tanya pohon itu. "Oh, ya ya, aku sangat tertarik pada ilmu pengetahuan. Aku jadi tahu banyak hal. Aku tak mudah dibodohi dan pengetahuanku kelak akan sangat berguna bagi siapa saja. Sayangnya, sumber pengetahuan di desaku amat sedikit. Sedangkan kalau harus ke kota

Page 24: Dongeng Sebelum Bobo

akan membutuhkan biaya yang besar. Aku ingin sekali menambah ilmuku tapi tak tahu bagaimana caranya." "Dengalah, Nak. Aku adalah pohon pengetahuan. Banyak sekali orang mencariku, namun tak berhasil menemukan. Hanya orang yang berjiwa bersih dan betul-betul haus akan pengetahuan yang dapat menemukanku. Kau telah lolos dari persyaratan itu. Aku akan mengajarimu berbagai pengetahuan. Bersediakah kau?" tanya si pohon lagi. Mendengar hal itu Mogu sangat girang. Sejak hari itu Mogu belajar pada pohon pengetahuan. Hari-hari berlalu dengan cepat. Mogu tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Pengetahuannya amat luas. Suatu hari pohon itu berkata, "Mogu, kini pergilah mengembara. Carilah pengalaman yang banyak. Gunakanlah pengetahuan yang kau miliki untuk membantumu. Jika ada kesulitan, kau boleh datang padaku." Mogu pun mengembara ke desa-desa. Ia memakai pengetahuannya untuk membantu orang. Memperbaiki irigasi, mengajar anak-anak membaca dan menulis... Akhirnya Mogu tiba di ibukota. Di sana ia mengikuti ujian negara. Mogu berhasil lulus dengan peringkat terbaik sepanjang abad. Raja amat kagum akan kepintarannya. Namun, ada pejabat lama yang iri terhadapnya. Pejabat Monda ini tidak senang Mogu mendapat perhatian lebih dari raja. Maka ia mencari siasat supaya Mogu tampak bodoh di hadapan raja. "Tuan, Mogu. Hari ini hamba ingin mengajukan pertanyaan. Anda harus dapat menjawabnya sekarang juga di hadapam Baginda," kata pejabat Monda. "Silakan Tuan Monda. Hamba mendengarakan," jawab Mogu. "Berapakah ukuran tinggi tubuhku?" tanyanya. "Kalau hamba tak salah, tinggi badan anda sama panjang dengan ujung jari anda yang kiri sampai ujung jari anda yang kanan bila dirintangkan," jawab Mogu tersenyum. Pejabat Monda dan raja tidak percaya. Mereka menyuruh seseorang mengukurnya. Ternyata jawaban Mogu benar. Raja kagum dibuatnya. Pejabat Monda sangat kesal, namun ia belum menyerah. "Tuan Mogu. Buatlah api tanpa menggunakan pemantik api." Dengan tenang Mogu mengeluarkan kaca cembung, lalu mengumpulkan setumpuk daun kering. Ia membuat api, menggunakan kaca yang dipantul-pantulkan ke sinar matahari. Tak lama kemudian daun kering itupun terbakar api. Raja semakin kagum. Sementara Tuan Monda semakin kesal. "Luar biasa! Baiklah! Aku punya satu pertanyaan untukmu. Aku pernah mendengar tentang pohon pengetahuan. Jika

Page 25: Dongeng Sebelum Bobo

pengetahuanmu luas, kau pasti tahu dimana letak pohon itu. Bawalah aku ke sana," ujar Raja. Mogu ragu. Setelah berpikir sejenak, "Hamba tahu, Baginda. Tapi tidak boleh sembarang orang boleh menemuinya. Sebenarnya, pohon itu adalah guru hamba. Hamba bersedia mengantarkan Baginda. Tapi kita pergi berdua saja dengan berpakaian rakyat biasa. Setelah bertemu dengannya, berjanjilah Baginda takkan memberitahukanya pada siapapun," ujar Mogu serius. Raja menyanggupi. Setelah menempuh perjalanan jauh, sampailah mereka di tujuan. "Salam, Baginda. Ada keperluan apa hingga Baginda datang menemui hamba?" sapa pohon dengan tenang. "Aku ingin menjadi muridmu juga. Aku ingin menjadi raja yang paling bijaksana," kata raja kepada pohon pengetahuan. "Anda sudah cukup bijaksana. Dengarkanlah suara hati rakyat. Pahamilah perasaan mereka. Lakukan yang terbaik untuk rakyat anda. Janganlah mudah berprasangka. Selebihnya muridku akan membantumu. Waktuku sudah hampir habis. Sayang sekali pertemuan kita begitu singkat," ujar pohon pengetahuan seolah tahu ajalnya sudah dekat.

Tiba-tiba Monda menyeruak bersama sejumlah pasukan. "Kau harus ajarkan aku!" teriaknya pada pohon pengetahuan.

"Tidak bisa. Kau tak punya hati yang bersih." Jawaban pohon itu membuat Monda marah. Ia memerintahkan

pasukannya untuk membakar pohon pengetahuan. Raja dan Mogu berusaha menghalangi namun mereka kewalahan. Walau berhasil menghancurkan pohon pengetahuan, Monda dan pengikutnya tak luput dari hukuman. Mereka tiba-tiba tewas tersambar petir. Sebelum meninggal, pohon pengetahuan memberikan Mogu sebuah buku. Dengan buku itu Mogu semakin bijaksana. Bertahun-tahun kemudian, Raja mengangkat Mogu menjadi raja baru.

Page 26: Dongeng Sebelum Bobo

Semut Yang HematOleh: Kertanegara (Bobo No. 28/XXVIII)

Di zaman Mesir kuno, hiduplah seorang raja yang sangat terkenal keadilannya. Raja tersebut sangat mencintai rakyatnya. Bahkan raja tersebut dalam mencinta keluarganya tidak melebihi cintanya pada rakyatnya. Sehingga kalau ada anggota keluarganya yang bersalah tetaplah di hukum sebagaimana orang lain. Yang lebih istimewa lagi, raja ini juga penyayang binatang. Karena cintanya pada binatang, suatu hari raja yang adil itu pergi berjalan-jalan menemui seekor semut. Si semut merasa senang dan bangga mendapat kunjungan dari raja.

"Bagaimana kabarmu, semut?" tanya sang Raja. "Hamba baik-baik saja Baginda," jawab semut gembira. "Dari mana saja kau pergi?" "Hamba sejak pagi pergi ke beberapa tempat tetapi belum juga

mendapatkan makanan, Baginda." "Jadi sejak pagi kau belum makan?" "Benar, baginda." Raja yang adil itu pun termenung sejenak. Kemudian berkata,

"Hai, semut. Beberapa banyak makanan yang kau perlukan dalam setahun?"

"Hanya sepotong roti saja baginda," jawab semut. "Kalau begitu maukah kau kuberi sepotong roti untuk hidupmu

setahun?" "Hamba sangat senang, Baginda." "Kalau begitu, ayo engkau kubawa pulang ke istana," ujar Raja,

lalu membawa semut itu ke istananya. Semut sangat gembira karena mendapatkan anugerah makanan dari sang raja. Ia tidak

Page 27: Dongeng Sebelum Bobo

susah-susah lagi mencari makanan dalam setahun. Dan tentu saja roti pemberian sang raja akan lebih manis dan enak.

"Sekarang engkau masuklah ke dalam tabung yang telah kuisi sepotong roti ini!" perintah sang raja.

"Terimakasih, Baginda. Hamba akan masuk." "Setahun yang akan datang tabung ini baru akan kubuka," ujar

sang raja lagi. "Hamba sangat senang, Baginda." Tabung berisi roti dan semut itu pun segera ditutup rapat oleh

sang raja. Tutup tabung itu terbuat dari bahan khusus, sehingga udara tetap masuk ke dalamnya. Tabung tersebut kemudian disimpan di ruang khusus di dalam istana.

Hari-hari berikutnya sang raja tetap memimpin rakyatnya. Berbagai urusan ia selesaikan secara bijaksana. Akhirnya setelah genap setahun, teringatlah sang raja akan janjinya pada semut.

Perlahan-lahan raja membuka tutup tabung berisi semut itu. Ketika tutup terbuka, si semut baru saja menikmati roti permberian raja setahun lalu.

"Bagaimana kabarmu, semut?" tanya sang raja ketika matanya melihat semut di dalam tabung.

"Keadaan hamba baik-baik saja, Baginda." "Tidak pernah sakit selama setahun di dalam tabung?" "Tidak baginda. Keadaan hamba tetap sehat selama setahun." Kemudian sang raja termenung sejenak sambil melihat sisa roti

milik semut di dalam tabung. "Mengapa roti pemberianku yang hanya sepotong masih kau

sisakan separuh?" tanya sang raja. "Betul, Baginda." "Katanya dalam setahun kau hanya memerlukan sepotong roti.

Mengapa tak kau habiskan?" "Begini, Baginda. Roti itu memang hamba sisakan separuh.

Sebab hamba khawatir jangan-jangan Baginda lupa membuka tutup tabung ini. Kalau Baginda lupa membukanya, tentu saja hamba masih dapat makan roti setahun lagi. Tapi untunglah Baginda tidak lupa. Hamba senang sekali."

Sang raja sangat terkejut mendengar penjelasaan si semut yang tahu hidup hemat. Sang raja tersenyum kecil di dekat semut.

"Kau semut yang hebat. Kau dapat menghemat kebutuhanmu. Hal ini akan kusiarkan ke seluruh negeri agar rakyatku dapat mencotohmu. Kalau semut saja dapat menghemat kebutuhannya, mengapa manusia justru gemar hidup boros?"

"Sebaiknya Baginda jangan terlalu memuji hamba," jawab si semut.

Semut itu akhirnya mendapat hadiah lagi dari raja. Sebagai tanda terimakasih karena telah mengajarinya hidup hemat.

Page 28: Dongeng Sebelum Bobo

Tiga Mantra, Satu TenagaOleh: Ipal (Bobo No. 25/XXVIII)

Sekarang Anabela sudah berusia enam tahun. Di Negeri Peri Jelita, peri yang sudah berumur enam tahun dan tidak nakal, akan mendapat tiga mantra percobaan dari Peri Mulia, ratu para peri. Tiga mantra percobaan itu harus digunakan untuk kebaikan. Bila berhasil, akan diberikan mantra tambahan. Sebaliknya, bila salah mempergunakan mantra, si peri akan mendapatkan hukuman. Misalnya membersihkan kebun, membantu Peri Petani di ladang, menambal pakaian rusak pada Peri Penjahit, dan masih banyak lagi. Hari itu Anabela sedang berjalan dengan riangnya. Mulutnya komat-kamit menghapalkan mantra yang baru diberikan Peri Mulia. Di tengah jalan, ia bertemu Sintabela yang membawa sekeranjang rumput. Sintabela baru mendapat hukuman, membantu Peri Penggembala. Sekeranjang rumput itu untuk makanan sapi-sapi di kandang. "Wah, kamu kelihatan bahagia sekali, Anabela!" sapa Sintabela ramah. "Ya, aku baru saja mendapatkan tiga mantra percobaan dari Peri Mulia," balas Anabela riang. "Selamat, ya. Kuharap kau bisa memakainya dengan baik. Tidak seperti aku yang membuat satu kesalahan," ucap Sintabela tulus, "Waktu itu aku sebenarnya ingin melidungi sarang burung dari gangguan anak nakal. Eh, tapi ternyata aku malah membuat marah sekawan lebah karena sarangnya aku ganggu dengan mantraku. Lebah itu menyerang anak-anak nakal itu hingga mereka terpontang-panting," cerita Sintabela sedih. "Lain kali kau pasti bisa menggunakannya dengan baik. Terima kasih atas nasehatmu, Sintabela," ujar Anabela lantas melanjutkan perjalanan. Ia sudah tak sabar ingin menggunakan mantranya! Pada sebuah tikungan, Anabela melihat pedati yang penuh gandum.

Page 29: Dongeng Sebelum Bobo

Pedati itu tidak bisa berjalan karena sapi penariknya kelelahan. Pak Pedati pun tampak putus asa. Sapinya tidak mau bergerak. Apalagi jalan agak mendaki. Anabela memperhatikan Pak Pedati dari tempat persembunyiannya. Dia ingin menolong Pak Pedati dengan mantra pertamanya. Tapi dia tidak boleh ketahuan manusia. "Kulama… kulama…" Anabela mengucapkan mantra pertama sambil mengerahkan tangannya ke pedati. Tiba-tiba pedati itu bergerak karena sapinya mulai mau berjalan. Ya, Anabela membuat beban pedati menjadi ringan. Pak Pedati pun melanjutkan perjalanannya dengan gembira.

Ketika berjalan di pinggir sungai, Anabela melihat Pak Pengail yang sedang bersedih. Ia belum mendapatkan ikan sejak pagi.

"Padahal keluargaku perlu lauk untuk makan siang nanti. Dan sisanya akan kujual di pasar. Tentu anak-anakku akan kecewa," gumam Pak Pengail murung. Anabela sedih mendengarnya.

"Birdapa… birdapa…!" Anabela mengucapkan mantra kedua. Tangannya diarahkan ke kail. Tak lama kemudian terdengar seruan Pak Pengail.

"Oh, aku dapat ikan!" seru Pak Pengail riang. Anabela berlalu sambil tersenyum. Hari itu Pak Pengail pasti akan dapat banyak ikan.

Anabela melewati sebuah hutan kecil. Ia melihat seorang nenek pencari kayu bakar. Jalannya tertatih-tatih. Agaknya kayu bakar yang dibawanya berat sekali. Anabela tidak tega melihatnya.

"Uramba… uramba…!" Anabela mengucapkan mantra ketiga. Tangannya diarahkan ke tumpukan kayu bakar yang dibawa si nenek. Nenek itu agak heran karena beban yangdibawanya terasa ringan. Ia tahu ada yang menolongnya. Tapi entah siapa. Si nenek melanjutkan langkahnya dengan ringan dan gembira.

Di tempat persembunyiannya, Anabela tersenyum puas. Hari itu dia telah berhasil mempergunakan mantranya dengan baik. Berarti nanti dia akan mendapatkan tiga buah mantra lagi. Oh, betapa senang hati Anabela.

Setiba di perkampungan penduduk, tiba-tiba Anabela mendengar tangis seorang anak kecil. Anabela mendatangi rumah asal suara itu. Tangis anak itu tidak juga berhenti. Anabela mengintip lewat jendela. Tidak ada orang lain selain anak itu. Mungkin dia baru bangun.

Anabela mendekati anak kecil itu. Umurnya kira-kira satu tahun. Anabela membujuknya agar berhenti menangis. Tapi tidak berhasil. Anabela mulai kesal. Coba kalau mantranya belum habis,

Page 30: Dongeng Sebelum Bobo

tentu dia akan menyihir agar mainan anak itu menjadi hidup. Dan mainan-mainan itu yang akan menghibur anak kecil itu.

Tapi Anabela tidak putus asa. Ia mulai bernyanyi sambil menari-narikan boneka badut dengan tangannya. Anak kecil itu mulai diam. Anabela lalu menunggang boneka kedelai kian kemari dan menari-nari jenaka. Anak kecil itu mulai tertawa. Anabela senang melihatnya. Ia lalu menerbangkan sebuah boneka burung dengan tangannya. Suaranya mendengung-dengung seperti lebah. Anak kecil itu bertepuk-tepuk tangan dengan riang.

Akhirnya anak kecil itu mau bermain sendiri. Tapi Anabela malah terbaring kelelahan. Keringatnya bercucuran. Napasnya memburu. Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Anabela buru-buru menyelinap pergi.

"Oh, Si Kecil sudah bangun. Ibu ke pasar membeli susumu," ujar wanita itu. Anak kecil itu tertawa senang. Diam-diam Anabela meninggalkan rumah itu. Tugasnya hari itu telah selesai dengan baik.

Tapi ada kejutan untuk Anabela begitu ia tiba di Negeri Peri Jelita.

"Bagus Anabela. Kamu berhasil mempergunakan mantramu dengan baik. Aku akan memberikan tiga mantra lagi untukmu," ujar Peri Mulia," Ditambah tiga mantra lagi sebagai hadiah," lanjut Peri Mulia. Anabela ternganga tidak mengerti. Tiga mantra hadiah?

"Kamu mempergunakan tenaga sendiri ketika mengasuh anak kecil itu, Anabela. Itu juga sebuah kebaikan," kata Peri Mulia.

"Ya, ya, terima kasih, Peri Mulia," ucap Anabela senang. Dia mendapat enam mantra hari itu! Tapi… hari itu Anabela lebih memilih beristirahat. Sebab dia lelah sekali.

Page 31: Dongeng Sebelum Bobo

DAPAT HADIAH, TAPI DIHUKUMOleh: Ny. Widya Suwarna (Bobo No. 24/XXVIII)

Li Hung yang tampan adalah ajudan Raja Ming. Raja ini memerintah sebuah kerajaan kecil yang damai. Raja Ming memiliki seorang putri cantik bernama Mei Mei. Suatu ketika, datanglah rombongan dari kerajaan besar yang diperintah Raja Chao. Raja Ming menyambut tamunya dan mengadakan pesta meriah. Setelah makan dan minum seorang kakek utusan Raja Chao berkata,

"Raja kami telah mendengar berita kecantikan dan kebaikkan Putri Mei Mei. Raja ingin meminang Putri untuk menjadi istri putranya, Pangeran Huang." Raja Ming sangat terkejut. Pangeran Huang terkenal suka foya-foya, walaupun adiknya, Putri Mei Hoa, cantik dan baik budi… "Kami berterimakasih atas berita baik itu. Kami akan memikirkannya dan segera mengirim utusan ke negeri anda!" jawab Raja Ming. Rombongan dari kerajaan Chao setuju. Mereka lalu pamit pulang. Raja Ming lalu berdiskusi dengan permaisurinya. "Putriku harus menikah dengan pria baik-baik!" kata Raja Ming "Kalau pinangan Raja Chao ditolak, apa kita tidak akan celaka? Kerajaan kita sangat kecil dibandingkan Kerajaan Chao!" jawab Permasuri cemas. Akhirnya Raja Ming mengambil keputusan untuk menolak pinangan itu dengan cara halus. Ia menyiapkan sebuah pot bunga yang indah dari pualam. Lalu mengisinya dengan tanah dan menaruh beberapa tangkai bunga rumput. Raja menyuruh Li Hung menyampaikannya pada Raja Chao. "Katakan bahwa kami tidak berani menerima kehormatan tersebut. Karena Putri Mei Mei bagaikan bunga rumput yang tak ada harganya. Sedangkan Pangeran Huang adalah Putra Mahkota kerajaan besar dan jaya bagaikan pot bunga pualam!" demikian pesan sang Raja Ming. Maka Li Hung sang ajudan lalu berangkat. Ia membawa pot itu dengan hati-hati. Pesan sang Raja diingatnya baik-baik. Namun pikiran dan perasannya tidak bisa menerima. Yang benar saja, kata Li Hung dalam hati. Justru Pangeran Huang yang

Page 32: Dongeng Sebelum Bobo

tak pantas bersanding dengan Putri Mei Mei. Sebab Putri Mei Mei cantik dan baik, sedangkan Pangeran Huang suka berfoya-foya. Semakin dekat ke Kerajaan Chao, perasaan Li Hung semakin tidak nyaman. Akhirnya di mengambil suatu keputusan nekad. Ia menukar pot bunga yang dibawanya dengan pot bunga dari tanah liat. Lalu mengisinya dengan kotoran sapi dan setangkai mawar merah yang segar dan indah. Ketika menghadap Raja Chao, ia mempersembahkan pot itu. Raja Chao mengerutkan dahi dan bertanya," Apa maksud Raja Ming?" "Baginda, Raja Ming mengatakan bahwa putrinya tidak layak menikah dengan Pangeran Huang. Sebab putrinya bagaikan bunga rumput yang tak ada harganya. Sementara Pangeran Huang bagaikan pot bunga pualam yang indah!" kata Li Hung sambil terus bersembah sujud. "Haaaaah, aku tak mengerti. Ini pot berisi tanah liat kotoran sapi dan setangkai mawar yang indah!" kata Raja Chao. "Berarti putraku bagaikan kotoran sapi, bukan bagaikan pot bunga pualam!" Li Hung tersenyum. "Oooh, itu melambangkan suara rakyat, termasuk hamba sendiri. Hamba yang menukar pot bunga pualam dengan pot liat berisi kotoran sapi. Bunga rumput hamba tukar dengan bunga mawar yang indah!" kata Li Hung. "Tentunya Baginda sendiri tidak rela kalau putri Baginda menikah dengan orang yang sifatnya tidak baik!"

