8
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008 304 EVALUASI POTENSI PAKAN ASAL LIMBAH TANAMAN PANGAN DAN LIMBAH PERKEBUNAN DI DAERAH PRORITAS KAWIN ALAM MENDUKUNG PROGRAM P2SDS (Evaluation on Feed at Feed Crops and Estatecrops Byproducts in Natural Breeding Areas for P2SDS Programme) YENNY NUR ANGGRAENY dan U. UMIYASIH Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2 Grati, Pasuruan 61084 ABSTRACT Availability of cheap feedstuf determine the benefit obtained by farmer, since feed cost in about 60-70% of production cost. Exploiting feedstuf from agroindustry by products near area of livestock development is one way to get cheap feedstuff. The aim of this research is to evaluate the potential of local biomass in three provinces representing region of beefcattle development based on natural mating in East Nusa Tenggara, Central Sulawesi and South-Eastern Sulawesi which extensively rely on pasture/ grass field. Result of evaluation indicated that there were 5 kinds of potential biomass. The total amount of three provinces were as follows : cassava bar 1,111,230.06 ton/year; corn cob 376,208.53 ton/year; soy hay 21,438 ton/year; cocoa husk 667,895.33 ton/year; coffee husk 31,505.89 ton/year. These feedstuff culd feed : 232,056; 51,843.65; 102,979.4 Animal unit for Nusa Tenggara; Central Sulawesi and South Eastern Sulawesy respectively. It is concluded that unconventional feedstuff was enough to feed 386,879 animal uni tto support meat production. Key Words: Anconvencional Feed, Beef Cattle, Natural Mating ABSTRAK Penyediaan pakan murah dalam suatu usaha peternakan sangat menentukan tingkat keuntungan dan kontinuitas usaha, hal ini disebabkan 60 – 70% biaya produksi merupakan biaya pakan. Pemanfaatan pakan asal limbah pertanian, perkebunan maupun agroindustri yang spesifik di dekat daerah pengembangan ternak merupakan salah satu cara untuk mendapatkan bahan pakan dengan harga yang murah. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengevaluasi biomassa lokal yang potensial sebagai pakan sapi potong di tiga propinsi yang merupakan wilayah pengembangan sapi potong prioritas kawin alam yaitu di NusaTenggara Timur, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara yang pemeliharaanya secara ekstensif dan mengandalkan rumput asal padang penggembalaan saja. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa terdapat 5 macam biomassa yang jumlahnya cukup potensial, jumlah total produksi dari ketiga propinsi adalah sebagai berikut: batang ubi kayu sebesar 1.111.230,06 ton/tahun, tongkol jagung sebesar 376.208,53 ton/tahun, jerami kedelai sebesar 21.438 ton/tahun, kulit coklat sebesar 667.895,33 ton/tahun dan kulit kopi 31.505,89 ton/tahun. Daya tampung ternak pada masing-masing propinsi menggunakan bahan pakan tersebut adalah sebesar 232.056 ST (Nusa Tenggara Timur) dan 51.843,65 ST (Sulawesi Tengah) dan 102.979,4 Sulawesi Tenggara) Disimpulkan daya tampung total bahan pakan inkonvensional yaitu sebanyak 386.879 ST maka dapat memenuhi kebutuhan target penyediaan daging sebanyak 38.919 ekor sapi. Kata Kunci: Pakan Inkonvensional , Sapi Potong, Kawin Alam PENDAHULUAN Secara nasional populasi sapi potong selama periode 1994 – 2002 mengalami penurunan sebesar 3,1% pertahun. Penurunan populasi tersebut lebih merisaukan karena terjadi di wilayah padat sapi potong yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi, Lampung dan Bali. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi sebesar 1,75 kg/kapita/tahun saja, Indonesia masih mengalami defisit sebesar 112,9 ribu ton atau

evaluasi potensi pakan asal limbah tanaman pangan dan limbah

  • Upload
    vannga

  • View
    216

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: evaluasi potensi pakan asal limbah tanaman pangan dan limbah

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

304

EVALUASI POTENSI PAKAN ASAL LIMBAH TANAMAN PANGAN DAN LIMBAH PERKEBUNAN

DI DAERAH PRORITAS KAWIN ALAM MENDUKUNG PROGRAM P2SDS

(Evaluation on Feed at Feed Crops and Estatecrops Byproducts in Natural Breeding Areas for P2SDS Programme)

