15
Tinjauan Kedokteran Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti[22], yaitu: a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir. b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang. c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Dari pengertian pengertian di atas maka euthanasia mengandung unsur– unsur sebagai berikut: a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien. c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan. d. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya. e. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya. Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.” Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya. Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan

Euthanasia Medis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Euthanasia dipandang dari segi medis

Citation preview

Page 1: Euthanasia Medis

Tinjauan KedokteranKode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti[22], yaitu:a.       Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat

yang beriman dengan nama Allah di bibir.b.      Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan

memberikan obat penenang.c.       Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang yang sakit dengan sengaja atas

permintaan pasien sendiri dan keluarganya.Dari pengertian pengertian di atas maka euthanasia mengandung unsur–unsur sebagai berikut:a.       Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.b.      Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup

pasien.c.       Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.d.      Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.e.       Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.

Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.” Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya.

Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan[23]. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu[24].

Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu

Page 2: Euthanasia Medis

tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis[25].

 7. Tinjauan Filosofis-Etis

Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan otonomi dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia dapat diringkas sebagai berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. Pertanyaannya adalah apakah pengakhiran hidup seperti itu dapat dibenarkan?

Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi[26]. Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati[27].

Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-masing orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena itu masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh orang lain.

Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian yang baik”, tanpa penderitaan yang tidak perlu.

(https://johnkoplo.wordpress.com/2008/05/30/euthanasia-tinjauan-dari-segi-medis-etis-dan-moral/)

Page 3: Euthanasia Medis

Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:

1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman

dengan nama Tuhan di bibir.

2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.

3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri

& keluarganya.

Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada

pasien,disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban

melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak

diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan

pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami

kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara

keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik

harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara

keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang

berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan

kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan

euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri

hidup pasien.

(https://sesukakita.wordpress.com/2013/01/19/kedudukan-euthanasia-di-liat-dari-kode-etik-kedokteran-dan-hukum/)

Page 4: Euthanasia Medis

LANGKAH PENETAPAN KEMATIAN BATANG OTAK

Langkah-langkah penetapan kematian batang otak meliputi hal-hal berikut:

1. Evaluasi kasus koma

2. Memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi terkini pasien

3. Penilaian klinis awal refleks batang otak

4. Periode interval observasi

a. sampai dengan usia 2 bulan,periode interval observasi 48jam

b. usia lebih dari 2 bulan sampai dengan 1 tahun, periode interval observasi 24 jam

c. usia lebih dari 1 tahun sampai dengan kurang dari 18 tahun, periode interval observasi 12 jam

d. usia 18 tahun ke atas, periode interval observasi berkisar 6 jam

5. Penilaian klinis ulang reflex batang otak

6. Tes apneu

7. Pemeriksaan konfirmatif apabila terdapat indikasi

8. Persiapan akomodasi yang sesuai

9. Sertifikasi kematian batang otak

10. Penghentian penyokong kardiorespirasi

(http://doktergenkgonk.blogspot.co.id/2011/06/anastesi-mati-batang-otak-mbo.html)

dr Abdul lian SpAn KNABagian Anestesiologi Faked Undip Semarang

Pendahuluan :Otak orang dewasa yang beratnya 2% dari berat badan,dilayani sirkulasi darah 15% dari kardiak output dan membutuhkan oksigen 20% dari konsumsi oksigen seluruh tubuh atau lebih kurang 3,3 ml O2 /100 gram otak menit yang dikenal dengan istilah laju metabolik otak untuk O2(CMRO2) dimana (55-60)% nya digunakan untuk mempertahankan intergritas seratus milyard neuron otak berupa homeostasis,mempertahankan perbedaan ion,stablitas membran,aktifitas mitokondria dan pengeluaran CO2,sementara (40-45)% nya digunakan untuk fungsi neuron berupa pembentukan dan penghantaran impuls. Tergantung pada aliran darah otak(CBF),oksigen dan glukose.

Sumber energi otak sebagian besar diperoleh dari glukose sedangkan sumber yang lain ialah hidroksi butirat dan aceto asetat.Ketidak mampuan perfusi otak karena penurunan CBF dibawah kritis untuk memenuhi pasokan oksigen dan nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan intregritas metabolisme dan fungsi neuron yang merupakan dasar kerusakan otak yang dikenal dengan iskemia cerebri dengan konsekwensi mulai dari transsient ischemic attack( TIA) sampai terjadi mati otak.

