21
Cermin Dunia Kedokteran No. 65, 1990 28 Reaksi Samping yang Dapat Terjadi pada Program Imunisasi Dyah Widyanirtgroem Isbagio, Muijati Prijanto Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; Departemen Kesehatan R.I., Jakarta PENDAHULUAN Secara umum ada tiga strategi utama untuk pencegahan dan kontrol penyakit menular; pertama kontrol dan eliminasi sumber infeksi, Ierutama penderita dan carriernya; ke dua, dengan cara memotong transmisi dari agen yang infeksius; dan yang ke tiga, meningkatkan resistensi individu terhadap penyakit-penyakit menular. Peranan imunisasi dalam kontrol penyakit menular termasuk dalam kategori yang ke tiga t . Beberapa penyakit menular dapat dicegah secara efektif dengan pemberian imunisasi aktif. Cruickshank (1961) meng-klasifrkasikan penyakit infeksi dalam tiga kategori, berdasar- kan peranan imunisasi dalam pengendalian penyakit tersebut, yaitu : 1) Penyakit infeksi yang pencegahannya tidak ada cara lain yang memuaskan selain dari pemberian imunisasi; termasuk dalam kategori ini adalah penyakit difteri, tetanus, pertusis, small pox, poliomielitis, influensa, sylvatic yellow fever. 2)

efek vaksin

Embed Size (px)

DESCRIPTION

imunisasi

Citation preview

Cermin Dunia Kedokteran No. 65, 1990 28 Reaksi Samping yang Dapat Terjadi pada Program Imunisasi Dyah Widyanirtgroem Isbagio, Muijati Prijanto Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; Departemen Kesehatan R.I., JakartaPENDAHULUAN Secara umum ada tiga strategi utama untuk pencegahan dan kontrol penyakit menular; pertama kontrol dan eliminasi sumber infeksi, Ierutama penderita dan carriernya; ke dua, dengan cara memotong transmisi dari agen yang infeksius; dan yang ke tiga, meningkatkan resistensi individu terhadap penyakit-penyakit menular. Peranan imunisasi dalam kontrol penyakit menular termasuk dalam kategori yang ke tigat . Beberapa penyakit menular dapat dicegah secara efektif dengan pemberian imunisasi aktif. Cruickshank (1961) meng-klasifrkasikan penyakit infeksi dalam tiga kategori, berdasar- kan peranan imunisasi dalam pengendalian penyakit tersebut, yaitu : 1) Penyakit infeksi yang pencegahannya tidak ada cara lain yang memuaskan selain dari pemberian imunisasi; termasuk dalam kategori ini adalah penyakit difteri, tetanus, pertusis, small pox, poliomielitis, influensa, sylvatic yellow fever. 2) Penyakit infeksi di mana pencegahan melalui imunisasi akan bermanfaat bila dilakukan bersama tindakan lain; misal- nya pada tuberkulosis, tifoid, kolera, tifus, rabies, urban yellow fever. 3) Penyakit infeksi dengan pemberian imunisasi yang diberi-kan secara terbatas pada daerah atau kelompok pekerja ter- tentu, misalnya plaque, bruselosis, leptospirosis, berbagai bentuk ensefalitis2. Orang dikatakan imun terhadap agen yang infeksius bila orang tersebut betul-betul tahan terhadap infeksinya; misal- nya dapat mencegah kolonisasi, multiplikasi masif dan/atau menetralisir toksinnya. Imunitas ini dapat diinduksi oleh infeksi alam atau vaksinasi. Fungsi vaksinasi adalah untuk menimbulkan imunitas protektif tanpa menyebabkan penyakit atau reaksi serius. Dibandingkan dengan imunitas yang diinduksi oleh infeksi alam, imunitas protektif yang diinduksi oleh vaksin sangat berbeda (Tabel 1). Pemberian vaksin dimaksudkan untuk menimbulkan respon aktif pada hospes, seperti halnya pada infeksi alamiah dengan bahan menular sehingga hospes men- jadi kebal. Imunisasi bukanlah