YENNY NUR ANGGRAENY dan U. UMIYASIH

Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2 Grati, Pasuruan 61084

ABSTRACT

Availability of cheap feedstuf determine the benefit obtained by farmer, since feed cost in about 60-70% of production cost. Exploiting feedstuf from agroindustry by products near area of livestock development is one way to get cheap feedstuff. The aim of this research is to evaluate the potential of local biomass in three provinces representing region of beefcattle development based on natural mating in East Nusa Tenggara, Central Sulawesi and South-Eastern Sulawesi which extensively rely on pasture/ grass field. Result of evaluation indicated that there were 5 kinds of potential biomass. The total amount of three provinces were as follows : cassava bar 1,111,230.06 ton/year; corn cob 376,208.53 ton/year; soy hay 21,438 ton/year; cocoa husk 667,895.33 ton/year; coffee husk 31,505.89 ton/year. These feedstuff culd feed : 232,056; 51,843.65; 102,979.4 Animal unit for Nusa Tenggara; Central Sulawesi and South Eastern Sulawesy respectively. It is concluded that unconventional feedstuff was enough to feed 386,879 animal uni tto support meat production.

Key Words: Anconvencional Feed, Beef Cattle, Natural Mating

ABSTRAK

Penyediaan pakan murah dalam suatu usaha peternakan sangat menentukan tingkat keuntungan dan kontinuitas usaha, hal ini disebabkan 60 – 70% biaya produksi merupakan biaya pakan. Pemanfaatan pakan asal limbah pertanian, perkebunan maupun agroindustri yang spesifik di dekat daerah pengembangan ternak merupakan salah satu cara untuk mendapatkan bahan pakan dengan harga yang murah. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengevaluasi biomassa lokal yang potensial sebagai pakan sapi potong di tiga propinsi yang merupakan wilayah pengembangan sapi potong prioritas kawin alam yaitu di NusaTenggara Timur, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara yang pemeliharaanya secara ekstensif dan mengandalkan rumput asal padang penggembalaan saja. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa terdapat 5 macam biomassa yang jumlahnya cukup potensial, jumlah total produksi dari ketiga propinsi adalah sebagai berikut: batang ubi kayu sebesar 1.111.230,06 ton/tahun, tongkol jagung sebesar 376.208,53 ton/tahun, jerami kedelai sebesar 21.438 ton/tahun, kulit coklat sebesar 667.895,33 ton/tahun dan kulit kopi 31.505,89 ton/tahun. Daya tampung ternak pada masing-masing propinsi menggunakan bahan pakan tersebut adalah sebesar 232.056 ST (Nusa Tenggara Timur) dan 51.843,65 ST (Sulawesi Tengah) dan 102.979,4 Sulawesi Tenggara) Disimpulkan daya tampung total bahan pakan inkonvensional yaitu sebanyak 386.879 ST maka dapat memenuhi kebutuhan target penyediaan daging sebanyak 38.919 ekor sapi.

Kata Kunci: Pakan Inkonvensional , Sapi Potong, Kawin Alam

PENDAHULUAN

Secara nasional populasi sapi potong selama periode 1994 – 2002 mengalami penurunan sebesar 3,1% pertahun. Penurunan populasi tersebut lebih merisaukan karena

terjadi di wilayah padat sapi potong yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi, Lampung dan Bali. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi sebesar 1,75 kg/kapita/tahun saja, Indonesia masih mengalami defisit sebesar 112,9 ribu ton atau

Page 2: evaluasi potensi pakan asal limbah tanaman pangan dan limbah

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

305

setara dengan 912 ribu ekor sapi hidup yang harus dipenuhi melalui impor. Meskipun peluang bagi peternak lokal untuk memenuhi kekurangan kebutuhan daging tersebut sangat besar, namun tetap saja harga daging yang ditawarkan peternak tidak mampu bersaing dengan daging import. Hal tersebut diatas disebabkan karena peningkatan impor daging tidak hanya disebabkan karena senjangnya permintaan dan penawaran saja tetapi juga adanya kemudahan pengadaan impor baik volume, kredit, transportasi serta harga daging impor yang relatif lebih murah daripada daging lokal. Berhasilnya penanggulangan daging ilegal serta peningkatan bakalan impor menyebabkan peningkatan terhadap volume usaha penggemukan berbahan baku ternak lokal. Namun yang perlu diwaspadai adalah jangan sampai terjadi pengurasan populasi ternak lokal sehingga membahayakan plasma nutfah sapi potong Indonesia.