Page 5: Euthanasia Medis

Penurunan CMRO2 sampai 2,0 cc/100 gram otak/menit  berakibat koma sedangkan penurunan CMRO2 sampai dibawah sepertiga normal bisa menyebabkan brain stem death (mati batang otak).

Yang termasuk batang otak adalah medulla oblongata,pons,thalamus,hipothalamus,retikular aktivating system,basal ganglia,limbik system tetapi yang utama adalah medulla oblongata dan pons dimana terletak pusatpernafasan dan sirkulasi, kesadaran dan nukeus syaraf kranial.

MATI BATANG OTAK (MBO):Yang dimaksud mati dewasa ini adalah mati batang otak walaupun jantung masih berdenyut dan respirasi dengan ventilator masih dipertahankan.Dahulu definisi kematian adalah apnoe(henti nafas) dan circulatory arrest(henti sirkulasi) dimana aktivitas cerebral terhenti sebentar (reversible) masih mungkin dilakukan cardiopulmonary dan brain resusitasi kemungkinan fungsi otak kembali normal, kematian seperti ini disebut Clinical death(mati klinis).Bila mati klinis berlanjut tanpa resusitasi akan terjadi nekrosis seluruh jaringan tubuh dimulai dari otak, disebut biological death (mati biologis).Sedangkan sosial death (mati sosial) (persistent vegetative state)(sindroma apalika) menggambarkan kerusakan otak yang irreversible dimana pasien tetap tak sadar /tidak responsif tetapi mempunyai EEG yang masih aktif dan beberapa reflek masih utuh.

Cerebral death(mati cerebral) dimana cerebrum mengalami nekrosis terutama neocortical.Brain death (total brain death)(mati otak total) adalah mati cerebral dengan nekrosis sisa otak lainnya (cerebellum,midbrain dan brain stem).(otak kecil,otak tengah dan batang otak).Harus dibedakan brain death dengan severe neurological dysfunction dimana masih ada menetap sedikit aktifitas otak,biasanya kita bagi dua golongan:

1.Locked in Syndrome (paralytic akinesia)(cerebrospinal    dysconection)   Dalam keadaan ini : Mental awareness(+).                                  Cranial nerve dysfunction (+)                                  Voluntary muscle movement (-)   umpama : lesi medulla-pontine.               2.Apalic syndrome :   Depressi awareness yang dalam depressi EEG sampai    isoelektrik.   Fungsi brainstem masih berlangsung atau bisa    ditimbulkan.

Page 6: Euthanasia Medis

Untuk itu baik fungsi cortical maupun brainstem harus diteliti dengan kriteria yang ditetapkan dalam menentukan brain death.Yaitu yang ditetapkan oleh Presbyterian University Hospital Pittsburg.Kriteria untuk menentukan diagnosis MBO (mati batang otak).Pasien yang diobservasi harus di rumah sakit,dengan dua kali pemeriksaan.Klinik dimana jarak (interval) kedua pemeriksaan tidak kurang dari dua jam dilakukan oleh minimal 2 ahli yang mendapat kompetensi (neurologist,neuro surgeon atau intensivist) bersama atau terpisah.

A. Koma dengan sebab yang ditetapkan,dan tidak adanya     induced hipotermia dan obat-obat yang bersifat     depressant.   Jika ada indikasi pemeriksaan ethanol darah,dan    toksikologi harus dilakukan dan temperatur tubuh juga    dicatat.

B. Tidak dijumpai gerakan otot spontan,tanda-tanda sikap     abnormal (decerebrasi&decorticasi) atau menggigil     dalam keadaan tanpa muscle relaxant (pelemas otot)     atau obat sedatif.

C. Cranial reflexes & responses:(minimal lima reflex     negatif).1. Tak ada respons reflex cahaya pupil ini disamarkan oleh     obat antikolenergik.2. Tak ada cornea reflex.3. Tak ada respons terhadap stimulus sakit yang hebat     seperti tekanan pada supra orbital.4. Tak ada respons terhadap stimulus jalan nafas bagian     atas dan bawah umpama pharyngeal atau penghisapan     endotracheal.5. Tak ada respons okular bila telinga diirigasi dengn 50 cc     air es (tak ada gerakan mata)(reflexoculovestibular).     Hal ini bisa disamarkan oleh obat ototoksik,penekan     vestibular.6. Tak ada gerakan bola mata bila kepala diputar(reflex     oculocephalic).

