21
Tugas Mikro III - Om 1 Faktor Berpengaruh terhadap Perilaku Korupsi Kasus Indonesia Oleh Oswar Mungkasa (Tugas Mata Kuliah Ekonomi Mikro 3, 2002) 1. Pendahuluan Korupsi merupakan penyakit paling parah yang menggerogoti perekonomian negara-negara di dunia ketiga. Suatu kemustahilan mengharapkan negara menjadi makmur ketika korupsi sudah dianggap menjadi bagian dari suatu kehidupan bangsa. Tingkat Korupsi yang demikian besar tentu saja akan berdampak terhadap kondisi perekonomian. Salah satu contoh aktual adalah Nigeria. Tahun 1985 pendapatan per kapita Nigeria mencapai 2.500 dollar AS. Namun, sekarang tinggal 225 Dollar AS. Salah satu hasil studi Angang Hu (2000) 1 dari Center for China Study, Qinghua University menyebutkan bahwa kerugian Cina akibat korupsi di berbagai proyek mencapai sekitar 3,4 sampai 4,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Besarnya dampak korupsi mengakibatkan kejahatan korupsi dianggap bukan tindak pidana biasa tetapi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Dikaitkan dengan kondisi di Indonesia, maka tingkat korupsi di Indonesia menunjukkan kondisi yang relatif sama jeleknya. Tidak ada data yang pasti tentang besarnya korupsi di Indonesia, tetapi berdasar salah satu indikator yang diakui secara internasional yaitu Corruption Perception Index (CPI) 2 yang dikeluarkan oleh Transparency International (TI) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-88 dari 91 negara yang dinilai. Posisi ini secara substansial tidak beranjak dari tahun tahun sebelumnya (Kompas, 4 1 Hasil penelitian ini dikemukakan dalam makalahnya Corruption and Anti-corruption Strategies in China yang disampaikan dalam Simposium Korupsi di Amerika Serikat pada bulan februari 2001. 2 Transparency International (TI) merupakan sebuah lembaga pemantau tingkat korupsi di berbagai negara yang berbasis di Berlin, Jerman. Sementara Corruption Perception Index 9CPI) dihitung berdasar persepsi pelaku bisnis, analis, dan orang yang berkepentingan dengan pemberantasan korupsi.

Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 1

Faktor Berpengaruh terhadap Perilaku Korupsi

Kasus Indonesia

Oleh Oswar Mungkasa

(Tugas Mata Kuliah Ekonomi Mikro 3, 2002)

1. Pendahuluan

Korupsi merupakan penyakit paling parah yang menggerogoti

perekonomian negara-negara di dunia ketiga. Suatu kemustahilan

mengharapkan negara menjadi makmur ketika korupsi sudah dianggap

menjadi bagian dari suatu kehidupan bangsa.

Tingkat Korupsi yang demikian besar tentu saja akan berdampak

terhadap kondisi perekonomian. Salah satu contoh aktual adalah Nigeria.

Tahun 1985 pendapatan per kapita Nigeria mencapai 2.500 dollar AS. Namun,

sekarang tinggal 225 Dollar AS. Salah satu hasil studi Angang Hu (2000)1 dari

Center for China Study, Qinghua University menyebutkan bahwa kerugian

Cina akibat korupsi di berbagai proyek mencapai sekitar 3,4 sampai 4,5

persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Besarnya dampak korupsi

mengakibatkan kejahatan korupsi dianggap bukan tindak pidana biasa tetapi

merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Dikaitkan dengan kondisi di Indonesia, maka tingkat korupsi di

Indonesia menunjukkan kondisi yang relatif sama jeleknya. Tidak ada data

yang pasti tentang besarnya korupsi di Indonesia, tetapi berdasar salah satu

indikator yang diakui secara internasional yaitu Corruption Perception Index

(CPI)2 yang dikeluarkan oleh Transparency International (TI) menempatkan

Indonesia pada peringkat ke-88 dari 91 negara yang dinilai. Posisi ini secara

substansial tidak beranjak dari tahun tahun sebelumnya (Kompas, 4

1 Hasil penelitian ini dikemukakan dalam makalahnya Corruption and Anti-corruption Strategies in China yang

disampaikan dalam Simposium Korupsi di Amerika Serikat pada bulan februari 2001. 2 Transparency International (TI) merupakan sebuah lembaga pemantau tingkat korupsi di berbagai negara yang berbasis di Berlin, Jerman. Sementara Corruption Perception Index 9CPI) dihitung berdasar persepsi pelaku bisnis, analis, dan orang yang berkepentingan dengan pemberantasan korupsi.

Page 2: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 2

Desember 2001). Sekalipun angka ini masih dipertanyakan validitasnya,

tetapi realitasnya menunjukkan kondisi yang relatif serupa.

Tentu saja banyak faktor yang dituding menjadi penyebab korupsi.

