128
ISSN 1829 - 5118 Vol. 8 - Maret 2012 JURNAL TUBERKULOSIS INDONESIA Diterbitkan Oleh Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) The Indonesian Association Againts Tuberculosis DAFTAR ISI : • EVALUASI METODE FASTPlaqueTBTM UNTUK MENDETEKSI Mycobacterium tuberculosis PADA SPUTUM DI BEBERAPA UNIT PELAYANAN KESEHATAN DI JAKARTA-INDONESIA • HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU • (BP4) YOGYAKARTA UNIT MINGGIRAN • RAPID TB TEST • MEROKOK DAN TUBERKULOSIS • TUBERKULOSIS DAN HIV-AIDS • TUBERKULOSIS NOSOKOMIALVol. 8- Maret 2012 ISSN 1829 - 5118 JURNAL TUBERKULOSIS INDONESIA Diterbitkan Oleh Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia

Epidemiologi Tb

Embed Size (px)

DESCRIPTION

1

Citation preview

Page 1: Epidemiologi Tb

ISSN 1829 - 5118

Vol. 8 - Maret 2012

JURNAL

TUBERKULOSIS

INDONESIA

Diterbitkan Oleh

Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI)

The Indonesian Association Againts Tuberculosis

DAFTAR ISI :

• EVALUASI METODE FASTPlaqueTBTM UNTUK MENDETEKSI Mycobacterium

tuberculosis PADA SPUTUM DI BEBERAPA UNIT PELAYANAN KESEHATAN DI

JAKARTA-INDONESIA

• HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA

TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU

• (BP4) YOGYAKARTA UNIT MINGGIRAN

• RAPID TB TEST

• MEROKOK DAN TUBERKULOSIS

• TUBERKULOSIS DAN HIV-AIDS

• TUBERKULOSIS NOSOKOMIALVol. 8- Maret 2012 ISSN 1829 - 5118

JURNAL

TUBERKULOSIS

INDONESIA

Diterbitkan Oleh

Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia

Pemimpin Umum

Page 2: Epidemiologi Tb

Ketua Umum PP PPTI

Penanggung Jawab

Dr. Achmad Hudoyo, Sp.P, FCCP

Pemimpin Redaksi

Dr. Prasenohadi, Sp.P, Ph.D

Sekretariat Redaksi

Drs. Sumardi

Alamat Sekretariat Redaksi & Iklan

Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A

Kebayoran Lama Utara, Jakarta 12240

Telp. 021 - 7397494

Fax. 021 - 7397494

http://www.ppti.info, email: [email protected]

Terbit pertama kali Agustus 2004Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 i

Redaksi menerima naskah yang hanya ditujukan untuk

Jurnal Tuberkulosis Indonesia (JTI) dalam bahasa

Indonesia/Inggris, dengan ketentuan sebagai berikut:

Pedoman Umum

Naskah adalah karangan asli

Naskah belum pernah diterbitkan sebelumnya dalam

bentuk dan media/jurnal apapun

Seluruh isi naskah adalah tanggung jawab penulis

Naskah yang telah dikirim menjadi hak redaksi, dan

seluruh isinya tidak dapat direproduksi kembali untuk

publikasi dalam bentuk apapun tanpa seijin redaksi

Page 3: Epidemiologi Tb

Redaksi berhak untuk melakukan proses penyuntingan

naskah, dalam bentuk gaya, bentuk, tampilan, dan

kejelasan isi, tanpa harus mengubah isi naskah

Redaksi berhak untuk meminta penulis untuk

memperbaiki isi dan bentuk tulisan

Naskah yang tidak dimuat, akan dikembalikan kepada

penulis apabila ada permintaan sebelumnya

Naskah menggunakan Bahasa Indonesia baku, yang

efektif dan efisien. Atau dalam keadaan tertentu,

naskah dapat dibuat dalam Bahasa Inggris dengan

ejaan yang standar

Naskah

Naskah diketik dengan spasi ganda, dengan jarak

tepi-tepi kertas 2,5 cm dan menggunakan ukuran

kertas A4 (21x 30 cm)

Naskah dapat dikirim ke redaksi dalam bentuk disket

berupa copy file dari naskah tersebut

Kelengkapan Naskah

Naskah dikirim ke alamat sekretariat redaksi Jurnal

Tuberkulosis Indonesia:

Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A Kebayoran Lama

Utara Jakarta 12240, Telp. (021) 7397494, atau

via email: [email protected]

Naskah dikirim dalam 2 berkas salinan (print-out)

yang tersusun sesuai urutan: 1) halaman judul, 2)

Page 4: Epidemiologi Tb

abstrak, 3) abstark dalam Bahasa Inggris termasuk

key words, 4) isi, 5) ucapan terimakasih bila ada, 6)

daftar pustaka, 7) tabel-tabel, 8) gambar/ilustrasi

dan foto berikut keterangannya

Naskah disampaikan dalam bentuk disket dengan

program MS-Word

Halaman Judul dan Penulis

Judul makalah ditulis lengkap, dan tidak

menggunakan singkatan

Nama penulis ditulis lengkap dengan gelar akademis

Nama departemen dan institusi

Alamat korespondensi penulis

Petunjuk Untuk Penulis

Abstrak

Dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, secara

terstruktur yang memuat inti pendahuluan; subjek

dan metode; hasil; dan kesimpulan penlis. Abstrak

tidak lebih dari 250 kata.

Tabel dan Gambar

Tabel dan gambar disajikan dalam lembar terpisah,

dan telah disebutkan letaknya dalam narasi naskah

Judul tabel diletakkan di atas dan setiap tabel

Setiap singkatan pada tabel diberi keterangan sesuai

urutan alfabet berupa catatan kaki di bawah tabel

ataugambar.

Page 5: Epidemiologi Tb

Gambar, tabel, atau foto, harus diberi keterangan secara

informative sehingga mudah untuk dimengerti

Permintaan pemuatan gambar berwarna dikenakan

biaya reproduksi

Daftar Pustaka

Daftar rujukan dibuat sesuai dengan ketentuan

Vancouver.

Daftar rujukan tidak lebih dari 25 buah, dan

merupakan rujukan terbaru dalam satu dekade

terakhir.

Setiap rujukan diberi nomor sesuai urutan dalam

narasi naskah.

Nama jurnal disingkat seperti tercantum dalam

Index Medicus.

Rujukan yang telah masuk dalam naskah, namun

belum diterbitkan dalam satu jurnal ditulis sesuai

aturan dan ditambahkan: In Press

Contoh Penulisan Daftar Rujukan

1. Artikel jurnal baku. Contoh: Aditama.TJ.Y, Priyanti ZS,

Tuberkulosis, Diagnosis, Terapi dan Masalahnya, Lab.

Mikrobiologi RSUP Persahabatan/WHO Collaborating

Center for Tuberculosis, Edisi 3, 2000, hal 32-80.

2. Organisasi sebagai penulis. Contoh: Bureau of Tuberculosis Control. Clinical policies and protocols.

3

rd ed. New York, NY: New York City Department of

Page 6: Epidemiologi Tb

Health, 1999

3. Tanpa nama penulis. Contoh: Tuberculosis in South

Africa (editorial). A Kalvin 1993; 74:5

4. Penulis perorangan. Contoh: Wallgreen A. Primary

pulmonary tuberculosis in chilhood.; 2nd ed. California:

Aicon Publishers; 1985

5. Bab dalam buku. Contoh: Rock JA, Surgical Condition of the Vaginal and Urethra, te Linde’s Operative Gynecology Eigth Edition, New York; Ralf press;

1995. p. 911-938ii Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

EDITORIAL

Sekali lagi tentang TB-MDR. Siapa yang salah ?

“Kalau seandainya dokter yang mengobati sakit tb-paru saya dulu menjelaskan begini akibatnya dan seperti ini

penderitaan yang harus saya jalani, pasti saya akan taat dan berobat teratur sampai sembuh betul!”

Begitulah ‘keluhan’ yang disampaikan seorang pasien yang didiagnosis sebagai TB-MDR, yaitu TB-paru dengan

kuman tidak sensitif lagi dengan obat anti tb (OAT) minimal dengan jenis obat rifampisisn dan INH. Sehingga

pasien harus menjalani pengobatan 2 tahun lamanya. Dia harus mendapat injeksi setiap hari selama 6 bulan

dan obat minum minimal 4 macam obat lini kedua yang masih sensitif setiap hari selama 18 bulan setelah

konversi. Untuk menjamin ketaatan minum obat pada program pengobatan TB-MDR, obat harus diminum

dihadapan petugas kesehatan di rumah sakit atau puskesmas setiap hari. Bagi pasien yang mampu atau bahkan

sudah pension tidak terlalu bermasalah, akan tetapi bagi pasien dengan umurt muda, masih bekerja atau bahkan

Page 7: Epidemiologi Tb

tulang punggung rumah tangga, sangat menimbulkan masalah dan penderitaan bukan saja terhadap diri sendiri

yang sedang sakit tetapi juga keluarga terutama istri dan anak-anak.

Secara teoritis ada 5 faktor yang dianggap berperan menyebabkan ‘wabah’ TB-MDR, yaitu (1). Pengobatan tidak

adekuat (menimbulkan mutan M.tb yg resisten), (2). Pasien yg lambat terdiagnosis MDR, sehingga menjadi

sumber penularan terus menerus, (3). Pasien dengan TB resisten obat yang tidak bisa disembuhkan, akan

meneruskan penularan ,(4). Pasien dengan TB resisten obat meskipun diobati terus tetapi dengan obat yang

tidak adekuat mengakibatkan penggandaan mutan resisten ,(5). Ko-inveksi HIV mempermudah terjadinya resistensi

primer maupun sekunder.

Oleh karena itu dalam standar internasional penatalaksanaan TB (ISTC) standar 14 perlu dilakukan penilaian

kemungkinan resistensi obat, berdasar riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dgn sumber yg mungkin resisten

obat, dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat. Standar 15 ISTC mengisyaratkan bahwa pasien gagal

pengobatan dan kasus kronik selalu dipantau kemungkinan terjadi resistensi obat. Untuk pasien dengan

kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin dan etambutol

seharusnya dilakukan segera. Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR)

seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Paling

tidak harus digunakan empat obat yg masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan.

Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.

Page 8: Epidemiologi Tb

Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR-TB

harus dilakukan.

Peran Pusat Kesehatan Masyarakat (Puseksmas) di Indonesia dalam melaksanakan Program TB Nasional tidak

diragukan lagi. Puskesmas mempunyai infra struktur program kesehatan komunitas yang lebih baik, sehingga

angka putus obat rendah dan kesembuhan tinggi. Tetapi jangkauan Puskesmas untuk menjaring pasien TB

terbatas, hanya sekitar 30 – 40%, selebihnya pasien TB ditangani oleh dokter praktek swasta, klinik atau rumah

swasta dan rumah sakit pemerintah yang tidak mempunyai jejaring dan infrastruktur kesehatan masyarakat

yang baik, bahkan boleh dikatakan buruk. Meskipun belum ada bukti dan data, tetapi hipotesis yang memprediksi

bahwa ‘kesalahan’ yang dapat berakibat timbulnya ‘wabah TB-MDR’ ada pada dokter praktek swasta dan unit

kesehatan tersebut.Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 iii

Sungguh sangat ironis memang. Akan tetapi kalau hal tersebut terbukti, maka secara nasional harus diambil

kebijakan mendasar untuk mengevaluasi hal tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, sangat menarik studi

yang dilkukan oleh dua mahasiswa peserta program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat asal Afganistan yang berjudul

Role of the Private Health Sector to Prevent MDR-TB Epiemics in Indonesia.

Dalam jurnal kali ini kita muat beberapa makalah yang bisa menunjang program TB Nasional, utamanya yang

berhubungan dengan MDR-TB secara tidak langsung. Diagnosis TB-Cepat tulisan Apri Liyanda, suatu tinjauan

pustaka yang membahas penegakan diagnosis TB dalam waktu singkat, kurang dari satu jam dengan tujuan agar

Page 9: Epidemiologi Tb

diagnosis Tb tidak terlambat. Evaluasi metoe FAST-plaque adalah buah karya penelitian Lely Septawati Sp Mk

dkk. Penelitian lain tentang Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pasien TB paru, hasilya dipaparkan

dalam tulisan Nita Yuniarti R.

Achmad Hudoyo Sp P(K)1 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia.1

Prevalensi TB di Indonesia dan negaranegara sedang berkembang lainnya cukup tinggi.2

Pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun). Angka kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000 kematian per tahun.3 Hal tersebut merupakan tantangan bagi semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini.

Data yang diperoleh pada penelitian ini memperlihatkan bahwa responden terbanyak adalah kelompok umur 35-44 yaitu 12 orang (12/45). Data tersebut sesuai dengan laporan dari Sub Direktorat TB Depkes RI tahun 2006, yang menyatakan bahwa infeksi TB sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun ).3

Data yang dikeluarkan oleh Depkes RI (2001) juga menunjukkan bahwa 75% penderita TB paru berada pada kelompok usia produktif (15–50 tahun) dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah.18 Kondisi

tersebut tentu saja akan sangat berdampak pada perekonomian keluarga, masyarakat dan negara.19 Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan dikucilkan oleh masyarakat.20

Berdasarkan jenis kelamin, responden terbanyak dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki yaitu

33 orang (33/45) dan 13 orang (13/45) berjenis kelamin perempuan. Infeksi TB memang cenderung lebih sering diderita oleh laki-laki dibandingkan wanita. Hal ini antara lain disebabkan karena faktor kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko infeksi TB paru sebanyak 2,2 kali.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. Pointers Menkes Menyambut Hari TBC Sedunia 2007 . www.depkes.go.id 2007.

Page 10: Epidemiologi Tb

2. Naning R. Tuberculosis Infection in Infant and Children Who Have Contact with Positive Sputum Adult Tuberculosis. http:/ /puspasca.ugm.ac.id. 2003.

3. Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO). Hari TB Sedunia : Lembar Fakta Tuberkulosis. www.tbcindonesia.or.id. 2008.

4. Muzaffar R, Batool S, Azis A, Naqvi A, Rizvi A. Evaluation of the FASTPLAQUETB Assay for Direct Detection of Mycobacterium tuberculosis in Sputum Specimens. Int J Tuberc Lung Dis. 2002; 6(7): 635-40.

5. Albert H, Heydenrych A, Brookes R, Mole LJ, Harley B, Subotsky E, et al. Performance of a Rapid Phage-based test, FASTPlaqueTBTM, to Diagnose Pulmonary Tuberculosis from Sputum Specimens in South Africa. Int J Tuberc Lung Dis. 2002; 6(6): 529 – 37.

6. Farnia P, Mohammadi F, Mirsaedi M, Zarifi AZ, Tabatabee J, Bahadori M et al. Bacteriological follow-up of pulmonary tuberculosis treatment: a study with a simple colorimetric

assay. Microbes and Infection. 2004; 6(11): 972-76.Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 6

7. Levinson W. Review of Medical Microbiology and

Immunology. United States,The McGraw-Hill Companies,

Inc. 2008. p.164.

8. Aditama TY. Tuberkulosis Masalah dan Perkembangannya.

www.fk.ui.ac.id 2008.

9. Pai M, Kalantri SP. Bacteriophage-based tests for

tuberculosis. Editorial. 2005; 23(3):149-50.

10. Kalantri SP, Pai M, Pascopella L, Riley LW, Reingold AL.

Bacteriophage- based tests for the detection of

Mycobacterium tuberculosis in clinical specimens: a

systematic review and meta analysis. BMC Infect Dis, 2005;

5(59).

11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman

Diagnosis dan Pedoman Penatalaksanaan di Indonesia.

Jakarta : Indah Offset Citra Grafika. 2006. Hal. 14.

Page 11: Epidemiologi Tb

12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pemeriksaan

Mikroskopis Tuberkulosis. Jakarta. Dirjen Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 4, 13-

14,17,21.

13. Madiyono B, Moeslichan MS, Sastroasmoro S, Budiman I,

Harry PS. Perkiraan Besar Sampel. Dalam : Sastroasmoro:

Dasar-dasar Metodologi penelitian Klinis. Edisi ke-2. Jakarta

: CV Sagung Seto, 2002. Hal. 273.

14. Fujiki A. Bacteriology examination to stop TB. Japan. The

Research Institute of Tuberculosis. 2001: p.16-18.

15. Lubasi D, Habeenzu C, Mitarai S. Evaluation of an Ogawa

Mycobacterium culture method modified for higher

sensitivity employing concentrated samples. Tropical

Medicine and Health. 2004; 32(1): p.1-4.

16. Basil MV, Kumar S, Yadav J, Kumar N, Bose M. A simple

method to differentiate between Mycobacterium

tuberculosis and Non-Tuberculous Mycobacteria directly

on clinical specimens. Southeast Asian J Trop Med Public

Health. 2007; 38(1): 111-4.

17. Biotec Laboratories Ltd. FASTPlaqueTBTM a rapid

bacteriophaga assay for the detection Mycobacterium

tuberculosis complex in clinical samples. 2004. Available

from: www.biotec.com.

18. Rusnoto, Rahmatullah P, Udiono A. Faktor-faktor yang

berhubungan dengan Kejadian TB paru pada usia dewasa

Page 12: Epidemiologi Tb

(Studi kasus di balai pencegahan dan pengobatan Penyakit

paru pati). Undip website. 2006. Hal. 2. http://

eprints.undip.ac.id/5283/.

19. Suharjana BS, Kristiani, Trisnantoro L. Pelaksanaan

Penemuan Penderita Tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten

Sleman. KMPK Universitas Gadjah Mada. 2005. Hal. 5. http:/

/www.lrc- kmpk.ugm.ac.id/id/UP PDF/_working/

No.3_Bambang_S_01_05.pdf.

20. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.

2009. http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf

2009.

21. Kesehatan Masyarakat. Faktor-faktor risiko tuberkulosis (TB

paru – TBC). 2011. http://www.kesmas.tk/2011/05/faktorfaktor-resiko-tuberkulosis-tb.html.

22. Rybniker J, Stefanie K, Small PL. Host Range of 14

Mycobacteriophages in Mycobacterium ulcerans and seven

other mycobacteria including Mycobacterium tuberculosis

- application for identification and susceptibility testing.

Journal of Medical Microbiology. 2006; 55(pt 1): 37–42.

23. Stella EJ, De La Iglesia AI, Morbidoni HR. Mycobacteriophages

as versatile tools for genetic manipulation of mycobacteria

and development of simple methods for diagnosis of

mycobacterial diseases. Revista Argentina de Microbiología.

2009; 41: 45-55.

24. Kinomoto M. Development of slide-method to distinguish

alive and dead mycobacteria by fluorescent staining— a

Page 13: Epidemiologi Tb

trial for solving the biohazard problem in TB laboratories.

Kekkaku.1999; 74(8): 599-609.PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit

kronis yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia

termasuk Indonesia. WHO menyatakan bahwa TB saat ini

telah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1,9 milyar

manusia atau sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit

ini.Setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru

Tbdengan kematian sebesar 3 juta orang. Di negara

berkembang kematian mencakup 25% dari keseluruhan

kasus, yang sebenarnya dapat dicegah sehubungan dengan

telah ditemukannya kuman penyebab TB. Kematian tersebut

pada umumnya disebabkan karena tidak terdeteksinya kasus

dan kegagalan pengobatan.Data Program Pemberantasan

Tuberkulosis (P2 TB) di Indonesia menunjukkan peningkatan

kasus dari tahun ke tahun. Upaya penanggulangan maupun

pencegahan yang telah diupayakan masih belum berhasil

menyelesaikan masalah yang ada yaitu menurunkan angka

kesakitan dan kematian. Masalah yang dijumpai adalah

kesulitan penemuan penderita TB paru BTA(+),

ketidakteraturan berobat dan drop out pengobatan. Kasus

TB yang tidak terobati tersebut akan terus menjadi sumber

penularan.

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup

Page 14: Epidemiologi Tb

sendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang,

pangan, papan), kebutuhan sosial (pergaulan, pengakuan

dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman,

perasaan religiusitas), tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan

orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang menghadapi

masalah baik ringan maupun berat. Pada saat itu seseorang

akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya,

sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai.

