16
Seminar Nasional Ke III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra Tengah Dengan Parameter Tipe Material Asal, Kekayaan Dan Kematangan Reza Mohammad Ganjar Gani, Yusi Firmansyah, Nisa Nurul Ilmi Abstrak Fokus penelitian dilakukan pada Formasi Pematang yang sudah dikenal sebagai Formasi yang dapat menghasilkan hidrokarbon di Cekungan Sumatra Tengah, adanya paradigma dan strategi baru dalam studi sistem hidrokarbon ini maka penulis tertarik mengkonfirmasi parameter-parameter geokimia yaitu: tipe material asal, kekayaan dan kematangan batuan induk di daerah penelitian. Lokasi penelitian ini sendiri adalah Sub-cekungan Aman Utara yang terletak di Cekungan Sumatra Tengah. Lapangan penyelidikan merupakan lapangan aktif dari salah satu perusahaan minyak besar yang beroperasi di Indonesia. Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia dari batuan inti. Contoh batuan sedimen berasal dari sumur-sumur eksplorasi, contoh batuan tersebut digunakan untuk analisis TOC, evaluasi pirolisis batuan dan reflektansi vitrinit (Ro). Data-data geologi dan geofisika digunakan sebagai analisis terhadap kondisi geologi yang berkembang di daerah penelitian dikorelasikan dengan hasil analisis geokimia. Input data berupa data stratigrafi seperti top formasi (kedalaman) Analisis yang dilakukan dalam evaluasi batuan induk meliputi potensi batuan induk, tipe material organik dan kematangan, analisis ini dilakukan pada lima sumur eksplorasi, yaitu: sumur SR-CAN, SR-KEL, SR-GUL, SR-PET dan SR-SID. Analisis karakteristik minyak dilakukan pada sepuluh sumur produksi yaitu sumur P1 Formasi Duri, sumur D1 Formasi Bangko, sumur D2 Formasi Menggala, sumur V1 Formasi Bangko, sumur R1 Formasi Bekasap, sumur U1 dan U2 Formasi Upper Sihapas, sumur Q1 Formasi Bekasap, sumur Q2 Formasi Duri dan sumur S1 Formasi Menggala. Formasi yang dapat berperan menjadi batuan induk daerah penelitian selain Formasi Brown Shale adalah Formasi Lower Red Bed, hal tersebut terbukti dengan analisis batuan induk dengan parameter potensi, tipe material organik dan kematangan pada formasi ini menunjukkan kualitas yang cukup baik. Kata kunci : Sub-cekungan Aman Utara, Formasi Brown Shale, Formasi Lower Red Bed. PENDAHULUAN Sistem hidrokarbon (petroleum system) sampai saat ini merupakan hal yang masih sangat menarik untuk dikaji, dengan banyaknya brown field (Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2011) yang ada di Indonesia maka eksplorasi untuk meningkatkan produksi dan mencari sistem hidrokarbon dari cekungan produksi yang telah ada adalah tujuan dari penyelidikan ini. Objek dari penelitian ini adalah data-data geokimia dan geologi yang terintegrasi menjadi sebuah penelitian tentang karakteristik batuan induk, kondisi geologi daerah penelitian dengan pendekatan kesebandingan regional dan dengan peneliti terdahulu. Fokus penelitian dilakukan pada Formasi Pematang yang sudah dikenal sebagai Formasi yang dapat menghasilkan hidrokarbon di Cekungan Sumatra Tengah, adanya paradigma dan strategi baru dalam studi sistem hidrokarbon ini maka penulis tertarik mengkonfirmasi parameter- parameter geokimia yaitu: tipe material asal, kekayaan dan kematangan batuan induk di daerah penelitian.

Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra

Tengah Dengan Parameter Tipe Material Asal, Kekayaan Dan

Kematangan

Reza Mohammad Ganjar Gani, Yusi Firmansyah, Nisa Nurul Ilmi

Abstrak

Fokus penelitian dilakukan pada Formasi Pematang yang sudah dikenal sebagai Formasi yang dapat

menghasilkan hidrokarbon di Cekungan Sumatra Tengah, adanya paradigma dan strategi baru dalam

studi sistem hidrokarbon ini maka penulis tertarik mengkonfirmasi parameter-parameter geokimia

yaitu: tipe material asal, kekayaan dan kematangan batuan induk di daerah penelitian.

Lokasi penelitian ini sendiri adalah Sub-cekungan Aman Utara yang terletak di Cekungan Sumatra

Tengah. Lapangan penyelidikan merupakan lapangan aktif dari salah satu perusahaan minyak besar

yang beroperasi di Indonesia. Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia dari batuan

inti. Contoh batuan sedimen berasal dari sumur-sumur eksplorasi, contoh batuan tersebut digunakan

untuk analisis TOC, evaluasi pirolisis batuan dan reflektansi vitrinit (Ro). Data-data geologi dan

geofisika digunakan sebagai analisis terhadap kondisi geologi yang berkembang di daerah penelitian

dikorelasikan dengan hasil analisis geokimia. Input data berupa data stratigrafi seperti top formasi

(kedalaman) Analisis yang dilakukan dalam evaluasi batuan induk meliputi potensi batuan induk, tipe

material organik dan kematangan, analisis ini dilakukan pada lima sumur eksplorasi, yaitu: sumur

SR-CAN, SR-KEL, SR-GUL, SR-PET dan SR-SID.

