112
Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP) 2011 Disusun oleh: Dengan dukungan: Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Decentralization Support Facility 67992 Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized

Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

Laporan Hasil

Evaluasi Daerah Otonom

Hasil Pemekaran (EDOHP)

2011

Disusun oleh: Dengan dukungan:

Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri

Decentralization Support Facility

67992P

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

ed

Page 2: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

Semua foto yang ada di halaman sampul merupakan Hak Cipta © Bank Dunia, mohon untuk tidak

digunakan tanpa ijin.

Laporan ini dicetak pada Bulan November 2011

Page 3: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

Laporan Hasil

Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran

(EDOHP)

2011

Disusun oleh:

Direktorat Jenderal Otonomi Daerah

Kementerian Dalam Negeri

Dengan dukungan:

Page 4: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)
Page 5: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kementerian Dalam Negeri telah menyelesaikan

Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP).

yang panjang sejak awal tahun 2010, melalui rangkaian kegiatan persiapan, penyusunan instrumen, pengumpulan

data, analisis dan penulisan laporan. Hasil evaluasi ini sudah disampaikan secara resmi

Pemerintah Daerah dan masyarakat pada acara Peringatan Hari Otonomi Daerah Tahun 2011 tanggal 25 April

2011 di Istana Bogor. Selanjutnya, hasil EDOHP ini juga sudah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri

No. 120 – 277 Tahun 2011 tentang Penetapan Peringkat Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom Hasil

Pemekaran Tahun 1999 sampai dengan 2009.

Latar belakang dilaksanakannya EDOHP adalah untuk melengkapi instrumen evaluasi terhadap pemerintahan

daerah yang telah diatur sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Melalui

ditetapkanlah mekanisme pelaksanaan EDOHP. Tujuan utama EDOHP adalah untuk mengevaluasi dan memetakan

kinerja seluruh daerah otonom hasil peme

Hasil evaluasi ini merupakan sumber informasi yang sangat bernilai bagi Pemerintah khususnya Keme

Dalam Negeri dalam menyempurnakan kebijakan mengenai pemerintahan daerah terutama yang berkenaan

dengan mekanisme pembentukan daerah otonom baru. Selain itu, hasil evaluas

pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dan program pembinaan dan pengawasan yang lebih optimal bagi

seluruh daerah otonom sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan

Untuk itu kami mengucapkan selamat dan terima kasih kepada

bersedia menjadi Tim Evaluator EDOHP

juga kepada pimpinan dan staf Direktorat

Direktorat Jenderal Otonomi Daerah yang telah bekerja keras menyelesaikan kegiatan ini

Support Facility (DSF), kami juga mengucapkan terima kasih atas

kerjasama yang baik yang telah terjalin selama ini.

Akhirnya kami berharap agar Laporan EDOHP ini

kebijakan otonomi daerah yang lebih

khususnya cita-cita otonomi daerah, terutama terwujudnya masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera, melalui

pemberian pelayanan publik yang lebih baik, dan meningkatnya daya saing daerah

KEMENTERIAN DALAM NEGERI

REPUBLIK INDONESIA

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kementerian Dalam Negeri telah menyelesaikan

Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP). Laporan evaluasi ini dihasilkan dari sebuah proses evaluasi

melalui rangkaian kegiatan persiapan, penyusunan instrumen, pengumpulan

data, analisis dan penulisan laporan. Hasil evaluasi ini sudah disampaikan secara resmi kepada Pemerintah,

aerah dan masyarakat pada acara Peringatan Hari Otonomi Daerah Tahun 2011 tanggal 25 April

2011 di Istana Bogor. Selanjutnya, hasil EDOHP ini juga sudah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri

1 tentang Penetapan Peringkat Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom Hasil

engan 2009.

Latar belakang dilaksanakannya EDOHP adalah untuk melengkapi instrumen evaluasi terhadap pemerintahan

daerah yang telah diatur sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21

ditetapkanlah mekanisme pelaksanaan EDOHP. Tujuan utama EDOHP adalah untuk mengevaluasi dan memetakan

eluruh daerah otonom hasil pemekaran sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2009.

erupakan sumber informasi yang sangat bernilai bagi Pemerintah khususnya Keme

Dalam Negeri dalam menyempurnakan kebijakan mengenai pemerintahan daerah terutama yang berkenaan

dengan mekanisme pembentukan daerah otonom baru. Selain itu, hasil evaluasi ini juga akan menjadi dasar

rtimbangan dalam merumuskan kebijakan dan program pembinaan dan pengawasan yang lebih optimal bagi

seluruh daerah otonom sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya masing-masing.

Untuk itu kami mengucapkan selamat dan terima kasih kepada para pakar/akademisi/pengamat yang telah

dia menjadi Tim Evaluator EDOHP. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang mendalam kami sampaikan

Direktorat Peningkatan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah (PKEKD)

yang telah bekerja keras menyelesaikan kegiatan ini. Kepada

Support Facility (DSF), kami juga mengucapkan terima kasih atas sumbangan pemikiran, dukung

kerjasama yang baik yang telah terjalin selama ini.

aporan EDOHP ini bisa memberikan sumbangan positif terhadap

yang lebih baik, demi tercapainya cita-cita bangsa dan Negara Republik Indonesia,

cita otonomi daerah, terutama terwujudnya masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera, melalui

pemberian pelayanan publik yang lebih baik, dan meningkatnya daya saing daerah.

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kementerian Dalam Negeri telah menyelesaikan

Laporan evaluasi ini dihasilkan dari sebuah proses evaluasi

melalui rangkaian kegiatan persiapan, penyusunan instrumen, pengumpulan

kepada Pemerintah,

aerah dan masyarakat pada acara Peringatan Hari Otonomi Daerah Tahun 2011 tanggal 25 April

2011 di Istana Bogor. Selanjutnya, hasil EDOHP ini juga sudah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri

1 tentang Penetapan Peringkat Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom Hasil

Latar belakang dilaksanakannya EDOHP adalah untuk melengkapi instrumen evaluasi terhadap pemerintahan

daerah yang telah diatur sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi

No. 21 Tahun 2010

ditetapkanlah mekanisme pelaksanaan EDOHP. Tujuan utama EDOHP adalah untuk mengevaluasi dan memetakan

erupakan sumber informasi yang sangat bernilai bagi Pemerintah khususnya Kementerian

Dalam Negeri dalam menyempurnakan kebijakan mengenai pemerintahan daerah terutama yang berkenaan

i ini juga akan menjadi dasar

rtimbangan dalam merumuskan kebijakan dan program pembinaan dan pengawasan yang lebih optimal bagi

para pakar/akademisi/pengamat yang telah

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang mendalam kami sampaikan

Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah (PKEKD) pada

. Kepada Decentralization

dukungan pendanaan dan

memberikan sumbangan positif terhadap penyusunan

cita bangsa dan Negara Republik Indonesia,

cita otonomi daerah, terutama terwujudnya masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera, melalui

Page 6: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................................................................... i

Daftar Isi ........................................................................................................................................................................ ii

Daftar Istilah .................................................................................................................................................................. v

Summary ....................................................................................................................................................................... vi

Ringkasan ..................................................................................................................................................................... vii

Bab I Pendahuluan ......................................................................................................................................................... 1

Bab II Kerangka Pemikiran ............................................................................................................................................. 4

2.1 Tinjauan Teoritik dari Konsep Desentralisasi dan Pemekaran Wilayah .............................................................. 4

2.2 Isu-isu Pokok Berkenaan Dengan Pembentukan Daerah Otonom Baru ............................................................. 8

Bab III Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran ...................................................................................................... 10

3.1 EDOHP Untuk memetakan Kinerja DOHP ......................................................................................................... 10

3.2 Metode Evaluasi ................................................................................................................................................ 10

3.3 Pelaksanaan EDOHP .......................................................................................................................................... 16

Bab IV Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota .......................................... 17

4.1 Beberapa Kondisi/Karakteristik DOHP Kabupaten/Kota ................................................................................... 17

4.2 Indeks Total DOHP Kabupaten/Kota ................................................................................................................. 19

4.3 Faktor Kesejahteraan Masyarakat ..................................................................................................................... 21

4.4 Faktor Tata Pemerintahan yang Baik ................................................................................................................ 24

4.5 Faktor Pelayanan Publik .................................................................................................................................... 27

4.6 Faktor Daya Saing .............................................................................................................................................. 29

4.7 Perbandingan Hasil EDOHP dengan Evaluasi Sejenis ........................................................................................ 31

4.8 Peta Kinerja DOHP Kabupaten/Kota ................................................................................................................. 34

Bab V Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Provinsi ........................................................ 37

5.1 Kondisi/Karakteristik DOHP Provinsi ................................................................................................................. 37

5.2 Indeks Total ....................................................................................................................................................... 37

5.3 Indeks Faktor-faktor .......................................................................................................................................... 37

5.4 Perbandingan dengan Evaluasi Lain .................................................................................................................. 38

Bab VI Kesimpulan Dan Rekomendasi ......................................................................................................................... 40

6.1 Kondisi Umum ................................................................................................................................................... 40

6.2 Indikator Evaluasi yang Relatif Mudah dan Sulit dipenuhi DOHP ..................................................................... 41

6.3 Implikasi Kebijakan ............................................................................................................................................ 47

6.4 Penutup ............................................................................................................................................................. 53

Lampiran ...................................................................................................................................................................... 55

Lampiran 1: Definisi Indikator EDOHP ..................................................................................................................... 55

Lampiran 2: Penggunaan Data Kuesioner ............................................................................................................... 70

Lampiran 3: Penghitungan Data Set ........................................................................................................................ 75

Lampiran 4: Kinerja 198 DOHP Kabupaten/Kota ..................................................................................................... 78

Lampiran 5: Diagram Jaring Laba-laba Setiap Daerah Otonomi Hasil Pemekaran per Provinsi .............................. 86

Page 7: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

iii

Daftar Gambar

Gambar 3.1: Metode Pengukuran Indeks Evaluasi Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Baru ...................................... 11

Gambar 3.2: 4 Faktor, 14 Aspek dan Indikator dalam Penyusunan Indeks EDOHP ..................................................... 12

Gambar 3.3: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat ..................................................... 15

Gambar 3.4: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik ................................................ 15

Gambar 3.5: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Pelayanan Publik .................................................................... 15

Gambar 3.6: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Daya Saing .............................................................................. 15

Gambar 4.1: Proporsi DOHP berdasarkan Kepulauan dan Proses Pemekaran............................................................ 17

Gambar 4.2: Proporsi DOHP berdasarkan Wilayah dan Proses Pemekaran ................................................................ 17

Gambar 4.3: Proporsi DOHP Kabupaten dan Kota berdasarkan Usia .......................................................................... 17

Gambar 4.4: Proporsi DOHP Kabupaten dan Kota berdasarkan Proses Pemekaran ................................................... 17

Gambar 4.5: Skor Total Kabupaten dan Kota .............................................................................................................. 19

Gambar 4.6: Skor Total berdasarkan Pulau/Kepulauan .............................................................................................. 19

Gambar 4.7: Skor Total berdasarkan Usia DOHP ......................................................................................................... 19

Gambar 4.8 Skor Total berdasarkan Proses Pemekaran ............................................................................................. 19

Gambar 4.9: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Kabupaten dan Kota ........................................... 22

Gambar 4.10: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Pulau/Kepulauan............................................... 22

Gambar 4.11: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Usia DOHP ......................................................... 22

Gambar 4.12: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Proses Pemekaran ............................................ 22

Gambar 4.13: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Kabupaten dan Kota ..................................... 25

Gambar 4.14: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Pulau/Kepulauan .......................................... 25

Gambar 4.15: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Usia DOHP ..................................................... 25

Gambar 4.16: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Proses Pemekaran ........................................ 25

Gambar 4.17: Skor Faktor Pelayanan Publik berdasarkan Kabupaten dan Kota ......................................................... 27

Gambar 4.18: Skor Faktor Pelayanan Publik berdasarkan Pulau/Kepulauan .............................................................. 27

Gambar 4.19: Skor Faktor Pelayanan Publik berdasarkan Usia DOHP ........................................................................ 27

Gambar 4.20: Skor Pelayanan Publik berdasarkan Proses Pemekaran ....................................................................... 27

Gambar 4.21: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Kabupaten dan Kota ................................................................... 30

Gambar 4.22: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Pulau/Kepulauan ........................................................................ 30

Gambar 4.23: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Usia DOHP .................................................................................. 30

Gambar 4.24: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Proses Pemekaran ...................................................................... 30

Gambar 5.1: Skor Total DOHP Provinsi ........................................................................................................................ 37

Gambar 5.2: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat .................................................................................................. 38

Gambar 5.3: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik .............................................................................................. 38

Gambar 5.4: Skor Faktor Pelayanan Publik.................................................................................................................. 38

Gambar 5.5: Skor Faktor Daya Saing ........................................................................................................................... 38

Page 8: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

iv

Daftar Tabel

Tabel 1.1: Penambahan Jumlah DOHP 1999-2009 ........................................................................................................ 1

Tabel 3.1: Daftar Nama Tim Evaluator EDOHP ............................................................................................................ 16

Tabel 4.1: DOHP berdasarkan Usia dan Proses Pemekaran ........................................................................................ 18

Tabel 4.2: DOHP berdasarkan Kepulauan dan Bentuk Administrasi ........................................................................... 18

Tabel 4.3: DOHP Kabupaten dengan Skor Total Tertinggi ........................................................................................... 20

Tabel 4.4: 10 Kota dengan Skor Total Tertinggi ........................................................................................................... 21

Tabel 4.5: 10 Kabupaten dengan Skor Tertinggi pada Faktor Kesejahteraan Masyarakat ......................................... 23

Tabel 4.6: 10 Kota dengan Skor Tertinggi pada Faktor Kesejahteraan Masyarakat ................................................... 24

Tabel 4.7: 10 Kabupaten dengan Skor Tertinggi pada Faktor Tata Pemerintahan ...................................................... 25

Tabel 4.8: 10 Kota dengan Skor Tertinggi pada Faktor Tata Pemerintahan yang Baik ............................................... 26

Tabel 4.9: 10 Kabupaten dengan Skor Faktor Pelayanan Publik Tertinggi .................................................................. 28

Tabel 4.10: 10 Kota dengan Skor Faktor Pelayanan Publik Tertinggi .......................................................................... 29

Tabel 4.11: 10 Kabupaten dengan Skor Faktor Daya Saing Tertinggi .......................................................................... 30

Tabel 4.12: 10 Kota dengan Skor Faktor Daya Saing Tertinggi .................................................................................... 31

Tabel 4.13: Perbandingan 10 Kabupaten Peringkat Teratas EDOHP dan EKPPD ......................................................... 32

Tabel 4.14: Perbandingan 10 Besar Kabupaten DOHP Hasil EDOHP dan EKPPD untuk Kabupaten yang Berusia di

atas 3 Tahun ................................................................................................................................................................ 33

Tabel 4.15: Perbandingan 10 Besar Kota Hasil EDOHP dan EKPPD ............................................................................. 33

Tabel 4.16: Estimasi Regresi Sederhana Skor Total ..................................................................................................... 34

Tabel 5.1: Perbandingan Peringkat Provinsi DOHP Hasil EDOHP dan EKPPD .............................................................. 39

Tabel 6.1: Jumlah Kabupaten dan Kota yang Memiliki Skor di Atas dan di Bawah Rata-rata ..................................... 47

Page 9: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

v

DAFTAR ISTILAH

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

DAK : Dana Alokasi Khusus

DAU : Dana Alokasi Umum

DOHP : Daerah Otonom Hasil Pemekaran

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DSF : Decentralization Support Facility

EDOB : Evaluasi Daerah Otonom Baru

EDOHP : Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran

EKKPD : Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

EKPOD : Evaluasi Kemampuan Penyelengaraan Otonomi Daerah

EPDOP : Evaluasi Perkembangan Daerah Otonom Baru

GDS : Governance and Decentralization Survey

LPPD : Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

NGO : Non Government Organization

NPM : New Public Management

PDRB : Produk Domestik Regional Bruto

Permendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri

PP : Peraturan Pemerintah

UMKM : Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

UU : Undang-undang

WB : World Bank

Page 10: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

vi

vi Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

SUMMARY

Since the enactment of Law 22/1999 on Regional Governance, there has been a massive regional

proliferation phenomenon in Indonesia. Within the span of ten years (1999-2009) as many as 7 new

provinces, 164 new kabupaten and 34 new kota have been created, in total 205 proliferated regions

were established. Despite that rapid development there is still no comprehensive evaluation to monitor

the progress and development of the new proliferated regions or Daerah Otonom Hasil Pemekaran

(DOHP). Evaluation of Proliferated Autonomous Regions (EDOHP) is required to complement other

existing regional government evaluations.

The evaluation measures 4 (four) factors namely public welfare, public service, regional

competitiveness, and good governance, those factors then derived into 14 variables/aspects and 31

indicators. The result of the evaluation shows the enormous challenge faced by DOHP to conduct a good

performance in order to accomplish the objectives of regional autonomy. A number of particular

indicators are in general easily met by the DOHP; however, apparently there are more indicators that

seem to be difficult to meet by the DOHP. Thus, general conclusion that can be drawn is that most DOHP

still have not accomplished the expected performance, a condition which might be strongly related to

the establishment process as well as advancement and capacity development provided for the DOHP.

This evaluation recommends the need for policy refinement and better policy imposement regarding

procedure, method and process for proliferating new regions. Furthermore, improvement of facilitation

and capacity development for DOHP also need to be done intensively, by taking into account particular

needs of each DOHP. The age or maturity of the region become the criteria in functional assignment,

regional capacity development, and in conducting advancement and monitoring of the DOHP.

In order to improve the quality of democracy in the regions, the government needs to encourage the

availability and enforcement of policies on government transparency and accountability as well as

citizen participation both in central and regional level. Moreover, to improve public welfare, the

government needs to encourage the regions to be able to formulate a pro poor development program.

In this case the government needs to press on efficiency of regional budget utilization as well as to

refine regional budget transfer policy. Whereas to improve regional competitivenes of the DOHP, the

government needs to push DOHP to formulate program and strategy to improve a condusive business

climate in the DOHP.

Page 11: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

vii

PAGE \*

MERGEFORRingkasan

RINGKASAN

Sejak disahkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah terjadi

fenomena pemekaran daerah yang sangat massif di Indonesia. Dalam satu dekade saja (1999-2009)

telah terbentuk daerah otonom baru sebanyak 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota, sehingga total

bertambah 205 daerah otonom baru. Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut belum dilakukan evaluasi

yang cukup komprehensif terhadap seluruh daerah otonom hasil pemekaran (DOHP) tersebut. Evaluasi

Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP) dilaksanakan untuk melengkapi evaluasi-evaluasi

pemerintahan daerah yang sudah ada sebelumnya

Evaluasi dilakukan dengan mengukur empat faktor yaitu kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik,

daya saing daerah, dan tata pemerintahan yang baik, yang kemudian diturunkan dalam 14

variabel/aspek dan 31 indikator penilaian. Hasil evaluasi menunjukkan besarnya tantangan yang

dihadapi oleh DOHP untuk dapat menunjukkan kinerja daerah yang baik sehingga dapat mencapai

tujuan otonomi daerah, yang secara normatif menjadi alasan dilakukannya pemekaran daerah-daerah

tersebut. Pada sejumlah indikator tertentu secara umum DOHP terlihat mudah untuk melaksanakan,

namun ternyata ada lebih banyak indikator dimana DOHP terlihat kesulitan untuk dapat

melaksanakannya. Kesimpulan umum yang dapat disampaikan adalah bahwa sebagian besar DOHP

masih belum menunjukkan kinerja yang diharapkan, dimana hal tersebut kemungkinan berkaitan

dengan proses pembentukannya maupun pembinaan yang diberikan kepada DOHP tersebut.

Evaluasi ini merekomendasikan perlunya penyempurnaan kebijakan dan ketegasan pelaksanaan

kebijakan mengenai cara dan proses pembentukan daerah otonom baru. Peningkatan fasilitasi dan

pengembangan kapasitas DOHP juga perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh, dengan

mempertimbangkan kebutuhan khusus tiap DOHP, faktor usia atau kematangan daerah menjadi kriteria

dalam pembagian urusan, pengembangan kapasitas daerah, dan dalam melakukan pembinaan dan

pengawasan pada DOHP.

Untuk dapat meningkatkan kualitas demokrasi di daerah, pemerintah perlu mendorong ada dan

berfungsinya kebijakan mengenai transparansi dan akuntabilitas pemerintahan serta partisipasi

masyarakat baik di pusat maupun daerah. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah

perlu mendorong daerah mampu mengembangkan program pembangunan yang pro poor. Dalam hal ini

pemerintah juga perlu mendorong peningkatan efisiensi penggunaan anggaran daerah dan

menyempurnakan kebijakan transfer anggaran daerah. Sementara untuk meningkatkan daya saing

DOHP, pemerintah perlu mendorong DOHP menyusun strategi dan program yang dapat meningkatkan

iklim usaha yang kondusif di DOHP.

Page 12: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)
Page 13: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Tarik Ulur Pemekaran dan Moratorium Pemekaran Daerah. Sejak disahkannya UU No. 22 Tahun 1999

mengenai Pemerintahan Daerah yang membuka keran bagi pembentukan daerah otonom baru, telah

terjadi penambahan jumlah daerah secara signifikan di Indonesia (lihat Tabel 1.1). Lonjakan drastis

jumlah daerah otonom baru ditambah dengan masih banyaknya usulan pembentukan daerah otonom

baru yang masuk ke pemerintah dan DPR memunculkan sejumlah pertanyaan mendasar mengenai

urgensi dan manfaat dari pemekaran daerah tersebut. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya

pengendalian atas tingginya tuntutan pemekaran yang cenderung kurang memperhitungkan prasyarat

kelayakan dan kesiapan daerah untuk dimekarkan. Upaya tersebut, diantaranya melalui moratorium

atau penghentian sementara proses pembentukan daerah otonom baru, serta penyempurnaan

peraturan perundang-undangan tentang persyaratan dan tatacara pembentukan daerah otonom.

Arah kebijakan pemekaran daerah

dan pembentukan daerah otonom

baru masih menjadi polemik. Pro

dan kontra pembentukan daerah

otonom baru tidak hanya

melibatkan masyarakat di daerah

tetapi juga aktor-aktor dari

lembaga penyelenggara negara

yang berbeda, yaitu Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden,

dan pejabat pemerintah.

Ketidaktersediaan informasi

tentang kinerja daerah otonom

hasil pemekaran membuat

pemerintah menjadi terlihat

gamang ketika dihadapkan pada

keinginan warga dan berbagai

kelompok kepentingan di daerah untuk membentuk daerah otonom baru. Sementara aspirasi warga dan

kelompok kepentingan untuk membentuk daerah otonom baru terus mengalir bukan hanya ke DPR

tetapi juga ke Kementerian Dalam Negeri. Sejak 1999 sampai dengan bulan April 2011 sudah ada sekitar

153 usulan pembentukan daerah otonom baru, sekitar dua puluhan diantaranya sudah ada di DPR, yang

harus segera direspon oleh pemerintah.

Untuk mengisi kekosongan informasi tersebut pemerintah telah melakukan serangkaian evaluasi

terhadap daerah seperti evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah (EKPPD) dan evaluasi

daerah otonom baru (EDOB), yang diatur dalam PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi

Tabel 1.1: Penambahan Jumlah DOHP 1999-2009

Tahun Provinsi Kabupaten Kota Total

Sebelum Tahun 1999 26 234 59 319

1999 2 34 9 45

2000 3 - 3

2001 - - 12 12

2002 1 33 4 38

2003 - 47 2 49

2004 1 - - 1

2005 - - - -

2006 - - - -

2007 - 21 4 25

2008 - 27 3 30

2009 - 2 - 2

DOHP Pasca UU No. 22/1999 7 164 34 205

Total Pemda (2009) 33 398 93 524

Sumber: Permendagri No. 21 Tahun 2010.

Page 14: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

2

2 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.1 EKPPD yang diselenggarakan setiap tahun dan melibatkan

semua daerah, mestinya dapat menjadi instrumen untuk mengevaluasi kinerja daerah otonom baru

sekaligus membandingkannya dengan kinerja daerah lainnya, termasuk kinerja daerah induk. Namun

sejauh ini EKPPD tidak dirancang untuk mengevaluasi kinerja daerah dalam mencapai tujuan

pembentukan daerah, melainkan untuk mengevaluasi kinerja daerah secara umum sehingga kurang

mampu secara tegas menjawab apakah pembentukan daerah otonom tersebut benar-benar mampu

menghasilkan perubahan sebagaimana dulu dijanjikannya ketika pembentukan daerah.

Untuk evaluasi DOB, pemerintah melakukan Evaluasi Penyelenggaraan Daerah Otonom Baru

(EPDOB),2 yang secara khusus dirancang untuk mengevaluasi kesiapan DOB, yaitu daerah otonom

hasil pemekaran yang usianya 3 tahun dan yang kurang dari 3 tahun. EPDOB memusatkan

perhatiannya pada evaluasi kesiapan DOB dalam menyiapkan kelembagaan daerah seperti DPRD dan

satuan kinerja pemerintah daerah (SKPD), pengisian jabatan pada SKPD, dan rekrutmen pegawai, dsb.

Karena EPDOB hanya memusatkan pada penilaian tentang kesiapan infrastruktur pemerintahan daerah

maka informasi yang dihasilkannya menjadi kurang memadai untuk menilai kinerja secara umum dari

pemerintah DOHP. Untuk dapat menilai kapasitas dan kinerja DOHP dalam mencapai tujuan

pembentukannya maka kajian tentang kapasitas dan kinerja DOHP perlu dirancang secara spesifik dan

dilakukan.

Disamping evaluasi yang telah dilakukan oleh pemerintah, beberapa penelitian tentang efek dari

pemekaran daerah telah dilakukan oleh berbagai pihak, seperti: lembaga donor, NGO, dan perguruan

tinggi. Penelitian tersebut umumnya mengkaji efek dari fragmentasi atau pemekaran daerah terhadap

pelayanan publik, efisiensi, dan stabilitas politik di daerah. Berbagai penelitian tersebut umumnya

mengungkapkan akibat dan efek negatif dari pemekaran daerah. Bahkan, analisis yang secara spefisifk

dirangcang untuk menilai manfaat dan kerugian dari pembentukan daerah juga telah dilakukan.3

Namun, karena kajian-kajian itu tidak secara menyeluruh mengevaluasi kapasitas daerah otonom baru

tersebut dalam mewujudkan nilai-nilai yang dulu mendasari pembentukannya, informasi yang dihasilkan

dinilai belum memadai untuk menata kembali pengaturan kembali tentang pembentukan daerah

otonom.

1 Kebijakan mengenai evaluasi penyelenggaraaan pemerintahan daerah terbilang terlambat. Meskipun UU tentang

pemerintahan daerah sudah mulai efektif berlaku tahun 2001, namun baru pada tahun 2008 pemerintah dapat menyusun

kebijakan evaluasinya, yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2008. 2 Sebagai implementasi dari ketentuan mengenai EDOB, Kemendagri mengeluarkan Permendagri No. 23 Tahun 2010 tentang

Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Perkembangan Daerah Otonom Baru (EPDOB). EPDOB merupakan penilaian perkembangan

penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan data/informasi hasil monitoring daerah otonom baru. Penilaian tersebut

dilakukan pada 2 tahap, yaitu perkembangan awal DOB usia dibawah 3 tahun dan perkembangan lanjutan DOB usia 4-5 tahun. 3 Penelitian yang dilakukan oleh DSF (2007) menyimpulkan kerugian dari pemekaran daerah jauh lebih besar dari manfaatnya.

Penelitian ini merekemondasikan pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan tentang pembentukan daerah dengan

menghilangkan insentif yang dimiliki membentuk daerah otonom baru utamanya dalam alokasi DAU dan memperketat

prosedur pembentukan daerah baru. Namun, kajian dari analisis ini terbatas pada efek dari pembentukan daerah baru dan

tidak secara menyeluruh mengkaji efek terbentuknya daerah baru dan implikasinya terhadap pencapaian tujuan pembentukan

daerah.

Page 15: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

3

3 Pendahuluan

Pembentukan daerah otonom baru dilakukan umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,

memperbaiki pelayanan publik, meningkatkan daya saing daerah, dan mewujudkan tata

pemerintahan yang baik. Keempat hal tersebut menjadi argumentasi yang sering diucapkan oleh para

penggagas pembentukan daerah. Pembentukan daerah yang marak selama satu dekade terakhir ini,

telah menimbulkan pertanyaan tentang apakah pembentukan daerah otonom baru benar-benar

membawa daerah kepada pencapaian tujuan tersebut. Untuk melengkapi EPDOB yang hanya

mengevaluasi daerah otonom baru yang berusia 0-5 tahun, dipandang perlu dilakukan evaluasi

terhadap seluruh daerah otonom baru yang telah terbentuk sejak tahun 1999, yang kemudian disebut

sebagai Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP). Kementerian Dalam Negeri melalui Peraturan

Menteri Dalam Negeri No. 21/2010 menetapkan perlunya dilakukan Evaluasi Daerah Otonom Hasil

Pemekaran (EDOHP). Evaluasi ini pada dasarnya ingin mencari jawaban atas pertanyaan: Dari empat

tujuan otonomi darah, tujuan mana yang telah berhasil diwujudkan? Tujuan yang mana yang belum

berhasil diwujudkan? Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kapasitas daerah

dalam mewujudkan berbagai tujuan tersebut di atas? Untuk menjawab tujuan tersebut di atas maka

evaluasi DOHP dilakukan.

Sementara, untuk menanggapi usulan pembentukan DOHP baru, pemerintah dan DPR membutuhkan

informasi yang akurat dan solid tentang kapasitas dan kinerja daerah otonom baru yang selama ini

telah terbentuk. Informasi tersebut diperlukan untuk mengetahui apakah pembentukan DOHP berhasil

mencapai tujuannya, yaitu: meningkatnya kesejahteraan masyarakat, terwujudnya pelayanan publik,

meningkatnya kualitas governance, dan meningkatnya daya saing. Informasi ini penting untuk

mengetahui apakah proses pembentukan daerah yang selama ini dilakukan telah benar-benar mampu

membuat DOHP tersebut berhasil memenuhi janjinya. Apakah proses yang selama ini terjadi justru

menghasilkan DOHP yang kurang mampu mewujudkan janji dan tujuan pembentukannya? Apa yang

harus dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin agar pembentukan DOHP benar-benar mampu

memenuhi janjinya memperbaiki kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, kualitas

ketatapemerintahan, dan daya saing daerah?

Page 16: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

4

BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Teoritik dari Konsep Desentralisasi dan Pemekaran Wilayah

Penataan daerah menjadi isu penting dalam kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di

Indonesia. Fragmentasi spasial yang semakin tinggi terkait dengan semakin intensnya penambahan

jumlah daerah otonom di Indonesia selama dekade terakhir ini telah menimbulkan berbagai pertanyaan

tentang apakah pembentukan daerah otonom baru itu benar-benar memberi manfaat bagi daerah,

negara, dan warganya. Sejak PP 129 tahun 2000 membuka keran bagi daerah untuk mengusulkan

pembentukan daerah baru, sampai dengan tahun 2009 telah terbentuk 205 DOHP, yang terdiri dari 7

provinsi, 163 kabupaten, dan 34 kota.4 Berbagai studi telah dilakukan untuk mengevaluasi pembentukan

DOHP, namun sejauh ini belum ada evaluasi yang menyeluruh baik dilihat dari cakupan jumlah DOHP

ataupun aspek yang dinilai.

Pembentukan DOHP yang relatif masif dalam dekade terakhir ini dan banyaknya usulan untuk

pembentukan DOHP baru telah menimbulkan kontroversi di kalangan akademisi, praktisi, dan para

politisi. Pro dan kontra tentang fragmentasi daerah melalui pembentukan daerah otonom baru dan

pemecahan satu daerah kedalam dua atau lebih DOB menjadi keniscayaan. Masing-masing pihak

memiliki argumentasinya sendiri untuk mendukung posisinya terhadap pembentukan DOHP. Kajian yang

lebih menyeluruh diperlukan untuk mengklarifikasi argumen dari masing-masing pihak dan

mengumpulkan fakta-fakta untuk memperjelas klaim dari pembentukan DOHP selama ini, terutama

terkait dengan implikasinya terhadap kesejahteraan rakyat, perbaikan kualitas governance, perbaikan

pelayanan publik, dan peningkatan daya saing daerah.

Kontroversi tentang fragmentasi dan konsolidasi daerah telah lama berkembang dalam kajian

pemerintahan dan administrasi publik. Para pengikut teori public choice menganggap fragmentasi

daerah, misalnya melalui pembentukan daerah baru, sebagai sesuatu yang positif karena semakin

banyak daerah akan membuat kompetisi daerah dalam menawarkan pelayanan, pajak, dan fasilitas

investasi menjadi semakin tinggi. Jika mobilitas warga dan kapital tidak memiliki kendala, semakin

banyak daerah akan memberi semakin banyak pilihan untuk berinvestasi. Daerah akan terdorong untuk

menawarkan fasilitas, kemudahan, dan pelayanan kepada warga untuk menarik investasi masuk ke

daerahnya. Fragmentasi daerah karenanya dapat menciptakan tekanan pada daerah lainnya untuk

memperbaiki daya saingnya dalam memperebutkan investasi yang terbatas.