Raja Chao terdiam. Ajudan Raja Ming ini mengatakan hal yang benar. Pangeran Huang memang harus memperbaiki sifat-sifat buruknya.

"Tinggallah di sini semalam dan besok engkau boleh pulang dengan membawa suraku. Aku membatalkan pinangan tersebut!" kata Raja Chao.

Keesokkan harinya Li Hung pulang ke negerinya. Ia membawa sepucuk surat dan mendapat hadiah dari Raja Chao.

Li Hung sangat gembira. Setiba di istana ia menyampaikan surat itu pada Raja Ming. Isinya antara lain…. Aku menyadari sifat putraku yang buruk akibat ulah ajudanmu, Li Hung. Putraku memang tidak pantas menikah dengan Putri Mei Mei. Jadi kubatalkan pinangan itu. Namun, aku mohon agar ajudanmu yang lancang (menukar pot bunga dan bunganya) mendapatkan hukuman yang sesuai dengan hukum di negerimu…..

Raja Ming berkata, "Li Hung, kamu berjasa sehingga pinangan Raja Ming dibatalkan. Karena itu aku memberimu hadiah sekantung uang emas. Tapi, kau lancang. Karena hanya menjalankan sebagian perintahku. Kau lancang menukar pot dan bunga kirimanku. Karena itu, sesuai hukuman yang berlaku, kau harus dibuang ke gurun pasir!"

Li Hung terperajat. Namun ia menyadari kesalahannya.

Page 33: Dongeng Sebelum Bobo

Maka Li Hung pun pulang ke desanya dan memberikan uang emas ke ibunya. Ia memberitahu tentang hukuman yang harus dijalaninya. Ibunya menangis, tapi kemudian berkata, "Tuhan akan menolongmu, Nak. Mati dan hidup manusia ada di tangan Tuhan!"

Pada hari yang ditentukan, para prajurit membawa Li Hung ke padang gurun. Ia berjalan di pasir yang panas. Kulitnya terbakar dan ia sangat kehausan. Akhirnya Li Hung pingsan. Namun, ketika sadar, ia berada di kamar yang indah.

"Apa aku sudah mati? Di mana aku?" tanyanya. "Kau ada di istana. Aku menyuruh pengawal-pengawalku

menolongmu!" jawab Raja Ming. "Terimakasih, Baginda sudah menyelamatkan nyawa hamba!"

kata Li Hung. "Kau akan kuangkat menjadi salah satu penasihatku. Tapi,

ingat! Jangan lancang. Kalau punya gagasan bagus, rundingkan dulu sebelum ambil tindakan sendiri!" kata Raja Ming.

Li Hung pun menjadi penasihat Raja. Ia berkawan dengan Pangeran Huang dan menasihati Pangeran Huang agar mengubah sifat-sifat buruknya. Beberapa tahun kemudian, Pangeran Huang akhirnya menikah dengan Putri Mei Mei. Dan Li Hung menyunting Putri Mei Hoa.

Muslihat KerbauOleh : Agus Kuswanto (Bobo No. 14/XXVIII)

Di sebuah desa pinggiran hutan, tinggallah seorang janda dengan

Page 34: Dongeng Sebelum Bobo

anak gadisnya yang cantik. Meski berwajah rupawan, gadis itu amat rendah diri. Ia malu karena warna kulitnya sering berubah-ubah. Kalau duduk di atas rumput, kulitnya menjadi hijau. Kalau makan sawo, kulitnya berwarna coklat. Terkena sinar matahari pagi, kulitnya akan menjadi kuning. Gadis itu paling merasa sedih jika ia berada di tempat gelap. Kulitnya seketika menjadi hitam legam. Karena warna kulitnya sering berubah-ubah, ia dijuluki Putri Warna-Warni. Prok prok prok! Seluruh penghuni hutan yang hadir bertepuk tangan ketika Raja Umba Singa mengumumkan pemenang sayembara. Raja Umba Singa ingin mengangkat seorang penasejat kerajaan yang cerdik. Ia lalu mengadakan sayembara. Siapa yang menang, berhak mendapatkan kedudukan itu. Tentu saja peminat sayembara itu banyak. Tak ketinggalan Obi Kerbau dan Ucil Kancil. Pada akhirnya, Ucil Kancil-lah yang keluar menjadi juara. Ia mengalahkan peserta lain termasuk Obi Kerbau. "Ucil Kancil yang cerdik, kemarilah mendekat," ujar Raja. "Hambaku Baginda…," Ucil Kancil melangkah menuju singgasana Raja. "Aku akan memberimu penghargaan atas kecerdikanmu yang telah teruji," Raja Umba Singa melepas mantel beledu merahnya dan dipakaikannya pada Ucil Kancil. "Terimalah mantel ini sebagai tanda gelar kehormatan dariku. Mulai saat ini kau kunobatkan menjadi penasehat kerajaan ini," kata Raja. "Terima kasih Baginda," Ucil Kancil membungkuk hormat pada sang Raja. Maka sejak saat itu, resmilah Ucil Kancil menjadi penasehat kerajaan. Seluruh penghuni hutan menyambutnya gembira. Kecuali Obi Kerbau yang merasa iri pada Ucil Kancil. Obi menganggap dirinya yang pantas mendapat kedudukan itu. Sebab tubuhnya lebih besar dan kuat dibanding Ucil Kancil. "Huh, hewan kecil itu membuatku terhina," sungut Obi Kerbau. "Tunggu saja balasanku!" geramnya. Obi Kerbau mencari akal untuk membalas sakit hatinya pada Ucil Kancil. "Ah…, aku tahu," serunya terlonjak kegirangan. "Hanya nenek sihir itu yang dapat membantuku," gumamnya. Obi lalu pergi ke rumah penyihir tua di lembah Kegelapan. Sesampainya di sana, Obi menceritakan maksud kedatangannya kepada si nenek sihir. "Nek, saya mohon bantuan Nenek untuk membalas sakit hati saya itu," ujar Obi ketika mengakhiri ceritanya. "Hihihi, kerbau yang malang! Baiklah, aku akan menolongmu," sahut si nenek sihir lalu melangkah menuju kamarnya. Tak lama kemudian ia keluar lagi membawa dua botol kecil. "Bawalah ramuan ajaibku. Teteskan ramuan ajaib dalam botol biru

Page 35: Dongeng Sebelum Bobo

ini pada minuman yang akan disuguhkan pada Ucil Kancil. Dan yang berwarna merah ini untukmu," kata nenek sihir sambil menyerahkan kedua botol itu pada Obi Kerbau. "Tapi ingat! Cukup tiga tetes," lanjutnya. "Terima kasih, Nek…," jawab Obi Kerbau lalu mohon diri.

Dengan gembira Obi Kerbau pulang ke rumahnya. Namun di tengah jalan hujan lebat turun. Tak ada tempat untuk berteduh, karena saat itu ia berada di tengah padang rumput luas. Akhirnya, dengan badan basah kuyup Obi Kerbau melanjutkan perjalanannya.

Setibanya di rumah, Obi Kerbau menyimpan kedua botol berisi ramuan ajaib itu di tempat tersembunyi. Obi tidak sadar kalau warna kedua botol itu telah berubah. Yang biru berubah warna menjadi merah, dan yang merah menjadi biru.

Keesokan harinya, Obi pergi ke rumah Ucil Kancil untuk melaksanakan rencana jahatnya. Setibanya disana Obi berkata, "Tuan Penasihat Kerajaan, hamba datang untuk mengundang Tuan pada pesta ulang tahun hamba nanti malam."

"Tentu saja aku akan datang Obi Kerbau," jawab Ucil Kancil. Malam hari pun tiba. Ucil Kancil datang ke rumah Obi Kerbau. "Selamat datang tuanku," sambut Obi pura-pura gembira. . "Ah, dimana undangan yang lainnya...?" tanya Ucil Kancil heran.

"Maaf Tuanku, mereka semua belum datang. Tuankulah yang pertama hadir di sini," jawab Obi. "Sambil menungggu undangan yang lain, silakan Tuan mencicipi makanan dan minuman yang telah hamba siapkan ini," lanjut Obi.

Ucil Kancil melangkah masuk ke rumah Obi Kerbau. Obi Kerbau masuk ke dapur untuk mengambil dua gelas

minuman. Tak lupa ia menuang ramuan ajaib pemberian nenek sihir itu. Yang merah di gelasnya, dan yang biru di gelas Ucil Kancil, "Rasakan pembalasanku, Kancil bodoh...," gumamnya licik.

Tanpa curiga Ucil Kancil menerima gelas minuman dari Obi Kerbau. Minuman itu harum dan mengundang selera. Ucil Kancil meminum minumannya, dan Obi Kerbau meminum minumannya sendiri.

Setelah meminum minuman itu, Ucil Kancil merasa tubuhnya kian segar. Pikiran dan perasaannya pun kian tajam. Lain halnya dengan Obi Kerbau. Setelah meminumnya, kepalanya terasa pusing dan lidahnya kaku.

"Wahai Obi Kerbau, minuman apa ini? Nikmat sekali rasanya," seru Ucil Kancil. "Mooooee…," jawab Obi Kerbau. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi karena lidahnya kaku, yang keluar hanya suara lenguhan.

"Eh, ada apa denganmu, Obi?" Ucil Kancil heran. Obi tidak menjawab. Karena malu, ia cepat-cepat pergi. Kejahatan Obi Kerbau akhirnya terbongkar. Nenek Sihir itu

Page 36: Dongeng Sebelum Bobo

bercerita pada Ucil Kancil tentang permintaan Obi Kerbau. "Kasihan Obi kerbau. Ia termakan kejahatannya sendiri,"

gumam Kancil. Sementara itu, Obi Kerbau terus berjalan. Akhirnya seorang

petani menemukannya dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Petani itu lalu merawat Obi Kerbau hingga dia sehat kembali. Obi Kerbau menyesali perbuatannya. Tapi sesal kemudian tiada gunanya.

Sejak saat itu, Obi Kerbau marah sekali bila melihat kain merah. Karena ramuan berwarna merah-lah yang membuatnya jadi seperti itu. Hingga saat ini kerbau akan marah bila melihat kain berwarna merah. Mereka menganggap itulah penyebab kebodohan mereka.

Putri Warna-warniOleh : Dwiyanto (Bobo No. 13/XXVIII)

Di sebuah desa pinggiran hutan, tinggallah seorang janda dengan anak gadisnya yang cantik. Meski berwajah rupawan, gadis itu amat rendah diri. Ia malu karena warna kulitnya sering berubah-ubah. Kalau duduk di atas rumput, kulitnya menjadi hijau. Kalau makan sawo, kulitnya berwarna coklat. Terkena sinar matahari pagi, kulitnya akan menjadi kuning. Gadis itu paling merasa sedih jika ia berada di tempat gelap. Kulitnya seketika menjadi hitam legam.

Page 37: Dongeng Sebelum Bobo

Karena warna kulitnya sering berubah-ubah, ia dijuluki Putri Warna-Warni. Putri Warna-Warni bersahabat baik dengan seekor Bunglon. Dimana ada Putri Warna-Warni, di sebelahnya selalu ada sahabat karibnya itu. Mereka bersahabat karena memiliki nasib yang sama. Kulit mereka sering berubah-ubah. Suatu hari, saat bulan purnama bersinar di langit, betapa cantiknya Putri Warna-Warni. Kulitnya putih bersih, berkilau ditimpa cahaya rembulan yang indah. "Kamu cantik sekali dalam cahaya rembulan, Putri Warna-Warni. Kamu tak ubahnya seperti seorang putri kerajaan," puji Bunglon sahabatnya. Putri Warna-Warni tersipu mendengar pujian itu. "Namun aku akan segera menjadi putri jelek kalau rembulan tak menyinari tubuhku," kata Putri Warna-Warni sedih. Wajahnya nampak mendung. "Jangan begitu Putri Warna-Warni. Kau tetap Putri yang baik hati meski kulitmu berubah menjadi merah, kuning, hijau ataupun biru. Hatimu yang mulia tak akan berubah hanya karena perubahan warna tersebut." Mendengar kalimat bunglon sahabatnya, Putri Warna-Warni amat terharu. Tanpa mereka sadari, lewatlah seorang pangeran yang pulang kemalaman sehabis berburu. Ia amat terpesona dan takjub melihat kemolekan Putri Warna-Warni. Belum pernah dia melihat seorang putri secantik itu. "Wahai Putri cantik, kau tak pantas tinggal di pinggir hutan yang sepi ini. Tinggallah di istanaku. Kau akan kuangkat jadi permaisuriku. Tunggulah tiga hari lagi, pengawalku akan menjemputmu dengan kereta yang ditarik empat ekor kuda putih." Hati Putri Warna-Warni berbunga-bunga mendengar perkataan sang pangeran. Sebentar lagi ia akan menjadi permaisuri. Tak lagi hidup miskin, dan tak perlu tinggal di pinggir hutan lagi. Namun si bunglon sangat sedih, karena merasa akan ditinggal sendiri. Kegembiraan Putri Warna-Warni sampai terbawa ke mimpinya. Ia bermimpi pesta pernikahannya berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Ada berbagai macam hiburan. Berbagai macam makanan dan minuman dihidangkan. Namun sang pangeran tampak kecewa setelah tahu warna kulit permaisurinya berubah-ubah terus. Kadang terlihat cantik, kadang terlihat jelek. Mimpi itu membuat Putri Warna-Warni gelisah. Keesokan harinya, kembali bermimpi. Seorang pertapa sakti muncul di hadapannya.

Page 38: Dongeng Sebelum Bobo

Pertapa itu berkata, "Mudah sekali menyembuhkan perubahan warna kulitmu itu Putri Warna-Warni. Makanlah daging Bunglon sahabatmu itu. Maka kulitmu akan normal kembali." Putri Warna-Warni menceritakan mimpinya itu kepada Bunglon sahabatnya. Si Bunglon malah tersenyum mendengarnya, dan berkata,

"Mimpiku juga sama dengan mimpimu, Putri Warna-Warni. Seorang pertapa sakti memintaku untuk bersedia memberikan tubuhku buat kesembuhanmu. Aku bersedia membantumu, Putri! Asal hidupmu bahagia bersama Pangeran itu," ujar Bunglon tulus.

Putri Warna-Warni termenung. "Ayo, Putri Warna-Warni. Nanti malam, bakarlah tubuhku untuk

hidangan makan malammu," lagi-lagi Bunglon itu menawarkan diri. Putri Warna-Warni terharu. "Tidak, Bunglon sahabatku. Aku tidak mau meraih kebahagiaan

dengan mengorbankan dirimu. Kau adalah sahabatku yang terbaik. Besok kalau pengawal pangeran itu datang, biarlah kutolak ajakannya. Aku tidak mau menjadi permaisuri. Biarlah aku menjadi Putri Warna-Warni seperti ini saja. Asal kau tetap disampingku, Bunglon sahabatku."

Dua sahabat itu akhirnya berangkulan bahagia.

Istana BungaOleh : Swarinda Tyaskyesti (Bobo No. 11/XXVIII)

Dahulu kala, hiduplah raja dan ratu yang kejam. Keduanya suka berfoya-foya dan menindas rakyat miskin. Raja dan Ratu ini mempunyai putra dan putri yang baik hati. Sifat mereka sangat berbeda dengan kedua orangtua mereka itu. Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna selalu menolong rakyat yang kesusahan. Keduanya suka menolong rakyatnya yang

Page 39: Dongeng Sebelum Bobo

memerlukan bantuan. Suatu hari, Pangeran Aji Lesmana marah pada ayah bundanya, "Ayah dan Ibu jahat. Mengapa menyusahkan orang miskin?!" Raja dan Ratu sangat marah mendengar perkataan putra mereka itu.

"Jangan mengatur orangtua! Karena kau telah berbuat salah, aku akan menghukummu. Pergilah dari istana ini!" usir Raja.

Pangeran Aji Lesmana tidak terkejut. Justru Puteri Rauna yang tersentak, lalu menangis memohon kepada ayah bundamya, "Jangan, usir Kakak! Jika Kakak harus pergi, saya pun pergi!"

Raja dan Ratu sedang naik pitam. Mereka membiarkan Puteri Rauna pergi mengikuti kakaknya. Mereka mengembara. Menyamar menjadi orang biasa. Mengubah nama menjadi Kusmantoro dan Kusmantari. Mereka pun mencari guru untuk mendapat ilmu. Mereka ingin menggunakan ilmu itu untuk menyadarkan kedua orangtua mereka.

Keduanya sampai di sebuah gubug. Rumah itu dihuni oleh seorang kakek yang sudah sangat tua. Kakek sakti itu dulu pernah menjadi guru kakek mereka. Mereka mencoba mengetuk pintu.

"Silakan masuk, Anak Muda," sambut kakek renta yang sudah tahu kalau mereka adalah cucu-cucu bekas muridnya. Namun kakek itu sengaja pura-pura tak tahu. Kusmantoro mengutarakan maksudnya,

"Kami, kakak beradik yatim piatu. Kami ingin berguru pada Panembahan."

Kakek sakti bernama Panembahan Manraba itu tersenyum mendengar kebohongan Kusmantoro. Namun karena kebijakannya, Panembahan Manraba menerima keduanya menjadi muridnya.

Panembahan Manraba menurunkan ilmu-ilmu kerohanian dan kanuragan pada Kusmantoro dan Kusmantari. Keduanya ternyata cukup berbakat. Dengan cepat mereka menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan. Berbulan-bulan mereka digembleng guru bijaksana dan sakti itu. Suatu malam Panembahan memanggil mereka berdua.

"Anakku, Kusmantoro dan Kusmantari. Untuk sementara sudah cukup kalian berguru di sini. Ilmu-ilmu lainnya akan kuberikan setelah kalian melaksanakan satu amalan."

"Amalan apa itu, Panembahan?" tanya Kusmantari. "Besok pagi-pagi sekali, petiklah dua kuntum melati di samping

kanan gubug ini. Lalu berangkatlah menuju istana di sebelah Barat desa ini. Berikan dua kuntum bunga melati itu kepada Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna. Mereka ingin menyadarkan Raja dan Ratu, kedua orang tua mereka."

