210

Evaluasi Dampak perimbangan keuangan terhadap kapasitas kinerja otonomi daerah di wilayah kalimantan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hasil kajian PKP2A III LAN Samarinda tahun 2007

Citation preview

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN146 + xiv, 2007

Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)A. ISBN 979-1176-11-8

1. Perimbangan Keuangan 2. Otonomi Daerah 3. Kinerja Pemerintah Daerah

Tim Peneliti :lTri Widodo W. Utomo, SH., MA (Peneliti Utama) lDr. Meiliana, SE.,M.Si (Peneliti)lSaid Fadhil, S.IP (Peneliti) lSiti Zakiyah, S.Si (Peneliti)lWindra Mariani, SH (Peneliti) lDrs. Tuparman, MM (Peneliti)lDrs. Helmi Mas'ud, M.Si (Pembantu Peneliti) lBaharuddin, S.Sos., M.Pd (Pembantu

Peneliti)lMustari Kurniawati, S.IP (Pembantu Peneliti) lIr. A. Fatah, M.Agr (Pembantu Peneliti)lM. Nasir, S.PT, M.Si (Pembantu Peneliti) lMayahayati K., SE (Koordinator Peneliti)

Sekretariat :lDra. Hj. Ernawati Sabran, MM. lIr. A. Sirodz, MPlArita Saidi lEllyanalMuhammad Sophiansyah lVeronika Hanna N, SSlJos Rizal lLenny Verawati Silalahi R., A.Md.

Editor :lTri Widodo W. Utomo, SH.,MA lSaid Fadhil, SIP lSiti Zakiyah, S.Si lIr. A. Fatah, M.AgrlRustan Amrullah, SP lFajar Iswahyudi, SElMaria Agustini Permatasari, S.Sos.

Diterbitkan Oleh :Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III (PKP2A III)LAN Samarinda

UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 19 TAHUN 2002Pasal 72

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

KATA PENGANTAR

Idealnya, otonomi daerah menciptakan sistem pembiayaan yang adil dan berimbang antara kebutuhan pembiayaan ditingkat pemerintah pusat dengan kebutuhan pembiayaan pembangunan didaerah (vertikal dan horizontal) serta memunculkan good governance dengan pengelolaan pembiayaan yang akuntabel, transparan, pasti, serta partisipatif. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa, berbagai persoalan terkait dengan desentralisasi fiskal masih dihadapi oleh negara ini. Baik dari aspek keadilan dan akuntabilitas yang dirasakan oleh daerah masih rendah, maupun tingkat efektifitas dan optimalisasi pemanfaatan pembiayaan di daerah yang masih kurang.

Semenjak kebijakan desentralisasi dilakukan, ternyata tidak secara otomatis memberikan implikasi positif kepada peningkatan kinerja pemerintah daerah dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Besarnya anggaran yang dikucurkan oleh pemerintah pusat ke daerah, ternyata juga berimplikasi kepada matinya daya kreatifitas dari pemerintah daerah untuk mengoptimalkan sumber-sumber pembiayaan lain yang memungkinkan di lakukan didaerah.

Disamping itu juga, dengan kebijakan desentralisasi sepertinya, fungsi pengawasan dan asistensi yang seharusnya tetap dilakukan oleh pemerintah pusat, namun dalam perjalanannya terlihat semakin lemah. Hal ini berimplikasi kepada rendahnya kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi-fungsi utama pemerintahan di daerah.

Sehubungan dengan berbagai persoalan yang masih dihadapi terkait dengan kebijakan perimbangan keuangan tersebut, PKP2A III LAN Samarinda memandang penting untuk mengkaji lebih jauh terkait dengan Dampak Perimbangan Keuangan Terhadap Kapasitas Kinerja Otonomi Daerah khususnya di wilayah Kalimantan. Kami berharap hasil dari kajian ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran terkait dengan berbagai persoalan yang harus dibenahi baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat terkait dengan kebijakan perimbangan keuangan.

Kepada semua pihak yang telah membantu baik dari persiapan, masa penelitian hingga penyusunan dan penerbitan laporan penelitian yang berupa

III)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

buku ini disampaikan ucapan terima kasih yang sangat mendalam, semoga kerja keras dan kerjasama yang telah terjalin baik dalam penelitian ini dapat lebih erat lagi untuk penelitian selanjutnya. Tentunya laporan hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu berbagai kritik dan saran membangun sangat dinantikan demi perbaikan kita bersama. Akhirnya semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menyertai dan memberkahi usaha kita dan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi daerah serta bagi semua pihak yang terkait.

Samarinda, Desember 2007Kepala PKP2A III LAN Samarinda,

Dr. Meiliana, SE.MM

(IV

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………..................... iiiDaftar Isi ……………………………………………………………………..…...................... vDaftar Tabel ……………………………………………..……………………....................... xDaftar Gambar ………………………………………………………………….................... xiiiRingkasan Eksekutif …………………………………………………….......................... xv

Bab I Pendahuluan ........................……………………………………………….. 1A. Latar Belakang ……………………………………………...................... 1B. Perumusan Masalah .............…………………………………………... 3C. Kerangka Pikir ...................................................................... 4D. Ruang Lingkup Kajian …………………………………....................... 5E. Tujuan ..........................………………………………………….............. 6F. Target/Hasil yang Diharapkan ………………………………............ 6G. Status dan Jangka Waktu ..................................................... 6

Bab II Kerangka Teoretis Desentralisasi Fiskal dan Kebijakannya di Indonesia ................................................................................. 7A. Hakekat Otonomi Daerah ................................................... 7B. Desentralisasi Fiskal ............................................................ 11C. Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia ........................ 17

Bab III Tinjauan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia ......... 19A. Tinjauan Sejarah .................................................................. 19B. Hubungan Antara Penyelenggaraan Urusan Pemerintah

dan Pendanaan .................................................................... 20C. Reformasi Perencanaan dan Pengelolaan Keuangan

Dearah ................................................................................ 241. Reformasi Perencanaan dan Penganggaran ................... 242. Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah ..................... 273. Sumber Pembiayaan Pembangunan Daerah ................... 28

V)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) .................................. 30b. Pinjaman Daerah ....................................................... 30c. Dana Perimbangan ..................................................... 32d. Dana Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan .............. 35e. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang .................. 35

D. Transfer Pemerintah Pusat ke Daerah ................................... 361. Perkembangan Alokasi Dana Desentralisasi/

Penyeimbang (2005 – 2007) ............................................ 362. Perkembangan Alokasi Anggaran Belanja APBN

ke Daerah (2005 – 2007 ) ................................................. 383. Profil Keuangan Daerah Indonesia (Tahun 2007) ............. 41

E. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemampuan Pembiayaan Pembangunan Daerah di Indonesia ................. 36

Bab IV Dampak Perimbangan Keuangan Terhadap Kapasitas Kinerja Otonomi Daerah Di Wilayah Kalimantan ............................... 45A. Kondisi Umum Kemampuan Keuangan Daerah Provinsi

dan Beberapa Kabupaten di Kalimantan ............................... 451. Kondisi Umum Kemampuan Keuangan Daerah Provinsi

di Kalimantan ................................................................... 462. Kondisi Umum Kemampuan Keuangan Beberapa

Daerah Kabupaten di Kalimantan .................................... 52B . Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Kota

Waringin Barat .................................................................... 551. Provinsi Kalimantan Tengah ........................................... 55

a). Gambaran Umum Daerah ......................................... 55b). Perekonomian Daerah .............................................. 57c). Keadaan Umum Sektor Kesehatan ........................... 59d). Keadaan Umum Sektor Pendidikan .......................... 60e). Potensi Sumberdaya Unggulan Provinsi

Kalimantan Tengah ................................................... 60 i. Sektor Perikanan dan Kelautan ........................... 60 ii. Sektor Perkebunan .............................................. 61

(VI

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

iii. Sektor Pertenakan ............................................... 62iv. Sektor Kehutanan ................................................ 62v. Sektor Pertambangan .......................................... 63

f). Review APBD Provinsi Kalimantan Tengah ................ 64i. Pajak Daerah ........................................................ 65ii. Retribusi Daerah .................................................. 68iii. Dana Perimbangan .............................................. 68

g). Realisasi Anggaran Sektor Pembangunan Publik di Provinsi Kalimantan Tengah ...................................... 69i. Bidang Kesehatan ................................................ 70ii. Bidang Pendidikan ............................................... 71iii. Bidang Sarana dan Prasarana Wilayah .................. 72

h). Kinerja dan Permasalahan Sektor Pembangunan Publik di Provinsi Kalimantan Tengah ....................... 73i. Bidang Kesehatan ................................................ 73ii. Bidang Pendidikan ............................................... 76iii. Bidang Sarana dan Prasarana Wilayah ................ 80

i). Dampak Perimbangan Keuangan Terhadap Kapasitas Kinerja Otonomi Daerah Di Provinsi Kalimantan Tengah ................................................... 86

2. Kabupaten Kotawaringin Barat ...................................... 89a). Gambaran Umum Daerah ......................................... 89b). Dampak Perimbangan Keuangan Terhadap

Kapasitas Kinerja Otonomi Daerah Kabupaten Kota Waringin Barat .................................................. 91i. Dinas Kependudukan dan Keluarga

Berencana ............................................................ 103ii. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi ................... 106iii. Badan Kepegawaian Daerah ................................ 107iv. Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya ...................... 110

C. Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kutai Timur ...... 1111. Provinsi Kalimantan Timur ............................................. 111

a) Gambaran Umum Daerah ......................................... 111

VII)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

b) Potensi Sumber Penerimaan Provinsi Kalimantan Timur ..................................................... 113

c) Kinerja Sektoral ......................................................... 118i. Sektor Kesehatan ................................................. 118ii. Sektor Pendidikan ................................................ 118iii. Sektor Sosial ........................................................ 119

2. Kabupaten Kutai Timur ................................................... 120a) Gambaran Umum Daerah ......................................... 120

i. Kondisi Sosial dan Perekonomian ........................ 122ii. Potensi Unggulan Daerah .................................... 128

b) Dana Perimbangan dalam APBD Kabupaten Kutai Timur ................................................................ 132

c) Kinerja dan Permasalahan Sektor Pembangunan Publik di Kabupaten Kutai Timur ............................... 135i. Bidang Kesehatan ................................................ 135ii. Bidang Pendidikan ............................................... 137iii. Bidang Sarana dan Prasarana Wilayah ................. 137

d) Permasalahan dan Upaya Penyelesaiannya .............. 139e) Tingkat Kinerja Pemerintah Kutai Timur ................... 141

D. Provinsi Kalimantan Selatan dan Kabupaten Tabalong ......... 1431. Gambaran Umum Daerah .............................................. 143

a) Potensi Unggulan Daerah ......................................... 144b) Pertumbuhan Ekonomi / PDRB ................................. 145

2. Komposisi Dana Perimbangan Provinsi Kalimantan Selatan ........................................................ 149

E. Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Ketapang .......... 1511. Provinsi Kalimantan Barat .............................................. 151

a) Gambaran Umum Daerah ......................................... 151b) Sinergitas Keuangan Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah ................................................... 152c) Penerimaan Dana Perimbangan Keuangan

Kalimantan Barat ....................................................... 154i. Dana Bagi Hasil .................................................... 154

(VIII

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

ii. Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) ......................................................... 157

d) Analisis Proporsi Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Propinsi Kalimantan Barat ...................................................... 159

2. Kabupaten Ketapang ...................................................... 168a) Gambaran Umum Daerah ......................................... 168b) Dana Perimbangan Keuangan ................................... 169

i. Dana Bagi Hasil .................................................... 171ii. Dana Alokasi Umum ( DAU ) dan Dana Alokasi

Khusus ( DAK ) ...................................................... 173c) Kesenjangan Proporsi Antara Pendapatan Asli

Daerah (PAD) & Dana Perimbangan dalam APBD Kabupaten Ketapang ................................................. 174

Bab V Penutup .......................……………………………………………………… 180A. Kesimpulan …………………………………………………..................... 180B. Rekomendasi Kebijakan ...................................................... 182

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 184

LAMPIRAN

Lampiran 1 SK Tim Pelaksana Kajian Lampiran 2 Instrumen Penelitian

IX)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Daerah Sampel/Tujuan Kajian ............……………………………… 5Tabel 4.1 Perbandingan Tingkat Kontribusi PAD dan DP terhadap

APBD Pemerintah Provinsi di Kalimantan (2003 - 2006) ...... 51Tabel 4.2 Perbandingan Tingkat Kontribusi Pendapatan Asli Daerah

(PAD) dan Dana Perimbangan (DP) terhadap APBD Beberapa Kabupaten di Kalimantan (2003 – 2006) .............. 54

Tabel 4.3 Gambaran Keadaan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Kalteng .............................................................................. 56

Tabel 4.4 Cadangan Tambang Provinsi Kalimantan Tengah .................. 63Tabel 4.5 APBD Provinsi Kalimantan Tengah ........................................ 64Tabel 4.6 PAD Provinsi Kalimantan Tengah ........................................... 65Tabel 4.7 Realisasi Anggaran Dana Perimbangan Bagi Hasil (DBH)

Non Pajak Provinsi Kalimantan Tengah 2002 – 2006 ............ 69Tabel 4.8 Tingkat Pembiayaan APBD pada Tiga Sektor

Pembangunan Provinsi Kalteng 2006 ................................... 70Tabel 4.9 Perbandingan Anggaran Diknas Provinsi Kalteng

(2006 – 2007) ........................................................................ 72Tabel 4.10 Tingkat Alokasi dan Realisasi Anggaran Sektor Kesehatan

Provinsi Kalteng 2006 ............................................................ 73Tabel 4.11 Tingkat Alokasi dan Realisasi Anggaran Sektor Pendidikan

Provinsi Kalteng 2006 ........................................................... 76Tabel 4.12 Tingkat Alokasi dan Realisasi Anggaran Sektor Sarana dan

Prasarana Provinsi Kalteng Tahun 2006 ................................ 80Tabel 4.13 Komposisi PAD dan Dana Perimbangan terhadap APBD

Kabupaten Kotawaringin Barat ............................................. 91Tabel 4.14 Komposisi Dana Perimbangan Pusat dalam APBD

Kabupaten Kotawaringin Barat ............................................. 92Tabel 4.15 Alokasi DBH Pajak dan SDA pada SKPD Kabupaten

Kotawaringin Barat Tahun 2007 ............................................ 102Tabel 4.16 Kondisi Ketenaga kerjaan Kotawaringin Barat

(2003 – 2006) ........................................................................ 106

(X

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Tabel 4.17 Penduduk Kalimantan Timur (2002 – 2008) .......................... 112Tabel 4.18 Potensi Sumberdaya Alam menurut Kabupaten/Kota .......... 113Tabel 4.19 Penerimaan Dana Bagi Hasil Provinsi Kalimantan Timur

(2003 - 2007) ......................................................................... 115Tabel 4.20 Pertumbuhan Penerimaan Sumberdaya Alam (SDA)

Provinsi Kalimantan Timur .................................................... 116Tabel 4.21 Kontribusi Pajak dan Sumberdaya Alam dalam Dana Bagi

Hasil Provinsi Kalimantan Timur .......................................... 117Tabel 4.22 Jumlah Penduduk Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial (PMKS) Di Provinsi Kalimantan Timur ........................ 120Tabel 4.23 Perkembangan Kependudukan Kab Kutim 2001–2004 ......... 121Tabel 4.24 Partisipasi Angkatan Kerja di Kab. KUTIM 2001-2004 ........... 122Tabel 4.25 Jumlah Penduduk Miskin dan Rumah Tangga Miskin

Di Kab Kutim Tahun 2005 ...................................................... 123Tabel 4.26 Perkembangan PDRB dan Pertumbuhan Ekonomi

Kab. Kutim (2000 – 2005) ...................................................... 125Tabel 4.27 Target dan Realisasi Pendapatan Kabupaten Kutai Timur

TA. 2006 ............................................................................... 132Tabel 4.28 Jenis SDA dan Besaran DBH non-Pajak Kabupaten Kutim

2002 – 2006 ......................................................................... 133Tabel 4.29 Realisasi alokasi APBD Kabupaten Kutai Timur Tahun

2001-2006 ............................................................................ 135Tabel 4.30 Kinerja bidang Kesehatan Kabupaten Kutai Timur

Tahun 2006 ........................................................................... 136Tabel 4.31 Kinerja Fisik dan Keuangan dari Dana Alokasi Khusus

(DAK) Bidang Kesehatan Kabupaten Kutai Timur Tahun 2006 .......................................................................... 136

Tabel 4.32 Kinerja Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Kab Kutim tahun 2006 ........................................................................... 137

Tabel 4.33 Kinerja bidang sarana dan prasarana wilayah Kabupaten Kutai Timur Tahun 2006 ........................................................ 138

Tabel 4.34 Perkembangan Jumlah Penduduk Provinsi Kalimantan Selatan Menurut Jenis Kelamin (2002–2005) ....................... 144

XI)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Tabel 4.35 PDRB Kalimantan Selatan Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 ................................................... 148

Tabel 4.36 Komposisi APBD Provinsi Kalimantan Selatan (2003 – 2006) ........................................................................ 150

Tabel 4.37 Data Perkembangan Realisasi Bagi Hasil Pajak (BHP) APBD Provinsi Kalimantan Barat (2003 – 2007) .................... 154

Tabel 4.38 Data Perkembangan Realisasi Bagi Hasil Bukan Pajak / SDA APBD Provinsi Kalimantan Barat (2003 – 2007) ............. 156

Tabel 4.39 Perkembangan Dana Perimbangan APBD Kalbar (2003 – 2007) ........................................................................ 157

Tabel 4.40 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Provinsi Kalimantan Barat (2003 - 2005) .................... 162

Tabel 4.41 Perkembangan APBD Kalimantan Barat (2003-2007) ......... 164Tabel 4.42 Perkembangan Jumlah Murid, Guru, serta Sekolah

di Provinsi Kalimantan Barat ................................................. 166Tabel 4.43 Perkembangan Sektor Kesehatan Sekolah di Provinsi

Kalimantan Barat Periode 2003 – 2005 ................................. 167Tabel 4.44 Komposisi APBD Kabupaten Ketapang (2005 – 2007) ........... 170Tabel 4.45 Perkembangan Dana Bagi Hasil dalam APBD Kab. Ketapang

Tahun 2005-1007 ................................................................. 171Tabel 4.46 Data Proporsi BHP/BHBP, DAU & DAK dalam Dana

Perimbangan APBD Tahun 2005-2007 ................................. 173Tabel 4.47 Ratio PAD dan Dana Perimbangan Terhadap APBD .............. 176Tabel 4.48 APBD Kabupaten Ketapang Tahun Anggaran 2003-2007 ...... 178

(XII

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Model Kerangka Pikir Kajian ...............………………………….. 4Gambar 2.1 Pola Hubungan Keuangan Pusat Daerah

(sesuai UU 33/2004 dan UU 32/2004) ............................. 18Gambar 3.1 Skema Pembiayaan Keuangan Pemerintah Pusat

Ke Daerah ......................................................................... 36Gambar 3.2 Trend Dana Desentralisasi Berdasarkan Jenis Dana

Tahun 2005 – 2007 ........................................................... 38Gambar 3.3 Komposisi Belanja APBN di Pusat dan di Daerah

(TA 2005) .......................................................................... 39Gambar 3.4 Komposisi Belanja APBN di Pusat dan di Daerah

(TA 2006) .......................................................................... 40Gambar 3.5 Komposisi Belanja APBN di Pusat dan di Daerah

(TA 2007) .......................................................................... 41Gambar 4.1 Rasio PAD dan DP Terhadap APBD Propinsi

di Kalimantan ................................................................... 47Gambar 4.2 Rasio PAD dan DP Terhadap APBD Beberapa

Kabupaten di Kalimantan ................................................. 54Gambar 4.3 Perkembangan DAU dan DAK kabupaten

Kotawaringin Barat (2001-2006) ...................................... 94Gambar 4.4 Komposisi Dana Perimbangan Pusat pada

Kotawaringin Barat Tahun 2003-2006 .............................. 95Gambar 4.5 Petumbuhan Dana Perimbangan dalam Komposisi

APBD Kotawaringin Barat Tahun 2004-2006 .................... 96Gambar 4.6 Komposisi Dana Bagi Hasil SDA Kabupaten

Kotawaringin Barat Tahun 2002-2007 ............................. 98Gambar 4.7 Pertumbuhan Dana Bagi Hasil Kehutanan dan

Perikanan Kotawaringin Barat Tahun 2003-2006 ............. 99Gambar 4.8 Prosentase DBHSDA terhadap APBD Kabupaten

Kotawaringin Barat Tahun 2001-2005 ............................ 100

XIII)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

(XIV

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Gambar 4.9 Pertumbuhan DBHSDA Kabupaten Kotawaringin Barat Tahun 2002-2006 ...................................................` 100

Gambar 4.10 Alokasi Dana Bagi Hasil terhadap Pembiayaan Program dan Kegiatan Kabupaten Kotawaringin Barat Tahun 2007 ...................................................................... 101

Gambar 4.11 Tren Dana Perimbangan Provinsi Kalimantan Timur (2001 – 2007) ................................................................... 114

Gambar 4.12 Pertumbuhan Ekonomi Berdasakan Sektor di Kutim (2004 – 2005) .................................................................. 126

Gambar 4.13 Struktur Perekonomian Kutai Timur Tahun 2005 ............ 127Gambar 4.14 Trend Pertumbuhan DBH Non Pajak Kabuapten

Kutai Timur (2002 – 2006) .............................................. 134Gambar 4.15 Komposisi DBH Non Pajak Kabupaten Kutai Timur

(2002 – 2006) .................................................................. 134Gambar 4.16 Komposisi APBD Pro. Kalsel (2003 – 2006) ...................... 150Gambar 4.17 Komposisi APBD Kabupaten Tabalong (2003-2006) ......... 151Gambar 4.18 Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah ......................................................... 153Gambar 4.19 Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi Kalimantan

Barat (2003 – 2007) ......................................................... 158Gambar 4.20 Komposisi PAD Provinsi Kalimantan Barat

(2003 – 2007) ................................................................... 159Gambar 4.21 Komposisi APBD Kalimantan Barat Berdasarkan

Masing – Masing Komponen ........................................... 161Gambar 4.22 PDRB dan Angka Perkapita Provinsi Kalimantan Barat

(2003 – 2005) .................................................................. 165Gambar 4.23 Komposisi PAD Kab. Ketapang (2005 – 2007) .................. 175

RINGKASAN EKSEKUTIF

Terdapat satu kondisi di negara-negara berkembang pada umumnya termasuk di Indonesia, dimana derajat sentralisasi keuangan masih cukup tinggi, dalam hal ini pemerintah pusat lebih banyak membiayai kegiatan penyediaan barang publik dan mengambil sebagian besar penerimaan negara yang berasal dari pajak. Selain itu juga terdapat perbedaan yang variatif dalam hal kondisi dan potensi antar daerah. Ada daerah yang memiliki sumberdaya alam yang cukup dan ada daerah yang mempunyai potensi ekonomi yang cukup. Terdapat pula daerah yang memiliki sumberdaya alam yang cukup tetapi potensi ekonominya lemah. Selain itu, ada pula daerah yang memiliki potensi ekonomi baik tetapi tidak memiliki sumberdaya alam yang memadai, dan bahkan ada pula yang tidak memiliki kedua-duanya. Oleh karena itu kebijakan otonomi daerah akan memiliki konsekuensi yang berbeda-beda terhadap keuangan daerah antara satu daerah dengan daerah lain.

Menyikapi kondisi tersebut, tuntutan perubahan orientasi dan sistem pemerintahan dari sentralistik kepada sistem pemerintahan yang memberi kewenangan yang lebih luas kepada daerah telah direspon oleh sengenap komponen penyelenggara negara yaitu dengan melaukan amandemen terhadap konstitusi dan aturan perundangan-undangan yang terkait lainnya.

Kebijakan otonomi daerah (desentralisasi) dilaksanakannya dengan tujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatnya kemakmuran rakyat, meningkatnya akuntabilitas dan partisipasi publik, dan mempererat persatuan bangsa.

Dalam rangka mewujudkan tujuan otonomi daerah tersebut diperlukan berbagai kebijakan turunan selanjutnya diantaranya adalah terciptanya keseimbangan antara kewenangan/urusan dan tanggung jawab yang diserahkan kepada daerah dengan disertai sumber pendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dengan kata lain, diperlukan adanya pengaturan desentralisasi fiskal.

Desentralisasi fiskal dalam konteks tersebut dituangkan di dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

XV)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Pemerintahan Daerah selain sebagai alat untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah juga bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah.

Namun dalam pelaksanaanya, tujuan mulia dari desentralisasi baik politik maupun fiskal ternyata tidak begitu saja dapat dicapai. Berbagai kendala dan problematika baik ditingkat pemerintah pusat maupun daerah masih banyak ditemukan.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka kajian ini mencoba untuk melakukan analisis sejauh mana kebijakan perimbangan keuangan antara pemerintaah pusat dan daerah memberi dampak terhadap kapasitas kinerja otonomi daerah khususnya di wilayah Kalimantan.

Dari hasil penelitian ditemukan beberapa fenomena dan permasalahan seputar desentralisasi khususnya dibidang keuangan ini baik di level pengimplementasian maupun ditingkat kebijakan, diantaranya yaitu :1. Kebijakan desentralisasi fiskal (perimbangan keuangan) telah berimplikasi

kepada meningkatkan kemampuan keuangan untuk pembiayaan pembangunan didaerah;

2. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir besaran tranfer anggaran APBN kepada pemerintah daerah terus menunjukkan peningkatan walaupun belum terlalu signifikan, dimana pada tahun 2005 rasio dana desentralisasi dalam APBN sebesar Rp. 153,40 Trilyun (27, 15%), pada tahun 2006 sebesar Rp. 220,85 Trilyun (31.55%) dan pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp. 258.79 Trilyun (33.89%);

3. Walaupun secara nasional besaran dana perimbangan terus mengalami peningkatan, namun untuk beberapa jenis pembiayaan seperti Dana Bagi Hasil (DBH) oleh beberapa daerah masih dirasakan belum memadai, bahkan untuk beberapa komponen proses penghitungannya dianggap tidak mudah untuk diakses oleh pemerintah daerah;

4. Kebijakan perimbangan keuangan yang berimplikasi kepada meningkatkan kemampuan pembiayaan pembangunan didaerah ternyata tidak serta merta berimplikasi langsung kepada meningkatnya pelayanan khususnya pelayanan dasar kepada masyarakat, hal ini dilatarbelakangi kepada komposisi pembiayaan pembangunan di daerah yang sebagian besar lebih banyak dialokasikan kepada belanja rutin dibandingkan dengan belanja publik;

(XVI

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

5. Dengan adanya jaminan besaran pembiayaan pembangunan di daerah melalui transfer pembiayaan dari pemerintah pusat ke daerah, di satu sisi telah menyebabkan rendahnya kreatifitas pemerintah daerah untuk mengoptimalkan potensi pembiayaan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), hal ini dapat dilihat dari komposisi APBD daerah baik provinsi maupun kabupaten yang lebih di dominasi oleh dana perimbangan. Sebagai gambaran dari kompisisi APBD Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2006 menunjukkan besarnya PAD daerah belum mencapai 25% dari total APBD, begitu juga halnya dengan Provinsi Kalimantan Timur dimana dalam kurun waktu 6 (enam) tahun terakhir (2001-2006) rata-rata komposisi PAD hanya mencapai 23% dari total APBD, Provinsi Kalimantan Barat hanya mencapai 39.92%. Kondisi lebih memprihatinkan terjadi pada pemerintahan ditingkat Kabupaten, sebagai contoh rasio PAD di Kabupaten Kotawaringin Barat yang hanya mencapai angka tertinggi 10,92% pada tahun 2005 namun kembali menurun menjadi 9.16% pada tahun 2006, kondisi yang lebih memprihatinkan ditemukan di Kabupaten Ketapang dimana rasio PAD terhadap APBD hanya mencapai angka rata-tara 2.12% atau dengan kata lain, hampir 100% sumber pembiayaan pembangunannya diperoleh dari dana perimbangan;

6. Selain berorientasi kepada upaya terus mengoptimalkan komposisi dana perimbangan yang semakin berpihak kepada daerah, sebenarnya banyak potensi-potensi lain yang bisa dioptimalkan oleh pemerintah daerah yang dapat berkontribusi kepada PAD, sehingga tingkat kemandirian daerah semakin baik. Kondisi ini telah dicapai oleh daerah Provinsi Kalimantan Selatan dimana tingkat kontribusi PAD terhadap total APBD mencapai diatas 50%. Dimana capaian paling tinggi diraih pada tahun 2005 dimana PAD mencapai 57.37% dan mengalami sedikit penurunan pada tahun 2007 yaitu sebesar 50.91%. Kondisi ini memperlihatkan, bahwasannya banyak potensi-potensi daerah yang bisa dioptimalkan tidak semata-mata hanya mengandalkan dana perimbangan.

7. Kebijakan desentralisasi berimplikasi kepada berkurangnya porsi pengendalian yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini, ternyata juga mempengaruhi tingkat kualitas dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dimana tingkat partisipasi dan kontrol publik di daerah (lokal) terhadap penyelenggaraan pemerintahan masih dirasakan kurang.

XVII)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Dari beberapa temuan diatas, dapat diajukan beberapa rekomendasi baik kepada Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang mungkin dapat berkontribusi positif kepada upaya optimalisasi kinerja otonomi daerah khususnya melalui instrumen desentralisasi keuangan dimasa yang akan datang.

Pertama, seiring dengan kebijakan desentralisasi dimana porsi kewenangan penyelenggaraan pemerintahan telah diberikan secara lebih luas kepada pemerintah daerah, maka sudah sewajarnya porsi pembiayaan pembangunan didaerah melalui penyaluran dana perimbangan perlu untuk terus ditingkatkan.

Kedua, diperlukan upaya nyata dari pemerintah daerah untuk mengoptimalkan sektor-sektor potensi yang dapat berkontribusi kepada peningkatan PAD daerah dengan tetap memperhatikan aspek legalitas hukum, iklim usaha dan berinvestasi yang tetap kondusif serta tidak memberatkan masyarakat di daerah.

Ketiga, diperlukan instrumen yang lebih komprehensif untuk menjawab kesenjangan pembiayaan antara daerah, terutama daeah-daerah yang kurang memiliki potensi sumber daya alam dan potensi ekonomi. Dimana instrumen tersebut, lebih diarahkan kepada upaya memfasilitasi daerah untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi pembiayaan di daerah.

Keempat, kebijakan desentralisasi khususnya dari aspek politik, telah berimplikasi kepada berkurangnya fungsi kontrol dari pemerintah pusat, kondisi ini menuntut kepada adanya instrumen partisipasi masyarakat setempat dalam proses pengambilan keputusan, tidak hanya melalui lembaga perwakilan resmi yang telah ada. Fungsi pengawasan dan partisipasi publik ditingkat lokas tersebut, diperlulan mulai proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan maupun proses evaluasi penyelenggaraanya.

Kelima, dalam upaya menjawab tuntutan transparansi dalam proses formulasi dana perimbangan khususnya dana bagi hasil perlu adanya sebuah instrumen yang juga dapat diakses dan melibatkan pemerintah daerah .

(XVIII

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangDalam sambutan pada acara Workshop Nasional Peluang dan

Tantangan Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Jakarta, menurut Menteri Kuangan, Sri Mulyani bahwa tujuan dilaksanakannya desentralisasi adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan efisiensi, mempererat persatuan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Apabila desentralisasi berjalan dengan baik maka akan membawa dampak positif pada semakin baiknya pelayanan kepada masyarakat, meningkatnya akuntabilitas dan partisipasi publik, dan meningkatnya kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan desentralisasi tersebut, ditegaskan oleh Sri Mulyani, diperlukan adanya keseimbangan antara kewenangan/urusan dan tanggung jawab yang diserahkan kepada daerah dengan sumber pendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut.

Kebijakan yang terkait dengan Otonomi Daerah yang dituangkan di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berorientasi pada mendekatkan pemerintah kepada rakyat. Dalam konteks tersebut, pemerintah diharapkan lebih memahami bahwa eksisnya suatu pemerintahan adalah karena dibutuhkan oleh rakyatnya dan bahkan suatu pemerintahan itu sendiri merupakan bagian dari rakyat. Melalui filosofi ini diharapkan pelayanan publik dapat dirasakan lebih cepat, lebih baik, lebih terjangkau, dan lebih adil.

Berkaitan dengan hal itu tentunya pelaksanaan otonomi daerah harus didukung dengan instrumen untuk mencapai hasil yang lebih optimal dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Sehubungan dengan hal itu diterbitkan juga UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah

1)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

tersebut tentunya sebagai alat untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah.

Perlu dipahami bahwa di Indonesia dan umumnya negara berkembang lain, derajat sentralisasi keuangan masih cukup tinggi, dimana pemerintah pusat lebih banyak membiayai kegiatan penyediaan barang publik dan mengambil sebagian besar penerimaan negara yang berasal dari pajak. Selain itu juga terdapat perbedaan yang variatif dalam hal kondisi dan potensi antar daerah. Ada daerah yang memiliki sumberdaya alam yang cukup dan ada daerah yang mempunyai potensi ekonomi yang cukup. Terdapat pula daerah yang memiliki sumberdaya alam yang cukup tetapi potensi ekonominya lemah. Selain itu, ada pula daerah yang memiliki potensi ekonomi baik tetapi tidak memiliki sumberdaya alam yang memadai, dan bahkan ada pula yang tidak memiliki kedua-duanya. Oleh karena itu kebijakan otonomi daerah akan memiliki konsekuensi yang berbeda-beda terhadap keuangan daerah antara satu daerah dengan daerah lain.

Sebagaimana dituangkan di dalam UU No. 33 Tahun 2004, perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dimaksudkan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi yang lebih baik dalam penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber pendanaan. Hal demikian dapat disimak di dalam konsideran huruf c yang menyebutkan sebagai berikut:

"bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat, Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antarsusunan pemerintahan”

UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menyebutkan perihal penerimaan daerah di dalam Pasal 5 ayat (1), sebagai berikut: (1) Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas

Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:

(2

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

a. Pendapatan Asli Daerah;b. Dana Perimbangan; danc. Lain-lain Pendapatan.

Berkaitan dengan Dana Perimbangan, Dalam penelitian tentang Dampak Dana Perimbangan terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan Antar wilayah, Siregar (2005) menemukan bahwa dana perimbangan berpengaruh nyata terhadap peningkatan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Selain itu ditemukan juga bahwa belanja rutin dan belanja pembangunan pemerintah daerah berpengaruh signifikan terhadap perekonomian daerah.

Dana perimbangan itu sendiri terdiri atas beberapa komponen, sebagaimana tersebut di dalam Pasal 10, yaitu sebagai berikut :(1) Dana Perimbangan terdiri atas:

a. Dana Bagi Hasil;b. Dana Alokasi Umum; danc. Dana Alokasi Khusus.

(2) Jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.

Apabila Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka di pihak lain, Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Di dalam Dana Perimbangan terdapat komponen dana bagi hasil yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

B. Perumusan MasalahDari uraian pada latar belakang diatas dapatlah ditarik sebuah

hipotesis awal bahwa perubahan proporsi pembagian dana perimbangan terutama di Kalimantan sebagai daerah yang kaya sumberdaya alam akan mempengaruhi kinerja dari sektor-sektor pembangunan sehingga perlu dicari :

3)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

1. Besaran dan bagaimana distribusi dana perimbangan keuangan di Kalimantan ?

2. Bagaimana tingkat pembiayaan keuangan di masing-masing daerah di Kalimantan ?

3. Apa saja sektor-sektor potensial dalam penguatan kapasitas anggaran/pendapatan daerah ?

C. Kerangka Pikir

Gambar 1.1Model Kerangka Pikir Kajian

(4

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Desentralisasi dilaksanakannya dengan tujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatnya kemakmuran rakyat, meningkatnya akuntabilitas dan partisipasi publik, dan mempererat persatuan bangsa. Dalam rangka mewujudkan hal dimaksud diantaranya diperlukan terciptanya keseimbangan antara kewenangan/urusan dan tanggung jawab yang diserahkan kepada daerah dengan disertai sumber pendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Oleh karena itu diperlukan adanya pengaturan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal dalam konteks tersebut dituangkan di dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah selain sebagai alat untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah juga bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah.

Perimbangan keuangan tersebut mengandung beberapa prinsip, yaitu:

1. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

2. Pemberian sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal.

3. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.

Tujuan kebijakan desentralisasi dan desentralisasi fiskal diarahkan untuk memacu peningkatan seluruh sektor pembangunan daerah --terutama sektor-sektor yang dipandang mendasar dan prioritas-- sesuai dengan urusan masing-masing berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, maupun tugas pembantuan. Dengan skenario seperti ini diharapkan otonomi daerah mampu mencapai kinerja optimal.

D. Ruang LingkupKajian ini akan diarahkan untuk melihat bagaimana komposisi

keuangan pemerintah daerah dan implikasi pemanfaatannya terhadap sektor pembangunan yang sifatnya mendasar yang meliputi sektor pendidikan, kesehatan, dan sarana dan prasarana umum.

Adapun penentuan sampelnya dilakukan secara random bertujuan (purposive random sampling) dengan daerah-daerah yang diteliti :

5)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Tabel 1.1 Daerah Sampel/Tujuan Kajian

No. Wilayah

Daerah Sampel

1 Kalimantan Timur

?

Propinsi Kalimantan Timur

? Kabupaten Kutai Timur

2 Kalimantan Barat ? Propinsi Kalimantan Barat?

Kabupaten Ketapang

3 Kalimantan Selatan ?

Propinsi Kalimantan Selatan

?

Kabupaten Tabalong

4 Kalimantan Tengah?Propinsi Kalimantan Tengah?Kabupaten Kotawaringin Barat

E. TujuanDari rumusan permasalahan diatas, maka dapat ditetapkan

adanya tujuan kajian yang ingin dicapai dari kegiatan kajian ini sebagai berikut:1. Untuk mengidentifikasi besaran dan distribusi dana perimbangan

keuangan di Kalimantan.2. Untuk mengidentifikasi tingkat pembiayaan keuangan di masing-masing

daerah.3. Untuk mengidentifikasi sektor-sektor potensial dalam penguatan

kapasitas anggaran/ pendapatan daerah.

Adapun kegunaan hasil kajian ini adalah untuk mendorong terciptanya peningkatan sistem dan akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik yang pada akhirnya diharapkan akan berdampak kepada peningkatan kinerja pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pembangunan.

F. Target/Hasil Yang DiharapkanHasil akhir yang ingin dicapai dari kajian ini adalah tersusunnya

sebuah laporan kajian yang memuat deskripsi tentang komposisi pembiayaan pembangunan di daerah seiring dengan kebijakan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dah daerah, serta implikasi pemanfaatannya bagi sektor-sektor pembangunan yang sifatnya mendasar, meliputi sektor pendidikan, kesehatan, dan sarana dan prasarana umum.

G. Status Dan Jangka WaktuKajian ini merupakan program baru yang dilaksanakan untuk wilayah

Kalimantan. Adapun jangka waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kajian ini adalah 1 tahun anggaran, yakni periode Januari - Desember 2007.

(6

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

BAB IIKERANGKA TEORETIS DESENTRALISASI FISKAL

DAN KEBIJAKANNYA DI INDONESIA

A. Hakekat Otonomi DaerahKebijakan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) tidak terlepas dari ketentuan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana diatur Bab VI UUD 1945 yang kemudian dirumuskan secara singkat dan padat di dalam Pasal 18 beserta penjelasannya. Beberapa aspek terkait dengan pemerintahan daerah seperti hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah, pengaturan keberadaan satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya diatur dalam pasal 18 A dan pasal 18 B.

Ditinjau dari segi tata negara dan tata pemerintahan, penyelenggara pemerintahan negara diwajibkan melaksankan kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam melaksanakan tugas, wewenang, kekuasaan dan tanggung jawabnya. Hal demikian tidak lain untuk dapat mewujudkan dayaguan dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian sentralisasi kewenangan dapat dihindari tanpa mengabaikan pemisahan kewenangan.

Oleh karena itu diadakannya pembagian kewenangan, baik antara jajaran penyelenggara pemerintahan negara di tingkat pusat, yaitu Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, dan antar penyelenggara tata pemerintahan sendiri, yaitu Presiden dengan pembantu-pembantunya maupun antara perangkat pusat dan daerah serta perangkat pusat dengan perangkatnya di daerah.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi sama pentingnya, oleh karena itu dilaksanakan secara

7)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

bersama-sama. Selain itu dimungkinkan juga pelaksanaan tugas pembantuan. Dalam pelaksanaannya, antara ketiga asas tersebut terjalin konteksitas erat dan harus diarahkan pada tindakan pola hubungan yang saling menunjang

1dan saling melengkapi secara dinamis.Untuk merealisasikan prinsip-prinsip otonomi daerah yang nyata,

dinamis, serasi dan bertanggung jawab maka faktor-faktor kemampuan, kondisi dan kebutuhan daerah harus diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah. Proses pemberian otonomi daerah pada dasarnya berawal dari penyerahan sebagian urusan pemerintahan sebagai kewenangan pangkal dalam undang-undang pada waktu pembentukan suatu daerah otonom dan penambahan atau penyerahan urusan pemerintahan yang dilaksanakan melaui Peraturan Pemerintah.

Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, setiap penambahan atau penyerahan urusan pemerintahan harus disertai juga dengan penyerahan personil, peralatan dan sumber pembiayaannya. Proses penambahan atau penyerahan urusan pemerintahan merupakan landasan hukum yang kuat untuk terwujudnya asas desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Kemudian dari pada itu, dengan urusan-urusan yang telah dimiliki berikut kewenangan-kewenangannya, Pemerintah Daerah

1 Asas Desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah dengan tingkat yang lebih tinggi kepada Pemerintah Daerah dengan tingkat yang lebih rendah. Oleh karenanya prakarsa, wewenang, dan tanggung jawab mengenai urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah yang bersangkutan, baik mengenai politik kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan hingga aspek-aspek pembiayaannya. Yang menjadi perangkat pelaksana dalam konteks ini adalah perangkat daerah itu sendiri. Asas Dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada kepala wilayah atau kepala instansi vertical pada tingkat yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Tanggung jawab tetap ada pada Pemerintah Pusat. Selain itu perencanaan dan pelaksanaan maupun pembiayaannya tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Unsur pelaksananya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah Pusat. Latar belakang diadakannya kebijakan dekonsentrasi adalah dikarenakan tidak semua urusan Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah menurut asas desentralisasi. Asas tugas pembantuan adalah asas yang menyatakan tugas turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi tugas.

(8

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

menyelenggarakan pemerintahan secara otonom untuk bidang-bidang tertentu yang telah menjadi urusan rumah tangganya.

Sebuah dasar umum dibentuknya suatu pemerintahan daerah dalam suatu negara dengan wilayah yang luas adalah dikarenakan tidak mungkinnya pengelolaan pemerintahan yang efisien dan efektif jika hanya dilakukan dari Pusat. Alasan inilah yang kemudian menjadi dasar pertimbangan untuk membentuk pemerintahan daerah dengan kebijakan desentralisasi.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Huther dan Shah (1998) di 80 negara, menunjukkan bahwa desentralisasi memiliki korelasi positif dengan kualitas pemerintahan yang meliputi variabel gabungan dari partisipasi masyarakat, orientasi pemerintah, pembangunan sosial, dan manajemen ekonomi (makro), semakin tinggi derajad desentralisasi yang ada di suatu negara semakin baik pula partisipasi masyarakatnya, orientasi pemerintah, pembangunan sosial dan manajemen ekonominya (dalam Mardiasmo, 2002)

Menurut Menteri Dalam Negeri (1996) bahwa beberapa prinsip fundamental otonomi daerah di dalam sistem pemerintahan daerah yang

2 harus dipahami adalah sebagai berikut :1. Daerah merupakan sub sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan di

Indonesia. Sehubungan dengan hal itu daerah juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap pencapaian tujuan nasional dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

2. Pembinaan teknis terhadap urusan pemerintahan yang telah diserahkan tetap menjadi tanggung jawab instansi yang bersangkutan. Selain itu tanggung jawab terakhir terhadap keberhasilan penyelenggaraan urusan pemerintahan dimaksud juga tetap berada pada instansi dimaksud. Oleh karena itu tidak tepat apabila muncul sinyalemen bahwa fungsi instansi yang bersangkutan telah berkurang.

3. Pembinaan teknis penyelenggaraan urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dilakukan oleh Menteri yang bersangkutan dan

2 Menteri Dalam Negeri. (1996). Kebijaksanaan Pemerintahan Dalam Peletakan Titik Berat otonomi pada daerah Tingkat II. Penataran otonomi Daerah bagi Pejabat Eselon I di Jakarta.

9)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

pembinaan umum oleh Menteri Dalam Negeri. Sementara itu pembinaan operasional dilakukan oleh Gubernur.

4. Pembinaan teknis yang merupakan tanggung jawab Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan, pada dasarnya meliputi:lmenentukan kebijakan dan strategi pencapaian tujuan secara nasional

atas penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu.lmenetapkan kebijakan teknis, standar teknis, pedoman, petunjuk

pelaksanaan dan petunjuk teknis, pengawasan teknis, serta pedoman teknis peningkatan kemampuan dan keterampilan teknis bagi pegawai pemerintahan daerah.

5. Pelaksanaan pembinaan umum yang merupakan tanggung jawab Menteri Dalam Negeri, pada dasarnya meliputi :lmenetapkan pedoman organisasi, pembinaan kepegawaian,

pengelolaan keuangan daerah dan sumber pembiayaan lainnya, pengelolaan dan administrasi barang, perlengkapan dan peralatan serta kekayaan lainnya.

lMelakukan inventarisasi dan penilaian terhadap kekayaan daerah serta pengawasan dan pengendalian umum terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah.

6. Pembinaan operasional yang merupakan tanggung jawab Gubernur, pada dasarnya meliputi:lMelakukan koordinasi pelaksanaan tugas-tugas di Kabupaten dan Kota

agar tercapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara kebijakan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.

lMelakukan pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Kabupeten/Kota.

Beberapa elemen penting otonomi daerah yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan upaya pencapaian good governance, menurut Tim

3Peneliti FISIP UI (2001), diantaranya yaitu:

3 Tim Peneliti FISIP UI. (2001). Pelaksanaan Otonomi Daerah Mendukung Good Governance. Jurnal Forum Inovasi. November 2001.

(10

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

1. Dalam otonomi terkandung makna self-initiative untuk mengambil keputusan dan memperbaiki nasib sendiri.

2. Daerah otonom harus memiliki power (termasuk dalam sumber-sumber keuangan) untuk menjalankan fungsi-fungsinya, memberikan pelayanan publik serta sebagai institusi yang mempunyai pengaruh agar ditaati warganya.

B. Desentralisasi FiskalTerwujudnya keselarasan dan keserasian antara kegiatan-kegiatan

pemerintahan di daerah terutama dalam penyelenggaran urusan otonomi daerah dengan kebutuhan masyarakat merupakan landasan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan memberikan otonomi kepada daerah diharapkan pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat akan lebih cepat terwujud, dan pengambilan keputusan setiap kebijakan di daerah akan lebih cepat dilakukan. Selain itu dengan otonomi daerah akan mendorong timbulnya prakarsa dan partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.

Melalui mekanisme otonomi diharapkan dapat diperkuat struktur ekonomi nasional dan daerah serta meningkatkan kuantitas dan kualitas produktivitas daerah. Dengan otonomi daerah diharapkan dapat menghilangkan beragam kesenjangan yang bersumber dari bidang ekonomi. Dalam upaya pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan dibuatlah sistem perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah.

Desentralisasi menurut jenisnya dapat dibedakan dalam beberapa konsep, yaitu (Campo dan Sundaram, 2002; Sidik (2002); Martinez-Vazquez dan McNab (1997),): (a) Desentralisasi geografis atau desentralisasi teritorial, yakni pembagian

suatu wilayah menjadi wilayah-wilayah yang lebih kecil dengan kewenangan yurisdiksi yang jelas diantara daerah-daerah tersebut;

(b) Desentralisasi fungsional yakni pendistribusian kewenangan dan tanggung jawab negara kepada unit-unit fungsional yang berbeda-beda dalam suatu pemerintahan;

11)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

(c) Desentralisasi politik dan administrasi. Desentralisasi politik berkenaan dengan kewenangan pembuatan keputusan yang bergeser dari pemerintah yang lebih tinggi ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Dalam konteks ini partisipasi masyarakat lokal dalam proses pembuatan keputusan mendapat peluang yang sangat luas. Sedangkan desentralisasi administratif erat kaitannya dengan desentralisasi politik, bahkan secara faktual keduanya sulit dibedakan. Namun lebih difokuskan pada operasionalisasi atau implementasi kebijakan/ keputusan publik agar berhasil secara optimal.

