114
i ELIT MUHAMMADIYAH DALAM POLITIK (Studi Kasus : Kemeangan A. M. Iqbal Parewangi Sebagai Anggota DPD RI Pada Pemilu 2014) SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Ilmu Politik Pada Departemen Ilmu Politik Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Disusun Oleh: SURATMAN E111 11 265 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK DAN PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

ELIT MUHAMMADIYAH DALAM POLITIK (Studi Kasus : … · Muhammadiyah sebagai organisasi massa yang digerakkan oleh Elit dapat dijadikan sebagai kekuatan politik oleh siapapun yang mendapat

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

i

ELIT MUHAMMADIYAH DALAM POLITIK (Studi Kasus : Kemeangan A. M. Iqbal Parewangi Sebagai

Anggota DPD RI Pada Pemilu 2014)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan

Gelar Sarjana Ilmu Politik Pada Departemen Ilmu Politik Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin

Disusun Oleh:

SURATMAN E111 11 265

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK DAN PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

ii

LEMBAR PENERIMAA

iii

LEMBAR PENERIMAAN

ABSTRAKSI

SURATMAN. NIM E111 11 265.Elit Muhammadiyah dalam Politik. (Studi

Kasus : Kemenangan A. M. Iqbal Parewangi sebagai anggota DPD RI

pada PEMILU 2104). Dibawah bimbingan Prof. Dr. Armin Arsyad, M.Si.

Dan A. Armunanto, S.IP, M.Si.

Muhammadiyah sebagai organisasi massa yang digerakkan oleh Elit dapat dijadikan sebagai kekuatan politik oleh siapapun yang mendapat restu untuk diusung dalam pentas pemilihan umum serta dengan mudah menggerakkan seluruh sumber daya yang dimilikinya yang tersebar di berbagai daerah. Di Sulawesi selatan, elit Muhammadiyah mendukung Iqbal Parewangi dan berhasil memenangkan Pemilu 2014 sebagai anggota DPD RI walaupun pada Pemilu 2009 dan 2004 Muhammadiyah gagal memenangkan kader yang diusungnya. Setelah beberapa kali gagal memenangkan kadernya, Elit Muhammadiyah melakukan berbagai upaya dalam memenangkan Iqbal Parewangi.

Penelitian ini dilaksanakan di kota Makassar yang berpusat di Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi selatan dengan melakukan wawancara mendalam serta menganalisis arsip/dokumen dari PWM Sulsel dan hasil rekapitulasi suara dari KPU sebagai teknik pengumpulan data. Adapun teori yang digunakan untuk menganalisis hasil penelitian ini adalah Teori Peran, Teori Elit, serta konsep kekuatan politik dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.

Kemenangan Iqbal Parewangi tidak terlepas dari peran elit Muhammadiyah Sulawesi Selatan dengan melakukan berbagai upaya seperti sosialisasi politik ke daerah, menggunakan amalan usaha dan organisasi otonom Muhammadiyah untuk mengawal pemilu. Iqbal Parewangi merupakan satu-satunya kader Muhammadiyah yang ikut serta dalam pemilu 2014 alhasil suara Muhammadiyah menyatu tidak seperti Pemilu 2004 dan 2009 terjadi fragmentasi di dalam tubuh Muhammadiyah. Dengan adanya elit yang menggerakkan Muhammadiyah sebagai mesin kekuatan politik, suara akan mengalir kepada Iqbal Parewangi. Kata Kunci : Peran Elit, Elit Muhammadiyah. Pemilu DPD 2014

iv

ABSTRACT

SURATMAN. NIM E111 11 265. Elite Muhammadiyah in Politics. (Case

Study: Victory of A. M. Iqbal Parewangi as a member of DPD RI on

ELECTION 2104). Under the guidance of Armin Arsyad and A.Ali

Armunanto,

Muhammadiyah as an elite-driven mass organization can be used as

a political force by people who get the blessing to be promoted in the general election stage and easily mobilize all its resources scattered in various regions. In south Sulawesi, the elite of Muhammadiyah supported Iqbal Parewangi and won the 2014 election as member of senator DPD RI eventhough in the 2009 and 2004 elections Muhammadiyah failed to win its cadres. After several unsuccessful attempts to win his cadre, Elite of Muhammadiyah made various efforts to win Iqbal Parewangi.

This research was conducted in Makassar city which was held in Regional Office of Muhammadiyah (PWM) of South Sulawesi by conducting in-depth interview and vote recapitulation result from KPU as data technique. The theory used to analyze the results of this research is Role Theory, Elite Theory, and the concept of political strategy using qualitative research methods.

Iqbal Parewangi's victory can not be separated from the role of elite Muhammadiyah South Sulawesi by doing various ways such as political socialization to the region, using business practices and autonomous organizations Muhammadiyah to escort the election. Iqbal Parewangi is the only cadre of Muhammadiyah who participated in the 2014 election as the result of Muhammadiyah vote, United. Different situation on 2004 and 2009 elections Three si fragmentation within Muhammadiyah. With the elite moving Muhammadiyah as the engine of political power, the voters will flow to Iqbal Parewangi. Keywords: Elite Role, Elite Muhammadiyah. DPD Election 2014

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirabbil’alamin. Puji Syukur penulis panjatkan

kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan Rahmat dan HidayahNya lah

yang senantiasa tercurah kepada penulis sehigga penyusunan skripsi ini

dapat selesai tepat pada waktunya sebagai salah satu syarat untuk

meyelesaikan studi dan meraih gelar sarjana program studi Ilmu Politik,

Jurusan Ilmu Politik Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Hasanuddin.

Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa kebenaran yang

ada dalam skripsi ini adalah kebenaran subjektif bagi diri penulis. Untuk itu,

perbedaan pendapat mengenai kandungan skripsi ini adalah hal yang wajar

dan justru yang menjadi tugas kita semua adalah berusaha mengkaji kembali

sehingga kebenaran hakiki dapat kita peroleh.

Penulis juga menyadari bahwa mungkin inilah hasil yang maksimal

yang dapat disumbangkan. Penulis juga menyadari skripsi ini masih banyak

kekurangan dan kelemahan sehingga penulis selalu menyediakan ruang

untuk menampung kritik dan saran dari semua pihak demi pencapaian

kesempurnan skripsi ini.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta

Ibu Mariani yang mana telah bekerja keras berjuang serta memberi doa tulus,

dan bapak Alimuddin Sene yang senantiasa membanting tulang untuk

vi

melanjutkan pendidikan ,dan memberikan dukungan nasehat yang

bermanfaat sehingga perkuliahan dan penyusunan skripsi ini dapat

terlaksana dengan baik hingga kapanpun penulis takkan bisa membalasnya.

Saudara-saudaraku, Sri Rahayu dan Nur Alya serta sanak saudara yang

memberikan fasilitas tempat tinggal di perantauan, Dg. Alle dan keluarga

serta Pak Azis dan keluarga adalah bagian terpenting yang senantiasa

memberi dukungan baik moral maupun materil dalam perjalanan penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada :

1. Ibu Prof.Dr.Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA selaku Rektor Universitas

Hasanuddin.

2. Bapak Prof.Dr.A.Alimuddin Unde, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin beserta jajarannya.

3. Bapak Dr.H. Andi Syamsu Alam, M.Si selaku Ketua Dan Bapak

A.Naharuddin, S.IP.,M.Si selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu

Pemerintahan.

4. Bapak Andi Ali Armunanto, S.IP, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu

Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin

5. Bapak Prof. Dr, Armin Arsyad M.Si selaku pembimbing I dan Bapak Andi

Ali Armunanto, S.IP, M.Si. selaku Pembimbing II yang senantiasa

membimbing dan mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat

selesai.

vii

6. A.Naharuddin, S.IP.,M.Si selaku pembimbing akademik yang senantiasa

membimbing di saat perkuliahan.

7. Bapak/Ibu selaku dosen yaitu, Prof. Dr. Armin Arsyad, M.Si, Ibu Dr.

Gustiana A. Kambo, M.Si, Ibu Dr. Ariana, M.Si , Bapak Drs.H.A.Yakub,

M.Si, Ibu Sakinah Nadir, S.IP,M.Si , Endang Sari S.IP, M.Si. bapak Imran

S.IP M.Si terima kasih atas semua kuliah-kulaih inspiratifnya.

8. Seluruh staf pegawai Jurusan Ilmu Politik Pemerintahan, Pak Mursalim,

Bu Hasnah, dan Ibu Nanna yang senantiasa memberikan arahan dalam

pengurusan berkas.

9. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik Universitas

Hasanuddin, Saudara-saudaraku tercinta keluarga besar INTEGRITAS

2011.

10. Keluarga besar KKN Gelombang 87 Desa Sengeng Palie, Kecamatan

Lamuru, Kabupaten Bone.

11. Keluarga besar UKM Fotografi Universitas Hasanuddin serta saudara-

saudaraku diksar 22 IMATAJINASI

12. Keluarga besar Instanusantara, Instamakassar, Instapinrang,

Fotograferna Makassar

13. Keluarga besar Mujaddid Tajuddin yang selama ini membantu

menghubungkan saya dengan A. M. Iqbal Parewangi.

14. Anggota DPD RI Periode 2014-2019 A. M. Iqbal Parewangi selaku salah

satu informan yang menjadi subjek penelitian ini.

viii

15. Informan dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan

Periode 2010-2015, Ustad. Alwi Uddin selaku ketua PWM, Ustad Mustari

Bosrah Selaku Wakil Ketua, Ustad Mawardi Selaku Sekretaris, Dan

Hasnawin selaku Humas yang telah memberi data untuk kebutuhan

penelitian ini.

Penulis telah berupaya dengan maksimal mungkin dalam

penyelesaian skripsi ini. Namun, penulis menyadari masih banyak

kelemahan baik dari segi isi maupun tata bahasa.

Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran terhadap

skripsi ini agar dikemudian hari penulis dapat membuat tulisan-tulisan yang

lebih baik. Kiranya isi skripsi ini bermanfaaat bagi pembaca dan memperkaya

khasanah ilmu pendidikan dan juga dapat dijadikan sebagai salah satu

sumber referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat meneliti hal yang

sama.

Makassar, Maret 2017

Suratman

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii

LEMBAR PENERIMAAN ............................................................................ iii

ABSTRAKSI ............................................................................................... iii

ABSTRACT ................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ................................................................................... v DAFTAR ISI ............................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................1

A.Latar Belakang ........................................................................................ 1

B.Rumusan Masalah ................................................................................ 10

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 12

A. Teori Peran (Role Theory) ................................................................... 12

1. Definisi Peran ....................................................................................... 13

2. Ketidakberhasilan Peran ....................................................................... 15

3. Faktor-faktor Penyesuaian Peran ......................................................... 17

4. Proses untuk memperkecil ketegangan peran ...................................... 17

B. Teori Elit .............................................................................................. 20

C. Kekuatan Politik ................................................................................... 27

1. Konsep Kekuatan Politik ...................................................................... 27

2. Kelompok Kepentingan Sebagai Kekuatan Politik................................. 27

3. Organisasi Keagamaan Sebagai Kekuatan Politik ................................ 31

D. Konsep Civil Society ............................................................................ 35

E. Kerangka Pikir ..................................................................................... 44

F. Skema Pikir .......................................................................................... 45

x

BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 46

A. Lokasi Penelitian .................................................................................. 46

B. Tipe dan Dasar penelitian .................................................................... 46

C. Sumber Data ....................................................................................... 47

1. Data Primer .......................................................................................... 47

2. Data sekunder ...................................................................................... 47

D. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 47

1. Wawancara ........................................................................................... 47

2. Arsip/Dokumen ..................................................................................... 48

3. Teknik Analisis Data ............................................................................. 48

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN ............................................. 51

A. Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan ...................................... 51

B. Muhammadiyah Sebagai Civil Society dan Kekuatan Politik ............... 64

1. Muhammadiyah Sebagai Civil Society .................................................. 64

2. Muhammadiyah Sebagai Kekuatan Politik ............................................ 68

C. Elit Muhammadiyah SulSel Dan pengaruhnya terhadap masyarakat. . 74

1. Elit PWM Sulsel Periode 2010-2015 ..................................................... 75

2. Pengaruh Elit Muhammadiyah di masyarakat. ...................................... 77

BAB V HASIL & PEMBAHASAN ............................................................. 81

A. Sosialisasi Politik Ke Daerah ............................................................... 82

B. Menggunakan Amalan usaha dan jaringan eksternal .......................... 86

C. Elit dan organisasi Muhammadiyah dalam mengawal Pemilu ............. 93

BAB VI PENUTUP .................................................................................. 100

A. Kesimpulan ........................................................................................ 100

B. Saran ................................................................................................. 101

Daftar Pustaka

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemilu merupakan kompetisi bagi manusia terbaik untuk

menunjukkan visi dan misinya kepada masyarakat serta mewujudkan janji

tersebut apabila menang dalam kompetisi tersebut. Pemilu di Indonesia

adalah ajang 5 tahun sekali untuk memilih penyusun kebijakan (legislatif)

dan pelaksana kebijakan (eksekutif) yang akan mewakili masyarakat

Indonesia. Banyak aktor politik yang ikut serta dalam kompetisi ini baik di

tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Salah satunya adalah Iqbal

Parewangi yang mencalonkan sebagai anggota DPD RI asal Sulawesi

Selatan pada pemilu 2009 dan 2014.

Iqbal Parewangi merupakan sosok akademisi yang santun namun

tegas. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang keluarga serta tumbuh di

lingkungan Muhammadiyah serta berbagai ormas islam lainnya yang

menemani perjalanan karier politiknya. Dengan modal sosial yang cukup

besar itulah yang menjadi salah satu faktor untuk maju dalam pentas politik.

Dari keseluruhan massa yang mendukung Iqbal Parewangi,

Muhammadiyah merupakan yang paling menonjol dalam memenangkan

pemilu 2014.

Sebagai salah satu pelopor gerakan kebangsaan, ORMAS

Muhammadiyah dikenal sebagai Organisasi keagamaan yang bergerak

2

dalam bidang dakwah Islam, dengan orientasi gerakan pada pencerahan

umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri. Dalam gerakan dakwahnya

Muhammadiyah dikenal pula sebagai gerakan Islam yang mempunyai

banyak wajah dalam arti netral, yang menunjukkan bahwa gerakan Islam

modernis ini tidak dapat ditilik hanya dari satu sisi dengan satu wajah tetapi

memerlukan pendekatan yang holistik1. Muhammadiyah juga dikenal memiliki

peranan dalam gerakan pembaharu Islam di Indonesia, yakni sebagai a

religious reformist, agent of social changes, and a political force, khususnya

pada masa Kolonialisme2

Muhammadiyah tampil dalam gerakan pemurnian dengan

memberantas syirik, takhayul, bid’ah dan khurafat di kalangan ummat

Islam. Sebagai agen perubahan sosial, ia melakukan modernisasi sosial

dan pendidikan guna memberantas keterbelakangan umat Islam.

Muhammadiyah sebagai kekuatan politik, memerankan diri selaku

kelompok kepentingan. Beberapa sisi dari wajah Muhammadiyah itu pada

umumnya bermuara pada satu predikat yakni gerakan tajdid, gerakan

pembaharu, gerakan reformis atau modernis.

Gerakan pembaharuan itu merefleksikan upaya proses reislamisasi

yang terus menerus di kalangan kaum muslim yang meliputi proses: (1)

upaya pemahaman yang benar tentang praktik-praktik keagamaan dan

1 PP Muhammadiyah, Pedoman Bermuhammadiyah, (Yogyakarta: Badan Pendidikan Kader PP

Muhammadiyah, Cetakan III-1996), hal. 39 2 Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior Of A Muslim Modernist Organization Under Dutch

Colonialism (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), Hal. 5.

3

usaha-usaha yang diarahkan untuk pemurnian kepercayaan dan ritual

Islam dari pengaruh-pengaruh yang menyimpang; (2) penegasan kembali

(reaffirmasi) ajaran- ajaran pokok tentang urusan-urusan keduniaan; dan

(3) Penafsiran terhadap Islam yang memberikan dasar sebuah wawasan,

bahwa Islam memiliki potensi dan kemampuan untuk beradaptasi dan

berubah3.

Meskipun Muhammadiyah dimaksudkan sebagai organisasi dakwah

dan pendidikan, bukan sebagai organisasi politik. Namun demikian tidak

berarti bahwa Muhammadiyah anti politik, karena bagaimana pun

Muhammadiyah berkepentingan dengan politik untuk mendukung dan

melancarkan gerakan dakwahnya. Oleh karena itu, dalam menghadapi

perubahan politik, Muhammadiyah selalu berhati-hati dan bersikap lentur,

dengan tetap menjaga komitmen untuk mengutamakan bidang dakwah,

pendidikan dan kesejahteraan sosial.

Dalam sejarah perkembangannya, Muhammadiyah telah melewati 3

masa pemerintahan dari era Soekarno hingga era reformasi saat ini.

Kehadiran elit birokrasi dalam Muhammadiyah berkembang bersamaan

dengan pergeseran kehidupan sosial politik di tingkat makro dalam

percaturan politik umat Islam dengan terjadinya hubungan yang saling

akomodatif atau konvergensi antara Islam dan negara serta antara

kelompok santri dan abangan yang melahirkan situasi politik baru di

Indonesia.

3 Ahmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis (Surabaya :LPAM, 2002), hal. 2.

4

Kehadiran elit tersebut dipandang menumbuhkan kecenderungan

sikap atau orientasi politik Muhammadiyah yang semakin moderat,

akomodatif, atau koperatif. Yaitu elit Muhammadiyah dan Muhammadiyah

secara kelembagaan jauh lebih dekat dengan kekuasaan (pemerintah,

negara) daripada dengan masyarakat. Tetapi berkembang pula pandangan

lain bahwa kehadiran elit birokrasi dan elit politisi dalam Muhammadiyah

membuka saluran dan peluang bagi Muhammadiyah dalam

mengembangkan akses politik bagi usaha pemberdayaan masyarakat

melalui gerak dakwah dan amal usaha.

Di Sulawesi Selatan, Muhammadiyah masuk dan berkembang tidak

bisa dilepaskan dari peranan daerah Makassar sebagai cikal bakal lahirnya

Muhammadiyah di Sulawesi Selatan. Muhammadiyah mampu menembus

daerah-daerah pedalaman Sulawesi Selatan, melalui pendirian cabang-

cabang dan grup Muhammadiyah. Dengan meluasnya Muhammadiyah ke

berbagai daerah, didirikanlah masjid/musollah, serta sekolah-sekolah dan

madrasah diniyah sesuai konsep pendidikan Muhammadiyah. Adanya

sekolah-sekolah tersebut, kelihatan mendapat perhatian masyarakat

melebihi sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda saat itu,

sebab selain diajarkan pendidikan Islam, juga diajarkan pendidikan umum

sebagaimana di sekolah-sekolah Belanda.

Dari segi periodesasinya, mereka yang pernah menjabat sebagai

ketua pada Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, dapat

dilihat dalam tabel sebagai berkut:

5

Periodesasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan

Tabel 1.1 Sumber : Website Resmi Muhammadiyah Sulawesi Selatan4

Berdasarkan tabel di atas, hingga saat ini, Ketua Pimpinan Wilayah

Muhammadiyah Sulawesi Selatan, sebanyak 13 orang, dan KH.

Jamaluddin Amin, tercatat sebagai ketua yang pernah menjabat tiga

periode, atau selama 15 tahun, dan KH. Abdullah sebagai ketua pertama

selama 12 tahun.

Pada masa kepemimpinan Dr. H. Muh. Alwi Uddin, Sulawesi Selatan

kembali diamanahkan sebagai tuan rumah Muktamar Muhammadiyah

untuk ketiga kalinya. Muktamar ke-47 tersebut digelar di Kampus

Universitas Muhamamdiyah Makassar, 3-7 Agustus 2015. Kini,

Muhammadiyah Sulsel dipimpin oleh Prof Dr. H. Ambo Asse, M.Ag. Ia

terpilih sebagai Ketua PWM Sulsel periode 2015-2020, dalam Musyawarah

4 http://sulsel.muhammadiyah.co.id di akses pada 10 juni 2016

No Nama Ketua PWM Periode

1 K. H. Abdullah 1926-1938

2 H. Andi Sewang Dg. Muntu 1938-1957

3 H. Qurais Djaelani 1957-1966

4 H. Abd. Wahab Radjab 1966-1968

5 K. H. M. Akib 1968-1971

6 K. H. Abd. Jabbar Ashiri 1971-1974

7 K. H. Ahmad Makkarausu 1974-1977

8 Drs. M. Saleh Hamdani 1977-1981

9 K. H. M. Sanusi Maggu 1981-1985

10 K. H. Jamaluddin Amin 1985-2000

11 Drs. K.H. Nasruddin Razak 2000-2005

12 Drs. K.H. Baharuddin Pagim 2005-2010

13 Dr. H. Muh. Alwi Uddin M.Ag. 2010-2015

14 Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag. 2015-2020

6

Wilayah yang digelar di Palopo, 24-27 Desember 2015.

Keterlibatan Muhamamdiyah dalam politik sama sekali bukan hal

baru. Namun demikian, memahami Muhammadiyah sebagai entitas politik

an sich tentu kurang tepat. Secara kelembagaan bisa jadi tidak

memperlihatkan wajah politis, tetapi anggota-anggotanya bisa leluasa

terlibat dalam politik. Peta dan dinamika politik yang berubah juga

menggiring pilihan-pilihan kelembagaan ormas untuk berubah dalam cara

mensikapi perkembangan politik. Terbukanya kran politik memungkinkan

secara organisatoris trelibat dalam proses elektoral di daerah sebagai

kebutuhan strategis dakwah maupun sebagai ‘korban’ tarik menarik

kepentingan politik elit tertentu, atau keduanya. Salah satu perubahan

‘filosofi’ berpolitik Muhammadiyah adalah dari ‘menjaga jarak yang sama

dengan kekuatan politik’ menjadi ‘menjaga kedekatan yang sama dengan

kekuatan politik’. Ungkapan sederhana ini mempunyai dampak serius

dalam perilaku elektoral pengurus Muhammadiyah di daerah secara

nasional.