suatu hal yang dapat secara dramatis menyembuhkan penyakit yang berakibat fatal. Imunisasi diberikan pada orang yang sehat. Bila komunitas yang peka secara proporsional cukup terlindung, penyakitnya akan hilang dan beberapa tahun kemudian tak didapatkan lagi adanya morbiditas dan mortalitas3 . Tabel 1. Variabel yang mempengaruhi imunitas protektif karena induksi vaksin dan infeksi alam. Variabel Induksi vaksin Infeksi alam Cara masuknya agen Antigen Jadwal Dosis Penyajian antigen Tipe imunitas parenteral organisme : dimatikan diinaktivasi diatenuasikan toksoid sekali atau beberapa kali suntikan tinggi pada vaksin inaktif rendah pada vaksin hidup diadsorb atau tidak Humoral: lokal, sistemik Seluler parenteral, oral organisme : virulen toksin infeksi biasanya sekalirendah plain Humoral: lokal, sistemik Seluler Keterangan: Dari : RIVM, vaccine control course, course book. VAKSIN DAN KONTROL KUALITAS PRODUK BIOLOGIS Vaksin adalah produk biologis yang termasuk dalam immu-nological substances, seperti halnya sera, reagen diagnostik, produk darah2. Vaksin berkualitas baik yang diberikan secara Cermin Dunia Kedokteran No. 65, 1990 29tepat dan baik akan memberikan perlindungan bagi sipenerima terhadap penyakit yang secara alamiah disebabkan oleh organisme patogen. Dilihat dari segi asal jasad reniknya, maka vaksin-vaksin yang digunakan untuk pencegahan penyakit sampai sekarang adalah: 1) Vaksin baktari yang dapat berupa : a) Seluruh sel kuman atau partikel kuman; umpamanya: vaksin bakteri inaktif (mati) : vaksin tifus, vaksin kolera dan lain-lain; atau vaksin hidup : vaksin BCG, vaksin pes dan lain-lain. b) Non partikel dan larut (soluble) umpanya : yang berasal dari eksotoksin kuman : toksoid tetanus, toksoid difteri; dan yang berasal dari endotoksin kuman : vaksin meningo-kokus (larutan fraksi antigen polisakarida). 2) Vaksin virus yang dapat berupa : a) Vaksin inaktif (mati) umpamanya : vaksin rabies, vaksin polio Salk, vaksin influensa. b) Vaksin hidup umpamanya : vaksin cacar, vaksin polio Sabin, vaksin measles. Dilihat dari segi pembuatannya, dikenal dua macam vaksin yaitu: 1) Vaksin hidup, yang dibuat dengan cara pasase atau atenuasi berulang dari jasad renik asal. 2) Vaksin mati, yang dibuat dengan cara inaktivasi jasad renik asalnya4. Setiap batch vaksin yang diproduksi telah diuji di labora-torium kontrol sesuai dengan peraturan yang berlaku. Uji tersebut terutama meliputi kontrol keamanan (safety), ke-ampuhan (potency), babas cemar (sterility) dan macam organisme yang digunakan dalam vaksin (identity)3. Masalah penting dalam suksesnya strategi PPI ialah bahwa semua anak menerima vaksin yang adekuat kualitasnya. Dalam hal ini, dasar terpenting adalah kontrol kualitas dari produk biologis2. Ada dua alasan utama pentingnya kontrol kualitas produk. biologis. Pertama, produk harus cukup aman digunakan untuk imunisasi pada sejumlah besar orang-orang yang sehat. Kedua, produk harus mempunyai potensi yang cukup dalam memberikan imunitas untuk men.cegah penyakit yang ber-sangkutan2. Vaksin yang berpotensi rendah atau tak ber- potensi dan vaksin yang dapat menimbulkan komplikasi atau kecelakaan akan meningkatkan penolakan dari populasi penerima vaksinasi, hilangnya kepercayaan atas vaksin dan akhirnya praktis akan sangat merugikan program. Oleh karena itu jelas bahwa vaksin harus dikontrol potensinya, dan juga toksisitasnya. Kontrol keamanan harus dilakukan secara