Dari perspektif ilmu politik dan pemerintahan, pembentukan DOHP seringkali didasarkan pada

argumentasi untuk membuat jarak fisik dan kejiwaan antara warga dengan pemerintahnya menjadi

4 PP 129 Tahun 2000 kemudian direvisi dengan PP 78 Tahun 2007. Revisi dilakukan untuk memperketat proses pembentukan

daerah otonom baru dengan menambah persyaratan dan proses pengusulan pembentukan daerah otonom baru.

Page 17: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

5

5 Kerangka Pemikiran

semakin dekat (reciproxity).5 Ketika jarak fisik antara warga dengan pemerintah dan para pejabatnya

menjadi semakin dekat maka warga akan menjadi semakin mudah berpartisipasi dalam kegiatan

pemerintahan. Aspirasi dan kepentingan warga menjadi semakin mudah tersalurkan dalam proses

kebijakan daerah. Representasi warga dalam proses pembuatan kebijakan publik di daerah juga akan

menjadi semakin tinggi. Jika hal tersebut terjadi maka kebijakan pemerintah daerah akan menjadi

semakin responsif terhadap kebutuhan warganya dan rasa kepemilikan warga terhadap kebijakan

daerah juga menjadi semakin kuat. Kedekatan jarak fisik juga membuat warga semakin mudah

mengontrol jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Karena itu fragmentasi daerah bukan

hanya akan membuat pemerintah menjadi semakin partisipatif tetapi juga dapat memperbaiki

akuntabilitas pemerintahan.

Dari sisi kejiwaan, kedekatan warga dengan pemerintah dan para pejabatnya akan membuat

hubungan emosional antara pemerintah dengan warganya akan menjadi semakin mudah dibangun.

Ketika hubungan emosional warga dengan pemerintah dan para pejabatnya menjadi semakin kuat maka

afeksi warga terhadap terhadap pemerintah menjadi semakin kuat pula. Karena itu tidak mengherankan

kalau beberapa pihak sering mengklaim fragmentasi daerah dapat membuat meningkatkan kepercayaan

publik terhadap pemerintahnya.6 Fragmentasi daerah dapat membuat jarak kejiwaan antara pemerintah

dengan warganya menjadi semakin dekat dan warga menjadi semakin mudah menilai apakah

pemerintah peduli kepada kepentingan, dapat dipercaya, dan mampu memenuhi kebutuhannya.

Fragmentasi daerah sering juga dijadikan alasan untuk memperbaiki akses warga terhadap

pelayanan publik. Beberapa pengalaman pembentukan dan pemekaran daerah di beberapa negara

lainnya seperti Polandia menunjukan bagaimana fragmentasi daerah dijadikan sebagai argumentasi

untuk meningkatkan akses warga terhadap pelayanan publik.7 Ketika daerah baru dibentuk, atau

dipecah menjadi beberapa daerah baru, maka pusat kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik akan

menjadi semakin dekat dengan tempat tinggal warga. Ketika lokasi penyelenggaraan kegiatan

pemerintahan dan pelayanan publik menjadi semakin dekat maka tentu warga akan menjadi semakin

mudah mengakses pelayanan publik dan karenanya pelayanan publik akan menjadi semakin efisien pula.

5 Meluasnya pengaruh New Public Management (NPM) di banyak negara maju di Barat yang kemudian diikuti oleh banyak

negara-negara sedang berkembang ikut memperkuat argumentasi perlunya fragmentasi daerah. Fragmentasi daerah dinilai

dapat mempermudah terwujudnya desentralisasi, partisipasi, kewirausahaan, dan inovasi dalam pelayanan publik dan

penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tesis utama dari gerakan NPM. Penyebaran kekuasaan kepada daerah akan

membuat proses pemerintahan dan pelayanan publik dapat memperkuat tata-pemerintahan yang partisipatif, inovatif, dan

akuntabel. 6 Hasil Governance and Decentralization Survey (GDS) 2006 menunjukan bahwa semakin rendah tingkat pemerintahan semakin

tinggi tingkat kepercayaan publik. Para pemangku kepentingan di daerah cenderung memiliki kepercayaan yang lebih tinggi

kepada pemerintahan desa dibandingkan dengan pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Pemerintah kabupaten/kota

menikmati kepercayaan publik yang lebih tinggi daripada pemerintah provinsi, dst. Salah satu penyebabnya karena jarak fisik

dan kejiwaan semakin rendah untuk tingkat pemeirntahan yang lebih rendah. Diskusi tentang hal ini dapat dibaca dalam

Dwiyanto, Agus, 2007. Kinerja Tata Pemerintahan Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM: Yogyakarta. 7 Swianiewicz, Pawel and Mikolaj Herbst, “Economies and Diseconomies of Scale in Polish Local Governments” on Pawel

Swianiewicz, Consolidation or Fragmentation?: The Size of Local Governments in Central and Eastern Europe. Open Society

Institute. Budapest. 2002:225.

Page 18: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

6

6 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Pembentukan daerah baru sering juga didorong oleh pertimbangan keadilan sosial. Ketika

sekelompok warga merasa bahwa keberadaannya kurang diperhatikan oleh pemerintah dan

diperlakukan secara tidak adil oleh kelompok mayoritas yang mengusai pemerintah daerah maka

keinginan untuk membentuk daerah sendiri menjadi mengemuka. Apalagi ketika kelompok tersebut

memiliki ciri-ciri sosial yang sama seperti etnisitas, agama, kesejarahan dan tingkat kohesivitas yang

tinggi maka kecenderungan untuk menuntut pembentukan pemerintahan daerah sendiri cenderung

amat tinggi. Kelompok warga tersebut beranggapan bahwa ketika mereka memiliki pemerintahan

daerah sendiri maka mereka akan mengelola kepentingan mereka menjadi lebih efektif dan responsive

sehingga kemakmuran warganya juga akan menjadi semakin baik. Pembentukan daerah baru dianggap

dapat menjadi solusi terhadap ketidakadilan dalam hubungan antar kelompok tetapi juga dapat

memperkuat indentitas kelompok dan daerah.

Dalam aras yang berbeda, muncul beberapa pemikiran yang mendorong terjadinya integrasi wilayah,

seperti yang terkandung dalam teori-teori new regionalism, new functionalism, hak properti (property

right), dan biaya transaksi.8 Semua teori tersebut dengan argumentasinya masing-masing menjelaskan

pentingnya integrasi wilayah dilakukan karena hal tersebut dapat memberi manfaat yang tidak dapat

diperoleh ketika satu daerah atau wilayah berdiri sendiri. Teori-teori tersebut dapat menjelaskan

mengapa beberapa negara seperti Jepang, Kanada, Amerika Serikat, Australia, Denmark, dan Afrika

Selatan melakukan konsolidasi daerah dengan mendorong integrasi dua atau lebih satuan pemerintahan

menjadi satuan yang lebih luas.9 Penggabungan daerah umumnya dilakukan pada tingkat

kabupaten/kota (municipalities).10

Perspektif new regionalism menjelaskan bagaimana integrasi wilayah dapat memperkuat identitas

wilayah, mendorong mereka untuk fokus pada masalah bersama, dan mengatasi berbagai masalah

yang muncul karena saling ketergantungan yang terjadi pada wilayah itu.11

Walaupun perspektif ini

banyak digunakan untuk menjelaskan integrasi wilayah antarnegara, seperti yang terjadi di dalam Uni

Eropa, namun perspektif ini banyak juga digunakan untuk menjelaskan pentingnya integrasi wilayah

dalam suatu negara. Integrasi wilayah dapat memperbesar skala ekonomi dan membuat produksi

barang dan jasa menjadi lebih murah.

Sebagaimana new regionalism, teori-teori new functionalism12

juga menjelaskan bahwa dalam

masyarakat industrial ketergantungan antar sektor akan menjadi semakin kuat dan integrasi sektoral

8 Diskusi tentang bagaimana perspektif new regionalism digunakan untuk menjelaskan pengalaman Negara-Negara Eropa dan

Amerika Latin dalam mereformasi kelembagaan seperti: pelembagaan perencanaan wilayah, perluasan ruang politik bagi

wilayah dalam pembentukan struktur governance pada tingkat meso, dan konsolidasi daerah pada tingkat wilayah dapat dibaca

dalam Scot, James W., 2009. De-Coding New Regionalism: Shifting Social-Political Contexts In Central Europe and Latin America,

Farnham, Surrey: Asghate Publishing Limited

9 Gabe Ferrazi, 2007. International Experience in Territorial Reform, Implications for Indonesia, USAID DRSP for the Management

Group on Territorial Reform 10

Di Amerika Serikat konsolidasi dilakukan pada tingkat school board, selama tahun 1952-1982 pemerintah Amerika Serikat

berhasil menggabungkan 64,355 menjadi 18, 851, Ferazi, ibid 11

Mattli, Walter, 2003. The Logic of Regional Integration, New York: Cambridge University Press 12

ibid

Page 19: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

7

7 Kerangka Pemikiran

tidak dapat dilakukan dengan mudah ketika terjadi fragmentasi wilayah. Integrasi wilayah tidak

secara otomatis terjadi, tetapi melalui sebuah proses sosial dan politik yang melibatkan kepentingan

para aktor dan pergeseran nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.

Integrasi wilayah akan dapat dengan mudah dilakukan ketika masing-masing daerah mengalami

kesulitan untuk menyelesaikan masalahnya sendirian. Kebutuhan untuk menyelesaikan masalah

bersama tersebut sering menjadi faktor pendorong terjadinya integrasi wilayah. Integrasi wilayah dapat

membuat mereka dapat memaksimalkan pencapaian kesejahteraan. Kedua perspektif ini, new

regionalism dan new functionalism, menjelaskan bahwa integrasi wilayah menjadi kebutuhan yang tak

terhindarkan karena adanya saling ketergantungan antarwilayah dan antarsektor yang tidak mungkin

diselesaikan oleh satu daerah sendirian dan adanya kebutuhan untuk memaksimalkan kemampuan

mereka dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Teori hak properti menjelaskan bahwa kebutuhan untuk adanya pengaturan kelembagaan baru

diperlukan karena adanya eksternalitas. Ketika manfaat/kerugian dari satu kegiatan melewati batas-

batas jurisdiksi satu daerah maka para pihak yang ingin melakukan internalisasi pasar akan menuntut

perubahan kelembagaan, ketika mereka menilai manfaat dari internalisasi itu akan melebihi dari

biayanya. Walaupun teori ini dikembangkan untuk menjelaskan perubahan kelembagaan dalam pasar

namun sebenarnya penerapannya juga dapat digunakan untuk menjelaskan munculnya kebutuhan

integrasi kelembagaan dan wilayah. Ketika muncul kebutuhan untuk menginternalisasikan kegiatan

ekonomi, pembangunan, dan pelayanan publik yang seringkali melewati batas-batas administratif satu

daerah maka integrasi wilayah menjadi salah satu pilihan yang dapat dilakukan. Teori ini berpendapat

bahwa sebenarnya kebutuhan untuk melakukan integrasi wilayah dapat muncul dari bawah, yaitu ketika

para aktor di daerah ingin menginternalisasikan manfaat dari kegiatan ekonomi dan pelayanan publik.

Sedangkan teori biaya transaksi, yang banyak dikembangkan dalam ekonomi kelembagaan,

berargumentasi bahwa fragmentasi daerah akan membuat biaya untuk menangkap keuntungan dari

pertukaran dalam pasar menjadi lebih tinggi. Perbedaan struktur governance antar daerah, termasuk

peraturan dan prosedur, yang harus direspon oleh para pelaku pasar membuat biaya transaksi menjadi

lebih mahal. Biaya transaksi disini mencakup semua biaya yang diperlukan merumuskan,

menegosiasikan, memonitor, dan memaksakan kepatuhan terhadap kontrak. Ketika fragmentasi daerah

menjadi semakin tinggi maka biaya yang harus dibayar untuk memastikan daerah memiliki kinerja yang

baik dalam mengelola kegiatan ekonomi dan pelayanan publik di daerah juga menjadi semakin mahal.

Kegiatan monitoring dan koordinasi antar susunan pemerintahan dan para pejabatnya menjadi semakin

mahal. Semakin tinggi fragmentasi daerah semakin besar biaya transaksi yang harus dibayar oleh negara

dan warganya. Keinginan untuk memperkecil biaya transaksi menjadi salah satu faktor yang mendorong

adanya kebutuhan untuk melakukan konsolidasi dan integrasi daerah.

Berbagai teori di atas menjelaskan mengapa banyak negara dalam beberapa dekade terakhir ini

berusaha melakukan konsolidasi dan integrasi daerah. Integrasi menawarkan banyak kesempatan dan

manfaat yang tidak mungkin diperoleh oleh daerah, para pelaku ekonomi, dan warga pada umumnya,

ketika mereka memiliki wilayah yang terfragmentasi kedalam wilayah yang sempit. Namun, kebutuhan

untuk melakukan integrasi sering tidak dapat diwujudkan karena banyak sekali kendala yang dihadapi

oleh daerah dan negara dalam mewujudkan integrasi wilayah. Ada banyak kendala dalam supply untuk

Page 20: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

8

8 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

integrasi wilayah, terutama kemauan elit politik di daerah. Jika elit politik di daerah menilai otonomi

politik lebih penting dari berbagai manfaat yang dijanjikan oleh integrasi wilayah maka mereka tentu

tidak tertarik untuk melakukan integrasi wilayah. Begitu pula dengan elit birokrasi yang mungkin

khawatir akan kehilangan peran jika integrasi dilakukan, mereka akan melakukan berbagai cara untuk

menghambat terjadinya integrasi wilayah.

2.2 Isu-isu Pokok Berkenaan Dengan Pembentukan Daerah Otonom Baru

Dengan mengkaji teori dan pemikiran yang mendasari fragmentasi dan integrasi daerah maka beberapa

isu yang terkait dengan pembentukan daerah otonom baru dapat dirumuskan:

Pertama, isu tentang kesejahteraan ekonomi. Para penggagas teori pro pada fragmentasi dan pro pada

integrasi sama-sama mengklaim bahwa, dengan argumentasi yang berbeda, pilihannya akan dapat

memperbaiki kesejahteraan warganya. Menurut pihak yang mendukung fragmentasi, kesejahteraan

akan dapat diperoleh ketika kompetisi antar daerah menjadi semakin ketat, daerah akan menawarkan

fasilitas yang menarik agar orang mau tinggal di daerah. Mereka juga akan menawarkan besaran pajak

yang kompetitif untuk menarik investasi masuk ke daerahnya. Sebaliknya, mereka yang mendukung

integrasi juga mengklaim peningkatan kesejahteraan melalui besaran skala ekonomi yang membuat

produksi barang dan jasa menjadi lebih efisien. Produksi barang dan jasa juga menjadi lebih efisien

ketika biaya transaksi menjadi lebih kecil dan internalisasi dapat dilakukan secara murah. Hal itu semua

dapat dilakukan jika integrasi wilayah dilakukan.

Kedua, isu tentang kualitas governance. Para pendukung fragmentasi daerah mengklaim bahwa

fragmentasi daerah akan membuat kualitas governance menjadi lebih baik karena hal itu akan

mendekatkan institusi pemerintah, proses pembuatan kebijakan, dan para penjabatnya menjadi lebih

dekat dengan warganya. Fragmentasi membuat proses pemerintahan dan pelayanan publik menjadi

lebih dekat dengan warganya. Dalam situasi seperti itu, maka warga akan menjadi lebih mudah untuk

berpartisipasi dalam proses kebijakan daerah. Mereka juga akan menjadi semakin mudah dalam

mengendalikan proses pengambilan keputusan dan perencanaan agar kegiatan pemerintahan dan

pelayanan publik mampu menjawab kebutuhan daerah. Pemerintah, kebijakan, dan pejabatnya menjadi

semakin akuntabel pada warganya. Sebaliknya, para penggagas integrasi wilayah menyatakan bahwa

integrasi wilayah akan dapat memperbaiki efisiensi dan efektivitas dari penyelenggaraan pemerintahan,

melalui banyak mekanisme seperti semakin rendahnya biaya transaksi, biaya internalisasi, dan

koordinasi. Integrasi horizontal dan vertikal akan membuat penyelenggaraan pemerintahan menjadi

semakin mudah dan kualitas governance juga akan meningkat dengan sendirinya.

Ketiga, isu yang menjadi rasionalitas dari fragmentasi dan integrasi adalah perbaikan pelayanan

publik. Jarak yang jauh antara kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik dengan warganya sering

membuat akses terhadap pelayanan menjadi terbatas. Fragmentasi diharapkan dapat memperbaiki

akses terhadap pelayanan publik. Sebaliknya, mereka yang mendukung integrasi juga berargumentasi

bahwa konsolidasi daerah akan membuat daerah dapat memperbaiki efisiensi dan pemerataan dalam

penyelenggaraan pelayanan publik. Ketika konsolidasi dilakukan dengan menggabung dua atau lebih

daerah menjadi satu daerah maka skala pelayanan publik di daerah menjadi semakin besar dan dengan

Page 21: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

9

9 Kerangka Pemikiran

skala pelayanan yang lebih besar maka pelayanan publik akan menjadi lebih efisien. Skala pelayanan

yang lebih besar akan selalu diikuti oleh efisiensi yang lebih tinggi. Integrasi wilayah juga dapat

membuat penerapan standar pelayanan yang sama diterapkan pada wilayah yang lebih luas sehingga

akses terhadap kualitas pelayanan dapat diwujudkan.

Keempat, isu yang seringkali diperdebatkan antara fragmentasi versus integrasi daerah adalah

mengenai daya saing daerah. Para penggagas fragmentasi menyatakan bahwa fragmentasi akan dapat

menciptakan iklim persaingan antar daerah. Daerah akan dihadapkan pada situasi untuk memperbaiki

infrastruktur daerah, membuat kebijakan yang pro-investasi, dan meningkatkan kualitas sumber daya

manusianya karena dihadapkan pada penawaran investasi yang terbatas. Semakin banyak daerah

membuat tekanan untuk melakukan perbaikan daya saing daerah menjadi semakin besar. Sementara

para pendukung integrasi wilayah berargumentasi bahwa daya saing daerah justru akan semakin baik

ketika skala ekonomi daerah menjadi semakin besar, biaya transaksi menjadi semakin tinggi, dan biaya

internalisasi pasar juga semakin murah. Hal itu hanya dapat diwujudkan ketika integrasi wilayah dapat

dilakukan.

Page 22: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

10

BAB III

EVALUASI DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN

3.1 EDOHP Untuk memetakan Kinerja DOHP

EDOHP terkait dengan kebijakan evaluasi pemerintahan daerah dan kebijakan

penghapusan/penggabungan daerah. Dasar hukum EDOHP adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri

No. 21/2010 sebagai dasar hukum kegiatan EDOHP tahun 2010, yang merujuk pada kebijakan di atasnya

yaitu PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Selain PP

No. 6 Tahun 2008, EDOHP juga merujuk pada PP No. 39 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan

Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, dan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara

Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

EDOHP ditujukan untuk memetakan kinerja DOHP. EDOHP dilaksanakan dengan tujuan untuk: (a)

memetakan kinerja pemerintahan daerah di DOHP; (b) mengembangkan program dan strategi yang

tepat untuk pembinaan dan perbaikan kinerja daerah otonom baru; dan (c) menjadi bahan masukan

bagi revisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan kebijakan pemerintah lainnya yang

berkaitan dengan pemerintahan daerah. Maksud dari dilaksanakannya EDOHP adalah untuk: (a)

memetakan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah; (b) mengukur kinerja DOHP; (c)

merekomendasikan kebijakan tentang pengaturan pembentukan DOHP agar pembentukan daerah di

masa mendatang benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang

bersangkutan. Evaluasi juga dilakukan untuk mengidentifikasi isu-isu strategis dalam perumusan

kebijakan untuk meningkatkan kinerja DOHP. Cakupan kegiatan EDOHP ini akan meliputi 205 daerah

otonom hasil pemekaran (DOHP), yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota. Pada awalnya

direncanakan untuk juga mengevaluasi 127 pemerintah daerah induk sebelum dilakukan pemekaran

daerah sebagai pembanding. Namun atas sejumlah pertimbangan teknis evaluasi terhadap daerah induk

tersebut tidak jadi dilaksanakan.

Keluaran dari kegiatan ini adalah adanya hasil evaluasi yang dapat memberikan informasi yang

memadai tentang kinerja DOHP, unsur-unsur yang membentuk kinerja DOHP, dan klasifikasi daerah

menurut kinerjanya. Hasil evaluasi tersebut dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan dalam

rangka pengaturan kembali persyaratan dan mekanisme pembentukan daerah, peningkatan kinerja

daerah, dan penataan kembali daerah otonom. Evaluasi terhadap daerah induk dilakukan untuk melihat

efek dari pemekaran terhadap daerah induk. Hasilnya diharapkan dapat memberikan informasi tentang

dinamika yang terjadi di daerah sebagai akibat dari terpecahnya daerah tersebut ke dalam dua atau

lebih daerah otonom.

3.2 Metode Evaluasi

Metode yang digunakan dalam melakukan penilaian kinerja daerah otonom hasil pemekaran ini adalah

dengan menggunakan pengukuran indeks. Perhitungan angka indeks merupakan salah satu metode

yang digunakan untuk mendapatkan skor akhir penilaian kinerja. Dengan membuat peringkat indeks

Page 23: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

11

11 Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran

Penyusunan

Desain Studi

Pengumpulan

Data

Data

Entry

Data

Processing

Hasil

DOHP

diharapkan dapat menggambarkan kinerja daerah dalam mencapai tujuan otonomi daerah. Berikut

tujuan pengembangan studi menggunakan perhitungan angka indeks: (a) Membangun penilaian dan

peringkat keberhasilan DOHP dalam mencapai tujuan DOHP; (b) Menguji tingkat signifikansi hubungan

antara faktor-faktor terkait dengan profil daerah (usia, proses pembentukan, tipe daerah otonomi).

Gambar 3.1: Metode Pengukuran Indeks Evaluasi Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Baru

3.2.1 Pengembangan Faktor, Aspek dan Indikator

Instrumen pengukuran didasarkan pada tujuan otonomi daerah. Dasar perumusan ”faktor” dalam

evaluasi DOHP adalah Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah yang menyatakan bahwa tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, pelayanan publik, dan daya saing daerah. Selain itu, ditambahkan faktor Tata Pemerintahan

yang Baik (Good Governance) sebagai wujud rasa kepedulian terhadap upaya pembenahan tata kelola

pemerintahan daerah dengan mencermati dinamika yang berkembang sejak reformasi didengungkan

tahun 1998.

Indikator pengukuran berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2010. Untuk

mencapai tujuan otonomi daerah (faktor evaluasi DOHP), perlu diketahui penilaian “variabel” yang

menggambarkan kinerja daerah dalam mencapai tujuan otonomi daerah. Selanjutnya untuk mengukur

sejauh mana kemampuan daerah dalam memenuhi tingkat variabel yang ditetapkan untuk mencapai

tujuan otonomi daerah, maka digunakan indikator sebagai ukurannya. Pada Peraturan Menteri Dalam

Negeri No. 21 Tahun 2010, terdapat 33 indikator yang menjadi bagian dari 14 variabel. Dalam proses

evaluasi ini istilah variabel kemudian diubah menjadi “aspek” karena yang menjadi ukuran variabel

dalam penelitian ini adalah indikator itu sendiri. Penetapan indikator tersebut memperhatikan 7 (tujuh)

persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh suatu indikator, yaitu: (a) Ketersediaan data; (b)

Kemudahan dalam memperoleh data; (c) Kemudahan dalam proses penghitungan data; (d) Relevan; (e)

Terukur; (f) Akurat dan valid; dan (g) Reliabel.

� Tujuan EDOHP.

� Kerangka

penyusunan

instrument

evaluasi.

� Ujicoba

instrumen.

� Sosialisasi.

� Pengumpulan

kuesioner.

� Input data.

� Verifikasi/

validasi.

� Data cleaning.

� Menstandarisasi

data dengan Z-

score (untuk

indeks).

� Analisis regresi.

� Analisis DOHP

berdasar bentuk

daerah, usia, proses

pembentukan,

wilayah.

Page 24: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

12

12 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Gambar 3.2: 4 Faktor, 14 Aspek dan Indikator dalam Penyusunan Indeks EDOHP

Faktor 1: Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Aspek 1: Aspek Kemakmuran Masyarakat Indikator:

1. Laju pertumbuhan PDRB per kapita. 2. Penurunan tingkat kemiskinan. 3. Komitmen pemerintah pada peningkatan kemakmuran rakyat

yang dilihat dari bentuk hukum, relevansi dan dampak kebijakan. Aspek 2: Berkurangnya Ketimpangan Gender Indikator:

1. Komitmen pemerintah pada kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan yang dilihat dari bentuk hukum, relevansi dan dampak kebijakan.

2. Tingkat kelembagaan yang menangani kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan.

Faktor 2: Tata Pemerintahan yang Baik Aspek 1: Aspek Efektivitas Indikator:

1. Ketepatan waktu Daerah Menetapkan APBD. 2. Daya serap anggaran (APBD) Per Tahun.

Aspek 2: Aspek Transparansi Indikator:

1. Komitmen pemerintah pada azas transparansi yang dilihat dari bentuk hukum, relevansi dan dampak kebijakan terhadap transparansi.

2. Publikasi APBD dan pengadaan barang/jasa (procurement). Aspek 3: Aspek Akuntabilitas Indikator:

1. Sarana yang disediakan pemerintah untuk penanganan pengaduan masyarakat.

2. Komitmen penyelenggara negara/pejabat pada azas integritas. 3. Publikasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. 4. Tingkat komitmen pemerintah pada kepentingan publik.

Aspek 4: Aspek Partisipasi Indikator:

1. Keterbukaan pemerintah terhadap partisipasi dan konsultasi publik dalam penyusunan kebijakan.

2. Jumlah Peraturan Daerah dari inisiatif DPRD.

Faktor 4: Peningkatan Daya Saing Daerah Aspek 1: Aspek Kebijakan Daerah Indikator:

1. Kepastian peruntukan lahan untuk usaha. 2. Komitmen pemerintah daerah pada perlindungan lingkungan

hidup. Aspek 2: Aspek Kelembagaan Daerah Indikator:

1. Komitmen pemerintah untuk memudahkan perizinan usaha 2. Upaya pemerintah daerah untuk mempromosi potensi ekonomi

daerah Aspek 3: Aspek Fasilitasi Investasi Indikator:

1. Komitmen pemerintah pada pengembangan usaha untuk UMKM 2. Kerjasama pemerintah daerah dengan pelaku usaha dalam

peningkatan investasi Aspek 4: Realisasi Investasi Indikator:

1. Nilai realisasi investasi

Faktor 3: Ketersediaan Pelayanan Publik Aspek 1: Pendidikan Indikator:

1. Tingkat komitmen pemerintah pada pelayanan pendidikan 2. Tingkat Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan SD/Sederajat,

SMP/Sederajat, dan SMA/Sederajat Aspek 2: Aspek Kesehatan Indikator:

1. Tingkat komitmen pemerintah pada pelayanan kesehatan 2. Persentase Balita Gizi Buruk

Aspek 3: Aspek Penyediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Umum Indikator:

1. Komitmen pemerintah pada penyediaan sarana air bersih dan sanitasi

2. Laju pertumbuhan sarana jalan 3. Inisiatif Pemda dalam penanganan krisis listrik

Aspek 4: Aspek Pelayanan Tata Kelola Administrasi Kependudukan Indikator:

1. Ketertiban pemerintah dalam pendataan penduduk 2. Ketertiban pemerintah dalam mencatat kelahiran anak

Penyesuaian indikator. Dari 33 indikator, 2 indikator tidak memenuhi syarat penetapan indikator.

Indikator “Produk Hukum Daerah yang Memberikan Intensif dan/atau Kemudahan Kepada Investor

untuk Keringanan/Penghapusan Biaya Pajak dan Retribusi Daerah” dihilangkan karena ketersediaan data

yang kurang memadai. Sedangkan indikator “Jumlah Realisasi Investasi” dihilangkan karena standar

ukuran investasi yang pantas untuk dihitung tidak jelas disebutkan sehingga ukuran investasi suatu

daerah tidak dapat diukur dengan jelas. Daerah yang memiliki jumlah investasi yang banyak belum tentu

Indeks

EDOHP

Page 25: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

13

13 Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran

memiliki ukuran investasi yang lebih besar. Karena bisa saja daerah dengan investasi yang sedikit

memiliki skala investasi besar, sedangkan yang memiliki banyak investasi terdiri dari investasi dengan

skala kecil. Dengan pengurangan 2 indikator, terdapat 31 indikator yang menjadi indikasi keberhasilan

suatu daerah dalam mencapai tujuan otonomi daerah (Gambar 3.2).

3.2.2 Pengumpulan Data

Data diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh pemerintah daerah dan data sekunder lainnya. Sebelum

dilakukan pengisian kuesioner untuk mengumpulkan data kebutuhan EDOHP diselenggarakan Sosialisasi

dan Rapat Teknis dengan seluruh pemerintah daerah hasil pemekaran pada tanggal 24 April 2010.

Peserta dari pemerintahan daerah menghadiri Rapat Teknis dengan membawa kuesioner yang sudah

diisi, profil daerah, rekap APBD selama 10 tahun, serta data pendukung lain yang diangggap perlu.

Pengumpulan data juga ada yang dilakukan melalui pengiriman langsung melaui Pos atau email yang

sudah ditetapkan.

3.2.3 Verifikasi dan Validasi Data

Verifikasi data dan kunjungan lapangan. Verifikasi dan validasi terhadap data dilakukan untuk

mengecek kelengkapan dan keakuratan data. Terhadap data yang meragukan, dilakukan konfirmasi

kepada pemerintah daerah yang bersangkutan untuk segera melengkapinya, agar tidak menyebabkan

distorsi atau kesalahan pada saat pengolahan data maupun analisis data. Selain itu, dilakukan

pengecekan lapangan terhadap data yang tidak terkumpul, meskipun jumlah daerah yang dapat

dikunjungi sangat terbatas. Hal ini dimaksudkan untuk melengkapi kekurangan data serta untuk melihat

kondisi obyektif di daerah yang bersangkutan.

Banyak kuesioner/data dari daerah yang tidak lengkap. Kendala yang ditemui dalam kegiatan ini

adalah adanya cukup banyak kuesioner yang pengisiannya kurang sesuai dengan yang dibutuhkan,

seperti: pemerintah daerah tidak secara lengkap mengirimkan data sesuai dengan usianya untuk

beberapa data yang bersifat time series; pengisian data yang tidak komparabel antar daerah karena

kesalahan pengertian pengisian kuesioner; dan daerah tidak menjawab seluruh pertanyaan kuesioner

sehingga data menjadi missing. Prosedur yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah meminta

daerah untuk mengirimkan data sampai batas waktu tertentu, sementara untuk beberapa daerah

dilakukan penjemputan data oleh staf Kemendagri. Untuk pengisian data yang tidak dapat

diperbandingkan karena kesalahan dalam memahami isi kuesioner (PDRB, PDRB per kapita, Angka

Kemiskinan, Jumlah Penduduk) dilakukan re-entry data dengan menggunakan data BPS. Untuk data di

mana sebagian besar daerah tidak dapat mengisikan kuesioner (Jumlah Balita Gizi Buruk, Sanitasi di

kluster provinsi) dilakukan reentry dengan menggunakan proksi dari data Kementerian Keseharan RI

tahun 2008. Digunakannya proksi data 1 tahun tersebut karena Tim hanya dapat menemukan dataset

yang comperhensive dan memadai dalam 1 tahun untuk indikator tersebut. Namun demikian dengan

upaya tersebut, masih terdapat beberapa daerah yang memiliki missing values.

Page 26: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

14

14 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

3.2.4 Prosedur Pengolahan Data

Teknik Perhitungan Indeks. Perhitungan indeks dilakukan untuk membandingkan kinerja pemerintah

daerah dari setiap 205 Daerah Otonomi Hasil Pemekaran (DOHP) yang terdiri dari 7 provinsi, 164

kabupaten dan 34 kota. Berikut tahap proses pengolahan dan analisis data.

Tahap Awal (Pembagian Kluster). Output dari pengolahan dan analisa data adalah untuk menghasilkan

tabel peringkat keberhasilan DOHP. Untuk menghasilkan output tersebut data set distandardisasi

kemudian dikompositkan menggunakan bobot. Pada tahap awal, daerah otonomi baru dikelompokkan

menjadi 2 kluster yaitu kluster provinsi dan kabupaten/kota

Perlakuan Atas Data Ekstrim. Setelah dilakukan pembagian kluster, tahap selanjutnya yaitu mengganti

data ekstrim dengan proses sebagai berikut: (a) Menghitung trimmed rata-rata dan trimmed standar

deviasi setiap indikator. Standar deviasi dan rata-rata dihitung pada 95% dari pusat distribusi (untuk

2,5% batas atas dan bawah tidak dihitung untuk menentukan rata-rata dan standar deviasi); (b) Setiap

observasi pada indikator yang terletak di atas 2,5 diganti dengan (rata-rata + 2,6 X trimmed standar

deviasi) jika berada pada ekor kanan, dan jika berada pada ekor kiri diganti dengan (rata-rata - 2,6 X

trimmed standar deviasi).

