Upload
meity-redlovers
View
914
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
Konsep-konsep Dasar Sastra dan Studi Sastra
1.1 Kaidah sastra / daya tarik sastra
Sebagaimana dikatakan Herman J. Waluyo, (1994: 56-58 ) bahwa kaidah
sastra atau daya tarik sastra terdapat pada unsur-unsur karya sastra
tersebut. Pada karya cerita fiksi, daya tariknya terletak pada unsur ceritanya,
yakni cerita atau kisah dari tokoh-tokoh yang diceritakan sepanjang cerita
yang dimaksud. Selain itu, faktor bahasa juga memegang peranan penting
dalam menciptakan daya pikat, kemudian gayanya dan hal-hal yang khas
yang dapat menyebabkan karya itu memikat pembaca. Khusus pada cerita
fiksi, ada empat hal lagi yang membantu menciptakan daya tarik suatu cerita
rekaan, yaitu : 1) kreativitas, 2) tegangan (suspense), 3) konflik, dan 4) jarak
estetika. Uraian keempatnya sebagaimana dikutip dari Waluyo ( 1994:58-60 )
berikut ini.
1) Kreativitas
Tanpa kreativitas, karya sastra yang diciptakan pengarang tidak mungkin
menempati perhatian pembaca. Kreativitas di¬tandai dengan adanya
penemuan baru dalam proses penceritaan. Pengarang-pengarang yang lazim
disebut "avantgarde" atau pelo¬por, biasanya menunjukkan daya kreativitas
yang menonjol yang membedakan karya rekaannya dari karya yang
mendahului.
Dalam sejarah sastra Indonesia, kita mengenal para pemba¬haru sastra
Indonesia yang menunjukkan, daya kreativitas mereka, seperti: March Rush
(dengan Siti Nurbaya), Abdul Muis (dengan Salah Asuhan), Sutan Takdir
Alisyahbana (dengan Layar Terkembang), Armijn Pane (dengan Belenggu),
Achdiat Kartamiharja (dengan Atheis), Mochtar Lubis (dengan Jalan Tak Ada
Ujung), Iwan Simatupang (dengan karya-karyanya yang bercorak
eksistensialistis), Putu Widjaya (dengan Gress), Danarto (dengan cerita-cerita
mistiknya), dan sebagainya.
Penemuan-penemuan hal yang baru itu mungkin melalui peniruan terhadap
karya yang sudah ada dengan jalan memper¬baharui, namun mungkin juga
melalui pencarian secara modern harus banyak bersusah payah untuk
menemu¬kan sesuatu yang baru, untuk tidak hanya mengulang-ulang apa
yang sudah diucapkan/diungkapkan oleh pengarang lain.
2)Tegangan ( Suspense)
Di depan telah dibicarakan tentang tegangan atau suspense. Tidak mungkin
ada daya tarik tanpa menciptakan tegangan dalam sebuah cerita. Jalinan
cerita yang menimbulkan rasa ingin tahu yang besar dari pembaca adalah
merupakan tegangan cerita itu. Tegangan bermula dari ketidakpastian cerita
yang berlanjut, yang mendebarkan bagi pembaca /pendengar cerita.
Tegangan meno¬pang keingintahuan pembaca akan kelanjutan cerita.
Tegangan diakibatkan oleh kemahiran pencerita di dalam merangkai kisah
seperti yang sudah dikemukakan di depan.
Tanpa tegangan, cerita tidak memikat. penulis/pencerita yang mahir akan
memelihara tegangan itu, sehingga mampu mempermainkan hasrat ingin
tahu pembaca. Bahkan kadang¬kadang segenap pikiran dan perasaan
pembaca terkonsentrasikan ke dalam cerita itu, karena kuatnya tegangan
yang dirangkai oleh sang penulis. Dalam menjawab hasrat ingin tahu
pembaca/ pendengar, penulis/pencerita memberikan jawaban-jawaban yang
mengejutkan (penuh surprise). Tinggi rendahnya kadar kejutan itu
bergantung dari kecakapan dan kreativitas pengarang. Penga¬rang-
pengarang cerita rekaan besar seperti Agata Christie, Serlock Holmes,
Pramudya Ananta Toer, dan sebagainya, mampu mencip-takan jawaban-
jawaban cerita yang penuh kejutan sehingga cerita¬nya memiliki suspense
yang memikat.
Cerita-cerita action biasanya dengan suspense yang keras. Cerita semacam
itu berusaha mengikat perhatian pembaca terus-menerus.
3)Konflik
Membicarakan daya tarik cerita rekaan harus menghu¬bungkannya dengan
konflik yang dibangun. Jika konflik itu tidak wajar dan tidak kuat, maka jalan
ceritanya akan datar dan tidak menimbulkan daya tarik. Konflik yang wajar
artinya konflik yang manusiawi, yang mungkin terjadi dalam kehidupan ini
dan antara kedua orang yang mengalami konflik itu mempunyai posisi yang
kurang lebih seimbang. Jika posisinya sudah nampak tidak seimbang, maka
konflik menjadi tidak wajar karena pem¬baca segera akan menebak
kelanjutan jalan ceritanya.
Konflik itu juga harus kuat. Dalam kisah kehidupan se¬hari-hari, konflik yang
kuat biasanya berkaitan dengan problem manusia yang penting dan
melibatkan berbagai aspek kehidupan. Konflik itu bersifat multidimensional
yang tidak mudah menye¬lesaikannya. Roman Salah Asuhan dan Belenggu
memiliki kon¬flik yang cukup kuat karena problem yang menyebabkan
konflik itu adalah problem hakiki dalam kehidupan manusia. Konflik itu, juga
sukar menyelesaikannya karena tidak mungkin adanya satu jawaban saja.
Hal ini berbeda dengan konflik yang dibangun me¬lalui cerita wayang.
Karena tokohnya hitam putih, maka konflik dalam cerita wayang segera
dapat ditebak jawabannya.
Dalam novel-novel mutakhir, jalinan konflik itu cukup bervariasi. Karena
konflik menjadi dasar cerita, maka perhatian pengarang kepada konflik ini
kiranya memungkinkan mereka akan lebih mampu menjalin cerita yang
memikat.
4)Jarak Estetika
Daya pikat sebuah cerita fiksi juga muncul akibat penga¬rang memiliki jarak
estetika yang cukup pekat dengan cerita dan .1tokoh'To-koF —cerita itu.
Seolah-olah pengarang menguasai benar- benar dunia dari to col itu,
sehingga pengarang benar-benar ikut terlibat dalam diri tokoh dan ceritanya.
Jika keadaan ini dapat dilakukan oleh pengarang, pembaca akan lebih yakin
akan hadir¬nya cerita dan tokoh itu, seakan-akan cerita fiksi itu bukan hanya
tiruan dari kenyataan itu, namun adalah kenyataan sendiri yang
mengejawantah.
Waktu penulis membaca cerita Mushashi, penulis merasa ikut terlibat dalam
peristiwa-peristiwa karena kekuatan cerita itu. Ketika pada adegan terakhir
Mushashi mengalahkan Sasaki Kojiro, penulis merasa menyaksikan dui
ksatria bertempur di tepi pantai Parangtritis, di siang hari ketika matahari
terik, dan tiba¬tiba Mushashi melompat menghantam kepala Koliro dengan
pedang. Kisah itu seperti Nadir di mata penulis dan bukan hanya dalam
angan-angan. Ini dapat terjadi karena kekuatan cerita. Pengarang
menciptakan jarak estetis yang cukup rapat sehingga tokoh dan peristiwa
benar-benar hidup
2.2 Ciri-ciri sastra
Ciri sastra yang akan kita pahamkan di sini adalah ciri-ciri sastra yang pernah
dikemukakan oleh para ahli sastra atau para praktisi sastra. Pada
pembicaraan konsep-konsep sebelumnya, sudah banyak terungkap tentang
ciri sastra ini. Misalnya, pada pembicaraan definisi sastra yang dikemukakan
para ahli di atas. Konsep-konsep prasyarat pembentuk konsep sastra
tersebut merupakan ciri sastra. Bukankah suatu definisi konsep harus
mencakup penyebutan nama konsep, superordinat konsep, dan ciri-ciri yang
mendefinisikan konsep tersebut, selain penyebutan kata penghubung
antarciri yang mendefinisikan itu?