Demikian halnya dengan penderita penyakit kronis

seperti TB paru perlu mendapat dukungan sosial lebih, karena

dengan dukungan dari orang-orang tersebut secara tidak

langsung dapat menurunkan beban psikologis sehubungan

dengan penyakit yang dideritanya yang pada akhirnya akan

meningkatkan ketahanan tubuh sehingga kondisi fisik tidak

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA

TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU

(BP4) YOGYAKARTA UNIT MINGGIRAN

Nita Yunianti Ratnasari

AKPER Giri Satria Husada Wonogiri

semakin menurun. Dukungan sosial penting untuk menderita

penyakit kronik sebab dukungan sosial dapat mempengaruhi

tingkah laku individu, seperti penurunan rasa cemas, tidak

berdaya dan putus asa, yang pada akhirnya dapat

meningkatkan status kesehatan. Meningkatnya status

kesehatan berarti akan meningkatkan kualitas hidup

Page 15: Epidemiologi Tb

penderita. Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai

andil besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan,

dengan pengawasan dan pemberian semangat terhadap

penderita. Peran Pengawas Minum Obat (PMO) tersebut

dapat berasal dari petugas kesehatan, masyarakat atau

keluarga penderita.

Kualitas hidup merupakan salah satu kriteria utama

untuk mengetahui intervensi pelayanan kesehatan seperti

morbiditas, mortalitas, fertilitas, dan kecacatan. Di negara

berkembang pada beberapa dekade terakhir ini insidensi

penyakit kronis mulai menggantikan dominasi penyakit infeksi

di masyarakat. Sejumlah orang dapat hidup lebih lama,

namun dengan membawa beban penyakit menahun atau

kecacatan, sehingga kualitas hidup menjadi perhatian

pelayanan kesehatan. Fenomena di masyarakat sekarang ini

adalah masih ada anggota keluarga yang takut apalagi

berdekatan dengan seseorang yang disangka menderita TB

paru, sehingga muncul sikap berhati-hati secara berlebihan,

misalnya mengasingkan penderita, enggan mengajak

berbicara, kalau dekat dengan penderita akan segera

menutup hidung dan sebagainya. Hal tersebut akan sangat

menyinggung perasaan penderita. Penderita akan tertekan

dan merasa dikucilkan, sehingga dapat berdampak pada

kondisi psikologisnya dan akhirnya akan mempengaruhi

keberhasilan pengobatan. Hal ini berarti dukungan sosial

Page 16: Epidemiologi Tb

yang sangat dibutuhkan tidak didapatkannya secara optimal.

Berdasarkan pertimbangan bahwa dukungan sosial

dapat meningkatkan status kesehatan penderita serta

pentingnya perhatian terhadap kualitas hidup penderita

penyakit kronis, maka peneliti merasa tertarik untuk mengkaji

kedua hal tersebut. Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4)

dipilih sebagai tempat pengambilan data penelitian karena

selain merupakan tempat berobat yang potensial bagi

7 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8penderita TB paru, BP4 juga sebagai tempat yang tepat

untuk mengembangkan berbagai penelitian yang

berhubungan dengan pengobatan penyakit tersebut. BP4

Unit Minggiran adalah pusat administrasi dan angka

penemuan kasus baru penderita TB paru di BP4 tersebut

paling tinggi dibandingkan BP4 unit lain di Yogyakarta. Pada

periode Januari sampai Desember 2003, sebesar 48%,

penderita TB paru BTA(+) baru ditemukan di Minggiran.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup

penderita TB paru, karakteristik penderita TB paru, besarnya

dukungan sosial dan tingkat kualitas hidup penderita TB

paru yang berobat di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran serta

besarnya kontribusi karakteristik responden terhadap kualitas

hidup penderita TB paru.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental

Page 17: Epidemiologi Tb

yang bersifat kuantitatif dengan metode deskriptif dengan

rancangan studi potong lintang. Total sampel sebesar 50

orang penderita TB paru yang berobat di BP4 Unit Minggiran

yang memenuhi kriteria yang ditentukan yaitu : terdiagnosis

medis menderita TB paru BTA(+), telah melewati fase intensif

program pengobatan minimal 2 bulan dengan OAT Kategori

I, penderita usia produktif yaitu antara 15–55 tahun, dapat

membaca dan menulis. Data diambil dengan pengisian

kuesioner oleh responden pada bulan Februari sampai April

2004.Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui

hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup

pada penderita TB paru dengan menggunakan uji analisis

korelasi Product Moment Pearson.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Penderita TB paru yang menjadi responden dalam

penelitian ini adalah penderita usia produktif, usia rata-rata

21–30 tahun sebanyak 26 orang (52%). Usia 31–40 tahun

dan usia 41–50 tahun masing-masing 8 orang (16%) dan 7

orang (14%). Jumlah penderita laki-laki dan perempuan

berimbang, laki-laki 27 orang (54%), perempuan 23 orang

(46%). Pendidikan responden sebanyak 23 orang (46%)

tamat SLTA, 14 orang (28%) tamat SLTP, sedangkan

responden dengan pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak

tamat maupun tamat SD masing-masing 3 orang (6%).

Page 18: Epidemiologi Tb

Pekerjaan responden mahasiswa 14 orang (28%), tidak

bekerja dan buruh masing-masing 8 orang (16%). Riwayat

pengobatan sebanyak 33 orang (66%) responden

menyatakan tidak pernah mencari pengobatan sebelumnya

kecuali di BP4, sedangkan 17 orang (34%) menyatakan

pernah menjalani pengobatan lain sebelum di BP4 Minggiran.

2. Dukungan Sosial

Total skor dukungan sosial adalah jumlah orang

pemberi dukungan dan kepuasan responden atas dukungan

sosial tersebut. Sebanyak 18 orang (36%) mendapat

dukungan sosial dengan kategori tinggi. Untuk kategori

sedang dan rendah masing-masing sebanyak 22 orang (44%)

dan 10 orang (20%). Dukungan sosial yang diterima para

penderita pada umumnya diperoleh dari keluarga, sanak

saudara dan tetangga.

3. Kualitas Hidup

Penilaian terhadap kualitas hidup meliputi 5 aspek

yaitu : tingkat aktivitas, kehidupan sehari-hari, kesehatan,

dukungan sosial serta harapan. Sebanyak 34 orang (68%)

dapat beraktivitas normal, 14 orang (28%) dalam beraktivitas

perlu bantuan orang lain dan 2 orang (4%) menyatakan

tidak mampu beraktivitas. Sebanyak 40 orang (80%) dapat

melakukan kehidupan sehari-hari dengan normal, 9 orang

(18%) dalam melakukan kehidupannya membutuhkan

bantuan orang lain serta 1 orang (2%) menyatakan tidak

Page 19: Epidemiologi Tb

mampu menjalani kehidupan sehari-hari sama sekali.

Sebanyak 25 orang (50%) merasa sehat pada sebagian besar

waktu, 21 orang (42%) menyatakan sering merasa lesu, serta

4 orang (8%) menyatakan bahwa badannya selalu terasa

sakit. Sebagian besar penderita TB paru mendapat dukungan

kuat dari keluarga dan teman yaitu 43 orang (86%), penderita

yang mendapat dukungan terbatas dari keluarga sebanyak

6 orang (12%) dan hanya seorang (2%) menyatakan jarang

mendapat dukungan dari orang-orang sekitarnya. Sebanyak

40 orang (80%) mempunyai harapan positif dan dapat

menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitarnya.

Ada 9 orang (18%) merasa sedih dan hanya 1 orang (2%)

betul-betul bingung, sangat takut dan cemas. Secara garis

besar sebanyak 34 orang (68%) mempunyai kualitas hidup

baik, kualitas hidup kategori sedang sebesar 30% dan hanya

ada 1 orang responden (2%) dengan kualitas hidup jelek.

4. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan

Kualitas Hidup

Dari hasil analisis dengan uji korelasiProduct

MomentPearson diperoleh hubungan antara dukungan sosial

dengan kualitas hidup pada penderita TB paru dengan r

sebesar 0,675; p<0,01. Dapat diartikan bahwa ada hubungan

yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan

kualitas hidup yang berarti semakin tinggi dukungan sosial

yang diterima, maka kualitas hidup juga semakin meningkat.

Page 20: Epidemiologi Tb

Interpretasi kekuatan hubungan termasuk kategori tinggi.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 8Hubungan Antara Karakteristik Responden dengan

Kualitas Hidup

Hasil analisis dengan korelasi Pearson antara

karakteristik responden (umur, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, pekerjaan dan riwayat pengobatan) dengan

kualitas hidup penderita TB paru. Didapatkan hasil analisis :

variabel umur (r=0,468; p<0,05), jenis kelamin (r=0,077;

p=0,593), pendidikan (r=0,420; p<0,05), pekerjaan (r=0,141;

p=0,330), riwayat pengobatan (r=0,017; p=0,906). Dari

analisis tersebut diketahui bahwa variabel umur dan

pendidikan mempunyai nilai koefisien korelasi sedang,

masing-masing sebesar (r=0,468 dan r=0,420), dengan

tingkat kemaknaan p<0,05. Hal ini menunjukkan ada

hubungan bermakna antara umur dan pendidikan dengan

kualitas hidup. Sedangkan variabel lainnya yaitu jenis kelamin,

pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak menunjukkan

hubungan bermakna dengan kualitas hidup.

Hasil analisis multipel regresi antara karakteristik

responden dengan kualitas hidup penderita TB paru, didapat

variabel umur (â=0,519; p<0,05) dan pendidikan (â=0,378;

p<0,05) memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas

hidup. Variabel lainnya yaitu jenis kelamin (â=0,260; p=0,753),

pekerjaan (â=–0,155; p=0,260) dan riwayat pengobatan (â=–

6,25; p=0,417) tidak memberikan kontribusi terhadap

Page 21: Epidemiologi Tb

kualitas hidup penderita TB paru.

PEMBAHASAN

Frekuensi penderita TB paru yang menjalani program

pengobatan rawat jalan di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran

terbanyak adalah usia produktif, antara 21–30 tahun, sebesar

52%. Insidens tertinggi TB paru biasanya mengenai usia

dewasa muda, antara 15–44 tahun. Sekitar 95% penderita

TB paru berada di negara berkembang, dimana 75%

diantaranya adalah usia produktif.

Jumlah penderita laki-laki lebih tinggi dari perempuan,

yaitu sebesar 54%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

tentang tampilan kelainan radiologik pada orang dewasa

yang menyatakan bahwa laki- laki mempunyai

kecenderunganlebih rentan terhadap faktor risiko TB paru.

Hal tersebut dimungkinkan karena laki-laki lebih banyak

melakukan aktifitas sehingga lebih sering terpajan oleh

penyebab penyakit ini.

Pendidikan responden terbanyak adalah tamat SLTA

sebesar 46%. Diasumsikan bahwa orang dengan pendidikan

lebih tinggi akan sadar tentang perilaku sehat dan

pengobatan terhadap penyakitnya. Namun hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa dengan pendidikan tinggi belum

tentu individu tersebut mempunyai kesadaran lebih baik

tentang penyakitnya dibanding mereka yang berpendidikan

lebih rendah. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Studi

Page 22: Epidemiologi Tb

Kasus Hasil Pengobatan TB paru di 10 Puskesmas di DKI

Jakarta 1996–1999 yang menyatakan bahwa rendahnya

tingkat pendidikan akan menyebabkan rendahnya

pengetahuan dalam hal menjaga kebersihan dan kesehatan

lingkungan yang tercermin dari perilaku sebagian besar

penderita yang masih membuang dahak serta meludah

sembarang tempat.

Pekerjaan responden terbanyak sebagai mahasiswa

sebesar 28%. Dari hasil wawancara didapat bahwa

responden yang berstatus mahasiswa kebanyakan berasal

dari luar daerah sehingga mereka harus indekos. Tinggal di

lingkungan padat hunian (seperti kos) berpengaruh terhadap

penularan TB paru. Hal ini sesuai dengan pernyataan

mengenaibeberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan

dengan penularan TB paru adalah terkait perumahan yang

terlalu padat atau kondisi kerja yang buruk. Kepadatan

hunian menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan fisik,

mental dan sosial. Rumah atau ruangan yang terlalu padat

penghuninya akan kekurangan O2

sehingga menyebabkan

menurunnya daya tahan dan memudahkan terjadinya

penularan penyakit.

Riwayat pengobatan menunjukkan sebesar 66%

penderita belum pernah mencari pengobatan sebelumnya

kecuali di BP4 tersebut. Responden sebelumnya pernah

Page 23: Epidemiologi Tb

menjalani pengobatan di luar BP4 pada akhirnya lebih

memilih untuk berobat di instansi tersebut dengan

pertimbangan biaya yang lebih murah dan terjangkau. Hal

ini berkaitan erat dengan kepatuhan penderita dalam

menuntaskan program pengobatannya yaitu selama 6 bulan.

Tingkat keberhasilan pengobatan TB paru sangat dipengaruhi

oleh kepatuhan penderita terhadap regimen pengobatan

yang diberikan. Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan

kebijakan dengan pemberian pengobatan gratissehingga

diharapkan dapat merupakan perangsang bagi penderita

agar teratur berobat sesuai dengan jadwal sampai

tercapainya kesembuhan. Tetapi dalam pelaksanaannya

banyak penderita yang tidak tekun menyelesaikan

pengobatannya.

Hasil pengukuran dukungan sosial dalam penelitian

ini diperoleh 44% dari keseluruhan responden mendapatkan

dukungan sosial tingkat sedang. Hal ini berarti penderita

TB paru yang menjadi responden dalam penelitian ini cukup

mendapatkan dukungan sosial dari orang-orang di sekitar

penderita. Dukungan sosial penting untuk penderita penyakit

kronis, sebab dengan dukungan tersebut akan

mempengaruhi perilaku individu, seperti penurunan rasa

9 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8cemas, rasa tidak berdaya dan putus asa sehingga pada

akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan penderita.

Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan

Page 24: Epidemiologi Tb

di BP4 Yogyakarta terkait aktivitas pada satu minggu terakhir

tergolong baik. Sebanyak 34 orang (68%) penderita

menyatakan bahwa mereka dapat bekerja atau belajar dengan

normal. Sebaliknya, penderita yang menyatakan tidak mampu

bekerja atau belajar dalam keadaan apapun sebesar 4%. TB

paru bersifat radang yang kronis. Gejala malaise sering

ditemukan (anoreksia, penurunan nafsu makan, penurunan

berat badan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat

malam) dan dapat menurunkan produktivitas kerja penderita.

Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan

di BP4 Yogyakarta terkait kehidupan sehari-hari pada satu

minggu terakhir adalah baik. Sebesar 80% responden

menyatakan mereka dapat makan, mencuci, berpakaian

sendiri, naik kendaraan umum tanpa bantuan orang lain.

Kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti

mengurus diri sendiri serta dapat berfungsi sosial merupakan

salah satu komponen dalam kualitas hidup terkait kapasitas

fungsional.

Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan

di BP4 Yogyakarta terkait kesehatan pada satu minggu

terakhir adalah baik. Sebanyak 25 orang (50%) responden

merasa sehat pada sebagian besar waktu. Penderita yang

merasa tidak sehat sebanyak 4 orang (8%) lebih disebabkan

oleh karena nyeri dada, batuk menetap dan merasa lelah.

Batuk disertai dahak, sakit pada dinding dada, terjadi

Page 25: Epidemiologi Tb

penurunan berat badan, demam dan berkeringat, hilangnya

nafsu makan, napas pendek serta sering flu.

Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan

di BP4 Yogyakarta terkait dukungan dari keluarga dan

teman-teman diperoleh sebanyak 43 orang (86%)

menyatakan mempunyai hubungan baik dengan orang lain

dan memperoleh dukungan kuat dari angggota keluarga atau

dari teman. Penderita yang kurang mendapat dukungan dari

keluarga maupun temannya lebih disebabkan karena penyakit

yang dideritanya. Mereka telah menyadari bahwa TB paru

mudah sekali menular, sehingga sebagian merasa lebih baik

mengurangi kontak dengan orang lain. Ada juga dimana

orang-orang sekitar penderita sengaja membatasi kontak

dengan penderita, karena takut tertular. Sebaliknya,

dukungan yang kuat pada penderita terutama dari pihak

keluarga akan sangat membantu proses penyembuhan

penyakit TB paru. Misalnya terkait dengan kepatuhan minum

obat yang berlangsung selama 6 bulan. Dukungan keluarga

dan masyarakat mempunyai andil besar dalam meningkatkan

kepatuhan pengobatan, dengan adanya pengawasan dalam

minum obat serta terkait pemberian semangat pada penderita.

Harapan hidup penderita TB paru yang berobat jalan

di BP4 tergolong baik. Sebanyak 40 orang (80%) penderita

mempunyai harapan positif serta mampu menyesuaikan

dengan keadaan lingkungan sekitar. Sebagian besar

Page 26: Epidemiologi Tb

responden yang mempunyai harapan positif tersebut telah

yakin bahwa meski tergolong berat namun penyakit TB paru

dapat disembuhkan, asalkan mematuhi regimen pengobatan

yang telah ditetapkan. Keberadaan PMO yaitu seseorang

yang dipercaya baik oleh penderita sendiri maupun oleh

petugas kesehatan, yang akan ikut mengawasi pasien minum

seluruh obatnya diharapkan akan sangat membantu

penderita untuk berperilaku positif sehingga mendukung

proses penyembuhannya.

Pada penelitian ini diketahui bahwa ada hubungan

yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan

kualitas hidup (r=0,675; p<0,01). Arah korelasi positif

menunjukkan bahwa semakin besar dukungan sosial maka

kualitas hidupnya akan semakin meningkat. Hasil ini sesuai

dengan teori mengenai pengaruh dukungan sosial, salah

satunya adalah pengaruh tak langsung bahwa dukungan

sosial dapat berpengaruh pada stres yang dihadapi individu,

dengan penerimaan sosial yang dapat mempengaruhi self

esteem. Self esteem ini akan berpengaruh pada kesehatan

jiwa seseorang.

Hasil analisis multipel regresi antara umur dengan

kualitas hidup didapatkan nilai sebesar (â=0,519; p<0,05).

Hal ini berarti umur memberikan kontribusi bermakna

terhadap kualitas hidup penderita TB paru. Pada umumnya

kualitas hidup akan menurun seiring dengan meningkatnya

Page 27: Epidemiologi Tb

umur.

Pada penelitian ini diketahui jenis kelamin tidak

memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup dengan nilai

(â=0,260; p=0,735). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

mengenai Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Terminal

Yang Menjalani Hemodialisis Kronikdi RSUP dr. Sardjito

Yogyakarta yang menyatakan bahwa jenis kelamin ternyata

tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita gagal

ginjal terminal (GGT) yang menjalani hemodialisis kronik.

Disebutkan pula bahwa laki-laki mempunyai kualitas hidup

lebih jelek dibandingkan perempuan.

Tingkat pendidikan memberikan kontribusi bermakna

terhadap kualitas hidup (â=0,378; p<0,05). Hal ini sesuai

pernyataan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi

sikapnya dalam merawat diri sendiri. Semakin tinggi tingkat

pendidikan akan bersifat semakin memacu ke arah kemajuan,

sehingga diharapkan sikap tersebut juga berpengaruh

terhadap perawatan kesehatannya.

Hasil analisis multipel regresi antara pekerjaan dengan

kualitas hidup penderita diperoleh (â=–0,155; p=0,260).

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 10Dapat diartikan bahwa pekerjaan tidak memberikan kontribusi

terhadap kualitas hidup penderita TB paru. Hal ini

dimungkinkan karena jenis pekerjaan responden dalam

penelitian ini hanya diambil secara deskriptif. Lebih banyak

50% responden adalah mahasiswa dan sisanya masih dibagi

Page 28: Epidemiologi Tb

lagi dalam 6 kategori jenis pekerjaan yang lain, sehingga

jenis pekerjaan dalam penelitian ini dapat dikatakan tidak

mewakili profesi.

Pada penelitian ini diketahui bahwa tidak ada

hubungan antara riwayat pengobatan dengan kualitas hidup

penderita TB paru, didapatkan nilai (â=–6,25, p=0,417).

Riwayat pengobatan pada penelitian ini terkait dengan

ketaatan berobat penderita, sehubungan dengan program

pengobatan gratis dari pemerintah dengan harapan untuk

menekan angka drop out pengobatan serendah mungkin.