Prosedur Standardisasi. Dari setiap item indikator distandardisasi, sehingga diperoleh skor

standardisasi. Asumsi dari penggunaan pendekatan ini adalah sebaran skor yang diperoleh secara

statistik terdistribusi secara normal. Standardisasi atau normalisasi skor diterapkan terhadap seluruh

indikator untuk menghilangkan satuan skor masing-masing indikator yang memiliki ukuran berbeda

dengan skala nominal, skala ordinal, dan rasio. Dengan asumsi bahwa semua indikator dinilai dengan

skala 0 sampai dengan 100, di mana skor 0 adalah skor terjelek suatu daerah untuk masing-masing

indikator yang dimaksud, sedangkan skor 100 adalah skor terbaik suatu daerah untuk masing-masing

indikator yang dimaksud; maka normalisasi dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

3.2.5 Masalah Missing Data dalam Penulisan Laporan

Terdapat sejumlah DOHP yang hanya memperoleh skor total sebesar nol (atau missing data), yaitu: tiga

DOHP pada faktor kesejahteraan masyarakat,13 dua daerah pada faktor ketatapemerintahan yang baik,14

dan 27 DOHP pada faktor daya saing.15 Dua DOHP, yaitu Kabupaten Paniai dan Puncak Jaya, memiliki

13 Ketiga DOHP tersebut adalah Kabupaten Paniai, Puncak Jaya dan Deiyai.

14 Kedua DOHP yaitu Kabupaten Paniai dan Puncak Jaya.

Skor Standardisasi xi = 100 × (�i– �min)

(�max – �min)

Page 27: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

15

15 Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran

y = 0,6578x + 4,0317

R² = 0,7751

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

To

tal

Kesejahteraan Masyarakat

y = 0,6408x + 13,377

R² = 0,6799

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

To

tal

Good Governance

y = 0,7096x + 12,11

R² = 0,6415

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

To

tal

Pelayanan Publik

y = 0,7018x + 22,661

R² = 0,5563

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

To

tal

Daya Saing

skor indeks kesejahteraan masyarakat, ketatapemerintahan yang baik, dan daya saing yang sama, yaitu

nol. Untuk mengujinya, dilakukan analisis regresi sederhana antara skor total dan skor masing-masing

faktor.

15 Ke 27 DOHP tersebut, yaitu: Gorontalo Utara, Murung Raya, Natuna, Mesuji, Tulang Bawang Barat, Maluku Barat Daya, Buru

Selatan, Kepulauan Aru, Morotai, Kota Subulussalam, Sabu Raijua, Yalimo, Puncak, Paniai, Memberamo Tengah, Nduga, Mappi,

Dogiyai, Puncak Jaya, Tambraw, Maybrat, Kepulauan Meranti, Toraja Utara, Sigi, Kepulauan Sitaro, Nias Utara dan Kota Gunung

Sitoli.

Gambar 3.3: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor

Kesejahteraan Masyarakat

Gambar 3.4: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor

Tata Pemerintahan yang Baik

Gambar 3.5: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Pelayanan Publik

Gambar 3.6: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Daya Saing

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Page 28: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

16

16 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Skor R2, yang memberikan onformasi mengenai goodness of fit antara skor total dan skor masing-

masing faktor, terbesar terdapat pada faktor kesejahteraan masyarakat, sedangkan yang terkecil pada

faktor daya saing (Gambar 3.3 dan 3.6). Hal ini disebabkan karena faktor kesejahteraan masyarakat

memiliki bobot terbesar (yaitu 30 persen) terhadap skor total, sementara faktor daya saing memiliki

bobot terkecil (20 persen). Selain itu, kondisi missing data yang cukup serius pada faktor daya saing--

yang terlihat dari bayaknya titik pada sumbu vertikal-- juga menyebabkan rendahnya skor R2 tersebut.

Oleh karenanya hasil dari evaluasi ini perlu disikapi dengan hati-hati untuk DOHP yang terletak pada

urutan yang relatif bawah karena adanya masalah missing data tadi. Selain itu, secara keseluruhan

terdapat 28 DOHP yang paling tidak memperoleh skor nol pada salah satu indikator evaluasi.

Karenanya, dalam laporan ini tidak akan disajikan peringkat daerah dengan kinerja terendah.

3.3 Pelaksanaan EDOHP

Pelaksana. Pelaksana kegiatan EDOHP adalah Direktorat Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja

Daerah (PKEKD), Direktorat Jenderal Otonomi Daerah di Kementerian Dalam Negeri. Pelaksanaan teknis

evaluasi dilakukan oleh sebuah tim evaluator independen yang berasal dari kalangan akademisi,

perwakilan dunia usaha, organisasi kemasyarakatan/peneliti dan media massa. Tim ini dibentuk

berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 188.205 – 39 Tahun 2010 Tentang Tim Evaluasi

Daerah Otonom Hasil Pemekaran Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang

Pemerintahan Daerah (lihat Tabel 3.1).

Pelaksanaan. Pelaksanaan evaluasi diawali dengan kegiatan diseminasi desain dan instrumen

pengumpulan data EDOHP dengan mengundang pimpinan/perwakilan pemerintah daerah dari 7

Provinsi dan 164 Kabupaten/Kota hasil pemekaran. Kegiatan ini dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 24

Februari 2010 yang dibuka oleh Menteri Dalam Negeri.

Tabel 3.1: Daftar Nama Tim Evaluator EDOHP

Nama Institusi Posisi

Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MA.

Prof. Dr. Muchlis Hamdi, MPA.

Prof. Dr. Syamsuddin Haris, M.Si.

Dr. Alberto D. Hanani

Dr. Tri Ratnawati

Dr. Alit Merthayasa

P. Agung Pambudhi, MM.

Natalia Soebagjo, MA.

Dadan S. Suharmawijaya

Universitas Gadjah Mada (UGM)

Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Kamar Dagang Indonesia (KADIN)

Peneliti Utama LIPI Bidang Politik

Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD)

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)

Center for the Study of Governance, Universitas Indonesia

The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)

Ketua

Wakil Ketua

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Anggota

Sumber: Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 188.205 – 39 Tahun 2010.

Diseminasi Hasil EDOHP. Hasil-hasil utama laporan diseminasikan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan

Fauzi pada Hari Otonomi Daerah tanggal 25 April 2011 di Kota Bogor. Selanjutnya Direktur Jenderal

Otonomi Daerah – Kementerian Dalam Negeri yang didampingi Tim Evaluator EDOHP menyampaikan

hasil EDOHP tersebut kepada publik melalui konferensi pers di kantor Kementerian Dalam Negeri di

Jakarta pada tanggal 28 April 2011.

Page 29: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

17

17 Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran

BAB IV

HASIL EVALUASI KINERJA RELATIF

DAERAH OTONOMI HASIL PEMEKARAN KABUPATEN/KOTA

4.1 Beberapa Kondisi/Karakteristik DOHP Kabupaten/Kota

Sebagian besar DOHP dibentuk berdasarkan inisiatif pemerintah dan DPR. Kecuali di Jawa, sebagian

besar DOHP dibentuk atas inisiatif pemerintah dan DPR. Ada 198 DOHP kabupaten/kota baru di

sepanjang kurun waktu 1999-2009. Pemekaran paling banyak terjadi di pulau Sumatera dan di wilayah

Indonesia Bagian Barat (Gambar 4.1 dan 4.2). Dalam hal ini, proses pemekaran daerah di Indonesia

umumnya melalui tiga jalan, yaitu: (a) Melalui prosedur inisiatif pemerintah pusat; (b) Melalui prosedur

hak inisiatif DPR; (c) Melalui proses tranformasi menjadi daerah otonom.16

Gambar 4.1: Proporsi DOHP berdasarkan Kepulauan dan Proses Pemekaran

Gambar 4.2: Proporsi DOHP berdasarkan Wilayah dan Proses Pemekaran

Gambar 4.3: Proporsi DOHP Kabupaten dan Kota berdasarkan Usia

Gambar 4.4: Proporsi DOHP Kabupaten dan Kota berdasarkan Proses Pemekaran

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

16 Sebelum menjadi DOHP penuh, sebuah daerah terlebih dulu melalui proses menjadi kota atau kabupaten administratif

terlebih dahulu selama beberapa tahun sampai dianggap cukup siap untuk pisahkan dari daerah induk mendai kota atau

kabupaten tersendiri. Contohnya adalah Kota Administratif Depok yang awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Bogor

kemudian dimekarkan menjadi Kota Depok. Contoh dari Kabupaten Administratif adalah Kabupaten Kepulauan Seribu di

Provinsi DKI Jakarta. Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tidak ada lagi kabupaten dan kota administratif, sehingga

pemekaran daerah dapat langsung dilakukan secara otomatis begitu UU pembentukan daerah baru tersebut disahkan.

40%

36%

80%

36%

0%

51%

53%

58%

12%

55%

44%

37%

7%

6%

8%

9%

56%

12%

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Maluku & Papua = 45 …

Sulawesi = 33 DOHP

Kalimantan = 25 DOHP

Nusa Tenggara = 11 …

Jawa = 9 DOHP

Sumatera = 75 DOHP

Inisiatif pemerintah pusat Inisiatif DPR Transformasi menjadi daerah otonom

40%

44%

51%

53%

48%

34%

7%

7%

15%

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Indonesia Bagian Timur = 45 DOHP

Indonesia Bagian Tengah = 54 DOHP

Indonesia Bagian Barat = 99 DOHP

Inisiatif pemerintah pusat Inisiatif DPR Transformasi menjadi daerah otonom

21%

30%

79%

70%

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Kota = 34 DOHP

Kabupaten = 164 DOHP

0-3 Tahun > 3 Tahun

21%

52%

26%

46%

53%

2%

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Kota = 34 DOHP

Kabupaten = 164 DOHP

Inisiatif pemerintah Inisiatif DPR Transformasi

Page 30: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

18

18 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Data yang ada menunjukkan kecenderungan

proses pemekaran berbeda di tiap pulau dan

wilayah. Di Kalimantan peran pemerintah dalam

mengusulkan pembentukan DOHP terlihat sangat

dominan (80 persen). Sementara di Jawa, sebagian

besar proses pemekaran melalui proses

transformasi menjadi daerah otonom (56 persen),

dan tidak ada DOHP yang dibentuk atas inisiatif

pemerintah (lihat Gambar 4.1). Jika dilihat berdasar

proporsi pembentukan DOHP per daerah, di

Indonesia Bagian Barat proses pembentukan DOHP

atas inisiatif pemerintah dan transformasi daerah

proporsinya terlihat lebih tinggi dibandingkan pada

daerah lain. Sementara di Indonesia Bagian Timur,

peran DPR tampak lebih aktif dalam mengusulkan

pemekaran tersebut (Gambar 4.2).

Dalam tahun-tahun terakhir, DPR lebih

berperan dalam mengusulkan pembentukan

DOHP. Jika dilihat berdasarkan usia daerah,

terlihat ada perbedaan kecenderungan peran

pemerintah dan DPR dalam mengusulkan

pemekaran. Pada DOHP yang berusia 0-3 tahun,

peran DPR terlihat sangat dominan lebih dari 90

persen. Sebaliknya pada DOHP berusia lebih

dari tiga tahun, pemerintah terlihat lebih aktif

mengusung usulan pemekaran daerah (lihat

Tabel 4.1).

Sekitar 70-80 persen kabupaten/kota berusia

di atas tiga tahun (Gambar 4.3).17 Secara

keseluruhan, dari 198 kabupaten/kota sebagian

besar berusia di atas 3 tahun, yaitu 141 daerah atau 71 persen. Dalam tiga tahun terakhir terlihat

adanya kecenderungan pembentukan kabupaten baru yang cukup banyak di Sumatera, Maluku-Papua

dan Sulawesi (Tabel 4.2).

17 Tiga tahun dijadikan ukuran karena dikaitkan dengan waktu pelaksanaan evaluasi suatu daerah yang baru terbentuk yang

diatur dalam PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Selain itu, hal tersebut

juga dikaitkan dengan pembagian usia daerah dalam EPDOB, yaitu 0-3 tahun dan 4-5 tahun. Diharapkan dengan kesamaan

satuan tersebut dapam membantu jika dibutuhkan untuk perbandingan kinerja daerah dari beberapa evaluasi berbeda.

Tabel 4.1: DOHP berdasarkan Usia dan Proses Pemekaran

Usia dan Proses Pembentukan DOHP

Frekuensi Persentase

Usia 0-3 tahun

Inisiatif DPR 52 91.23

Inisiatif Pemerintah Pusat 5 8.77 Transformasi menjadi daerah

otonom 0 0

Jumlah 57 100

Usia > 3 tahun

Inisiatif DPR 32 22.7

Inisiatif Pemerintah Pusat 87 61.7 Transformasi menjadi daerah

otonom 22 15.6

Jumlah 141 100

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Tabel 4.2: DOHP berdasarkan Kepulauan dan Bentuk Administrasi

Pulau Kab/Kota Usia DOHP (Tahun) Jumlah 0-3 > 3

Sumatera Kota 2 11 13

Kabupaten 17 45 62

Jawa Kota 2 6 8

Kabupaten 1 0 1

Kalimantan Kota 0 3 3

Kabupaten 3 19 22

Sulawesi Kota 1 3 4

Kabupaten 10 19 29

Nusa Tenggara

Kota 0 1 1

Kabupaten 6 4 10

Maluku-Papua Kota 1 3 4

Kabupaten 14 27 41

Total 57 141 198

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Page 31: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

19

19 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota

47.17

34.4847.13

39.48

31.1518.94

0

10

20

30

40

50Inisiatif Pemerintah

Inisiatif DPRTransformasi

Kota Kabupaten

4.2 Indeks Total DOHP Kabupaten/Kota

Secara umum kinerja kota lebih baik dari kabupaten. Hasil analisis menunjukkan bahwa skor total kota

lebih tinggi dari kabupaten. Skor total gabungan kabupaten dan kota sebesar 36,65 yang diperoleh dari

skor total kabupaten sebesar 35,17 dan skor total kota sebesar 43,78 (Gambar 4.5).

Kinerja DOHP Kabupaten/Kota di Jawa paling tinggi dibanding pulau/kepulauan lainnya. Jika

dibandingkan berdasar pembagian lima pulau/kepulauan di Indonesia, kinerja DOHP Kabupaten/Kota di

Jawa memiliki skor total tertinggi, diikuti DOHP di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara dan

Maluku-Papua (Gambar 4.6). Perbedaan skor total antara Jawa dengan Maluku-Papua terlihat cukup

tinggi, yaitu 45,51 berbanding 26,79.

Gambar 4.5: Skor Total Kabupaten dan Kota Gambar 4.6: Skor Total berdasarkan Pulau/Kepulauan

Gambar 4.7: Skor Total berdasarkan Usia DOHP Gambar 4.8 Skor Total berdasarkan Proses Pemekaran

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Faktor usia DOHP Kabupaten/Kota cenderung berbanding lurus dengan kinerjanya. Pada Gambar 4.7

terlhat bahwa baik di kabupaten maupun kota, DOHP berusia lebih dari 3 tahun menunjukkan skor total

yang lebih tinggi dibandingkan DOHP Kabupaten/Kota berusia dibawah 3 tahun.

Ada perbedaan kinerja daerah dilihat dari proses pembentukannya. Gambar 4.8 menunjukkan

perbedaan kinerja DOHP Kabupaten dan Kota berdasarkan proses pembentukannya. Pada DOHP Kota,

capaian skor total pada kota yang dibentuk melalui proses inisiatif pemerintah dan transformasi menjadi

daerah otonom dapat dikatakan sama. DOHP Kota yang dibentuk melalui proses inisiatif DPR capaian

43.78

35.17

0 10 20 30 40 50

Kota

Kabupaten 39.39

45.41

42.89

37.30

34.96

26.790

20

40

60

Sumatera (75 DOHP)

Jawa (9)

Kalimantan (25)

Sulawesi (33)

Nusa Tengara (11)

Maluku-Papua (45)

28.49

47.74

24.62

39.8

0 10 20 30 40 50

0-3 Th

> 3 Th

Kabupaten Kota

Page 32: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

20

20 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

skor totalnya terendah. Sebaliknya, pada DOHP Kabupaten, DOHP yang dibentuk melalui proses

transformasi justru hanya mampu mencapai sekitar setengah saja dari skor total DOHP yang dibentuk

melalui proses inisiatif pemerintah dan DPR. Meskipun secara proporsi DOHP Kabupaten yang dibentuk

melalui proses transformasi jumlahnya sedikit saja.

DOHP Kabupaten peringkat tertinggi berusia lebih dari 3 tahun. Tabel 4.3 menunjukkan 10 DOHP

Kabupaten dengan skor total tertinggi. Ada kecenderungan bahwa faktor usia DOHP (kesepuluh daerah

berusia lebih dari 3 tahun) mempengaruhi capaian tersebut. Sebanyak 7 dari 10 DOHP Kabupaten

tersebut berada di Sumatera. Kesepuluh DOHP Kabupaten tersebut dibentuk melalui inisiatif DPR dan

pemerintah. Analisis statistik mengenai pengaruh dan hubungan kinerja kabupaten dengan usia dan

proses pembentukan akan diuraikan pada bagian selanjutnya.

Tabel 4.3: DOHP Kabupaten dengan Skor Total Tertinggi

Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia Total

Skor Peringkat

Dharmas Raya Sumbar Inisiatif DPR > 3 59,43 1

Bangka Tengah Babel Inisiatif DPR > 3 59,18 2

Samosir Sumut Inisiatif DPR > 3 58,52 3

Boalemo Gorontalo Inisiatif pemerintah > 3 56,42 4

Serdang Bedagai Sumut Inisiatif DPR > 3 55,35 5

Bangka Selatan Babel Inisiatif DPR > 3 55,20 6

Malinau Kaltim Inisiatif pemerintah > 3 54,68 7

Muaro Jambi Jambi Inisiatif pemerintah > 3 54,43 8

Bangka Barat Babel Inisiatif DPR > 3 53,66 9

Sumbawa Barat NTB Inisiatif DPR > 3 53,36 10

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Seperti halnya pada kabupaten, faktor usia juga berpengaruh terhadap kinerja 10 DOHP Kota

berperingkat tertinggi. Kesepuluh DOHP Kota berperingkat tertinggi berusia lebih dari 3 tahun (Tabel

4.4). Sebanyak 7 dari 10 kota berperingkat terbaik tersebut dibentuk melalui proses transformasi

menjadi daerah otonom. Dari 10 kota tersebut, 3 diantaranya berasal dari Provinsi Jawa Barat.

Pada bagian selanjutnya akan diuraikan temuan hasil evaluasi pada tiap faktor berdasarkan bentuk

daerah, pulau/kepulauan, usia dan proses pembentukan.

Page 33: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

21

21 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota

Tabel 4.4: 10 Kota dengan Skor Total Tertinggi

No Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia Total

Skor Peringkat

1 Banjarbaru Kalsel Transformasi > 3 64,61 1

2 Cimahi Jabar Inisiatif DPR > 3 60,43 2

3 Singkawang Kalbar Transformasi > 3 58,12 3

4 Tasikmalaya Jabar Transformasi > 3 57,40 4

5 Palopo Sulsel Transformasi > 3 57,20 5

6 Cilegon Banten Transformasi > 3 56,62 6

7 Banjar Jabar Transformasi > 3 56,36 7

8 Batam Kepri Inisiatif pemerintah > 3 55,77 8

9 Tanjung Pinang Kepri Transformasi > 3 55,36 9

10 Tomohon Sulut Inisiatif pemerintah > 3 53,64 10

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

4.3 Faktor Kesejahteraan Masyarakat

Para penggagas pembentukan daerah otonom baru seringkali berargumentasi bahwa pembentukan

daerah otonom baru akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Beberapa teori menjustifikasi

argumentasi ini dengan mengatakan bahwa fragmentasi daerah akan dapat mendorong kompetisi antar

daerah. Daerah akan memperebutkan investasi dan modal yang terbatas dan mendorong mereka untuk

lebih efisien. Pembentukan daerah juga diharapkan dapat memperbaiki rasa keadilan karena adanya

daerah otonom baru memungkinkan pemerintah daerah baru tersebut untuk memperhatikan

kepentingan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan. Banyak daerah baru dibentuk karena

sekelompok pemangku kepentingan merasa kepentingannya kurang diperhatikan oleh pemerintah

induknya. Karena itu ketika mereka berhasil membentuk daerah otonom baru diharapkan pemerintah

DOHP itu lebih peduli kepada kepentingan mereka.

Fragmentasi daerah diharapkan dapat membuat pemerintah menjadi lebih fokus kepada kelompok

penduduk yang selama ini terpinggirkan. Mereka mendukung pembentukan daerah baru karena

berharap pemerintah daerah yang baru akan lebih peduli dengan kesejahteraan mereka. Menilai kinerja

DOHP dalam meningkatkan kesejahteraan warganya menjadi amat penting dalam menilai keberhasilan

pembentukan daerah.

Kesejahteraan masyarakat yang menjadi salah satu tujuan otonomi daerah di Indonesia, yang dalam

evaluasi ini diukur berdasarkan perbandingan relatif antar DOHP yang dinilai kinerjanya melalui indeks

komposit dari indikator-indikator, yaitu: laju pertumbuhan PDRB per kapita, penurunan angka

kemiskinan, kebijakan pemberdayaan penduduk miskin, produk hukum kesetaraan gender, dan bentuk

kelembagaan penanganan kesetaraan gender. Indeks ini menunjukkan posisi tiap daerah terhadap

standar kinerja yang ditetapkan oleh evaluator, dari peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Page 34: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

22

22 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Gambar 4.9: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Kabupaten dan Kota

Gambar 4.10: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Pulau/Kepulauan

Gambar 4.11: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Usia DOHP

Gambar 4.12: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Proses Pemekaran

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Pada faktor kesejahteraan masyarakat, DOHP Kota berkinerja lebih baik. Hasil evaluasi menunjukkan

bahwa kinerja DOHP Kota pada faktor kesejahteraan masyarakat cenderung lebih baik dibanding DOHP

Kabupaten. Sementara itu, DOHP Kabupaten/Kota di Jawa memiliki skor tertinggi pada faktor

kesejahteraan masyarakat, diikuti oleh Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku-

Papua. Pada Gambar 4.10 terlihat perbedaan skor yang cukup tinggi antara DOHP di Jawa dengan

Maluku-Papua, yaitu 62,84 berbanding 35,28.

Usia DOHP tampaknya berpengaruh terhadap kinerja daerah dalam pemenuhan kesejahteraan

masyarakat. Baik di DOHP Kabupaten maupun Kota, DOHP yang berusia di atas 3 tahun capaian skor

evaluasinya lebih tinggi dari daerah yang berusia 0-3 tahun (Gambar 4.11. DOHP yang dibentuk atas

inisiatif pemerintah cenderung lebih mampu memberikan kesejahteraan masyarakat. Baik di DOHP

Kabupaten maupun Kota, DOHP yang dibentuk atas inisiatif pemerintah memperoleh skor tertinggi pada

faktor kesejahteraan masyarakat. Menariknya, DOHP Kabupaten yang dibentuk dari proses transformasi

justru memperoleh skor terendah (Gambar 4.12). Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa peringkat

pertama faktor belum tentu peringkat teratas secara total. Pada seluruh uraian berikutnya akan terlihat

bahwa sekalipun daerah menduduki peringkat pertama pada masing-masing faktor, namun posisi

tersebut bukan serta merta menjadi posisi teratas secara total. Masih banyak faktor lain yang lebih

dominan mempengaruhi peringkatnya secara signifikan.

58.39

47.98

0 10 20 30 40 50 60

Kota

Kabupaten53.87

62.84

59.23

51.36

44.09

35.28

0

20

40

60

80Sumatera (75 DOHP)

Jawa (9)

Kalimantan (25)

Sulawesi (33)

Nusa Tenggara (11)

Maluku & Papua = 45 DOHP

44.23

62.06

34.69

53.81

0 10 20 30 40 50 60 70

0-3 Th

> 3 Th

Kabupaten Kota

63.22

47.4561.98

52.82

43.7324.67

0

20

40

60

80Inisiatif Pemerintah

Inisiatif DPRTransformasi

Kota Kabupaten

Page 35: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

23

23 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota

Tabel 4.5: 10 Kabupaten dengan Skor Tertinggi pada Faktor Kesejahteraan Masyarakat

No Daerah Provinsi Proses

Pembentukan Usia

Faktor Kesejahteraan

Masyarakat Total

Skor Peringkat Skor Peringkat

1 Serdang Bedagai Sumut Inisiatif DPR > 3 76,80 1 55,35 5

2 Bangka Barat Babel Inisiatif DPR > 3 71,80 2 53,66 9

3 Muaro Jambi Jambi Inisiatif pemerintah > 3 71,74 3 54,43 8

4 Minahasa Selatan Sulut Inisiatif DPR > 3 71,57 4 50,14 20

5 Seruyan Kalteng Inisiatif pemerintah > 3 70,23 5 48,34 24

6 Padang Lawas Sumut Inisiatif DPR 0-3 70,20 6 39,83 65

7 Minahasa Utara Sulut Inisiatif DPR > 3 69,80 7 40,05 63

8 Pasaman Barat Sumbar Inisiatif pemerintah > 3 69,76 8 46,02 31

9 Siak Riau Inisiatif pemerintah > 3 69,63 9 43,76 41

10 Luwu Timur Sulsel Inisiatif DPR > 3 69,46 10 49,28 23

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

DOHP Kabupaten berperingkat terbaik umumnya berusia di atas 3 tahun. Sebagian besar DOHP

Kabupaten yang masuk peringkat 10 daerah dengan skor tertinggi pada faktor kesejahteraan masyarakat

berusia lebih dari 3 tahun (Tabel 4.5). Hanya satu DOHP Kabupaten berusia 0-3 tahun yang masuk

peringkat 10 besar yaitu Padang Lawas (Sumatera Utara). Sebanyak 6 dari 10 daerah tersebut berasal

dari Sumatera. Kesepuluh daerah tersebut dibentuk atas inisiatif pemerintah atau DPR, dan tidak

satupun yang merupakan hasil transformasi menjadi daerah otonom.

DOHP Kota di Jawa kinerjanya lebih baik dibanding kota-kota di pulau lainnya.Temuan evaluasi yang

disajikan pada Tabel 4.6 menunjukkan bahwa DOHP Kota di Jawa menunjukkan kinerja yang menonjol

pada faktor kesejahteraan rakyat. Peringkat 1 sampai 3 ditempati oleh Kota Banjar dan Depok (Provinsi

Jawa Barat) dan Cilegon (Banten). Dari sepuluh daerah tersebut, hanya Kota Kotamobagu yang berusia

0-3 tahun.

Page 36: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

24

24 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Tabel 4.6: 10 Kota dengan Skor Tertinggi pada Faktor Kesejahteraan Masyarakat

Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia

Faktor Kesejahteraan

Masyarakat Total

Skor Peringkat Skor Peringkat

Banjar Jabar Transformasi > 3 74,50 1 56,36 7

Depok Jabar Transformasi > 3 74,31 2 48,52 14

Cilegon Banten Transformasi > 3 73,83 3 56,62 6

Banjarbaru Kalsel Transformasi > 3 72,65 4 64,61 1

Tomohon Sulut Inisiatif pemerintah > 3 72,19 5 53,64 10

Singkawang Kalbar Transformasi > 3 71,39 6 58,12 3

Dumai Riau Transformasi > 3 70,21 7 47,20 16

Batam Kepri Inisiatif pemerintah > 3 70,10 8 55,77 8

Kotamobagu Sulut Inisiatif pemerintah 0-3 70,04 9 40,57 21

Palopo Sulsel Transformasi > 3 69,21 10 57,20 5

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

4.4 Faktor Tata Pemerintahan yang Baik

Untuk menilai kinerja DOHP dalam mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, evaluasi DOHP

menggunakan skor indeks yang merupakan komposit dari 10 indikator (Ketepatan APBD, Penyerapan

Anggaran, Produk Hukum Transparansi, Publikasi APBD dan Procurement, Pelembagaan Penanganan

Pengaduan, Pakta Integritas, Publikasi Pertanggungjawaban APBD, Persentase Anggaran DPRD dan

Kepala Daerah, Konsultasi Publik dan Jumlah Peraturan Daerah yang dibuat atas Inisiatif DPRD).

Pada faktor tata pemerintahan yang baik, kinerja DOHP di Kalimantan menonjol dibanding daerah

lain. Seperti halnya pada faktor kesejahteraan masyarakat, pada faktor tata pemerintahan inipun DOHP

Kota menunjukkan kinerja yang sedikit lebih baik dibandingkan kabupaten (Gambar 4.13). Dilihat data

per pulau, DOHP Kabupaten/Kota di Kalimantan menunjukkan kinerja lebih baik dibandingkan DOHP

Kabupaten/Kota di pulau lainnya. Pada faktor tata pemerintahan yang baik ini, DOHP Kabupaten/Kota di

Jawa bahkan memperoleh skor yang lebih kecil dibandingkan DOHP di Sulawesi dan Sumatera (Gambar

4.14).

Usia justru cenderung menurunkan kinerja DOHP Kabupaten pada faktor tata pemerintahan yang

baik. Jika dilihat berdasarkan usia pada Gambar 4.15 terlihat temuan yang menarik. Pada DOHP yang

berusia 0-3 tahun, perbedaan skor antara DOHP Kabupaten dengan Kota pada faktor tata pemerintahan

yang baik terlihat tidak terlalu jauh berbeda. Namun, pada DOHP yang berusia di atas 3 tahun, terlihat

perbedaan yang sangat mencolok antar kedua jenis daerah tersebut. Temuan ini sangat menarik karena

DOHP Kabupaten yang berusia di atas 3 tahun skor-nya justru jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang

berusia di bawah 3 tahun.

Page 37: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

25

25 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota

Gambar 4.13: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Kabupaten dan Kota

Gambar 4.14: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Pulau/Kepulauan

Gambar 4.15: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Usia DOHP

Gambar 4.16: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Proses Pemekaran

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

41.43

35.29

0 10 20 30 40 50

Kota

Kabupaten

38.63

36.06

45.59

36.34

36.00

27.55

0

10

20

30

40

50Sumatera (75 DOHP)

Jawa (9)

Kalimantan (25)

Sulawesi (33)

Nusa Tenggara (11)

Maluku & Papua = 45 DOHP

26.63

45.27

25.49

6.29

0 10 20 30 40 50

0-3 Th

> 3 Th

Kabupaten Kota

47.56

35.0242.25

40.47

30.4715.83

0

10

20

30

40

50Inisiatif Pemerintah

Inisiatif DPRTransformasi

Kota Kabupaten

Tabel 4.7: 10 Kabupaten dengan Skor Tertinggi pada Faktor Tata Pemerintahan

Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia

Faktor Tata Pemerintah

yang Baik Total

Skor Peringkat Skor Peringkat

Bangka Tengah Babel Inisiatif DPR > 3 77,87 1 59,18 2

Dharmas Raya Sumbar Inisiatif DPR > 3 77,12 2 59,43 1

Boalemo Gorontalo Inisiatif pemerintah > 3 70,27 3 56,42 4

Bangka Selatan Babel Inisiatif DPR > 3 68,55 4 55,20 6

Malinau Kaltim Inisiatif pemerintah > 3 66,77 5 54,68 7

Karimun Kepri Inisiatif pemerintah > 3 65,94 6 52,15 15

Muaro Jambi Jambi Inisiatif pemerintah > 3 64,86 7 54,43 8

Pidie Jaya NAD Inisiatif DPR 0-3 63,84 8 46,50 28

Kepahiang Bengkulu Inisiatif pemerintah > 3 63,81 9 49,53 22

Parigi Moutong Sulteng Inisiatif pemerintah > 3 63,69 10 45,51 34

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Page 38: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

26

26 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Pada faktor tata pemerintahan, DOHP yang dibentuk atas inisiatif pemerintah kinerjanya lebih baik.

Hasil evaluasi pada Gambar 4.16 menunjukkan bahwa pada faktor tata pemerintahan yang baik ini,

DOHP (baik kabupaten maupun kota) yang dibentuk berdasarkan inisiatif pemerintah kinerjanya lebih

baik dibandingkan yang dibentuk melalui proses lain. Pada DOHP Kota, DOHP yang dibentuk melalui

proses transformasi memperoleh skor yang sedikit lebih tinggi dibanding DOHP Kota bentukan inisiatif

DPR. Sebaliknya, pada DOHP Kabupaten, DOHP yang dibentuk melalui proses transformasi memperoleh

skor paling kecil, bahkan dapat dikatakan cukup timpang dibandingkan DOHP yang dibentuk melalui

proses lainnya.

DOHP Kabupaten dari Sumatera kinerjanya sangat menonjol pada faktor tata pemerintahan yang

baik. Tabel 4.7 memperlihatkan 10 DOHP Kabupaten yang memperoleh skor tertinggi pada faktor tata

pemerintahan yang baik. 7 diantara 10 kabupaten tersebut berasal dari Sumatera. Namun, faktor usia

mungkin juga mempengaruhi kinerja DOHP pada faktor ini, terlihat hamper semua DOHP tersebut

berusia lebih dari 3 tahun. Catatan lain adalah bahwa tidak ada satupun DOHP Kabupaten dari proses

transformasi yang berhasil masuk peringkat 10 besar pada faktor tersebut.

DOHP Kota hasil transformasi daerah otonom mendominasi 10 DOHP Kota berperingkat teratas.