Dalam politik elektoral, Muhammadiyah memainkan peran sebagai

‘pemain politik’ sebagaimana partai politik dalam batas tertentu komunikasi

politik, kandidasi, mobilisasi dukungan, dan pendidikan pemilih. Dalam

kasus Pemilukada Kabupaten Maros 2010, meski Pimpinan Daerah

Muhammadiyah (PDM) tidak membentuk tim pemenangan secara formal,

tetapi modal jejaring organisasi digerakkan untuk kepentingan kandidat

berlatar belakang kader persyarikatan. Konsolidasi organisasi pun terus

7

diintensifkan pada masa-masa menjelang pemilihan dengan melibatkan

pengurus unit amal usaha serta jejaring organisasi otonom (ortom). PDM

sebenarnya tidak mentransformasikan diri menjadi aktor, tetapi secara

diam-diam ingin mengalokasikan nilai dengan cara mengeksploitasi

modalitas atau basis legitimasi yang dimiliki elit Muhammadiyah untuk

bermain politik.

Keberadaan, posisi, dan sikap elit Muhammadiyah terhadap janji

politik menjadi penting dalam hal ini untuk membentuk opini warga

Muhammadiyah dan citra yang positif bagi calon yang diusung. Bahkan elit

Muhammadiyah sebagai tokoh sentral dan panutan dapat menggiring

warga Muhammadiyah agar mendukung A. M. Iqbal Parewangi sebagai

konstituennya. Sebab elit merupakan sekelompok kecil orang dalam

masyarakat yang memegang posisi dan peranan penting. Mereka

menempati posisi di dalam masyarakat yang berada di puncak kekuasaan,

untuk mempengaruhi proses politik dan memformulasikan kepentingannya.

Elit memiliki banyak sumber daya (seperti pengetahuan,

pengalaman, financial,dll) yang sangat bermanfaat sehingga sulit

tertandingi oleh anggota yang berusaha ikut ambil bagian mengambil

kebijaksanaan. Hal ini didukung pula oleh realitas bahwa dalam setiap

kelompok kehadiran elit (pemimpin) merupakan sebuah kebutuhan yang

mendesak kelompoknya karena setiap warga masyarakat membutuhkan

pemimpin yang menjadi panutan bagi mereka dalam proses penciptaan

keteraturan dan pola interaksi dalam kelompoknya. Karena itu, tentu saja

8

dukungan para elit ini sangat diharapkan oleh A. M. Iqbal Parewangi

sebagai calon anggota DPD RI.

Sementara itu dalam kasus pemilihan anggota DPD pada Pemilu

2004, PWM membentuk tim sukses di tingkat provinsi dan diikuti dengan

tim sukses di tingkat kabupaten, kecamatan dan kelurahan yang masing-

masing melekat pada fungsi PDM, PCM dan PRM. Rapat-rapat pengurus

pada masa kampanye membahas agenda pemilihan anggota DPD dan

langkah-langkah untuk keberhasilan meraih suara bagi calon, Afnan

Hadikusumo. Pengalaman “keberhasilan” menampilkan kader

persyarikatan pada kompetisi pemilihan DPD pun dimiliki oleh PWM

Sulawesi Selatan pada Pemilu 2014.

Setelah mengalami “kegagalan” memenangkan elit pada Pemilu

2004 dan Pemilu 2009. Pada Pemilihan DPD Tahun 2004, meski PWM

telah merekomendasikan mantan Ketua PWM KH. Nasruddin Razak

sebagai calon resmi, tetapi rivalitas internal tetap terjadi dengan tampilnya

Ketua PW Aisyiyah Nurhayati Aziz sebagai kandidat DPD.

Muhammadiyah gagal memenangkan calon yang diusung karena

fragmentasi elit dan konsolidasi politik organisasi yang tidak berjalan.

Situasi yang hampir serupa terjadi pada pemilihan anggota DPD pada

Pemilu 2009, setidaknya terdapat empat orang kandidat berlatar belakang

kader persyarikatan berkompetisi memprebutkan kursi senator, calon

tersebut adalah KH. Iskandar Tompo (Wakil Ketua PWM), Nurhayati Aziz

(Ketua PW Aisyiyah), A. M. Iqbal Parewangi (Kader IPM), serta Alamsyah

9

Demma (Kader IRM) bersaing memperebutkan dukungan suara pemilih

persyarikatan. Hasil pleno PWM telah memutuskan untuk mengusung KH.

Iskandar Tompo sebagai kandidat yang mendapat restu organisasi, tetapi

munculnya beberapa kader persyarikatan dalam kandidat DPD ini membuat

modalitas sosial dan politik mengalami fragmentasi yang berujung

kegagalan.

Situasi yang sangat berbeda terjadi ketika pemilihan DPD pada

Pemilu 2014, A. M. Iqbal Parewangi, kandidat yang berlatar belakang

pendidikan Muallimin Muhammadiyah ini, berhasil meraih rekomendasi

PWM untuk menjadi representasi persyarikatan dalam pemilihan DPD ini.

Kompetisi internal kader persyarikatan kali ini tidak terjadi, sebagaimana

rivalitas kader dalam pemilihan DPD pada Pemilu 2004 dan 2009.

Eksperimen politik formal cukup berhasil mengantarkan A.M. Iqbal

Parewangi meraih kursi senator DPD mewakili provinsi Sulawesi Selatan.

Selain mendapat rekomendasi dari PWM Sulawesi Selatan, A. M.

Iqbal Parewangi juga mendapat dukungan penuh dari pondok pesantren

Darul Istiqamah yang merupakan salah satu basis suara

Muhammadiyah. Hal tersebut ditandai dengan adanya surat dukungan

Darul Istiqamah yang diperoleh olehnya ditandatangani pimpinan pusat

pesantren darul Istiqamah KH Arif Marzuki Hasan.

Dengan melihat peranan PWM Sulawesi Selatan dalam setiap

kompetisi pemilihan senator DPD, maka pergumulan Muhammadiyah di

gelanggang politik sungguh unik. Dikatakan unik karena meskipun corak

10

hubungan Muhammadiyah dan politik bersifat fluktuatif, namun

Muhammadiyah dalam sejarahnya selalu membangun komunikasi yang

intensif dengan kekuatan-kekutan politik. Kedekatan itu untuk

mempermudah saluran -saluran (alokasi nilai-nilai) di kekuatan politik

tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk

memahami dan melakukan penelitian mengenai : Elit Muhammadiyah dalam

Politik Studi Kasus : Kemenangan A. M. Iqbal Parewangi sebagai anggota

DPD RI pada PEMILU 2104

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah

penelitian yang menjadi fokus perhatian adalah:

Bagaimana peran Elit Muhammadiyah dalam memenangkan A. M. Iqbal

Parewangi sebagai anggota DPD RI pada PEMILU 2104 ?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian :

Penelitian ini bertujuan:

Untuk mendeskripsikan peran Elit Muhammadiyah dalam

memenangkan A. M. Iqbal Parewangi sebagai anggota DPD RI

pada PEMILU 2104.

11

2. Manfaat Penelitian

2.1. Manfaat Akademis :

a) Menjawab fenomena sosial-politik yang ada khususnya dalam

lingkungan ormas dan elit Muhammadiyah.

b) Menunjukan secara ilmiah mengenai kekuatan politik elit

Muhammadiyah di Sulawesi selatan.

c) Dalam wilayah akademis,memperkaya khasanah kajian Ilmu

politik untuk perkembangan keilmuan,khususnya politik

kontemporer.

2.2. Manfaat Praktis :

a) Untuk memberikan bahan rujukan kepada masyarakat yang

berminat dalam memahami realitas kekuatan politik ormas dan

elit Muhammadiyah.

b) Untuk memberikan informasi kepada praktisi politik memahami

realitas kekuatan politik ormas dan elit Muhammadiyah.

c) Sebagai salah satu prasyarat memperoleh gelar sarjana ilmu

politik.

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang teori atau pendekatan yang

digunakan dalam proses penulisan karya ilmiah ini. Adapun teori atau

pendekatan yang digunakan antara lain Teori Peran, Teori Elit, serta

Konsep Kekuatan Politik yang diyakini paling tepat digunakan untuk

menjawab rumusan masalah yang ada. Hal ini dikarenakan konsep inilah

yang merupakan faktor yang mempengaruhi kemenangan A. M Iqbal

Parewangi pada pemilu 2014.

A. Teori Peran (Role Theory)

Teori Peran merupakan seperangkat patokan, yang membatasi apa

prilaku yang mesti dilakukan oleh seseorang yang menduduki suatu posisi.

Peran sebagai suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki

karakterisasi (posisi) dalam struktur sosial. Teori peran adalah perspektif

dalam sosiologi dan psikologi sosial yang menganggap sebagian besar

kegiatan sehari-hari menjadi pemeran dalam kategori sosial (misalnya ibu,

manajer, guru). Setiap peran sosial adalah seperangkat hak, kewajiban,

harapan, norma dan perilaku seseorang untuk menghadapi dan

memenuhi. Model ini didasarkan pada pengamatan bahwa orang

berperilaku dengan cara yang dapat diprediksi, dan bahwa perilaku

individu adalah konteks tertentu, berdasarkan posisi sosial dan faktor

lainnya.

13

1. Definisi Peran

Menurut Kozier Barbara peran adalah seperangkat tingkah laku

yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai

kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh keadaan

sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah

bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi sosial

tertentu. Peran adalah deskripsi sosial tentang siapa kita dan kita siapa.

Peran menjadi bermakna ketika dikaitkan dengan orang lain, komunitas

sosial atau politik. Peran adalah kombinasi antara posisi dan pengaruh.

Menurut Biddle dan Thomas, peran adalah serangkaian rumusan

yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang

kedudukan tertentu. Misalnya dalam keluarga, perilaku ibu dalam keluarga

diharapkan bisa memberi anjuran, memberi penilaian, memberi sangsi dan

lain-lain.5

Menurut Horton dan Hunt, peran (role) adalah perilaku yang

diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status. Berbagai peran

yang tergabung dan terkait pada satu status ini oleh Merton dinamakan

perangkat peran (role set). Dalam kerangka besar, organisasi masyarakat,

atau yang disebut sebagai struktur sosial, ditentukan oleh hakekat (nature)

dari peran-peran ini, hubungan antara peran-peran tersebut, serta

5 Edy Suhardono, Teori Peran Konsep Derivasi dan Implikasinya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), 9-30.

14

distribusi sumber daya yang langka di antara orang-orang yang

memainkannya.

Masyarakat yang berbeda merumuskan, mengorganisasikan, dan

memberi imbalan (reward) terhadap aktivitas-aktivitas mereka dengan

cara yang berbeda, sehingga setiap masyarakat memiliki struktur sosial

yang berbeda pula. Bila yang diartikan dengan peran adalah perilaku yang

diharapkan dari seseorang dalam suatu status tertentu, maka perilaku

peran adalah perilaku yang sesungguhnya dari orang yang melakukan

peran tersebut. Perilaku peran mungkin berbeda dari perilaku yang

diharapkan karena beberapa alasan. Sedangkan, Abu Ahmadi

mendefinisikan peran sebagai suatu kompleks pengharapan manusia

terhadap caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi

tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya.6

Menurut teori ini, sebenarnya dalam pergaulan sosial itu sudah ada

skenario yang disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan

bagaimana peran setiap orang dalam pergaulannya. Dalam skenario itu

sudah `tertulis” seorang Presiden harus bagaimana, seorang gubernur

harus bagaimana, seorang guru harus bagaimana, murid harus

bagaimana. Demikian juga sudah tertulis peran apa yang harus dilakukan

oleh suami, istri, ayah, ibu, anak, mantu, mertua dan seterusnya. Menurut

teori ini, jika seseorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan harmoni,

tetapi jika menyalahi skenario, maka ia akan dicemooh oleh penonton dan

6 Ahmadi, Abu. 1982. Psikologi Sosial. Surabaya: Penerbit PT. Bina Ilmu, hlm. 50.

15

ditegur sutradara. Dalam era reformasi sekarang ini nampak sekali

pemimpin yang menyalahi skenario sehingga sering didemo publik.

Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder membantu

memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan

“life-course” memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan

kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai

dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid

sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu

pada usia delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun,

mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam

puluh tahun.

Di Indonesia berbeda, usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya

pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh

lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age grading). Dalam

masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanak-

kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa

mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.

2. Ketidakberhasilan Peran

Dalam kaitannya dengan peran yang harus dilakukan, tidak

semuanya mampu untuk menjalankan peran yang melekat dalam dirinya.

Oleh karena itu, tidak jarang terjadi kekurang berhasilan dalam

16

menjalankan perannya. Dalam ilmu sosial, ketidakberhasilan ini terwujud

dalam role conflict dan role strain.

2.1. Role Conflict

Setiap orang memainkan sejumlah peran yang berbeda, dan

kadang-kadang peran-peran tersebut membawa harapan-harapan yang

bertentangan. Menurut Hendropuspito , konflik peran (role conflict) sering

terjadi pada orang yang memegang sejumlah peran yang berbeda

macamnya, kalau peran-peran itu mempunyai pola kelakuan yang saling

berlawanan meski subjek atau sasaran yang dituju sama. Dengan kata

lain, bentrokan peranan terjadi kalau untuk menaati suatu pola, seseorang

harus melanggar pola lain.

Setidaknya ada dua macam konflik peran. Yakni, konflik antara

berbagai peran yang berbeda, dan konflik dalam satu peran tunggal.

Pertama, satu atau lebih peran apakah itu peran independen atau bagian-

bagian dari seperangkat peran) mungkin menimbulkan kewajiban-

kewajiban yang bertentangan bagi seseorang. Kedua, dalam peran

tunggal mungkin ada konflik inheren.

2.2. Role Strain

Adanya harapan-harapan yang bertentangan dalam satu peran

yang sama ini dinamakan role strain. Satu hal yang menyebabkan

terjadinya role strain adalah karena peran apapun sering menuntut adanya

interaksi dengan berbagai status lain yang berbeda. Sampai tingkatan

tertentu, masing-masing interaksi ini merumuskan peran yang berbeda,

17

karena membawa harapan-harapan yang berbeda pula. Maka, apa yang

tampak sebagai satu peran tunggal mungkin dalam sejumlah aspek

sebenarnya adalah beberapa peran. Misalnya, status sebagai karyawan

bagian pemasaran (sales) eceran di sebuah perusahaan, dalam arti

tertentu sebenarnya membawa beberapa peran: sebagai bawahan

(terhadap atasan di perusahaan itu), sebagai sesama pekerja (terhadap

karyawan-karyawan lain di perusahaan itu), dan sebagai penjual (terhadap

konsumen dan masyarakat yang ditawari produk perusahaan tersebut).7

3. Faktor-faktor Penyesuaian Peran

Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam menyesuaikan diri dengan

peran yang harus dilakukan, yaitu :

a. Kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran

b. Konsistensi respon orang yang berarti terhadap peran yang dilakukan

c. Kesesuaian dan keseimbangan antar peran yang diemban

d. Keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran

e. Pemisahan perilaku yang akan menciptakan ketidaksesuaian

perilaku peran

4. Proses untuk memperkecil ketegangan peran

Menurut Horton dan Hunt, seseorang mungkin tidak memandang

suatu peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain

memandangnya. Sifat kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana

7 Hendropuspito, D., OC. 1989. Sosiologi Sistematik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 105-107.

18

orang itu merasakan peran tersebut. Tidak semua orang yang mengisi

suatu peran merasa sama terikatnya kepada peran tersebut, karena hal ini

dapat bertentangan dengan peran lainnya. Semua faktor ini terpadu

sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua individu yang memerankan satu

peran tertentu dengan cara yang benar-benar sama8. Ada

beberapa proses yang umum untuk memperkecil ketegangan peran dan

melindungi diri dari rasa bersalah, yaitu antara lain:

5.1. Rasionalisasi

Rasionalisasi yakni suatu proses defensif untuk

mendefinisikan kembali suatu situasi yang menyakitkan dengan

istilah-istilah yang secara sosial dan pribadi dapat diterima.

Rasionalisasi menutupi kenyataan konflik peran, yang mencegah

kesadaran bahwa ada konflik. Misalnya, orang yang percaya bahwa

“semua manusia sederajat” tapi tetap merasa tidak berdosa memiliki

budak, dengan dalih bahwa budak bukanlah “manusia” tetapi “benda

milik.”

5.2. Pengotakan (Compartmentalization)

Pengotakan yakni memperkecil ketegangan peran dengan

memagari peran seseorang dalam kotak-kotak kehidupan yang

terpisah, sehingga seseorang hanya menanggapi seperangkat

tuntutan peran pada satu waktu tertentu. Misalnya, seorang politisi

8 Horton, Paul B., dan Chester L. Hunt. 1993. Sosiologi, Jilid 1 Edisi Keenam, (Alih Bahasa: Aminuddin

Ram, Tita Sobari). Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm.129-130.

19

yang di acara seminar bicara berapi-api tentang pembelaan

kepentingan rakyat, tapi di kantornya sendiri ia terus melakukan

korupsi dan merugikan kepentingan rakyat.

5.3. Ajudikasi (Adjudication)

Ajusikasi yakni prosedur yang resmi untuk mengalihkan

penyelesaian konflik peran yang sulit kepada pihak ketiga, sehingga

seseorang merasa bebas dari tanggung jawab dan dosa.

5.4. Kedirian (Self)

Kadang-kadang orang membuat pemisahan secara sadar

antara peranan dan “kedirian” (self), sehingga konflik antara peran

dan kedirian dapat muncul sebagai satu bentuk dari konflik peran.

Bila orang menampilkan peran yang tidak disukai, mereka kadang-

kadang mengatakan bahwa mereka hanya menjalankan apa yang

harus mereka perbuat. Sehingga secara tak langsung mereka

mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat

disamakan dengan tindakan-tindakan mereka itu. Konflik-konflik

nyata antara peran dan kedirian itu dapat dianalisis dengan konsep

jarak peran (role distance) yang dikembangkan Erving Goffman.

“Jarak peran” diartikan sebagai suatu kesan yang ditonjolkan oleh

individu bahwa ia tidak terlibat sepenuhnya atau tidak menerima

definisi situasi yang tercermin dalam penampilan perannya. Ia

melakukan komunikasi-komunikasi yang tidak sesuai dengan sifat

20

dari peranannya untuk menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar

peran yang dimainkannya.

Seperti, pelayan toko yang mengusulkan pembeli untuk pergi

ke toko lain karena mungkin bisa mendapatkan harga yang lebih

murah. Ini merupakan tindakan mengambil jarak dari peran yang

mereka lakukan dalam suatu situasi. Penampilan “jarak peran”

menunjukkan adanya perasaan kurang terikat terhadap peranan.

Pada sisi lain, “penyatuan diri” dengan peranan secara total

merupakan kebalikan dari “jarak peran.” Penyatuan diri terhadap

peran tidak dilihat dari sikap seseorang terhadap perannya, tetapi

dari tindakan nyata yang dilakukannya. Seorang individu menyatu

dengan perannya bila ia menunjukkan semua kemampuan yang

diperlukan dan secara penuh melibatkan diri dalam penampilan

peran tersebut.

B. Teori Elit

Mas’oed dan Mc.Andrews, memberikan penjelasan yang sangat

penting dalam pengantar tulisan Robert D. Putnam mengenai elit. Putnam

setelah melakukan kajian yang cukup panjang mengenai teori-teori elit, lalu

memunculkan pemahaman baru mengenai elit politik, kekuasaan, dan

pengaruh politik. Putnam mengkritik dikotomi stratifikasi sosial klasik yang

hanya membagi menjadi dua lapisan yaitu elit pemilik kekuasaan dan

massa yang tidak memiliki kekuasaan.

21

Putnam menunjukkan adanya tiga cara untuk mengetahui siapa

yang berpengaruh besar atau berkuasa dalam suatu masyarakat politik,

yaitu dengan menggunakan analisa posisi, analisa reputasi, dan analisa

keputusan. Ketiganya, menurut Mas’oed, memiliki kelebihan dan

kekurangan tapi sesuai dengan definisi kekuasaan, maka Putnam lebih

memilih atau menganjurkan analisa keputusan.

Secara terminologi dalam Dictionary of Sociology yang ditulis

DavidJery dan Julia Jery menjelaskan secara ringkas bahwa Elit is literally

the “best” or most talented members of society (e.g. educational elit),

however in sociology the term most usually refers to political elit. Here, the

asumstion of elit teory has been that a devision between elits and a

masses is an invitible feature of any complex modern society, and that

aspirations of radical democrats that the people as whole could rule is

mistaken.

Dalam sebuah kelompok masyarakat, terdapat beberapa individu

yang memiliki pengaruh dan peranan yang kuat. Mereka inilah yang

disebut elit. Istilah elit sebenarnya berasal dari kata latin eligere yang

berarti “memilih”. Pada abad ke-18, penggunaan kata itu dalam bahasa

Prancis telah meluas dengan memasukkan penjelasan baru dalam bidang-

bidang lainnya. Kaum elit adalah minoritas-minoritas yang efektif dan

bertanggung jawab; efektif melihat kepada pelaksanaan kegiatan

kepentingan dan perhatian kepada orang lain tempat golongan elit ini

memberikan tanggapannya. Kajian mengenai elit memang relatif sedikit.

22

Meskipun, telah banyak para tokoh yang memberikan kontribusi

terhadap perkembangan kajian terhadap elit.