(d) Desentralisasi finansial, yakni berkaitan dengan pelimpahan tanggung jawab pembelanjaan dan pendapatan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Bentuk-bentuk desentralisasi finansial ini antara lain adalah self-financing beberapa penyelenggaraan pembangunan di daerah, cofinancing atau coproduction dengan pihak-pihak swasta, intesifikasi dan ekstensifikasi pajak-pajak daerah dan retribusi, pinjaman daerah, serta transfer atau subsidi antar tingkatan pemerintahan.

Berkaitan dengan desentralisasi fiskal atau disebut juga sebagai desentralisasi di bidang ekonomi yakni adanya penyerahan sebagian kewenangan Pemerintah kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi, bertujuan untuk mengatur dan mengurus perekonomian daerah dalam rangka menciptakan stabilitas perekonomian secara nasional (Suyono, 2003). Ketiga fungsi tersebut menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat. Namun untuk menuju kepada sistem pemerintahan yang lebih efektif dan efisien, sebagian besar wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat tersebut didesentralisasikan kepada pemerintah daerah, dimana tetap ada sebagian wewenang dan tanggungjawab yang masih dikendalikan pemerintah pusat, contohnya seperti kebijakan yang mengatur variabel ekonomi makro.

Komponen kunci dan utama dalam kebijakan desentralisasi adalah desentralisasi fiskal, karena dengan desentralisasi fiskal wewenang pengelolaan keuangan daerah menjadi lebih besar. Pengertian desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan kepada daerah untuk menggali dan

(12

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

menggunakan sendiri sumber-sumber penerimaan daerah sesuai dengan potensinya masing-masing (Sidik, 2002).

Adapun kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia, menurut Kadjatmiko (2002), dilakukan dengan tujuan yaitu: (1) Menjaga kesinambungan kebijaksanaan fiskal dalam konteks kebijaksanaan ekonomi makro; (2) Mengoreksi vertical imbalance, yaitu memperkecil ketimpangan yang terjadi antara keuangan pemerintah pusat dan keuangan daerah yang dilakukan dengan memperbesar taxing power daerah; (3) Mengoreksi horizontal imbalance yaitu ketimpangan antar daerah dalam kemampuan keuangannya; (4) Meningkatkan akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja Pemerintah Daerah; (5) Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat; dan (6) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik.

Akan tetapi, banyak ahli berpendapatan, bahwa desentralisasi tidak secara otomatis akan langsung berdampak positif. Pemberian porsi keuangan yang lebih besar kepada daerah tidak selamanya akan berdampak kepada meningkatkan kinerja pemerintah di daerah. Hal ini sangat terkait dengan sejauh mana pemanfaatan anggaran yang dimiliki tersebut secara baik dan bertanggung jawab.

Besarnya sumber pembiayaan pembangunan didaerah yang berasal dari transfer pemerintah pusat, berimplikasi kepada rendahnya rasa memiliki dan kepentingan masyarakat untuk mengontrol dan ikut terlibat secara maksimal dalam proses pengelolaan anggaran itu sendiri. Sehingga banyak ahli berpendapat bahwa, idealnya pelaksanaan desentralisasi fiskal lebih di fokuskan kepada bagaimana mengoptimalkan sumber pembiayaan yang berasal dari daeah, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Penekanan mobilisasi pendapatan daerah pada sumber PAD, terutama demi mendukung penguatan akuntabilitas pejabat lokal dan tanggungjawab masyarakat lokal. Seperti ditegaskan Oates (1972), International American Development Bank (1997) dan Bahl (1999), keseimbangan yang lebih baik antara penyediaan layanan publik dan kebutuhan penduduk, akan tercapai sepanjang biaya yang dibutuhkan terkait dengan mobilisasi pendapatan yang dilakukan di wilayah yang sama. Keterkaitan erat pengeluaran dan mobilisasi pendapatan lokal, akan dapat

13)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

mendorong membaiknya akuntabilitas tindakan pemerintah (Abed and Gupta, 2002:335).

Weisner (1995) mengemukakan alasan serupa, pentingnya memperhatikan upaya fiskal daerah adalah berakar pada arti pentingnya warga membayar pajak, apa yang mereka peroleh, sehingga pihak-pihak yang membuat keputusan pengeluaran lokal akan terjaga akuntabilitasnya, melalui lembaga politik lokal. World Bank (1995) menekankan pula bahwa apabila kenaikan transfer tidak diimbangi kenaikan kontribusi lokal, betapa pun kecil jumlahnya, kecil sekali kemungkinan manfaat penuh desentralisasi dapat terwujud. Tanpa rasa memiliki dan tanggungjawab dari masyarakat setempat, efisiensi pengeluaran kelihatannya sangat tidak mungkin ditingkatkan (Bird dan Vaillancourt, 2000: 265).

Desentralisasi akan berjalan lebih baik jika dikaitkan erat ke struktur masyarakat dan organisasi lokal. Lebih lanjut Bird dan Vaillancourt menyatakan bahwa: “Pengalaman di berbagai situasi mengisyaratkan adanya 2 persyaratan yang sangat penting untuk kesuksesan desentralisasi. Pertama, proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, yaitu pengambilan keputusan tentang manfaat dan biayanya harus transparan dan pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Kedua, biaya-biaya dari keputusan yang diambil, sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat setempat. Maksudnya pemda perlu memiliki kontrol atas tarif (dan mungkin basis pajak, obyek) dari paling tidak beberapa jenis pajak. Jika persyaratan-persyaratan yang agak ketat ini dapat dipenuhi, devolusi atau otonomi barulah berarti. Sebaliknya, bila tidak dapat diwujudkan maka desentralisasi mungkin tidak akan mencapai sasaran dan tujuannya” (Bird dan Vaillancourt, 2000:17).

Smoke (2001) lebih spesifik menyatakan bahwa mekanisme fiskal tidak dapat diharapkan berfungsi jika tidak ada tingkat pengembangan politik dan akuntabilitas lokal yang memadai (Smoke, 2001:32). Penegasan yang sama dikemukaan Syah (2000) dimana pengalaman di Indonesia dan Pakistan, telah memberikan pelajaran penting dalam melakukan reformasi fiskal di Negara Berkembang seperti berikut:1. Kelembagaan partisipasi masyarakat dan akuntabilitasnya harus digiring ke

arah reformasi sistem fiskal yang sungguh-sungguh. Meskipun dalam

(14

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

masyarakat yang primitif, seperti India sebelum dijajah Inggris, sistem pemerintahan lokal berjalan efektif untuk memberikan pelayanan dan pengumpulan pajak lokal, sebab ada pemahaman yang baik atas mekanisme partisipasi dan akuntabilitas masyarakat. Sistem pemerintahan lokal yang lebih modern, telah gagal karena ketiadaan suara masyarakat dan pengendalian akuntabilitas.

2. Kemampuan kelembagaan (administratif/manajemen) merupakan hal kedua terpenting, dan seharusnya mendapat prioritas yang lebih rendah dalam usaha reformasi. Kapasitas kelembagaan untuk membangun dan mengembangkan praktek organisasi modern, memang penting, namun seharusnya tidak dipandang sebagai kendala untuk desentralisasi. Kemampuan teknis dapat dipinjam dari dukungan tingkatan pemerintah yang lebih tinggi di berbagai tempat.

3. Pemisahan yang demikian jauh antara keputusan pembelanjaan dan perpajakan menyebabkan kurangnya akuntabilitas sektor pemerintah.

4. Bagi hasil atas dasar basis per basis pajak mendistorsi insentif efisiensi pemungutan pajak. Di Pakistan, bagi hasil pajak demi pajak atas penerimaan dan penjualan telah menyembunyikan pajak perdagangan dari reformasi, sebab pajak tersebut tidak dibagi dengan propinsi.

5. Desentralisasi yang berhasil tidak dapat dicapai tanpa keberadaan program transfer fiskal yang terancang baik.

6. Lingkungan kelembagaan negara berkembang membutuhkan tingkatan desentralisasi yang lebih besar daripada yang dibutuhkan negara industri. Lingkungan sektor pemerintah yang lebih terbelakang lebih sesuai dengan bentuk pemerintahan yang terdesentralisasi, sebab kebutuhan informasi dan biaya transaksi dapat diminimalkan dengan cara menggeser pengambilan keputusan lebih dekat ke masyarakat yang terpengaruh oleh kebijakan tersebut (Bird dan Vaillancourt, 2000: 204-209).

Penegasan tersebut menekankan pentingnya reformasi fiskal yang secara sungguh-sungguh dipadukan (matching) dengan pelembagaan demokrasi lokal. Pelembagaan demokrasi lokal ini, sudah saatnya memperoleh perhatian serius. Sebab ada kecenderungan umum, desentralisasi seringkali gagal mencapai tujuan yang diharapkan, karena

15)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

transfer kekuasaan yang dilakukan tidak mampu mengubah distribusi kekuasaan yang mengarah pada terwujudnya kesamaan derajat antara komponen pemerintah dan non-pemerintah.

Seperti ditegaskan Bailey (1999): “Desentralisasi merupakan sesuatu yang sangat diperlukan (necessary) tetapi bukan kondisi yang mencukupi (unsufficient) untuk mempromosikan kepentingan publik, baik melalui peningkatan untuk dapat melakukan pilihan publik maupun penguatan suara publik. Desentralisasi hanya menciptakan kesempatan (opportunity) untuk meningkatkan responsivitas dalam pemberian pelayanan publik, tetapi tidak mesti menjaminnya. Hasil nyata dari desentralisasi akan lebih tergantung pada distribusi kekuasaan (distribution of power) di antara berbagai kelompok yang ada di dalam dan di sekitar institusi pemerintahan lokal (Bailey, 1999:77).

Pada bagian selanjutnya, Bailey (1999) menyatakan bahwa: “Desentralisasi umumnya hanya memperluas bentuk-bentuk tradisional demokrasi perwakilan (representative democracy), daripada demokrasi partisipatoris (participatory democracy) pada tingkat lokal. Manajemen desentralisasi lebih banyak terjadi di dalam lingkungan departemen daripada melintasi antar departemen. Desentralisasi lebih berkaitan dengan masalah access daripada decision-making. Desentralisasi lebih terkait dengan pembuatan keputusan di dalam struktur lembaga pemerintah daripada penyebaran kekuasaan (devolution of power) kepada komunitas di suatu wilayah. Dan ini terjadi karena desentralisasi tidak secara fundamental mengubah tatanan kekuasaan politik dan manajemen” (Bailey, 1999:77-79).

Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, secara formal mendasarkan diri pada prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat. Namun secara substansial, transfer kekuasaan yang terjadi masih terbatas pada lingkungan internal pemerintahan daerah. Terutama pada eksekutif dan legislatif daerah. Sehingga proses politik pemerintahan daerah, cenderung lebih menekankan pada mekanisme demokrasi perwakilan daripada demokrasi partisipatoris. Sementara itu, tidak ada satu pun pasal yang mengatur hak-hak penduduk, baik itu hak-hak untuk memperoleh pelayanan, hak pengawasan terhadap eksekutif maupun legislatif daerah, baik secara individu maupun institusi (Hardjosoekarto, 2002:12). Kontruksi kekuasaan yang tidak seimbang ini, menjadi faktor krusial yang menyebabkan proses

(16

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

penentuan kebijakan publik, dimonopoli dan didominasi kepentingan eksekutif dan legislatif daerah. Termasuk dalam kebijakan pendapatan dan belanja daerah.

C. Kebijakan Desentralisasi Fiskal di IndonesiaDalam rangka menciptakan suatu sistem perimbangan keuangan

yang proporsional, demokratis, adil, dan transparan berdasarkan atas pembagian kewenangan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka telah diundangkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dengan PP No 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, antara lain penegasan prinsip-prinsip dasar perimbangan keuangan Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sesuai asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan, penambahan jenis Dana Bagi Hasil dari sektor Pertambangan Panas Bumi, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21, pengelompokan Dana Reboisasi yang semula termasuk dalam komponen Dana Alokasi Khusus menjadi Dana Bagi Hasil, penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Umum, dan penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Khusus.

Dana Perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Pemerintahan Daerah. Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil dari penerimaan pajak dan SDA, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus merupakan sumber pendanaan bagi daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi.

Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari APBN yang dibagihasilkan kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil.

17)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan belanja pegawai, kebutuhan fiskal, dan potensi daerah. Kebutuhan daerah dicerminkan dari luas daerah, keadaan geografis, jumlah penduduk, tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah. Sedangkan kapasitas fiskal dicerminkan dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil Pajak, dan Sumber Daya Alam.

Dana Alokasi Khusus dimaksudkan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat.

Melalui penyempurnaan prinsip-prinsip, mekanisme, dan penambahan persentase beberapa komponen dana perimbangan diharapkan daerah dapat meningkatkan fungsi pemerintahan daerah sebagai ujung tombak dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat

Lebih lengkap tentang pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sesuai dengan UU No 32 dan 33 Tahun 2004 dapat dilihat pada Gambar 2.1 dibawah ini.

Gambar. 2.1 Pola Hubungan Keuangan Pusat Daerah (sesuai UU 33/2004 dan UU 32/2004)

(18

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

BAB IIITINJAUAN PELAKSANAAN DESENTRALISASI

FISKAL DI INDONESIA

A. Tinjauan Sejarah Para pemerhati otonomi daerah di Indonesia mencatat sejarah

panjang desentralisasi di Indonesia. Pada tahun 1903 Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Desentralisatie wet yang merupakan dasar hukum pertama berkaitan dengan desentralisasi di Indonesia. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada pejabat-pejabat Belanda yang bekerja di Indonesia, dilakukan tahun 1922 dan kemudian diteruskan oleh Tentara Pendudukan Jepang pada saat Perang Dunia II.

Segera setelah kemerdekaan, Pemerintah RI mengeluarkan UU No.1 Tahun 1945 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasar UU ini Kepala daerah menjalankan dua fungsi yaitu sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Karena itu kendatipun kehendak desentralisasi cukup nyata, pelaksanaan dekonsentrasi sangat dominan. Dalam perkembangannya, UU No.1 Tahun 1945 diganti dengan UU No. 22 Tahun 1948 yang lebih menekankan praktek demokrasi parlementer sesuai dengan sistem pemerintahan saat itu. Secara keseluruhan bahwa berdasarkan UU No. 22 tahun 1948, kontrol pemerintah pusat kepada daerah masih sangat kuat. Berdasarkan UU ini terdapat 15 jenis urusan pemerintahan yang benar-benar diserahkan.

Dibawah UU No. 1 Tahun 1957 Kepala Daerah sama sekali tidak bertanggung jawab kepada Pemenntahan Pusat Karena itu terjadi dualisme kepemimpinan. Ada kepala daerah di satu sisi, dan ada pejabat pusat yang ditempatkan di daerah. Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1957 tidak berjalan lancar, bahkan mendapat tantangan kuat dari berbagai pihak termasuk Angkatan Darat. Itulah sebabnya maka pada tahun 1959, Presiden RI mengeluarkan Penetapan Presiden No. 6/1959 Tentang Pemerintahan

19)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Daerah. Berdasarkan Penpres 6 tahun 1959 ini penekanan desentralisasi beralih kepada kontrol pemerintahan pusat yang kuat terhadap pemerintahan daerah.

Sekali lagi arus balik terjadi dengan dikeluarkannya UU 18 tahun 1965. Keadaan politik waktu itu menunjukkan bahwa partai-partai mendapatkan kembali kekuasaan setelah masa sulit pada tahun 1950-an. Berdasarkan UU 18 Tahun 1965, para eksekutif daerah diperbolehkan menjadi anggota partai. Berdasarkan ketentuan ini tumbuh loyalitas ganda Kepala Daerah yang tidak saja kepada Pemerintah Pusat tetapi juga kepada partai.

Pendulum bergeser lagi secara signifikan dengan dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1974. Dengan UU ini kontrol Pusat sangat kuat. Daerah tidak lebih dari perpanjangan tangan untuk mensukseskan program-program pemerintah pusat. Harus diakui bahwa system ini telah menciptakan stabilitas di berbagai daerah termasuk situasi yang kondusif bagi investor asing. Tetapi juga disinyalir bahwa stabilitas yang terjaga selama 30 tahun telah menciptakan ketergantungan daerah kepada pusat dalam hampir seluruh segi otonomi daerah seperti kewenangan, keuangan, kelembagaan, personil, perwakilan dan tentu saja pelayanan. Dapat diduga juga bahwa rendahnya kreatifitas dan prakarsa daerah juga disumbang oleh sistem seperti ini.

Sementara itu, dibidang Perimbangan Keuangan sejak tahun 1956 telah dikeluarkan UU No. 23 Tahun 1956. Tetapi UU ini tidak dapat diberlakukan dengan baik oleh karena beberapa sebab, selain sebab-sebab teknikal juga sebab-sebab politikal.

B. Hubungan Antara Penyelenggaraan Urusan Pemerintah dan Pendanaan

Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan Kota diatur dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah, sementara itu hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal penting yang berkaitan dengan hubungan wewenang dan penyelenggaraan urusan

(20

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

pemerintah tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang kemudian secara lebih rinci dituangkan dalam PP No. 38 Tahun 2007, sedangkan yang berkaitan dengan hubungan keuangan tertuang di dalam UU No. 33 Tahun 2004 yang dijabarkan lebih lanjut dengan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.

Urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah pusat meliputi 6 urusan pemerintah yang bersifat mutlak/absolut (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama) dan urusan pemerintah di luar 6 urusan yang bersifat mutlak/absolut. Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dimaksud, pemerintahan dapat menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan, melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah/wakil pemerintah di daerah, atau menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria ekternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan siapa yang kena dampak dalam penyelenggaraan urusan, maka merekalah yang berwenang untuk mengurus. Kriteria akuntabi l i tas dalam hal in i adalah suatu pendekatan yang mempertimbangkan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani. Adapun kriteria efisiensi adalah suatu pendekatan yang mempertimbangkan tersedianya sumber daya guna mendukung terselenggaranya pembagian urusan pemerintahan.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang diselenggarakan berdasarkan kriteria diatas meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar, sedangkan urusan pilihan adalah urusan daerah yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah. Pembagian urusan pemerintahan tersebut diatas ditempuh melalui mekanisme penyerahan dan/atau pengakuan atas usulan daerah atas bagian urusan-urusan yang akan diatur dan diurusnya. Berdasarkan usulan tersebut, Pemerintah melakukan verifikasi terlebih

21)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

dahulu sebelum memberikan pengakuan dan legalitas atas bagian urusan yang akan dilaksanakan oleh daerah.

Implementasi kebijakan otonomi daerah dilakukan melalui strategi yang bersifat generik maupun bersifat khusus. Strategi kebijakan otonomi yang bersifat generik mencakup berbagai aspek kebijakan, antara lain penataan urusan pemerintahan, kelembagaan pemerintahan daerah, penguatan pelayanan umum, kepegawaian, pembinaan dan pengawasan, serta penataan pengelolaan keuangan daerah. Adapun strategi kebijakan otonomi yang bersifat khusus antara lain penataan daerah otonom dan wilayah perbatasan, penataan otonomi khusus di Provinsi Papua dan NAD, serta pemberdayaan masyarakat dan desa. Khusus yang berkaitan dengan penataan urusan pemerintahan dimaksudkan untuk memperjelas sekaligus memproporsionalkan kewenangan, masing-masing tingkatan pemerintahan agar nantinya prinsip structure follows function dan money follows function dapat direalisasikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsep proporsionalitas dapat dicapai apabila di dalam masing-masing tingkat pemerintahan terdapat adanya kejelasan tugas, fungsi, dan tanggung jawab tentang siapa melakukan apa. Pertimbangan inilah yang mendasari pentingnya pengaturan dan penegasan kembali pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai pengganti PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.

Pengaturan pembagian urusan dimaksud tentunya akan memberikan konsekuensi terhadap pola, sistem, dan mekanisme pendanaan, karena pendanaan suatu urusan pemerintahan hanya dapat dilakukan apabila tugas dan fungsi pada masing-masing tingkat pemerintahan sudah ditentukan terlebih dahulu mengenai batas dan lingkup kewenangannya, satu dan lain hal agar dikemudian hari tidak terjadi tumpang tindih (overlapping) dalam pengalokasian sumber-sumber pendanaan terhadap satu objek yang sama. Dengan kata lain, kurang jelasnya pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah dapat menimbulkan masalah kesimpangsiuran, ketidakpastian, dan fragmentasi pendanaan, dimana satu fungsi tertentu didanai dari beberapa sumber (misalnya kegiatan fisik tertentu yang menjadi urusan daerah didanai dari dan atas beban APBN melalui Dokumen Isian

(22

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Pelaksanaan Anggaran Kementerian dan Lembaga (DIPA-K/L), dan kegiatan fisik tertentu yang menjadi urusan pusat didanai dari dan atas beban APBD melalui Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah DPA-SKPD). Sejalan dengan penataan dan pembagian urusan pemerintahan, pengaturan sistem dan mekanisme pendanaan dilakukan berdasarkan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 155 UU Nomor 32 Tahun 2004 secara umum menggariskan perlunya pemisahan sumber-sumber pendanaan dalam rangka penyelenggar.aan urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban APBD, sedangkan yang menjadi kewenangan pemerintah di daerah didanai dari dan atas beban APBN. Secara lebih spesifik, pola pendanaan urusan pemerintahan yang menganut prinsip money follows function juga dipertegas di dalam Pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2004, yaitu :(1) Penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi didanai APBD; (2) Penyelenggaraan tugas pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh

perangkat daerah provinsi dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai APBN;

(3) Penyelenggaraan tugas pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah dalam tugas pembantuan didanai APBN;

(4) Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dan/atau penugasan dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diikuti dengan pemberian dana.

Pemberian dana dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dan/ atau tugas pembantuan dimaksud merupakan wujud penerapan prinsip money

follows function. Sementara itu, pemisahan sumber-sumber pendanaan dari APBN dan APBD dimaksudkan agar penerapan prinsip money follows function dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini memberikan indikasi bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah hanya menggunakan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan, baik dalam konteks manajemen pemerintahan maupun manajemen

23)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

keuangan. Pendanaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan melalui asas Dekonsetrasi/Tugas Pembantuan dapat dialokasikan pendanaan dari bagian anggaran kementer ian/ lembaga dalam bentuk dana dekonsentrasi/tugas pembantuan, sedangkan penyelenggaraan urusan pemerintahan melalui asas Desentralisasi harus dialokasikan pendanaannya dalam APBN dalam bentuk belanja transfer untuk daerah. Selain terdapat pemisahan dalam pengalokasian sumber-sumber pendanaan, juga terdapat pemisahan dalam penatausahaan dan pertanggungjawaban.

Administrasi pendanaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dilakukan secara terpisah dari administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Penerapan manajemen pemerintahan dan pendanaan tersebut akan tetap berlangsung selama dalam penyelenggaraan pemerintahan masih digunakan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan

Demikian pula eksistensi pengalokasian dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan dapat dilakukan selama pihak kementerian/lembaga masih ingin menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya di daerah, disamping melalui penyerahan wewenang/urusan kepada pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Hal ini berarti bahwa dalam rangka pengalokasian dana dekonsentrasi/tugas pembantuan yang merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga tercermin adanya hubungan antara pembagian urusan pemerintahan dan aspek-aspek pendanaannya.

C. Reformasi Perencanaan dan Pengelolaan Keuangan Daerah1. Reformasi Perencanaan dan Penganggaran

Indonesia telah melalui sejarah yang panjang dalam penerapan berbagai sistem perencanaan dan penganggaran. Pada masa orde lama ditetapkan Rencana Pembangunan Semesta Berencana Delapan Tahun (1959-1967) sebagai pedoman perencanaan pembangunan nasional. Pada masa orde baru, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ditetapkan sebagai landasan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), dan untuk selanjutnya dijabarkan setiap tahun dalam APBN.

(24

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Dalam kurun waktu tahun 1999-2004, GBHN tidak lagi diikuti dengan penyusunan Pelita, namun dituangkan lebih lanjut dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas). Selanjutnya Propenas dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang menjadi salah satu dasar penyusunan APBN setiap tahun.

Pada kurun waktu 2004 hingga saat ini, Indonesia memasuki babak baru dalam sistem perencanaan dan penganggaran nasional. Perubahan tersebut ditandai dengan lahirnya Paket UU di bidang keuangan negara yang mengatur tentang sistem perencanaan dan penganggaran serta pertanggungjawabannya, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Selain itu juga diterbitkan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang menandai reformasi sistem perencanaan pembangunan nasional, lahir sebagai konsekuensi dari amandemen UUD 1945, yang telah mengamanatkan perubahan dalam pengelolaan pembangunan. Adapun amanat perubahan dalam pengelolaan pembangunan tersebut meliputi: (i) Penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan APBN,(ii) Ditiadakannya GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana

pembangunan nasional, dan (iii)Diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam

kerangka NKRI.

Di dalam UU SPPN tercakup landasan hukum di bidang perencanaan pembangunan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. SPPN dalam UU ini adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pernbangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat.

Untuk menghindari kemungkinan kegagalan perencanaan. pembangunan yang diakibatkan oleh pola perencanaan yang terpusat (top-

25)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

down), sistem perencanaan pembangunan nasional menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda, yang digunakan secara bersama-sama, yaitu :a. Politik, yang memandang bahwa pemilihan Presiden/Kepala Daerah

adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat menentukan pilihannya berdasarkan program pembangunan yang ditawarkan presiden/kepala daerah;

b. Teknokratik, perencanaan dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berfikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja (satker) yang secara fungsional bertugas untuk itu;

c. Partisipatif, perencanaan dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholder);

d. Atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom-up), perencanaan hasil proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan, baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa.

Dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 diperkenalkan dokumen perencanaan yang lengkap, dari pusat sampai daerah, dari Kementerian/Lembaga sampai satuan kerja, dari jangka panjang, menengah sampai jangka pendek. Secara garis besar, jenis-jenis dokumen perencanaan dalam SPPN adalah berupa :a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), sebagai dokumen

perencanaan untuk periode 20 tahun;b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), sebagai dokumen

perencanaan untuk periode 5 tahun;c. RPJM Kementerian/Lembaga (Rencana Strategis/Renstra K/L), sebagai

dokumen perencanaan K/L untuk periode 5 tahun;d. RPJM Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD), sebagai dokumen

perencanaan SKPD untuk periode 5 tahun;e. Rencana Pembangunan Tahunan (RPT) Nasional, atau yang disebut

Rencana Kerja Pemerintah (RKP), sebagai dokumen perencanaan nasional untuk periode 1 tahun,

f. RPT Daerah, yang disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), merupakan dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 tahun,

g. RPT K/L (Renja K/L), yang disebut dengan Rencana Kerja/Renja K/L, merupakan dokumen perencanaan K/L untuk periode 1 tahun,

(26

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

h. RPT SKPD (Renja SKPD), sebagai dokumen perencanaan SKPD untuk

periode 1 tahun.

2. Reformasi Pengelolaan Keuangan DaerahReformasi pengelolaan keuangan daerah tidak saja terfokus pada

kreatifitas daerah pada peningkatan pendapatan, namun juga pembenahan peraturan perundangan di bidang pengelolaan keuangan daerah. Cakupan dasar dari reformasi keuangan daerah meliputi beberapa dimensi perubahan, yaitu:a. Perubahan kewenangan daerah dalam memanfaatkan dana perimbangan.b. Perubahan prinsip pengelolaan keuangan daerahc. Perubahan prinsip penggunaan dana pinjamand. Perubahan strategi pembiayaan

Pengelolaan keuangan daerah yang terdiri dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, evaluasi, dan pertanggungjawaban memerlukan instrumen yang rigid dan terintegrasi. Ketidakharmonisan pengelolaan keuangan daerah yang selama ini muncul, baik antar pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, antar eksekutif dengan legislatif daerah, ataupun antara pemda-legislatif dengan masyarakat, lebih banyak disebabkan karena tidak tersedianya instrumen pengelolaan keuangan daerah yang menyeluruh dan terintegrasi.

Pada tahap perencanaan keuangan daerah, instrumen yang minimal harus tersedia adalah Peraturan Daerah (Perda) pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah dan dokumen perencana seperti renstra, properda, dan dokumen lain yang merupakan hasil penjaringan aspirasi masyarakat. Pada tahap pelaporan, maka diperlukan laporan keuangan daerah yang lengkap yang disertai berbagai lampiran pendukung. Sedangkan pada tahap pertanggungjawaban serta evaluasi atas pengelolaan keuangan daerah, diperlukan kegiatan audit internal oleh Bawasda, dan kontrol DPRD. Selain itu, dilakukan pula audit eksternal oleh BPK, serta kontrol sosial dari masyarakat. Agar orientasi pengelolaan keuangan daerah yang transparansi dan akuntabel tercapai, maka diperlukan instrumen pelaksanaan pengelolaan yang lengkap

27)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

dan memadai. Instrumen pada tingkat pelaksanaan tersebut antara lain manual sistem akuntansi keuangan daerah (SAKD), tersedianya indikator kinerja keuangan dan operasional, serta adanya mekanisme dan proses pengawasan dan monitoring, baik oleh DPRD, Bawasda, BPK, maupun masyarakat.

Proses transformasi kelembagaan dan manajemen sektor publik sebagai konsekuensi dari implementasi otonomi daerah dalam rangka mewujudkan tata kelola keuangan daerah yang baik masih diperlukan perubahan dan reformasi lanjutan. Reformasi lanjutan dalam pengelolaan keuangan daerah, antara lain reformasi sistem pembiayaan, reformasi sistem penganggaran, reformasi sistem akuntansi, dan reformasi sistem pemeriksaan. Rangkaian reformasi kelembagaan, instrumen, dan sistem dalam pengelolaan keuangan daerah tidak lepas dari orientasi dasar dari perubahan tersebut. Pada hakekatnya, orientasi reformasi pengelolaan keuangan dimaksudkan agar pengelolaan uang rakyat dilakukan secara transparan, baik dalam tahap penyusunan, penggunaan, dan pertanggungjawaban dengan mendasarkan pada konsep tata kelola yang baik.

Dalam proses reformasi pengelolaan keuangan daerah telah bergulir

beberapa perangkat perundang-undangan yang terkait. Perangkat tersebut dimulai dengan diterbitkannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004. Sedangkan peraturan pelaksanaan tentang pengelolaan keuangan daerah juga mengalami perubahan dari PP Nomor 105 Tahun 2005 menjadi PP Nomor 58 Tahun 2005 yang diikuti juga dengan perubahan peraturan teknis yang pada awalnya didasarkan pada Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 telah direvisi menjadi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

3. Sumber Pembiayaan Pembangunan DaerahSesuai dengan UU No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah disebutkan bahwa Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Adapun

(28

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

sumber pendapatan pemerintah daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan sumber pendapatan lain yang sah.

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)Sumber pendapatan utama yang sering kali menjadi parameter

untuk menentukan derajat otonomi fiskal yang dimiliki oleh suatu daerah adalah pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah, yaitu pendapatan yang diterima yang berasal dari sumber-sumber yang dikelola oleh pemerintah daerah itu sendiri (local source). Yang termasuk ke dalam kategori pendapatan ini adalah pajak daerah (local tax, sub national tax), retribusi daerah (local retribution, fees, local licence) dan hasil-hasil badan usaha (local owned enterprises) yang dimiliki oleh daerah. Ketiga jenis pendapatan ini merupakan pendapatan yang digali dan ditangani sendiri oleh pemerintah daerah dari sumber-sumber pendapatan yang terdapat

dalam wilayah yurisdiksinya.Pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal antara lain dilakukan

melalui penyerahan sumber-sumber pendapatan kepada daerah dalam bentuk pajak dan retribusi daerah. Penyerahan kewenangan untuk memungut pajak dan retribusi daerah tersebut diatur dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan ketentuan yang lebih teknis diatur dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.

UU tersebut menetapkan bahwa daerah dapat memungut 11 jenis pajak yang terdiri dari 4 pajak provinsi dan 7 pajak kabupaten/kota. Pajak provinsi terdiri dari Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Sementara itu, pajak kabupaten/kota terdiri dari Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C dan Pajak Parkir. Provinsi tidak dapat memungut pajak lain selain yang ditetapkan dalam undang-undang sedangkan Kabupatan/Kota dapat memungut pajak lain, selain yang ditetapkan undang-undang tetapi harus memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan undang-undang.

29)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Objek Retribusi Daerah terdiri dari Jasa Umum, Jasa Usaha dan Perizinan Tertentu dan sesuai dengan objeknya, retribusi daerah dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu Reribusi Jasa Umum Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Dari ketiga golongan retribusi tersebut PP Nomor 66 Tahun 2001 menetapkan 28 jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah. Namun demikian daerah dapat memungut jenis retribusi lain asalkan memenuhi kriteria tertentu dan sesuai dengan kewenangan otonominya.

Kedua jenis pendapatan asli daerah (PAD) tersebut (pajak dari retribusi daerah) memberikan kontribusi yang sangat dominan dibanding dengan jenis PAD yang lain. Pada umumnya, pendapatan dari pajak untuk provinsi lebih besar dibanding pendapatan dari retribusi. Demikian juga untuk sebagian besar di daerah kota, pendapatan pajak lebih besar dibanding retribusi, tetapi untuk daerah kabupaten pada umumnya pendapatan retribusi lebih besar dibanding pajak. Walaupun kedua jenis pendapatan daerah tersebut jumlahnya cukup banyak tetapi kontribusinya terhadap APBD tidak cukup signifikan. Dalam profile keuangan daerah tahun 2007 memperlihatkan besaran pendapatan asli daerah provinsi berasal dari pajak daerah sebesar Rp. 28,37 triliun atau 38,54% dari total pendapatan, sedangkan retribusi daerah sebesar Rp. 1,85 triliun atau 2,51% dari total pendapatan. (Depkeu: 2007).

Relatif kecilnya peranan pajak dan retribusi daerah terhadap APBD serta ada keleluasaan daerah khususnya Kota/Kabupaten untuk memungut jenis pajak dan retribusi lain, selain yang ditetapkan dalam peraturan perundangan telah menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya. Beberapa daerah telah memanfaatkan peluang untuk meningkatkan pajak dan retribusi sesuai ketentuan yang ada tetapi banyak daerah telah memungut pajak dan retribusi dengan tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan dan bertentangan dengan kepentingan umum. Pungutan daerah lebih banyak hanya berorientasi kepada peningkatan PAD semata-mata dan belum melihatnya dari aspek yang lebih luas seperti penciptaan iklim yang kondusif bagi investasi di daerah. Dari pelaksanaan UU tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut, banyak peraturan daerah tentang pajak dan retribusi daerah yang bermasalah sehingga

(30

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

harus direvisi ataupun dibatalkan oleh Pemerintah Pusat karena tidak sesuai dengan peraturan perudangan atau bertentangan dengan kepentingan umum. Banyak pungutan daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan Pusat atau merintangi arus barang dan jasa antardaerah.

Pada dasarnya penciptaan pungutan berbagai daerah yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan dan kepentingan umum dapat diatasi oleh Pemerintah Pusat melalui pengawasan preventif, yaitu dengan mengevaluasi Perda tentang pajak dan retribusi dan ini didukung dengan adanya kewajiban daerah untuk menyampaikan perda pajak. dan retribusi dalam jangka waktu 15 hari sejak ditetapkan. Undang-undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk membatalkan peraturan, daerah yang bertentangan dengan UU dan kepentingan umum. Namun dalam kenyataannya, pengawasan tidak dapat berjalan efektif karena banyak daerah yang tidak menyampaikan Perda kepada Pemerintah dan beberapa Perda tetap dilaksanakan walaupun telah dibatalkan.

b. Pinjaman DaerahUU Nomor 33 Tahun 2004 menetapkan bahwa Pinjaman Daerah

merupakan salah satu sumber Penerimaan Daerah dalam rangka desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam APBD. Sesuai PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, berdasarkan jangka waktunya pinjaman daerah dibagi menjadi 3 yaitu: Pinjaman jangka pendek, Pinjaman jangka menengah, dan Pinjaman jangka panjang. Pinjaman jangka pendek hanya dipergunakan untuk menutup kekurangan arus kas pada tahun anggaran yang bersangkutan. Pinjaman jangka menengah dipergunakan untuk membiayai penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan, sedangkan pinjaman jangka panjang dipergunakan untuk membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan.

Dalam peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa Batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak melebihi 60 persen dari Produk Domestik Bruto tahun yang bersangkutan. Selanjutnya

31)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal kumulatif Pinjaman Daerah secara keseluruhan paling lambat bulan Agustus untuk tahun anggaran berikutnya dengan memperhatikan, keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional.

Dalam melakukan pinjaman, Pemerintah Daerah wajib memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :mPersyaratan Umum Pinjaman Jangka Pendek:lKegiatan yang akan dibiayai dari pinjaman jangka pendek telah

dianggarkan dalam APBD.lKegiatan yang akan didanai pinjaman jangka pendek ini merupakan

kegiatan yang bersifat mendesak dan tidak dapat ditunda.lSyarat lainnya ditentukan oleh calon pemberi pinjaman.

mPersyaratan Umum Pinjaman Jangka Menengah atau Jangka Panjang:lJumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan

ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya.

lRasio proyeksi kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman (Debt Service Coverage Ratio / DSCR) paling sedikit 2,5.

lMendapatkan persetujuan DPRD.

Untuk menghitung Rasio proyeksi kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman, digunakan rumus sebagai berikut :

(PAD+(DBH-DBHDR)+DAU) - Belanja Wajib .

Angsuran Pokok Pinjaman+Bunga+Biaya Lain

DSCR = Debt Service Coverage RatioPAD = Pendapatan Asli DaerahDAU = Dana Alokasi UmumDBH = Dana Bagi HasilDBH DR = Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi

Berdasarkan KMK Nomor 35/KMK.07/2003 tentang Perencanaan, Pelaksanaan/ Penatausahaan, dan Pemantauan Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah, proyek daerah yang didanai dari

>2.5DSCR =

(32

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

pinjaman luar negeri dikelompokkan menjadi proyek cost recoverylrevenue generating dan proyek non-cost recoverylnon-revenue generating. Penerusan dana pinjaman luar negeri kepada daerah dapat diberikan dalam bentuk penerusan pinjaman atau hibah. Dana diteruskan dalam bentuk pinjaman apabila proyek berupa proyek cost recovery (menghasilkan pendapatan) dan apabila proyek yang didanai dari pinjaman luar negeri tersebut tidak menghasilkan penerimaan/ non-cost recovery, maka akan diteruskan dalam bentuk hibah.

Dana pinjaman luar negeri yang dipergunakan untuk membiayai proyek daerah yang non-cost recovery tidak seluruhnya diberikan dalam bentuk hibah tetapi hanya sebagian, dan besarnya ditentukan berdasarkan kapasitas fiskal masing-masing daerah. Daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi, proporsi hibah yang diberikan sebesar 30 persen dari nilai proyek, Daerah dengan kapasitas fiskal sedang diberikan hibah sebesar 60 persen, dan daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah hibah yang diberikan sebesar 90% dari nilai proyek.

Beberapa hal yang menjadi tantangan untuk diselesaikan diantaranya adalah ketegasan untuk melaksanakan ketentuan tentang DSCR dan batas maksimum kumulatif pinjaman, dan kemampuan penyerapan. pinjaman, serta resiko pinjaman bersangkutan, karena hal-hal tersebut penting untuk dipahami bagi daerah yang ingin meminjam. Selain itu, Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung ke luar negeri, pinjaman yang bersumber dari luar negeri harus melalui Pemerintah Pusat. Kebijakan tersebut dimaksudkan agar jumlah pinjaman daerah dapat dikendalikan dan tidak melampaui batas kumulatif pinjaman yang ditetapkan pemerintah sehingga tidak membahayakan perekonomian nasional.

c. Dana PerimbanganDana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan

APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi.

33)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Di dalam UU No 33 Tahun 2004 menetapkan bahwa, dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil dari penerimaan pajak dan SDA,

Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari APBN yang

dibagihasilkan kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil.

DBH terdiri dari dua jenis, yaitu DBH dari penerimaan pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA). DBH Pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, dan Pajak Penghasilan Pasal 21. Sedangkan DBH Sumber Daya Alam adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.

Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan belanja pegawai, kebutuhan fiskal, dan potensi daerah. Kebutuhan daerah dicerminkan dari luas daerah, keadaan geografis, jumlah penduduk, tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah. Sedangkan kapasitas fiskal dicerminkan dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil Pajak, dan Sumber Daya Alam.

Dana Alokasi Khusus dimaksudkan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat.

Melalui penyempurnaan prinsip-prinsip, mekanisme, dan penambahan persentase beberapa komponen dana perimbangan diharapkan daerah dapat meningkatkan fungsi pemerintahan daerah sebagai ujung tombak dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

(34

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

d. Dana Dekonsentrasi dan Tugas PerbantuanDalam penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah di

Indonesia, terdapat 2 (dua) prinsip dasar yakni desentralisasi (penyerahan urusan) dan dekonsentrasi (pelimpahan wewenang), disamping prinsip lainnya yakni tugas pembantuan (medebewind).

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah

kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah. Dalam penyelenggaraanya kewenangan dekonsentrasi dibiayai oleh dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.

Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Penyelenggaraan tugas perbantuan tersebut sepenuhnya didanai oleh dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan.

e. Dana Otonomi Khusus dan PenyeimbangDana otonomi khusus diberikan kepada daerah yang statusnya

ditetapkan oleh undang-undang sebagai daerah otonom, dalam hal ini yaitu Provinsi Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam.

Sedangkan Dana Penyeimbang adalah jenis dana yang dikeuarkan oleh pemerintah pusat, guna menutupi ketimpangan anggaran, terhadap pelaksanaan kebijakan tertentu yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Untuk lebih lengkap tentang pengelompokan jenis-jenis pembiayaan pembangunan di daerah dapat dilihat pada Gambar. 3.1 dibawah ini.

35)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

DANA

PERIMBANGAN

DANA OTSUS DAN

PENYESUAIAN

DBH

DAU

DAK

DANA OTSUS PAPUA

DANA OTSUS NAD

DANA TAMBAHAN INFRAS

OTSUS PAPUA

DANA P ENYEIMBANG DAU

DANA TUNJ. KEPENDIDIKAN

DANA TAMBAHAN.SARANA &PRASARANA PAPUA BARAT

DANA INFRASTRUKTUR, SARANA & PRASARANA

DANA ALOKASI CUKAI

DANA

0TSUS

DANA PENYES

DBH PBB/BPHTB

DBH PPH

DBH KEHUTANAN

DBH PERT UM

DBH PERIKANAN

DBH MIGA S

DBH PANAS BM

TRAN SFER

PUSAT KE

DAERAH

Gambar. 3.1Skema Pembiayaan Keuangan Pemerintah Pusat Ke Daerah

D. Transfer Pemerintah Pusat ke Daerah1. Perkembangan Alokasi Anggaran Belanja APBN ke Daerah (2005 - 2007 )

Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, dikenal 3 (tiga) jenis transfer dari pemerintah pusat ke daerah yakni melalui pelaksanaan dana perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Secara umum, tujuan perlaksanaan dari dana perimbangan adalah untuk mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah mencapai keadilan horizontal maupun vertikal, wujud lainnya adalah mencapai tata pemerintahan yang dikategorikan sebagai pemerintahan yang bersih dari penyelewengan, dan korupsi atau mengarah kepada clean government, serta mewujudkan tata pemerintahan yang baik atau good

governance.

(36

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Selain itu juga dalam rangka penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi dan tugas perbantuan, pemerintah juga mengalokasikan pembiayaan dalam APBN melalui Kementerian dan Lembaga yang kemudian di salurkan kepada pemerintah daerah.

Selanjutnya, sejak tahun 2002 juga dikenal mekanisme transfer yang mengatur alokasi belanja daerah yang lain, seperti dana otonomi khusus yang berlaku untuk Provinsi Papua dan kemudian di susul oleh Aceh serta dana penyeimbang/dana penyesuaian.

Sejak dilaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah pada tahun 2001 samapi dengan tahun 2007, alokasi anggaran belanja ke daerah terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, baik dari nilai nominalnya maupun proporsinya terhadap belanja negara. Hal tersebut juga sejalan dengan penambahan komponen dalam alokasi belanja ke daerah, dimana dalam tahun 2001, alokasi anggaran belanja daerah baru mencakup dana perimbangan, yang terdiri dari DBH, DAU, dan DAK, maka sejak tahun 2002, alokasi anggaran belanja ke daerah juga mencakup dana otonomi khusus untuk Provinsi Papua dan Aceh, seiring dengan diberlakukannya UU otonomi khusus untuk kedua provinsi tersebut, serta dana penyeimbang murni (sejak 2004 disebut dana penyesuaian murni) yang dialokasikan kepada daerah-daerah yang menerima DAU lebih kecil dan tahun sebelumnya. Selanjutnya, sejak tahun 2003, DAK yang sebelumnya hanya mencakup DAK dana reboisasi (DAK DR), ditambah komponen DAK non-dana reboisasi (DAK Non-DR).

Untuk lebih jelas trend distribusi dana perimbangan dan besaran rasionya terhadap total APBN dalam 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut.

37)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

22,0

8(1

4,39%

)

27,6

8(1

2,53%

)

33,

07

(12,

78%

)

30,4

9(1

9,87%

)

31,8

9(1

4,44%

)

35,4

0(1

3,6

8%)

88,

77

(57,8

6%)

145,6

6(6

5,96%

)

164,

79

(63,6

7%)

4,8

3(3

,15%

)

11,5

7(5

,24%

)

17,

09

(6,6

1%

)

1,7

8(1

,16%

)

3,4

9(1

,58%

)

4,0

5(1

,56%

)

5,4

7(3

,56%

)

0,5

6(0

,26%

)

4,4

1(1

,70%

)

-

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

140,00

160,00

180,00d

ala

mtr

iliu

nru

pia

h

DBH Pajak DBH SDA DAU DAK Dana Otsus Dana

Penyesuaian

2005 2006 2007

JUMLAH RASIO

2005 565,07 153,40 27,15%

2006 699,10 220,85 31,59%

2007 763,57 258,79 33,89%

TAHUN

BELANJA

APBN

TOTAL

DANA

DESENTRALISASI

JUMLAH RASIO

2005 565,07

153,40 27,15%

2006 699,10 220,85 31,59%

2007 763,57 258,79 33,89%

TAHUN

BELANJA

APBN

TOTAL

DANA

DESENTRALISASI

Gambar. 3.2Trend Dana Desentralisasi Per Jenis Dana Tahun 2005 - 2007

2. Perkembangan Alokasi Anggaran Belanja APBN ke Daerah (2005 - 2007 )Seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa alokasi belanja

pemerintah di daerah sebenarnya tidak hanya sebatas hanya dana perimbangan yang terdiri dari DBH, DAU, DAK, Otsus dan Dana Penyeimbang. Diluar jenis dana perimbangan tersebut masih ada beberapa komponen pembiayaan yang dalam pelaksanaanya dibelanjakan didaerah akan tetapi alokasi di dalam APBN dimasukkan kedalam DIPA Kementerian dan Lembaga, yaitu jenis dana Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan (TP). Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dirjen Perimbangan Keuangan menunjukkan besaran dana dekonsentrasi dan TP ini jika dibandingkan dengan total APBN dari tahun ketahun juga menunjukkan peningkatan. Pada Tahun 2005 besar Dana Dekonsentrasi dan TP mencapai 5.32% atau sebesar Rp. 30.09 Trilyun, kemudian pada tahun 2006 walaupun secara prosentasi mengalami penurunan yaitu hanya sebesar 4.38% dari total APBN namun secara nilai

(38

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

rupiah mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp. 30.65 Trilyun, begitu juga hlanya dengan tahun anggaran 2007 secara nominal menunjukkan angka peningkatan yaitu Rp. 34.04 Trilyun namun secara total APBN hanya sebesar 4.45%.

Selain penyaluran belanja dalam rangka penyelenggaraan kewenangan Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan melalui kementerian/ lembaga negara, pemerintah melalui kementerian/lembaga negara juga mempunyai unit-unit kerja yang bekedudukan didaerah, yang mana alokasi anggarannya juga melalui kementerian/lembaga secara nasional, dimana besaran anggaran yang disalurkan rata-rata mencapai 7.5% dari total APBN.