Kusmantoro dan Kusmantari terkejut. Namun keterkejutan mereka disimpan rapat-rapat. Mereka tak ingin penyamaran mereka terbuka.

"Dua kuntum melati itu berkhasiat menyadarkan Raja dan Ratu

Page 40: Dongeng Sebelum Bobo

dari perbuatan buruk mereka. Namun syaratnya, dua kuntum melati itu hanya berkhasiat jika disertai kejujuran hati," pesan Panembahan Manraba.

Ketika menjelang tidur malam, Kusmantoro dan Kusmantari resah. Keduanya memikirkan pesan Panembahan. Apakah mereka harus berterus terang kalau mereka adalah Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna? Jika tidak berterus terang, berarti mereka berbohong, tidak jujur. Padahal kuntum melati hanya berkhasiat bila disertai dengan kejujuran.

Akhirnya, pagi-pagi sekali mereka menghadap Panembahan. "Kami berdua mohon maaf, Panembahan. Kami bersalah karena

tidak jujur kepada Panembahan selama ini." Saya mengerti, Anak-anakku. Saya sudah tahu kalian berdua

adalah Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna. Pulanglah. Ayah Bundamu menunggu di istana."

Setelah mohon pamit dan doa restu, Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna berangkat menuju ke istana. Setibanya di istana, ternyata Ayah Bunda mereka sedang sakit. Mereka segera memeluk kedua orang tua mereka yang berbaring lemah itu.

Puteri Rauna lalu meracik dua kuntum melati pemberian Panembahan. Kemudian diberikan pada ayah ibu mereka. Ajaib! Seketika sembuhlah Raja dan Ratu. Sifat mereka pun berubah. Pangeran dan Puteri Rauna sangat bahagia. Mereka meminta bibit melati ajaib itu pada Panembahan. Dan menanamnya di taman mereka. Sehingga istana mereka dikenal dengan nama Istana Bunga. Istana yang dipenuhi kelembutan hati dan kebahagiaan.

Anggrek Hitam Untuk Domia

Dongeng Kalimantan-diceritakan oleh: R. Masri Sareb Putra (Bobo No. 10/XXVIII)

Gong dari rumah panjang menggelagar bertalu-talu. Penduduk kampung Tebelianmangkang sudah tahu. Jika gong ditabuh, berarti ada keadaan genting. Merekapun bergegas mendatangi rumah itu. Rupanya, seorang wanita bernama Darahitam akan melahirkan bayi. Namun bayinya tak juga mau keluar. Darahitam sangat khawatir. Sebelumnya, sudah dua kali bayinya meninggal. Sambil kesakitan ia

Page 41: Dongeng Sebelum Bobo

berdoa dan bernazar, "Jubata, tolonglah agar anakku lahir dengan selamat. Lelaki atau perempuan, anak ini akan kupersembahkan menjadi pelayanmu!" Jubata adalah dewa tertinggi suku Dayak. Jubata adalah perantara antara manusia dan Tuhan. Darahitam yakin Jubata akan menolongnya. Dan… "Hoa, hoa, hoa …" suara tangis bayi memecah keheningan. Seluruh penduduk desa menyambut gembira. "Ia lahir dengan selamat! Bayi yang cantik! Kulitnya bersih. Hidungnya mancung. Alisnya tebal. Bulu matanya lentik," seru para wanita. Karena sangat cantik, bayi perempuan itu dinamakan Domia. Dalam bahasa Dayak, Domia berarti dewi. Seperti ramalan banyak orang, Domia tumbuh menjadi gadis jelita. Banyak pria yang melamarnya. Namun Domia menolaknya. Sebab ia terikat nazar ibunya pada Jubata. Domia ditakdirkan menjadi pelayan Tuhan, atau imam wanita. Seorang imam tak boleh menikah. Tak seorang pun bisa membatalkan nazarnya. Kecuali Jubata sendiri yang mencabutnya. Meskipun demikian, Domia jatuh cinta pada pemuda bernama Ikot Rinding. Pemuda itupun mencintai Domia. Namun Ikot Rinding heran. Karena Domia tak mau menikah dengannya. Suatu hari yang panas, pergilah Ikot Rinding memancing. Namun, karena tak ada seekor ikanpun yang didapatnya, ia lalu pergi ke hulu sungai. Di tengah jalan, Ikot Rinding terhenti! Ia melihat Domia sedang mencuci pakaian. Pemuda itu langsung menghampiri gadis pujaan hatinya. "Domia, mengapa kau tak mau menjadi istriku?" tanya Ikot Rinding.

Mendengar pertanyaan itu, Domia terkejut. Gadis cantik itu akhirnya berterus terang. Ia bercerita tentang nazar ibunya pada Jubata ketika melahirkannya. Betapa sedih hati Ikot Rinding mendengar cerita itu. Ia tahu, nazar pada Jubata hanya bisa dibatalkan oleh Jubata sendiri. Tapi… kemana ia harus mencari Jubata?

Karena cintanya pada Domia, Ikot Rinding pun mengembara. Siang berganti malam. Malam menjelang pagi. Setelah enam hari mengembara, sampailah ia di Bukit Sungkung. Ikot Rinding beristirahat dan tertidur pulas di bawah pohon rindang. Begitu bangun, hari sudah pagi. Berarti ini hari ketujuh pengembaraanya mencari Jubata.

Page 42: Dongeng Sebelum Bobo

Ketika akan melangkah pergi, Ikot Rinding terkejut. Ia melihat sebuah sumpit tergeletak di tanah. Di hutan belantara tak berpenghuni ini ada sumpit? Dari mana asalnya? Ikot Rinding segera memungutnya. Di hutan belantara seperti ini, sumpit tentu sangat berguna, pikirnya.

Ikot Rinding meneruskan pengembaraanya. Ketika melintasi sebongkah batu, ia tiba-tiba teringat pada nasihat ibunya. Ketika masih kecil, saat menemani ibunya menyikat pakaian di atas batu, ibunya selalu berkata, "Jangan sekali-kali mengambil barang orang lain tanpa izin!"

Seketika Ikot Rinding berbalik, meletakkan sumpit itu ke tempat semula. Sumpit itu bukan miliknya. Mungkin milik pemburu yang lewat di daerah itu.

Maka Ikot Rinding pun meneruskan perjalanannya mencari Jubata. Badannya lelah. Ia merasa lapar dan dahaga. Tapi begitu ingat akan Domia, ia menjadi bersemangat kembali. Tiba-tiba ia mendengar suara desisan. Sekelebat melintas seekor ular tedung. Ia berhenti di depan Ikot Rinding. Lidahnya kecil panjang bercabang. Badannya yang tadi melingkar, ditegakkan.

Ikot Rinding sadar ia harus waspada. Tangan kanannya kini meraih ranting. Diputar-putarnya ranting itu. Lalu dengan cepat tangan kirinya menyambar leher si ular tedung. Ular itu rupanya terpedaya oleh gerak tipunya. Dilemparnya ular tedung itu jauh ke tepi jurang.

Usai pertistiwa itu, terdengarlah langkah kaki. Rupanya ada orang yang menonton perkelahian Ikot Rinding melawan ular tedung. Semula Ikot Rinding curiga. Namun wajah pemuda itu tampak ramah.

"Aku Salampandai, putra bungsu raja hutan di sini," ujarnya. Salampandai bercerita, sudah dua hari ia berburu. Namun tak berhasil menangkap apapun. Ini gara-gara senjatanya hilang. Ia juga bercerita bahwa ayahnya menyuruhnya rajin berlatih menyumpit. Terutama menyumpit binatang liar yang bergerak cepat.

Sekarang Ikot Rinding tahu siapa pemilik sumpit yang ditemukannya tadi. Ia mengajak Salampandai ke tempat sumpit itu. Benda itu masih ada di sana.

Karena gembira, Salampandai mengundang Ikot Rinding bermalam di rumahnya. Ia ingin mengenalkan sahabat barunya kepada keluarganya. Bahkan, ia pun ingin menjadikan Ikot Rinding saudara angkat. Walau ia sudah mempunyai enam orang kakak.

Sejak itu, Ikot Rinding diizinkan tinggal di istana. Raja dan ratu sangat menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Salampandai dan Ikot Rinding-pun selalu bersama kemanapun mereka pergi.

Suatu hari, "Jaga Si Bungsu baik-baik," pesan Raja pada Ikot Rinding dan keenam putranya saat mereka akan pergi berburu. Ikot Rinding mengangguk. Tapi enam saudara kandung Salampandai tak

Page 43: Dongeng Sebelum Bobo

menjawab. Mereka tidak menyukai Ikot Rinding. Mereka merasa Ratu dan Raja hanya memperhatikan Si Bungsu dan Ikot Rinding. Mereka lalu membuat rencana mencelakakan salah satu dari Ikot Rinding atau Si Bungsu.

Setibanya di hutan, mereka harus berpencar. Salampandai mendapat tempat yang agak mendaki. Dan Ikot Rinding ke tempat yang menurun. Keenam kakak Salampandai sengaja memisahkan mereka berdua. Namun ketika keenam orang itu sudah pergi, diam-diam Ikot Rinding membuntuti Salampandai. Ia tahu, keenam orang itu sengaja menyuruh Salampandai ke tempat yang berbahaya.

"Berhenti! Jangan lewat gua itu!" teriak Ikot Rinding pada Si Bungsu.

Ikot Rinding tahu, di gua itu hidup sekawanan kalong. Gigi dan cakar hewan-hewan itu sangat tajam. "Salampandai, tiarap!" teriak Ikot Rinding saat melihat gumpalan-gumpalan hitam keluar dari mulut gua. Tetapi terlambat. Si Bungsu kini dalam kepungan kelelawar.

Dengan tangkas, Ikot Rinding mencabut mandau. Ia menebas ke segala arah. Satu persatu binatang gua itu dikalahkannya. Kini tinggal raja kelelawar yang bertubuh besar. Kali ini Ikot Rinding menggunakan sumpitnya. "FUUHH!" Hanya dengan sekali tiupan, robohlah si raja kelelawar. Si Bungsu pun selamat.

Keduanya lalu pulang. Salampandai menceritakan peristiwa itu pada ayahnya. Raja sangat takjub mendengarkan cerita ketangkasan Ikot Rinding. Ia sangat bahagia karena putra kesayangannya selamat.

"Mintalah apa saja yang kau inginkan," ujarnya pada Ikot Rinding. "Hari ini juga akan segera kupenuhi."

Pada saat itu Ikot Rinding baru sadar. Ayah Salampandai ternyata adalah Jubata itu sendiri. Inilah saat yang diimpikan Ikot Rinding. Meski agak ragu, Ikot Rinding pun berkata,

"Aku memohon bukan untuk diriku. Untuk orang lain. Sudilah kiranya Raja membebaskan Domia, dari nazar ibunya, Darahitam."

Jubata ingat. Tujuh belas tahun lalu, seorang ibu bernama Darahitam kesulitan bersalin. Karena putus asa, Darahitam bernazar. Dan kini Ikot Rinding meminta agar nazar itu dilepaskan. Jubata yang bijaksana mengerti. Berbuat baik jauh lebih penting daripada memegang teguh sebuah sumpah.

"Permohonanmu kukabulkan," ujarnya. "Apakah tandanya?" tanya Ikot Rinding. Melihat keraguan putra angkatnya, Raja masuk ke kamarnya.

Begitu keluar, tangannya memegang setangkai anggrek hitam. Yang hanya tumbuh di halaman istana Jubata.

"Inilah tandanya," sabda Jubata. Anggrek itu lalu diserahkannya pada Ikot Rinding. "Begitu Domia menerima sendiri dari uluran tanganmu, bunga ini segera berubah warna. Itulah pertanda. Bahwa

Page 44: Dongeng Sebelum Bobo

nazar ibunya telah kulepaskan." Usai menerima anggrek hitam itu, Ikot Rinding bergegas

meninggalkan istana. Ia telah sangat rindu pada Domia. Perjalanan panjang ditempuhnya tanpa rasa lelah. Tak terasa, tibalah ia di kampung Tebelianmangkang.

Anggrek hitam ia serahkan pada Domia. "Pejamkan matamu…" pinta Ikot Rinding. Tanpa banyak bertanya, Domia menurut. "Nazar ibumu akan dilepaskan Jubata. Sebagai tanda, anggrek hitam di genggamanmu akan berubah warna."

Ketika membuka kelopak matanya kembali, Domia melihat anggrek hitam telah berubah warna. Jadi butih bersih. Indah berseri bagai anggrek bulan. Domia telah terlepas dari nazar.

Sepasang kekasih itu tak hentinya mengucap syukur pada Jubata. Dan keduanya hidup bahagia sampai masa tua mereka.

Ketika Pangeran Mencari IsteriPemenang Dongeng Pilihan HUT Bobo 2000 Oleh Sa'adatul Hurriyah (Bobo No. 8/XXVIII)

Suatu ketika, terdapat sebuah kerajaan yang diperitah seorang raja yang bijaksana. Namanya Raja Henry. Raja Henry yang telah tua itu ingin segera turun takhta. Raja Henry memiliki seorang anak bernama Pangeran Arthur. Putra mahkota itu baik hati, bertanggung jawab, serta bijaksana. Ia juga dekat dengan rakyat. Itu sebabnya ia sangat cocok untuk memerintah kerajaan itu. Tetapi sayangnya ia belum beristeri. Padahal salah satu syarat untuk menjadi raja di kerajaan itu, pangeran harus memiliki isteri. Kesibukan di istana pun dimulai. Seluruh anggota kerajaan sibuk mencarikan wanita yang cocok untuk Pangeran. Tapi, tak satu pun wanita yang dapat membuat Pangeran Arthur jatuh cinta. Selalu saja ada kekurangannya di mata Pangeran Arthur. Pada suatu hari, datanglah seorang pemuda pengembara. Ia datang ke kerajaan dan menemui Pangeran yang sedang melamun di taman

Page 45: Dongeng Sebelum Bobo

istana. "Selamat pagi Pangeran Arthur!" sapa sang pengembara. "Selamat pagi. Siapakah kau?" tanya Pangeran Arthur. "Aku pengembara biasa. Namaku Theo. Kudengar, Pangeran sedang bingung memilih calon isteri?" tanya Theo. "Ya, aku bingung sekali. Semua wanita yang dikenalkan padaku, tidak ada yang menarik hati. Ada yang cantik, tapi berkulit hitam. Ada yang putih, tetapi bertubuh pendek. Ada yang bertubuh semampai, berwajah cantik, tetapi tidak bisa membaca. Aduuh!" keluh Pangeran dengan wajah bingung. "Hmm, bagaimana kalau kuajak Pangeran berjalan-jalan sebentar. Siapa tahu di perjalanan nanti Pangeran bisa menemukan jalan keluar," ajak Theo sambil memandang wajah Pangeran yang tampak letih. "Ooh, baiklah," jawab Pangeran sambil melangkah. Mereka berdua lalu berjalan-jalan ke luar istana. Theo mengajak Pangeran ke daerah pantai. Disana mereka berbincang-bincang dengan seorang nelayan. Tak lama kemudian nelayan itu mengajak pangeran dan Theo ke rumahnya. "Isteriku sedang memasak ikan bakar yang lezat. Pasti Pangeran menyukainya," ujar si nelayan. Setibanya di rumah nelayan, terciumlah aroma ikan bakar yang sangat lezat. Mereka duduk di teras rumah nelayan itu. Tak lama kemudian keluarlah istri nelayan menghidangkan ikan bakar. Istri nelayan itu bertubuh pendek. Ketika sang istri masuk ke dalam, Theo bertanya, "Wahai Nelayan! Mengapa engkau memilih istri yang bertubuh pendek?"

Nelayan itu tersenyum lalu menjawab, "Aku mencintainya. Lagipula, walau tubuhnya pendek, hatinya sangat baik. Ia pun pandai memasak."

Theo dan Pangeran Arthur mengangguk-angguk mengerti. Selesai makan, mereka berterima kasih dan melanjutkan perjalanan.

Kini Theo dan Pangeran Arthur sampai di rumah seorang petani. Disana mereka menumpang istirahat. Rumah Pak Tani sangat bersih. Tak ada sedikit pun debu. Mereka beberapa saat bercakap dengan Pak Tani. Lalu keluarlah isteri Pak Tani menyuguhkan minuman dan kue-kue kecil. Bu Tani bertubuh sangat gemuk. Pipinya tembam dan dagunya berlipat-lipat. Setelah Bu Tani pergi ke sawah, Theo pun bertanya, "Pak Tani yang baik hati. Mengapa kau memilih isteri yang gemuk?"

Pak Tani tersenyum dan menjawab dengan suara bangga, "Ia adalah wanita yang rajin. Lihatlah, rumahku bersih sekali bukan? Setiap hari ia membersihkannya dengan teliti. Lagipula, aku sangat mencintainya."

Pangeran dan Theo mengangguk-angguk mengerti. Mereka lalu

Page 46: Dongeng Sebelum Bobo

pamit, dan berjalan pulang ke Istana. Setibanya di Istana, mereka bertemu seorang pelayan dan isterinya. Pelayan itu amat pendiam, sedangkan isterinya cerewet sekali. Theo kembali bertanya,

"Pelayan, mengapa kau mau beristerikan wanita secerewet dia?"

Pelayan menjawab sambil merangkul isterinya, "Walau cerewet, dia sangat memperhatikanku. Dan aku sangat mencintainya".

Theo dan Pangeran mengangguk-angguk mengerti. Lalu berjalan dan duduk di tepi kolam istana. Pangeran berkata pada Theo,

"Kini aku mengerti. Tak ada manusia yang sempurna. Begitu pula dengan calon isteriku. Yang penting, aku mencintainya dan hatinya baik."

Theo menarik nafas lega. Ia lalu membuka rambutnya yang ternyata palsu. Rambut aslinya ternyata panjang dan keemasan. Ia juga membuka kumis dan jenggot palsunya. Kini di hadapan Pangeran ada seorang puteri yang cantik jelita. Puteri itu berkata,

"Pangeran, sebenarnya aku Puteri Rosa dari negeri tetangga. Ibunda Pangeran mengundangku ke sini. Dan menyuruhku melakukan semua hal tadi. Mungkin ibundamu ingin menyadarkanmu…"

Pangeran sangat terkejut tetapi kemudian berkata, "Akhirnya aku dapat menemukan wanita yang cocok untuk

menjadi isteriku". Mereka berdua akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya.

Page 47: Dongeng Sebelum Bobo

PENGINAPAN PINTU SINGAOleh: Yudi Suharso (Bobo No. 6/XXVIII)

Di suatu gurun pasir yang tandus, terdapat sebuah penginapan kuno. Namanya Penginapan Pintu Singa. Dinamakan demikian, karena di pintu gerbangnya terdapat patung kepala singa. Suatu hari, datanglah seorang Menteri kerajaaan ke penginapan itu. "Aku ingin mendapat kamar yang terbagus dan termahal di penginapan ini," kata Menteri itu. Pemilik penginapan pun menyahut. "Tapi, tuanku…, kamar terbagus dan termahal itu sudah ditempati seorang saudagar sejak kemarin. Sekarang saudagar itu sedang pergi ke kota." "Ah, baru seorang saudagar! Saya ini Menteri! Turuti perintahku! Sekarang pindahkan barang-barang saudagar itu ke kamar lain! Kalau dia marah, suruh menghadap aku!" kata Menteri dengan angkuhnya. Akhirnya, terpaksa pemilik penginapan menurutinya. Dan masuklah Menteri kerajaan ke kamar terbagus dan termahal di penginapan itu.