Elit politik sebenarnya muncul dalam dunia sosiologi untuk

membedakan satu komunitas dengan komunitas lain. Secara sederhana

elit biasa diartikan sebagai anggota masyarakat yang paling berbakat

seperti elit agama, elit organisasi, namun dalam perspektif sosiologi elit

lebih diartikan sebagai elit politik (Political Elite). Menurut David Jarry dan

Julia Jerry yang dinyatakan oleh Syarifuddin Jurdi mempunya asumsi

tentang teori elit. Mereka mengatakan bahwa munculnya kelas elit dan

rakyat jelata merupakan ciri yang tidak terelakkan dalam masyarakat

modern. Asumsi mereka bahwa rakyat secara keseluruhan yang

menjalankan pemerintahan adalah sesuatu yang keliru, karena

sesunggunya yang menjalankan kebijakan adalah para elit.9

Syarifuddin Jurdi, menambahkan yang disebut elit adalah

sekelompok kecil dalam masyarakat yang memegang posisi dan peranan

penting. Dalam perkataan lain Syarifuddin Jurdi menambahkan bahwa elit

adalah segolongan kecil yang memperoleh sebagian besar dari nilai apa

saja, elit itu menunjuk pada mereka yang berpengaruh.10

Kajian mengenai elit memang relatif sedikit. Meskipun, telah

banyak para tokoh yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan

9 Syarifudin Jurdi, Elite Muhammadiyah dan Kekuasaan Politik, Studi tentang Tingkah Laku Politik Elite Lokal Muhammadiyah Sesudah Orde Baru, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004. Hal. 19-20 10 Ibid. hal. 21

23

kajian terhadap elit. Beberapa tokoh yang memberikan kontribusi

pemikiran terhadap kajian elit adalah:

a. Aristoteles

Dalam karyanya Politika, Aristoteles menitikberatkan kepada sifat

dan tujuan negara serta manusia yang terpilih untuk bertugas. Dalam

pandangannya negara mempunyai suatu fungsi yang melampaui fungsi

untuk pencegahan kejahatan atau mengatur tukar-menukar.

Konsepsi Aristoteles mengenai negara tersebut memang terlalu

sempit. Menurutnya, pemimpin-pemimpin dalam suatu negara bukan

hanya kaum elit politis tetapi juga semua mereka yang tindakan dan

usahanya berorientasi untuk mengamankan dan memajukan kepentingan-

kepentingan masyarakat. Mereka seperti gabungan dari para pemimpin

(elit) politik, ekonomi, moral dan budaya. Tanpa melihat kepada bentuk

pemerintahan yang berkembang, Aristoteles menganggap bagwa suatu

kelompok elit harus muncul untuk melanjutkan atau memikul urusan-

urusan negara. Karena kelompok elit tersebut lebih permanen dari pada

susunan kelembagaan tertentu golongan elit spesialis. Dia juga

menambahkan bahwa elit juga harus bertanggungjawab atas

kesejahteraan moral dan material masyarakat.

b. Vilvredo Pareto dan Gaetano Mosca

Pareto meyakini bahwa elit yang tersebar pada sektor pekerjaan

yang berbeda itu umumnya berasal dari kelas yang sama. Yakni orang-

orang yang kaya dan pandai. Ia menggolongkan masyarakat ke dalam dua

24

kelas, lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non-elite). Lapisan atas

terbagi dalam dua kelompok, yakni elit yang memerintah (governing elite)

dan elit yang tidak memerintah (non- governing elite), Sedangkan, Mosca

lebih fokus terhadap analisisnya terhadap bagaimana elite yang berkuasa

mempertahankan kekuasaannya.

Keduanya beranggapan bahwa elit yang ada terdiri dari orang-

orang yang terbaik, yaitu yang memiliki nilai-nilai masyarakat pada suatu

waktu tertentu. Artinya, mereka yang dapat melakuka pendekatan yang

terbaik kepada massalah sehingga mendapatkan perhatian dari massa,

akan memperoleh dukungan untuk meraih tujuannya. Seperti Saint Simon,

Pareto dan Mosca menilai elit adalah suatu wajah masyarakat yang

kompleks. Kehadirannya tidak dapat ditiadakan. Pandangan ini dengan

jelas menolak anggapan Marx yang menilai bahwa elit adalah suatu fase

lintasan sejarah manusia belaka.

c. Karl Mannheim

Mannheim membedakan antara dua tipe elit yang berbeda secara

fundamental. Pertama, elit yang integratif, yang terdiri dari pemimpin politik

dan organisasi. Dan kedua adalah elit sublimatif, yang terdiri dari para

pemimpin moral keagamaan, seni dan intelektual.

Fungsi dari elit integratif adalah mengintegrasikan sejumlah besar

kehendak-kehendak perseorangan. Sedangkan, kelompok elit sublimatif

berfungsi untuk mengadakan sublimasi tenaga kejiwaan manusia. Jika elit

25

integratif bergerak dalam organisasi-organisasi formal maka elit sublimatif

bergerak melalui gerakan-gerakan kecil.

Mannheim melihat elit sebagai suatu hubungan dan keperluan

kolektif. Artinya, kehadirannya sangat dibutuhkan dalam tatanan

kehidupan sosial. Pernyataan ini juga sekaligus meneguhkan

keberpihakannya pada Pareto dan Mosca. Dia juga menilai bahwa para elit

menjalankan kekuasaannya secara fungsional dan melembaga. Artinya,

elit selalu bergerak secara terorganisasi berdasarkan latar belakang

kekuasaannya.

Dari beberapa pemikiran di atas memberikan sebuah gambaran

bahwa peranan elit dalam sebuah masyarakat tidak dapat dihilangkan.

Sebagai tokoh yang berpengaruh, elit dapat mendorong massa menuju

kepada arah untuk mewujudkan kepentingannya.

Kebiasaan melakukan pengelompokan sosial dalam

masyarakat berdasarkan kategori tertentu memang telah menjadi bagian

yang tidak terpisahkan dalam konstruksi pikiran masyarakat. Dan

sebenarnya dalam banyak hal elit merupakan borjuasi sehingga untuk

mengatakan elit ekonomi maka sebutan yang paling cocok di negara

perdagangan dan industri adalah borjuasi sebagai pemilik modal. Untuk

melihat kelompok elit dalam Muhammadiyah sangat tepat meminjam

definisi elit yang ditulis oleh J.W. Schoorl:

26

“bahwa yang dimaksudkan dengan elit ialah posisi di dalam

masyarakat di puncak struktur-struktur sosial yang terpenting,

yaitu posisi-posisi tinggi di dalam ekonomi, pemerintahan,

aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan-

pekerjaan bebas.”

Dalam konteks Muhammadiyah, definisi spesifik tentang elit lebih

dekat dengan apa yang disebut sebagai “A group or class of persons or a

member of such a group or class, enjoying superior intellectual, social, or

economic status: “In addition to notions of social equality there was much

emphasis on the role of elits and of heroes within them” (Times Literary

Supplement). Karena, dalam Muhammadiyah, selain elit dalam puncak

kepemimpinan di level pusat, secara kultural juga ada kekuatan kharisma

yang melekat pada sosok tertentu baik di level nasional atau lokal, seperti

elit dalam pimpinan universitas atau lembaga pendidikan sebagaimana

yang disinggung Schoorl. Selain itu, mobilitas elit di Muhammadiyah sangat

ditentukan oleh latar belakang dan capaian ketinggian pendidikan. Bisa

dilihat berapa banyak profesor yang bisa menjadi ketua umum atau 13

‘dewa’ Muhammadiyah.11

11 David Efendy, Politik Elit Muhammadiyah : Studi Tentang Fragmentasi Elit Muhammadiyah, (Jakarta : Reviva Cendana. 2014) . Hal.10

27

C. Kekuatan Politik

1. Konsep Kekuatan Politik

Miriam Budiarjo Mengatakan bahwa yang diartikan dengan

kekuatan- kekuatan politik adalah bisa masuk dalam pengertian Individual

maupun dalam pengertian kelembagaan. Dalam pengertian yang bersifat

individual, kekuatan- kekuatan politik tidak lain adalah aktor-aktor politik

atau orang-orang yang memainkan peranan dalam kehidupan politik.

Orang-orang ini terdiri dari pribadi- pribadi yang hendak mempengaruhi

proses pengambilam keputusan politik. Dan secara kelembagaan di sini

kekuatan politik sebagai lembaga atau organisasi ataupun bentuk lain

yang melembaga dan bertujuan untuk mempengaruhi proses

pengambilan keputusan dalam sistem politik.12

Baktiar Efffendi Mengemukakan bahwa kekuatan - kekuatan

politik adalah segala sesuatu yang berperan dan berpengaruh serta

terlibat secara aktif di dalam dunia politik. Beliau juga membagi kekuatan

politik menjadi 2 sub bagian besar, yakni kekuatan politik formal dan

kekuatan politik non-formal.

2. Kelompok Kepentingan Sebagai Kekuatan Politik

Dalam literatur politik, ‘kelompok kepentingan’ lazimnya

dinisbahkan kepada kelompok, asosiasi atau perhimpunan profesi yang

memperjuangkan kepentingan-kepentingan tertentu sesuai profesi para

12 Miriam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998, hal 58

28

anggotanya. Karena itu, kelompok-kelompok kepentingan secara alamiah

memiliki minat lebih terbatas pada kepentingan kelompoknya sendiri,

yang bahkan tidak selalu bersifat atau berkonotasi politik; atau bahkan

tidak atau hampir tidak terkait dengan politik nasional Indonesia.

Kelompok kepentingan (Interest Group) adalah setiap organisasi

yang berusaha mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah, tanpa

berkehendak memperoleh jabatan publik. Kecuali dalam keadaan luar

biasa, kelompok kepentingan tidak berusaha menguasai pengelolaan

pemerintah secara langsung. Sekalipun mungkin pemimpin-pemimpin

atau anggotanya memenangkan kedudukan-kedudukan politik

berdasarkan pemilihan umum, kelompok kepentingan itu sendiri tidak

dipandang sebagai organisasi yang menguasai Pemerintah.13

Pada kajian historisnya, Kelompok-kelompok kepentingan

muncul pertama kali pada abad ke 19. Organisasi ini berbeda dengan

partai politik, mereka tidak memperjuangkan kursi dalam parlemen,

mereka lebih memfokuskan diri pada masalah-masalah tertentu saja.

Meski tidak cukup mudah untuk membedakannya, karena partai politik

antara lain juga memiliki kepentingan atas kebijakan pemerintah. Secara

sederhana, Gabriel A. Almond, misalnya, membedakan dua hal ini:

kelompok kepentingan adalah setiap organisasi yang berusaha

mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa, pada waktu yang sama,

13 A. Rahman H.I, Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2007, hal 85

29

berkehendak memperoleh jabatan publik. Sebaliknya, partai politik benar-

benar bertujuan untuk menguasai jabatan-jabatan publik. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan kelompok kepentingan bukan

untuk meraih kekuasaan, sementara partai politik untuk meraih

kekuasaan.

Partai politik umumnya beranggotakan massa yang terdiri dari

latar belakang yang berbeda namun punya kepentingan yang sama yakni

kekuasaan sedangkan kelompok kepentingan keanggotaannya terdiri

atas golongan-golongan yang menganggap dirinya tertindas serta

terpinggirkan dan hanya mempunyai satu tujuan yaitu “kepentingan”

dalam kelompoknya (bukan kekuasaan).

Dasar dari kelompok ini adalah “protes”. Mereka sangat kritis

terhadap cara-cara berpolitik dari para politisi dan pejabat, dan merasa

terasingkan dari masyarakat. Mereka menginginkan desentralisasi

pemerintah, partisipasi dalam peningkatan swadaya masyarakat,

terutama masyarakat lokal. Kelompok- kelompok ini sering berinteraksi

dengan badan eksekutif, dengan tetap memperhatikan kedudukan

otonomnya terhadap negara (sering di sebut NGO).

Cara kerja kelompok ini sebanyak mungkin tanpa tekanan atau

paksaan, tetapi melalui lobbying serta networking yang intensif tetapi

persuasif. Akan tetapi jika cara ini kurang berhasil, mereka tidak segan-

segan bertindak lebih keras dengan mengadakan tindakan langsung

30

seperti demonstrasi besar-besaran, pendudukan dan pemogokan, yang

kadang-kadang berakhir dengan kekerasan.

Beberapa hal penting lain yang secara signifikasi dapat

mempengaruhi hasil akhir kegiatan kelompok kepentingan ialah Dari sisi

internal organisasi, seperti; lingkungan keanggotaan, loyalitas anggota

(menjadi anggota dari berbagai organisasi atau tidak), lingkup kegiatan,

dan derajat ke dalam kegiatan. Dari segi cara an sarana yang digunakan

untuk memperjuangkan tuntutan, dapat ilihat,seperti: sifat teknik-teknik

yang digunakan untuk mencapai tujuan kelompok, bentuk tuntutan yang

diajukan (terinci jelas atau umum dan kabur).

Dari segi eksternal organisasi, hal-hal seperti: derajat kesesuaian

dan ketaatan tujuan dan kegiatan kelompok dengan norma-norma dan

kebiasaan budaya politik yang berlaku, derajat kelembagaan kegiatan

dan prosedur yang diikuti kelompok telah mengikuti pola yang ada atau

berubah-ruba, dan derajat kemampuan kelompok memelihara akses

komunikasi langsung dengan pemerintah yang hendak dipengaruhi,akan

sangat mempengaruhi keberhasilan atau hasil, akhir dari pada

pencapaian tujuan kelompok kepentingan.

Namun yang tak dapat ditinggalkan begitu saja ialah artikulasi

kepentingan dalam konteks perjuangan kelompok kepentingan dalam

rangka menjembatani kepentingan-kepentingan warga. Oleh karena itu,

warga Negara atau setidak-tidaknya wakil dari suatu kelompok harus

31

berjuang mengangkat kepentingan dan tuntutan kelompoknya, agar

dapat dimasukan kedalam agenda kebijakan Negara.Setiap individu

memiliki tujuan panggilan hidup yang berbeda-beda, begitu halnya dalam

suatu kelompok, kelompok yangg satu beda dengan yang lainnya,

kelompok itu terbentuk karena adanya kesamaan antara anggotanya.

Sehingga Kelompok-kelompok ini terbagi-bagi menjadi jenis yang lebih

sederhana seperti yang dikemukakan oleh. Gabriel A. Almond dan

Bingham G. Powell yakni membagi kelompok kepentingan dalam empat

kategori yaitu : (1) kelompok anonim, (2) kelompok nun-asosiasional, (3)

kelompok institusional, (4) kelompok asosiasional14. Keseluruhan

kelompok itu bergerak dalam focus tuntutannya masing-masing terhadap

kebijakan pemerintah untuk memperjuangkan tuntuntan yang sama

yakni kesetaraan. Hal itulah yang saya sebut dengan kekuatan politik.

3. Organisasi Keagamaan Sebagai Kekuatan Politik

Roland Robertson membuat suatu model yang menggambarkan

hubungan antara tingkat homogenitas dan heteroginitas agama yang

dianut suatu masyarakat dikaitkan dengan organisasi keagamaan, ke

dalam empat tipe:

a. Pada masyarakat yang memiliki heteroginitas dalam agama, ada

dua tipe: yaitu agama secara organisasi terpisah dari kehidupan

14 Gabriel A. Almond dan Bingham G. Powell, def, Comparative Politics Today : A World bea,

edisi ke-5 (New York: Harpen Collins, 1992) helm. 62-65 yang dikutip dalam buku Miriam

Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010,

hal.387

32

ekonomi,politik, dan pendidikan; dan agama yang tidak begitu

terorganisir.

b. Pada masyarakat yang memiliki homoginitas agama, juga ada dua

tipe: yaitu agama teroganisir dengan baik, dan agama diakui secara

resmi sebagai agama negara; dan tidak terorganisir seperti pada

masyarakat primitif.

Pola interaksi dan relasi antar organisasi keagamaan,

sebagaimana yang terjadi pada pola interaksi dan relasi pada individu,

interaksi dan relasi organisasi keagamaan ini bisa bersifat kompetisi,

konflik, dan kerjasama.

Tipologi organisasi keagamaan: secara umum tipologi

organisasi keagamaan ada yang sifatnya melekat dan terlepas dari

struktur agama yang bersangkutan. Dalam agama Kristen misalnya,

terdapat struktur hierarkial dari gereja di Vatikan yang bersifat

internasional sampai ke tingkat lokal; sementara dalam Islam tidak ada

organisasi yang semacam itu. Tipologi organisasi keagamaan yang lain

bisa dilihat dari:

1) Sifat pembentukannya, ada organisasi keagamaan yang

merupakan bentukan pemerintah dan bahkan masuk dalam struktur

pemerintahan (MUI, PGI, Walubi dst), dan yang merupakan inisitif

murni dari para penganutnya (NU, Muhammadiyah, Persis, dst);

2) Orientasinya, ada organisasi keagamaan yang berorientasi

kemasyarakatan (NU, Muhamadiyah), politik (PKS dan HTI), dan

33

profesi-keilmuan (ICMI);

3) Keanggotaan, ada organisasi keagamaan yang terbuka (inklusif)

dan ada yang bersifat tertutup (eksklusif);

4) mazhab, ada organisasi keagamaan yang bebas mazhab dan ada

yang menekankan pada mazhab tertentu’

5) Pola berpikir, ada organisasi keagamaan yang bercorak liberal dan

konservatif;

6) ijtihad, ada organisasi keagamaan yang menggunakan pola ijtihad

tekstual dan kontekstual, ada yang sangat menekankan ijtihad dan

ada yang cukup dengan taklid atau ittiba’;

7) Sikap keagamaan, ada organisasi keagamaan yang masuk dalam

kaategori fundamentalis-militan dan fundamentalis-moderat;

8) Respon terhadap tradisi, ada organisasi keagamaan yang bercorak

puritanis dan ortodok yang mempertahankan kemurnian ajaran, dan

organisasi keagamaan yang akomodatif- modifikatif;

9) Respon terhadap perkembangan, ada organisasi keagamaan yang

menekankan tradisi modernitas-reformitas dan ada yang

mempertahankan pola lama atau tradisional;

10) Orientasi dunia- akhirat, ada organisai keagamaan yang sangat

menekankan kepentingan akhirat dan ada yang menekankan

keberimbangan antara keduanya; dan

11) Sifat keorganisasian, ada organisasi keagamaan yang samar-

samar seperti pengikut suatu mazhab yang tidak ada struktur

34

pengurusnya, dan organisasi keagamaan yang jelas struktur

keoganisasiannya.

Telah dijelaskan di atas tentang apa itu organisasi

keagamaan. Sekarang mari kita lihat hubungannya dengan politik

dalam hal ini sebagai kekuatan politik. Bisa kita lihat dalam fakta

sejarah jatuhnya pemerintahan orde baru memiliki implikasi yang

cukup penting terhadap relasi agama dan politik. Meskipun tidak

seperti revolusi politik. Perubahan-perubahan kelembagaan politik

termasuk cukup cepat. Kelompok-kelompok yang ada di dalam

maupun yang sudah ada melakukan rekonstruksi sendiri-sendiri

tentang pelembagaan politik. Kekuatan- kekuatan itu berupaya untuk

menikmati yang namanya kebebasan dengan membentuk partai-

partai baru. Bahkan para pendiri partai baru itu merupakan salah

satu anggota dari partai yang sudah ada dulu (PPP, Golkar, PDI).

Ormas keagamaan baik dalam tinjauan teoritis-normatif

maupun historis empirik menempati posisi strategis dalam melakukan

pemberdayaan politik masyarakat. Secara historis posisi yang pernah

dimainkan memiliki effektifitas melebihi peran dan posisi yang

dimainkan oleh organisasi politik formal, hal ini seperti yang

ditunjukkan oleh gerakan politik etis yang dilakukan oleh dua ormas

besar seperti Muhammadiyah dan NU15.

15 Faisal Ismail, Islamic Traditionalism in Indonesia, (Jakarta : Badan Litbang Agama dan Diklat

Keagamaan. 2003) RI. Hal.94-95

35

D. Konsep Civil Society

Secara harfiah, civil society sendiri adalah terjemahan dari istilah

latin, civilis societas. Istilah ini pada awalnya digunakan oleh Cicero–

seorang orator dan pujangga Roma yang hidup pada abad pertama

sebelum Kristus. Menurut Cicero, civil society bisa disebut sebagai

sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum

sebagai dasar pengakuan hidup. Konsep Cicero mencakup kondisi

masyarakat yang memiliki budaya dan menganut norma-norma

kesopanan tertentu.16

Sejauh ini terdapat beberapa perkembangan penafsiran civil

society dari berbagai pemikir sosial dan politik. Konsep civil society

pertama kali dicetuskan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, yang lahir di

Semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada tahun 384 S.M, dan

meninggal di Kalkis pada tahun 322 S.M.17 Aristoteles menggunakan

istilah koinonia politike, atau dalam bahasa Latin societas civilis, yang

berarti masyarakat politik (political society).

Istilah koinonia politike ini digunakan oleh Aristoteles untuk

menggambarkan sebuah masyarakat politik dan etis warga negara yang

mempunyai kedudukan sama di depan hukum.18 Selain itu, istilah koinania

16 M. Dawam Rahadjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial

(Jakarta: LP3ES, 1999), Hal 137 17 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta, UI-Press dan Tintamas, 1986), H a l 115.

18 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani; Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1999),Hal. 47

36

politike ialah komunitas politik tempat warga terlibat langsung dalam

berbagai ajang ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.

Dalam buku Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society:

Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, konsep civil society kemudian

dikembangkan oleh Thomas Hobbes19 dan John Locke.20 Menurut

Hobbes, civil society yang identik dengan negara merupakan perwujudan

dari kekuasaan absolut. Civil society hadir untuk meredam konflik agar

tidak terjadi chaos dan tindakan anarki. Civil society berfungsi untuk

mengontrol dan mengawasi perilaku politik warga yang memiliki

kekuasaan mutlak. Sedangkan menurut John Locke, civil society

berfungsi untuk menjaga kebebasan warga dan melindungi hak-hak milik

individu.21

Pemahaman civil society merupakan sebuah gagasan yang

menjadi interest para filsuf pencerahan. Salah satu tokohnya adalah

Adam Ferguson, filsuf dari Skotlandia, yang memahami civil society

sebagai ”sebuah visi etis dalam berkehidupan bermasyarakat.” Ferguson

menggunakan istilah ini untuk mengantisipasi perubahan social yang

diakibatkan oleh revolusi industri danmunculya kapitalisme.

19 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara,

Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), Hal. 165.