Berdasarkan data-data tersebut diatas, dapat dilihat sebenarnya belanja APBN ke daerah cukup signifikan dan dari tahun ke tahun besarnya terus meningkat. Dimana pada tahun 2005 dari total APBN sebesar Rp. 565,07 Trilyun 39,48% nya dibelanjakan ke daerah, dengan rincian Dana Perimbangan (desentralisasi) sebesar 153,40 Trilyun (27,15%), Dana Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan sebesar Rp. 30.09 Trilyun (5.32%) dan sisanya adalah belanja instansi vertikal yang berada di daerah (Gambar 3.3)

KOMPOSISI BELANJA PUSAT DI DAERAH TA 2005

APBN : 565,07 TrilyunKe Daerah : 223,09 (39,48%)

(Dalam Trilyun Rupiah)

Gambar. 3.3Komposisi Belanja APBN di Pusat dan di Daerah (TA 2005)

39)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Pada tahun 2006 komposisi belanja APBN di daerah secara keseluruhan meningkat menjadi Rp. 301.71 Trilyun atau sama dengan 43,16% dari total belanja APBN. Dengan kata lain, angka tersebut menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan yaitu sebesar 35.24% atau senilai Rp. 78.62 Trilyun. Dimana peningkatan yang paling signifikan adalah pada komponen anggaran desentralisasi dimana pada tahun sebelumnya hanya sebesar Rp. 153.40 Triltun (27.15%) dari total APBN menjadi Rp. 220.85 Trilyun (31.59%) dari total APBN Tahun 2006, dengan kata lain jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya terjadi peningkatan sebesar 43,97%. Selanjutnya kontribusi belanja ke daerah adalah dari belanja instansi pusat yang ada didaerah sebesar Rp. 50,21 Trilyun (7.18%) dan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan sebesar Rp. 30.65 Trilyun (4.34%). (Gambar. 3.4)

KOMPOSISI BELANJA PUSAT DI DAERAH TA 2006

APBN : 699,10 Ke Daerah : 301,71 (43,16%)

Trilyun

(Dalam Trilyun Rupiah)

Memasuki tahun anggaran 2007 komposisi belanja APBN di daerah semakin meningkat, dimana secara total mencapai 46.89% atau senilai Rp. 357.05 Trilyun dari total belanja APBN sebesar Rp. 763.57 Trilyun. Dimana kontribusi terbesar juga masih berasal dari dana perimbangan yaitu sebesar Rp. 258.79 Trilyun (33.89%). Sisanya berasal dari belanja instansi vertikal yang

Gambar. 3.4Komposisi Belanja APBN di Pusat dan di Daerah (TA 2006)

(40

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

berkedudukan didaerah sebesar Rp. 65.22 Trilyun (8.54%) serta dari Dana Dekonsentrasi dan TP sebesar Rp. 34.04 Trilyun (4.45%). (Gambar 3.5).

APBN : 763,57 Ke Daerah : 358,05 (46,89%)

Trilyun

(Dalam Trilyun Rupiah)KOMPOSISI BELANJA PUSAT DI DAERAH TA 2007

Peningkatan alokasi belanja ke daerah dari tahun ke tahun tersebut, diharapkan dapat semakin mengkoreksi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dimana pendanaan untuk tiap tingkatan pemerintahan, baik itu pemerintah pusat, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota disesuaikan dengan wewenang dan urusan masing-masing tingkatan Pemerintahan. Sejalan dengan hal tersebut, alokasi belanja ke daerah tersebut juga diharapkan dapat mengkoreksi kesenjangan fiskal antardaerah. Hal ini mengingat sangat kompleks-nya karakteristik daerah-daerah di Indonesia, yang juga berarti sangat kompleks-nya kebutuhan daerah akan pendanaan pembangunan di masing-masing daerah.

3. Profil Keuangan Daerah Indonesia (Tahun 2007)Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana

Perimbangan (DP), dan pendapatan lain-lain yang sah. Total pendapatan

Gambar 3.5Komposisi Belanja APBN di Pusat dan di Daerah (TA 2007)

41)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

provinsi seluruh Indonesia Tahun 2007 adalah Rp. 73,6 triliun, yang terdiri dari PAD sebesar Rp. 33,2 triliun (45,11%), DP sebesar Rp. 35,3 triliun (47,98%), dan lain-lain pendapatan yang sah Rp. 5,1 triliun (6,91%). Dimana kondisi ini memperlihatkan bahwa, tingkat kontribusi dana perimbangan bagi daerah masih lebih besar dibandingkan dengan sumber pembiayaan yang berasal dari daerah (PAD).

Dari total besaran dana perimbangan pada tahun 2007 tersebut, kontribusi terbesar diperoleh dari Dana Bagi Hasil (DBH) yaitu sebesar Rp. 18,03 triliun atau 24,50% dari total pendapatan, selanjutnya diperoleh dari Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp. 16,50 triliun atau 22,42%, dan dari Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp0,79 triliun atau 1,07%.

Sedangkan kalau dilihat distribusi masing-masing jenis pendapatan dari komponen pendapatan asli daerah provinsi, komposisi yang paling besar berasal dari pajak daerah yaitu sebesar Rp. 28,37 triliun atau 38,54% dari total pendapatan, kemudian diikuti oleh retribusi daerah sebesar Rp.1,85 triliun atau 2,51% dari total pendapatan. Sementara itu porsi pendapatan yang berasal dari pendapatan lain-lain yang sah terdiri dari pendapatan hibah Rp. 96,15 milyar atau 0,13%, dan dana darurat Rp. 16,04 milyar atau 0,02%.

Kondisi tersebut sesungguhnya memperlihatkan bahwa tingkat ketergantungan daerah secara umum kepada pemerintah pusat masing sangat tinggi. Dimana dengan kewenangan yang lebih besar diberikan kepada daerah melalui kebijakan desentralisasi, seharusnya mempunyai korelasi positif terhadap peningkatan kemampuan pembiayaan pembangunan didaerah pada umumnya.

E. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemampuan Pembiayaan Pembangunan Daerah di Indonesia

Melalui pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, peranan

(42

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah (engineer of growth). Daerah juga diharapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan efek multiplier yang besar.

Kemandirian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai salah satu ukuran yang digunakan untuk menilai kinerja pemerintah daerah dari perspektif finansial. Khususnya di era otonomi daerah yang kemudian menuntut diadopsinya paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah dan APBD dari Traditional Budget menuju New Public Management. Dalam paradigma yang baru tersebut, APBD dirumuskan berdasarkan kepentingan publik dengan menggunakan pendekatan kinerja (Mardiasmo, 2002).

Era desentralisasi fiskal telah memberikan peluang yang besar kepada Pemerintah Daerah untuk membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri. Peluang seperti ini tidak pernah ada selama Orde Baru, yang terjadi sebaliknya yaitu ketergantungan fiskal yang tinggi dan subsidi serta bantuan Pemerintah Pusat sebagai wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai Belanja Daerah.

Terhadap dasar pemikiran ini, jika kita memperhatikan profile perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah dalam beberapa tahun terakhir (lihat Gambar, 3.3, 3.4, dan 3.5), memperlihatkan kecenderungan meningkatnya ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer pembiayaan dari pusat, hal ini diperlihatkan rendahnya sumber pembiayaan yang berasal dari PAD.

Kondisi tersebut, secara jelas diperlihatkan oleh profile keuangan daerah tahun 2007, dimana dari total pendapatan pemerintah provinsi yang berasal dari PAD sebesar Rp. 33,2 triliun (45,11%), sedangkan yang berasal dari DP yaitu sebesar Rp. 35,3 triliun (47,98%), dan lain-lain pendapatan yang sah Rp. 5,1 triliun (6,91%). Dimana kondisi ini memperlihatkan bahwa, tingkat kontribusi dana perimbangan bagi daerah masih lebih besar dibandingkan dengan sumber pembiayaan yang berasal dari daerah (PAD).

Ketergantungan yang terus meningkat terhadap transfer dari pusat di satu sisi dan rendahnya peranan PAD dalam penerimaan daerah di sisi lain

43)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

membawa konsekuensi terhadap rendahnya kemampuan PAD dalam membiayai pengeluaran daerah. Kondisi semacam ini tentu saja sangat menyulitkan pemerintah daerah untuk melaksanakan otonomi secara nyata sesuai dengan UU otonomi. Meskipun perlu disadari bahwa bukan berarti kalau otonomi luas berimplikasi seluruh kegiatan di daerah harus dibiayai oleh pendapatan asli daerah itu sendiri. Namun Daerah hendaknya semakin memiliki kemandirian dalam mengelola sember-sumber keuangannya.

Ketidakberdayaan daerah dalam menggali potensi PAD ini boleh jadi disebabkan oleh kebijakan selama Orde Baru yang selama ini tidak memberikan motivasi kepada daerah untuk menggali potensinya sendiri. Hasil pantauan terhadap sejumlah daerah juga mendukung argumen ini. Di banyak daerah, Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) pada umumnya tidak pernah melakukan usaha-usaha untuk menggali potensi pendapatan daerah. Proyeksi penerimaan daerah pada umumnya hanya didasarkan pada pengalaman penerimaan tahun sebelumnya. Usaha untuk menggali potensi PAD belum banyak dilakukan oleh daerah.

Terhadap kondisi ini ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai landasan analisis, diantaranya; pertama, kebijakan desentralisasi yang secara umum memberi peran lebih kepada daerah telah mendorong kreatifitas daerah untuk melakukan optimalisasi terhadap sumber-sumber pembiayaan potensial di daerahnya, kedua, seiring dengan bertambahnya kemampuan pembiayaan pembanguan di daerah melalui DP, telah memberi stimulan positif bagi pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah terutama dengan peningkatan sarana dan prasarana publik, ke-tiga, dengan tingkat kewenangan yang dimilikinya pemerintah daerah dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan ditingkat daerah guna meningkatkan PAD nya, ke-empat, kebijakan desentralisasi juga berimplikasi dengan dunia investasi, dimana dengan rentang kendali yang semakin pendek telah menyebabkan pertumbuhan investasi didaerah juga semakin positif, yang secara langsung juga berimplikasi kepada PAD.

(44

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

BAB IVDAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP

KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

A. Kondisi Umum Kemampuan Keuangan Daerah Propinsi dan Beberapa Kabupaten di Kalimantan

Sistem pemerintahan sentralistik yang di praktekkan pada masa Orde Baru telah menciptakan pola hubungan yang tidak sehat antara pemerintah pusat dan daerah, dimana Pemerintah Pusat terlalu dominan terhadap daerah. Pola pendekatan yang sentralistik dan seragam yang dikembangkan tersebut telah mematikan inisiatif dan kreativitas daerah. Pemerintah daerah kurang diberi keleluasaan (local discreation) untuk menentukan kebijakan daerahnya sendiri. Dimana kewenangan yang selama ini diberikan kepada Daerah tidak disertai dengan pemberian infrastruktur yang memadai, penyiapan sumber daya manusia yang profesional, dan pembiayaan yang adil. Akibatnya, yang terjadi bukannya terciptanya kemandirian daerah, tetapi justru ketergantungan daerah terhadap Pemerintah Pusat.

Kondisi tersebut kemudian berubah seiring dengan terjadinya reformasi, dimana dalam aspek hubungan pemerintah pusat dan daerah juga telah digulirkan beberapa kebijakan yang menjadi landasannya, diantaranya yaitu UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Walaupun kebijakan desentralisasi dalam bidang fiskal telah diberlakukan seiring dengan reformasi sistem penyelenggaraan negara tersebut, namun tingkat ketergantungan daerah terhadap sumber pembiayaan yang berasal dari transfer Pemerintah Pusat masih juga dirasakan. Hal ini dapat dilihat dari rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang

45)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

masih rendah terhadap APBD dibandingkan dengan rasio Dana Perimbangan (DP) yang berasal dari pemerintah pusat. Kondisi tersebut juga terjadi pada daerah-daerah di Kalimantan, baik ditingkat propinsi maupuan kabupaten. Dimana tingkat kontribusi PAD terhadap APBD rata-rata untuk pemerintah propinsi di wilayah Kalimantan hanya 35,30%, sedangkan komposisi PAD terhadap APBD di tingkap pemerintahan kabupaten di Kalimantan lebih memprihatinkan lagi, dimana rata-rata PAD 4 (empat) Kabupaten di empat propinsi di Kalimantan dalam 4 (empat) tahun terakhir hanya 4,84% saja, dengan kata lain tingkat ketergantungan terhadap dana perimbangan masih sangat tinggi.

1. Kondisi Umum Kemampuan Keuangan Daerah Provinsi di KalimantanDari 4 (empat) provinsi di Kalimantan, jika diamati tingkat

ketergantungan terhadap transfer pembiayaan dari pemerintah pusat (DP) yaitu terlihat pada provinsi Kalimantan Tengah dimana kontribusi DP terhadap total APBD dalam 4 (empat) tahun terakhir rata-rata mencapai 69,43% kemudian diikuti oleh propinsi Kalimantan Timur yang memiliki angka rata-rata kontribusi DP terhadap total APBD yaitu sebesar 66,82% dan Kalimantan Barat sebesar 58,87%. Sedangkan propinsi yang tingkat ketergantungan terhadap dana perimbangan yang relatif rendah yaitu terlihat pada provinsi Kalimantan Selatan dimana total kontribusi DP terhadap APBD dalam 4 (empat) tahun terakhir hanya sebesar 46,81%, dengan kata lain kontribusi PAD lebih besar dibandingkan dengan DP.

Untuk lebih jelasnya, komposisi PAD dan DP terhadap total APBD di 4 (empat) propinsi di Kalimantan dapat dilihat pada Gambar 4.1 di bawah ini :

(46

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

-

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2,500,000

3,000,000

3,500,000J

uta

Ru

pia

h

KALTENG KALBAR KALTIM KALSEL

Propinsi

Rasio PAD dan DP Terhadap APBD Propinsi di Kalimantan

(rata-rata dalam 4 tahun terakhir)

APBD PAD DP

Jika diteliti lebih lanjut terhadap perkembangan komposisi PAD dan PD dalam struktur APBD masing-masing propinsi di Kalimantan menunjukkan bahwa secara umum baik PAD maupun DP dalam beberapa tahun terakhir secara rata-rata terus mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan.

Dari komposisi PAD dalam beberapa tahun terkahir terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan yang paling terlihat dalam komposisi PAD Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 35%, dimana pertumbuhan paling tinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 59% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selanjutnya disusul oleh Provinsi Kalimantan Selatan yaitu rata-rata 29%, dimana tingkat pertumbuhan yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir terjadi pada tahun 2005 yaitu 46%. Sedangkan tingkat rata-rata pertumbuhan PAD yang paling rendah di Kalimantan terlihat dalam komposisi PAD Provinsi Kalimantan Timur, dimana secara rata-rata pertumbuhan hanya terjadi sebesar 20%. Dimana pertumbuhan tertinggi dalam beberapa tahun terakhir terjadi pada tahun 2005 dan

Gambar. 4.1Rasio PAD dan DP Terhadap APBD Provinsi di Kalimantan

47)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

tahun 2006 yaitu 24%. Kemudian untuk provinsi Kalimantan Barat berada pada urutan ke- 2 (dua) terendah yaitu dengan rata-rata pertumbuhan PAD sebesar 26%.

Sedangkan untuk komposisi Dana Perimbangan (DP), rata-rata tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi pada Provinsi Kalimantan Timur yaitu sebesar 34%, dimana tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 62%. Selanjutnya disusul oleh Provinsi Kalimantan Tengah yaitu sebesar 33%, dimana pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 81%. Untuk tingkat pertumbuhan yang terendah terlihat pada Provinsi Kalimantan Selatan yaitu sebesar 30% dengan pertumbuhan tertinggi juga terjadi pada tahun 2006 sebesar 52,27%. Sementara itu Provinsi Kalimantan Barat mengalami rata-rata pertumbuhan dalam beberapa tahun terakhir sebesar 31% dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi juga terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 77%.

Berdasarkan data tersebut, dapat diberikan beberapa catatan terhadap masing-masing provinsi. Untuk provinsi Kalimantan Timur, dengan tingkat pertumbuhan PAD yang lebih rendah, sedangkan disisi lain tingkat pertumbuhan PD-nya adalah tertinggi dibandingkan dengan Provinsi lain di Kalimantan, sesungguhnya menunjukan bahwa tingkat ketergantungan Kalimantan Timur terhadap sumber pembiayaan dari pusat masing sangat tinggi. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi, karena salah satu komponen Dana Perimbangan adalah bersumber dari dana bagi hasil. Dengan potensi sumber daya alam yang cukup tinggi di Kalimantan Timur, dengan sedirinya akan berkontribusi kepada peningkatan DP yang diterima.

Namun disamping itu, tingkat pertumbuhan PAD yang relatif rendah dibandingkan dengan provinsi lan harus menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk lebih meningkatkan kinerja sektor-sektor perekonomian yang lain, sehingga tingkat ketergantungan terhadap sumber daya alam secara bertahap dapat dikurangi. Walaupun demikian, jika dilihat dari besaran rata-rata nominal PAD yang dimiliki oleh Provinsi Kalimantan Timur dalam beberapa tahun terakhir masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jumlah PAD provinsi lain di Kalimantan. Dimana dengan rata-rata jumlah PAD

(48

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Kalimantan Timur sebesar Rp. 844,385 Milyar, maka dapat terlihat bahwa angka sama dengan 192% lebih besar dibandingkan rata-rata jumlah PAD Kalimantan Selatan yang hanya sebesar Rp. 439.256 Milyar. Padahal Provinsi Kalimantan Selatan memiliki tingkat ketergantungan yang sangat rendah terhadap PD jika dibandingkan dengan provinsi yang lain di Kalimantan, atau dengan kata lain komposisi PAD provinsi Kalimantan Selatan jika dibandingkan dengan provinsi lain adalah paling positif yaitu sebesar 53,19% terhadap total APBD. Terlebih lagi kalau kita membandingkan besarnya rata-rata nominal PAD Kalimantan Timur dengan Provinsi Kalimantan Tengah yang hanya sebesar Rp. 140,371 Milyar, dimana jumlah PAD Kalimantan Timur sama dengan 602% lebih besar dibandingkan dengan PAD Kalimantan Tengah.

Selanjutnya jika kita mencermati konposisi pertumbuhan PAD dan DP provinsi Kalimantan Tengah juga cukup menarik. Dimana, provinsi ini menunjukkan rata-rata pertumbuhan PAD yang tertinggi dibandingkan dengan Provinsi lain yiatu sebesar 35%. Disamping itu, tingkat rata-rata pertumbuhan DP juga menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu 33% atau tertinggi sesudah Provinsi Kalimanta Timur dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 34%. Walaupun demikian jika kita mencermati lebih jauh terhadap komposisi tersebut dapat terlihat sebenarnya, tren pertumbuhan yang cukup positif itu jika kita konversi kedalam besarnya nominal sesungguhnya masing dibawah besaran nominal PAD maupun DP yang dimiliki oleh Provinsi lain. Walaupun demikian, secara keseluruhan, tingkat pertumbuhan yang cukup positif tersebut memperlihatkan kinerja pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah cukup baik. Dengan kondisi dan potensi sumber daya alam yang relatif rendah jika dibandingkan dengan provinsi lain di Kalimantan, maka wajar saja jika besaran DP yang diterima relatif rendah dibandingkan dengan provinsi lain. Justru yang menjadi perhatian adalah, tingkat pertumbuhan PAD yang cukup signifikan. Dimana jika kondisi ini dapat terus dipertahankan, maka dapat dipastikan bahwa Provinsi Kalimantan Tengah secara bertahap dapat melepaskan diri dari tingkat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap sumber pembiayaan dari pemerintah pusat, karena memang kondisi secara umum tingkat ketergantungan itu saat ini terlihat masih sangat tinggi. Disamping itu,

49)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

tingkat pertumbuhan PAD yang cukup positif ini juga menjadi indikasi bahwa kinerja sektor-sektor non migas di Kalimantan Tengah cukup menjanjikan dan bisa menjadi sektor andalan.

Terhadap Provinsi Kalimantan Selatan yang termasuk kedalam kategori Provinsi yang tingkat kemandiriin pembiayaan pembangunannya relatif lebih baik dibandingkan dengan Provinsi-provinsi lain juga menarik untuk dicermati. Dengan tingkat kontribusi PAD yang lebih besar dibandingkan dengan DP, memperlihatkan bahwa tingkat ketergantungan provinsi ini terhadap pembiayaan dari pemerintah pusat relatif kecil. Namun demikian, dari komposisi PAD dan DP dalam beberapa tahun terakhir ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian. Dimana dari angka yang ada menunjukkan bahwa sesungguhnya tingkat pertumbuhan PAD tidak terjadi secara konsisten, dengan kata lain pertumbuhan pada tahun terakhir (2006) jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2006 tingkat pertumbuhan hanya mencapai 10% sedangkan tahun 2005 tingkat pertumbuhan mencapai 46% dan tahun 2004 mencapai 31%, kondisi ini justru bertolak belakang dengan tingkat pertumbuhan DP dalam beberapa tahun terakhir yang terus mengalami peningkatan, dari tahun 2004 yang hanya 8% kemudian meningkat tajam pada tahun 2005 menjadi 29% dan terakhir pada tahun 2006 kembali mengalami peningkatan sebesar 53%.

Memperhatikan pertumbukan PAD dan PD pada Provinsi Kalimantan Selatan dalam beberapa tahun terakhir ini, beberapa hal penting yang harus dicermati adalah, menurunnya tingkat pertumbuhan PAD dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa sektor-sektor yang menjadi andalan terhadap sumber pendapatan PAD yang selama ini dimiliki oleh provinsi Kalimantan Selatan belum bisa dikategorikan sebagai sektor andalan yang potensial untuk terus dikembangkan, atau dengan kata lain, dari tren pertumbuhan yang terlihat, menunjukkan bahwa jika tidak dilakukan upaya-upaya pengembangan sektor-sektor potensial lain untuk menunjang PAD provinsi Kalimantan Selatan maka pertumbuhan PAD akan terancam stagnan (tidak berkembang).

Jika kondisi tersebut diatas terjadi, maka dengan sendirinya dalam jangka waktu kedepan tingkat ketergantungan pemerintah provinsi

(50

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Kalimantan Selatan terhadap sumber pembiayaan dari pemerintah pusat juga akan meningkat, sama hal nya dengan provinsi-provinsi yang lain di kalimantan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena berdasarkan data yang ada, menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun angka pertumbuhan PD Provinsi Kalimantan Selatan terus meningkat, dan dapat dipastikan komposisi peningkatan itu akan terus terjadi karena kebijakan pengalokasian DP bagi daerah merupakan kebijakan secara nasional yang komposisinya cenderung stabil bahkan dalam kurun waktu terakhir menunjukkan besaran yang terus meningkat.

Sedangkan untuk provinsi Kalimantan Barat, berdasarkan komposisi yang ada, menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan PAD relatif stabil, walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2005 yaitu menjadi sebesar 12%, sedangkan tahun 2004 tingkat pertumbuhannya mencapai 33%. Namun kondisi tersebut kembali membaik pada tahun 2006, dimana angka pertumbuhan kembali kepada posisi angka 33%. Namun laju pertumbuhan terhadap DP pada tahun terahir menunjukkan angka yang cukup signifikan yaitu sebesar 77% dibandingkan dengan tahun 2004 yang hanya sebesar 7% dan tahun 2005 sebesar 9%.

Untuk lebih jelasnya, komposisi PAD dan PD beserta dengan APBD Provinsi di Kalimantan dalam beberapa tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel. 4.1 dibawah ini.

Tabel. 4.1Perbandingan Tingkat Kontribusi PAD dan DP terhadap APBD

Pemerintah Provinsi di Kalimantan (2003 - 2006)(Dalam Juta Rupiah)

TAHUN KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN SELATAN

ABPD PAD

DP

APBD

PAD

DP

ABPD PAD DP

APBD PAD DP

2003 481,000 90,242 313,338

530,619

198,372

323,943 3,070,491 640,419 1,493,544 562,708 277,679 278,459

2004 521,300 120,071 349,216

620,119

264,678

346,867 3,110,291 726,446 1,560,332 666,064 364,205 301,858

2005 533,689 135,570 372,614 681,625 295,436 378,678 2,847,757 897,516 2,526,722 923,963 530,110 388,055

2006 889,300 215,600 673,700 1,063,076 393,592 669,251 4,255,526 1,113,197 3,393,317 1,179,994 585,031 594,962

Sumber: Dinas Pendapatan Masing-Masing Provinsi (diolah)

51)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Dari hasil analisa data diatas, perlu diperhatikan beberapa hal yang menarik untuk dicermati, bahwa tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi terhadap transfer pembiayaan oleh pemerintah pusat ke daerah dalam bentuk Dana Perimbangan (DP) tidak lain dipengaruhi oleh kebijakan secara nasional terhadap perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang di motori dengan lahirnya UU 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pudat dan daerah. Disamping itu juga, untuk beberapa daerah khususnya Kalimantan Timur, lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat kontribusi dari dana bagi hasil yang cukup signifikan terhadap total komposisi dari dana perimbangan yang ada.

Justru yang menarik untuk dicermati adalah terjadinya pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terjadi secara signifikan pada provinsi-provinsi di Kalimantan. Walaupun terhadap beberapa provinsi menunjukkan angka pertumbuhan yang belum begitu konsisten, namun berdasarkan data yang ada, menunjukkan bahwa sebenarnya provinsi-provinsi di Kalimantan yang sering diidentikkan dengan provinsi yang kaya akan sumber daya alam, sebenarnya juga memiliki sektor-sektor yang cukup potensial untuk dikembangkan dan menjadi andalan sumber pedapat asli daerah. Dengan kata lain, tingkat kemandirian pembiayaan masih memungkinkan untuk terus ditingkatkan.

2. Kondisi Umum Kemampuan Keuangan Beberapa Daerah Kabupaten di Kalimantan

Terhadap 4 (empat) daerah kabupatan di Kalimantan dimana masing-masing mewakili 1 (satu) provinsi yang dipilih menjadi sampel dalam kegiatan penelitian ini secara umum menunjukkan kondisi yang hampir sama. Dimana jika dilihat dari komposisi APBD masing-masing daerah, jelas terlihat bahwa tingkat ketergantungan pemerintah daerah kabupaten terhadap sumber pembiayaan dari pusat dalam hal ini Dana Perimbangan (DP) masing sangat tinggi, bahkan dapat dikatakan bahwa sumber pembiayaan dari pusat menjadi tumpuan utama bagi pembiayaan pembangunan di daerah.

Dari data yang ada menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan yang paling tinggi ditunjukan oleh Kabupaten Ketapang (Provinsi

(52

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Kalimantan Barat) kontribusi DP terhadap total APBD nya yaitu sebesar 95,12%. Sedangkan tingkat kontribusi PAD nya hanya sebesar 2,12% dan sisanya berasal dari sumber-sumber pendapatan lain. Dengan kata lain hampir 100% total APBD nya berasal dari transfer pemerintah pusat.

Kondisi yang hampir sama juga terlihat pada daerah-daerah Kabupaten yang lain, dimana tingkat ketergantungan yang hampir sama dengan Kabupaten Ketapang juga terlihat pada Kabupaten Tabalong. Dalam beberapa tahun terakhir tingkat kontribusi DP terhadap total APBD daerah tersebut menunjukkan angka sebesar 93,46% sedangkan PAD hanya 6.20% dan sisanya berasal dari sumber pendapatan lain.

Terhadap beberapa daerah Kabupaten tersebut jika ingin dijadikan indikantor tingkat ketergantungan terhadap pembiayaan dari pemerintah pusat dengan memperhatikan tingkat kontribusi DP terhadap total APBD dibandingkan dengan besaran kontribusi PAD sebenarnya terlihat pada komposisi APBD Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Ketapang, dimana walaupun tingkat kontribusi DP di Kutai Timur sebesar 63,04%, namun jika diperhatikan tingkat kontribusi PAD yang menggambarkan kemandirian daerah hanya sebesar 1,96%, sisanya bersumber dari pendapatan lainnya yang sah, diantaranya berasal dari bantuan pembiayaan Pemerintah Provinsi. Begitu juga halnya dengan Kabupaten Ketapang, rata-rata tingkat kontribusi PAD nya juga sangat kecil untuk menggambarkan tingkat kemandirian daerah, yaitu hanya 2,12% terhadap total APBD.

Untuk lebih lengkap, tentang tingkat kontribusi PD dan PAD terhadap APBD beberapa pemerintah kabupaten di Kalimantan dapat dilihat pada Gambar 4.2 dibawah ini.

53)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

-

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

900,000

1,000,000

Ju

ta R

up

iah

KO

TA

WA

RIN

GIN

BA

RA

T

KE

TA

PA

NG

KU

TA

I TIM

UR

TA

BA

LO

NG

Kabupaten

Rasio PAD dan DP Terhadap APBD di Beberapa Kabupaten di Kalimantan (rata-rata 4 tahun terakhir)

ABPB PAD DP

Dengan memperhatikan kondisi tersebut diatas, jelas terlihat bahwa tingkat kemandirian daerah kabupaten di Kalimantan masih sangat rendah, atau dengan kata lain, tingkat ketergantungan terhadap transfer pembiayaan dari pemerintah pusat masih sangat tinggi.

Terhadap perkembangan tingkat kontribusi PAD dan DP terhadap APBD dibeberapa daerah kabupaten di 4 (empat) provinsi di Kalimantan da;am beberapa tahun terakhir dapat dilihat lebih lengkap pada Tabel 4.2 di bawah ini.

Gambar 4.2Rasio PD dan PAD Terhadap APBD Beberapa Kabupaten di Kalimantan

(Tahun 2003 - 2006)

Tabel. 4.2Perbandingan Tingkat Kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan

Dana Perimbangan (DP) terhadap APBD Beberapa Kabupaten di Kalimantan (2003 - 2006)

TAHUN

KOTAWARINGIN BARAT KETAPANG KUTAI TIMUR TABALONG

ABPD PAD

DP

APBD

PAD

DP

ABPD

PAD

DP APBD PAD DP

2003

157,868 15,099

135,562

na

na

na

828,390

6,296

386,711 174,983 11,173 161,399

2004

177,014 15,685

156,464

360,324

9,427

332,344

614,417

28,302

413,115 177,584 11,356 166,227

2005 229,560 23,156 192,898 614,961 12,277 593,023 929,032 12,352 426,177 213,818 14,001 199,817

2006 382,670 30,065 341,201 697,199 12,195 674,121 1,236,425 14,227 1,142,065 328,595 17,923 310,671

*na= data tidak tersedia

(54

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

B. Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Kota Waringin Barat

1. Provinsi Kalimantan Tengaha) Gambaran Umum Daerah

2Provinsi Kalimantan Tengah yang memiliki luas 153.564 km , merupakan provinsi terluas ketiga secara nasional setelah Provinsi Papua dan Provinsi Kalimantan Timur. Provinsi ini secara astronomis terletak pada

O O O O Oposisi 111 - 115 BT dan 0 45 LU - 3 30' LS, sedangkan secara administratif memiliki batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah utara : Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan BaratSebelah timur : Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan SelatanSebelah selatan : Laut JawaSebelah barat : Provinsi Kalimantan Barat

Kondisi fisiografi wilayah Provinsi Kalimantan Tengah terdiri atas daerah pantai dan rawa di wilayah bagian selatan sepanjang 750 km pantai laut jawa, yang membentang dari timur ke barat, dengan ketinggian antara 0 - 50m di atas permukaan laut dan tingkat kemiringan antara 0% - 8%.

Jumlah penduduk Kalimantan Tengah tahun 2005 sekitar 1.958.428 orang, terdiri atas 48,63% perempuan dan 51,37% laki-laki (Tabel 4.1). Berdasarkan luas wilayah dibanding dengan jumlah penduduk maka dapat dikatakan kepadatan penduduk provinsi ini tergolong jarang,

2hanya sekitar 12 jiwa/km (angka rata-rata tingkat kepadatan penduduk

2secara nasional adalah 115 jiwa per km ). Bila diamati menurut Kabupaten/ Kota, ter dapat perbedaan kepadatan penduduk yang cukup berarti, dimana Kota Palangkaraya sebagai ibukota provinsi merupakan kota

2dengan kepadatan paling tinggi yaitu 75.94 jiwa/km , sedangkan Kabupaten Gunung Mas merupakan Kabupaten dengan kepadatan paling

2rendah yaitu hanya 0.77 jiwa/km .

Keadaan penduduk dilihat pada sektor pendidikan menunjukkan bahwa penduduk Provinsi Kalteng berada pada tingkat kemampuan baca-tulis penduduk yang relatif membaik. Secara nasional pada tahun 2004

55)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

sekitar 8,53% dari total penduduk Indonesia masih buta-huruf sedangkan untuk Kalimantan Tengah sekitar 3,30%.

Dari keseluruhan penduduk Kalimantan Tengah di atas, sebagian besar (79,18%) merupakan kelompok penduduk berumur 10 tahun keatas yang merupakan penduduk usia produktif secara ekonomis. Dari kelompok penduduk usia produktif ini, menurut komposisi angkatan kerja didominasi oleh penduduk yang berumur 30-34 tahun, dimana sebagian besar (59,61%) merupakan penduduk bekerja di sektor pertanian, sedangkan sektor terkecil penyerapannya adalah sektor keuangan (1%). Berdasarkan kegiatan yang dilakukan penduduk berumur 15 tahun ke atas, komposisi Angkatan Kerja (AK) dan Bukan Angkatan Kerja (BAK) adalah 70,00% dan 39,00% (angka komposisi ini berada di atas angka nasional).

Untul lebih lengkap gambaran keadaan kependudukan Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Kabupaten/Kota dapat dilihat pada Tabel 4.3 dibawah ini.

Tabel 4.3 Gambaran Keadaan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Kalteng

Kabupaten/Kota RumahTangga

Penduduk

Laki-laki Perempuan JumlahSex Ratio

(1)

(2)

(3)

(4)

(5) (6)

1.

Kotawaringin Barat

2.

Kotawaringin Timur

3.

Kapuas

4.

Barito S elatan

5. Barito Utara

6. Sukamara 7.

Lamandau

8.

Seruyan

9.

Katingan

10.

Pulang Pisau

11.

Gunung Mas

12.

Barito Timur

13.

Murung Raya

14.

Palangka Raya

52.434

74.913

85.160

31.678

25.508

8.951 14.757

26.332

32.519

29.135

18.779

20.554

20.147

42.349

104.926

160.245

170.771

61.818

57.396

17.301 27.996

56.395

68.049

59.637

42.736

42.506

45.851

90.359

97.145

144.822

169.465

59.191

53.938

16.252

26.976

49.675

62.108

57.783

39.197

41.357

41.641

92.892

202.071

305.067

340.236

121.009

111.334

33.553

54.972

106.070

130.157

117.420

81.933

83.683

87.492

183.251

108

111

101

104

106

106

104

114

110

103

109

103

110

97

Jumlah/Total 2005

2004

2003

2002

2001

483.214

454.521

436.628

454.977

460.365

1.005.98

6

982.507

964.855

939.365

925.275

952.442

931.281

905.852

895.000

876.432

1.958.428

1.913.788

1.870.707

1.834.365

1.801.107

106

106

107

105

106

(56

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Dari sisi kualitas SDM pekerja, maka hampir 76% penduduk yang bekerja di berbagai sektor memiliki tingkat pendidikan dasar (tidak/belum tamat SD/sederajat hingga tamat SLTP/sederajat). Sedangkan angka pencari kerja yang terdaftar masih belum diimbangi oleh kesempatan kerja yang tersedia. Rata-rata setiap tahunnya tidak lebih dari 18% dari seluruh jumlah pencari kerja terdaftar yang mendapat pekerjaan, sisanya lebih dari 82% belum mendapat kesempatan kerja. Kondisi belum meratanya kesempatan kerja tersebut membawa dampak yang tidak mendukung terhadap kesejahteraan sosial kependudukan.

b) Perekonomian DaerahKeadaan PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 2005

mencapai Rp.21.017,50 milyar, angka ini meningkat 15,07% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan nilai PDRB atas dasar harga konstan 2000, terjadi kenaikan 5,90% dari tahun sebelumnya yaitu Rp.13.182,8 milyar.

Struktur perekonomian Provinsi Kalteng didominasi oleh sektor pertanian yang memberi sumbangan terbesar dalam pembentukan PDRB, yaitu 40,84% (pada tahun 2004, Provinsi Kalteng lebih dari 56% penduduknya bekerja di sektor pertanian, sedangkan Provinsi Kalbar, Kalsel, dan Kaltim yaitu masing-masing sekitar 60%, 48% dan 31%). Kemudian disusul secara berturut-turut oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel 20,09%, sektor jasa 12,12%, sektor industri pengolahan 9,30%, dan sektor pengangkutan dan komunikasi 8,33%.

Pendapatan regional perkapita Provinsi Kalteng atas dasar harga berlaku sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 selalu mengalami kenaikan. Selama kurun waktu tersebut hanya pada tahun 2003 yang mengalami kenaikan paling rendah, yaitu sebesar 8,44%. Pendapatan regional perkapita pada tahun 2005 mengalami kenaikan 13,19% yaitu dari Rp.7,2 juta (tahun 2004) menjadi Rp.8,2 juta (tahun 2005). Demikian pula dengan pendapatan regional perkapita atas dasar harga konstan 2000 pertumbuhan selalu mengalami peningkatan dari tahun 2001 hingga tahun 2005. Tahun 2001 pendapatan regional perkapita meningkat 0,66% sedangkan pada tahun 2005 terjadi peningkatan sebesar 2,58%.

57)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Provinsi Kalteng telah menetapkan beberapa sektor basis atau unggulan dalam upayanya untuk mempercepat gerak perekonomian daerah. Atas dasar hasil tiga metode analisis (analisis shift-share untuk menganalisis dan mengetahui pergeseran dan peranan perekonomian daerah, yang menekankan pada pertumbuhan sektor di Provinsi Kalimantan Tengah dengan sektor yang sama pada tingkat nasional; analisis Klassen Typology untuk mengklasifikasikan masing-masing sektor ekonomi daerah ke dalam klasifikasi sektor yang prima, berkembang, potensial atau terbelakang; dan metode LQ untuk mengetahui beberapa sektor yang bisa dijadikan sebagai sektor ekonomi basis atau potensial bagi Provinsi Kalimantan Tengah), maka dapat disimpulkan bahwa sektor-sektor yang dapat dijadikan sebagai sektor basis atau sektor unggulan daerah adalah: (1) Sektor Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan;(2) Sektor Perdagangan, Restoran dan Hotel; (3) Sektor Jasa; dan (4) Sektor Industri Pengolahan.

Oleh karena itu, basis pengembangan ekonomi daerah akan didasarkan atas pengembangan sektor-sektor basis tersebut. Diharapkan pengembangan sektor basis tersebut akan berdampak positif terhadap sektor-sektor turunan yang terkait langsung.

Taraf kehidupan masyarakat di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang dicerminkan salah satunya dari angka indeks pembangunan manusia (IPM) telah menunjukkan peningkatan. Secara umum, tingkat pembangunan manusia di Kalimantan Tengah berada di atas rata-rata nasional, baik pada tahun 1996, 1999 maupun tahun 2002 yang ditunjukkan dengan tebih tingginya angka IPM Provinsi Kalimantan Tengah dibandingkan dengan rata-rata IPM seluruh provinsi di Indonesia.

Di tahun 1996, angka IPM Provinsi Kalimantan Tengah adalah 71,3 sedangkan IPM Indonesia adalah sebesar 67,7. Di tahun 1999, angka IPM Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 66,7, lebih rendah dari kondisi di tahun 1996, tetapi masih lebih tinggi dari IPM Indonesia, yang di tahun 1999 sebesar 64,3. Selanjutnya di tahun 2002, angka IPM Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 69,1 yang tetap lebih tinggi dari angka IPM Indonesia yang sebesar 65,8.

(58

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Selanjutnya, Indeks kemiskinan manusia (Human Poverty Index) yang merupakan cerminan dari kinerja pembangunan SDM di Provinsi Kalteng menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 hingga tahun 2002 kondisi kemiskinan manusia di provinsi ini cenderung tetap pada kisaran angka 29,0 dan 33,1. Namun angka HPI Provinsi Kalimantan Tengah lebih rendah dari rerata nasional, yang berarti bahwa kemiskinan manusia di Kalimantan Tengah masih tinggi. Bila dibandingkan dengan kondisi provinsi lain yang ada di pulau Kalimantan menunjukkan bahwa kondisi kemiskinan manusia di Provinsi Kalteng menempati urutan terjelek ketiga setelah Provinsi Kaltim dan Kalsel. Namun demikian, angka indeks kemiskinan manusia di Provinsi Kalbar masih lebih tinggi dari pada angka Provinsi Kalteng, yang berarti kondisi kemiskinan manusia di Provinsi Kalbar masih lebih jelek dari pada kondisi kemiskinan di Provinsi Kalteng.

Dari sisi jumlah penduduk miskin di Provinsi Kalteng selama kurun waktu tahun 2002 - 2004 mengalami perubahan yang berfluktuatif. Jumlah penduduk miskin tersebut pada tahun 2002 adalah 662.747 jiwa (36,14% dari total penduduk Provinsi Kalteng), kemudian pada tahun 2003 mengalami penurunan menjadi 520.992 jiwa (27,85%). Namun pada tahun 2004, angka tersebut mengalami kenaikan menjadi 671,498 jiwa (34,98%). Kenaikan jumlah penduduk miskin di Provinsi ini bisa disebabkan oleh penurunan aktivitas ekonomi di sub sektor kehutanan yang merupakan sektor unggulan di Provinsi Kalteng.

c) Keadaan Umum Sektor KesehatanJumlah prasarana kesehatan utama yang keberadaaannya sangat

berpengaruh terhadap jangkauan pelayanan kesehatan di 14 wilayah kabupaten/kota Provinsi Kalteng meliputi: rumah sakit sebanyak 10 unit, puskesmas 136 unit, puskesmas pembantu sebanyak 712 unit dan sebanyak 15 unit rumah bersalin. Sedangkan jumlah sumberdaya manusia yang bekerja pada berbagai bidang kesehatan meliputi: 3.820 orang dengan rincian profesi terdiri dari: 51 dokter spesialis, 260 dokter umum, 54 orang dokter gigi, 1.125 orang bidan, 1.874 perawat, 146 orang apoteker dan sebanyak 310 orang tenaga teknis.

59)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Keberadaan sejumlah sarana dan sumberdaya manusia kesehatan di Provinsi Kalimantan Tengah tersebut senyatanya belum mampu memenuhi substansi pelayanan kesehatan yang berkualitas. Hal ini dicerminkan oleh tingginya rasio prasarana dan sumber daya manusia tersebut dibandingkan dengan jumlah penduduk yang harus dilayani. Pada tahun 2003, perbandingan dokter terhadap jumlah penduduk adalah 1 orang dokter melayani sebanyak: 8.543 jiwa penduduk, kemudian perbandingan rumah sakit terhadap jumlah penduduk adalah 1 unit rumah sakit melayani sebanyak 180.071 jiwa penduduk dan rasio puskesmas terhadap jumtah penduduk adalah 1 unit puskesmas dan puskesmas pembantu melayani sebanyak 1.934 jiwa penduduk.

d) Keadaan Umum Sektor PendidikanSecara umum, kondisi sarana dan prasarana serta SDM bidang

pendidikan di Provinsi Kalteng telah memadai. Keadaan ini dapat dilihat dari rendahnya rasio antara guru dan murid pada berbagai tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pada tingkat pendidikan dasar terdapat sebanyak 2.844 unit SD negeri dan swata dengan jumlah murid sebanyak 242.375 orang dan guru sebanyak 19.059 orang, sedangkan rasio antara guru dan murid adalah 1 : 13. Pada tingkat pendidikan SMP, terdapat sebanyak 436 unit SMP negeri dan swasta dengan jumlah murid sebanyak 64.062 orang dan guru sebanyak 5.497 orang, sedangkan rasio antara guru dan murid adalah 1 : 12. Selanjutnya pada tingkatan pendidikan menengah atas terdapat sebanyak 139 unit SMU negeri dan swasta dengan jumlah murid sebanyak 28.307 orang dan guru sebanyak 2.762 orang, sedangkan rasio antara guru dan murid adalah 1 : 10. Disamping itu, terdapat sebanyak 37 unit SMU kejuruan dengan jumlah murid sebanyak 9.711 orang, sehingga rasio antara murid dan guru mencapai 1 : 8.

e) Potensi Sumberdaya Unggulan Provinsi Kalimantan Tengah Potensi sumberdaya alam yang digali untuk pengembangan

perekonomian masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah cukup beragam. Namun dari keseluruhan sektor yang ada, hanya sektor perikanan, perkebunan, kehutanan dan pertambangan yang paling banyak

(60

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

mendatangkan devisa dan mimiliki prospek cerah bagi pembangunan daerah ini ke depan. Berikut keadaan ringkas potensi sumberdaya alam tersebut menurut data Profil Provinsi Kalimantan Tengah (2006) :

i. Sektor Perikanan dan KelautanKalimantan Tengah dengan puluhan sungai besar dan panjang

garis pantai 750 km, serta perairan umum seluas 2,29 juta ha dan lahan pertambakan seluas 84.400 ha serta dataran rendah 293.296 ha dan

2daerah pesisir seluas 22.913 km . memiliki potensi yang besar dalam bidang perikanan dan kelautan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Total produksi perikanan tahun 2003 hasil tangkap perikanan laut sebesar 56.758 ton, perairan umum/sungai 34.884 ton, tambak.payau 1.424 ton, tambak 621 ton dan budidaya dengan sistem karamba 1.830 ton. Sedangkan penangkapan di perairan umum dengan potensi lestari 130.000 t/tahun pada tahun 2004 realisasinya sebesar 33% dan penangkapan di perairan laut dengan Potensi lestari 126.000 t/tahun pada tahun 2004 hanya dapat direalisasi sebesar 45%. Potensi perikanan air payau hingga tahun 2004 baru teralisasi 2.488 ha.

ii. Sektor PerkebunanUntuk sektor perkebunan, luas area tanaman perkebunan

besar negara, perkebunan swasta dan perkebunan rakyat tahun 2004 mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun sebelumnya. Luas areal perkebunan tahun 2003 sebesar 782.125,8 ha menjadi 808.093,85 ha pada tahun 2004 atau naik 3,32 % dan tahun 2005 mencapai 912.759 ha. Tingkat produksi perkebunan adalah 1.939.185,56 ton pada tahun 2003 menjadi 1.967.750,59 ton pada tahun 2004 atau naik 1,47%, dimana produksi didominasi oleh komoditi kelapa sawit, karet dan kelapa sebesar 2.369.021 ton dalam tahun 2005. Produktivitas tanaman perkebunan sebesar 52,5% dari produktivitas potensial tahun 2003 meningkat menjadi 57% tahun 2004 atau naik 8,57%. Angka ini terus meningkat hingga tahun 2005 mencapai 70% dari produktivitas potensial tahun 2004. Kontribusi perkebunan terhadap PDRB Kalimantan Tengah tahun 2002 dari sebesar 19,33 % menjadi

61)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

22,44 % pada tahun 2003 atau naik 16,08 % sedangkan pada tahun 2004 mengalami kenaikan hingga lebih dari 25 %. Pada tahun 2005 konstribusi perkebunan terhadap PDRB Kalimantan Tengah sebesar 27,22 %.

iii. Sektor PeternakanUsaha peternakan (sapi, kerbau, kambing/domba, dan unggas)

masih belum banyak dilakukan dalam skala besar namun pada umumnya masih bersifat usaha kecil atau rumah tangga, meskipun luas areal lahan rumput yang potensial untuk pengembangan peternakan tersedia luas. Beberapa komoditas ternak besar yang mengalami pertumbuhan populasi cukup signifikan adalah sapi potong, kerbau, kambing, domba dan babi. Berdasarkan pertumbuhan populasi peternakan di kawasan andalan Sampit-Pangkalan Bun, beberapa komoditi peternakan yang layak untuk dikembangkan lebih lanjut antara lain sapi potong, babi, kambing, dan domba.

iv. Sektor KehutananProduksi kayu Provinsi Kalimantan Tengah dari tahun 2000

sampai 2003 secara umum mengalami penurunan, dan baru pada tahun 2004 kembali mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena adanya kebijakan pemerintah untuk memberlakukan soft landing

3dalam pengelolaan hutan alam. Sedangkan realisasi produksi kayu (m ) dari tahun 2000 - 2004 terus mengalami penurunan, sedangkan prosentase realisasi terhadap target produksi berfluktuasi dari tahun ke tahun, dimana prosentase tertinggi terjadi pada tahun 2002 dan terendah pada tahun 2004. Perdagangan log / kayu bulat ke luar negeri dari Propinsi Kalimantan Tengah hanya dilakukan pada 2000, sedangkan untuk tahun 2001-2004 tidak ada. Sedangkan trend untuk perdagangan kayu bulat dalam negeri, setelah mengalami penurunan dari tahun 2000 - 2002, maka tahun 2003 - 2004 kembali mengalami peningkatan. Ada komoditas sektor kehutanan yang juga menjadi andalan daerah, yaitu rotan. Kalimantan Tengah merupakan produsen terbesar rotan di Indonesia dan juga lapangan usaha sebagian besar

(62

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

masyarakat sehingga perlu mendapat perhatian, mengingat komoditi ini merupakan penghasil Devisa Negara.

v. Sektor PertambanganPropinsi Kalimantan Tengah memiliki sumberdaya mineral

cukup besar dan beragam. Bahan galian potensial yang banyak diminati para investor dan sudah diusahakan hingga saat ini adalah; Batubara, Emas, Perak, Zircon, Bijih Besi dan berbagai bahan galian industri (Golongan C). Bahan galian Batubara tersebar terutama di Kabupaten Murung Raya, Barito Utara, Barito Selatan, Barito Timur, Kapuas, Gunung Mas dan Katingan. Bahan galian Emas dan Perak tersebar hampir merata di seluruh Kabupaten. Sedangkan Zircon dan Bijih Besi tersebar di Kabupaten Lamandau, Seruyan, Kotawaringin Timur, Katingan, Gunung Mas dan Kota Palangkaraya. Potensi Batubara Kalimantan Tengah umumnya terdapat di daerah terpencil dimana prasarana transportasi yang tersedia hanya sungai yang kondisinya dapat dilayari oleh tongkang angkutan batubara terbatas pada bulan-bulan tertentu saja sehingga ongkos pengangkutan menjadi sangat mahal. Cadangan Batubara dan kondisi Pertambangan Emas di Kalimantan Tengah sampai dengan tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 4.4

Tabel 4.4.Cadangan Tambang Provinsi KalimantanTengah

Cadangan Batubara

Prediksi (ton)

Sumberdaya Tereka

1.050.749.643

Sumberdaya Terunjuk

774.660.937

Sumberdaya Terukur

407.801.954

Cadangan Terbukti

40.000.000

Cadangan Emas

Keadaan

Potensi/Deposit 3,641 jt ton

Ijin yang dikeluarkan 9 Buah

Ada Kegiatan 1 Buah

Permohonan Terminasi 2 Buah

Suspensi 6 Buah Sumber: Bappeda Prov Kalteng 2006

63)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Keunggulan komparatif yang dimiliki Kalimantan Tengah membuat banyak investor asing datang berbisnis. Pada saat ini lebih kurang 103 perusahaan terlibat dalam kegiatan usaha pertambangan umum di Kalimantan Tengah.

f) Review APBD Provinsi Kalimantan TengahPerkembangan nilai APBD Provinsi Kalimantan Tengah dalam lima,

bahkan tujuh tahun terakhir selalu menunjukkan peningkatan jumlah nominal. Dalam kurun waktu tujuh tahun tersebut telah terjadi peningkatan jumlah anggaran hampir 400 persen (Tabel 4.5). Tahun Anggaran 2006, realisasi anggaran pendapatan dalam perhitungan APBD Provinsi Kalimantan Tengah tercatat 889,3 Milyar lebih atau berlebih sebesar Rp. 63,1 Milyar dari plafond perubahan APBD Tahun Anggaran 2006 yang ditetapkan sebesar Rp.826,2 milyar lebih.