Tak lama kemudian datanglah Perdana Menteri ke penginapan itu.

Page 48: Dongeng Sebelum Bobo

"Aku ingin mendapat kamar yang terbagus dan termahal di penginapan ini," kata Perdana Menteri. Si pemilik penginapan menjawab, "Tapi, tuanku, kamar terbagus dan termahal itu sudah ditempati seorang Menteri." "Ah, baru seorang Menteri! Aku ini Perdana Menteri! Turuti perintahku! Sekarang katakan pada Menteri itu untuk memindahkan barang-barangnya ke kamar lain! Kalau dia marah, suruh menghadap aku!" kata Perdana Menteri dengan angkuhnya. "Baik, tuan Perdana Menteri!" Pemilik penginapan pun menurutinya. Menteri tadi terpaksa pindah kamar, karena ia takut pada Perdana Menteri. Beberapa waktu kemudian datanglah Sang Raja ke Penginapan Pintu Singa itu. "Aku ingin mendapat kamar yang terbagus dan termahal di penginapan ini," kata Raja. Si pemilik penginapan pun menyahut gugup, "Yang Mulia Tuanku Raja. Kamar terbagus dan termahal itu sudah ditempati Perdana Menteri." "Oh, begitu! Katakan pada Perdana Menteri untuk memindahkan barang-barangnya ke kamar lain! Ini perintah Raja! Kalau dia marah, suruh menghadap aku!" kata Raja dengan angkuhnya. Pemilik penginapan terpaksa kembali menurutinya. Pemilik penginapan itu lalu sempat berkata pada pelayannya, "Aku berani bertaruh, pasti tak akan ada yang bisa mengusir Raja dari kamar itu!" "Akh, belum tentu, tuan. Di atas langit, masih ada langit… Aku yakin masih ada yang bisa mengusir Raja itu!" kata si pelayan. Akhirnya pemilik penginpan dan pelayannya itu bertaruh lima keping perak tentang hal itu. Saat segala urusan pemindahan selesai, Raja siap-siap masuk ke kamar terbagus dan termahal itu. Tapi tiba-tiba datanglah seorang gelandangan berpakaian kumuh. "Bagimana keadaan kamar terbagus dan termahal yang kusewa sejak kemarin? Apakah sudah dibersihkan hari ini?" tanya gelandangan itu.

"Kamu bicara apa, gelandangan kotor? Beraninya kau bertanya soal kamar terbagus dan termahal!" kata pemilik penginapan kesal.

"Lo, aku ini orang yang menyewa kamar itu kemarin! Aku memang seorang gelandangan. Kemarin aku baru menang lotere, makanya aku bisa menyewa kamar itu! Dan bisa berpakaian seperti seorang saudagar. Nah, sekarang uang lotere-ku telah habis. Tapi aku masih punya hak untuk menginap di kamar terbagus dan termahal itu. Karena aku telah membayarnya untuk tiga malam. Ini aku masih pegang kunci kamarnya," gelandangan itu mengacung-acungkan kunci di tangannya.

Si pemilik penginapan pun bingung. Ternyata benar,

Page 49: Dongeng Sebelum Bobo

gelandangan ini yang menyewa kamar terbagus dan termahal itu kemarin. Pakaiannya sekarang memang compang-camping tidak seperti kemarin. Tapi wajahnya memang dia.

"Tapi, wahai tuan gelandangan! Kamar tebagus dan termahal itu sekarang akan ditempati Sang Raja," kata si pemilik penginapan kemudian.

Tiba-tiba gelandangan itu tertawa terbahak-bahak. "Apa, Raja? Jadi Raja yang akan menempati kamar itu? Ha ha

ha ha… Jadi Raja yang mulia mau menginap di kamar yang bekas aku tiduri? Gelandangan miskin yang berpenyakit kulit ini! Ha ha ha… "

Raja yang mendengar perkataan gelandangan itu, buru-buru mengajak pengawalnya keluar dari penginapan itu. Beliau tak jadi menginap, karena tak mau menempati kamar yang bekas ditiduri gelandangan itu.

Akhirnya gelandangan itulah yang menempati kamar terbagus dan termahal di Penginapan Pintu Singa. Ia memang berhak, karena telah membayar sejak kemarin.

Si pemilik penginapan memukul kepalanya. Ia kalah teruhan lima keping uang perak dari pelayannya.

Page 50: Dongeng Sebelum Bobo

RACHEL DAN BATU BERTUAHDari Rachel and the Magic Stone/Deborah Tyler/disadur oleh Kadir Wong (Bobo No. 52/XXVII)

Di ujung jalan Orchard Lane, berderet tiga buah pondok. Rachel Green menghuni pondok mungil yang di tengah. Pondok itu diapit dua pondok dengan ukir-ukiran aneh. Berupa sosok makhluk seram yang menyeringai pada setiap orang yang lewat. Maklumlah! Dua pondok itu milik milik dua penyihir. Rachel benci tinggal di situ. Karena kedua tetangganya itu selalu bertengkar. Padahal mereka kakak beradik. Snatch, sang kakak, bertubuh panjang dan kurus. Hidungnya lancip, matanya hitam seperti manik-manik. Ia selalu memakai lipstik warna ungu dan sepasang giwang jamrud besar. Kadang-kadang, juga topi amat besar, dengan kembang-kembang liar bercuatan. Sebenarnya topi itu sangat aneh. Tapi tak ada orang yang berani menertawakan. Grab, si penyihir adik, seperti terbuat dari tomat. Ia memakai rompi abu-bau dan rok hitam. Stoking tebalnya berwarna kelabu, yang selalu memiliki beberapa lubang. Wajahnya gemuk dan berbintik-bintik, rambutnya kelabu ikal. Dulu kala, Penyihir Agung memberi kakak beradik ini sebuah batu ajaib. Terbuat dari tanduk unicorn (kuda bercula satu) dan sayap naga. Batu itu bisa untuk mengobati segala jenis penyakit. Juga bisa untuk mengutuk. Pada musim panas, batu ajaib itu berwarna biru indah, seperti

Page 51: Dongeng Sebelum Bobo

lautan. Pada musim dingin ia bersinar bagai emas murni. Kakak beradik itu tak ingin bergantian memakainya. Masing-masing ingin memilikinya sendiri. Itu sebabnya mereka selalu bertengkar hebat. Pertengkaran dengan memakai kekuatan dari batu itu.

Jika sedang bertengkar, kedua penyihir itu menciptakan hujan. Sudah dua tahun hujan turun terus-menerus. Itu masih belum seberapa. Yang membuat ibu Rachel kesal adalah jika mereka saling melempar kilatan petir. Petir-petir itu sering mendarat di kebun belakang pondok Rachel. Ibu Rachel jadi tak berani menjemur cucian. Snatch dan Grab begitu sibuk bertengkar, hingga lupa dimana mereka meletakkan batu itu.

Suatu hari, ibu dan ayah Rachel duduk di beranda belakang. Rachel bermain-main sendiri di kebun depan. Tiba-tiba Rachel melihat sebuah benda berkilauan bagai genangan air teronggok di samping pintu pagar. Itulah batu ajaib. Aah, cantiknya! Kilaunya begitu dalam dan biru bagai air danau. Ketika Rachel sedang mengamatinya, batu itu berkata, "Mereka menjatuhkanku. Apakah kau percaya, heh?"

Rachel menggeleng. Batu ajaib meneruskan, "Selama bertahun-tahun mereka bertengkar memperebutkanku. Kemudian mereka menjatuhkanku dan bahkan tidak peduli kalau aku hilang. Sungguh konyol! Gara-gara memeprebutkan aku, mereka sudah menyusahkan keluargamu!" batu itu menarik napas dalam. Begitu juga Rachel.

"Mereka itu kasar," cetus Rachel. "Kita harus memberi mereka pelajaran."

"Tapi, nampaknya aku tak bisa," jawab batu itu dengan suara sedih, "Mereka terus-menerus bertengkar dengan kekuatan dariku. Sehingga kekuatan ajaibku hampir habis. Dulu aku jadi hiasan mahkota Raja Mesir yang tampan. Lalu pindah ke tangan seorang puteri duyung cantik. Oh, kini aku milik kedua penyihir tolol itu. Kalau kukerahkan kekuatanku untuk melerai mereka sekarang, kekuatanku akan habis. Dan aku akan menjadi batu biasa."

Saat batu ajaib bercerita, terdengar suara berdebum keras di kebun belakang. Rachel melihat segumpal asap kuning membubung di belakang rumah. Rachel berlari ke kebun belakang. Wajahnya pucat pasi! Di atas dua kursi kanvas, tempat ayah dan ibunya tadi duduk, ada dua tanaman besar. Rupanya Snacth berniat menyihir Grab menjadi tanaman besar. Tapi sihirannya salah sasaran. Akhirnya kedua orang tua Rachel yang menjadi tanaman!

Rachel kembali ke batu ajaib dan menceritakannya. "Kau harus menolongku, sekarang juga," isak Rachel.

"Baiklah," jawab batu ajaib, "Aku tak peduli lagi jika aku menjadi batu biasa. Kedua penyihir tolol ini sudah keterlaluan. Kekuatanku dipakai untuk mengubah orang tuamu menjadi tanaman… Betul-betul keterlaluan…"

Page 52: Dongeng Sebelum Bobo

Batu ajaib itu mengeluarkan kilaunya. Lalu menyala sampai ada percik-percik oranye beterbangan. Kemudian ia bergumam. Terdengarlah suara mantera anggun, membuat kebun belakang berguncang.

Tiba-tiba batu itu berseru, "Penyihir-penyihir tolol, hentikan pertikaian kalian!" Lalu nampak cahaya berkilatan, suara benturan keras, dan batu itu berubah warna menjadi biru kembali.

Rachel kini bisa mendengar lagi suara kedua orang tuanya mengobrol di taman belakang. Ia menarik napas lega. Bagaimana nasib Snatch dan Grab? Luar biasa! Terjadi perubahan besar! Grab keluar rumah dan berjalan menghampiri Snacth.

"Hai, senang bertemu denganmu," sapa Grab. Snatch menjawab hangat, "Hai, apa kabarmu?" Setelah bertukar salam, Grab mengajak kakak perempuannya

masuk rumah. Sebelum mereka masuk Rachel memanggil mereka, "Hai, aku telah temukan batu bertuah kalian."

Mereka berdua berpandangan. Lalu menjawab serempak, "Batu? Batu apa?"

Rachel memperlihatkan batu ajaib yang kini berwarna biru suram.

"Oh, batu itu!" ujar mereka, "Simpan sajalah!" Rachel lalu menyimpan batu yang kini tidak punya kekuatan

lagi. Grab dan Snatch tak pernah bertengkar lagi. Pondok Rachel pun tak lagi kena guyuran hujan di musim panas.

Ketika dewasa, Rachel menjadikan batu itu bros. Ia memakainya di acara-acara istimewa. Pada musim panas sinarnya biru molek, pada musim dingin keemasan. Rachel sangat menyayangi batu itu. Sebab mengingatkan dia bahwa bertengkar itu tolol. Lagipula, siapa lagi yang memiliki bros yang terbuat dari tanduk unicorn dan sayap naga? Bros yang pernah menjadi milik seorang Raja Mesir, putri duyung, dan dua tukang tenung tolol.

Page 53: Dongeng Sebelum Bobo

GEMBALA SANG RAJAOleh: Ny. Widya Suwarna (Bobo No. 48/XXVII)

Raja Yosia memiliki 100 ekor domba pilihan. Bulunya putih bagaikan salju, muda, sehat, dan bersih. Pada waktu-waktu tertentu, 100 ekor domba itu dipersembahkan sebagai kurban untuk Tuhan. Kemudian sang gembala, Pak Kaleb, menyiapkan lagi 100 ekor domba pilihan. Ia memberi mereka makan rumput yang hijau segar. Dan membawa mereka minum ke air danau yang tenang. Juga menjaganya bila ada serigala menyerang. Namun, sekarang Pak Kaleb sudah tua. Ia harus diganti dengan seorang gembala muda yang tangkas dan kuat. "Pak Kaleb, kau pilihlah dulu tiga gembala muda calon penggantimu. Berikutnya aku yang akan menguji, untuk menentukan siapa yang pantas menggantikanmu!" titah Raja. Pak Kaleb segera melaksanakan perintah raja. Ternyata cukup banyak peminat. Rakyat negeri itu tahu, bekerja bagi Raja adalah kesempatan istimewa. Gajinya besar dan merupakan suatu kehormatan. Pak Kaleb menguji pengetahuan para calon penggantinya. Ia bertanya tentang cara menyisir bulu domba, ciri-ciri domba sakit, cara mengobati domba sakit, cara melawan serigala, kemahiran menggunakan tongkat gembala dan sebagainya. Akhirnya didapat tiga calon; Yunus, Obaja, dan Daud. Ketiganya masih muda, kuat, gagah, dan pandai. Kaleb segera menghadap Raja untuk melapor. "Bagus, Pak Kaleb. Besok suruh mereka menghadap aku di halaman belakang istana. Dan tolong sembunyikan seekor domba dari yang 100 ekor itu. Tukar dengan kambing hitam!" kata Raja. "Baik, Baginda. Segera hamba laksanakan!" kata Kaleb. Namun dalam hatinya ia heran. Mengapa seekor domba harus ditukar dengan kambing hitam?

Page 54: Dongeng Sebelum Bobo

Esok harinya Baginda pergi ke halaman belakang istana. Tiga gembala muda sudah menunggu dengan tongkat masing-masing. Domba-domba berkeliaran di rumput, ada yang duduk tenang, ada yang berjalan-jalan dan ada pula yang berlaga dengan kawannya. "Anak-anak muda, itulah 100 ekor domba pilihan yang akan dipercayakan pada salah seorang di antaramu. Coba perhatikan dan kemudian beri komentar kalian!" kata Raja. Ketiga calon gembala istana itu segera mendekati domba-domba. Setengah jam kemudian mereka kembali menghadap Raja. "Bagaimana komentar kalian?" tanya Raja. "Domba-domba itu memang domba pilihan. Tak ada cacat cela. Sungguh suatu kehormatan bila hamba dipercaya menggembalakan mereka!" kata Yunus. "Hamba pun berpendapat demikian. Merawat domba-domba untuk dipersembakan pada Tuhan sungguh merupakan anugerah!" kata Obaja. "Dan apa komentarmu?" tanya Raja pada Daud. "Jumlah domba hanya 99 ekor. Yang seekor kambing hitam, bukan domba. Dimanakah yang seekor lagi? Menurut Pak Kaleb, kami harus merawat 100 ekor domba pilihan!" kata Daud. Raja mengangguk-angguk. "Ya, ya. Kalau begitu, biar Pak Kaleb mencari yang seekor lagi. Besok kalian datanglah lagi untuk diuji!" kata Raja. Sesudah tiga calon gembala pergi, Raja berkata pada Pak Kaleb, "Tukarlah kambing hitam itu dengan domba yang luka!" "Baik, Baginda!" jawab Pak Kaleb dengan hormat. Keesokan harinya ketiga gembala muda itu datang lagi. Raja meminta mereka memeriksa 100 domba-domba itu dan memberikan komentarnya.

"Bagaimana sekarang? Jumlahnya 100 ekor?" tanya Raja. "Ya, Tuanku. Jumlahnya 100 ekor domba pilihan. Kemarin hamba tidak menghitungnya!" kata Yunus. "Benar, Baginda, hari ini dombanya lengkap 100 ekor!" jawab Obaja. "Maaf, Baginda. Tadi saat hamba sisir bulu domba-domba itu, ternyata ada seekor yang terluka. Lihatlah! Ini perlu diobati!" ujar Daud sambil membawa seekor domba dan menunjukan bagian yang terluka. "Baiklah, Pak Kaleb akan obati. Besok ujian terakhir. Jadi, datanglah sekali lagi!" kata Raja. Kemudian Raja menyuruh Pak Kaleb menukar domba yang luka dengan domba yang sehat sempurna. Esok harinya, ketiga gembala itu datang lagi. Raja meminta mereka memeriksa domba-domba itu dan kemudian menghadap. Kali ini Yunus dan Obaja memeriksa domba-domba itu dengan teliti. Ketika menghadap, Yunus berkata, "Hamba lihat ada 100 ekor domba sehat, Baginda!" "Benar! 100 ekor domba pilihan yang sehat!" kata Obaja.

"Jumlah domba memang 100 ekor, tapi hamba tidak lihat domba yang terluka kemarin. Dimanakah dia? Apakah lukanya sudah membaik?"

Page 55: Dongeng Sebelum Bobo

tanya Daud. Raja tersenyum senang dan mengangguk-angguk. "Kalian bertiga gembala-gembala muda yang tangkas. Namun, aku

harus memilih satu. Dan pilihanku jatuh pada Daud. Ia pantas menjadi gembala istana. Ia teliti menghitung domba-domba yang akan dipercayakan padanya. Ia memeriksa kesehatan domba dengan teliti. Dan mengenal domba-domba itu dengan baik. Ia tahu bahwa domba yang terluka itu tak ada, walau jumlah seluruh domba tetap 100 ekor!" kata Raja.

Maka Daud pun diangkat menjadi gembala sang Raja.

Page 56: Dongeng Sebelum Bobo

GENDANG AJAIBOleh: Amrizal (Bobo No. 47/XXVII)

Dahulu kala di Jepang, hiduplah seorang pemuda bernama Hikaru. Kedua orang tua mereka telah lama meninggal. Hikaru sangat rajin membantu kakaknya menjual kayu di pasar. Tiap hari, ia masuk ke hutan untuk mencari kayu.

Suatu hari, saat ia berada di hutan, tiba-tiba terdengar rintihan kesakitan. Hikaru segera mencari asal suara itu. Dan, tampak seorang kakek tertindih dahan besar.

"Nak!" pinta si kakek saat melihat Hikaru. "Tolong aku! Aku sudah tak tahan lagi."

Hikaru segera menolong kakek itu. Ia memakai sebatang kayu untuk mencungkil dahan pohon.

"Kek, aku akan menghitung sampai tiga. Pada hitungan ke tiga, Kakek lompat keluar ya!" Si kakek mengangguk.

Dengan sekuat tenaga, Hikaru mencungkil dahan besar itu. Akhirnya si kakek berhasil keluar.

"Kau sangat baik, Nak! Hadiah apa yang kau inginkan?" tanya si kakek gembira.

"Hho… hho," Hikaru terengah-engah. "Tidak perlu, Kek. Aku ikhlas menolong."

Kakek itu lalu mengambil sebuah gendang kecil dari kayu. Di kedua sisinya bergambar naga yang terbuat dari kulit kambing. Yang satu berlatar belakang warna kuning, yang satu lagi ungu.