Analisis karakteristik minyak dilakukan pada sepuluh sumur produksi yaitu sumur P1 Formasi Duri,

sumur D1 Formasi Bangko, sumur D2 Formasi Menggala, sumur V1 Formasi Bangko, sumur R1

Formasi Bekasap, sumur U1 dan U2 Formasi Upper Sihapas, sumur Q1 Formasi Bekasap, sumur Q2

Formasi Duri dan sumur S1 Formasi Menggala. Formasi yang dapat berperan menjadi batuan induk

daerah penelitian selain Formasi Brown Shale adalah Formasi Lower Red Bed, hal tersebut terbukti

dengan analisis batuan induk dengan parameter potensi, tipe material organik dan kematangan pada

formasi ini menunjukkan kualitas yang cukup baik.

Kata kunci : Sub-cekungan Aman Utara, Formasi Brown Shale, Formasi Lower Red Bed.

PENDAHULUAN

Sistem hidrokarbon (petroleum system) sampai

saat ini merupakan hal yang masih sangat menarik

untuk dikaji, dengan banyaknya brown field

(Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral,

2011) yang ada di Indonesia maka eksplorasi untuk

meningkatkan produksi dan mencari sistem

hidrokarbon dari cekungan produksi yang telah ada

adalah tujuan dari penyelidikan ini.

Objek dari penelitian ini adalah data-data geokimia

dan geologi yang terintegrasi menjadi sebuah

penelitian tentang karakteristik batuan induk,

kondisi geologi daerah penelitian dengan

pendekatan kesebandingan regional dan dengan

peneliti terdahulu.

Fokus penelitian dilakukan pada Formasi

Pematang yang sudah dikenal sebagai Formasi

yang dapat menghasilkan hidrokarbon di

Cekungan Sumatra Tengah, adanya paradigma dan

strategi baru dalam studi sistem hidrokarbon ini

maka penulis tertarik mengkonfirmasi parameter-

parameter geokimia yaitu: tipe material asal,

kekayaan dan kematangan batuan induk di daerah

penelitian.

Page 2: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

LOKASI DAN DAERAH PENELITIAN

Lokasi penelitian ini sendiri adalah Sub-cekungan

Aman Utara yang terletak di Cekungan Sumatra

Tengah. Lapangan penyelidikan merupakan

lapangan aktif dari salah satu perusahaan minyak

besar yang beroperasi di Indonesia

Gambar 1. Lokasi penelitian Cekungan Sumatra

Tengah dan pada pembesaran adalah Sub-

cekungan Aman Utara (Indrawardana, 2007).

GEOLOGI REGIONAL

KERANGKA TEKTONIK CEKUNGAN

SUMATRA TENGAH

Terdapat dua pola struktur utama di Cekungan

Sumatra Tengah, yaitu pola-pola tua berumur

Paleogen yang cenderung berarah utara-selatan (N-

S) dan pola-pola muda berumur Neogen Akhir

yang berarah baratlaut-tenggara (NW-SE) (Eubank

dan Makki, 1981) (Gambar 2).

Gambar 2. Kerangka tektonik regional Cekungan

Sumatra Tengah (Eubank dan Makki, 1981).

Cekungan Sumatra Tengah merupakan cekungan

belakang busur (back-arc basin) yang berkembang

sepanjang tepi Paparan Sunda di baratdaya Asia

Tenggara. Cekungan ini terbentuk akibat

penunjaman Lempeng Samudra Hindia yang

bergerak relatif ke arah utara dan menyusup ke

bawah Lempeng Benua Asia yang aktif selama

Miosen. Geometri dari cekungan ini berbentuk

asimentri dengan bagian terdalam berada di

baratdaya dan melandai ke arah timur laut

(Mertosono dan Nayoan, 1974).

Menurut Heidrick dan Aulia (1993),

perkembangan tektonik selama Tersier dapat

dibagi menjadi empat fasa sebagai berikut

(Gambar 3 dan Gambar 4):

Page 3: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

Gambar 3. Peta tatanan tektonik regional

Cekungan Sumatra Tengah (Heidrick dan Aulia,

1996).

Episode Tektonik F0

Batuan Pra-Tersier di Cekungan Sumatra Tengah

terdiri dari lempeng benua dan samudera yang

berbentuk mosaik. Orientasi struktur pada batuan

dasar akan memberikan efek pada lapisan sedimen

Tersier yang menumpang di atasnya dan

selanjutnya akan mengontrol arah tarikan dan

pengaktifan ulang yang terjadi kemudian. Pola

struktur tersebut disebut sebagai elemen struktur

F0.

Episode Tektonik F1

Episode tektonik F1 berlangsung pada kala Eosen-

Oligosen (26-50 jtl), akibat dari tumbukan lempeng

Samudera Hindia terhadap lempeng Benua Asia

Tenggara sekitar 45 jtl., terbentuk suatu sistem

rekahan trans-tensional yang memanjang ke arah

selatan dari Cina bagian selatan menuju Thailand,

Malaysia, hingga Sumatra dan Kalimantan Selatan

(Heidrick dan Aulia, 1993). Perekahan ini

menyebabkan terbentuknya serangkaian separuh

graben di Cekungan Sumatra Tengah.

Separuh graben ini kemudian menjadi danau

tempat diendapkannya sedimen-sedimen dari

kelompok Pematang. Pada akhir episode F1 terjadi

peralihan dari perekahan menjadi penurunan

cekungan, ditandai oleh pembalikan struktur yang

lemah, denudasi dan pembentukan dataran

peneplain. Hasil dari erosi tersebut berupa

paleosoil yang diendapkan di atas Formasi Upper

Red Bed.