20 Ibid, 181-182.

21 Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2006), Hal. 44-45

37

M.A.S Hikam dalam buku Islam, Demokrasi, dan

Pemberdayaan Civil Society, mengutip pendapat Ferguson yang

mengatakan bahwa munculnya ekonomi pasar dapat melunturkan

tanggung jawab publik terhadap sesama warga negara karena

kecenderungan pemuasan kepentingan pribadi. Oleh karena itu, civil

society dapat menghalangi munculnya tindakan kesewenangan

pemerintah. Dalam civil society itulah solidaritas bisa muncul yang diilhami

oleh sikap saling menyayangi antar sesama warga.22

Di dalam buku tersebut, konsep civil society mengalami

perubahan pada paruh akhir abad ke 18. Menurut Thomas Paine,

seorang aktivis liberal, perlu adanya pemisahan antara civil society

dan negara. Peran negara harus dibatasi sekecil-kecilnya karena

keberadaannya merupakan keniscayaan yang buruk (necessary evil)

belaka. Civil society merupakan ruang dimana dapat mengembangkan

kepribadiannya secara bebas dan memberikan peluang bagi pemuasan

kepentingannya. Karena itu, civil society berperan terhadap kontrol

negara.23

Berbeda pandangan dengan Thomas Paine, dalam buku

Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial

karya M Dawam Rahadjo, Hegel, seorang pemikir sosial politik Jerman,

berpendapat bahwa civil society sesungguhnya merupakan produk

22 Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society, Hal. 115.

23 Ibid 116

38

masyarakat borjuis. Hegel membagi kehidupan modern ini menjadi tiga

wilayah, yakni keluarga, civil society, dan negara. Keluarga merupakan

ruang pribadi yang ditandai hubungan harmonis antar individu dan

menjadi tempat sosialisasi pribadi anggota masyarakat.

Kemudian civil society dimaknai sebagai lokasi pemenuhan

kepentingan ekonomi baik individu maupun kelompok. Sementara negara

merupakan representasi dari ide universal yang melindungi kepentingan

politik warga. Dengan demikian negara mempunyai hak intervensi

kepada civil society, karena civil society mengandung potensi konflik. Civil

society tidak bisa dilepaskan dari kontrol negara.24

Dalam buku itu M. Dawam Rahadjo mengutip pendapat Karl

Marx25, bahwa civil society adalah sebagai masyarakat borjuis. Bagi

Marx, masyarakat borjuis mencerminkan kepemilikan yang bermuatan

materialisme, dimana setiap orang mementingkan dirinya sendiri, dan

setiap orang berjuang melawan yang lainnya.26 Konsepsi lain ditemukan

dalam buku Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society; Wacana dan

Aksi Ornop di Indonesia, ia mengutip pendapat Tocqueville bahwa civil

society bukan subordinat negara. Civil society merupakan suatu entitas

yang keberadaannya dapat menerobos batas-batas kelas, memiliki

24 Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, 48.

25 Robert M.Z Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: PT Gramedia, 1986), Hal. 126.

26 M. Dawam Rahadjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, Hal. 142.

39

kapasitas politik yang cukup tinggi, dan menjadi kekuatan pengimbang

intervensi Negara.27

Oleh karena itu, gagasan Tocqueville dijadikan sebagai sumber

referensi gerakan pro-demokrasi di negara Barat maupun di Indonesia.

Perkembangan civil society di Indonesia mulai tumbuh atas kesadaran

masyarakat untuk mendirikan organisasi modern pada abad ke 20.

Dengan berdirinya organisasi Budi Utomo, Syarikat Dagang Islam (SDI),

Muhammadiyah, dan organisasi lainnya. Hal ini menandakan, civil

society di Indonesia sudah berkembang pada masa kolonialisme

Belanda.28

Di Indonesia, istilah civil society atau pun masyarakat sipil

menggunakan istilah masyarakat madani–yang dimunculkan oleh Dato

Anwar Ibrahim, wakil P.M. Malaysia. Istilah masyarakat madani sebagai

padanan dari civil society, ketika itu disampaikan oleh Dato Anwar

Ibrahim pada acara Forum Istiqlal 26 September 1995. Masyarakat

madani ia kaitkan dengan konsep kota ilahi, kota peradaban, atau

masyarakat kota, yang tersentuh oleh peradaban maju. Kemudian istilah

masyarakat madani dipopulerkan cendikiawan muslim seperti Nurcholis

Madjid atau (Cak Nur) dan Dawam Rahadjo.29

27 Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, Hal. 51.

28 M. Din Syamsudin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakarta: Logos, 2002), vii. 29 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani; Pemikiran,Teori,dan Relevansinya dengan Cita-cita

Reformasi, Hal. 7.

40

Guna memperkaya dan menyempurnakan makna konsep civil

society, maka penggalian elemen-elemen dasarnya dari berbagai

perspektif seperti tradisi pemikiran, filsafat, adat istiadat masyarakat,

dan agama, demi relevansi harus terus dilakukan. Salah satu elemen

dasar yang sangat penting dalam pembentukan civil society adalah

agama, yang dalam hal ini adalah Islam sebagai agama mayoritas. Islam

merupakan sistem nilai yang harus digali secara menyeluruh. Secara

demografis, Islam merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia.

Islam memiliki energi doktrinal dalam mempengaruhi perilaku para

pemeluknya.30

Banyak kalangan para pemikir, cendikiawan dan pengamat politik

muslim yang berpendapat tentang kesesuaian ajaran-ajaran Islam

dengan masyarakat madani (civil society). Hal ini secara aktual pernah

diterapkan oleh Nabi Muhammad sendiri dalam perwujudan masyarakat

madani itu. Ketika beliau mendirikan dan memimpin negara-kota

Madinah.31

Mitsaq Al-Madinah (Piagam Madinah) adalah dokumen politik

pertama dalam sejarah umat manusia, yang meletakan dasar-dasar

pluralisme dan toleransi. Dalam piagam tersebut ditetapkan adanya

pengakuan kepada semua penduduk Madinah, tanpa memandang

30 Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah; Sintesa Diskursif “Rumah Demokrasi”, Hal. 6.

31 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta, dan Tantangan, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1999), Hal. 3.

41

perbedaan agama dan suku, sebagai anggota umat yang tunggal

(ummatan wahidah) dengan hak-hak dan kewajiban sama.

Menurut Cak Nur, Madinah merupakan suatu model bangunan

masyarakat nasional modern yang lebih baik dari yang diimajinasikan,

dan menjadi contoh sebenarnya bagi nasionalisme, patriotisme serta

egaliter. Oleh karena itu, usaha umat Islam di zaman modern ini

menjadikan Madinah sebagai rujukan masyarakat madani.32

Cak Nur berpendapat, sebagai suri tauladan umat manusia, Nabi

Muhammad telah memberikan contoh bagaimana mewujudkan semangat

ketuhanan Yang Maha Esa yang berhubungan langsung dengan sosial,

keagamaan, dan politik yang berjiwa kemajemukan (plural) di dalam

masyarakat Madinah. Nabi Muhammad SAW telah mewariskan model

bagaimana mengatur masyarakat dan menyelesaikan persoalan umat

manusia.33

Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang kharismatik yang

disegani banyak orang, baik kalangan awam, intelektual, akademisi,

serta para tokoh elit politik. Nabi Muhammad SAW adalah sosok

politikus berkelas dan diplomat ulung yang tidak tertandingi.34

32 Nurcholish Madjid, “Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani,” dalam

Abuddin Natta, ed., Problematika Politik Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Grasindo, dan UIN Jakarta Press, 2002), Hal. 3.

33 Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani,” Titik-temu, Jurnal Dialaog Peradaban, Vol. 1, No. 2 Januari-Juni 2009, (Jakarta: Nurcholish Madjid Society (NCMS), 2009), Hal. 16. 34 Khalil Abdul Karim, Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Arab (Yogyakrta: LKiS, 2005), x.

42

Menurut Din Syamsudin, Madinah merupakan kota yang

berhubungan erat dengan kata “tamadun” yaitu berperadaban. Madinah

merupakan lambang peradaban yang kosmopolit, bukan suatu “din”

atau agama. Dengan demikian, cita-cita Islam ialah terwujudnya suatu

masyarakat yang berperadaban tinggi. Hal ini juga pernah dijelaskan oleh

Al-Farabi mengajukan teori tentang “masyarakat utama” (al-madinah al-

fadilah). Suatu masyarakat yang berorientasi menegakan persatuan dan

kesatuan. Al-Farabi menekankan perlunya kolektifitas sosial dan etika

kolektif dalam mencapai kebahagiaan yang hakiki. 35

Dengan demikian, masyarakat madani bakal terwujud jika

terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyarakat. Keterbukaan

adalah konsekuensi dari prikemanusiaan, suatu pandangan yang melihat

sesama manusia secara positif dan optimis. Yaitu, pandangan bahwa

manusia pada dasarnya adalah baik.36

Oleh karena itu, civil society merupakan perkumpulan

masyarakat politik, yang taat kepada hukum, menjalin persaudaaran,

toleransi, dan menjamin kebebasan beragama. Tidak hanya itu, civil

society sebagai penegak demokrasi, penegakan terhadap hukum yang

tidak adil dan melindungi apapun bentuk kekerasan.

Dalam hal ini, melaksanakan undang-undang dan melindungi

setiap warga negara merupakan suatu keharusan yang harus

35 M. Din Syamsudin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Hal. 98. 36 Nurcholis Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999), Hal. 176

43

dilaksanakan oleh siapa pun begitu juga negara. Demi mewujudkan

masyarakat yang berperadaban serta menjunjung nilai-nilai kemanusiaan,

kesetaraan, dan keadilan.

Dalam praktiknya, perjuangan yang dilakukan oleh civil society

sering mengalami kendala cukup berat. Misalnya, pemerintahan yang

otoriter, adanya sikap masyarakat yang eklusif terhadap kemajemukan

bangsa. Padahal, nilai-nilai keberagaman merupakan khazanah

kekayaan Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa lain.

Untuk mewujudkan perjuangan civil society dalam menegakan

demokrasi dan kebebasan beragama di Indonesia, maka menggunakan

strategi yang dilakukan oleh kelompok kepentingan. Pertama, melalui

pendekatan terhadap penegak aparat hukum. Kedua, pendekatan

terhadap pemerintah atau negara. Ketiga, pendekatan dalam hukum.

Keempat, pendekatan ke pubik, kelima, demonstrasi, dan keenam,

menyuarakan protes.

Selama ini, strategi kelompok kepentingan masih digunakan oleh

civil society dalam melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas,

kebebasan beragama, nilai-nilai demokrasi, dan penegakan hukum di

Indonesia, sehingga perjuangannya lebih efektif dan dapat memberikan

resolusi permasalahan yang ada.

Akan tetapi strategi kelompok kepentingan tidak akan terlaksana

dengan baik, jika masih ada sikap pemerintah yang tidak adil, kurang

bijak, serta sikap apatis pemerintah terhadap konflik yang terjadi di

44

masyarakat. Setidaknya, melalui pendekatan strategi kelompok

kepentingan ini konflik-konflik kekerasan yang terjadi di masyarakat dapat

berkurang.

E. Kerangka Pikir

Muhammadiyah sebagai salah satu ormas islam terbesar di

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan kemerdekaan

republik Indonesia. Organisasi massa yang bergerak di bidang dakwah

islam serta sebagai agen perubahan sosial dengan melakukan modernisasi

sosial serta pendidikan guna memberantas keterbelakangan umat islam.

Sejarah panjang perjalanan Muhammadiyah ini menjadi lebih dewasa

ditempa oleh waktu hingga memiliki berbagai sayap organisasi yang

bergerak di berbagai bidang.

Adanya hierarki elit dalam Muhammadiyah yang terstruktur serta

basis massa yang luas menjadikan elit sebagai penentu arah kebijakan,

khususnya kebijakan terkait dukungan terhadap kader Muhammadiyah

yang mencalonkan dalam Pemilihan Umum, baik kompetisi di tingkat

daerah maupun di tingkat nasional. Pada Pemilu 2014 Elit

Muhammadiyah Sulawesi Selatan kembali tampil dalam upaya

memenangkan salah satu kadernya yaitu Iqbal Parewangi sebagai

anggota DPD RI.

45

F. Skema Pikir

Peran Elit

Muhammadiyah

Pemenangan A.M Iqbal Parewangi dalam

Pemilu DPD RI di Sulawesi Selatan pada

tahun 2014

Elit Muhammadiyah Dalam Politik

Studi Kasus : Kemenangan Iqba Parewangi Sebagai Anggota DPD RI Pada Pemilu 2014

1. Sosialisasi politik ke Daerah

2. MenggunakanAmalan Usaha dan Jaringan External

3. Mengawal Pemilu

46

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini Penulis akan menguraikan beberapa aspek dalam

metode penelitian,di antaranya: lokasi penelitian,tipe dandasar

penelitian,sumber data,teknik pengumpulan data,teknik analisis data,yang

diuraikan sebagai berikut:

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Makassar, Sulawesi Selatan yang

merupakan daerah pemilihan dengan jumlah suara terbanyak. Kantor

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PMW) ditempatkan di ibukota

provinsi.

B. Tipe dan Dasar penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif–analisis yakni penelitian yang di

arahkan untuk menggambarkan fakta secara natural sesuai dengan

data yang diperoleh dilapangan atau konteks untuk mendeskripsikan

peran Elit Muhammadiyah dalam memenangkan A. M. Iqbal Parewangi

sebagai anggota DPD RI pada PEMILU 2104

Dasar penelitian ini adalah metode kualitatif, karena metode

kualitatif memliiki varian yang beragam untuk menganalisis secara

mendalam gejala yang terjadi, agar dapat melihat kenyataan-kenyataan

yang ada pada objek penelitian sehingga peneliti dapat menjelaskan

kenyataan tersebut secara ilmiah.

47

C. Sumber Data

1. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh Penulis dilapangan,

melalui observasi,pertimbangan digunakan teknik ini adalah bahwa

apa yang orang katakan seringkali berbeda dengan apa yang ia

lakukan, dalam melakukan observasi tersebut, Penulis

menggunakan alat perekam, jadi data ini kami peroleh dari A. M.

Iqbal Parewangi, Elit Muhammadiyah, KPUD Sulsel, dengan

memberikan beberapa pertanyaan dan merekan pembicaraan yang

kami lakukan.

2. Data sekunder

Penulis selain turun kelapangan juga melakukan telaah

pustaka yakni mengumpulkan data dari buku, jurnal, koran dan

sumber informasi lainnya yang erat kaitannya dengan Pengaruh Elit

Muhammadiyah dalam pemenangan A. M. Iqbal Parewangi

sebagai Anggota DPD RI pada PEMILU 2014.

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara

Penulis melakukan pengumpulan data dengan cara

wawancara, untuk memperoleh pemahaman ketimbangan

penjelasan peneliti menggunakan wawancara tak berstruktur

sehubungan dengan hal tersebut peneliti dalam melaksanakan

48

wawancara mengunakan bahasa lokal.Peneliti juga menggunakan

Key Informant atau informan kunci yang dapat memperkaya data.

Informan kunci yang terpilih dalam pengumpulan data ini meliputi

pihak berikut:

1. A. M. Iqbal Parewangi

2. PWM SULSEL

3. Tim Sukses A. M Iqbal Parewangi pada Pemilu 2009

dan 2014

4. Tokoh Elit Muhammadiyah di Sulawesi Selatan

2. Arsip/Dokumen

Arsip atau dokumen mengenai berbagai informasi dan hal

yang berkaitan dengan fokus penelitian merupakan sumber data

yang penting dalam penulisan.Dokumen yang dimaksud dapat

berupa dokumen tertulis gambar atau foto,film audio-visual,data

statistik,tulisan ilmiah yang dapat memperkarya data yang

dikumpulkan jadi pada saat penelitian Penulis mengambil beberapa

gambar pada saat penelitian baik pada waktu wawancara dan

kondisi pada saat itu.

3. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan kajian objektif dari hasil yang

didapatkan di lapangan dan dilakukan pada waktu yang bersamaan

dengan proses pengumpulan data secara terus menerus. Sebelum

memasuki tahapan teknis dalam menganalisa data, perlu

49

dijelaskan tentang triangulasi data, yaitu proses mengkobinasikan

hasil yang didapatkan dilapangan pada saat melakukan penelitian

dan digabung dengan kemampuan peneliti dalam mengkaji data

yang berhasil didapatkan dilapangan secara objektif serta memakai

teori-teori yang dianggap mampu menjadi pedoman dalam

melakukan analisis terhadap permasalahan.

Analisis data dalam penelitian kualitatif bersifat induktif

(grounded). Penulis membangun kesimpulan penelitiannya dengan

cara mengabstraksikan data - data emperis yang dikumpulkan dari

lapangan. Kemudian mencari pola-pola yang terdapat dalam data

tersebut. Oleh karena itu,analisis data dalam penelitian kualitatif

tidak perlu menungguh sampai proses pengumpulan data selesai

dilaksanakan. Analisis data dilaksanakan secara pararel pada saat

proses pengumpulan data, dan dianggap selesai manakala peneliti

merasa telah mencapai titik jenuh profil data dan telah menemukan

pola aturan yang dicari. Jadi analisis data adalah proses

menyederhanakan data dalam bentuk yang lebih mudah dibaca

dan diinterpretasikan.

Penelitian data kualitatif ada teknik-teknik dalam melakukan

analisis meskipun tidak ada tidak ada panduan baku untuk

melakukan analisis data, namun secara umum dalam teknik

analisis data terdapat komponen-komponen yang selalu ada

seperti pengumpulan data, kategori data, dan kesimpulan akhir.

50

Ketiga teknik inilah yang dipakai oleh Peneliti untuk menganalisa

data tentang pengaruh Elit Muhammadiyah dalam pemenangan A.

M. Iqbal Parewangi sebagai Anggota DPD RI pada pemilu 2014

.Penelitian data sebagai komponen dalam teknik analisis

data dalam penelitian kualitatif merupakan tahapan yang penting

karena berkaitan dengan fokus dalam suatu penelitian. Pada

tahapan pengumpulan data alat bantu yang di perlukan berupa

tape,recorder,kamera yang dapat digunakan untuk mengumpulkan

data-data dari hasil wawancara.

Pada tahapan wawancara Penulis harus mampu memilah

data yang relevan dengan fokus penelitian dan menyederhanakan

data yang dikumpulkan dengan cara mengikat konsep-konsep atau

kata kunci sehingga memudahkan Penulis untuk menganalissis

data. Pada tahapan selanjutnya adalah kesimpulan akhir dimana

data yang telah dikumpulkan melalui tahapan wawancara dan

penyederhanaan data telah diolah menjadi bentuk penelitian

deskriptif kualitatif sehingga tidak perlu lagi ada penambahan data

baru karena data yang diperlukan sudah cukup dan apabila ada

penambahan data baru hanya berarti ketumpang tindihan (redund-

pdant).

51

BAB IV

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

A. Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan

Penulis sejarah Thomas W. Arnold menerangkan bahwa ketika

Portugis pertama kali memasuki Sulawesi Selatan tahun 1540 M, mereka

menemukan telah banyak orang Islam di Gowa ibukota Kerajaan

Makassar. Pada masa raja Gowa ke-10 Tunipalangga (1546 – 1565), raja

ini memberi izin kepada orang-orang Melayu untuk menetap di

Mangalekana (Somba Opu). Raja Gowa ke-12 Tunijallo’ telah mendirikan

masjid bagi muslimin di tempat itu. Inilah masjid pertama yang di dirikan di

negeri orang Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan. Para pedagang

muslim itulah yang banyak memberi pengaruh kepada orang-orang

Makassar memeluk Islam.

Islamisasi di Sulawesi Selatan selanjutnya dihubungkan dengan

kedatangan dan peranan tiga orang ulama asal Minangkabau, secara

khusus dikirim oleh Sultan dari Kerajaan Aceh. Ketiga ulama itu : Abdul

Makmur Khatib Tunggal (Datuk ri Bandang), Khatib Sulaiman (Datuk

Patimang) dan Abdul Jawab Khatib Bungsu (Datuk Tiro).

Untuk penyebaran Islam secara efektif, ketiga ulama itu memandang

perlu menggunakan pengaruh Raja Luwu. Karena Luwu adalah kerajaan

tertua dan rajanya masih memiliki kharisma di kalangan raja-raja. Salah

satu tonggak sejarah dalam awal periode Islamisasi ini, bahwa raja yang

mula-mula memeluk Islam di Sulawesi Selatan ialah Datu Luwu La

52

Patiware’ Daeng Parabbung, diberi gelar Sultan Muhammad, pada tanggal

13 Ramadhan 1013 H. (1603 M).

Ketiga ulama tersebut selanjutnya meminta kepada Raja Luwu

petunjuk tentang upaya dakwah Islam di kerajaan lainnya. Datu Luwu

memberi pertimbangan, bahwa sebaiknya beliau bertiga menghubungi

kerajaan kembar : Gowa Tallo (Kerajaan Makassa). Kerajaan yang sangat

terkenal sebagai yang terkuat memiliki supremasi politik di Sulawesi

Selatan.

Ketiga ulama itu segera berangkat menuju Gowa Tallo. Tapi

kemudian mereka sepakat untuk berpisah guna menunaikan dakwah Islam.

Abdul Jawab Khatib Bungsu singgah du daerah Tiro (Bulukumba), beliau

mengembangkan Islam dengan pendekatan tasawuf. Sulaiman Khatib

Sulung, setelah tiba bersama Abdul Makmur Khatib Tunggal di Gowa,

Sulaiman kembali lagi ke Luwu untuk mengajarkan agama Islam di sana

dengan mengutamakan keimanan (tauhid) serta mempergunakan konsep

ketuhanan Dewata Seuwae yang telah berkembang sebelumnya sebagai

metode pendekatan. Yang menetap di Gowa ialah Abdul Makmur Khatib

Tunggal (Datuk Ri Bandang).

Abdul Makmur Khatib Tunggal berhasil mengislamkan raja Tallo I

Malingkaan Daeng Manyonri dan Raja Gowa I Mangarangi Daeng

Manrabia. Raja Tallo diberi gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam, sedang

Raja Gowa diberi gelar Sultan Alauddin. Peristiwa bersejarah ini terjadi

53

pada tanggal 9 Jumadil Awal 1015 H bertepatan dengan tanggal 22

September 1605 M, pada malam Jumat.

Kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa adalah kerajaan kembar, lazim

disebut Kerajaan Makassar saja. Dua tahun kemudian, seluruh rakyat

Gowa dan Tallo dinyatakan memeluk Islam. Dilaksanakan dengan upacara

shalat Jumat bersama yang pertama di masjid Tallo pada tanggal 9

November 1607. Kerajaan Makassar dengan resmi memproklamirkan Islam

sebagai agama resmi kerajaan. Dengan demikian Makassar adalah

kerajaan Islam yang pertama di Sulawesi Selatan.

Pada masa sebelum datangnya Islam, ada suatu konvensi raja-raja

Bugis dengan raja Makassar, suatu paseng (Ikrar) bahwa siapa di antara

mereka menemukan jalan yang lebih baik maka hendaklah di antara

mereka menemukan jalan yang lebih baik maka hendaklah

menyampaikannya kepada yang lainnya. Sebab itu Makassar mendapat

kehormatan sejarah untuk menjadi pusat dakwah Islam di Sulawesi Selatan

pada awal abad ke-17.

Atas dasar paseng itu, Sultan Alauddin mengirim utusan kepada

segenap raja-raja di seluruh Sulawesi Selatan. Beberapa kerajaan kecil

menerima seruan Islam itu dengan baik dan sebagiannya menolak, karena

curiga tentang kemungkinan adanya tujuan-tujuan politis dari raja Gowa

Tallo. Termasuk yang menolak ialah raja-raja : Bone, Wajo dan Soppeng

dikenal dengan Tellumpoccoe, tiga serangkai yang besar.

54

Akibatnya kerajaan Makassar mengangkat senjata menghadapi

mereka, terkenal dalam sejarah Bugis sebagai peperangan Islam (musu

sellengnge), selama empat tahun Sulawesi Selatan berhasil diislamkan

secara resmi sampai kepada Toraja. Berturut-turut menerima Islam :

Kerajaan Sidenreng dan Rappang tahun 1608, Kerajaan Soppeng tahun

1609, kerajaan Wajo tahun 1610 dan kerajaan Bone tahun 1611. Raja Wajo

Lasangkuru Mulajaji ketika akan menerima Islam mengajukan syarat dan

disepakati oleh raja Gowa : “Tenna reddu muiwesseku, tenna timpa

salewoku, tenna sesse balaori tampukku”. Artinya, tidak merampas

kerajaanku, tidak mengambil harta rakyatku dan tidak mengambil barang-

barang milikku.

Selanjutnya Islam menanamkan terus pengaruhnya dalam

kehidupan masyarakat, sehingga adat dan agama menyatu dalam sistem

nilai dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Islam telah menjadi jiwa

pertahanan rakyat, sehingga daerah ini termasuk paling akhir dijamah oleh

Belanda. Suatu bukti, bahwa barulah pada tahun 1905 Kerajaan Sidenreng

dan Rappang di bawah Addatuang La Sadapotto menyerah setalah melalui

peperangan seru yang meninggalkan banyak korban, karena rakyat tidak

mau dijajah oleh orang kafir.

Adanya penganut agama Nasrani di daerah ini, karena agama itu

terbawa oleh penjajah Belanda. Jumlahnya pun relative sedikit, tidak

terdapat pada suku Makassar, Bugis dan Mandar sebagai suku terbesar

Sulawesi Selatan.

55

Sekitar tahun 1922, seorang pedagang batik keturunan Arab berasal

dari Sumenep (Madura) bernama Mansyur Yamani, ia anggota

persyarikatan Muhammadiyah cabang Surabaya, yang waktu itu di pimpin

oleh Kyai Haji Mas Mansyur. Dalam usaha mencari relasi dalam

dagangannya, beliau bergaul dengan baik dan menjalin hubungan dengan

pemuka-pemuka As-Shirathal Mustaqiem yang juga pada umumnya

pedagang Wiraswasta.

Setelah kurang lebih 3 tahunan keakraban hubungan sebagai

relasiusaha dagang dan sebagai kawan sefaham dalam mengembangkan

agama Islam, akhirnya diadakan rapat oleh As-Shirathal Mustaqiem di

rumah Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro. Yang berlokasikan di daerah

pelabuhan Makassar, disepakati menjadi putusan mendirikan organisasi

Muhammadiyah di kota Makassar dengan mengalihkan perkumpulan As-

Shirathal Mustaqiem menjadi Muhammadiyah groep (ranting) Makassar.

Rapat pertama itupun memutuskan mengutus Mansyur Yamani ke

Yogyakarta untuk melaporkan terbentuknya Muhammadiyah di kota

Makassar.

Salah satu kegiatan Muhammadiyah groep Makassar

memperkenalkan diri kepada rakyat Makassar dengan mengadakan

“openbarevargadering” atau “rapat umum terbuka ” , dengan pembicara

Muhammad Yunus Anis (utusan Hoofd-bestuur Muhammadiyah) yang

diselenggarakan di jalan Bandastraat (yang termasuk dilingkungan

kampung Butung)

56

Pada mulanya anggota teras Ash-Shirathal Mustaqiem mencatat diri

menjadi anggota Muhammadiyah Groep Makassar, namun sebagian

anggota Muhammadiyah yang berasal dari Ash-Shirathal Mustaqiem masih

gemar mendatangi selamatan keduri tersebut. orang yang sering

menghadiri selamatan keduri itu menyatakan diri untuk keluar dari

Muhammadiyah dan kembali ke Ash-Shirathal Mustaqiem dipimpin Haji

Abdul Razak dan Haji Muhammad Qasim dan anggota lainnya. Mereka

tersisa 17 orang dan dipindahan ke kampong pisang.

Sekitar akhir tahun 1926, beberapa bulan sekembalinya H.M Yunus

Anis dari kota Makassar, Muhammadiyah Groep Makassar ditingkatkan

menjadi Muhammadiyah Canbang Makassar dengan ketua K.H Abdullah .

Setelah Muhammadiyah mendapatkan perhatian yang semakin besar dari

masyarakat,maka pengurus merasa perlu melaksanakan petaan

organisasi. Salah satu wujud tersebut maka para pengurus mengusahakan

ruang perkantoran yang sekaligus dapat dijadikan tempat pertemuan.

Sebuah bangunan yang berukuran 50 x 8 meter dijalan Bandastraat

milik Daeng Tawiro, itulah kemudian dipilih sebagai kantor sementara untuk

mulai segala aktivitas Muhammadiyah. Aktivitas itu terus menerus

berkembang, sehingga memungkinkan Muhammadiyah mulai

melaksanakan pendidikan yang bertepatan dibelakang gudang trsbt. Maka

berdirilah sekolah Muhammadiyah.

Anggota Muhammadiyah Cabang Makassar waktu itu terpencar-

pencar tempat tinggalnya. Mereka berinisiatif mengadakan penerangan-

57

penerangan yang diistilahkan waktu itu dengan “tabligh”. Silih berganti

tabligh itu diadakan di rumah-rumah.Tabligh yang diadakan itu pun tidak

luput dari gangguan dan sabotase, bahkan rintangan dan tantangan.

Seperti, orang yang beranggapan bahwa Muhammadiyah adalah

perkumpulan yang merusak dan merubah-ubah agama Islam, menuduh

juga merubah adat istiadat, dan lain sebagainya.

Tahun 1927, setahun setelah didirikan Muhammadiyah di Makassar,

ditengah-tengah rintangan yang dihadapinya,Muhammadiyah semakin

menampakkan kegiatannya. Bulan juli 1972, Anggota Muhammadiyah

dikalangan wanita membentuk Aisyiyah Cabang Makassar yang diketuai

Hajjah Daeng Rainpu.

Kehadiran Aisyiyah waktu itu dengan pakaian khasnya yakni kudung

lilit yang menutup kepala sampai ke dada, sehingga mereka diisukan

mengubah adat. Pengurus Aisyiyah tersebut adalah buta aksara, maka

merekapun aktif mengikuti kursus yang dinamakan ” sekolah menyesal” .

Pada tahun 1929, Muhammadiyah cabang Makassar berusaha

mendirikan dua sekolah: yaitu, sekolah setingkat dengan SD dengan nama

( HIS Metode Al-Qur’an) dan Munir School setingkat dengan Ibtidaiyah.

Kedua sekolah tersebut diatur pengelollannya menurut cara pengelolaan

sekolah-sekolah pemerintahan pada waktu itu. Penugurus Aisyiyah Cabang

Makassar dengan bekerjasama dengan Muhammadiyah cabang Makassar

mengadakan sekolah yang dinamakan menyesal sekolah/Sekolah

menyesal yakni kursus buta aksara yang pengikut adalah pengurusnya dan

58

anggota Aisyiyah. Pada tahun 1934, tabligh school yang baru berlangsung

dua tahun kini nama itu dirobah menjadi Madrasah Muallimin

Muhammadiyah cabang Makassar .

Pada tahun 1929, Muhammadiyah Cabang Makassar menambah

upayanya dengan mengusahakan Pemeliharaan anak yatim piatu.

Berhubungan belum memiliki gedung maka anak yatim piatu itu diasuh di

rumah Tuan Salamung. Dalam berusaha mencari lokasi untuk dibanguni

tempat penampungan yatim piatu, secara kebetulan seorang pedagang mie

dari jawa yang mempunyai tanah di jalan Diponegoro. Di atas tanah

tersebut dibangun rumah penampungan yatim piatu dan diberi nama “

Rumah Anak Yatim Muhammadiyah” dan perkembangan selanjutnya panti

itu diubah dengan nama Panti Asuhan Bahagia dengan pengolahannya

diserakan pada Muhammadiyah Cabang Aisyiyah Makassar.

Anggota Muhammadiyah Cabang Makassar sampai beberapa tahun

sesudah terbentuknya , tersebar kebeberapa daerah dala kota.Pada tahun

1928, telah terbentuk empat groep Muhammadiyah di dalam kota

Makassar, diantaranya: Muhammadiyah Groep Kampung Bontoala, Groep

Kampung Pisang, Groep Mariso, dan Groep Lariangbangi. Keempat Groep

tersebut secara bergiliran mengadakan tabligh/pengajian, mendirikan

sekolah dan usaha-usaha lain. Dalam organisasi Muhammadiyah sejak

semula digunakan sistem sentralisasi(pemusatan) dalam hal penerimaan

anggota dan pemberian kartu tanda anggota hanya oleh pimpinan

Muhammadiyah di Yogyakarta.

59

Seorang yang ingin menjadi anggota Muhammadiyah atau Aisyiyah,

lebih dahulu mencatat diri pada groep/ranting dimana dia berdomisili dan

Cabang ditempatnya dengan mengisi formulir dari pusat. Dalam organisasi

ini telah dituntuk kewajiban membina diri dibidang ibadah dan akhlaq

dengan cara agama Islam menurut faham Muhammadiyah.

Muhammadiyah akan mengambil kartu anggota dan mengeluarkan dari

Muhammadiyah apabila telah melakukan Pelanggaran yang dinyatakan

dalam ketentuan organisasi.

Dimana ada aksi, disitu ada reaksi merupakan sunnatullah mewarnai

perjalanan hidup manusia sepanjang masa. Kehadiran Muhammadiyah,

Aisyiyah dan juga kemudian Pemuda Muhammadiyah dengan amalan dan

cita-cita yang diperjuangkan , tidak diterima oleh semua orang dengan

gembira. Dimana Muhammadiyah yang mengumpulan zakat dari anggota-

anggota kemudian dibagikan kepada fakir miskin dan anak yatim,

mendapatkan pula reaksi sengit dari imam-imam kampong. Hal itu semua

dihadapi muhammadiyah dan Aisyiyah dengan ketabahan dan kesabaran

dan semangat beramal yang tinggi.

Muhammadiyah yang didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18

Nopember 1912 M oleh K. H. Ahmad Dahlan segera mendapat sambutan

meluas di nusantara ini. Di Yogyakarta, organisasi ini lahir mempelopori

gerakan pembaharuan (tajdid) yaitu upaya mengembalikan dan memimpin

ummat kepada ajaran-ajaran Islam yang asli murni berdasar Al Qur’an dan

Ash Sunnah yang Shahih.

60

Hanya dalam waktu tiga belas tahun lebih, sesudah berdirinya

Muhammadiyah, daerah Sulawesi Selatan mendapat rahmat dengan

masuknya Muhammadiyah di daerah ini. Dalam kurun waktu yang cukup

lama, sejak masa awal Islamisasi di Sulawesi Selatan, menyatunya ajaran-

ajaran agama dengan adat istiadat daerah, berkembangnya ajaran-ajaran

tarekat yang menyesatkan dengan memakai label Islam, menyusul

penjajahan Belanda yang mengeksploitasi rakyat sambil membawa agama

Nasrani; semua membawa permasalahan bagi umat Islam. Mereka banyak

tergelincir dalam perbuatan syirik, khurafat dan bid’ah; tapi tidak disadarinya

sebab kejahilannya terhadap Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Di

samping itu tiadanya bimbingan metode menghadapi gerakan nasrani dan

penjajah.

Maka masuknya Muhammadiyah sebagai momen yang amat tepat

bagi daerah ini. Muhammadiyah dengan gerakan tablighnya, gerakan

pendidikannya, sekolah-sekolah yang dibangunnya, penyantunannya

terhadap kaum fakir miskin dan anak-anak yatim, pengaturan sistem zakat,

pemantapan cara-cara beribadah sesuai dengan sunnah Rasul, segera

memberi wajah baru bagi ummat Islam Sulawesi Selatan.

Bagi kaum muda, lembaga kepanduan HW (Hizbul Wathan) menjadi

pesemaian tumbuhnya pemimpin-pemimpin umat dan pejuang-pejuang

bangsa. Mayoritas pemimpin dan pejuang kemerdekaan adalah hasil

binaan Hizbul Wathan Muhammadiyah. Para syuhada yang gugur dalam

revolusi fisik, banyak pula berasal dari kepanduan ini. Maka sejarah dan

61

profil Sulawesi Selatan dewasa ini, gerakan pembaharuan Muhammadiyah

banyak menyumbangkan andilnya.

Muhammadiyah masuk di Sulawesi Selatan adalah atas

inisiatif Mansyur Al Yamani. Ia mengundang beberapa orang berkumpul di

rumah H. Yusuf Dg. Mattiro di Batong (sekarang pangkalan Soekarno).

Pertemuan pertama ini dihadiri oleh 15 orang. Mansyur Al Yamani

menjelaskan tentang Persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan

tajdid, khususnya tentang azas dan tujuan organisasi ini. Ketua PP

Muhammadiyah waktu itu ialah K.H. Ibrahim (periode 1923 – 1932).

Sebagai hasil musyawarah dalam pertemuan itu, disepakati

mendirikan Muhammadiyah saat itu juga, pertemuan pada malam Ahad

tanggal 15 Ramadhan 1346 H / 30 Maret 1926 M. Saat inilah dicatat sebagai

momen historis berdirinya Muhammadiyah di Sulawesi Selatan.

Disusun pula pengurus Muhammadiyah yang terdiri dari mereka

yang bermusyawarah waktu itu, dengan H. Yusuf Dg. Mattirodan sebagai

ketua, H. Yusuf Dg. Mattirodan sebagai wakil ketua, H. Nuruddin Dg.

Magassing sebagai Sekretaris I, Daeng Mandja Sebagai Sekretaris II, dan

H. Yahya sebagai Bendahara. Sementara itu Mansyur Al Yamani, H. A.

Sewang Dg. Muntu, G. M. Saleh, H. Abd. Karim Dg. Tunru, Osman

Tuwe, Daeng Minggu, dan Abd. Rahman sebagai pelengkap dengan

jabatan sebagai Pembantu-pembantu.

Pada malam itu juga Pengurus menulis surat pemberitahuan ke PP

Muhammadiyah di Yogyakarta. Kurang lebih 15 hari, datanglah surat

62

balasan pengakuan Pimpinan Pusat (Hoofdbestuur) atas berdirinya dengan

istilah “Grup Muhammadiyah Makassar”.

Kemudian Mansyur Al Yamani di utus ke Yogyakarta mengundang

Pimpinan Pusat, H.M. Yunus Anis selaku Wakil Pimpinan Pusat di

Yogyakarta datang ke Makassar pada bulan Juli 1926, mengadakan

pertemuan terbuka (openbare vergadering) yang dihadiri oleh sekitar seribu

pengunjung, menjelaskan tentang dasar dan tujuan gerakan pembaharuan

ini. Sesudahnya, mengalirlah masyarakat memohon menjadi anggota

Muhammadiyah.

Di penghujung tahun 1926, “Gerup Muhammadiyah Makassar”

disahkan menjadi “Cabang Muhammadiyah Makassar”. K.H. Abdullah dan

Mansyur Al Yamani, dua tokoh yang selanjutnya memimpin gerakan

Muhammadiyah memasyarajkatkan cita-citanya.

Pada awal tahun 1927 Muhammadiyah mulai melangkah keluar kota

Makassar. Berturut-turut daerah yang menerima Muhammadiyah :

Pangkajene-Maros, Sengkang, Bantaeng, Labbakang, Belawa, Majene,

Balangnipa Mandar.

Pada tahun 1928 Muhammadiyah memasuki daerah-daerah :

Rappang, Pinrang, Palopo, Kajang, Maros, Soppeng Riaja, Takkalasi,

Lampoko, Ele (Tanete), Takkalala dan Balangnipa Sinjai.

Di bawah kepemimpinan K. H. Abdullah dan Mansyur Al Yamani,

dengan Sekretaris H. Nuruddin Dg. Magassing; K.H. Abdullah yang pernah

belajar di Makkah selama 10 tahun, bekerja keras mengembangkan

63

Muhammadiyah, menambah anggota, memberantas kemusyrikan, bid’ah,

khurafat, tahayul. Memimpin pendirian masjid dan mushalla, sekolah-

sekolah dan rumah-rumah pemeliharaan anak yatim. Diselenggarakannya

berbagai pengajian dan pertemuan tabligh di tempat-tempat umum.

Demikian pula gerakan yang sama diselenggarakan oleh Aisyiyah selaku

Muhammadiyah bagian perempuan.

Menjelang Muktamar (kongres) ke-21, praktis seluruh daerah di

Sulawesi Selatan telah berdiri Persyarikatan Muhammadiyah. Muktamar

Muhammadiyah ke-21 pada tanggal 1 Mei 1932 dapat dilangsungkan

Muktamar, dihadiri oleh utusan-utusan dari seluruh Indonesia. Kemudian

kota ini mendapat kehormatan untuk kedua kalinya, Muktamar

Muhammadiyah ke-38 pada tanggal 1-6 Syaban 1391 H atau 21-26

September 1971. Kota Makassar, juga disebut Ujung Pandang dewasa ini.

Sifat perkembangan Muhammadiyah sejak masuknya sampai

khususnya pada Muktamar ke-38, mirip dengan perkembangan Islam di

awal perkembangannya di Sulawesi Selatan, yaitu berkembang dengan

persuasif pada masyarakat, dipelopori oelh kaum ulama dan hartawan dai

srata yang sama yakni bangsawan. Hanya saja kelebihan berkembangnya

Islam, masuknya keterlibatan langsung para pengatur kekuasaan (raja-

raja).37

37 http://sulsel.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah.html Di akses pada 3 Desember 2016

64

B. Muhammadiyah Sebagai Civil Society dan Kekuatan Politik

Peran Muhammadiyah dalam politik nasional juga sangat penting.

Muhammadiyah memang bukan organisasi politik, semacam partai politik;

dalam konteks perpolitikan Muhammadiyah lebih merupakan organisasi

Islamic-based Civil Society (masyarakat madani) dan juga sekaligus

sebagai interest group (kelompok kepentingan). Muhammadiyah yang juga

tampil dalam kedua bentuk ini memiliki posisi sangat penting dan strategis

dalam dinamika dan perkembangan politik nasional salah satunya sebagai

kekuatan politik.

1. Muhammadiyah Sebagai Civil Society

Muhammadiyah dengan segala perangkat yang dimilikinya tidak

ragu merupakan civic resources sangat penting yang pernah dan terus

dimiliki umat dan bangsa Indonesia hingga kini. Melalui jaringan

organisasinya di seluruh Indonesia, baik di perkotaan maupun di

pedesaan, Muhammadiyah membangun “jaringan ikatan kewargaan”

(networks of civic engangement) berdasarkan keadaban (civility),

kemandirian (independensi) negara, toleransi dan respek pada pluralitas,

dan harga diri (dignity) ; dan masih bisa ditambah lagi, sebagai organisasi

Islam, yang menekankan pada ukhuwwah, ukhuwah

wathaniyyah dan ukhuwwah basyariyyah , Muhammadiyah turut berperan

penting sebagai salah satu faktor integratif negara-bangsa Indonesia.

Memperbincangkan Muhammadiyah sebagai kekuatan civil

society tentu tidaklah mungkin dapat dilepaskan dari berbagai doktrin dan

65

ideologi gerakannya, sejak awal berdiri, Muhammadiyah telah

merumuskan sejumlah kerangka ideologis untuk memandu berbagai

aktivitasnya pada ranah masyarakat maupun politik. Berbagai kerangka

ideologi Muhammadiyah dapat disebutkan, di antaranya Langkah 12 yang

dicetuskan oleh KH. Mas Mansur tahun 1938-1940, Muqaddimah

Anggaran Dasar yang diinisiasi oleh Ki Bagus Hadikusumo yang

kemudian dilembagakan pada awal tahun 1950-an yang secara

komprehensif memberi panduan bagi pergerakan Muhammadiyah,

kemudian ada Kepribadian Muhammadiyah yang memperjelas posisi dan

status Muhammadiyah, setelah itu muncul kebijakan baru lagi yakni

Matan Keyakinan dan cita-cita Hidup Muhammadiyah.38

Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan lembaga yang

terorganisir serta memiliki sejarah panjang akan perannya sebagai

kelompok kepentingan. Lembaga perserikatan ini memiliki landasan yang

jelas tentang pedoman hidup bernegara khususnya sebagai orang muslim.

Dengan berbagai bentuk organisasi otonom yang dibentuk di bawah

Muhammadiyah dengan skala nasional hingga ke tingkat terkecil yang

menyentuh pedesaan menandakan masifnya Muhammadiyah sebagai

organisasi massa.