"Aku hanya punya gendang ajaib ini. Terimalah!" "Ajaib?" tanya Hikaru heran. Tetapi pertanyaan tidak dijawab. Sang kakek langsung hilang

sekejap mata. "Hiii… hantuuu…" Ia berlari keluar hutan. Esoknya Hikaru tak mau lagi ke hutan. Takut mengalami hal

seperti kemarin. Sorenya, Hikaru tidur-tiduran di bukit belakang gubuknya. Ia termenung memikirkan bagaimana cara membantu kakaknya selagi tidak ke hutan. Mendadak terbayang wajah kakek yang pernah ditolongnya. "Tak mungkin ia mencelakakanku. Aku kan pernah menolongnya," pikir Hikaru lalu merogoh gendang pemberian si kakek dari tasnya. "Apa benar ini gendang ajaib?" Hikaru mengamati gendang itu.

Ia memukul sisi yang kuning. "Tidak terjadi apa-apa?"

Page 57: Dongeng Sebelum Bobo

Ia memukul sisi ungu satu kali. Tidak ada yang berubah. Dia memukul sisi ungu sekali lagi. Sekonyong-konyong hidungnya panjang. "Aaah!" Hikaru kaget dan melepas gendang itu. "Hidungku! Kenapa panjang begini?" ia panik.

Ia meraih kembali gendang tadi. Dengan ragu ia memukul sisi kuning. Mendadak hidungnya yang panjang memendek. Akhirnya normal kembali. Hikaru lega.

"Ah, aku mengerti sekarang. Ini adalah Gendang Pemanjang Hidung yang ramai dibicarakan orang. Ah, asyik juga untuk mainan!"

Hikaru memanjangkan dan memendekkan hidung sambil tidur-tiduran. Ia mengarahkan hidungnya ke langit. Ia menabuh gendang itu bertalu-talu sampai hidungnya menembus awan. Setelah puas, ia memukul sisi kuning untuk menormalkan hidungnya.

"Lho, kok tidak bisa balik?!" serunya panik. Hari mulai gelap. Hikaru mencoba memukul gendang itu sebanyak mungkin. Kekonyong-konyong tubuhnya melesat cepat.

"Aaaah!" teriak Hikaru. Beberapa saat kemudian, setelah menembus awan, ia melihat

sebuah istana kecil di langit. Tubuhnya berhenti melesat dan hidungnya normal kembali. Namun ia melihat ada ikatan tali di ujung hidungnya. Rupanya ada seseorang yang mengikat hidungnya di sebuah tiang. Di dekat rumah itu ada pria berjanggut sedang menyiram air. "Hei!" seru Hikaru. "Kenapa kau mengikat hidungku?"

Orang itu tergopoh-gopoh menghampiri Hikaru. "Oh, maaf. Aku tidak tahu itu hidungmu. Kukira itu tangga

buatan dewa langit untuk turun ke bumi." "Jadi kau dewa, ya?" Hikaru mengamati orang itu. "Betul, aku Dewa Hujan, " ujarnya memperkenalkan diri. "Kau siapa, manusia bumi?" "Saya Hikaru!" "Begini saja," tawarnya. "Kamu tinggal di sini, membantuku

memberi hujan pada penduduk bumi. Bagaimana?" Setelah berpikir, Hikaru berkata, "Baiklah, Dewa. Tapi hanya

untuk sementara kan. Soalnya aku harus membantu kakakku mencari nafkah."

Esok siangnya, Hikaru mulai membantu Dewa menurunkan hujan ke bumi. "Aku mau menurunkan hujan di desaku!" pintanya pada Dewa. Sang Dewa mengangguk. Dari atas awan ia membuang air langit dengan baskom besar. "Horeee!" teriaknya ketika melihat penduduk di desanya kegirangan menyambut hujan. "Eh, itu kakakku!" serunya. Tampak kakaknya lari tunggang langgang menyelamatkan pakaian yang sedang dijemur.

Tiba-tiba, "Aaaaah!" karena kurang hati-hati, pijakan kakinya lepas dari awan. Hikaru terjatuh. Badannya melayang-layang di angkasa. Ia diterbangkan angin ke negeri yang jauh sekali.

Page 58: Dongeng Sebelum Bobo

Buuk! Hikaru jatuh tepat di atas jerami kandang kuda istana. "Waduh, sakit!" jeritnya. "Negeri apa, ini?" tanyanya dalam hati. Ia berjalan mengelilingi tempat itu.

Tiba-tiba tampak seorang putri cantik melintasi taman. "Wah, cantik sekali dia!" Hikaru bersembunyi di balik pohon.

"Andai ia jadi istriku!" Hikaru mendapat akal. Ia mengambil gendangnya dan memukul

sisi yang ungu. Seketika hidung sang putri menjadi panjang. Putri pun pingsan melihat hidungnya.

Sore itu juga, disebarkan pengumuman oleh kerajaan. Bunyinya, "Barang siapa yang bisa mengobati sakit putri, jika lelaki akan dijadikan suami, jika perempuan akan dijadikan sudara."

Berbondong-bondong tabib datang ke istana. Akan tetapi semua menyerah. Salah seorang dukun berkata, "Ini hanya bisa disembuhkan dengan gendang ajaib."

Hikaru lalu datang ke istana. Di pintu gerbang ia tidak diperbolehkan masuk ke istana. Penjaga gerbang menyangka Hiraku hanya bermain-main. Sebab tidak seperti tabib. Tetapi, setelah memperlihatkan gendangnya, ia lantas diperbolehkan masuk. Hikaru memukul sekali sisi kuning gendangnya. Hidung sang putri langsung memendek. Dan sesuai janji, raja menikahkan putrinya dengan Hikaru. Tentu saja Hikaru tak lupa menjemput kakaknya, dan mereka hidup bahagia di istana. (Dongeng Jepang, diceritakan kembali oleh Amrizal)

Page 59: Dongeng Sebelum Bobo

JIAN ANJING DAN RAKU KURA-KURAOleh: Herviana A Hizkia (Bobo No. 45/XXVII)

Whuuuz… whuuuzz… Ibu Mia Kucing terbangun mendengar suara ribut-ribut. Ia keluar rumah dan bertanya pada Bu Abi Kambing. "Siga si Raja Hutan ulang tahun. Seluruh penghuni hutan diundang ke pestanya malam nanti." "Kok mendadak begini?" tanya Bu Mia heran. "Raja baru ingat pagi ini. Persiapannya jadi serba terburu-buru. Raja menyuruh Raku Kura-kura dan Kiki Kelinci menempelkan undangan di pohon." "Oh, dua pelari cepat itu? Pantas ribut ekali," omel Bu Mia Kucing. "Kalau bukan mereka berdua, siapa lagi yang bisa disuruh?" "Benar juga," sahut Bu Mia. "Walaupun Raku Kura-kura itu berkaki pendek, namun larinya ... wow, luar biasa!" Malamnya, semua hewan di hutan berkumpul di halaman istana. Pakaian dan perhiasan mereka serba gemerlap. Dan tentu saja mereka tak lupa membawa hadiah untuk Raja Siga Singa. Hadiah-hadiah itu diletakkan teratur di atas meja di dekat pagar istana. Hanya Jian Anjing yang tidak menumpuk hadiahnya bersama yang lain. Diletakkannya hadiah mangkuk kristal bening itu di bawah meja. Ia takut mangkuk itu pecah jika tertindih hadiah-hadiah lain. Sementara itu ... "Hosh! Hosh! Sepertinya pesta sudah mulai. Ukh, untung Raja belum muncul," gumam Raku Kura-kura terengah-engah. Ia datang sedikit terlambat. Walau larinya cepat, tapi rumahnya paling jauh dari istana. Ketika hendak bergabung dengan tamu-tamu lainnya, Raku Kura-kura ragu-ragu sejenak. Kemudian secepat kilat ia bersembunyi di bawah meja tempat tumpukan hadiah. "Gawat!" desisnya." Semuanya berpenampilan mewah. Bisa-bisa aku jadi tamu berpenampilan terburuk," Raku Kura-kura cemas memandangi tubuhnya yang polos tanpa hiasan sedikitpun. Raku Kura-kura sudah biasa menjadi pusat perhatian karena larinya yang sangat cepat. Apalagi setelah ia berhasil mengalahkan Kiki Kelinci dalam suatu pertandingan lari. Namun, tak mungkin kan ia harus berlari ke sana ke mari untuk menarik perhatian.

Page 60: Dongeng Sebelum Bobo

Ah! Tiba-tiba matanya melihat sebuah mangkuk kristal indah di sampingnya. Milik siapa ini? pikir Raku Kura-kura. "Ah, aku tahu!" serunya ketika mendapat ide. Gluduk gluduk! Dengan hati-hati ia menggelindingkan mangkuk itu ke balik semak-semak. Dibalurinya dengan getah dan daun sampai warnanya berubah kehijauan. Lebih bagus daripada warna bening tadi. Mangkuk itu lalu diikatnya ke punggungnya dengan akar-akar pohon. Berat, tapi tak jadi soal. Penuh percaya diri Raku Kura-kura masuk ke halaman istana. Semua mata langsung tertuju padanya. "Wah, Raku Kura-kura! Indah sekali benda yang ada di punggungmu! Hijau kemilau seperti zamrud!" decak para tamu kagum. Raku Kura-kura mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Ia puas diperhatikan seperti itu. Namun Jian Anjing menatapnya curiga. Ia yakin benda di punggung Raku Kura-kura adalah mangkuk kristal miliknya. Jian Anjing segera memeriksa kolong meja tempat hadiah. Benar! Mangkuk kristalnya menghilang! Ia langsung berteriak, "Raku Kura-kura, pencuri! Kembalikan mangkuk kristalku!" Tamu-tamu pesta kaget dan bingung. "Cepat lepaskan mangkuk itu dari punggungmu!" Jian Anjing berusaha menarik lepas mangkuk itu. Tapi akar pohon yang melilit terlalu kuat. Keduanya sama-sama terpental. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar, "Siapa yang berani membuat keonaran di hari ulang tahunku?!" Siga si Raja Hutan muncul. Ia duduk di singasananya sambil melotot ke arah Raku Kura-kura dan Jian Anjing. Semua terdiam menahan napas. "Maaf, Baginda," sembah Jian Anjing hormat. "Tapi mangkuk yang akan hamba hadiahkan untuk Baginda telah dicuri Kura-kura ini." "Tidak, Baginda!" bantah Raku Kura-kura tegas. "Mangkuk ini hamba temukan di kolong meja itu. Hamba cuma bermaksud meminjamnya sebentar." "Tapi kau mengambilnya tanpa seijinku. Itu mencuri namanya!" Keduanya terus berbantahan. "DIAM!" bentak si Raja Hutan. Ia menyuruh Raku Kura-kura segera mengembalikan mangkuk itu. "Tapi akar-akar yang melilit di tubuh hamba terlalu kuat. Sepertinya ... mangkuk ini tidak bisa dilepas," elak Raku Kura-kura.

"Raku Kura-kura, aku tahu kau menyukai mangkuk itu," kata Siga Raja Hutan. "Jian Anjing sebenarnya hendak memberikan mangkuk itu untukku. Tapi rasanya mangkuk itu memang lebih pantas untukmu. Baiklah, kuizinkan kau memilikinya. Mulai sekarang, teruslah ke mana-mana dengan mangkuk di punggungmu."

Page 61: Dongeng Sebelum Bobo

"Terima kasih, Baginda," Raku Kura-kura mencibir ke arah Jian Anjing yang terpaksa merelakan mangkuk itu.

"Tapi…" lanjut Siga Raja Hutan, "Sebagai gantinya, kemampuan berlari cepatmu kuberikan pada Jian Anjing. Adil, bukan?"

Sejak itu Raku Kura-kura cuma bisa berjalan lambat-lambat, dan menjaga agar mangkuk kristal di punggungnya tidak jatuh. Sering ia menyesali keadaan dirinya. Karena tak ada lagi yang mengelu-elukan kecepatan larinya.

Itu sebabnya sampai sekarang bangsa kura-kura memiliki mangkuk keras di punggungnya. Dan tetap berjalan lambat. Kalau bertemu makhluk lain, mereka cepat-cepat menyusupkan kepala ke dalam mangkuknya. Mungkin malu kalau ada yang menanyakan tentang Raku, nenek moyang mereka yang serakah.

Sementara itu, bangsa anjing sampai kini bisa berlari cepat. Dan terbiasa mengejar pencuri seperti Jian, nenek moyang mereka.

Bunga CheriOleh Lisa Monica (Bobo No. 43/XXVII)

Di suatu puri, hiduplah seorang

Page 62: Dongeng Sebelum Bobo

bangsawan dengan putri tunggalnya yang jelita, bernama Manuella. Orang-orang biasa memanggilnya Putri Manu. Sejak kecil Manuella tidak memiliki ibu lagi. Ayahnya sangat menyayanginya. Segala keinginan Manuella selalu dipenuhi. Ini membuat Manuella menjadi sangat manja. Semua yang ia inginkan harus ia dapatkan. Dan ayahnya belum pernah menolak keinginan Manuella. Malah selalu segera mengabulkannya. Salah satu kegemaran Manuella adalah berganti-ganti pakaian. Dalam satu hari ia dapat berganti pakaian empat sampai lima kali. Di kamarnya terdapat enam lemari pakaian yang indah. Namun ia belum merasa puas. "Ayah, lemari pakaian Manu telah penuh. Buatkan lemari pakaian yang baru dan besar ya," pintanya pada suatu hari. "Tentu anakku. Ayah akan segera memanggil tukang kayu terpandai di negeri ini. Dan menyuruhnya membuat lemari pakaian di sepanjang lantai atas puri ini." "Oh Ayah! Manu tidak sabar menunggu lemari itu selesai. Dan mengisinya dengan pakaian-pakaian yang indah…" Ayahnya tertawa sambil memeluk Manuella dengan penuh kasih sayang. Dibelainya rambut anaknya yang berwarna keemasan. Begitulah kehidupan Manuella dari tahun ke tahun. Pada suatu hari di musim semi, ayahnya berteriak-teriak memanggil Manuella. "Manuella, kemari, Nak! Ayah ingin berbicara denganmu." Seminggu lagi hari ulang tahun Manuella yang ke 17. Ayahnya akan mengadakan pesta besar untuknya. Anak-anak bangsawan dari berbagai negeri akan diundangnya. Mendengar hal itu Manuella menari-nari gembira. "Ayah, di pesta itu Manu ingin memakai gaun terindah. Dan ingin menjadi putri tercantik di dunia." "Anakku, kaulah putri tercantik yang pernah Ayah lihat! Ayah akan segera mendatangkan para penjual kain. Juga memanggil penjahit terkenal untuk merancang gaun yang terindah untukmu…" Keesokan harinya datanglah para penjual kain dari berbagai negara. Mereka membawa kain-kain yang terindah. Manuella sangat gembira. Setelah memilih-milih, ia menemukan selembar kain sutera putih, seputih salju. Sangat halus dan indah luar biasa. Seorang penjahit yang terkenal segera merancang, mengukur dan menjahit gaun yang sesuai dengan keinginan Manuella. Manuella sangat puas melihat gaun barunya. Segera dikenakannya gaun itu, lalu menari-nari di depan kaca. Rambutnya yang panjang terurai keemasan… "Hm, kau sungguh putri tercantik di dunia. Setiap tamu akan kagum padamu nanti," gumam Manuella sambil meneliti apa lagi yang kurang pada penampilannya. Tiba-tiba ia sadar, tidak ada hiasan di kepalanya. Ia segera mencari ayahnya, "Ayah, Manu perlu hiasan untuk rambut Manu…."

Page 63: Dongeng Sebelum Bobo

"Anakku, kenakan saja mahkota emasmu. Cocok dengan rambutmu yang keemasan," kata ayahnya. "Akh, Manu bosan ayah.." jawab Manuella. "Bagaimana kalau mahkota berlian? Ayah akan segera memesannya jika kau mau," bujuk ayahnya. "Tidak, tidak! semua itu tidak cocok dengan baju dan rambut Manu" teriak Manuella. "Oh..anakku..mutiara yang dikenakan ibumu ketika ia menikah dengan ayah sangat indah, kau boleh memakainya nak…ayah ambilkan ya…"kata ayahnya dengan sabar. "Tidak. Manu ingin yang lain yang terindah," katanya sambil berlari menuju halaman.

"Manuella, kembali anakku, sebentar lagi akan datang tamu-tamu kita" teriak ayahnya. Tapi Manuella tak mau mendengar ayahnya, ia berlari ke halaman yang dipenuhi dengan pohon-pohon cheri, dimana bunga-bunganya yang putih bersih memenuhi setiap ranting-rantingnya, sehingga cabang dan rantingnya yang berwarna cokelat hampir tak tampak lagi.

Manuella berlari dari satu pohon ke pohon yang lain, dan tiba-tiba ia berpikir "Betapa indahnya bunga-bunga cheri ini, aku ingin merangkainya menjadi mahkotaku." Ketika tangannya akan meraih sebuah bunga, terdengarlah suara yang halus.

"Jangan sentuh kami, jauhilah kami. Kalau tidak, kami akan mengubahmu menjadi bunga!" Manuella menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi ia tak melihat seorang pun. Ia berlari ke sebuah pohon yang lain, dan ketika ia akan memetik bunganya, terdengar lagi suara yang sama.

Dengan penuh kejengkelan berteriaklah Manuella sambil memandang pohon itu, "Hai, dengar! Tak ada seorang pun di negeri ini yang dapat melarangku, dan semua orang di negeri ini tahu, segala keinginanku harus terpenuhi! Siapa yang berani melarangku?"

Tiba-tiba bertiuplah angin dan bersamaan dengan itu terdengarlah suara yang halus. "Dengar Manuella, tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mendapatkan segala yang diinginkannya. Tidak juga kau…"

"Bohong, bohong, selama ini segala keinginanku selalu dipenuhi, dan sekarang aku akan memetik bunga-bunga ini untuk mahkotaku, dan tak seorang pun berhak melarangku" teriak Manuella sambil menendang pohon-pohon disekitarnya.

Page 64: Dongeng Sebelum Bobo

"Kau akan menyesal Manuella, jika tidak kau jauhi kami…" Dan ketika tangan Manuella menyentuh sebuah bunga,

berubahlah ia menjadi bunga, di antara bunga-bunga cheri yang lain yang ada di pohon itu. Ia menangis menyesali segalanya, tapi sudah terlambat. Ia melihat tamu-tamu berdatangan. Ia mendengar suara tawa tamu-tamunya, tapi ia tak dapat ikut serta. Ia menangis dan menjerit-jerit, tapi tak seorang pun mendengarnya.

Hari semakin sore, lampu-lampu di seluruh puri dinyalakan, musik mulai diputar dan seluruh tamu yang diundang telah datang. Ayahnya bingung mencari Manuella diseluruh puri, kemudian ia bersama para pelayan mencari Manuella diseluruh halaman sambil berteriak.

"Manuella…Manuella….dimana kau nak…." Manuella dapat mendengar suara ayahnya dan para pelayan yang berteriak-teriak memanggilnya. Ketika ia melihat ayahnya berdiri tepat di bawahnya, ia berusaha berteriak sekuat tenaga, tapi ayahnya tak dapat mendengar suaranya dan ia mulai menangis, air matanya menetes dan jatuh ke kepala ayahnya. Manuella melihat bagaimana ayahnya mengusap air yang menetes di kepalanya, dan bergumam perlahan.

"Akh …mulai hujan, di mana engkau bersembunyi anakku.." Dengan menundukkan kepala ia kembali ke puri dan menyuruh seluruh pelayannya kembali karena dipikirnya sebentar lagi akan turun hujan.