Episode Tektonik F2

Episode ini berlangsung pada Miosen Bawah-

Tengah (26-13 jtl). Pada awal episode ini terbentuk

sesar geser menganan (dextral) yang berarah utara-

selatan. Pada episode ini juga Cekungan Sumatra

Tengah mengalami transgresi dan pengendapan

dari kelompok Formasi Sihapas.

Episode Tektonik F3

Episode ini berlangsung pada kala Miosen Atas

hingga sekarang (13 jtl-sekarang). Pada awal

episode ini terjadi pengaturan kembali Lempeng

Indo-Australia. Di saat itu pulalah terjadi awal

pembentukan subduksi Sumatra-Jawa dan sistem

sesar geser serta busur vulkanisme Bukit Barisan.

Pada akhir dari F3 terjadi tektonik kompresi yang

membentuk struktur pembalikan raksasa, sesar

naik sepanjang jalur wrench fault (sesar geser)

yang terbentuk sebelumnya pada busur F0, sesar

F1 dan sesar geser berarah utara-baratlaut hingga

barat yang kemudian menjadi perangkap

hidrokarbon. Pada awal episode ini Cekungan

Sumatra Tengah mengalami regresi dan

pengendapan sedimen-sedimen dari Formasi

Petani. Pada episode ini juga diendapkan Formasi

Minas secara tidak selaras.

Page 4: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

Gambar 4. Diagram perkembangan tektonik

Tersier di Cekungan Sumatra Tengah (Heidrick

dan Aulia, 1996).

STRATIGRAFI REGIONAL DAERAH

PENELITIAN

Secara umum stratigrafi regional Cekungan

Sumatra Tengah tersusun atas beberapa unit

formasi, paling tua adalah batuan dasar (basement)

selanjutnya Kelompok Pematang selanjutnya

Kelompok Sihapas selanjutnya Formasi Telisa

selanjutnya Formasi Petani kemudian yang paling

muda Formasi Minas (Gambar 5).

Gambar 5. Kolom stratigrafi umum Cekungan

Sumatra Tengah (Eubank dan Makki, 1981).

Batuan Dasar (Basement)

Batuan dasar berumur Pra-Tersier ini berfungsi

sebagau landasan Cekungan Sumatra Tengah, yang

dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama dengan

kedudukan hampir paralel berarah utara-baratlaut

hingga baratlaut. Kelompok-kelompok yang

dimaksud adalah:

a. Malacca Terrane

Kelompok ini tersusun atas kuarsit,

batugamping kristalin, sekis dan serpih yang

berumur 295 Ma, 112-122 Ma dan 150 Ma,

yang diintrusi oleh pluton granodiorit dan

granit berumur Jura. Kelompok ini dijumpai

pada pantai bagian timur dan timurlaut

Cekungan Sumatra Tengah.

b. Mutus Assemblage (kelompok Mutus)

Kelompok ini merupakan zona suture yang

memisahkan Quartzite Terrane dan Deep-

Water Assemblage. Kumpulan Mutus ini

terletak di sebelah baratdaya dari dataran

pantai dan terdiri dari batuan ofiolit dan

sedimen laut dalam.

c. Graywacke Terrane

Page 5: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

Kelompok ini terletak di bagian baratdaya dari

Kelompok Mutus yang tersusun atas

greywacke, batulumpur kerikilan dan kuarsit.

Grup Pematang

Kelompok Pematang merupakan batuan induk

sumber hidrokarbon utama bagi perangkap-

perangkap minyak bumi yang ada di Cekungan

Sumatra Tengah dan merupakan sedimen tertua

berumur Paleogen (24-65 jtl). Sedimen syn-rift

Formasi Pematang ini diendapkan secara tidak

selaras pada separuh graben yang berarah utara-

selatan dan terdiri dari sedimen kipas aluvial,

sungai, delta dan danau.

Menurut Heidrick dan Aulia (1993), dengan

ditemukannya fosil ostracoda, gastropoda air

tawar, spora, polen, dinoflagelata, alga dan dern

debris pada contoh batuan inti dan serbuk bor di

semua palung utama, serta dengan tidak hadirnya

sama sekali foraminifera memberikan indikasi

lingkungan pengendapan non-marin ada suasana

lembab dan tropis. Batuan yang mendominasi

adalah fanglomerat, konglomerat, batupasir,

batulanau, batulumpur, batulempung dan serpih.

Kelompok Pematang dibagi menjadi ke dalam tiga

formasi, mulai dari yang tertua adalah:

a. Formasi Lower Red Bed

Formasi ini terdiri dari batulempung,

batulanau, batupasir arkose dan konglomerat

yang diendapkan pada lingkungan darat

dengan sistem pengendapan kipas alluvial dan

berubah secara lateral menjadi lingkungan

sungai dan danau. Formasi ini memiliki

ketebalan sekitar 3000 kaki.

b. Formasi Brown Shale

Formasi ini terdiri dari serpih berlaminasi baik,

warna coklat sampai hitam dan kaya akan

material organik ciri dari lingkungan

pengendapan danau dengan kondisi air yang

tenang. Formasi dengan ketebalan lebih dari

600 kaki ini diyakini sebagai penghasil minyak

dan gas bumi yang terdapat di Cekungan

Sumatra Tengah.

c. Formasi Upper Red Bed

Formasi ini terdiri dari batupasir, konglomerat

dan serpih merah kehijauan yang diendapkan

di lingkungan danau.

