37
BAB I Konsep-konsep Dasar Sastra dan Studi Sastra 1.1 Kaidah sastra / daya tarik sastra Sebagaimana dikatakan Herman J. Waluyo, (1994: 56-58 ) bahwa kaidah sastra atau daya tarik sastra terdapat pada unsur-unsur karya sastra tersebut. Pada karya cerita fiksi, daya tariknya terletak pada unsur ceritanya, yakni cerita atau kisah dari tokoh-tokoh yang diceritakan sepanjang cerita yang dimaksud. Selain itu, faktor bahasa juga memegang peranan penting dalam menciptakan daya pikat, kemudian gayanya dan hal-hal yang khas yang dapat menyebabkan karya itu memikat pembaca. Khusus pada cerita fiksi, ada empat hal lagi yang membantu menciptakan daya tarik suatu cerita rekaan, yaitu : 1) kreativitas, 2) tegangan (suspense), 3) konflik, dan 4) jarak estetika. Uraian keempatnya sebagaimana dikutip dari Waluyo ( 1994:58-60 ) berikut ini. 1) Kreativitas Tanpa kreativitas, karya sastra yang diciptakan pengarang tidak mungkin menempati perhatian pembaca. Kreativitas di¬tandai dengan adanya penemuan baru dalam proses penceritaan. Pengarang- pengarang yang lazim disebut "avantgarde" atau pelo¬por, biasanya menunjukkan daya kreativitas yang menonjol yang membedakan karya rekaannya dari karya yang mendahului. Dalam sejarah sastra Indonesia, kita mengenal para pemba¬haru sastra Indonesia yang menunjukkan, daya kreativitas mereka, seperti: March Rush (dengan Siti Nurbaya), Abdul Muis (dengan Salah Asuhan), Sutan Takdir Alisyahbana (dengan Layar Terkembang), Armijn Pane (dengan Belenggu), Achdiat Kartamiharja (dengan Atheis), Mochtar Lubis (dengan Jalan Tak Ada Ujung), Iwan Simatupang (dengan karya-karyanya yang bercorak eksistensialistis), Putu Widjaya (dengan Gress), Danarto (dengan

File Kritik Sastra

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: File Kritik Sastra

BAB I

Konsep-konsep Dasar Sastra dan Studi Sastra

1.1 Kaidah sastra / daya tarik sastra

Sebagaimana dikatakan Herman J. Waluyo, (1994: 56-58 ) bahwa kaidah

sastra atau daya tarik sastra terdapat pada unsur-unsur karya sastra

tersebut. Pada karya cerita fiksi, daya tariknya terletak pada unsur ceritanya,

yakni cerita atau kisah dari tokoh-tokoh yang diceritakan sepanjang cerita

yang dimaksud. Selain itu, faktor bahasa juga memegang peranan penting

dalam menciptakan daya pikat, kemudian gayanya dan hal-hal yang khas

yang dapat menyebabkan karya itu memikat pembaca. Khusus pada cerita

fiksi, ada empat hal lagi yang membantu menciptakan daya tarik suatu cerita

rekaan, yaitu : 1) kreativitas, 2) tegangan (suspense), 3) konflik, dan 4) jarak

estetika. Uraian keempatnya sebagaimana dikutip dari Waluyo ( 1994:58-60 )

berikut ini.

1) Kreativitas

Tanpa kreativitas, karya sastra yang diciptakan pengarang tidak mungkin

menempati perhatian pembaca. Kreativitas di¬tandai dengan adanya

penemuan baru dalam proses penceritaan. Pengarang-pengarang yang lazim

disebut "avantgarde" atau pelo¬por, biasanya menunjukkan daya kreativitas

yang menonjol yang membedakan karya rekaannya dari karya yang

mendahului.

Dalam sejarah sastra Indonesia, kita mengenal para pemba¬haru sastra

Indonesia yang menunjukkan, daya kreativitas mereka, seperti: March Rush

(dengan Siti Nurbaya), Abdul Muis (dengan Salah Asuhan), Sutan Takdir

Alisyahbana (dengan Layar Terkembang), Armijn Pane (dengan Belenggu),

Achdiat Kartamiharja (dengan Atheis), Mochtar Lubis (dengan Jalan Tak Ada

Ujung), Iwan Simatupang (dengan karya-karyanya yang bercorak

eksistensialistis), Putu Widjaya (dengan Gress), Danarto (dengan cerita-cerita

mistiknya), dan sebagainya.

