29
Fatmawati Bengkulu siang itu sangat panas. Matahari membakar tepat di ubun-ubun kepala. Pada hari itu, Senin, tanggal 5 Februari 1923, tangis seorang bayi mungil pecah dari dalam kamar sebuah rumah bergandeng amat sederhana yang terletak dekat pasar di sisi salah satu jalan raya Marlborough. Jalan yang membujur mengikuti sepanjang garis pantai itu disebut oleh penduduk setempat dengan Jalan Malro, satu-satunya jalan besar yang ada di Bengkulu. Saat itu Bengkulu masih sebuah kota kecil. Pada beberapa malam sebelumnya, Siti Chadidjah yang melahirkan bayi itu bermimpi kejatuhan cinde di kepalanya. Cinde adalah sejenis selendang bersulamkan benang emas. Namun sampai bayi itu dilahirkannya, ia belum dapat menafsirkan apa makna dari mimpinya itu. Satu kenyataan yang dapat dipahaminya ialah bahwa bayi yang baru dilahirkan itu bermata bening besar. Kulitnya kuning bersih. Jenis kelaminnya perempuan. Cantik. Konon setiap ibu yang melahirkan secara normal, apalagi ketika melahirkan anak pertama, akan merasakan sakit yang tak tertahankan selama persalinan berlangsung. Akan tetapi, begitu bayi telah melewati liang peranakan, sakit yang semula dirasakan akan hilang seketika. Hal yang sama juga dialami oleh Siti Chadidjah. Setelah melahirkan bayi yang tangisnya belum mereda itu, ia sudah tidak lagi merasakan sakit apa pun. Keadaan itu amat kontras dengan apa yang dialaminya selama proses persalinan, saat ia menjerit sejadi-jadinya dan berteriak, “Aku tak mau punya anak lagi.” Kelahiran bayi perempuan itu disambut oleh segenap penghuni rumah, sanak famili, maupun tetangga yang ikut mengharu biru tanda bahagia. Dukun beranak dari kampung setempat yang membantu persalinan juga ikut merasa lega. Hilang sudah semua kekhawatiran akan hal buruk yang menggelayut di angan- angan setiap orang. Sebab perjuangan hidup dan mati bagi Siti Chadidjah lewat sudah.

Fatmawati Soekarno

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Fatmawati Soekarno

Fatmawati

Bengkulu siang itu sangat panas. Matahari membakar tepat di ubun-ubun kepala. Pada hari itu, Senin, tanggal 5 Februari 1923, tangis seorang bayi mungil pecah dari dalam kamar sebuah rumah bergandeng amat sederhana yang terletak dekat pasar di sisi salah satu jalan raya Marlborough. Jalan yang membujur mengikuti sepanjang garis pantai itu disebut oleh penduduk setempat dengan Jalan Malro, satu-satunya jalan besar yang ada di Bengkulu. Saat itu Bengkulu masih sebuah kota kecil.

Pada beberapa malam sebelumnya, Siti Chadidjah yang melahirkan bayi itu bermimpi kejatuhan cinde di kepalanya. Cinde adalah sejenis selendang bersulamkan benang emas. Namun sampai bayi itu dilahirkannya, ia belum dapat menafsirkan apa makna dari mimpinya itu. Satu kenyataan yang dapat dipahaminya ialah bahwa bayi yang baru dilahirkan itu bermata bening besar. Kulitnya kuning bersih. Jenis kelaminnya perempuan. Cantik.

Konon setiap ibu yang melahirkan secara normal, apalagi ketika melahirkan anak pertama, akan merasakan sakit yang tak tertahankan selama persalinan berlangsung. Akan tetapi, begitu bayi telah melewati liang peranakan, sakit yang semula dirasakan akan hilang seketika. Hal yang sama juga dialami oleh Siti Chadidjah. Setelah melahirkan bayi yang tangisnya belum mereda itu, ia sudah tidak lagi merasakan sakit apa pun. Keadaan itu amat kontras dengan apa yang dialaminya selama proses persalinan, saat ia menjerit sejadi-jadinya dan berteriak, “Aku tak mau punya anak lagi.”

Kelahiran bayi perempuan itu disambut oleh segenap penghuni rumah, sanak famili, maupun tetangga yang ikut mengharu biru tanda bahagia. Dukun beranak dari kampung setempat yang membantu persalinan juga ikut merasa lega. Hilang sudah semua kekhawatiran akan hal buruk yang menggelayut di angan-angan setiap orang. Sebab perjuangan hidup dan mati bagi Siti Chadidjah lewat sudah.

Hassan Din, sang ayah, segera meminta bayi mungil yang baru dilahirkan itu. Ia menyungginya sebatas wajah lalu menyerongkannya. Dikumandangkannya azan di teliga kanan bayi dan iqamat di telinga kirinya, sesuai dengan anjuran hadits dari Nabi Muhammad SAW. Betapa ia amat bersyukur atas karunia yang didapatnya hari itu.

Sebagai pemeluk Islam yang taat, setelah berlalu beberapa hari, Hassan Din dan Siti Chadidjah mencarikan nama yang baik untuk anak mereka. Tidak begitu jelas bagaimana ceritanya sehingga didapatlah dua nama yang sama bagus: Fatmawati dan Siti Jubaidah. Fatma berarti “teratai” atau “lotus”, sedang wati berarti “kepunyaan”. Adapun nama yang kedua diilhami dari nama salah satu istri Nabi Muhammad SAW.

Munculnya dua nama itu membuat Hassan Din dan Siti Chadidjah memutuskan untuk memilih salah satunya. Diambillah dua carik kertas kecil yang masing-masing dibubuhi salah satu nama, dan setelah itu digulung. Kedua nama itu diundi. Setelah dilakukan pengundian, nama Fatmawati terpilih. Jadilah bayi perempuan nan cantik itu bernama: Fatmawati.

Page 2: Fatmawati Soekarno

Hassan Din tidak pernah ambil pusing dengan jenis kelamin anaknya. Baginya laki-laki atau perempuan sama saja, selama anaknya itu kelak menjadi anak yang saleh dan berbakti bagi bangsa, tanah air, dan agamanya. Menurut cerita yang didengar Fatmawati dari Hassan Din bertahun-tahun kemudian, ayahnya itu sempat berdoa di malam pertama sebagai pengantin: “Ya Tuhan, hamba-Mu mengucap syukur kepada-Mu, karena Tuhan telah memberi teman hidupku. Ya Tuhan, semoga dalam perkawinan kami dianugerahi anak yang saleh dan berbakti kepada tanah air serta bangsa maupun agama. Jika tidak ada gunanya kepada bangsa dan tanah air serta agama, hamba rela anakku laki-laki atau perempuan untuk tidak berumur panjang.”

Gadis Malro

Setiap generasi adalah anak zamannya, demikian halnya dengan Fatmawati. Dia dilahirkan dan tumbuh di zaman susah, kalau tidak dapat dikatakan zaman paling susah. Sudah menjadi suratan takdir, Fatmawati dilahirkan di tahun 1923, sehingga praktis dia dibesarkan pada saat ekonomi dunia mengalami Depresi Besar yang dimulai antara tahun 1929-1932. Akan tetapi, zaman susah yang harus dialami Fatmawati kecil bukan hanya lantaran ekonomi global yang mengalami depresi, tetapi lantaran tindakan semena-mena pemerintah kolonial Belanda yang harus diterima oleh ayahandanya.

Tidak lama setelah Fatmawati dilahirkan, suatu kali ayahanda Fatmawati dipanggil oleh manajemen Borsumij (Borneo-Sumatra Maatschappij), perusahaan Belanda tempatnya bekerja sebagai klerk. Rupanya ayahanda Fatmawati dipaksa untuk keluar dari perusahaan Belanda tersebut atau menghentikan kegiatannya di Muhammadiyah yang dianggap membahayakan bagi pemerintah kolonial Belanda. Ayahada Fatmawati akhirnya memutuskan untuk terus memajukan organisasi yang didirikannya ketimbang tunduk pada kemauan pemerintah kolonial Belanda, meskipun ada jaminan hidup enak di masa depan buat istri dan anaknya yang masih bayi.

Begitulah, masa-masa kecil yang harus dilalui Fatmawati adalah masa-masa yang penuh kesusahan, namun juga masa-masa bersiap, bergerak, dan masa menyongsong perubahan zaman yang pada tahun 1930-an semakin terasa di seluruh tanah jajahan di Indonesia. Tentu saja, Fatmawati kecil belum dapat memahami dan ikut merasakan denyut pergerakan kebangsaan itu.