D. Tak ada gerakan nafas spontan selama tiga menit      bila ventilator dilepas dan PaCO2 > 50 Torr pada akhir      test apnoe dalam hal ini tanpa pelemas otot, tak      dilakukan bila ICP tinggi.     Jika pada riwayat penyakit pasien mempunyai keter

Page 7: Euthanasia Medis

     gantungan pada stimulus hipoksia untuk pernafasan      umpama pada penderita COPD (Chronic Obstructive      Pulmonary Diseases) maka PaO2 pada akhir test harus <      50 Torr. Jadi dicatat PaO2 dan PaCO2 pada akhir test      apnoe.

Test apnoe : a. Pre oksigenasi selama 10 menit dengan O2 100% untuk     mencegah hipoksia.b.Beri CO2 5% dalam 95% selama 5 menit berikutnya untuk    menjamin PaCO2 awal 40 torr.c.Ventilator dilepas, insuflasi O2 6L/menit via kateter    lewat karina selama sepuluh menit,untuk mencegah    hipoksia, agar tak terjadi kerusakan organ.   Test ini diulang dengan selang waktu 25- 40 menit, untuk    mencegah kesalahan pengamatan.

E.Gambaran EEG yang isoelektris :   Dengan minimal tehnik pencatatan yang telah ditetapkan    bisa terjadi atas pengaruh sedatif encepfalitis,trauma    otak atau anoksia atau hipotermia yang dalam.

F. Kegagalan menaikkan heart rate (kecepatan denyut     jantung) dengan pemberian 1-2 miligram Sulfas atropin     intra vena setelah lima menit atau kenaikan tak lebih     5x/menit.

Penetapan diagmosis MBO perlu untuk menentukan sikap kita dalam mempertahankan atau mengakhiri tindakan resusitasi gawat darurat.       Bila diagnose MBO sudah pasti maka pasien dinyatakan meninggal dengan sertifikat kematian. Walau jantung masih berdenyut, tidak diperlukan persetujuan keluarga untuk membuat sertifikasi kematian.Tetapi bila pasien telah menyatakan dirinya sebagai donor organ sebelum kematiannya maka setelah onset braindeath resusitasi terus dilakukan sampai organ tubuh pasien dikeluarkan untuk mempertahankan keawetan organ, tetapi kontra indikasi bila dijumpai beberapa keadaan tertentu, dibahas dalam management resusitasi untuk transplantasi organ.Setelah MBO cardiac death (mati jantung) sekunder biasanya terjadi setelah 72 jam sejak MBO tetapi kadang kadang walau jarang bisa sampai satu bulan. Ini karena merupakan efektor autonom yang bekerja tanpa pengaruh syaraf pusat dalam waktu terbatas.Sikap kita ventilator dihentikan biarkan saja sampai circulasi berhenti sendiri.

Mati jantung adalah henti jantung yang irreversible dimana EKG isoelektris selama minimal 30 menit, (intractable electric asystole) walaupun terapi CPR telah optimal. 

Page 8: Euthanasia Medis

Tidak ada pulsasi tetapi ada EKG complex (mechanical asystole tanpa electric asistole) bukanlah tanda irreversibelity cardiac.Selama aktifitas EKG berlangsung kita harus bersikap bahwa masih ada waktu untuk memulihkan circulasi spontan.Sebenarnya aktifitas EKG bisa berlangsung setelah beberapa menit terjadi henti jantung tanpa resusitasi atau berjam-jam selama CPR dilakukan.Selama CPR dengan dada tertutup tanpa monitoring EKG tak bisa dibuktikan adanya henti jantung yang irreversible oleh karena ventrikel fibrilasi mungkin ada dan ventrikel fibrilasi selalu mungkin reversible. Ada beberapa kasus ventrikel fibrilasi setelah CPR berjam-jam disertai defibrilasi pulih kembali kesadarannya.

Bila telah dilakukan CPR ditemukan sirkulasi spontan,reaksi pupil positif respirasi spontan, gerakan spontan ini menunjukkan adanya oksigenasi serebral.Bila pupil tetap dilatasi tanpa reaksi,tanpa respirasi spontan selama 1-2 jam,walaupun sirkulasi spontan sudah dicapai, ini menunjukkan kerusakan otak yang hebat walaupun tidak selalu disertai mati batang otak.Perlu diketahui pupil dilatasi /fixed bisa dijumpai diluar mati otak yaitu kontussio serebri,perdarahan intra kranial,pemberian katekolamin waktu resusitasi atau overdosis obat-obat hipnotik.