Penemuan-penemuan hal yang baru itu mungkin melalui peniruan terhadap

karya yang sudah ada dengan jalan memper¬baharui, namun mungkin juga

melalui pencarian secara modern harus banyak bersusah payah untuk

menemu¬kan sesuatu yang baru, untuk tidak hanya mengulang-ulang apa

yang sudah diucapkan/diungkapkan oleh pengarang lain.

2)Tegangan ( Suspense)

Page 2: File Kritik Sastra

Di depan telah dibicarakan tentang tegangan atau suspense. Tidak mungkin

ada daya tarik tanpa menciptakan tegangan dalam sebuah cerita. Jalinan

cerita yang menimbulkan rasa ingin tahu yang besar dari pembaca adalah

merupakan tegangan cerita itu. Tegangan bermula dari ketidakpastian cerita

yang berlanjut, yang mendebarkan bagi pembaca /pendengar cerita.

Tegangan meno¬pang keingintahuan pembaca akan kelanjutan cerita.

Tegangan diakibatkan oleh kemahiran pencerita di dalam merangkai kisah

seperti yang sudah dikemukakan di depan.

Tanpa tegangan, cerita tidak memikat. penulis/pencerita yang mahir akan

memelihara tegangan itu, sehingga mampu mempermainkan hasrat ingin

tahu pembaca. Bahkan kadang¬kadang segenap pikiran dan perasaan

pembaca terkonsentrasikan ke dalam cerita itu, karena kuatnya tegangan

yang dirangkai oleh sang penulis. Dalam menjawab hasrat ingin tahu

pembaca/ pendengar, penulis/pencerita memberikan jawaban-jawaban yang

mengejutkan (penuh surprise). Tinggi rendahnya kadar kejutan itu

bergantung dari kecakapan dan kreativitas pengarang. Penga¬rang-

pengarang cerita rekaan besar seperti Agata Christie, Serlock Holmes,

Pramudya Ananta Toer, dan sebagainya, mampu mencip-takan jawaban-

jawaban cerita yang penuh kejutan sehingga cerita¬nya memiliki suspense

yang memikat.

Cerita-cerita action biasanya dengan suspense yang keras. Cerita semacam

itu berusaha mengikat perhatian pembaca terus-menerus.

3)Konflik

Membicarakan daya tarik cerita rekaan harus menghu¬bungkannya dengan

konflik yang dibangun. Jika konflik itu tidak wajar dan tidak kuat, maka jalan

ceritanya akan datar dan tidak menimbulkan daya tarik. Konflik yang wajar

artinya konflik yang manusiawi, yang mungkin terjadi dalam kehidupan ini

dan antara kedua orang yang mengalami konflik itu mempunyai posisi yang

kurang lebih seimbang. Jika posisinya sudah nampak tidak seimbang, maka

konflik menjadi tidak wajar karena pem¬baca segera akan menebak

kelanjutan jalan ceritanya.

Konflik itu juga harus kuat. Dalam kisah kehidupan se¬hari-hari, konflik yang

kuat biasanya berkaitan dengan problem manusia yang penting dan

Page 3: File Kritik Sastra

melibatkan berbagai aspek kehidupan. Konflik itu bersifat multidimensional

yang tidak mudah menye¬lesaikannya. Roman Salah Asuhan dan Belenggu

memiliki kon¬flik yang cukup kuat karena problem yang menyebabkan

konflik itu adalah problem hakiki dalam kehidupan manusia. Konflik itu, juga

sukar menyelesaikannya karena tidak mungkin adanya satu jawaban saja.

Hal ini berbeda dengan konflik yang dibangun me¬lalui cerita wayang.

Karena tokohnya hitam putih, maka konflik dalam cerita wayang segera

dapat ditebak jawabannya.