Program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2010 (P2SDS) merupakan program pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor daging sapi. Program Percepatan akan dimulai tahun 2008 - 2010 melalui 7 langkah operasional yang difokuskan pada 18 Provinsi dan dikelompokkan dalam 3 daerah berdasarkan potensi sumberdaya (lahan, ternak, SDM dan teknologi) sarana pendukung yaitu (1) daerah prioritas IB di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Barat; (2) daerah campuran IB dan kawin alam di NTB, Sulsel, Gorontalo, Kalbar, Kalsel, NAD, Sumut, Sumbar, Sumsel dan Lampung; (3) daerah prioritas kawin alam di NTT, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Peningkatan populasi dan produktivitas ternak mutlak harus dilakukan untuk mendukung P2SDS. Khusus di daerah prioritas kawin alam selain penanganan khusus dalam strategi pembibitan, pengembangan ternak sapi di daerah tersebut perlu dukungan penyediaan sumber pakan yang baik karena penyediaan pakan selama ini didaerah tersebut mengandalkan dari padang rumput saja. Penyediaan pakan murah dalam suatu usaha peternakan sangat menentukan tingkat keuntungan dan kontinuitas usaha, hal ini disebabkan 60 – 70% biaya produksi merupakan biaya pakan. Pemanfaatan pakan asal limbah pertanian, perkebunan maupun

agroindustri yang spesifik di dekat daerah pengembangan ternak merupakan salah satu cara untuk mendapatkan bahan pakan dengan harga yang murah.

Upaya peningkatan ketersediaan pakan sekaligus sebagai upaya efisiensi biaya pakan dapat dilakukan dengan mencari sumber pakan baru yang selama ini belum/tidak umum digunakan oleh peternak (bahan pakan inkonvensional). Di beberapa daerah terdapat beberapa jenis limbah pertanian maupun perkebunan yang belum biasa dimanfaatkan sebagai pakan oleh peternak misalnya janggel jagung, kulit kedelai, kulit ubi kayu, batang ubi kayu, kulit coklat dan kulit kopi; namun di beberapa daerah yang lain sudah memanfaatkan bahan tersebut sebagai pakan ternak.

Makalah ini bertujuan untuk mengulas potensi bahan pakan inkonvensional asal limbah pertanian dan perkebunan di daerah pengembangan sapi potong prioritas kawin alam yaitu di NTT, Sulteng dan Sultra.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilakukan dengan melakukan identifikasi dan analisis kualitas dengan rincian sebagai berikut:

Identifikasi

Identifikasi bahan pakan inkonvensional dilakukan menggunakan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statisik dan instansi terkait dalam rangka inventarisasi potensi produksi bahan pakan yang jumlahnya melimpah dan masih terabaikan serta belum banyak digunakan oleh peternak (yang selanjutnya disebut dengan istilah bahan pakan inkonvensional). Identifikasi meliputi kapasitas produksi. Bahan pakan inkonvensional diutamakan yang berasal dari limbah pertanian, limbah tanaman pangan, limbah perkebunan dan limbah agroindustri. Hasil analisis data disajikan secara deskriptif.

Analisis kualitas

Kegiatan diawali dengan penentuan bahan pakan inkonvensional yang berdasarkan kuantitas produksi dan ketersediaanya sepanjang tahun dianggap potensial;

Page 3: evaluasi potensi pakan asal limbah tanaman pangan dan limbah

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

306

selanjutnya dilakukan pengujian kualitas. Analisis kualitas yang dilakukan adalah analisis kandungan nutrisi (secara proksimat) meliputi bahan kering (BK), protein kasar (PK), serat kasar (SK) dan total digestible nutrient (TDN). Hasil analisis data ditampilkan dengan cara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi dan evaluasi bahan pakan inkonvensional asal limbah pertanian di daerah pengembangan sapi potong prioritas kawin alam