KESIMPULAN

Ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial

dengan kualitas hidup penderita TB paru. Semakin tinggi

dukungan sosial maka semakin tinggi kualitas hidup. Variabel

umur dan pendidikan memberikan kontribusi bermakna

terhadap kualitas hidup. Variabel lainnya, yaitu jenis kelamin,

pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak memberikan

kontribusi terhadap kualitas hidup penderita TB paru.

DAFTAR PUSTAKA

Bahar, A., “Ilmu Penyakit Dalam Jilid II”. Balai Penerbit FK UI.

Jakarta : Hal : 715–719. 1990.

Brehm, S., Kassin, S., “Social Psycology”. New Jerset :

Houghton Mifflin. Princetor. 1990.

BP4 Yogyakarta., “Laporan Triwulan TB Paru”. BP4 Unit

Minggiran. Yogyakarta. 2003.

Page 29: Epidemiologi Tb

Cohen, S; Syme, S.L., “Social Support and Health”. London

: Academic Press Inc. 1985.

Crofton, J., Horne, N., Miller, F., “Clinical Tuberculosis”. 2nd

Ed. London : The Macmillan Press Ltd. 1999.

Depkes RI., “Pedoman Nasional Penanggulangan TB”. Cetakan

ke-5. Jakarta. 2000.

Depkes RI., “Pedoman Tuberkulosis dan Penanggulangannya”.

Jakarta. 1994

Depkes RI., “Pedoman Penyajit Tuberkulosis dan

Penanggulangannya”. Ditjen P2M & PLP. Depkes RI, Jakarta.

1999.

Faisal, A., “Penampilan Kelainan Radiologik Pada Koch

Pulmonum Orang Dewasa”. Majalah Radiologi Indonesia Tahun

ke-2, No 2 : 31–35. 1991.

Gitawati, R., Sukasediati, N., “Studi Kasus Hasil Pengobatan

TB Paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996 – 1999”. Cermin

Dunia Kedokteran. No. 137 : 17–20. 2002.

Hamdani, F., “Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketaatan

Berobat Penderita KPTB di UPA RSUP Dr. Sardjito”. KTI FK

UGM. Yogyakarta. 1994.

Handayani, S., “Respon Imunitas Seluler pada Infeksi TB

Paru”. Cermin Dunia Kedokteran. No. 137 : 33 – 36. 2002.

Kuntjoro, Z.S., “Dukungan Sosial pada Lansia, Online : 5

Oktober 2003: Available from : http://www.e-psikologi.com/

lain-lain/zainuddin.htm.2002

Page 30: Epidemiologi Tb

Mansjoer, A., Wardhani, W.I., Setiowulan, W., “Kapita Selekta

Kedokteran”. Ed. 3. Cet. 1. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.

Notoatmodjo, S., “Ilmu Kesehatan Masyarakat”. PT. Rineka

Cipta : Jakarta. 1996.

Sugiyono., “Statistik untuk Penelitian”. Bandung : CV.

Alfabeta. 1999.

Smeltzer, Suzanne C., “Buku Ajar Keperawatan Medikal –

Bedah, Brunner & Suddarth / editor”. Ed 8. Vol 1. Jakarta :

EGC. 2001.

Siswanto, A., “Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Terminal

Yang Menjalani Hemodialisa Kronis di RSUP dr. Sardjito

Yogyakarta”. Tinjauan Pustaka dan Laporan Penelitian. FK

UGM Yogyakarta. 1992.

Subowo, D., “Kualitas Hidup Penderita Dermatitis Kontak di

RSUD Sragen, Jawa Tengah”. Tesis Pasca Sarjana UGM.

Yogyakarta. 2001.

Priambodo, R., “Hubungan Kepatuhan Berobat Penderita

Tuberkulosis Paru dengan Kejadian Penyakit Paru Obstruksi

Menahun (PPOM) di RSUP Dr. Sardjito Tahun 1991 – 1996”.

KTI FK UGM Yogyakarta. 1996.

Prasetyo, I.E., “Tinjauan Kasus Kualitas Hidup Pasien Gagal

Ginjal Terminal dengan Peritoneal Dialisa di Rumah Sakit

Sardjito Yogyakarta”. KTI – FKL UGM. 2003.

WHO. “Tuberculosis Control”. New Delhi, WHO Regional For

South East Asia. 1993.

Page 31: Epidemiologi Tb

Woerjandari, A., “Manajemen Pengobatan Penderita

Tuberkulosis Paru Dengan Sistem DOTS Di Puskesmas dan

BP4 Kota Yogyakarta”. Tesis Program Pasca Sarjana UGM.

Yogyakarta. 2001.

11 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara dengan pasien

tuberkulosis (TB) terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan

Cina, perkiraan jumlah pasien TB sekitar 10% dari seluruh

pasien TB di dunia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan

penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler

dan saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan

penyebab pertama dari golongan penyakit infeksi. Hasil survei

prevalens TB tahun 2004 menunjukkan angka prevalens TB

BTApositif secara nasional 110/100.000 penduduk.

Berdasarkan data di atas TB masih merupakan masalah utama

kesehatan masyarakat Indonesia.1

Diagnosis TB paru yang digunakansaat ini secara rutin

dilaboratorium termasuk rumah sakit dan puskesmas adalah

diagnosis bakteriologis dengan teknik mikroskopis bakteri

tahan asam (BTA). Kasus-kasus tertentu dilakukan kultur

untuk konfirmasi diagnosis, teknik kultur memiliki sensitivitas

dan spesifitas yang tinggi. Kendalanya selain memerlukan

waktu yang lama, lebih dari 1minggu untuk memperoleh

hasil juga diperlukan fasilitas laboratorium khusus untuk

Page 32: Epidemiologi Tb

kultur M.tuberculosis(M. tb) yang terjamin keamanannya.

Teknik mikroskopis BTA dapat dilakukan dalam waktu relatif

cepat tetapi sensitivitas dan spesifitas teknik ini lebih rendah

dibanding dengan teknik kultur.2

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gambaran

klinis, pemeriksaan fisis, gambaran radiologis, pemeriksaan

laboratorium dan uji tuberkulin.1

Pemeriksaan mikrobiologis

yaitu identifikasi mikroorganisme dalam sekret atau jaringan

pasien merupakan hal utama dalam mendiagnosis TB,

meskipun pemeriksaan tersebut sulit dan mempunyai

keterbatasan. Hasil pemeriksaan BTA(+) di bawah mikroskop

memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum sedangkan

untuk mendapatkan kuman positif pada biakan yang

merupakan diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50–100

kuman/ml sputum.1,2 Pulasan BTA sputum mempunyai

sensitifitas yang rendah, terutama TB nonkavitas yang

memberikan kepositifan 10% pada pasien dengan gambaran

klinis TB parudan 40% penyandang TB paru dewasa

RAPID TB TEST

Apri Lyanda

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta

mempunyai hasil negatif pada pulasan sputumnya.3Hasil

kultur memerlukan waktu tidak kurang dan 6–8 minggu

Page 33: Epidemiologi Tb

dengan angka sensitivitas 18– 30%. Foto polos toraks

memberi hasil dengan sensitifitas tak lebih dan 30% pada

negara berkembang.2,3 Bila terdapat gambaran infiltrat di

lobus atas dan kavitas pada foto polos toraks, maka

kemungkinan TB paru 80–85%.4

Oleh karena terdapat

beberapa kekurangan dan membutuhkan waktu yang lama

dalam menentukan diagnosis pasti TB paru, maka dibutuhkan

alat diagnostik yang cepat dan mempunyai sensitifitas dan

spesifitas yang tinggi untuk memperbaiki metoda diagnostik

yang konvensional.3,5

SEJARAH PERKEMBANGAN DIAGNOSIS M.TB

Penyakit TB sudah ada sejak jaman purbakala.

Penemuan arkeologis di Mesir menemukan sisa tulang

belakang manusia dengan tanda spondylitis tuberculosa dari

tahun 3700 SM dan mumi tahun 1000 SM dengan ciri

penyakit yang sama. Hippocrates berpendapat bahwa TB

adalah penyakit keturunan. Galenus dokter di zaman Romawi

berpendirian TB adalah penyakit menular. Selama 15 abad

kedua paham ini dianut berbagai ahli kedokteran. Villamin

(1827-1892) pertama kali membuktikan secara ilmiah TB

adalah penyakit menular tetapi penyebabnya belum

diketahui. Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882

menemukan basil TB dan semua pihak menerima TB adalah

penyakit menular. Laennec tahun 1819 menemukan

Page 34: Epidemiologi Tb

stetoskop menjadikan pemeriksaan jasmani hal penting

dalam diagnosis klinis TB, hampir 70 tahun sebelum

penemuan Robert Koch. Wilhelhm Rontgen tahun 1895

menemukan sinar-X sehingga makin melengkapi diagnosis

TB. Von Pirquet tahun 1907 menunjukkan sarana diagnosis

lain TB dengan uji tuberkulin. Penemuan Von Pirquet ini

disempurnakan oleh Mantoux dan tekniknya distandarkan

kemudian disebarluaskan, uji ini dikenal dengan nama

Mantoux. Permulaan abad ke-20 semua sarana diagnosis

TB sudah tersedia lengkap dan di pakai terus sehingga

sekarang. Penemuan sarana diagnosis baru untuk TB lebih

ditekankan untuk diagnosis yang lebih cepat dan dapat

dilakukan sendiri oleh dokter tanpa perlu tenaga ahli lain.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 12DIAGNOSIS CEPAT MYCOBATERIUM TUBERCULOSIS

Diagnosis cepatTB (rapid diagnosisTB)adalah diagnosis

cepat M.tb kurang dari 1 jam. Diagnosis laboratoriumTB

secara tradisional didasarkan pada apusan mikroskopis, kultur

dan identifikasi fenotipe. Meskipunmetoda tercepat,

termudah dan termurah yang tersedia adalah pewarnaan

tahan asam namun sensitifitasnya yang rendah (45–80%

kultur positif) telah membatasi penggunaannya terutama di

daerah dengan insidensTB rendah dan pada bentuk

ekstrapulmoner TB serta pada pasien terinfeksi

HIV.5,6Pemeriksaan apus memiliki spesifisitas yang baiktetapi

nilai prediktif positif yang rendah (5–80%) didaerah dengan

Page 35: Epidemiologi Tb

insidens tinggi M. non-TB.4,6,7Teknik kultur masih dianggap

sebagai metodarujukan karena identifikasi dan sensitifitas

lebih baik dibanding pemeriksaan BTA.

Pertumbuhan lambat bakteri M.tb merupakan

hambatan besar untuk diagnosis cepat penyakit. Dua dekade

terakhir telah terdapat perkembanganmetoda kultur melalui

penggunaan media baru dan sistem otomatis seperti Bactec

460TB buatan pabrik Becton Dickinson Diagnostics, Sparks

Amerika, MB/BacT ALERTdibuat oleh bioMérieux,

Marcyl’Etoile, Perancis, MGIT 960 diproduksi oleh Becton

Dickinson Diagnostics dan VersaTREK produksi Trek Diagnostic

System, Westlake, Amerika.Semua pemeriksaan tersebut

masih membutuhkan waktu beberapa minggu untuk

mendapatkan konfirmasi laboratorium final dan bahkan

waktu yang lebih lama lagi untuk identifikasi fenotipe

kuman.4,7 Berbagai metoda baru telah dikembangkan saat

iniuntuk diagnosis cepat TB aktif dengan teknik terbaik

sepertigenotipe atau molekuler.7,8 Beberapa metoda diagnosis

cepat tersebut akan dibahas pada tinjauan pustaka ini.

Contoh uji kultur dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.

Metoda kromatografi

Identifikasi langsung M. tb dengan menggunakan

deteksi asam tuberkulostearat (TBSA), baik sendiri maupun

dalam kombinasi berbagai komponen struktur dinding sel

mycobacterium.8,9Berbagai metoda yang cepat dan sensitif

Page 36: Epidemiologi Tb

telah dikembangkan, salah satu yang paling menarik adalah

fast gas chromatography mass spectrometry (GC-MS).10,11

Gambar 1. Uji kultur M. tb.(A) Hasil negatif, (B) Hasil positip.

Dikutip dari (2)

Meskipun demikian, karena TBSA tidak spesifik untuk M.tb

dan deteksinya memerlukan diagnosis banding antara spesies

Mycobacterium,Nocardia dan basil gram(+) lainnya yang juga

memiliki asam dan jenis lipid yang sama. Diantara komponenkomponen ini, asam heksakosanoat dalam kombinasi dengan

TBSA tampaknya cukup spesifik untuk keberadaan M. tb.11

Meskipun metoda kromatografi dapat memiliki manfaat untuk

identifikasi mikobakterium dari kultur positif, berdasarkan

antigen MPT64, namun metoda ini tidak mewakili altenatif

bermakna untuk diagnosis cepat TB.12

Metoda Fagotipik

Pada dekade terakhir, sejumlah bakteriofag dengan

afinitas spesifik terhadap mikobakterium telah bermunculan

untuk diagnosis cepat TB. Sejak 1947, lebih dari 250 tipe

bakteriofag yang berbeda diisolasi dan diteliti sebagai alat

penting dalam manipulasi genetik mikobakterium. Manfaat

klinis hanya ditunjukkan oleh 2 pendekatan berdasarkan

bakteriofag yang dikembangkan,bernama Luciferase Reporter

Phage Assay (LRP)dan Phage Amplified Assay (PhaB).

Perbedaan terpenting antara ke-2 metoda ini adalah

mengenai deteksi sel mikobakterium yang terinfeksi

bakteriofag. Luciferase Reporter Phage Assay mendasarkan

Page 37: Epidemiologi Tb

pada cahaya emisi yang dikode oleh gen lusiferase (fflux)

yang dimasukkan kedalam genom bakteriofag. Sedangkan

PhaB didasarkan pada kompleks sel M. tb yang rentan

setelah amplifikasi bakteriofag Mycobacteriofag D29 pada

M. smegmatis.

13-15

Luciferase Reporter Phage Assay telah terbukti

bermanfaat untuk membedakan M. tbdari kultur dan

terutama dalam uji sensitifitas terhadap isoniazid dan

rifampisin.13Phage Amplified Assay telah dikomersialkan

dengan nama dagang FASTPlaque-TB, digunakanuntuk

mendiagnosis TB pada sediaaan saluran pernapasan juga telah

diteliti untuk uji sensitifitas terhadap antimikrobaM. tb. Teknik

ini secara umum cepat dan sederhana, membutuhkan sedikit

latihan dan tidak mahal. Metoda ini menunjukkan spesifisitas

yang baik tapi kurang sensitifit. Karena hal itu, aplikasi rutin

metoda ini sedikit terhambat dan masih dalam observasi

mengenai manfaat dalam diagnosis TB atau deteksi resistensi

obat antituberkulosis (OAT).14-16

Metoda Genotipe

Berbagai teknik molekuler aplikasinya saat ini tersedia

untuk diagnosis mikrobiologi infeksi micobakterium.16

Penanda DNA merupakan inovasi pertama dalam diagnosis

molekuler TB, yang mendeteksi langsung dari sampel klinis

M. tbdan mutasi spesifik yang berhubungan dengan resistensi

Page 38: Epidemiologi Tb

yang membutuhkan dasar amplifikasi sekuens spesifik asam

13 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8amino nukleat (NAA). Teknik ini memiliki beberapa

keuntungan seperti waktu kembali yang cepat dan

kemungkinan untuk automatisasi. Beberapa kerugian mucul

saat pengaplikasian metoda ini secara langsung pada sediaan

klinis, yaitu masalah dengan inhibitor, sensitifitas pada sampel

apus negatif dan ekstraksi DNA.17,18

Manfaat klinis metoda ini telah dibahas secara luas

dan bukti kuat tetapi implementasinya belum tercapai. Hal

ini diakibatkan variasi teknik yang tersedia sangat luas dan

kurangnya standarisasi antara penelitian satu dengan lainnya

menggunakan kultur sebagai baku emas yang secara teoritis

memiliki sensitifitas yang rendah dibandingkan uji amplifikasi

NAA. Selain itu, kurangnya penilaian aspek klinis pada

kebanyakan penelitian telah mengakibatkan beberapa

kebingungan mengenai bagaimana, pada siapa dan kapan

menggunakan teknologi ini. Meskipun demikian, penemuan

terbaru tentang penggunaan uji NAA untuk mendiagnosa

tuberkulosis menyatakan bahwa:

a) metoda ini dapat secara cepat mendeteksi keberadaan

M.tb pada 50–85% sediaaan BTA apus negatif dan

kultur positif

b) nilai prediktif positif pada spesimen BTA apus positif

lebih tinggi (>95%)

c) secara umum, metoda molekuler ini dapat

Page 39: Epidemiologi Tb

mendiagnosisTB beberapa minggu lebih awal

dibandingkan kultur pada 80–90% pasien dengan

kecurigaan TB yang tinggi.19,20

Uji NAA memiliki variasi luas dalam metoda non

komersial dengan pemeriksaan ekstraksi asam nukleat dan

amplifikasi polymerase chain reaction(PCR) dari berbagai

target genetik seperti IS6110, rpoB, hsp65, 16S rDNA atau

MBP64. Meskipun uji amplifikasi non-komersial telah

berkembang pada beberapa tahun terakhir yang

direkomendasikan adalah menggunakan uji komersial yang

memiliki level standarisasi dan reprodusibilitas yang lebih

baik.20Semua metoda NAA membutuhkan analisis

postamplifikasi yang lebih jauh dengan observasi elektroforesis

fragmen teramplifikasi atau hibridisasi, restriksi atau

sekuensing.18,20Untuk diagnosis TBmetoda yang paling

berkembang dan paling dikomersialkan didasarkan pada uji

hibridisasi(Tabel 1).

Amplifikasi DNA konvensional denganPolymerase Chain

Reaction (PCR)

Uji amplifikasiM. tbbuatan Roche Diagnostic System

Inc., Basel Swiss adalah salah satu alat uji diagnosis cepat

tertua berdasarkan PCR standar. Uji ini adalah uji DNA yang

mengamplifikasi segmen spesifik gen RNA 16S dilanjutkan

dengan hibridisasi dan deteksi kolorimetrik. Metoda ini dapat

diautomatisasi dan disetujui pada tahun 1996 oleh US Food

Page 40: Epidemiologi Tb

and Drug Administration (FDA) untuk digunakan pada

sediaanapus saluran pernapasan yang memiliki BTA(+).21

Berbagai studi telah melaporkan sensitifitas yang tinggi pada

spesimenapussaluran pernapasan positif (87–100%), lebih

rendah pada kasus apus negatif (40–73%) dan sampel

ekstrapulmoner (27–98%). Spesifisitas metoda ini berkisar

antara 91–100%.20,21

Transkripsi yang dimediasi Amplifikasi (TMA)

AmplifikasiM. tbuji langung buatan pabrik Gen-Probe

Inc., San Diego Amerika merupakan alat TMA menggunakan

metoda isothermal cepat dengan suhu 420Cdengan

amplifikasi rRNA 16S. Metoda ini bekerja dengan dasar

transkriptase terbalik digunakan untuk menyalin rRNA

menjadi hibrid cDNA-RNAsertametodachemiluminiscent

untuk mendeteksi kompleks M. TBdengan penanda DNA

spesifik. Amplifikasi M.TB uji langung merupakan uji pertama

yang disetujui FDA pada tahun 1995, untuk sediaansaluran

pernapasan apus positif dan tahun 2000 dengan rekomendasi

FDA diperluas hingga sampel apus negatif.21 Saat ini terdapat

bukti bahwa AMTD menunjukkan spesifisitas tinggi (95–

100%) dan sensitifitas tinggi (91–100%) untuk sampel apus

saluran napas positif, meskipun sensitifitas ini lebih rendah

untuk sampel apus negatif (65–93%) dan ekstrapulmoner

(63–100%). Kerugian yang paling penting adalah kurangnya

kontrol amplifikasi internal (AIC) dan tidak terdapat

Page 41: Epidemiologi Tb

kemungkinan otomatisasi.20,21

Reaksi Rantai Ligase / Ligase chain reaction(LCR)

Ligase chain reaction merupakan metoda amplifikasi

DNA semiotomatis untuk deteksi langsung M.TB dari sampel

klinis gen kromosom yang mengkode protein antigen b M.

tb. Meskipun spesifisitas (90–100%) dan sensitifitas (65–

90%) yang baik dilaporkan pada beberapa penelitian sampel

pernapasan, produk ini ditarik dari pasaran Eropa pada tahun

2002.20 Ligase chain reaction tidak dipasarkan lagi karena

ongkos produksi pembuatan yang meningkat menyebabkan

Tabel 1. Beberapa uji metoda hibridisasi

Uji

Cobas amplicor

AMTD

LCX

BD Probe Tec

Innolipa

Genotype MD

RT –PCR

GeneExpert

GeneQuick

Metoda

amplikasi

PCR

TMA

Page 42: Epidemiologi Tb

LCR

SDA

Neste-PCR

NA-SBA

Real time PCR

Real time PCR

PCR

Target

16sRNA

16sRNA

PAB

IS6110- 16sRNA

rpoBgene

23sRNA

16sRNA

rpoBgene

IS6110

Deteksi

Kolorimetrik

Semiluscent

Fluorimetrik

Flourimetrik

Kalouimetrik

Kalorimetrik

Fluorimetrik

Page 43: Epidemiologi Tb

Fluorimetrik

Kalorimetrik

Vol

sampel

(ul)

100

450

500

500

500

500

10- 100

1.000

50

Waktu

paruh

(jam)

6- 7

2- 5

6

3,5- 4

12

5,5

2- 3

2

Page 44: Epidemiologi Tb

2,5

Automatis

Ya

Tidak

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Tidak

IAC

Ya

Tidak

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Ya

Ya

Ya

Dikutip dari (20)

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 14harga alat uji ini tidak kompetitif nilai jualnya. Alat uji ini di

produksi oleh Abbot laboratorium, Chicago Amerika.