Dalam novel-novel mutakhir, jalinan konflik itu cukup bervariasi. Karena

konflik menjadi dasar cerita, maka perhatian pengarang kepada konflik ini

kiranya memungkinkan mereka akan lebih mampu menjalin cerita yang

memikat.

4)Jarak Estetika

Daya pikat sebuah cerita fiksi juga muncul akibat penga¬rang memiliki jarak

estetika yang cukup pekat dengan cerita dan .1tokoh'To-koF —cerita itu.

Seolah-olah pengarang menguasai benar- benar dunia dari to col itu,

sehingga pengarang benar-benar ikut terlibat dalam diri tokoh dan ceritanya.

Jika keadaan ini dapat dilakukan oleh pengarang, pembaca akan lebih yakin

akan hadir¬nya cerita dan tokoh itu, seakan-akan cerita fiksi itu bukan hanya

tiruan dari kenyataan itu, namun adalah kenyataan sendiri yang

mengejawantah.

Waktu penulis membaca cerita Mushashi, penulis merasa ikut terlibat dalam

peristiwa-peristiwa karena kekuatan cerita itu. Ketika pada adegan terakhir

Mushashi mengalahkan Sasaki Kojiro, penulis merasa menyaksikan dui

ksatria bertempur di tepi pantai Parangtritis, di siang hari ketika matahari

terik, dan tiba¬tiba Mushashi melompat menghantam kepala Koliro dengan

pedang. Kisah itu seperti Nadir di mata penulis dan bukan hanya dalam

angan-angan. Ini dapat terjadi karena kekuatan cerita. Pengarang

menciptakan jarak estetis yang cukup rapat sehingga tokoh dan peristiwa

benar-benar hidup

2.2 Ciri-ciri sastra

Ciri sastra yang akan kita pahamkan di sini adalah ciri-ciri sastra yang pernah

dikemukakan oleh para ahli sastra atau para praktisi sastra. Pada

Page 4: File Kritik Sastra

pembicaraan konsep-konsep sebelumnya, sudah banyak terungkap tentang

ciri sastra ini. Misalnya, pada pembicaraan definisi sastra yang dikemukakan

para ahli di atas. Konsep-konsep prasyarat pembentuk konsep sastra

tersebut merupakan ciri sastra. Bukankah suatu definisi konsep harus

mencakup penyebutan nama konsep, superordinat konsep, dan ciri-ciri yang

mendefinisikan konsep tersebut, selain penyebutan kata penghubung

antarciri yang mendefinisikan itu?

Wellek & Warren ( 1989:22) menyebutkan: 1) menimbulkan efek yang

mengasingkan, 2) fiksionalitas, 3) ciptaan, 4) tujuan yang tidak praktis, 5)

pengolahan dan penyampaian melalui media bahasa, 6) imajinasi, 7)

bermakna lebih, 8) berlabel sastra, 9) merupakan konvensi masyarakat,

sebagai cirri-ciri sastra. Selain itu, Lexemburg, dkk. ( 1984:9) menambahakan

beberapa cirri lagi, yaitu: 1) bukan imitasi, 2) otonom, 3) koherensi, 4).

sintesa, dan 5) mengungkapkan yang tak terungkapkan sebagai ciri sastra

yang lainnya. Dengan demikian sudah teridentifikasi empat belas cirri sastra.

Tentu pendapat lain dapat pula ditambahkan, seperti pendapat yang

dipegang pada zaman Romantik, bahwa sastra itu merupakan luapan emosi

spontan, sedangkan menurut kaum Formalis, sastra selain menunjukkan

cirinya pada aspek sintaktik, juga pada grafiknya.

Untuk mendapatkan pemahaman lebih lanjut tentang maksud ciri-ciri sastra

di atas, Anda sebaiknya membaca buku sumber yang telah disebutkan di

atas, yaitu buku Wellek & Warren dan buku Lexemburg, dkk. Anda lihat

identitas sumber selengkapnya pada bagian V. Sumber Belajar.

2.3 Tiga wilayah kesusastraan

Tiga wilayah kesusastra itu adalah : 1) wilayah penciptaan sastra, 2) wilayah

penikmatan sastra, dan 3) wilayah penelitian sastra. Dikemukakan oleh

Mursal Esten ( 1978:13-14), bahwa ketiga wilayah dalam kehidupan

kesusastraan itu saling berhubungan dan saling membantu.