Kesemua faktor penyebab tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa

faktor berpengaruh dalam pengambilan keputusan korupsi dari sebuah

individu. Dalam makalah ini keseluruhan faktor penyebab tersebut

dikelompokkan dalam 3 (tiga) faktor berpengaruh terhadap kecenderungan

korupsi (atau tidak korupsi) yaitu tingkat gaji pegawai pemerintah, besarnya

pendapatan dari korupsi, besar/tingginya tingkat hukuman jika tertangkap,

dan kemungkinan (probabilitas) tertangkap.

Pemahaman terhadap mekanisme pengaruh dari faktor-faktor tersebut

dipercaya dapat membantu pengambil kebijakan (pada berbagai tingkatan

pemerintahan/institusi) dalam menerapkan strategi penanganan korupsi.

Memperhatikan hal tersebut di atas, maka maksud studi ini adalah

memberikan gambaran kecenderungan seseorang berperilaku korupsi

dengan memperhatikan faktor tingkat gaji pegawai negeri, kemungkinan

tertangkap, besarnya suap/hasil korupsi dan besarnya hukuman. Tujuan

studi adalah membangun sebuah model yang dapat memperlihatkan bentuk

hubungan antara (a) gaji pegawai negeri; (b) kemungkinan tertangkap; (c)

besarnya suap/hasil korupsi; dan (d) besarnya/tingginya hukuman terhadap

tingkat kecenderungan korupsi dari pelaku korupsi.

2. Korupsi: Penyebab dan Faktor Berpengaruh

2.1 Definisi dan Bentuk Korupsi

Korupsi berasal dari Bahasa Latin corruptus yang berarti mematahkan

atau memisahkan dan corrumpere atau merusak. Secara konsepsual, korupsi

adalah sebuah bentuk perilaku yang memisahkan diri dari etika, moralitas,

tradisi, hukum dan kebajikan sipil. Korupsi mencakup penyalahgunaan

kekuasaan serta pengaruh jabatan atau kedudukan istimewa dalam

masyarakat untuk maksud pribadi (Lubis, 1998). Definisi klasik Bank Dunia

Page 3: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 3

dan Dana Moneter Internasional (IMF), korupsi diartikan sebagai

penggunaan posisi pengambilan kebijakan publik untuk secara ilegal

memperoleh keuntungan pribadi/kelompok.

Sementara definisi lainnya adalah (a) Discretionary corruption, korupsi

yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan;

(b) Illegal corruption, suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan

maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu; (c) Mercenery

corruption, jenis tindak korupsi untuk kepentingan pribadi; (d) Ideological

corruption, korupsi illegal atau discretionery untuk kepentingan kelompok

(Benveniste, 1997).

Sedikitnya terdapat tujuh macam bentuk korupsi, yaitu (a) korupsi

transaksional, korupsi yang melibatkan kedua belah pihak; (b) korupsi

memeras, jika salah satu pihak terpaksa melakukan korupsi; (c) korupsi

ontogenik, hanya melibatkan yang bersangkutan; (d) korupsi defensif, jika

dilakukan untuk membela diri; (e) korupsi investasi, berupa pelaksanaan

tugas dengan harapan mendapat imbalan; (f) korupsi nepotisme, pemberian

keistimewaan pada keluarga/teman/relasi; (g) korupsi suportif, tidak terlibat

langsung tapi memberi peluang atau pura-pura tidak tahu (Noeh, 1997).

2.2 Dampak Korupsi

Dampak korupsi dapat dibedakan atas dampak negatip dan positip.

Dampak negatip yaitu (a) Menggagalkan pencapaian tujuan pelaksanaan

pembangunan; (b) Kenaikan biaya administrasi; (c) Jika dalam bentuk komisi,

akan mengurangi alokasi dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan

masyarakat umum; (d) Berpengaruh buruk pada mental pegawai; (e)

Menurunkan kredibilitas pemerintah. Sementara dampak positip adalah (a)

Hasil korupsi sebagian terbesar dipergunakan untuk investasi; (b)

Meningkatkan kualitas pegawai; (c) Perekrutan yang berlandaskan nepotisme

akan melipatgandakan jumlah pegawai, yang berakibat mengurangi jumlah

pengangguran (Lubis,1998).

2.3 Faktor Penyebab

Page 4: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 4

Faktor penyebab korupsi, dapat dikategorikan sebagai (a) rendahnya

tingkat kesejahteraan pegawai dan sistem penerimaan pegawai. Dampak

sistem penerimaan pegawai yang baik (merit-system) diteliti oleh Evans and

Rauch [1996] di 35 negara berkembang. Hasilnya menunjukkan bahwa sistem

yang baik mengurangi tingkat korupsi. Pengaruh tingkat gaji pegawai

pemerintah diteliti oleh Rijckeghem and Weder (1997) yang menemukan

bahwa perbedaan gaji pegawai pemerintah relatif terhadap gaji swasta

berpengaruh negatif terhadap tingkat korupsi. Meningkatkan gaji pegawai

pemerintah sebesar dua kali lipat akan memperbaiki CPI sebanyak 2 point

(Lambsdorff, 2000); (b) faktor kultural. Budaya patron-client dalam birokrasi,

dan pendekatan kekeluargaan/perkawanan dalam pengambilan keputusan

merupakan bentuk budaya yang mendorong terjadinya korupsi. Pada

beberapa komunitas, tingkat kepercayaan diantara masyarakat masih tinggi.