Wellek & Warren ( 1989:22) menyebutkan: 1) menimbulkan efek yang
mengasingkan, 2) fiksionalitas, 3) ciptaan, 4) tujuan yang tidak praktis, 5)
pengolahan dan penyampaian melalui media bahasa, 6) imajinasi, 7)
bermakna lebih, 8) berlabel sastra, 9) merupakan konvensi masyarakat,
sebagai cirri-ciri sastra. Selain itu, Lexemburg, dkk. ( 1984:9) menambahakan
beberapa cirri lagi, yaitu: 1) bukan imitasi, 2) otonom, 3) koherensi, 4).
sintesa, dan 5) mengungkapkan yang tak terungkapkan sebagai ciri sastra
yang lainnya. Dengan demikian sudah teridentifikasi empat belas cirri sastra.
Tentu pendapat lain dapat pula ditambahkan, seperti pendapat yang
dipegang pada zaman Romantik, bahwa sastra itu merupakan luapan emosi
spontan, sedangkan menurut kaum Formalis, sastra selain menunjukkan
cirinya pada aspek sintaktik, juga pada grafiknya.
Untuk mendapatkan pemahaman lebih lanjut tentang maksud ciri-ciri sastra
di atas, Anda sebaiknya membaca buku sumber yang telah disebutkan di
atas, yaitu buku Wellek & Warren dan buku Lexemburg, dkk. Anda lihat
identitas sumber selengkapnya pada bagian V. Sumber Belajar.
2.3 Tiga wilayah kesusastraan
Tiga wilayah kesusastra itu adalah : 1) wilayah penciptaan sastra, 2) wilayah
penikmatan sastra, dan 3) wilayah penelitian sastra. Dikemukakan oleh
Mursal Esten ( 1978:13-14), bahwa ketiga wilayah dalam kehidupan
kesusastraan itu saling berhubungan dan saling membantu.
Maksud dari ketiga wilayah tersebut dijelaskannya sebagai berikut ini.
“Wilayah penciptaan kesusastraan ialah wilayah para sastrawan, yang diisi
dengan ciptaan-ciptaan yang baik dan bermutu. Persoalan mereka ialah
bagaimana menciptakan ciptasastra yang baik dan bermutu.
Wilayah penelitian ialah wilayah para ahli dan para kritikus. Mereka berusaha
menjelaskan , menafsirkan dan memberikan penilaian terhadap ciptasastra-
ciptasastra. Tentu saja mereka harus memperlengkapi diri mereka dengan
segala pengetahuan yang mungkin diperlukan untuk memahami ciptasastra-
ciptasastra yang mereka hadapi. Wilayah para penikmat adalah wilayah para
pembaca. Wilayah ini tidak kurang pentingnya, karena untuk merekalah
sesungguhnya ciptasastra-ciptasastra ditulis oleh para pengarang”.
2.4 Tiga cabang studi sastra
Yang merupakan tiga cabang studi sastra itu adalah teori sastra, sejarah
sastra, dan kritik sastra ( Wellek & Warren dalam Pradopo, 2002: 34-35).
Pegertian ketiga cabang studi sastra itu sebagaimana dijelaskan Paradopo
(2002) dan Fananie ( 2000 ) berikut ini.
1) Teori sastra adalah bidang studi sastra yang berhubungan dengan teori
kesusastraan, seperti studi tentang apakah kesusastraan itu, bagaimana
unsur-unsur atau lapis-lapis normanya; studi tentang jenis sastra (genre ),
yaitu apakah jenis sastra dan masalah umum yang berhubungan dengan
jenis sastra, kemungkinan dan kriteria untuk membedakan jenis sastra, dan
sebagainya ( Pradopo, 2002:34). Perihal unsur-unsur atau lapis-lapis norma
karya sastra dijelaskan lebih lanjut oleh Fananie yakni menyangkut aspek-
aspek dasar dalam teks sastra. Aspek-aspek tersebut meliputi aspek intrinsik
dan ekstrinsik sastra. Teori intrinsic sastra berhubungan erat dengan bahasa
sebagai sistem, sedang konvensi ekstrinsik berkaitan dengan aspek-aspek
yang melatarbelakangi penciptaan sastra. Aspek tersebut meliputi aliran,
unsur-unsur budaya, filsafat, politik, agama, psokologi, dan sebagainya.
(2000:17-18) Ditegaskan lagi oleh Pradopo ( 2002:34) bahwa pokoknya
semua pembicaraan mengenai teori atau bersifat teori itu adalah lingkup
teori sastra.
2) Sejarah sastra adalah studi sastra yang membicarakan lahirnya
kesusastraan Indonesia modern, sejarah sastra membicarakan sejarah jenis
sastra, membicarakan periode-periode sastra, dan sebagainya; pokoknya
semua pembicaraan yang berhubungan dengan kesejarahan sastra, baik
pembicaraan jenis, bentuk, pikiran-pikiran, gaya-gaya bahasa yang terdapat
dalam karya sastra dari periode ke periode ( Pradopo,2002: 34).
Dikemukakan oleh Fananie (2000:19-20) bahwa berdasarkan aspek
kajiannya, sejarah sastra dibedakan men¬jadi:
a. Sejarah genre, yaitu sejarah sastra yang mengkaji perkembang¬an karya-
karya sastra seperti puisi dan prosa yang meliputi cerpen, novel, drama, atau
sub genre seperti pantun, syair, talibun, dan sebagainya. Kajian tersebut
dititikberatkan pada proses kelahirannya, perkembangannya, dan pengaruh-
penga¬ruh yang menyertainya.
b. Sejarah sastra secara kronologis, yaitu sejarah sastra yang mengkaji
karya-karya sastra berdasarkan periodesasi atau ba¬bakan waktu tertentu.
Di Indonesia penulisan sejarah sastra secara kronologis, misalnya klasifikasi
periodesasi tahun 20-an, yang melahirkan Angkatan Balai Pustaka, tahun 30-
an yang melahirkan Angkatan Pujangga Baru, tahun 42, sastra Jepang, tahun
45, Angkatan 45, tahun 60-an yang melahirkan Angkatan 66, dan sastra
mutakhir atau kontemporer.
c. Sejarah sastra komparatif, yaitu sejarah sastra yang mengkaji dan
membandingkan beberapa karya sastra pada masa lalu, pertengahan, dan
masa kini. Bandingan tersebut bisa meliputi karya-karya sastra antar negara
seperti sastra Eropa dengan sastra Indonesia, Melayu, dan sebagainya.
Aspek-aspek yang dibandingkan dapat meliputi beberapa hal seperti yang
dike¬mukakan oleh Rene Wellek, yaitu:
1) Comparative literature: The study of oral literature expecially of falle talk
themes and then imigration, of how and other they have entered higher
artistic literature. (Pengkajian sastra lisan khususnya mengenai terra-terra
cerita rakyat dan ceritakepindahannya, bagaimana dan kapan sastra-sastra
rakyat tersebut berkembang / masuk pada bagian yang lebih tinggi pada
keindahan sastra itu yang bersifat artistik).
2) The study of relationship betwen two or more literature. (Hu¬bungan
kajian antara dua atau beberapa karya sastra).
2) The study of literature in its totality (world literature or universal
literature). (Kajian sastra secara keseluruhan).
Pembagian di atas hanyalah merupakan pembagian global, ka¬rena secara
rinci, kajian komparatifnya dapat berupa aspek baha¬sanya, estetikanya,
latar belakangnya, gaya, pengaruh, atau se¬mua aspek yang menyertai
karya tersebut.