Strand Displacement Amplification (SDA)

Page 45: Epidemiologi Tb

Diperkenalkan pada tahun1998 sebagai suatu teknik

semiotomatis dalam deteksi M.tb pada sampel saluran napas.

Metoda ini merupakan proses amplifikasi enzimatik isotermal

menggunakan suhu 52,50C untuk menghasilkan beberapa

salinan urutan target IS6110 dan gen rRNA 16S yang produk

amplifikasinya terdeteksi dengan metoda fluorosen. Evaluasi

pada sampel saluran napas menunjukkan sensitifitas 90–

100% pada sampel apus positif dan 30–85% pada sampel

apus negatif dengan spesifisitas tinggi (90–100%).20 Alat

uji ini diproduksi oleh Becton Dickinson, Amerika.

Uji Hibridisasi Fase Padat / solid-phase hybridization

assay

Saat ini ada 2 perusahaan yang memproduksi alat uji

hibridasi fase padat yaitu Innogenetics, Gent Belgia dan Hain

Lifescience, Nehren Jerman. Alat ini dapat mendeteksi dan

mengidentifikasi M.tb dari sediaan dahak dan dapat untuk

mendeteksi resistensi rifampin dan isoniazid. Alat ini selain

dapat mendeteksi kuman M. tbdapat juga mendeteksi

Mycobacterium Others Than Tuberculosis (MOTT) antara lain

M avium, M intracellulare, M kansasii danM malmoense.

21

Real Time PolymeraseChain Reaction(RT-PCR)

Teknik ini didasarkan pada amplifikasi berurutan

berbagai target DNA dan deteksi fluorimetrik. Uji ini memiliki

sejumlah manfaat penting terutama kecepatannya dan

Page 46: Epidemiologi Tb

masalah kontaminasi silang yang lebih sedikit hal ini

dikarenakan proses setelah ekstraksi DNA terjadi pada tabung

tunggal. Berbagai alat yang berdasarkan teknik RT-PCR

sudah banyak memproduksi seperti Cobas TaqMan MTB test

buatan Roche Diagnostic System dengan sensitifitas dan

spesifisitas umum yang tinggi, terutama pada sampel saluran

napas. Diantara berbagai alat yang telah diprodusi

menggunakan teknik ini, GeneXpertbuatan Cepheid,

Sunnyvale Amerika dan FIND Diagnostics, Jenewa Swiss baru

saja diperkenalkan sebagai uji diagnostik RT-PCR semi

kuantitatif yang mengintegrasikan dan mengotomatisasi

pengolahan sediaan dengan ekstraksi DNA dalam catridge

sekali pakai. Waktu hingga didapatkannya hasil kurang dari

2 jam dan hanya pelatihan minimal yang dibutuhkan untuk

menggunakan uji ini. Penelitian pendahuluan menyatakan

sensitifitas dan spesifisitas yang baik pada sampel saluran

pernapasan.19,20 Meskipun dibutuhkan penelitian lebih jauh,

WHO telah mendukung penggunaan sistem ini sebagai uji

diagnostik awal pada sediaan saluran pernapasan pasien

dengan kecurigaan klinis tinggi memiliki TB atau seseorang

dengan multidrug resistant (MDR) TB(Gambar 2).21

Gambar 2.

Alat diagnosis

cepat genexpert

Metoda baru lainnya

Page 47: Epidemiologi Tb

Loop mediated isothermal amplification (LAMP)

buatan Eiken Chemical Co. Jepang dan FIND Diagnostics,

Genewa, Swiss adalah teknik amplifikasi isotermal yang relatif

baru.21 Uji LAMP dapat mensintesis sejumlah besar target

DNA (gryrBatau IS6110) dalam tabung tunggal dan produk

amplifikasi dapat dideteksi dengan metoda turbiditas atau

kolorimetrik dan fluorimetrik. Meskipun memiliki

keterbatasan uji dalam konteks TB, data awal memberikan

hasil yang menjanjikan dan uji ini memiliki keuntungan cepat

hanya dalam waktu 2 jam dan relatif tidak mahal yang dapat

bermanfaat pada kondisi terbatasnya sumber daya.20,21

Uji NAA lainnya untuk diagnosis cepat TB pada sediaan

saluran napas adalah GenoQuick MTB test buatan Hain

Lifescience yang didasarkan pada PCR dan hibridisasi

lanjutan.21

Biaya Pemeriksaan Uji Cepat Diagnosis M. TB

Pemeriksaan uji cepat diagnosis M.tb dibandingkan

dengan pemeriksaan yang rutin dilakukan sekarang terlihat

lebih mahal. Pemeriksaan dengan uji cepat diagnosis M.tb

jika dihitung lebih mendalam akan terlihat bahwa mempunyai

banyak keuntungan dan hasil akhirnya lebih murah.

Penelitian yang dilakukan WHO di beberapa negara

berkembang mempunyai kesimpulan dapat menghemat lebih

banyak biaya dan waktu dibanding cara lama.20,21 Sosialisasi

pembiayaan yang lebih murah ini terus dilakukan oleh WHO

Page 48: Epidemiologi Tb

untuk memcepat diagnosis M.tb maupun MDR-TB.

Pembelian awal alat uji merupakan biaya termahal yang harus

dikeluarkan, contoh untuk pembelian alat GenExpert dengan

metoda PCR-RT dibutuhkan dana sekitar 3 milyar rupiah.21

Perbandingan biaya pemeriksaan dengan beberapa metoda

dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

Dikutip dari (21

15 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8MODS

MGIT

BACTEC

L J

Microagar

MABA

PCR-RT

BTA sputum

0,77

7,00

2,55

0,14

0,29

1,23-2,43

0,90

0,10

1,72

35,02

Page 49: Epidemiologi Tb

12,75

1,60

1,60

5,62

1,80

63,03

23,00

1,57

2,92

6,87

Metoda Uji Biaya

(US$)

Uji resisten

2 obat

Uji resisten

4 obat

Tabel 2. Biaya Pemeriksaan diagnosis M.TB

Dikutip dari (18

Kesimpulan

1. Diagnosis cepat M.tb adalah uji diagnosis untuk kuman

M.tb kurang dari 1 jam

2. Diagnosis cepat M.tb sudah berkembang pesat dengan

bermacam metoda

3. Diagnosis cepat M.tb dapat menghemat waktu, biaya

dan tidak perlu tenaga ahli karena dapat dikerjakan secara

Page 50: Epidemiologi Tb

automatisasi

4. Diagnosis cepat M.tb yang terbaik dan direkomendasikan

WHO adalah PCR-RT

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman

nasional: penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2.

Jakarta: DepkesRI ;2008.hal.8-14.

2. Young DB, Perkins MD, Duncan K, CE Barry. Confronting

the scientific obstacles to global control of tuberculosis.

J Clin Invest. 2008;118:1255-65.

3. Behr MA, Warren SA, Salamon H, Hopewell PC, Ponce

de León A, Daley CL, et al. Transmission of Mycobacterium

tuberculosis from patients smear-negative for acid-fast

bacilli. Lancet. 1999;353:444-9.

4. American Thoracic Society; Centers for Disease Control

and Prevention; Council of the Infectious Disease Society

of America. Diagnostic standards and classification of

tuberculosis in adults and children. Am J RespirCrit Care

Med. 2000;161:1376-95.

5. Pfyffer GE. Mycobacterium: general characteristics,

laboratory detection, and staining procedures. In: Murray

PR, Baron EJ, Jorgensen JH, Landry ML, Pfaller MA, editors.

Manual of Clinical Microbiology. 9th ed. Washington

DC: ASM Press; 2007. p. 543-72.

6. Vincent V, Gutiérrez MC. Mycobacterium: Laboratory

Page 51: Epidemiologi Tb

characteristics of slowly growing mycobacteria. In:

Murray PR, Baron EJ, Jorgensen JH, Landry ML, Pfaller

MA, editors. Manual of Clinical Microbiology. 9th ed.

Washington DC: American Society for Microbiology;

2007. p. 573-88.

7. Salfinger M, Pfyffer GE. The new diagnostic

mycobacteriology laboratory. Eur J ClinMicrobiol Infect

Dis. 1994;13:961-79.

8. Jost KC Jr, Dunbar DF, Barth SS, Headley VL, Elliott LB.

Identification of Mycobacterium tuberculosis and M.

aviumcomplex directly from smear-positive sputum

specimens and BACTEC 12B cultures by high-performance

liquid chromatography with fluorescence detection and

computer- driven pattern recognition models. J

ClinMicrobiol. 1995;33:1270-7.

9. Cha D, Cheng D, Liu M, Zeng Z, Hu X, Guan W. Analysis

of fatty acids in sputum from patients with pulmonary

tuberculosis using gas chromatography- mass

spectrometry preceded by solid-phase microextraction

and postderivatization on the fiber. J Chromatogr A.

2009;1216:1450-7.

10. Kaal E, Kolk AH, Kuijper S, Janssen HG. A fast method

for the identification of Mycobacterium tuberculosis in

sputum and cultures based on thermally assisted

hydrolysis and methylation followed by gas

Page 52: Epidemiologi Tb

chromatography-mass spectrometry. J Chromatogr A.

2009;1216:6319-25.

11. Park MY, Kim YJ, Hwang SH, Kim HH, Lee EY, Jeong SH,

et al. Evaluation of an immunochromatographic assay

kit for rapid identification of Mycobacterium tuberculosis

complex in clinical isolates. J ClinMicrobiol. 2009;47:481-4.

12. Jacobs WRJ, Barletta RG, Udani R, Chan J, Kalkut G,

Sosne G, et al. Rapid assessment of drug susceptibilities

of Mycobacterium tuberculosis by means of luciferase

reporter phages. Science. 1993;260:819-22.

13.Alcaide F, Galí N, Domínguez J, Berlanga P, Blanco S,

Orus P, et al. Usefulness of a new mycobacteriophagebased technique for rapid diagnosis of pulmonary

tuberculosis. J ClinMicrobiol. 2003;41:2867-71.

14.Kalantri S, Pai M, Pascopella L, Riley L, Reingold A.

Bacteriophage- based tests for the detection of

Mycobacterium tuberculosis in clinical specimens: a

systematic review and meta- analysis. BMC Infect Dis.

2005;5:59.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 1615.Galí N, Domínguez J, Blanco S, Prat C, Alcaide F, Coll P,

et al. Use of a mycobacteriophage-based assay for rapid

assessment of susceptibilities of Mycobacterium

tuberculosis isolates to isoniazid and influence of

resistance level on assay performance. J ClinMicrobiol.

2006;44:201-5.

16.McNerney R, Kambashi BS, Kinkese J, Tembwe R,

Page 53: Epidemiologi Tb

Godfrey-Faussett P. Development of a bacteriophage

phage replication assay for diagnosis of pulmonary

tuberculosis. J ClinMicrobiol. 2004;42:2115-20.

17.Alcaide F. New methods for mycobacteria identification.

EnfermInfeccMicrobiolClin. 2006;24Suppl 1:53-7.

18.Domínguez J, Blanco S, Lacota A, García-Sierra N, Prat

C, Ausina V. Utility of molecular biology in the

microbiological diagnosis of mycobacterial infections.

EnfermInfectMicrobiolClin. 2008;26Suppl 9:33-41.

19.Palomino JC. Nonconventional and new methods in the

diagnosis of tuberculosis: feasibility and applicability in

the field. EurRespir. 2005;26:339-50.

20.Dinnes J, Deeks J, Kunst H, Gibson A, Cummins E, Waugh

N, et al. A systematic review of rapid diagnostic tests

for the detection of tuberculosis infection. Health Technol

Assess. 2007;11:1-96.

21.Polomino JC. Molecular detection, identification and drug

resistance detection in Mycobacterium tuberculosis. J

Med Microbiol. 2009;56:103-11.

17 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8MEROKOK DAN TUBERKULOSIS

Agung Ari Wijaya

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN

Merokok dan tuberkulosis(TB) merupakan dua

Page 54: Epidemiologi Tb

masalah besar kesehatan di dunia, walaupun TB lebih banyak

ditemukan di negara berkembang. Setelah HIVdan AIDS

meluas TB menjadi penyebab kematian yang terkemuka di

seluruh dunia dan bertanggung jawab terhadap lebih dari

satujuta kematian setiap tahunnya. Penggunaan tembakau

khususnya merokok, secara luas telah diakui sebagai masalah

kesehatan masyarakat yang utama dan menjadi penyebab

kematian yang penting di dunia, yaitu sekitar 1,7 juta pada

tahun 1985, 3 juta pada tahun 1990 dan telah diproyeksikan

meningkat menjadi 8,4 juta pada 2020.1 Jumlah perokok di

dunia meningkat secara bermakna, saat ini diperkirakan

sebanyak 1,3 milyar perokok dan meningkat menjadi 1,7

milyar perokok pada tahun 2025. Sebanyak 65–85%

tembakau telah dikonsumsi diseluruh dunia dalam bentuk

rokok yang menyebabkan kematian setiap detik.2

Data World Health Organization (WHO) menunjukan

Indonesia sebagai negara dengan konsumsi rokok terbesar

ke-3 setelah Cina dan India dan diikuti Rusia dan Amerika.

Padahal dari jumlah penduduk, Indonesia berada di posisi

ke-4 setelah Cina, India dan Amerika. Berbeda dengan jumlah

perokok Amerika yang cenderung menurun, jumlah perokok

Indonesia justru bertambah dalam 9 tahun terakhir.

Pertumbuhan rokok Indonesia pada periode 2000–2008

adalah 0,9% pertahun. Banyak penyakit yang dihubungkan

dengan merokok yaitu penyakit keganasan, kardiovaskuler,

Page 55: Epidemiologi Tb

diabetes, penyakit paru obstrusi kronik (PPOK), artritis,

impotensi, infertilitas, Alzheimer, TB dan lain-lain.

2,3 Paru

merupakan organ yang menderita kerusakan paling parah

akibat merokok. Hubungan antara merokok dan TB pertama

kali dilaporkan pada awal abad ke-20. Walaupun mekanisme

yang pasti belum sepenuhnya diketahui namun telah banyak

penelitian mengenai hubungan antara merokok danTB.4

MEROKOK

Tembakau diperkenalkan di Indonesia oleh bangsa

Belanda sekitar 2 abad yang lalu dan penggunaannya

pertama kali oleh masyarakat Indonesia ketika elit lokal

Indonesia meniru kebiasaan merokok bangsa Belanda yang

kemudian diikuti oleh masyarakat kelas bawah hingga

menggantikan mengunyah sirih yang menjadi kebiasaan

masyarakat Indonesia. Kata rokok berasal dari bahasa

belanda roken. Merokok adalah tindakan seseorang

menghisap rokok (tembakau). Bahaya merokok telah

dibicarakan dan diakui secara luas. Penelitian yang dilakukan

para ahli memberikan bukti terdapatnya bahaya merokok

dan terjadinya penurunan fungsi paru pada perokok dan

orang disekitarnya. World Health Organization

memperkirakan bahwa pada tahun 2020 penyakit akibat

merokok akan menyebabkan kematian sekitar 8,4 juta jiwa

di dunia dan setengah dari jumlah tersebut berasal dari

Page 56: Epidemiologi Tb

benua Asia. Diperkirakan bahwa pada tahun 2030 lebih dari

80% penyakit yang diakibatkan oleh rokok akan terjadi pada

negara dengan pendapatan rendah dan sedang.5-7

Asap rokok mengandung lebih dari 4.500 bahan kimia

yang memiliki berbagai efek racun, mutagenik dan

karsinogenik. Isi dan konsentrasi bahan kimia dapat bervariasi

dalam merek rokok yang berbeda. Asap rokok menghasilkan

berbagai komponen baik di kompartemen seluler dan

ekstraseluler, mulai dari partikel yang larut dalam air dan

gas. Zat-zat yang mempunyai efek merugikan adalah

nikotin, tar, amonia, karbonmonoksida, karbondioksida,

formaldehid, akrolein, aseton, benzopyrenes,

hydroxyquinone, nitrogen oksidadan kadmium. Banyak zat

yang bersifat karsinogenik dan beracun terhadap sel namun

tar dan nikotin telah terbukti imunosupresif dengan

mempengaruhi respons kekebalan tubuh bawaan dari pejamu

dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Bahan

farmakologik dalam tembakau yang menyebabkan adiksi

adalah nikotin yang merupakan partikel padat dan sangat

mudah diserap oleh selaput lendir hidung, mulut dan jaringan

paru. Kriteria utama untuk menentukan ketergantungan

obat adalah pengguna obat yang selalu terdorong untuk

menggunakan, terdapat efek psikoaktif dan terbiasa

menggunakan obat tersebut. Semakin tinggi kadar tar dan

nikotin efek terhadap sistem imun juga bertambah besar.8

Page 57: Epidemiologi Tb

Tembakau telah disebut sebagai penyebab kematian

secara global karena membunuh lebih dari 5 juta orang di

seluruh dunia setiap tahunnya. Merokok merupakan faktor

risiko penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular serta

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 1819 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

5 penyebab utama lain dari kematian di seluruh dunia yaitu

serebrovaskular, infeksi saluran napas bawah, PPOK, TB, dan

kanker saluran napas.9 Merokok tetap menjadi penyebab

utama kematian yang dapat dicegah di dunia. Berhenti

merokok dikaitkan dengan manfaat penting pada tingkat

individu dan sosial. Mengingat prevalens merokok upaya besar

telah diarahkan untuk mengembangkan intervensi untuk

membantu perokok berhenti merokok. Namun, intervensi

untuk berhenti merokok memiliki keberhasilan yang beragam.

Berhenti merokok diperlukan untuk mengurangi morbiditas

dan mortalitas, namun banyak perokok mengalami kesulitan

menghentikan kebiasaannya. Usaha dengan intervensi secara

psikososial dan penggunaan obat telah digunakan untuk

tujuan tersebut.10

Dilaporkan bahwa penggunaan tembakau dengan cara

merokok lebih berbahaya dibandingkan dengan cara lain dan

perokok aktif lebih menimbulkan beragam penyakit

dibandingkan perokok pasif. Namun demikian perokok pasif

secara substansial juga berkontribusi menimbulkan bermacam

penyakit. Sekitar 1,1 miliar orang merokok di seluruh dunia,

Page 58: Epidemiologi Tb

lebih dari 80% berada di negara berpenghasilan rendah dan

menengah. Cina memiliki produksi dan konsumsi tembakau

terbesar di dunia. Di berbagai negara sekitar 49% laki-laki dan

8% perempuan diatas usia 15 tahun merokok, berbeda dengan

37% pria dan 21% perempuan yang berasal dari negara

berpenghasilan tinggi. Lebih dari 60% perokok tinggal di

hanya10 negara, yaitu Cina, India, Indonesia, Rusia, Amerika

Serikat, Jepang, Brasil, Banglades, Jerman dan Turki. Konsumsi

per orang dewasa perhari (jumlah rokok yang dihisap perhari

dibagi dengan populasi perokok dan bukan perokok) telah

menurun lebih dari 50% dalam 2-3 dekade terakhir di Amerika,

Kanada, Perancis dan negara berpenghasilan tinggi lain.