preklinis pada hewan laboratorium dan secara klinis pada orang yang diimunisasi3 . Produk biologis tak dapat diuji secara kimia atau fisik, tetapi harus secara biologis dengan menggunakan hewan per-cobaan, biakan sel/jaringan, komponen darah atau mikro-organisme yang variasinya amat besar bila dibandingkan dengan dua uji terdahulu. Walaupun kontrol kualitas dari produk biologis dilakukan pada setiap tahap produk sesuai dengan persyaratan WHO, masih banyak masalah yang harus diselesaikan. Hal yang sangat penting adalah sulitnya me-ramalkan efek samping yang dapat timbul pada manusia setelah pemberian vaksinasi2. Uji toksisitas pada hewan percobaan tidak selalu memuas- kan dalam meramal besarnya reaksi samping pada manuals, tetapi uji toksisitas tersebut harus dilakukan pads setiap tahap produksi vaksin. Dikenal dua macam uji toksisitas yaitu secara kuantitatif (specific toxicity test)dan kualitatif (abnormal toxicity test atau inocuity test?. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH DALAM RE-AKSI SAMPING VAKSINASI Kadang-kadang vaksinasi diikuti dengan reaksi samping, walaupun secara klinis vaksin telah umum digunakans. Di negara sedang berkembang sangat sedikit didengar adanya akibat yang membahayakan setelah imunisasi selain abses piogenik dan kekhawatiran adanya transmisi hepatitis, yang dihubungkan dengan sterilitas dan penggunaan kembali jarum suntik atau siring yang talc sepantasnya2,6. Dalam membicara-kan resiko imunisasi, kemungkinan penyebab lain harus dipertimbangkan; resiko tersebut seharusnya dapat dihindar-kan, dan harus dipertimbangkan secara terpisah dari reaksi samping (lihat tabel 2)2 . Faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi reaksi samping6 : 1) Vaksin. Tipe dari strain organisme, jumlah organisme (titer anti-gen), media yang digunakan untuk pertumbuhan organisme, proses inaktivasi atau atenuasi, macam ajuvan, stabilisator/ preservasi yang digunakan. 2) Penerima vaksin. Usia, jenis kelamin, dosis vaksin sebelumnya, riwayat sakit dengan agen yang bersangkutan, antibodi pasif yang didapat (seroglobulin imun, antibodi maternal), penyakit koinsiden, defisiensi imun. 3) Cara pemberian. Penggunaan jet-gun, jarum dan suntikan, tempat suntikan dan jaringan yang disutitik (intradermal, subkutan, intra-muskular). REAKSI SAMPING AKIBAT VAKSINASI2-7. Efek samping yang disebabkan oleh vaksin hidup seperti vaksin BCG, measles dan polio, terutama disebabkan oleh proses multiplikasi dari agen yang berperan menstimulir hospes yang peka. Tingkat infeksinya biasanya rendah. Biasa-nya memerlukan waktu inkubasi beberapa hari sampai 3 minggu sebelum agennya memperbanyak diri dan menimbul-kan demam atau reaksi lainnya. Oleh karena vaksin hidup measles berasal dad strain virus measles yang dilemahkan, maka tidak mengherankan apabila beberapa anak menderita demam dan rash antara 615 had setelah vaksinasi. Tingkat komplikasinya tergantung dari umur. Demam maupun rash terjadi pada anak yang peka yang divaksinasi sebelum usia 2 tahun; tetapi tingkat gejala ini secara bermakna masih lebih rendah bila dibandingkan dengan akibat infeksi alam. Hal yang sama ialah ditemukannya komplikasi yang serius seperti ensefalitis, terjadi 1000 kali lebih sering akibat infeksi alam. Adanya risiko tinggi pada usia muda, menunjukkan bahwa semua anak hams segera divaksinasi setelah antibodi maternal lenyap. Jarang sekali timbul reaksi hipersensitivitas immediate. Faktor predisposisi dari reaksi ini belum diketemukan. Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE) sangat jarang, Cermin Dunia Kedokteran No. 65, 1990 30 Tabel 2. Kecelakan vaksinasi. Macam vaksin Tahun Tempat Pasien (mati) Catatan Smallpox 1916 USA 63 basil tetanus 1932 Swedia Beberapa ratus stafilokokus Polio inaktif 1935 USA 13 (5)inaktivasi tak sem-purna. 1935 USA 3 ,, 1955 USA 94 166 infeksi sekundr Rabies 1960 Brazil (18)inaktivasi tak sem-purna. BCG 1930 Jarman (72)kontaminasi dengan organisme virulen Tifoid 1916 Colombia 94 ( 4)kontaminasi stafiloko-kus Tuberkulin 1946 Swedia 11 ( 1)setelah dibuka konta- minasi stafilokokus. Serum measles 1945 Swedia ( 2)kontaminasi stafiloko-kus waktu penyimpa- nan Vaksin 1919 USA 40 ( 5)ekses toksin difteri 1924 USA 44 disosiasi(ToxAT, 1924 Australia 34 ( 7)tak ditambahkan anti-mixture ) toksin 1928 Australia 16 (12)stafilokokus (tak ada pengawet) Toksoid difteri 1926 USSR 14 (12)toksin 1933 Italia (>30) toksin 1948 Jepang 606 (68)detoksifikasi tak sem- purna 1948 Jepang 20 Toksoid 1971 Meksiko 99 (40)kesalahanujitoksisi-tetanus tas Tbc setelah pe- nyuntikan kombinasi vak- sin tifoid & pa- ratifoid 1946 Jepang 102 ( 1)dokternya tbc Pertusis 1984 Jepang 64 ( 1)dokter dan perawat- nya tbc Keterangan: Dari : Cockburn (1977) dan Kurokawa (1976), disadur dari (2). merupakan infeksi susunan saraf pusat yang slowly progressive, yang terjadi beberapa tahun setelah infeksi alam measles. Beberapa pendapat mengatakan bahwa vaksin measles dapat mencetuskan SSPE terutama pada anak kurang gizi usia muda. Tetapi penelitian yang dilakukan secara epidemiologik di USA menunjukkan bahwa vaksinasi massal justru menurunkan SSPE. Kelompok anak yang menderita SSPE secara bermakna lebih sedikit yang divaksinasi dibandingkan dengan anak yang normal, dan tak ada bukti bahwa anak dengan SSPE itu kurang gizi. Walaupun penelitian ini tidak menyingkirkan kemungkinan anak akan menderita SSPE setelah vaksinasi, tetapi risiko yang berhubungan dengan vaksinasi jauh lebih rendah dibandingkan risiko terkena infeksi alam. Komplikasi yang berhubungan dengan vaksin BCG ber-hubungan langsung dengan multiplikasi bakteri. Bila suntikan dilakukan bukan intradermal tetapi subkutan akan terjadi abses lokal. Pada kebanyakan vaksin, infeksi hanya bersifat lokal pada kulit dan disertai limfadenopati. Tetapi pada beberapa anak infeksi kelenjar limfe tersebut progresif menjadi supuratif dan membutuhkan kemoterapi dan eksisi surgikal. Frekuensi komplikasi ini berhubungan langsung dengan titer mikro-organisme BCG yang diinokulasi. Osteomielitis dan infeksi diseminata jarang terjadi pada orang normal. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada neo-natus. Suntikan BCG multipel juga dilakukan sebagai imunoterapi pasien kanker. Pada pasien dengan imunosupresi ini kadang-kadang dapat terjadi infeksi generalisata. Poliomielitis paralitik jarang terjadi pada vaksinasi oral polio. Komplikasi paralitik terjadi kira-kira pada 1 dari 35 juta dosis vaksin yang didistribusi. Rasio per anak yang di-vaksinasi kira-kira ialah 12 kasus paralisis per 1 juta anak. Paralisis terjadi 1000 kali lebih sering akibat infeksi alamiah oleh virus poliomyelitis ganas (wild poliomyelitis) dibanding-kan dengan yang telah divaksinasi dengan strain vaksin yang dilemahkan. Pada individu dengan gangguan imunitas ter- jadi peningkatan risiko terjadinya paralisis secara bermakna. Anak