Tabel 4.5APBD Provinsi Kalimantan Tengah

Tahun Anggaran

APBD (Rp.)

2000

236.487.102.000

2001 381.200.000.000

2002 351.800.000.000

2003 481.000.000.000

2004 521.300.000.000

2005 533.689.000.000

2006*) 889.300.000.000

Sumber: Bappeda, Prov. Kalteng 2006 *) LKPJ Gubernur Kalteng TA. 2006

Bila ditilik lebih dalam terhadap struktur APBD di atas, maka komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan salah satu indikator kinerja ke arah kemandirian daerah masih belum menjadi bagian komponen yang dapat diandalkan hingga saat ini. Perkembangan realisasi PAD dalam tujuh tahun terakhir memang selalu menunjukkan angka nominal yang meningkat. Sebagai contoh dalam kurun waktu tujuh tahun

(64

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

tersebut telah terjadi peningkatan jumlah PAD hampir 900 persen (Tabel 4.1.4), keadaan ini merupakan suatu lompatan perkembangan yang cukup pesat. Dalam TA 2006 lalu telah terealisasi sebesar Rp.215,6 Milyar lebih atau 114,13% dari target yang ditetapkan sebesar Rp.188,9 Milyar lebih. Namun proporsi nilai PAD tersebut secara keseluruhan masih di bawah 25% dari total nilai APBD dan angka ini dapat dimaknai bahwa Provinsi Kalimantan Tengah selama ini dan untuk tahun-tahun ke depan masih sangat tergantung pembiayaan pembangunannya dari pusat.

Tabel 4.6PAD Provinsi Kalimantan Tengah

Tahun Anggaran

Realisasi (Rp)

2000

24.992.623.720

2001

34.224.757.078

2002

69.062.300.642

2003

90.242.012.967

2004 120.070.657.269

2005 135.570.000.000

2006*) 215.600.000.000

Sumber: Bappeda, Prov. Kalteng 2006 *) LKPJ Gubernur Kalteng TA. 2006

Untuk Tahun Anggaran 2006, Pendapatan Asli Daerah Provinsi Kalimantan Tengah diperoleh melalui penerimaan-penerimaan sebagai berikut : i. Pajak Daerah

Penerimaan berjumlah sebesar Rp.177,7 Milyar lebih dari target yang telah ditetapkan sebesar Rp.159,3 milyar lebih, terlampauinya target tersebut mencapai Rp.18,4 milyar lebih atau 111,61% dari target semula sehingga pada APBD Tahun Anggaran 2006 kontribusi penerimaan Pajak Daerah terhadap PAD mencapai 97,83%;

Adapun komposisi pendapatan dari sektor Pajak Daerah tersebut terdiri dari :lPajak Kendaraan Bermotor (PKB)

Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) sampai dengan akhir Tahun Anggaran 2006 realisasinya melampaui target yang

65)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

ditetapkan yaitu sebesar Rp.43 Milyar lebih atau 105,94% dari targetnya sebesar Rp.42,5 Milyar lebih. Apabila dibandingkan dengan realisasi penerimaan tahun anggaran sebelumnya terjadi kenaikan sebesar Rp.522,4 milyar lebih sebesar 3,11% pada tahun 2006.

lPajak Kendaraan di atas AirPenerimaan Pajak Kendaraan di atas Air sampai dengan akhir Tahun Anggaran 2006 realisasinya mencapai sebesar Rp.3.268.850,00 atau 65,38% dari target yang ditetapkan sebesar Rp.5.000.000,00 sehingga pada perhitungan APBD Tahun Anggaran 2006, realisasi penerimaan dari pajak ini berkurang sebesar Rp.1.731.150,- atau 34,62% disebabkan adanya kecenderungan perubahan angkutan sungai diganti dengan angkutan darat sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur di daerah.

lBea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB)Realisasi Penerimaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) sampai dengan akhir Tahun Anggaran 2006 mencapai sebesar Rp.61,3 Milyar lebih atau 105,54% dari target yang ditetapkan Rp.58,1 Milyar lebih sehingga pada Perhitungan APBD Tahun Anggaran 2006 ini, realisasi penerimaan BBN-KB berhasil melampaui target yang ditetapkan sebesar Rp.3,2 milyar lebih atau 5,53%. Bila dibandingkan dengan realisasi penerimaan Pajak Daerah secara keseluruhan sebesar Rp.177,7 milyar lebih maka kontribusi BBN-KB terhadap Pajak Daerah jumlahnya cukup signifikan yaitu mencapai 1,80%.

lBea Balik Nama Kendaraan di atas AirRealisasi penerimaan sampai akhir Tahun Anggaran 2006 mencapai sebesar Rp.8,1 Juta lebih atau 163,46% dari target yang ditetapkan Rp.5 juta sehingga pada Perhitungan APBD Tahun Anggaran 2006 ini realisasi penerimaan pajak ini berhasil melampaui target sebesar Rp.3,1 Juta lebih atau 63,46%. Apabila dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak Daerah secara keseluruhan, maka kontribusi Bea Balik Nama Kendaraan di atas Air terhadap pajak Daerah mencapai 0,04%.

(66

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

lPajak Bahan Bakar kendaraan Bermotor (PBB-KB)Realisasi penerimaan PBB-KB sampai dengan akhir Tahun Anggaran 2006 mencapai sebesar Rp.72,3 Milyar lebih atau 123,95% dari target yang ditetapkan Rp.58,3 Milyar lebih sehingga pada perhitungan APBD Tahun Anggaran 2006 ini realisasi penerimaan Pajak ini berhasil melampaui target sebesar Rp.13,9 milyar lebih atau sebesar 23,95%. Bila dibandingkan dengan realisasi penerimaan Pajak Daerah secara keseluruhan, maka kontribusi PBB-KB terhadap Pajak Daerah mencapai 7,86%.

l Pajak Pengambilan dan pemanfaatan Air di Bawah Tanah (PP ABT)Realisasi pendapatan Pajak pengambilan dan pemanfaatan air dibawah tanah sampai dengan akhir Tahun Anggaran 2006 mencapai sebesar Rp.30,2 Juta lebih atau hanya mencapai 30,60% dari target yang ditetapkan Rp.125 Juta sehingga pada perhitungan APBD Tahun Anggaran 2006 realisasi penerimaan dari pajak ini mengalami penurunan sebesar Rp.94,7 Juta lebih atau sebesar 75,79% dari target yang ditetapkan. Bila dibandingkan dengan realisasi pendapatan Pajak Daerah secara keseluruhan yang jumlahnya mencapai Rp.177,7 Juta lebih maka kontribusi Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air dibawah Tanah hanya sebesar 0,05%. Tidak tercapainya target PP ABT disebabkan antara lain karena tingkat kesadaran dari Wajib Pajak yang masih rendah, serta lemahnya dan terbatasnya aparat pemungut yang ada di lapangan.

l Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan (P3 AP)Realisasi pendapatan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan sampai dengan akhir Tahun Anggaran 2006 mencapai sebesar Rp.196,5 Juta lebih atau sebesar 131,05% dari target yang ditetapkan sebesar Rp.150 Juta, dengan demikian pada perhitungan APBD Tahun Anggaran 2006 penerimaan Pajak ini berhasil melampaui target sebesar Rp.46 Juta lebih atau 31,05%. Bila dibandingkan dengan realisasi pendapatan Pajak Daerah secara keseluruhan, maka kontribusi P3 AP terhadap Pajak Daerah mencapai 0,02%.

67)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

ii. Retribusi DaerahRetribusi Daerah merupakan salah satu sumber Pendapatan

Daerah, dipungut atas jasa pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat untuk kepentingan pribadi atau badan baik bersifat pelayanan jasa umum, pelayanan jasa usaha dan perizinan tertentu. Retribusi Daerah dipungut dari masyarakat sebagai pembayaran atas pelayanan dengan pengupayakan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Realisasi penerimaan Retribusi sampai dengan akhir Tahun Anggaran 2006 mencapai sebesar Rp.17,5 Milyar atau sebesar 138,55% dari target yang ditetapkan sebesar Rp.12,6 Milyar lebih sehingga pada Perhitungan APBD Tahun Anggaran 2006 ini realisasi penerimaannya berhasil melampaui target yang ditetapkan sebesar Rp.4,8 milyar lebih atau sebesar 38,55%. Bila dibandingkan dengan realisasi penerimaan PAD secara keseluruhan sebesar Rp.215,6 Milyar lebih maka kontribusi pendapatan Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah hanya mencapai 8,14%.

iii. Dana PerimbanganDana Perimbangan terealisasi sebesar Rp.673,7 Milyar lebih

atau 105,72% dari target yang ditetapkan sebesar Rp.637,2 Milyar lebih sedangkan penerimaan daerah dan pendapatan daerah yang sah realisasinya tidak ada atau nihil. Apabila realisasi pendapatan Dana Perimbangan ini dibandingkan dengan realisasi Pendapatan Daerah yang jumlahnya mencapai Rp.215,6 Milyar lebih maka kontribusi Dana Perimbangan terhadap Pendapatan Daerah mencapai 75,75%.

Adapun realisasi pendapatan Dana Perimbangan tersebut bersumber dari :a) Bagi Hasil Pajak realisasinya mencapai sebesar Rp.88,6 Milyar lebih

atau 138,51% dari target.b) Bagi Hasil Bukan Pajak realisasinya mencapai sebesar Rp.33 Milyar

lebih atau 155,59% dari target.c) Dana Alokasi Umum realisasinya mencapai Rp.552 Milyar lebih atau

100% dari target.

(68

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Sedangkan perkembangan Dana Perimbangan yang berasal dari Bagi Hasil Bukan Pajak dalam lima tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut:

Sumber: Biro Keuangan Setprov Kalteng, 2007

Jenis SDA

Besaran DBH non-Pajak (pembulatan dalam juta rupiah/tahun)

2002

2003

2004

2005

2006

IHPH

5,875

-

-

-

963

PSDH

18,485

17,371

21,493

21,203 26,404

Land rent

555

4

466

670,576 1,212

Royalti 2,612 305 - - 4,481

Jumlah 27,529 17,680 21,960 21,873 32,098

Tabel 4.7Realisasi Anggaran Dana Perimbangan Bagi Hasil (DBH) Non Pajak

Provinsi Kalimantan Tengah 2002 2006

Dari tabel 4.5 di atas dapat dilihat adanya kecenderungan peningkatan jumlah nominal alokasi DBH non-pajak untuk Provinsi Kalimantan Tengah dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Secara keseluruhan kontribusi dari eksploitasi sumberdaya alam jenis PSDH memberikan jumlah yang paling besar, sedang yang lainnya jauh lebih kecil dimana nilai masing-masing diikuti oleh DBH non-pajak dari jenis Royalti, Landrent, dan IHPH.

g) Realisasi Anggaran Sektor Pembangunan Publik di Provinsi Kalimantan Tengah

Alokasi DBH non-pajak yang jumlahnya cukup besar tersebut perlu dilihat efektifitas pembelanjaannya melalui seberapa besar realisasinya di lapangan. Hal ini dinilai penting sebab realisasi penggunaan anggaran dan capaian fisik kegiatan dari sumber dana tersebut mencerminkan seberapa besar output kegiatan telah direalisasikan untuk pembangunan bagi kepentingan publik. Namun keadaan di lokasi kajian belum memungkinkan memperoleh data secara rinci tentang tingkat distribusi dan realisasi pembiayaannya masing-masing sektor, khusus dari DBH non pajak. Oleh karena itu, sebagai ilustrasi untuk melihat nilai besaran distribusi pembiayaan tiga sektor publik, pada tabel 4.8 berikut diberikan total

69)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

alokasi APBD tanpa memperhatikan sumber pendanaannya untuk data tahun 2006 saja:

Sumber: Diknas, Dinkes, Dis.PU Prov. Kalteng, 2006, dan LKPJ Gub. Kalteng 2006.

Tahun

Sektor Pembangunan Jumlah APBD

(Rp.juta)

Jumlah

DBH non pajak

(Rp.juta)

Pendidikan Kesehatan Infrastruktur

Alokasi

Realisasi

57.000

55.800

74.500

69.100

279.500

276.500889.300 32,098

Tabel 4.8Tingkat Pembiayaan APBD pada Tiga Sektor Pembangunan Provinsi Kalteng 2006

Nilai anggaran dan realisasi untuk tiga sektor atau bidang pembangunan publik, yaitu untuk bidang kesehatan, pendidikan, dan sarana dan prasarana tahun 2006 dapat diuraikan sebagai berikut :i. Bidang Kesehatan

Alokasi distribusi anggaran untuk sektor kesehatan ini yang bersumber dari DBH non pajak dari tahun ke tahun memperlihatkan kecenderungan yang meningkat. Peningkatan tersebut dapat dimungkinkan terjadi seiring dengan semakin meningkatnya pula penggalian pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam di daerah. Menurut laporan dalam LKPJ Gubernur Kalteng TA. 2006, pada tahun anggaran 2006 bidang ini mendapat alokasi anggaran secara keseluruhan sebesar Rp.74,5 Milyar lebih sampai dengan akhir tahun anggaran. Anggaran pada bidang ini telah terealisir sebesar Rp.69,1 Milyar lebih atau hampir 93%, dengan demikian pada bidang ini masih terdapat sisa sebesar Rp.5,4 Milyar lebih.

Peningkatan alokasi anggaran setiap tahun untuk bidang kesehatan ini secara nyata di lapangan memang telah diikuti oleh peningkatan pelayanan dan berbagai sarana dan prasarana kesehatan, serta peningkatan kuantitas dan kapasitas sumberdaya manusia kesehatan secara terbatas.

Beberapa prasarana kesehatan utama yang keberadaaannya akan sangat berpengaruh terhadap keluasan cakupan pelayanan yang

(70

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

relatif tersebar secara merata di 14 wilayah kabupaten/kota Provinsi Kalimantan Tengah, masing-masing meliputi; sebanyak 10 unit rumah sakit, sebanyak 136 unit puskesmas, sebanyak 712 unit puskesmas pembantu dan sebanyak 15 unit rumah bersalin. Sedangkan sumberdaya manusia yang bekerja pada berbagai bidang kesehatan di Kalimantan Tengah meliputi sebanyak 3.820 orang dengan rincian profesi terdiri dari; 51 dokter spesialis, 280 dokter umum, 54 orang dokter gigi, 1.125 orang bidan, 2.080 perawat, 159 orang apoteker dan sebanyak 174 orang tenaga teknis.

Namun demikian, keberadaan sejumlah sarana dan sumberdaya manusia kesehatan di Provinsi Kalimantan Tengah tersebut senyatanya belum mampu memenuhi substansi pelayanan kesehatan yang berkualitas. Hal ini dibuktikan dengan tingginya rasio prasarana dan sumber daya manusia tersebut dibandingkan dengan jumlah penduduk yang harus dilayani. Pada tahun 2005, perbandingan dokter terhadap jumlah penduduk adalah 1 orang dokter melayani sebanyak: 8.543 jiwa penduduk, kemudian perbandingan rumah sakit terhadap jumlah penduduk adalah 1 unit rumah sakit melayani sebanyak 187.071 jiwa penduduk dan rasio puskesmas terhadap jumlah penduduk adalah 1 unit puskesmas dan puskesmas pembantu melayani sebanyak 1.934 jiwa penduduk.

ii. Bidang PendidikanUntuk sektor pendidikan, alokasi distribusi anggaran yang

bersumber dari DBH non pajak juga memperlihatkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun. Untuk tahun anggaran 2006, menurut catatan dalam LKPJ Gubernur Kalteng TA. 2006, bidang pendidikan ini mendapat alokasi dari berbagai sumber anggaran sebesar Rp. 57 Milyar lebih sampai dengan akhir tahun anggaran secara keseluruhan, anggaran pada bidang ini telah terealisir sebesar Rp. 55,8 Milyar lebih atau hampir 98%, dengan demikian pada bidang ini masih terdapat sisa sebesar Rp.1,1 Milyar lebih.

Apabila dilihat proporsi sumber anggaran daerah terhadap pusat dalam dua tahun terakhir maka terlihat fenomena menarik

71)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

dimana meskipun daerah hanya memberikan kontribusi sekitar 24% dan 33%nya saja terhadap anggaran pusat namun besarnya kenaikannya jauh lebih tinggi, yaitu sekitar 38% (lihat Tabel 4.9).

SumberTahun Perbandingan

2006

2007

Kenaikan

%

APBD

52.218.107.338

72.236.339.980

20.018.232.642 38,34

APBN 217.602.195.000

218.917.483.000

1.315.288.000

0,60

Jumlah 269.820.302.338 291.153.822.980 21.333.520.642 7,91 Sumber: Diknas Kalteng

Tabel 4.9 Perbandingan Anggaran Diknas Provinsi Kalteng (2006 2007)

Secara umum, keberadaan sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia bidang pendidikan di Provinsi Kalimantan Tengah dapat dikatakan telah cukup memadai, hal ini dapat dilihat dari rendahnya rasio antara guru dan murid pada berbagai tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Pada tingkat pendidikan dasar terdapat sebanyak 2.647 unit SD negeri dan swata dengan jumlah murid sebanyak 292.337 orang dan guru sebanyak 20.026 orang, sedangkan rasio antara guru dan murid adalah 1:15. Pada tingkat pendidikan SMP, terdapat sebanyak 544 unit SMP negeri dan swasta dengan jumlah murid sebanyak 84.059 orang dan guru sebanyak 4.870 orang, sedangkan rasio antara guru dan murid adalah 1:17. Selanjutnya pada tingkatan pendidikan menengah atas, terdapat sebanyak 172 unit SMU negeri dan swasta dengan jumlah murid sebanyak 16.298 orang dan guru sebanyak 4.633 orang, sedangkan rasio antara guru murid adalah 1: 4.

iii. Bidang Sarana dan Prasarana WilayahSektor Sarana dan Prasarana Wilayah memperoleh alokasi

anggaran yang meningkat dalam kurun waktu lima tahun belakangan ini. Untuk tahun anggaran 2006, menurut catatan dalam LKPJ Gubernur Kalteng TA. 2006, bidang ini mendapat alokasi anggaran sebesar Rp.279,5 Milyar lebih sampai dengan akhir tahun anggaran secara

(72

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

keseluruhan, anggaran pada bidang ini telah terealisir sebesar Rp.276,5 Milyar lebih atau hampir 99%. Dengan demikian pada bidang ini masih terdapat sisa sebesar Rp.3 Milyar lebih.

h) Kinerja dan Permasalahan Sektor Pembangunan Publik di Provinsi Kalimantan Tengah

Prioritas Pembangunan Daerah ditetapkan berdasarkan atas Program Pembangunan Daerah Kalimantan Tengah 2006-2010 dan didasari atas pertimbangan kondisi umum daerah serta keterkaitan permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan hal tersebut telah ditetapkan empat prioritas pembangunan daerah, yaitu bidang infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat. Adapun kinerja untuk tiga sektor pembangunan prioritas tersebut yang terkait dengan pelayanan publik, yaitu kesehatan, pendidikan, dan sarana-prasarana dapat diuraikan sebagai berikut: i. Bidang Kesehatan

Kinerja bidang kesehatan secara keseluruhan untuk Tahun Anggaran 2006 dinilai cukup baik. Keadaan ini dicerminkan dari sepuluh program/kegiatan yang dilaksanakan, realisasi dari hampir semua kegiatan berhasil mencapai di atas 50%, bahkan enam kegiatan pencapaiannya di atas 90%, kecuali hanya satu kegiatan yang mencapai 32% (Tabel 4.10).

Tabel 4.10Tingkat Alokasi dan Realisasi Anggaran Sektor Kesehatan Provinsi Kalteng 2006

Program/Kegiatan Alokasi Realisasi Capaian

Obat dan Perbekalan Kesehatan

454.060.000 392.084.000 86,35

Upaya Kesehatan Perorangan 149.125.000

148.292.000

99,44

Pengembangan Obat Asli Indonesia

57.064.500 56.980.000 99,85

Promosi Kes & Pemberdayaan Masy.

57.853.250

57.037.250

98.59

Lingkungan Sehat 59.712.000

57.899.000

96,96

Upaya Kesehatan Masyarakat 58.914.500 54.469.500 92,45

Perbaikan Gizi Masyarakat 208.768.500 124.541.000 59,65

Penelitian & Pengembangan Kesehatan

200.000.000 64.339.950 32,17

Sumber Daya Kesehatan 1.766.732.000 1.347.612.000 76,28

Program Pengawasan Obat & Makanan

300.000.000 299.900.000 99,97

Sumber: LKPJ Prov Kalteng Tahun 2006 (diolah).

73)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Adapun permasalahan yang masih dijumpai dalam pembangunan sektor ini antara lain :lRendahnya kondisi kesehatan lingkungan

Salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap derajat kesehatan masyarakat adalah kondisi lingkungan yang tercermin antara lain dari akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi dasar. Persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air yang layak dikonsumsi di Kalimantan Tengah baru mencapai 49,75 % dan keluarga yang menggunakan jamban memenuhi syarat kesehatan baru mencapai 43,41 %.

l Pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan.Provinsi Kalimantan Tengah yang mempunyai luas wilayah

lebih kurang 3,5 kali Pulau Jawa hanya memiliki fasilitas sarana pelayanan kesehatan pemerintah sebanyak 14 Rumah Sakit Umum Daerah, 149 Puskesmas, 816 Puskesmas Pembantu. Disamping itu penyebaran penduduk yang tidak merata dan letak geografi serta transportasi yang sulit, sehingga dari sejumlah 1.386 desa yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah masih terdapat 376 desa yang belum memiliki sarana pelayanan Puskesmas pembantu.

l Terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi yang tidak merata.Pada tahun 2006 diperkirakan setiap 100.000 penduduk

baru dapat dilayani oleh 16 orang dokter, 4 orang dokter gigi, 3 orang dokter spesialis, 69 orang bidan, 107 orang perawat, 8 orang tenaga kesehatan masyarakat, 3 orang apoteker, 4 orang ahli gizi, dan 5 tenaga sanitarian. Keterbatasan ini diperburuk lagi oleh distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata, sehingga banyak tenaga-tenaga kesehatan yang berada di wilayah perkotaan, sedangkan untuk daerah sangat terpencil atau kurang diminati tenaga tersebut sangat terbatas sekali.

l Kinerja pelayanan kesehatan yang masih rendah.Masih tingginya angka kematian ibu melahirkan di

Kalimantan Tengah, yang sebenarnya dapat dicegah dengan intervensi tenaga kesehatan. Oleh karena itu kinerja pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya

(74

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

peningkatan kualitas kesehatan penduduk. Masih rendahnya kinerja pelayanan kesehatan dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti proporsi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang baru mencapai 48,11 %, cakupan kunjungan ibu hamil 49 %, cakupan kunjungan neonatus 51,1 % dan cakupan deteksi tumbuh kembang anak Balita dan pra sekolah 2,6 %.

lPerilaku masyarakat yang kurang mendukung pola hidup sehat.Perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat juga

merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung peningkatan status kesehatan penduduk. Perilaku masyarakat yang kurang sehat dapat dilihat dari kebiasaan merokok, rendahnya pemberian ASI Eksklusif baru mencapai 40,74 %, prevalensi gizi kurang pada anak Balita masih 11,5 %.

Melihat luasnya cakupan permasalahan di atas, maka solusi yang seharusnya diambil juga perlu penanganan yang lebih komprehensif. Beberapa program yang perlu ditindaklanjuti antara lain:lPeningkatan jumlah, jaringan dan kualitas Puskesmas.lPeningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan serta

penyebarannya.lPengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk

miskin.lPeningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat.lPeningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat sejak usia

dini.lPemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar.

Selanjutnya, kebijakan pembangunan kesehatan seharusnya lebih diarahkan pada hal-hal sebagai berikut:lMeningkatkan pemerataan dan keterjangkauan pelayanan

kesehatan melalui peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas Puskesmas dan pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dengan melanjutkan pelayanan kesehatan gratis di

75)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Puskesmas dan kelas III rumah sakit.lMeningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui peningkatan

kualitas dan pemerataan fasilitas kesehatan dasar, dan peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan.

lMeningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat melalui peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat, dan peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini.

ii. Bidang PendidikanUntuk bidang pendidikan, kinerja bidang ini secara umum

untuk Tahun Anggaran 2006 dinilai sangat baik. Keadaan ini dicerminkan dari 19 program/ kegiatan yang dilaksanakan, Dinas Pendidikan mampu merealisasikan seluruh kegiatan lebih dari 97% (Tabel 4.11).

Tabel 4.11Tingkat Alokasi dan Realisasi Anggaran Sektor Pendidikan

Provinsi Kalteng 2006

No Program/Kegiatan Alokasi Realisasi Capaian

A Program Pendidikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) 1. Pembinaan, Pengembangan

dan Mutu TK

598.206.500

598.206.500

100 %

2. Pembinaan, Pengembangan dan Peningkatan Manajemen PAUD Non Formal

780.246.000

780.246.000

100 %

B Program Wajib Belajar Dikdas Sembilan Tahun

1. Perluasan, Peningkatan Mutu

dan Manajemen Pendidikan pada SD

15.261.312.000

15.223.102.000

99,74 %

2. Perluasan, Peningkatan Mutu dan Manajemen Pendidikan pada SMP

2.511.500.000

2.447.000.000

97,43 %

3. Perluasan, Peningkatan Mutu

dan Manajemen Pendidikan pada PLB

498.000.000 498.000.000 100 %

(76

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

4. Perluasan, Peningkatan Mutu

dan Manajemen Pendidikan 503.720.000 503.720.000 100 %Dasar Non Formal/ PLS

C Program Pendidikan Menengah 1. Perluasan, Peningkatan Mutu,

Relevansi dan Manajemen 3.697.985.000 3.697.985.000 100 %Pendidikan di SMA

2. Perluasan, Peningkatan Mutu, Relevansi dan Manajemen Pendidikan di SMK

900.465.000 900.465.000 100 %

D Program Pendidikan Tinggi1. Pengembangan, Peningkatan

Mutu dan najemen Pendidikan Tinggi

3.033.510.000 3.021.010.000 99,58 %

E Program Pendidikan Non Formal1. Pembinaan Pendidikan

Masyarakat 1.038.750.000 1.038.750.000 100 %

F Program Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan1. Pengembangan Perpustakaan

SD/SMP/SM

679.900.000 678.000.000 99,72 %

G

Program Peningkatan Kesejahteraan Tenaga Pendidik secaraProporsional

1.

Peningkatan Kesejahteraan Tenaga Pendidik secara Proporsional

3.083.138.050

3.082.825.050 99,98 %

H

Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan1.

Pengembangan BPKB Kalimantan Tengah

1.195.000.000

1.195.000.000 100 %

I

Program Manajemen Pelayanan Pendidikan

1

Meningkatkan Kemampuan dan Kinerja Bidang Pendidikan

1.050.550.000

1.048.200.000 99,78 %

2.

Peningkatan, Pengelolaan, Rehabilitasi dan Pengadaan Sarana Prasarana Kantor Dinas P & K Provinsi Kalimantan

Tengah

869.998.800

869.769.000 99,98 %

3.

Pengembangan dan Inovasi Pendidikan

200.000.000

198.686.000 99,34 %

No Program/Kegiatan

Alokasi

Realisasi Capai-

an

77)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

J Program Penelitian dan Pengembangan1. Pengembangan Balai

Teknologi Komunikasai Informasi Pendidikan & Kebudayaan

726.000.000 726.000.000 100 %

K Program Pengelolaan Kekayaan Budaya1

Pembinaan Tradisi, Peninggalan Sejarah, Permuseuman, Kepurbakalaan dan Seni Budaya

1.474.550.150

1.473.200.000 99,91 %

2

Pembinaan Museum Balanga Palangka Raya

1.253.967.000

1.252.500.000 99,88 %

Sumber: LKPJ Prov Kalteng Tahun 2006.

Meskipun bidang pendidikan ini memiliki daya serap anggaran yang sangat baik, namun dalam pelaksanaannya di lapangan juga dihadapkan dengan berbagai permasalahan, baik yang bersifat teknis maupun manajemen. Adapun permasalahan utama yang dijumpai dalam pelaksanaan bidang ini antara lain :(a) Perluasan dan Pemerataan Memperoleh Pendidikan:

o APK dan APM masih rendah, khususnya pada PAUD, SM dan PT.o Masih tingginya angka putus sekolah dan mengulang kelas o Masih terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan baik secara

kuantitas maupun kualitasnya:- Keberadaan sekolah masih belum tersebar secara merata; - Sekolah banyak yang belum punya ruang laboratorium, ruang

perpustakaan, ruang ketrampilan & ruang penunjang lainnya; - Ruang kelas (terutama pada SD/MI), ruang perpustakaan &

ruang penunjang lainnya banyak yang rusak.o Belum meratanya pelayanan pendidikan berdasarkan :

- Lokasi (pedesaan, perkotaan) - Kesetaraan gender (Laki-Laki/Perempuan)

o Kondisi geografis Kalteng yang sulit (terpencil, tertinggal,pedalaman, terisolir, dll)

(b) Peningkatan Mutu dan Relevansi Pendidikan :o Masih kekurangan guru/kurang meratanya penyebaran guru

(78

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

berdasarkan lokasi/daerah/sekolah & mata pelajaran yang diajarkan.

o Kompetensi guru dibeberapa mata pelajaran masih lemah.o Kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan masih rendah.o Buku pelajaran pokok, buku perpustakaan dan buku penunjang

masih kurang;o Media pembelajaran dan alat pendidikan (alat peraga) masih

banyak yang kurang, kalaupun ada masih belum lengkap dan banyak yang rusak.

o Masih rendahnya tingkat kelulusan UAN dan hasil UAN.o Prestasi Non Akademik masih kurang (kemandirian, kreatifitas

disiplin masih kurang)o Masih ada warga masyarakat yang buta huruf.

(c) Peningkatan Tata Kelola dan Akuntabilitas Pendidikan :o Data dan informasi tentang pendidikan masih belum

akurat/validitasnya rendah.o Sumber Daya Manusia pengelola pendidikan banyak yang tidak

sesuai dengan kompetensinya.o Manajemen pelayanan pendidikan masih lemah & belum efisien.o Keterbukaan dan transparansi pengelolaan pendidikan masih

kurang.o Manajemen informasi, perencanaan, penyelenggaraan,

monitoring, evaluasi dan pelaporan masih memerlukan pembenahan.

o Peran serta masyarakat, khususnya dewan pendidikan dan komite sekolah perlu ditingkatkan lagi.

Disamping hal-hal yang berkaitan dengan aspek teknis di atas, beberapa kendala dalam aspek manajemen antara lain :(a) Kesulitan dalam memperoleh data dan informasi dari

Kabupaten/Kota di karenakan ketidaksiapan data dari Kabupaten/Kota.

(b) Kurang akuratnya data dan informasi.

79)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Oleh karena itu, solusi yang dapat diambil terkait dengan permasalahan di atas antara lain :o Melakukan pendataan langsung ke sekolah-sekolah, serta

monitoring dan evaluasi ke daerah.o Melakukan verifikasi data dengan pihak Kabupaten/Kota dan

lembaga yang menangani pendataan; dano Perlu dialokasikan data khusus untuk pendataan.

iii. Bidang Sarana dan Prasarana WilayahTahun Anggaran 2006 Dinas Pekerjaan Umum Provinsi

Kalimantan Tengah telah mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp. 276.701.874.865,-. Kinerja bidang Sarana dan Prasarana Wilayah secara keseluruhan untuk Tahun Anggaran 2006 tersebut dinilai sangat baik dimana seluruh program/kegiatan yang dilaksanakan berhasil memperoleh capaian fisik 100% (Tabel 4.12).

Tabel 4.12 Tingkat Alokasi dan Realisasi Anggaran Sektor Sarana dan

Prasaran Provinsi Kalteng Tahun 2006

No Program/Kegiatan Alokasi

Realisasi

A

Program Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi, Rawa dan Jaringan Pengairan Lainnya

1

Perencanaan Pengembangan Sumber Daya Air Kali mantan Tengah

1.025.000.000 1.025.000.000 100 %

2

Rapat Koordinasi SDA Provinsi Kalimantan Tengah

83.310.000

60.141.800

100 %

3

Pembangunan/Peningkatan Jaringan Pengairan

7.163.200.000

7.124.360.850

100 %

4 OP Pengairan Kalimantan Tengah.

930.150.900 871.682.280 100 %

Capai-an

5 OP Pengairan di Sukamara dan Lamandau.

294.951.200 291.277.290 100 %

6 OP Pengairan di Pulang Pisau.

290.746.200

286.292.140

100 %

7 OP Pengairan di Barito Timur 361.496.200 349.427.230 100 %

(80

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

8 OP Pengairan di Barito Utara.

368.496.200

353.203.620

100 % 9 OP Pengairan di Seruyan dan

Katingan.294.046.200

283.534.180

100 %

10 OP Pengairan di Gunung Mas.

295.196.200

292.306.330

100 %

B Program Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai

1 Perbaikan Tebing Sungai

Barito di Buntok 1.192.500.000

1.152.494.350

100 %

2 Penanganan Khusus Terusan Tuwan

2.500.000.000

2.500.000.000

100 %

3 Pembersihan Lokasi Dayung Sebangau

200.000.000

195.500.000

100 %

C Tabel Program Rehabilitasi /Pemeliharaan Jalan dan Jembatan

Rehabilitasi/Pemeliharaan

Jalan dan Jembatan Provinsi. di Kalimantan Tengah

2.614.038.000 2.567.064.880 100 %

Rehabilitasi/Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Provinsi. Wilayah Barito Timur -Barito Selatan di Provinsi Kalimantan Tengah

3.087.500.000 3.051.792.859 100 %

Rehabilitasi/Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Provinsi. Wilayah Kotawaringin Barat di Provinsi Kalimantan Tengah

1.745.000.000

1.745.000.000

100 %

Rehabilitasi/Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Provinsi Wilayah Kotawaringin Timur di Provinsi Kalimantan Tengah

7.198.000.000

7.125.741.300

100 %

Pemeliharaan Rutin Jalan dan Jembatan Provinsi Wilayah Gunung Mas di Provinsi Kalimantan Tengah

1.553.018.050 1.298.283.360 100 %

Pemeliharaan Rutin Jalan dan Jembatan Provinsi Wilayah Kapuas di Provinsi Kalimantan Tengah.

150.000.000 149.733.650 100 %

No Program/Kegiatan Alokasi

Realisasi Capai-

an

81)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Pemeliharaan Rutin Jalan dan Jembatan Provinsi Wilayah Barito Selatan & Barito Timur di Provinsi Kalimantan Tengah.

500.000.000 417.561.900 100 %

Pemeliharaan Rutin Jalan dan Jembatan Provinsi Wilayah Kotawaringin Timur di Provinsi Kalimantan Tengah

250.000.000 249.931.500 100 %

Pengadaan Peralatan Berat UPR UPTD.

16.561.347.500

16.147.547.500

100 %

C Program Rehabilitasi /Pemeliharaan Jalan dan Jembatan

1 Rehabilitasi/Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Provinsi. di Kalimantan Tengah

2.614.038.000

2.567.064.880

100 %

2 Rehabilitasi/Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Provinsi. Wilayah Barito Timur -Barito Selatan di Provinsi Kalimantan Tengah

3.087.500.000

3.051.792.859

100 %

3 Rehabilitasi/Pemeliharaan Jalan dan Jemba tan Provinsi. Wilayah Kotawaringin Barat di Provinsi Kalimantan Tengah

1.745.000.000

1.745.000.000

100 %

4 Rehabilitasi/Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Provinsi Wilayah Kotawaringin Timur di Provinsi Kalimantan Tengah

7.198.000.000

7.125.741.300

100 %

5 Pemeliharaan Rutin Jalan dan Jembatan Provinsi Wilayah Gunung Mas di Provinsi Kalimantan Tengah

1.553.018.050

1.298.283.360

100 %

6 Pemeliharaan Rutin Jalan dan Jembatan Provinsi Wilayah Kapuas di Provinsi Kalimantan Tengah.

150.000.000

149.733.650

100 %

No Program/Kegiatan Alokasi

Realisasi Capai-

an

(82

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

9 Pengadaan Peralatan Berat 16.561.347.500 16.147.547.500 100 %

UPR UPTD.D Program Peningkatan / Pembangunan Jalan dan Jembatan Provinsi

Kalimantan Tengah 1

Peningkatan Jalan dan Jembatan Provinsi di Kalimantan Tengah

34.833.250.000

34.820.997.120 100 %

2

Peningkatan Jalan dan Jembatan Provinsi Wilayah Palangka Raya, Gunung Mas, dan Pulang Pisau di Provinsi Kalimantan Tengah

31.256.598.150

31.221.066.720 100 %

3

Peningkatan Jalan dan Jembatan Provinsi Wilayah Pulang Pisau

Kapuas –

Barito Selatan –

Barito Timur di Provinsi Kalimantan Tengah

33.965.000.000

33.962.771.200 100 %

4

Peningkatan Jalan dan Jembatan Provinsi Wilayah Kotawaringin Timur -Seruyan-Katingan di Provinsi Kalimantan Tengah

29.618.800.000

29.556.804.600 100 %

5 Peningkatan Jalan dan Jembatan Provinsi Wilayah Kotawaringin Barat -Lamandau-Sukamara di Provinsi Kalimantan Tengah

16.524.481.360 16.507.005.045 100 %

6 Penggantian Jembatan Tersebar di Provinsi Kalimantan Tengah

6.746.000.000 6.674.052.350 100%

No Program/Kegiatan Alokasi

Realisasi Capai-

an

7 Pemeliharaan Rutin Jalan dan Jembatan Provinsi Wilayah Barito Selatan & Barito Timur di Provinsi Kalimantan Tengah.

500.000.000

417.561.900

100 %

8 Pemeliharaan Rutin Jalan dan Jembatan Provinsi Wilayah Kotawaringin Timur di Provinsi Kalimantan Tengah

250.000.000

249.931.500

100 %

83)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

10 Perencanaan dan Pengawasan

Teknis Jalan dan Jembatan Provinsi Kalimantan Tengah

11.026.700.000 10.696.365.590 100 %

E Program Pengembangan Perkotaan

1 Perencanaan Perkotaan 3.613.700.000 3.560.837.940 100 %

2 Pembangunan/Peningkatan 4.475.000.000 4.404.640.170 100 %

3 Rehabilitasi Gedung dan Penataan Ruang

8.275.000.000 8.126.116.870 100 %

F Program Peningkatan Prasarana Perdesaan 1

Peningkatan Prasarana dan Sarana Perdesaan Wilayah Barat dan Timur

2.960.000.000

2.845.357.200

100 %

G

Program

Pengembangan Permukiman Lingkungan Sehat

1

Operasi dan Pemeliharaan (OP) Kota Palangka Raya

1.600.000.000

1.566.782.950

100 %

2

Operasi dan Pemeliharaan (OP) Kebersihan Kota Palangka Raya.

1.000.000.000

924.966.300

100 %

3

Pembangunan Jaringan Penyediaan Air Bersih

1.557.520.000

1.519.458.680

100 %

H

Program

Peningkatan

Kualitas Pelayanan Informasi Publik

1

Peningkatan Kualitas Pelayanan Informasi Publik

1.517.812.440

1.433.581.690

100 %

2 Peningkatan Kualitas Pelayanan Informasi Publik

348.177.600 343.181.200 100 %

Sumber: LKPJ Prov. Kalteng Tahun 2006.

7

Penggantian Jembatan Wilayah Palangka Raya -Barito Utara-Murung Raya di Provinsi Kalimantan Tengah

11.914.000.000

11.908.477.850 100 %

8 Penggantian Jembatan Wilayah Gunung Mas – Pulang Pisau di Provinsi Kalimantan Tengah

5.944.000.000 5.935.270.650 100 %

9 Penggantian Jembatan Wilayah Lamandau - Kotawaringin Barat - Sukamara - Seruyan di Provinsi Kalimantan Tengah

10.780.000.000 10.771.075.650 100 %

No Program/Kegiatan Alokasi

Realisasi Capai-

an

(84

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Namun demikian, dalam pelaksanaannya di lapangan tetap ditemui beberapa permasalahan teknis dalam sektor ini, antara lain:(a) Kondisi tanah yang sangat lembek, beberapa lokasi diperlukan

konstruksi khusus, konsekwensinya biaya tinggi.(b) Material yang sangat langka di beberapa tempat harus didatangkan

dari luar Kalimantan Tengah.(c) Sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan penduduk serta

arus urbanisasi penduduk dari desa ke perkotaan dan penyebaran penduduk yang tidak merata sehingga kawasan tertentu cenderung menjadi kumuh, terutama di perkotaan.

(d) Belum adanya kesempatan pembagian wewenang Pusat, Provinsi dan Kabupaten yang diikuti dengan aset manajemen.

(e) Jaringan Irigasi yang telah dibangun belum dimanfaatkan secara optimal oleh Petani pemakai air.

(f) Pengembangan dan Pembangunan Jaringan Pengairan belum semua diikuti dengan kegiatan percetakan sawah pada areal jaringan yang telah dibangun.

Atas permasalahan di atas, beberapa solusi yang disarankan dalam mengatasi berbagai permasalahan tersebut antara lain mencakup :(a) Diversifikasi teknologi untuk mengatasi kondisi tanah yang sangat

lembek dan diupayakan mendesain konstruksi yang tepat guna sesuai kondisi lapangan.

(b) Koordinasi dengan aparat terkait sesuai dengan jenis dan sasaran kegiatan yang dilaksanakan.

(c) Di kawasan perkotaan secara bertahap diatur sesuai tata ruang dan dibangun kawasan permukiman yang peduli akan lingkungan yaitu dengan memperhatikan saluran, jalan lingkungan dan persampahan, dana bergulir swadana masyarakat untuk pembangunan perumahan yang layak, sehat dan bersih.

(d) Koordinasi antar Bappeda, Dinas PU Provinsi, Kabupaten/Kota se-Kalimantan Tengah untuk mendapatkan kesepakatan pembagian wewenang sesuai peraturan maupun kemampuan.

85)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

(e) Terus dilakukan koordinasi antar instansi terkait maupun antar Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk pemanfaatan jaringan yang telah dibangun.

i) Dampak Perimbangan Keuangan Terhadap Kapasitas Kinerja Otonomi Daerah Di Provinsi Kalimantan Tengah

Efektivitas pemanfaatan anggaran (termasuk yang bersumber dari DBH non Pajak) secara umum sangat baik yang dapat dilihat antara lain dari indikator daya serap anggaran sebagian besar item program/kegiatan di atas 90%. Sebagai contoh Sektor Kesehatan tahun 2006, dari 10 program/kegiatan hanya 1 program/kegiatan saja daya serap anggarannya kurang dari 50%, 2 program/ kegiatan antara 59-80%, 1 program/kegiatan mencapai 86% dan selebihnya di atas 92%. Untuk sektor pendidikan dari total 19 program/ kegiatan tahun 2006, 18 program/kegiatan mencapai 99-100% dan hanya 1 program/ kegiatan yang mampu menyerap 97%. Sedangkan untuk sektor sarana dan prasarana, dari total 8 program dan 41 kegiatan tahun 2006 (dengan alokasi anggaran sebesar Rp. 276.701.874.865,-), seluruhnya mampu direalisasikan capaian fisiknya sebesar 100% dengan masih menyisakan sedikit anggaran tersisa (terjadi efisiensi pelaksanaan program/kegiatan).

Kualitas kinerja pemanfaatan anggaran (termasuk yang bersumber dari DBH non Pajak) secara umum juga baik yang dapat dilihat antara lain dari beberapa indikator sektor kesehatan yang lebih baik dari tahun sebelumnya atau melebihi target kesehatan nasional, misalnya Umur Harapan Hidup Waktu Lahir (UHH), Penderita Penyakit HIV/AIDS, Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah, Status Gizi Balita, Wanita Usia Subur (WUS) yang mendapat kapsul Yodium, Pelayanan Antenatal, Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan dengan Kompetensi Kebidanan, Pelayanan Keluarga Berencana, Pelayanan Imunisasi, institusi yang dibina kesehatan lingkungannya, Pemantauan Pertumbuhan Balita, Jumlah Puskesmas, dan persentase alokasi pembiayaan kesehatan.dari total APBD provinsi. Namun beberapa indikator kesehatan lainnya yang masih perlu ditingkatkan kinerjanya antara lain: Penyakit Malaria, Ibu Hamil Risiko Tinggi yang Dirujuk, Pemberian Kapsul Vitamin A, dan Pemberian Tablet Besi.

(86

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Meskipun secara time series dalam lima tahun terakhir terlihat kecenderungan jumlah alokasi anggaran pembangunan yang secara absolut meningkat, namun sesungguhnya peningkatan anggaran tersebut masih belum sebanding dengan nilai kebutuhan masing-masing sektor pembangunan publik. Meningkatnya kebutuhan anggaran riil pembangunan sektoral tersebut antara lain disebabkan oleh perbaikan pemenuhan standar pelayanan minimal sektor publik sebagai akibat dari perkembangan perekonomian dan demografi daerah yang cukup pesat yang menuntut peningkatan pelayanan di semua lini, disamping itu juga tingginya biaya perbaikan atau reklamasi kerusakan lingkungan hidup akibat eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam tak terbarui.

Kemampuan PAD Provinsi Kalimantan Tengah untuk menyelenggarakan pembangunan masih belum sebanding dengan nilai Dana Perimbangan dimana kontribusinya masih pada kisaran angka 25% terhadap APBD untuk tahun 2006. Keadaan ini menunjukkan masih tingginya ketergantungan daerah terhadap pusat dalam pembiayaan pembangunannya, atau dengan kata lain daerah akan mengalami kesulitan dalam membangun wilayahnya dengan baik apabila Dana Perimbangan dikurangi atau dihilangkan.