Sebaliknya, prevalens merokok pada laki-laki meningkat tajam

di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah

seperti Cina dan Indonesia. Peningkatan yang nyata terjadi pada

laki-laki usia muda. Perbedaan antara perempuan dan laki-laki

berhubungan dengan perbedaan penggunaan tembakau, dalam

hal prevalens penggunaan, durasi penggunaan yang lebih singkat

atau frekuensi penggunaan yang lebih rendah pada perempuan.

Penelitian di Brasil mendapatkan hasil terjadi penurunan yang

nyata perokok pada masyarakat dengan penghasilan rendah.11-

13 Selain HIV/AIDS, merokok tembakau merupakan penyebab

kematian utama yang meningkat dengan cepat. Diperkirakan

bahwa merokok akan menyebabkan sekitar 10 juta kematian

pada orang dewasa pada tahun 2030 dan sebagian besar

Page 59: Epidemiologi Tb

peningkatan kematian yang berhubungan dengan tembakau

akan berlangsung di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Studi

yang dilakukan di Oslo menunjukkan bahwa perokok ringan

dengan 1–4 batang perhari ternyata tetap meningkatkan angka

kematian.9,14,15

Secara keseluruhan meskipun tingkat merokok telah

menurun selama bertahun-tahun, lebih dari seperlima orang

Amerika adalah perokok. Pada tahun 2004 sekitar 21% orang

dewasa, 22% merupakan siswa sekolah. Akibatnya merokok

menjadi penyebab kematian dini di Amerika. Setiap tahun

sebanyak 438.000 orang Amerika diperkirakan meninggal

akibat merokok atau perokok pasif. Perkiraan biaya yang

berhubungan dengan merokok yaitu biaya medis dan

kehilangan produktivitas melebihi 167 milyar dollar Amerika

per tahun.8

TUBERKULOSIS

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh

infeksi Mycobacterium tuberculosis complex dan merupakan

masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia.

M.tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5µ dan

lebar 3µ, tidak membentuk spora dan termasuk bakteri aerob.

Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya

misalnya dengan pewarnaan Gram. Namun sekali diberi

warna oleh pewarnaan Gram, maka warna tersebut tidak

dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, maka

Page 60: Epidemiologi Tb

mycobacteria disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Pada

dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan

arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur

ini menurunkan permeabilitas dinding sel sehingga

mengurangi efektivitas terhadap antibiotik.

Lipoarabinomannan suatu molekul lain dalam dinding sel

mycobacteria berperan dalam interaksi antara inang dan

patogen menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup

di dalam makrofag.16

Pada tahun 1992, WHO telah mencanangkan TB

sebagai global emergency. Tuberkulosis saat ini banyak

menyerang usia produktif dan meningkatkan angka kematian

terutama di negara berkembang. Pada tahun 2010 dilaporkan

insidens TB didunia sebesar 8,8 juta (8,5–9,2 juta), 1,1 juta

(0,9–1,2 juta) kematian akibat TB dengan HIV negatif

ditambah 0,35 juta (0,32–0,39 juta) penderita TB dengan

HIV positif. Tahun 2009 dilaporkan terjadi 2,4 juta kasus

baru (3,3 juta perempuan), 133 kasus/100.000 populasi

dengan penderita HIV sebesar 1,1 juta jiwa. kematian akibat

infeki TB sebesar 1,7 juta jiwa (380.000 perempuan),

termasuk 380.000 penderita HIV, sesuai dengan 4700

kematian pertahun dan menjadi penyebab kematian urutan

ketiga pada perempuan usia 15-44 tahun. Delapan puluh

persen kasus TB aktif yang ditemukan di 22 negara

berkembang sebagian besar dari mereka di Asia (dengan 55%

Page 61: Epidemiologi Tb

kasus di dunia) dan Afrika (30%). Sekitar 5% dari beban

kasus TB global sekarang resisten terhadap beberapa obat,

di Rusia dilaporkan kasusTB yang resisten obat menyumbang

lebih dari seperlima semua kasus TB baru di tahun 2008.

Pada tahun 2008 sebanyak 1,4 juta orang yang hidup denganHIV mengalami TB aktif. Orang HIV-positif lebih mudah

terinfeksi cenderung resisten terhadap obat dan

meningkatkan angka kematian. India menempati urutan

pertama penderita TB di dunia (1,6-2,4 juta) menyumbang

sekitar seperlima dari seluruh jumlah kasus di dunia dengan

angka kematian sebesar 17,6% dan 3,5% dari total kematian

di India. Urutan berikutnya adalah China (1,1-1,5 juta),

Afrika selatan (0,4-0,59 juta), Nigeria (0,37- 0,55 juta) dan

Indonesia (0.35-0.52 juta). Di Amerika dilaporkan terjadi

penurunan yang bermakna, pada tahun 1945 dilaporkan 73/

100.000 populasi, tahun1993 sebesar 9,0/100,000 populasi

dan pada tahun 2009 didapatkan 3,8/100.000 populasi. Di

Nigeria dilaporkan kejadian TB sebesar 14,4% dan

diperkirakan 380.000 (9293/100.000 populasi) kasus TB baru

setiap tahun jauh lebih besar dari standar yang

direkomendasikan WHO yaitu sebesar 3%.3,16-18

Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala

klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologi yang

mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan

diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat

berasal dari dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan

Page 62: Epidemiologi Tb

bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar

(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, fases dan jaringan biopsi

(termasuk biopsi jarum halus/BJH). Pemeriksaan radiologi

dengan pemeriksaan standar foto toraks PA (posteroanterior),

pemeriksaan radiologi lain adalah foto lateral, top-lordotic,

oblik atau CT-Scan. Pemeriksaan penunjang lainnya

diantaranya analisis cairan pleura, pemeriksaan histopatologi

jaringan dan pemeriksaan darah. Gejala klinis TB dapat dibagi

menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik,

bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah

gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).

Gejala respirasi diantaranya adalah batuk 2 minggu, batuk

darah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala respiratori ini sangat

bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang

cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien

terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum

terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak

ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi

bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang

dahak ke luar. Gejala sistemik yang ditimbulkan akibat infeksi

TB adalah demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan

berat badan menurun. Pada TB paru, kelainan yang didapat

tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)

perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)

menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak

Page 63: Epidemiologi Tb

di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen

posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6).

Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara

napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,

tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari

banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan

pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai

tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada

limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,

tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis

tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar

tersebut dapat menjadi “cold abscess”.1

PENGARUH ROKOK PADA PERTAHANAN RESPIRASI

Rokok telah menunjukkan dampak yang luas terhadap

mekanisme kekebalan inangnya. Terdapat banyak penelitian

kontroversi karena perbedaan dalam hal riwayat merokok,

kerentanan genetik, sosial ekonomi, olah raga, nutrisi,

kelembaban udara dan pekerjaan yang dapat memodifikasi

penyakit. Epitel pernapasan merupakan pertahanan pertama

melawan agen lingkungan yang merugikan dan melindungi

dengan cara menyapu partikel keluar dalam lapisan mukus,

memfagositosis juga merekrut sel imun lain. Merokok secara

langsung membahayakan integritas barier fisik, meningkatkan

permeabilitas epitel pernapasan dan mengganggu bersihan

Page 64: Epidemiologi Tb

mukosilier. Pajanan asap rokok akut mengakibatkan supresi

epitel pernapasan dan secara kronik dapat mengakibatkan

inflamasi dan kerusakan sehingga menyebabkan perubahan

bentuk sel epitel.1,19

Di paru asap rokok memiliki efek baik proinflamasi

dan imunosupresif pada sistem kekebalan tubuh. Makrofag

mempunyai peran yang strategis di alveolar. Makrofag

alveolar mempunyai peran kunci dalam merusak dan

mengeliminasi agen mikrobial pada saat awal bila ada infeksi.

Rokok meningkatkan jumlah makrofag alveolar juga sel

epitelial dan mengaktivasinya untuk menghasilkan mediator

proinflamasi mikro sirkulasi paru, Reactive Oxygen Species

(ROS) dan enzim proteolitik dengan demikian memberikan

mekanisme seluler yang menghubungkan rokok dengan

inflamasi dan kerusakan jaringan. Serupa dengan ini merokok

berpengaruh terhadap kemampuan makrofagalveolar untuk

memfagositosis bakteri dan sel apoptosis. Pada saat yang

sama, rokok juga mengganggu mekanisme pertahanan

alamiah yang dimediasi oleh makrofag, sel epitel, sel dendritik

(DCs), dan sel natural killer (NK) sehingga meningkatkan

risiko, keparahan dan durasi infeksi. Pengaruh rokok dalam

hubungannya dengan peningkatan penyakit hinggá menjadi

lebih berat ditandai dengan gangguan kemampuan makrofag

untuk membunuh bakteri atau virus, hilangnya kemampuan

untuk membersihkan sel-sel mati, degradasi dan modifikasi

Page 65: Epidemiologi Tb

secara kimiawi dari matriks ekstraseluler, peningkatan retensi

sel T CD8 dan induksi Interleukin-17 (IL-17) sebagai efektor

sekresi sel T. Setelah pajanan rokok jangka panjang, daerah

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 20agregasi limfosit dengan sel T dan sel B bisa terbentuk pada

sisi tersebut, membantu produksi antibodi patogen dan

menyebabkan penyakit autoimun. Hilangnya pertahanan

mukosa dapat mengakibatkan kolonisasi bakteri seperti yang

terjadi pada 30% perokok jangka panjang dengan PPOK.19

Gambar 1. Gangguan sitem imun di paru akibat merokok

Dikutip dari (19)

Bukti menunjukkan bahwa sel NK memiliki peran

dalam pertahanan bawaan dalam melawan agen mikrobial

dan proteksi anti tumor. Hal ini dilakukan dengan

sitotoksisitas langsung yang mencetuskan apoptosis, sitokin

pro inflamasi dan pelepasan kemokin. Beberapa studi

menunjukkan pada perokok dapat menurunkan jumlah dan

aktivasinya berkurang pada perokok dibandingkan bukan

perokok. Pajanan asap rokok melemahkan aktivitas sitotoksik

danproduksi sitokin sel NK pada manusia dan tikus, dengan

demikian hubungan defek sel NK menyebabkan peningkatan

risiko infeksi dan kanker. Pada paru sel dendritik (DCs)

merupakan sel antigen paling poten dan sangat diperlukan

untuk inisiasi sel Tdan diduga memiliki kerentanan yang tinggi

terhadap rokok karena posisinya didalam lumen dan berada

langsung dibawah epitel paru. Studi klinis menunjukkan

Page 66: Epidemiologi Tb

bahwa jumlah DCs berkurang pada sebagian besar jalan napas

pasien ppok yang merokok. Setelah berhenti merokok jumlah

DCs makin meningkat dan serupa dengan kontrol orang sehat

yang tidak merokok.Studi pada hewan coba dilaporkan

terdapatnya penurunan jumlah DCs tergantung pada tipe

sistem pajanan rokok. Proses otoimun berperan pada

timbulnya penyakit yang berhubungan dengan rokok.

Merokok juga dapat menurunkan level semua kelas

imunoglobulin kecuali Ig E. Pada studi dengan hewan coba

didapatkan respons antibodi terhadap berbagai antigen

berkurang secara nyata akibat pajanan kronik asap rokok.19

HUBUNGAN MEROKOK DENGAN TUBERKULOSIS

Hubungan antara merokok dan TB pertama kali

dilaporkan pada tahun 1918.Mekanisme pasti yang

menghubungkan merokok dengan TB tidak sepenuhnya

dipahami, namun ada banyak bukti menurunnya pertahanan

saluran napas berpengaruh pada kerentanan terhadap infeksi

TB pada perokok. Trakea, bronkus dan bronkiolus yang

membentuk saluran udara yang memasok udara ke paru

memberikan garis pertahanan pertama dengan mencegah

kuman TB untuk mencapai alveoli. Merokok terbukti dapat

mengganggu bersihan mukosilier. Makrofag alveolar paru

yang merupakan pertahanan utama terjadi penurunan fungsi

fagositosis dan membunuh kuman pada individu yang

merokok, seperti dilaporkan pada diabetes, merokok telah

Page 67: Epidemiologi Tb

ditemukan berhubungan dengan penurunan tingkat sitokin

proinflamasi yang dikeluarkan. Sitokin-sitokin ini sangat

penting untuk respons awal pertahanan lokal untuk infeksi

kuman termasuk TB. Dalam berbagai studi menunjukkan

bahwa jumlah dan durasi merokok aktif berpengaruh

terhadap risiko infeksi TB sedangkan pada perokok pasif

berhubungan dengan peningkatan kejadian TB pada anak

dan usia muda.4,20,21

Studi retrospektif yang dilakukan di Dublin pada 160

kasus antara bulan April 2007 hingga April 2008 didapatkan

bahwa merokok berhubungan secara bermakna terhadap

pemanjangan waktu konversi kuman TB pada pasien yang

sedang mendapat terapi obat antiTB. Penelitian lain

menunjukkan meningkatnya angka kekambuhan penderita

TB yang merokok.22,23 Studi kasus kontrol pada 111 pasien

BTA positif dengan 333 kontrol yang dilakukan di India

pada bulan September 2004 hingga Agustus 2005

didapatkan peningkatan terjadinya infeksi TB pada perokok

sebesar 3,8 kali dibandingkan yang tidak merokok dan

berhubungan dengan jumlah rokok, indeks massa tubuh dan

status sosial ekonomi. Dalam penelitian ini lama dan jumlah

rokok juga berpengaruh terhadap perkembangan TB.24

Di Amerika ada sejumlah kesulitan dalam menilai

merokok sebagai faktor risiko untuk infeksi TB. Di antara

yang paling penting adalah prevalens rendah infeksi TB pada

Page 68: Epidemiologi Tb

populasi umum dan tingkat merokok telah menurun. Di

Amerika merokok menjadi semakin terkonsentrasi pada

populasi dengan sosial ekonomi rendah yang mengarah pada

faktor risiko lain untuk TB seperti HIV, tunawisma, peminum

alkohol, dan heterogenitas antar kelompok risiko TB. Saat

ini lebih dari 50% pasien TB di Amerika berasal dari beragam

negara dalam berbagai tahap epidemi tembakau dan faktorfaktor risiko untuk TB berbeda antara penduduk pendatang

dan penduduk asli kelahiran Amerika. Studi yang dilakukan

terhadap penduduk asli dan pendatang di Australia

menunjukkan bahwa angka kejadian TB cenderung lebih

tinggi pada penduduk pribumi, hal ini berhubungan dengan

sosial ekonomi, standar pelayanan kesehatan, dan kebiasaan

merokok yang tinggi.9,25

21 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan

hubungan antara merokok dan TB, banyak dari mereka

didasarkan pada infeksi atau angka kematian, penelitianpenelitian tersebut memiliki berbagai keterbatasan seperti

desain kasus control atau potong lintang ukuran sampel

kecil, dan kekurangan dalam data sosial ekonomi, alkohol,

infeksi HIV dan faktor yang berpengaruh lainnya. Di

HongKong merokok dan TB merupakan dua kondisi yang

umum dijumpai. Prevalens merokok jauh lebih tinggi pada

laki-laki dari pada perempuan. Lebih dari 20% laki-laki

dewasa adalah perokok aktif dan kejadian TB sebesar 100

per 100.000 penduduk pertahun dan banyak terjadi pada

Page 69: Epidemiologi Tb

laki-laki dengan usia diatas 65 tahun. Merokok berhubungan

dengan peningkatan kerentanan terhadap influenza dan TB.

Studi dengan hewan coba tikus yang mendapatkan

pajananM. TB secara aerosol, didapatkan bahwa produksi

interferon ³(IFN ³)oleh sel T akan menurun dengan

penurunan faktor transkripsi yang mengatur ekspresi IFN ³

pada tikus yang diberi pajanan asap rokok. Studi ini

memberikan demonstrasi pertama bahwa pajanan asap rokok

secara langsung menghambatr esponsselT untuk M. TB dan

virus influenza pada fisiologi hewan coba sehingga

meningkatkan kerentanan terhadap kedua patogen.26,27

Perokok memiliki angka kematian akibat TB sangat

tinggi, sebanyak sembilan kali lebih besar dibandingkan

dengan mereka yang tidak pernah merokok, tapi begitu

mereka berhenti, risiko berkurang secara substansial dan mirip

dengan mereka yang tidak pernah merokok. Berhenti merokok

memiliki manfaat bagi perokok jauh melampaui mengurangi

risiko TB, tetapi pengendalian tembakau yang baik dapat

mempengaruhi tingkat kematian TB dan mengurangi beban

kesehatan masyarakat dan dengan berhenti merokok bisa

mengurangi hampir sepertiga dari kematian akibat TB. Risiko

TB dapat dikurangi dengan hampir dua pertiga jika seseorang

berhenti merokok adalah bukti kuat dalam peran penting

dari merokok dalam penanggulangan TB. Seperti merokok

bertanggung jawab untuk lebih dari sepertiga kematian

Page 70: Epidemiologi Tb

akibat TB di Taiwan (37,7%). Pengendalian penggunaan

tembakau berhasil dalam mengurangi merokok baik dapat

mempengaruhi tingkat kematian TB dan mengurangi hampir

sepertiga (30,7%) dari beban kesehatan masyarakat yang

telah lama mengganggu penduduk Taiwan. Ini dampak

kesehatan yang besar pada peningkatan kesehatan

masyarakat terutama bila diterapkan ke negara-negara seperti

Cina, India yang memiliki prevalensi merokok dan angka

kejadian TB lebih tinggi. Berhenti merokok telah ditunjukkan

untuk mengurangi kejadian TB, sehingga perlu peningkatan

pengetahuan dan penelitian tentang manfaat dari berhenti

merokok untuk mengurangi angka kematian. Dengan dua

pertiga dari laki-laki Cina merokok dan sekitar tiga juta

kasus TB sehingga pedoman pencegahan dan penanganan

yang baik terus dilakukan. Merokok secara substansial

memperburuk risiko kematian pada mereka dengan riwayat

infeksi TB, kematian pada penderita yang merokok dilaporkan

sebesar 61% di India dan 32,8% di Hongkong.

21,28 Sebuah

penelitian yang menghubungkan pengaruh vitamin terhadap

penderita TB yang merokok didapatkan bahwa suplemen

vitamin E menyebabkan peningkatan sementara dalam

kejadian TB pada perokok berat dengan diet tinggi asupan

vitamin E. Vitamin A dan E tidak meningkatkan respon imun

pada penderita TB yang merokok. Penelitian ini menemukan

Page 71: Epidemiologi Tb

bahwa tidak satupun dari kedua senyawa tersebut dapat

meningkatkan perlawanan terhadap TB diantara laki-laki

perokok. Sebaliknya vitamin E tampaknya cenderung

meningkatkan kejadian TB pada peserta yang merokok berat

dan telah mendapatkan diet asupan vitamin C sebesar 90mg/

hari atau lebih .29

KESIMPULAN

1. Merokok dan TB masih menjadi masalah kesehatan yang

penting dinegara maju dan negara berkembang.

2. Asap rokok memiliki efek baik pro-inflamasi dan

imunosupresif pada sistem imun saluran pernapasan.

3. Merokok meningkatkan risiko infeksi Mycobacterium

tuberculosis, risiko perkembangan penyakit dan kematian

pada penderita TB.

4. Berhenti merokok berperan dalam global tuberculosis

control dan mengurangi kematian pada penderita TB.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bates MN, Khalakdina A, PaI M, Chang L, Lessa F,

Smith KR. Risk oft uberculosis from exposure to

tobacco smoke. Arch Intern Med. 2007;167:335-42.

2. Zainul Z. Dark nights behind the white clouds-risk of

tobacco smoking on human health besides the oral

health ang malignancy. Exceli Journal.2011;10:69-84.

3. World Health Organization. WHO report on the Global

tuberculosis control report.(Online); 2011(cited 2011

Page 72: Epidemiologi Tb

November 17). Available from: URL: http//

www.whqli bdoc.who.int /publ icat i ons/2011/

9789241564380_eng.pdf.