Sebagaimana anak-anak Bengkulu kebanyakan, dunia yang dialami Fatmawati adalah dunia anak-anak, mulai bermain, mengaji maupun bersekolah. Kalau sedang tidak bermain dengan teman-temannya, Fatmawati menyibukkan diri dengan berbagai hal, di antaranya memelihara binatang seperti merpati, kambing, kucing, ayam maupun kerbau, dan bermain-main dengannya.

Selain memang menyenangi binatang, ada banyak kesempatan yang dilalui Famawati yang memang mengharuskannya untuk mengakrabi binatang-binatang itu. Di tempatnya mengaji, setiap murid secara bergantian diminta untuk menggembalakan kambing sang guru. Bukan apa-apa, sang guru memang tidak mengutip bayaran dari para muridnya,

Page 3: Fatmawati Soekarno

kecuali sekadar menerima dari setiap muridnya satu botol minyak tanah saban bulan. Minyak sumbangan dari para murid itu tentu bukan untuk siapa-siapa, karena lebih sering digunakan untuk bahan bakar lampu teplok kala para murid mengaji.

Kegiatan rumah tangga juga menjadi salah satu kegiatan yang dianggap mengasyikkan bagi Fatmawati kecil. Dia selalu memperhatikan cara ibunya mencuci, memasak, juga bagaimana mengatur susunan perabotan rumah tangga agar tertata rapi dan enak dilihat. Dari semua pekerjaan rumah yang disenanginya, dia paling senang jika sudah diberi kesempatan untuk memasak, baik itu membuat kue, menggorengnya, bahkan kadang-kadang sampai menjajakannya.

Fatmawati kecil sudah terbiasa menjajakan penganan yang dibuat istri guru mengajinya. Penganan yang dijajakan biasanya kroket. Setiap kali selesai menjajakan dagangan titipan istri gurunya itu, Fatmawati biasa mendapat imbalan uang senilai satu gobang atau 2,5 sen, ditambah satu potong kroket. Mendapat imbalan seperti itu, Fatmawati merasa seperti kejatuhan durian runtuh.

Sekalipun hidup susah dan miskin, Fatmawati tetap dikenal periang. Fatmawati juga beruntung karena Bengkulu tidak sedemikian tertutup seperti letak geografisnya yang dipagari pengunungan di sebelah utara dan dibatasi Samudra Indonesia di sebelah selatan. Bengkulu di zaman saat dia dibesarkan sudah tak mengenal lagi larangan bagi kaum perempuan untuk menuntut ilmu di sekolah seperti pernah dialami Raden Ajeng Kartini di Jawa. Padahal ayahandanya berasal dari kalangan santri yang biasanya dikenal kokoh menganut pakem agama. Agama memang tidak melarang perempuan untuk belajar, namun di masa Fatmawati kecil, pandangan agama yang cenderung konservatif masih sangat terasa di mana-mana, sehingga sangat banyak perempuan yang tidak dapat mengeyam pelajaran di bangku sekolah.

Pada masa Fatmawati kecil, sudah menjadi kebiasaan setiap kali diadakan penerimaan murid, setiap anak diminta untuk menjangkau telinga kirinya dengan tangan kanan melingkari atas kepalanya. Jika anak itu tidak dapat menjangkau telinga kirinya, maka ia dianggap belum waktunya untuk bersekolah. Fatmawati beruntung karena dia mampu menjangkau telinga kirinya dengan tangan kanan melingkari kepalanya, sehingga dia berhak duduk di Sekolah Gedang (Sekolah Rakyat). Usianya saat itu kira-kira enam tahun.

Fatmawati tidak lama bersekolah di Sekolah Gedang. Pada usia tujuh tahun, dia harus berpindah sekolah ke sekolah berbahasa Belanda (HIS) di Jalan Peramuan. Kepindahannya ini erat kaitannya dengan kepindahan tempat tinggal orangtuanya ke Jalan Peramuan. Selagi bersekolah di Jalan Peramuan, Fatmawati juga mengambil kelas sore di HIS Muhammadiyah yang terletak di Jalan Kebon Ros. Kelebihan HIS Muhammadiyah adalah memberikan pelajaran agama kepada murid-muridnya, selain juga menerapkan kurikulum yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Kediaman keluarga Fatmawati lagi-lagi pindah ke sekitar Jalan Malborough atau Jalan Malro, dekat rumah di mana dia dilahirkan. Dikarenakan Fatmawati masih bersekolah di

Page 4: Fatmawati Soekarno

HIS yang ada di Jalan Peramuan, maka setiap pagi Fatmawati harus menumpang mobil jeep tertutup pengangkut balok es. Jarak dari rumahnya di Jalan Malro dengan Jalan Peramuan kira-kira sejauh 6 KM. Berbeda dengan saat berangkat, Fatmawati harus berpeluh dan menahan hawa panas setiap hari saat pulang sekolah karena tidak ada lagi mobil yang dapat ditumpanginya. Sedang sore harinya, dia harus sudah siap lagi untuk melahap pelajaran di HIS Muhammadiyah yang ada di Jalan Kebon Ros.

Ketika Fatmawati duduk di kelas tiga, ayahanda Fatmawati memutuskan agar dia cukup bersekolah di HIS Muhammadiyah saja. Pada masa ini, keluarga Fatmawati menghadapi masalah ekonomi yang semakin sulit. Dalam keadaan ekonomi keluarga yang tidak menentu, Fatmawati kecil terpaksa ikut membanting tulang untuk membantu kesulitan ekonomi keluarganya.

Pernah suatu kali ketika ayahandanya tidak pulang ke rumah berbulan-bulan lantaran sebab yang tidak diketahuinya, dia mengusulkan kepada ibundanya agar dibuatkan penganan kacang bawang goreng agar dapat dijualnya di tempat sirkus. Ibundanya pun menuruti keinginannya itu. Setelah dibungkus kertas minyak, penganan itu pun siap dijajakan. Akan tetapi, selesai satu persoalan menyusul persoalan lain. Fatmawati tidak mempunyai uang satu sen pun untuk memasuki arena sirkus agar dapat menjajakan dagangan kacang bawang gorengnya. Tidak kehilangan akal, Fatmawati masuk ke arena sirkus lewat bawah tenda, dan setelah di dalam berpura-pura layaknya penonton sirkus. Sejurus kemudian, selagi pemain sirkus berbenah untuk memulai pertunjukan, Fatmawati dengan sigap memanfaatkan kesempatan itu untuk menjajakan penganan kacang bawang goreng yang dibawanya dalam kaleng.

Ketika Fatmawati duduk di kelas 4, ayahandanya memboyong dia dan ibundanya ke Palembang. Fatmawati pun melanjutkan sekolah di sana sampai dia duduk di kelas 5 HIS Muhammadiyah yang ada di Bukit Kecil, Palembang. Namun, keluarga Fatmawati tidak bertahan lama di kota asal Pempek itu. Setelah usaha ayahandanya tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, keluarga Fatmawati pindah lagi ke Curup, daerah perbukitan hijau yang terletak di antara Bengkulu dan Lubuk Linggau (Sumatra Selatan).

Saat tinggal di Curup, Fatmawati praktis sudah putus sekolah. Kodisi keuangan keluarganya sudah tidak memungkinkan baginya untuk sekolah. Dalam usia yang sudah genap 15 tahun, Fatmawati tidak mau membebani ayahandanya lebih berat lagi. Namun, naluri belajar Fatmawati tidak pernah putus. Di sela-sela kesibukan membantu ibundanya menangani urusan rumah tangga, Fatmawati memperkaya wawasan dengan membaca buku-buku, belajar menyulam, dan bertadarus Al-Qur’an. Bahkan, Fatmawati semakin aktif dalam kegiatan kemasyarakatan di Nasyiatul Aisyiyyah.

Pada tahun 1937, Jakarta gempar. Hal itu bukan lantaran terjadi bencana alam, tetapi tersiar kabar bahwa Ir. Sukarno, buangan politik pemerintah kolonial Belanda paling terkenal terserang malaria. Dalam sidang Dewan Rakyat (Volksraad), M.H. Thamrin berteriak lantang agar pemerintah menyelamatkan Bung Karno. Tidak menunggu lama, Bung Karno pun menempati tempat buangan barunya, di Bengkulu.

Page 5: Fatmawati Soekarno

Cinta Dua Generasi

Hassan Din, ayahanda Fatmawati, mendengar kabar pembuangan itu. Kemudian dia mengajak seluruh keluarganya untuk menemui Bung Karno, tokoh pergerakan nasional yang sudah terkenal sampai di pelosok Nusantara. Saat menjumpai Bung Karno Fatmawati mengenakan baju kurung berwarna merah hati dengan penutup kepala voile kuning dibordir.