Ke depan, dalam rangka memperkuat struktur anggaran pembangunan yang lebih baik, maka daerah disarankan untuk tetap meningkatkan nominal PAD, baik melalui diversifikasi dalam bentuk penggalian sumber PAD baru yang selama ini belum dilirik maupun melalui intensifikasi dalam bentuk meningkatkan potensi sumber PAD yang selama ini telah digali. Namun semangat peningkatan PAD ini tidak perlu sampai kontra produktif dimana jangan sampai menurunkan kinerja investor yang telah ada atau melemahkan motivasi para calon investor yang akan masuk hanya karena beban pajak atau retribusi yang akan dikenakan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mengupayakan peningkatan PAD adalah harus waspada dan berhati-hati dalam mengeksploitasi SDA secara besar-besaran, khususnya SDA tak terbarui. Karena dalam jangka panjang diperkirakan nilai pajak dan retribusi yang diterima daerah kurang sebanding dengan besarnya kerusakan lingkungan hidup (fisik, kimia, dan biologi lahan, air dan udara serta Sosekbud dan kesehatan masyarakat)

87)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

yang membutuhkan physic and social recovery cost yang sangat tinggi. Paralel dengan hal tersebut, untuk peningkatan pendapatan dari Sektor Pajak ini diharapkan upaya penyuluhan yang berkelanjutan kepada masyarakat, serta penyediaan personil yang memadai agar pendapatan dari sektor tersebut dapat lebih ditingkatkan lagi.

Terkait dengan upaya untuk melakukan diversifikasi sumber PAD baru maupun intensifikasi potensi sumber PAD yang selama ini telah digali, maka fokus penggalian sumber PAD hendaknya diselaraskan dengan beberapa sektor yang bisa dijadikan sebagai sektor ekonomi basis atau potensial bagi Provinsi Kalteng. Sesuai dengan teori basis ekonomi yang setidaknya menggunakan 3 pendekatan untuk menentukan basis ekonomi suatu daerah (yaitu Analisis Shift-Share; Tipology Klassen; dan Analisis Location Quotient (LQ), maka beberapa sektor yang dapat dijadikan sebagai sektor unggulan daerah adalah :(a) Sektor Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan;(b) Sektor Perdagangan, Restoran dan Hotel;(c) Sektor Jasa;(d) Sektor Industri Pengolahan;

Dengan kata lain, upaya diversifikasi sumber PAD baru maupun intensifikasi potensi sumber PAD yang telah ada hendaknya dilakukan berdasarkan sektor-sektor basis pengembangan ekonomi daerah tersebut dan hal ini pada akhirnya akan berdampak pada sektor-sektor turunan yang terkait langsung dengan pengembangan sektor basis tersebut.

Lembaga sektoral daerah yang secara konsep dan teknis dinilai lebih faham terhadap program dan kegiatannya yang selama ini direncanakan, seyogyanya memiliki wewenang untuk mengajukan dan menetapkan pagu anggaran yang dibutuhkan di sektornya masing-masing. Kewenangan ini akan turut memastikan realisasi sasaran atau target yang telah ditetapkan secara sektoral di daerahnya dapat dicapai sesuai dengan yang direncanakan.

(88

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

2. Kabupaten Kota Waringin Barata) Gambaran Umum Daerah

Kotawaringin Barat terbentuk berdasarkan UU Kotawaringin Barat merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Kalimantan

0 0 0 0Tengah yang secara geografis terletak antara 1 19 - 3 36 Lintang Selatan 0 0 0 0

dan 110 25 - 112 50 Bujur Timur yang beribukota di Pngkalan Bun. Kabupaten Kotawaringin Barat berbatasan langsung dengan Kabupaten Seruyan di sebelah Timur, Kabupaten Sukamara dan Kabupaten Lamandau di sebelah Barat, Kabupaten Lamandau di Sebelah Utara dan di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Kabupaten Lamandau dan Kabupaten Sukamara merupakan daerah pemekaran Kabupaten Kotawaringin Barat pada tahun 2001. Kabupaten ini memiliki luas wilayah

210,579 km yang sebagian besar merupakan.Pangkalan Bun, ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat, punya

posisi yang unik di lingkungan Provinsi Kalimantan Tengah. Kota ini bukan hanya menjadi salah satu kota yang tertua di lingkungan Provinsi Kalimantan Tengah, tetapi juga menjadi satu-satunya ibukota kabupaten yang sebelumnya juga merupakan ibukota kerajaan. Posisi Pangkalan Bun yang khas itu sejajar dengan Kabupaten Kotawaringin Barat sendiri yang merupakan satu-satunya kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah yang berasal dari sebuah kerajaan yaitu Kerajaan Kotawaringin.

Secara administratif Kabupaten Kotawaringin Barat terdiri dari 6 (enam) Kecamatan, yaitu Kecamatan Arut Selatan dengan luas wilayah

2 22,400 km (22,31%), Kumai dengan luas wilayah 2,921 km (27,15%),

2Pangkalan Lada dengan luas wilayah 229 km (3.08%), Pangkalan Banteng 2

dengan luas wilayah 1,306 km (10.21%), Kotawaringin Lama dengan luas 2

wilayah 1,218 km (11.32%) dan Kecamatan Arut Utara dengan luas 2wilayah 2,685 km . Secara keseluruhan Kabupaten Kotawaringin Lama

terdiri dari 84 desa/kelurahan.Secara demografis, Kabupaten Kotawaringin Barat pada tahun

2006 memiliki penduduk sebanyak 204,886 jiwa yang meningkat sebesar 1.4 % dibandingkan tahun 2005. Jumlah penduduk terbesar pada golongan umur 5 9 tahun yaitu sebesar 16.38% yang jumlahnya semakin menurun

89)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

seiring dengan meningkatnya golongan umur penduduk. Penduduk asli Kobar merupakan suku dayak yang merupakan mayoritas penduduk di Kalimantan Tengah, namun demikian beberapa suku penduduk lain juga bercampur dengan penduduk asli Kobar seperti Suku Banjar, Jawa, Madura dan Cina/Tionghoa. Kepadatan penduduk Kotawaringin Barat sebesar 19.4

2jiwa/km dengan penyebaran penduduk di Kotawaringin Barat tidak merata, pada umumnya memusat di daerah perkotaan dan pusat perdagangan. Wilayah yang memiliki kepadatan penduduk terbesar adalah

2Kecamatan Pangkalan Lada yaitu sebesar 112.4 jiwa/km , kemudian secara

2berturut-turut disusul Kecamatan Arut Selatan sebesar 35.84 jiwa/km , 2Kecamatan Pangkalan Banteng sebesar 18.77 jiwa/km , Kecamatan Kumai

2 2sebesar 14.13 jiwa/km , Kecamatan Kotawaringin Lama sebesar 12.77 km dan yang paling jarang penduduknya adalah Kecamatan Arut Utara dengan

2kepadatan sebesar 4.40 jiwa/km . Kecamatan Arut Selatan merupakan pusat ibukota kabupaten Kotawaringin Barat.

Dilihat dari mata pencaharian penduduknya, sebagian besar penduduk Kotawaringin Barat bekerja pada sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, dan perdagangan. Kecamatan Kumai merupakan pusat perdagangan dikarenakan di wilayah ini terletak Tanjung Kumai yang merupakan pelabuhan laut terbesar di Kalimantan Tengah dengan panjang dermaga 200 meter dan luas pelabuhan kurang dari 50 ha. Pelabuhan kumai melayani angkutan penumpang dan barang yang menuju dan berasal dari Kotawaringin Barat dan provinsi Kalimantan Tengah. Di samping untuk kegiatan transportasi antarpulau, Kumai juga dimanfaatkan untuk kegiatan ekspor-impor. Dari pelabuhan inilah, kayu, dan hasil industri perkayuan dikapalkan ke negara lain atau juga ke Semarang, Surabaya, dan Banjarmasin. Disamping pelabuhan Kuami, Kotawaringin Barat memiliki Pelabuhan CPO Bumu Harjo yang melayani pengiriman CPO yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat. Tiap bulannya, pelabuhan ini memberangkatkan dua kapal masing-masing memuat 10.000 ton CPO menuju ke Malaysia. Rencana kedepannya, pelabuhan ini akan dikembangkan menjadi pelabuhan peti kemas.

(90

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Selain keunggulan yang ditopang bandar udara dan pelabuhan laut, Kobar juga menyandang nama besar dengan keberadaan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP). Luasnya sekitar 410.000 hektar. Sebagian taman ini berada di Kecamatan Kumai, Kotawaringin Barat, dan sebagian lagi di Kecamatan Seruyan Hilir, Kabupaten Seruyan, salah satu kabupaten pemekaran dari Kotawaringin Timur. Di sini terdapat rehabilitasi orang utan yang melibatkan dana dan perhatian masyarakat internasional.

b) Dampak Perimbangan Keuangan Terhadap Kapasitas Kinerja Otonomi Daerah Kabupaten Kota Waringin Barat

Pembiayaan pembangunan daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang terdiri dari 3 komponen yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, baik Pusat Maupun Propinsi serta Pendapatan-pendapatan lain yang sah. Dana Perimbangan yang berasal dari Pemerintah Pusat terdiri dari DAU, DAK dan Dana Bagi Hasil (Windfall). Dana bagi Hasil sendiri terdiri dari Dana bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak/Sumber daya Alam. Komposisi masing-masing dapat terhadap APBD Kotawaringin Barat dapat dilihat pada tabel 4.13 berikut :

Tabel 4.13Komposisi PAD dan Dana Perimbangan terhadap APBD

Kabupaten Kotawaringin Barat (Juta Rupiah)

Komposisi APBD

2003 2004 2005 2006Jumlah

%

Jumlah

%

Jumlah

% Jumlah

%

PAD 17.780,18

9.94

21.585,91

10.77

26.523,63

10.92

37.069,05 9.16Dana Perimbangan Pusat

150.595,1

84.21

167.901.19

83.74

203.395,76

83.70

355.178,40 87.81

Dana Perimbangan Propinsi

4.751,47

2.66

6.152,21

3.07

5.082.12

2.09

11.643,86 2.88

Pendapatan Lain-Lain Yang Sah

5.705,50 3.19 4.865 2.43 7.994,41 3.29 577,15 0.14

Sumber : Laporan Realisasi Pendapatan Kab. Kotawaringin Barat Tahun 2001-2006, diolah

PAD sebagai sumber utama dalam membiayai pembangunan daerah selama tahun 2003-2006 rata-rata hanya mampu menyumbang

91)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Tabel 4.14Komposisi Dana Perimbangan Pusat dalam APBD

Kab. Kotawaringin Barat(Juta Rupiah)

NOKomposisi

APBD2003 2004 2005 2006

Jumlah

%

Jumlah

%

Jumlah

%

Jumlah

% 1 DAU 136,293.50

67.98

161,422.00

66.43

287,301.00

71.03

136,293.50

67.98

2 DAK 9,050.00 4.51 18,969.54 7.81 38,651.30 9.56 9,050.00 4.51

3 DBH Pajak 16,840.12

8.40

18,095.96

7.45

21,668.84

5.36

16,840.12

8.40

4DBH Bukan Pajak/SDA

5,717.57 2.85 4,908.26 2.02 7,557.27 1.87 5,717.57 2.85

Sumber : Laporan Realisasi Pendapatan Kab. Kotawaringin Barat Tahun 2001-2006, diolah

Komposisi dana perimbangan terhadap APBD Kotawaringin Barat didominasi Dana Alokasi Umum (DAU), dari rata-rata sebesar 84,87%, DAU rata-rata menyumbang sebesar 80,47 %. Dengan angka DAU sebesar ini praktis bahwa potensi/kemampuan daerah belum mendukung dalam mewujudkan kemandirian daerah sebagaimana tujuan dari penerapan otonomi daerah. Tujuan pemberian DAU adalah sebagai pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, akan tetapi besarnya dana DAU yang terus meningkat atau dengan masih diberlakukannya hold homless akan berakibat daerah akan menjadi semakin manja, terutama daerah-daerah yang memiliki kemapuan ekonomi rendah, dikarenakan mereka akan mendapatkan transfer DAU yang cukup besar dan secara matematis akan menerima dana tersebut menjadi bertambah besar seiring dengan bertambahnya APBN. Alasan utama adanya dana transfer dari pusat (dana Perimbangan) adalah untuk menjaga/menjamin tercapainya standar pelayanan minimum di seluruh negeri. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah Standar Pelayanan Minimum (SPM) sudah mampu diwujudkan, sedangkan masyarakat sendiri tidak memahami seperti apa SPM yang harus dipenuhi oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah. Kondisi ini tercermin dengan banyaknya Departemen/Daerah yang belum memiliki SPM, dan terkadang SPM yang telah disusun pun hanya dibiarkan sebagai dokumen saja tanpa tanpa

(92

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

adanya pengimplementasian lebih lanjut. Dana Alokasi Umum yang akan diberikan oleh Pemerintah pada tahun 2008 sebesar 362.789.904.000, angka ini meningkat sebesar 14,8 % dibanding dengan alokasi DAU tahun 2007 yang telah ditetapkan. Besar kecilnya DAU sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh Kabupaten Kotawaringin Barat. Meningkatnya DAU jelas akan semakin meningkatnya pembiayaan pembangunan, sebaliknya penurunan DAU yang cukup signifikan akan sangat menghambat pembangunan di daerah ini.

Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada provinsi/kabupaten/ kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK Kotawaringin Barat meliputi Dana Reboisasi, Dana Kesehatan, Dana Pendidikan, Dana Bidang Infrastruktur, Dana Bidang Perikanan dan Kelautan, Dana Bidang Pertanian, Dana Bidang Lingkungan Hidup. Dana Reboisasi merupakan dana terbesar dalam komponen DAK, hal ini disebabkan wilayah Kotawaringin Barat sebagian besar terdiri dari hutan yang hampir setiap tahunnya terjadi kebakaran sehingga memerlukan penanaman kembali terhadap hutan yang terbakar. Disamping itu di daerah ini juga terdapat Taman Nasional Tanjung Putting (TNTP) yang harus dilestarikan. DAK Kobar pada 4 Tahun terakhir rata-rata sebesar 6.6 %. Angka ini jauh sangat kecil dibandingkan dengan DAU yang rata-rata mencapai 84,87%. DAK Kobar tahun 2008 juga mengalami peningkatan sebesar 19,18 % dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Alokasi DAK tertinggi, pada bidang pendidikan dan kesehatan. Meskipun DAK nilainya cukup kecil dibandingkan DAU, namun DAK masih cukup besar memberikan konstribusi terhadap APBD Kabupaten Kobar.

Perkembangan lebih lengkap mengenai Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus di Kabupaten Kotawaringin Barat dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 4.3 dibawah ini.

Pemerintahan Daerah

93)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

DAU dan DAK Kotawaringin Barat Tahun 2001-2006

117.807,31

141.740,00

106.910,00

136.293,50

161.422,00

287.301,00

38,30

18.969,549.050,00

4.095,35

20.145,0326.971,07

-

25.000,00

50.000,00

75.000,00

100.000,00

125.000,00

150.000,00

175.000,00

200.000,00

225.000,00

250.000,00

275.000,00

300.000,00

325.000,00

2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

(Ju

taR

p.)

DAU DAK

Gambar. 4.3Perkembangan DAU dan DAK kabupaten Kotawaringin Barat

(2001-2006)

Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak/SDA merupakan dana perimbangan yang berasal dari Pajak dan potensi Sumbar Daya Alam yang dimiliki oleh Daerah. Besarnya bagi hasil ini bersesuaian dengan besarnya potensi Pajak dan SDA daerah. semakin besar potensi keduanya, maka akan semakin besar pula Dana bagi Hasil yang diberikan.

Dana Bagi Hasil Pajak meliputi Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bagi Hasil Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Bagi Hasil Pajak Penghasilan Pasal 21 & 25. Potensi Pajak pasti dimiliki oleh daerah, PBB sangat ditentukan oleh luasnya wilayah yang dimiliki serta banyaknya rumah dan gedung yang dibangun oleh masyarakat. DKI Jakarta yang memiliki luas wilayah kecil, akan tetapi terdapat banyak bangunan gedung bertingkat serta sebagai pusat perekonomian Negara memiliki Dana Bagi Hasil Pajak yang sangat besar dalam komposisi APBDnya.

Dana bagi hasil bukan pajak/SDA tidak hanya diberikan kepada daerah yang memiliki potensi SDA saja, daerah yang tidak memiliki potensi SDA bukan berarti tidak menerima sama sekali, daerah yang berdekatan

(94

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

dengan daerah lain yang memiliki potensi SDA akan menerima juga DBH SDA meskipun jumlahnya kecil kebijakan ini didasarkan pemikiran bahwa secara tidak langsung daerah tersebut juga akan menerima imbas dari eksploitasi SDA yang dilakukan di daerah sekitarnya. Kabupaten Kotawaringin merupakan salah satu daerah di Kalimantan Tengah yang kurang memiliki potensi SDA, kecuali potensi kehutanan. Sebelum pelarangan illegal logging, pendapatan Kotawaringin Barat cukup besar dari sektor ini, kerusakan hutan, lingkungan di sekitarnya serta terjadinya longsor sebagai akibat dari illegal logging telah menyebabkan Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan terhadap penghentian dan pemberantasan illegal logging serta penghentian penerbitan izin HPH. Seiring dengan pemberlakuan kebijakan tersebut, dana bagi hasil yang berasal dari SDA juga menunjukkan angka yang terus menurun. Pengaruh dana bagi hasil sektor kehutanan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja pembangunan Kabupaten Kotawaringin Barat.

Tah

un

Gambar. 4.4Komposisi Dana Perimbangan Pusat pada APBD

Kotawaringin Barat Tahun 2003-2006

95)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Dari tabel di atas terlihat bahwa DAU memiliki komposisi terbesar terhadap APBD daerah, disusul kemudian DAK dan Dana Bagi Hasil disamping PAD. DAU secara rata-rata mengalami peningkatan, meskipun pada tahun-tahun tertentu (2003 dan 2005) dana ini mengalami penurunan, akan tetapi dilihat prosentase penurunannya tidak begitu signifikan, dikarenakan penurunan atau pun peningkatan DAU juga diikuti sebaliknya dengan DAK sehingga secara keseluruhan masih tetap balance. Penurunan DBH SDA yang mulai terjadi pada tahun 2002 dan semakin menurun sampai pada tahun 2006. DBH Pajak seharusnya akan terus mengalami peningkatan, dikarenakan pajak dibayarkan setiap tahunnya oleh wajib pajak. Penurunan DBH SDA merupakan bukti bahwa potensi SDA bukan merupakan andalan bagi penerimaan daerah karena merupakan unrenewable resources yang sewaktu-waktu akan bisa habis.

Gambar. 4.5Petumbuhan Dana Perimbangan dalam Komposisi APBD

Kotawaringin Barat Tahun 2004-2006

Perkembangan dana perimbangan pada tahun 2004-2006 sebagaimana terlihat pada gambar di atas, sebagian besar mengalami penurunan, kecuali DAU. Namun dikarenakan DAU merupakan dana perimbangan yang memiliki peranan penting dalam komposisi APBD

(96

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Kotawaringin Barat, maka dampak penurunan dari dana perimbangan lain tidak begitu berpengaruh. Pertumbuhan atau pun penurunan terhadap dana perimbangan yang nilainya cukup kecil (DAK, DBHP, DBHBP) tentunya hanya akan berpengaruh kecil, bahkan bisa saja tidak secara signifikan mempengaruhi besarnya APBD diimbangi pada kenaikan dana perimbangan yang lain yang nilainya cukup besar. Kondisi ini dapat dibuktikan dengan nilai total APBD Kotawaringin yang terus mengalami kenaikan pada tahun tersebut.

Cukup kecilnya komposisi DBH SDA menyebabkan Alokasi DBH SDA tidak dipisahkan dengan DBH Pajak. Alokasi DBH tersebut diperuntukkan bagi program/kegiatan pada SKPD yang tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat yang menuntut tersedianya dana dengan segera pada awal tahun anggaran. Hal ini disebabkan DBH SDA dan Pajak meskipun secara besaran telah ditetapkan pada awal tahun, akan tetapi waktu pencairan/penerimaan dari Pemerintah belum memiliki kejelasan, pada umumnya sering terjadi keterlambatan sehingga nantinya akan sangat menghambat penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat jika DBH dialokasikan pada program/kegiatan yang benar-benar urgen menyentuh masyarakat untuk segera dilaksanakan.

DBH SDA Kabupaten Kotawaringin barat Meliputi DBH Kehutanan, DBH Pertambangan Umum dan DBH Perikanan. Sebagai wilayah dengan potensi SDA pertambangan yang sangat kecil, Kotawaringin Barat tidak memperoleh DBH dari pertambangannya sendiri akan tetapi merupakan bagian dari daerah penghasil tambang lain dalam dalam wilayah satu provinsi sebagaimana yang telah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. DBH Perikanan untuk seluruh kabupaten/kota mendapatkan porsi yang sama, tahun 2002 sebesar Rp. 261.387.756, tahun 2003 sebesar Rp. 426.639.756, tahun 2004 sebesar Rp. 529.030.323, tahun 2005 sebesar Rp.318.317.098, tahun 2006 sebesar 326.732.402 dan tahun 2007 Rp. 390.109.409,-. DBH pada tahun 2007 meningkat sebesar 19.40 %, akan tetapi nilainya belum bisa melampaui seperti pada perolehan tahun 2004. DBH SDA pertambangan umum pada tahun 2007 sebesar Rp. 1.721.442.227, angka ini meningkat sebesar 36,54% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

97)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Gambar. 4.6Komposisi Dana Bagi Hasil SDA Kabupaten

Kotawaringin Barat Tahun 2002-2007

Komposisi DBH SDA pada tahun 2002-2006 terlihat bahwa DBH Bidang kehutanan dominant mempengaruhi besar kecilnya DBH SDA, DBH perikanan besarannya tidak begitu signifikan pengaruhnya demikian juga DBH Pertambangan Umum.

Peningkatan DBH bidang perikanan secara nasional mencapai pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2003 yang meningkat sebesar 63,22% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp. 426.639.286,-, meskipun secara besaran angka tertinggi terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar Rp. 529.030.323,- yang hanya meningkat sebesar 24% dibandingkan tahun 2005. Pada sektor kehutanan, DBH secara keseluruhan pada tahun 2003-2006 rata-rata menurun sebesar 20,85 %. Penurunan tertinggi terjadi pada tahun 2003 yang mencapai angka 58,93%, namun demikian pada tahun 2006, DBH kehutanan sudah mulai meningkat meskipun besarannya belum mampu melampaui DBH kehutanan pada tahun 2002. pemberantasan illegal logging, serta sedang maraknya perbincangan mengenai penyelamatan hutan, maka bias dipastikan DBH kehutanan akan kembali menurun. Kondisi ini bukan berarti tidak ada

(98

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

pendapatan sama sekali bagi daerah yang memiliki wilayah hutan tidak menerima kompensasi dari keberadaan hutannya yang “tidak mengahasilkan lagi'. Perdagangan melalui pengembangan pasar karbon yang masih marak dibicarakan, sebagai contoh penetapan kabupaten konservasi di Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Timur, Hutan konservasi yang pengelolaannya menjadi beban pemerintah dimungkinkan untuk mendapatkan pembayaran atas nilai karbon yang dapat diserapnya. Adalah GER (Global Eco Rescue) yang berkantor pusat di Nassau Bahamas tersebut, akan memberikan 1 euro per hektare sebagai dana pendukung untuk meningkatkan kualitas pengelolaan hutan lindung di kabupaten tersebut. Jika luasan hutan yang akan dikelola sebesar 100.000 ha, maka kabupaten Malinau akan mendapatkan dana kompensasi sebesar 100.000 euro, jika dirupiahkan pada kurs 1 euro sama dengan Rp.12.000, maka besarnya dana kompensasi tersebut sebesar 1,2 Milyar.

DBH SDA Kabupaten Kotawaringin Barat cukup kecil pengaruhnya terhadap pembiayaan pembangunan daerah. Prosentase DBH SDA pada tahun 2001-2005 terhadap APBD rata-rata sebesar 3,76%. Angka yang sangat kecil dibandingkan penerimaan dari pos-pos lain. Prosentase

Gambar. 4.7Pertumbuhan Dana Bagi Hasil Kehutanan dan Perikanan

Kotawaringin Barat Tahun 2003-2006

99)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

tertinggi terjadi pada tahun 2002, yang besarnya mencapai 10,08%, sedangkan prosentase terendah terjadi pada tahun 2001 yang hanya sebesar 0,33 %. Jika dilihat pada gambar 4.8 terlihat bahwa prosentase DBH terhadap APBD semakin menurun setelah tahun 2002.

Gambar. 4.8Prosentase DBHSDA terhadap APBD

Kabupaten Kotawaringin Barat Tahun 2001-2005

Gambar. 4.9Pertumbuhan DBHSDA Kabupaten Kotawaringin Barat

Tahun 2002-2006

(100

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Pada gambar di atas terlihat bahwa alokasi DBH Pajak dan SDA pada tahun 2007 sebagian besar yaitu lebih dari 25,62 % (Rp. 5,01 Milyar) dipergunakan untuk pembiayaan Program dan Kegiatan Sekretariat Daerah yang merupakan unsur staf yang mempunyai tugas dan kewajiban membantu bupati dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah, dengan tugas dan kewajiban tersebut, sekretariat daerah tidak menyelenggarakan program/kegiatan yang berhubungan langsung dengan pelayanan kepada masyarakat sehingga alokasi terbesar diperuntukkan kepada instansi ini, meskipun alokasi yang cukup besar ini sebenarnya juga bukan merupakan pembiayaan pokok bagi penyelanggaraan program/kegiatan di lingkungan sekratriat daerah, karena hanya sebesar 7,11% dari total alokasi anggaran secretariat daerah. BAPPEDA, Dinas Perhubungan, Dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD), Dinas KKM, Kantor Satpol PP, Dispenda, Kecamatan, BKD, Dinas Kehutanan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Kehutanan, Dinas

Gambar. 4.10Alokasi Dana Bagi Hasil terhadap Pembiayaan Program dan

Kegiatan Kabupaten Kotawaringin Barat Tahun 2007

101)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Pariwisata, Seni dan Budaya, Dinas Pasar, Dinas Perindustrian, Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) merupakan instansi-instansi lain yang mendapatkan alokasi pembiayaan program/kegiatan dari DBH, akan tetapi alokasi dana tersebut bukan merupakan pembiayaan utama dari penyelenggaraan program/kegiatan pada instansi-instansi tersebut, dengan alasan yang sama yaitu ketidakpastian pencairan DBH sehingga tidak memungkinkan jika hanya mengandalkan pembiayaan dari DBH yang dapat menyebabkan terhambatnya pelaksanaan program/kegiatan.

Kinerja Penyelenggaraan Otonomi daerah dari DBH tidak dapat dievaluasi/ dimonitor secara mendetail mengingat sangat kecilnya pembiayaan yang berasal dari dana tersebut. Pada tahun 2007 Jumlah DBH dalam Total Anggaran beberapa dinas yang menerima alokasi DBH dapat dilihat pada tabel 4.15 berikut :

Tabel. 4.15Alokasi DBH Pajak dan SDA pada SKPD Kabupaten

Kotawaringin Barat Tahun 2007 (Juta Rupiah)

NO SKPDTOTAL

ANGGARAN

ALOKASI DBH Prosentase terhadap

Total Anggaran

Jumlah Prosentase

1 BAPPEDA 17.807,33 1.030,00 5,27 5,78

2

Dinas Perhubungan

7.094,63

500,00

2,56 7,05

3

DISDUK & KB

4.507,86

1.949,29

9,97 43,24

4

DISNAKERTRANS

3.405,38

932,00

4,77 27,37

5

B K P M D

1.717,22

223,48

1,14 13,01

6

Dinas KKM

2.912,99

500,00

2,56 17,16

7

Kantor Satpol PP

2.029,42

400,00

2,05 19,71

8

Sekretariat Daerah

70.494,04

5.010,23

25,62 7,11

9

Dispenda

3.887,54

700,00

3,58 18,01

10

Kecamatan

8.021,07

2.000,00

10,23 24,93

11 BKD

4.517,02

1.000,00

5,11 22,14

12 Dinas PMD 2.876,34 500,00 2,56 17,38

13 Distanak 12.438,92 955,40 4,89 7,68

14

Dinas Kehutanan

22.060,38

2.000,00

10,23 9,07

15

DISPARSENIBUD

2.563,30

753,07

3,85 29,38

16

DISKANLA

5.457,45

100,00

0,51 1,83

17 Dinas Pasar 3.829,01 500,00 2,56 13,06

18 Perindustrian 2.989,74 500,00 2,56 16,72

Sumber : Sumber Dana Kegiatan SKPD Tahun Anggaran 2007, Bagian Keuangan Pemkab. Kotawaringin Barat

(102

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

DBH SDA tahun 2007 dengan alokasi terbesar pada Sekretariat Daerah yang jumlahnya mencapai 25,62 %, akan tetapi dilihat dari komposisi DBH dalam pembiayaan program/kegiatan pada SKPD yang mendapatkan alokasi dana, terbesar pada DISDUK & KB yaitu sebesar 43,24 % terhadap alokasi anggaran total, sedangkan pada SKPD lainnya termasuk Sekretariat daerah prosentasenya di bawah 11 % dari total anggaran masing-masing SKPD. DBH SDA pada tahun-tahun sebelumnya dialokasikan pada SKPD-SKPD yang sama seperti pada tahun 2007, hal ini mengingat prinsip dari pemerintah daerah bahwa pengalokasian DBH SDA diberikan pada SKPD yang berhubungan langsung dengan pelayanan dasar kepada masyarakat, dan meskipun diberikan kepada unit pelayanan/SKPD, jumlahnya memiliki presentase yang cukup kecil terhadap total Anggaran SKPD, sehingga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jika terjadi pemoloran pencairan anggaran DBH tersebut. Kinerja masing-masing SKPD dilhat dari alokasi DBH SDA sulit diukur, hal ini dikarenakan alokasi DBH ini secara umum kurang dari 50% anggaran SKPD, disamping itu juga alokasi DBH SDA tidak secara jelas peruntukannya untuk membiayai program/kegiatan tertentu sehingga kinerja dari penggunaan dana tersebut sulit untuk diukur. Namun demikian kinerja SKPD yang mendapatkan alokasi DBH SDA lebih dari 20% dalam proporsi total anggarannya seperti Dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana, Disnakertrans, BKD dan Disparsenibud akan dilihat dari pelaksanaan program dan kegiatan dan capaian kinerja tahun 2005-2006 sebagai wujud dari keberhasilan SKPD dalam melaksanakan pembangunan daerah sesuai dengan bidangnya masing-masing. Program dan kegiatan yang diprioritaskan oleh SKPD tersebut yaitu :i. Dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana

Tugas pokok dan fungsi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil mencakup 3 bidang, yaitu bidang kependudukan (SIAK), bidang Keluarga Berencana dan Bidang Keluarga Sejahtera. Dinas kependudukan dan Catatan Sipil memiliki visi “Tertib Administrasi Kependudukan dan Kelurga Berkualitas Tahun 2015 menuju kabupaten Kotawaringin Barat yang Maju, Mandiri, Sejahtera dan Berkeadilan”, dalam rangka merelaisasikan visi tersebut ditetapkan misi yang

103)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

dijabarkan sebagai berikut : Meningkatkan kepedulian, keterbukaan, efisiensi dan akuntabilitas pelayanan kependudukan dan KB; Memberdayakan masyarakat untuk membangun keluarga berkualitas sejak pembuahan sampai lansia; meningkatkan kemitraan, kemandirian dan ketahanan ekonomi keluarga; meningkatkan promosi, advokasi dan perlindungan dalam mewujudkan hal-hal kesehatan reproduksi; meningkatkan pemberdayaan perempuan, kesetaraan dan keadilan gender; mengembangkan kebijakan dan sistem untuk menghimpun data, menerbitkan identitas dan dokumen penduduk untuk tertib administrasi kependudukan; mengembangkan dan memadukan kebijakan dan sistem informasi sehingga mampu menyediakan data dan informasi kependudukan dan KB secara lengkap, akurat dan memenuhi kepentingan publik dan pembangunan; merumuskan kebijakan dinamika kependudukan yang serasi, selaras dan seimbang antara jumlah pertumbuhan, kualitas dan persebaran dengan daya dukung alam dan daya tampung ligkungan; serta menyusun perencanaan kependudukan sebagai dasar perencanaan dan perumusan kebijakan pembangunan berorientasi kepada kesejahteraan keluarga/penduduk.

Program dan kegiatan yang dilakukan Dinas kependudukan dan Catatan Sipil dalam rangka mewujudkan visi di atas meliputi : Program Pelaksanaan pengelolaan administrasi kependudukan; Program pelayanan dan pembinaan kelurga berencana; program peningkatan pemberdayaan kualitas keluarga. Program tersebut dijabarkan dalam kegiatan pelaksanaan pengelolaan administrasi kependudukan yang meliputi sosialisasi dan data vital penduduk melalui metode registrasi, data dan analisa yang berbasis kependudukan, evaluasi dan laporan penduduk parameter demografi dan sosialisasi dan pelatihan serta pemutakhiran data penduduk; Kegiatan pelayanan dan pembinaan keluarga berancana; dan kegiatan peningkatan pemberdayaan kualitas keluarga.

Pada tahun 2005, Dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana (nomenklatur lama) menyelenggarakan kegiatan pelayanan Keluarga Berencana, Peningkatan dan Pemberdayaan Keluarga dan

(104

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

pengadaan Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan (SIAK) dan Sarana Peralatan Kantor, sedangkan pada tahun 2006, kegiatan yang diselenggarakan meliputi Pelaksanaan Sosialisasi kependudukan, Bimbingan teknis SIAK, pelatihan petugas pendaftaran penduduk, Pelatihan petugas operator SIAK, Pelatihan petugas registrasi kependudukan dan Catatan Sipil, dan pengadaan sarana dan prasarana peralatan inventaris kantor dalam rangka mendukung penyelenggaraan SIAK.

Dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan pada tahun 2005 dan 2006, Dinas kependudukan dan Catatan Sipil memprioritaskan kegiatan yang terkait dengan upaya penataan administrasi kependudukan. Hal ini sebagai upaya untuk mempercepat penerapan sistem SIAK yang akan diberlakukan secara nasional sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan dimana penetapan UU tersebut dimaksudkan untuk membentuk suatu sistem Administrasi Kependudukan yang sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk memenuhi tuntutan masyarakat atas pelayanan kependudukan yang professional.

Pencapaian kinerja di bidang administrasi kependudukan terutama pemberlakuan SIAK, belum dapat dinilai keberhasilannya dikarenakan sampai dengan saat ini, SIAK dalam hal penerapan NIK belum diberlakukan serentak secara nasional, akan tetapi dilakukan secara bertahap. Disamping itu batasan pemerintah untuk memberikan NIK selambat-lambatnya selama 5 (lima) tahun setelah ditetapkannya UU tersebut. Alokasi dana yang cukup besar terutama pada tahun 2006 dalam memperbaiki administrasi kependudukan secara langsung telah menunjukkan keseriusan pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat dalam menyukseskan SIAK nasional.

Keberhasilan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dalam pembinaan keluarga berencana dibuktikkan dengan berbagai prestasi pada tingkat provinsi Kalimantan Tengah dalam penyelenggaraan KB lestari. Keberhasilan ini secara tidak langsung bias dikatakan bahwa kesadaran masyarakat Kotawaringin Barat dalam mewujudkan Keluarga berencana semakin tinggi.

105)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

ii. Dinas Tenaga Kerja dan TransmigrasiDinas tenaga kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) memiliki

tugas pokok dalam bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian, sedangkan fungsinya adalah melakukan pembinaan arah kebijakan dinas selaras dengan kebutuhan yang sesuai dengan peluang potensi serta kebutuhan daerah yang sinergis dengan rencana pembangunan daerah.

Kondisi ketenagakerjaan berdasarkan data tahun 2003 di Kotawaringin Barat dapat dilihat pada Tabel 4.16 dibawah ini.

Tabel. 4.16Kondisi Ketenaga kerjaan Kotawaringin Barat (2003 2006)

NO URAIAN 2003 2004 2005 2006

1 Penduduk

188.494

198.482

202.051

204.906

2 Penduduk Usia Kerja

101,352

100,661

132,089

106,346

3 Penduduk di atas usia 10 tahun yang bekerja

58,185

54,435

56,258

75.243

4. Penduduk Usia 15 tahun ke atas yang bersekolah

5,931 54,04 4,938 4,873

Sumber : Kobar Dalam Angka, 2003-2006; BPS

Jumlah penduduk yang bekerja di Kobar rata-rata mengalami peningkatan sebesar 10,22 %. Akan tetapi jika dilihat dari data penduduk yang bekerja disebutkan bahwa penduduk di atas usia 10 tahun, padahal penduduk usia kerja batasannya antara sia 15-60 tahun. Kondisi ini dapat diartikan bahwa lapangan kerja masih mempekerjakan anak di bawah umur. Tidak adanya kebijakan yang melarang usia di bawah 15 tahun untuk bekerja, memberikan peluang bagi pengusaha untuk mempekerjakan anak di bawah umur.

Berdasarkan data tahun 2003, Unit Pemukiman transmigrasi berjumlah UPT yang terdiri dari 20.849 KK sedangkan UPT yang masih dibina pada tahun tersebut sebanyak 2 UPT yang terdiri dari 750 KK. Program disnakertrans pada tahun 2005 diprioritaskan pada

(106

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

peningkatan ketrampilan dan perluasan tenaga kerja melaui kegiatan ketrampilan, perlindungan dan perluasan tenaga kerja serta rehabilitas balai latihan kerja untuk mendukung dan memperlancar pelaksanaan pelatihan ketrampilan bagi tenaga kerja. Permaslahan yang terjadi pada tahun 2005 adalah kurangnya prsarana latihan kerja, kurangnya ketrampilan/keahlian calon tenaga kerja serta kesadaran pihak pengguna tenaga kerja dalam menginformasikan lowongan kerja masih kurang. Pada tahun 2006 program bidang ketenagakerjaan dititikberatkan pada peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, peningkatan kesempatan kerja dan perlindungan dan pengembangan Lembaga Ketenagakerjaan sebagai solusi terhadap permasalahan yang terjadi pada tahun 2005, sedangkan bidang ketransmigrasian dititikberatkan pada pengembangan wilayah transmigrasi dengan kegiatan pengerahan dan fasilitasi perpindahan serta penempatan transmigrasi untuk memenuhi kebutuhan SDM. Adapun kegiatan awal yang dilakukan adalah studi penelitian dan perencanaan tata ruang.

Luasnya lahan serta masih sedikitnya penduduk yang mendiami Kobar serta semakin besarnya tuntutan SDM untuk menggarap lahan perkebunan, menuntut kebijakan daerah untuk membuka diri untuk menerima penduduk daerah lain yang ingin bertransmigrasi ke kab. Kobar. Kemampuan suatu daetah untuk membuka diri merpakan salah satu cara untuk menumbuhkan perekonomian daerah. Kota-kota besar di Indonesia pada umumnya dihuni oleh pendatang, bukan hanya penduduk asli setempat. Percampuran budaya inilah yang akan menciptakan daya saing antara penduduk asli dengan pendatang dalam menumbuhkan kegiatan perekonomian di daerah tersebut sehingga secara langsung akan berpengaruh terhadap perekonomian daerah.

iii. Badan Kepegawaian DaerahBadan Kepegawaian Daerah (BKD) memiliki tugas membantu

Kepala Daerah dalam manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah melalui upaya peningkatan efisiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi dan kewajiban pegawai, yang meliputi

107)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan. Dari tugas tersebut BKD memiliki kewenangan untuk membuat perencanaan kebutuhan pegawai di lingkungan kabupaten Kobar atas pengajuan SKPD. Pemenuhan kebutuhan pegawai secara idealnya dilakukan dengan menggunakan analisis beban kerja, degan analisis ini dapat dipastikan bahwa suatu SKPD tidak akan kelebihan pegawai sehingga akan dapat mengefisiensikan APBD dalam hal pembelanjaan pegawai. Pentingnya analisis beban kerja ini sebenarnya telah diakui oleh pemerintah daerah, akan tetapi masih banyak daerah di Indonesia yang belum menerapkan sistem ini.

Pengadaan pegawai di daerah tidak bisa dilakukan secara independen terhadap kuantitasnya, akan tetapi atas persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Jumlah pegawai yang ada di daerah (PNSD) secara langsung akan mempengaruhi besarnya Dana Perimbangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah. Disamping itu juga merupakan alat kontrol terhadap perbandingan jumlah pegawai terhadap jumlah warga di daerah terkait, asumsinya adalah jumlah pegawai yang melayani tidak mungkin akan melebihi jumlah masyarakat yang dilayani.

Dalam hal pengembangan kualitas pegawai, BKD memiliki kewajiban untuk meningkatkan profesionalisme pegawai, baik melalui pemberian beasiswa pendidikan formal maupun informal serta melalui pengiriman pegawai untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat), bimbingan teknis dan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme pegawai. Sistem penggajian PNS/PNSD diberlakukan secara nasional, kebijakan daerah untuk memberikan insentif diperkenankan yang disesuaikan dengan kemampuan daerah masing-masing.

Penempatan dan promosi ditentukan oleh kebijakan daerah yang pada intinya mengacu pada standar kompetensi jabatan serta analisis jabatan. Kesejahteraan pada suatu daerah biasanya dilakukan dengan pemberian insentif berdasarkan kemampuan daerah serta penghargaan sesuai dengan prestasi yang diraih pegawai, akan tetapi

(108

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

terhadap kebutuhan dasar seperti kesehatan, setiap pegawai dan keluarganya (suami/istri dan 2 (dua) orang anak) berhak men-dapatkannya.

Program dan kegiatan yang diselenggarakan oleh BKD dalam menjalankan tugasnya pada tahun 2005 Pendidikan dan Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah melalui pengiriman pegawai untuk mengikuti Diklat kepemimpinan, diklat teknis fungsional, prajabatan, dan tugas belajar. Pada umumnya keinginan pegawai untuk mengikuti diklat fungsional di daerah sangat kurang, pegawai di daerah lebih tertarik untuk mengikuti diklat struktural yang dianggap lebih bergengsi. Hal ini terlihat dari capaian kinerja kegiatan di BKD dimana realisasi kegiatan hanya pada pengiriman pegawai mengikuti diklat struktural dan diklat teknis dengan realisasi anggarannya lebih dari 2,3 milyar.

Kondisi ini seharusnya mendapatkan perhatian yang serius oleh BKD, BKD seharusnya mampu meyakinkan bahwa jabatan fungsional juga menarik, kuantitas yang tidak terbatas serta masa pensiun yang lebih tinggi dibandingkan jabatan struktural. Namun demikian juga harus diimbangi dengan upaya peningkatan profesionalisme pegawai bersangkutan dalam rangka membantu mendapatkan angka kredit.

Pada tahun 2006, anggaran Peningkatan Sumber Daya Manusia Aparatur sebesar 61,99% dari anggaran total sebesar 2,24 milyar, dan alokasi itupun hanya terserap sebesar 750,3 Juta (53,99%). Kondisi ini patut dipertanyakan, bagaimana perencanaan kebutuhan diklat yang dilakukan oleh BKD. Meskipun mungkin penetapan APBD yang tertunda bisa menjadikan kendala terhadap pelaksanaan kegiatan, namun perencanaan yang dilakukan secara matang seharusnya dapat meminimalisir kendala-kendala yang mungkin muncul.

Profesionalisme pegawai merupakan kunci terhadap kemajuan daerah. Kreativitas, inovasi dan terobosan dalam manajemen pemerintahan tidak akan mungkin tercipta tanpa didukung SDM yang ”mlempem” dan tidak/kurang profesional, meskipun pemimpin daerah sangat visioner, namun tanpa didukung oleh jajaran dibawahnya maka bergbagai kebijakan yang telah dicetuskan akan sulit dalam

109)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

pengimplementasiannya. Keseriusan pemerintah daerah untuk meningkatkan profesionalisme pegawai dalam rangka meningkatkan daya saing daerah merupakan suatu keharusan.

iv. Dinas Pariwisata, Seni dan BudayaDinas Pariwisata, Seni dan Budaya (Disparsenibud) mempunayi

tugas membantu kepala daerah dalam pemeliharaan dan mengembangkan/menggali obyek wisata, pembinaan seni budaya serta promosi wisata daerah. Kobar memiliki banyak wisata alam dan budaya yang potensial, salah satunya adalah Nasional Tanjung Puting (TNTP), TNTP merupakan salah satu primadona wisata di kobar, TNTP merupakan kawasan pelestarian alam yang sangat penting artinya untuk melindungi flora dan fauna khas dan endemik di Pulau Kalimantan, yang pada awalnya terdiri dari cagar alam Kotawaringin dan suaka margasatwa Sampit dengan luas total 305.000 Ha. Perluasan kawasan TNTP terjadi pada tahun 1996 menjadi 415.040 Ha. Kawasan ini terletak di semenanjung barat daya Kalimantan Tengah dan meliputi wilayah kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Seruyan. Jenis tumbuhan yang ditemui di TNTP adalah Pandanus sp, bakung, hutan mangrove, nipah, tumbuhan marga causarina, Podocarpus, Scaevola, baringtona, meranti, ramin, jelutung, gaharu, keruing, ulin, dll. Sedang satwa yang ada merupakan satwa endemik seperti Orangutan, Bekantan, Owa-owa, beruang madu. Selain itu juga dihuni sedikitnya 38 jenis mamalia, 9 jenis primata, 16 jenis reptilia dan 200 jenis burung. Kawasan TNTP dikenal sebagai lokasi rehabilitasi orangutan internasional yang pertama kali dibangun di Kalimantan.

Disamping TNTP, wisata lam lain yang potensial adalah pantai, dimana Kobar berbatasan langsung dengan laut Jawa sehingga garis pantai membentang sepanjang di bagian utara wilayah Kobar. Beberapa pantai yang potensial di Kobar antara lain Pantai Bugamraya, Kubu, Tanjung Keluang, Tanjung Penghujan, Keraya.

Topografis Kabupaten Kotawaringin Barat digolongkan menjadi 4 bagian dengan ketinggian antara 0-500 m dari permukaan laut dan kemiringan antara 0-40%, yaitu dataran, daerah datar berombak,

(110

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

daerah berombak berbukit dan daerah berbukit-bukit, dilihat dari potensi wisatanya memungkinkan Kobar tidak hanya memiliki wisata patai, akan tetapi juga air terjun. Air terjun yang poensial di Kobar yaitu Air terjun Patih Mambang dan Gosong Senggora.

Kobar memiliki nilai historis yang tinggi, Kabupaten Kobar merupakan satu-satunya kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah yang berasal dari sebuah kerajaan yaitu Kerajaan Kotawaringin. Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, Kerajaan Kotawaringin sudah eksis sejak ratusan tahun sebelumnya. Kerajaan Kotawaringin sudah berdiri sejak 1679. Penguasa pertama kerajaan Kotawaringin sendiri berasal dari keluarga bangsawan Kesultanan Banjar, Pangeran Adipati Antakusuma, yang memerintah hingga 1687.

Tetapi Pangkalan Bun baru menjadi ibukota Kesultanan Kotawaringin pada 1814. Sebelumnya, istana Kesultanan Kotawaringin berada di hulu sungai Lamandau yang lebih dikenal dengan sebutan Istana Alnursary yang kemudian dipindahkan ke Pangkalan Bun atas inisiatif Sultan yang berkuasa saat itu yaitu Sultan Imanuddin. Istana baru di Pangkalan Bun ini dikenal dengan sebutan Istana Kuning yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang patut dijaga dan dilestarikan.

Kondisi berbagai tempat wisata di Kobar seperti pantai kubu, bugamraya, TNTP, bahkan istana kuning kurang mendapatkan perhatian yang serius oleh pemerintah Kobar. Hal ini terlihat dari kondisi tempat wisata dan cagar budaya tersebut yang cukup memprihatinkan. Penanganan yang serius terhadap pelestarian dan pemeliharaan tempat wisata dan cagar budaya bukan tidak mungkin akan mendatangkan berbagai keuntungan bagi pemerintah Kabupaten Kobar.

C. Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kutai Timur1. Provinsi Kalimantan Timur

a) Gambaran Umum DaerahProvinsi Kalimantan Timur yang terletak disebelah timur Pulaiu

111)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Kalimantan memiliki luas wilayah sebesar 20.865.774 Ha. Luas ini menjadikan Kalimantan Timur sebagai provinsi dengan wilayah terluas kedua di Indonesia setelah Provinsi Papua. Sebagian besar wilayah Kalimantan Timur berupa daratan yakni seluas 19.844.117 Ha.