dengan gangguan sintesis imunoglobulin lebih mudah menderita komplikasi paralitik, dan anak dengan kombinasi gangguan imunodefisiensi (baik seluler maupun humoral) dapat menderita infeksi yang fatal dan progresif. Pada anak kurang gizi tidak dijumpai satu kasuspun penyakit paralitik yang disebabkan vaksinasi, Mikroorganisme patogen dapat memproduksi bermacam-macam substansi toksik, beberapa di antaranya berperan sebagai antigen yang dapat memberikan imunitas untuk men-cegah penyakit. Vaksin yang mengandung bakteri mati, tetap dapat mengandung substansi toksik yang dapat menyebab-kan reaksi samping seperti reaksi lokal, demam, "malaise", ensefalopati dan bahkan kematian. Tabel 3 memperlihatkan aktivitas substansi biologis yang diproduksi oleh vaksin per-tusis2 . Tabel 3. Substansi biologis aktif dari B. pertussis. Heat labile toxin (HLT) Dermonecrosis Pertussis toxin Histamin sensitization Lymphocyte promotion Islet activation Hemagglutination Protection against infection Agglutinogen Fimbrial Hemagglutinin Lipopolysaccharida (LPS) Endotoxin Keterangan: Dari : Pittman (1979) dan Kurokawa (1984), disadur dari (2). Reaksi samping yang berhubungan dengan toksoid difteri dan tetanus yang dikombinasikan dengan vaksin pertusis (DPT), adalah adanya demam dan reaksi lokal yang disebab-kan oleh ketiga komponen tersebut di atas. Tetapi telah Cermin Dunia Kedokteran No. 65, 1990 31umum diketahui bahwa komponen yang paling teaktif ialah pertusis. Laporan terbaru yang berhubungan dengan abses steril oleh suatu seri vaksin telah dilaporkan di USA. Tingkat abses setelah penyuntikan dengan preparat DPT lainnya belurn diteliti dengan seksama. Konvulsi setelah vaksinasi pertusis dapat terjadi pada setiap umur, dalam waktu setengah jam sampai 3 hari. Beberapa kejadian konvulsi jelas karena demam (febrile convulsion). Konvulsi (dan mungkin reaksi neurologik lainnya) lebih sering terjadi pada anak dengan kelainan neu-rologik. Pada beberapa kejadian, konvulsi dan kekambuhan kembali setelah vaksinasi pertusis merupakan kontraindikasi suntikan selanjutnya. Kolaps telah diobservasi terutama pada anak-anak usia muda, tujuh jam setelah penyuntikan vaksin pertama. Ke-kambuhan dapat terjadi pada pemberian dengan komponen pertusis selanjutnya, walaupun dengan dosis yang rendah. Semua anak dengan kolaps setelah penyuntikan yang di- amati di Nederland, dapat sembuh dengan sendirinya secara sempurna dalam waktu beberapa menit sampai 45 menit. Kolaps dipertimbangkan disebabkan karena induksi vaksin, karena itu merupakan kontraindikasi untuk vaksinasi se-lanjutnya. Efek samping berupa reaksi lokal (bengkak dan rasa sakit di tempat suntikan) dan reaksi umum (kenaikan suhu tubuh) terjadi pada 38 siswa dari 1187 siswa yang menerima vaksi-nasi Td, DT dan TT (3.2%)7. Toksoid tetanus yang diberikan pada kehamilan dengan inkompatibilitas ABO dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit hemolitik pada neonatus. Pada vaksinasi, di samping toksisitas langsung yang telah disebut di atas, rea'ksi samping terpenting lainnya adalah reaksi alergi. PENYEBAB REAKSI SAMPING DAN CARA PENCEGAH-ANNYA Tindakan pencegahan yang utama adalah kepastian bahwa vaksin steril secara mikrobiologis, atau setidaknya pada vaksin hidup tak mengandung agen bakteri, jamur atau virus lainnya yang tak diperlukan, dan virulenisitasnya pada tingkat yang dapat diterima. Dengan demikian selain uji sterilitas, diperlu-kan