4. Leung CC, Lam TH, Ho KS, Yew WW,Tam CM, Chan

WM, et al. Passive smoking and tuberculosis. Arch

Intern Med. 2010;170:287-92.

5. Aditama T.Y Youth tobacco Indonesian experience,

Mumbai, India; Indonesia smoking control foundation.

2009.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 226. Ross J, Ehrlich RI, Hnizdo E, White N, Churchyard GJ.

Excess lung function decline in gold miners following

pulmonary tuberculosis. Thorax. 2010;65:1010-5.

7. PDPI. Berhenti merokok. Pedoman penatalaksanaan

untuk dokter Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia. Jakarta 2011.p 4-12

8. Mehta1 H, Nazzal K, Sadikot1 R. Cigarette smoking and

innate immunity. Inflamm Res J. 2008;57:497–503.

9. Giacomo M, Davidson PM, Penelope A. Abbott P,

Davison P, Moore L, Thompson S. Smoking cessation

in indigenous populations of Australia, New Zealand,

Canada, andthe United States: Elements of effective

interventions. Int. J. Environ. Res. Public Health. 2011;

8: 388-410.

10. Mills EJ, Wu P, Spurden D, Ebbert J,Wilson K. Efficacy

of pharmacotherapies forshort- term smoking

Page 73: Epidemiologi Tb

abstinance: A systematic review and meta-analysis.

Harm Reduction Journal. 2009; 6:25.

11. WHO. Global Tuberculosis control. WHO/HTM/TB/

2008.393. Geneva: World Health Organization;2008.

Availableonlineat http://www.who.int/tb/publications/

globalreport/2008/en/index.html(Accessed September

9, 2011).

12. Peto R, Lopez A, Boreham J, Thun M. Mortality from

smoking in developed countries, 1950–2005. University

of Oxford Clinical Trial Service Unit [online], http://

www.ctsu.ox.ac. uk/~tobacco (2009).

13. Salma K, Chiang C, Enarson DA, Hassmiller K, Fanning

A, Gupta P, et al. Tobacco and tuberculosis: a qualitative

systematic review and meta-analysis. International

Journal of Tuberculosis and Lung Disease.2007; 1049-

61.

14. Wang J, Shen H. Review of cigarette smoking and

tuberculosis in China: intervention is needed for

smoking cessation among tuberculosis patients. BMC

Public Health. 2009; 9:292.

15. Bjartveit K, Tverdal A. Health consequences of smoking

1–4 cigarettes per day. Tobacco Control. 2005;14:315–

20.

16. PDPI. Tuberkulosis. Pedoman diagnosis dan

penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru

Page 74: Epidemiologi Tb

Indonesia. Revisi pertama Juli 2011.Jakarta: 9-19

17. Udwadia F, Finto L. Why stop Tb is uncomplete without

quit smoking. Indian J ChestAllied Sci.2011;53;9-10.

18. Amoran O, Osiyale O, Lawal K. Pattern of default among

tuberculosis patients on directly observed therapy in

rural primary health care centres in Ogun State, Nigeria.

Journal of Infectious Diseases and Immunity.2011; 3(5):

90-5.

19. Stämpfli M, Anderson G. How cigarette smoke skews

immune responses topromote infection, lung disease

and cancer. Immunology. 2009; 9: 34-9

20. Lin HH, Ezzati M, Murray M. Tobacco smoke, indoor

air pollution and tuberculosis: A systematic review

and meta-analysis. PLoS Medicine.2007:173-89.

21. Wen CP, Chan TC, Chan HT, Tsai MK, Cheng TY, Tsai

SP. Ther reduction of Tuberculosis risks by smoking

cessation. BMC Infect Dis. 2010;10:156.

22. Siddiqui UA, O’Toole M, Kabir Z, Qureshi S, Gibbons N,

Kane M, et al. Smoking prolongs the infectivity of patients

with tuberculosis. Ir Med J.2010; 103(9):278-80.

23. Batista J, Pessoa M, Ximenes RA, Rodrigues L. Smoking

increases the risk of relapse after successful tuberculosis

treatmen. Int J Epidemiol. 2008;37 (4):841-51.

24. Suryakant PR, R. Garg S, Dawar S, AgarwalS. A casecontrol study of tobacco smoking and tuberculosis in

India Ann Thorac Med. 2009;4(4): 208–10.

Page 75: Epidemiologi Tb

25. Davies P, Yew W W, Ganguly D, Davidow AL, Reichman

L, Dheda K, et al. Smoking and tuberculosis: the

epidemiological association and immuno pathogenesis.

Transactions of the royal society of tropical medicine

and hygiene . 2006; 291-8.

26. Leung C, Li T, Lam TH, Yew WW, Law WS, Tam CM, et

al. Smoking and tuberculosis among the elderly in Hong

Kong. Am J Respir Crit Care Med. 2004;170: 1027–33.

27. Feng Y, Kong Y, Barnes PF, Huang F, Klucar P, Wang X,

et al. Exposure to cigarette smoke inhibits the

pulmonary T-Cell response to influenza virus and

Mycobacterium tuberculosis infection and immunity.

2011;79(1): 229-37.

28. Lin HH, Murray M, Cohen T, Colijn C, Ezzati M. Effects

of smoking and solid-fuel use on COPD, lung cancer,

and tuberculosis in China: a time-based, multiple risk

factor, modelling study.Lancet. 2008; 372(9648):

1473–83.

29. Hemila H, Kaprio J. Vitamin E supplementation may

transiently increase tuberculosis risk in males who

smoke heavily and have high dietary vitamin intake.

British Journal of Nutrition. 2008;100:896–902.

23 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8TUBERKULOSIS DAN HIV-AIDS

Arief Riadi

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Page 76: Epidemiologi Tb

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN

The World Health Organization (WHO) memprediksi

bahwa penyebab kematian orang dengan Acquired immuno

deficiency syndrome (AIDS) adalah tuberkulosis (TB) paru

sebesar 13%. Infeksi TB paru diukur ketika seseorang yang

diduga menginhalasi droplet yang mengandung bakteri

Mycobacterium tuberculosis (M. tb). Respons sistem imun

membatasi multiplikasi basil tuberkel 2–12 minggu setelah

infeksi. Kondisi basil tuberkel persisten selama bertahuntahun berubah menjadi Latent Tuberculosis Infection (LTBI).

Seseorang dengan LTBI tidak memberikan gejala dan tidak

menularkan. Tuberkulosis paru dapat berkembang segera

setalah terpajan (penyakit primer) atau setelah reaktivasi dari

LTBI (Reactivation Disease). Penyakit primer berjumlah sekitar

1/3 atau lebih kasus pada populasi dengan TB-HIV(Human

Immunodeficency Virus).1

Kasus TB paru di Amerika rata-rata menurun menjadi

46 kasus baru TB paru per 100.000 populasi (total 13767

kasus) yang dilaporkan pada tahun 2006 dan diprediksi

prevalensi kasus LTBI 4.0% pada seluruh populasi. Persentase

kasus TB paru dengan HIV juga menurun dari 15% (2003)

menjadi 12,4% (2006), walaupun persentase kasus TB paru

dengan status HIV tidak diketahui meningkat dari 28,7%

(2005) menjadi 31,7% (2006), mungkin merefleksikan

kesulitan pemeriksaan HIV atau ketidaklengkapan hasil

Page 77: Epidemiologi Tb

pemeriksaan HIV.2

Orang dengan LTBI diprediksi berubah menjadi TB

paru aktif sebesar 12,9% per 1000 orang pertahun dari hasil

observasi. Rata-rata progresif menjadi TB paru aktif pada

orang dengan infeksi HIV berkisar antara 35–162/1000 orang/

tahun observasi.2

Pada daerah endemik TB terdapat

hubungan yang tinggi jumlah CD4 (cluster of differentiation)

dengan waktu perkembangan TB-HIV. Pada orang dengan

HIV yang bekerja pada tempat berisiko tinggi seperti fasilitas

kesehatan, unit terapi obat-obatan atau tempat tunawisma

dapat meningkatkan risiko terkena TB paru.3 TB paru menjadi

penyebab utama kematian pada orang dewasa yang terinfeksi

HIV. Kematian akibat penyakit ini pada beberapa negara

meningkat sampai 50%, biasanya sekitar 2 bulan setelah

diagnosis TB ditegakkan. Keterlambatan dalam penegakan

diagnosis TB paru mungkin menjadi kontributor yang penting

dalam menyebabkan tingginya angka kematian.16

Tiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus baru TB

paru per 100.000 penduduk dengan estimasi prevalens HIV

diantara pasien TB paru sebesar 0,8% secara nasional

(berdasarkan laporan WHO 2007). Survei yang dilaksanakan

oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen

Kesehatan (Litbangkes) 2003 menunjukkan bahwa pasien

dengan koinfeksi TB-HIV pada umumnya ditemukan di RS

Page 78: Epidemiologi Tb

(Rumah Sakit) dan Rutan (Rumah Tahanan) atau Lapas

(Lembaga Pemasyarakatan) di beberapa propinsi ditemukan

TB paru sebagai infeksi oportunis utama pada pasien AIDS

di RS. Saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan

gambaran HIV di antara pasien TB paru. Studi pertama

tentang sero prevalensi yang dilaksanakan di Yogyakarta

menunjukkan angka 2%. Data dari RS propinsi di Jayapura

menunjukkan pada triwulan pertama 2007, 13 diantara 40

pasien TB ternyata positif HIV. Data klinik PPTI (Perkumpulan

Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia) di Jakarta sejak 2004–

2007 menunjukkan prevalens HIV pada pasien dugaan TB

paru dengan faktor risiko antara 3–5% dan prevalens pada

pasien Tb paru antara 5–10% dengan kecenderungan

meningkat setiap tahunnya.18

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS

Human Immunodeficiency Virus adalah virus

sitoplastik dari famili Retroviridae. Berdasarkan strukturnya

HIV termasuk famili retrovirus yang merupakan virus RNA

(Ribonucleacid Acid) dengan berat molekul 9.7 kilobases

(kb). Virus HIV pertama kali diidentifikasi oleh Luc Montainer

di Institut Pasteur Paris tahun 1983 disebut HIV-1.

Karakteristik virus sepenuhnya diketahui oleh Robert Gallo

di Washington dan Jay Levy di San Fransisco tahun 1984.

Tahun 1986 HIV-2 berhasil diisolasi dari pasien di Afrika

Barat.4

Page 79: Epidemiologi Tb

Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan HIV

memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh 2

protein utama envelope virus yaitu glikoprotein (gp) 120 di

sebelah luar dan gp 41 yang terletak di transmembran.

Glikoprotein 120 memiliki afinititas tinggi terutama regon

V3 terhadap reseptor CD4 sehingga bertanggung jawab pada

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 24awal interaksi dengan sel target, sedangkan gp 41

bertanggung jawab dalam proses internalisasi atau absorbsi

(Gambar 1).4

Gambar 1. Struktur HIV

Dikutip dari (4)

CD4 adalah reseptor spesifik pada sel pejamu untuk

terjadi infeksi HIV yang mempunyai afinitas tinggi tehadap

HIV terutama terhadap molekul gp 120. Diantara sel tubuh

yang mempunyai molekul CD4 paling banyak adalah sel

limfosit-T. Infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada

reseptor CD4 limfosit-T setelah penempelan terjadi fusi kedua

membran (HIV dan limfosit) sehingga seluruh komponen virus

masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T.4

PATOGENESIS TB-HIV

Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali

interaksi gp 120 pada selubung HIV berikatan dengan

reseptor spesifik CD4. Sel target utama adalah sel yang

mampu mengekspresikan reseptor CD4 antara lain astrosit,

mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s dan

Page 80: Epidemiologi Tb

dendritik. Ikatan terjadi akibat interaksi gp 120 HIV dengan

CD4. Ikatan semakin kuat dengan kehadiran ko-reseptor

kedua yang memungkinkan gp 41 menjalankan fungsinya

sebagai perantara masuknya virus ke dalam sel target. Koreseptor lini kedua adalah chemokine reseptor 5 (CCR5) dan

chemokine reseptor 4 (CXCR4).4

Proses internalisasi limfosit T oleh HIV selain terjadi

perubahan melalui aktivasi limfosit T-CD4 maupun HIV juga

membangkitkan timbulnya protein stres temasuk heat shock

protein 70 (Hsp70). Kontak yang terjadi mengakibatkan

limfosit T terpacu sehingga mengalami stres dengan berbagai

perubahan. Perubahan diawali dengan ekpresi reseptor CD43

(sialophorin) pada permukaan limfosit T. Reseptor CD43 yang

terekspresi tersebut menjadi aktivator baik terhadap limfosit

T-CD4 sendiri maupun terhadap HIV. Peningkatan aktivitas

limfosit T-CD4 yang terinfeksi HIV akan menginduksi T-helper

1 (Th-1) mensekresi Interleukin (IL)-1â, IL-2, Tumor necrosis

factor (TNF)-á dan Interferon (IFN)-ã sehingga kadar didalam

darah meningkat.4

Human immunodefisiency virus yang berada di dalam

limfosit T-CD4 akan teraktivasi oleh pengaruh reseptor CD43

dan akan menginduksi pembentukan kompleks T-cell reseptor

(TCR) CD43 kemudian bersama-sama CD28 mempengaruhi

HIV menjadi lebih aktif. Produksi HIV selama infeksi mencapai

109

-1011 partikel virus perhari bila berlangsung tanpa upaya

Page 81: Epidemiologi Tb

pengobatan dapat meningkatkan jumlah virus mencapai

500-1.000.000 kopi HIV-RNA per ml. Viremia yang terus

meningkat akan berusaha menyerang limfosit T-CD4

berikutnya. Fase akut akan terjadi penurunan dramatis kadar

CD4 sampai kurang dari 1000/mm3

dan naik kembali saat

serokonversi. Fase kronik akan terjadi penurunan 70 sel/ìl

setiap tahunnya. Bila jumlah CD4 mencapai atau melampaui

batas kritis d” 200 sel/mm3

berarti telah memasuki stadium

AIDS dengan atau tanpa manifestasi klinik. Manifestasi klinik

dapat terjadi pada jumlah limfosit T-CD4 relatif normal (CD4

e” 500 sel/mm3

) atau terjadi penurunan sedang (CD4 d”

200 sel/mm3

). Tanpa diimbangi upaya intervensi maka dari

waktu ke waktu jumlah limfosit T-CD4 akan semakin rendah

membuka peluang infeksi sekunder dan muncul manifestasi

klinik AIDS hingga sepsis (Gambar 2).4

Gambar 2. Patofisiologi HIV-AIDS

Dikutip dari (4)

Pada TB paru aktif, makrofag terinfeksi oleh M. tb

yang akan mengekspresikan TNF-á bersamaan dengan

Monocyte Chemotactic Protein 1 (MCP- 1) yang

mengaktifkan replikasi HIV-1. The Long Terminal Repeat

Page 82: Epidemiologi Tb

(LTR) HIV mengandung 2 NF-kB. TNF-á menginduksi

replikasi HIV dimediasi dengan peningkatan aktifitas NF-kB

di sel mononuklear. M. tuberculosis dapat menyebabkan

infeksi lanjut pada CD4 sel T limfosit dan monosit. M.

tuberculosis juga mengaktifkan replikasi HIV-1 pada CD4 T

limfosit yang terinfeksi laten. Masuknya monosit kedalam

sel dendrit dapat memfasilitasi trasmisi HIV-1 ke CD4 T

limfosit yang apabila berdiferensiasi ke M. tb dapat

menyebabkan berkembang menjadi infeksi laten HIV-1

(Gambar 3).8

25 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8Gambar 3. Patofisiologi TB-HIV

Dikutip dari (8)

GEJALA KLINIK HIV

Gejala klinik HIV merupakan gejala dan tanda infeksi

virus akut, keadaan asimptomatis berkepanjangan hinggga

manifestasi AIDS berat. Gejala klinik HIV dapat dibagi

menjadi 4 tahap yaitu :4

1. Tahap pertama

Merupakan tahap infeksi akut. Pada tahap ini muncul

gejala tapi tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu

pertama setelah pajanan HIV berupa demam, rasa letih,

nyeri otot dan sendi, nyeri menelan dan pembesaran

kelenjar getah bening.

2. Tahap kedua

Merupakan tahap asimptomatis. Pada tahap ini gejala

Page 83: Epidemiologi Tb

dan keluhan menghilang. Tahap ini berlangsung selama

6 minggu sampai beberapa bulan atau tahun setelah

infeksi tetapi penderita masih normal.

3. Tahap ketiga

Merupakan tahap simptomatis. Keluhan penderita lebih

spesifik dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan

menurun tetapi tidak sampai 10%. Pada selaput mulut

terjadi sariawan berulang, infeksi bakteri pada saluran

napas atas, namun penderita dapat melakukan aktifitas

meskipun terganggu. Penderita lebih banyak di tempat

tidur.

4. Tahap keempat

Merupakan tahap lanjut atau tahap AIDS. Gejala yang

muncul berupa berat badan turun lebih 10%, diare lebih

1 bulan, demam yang tidak diketahui penyebabnya

berlangsung selama 1 bulan, kandidiasis oral, oral hairy

leukoplakia, TB paru. Penderita hanya berbaring ditempat

tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan terakhir.

Dapat terjadi berbagai macam infeksi berupa

pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis otak, penyakit

sitomegalovirus, infeksi virus herpes, kandidiosis pada

esofagus, trakea, bronkus, paru, infeksi jamur seperti

histoplasmosis. Dapat juga ditemukan keganasan

termasuk keganasan kelenjar getah bening dan sarkoma

kaposi.

Page 84: Epidemiologi Tb

Derajat dan berat penyakit ditentukan sesuai

ketentuan WHO melalui stadium klinik pada orang dewasa.

Diagnosis AIDS di Indonesia dibuat bila terdapat uji HIV positif

dan sekurang-kurangnya didapatkan satu gejala mayor dan satu

gejala minor (Tabel 1).4,5

Berat badan menurun lebih 70% dalam satu

bulan.

Diare kronik lebih dari satu bulan

Demam lebih 1 bulan

Penurunan kesadaran dan gangguan saraf

Enselopati HIV

Batuk menetap lebih satu bulan

Dermatitis generalisata

Herpes zoster berulang

Kandidiasis orofaringeal

Herpes simpleks

Limfadenopati generalisata

Infeksi jamur berulang pada alat kelamin

perempuan

Retinitis karena virus sitomegalo

Tabel 1. Gejala mayor dan minor HIV

Gejala Karakteristik

Mayor

Minor

Dikutip dari (8)

Page 85: Epidemiologi Tb

DIAGNOSIS

Seseorang dengan infeksi HIV, pemeriksaan untuk TB

paru termasuk dengan menanyakan tentang kombinasi dari

gejala klinik yang terdapat pada pasien dan tidak hanya

menanyakan keluhan batuk saja. Ini seperti terapi dengan

obat anti retrovirus dan terapi preventif dengan izoniazid

dapat mulai diberikan pada orang yang tidak ada gejala,

namun pemeriksaan kultur mikobakterium tetap dikerjakan.16

a) Diagnosis of Latent Tuberculosis Infection (LTBI)

Semua pasien yang didiagnosis HIV sebaiknya

diperiksa LTBI. Seseorang dengan hasil pemeriksaan LTBI

menunjukkan negatif, infeksi HIV lanjut (CD4+ < 200 cell/

µL) dan tanpa indikasi pemberian terapi empiris LTBI

seharusnya dilakukan kembali uji LTBI ketika mulai terapi

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 26ART dan kadar CD4+ e � 200 cell/µL. Pada umumnya uji rutin

untuk LTBI direkomendasikan untuk orang terinfeksi HIV

yang termasuk kategori resiko tinggi untuk berulang atau

terpajan idividu dengan TB paru, orang dengan hidup dengan

faktor risiko terinfeksi HIV, pecandu aktif, atau memiliki faktor

risiko sosial demografi untuk TB. Setiap pasien dengan HIV

dan uji LTBI positif seharusnya dilakukan foto toraks dan

evaluasi klinik untuk TB aktif.8

Diagnosis LTBI dapat dilakukan dengan satu atau dua

pendekatan. Uji tuberkulin dengan metode Uji Mantoux,

dipertimbangkan positif pada pasien terinfeksi HIV dengan

Page 86: Epidemiologi Tb

indurasi e” 5 mm yang timbul setelah 48–72 jam setelah

penyuntikan secara intradermal 0,1 mL. Sekarang ini

penggunaan metoda in vitro dengan mendeteksi IFN-”

dilepaskan untuk merespon M. tuberculosis-spesific peptides

telah dikembangkan untuk mendiagnosis LTBI.9

Gambar 4. Diagram alur diagnosis LTBI-HIV

Dikutip dari (10)

Penelitian saat ini menyarankan bahwa Interferron

Gamma Relation Assay (IGRA) lebih konsisten dan tinggi

spesifitasnya (92–97%) dibandingkan dengan Tuberculin

Sensitiviti Ujit (TST) sebesar 56–95%, hubungan korelasi yang

baik akan menggantikan pengukuran terpajannya M. tb dan

kurang terjadinya reaksi silang terhadap vaksin Bacillus

Calmette-Guerin (BCG) atau terpajan nontuberculous

mycobacteria lainnya dibandingkan dengan TST.11,15

Pada keadaan HIV dengan immunosupresi lanjut TST

dan IGRAs dapat menunjukkan hasil negatif palsu.12 Frekuensi

terjadinya negatif palsu dan tidak dapat digunakannya hasil

IGRA meningkat secara paralel dengan berlanjutnya

imunodefisiensi.13 Lesi fibrotik yang sesuai dengan TB kadang

secara insidental ditemukan pada gambaran foto toraks.