Maksud dari ketiga wilayah tersebut dijelaskannya sebagai berikut ini.

“Wilayah penciptaan kesusastraan ialah wilayah para sastrawan, yang diisi

dengan ciptaan-ciptaan yang baik dan bermutu. Persoalan mereka ialah

bagaimana menciptakan ciptasastra yang baik dan bermutu.

Wilayah penelitian ialah wilayah para ahli dan para kritikus. Mereka berusaha

Page 5: File Kritik Sastra

menjelaskan , menafsirkan dan memberikan penilaian terhadap ciptasastra-

ciptasastra. Tentu saja mereka harus memperlengkapi diri mereka dengan

segala pengetahuan yang mungkin diperlukan untuk memahami ciptasastra-

ciptasastra yang mereka hadapi. Wilayah para penikmat adalah wilayah para

pembaca. Wilayah ini tidak kurang pentingnya, karena untuk merekalah

sesungguhnya ciptasastra-ciptasastra ditulis oleh para pengarang”.

2.4 Tiga cabang studi sastra

Yang merupakan tiga cabang studi sastra itu adalah teori sastra, sejarah

sastra, dan kritik sastra ( Wellek & Warren dalam Pradopo, 2002: 34-35).

Pegertian ketiga cabang studi sastra itu sebagaimana dijelaskan Paradopo

(2002) dan Fananie ( 2000 ) berikut ini.

1) Teori sastra adalah bidang studi sastra yang berhubungan dengan teori

kesusastraan, seperti studi tentang apakah kesusastraan itu, bagaimana

unsur-unsur atau lapis-lapis normanya; studi tentang jenis sastra (genre ),

yaitu apakah jenis sastra dan masalah umum yang berhubungan dengan

jenis sastra, kemungkinan dan kriteria untuk membedakan jenis sastra, dan

sebagainya ( Pradopo, 2002:34). Perihal unsur-unsur atau lapis-lapis norma

karya sastra dijelaskan lebih lanjut oleh Fananie yakni menyangkut aspek-

aspek dasar dalam teks sastra. Aspek-aspek tersebut meliputi aspek intrinsik

dan ekstrinsik sastra. Teori intrinsic sastra berhubungan erat dengan bahasa

sebagai sistem, sedang konvensi ekstrinsik berkaitan dengan aspek-aspek

yang melatarbelakangi penciptaan sastra. Aspek tersebut meliputi aliran,

unsur-unsur budaya, filsafat, politik, agama, psokologi, dan sebagainya.

(2000:17-18) Ditegaskan lagi oleh Pradopo ( 2002:34) bahwa pokoknya

semua pembicaraan mengenai teori atau bersifat teori itu adalah lingkup

teori sastra.

2) Sejarah sastra adalah studi sastra yang membicarakan lahirnya

kesusastraan Indonesia modern, sejarah sastra membicarakan sejarah jenis

sastra, membicarakan periode-periode sastra, dan sebagainya; pokoknya

semua pembicaraan yang berhubungan dengan kesejarahan sastra, baik

pembicaraan jenis, bentuk, pikiran-pikiran, gaya-gaya bahasa yang terdapat

dalam karya sastra dari periode ke periode ( Pradopo,2002: 34).

Page 6: File Kritik Sastra

Dikemukakan oleh Fananie (2000:19-20) bahwa berdasarkan aspek

kajiannya, sejarah sastra dibedakan men¬jadi:

a. Sejarah genre, yaitu sejarah sastra yang mengkaji perkembang¬an karya-

karya sastra seperti puisi dan prosa yang meliputi cerpen, novel, drama, atau

sub genre seperti pantun, syair, talibun, dan sebagainya. Kajian tersebut

dititikberatkan pada proses kelahirannya, perkembangannya, dan pengaruh-

penga¬ruh yang menyertainya.

b. Sejarah sastra secara kronologis, yaitu sejarah sastra yang mengkaji

karya-karya sastra berdasarkan periodesasi atau ba¬bakan waktu tertentu.