pula uji virulensi5. Pada vaksin polio dapat terjadi rever-sion of virulence (misalnya tipe III). Reaksi ini dapat dikurangi dengan seleksi strain virus yang kurang virulen tetapi tetap imunogenik2. Penyuntikan yang tepat pada vaksinasi BCG akan me-ngurangi reaksi samping. Demikian pula halnya pada pem-berian vaksin DTP yang telah di adsorb, selain karena ke-salahan penyuntikan juga disebabkan karena penggunaan ajuvan. Cara penyuntikan yang tepat, pengurangan penggunaan ajuvan atau memakai ajuvan yang tak alergenik akan me-ngurangi reaksi samping3. Reaksi samping yang penting lainnya adalah reaksi alergi. Tidak ada uji yang adekuat untuk memprediksi reaksi alergi dari produk biologis. Purifikasi toksiod tetanus dan difteri dimaksudkan untuk mendapatkan antigen yang protektif dengan menghilangkan kontaminan protein dan produk lainnya yang mempunyai berat molekul rendah yang tak ber-peran dalam induksi imunitas; tujuannya untuk mengurangi efek samping tanpa perubahan yang bermakna dalam potensi-nya. Toksoid difteri dan tetanus dibuat dari toksinnya yang telah dilemahkan dengan- formalin dan pemanasan. Dalam hal ini tampaknya perlu dikembangkan impurity test untuk mendeteksi kontaminan antigen dalam produksi toksoid. Pada toksoid tetanus, antigen protektif adalah alergen poten yang dapat menyebabkan reaksi berat (tabel 4). Pengurangan kandungan antigen dan jumlah injeksi booster direkomendasi-kan pada imunisasi tetanus untuk mengeliminasi reaksi secara nyata. Tabel 4. Reaksi samping pemberian, toksoid tetanus. (pada 2.5 juta penyuntikan, 19521970) Jumlah kasusJumlah penyuntikanKerusakan permanen sekuele nerologik glomerulonefritis Kerusakan tak permanen kolaps akut alergi lambat urtikaria, artralgia, limfadenitis urtikaria menetap (> 1 bulan) poliradikulitis 1 1 2 3 2 1 > 4 2 1, 1 1, 1, 1 > 4,6 4 Keterangan: Dari : Christensen (1972), disadur dari (2). Telah diketahui bahwa substansi toksik dapat dihasilkan oleh bermacam-macam mikroorganisme. Walaupun studi yang ekstensif telah dilakukan untuk mengkarakterisasi dan me-ngetahui cara kerja substansi ini, tetap sulit untuk menerang-kan substansi mana yang betul-betul berhubungan dengan bermacam-macam gejala yang ada pada pasien (Pittman, 1979). Test of the freedom of abnormal toxicity tak banyak memberikan informasi toksisitas vaksin, hanya berfaedah untuk mendeteksi accidental contaminants atau extraordinary toxicity of the product. Studi lebih lanjut diperlukan untuk meneliti efek samping produk biologi dengan kandungan substansi toksiknya. Untuk maksud ini, diperlukan pengem-bangan cara kuantitatif untuk mendeterminasi aktifitas toksik-nya. Uji kuantitatif beberapa material aktif dari B. pertussis telah dapat dilakukan (Kurokawa, 1984) dan usaha ini harus dilanjutkan untuk mempelajari aktivitas substansi ini pada manusia. Beberapa subunit baru sedang dikembangkan dengan harapan vaksin ini dapat menginduksi respon imun protektif disertai tingkat reaksi samping yang rendah, seperti purified acellular pertussis vaccine yang amat rendah toksisitasnya. (Sato, 1984). Menurut laporan, potensi vaksin ini sebanding dengan potensi vaksin pertusis biasa. Vaksin ini lebih aman dan kurang reaktogenik apabila dibandingkan dengan vaksin yang mengandung sel bakteri lengkap, dan mempunyai efek-tivitas yang cukup tinggi. Akan tetapi masih diperlukan waktu untuk membuktikan apakah vaksin pertusis aseluler ini mampu untuk mencegah