La Porta et al. [1997: 336] menyatakan bahwa kepercayaan dapat membantu

mengurangi tingkat korupsi karena dapat membantu pegawai pemerintah

bekerjasama lebih baik diantara mereka dan dengan masyarakat umum. Hasil

ini berdasar pada penelitian di 33 negara (Lambsdorff, 2000); (c) kurang

efektifnya sistem pengawasan; (d) lemahnya penegakan hukum Berdasar

World Development Report (1997) yang terfokus pada kualitas hukum

menunjukkan penegakan hukum mempengaruhi tingkat korupsi di 59

negara; (e) kurangnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam

penanggulangan korupsi. Brunetti and Weder (1998) menunjukkan bahwa

keterbukaan, demokrasi, kebebasan pers, dan partisipasi masyarakat

merupakan faktor efektif mengurangi tingkat korupsi (Lambsdorff, 2000)

Menurut Huntington (1968) dalam buku klasiknya tentang

pembangunan politik, mengutarakan beberapa kondisi yang menguntungkan

timbulnya korupsi yaitu (a) korupsi cendrung meningkat dalam suatu

periode pertumbuhan serta modernisasi yang cepat, karena perubahan nilai-

nilai, sumber-sumber baru kekayaan dan kekuasaan, dan perluasan

pemerintahan; (b) Negara dengan keragaman stratifikasi sosial, lebih banyak

Page 5: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 5

polarisasi kelas, dan lebih banyak kecenderungan feodal, korupsi cenderung

berkurang; (c) Apabila banyak perusahaan asing di suatu negara maka

korupsi cenderung meningkat; (d) semakin partai politik kurang berkembang

mekar, semakin meluas korupsinya, lantaran lemahnya kontrol (Klitgaard,

1998).

Menurut Rijckeghem (1997)3, keseluruhan faktor penyebab korupsi di

atas dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori yaitu tingkat gaji (w),

ketidakmemadaian pengawasan (p), tingkat/besarnya hukuman (f), besarnya

distorsi ekonomi, dan faktor lainnya (Rijckeghem, 1997).

3. Pengaruh Kemungkinan Tertangkap, Besarnya Korupsi dan

Hukuman terhadap Kecenderungan Korupsi

3.1 Tinjauan Teoritis

Model dalam makalah ini dijiwai oleh ‘Shirking Model’ (Shapiro dan

Stiglitz, 1984) dan dibangun dari hasil kerja Becker dan Stigler (1974), yang

mengasumsikan bahwa pegawai negeri memaksimalkan ‘expected income’.

Perilaku korupsi jika tertangkap dihukum dalam bentuk dipecat, sehingga

pejabat dengan pendapatan besar cenderung menjadi kurang korup. Ketika

tingkat suap tinggi atau kemungkinan tertangkap rendah, model ini

memperkirakan bahwa gaji yang dapat mengurangi korupsi adalah tinggi.

Karena itu, buat pemerintah lebih efektif (cost effective) untuk

membayar ‘capitulation wages’ (gaji dibawah reservation wages) daripada

meningkatkan gaji. Lebih lanjut, hukuman dapat selalu diperberat sampai

pada tingkat yang dapat mencegah korupsi, karenanya gaji tinggi tidak

dibutuhkan.

Implikasi kebijakan di atas tidak kuat untuk merumuskan proses

korupsi. Hal ini terlihat ketika dilakukan relaksasi terhadap asumsi pegawai

negeri memak-simalkan ‘expected income’, sehingga peran kebijakan gaji

menjadi lebih besar

3 Faktor p, w, f ditambah besarnya korupsi (B) dinasukkan dalam model Rijckeghem pada bagian

selanjutnya dari makalah ini.

Page 6: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 6

Pegaai negeri mungkin terlibat dalam perilaku ‘satisficing (pemuasan)’

dan bukannya ‘maximizing (pemaksimalan)’ dan karenanya korupsi

dilakukan hanya untuk mencapai pendapatan sewajarnya (fair income).

Pegawai negeri mungkin menghindari kesempatan korupsi, dengan

tersedianya gaji memadai, bahkan ketika tindakan tersebut bukan

memaksimalkan ‘expected income’. Formalnya cara pandang ini dimodelkan

sebagai ‘fair-wage effort hypothesis’ (Akerloff and Yellen, 1990). Ditunjukkan

bahwa hipotesis ini berakibat peningkatan gaji (penurunan) mempunyai

dampak kuat pada korupsi daripada ketika PNS memaksimalkan ‘expected

income’ dan mengurangi korupsi melalui kebijakan gaji mungkin tidak

mahal. Ini konsisten dengan bukti penelitian terkini terhadap fair wage effort

hypothesis.