Pakan yang tersedia sepanjang tahun secara efisien dapat dimanfaatkan oleh ternak dan dapat diperoleh dengan biaya yang kompetitif merupakan kondisi yang ideal dan menjadi tantangan dalam suatu usaha peternakan (GINTING et al., 2005). Sistem integrasi tanaman ternak telah menjadi salah satu alternatif dalam penyediaan pakan bagi ternak dengan menciptakan suatu simbiosis mutualisme dan sistem ini dianggap sesuai dengan kondisi pertanian Indonesia (DEVENDRA et al., 2001). Meskipun banyak sekali limbah tanaman pangan dan perkebunan yang potensial sebagai bahan pakan ternak, namun pemanfaatannya oleh peternak belum banyak dilakukan. Pembatasan pemanfaatan bahan pakan asal limbah tanaman pangan dan perkebunan disebabkan oleh bentuk fisik, kualitas nutrisi rendah, biaya pengumpulan dan pemrosesan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ekonominya, masih diperlukan teknologi pemrosesan dan yang tak kalah penting adalah sikap dan pengetahuan peternak terhadap pemanfaatan bahan pakan asal limbah tanaman pangan dan perkebunan. Sikap dan pengetahuan petani terhadap pemanfaatan

bahan pakan asal limbah tanaman pangan dan perkebunan sangat ragam yang menyebabkan suatu jenis bahan pakan telah banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak disuatu daerah namun di daerah yang lain belum digunakan meskipun potensinya sangat besar sehingga diperlukan pengenalan dalam pemanfaatannya.

Batang ubi kayu, tongkol jagung, jerami kedelai, kulit coklat dan kulit kopi merupakan bahan pakan asal limbah pertanian tanaman pangan yang termasuk dalam katagori inkonvensional. Selama kurun waktu 2005 hingga 2007 telah melakukan identifikasi potensi meliputi kualitas nutrisi dan kuantitas. Kualitas nutrisi meliputi bahan kering, protein kasar dan TDN pada batang ubi kayu, tongkol jagung dan jerami kedelai ditampilkan pada Tabel 1.

Kandungan BK bahan pakan inkonvesional bervariasi antara 43,78 – 87,40%. Batang ubi kayu dan kulit coklat merupakan bahan pakan inkonvensional yang mempunyai kandungan air sangat tinggi, sehingga diperlukan preparasi khusus agar tidak terjadi penurunan kualitas selama penyimpanan. Preparasi pada bahan pakan seperti batang ubi kayu dan kulit coklat sangat diperlukan karena selama musim panen bahan tersebut akan sangat melimpah.

Pengeringan atau teknologi fermentasi dapat digunakan untuk memperpanjang daya simpan pada bahan pakan berkadar air tinggi. Kandungan PK, SK dan TDN bahan pakan inkonvensional termasuk rendah; bervariasi masing-masing antara 3,85 – 9,36%; 27,53 – 54,94% dan 49,18 – 64,76%. Berdasarkan kandungan zat nutrien diatas maka batang ubi kayu, tongkol jagung, kulit coklat, jerami kedelai dan kulit kopi termasuk kelas bahan forage kering dan roughage (TILLMAN et al., 1998).

Tabel 1. Kandungan nutrisi beberapa biomass lokal potensial

Nutrisi Jenis biomass

Bahan kering (%) Protein kasar (%) Serat kasar (%) TDN (%) Batang ubi kayu 43,78 6,17 37,94 64,76 Tongkol jagung 66,13 3,85 27,53 52,80 Kulit coklat 52,66 9,36 29,06 49,18 Jerami kedelai 87,40 8,35 40,82 52,98 Kulit kopi 88,31 5,35 54,94 52,83

Sumber: DATA LABORATORIUM LOKA PENELITIAN SAPI POTONG (2006)

Page 4: evaluasi potensi pakan asal limbah tanaman pangan dan limbah

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

307

UMIYASIH et al. (2005) melaporkan bahwa peningkatan kualitas nutrisi pada batang ubi kayu melalui pengecilan partikel dan fermentasi namun perlakukan tersebut belum mampu meningkatkan kualitas nutrisi batang ubi kayu.

Peningkatan kualitas nutrisi pada tongkol jagung melalui pengecilan partikel dan fermentasi secara nyata dapat meningkatkan protein kasar namun tidak mampu memperbaiki nilai nutrisi pada serat kasar maupun pada TDN. Penggunaan tongkol jagung yang telah difermentasi dengan Aspergillus niger sebanyak 50% dalam konsentrat pada sapi PO yang memperoleh pakan basal jerami padi mampu menghasilkan pertambahan bobot hidup harian (PBHH) yang tidak berbeda nyata dengan sapi PO yang diberi pakan konsentrat yang tidak mengandung tongkol jagung. Sehingga penggunaan tongkol jagung dalam konsentrat sebanyak 50% mampu meningkatkan nilai keuntungan (UMIYASIH et al., 2006).