LANDASAN TEORI

Batuan Induk

Secara umum pembentukan minyak bumi terjadi

karena penumpukan zat organik terutama plankton

pada dasar laut, dan tertimbun dengan sedimen

halus dalam keadaan reduksi, sehingga terawetkan.

Hal ini hanya terjadi di cekungan sedimen yang

terdapat pada suatu ambang dari laut terbuka,

dengan sedimentasi yang cepat, dibarengi dengan

penurunan. Setelah itu kita mendapatkan suatu urut

– urutan batuan serpih yang kaya akan zat organik

dan berwarna hitam yang disebut batuan induk.

Waples (1985) membagi batuan induk mejadi tiga

jenis, yaitu:

1. Batuan induk efektif

Batuan sedimen yang telah membentuk dan

mengeluarkan hidrokarbon.

2. Mungkin batuan induk

Batuan sedimen yang potensinya belum

dievaluasi, tetapi mempunyai kemungkinan

untuk membentuk dan mengeluarkan

hidrokarbon.

3. Batuan induk potensial

Batuan sedimen pra-matang yang diketahui

dapat membentuk dan mengeluarkan

hidrokarbon apabila tingkat kematangan

termalnya cukup tinggi (mencapai oil-

window/jendela minyak).

Untuk menentukan batuan termasuk ke dalam

batuan induk ada beberapa parameter yang harus

dipenuhi oleh batuan tersebut, yaitu:

a. Kekayaan material organik.

b. Tipe material organik.

c. Kematangan material organik.

Kekayaan Material Organik

Jumlah kandungan material organik dalam batuan

induk merupakan aspek penting untuk dievaluasi.

Konsentrasi minimum material organik yang hadir

dalam batuan harus dipenuhi agar dapat berubah

menjadi hidrokarbon dan hidrokarbon tersebut

dapat dikeluarkan melalui migrasi primer. Selain

itu, jumlah minimum material organik harus

dipenuhi untuk suatu ketebalan dan pelamparan

batuan tertentu, agar jumlah ekonomis hidrokarbon

tercapai. Peters dan Cassa (1994) menggunakan

hasil analisis TOC dan pirolisis Rock-Eval sebagai

Page 6: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

parameter penentu potensi atau kekayaan material

organik (Tabel 1).

Tabel 1 Parameter geokimia dalam analisis

potensi dan kekayaan material organik pada batuan

induk pra-matang (Peters dan Cassa, 1994).

Potensi

Hidrokarbon

Material Organik Bitumenc HK

TOC Pirolisis Rock-Eval (% berat) (ppm) (ppm)

(% berat) S1a S2

b

Buruk 0-0,5 0-0,5 0-2,5 0-0,05 0-500 0-300

Sedang 0,5-1 0,5-1 2,5-5 0,05-0,10 500-1000 300-600

Baik 1-2 1-2 5-10 0,10-0,20 1000-2000 600-1200

Sangat Baik 2-4 2-4 10-20 0,20-0,40 2000-4000 1200-2400

Istimewa >4 >4 >20 >0,40 >4000 >2400

aS1 hidrokarbon bebas (migas) yang dinyatakan dalam mg HK/g batuan (data pirolisis).

bS2 potensi hidrokarbon yang dapat dikeluarkan, dalam mg HK/g batuan (data pirolisis).

c Bitumen, hasil analisis C15+ extracable organic matter (EOM).

Tipe Material Organik

Penentuan tipe material organik merupakan hal

yang sama pentingnya dengan evaluasi kekayaan

material organik. Hal tersebut berdasarkan pada

kenyataan bahwa perbedaan tipe material organik

akan menghasilkan fraksi hidrokarbon berbeda.

Hasil analisis geokimia dari data pirolisis, dapat

dijadikan parameter dalam menentukan tipe

kerogen dan produk hidrokarbon yang akan

dihasilkan pada puncak kematangan (Peters dan

Cassa, 1994). Parameter data pirolisis yang

digunakan untuk penentuan tipe hidrogen adalah

indeks hidrogen (HI) dan rasio antara S2 terhadap

S3 (Tabel 2).

Diagram van Krevelen, pada awalnya digunakan

untuk menentukan tipe kerogen dalam batubara

berdasarkan perbandingan atom H/C dengan O/C,

kemudian dikembangkan untuk menentukan tipe

batubara dan penyebaran kerogen dalam batuan

sedimen (Tissot dan Welte, 1984). Selanjutnya,

diagram van Krevelen digunakan Peters dan Cassa

(1994) untuk menentukan tipe kerogen dan

kecenderungan produk yang dihasilkan

berdasarkan rasio indeks hidrogen (HI) dan indeks

oksigen (OI) yang diperoleh dari data pirolisis.

Tabel 2. Parameter penentuan tipe kerogen dan

produk yang dihasilkan pada puncak kematangan

(Peters dan Cassa, 1994).

Tipe

Kerogen

HI

(mg

HC/g

TOC)

S2/S3

Produk Utama

pada Puncak

Kematangan

Minyak

I > 600 >15 Minyak

II 300 –

600

10 –

15

Minyak

II / III 200 –

300

5 – 10 Minyak dan Gas

III 50 –

200

1 – 5 Gas

IV < 50 < 1 Tidak Ada

Kematangan Material Organik

Evolusi termal (pematangan) kerogen dalam

batuan induk secara fisika dan kimia sama dengan

proses pembatubaraan (coalification). Peningkatan

Page 7: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

pembebanan sedimen akan menaikkan suhu secara

progresif, akibatnya akan terjadi perubahan fisika

dan kimia dari lignit menjadi bitumen yang pada

akhirnya akan membentuk antrasit (Thomas,

2002).