3.2 Korupsi dalam kerangka ‘maximizing’

Dari sudut pandang penegakan hukum (Becker and Stigler, 1974)

bahwa pegawai negeri memaksimalkan ‘expected income’ dengan cara

menyeimbangkan keuntungan korupsi terhadap denda dan hukuman jika

tertangkap. Hukuman ini mencakup pemecatan (biaya sama dengan

perbedaan gaji dengan swasta ditambah kesempatan korupsi yang hilang)

dan hukuman lainnya.

Pada model satu periode hubungannya sebagai berikut:

Kecuali C maka semua variabel dan parameter P( C) adalah eksogen.

EI = (1 – P( C)) (CB + Wg) + P( C) (Wp – f) …... (1)

EI = expected income P = kemungkinan tertangkap dan dihukum C = jumlah tindakan korupsi (variabel kontinu) Wg = gaji pegawai pemerintah Wp = gaji swasta B = tingkat suap F = hukuman lain/penjara

Page 7: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 7

Persamaan diatas menunjukkan bahwa expected income merupakan

rata-rata tertimbang pendapatan ketika korupsi tidak terdeteksi dan ketika

terdeteksi. Ketika terdeteksi, pendapatan adalah hasil korupsi dan gaji

sementara jika tertangkap pendapatan adalah gaji swasta dikurangi

hukuman.

Pada formulasi ini, kebijakan gaji pemerintah mempunyai dampak

terhadap korupsi sebab hukuman termasuk kehilangan pekerjaan. Namun

gaji tinggi tidak berarti korupsi berkurang, dengan kondisi pemerintah dapat

memanipulasi P(C) dan f . Akhirnya, kebijakan gaji kehilangan kefektifannya

ketika tingkat suap tinggi.

Beragam penambahan dimungkinkan. Pertama, P dapat diekspresikan

sebagai fungsi negatif hukuman (memasukkan pemecatan), P juga

dipengaruhi oleh suap terhadap penegak hukum. Kedua, ukuran suap (B)

mungkin bergantung pada keuntungan suap bagi pemberi suap, tingkat

hukuman dan kemungkinan tertangkap.

Mempertimbangkan semua penambahan di atas maka formula

menjadi:

Berdasar formula di atas, penambahan f kehilangan banyak

kemampuan mengurangi korupsi, sebagai hasil dari dampak terhadap

penegakan hukum oleh masyarakat yang berkurang sebagaimana pada

tingkat suap (yang bertambah). Instrumen kedua, P tidak lagi berada

dibawah kendali langsung pemerintah. Gaji Wg, dilain pihak, meningkat

perannya melalui dampak pada aktifitas penegakan hukum oleh masyarakat

(yang bertambah dengan meningkatnya pendapatan).

3.3 Korupsi dalam Kerangka Pemuasan (‘satisficing’)

EI = (1 – P( C,f,Wg-Wp)) (CB(P,f) + Wg) + P( C,f,Wg-Wp) (Wp – f) … (2)

Page 8: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 8

Perilaku individu mungkin tidak cocok dengan penggambaran melalui

kerangka ‘maximizing’ di atas. Fehr et. al (1993) menemukan bukti bahwa gaji

memotivasi usaha bahkan ketika tidak ada hukuman untuk ‘shirking’.

Eksperimen ‘lost-letters’4 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat

jujur, dalam konteks tidak menggunakan kesempatan korupsi. Penemuan ini

mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat tidak menggunakan

kesempatan korupsi sepanjang diperlakukan adil.

Secara formal ‘fair wage-effort’ hypothesys dimodelkan sebagai :

Menurut teori, pekerja menyesuaikan usahanya kalau terdapat

perbedaan antara gaji dan ‘fair’ wage. Korupsi dapat dipahami dalam konteks

ini sebagai penyesuaian tunjangan (N). Dengan sedikit modifikasi maka teori

ini menjadi:

Untuk membandingkan dengan kerangka maximizing diasumsikan

bahwa hukuman korupsi melalui pemecatan (Wg-Wp), kehilangan

kesempatan korupsi (CB), dan hukuman (f). Diasumsikan juga untuk

4 Eskperimen ini dimaksudkan untuk menilai tingkat kejujuran suatu komunitas dengan cara penyebaran amplop berisi uang di tempat-tempat umum. Setiap amplop diberi alamat pemilik amplop, sehingga jika si penemu jujur maka dia dapat mengirim kembali amplop tersebut pada pemiliknya.

e = f (I/W*) = f ((W + N)/W*) …… (3.a)

e = usaha I = pendapatan aktual W* = gaji wajar (fair wage) W = gaji yang diterima N = tunjangan

e = f (EI/EI*) …. (3.b)

EI = actual expected income EI* = targeted/’fair’ exp. income

Page 9: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 9

penyederhanaan bahwa P adalah jumlah kejadian korupsi ( C) dikalikan

kemungkinan tertangkap untuk sebuah kegiatan korupsi (p). Asumsi ini

mengurangi kompleksitas analsis, tetapi tetap dapat diterima sebagai suatu

pedekatan untuk negara berkembang.