Peningkatan kualitas nutrisi pada kulit coklat melalui pengecilan partikel dan fermentasi secara nyata dapat meningkatkan TDN. GUNTORO et al. (2006). Pemberian limbah kakao yang telah difermentasi dengan Aspergillus niger selama 5 hari pada Sapi Bali jantan dengan pakan basal berupa rumput mampu meningkatkan PBHH dari 0,292 kg menjadi 0,521 kg.

Sedangkan Peningkatan kualitas nutrisi pada kulit kopi melalui pengecilan partikel dan fermentasi secara nyata dapat meningkatkan

protein kasar, menurunkan serat kasar dan TDN (UMIYASIH et al., 2005).

Ketersediaan bahan pakan inkonvensional asal limbah pertanian di daerah prioritas IB (NTT, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara) ditampilkan pada Tabel 2.

Batang ubi kayu, merupakan produksi yang paling besar baik di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah maupun Nusa Tenggara Timur. Tanaman ubi kayu cukup dominan di semua provinsi; antara lain disebabkan karena dapat tumbuh dengan mudah hampir di semua jenis tanah serta tahan terhadap serangan hama penyakit (COACH et al., 1973 dalam ABBAS et al., 1986).

Upaya peningkatan produksi jagung nasional menyebabkan peningkatan produksi limbahnya baik berupa jerami jagung dan tongkol/janggel jagung dari tahun ke tahun. Khusus produksi tongkol jagung berkisar 25.732,15 ton/tahun – 304.613,01 ton/tahun, sedangkan produksi total tongkol jagung adalah 376.208,53 ton/tahun. Jerami kedelai merupakan limbah tanaman pangan yang sangat rendah produksinya di ketiga propinsi yaitu berkisar 5,214 ton/tahun – 9.054 ton/tahun, atau ketersediaan total adalah 21.438 ton/tahun.

Tanaman perkebunan juga mempunyai potensi yang besar untuk menghasilkan pakan untuk sapi potong.Tanaman perkebunan yang berpotensi untuk menghasilkan bahan pakan adalah kopi dan coklat yang menghasilkan kulit kopi dan kulit coklat, ketersediaan kulit kopi dan kulit coklat dicantumkan pada Tabel 3.

Tabel 2. Potensi bahan pakan inkonvensional asal limbah pertanian di NTT, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara

Produksi bahan pakan inkonvensional asal limbah pertanian (ton/tahun) Provinsi

Batang ubi kayu Tongkol jagung Jerami kedelai

Sulawesi Tenggara 208.634,58 45.863,37 5.214,00 Sulawesi Tengah 49.551,48 25.732,15 7.170,00 Nusa Tenggara Timur 853.044,90 304.613,01 9.054,56 Jumlah 1.111.230,06 376.208.53 21.438

Sumber: Data PUSAT DATA DAN INFORMASI DEPARTEMEN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA (2003 – 2006; diolah)

Page 5: evaluasi potensi pakan asal limbah tanaman pangan dan limbah

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

308

Tabel 3. Potensi bahan pakan inkonvensional asal limbah perkebunan di NTT, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara

Produksi bahan pakan inkonvensional Provinsi

Kulit kopi Kulit coklat Total

Sulawesi Tenggara 3.544,89 327.331,39 330.876,28 Sulawesi Tengah - 203.047,88 203.047,88 Nusa Tenggara Timur 27.961,00 137.516,06 165.477,06

Jumlah 31.505,89 667.895,33 699.601,22

Sumber: Data PUSAT DATA DAN INFORMASI DEPARTEMEN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA (2003 – 2006)

Produksi kulit coklat lebih tinggi dibandingkan dengan kulit kopi baik di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah maupun di Nusa Tenggara Timur. Produksi Sulawesi Tengah tidak menghasilkan kulit kopi, sedangkan produksi kulit kopi di Sulawesi tenggara dan Nusa Tenggara Timur masing-masing adalah 3.544,89 ton/ha dan 27.961 t/ha.