Kesan pertama Fatmawati terhadap Bung Karno tidak istimewa. Kecuali bahwa dia menganggapnya sebagai seorang bapak yang tidak sombong, punya sinar mata berseri-seri, berbadan tegap, serta ketawanya lepas. Fatmawati tak lupa menangkap kesan terhadap Inggit Garnasih, istri Bung Karno yang selalu mendampinginya sejak masa pembuangan di Pulau Bunga, yang dinilainya cantik meski terlihat sudah lebih berumur dibandingkan Bung Karno. Fatmawati juga diperkenalkan dengan Ratna Juami.

Dalam perbincangan, Fatmawati sempat bercerita kehidupannya di Curup, dan sempat mengatakan bahwa dia tidak lagi melanjutkan sekolah. Mendengar hal itu, Bung Karno menawarinya untuk bersekolah di RK Vaakschool, sekolah Katolik yang ada di Bengkulu. Bung Karno berjanji akan mengurus segala sesuatunya.

Akhirnya, Fatmawati pun dapat melanjutkan sekolah di RK Vakschool, meski sempat kurang persyaratan karena dia belum menyelesaikan sekolah di tingkat HIS terlebih dahulu. Bahkan, Bung Karno menampung Fatmawati untuk tinggal sementara di rumahnya, meski hanya sebulan. Mengapa Fatmawati sangat singkat ditampung Bung Karno di rumahnya tidak lain karena kecemburuan Inggit kepada Fatmawati.

Pada suatu malam, semua anak asuh Bung Karno, termasuk Fatmawati mendengarkan radio di kamar belakang. Bung Karno dan Inggit ikut menemani. Ketika Fatmawati mengambil duduk di tempat kosong di atas dipan, tepat di samping Bung Karno, Inggit kontan cemburu.

“Aku merasakan ada percintaan sedang menjala dirumah ini. Jangan coba-coba menyembunyikan. Seseorang tidak bisa membohong dengan sorotan matanya yang menyinar, kalau ada orang lain mendekat,” begitu kata Inggit kepada Bung Karno. Bung Karno menepis kecurigaan Inggit itu. Baginya, Fatmawati diperlakukannya sama saja, tak ubahnya seperti anaknya sendiri. Namun, Inggit tidak puas dengan jawaban itu. Inggit menukas bahwa menurut adat, perempuan biasanya lebih rapat ke pihak ibu daripada kepada ayahnya. Kecemburuan Inggit ini terus-menerus terjadi.

Suatu kali terjadi keributan kecil antara Fatmawati dengan Ratna Juami. Ratna Juami bercerita kepada ayahnya bahwa Fatmawati berkelakuan buruk di sekolah, sehingga dijauhi teman-teman. Inggit Garnasih terbiasa membela pihak yang menjadi lawan Fatmawati. Sebaliknya, Bung Karno biasanya membela posisi Fatmawati. Namun, karena keributan ini melibatkan Ratna Juami anak angkatnya, Bung Karno mau tak mau membela Ratna Juami.

Page 6: Fatmawati Soekarno

Bung Karno pun memanggil Hassan Din, ayah Fatmawati, menghardiknya dan mengatakan kepadanya, “Anak Bung Hassan Din tingkah lakunya kurang terpuji.”

Mendengar kabar tersebut, Hassan Din, ayahanda Fatmawati menanyakan hal itu kepada Bunda Caroline, Kepala Sekolah RK Vakschool. Dia menanyakan hal yang sama pula kepada guru Fatmawati, Zr. Vincenza. Didapat keterangan bahwa tingkah laku Fatmawati sangat baik dan sopan. Tuduhan-tudahan yang dialamatkan kepada Fatmawati ternyata tidak berdasar.

Meskipun begitu, Hassan Din sempat ingin memberhentikan Fatmawati dari RK Vakschool, tetapi bukan karena perselisihan dengan keluarga Bung Karno, melainkan karena dia tidak mampu lagi membiayai iuran sekolah Fatmawati. Padahal Fatmawati hanya membayar setengah dari total iuran senilai 10 gulden karena dianggap anak angkat Bung Karno.

Sejak adanya perselisihan dengan keluarga Bung Karno, Fatmawati tak mau lagi tinggal di rumah Bung Karno. Dia memilih untuk tinggal di rumah neneknya. Rumah neneknya masih berdekatan dengan rumah keluarga Bung Karno, sama-sama di daerah Anggut Atas. Akan tetapi, demi melihat perlakuan Bung Karno kepada ayahandanya, benih kebencian mulai merayapi hati Fatmawati. Keluarga Hassan Din dan keluarga Bung Karno pun menjadi kurang erat.

Namun, kebekuan hubungan kedua keluarga itu mencair karena seorang bibi Fatmawati dari pihak ayahandanya dinikahi oleh saudara sepupu Bung Karno. Dalam pesta pernikahan itulah, keluarga Hassan Din dan keluarga Bung Karno akrab lagi. Ketika itu Fatmawati sudah berada di akhir masa sekolah di RK Vakschool. Tiga bulan ke depan, dia akan menamatkan sekolah di sana. Usianya sudah 17 tahun.

Kira-kira dua sampai tiga minggu setelah Fatmawati lulus dari RK Vakschool, seorang pamannya mengajaknya menginap di rumahnya yang ada di pasar Malro. Beberapa hari kemudian Fatmawati diajak pamannya itu untuk bertamu ke rumah seorang wedana. Sepulangnya dari sana, Fatmawati baru mengerti bahwa dia akan dijodohkan dengan anak wedana yang kepincut dengannya dalam pameran di sekolah tempo hari. Hassan Din dan Siti Chadidjah, kedua orangtua Fatmawati menyarankan agar dia meminta nasihat kepada Bung Karno. Selama tinggal di Bengkulu, Bung Karno memang menjadi tempat konsultasi bagi siapa saja, baik kalangan tua maupun muda.1

1 Bahkan banyak yang datang kepadanya hanya untuk didoakan, atau agar disembuhkan penyakitnya. Bahkan ada yang menganggap Bung Karno sakti lantaran pernah dia membacakan kalimat zikir pada air yang akan diminumkan kepada seorang anak yang sakit. Beberapa hari kemudian anak tersebut sehat benar-benar kembali. Mengenai anggapan orang bahwa dirinya sakti, Bung Karno tidak ambil pusing. Baginya, bermanfaat bagi orang lain sudah senang. Bung Karno sendiri bukan orang yang percaya dengan hal-hal berbau magis atau klenik. Soal reputasi Bung Karno yang “dituakan” oleh warga Bengkulu dan sekitarnya sebenarnya tidak datang tiba-tiba. Perihal Bung Karno merupakan tokoh pergerakan nasional yang terkenal, tidak dimungkiri lagi. Tetapi, lantaran itu pula banyak orang menjauhinya karena takut dimata-matai intel polisi Belanda. Hal ini pula yang membuat Bung Karno merasa kesepian pada bulan-bulan awal pembuangannya di Bengkulu. Hal lain yang membuat Bung Karno tidak langsung membaur dengan masyarakat di Bengkulu adalah karena pandangan keagamaannya yang terbilang kelewat maju.

Page 7: Fatmawati Soekarno

Selagi Fatmawati mencari-cari kesempatan untuk menemui Bung Karno, pada suatu pagi tanpa disangka-sangka Bung Karno telah lebih dahulu berangkat ke rumah Fatmawati dan menemuinya. Bung Karno rupanya telah mendengar kabar bahwa ada yang hendak meminang Fatmawati. Kabar itu didapatnya dari Oei Tjeng Hien alias H. Abdul Karim Oei, kawan karibnya yang juga teman seperjuangan ayahanda Fatmawati, Hassan Din, di Muhammadiyah. Pagi itu, sambil membawa foto-foto hasil dokumentasi acara resepsi pernikahan sepupunya dan bibi Fatmawati, Bung Karno rupanya juga membawa gagasan lain yang hanya diketahui oleh dirinya dan sahabat karibnya, H. Abdul Karim Oei.

Sambil melihat foto-foto yang dibawa Bung Karno, Fatmawati memulai pembicaraan dengan sopan, menyapa dengan panggilan, “Pak,” kepada Bung Karno. Kemudian dia mengutarakan bahwa ada anak seorang wedana yang ingin meminanng dan meminta nasihat, apa yang harus dilakukannya. Pertanyaan Fatmawati seolah menggantung, karena Bung Karno rupanya tidak siap untuk menjawab pertanyaan itu. Cukup lama Bung Karno terdiam. Pandangannya hanya terpaku ke atas meja. Hal itu membuat Fatmawati semakin kikuk, pada satu sisi merasa penasaran ingin mengulang pertanyaan, tapi di sisi lain merasa khawatir karena dianggap salah memulai pembicaraan.