Tabel 4.8 menyajikan data 10 DOHP Kota yang memperoleh skor tertinggi pada faktor tata

pemerintahan yang baik. Kesepuluh DOHP tersebut berusia diatas 3 tahun. Lebih dari setengahnya

merupakan DOHP hasil transformasi menjadi daerah otonom. Temuan menarik adalah masuknya Kota

Sorong di Provinsi Papua Barat sebagai salah satu diantara 10 daerah tersebut, yang bahkan mampu

berada di peringkat ketiga.

Tabel 4.8: 10 Kota dengan Skor Tertinggi pada Faktor Tata Pemerintahan yang Baik

Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia

Faktor Tata Pemerintah

yang Baik Total

Skor Peringkat Skor Peringkat

Banjarbaru Kalsel Transformasi > 3 83,08 1 64,61 1

Batam Kepri Inisiatif pemerintah > 3 72,64 2 55,77 8

Sorong

Papua

Barat Inisiatif pemerintah > 3

66,05 3 47,33 15

Cimahi Jabar Inisiatif DPR > 3 63,37 4 60,43 2

Singkawang Kalbar Transformasi > 3 61,76 5 58,12 3

Cilegon Banten Transformasi > 3 61,20 6 56,62 6

Tasikmalaya Jabar Transformasi > 3 59,78 7 57,40 4

Lubuk Linggau Sumsel Transformasi > 3 57,30 8 53,49 11

Tanjung Pinang Kepri Transformasi > 3 54,22 9 55,36 9

Tidore Kepulauan Malut Inisiatif DPR > 3 54,03 10 51,07 13

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Page 39: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

27

27 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota

45.31

32.8249.80

35.65

29.6820.87

0

10

20

30

40

50Inisiatif Pemerintah

Inisiatif DPRTransformasi

Kota Kabupaten

4.5 Faktor Pelayanan Publik

Faktor ketiga yang digunakan untuk menilai kinerja DOHP adalah ketersediaan pelayanan publik.

Ketersediaan pelayanan publik dinilai dari 4 (empat) aspek, yaitu: pelayanan pendidikan, kesehatan,

penyediaan sarana dan prasarana umum, dan pelayanan administrasi kependudukan. Keempat jenis

pelayanan publik ini dinilai mampu menggambarkan kebutuhan dasar masyarakat untuk dapat

mewujudkan kesejahteraan sosial dan ekonominya.

Pada faktor pelayanan publik, kinerja DOHP Kota lebih menonjol. Seperti halnya pada faktor

kesejahteraan masyarakat dan tata pemerintahan yang baik, pada faktor pelayanan publik inipun DOHP

Kota menunjukkan kinerja lebih baik dibandingkan DOHP Kabupaten (Gambar 4.17). Pada faktor ini,

DOHP Kabupaten/Kota di Jawa memperoleh skor paling tinggi dibandingkan DOHP di pulau-pulau

lainnya (Gambar 4.18).

Gambar 4.17: Skor Faktor Pelayanan Publik berdasarkan Kabupaten dan Kota

Gambar 4.18: Skor Faktor Pelayanan Publik berdasarkan Pulau/Kepulauan

Gambar 4.19: Skor Faktor Pelayanan Publik berdasarkan Usia DOHP

Gambar 4.20: Skor Pelayanan Publik berdasarkan Proses Pemekaran

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Kinerja DOHP pada faktor pelayanan publik dipengaruhi oleh usia daerah. Sementara jika dilihat

berdasarkan usia, DOHP berusia di atas 3 tahun berkinerja lebih baik dibanding DOHP yang lebih muda

dengan selisih skor yang cukup jauh (Gambar 4.19). Temuan menarik lain adalah, DOHP Kota hasil

transformasi menjadi daerah otonom memiliki skor hasil evaluasi yang paling tinggi, namun DOHP

Kabupaten hasil proses transformasi justru memiliki skor yang paling rendah (Gambar 4.20).

44.38

32.56

0 10 20 30 40 50

Kota

Kabupaten37.43

47.28

32.87

36.67

34.29

26.82

0

10

20

30

40

50

Sumatera (75 DOHP)

Jawa (9)

Kalimantan (25)

Sulawesi (33)

Nusa Tenggara (11)

Maluku & Papua = 45 DOHP

23.49

49.79

22.31

37.06

0 10 20 30 40 50

0-3 Th

> 3 Th

Kabupaten Kota

Page 40: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

28

28 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Tidak ada DOHP Kabupaten hasil transformasi yang masuk peringkat 10 tertinggi pada faktor

pelayanan publik. DOHP Kabupaten yang memperoleh skor paling tinggi ditampilkan pada Tabel 4.9.

Tidak ada DOHP yang dibentuk berdasar proses transformasi menjadi daerah otonom yang masuk dalam

10 daerah dengan skor tertinggi pada faktor ini. Kabupaten Sarmi dari Provinsi Papua justru

menunjukkan kinerja yang cukup baik sehingga masuk dalam daftar tersebut. Masuknya Sumbawa Barat

(NTB) dan Lembata (NTT) juga menunjukkan bahwa DOHP di bagian Timur Indonesia pun dapat

‘bersaing’ dengan DOHP di wilayah lainnya. Meskipun demikian secara umum dapat dikatakan bahwa

usia kemungkinan memang mempengaruhi kinerja daerah karena kesepuluh DOHP Kabupaten tersebut

berusia lebih dari 3 tahun.

DOHP Kota dari Jawa dan yang dibentuk melalui proses transformasi paling banyak masuk peringkat

terbaik. Sementara dari daftar 10 DOHP Kota dengan skor tertinggi pada Tabel 4.10 dapat dikatakan

didominasi oleh DOHP dari Jawa (4 DOHP). Sebagian besar DOHP dalam daftar tersebut dibentuk

berdasarkan proses transformasi. Dilihat dari usianya, kesepuluh DOHP berusia lebih dari 3 tahun.

Tabel 4.9: 10 Kabupaten dengan Skor Faktor Pelayanan Publik Tertinggi

Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia

Faktor Pelayanan

Publik Total

Skor Peringkat Skor Peringkat

Bangka Barat Babel Inisiatif DPR > 3 63,10 1 53,66 9

Samosir Sumut Inisiatif DPR > 3 62,23 2 58,52 3

Sumbawa Barat NTB Inisiatif DPR > 3 61,72 3 53,36 10

Luwu Utara Sulsel Inisiatif pemerintah > 3 61,04 4 50,86 17

Minahasa Selatan Sulut Inisiatif DPR > 3 60,11 5 50,14 20

Lembata NTT Inisiatif pemerintah > 3 57,93 6 40,92 56

Bangka Tengah Babel Inisiatif DPR > 3 57,60 7 59,18 2

Boalemo Gorontalo Inisiatif pemerintah > 3 56,28 8 56,42 4

Sarmi Papua Inisiatif pemerintah > 3 55,66 9 41,06 55

Rokan Hulu Riau Inisiatif pemerintah > 3 55,13 10 45,44 35

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Page 41: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

29

29 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota

4.6 Faktor Daya Saing

Peringkat daya saing daerah yang diuraikan disini merupakan perbandingan relatif antar DOHP, di mana

indeks yang dihasilkan merupakan komposit dari 4 (empat) aspek yang terdiri dari 7 (tujuh) indikator

daya saing. Sebagai suatu perbandingan relatif antar daerah, daerah yang berada di peringkat atas

dinilai lebih baik kinerjanya dari daerah yang berada di peringkat di bawahnya.

Pada faktor daya saing kinerja DOHP Kota lebih menonjol. Hasil evaluasi yang disajikan pada Gambar

4.21 menunjukkan bahwa pada faktor daya saing kinerja DOHP Kota lebih baik dibandingkan DOHP

Kabupaten. Jika penilaian kabupaten/kota digabungkan, terlihat bahwa DOHP di Jawa dan Kalimantan

memiliki skor tertinggi yang tidak terlalu jauh berbeda (Gambar 4.22). Perbedaan usia DOHP tampaknya

juga mempengaruhi kinerja daerah, terlihat di Gambar 4.23 bahwa DOHP berusia di atas 3 tahun lebih

tinggi skor-nya dibandingkan yang berusia dibawah 3 tahun. Sementara itu, proses pembentukan DOHP

menghasilkan kecenderungan yang berbeda, dimana DOHP Kota yang dibentuk melalui proses

transformasi memperoleh skor tetinggi, namun DOHP Kabupaten yang dibentuk dari proses yang sama

justru memperoleh skor terendah.

Tidak ada DOHP hasil proses transformasi yang berada di peringkat 10 terbaik pada faktor daya

saing. Peringkat 10 DOHP Kabupaten dengan skor tertinggi disajikan pada Tabel 4.11. Kesepuluh DOHP

tersebut dibentuk melalui proses inisiatif pemerintah atau DPR, dan tidak satupun yang merupakan hasil

transformasi menjadi daerah otonom. Ada 8 dari 10 DOHP dalam daftar tersebut yang berusia di atas 3

tahun. Temuan yag menarik adalah masuknya Buru (Maluku) dan Rote Ndao (NTT) dalam daftar

tersebut.

Tabel 4.10: 10 Kota dengan Skor Faktor Pelayanan Publik Tertinggi

Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia

Faktor Pelayanan

Publik Total

Skor Peringkat Skor Peringkat

Tomohon Sulut Inisiatif pemerintah > 3 72,91 1 53,64 10

Tasikmalaya Jabar Transformasi > 3 65,06 2 57,40 4

Singkawang Kalbar Transformasi > 3 64,31 3 58,12 3

Cimahi Jabar Inisiatif DPR > 3 64,30 4 60,43 2

Banjar Jabar Transformasi > 3 64,02 5 56,36 7

Langsa NAD Transformasi > 3 61,51 6 46,85 17

Palopo Sulsel Transformasi > 3 58,69 7 57,20 5

Cilegon Banten Transformasi > 3 56,14 8 56,62 6

Metro Lampung Inisiatif pemerintah > 3 55,97 9 46,68 18

Lhokseumawe NAD Transformasi > 3 54,50 10 45,22 19

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Page 42: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

30

30 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Gambar 4.21: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Kabupaten dan Kota

Gambar 4.22: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Pulau/Kepulauan

Gambar 4.23: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Usia DOHP

Gambar 4.24: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Proses Pemekaran

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

24.06

19.07

0 10 20 30

Kota

Kabupaten 21.08

28.63

27.53

18.18

20.78

13.10

0

10

20

30

Sumatera (75 DOHP)

Jawa (9)

Kalimantan (25)

Sulawesi (33)

Nusa Tenggara (11)

Maluku & Papua = 45 DOHP

13.45

26.81

11.33

22.46

0 5 10 15 20 25 30

0-3 Th

> 3 Th

Kabupaten Kota

24.78

16.4127.60

23.02

14.9811.83

0

5

10

15

20

25

30Inisiatif Pemerintah

Inisiatif DPRTransformasi

Kota Kabupaten

Tabel 4.11: 10 Kabupaten dengan Skor Faktor Daya Saing Tertinggi

Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia Faktor Daya Saing Total

Skor Peringkat Skor Peringkat

Belitung Timur Babel Inisiatif DPR > 3 58,34 1 49,88 21

Lamandau Kalteng Inisiatif pemerintah > 3 57,87 2 52,15 14

Buru Maluku Inisiatif pemerintah > 3 54,75 3 45,12 37

Dharmas Raya Sumbar Inisiatif DPR > 3 49,59 4 59,43 1

Samosir Sumut Inisiatif DPR > 3 48,22 5 58,52 3

Malinau Kaltim Inisiatif pemerintah > 3 46,69 6 54,68 7

Rote Ndao NTT Inisiatif pemerintah > 3 46,22 7 53,04 11

Kubu Raya Kalbar Inisiatif DPR 0-3 44,00 8 33,36 101

Katingan Kalteng Inisiatif pemerintah > 3 43,52 9 52,28 13

Bandung Barat Jabar Inisiatif DPR 0-3 43,17 10 44,08 39

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Page 43: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

31

31 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota

Seluruh DOHP Kota berperingkat terbaik pada faktor daya saing berusia di atas 3 tahun. Pada faktor

daya saing ini, sebanyak 8 dari 10 DOHP Kota dengan skor tertinggi dibentuk melalui proses transformasi

menjadi daerah otonom (Tabel 4.12). DOHP yang masuk dalam daftar tersebut relatif cukup merata,

kecuali dari Nusa Tenggara, Maluku-Papua. Seluruh DOHP tersebut berusia di atas 3 tahun.

4.7 Perbandingan Hasil EDOHP dengan Evaluasi Sejenis

Idealnya temuan EDOHP dapat dibandingkan dengan hasil EDOB atau EPDOB karena sama-sama

melakukan evaluasi terhadap daerah otonom baru.18 Namun karena perbedaan metode

pengukuran/evaluasi, menjadi sulit untuk membandingkannya dengan temuan EDOHP. Jenis evaluasi

yang metode pengukuran/evaluasinya mirip dengan EDOHP (menggunakan indeks, meskipun dengan

indikator evaluasi berbeda) adalah EKPPD.19 Bagian berikut akan mencoba membandingkan temuan

antar kedua evaluasi tersebut.

18 Direktorat Jenderal Otonomi Daerah – Kementerian Dalam Negeri pernah melakukan evaluasi DOB yang dituangkan dalam

laporan bertajuk “Hasil Evaluasi Perkembangan 57 Daerah Otonom Baru” (disusun tahun 2010). Obyek evaluasi adalah DOB

berusia di bawah 3 tahun (dari keseluruhan 205 DOB yang dibentuk antara 1999-2009), dimana terdapat 57 DOB yang dibentuk

antara tahun 2007-2009. Evaluasi tersebut menilai 10 aspek perkembangan penyelengaraan pemerintahan, yaitu: perangkat

daerah, personil, DPRD, penyelenggaraan urusan wajib dan pilihan, pembiayaan, asset dan dokumen, tata batas, sarana dan

prasarana pemerintahan, RTRW, dan ibukota daerah. Evaluasi perkembangan daerah otonom baru dilakukan pada dua tahapan

usia, yaitu Tahap Perkembangan Awal (usia 0-3 tahun) dan Tahap Perkembangan Lanjutan (usia 4-5 tahun). 19

Laporan EKPPD 2010 yang disusun oleh Kementerian Dalam Negeri merupakan hasil evaluasi terhadap seluruh daerah

otonom yang ada sampai dengan tahun 2008. Sumber informasi/data yang menjadi dasar EKPPD adalah Laporan

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD). Pada tahun 2008 terdapat 474 daerah otonom yang wajib menyusun LPPD (dari

total 524 daerah otonom saat itu). Dalam laporan tersebut, ada bagian yang secara khusus mengevaluasi DOB. EKPPD

mengukur capaian kinerja daerah otonom dalam hal pelaksanaan urusan wajib oleh daerah (urusan pendidikan, kesehatan,

lingkungan hidup, pekerjaan umum, tata ruang, perumahan, ketahanan pangan dan otonomi daerah), serta indeks rasio belanja

pelayanan dasar kepada masyarakat terhadap PDRB kabupaten/kota.

Tabel 4.12: 10 Kota dengan Skor Faktor Daya Saing Tertinggi

Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia Faktor Daya Saing Total

Skor Peringkat Skor Peringkat

Lubuk Linggau Sumsel Transformasi > 3 42,89 1 53,49 11

Banjarbaru Kalsel Transformasi > 3 42,82 2 64,61 1

Palopo Sulsel Transformasi > 3 42,33 3 57,20 5

Cimahi Jabar Inisiatif DPR > 3 38,95 4 60,43 2

Tanjung Pinang Kepri Transformasi > 3 37,97 5 55,36 9

Banjar Jabar Transformasi > 3 37,54 6 56,36 7

Lhokseumawe NAD Transformasi > 3 37,45 7 45,22 19

Dumai Riau Transformasi > 3 34,99 8 47,20 16

Depok Jabar Transformasi > 3 32,89 9 48,52 14

Bontang Kaltim Inisiatif pemerintah > 3 32,81 10 51,62 12

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Page 44: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

32

32 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

DOHP di Sumatera paling menonjol kinerjanya. Kabupaten DOHP di Sumatera paling banyak

menduduki sepuluh peringkat terbaik EDOHP dan EKPPD. Tabel 4.13 menyajikan perbandingan sepuluh

kabupaten peringkat teratas dari EDOHP (data hanya diambil dari 164 kabupaten DOHP saja) maupun

EKKPD. Tampak bahwa di kedua evaluasi tersebut, kabupaten DOHP di pulau Sumatra paling banyak

menduduki peringkat sepuluh terbaik. Menarik untuk dicermati bahwa tidak ada satupun kabupaten

DOHP dari Jawa20 dan Maluku-Papua yang dapat mencapai peringkat sepuluh terbaik tersebut.

Tabel 4.13: Perbandingan 10 Kabupaten Peringkat Teratas EDOHP dan EKPPD

EDOHP 2011*

EKPPD 2008#

No. Kabupaten Provinsi Kabupaten Provinsi

1 Dharmas Raya Sumatera Barat Luwu Utara Sulawesi Selatan

2 Bangka Tengah Bangka Belitung Serdang Begadai Sumatera Utara

3 Samosir Sumatera Utara Ogan Ilir Sumatera Selatan

4 Boalemo Gorontalo Wakatobi Sulawesi Tenggara

5 Serdang Bedagai Sumatera Utara Humbang Hasundutan Sumatera Utara

6 Bangka Selatan Bangka Belitung Bangka Tengah Bangka Belitung

7 Malinau Kalimantan Timur Kaur Bengkulu

8 Muaro Jambi Jambi Tanah Bumbu Kalimantan Selatan

9 Bangka Barat Bangka Belitung Boalemo Gorontalo

10 Sumbawa Barat Nusa Tenggara Barat Rokan Hulu Riau

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Keterangan: * Peringkat dari 164 kabupaten DOHP saja (tidak termasuk kota DOHP).

# Laporan EKPPD 2010, Lampiran 5, peringkat kinerja daerah kabupaten sebagai daerah otonom pemekaran 1999-2004,

berdasar desk evaluation saja.

DOHP Kabupaten dari Sumatera mendominasi hasil EDOHP maupun EKPPD yang Berusia Lebih Dari 3

Tahun. Kabupaten DOHP berperingkat 10 teratas dalam EDOHP seluruhnya berusia di atas 3 tahun

(Tabel 4.14). Sebanyak 7 dari 10 kabupaten peringkat teratas di EDOHP dan 5 dari 10 kabupaten

peringkat teratas di EKKPD berasal dari Sumatera. Jika dibandingkan dengan 10 kabupaten peringkat

teratas EKKPD yang berusia di atas 3 tahun (3-10 tahun). Ada satu kabupaten dari Papua Barat yang

menunjukkan kinerja tinggi di 10 daerah peringkat teratas EKPPD, yaitu Kabupaten Teluk Wondama.

20 Kabupaten DOHP di Jawa memang sedikit. Dari 9 DOHP, 8 diantaranya berbentuk kota dan hanya ada 1 kabupaten saja, yaitu

Bandung Barat (Jawa Barat).

Page 45: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

33

33 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota

Tabel 4.14: Perbandingan 10 Besar Kabupaten DOHP Hasil EDOHP dan EKPPD untuk Kabupaten yang Berusia di atas 3 Tahun

EDOHP 2011*

EKPPD 2008#

No. Kabupaten Provinsi Kabupaten Provinsi

1 Dharmas Raya Sumatera Barat Luwu Utara Sulawesi Selatan

2 Bangka Tengah Bangka Belitung Serdang Bedagai Sumatera Utara

3 Samosir Sumatera Utara Wakatobi Sulawesi Tenggara

4 Boalemo Gorontalo Humbang Hasundutan Sumatera Utara

5 Serdang Bedagai Sumatera Utara Bangka Tengah Kep. Bangka Belitung

6 Bangka Selatan Bangka Belitung Kaur Bengkulu

7 Malinau Kalimantan Timur Tanah Bumbu Kalimantan Selatan

8 Muaro Jambi Jambi Boalemo Gorontalo

9 Bangka Barat Bangka Belitung Rokan Hulu Riau

10 Sumbawa Barat Nusa Tenggara Barat Teluk Wondama Papua Barat

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Keterangan: * Peringkat dari 114 kabupaten DOHP saja, yaitu kabupaten DOHP yang berusia di atas 3 tahun.

# Laporan EKPPD 2010, Lampiran 7, peringkat kabupaten pemekaran 1999-2004 yang berusia 3-10 tahun berdasarkan penilaian

portofolio secara desk evaluation dan penilaian lapangan.

DOHP Kota dari Jawa paling banyak dalam 10 pertingkat tertinggi EDOHP dan EKPPD. Ada banyak

kesamaan nama daerah dalam 10 peringkat tertinggi kota baru dalam EDOHP maupun EKPPD, meskipun

urutannya berbeda (Tabel 4.15). Berkebalikan dengan situasi kabupaten, DOHP Kota dari pulau Jawa

paling banyak yang mencapai 10 peringkat tertingi kota di kedua evaluasi tersebut (5 dari 10 pada

EDOHP dan 4 dari 10 pada EKKPD). Dapat ditambahkan bahwa sebagian besar daerah berkinerja terbaik

tersebut adalah yang telah berusia di atas 3 tahun.

Tabel 4.15: Perbandingan 10 Besar Kota Hasil EDOHP dan EKPPD

EDOHP 2011*

EKPPD 2008#

No. Kabupaten Provinsi Kabupaten Provinsi

1 Banjarbaru Kalimantan Selatan Banjarbaru Kalimantan Selatan

2 Cimahi Jawa Barat Batam Kep. Riau

3 Singkawang Kalimantan Barat Depok Jawa Barat

4 Tasikmalaya Jawa Barat Palopo Sulawesi Selatan

5 Palopo Sulawesi Selatan Langsa NAD

6 Cilegon Banten Cimahi Jawa Barat

7 Banjar Jawa Barat Tasikmalaya Jawa Barat

8 Batam Kepulauan Riau Bau-bau Sulawesi Tenggara

9 Tanjung Pinang Kepulauan Riau Pagaralam Sumatera Selatan

10 Tomohon Sulawesi Utara Banjar Jawa Barat

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

Keterangan: * Peringkat kinerja 10 kota terbaik dari 34 kota (tidak termasuk kabupaten).

# Laporan EKPPD 2010, Lampiran 6, pemeringkatan berdasar desk evaluation saja.

Page 46: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

34

34 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

4.8 Peta Kinerja DOHP Kabupaten/Kota

Selanjutnya, untuk mengetahui signifikansi hubungan dan pengaruh antar dan/atau seluruh variabel

yang digunakan dalam EDOHP, laporan ini juga mencoba melakukan uji regresi, yang temuan utamanya,

sebagai berikut:

Uji statistik menunjukkan siginifikansi perbedaan kinerja antara DOHP Kabupaten dengan Kota. Hasil

regresi sederhana pada Tabel 4.16 mengkonfirmasi temuan di awal bahwa DOHP Kabupaten secara

signifikan memiliki skor total yang lebih rendah dibandingkan dengan kota. Atau dengan kata lain DOHP

Kota kinerjanya relatif lebih baik dibandingkan DOHP Kabupaten. Hal ini dapat dipahami karena secara

umum kota memiliki infrastruktur pemerintahan dan sumberdaya manusia yang lebih mendukung

dibandingkan DOHP Kabupaten.

Tabel 4.16: Estimasi Regresi Sederhana Skor Total

Uji statistik juga mengkonfirmasi lebih tingginya secara siginifikan kinerja DOHP di Jawa dibanding

daerah lain. Selain itu, regresi sederhana pada Tabel 4.16 tadi juga membandingkan skor total dari

setiap gugusan kepulauan terhadap Jawa. Hasil estimasi menunjukkan bahwa skor total EDOHP yang

Kabupaten -8.610 *** -8.230 ***

(2.42) (2.38)

Sumatera -6.021 -4.336

(4.24) (3.67)

Kalimantan -2.521 -2.297

(4.67) (4.10)

Sulawesi -8.113 * -5.349

(4.52) (3.91)

Nusa Tenggara -10.455 * -3.439

(5.40) (4.58)

Maluku-Papua -18.618 *** -15.448 ***

(4.39) (3.84)

Usia >3 tahun 16.222 *** 17.597 ***

(1.73) (1.94)

Inisiatif DPR -10.493 *** 8.917 ***

(2.99) (3.09)

Inisiatif Pemerintah -1.938 6.554 **

(2.97) (2.85)

Kontanta 43.780 *** 45.412 *** 25.097 *** 42.001 *** 30.632 ***

(2.20) (4.01) (1.46) (2.66) (3.85)

Adjusted-R2 0.056 0.172 0.307 0.105 0.481

Observasi 198 198 198 198 198

Sumber: Diolah dari EDOHP

***, **, * menyatakan signifikan pada tingkat kesalahan 1%, 5%, 10 %

Kabupaten/Kota Kepulauan Usia DOHP Proses DOHP Seluruh Variabel

Page 47: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

35

35 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota

terletak di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua (atau pulau-pulau di daerah Indonesia Bagian

Timur) secara signifikan lebih rendah daripada total total EDOHP Kabupaten/Kota di pulau Jawa. Hal ini

dapat dipahami karena 8 dari 9 DOHP di Jawa merupakan DOHP Kota. Karena DOHP Kota secara umum

dapat dikatakan lebih baik kinerja dan kondisinya, maka wajar jika secara total skor atau kinerja DOHP di

Jawa lebih baik dibandingkan pulau lainnya.

Hasil regresi menunjukkan bahwa faktor usia memang berpengaruh terhadap kinerja DOHP. Dilihat

dari sudut pandang usia DOHP, maka DOHP yang berusia lebih dari 3 tahun memiliki skor total yang

lebih tinggi daripada DOHP yang berusia dibawah 3 tahun.21 Hambatan yang dialami oleh DOHP baru

(yang usianya di bawah 3 tahun), diantaranya dapat dijelaskan dengan merujuk dari hasil EDOB

(Kemendagri, 2010:41) yang menyatakan pada umumnya DOB yang baru terbentuk (berusia belum 1

tahun) belum dapat menyelesaikan penyusunan perangkat daerah karena masih melakukan penyusunan

draft keputusan Penjabat Bupati/Walikota. Selain itu, pada masa-masa awal DOHP kerap mengalami

masalah dalam pengisian dan penempatan personil pemerintahan daerah yang sesuai dengan

kebutuhan, kepangkatan dan kompetensinya. Masalah pengalihan pembiayaan baik dari provinsi

maupun dari kabupaten induk juga kerap menjadi masalah di DOHP. Begitu pula dengan masalah proses

pengalihan peralatan, dokumen dan asset yang di banyak daerah masih belum berjalan dengan baik.

Akibatnya banyak daerah otonom baru yang masih belum punya lahan dan/atau gedung perkantoran

sendiri. Kondisi ini jelas mempengaruhi kinerja DOHP baik untuk menjalankan roda administrasi

pemerintahan daerah apalagi dalam memberikan pelayanan yang memadai kepada warganya.

Uji statistik menunjukkan DOHP yang dibentuk dari transformasi menjadi daerah otonom cenderung

berkinerja lebih baik. DOHP yang proses pembentukannya berdasarkan inisiatif DPR memiliki skor total

yang secara signifikan lebih rendah daripada DOHP hasil transformasi. Sementara itu, skor total bagi

DOHP yang diinisiasi oleh pemerintah tidak menunjukkan perbedaan yang secara signifikan berbeda

dengan DOHP hasil transformasi. Ada kemungkinan DOHP hasil transformasi lebih sedikit mengalami

masalah-masalah yang diuraikan pada point sebelumnya di atas (terkait dengan personil, anggaran,

peralatan, dokumen, aset, dll.). Proses transformasi tampaknya relatif memberi waktu dan kesempatan

yang cukup memadai bagi DOHP maupun daerah induk (termasuk pemerintah provinsi dan pusat) untuk

mempersiapkan berbagai instrumen yang diperlukan bagi sebuah DOHP baru.

Skor total DOHP Kabupaten signifikan lebih tinggi daripada skor total DOHP Kota. Analisis statistik

terhadap seluruh variabel menunjukkan hasil yang tidak selalu sama dengan temuan sebelumnya.

Apabila seluruh variabel yang digunakan dalam EDOHP diikutsertakan dalam analisis regresi, maka skor

total DOHP Kabupaten justru signifikan lebih tinggi daripada skor total DOHP Kota. Temuan ini berbeda

dengan hasil analisis sebelumnya. Sementara, hasil regresi variabel keseluruhan mengkonfirmasi analisis

sebelumnya bahwa DOHP dengan usia lebih dari 3 tahun memiliki skor total yang secara signifikan lebih

tinggi dibandingkan dengan DOHP yang relatif lebih muda. Dari kelompok kepulauan, hanya DOHP yang

terletak di Maluku dan Papua yang memiliki skor total yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan

21 Temuan ini menyadarkan bahwa instrumen survei ini ternyata cenderung condong bias bagi DOHP yang lebih muda, seperti

pada variabel tata pemerintahan yang baik dan pelayanan publik. Hal tentunya akan menjadi catatan berharga sebagai

pembelajaran bagi survei atau evaluasi sejenis berikutnya.

Page 48: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

36

36 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

dengan DOHP yang terletak di pulau Jawa. Sementara itu, perubahan terjadi pada hasil estimasi variabel

proses pembentukan DOHP dimana DOHP yang diinisiasi baik oleh DPR maupun pemerintah kini

memiliki skor total yang secara signifikan lebih tinggi daripada DOHP yang dibentuk melalui proses

transformasi. Menarik untuk disampaikan disini bahwa interaksi antar variabel – bentuk administrasi

(kabupaten atau kota), kepulauan, usia serta proses pembentukan – telah menghasilkan estimasi yang

berbeda dengan estimasi yang hanya menggunakan variabel proses pembentukan DOHP.

Page 49: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

37

BAB V

HASIL EVALUASI KINERJA RELATIF

DAERAH OTONOMI HASIL PEMEKARAN PROVINSI

5.1 Kondisi/Karakteristik DOHP Provinsi

Antara tahun 1999-2009 telah dibentuk tujuh provinsi DOHP. Seluruh provinsi DOHP tersebut dibentuk

atas inisiatif pemerintah pusat, dan seluruhnya telah berusia di atas 3 tahun. Kecuali di Kalimantan dan

Nusa Tenggara, pemekaran terjadi di hampir semua pulau/kepulauan, yaitu: (a) Pronvinsi Kepulauan

Bangka Belitung tahun 2000 yang dimekarkan dari Sumatera Selatan; (b) Kepulauan Riau tahun 2002,

pemekaran dari Riau; (c) Provinsi Banten tahun 2000, pemekaran dari Jawa Barat; (d) Gorontalo tahun

2000, pemekaran dari Sulawesi Utara; (e) Sulawesi Barat tahun 2004, pemekaran dari Sulawesi Selatan;

(f) Maluku Utara tahun 1999, pemekaran dari Maluku; dan (g) Papua Barat tahun 1999, pemekaran dari

Papua.

5.2 Indeks Total

Skor indeks Provinsi Papua Barat hanya setengah

dari skor provinsi lainnya. Indeks faktor total

sebagaimana terlihat pada Gambar 5.1 menunjukkan

bahwa provinsi DOHP dengan indeks kinerja tertinggi

adalah Maluku Utara. Provinsi Gorontalo berada

pada peringkat kedua, disusul Kepulauan Bangka

Belitung, Sulawesi Barat, Kepulauan Riau, Banten,

dan terakhir Provinsi Papua Barat.

5.3 Indeks Faktor-faktor

Skor indeks Provinsi Papua Barat paling rendah di hampir semua faktor. Dari tujuh DOHP Provinsi,

Sulawesi Barat berada pada peringkat teratas pada faktor kesejahteraan masyarakat, disusul Gorontalo,

Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Maluku Utara, Kepulauan Riau dan Papua Barat (Gambar 5.2).

Terlihat adanya perbedaan skor yang cukup tinggi antara skor terendah (Papua Barat) dan tertinggi

(Bangka Belitung). Sementara pada faktor tata pemerintahan yang baik, DOHP Provinsi dengan kinerja

terbaik adalah Kepulauan Riau, diikuti oleh Gorontalo, Maluku Utara, Kepulauan Bangka Belitung,

Banten, Sulawesi Barat, dan terakhir Papua Barat. Selisih skor terendah dan tertinggi pada faktor ini

bahkan lebih mencolok lagi, yaitu antara Papua Barat dengan Kepulauan Riau.

Maluku Utara terbaik pada faktor Pelayanan Publik dan Daya Saing. Provinsi Maluku Utara berhasil

menjadi DOHP Provinsi dengan kinerja terbaik pada faktor pelayanan publik, diikuti oleh Kepulauan

Bangka Belitung, Banten, Kepulauan Riau, Papua Barat, Sulawesi Barat dan Gorontalo (Gambar 5.4).

Gambar 5.1: Skor Total DOHP Provinsi

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

49.64

46.64

44.57

51.3146.73

55.88

24.99

0

10

20

30

40

50

60Bangka Belitung

Kepulauan Riau

Banten

Gorontalo Sulawesi Barat

Maluku Utara

Papua Barat

Page 50: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

38

38 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

66.66

45.27

48.0029.38

32.90

73.31

33.25

0

20

40

60

80Bangka Belitung

Kepulauan Riau

Banten

Gorontalo Sulawesi Barat

Maluku Utara

Papua Barat

41.4874.53

27.45

64.81

26.39

55.30

19.08

0

20

40

60

80Bangka Belitung

Kepulauan Riau

Banten

Gorontalo Sulawesi Barat

Maluku Utara

Papua Barat

Begitu pula pada faktor daya saing, Maluku Utara menempati posisi teratas, diikuti oleh Gorontalo,

Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Barat, Kepulauan Riau, Banten, dan Papua Barat (Gambar 5.5).