Di Indonesia penulisan sejarah sastra secara kronologis, misalnya klasifikasi

periodesasi tahun 20-an, yang melahirkan Angkatan Balai Pustaka, tahun 30-

an yang melahirkan Angkatan Pujangga Baru, tahun 42, sastra Jepang, tahun

45, Angkatan 45, tahun 60-an yang melahirkan Angkatan 66, dan sastra

mutakhir atau kontemporer.

c. Sejarah sastra komparatif, yaitu sejarah sastra yang mengkaji dan

membandingkan beberapa karya sastra pada masa lalu, pertengahan, dan

masa kini. Bandingan tersebut bisa meliputi karya-karya sastra antar negara

seperti sastra Eropa dengan sastra Indonesia, Melayu, dan sebagainya.

Aspek-aspek yang dibandingkan dapat meliputi beberapa hal seperti yang

dike¬mukakan oleh Rene Wellek, yaitu:

1) Comparative literature: The study of oral literature expecially of falle talk

themes and then imigration, of how and other they have entered higher

artistic literature. (Pengkajian sastra lisan khususnya mengenai terra-terra

cerita rakyat dan ceritakepindahannya, bagaimana dan kapan sastra-sastra

rakyat tersebut berkembang / masuk pada bagian yang lebih tinggi pada

keindahan sastra itu yang bersifat artistik).

2) The study of relationship betwen two or more literature. (Hu¬bungan

kajian antara dua atau beberapa karya sastra).

2) The study of literature in its totality (world literature or universal

literature). (Kajian sastra secara keseluruhan).

Pembagian di atas hanyalah merupakan pembagian global, ka¬rena secara

Page 7: File Kritik Sastra

rinci, kajian komparatifnya dapat berupa aspek baha¬sanya, estetikanya,

latar belakangnya, gaya, pengaruh, atau se¬mua aspek yang menyertai

karya tersebut.

3) Kritik Sastra ialah studi sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra

dengan langsung, menganalisis, menginterpretasi, memberi komentar, dan

memberikan penilaian (Pradopo,2002:34-35). Dikatakan Fananie, Kritik sastra

itu semacam pertimbangan untuk menunjukkan kekuatan atau kebagusan

dan juga kekurangan yang terdapat dalam karya sastra. Karena itu hasil dari

kritik sastra biasanya mencakup dua hal , yaitu baik dan buruk (goodness

atau dislikeness) (2000:20).

Untuk memperoleh gambaran yang jelas, maka kritik selalu berkaitan dengan

judgement, valuation, proper understanding and recornition, statement

giving valuation, and rise in value (2000:20).

BAB II

A. PENGERTIAN KRITIK SASTRA

Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti

”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang

berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan”.[1]

Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang

ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap

teks sastra sebagai karya seni.[2]

Abrams dalam Pengkajian sastra (2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik

sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan,

klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra.

Pengertian kritik sastra di atas tidaklah mutlak ketetapannya, karena sampai

saat ini, belum ada kesepakatan secara universal tentang pengertian sastra.

Namun, pada dasarnya kritik sastra merupakan kegiatan atau perbuatan

mencari serta menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan

penafsiran sistematik yang dinyatakan kritikus dalam bentuk tertulis.

Membaca secara mendalam keberagaman pengertian sastra yang tersuguh

Page 8: File Kritik Sastra

dari beberapa sumber yang diberikan sebagai tugas pemenuhan mata kuliah

Naqd Adabi, terdapat sebuah gambaran dalam benak penulis, muncul sebuah

matrikulasi wilayah sastra, yang sangat mudah untuk dihafalkan, dipahami

dan dimengerti, sebagaimana berikut:

Ilmu Sastra

Teori Sastra Sejarah Sastra Kritik sasra

1. Teori sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan:

a. pengertian-pengertian dasar tentang sastra,

b. hakekat sastra,

c. prinsip-prinsip sastra,

d. latar belakang, jenis-jenis sastra, dan

e. susunan dalam karya sastra dan prinsip-prinsip tentang penilaian sastra.