Kematangan diperlukan untuk mengetahui apabila

suatu batuan induk telah memasuki jendela

minyak. Batas jendela minyak ini sangat

tergantung pada tipe material organiknya. Pada

umumnya jendela minyak dicapai pada nilai Ro

sekitar 0,6%. Penentuan kematangan dari fraksi

bitumen didapat dari data kromatografi gas (GC)

dan kromatografi gas spektrometri massa (GC-

MS).

Kompilasi hasil analisis reflektansi vitrinit, nilai

Tmaks dan indeks produksi data pirolisis Rock-Eval,

dapat diaplikasikan untuk mengetahui tingkat

kematangan suatu batuan. Parameter geokimia

dalam penentuan fasa kematangan termal menurut

Peters dan Cassa (1994) dapat dilihat pada Tabel 3

berikut ini:

Tabel 3. Parameter geokimia dalam penentuan fasa kematangan termal (Peters dan Cassa, 1994).

Stadium

Kematangan

Termal Migas

Kematangan Genesa

Ro

(%)

Tmaks

(º C) TAI

Bitumen Bitumen

(mg/g

batuan)

PI

TOC

Belum Matang 0,2 - 0,6 < 435 1,5 - 2,6 < 0,05 < 50 < 0,10

Awal Matang 0,6 -

0,65

435 - 445 2,6 - 2,7 0,05 - 0,10 50 - 100 0,1 - 0,15

Puncak 0,65 -

0,9

445 - 450 2,7 - 2,9 0,10 - 0,25 150 - 250 0,25 - 0,4

Akhir 0,9 -

1,35

450 - 470 2,9 - 3,3 - - > 0,40

Lewat Matang > 1,35 > 470 > 3,3 - - -

Kerogen

Kerogen merupakan bagian material organik dalam

batuan sedimen yang tidak dapat larut dalam

pelarut organik biasa (Waples, 1985), sedangkan

bagian yang larut disebut dengan bitumen.

Kerogen tidak larut karena molekulnya berukuran

besar.

Kerogen terdiri atas partikel yang berbeda-beda

yang disebut maseral, suatu terminologi yang

diambil dari petrologi batubara. Maseral adalah

“mineral organik”, hubungannya terhadap kerogen

sama dengan hubungan mineral terhadap batuan.

Kerogen di dalam batuan sedimen tertentu terdiri

atas banyak partikel yang seringkali berasal dari

berbagai sumber, jadi hanya sedikit sekali kerogen

yang terdiri atas satu macam maseral saja. Waples

(1985) membagi kerogen menjadi empat tipe

berdasarkan jenis maseralnya (Tabel 4), dan van

Krevelen membagi tipe kerogen berdasarkan rasio

hidrogen dan oksigen (Gambar 6).

Page 8: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

Tabel 4. Tipe kerogen (Waples, 1985).

MASERAL TIPE

KEROGEN ASAL MATERIAL ORGANIK

Alginit I Alga air tawar

Eksinit II Polen, Spora

Kutinit II Lapisan lilin tanaman

Resinit II Resin tanaman

Liptinit II Lemak tanaman, alga laut

Vitrinit III Material tumbuhan tinggi (kayu, selulosa)

Inertinit IV Arang, material tersusun-ulang yang teroksidasi

Gambar 6. Diagram van Krevelen

(www.aapgbull.geoscienceworld.org)

Berdasarkan analisis kimia, Institut Francais du

Petrole (IFP) membagi kerogen menjadi empat

tipe yaitu:

1. Kerogen tipe I

Kerogen tipe ini sangat jarang ditemukan

karena berasal dari alga danau. Kehadiran

kerogen tipe ini terbatas pada danau yang

anoksik dan jarang didapatkan pada

lingkungan laut. Kerogen tipe ini memiliki

kapasitas yang tinggi untuk menghasilkan

hidrokarbon cair.

2. Kerogen tipe II

Kerogen tipe ini berasal dari beberapa sumber,

yaitu alga laut, polen dan spora, lilin dari daun,

dan resin fosil. Selain itu, kerogen

ini juga mengandung lemak dari sel bakteri.

Berbagai macam sumber tersebut

dikelompokkan ke dalam satu tipe karena

sama-sama mempunyai kapasitas yang baik

untuk menghasilkan minyak. Kerogen tipe II

pada umumnya ditemukan dalam batuan

sedimen yang diendapkan di laut pada kondisi

reduksi.

3. Kerogen tipe III

Kerogen tipe ini terdiri dari material organik

darat yang hanya sedikit mengandung lemak

atau zat lilin. Selulosa dan lignin adalah

penyumbang terbesar pada kerogen tipe III.

Kerogen tipe III mempunyai kapasitas

produksi hidrokarbon cair lebih rendah

daripada kerogen tipe II, dan jika tanpa

campuran kerogen tipe II biasanya kerogen

tipe III ini menghasilkan gas. Kerogen tipe III

ini kaya akan struktur aromatik, dengan O/C

cukup tinggi dan H/C yang relatif rendah,

dapat dibandingkan dengan vitrinit dari

batubara.

4. Kerogen tipe IV

Kerogen tipe ini terdiri dari rombakan organik

dan material yang teroksidasi yang berasal dari

berbagai sumber. Kerogen ini biasanya tidak

memiliki potensi menghasilkan hidrokarbon.