Tambahan target penyediaan daging serta daya tampung bahan pakan inkonvensional asal limbah pertanian di daerah pengembangan sapi potong prioritas kawin alam

Tambahan target penyediaan daging di daerah pengembangan sapi potong di Propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur masing-masing adalah 2.488 t ≈ 8.861 ekor sapi, 2.172 t ≈ 7.735 ekor sapi dan 6.268 t ≈ 22.323 ekor sapi. Total target penyediaan daging di ke tiga propinsi adalah 10.928 t ≈ 38.919 ekor sapi.

Daya tampung ubi kayu sebagai bahan pakan pengganti rumput (diasumsikan dapat mengganti rumput sebesar 50% dalam ransum

dengan rasio hijauan konsentrat adalah 60 : 40) dan berdasarkan produksi BK sebesar 486.496,92 t/tahun maka dapat menampung sebanyak 166.039,83 ST. Daya tampung ubi kayu di masing – masing propinsi ditampilkan pada Tabel 4.

Tongkol jagung merupakan bagian corn stover dengan proporsi sekitar 15% (HETTENHAUS, 2002), sedangkan menurut AMALI et al., 2002 produksi tongkol jagung adalah 1 t/ha. Hasil penelitian melaporkan penggunaan janggel jagung sebagai pensubstitusi konsentrat komersial sebanyak 50% layak untuk diterapkan karena bernilai ekonomis.

Daya tampung tongkol jagung sebagai bahan pakan pengganti rumput (diasumsikan dapat mengganti rumput sebesar 50% dalam ransum dengan rasio hijauan konsentrat adalah 60 : 40) dan berdasarkan produksi BK sebesar 1.933.437,05 t/tahun maka dapat menampung sebanyak 84910,14 ST. Daya tampung di masing-masing propinsi ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 4. Daya tampung batang ubi kayu sebagai bahan pakan penyubtitusi rumput

Propinsi Produksi BK (t/tahun) Daya tampung (ST)

Sulawesi Tenggara 91.340,22 31.174,06 Sulawesi Tengah 21.693,64 7.403.97 Nusa Tenggara Timur 373.463,06 127.461,80

Jumlah 486.496,92 166.039,83

BK: bahan kering; ST: satuan ternak; 1 ST setara dengan bobot hidup (BH) 325 kg; kebutuhan pakan 3% BH berdasarkan kebutukan BK; Asumsi bahan pakan inkonvensional digunakan sebanyak 50% dari kebutuhan konsentrat (hijauan : konsentrat. = 60 : 40)

Sumber: Data PUSAT DATA DAN INFORMASI DEPARTEMEN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA (2003 – 2006)

Page 6: evaluasi potensi pakan asal limbah tanaman pangan dan limbah

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

309

Kedelai (Glicine max) merupakan tanaman dikotil yang termasuk famili Leguminoceae. Daya tampung jerami kedelai sebagai bahan pakan pengganti rumput (diasumsikan dapat mengganti rumput sebesar 50% dalam ransum dengan rasio hijauan konsentrat adalah 60 : 40) dan berdasarkan produksi BK sebesar 18.737,30 t/tahun maka dapat menampung sebanyak 6.394, 98 ST. Daya tampung di masing-masing propinsi ditampilkan pada Tabel 6.

Kopi (Coffea spp.) adalah tanaman perkebunan yang selain dikenal sebagai komoditas ekspor. Kulit kopi adalah bagian luar dari biji kopi atau dikenal dengan istilah ”daging buah”; terdiri dari lapisan luar (eksokarp); lapisan tengah (mesocarp) dan lapisan kulit tanduk (endocarp) yang tipis dan biasanya keras. Daya tampung kulit kopi sebagai bahan pakan pengganti rumput

(diasumsikan dapat mengganti rumput sebesar 50% dalam ransum dengan rasio hijauan konsentrat adalah 60 : 40) dan berdasarkan produksi BK sebesar 27822,85 t/tahun maka dapat menampung sebanyak 9495,85 ST. Daya tampung di masing-masing kabupaten ditampilkan pada Tabel 7.