3) Kritik Sastra ialah studi sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra
dengan langsung, menganalisis, menginterpretasi, memberi komentar, dan
memberikan penilaian (Pradopo,2002:34-35). Dikatakan Fananie, Kritik sastra
itu semacam pertimbangan untuk menunjukkan kekuatan atau kebagusan
dan juga kekurangan yang terdapat dalam karya sastra. Karena itu hasil dari
kritik sastra biasanya mencakup dua hal , yaitu baik dan buruk (goodness
atau dislikeness) (2000:20).
Untuk memperoleh gambaran yang jelas, maka kritik selalu berkaitan dengan
judgement, valuation, proper understanding and recornition, statement
giving valuation, and rise in value (2000:20).
BAB II
A. PENGERTIAN KRITIK SASTRA
Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti
”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang
berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan”.[1]
Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang
ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap
teks sastra sebagai karya seni.[2]
Abrams dalam Pengkajian sastra (2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik
sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan,
klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra.
Pengertian kritik sastra di atas tidaklah mutlak ketetapannya, karena sampai
saat ini, belum ada kesepakatan secara universal tentang pengertian sastra.
Namun, pada dasarnya kritik sastra merupakan kegiatan atau perbuatan
mencari serta menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan
penafsiran sistematik yang dinyatakan kritikus dalam bentuk tertulis.
Membaca secara mendalam keberagaman pengertian sastra yang tersuguh
dari beberapa sumber yang diberikan sebagai tugas pemenuhan mata kuliah
Naqd Adabi, terdapat sebuah gambaran dalam benak penulis, muncul sebuah
matrikulasi wilayah sastra, yang sangat mudah untuk dihafalkan, dipahami
dan dimengerti, sebagaimana berikut:
Ilmu Sastra
Teori Sastra Sejarah Sastra Kritik sasra
1. Teori sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan:
a. pengertian-pengertian dasar tentang sastra,
b. hakekat sastra,
c. prinsip-prinsip sastra,
d. latar belakang, jenis-jenis sastra, dan
e. susunan dalam karya sastra dan prinsip-prinsip tentang penilaian sastra.
2. Sejarah Sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan;
a. membicarakan tentang perkembangan sastra,
b. ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan karya sastra tersbut,
c. situasi sosial masyarakat dan idologi yang semuanya,
3. Kritik sastra yang dalam eksistnsinya sendiri turut serta membicarakan;
a. analisis,
b. interpretasi, dan
c. menilai karya sastra.
¬ Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Sebagaimana
teori sastra yang sudah pasti membutuhkan kerja sama dengan sejarah
sastra. Sejarah satra yang tidak bisa dipisahkan dari teori dan kritik sastra,
begitu juga dengan kritik sastra yang membutuhkan adanya teori dan
sejaarah sastra.[3]
Apabila diperhatikan hal di atas, maka akan diperoleh sebuah kesimpulan
bahwa sebuah karya sastra tidak akan mampu dipahami, dihayati, ditafsirkan
dan dinilai secara sempurna tanpa adanya itervensi dari ketiga bidang ilmu
sastra tersebut. Sebuah teori sastra tidak akan pernah sempurna jika tidak
dibantu oleh sejarah dan kritik sastra; begitu juga dengan sejarah sastra
yang tidak dapat dipaparkan, jika teori dan kritik sastra tidak jelas; dan kritik
sastra tidak akan mencapai sasaran, apabila teori dan sejarah sastra tidak
dijadikan tumpuan.
Analisis merupakan hal yang sangat penting dalam kritik sastra.
Sebagaimana Jassin dalam Pengkajian Sastra menjelaskan bahwa kritik
sastra ialah baik buruknya suatu hasil kasustraan dengan memberi alasan-
alasan mengenai isi dan bentuknya.[4]
Dengan demikian, kritik sastra adalah kegiatan penilaian yang ditunjukkan
pada karya sastra atau teks. Namun, melihat kenyataan bahwa setiap karya
sastra adalah hasil karya yang diciptakan pengarang, maka kritik sastra
mencakup masalah hubungan sastra dengan kemanusiaan. Namun, sasaran
utama kritik sastra adalah karya sastra atau teks tersebut dan makna bagi
krtikus tersebut, bukan pada pengarangnya.[5] Seorang kritikus sastra
mengungkapkan pesan dalam satu bentuk verbal dengan bentuk verbal yang
lain, mencoba menemukan pengalaman estetis persepsi tentang realitas
yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pengamatannya terhadap cara
penggunaan bahasa, terhadap kode-kode bahasa yang digunakan.
Dalam hal ini, tampak adanya hubungan antara liguistik dengan kritik sastra.
Dimana bagi seorang linguistik, kode itu sendiri dan cara kode dibangun
didalam teks yang menjadi perhatian utamanya. Baginya makna itu penting
jika dapat menjelaskan bagaimana kode-kode itu dibentuk.
Panuti Sudjiman mendeskripsikan bahwa stilistika yang merupakan bagian
dari linguistik, memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa,
terutama bahasa dalam kesusastraan, memiliki peran penting karena
stilistika dianggap menjembatani kritik sastra di satu pihak dan linguistik
dipihak lain. Hubungan tersebut tercipta karena:
1. Stilistika mengkaji atau melakukan kritik terhadap karya sastra (di pihak
lain).
2. Stilistika mengkaji wacana sastra dengan oreintasi linguistik.
3. Stilistika mengkaji cara sastrawan dalam menggunakan unsur dan kaidah
bahasa serta efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu.
4. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri
yang membedakannya dengan wacana nonsastra, dan
5. Stilistika meneliti deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang
normal (dengan metode kontras) dan berusaha menemukan tujuan
estetisnya sebagai sarana literer. Dengan kata lain, stilistika meneliti fungsi
puitik bahasa.
Ia menambahkan bahwa hubugan kritik sastra dengan analisis stilistika
bukan berarti berperpretensi menggantikan kritik sastra. Justru sebaliknya,
kritik sastra tidak berpretensi menggantikan kritik sastra serta membuka
jalan untuk kritik sastra yang efektif. Pengkajian stilistik tidak bermaksud
mematikan intuisi karya sastra. Analisis stilistik justru berusaha
menggantikan subjektivitas dan inpresionisme yang digunakan oleh kritikus
sastra sebagai pedoman dalam mengkaji karya sastra dengan suatu
pengkajian yang relatif lebih obyektif dan ilmiah[6]
Jelaslah, bawa stilistika berupaya menujukkan bagaimana unsur-unsur suatu
teks berkombinasi membentuk suatu pesan dan menemukan ciri yang benar-
benar memberikan efek tertentu kepada pembaca (pendengar), tidak
sekedar menghitung frekuensi penggunaan sarana-sarana stilistik dalam
suatu karya sastra
B. Fungsi Kritik Sastra
Dalam mengkritik karya sastra, seorang kitikus tidaklah bertindak semaunya.
Ia harus melalui proses penghayatan keindahan sebagaimana pengarang
dalam melahirkan karya sastra. Karena kritik sastra sebagai kegiatan ilmiah
yang mengikat kita pada asas-asas keilmuan yang ditandai oleh adanya
kerangka, teori, wawasan, konsep, metode analisis dan objek empiris.[8]
Setidaknya, ada beberapa fungsi kritik sastra yang perlu untuk kita ketahui,
sebagaimana berikut;
• Kritik sastra berfungsi bagi perkembangan sastra
Dalam mengkritik, seeorang kritikus akan menunjukkan hal-hal yang bernilai
atau tidak bernilai dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan
menunjukkan hal-hal yang baru dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang
belum digarap oleh sastrawan. Dengan demikian, sastrawan dapat belajar
dari kritik sastra untuk lebih meningkatkan kecakapannya dan memperluas
cakrawala kreativitas, corak, dan kualitas karya sastranya. Jika sastrawan-
sastrawan mampu menghasilkan karya-karya yang baru, kreatif, dan
berbobot, maka perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat
pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan kata lain, kritik yang
dilakukan kritikus akan meningkatkan kualitas dan kreativitas sastrawan, dan
pada akhirnya akan meningkatkan perkembangan sastra itu sendiri.