Seseorang dengan lesi fibrotik seharusnya menjalankan uji

diagnosis LTBI dan dievaluasi untuk penyakit aktif. Pada

keadaan yang telah diketahui sebelumnya telah mendapat

terapi TB secara adekuat, pemeriksaan dahak dan kultur

Page 87: Epidemiologi Tb

seharusnya diperiksa walaupun pasien tidak menunjukkan

gejala. Pada pasien HIV dengan CD4+ <200 cell/µL dengan

lesi fibrotik yang sesuai dengan TB pada gambaran foto

toraks dan tidak ada riwayat terapi sebaiknya

dipertimbangkan infeksi TB dengan mengabaikan hasil dari

uji LTBI. Pada keadaan seperti ini disarankan diberikan terapi

empirik sambil menunggu hasil uji diagnosis lebih lanjut.14

b) Diagnosis TB Paru Aktif

Evaluasi dugaan HIV yang berhubungan dengan TB

seharusnya dilakukan pada pemeriksaan foto toraks yang

merujuk kepada kemungkinan lokasi anatomi penyakit.

Sampel dari dahak dan kultur seharusnya didapatkan dari

pasien dengan gejala paru dan kelainan gambaran foto toraks.

Gambaran normal foto toraks tidak dapat menyingkirkan

kemungkinan TB aktif ketika kecurigaan terhadap penyakit

ini tinggi dan sampel dari dahak tetap harus didapatkan.

Hasil pengambilan dahak 3 hari lebih disarankan pagi hari

dapat meningkatkan hasil dari hapusan dan kultur. Lebih

dari ¼ dari pasien HIV dengan penyakit TB paru menunjukkan

hasil negatif palsu.12

Serostatus HIV tidak mempengaruhi hasil dari

pemeriksaan hapusan dahak dan kultur. Hasil positif lebih

sering didapatkan pada penyakit paru dengan kavitas. Hasil

dari pemeriksaan hapusan dahak dan kultur yang berasal

dari spesimen ekstraparu lebih tinggi diantara pasien

Page 88: Epidemiologi Tb

imunodefisiensi lanjut dibandingkan dengan orang yang tidak

terinfeksi.16 Uji Nucleic acid amplication (NAA), juga disebut

Direct Amplification Test dapat langsung diterapkan pada

spesimen klinik seperti dahak dan sangat membantu dalam

proses evaluasi pasien dengan hasil hapusan dahak positif.

Hasil positif NAA pada hapusan dahak sangat merefleksikan

TB aktif. Pada orang dengan hasil dahak negatif atau

penyakit ekstraparu maka penggunaan NAA harus digunakan

dan diinterpretasikan sesuai dengan penyebabnya.9

Pada pasien dengan tanda TB ekstraparu, aspirasi

jarum halus atau biopsi dari lesi kulit, kelenjar limfe, cairan

pleura dan perikardial harus dilakukan. Kultur darah dari

mikobakterium dapat membantu pasien dengan tanda

penyebaran penyakit atau perburukan imunodefisiensi. Hasil

27 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Test for LTBI (e.g., tuberculin

test or interferon- release

assay) in HIV-infected person

Contact to a case of

active tuberculosis

Negative Positive

Chest radiography

Clinical evaluation No Yes

CD4+ T-lymphocyte count > 200

No Yes

Page 89: Epidemiologi Tb

Retest for LTBI

once ART started

and CD4+ Tlymphocyte

count > 200

Treatment for LTBI not

indicated

Retest annually if on

going high risk of

tuberculosis exposure

(endemic area,

congregate setting, etc.)

No symptoms

and normal chest

radiograph

Symptoms (e.g.,

fever, cough,

weight loss) OR

abnormal chest

radiograph

Evaluate for active tuberculosis

(obtain samples for AFB smear

and culture)

Alternative cause

identified for symptoms

and abnormal chest

Page 90: Epidemiologi Tb

radiograph

Active tuberculosis

excluded with negative

smears and cultures in

the setting of low

suspicion

Moderate to high

suspicion or

evidence for active

tuberculosis

Initiate four-drug

regimen for active

tuberculosis

Initiate treatment for LTBIJurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 28

positif dahak dari berbagai spesimen (dahak, aspirasi jarum

halus, biopsi jaringan) mewakili beberapa bentuk penyakit

mikobakterium namun tidak selalu TB.16

Tujuan utama algoritma diagnosis adalah membantu

keputusan klinik di daerah dengan prevalensi HIV tinggi dan

mengurangi angka kesalahan diagnotik dan kematian.

Algoritma akan memberikan efek yang signifikan pada

diagnosis TB paru dengan HIV/AIDS dan akan membantu

penanganannya secara terintegrasi. Algoritma digunakan

pada pasien dewasa dengan keluhan batuk selama 2–3

minggu dan berdasarkan kondisi pasien.19

Page 91: Epidemiologi Tb

Diagram alur diagnosis pasien TB dengan HIV+ pada pasien

rawat jalan

Dikutip dari (19)

Pada pasien dengan sakit berat perlu segera dirujuk

ke pusat rujukan atau yang memiliki fasilitas lebih lengkap.

Apabila tindakan rujukan tidak dapat dilakukan segera maka

pemberian antibiotik spektrum luas segera diberikan dan

pemeriksaan dahak segera dikerjakan. Apabila hasil

pemeriksaan HIV negatif, gejala klinik HIV kurang nyata dan

apabila daerah tersebut tidak termasuk kedalam prevalensi

HIV yang tinggi maka dilanjutkan penegakan diagnosis sesuai

dengan pedoman yang berlaku. Apabila gejala klinik dan

pasien berasal dari wilayah dengan prevalensi HIV tinggi

maka penegakan diagnosis sesuai algoritma (Gambar 4).19

Diagram alur diagnosis pasien TB dengan HIV+ dengan

kondisi jelek

Dikutip dari (19)

GEJALA KLINIK TB-HIV

Individu yang terinfeksi HIV pada TB paru aktif sangat

dipengaruhi oleh derajat imunodefisiensi.6

Pada pasien terinfeksi

HIV dengan CD4+ > 350 cell/µL gejala klinik TB sesuai dengan

pasien TB tanpa HIV.7

Gejala mayor terbatas pada paru dan

biasanya gambaran foto toraks lobus atas berupa gambaran

Page 92: Epidemiologi Tb

infiltrat fibronodular dengan atau tanpa kavitas.8

Gejala

ekstraparu lebih sering timbul pada pasien HIV dibandingkan

pada pasien yang tidak terinfeksi HIV, walaupun manifestasi

klinik antara pasien terinfeksi HIV dengan tidak terinfeksi HIV

tidak secara substantial berbeda. Pada HIV stadium lanjut

gambaran foto toraks pada pasien TB paru berbeda dibandingkan

dengan pasien dengan derajat keparahan imunosupresi lebih

rendah. Pada lobus bawah, lobus tengah, gambaran infiltrat

milier lebih biasa dan kavitas lebih jarang. Limfadenopati

mediastinum juga dapat ditemukan. Walaupun dengan

gambaran foto toraks normal, pasien terinfeksi HIV dan TB paru

dapat memberikan hasil dahak yang positif dan hasil kultur.8

Peningkatan derajat imunodefisiensi, TB ekstraparu

(limfadenitis, pleuritis, pericarditis dan meningitis) dengan atau

tanpa keterlibatan paru ditemukan pada gejala mayor dengan

jumlah CD4+ < 200 cell/µL. Pada beberapa pasien TB dapat

menjadi penyakit sistemik yang berat dengan demam tinggi,

progresif, dan sindoma sepsis. Penemuan histopatologi juga

dipengaruhi oleh derajat imunodefisiensi. Pasien dengan fungsi

relatif imun terdapat tipikal inflamasi granulomatosa yang

diasosiasikan dengan penyakit TB. Pada pasien dengan

imunodefisiensi berat dan kadar mikobakterium yang tinggi,

penyakit TB dapat menjadi subklinik atau oligoasimptomatis.8

Gejala klinik TB paru pada pasien dengan HIV tergantung

Page 93: Epidemiologi Tb

dari derajat imunosupresi sebagai hasil dari infeksi HIV. Pasien

Ambulatory patient with cough 2-3 weeks and no danger signsa

CXRg

Sputum AFB and cultureg

Clinical assessmentg

TB likely

1

st

visit 2

nd

visit 3

rd

visit 4

th

visit

AFB

HIV testb

HIV+ or status unknownc

Treat for TB

CPTd

HIV assessmentf

AFB-positived AFB-negatived

TB unlikely

Treat for bacterial infectionh

HIV assessmentf

Page 94: Epidemiologi Tb

CTPe

Treat for PCPi

HIV assessmentf

Responsej Responsej

Reassess for TB

No or partial response

Start TB treatment

Complete antibiotics

Refer for HIV and

tuberculosis care

Seriously III patient with cough 2-3 weeks and danger signsa

Referral to higher level

facility

Immediate referral

not possible

Parenteral antibiotic treatment for

bacterial infection b,d

Sputum AFB and culture b

HIV test b,c

CXR b

Parenteral antibiotic treatment for

bacterial infection b,d

Consider treatment for PCP e

Sputum AFB and culture b

HIV test b,c

Page 95: Epidemiologi Tb

HIV+ or unknow f

AFB-positive g AFB-negative No g

tuberculosis

Treat

tuberculosis

Improvement

after 3-5 days

No Improvement

after 3-5 days

Reassess for other

HIV-related disease

Reassess for

tuberculosis h

TB unlikelydengan kadar CD4 > 200/mm3

lebih sering memberikan

manifestasi TB paru dibandingkan dengan ekstraparu. Pada

pasien ini gambaran foto toraks akan seperti pada orang

dengan HIV negatif. Hasil pemeriksaan dahak lebih sering

memberikan hasil positif. Keadaan imunodefisensi yang

semakin berat akan membuat gejala ekstraparu semakin

menjadi lebih sering (Tabel 2).8

Tabel 2. Gejala klinik pada pasien TB-HIV

TB paru : TB ekstraparu

Gejala klinik

Foto toraks

Page 96: Epidemiologi Tb

· Intratoraks

limfadenopati

· Lobus bawah

Kavitas

Alergi tuberculin

Pemeriksaan dahak

Reaksi obat

Kambuh setelah

pengobatan

50:50

Sering seperti

TB primer

Sering

Sering

Jarang

Sering

Jarang

Sering

Sering

80:20

Sering seperti

TB post primer

Jarang

Jarang

Sering

Page 97: Epidemiologi Tb

Jarang

Sering

Jarang

Jarang

karakteristik Late

HIV Infection

Early

HIV Infection

Dikutip dari (8)

KESIMPULAN

1. Penyebab kematian terbesar pada AIDS adalah TB paru.

2. Orang dengan TLBI sesuai dengan definisi tidak

memberikan gejala asimptomatis.

3. Pada penderita HIV dengan dicurigai TB maka harus

ditanyakan gejala lainnya tidak hanya batuk saja.

4. Pemeriksaan penunjang dengan IGRA dan TST sering

menunjukkan negatif palsu.

5. Hasil pemeriksaan dahak TB paru dari pasien HIV

menunjukkan hasil ¼-nya adalah negatif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), American

Thoracic Society and Infectious Diseases Society of America,

Treatment of tuberculosis. MMWR Recomm Rep 2003;

52(RR-11):p.1-77

2. Center for Disease Control and Prevention (CDC), Trends in

Page 98: Epidemiologi Tb

tuberculosis incidence— United Stauji, 2006. MMWR Morb

Mortal Wkly Rep 2007; 56(11): p.245-50.

3. Horsburgh, CR. Priorities for the treatment of latent

tuberculosis infection in the United Stauji. N Engl J Med

2004; 350(20): p.2060-7.

29 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

4. Nasronudin. HIV & AIDS : Pendekatan biologi molekuler klinik

dan sosial. Airlangga University Press 2007; p.1-309.

5. Nahimana A, Rabodonirina M, Bille J, Francioli P. Mutations

of Pneumocystis jiroveci dihydrofolate reductase associated

with failure of prophylaxis. Antimicrobial agents and

chemotherapy 2004; 48:4301-5.

6. Batungwanayo J, Taelman H, Hote R. Pulmonary

tuberculosis in Kigali, Rwanda. Impact of human

immunodeficiency virus infection on clinical and

radiographic presentation. Am Rev Respir Dis,

7. Hirsch HH, Kaufmann G, Sendi P. Immune reconstitution in

HIV-infected patients. Clin Infect Dis 2004; 38(8):p.1159-66.

8. Sharma SK, Mohan A, Kadhiravan T. HIV-TB co-infection:

Epidemiology, diagnosis & management. Indian J Med Res

2005; 121, pp 550-567

9. Nahid P, Pai M, Hopewell PC. Advances in the diagnosis and

treatment of tuberculosis. Proc Am Thorac Soc 2006; 3(1):

p.103-10.

10. Jasmer RM, Nahid P, Hopewell PC. Clinical practice. Latent

Page 99: Epidemiologi Tb

tuberculosis infection. N Engl J Med 2002; 347(23): p.1860-6.

11. Menzies D, Pai M, Comstock G. Meta-analysis: New ujits for

the diagnosis of latent tuberculosis infection: Areas of

uncertainty and recommendations for research. Ann Intern

Med 2007; 146(5): p. 340-54.

12. Mazurek GH, Jereb J, Lobue P. Guidelines for using the

QuantiFERON-TB Gold ujit for detecting Mycobacterium

tuberculosis infection, United Stauji. MMWR Recomm Rep

2005; 54(RR-15):p.49-55.

13. Brock I, Ruhwald M, Lundgren L. Latent tuberculosis in HIV

positive, diagnosed by the M. tuberculosis specific

interferon-gamma ujit. Respir Res 2006; p.1;7:56.

14. Pai M, Lewinsohn DM. Interferon-gamma assays for

tuberculosis: is anergy the Achilles’ heel?Am J Respir Crit

Care Med 2005; 172(5):p.519-21.

15. Luetkemeyer AF, Charlebois ED, Flores LL. Comparison of an

interferon-gamma release assay with tuberculin skin ujiting

in HIV-infected individuals. Am J Respir Crit Care Med 2007;

175(7): p.737-42.

16. Artenstein AW, Kim JH, Williams WJ. Isolated peripheral

tuberculous lymphadenitis in adults: current clinical and

diagnostic issues. Clin Infect Dis 1995; 20(4): p.876-82.

17. Kevin C, Kimberly D, McCarthy MM, Charles M. An

Algorithm for Tuberculosis Screening and Diagnosis in People

with HIV. N Engl J Med 2010;362:707-16.

Page 100: Epidemiologi Tb

18. Kebijakan Nasional Kolaborasi TB HIV. edisi pertama,

Departemen Kesehatan RI, 2007.

19. Improving the diagnosis and treatment of smear-negative

pulmonary and extrapulmonary tuberculosis among adult

and adolecent. WHO recomendation 2006.TUBERKULOSIS NOSOKOMIAL

Amir Luthfi, Sardikin Giri Putro

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) tetap menjadi salah satu masalah

kesehatan yang paling serius. Saat ini TB merupakan masalah

kesehatan di dunia dan penyebab utama kematian di negara

berkembang. Di Indonesia sendiri TB masih merupakan

masalah utama kesehatan masyarakat, ditunjang oleh

beberapa fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan

pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina.

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan

bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor

5 setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran napas

pada semua kelompok usia dan nomor 1 dari golongan

penyakit infeksi.1

Risiko penularan TB diantara petugas kesehatan

cukup tinggi sebelum era antibiotika tetapi menurun dengan

cepat setelah tahun 1950 dikarenakan menurunnya insidens

penyakit dalam populasi dan terdapatnya terapi yang efektif.

Page 101: Epidemiologi Tb

Perubahan ini berakibat pada kurangnya pengawasan infeksi

di rumah sakit. Zat yang terhirup di tempat kerja terutama

di rumah sakit dapat menjadi penyebab penyakit paru kronik.

Dokter, perawat, petugas laboratorium, bahkan petugas

kebersihan di rumah sakit yang menangani penderita TB

merupakan kelompok risiko tinggi. Untuk petugas kesehatan

saat ini TB merupakan penyakit akibat kerja. Identifikasi

pengaruh kerja terhadap suatu penyakit penting dilakukan

sebagai dasar pengobatan, pencegahan dan kelangsungan

pekerjaan.1,15

Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis (M. tb) dan menyerang organ pernapasan

walaupun dapat mengenai organ lain.2

Sejak meluasnya

penyakit human immunodeficiency virus (HIV) dan

pertambahan kasus TB kebal obat (MDR-TB), masalah TB

yang sebelumnya telah teratasi kembali mencuat, sehingga

pengawasan dan pemberantasan penyakit ini menjadi

bertambah rumit.3

Tinjauan pustaka ini akan membahas

mengenai TB nosokomial. Penularan TB nosokomial dapat

dicegah dengan cara menerapkan pengendalian infeksi yang

efektif. Center for Disease Control and Prevention (CDC)

merekomendasikan tindakan pencegahan penularan berupa

pengontrolan administratif, teknik dan alat pelindung

Page 102: Epidemiologi Tb

pernapasan. Tatalaksana pemberantasan TB dapat dilakukan

dengan berbagai cara dan hal ini telah berhasil dilakukan di

beberapa negara maju.4

PENULARAN TUBERKULOSIS

Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang

hidup sebagai parasit intraselular dan berkembang biak di

dalam tubuh. Penularannya dapat terjadi dari penderita ke

orang lain melalui percik renik. Percik renik berdiameter 1–5

¼m yang terhisap dan menginfeksi paru. Percik renik di

keluarkan oleh penderita sebagai sumber infeksi pada saat

bicara atau batuk dan menular ke orang lain saat terjadi

kontak dan dapat bertahan di udara selama berjam-jam

bahkan beberapa hari sampai akhirnya ditiup angin. Infeksi

terjadi apabila orang menghirup percik renik yang

mengandung M. tb. Gejala penyakit timbul beberapa saat

setelah infeksi dan pada umumnya respons imun terbentuk

dalam 2–12 minggu setelah infeksi.4,5

Keadaan lingkungan, ventilasi udara di ruangan, lama

pajanan, jumlah percik renik, ukuran dan konsentrasi kuman

mempengaruhi proses infeksi M. tb. Kondisi penderita TB

yang dapat menimbulkan risiko penularan antara lain

terdapatnya TB paru, batuk produktif, sputum basil tahan

asam (BTA) positif, tampak kavitas pada foto toraks, saat

batuk atau bersin tidak menutup hidung atau mulut, terapi

antiTB yang tidak tepat dan teratur, serta menjalani prosedur

Page 103: Epidemiologi Tb

yang menginduksi batuk seperti induksi batuk, bronkoskopi

dan suction.