Kulit coklat atau cocoa pod merupakan kulit luar yang melindungi buah, mempunyai tekstur yang kasar, tebal dan keras. Kulit coklat dihasilkan sebesar 75,67% selain kulit biji dan placenta (DARWIS et al., 1989). Daya tampung kulit coklat sebagai bahan pakan pengganti rumput (diasumsikan dapat mengganti rumput sebesar 50% dalam ransum dengan rasio hijauan konsentrat adalah 60 : 40) dan berdasarkan produksi BK sebesar 351713,68 t/tahun maka dapat menampung sebanyak 120.038,80 ST. Daya tampung di masing-masing kabupaten ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 5. Daya tampung tongkol jagung sebagai bahan pakan penyubstitusi rumput

Propinsi Produksi BK (t/tahun) Daya tampung (ST)

Sulawesi Tenggara 30.329,45 10.351,35 Sulawesi Tengah 17.016,67 5.807,74 Nusa Tenggara Timur 201.440,60 68.751,05

Jumlah 1.933.437,05 84.910,14

BK: bahan kering; ST: satuan ternak; 1 ST setara dengan bobot hidup (BH) 325 kg; kebutuhan pakan 3% BH berdasarkan kebutukan BK; Asumsi bahan pakan inkonvensional digunakan sebanyak 50% dari kebutuhan konsentrat (hijauan : konsentrat = 60 : 40)

Sumber: Data PUSAT DATA DAN INFORMASI DEPARTEMEN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA (2003 – 2006)

Tabel 6. Daya tampung jerami kedelai sebagai bahan pakan penyubstitusi rumput

Propinsi Produksi BK (t/tahun) Daya tampung (ST)

Sulawesi Tenggara 4.557,04 1.555,30 Sulawesi Tengah 6.266,58 2.138,76 Nusa Tenggara Timur 7.913,69 2.700,92

Jumlah 18.737,30 6.394,98

BK: bahan kering; ST: satuan ternak;, 1 ST setara dengan bobot hidup (BH) 325 kg; kebutuhan pakan 3% BH berdasarkan kebutukan BK; Asumsi bahan pakan inkonvensional digunakan sebanyak 50% dari kebutuhan konsentrat (hijauan : konsentrat = 60 : 40)

Sumber: Data PUSAT DATA DAN INFORMASI DEPARTEMEN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA (2003 – 2006; diolah)

Page 7: evaluasi potensi pakan asal limbah tanaman pangan dan limbah

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

310

Tabel 7. Daya tampung kulit kopi sebagai bahan pakan penyubstitusi rumput

Propinsi Produksi BK (t/tahun) Daya tampung (ST)

Sulawesi Tenggara 3.130,49 1.068,43 Sulawesi Tengah 0,00 0,00 Nusa Tenggara Timur 24.692,36 8.427,43

Jumlah 27.822,85 9.495,85

BK: bahan kering; ST: satuan ternak; 1 ST setara dengan bobot hidup (BH) 325 kg; kebutuhan pakan 3% BH berdasarkan kebutuka BK; Asumsi bahan pakan inkonvensional digunakan sebanyak 50% dari kebutuhan konsentrat (hijauan:konsentrat = 60 : 40)

Sumber: DATA PUSAT DATA DAN INFORMASI DEPARTEMEN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA (2003 – 2006)

Tabel 8. Daya tampung kulit coklat sebagai bahan pakan penyubstitusi rumput

Propinsi Produksi BK (t/tahun) Daya tampung (ST)

Sulawesi Tenggara 172.372,71 58.830,28 Sulawesi Tengah 106.925,01 36.493,18 Nusa Tenggara Timur 72.415,96 24.715,34

Jumlah 351.713,68 120.038,80

BK (bahan kering); ST (Satuan Ternak), 1 ST setara dengan bobot hidup (BH) 325 kg; kebutuhan pakan 3% BB berdasarkan kebutukan BK; Asumsi bahan pakan inkonvensional digunakan sebanyak 50% dari kebutuhan konsentrat (hijauan : konsentrat = 60: 40)

Sumber: DATA PUSAT DATA DAN INFORMASI DEPARTEMEN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA (2003-2006; diolah)

Tabel 9. Total daya tampung bahan pakan inkonvensional

Daya tampung bahan pakan inkonvensional (ST) Propinsi Batang ubi

kayu Tongkol jagung

Jerami kedelai Kulit kopi Kulit

coklat Total (ST)

Sulawesi Tenggara 31.174,06 10.351,35 1.555,30 1.068,43 58.830,28 102.979,40 Sulawesi Tengah 7.403.97 5.807,74 2.138,76 0,00 36.493,18 51.843,65 NusaTenggara Timur 127.461,80 68.751,05 2.700,92 8.427,43 24.715,34 232.056,50 Jumlah 166.039,83 84.910,14 6.394,98 9.495,85 120.038,80 386.879,00