infeksi pertusis pada populasi yang besar (Sato, 1984). Studi toksisitas secara kuantitatif ini amat besar sumbangannya dalam pengembangan vaksin dengan toksisitas rendah2. Cermin Dunia Kedokteran No. 65, 1990 32 KESIMPULAN Reaksi samping pada beberapa vaksin jarang.atau tak ada; beberapa di antaranya rnenunjukkan reaksi yang ringan dan pada beberapa lainnya reaksi samping yang serius tak dapat dihindari, tetapi keamanan selalu diusahakan semaksimal mungkin. Walaupun demikian, reaksi samping tersebut tidak berarti bila dibandingkan dengan, manfaat dari vaksinasi (tabel 5). Untuk mendapatkan vaksin yang baik kualitasnya, kontrol vaksin yang adekuat sangat diperlukan tidak saja untuk po-tensinya tetapi juga toksisitas dan virulensinya. Perlu di-kembangkan vaksin yang cukup adekuat efektivitasnya dengan reaksi samping seminimal mungkin. Pengamatan lapangan untuk melihat efektivitas dan reaksi samping perlu dilakukan oleh setiap negara, karena respon manusia terhadap vaksin sangat berbeda tergantung dari populasinya. Cara paling efektif untuk menentukan besarnya kenaikan resiko yang berhubungan dengan vaksinasi ialah secara aktif memeriksa efek samping dengan melakukan pemeriksaan fisik setiap hari dan membandingkan tingkat gangguan pada populasi kontrol yang menggunakan vaksin tak aktif (pla-sebo). Diteliti di bawah pengawasan ketat dan melibatkan anak sehat yang mudah berhubungan dengan tempat pe-layanan kesehatan. KEPUSTAKAAN 1. Fukumi H. (1975). The vaccination, theory and practice, 5 repor-ting series, International Medical Foundation of Japan, Tokyo: Japan. 1975. hal. 3. 2. Murata R. Introduction to Quality Control of Biological Product, Japan International Cooperation Agency. Lecture presented at Dept. of Med. Sciences, Ministry of Public Health, Bangkok, Thailand, 1987. hal. 119, 5481. 3. RIVM. Vaccine control course, Course book. hal. 125. 4. Nasution MS. Hai ihwal imunisasi dan aplikasinya. Bandung : Perum Bio Farmasi. 1987. 5. RIVM. Vaccine control course, Programme book. hal. 112,1819. 6. Halsey NA, Ciro A de Quadros. Recent advances in immunization. A bibliographic review. Scientific Publ No. 45, Pan Am Hlth Org, WHO, hal. 90102. 7. Isbagio DW dkk. Reaksi Kekebalan Anak-anak Sekolah Dasar ter-hadap Toksoid Difteri 2 Lf, Cermin Dunia Kedokteran, 1987; 45 : 227. Tabel 5 Reaksi Ramping pads pemberian vaksin dan toksoid dalam Pengembangan Program Imunisasi. Antigen Reaksi samping Perldraan frekuensiefek samping akibatvaksinasi Frekuensi gejals penyakit pada in- feksi alma DPT Panas >90C 1/251/16 + Bengkak lokal1/2.5 Abses steril1/167000-1/1000 Shock1/17500 - 1/2000 ++Konvulsi1/25000 - 1/1500 1/100 -1/30 Persistent screa- ming1/4000 - 1/50 ?Ensefalopati1/750000-1/300001/125 -1/50 Neropati jarang ? + Poliovirusyang di-poliomielitis pa- ralitik 1/1000 - 1/100 atenuasi-perdistribusi1/3000000 kan vaksin per anak yang peka1/500000 per orang dewasapeka yang meng-ekpos anak yang divaksinasi1/100000 konvulsi 1/8600 ++ Meales demam >39.4C1/16 - 1/6 1/21 Rash 1/100 - 1/5 1 Kejang demam1/2500 - 1/100 1/200 -1/100 Ensefalitis/ense- falopati (dan ggnneurologis lain- nya)1/1000000-1/176001/1000SSPE1/1000000 1/200000-1/50000BCG Trombositopenia Trombositopenikpurpura Abses subkutanumum sangat jarang + umum umum Limfadenitis supurativa1/1000 - 1/250 +++ Osteomielitis danarttritis septis 1/1000000-1/50000+ + Keterangan: Dari : Halsey NA dan HC Stetler, disadur dari (6).