2. Sejarah Sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan;

a. membicarakan tentang perkembangan sastra,

b. ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan karya sastra tersbut,

c. situasi sosial masyarakat dan idologi yang semuanya,

3. Kritik sastra yang dalam eksistnsinya sendiri turut serta membicarakan;

a. analisis,

b. interpretasi, dan

c. menilai karya sastra.

¬ Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Sebagaimana

teori sastra yang sudah pasti membutuhkan kerja sama dengan sejarah

sastra. Sejarah satra yang tidak bisa dipisahkan dari teori dan kritik sastra,

begitu juga dengan kritik sastra yang membutuhkan adanya teori dan

sejaarah sastra.[3]

Apabila diperhatikan hal di atas, maka akan diperoleh sebuah kesimpulan

bahwa sebuah karya sastra tidak akan mampu dipahami, dihayati, ditafsirkan

dan dinilai secara sempurna tanpa adanya itervensi dari ketiga bidang ilmu

sastra tersebut. Sebuah teori sastra tidak akan pernah sempurna jika tidak

dibantu oleh sejarah dan kritik sastra; begitu juga dengan sejarah sastra

yang tidak dapat dipaparkan, jika teori dan kritik sastra tidak jelas; dan kritik

sastra tidak akan mencapai sasaran, apabila teori dan sejarah sastra tidak

dijadikan tumpuan.

Page 9: File Kritik Sastra

Analisis merupakan hal yang sangat penting dalam kritik sastra.

Sebagaimana Jassin dalam Pengkajian Sastra menjelaskan bahwa kritik

sastra ialah baik buruknya suatu hasil kasustraan dengan memberi alasan-

alasan mengenai isi dan bentuknya.[4]

Dengan demikian, kritik sastra adalah kegiatan penilaian yang ditunjukkan

pada karya sastra atau teks. Namun, melihat kenyataan bahwa setiap karya

sastra adalah hasil karya yang diciptakan pengarang, maka kritik sastra

mencakup masalah hubungan sastra dengan kemanusiaan. Namun, sasaran

utama kritik sastra adalah karya sastra atau teks tersebut dan makna bagi

krtikus tersebut, bukan pada pengarangnya.[5] Seorang kritikus sastra

mengungkapkan pesan dalam satu bentuk verbal dengan bentuk verbal yang

lain, mencoba menemukan pengalaman estetis persepsi tentang realitas

yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pengamatannya terhadap cara

penggunaan bahasa, terhadap kode-kode bahasa yang digunakan.

Dalam hal ini, tampak adanya hubungan antara liguistik dengan kritik sastra.

Dimana bagi seorang linguistik, kode itu sendiri dan cara kode dibangun

didalam teks yang menjadi perhatian utamanya. Baginya makna itu penting

jika dapat menjelaskan bagaimana kode-kode itu dibentuk.

Panuti Sudjiman mendeskripsikan bahwa stilistika yang merupakan bagian

dari linguistik, memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa,

terutama bahasa dalam kesusastraan, memiliki peran penting karena

stilistika dianggap menjembatani kritik sastra di satu pihak dan linguistik

dipihak lain. Hubungan tersebut tercipta karena:

1. Stilistika mengkaji atau melakukan kritik terhadap karya sastra (di pihak

lain).

2. Stilistika mengkaji wacana sastra dengan oreintasi linguistik.

3. Stilistika mengkaji cara sastrawan dalam menggunakan unsur dan kaidah

bahasa serta efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu.

4. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri

yang membedakannya dengan wacana nonsastra, dan

5. Stilistika meneliti deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang

normal (dengan metode kontras) dan berusaha menemukan tujuan

estetisnya sebagai sarana literer. Dengan kata lain, stilistika meneliti fungsi

puitik bahasa.