Substitusi P = pC pada persamaan 1 didapatkan:

Persamaan ini menjadi dasar analisis selanjutnya yang disebut ‘fair

wage-corruption’ hypothesis, yaitu hipotesis bahwa pegawai memilih

tingkatan korupsi dalam usaha mencapai EI = EI*

Solusi untuk C adalah fungsi dari Wg relatif terhadap fair income EI*.

Kemungkinan tidak terdapat solusi untuk C.

Penggabungan korupsi dan usaha dalam satu model sesuai dengan

yang digambarkan dalam literatur korupsi (PNS yang tidak ingin, tidak

punya kesempatan, atau korupsi tidak menguntungkan mungkin melakukan

strategi lain yaitu ngobyek (Gould, 1980).

3.4 Implikasi Tertentu

3.4.1 Hipotesis Fair Wage-Corruption

Penyelesaian C (satisficing) menggunakan rumus ABC dan memilih

akar negatip sehingga:

EI = (1 – pC)) (CB + Wg) + pC (Wp – f) …... (4)

EI = (1 – pC)) (CB + Wg) + pC (Wp – f) = EI* …... (5)

B – p (Wg – Wp + f) - D C = ---------------------------------------------- ….. (6) 2 p B

Page 10: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 10

Penggunaan hanya akar negatip karena akar positip mengakibatkan

semakin banyaknya korupsi dibanding maximizing dan berarti pareto-

inferior (keduanya pemerintah dan PNS akan lebih baik dengan kurangnya

korupsi), sehingga ditiadakan.

Jika Wg = EI*, C=0, contohnya korupsi nol ketika pemerintah

membayar fair wage. Dari pers. 4 bahwa jika solusi ada (C>0) dan tertangkap

menjadi mahal (misal CB+Wg > Wp-f), pendapatan korupsi CB melampaui

perbedaan antara fair wage dan gaji PNS, EI* -Wg. Intuisinya adalah bahwa

pegawai memerlukan kompensasi untuk kemungkinan kehilangan pekerjaan

dan biaya lainnya yang berkaitan dengan tertangkap.

Jika EI* bertambah maka korupsi meningkat tetapi EI* terlalu tinggi

mengakibatkan D negatip dan tidak ada solusi.

Penurunan Pertama

Penurunan ini juga merepresentasikan penurunan C terhadap (Wg –

Wp) jika EI* = Wp, yaitu fair wage sama dengan gaji swasta.

Penurunan Kedua

D = [B – p (Wg – Wp + f)]2 – 4 p B (EI – Wg) ….. (6.a)

dC - 1 1 ------ = ----- [ 1 + --------- [B+p (Wg – Wp + f)]] …. (6.a) dWg 2 B (D)0.5

dC 1 [B - p (Wg – Wp + f)] – [2p (EI- Wg)] – (D)0.5

------ = ----- ----------------------------------------------------------- …. (6.b) dp 2 p2 (D)0.5

Page 11: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 11

Penurunan kedua ini selalu lebih besar atau sama dengan nol. (jika

solusi ada). Secara intuisi, peningkatan kemungkinan tertangkap mengurangi

expected income dari PNS, ceteris paribus, sepanjang dipecat adalah sesuatu

yang tidak diinginkan. Karenanya PNS akan menguragi korupsi jika

kemungkinan tertangkap meningkat.

3.4.2 Hipotesis Shirking

Jika pegawai menginginkan maximizing EI solusi C dan turunan

pertama terhadap Wg dan p adalah

Penurunan Pertama

Penurunan Kedua

Tiga observasi dapat dihasilkan. Pertama, jumlah korupsi skenario

satisficing adalah lebih kecil dari jumlah korupsi skenario maximizing, untuk

B – p (Wg – Wp + f) C = -------------------------------- ………….. (7) 2 p B

dC - 1 ------- = ----- ….. (7.a) dWg 2 B

dC - 1 ------- = ------- …… (7.b) dp 2 p2

Page 12: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 12

setiap tingkatan gaji (jika solusi ada, bandingkan pers 6 dan 7). Dalam

konteks ini, kesempatan korupsi tidak dipergunakan. Gaji yang mengurangi

korupsi selalu lebih besar untuk maximizing daripada satisficing. Kedua,

turunan C terhadap Wg sama dengan turunan (satisficing), minus term, yang

selalu negatif (jika B+p(Wg-Wp+f) positif). Oleh karenanya dalam skenario

maximizing peran gaji lebih besar dalam mengurangi korupsi. Juga turunan

lebih kecil untuk tingkat suap yang lebih besar, baik satisficing dan

maximicing, mengakibatkan peran lebih kecil bagi kebijakan gaji ketika suap

tinggi. Ketiga, turunan terhadap p negatip (maximizing) sementara positip

(satisficing).