Komposisi kerogen dipengaruhi oleh proses

pematangan termal (katagenesis dan metagenesis)

yang akan mengubah kerogen. Kerogen berubah

Page 9: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

secara progresif selama proses pembebanan

sedimen (burial) menjadi molekul yang lebih kecil,

pemanasan bawah permukaan menyebabkan

terjadinya reaksi kimia yang memecahkan

sebagian fragmen kerogen menjadi molekul

minyak atau gas.

Tahapan perubahan kerogen tersebut menurut

Bordenave (1993) adalah:

1. Diagenesis awal

Proses ini ditandai oleh hilangnya nitrogen dan

sulfur pada kedalaman beberapa meter.

2. Diagenesis

Proses ini ditandai oleh hilangnya oksigen,

karbon mono- dan dioksida, serta sejumlah

kecil material yang mengandung oksigen pada

suatu zona kedalaman dengan temperatur di

bawah 70 - 80°C.

3. Katagenesis

Proses ini ditandai oleh hilangnya semua

hidrogen ke dalam bentuk hidrokarbon:

minyak berat terbentuk lebih dulu, kemudian

hidrokarbon yang lebih ringan, kondensasi,

dan pada akhirnya terbentuk gas kering.

4. Metagenesis

Proses ini terjadi pada sedimen yang dalam,

pada temperatur lebih dari 150°C. Pada tahap

ini terjadi penyusunan kembali fraksi aromatik.

Produk yang dihasilkan adalah metana,

hidrogen sulfida, dan nitrogen.

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada Sub-cekungan Aman

Utara, Cekungan Sumatra Tengah. Penelitian

evaluasi batuan induk terfokus pada Formasi

Brown Shale (Kelompok Pematang). Ada lima

buah sumur untuk analisis dan evaluasi batuan

induk, pada beberapa sumur dibahas juga formasi-

formasi dari Kelompok Pematang lainnya seperti

Formasi Lower Red Bed dan Formasi Upper Red

Bed.

Pada umumnya data geokimia yang digunakan

berupa data evaluasi pirolisis batuan (Rock-Eval

pyrolysis), kandungan material organik (%TOC),

analisis reflektansi vitrinit (Ro%).

Potensi Batuan Induk

Analisis potensi batuan induk mengacu kepada

klasifikasi potensi dan kekayaan material organik

pada batuan induk pra-matang oleh Peters dan

Cassa, 1994. Analisis menggunakan metode TOC

dan evaluasi pirolisis batuan.

Hasil analisis potensi dan kekayaan batuan induk

dapat dilihat pada Tabel IV.1 untuk parameter TOC

dan Tabel 5. untuk parameter evaluasi pirolisis

batuan berikut ini:

Tabel 5 Analisis potensi dan kekayaan material organik pada batuan induk pra-matang

dengan parameter TOC (Peters dan Cassa, 1994).

SUMUR FORMASI LITOLOGI TOC (wt %) KLASIFIKASI

SR-CAN

Lower Red Bed

Batupasir,

batulempung dan

serpih

0,31 – 4,63 Buruk - istimewa

Brown Shale Batulempung dan

serpih 0,30 – 6,67

Sedang – baik

sekali

SR-KEL

Brown Shale Serpih dan lanau 0,69 – 5,8 Sedang - istimewa

Upper Red Bed

Batupasir, serpih,

lanau dan

batulumpur

0,05 – 1,5 Buruk - baik

SR-GUL Brown Shale Serpih 0,35 – 5,42 Buruk - istimewa

Page 10: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

Upper Red Bed Serpih, batupasir

dan lanau 0,18 – 3,93

Buruk – sangat

baik

SR-PET

Lower Red Bed

Batulempung,

serpih, lanau,

batupasir dan

batulumpur

0,19 – 4,45 Buruk – istimewa

Brown Shale

Batulempung,

serpih, lanau dan

batupasir

3,21 – 6,06 Baik – istimewa

Upper Red Bed Serpih, lanau dan

batupasir 0,19 – 2,17 Buruk – baik

SR-SID Brown Shale Serpih dan lanau 0,9 – 4,29 Cukup – istimewa

Tabel 6 Analisis potensi dan kekayaan material organik pada batuan induk pra-matang

dengan parameter evaluasi pirolisis batuan (Peters dan Cassa, 1994).

SUMUR FORMASI S1 + S2

(mgHC/g )

S2

(mgHC/g ) KLASIFIKASI

SR-CAN

Lower Red Bed 0,9 – 58,12 21,12 Sedang – baik sekali

Brown Shale 0,76 – 40,77 18,83 Sedang – baik sekali

SR-KEL

Brown Shale 2,64 – 39 4,9 Sedang - istimewa

Upper Red Bed 0,9 – 2,9 1,1 Buruk - baik

SR-GUL

Brown Shale 0,35 – 5,42 8,42 Baik

Upper Red Bed 0,18 – 3,93 4,6 Cukup

SR-PET

Lower Red Bed 0,98 – 11,26 3,65 Buruk – istimewa

Brown Shale 3,10 – 39,55 9,55 Baik – istimewa

Upper Red Bed 0,62 – 8,93 7,6 Buruk – baik

SR-SID Brown Shale 3,10 – 39,55 9,55 Cukup – istimewa

Hasil analisis menunjukkan secara umum potensi

dan kekayaan material organik pada formasi-

formasi di daerah penelitian cukup baik, khusus

untuk Formasi Brown Shale di beberapa sumur

terdapat klasifikasi yang istimewa, dan bila melihat

potensi untuk menghasilkan hidrokarbon yaitu

Page 11: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

parameter S1+S2, formasi yang memiliki kualitas

yang baik adalah Formasi Brown Shale. Maka

dapat diasumsikan di daerah penelitian klasifikasi

batuan induk yang baik dalam hal potensi kekayaan

dan kemampuan untuk menghasilkan hidrokarbon

adalah Formasi Brown Shale.