Ia menambahkan bahwa hubugan kritik sastra dengan analisis stilistika

Page 10: File Kritik Sastra

bukan berarti berperpretensi menggantikan kritik sastra. Justru sebaliknya,

kritik sastra tidak berpretensi menggantikan kritik sastra serta membuka

jalan untuk kritik sastra yang efektif. Pengkajian stilistik tidak bermaksud

mematikan intuisi karya sastra. Analisis stilistik justru berusaha

menggantikan subjektivitas dan inpresionisme yang digunakan oleh kritikus

sastra sebagai pedoman dalam mengkaji karya sastra dengan suatu

pengkajian yang relatif lebih obyektif dan ilmiah[6]

Jelaslah, bawa stilistika berupaya menujukkan bagaimana unsur-unsur suatu

teks berkombinasi membentuk suatu pesan dan menemukan ciri yang benar-

benar memberikan efek tertentu kepada pembaca (pendengar), tidak

sekedar menghitung frekuensi penggunaan sarana-sarana stilistik dalam

suatu karya sastra

B. Fungsi Kritik Sastra

Dalam mengkritik karya sastra, seorang kitikus tidaklah bertindak semaunya.

Ia harus melalui proses penghayatan keindahan sebagaimana pengarang

dalam melahirkan karya sastra. Karena kritik sastra sebagai kegiatan ilmiah

yang mengikat kita pada asas-asas keilmuan yang ditandai oleh adanya

kerangka, teori, wawasan, konsep, metode analisis dan objek empiris.[8]

Setidaknya, ada beberapa fungsi kritik sastra yang perlu untuk kita ketahui,

sebagaimana berikut;

• Kritik sastra berfungsi bagi perkembangan sastra

Dalam mengkritik, seeorang kritikus akan menunjukkan hal-hal yang bernilai

atau tidak bernilai dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan

menunjukkan hal-hal yang baru dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang

belum digarap oleh sastrawan. Dengan demikian, sastrawan dapat belajar

dari kritik sastra untuk lebih meningkatkan kecakapannya dan memperluas

cakrawala kreativitas, corak, dan kualitas karya sastranya. Jika sastrawan-

sastrawan mampu menghasilkan karya-karya yang baru, kreatif, dan

berbobot, maka perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat

pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan kata lain, kritik yang

dilakukan kritikus akan meningkatkan kualitas dan kreativitas sastrawan, dan

pada akhirnya akan meningkatkan perkembangan sastra itu sendiri.

• Kritik sastra berfungsi untuk penerangan bagi penikmat sastra

Dalam melakukan kritik, kritikus akan memberikan ulasan, komentar,

menafsirkan kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya

Page 11: File Kritik Sastra

sastra yang dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah

memahami karya sastra yang dikritik oleh kritikus.

¬Di sisi lain, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra,

maka daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik.

Masyarakat dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi (karya sastra

yang berisi nilai-nilai kehidupan, memperhalus moral, mempertajam pikiran,

kemanusiaan, kebenaran dll).

• Kritik sastra berfungsi bagi ilmu sastra itu sendiri

Analisis yang dulakukan kritikus dalam mengkritik harus didasarkan pada

referensi-referensi dan teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula,

perkembangan teori sastra lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan

proses kreatif pengarang. Untuk itu, dalam melakukan kritik, kritikus

seringkali harus meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra baru yang seperti

inilah yang justru akan mengembangkan ilmu sastra itu sendiri, dimana

seorang pengarang akan dapat belajar melalui kritik sastra dalam

memperluas pandangannya, sehingga akan berdampak pada meningkatnya

kualitas karya sastra.

Fungsi kritik sastra di atas akan menjadi kenyataan karena adanya tanggung

jawab antara kritikus dan sastrawan serta tanggungjawab mereka dalam

memanfaatkan kritik sastra tersebut.

Dengan demikian, tidak perlu diragukan bahwa adanya kritik yang kuat serta

jujur di medan sastra akan membawa pada meningkatnya kualitas karya

sastra. Karena sastrawan akan memiliki perhitungan sebelum akhirnya

dipublikasikannya karya sastra tersebut. Oleh sebab itu, ketiadaaan kritik

pada medan sastra akan membawa pada munculnya karya-karya sastra yang

picisan.