Gambar 5.2: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat Gambar 5.3: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik

Gambar 5.4: Skor Faktor Pelayanan Publik Gambar 5.5: Skor Faktor Daya Saing

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

5.4 Perbandingan dengan Evaluasi Lain

Perbedaan variabel/indikator pada evaluasi berbeda memungkinkan dihasilkannya temuan yang

berbeda. Pada Tabel 5.1 terlihat bahwa peringkat provinsi DOHP antara EDOHP dengan EKPPD sama

sekali berbeda. Pada EDOHP, Maluku Utara menempati peringkat teratas dari 7 provinsi DOHP,

sementara hasil EKKPD menunjukkan provinsi tersebut justru ada di peringkat terakhir.

64.00

30.63

60.76

65.88

66.49

47.20

26.61

0

10

20

30

40

50

60

70Bangka Belitung

Kepulauan Riau

Banten

Gorontalo Sulawesi Barat

Maluku Utara

Papua Barat

49.64

46.64

44.57

51.3146.73

55.88

24.99

0

10

20

30

40

50

60Bangka Belitung

Kepulauan Riau

Banten

Gorontalo Sulawesi Barat

Maluku Utara

Papua Barat

Page 51: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

39

39 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Provinsi

Tabel 5.1: Perbandingan Peringkat Provinsi DOHP Hasil EDOHP dan EKPPD

No EDOHP EKPPD#

1 Maluku Utara Kep. Bangka Belitung

2 Gorontalo Banten

3 Kep. Bangka Belitung Gorontalo

4 Sulawesi Barat Kep. Riau

5 Kep. Riau Sulawesi Barat

6 Banten Papua Barat

7 Papua Barat Maluku Utara

Keterangan:

# Laporan EKPPD 2010, Lampiran 4, peringkat provinsi pemekaran 1999-2004 berdasarkan penilaian portofolio secara desk

evaluation.

Page 52: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

40

BAB VI

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1 Kondisi Umum

Hasil EDOHP menunjukan bahwa janji dan ekspektasi dari pembentukan daerah otonom ternyata masih

jauh dari yang diharapkan. Pada setiap tujuan yang mendasari pembentukan daerah otonom baru, yaitu:

peningkatan kesejahteraan masyarakat, perbaikan kualitas pelayanan publik, perbaikan tata

pemerintahan, dan peningkatan daya saing, DOHP Provinsi dan Kabupaten/Kota masih memiliki banyak

kendala untuk mewujudkannya.22 Harapan warga dan pemangku kepentingan untuk memiliki nasib yang

lebih baik melalui pembentukan daerah otonom tampaknya masih memerlukan upaya yang lebih keras

lagi.

Kondisi tersebut dapat dimaknai sebagai berikut:

(a) Pemerintah khususnya masih menghadapi tantangan yang sangat besar untuk dapat

meningkatkan kapasitas DOHP agar dapat mencapai kinerja pemerintahan daerah yang optimal.

Realitas bahwa DOHP umumnya belum mampu mencapai skor yang tinggi pada sebagian besar

indikator kinerja DOHP memperlihatkan bahwa masalah yang dihadapi oleh pemerintah dalam

pengembangan dan penataan daerah adalah bukan hanya pada bagaimana mengelola proses

pembentukan yang dapat menghasilkan DOHP yang sehat dan mampu mencapai tujuannya.

Masalah lain yang sama penting dan mendesaknya adalah bagaimana meningkatkan kapasitas

daerah yang telah dibentuknya sehingga daerah-daerah tersebut dapat berkembang secara

wajar dan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi warganya.

(b) Berbagai target, harapan, dan ketentuan peraturan perundangan dalam pengelolaan

pemerintahan daerah yang selama ini dibebankan kepada DOHP tampaknya belum sebanding

dengan kapasitas yang tersedia pada DOHP untuk memenuhinya.

(c) Temuan bahwa sebagian besar DOHP belum berhasil mewujudkan kinerja yang tinggi menjadi

indikasi bahwa pembentukan DOHP tidak otomatis membuat daerah langsung menjadi lebih

baik dari sebelum dimekarkan. DOHP pada masa awal terbentuknya tampaknya masih

disibukkan melakukan penataan infrastaruktur pemerintahan dan personil, yang mempengaruhi

kemampuan mereka untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dan pelayanan publik.

22 Karena pertimbangan kepraktisan, hasil EDOHP mengenai capaian kinerja berdasarkan indikator-indikator yang digunakan

dalam evaluasi pada tiap DOHP tidak disajikan dalam laporan ini. Namun peta kinerja tersebut akan menjadi salah satu bahan

masukan bagi Kementerian Dalam Negeri dalam memetakan kebutuhan pembinaan dan peningkatan kapasitas daerah

selanjutnya.

Page 53: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

41

41 Kesimpulan dan Rekomendasi

6.2 Indikator Evaluasi yang Relatif Mudah dan Sulit dipenuhi DOHP

Jika hasil evaluasi ini dipilah berdasarkan kategori tingkat kesulitan dan tingkat kemudahan daerah

untuk memenuhi harapan dari setiap indikator kinerja, tampak ada kecenderungan bahwa DOHP

umumnya berhasil menunjukan kinerja yang cukup baik dalam tiga indikator yang relatif mudah untuk

dicapai oleh DOHP, yaitu:

(a) Kelembagaan penanganan kesetaraan gender.

Lebih dari 75 persen DOHP mampu memenuhi ekspektasi dalam ketiga hal tersebut. DOHP

umumnya memiliki lembaga yang secara khusus dibentuk untuk mengelola kegiatan

peningkatan kesetaraan gender, sebagaimana diharapkan oleh pemerintah melalui Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Dalam Negeri. Kesediaan daerah untuk mengembangkan

lembaga tersebut menunjukan setidaknya dua hal. Hal ini mengindikasikan adanya kepedulian

daerah terhadap masalah pemberdayaan perempuan sehingga mereka bersedia membentuk

organisasi pemerintah daerah untuk mengelola kegiatan pemberdayaan perempuan.

Ketika DOHP memiliki satuan kerja perangkat daerah yang secara khusus bertanggungjawab

untuk mengelola kegiatan peningkatan kesetaraan gender maka kemungkinan DOHP tersebut

memiliki kegiatan pemberdayaan perempuan akan jauh lebih besar daripada DOHP yang tidak

memiliki satuan kerja sejenis di daerahnya. Tentu pembentukan satuan kerja itu sendiri belum

cukup menggambarkan adanya peningkatan keadilan gender dalam berbagai aspek kehidupan

masyarakat. Pembentukan satuan kerja hanya satu langkah awal untuk percepatan peningkatan

kesetaraan gender. DOHP yang telah berhasil membentuk satuan kerjayang relevan perlu terus

didorong untuk meningkatkan optimalitas dari keberadaan satuan kerja tersebut agar dapat

menjadi penggerak dan pendorong dari berbagai kegiatan peningkatan kesetaraan gender di

daerah.

(b) Publikasi APBD dan pengadaan barang dan jasa.

Indikator lainnya yang relatif mudah bagi DOHP untuk mewujudkannya adalah publikasi APBD

dan pengadaan barang dan jasa. Sebagai indikator dari transparansi dalam pemerintahan

indikator ini tentu penting namun belum cukup menjamin adanya transparansi dalam APBD

ataupun transparansi dalam pengadaaan barang dan jasa. Transparansi APBD sangat tergantung

pada tingkat keterbukaaannya, seberapa rinci DOHP mempublikasikan anggarannya sehingga

menjadi lebih mudah bagi warga untuk mengawasi pelaksanaan dari APBD itu sendiri. Semakin

rinci APBD itu dipublikasikan dan semakin mudah warga mengakses informasi tentang APBD itu

maka kecenderungan DOHP untuk semakin baik kinerjanya dalam transparansi pemerintahan

akan menjadi semakin besar. Hal yang sama juga terjadi pada publikasi pengadaan barang dan

jasa. Publikasi pengadaan barang dan jasa tidak akan membawa manfaat dalam pengembangan

transparansi pemerintahan kalau tidak diikuti oleh transparansi dalam pengambilan keputusan

pemenang tender. Seberapa terbuka dan obyektif pengambilan keputusan tentang pemenang

tender dilakukan menentukan seberapa besar publikasi pengadaan itu memiliki implikasi

terhadap pengembangan transparansi dalam pemerintahan. Banyak DOHP dalam praktik masih

Page 54: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

42

42 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

pada tingkat mewujudkan transparansi prosedural dan belum mencapai tingkat transparansi

yang substantif.

(c) Publikasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

Indikator lainnya yang relatif mudah bagi DOHP kabupaten/kota untuk mencapainya adalah

publikasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan publikasi APBD dan pengadaan barang

dan jasa. Kedua indikator ini dipakai untuk mengukur aspek yang berbeda. Publikasi

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD digunakan untuk mengukur akuntabilitas publik,

sedangkan publikasi anggaran dan pengadaan digunakan untuk mengukur transparansi

pemerintahan. Walaupun tingkat keterbukaan dalam publikasi pelaksanaan APBD berbeda antar

daerah, namun setidaknya temuan ini menunjukan kecenderungan bahwa DOHP telah mulai

melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk mempertanggungjawabkan penggunaan APBD

kepada warga. Umumnya DOHP hanya mempublikasikan ringkasan dari pelaksanaan APBD,

namun setidaknya ada beberapa daerah yang telah memulai mempublikasikan secara lebih rinci

laporan mereka tentang pelaksanaan APBD. Sebagai langkah awal kecenderungan DOHP untuk

melaporkan secara terbuka pelaksanaan APBD perlu diberi apresiasi.

Sementara itu hasil evaluasi secara keseluruhan juga menunjukkan bahwa ada sembilan indikator yang

tampaknya relatif cukup sulit untuk segera dapat dipenuhi semua DOHP, yaitu:

(a) Panjang jalan per luas wilayah.

Tersedianya infrastruktur jalan yang memadai diasumsikan akan berpengaruh terhadap

kemudahan mobilitas sosial dan percepatan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Hasil evaluasi

menunjukkan banyak daerah yang belum dapat memenuhi penyediaan infrastruktur tersebut,

meskipun secara teknis hal tersebut sesungguhnya dibayangkan bukanlah hal yang sulit untuk

dilaksanakan. Hal tersebut tentunya dapat berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi

masyarakat khususnya yang tinggal di kawasan perdesaan. 23

(b) Persentase penduduk yang memiliki KTP.

KTP adalah bukti identitas diri yang vital, karena hampir seluruh aktivitas sosial dan ekonomi

(seperti untuk mendaftar kuliah, melamar pekerjaan, administrasi pernikahan, membuat surat

izin mengemudi, membuat rekening di bank, terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu/Pilkada,

terdaftar sebagai penerima bantuan program pemerintah, dll). Kondisi dimana masih cukup

banyaknya penduduk yang tidak memiliki KTP setidaknya dapat dimaknai sebagai belum

dilaksanakannya pemenuhan hak warga akan bukti identitas diri oleh pemerintah daerah, serta

belum terlaksananya tertib administrasi kependudukan di daerah tersebut. Tertib administrasi

kependudukan bukan hanya penting bagi pengakuan terhadap status kewargaan penduduk dan

hak-hak sipil mereka, tetapi juga penting bagi kegiatan pemerintahan dan politik lainnya, seperti

23 Ada catatan khusus mengenai indikator ini. Dikhawatirkan bahwa sesungguhnya indikator tersebut cenderung bias, karena

kemungkinan akan merugikan untuk daerah yang wilayahnya berupa kepulauan atau daerah berawa-rawa/gambut, dimana

area daratnya terbatas/sedikit namun luas wilayah keseluruhan dianggap luas. Perlu dipertimbangkan lagi penggunaan

indikator ini pada survei sejenis selajutnya.

Page 55: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

43

43 Kesimpulan dan Rekomendasi

pelaksanaan pemilu. Kericuhan dalam pelaksanaan pemilu di masa lalu terkait dengan validitas

hak pilih warga muncul karena kualitas dari administrasi kependudukan di daerah pada

umumnya amat rendah. Jika administrasi kependudukan ini tidak segera diperbaiki maka

kerancuan dalam administrasi kependudukan utamanya ketidakjelasan status kewarganegaraan

akan dapat menimbulkan komplikasi politik dan ekonomi yang dapat mengganggu pelaksanaan

program-program pemerintah di daerah.

Hasil studi mengenai pelayanan administrasi publik khususnya KTP ini menunjukkan bahwa salah

satu faktor yang mempengaruhi cukup banyaknya warga yang tidak memiliki KTP adalah

masalah jarak (ke kelurahan dan/atau kecamatan, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di

perdesaan, kepulauan atau wilayah terpencil lainnya) dan lamanya waktu pengurusan KTP.

Kedua hal tersebut membuat mereka akhirnya memilih menggunakan jasa perantara (baik dari

warga, swasta ataupun aparat pemerintahan sendiri). Akibatnya biaya pengurusan KTP menjadi

membengkak, dan mungkin memberatkan bagi masyarakat khususnya dari kelompok

masyarakat kurang mampu.24

(c) Persentase kepemilikan akta kelahiran.

Kondisi dan masalah terkait dengan indikator ini kurang lebih sama dengan pelayanan KTP di

point sebelumnya. Bahkan kebutuhan akan akta kelahiran ini lebih mendasar lagi, karena anak-

anakpun memerlukanya sebagai bukti identitas ketika akan mendaftar sekolah misalnya.

(d) Peraturan daerah tentang transparansi dan partisipasi publik di daerah.

Adanya kebijakan daerah mengenai transparansi dan partisipasi tentunya tidak menjamin

bahwa kedua hal tersebut otomatis terwujud dalam praktik. Namun keberadaan basis legal

tersebut diperlukan untuk memperjelas bahwa ada kewajiban dan hak pada pemerintah daerah,

instansi publik di daerah dan masyarakat berkenaan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip dan

mekanisme pelaksanaan transparansi dan partisipasi publik di daerah. Hasil evaluasi

menunjukkan bahwa sebagian besar DOHP pada semua kluster belum mampu membangun

basis legal yang memadai untuk pengembangan pemerintahan yang transparan, yang menjadi

kondisi yang perlu bagi terwujudnya tata-pemerintahan yang baik. Pengembangan basis legal

untuk pengembangan pemerintahan yang transparan penting karena pengalaman selama ini

aparatur daerah seringkali cenderung enggan menjamin akses publik terhadap informasi karena

tidak adanya dasar hukum bagi mereka untuk membuka akses publik terhadap informasi yang

ada pemerintah daerah. Pelaksanaan UU Keterbukaan Informasi yang menjamin akses publik

terhadap informasi belum banyak berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku birokrasi

daerah dalam membuka akses publik terhadap informasi. Institusionalisasi UU Keterbukaan

Informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi tindakan yang strategis dalam

mempercepat terwujudnya transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan akan dapat meningkatkan partisipasi publik

24 Lihat Daan Pattinasarany dan Candra Kusuma, “Akses Masyarakat Miskin terhadap Pelayanan Administrasi Kependudukan:

Analisis Pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Berdasarkan Data GDS Tahun 2006” pada Tukiran et.al. (2010) Akses Penduduk

Miskin terhadap Kebutuhan Dasar. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan-UGM. Yogyakarta.

Page 56: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

44

44 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

dalam proses kebijakan di daerah. Salah satu kendala yang dihadapi warga dan para pemangku

kepentingan untuk terlibat secara efektif dalam proses kebijakan di daerah pada umumnya

disebabkan oleh rendahnya akses mereka terhadap informasi kebijakan.

(e) Peraturan daerah tentang tata ruang.

Hasil evaluasi menunjukkan masih cukup banyak DOHP yang belum memiliki Perda atau

Ranperda mengenai tata ruang daerah. Padahal keberadaan Perda tersebut sangatlah penting

yang menggambarkan visi, misi, dan orientasi pembangunan daerah, dan menjadi basis dalam

perencanaan, peruntukan dan pemanfaatan sumberdaya khususnya sumberdaya alam yang ada

di daerah tersebut.

(f) Besaran anggaran untuk pelayanan kesehatan.

Evaluasi ini juga membuktikan bahwa walaupun provinsi dan kabupaten/kota yang usianya lebih

dari 3 tahun sebagian besar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, namun namun

sebagian besar dari DOHP tersebut tidak/belum mengalokasikan anggaran yang memadai untuk

pelayanan kesehatan. Akibat dari kondisi tersebut, salah satu indikasinya adalah masih cukup

tingginya angka gizi buruk pada balita. Temuan ini tentu amat memprihatinkan karena

kegagalan untuk mengatasi problema gizi buruk dapat memiliki akibat jangka panjang yang

sangat luas bukan hanya pada kualitas penduduk, tetapi juga pada daya saing bangsa. Jika

tidak dikelola dengan baik dan dicarikan solusinya, angka kemiskinan dan gizi buruk dapat

menjadi ancaman bagi kelangsungan masa depan bangsa.

(g) Anggaran pengembangan UMKM.

Dukungan terhadap ekonomi rakyat sangat penting mengingat ada banyak keluarga khususnya

dari keluarga kurang mampu yang menggantungkan hidupnya di sektor tersebut. Terkait dengan

pengembangan pemerintahan daerah yang pro-poor, penting untuk digarisbawahi bahwa

sebagian besar DOHP tampaknya belum memebrikan perhatian yang memadai terhadap

pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), setidaknya ditunjukan oleh

rendahnya anggaran untuk pengembangan UMKM. Sedangkan pengembangan UMKM selama

ini memiliki peran yang penting dalam penciptaan lapangan kerja yang dibutuhkan untuk

menurunkan angka pengangguran, yang menjadi salah satu penyebab kemiskinan yang utama.

Penelitian sebelumnya juga menunjukan bahwa pelaksanaan program-program pemberdayaan

UMKM cenderung lebih banyak dimanfaatkan oleh pengusaha besar sehingga dampaknya bagi

penguatan UMKM cenderung amat terbatas. Rendahnya keterkaitan antara UMKM dengan

usaha besar menjadi salah satu kendala dalam pengembangan UMKM di daerah. Kondisi ini

diperparah dengan fragmentasi kebijakan pemerintah pusat dalam pengembangan UMKM, yang

muncul sebagai akibat dari banyaknya Kementerian dan lembaga yang terlibat dalam

pemberdayaan UMKM. Pengembangan kebijakan UMKM yang lebih koheren dan sinergis amat

diperlukan bagi pengembangan UMKM di Indonesia. Hanya dengan cara seperti ini kita dapat

berharap bahwa pengembangan UMKM dapat memberi kontribusi yang positif bagi penurunan

angka kemiskinan dan peningkatan daya saing nasional.

Page 57: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

45

45 Kesimpulan dan Rekomendasi

(h) Forum komunikasi regular antara pemerintah daerah dengan pelaku usaha.

DOHP tampaknya memang belum memiliki perhatian yang memadai terhadap pengembangan

daya saing daerah. Indikator yang relatif sederhana untuk dipenuhi seperti pengembangan

forum pertemuan regular antara pimpinan daerah dengan para pelaku usaha ternyata tidak

banyak dikembangkan daerah. Sedangkan hal seperti ini bukan hal yang sulit dilakukan oleh

daerah, kalau mereka memang peduli dengan kendala dan kesulitan yang dihadapi oleh para

pelaku usaha.

Temuan ini menunjukan bahwa DOHP umumnya belum menyadari sepenuhnya keterkaitan

perekonomian di daerah dengan masalah yang dihadapi oleh para pelaku usaha di daerahnya.

Mereka belum menganggap penting peran yang dimilikinya untuk memfasilitasi kegiatan usaha

di daerah. Sedangkan pengembangan kegiatan usaha sebenarnya menjadi kebutuhan daerah

terutama untuk mendorong penciptaan lapangan kerja yang amat dibutuhkan oleh warganya.

Pengembangan kegiatan usaha karenanya harus dipandang sebagai kebutuhan daerah dan

menjadi tugas pemerintah daerah untuk memfasilitasi kebutuhan para pelaku usaha. Forum

pertemuan regular dengan para pelaku usaha dapat menjadi media penting bagi daerah untuk

memfasilitasi pengembangan kegiatan usaha di daerahnya.

(i) Nilai realisasi investasi.

Temuan evaluasi juga menunjukkan banyak DOHP yang belum mampu menarik investor untuk

mau merealisasikan investasinya di daerah tersebut. Sementara investasi tersebut diperlukan

untuk menyerap tenaga kerja di daerah, meningkatkan pemasukan dari retribusi dan pajak

daerah, mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah, dan sebagainya. Hal ini kemungkinan

dipengaruhi oleh kurangnya promosi yang didukung informasi yang memadai mengenai potensi

dan insentif dan kejelasan/kemudahan administrasi/perizinan yang mendukung pengembangan

usaha di daerah tersebut.

Jika dianalisis lebih mendalam, secara umum kesulitan DOHP untuk memenuhi ekspektasi dalam

indikator tersebut muncul karena berbagai penyebab yang berbeda, antara lain komitmen anggaran dan

orientasi DOHP untuk memprioritaskan dan berupaya memenuhi kebutuhan dasar warganya. Misalnya,

untuk indikator panjang jalan per luas wilayah, persentase angka balita dengan gizi buruk, anggaran

untuk UMKM, dan anggaran untuk pelayanan kesehatan adalah indikator yang hanya dapat dipenuhi

ketika DOHP memiliki komitmen untuk mengalokasikan anggaran untuk kegiatan pelayanan dan

pengembangan UMKM. Komitmen anggaran untuk penyelenggaraan berbagai pelayanan publik sangat

problematik bagi DOHP, karena beberapa hal, yaitu (a) DOHP pada awal kelahirannya tentu

membutuhkan anggaran yang besar untuk pengembangan sarana dan prasarana pemerintahan, seperti

perkantoran dan berbagai fasilitas lainnya; (b) sebagaimana daerah otonom lainnya DOHP memiliki

anggaran yang terbatas karena sebagian besar anggaran yang tersedia sudah terserap untuk belanja

tidak langsung (pegawai dan operasional pemerintahan daerah). Hanya DOHP yang memiliki kepedulian

yang tinggi dan mampu mengendalikan jumlah organisasi pemerintahan daerah dan pegawainya yang

mampu mengalokasikan anggaran yang memadai untuk kegiatan pelayanan publik. Disamping

keterbatasan anggaran, ketidakmampuan DOHP memenuhi harapan dalam beberapa indikator di atas

menunjukan belum responsifnya DOHP pada umumnya terhadap kebutuhan warga. Akibatnya, APBD

Page 58: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

46

46 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

yang besar tidak menjamin DOHP memiliki kebijakan dan program yang pro rakyat, setidaknya jika

dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di daerah tersebut.25

Sementara itu, kesulitan DOHP untuk membentuk serangkaian Perda yang digunakan untuk mengukur

kinerja DOHP mengindikasikan beberapa hal. Pertama, hal ini menunjukan keterbatasan pemerintah

DOHP dalam mengelola proses pembuatan regulasi dan peraturan daerah. Pembentukan perda

memerlukan bukan hanya anggaran yang cukup besar tetapi juga membutuhkan kemampuan mengelola

proses politik di daerah. Proses pembuatan regulasi di daerah dapat menjadi kegiatan yang mahal

karena tradisi yang ada di DPRD dalam pembuatan perda seringkali dilakukan dengan melakukan

kegiatan studi banding dari para anggota DPRD. Kegiatan studi banding dapat menjadi amat mahal bagi

daerah yang memiliki anggaran terbatas, karena biasanya melibatkan lebih dari separuh anggota DPRD.

Kedua, kapasitas politik pemerintah DOHP bisa jadi kurang memadai untuk mengelola konflik dan tensi

politik yang sering terjadi dalam pembentukan Perda. Apalagi Perda tentang tata ruang, perlindungan

lingkungan, dan transparansi sering menjadi perda yang menimbulkan pro dan kontra karena

pengaturan tentang hal tersebut melibatkan konflik kepentingan antar aktor dan elit di daerah.

Catatan penting di bagian ini adalah bahwa ternyata dari seluruh indikator yang relatif sulit diwujudkan

oleh DOHP di atas, hampir separuhnya merupakan indikator untuk mengukur Faktor Daya Saing Daerah.

Dalam peningkatan daya saing daerah, sebagian besar DOHP belum memiliki kinerja yang memuaskan.

Sebagian besar DOHP untuk semua kluster memiliki kapasitas rendah dalam semua aspek daya saing

daerah, seperti kebijakan, kelembagaan, fasilitasi, dan kinerja investasi. Sebagian besar daerah pada

semua kluster daerah memiliki kapasitas yang rendah untuk merumuskan kebijakan yang diperlukan

dalam rangka meningkatkan daya saing daerah. Kecuali untuk DOHP kota yang berusia lebih dari 3

tahun, kapasitas DOHP mengembangkan institusi pelayanan terpadu dalam perizinan umumnya masih

rendah. Hal yang sama juga terjadi dalam aspek fasilitasi. Kapasitas DOHP pada semua kluster untuk

memberdayakan pelaku usaha pada umumnya masih amat terbatas. Akibatnya, tidak mengherankan

kalau kinerja investasi pada DOHP umumnya jauh dari memuaskan. Fenomena di atas menunjukan

bahwa secara umum kinerja DOHP dalam mewujudkan daya saing masih jauh dari yang diharapkan.

Sementara bahkan dalam evaluasi ini sendiripun banyak ditemukan missing data, yang kemungkinan

diakibatkan oleh tidak/belum tersedianya data/informasi di daerah terkait dengan indikator-indikator

pendukung daya saing tersebut.

Salah satu pilihan yang dapat diambil Pemerintah di tahap awal pasca evaluasi ini adalah lebih

mencermati kondisi dan kebutuhan akan pembinaan dan pengawasan di sejumlah kabupaten dan kota

yang memiliki skor di bawah rata-rata, seperti tergambar pada Tabel 6.1.

25 World Bank, Making the New Indonesia Work for the Poor (2007). Lihat juga World Bank, Indonesia Public Expenditure Review

2007. Spending for Development: Making the Most of Indonesia’s New Opportunity (2007).

Page 59: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

47

47 Kesimpulan dan Rekomendasi

Tabel 6.1: Jumlah Kabupaten dan Kota yang Memiliki Skor di Atas dan di Bawah Rata-rata

Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.

6.3 Implikasi Kebijakan

Uraian mengenai kondisi DOHP berdasarkan hasil temuan evaluasi tersebut memiliki implikasi kebijakan,

sebagai berikut:

(a) Penyempurnaan kebijakan dan ketegasan pelaksanaan kebijakan mengenai cara dan proses

pembentukan daerah otonom baru.

Evaluasi ini juga mengindikasikan bahwa cara pembentukan daerah otonom dan pintu masuk

pengusulan pembentukan daerah otonom baru memiliki hubungan dengan skor indeks kinerja

DOHP. DOHP yang dibentuk melalui pengalaman menjadi daerah administratif cenderung

memiliki kinerja yang lebih baik. Rerata skor indeks DOHP yang dulunya menjadi daerah

administratif lebih tinggi daripada DOHP yang tidak melalui daerah administratif. DOHP yang

pembentukannya diusulkan melalui pemerintah memiliki rata-rata skor indeks yang lebih tinggi

daripada yang diusulkan melalui DPR.

Temuan ini mengingatkan perlunya proses pengasuhan (nurturing) dalam pembentukan daerah.

Proses pengasuhan dapat dilakukan sebelum dan atau setelah satu daerah otonom dibentuk.

Dalam sejarah pengalaman desentralisasi di Indonesia, proses pengasuhan calon daerah otonom

dilakukan dengan menetapkan calon daerah otonom sebagai daerah persiapan (daerah

administratif). Selama proses pengasuhan satu daerah persiapan dibina oleh daerah induknya

untuk akhirnya dapat menjadi satu daerah otonom. Setelah dinilai memiliki kesiapan menjadi

daerah otonom, daerah tersebut kemudian diusulkan menjadi daerah otonom baru. Proses

pengasuhan juga dapat dilakukan ketika satu daerah otonom baru tersebut telah disahkan.

Pemberdayaan daerah otonom baru diperlukan terutama bagi daerah yang memiliki kapasitas

rendah untuk untuk mengelola urusan-urusan pemerintahan dasar tertentu, yang menurut

Undang-Undang wajib diselenggarakan oleh semua daerah otonom. Pengasuhan oleh

pemerintah pusat terhadap daerah otonom baru yang memiliki keterbatasan kapasitas dalam

mengelola pelayanan dasar amat penting dalam rangka melindungi akses warga dan pemangku

kepentingan terhadap pelayanan dasar.

Skor

Rata-

rata

Jumlah Daerah

dengan Skor di

Atas Rata-rata

Jumlah Daerah

dengan Skor di

Bawah Rata-

rata

Skor

Rata-

rata

Jumlah Daerah

dengan Skor di

Atas Rata-rata

Jumlah Daerah

dengan Skor di

Bawah Rata-

rata

Faktor Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat 58.39 18 16 47.98 98 66

Faktor Tata Pemerintahan yang Baik 41.43 16 18 35.29 79 85

Faktor Ketersediaan Pelayanan Publik 44.38 17 17 32.56 86 42

Faktor Peningkatan Daya Saing Daerah 24.06 18 16 19.07 72 92

Faktor Total 43.78 19 15 35.17 93 71

Kota (N = 34) Kabupaten (N = 164)

Page 60: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

48

48 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Dalam proses pengasuhan kepada daerah otonom baru peran Kementerian Dalam Negeri dan

Gubernur sebagai wakil pemerintah menjadi sangat strategis. Kementerian Dalam Negeri dan

Kementerian teknis terkait melakukan pengasuhan kepada provinsi baru sesuai dengan kendala

teknis yang dihadapi provinsi dalam mengelola urusan pemerintahannya. Sebagai leading

agency dalam pembinaan dan pengawasan daerah, Kementerian Dalam Negeri perlu

mengembangkan kebijakan dan pola pengasuhan yang relevan dengan kendala dan tantangan

yang dihadapi oleh masing-masing DOHP, yang dapat berbeda antar DOHP dalam kluster yang

berbeda. Gubernur sebagai wakil pemerintah dapat menjalankan fungsi pengasuhan kepada

DOHP kabupaten dan kota agar dapat menjalankan fungsi sebagai daerah otonom secara efektif.

Kebijakan tentang pengasuhan daerah otonom hasil pemekaran perlu dirumuskan dengan jelas

dan dikelola dengan baik agar benar-benar dapat mempercepat pembentukan kapasitas daerah

otonom baru.

Kebijakan tersebut harus mencakup perubahan dalam cara dan proses pembentukan daerah

dan atau pengelolaan daerah pasca pembentukan daerah. Selama ini cara dan proses

pembentukan daerah belum mampu menjamin bahwa pembentukan daerah benar-benar

dilakukan untuk kepentingan publik dan bukan semata-mata kepentingan elit di daerah.

Penyempurnaan kebijakan pemerintah mengenai hal tersebut perlu menjadi perhatian, baik di

level UU, PP ataupun kebijakan di tingkat Kementerian. Hal ini tentunya juga memerlukan

dukungan dan komitmen politik yang memadai baik dari pimpinan pemerintahan di pusat

maupun daerah.

(b) Peningkatan fasilitasi dan pengembangan kapasitas DOHP.

Kebijakan penataaan daerah bukan hanya terpusat pada pembenahan proses pembentukan

tetapi juga penguatan DOHP pasca pembentukannya. Dukungan fasilitasi dari pemerintah

kepada DOHP agar mampu mengurus rumah tangganya sangat dibutuhkan, mengingat

sumberdaya dan kondisi tiap DOHP sangat beragam dan perlu pendekatan yang sesuai dengan

tingkat perkembangan DOHP itu sendiri. Pemerintah juga harus mampu mendorong DOHP

untuk mampu mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kapasitasnya sendiri, berikut upaya-

upaya yang perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kerjasama antara pemerintah

dan pemerintahan daerah, kerjasama antar daerah, dan kerjasama dengan berbagai pihak yang

dapat mendukung upaya tersebut baik dari pihak lembaga pendidikan/akademisi, NGO, dan

lembaga donor perlu terus ditingkatkan. Metode dan teknis pengembangan kapasitas juga perlu

dikembangkan sehingga tidak terjebak pada pola-pola konvensional (ceramah, seminar, dan

sejenisnya). Perlu dikembangkan metode dan teknik yang lebih inovatif dan dapat memacu

keinginan pemerintah daerah untuk mau dan mampu terus mengembangkan kapasitasnya

sendiri.

Kecenderungan bahwa usia DOHP berpengaruh terhadap kinerjanya dalam mewujudkan tujuan

pembentukan daerah otonom menimbulkan beberapa pertanyaan kebijakan tentang perlunya

pemerintah mempertimbangkan faktor usia atau kematangan daerah menjadi kriteria dalam

pembagian urusan, pengembangan kapasitas daerah, dan dalam melakukan pembinaan dan

pengawasan pada DOHP. Selama ini pemerintah cenderung menyeragamkan perlakuan kepada

Page 61: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

49

49 Kesimpulan dan Rekomendasi

semua daerah. Daerah yang baru lahir diberi urusan pemerintahan yang sama dengan daerah

yang usianya sudah cukup panjang dan memiliki infrastruktur kelembagaan yang memadai.