Beberapa menit kemudian, Fatmawati memberanikan diri untuk bertanya kepada Bung Karno, adakah dia sedang sakit atau tidak enak badan. Fatmawati semakin bingung ketika Bung Karno menengadahkan wajah dengan mata berkaca-kaca, lalu berkata:

“Fat, sekarang terpaksa aku mengeluarkan perasaan hatiku padamu. Dengarlah baik-baik. Begini Fat…sebenarnya aku sudah jatuh cinta padamu pertama kali aku bertemu denganmu, waktu kau ke rumahku dahulu pertama kali. Saat itu kau terlalu muda untuk menerima pernyataan cintaku. Oleh sebab itu aku tidak mau mengutarakannya. Nah, baru sekarang inilah aku menyatakan cinta padamu, Fat.”

Belum lagi Fatmawati bereaksi, Bung Karno memburunya dengan pertanyaan, “Apakah kau cinta padaku?”

“Bagaimana Fat cinta Bapak, bukankah Bapak mempunyai anak dan istri?” tanya Fatmawati dengan perasaan heran bercampur emosi.

Bung Karno memahami semua jawaban yang diinginkan Fatmawati, maka sebelum ditanya lebih banyak dia berterus terang kepada Fatmawati bahwa selama 18 tahun menikah dengan Inggit belum dikaruniai anak. Adapun Ratna Juami adalah anak angkatnya, yang aslinya adalah anak saudara perempuan Inggit. Sedang ayahanda dan ibundanya di Blitar selalu menanyainya kapan dia akan memberikan cucu.

Terlebih ketika dia menentang keras penggunaan tirai atau dinding yang memisahkan jamaah laki-laki dan perempuan dalam sebuah pengajian di masjid. Masyarakat sempat menjauhinya. Tetapi karena seringnya Bung Karno menyinggahi masjid tersebut saban waktu shalat, terjadilah pertukaran pikiran antara dia dan masyarakat. Pelan-pelan, masyarakat pun mulai menerimanya. Selengkapnya, lihat Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Biography as told to Cindy Adams).

Page 8: Fatmawati Soekarno

Fatmawati tidak lekas menjawab keinginan Bung Karno, meski sebagai perempuan, hati kecilnya mengaku tak kuasa untuk menolak cinta lelaki seperti Bung Karno. Satu-satunya penghalang bagi Fatmawati untuk menerima cinta Bung Karno ketika itu adalah prinsip hidupnya yang menentang poligami. Bung Karno sendiri tampaknya sudah mengetahui sikap Fatmawati itu, karena pada sebuah perbincangan yang terjadi di antara keduanya di pinggir pantai beberapa tahun sebelumnya, Fatmawati pernah mencecarnya mengenai keadilan dalam Islam menyangkut dibolehkan seorang suami untuk beristri lebih dari satu.

Hassan Din sempat bingung ketika Fatmawati menyampaikan bahwa Bung Karno menyatakan cinta kepadanya. Setelah berpikir lama, ayahanda Fatmawati coba merundingkannya kepada para tetua keluarga, juga kepada kawan-kawannya yang dianggap tokoh di Bengkulu, yang juga menjadi kawan Bung Karno. Kebanyakan keluarga besar dari pihak ayahanda Fatmawati, juga kawan-kawannya tidak menghendaki pernikahan itu, semata-mata untuk menghindarinya citra buruk yang akan didapat Bung Karno sebagai orang yang dianggap pemimpin pergerakan bangsa. Sebab bagaimana pun juga, Inggit adalah orang yang turut membesarkan Bung Karno, dan menemaninya saat dia pindah dari penjara yang satu ke penjara yang lainnya, juga setia menemani dalam pembuangan di Pulau Bunga.

Bung Karno juga tidak kalah kalut. Selain merasa yakin bahwa Fatmawati adalah jalan keluar terakhir untuknya memperoleh keturunan, dia tidak tega untuk menceraikan Inggit. Sikap Inggit sendiri sudah jelas kepada Fatmawati, sampai-sampai Bung Karno bersedia untuk memendam cintanya kepada Fatmawati asal dicarikan perempuan lain yang dapat memberinya keturunan. Akan tetapi, sikap Inggit serupa Fatmawati, tegas bulat tak ingin dimadu.

“Aku sangat bersyukur mengenai kehidupan kita berdua. Selama ini kau jadi tulang-punggungku dan mendjadi tangan kananku selama separuh dari umurku. Tapi bagaimanapun juga, aku inginmerasakan kegembiraan mempunyai anak. Terutama aku berdoa, di satu hari untuk memperoleh anak laki-laki,” kata Bung Karno di suatu malam kepada Inggit.

“Dan aku tidak bisa beranak, itukah yang dimaksud?” kecam Inggit atas pernyataan Bung Karno. “Ya,” jawab Bung Karno singkat.

“Aku tidak bisa menerima istri kedua. Aku minta cerai,” balas Inggit.

Bung Karno juga merundingkan masalahnya kepada kawan-kawannya yang rata-rata tokoh bangsa terkemuka ketika itu. Ada KH. Mas Mansyur, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, juga Mr. Sartono. Namun, belum lagi jelas semua persoalan, tentara Jepang keburu mendarat di Sumatra. Hari itu 12 Februari 1942.

Sejoli Aktivis Muhammadiyah

Page 9: Fatmawati Soekarno

Setahun sebelum Fatmawati dilahirkan, Hassan Din mempersunting Siti Chadidjah sebagai istri. Sebagaimana adat yang masih berlaku saat itu, pernikahan keduanya ditempuh dengan cara perjodohan. Setelah masing-masing keluarga besar sepakat dengan tanggal pernikahan yang ditetapkan, maka dilangsungkanlah acara sakral tersebut.

Saat itu, Hassan Din sudah cukup punya modal untuk menjadi kepala keluarga. Ia bekerja untuk sebuah perusahaan besar milik Belanda yang buka cabang di Bengkulu. Perusahaan milik Belanda itu bernama Borsumy, kependekan dari Borneo-Sumatera Maatschappij. Di Borsumy, Hassan Din menjabat sebagai klerk dengan gaji yang cukup besar. Jabatan klerk boleh dikata merupakan jabatan paling tinggi yang dapat diduduki oleh orang pribumi. Pun begitu masih jarang orang pribumi yang mampu menjabatnya mengingat jenjang pekerjaan yang mempunyai wewenang tertentu umumnya masih dijabat orang-orang Belanda.

Selain bekerja di Borsumy, Hassan Din yang cukup terpelajar ikut larut dalam arus besar zaman pergerakan nasional yang di akhir tahun 1920-an telah tersebar sampai ke pelosok-pelosok tanah air. Di Bengkulu, Hassan Din memelopori pendirian Muhammadiyah dan kemudian menjadi salah satu pimpinannya. Mula-mula Hassan Din menjabat sebagai sekretaris pengurus lokal dan seterusnya menjadi Konsul Muhammadiyah.

Pengangkatan Konsul Muhammadiyah di Bengkulu tidak dapat dipisahkan dari hasil Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada 14-26 Maret 1930, yang memutuskan agar di setiap karesidenan ada wakil Hoofd Bestuur (Pusat) Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah. Persyarikatan Muhammadiyah sendiri telah berdiri sejak 8 Dzulhijah 1330 H, bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912 di Yogyakarta. Pendirinya adalah KH. Achmad Dachlan. Sebagai organisasi nonpolitik, Muhammadiyah lebih menitikberatkan gerakan pada usaha dakwah dengan ide pemurnian ajaran Islam untuk membersihkan anasir takhyul, bid’ah, dan khurafat yang masih dianut oleh kebanyakan kaum Muslim di tanah air.

Selain melancarkan dakwah tradisional dengan membuka pengajian-pengajian, persyarikatan Muhammadiyah juga aktif melancarkan kegiatan-kegiatan pendidikan, bakti sosial, pemberdayaan perempuan, serta mengadakan program-program kebudayaan. Dua tahun setelah didirikan, persyarikatan Muhammadiyah telah tersebar di beberapa daerah di luar Yogyakarta. Kenyataan ini sempat mengkhawatiran KH. Ahmad Dahlan karena Surat Ketetapan Pemerintah (Government Besluit) No. 81 tanggal 22 Agustus 1914 hanya mengizinkan gerakan ini beroperasi di Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan bersiasat dengan meminta kepada cabang-cabang Muhammadiyah yang telah berdiri di luar Yogyakarta memakai nama lain. Sehingga tersebutlah pengajian Nurul Iman di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut, Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) di Solo.