Dalam Khittah Ujung Pandang 1971, Muhammadiyah telah

menegaskan mengenai hubungannya dengan partai politik dan sekaligus

38 Jurdi, Syarifuddin.“Muhammadiyah dan Gerakan Civil Society: Bergerak Membangun Kultur Madani.” Jurnal Sulasena Vol. 6 No. 2 (2011): Hal 1 - 14. Journal UIN Alauddin Makassar. Berkas Pdf. 20 Desember 2016.

66

memproklamasikan dirinya sebagai kekuatan civil society. Dalam Khittah

itu memuat beberapa hal; pertama, secara tegas Muhammadiyah

menentukan posisi dan sikapnya yang benar-benar netral terhadap politik

praktis dan partai politik, yakni tidak memiliki hubungan afiliasi apa pun.

Kedua, jika Khittah tahun 1969 masih terkandung pemihakan terhadap

Partai Muslimin Indonesia, pada Khittah tahun 1971 secara jelas

Muhammadiyah menunjukkan kenetralannya dengan meletakkan partai

apa pun termasuk Parmusi berada di luar Muhammadiyah, dengan

semangat melakukan amar ma‘ruf dan nahi munkar terhadapnya, artinya

melakukan fungsi dakwah terhadap kekuatan-kekuatan politik. Ketiga,

memberi kebebasan politik kepada warga, baik dengan menggunakan hak

politiknya maupun tidak, sebagai sikap yang cukup terbuka dari

Muhammadiyah. Sikap netral tersebut disempurnakan lagi dalam Khittah

Surabaya 1978, yang memuat sikap bahwa Muhammadiyah adalah

Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan

manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris

dengan dan tidak merupakan afiliasi dari suatu Partai Politik atau

Organisasi apa pun. Lebih dari itu, ditegaskan bahwa setiap anggota

Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau

memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran

Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang berlaku

dalam Persyarikatan Muhammadiyah.39

39 Ibid, hal. 11

67

Khittah Denpasar pada tahun 2002 menjadi titik poin untuk

memotret posisinya sebagai kekuatan civil society, artinya perbedaan

dengan apa yang dilakukan oleh partai politik memang relatif sangat tipis,

bahkan tidaklah berbeda jauh, dalam point ketiga Khittah tersebut

dinyatakan bahwa “Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan dan

pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil

society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk

mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedang hal-hal

yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan kenegaraan sebagai proses

dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan ditempuh melalui

pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip

perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan Negara

yang demokratis”.40

Dengan demikian, Muhammadiyah telah menjadi aktualisasi “civil

Islam” (Islam kewargaan) terpenting dalam masyarakat dan bangsa

Indonesia. Muhammadiyah, bahkan telah menjadi salah satu pillar

terpenting bagi pembentukan dan pengembangan “civil society”, bahkan

sejak masa kolonialisme. Sebagai organisasi civil society Muhammadiyah

memberikan kontribusi besar melalui berbagai usaha dan program dalam

bidang dakwah, pendidikan, penyantunan sosial, pengembangan

40 PP Muhammadiyah, “Khittah Muhammadiyah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”,Keputusan Tanwir Denpasar Bali 2002.

68

ekonomi, dan lain-lain yang pada gilirannya menghasilkan “better ordering

of society”, penataan kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Pada tingkat wacana dan praksis, organisasi ini juga memainkan

peran besar dalam eksposisi, eksplikasi dan formulasi tentang kesesuaian

dan kompatibilitas Islam dan demokrasi; Islam dan civil society; Islam dan

pluralitas; Islam dan HAM; Islam dan kesetaraan gender; Islam dan

toleransi, dan lain-lain. Dalam konteks semua ini, orang bisa menyaksikan

peran penting dan strategis Muhammadiyah dalam konsolidasi dan

penguatan demokrasi di Indonesia.

Dengan demikian, penulis menganggap bahwa Muhammadiyah

merupakan masyarakat madani yang telah terorganisir menembus batas

kelas dari tingkat pusat hingga ke daerah bahkan sampai ke desa-desa

sesuai dengan konsep Civil society itu sendiri yang dikutip oleh Suriadi

Culla dengan memberi batasan pada konsep Civil society yang merupakan

suatu entitas yang keberadaannya dapat menerobos batas-batas kelas,

memiliki kapasitas politik yang cukup tinggi, dan menjadi kekuatan

pengimbang intervensi Negara.

2. Muhammadiyah Sebagai Kekuatan Politik

Dalam suatu partisipasi politik, sering dikaitkan dan diukur dengan

berdasar hasil pemilihan umum, perlu diperhatikan bahwa ada bentuk

partisipasi lain, yaitu melalui suatu kelompok atau individu tertentu ataupun

melalui media massa sebagai saran komunikasi politik. Partisipasi ini

69

tentunya memerlukan adanya kekuatan untuk menghubungkannya

dengan pemerintah atau sebaliknya.

Muhammadiyah merupakan salah satu dari dua non-government

voluntary associations terbesar dalam lingkungan umat Islam Indonesia

bahkan juga terbesar sekaligus di Dunia Muslim. Dengan berbagai

organisasi sayapnya, lembaga-lembaga dan amal usahanya,

Muhammadiyah memainkan berbagai perannya dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, sejak dari dakwah, pendidikan, kesehatan,

penyantunan sosial, ekonomi dan seterusnya.

“Muhammadiyah memiliki organisasi otonom yakni Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, IPM. IMM, Tapak suci, serta memiliki amal usaha seperti Perguruan tinggi, rumah sakit, perbankan, panti asuhan dan lain-lain”41

Melimpahnya sumber daya dari Muhammadiyah tidak terlepas dari

peran organisasi otonom di bawahnya. Muhammadiyah yang di kenal

sebagai organisasi keagamaan ini juga menguasai berbagai aspek lain

yang dapat mempengaruhi kondisi sosial dalam masyarakat dengan

berbagai kepentingan di dalamnya.

Muhammadiyah dengan kompleksitas, keluasan amal usaha dan

bidang geraknya dapat dikategorisasikan sebagai sebuah ‘kelompok

kepentingan’ (interest group). Sebagai kelompok kepentingan,

41 Wawancara dengan DR. K.H. Mustari Bosra, MA selaku Wakil Ketua PWM Sulsel Periode 2010-2015, 14 Desember 2016, Pukul 15.00 Wita

70

Muhammadiyah berusaha dan memperjuangkan kepentingan-

kepentingan tertentu yang lebih khusus.

Sebagai contoh, Muhammadiyah yang memiliki ribuan lembaga

pendidikan yang juga mencakup ratusan ribu guru dan dosen dapat

memainkan peran sebagai kelompok kepentingan dalam bidang

pendidikan. Dalam bidang pendidikan ini, Muhammadiyah sebagai

kelompok kepentingan dapat meningkatkan kiprahnya untuk

memperjuangkan kepentingannya dalam bidang pendidikan, sejak dari

soal peningkatan share pemerintah dalam pendanaan pendidikan

Muhammadiyah, akselerasi peningkatan kualitas guru dan dosen

Muhammadiyah, dan seterusnya.

Kepentingan semacam itu diperjuangkan Muhammadiyah secara

terus menerus untuk pengembangan dan peningkatan kuantitas dan

kualitas amal usahanya yang lain, sejak dari bidang kesehatan, ekonomi,

penyantunan sosial, dan seterusnya. Muhammadiyah yang bergerak

untuk turut memajukan umat, bangsa dan negara memiliki legitimasi dan

justifikasi yang lebih daripada cukup untuk lebih memainkan perannya

pula sebagai kelompok kepentingan.

Dalam percaturan politik di Indonesia, Muhammadiyah sebagai

kelompok kepentingan yang berbentuk Organisasi Keagamaan memiliki

peran penting dalam upaya mempengaruhi kebijakan dalam sistem politik

Indonesia yakni sebagai kekuatan politik.

71

Menurut A. Rahman dalam Sistem politik Indonesia, Kelompok

kepentingan merupakan organisasi yang berusaha mempengaruhi

kebijaksanaan pemerintah, tanpa berkehendak memperoleh jabatan

publik. kelompok kepentingan tidak berusaha menguasai pengelolaan

pemerintah secara langsung. Sekalipun mungkin pemimpin-pemimpin atau

anggotanya memenangkan kedudukan-kedudukan politik berdasarkan

pemilihan umum, kelompok kepentingan itu sendiri tidak dipandang

sebagai organisasi yang menguasai Pemerintah.

Dari konsep tersebut, Muhammadiyah sebagai kelompok

kepentingan memang tidak secara langsung terlibat dalam politik seperti

partai politik yang memang bertujuan untuk menduduki jabatan dalam

sistem politik. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa individu dalam

Muhammadiyah terlibat politik praktis. Tidak ada larangan bagi warga

Muhammadiyah untuk turut serta dalam politik praktis karena

Muhammadiyah secara kelembagaan bersifat netral terhadap politik

praktis maupun partai politik.

“ Kita bukan anti politik, Muhammadiyah memilih tidak berrpolitik praktis, kemudian Muhammadiyah menjaga kedekatan dan jarak yang sama kepada semua partai termasuk calon anggota DPD”42

Dari pernyataan tersebut, Muhammadiyah bukan tertutup terhadap

politik tetapi lebih memilih menjaga jarak baik kepada parpol maupun

individu yang terlibat politik praktis sesuai dengan khitah Surabaya 1978

42 Wawancara dengan DR. K.H. Mustari Bosra, MA selaku Wakil Ketua PWM Sulsel Periode 2010-2015, 14 Desember 2016, Pukul 15.43 Wita

72

yang telah di bahas sebelumnya bahwa Muhammadiyah tidak

mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi

dari suatu Partai Politik atau Organisasi apa pun.

Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan dapat memainkan

peran politik lobi, komunikasi politik, sosialisasi politik, pendidikan politik,

melakukan kritik atau tekanan publik, dan distribusi kader politik atau kader

profesional lainnya yang dapat masuk ke seluruh lini pemerintahan. Peran

kelompok kepentingan tersebut dengan tetap dilakukan berdasarkan spirit

dakwah yang dilakukan dengan pendekatan berwajah kultural dan tidak

sebagaimana peran politisi dan partai politik yang sering bersifat serba

terbuka, vulgar, dan sarat tawar menawar kepentingan yang bersifat

pragmatis. Dalam menjalankan fungsi kelompok kepentingan tersebut

dapat dilakukan melalui kelembagaan sesuai mekanisme yang berlaku

dalam Muhammadiyah maupun perseorangan dengan tetap menjunjung

tinggi prinsip, etika, dan kepentingan Muhammadiyah.

Organisasi sebesar Muhammadiyah selain sebagai organisasi

keagamaan yang bergerak di bidang dakwah Muhammadiyah juga

sebagai kelompok kepentingan berperan untuk mempengaruhi kebijakan

pemerintah demi kepentingan umat. Menurut Miriam Budiarjo secara

kelembagaan kekuatan politik sebagai lembaga atau organisasi ataupun

bentuk lain yang melembaga dan bertujuan untuk mempengaruhi proses

pengambilan keputusan dalam sistem politik. Oleh karena itu

73

Muhammadiyah menurut penulis merupakan salah satu jenis kekuatan

politik di bidang organisasi keagamaan dan kelompok kepentingan.

Walaupun bukan sebagai partai politik, Muhammadiyah

mempunyai modal yang besar untuk menyukseskan individu yang terlibat

dalam politik praktis seperti beberapa contoh kasus dalam pemilu maupun

pilkada ketika beberapa kader dari Muhammadiyah turut serta dalam

politik praktis baik melalui partai politik sebagai Calon legislatif

(DPR/DPRD) maupun lewat jalur individu sebagai calon DPD.

Hal tersebut terbukti dengan luasnya amal usaha seperti memiliki

lebih 150 perguruan tinggi, ribuan sekolah dan taman kanak-kanak,

puluhan rumah sakit, ratusan balai pengobatan dan panti asuhan, dan lebih

penting lagi masih mengakar di masyarakat luas dengan kepercayaan

yang melekat di dalamnya.

Muhammadiyah dengan tetap berada dalam kerangka gerakan

dakwah yang menjadi fokus dan orientasi utama gerakannya, dapat

mengembangkan fungsi kelompok kepentingan atau sebagai gerakan

sosial Civil society dalam memainkan peran berbangsa dan bernegara

tanpa harus bergumul dalam kancah perjuangan politik praktis

sebagaimana partai politik. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial

keagamaan yang memerankan fungsi kelompok kepentingan sebagai

kekuatan masyarakat madaniah merupakan format yang tepat dalam

memainkan peran politik kebangsaan untuk mewujudkan Indonesia

74

sebagai bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, sejahtera,

bermartabat, dan berdaulat sebagaimana cita-cita nasional kemerdekaan

tahun 1945.

Kesantunan, objektivitas, moralitas atau akhlak, dan kearifan

dalam menjaga batas-batas prinsip gerakan maupun dalam menjalankan

fungsi kelompok kepentingan tetap diperlukan dari seluruh pelaku gerakan

Muhammadiyah. Hindari pemaksaan kehendak, berjalan sendiri tanpa

memperhatikan koridor organisasi, dan sikap berlebihan atau melampaui

takaran dalam menjalankan fungsi politik kepentingan atas nama

Muhammadiyah. Sebab manakala peran atau fungsi kelompok

kepentingan itu dilakukan melampaui takaran maka proses dan hasil

akhirnya akan sama dengan fungsi atau peran partai politik dan masuk ke

kancah atau jalur perjuangan politik praktis. Pada situasi yang demikian

maka selain selalu memperhatikan spirit dan binkai Khittah maupun

prinsip-prinsip organisasi yang selama ini menjadi pedoman gerakan

Muhammadiyah, pada saat yang sama perlu dikedepankan kearifan dan

etika dari para elite atau pelaku gerakan kelompok kepentingan dan

Muhammadiyah secara keseluruhan.

C. Elit Muhammadiyah Sulawesi Selatan Dan pengaruhnya terhadap

masyarakat.

Meminjam analisa Jurdi tentang definisi elite yang merupakan

sekelompok kecil dalam masyarakat yang memegang posisi dan peranan

75

penting43 maka elite dalam Muhammadiyah adalah sekelompok kecil

masyarakat yang memegang posisi struktural dalam lembaga perserikatan,

dalam hal ini Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Pada

penelitian ini, penulis hanya terfokus pada elite-elite Muhammadiyah yang

terlibat langsung dalam pemenangan Iqbal Parewangi sebagai anggota DPD

RI asal Sulawesi selatan periode 2014-2019 serta pengaruhnya sebagai

tokoh masyarakat.

1. Elit PWM Sulsel Periode 2010-2015

Dalam poin ini, penulis akan spesifik membahas elit Muhammadiyah

yang terlibat langsung dalam pemenangan Iqbal Parewangi sebagai anggota

DPD RI pada Pemilu 2014.

“elit Muhammadiyah yang terlibat aktif dalam melakukan sosialisasi tentang pencalonan saya adalah Ustad Alwi Uddin, Ustad Mawardi, dan Ustad Mustari Bosra, mereka adalah petinggi Muhammadiyah Sulawesi selatan dengan Ustad Alwi sebagai ketua PMW waktu itu”44

Berdasarkan penyataan tersebut, yang menjadi fokus penulis dalam

penelitian ini adalah elit Muhammadiyah yang menjabat di tingkat wilayah

Sulawesi selatan (PWM) pada periode 2010-2015 yang disebutkan oleh

Iqbal Parewangi sebelumnya yaitu : Ustad Alwi Uddin, Ustad Mawardi, dan

Ustad Mustari Bosra.

Konfigurasi elite Muhammadiyah (PMW) Sulawesi selatan periode

2010-2015 saat itu didominasi oleh orang-orang yang berprofesi sebagai

43 Syarifudin Jurdi, Elite Muhammadiyah dan Kekuasaan Politik, Studi tentang Tingkah Laku Politik Elite Lokal Muhammadiyah Sesudah Orde Baru, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004. Hal. 19 44 Wawancara dengan A. M. Iqbal Parewangi selaku Anggota DPD RI terpilih Periode 2014-2019, 31 Oktober 2016, Pukul 13.30 Wita

76

tenaga pengajar dan mempunyai prestasi di bidang akademik. Ketua PWM

Sulawesi selatan 2010-2015, Drs. H. Muh. Alwi Uddin, M.Ag merupakan

pensiunan tenaga pengajar di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

(UINAM) dan sekarang masih mengajar di Universitas Muhammadiyah

(UNISMUH) Makassar.

Sekretaris Pimpinan wilayah Muhammadiyah Periode 2010-2015,

Drs. H. Mawardi Pewangi, M.Pd.I merupakan dosen aktif di UNISMUH

Makassar. Beliau merupakan kader Muhammadiyah yang pernah aktif di

berbagai organisasi otonom Muhammadiyah salah satunya adalah Ikatan

Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sulawesi selatan yang aktif sebagai

akademisi. Beliau memulai karier sebagai dosen biasa di UNISMUH

Makassar hingga menjadi Dekan Fakultas Agama Islam Universitas

Muhammadiyah Makassar.

Wakil ketua PWM Sulawesi Selatan Periode 2010-2015, DR. K.H.

Mustari Bosra, MA merupakan salah satu dosen di Universitas Negeri

Makassar (UNM) yang membidangi Ilmu Sejarah, khususnya sejarah Islam.

Beliau merupakan salah satu pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

yang masih aktif hingga sekarang. Beliau pernah menjabat sebagai ketua

Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Takalar serta sebagai direktur

pondok pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Makassar.

Dari ketiga sosok elit tersebut, penulis menyimpulkan bahwa

keseluruhannya adalah sebagai akademisi serta mempunyai catatan aktif

di berbagai organisasi atau institusi. Posisi-posisi dalam struktur organisasi

77

itulah yang kemudian disebut elit karena Elit adalah orang yang menempati

posisi-posisi strategis dalam suatu struktur organisasi atau institusi. Selain

sebagai elit agama, mereka juga merupakan elit akademisi dilihat dari

posisinya sebagai tenaga pengajar yang pakar di bidangnya masing-masing.

2. Pengaruh Elit Muhammadiyah di masyarakat.

Elit selaku orang-orang penting yang menduduki jabatan dalam

suatu struktur tidak serta-merta memperoleh kedudukan tersebut secara

instan. Untuk menduduki suatu jabatan tentu ada proses panjang yang harus

dilalui, begitu pula di organisasi Muhammadiyah. Pengangkatan elit dalam

Muhammadiyah dilakukan melalui muktamar. Di Sulawesi selatan, pimpinan

wilayah Muhammadiyah juga melakukan hal serupa yang menghasilkan

keputusan tentang pengurus pimpinan wilayah Muhammadiyah Sulawesi

selatan. Dan pada tahun 2010 Ustad Alwi Uddin terpilih sebagai ketua PWM

Sulawesi selatan Periode 2010-2015.

“Pak Alwi Uddin ini saya kenal beliau sejak saya kuliah, saya masuk IMM pada tahun 1986, beliau kalau ceramah itu keras karena dia tidak takut menghantam pejabat asalkan sesuai dengan agama pandangannya. Ketika beliau menjadi ketua di PDM Makassar orang-orang tidak kaget begitupun ketika terpilih sebagai ketua PWM Sulawesi Selatan”45

Ustad Alwi Uddin merupakan ulama yang telah di kenal di masyarakat,

khususnya warga Muhammadiyah di kota Makassar. Beliau dikenal

masyarakat sebagai ulama yang tegas serta aktif dalam membangun

Muhammadiyah menjadi lebih hidup setelah memegang jabatan sebagai

45 Wawancara Dengan Asnawin selaku Humas PWM Sulsel dan Jurnalis 28 Februari 2017, Pukul

14.10

78

ketua sejak tahun 2010 hingga 2015. Masyarakat dapat menilai dari

pengalaman serta pemahaman beliau yang telah lama aktif di

Muhammadiyah sehingga timbul kepercayaan apalagi setelah aktif

menghidupkan Muhammadiyah di daerah-daerah.

“Ketika dia (Alwi Uddin) menjadi ketua PWM Sulawesi Selatan dia rajin keliling daerah Sulawesi selatan, sehingga banyak daerah yang tadinya tidak aktif dan tidak mempunyai banyak kegiatan umumnya Muhammadiyah daerah itu kembali aktif dalam kepengurusan PDM setelah lama tidak punya kegiatan hingga terbentuk beberapa ranting muhammadiyah”46

Ustad Alwi Uddin sebagai elit Muhammadiyah yang berperan sebagai

ketua PWM Sulawesi selatan berperan pengambilan keputusan dan

pemangku kebijakan. Dengan adanya gebrakan baru tersebut, terjadi

perekatan kembali antara pimpinan wilayah Muhammadiyah Sulawesi

selatan dengan pimpinan daerah Muhammadiyah di berbagai

kabupaten/kota. Adanya warna baru dalam kepemimpinannya tersebut telah

meningkatkan ketokohannya sebagai elit Muhammadiyah di Sulawesi

selatan.

Elit Muhammadiyah dikenal aktif dalam bidang dakwah khususnya

kegiatan-kegiatan keagamaan seperti memberi ceramah-ceramah kepada

umat di berbagai daerah. Salah satu tokoh Muhammadiyah yang dikenal

karena cara memberikan ceramahnya yang lembut adalah DR. K.H. Mustari

Bosra, MA. Beliau juga dikenal sebagai tokoh yang dermawan ketika

46 Wawancara Dengan Asnawin selaku Humas PWM Sulsel dan Jurnalis 28 Februari 2017, Pukul

14.10

79

menjabat sebagai direktur pondok pesantren Darul Arqam Gombara

Muhammadiyah Makassar.

“Selama menjabat beliau (Mustari Bosra) tidak pernah sekalipun menerima gaji, bahkan beliau menggunakan uang pribadi untuk membangun pesantren tersebut. Beliau juga merupakan seorang pengusaha di bidang properti yang sangat membantu serta memudahkan warga Muhammadiyah untuk mempunyai tempat tinggal”47

Pencapaiannya di bidang akademik maupun organisasi

Muhammadiyah menjadikan beliau sebagai tokoh, selain pernah mengisi

berbagai posisi strategis di PDM Takalar dan di PWM selaku bendahara

periode 2005-2010 hingga wakil ketua periode 2010-2015. Secara historis

beliau memang berjasa di organisasi otonom Muhammadiyah sebagai salah

satu perintis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah serta berbagai relasinya

yang cukup luas di bidang pendidikan maupun di bidang ekonomi .