Provinsi Kalimantan Timur berbatasan langsung dengan wilayah provinsi lain, selat dan Negara lain. Disebelah utara berbatasan dengan Malaysia, timur dengan Selat Makassar, selatan dengan Kalimantan Selatan dan dibarat berbatatasan dengan Kalimantan Tengah. Wilayah Kalimantan Timur sendiri terdiri atas 10 Kabupaten dan 4 kota. Kabupaten: Nunukan, Malinau, Kutai Barat, Bulungan, Berau, Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Penajam Paser Utara dan Pasir. Kota: Balikpapan, Samarinda, Bontang dan tarakan. Dan 135 Kecamatan serta 1.410 Dese/Kelurahan.

Penduduk Kalimantan Timur, tahun 2006 berjumlah 2,9 juta jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata 2,66 persen pertahun dengan kepadatan rata-rata 13,83 jiwa per kilometer persegi. Pertumbuhan penduduk secara alamiah 1,22 %, migrasi 2,75 %.

Tabel. 4.17 Penduduk Kalimantan Timur (2002 2008)

Tahun Jumlah Penduduk2002

2.558.572 Jiwa

2003

2.704.851 Jiwa

2004

2.750.369 Jiwa

2005

2.928.654 Jiwa

2006 2.948.177 Jiwa

Kalimantan Timur kaya akan potensi sumber daya alam. Potensi tambang meliputi sumber daya mineral dan energi diantaranya adalah minyak dan gas bumi, batubara, emas, dan lain-lain. Potensi hutan seluas kurang lebih 16,64 juta Ha, meliputi kawasan hutan lindung, hutan produksi, hutan konservasi, dan pantai/sungai/ danau/ waduk, suaka alam, cagar alam, cagar budaya, taman nasional, obyek wisata lingkungan, dan kawasan lindung lainnya. Kawasan budidaya kehutanan (kehutanan dan non kehutanan terdiri dari kawasan eksploitasi pertambangan, pertanian, perkebunan, perikanan, permukiman, industri, pariwisata dan infrastruktur).

(112

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Tabel. 4.18Potensi Sumberdaya Alam menurut Kabupaten/Kota

NO KABUPATEN/ KOTA KOMODITAS UNGGULAN 1. Nunukan

Kakao, Kelapa Sawit, Perikanan, Padi dan (Bario), Jagung, Ayam Nunukan, Minyak Bumi, Hutan Tanaman Industri (HTI) Dan Garam Gunung.

2. Malinau Kakao, Kelapa Sawit, Nenas, Cempedak, HTI, Dan Batubara

3. Bulungan

Kelapa Sawit, Durian, Kakao, Perikanan, Cempedak, Metanol, Dan HTI.

4. Berau Kelapa Sawit, Karet, Padi, Kedelai, Perikanan, Kelapa, Pariwisata, Dan Batubara.

5. Tarakan Udang, Ayam Ras, Dan Minyak Bumi.

6. Kutai Timur

Kelapa Sawit, Pisang, Jagung, Karet, Batubara Dan HTI.

7. Kutai Kartanegara

Kelapa Sawit, Karet, Padi, Lada, Pisang, Nanas, Perikanan, Pariwisata, Batubara, HTI Dan Gas.

8. Kutai Barat

Kelapa

Sawit, Karet, Durian,Rambutan, Perikanan Darat, Batubara Dan Emas.

9. Bontang Perikanan, Pupuk Dan LNG

10. Samarinda Perikanan, Pariwisata, Lada Dan Batubara

11. Balikpapan Perikanan, Pariwisata, dan Pengilangan Minyak Bumi.

12. Penajam Paser U. Perikanan, Kelapa Sawit, Durian, Karet Dan HTI

13. Pasir Kelapa Sawit, Karet, Padi, Pisang, Perikanan, Batubara dan HTI.

b) Potensi Sumber Penerimaan Provinsi Kalimantan TimurSebelum era desentralisasi dan otonomi daerah, seluruh

penerimaan yang berasal dari penambangan minyak bumi dan gas harus disetorkan kepada negara. Daerah penghasil hanya mendapatkan subsidi dari pemerintah pusat. Pada era tersebut ketimpangan fiskal yang terjadi antara pusat dan daerah sangat besar. Pembangunan pun hanya terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, terutama di pulau jawa. Provinsi Kalimantan Timur sebagai salah satu penghasil penerimaan terbesar dari sektor pertambangan terkondisikan sebagai daerah marjinal.

Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, daerah diberikan sumber-sumber penerimaan. Menurut Boex (1999), elemen penting yang merupakan pilar pelaksanaan desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan daerah adalah revenue assignment (kewenangan untuk memungut pajak), intergovernmental fiscal transfers (transfer dana), dan sub-national borrowing (pinjaman daerah).

113)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Di Indonesia berdasarkan UU No. 33 tahun 2004, daerah diberikan sumber-sumber penerimaan yaitu : Pendapatan Asli Daerah (PAD), transfer dana berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus dan dana penyesuaian, serta pinjaman daerah. Sebagaimana disebutkan di muka, alokasi dana perimbangan terdiri dari DBH (dari pajak dan sumber daya alam), DAU, dan DAK.

Provinsi Kalimantan Timur merupakan daerah yang dianugerahi kekayaan sumber daya alam yang melimpah, mulai dari minyak bumi, gas, batubara, dan barang tambang lainnya. Tidak hanya itu kondisi tanah yang subur memungkinkan pula bagi tumbuhnya sektor pertanian dan perkebunan di Provinsi tersebut, seperti perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan potensi sumber daya alam yang besar tersebut maka Provinsi Kalimantan Timur mendapatkan porsi alokasi dana bagi hasil yang cukup signifikan untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang telah diserahkan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Gambar 4.11 menggambarkan tren alokasi dana perimbangan (DBH, DAU, dan DAK) yang diterima oleh Provinsi Kalimantan Timur sejak tahun anggaran 2001 sampai dengan 2007.

Tren Dana Perimbangan Provinsi Kalimantan Timur(2001-2007)

Sumber : Departemen Keuangan; diolah. Data tahun 2001-2006 merupakan angka realisasi, sedangkan data tahun 2007 merupakan angka dalam APBD.

Gambar. 4.11Tren Dana Perimbangan Provinsi Kalimantan Timur (2001 2007)

(114

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Untuk memberi gambaran yang lebih jelas, terhadap komposisis dana perimbangan khususnya yang bersumber dari dana bagi hasil dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.19Penerimaan Dana Bagi Hasil Prov. Kaltim (2003 - 2007)

(Juta Rupiah)

JENIS PENERIMAAN 2003 2004 2005 2006 2007* JUMLAH

PAJAK: PBB 104.963,4

132.572,5

247.330,6

313.975,0

113.213,2

912.054,9

BPHTB 4.915,5

8.214,4

10.046,2

9.994,9

2.146,7

35.317,9

PPH 108.395,8

101.548,6

100.657,7

60.848,0

197.529,2

568.979,5

Sumber Daya Alam

PSDH 53.261,8

38.054,0

24.538,0

36.482,2

55.166,4

207.502,7

IHPH

3.665,3

1.102,5

4.767,8

LANDRENT 551,2

354,9

1.691,2

3.537,4

2.377,2

8.512,1

ROYALTY 93.344,2

88.541,0

142.005,8

244.327,7

321.986,1

890.205,0

MINYAK BUMI 237.816,6

289.234,2

524.233,1

685.328,6

499.327,3

2.235.939,9

GAS ALAM 890.295,5 898.146,7 1.475.116,4 2.038.823,4 1.392.838,7 6.695.221,0

Total 1.493.544,5 1.560.332,0 2.526.722,0 3.393.317,5 2.584.585,2 11.558.501,4

Pertumbuhan 4,47% 61,93% 34,30% -Rata-Rata

33,57%

* Penerimaan 2007 adalah sementaraSumber: Bappeda Prov. Kaltim

Dari Gambar dan tabel tersebut terlihat bahwa DBH sumber daya alam memberikan porsi yang terbesar terhadap alokasi dana perimbangan untuk Provinsi Kaltim. Sejak tahun 2001 sampai dengan 2007, kontribusi penerimaan Provinsi Kaltim yang bersumber dari DBH sumber daya alam mencapai rata-rata 52 persen terhadap total pendapatan dalam APBD dan sebesar 68 persen terhadap total dana perimbangan.

Secara lebih spesifik, pada dasarnya perolehan alokasi DBH SDA secara persentase mengalami fluktuasi kenaikan dan penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002, realisasi penerimaan DBH SDA mengalami penurunan sebesar 6 persen dibandingkan dengan realisasi penerimaan pada tahun 2001. Namun pada tahun-tahun selanjutnya hingga tahun 2005 mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu rata-rata sebesar 28 persen. Kemudian pada tahun 2006 realisasi penerimaan mengalami penurunan yang cukup drastis yaitu sebesar 43 persen, dan pada tahun 2007 diperkirakan akan mengalami penurunan

115)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

sebesar 11 persen dibandingkan dengan realisasi tahun 2006. Sementara itu, estimasi untuk penerimaan tahun 2008 dimungkinkan mengalami penurunan seiring dengan menurunnya estimasi alokasi DBH SDA secara nasional.

Di lain sisi, DAU yang merupakan sumber yang paling dominan di banyak daerah- ternyata hanya memberikan kontribusi sekitar 10 persen terhadap total pendapatan Provinsi Kaltim. Begitu pula dengan DAK yang hanya memberikan sedikit kontribusi terhadap pendapatan Kaltim. Apabila dihitung secara agregat maka kontribusi dana perimbangan terhadap total pendapatan dalam APBD selama enam tahun terakhir menunjukkan angka persentase sebesar rata-rata 70 persen.

Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan provinsi Kalimantan Timur sangat tergantung dari DBH SDA. Terlebih lagi bila angka persentase tersebut dibandingkan dengan kemampuan pemda dalam memobilisasi sumber-sumber penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sejak tahun 2001-2006, kontribusi PAD terhadap total pendapatan dalam APBD rata-rata mencapai 23 persen. Dari persentase tersebut, penerimaan dari sektor perpajakan daerah memberikan kontribusi yang cukup signifikan, yaitu rata-rata sebesar 69 persen. Sementara itu, retribusi daerah memberikan kontribusi rata-rata sebesar 13 persen, sisanya adalah kontribusi dari laba perusahaan daerah dan lain-lain PAD.

Tabel 4.20Pertumbuhan Penerimaan Sumberdaya Alam (SDA)

TahunJumlan Penerimaan

DBH dari SDA

Prosentase Pertumbuhan

2003 1.275.269.646.854 2004 1.317.996.449.540

3%

2005 2.168.687.353.150

65%

2006 3.008.499.503.742 39%

Pertumbuhan rata-rata 36%Sumber: Dispenda Prov. Kaltim, 2007

Dalam Tabel 4.20 diatas menunjukan bahwa pertumbuhan sumber DBH yang berasal dari penerimaan SDA secara rata-rata meningkat sebesar 36% dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2004. Secara umum angka-

(116

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

angka tersebut menggambarkan nilai eksploitasi dan eksplorasi SDA yang semakin meningkan dan juga diberlakukannya UU No. 33 Tahun 2004 yang menambah persentase bagi hasil pertambangan minyak yang semula 15% untuk daerah menjadi 15,5% dan pertambangan gas alam yang semula 30% dikelola oleh daerah menjadi 30,5%. Walaupun kecil (0,5%) tentu saja perubahan ini cukup signifikan.

Jenis penerimaan menurut komponen penyusunnya Sumber daya alam masih mendominasi sumbangan untuk DBH Provinsi Kalimantan Timur. Secara rata-rata dari tahun 2003 sampai dengan 2006 sebesar 86% bandingkan dengan Pajak yang hanya 14%. Hal ini mengisyaratkan bahwa ketergantungan Kalimantan Timur terhadap pengelolaan Sumberdaya Alamnya masih sangat besar. padahal telah diketahui bersama bahwa Sumberdaya Alam merupakan salah satu energi yang tidak dapat diperbaharui. Untuk itu perlu diperlukan sebuah pemikiran bersama dalam rangka mempersiapkan sebuah scenario. Guna menghadapi jika sumberdaya alam yang menjadi tumpuan akan habis.

Perbandingan tersebut dapat dengan jelas dilihat pada tabel 4.3.5 dibawah ini.

Tabel 4.21Kontribusi Pajak dan Sumberdaya Alam dalam Dana Bagi Hasil

Kalimantan Timur

Tahun Pajak % Sumberdaya Alam %

2003

218.274.872.590

15%

1.275.269.646.854

85%

2004

242.335.631.768

16% 1.317.996.449.540

84%

2005

358.034.710.059

14% 2.168.687.353.150

86%

2006

384.818.002.566

11%

3.008.499.503.742

89%

Rata-Rata 14% 86%Sumber: Dispenda Prov. Kaltim, 2007

Kondisi tersebut mencerminkan bahwa potensi penerimaan dari PAD, terutama dari pajak daerah, memberikan indikasi sumber penerimaan yang potensial bila dilakukan secara intensif. Data tersebut memberikan gambaran mengenai fitur perolehan PAD di Provinsi Kaltim selama tahun 2003 sampai dengan 2006.

117)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

c) Kinerja SektoralUU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan hadir untuk

membantu menopang pelaksanaan otonomi daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah ini hadir dimaksudkan untuk mencapai efektifitas dan efisiensi yang lebih baik dalam menyelenggarakan otonomi daerah melalui penyediaan sumber pendanaan. Diharapkan dengan diaturnya pola pendistribusian pendapatan Negara ini daerah-daerah mampu mencapai tujuan otonomi daerah dengan optimal. Melalui kinerja sector-sektor pelayanan public kiranya dapat diukur sejauh mana dana perimbangan ini memiliki kontribusi.i. Sektor Kesehatan

Kesehatan merupakan salah satu factor yang dijadikan indeks dalam pengembangan sumberdaya manusia disebuah daerah. Perwujudan masyarakat yang sehat juga menjadi pengharapan dari setiap daerah. Secara kumulatif masyarakat yang sehat akan mendongkrak daya saing Negara.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sendiri sangat memperhatikan masalah kesehatan setiap warganya. Dengan visi "Terwujudnya masyarakat yang berperilaku hidup sehat, dalam lingkungan yang kondusif untuk hidup sehat, dapat menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata oleh masyarakat secara proporsional" Pemerintah Kalimantan Timur ingin mewujudkan masyarakat yang sehat dan berperilaku sehat diwilayahnya.

ii. Sektor PendidikanSalah satu program-program prioritas pembangunan di

Kalimantan Timur adalah "Sumberdaya Manusia yang berkualitas". Dengan harapan nantinya SDM di Kaltim memiliki daya saing yang tinggi. Pemerintah Daerah Kalimantan Timur sendiri menganut falsafah demokrasi pendidikan. Yaitu mengutamakan pada persamaan hak bagi semua anak dari semua keluarga untuk dapat memeperoleh pendidikan yang baik.

(118

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Saat ini orientasi pendidikan kearah pasar tenaga kerja. Pendidikan diposisikan sebagai sebuah proses membentuk manusia agar mempunyi skill atau kemampuan yang dapat diserap di pasar tenaga kerja. Baik menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI/Polri, bekerja disektor industri maupun wiraswasta.

Esensi dari pendidikan adalah pembangunan manusia. Kemajuan pembangunan manusia ditunjukan oleh indeks pembangunan manusia atau human development index (HDI). Disektor pendidikan HDI diukur melalui persentase melek aksara orang dewasa dan rata-rata lama sekolah. Dengan adanya kegiatan pembangunan manusia disektor manusia diharapkan akan menumbuhkan kesadaran akan kesehatan dan secara simultan akan memperbaiki tingkat kesehatan. Yang kedua dengan pendidikan yang baik akan memperbaiki tingkat perekonomian. Karena pendidikan akan meningkatkan kompetensi seorang manusia yang selanjutnya akan terserap dipasar tenaga kerja. Kedua hal ini akan bermuara kepada peningkatan mutu manusia.

iii. Sektor Sosial Dinas sosial sebagai salah satu dinas yang diberikan wewenang

dalam mengatasi PMKS (masyarakat yang digolongkan sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) hampir setiap tahun mengalami permasalahan. Dilihat dari angka PMKS di Kalimantan Timur yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Secara rata-rata pertumbuhan angka PMKS sebesar 30% (jika diukur dari angka pertumbuhan dengan satuan jiwa) dan 13% (jika diukur dari angka pertumbuhan dengan satuan kepala keluarga) dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007.

119)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Tabel 4.22Jumlah Penduduk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

Di Provinsi Kalimantan Timur

NO Tahun Jumlah

Jiwa

Pertumbuhan

KK

Pertumbuhan

1 2003

259.027

94.136

2 2004

342.958

32,40 %

56.349

-40,14 %

3 2005

536.377

56,40 %

107.711

91,15 %

4 2006

449.159

-16,26 %

120.493

11,87 %

5 2007

664.261

47,89 %

111.103

-7,79 %

JUMLAH 2.251.782 489.794

Rata-rata 30 % 13,77 %

Hal ini merupakan problematika bagi Kalimantan timur sendiri. Disinyalir banyak hal yang menyebabkan nilai PMKS ini terus menerus naik. Diantaranya adalah masuknya penduduk dari wilayah lain yang tidak memiliki keterampilan. Selain itu, ada indikasi meningkatnya penduduk yang mengaku miskin karena tertarik dengan bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah untuk penduduk miskin ini.

2. Kabupaten Kutai Timura) Gambaran Umum Daerah

Kabupaten Kutai Timur merupakan salah satu kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Kutai berdasarkan UU No 47 tahun 1999 dimana kabupaten ini terletak pada garis astronomi 115° 56'26” BT- 118°58'19”BT & 1°17'1” LS-1°52'39 LU.44. Semula, kabupaten ini terdiri dari 5 kecamatan, kemudian berdasarkan Peraturan Daerah No.16 Tahun 1999 dimekarkan menjadi 11 kecamatan dimana pada tahun 2005, berdasarkan Perda No. 12 Tahun 2005, Kabupaten ini dimekarkan lagi menjadi 18 kecamatan.

Wilayah Kabupaten Kutai Timur seluas 35.747 km² atau 3.429.260 Ha merupakan 17% dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Timur, dengan batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Talisayan dan Kecamatan Kelay (Kabupaten Berau), Sebelah Selatan berbatasan dengan Bontang Utara dan Kecamatan Marang Kayu (Kabupaten Kutai

(120

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Kartanegara). Sebelah Timur Berbatasan dengan Selat Makasar dan Laut Sulawesi dan Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kembang Janggut dan Kecamatan Tabang (Kabupaten Kutai Kartanegara)

Sebagaimana kabupaten lain pada umumnya yang memiliki sumberdaya alam melimpah dan wilayahnya sangat luas, maka tidak mengherankan jika beragam etnis mendiami Kutai Timur. Kedatangan etnis lain (selain dari Kutai dan Dayak) terutama sekali didorong oleh dua faktor. Pertama, terbukanya daerah ini sebagai tempat yang baik untuk mencari kerja atau mengembangkan usaha yang didorong oleh sektor industri batubara, maupun pengelolaan kayu yang keduanya mendatangkan banyak tenaga kerja dari luar daerah. Kedua, karena ikut program transmigrasi yang dilaksanakan pemerintah.

Pada sekitar enam tahun yang lalu, yaitu tahun 2001, jumlah penduduk Kabupaten Kutai Timur mencapai 157.163 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 7,27%. Kemudian, tahun 2002 jumlah penduduk kabupaten ini meningkat menjadi 161.946 jiwa dan tahun 2003 meningkat kembali mencapai 165.461 jiwa dengan pertumbuhan sebesar 2,17%. Tahun 2004 jumlah penduduk telah meningkat menjadi sebesar 168.529 dengan pertumbuhan sebesar 1,85%. Dengan luas wilayah yang

2mencapai 35.747,50 Km atau 17% dari total wilayah Provinsi Kalimantan Timur maka tingkat kepadatan penduduk tahun 2004 adalah sebesar 4,71

2 orang per Km (Tabel 4.23). Dengan terjadinya perkembangan pembangunan daerah yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir ini, maka data terakhir menurut BPS Kabupaten Kutai Timur (2005), maka jumlah penduduk kabupaten ini telah mencapai 174,743 jiwa, dengan

2tingkat kepadatan penduduk bertambah menjadi 4.89 orang per Km .

Tabel 4.23Perkembangan Kependudukan Kab Kutim 2001-2004

Uraian 2001 2002 2003 2004

Jumlah Penduduk (Jiwa) 157.163

161.946

165.461

168,529

Pertumbuhan (%)

7,27

3,04

2,17

1,85

Kepadatan penduduk (Jiwa/Km2) - 4,63 4,63 4,71

Sumber: BPS Kabupaten Kutai Timur, 2004 (diolah)

121)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, maka tingkat partisipasi angkatan kerja di Kutai Timur mengalami peningkatan. Total angkatan kerja di Kutai Timur meningkat dari 60.463 orang pada tahun 2002 menjadi 66.653 orang tahun 2003, pada tahun 2004 menjadi 70.741 orang. Penyediaan lapangan pekerjaan biasanya mengikuti perkembangan ekonomi. Di Kabupaten Kutai Timur telah terjadi pergeseran lapangan pekerjaan dari sektor primer (pertanian) ke sektor tersier (jasa) dan sekunder (industri pengolahan).

Pada tahun 2002 terdapat lebih kurang 3.479 orang pencari pekerjaan sedangkan yang sudah bekerja 56.984 orang, tahun 2003 pencari pekerja berjumlah 1.747 orang yang sudah mendapat pekerjaan berjumlah 64.905 orang sedangkan untuk tahun 2004 jumlah pencari pekerja meningkat menjadi 3.733 orang dan mendapat pekerjaan berjumlah 67.008 orang (Tabel 4.24). Hal ini cukup dimaklumi, mengingat di Kabupaten Kutai Timur sebagian besar pekerjaan di sektor informal diperkirakan terdapat dalam sektor sekunder, yaitu diantaranya terdiri dari sektor pertambangan dan penggalian; industri pengolahan dan konstruksi, dimana sektor-sektor tersebut masih merupakan sektor utama penyerap tenaga kerja. Besarnya jumlah angkatan kerja di satu pihak dan di lain pihak terbatasnya kemampuan ekonomi untuk menyerap tenaga kerja menimbulkan pengangguran.

Tabel 4.24Partisipasi Angkatan Kerja di Kab. KUTIM 2001-2004

Uraian 2001 2002 2003 2004 Bekerja 62.175

56.984

64.905

67.008

Pencari Pekerjaan 3.796 3.479 1.747 3.733Sumber: BPS Kabupaten Kutai Timur, 2005

i. Kondisi Sosial dan PerekonomianKelompok penduduk miskin di Kutai Timur sejak tahun 2002

2003 mengalami penurunan cukup positif, sebagai akibat program pemerintah dan peran serta masyarakat dalam pengentasan kemiskinan dari sosial ekonomi secara terpadu. Hasil-hasil yang dicapai dari pengembangan program-program tersebut, antara lain adalah

(122

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

penurunan jumlah penduduk miskin dari 11,63% tahun 2002 menjadi 11,17% pada tahun 2003.

Tabel 4.25Jumlah Penduduk Miskin Dan Rumah Tangga Miskin Di Kab Kutim Tahun 2005

Kecamatan Rumah Tangga

Miskin

Penduduk Miskin

1. Muara Ancalong

386

2.422 2. Busang 241

1.238

3. Muara Wahau

288

1.208

4. Telen 426

2.261

5. Kongbeng 361

2.306

6. Muara Bengkal

396

2.291

7. Sangatta 752

3.529

8. Bengalon 107

534

9. Sangkulirang

981

4.419

10. Kaliorang 269 1.378

11. Sandaran 231 973

Jumlah 4.420 22.559

Sumber: BPS Kabupaten Kutai Timur, 2005

Menyadari pentingnya pengentasan kemiskinan, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur melalui beberapa Program telah berupaya mengurangi penduduk miskin dan berbagai program pendukung juga telah dilaksanakan dengan semaksimal mungkin. Namun, kadang kala keterbatasan data kemiskinan yang lengkap dan akurat menjadi salah satu kendala program pengentasan kemiskinan ini, karena tidak secara langsung diketahui siapa dan dimana keberadaannya. Walupun data yang dimaksud ada namun keakuratannya masih dipertanyakan, salah satu penyebab adalah hingga saat ini belum diperoleh secara pasti satu konsep atau metode pengukuran kemiskinan yang dapat diterima secara universal. Dari jumlah penduduk di Kabupaten Kutai Timur tahun 2004 sebanyak 168.529 jiwa terdapat 4.420 rumah tangga miskin dan 22.559 penduduk miskin (Tabel 4.25).

123)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Kondisi ekonomi makro yang ditunjukkan oleh besaran dan laju pertumbuhan PDRB Kutai Timur atas dasar harga berlaku pada tahun 2005 sebesar Rp.12,32 triliun, menunjukkan angka yang mengalamai peningkatan dibanding tahun 2004 yang hanya sebesar Rp.9,87 triliun. Sedangkan PDRB atas dasar harga berlaku tanpa migas dan batubara nilainya mencapai Rp.2,28 triliun meningkat dari tahun 2004 yang sebesar Rp.1,917 triliun. Perekonomian Kabupaten Kutai Timur pada tahun 2005 tumbuh sebesar 20,92 persen, ini menunjukkan nilai tambah produk barang dan jasa yang tercipta di wilayah Kutai Timur selama tahun 2005 meningkat sebesar 20,92 persen dibanding tahun 2004. Sedangkan laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kutai Timur tanpa migas dan batubara sebesar 7,02 persen (Tabel 4.26). Pertumbuhan ekonomi Kutai Timur tidak bisa terlepas dari pertumbuhan subsektor pertambangan non migas yaitu pertambangan batubara, hal ini disebabkan dominasi batubara yang masih tetap besar pengaruhnya terhadap perekonomian Kutai Timur hingga beberapa tahun kedepan. Selama dua tahun berturut-turut pertumbuhan subsektor ini cukup tinggi yaitu 28,94 persen pada tahun 2004 dan 24,28 persen pada tahun 2005.

Bila diurutkan menurut sektor ekonomi dari pertumbuhan yang tertinggi ke pertumbuhan yang terendah, maka sektor pertambangan dan penggalian adalah sektor yang tertinggi pertumbuhannya dengan pertumbuhan sebesar 23,41 persen, selanjutnya sektor tertinggi lainnya adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan pertumbuhan sebesar 17,11 persen, diikuti sektor listrik, gas dan air bersih dengan pertumbuhan sebesar 14,37 persen. Sektor ekonomi keempat tertinggi pertumbuhannya adalah sektor keuangan yang tumbuh sebesar 9,24 persen dan kelima adalah sektor Jasa-jasa dengan pertumbuhan sebesar 6,64 persen. Berikutnya secara berurutan yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor pertanian dan sektor industri pengolahan, masing-masing dengan pertumbuhan sebesar 5,87 persen, 2,91 persen dan 2,76 persen. Sedangkan yang terakhir adalah sektor bangunan yang tumbuh hanya sebesar 1,86 persen (Gambar 4.12).

(124

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Tabel 4.26Perkembangan PDRB dan Pertumbuhan Ekonomi

Kab Kutim (2000 2005)

TahunDengan Migas ADHB

(Juta Rp)

Tanpa Migas &

BatubaraADHB

(Juta Rp)

Laju Pertumb.

Tanpa Migas&

Batubara (%)

2000 5.493.583

794.722

6,81

2001 7.069.721

1.068.366

24,62

2002 6.991.177

1.682.869

48,43

2003 6.385.508

1.694.741

-3,86

2004 9.868.319 1.917.825 5,90

2005 12.323.703 2.284.496 7,02

Ket: ADHB=Atas Dasar Harga BerlakuSumber: BPS Kutai Timur

Perekonomian Kutai Timur pada tahun 2004 dan 2005 meningkat cukup tinggi setelah sempat terpuruk pada tahun 2003 akibat turunnya kinerja beberapa sektor utama seperti pertambangan batubara, bangunan, perdagangan dan pertanian. Penyebabnya adalah karena menurunnya produksi batubara dan defisit anggaran pemerintah daerah. Pada tahun 2004 dan 2005 pertumbuhan subsektor pertambangan batubara yang merupakan bagian dari pertambangan non migas tumbuh sebesar 28,94 persen dan 24,28 persen. Tingginya kenaikan produksi batubara ini tidak terlepas oleh membaiknya kinerja produksi dua perusahaan besar tambang batubara yang ada di Kutai Timur yaitu PT. Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT. Banpu Indominco Mandiri.

Selain pertambangan batubara sektor lainnya yang mendongkrak pertumbuhan ekonomi Kutai Timur adalah perdagangan dan pertanian. Dua sektor ini pertumbuhannya masing-masing sebesar 17,11 persen dan 2,91 persen. Sektor pertanian meningkat dari 1,85 persen pada tahun 2004 menjadi 2,91 persen, subsektor pertanian yang cukup tinggi peningkatannya adalah komoditi peternakan yang tumbuh sebesar 18,43 persen dan perikanan yang tumbuh sebesar 11,01 persen. Pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang cukup tinggi tidak terlepas dari pengaruh dan sumbangan sektor

125)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

pertamba-ngan dan pertanian sebagai efek dari commodity flow (sumbangan sektor lainnya terhadap perdagangan). Sub-sektor yang utama adalah perdagangan sendiri yang meningkat sebesar 17,77 persen dibanding tahun sebelumnya. Selain perdagangan, restoran juga meningkat sebesar 3,50 persen, sedangkan hotel meningkat menjadi 24,30 persen karena pengaruh tingkat hunian hotel dan jumlah malam kamar yang meningkat akibat banyaknya hotel dan penginapan yang beralih fungsi menjadi persewaan pada tahun 2004 kembali statusnya menjadi hotel dan penginapan.

Gambar 4.12Pertumbuhan Ekonomi Berdasakan Sektor di Kutim

(2004 - 2005)

(126

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Struktur ekonomi Kabupaten Kutai Timur masih sangat di dominasi oleh sektor yang mengandalkan SDA yang berasal dari bahan tambang. Pada tahun 2005, sektor yang memberikan kontribusi terbesar adalah pertambangan dan penggalian yang utamanya berasal dari pertambangan non migas yaitu batu-bara sebesar 82,42%. Sektor pertanian merupakan sektor kedua yang cukup besar peranannya yaitu sebesar 5,48 %. Selanjutnya sumbangan sektor perdagangan, hotel dan restoran menempati posisi ketiga yang kontribusinya mencapai 3,76 persen sedangkan bangunan merupakan sektor yang memiliki kontribusi keempat terbesar terhadap PDRB Kutai Timur yaitu sebesar 2,90 %. Untuk sektor-sektor lainnya, umumnya belum banyak mengalami perubahan yaitu berkisar di bawah 2,5% (Gambar 4.13). Memperhatikan struktur ekonomi pada tahun 2005 tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekuatan ekonomi Kabupaten Kutai Timur masih sangat tergantung pada SDA dan sumber hayati yang tidak dapat diperbaharui yang selama ini terus dieksploitasi secara besar-besaran sehingga perlu dipikirkan agar ketergantungan tersebur dapat berubah secara perlahan-lahan dan beralih kepada sumber-sumber yang terbaharui.

Gambar 4.13Struktur Perekonomian Kutai Timur Tahun 2005

127)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Kabupaten Kutai Timur adalah kabupaten yang kaya akan sumber daya tambang dan migas terutama batubara, sementara sumbangan komoditi-komoditi lainnya seperti pertanian dan industri belum terlalu memadai, sehingga untuk melihat lebih jelas perananya maka komoditi batubara dan migas perlu dikeluarkan dari perhitungan. Bila unsur batubara dan migas diabaikan maka terlihat bahwa sektor pertanian, perdagangan, bangunan dan angkutan merupakan sektor yang paling dominan pengaruhnya terhadap perekonomian Kutai Timur. Sektor pertanian pada tahun 2005 peranannya sebesar 29,55 persen, sedangkan perdagangan peranannya sebesar 20,29 persen, bangunan sebesar 15,62 persen dan angkutan sebesar 12,77 persen.

Tingginya peranan sektor pertanian utamanya disumbang oleh komoditi kehutanan berupa kayu bundar, walaupun peranannya semakin lama semakin menurun. Sedangkan komoditi pertanian lainnya yaitu kelapa sawit semakin meningkat seiring dengan program pemerintah daerah yang menggalakkan penanaman perkebunan sawit dan pengolahannya dengan mendirikan pabrik CPO di beberapa daerah. Sektor perdagangan dan bangunan juga cukup besar peranannya karena umumnya berasal dari impor barang yang berasal dari luar Kutai Timur dan selisih dari margin perdagangan yang cukup besar.

ii. Potensi Unggulan DaerahSecara geografis wilayah Kabupaten Kutai Timur sesuai untuk

pengembangan agrobisnis. Komoditas kelapa sawit, karet, coklat, kopi, kelapa, tanaman hortikultura dan palawija (nenas, durian, rambutan, jagung, lada, dan sayur-sayuran) merupakan komoditas unggulan Kabupaten Kutai Timur. Kelapa sawit merupakan salah satu produk unggulan Kabupaten Kutai Timur, termasuk salah satu komoditas ekspor crude palm oil (CPO) Indonesia ke Belanda, India, Cina, Malaysia, dan Jerman. Sedangkan produk inti minyak sawit (PKO) lebih banyak diekspor ke Belanda, Amerika Serikat, dan Brasil. Sementara itu, di sub sektor tanaman pangan, selama kurun waktu tahun 1999 - 2005 produksi padi yang tersedia belum dapat memenuhi kebutuhan lokal, sehingga masih membutuhkan pasokan beras dari luar kabupaten.

(128

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Pada tahun 2005 Kabupaten Kutai Timur memproduksi padi sebanyak 41.132 ton dari luas panen 15.715 ha, terdiri dari produksi padi sawah 13.075 ton dan produksi padi ladang 28.057 ton. Penyediaan beras di wilayah Kabupaten Kutai Timur pada tahun 2005 sebanyak 27.803 ton yang berasal dari produksi lokal sebesar 24.236 ton dan 3.203 ton merupakan impor dari luar daerah Kabupaten Kutai Timur. Sedangkan beras yang tersedia untuk dikonsumsi penduduk Kabupaten Kutai Timur adalah sebesar 27 108 ton.

Selain sektor pertanian, sektor peternakan juga memiliki peluang untuk dikembangkan, diantaranya jenis yang potensial dikembangkan terdiri dari sapi, kerbau, kambing, domba dan babi. Sampai dengan akhir tahun 2005, ternak sapi memiliki populasi terbesar di Kabupaten Kutai Timur, yaitu sebanyak 15.779 ekor atau 57,75% dari seluruh jumlah ternak. Jumlah ternak kerbau sebanyak 528 ekor, ternak kambing 6.396 ekor, ternak domba 43 ekor dan ternak babi 4.573 ekor. Jumlah ternak yang dipotong selama tahun 2005 adalah sebanyak 4.769 ekor, meliputi sapi 2.121 ekor, kambing 1.716 ekor dan babi 932 ekor. Jumlah ternak masuk sebanyak 4.310 ekor terdiri dari ternak sapi 2.540 ekor dan ternak kambing 1.770 ekor, sedangkan ternak keluar yaitu ternak babi sebanyak 120 ekor. Sedangkan untuk jenis unggas yang dikembangkan di Kabupaten Kutai Timur terdiri dari empat jenis, yaitu ayam kampung, ayam pedaging, ayam petelur, dan itik. Pada akhir tahun 2005, terdapat jumlah ternak unggas sebanyak 454.943 ekor dengan produksi daging dari kempat jenis unggas tersebut adalah 394,81 ton, sementara produksi telur yang dihasilkan adalah 372 ton.

Dengan dukungan sumber daya hutan yang luas, sebenarnya jika dikelola dengan baik juga memberika peluang yang menjanjikan. Luas hutan secara keseluruhan di Kabupaten Kutai Timur adalah sebesar 2.787.024 ha, yang merupakan 77,8% dari total wilayah Kabupaten Kutai Timur, yang terdiri dari hutan produksi (1.335.477 ha), hutan lindung (211.053 ha), hutan wisata (193.528 ha), dan hutan konversi (1.038.966 ha). Diversifikasi usaha yang dapat dikembangkan dari sektor kehutanan ini, antara lain: industri plywood, moulding, dan

129)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

kayu olahan. Penebangan liar dan kebakaran hutan merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi Kabupaten Kutai Timur. Selain itu, perlu dikembangkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya fungsi hutan disamping menjaga kelestarian kekayaan hayati.

Selain sektor-sektor tersebut diatas, tentunya sebagai salah satu daerah penghasil minyak, Kabupaten Kutai Timur masih memiliki potensi investasi di bidang: (1) Eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi; (2) Refinary; dan (3) SPBU. Disamping minyak bumi dan gas, Kabupaten Kutai Timur mempunyai potensi sumber daya mineral dan bahan tambang lainnya. Bahan tambang berupa batubara merupakan salah satu komoditas yang menonjol dimana batubara tersebut dijumpai pada formasi-formasi yang sebagian besar terdapat pada bagian utara ke arah tengah timur Kabupaten. Sedangkan bahan tambang berupa emas penyebaran depositnya terdapat di wilayah pedalaman pada morfologi pegunungan di sekitar hulu sungai Telen (Muara Wahau), sungai Marah, dan wilayah Muara Ancalong. Diperkirakan deposit emas akan banyak ditemukan di daerah pegunungan bagian tengah ke arah barat sampai selatan (daerah sepanjang DAS Telen dan DAS Kelinjau). Selain itu Kabupaten Kutai Timur memiliki potensi besi, batu gamping, gipsum, pasir kwarsa, clay, batu beku, dan sirtu. Produksi batubara hingga tahun 2005 secara total keseluruhan mencapai 55 juta ton pertahunnya. Untuk minyak bumi dan gas, pada tahun 1995 s/d tahun 2004, jumlah produksi minyak mentah mencapai 15.078.850 Barrel, dan produksi gas 36.687.750 MSCF.

Kutai Timur yang memiliki kawasan ekosistem pesisir dan laut memegang peranan penting sebagai daerah penyangga bagi kehidupana aneka ragam biota yang mempunyai nilai ekonomis penting bagi kehidupana manusia. Kawasan pesisir Sangatta - Sangkulirang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang berlimpah, terutama untuk perkembangan perikanan. Peluang yang dapat dikembangkan di bidang perikanan, antara lain: (1) Penangkapan ikan; (2) Tambak udang/ikan; (3) Hatcery; dan (4) Cold storage. Produksi perikanan di Kabupaten Kutai Timur pada tahun 2005 mencapai jumlah sebanyak 28.504,6 ton,

(130

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

terdiri dari produksi perikanan laut 12.190 ton dan sisanya dari produksi perikanan darat (perairan umum dan budidaya tambak, kolam dan keramba). Jumlah rumah tangga perikanan 4.528. Untuk mengembangkan sub sektor perikanan, perlu dilakukan peningkatan sarana dan prasarana perikanan serta penerapan teknologi unggulan yang menunjang kemajuan sub sektor perikanan. Dengan adanya sistem kelembagaan ekonomi masyarakat pesisir atas dasar kemitraan dan kewirausahaan dan sistem informasi yang efisien dan efektif diharapkan akan mendorong pengembangan produk, baik untuk pemenuhan konsumsi sendiri maupun luar wilayah Kabupaten Kutai Timur. Meskipun demikian perlu diingat untuk mengembangkan usaha perikanan yang ramah lingkungan.

Kabupaten Kutai Timur memiliki 1,3 juta ha lahan potensial yang cocok dan siap dikembangkan untuk komoditas pertanian bernilai tinggi sebagai basis agribisnis berikut agroindustrinya. Selain itu Kabupaten Kutai Timur memiliki wilayah perairan pantai sepanjang 152 km dan 4 mil dari garis pantai ke arah laut yang siap dikelola untuk pengembangan agribisnis perikanan berwawasan lingkungan. Beberapa komoditas agribisnis seperti kelapa sawit, coklat, karet, lada, nenas, dan udang memiliki prospek pasar internasional yang sangat baik. Agribisnis memiliki dampak pengganda (multiplier effect) yang besar dalam perekonomian dan menjamin kesinambungan pembangunan jika dikelola secara baik, karena pembangunan ekonomi didasarkan pada SDA yang dapat diperbaharui.

Kabupaten Kutai Timur mempunyai potensi yang besar di bidang pariwisata untuk didayagunakan menjadi penggerak perekonomian daerah. Terdapat sebelas lokasi potensi wisata yang berupa wisata pantai, sumber air panas, goa, pulau dan lamin adat. Dari potensi wisata tersebut, yang sangat prospektif untuk dikembangkan adalah jenis obyek wisata alam, wisata budaya. Lokasi wisata tersebut seperti pulau Birah-birahan di teluk Manubar Kecamatan Sangkulirang, Teluk Lombok, wisata tambang dan TNK di Kecamatan Sangatta.

Peluang sektor pariwisata yang dapat dikembangkan di Kutai Timur antara lain:

131)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

1) Wisata alam: Taman Nasional Kutai (flora dan fauna), wisata tambang, teluk Lombok dan teluk Perancis, gua dan air panas, keindahan bawah laut di Pulau Birah-birahan.

2) Wisata budaya: Kehidupan suku Dayak Kenyah dan Lamin di Muara Wahau, cagar budaya Gunung Kombeng di Muara Wahau, kehidupan suku Basap di sekitar teluk Sandaran, pesta laut dan kehidupan nelayan di Sangkulirang.

3) Wisata pelayaran sungai, penjelajahan hutan

b) Dana Perimbangan dalam APBD Kabupaten Kutai TimurPada Tahun Anggaran 2006, Kabupaten Kutai Timur

mengalokasikan pendapatan dalam APBD sebesar Rp.1,2 Triliun dimana angka realisasi ini sedikit lebih besar dari yang ditargetkan sebesar Rp.1,1 Triliun. Dari nilai pendapatan tersebut, komponen Dana Perimbangan masih menjadi komponen utama dan paling besar dalam struktur pendapatan daerah Kutim. Gambaran target dan realisasi berbagai sumber pendapatan daerah Kutim TA. 2006 dapat dilihat pada Tabel 4.27 berikut:

Tabel 4.27Target dan Realisasi Pendapatan Kabupaten Kutai Timur TA. 2006

(Juta Rupiah)

No Uraian Target Realisasi %

1. Pendapatan Asli Daerah

14.165,0

14.227,0

100,44

2. Dana Perimbangan

956.209.0,

1.142.065,5

119,44

3. Bantuan Keuangan

162.784,4

80.132,1

49,23

4. Lain-lain PAD yang sah

-

-

-

Jumlah Pendapatan 1.133.158,4 1.236.424,6 109,11

Keterangan: Realisasi Pendapatan tidak termasuk penerimaan DAU Bulan Januari Tahun 2007 sebesar Rp. 22.797.583.333,00.

Sumber: LKPJ Bupati Kutim (2006).

Khusus untuk komponen Dana Per imbangan, data perkembangannya dalam lima tahun terakhir yang berasal dari Bagi Hasil Bukan Pajak dapat dilihat pada Tabel 4.28 berikut :

(132

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Tabel 4.28Jenis SDA dan Besaran DBH non-Pajak Kabupaten Kutim 2002 2006

SDA Besaran DBH non-Pajak (Rp.)

2002

2003

2004 2005

2006

IHPH

1,495,500,000.00

0 13,518,852,444.00 0 0

PSDH

9,320,654,393.53

17,077,382,756.00 2,675,755,688.00 15,196,568,627.00 15,408,107,345.00

Landrent

562,823,663.00

620,670,052.00 59,758,546,605.00 612,476,512.00 1,654,579,724.00

Royalti

139,639,590,031.60

107,145,719,098.00 18,264,325,206.50 153,855,686,834.00 294,828,454,278.00

PHP 368,223,993.99

339,124,255.00 26,826,353,595.00 76,629,006.00 300,879,840.00

PMB

43,512,985,538.49

38,036,209,545.00 120,011,722,497.00 85,189,267,563.00 113,511,858,447.00

PGA 130,080,632,251.51 144,069,758,016.00 71,304,492,894.00 238,331,427,433.00 328,427,509,604.00

Jumlah 324,980,409,872.12 307,288,863,722.00 312,360,048,929.50 493,262,055,975.00 754,131,389,238.00

Sumber: Bagian Keuangan Setkab Kutim, 2007.

Keterangan: IHPH=Iuran Hak Pengusaha Hutan; PSDH=Provisi Sumber Daya Hutan; Landrent =Iuran Tetap; Royalti=Iuran Eksplorasi dan Eksplotasi; PHP=Pungutan Hasil Perikanan; PMB=Penerimaan Minyak Bumi; dan PGA= Penerimaan Gas Alam.

Dari Tabel 4.28 memperlihatkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah nominal alokasi DBH non-pajak untuk Kabupaten Kutai Timur (Provinsi Kaltim) dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Peningkatan pendapatan dana perimbangan dari sektor DBH non pajak relatif gradual pada tahun 2002 2004, namun pada tahun 2004 ke tahun 2005 muilai terjadi peningkatan DBH non pajak yang pesat, dan setahun kemudian pada tahun 2005 kembali terjadi peningkatan yang sangat signifikan (lihat grafik dalam Gambar 4.14). Secara keseluruhan kontribusi dari eksploitasi sumberdaya alam jenis gas alam memberikan jumlah yang paling besar, diikuti oleh royalti dan minyak bumi (lihat grafik dalam Gambar 4.15), sedangkan IHPH dalam dua tahun terakhir sudah tidak memberikan kontribusi lagi bagi akibat sudah lesunya perekonomian yang berbasis pada sumberdaya hutan.

133

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Sumber: Bagian Keuangan Setkab Kutim, 2007 (data diolah).

324.98 307.29 312.36

493.26

754.13

-

200

400

600

800

2002 2003 2004 2005 2006

Alokasi DBH Non Pajak Kab Kutim 2002-2006 (Rp.Miliar)

Gambar 4.14Trend Pertumbuhan DBH Non Pajak Kutai Timur (2002 2006)

0

50

100

150

200

250

300

350

2002 2003 2004 2005 2006

Tiga Kontributor Utama DBH NonPajak Kab Kutim 2002-2006 (Rp.Miliar)

Royalti Minyak Bumi Gas Alam

Sumber: Bagian Keuangan Setkab Kutim, 2007 (data diolah).

Gambar 4.15Komposisi DBH Non Pajak Kutai Timur (2002 2006)

Besarnya alokasi DBH non-pajak tersebut sangat berperan sekali dalam mempercepat proses pembangunan wilayah di daerah. Untuk mengetahu tingkat pemanfaatannya, maka diperlukan penilaian seberapa efektif pembelanjaan DBH non pajak tersebut melalui penilaian seberapa besar realisasinya di lapangan. Hal ini dinilai penting sebab realisasi penggunaan anggaran dan capaian fisik kegiatan dari sumber dana tersebut mencerminkan seberapa besar output kegiatan yang telah direalisasikan untuk kegiatan pembangunan bagi kepentingan publik.