Pengembangan kapasitas daerah juga cenderung dilakukan secara seragam tanpa melihat

problema yang spesifik dari daerah, termasuk mempertimbangkan usia daerah. Hal yang sama

juga terjadi dalam pelaksanaan pembinaan. Kebijakan yang sama kepada semua DOHP tanpa

memperhatikan kendala yang mereka hadapi, yang cenderung berbeda antar DOHP dengan

kelompok usia yang berbeda, akan membuat pelaksanaan kebijakan itu menjadi tidak efektif.

Karenanya pemerintah perlu mempertimbangkan faktor usia atau kematangan daerah menjadi

kriteria dalam pembagian urusan, pengembangan kapasitas daerah, dan dalam melakukan

pembinaan dan pengawasan pada DOHP. Kebijakan dalam pengembangan daerah yang

memperlakukan daerah secara sama tanpa mempertimbangkan usia daerah perlu ditinjau

kembali. Kinerja DOHP sangat dipengaruhi oleh usianya. Dalam usia DOHP yang berbeda

terkandung kapasitas daerah yang berbeda. Kebijakan dan pengembangan DOHP perlu

mempertimbangkan faktor usia dari DOHP itu sendiri.

Atas dasar ini, maka pemerintah perlu memperbaharui kebijakan yang selama ini dilakukan

dalam pembagian urusan pemerintahan. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-

Undang pembentukan daerah selama ini mendesentralisasikan urusan pemerintahan kepada

daerah secara sama kepada semua daerah, tanpa melihat usia daerah dan tingkat kematangan

kelembagaan, kapasitas aparatur, kapasitas fiskal, dan karakteristik lainnya yang ada pada

daerah. Kebijakan desentralisasi simetrik seperti ini perlu dikaji ulang karena cenderung tidak

fair kepada daerah otonom baru, yang pada umumnya masih memiliki kapasitas yang rendah

dalam mengelola berbagai urusan pemerintahan. DOHP yang umumnya masih memiliki kendala

dalam pengembangan institusi birokrasi dan aparaturnya tentu akan mengalami kesulitan dalam

mengelola kegiatan pemerintahannya ketika mereka harus menjalankan urusan pemerintahan

yang amat banyak, sebagaimana daerah-daerah lainnya yang sudah lama terbentuk dan

memiliki struktur kelembagaan dan aparatur yang kuat. UU pemerintahan daerah perlu

mengatur adanya pengalihan urusan pemerintahan kepada daerah otonom baru sesuai dengan

kesiapan dan karakteristik daerah. Pemerintah perlu secara lebih tegas mengembangkan

kebijakan desentralisasi yang asimetris dan mengembangkan kebijakan pengaturan,

peningkatan kapasitas, dan pembinaan secara bervariasi sesuai dengan karakteristik daerah.

Kebijakan desentralisasi dan penataan daerah yang seragam tanpa membedakan karakteristik

daerah cenderung kurang responsif.

Pemerintah perlu secara lebih tegas mengembangkan kebijakan desentralisasi yang asimetris

dan mengembangkan kebijakan pengaturan, peningkatan kapasitas, dan pembinaan secara

bervariasi sesuai dengan karakteristik daerah. Evaluasi ini juga menunjukan bahwa DOHP

dengan usia 3 (tiga) tahun kebawah dengan DOHP yang memiliki usia lebih dari 3 tahun

cenderung memiliki kinerja yang berbeda. DOHP dengan usia 3 tahun kebawah cenderung

memiliki kinerja yang lebih buruk dalam banyak indikator kinerja dibandingkan dengan kinerja

DOHP yang memiliki usia lebih dari 3 tahun. Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat,

misalnya, hasil evaluasi ini menunjukan bahwa kabupaten dan kota DOHP dalam kluster

Page 62: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

50

50 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

kelompok umur di atas 3 tahun (>3 th) memiliki kinerja yang lebih baik dalam mendorong

pertumbuhan PDRB perkapita dan menurunkan angka kemiskinan daripada DOHP kabupaten

dan kota dari kelompok umur 3 tahun kebawah. Kecenderungan bahwa DOHP yang lebih lama

memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan DOHP yang lebih muda usianya juga

terjadi dalam berbagai indikator tata-pemerintahan yang baik, seperti: daya serap anggaran,

pelembagaan mekanisme pengaduan, dan rasio anggaran KDH dan DPRD terhadap APBD. Selain

itu, perhatian khusus perlu diberikan pada DOHP di Indonesia Bagian Timur karena secara

keseluruhan kinerjanya selalu relatif lebih rendah dibandingkan dengan DOHP di wilayah

lainnya.

Peran pemerintah provinsi sesungguhnya juga menjadi penting berkenaan dengan upaya

pembinaan terhadap kabupaten/kota. Kendalanya adalah dalam kebijakan yang ada saat ini

provinsi memang cenderung kurang memiliki kewenangan untuk itu. Pertimbangan mengenai

peningkatan peran provinsi dalam hal pembinaan tersebut perlu menjadi bagian dalam

perumusan kebijakan nasional mengenai otonomi daerah. Meskipun di sejumlah daerah, agak

sulit mengharapkan pemerintah provinsi dapat berperan optimal dalam pembinaan sementara

kinerjanya sendiri cenderung rendah. Dalam hal ini, pemerintah pusat juga perlu

mempertimbangkan kapasitas tiap-tiap provinsi dalam melaksanakan hal tersebut.

(c) Meningkatkan kualitas pelayanan administrasi kependudukan dan catatan sipil.

Peningkatan pelayanan administrasi kependudukan dan catatan sipil perlu ditingkatkan, karena

sesungguhnya dokumen-dokumen berkenaan dengan kedua hal tersebut adalah hak seorang

warga negara, dan pada akhirnya juga akan memudahkan pemerintah dan pemerintah daerah

dalam melakukan analisis perencanaan pembangunan, pengalokasian anggaran, penetapan

kelompok sasaran program, pendataan pemilih dalam Pemilu/Pilkada, dan sebagainya.

Pemerintah dan pemerintah daerah perlu mengerahkan segenap upaya yang memungkinkan

semua warga negara dapat dengan mudah memiliki dokumen-dokumen tersebut. Untuk

dokumen akta kelahiran dan KTP sebaiknya memang dibuat gratis/bebas biaya. Selain itu,

sosialisasi mengenai pentingnya dokumen identitas dan mudahnya mengurus administrasi

kependudukan dan catatan sipil, serta pembuktian nyata dalam praktek pelayanan dokumen-

dokumen tersebut perlu terus ditingkatkan oleh pemerintah.

(d) Menyempurnakan kebijakan transfer anggaran daerah.

Tanpa mereformasi kebijakan transfer, amat sulit bagi DOHP dan daerah-daerah lainnya untuk

meningkatkan kapasitasnya dalam penyelenggaraan berbagai pelayanan kepada warganya

karena daerah umumnya telah memiliki kendala anggaran yang sangat ketat. Disiplin anggaran

dalam hal perencanaan, pengalokasian, transfer, penggunaan dan pelaporannya harus terus

ditingkatkan, baik di pemerintah pusat maupun daerah. Untuk itu kejelasan dan ketegasan

pelaksanaan jadwal dari siklus anggaran perlu ditingkatkan, dan bila perlu disertai dengan sanksi

administratif yang tegas atas pelanggarannya.

Page 63: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

51

51 Kesimpulan dan Rekomendasi

(e) Memperkuat kebijakan mengenai transparansi dan akuntabilitas pemerintahan serta

partisipasi masyarakat baik di pusat maupun daerah.

Dalam mewujudkan tata-pemerintahan yang baik, DOHP pada umumnya juga masih mengalami

kendala dalam mengembangkan pemerintahan yang transparan dan partisipatif. Janji

desentralisasi dan fragmentasi daerah untuk menghasilkan pemerintahan yang lebih dekat

dengan warganya, sehingga membuat warga lebih mudah untuk terlibat dalam proses kebijakan

dan lebih mudah mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan ternyata belum tampak

dari hasil evaluasi ini. Sebagian besar daerah gagal melakukan konsultasi publik dalam setiap

pembuatan kebijakan daerah. Kedekatan secara fisik antara pemerintah dengan warganya

ternyata tidak diikuti dengan kedekatan secara emosional dan kejiwaan. Pemerintah daerah

masih enggan melakukan konsultasi publik kepada warganya ketika mereka membuat peraturan

daerah dan merumuskan APBD. Temuan ini memperkuat studi-studi lainnya yang menunjukkan

bahwa desentralisasi dan pembentukan daerah baru tidak selalu menghasilkan pemerintahan

yang partisipatif. Sedangkan sebagai pemangku kepentingan warga perlu didengar aspirasinya

dan dipahami kepentingan dan kebutuhannya sehingga kebijakan dan program pemerintah

daerah benar-benar menjawab kepentingan dan kebutuhannya.

Tantangannya adalah bagaimana menjadikan fenomena ini sebagai pintu masuk untuk

mendorong DOHP untuk bukan hanya lebih terbuka kepada warganya tentang apa yang mereka

lakukan dengan APBD-nya tetapi juga mendorong warga untuk lebih peduli terhadap apa yang

dilakukan oleh pemerintahnya. Selama ini warga kebanyakan kurang peduli terhadap apa yang

dilakukan oleh pemerintah dengan anggaran yang dikuasainya. Salah satunya karena informasi

yang dimiliki oleh warga dan pemangku kepentingan tentang APBD sangat terbatas. Pemerintah

perlu memanfaatkan momentum ini untuk mendorong DOHP menjadi lebih terbuka dalam

mempertanggungjawabkan apa yang mereka telah lakukan selama setahun sebelumnya kepada

warganya. Dengan cara ini warga dan pemangku kepentingan juga akan menjadi lebih peduli

kepada program dan proyek pemerintah dan interaksi warga dengan pemerintahnya akan

menjadi semakin intens.

Adalah tugas pemerintah untuk mendorong DOHP melangkah lebih jauh meninggalkan

transparansi prosedural menunju transparansi yang lebih subtantif. Ketidakmampuan DOHP

untuk mengembangkan basis legal yang solid bagi pengembangan transparansi dalam

pemerintahan menunjukan besarnya tantangan yang dihadapi dalam pengembangan

transparansi pemerintahan. Tanpa ada basis legal yang kuat yang dapat memaksa adanya

transformasi dari transparansi prosedural menuju pada transparansi yang subtantif maka amat

sulit membayangkan DOHP akan segera dapat mentransformasi dirinya sebagai pemerintah

yang akuntabel dan responsif.

Untuk mempercepat terwujudnya pemerintahan yang partisipatif, pengakuan terhadap hak-hak

warga untuk terlibat dalam proses kebijakan di daerah perlu diatur secara lebih jelas. Dalam UU

No.32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah, ketentuan mengenai kedudukan warga,

hak-hak, kewajiban, dan hubungannya dengan pemerintahan daerah belum diatur dengan jelas.

Dalam konstruksi peraturan perundangan yang ada sekarang ini, warga cenderung ditempatkan

Page 64: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

52

52 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

sebagai konsumen yang pasif. Warga belum diperlakukan sebagai pemangku kepentingan yang

perlu didengar pendapatnya dalam proses pembuatan peraturan daerah dan perancangan

APBD. Sedangkan sebagai pemangku kepentingan warga perlu didengar aspirasinya dan

dipahami kepentingan dan kebutuhannya sehingga kebijakan dan program pemerintah daerah

benar-benar menjawab kepentingan dan kebutuhannya.

(f) Efisiensi dan efektifitas pengelolaan anggaran daerah.

Penempatan belanja pegawai dalam alokasi dasar sebagai bagian dari formula DAU perlu dikaji

kembali relevansinya, mengingat implikasinya bagi kapasitas daerah dalam penyelenggaraan

pelayanan publik. pemerintah perlu mendorong daerah melakukan rightsizing birokrasinya.

Untuk mendorong daerah melakukan rasionalisasi belanja pegawai dan belanja tidak langsung

lainnya, perlu dioptimalkan upaya untuk menyambungkan program pusat dengan program

daerah untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan nasional. Selain itu, Kementerian dan

Lembaga Non-Kementerian juga perlu mengembangkan ukuran pencapaian tujuan-tujuan

nasional dengan pencapaian output dan outcome dari daerah dan mengurangi kecenderungan

menggunakan input seperti keberadaan institusi sejenis sebagai kriteria untuk mengukur

sinergitas dari kegiatan pusat dan daerah.

(g) Pengembangan program pro-poor.

Pengembangan program pro-poor dapat menjadi salah satu jawaban terhadap pertanyaan di

atas. Untuk mendorong DOHP mengembangkan program-program pro-poor, pemerintah dapat

memanfaatkan instrumen fiskal untuk mendorong daerah peduli pemenuhan kebutuhan dasar,

misalnya dengan mendorong penguatan keterkaitan antara pengalokasian dana perimbangan

dengan penyelenggaraan pelayanan dasar. Pemerintah juga perlu mengembangkan kebijakan

yang mencegah terjadinya elite capture dalam penganggaran, sebagaimana ditunjukan oleh

hasil evaluasi ini. Anggaran yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan elit birokrasi dan

politik dan belanja pegawai seharusnya tidak boleh melebihi anggaran untuk pelayanan publik.

Pengaturan tentang pembatasan maksimal anggaran untuk KDH, DPRD, dan belanja pegawai

perlu dibuat karena kecenderungan yang terjadi sekarang ini proporsi anggaran untuk

kebutuhan KDH, DPRD, dan belanja pegawai telah melampau kewajaran dan jika dibiarkan dapat

menghalangi daerah untuk mencapai tujuan utama dari kehadirannya, yaitu meningkatkan

kesejahteraan warganya. Jika instrumen kebijakan seperti ini dapat dirumuskan dengan baik

maka kepedulian pada penurunan angka kemiskinan dan gizi buruk akan dapat ditingkatkan

secara lebih cepat.

(h) Meningkatkan iklim usaha yang kondusif di DOHP.

Selain bahwa diperlukan adanya kerjasama antara daerah dalam pelaksanaan pembangunan

sosial, ekonomi dan kewilayahan, dengan semakin bertambahnya jumlah DOHP tak terelakkan

berarti meningkat pula persaingan dalam memperebutkan akses investasi ataupun pemasaran

produk-produk antar daerah. Investasi yang dimaksud tentunya yang dapat membawa kebaikan

dan manfaat bagi seluruh pihak, dan bukan lantas yang justru hanya menguntungkan sebagian

kecil saja dan merugikan kepentingan masyarakat ataupun merusak tatanan sosial, ekonomi

dan lingkungan hidup di daerah. Untuk itu pemerintah perlu terus mendorong terbangunnya

Page 65: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

53

53 Kesimpulan dan Rekomendasi

kapasitas pemerintah daerah dalam mengembangkan iklim usaha yang sehat dan kondusif di

daerah khususnya DOHP, agar tidak bergantung pada sumber pendapatan daerah konvensional

(pajak/retribusi daerah, dan memberi ruang seluasnya serta melonggarkan kontrol atas

pemanfaatan sumber daya alam daerah alam) dan dana perimbangan atau anggaran transfer

daerah dari pusat (Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, dan Dana

Dekonsentrasi).

Pemerintah harus mendorong terbangunnya kesadaran dan kerangka berpikir yang jelas bahwa

iklim usaha yang sehat merupakan kebutuhan dan kepentingan baik bagi DOHP maupun pelaku

usaha (baik lokal, nasional maupun multinasional). Kejelasan dan ketegasan kebijakan investasi

di daerah berikut masalah perizinan, pajak daerah/retribusi, stabilitas politik di daerah dan

lainnya akan sangat mempengaruhi hal tersebut. Dalam situasi dimana DOHP memerlukan

kepastian investasi dan pelaku usaha memerlukan kepastian iklim usaha yang kondusif,

tentunya terbuka ruang untuk secara kontinyu dilakukan pertemuan atau dialog dalam rangka

membantu semua pihak memahami dinamika dan masalah terkait iklim investasi tersebut, dan

bersama-sama mencari jalan keluar yang tepat untuk kebaikan DOHP, masyarakat dan pelaku

usaha itu sendiri.

6.4 Penutup

Keseluruhan proses EDOHP telah memberi pelajaran berharga bahwa meskipun penting, diperlukan dan

sesungguhnya juga mendesak untuk dilakukan, evaluasi terhadap pelaksanaan pembangunan khususnya

pelaksanaan otonomi daerah selama ini ternyata belum dilaksanakan dengan memadai. Selain

memerlukan biaya, waktu dan sumber daya manusia yang tidak sedikit, pengalaman EDOHP

menyadarkan bahwa dibutuhkan pemahaman dan penguasaan metode evaluasi yang komprehensif,

berikut kecermatan dan kehati-hatian dalam menyusun dan menggunakan instrumen survei serta dalam

mengolah data, menganalisis, serta menyajikannya dalam laporan yang memadai. Evaluasi ini juga

mengajarkan bahwa meskipun data profil dan capaian perkembangan pembangunan sangat diperlukan

namun masih menjadi masalah dan belum teratasi sampai saat ini. Masalah ketersediaan, kelengkapan,

keseragaman, kemudahan mengakses dan terlebih kualitas serta validitas data pembangunan memang

masih menjadi persoalan di Indonesia, baik di pusat, dan terlebih di daerah.

Kapasitas dan kinerja internal di Kementerian Dalam Negeri untuk mampu mengelola dan melaksanakan

seluruh tahapan evaluasi dalam skala nasional dan dengan menggunakan metodologi evaluasi yang

tepat dan benar disadari memang masih harus ditingkatkan. Pembinaan, koordinasi dan kerjasama

antara Kementerian Dalam Negeri dengan instansi terkait baik di pusat maupun daerah dalam rangka

evaluasi semacam ini juga perlu ditingkatkan. Dalam hal ini, memang perlu dipertimbangkan adanya

suatu desain evaluasi pemerintah yang menyeluruh dan terintegrasi sehingga dapat dihindari tumpang

tindih kegiatan evaluasi, yang selain tidak efisien juga memberatkan semua pihak, khususnya

pemerintah daerah, yang harus menyediakan waktu dan sumberdaya yang tidak sedikit untuk

memenuhi beragam evaluasi yang sesungguhnya tidak terlalu jauh berbeda satu sama lain.

Page 66: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

54

54 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Pelajaran lain yang diperoleh adalah bahwa model evaluasi yang melibatkan secara penuh sebuah tim

dari para akademisi dan pengamat pemerintahan dan pembangunan sangat membantu pemerintah

dalam kegiatan evaluasi semacam ini. Evaluasi dapat dilaksanakan dengan relatif lebih otonom dan

netral dibandingkan jika dilakukan sendiri oleh internal Kementerian Dalam Negeri. Hasil evaluasi dapat

menjadi pembanding dari hasil evaluasi internal yang dilakukan oleh pemerintah. Meskipun disana-sini

masih ditemukan kekurangan dan perlu penyempurnaan, namun model semacam ini dipandang layak

dan perlu dikembangkan pada evaluasi-evaluasi lainnya.

Page 67: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

55

LAMPIRAN

Lampiran 1: Definisi Indikator EDOHP

No Faktor Indikator Bobot

1. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat 30%

1.1 Aspek Kemakmuran Masyarakat 80%

1.1.1 Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita

Definisi:

PDRB merupakan singkatan dari Produk Domestik Regional Bruto, yaitu

penjumlahan nilai output bersih perekonomian yang dihasilkan dari seluruh

kegiatan ekonomi (mulai kegiatan pertanian, pertambangan, industri

pengolahan, sampai jasa) di suatu wilayah tertentu (provinsi,

kabupaten/kota) dalam kurun waktu tertentu (biasanya dihitung dalam satu

tahun kalender). PDRB per Kapita adalah angka perbandingan antara PDRB

suatu daerah dengan jumlah penduduk di daerah tersebut.

Cara Menghitung:

PDRB dihitung dengan cara melihat nilai tambah barang dan jasa atas dasar

harga konstan, yaitu nilai tambah barang dan jasa tersebut dihitung dengan

menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu. Angka ini

berguna untuk memonitor pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Laju

pertumbuhan ekonomi tersebut dihitung menggunakan rumus CAGR

(Compound Annual Growth Rate). Data yang digunakan adalah data PDRB per

kapita daerah otonom pada 3 tahun terakhir.

Treatment data ekstrim dengan mengganti data ekstrim dengan nilai minimum

dan maksimum :

Min = - 22%

Max = 29 %

- Jarak minimum ke rata-rata, harus sama dengan jarak maximum ke rata-

rata.

- Dipilih jarak terdekat di antara kedua jarak sebagai standar jarak ke rata-

rata.

30%

1.1.2 Tingkat Kemiskinan

Definisi:

Definisi kemiskinan yang digunakan dalam konteks ini mengacu pada definisi

kemiskinan BPS. Pada tahun 1994, BPS merumuskan kemiskinan sebagai

kondisi di mana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya

kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari.

Cara menghitung:

Angka kemiskinan dihitung melalui Rata-rata Rasio Jumlah Penduduk Miskin

terhadap Total Penduduk selama 3 th terakhir. Nilai ini memiliki nilai yang

40%

Page 68: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

56

56 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

No Faktor Indikator Bobot

reverse direction. Semakin kecil tingkat kemiskinan, maka kinerja suatu

daerah semakin baik.

Treatment data ekstrim:

Outlier: 2 SD + rata-rata

Min = 2,57%

Max = 62 %

1.1.3 Komitmen pemerintah pada peningkatan kemakmuran rakyat yang dilihat

dari bentuk hukum, relevansi dan dampak kebijakan.

Definisi:

Kebijakan (Perda, Program, Renstra, Kegiatan) Pemberdayaan Penduduk

Miskin adalah keberadaan Peraturan Daerah dan/atau Peraturan/Keputusan

Kepala Daerah dalam upaya pemberdayaan penduduk miskin. Kebijakan

pemberdayaan penduduk miskin dapat berupa perda, program, renstra,

dan/atau kegiatan untuk percepatan penanggulangan kemiskinan secara

terpadu dan berkelanjutan di daerah. Kebijakan ini terutama dimaksudkan

untuk pencapaian kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin

perdesaan.

Cara Menghitung:

• Data berupa nama /judul/tentang/nomor dan Tanggal Kebijakan

• Skor untuk jenis kebijakan :

a. Maksimum Skor untuk perda = 5

b. Maksimum Skor untuk PKD = 4

c. Maskimum Skor untuk Kep= 3

d. Maksimum Skor untuk renstra = 2

• Untuk setiap jenis kebijakan terjadi gradasi dari nilai maksimal ke nilai

terendah dengan ketentuan urutan penurunan sbb:

a. Kebijakan langsung berhubungan pemberdayaan masyarakat miskin

dengan isu yang strategis

b. Kebijakan langsung berhubungan pemberdayaan masyarakat miskin

dengan isu yang relevan

c. Kebijakan yang menunjang pemberdayaan masyarakat miskin

d. Kebijakan yang sekedar terkait pemberdayaan kemiskinan

e. Penentuan Skor akhir dipilih dari Tingkat kebijakan tertinggi,

berdasarkan relevansi judul

f. kebijakan, apakah kebijakan dianggap memiliki dampak langsung

terhadap pengurangan kemiskinan.

Treatment data ekstrim:

Min = 0

Max = 5

30%

Page 69: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

57

57 Lampiran

No Faktor Indikator Bobot

1.2 Berkurangnya Ketimpangan Gender 20%

1.2.1 Komitmen pemerintah pada kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan

perempuan yang dilihat dari bentuk hukum, relevansi dan dampak kebijakan.

Definisi:

Produk Hukum Tentang Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan

Perempuan adalah keberadaan peraturan daerah, peraturan/keputusan

kepala daerah dan/atau kebijakan berupa renstra, program, kegiatan, dsb.

yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan

partisipasi perempuan dalam pembangunan, sebagai akibat dari adanya

praktek diskriminasi terhadap perempuan. Keberadaan produk hukum terkait

kesetaraan gender merupakan wujud perhatian pemerintahan daerah untuk

membuka akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang

baik, pendidikan yang tinggi, ketenagakerjaan, dan keterlibatan perempuan

dalam bidang politik serta kegiatan publik lainnya sekaligus untuk

meningkatkan Indeks Pembangunan Gender (Gender-related Development

Indeks, GDI).

Cara Menghitung:

• Data berupa nama /judul/tentang/nomor dan Tanggal Kebijakan

• Skor untuk jenis kebijakan :

a. Maksimum Skor untuk perda = 5

b. Maksimum Skor untuk PKD = 4

c. Maskimum Skor untuk Kep= 3

d. Maksimum Skor untuk renstra = 2

• Penentuan Skor akhir dipilih dari Tingkat kebijakan tertinggi, berdasarkan

relevansi judul kebijakan dan apakah kebijakan dianggap memiliki dampak

langsung terhadap pengurangan ketimpangan gender.

• Untuk setiap jenis kebijakan terjadi gradasi dari nilai maksimal ke nilai

terendah dengan ketentuan urutan penurunan sbb:

a. Kebijakan langsung berhubungan pengurangan ketimpangan gender

dengan isu yang strategis

b. Kebijakan langsung berhubungan pengurangan ketimpangan gender

dengan isu yang relevan

c. Kebijakan yang menunjang pengurangan ketimpangan gender

d. Kebijakan yang sekedar terkait pengurangan ketimpangan gender

50%

1.2.2 Tingkat Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/atau

Pemberdayaan Perempuan

Definisi:

Bentuk Kelembagaan yang Menangani Kesetaraan Gender adalah

bentuk/jenis perangkat daerah yang membantu kepala daerah, khususnya

sebagai pengelola kegiatan kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan

perempuan.

50%

Page 70: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

58

58 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

No Faktor Indikator Bobot

Cara Menghitung:

• Data berupa Bentuk Kelembagaan yang menangani Ketimpangan Gender dan/

Pemberdayaan Perempuan

• Setiap Bentuk Kelembagaan diberi Skor sbb:

a. Badan Skor 10

b. Dinas Skor 10

c. Kantor Skor 8

d. Bagian Skor 6

e. Seksi Skor 4

f. Unit Skor 1

• Penentuan Skor akhir dipilih dari Tingkat Kelembagaan tertinggi yang dimiliki

daerah.

2. Good Governance 25%

2.1 Aspek Efektivitas 20%

2.1.1 Ketepatan Waktu Daerah Menetapkan APBD

Definisi:

Ketepatan waktu daerah menetapkan APBD merupakan amanah dari Pasal 53

ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah. Diakui bahwa ketepatan waktu penetapan APBD bukanlah

hal utama dalam menjamin keberhasilan atau keunggulan kinerja APBD,

namun paling tidak hal itu harus dipenuhi terlebih dahulu oleh daerah.

Apabila penetapan APBD terlambat, maka semua proses pelaksanaan

anggaran daerah akan menjadi terlambat pula, mulai dari proses tender

sampai dengan penyelesaian proyek-proyeknya.

Cara Menghitung:

• Data berupa Waktu penetapan APBD (tgl/bulan/ Tahun) sejak daerah

memiliki APBD yang ditetapkan sendiri

• Penetapan Skor serial :

a. < 31 Des point 5

b. < 15 Januari point 4 (Januari)

c. < 21 Januari point 3 (Februari)

d. < 15 Feburari point 2 (Maret)

e. < 31 Feburari point 1 (April)

f. > Maret point 0 (Mei - ……….)

40%

2.1.2 Daya Serap Anggaran (APBD) Per Tahun

Definisi:

Daya serap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan suatu

ukuran atas efektivitas pengelolaan dan penggunaan belanja daerah sesuai

alokasi pemanfaatannya dalam kurun waktu satu tahun anggaran. Hal ini

sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun

2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah

60%

Page 71: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

59

59 Lampiran

No Faktor Indikator Bobot

diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007

Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun

2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Dalam Pasal 18 ayat (2) Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tersebut

dinyatakan bahwa belanja daerah adalah belanja yang telah dialokasikan

dalam APBD secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh

kelompok masyarakat tanpa diskriminasi khususnya dalam pelayanan umum

baik aparatur maupun publik.

Cara Menghitung:

• Data berupa rasio Silpa/APBD tiga tahun terakhir

• Diolah dengan rumus CAGR

Treatment data ekstrim

- Jarak minimum ke rata-rata harus sama dengan jarak maximum ke rata-rata

- Reverse direction

- Min = - 97%

- Max = 125%

2.2 Aspek Transparansi 20%

2.2.1 Komitmen pemerintah pada azas transparansi yang dilihat dari bentuk hukum,

relevansi dan dampak kebijakan terhadap transparansi.

Definisi:

Produk Hukum Daerah untuk Transparansi adalah keberadaan peraturan

daerah dan/atau peraturan/keputusan kepala daerah yang berupaya

mewujudkan keterbukaan dan pertanggungjawaban sebagai salah satu pilar

good governance. Produk hukum untuk transparansi ini merupakan aturan

dan prosedur kerja pemerintahan daerah yang bersifat transparan dan

diberlakukan untuk membuat pejabat pemerintah bertanggung jawab dan

untuk memerangi korupsi. Transparansi penyelenggaraan pemerintahan

daerah adalah jaminan kesempatan bagi masyarakat untuk mengetahui “siapa

mengambil keputusan apa beserta alasannya”. Format dan konsep

transparansi yang wajib diimplementasikan dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari salah satu azas-

azas umum penyelenggaraan negara sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih

dan Bebas KKN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik

tuntutan adanya transparansi tidak hanya kepada pemerintah daerah

(eksekutif) tetapi juga kepada DPRD (legislatif).

Cara Menghitung:

• Data berupa nama /judul/tentang/nomor dan Tanggal Kebijakan

• Skor untuk jenis kebijakan :

a. Maksimum Skor untuk perda = 5

b. Maksimum Skor untuk PKD = 4

c. Maskimum Skor untuk Kep= 3

30%

Page 72: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

60

60 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

No Faktor Indikator Bobot

d. Maksimum Skor untuk renstra = 2

• Penentuan Skor akhir dipilih dari Tingkat kebijakan tertinggi, berdasarkan

relevansi judul kebijakan dan apakah kebijakan dianggap memiliki dampak

langsung terhadap transparansi

• Untuk setiap jenis kebijakan terjadi gradasi dari nilai maksimal ke nilai

terendah dengan ketentuan urutan penurunan sbb:

a. Kebijakan langsung berhubungan upaya transparansi dengan isu yang

strategis

b. Kebijakan langsung berhubungan upaya transparansi dengan isu yang

relevan

c. Kebijakan yang menunjang upaya transparansi

d. Kebijakan yang sekedar terkait upaya transparansi

• Program dan kegiatan dihilangkan, karena bukan produk hokum

2.2.2 Publikasi APBD dan Pengadaan Barang/Jasa (Procurement)

Definisi:

Publikasi Pengadaan Barang / Jasa (Procurement) adalah mekanisme

pemberitahuan kepada publik dalam rangka pelaksanaan rangkaian kegiatan

yang harus dilakukan untuk mempersiapkan pelaksanaan pengadaan barang/

jasa yang akan dilaksanakan oleh Pemda.

Cara Menghitung:

• Data berupa jenis publikasi yang dimiliki oleh daerah dalam 3 tahun terakhir

• Skor :

a. Website Resmi Pemda Skor 3

b. Surat Kabar Skor 2

c. Pengumuman di SKPD Terkait Skor 1

• Skor dihitung secara rata-rata dari komposit Skor selama 3 tahun terakhir

70%

2.3 Aspek Akuntabilitas 40%

2.3.1 Sarana yang disediakan pemerintah untuk penanganan pengaduan

masyarakat

Definisi:

Pelembagaan Penanganan Pengaduan Masyarakat adalah sistem, mekanisme,

dan prosedur yang dilembagakan oleh pemerintahan daerah dalam upayanya

mengelola keluhan dan/atau protes-protes yang mungkin muncul dari

berbagai pihak secara terstruktur, sehingga tidak menimbulkan gejolak dan

mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bentuk-bentuk

pengaduan dapat berupa pengaduan melalui kotak pos dan/atau e-mail

berbentuk pengaduan tertulis. Pengaduan melalui alamat kantor Pemda dan

melalui staf dapat berbentuk pengaduan lisan dan dapat pula berbentuk

pengaduan tertulis. Pengaduan tertulis dimungkinkan dalam bentuk surat

kaleng dan dalam bentuk surat dengan keterangan jelas. Pengaduan lisan

dapat disampaikan secara individual maupun ber kelompok serta dapat pula

disampaikan melalui forum rapat komunitas.

30%

Page 73: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

61

61 Lampiran

No Faktor Indikator Bobot

Cara Menghitung:

• Data berupa jenis-jenis sarana yang digunakan untuk penanganan

pengaduan masyarakat

• Skor:

a. Unit pengaduan Skor 10

b. Website Skor 5

c. Surat kabar Skor 5

d. Talk show Skor 5

e. SMS Skor 3

f. Kotak Pengaduan Skor 1

g. Coffee morning Skor 2

2.3.2 Komitmen penyelenggara negara/pejabat pada azas integritas

Definisi:

Pakta Integritas dan/atau Kontrak Kinerja merupakan Surat Pernyataan yang

ditandatangani secara bersama oleh pengguna barang/jasa/panitia

pengadaan/ pejabat pengadaan/penyedia barang/jasa yang berisi ikrar untuk

mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam

pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Elemen dan karakteristik dari Pakta

Integritas adalah adanya proses pengambilan keputusan yang dibuat secara

sederhana dan transparan. Pakta Integritas pada hakekatnya adalah janji

untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai ketentuan yang

berlaku. Filosofi dasarnya adalah membuat transaksi bisnis di antara peserta

lelang/kontraktor menjadi lebih fair. Kendati belum ada suatu peraturan yang

spesifik mengenai penerapan Pakta Integritas di Indonesia, namun konsep dan

penerapannya sangat relevan dengan amanat penegakan hukum dan tata

kelola sistem kenegaraan yang bersih, berintegritas, adil, akuntabel dan

transparan.