• Kritik sastra berfungsi untuk penerangan bagi penikmat sastra
Dalam melakukan kritik, kritikus akan memberikan ulasan, komentar,
menafsirkan kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya
sastra yang dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah
memahami karya sastra yang dikritik oleh kritikus.
¬Di sisi lain, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra,
maka daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik.
Masyarakat dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi (karya sastra
yang berisi nilai-nilai kehidupan, memperhalus moral, mempertajam pikiran,
kemanusiaan, kebenaran dll).
• Kritik sastra berfungsi bagi ilmu sastra itu sendiri
Analisis yang dulakukan kritikus dalam mengkritik harus didasarkan pada
referensi-referensi dan teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula,
perkembangan teori sastra lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan
proses kreatif pengarang. Untuk itu, dalam melakukan kritik, kritikus
seringkali harus meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra baru yang seperti
inilah yang justru akan mengembangkan ilmu sastra itu sendiri, dimana
seorang pengarang akan dapat belajar melalui kritik sastra dalam
memperluas pandangannya, sehingga akan berdampak pada meningkatnya
kualitas karya sastra.
Fungsi kritik sastra di atas akan menjadi kenyataan karena adanya tanggung
jawab antara kritikus dan sastrawan serta tanggungjawab mereka dalam
memanfaatkan kritik sastra tersebut.
Dengan demikian, tidak perlu diragukan bahwa adanya kritik yang kuat serta
jujur di medan sastra akan membawa pada meningkatnya kualitas karya
sastra. Karena sastrawan akan memiliki perhitungan sebelum akhirnya
dipublikasikannya karya sastra tersebut. Oleh sebab itu, ketiadaaan kritik
pada medan sastra akan membawa pada munculnya karya-karya sastra yang
picisan.
Raminah Baribin menambahkan, bahwasanya tidak semua kritik sastra dapat
menjelaskan fungsinya, oleh sebab itu kritik sastra harus memiliki tanggung
jawab atas tugasnya serta mampu membuktikan bahwa dengan adanya kritik
yang dilakukan oleh kritikus mampu memberikan sumbangan yang berharga
terhadap pembinaan dan pengembangan sastra. Karnanya kritik sastra
berfungsi apabila;
1) disusun atas dasar untuk meningkatkan dan membangun sastra,
2) melakukan kritik secara objektif, menggunakan pendekatan dan metode
yang jelas, agar dapat dipertangungjawabkan
3) mampu memperbaiki cara berpikir, cara hidup, dan cara bekerja
sastrawan,
4) dapat menyesuikan diri dengan ruang lingkup kebudayaan dan tata nilai
yang berlaku, dan 5) dapat membimbing pembaca untuk berpikir kritis dan
dapat meningkatkan apresiasi sastra masyarakat.
BAB III
MANFAAT DAN FUNGSI
A. Manfaat Kritik Sastra
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, Studi sastra (ilmu sastra) mencakup
tiga bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya
memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Kritik sastra dapat
diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang
melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra.
Setidaknya, ada 4 (empat) manfaat kritik sastra. Keempat manfaat tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Kritik sastra berguna bagi perkembangan sastra
Dalam mengkritik, kritikus akan menunjukkan hal yang bernilai/tidak bernilai
dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan menunjukkan kebaruan-
kebaruan dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang belum digarap oleh
sastrawan. Dengan demikian sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk
lebih meningkatkan kecakapannya dan memperluas cakrawala kreativitas,
corak, dan mutu karya sastranya. Jika sastrawan-sastrawan dalam di negara
tertentu menghasilkan karya-karya yang baru, kreatif, dan berbobot, maka
perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat pesat, baik
secara kualitas maupun kuantitas.
Dengan kata lain, kritik yang dilakukan kritikus akan meningkatkan kualitas
dan kreativitas sastrawan, dan pada gilirannya akan meningkatkan
perkembangan sastra itu sendiri.
2.Kritik sastra berguna untuk penerangan bagi pembaca
Dalam melakukan kritik, kritikus akan memberikan ulasan, komentar,
menafsirkan kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya
sastra yang dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah
memahami karya sastra yang dikritik oleh kritikus.
Di sisi lain, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra, maka
daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik.
Masyarakat dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi (karya sastra
yang berisi nilai-nilai kehidupan, memperhalus budi, mempertajam pikiran,
kemanusiaan, dan kebenaran).
3. Kritik sastra berguna bagi ilmu sastra itu sendiri
Analisis yang dulakukan kritikus dalam mengkritik tentulah didasarkan pada
referensi-referensi, teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula, perkembangan
teori sastra lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan proses kreatif
pengarang. Untuk itu, dalam melakukan kritik, kritikus seringkali harus
meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra yang baru inilah yang justru akan
semakin memperkembangkan ilmu sastra itu sendiri.
4. Memberi sumbangan pendapat untuk menyusun sejarah sastra
Dalam melakukan kritik, kritikus tentu akan menunjukkan ciri-ciri karya
sastra yang dikritik secara struktural (ciri-ciri intrinsik). Tidak jarang pula
kritikus akan mencoba mengelompokkan karya sastra yang dikritik ke dalam
karya sastra yang berciri sama. Kenyataan inilah yang dapat disimpulkan
bahwa kritik sastra sungguh membantu penyusunan sejarah sastra.
B. Aktivitas Kritik Sastra
Dari pengertian kritik sastra, terkandung secara jelas aktivitas kritik sastra.
Secara rinci. Aktivitas kritik sastra mencakup 3 (tiga) hal, yaitu menganalisis,
menafsirkan, dan menilai.
Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan
menarik hubungan antar unsur-unsur tersebut. Sementara menafsirkan
(interpretasi) dapat diartikan sebagai memperjelas/memperjernih maksud
karya sastra dengan cara: (a) memusatkan interpretasi kepada ambiguitas,
kias, atau kegelapan dalam karya sastra, (b). memperjelas makna karya
sastra dengan jalan menjelaskan unsur-unsur dan jenis karya sastra. Seorang
kritikus yang baik tidak lantas terpukau terhadap apa yang sedang dinikati
atau dihayatinya, tetapi dengan kemampuan rasionalnya seorang kritikus
harus mampu membuat penafsiran-penfsiran sehingga karya sastra itu
datang secara utuh.[7]
Jan Van Luxmburk dkk. dalam Pengkajian Sastra (2005: 58-59) membedakan
enam jenis pokok penafsiran sebagaimana berikut:
1. penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat bahwa teks sudah jelas.
2. penafsiran yang berusaha untuk meyusun kembali arti historik.
3. penafsiran heurmenetik, yaitu keahlian mnginterpretasi karya sastra yang
berusaha memperpadukan masa lalu dan masa kini.
4. tafsiran-tafsiran dengan sadar disusun dengan bertitik tolak pada
pandangannya sendiri mengenai sastra
5. tafsiran-tafsiran yang bertitik pangkal pada sutu problematik tertentu,
misalnya permasalahan psikologi atau sosiologi
6. tafsiran yang tidak langsung berusaha agar secara memadai sbuah teks
diartikan. Pendekatan yang berkiblat pada pembaca disebut estetika-represif.
Jika teks yang brsangkutan tidak untuk atau mempunyai versi yang berbeda,
trlebih dahulu hrus dilakukan penafsiran filologis.
Adapun aktivitas yang ketiga yaitu penilaian. Penilaian dapat diartikan
menunjukkan nilai karya sastra dengan bertitik tolak dari analisis dan
penafsiran yang telah dilakukan. Dalam hal ini, penilaian seorang kritikus
sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-dasar kritik
sastra yang dianut/dipakai/dipahami seorang kritikus.