Garis perjuangan Muhammadiyah yang memilih kooperatif dengan pemerintah kolonial Belanda untuk membangun kesadaran masyarakat lewat pengajaran agama mendapat respons berbeda-beda di tengah-tengah masyarakat, kaum nasionalis, maupun pemerintah

Page 10: Fatmawati Soekarno

kolonial Belanda. Kelompok masyarakat yang menerima kehadiran persyarikatan Muhammadiyah rata-rata adalah mereka yang dikenal sebagai Kaum Muda. Kelompok ini adalah orang-orang yang menginginkan pembaruan dalam ajaran Islam dan praktiknya. Setelah Muhammadiyah berdiri, banyak dari kelompok masyarakat ini yang menjadi penggerak Muhammadiyah di berbagai daerah di luar pulau Jawa.

Berbeda dengan Kaum Muda¸ para aktivis kaum nasionalis, termasuk para pemimpin Sarekat Islam (SI) di tahun 1920-an cenderung menilai gerakan Muhammadiyah terlalu dekat dengan pemerintah kolonial Belanda. Muhammadiyah yang bersifat nonpolitis mereka nilai tidak cukup membantu untuk membangun kesadaran nasional. Terlebih lagi, sekolah-sekolah Muhammadiyah mendapat subsidi pemerintah karena dianggap mengisi peran yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah kolonial dalam hal pendidikan.

Pada kenyataannya, sikap pemerintah kolonial Belanda terhadap Muhammadiyah cenderung mendua. Pada satu sisi Muhammadiyah dilegalkan, namun pada pihak lain diawasi secara ketat. Kerap kali juru dakwah Muhammadiyah diperiksa, ditandai, dan selanjutnya dilarang untuk berdakwah. Begitu pula, banyak guru-guru yang dianggap berpotensi mengobarkan antikolonialisme dilarang untuk mengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah.

Pengakuan pemerintah kolonial Belanda terhadap gerakan Muhammadiyah agaknya hanya sekadar untuk meredam meningkatnya kesadaran nasional kaum pribumi dan perlawanan di kalangan Muslim. Legalitas yang didapatkan persyarikatan Muhammadiyah ternyata tidak menjamin organisasi ini bergerak bebas dengan sebebas-bebasnya.

Ketidakbebasan itu dialami pula oleh Hassan Din saat menjalankan program-program konsul Muhammadiyah di Bengkulu. Salah satunya ketika ia menggunakan jasa Alexander Jacob Patty untuk membantu program-program Muhammadiyah. A.J. Patty adalah seorang buangan politik yang sejak 1925 diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke Bengkulu. Ia adalah seorang wartawan dan tokoh masyarakat Ambon yang mendirikan Sarekat Ambon di Semarang pada 9 Mei 1920. Tujuan pendirian Sarekat Ambon adalah untuk memajukan dan mengangkat derajat keseluruhan masyarakat Ambon, termasuk kaum minoritas Muslim di dalamnya. Di Bengkulu, A.J. Patty kurang lebih hanya tinggal selama 2 tahun sebelum akhirnya pindah ke Palembang.2

2 Selama di Bengkulu, A.J. Patty berusaha mengumpulkan uang untuk mengungsi ke Belanda. Pada 1926, ia bekerja sebagai pembantu umum. Pada 1927, ia pindah ke Palembang dan berhasil menjadi seorang klerk. Di Palembang inilah ia kembali berpolitik dengan bergabung ke Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Ir. Soekarno, sehingga ia kembali dibuang ke Flores. Di Flores, lagi-lagi ia menghidupkan PNI, sehingga pemerintah kolonial Belanda membuangnya ke Boven Digoel, Papua Barat. Saat Jepang mendarat di Indonesia pada 1941, A.J. Patty bersama para tahanan politik lainnya diungsikan ke Australia dan melakukan kegiatan politik di sana sebagai eksil. Pada 1946, A.J. Patty kembali ke Indonesia dan menetap di Yogyakarta. Pada kurun ini ia dianggap sebagai tokoh senior kaum republik asal Ambon, sehingga terkemuadian bersama tokoh lain mendirikan dan memimpin Partai Politik Maluku (PPM). Lihat Chris Lundry, Separatism and State Cohesion in Eastern Indonesia (Disertasi untuk meraih gelar doktor di Arizona State University, 2009), h. 129-131.

Page 11: Fatmawati Soekarno

Setelah pemerintah kolonial Belanda mengetahui Hassan Din menggunakan jasa A.J. Patty untuk membantu kerja-kerja Muhammadiyah di Bengkulu, ia pun dipanggil oleh manajemen Borsumy. Dikatakan kepadanya bahwa pemerintah tidak menyukai kegiatan-kegiatan yang dilakukannya di Muhammadiyah. Hassan Din pun ditawari pilihan sulit, apakah ingin terus bekerja untuk Borsumy atau keluar dari persyarikatan Muhammadiyah. Tanpa pikir panjang, Hassan Din memutuskan keluar dari Borsumy yang menggajinya cukup besar untuk terus memperjuangkan cita-cita Muhammadiyah.

Keputusan itu rupanya didukung penuh oleh sang istri. Siti Chadidjah menguatkan hati Hassan Din. “Memang lebih baik miskin harta daripada miskin jiwa,” katanya.“Alhamdulillah,” kata Hassan Din, menanggapi istrinya. “Tetapi bagaimana dengan Tema yang masih kecil itu? Apa kita tidak kasihan kepada dia karena terbawa ikut menderita gara-gara sikap ayahnya?” sambung Hassan Din.“Tema urusan ibunya. Urusan ayah tema mencari rezeki yang halal,” jawab Siti Chadidjah. Tema yang disebut-sebut dalam obrolan itu adalah panggilan kesayangan bagi Fatmawati kecil.

Ketabahan yang ditunjukkan Siti Chadidjah tentu saja membuat Hassan Din merasa lega. Setidak-tidaknya ia masih berharap mendapatkan pekerjaan lain tanpa harus meninggalkan kegiatan-kegiatan di Muhammadiyah. Siti Chadidjah sangat mafhum dengan situasi yang dialami oleh suaminya lantaran ia sendiri juga aktif di Nasyiatul Aisyiyah, sayap gerakan perempuan yang dimiliki Muhammadiyah.3

Hassan Din dan Siti Chadidjah bahu-membahu turut membangun Muhammadiyah di Bengkulu. Selagi Hassan Din mengerjakan program-program Muhammadiyah, Siti Chadidjah menggarap program Konsul Nasyiatul Aisyiyah. Salah satu program yang dilancarkan Siti Chadidjah adalah pengentasan buta huruf di kalangan ibu-ibu separuh baya.

“Dengan mengenal tulisan, maka apa-apa yang belum dimengerti dapat dipelajari. Umur yang sudah lanjut tidak merupakan halangan, asal ada kemauan dan semangat untuk maju,” demikian kata Siti Chadidjah suatu kali.

Pada 1930-an, Hassan Din dan Siti Chadidjah sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah. Saban tahun keduanya mengikuti berbagai konferensi yang digelar di luar kota Bengkulu, entah itu di Kepahyang, Curup, ataupun di Manna. Pada sekitar tahun 1936, pernah juga Hassan Din dan Siti Chadidjah menghadiri kongres besar

3 Cikal bakal Nasyiatul Aisyiyah adalah dan Siswa Praja Wanita (SPW), sebuah forum kgiatan keputrian di Muhammadiyah yang berdiri pada 1919. Keberadaan SPW melengkapi perkumpulan yang lebih dahulu terbentuk, yakni Sapa Tresna (Siapa yang Cinta), sebuah perkumpulan pengajian dan wadah konsultasi kaum ibu di kalangan Muhammadiyah. Sapa Tresna didirikan oleh Siti Walidah, istri KH. Ahmad Dahlan pada 1914. Pada 1931, saat dilangsungkan Kongres Muhammadiyah yang ke-20 di Yogyakarta, SPW diremikan menjadi Nasyiatul Aisyiyah. Selengkapnya, lihat Siti Syamsiatun, “The Origin of Nasyiatul Aisyiyah: Organising for Articulating Religious-based Womanhood in Pre-Independent Indonesia” (Makalah yang dipresentsikan dalam rangka Konferensi Dua Tahunan ke-15 yang diadakan Asosiasi Kajian-kajian Asia Australia, yang diselenggarakan di Canberra, 29 Juni-2 Juli 2004).

Page 12: Fatmawati Soekarno

Muhammadiyah di Palembang. Saat itu Hassan Din memang telah memboyong keluarganya ke Palembang. Selain di Palembang, Hassan Din juga sesekali ke Sekayu untuk keperluan organisasi.

Ketika Hassan Din tinggal di Curup, ia juga terus bergiat di Muhammadiyah. Sedang Siti Chadidjah aktif di Nasyiatul Aisyiyah. Begitu pula dengan Fatmawati, juga lebih banyak aktif di Nasyiatul Aisyiyah dikarenakan ia telah putus sekolah karena ketiadaan biaya. Kiprah Hassan Din di Muhammadiyah terus berlanjut ketika menetap kembali di Bengkulu pada tahun 1938. Kepulangan Hassan Din ke Bengkulu ini tidak terlepas dari keinginannya untuk mengenal Ir. Sukarno alias Bung Karno, tokoh pergerakan nasional yang dipindahkan pembuangannya dari Endeh, Pulau Bunga (Flores) ke Bengkulu.