“Pak Mawardi adalah senior saya di IMM, dia juga dosen di UNISMUH dan dia tidak punya pekerjaan lain selain di UNISMUH, dia memang total di Muhammadiyah, tidak ada pekerjaan lain selain di Muhammadiyah, beliau membawai lembaga pengembangan pondok pesantren Muhammadiyah..”48

Pada aspek loyalitas dalam berlembaga, ustad Mawardi dikenal

sebagai elit yang betul-betul hanya aktif dalam Muhammadiyah.

Ketokohannya dikenal karena loyalitasnya tersebut. Beliau merupakan kiai

yang betul-betul hanya aktif sebagai pendakwah maupun pendidik.

Dibandingkan dengan dua tokoh elit sebelumnya, ustad Mawardi lebih ke

47 Wawancara Dengan Asnawin selaku Humas PWM Sulsel dan Jurnalis 28 Februari 2017, Pukul

14.10 48 Wawancara Dengan Asnawin selaku Humas PWM Sulsel dan Jurnalis 28 Februari 2017, Pukul

14.10

80

internal Muhammadiyah itu sendiri serta sebagai tokoh akademisi yang

cukup berpengaruh di kalangan mahasiswa.

Melihat dari latar belakang elit Muhammadiyah tersebut, penulis

berkesimpulan bahwa secara individual mereka mempunyai modal sosial

yang cukup besar di Sulawesi selatan apalagi ketika membawa nama

lembaga Muhammadiyah yang di nilai cukup mampu mempengaruhi

masyarakat baik itu berupa kegiatan internal lembaga Muhammadiyah

hingga sosialisasi politik kader Muhammadiyah. Peran elit dalam

mempengaruhi masyarakat inilah yang akan di bahas dalam memenangkan

Iqbal Parewangi.

81

BAB V

HASIL & PEMBAHASAN

Muhammadiyah merupakan gerakan sosial Islam yang bersifat multi-

wajah, aktivitasnya tidak hanya pada ranah masyarakat dengan

menggiatkan bidang agama, pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi,

tetapi juga pada ranah struktur politik kenegaraan. Sebagai kekuatan sosial

kemasyarakatan, Muhammadiyah memiliki komitmen pada penguatan

basis (umat) agar mereka memiliki kesadaran teologis, sosial, politik dan

terus-menerus melakukan berbagai aktivitas yang dapat mentransformasi

masyarakat menuju kepada suatu strata yang baik.

Peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang

memiliki suatu status sedangkan Elit adalah posisi di dalam masyarakat di

puncak struktur-struktur sosial yang terpenting. Jadi peran elit adalah

perilaku yang diharapkan dari seseorang yang menduduki puncak struktur

sosial. Peran elit menurut penulis ialah sebagai pengambil keputusan.

Sebagai salah satu kelompok kepentingan, Muhammadiyah

Sulawesi selatan menginginkan adanya kader mereka ditempatkan di

pusat pemerintahan sebagai penyalur aspirasi warga Muhammadiyah ke

pusat. Oleh karena itu elit Muhammadiyah akan mendukung penuh setiap

kadernya yang berkompetisi dalam Pemilu untuk menempatkan kader

terbaiknya di rana penyusun kebijakan di tingkat pusat.

Elit Muhammadiyah Sulawesi selatan melakukan berbagai manuver

politik dalam memenangkan kadernya yang berkompetisi pada pentas

82

politik seperti Pemilu, hal ini bisa di lihat dari kemenangan Iqbal Parewangi

pada Pemilu 2014 sebagai anggota DPD RI Sulawesi Selatan.

Kemenangan Iqbal Parewangi tidak terlepas dari peran aktif elit

Muhammadiyah di Sulawesi selatan. Elit Muhammadiyah Sulawesi selatan

berperan dengan terlibat langsung dalam menyosialisasikan Iqbal

Parewangi ke daerah-daerah, melibatkan berbagai amal-amalan usaha dan

jaringan eksternal di luar struktur Muhammadiyah, serta menggunakan

jaringan sayap organisasi Muhammadiyah dalam mengawal pemilu. Faktor-

faktor tersebut di uraikan dalam poin-poin pembahasan sebagai berikut.

A. Sosialisasi Politik Ke Daerah

Dalam politik praktis, Muhammadiyah Sulawesi selatan secara

kelembagaan tidak terlibat dalam proses pemilu 2014. Namun secara

individu Elit Muhammadiyah turun langsung menyukseskan kadernya yang

ikut serta dalam Pemilu dengan menggunakan jaringan Muhammadiyah

yang tersebar di seluruh Sulawesi selatan.

“Saya menerima Pak Iqbal Parewangi bersilaturahmi dalam suatu rapat pimpinan. Rapat pimpinan waktu itu saya yang pertama kali mengatakan bahwa Muhammadiyah tidak boleh lagi seperti masa alu bersikap tidak mendukung (netral) membiarkan kadernya jalan sendiri. Pak Iqbal Parewangi merupakan kader Muhammadiyah, bukan dari partai politik oleh karena itu jangan di biarkan jalan sendiri, pimpinan wilayah Muhammadiyah Sulawesi selatan harus memberi dukungan penuh walaupun tidak berdasarkan SK (Surat Keputusan) harus perorangan pimpinan wilayah dalam hal ini elit Muhammadiyah memberikan support hingga presure ke daerah-daerah agar memberi dukungan kepada Iqbal Parewangi. Alhasil teman-teman (PWM Sulsel) menerima untuk memberi dukungan dengan cara tidak terang-terangan karena Muhammadiyah harus menjaga netralitasnya. Di antara kader-kader yang potensial waktu itu (2014) hanya pak Iqbal

83

yang mampu meyakinkan kita apabila didukung penuh oleh perserikatan.”49

Elit Muhammadiyah selaku pengambil keputusan, memutuskan

untuk mendukung Iqbal Parewangi pada Pemilu 2014. Salah satu bukti

dukungan elit yang di berikan adalah turun langsung ke daerah-daerah di

Sulawesi selatan untuk menyosialisasikan Iqbal Parewangi. Elit yang

terlibat aktif saat itu adalah Ketua, wakil ketua, dan sekretaris Pimpinan

Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan periode 2010-2015.

Elit Muhammadiyah periode 2010-2015 melakukan gebrakan baru

dengan aktif kembali menjaga silaturahmi antara pimpinan wilayah (PWM)

dengan pimpinan daerah (PDM) yang pada periode sebelumnya kurang

dekat. Pada pembahasan sebelumnya penulis telah menguraikan tentang

kedekatan yang mulai di bangun kembali oleh Alwi Uddin selaku ketua

PWM tentang rutinitas kunjungan Pimpinan wilayah ke daerah-daerah.

Rutinitas tersebut menimbulkan kedekatan antara elit di wilayah

dengan warga Muhammadiyah di daerah. Kedekatan elit inilah yang

nantinya akan menjadi modal bagi Iqbal Parewangi ketika berkunjung ke

daerah bersama dengan elit Muhammadiyah. Kunjungan-kunjungan ini

bukan membahas soal politik tetapi lebih kepada pembahasan tentang

dakwah dan Muhammadiyah itu sendiri.

“Kebetulan waktu itu bertepatan sosialisasi muktamar Muhammadiyah sehingga memudahkan untuk memperkenalkan pak Iqbal ke daerah-daerah bersama-sama PWM Sulsel.”50

49 Wawancara dengan DR. K.H. Mustari Bosra, MA, 14 Desember 2016, Pukul 14.00 Wita 50 Wawancara dengan Drs. H. Mawardi Pewangi, M.Pd.I selaku Sekretaris PWM Sulsel Periode 2010-2015, 15 Desember 2016, Pukul 16.24 Wita

84

Elit Muhammadiyah menggunakan rutinitas kunjungan ke daerah-

daerah sebagai sarana sosialisasi politik, setelah berbicara panjang lebar

tentang berbagai hal, di akhir pembahasan mereka memperkenalkan Iqbal

Parewangi yang merupakan kader Muhammadiyah untuk didukung pada

Pemilu Legislatif DPD RI 2014. Dengan izin dari elit, di hadapan warga

Muhammadiyah di berbagai daerah, Iqbal Parewangi tampil dengan

memaparkan berbagai visi dan misinya.

“Pada pemilu 2014, Pak Iqbal Parewangi mempunyai persiapan yang sudah matang baik dalam hal finansial maupun tim suksesnya, Muhammadiyah tinggal membantu beliau dengan jaringan di daerah-daerah. Tiap kali ada acara Muhammdiyah di daerah, kita mengundang pak Iqbal untuk hadir dan mengemukakan ide-ide dan gagasannya yang ternyata ide-ide atau gagasannya itu, program-programnya memang mengena dan diterima oleh warga perserikatan (Muhammadiyah) 51

Berjalannya peranan elit Muhammadiyah sebagai pengambil

keputusan dalam memberi dukungan penuhnya tidak terlepas dari adanya

penyesuaian peran elit Muhammadiyah di Sulawesi selatan dengan

melaksanakan instruksi dari Pimpinan Elit Muhammadiyah ke pimpinan

daerah ke bawah.

“Di Sulawesi selatan waktu itu (2014) Muhammadiyah mempunyai 23 pimpinan daerah (kabupaten) dan hampir di semua kecamatan ada pimpinan cabang bahkan sampai pimpinan ranting (tingkat desa) yang berperan memberi dukungan kepada Iqbal Parewangi. Pada 11 maret 2014 saya meresmikan ranting perserikatandan mengundang Iqbal Parewangi untuk memberi ceramah dan ternyata banyak warga ranting maupun sekitar memberi dukungan kepada Iqbal parewangi hal ini sebagai gambaran bahwa Muhammadiyah berperan mendukung Iqbal parewangi hingga ke tingkat ranting perserikatan (tingkat desa)52

51 Wawancara dengan DR. K.H. Mustari Bosra, MA, 14 Desember 2016, Pukul 14.00 Wita 52 Wawancara dengan DR. K.H. Mustari Bosra, MA, 14 Desember 2016, Pukul 15.00 Wita

85

Sesuai perkataan K.H. Mustari Bosra Bahwa Muhammadiyah

memilih tidak berpolitik praktis, kemudian Muhammadiyah menjaga

kedekatan dan jarak yang sama kepada semai partai termasuk calon

anggota DPD, waktu itu kita Muhammadiyah bermain cantik mendukung

Iqbal Parewangi artinya tidak terlalu gencar memberi dukungan tetapi jalan

terus menyosialisasikan”53

Metode yang digunakan elit Muhammadiyah dalam menyosialisasikan

Iqbal Parewangi ke berbagai daerah salah satunya adalah melakukan pengajian.

Dalam kunjungan elit ke daerah, mereka selalu membawa Iqbal Parewangi untuk

ikut serta dalam setiap pengajian dan padasetiap sesi setelah pengajian, elit yang

hadir selalu memperkenalkan Iqbal Parewangi kepada seluruh warga

Muhammadiyah yang hadir pada saat itu.

Selain menghadirkan Iqbal Parewangi dalam setiap pengajian di daerah,

elit Muhammadiyah juga menggunakan momen sosialisasi muktamar

Muhammadiyah yang akan di selenggarakan di kota Makassar, dalam hal ini PWM

Sulawesi selatan sebagai tuan rumah. Sosialisasi ini bukan hanya bersifat tulisan

ataupun pemberitahuan kepada PDM tetapi Elit Muhammadiyah Sulawesi Selatan

turun langsung ke daerah-daerah dengan membawa Iqbal Parewangi untuk turut

serta yang berujung sosialisasi politik yang bersifat tertutup.

Sikap elit Muhammadiyah dalam politik adalah menjaga jarak yang sama

dengan semua praktisi politik, sehingga di tiap sosialisasi yang bersifat politis tidak

satupun kata “Ayo Pilih Iqbal Parewangi” yang keluar dari mulut elit

Muhammadiyah melainkan bahasa-bahasa halus yang notabenenya mengandung

53 Wawancara dengan DR. K.H. Mustari Bosra, MA selaku Wakil Ketua PWM Sulsel Periode 2010-2015, 14 Desember 2016, Pukul 14.45 Wita

86

harapan meminta dukungan.

Dengan terlibatnya elit Muhammadiyah secara individu, secara tidak

langsung elit juga membawa jaringan Muhammadiyah dalam

menyukseskan terpilihnya Iqbal Parewangi sebagai Anggota DPD RI yang

pada pemilu sebelumnya (2009) gagal mendapat kursi senator.

B. Menggunakan Amalan usaha dan jaringan eksternal

Muhammadiyah dengan segala sumber daya yang dimilikinya

dianggap mampu untuk menggerakkan massa dalam Pemilu. Sumber

daya inilah yang digunakan Elit Muhammadiyah Sulawesi selatan untuk

memenangkan Iqbal Parewangi.

Tidak hanya lewat hierarki lembaga perserikatan, elit

Muhammadiyah juga menggunakan organisasi otonom serta amal-amal

usaha yang terdapat di Sulawesi selatan dengan berdalih bahwa

Muhammadiyah Sulawesi selatan sebagai kelompok kepentingan

memerlukan adanya representasi di pusat untuk memperjuangkan

kepentingannya walaupun tidak secara langsung.

Amal usaha Muhammadiyah merupakan segala upaya yang

dilakukan untuk mengelola keuangan dengan tujuan membantu

masyarakat secara luas. Amalan-amalan usaha ini utamanya bergerak di

bidang pendidikan dan dakwah serta di bidang sosial seperti membangun

sekolah, rumah sakit, hingga panti asuhan. Gerakan dakwah Islamiyah

melalui amal usaha ini secara langsung telah dirasakan manfaatnya oleh

masyarakat dan bangsa Indonesia. Segala amal usaha Muhammadiyah

87

berjalan dengan landasan untuk beramal dan mewujudkan masyarakat

Islam yang sebenarnya.

Pada pembahasan sebelumnya tentang elit Muhammadiyah

Sulawesi selatan, kebanyakan yang mengisi jabatan struktural merupakan

mereka yang pernah menempuh jalur pendidikan melalui amalan usaha

Muhammadiyah. Artinya secara tidak langsung pembentukan kader

Muhammadiyah pada bidang pendidikan di mulai dari sekolah-sekolah

Muhammadiyah.

Menggunakan jaringan amalan usaha di bidang pendidikan tidak

terlepas dari peranan elit Muhammadiyah yang juga mempunyai kekuasaan

di bidang pendidikan yang telah mempunyai nama di kalangan warga

Muhammadiyah maupun akademisi. Salah satunya adalah Drs. Mawardi

yang saat itu sebagai sekretaris PMW dan Dekan Fakultas agama islam

UNISMUH.

“Saya menyampaikan kepada warga Muhammadiyah ini calon DPD kita Pak Iqbal wajib didukung, cara menyampaikannya lewat jalur kunjungan organisasi, tiap ada acara pengajian, menyebarkan brosur kepada masyarakat dan lewat mahasiswa. Kita menyosialisasikan pak Iqbal di ruang-ruang kuliah (UNISMUH Makassar), saya sebagai dosen ikut aktif memperkenalkan beliau. kita juga menghubungi keluarga lewat telepon maupun sms”54

Fakta yang unik terungkap dari pernyataan tersebut,

Muhammadiyah memanfaatkan perguruan tinggi sebagai salah satu amal

usahanya dalam menyosialisasikan Iqbal Parewangi kepada kalangan

mahasiswa, hal ini membuktikan bahwa Muhammadiyah sebagai

54 Wawancara dengan Drs. H. Mawardi Pewangi, M.Pd.I selaku Sekretaris PWM Sulsel Periode 2010-2015, 15 Desember 2016, Pukul 16.24 Wita

88

kelompok kepentingan yang berbasis gerakan dakwah sekaligus sebagai

kekuatan politik.

“Berbagai amal usaha Muhammadiyah turut membantu menyosialisasikan Iqbal Parewangi salah satunya lewat Perguruan Tinggi. hubungan perserikatan Muhammadiyah dengan pimpinan perguruan tinggi Muhammadiyah cukup dekat. Pimpinan perguruan tinggi menginstruksikan dosen-dosen di setiap membawakan perkuliahan untuk memperkenalkan Iqbal Parewangi kepada mahasiswa, waktu itu (2014) ada sekitar 20 Perguruan Tinggi Muhammadiyah, ada 2 universitas, 11 sekolah tinggi, dan 7 akademi kesehatan yang terbagi di beberapa daerah di Sulawesi selatan”55

Elit Muhammadiyah menjalankan kekuasaannya secara

fungsional dan melembaga. Artinya, elit selalu bergerak secara

terorganisasi berdasarkan latar belakang kekuasaannya. Muhammadiyah

yang berlatar belakang gerakan dakwah tidak terlepas dari civitas

akademika atau proses belajar-mengajar baik di kampus maupun di

sekolah-sekolah. Keterlibatan di lingkungan pendidikan yang berupa

amalan usaha Muhammadiyah dapat mendongkrak popularitas Iqbal

Parewangi dengan membangun kesan berpendidikan apalagi Iqbal

Parewangi memang memiliki prestasi yang cukup membanggakan di

bidang pendidikan. Bisa dibilang beliau dekat dengan kalangan muda

khususnya pelajar atau mahasiswa.

Mannheim membedakan antara dua tipe elit, yaitu elit yang

integratif, yang terdiri dari pemimpin politik dan organisasi dan elit

sublimatif, yang terdiri dari para pemimpin moral keagamaan, seni dan

55 Wawancara dengan Drs. H. Muh. Alwi Uddin, M.Ag. selaku Ketua PWM Sulsel Periode 2010-2015, 29 Desember 2016, Pukul 11.00 Wita

89

intelektual. Elit Muhammadiyah merupakan elit yang integratif sekaligus

sublimatif dilihat dari gerakan elit organisasinya yang formal sekaligus

memiliki organisasi otonom yang mempunyai kepentingan sendiri yang

lebih khusus namun tidak terlepas dari Muhammadiyah itu sendiri.

Keterlibatan amalan usaha Muhammadiyah dalam

menyosialisasikan Iqbal Parewangi di lingkungan perguruan tinggi

maupun lembaga pendidikan lainnya tidak terlepas dari peran elit.

Sebagai bagian dari Muhammadiyah, amalan-amalan usaha ini wajib

mengikuti kebijakan elit Muhammadiyah. Instruksi-instruksi inilah yang

membuat seluruh civitas akademika di bawah naungan Muhammadiyah

mengikuti instruksi untuk mendukung Iqbal Parewangi.

Metode yang dilakukan adalah dengan menyelipkan pembahasan

tentang wakil Muhammadiyah di pusat untuk kepentingan kampus itu

sendiri di ruang-ruang kuliah yang dilakukan oleh tenaga pengajar

maupun pimpinan universitas. Sosialisasi juga dilakukan dalam bentuk

seminar maupun workshop yang melibatkan Iqbal Parewangi sebagai

pembicara.

Berbagai cara telah ditempuh Elit Muhammadiyah di Sulawesi

selatan dalam memperkenalkan Iqbal Parewangi kepada para kader

Muhammadiyah di daerah ke bawah, mereka memanfaat berbagai jaringan

baik itu bersifat hubungan kekeluargaan maupun hubungan profesional

salah satunya adalah berhubungan baik dengan wartawan dan media.

90

“Kita mempengaruhi siapa yang bisa di pengaruhi, kebetulan saya wartawan jadi teman-teman wartawan saya pengaruhi. Wartawan besar pengaruhnya karena bekerja di media massa apalagi mereka aktif di media sosial, sebagai wartawan, setiap ada perkembangan saya selalu menghubungi Iqbal Parewangi, kabar apapun itu. seperti saat kami wartawan sedang berkumpul dan berdiskusi tentang beliau. Ada komunikasi dari pihak kami dengan Iqbal Parewangi”56

Kampanye lewat media massa baik itu media cetak maupun

elektronik lebih efektif danpaknya apabila dibarengi dengan turun langsung

ke daerah untuk memperkenalkan diri, karena selain terbangunnya opini

publik, kesan akrab juga akan melekat ketika elit politik yang merupakan

kelas atas menurut Pareto apabila mendekatkan diri dengan masyarakat

kelas bawah.

Iqbal Parewangi sebagai sosok yang berpendidikan, tegas, serta

dekat dengan pemuda menurut penulis mampu menarik simpati para

pendukungnya. Perbedaan strategi yang dilakukan lebih ke minimnya

pengeluaran dana kampanye dan tidak terdeteksi adanya Money politic.

“Dalam proses kampanye, tidak ada sepeser pun uang saya yang keluar untuk membeli suara masyarakat, paling hanya uang pembeli kopi atau kue ketika ada pertemuan dengan para simpatisan ”57

Pernyataan tersebut juga diakui oleh elit Muhammadiyah dan para

simpatisan bahwa memang Iqbal Parewangi tidak menggunakan uang

untuk membeli suara rakyat, modal sosial yang dimilikinya telah cukup

untuk menyosialisasikannya dengan menggunakan anggaran ormas itu

sendiri.

56 Wawancara Dengan Asnawin selaku Humas PWM Sulsel dan Jurnalis 29 Desember 2016,

Pukul 12.10 57 Wawancara dengan A. M. Iqbal Parewangi selaku Anggota DPD RI terpilih Periode 2014-2019, 31 Oktober 2016, Pukul 13.30 Wita

91

“Kita ini punya tanggung jawab moral untuk membantu beliau apalagi ada keputusan dari PWM meskipun ada sedikit kontroversi tapi ada komitmen bahwa perlu ada orang kita (Kader Muhammadiyah Sulawesi selatan) di pusat dan hanya beliau yang representatif”58

Secara tegas Asnawin berpendapat demikian, tidak hanya karena

instruksi dari elit pimpinan wilayah Muhammadiyah, namun memang

karena ada hubungan emosional yang dekat dengan Iqbal Parewangi.

Kedekatan Iqbal parewangi dengan Muhammadiyah tidak sebatas

kepentingan politik tetapi memang beliau merupakan kader

Muhammadiyah dari bawah, menurut penulis wajar saja jika banyak

simpatisan apalagi ada instruksi langsung dari PWM.