Pada kedua skenario (maximizing dan satisficing) maka :

Hipotesis I Korupsi berhubungan negatip dengan perbedaan relatif gaji

pegawai negeri dan swasta

Skenario fair wage hypothesis

Hipotesis II Korupsi berkurang/hilang ketika gaji sama dengan fair

wage.

Sebagai catatan, untuk tingkat suap rendah dan/atau hukuman tinggi

dan/atau probabilitas tertangkap dan dihukum tinggi, korupsi hilang

pada tingkat gaji rendah.

Hipotesis III jika gaji cukup tinggi (sehingga solusi ada pada skenario

satisficing), probabilitas tertangkap dan dihukum lebih tinggi

dihubungkan dengan korupsi yang lebih tinggi, dan bukan korupsi

rendah.

Catatan, hubungan negatip anatara p dan f adalah konsisten dengan

hipotesis fair wage jika gaji rendah dan lingkungan kerja dengan tingkat

suap rendah dan/atau hukuman tinggi dan/atau p tinggi.

Skenario shirking hypothesis

Hipotesis 4 jika lingkungan kerja dengan tingkat suap tinggi dan/atau f

rendah dan/atau p rendah, gaji pemerintah berlipat gaji swasta agar

korupsi hilang.

Page 13: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 13

Hipotesis 5 p lebih besar dikaitkan dengan korupsi rendah

3.5 Kasus Indonesia

Menurut Filmer (2001), berdasar penelitiannya tentang perbandingan

gaji pegawai negeri dan swasta, menemukan bahwa secara umum pegawai

negeri golongan III kebawah (yang mencakup sekitar 70 persen dari seluruh

jumlah pegawai negeri) mempunyai tingkat gaji yang lebih baik dari pegawai

swasta. Kondisi ini menyebabkan untuk kasus Indonesia, Model Rijckeghem

perlu dilakukan perubahan terutama menyangkut asumsi Wp lebih besar dari

Wg menjadi Wg lebih besar dari Wp, sehingga jika tertangkap maka fungsi

kerugian menjadi (Wg – f). Perubahan tersebut mengakibatkan persamaan (1)

berubah menjadi:

Substitusi P = pC maka persamaan (8) dapat ditulis sebagai:

Optimalisasi persamaan (9) dilakukan dengan menggunakan rumus

ABC dan memilih akar negatip sehingga:

EI = EI* = (1 – P(C)) (CB + Wg) + P(C) (Wg – f) …... (8)

(B – pf) – (E)0.5 C = -------------------------------- ………………… (10)

2 p B

(1 – pC) (CB + Wg) + pC (Wg – f) – EI = 0 …... (9)

E = [B - pf)]2 - 4 p B (EI - Wg) ………. (10.a)

Page 14: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 14

3.5.1 Kondisi Maksimisasi (Shirking Corruption)

Pada kondisi ini dianggap pelaku korupsi memaksimalkan expected

incomenya, sehingga persamaan (10) menjadi

Pengaruh gaji pegawai pemerintah (Wg) terhadap korupsi (C)

Pengaruh Wg terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama

persamaan (11) terhadap Wg, sebagai:

Persamaan (12.a) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh dari faktor

gaji pegawai pemerintah terhadap intensitas korupsi.

Pengaruh kemungkinan tertangkap (p) terhadap korupsi (C)

Pengaruh p terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan

(11) terhadap p, sebagai:

Persamaan (12.b) menunjukkan bahwa kemungkinan tertangkap

berpengaruh negatip terhadap intensitas korupsi. Semakin besar

kemungkinan tertangkap akan mengakibatkan berkurangnya intensitas

korupsi.

Pengaruh besarnya korupsi (B) terhadap korupsi (C)

(B – pf) C = ------------------- ………… (11)

2 p B

dC ------- = 0 ….. (12.a) dWg

dC - 1 ------- = --------- …… (12.b) dp 2 p2

Page 15: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 15

Pengaruh B terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan

(11) terhadap B, sebagai:

Persamaan (12.c) menunjukkan bahwa besarnya korupsi berpengaruh

positip terhadap intensitas korupsi. Semakin besar jumlah yang didapatkan

dari hasil korupsi (atau suap) akan mengakibatkan meningkatnya intensitas

korupsi.

Pengaruh tingkat/besar hukuman (f) terhadap korupsi (C)

Pengaruh f terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan

(11) terhadap f, sebagai:

Persamaan (12.d) menunjukkan bahwa tingkat hukuman berpengaruh

negatip terhadap intensitas korupsi. Semakin tinggi tingkat hukuman akan

mengakibatkan menurunnya intensitas korupsi.

Hal lainnya bahwa pengaruh tingkat hukuman terhadap intensitas

korupsi tergantung pada besarnya hasil korupsi. Semakin besar hasil korupsi

maka semakin kecil pengaruh tingkat hukuman terhadap intensitas korupsi.