Pemindahan Bung Karno dari Endeh ke Bengkulu tidak terlepas dari peran Mohammad Husni Thamrin, salah seorang tokoh pribumi yang duduk di Volksraad (Dewan Rakyat) pemerintah kolonial Belanda di Batavia (Jakarta). Seperti diceritakan oleh Bung Karno dalam biografinya,4 pada akhir tahun 1938, kabar dirinya yang tengah berjuang antara hidup dan mati dalam keadaan sakit keras karena terserang malaria telah terdengar pula di Jakarta. Di muka sidang Dewan Rakyat, M.H. Thamrin mengajukan pendapat, dia katakan, “Pemerintah harus bertanggung jawab atas keselamatan diri Sukarno. Dia harus dipindahkan ke negeri yang lebih besar dan lebih sehat, dan keadaannya hendaklah mendapat perhatian yang lebih besar.”

Ketua dewan menukas usul M.H. Thamrin, “Kita harus mencari lebih dulu tempat lain di mana rakyatnya tidak berpolitik."

Namun, dengan lantang M.H. Thamrin membalas, “Ya, ya, dan yang juga primitif dan terbelakang, sehingga ia tidak membangkitkan tantangan. Ya, saya mengetahui semua itu. Akan tetapi saya memperingatkan kepada tuan sekarang, andaikata Sukarno mati, maka Indonesia dan seluruh dunia akan menuding kepada tuan sebagai orang yang bertanggungjawab atas pembunuhan itu. Pulau Bunga adalah sarang malaria. Sukarno sakit payah. Hidup matinya sekarang terletak di tangan pemerintah Belanda. Dia harus dipindahkan, dan dengan secepat mungkin.”

Demikianlah, karena mendapati berbagai desakan baik di tanah jajahan maupun di Eropa menyangkut nasib Bung Karno, pihak Kerajaan Belanda di Den Haag memutuskan untuk memindahkan Bung Karno dari Pulau Bunga. Pemerintah kolonial Belanda memilihkan Bengkulu sebagai tempat pembuangan yang baru bagi Bung Karno. Dipilihnya Bengkulu sedikit banyak karena mempertimbangkan letak geografisnya yang terpencil, sehingga dianggap dapat menjauhkan Bung Karno dari kegiatan-kegiatan politik yang bersentuhan dengan rakyat secara langsung.

Sebelum Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu, para pemimpin Muhammadiyah sempat pula melobi pemerintah kolonial Belanda agar memindahkannya ke tempat-tempat yang sekiranya ia dapat membantu pergerakan Muhammadiyah. Tujuan para pemimpin

4 Lihat Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia: Biography as told to Cindy Adams, Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2008.

Page 13: Fatmawati Soekarno

Muhammadiyah sebenarnya menginginkan Bung Karno untuk menduduki kursi Direktur Teknik di sebuah sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta. Namun, keinginan ini rupanya tidak terlaksana.5

Bung Karno sendiri sejak bulan-bulan pertama menetap di Bengkulu, meski dalam pengawasan ketat polisi Belanda yang menyamar, sudah menjalin hubungan dengan para aktivis dan pemimpin organisasi masyarakat lokal, termasuk dengan Hassan Din yang merupakan penggerak Muhammadiyah.

Pada suatu pagi, tanpa memberitahu terlebih dahulu akan datang, Hassan Din menemui Bung Karno di rumahnya yang terletak di Anggut Atas. Dalam satu kesempatan itu, ia menawari Bung Karno agar dapat mengajar di sekolah Muhammadiyah. Alasannya sekolah itu sedang kekurangan guru.

“Disini Muhammadiyah menjelenggarakan sekolah rendah agama dan kami sedang kekurangan guru. Selama di Endeh kami tahu Bung Karno telah mengadakan hubungan rapat dengan ‘Persatuan Islam di Bandung dan kami dengar Bung Karno sepaham dengan Ahmad Hassan, guru yang cerdas itu. Apakah Bung bersedia pula membantu kami sebagai guru?”

“Saya menganggap permintaan ini sebagai rahmat,” jawab Bung Karno.

Mendengar jawaban itu, kemudian Hassan Din berpesan, “Tapi…ingatlah…jangan membicarakan soal politik.”

“Ah, tidak, saya hanya akan menyinggung tentang Nabi Besar Muhammad yang selalu mengajarkan kecintaan terhadap tanah air,” jawab Bung Karno sambil tersenyum menyeringai.

Selain mengajar di sekolah rendah (Hollandsch-Inlandsche School-HIS) Muhammadiyah yang berpengantar bahasa Belanda, Bung Karno juga bersedia untuk membimbing para guru Muhammadiyah. Meskipun Bung Karno pernah bersentuhan dengan Muhammadiyah sebelumnya, yaitu ketika tinggal di rumah gurunya, HOS Tjokroaminoto di Gang Paneleh, Surabaya, di mana ia sering mendengar ceramah-ceramah langsung dari KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, namun ia baru terikat secara emosional dengan Muhammadiyah ketika diasingkan di Bengkulu ini. Pada kurun ini pula, Bung Karno sempat mengorganisir seminar alim ulama antar pulau Sumatera-Jawa dan mengemukakan ide mengenai rencana memodernkan Islam.

Selain bahu-membahu dengan Bung Karno dalam menggairahkan Konsul Muhammadiyah Bengkulu, Hassan Din juga dibantu oleh Oei Tjeng Hien alias H. Abdul Karim Oei yang merupakan kawan lama Bung Karno ketika sama-sama dengan duduk dalam Persyarikatan Islam (Persis) di Bandung. Kariem Oei semula tinggal di daerah Bintuhan (Bengkulu Selatan) dan membuka usaha di sana. Ketika Bung Karno

5 Lihat Steven Drakeley, "Bung Karno and The Bintang Muhammadiyah: A Political Affair" dalam New Zealand Journal of Asian Studies 11, No. 1 (Juni 2009) University of Western Sydney.

Page 14: Fatmawati Soekarno

diasingkan ke Bengkulu, Karim Oei menuruti saran Bung Karno untuk pindah ke kota Bengkulu. Karim Oei kemudian membuka usaha meubel di Suka Merindu di mana Bung Karno menjadi arsiteknya. Untuk keperluan pemasaran, took meubel yang didirikan Karim Oei bersama Bung Karno dinamai: “Peroesahaan Meubel Soeka Merindoe dibawah pimpinan Ir. Soekarno”. Atas desakan Bung Karno pula, Karim Oei menerima jabatan sebagai Wakil Ketua Konsul Muhammadiyah Bengkulu. Bahkan Karim Oei terus menjadi pimpinan Muhammadiyah di Bengkulu sampai tahun 1952. Pada penghujung tahun 1941, perang di Pasifik pecah. Jepang yang saat itu merupakan kekuatan besar militer di Asia juga mengincar kepulauan-kepulauan nusantara. Pada tanggal 11 Januari 1942, untuk pertama kalinya tentara Jepang mendarat di Tarakan (kalimantan Timur). Kurang lebih sebulan kemudian, tentara Jepang tiba pula di Bengkulu.

Pada awal masa pendaratan Jepang di Bengkulu, tentara Belanda melakukan politik bumi hangus, terutama terkait dengan fasilitas strategis seperti penyimpanan bahan bakar. Sebelum tentara Jepang mendarat, pemerintah kolonial Belanda telah menyiapkan warga Bengkulu untuk menghadapi suasana perang, di antaranya membuat lubang-lubang tanah sebagai tempat perlindungan. Dalam suasana perang, Hassan Din dan keluarganya terlibat aktif di PKP (Panitia Penolong Korban Perang).

Pada 8 Mei 1942, pemerintah kolonial Belanda yang diwakili Jenderal Ter Poorten melakukan perundingan dengan angkatan perang Jepang yang dipimpin Letnan Jenderal Hitoshi Imamura di Kalijati, sebuah daerah yang terletak di Subang. Hasilnya, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat dan menyerahkan seluruh wilayah jajahannya di bawah kekuasaan Jepang. Semula Gubernur Jenderal Tjarda van Stachouwer yang merupakan pimpinan pemerintahan kolonial Belanda tidak menyetujui penyerahan itu, namun dia tidak dapat berbuat banyak. Penyerahan itu pun mulai berlaku efektif pada keesokan harinya, 9 Mei 1942.