Setelah tamu terakhir meninggalkan puri, dan musik dihentikan, sang ayah diam termangu di depan jendela. Lampu-lampu puri dibiarkan menyala semua, karena ia berpikir anaknya akan kembali dan ia akan dapat dengan mudah melihat jalan menuju puri.

"Anakku, diluar dingin. Dimana engkau nak…kembalilah anakku. Ayah sangat kuatir" gumam ayahnya seorang diri dengan sedih. Tiba-tiba bertiuplah angin yang membawa sura jerit Manuella "Ayah…ayah…tolong Manu ayah…tolong…"

"Manuella…Manuella…di mana engkau nak, ayah datang…ayah akan segera datang nak" teriak ayahnya dengan penuh harapan. Ia segera membangunkan para pelayan untuk mencari Manuella di sekitar puri dan di seluruh halaman sekali lagi. Mereka mencari Manuella setapak demi setapak, tapi sampai pagi merekah, Manuella tak pernah ditemukan kembali.

Sang ayah telah putus asa, dan ia berhari-hari hanya duduk di depan jendela, menanti angin datang yang kadang-kadang membawa jeritan anak tercintanya. Ia yakin itu suara anaknya, tapi ia tak pernah tahu dari mana suara itu sampai akhir hayatnya. ***

Page 65: Dongeng Sebelum Bobo

MANUSIA SATU KATAOleh Mujinem (Bobo No. 40/XXVII)

Hari yang cerah. Raja Mahendra pergi ke hutan untuk menguji kemampuannya berburu. Ia melarang para pengawal mengikutinya masuk ke hutan. Di tengah hutan, tampak seekor kijang asyik makan rumput. Raja Mahendra langsung membidik anak panahnya. Ah, kijang itu berhasil melarikan diri. Raja Mahendra mengejarnya. Namun ia terperosok masuk ke lubang yang cukup dalam. Ia berteriak sekeras-kerasnya memanggil para pengawal. Namun suaranya lenyap ditelan lebatnya hutan.Selagi Raja Mahendra merenungi nasibnya, ia terkejut melihat seseorang berdiri di tepi lubang.

Page 66: Dongeng Sebelum Bobo

"Hei! Siapa kau?" tanya Raja. Orang itu tak menjawab. "Aku Raja Mahendra! Tolong naikkan aku!" pintanya dengan nada keras."Tidak!" jawab orang itu. Raja menjadi geram. Ia ingin memanah orang itu. Namun sebelum anak panah melesat, orang itu lenyap. Tak lama kemudian, jatuhlah seutas tali. Raja mengira itu pengawalnya. Namun, ternyata orang tadi yang melempar tali."Jadi kau mau menolongku?" "Tidak!" jawabnya lagi. Raja menjadi bingung. Katanya tidak, mengapa memberi tali? Apa boleh buat, yang penting orang itu mau menolongnya. Raja Mahendra berhasil naik. Ia mengucapkan rasa terima kasih."Maukah kau kubawa ke kerajaan?" tawar Raja."Tidak!" jawab si penolong. "Kalau tidak mau, terimalah beberapa keping emas.""Tidak!" jawabnya lagi, tetapi tangannya siap menerima.

Akhirnya Raja Mahendra sadar, bahwa orang itu hanya bisa bicara satu kata. Yaitu tidak. Walau berkata tidak, orang itu dibawa juga ke kerajaan. Sampai di kerajaan Raja Mahendra memanggil Patih."Paman Patih, tolong berikan pekerjaan pada manusia satu kata ini. Ia hanya bisa berkata, tidak.""Mengapa paduka membawa orang yang amat bodoh ini?""Walau bodoh, ia telah menolongku ketika terperosok lubang." Patih berpikir keras. Pekerjaan apa yang sesuai dengan orang ini. Setelah merenung beberapa saat, Patih tersenyum dan berkata,"Paduka kan bermaksud mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi sang putri. Tetapi sampai kini Paduka belum menemukan jenis sayembaranya.""Benar Paman Patih, aku ingin mempunyai menantu yang sakti dan pandai. Tetapi apa hubungannya hal ini dengan sayembara?""Peserta yang telah lolos ujian kesaktian, harus mengikuti babak kedua. Yaitu harus bisa memasuki keputren dengan cara membujuk penjaganya.""Lalu, siapa yang akan dijadikan penjaga keputren?""Manusia satu kata itu, Paduka.""Lho, ia amat bodoh. Nanti acara kita berantakan!""Percayalah pada hamba, Paduka."

Pada hari yang ditentukan, peserta sayembara berkumpul di alun-alun. Mereka adalah raja muda dan pangeran dari kerajaan tetangga. Di babak pertama, kesaktian para peserta diuji. Dan, hanya tiga peserta yang berhasil.

Ketiganya lalu dibawa ke depan pintu gerbang keputren. Patih memberi penjelasan pada mereka. Nampaknya mudah. Mereka hanya disuruh membujuk penjaga keputren sehingga dapat masuk

Page 67: Dongeng Sebelum Bobo

keputren. Peserta hanya boleh mengucapkan tiga pertanyaan. "Penjaga yang baik. Bolehkah aku masuk keputren?" tanya

peserta pertama."Tidak!" jawab si manusia satu kata. "Maukah kuberi emas sebanyak kau mau, asal aku

diperbolehkan masuk?" "Tidak!" Pertanyaan tinggal satu."Kau akan kujadikan Senopati di kerajaanku, asal aku boleh

masuk.""Tidak!" ujar si manusia satu kata. Peserta pertama gugur. Ia mundur dengan lemah lunglai.Peserta kedua maju. Ia telah menyusun pertanyaan yang

dianggapnya akan berhasil, "Penjaga, kalau aku boleh masuk keputren, kau akan

kunikahkan dengan adikku yang cantik. Setuju?" pertayaan pertama peserta kedua."Tidak!"

"Separoh kerajaan kuberikan padamu, setuju?""Tidak!""Katakan apa yang kau inginkan, asal aku boleh masuk.""Tidak!"

Peserta kedua pun mundur dengan kecewa. Mendengar percakapan dua peserta yang tak mampu masuk keputren, Raja Mahendra tersenyum puas. Pandai benar patihku, katanya dalam hati.

Peserta terakhir maju. Semua penonton termasuk Raja Mahendra memperhatikan dengan seksama. Raja muda itu tampak percaya diri. Langkahnya tegap penuh keyakinan.

"Wahai penjaga keputren, jawablah pertanyaanku baik-baik. Tidak dilarangkah aku masuk keputren?" tanyanya dengan suara mantap. Raja Mahendra, Patih, dan penonton terkejut dengan pertanyaan itu. Dengan mantap pula penjaga menjawab.

"Tidak!" Seketika itu sorak-sorai penonton bergemuruh, mengiringi kebehasilan peserta terakhir. Si raja muda yang gagah lagi tampan. Raja Mahendra sangat senang dengan keberhasilan itu. Calon menantunya sakti dan pandai.

Sayembara usai. Manusia satu kata berjasa lagi pada Raja Mahendra. Ia dapat menyeleksi calon menantu yang pandai. Walau bodoh, Raja Mahendra tetap mempekerjakannya sebagai penjaga keputren.

Page 68: Dongeng Sebelum Bobo

PENCULIKAN TABIB ISTANAOleh Hervianna J. Chawla (Bobo No. 47/XXV)

Tabib Akhsay sudah lebih sepuluh tahun menjadi tabib istana. Cara pengobatannya dengan ramuan obat yang sederhana telah berulang kali menyembuhkan penyakit keluarga istana. Itu sebabnya berita hilangnya Tabib Akhsay dari rumahnya membuat seisi istana cemas.Patih Rangga segera dititahkan Baginda Raja untuk mencari ke mana hilangnya Tabib Akhsay. Begitu mendapat kepercayaan itu segera saja Patih Rangga menuju rumah Tabib Akhsay. Ditemuinya Radev di dalam rumah itu. Patih Rangga mengenal Radev sebagai asisten Tabib Akhsay."Ceritakan padaku, kapan terakhir kamu melihat Tabib Akhsay?" tanya Patih Rangga menyelidik."Kemarin siang Tabib Akhsay memberitahu saya hendak mencari beberapa daun untuk ramuan obat. Tabib Akhsay pergi ke selatan menuju Danau Perak. Ada beberapa daun yang hanya dapat ditemukan di sana," tutur Radev yang masih belia.

Page 69: Dongeng Sebelum Bobo

Patih Rangga memutuskan untuk menelusuri jejak hilangnya Tabib Akhsay. Dengan menunggang kuda ia segera menuju ke selatan. Setiap tiba di satu kampung Patih Rangga berhenti sebentar menanyakan perihal Tabib Akhsay."Ya, kami pernah melihatnya kemarin. Ia menunggang kuda menuju selatan," kata penduduk kampung pertama yang Patih Rangga tanyai. Jawaban serupa juga diberikan penduduk pada beberapa kampung berikutnya. Sampai kampung ke lima, para penduduknya memberi jawaban yang berbeda."Tidak. Kami tidak melihat Tabib Akhsay melewati kampung kami. Biasanya Tabib Akhsay berhenti dulu di kampung ini bila hendak menuju Danau Perak karena inilah kampung terakhir menuju Danau Perak," kata kepala kampung.Patih Rangga mengerutkan keningnya sebentar. Berarti Tabib Akhsay hilang antara kampung ke empat dan ke lima. Memang ada hutan kecil yang memisahkan dua kampung itu. Patih Rangga memutuskan untuk kembali ke hutan kecil itu. Ia tidak menolak ketika kepala kampung kelima menawarkan seorang penduduk yang mahir melacak jejak untuk menemaninya.

Setibanya di hutan kecil dari kejauhan Patih Rangga melihat kuda putih milik Tabib Akhsay. Bersama Ranjit yang menemaninya, Patih Rangga menghampiri kuda putih itu. Sementara Ranjit mengamati jejak yang tertinggal di tanah."Patih Rangga, menurut saya Tabib Akhsay telah diculik oleh penduduk kampung Kaki Besar," kata Ranjit kemudian."Kampung Kaki Besar? Aku baru mendengarnya.""Di sebelah timur hutan ini ada lembah yang dihuni satu suku yang memiliki telapak kaki besar. Mereka memegang teguh aturan nenek moyang mereka untuk tidak memakai alas kaki ke mana pun mereka pergi," jelas Ranjit."Kalau begitu mari kita ke sana," ajak Patih Rangga.Letak perkampungan yang mereka tuju sebenarnya tidak jauh. Tapi karena jalan menuju kampung itu sangat curam dan licin, terpaksa mereka turun dari kuda dan berjalan kaki.Saat melewati jalan setapak tiba-tiba telinga Patih Rangga menangkap suara yang amat dikenalnya. Suara siulan yang biasa dilakukan Tabib Akhsay saat mencari dedaunan untuk ramuan obat."Suara itu datangnya dari sebelah sana," Ranjit memberi petunjuk ke samping kiri jalan setapak. Buru-buru Patih Rangga menerobos semak-semak. Dari sela dedaunan yang lebar, Patih Rangga melihat Tabib Akhsay tengah sibuk mengumpulkan dedaunan, namun di belakangnya dua orang berwajah seram terus menguntit sambil memegang tombak tajam.

Page 70: Dongeng Sebelum Bobo

Dugaan Patih Rangga bahwa Tabib Akhsay diculik semakin kuat. Ia segera berbisik pada Ranjit. Tak berapa lama kemudian keduanya bergerak pelan mendekat dari belakang Tabib Akhsay. Hupf, dengan sekali loncatan keduanya berhasil melumpuhkan dua orang di belakang Tabib Akhsay.

"Patih Rangga, biarkan mereka," teriak Tabib Akhsay yang menyaksikan kegaduhan kecil itu.

"Bukankah mereka yang menculik Anda, Tabib Akhsay?" tanya Patih Rangga heran.

"Mulanya memang begitu," jelas Tabib Akhsay. Mereka berdua mencegatku dalam perjalanan ke Danau Perak. Lantas mereka membawaku secara paksa ke kampung mereka. Kupikir tadinya mereka bermaksud menyanderaku dan minta tebusan kepada istana. Tapi rupanya mereka menculikku karena butuh pertolonganku. Di kampung mereka berjangkit penyakit yang disebabkan oleh sejenis cacing tanah."

Patih Rangga manggut-manggut. Ia akhirnya melepaskan dua orang yang dicekalnya.

"Bukankah setiap kampung sudah punya seorang tabib?" Patih Rangga mengingatkan.

"Tabib mereka sudah meninggal sebulan lalu dan belum ada yang menggantinya."

"Tapi Anda tidak bisa terlalu lama di sini karena istana membutuhkan Anda, Tabib Akhsay."

"Saya mengerti. Jika tidak keberatan, sebaiknya Patih Rangga kembali ke istana lebih dulu. Beritahukan perihal saya kepada Baginda Raja. Mintakan beberapa orang untuk membantu saya di sini dan tunjuk pula seorang tabib untuk ditempatkan di kampung mereka. Satu lagi yang penting, agar Baginda Raja membuat perintah kepada penduduk kampung mereka agar mau menggunakan alas kaki. Tanpa titah Baginda, mereka tidak mau melanggar aturan nenek moyang mereka."

Patih Rangga setuju dengan usul Tabib Akhsay. Ia segera meninggalkan Tabib Akhsay yang ternyata sedang mencari daun untuk ramuan obatnya. Sedangkan dua orang yang mengawalnya itu sengaja diperintahkan untuk menjaga Tabib Akhsay dari serangan binatang liar. Sementara Ranjit diminta untuk turut menemani Tabib Akhsay.

Ketika Patih Rangga menyampaikan laporannya kepada Baginda Raja, terlihat wajah Baginda sangat sedih. Ia menyesali dirinya yang tidak memperhatikan kesehatan rakyatnya hingga ia tak tahu ada seorang tabib yang ditempatkan di satu kampung telah meninggal. Padahal kampung itu sangat memerlukan pertolongan

Page 71: Dongeng Sebelum Bobo

kesehatan.Esok paginya satu rombongan dari istana diutus menuju

Kampung Kaki Besar. Mereka membawa beberapa tenaga tabib dan obat-obatan. Selain itu Patih Rangga membawa surat perintah agar penduduk Kampung Kaki Besar mau menggunakan alas kaki.

"Baginda juga memberi bantuan ratusan pasang alas kaki bagi penduduk Kampung Kaki Besar agar mereka segera melakukan keputusan Baginda. Sumber penyakit mereka disebabkan oleh cacing tanah dan itu hanya dapat dicegah dengan memakai alas kaki," tutur Patih Rangga kepada kepala Kampung Kaki Besar.

Setelah Kepala Kampung memakai alas kaki, para penduduk pun mau memakainya. Hanya saja karena sebelumnya mereka tidak biasa menggunakan alas kaki, ukuran telapak kaki mereka memang besar-besar. Barangkali setelah bertahun-tahun nanti, penduduk di sana telapak kakinya akan berubah tak sebesar sekarang.

PUTRI UWINAOleh Hervianna A. Hiskia (Bobo No. 39/XXV)

Sudah delapan tahun menikah, Bangsawan Morrits dan Arlauna, istrinya, belum juga dikaruniai anak. Segala usaha sudah mereka tempuh tapi belum juga menampakkan hasil. "Apalah artinya harta yang berlimpah bila seorang anak pun tidak kumiliki," keluh pasangan suami istri bangsawan ini.Arlauna akhirnya mengandung menjelang usia perkawinan mereka yang ke limabelas. Betapa sukacitanya Bangsawan Morrits mengetahui hal ini. Namun, kegembiraan itu ternyata harus bercampur dengan duka ketika Uwina, anak perempuan mereka lahir. Uwina lahir dalam keadaan yang sukar dipercaya. Sebelah matanya melotot dan sekujur tubuhnya ditumbuhi sisik-sisik kasar. Suara tangisnya pun kroarr, kroarr, serak seperti suara kodok. Orang tua mana yang tak sedih menghadapi kenyataan ini. Rasa sayang Bangsawan Morrits dan istrinya terhadap Uwina sama sekali tak berubah. Mereka cuma mengkuatirkan nasib Uwina kelak. Apakah orang-orang tak akan jijik memandangnya?

Sambil menangis, mereka berdua mengadukan nasibnya kepada Peri Anelot. Setelah berkali-kali namanya diserukan barulah Peri Anelot muncul dan dengan lembut dia berkata, "Aku tidak bisa menyembuhkan penyakit putrimu karena memang itu bukan wewenangku untuk melakukannya. Hanya temanku yang bisa. Tapiii...."

Page 72: Dongeng Sebelum Bobo

"Tapi apa, Peri?" desak Bangsawan Morrits tak sabar.Peri Anelot berkata ragu, "Temanku, Peri Boherik itu sering mengajukan syarat yang aneh. Aku takut kalian tak sanggup melaksanakan syaratnya nanti.""Apa pun yang terjadi nanti, sekarang tolong panggilkan temanmu itu dulu," pinta Bangsawan Morrits. "Semoga dia kasihan pada kami dan tidak mensyaratkan apa-apa."Sekejap kemudian... wuuzz!!! Setelah Peri Anelot merapalkan mantera muncullah Peri Boherik diiringi pusaran angin yang sangat kencang. Tidak seperti peri-peri lain yang tampak anggun, peri yang satu ini malah terlihat urakan. Sayap biru di punggung kirinya pun agak sobek. Entah sayap itu masih bisa dipergunakan untuk terbang atau tidak.

"Aku sudah tahu kenapa aku dipanggil ke sini. Butuh bantuanku, kan?" tanya Peri Boherik sambil cengar-cengir nakal. "Boleh saja. Asal kalian berdua mematuhi syaratku.""Apa syaratnya?" tanya Arlauna."Hmph... penyakit yang ada di tubuh Uwina akan kupindahkan ke tubuh kalian." Katanya masih sambil cengengesan, "Tidak ada tawar-menawar. Bila tidak mau, ya sudah. Aku pergi saja!" Peri Boherik bersiap-siap akan menghilang."Tunggu, Peri. Kami terima syaratmu itu," seru Bangsawan Morrits dan istrinya."Bagus!" sahut peri yang nakal itu. "Kalian boleh mengasuh Uwina tapi tidak boleh mengaku sebagai orangtuanya. Aku dan Peri Anelot akan menggantikan posisi kalian. Kutukan terhadap kalian akan lenyap bila suatu saat Uwina mengakui kalian berdua sebagai orangtuanya. Tapi, apakah ia mau mengakui kalian yang berwajah buruk, ha, ha, ha..."