Kualitas Material Organik

Analisis kualitas material organik menggunakan

perbandingan nilai indeks hidrogen (HI) dan

indeks oksigen (OI) juga evaluasi pirolisis batuan

(S2/S3) untuk penentuan tipe kerogen dan produk

yang dihasilkan pada puncak kematangan dengan

klasifikasi yang dikemukakan oleh Peters dan

Cassa, 1994.

Hasil analisis untuk tipe material organik tiap-tiap

formasi pada sumur-sumur di daerah penelitian

dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini:

Tabel 7 Analisis penentuan tipe kerogen dan produk yang dihasilkan dengan metode

evaluasi pirolisis batuan (Peters dan Cassa, 1994).

SUMUR FORMASI HI

(mg HC/g TOC)

S2/S3 TIPE PRODUK

SR-CAN

Lower Red Bed 125 – 564 7,93 II Minyak

Brown Shale 230 – 667 14,59 I dan II Minyak

SR-KEL

Brown Shale 81 – 382 6 II dan III Minyak

dan gas

Upper Red Bed 69 – 237 1 II dan III Gas

SR-GUL

Brown Shale 125 – 564 8,66 II dan III Minyak

dan gas

Upper Red Bed 11 – 343 5,47 II dan III Minyak

dan gas

SR-PET

Lower Red Bed 55 – 556 1,71 II dan III Gas

Brown Shale 101 – 434 8,1 II dan III Minyak

dan gas

Upper Red Bed 96 – 269 3,14 II dan III Gas

SR-SID Brown Shale 166 – 528 5,93 II dan III Minyak

dan gas

Hasil analisis penentuan tipe kerogen dan produk

yang dihasilkan seperti terlihat pada tabel di atas

menunjukkan bahwa Formasi Brown Shale adalah

formasi dengan tipe kerogen yang mempunyai

kecenderungan menghasilkan minyak lebih besar

dibandingkan dengan Formasi Lower Red Bed

maupun Formasi Upper Red Bed, hal tersebut

terlihat dari dominansi tipe kerogen tipe II dan

Page 12: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

rasio S2/S3 yang mempunyai kecenderungan

utama menghasilkan minyak.

Analisis juga dilakukan dengan membuat plot

silang antara indeks hidrogen dan indeks oksigen

pada diagram van Krevelen untuk melihat tipe-tipe

kerogen dari tiap-tiap formasi yang ada (Gambar 7,

8, 9, 10), terkecuali untuk sumur SR-SID plot tidak

dapat dilakukan dikarenakan ketiadaan data indeks

oksigen.

Gambar 7 Plot silang antara indeks hidrogen (HI) dan indeks oksigen

(OI) menunjukan tipe kerogen sumur SR-CAN (van

Krevelen, 1997 dalam Hunt, 1996).

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

0 50 100 150

HI

(mg H

C/g

TO

C)

OI (mg Co2/g TOC)

Diagram van Krevelen

Brown Shale

Lower Red Bed

Page 13: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

Gambar 8 Plot silang antara indeks hidrogen (HI) dan indeks

oksigen (OI) menunjukan tipe kerogen sumur SR-KEL

(van Krevelen, 1997 dalam Hunt, 1996).

Gambar 9 Plot silang antara indeks hidrogen (HI) dan indeks

oksigen (OI) menunjukan tipe kerogen sumur SR-GUL

(van Krevelen, 1997 dalam Hunt, 1996).

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

0 200 400 600

HI

(mg H

C/g

TO

C)

OI (mg Co2/g TOC)

Diagram van Krevelen

Brown Shale

Upper Red Bed

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

0 100 200 300

HI

(mg H

C/g

TO

C)

OI (mg Co2/g TOC)

Diagram van Krevelen

Brown Shale

Upper Red Bed

Page 14: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

.

Gambar 10 Plot silang antara indeks hidrogen (HI) dan indeks

oksigen (OI) menunjukan tipe kerogen sumur SR-PET

(van Krevelen, 1997 dalam Hunt, 1996).

Kematangan Material Organik

Analisis kematangan dilakukan menggunakan nilai

suhu maksimum (Tmax) dan reflektansi vitrinit

(Ro) menurut Peters dan Cassa, 1994.

Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel IV.4 dan

Tabel IV.5 berikut ini:

Tabel 8 Analisis penentuan fasa kematangan termal dengan menggunakan Tmax

(Peters dan Cassa, 1994).

SUMUR FORMASI Tmax (⁰C) KLASIFIKASI

SR-CAN

Lower Red Bed 395 - 441 Belum matang – awal matang

Brown Shale 432 - 441 Awal matang - matang

SR-KEL

Brown Shale 338 - 450 Belum matang – puncak matang

Upper Red Bed 366 - 431 Belum matang - matang

SR-GUL

Brown Shale 420 - 458 Belum matang – akhir matang

Upper Red Bed 329 - 457 Belum matang – awal matang

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

0 200 400 600

HI

(mg H

C/g

TO

C)

OI (mg Co2/g TOC)

Diagram van Krevelen

Upper Red Bed

Brown Shale

Lower Red Bed

Page 15: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

SR-PET

Lower Red Bed 442 - 460 Awal matang – lewat matang

Brown Shale 434 - 447 Belum matang – puncak matang

Upper Red Bed 409 - 446 Belum matang – puncak matang

SR-SID Brown Shale 434 - 447 Belum matang – puncak matang

Secara umum hasil dari analisis kematangan

dengan parameter Tmax pada tiap-tiap sumur dan

formasi di daerah penelitian menunjukkan bahwa

Formasi Brown Shale memiliki kualitas

kematangan yang lebih baik daripada Formasi

Lower Red Bed dan Formasi Upper Red Bed, hal

itu terlihat pada klasifikasi puncak matang yang

mendominasi kualitas kematangan pada Formasi

Brown Shale.