Cara Menghitung :

• Data berupa bentuk ikrar “pakta integritas“ dan “Kontrak Kinerja”

• Skor:

a. Pakta Integritas Skor 5

b. Kontrak Kinerja Skor 10

30%

2.3.3 Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD

Definisi:

Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD adalah pemberian dan/atau

penyampaian informasi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)

dan/atau pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada masyarakat melalui

media cetak dan/atau media elektronik.

Cara Menghitung :

• Data berupa jenis publikasi untuk pertanggung-jawaban APBD selama 3 th

terakhir

• Skor :

a. Website Skor 3

20%

Page 74: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

62

62 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

No Faktor Indikator Bobot

b. Surat Kabar Skor 2

c. Pengumuman SKPD Skor 1

• Skor dihitung secara rata-rata dari komposit Skor selama 3 tahun terakhir

2.3.4 Tingkat komitmen pemerintah pada kepentingan publik

Definisi:

belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai

pengurang nilai kekayaan bersih. Sesuai Pasal 31 ayat (1), belanja daerah

dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari

urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian

atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan

pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan

ketentuan perundang-undangan.

Cara Menghitung :

• Untuk mengukur Elite Capture, jika anggaran DPRD dan KDH semakin tinggi

berarti anggaran untuk publik semakin kecil

• Anggaran belanja DPRD + KDH / TOTAL BELANJA APBD dihitung rata-rata 3 th

terakhir

• Reverse Direction

Treatment data ekstrim :

- Jarak minimum ke rata-rata sama dengan jarak maximum ke rata-rata

- Min = 0,11%

- Max = 5%

20%

2.4 Aspek Partisipasi 20%

2.4.1 Keterbukaan pemerintah terhadap partisipasi dan konsultasi publik dalam

penyusunan kebijakan

Definisi:

Konsultasi publik (KP) adalah cara, mekanisme, dan proses melibatkan

masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan publik,

baik oleh eksekutif maupun legislatif. Bentuk konsultasi kepada masyarakat itu

dapat berupa berdialog, berunding, musyawarah, meminta nasehat atau

saran, atau pun melaporkan kebijakan apa yang sudah atau akan dilakukan

pemerintah daerah kepada publik (masyarakat).

Cara Menghitung :

• Jika ada perda, diberi point 5, jika tidak ada diberi point 0

• Nilai distandardisasi (100* skor-max/max-min)

60%

2.4.2 Jumlah Perda Inisiatif DPRD

Definisi:

Jumlah Peraturan Daerah (Perda) Inisiatif DPRD adalah banyaknya Perda yang

proses pembuatannya merupakan inisiatif anggota legislatif atau DPRD.

40%

Page 75: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

63

63 Lampiran

No Faktor Indikator Bobot

Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama sama Pemerintah Daerah,

artinya dapat berasal dari hak inisiatif DPRD maupun prakarsa dari Pemerintah

Daerah (Eksekutif).

Cara Menghitung :

• Data jumlah Perda sejak daerah berdiri

• Setiap Perda di beri point

3. Ketersediaan Pelayanan Publik 25%

3.1 Aspek Pendidikan 25%

3.1.1 Tingkat komitmen pemerintah pada pelayanan pendidikan

Definisi:

Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang

dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan alokasi anggaran

pendidikan melalui transfer ke daerah, termasuk gaji pendidik, namun tidak

termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan

pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Persentase anggaran

pendidikan terhadap APBD adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan

terhadap total anggaran belanja daeralh

Kegunaan:

Alokasi anggaran pendidikan secara proporsional berdampak pada

terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan

berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia

berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

• Data berupa rasio anggaran pendidikan terhadap APBD

• Perhitungan rata-rata rasio anggaran selama 3 tahun terakhir

Treatment data ekstrim

- Min = 5%

- Max = 31%

- Jarak antara minimum ke rata-rata dan maximum ke rata-rata harus sama

50%

3.1.2 Tingkat Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan SD/Sederajat, SMP/Sederajat, dan

SMA/Sederajat

Definisi:

Angka Partisipasi Kasar SD/Sederajat, SMP/Sederajat, dan SMA/Sederajat

adalah perbandingan jumlah siswa pada tingkat pendidikan SD/Sederajat,

SMP/ Sederajat, dan SMA/Sederajat dibagi dengan jumlah penduduk usia 7

(tujuh) hingga 18 (delapan belas) tahun. Apabila dilihat dari tingkat

ketuntasannya, terdapat 5 jenis ketuntasan, yaitu:

a. Paripurna : bila pencapaian APK ≥ 95%

b. Utama : bila pencapaian APK antara 90%-94%

c. Madya : bila pencapaian APK antara 85%-89%

d. Pratama : bila pencapaian APK antara 80%-84%

e. Belum tuntas: bila pencapaian APK ≤ 80%

50%

Page 76: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

64

64 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

No Faktor Indikator Bobot

Cara Menghitung :

• Perhitungan menggunakan angkarata-rata tiga tahun terakhir

Treatment data ekstrim

- SD

Min = 62

Max = 140

- SMP

Min = 51

Max = 119

- SMA

Min = 14

Max = 100

- Total (bobot APK SD,SMP,SMA)

3.2 Aspek Kesehatan 25%

3.2.1 Tingkat komitmen pemerintah pada pelayanan kesehatan

Definisi:

Anggaran kesehatan adalah alokasi anggaran pada fungsi kesehatan yang

dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan alokasi anggaran

kesehatan melalui transfer ke daerah, untuk membiayai penyelenggaraan

kesehatan yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Persentase anggaran

kesehatan terhadap APBD adalah perbandingan alokasi anggaran kesehatan

terhadap total anggaran belanja daerah.

Cara Menghitung:

• Data berupa rasio anggaran kesehatan terhadap APBD

• Perhitungan rata-rata rasio anggaran selama 3 tahun terakhir

Treatment data ekstrim:

- Min = 2%

- Max = 12%

50%

3.2.2 Persentase Balita Gizi Buruk

Definisi:

Persentase Balita Gizi Buruk adalah proporsi balita dalam kondisi gizi buruk

terhadap jumlah balita. Keadaan tubuh anak atau bayi dilihat dari berat badan

menurut umur.

• Data berasal dari Kementerian Kesehatan

• Sumber : Kementerian Kesehatan th 2007

50%

3.3 Aspek Penyediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Umum 25%

3.3.1 Komitmen pemerintah pada penyediaan sarana air bersih dan sanitasi

40%

Page 77: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

65

65 Lampiran

No Faktor Indikator Bobot

Definisi:

Persentase Penduduk Berakses Air Minum adalah proporsi jumlah penduduk

yang mendapatkan akses air minum terhadap jumlah penduduk secara

keseluruhan. Sedangkan persentase rumah tinggal bersanitasi adalah proporsi

rumah tinggal bersanitasi terhadap jumlah rumah tinggal. Sanitasi rumah

adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan

terhadap struktur fisik, di mana orang menggunakannya sebagai tempat

berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana tersebut

antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami,

konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan

kotoran manusia, dan penyediaan air bersih.

Cara Menghitung:

• Data berupa rasio kepala keluarga terakses air bersih+sanitasi terhadap

jumlah kepala keluarga

• Perhitungan rata-rata rasio KK terakses selama 3 tahun terakhir

• Untuk provinsi, data diambil dari laporan DPU th 2009

3.3.2 Laju pertumbuhan sarana jalan

Definisi:

Proporsi panjang jaringan jalan per luas wilayah adalah angka perbandingan

antara panjang jaringan jalan dalam kondisi baik terhadap luas wilayah secara

menyeluruh di masing-masing provinsi/kabupaten/kota. Mutu jalan di suatu

daerah berpengaruh terhadap berbagai kegiatan penduduk, khususnya

kegiatan perdagangan dan upaya untuk melakukan integrasi antar wilayah

terbelakang dengan pasar yang lebih besar.

Cara Menghitung:

Laju dihitung dengan menggunakan rumus CAGR (Compound Annual Growth

Rate) dari data 3 th terakhir

Treatment data ekstrim:

- Min = 0 (judgment)

- Max = 40 (1SD)

35%

3.3.3 Inisiatif Pemda dalam penanganan krisis listrik

Definisi:

Inisiatif Pemda untuk Menangani Krisis Listrik adalah upaya inovatif yang

dilakukan Pemerintahan Daerah untuk memenuhi kebutuhan listrik penduduk

di wilayahnya.

Cara Menghitung:

• Pemberian skor:

0 = Tidak melakukan apa-apa

1 = Wacana (rapat, pendataan, dll)

2 = Membangun dengan kerjasama (dg swasta, daerah lain, negara lain,

25%

Page 78: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

66

66 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

No Faktor Indikator Bobot

PLN)

3 = Kebijakan penghematan

4 = Membangun secara mandiri (pemerintah dan atau masyarakat,

bantuan melalui pemerintah)

3.4 Aspek Pelayanan Tata Kelola Administrasi Kependudukan 25%

3.4.1 Ketertiban pemerintah dalam pendataan penduduk

Definisi:

Rasio penduduk ber-KTP per satuan penduduk adalah perbandingan jumlah

penduduk usia 17 tahun ke atas yang ber-KTP terhadap jumlah penduduk usia

17 tahun ke atas atau telah menikah. Setiap Penduduk berumur di atas 17

tahun atau telah/pernah menikah wajib memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Cara Menghitung:

• Data berupa rasio jumlah penduduk yang memiliki kartu tanda penduduk

terhadap jumlah penduduk wajib KTP

• Perhitungan rata-rata rasio kepemilikan KTP selama 3 tahun terakhir

Treatment data ekstrim:

• Min = minimum data

• Max = maximum data

50%

3.4.2 Ketertiban pemerintah dalam mencatat kelahiran anak

Definisi:

Persentase Kepemilikan Akte Kelahiran dalam konteks ini adalah rasio bayi

ber-akte kelahiran, yaitu perbandingan jumlah bayi lahir dalam 1 (satu) tahun

yang berakte kelahiran terhadap jumlah bayi lahir pada tahun yang sama.

Cara Menghitung:

• Data berupa rasio jumlah penduduk yang memiliki akta kelahiran terhadap

jumlah penduduk

• Perhitungan rata-rata rasio kepemilikan akta kelahiran selama 3 tahun

terakhir

50%

4. Peningkatan Daya Saing Daerah 20%

4.1 Aspek Kebijakan Daerah 30%

4.1.1 Kepastian peruntukan lahan untuk usaha

Definisi:

Peraturan Daerah (Perda) Tata Ruang adalah dasar hukum pengaturan tata

ruang daerah yang dikeluarkan/disahkan oleh pemerintahan daerah dalam

rangka penataan ruang wilayah (provinsi/kabupaten/kota), sehingga mampu

memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dalam pengembangan

wilayah. Perda penataan ruang merupakan landasan hukum (legal instrumen)

untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah dan tujuan-tujuan

pembangunan.

50%

Page 79: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

67

67 Lampiran

No Faktor Indikator Bobot

Cara Menghitung:

• Data berupa Nama Perda yang terkait dengan aturan Tata ruang Daerah

• Point diberikan berdasarkan relevansi judul Perda

4.1.2 Komitmen pemerintah daerah pada perlindungan lingkungan hidup

Definisi:

Produk Hukum Daerah yang Memberikan Perlindungan Lingkungan Hidup

adalah keberadaan perda, peraturan/keputusan kepala daerah, renstra,

program, dan / atau kegiatan yang ditetapkan pemerintah daerah dalam

rangka menumbuhkan kesadaran bersama tentang kondisi lingkungan dan

sumber daya alam yang semakin buruk. Perda perlindungan lingkungan ini

pada akhirnya akan mendesak seluruh pemerintahan daerah untuk segera

merubah paradigma pembangunannya, dari ekonomi-konvensional menjadi

ekonomi-ekologis.

Cara Menghitung:

• Data berupa Nama Perda yang terkait dengan aturan Lingkungan Hidup

Daerah

• Point diberikan berdasarkan relevansi judul Perda

50%

4.2 Aspek Kelembagaan Daerah 20%

4.2.1 Komitmen pemerintah untuk memudahkan perizinan usaha

Definisi:

Mengacu pada Angka 11 Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24

Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu

Pintu (PTSP), dijelaskan bahwa penyelenggaraan PTSP adalah kegiatan

penyelenggaraan perizinan dan non-perizinan yang proses pengelolaannya

mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan

dalam satu tempat. Adapun sasaran penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu

Pintu adalah:

a. Terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan,

pasti, dan terjangkau;

b. Meningkatnya hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik.

Cara Menghitung :

• Data berupa ada tidaknya institusi pelayanan terpadu untuk ijin usaha

• Skor (0-5) dengan penilaian sesuai kewenangan yang dimiliki oleh institusi

60%

4.2.2 Upaya pemerintah daerah untuk mempromosi potensi ekonomi daerah

Definisi:

Ketersediaan Informasi Potensi Ekonomi Daerah yang Ditampilkan dalam Situs

Web Pemda adalah informasi potensi ekonomi daerah yang dipublikasikan

melalui situs web pemda sebagai salah satu media informasi dan komunikasi

kepada masyarakat/publik. Bentuk penyajian informasi memanfaatkan

40%

Page 80: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

68

68 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

No Faktor Indikator Bobot

perkembangan teknologi informasi komunikasi (Information Comummnication

Technology), yaitu perubahan dari bentuk buku (publikasi konvensional) ke

bentuk publikasi elektronik (media baru) melalui internet. Menampilkan

informasi potensi ekonomi daerah melalui situs web Pemerintah Daerah

mempunyai sasaran agar masyarakat Indonesia dapat dengan mudah

memperoleh akses kepada informasi dan layanan Pemerintah Daerah, dan ikut

berpartisipasi di dalam pembangunan daerah.

Cara Menghitung :

• Data berupa ada tidaknya website

4.3 Aspek Fasilitasi Investasi 25%

4.3.1 Komitmen pemerintah pada pengembangan usaha untuk UMKM

Definisi:

Anggaran Program Pengembangan Usaha Untuk UMKM adalah anggaran

APBD yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan

peningkatan kapasitas UMKM, terutama dalam hal: a) produksi; b) pemasaran;

c) akses finansial; dan d) administrasi keuangan usaha. Perkembangan usaha

mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan koperasi memiliki potensi yang besar

dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Hal ini ditunjukkan oleh

keberadaan UMKM dan koperasi yang telah mencerminkan wujud nyata

kehidupan sosial dan ekonomi bagian terbesar dari rakyat Indonesia. Peran

UMKM yang besar ditunjukkan oleh kontribusinya terhadap produksi nasional,

jumlah unit usaha dan pengusaha, serta penyerapan tenaga kerja. Alokasi

anggaran dalam APBD yang peruntukannya secara spesifik untuk program

pengembangan usaha melalui UMKM bertujuan untuk: 1) peningkatan kualitas

SDM; 2) peningkatan kualitas produk/jasa; 3) promosi produk/jasa; dan 4)

pengelolaan keuangan/akses pembiayaan. Program dapat berupa training,

workshop, pameran, dan lain-lain.

Cara Menghitung:

• Laju dihitung dengan menggunakan rumus CAGR (Compound Annual Growth

Rate) dari data 3 th terakhir

• Data berupa anggaran UMKM 3 tahun terakhir

Treatment data ekstrim:

- Min = - 79

- Max = 217

Jarak yang sama

40%

4.3.2 Kerjasama pemerintah daerah dengan pelaku usaha dalam peningkatan

investasi

Definisi:

Forum Komunikasi Reguler Kepala Daerah (dan Jajaran SKPD Terkait) dengan

Pelaku Usaha yang Menjamin Terlaksananya Kebijakan Pro-investasi secara

Konsisten adalah forum yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah

secara reguler untuk meningkatkan kualitas hubungan pemerintah daerah

dengan pelaku usaha (dapat mencakup pengembangan potensi daerah,

60%

Page 81: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

69

69 Lampiran

No Faktor Indikator Bobot

pemecahan masalah pelaku usaha, dll.). Forum komunikasi tersebut diadakan

tidak dengan suatu agenda khusus, dan tidak untuk menanggapi suatu

kebijakan atau masalah tertentu, namun secara rutin (dapat bulanan, dua

bulan sekali, triwulanan, dsb.) diadakan untuk tujuan tersebut di atas. Forum

komunikasi dapat berupa coffee morning, forum bulanan, dll.

Cara Menghitung:

• Data Berupa ada tidaknya “forum komunikasi reguler” yang diberi point 4 jika

ada dan 0 jika tidak ada

• Penentuan nilai berdasarkan relevansi/dampak forum terhadap peningkatan

investasi dan dilakukan secara reguler atau tidak. Daerah boleh mengisi lebih

dari satu forum

4.4 Aspek 4: Realisasi Investasi 25%

4.4.1 Nilai Realisasi Investasi

Definisi:

Nilai Realisasi Investasi adalah nilai moneter (rupiah dan/atau USD) yang

ditanamkan dalam suatu proyek investasi di suatu daerah, telah disetujui, dan

yang sudah direalisasi, baik proyek baru maupun perluasan skala usaha.

Pemda dalam meraih investasi di daerah harus memperhatikan peningkatan

nilai investasi dan sekaligus pemberdayaan investasi kalangan dunia usaha

lokal.

Cara Menghitung:

• Laju dihitung dengan menggunakan rumus CAGR (Compound Annual Growth

Rate) dari data 3 th terakhir

Treatment data ekstrim:

- Min = - 95, 42

- Max = 437

100%

Page 82: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

70

70 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Lampiran 2: Penggunaan Data Kuesioner

Data Kuesioner Lengkap Data yang Dipakai dari Kuesioner Data Tambahan & Sumber Data Set Lengkap

Kuesioner F01

1. Data Umum :

- Luas Wilayah

- Populasi

- Jumlah Kecamatan saat pembentukan daerah

- Jumlah Kecamatan saat ini

- Struktur Ekonomi Daerah 9 Sektor

2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

3. Pendapatan Asli Daerah

4. Jumlah PNS

5. Jumlah SKPD

6. Jumlah Kecamatan

Kuesioner F02

7. Jumlah Penduduk dan PDRB atas dasar harga konstan

8. Angka Kemiskinan

9. Produk Hukum/Kebijakan terkait pemberdayaan penduduk miskin (Ada

Kuesioner F01

1. Data Umum :

- Luas Wilayah

2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Kuesioner F02

3. Jumlah Penduduk dan PDRB atas dasar harga konstan

4. Angka Kemiskinan

5. Produk Hukum/Kebijakan terkait pemberdayaan penduduk miskin (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)

6. Produk Hukum/Kebijakan terkait kesetaraan gender dan/atau emberdayaan perempuan (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)

7. Bentuk Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan

8. Nama Kelembagaan (Nomenklatur)

1. PDRB dari buku Daerah Dalam Angka

2. Jumlah Penduduk dari buku Daerah Dalam Angka

3. Angka Kemiskinan BPS

4. Data Balita Gizi Buruk Kementerian Kesehatan tahun 2007

5. Sanitasi Provinsi dari sumber PU tahun 2008-2009

1. PDRB dari buku Daerah Dalam Angka

2. Jumlah Penduduk dari buku Daerah Dalam Angka

3. Angka Kemiskinan BPS

4. Produk Hukum/Kebijakan terkait pemberdayaan penduduk miskin (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)

5. Produk Hukum/Kebijakan terkait kesetaraan gender dan/atau emberdayaan perempuan (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)

6. Bentuk Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan

7. Nama Kelembagaan (Nomenklatur) yang menangani kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan

8. Waktu Penetapan APBD sejak daerah dibentuk

9. APBD Per Tahun Anggaran sejak daerah dibentuk

10. Produk Hukum/Kebijakan untuk menjamin transparansi

Page 83: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

71

71 Lampiran

Data Kuesioner Lengkap Data yang Dipakai dari Kuesioner Data Tambahan & Sumber Data Set Lengkap

tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)

10. Produk Hukum/Kebijakan terkait kesetaraan gender dan/atau emberdayaan perempuan (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)

11. Bentuk Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan

12. Nama Kelembagaan (Nomenklatur) yang menangani kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan

13. Waktu Penetapan APBD sejak daerah dibentuk

14. APBD Per Tahun Anggaran sejak daerah dibentuk

15. Produk Hukum/Kebijakan untuk menjamin transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang ditetapkan sejak daerah dibentuk (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)

16. Publikasi Ringkasan APBD, Rincian APBD, dan Pengadaan Barang dan Jasa/Procurement (WebsiteResmi Pemda, Surat Kabar, Pengumuman di SKPD terkait)

yang menangani kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan

9. Waktu Penetapan APBD sejak daerah dibentuk

10. APBD Per Tahun Anggaran sejak daerah dibentuk

11. Produk Hukum/Kebijakan untuk menjamin transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang ditetapkan sejak daerah dibentuk (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)

12. Publikasi Ringkasan APBD, Rincian APBD, dan Pengadaan Barang dan Jasa/Procurement (WebsiteResmi Pemda, Surat Kabar, Pengumuman di SKPD terkait)

13. Jenis sarana yang digunakan untuk melakukan penanganan pengaduan masyarakat dan dasar pelaksanaannya

14. Ada tidaknya ikrar/penandatanganan “Pakta Integritas” (atau sebutan lainnya untuk Anti KKN) dan “Kontrak Kinerja” pejabat/aparatur pemerintahan

15. Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (WebsiteResmi Pemda, Surat Kabar, Pengumuman di SKPD terkait)

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang ditetapkan sejak daerah dibentuk (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)

11. Publikasi Ringkasan APBD, Rincian APBD, dan Pengadaan Barang dan Jasa/Procurement (WebsiteResmi Pemda, Surat Kabar, Pengumuman di SKPD terkait)

12. Jenis sarana yang digunakan untuk melakukan penanganan pengaduan masyarakat dan dasar pelaksanaannya

13. Ada tidaknya ikrar/penandatanganan “Pakta Integritas” (atau sebutan lainnya untuk Anti KKN) dan “Kontrak Kinerja” pejabat/aparatur pemerintahan

14. Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (WebsiteResmi Pemda, Surat Kabar, Pengumuman di SKPD terkait)

15. Nilai Anggaran Belanja DPRD dan Belanja Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

16. Ada tidaknya konsultasi publik dalam penyusunan Perda APBD Tahun Anggaran 2009 (disertai Lampiran)

17. Ada tidaknya Perda hasil inisiatif DPRD sejak daerah dibentuk sampai

Page 84: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

72

72 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Data Kuesioner Lengkap Data yang Dipakai dari Kuesioner Data Tambahan & Sumber Data Set Lengkap

17. Jenis sarana yang digunakan untuk melakukan penanganan pengaduan masyarakat dan dasar pelaksanaannya

18. Ada tidaknya ikrar/penandatanganan “Pakta Integritas” (atau sebutan lainnya untuk Anti KKN) dan “Kontrak Kinerja” pejabat/aparatur pemerintahan

19. Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (WebsiteResmi Pemda, Surat Kabar, Pengumuman di SKPD terkait)

20. Nilai Anggaran Belanja DPRD dan Belanja Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

21. Ada tidaknya konsultasi publik dalam penyusunan Perda APBD Tahun Anggaran 2009 (disertai Lampiran)

22. Ada tidaknya Perda hasil inisiatif DPRD sejak daerah dibentuk sampai akhir 2009 (Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda)

23. Belanja Pendidikan, Jumlah Belanja dalam APBD, dan per tahun, sejak daerah dibentuk

24. Angka Partisipasi Kasar (APK) berdasarkan jenjang pendidikan (SD/SMP/SMA) per tahun

25. Belanja Kesehatan, Jumlah Belanja dalam APBD, dan per tahun, sejak

16. Nilai Anggaran Belanja DPRD dan Belanja Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

17. Ada tidaknya konsultasi publik dalam penyusunan Perda APBD Tahun Anggaran 2009 (disertai Lampiran)

18. Ada tidaknya Perda hasil inisiatif DPRD sejak daerah dibentuk sampai akhir 2009 (Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda)

19. Belanja Pendidikan, Jumlah Belanja dalam APBD, dan per tahun, sejak daerah dibentuk

20. Angka Partisipasi Kasar (APK) berdasarkan jenjang pendidikan (SD/SMP/SMA) per tahun

21. Belanja Kesehatan, Jumlah Belanja dalam APBD, dan per tahun, sejak daerah dibentuk

22. Gizi Balita Buruk

23. Kepala Keluarga (KK) yang mendapat akses terhadap air bersih dan sanitasi setiap tahunnya sejak daerah dibentuk

24. Data luas wilayah dan panjang jalan yang menjadi kewenangan Pemda sejak daerah dibentuk

25. Ada tidaknya inisiatif Pemda untuk menangani krisis listrik dan bentuk inisiatif penanganannya

akhir 2009 (Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda)

18. Belanja Pendidikan, Jumlah Belanja dalam APBD, dan per tahun, sejak daerah dibentuk

19. Angka Partisipasi Kasar (APK) berdasarkan jenjang pendidikan (SD/SMP/SMA) per tahun

20. Belanja Kesehatan, Jumlah Belanja dalam APBD, dan per tahun, sejak daerah dibentuk

21. Data Balita Gizi Buruk Kementerian Kesehatan tahun 2007

22. Kepala Keluarga (KK) yang mendapat akses terhadap air bersih dan sanitasi setiap tahunnya sejak daerah dibentuk (Kabupaten dan Kota)

23. Sanitasi Provinsi dari sumber PU tahun 2008-2009

24. Data luas wilayah dan panjang jalan yang menjadi kewenangan Pemda sejak daerah dibentuk

25. Ada tidaknya inisiatif Pemda untuk menangani krisis listrik dan bentuk inisiatif penanganannya

26. Data kepemilikan KTP (Jumlah warga ber-KTP/Jumlah penduduk wajib KTP)

27. Data kepemilikan akta kelahiran

Page 85: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

73

73 Lampiran

Data Kuesioner Lengkap Data yang Dipakai dari Kuesioner Data Tambahan & Sumber Data Set Lengkap

daerah dibentuk

26. Gizi Balita Buruk

27. Kepala Keluarga (KK) yang mendapat akses terhadap air bersih dan sanitasi setiap tahunnya sejak daerah dibentuk

28. Data luas wilayah dan panjang jalan yang menjadi kewenangan Pemda sejak daerah dibentuk

29. Ada tidaknya inisiatif Pemda untuk menangani krisis listrik dan bentuk inisiatif penanganannya

30. Data kepemilikan KTP (Jumlah warga ber-KTP/Jumlah penduduk wajib KTP)

31. Data kepemilikan akta kelahiran

32. Ada tidaknya Perda atau Rancangan Perda (RaPerda) yang mengatur “Tata Ruang” menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (disertai lampiran Perda atau RaPerda)

33. Ada tidaknya Produk Hukum/Kebijakan terkait “Perlindungan Lingkungan” (Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)

34. Hukum daerah yang memberikan insentif kepada investor untuk keringanan/ penghapusan biaya pajak dan retribusi daerah (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang,

26. Data kepemilikan KTP (Jumlah warga ber-KTP/Jumlah penduduk wajib KTP)

27. Data kepemilikan akta kelahiran

28. Ada tidaknya Perda atau Rancangan Perda (RaPerda) yang mengatur “Tata Ruang” menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (disertai lampiran Perda atau RaPerda)

29. Ada tidaknya Produk Hukum/Kebijakan terkait “Perlindungan Lingkungan” (Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)

30. Hukum daerah yang memberikan insentif kepada investor untuk keringanan/ penghapusan biaya pajak dan retribusi daerah (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)

31. Institusi Pelayanan Terpadu Perizinan Usaha (Ada tidaknya/apakah melayani semua perizinan dasar atau perizinan lain juga/apakah memiliki kewenangan dalam menandatangani perizinan/bentuk kelembagaannya)

32. ketersediaan informasi “Potensi Ekonomi Daerah” yang ditampilkan dalam situs web Pemda

33. Anggaran Program Pengembangan Usaha untuk UMKM (Anggaran APBD untuk kegiatan-kegiatan yang terkait

28. Ada tidaknya Perda atau Rancangan Perda (RaPerda) yang mengatur “Tata Ruang” menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (disertai lampiran Perda atau RaPerda)

29. Ada tidaknya Produk Hukum/Kebijakan terkait “Perlindungan Lingkungan” (Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)

30. Hukum daerah yang memberikan insentif kepada investor untuk keringanan/ penghapusan biaya pajak dan retribusi daerah (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)

31. Institusi Pelayanan Terpadu Perizinan Usaha (Ada tidaknya/apakah melayani semua perizinan dasar atau perizinan lain juga/apakah memiliki kewenangan dalam menandatangani perizinan/bentuk kelembagaannya)

32. ketersediaan informasi “Potensi Ekonomi Daerah” yang ditampilkan dalam situs web Pemda

33. Anggaran Program Pengembangan Usaha untuk UMKM (Anggaran APBD untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan peningkatan kinerja UMKM dalam hal: a. Produksi; b. Promosi dan Pemasaran; c. Akses Finansial; dan d.

Page 86: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

74

74 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Data Kuesioner Lengkap Data yang Dipakai dari Kuesioner Data Tambahan & Sumber Data Set Lengkap

Nomor, dan Tanggal)

35. Institusi Pelayanan Terpadu Perizinan Usaha (Ada tidaknya/apakah melayani semua perizinan dasar atau perizinan lain juga/apakah memiliki kewenangan dalam menandatangani perizinan/bentuk kelembagaannya)

36. ketersediaan informasi “Potensi Ekonomi Daerah” yang ditampilkan dalam situs web Pemda

37. Anggaran Program Pengembangan Usaha untuk UMKM (Anggaran APBD untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan peningkatan kinerja UMKM dalam hal: a. Produksi; b. Promosi dan Pemasaran; c. Akses Finansial; dan d. Administrasi Keuangan Usaha.

38. Pelaksanaan Forum Komunikasi Reguler (tidak bersifat insidental, dapat dalam format coffee morning, pertemuan bulanan, dll.) antara Kepala Daerah dengan pelaku usaha (Nama Forum/dokumen pendukung yang membuktikan bahwa pertemuan tersebut dilaksanakan secara regular)

39. Jumlah dan Nilai investasi yang terealisasi

dengan peningkatan kinerja UMKM dalam hal: a. Produksi; b. Promosi dan Pemasaran; c. Akses Finansial; dan d. Administrasi Keuangan Usaha.

34. Pelaksanaan Forum Komunikasi Reguler (tidak bersifat insidental, dapat dalam format coffee morning, pertemuan bulanan, dll.) antara Kepala Daerah dengan pelaku usaha (Nama Forum/dokumen pendukung yang membuktikan bahwa pertemuan tersebut dilaksanakan secara regular)

35. Nilai investasi yang terealisasi

Administrasi Keuangan Usaha.

34. Pelaksanaan Forum Komunikasi Reguler (tidak bersifat insidental, dapat dalam format coffee morning, pertemuan bulanan, dll.) antara Kepala Daerah dengan pelaku usaha (Nama Forum/dokumen pendukung yang membuktikan bahwa pertemuan tersebut dilaksanakan secara regular)

35. Nilai investasi yang terealisasi

Page 87: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

75

75 Lampiran

Lampiran 3: Penghitungan Data Set

No. Indikator Cara Penghitungan Data Set

Data Kuantitatif

1 PDRB per Kapita CAGR 3 tahun

2 Angka Kemiskinan Average 3 tahun

3 SILPA CAGR 3 tahun

4 DPRD+KDH Average 3 tahun

5 Anggaran Pendidikan Average 3 tahun

6 APK SD Average 3 tahun

APK SMP Average 3 tahun

APK SMA Average 3 tahun

7 Anggaran Kesehatan Average 3 tahun

8 Balita Gizi Buruk Average 3 tahun

9 Air Bersih + Sanitasi Average 3 tahun

10 Panjang Jalan CAGR 3 tahun

11 KTP Average 3 tahun

12 Akte Average 3 tahun

13 UMKM CAGR 3 tahun

14 Investasi CAGR 3 tahun

Data Kualitatif

1 Pemberdayaan Penduduk Miskin Pemberian skor terhadap kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah daerah dengan ketentuan penilaian sbb :

a. Maksimum skor untuk perda = 5

b. Maksimum skor untuk PKD = 4

c. Maskimum skor untuk Kep= 3

d. Maksimum skor untuk renstra = 2

2 Hk.Kesetaraan Gender Pemberian skor terhadap kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah daerah dengan ketentuan penilaian sbb :

a. Maksimum skor untuk perda = 5

b. Maksimum skor untuk PKD = 4

c. Maksimum skor untuk Kep= 3

d. Maksimum skor untuk renstra = 2

3 Lembaga Kesetaraan Gender Pemberian skor terhadap kelembagaan yang dimiliki

dengan ketentuan penilaian sbb :

a. Badan = 10

b. Dinas = 10

c. Kantor = 8

d. Bagian = 6

e. Seksi = 4

Page 88: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

76

76 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

No. Indikator Cara Penghitungan Data Set

f. Unit = 1

4 Ketepatan APBD Rata-rata poin. Penetapan skor serial :

a. < 31 Desember = point 5

b. < 15 Januari = point 4 (Januari)

c. < 21 Januari = point 3 (Februari)

d. < 15 Feburari = point 2 (Maret)

e. < 31 Feburari = point 1 (April)

f. > Maret = point 0 (Mei - ……….)