Begitulah, demi kesembuhan putri yang mereka sayangi, Bangsawan Morrits dan istrinya rela berkorban. Wajah Bangsawan Morrits yang tampan berubah jadi menyeramkan. Matanya melotot dan suaranya serak seperti suara kodok. Sedangkan kulit Arlauna yang putih mulus kini ditumbuhi sisik-sisik kasar. Walaupun menderita, mereka berdua tidak pernah mengeluh karena setiap hari Uwina ada di dekat mereka. Tentu saja Uwina tidak mengetahui bahwa dua orang buruk rupa yang selalu mengasuh dan merawatnya dengan penuh kasih sayang itu adalah orang tua kandungnya. Pelayan-pelayan di rumah itu pun cuma tahu bahwa dua orang itu sudah dipercaya oleh majikan mereka untuk mengasuh Uwina.Suatu hari Uwina kecil bertanya pada pengasuhnya, "Kenapa Papa dan Mama tidak pernah mengajakku bermain?""Papa dan mamamu harus bekerja, Uwina." Jawab pengasuhnya

Page 73: Dongeng Sebelum Bobo

dengan suara serak."Apakah itu berarti mereka tidak menyayangiku?" tanya Uwina lagi."Tentu saja mereka sayang padamu. Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Kalau Uwina rajin belajar dan tidak cengeng, pasti Papa dan Mama akan mengajak bermain." Kata pengasuh yang badannya bersisik dengan bijaksana. "Percayalah, Uwina. Burung yang kecil saja mau dan suka bermain dengan anaknya, apalagi orang tuamu yang memiliki anak semanis kamu."

Lima belas tahun sudah umur Uwina. Dia tumbuh menjadi gadis cilik yang disukai semua orang. Dia selalu memberi nasihat kepada teman-temannya dengan tutur kata yang lemah lembut, sehingga tak ada yang merasa tersinggung karena teguran dan nasihatnya.

Suatu hari tersiar kabar bahwa Pangeran David, putra mahkota yang baru berumur lima tahun sedang sakit keras. Hal ini dikarenakan tak ada seorang pun yang sanggup memenuhi permintaan sang putra mahkota. Siapa yang sanggup bila bulan purnama yang dimintanya. Tabib sakti dan badut-badut istana juga tak bisa menyembuhkan dan menghiburnya.

Uwina yang mendengar kabar itu jadi teringat pengalamannya sendiri ketika masih seusia Pangeran David. Maka bergegaslah Uwina ke istana.

Seminggu kemudian, mendadak ada rombongan istana berkunjung ke rumah Bangsawan Morrits. Tentu saja hal ini mengejutkan seluruh penghuni rumah Bangsawan Morrits. Apalagi baginda raja datang sendiri ke situ cuma untuk bertemu dengan Uwina.

"Uwina, aku ingin berterima kasih kepadamu," kata baginda Raja dengan wajah ceria, "Putraku, Pangeran David sudah sembuh."

Uwina membungkuk dengan sikap hormat, "Baginda, waktu masih seusia Pangeran David, hamba pun pernah minta diambilkan bulan purnama. Mereka lalu memberi hamba sebutir mutiara. Kata mereka itulah bulan purnama. Hamba pun percaya. Lalu, hamba melakukan hal yang sama terhadap putra Baginda. Kalau hamba waktu itu percaya tentu Pangeran David juga akan percaya, begitu pikir hamba."

"Tapi bagaimana saat dia melihat bulan kembali bersinar di malam berikutnya. Bukankah dia akan tahu kalau telah dibohongi?"

Uwina tersenyum, "Benar. Itu juga pernah hamba alami. Tapi mereka mengatakan bahwa bunga yang telah dipetik kelak pasti berbunga lagi. Gigi yang telah tanggal juga dapat tumbuh lagi. Oleh karena itu bulan yang telah diambil pun pasti ada yang menggantikan," jawab Uwina. "Hamba rasa itu jawaban yang paling cocok untuk anak seusianya. Bila dewasa kelak, Pangeran David

Page 74: Dongeng Sebelum Bobo

pasti lebih bijaksana. Saat itu dia pun akan tahu bahwa tidak mungkin manusia mengambil bulan purnama."

Mendengar penjelasan tersebut Baginda Raja mengangguk-angguk puas. Sungguh bijaksana gadis kecil ini, pikir Baginda Raja kagum. Kemudian, "Siapakah 'mereka' yang mengajarkan semuanya itu kepadamu?" tanyanya.

"Mereka adalah orang tua hamba, Baginda." Jawab Uwina.

"Ooo... mereka berdua inikah orang tuamu?" Baginda Raja menunjuk Bangsawan Morrits dan Arlauna yang palsu.

"Orang tua bukanlah orang yang melahirkan anaknya saja tapi tidak merawat dan mengasuhnya. Orang yang merawat, mengasuh, mengajarkan hal-hal bijaksana pada anak itulah yang lebih pantas disebut sebagai orang tua. Mereka berdua memang orang yang melahirkan hamba, Baginda. Tapi yang lebih pantas disebut orang tua hamba adalah kedua orang ini. Merekalah yang mengajarkan banyak hal pada hamba," kata Uwina sambil memeluk kedua orang pengasuhnya yang buruk rupa.

WHUUZZ!! DHUARR!!! Tiba-tiba dua gulungan sinar putih menyelubungi kedua pengasuh Uwina dan dalam sekejap mereka kembali ke wujud asli, yaitu Bangsawan Morrits dan Arlauna. Pengaruh sihir telah lenyap bersamaan dengan pengakuan Uwina tadi.

"Ha, Ha, Ha, ... kamu benar-benar beruntung, Morrits. Tapi aku belum menyerah," tawa Bangsawan Morrits yang palsu menggetarkan seisi rumah. Sebelum orang-orang menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi, Bangsawan Morrits dan Arlauna palsu langsung menggabungkan diri dengan yang asli. Orang-orang tidak tahu mana yang asli dan mana yang palsu. Cuma Uwina yang tampak tenang-tenang saja, katanya, "Aku tahu ada peri-peri nakal yang menyamar menjadi orang tuaku. Baiklah. Kini aku akan menguji kalian berempat. Dan peri-peri nakal harus berjanji tidak akan mengganggu kami lagi bila kalian gagal dalam ujian nanti."

Orang lain yang ada di situ, termasuk Baginda Raja, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan oleh Uwina untuk mendapatkan kedua orang tuanya kembali.

"Mama berdua, aku minta kalian memelukku secara bergantian," pinta Uwina.

Meskipun heran dengan permintaan itu, keduanya memeluk Uwina. Setelah 'mama' kedua telah melepaskan pelukannya, tanpa ragu lagi Uwina segera menggenggam tangan 'mama' yang pertama memeluknya, katanya sambil tersenyum, "Inilah mamaku yang asli

Page 75: Dongeng Sebelum Bobo

karena dia memeluk sambil membelai rambutku dengan lembut. Sedangkan kau memeluk pinggangku keras sekali," tuding Uwina pada 'mama' yang lainnya. "Kau memang tak pernah tahu bagaimana cara memeluk seorang anak karena kau memang bukan mamaku."

Menyadari penyamarannya telah terbongkar, Arlauna palsu yang merupakan jelmaan Peri Anelot langsung menghilang. Suaranya saja yang masih terdengar, "Peri Boherik lebih baik kau pun juga pergi dari sini. Sia-sia saja kamu menghalangi kasih sayang antara orang tua dan anak seperti mereka!"

"Jangan kuatir, aku pasti bisa mengalahkan si Morrits!" teriak Bangsawan Morrits yang palsu dengan spontan.

Grrr!! Orang banyak tertawa menyaksikan kebodohan bangsawan palsu yang tak sengaja membuka kedoknya sendiri. Karena malu yang tak terkira, bangsawan palsu itu langsung kabur dari rumah Bangsawan Morrits. Peri Boherik yang usil kapok menggoda manusia lagi. Dia berjanji kalau menolong orang lain ya tolong saja, tidak usah pakai prasyarat segala. Dia tidak mau lagi dikatai peri yang usil tapi tolol.

Kini Uwina hidup bahagia bersama orang tua kandungnya. Peri-peri usil tidak ada yang berani mengganggu lagi. Mereka rupanya segan mengusili orang yang pandai seperti Uwina. Jangan-jangan malah akan mempermalukan diri sendiri. Selain itu, Uwina kini diangkat menjadi saudara angkat Pangeran David dan dia mengajarkan pada Pangeran David semua ilmu yang diperoleh dari orang tuanya.

Pengorbanan Bangsawan Morrits dan Arlauna tidak sia-sia karena kini Uwina dikenal orang sebagai "Putri Uwina yang bijaksana".

Page 76: Dongeng Sebelum Bobo

TIGA TERSANGKAOleh J. Chawla (Bobo No. 38/XXV)

Putri Kajal terkejut ketika membuka peti kayu tempat ia menyimpan tiara emas semalam. Benda berharga itu sekarang sudah tidak ada di tempatnya lagi. Padahal pagi ini ia bermaksud mengunjungi kerajaan tetangga. Dan seperti biasa ia harus mengenakan tiara emas itu.Tanpa banyak buang waktu, Putri Kajal langsung melaporkan kejadian itu pada Raja Salman. Karuan saja Raja Salman terkejut. Ia sudah menugaskan dua pengawal di pintu kamar Putri Kajal, jadi bagaimana bisa seorang pencuri masuk ke dalam kamar putri kesayangannya.

Raja Salman segera menitahkan Patih Rangga menyelesaikan masalah ini. "Aku percaya kau bisa menyelesaikan kasus ini seperti biasanya," titah Raja Salman di hadapan Patih Rangga.Patih Rangga mengangguk menyatakan kesanggupannya. Ia segera menanyakan pengawal yang bertugas menjaga kamar Putri Kajal semalam. Akhirnya didapat keterangan, ada tiga orang yang memasuki kamar Putri Kajal. Mereka adalah para pengasuh Putri Kajal yang memang mempunyai hak istimewa dapat memasuki kamar Putri Kajal dengan leluasa."Sekarang juga aku menginginkan mereka menghadapku satu persatu," seru Patih Rangga kemudian.

Pengasuh pertama seorang wanita yang rambutnya sudah memutih. Ia telah mengasuh Putri Kajal sejak masih bayi. Atas permintaan Patih Rangga ia mulai bertutur apa yang dilakukannya semalam."Hamba masuk ke dalam kamar Tuan Putri tak lama setelah Tuan Putri tertidur. Seperti biasa hamba hanya membetulkan letak selimut Tuan Putri," papar pengasuh pertama."Apa kau tidak melihat kotak kayu tempat menyimpan tiara emas itu

Page 77: Dongeng Sebelum Bobo

semalam?" selidik Patih Rangga."Hamba melihatnya. Peti itu seperti biasa ada di atas meja rias. Tapi hamba tidak berani menyentuhnya tanpa seizin Tuan Putri," jawab sang pengasuh.Patih Rangga berpikir sebentar. Ia kemudian menyuruh pengasuh pertama keluar dan menitahkan pengasuh kedua menghadapnya. Pengasuh kedua lebih muda dari pengasuh pertama. Ia bertugas mengasuh Putri Kajal sejak masa kanak-kanak. Seperti sebelumnya, pengasuh kedua diminta menceritakan apa yang dilakukannya semalam di kamar Putri Kajal.

"Hamba menyiapkan pakaian Putri Kajal untuk dikenakan hari ini. Itu sudah menjadi tugas hamba," tuturnya."Apa kau melihat peti kayu tempat Tuan Putri menyimpan tiara emas itu?""Ya, tentu saja. Tapi hamba tidak berani menyentuh peti itu tanpa izin Tuan Putri," jawab pengasuh kedua.Patih Rangga menganggukkan kepalanya. Ia menyuruh pengasuh kedua keluar dan pengasuh ketiga dimintanya masuk. Pengasuh ketiga paling muda di antara yang lain. Ia baru mengasuh ketika Putri Kajal menginjak usia remaja. Patih Rangga segera memintanya menceritakan apa yang dilakukannya semalam di kamar Putri Kajal.

"Tugas hamba adalah mempersiapkan perhiasan yang akan dipakai Putri Kajal hari ini. Tapi hamba sama sekali tidak tahu dengan hilangnya tiara emas itu. Hamba tidak berani menyentuhnya kecuali seizin Tuan Putri," tutur pengasuh ketiga.

Patih Rangga mengerutkan keningnya. Ia kemudian menyuruh dua pengasuh sebelumnya masuk kembali. Bahkan Putri Kajal dimintanya ikut bergabung.

Suasana jadi begitu tegang karena biasanya Patih Rangga memang dapat segera menyelesaikan masalah apa pun yang terjadi di dalam istana.

"Terus terang saja, aku tidak bisa menemukan siapa yang telah mencuri tiara emas milik Putri Kajal. Ketiga pengasuh yang menjadi tersangka dalam masalah ini semuanya lepas dari tuduhan pencurian. Untuk itu aku hanya bisa memutuskan kesalahan pada Putri Kajal. Tentu saja bukan sebagai pencuri, melainkan telah lalai menjaga barang berharga miliknya sendiri. Dan untuk kelalaiannya itu, Tuan Putri harus menerima hukuman. Selama sebulan Putri Kajal tidak boleh keluar dari kamar, kecuali tiara emas itu dapat ditemukan," Patih Rangga mengeluarkan keputusan.

Putri Kajal terkejut. "Itu tidak adil, Patih Rangga. Lagi pula apa yang dapat kulakukan selama sebulan di dalam kamar? Aku juga ingin

Page 78: Dongeng Sebelum Bobo

bermain di halaman istana, mengunjungi rakyatku, membaca di perpustakaan, menyanyi di pendopo, dan lain-lainnya seperti biasa, protes Putri Kajal.

Patih Rangga tak mengeluarkan suara. "Putusan ini tidak bisa diubah kecuali oleh Baginda Raja Salman," kata Patih Rangga kemudian.

Putri Kajal menitikkan air mata. Ia mulai menangis sedih. Ayahnya pasti tidak akan memenuhi permintaannya agar Patih Rangga merubah keputusannya, karena dia tahu ayahnya begitu menghargai setiap keputusan Patih Rangga.

Tiba-tiba saja pengasuh pertama bersujud di depan Patih Rangga. "Ampuni Putri Kajal, Patih Rangga. Hambalah yang bersalah telah mengambil tiara emas milik Putri Kajal. Tapi, hamba tidak bermaksud mencurinya, hamba hanya menyembunyikannya untuk sementara waktu. Malam tadi, hamba masuk ke dalam kamar dan mengambil tiara emas itu dari dalam kotak kayu. Hamba tahu tidak ada yang akan dicurigai dari kami bertiga karena kami tidak pernah menyentuh kotak itu tanpa seizin Tuan Putri. Tiara emas itu masih ada di dalam kamar. Hamba menyembunyikannya di kolong lemari pakaian," tutur pengasuh pertama.

"Mengapa kau lakukan itu?" tanya Patih Rangga."Hamba mempunyai seorang anak lelaki di perbatasan

kerajaan. Ia pemilik sebuah kedai. Kemarin ia datang menemuiku dan menceritakan ada segerombolan penjahat yang mabuk di kedainya. Saat mabuk itu, seorang penjahat bercerita punya rencana untuk merampok Tuan Putri saat melintas perbatasan. Mereka mengincar tiara emas milik Putri Kajal. Hamba tidak ingin terjadi hal merugikan Tuan Putri, makanya sengaja hamba sembunyikan tiara itu agar Tuan Putri tidak jadi pergi hari ini," kata pengasuh pertama.

"Seharusnya kau memberitahukan hal itu padaku. Tapi baiklah, aku mengampunimu. Sekarang ambilkan tiara emas itu. Tuan Putri tetap akan berangkat hari ini," titah Patih Rangga.

Patih Rangga segera menyusun rencana menjebak gerombolan penjahat yang akan merampok Putri Kajal. Berkat kecerdikannya dan kesigapan prajurit istana, dua puluh penjahat berhasil diringkus.

"Masalah ini tidak hanya selesai dengan ditemukannya tiara emas milik Putri Kajal dan siapa pencurinya. Bahkan tidak cukup selesai dengan membatalkan rencana kepergian Putri Kajal. Kerajaan harus mampu mengatasi kejahatan yang menjadi penyebabnya," kata Patih Rangga ketika memberi laporan terhadap Raja Salman usai menjalankan tugas.

Page 79: Dongeng Sebelum Bobo

PUTRI SEORANG SAUDAGAROleh Kemala P. (Bobo No. 33/XXV)

Konon duluuuu sekali, adalah seorang saudagar yang kaya. Dia mempunyai tiga orang putri. Ketiganya berparas cantik. Sulung memiliki tubuh yang ramping. Karena itu dia senang sekali memakai baju yang bagus-bagus. Tengah mempunyai kulit yang halus lembut. Karena itu dia suka memakai perhiasan yang indah-indah. Sedang si Bungsu suaranya sangat merdu. Sifatnya juga lemah lembut. Dia sayang sekali kepada ayahnya.

Suatu hari saudagar itu akan berdagang ke negri seberang. Negeri itu sangat jauh letaknya. Harus melewati hutan dan gurun yang tandus. Di sana banyak berkeliaran perampok."Nah!" kata saudagar itu kepada ketiga putrinya. "Apa yang kalian inginkan untuk oleh-oleh nanti?""Biasa Yah," sahut si Sulung. "Saya ingin sebuah baju yang paling cantik yang ada di negri itu.""Kalau saya sih minta dibawakan perhiasan yang paling indah yang ada di negri itu," seru si Tengah.Bungsu hanya diam. Teringat dia akan mimpinya semalam. Dia merasa cemas, takut kalau apa yang dimimpikannya itu akan menjadi kenyataan.

"Bagaimana Bungsu?" Apa yang kau inginkan?" tanya saudagar itu karena si Bungsu hanya memandangi dirinya saja."Saya ingin ayah tidak pergi," sahut si Bungsu dengan suara pelan."Huuuu!" seru si Sulung sebal. "Kalau Ayah tidak pergi bagaimana aku bisa mendapat baju yang cantik!""Iya, nih. Kamu bagaimana sih!" seru si Tengah tidak kalah kesal. "Kalau Ayah tidak pergi aku kan tidak bisa memiliki perhiasan yang indah."Saudagar itu menepuk bahu si Bungsu tanda mengerti. "Ayah mengerti mengapa kau merasa cemas melepas ayah pergi. Tapi percayalah. Ayah bisa menjaga diri."Bungsu menundukkan kepalanya. Ingin rasanya dia menceritakan mimpinya. Tetapi dia takut ditertawakan. Tentu kedua kakanya akan

Page 80: Dongeng Sebelum Bobo

berkata, "Alaa, mimpi itu kan cuma bunga tidur."Karena itu setelah ayahnya pergi, Bungsu terus gelisah. Bayangan mimpi itu terus mengganggu pikirannya. Setiap kali memikirkan ayahnya air matanya menitik. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyusul ayahnya. Diam-diam dia pergi meninggalkan rumahnya.

Dia berjalan menuju luar kota. Setelah seharian berjalan, dia merasa lelah. Dia duduk menyandar di bawah sebatang pohon yang rindang. Pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan mimpinya."Oooh, seandainya aku menjadi burung, tentu aku bisa lebih cepat menyusul Ayah," keluhnya. Tak terasa air mata menetes di pipinya. Angin sepoi-sepoi membuat matanya mengantuk. Apalagi badannya sudak capek sekali. Akhirnya dia tertidur lelap. Entah berapa lama dia tidur. Ketika sudah bangun dia merasa ada sesuatu yang aneh di tubuhnya.. Seluruh badannya telah ditumbuhi bulu-bulu. Tangannya berubah menjadi sayap. Dan mulutnya menjadi paruh. Dia tidak bisa lagi berbicara seperti semula. Yang keluar dari mulutnya hanyalah suara siulan yang sangat merdu.Meskipun begitu Bungsu merasa gembira. Sebab dengan memiliki sayap, kini dia bisa lebih cepat menemukan ayahnya. Dia lalu terbang. Makin tinggi. Makin jauh. Tapi dia belum juga menemukan ayahnya. Dia sudah merasa putus asa ketika tiba-tiba dari kejauhan dia mendengar suara pekik burung gagak. Dia mencoba terbang ke arah itu. Dilihatnya segerombolan burung gagak raksasa terbang mengelilingi sesuatu benda. Bungsu segera mendekati mereka.