(134

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Untuk Belanja Pembangunan/Publik pada tahun 2001 sampai tahun 2005 pemerintah daerah Kutai Timur telah memfokuskan kepada tiga sektor pembangunan yaitu Bidang Infrastruktur, Bidang Sumberdaya Manusia (termasuk didalamnya sektor pendidikan dan kesehatan) dan Bidang Pertanian. Alokasi dana khusus yang bersumber dari DBH non Pajak untuk tiga bidang kegiatan tersebut sayang sekali tidak dapat diperoleh dari dinas yang bersangkutan, kecuali dalam bentuk alokasi dana global. Adapun nilai anggaran dan realisasi untuk tiga bidang pembangunan publik dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.29Realisasi alokasi APBD Kabupaten Kutai Timur Tahun 2001-2006 (Rp.Milyar)

Uraian 2002 2003 2004 2005* 2006** Total DBH non Pajak

324,98

307,28

312,36

493,26

754,13

Pendapatan 624,13

874,37

560,63

1.236,42

1.236.42

Belanja: 837,71

874,46

560,63

1.066,72

1.066,72

- Belanja Aparatur/Rutin

269,13

269,73

195,67

-

-

- Belanja Publik/Pembangunan

568,58

604,73

64,96

-

-

a. Bidang Infrastruktur

341,15

362,84

282,90

-

-

b. Bidang SDM 119,40 126,99 32,25 - -

c. Bidang Pertanian 108,03 114,90 49,81 - -

Sumber: LKPJ Bupati Kutim (2001-2005); *) LKPJ (2006); dan. **) LPPD (2006)

c) Kinerja dan Permasalahan Sektor Pembangunan Publik di Kabupaten Kutai Timur

Prioritas Pembangunan Daerah ditetapkan berdasarkan atas Program Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Timur 2006-2010 dan didasari atas pertimbangan kondisi umum daerah serta keterkaitan permasalahan yang dihadapi. Kinerja untuk tiga sektor pembangunan prioritas tersebut yang terkait dengan pelayanan publik, yaitu kesehatan, pendidikan, dan sarana-prasarana dapat diuraikan sebagai berikut:i. Bidang Kesehatan

Kinerja bidang kesehatan yang bersumber dari APBD tahun

135)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

2006 dapat dilihat pada Tabel 4.30, sedangkan sebagai pembanding juga ditampilkan yang bersumber dari dana DAK (Tabel 4.31) berikut:

Tabel 4.30Kinerja bidang Kesehatan Kabupaten Kutai Timur tahun 2006

Program Capaian (%)

1. Pembiayaan pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin dengan sistem JPKM (Program ini terdiri atas 2 kegiatan)

50,00

2. Peningkatan cakupan manajemen, dan mutu rumah sakit, puskesmas dan lainnya (terdiri atas 2 kegiatan)

87,50

3. Pencegahan dan pemberantasan penyakit (terdiri atas 4 kegiatan) 40,00

4. Promosi cara hidup sehat, pengembangan imunisasi, penyuluhan gizi, dan pembinaan kesehatan lingkungan (terdiri atas 9 kegiatan)

45.56

5. Peningkatan Kualitas Kesehatan, perbaikan Gizi serta Penanggulangan Penyakit Menular (terdiri atas 37 kegiatan)

10.81

Nilai capaian rata-rata (%)

46.77

Sumber: LKPJ Bupati Kutim (2006)

Tabel 4.31Kinerja Fisik dan Keuangan dari Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Kesehatan

Kabupaten Kutai Timur tahun 2006

Toal Ukur/ Sasaran Kegiatan

Biaya DASK

Fisik

%

Keuangan (Rp) % Sisa Dana

1. Pembangunan dan Rehab Puskesmas dan Puskesmas Pembantu

973,000,000

100

969,915,000

100

3,085,000

2. Pengadaan peralatan medis untuk 5 Puskesmas Baru

1,513,000,000

100

1,484,226,150

98

3,437,000

3. Pengadaan peralatan non medis 5 Baru puskesmas

294,000,000 100 284,702,000 97 47,500,000

Total 2,780,000,000 2,738,843,150 54,022,000

Sumber: Renstra Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur (2003 2008)

(136

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

ii. Bidang PendidikanKinerja bidang pendidikan yang bersumber dari APBD tahun

2006 dapat dilihat pada Tabel 4.32 berikut:

Tabel 4.32Kinerja bidang Pendidikan dan Kebudayaan Kab Kutim tahun 2006

ProgramCapaian

(%)

1. Pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan, meliputi pembangunan gedung baru dan rehabilitasi, mebeler, laboratorium, perpustakaan, dan alat peraga pendidikan pada berbagai jenjang (Program ini terdiri atas 79 kegiatan)

40.56

2.

Pengembangan institusi pendidikan dengan pemenuhan standar ketenagaan, pelatihan manajemen pendidikan, dan subsisi sekolah perguruan (terdiri atas 6 kegiatan)

57.14

Nilai capaian rata-rata (%)

48.85

Sumber: LKPJ Bupati Kutim (2006)

iii. Bidang Sarana dan Prasarana Wilayah Kinerja bidang sarana dan prasarana wilayah yang bersumber

dari APBD tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 4.33 Sedangkan untuk tahun sebelumnya, maka dalam kurun waktu tahun 2001-2004, keadaan pembangunan jalan yang telah dicapai adalah sebagai berikut: (1) Jalan Negara = 408 Km; (2) Jalan Propinsi = 305 Km; dan (3) Jalan Kabupaten = 491 Km. Sedangkan keadaan pembangunan jembatan mencakup lima kegiatan, yaitu: (1) Jembatan Batu Balai; (2) Jembatan Ngayau Senambah; (3) Jembatan Pinang I; (4) Jembatan Pinang II; dan (5) Jembatan Muara. Wahau (sedang dalam penyelesaian) (Sumber: LKPJ BupatiKutim 2005).

U nt u k p e m b a n g u n a n s a ra n a ko m u n i ka s i ( r u r a l telecommunication) telah dilakukan untuk 11 Kecamatan dengan jumlah sambungan 1.725 sst (kegiatan ini juga sedang dalam proses penyelesaian). Untuk sektor penyediaan air bersih, maka telah dilakukan kegiatan peningkatan kapasitas Instalasi Pengolahan Air Bersih di Kota Sangatta dari 35 liter/detik menjadi 80 liter/detik.

137)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Berbagai kegiatan pembangunan bidang infrastruktur di atas sudah tentu sangat bermanfaat bagi kegiatan masyarakat, sehingga pemanfaatan alokasi dana pembangunan, termasuk yang berasal dari DBH non Pajak, masih mutlak dibutuhkan. Diperkirakan masih dibutuhkan dana yang lebih besar lagi di masa mendatang untuk pembangunan infrastruktur baru maupun peningkatan kualitas infrastruktur yang telah ada dalam rangka mengurangi isolasi wilayah di pedalaman dan kemudahan akses terhadap prasarana dan sarana publik.

Tabel 4.33Kinerja bidang sarana dan prasarana wilayah

Kabupaten Kutai Timur Tahun 2006

Program Capaian (%)

Subdin Cipta Karya

1.

Peningkatan Sarana Pembangunan Perumahan (Program ini terdiri atas 22 kegiatan)

38

2.

Peningkatan dan pembangunan air bersih di Ibukota Kabupaten, Ibukota Kecamatan dan desa-desa (terdiri atas 10 kegiatan)

79.3

3.

Pengaturan tata ruang yang teratur dan terkendali khususnya pada wilayah (terdiri atas 36 kegiatan)

51.07

4.

Peningkatan Perencanaan dan Pelaksanaan Penataan Ruang Ibukota Kabupaten dan Ibukota Kecamatan (terdiri atas 14 kegiatan)

73.93

Subdin Bina Marga

1.

Peningkatan dan pembangunan perumahan pemukiman (terdiri atas 28 kegiatan)

56.53

2.

Rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan negara, propinsi dan kabupaten (terdiri atas 69 kegiatan)

56.41

Subdin Pengairan

1.

Pembangunan peningkatan, rehabilitasi, operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi (24 kegiatan)

17.08

2.

Perencanaan, pengawasan dan pengendalian operasional dan pemeliharaan pengairan se- Kutim (8 kegiatan) 71.25

Nilai capaian rata-rata (%)55.45

Bidang Perhubungan

1. Pengembangan Fasilitas lalu lintas dan angkutan jalan (11 kegiatan) 56.18

2. Rehabilitasi dan pemeliharaan fasilitas, sarana dan prasarana perhubungan darat (3 kegiatan) 66,00

Nilai capaian rata-rata (%) 61.09

Sumber: LKPJ Bupati Kutim (2006)

(138

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

d) Permasalahan dan Upaya PenyelesaiannyaBerbagai permasalahan yang terkait dengan pembangunan publik

telah diidentifikasi sebagai langkah untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Cakupan permasalahan dalam sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur wilayah di Kabupaten Kutai Timur dapat diuraikan sebagai berikut :1) Masih terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan

tingkat dasar sampai menengah, terutama gedung-gedung sekolah, biaya pendidikan dan biaya penunjang lainnya;

2) Kurangnya tenaga pendidik, terutama di wilayah pedalaman, disamping itu juga masih terbatasnya tenaga pendidik yang berkualitas atau telah memperoleh sertifikasi sebagai tenaga pengajar;

3) Tidak seimbangnya tenaga terdidik dengan jumlah permintaan pasar tenaga kerja;

4) Terbatasnya sarana dan prasarana pembinaan olahraga;5) Terbatasnya sarana dan prasarana kesehatan (puskesmas, pusban,

rumah sakit, dll);6) Masih terbatasnya sarana dan prasarana transportasi baik darat, sungai

maupun udara, jaringan kelistrikan, jaringan air minum dan telekomunikasi;

7) Kurangnya fasilitas akomodasi yang memenuhi syarat untuk menunjang sektor pariwisata dan wilayah;

8) Kondisi geografis yang menimbulkan kesulitan transportasi yang menyebabkan biaya pembangunan jalan menjadi cukup besar.

Disamping permasalahan yang bersifat teknis sektoral di atas, dalam konteks pengembangan wilayah, masih terdapat beberapa permasalahan eksisting wilayah antara lain :1) Disparitas antar wilayah (pusat kota kabupaten dengan daerah pesisir

dan daerah pedalaman), dan antar sektor pembangunan;2) Konflik kepemilikan tanah dan pemanfaatan ruang;3) Masih terdapat desa-desa miskin, terisolir dan terbelakang yang

berimplikasi pada rawan pangan dan tingkat kesejahteraan masyarakat;4) Penyebaran penduduk yang tidak merata antar wilayah dan tidak

seimbang antara kawasan perkotaan dan perdesaan;

139)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

5) Terbatasnya infrastruktur dengan sebaran yang tidak merata diseluruh wilayah;

6) Terbatasnya fasilitas pelayanan dasar kepada masyarakat;7) Rendahnya efektifitas pengelolaan dan rehabilitasi sumberdaya alam;8) Masih lemahnya manajemen pembinaan aparatur dan kelembagaan

daerah;9) Belum terbinanya pola permukiman penduduk asli dan pendatang.

Sedangkan beberapa permasalahan lainnya yang lebih bersifat khusus berkaitan dengan proses adminstratif dan manajerial, yaitu:1) Transisi model dan format perencanaan pembangunan2) Proses dan prosedur pelaksanaan anggaran: 3) Keterlambatan penetapan anggaran;4) Keterlambatan proses administrasi keuangan;5) Perubahan petunjuk proses administrasi.6) Kualitas dan kuantitas Sumberdaya Manusia (SDM):7) SDM aparatur;8) SDM masyarakat secara luas.

Dalam rangka menjawab permasalahan yang dihadapi maka Pemerintah Kabupaten Kutai Timur telah melakukan langkah-langkah baik yang bersifat proaktif maupun antisipatif sebagai berikut:1) Meningkatkan intensitas koordinasi dari berbagai level pemerintahan

baik dalam lingkup internal maupun ekternal, antar pemerintah dengan DPRD, dan antar pemerintah dengan berbagai elemen masyarakat dan dunia usaha.

2) Penataan struktur organisasi pemerintah daerah termasuk penempatan personil dalam jabatan-jabatan struktural dilakukan secara bertahap sesuai dengan prioritas kebutuhan.

3) Menyusun kalender anggaran yang memberikan arahan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan evaluasi dan pelaporan sampai pertanggung jawaban sehingga pelaksanaan anggaran diharapkan bisa tepat waktu.

(140

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

4) Menyiapkan Dokumen Perencanaan Jangka Panjang Daerah (RPJP-D) Kabupaten Kutai Timur 2006-2025 dan Perencanaan Jangka Menengah Daerah (RPJM-D) Kabupaten Kutai Timur 2006-2010, yang sampai saat ini pemerintah masih menunggu agenda DPRD untuk membahas Raperdanya.

5) Mempercepat proses pembanguan infrastruktur khususnya yang bersifat pelayanan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, antara lain menjalin kerjasama dengan beberapa investor dalam pengembangan kelistrikan, air bersih, sarana perhubungan sarana kesehatan dan sarana pendidikan.

6) Melanjutkan Kegiatan Pembangunan Kapasitas (capacity building) Pemerintah Daerah baik peningkatan kualitas dan kuantitas SDM aparatur maupun masyarakat baik dalam hal peningkatan moral maupun peningkatan ketrampilan. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Kutai Timur telah menjalin kerjasama dengan beberapa lembaga yang berkompeten baik pemerintah maupun swasta antara lain GTZ-Pro Bangkit, BPKP Propinsi Kalimantan Timur, Dinas Psikologi TNI AD, ESQ Leadership Center Jakarta, dan lain sebagainya.

7) Melaksanakan crass program dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan daerah daerah yang bersifat insidentil dan perlu penanganan yang cepat.

8) Melakukan upaya-upaya yang bersifat strategis dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah, antara lain memprakarsai pembentukan forum daerah penghasil migas dan batu bara serta komunikasi yang lebih intensif dengan perusahaan tambang di daerah khususnya konsistensi terhadap komitmen perusahaan terhadap pembangunan daerah.

9) Meningkatkan pengendalian dan pengawasan pembangunan dengan melibatkan unsur MUSPIDA yang terkait seperti pembentukan FORMONEV (Forum Monitoring dan Evaluasi).

e) Tingkat Kinerja Pemerintah Kutai Timur Tingkat efektivitas pemanfaatan anggaran pembangunan di

Kabupaten Kutai Timur (termasuk anggaran yang bersumber dari DBH non

141)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Pajak) secara umum dapat dikatakan cukup. Hal ini dapat dilihat dari indikator daya serap anggaran sebagian besar item program/kegiatan untuk TA. 2006 bidang kesehatan meskipun hanya 46.77% namun program yang bersumber dari DAK mencapai fisik 100% dan keuangan 98%; bidang pendidikan hanya mencapai 48.85%; sedangkan infrastruktur jalan, jembatan, pengairan, perumahan, dan air bersih mencapai 55.45%, serta perhubungan lalu lintas dan angkutan jalan telah mencapai 61.09%.

Dilihat dari sisi kualitas kinerjanya, maka pemanfaatan anggaran pembangunan di Kabupaten Kutai Timur (termasuk yang bersumber dari DBH non Pajak) secara umum cukup baik. Keadaan baik tersebut dapat dilihat antara lain dari beberapa indikator pada sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur wilayah yang jumlahnya selalu bertambah dalam setiap tahun anggaran dalam rangka pemenuhan standar pelayanan publik.

Meskipun dalam kurun waktu lima tahun terakhir jumlah alokasi anggaran pembangunan di Kabupaten Kutai Timur (termasuk yang bersumber dari DBH non Pajak) terlihat kecenderungan yang secara absolut meningkat, namun apabila melihat fakta di lapangan, peningkatan anggaran tersebut masih belum sebanding dengan besarnya kebutuhan masing-masing sektor pembangunan publik. Meningkatnya kebutuhan anggaran riil pembangunan sektoral tersebut antara lain disebabkan oleh adanya tuntutan perbaikan untuk memenuhi standar pelayanan minimal sektor publik dan tingginya biaya perbaikan (recovery) atau reklamasi kerusakan lingkungan hidup akibat eksplorasi dan ekspoitasi sumberdaya alam tak terbarui.

Kemampuan PAD Kabupaten Kutai Timur untuk menyelenggarakan pembangunan di daerahnya masih jauh bila dibandingkan dengan nilai total APBD maupun komponen Dana Perimbangan, dimana untuk tahun 2006 kontribusi PAD masih pada kisaran angka 1,15% terhadap APBD atau 1,25% terhadap Dana Perimbangan. Angka ini berarti bahwa masih terjadi ketergantungan daerah yang sangat tinggi terhadap pusat dalam pembiayaan pembangunannya. Kabupaten Kutai Timur masih akan mengalami kesulitan dalam membangun wilayahnya apabila pada kondisi

(142

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

saat ini (dan diperkirakan juga untuk beberapa tahun ke depan) alokasi Dana Perimbangan dikurangi atau dihilangkan.

Dalam rangka untuk lebih memperkuat struktur anggaran pembangunan daerah ke arah kemandirian, maka ke depan Pemerintahan Kabupaten Kutai Timur disarankan untuk terus meningkatkan nominal PAD, baik melalui diversifikasi dalam bentuk penggalian sumber PAD baru yang selama ini belum dilirik maupun melalui intensifikasi dalam bentuk meningkatkan potensi sumber PAD yang selama ini telah digali. Agar semangat peningkatan PAD tidak kontra produktif, maka perlu diperhatikan agar dalam mengekspoitasi SDA tidak dilakukan secara besar-besaran, khususnya SDA tak terbarui. Karena dalam jangka panjang diperkirakan nilai pajak dan retribusi yang diterima daerah tidak sebanding dengan besarnya kerusakan lingkungan hidup yang membutuhkan recovery cost yang sangat tinggi. Paralel dengan hal tersebut, untuk peningkatan pendapatan dari Sektor Pajak ini diharapkan upaya penyuluhan yang berkelanjutan kepada masyarakat, serta penyediaan personil yang memadai agar pendapatan dari sektor tersebut dapat lebih ditingkatkan lagi.

D. Provinsi Kalimantan Selatan dan Kabupaten Tabalong1. Gambaran Umum Daerah

Provinsi Kalimantan Selatan terbentuk berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1956. Saat ini secara administrasi wilayah Provinsi kalimantan Selatan terdiri atas 9 kabupaten dan 2 kota, yaitu Kabupaten Tanah Laut, Kotabaru, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara dan Tabalong, serta Kota Banjarmasin dan Kota Banjarbaru. Jumlah kecamatan seluruhnya sebanyak 119 kecamatan, yang terdiri atas 1.942 desa / kelurahan dan UPT.

Secara Kalimantan Selatan geografi terletak di sebelah selatan pulau 2

Kalimantan dengan luas wilayah 37.530,52 Km atau 3.753.052 ha. Sampai dengan tahun 2004 membawahi kabupaten/kota sebanyak 11 kabupaten/kota dan pada tahun 2003 menjadi 13 kabupaten/kota sebagai akibat dari adanya pemekaran wilayah kabupaten Hulu Sungai Utara dengan Kabupaten Balangan dan Kabupaten Kotabaru dengan Kabupaten Tanah Bumbu.

143)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Luas wilayah propinsi tersebut sudah termasuk wilayah laut propinsi dibandingkan propinsi Kalimantan Selatan. Luas wilayah masing-masing Kabupaten Tanah Laut 9,94 %; Tanah Bumbu 13,50%; Kotabaru 25,11%; Banjar 12,45%; Tapin 5,80%; Tabalong 9,59%; Balangan 5,00%; Batola 6,33%; Banjarbaru 0,97% dan Banjarmasin 0,19%.

Penduduk Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2006 tercatat sebanyak 3.345.784 jiwa sedangkan pada tahun 2002 jumlah penduduk Kalimantan Selatan tercatat berjumlah 3.085.300 jiwa yang berarti terjadi pertambahan jumlah penduduk selama 5 tahun terakhir. Perkembangan penduduk Kalimantan Selatan dapat dilihat dari tabel 4.34 berikut ini :

Tabel. 4.34Perkembangan Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin (2002 2005)

No PENDUDUK/THN L

(JIWA)

P (JIWA)

TOTAL(JIWA)

1 2002

1.546.500

1.538.800

3.085.300

2 2003

1.613.170

1.587.784

3.100.954

3 2004

1.597.548

1.621.850

3.219.398

4 2005 1.625.800 1.614.300 3.240.100

5 2006 1.678.879 1.666.905 3.345.784

Sumber: BPS Kalsel

a) Potensi Unggulan DaerahBerdasarkan hasil analisis potensi komoditi unggulan Kalimantan

Selatan, maka komoditi yang menjadi unggulan adalah komoditi yang berasal dari sektor pertanian, sektor pertambangan dan galian, serta sektor industri pengolahan. Pada sektor pertanian ada beberapa komoditi yang potensial diunggulkan, yaitu untuk sub sektor tanaman pangan adalah padi, jagung, kacang tanah, ubikayu, pisang jeruk, nenas, jahe dan kencur. Komoditi sub sektor perkebunan adalah karet, kelapa sawit, kelapa dalam dan lada. Untuk sub sektor peternakan adalah sapi, kerbau, ayam ras pedaging dan petelur serta itik. Komoditi untuk sub sektor perikanan adalah ikan (kerapu, bandeng, nila, patin, dan ikan mas), udang (windu, vaname, putih) dan rumput laut). Pada sub sektor kehutanan adalah

(144

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

produk olahan, rotan, akasia, gaharu dan madu. Komoditi unggulan untuk sektor pertambangan adalah batubara dan biji besi. Pada beberapa tahun mendatang bji besi akan lebih unggul (leading) dibanding batubara karena akan didukung dengan adanya industri besi baja di Kalimantan Selatan.

b) Pertumbuhan Ekonomi / PDRBPerekonomian Kalimantan Selatan tahun 2006 mengalami

pertumbuhan sebesar 4,13%, melambat dibandingkan pertumbuhan tahun 2005 yang mencapai 5,05%. Dari sisi penawaran, melambatnya pertumbuhan ekonomi Kalimantan Selatan terutama di dorong oleh melambatnya pertumbuhan sektor pertanian dan sektor keuangan serta penurunan sektor industri pengolahan berbasis kayu. Dari sisi permintaan, melambatnya pertumbuhan ekonomi berasal dari melambatnya konsumsi pemerintah serta melambatnya realiasasi investasi.

Dalam pada itu ekspor Kalimantan Selatan pada tahun 2006 diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun 2005. Pada posisi Oktober 2006, pertumbuhan tahunan (November 2005-Oktober 2006) ekspor Kalimantan Selatan mencapai 39,5% jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekspor tahun 2005 yang mencapai 28,7%. Pertumbuhan ekspor tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan dunia terhadap komoditas andalan Kalsel, batubara sebagai bahan bakar pengganti bahan bakar migas yang lebih mahal.

Perkembangan inflasi Kalimantan Selatan yang tercemin dari inflasi kota Banjarmasin pada tahun 2006 masih berada pada level yang cukup tinggi, yakni sebesar 11,03%, namun lebih rendah dibandingkan tahun 2005 yang mencapai 12,93% (y-o-y). Tingginya laju inflasi Kalimantan Selatan terutama didorong oleh kenaikan pada kelaompok bahan makanan yang mencapai 22,39% (y-o-y).

Seiring dengan hal tersebut, perputaran uang baik tunai maupun non tunai di Kalimantan Selatan tahun 2006 mengalami peningkatan. Berdasarkan data RTGS (Real Time Gross Settlement) yang mencerminkan transfer keluar dan masuk, ketergantungan perekonomian Kalimantan Selatan terutama terhadap pulau Jawa lebih tinggi. Hal ini terlihat dari meningkatnya aliran tranfer keluar bersih (net non cash outflow) dari Rp.8,9

145)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

triliun pada tahun 2005 menjadi Rp.17,88 triliun. Demikian pula transaksi tunai mengalami kenaikan aliran uang masuk bersih (net cash inflow) dari Rp.249 miliar menjadi Rp.597 miliar terutama disebabkan kenaikan transaksi perdagangan diantara Kalteng, Kalsel, dan sebagian kecil Kaltim dengan Banjarmasin sebagai pintu gerbang perdagangan/pemasok barang dagangan.

Di bidang perbankan, fungsi intermediasi perbankan Kalimantan Selatan yang tercermin dari rasio Loan to Deposite Rate (LDR) mengalami penurun dari 72,4 pada tahun 2005 menjadi 66,3% pada posisi November 2006. Penurunan tersebut didorong peningkatan kredit yang lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan penghimpunan dana. Sementara itu, fungsi intermediasi perbankan syariah yang tercermin dari rasio Financial to Deposite Ratio (FDR) mencapai angka 158,46% pada posisi November 2006, lebih baik dibandingkan perbankan konvensional, sejalan dengan meningkatnya permintaan akan pembiayaan berbasis syariah.

Berdasarkan perkembangan ekonomi nasional dan regional Kalimantan Selatan Tahun 2006, prospek perekonomian Kalimantan Selatan tahun 2007 diperkirakan akan lebih baik. Laju pertumbuhan ekonomi Kalimantan Selatan diperkirakan pada kisaran 4,5%. Dengan tingkat suku bunga yang relatif rendah, kontribusi sektor konsumsi dan kegiatan investasi diperkirakan akan semakin meningkat. Sedangkan kegiatan ekspor diperkirakan masih akan meningkat terutama komoditi batubara seiring masih tingginya permintaan dunia. Sementara dari sisi permintaan, sektor pertanian, perdagangan, pertambangan, dan sektor keuangan akan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

Perekonomian Kalimantan Selatan Tahun 2006 mengalami pertumbuhan sebesar 4,13%, melambat disbanding tahun 2005 yang mencapai 5,05%. Angka pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang diperkirakan mencapai kisaran 5,5%. Dari sisi permintaan, melambatnya pertumbuhan ekonomi Kalimantan Selatan terutama didorong oleh melambatnya konsumsi pemerintah dan realisasi investasi. Sementara itu ekspor Kalimantan Selatan pada tahun 2006 diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2005. Pada posisi Oktober 2006, ekspor Kalimantan Selatan secara tahunan

(146

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

(November 2005-Oktober 2006) tumbuh 39,5%. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekspor tahun 2005 yang mencapai 28,7%. Pertumbuhan ekspor Kalsel dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan dunia terhadap komoditas andalan Kalsel, batubara sebagai bahan baker pengganti bahan baker migas yang lebih mahal. Berdasarkan Negara tujuan ekspor masih didominasi negara-negara di kawasan Asia sebesar 75,59%, disusul Eropa 12.02% dan Amerika 10,94%. Khusus di kawasan Asia, Negara tujuan utama adalah Jepang 16,41%, Singapura 15,83%, dan Malaysia 9,69%. Sementara Negara pengimpor terutama berasal dari singapura sebesar 76,49%. Meskipun ekspor mengalami peningkatan tinggi, namun devisa hasil ekspor berada di luar Kalimantan Selatan terutama Pulau Jawa sehubungan dengan kantor pusat eksportir berkedudukan di Pulau Jawa terutama Jakarta. Kondisi ini menjadi penyebab masih belum optimalnya peran ekspor dalam menggeliatkan perekonomian itu, untuk menarik dana masuk lebih besar ke Kalimantan Selatan dibutuhkan iklim investasi yang lebih baik dan dukungan infrastruktur yang lebih memadai.

Sementara itu, berdasarkan data BKPM, realisasi investasi PMDN di wilayah Kalimantan Selatan pada tahun 2006 (Periode Januari-November 2006) mencapai Rp 1.010,1 miliar, sedangkan realisasi PMA pada tahun 2006 mencapai USD 76,50 juta, Dari kegiatan investasi tersebut, realisasi PMDN mampu menyerap 9.875 tenaga kerja.

Dari sisi penawaran, melambatnya pertumbuhan ekonomi Kalimantan Selatan terutama berasal dari melambatnya pertumbuhan sektor pertanian dan sektor keuangan serta penurunan pada sector industri pengolahan berbasis kayu. Industri pengolahan kayu memiliki pangsa pasar terbesar dalam sektor industri pengolahan, yaitu mencapai 54%. Penurunan kinerja industri pengolahan kayu yang telah terjadi sejak beberapa tahun terakhir terutama disebabkan oleh keterbatasan bahan baku sehingga mengakibatkan industri kayu tidak dapat lagi berproduksi sesuai dengan kapasitas terpasangnya. Pada tahun 2006 industri pengolahan kayu mengalami penurunan sebesar 9,06%, memburuk dibandingkan tahun 2005 yang turun sebesar 5,70%. Secara keseluruhan, sektor industri pengolahan pada tahun 2006 mengalami penurunan

147)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

sebesar 3,25 %, atau lebih buruk dibandingkan tahun 2005 yang mengalami kontraksi 1,98%. Sementara itu sektor pertanian yang memiliki pangsa terbesar dalam struktur perekonomian Kalimantan Selatan tumbuh sebesar 4,86%, melambat dibandingkan tahun sebelumnya 5,30%. Perlambatan pertumbuhan sektor pertanian terutama dipengaruhi oleh melambatnya pertumbuhan pada subsektor tanaman bahan makanan, peternakan dan hasil-hasilnya, dan subsektor kehutanan. Sementara pertumbuhan sektor keuangan pada tahun 2006 mencapai 5,02%, jauh melambat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 17,82%, terutama dipengaruhi oleh pertumbuhan sektor perbankan yang melambat secar signifikan, dari 39,77% pada tahun 2005 menjadi 3,57% akibat belum optimalnya fungsi intermediasi. Meskipun saat ini kontribusi sektor keuangan terhadap pembentukan PDRB masih kecil, namun multiplier effect sektor ini sangat besar terhadap sektor-sektor lain melalui pemberian kredit sehingga perlambatan pada sektor perbankan berdampak pada kondisi perekonomian Kalimantan Selatan yang melambat.

Berikut dapat diamati komposisi PDRB Provinsi Kalimantan Selatan menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan 2000 yaitu tahun 2005 dan 2006 (Tabel. 4.35).

Tabel 4.35PDRB Kalimantan Selatan

Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000(Juta Rupiah)

LAPANGAN USAHA 2005PERTUMBUHAN (%)

2006*PERTUMBUHAN (%)

Pertanian peternakan kehutanan dan perikanan

5.689.653 5,30 5.966.045 4,86

Pertambangan dan penggalian

3.550.900

4,52

3.711.144 4,51

Industri pengolahan

2.937.666

-1,98

2.842.228 -3,25

Listrik, gas dan air bersih

121.573

3,30

126.229 3,83

Bangunan

1.221.356

8,26

1.307.144 7,02

(148

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Perdagangan, hotel danrestoran

3.017.303 4,56 3.159.155 4,70

Pengangkutan dan komunikasi

2.015.920

8,01

2.142.707 6,29

Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 970.018 17,82 1.018.738 5,02

Jasa-jasa 1.997.573 6,91 2.138.308 7,05

PDRB DENGAN MIGAS

21.521.961

5,05

22.411.698 4,13

PDRB TANPA MIGAS

21.038.355

5,33

21.922.288 4,20

*Angka Sementara Sumber: BPS Kalimantan Selatan

2 . Komposisi Dana Perimbangan Provinsi Kalimantan SelatanJika diperhatikan komposisi APBD Provinsi Kalimantan Selatan tahun

2003 - 2006 (Tabel. 4.16) terlihat cukup positif dimana diantara dua sumber pendapatan utama pendanaan pembangunan daerah yaitu dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Dana Perimbangan (DP) memperlihatkan komposisi yang berimbang. Pada tahun 2004 komposisi kedua sumber pembiayaan ini memperlihatkan angka yang hampir persis sama yaitu PAD (49.35%) dan DP (49.49%) sisanya (1.17%) berasal dari sumber pendapatan lain. Kondisi positif ini semakin menunjukkan pertumbuhan yang cukup positif pada tahun-tahun berikutnya, dimana tingkat kontribusi PAD terhadap kompisisi APBD Provinsi Kalimantan Selatan melampaui 50% atau dengan kata lain, lebih besar dari pada tingkat kontribusi yang berasal dari DP, yaitu 54.68% pada tahun 2004 dan 57.37% pada tahun 2005. Namun kondisi tersebut mengalami sedikit perubahan pada tahun 2006 dimana tingkat kontribusi PAD terhadap APBD menurun menjadi 49.58% sedangkan PD sebesar 50.42%. Komposisi tersebut ternyata kembali mengalami perubahan, dimana berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh Dirjen Perimbangan Keuangan (Profil Pendapatan APBD Provinsi Tahun 2007) tingkat kontribusi PAD Provinsi Kalimantan Selatan kembali meningkat menjadi 50.91%.

149)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Tabel. 4.36Komposisi APBD Prov. Kalimantan Selatan (2003 2006)

(Juta Rupiah)

2003 % 2004 % 2005 % 2006 %

PAD

277,679

49.35

364,205

54.68

530,110

57.37

585,031 49.58

Dana Perimbangan

278,459

49.49

301,858

45.32

388,055

42.00

594,962 50.42

Pendapatan Lain

6,570

1.17

0

0.00

5,798

0.63

0 0.00

Total APBD

562,708

100

666,064

100

923,963

100

1,179,994 100

DBH SDA 11,235 2.00 26,981 4.05 59,180 6.41 115,378 9.78

DBH PAJAK 57,114 10.15 65,199 9.79 89,081 9.64 100,919 8.55

Sumber: Biro Keuangan Pro. Kalsel (diolah)

277,679 278,459

6,570

364,205

301,858

0

530,110

388,055

5,798

585,031 594,962

0

0

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

350,000

400,000

450,000

500,000

550,000

600,000

Ju

taR

up

iah

2003 2004 2005 2006

Tahun

Komposisi APBD Prop Kalsel (2003 - 2006)

Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Pendapatan Lain

Gambar. 4.16Komposisi APBD Pro. Kalsel (2003 2006)

(150

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Untuk lebih lengkapnya terhadap gambaran komposisi APBD provinsi Kalimantan Selatan dalam beberapa tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 4.36 di bawah ini.

E. Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Ketapang1. Provinsi Kalimantan Barat

a) Gambaran Umum Wilayah Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi di Kalimantan yang

0 0beribu kota di Pontianak memiliki letak geografis antara 2 6' LU- 3 5' LS dan 0 0 2108 114 BT dengan luas wilayah 146.807 km . Wilayah ini membentang

lurus dari utara ke selatan sepanjang lebih dari 600 km dan sekitar 850 km dari barat ke timur.

Secara administratif, Kalimantan Barat terbagi menjadi 12 kabupaten/kota.dengan batas wilayah di sebelah Utara berbatasan dengan Serawak/Malaysia Timur, sebelah Timur berbatas dengan Wilayah

151)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Sementara itu, komposisi APBD dengan melihat tingkat kontribusi PAD dengan PD terhadap total APBD di tingkat Kabupaten di provinsi Kalimantan Selatan yaitu Kabupaten Tabalong (Gambar.4.17) jelas terlihat bahwa, tingkat kontribusi PD terhadap total APBD sangat besar, dengankata lain, bahwa tingkat kemandirian daerah masih sangat rendah.

-

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

350,000

Ju

ta R

up

iah

2003 2004 2005 2006Tahun

Komposisi Pendapatan Daerah Kab. Tabalong (2003 - 2006)

Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Pendapatan Lain

Gambar.4.17Komposisi APBD Kabupaten Tabalong (2003-2006)

Kalimantan Timur, sebelah Selatan berbatasan dengan Wilayah Kalimantan Tengah dan Laut Jawa dan sebelah Barat berbatasan dengan Laut Natuna dan Selat Karimata. Jumlah penduduk tahun 2005 sebanyak 4.098.461 jiwa dimana sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian, perkebunan, perikanan dan perdagangan

Kalimantan Barat sebagai propinsi terluas keempat di Indonesia saat ini berusaha untuk meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya secara merata. Tiga prakarsa pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintahnya yaitu KALBAR BERSATU (Harmonis Dalam Etnis) - KALBAR INCORPORATED (Maju Dalam Usaha) - KALBAR NETWORK (Tertib Dalam Pemerintahan) ternyata mampu menggerakkan dan mengubah kondisi di daerah tersebut. Percepatan pembangunan pun dapat kita ketahui dengan ukuran dasar laju pertumbuhan ekonomi daerah tersebut yang tercermin dalam APBD yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Percepatan pembangunan yang gencar dilakukan saat ini guna mewujudkan tujuan ekonomi yaitu mencapai kemakmuran yang lebih tinggi. Dalam mencapai tujuan tersebut pemerintah dapat ikut campur secara aktif maupun secara pasif dalam perekonomian. Besarnya pengaruh serta peranan pemerintah terhadap perkembangan perekonomian (besaran serta distribusi) salah satunya dapat diketahui dari perbandingan rasio (proporsi) beberapa indikator seperti besarnya perbandingan BHP (bagi Hasil pajak) terhadap APBD, DBHSDA (dana bagi hasil sumbar daya alam) terhadap APBD, DAU (dana alokasi umum)/ DAK (dana alokasi khusus) terhadap APBD, atau perkembangan PAD (pendapatan asli daerah) terhadap APBD

b) Sinergitas Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah DaerahHubungan keuangan antara pemerintah (inter-governmental fiscal

relation) menunjuk pada hubungan keuangan antara berbagai tingkat pemerintahan dalam suatu negara dalam kaitannya dengan retribusi pendapatan Negara dan pola pengeluarannya.

Hubungan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau biasa dikenal dengan perimbangan keuangan adalah suatu sistem

(152

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

pembiayaan pemerintah dalam kerangka Negara kesatuan dengan otonomi berada di daerah. Perimbangan keuangan mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangan tersebut. Secara lebih jelas hubungan keuangan pemerintah pusat terhadap keuangan pemerintah daerah tergambar dalam gambar 4.18 berikut ini.

Pembagian keuangan ini terwujud dalam wadah dana perimbangan yang diperuntukkan agar terjadi pemerataan kemampuan keuangan daerah, dimana penggunaannya sepenuhnya tergantung daerah. Hal ini kemudian dapat memotivasi setiap daerah guna meningkatkan kapasitas keuangannya secara otonom.

Keuangan daerah (keuangan pemerintah daerah) adalah suatu kajian yang memiliki objek bahasan utamanya adalah mempelajari bagaimana pemerintah daerah mencari dan meningkatkan sumber-sumber dana (pendanaan pemerintah daerah) dan bagaimana menggunakannya untuk tujuan-tujuan yang ingin dicapai pemerintah

Gambar 4.18Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

153)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

daerah (pembiayaan pembangunan daerah) (Prof. Dr. Rahardjo Adisasmita : 2006)

c) Penerimaan Dana Perimbangan Keuangan Kalimantan BaratDana Perimbangan merupakan dana yang bersumber dari

penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk membiayai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. dalam UU no. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah pasal dijelaskan Dana Perimbangan terdiri atas :i. Dana Bagi Hasil

Merupakan bagian yang diberikan kepada daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan untuk mengurangi ketimpangan vertikal antara pusat dan daerah yang terdiri dari segi hasil pajak dan bukan pajak (SDA). lBagi Hasil Pajak

Bagi Hasil pajak meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Karyawan (Pasal 21) serta Orang Pribadi (Pasal 25/ 29), dan Biaya Pemungutan (BP) PBB.

Tabel 4.37Data Perkembangan Realisasi Bagi Hasil Pajak (BHP)

APBD Provinsi Kalimantan Barat (2003 - 2007)(Juta Rupiah)

*) Realisasi s/d Juli 2007

Tahun PBB BPHTB

PPh 21

PPH OP

BP -

PBB

BHP

Laju Pertumbuhan

BHP (%) 1 2 3

4

5

6

7

4

2003 24.432.2 2.208.9

11.964.7

1.894.3

-

40.500.0

28,38

2004 34.088.1 2.649.0

12.649.9

909.6

-

50.296.7

24,19

2005 44.607.3 3.868.8

11.924.6

2.324.5

284.9

63.010.2

25,28

2006 56.714.8 5.354.2 10.820.2 824.3 832.7 74.546.1 18,31

2007*) 16.207.3 2.191.4 5.284.3 464.8 460.9 24.608.7 -

Laju Pertumbuhan Rata-Rata 24,04

( Sumber : Dispenda Kalbar )

(154

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Berdasarkan Tabel 4.37 di atas dapat diketahui bahwa Penerimaan dari Bagi Hasil Pajak Propinsi Kalimantan Barat terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan laju pertumbuhan rata-rata 24,04 % pertahunnya. Hal ini diakibatkan terjadinya peningkatan pembagian pada PBB sebesar 16,2 % untuk wilayah Propinsi Kalimantan Barat (dari 90 % yang dibagi ke seluruh daerah wilayah kalimantan Barat) yang diperoleh dari penerimaan negara dimana peningkatan tersebut juga berkorelasi dengan Biaya Pemungutan (BP) PBB serta imbangan penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang semakin meningkat. Peningkatan ini merupakan gambaran semakin meningkatnya pembangunan di Propinsi Kalimantan Barat.

Laju Pertumbuhan Bagi hasil pajak propinsi kalimantan barat yang meningkat ini ternyata tidak dibarengi dengan penerimaan pembagian pajak penghasilan pasal 21 dan Orang Pribadi yang cenderung fluktuatif bahkan menunjukkan grafik penurunan, hal ini di karenakan kinerja aparatur yang. Hal ini dikarenakan Potensi Pajak Daerah yang kurang berkembang, sehingga kontribusinya menjadi negatif (Stagnan). Penerimaan Propinsi Kalimantan Barat sebesar 40 % (dari 20% yang diperoleh dari APBN, untuk kemudian dibagi dengan daerah). Pembagian tersebut dikaitkan dengan tempat wajib pajak terdaftar, karena terdapat hubungan yang kuat dengan daerah tempat pajak memperoleh penghasilan

lBagi Hasil Bukan Pajak/ Sumber Daya AlamPenerimaan Negara dari sumber daya alam sektor

kehutanan, sektor pertambangan umum, sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk pemerintah Daerah.

155)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

*) Realisasi s/d Juli 2007

2004 - 2.025.5 2.025.5

134.3

-

134.3

-

2.159.8

11,72

2005 666.3 2.409.4 3.075.8

21.0

-

21.0

-

3.096.8

43,38

2006 - 7.148.6 7.148.6 402.5 1.127.8 1.530.3 - 8.678.9 180,26

2007 *) - 1.747.8 1.747.8 - 482.8 482.9 - 2.230.7 -

Laju Pertumbuhan Rata-Rata 39,61

( Sumber : Dispenda Kalbar )

Berdasarkan Informasi dari tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa penerimaan bagi hasil bukan pajak/ SDA yang diperolehProvinsi Kalimantan Barat mengalami peningkatan dengan laju perumbuhan sebesar 39,61% pertahunnya. Peningkatan perimbangan ini diperoleh dari 3 (tiga) sektor yaitu sektor Kehutanan dan SDA, sektor Pertambangan Umum disamping sektor perikanan yang pada tahun memperoleh imbangan sebesar Rp 57.280.000,-. Dari ketiga penerimaan sektor BHBP/ SDA ini tertinggi setiap tahunnya diperoleh dari Sektor Kehutanan dan SDA yang berasal dari IHPH dan PSDH. Ketiga penerimaan ini cukup berarti terhadap APBD Propinsi dalam rangka peningkatan pembangunan. Meskipun pada tahun 2003 terjadi kemunduran pertumbuhan yang disebabkan dana BHBP yang kurang serta terjadi praktek eksploitasi SDA yang tidak sah/ ilegal.

Penerimaan sektor perikanan merupakan sektor yang memberikan kontribusi terkecil terhadap struktur APBN sehingga hasil sektor ini terlalu kecil untuk dibagikan kepada seluruh daerah, dan hanya akan semakin mengecilkan penerimaan daerah penghasil. Bahkan untuk daerah Provinsi Kalimantan Barat mulai tahun 2004 tidak lagi mendapatkan bagian sedikitpun dari sektor ini.

(156

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Tabel 4.38Data Perkembangan Realisasi Bagi Hasil Bukan Pajak / SDA

APBD Provinsi Kalimantan Barat (2003 - 2007)(Juta Rupiah)

TahunKehutanan dan SDA Pertambangan Umum Perikanan BHBP/ SDA

Laju Pertumbuhan

(%)

IHPH PSDH Total LANDRENT

ROYALTI

Total

PHAT

1 2 3 4 (2 + 3) 5 6 7 ( 4 + 5) 8 9 (4 + 7 + 8) 8

2003 473.0 1.352.9 1.825.9 50.0 - 50.0 57.2 1.933.3 -76,91

ii. Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK)Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan

keuangan daerah. Termasuk di dalam pengertian tersebut adalah jaminan kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan daerah di seluruh daerah dalam rangka penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat, dan merupakan satu kasatuan dengan penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Dedy Supriadi dan Dadang Solihin:2002).

DAU suatu Daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu Daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan Daerah (fiscal need) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 ini ditegaskan kembali mengenai formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU.

Selain Dana Alokasi Umum (DAU) juga terdapat Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai bagian dari dana perimbangan yang dialokasikan untuk membantu pembiayaan kebutuhan tertentu yaitu, merupakan program nasional khusus yang dilaksanakan di daerah. Kegiatan/ program yang dibiayai dana alokasi khusus didampingi dengan dana pendamping yang bersumber dari penerimaan umum APBD.

DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di Daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan Daerah.

Tabel 4.39 Perkembangan Dana Perimbangan APBD Kalbar (2003 - 2007)

(Milyar Rupiah)

Tahun BHP BHBP/

SDA DAU DAK

DAU/ DAK

DANA PERIMBANGAN

1 2

3

4

5

6 (4 + 5)

7 (2 + 3 + 6)

2003 40.500.0

1.933.3

272.910.0

8.600.0

281.510.0

323.943.3 2004 50.296.7

2.159.8

294.411.0

-

294.411.0

346.867.5

2005 63.010.2

3.096.8

312.572.0

-

312.572.0

378.678.9

2006 74.546.1

8.678.9

586.027.0

-

586.027.0

669.251.9

2007*) 24.608.7 2.230.7 407.260.0 - 407.260.0 434.099.4

*) Realisasi s/d Juli 2007Sumber : Dispenda Kalbar

157)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Berdasarkan Tabel 4.6.3 di atas dapat diketahui DAU/ DAK yang diterima Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan nilai yang terus menanjak naik dengan nilai terakhir pada Tahun 2006 sebesar Rp. 586.027.000.000,- meningkat hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp. 312.572.000.000,- . Kenaikan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus ini akan sejalan dengan penyerahan dan pengalihan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Selain itu, peningkatan DAU/ DAK ini dikarenakan Propinsi Kalimantan Barat adalah daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar sehingga memperoleh alokasi DAU relatif besar, Sedangkan bagi Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. Meningkatnya BHP, BHP/SDA, serta DAU/DAK setiap tahunnya mengakibatkan nilai Dana Perimbangan juga meningkat karena ketiga unsur tersebut merupakan bagian dari Dana Perimbangan. Besaran Pertumbuhan rata-rata Dana Perimbangan ini setiap tahunnya sebesar 28,44 % pertahun. Perkembangan Dana Perimbangan yang diperoleh Provinsi Kalimantan Barat selengkapnya dapat diketahui pada gambar 4.19 di bawah ini.

Gambar. 4.19Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi Kalimantan Barat (2003 - 2007)

Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi Kalbar (2003 - 2007)

(158

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Meningkatnya Dana Perimbangan (DP) dari pusat setiap tahunnya dikarenakan kebutuhan belanja Provinsi Kalimantan Barat yang juga meningkat. Peningkatan ini diharapkan berkorelasi dengan peningkatan pelayanan serta kesejahteraan masyarakat.

d) Analisis Proporsi Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Kalimantan Barat

Salah satu indikator kemampuan otonomi daerah adalah kemampuan pengelolaan dan pengadaan sumber-sumber keuangan daerah. Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada kegiatan pemerintah yang dapat berlangsung tanpa dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai. Salah satu unsur penerimaan daerah (APBD) selain dana perimbangan dan pendapatan lain yang sah (sumbangan atau bantuan pihak ketiga) adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli daerah (PAD) merupakan sumber pendapatan yang diperoleh daerah melalui usaha-usaha yang dilakukan oleh daerah sendiri tanpa ketergantungan pada pusat yang penggunaannya diatur oleh daerah sendiri, yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Berikut ditampilkan Perkembangan PAD Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2003 - 2007

Komposisi PAD Provinsi Kalimantan Barat (2003 - 2007)

Gambar 4.20Komposisi PAD Provinsi Kalimantan Barat (2003-2007)

0,00

50.000.000.000,00

100.000.000.000,00

150.000.000.000,00

200.000.000.000,00

250.000.000.000,00

300.000.000.000,00

350.000.000.000,00

400.000.000.000,00

450.000.000.000,00

2003 2004 2005 2006 2007 *) Tahun

Pajak Daerah

Retribusi Daerah

Laba Usaha Daerah

Lain-Lain PAD

PAD

Rupiah

*) Data Sementara

159)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Berdasarkan grafik 4.20 diatas, dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan Penerimaan Asli Daerah (PAD) setiap tahunnya dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 23,76 % pertahunnya (Data Dispenda). Laju PAD yang meningkat ini dikarenakan supply dari pajak dan retribusi yang juga meningkat sepanjang tahunnya, selain itu bagian laba usaha daerah dan pendapatan lain-lain PAD turut pula menyumbang peningkatan PAD ini meskipun besaran nilainya berfluktuatif pertahunnya. Hal ini menunjukkan peran dan kinerja yang semakin baik dari petugas daerah maupun kesadaran masyarakat yang cukup tinggi dalam menunaikan kewajibannya.

Anggaran Keuangan Daerah pada hakekatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Lebih lanjut tolok ukur kinerja program/ kegiatan pemerintah daerah didasarkan pada lima dimensi indikator yaitu : masukan (input), Keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact). Dimana gambaran kelima dimensi ini salah satunya dapat diketahui melalui hubungan APBD dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah.