Jaringan Muhammadiyah tidak hanya sebatas itu, elit

Muhammadiyah juga menjalin hubungan dengan kader-kadernya yang

menduduki jabatan politik sebagai kepala daerah, hal ini juga menjadi

salah satu penggerak dalam menggalang suara. Penulis beranggapan

bahwa Muhammadiyah sebagai Civil society dan kelompok kepentingan

menempatkan kadernya ke lingkungan sosial politik dengan memberi

kebebasan berpolitik praktis demi kemaslahatan umat sehingga tak jarang

kader-kader perserikatan besar dan menduduki jabatan struktural di

pemerintahan.

“Alhamdulillah pejabat daerah yang merupakan kader Muhammadiyah cukup membantu seperti wakil bupati Selayar, Bupati Bantaeng, Bupati Enrekang, Bupati Maros.”59

Pemanfaatan jaringan Muhammadiyah yang dilakukan elit dalam

58 Wawancara Dengan Asnawin selaku Humas PWM Sulsel dan Jurnalis 29 Desember 2016,

Pukul 12.10 59 Wawancara dengan Drs. H. Mawardi Pewangi, M.Pd.I selaku Sekretaris PWM Sulsel Periode 2010-2015, 15 Desember 2016, Pukul 16.24 Wita

92

menyukseskan Iqbal parewangi yang pada dasarnya memang telah

memiliki modal sosial. Jaringan elit begitu luas dan melibatkan berbagai

kalangan baik masyarakat biasa maupun kepala daerah.

Dengan adanya modal sosial dari keluarga Muhammadiyah

khususnya di Sulawesi selatan, baik melalui jaringan primordial maupun

relasi organisasi lain akan meningkatkan popularitasnya dalam pemilu.

Berikut pemetaan kekuatan dibalik kemenangan Iqbal Parewangi.

“Ada multipola dalam memetakan modal sosial saya sebagai calon anggota DPD RI 2014-2019, pola tersebut terdiri dari 4 garis besar, yakni lewat garis organisasi keagamaan, garis jaringan sosial independen, garis akademik (intelektual), dan tentu saja garis primordial”60

Keterlibatan Iqbal Parewangi dalam berbagai bidang tidak terlepas

dari kemampuannya menyesuaikan peran, berdasarkan penyesuaian

peran tersebutlah dia berhasil memanfaatkan modal sosialnya dalam

pentas Pemilu 2014.

“Organisasi massa (ormas) yang mendukung saya antara lain : 1). Muhammadiyah, baik aisyiyah maupun angkatan muda, 2). BKPRMI (Badan Koordinasi Pemuda Remaja Mesjid Indonesia) Sulawesi Selatan. Lebih dari 100 spanduk berisikan foto saya terpasang di mesjid-mesjid yang tersebar di Sulawesi selatan. 3). Wahdah Islamiyah menyebarkan 18.000 sms ke seluruh kader di Sulawesi selatan, hal ini terbukti dengan pengecekan langsung ke tingkat desa bahwa pesan singkat tentang Seruan mendukung Iqbal Parewangi yang betul-betul tersampaikan. 4) Adanya dukungan dari Sanusi Baco dalam hal ini Nahdlatul Ulama (NU). 5) PII (Persatuan Insinyur Indonesia) Sulawesi Selatan. 6). Darud Da'wah Wal-Irsyad (DDI) Sulawesi Selatan. Dan 7) ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) Sulawesi Selatan.”61

60 Wawancara dengan A. M. Iqbal Parewangi selaku Anggota DPD RI terpilih Periode 2014-2019, 31 Oktober 2016, Pukul 13.30 Wita 61 Wawancara dengan Iqbal Parewangi, 31 oktober 2016, pukul 13.34 wita

93

Dari segi organisasi massa, terkumpul sejumlah besar kekuatan

politik baik itu lembaga yang bersifat kelompok kepentingan maupun

organisasi keagamaan. Semua lembaga tersebut memiliki basis massa

yang jelas dan sudah terorganisir.

Melihat dari segi historisnya, penulis menilai Muhammadiyah

berperan penting dalam kehidupan A. M. Iqbal Parewangi karena dari kecil

hingga berkeluarga beliau memperkaya jaringan khususnya sebagai warga

Muhammadiyah melalu jalur pendidikan dan organisasi otonomnya.

C. Elit dan organisasi Muhammadiyah dalam mengawal Pemilu

Sebagai organisasi massa, Muhammadiyah mempunyai sumber

daya akan kader yang dapat di mobilisasi oleh elit. Peranan elit sebagai

pengambil keputusan tersebut untuk memenangkan Iqbal Parewangi

dengan cara memobilisasi kadernya baik yang berada dalam struktur

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah maupun kader-kader dari organisasi

otonomnya. Elit Muhammadiyah melakukan mobilisasi massa untuk

mengawal Iqbal Parewangi pada Pemilu 2014. Berikut penulis

mendeskripsikan gambaran hierarki dari organisasi Muhammadiyah dan

organisasi otonomnya.

Muhammadiyah secara struktural tersusun oleh struktur paling kecil

di tingkat ranting (desa) hingga ke tingkat pusat (nasional). Dari berbagai

hierarki tersebut tercipta pula hierarki elit yang terorganisir. Di Sulawesi

selatan sendiri terdapat 23 lembaga tingkat daerah yang disebut Pimpinan

daerah Muhammadiyah (PDM) dengan puluhan lembaga tingkat

94

kecamatan di masing-masing daerah yang disebut pimpinan cabang

Muhammadiyah (PCM) hingga ke tingkat terkecil di tingkat desa yang

disebut Pimipinan Ranting Muhammadiyah (PRM)

Setiap hierarki tersebut dipimpin oleh ketua dan mempunyai struktur

organisasi yang lengkap, mereka yang menduduki jabatan struktural itulah

yang disebut elit Muhammadiyah. Dalam penelitian ini, penulis lebih fokus

kepada peranan elit di perserikatan Muhammadiyah tingkat provinsi yaitu

elit di Pimpinan wilayah Muhammadiyah Sulawesi selatan.

Selain struktur internal tersebut, Muhammadiyah juga mempunyai

organisasi otonom. Organisasi Otonom Muhammadiyah ialah organisasi

atau badan yang dibentuk oleh Persyarikatan Muhammadiyah yang dengan

bimbingan dan pengawasan, diberi hak dan kewajiban untuk mengatur

rumah tangga sendiri, membina warga Persyarikatan Muhammadiyah

tertentu dan dalam bidang-bidang tertentu pula dalam rangka mencapai

maksud dan tujuan Persyarikatan Muhammadiyah.

Organisasi Otonom (Ortom) Muhammadiyah sebagai badan yang

mempunyai otonomi dalam mengatur rumah tangga sendiri mempunyai

jaringan struktur sebagaimana halnya dengan Muhammadiyah, mulai dari

tingka pusat, tingkat propinsi, tingkat kabupaten, tingkat kecamatan, tingkat

desa, dan kelompok-kelompok atau jama’ah – jama’ah.

Ortom dalam Persyarikatan Muhammadiyah mempunyai

karakteristik dan spesifikasi bidang tertentu. Adapun Ortom dalam

Persyarikatan Muhammadiyah yang sudah ada ialah sebagai

95

berikut Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiyatul Aisyiyah, Ikatan

Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Tapak Suci

Putra Muhammadiyah, dan Hizbul Wathan.

Organisasi otonom ini mempunyai kewajiban untuk melaksanakan

keputusan persyariktan Muhammadiyah. Salah satunya adalah mendukung

Iqbal Parewangi yang berdasarkan keputusan elit Muhammadiyah pada

rapat pleno yang di kemukakan oleh Ketua PWM saat itu.

“Instruksi dikeluarkan dalam bentuk lisan maupun tulisan berdasarkan hasil kesepakatan PWM berupa keputusan pleno pimpinan wilayah untuk mendukung Iqbal Parewangi baik lewat media ke bawah. Muhammadiyah memang organisasi yang rapi”62

Instruksi tersebut merupakan hal yang menjadi kewajiban bagi

organisasi-organisasi di bawah Muhammadiyah untuk dilaksakan walaupun

tak jarang terjadi perbedaan pendapat tiap Ortom Muhammadiyah.

Perbedaan pendapat paling mencolok ketika pemilu 2004 dan 2009 yang

pada saat itu kader dari ortom Aisyiyah ikut serta dalam Pemilu legislatif

DPD.

Sesuai dengan fokus studi kasus, penulis mengkaji lebih spesifik

tentang elit Muhammadiyah pada periode 2010-2015 terkait peranannya

dalam mendukung kadernya yang ikut serta berpolitik praktis, khususnya

kompetisi calon legislatif Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

(DPD RI) pada pemilu 2014. Kebetulan pada saat itu hanya Iqbal

Parewangi yang mencalonkan dari kader Muhammadiyah.

62 Wawancara dengan Drs. H. Muh. Alwi Uddin, M.Ag. selaku Ketua PWM Sulsel Periode 2010-2015, 29 Desember 2016, Pukul 11.00 Wita

96

“Pada pemilu tahun 2004 pak Nasaruddin Razak maju sebagai kader Muhammadiyah bersama ibu Nurhayati dari Aisyiyah (organisasi otonom perempuan Muhammadiyah) mencalonkan sebagai anggota DPD, sedangkan pada tahun 2009 pak Iskandar Tompo maju juga sebagai kader dari Muhammadiyah dan ibu Nurhayati juga ikut serta63

Dari 2 pemilu sebelumnya selalu terjadi fragmentasi di kubu aisyiyah

dan Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan tidak

membatasi kader-kadernya dalam ikut serta pada politik praktis dengan

batasan menjaga etika dan nama baik Muhammadiyah. Muhammadiyah

sebagai masyarakat madani Muhammadiyah memberi ruang sebesar-

besarnya untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik dengan

garis batas syariat islam tentunya.

“Pada pemilu legislatif 2009 Pak Iskandar Tompo merupakan kader dari

Muhammadiyah maju dan didukung oleh PWM Sulsel, tidak ada yang mau mundur baik dari Muhammadiyah maupun aisyiyah saya kecewa dan memilih tidak berpartisipasi aktif hanya sekedar menyosialisasikan saja”64

Terpusatnya dukungan Muhammadiyah kepada Iskandar Tompo di

pemilu 2009 menjadikan rival tersendiri bagi Iqbal Parewangi yang saat itu

juga mencalonkan. Terpecahnya kubu aisyiyah dengan Muhammadiyah

berdampak kepada peranan elit dalam menyukseskan kader perserikatan

yang diusung. Perpecahan ini menimbulkan kekecewaan dari berbagai

pihak termasuk elit Muhammadiyah saat itu.

Berdasarkan hasil Pemilu 2009 Caleg DPD RI Sulawesi selatan, dari

3 kader Muhammadiyah yang mencalonkan, Nurhayati Azis (120.770

suara) unggul atas Iqbal Parewangi (53.552 suara) dan Iskandar Tompo

63 Wawancara dengan DR. K.H. Mustari Bosra, MA selaku Wakil Ketua PWM Sulsel Periode 2010-2015, 14 Desember 2016, Pukul 14.00 Wita 64 Wawancara dengan DR. K.H. Mustari Bosra, MA, 14 Desember 2016, Pukul 14.00 Wita

97

(37.088 suara) dengan masing-masing Perolehan suara.65 Walaupun ada

dukungan penuh dari perserikatan, Iskandar Tompo belum mampu

menembus empat besar begitu pula Nurhayati Azis yang mendapat

dukungan penuh dari aisyiyah. Iqbal Parewangi mengungguli Iskandar

Tompo yang merupakan representasi dari perserikatan Muhammadiyah

membuktikan bahwa telah terbukti popularitas dengan berbagai modal

sosial yang telah di jelaskan sebelumnya. Kegagalan Muhammadiyah

dalam menyukseskan kadernya di pentas politik praktis tidak terlepas oleh

adanya fragmentasi elit di kalangan Muhammadiyah.

Pada pemilu 2009 tersebut peranan elit menurut penulis mengalami

konflik peran di kalangan elit Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Elit

Muhammadiyah pada pemilu 2009 merupakan sekelompok kecil yang

menduduki jabatan struktural penting secara kelembagaan dan individual

mengalami konflik peran. Hal ini didasari atas pernyataan kecewa Mustari

Bosrah yang saat itu menjabat sebagai bendahara PWM periode 2005-

2010 terhadap keputusan PWM Sulsel dalam menyukseskan Iskandar

Tompo pada pemilu 2009 khususnya. Konflik peran elit Muhammadiyah

ini menghasilkan kegagalan dalam membantu kader-kadernya.

Peristiwa berbeda terjadi pada pemlu 2014, pada pemilu kali ini

Nurhayati Azis yang telah mencalonkan pada 2 periode pemilu sebelumnya

tidak lagi menggunakan haknya. Iqbal Parewangi kembali hadir dalam

65 Rincian Perolehan Suara Sah Dan Tidak Sah Anggota DPD di KPU Provinsi Sulawesi Selatan Pada Pemilu 2009. Kpud Sulsel

98

pentas politik dengan persiapan yang lebih matang tentunya serta

mengantongi dukungan penuh Pimpinan wilayah Muhammadiyah.

Hilangnya perpecahan suara dari kubu aisyiyah dan

Muhammadiyah ini yang nantinya menjadikan suara Muhammadiyah bulat

ke Iqbal Parewangi. Hal ini tidak terlepas dari keputusan rapat pleno untuk

mendukung beliau yang pada pemilu sebelumnya tidak mendapat tempat

secara sah dari perserikatan Muhammadiyah. Dengan tidak adanya lagi

perpecahan tersebut, organisasi otonom Muhammadiyah lainnya

mengikuti dan melaksanakan keputusan dari Pimpinan wilayah

Muhammadiyah Sulawesi selatan yang notabenenya adalah keputusan

elit.

Peran elit Muhammadiyah selain sebagai mesin penggerak

sosialisasi kader ke daerah, elit Muhammadiyah juga mengawal Pemilu

hingga ke tahapan rekapitulasi suara, elit Muhammadiyah mengambil

kebijakan untuk menggerakkan angkatan mudanya dalam mengawal

proses pemungutan suara di TPS. Tidak seperti aktor politik lainnya yang

menyewa tim untuk menggunakan jasa mereka mengawal perhitungan

suara, kader Muhammadiyah justru secara sukarela berpartisipasi.

“Saya juga turut mengawal hingga ke tahap perhitungan suara, saya pernah menjadi salah satu tim seleksi KPU, ketika perhitungan suara saya menelepon beberapa jaringan saya di KPUD untuk memantau keadaan di TPS jangan sampai ada kecurangan. Khusus di Kab. Gowa saya merekrut Angkatan Muda Muhammadiyah untuk turut serta mengawal pemilu di tiap TPS. Kita kawal, tidak ada politik uang, kader-kader kita memang memberi dukungan dan mengawal pemilu”66

66 Wawancara dengan DR. K.H. Mustari Bosra, MA, 14 Desember 2016, Pukul 14.00 Wita

99

Hasil Perolehan suara menunjukkan bahwa Iqbal Parewangi lolos

menjadi salah satu senator sebagai anggota DPD RI Sulawesi Selatan

dengan Perolehan suara sebesar 273.785 suara dengan persentase suara

terbesar di Kab. Bantaeng dan jumlah suara terbanyak di kota Makassar.67

Hal ini membuktikan bahwa dengan tidak adanya fragmentasi atau

perpecahan di kalangan elit serta terpusatnya dukungan pada 1 kader

dapat mendongkrak suara kader tersebut. Perolehan suara tersebut tidak

terlepas dari berbagai upaya yang dilakukan elit Muhammadiyah di

Sulawesi selatan, baik secara kelembagaan maupun individual serta

perjuangan dari A.M. Iqbal Parewangi sebagai kader perserikatan dengan

modal sosial yang cukup besar dalam momen yang tepat pada pemilu

2014.

67 Rincian Perolehan Suara Sah Dan Tidak Sah Anggota DPD di KPU Provinsi Sulawesi Selatan Pada Pemilu 2014. Kpud Sulsel

100

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

A. M Iqbal Parewangi sebagai kader Muhammadiyah mendapat

dukungan penuh dari perserikatan Muhammadiyah berdasarkan keputusan

rapat pleno PWM yang dihadiri oleh elit Muhammadiyah Sulawesi selatan.

Berdasarkan keputusan tersebut, Elit Muhammadiyah bergerak dan

mengupayakan berbagai cara untuk memenangkan Iqbal Parewangi.

Alhasil Iqbal Parewangi lolos sebagai anggota DPD RI periode 2014 – 2019.

Adapun upaya-upaya yang dilakukan elit Muhammadiyah dalam

memenangkan Iqbal Parewangi Sebagai berikut :

1. Elit Muhammadiyah melakukan sosialisasi politik ke daerah – daerah,

dalam kunjungannya tersebut elit Muhammadiyah memperkenalkan

Iqbal Parewangi sebagai kader Muhammadiyah yang akan

mencalonkan pada Pemilu 2014 sebagai Caleg DPD RI kepada warga

Muhammadiyah di berbagai daerah.

2. Elit Muhammadiyah memanfaatkan jaringan External dan amalan

usahanya untuk ikut memenangkan Iqbal Parewangi. Amalan usaha

yang digerakkan adalah massa dari civitas akademika di berbagai

perguruan tinggi Muhammadiyah di Sulawesi selatan. Sedangkan

jaringan External merupakan jaringan di luar struktur organisasi

Muhammadiyah seperti media massa dan beberapa kepala daerah

yang merupakan kader Muhammadiyah.

101

3. Elit Muhammadiyah menggerakkan organisasi otonom untuk mengawal

pemilu. Mengawal pemilu yang dimaksudkan adalah mengawal

pemenangan Iqbal Parewangi baik pada masa kampanye hingga

proses perhitungan suara.

Dengan upaya-upaya yang dilakukan elit itulah sehingga Iqbal

Parewangi memenangkan Pemilu 2014 setelah sebelumnya pada pemilu

2009 tidak mendapat dukungan secara langsung oleh PWM melainkan

PWM memutuskan mendukung kader lain serta adanya fragmentasi suara

antara Muhammadiyah dan aisyiyah membuat Perolehan suara Iqbal

Parewangi hanya sekitar 53.552 Suara. Namun pada pemilu 2014, setelah

mendapat restu dari perserikatan serta hilangnya perpecahan di internal

Muhammadiyah merupakan momen yang sangat pas untuk Iqbal

Parewangi dan alhasil memperoleh 273.785 suara. Lonjakan Perolehan

suara tersebut juga tidak terlepas dari modal sosial yang memang melekat

pada beliau dan tidak bisa dipungkiri bahwa memang Elit Muhammadiyah

yang berperan aktif menyukseskan beliau. Dengan demikian penluis setuju

bahwa Muhammadiyah memang merupakan mesin kekuatan politik dalam

menggerakkan suara.

B. Saran

Setelah melakukan penelitian selama kurang lebih 3 bulan dengan

berbagai temuan di lapangan, maka penulis memberikan beberapa saran

terkait elit Muhammadiyah Sulawesi selatan sebagai berikut :

1. Elit Muhammadiyah Sulawesi selatan harus lebih menjaga

102

kedekatannya dengan organisasi otonom lainnya khususnya

dengan Aisyiyah karena sering kali terjadi perbedaan pendapat di

antara keduanya, Aisyiyah mesti lebih menghormati keputusan elit

PWM Sulawesi selatan, melihat dari posisi PWM sebagai lembaga

tertinggi Muhammadiyah di tingkat daerah. Walaupun Aisyiyah

bersifat otonom, tidak bisa dinafikan bahwa aisyiyah merupakan

bagian dari Muhammadiyah.

2. Pendataan Database warga Muhammadiyah mesti diperbaharui

untuk memudahkan pemetaan warga Muhammadiyah serta

sebagai tolak ukur perkembangan kader di daerah-daerah.

103

Daftar Pustaka

Abdul Karim, Khalil. 2005. Negara Madinah : Politik Penaklukan Masyarakat

Arab. Yogyakrta : LKiS.

Alfian, 1989. Muhammadiyah: The Political Behavior Of A Muslim Modernist

Organization Under Dutch Colonialism Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Azra, Azyumardi. 1999. Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta, dan

Tantangan. Bandung : PT. Remaja RosdakaryaNatta, Abuddin.

2002. Problematika Politik Islam di Indonesia Jakarta: PT. Grasindo,

dan UIN Jakarta Press.

Budiarjo, Miriam. 2004. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Penerbit PT

Gramedia Pustaka Utama.

Din Syamsudin, M. 2002. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat

Madani. Jakarta: Logos.

Efendy, David. 2014. Politik Elit Muhammadiyah : Studi Tentang

Fragmentasi Elit Muhammadiyah. Jakarta : Reviva Cendana.

H I, A. Rahman. 2007 Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Graha

Ilmu.

Ismail, Faisal. 2003. Islamic Traditionalism in Indonesia. Jakarta : Badan

Litbang Agama dan Diklat Keagamaan RI.

Jainuri, Ahmad. 2002. Ideologi Kaum Reformis. Surabaya :LPAM.

Jurdi, Syarifudin. 2004. Elite Muhammadiyah dan Kekuasaan Politik, Studi

tentang Tingkah Laku Politik Elite Lokal Muhammadiyah Sesudah

Orde Baru. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

M.Z Lawang, Robert. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jakarta : PT

Gramedia.

Madjid, Nurcholis. 1999. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta :

Paramadina.

104

Madjid, Nurcholish. 2009. Mewujudkan Masyarakat Madani, Titik-temu,

Jurnal Dialaog Peradaban, Vol. 1, No. 2 Januari-Juni 2009. Jakarta:

Nurcholish Madjid Society (NCMS).

Rahadjo, M. Dawam. 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah,

dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES.

Suhelmi, Ahmad. 2004. Pemikiran Politik Barat Kajian Sejarah

Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Suryadi Culla, Adi. 1999. Masyarakat Madani; Pemikiran, Teori, dan

Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi. Jakarta : PT Raja

Grafindo Persada.

Suryadi Culla, Adi. 2006. Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi

Ornop di Indonesia. Jakarta: LP3ES.