Astaga! Pekiknya dalam hati. Itu kuda ayahnya. Sepertinya kuda itu sudah mati. Berarti ayahnya ada di sekitar tempat itu. Dengan rasa cemas dia memeriksa sekitar tempat itu. Akhirnya dia menemukan ayahnya. Tergeletak pingsan di balik segerombolan semak. Tubuhnya terluka. Nampaknya ayahnya telah menjadi korban perampokan. Mungkin sebelum merampok ayahnya disiksa lebih dulu.Menetes air mata Bungsu melihat keadaan ayahnya itu. Teringat dia akan mimpinya. Apa yang ditakutkannya telah menjadi kenyataan. Dia harus segera mencari pertolongan agar ayahnya bisa diselamatkan.Bungsu segera terbang mengelilingi gurun itu. Melihat kalau-kalau ada orang yang bisa dimintai pertolongan. Haaa! Ada seorang pemuda gagah yang sedang mengendarai kuda. Nampaknya dia bermaksud beristirahat, sebab kini dia menghentikan kudanya. Memasang kemah. Menurunkan perbekalan yang dibawanya, kemudian memberi kudanya minum dan makan. Nah, sekarang pemuda itu siap menikmati makan siangnya.Bungsu segera menukik. Menyambar roti yang siap dimasukkan ke

Page 81: Dongeng Sebelum Bobo

mulut pemuda itu. Si pemuda mula-mula kaget dengan kejadian tiba-tiba itu. Tetapi kemudian dia menjadi heran. Karena burung yang telah menyambar rotinya itu tidak segera terbang menjauhinya. Burung itu terbang rendah di hdapannya. Berputar-putar seolah ingin ditangkap.Pemuda itu menjadi penasaran. Dia berdiri. Mencoba menangkap burung cantik yang kelihatan jinak itu. Tetapi si burung mengelak. Terbang menjauh sedikit lalu berputar-putar kembali. Pemuda itu terus mengikuti burung itu. Dia penasaran. Tak sadar dia telah meninggalkan kemahnya. Kini dilihatnya burung cantik itu hinggap di atas sebuah pohon kecil. Si Pemuda mengendap-endap. Mengulurkan tangan, siap menangkap si burung. Tetapi tiba-tiba dia terbelalak kaget.

"Astaga!" serunya tatkala melihat saudagar yang sedang tergeletak pingsan. Dia segera mengangkat tubuh saudagar itu. Segera dibawanya ke kemahnya. Sementara burung cantik mengikuti dari belakang.Setelah berada di kemahnya, saudagar itu dirawatnya dengan baik. Luka-lukanya dibersihkan, diberi obat. Pakaiannya yang kotor diganti. Dan ketika saudagar itu siuman, dia menjadi heran."Siapa anda?" tanyanya menatap penolongnya."Saya kebetulan sedang lewat. Burung itu yang menunjukkan Bapak kepada saya. Rupanya Bapak telah menjadi korban perampok," sahut pemuda itu.

Saudagar mengangguk. "Yaa ... sungguh menyesal saya karena tidak mau mendengar kata-kata anak saya yang bungsu. Padahal dia sudah melarang saya pergi. Akh, dia tentu sangat sedih bila mengetahui keadaan saya sekarang," kata saudagar itu seraya menitikkan air matanya.

Aneh! Tiba-tiba saja si Bungsu berubah kembali menjadi seorang putri yang cantik. Dia segera memeluk ayahnya dengan gembira."Ayah! Syukurlah Ayah selamat," katanya.

"Astaga! Jadi kau yang telah menunjukkan ayah kepada orang itu?" tanya saudagar itu. "Mengapa kau bisa menjadi burung?"Bungsu segera mengisahkan kejadiannya. Kemudian dia mengucapkan terima kasih kepada pemuda yang telah menolong ayahnya. Si Pemuda tersenyum.

"Saya kagum sekali mendengar bagaimana besarnya kasih sayangmu kepada ayahmu. Kebetulan saya melakukan perjalanan ini untuk mencari seorang istri. O, ya. Perkenalkan. Saya Pangeran dari negri

Page 82: Dongeng Sebelum Bobo

seberang. Kalau kamu tidak keberatan saya ingin melamar kamu menjadi istri saya."

Begitulah akhirnya, mereka kawin dan hidup berbahagia. Saudagar itu kembali pulang ke rumahnya tanpa membawa oleh-oleh bagi kedua putrinya yang lain. Namun Bungsu menitipkan sebuah gaun yang cantik dan sepasang perhiasan bagi kedua kakaknya.

Peramal Istana

Page 83: Dongeng Sebelum Bobo

Oleh: Benny Rhamdani (Bobo No. 16/XXIX)

Shallu sangat mencintai istrinya, Rawina. Apa saja yang diinginkan istrinya ia berusaha menurutinya. Meski untuk itu Shallu harus bekerja keras sebagai penjual buah keliling. Sampai suatu hari istrinya meminta Shallu untuk berganti pekerjaan.

"Aku ingin kau jadi pejabat istana, suamiku," pinta Rawina. "Mengapa harus jadi pejabat istana?" tanya Shallu bingung. "Tadi siang aku pergi ke pasar. Tapi pasar itu ditutup untuk

umum selama beberapa waktu karena ada istri pejabat istana yang sedang berbelanja. Hal ini sudah seringkali terjadi," cetus Rawina dengan nada iri.

Shallu yang malang terpaksa berpikir keras untuk mewujudkan keinginan istrinya. Keesokan harinya ia membeli tikar, dupa, buku-buku ramalan, dan seperangkat alat yang biasa digunakan para tukang ramal lainnya. Kemudian ia menggelar perabotannya tak jauh dari gerbang istana.

Kebetulan saat itu, sang Ratu yang hendak mandi menyuruh seorang dayangnya untuk menyimpan anting-antingnya di tempat aman. Dayang yang tahu bahwa dirinya sering pelupa, menyimpannya di lubang tembok kamarnya. Tak lupa ia menyimpan sehelai rambut sebagai tanda di lubang itu.

Namun kesibukan dayang itu membuat lupa. Maka ketika sang Ratu bertanya tentang anting-antingnya, dayang itu kalang kabut mencarinya. Masalahnya, anting-anting itu adalah perhiasan kesayangan ratu. Hukuman terberat bisa saja ditimpakan padanya.

Dayang pelupa itu berusaha kabur dari istana. Tapi di pintu gerbang ia melihat seorang peramal tengah duduk serius. Dayang itu berharap peramal itu dapat membantunya.

"Saya dalam bahaya, Pak. Saya lupa tempat menyimpan anting-anting Ratu. Jika Bapak dapat mengingatkan saya tempatnya, saya akan berterimakasih sekali," kata dayang itu.

Peramal itu tidak lain adalah Shallu. Ia sedang melamun saat dayang itu datang. Diingatnya wajah istrinya yang cantik. Yang membuatnya jatuh cinta kepadanya adalah rambut istrinya yang panjang dan hitam mengkilat. "Ya, rambut itu … rambut itu," gumam Shallu.

Dayang itu terkejut mendengar kata-kata Shallu. Ia segera teringat lobang tembok yang ditandai rambutnya. Segera saja ia kembali ke istana setelah mengucapkan terimakasih. Dicarinya anting-anting milik Ratu. Sambil menyerahkan anting-anting Ratu, dayang itu langsung menceritakannya kepada baginda Raja.

Tidak berapa lama kemudian Shallu pun diminta untuk bekerja di istana. Ia diangkat Raja sebagai peramal istana. Rawina merasa bangga dengan pengangkatan itu. Namun Shallu malah menjadi

Page 84: Dongeng Sebelum Bobo

cemas, karena ia memikirkan akibat yang harus ditanggungnya jika Raja mengetahui hal sebenarnya.

Beberapa hari setelah Shallu menjadi peramal istana, Raja memanggilnya untuk sebuah tugas. Shallu diminta menangkap pencuri yang telah mengambil sejumlah perhiasan milik Ratu.

"Aku memberimu waktu tujuh hari. Jika gagal, kau dan istrimu akan dihukum," titah Raja.

Shallu semakin bingung. Jika hukuman itu untuknya saja, bukan masalah. Tapi ia tidak mau istrinya ikut dihukum. Akhirnya begitu tiba di rumah ia hanya dapat menyerahkan tujuh butir kacang yang dimasukkannya ke dalam botol kepada istrinya

"Berikan padaku satu butir kacang setiap malam menjelang tidur. Sehingga aku ingat, pada kacang terakhir nanti kita harus pergi meninggalkan negeri ini keesokan harinya," kata Shallu.

Rawina hanya dapat mengangguk sambil menahan tangis. Ia mulai mengerti betapa dirinya terlalu serakah. Permintaannya membuat ia dan suaminya dalam keadaan bahaya.

Tanpa mereka duga, jumlah kawanan pencuri perhiasan istana itu berjumlah tujuh orang. Mereka juga mendengar perintah sang Raja kepada Shallu. Maka untuk mengetahui kehebatan Shallu, kawanan pencuri itu menyelidiki tempat kediaman Shallu.

Pada malam harinya salah seorang pencuri naik ke atap rumah dan mendengar percakapan Shallu dan Rawina tentang pencurian di istana. Sambil bicara, Rawina menyerahkan biji kacang kepada Shallu.

"Suamiku, ini yang pertama," katanya sambil mengingatkan Shallu.

Shallu memperhatikan biji kacang di tangannya. "Ya, yang pertama. Sangat hitam," sahut Shallu.

Rupanya pencuri itu mengartikannya lain. Dia mengira Shallu dan istrinya mengetahui kedatangannya. Segera saja ia berlari menemui pimpinan pencuri.

"Bos, rupanya peramal itu sudah mengetahui kita. Bahkan ia tahu warna kulitku segala," kata pencuri yang berkulit hitam itu.

Pimpinan pencuri itu menyuruh anak buahnya mendatangi Shallu. Semuanya bertambah yakin akan kehebatan Shallu. Hingga akhirnya pimpinan pencuri itu datang sendiri ke rumah Shallu. Pada saat itu pula Rawina memberikan biji kacang yang ketujuh.

"Ya, inilah yang terakhir. Dan ini yang terbesar di antara lainnya," komentar Shallu.

Pimpinan pencuri itu merasa panik mendengarnya. Dengan cepat ia kemudian keluar dari persembunyiannya dan bersujud di kaki Shallu. "Maafkan kami. Tuan. Kami berjanji tidak akan mencuri. Kami akan mengembalikan perhiasan yang kami curi. Tapi tolong bebaskan kami," kata pemimpin pencuri itu. .

Shallu sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia masih belum

Page 85: Dongeng Sebelum Bobo

menyadarinya sampai kawanan pencuri itu mengembalikan seluruh perhiasan yang mereka curi. Baginda Raja sangat terkesan dengan kehebatan Shallu meski pencuri itu tidak ditangkap. Ia memberikan Shallu hadiah.

Sehari kemudian Rawina meminta Shallu agar mereka berkata terus terang kepada Raja karena mereka kini selalu merasa cemas. Shallu kembali berpikir keras untuk keluar dari istana. Satu-satunya jalan adalah ia pura-pura menjadi gila!

Maka siang harinya ia sengaja keluar dari kamar mandi tanpa berpakaian lengkap. Sambil berlari ia menuju ruang singgasana Raja. Tentu saja orang-orang bingung melihat tingkahnya. Apalagi ketika kemudian Shallu menggendong baginda Raja.

Tapi lagi-lagi, keajaiban terjadi. Tiba-tiba atap di atas singgasana Raja roboh. Beberapa orang tewas seketika, namun baginda Raja selamat karena digendong oleh Shallu.

"Dia benar-benar pejabat istana yang setia. Mengetahui Raja akan celaka, dia keluar dari kamar mandi meski belum selesai berpakaian untuk menyelamatkan Raja," seluruh rakyat membicarakan kehebatan Shallu.

Raja semakin sayang terhadap Shallu. Namun demikian Shallu dan Rawina memutuskan untuk berterus terang sehingga Raja pun menyadari bahwa tidak ada satu hal pun yang dapat diramalkan oleh manusia. Shallu tetap diangkat menjadi pejabat istana. Jabatannya bukan sebagai peramal, melainkan penasihat Raja.*****

Martina Si Penyihir UsilOleh: her-v (Bobo No. 20/XXX)

Bu Ziwina, guru di sekolah Penyihir Cilik,

Page 86: Dongeng Sebelum Bobo

menugaskan murid-muridnya mempraktekkan mantra yang baru saja ia ajarkan. Ia lalu meninggalkan ruangan. Ruang kelas langsung dipenuhi gumaman para penyihir cilik yang mengucapkan mantra. Tiba-tiba… Jepret! “Adaow!” Pilopo mengaduh. Ia menoleh. Tak perlu sudah-susah ia mencari siapa yang menjepretnya dengan karet gelang. Dipelototinya Martina yang pura-pura asyik mempraktekkan mantra sihirnya. “Bil-bol-bil-bol…zuppa!!!” kata Martina. Mudah saja Martina mengubah tali rafia di mejanya jadi puluhan karet gelang warna-warni. Salah satunya tadi dipergunakan untuk mengusili Pilopo. Martina membalas pelototan Pilopo dengan cengiran usil. “Huh!” dengus Pilopo. Ia kembali membaca mantra yang baru saja diajarkan oleh Bu Ziwina. “Bil-bol-bi-bol….zupa!!!” ucap Pilopo. Tetapi ia sudah dapat menduga hasilnya. Mengapa tali rafianya tak bisa berubah jadi karet gelang? Padahal Martina mudah saja melakukannya. Pilopo mengakui Martina memang pintar. Huh, kalau saja Martina tak suka mengusilinya, ia pasti tak akan malu-malu minta diajari oleh Martina. Tetapi kalau ia melakukan hal itu, maka sama artinya memberi kesempatan pada Martina untuk mengusilinya habis-habisan. Pilopo masih ingat keusilan Martina padanya. Minggu lalu, setelah gagal berkali-kali mengubah sepatu jadi kelinci, ia mendatangi Martina. “Martina, eh…bisa ajari aku mengucapkan mantra pengubah sepatu ini?” pinta Pilopo. “Mengubah sepatu itu? hm, baiklah,” kata Martina cepat. Pilopo tak menyangka Martina akan langsung menyanggupi permintaannya. Biasanya Martina akan mengusilinya terlebih dahulu. “Ikuti ucapanku!” kata Martina serius, “Pio-no-pio-lo…humpa!!!” "….humpa!!!” tiru Pilopo mantap. Wusss! Dalam sekejap sepatu itu berubah menjadi kelinci seperti yang diinginkan Pilopo. Tetapi, TIDAK! Pilopo juga berubah menjadi kelinci!

“Tak ingat mantra tadi? Baru seminggu yang lalu diajari Bu Ziwina, kok sudah lupa?” ejek Martina.

Martina memungut Pilopo sambil tertawa geli. Pilopo yang sudah berubah menjadi kelinci tak bisa apa-apa ketika Martina memakaikannya baju boneka. Ia pun kemudian dipamerkan ke para penyihir. Mirip kelinci sulap.

“Betul ini adalah Pilopo?” tanya si Penyihir Jubah. Ia memegang-megang kaki kelinci Pilopo.

“Betul. Ia kuhukum karena tak becus mempelajari mantra sihir. Membuat malu bangsa penyihir saja,” kata Martina tegas.

Page 87: Dongeng Sebelum Bobo

“Hahaha, kamu pandai Martina,” puji para penyihir. “Ya, sekaligus usil,” sambung penyihir yang lain sambil tertawa

keras. Para penyihir sebenarnya kasihan melihat Pilopo. Tetapi mereka

tetap tak bisa menahan tawa ketika melihat pengaruh sihir terhadap Pilopo hilang. Tak henti-hentinya mereka tertawa melihat Pilopo tergesa-gesa menaiki sapu terbangnya.

“Hahaha, hihihi dia memakai baju boneka? Hahaha, hihihi,” tawa para penyihir.

Teringat hal yang memalukan itu, Pilopo makin tak konsentrasi mengucapkan mantranya. Gawat! Kalau Bu Ziwina kembali ke kelas, bisa-bisa ia yang dimarahi duluan.

“Mau kubantu?” Pilopo terkejut ketika Martina tiba-tiba duduk di sebelahnya. “Membantu? Mengusili, maksudmu?” tanya Pilopo sengit. Tak peduli bentakan Pilopo, Martina menunjuk catatan mantra

Pilopo, “Coba baca catatanmu dan ucapkan mantra ini sekali lagi.” “Sekarang di dalam kelas. Tak mungkin Martina berani

mengusiliku,” pikir Pilopo dalam hati. Ia pun membaca kembali catatannya seperti yang disuruh Martina, “Bil-bol-bi-bol…zupa!!!”

Tali rafia tetap tak mau berubah jadi karet gelang. “Sekali lagi,” perintah Martina. “Bi-bol-bi-bol…zupa!!!” ucap Pilopo nyaring. Tampaknya ia

sudah putus asa. Apakah ia tak berbakat jadi penyihir? Wah, bisa-bisa ia dibuang dari negeri penyihir. Sereeem!!!

“Dengar mantraku baik-baik,” kata Martina akhirnya, “Bil-bol-bil-bol…zuppa!!!”

Tali rafia berubah jadi karet gelang. Pilopo melongo. Kok bisa begitu? Martina jadi gemas, “Pilopo! Masa belum mengerti, sih?” Pilopo tambah bingung. Apa yang harus dimengerti? Yang ia

tahu, Martina pintar, sedangkan ia bodoh. Martina bisa menyihir apa saja, ia tak punya bakat menyihir.

Cyut! Martina menjewer kuping Pilopo, “Kuberi tahu, ya. Kamu tidak bodoh! Tapi ceroboh!”

“Ceroboh?” “Mungkin kamu menganggap mantra-

mnatra pendek tak penting sehingga kamu ceroboh mencatatnya. Mantra bil-bol-bil-bol…zuppa, kamu catat bi-bol-bi-bol…zupa. Berapa huruf yang kamu hilangkan, tuh?!” omel Martina persis nenek sihir. “Pengucapan mantramu juga tak benar. Minggu lalu kamu mengucapkan pio-mo-pio-to…humpa. Padahal aku menyuruhmu mengucapkan pio-no-pio-lo…humpa. Hitung berapa huruf yang kamu ubah?!” sambung Martina.

Page 88: Dongeng Sebelum Bobo

Pilopo menepuk jidatnya sendiri, “Jadi, salahku sendiri ya hingga menjadi kelinci?”

Martina menarik napas dalam, “Aku juga salah, sih, karena mengusilimu. Aku minta maaf.”

Bu Ziwina sudah kembali ke kelas. Martina kembali ke bangkunya. Ia melirik Pilopo yang sedang memperbaiki mantra di buku catatannya.

“Ternyata Pilopo sudah sadar. Tapi aku masih bisa mengusilinya, kok,” pikir Martina, si penyihir, sambil tersenyum jenaka.