Secara kasar pasien yang sadar dalam waktu sepuluh menit sesudah sirkulasi spontan akan pulih kembali dengan fungsi otak yang normal,tetapi setelah 6-12 jam sejak sirkulasi spontan dilakukan penekanan yang kuat pada sudut mandibula, tanpa respons nyeri, tanpa Doll eyes,biasanya pasien akan menderita kerusakan otak yang permanent(Bates).Bila fasilitas EEG,monitor gas darah tak ada maka angiografi karotid yang menunjukkan tidak ada flow intrakranial alternatif yang dapat diterima sebagai bukti adanya MBO.

Pada tahun 1988 IDI mengeluarkan pernyataan berkaitan kapan seorang dinyatakan mati.a.Bila pernafasan spontan dan jantung telah pasti    berhenti,setelah dilakukan CPR optimal.

b. Bila telah dipastikan terjadi MBO, tetapi pada CPR     darurat dimana tidak mungkin menentukan MBO maka     seorang dapat dinyatakan mati bila :

1. Ditemukan tanda-tanda mati jantung.2. Setelah dimulai CPR pasien tetap tidak sadar, tidak     muncul nafas spontan, reflex muntah negatif serta pupil     tetap dilatasi,selama lebih 30 menit kecuali pasien 

Page 9: Euthanasia Medis

    hipotermik atau dibawah pengaruh barbiturat atau     anestesi umum.

Check list untuk diagnose klinis dari brain death menurut Medical Center of Pittsburgh University dalam menerbitkan sertifikasi kematian :I.Tidak adanya cofounding factors :A.Tekanan darah sistolik > 90 mmHg tanpa vasopressor dan     perfusi perifer adekuat.B. Suhu tubuh > 32 derajat C dibawah 32 C EEG bisa     isoelektris.C. Tanpa obat mendepressi CNS     (anestetik,narkotik,sedatif,alkohol).    Kadar sedatif tidak > subterapetik, kadar alkohol tak >=     100 mg%. Bila curiga lakukan test toksikologi.     Tak menggunakan pelemas otot, bisa membuat apnoe     atau gerakan(-). D.Tidak ada uremia,meningo ensefalopati,hepato     ensefalopati atau metaboilik ensefalopati bila ada harus    diambil EEG untuk menentukan brain death.

II. Absen fungsi serebral dan batang otakA. Tak ada reflex batang otak termasuk test apnoe.B. Tak ada responsivity dan reseptivity dari serebral.   1.Tak respons terhadap stimulus nyeri (penekanan supra       orbital).   2.Tak ada gerakan otot spontan, deserebrate rigidity atau       decorticasi atau kejang.   3.Tak ada reflex cahaya pupil(fixed)(paling penting)      (takperlu dilatasi atau equal)   4.Tak ada reflex kornea (kelemahan facial sebelumnya       bisa bikin reflex kornea negatif).   5 Tidak ada reflek batuk dan menelan (tak respons       terhadap stimulus jalan nafas atas dan bawah) dengan       menyedot faring atau trakea, via pipa trakeal.( test       n.vagus dan glossopharyngeal).   6Tak ada reflex okulosefalik dengan memutar kepala arah      kesisi kontralateral tidak ada gerakan bola mata, tak      boleh dilakukan pada fractur cervical.7. Tak ada reflex okulo vestibular (meninggikan kepala 30     derajat, lakukan irigasi 50 cc air es kedalam saluran     telinga luar tidak ada gerakan bola mata boneka.(test     labirinth)

Page 10: Euthanasia Medis

8. Tidak ada peningkatan denyut jantung kalaupun ada tak      lebih dari lima kali permenit sesudah 5 menit diberikan      0,04 mg/kg atropin iv.       Sebagai tes fungsi n vagus dimana atropin sebagai      vagolitik.     Dicatat denyut jantung sebelum dan sesudah test      atropin.9. Apnoe pada saat PaCO2 > 60 mmHg merupakan stimulus     paling kuat untuk merangsang pusat nafas minimal 30     detik.    Dicatat PaCO2 dan PaO2 pada akhir test apnoe.

III .Test untuk mengkonfirmasi diagnose brain death (confirmatory test) evaluasi fungsi neuron atau sirkulasi darah intra kranial.A.EEG adanya elektro serebral silence, lebih dari 30 menit.   Test ini dilakukan bila ada encefalopati, penyebab koma    tidak tahu atau global iskemia sudah berlangsung 24 jam    atau paling sedikit satu pemeriksaan tidak dilakukan atau    test apnoe tidak bisa dilakukan takut terjadi henti    jantung.

B.Cerebral arteriografi (4 pembuluh darah serebral) tidak    dijumpai sirkulasi darah intrakranial, test ini dilakukan    kalau pasien hipotermia berat,mendapat  CNS depressant,    alkohol atau pelemas otot.