.
Saatnya kita kali ini mempermudah diri memahami isi sebuah buku dengan
bahasa kita sendiri. Rangkuman baca diantaranya ataupun catatan-catatan
kecil tentang isi buku akan lebih memudahkan diri kita megerti apa yng ada
dalam buku tersebut. Ada dua buah buku yang saya sajikan milik Prof. Dr.
Rachmat Joko Pradopo yaitu, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan
Penerapannya dan Prinsip-Prinsip Kritik Sastra.
BAB III
PRINSIP-PRINSIP KRITIK SASTRA
Di dalam makalah ini diuraikan mengenai beberapa definisi kritik sastra,
penggolongan kritik sastra, paham penilaian karya sastra, metode analisis
karya sastra, dan para kritikus.
Kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk karya sastra. Menurut William
Henry Hudson bahwa kritik adalah penghakiman. Sedangkan menurut I.A.
Richard kritik adalah usaha untuk membedakan pengalaman (jiwa) dan
memberi penilaian kepadanya. Dan menurut M.H. Abrams bahwa kritik
adalah studi yang berhubungan dengan pendefinisian, penggolongan
(pengklasan), penguraian (analisis), dan penilaian (evaluasi).
Kritik dapat digolongkan menurut bentuk, praktik kritik, dan dasar
pendekatannya terhadap karya sastra. Menurut bentuknya, ada kritik teori
dan kritik terapan. Kritik teori yaitu menetapkan prinsip-prinsip umum untuk
diterapkan pada interpretasi karya sastra. Dan kritik terapan yaitu penerapan
prinsip-prinsip umum pada interpretasi karya sastra.
Menurut praktik kritik ada kritik judisial, impresionistik/ estetik, dan induktif.
Kritik judisial berusaha menganalisis efek karya sastra berdasarkan teknik,
gaya, dan organisasinya secara subjektif. Kritik impresionistik berusaha
menggambarkan karya sastra dengan kata-kata dan mengekspresikan
tanggapan kritikus atau uraian kesan-kesan kritikus mengenai isi sajak yang
diucapkan penyair dengan mengutip sajak tanpa analisisnya. Dan kritik
induktif berusaha menguraikan bagian-bagian sastra berdasarkan fenomena
yang ada secara objektif seperti persajakan, gaya bahasa, dan pikiran yang
dikemukakan (seperti metode literer).
Kritik menurut pendekatannya, ada kritik mimetik, pragmatik, ekspresif, dan
objektif. Kritik mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan dan
pencerminan dunia dan kehidupan manusia. Kritik pragmatik memandang
karya sastra menurut berhasil tidaknya mencapai tujuan berupa efek yang
ditimbulkan seperti efek kesenangan, pendidikan, dan efek-efek lainnya.
Kritik ekspresif memandang karya sastra sebagai curahan perasaan dan
produk imajinasi penulis dengan persepsi, pikiran, dan perasaannya. Dan
kritik objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas
dan dianalisis dengan kriteria intrinsik dan unsur pembentuknya yang lain.
Ada tiga paham mengenai penilaian karya sastra yaitu penilaian relativisme,
absolutisme, dan perspektivisme. Penilaian relativisme ialah penilaian yang
dihubungkan dengan tempat dan zaman terbitnya karya sastra sehingga
karya sastra yang sudah dinilai baik pada tempat dan zamannya itu tidak
perlu dinilai lagi tapi diterima begitu saja. Penilaian absolutivisme ialah
penilaian yang menilai karya sastra berdasarkan pandangan yang sempit
seperti paham, aliran, politik dan bukan pada hakikat seni itu sendiri. Dan
penilaian perspektif ialah penilaian yang menilai karya sastra dari berbagai
sudut pandang yaitu menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbit dan
nilainya pada masa-masa yang telah dilaluinya.
Metode literer (seperti kritik induktif) yaitu penilaian karya sastra secara
objektif berdasarkan hakikatnya (bentuk dan isi), tidak dapat diukur dengan
ukuran subjektif kritikus/ sastrawan sendiri.
Metode analisis formal yaitu meninjau karya sastra dari segi yang tampak
oleh mata tanpa dihubungkan dengan penilaian apa yang diungkapkan
dengan bentuk itu.
Metode phenomenologi yaitu menganalisis lapis-lapis norma dalam karya
sastra. Lapis norma itu mulai dari lapis terendah berupa lapis suara/ bunyi,
lapis arti, lapis objek, lapis dunia implisit hingga lapis metafisika sebagai lapis
tertinggi. Berikut penjelasannya :
1. Lapis suara/ bunyi adalah bunyi-bunyi yang kuat yang digunakan
mengekspresikan pengalaman jiwa.
2. Lapis arti adalah kesatuan konteks, syntagma, dan pola kalimat dalam
karya sastra yang dapat memberi arti.
3. Lapis objek adalah dunia pengarang, pelaku/ tokoh dalam karya sastra,
dan tempat.
4. Lapis dunia implisit adalah dunia yang dapat dimengerti dari gambaran
objek dalam karya sastra meskipun tidak dinyatakan (implisit).
5. Lapis metafisika adalah pandangan hidup/ filsafat dalam karya sastra
sehingga memberi kesempatan untuk memikirkan sifat mulia, tragis,
mengerikan, dan suci.
Setelah karya sastra dinilai berdasarkan norma-normanya, dapat disimpulkan
karya sastra itu bernilai atau tidak. Pandangan tentang lapis-lapis ini
mengganti pandangan lama yang menyatakan bahwa karya sastra terdiri
atas bentuk dan isi.
Dalam menilai karya sastra harus berdasarkan dua kriteria yaitu bersifat seni
atau estetik yaitu indah seperti pilihan kata yang tepat, kombinasi kata/
kalimat yang menimbulkan efek puitis, penyusunan plot yang baik, ada
konflik yang hebat, humor, dan sebagainya. Dan bersifat ekstra estetik yaitu
dapat mengekspresikan nilai kehidupan yang besar dengan memunculkan
pikiran yang cemerlang, perwatakan yang kompleks, cerita yang hebat, dan
gambaran kehidupan yang menimbulkan renungan. Selain itu perlu dilihat
berhasil tidaknya sastrawan menjelmakan pengalaman jiwanya ke dalam
kata. Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia begitu juga
pengalaman jiwa terdiri atas lima tingkatan (niveaux) yaitu :
1. Tingkatan pertama (niveau anorganis) yang sifatnya seperti benda mati,
berupa pola bunyi irama, baris sajak, alinea, kalimat, perumpamaan, gaya
bahasa, dan sebagainya.
2. Tingkatan kedua (niveau vegetatif) sifatnya seperti tumbuhan, yang
ditonjolkan adalah suasana yang ditimbulkan oleh rangkaian kata-kata
berupa suasana menyenangkan, menyedihkan, romantis, marah, khusuk, dan
sebagainya.
3. Tingkatan ketiga (niveau animal) sifatnya seperti binatang yaitu ada nafsu
jasmaniah berupa nafsu naluriah, nafsu makan, minum, seksual, dan
sebagainya.
4. Tingkatan keempat (niveau human) seperti manusia yaitu pengalaman
yang dirasakan oleh manusia berupa renungan batin, konflik kejiwaan, rasa
belas kasihan, simpati, moral dan sebagainya.
5. Tingkatan kelima (niveau religius/ filosofis) yaitu renungan sampai pada
hakikat tapi tidak dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari, hanya
dialami jika sholat, dzikir, doa, merenungkan dunia beserta kehidupannya,
berupa renungan batin sampai pada hakikat, hubungan manusia dengan
Tuhan seperti doa, pengalaman mistik, filsafat dan sebagainya.
Karya sastra makin banyak memancarkan tingkat keempat makin
memperjelas kehalusan jiwa dan memperbesar perasaan kemanusiaan dan
peradaban.