5 Hk. Transparansi Pemberian skor terhadap kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah daerah dengan ketentuan penilaian sbb :

a. Maksimum skor untuk perda = 5

b. Maksimum skor untuk PKD = 4

c. Maskimum skor untuk Kep= 3

d. Maksimum skor untuk renstra = 2

6 Publikasi APBD& Pengadaan Skor dihitung secara rata-rata dari komposit skor

selama 3 tahun terakhir. skor :

a. Websiter Resmi Pemda = 3

b. Surat Kabar = 2

c. Pengumuman di SKPD Terkait = 1

7 Pelembagaan Penanganan Pengaduan Penghitungan melalui komposit skor. skor :

a. Unit pengaduan = 10

b. Website = 5

c. Surat kabar = 5

d. Talk show = 5

e. SMS = 3

f. Kotak Pengaduan = 1

g. Coffee morning = 2

8 Pakta Integritas Pemberian skor :

a. Pakta Integritas = 5

b. Kontrak Kinerja = 10

9 Publikasi Pertanggungjawaban skor dihitung secara rata-rata dari komposit skor

selama 3 tahun terakhir. skor :

a. Website Resmi Pemda = 3

b. Surat Kabar = 2

c. Pengumuman di SKPD Terkait = 1

10 Konsultasi Publik Jika ada perda, diberi point 5, jika tidak ada diberi

point 0

11 Jumlah Perda Inisiatif Jumlah Perda sejak daerah berdiri. Setiap Perda di

beri point 1

Page 89: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

77

77 Lampiran

No. Indikator Cara Penghitungan Data Set

12 Krisis Listrik Pemberian Poin :

a. Poin 0 = Tidak melakukan apa-apa

b. Poin 1 = Wacana (rapat, pendataan, dll)

c. Poin 2 = Membangun dengan kerjasama (dg

swasta, daerah lain, negara lain, PLN)

d. Poin 3 = Kebijakan penghematan

e. Poin 4 = Membangun secara mandiri (pemerintah

dan atau masyarakat, bantuan melalui pemerintah)

13 Perda Tata Ruang Poin diberikan berdasarkan relevansi judul perda

14 Prod Hukum Lingkungan Hidup Poin diberikan berdasarkan relevansi judul perda

15 Tipologi PelayananTerpadu Skor (0-5) dengan penilaian sesuai kewenangan yang

dimiliki oleh institusi

16 Web skor 1 = ada website, skor 0 = tidak ada

17 Forkom Reguler Penentuan nilai berdasarkan relevansi/dampak forum

terhadap peningkatan investasi dan dilakukan secara

reguler atau tidak. Daerah boleh mengisi lebih dari

satu forum

Page 90: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

78

78 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Lampiran 4: Kinerja 198 DOHP Kabupaten/Kota

Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total

No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat

1 Aceh Singkil NAD 1 1 51,05 109 29,26 130 34,08 108 28,16 58 36,78 107

2 Aceh Barat Daya NAD 1 1 44,29 137 15,52 176 36,79 92 31,60 43 32,68 130

3 Bireun NAD 1 1 51,51 105 48,08 49 46,00 42 15,76 111 42,12 72

4 Simeuleu NAD 3 1 50,57 112 36,47 95 40,61 65 7,20 156 35,88 114

5 Aceh Jaya NAD 1 1 35,70 164 19,65 165 44,09 49 10,80 136 28,81 146

6 Nagan Raya NAD 1 1 47,93 128 24,18 151 19,55 163 11,54 132 27,62 152

7 Gayo Lues NAD 1 1 44,52 135 31,54 119 33,59 110 7,20 157 31,08 141

8 Aceh Tamiang NAD 1 1 57,54 78 24,30 150 51,59 31 39,04 19 44,04 59

9 Bener Meriah NAD 1 1 40,04 149 48,11 48 47,89 38 22,20 84 40,45 81

10 Pidie Jaya NAD 2 0 37,98 158 63,84 11 42,17 56 43,00 11 46,50 46

11 Kota Lhokseumawe NAD 3 1 52,23 102 33,76 109 54,50 21 37,45 28 45,22 55

12 Kota Langsa NAD 3 1 67,97 29 23,29 154 61,51 9 26,29 67 46,85 44

13 Kota Subulussalam NAD 2 0 43,50 139 38,58 82 30,40 121 0,00 172 30,30 144

14 Padang Lawas Utara Sumut 2 0 20,28 179 23,30 153 17,86 170 12,00 129 18,77 178

15 Padang Lawas Sumut 2 0 70,20 13 47,60 52 16,98 170 13,11 126 39,83 89

16 Nias Selatan Sumut 1 1 39,32 153 30,07 126 41,88 57 13,20 124 32,42 132

17 Nias Utara Sumut 2 0 10,00 189 6,60 190 13,11 182 0,00 173 7,93 195

18 Nias Barat Sumut 2 0 19,60 181 25,84 146 9,23 190 9,00 144 16,45 181

19 Pak Pak Bharat Sumut 2 1 64,48 43 32,73 115 38,23 85 13,87 123 39,86 88

20 Humbang Hasundutan Sumut 2 1 61,41 61 32,54 116 41,43 59 28,16 57 42,55 69

21 Serdang Bedagai Sumut 2 1 76,80 1 57,67 25 50,06 35 26,91 64 55,35 14

22 Samosir Sumut 2 1 64,59 42 55,75 27 62,23 7 48,22 5 58,52 5

23 Batu Bara Sumut 1 0 61,35 62 19,86 163 35,43 101 40,12 17 40,25 84

24 Labuhanbatu Selatan Sumut 2 0 59,18 70 30,07 127 35,60 100 7,20 158 35,61 117

25 Labuhanbatu Utara Sumut 2 0 55,17 87 34,40 105 34,15 106 18,20 101 37,33 103

26 Kota Padangsidimpuan Sumut 3 1 56,95 81 38,18 86 36,00 96 23,82 83 40,39 82

Page 91: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

79

79 Lampiran

Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total

No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat

27 Kota Gunungsitoli Sumut 2 0 28,40 174 12,58 184 0,91 198 0,00 174 11,89 185

28 Kepulauan Mentawai Sumbar 1 1 45,57 132 47,38 54 26,75 136 4,80 168 33,16 129

29 Dharmas Raya Sumbar 2 1 68,62 25 77,12 3 38,56 83 49,59 4 59,43 3

30 Solok Selatan Sumbar 1 1 62,68 53 41,43 70 40,18 72 31,82 41 45,57 51

31 Pasaman Barat Sumbar 1 1 69,76 17 33,89 108 44,45 48 27,56 61 46,02 49

32 Kota Pariaman Sumbar 1 1 57,75 76 21,91 157 34,22 105 15,00 116 34,36 124

33 Sarolangun Jambi 1 1 62,63 55 25,97 145 35,07 102 31,68 42 40,38 83

34 Tebo Jambi 1 1 55,30 86 31,24 121 43,16 51 16,23 109 38,43 99

35 Muaro Jambi Jambi 1 1 71,74 8 64,86 10 43,15 52 29,53 51 54,43 17

36 Tanjung Jabung Timur Jambi 1 1 65,05 40 61,02 19 39,45 75 36,42 31 51,91 27

37 Kota Sungai Penuh Jambi 2 0 47,80 130 30,81 122 40,72 64 14,00 121 35,02 119

38 Muko-Muko Bengkulu 1 1 61,27 63 19,25 168 39,44 76 7,13 165 34,48 122

39 Bengkulu Tengah Bengkulu 2 0 36,47 162 16,59 173 28,69 129 9,10 143 24,08 165

40 Kaur Bengkulu 1 1 49,74 117 26,49 143 54,59 20 22,20 85 39,63 92

41 Seluma Bengkulu 1 1 40,74 145 38,11 87 46,04 41 18,53 100 36,96 105

42 Lebong Bengkulu 1 1 38,92 154 47,61 51 11,16 186 7,06 166 27,78 151

43 Kepahiang Bengkulu 1 1 66,99 34 63,81 12 40,96 61 16,20 110 49,53 35

44 Rokan Hilir Riau 1 1 53,71 94 37,70 89 16,90 174 22,06 87 34,17 125

45 Siak Riau 1 1 69,63 18 42,33 66 31,85 117 21,66 88 43,76 60

46 Kep. Meranti Riau 2 0 53,37 97 7,42 189 9,42 189 0,00 175 20,22 175

47 Pelalawan Riau 1 1 59,01 71 37,12 91 42,71 54 36,47 30 44,96 57

48 Rokan Hulu Riau 1 1 60,47 65 33,10 114 55,13 19 26,22 69 45,44 53

49 Kuantan Singingi Riau 1 1 67,97 28 53,87 33 50,96 32 29,94 49 52,59 23

50 Kota Dumai Riau 3 1 70,21 12 35,35 100 41,22 60 34,99 33 47,20 42

51 Karimun Kep. Riau 1 1 57,85 75 65,94 9 53,42 26 24,76 79 52,15 26

52 Natuna Kep. Riau 1 1 55,67 85 33,51 111 25,65 140 0,00 176 31,49 138

53 Lingga Kep. Riau 1 1 54,07 91 40,57 75 40,61 66 21,49 89 40,81 78

Page 92: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

80

80 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total

No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat

54 Kepulauan Anambas Kep. Riau 2 0 39,66 152 33,40 113 25,33 142 8,00 150 28,18 148

55 Kota Tanjung Pinang Kep. Riau 3 1 68,94 23 54,22 31 54,11 23 37,97 24 55,36 13

56 Kota Batam Kep. Riau 1 1 70,10 14 72,64 4 43,26 50 28,85 52 55,77 12

57 Bangka Selatan Babel 2 1 65,23 38 68,55 6 42,90 53 38,83 22 55,20 15

58 Bangka Tengah Babel 2 1 65,36 37 77,87 2 57,60 14 28,54 54 59,18 4

59 Bangka Barat Babel 2 1 71,80 7 38,52 84 63,10 6 33,55 37 53,66 18

60 Belitung Timur Babel 2 1 51,13 107 42,71 64 48,80 37 58,34 1 49,88 34

61 Empat Lawang Sumsel 1 0 47,95 127 39,58 80 21,00 156 9,00 145 31,33 139

62 Banyuasin Sumsel 1 1 56,31 83 54,68 29 27,69 132 28,28 56 43,14 65

63 OKU Selatan Sumsel 2 1 50,60 111 34,10 107 36,05 94 7,20 159 34,16 127

64 OKU Timur Sumsel 2 1 64,39 44 41,16 73 45,46 45 22,16 86 45,40 54

65 Ogan Ilir Sumsel 2 1 62,78 52 44,35 59 45,79 44 25,34 77 46,44 47

66 Kota Prabumilih Sumsel 3 1 53,80 93 27,37 136 54,27 22 8,75 146 38,30 101

67 Kota Pagar Alam Sumsel 3 1 49,74 116 49,99 44 45,86 43 20,51 93 42,99 66

68 Kota Lubuk Linggau Sumsel 3 1 68,24 27 57,30 26 40,46 68 42,89 12 53,49 20

69 Way Kanan Lampung 1 1 63,03 51 52,71 39 29,19 126 18,97 97 43,18 64

70 Lampung Timur Lampung 1 1 48,80 122 45,96 56 52,87 28 20,06 94 43,36 63

71 Pesawaran Lampung 1 0 53,39 96 43,31 62 17,30 172 28,72 53 36,91 106

72 Pringsewu Lampung 2 0 52,23 101 13,74 180 11,07 187 8,40 148 23,55 167

73 Mesuji Lampung 2 0 19,45 184 21,89 158 19,89 161 0,00 177 16,28 182

74 Tulang Bawang Barat Lampung 2 0 48,81 121 12,27 186 18,94 166 0,00 178 22,44 169

75 Kota Metro Lampung 1 1 52,68 100 53,03 37 55,97 17 18,14 102 46,68 45

76 Kota Cilegon Banten 3 1 73,83 4 61,20 18 56,14 16 25,70 74 56,62 9

77 Kota Serang Banten 2 0 60,67 64 27,96 135 39,57 74 25,00 78 40,08 85

78 Kota Tangerang Selatan Banten 2 0 30,78 171 12,47 185 7,72 193 20,00 95 18,28 179

79 Bandung Barat Jabar 2 0 65,06 39 23,19 155 40,51 67 43,17 10 44,08 58

80 Kota Depok Jabar 3 1 74,31 3 31,33 120 47,27 39 32,89 38 48,52 37

Page 93: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

81

81 Lampiran

Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total

No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat

81 Kota Cimahi Jabar 2 1 69,06 22 63,37 14 64,30 4 38,95 21 60,43 2

82 Kota Tasikmalaya Jabar 3 1 69,12 21 59,78 21 65,06 2 27,28 63 57,40 7

83 Kota Banjar Jabar 3 1 74,50 2 41,98 69 64,02 5 37,54 13 56,36 11

84 Kota Batu Jatim 3 1 48,24 125 3,20 194 40,90 62 7,20 160 26,94 155

85 Sumbawa Barat NTB 2 1 62,08 60 47,94 50 61,72 8 36,63 29 53,36 21

86 Lombok Utara NTB 2 0 36,20 163 17,26 172 33,94 109 8,00 151 25,26 159

87 Kota Bima NTB 3 1 50,20 114 26,19 144 19,42 165 7,20 161 27,90 150

88 Lembata NTT 1 1 40,73 99 36,32 138 57,93 107 25,68 162 40,92 76

89 Rote Ndao NTT 1 1 59,35 69 63,24 15 40,72 63 46,22 7 53,04 22

90 Sabu Raijua NTT 2 0 10,00 190 13,60 181 13,63 181 0,00 179 9,81 191

91 Manggarai Barat NTT 1 1 62,62 56 44,78 58 32,76 115 27,40 62 43,65 61

92 Manggarai Timur NTT 2 0 40,50 148 37,82 88 18,49 167 41,00 15 34,43 123

93 Nagekeo NTT 1 0 51,86 104 40,33 76 44,84 47 4,33 169 37,72 102

94 Sumba Tengah NTT 2 0 34,55 167 22,72 156 29,12 128 24,00 81 28,12 149

95 Sumba Barat Daya NTT 2 0 36,90 161 45,85 57 24,62 146 8,16 149 30,32 143

96 Bengkayang Kalbar 1 1 51,01 110 35,03 103 32,06 116 38,16 23 39,71 90

97 Landak Kalbar 1 1 67,17 32 44,10 60 34,63 103 30,18 47 45,87 50

98 Kubu Raya Kalbar 2 0 34,64 166 39,96 79 16,72 175 44,00 8 33,36 128

99 Melawi Kalbar 1 1 43,26 140 34,18 106 22,92 150 21,20 91 31,49 137

100 Sekadau Kalbar 1 1 66,52 35 34,89 104 40,18 71 10,87 135 40,90 77

101 Kayong Utara Kalbar 2 0 57,58 77 52,92 38 35,98 97 17,00 105 42,90 67

102 Kota Singkawang Kalbar 3 1 71,39 10 61,76 17 64,31 3 25,94 72 58,12 6

103 Tanah Bumbu Kalsel 1 1 59,43 68 38,52 85 38,99 77 28,35 55 42,88 68

104 Balangan Kalsel 1 1 64,38 45 33,63 110 25,51 141 11,03 134 36,31 112

105 Kota Banjarbaru Kalsel 3 1 72,65 5 83,08 1 53,92 24 42,82 13 64,61 1

106 Katingan Kalteng 1 1 67,31 31 51,89 40 41,65 58 43,52 9 52,28 24

107 Seruyan Kalteng 1 1 70,23 11 54,32 30 26,91 134 34,81 34 48,34 38

Page 94: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

82

82 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total

No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat

108 Sukamara Kalteng 1 1 67,67 30 59,76 22 28,40 130 26,19 70 47,58 40

109 Lamandau Kalteng 1 1 62,22 59 50,62 42 37,00 91 57,87 2 52,15 25

110 Gunung Mas Kalteng 1 1 63,85 47 55,68 27 29,58 124 37,96 25 48,06 39

111 Pulang Pisau Kalteng 1 1 48,68 123 58,26 24 6,41 194 30,02 48 36,77 108

112 Murung Raya Kalteng 1 1 63,29 49 41,17 72 25,69 139 0,00 180 35,70 115

113 Barito Timur Kalteng 1 1 68,88 24 41,35 71 38,98 79 26,60 66 46,07 48

114 Nunukan Kaltim 1 1 53,05 98 38,57 83 27,69 133 30,99 44 38,68 98

115 Malinau Kaltim 1 1 62,47 57 66,77 7 39,62 73 46,69 6 54,68 16

116 Tanah Tidung Kaltim 2 0 52,69 99 27,05 138 34,14 107 7,20 162 32,54 131

117 Kutai Barat Kaltim 1 1 47,81 129 13,76 179 9,42 188 20,00 96 24,14 163

118 Kutai Timur Kaltim 1 1 57,09 80 53,76 34 38,30 84 11,42 133 42,43 70

119 Penajam Paser Utara Kaltim 1 1 38,82 155 21,24 160 22,39 152 12,61 128 25,08 160

120 Kota Bontang Kaltim 1 1 68,54 26 47,55 53 50,42 33 32,81 39 51,62 28

121 Boalemo Gorontalo 1 1 59,44 67 70,27 5 56,28 15 34,74 35 56,42 10

122 Bone Bolango Gorontalo 2 1 56,68 82 33,47 112 16,43 177 10,22 139 31,52 136

123 Gorontalo Utara Gorontalo 2 0 27,38 175 28,30 132 22,24 153 0,00 181 20,85 174

124 Pohuwato Gorontalo 1 1 41,32 144 48,94 46 38,99 78 10,43 138 36,46 110

125 Luwu Utara Sulsel 1 1 57,24 79 53,29 35 61,04 10 25,50 76 50,86 30

126 Luwu Timur Sulsel 2 1 69,46 19 36,02 97 53,13 27 30,77 45 49,28 36

127 Toraja Utara Sulsel 2 0 50,37 113 15,54 175 20,40 157 0,00 182 24,09 164

128 Kota Palopo Sulsel 3 1 69,21 20 53,20 36 58,69 12 42,33 14 57,20 8

129 Bombana Sultra 2 1 55,06 89 18,64 170 29,36 125 0,50 170 28,62 147

130 Wakatobi Sultra 2 1 63,86 46 40,97 74 52,82 29 39,04 20 50,41 32

131 Konawe Selatan Sultra 1 1 62,44 58 35,16 102 33,40 112 32,61 40 42,39 71

132 Kolaka Utara Sultra 2 1 58,42 73 26,81 141 48,80 36 13,97 122 39,22 93

133 Konawe Utara Sultra 2 0 62,65 54 30,26 123 26,89 135 16,44 108 36,37 111

134 Buton Utara Sultra 2 0 49,80 115 42,49 65 28,02 131 15,25 114 35,62 116

Page 95: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

83

83 Lampiran

Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total

No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat

135 Kota Bau-Bau Sultra 3 1 24,19 176 19,27 167 38,65 82 15,20 115 24,78 161

136 Buol Sulteng 1 1 55,81 84 42,75 63 37,16 90 34,27 36 43,57 62

137 Morowali Sulteng 1 1 43,11 142 59,71 23 26,73 137 25,76 73 39,70 91

138 Tojo Una-Una Sulteng 2 1 40,70 147 30,17 125 23,69 148 0,18 171 25,71 158

139 Banggai Kepulauan Sulteng 1 1 49,07 120 25,10 148 42,48 55 12,78 127 34,17 126

140 Parigi Moutong Sulteng 1 1 49,50 118 63,69 13 38,00 86 26,22 68 45,51 52

141 Sigi Sulteng 2 0 22,01 178 2,20 196 12,55 183 0,00 183 10,29 190

142 Kepulauan Talaud Sulut 1 1 39,99 151 27,17 137 22,53 151 15,36 113 27,50 153

143 Kepulauan Sitaro Sulut 2 0 67,02 33 37,48 90 37,94 87 0,00 184 38,96 95

144 Minahasa Selatan Sulut 2 1 71,57 9 48,80 47 60,11 11 7,20 163 50,14 33

145 Minahasa Utara Sulut 2 1 69,80 16 20,52 161 50,26 34 7,06 167 40,05 86

146 Bolmong Utara Sulut 2 0 38,08 157 19,02 169 19,75 162 18,00 103 24,72 162

147 Bolmong Timur Sulut 2 0 19,82 180 25,23 147 14,77 180 15,00 117 18,95 177

148 Bolmong Selatan Sulut 2 0 19,60 182 29,96 128 21,91 154 15,00 118 21,85 171

149 Minahasa Tenggara Sulut 2 0 59,84 66 61,95 16 36,04 95 39,90 18 50,43 31

150 Kota Tomohon Sulut 1 1 72,19 6 35,85 99 72,91 1 23,97 82 53,64 19

151 Kota Mobagu Sulut 1 0 70,04 15 35,90 98 19,97 160 27,97 59 40,57 79

152 Mamasa Sulbar 1 1 44,18 138 44,07 61 51,90 30 9,32 142 39,11 94

153 Mamuju Utara Sulbar 2 1 55,13 88 37,08 92 36,35 93 35,10 32 41,91 73

154 Kepulauan Aru Maluku 2 1 36,95 160 14,43 177 25,07 144 0,00 185 20,96 173

155 Maluku Tenggara Barat Maluku 1 1 32,63 169 24,00 152 9,05 191 18,75 99 21,80 172

156 Buru Maluku 1 1 44,65 134 49,71 45 33,40 111 54,75 3 45,12 56

157 Seram Bagian Barat Maluku 2 1 54,45 90 40,22 77 37,63 88 14,91 120 38,78 97

158 Seram Bagian Timur Maluku 2 1 58,19 74 19,28 166 26,38 138 9,86 140 30,84 142

159 Maluku Barat Daya Maluku 2 0 33,60 168 18,37 171 20,34 159 0,00 186 19,76 176

160 Buru Selatan Maluku 2 0 6,00 195 5,60 192 1,80 197 0,00 187 3,65 196

161 Kota Tual Maluku 2 0 28,43 173 28,14 134 25,16 143 7,20 164 23,29 168

Page 96: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

84

84 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total

No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat

162 Halmahera Timur Malut 2 1 63,40 48 25,02 149 30,06 123 8,68 147 34,52 121

163 Halmahera Utara Malut 2 1 49,26 119 28,30 133 35,62 99 7,79 155 32,32 133

164 Halmahera Selatan Malut 2 1 65,00 41 50,79 41 40,38 70 24,44 80 47,18 43

165 Kepulauan Sula Malut 2 1 63,08 50 31,93 117 31,09 118 11,84 131 37,05 104

166 Morotai Malut 2 0 38,63 156 6,60 191 17,39 171 0,00 188 17,59 180

167 Kota Ternate Malut 2 1 52,04 103 47,27 55 32,89 114 21,45 90 39,94 87

168 Kota Tidore Kepulauan Malut 2 1 66,35 36 54,03 32 53,74 25 21,11 92 51,07 29

169 Sorong Selatan Papua Barat 1 1 44,71 133 38,63 81 34,62 104 18,00 104 35,33 118

170 Kepulauan Raja Ampat Papua Barat 1 1 58,77 72 36,50 94 30,52 119 30,63 46 40,51 80

171 Tambrauw Papua Barat 2 0 10,00 191 4,80 193 15,32 179 0,00 189 8,03 194

172 Maybrat Papua Barat 2 0 10,00 192 2,37 195 19,45 164 0,00 190 8,46 193

173 Teluk Bintuni Papua Barat 1 1 29,80 172 31,82 118 38,81 80 26,00 71 31,80 135

174 Teluk Wondama Papua Barat 1 1 30,99 170 29,07 131 30,41 120 15,51 112 27,27 154

175 Kaimana Papua Barat 1 1 53,52 95 35,29 101 33,36 113 27,88 60 38,79 96

176 Kota Sorong Papua Barat 1 1 51,24 106 66,05 8 40,41 69 26,71 65 47,33 41

177 Paniai Papua 3 1 0,00 196 0,00 197 4,73 196 0,00 191 1,18 198

178 Dogiyai Papua 2 0 10,83 188 21,84 159 17,97 169 0,00 192 13,20 184

179 Mimika Papua 3 1 48,10 126 26,86 140 30,23 122 40,14 16 36,73 109

180 Puncak Jaya Papua 3 1 0,00 197 0,00 198 7,92 192 0,00 193 1,98 197

181 Pegunungan Bintang Papua 1 1 46,71 131 60,73 20 23,09 149 16,78 106 38,32 100

182 Yahukimo Papua 1 1 53,96 92 20,30 162 35,94 98 29,57 50 36,16 113

183 Tolikara Papua 1 1 43,12 141 13,80 178 38,74 81 16,56 107 29,38 145

184 Memberamo Tengah Papua 2 0 10,00 193 9,80 188 24,80 145 0,00 194 11,65 186

185 Yalimo Papua 2 0 19,60 183 42,14 67 21,79 155 0,00 195 21,86 170

186 Lanny Jaya Papua 2 0 14,00 186 19,79 164 18,04 168 8,00 152 15,26 183

187 Nduga Papua 2 0 10,00 194 15,67 174 16,02 178 0,00 196 10,92 187

188 Sarmi Papua 1 1 48,41 124 42,02 68 55,66 18 10,59 137 41,06 75

Page 97: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

85

85 Lampiran

Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total

No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat

189 Keerom Papua 1 1 51,10 108 30,23 124 45,00 46 37,88 26 41,71 74

190 Waropen Papua 1 1 37,79 159 26,92 139 24,59 147 9,78 141 26,17 157

191 Boven Digoel Papua 1 1 44,32 136 26,73 142 11,59 184 18,77 98 26,63 156

192 Mappi Papua 1 1 40,01 150 29,74 129 47,22 40 0,00 197 31,24 140

193 Asmat Papua 1 1 43,04 143 40,10 78 37,57 89 11,95 130 34,72 120

194 Supiori Papua 1 1 34,72 165 50,09 43 29,13 127 8,00 153 31,82 134

195 Memberamo Raya Papua 2 0 23,47 177 36,88 93 20,37 158 13,15 125 23,98 166

196 Puncak Papua 2 0 11,75 187 11,66 187 16,58 176 0,00 198 10,59 189

197 Intan Jaya Papua 2 0 14,80 185 12,60 183 5,63 195 8,00 154 10,60 188

198 Deiyai Papua 2 0 0,00 198 13,60 182 11,19 185 15,00 119 9,20 192

Keterangan:

Faktor 1 = Kesejahteraan Masyarakat; Faktor 2 = Tata Pemerintahan yang Baik; Faktor 3 = Peningkatan Daya Saing Daerah; Faktor 4 = Ketersediaan Pelayanan Publik.

* Proses pembentukan: 1 = Inisiatif pemerintah pusat; 2 = Inisiatif DPR; 3 = Transformasi menjadi daerah otonom

^ Usia: 1 = > 3 tahun; 0 = ≤ 3 tahun

Page 98: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

86 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Lampiran 5: Diagram Jaring Laba-laba Setiap Daerah Otonomi Hasil Pemekaran per Provinsi

NAD

Kab.Aceh Singkil Kab. Aceh Barat Daya

Kab. Aceh Jaya Kab. Nagan Jaya

Kab. Pidie Jaya

0255075

100F1

F2

F3

F4 F4

0255075

100F1

F2

F3

F4

100

F4

100

F4

86

Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

laba Setiap Daerah Otonomi Hasil Pemekaran per Provinsi

Kab. Aceh Barat Daya Kab. Bireun Kab. Simeleu

Kab. Nagan Jaya Kab. Gayo Lues

Kab. Pidie Jaya

0255075

100F1

F2

F3

0255075

100F1

F2

F3

F4 F4

0255075

100F1

F2

F3

0255075

100F1

F2

F3

F4

0255075

100F1

F2

F3

laba Setiap Daerah Otonomi Hasil Pemekaran per Provinsi

Kab. Simeleu

0255075

100F1

F2

F3

Page 99: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

Sumut

Sumbar

Kab. Kepulauan Mentawai Kab. Dharmas Raya

Kota Pariaman

0255075

100F1

F2

F3

F4

100

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4

87

Kab. Dharmas Raya Kab. Solok Selatan Kab. Pasaman Barat

0255075

100F1

F2

F3

0255075

100F1

F2

F3

F4 F4

87 Lampiran

Kab. Pasaman Barat

0255075

100F1

F2

F3

Page 100: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

88 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Jambi

Bengkulu

Riau

88

Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Page 101: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

Kepulauan Riau

Bangka Belitung

Kab. Bangka Selatan

Kab. Belitung Timur

100

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4

89

Kab. Bangka Selatan

Kab.

0255075

100F1

F2

F3

100.00

F4

89 Lampiran

Kab.Bangka Barat

0.0025.0050.0075.00

100.00F1

F2

F3

Page 102: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

90 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Sumatera Selatan

Lampung

Banten

90

Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Page 103: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

Jawa Barat

Jawa Timur

NTB

91

91 Lampiran

Page 104: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

92 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

NTT

Kalimantan Barat

Kalimantan Selatan

Kab. Tanah Bumbu Kab. Balangan

0255075

100F1

F2

F3

F4 F4

92

Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Kab. Balangan Kota Banjarbaru

0255075

100F1

F2

F3

0255075

100F1

F2

F3

F4

Page 105: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

Kalimantan Tengah

Kab. Pulang Pisau

Kalimantan Timur

Kab. Nunukan Kab. Malinao

Kab. Kutai Timur Kab. Penajam Paser Utara

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4

100

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4

100

F4

93

Kab. Pulang Pisau

Kab. Malinao Kab. Tanah Tidung Kab. Kutai barat

Kab. Penajam Paser Utara Kota Bontang

0255075

100F1

F2

F3

0255075

100F1

F2

F3

0255075

100F1

F2

F3

F4 F4

0255075

100F1

F2

F3

0255075

100F1

F2

F3

F4

93 Lampiran

Kab. Kutai barat

0255075

100F1

F2

F3

Page 106: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

94

94 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Gorontalo

Prov. Gorontalo Kab. Boalemo Kab. Bone Bolango Kab. Gorontalo Utara

Kab. Pohuwatu

Sulawesi Selatan

Kab. Luwu Utara Kab. Luwu Timur Kab. Toraja Utara Kota Palopo

Sulawesi Tenggara

Kab. Bombana Kab. Wakatobi Kab. Konawe Selatan Kab. Kolaka Utara

Kab. Konawe Utara Kab. Buton Utara Kota Bau-bau

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4

Page 107: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

Sulawesi Tengah

Sulawesi Utara

Kab. Kepulauan Talaud Kab. Kepulauan Sitaro

Kab. Bolmong Utara Kab. Bolmong Timur

Kota Tomohon Kota Mobagu

0255075

100F1

F2

F3

F4 F4

0255075

100F1

F2

F3

F4 F4

0255075

100F1

F2

F3

F4 F4

95

Kab. Kepulauan Sitaro Kab. Minahasa Selatan Kab. Minahasa

Kab. Bolmong Timur Kab. Bolmong Selatan Kab. Minahasa Tenggara

Kota Mobagu

0255075

100F1

F2

F3

0255075

100F1

F2

F3

F4 F4

0255075

100F1

F2

F3

0255075

100F1

F2

F3

F4 F4

0255075

100F1

F2

F3

95 Lampiran

Kab. Minahasa Utara

Kab. Minahasa Tenggara

0255075

100F1

F2

F3

0255075

100F1

F2

F3

Page 108: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

96

96 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Sulawesi Barat

Prov. Sulawesi Barat Kab. Mamasa Kab. Mamuju Utara

Maluku

Kab. Kepulauan Aru Kab. Maluku Tenggara Barat Kab. Buru Kab. Seram Bagian Barat

Kab. Seram Bagian Timur Kab. Maluku Barat Daya Kab. Buru Selatan Kota Tual

Maluku Utara

Prov. Maluku Utara Kab. Halmahera Timur Kab. Halmahera Utara Kab. Halmahera Selatan

Kab. Kepulauan Sula Kab. Morotai Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F40

255075

100F1

F2

F3

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F40

255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4

Page 109: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

97

97 Lampiran

Papua Barat

Kab. Sorong Selatan Kab. Kepulauan Raja Ampat Kab. Tambrauw Kab. Maybrat

Kab. Teluk Bintuni Kab. Teluk Wondama Kab. Kaimana Kota Sorong

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4

Page 110: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

98

98 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011

Papua

Kab. Paniai Kab. Dogiyai Kab. Mimika Kab. Pucak Jaya

Kab. Pegunungan Bintang Kab. Yahukimo Kab. Tolikara Kab. Memberamo Tengah

Kab. Yalimo Kab. Lanny Jaya Kab. Nduga Kab. Sarmi

Kab. Keerom Kab. Waropen Kab. Boven Digoel Kab. Mappi

Kab. Asmat Kab. Supiori Kab. Memberamo Raya Kab. Puncak

Kab. Intan Jaya Kab. Deiyai

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F40

255075

100F1

F2

F3

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4

0255075

100F1

F2

F3

F4 0255075

100F1

F2

F3

F4

Page 111: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

99

99 Lampiran

Page 112: Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)

100 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011