3.5.2 Kondisi Optimalisasi (Fair-Wage Corruption)

Pada kondisi ini dianggap pelaku korupsi melakukan korupsi dalam

rangka mencapai expected income, sehingga formula yang dipergunakan

adalah persamaan (10).

Pada kondisi ini maka beberapa persyaratan awal perlu dipenuhi yaitu

(i) (E)0.5 harus positip agar terdapat solusi, sehingga [B - pf)]2 > 4 p B (EI -

Wg) atau

dC f ------- = --------- …… (12.c) dB 2 B2

dC - 1 ------- = --------- …… (12.d) df 2 B

Page 16: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 16

(ii) (B – pf) harus positip agar terdapat solusi, sehingga (B – pf) > 0 atau

(iii) (B – pf) harus lebih besar dari (E)0.5 agar terdapat solusi, sehingga

Pengaruh gaji pegawai pemerintah (Wg) terhadap korupsi (C)

Pengaruh Wg terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama

persamaan (10) terhadap Wg, sebagai:

Persamaan (14.a) menunjukkan bahwa gaji pegawai pemerintah

berpengaruh negatip terhadap intensitas korupsi. Semakin tinggi gaji

pegawai pemerintah maka semakin kecil intensitas korupsi.

Pengaruh kemungkinan tertangkap (p) terhadap korupsi (C)

Pengaruh p terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan

(10) terhadap p, sebagai:

[B - pf)]2 /4pB > (EI - Wg) ………. (13.a)

(B > pf) ………. (13.b)

(B - pf) > (E)0.5 ………. (13.c)

dC - 1 ------- = ------ ….. (14.a) dWg (E)0.5

dC 1 (E)0.5 4 B (EI – Wg) + f (B – pf) ------ = ----- [ ---------- - 1 ] + --------------------------------- … (14.b) dp 2 p2 B 2 PB (E)0.5

Page 17: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 17

Dari persamaan (14.b) relatif sulit menunjukkan bentuk hubungan

antara C dan P. Hal ini terlihat dari persamaan (14.c) dan (14.d):

Persamaan (14.c) bisa lebih kecil atau lebih besar dari persamaan

(14.d). Jika dC/dP < 0, maka persamaan (14.c) harus lebih besar dari

persamaan (14.d), sehingga:

Persamaan (14.e) dapat disederhanakan menjadi:

1 (E)0.5

persamaan (13.c) ------- [ ---------- - 1 ] < 0 …………. (14.c) 2 p2 B

4 B (EI – Wg) + f (B – pf)

persamaan (13.b) ----------------------------------- > 0 …… (14.d) 2 PB (E)0.5

1 (E)0.5 4 B (EI – Wg) + f (B – pf) - ----- [ ---------- - 1 ] > --------------------------------- … (14.e) 2 p2 B 2 PB (E)0.5

B (E)0.5 - E > 4 pB (EI – Wg) + pf (B – pf) …. (14.f)

Page 18: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 18

Tetapi kemudian persamaan (14.f) tetap sulit untuk diartikan, sehingga

pengaruh kemungkinan tertangkap terhadap intensitas korupsi menjadi tidak

sederhana. Bisa berpengaruh positip maupun negatip.

Pengaruh besarnya korupsi (B) terhadap korupsi (C)

Pengaruh B terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan

(10) terhadap B, sebagai:

Dari persamaan (14.g) relatif sulit menunjukkan pengaruh besarnya

hasil korupsi terhadap intensitas korupsi. Jika dC/dB > 0 maka 4 p (EI – Wg)

harus lebih besar dari (B – pf), sehingga:

Dari persamaan (14.h) dapat diartikan bahwa besarnya hasil korupsi

berpengaruh positip terhadap intensitas korupsi jika persamaan (14.h)

terpenuhi, yaitu selisih expexted income dan actual income ditambah

besarnya hukuman harus lebih besar dari besarnya korupsi.

Perilaku optimalisasi mengakibatkan bahwa besarnya korupsi hanya

akan berpengaruh positip jika tidak melebihi selisih antara pendapatan

sekarang dan pendapatan yang diharapkan ditambah besarnya hukuman

yang kemungkinan harus dibayar. Jika hasil korupsi besar sekali maka

pegawai negeri tidak akan melakukan korupsi.

Pengaruh tingkat/besar hukuman (f) terhadap korupsi (C)

Pengaruh f terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama

persamaan (10) terhadap f, sebagai:

dC 1 (E)0.5 4 p (EI – Wg) - (B – pf) ------- = -------- [( f + --------- )] + ---------------------------------- …. (14.g) dB 2 B2 p 2 p B (E)0.5

dC 1 (B – pf) ------- = --------- [ ----------- - 1 ] …… (14.i) df 2 B (E)0.5

B < 4 p (EI – Wg+ 0,25 f) …. (14.h)

Page 19: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 19

Persamaan (14.i) menunjukkan bahwa tingkat hukuman berpengaruh

positip terhadap intensitas korupsi. Semakin tinggi tingkat hukuman akan

mengakibatkan meningkatnya intensitas korupsi. Artinya pelaku korupsi

akan tetap korupsi walaupun tingkat hukuman dinaikkan. Hal ini terkait

dengan kondisi pelaku korupsi hanya melakukan korupsi untuk memenuhi

kekurangan pendapatannya dari pendapatan yang diharapkan.