Para kritikus sastra Indonesia dan metode analisis yang dominan diterapkan
dalam mengkritik karya sastra diantaranya :
1. H. B. Jassin dominan menggunakan analisis formal dan kritik
impresionistik. Analisisnya tidak sampai pada penilaian.
2. Amal Hamzah dominan menggunakan analisis formal.
3. Ajip Rosidi hanya menceritakan kembali tanpa ada analisis apalagi
penilaian. Misalnya dalam membahas cerita, Ajip hanya meringkas cerita
kemudian menceritakan kembali menurut interpretasinya sendiri.
4. J. U. Nasution dominan menggunakan metode induktif, sifat kritiknya
interpretatif (menafsirkan apa yang dimaksud penulis), dan penilaiannya
relativisme.
5. Junus Amir Hamzah dominan menggunakan kritik induktif dan penilaian
relativisme.
6. Boen S. Oemarjati dominan menggunakan metode fenomenologi
(menganalisis struktur norma dihubungkan dengan penilaian dan
disimpulkan karya sastra itu sempurna atau tidak, tinggi atau rendah
mutunya). Tidak hanya memuji keistimewaan tetapi juga menunjukkan
kelemahannya.
7. M. S. Hutagalung dominan menggunakan sifat kritik interpretatif dan
hanya mengemukakan contoh-contoh tanpa diuraikan keberhasilannya
sebagai sastra.
BAB IV
Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya
.
Menurut Pradopo (2005:3) teori-teori dan metode kritik sastra Indonesia itu
bermacam-macam, yang semuanya untuk konkretisasi dipandang dari sudut
pandang teori tertentu. Oleh karena itu dalam buku tersebut tidak semua teri
sastra dan kritik sastra dapat dipaparkan. Yang menjadi utamanya adalah
teori sastra dan kritik sastra strukturalisme dan semiotik serta teori dan
metode estetika resepsi yang sekarang sedang banyak dipelajari dalam kritik
sastra ilmiah.
Adapun hal-hal yang dibahas dalam buku “Beberapa Teori Sastra, metode
kritik dan Penerapannya” adalah:
1.Masalah Angkatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia.
Ada dua masalah yang harus dibahas dalam bagian ini. Pertama, masalah
angkatan sastra dan yang kedua akan dibahas masalah penulisan sejarah
sastra Indonesia. Yang pada intinya, masalh angkatan itu tak lepas kaitannya
dengan penulisan sejarah sastra Indonesia, atau penulisan sejarah sastra
Indonesia tak dapat mengesampingkan pemecahan masalah angkatan
dalanm sastra Indonesia.
2.Sejarah Puisi Indonesia Modern: Sebuah Ikhtisar.
Pada umumnya sampai sekarang, yang dianggap sebagai tahun lahirnya
kesusastraan Indonesia modern adalah tahun1920,tahun terbitnya
(ditulisnya) roman Azab dan Sengsara (1921) oleh Merari Siregar. Sedangkan
sajak Indonesia modern yang pertama adalah sajak “Tanah Air” yang ditulis
oleh M. Yamin. Jadi sesungguhnya lahirnya kesusasraan Indonesia modern itu
bukan hanya ditentukan oleh sastra prosa saja melainkan juga sastra puisi
dalam Rosidi (1964:7).
3.Perkembangan yang Dialektis dalam Kesusastraan Indonesia Modern.
Dalam tahun 1980an, selama satu dekade, karya-karya sastra yang
menampilkan latar sosial budaya daerah makin berkembang seperti tampak
dalam karya-karya Linus Suryadi Ag dan Darmanto Jt. Adapula dalam novel-
novel Y.B. Mangun Wijaya Burung-Burung Manyar dan Roro Mendut.
4.Pusat Pengisahan Metode Orang Pertama dan Perkembangn Dalam Roman
dan Novel Indonesia Modern
Dalam bagian ini diuraikan pusat pengisahan metode orang pertama dan
perkembngannya dalam novel dan roman Indonesia modern. Untuk
menguraikan perkembangan itudipilih roman dan novel Indonesia modern
yang menunjukkan adanya pusat pengisahan orang pertama dan
perkembangannya. Roman dan novel yang menjadi sampel dalm bagian ini
adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah, Atheis, Girah untuk Hidup dan Untuk
Mati, Olenka, Priyayi dll.
5.Kritik Sastra Indonesia Modern dan Perkembangannya.
Untuk menafsir, menganalisis dan menilai karya sastra adalah arientasi karya
sastra yang menentukan arah atau corak kritik sastra. Orientasi karya sastra
itu berdasarkan keseluruhan situasi karya sastra: alam (kehidupan) pembaca,
penulis dan karya sastra. Berdasar hal itu ada empat orientasi, yaitu,
mimetik, pragmatik, ekspresif dan objektif.
6.Konkretisasi sastra.
Istilah pemberian makna dalam sastra disebut konkretisasi. Dalm analisis
karya sastra itu diuraikan unsur-unsur pembentuknya. Dengan demikian
makna keseluruhan karya sastra akan dapat dipahami. Hal ini mengingat
bahwa karya sastra itu adalah sebuah karya sastra yang utuh. (Hawkes,
1978:16) disamping itu sebuah struktur kemampuan yang utuh dapat
dipahami makna keseluruhannya bila diketahui unsur-unsur pembentuknya
dan saling hubungan diantaranya dengan keseluruhannya.
7.Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik.
Penelitian sastra dengan pendekatan semiotik sesungguhnyamerupakan
lanjutan dari pendekatan strukturalisme(Junus,1981:17) bahwa semiotk itu
merupakan lanjutan atau perkembangan strukturalisme.
8.Analisis Puisi Secara Struktural dan Semiotik.
Untuk menganalisis struktur sistem tanda perlu adanya kritik struktural untuk
memahami makna tanda-tanda yang terjalin dalam sistem (struktur)
tersebut. Analisis struktural merupakan prioritas pertama sebelum yang lain-
lain, tanpa itu kebulatan makna intrinsik yang dapat digali dari karya
itusendiritidak akan tertangkap.
9.Hubungan Intertekstual dalam Sastra donesia.
Intertekstual hanya dapat dipahami dengan baik sesudah bagaimana wujud
kritik sastra dan perdebatannya sepanjang sejarahkritik sastra. Dalam bagian
ini pertama kali diuraikan mengenai wujud kritik dan perdebatannya.
10.Hubungan Iintertekstual dalm Roman-Roman Balai Pustaka.
Dalam hal ini makna karya sastra tidak semata-mata ditentukan oleh sruktur
instrinsiknya saja, melainkan juga ditentukan oleh latar sosial budaya dan
kesejarahannya.
11.Estetika Resepsi dan Teori Penerapannya.
Yang dimaksud estetika resepsi adalah estetika(ilmu keindahan) yang
didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca
terhadap karya sastra. Dari dahulu sampai sekarang karya sastra itu selalu
mendpat tangapan-tanggapan pembaca, baik secara perseorangan mauapun
secara bersama-sama atau massal.
12.Tinjauan Resepsi Sastra Beberapa Sajak Chairil Anwar.
Karena sebagai pentair yang sangat penting karena sajk-sajaknya, maka drai
waktu ke waktu sajak-sajaknya selalu mendapat tanggapan dari para
pembaca sastra termasuk para kritikus, tanggapan tersebut bermacam-
macam berdasarkan horizon jawaban masing-masing pembaca atau horizon
harapan pembaca pada tiap periode.
13.Tanggapan Pembaca Terhadap Belenggu.
Melalui tanggapan pembaca dari waktu ke waktu ini maka karya sastra lebih
terungkap dan nilai sastranyapun dapat ditentukan dengan lebih baik.
Belenggu dari waktu ke waktu selalu mendapat tanggapan yang berbeda,
bahkan juga pada waktu terbitnya(1940). Menurut Mr. Dajoh dalam
Pradopo(2005: 236) Belenggu adalah buku modern, bahkan paling modern,
amat baru penyajian isinya, disamping itu juga amat baru bentuk gambaran
mengenai masyarakatnya dan kehidupan yang digambarkan pengaranganya.