Berbeda dengan pemerintah kolonial Belanda yang mengendalikan pemerintahan secara terpusat di bawah kekuasaan seorang Gubernur Jenderal, pemerintahan militer Jepang membagi Indonesia ke dalam tiga wilayah pendudukan yang berdiri sendiri-sendiri. Jawa dan Madura yang berpusat di Batavia (Jakarta) dikendalikan oleh Tentara Ke-16 Rikugun (Angkatan Darat) Jepang. Pulau Sumatra dan Semenanjung Tanah Melayu yang berpusat di Bukittinggi dikendalikan oleh Tentara Ke-25 Rikugun Jepang. Sedang daerah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang berpusat di Makassar berada di bawah kendali Armada Selatan Kedua Kaigun (Angkatan Laut) Jepang. Ketiga wilayah pemerintahan militer ini berada di bawah komando Panglima Besar Tentara Jepang untuk wilayah Asia Tenggara yang berpusat di Saigon, Vietnam.

Model pemerintahan militeristik yang dipraktikkan Jepang membawa pengaruh besar terhadap gerakan-gerakan kebangsaan, termasuk Persyarikatan Muhammadiyah. Tidak diizinkannya setiap orang untuk melakukan perjalanan antar pulau di tiga wilayah pendudukan Jepang membuat komunikasi antara pengurus pusat Muhammadiyah dan cabang-cabang maupun Konsul Muhammadiyah tidak dapat berjalan mulus. Sehingga

Page 15: Fatmawati Soekarno

praktis, pada dua tahun pertama pendudukan Jepang di Indonesia cabang-cabang maupun Konsul Muhammadiyah di berbagai daerah minim kegiatan. Untuk mengatasi hal ini, pada 1943, pimpinan pusat Muhammadiyah menggelar kongres darurat di Surabaya yang menghasilkan salah satu keputusan bahwa setiap konsul Muhammadiyah harus membina cabang-cabang di bawahnya secara independen.6 Sekalipun singkat, masa penjajahan Jepang sangat menyulitkan Muhammadiyah. Sekolah-sekolah Muhammadiyah di Bengkulu sempat tutup untuk sementara, namun diperbolehkan untuk buka lagi pada awal tahun 1943.

Pada bulan Juni 1943, Hassan Din dan keluarganya pindah ke Jakarta. Saat itu Fatmawati, putri satu-satunya telah resmi disunting Bung Karno. Selama tinggal di Jakarta, tidak terlalu banyak keterangan yang didapat mengenai kiprah Hassan Din di Muhammadiyah. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, Hassan Din diketahui turut larut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Pasang Surut Rumah Tangga Hassan Din

Ketika Hassan Din dipecat dari Borsumy, penghasilan keluarganya jadi morat-marit tidak menentu. Namun, hal itu tidak mengendurkan semangatnya untuk terus mencari rezeki tanpa harus menggadaikan idealismenya. Tekadnya untuk memperjuangkan cita-cita Muhammadiyah tidak pernah luntur.

Lantaran hal itu pula, pemerintah kolonial Belanda tidak pernah melepaskan pengawasan terhadap Hassan Din begitu saja. Polisi kolonial Belanda sering kali memanggilnya ke kantor untuk dimintai keterangan. Sering pula ia dituduh menggelar rapat-rapat atau arak-arakan, dan setelah dimintai keterangan di kantor polisi, ia pun ditahan. Tidak jarang pula penahanan itu tanpa alasan yang jelas.

Fatmawati kecil belum mengerti apa yang tengah dihadapi oleh keluarganya, namun kegetiran hidup sudah dapat dirasakannya. Fatmawati kerap merindukan kehadiran ayahnya yang sering kali jarang berada di rumah karena mengurus keperluan Muhammadiyah atau sebab lain.

Fatmawati kecil sangat senang jika Hassan Din berada di rumah dan mempunyai waktu luang. Tidak jarang Hassan Din mengajak Fatmawati untuk mengelilingi kota Bengkulu dengan sepeda. Selama berkeliling, Hassan Din menceritakan berbagai hal yang masih terdengar asing bagi Fatmawati, selain mengenalkan gedung-gedung, kantor-kantor, pelabuhan, benteng atau markas yang dibangun pemerintah kolonial Belanda. Fatmawati juga pernah diajak ke daerah Tapak Padri, sebuah bukit di mana terdapat sebuah tugu peninggalan Inggris, yang di latar belakangnya terdapat Benteng Fort Marlborough yang selesai dibangun oleh Joseph Collet, pimpinan garnisun tentara Inggris pada 1741.

6 Lihat Siti Syamsiyatun, “The Origin of Nasyiatul Aisyiyah: Organising for Articulating Religious-based Womanhood in Pre-Independent Indonesia” (Makalah yang disajikan dalam Konferensi ke-15 Asosiasi Studi-studi Asia Australia di Canberra, 29 Juni-2 Juli 2004).

Page 16: Fatmawati Soekarno

Pada saat Fatmawati dilahirkan, Bengkulu memang sudah berpindah tangan ke pihak kolonial Belanda. Bengkulu diserahterimakan oleh Inggris kepada Belanda pada tahun 1824, menyusul adanya konsesi pembagian atas tanah-tanah jajahan. Sebagai gantinya, Inggris mengambil Malaka (kini, Singapura) dari Belanda. Pemerintah kolonial Belanda sendiri baru secara serius mendirikan administrasi kolonial di Bengkulu pada tahun 1868, dan kemudian menjadikannya sebagai karesidenan yang terpisah dari Sumatera Selatan pada 1878.

Jika tidak sedang mengurus bisnis atau tidak sedang bergiat dengan hal-hal yang terkait dengan Muhammadiyah biasanya ia dapat dijumpai di tempat main biliar. Sedari muda Hassan Din memang sangat menggandrungi permainan tersebut. Suatu kali di tahun 1927, saat Fatmawati berusia empat tahun pernah terjadi peristiwa unik di rumah biliar tempat Hassan Din biasa nongkrong. Seorang penduduk Bengkulu berkebangsaan India yang dikenal ahli meramal “nasib” menawarkan kepada Hassan Din dan kawan-kawannya untuk diramal nasibnya dengan cara membacakan garis tangan masing-masing. Hassan Din hanya memperhatikan dari jauh ketika kawannya satu per satu mulai dibacakan garis tangannya. Setelah kawan-kawannya itu selesai dibacakan nasibnya, giliran Hassan Din diminta untuk melakukannya. Sebagai seorang yang taat menganut nilai-nilai agama Islam, Hassan Din sama sekali tidak mempercayai dengan yang namanya ramalan nasib. Ia pun menolak permintaan tersebut. Namun kawan-kawannya terus mendesak, sehingga Hassan Din mau juga dibacakan garis tangannya.

“…entah karena apa, berlainan dengan waktu yang lain, pada hari itu, aku bersedia dibacakan suratan tanganku, tapi tentu sekadar iseng saja…” demikian pengakuan Hassan Din kepada keluarganya, termasuk Fatmawati, bertahun-tahun kemudian.

Hassan Din menceritakan bahwa peramal itu menanyai beberapa pertanyaan terkait Fatmawati, dan akhirnya menyimpulkan bahwa kelak putri satu-satunya itu akan berjodoh dengan orang yang mempunyai pangkat tertinggi di negeri ini (Hindia Belanda). Ketika ramalan itu dibacakan Hassan Din diam saja. Akan tetapi di dalam hatinya ia menyanggah mentah-mentah ramalan tersebut demi mengetahui jabatan tertinggi yang dapat diduduki oleh orang pribumi di masa itu hanya setingkat wedana. Adapun jabatan yang di atas itu semuanya dikuasai bangsa kulit putih alias orang-orang Belanda.

“…tidak mungkin anakku menjadi istri seorang kulit putih,” kata Hassan Din membatin.

Sesudah itu, Hassan Din tidak mengingat-ingatnya lagi sampai sebuah peristiwa besar terjadi di tahun 1941.

Pada tahun 1930, keluarga Hassan Din sudah pindah dari rumah gandeng di mana Fatmawati dilahirkan. Ia menyewa rumah yang lebih besar dan bertingkat. Rumah ini masih berada di Jalan Malro. Letaknya persis di seberang rumah yang semula. Karena letaknya yang dekat dengan bibir pantai, dapur dan kamar mandi rumah ini selalu menjadi sasaran air laut jika sedang pasang. Saat malam tiba, bunyi deburan ombak laut yang tak henti-henti menerjang ke pantai semakin terdengar.