Penyusunan APBD Propinsi Kalimantan Barat dari tahun 2003 2007 sudah menggunakan anggaran berbasis kinerja. hal ini dilakukan sebagai implementasi dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan ketentuan tersebut, penyusunan APBD didasarkan pada pendekatan kinerja dengan indikator keberhasilan berupa keluaran (output) dan hasil (outcome). Agar pelaksanaan APBD dapat berjalan dengan efisien dan efektif, maka penyusunan APBD menggunakan

(160

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Komposisi APBD Provinsi Kalimantan Barat BerdasarkanMasing-Masing Komponen

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

Rata-Rata

Proporsi

(%)

BHP : APBD BHBP/ SDA :

APBD

DAU/ DAK : APBD DP : APBD PAD : APBD

Instrumen

Gambar. 4.21Komposisi APBD Kalimantan Barat Berdasarkan Masing Masing Komponen

Berdasarkan Gambar 4.21 diatas tergambar bahwa rasio proporsi BHP : APBD rata-rata sebesar 7,09 % pertahunnya, proporsi BHBP/ SDA : APBD Sebesar 0,46 % pertahun, proporsi DAU/DAK : APBD sebesar 51,68 % Pertahun, DP : APBD Sebesar 59,23% Pertahun, dan Proporsi PAD : APBD sebesar 39,92 % pertahunnya. Dari data-data ini dapat diketahui besaran kontribusi masing-masing penerimaan daerah tersebut terhadap APBD untuk kemudian dianalisis pengaruhnya masing-masing terhadap keuangan daerah.

Berdasarkan grafik tingkat proporsi terhadap APBD di atas dapat diketahui bahwa BHP Terhadap APBD Lebih Besar dibanding BHBP/ SDA Terhadap APBD. Hal ini menunjukkan :1. SDA Kalimantan Barat belum meunjukkan kontribusi yang cukup besar

sebagai sumber penerimaan daerah yang dapat diandalkan2. BHP meskipun besarannya kurang dari 10 % namun memiliki kontribusi

yang cukup menjanjikan terhadap penerimaan daerahDari grafik 3 diatas juga dapat diketahui bahwa tingginya

kontribusi DAU/ DAK terhadap APBD sebesar 51,68 % lebih tinggi

161)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

dibanding kontribusi PAD terhadap APBD yang hanya sebesar 39,92 %. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pembiayaan/pembelanjaan daerah masih bergantung pada sumbangan pusat, ke depannya ketergantungan ini akan berdampak negatif yang berpengaruh pada sikap apatis daerah karena menganggap akan ada bantuan dari pusat (Dana Perimbangan) sehingga pengoptimalan penggalian potensi pendapatan daerah tidak begitu maksimal dilakukan.

Peranan dan kemampuan PAD Provinsi Kalimantan Barat dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah masih sangat kecil yaitu 39,92 % (PAD : APBD) dibanding Dana Perimbangan (DP) yang dominan diatas 50 % terhadap APBD Provinsi. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya PAD diantaranya yaitu :1. kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan

daerah selain pajak daerah dan retribusi2. tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, dimana semua

jenis pajak utama yang produktif ditarik oleh pemerintah pusat3. beragamnya pajak daerah, namun hanya sedikit yang diandalkan

sebagai sumber penerimaan daerah.

Meski masih kurang dari 50 % namun kecenderungan peningkatan kinerja serta peran baik masyarakat maupun aparat pemerintah akan menjamin ke depannya PAD Provinsi Kalimantan Barat akan mampu menaikkan proporsinya terhadap APBD. Kenyataan ini dapat dibuktikan dengan semakin tingginya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing lapangan usaha yang ada di Provinsi Kalimantan Barat seperti terlihat pada tabel 4.40 berikut ini.

Tabel 4.40PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha

Propinsi Kalimantan Barat (2003 - 2005)(Juta Rupiah)

No Lapangan Usaha 2003 2004 2005

1 Pertanian

7.244.687,08

8.175.602,50 9.155.266,33

2 Pertambangan dan Penggalian

330.907,14 371.306,32 426.302,64

(162

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

3

industri pengolahan

5.365.105,32

5.926.102,81 6.444.998,13

4

Listrik, gas, dan air bersih

172.911,67

193.522,97 219.880,51

5

Bangunan

2.108.254,79

2.435.330,59 2.822.319,97

6

Perdagangan, hotel, dan restoran

5.451.821,24

6.529.651,65 7.712.168,46

7

Pengengkutan dan komunikasi

1.657.687,71

1.822.387,98 2.235.321,09

8 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan

1.353.955,62 1.469.492,58 1.627.979,15

9 Jasa-jasa 2.377.416,59 2.741.658,84 3.098.231,77

Total PDRB 26.062.747,16 29.665.056,24 33.742.468,05

Sumber : BPS Kalimantan Barat

PDRB dapat dijadikan indikator dalam menilai pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat karena :1. PDRB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas

produksi di dalam perekonomian daerah. Hal ini berarti peningkatan PDRB Provinsi Kalimantan Barat mencerminkan pula peningkatan balas jasa kepada faktor produksi yang digunakan.

2. Batas wilayah perhitungan PDRB adalah daerah (perekonomian domestik). Hal ini membuktikan bahwa kebijakan-kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan barat mampu mendorong aktivitas perekonomian daerahnya.

Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan pendapatan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi. Selain itu kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah juga menjadi faktor penyebab masih rendahnya PAD Provinsi Kalimantan Barat ini.

Selain faktor umum di atas, ada beberapa faktor-faktor lain yang menyebabkan Daerah masih bergantung kepada Keuangan Negara :

163)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

1. Hingga saat ini, PAD terutama bertumpu pada pajak dan retribusi serta sumber PAD lain seperti laba perusahaan daerah masih relatif sangat kecil

2. Secara formal, cukup banyak jenis-jenis pajak daerah maupun persentasi pajak Negara yang diserahkan kepada daerah, namun demikian, hasil pungutan daerah tersebut tidak memadai dibanding dengan kebutuhan daerah.

Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya penyelenggaraan pemerintah, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, maka aspek pembiayaan menduduki posisi yang paling penting, sementara PAD dan bantuan pusat (dana perimbangan) tidak mampu menutupi semua kebutuhan pembiayaan tersebut, sehingga pemerintah daerah harus berupaya menggali dan mencari alternatif pembiayaan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Rendahnya PAD bukan berarti bahwa daerah tersebut miskin atau tidak memiliki sumber-sumber keuangan yang potensial, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat.

Tabel 4.41Perkembangan APBD Kalimantan Barat

(2003 2007)

Tahun APBD

Laju Pertumbuhan (%)

1 9

3

2003 530.618.927.811

8,69

2004 620.118.631.246

16,87

2005 681.625.183.621

9,92

2006 1.063.075.725.370 55,96

2007*) 715.715.819.435 -

Laju Pertumbuhan Rata-Rata 22,86

*) Realisasi s/d Juli 2007

Sumber : Dispenda Kalbar

Sejalan dengan Peningkatan Keuangan Provinsi Kalimantan Barat dimana laju pertumbuhan rata-ratanya mencapai 22,86 % pertahun tentunya diharapkan dapat secara tepat guna memenuhi pemerataan

(164

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

pembangunan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan Peningkatan APBD tersebut, kita dapat mengetahui peningkatan kesejahteraan masyarakat Propinsi Kalimantan Barat dengan menggunakan data PDRB Perkapitanya seperti disajikan dalam grafik 4 berikut ini.

PDRB dan Angka Perkapita Prov. Kalbar (2003 - 2005)

Gambar. 4.22PDRB dan Angka Perkapita Provinsi Kalimantan Barat (2003-2005)

Pendapatan Perkapita sebagai suatu indikator keberhasilan pembangunan ekonomi sangat bergantung pada jumlah penduduk yang juga secara pasti mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan sebesar 11,94 % pertahunnya. Pendapatan Perkapita menunjukkan pendapatan yang diterima orang - perorangan atas kegiatan ekonomi yang dilakukan, dimana jika dilakukan perbandingan menunjukkan nilai (berdasarkan informasi dari gambar 4.22 di atas), kita dapat mengetahui bahwa dari tahun 2003 - 2005 terjadi peningkatan nilai PDRB Perkapita yakni Pada Tahun 2003 sebesar Rp. 6.615.291,58 tahun 2004 sebesar Rp. 7.407.349,31 dan tahun 2005 sebesar Rp. 8.288.642,80 serta Pendapatan Regional Perkapitanya Tahun 2003 sebesar Rp. 6.044.171,43 meningkat pada tahun 2004 sebesar Rp. 6.767.848,18 dan Tahun 2005 meningkat menjadi Rp. 7.573.056,66. Kesimpulan sementara yang dapat ditarik

165)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

berdasarkan data-data di atas adalah perkembangan tingkat kesejahteraan penduduk di Propinsi Kalimantan Barat cukup menggembirakan dalam peningkatan pendapatan regional. Artinya dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Daerah dapat mempengaruhi employment, pendapatan, dan juga harga.

Pengaruh Peningkatan APBD Provinsi Kalimantan Barat turut berdampak pada perkembangan sektor lainnya. Pada bidang pendidikan, perkembangan mulai tahun 2003/ 2004 hingga 2005/2006 menunjukkan hasil yang memuaskan dari segi kuantitasnya seperti tergambar pada Tabel 4.42 berikut ini :

Tabel 4.42Perkembangan Jumlah Murid, Guru, serta Sekolah

di Propinsi Kalimantan Barat

Tahun

SD SMP SMA

Murid Guru

Jumlah Sekolah

Murid

Guru

Jumlah Sekolah

Murid

Guru

Jlh Sekolah

2003/2004 560.999 27.426

3.820

145.689

10.247

627

61.182

4.587

221

2004/2005 557.854 28.573 3.843 147.506 10.645 661 65.999 4.979 244

2005/2006 574.551 28.573 3.861 149.949 10.645 704 70.550 4.979 256

Sumber : Dinas Pendidikan Prop. Kalimantan Barat

Upaya Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia di Provinsi Kalimantan Barat tampaknya bukan cerita belaka. Hal ini dibuktikan dengan upaya peningkatan di sektor ini, tidak hanya dari segi jumlah sekolah tetapi juga pada peningkatan jumlah pengajar untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah ini. Tercatat berdasarkan data Tabel 6 di atas untuk Sekolah Dasar tahun terakhir (2005/2006) ini perbandingan Guru dan Murid yaitu 1 : 20 dengan jumlah sekolah (Negeri dan Swasta) sejumlah 3.861 meningkat 8 sekolah dibanding tahun sebelumnya., sedangkan di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tahun Terakhir (2005/2006) menunjukkan perbandingan Guru dan Murid sebesar 1 : 18 dengan jumlah sekolah (Negeri dan Swasta) sejumlah 704 meningkat 43 sekolah dibanding tahun sebelumnya.

Untuk ditingkat SMA, tahun terakhir menunjukkan perbandingan guru dan murid sebesar 1 : 15 dengan penambahan jumlah sekolah sebanyak 12 sekolah dibanding tahun sebelumnya. Namun, jika kita

(166

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

mengamati data-data di atas jumlah murid SD yang melanjutkan ke SMP berkurang sebanyak 424.602 (Periode 2005/2006) dan murid SMP yang Melanjutkan ke SMA berkurang 79.399 (Periode 2005/2006). Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian murid tersebut tertampung di Sekolah Kejuruan, sudah bekerja membantu orang tua mereka, ataukah ketidakmampuan mereka untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah yang lebih tinggi.

Perkembangan Sektor kesehatan sendiri juga tidak luput dari perhatian pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Dari data yang ada menunjukkan sejumlah peningkatan jumlah puskesmas, tenaga paramedis, serta dokter spesialis dari tahun 2003-2005. secara lebih jelas dapat diketahui pada Tabel 4.43 di bawah ini.

Tabel 4.43Perkembangan Sektor Kesehatan Sekolah

di Provinsi Kalimantan Barat Periode 2003 - 2005

Tahun Puskesmas Puskesmas Puskesmas Tenaga Dokter

Dokter Dokter Pembantu

Keliling

Paramedis

Umum

Gigi

Spesialis

2003 198 771

148

2.498

293

110

2.979

2004 201 757

137

4.014

273

98

4.455

2005 204 757 137 5.241 271 109 5.701

Sumber : Dinas Kesehatan Prov. Kalimantan Barat

Terjadinya peningkatan jumlah puskesmas, tenaga paramedic, serta dokter spesialis ini diharapkan dapat memenuhi pelayanan kepada masyarakat dalam hal kesehatan, namun yang perlu diperhatikan adalah pemerataan penempatan fasilitas serta tenaga-tenaga kesehatan tersebut. Namun, jumlah puskesmas pembantu, puskesmas keliling, dokter umum, serta dokter gigi mengalami penurunan kuantitas dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal ini tentunya berdampak pada penumpukan kerja/ tugas dari tenaga-tenaga kesehatan yang ada ataukah penumpukkan massa yang membutuhkan pelayanan kesehatan pada wilayah tertentu, hal ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah strategis untuk menutupi kekurangan ini.

167)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Kinerja Pemerintah Provinsi Kalmantan Barat sudah cukup memuaskan dalam hal peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakatnya. Peningkatan penerimaan keuangan daerah yang diperoleh setaip tahunnya secara garis besar mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi serta pendapatan perkapita masyarakatnya. Meskipun begitu pembenahan seluruh sektor baik secara kuantitas serta kualitas perlu ditingkatkan guna mendekatkan masyarakat pada kemakmuran seperti yang diharapkan Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat.

2. Kabupaten Ketapanga) Gambaran Umum Daerah

Secara geografis, Kabupaten Ketapang berada di sisi Selatan o o Propinsi Kalimantan Barat, yang terletak di antara garis 0 19' 00” - 3 05'

o o00” Lintang Selatan dan 108 42' 00” - 111 16' 00” Bujur Timur. Kabupaten Ketapang merupakan kabupaten terluas di Kalimantan Barat dengan luas wilayah mencapai 35.809 Km² (± 3.580.900 Ha) yang terdiri dari 33.209 Km² wilayah daratan dan 2.600 Km² wilayah perairan. Sungai terpanjang di Kabupaten Ketapang adalah sungai Pawan yang menghubungkan Kota Ketapang dengan Kecamatan Sandai, Nanga Tayap dan Sungai Laur serta merupakan urat nadi penghubung kegiatan ekonomi masyarakat dari desa dengan kecamatan dan kabupaten.

Walaupun sebagian kecil wilayah Kabupaten Ketapang merupakan perairan laut, akan tetapi Ketapang memiliki sejumlah pulau yang berjumlah 114 pulau, dimana hanya setengah yang berpenghuni. Sebagian pulau yang ada merupakan Taman Nasional serta wilayah perlindungan atau konservasi.

Secara administratif, dari 25 Kecamatan yang ada di Kabupaten Ketapang sampai dengan akhir tahun 2005, kecamatan yang memiliki

2wilayah terluas adalah kecamatan Kendawang 5.859 km atau 16,36 % dari luas kabupaten ketapang dan kecamatan terkecil adalah kecamatan Delta

2Pawan yaitu 74 km atau 0,21 % dari luas Kabupaten Ketapang. Adapun batas-batas wilayah administrasi Kabupaten Ketapang adalah sebagai berikut:

(168

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

lSebelah Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sanggau.

lSebelah Barat : Berbatasan dengan Selat Karimata. lSebelah Selatan : Berbatasan dengan Laut Jawa. lSebelah Timur : Berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah

dan Kabupaten Sintang.

Pada tahun 2005 penduduk yang ada di Kabupaten Ketapang berjumlah 484.300 jiwa. Jika dibandingkan dengan luas wilayah Ketapang

2 yang cukup luas, maka kepadatan penduduk yang hanya 14 jiwa per kmterhitung masih sedikit sehingga menyebabkan penyebaran penduduk di Ketapang belum merata.

Di Kalimantan Barat khususnya Kabupaten Ketapang, pertanian masih menjadi sektor utama penopang perekonomian. Terbukti sektor ini menjadi penyedia lapangan kerja terbesar dan penyumbang pendapatan terbanyak. Untuk itu perlu ditingkatkan lagi pengelolaan di sektor pertanian ini guna semakin memantapkan sektor di dalam perekonomian.

Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Ketapang mengalami banyak kemajuan, yaitu dari tahun 2004 ke tahun 2005 pertumbuhan ekonominya hanya sebesar 10,33 persen sedangkan di tahun 2005 ke tahun 2006 meningkat menjadi 12, 43%. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa sektor yang banyak memberikan kontribusi terbesar dalam perekonomian Kabupaten Ketapang adalah sektor pertanian diikuti sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel & restoran.

b) Dana Perimbangan KeuanganDalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan,

pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.

169)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk pendanaan atas penyerahan urusan kepada Pemerintahan Daerah yang diatur dalam Undang-Undang nomor 33 tahun 2004. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.

Dana perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin membaik. Dana perimbangan merupakan kelompok sumber pembiayaan yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi.

Dalam APBD Kabupaten Ketapang dana perimbangan yang diberikan oleh pusat untuk pembiayaaan pemerintahan dan pelayanan sangat besar jika dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Ketapang. Hal ini dapat kita lihat dalam tabel 4.44

Tabel 4.44Komposisi APBD Kabupaten Ketapang (2005 - 2007)

No TAHUNAPBD PAD Dana Perimbangan

(1) (2) (2) 1. 2005 360.324.382.491

9.426.664.251

332.343.802.740

2. 2006 614.961.431.591

12.277.006.141

593.022.550.450

3. 2007 697.199.328.352 12.195.224.983 674.121.356.869 Sumber : Biro Keuangan (Kab. Ketapang)

Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah. Sesuai dengan UU nomor 33 tahun 2004 dana perimbangan terdiri atas:

(170

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

i. Dana Bagi HasilDana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan

APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Pengaturan DBH dalam Undang - Undang nomor 33 tahun 2004 merupakan penyelarasan dengan Undang - Undang nomor 17 tahun 2000. Pada pelaksanaannya DBH bersumber dari Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak/Hasil Sumber Daya Alam.

Dana Bagi Hasil Pajak adalah dana yang bersumber dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Hal ini dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya alam tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara.

Sedangkan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam adalah dana yang bersumber dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang nomor 27 tahun 2003 tentang panas bumi, selain itu dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari Dana Alokasi Khusus (DAK), dialihkan menjadi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam.

Tabel 4.45Perkembangan Dana Bagi Hasil dalamAPBD Kab. Ketapang Tahun 2005-1007

Tahun Dana Bagi Hasil BHP BHBP

2005 22.851.056.240 2006 30.042.003.950

26.336.296.245

3.705.707.705

2007 26.454.356.869Sumber : Laporan keuangan Kab. Ketapang (2005-2006)

Dari data diatas dapat dilihat bahwa Dana Bagi Hasil Kabupaten Ketapang pada tahun 2006 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 31,47 persen. Komposisi dana bagi hasil pajak pada tahun 2006 adalah sebesar 87,66 persen sedangkan komposisi hasil sumber daya alam adalah sebesar 12,34 persen, dengan ini dapat

171)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

kita ketahui bahwa sumber daya alam sebagai komposisi dalam APBD Kabupaten Ketapang belum bisa memberikan masukan yang cukup berarti. Akan tetapi sebaliknya walaupun komposisi bagi hasil pajak dalam APBD lebih besar dibanding BHBP, namun pada kenyataannya pemerintah daerah masih saja dihadapkan pada beberapa masalah, yaitu:a. Belum tergalinya potensi pajak secara umum karena dipengaruhi

oleh lemahnya sistem hukum dan akutansi perpajakan serta kelemahan administrasi dan rendahnya kesadaran wajib pajak

b. Penguasaan pusat terhadap pajak-pajak yang produktifc. Kurangnya dukungan dari pusat dalam persentase pembagian hasil

pajak kepada daerahd. Masih kurangnya sarana dan prasarana dalam mendukung

pelaksanaan kegiatan penagihan.e. Masih belum optimalnya koordinasi antar instansi yang terkait

dengan Pendapatan Daerah.

Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menghadapi masalah diatas adalah dengan meningkatkan kesadaran wajib pajak melalui sosialisasi/penyuluhan, peningkatan sarana dan prasarana dalam mendukung kegiatan penagihan serta meningkatkan koordinasi intern pada instansi yang bersangkutan.

Dengan adanya langkah - langkah sebagai upaya pemecahan masalah yang tersebut diatas, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah dari dana bagi hasil pajak, yang pada kenyataannya merupakan penyumbang terbesar dibanding dari dana bagi hasil bukan pajak / sumber daya alam.

Jika pada tahun 2006 dana bagi hasil Kabupaten Ketapang mengalami kenaikan, maka tidak demikian halnya di tahun 2007, BHP/BHBP yang didapat mengalami penurunan sebesar 12% dari tahun sebelumnya. Hal ini harus sangat diwaspadai, karena apabila tahun-tahun yang akan datang terus mengalami penurunan, maka dikhawatirkan akan berdampak pada total penerimaan dalam upaya pembiayaan daerah serta juga mencerminkan bahwa potensi-potensi

(172

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

ekonomi daerah yang menjadi obyek pajak di Kabupaten Ketapang mengalami penurunan atau kelesuan dikarenakakan kurang optimalnya pengolahan sumber daya alam serta pajak, sehingga mengakibatkan semakin mengecil/melemahnya kemandirian daerah.

ii. Dana Alokasi Umum ( DAU ) dan Dana Alokasi Khusus ( DAK )DAU dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan

kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah.

Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

Sedangkan Dana Alokasi Khusus ( DAK ) merupakan dana yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, terutama untuk membantu membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. Adapun daerah yang mendapatkan alokasi DAK adalah daerah yang memenuhi kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis.

Tabel 4.46Data Proporsi BHP/BHBP, DAU & DAK dalam Dana Perimbangan APBD Tahun 2005-2007

Thn

Dana Perimbangan

BHP/BHBP DAU DAK

(1)

(2)

(3)

(4)

2005

332.342.8

22.851.1

280.615.0

22.544.0

2006

593.022.5

30.042.0

519.853.0

37.993.2

2007 674.121.4 26.454.4 588.702.0 58.965.0

Sumber : Biro Keuangan(Ketapang)

173)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Dari tabel 3 dapat kita lihat bahwa dalam dana perimbangan proporsi DAU sangat besar dibanding Dana Bagi Hasil dan DAK dan selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya, dengan begitu kita dapat mengetahui bahwasannya pembiayaan daerah Kabupaten Ketapang yang berasal dari dana perimbangan sebagian besar merupakan kontribusi dari DAU. Ini berarti DAU merupakan komponen utama dari dana perimbangan, yang dimaksudkan untuk bisa mengatasi persoalan akibat kekurang mandiriannya daerah dalam pembiayaan.

c) Kesenjangan Proporsi Antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) & Dana Perimbangan dalam APBD Kabupaten Ketapang

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah.

Posisi keuangan memiliki posisi yang sangat penting artinya sebagai alat penyelenggara otonomi daerah, maka tanpa pengelolaan keuangan yang memadai, maka pemerintah daerah tidak akan mampu menjalankan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan.

Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber pendapatan asli daerah yang utama adalah pajak dan retribusi, kedua sumber ini sangat tergantung pada pusat, sesuai dengan pembawaannya, urusan keuangan senantiasa dikategorikan sebagai urusan yang diatur dan diurus oleh pusat.Daerah hanya boleh mengatur dan mengurus sepanjang ada pengesahan dari pusat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Karena bersifat perundang-undangan maka pada dasarnya ketergantungan daerah pada pusat dibidang keuangan akan selalu ada.

(174

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

PAD Kabupaten Ketapang Tahun Anggaran 2005 s/d 2007

(Juta Rupiah)

-

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

2005 2006 2007

PAD Pajak Daerah Retribusi Daerah Laba BUMN Lain-lain

Sumber: Ketapang dalam angkaGambar. 4.23

Komposisi PAD Kab. Ketapang (2005 2007)

Berdasarkan Gambar 4.23 diatas dapat kita lihat, bahwa pajak daerah yang merupakan komponen penting dalam PAD, tidak begitu banyak memberi sumbangan terhadap APBD, terlebih lagi apabila kita melihat proporsi sumbangan BUMD terhadap PAD sangat kecil sekali. Selain itu kita juga dapat melihat bahwa pada tahun 2007 pendapatan asli daerah mengalami penurunan dikarenakan pendapatan yang berasal dari pajak dan pendapatan lain-lain mengalami penurunan walaupun tidak begitu dengan retribusi. Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya PAD Kabupaten Ketapang adalah sebagai berikut :1. Rendahnya tarif pajak hotel dan restauran dikarenakan belum

berkembangnya sektor perdagangan dan jasa Kabupaten Ketapang.2. Masih ada wajib pajak yang kurang sadar untuk membayar pajak dan

retribusi.3. Sumber PAD dari laba BUMD masih relatif kecil.4. Kebijakan pemerintah pusat yang menyebabkan sumber keuangan yang

potensial dikuasai oleh pemerintah pusat.

175)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Untuk menyiasati penurunan PAD, maka pemerintah dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut :1. Mengoptimalkan pemungutan pajak (dengan cara mengadakan

perubahan pada sistem atau cara pungutan pajak) berdasarkan atas azas pemerataan/keadilan sosial, azas mudah pengelolaan dan azas penerimaan pajak yang cukup

2. Meningkatkan pengawasan dengan lebih baik untuk meningkatkan hasil penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah.

3. Perumusan dan pelaksanaan seperangkat peraturan daerah yang produktif, yaitu yang mampu meningkatkan peluang investasi didaerah, khususnya untuk mengembangkan sektor pertanian serta industri kecil yang bersifat mendukung sektor pertanian dan berteknologi padat karya.

4. Membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan tujuan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pada umumnya dan memberi kontribusi laba kepada PAD pada khususnya.

Dengan adanya upaya-upaya diatas, diharapkan pada tahun-tahun berikutnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Ketapang dapat meningkat sehingga dapat menambah perannya dalam pembiayaan daerah.

Tabel 4.47Ratio PAD dan Dana Perimbangan Terhadap APBD

TAHUN PAD: APBD Dana Perimbangan

DAU/DAK: APBD BHP/BHBP:

APBD

2005 2,61 84,13 6,34

2006 2,00 90,71 4,89

2007 1,75 92,9 3,8

Rata-rata

2,12 89,25 5,07

Sumber: data diolah

(176

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Berdasarkan data diatas dapat kita lihat bahwa proporsi PAD terhadap APBD rata-rata sebesar 2,12% tiap tahunnya, hal ini sangat kecil jika dibanding proporsi BHP/BHBP yaitu sebesar 5,07% tiap tahunnya, DAU/DAK sebesar 89,25%, serta proporsi dana perimbangan yaitu rata-rata 95,03% tiap tahunnya.

Dari tabel 4.47 dan gambar 4.23 diatas kita juga dapat mengetahui beberapa hal sebagaimana tersebut dibawah ini:1. PAD Kabupaten Ketapang memperlihatkan trend yang semakin

menurun. Diantara sektor-sektor penyumbang PAD, ternyata sektor pajak daerah yang mengalami penurunan paling besar, dibanding sektor lain seperti retribusi daerah, laba BUMD/Perusda, dan sebagainya. Walaupun pada tabel 1 kita ketahui nilai PAD pada tahun 2006 mengalami kenaikan tetapi sebenarnya ratio perbandingannya terhadap APBD mengalami penurunan yaitu dari 2,61 persen pada tahun 2005 menjadi 1,75 persen ditahun 2006.Mencermati perkembangan data diatas, dapat dipahami bahwa PAD belum dapat diandalkan sebagai sumber utama pembiayaan program pembangunan di daerah. Implikasinya, pemerintah Kabupaten Ketapang perlu melakukan langkah-langkah yang konkrit untuk meningkatkan kapasitas pajak daerah.

2. DAU dan DAK yang diterima Kabupaten Ketapang cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini sejalan dengan PAD yang semakin melemah, sehingga kebutuhan anggaran tidak dipenuhi dari potensi daerah sendiri, tetapi dipenuhi dari dana perimbangan. Trend negatiif tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan Kabupaten Ketapang terhadap dana perimbangan semakin besar. Atau dengan kata lain, kemandirian anggaran (fiscal independency) Kabupaten Ketapang, belum begitu kuat sebagai pondasi pembangunan. Apabila kecenderungan tersebut tidak segera diatasi, maka masa depan pembiayaan pembangunan di Kabupaten Ketapang dapat menimbulkan instabilitas, yang bermuara pada tidak berkesinambungannya pembangunan daerah.

3. Obyek pajak daerah tidak berkembang; sistem pengelolaannya kurang optimal.

177)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

4. Kabupaten Ketapang berada pada simpang jalan atau menghadapi jalan buntu. Jika kondisi tidak semakin membaik, dapat dikatakan bahwa Kabupaten Ketapang gagal dalam melaksanakan otonomi daerah. Kegagalan melaksanakan otonomi daerah dapat berdampak pada kebutuhan untuk melebur daerah ini dengan daerah yang lebih mampu secara finansial.

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa sampai dengan tahun 2007 sebagian besar kegiatan dan kebutuhan daerah Kabupaten Ketapang dibiayai oleh bantuan pusat melalui dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.

Tabel 4.48APBD Kabupaten KetapangTahun Anggaran 2003 2007

Tahun APBD Laju Pertumbuhan

(%)

2005 360.324.382.491

6,04 2006 614.961.431.591

70,67

2007 697.199.328.352

13,37

Laju Pertumbuhan 30,03

Sumber : Dispenda Kalbar

Pengelolaan keuangan Pemerintah Kabupaten Ketapang sudah didasarkan kepada Peraturan Daerah kabupaten Ketapang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Jika kita menelaah data pada tabel 4.48, maka kita dapat mengetahui bahwa laju pertumbuhan APBD Kabupaten Ketapang dari tahun 2005 sampai dengan 2007 relatif tinggi dan menunjukkan trend positif. Hal ini menggambarkan bahwa peluang Kabupaten Ketapang untuk melaksanakan pembangunan semakin baik, karena ditunjang dengan sumber biaya yang semakin besar.

Akan tetapi meskipun laju pertumbuhan bersifat positif, tetap perlu dipelajari dari komponen yang berkontribusi terhadap peningkatan

(178

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

tersebut. Jika komponen terbesar adalah PAD, berarti telah terjadi penguatan kapasitas secara nyata. Akan tetapi jika peningkatan itu didorong oleh makin besarnya dana perimbangan, maka sesungguhnya penguatan kapasitas keuangan daerah sifatnya semu. Peningkatan APBD Kabupaten Ketapang dengan rata-rata peningkatan pertahun sebesar 30,03%, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta, memberikan pelayanan yang tepat guna kepada masyarakat serta menghasilkan pembangunan yang bermanfaat dan merata.

179)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

BAB VPENUTUP

A. KesimpulanDari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diambil beberapa

kesimpulan, diantaranya yaitu :1. Kebijakan desentralisasi fiskal (perimbangan keuangan) telah

berimplikasi kepada meningkatkan kemampuan keuangan pemerintah daerah untuk pembiayaan pembangunan didaerah;

2. Berdasarkan data komposisi APBN dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir memperlihatkan besaran tranfer anggaran APBN kepada pemerintah daerah terus menunjukkan peningkatan walaupun belum terlalu signifikan, dimana pada tahun 2005 rasio dana desentralisasi dalam APBN sebesar Rp. 153,40 Trilyun (27, 15%), pada tahun 2006 sebesar Rp. 220,85 Trilyun (31.55%) dan pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp. 258.79 Trilyun (33.89%);

3. Walaupun secara nasional besaran dana perimbangan terus mengalami peningkatan, namun untuk beberapa jenis pembiayaan seperti Dana Bagi Hasil (DBH) oleh beberapa daerah masih dirasakan belum memadai, bahkan untuk beberapa komponen proses penghitungannya dianggap tidak mudah untuk diakses oleh pemerintah daerah;

4. Pemberian otonomi kepada daerah secara besar-besaran ternyata tidak diikuti dengan kemampuan dan kemandirian daerah untuk membiayai kegiatannya. Sebaliknya, ketergantungan kepada pusat setelah pelaksanaan otonomi daerah nampak semakin tinggi terlihat dari perbandingan antara PAD terhadap APBD maupun dana perimbangan yang diberikan oleh pusat;

5. Kebijakan perimbangan keuangan yang berimplikasi kepada meningkatkan kemampuan pembiayaan pembangunan didaerah ternyata tidak serta merta berimplikasi langsung kepada meningkatnya

(180

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

pelayanan khususnya pelayanan dasar kepad masyarakat, hal ini dilater belakangi kepada komposisi pembiayaan pembangunan di daerah yang sebagian besar lebih banyak dialokasikankepada belanja rutin dibandingkan dengan belanja publik;

6. Dengan adanya jaminan besaran pembiayaan pembangunan di daerah melalui transfer pembiayaan dari pemerintah pusat ke daerah, di satu sisi telah menyebabkan rendahnya kreatifitas pemerintah daerah untuk mengotimalkan potensi pembiayaan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), hal ini dapat dilihat dari komposisi APBD daerah baik provinsi maupun kabupaten yang lebih di dominasi oleh dana perimbangan. Sebagai gambaran dari kompisisi APBD Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2006 menunjukkan besarnya PAD daerah belum mencapai 25% dari total APBD, begitu juga halnya dengan Provinsi Kalimantan Timur dimana dalam kurun waktu 6 (enam) tahun terakhir (2001-2006) rata-rata komposisi PAD hanya mencapai 23% dari total APBD, Provinsi Kalimantan Barat hanya mencapai 39.92%. Kondisi lebih memprihatinkan terjadi pada pemerintahan ditingkat Kabupaten, sebagai contoh rasio PAD di Kabupaten Kotawaringin Barat yang hanya mencapai angka tertinggi 10,92% pada tahun 2005 namun kembali menurun menjadi 9.16% pada tahun 2006, kondisi yang lebih memprihatinkan ditemukan di Kabupaten Ketapang dimana rasio PAD terhadap APBD hanya mencapai angka rata-tara 2.12% atau dengan kata lain, hampir 100% sumber pembiayaan pembangunannya diperoleh dari dana perimbangan;

7. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, yang merupakan komponen dari PAD adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan.

8. Selain berorientasi kepada upaya terus mengoptimalkan komposisi dana perimbangan yang semakin berpihak kepada daerah, sebenarnya banyak potensi-potensi lain yang bisa dioptimalkan oleh pemerintah daerah yang dapat berkontribusi kepada PAD, sehingga tingkat kemandirian daerah semakin baik. Kondisi ini telah dicapai oleh daerah Provinsi Kalimantan Selatan dimana tingkat kontribusi PAD terhadap total APBD mencapai

181)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

diatas 50%. Dimana capaian paling tinggi diraih pada tahun 2005 dimana PAD mencapai 57.37% dan mengalami sedikit penurunan pada tahun 2007 yaitu sebesar 50.91%. Kondisi ini memperlihatkan, bahwasanya banyak potensi-potensi daerah yang bisa dioptimalkan tidak semata-mata hanya mengandalkan dana perimbangan.

9. Dalam upaya mengotimalkan sumber pendapatan dengan penggalian dan peningkatan PAD dareah masih menghadapai beberapa persoalan diantaranya relatif rendahnya basis retribusi daerah, peranan penerimaan retribusi daerah tergolong kecil dalam total penerimaan daerah, kemampuan adminitsrasi pemungutan di daerah yang masih rendah, serta kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan daerah yang lemah dimana kesemua hal ini mengakibatkan banyak kebocoran yang sangat berarti bagi daerah.

10. Peningkatan kompetensi sumberdaya staf aparat pemerintah daerah, khususnya yang secara langsung terlibat dalam pengelolaan pendanaan/ pendapatan daerah sangat diperlukan dalam meningkatkan produktivitas serta diperlukan koordinasi yang kuat baik internal maupun eksternal.

11. Kebijakan desentralisasi berimplikasi kepada berkurangnya porsi pengendalian yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini, ternyata juga mempengaruhi tingkat kualitas dan akuantabilitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dimana tingkat partisipasi dan kontrol publik di daerah (lokal) terhadap penyelenggaraan pemerintahan masih dirasakan kurang.

12. Pemerintah Daerah harus melakukan langkah-langkah strategis untuk mengupayakan kemandian dan kemampuan fiscal daerah melalui optimalisasi kinerja sektor-sektor potensial, sehingga tingkat ketergantungan kepada sumber pembiayaan dari dana perimbangan dapat diimbangi dengan pendapatan asli daerah.

B. Rekomendasi KebijakanDari beberapa temuan diatas, dapat diajukan beberapa rekomendasi

baik kepada Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang mungkin dapat berkontribusi positif kepada upaya optimalisasi kinerja otonomi daerah

(182

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

khususnya melalui instrumen desentralisasi keuangan dimasa yang akan datang.

Pertama, seiringin dengan kebijakan desentralisasi dimana porsi kewenangan penyelenggaraan pemerintahan telah diberikan secara lebih luas kepada pemerintah daerah, maka sudah sewajarnya porsi pembiayaan pembangunan didaerah melalui penyaluran dana perimbangan perlu untuk terus ditingkatkan.

Kedua, diperlukan upaya nyata dari pemerintah daerah untuk mengotimalkan sektor-sektor potensi yang dapat berkontribusi kepada peningkatan PAD daerah dengan tetap memperhatikan aspek legalitas hukuim, iklim usaha dan berivestasi yang tetap kondusif serta tidak memberatkan masyarakat di daerah.

Ketiga, diperlukan instrumen yang lebih komprehensif untuk menjawab kesenjangan pembiayan antara daerah, terutama daeah-daerah yang kurang memiliki potensi sumber daya alam dan potensi ekonomi. Dimana instrumen tersebut, lebih diarahkan kepada upaya memfasilitasi daerah untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi pembiayaan di daerah.

Keempat, kebijakan desentralisasi khususnya dari aspek politik, telah berimplikasi kepada berkurangnya fungsi kontrol dari pemerintah pusat, kondisi ini menuntut kepada adanya instrumen partisipasi masyarakat setempat dalam proses pengambilan keputusan, tidak hanya melalui lembaga perwakilan resmi yang telah ada. Fungsi pengawasan dan partisipasi publik ditingkat lokas tersebut, diperlulan mulai proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan maupun proses evaluasi penyelenggaraanya.

Kelima, dalam upaya menjawab tuntutan transparansi dalam proses formulasi dana perimbangan khususnya dana bagi hasil perlu adanya sebuah instrumen yang juga dapat diakses dan melibatkan pemerintah daerah .

183)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

DAFTAR PUSTAKA

Anonim (2000), "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah", Jakarta.

Anonim (2000), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta.

Anonim (2004), "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah", Jakarta.

Anonim (2004), "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah", Jakarta.

Bailey, Stephen J., 1999, Local Government Economics: Principles and Practice, Macmillan Press Ltd.: London.

Bappeda. 2006. Profil Kabupaten Kutai Timur.Bappeda. 2006. Profil Provinsi Kalimantan Tengah.BPS Kabupaten Kutai Timur. 2006. Kabupaten Kutai Timur Dalam Angka Tahun

2006. BPS Kabupaten Kutai Timur.BPS Provinsi Kalimantan Tengah. 2006. Kalimantan Tengah Dalam Angka Tahun

2006. BPS Provinsi Kalimantan Tengah.Bird, Richard M. dan Vaillancourt, Francois, (2000), Desentralisasi Fiskal di

Negara-negara Berkembang, PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.Campo,Salvatore S. and Sundaram,P. (2002), To serve and to preserve: Improving

Public Administration in A Competitive world. Sean Development Bank.Davey, K.J., (1988), Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek

Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga, UI Press: Jakarta.Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur. 2006. Profil Kesehatan Kabupaten Kutai

Timur Tahun 2005.Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur. 2005. Rencana Strategis Dinas

Kesehatan Kabupaten Kutai Timur tahun 2006 - 2010.Dinas Kesehatan Pemprov Kalteng. 2006. Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan

Tengah Tahun 2005.

(184

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng. 2005. Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2006 - 2010.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kutai Timur. 2006. Rencana Strategis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kutai Timur tahun 2006 - 2010.

Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai Timur. 2007. Rencana Kerja Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kutai Timur Tahun 2008.

Dinas Pendidikan Pemprov Kalteng. 2007. Rencana Kerja Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2008.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalteng. 2006. Rencana Strategis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2006 - 2010.

Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalteng. 2006. Rencana Strategis Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2006 - 2010.

Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kutai Timur. 2006. Rencana Strategis Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kutai Timur tahun 2006 - 2010.

Hardjosoekarto, 2002, Hubungan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 2.

Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Kalimantan Tengah 2006.

Lutfi, Achmad, (2005), Pemanfaatan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Berdasarkan UU No. 34/2000 Oleh Pemda Untuk Menarik Pajak Daerah dan Retribusi Daerah : Suatu Studi di Kota Bogor, Jurnal Administrasi Negara Vol. V. No. 2.

Mardiasmo, (2002), Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi. Yogjakarta.

Menteri Dalam Negeri (1996). Kebijaksanaan Pemerintahan Dalam Peletakan Titik Berat otonomi pada daerah Tingkat II. Penataran otonomi Daerah bagi Pejabat Eselon I di Jakarta.

Pramusinto, A, (2002), Paradoks-Paradoks Pelaksanaan Otonomi Daerah: Beberapa Catatan dari Lapangan. Analisis CSIS. 31 (4): 462-478.

Pratikno, 2002, Keuangan Daerah: Manajemen dan Kebijakan, MAP-UGM: Yogyakarta.

185)

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

(Pointers Kuliah). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2006 - 2010.

Sidik, M, (2002), Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang Mengacu pada Pencapaian Tujuan Nasional. Paper disampaikan pada Seminar Nasional Public Sector Scorecard, Jakarta 17-18 April 2002. Jakarta.

Siregar, Hermanto (2005), Dampak Dana Perimbangan terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan Antarwilayah, Jurnal Kebijakan Ekonomi Vol. 1 No. 1, UI, Jakarta. Pp.15-35.

Suyono, (2003), Tinjauan tentang Fungsi Ekonomi Pemerintah. http://www.kimpraswil.go.id/itjen/buletin/2324 fung.htm.

Tim Peneliti FISIP UI. (2001). Pelaksanaan Otonomi Daerah Mendukung Good Governance. Jurnal Forum Inovasi. November 2001.

(186

KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARAPUSAT KAJIAN DAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN APARATUR III SAMARINDA

JL. Letjen MT. Haryono No. 36, Telp. 0541-768231-32 Fax. 0541-768230, Samarinda 75124

KEPUTUSAN KUASA PENGGUNA ANGGARAN

PUSAT KAJIAN DAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN APARATUR III (PKP2A III)LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA - SAMARINDA

NOMOR : 001.S /V/2/4/2007

TENTANG

TIM PELAKSANA KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH

DI WILAYAH KALIMANTANTAHUN ANGGARAN 2007

PADA PKP2A III LAN

Menimbang : a. bahwa dalam rangka kelancaran pelaksanaan Kajian Evaluasi Dampak Perimbangan Keuangan Terhadap Kapasitas Kinerja Otonomi Daerah Di Wilayah Kalimantan di lingkungan Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III LAN Tahun 2007, dipandang perlu membentuk Tim Pelaksana ;

b. bahwa nama dan jabatan yang tercantum dalam Lampiran Keputusan ini dipandang mampu dan memenuhi syarat untuk ditunjuk sebagai Tim Pelaksana Kajian Evaluasi Dampak Perimbangan Keuangan Terhadap Kapasitas Kinerja Otonomi Daerah Di Wilayah Kalimantan.

Mengingat : 1. UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok - pokok kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041), sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 43 Tahun

-1-

- LAMPIRAN -

1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890)

2. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286);

3. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355);

4. UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4400);

5. UU Nomor 18 Tahun 2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007 (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4662);

6. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005;

7. Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2005;

8. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004;

9. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006;

10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK/.02/2006 tentang Standart Biaya Tahun Anggaran 2007;

11. Keputusan Kepala LAN Nomor 735/IX/6/4/2002 tentang Pedoman Tata kerja di Lingkungan Lembaga Administrasi Negara;

-2-

- LAMPIRAN -

12. Keputusan Kepala LAN Nomor 4 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Administrasi Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Kepala LAN Nomor 10 Tahun 2004;

13. Keputusan Kepala LAN Nomor 972/IX/6/8/2006 tentang Penetapan Kuasa Pengguna Anggaran/Barang pada Lembaga Administrasi Negara Tahun Anggaran 2007;

14. Keputusan Kepala LAN Nomor 973/IX/6/8/2006 tentang Penetapan Pejabat Pembuat Komitmen pada Lembaga Administrasi Negara Tahun Anggaran 2007;

15. Keputusan Kepala LAN Nomor 974/IX/6/8/2006 tentang Penetapan Pejabat Yang Melakukan Pengujian Surat Perintah Membayar pada Lembaga Administrasi Negara Tahun Anggaran 2007;

16. Keputusan Kepala LAN Nomor 975/IX/6/8/2006 tentang Penetapan Bendahara pada Lembaga Administrasi Negara Tahun Anggaran 2007;

M E M U T U S K A N

Menetapkan :PERTAMA : membentuk Tim Pelaksana Kajian Evaluasi Dampak Perimbangan

Keuangan Terhadap Kapasitas Kinerja Otonomi Daerah Di Wilayah Kalimantan, yang selanjutnya dalam diktum ini disebut Tim Pelaksana dengan mengangkat nama yang tercantum pada kolom 2 (dua) Lampiran Keputusan ini, dalam Jabatan yang tercantum pada kolom 3 (tiga) Lampiran Keputusan ini.

KEDUA : Tim Pelaksana bertugas merencanakan, melaksanakan, dan menyusun laporan kegiatan sesuai dengan petunjuk dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pimpinan Lembaga Administrasi Negara.

KETIGA : Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam diktum KEDUA, mengacu pada ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku.

KEEMPAT : Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Pelaksana wajib menyusun Laporan kegiatan sesuai dengan petunjuk dan kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala PKP2A III LAN serta melaporkannya kepada Kepala PKP2A III LAN dengan tembusan kepada Sekretaris Utama LAN.

-3-

- LAMPIRAN -

KELIMA : Biaya pelaksanaan kegiatan ini dibebankan kepada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Satker PKP2A III LAN Samarinda Tahun Anggaran 2007.

KEENAM : Anggaran sebagaimana dimaksud pada diktum KELIMA, penggunaannya mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

KETUJUH : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2007, dengan ketentuan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.

SALINAN KEPUTUSAN ini disampaikan kepada:

1. Kepala Lembaga Administrasi Negara;2. Sekretaris Utama Lembaga Administrasi Negara;3. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Kanwil Kalimantan

Timur;4. Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kanwil XIX di Samarinda;5. Inspektorat Lembaga Administrasi Negara;6. Yang bersangkutan untuk dipergunakan dan dilaksanakan sebagaimana

mestinya.

Ditetapkan di : Samarinda, Pada tanggal : 2 Januari 2007

-4-

- LAMPIRAN -

LAMPIRAN

KEPUTUSAN KUASA PENGGUNA ANGGARANPUSAT KAJIAN DAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN APARATUR III (PKP2A III)

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA - SAMARINDANOMOR : 001.S /V/2/4/2007

TENTANG

TIM PELAKSANA KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN

TAHUN ANGGARAN 2007 PADA PKP2A III LAN

No. Nama

Jabatan Dalam Tim

1 2

3

1.

2.3.4.5.6.

7.8.9.

10.11.

121314151617181920

Tri Widodo W. Utomo, SH., MA

Meiliana, SE., MM

Said Fadhil, S.IP

Siti Zakiyah, S.Si

Windra Mariani, SH

Drs. Tuparman, MM

Drs. Helmi Mas’ud, M.Si.

Baharuddin, S.Sos., M.Pd.

Mustari Kurniawati, S.IP

Ir. A. Fatah, M.Agr.

M. Nasir, S.PT, M.Si.

Mayahayati K., SEDra. Hj. Ernawati Sabran, MMIr. A. Sirodz, MP Arita Saidi EllyanaMuhammad SophiansyahVeronika Hanna N, SSJos RizalLenny Verawati Silalahi R., A.Md.

Peneliti Utama

Peneliti

Peneliti

Peneliti

Peneliti

Peneliti

Pembantu PenelitiPembantu PenelitiPembantu PenelitiPembantu PenelitiPembantu Peneliti

Koordinator PenelitianSekretariatSekretariatSekretariat Sekretariat Sekretariat Sekretariat Sekretariat Sekretariat

Ditetapkan di : Samarinda, Pada tanggal : 2 Januari 2007

-5-

- LAMPIRAN -

INSTRUMEN PENELITIAN

Pengumpulan data dilakukan melalui kunjungan ke lokasi daerah penelitian, dengan mengumpulkan data-data primer dan sekunder yaitu:

1. RAPBD dalam 5 tahun terakhir;2. Laporan Pertanggung Jawaban Kepala Daerah dalam 3 tahun terakhir;3. Renstra Daerah;4. Renstra/Program Dinas;5. Daerah Dalam Angka;6. Profile Daerah;

Data tersebut kemudian diolah dan dianalisis sesuai dengan tujuan pelaksanaan penelitian ini.

-6-