Dari pengertian kritik sastra di depan, terkandung secara jelas aktivitas kritik
sastra. Secara rinci, aktivitas kritik sastra mencakup 3 (tiga) hal, yakni
menganalisis, menafsirkan, dan menilai.
Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan
menarik hubungan antarnsur-unsur tersebut. Sementara menafsirkan
(interpretasi) dapat diartikan sebagai memperjelas/memperjernih maksud
karya sastra dengan cara: (a) memusatkan interpretasi pada ambiguitas,
kias, atau kegelapan dalam karya sastra, (b) memperjelas makna karya
sastra dengan jalan menjelaskan unsur-unsur dan jenis karya sastra.
Sedangkan penilaian dapat diartikan menunjukkan nilai karya sastra dengan
bertitik tolak dari analisis dan penafsiran yang telah dilakukan. Penilaian
seorang kritikus sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-
dasar kritik sastra yang dianut/dipakai/dipahami seorang kritikus
BAB V
Jenis-jenis Kritik Sastra
(a) Menurut BENTUKNYA, ada 2 jenis kritik sastra, yakni kritik teoretis
(theoritical criticism) dan kritik terapan (practical/applied criticism).
1) Kritik teoretis adalah jenis kritik sastra yang berusaha menerapkan
kriteria-kriteria tertentu(teori) untuk menilai karya sastra dan pengarangnya.
Kritik teoretis mencoba menerapkan prinsip-prinsip umum, menetapkan
suatu perangkat istilah yang mengkait, perbedaan-perbedaan, kategori-
kategori untuk diterapkan pada pertimbangan-pertimbangan, interpretasi-
interpretasi karya sastra. Beberapa buku kritik sastra jenis ini antara lain:
-. Beberapa Gagasan Dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern karya
Rahmad Djoko Pradopo
-. Kritik Sastra Sebuah Pengantar, Andre Hardjana
2) Kritik terapan berupaya menerapkan teori sastra berdasarkan
keperluannya. Kritik ini berupaya agar prinsip dan kriteria yang digunakan
disesuaikan dengan karakteristik karya sastra yang bersangkutan.
Contoh buku kritik sastra jenis ini antara lain:
-. Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei karya HB Jassin.
-. Buku dan Penulis karya R. Sutia S.
(b) Menurut PELAKSANAANNYA, ada 3 jenis kritik sastra, yakni kritik judisial
(judicial criticism), kritik impresionistik (impresionistic criticism), dan kritik
induktif (inductive criticism).
1) Kritik Judisial menurut Abrams adalah kritik sastra yang berusaha
menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan
pokoknya, organisasinya, teknik, serta gayanya; dan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan individual kritikus atas dasar yg umum tentang
kehebatan dan keluarbiasaan
2) Kritik Impresionistik adalah kritik sastra yang berusaha menggambarkan
dengan kata-kata sifat yang terasa dalam berdasarkan
kesan-kesan/tanggapan-tanggapan (impresi) kritikus yg ditimbulkan secara
langsung oleh karya sastra. Pelaksanaan Kritik model ini biasanya kritikus
melakukan kritik praktis. Contoh paling konkrit adalah kritik sastra yang
sering dilakukan HB Jassin.
3) Kritik induktif adalah kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian karya
sastra berdasarkan fenomena-fenomena yang ada secara objektif.
Kritikus pada paham ini meneliti karya sastra seperti ahli ilmu alam meneliti
gejala alam secara objektif tanpa menggunakan standar yang berasal dari
luar dirinya.
Contoh kritik model ini di Indonesia adalah kritik sastra aliran Rawamangun
(akademisi UI).
(c) Menurut PENDEKATANNYA thd. Karya sastra, ada 4 jenis kritik sastra,
yakni kritik mimetik (mimetic criticism), kritik pragmatik (pragmatic
criticism), kritik ekspresif (ekspresive criticism) dan kritik objektif (objective
criticism).
1) Kritik mimetik
Menurut Abrams, kritikus pada jenis ini memandang karya sastra sebagai
tiruan aspek-aspek alam. Sastra merupakan pencerminan/penggambaran
dunia kehidupan. Sehingga kriteria yang digunakan kritikus sejauh mana
karya sastra mampu menggambarkan objek yang sebenarnya. Semakin jelas
karya sastra menggambarkan realita semakin baguslah karya sastra itu.
Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh paham Aristoteles dan Plato yang
menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan.
Di Indonesia, kritik jenis ini banyak digunakan pada Angk. 45. Contoh lain
misalnya:
-. Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik, Jakob Sumardjo
-. Novel Indonesia Populer, Jakob Sumardjo
-. Fiksi Indonesia Dewasa Ini, Jakob Sumardjo
-. Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang, Sapardi Joko Damono
2) Kritik pragmatik
Kritikus jenis ini memandang karya sastra terutama sebagai alat untuk
mencapai tujuan (mendapatkan sesuatu yang daharapkan). Sementara
tujuan karya sastra pada umumnya: edukatif, estetis, atau politis. Dengan
kata lain, kritik ini cenderung menilai karya sastra atas keberhasilannya
mencapai tujuan.
Ada yang berpendapat, bahwa kritik jenis ini lebih bergantung pada
pembacanya (reseptif). Kritik jenis ini berkembang pada Angkatan Balai
Pustaka. STA pernah menulis kritik jenis ini yang dibukukan dengan judul
Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan.
3 Kritik ekspresif
Kritik ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini
bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang
melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan yang
dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cenderung menimba karya
sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan pengelihatan mata
batin pengarang/keadaan pikirannya.
Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-
pengalaman sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam
karyanya.
Umumnya, sastrawan romantik jaman BP/PB menggunakan orientasi
ekspresif ini dalam teori-teori kritikannya. Di Indonesia, contoh kritik sastra
jenis ini antara lain:
-. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arif Budiman
-. Di Balik Sejumlah Nama, Linus Suryadi
-. Sosok Pribadi Dalam Sajak, Subagio Sastro Wardoyo
-. WS Rendra dan Imajinasinya, Anton J. Lake
-. Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Pembicaraan, Korrie Layun Rampan
4) Kritik objektif
Kritikus jenis ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri,
bebas terhadap sekitarnya, bebas dari penyair, pembaca, dan dunia
sekitarnya. Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi
dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara
batiniah dan mengehndaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria
intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan,
integritas, dan saling berhubungan antarunsur-unsur pembentuknya)
Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh,
dsb; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan,
integritas, dsb.
Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada karya-karya itu
sendiri.
Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun 20-an dan melahirkan teori-
teori:
-. New Critics (Kritikus Baru di AS)
-. Kritikus formalis di Eropa
-. Para strukturalis Perancis
Di Indonesia, kritik jenis ini dikembangkan oleh kelompok aliran
Rawamangun.
-. Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia, Boen S. Oemaryati
-. Novel Baru Iwan Simatupang, Dami N. Toda
-. Pengarang-pengarang Wanita Indonesia, Th. Rahayu Prihatmi
-. PerkembanganNovel-Novel di Indonesia, Umar Yunus
-. Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern, Umar Yunus
-. Tergantung Pada Kata, Teeuw
6. Ketegangan antarKritikus di Indonesia
-. Para pakar sastra (akademisi-kampus): Rahmat Joko Pradopo (UGM), Panuti
Sudjiman, MS. Hutagalung, Saleh Saat, Boen S. Oemarjati, Roman Ali, S.