Page 17: Fatmawati Soekarno

Hassan Din benar-benar memanfaatkan tempat tinggalnya yang baru itu. Ia merintis beberapa usaha, mulai dari membuka toko, menerima jasa binatu, membuat depot es di depan rumah, mengusahakan percetakan kecil-kecilan, dan menyewakan kamar lain utnuk indekos seorang guru. Barang-barang jualan di tokonya antara lain sandal selop kodian yang didatangkan dari Yogyakarta. Namun semua usaha ini tidak cukup mendatangkan kepuasan bagi Hassan Din. Ia pun berencana merintis usaha percetakan di Palembang.

Pada masa ini pula rumah tangga Hassan Din didera prahara serius. Seorang perempuan Tionghoa diketahui kepincut dengana Hassan Din. Perempuan itu sudah bersuami. Suaminya tidak terima, sehingga sempat ingin meledakkan kepala Hassan Din dengan senapan. Siti Chadidjah sempat mengadukan hal tersebut kepada kepala kampung dan menuntut cerai dari Hassan Din. Prahara ini selesai setelah Hassan Din memboyong Siti Chadidjah dan Fatmawati pindah ke Jalan Peramuan dan menempati rumah familinya. Hassan Din kemudian terus ke Palembang untuk mengurus usaha percetakannya.

Siti Chadidjah dan Fatmawati tidak lama tinggal di Jalan Peramuan. Entah mengapa ia tidak merasa senang tinggal di sana. Ia pun memboyong kembali Fatmawati ke rumah gandeng yang lama. Setelah tinggal beberapa lama, Siti Chadidjah tak mampu lagi untuk membayar sewa rumah tersebut, sedang kabar dari Hassan Din yang merantau ke Palembang belum juga datang. Akhirnya Siti Chadidjah memutuskan untuk menumpang di emper belakang rumah gandeng yang sebelumnya disewa. Kamar yang terletak di emper belakang itu belum berdiding, sehingga ketika hujan turun airnya tempias ke dalam.

Keadaan yang dialami Siti Chadidjah dan Fatmawati itu berakhir setelah seorang bibi Fatmawati mengetahui hal tersebut. Segera saja Siti Chadidjah ditawari rumah untuk ditempati. Siti Chadidjah tidak perlu berpikir lama untuk menerima tawaran tersebut. Meskipun kedaaan rumah itu dalam kondisi kurang baik dan bocor di sana-sini jika turun hujan, namun masih dapat diperbaiki tanpa perlu menyewa tukang.

Setelah Hassan Din kembali dari Palembang, ia membuka warung beras di rumah tersebut. Hassan Din dan Siti Chadidjah bergantian menungguinya. Jika Hassan Din sedang mengurusi pembelian persediaan beras, maka Siti Chadidjah dan Fatmawati bergantian menunggui warung beras itu.

Seiring bertambahnya usia Fatmawati, beban keluarga Hassan Din semakin terbantu. Ketika Fatmawati berusia 12 tahun, ia sudah mampu menjaga warung beras sendirian, sehingga keluarga Hassan Din tidak perlu lagi menyewa pelayan upahan di warung beras mereka. Hal ini cukup membantu pengeluaran sehari-hari keluarga Hassan Din. Sekalipun begitu, Hassan Din tidak pernah berhenti mencari peluang bisnis atau usaha baru. Maka sekali lagi ia pun pergi ke Palembang. Selama Hassan Din berada di Palembang, Siti Chadidjah dan Fatmawati mengurus warung beras di Bengkulu.

Setelah beberapa lama waktu berselang, Hassan Din meminta Siti Chadidjah dan Fatmawati menyusul ke Palembang. Saat itu usia Fatmawati hampir 13 tahun. Di

Page 18: Fatmawati Soekarno

Palembang, Hassan Din dan keluarganya tinggal di rumah kakaknya dan membuka usaha warung. Warung Hassan Din menual barang-barang keperluan dapur seperti minyak tanah, minyak kelapa, bawang, garam, kayu bakar, kecap dan sebagainya.

Setelah tinggal di Palembang kurang lebih selama dua tahun, Hassan Din kembali mencari tempat peruntungan baru. Kali ini kota yang dipilihnya adalah Curup. Curup adalah kota sejuk yang berada di daerah perbukitan yang terletak di antara Bengkulu dan Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Di kota ini, Hassan Din menyewa sebuah rumah gandeng. Kegiatan sehari-harinya adalah menjual sayur-mayur ke pasar setiap pagi.

Suatu hari di tahun 1938, Hassan Din mendengar kabar ada seorang tokoh besar pergerakan nasional dipindahkan dari pengasingannya di Endeh, Pulau Bunga (Flores) ke Bengkulu. Tokoh itu tiada lain adalah Ir. Sukarno yang akrab disapa Bung Karno. Hassan Din sangat menggebu-gebu ketika menyampaikan kabar tersebut kepada keluarganya. Tidak lama-lama menunggu, Hassan Din segera memboyong keluarganya kembali ke Bengkulu untuk menemui tokoh besar itu.

Keputusan Hassan Din tersebut kelak membawa perubahan besar dalam keluarga Hassan Din karena Bung Karno kemudian jatuh hati pada Fatmawati. Bung Karno resmi memperistri Fatmawati pada 1 Juni 1943 secara wakil. Setelah itu Hassan Din bersama istrinya Siti Chadidjah bertolak ke Jakarta untuk menemani Fatmawati menyusul suaminya. Selama di Jakarta, Hassan Din dan istrinya tinggal di rumah saudaranya yang terletak di Jalan Kesehatan. Sedang fatmawati tinggal rumah Bung Karno di Jalan Penganggsaan Timur No. 56.

Pada masa revolusi fisik antara tahun 1945-49, Hassan Din sempat menjadi seorang pelarian karena dicari-cari Belanda yang berusaha menguasai kembali Indonesia dengan membonceng pasukan sekutu. Dalam kejaran tentara Belanda yang melakukan aksi polisional, Hassan Din bersembunyi di Kudus, di rumah Liem Sioe Liong, seorang Tionghoa totok yang kelak di zaman Orde Baru dikenal bernama Sudono Salim dan menjadi konglomerat paling terkemuka.

Liem Sioe Liong sebenarnya tidak mengenal Hassan Din. Ia terpilih untuk mengamankan Hassan Din karena dikenal dapat dipercaya dan kalem dalam pembawaan diri. Bahkan selama berbulan-bulan Hassan Din tinggal di rumahnya, Liem tidak mengetahui siapa Hassan Din sebenarnya. Baru belakangan kemudian, Liem mengetahui bahwa Hassan Din adalah salah mertua dari Presiden Sukarno.7

Seterusnya hubungan Hassan Din dengan Liem terjalin dalam kepentingan bisnis. Lewat perantaraan Hassan Din, Liem dapat memasok semua kebutuhan tentara seperti obat-obatan, makanan, dan pakaian, khususnya baghi Divisi Diponegoro di Yogyakarta. Perkenalan dengan tentara inilah yang membuat bisnis Liem kemudian maju pesat. Hubungan ini bisnis ini terus terjalin di tahun 1950-an, di mana Liem mengajak Hassan

7 Lihat Marleen Dieleman, The Rhythm of Strategy: A Corporate Biography of the Salim Group of Indonesia (Monograf), (Armsterdam UNiversity Press, 2007).

Page 19: Fatmawati Soekarno

Din untuk membentuk sebuah grup bisnis. Pada masa Orde Baru, Hassan Din dan kawan lamanya, H. A. Karim Oei juga tercatat sebagai pendiri Bank Central Asia (BCA).

Hassan Din wafat di masa Orde Baru, tepatnya pada 20 Juni 1979. Sedang Siti Chadidjah wafat lima tahun sebelumnya pada 23 Mei 1975. Liem Sioe Liong turut pula hadir melawat di rumah duka saat Hassan Din wafat. Fatmawati menguburkan ayahandanya itu di Pemakaman Karet secara berdampingan dengan ibundanya, meskipun keduanya diketahui sempat bercerai beberapa puluh tahun sebelumnya.

“Semasa masih hidup, Ibu tidak berhasil mempersatukan kedua orangtua karena jalan hidup setiap orang sudah digariskan Tuhan. Tetapi Ibu lega sekali karena berhasil menyandingkan makam kedua orangtua Ibu yang amat ibu kasihi. Bila saat dipanggil Tuhan telah tiba, Ibu pun ingin dimakamkan dekat makam orangtua Ibu,” demikian kenang Fatmawati ketika itu.

Pada tanggal 14 Mei 1980, dua tahun selang pemakaman Hassan Din, sepulang beribadah umrah dari Tanah Suci Mekkah, Fatmawati kena serangan jantung saat transit di Kuala Lumpur hendak kembali ke tanah air. Indonesia pun kehilangan salah satu putri terbaiknya itu. Sesuai dengan wasiat yang pernah disampaikannya, Fatmawati dikuburkan persis di makam kedua orangtuanya di pemakaman Karet.