IV.Komentar :Semua hasil pemeriksaan telah memenuhi kriteria MBO walaupun jantung masih berdenyut.

Sertifikasi kematian :                       Setelah mempertimbangkan hal-hal diatas dengan ini kami menyatakan kematian atas nama,jenis kelamin,umur,dan alamat,tanggal dan jam meninggal,ditanda tangani oleh dua orang dokter.        

Langkah selanjutnya memberi tahu keluarganya akan dihentikan bantuan hidup yang ujungnya sia-sia bukan berarti membiarkan mati.                 Bila keluarga sudah menerima tentang kematian otak maka ventilator,monitor dan infus di stop,dilakukan oleh petugas yang merawat, biarkan sampai jantung berhenti sendiri.Bila akan dilakukan transplantasi organ minta persetujuan tertulis dari keluarga. Bila setuju maka teruskan bantuan utama untuk mencegah injury organ.

Kontroversi MBO :                                  

Page 11: Euthanasia Medis

Ada bukti-bukti menunjukkan residual neuron function yang bisa bertahan walaupun telah dinyatakan semua kriteria telah dipenuhi untuk diagnose MBO. Termasuk berlanjutnya produksi hormon hipofise/hipotalamus dan bertahannya suhu tubuh tetap normal walaupun pada angiografi 4 pembuluh darah serebral tidak ada tanda-tanda sirkulasi intrakranial.Masih ada spontanous depolarisation bisa ditest dengan menempatkan elektrode lebih dalam meskipun EEG cortex isoelectric silence.Adanya enviromental responsiveness dibuktikan dengan naiknya tekanan darah dan kecepatan denyut jantung sebagai respons pembedahan selama organ procurement diduga respons terhadap stimulus komponen extra kranial dari ANS.Namun hal ini bisa terjadi sebab definisi MBO adalah hilangnya permanent semua fungsi neuron terpadu bukan kematian semua cell.

Ringkasan :Kriteria MBO yang digunakan sejak 1968 di Universitas Pittsburgh termasuk ketiadaan total, aktivitas serebrum dan batang otak pada dua pemeriksaan klinis dengan interval minimal dua jam,tanpa depresan CNS,pelumpuh otot dan hipotermi. Diantara dua pemeriksaan klinis dilakukan perekaman EEG dengan atau tanpa stimulasi suara,dengan pembesaran dua mikrovolt per mm menunjukkan rekaman isoelektrik selama minimal 30 menit.

Tidak terdapatnya pernafasan spontan selama 3 menit dimana PaCO2 harus >50 torr untuk penderita COPD yang memerlukan hipoksia untuk pernafasan maka PaO2<50 torr untuk ini perlu analisa gas darah.

Reflex dan respons saraf otak termasuk reflex pupil harus tak ada. 

Laju jantung tak boleh meningkat selama pemberian atropin iv.

Semua aktivitas batang otak tidak ada kecuali aktivitas sumsum tulang karena neuron sumsum tulang belakang masih hidup setelah mati otak.

Bila fasilitas EEG atau BGA tidak ada, maka angiografi untuk memastikan tidak ada perfusi intrakranial sebagai alternatif.

Namun bila pemeriksaan laboratorium juga tak ada maka pemeriksaan klinis saja mencukupi.

Persetujuan keluarga tidak perlu untuk sertifikasi mati otak dan dua dokter minimal menanda-tangani sertifikat kematian pasien.

Page 12: Euthanasia Medis

KEPUSTAKAAN :1.Safar Pieter; Cardiopulmonary Cerebral Resuscitation,    Published by Asmund S.Laerdal,Stavanger,Norway,1984.

2 Albin,Maurice : Brain death and vegetative state;Text    Book of Neuroanesthesia with neurosurgical and    Neuroscienceperspective,The MC Graw Hill Company,    Newyork, Sanfransisco,Toronto,Sydney,1977

3 GurningEJK; Brainstem death and Management of organ    Donor, Text Book of Neuro anesthesia and Critical Care,    edited by Menon K, Matta F. Greenwich Medical Media    Ltd., London.2000.

4 Grenvik et all; Cessation of theraphy in terminal illness    and braindeath; Critical Care Medicine vol.6 no.4    Augt,1978.

5.Pernyataan IDI tentang mati, Cermin Dunia Kedokteran,    no.57,1989.

6. Safar P, Resusitasi paru jantung otak,terjemahan IAAI     Jakarta,Agustus,1984.