Effendi (UI), Th. Rahayu Prihatmi (Undip), Buyung Saleh (UNHAS)
-. Seniman sekaligus pakar sastra: Sapardi Joko Damono, Arif Budiman,
Subagio Sastro Wardoyo, Yakob Sumardjo, Darmanto Yatman, Gunawan
Mohammad, Taufiq Ismail, Rendra, HB. Jassin, Budi Darma, Suripan
-. Kritikus seniman: Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi, Abdul Hadi WM,
MH Ainun Najib, Korrie Layun Rampan
-. Antara pakar sastra VS Kritikus seniman saling bertentangan. Para pakar
menyatakan bahwa ketika membuat kritik, kritikus perlu membuat jarak
sehingga lebih objektif, sementara para seniman menyatakan bahwa pakar
melihat sastra seperti benda yang dipilah-pilah.
BAB VI
. Aliran-aliran Kritik Sastra dan Esai
A. Aliran – aliran Kritik
Menurut Rene Wellek dan Austin Warrent, ada 3 (tiga) aliran kritik sastra,
yakni: (a) relativisme, (b) absolutisme, dan (c) perspektivisme.
(a) Relativisme adalah paham penilaian yang didasarkan pada tempat dan
waktu terbitnya karya sastra (penilaian karya sastra tidak sama di semua
tempat dan waktu. Paham ini berkeyakinan bahwa nilai karya sastra melekat
pada karya itu sendiri. Bila ada karya sastra yang dianggap bernilai oleh
masyarakat di suatu tempat dan periode tertentu, karya sastra tersebut terus
dianggap bernilai di jaman dan tempat yang lain (dulu dianggap baik,
sekarang harus dipandang baik pula. Paham ini merupakan reaksi terhadap
penilaian karya sastra yang menganut paham abslutisme.
(b) Absolutisme adalah paham penilaian karya sastra yang didasarkan pada
paham-paham di luar sastra seperti: politik, moral, atau ukuran-ukuran
tertentu. Dengan kata lain, paham ini menilai karya sastra tidak didasarkan
pada hakikat sastra. Sastra yang baik menurut paham ini adalah karya sastra
yang memiliki tendensi politis, memiliki nilai moral, dsb. Sehingga paham ini
cenderung menilai karya sastra secara dogmatis dan statis. Contoh kritik
sastra dengan paham ini adalah kritikus penganut paham humanis baru dan
marxis. Di Indonesia, kritik model ini berkembang pada tahun 60-an seperti
penganut paham bahwa sastra adalah seni bertendensi (seni untuk seni).
(c) Perspektivisme adalah paham penilaian karya sastra dari berbagai
perspektif tempat, waktu, dan sudut pandang sehingga karya sastra bisa
dinilai dari waktu terbitnya dan pada masa berikutnya. Paham ini
berpendapat bahwa karya sastra bersifat abadi dan historis. Abadi karena
memelihara ciri-ciri tertentu, historis karena karya sastra itu melampaui
suatu proses yang dapat dirunut jejaknya. Dengan kata lain, karya sastra
dapat dibandingkan sepanjang masa berkembang, berubah penuh
kemungkinan penilaian. Karya sastra itu strukturnya dinamis melalui
penafsirnya sepanjang jaman (berubah menurut tanggapan penafsirnya).
Wellek-Warren menganjurkan, hendaknya para kritikus memilih aliran ini
dalam menilai karya sastra
7. Penutup
Bertolak dari perkembangan kritik sastra ini berkembang pula teori-teori
sastra seperti: strukturalisme (intrinsik-ekstrinsik), psikologi sastra, sosiologi
sastra, semiotika sastra, resepsi sastra, dsb.
B. Esai Sastra
Esai adalah karangan pendek mengenai suatu masalah yang kebetulan
menarik perhatian untuk diselidiki dan dibahas. Pengarang mengemukakan
pendiriannya, pikirannya, cita-citanya, atau sikapnya terhadap suatu
persoalan yang disajikan. Dengan kata lain, esai sastra adalah karang pendek
yang merupakan laporan hasil eksplorasi penulis tentang karya atau
beberapa karya sastara yang sifatnya lebih banyak menekankan sensasi dan
kekaguman penelaah tentang hasil hasil bacaannya atau hasil belajarnya.
Arief Budiman dalam Kritik dan Penilaian (1993: 10) menarik pengertian esai
sebagai karangan yang sedang panjangnya, yang membahas persoalan
secara mudah dan sepintas lalu dalam bentuk prosa.
Esai sastra sebagai bagian dari kritik sastra yang mempunyai ciri dan
karakteristik sendiri. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat membedakan yang
mana kritik dan yang mana esai sastra ketika disuatu waktu kita
membutuhkan referensi untuk kepentingan penelitian ataupun penambah
wawasan dalam mengasah karya esai kita. dalam hal ini esai sastra hanya
bersifat mengemukakan masalah atau persoalan kepada khalayak ramai, dan
bagaimana penelesaian tersebut terarah kepada pembaca. Sedangkan kritik
sastra adalah penilaian terhadap suatu karya sastra melalui proses dengan
menggunakan kriteria tertentu.[9]
Kiranya seperti itu, sedikit uraian yang mampu penulis sajikan. Namun jauh
dari itu smua penulis masih menyadari, akan adanya kesalahan. Oleh karena
itu, segala konstruktif untuk kesempurnaan ini, akan senantiasa penulis
sambut dan selalu penulis harapkan.
”Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih
berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-
Nya-lah aku kembali”. (QS. Hud: 88)
DAFTAR PUSTAKA
Baribin, Raminah. 1993. Kritik dan Peilaian. Semarang: IKIP Semarang Press.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT
Gramedia
Rachmat Djoko Pradopo. 2007. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Cetakan keempat.
Yogyakarya : Gadjah Mada University Press.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama.
INTERTEKSTUAL
Kelemahan teori intertekstual adalah sifatnya yang mem-fait
accompli pengarang. Setiap pengarang yang melahirkan karya yang
topiknya (dianggap) sudah pernah ditulis oleh pengarang
sebelumnya (karya transformatif) dianggap telah membaca karya
pendahulunya (karya hepigram). Padahal dugaan itu belum tentu
benar. Pengarang yang membuat karya sastra yang dianggap karya
transformastif belum tentu telah membaca karya hipogramnya.
Dengan dugaan seperti itu, analisis yang dilakukan adalah mencari
sejauh mana karya transformatif itu dipengaruhi oleh karya
hepigramnya. Atau, sejauh mana penyimpangan yang dilakukan oleh
pengarang karya transformartif dari karya hepigramnya.
Hal yang bersifat spekulatif itu harus menjadi pegangan dasar dari
para peneliti yang menggunakan teori intertekstual. Sifat fait
accompli seperti itu tentulah tidak adil. Kecuali apabila
pengarangnya mengakui bahwa karyanya merupakan transformasi
dari karya sebelumnya yang sejenis.
Dalam naskah lakon “Jenar, Lakon Syekh Siti Jenar dalam Babad
Tanah Pengging”, Saini K.M. sebagai pengarangnya secara eksplisit
menyebutkan bahwa sumber penulisan naskah lakonnya adalah
Babad Tanah Pengging. Sedangkan Babad Tanah Pengging adalah
salah satu episode yang terdapat dalam Serat Syekh Siti Jenar.
Dengan demikian diakui oleh Saini K.M. bahwa acuan utama dari
karyanya adalah naskah Serat Syekh Siti Jenar. Saini K.M. pun
menyatakan bahwa sastra drama “Jenar, Lakon Syekh Siti Jenar
dalam Babad Tanah Pengging” merupakan salah satu versi saja dari
kisah Syekh Siti Jenar.
Dari apa yang dikemukakan oleh Saini K.M. penulis berkeyakinan
kuat bahwa naskah Serat Syekh Siti Jenar merupakan hipogram dari
naskah “Jenar, Lakon Syekh Siti Jenar dalam Babad Tanah Pengging”.
Dengan kata lain, naskah lakon tersebut merupakan transformasi
dari naskah yang disebut pertama. Itulah salah satu aspek yang
mendasari pertimbangan penulis untuk memilih Intertekstual sebagai
teori sastra yang akan digunakannya dalam proses penelitian.
Bandung, 26 Juni 2008