1,6 Tuberkulosis dimulai dari infeksi primer yang

sering tidak menimbulkan gejala dan kemudian dapat

sembuh sendiri sehingga uji tuberkulin berubah dari negatif

menjadi positif.7

TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT

Penularan TB di rumah sakit berkaitan erat dengan

kejadian luar biasa di daerah tersebut.8

Terapi TB dapat

diberikan dengan rawat jalan, tetapi terdapat kemungkinan

penderita memerlukan perawatan di rumah sakit akibat

beratnya penyakit, efek samping obat, penyakit penyerta

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 30dan indikasi lainnya.9

Tahun 1990 terjadi kejadian luar biasa

tuberkulosis di beberapa rumah sakit di Amerika. Pengaturan

aliran udara di ruangan yang kurang baik, pembuangan udara

tidak adekuat dan penggunaan ulang sirkulasi udara

merupakan faktor yang ikut mempengaruhi kejadian

tersebut.10

Petugas kesehatan dengan angka kesakitan TB yang

termasuk kelompok risiko tinggi adalah dokter, perawat,

petugas laboratorium, penata radiologi dan fisioterapis.

Petugas kesehatan yang bertugas di bagian bronkoskopi,

intubasi endotrakea, penyedotan lendir di ruang rawat, irigasi

Page 104: Epidemiologi Tb

abses, induksi sputum, otopsi, inhalasi dan prosedur lainnya

yang dapat menginduksi batuk juga berisiko tinggi untuk terjadi

penularan nosokomial.Beberapa faktor lainnya yang dapat

meningkatkan risiko penularan diantaranya adalah frekuensi

kontak langsung dengan pasien TB, masa kerja dan kontak

dengan penderita yang belum terdiagnosis dan belum diobati.6

Bidang kesehatan

-Dokter

-Petugas register

-Perawat inhalasi

-Petugas laboratorium

-Perawat

-Pekarya, pembantu

perawat

Pekerjaan yang

berhubungan dengan

binatang

Pelayanan makanan

Pekerjaan yang

berhubungan dengan

debu

Pekerjaan yang

berhubungan dengan

anak-anak, sekolah

Pelayananan masyarakat

Page 105: Epidemiologi Tb

321

20

68

7

15

26

150

565

455

52

92

113

336,1

50,9

56,2

2,4

16,8

24,1

115,7

253,5

368,0

51,8

254,7

154,4

1,0

Page 106: Epidemiologi Tb

0,4

1,2

2,9

0,9

1,1

1,3

2,2

1,2

1,0

0,4

0,7

(0,9-1,1)

(0,2-0,6)

(0,9-1,5)

(1,2-6,0)

(0,5-1,5)

(0,7-1,6)

(1,1-1,5)

(2,0-2,4)

(1,1-1,4)

(0,8-1,3)

(0,3-0,4)

(0,6-0,9)

Kelompok pekerjaan

Kasus

Page 107: Epidemiologi Tb

Teramati

Kasus

Diharapkan SMR (IK 95%)

Tabel 1. Risiko kesakitan TB pada kelompok pekerjaan

Dikutip dari (11)

Petugas laboratorium mikrobiologi memiliki risiko

penularan infeksi M. tb cukup tinggi walaupun tidak

berhubungan langsung dengan pasien karena seringkali

petugas tidak mengetahui bahan yang diperiksa

mengandung M. tb. Tiga belas persen petugas laboratorium

mengalami perubahan uji tuberkulin menjadi positif setelah

bekerja 14,5 tahun atau setiap tahunnya risiko penularan

sebesar kurang lebih 1%. Perubahan konversi uji tuberkulin

berhubungan secara bermakna dengan pekerjaan sebagai

petugas patologi dan ini merupakan indikator keterlambatan

diagnosis penderita dengan TB selain akibat pengaturan

udara ruangan yang kurang baik. Tingkat risiko penularan

infeksi M. tb petugas laboratorium hampir sama dengan

klinisi karena bahan pemeriksaan diambil dari penderita TB

yang belum terdiagnosis. Sembilan dari 52 penderita yang

meninggal akibat TB baru dapat didiagnosis saat dilakukan

otopsi.12 Pasien yang dirawat dengan indikasi yang tidak

tepat, ruang perawatan yang tidak sesuai standar, petugas

kesehatan yang bekerja di tempat yang tidak mempunyai

fasilitas pengendalian infeksi, meningkatkan risiko penularan

Page 108: Epidemiologi Tb

untuk petugas dan penderita itu sendiri.4

PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN TATALAKSANA

Pencegahan TB nosokomial merupakan hal yang paling

penting.7 Risiko penularan dapat dikurangi dengan

pencegahan terhadap prosedur kerja dan pengawasan

peralatan yang berpotensi sebagai media penularan,

walaupun proses penularan masih dapat terus terjadi.12

Pencegahan dimulai dari pemeriksaan terhadap pekerja yang

akan diterima sebagai pegawai ataupun selama bekerja

meliputi riwayat TB sebelumnya, riwayat vaksinasi BCG,

gejala-gejala TB, jaringan parut BCG, uji tuberkulin dan foto

toraks (Gambar 1). Pegawai yang tidak menunjukkan gejala

dan tanda tetapi memiliki uji tuberkulin positif harus

dijelaskan bahwa sebelumnya sudah terpajan M. tb dan

disarankan secepatnya melapor bila timbul gejala.9

Pencegahan agar tidak terjadi infeksi adalah vaksinasi

dan memperbaiki sirkulasi udara sedangkan untuk tenaga

medis yang sudah terinfeksi adalah mempertahankan daya

tahan tubuh dan penatalaksanaan pada infeksi laten.

Sejumlah kuman M. tb tetap dorman dan bertahan hingga

berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, keadaan ini disebut

dengan infeksi laten. Seseorang dengan infeksi laten tidak

menunjukkan gejala apapun dan tidak menjadi sumber

penularan. Diagnosis TB yang tepat dan cepat sangat

diperlukan karena penderita yang belum terdiagnosis atau

Page 109: Epidemiologi Tb

terjadi kesalahan diagnosis maka konsekuensinya akan

terjadi penularan.13

Pengendalian infeksi TB bertujuan untuk deteksi dini

penderita TB, memberi pengobatan dan mencegah orang

lain untuk terinfeksi TB. Pengendalian infeksi merupakan

langkah khusus yang bertujuan untuk mengurangi penularan

M.TB. Terdapat 3 langkah pengendalian infeksi meliputi :4

1. Pengaturan administratif bertujuan untuk mengurangi

pajanan petugas kesehatan dan penderita dengan M.

tb.

31 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.82. Pengaturan lingkungan bertujuan mengurangi

konsentrasi percik renik yang infeksius.

3. Perlindungan pernapasan petugas kesehatan pada

daerah dengan konsentrasi percik renik yang tidak dapat

diatasi dengan kontrol administratif dan lingkungan.

Pemutusan rantai penularan di rumah sakit harus

dilakukan dengan pemakaian perlengkapan pelindung,

fasilitas dan peralatan khusus terutama di ruang isolasi.8

Diagnosis yang cepat dan akurat dapat mencegah

penyebaran lebih luas. Petugas kesehatan yang baru diangkat

harus diperiksa kemungkinan menderita TB, pemeriksaan

secara berkala dilakukan minimal sekali setahun untuk tenaga

lama atau saat timbul gejala penularan TB.4 Petugas kesehatan

dengan uji tuberkulin negatif harus dilakukan vaksinasi BCG.

Risiko TB pada pekerja yang terpajan oleh penderita TB lebih

Page 110: Epidemiologi Tb

tinggi pada orang dengan uji tuberkulin negatif dibandingkan

pada orang yang memiliki uji tuberkulin positif. Vaksinasi

BCG dapat mengurangi risiko penyakit TB tetapi hal ini tidak

terjadi di semua tempat.7 Pemberian INH profilaksis kurang

disetujui dan hanya digunakan pada keadaan tertentu.6,8

Gambar 1. Alur pemeriksaan TB pada pekerja.

Dikutip dari (13)

Pada ruang rawat jalan, pasien dengan batuk produktif

dan dicurigai menderita TB tidak dibenarkan ikut antrian

dengan pasien lainnya dan sebaiknya dilayani lebih dahulu.

Pasien tersangka TB diajarkan untuk tata cara batuk yang

benar dan diberi masker atau tisu untuk menutup mulut

dan hidung ketika batuk kemudian harus ditempatkan di

ruang tunggu khusus dengan ventilasi yang baik.4,6,14 Perlu

juga wadah khusus yang sudah diberi desinfektan untuk

menampung dahak yang dibatukkan pasien.Masker dapat

menghalangi penyebaran partikel yang mengandung T. tb

yang bersumber dari mulut atau hidung pasien. Tempat

sampah harus tersedia untuk membuang masker dan tisu

bekas pasien.4

Antara ruang rawat penderita TB dengan ruang rawat

penderita nonTB harus dibedakan, terutama ruang rawat

penderita risiko tinggi seperti anak kecil atau keadaan

imunosupresi. Sebaiknya kedua ruang perawatan ini berada

pada bangunan yang berbeda dengan ventilasi yang baik.

Page 111: Epidemiologi Tb

Pasien TB yang harus dirawat diupayakan lama perawatan

secepat mungkin untuk mencegah penyebaran infeksi

nosokomial. Pasien MDR-TB dirawat di ruang isolasi sehingga

kontak antar penderita dapat diminimalkan.1,6 Jendela dan

pintu harus diatur supaya selalu terbuka sehingga udara

dapat mengalir serta penggunaan kipas angin untuk

mengatur aliran udara merupakan cara sederhana untuk

pengaturan ventilasi. Udara bersih yang masuk ke ruangan

dapat mengencerkan konsentrasi percik renik di udara.

Pengaturan ventilasi ruang rawat inap, ruang pemeriksaan

dan ruang tunggu di pelayanan rawat jalan harus baik

(Gambar 1-3).4,6,15

Gambar 2. Pengaturan ventilasi ruang tunggu di pelayanan

rawat jalan

Dikutip dari (4)

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 32

Anamnesis sebelum

penerimaan pekerja

Curiga

Pem. Fisis

Normal

Bekerja dgn pasien

atau spesimen

Parut BCG

Uji tuberkulin

Page 112: Epidemiologi Tb

Derajat 0/1

Curiga

Pem. Fisis

Normal

Klinik Tanpa BCG Penyuluhan Klinik

tidak

tidak

tidak

tidak

tidak

tidak

tidak

ya

ya

ya

ya

ya

ya

ya

Ruang

Periksa

Ruang

Tunggu

Pintu Kantor

Pintu Pintu

Page 113: Epidemiologi Tb

Rencana Tampilan

Apotik

Area

Terbuka

Dinding dengan

daerah atas terbuka

Sisi A

Sisi B

Sisi CGambar 3. Pengaturan ventilasi di ruang rawat inap,

A.Ventilasi alamiah, B.Ventilasi tekanan negatif

Dikutip dari (4)

Apabila ventilasi alamiah tidak tersedia atau tidak

adekuat, ventilasi mekanis dapat digunakan untuk

mengurangi konsentrasi percik renik di ruang fasilitas

kesehatan. Sumber energi bersumber dari sistem pompa yang

kuat diperlukan untuk mengalirkan udara bersih ke dalam

ruangan, menarik atau mengeluarkan kembali udara tersebut

ke luar gedung. Aliran udara harus melintasi ruangan yaitu

dari pintu ke jendela atau ventilasi didepannya bukan masuk

dan ke luar dari jendela yang sama agar percik renik yang

dibatukkan dapat dialirkan keluar (Gambar 3).Arah aliran

udara diatur agar mengalir dari udara bersih, melewati

petugas kesehatan kemudian melewati pasien sampai

akhirnya keluar ruangan kembali. Sumber udara bersih harus

terhindar dari daerah pembuangan agar udara yang

Page 114: Epidemiologi Tb

terkontaminasi tidak masuk kembali ke ruangan (Gambar 4).

Bahan pemeriksaan yang berasal dari pasien harus

dipersiapkan secara baik dan aman pada saat pemeriksaan,

pengepakan dan penyimpanan untuk mencegah penularan

TB di antara pekerja laboratorium.7 Pengambilan dahak

dilakukan di area atau ruangan terbuka dan jauh dari banyak

orang sebaiknya tidak di dalam ruangan kecil atau ruang

tertutup namun bila tidak memungkinkan pengambilan

dahak dapat dilakukan di ruang berventilasi dengan risiko

pajanan yang rendah terhadap petugas dan pasien. Induksi

sputum, terapi inhalasi dan tindakan bronkoskopi merupakan

timdakan yang dapat menimbulkan batuk sehingga

meningkatkan risiko penularan M. tb. Tindakan ini sebaiknya

dilakukan secara hati-hati di ruangan berventilasi dan

petugas kesehatan menggunakan perlindungan masker

yang direkomendasikan yaitu masker N-95.4,6

Terdapat 2 jenis masker, yaitu masker bedah dan

respirator (Gambar 5). Masker bedah terbuat dari kertas

atau kain yang tidak dapat mencegah penyebaran

mikroorganisme dari pemakainya karena hanya menangkap

partikel basah berukuran besar disekitar hidung atau mulut

dan tidak melindungi pemakainya dari terhirupnya percik

renik di udara, namun pemakaian masker bedah dapat

mengurangi percik renik atau aerosol yang berasal dari

penderita TB yang infeksius. Masker ini digunakan pada

Page 115: Epidemiologi Tb

penderita TB pada saat meninggalkan ruang isolasi ke

tempat pemeriksaan lainnya di rumah sakit. Masker bedah

tidak melindungi tenaga kesehatan maupun pasien dari

resiko terhirupnya M.tb karena masker mempunyai

keterbatasan kemampuan filtrasi dan terdapat celah

disekitar hidung dan mulut yang memungkinkan aerosol

M. Tb tetap masuk. Respirator dapat memberikan

perlindungan lebih baik daripada masker bedah.6,15

Gambar 5. Respirator (kiri) dan masker (kanan)

Dikutip dari (16)

Jendela terbuka

Aliran udara

Tempat Tidur

Jendela Terbuka

Aliran udara dari

bawah pintu

Pintu

Aliran udara

masuk

Aliran udara

masuk

Pintu

Aliran udara

Tempat Tidur

Ruang Pendingin

Page 116: Epidemiologi Tb

AC

Aliran udara dari bawah

pintu: tekanan negatif yang

berhubungan dengan koridor

arah ventilasi alami atau

ruang kerja yang benar

arah ventilasi alami atau

ruang kerja yang benar

Pintu Jendela Angin

Angin

arah ventilasi alami atau

ruang kerja yang tidak benar

arah ventilasi alami atau

ruang kerja yang benar

Angin

Baik

Angin

Angin

Angin

Pengaturan yang baik

Angin

Angin Angin

Buruk

33 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8Respirator adalah alat perlindungan dari percik renik

M. Tb dengan kemampuan menyaring partikel berukuran 1ì.

Page 117: Epidemiologi Tb

Alat ini pas pada wajah dan mencegah kebocoran dari bagian

pinggir tetapi apabila posisi pemakaian tidak tepat, percik

renik yang terinfeksius tetap akan masuk ke saluran napas.

Jenis yang direkomendasikan adalah respirator dengan

kemampuan filtrasi 95% terhadap partikel berukuran 0,3ì.

Janggut dapat menghalangi pemakaian respirator yang pas

di wajah sehingga menyebabkan kebocoran.6,15

Petugas kesehatan dengan keadaan

imunokompromais yang menghadapi pasien TB atau MDRTB harus mendapat pengawasan khusus agar tidak terpajan,

terutama petugas yang mempunyai keluhan respirasi. Petugas

ini sebaiknya ditugaskan di tempat dengan risiko pajanan

M. tb yang rendah. Petugas yang menderita TB harus segera

diterapi dan untuk sementara dinonaktifkan sampai terbukti

tidak menjadi sumber penularan atau sputum BTA negatif.

Pernah dilaporkan suatu outbreak MDR-TB pada penderita

dan petugas kesehatan dengan kondisi imunokompromais

akibat kontak dengan penderita MDR-TB yang infeksius.6,14

Gambar 6. Masker N-95

Dikutip dari (16)

Tenaga medis yang terkena TB di rumah sakit

diberikan pengobatan yang tidak berbeda dengan penderita

TB lainnya. Daerah dengan kejadian MDR-TB yang cukup

tinggi maka penggunaan obat antituberkulosis (OAT) sangat

ditekankan untuk menggunakan obat yang masih sensitif

berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi obat. Tenaga

Page 118: Epidemiologi Tb

medis dengan TB yang mendapat pengobatan adekuat tidak

akan menularkan ke pekerja lain setelah pengobatan beberapa

minggu dan bila pengobatan yang dijalani secara lengkap

akan mengalami penyembuhan dan mencegah MDR-TB.6,9

KESIMPULAN

1. Tuberkulosis adalah salah satu masalah kesehatan di

tempat kerja khususnya di rumah sakit, munculnya

epidemi HIV dan MDR TB menyebabkan kasus ini muncul

kembali.

2. Lingkungan rumah sakit dan pekerja itu sendiri

mempengaruhi penularan tuberkulosis nosokomial.

3. Pengendalian dan pencegahan infeksi TB adalah deteksi

dini penderita TB, pemberian pengobatan antituberkulosis

dan mencegah penularan.

4. Risiko penularan nosokomial tuberkulosis dapat dikurangi

dan dicegah dengan pengendalian infeksi, diagnosis dini,

pemberian terapi secepatnya pada penderita TB,

perlindungan dan prosedur kerja yang baik.

5. Pengobatan TB pada tempat kerja tidak berbeda dengan

pengobatan yang biasanya tetapi perlu diperhatikan juga

penyakit penyerta.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman

nasional : Penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2.

Jakarta: Depkes RI;2008.hal.8-14

Page 119: Epidemiologi Tb

2. Frieden TR, Sterling TR, Munsiff SS, Watt CJ, Dye C.

Tuberculosis. Lancet. 2003; 362:887-99.

3. Dye C, Scheele S, Dolin P, Pathana V, Raviglione MC.

Global burden of tuberculosis. JAMA. 1999;282:677-86.

4. World Health Organization. Guidelines for prevention of

tuberculosis in health care facilities in resource-limited

settings.Geneva,Switzerland:WHO.1999.(cited 2011

September 5);Available from: http://whqlibdoc.who.int/

hq/1999/WHO_TB_99.269.pdf

5. Glassroth J. Tuberculosis. In: Niederman MS, Sarosi GA,

Glassroth J, editors. Respiratory infections, 2nd edition.

Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2001.p.475-86.

6. Jensen PA, Lambert LA, Iadermarco MF, Ridzon R.

Guidelines for preventing the transmission of

Mycobacterium tuberculosis in health-care setting, 2005.

MMWR Recomm Rep.2005;54:1-141.

7. Burge PS. Tuberculosis. In: Hendrick DJ, Burge PS,

Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorders of

the lung. Recognition, management and prevention.

London: WB Saunders;2002.p.257-63.

8. Comstock GW. Occupation and tuberculosis: Question

that need answer. Am J Respir Crit Care

Med.1996;154:553-4.

9. Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic

Society. Control and prevention of tuberculosis in the

Page 120: Epidemiologi Tb

United Kingdom: Code of practice 2000.

Thorax.2000;55:887-901.

10.Menzies D, Fanning A, Yuan L, Fitzgerald JM. Hospital

ventilation and risk for tuberculosis infection in Canadian

health care workers. Ann Intern Med.2000;133:779-89.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 3411.McKenna MT, Hutton Marry, Cauthen G, Onorato. The

association between occupation and tuberculosis. Am J

Respir Crit Care Med.1996;154:587-93.

12.Menzies D, Fanning A, Yuan L, FitzGerald JM. Factors

associated with tuberculin conversion in Canadian

microbiology and pathology workers. Am J Respir Crit

Care Med.2003;167:599-602.

13.Raitio M, Tala E. Tuberculosis among health care workers

during three recent decades. Eur Respir J. 2000;15:304-

7.

14.Bock NN, Jensen AP, Miller B, Nardel E. Tuberculosis

infection control in resources-limited setting in the era

of expanding HIV care and treatment. The Journal of

Infectious Diseases.2007;196:S108–13

15.Departemnt of Health and Human Services. Center for

Disease Control and Prevention. TB facts for health

care workers 2006. Georgia. Atlanta.2006.(cited 2011

September 8); Available from: URL:http://

www.tpchd.org/files/library/9638ba2e8c3a090c.pdf.

16.Niosh Approved N95 Particulate Filtering Facepiece

Page 121: Epidemiologi Tb

Respirators.(cited 2011 September 5);Available from:

URL:http://www.cdc.gov/niosh/npptl/topics/

respirators/disp_part.html

35 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8