Tabel 9 Analisis penentuan fasa kematangan termal dengan menggunakan metode

reflektansi vitrinit (Peters dan Cassa, 1994).

SUMUR FORMASI Ro (%) KLASIFIKASI

SR-CAN

Lower Red Bed - -

Brown Shale 0,24 – 0,70 Belum matang - matang

SR-KEL

Brown Shale 0,57 – 1,25 Belum matang – lewat matang.

Upper Red Bed 0,42 – 0,48 Belum matang - matang

SR-GUL

Brown Shale 0,57 – 1,27 Belum matang – lewat matang

Upper Red Bed 0,53 – 0,84 Belum matang – matang

SR-PET

Lower Red Bed 0,48– 1,39 Awal matang – lewat matang

Brown Shale 0,54 – 0,93 Belum matang – puncak matang

Upper Red Bed 0,41 – 0,54 Belum matang – puncak matang

SR-SID Brown Shale 0,54 – 0,93 Belum matang – lewat matang

Nilai reflektansi vitrinit untuk sumur SR-CAN

kurang dapat dipercaya karena adanya gejala

supresi untuk tipe kerogen yang mempunyai nilai

indeks hidrogen yang cukup tinggi. Secara umum

Page 16: Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.36.pdf · Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

hasil analisis menggunakan reflektansi vitrinit

untuk tiap-tiap sumur dan formasi di daerah

penelitian menunjukkan kualitas kematangan yang

baik khususnya untuk Formasi Brown Shale karena

mendominasi kualitas kematangan puncak matang

dibandingkan dengan Formasi Lower Red Bed dan

Formasi Upper Red Bed.

KESIMPULAN

Pada umumnya Formasi Brown Shale adalah

formasi yang baik dalam parameter potensi,

kualitas dan kematangan batuan induk.

DAFTAR PUSTAKA

Bordenave, M.L., (1993): Applied Petroleum

Geochemistry, Edition Technip, hlm

101 – 107.

Eubank, R.T., dan Makki, A.C., (1981): Structural

Geology of the Central SumatraBack-

arc Basin. Proceedings 10th Annual

Convention, Indonesian Petroleum

Association, Jakarta, hlm. 153-196.

ten Haven, H.L., dan Schiefelbein, C.F., (1995).

The Petroleum Systems of Indonesia,

Proc. Of Indonesian Petroleum

Association, 24th Annual Convention,

Jakarta, IPA.

Heidrick, T.L., dan Aulia, K., (1993): A Structural

and Tectonic Model and Tectonic

Model of The Coastal Plains Block,

Central Sumatra Basin, Indonesia,

hlm 286 – 307.

Hunt. J.M., (1996) : Petroleum Geochemistry and

Geology, 2nd edition, New York,

W.H. Freeman and Company, hlm

273 – 351.

Hwang, R.J., Heidrick, T., Mertani, B., dan

Qivayanti, (2002): Correlation and

Migration Study of North Central

Sumatra Oils, Organic Geochemistry

33, hlm 1361 – 1379.

Indrawardana., (2007): Perkembangan Struktur

Paleogen di Sub-cekungan Aman

Utara, Cekungan Sumatra Tengah.

Tesis S-2, Program Studi Teknik

Geologi, ITB.

Lambiase, J.J., and Bosworth, W (1995): Structural

controls on sedimentation in

continental rifts, in Lambiase, J.J.,

ed., Hydrocarbon habitat in rift

basins: Geological Society Special

Publication 80, hlm. 117-144.

Mertosono, S., dan Nayoan, G.A.S., (1974): The

Tertiary Basinal Area of Central

Sumatra, Proceedings Indonesian

Petroleum Association, Third Annual

Convention, hlm 63 -75.

Peters, K.E., dan Cassa, M.R., (1994): Applied

Source Rock Geochemistry, The

Petroleum System – From Source to

Trap, American Association of

Petroleum Geologists, hlm. 93 – 117.

Peters, K.E., dan Moldowan, J.M., (1993): The

Biomarker Guide: Interpreting

Molecular Fossils in Petroleum and

Ancient Sediments, Prentice-Hall.

Peters, K.E., dan Moldowan, J.M., (2005): The

Biomarker Guide Volume 1:

Biomarkers and Isotopes in the

Environment and Human History,

Cambridge University Press, 269.

Satyana, A.H., 2004. Petroleum Geochemistry:

Essential Concepts and Methods for

Hydrocarbon Exploration and

Production. Pre-convention Short

Course of 33rd Annual Convention,

Ikatan Ahli Geologi Indonesia

(IAGI), Bandung, hlm 59-134.

Santika, R., (2011) : Evaluasi dan Korelasi Batuan

Induk dan Minyak Bumi Sub-

cekungan Balam, Cekungan Sumatra

Tengah. Skripsi Program Studi

Teknik Geologi, Fakultas Teknik

Geologi Unpad.