Berdasarkan perhitungan daya tampung total bahan pakan inkonvensional yaitu sebanyak 386.879 ST maka dapat memenuhi kebutuhan target penyediaan daging sebanyak 38.919 ekor sapi. Meskipun potensi produksi bahan pakan inkonvensional asal limbah tanaman pangan dan tanaman perkebunan cukup besar namun beberapa bahan seperti tongkol jagung dan batang ubi kayu pemanfaatannya masih belum optimal karena diperlukan teknologi pengecilan partikel yang

sampai saat ini masih mahal sehingga hanya akan berfungsi sebagai kayu bakar. Kendala dalam pemanfaatan kulit coklat selama ini adalah karena sentra produksi bahan jauh dari sentra pemeliharaan sapi sehingga harga menjadi mahal karena biaya transportasi dan biaya pemrosesan. Secara umum bahan pakan inkonvensional adalah keterbatasan kualitas serta kemungkinan adanya kandungan zat anti nutrisi di dalamnya (SOEBARINOTO, 2001).

Page 8: evaluasi potensi pakan asal limbah tanaman pangan dan limbah

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

311

KESIMPULAN

Berdasarkan perhitungan daya tampung total bahan pakan inkonvensional yaitu sebanyak 386.879 ST maka dapat memenuhi kebutuhan target penyediaan daging sebanyak 38.919 ekor sapi di daerah program pengembangan sapi potong prioritas kawin alam. Pengembangan teknologi pakan dalam rangka pemanfaatan bahan pakan inkonvensional perlu dilakukan agar pengaruhnya terhadap produksi ternak dapat lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA

ABBAS, S., A. HALIM, A. AHMAD dan S.T. AMIDARMO. 1986. Limbah Tanaman Ubi Kayu. Dalam: Limbah Hasil Pertanain. Kantor Mentri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan.

DARWIS, A.A., E. SUKMA, R. PURNAWATI dan TUN TEDJA. 1989. Biokonversi Limbah Lignoselullosa oleh Trichoderma viridae dan Aspergillus niger. Laporan Penelitian-Laboratorium Bioindustri. PAU Bioteknologi, IPB. Bogor.

DEVENDRA, C., SEVILLA and D. PEZO. 2001. Food – Feed System in Asia-Review. Asian- Aust. J. Anim.Sci. 14: 733 – 745.

GINTING, S.P., F. MAHMILIA, S ELIESER, L.P. BATUBARA dan R. KRISNAN. 2005. Tinjauan hasil penelitian pengembangan pakan alternatif dan persilangan kambing potong. Pros. Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 Septermber 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 57 – 70

GUNTORO, S., M.R. N. SUYASE dan M.R. YASA. 2006. Pengaruh pemberian limbah kakao terhadap pertumbuhan Sapi Bali. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 5 – 6 September 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 116 – 120.

HETTENHAUS, J. 2002. Talking about corn stover with Jim Hettenhaus. A Publication of The Institute for Local Self-Reliance. Vol. No. 4, Issue No. 2. http://www.carbohydratee economy.org/library/admin/uploadefiles/Talking_About_Corn_Stover_with_Jim_Hettenhaus.htm

PUSDATIN. 2004. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departeman Pertanian, Jakarta.

SOEBARINOTO. 2001. Ketersediaan Pakan untuk Mendukung Program Pengembangan Sapi Potong di Jawa timur. Seminar Strategi Pengembangan Sapi Potong di Jawa Timur. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang.

TILLMAN A.D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPRODJO, S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKODJO. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

UMIYASIH, U., L. AFFANDHY, ARYOGI, D. PAMUNGKAS, D.E. WAHYONO, Y.N. ANGGRAENY, N.H. KRISHNA dan I-W. MATHIUS. 2005. Penelitian Nutrisi Mendukung Pengembangan Usaha Cow Calf Operation Untuk Menghasilkan Bakalan. Laporan Akhir T.A 2005. Loka Penelitian Sapi Potong, Grati, Pasuruan (Unpublished).

UMIYASIH, U., D.E. WAHYONO, MARIYONO, D. PAMUNGKAS, Y.N. ANGGRAENY, N.H. KRISHNA dan I-W. MATHIUS. 2006. Penelitian Nutrisi Mendukung Pengembangan Usaha Cow Calf Operation Untuk Menghasilkan Bakalan. Laporan Akhir T.A. 2005. Loka Penelitian Sapi Potong, Grati, Pasuruan (Unpublished).