4. Kesimpulan

Beberapa hal dapat disimpulkan dari hasil kajian ini yaitu:

a. Perilaku korupsi dipengaruhi oleh banyak faktor yang dalam kajian ini

diklasifikasikan dalam 4 (empat) kategori yaitu tingkat gaji pemerintah

(Wg), kemungkinan tertangkap (p), besarnya korupsi (B), dan

besarnya/tingginya hukuman (f).

b. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap intensitas korupsi

beragam tergantung pada kondisi yang ada. Dalam kajian ini

dibedakan antara perilaku korupsi yang memaksimalkan pendapatan

dan korupsi yang mengoptimalkan pendapatan (haanya untuk

memenuhi kekurangan antara pendapatan aktual dan pendapatan

yang diharapkan). Model awal mengasumsikan gaji pegawai

pemerintah (Wg) lebih kecil dari gaji swasta (Wp), sementara untuk

kondisi Indonesia Wp lebih kecil dari Wg. Secara ringkas hasil kajian

tersebut adalah sebagai berikut:

Faktor Skenario I Wp > Wg Skenario II Wp < Wg

Maksimisasi Optimalisas

i

Masimisasi Optimalisasi

Gaji pegawai pemerintah

Negatip Negatip Tidak ada pengaruh

Negatip

Page 20: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 20

(Wg)

Kemungkinan tertangkap (p)

Negatip Positip Negatip Tidak jelas

Besarnya korupsi (B)

Positip Tidak jelas Positip Positip jika B < 4p (EI – g + 0,25f)

Besarnya hukuman (f)

Negatip Tidak jelas Negatip Positip

Keterangan: sel dibaca pengaruh faktor Wg/p/B/f terhadap intensitas korupsi untuk masing-masing skenario

Pada skenario I (Wp > Wg), maka model dapat menjelaskan secara

baik hanya untuk kondisi maksimisasi, sementara pada kondisi

optimalisasi hanya dapat menjelaskan hubungan Wg dan p terhadap

intensitas korupsi.

Pada skenario II (Wp < Wg), maka model dapat menjelaskan secara

baik hanya untuk kondisi maksimisasi, sementara pada kondisi

optimalisasi model tidak dapat menjelaskan hubungan p terhadap

intensitas korupsi.

c. Pada kasus Indonesia, maka pengurangan intensitas korupsi dapat

dilakukan melalui:

(i) jika diasumsikan bahwa pelaku korupsi memaksimumkan

expected income maka menaikkan gaji pegawai pemerintah

tidak akan mengurangi tingkat korupsi. Hanya menaikkan

besarnya hukuman yang dapat menurunkan intensitas korupsi.

(ii) Jika diasumsikan bahwa pelaku korupsi mengoptimalkan

pendapatan aktualnya sehingga dapat menutup kekurangan

pendapatannya, maka kenakan gaji pegawai pemerintah akan

menurunkan intensitas korupsi. Sementara besarnya hukuman

bukan merupakan strategi yang tepat untuk menurunkan

intensitas korupsi.

d. Kebijakan untuk menanggulangi korupsi sangat tergantung pada

asumsi/kondisi obyektif yang ada.

Page 21: Faktor Berpengaruh Terhadap Korupsi. Kasus Indonesia

Tugas Mikro III - Om 21

DAFTAR PUSTAKA

Buku

1. Benveniste, Guy. Birokrasi. Cetakan Keempat. PT. Rajagrafindo, Jakarta 1997.

2. Klitgaard, Robert. Membasmi Korupsi. Diterjemahkan oleh Hermoyo dari judul asli Controlling Corruption. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998.

3. Lubis, Mochtar dan Scott, James C. (Ed.). Bunga Rampai Korupsi. Cetakan Ketiga. LP3ES, Jakarta, 1995.

4. Noeh, Munawar Fuad. Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi. Zihrul Hakim, Jakarta, 1997.

Makalah

1. Filmer, Deon dan Lindauer, David L. Does Indonesia Have A ‘Low Pay’ Civil Service?. Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol. 37, No.2, 2001.

1. Lambsdorff, Johann Graf. Corruption in Empirical Research - A Review. Internet center for Corruption Research, 2000.

2. Rijckeghem, Caroline Van dan Beatrice Weder. Corruption and the Rate of Temptation: Do Low Wages in the Civil Service Cause Corruption?. International Monetary Fund, June 1997.

Media Massa 1. Kompas 4 Desember 2001. Pemberantasan Korupsi. Kemajuan itu

Masih Sebatas Kata.