Raminah Baribin menambahkan, bahwasanya tidak semua kritik sastra dapat

menjelaskan fungsinya, oleh sebab itu kritik sastra harus memiliki tanggung

jawab atas tugasnya serta mampu membuktikan bahwa dengan adanya kritik

yang dilakukan oleh kritikus mampu memberikan sumbangan yang berharga

terhadap pembinaan dan pengembangan sastra. Karnanya kritik sastra

berfungsi apabila;

1) disusun atas dasar untuk meningkatkan dan membangun sastra,

2) melakukan kritik secara objektif, menggunakan pendekatan dan metode

Page 12: File Kritik Sastra

yang jelas, agar dapat dipertangungjawabkan

3) mampu memperbaiki cara berpikir, cara hidup, dan cara bekerja

sastrawan,

4) dapat menyesuikan diri dengan ruang lingkup kebudayaan dan tata nilai

yang berlaku, dan 5) dapat membimbing pembaca untuk berpikir kritis dan

dapat meningkatkan apresiasi sastra masyarakat.

BAB III

MANFAAT DAN FUNGSI

A. Manfaat Kritik Sastra

Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, Studi sastra (ilmu sastra) mencakup

tiga bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya

memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Kritik sastra dapat

diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang

melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra.

Setidaknya, ada 4 (empat) manfaat kritik sastra. Keempat manfaat tersebut

adalah sebagai berikut.

1. Kritik sastra berguna bagi perkembangan sastra

Dalam mengkritik, kritikus akan menunjukkan hal yang bernilai/tidak bernilai

dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan menunjukkan kebaruan-

kebaruan dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang belum digarap oleh

sastrawan. Dengan demikian sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk

lebih meningkatkan kecakapannya dan memperluas cakrawala kreativitas,

corak, dan mutu karya sastranya. Jika sastrawan-sastrawan dalam di negara

tertentu menghasilkan karya-karya yang baru, kreatif, dan berbobot, maka

perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat pesat, baik

secara kualitas maupun kuantitas.

Dengan kata lain, kritik yang dilakukan kritikus akan meningkatkan kualitas

dan kreativitas sastrawan, dan pada gilirannya akan meningkatkan

perkembangan sastra itu sendiri.

2.Kritik sastra berguna untuk penerangan bagi pembaca

Dalam melakukan kritik, kritikus akan memberikan ulasan, komentar,

menafsirkan kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya

sastra yang dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah

memahami karya sastra yang dikritik oleh kritikus.

Page 13: File Kritik Sastra

Di sisi lain, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra, maka

daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik.

Masyarakat dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi (karya sastra

yang berisi nilai-nilai kehidupan, memperhalus budi, mempertajam pikiran,

kemanusiaan, dan kebenaran).

3. Kritik sastra berguna bagi ilmu sastra itu sendiri

Analisis yang dulakukan kritikus dalam mengkritik tentulah didasarkan pada

referensi-referensi, teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula, perkembangan

teori sastra lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan proses kreatif

pengarang. Untuk itu, dalam melakukan kritik, kritikus seringkali harus

meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra yang baru inilah yang justru akan

semakin memperkembangkan ilmu sastra itu sendiri.

4. Memberi sumbangan pendapat untuk menyusun sejarah sastra

Dalam melakukan kritik, kritikus tentu akan menunjukkan ciri-ciri karya

sastra yang dikritik secara struktural (ciri-ciri intrinsik). Tidak jarang pula

kritikus akan mencoba mengelompokkan karya sastra yang dikritik ke dalam

karya sastra yang berciri sama. Kenyataan inilah yang dapat disimpulkan

bahwa kritik sastra sungguh membantu penyusunan sejarah sastra.

B. Aktivitas Kritik Sastra

Dari pengertian kritik sastra, terkandung secara jelas aktivitas kritik sastra.

Secara rinci. Aktivitas kritik sastra mencakup 3 (tiga) hal, yaitu menganalisis,

menafsirkan, dan menilai.

Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan

menarik hubungan antar unsur-unsur tersebut. Sementara menafsirkan

(interpretasi) dapat diartikan sebagai memperjelas/memperjernih maksud

karya sastra dengan cara: (a) memusatkan interpretasi kepada ambiguitas,

kias, atau kegelapan dalam karya sastra, (b). memperjelas makna karya

sastra dengan jalan menjelaskan unsur-unsur dan jenis karya sastra. Seorang

kritikus yang baik tidak lantas terpukau terhadap apa yang sedang dinikati

atau dihayatinya, tetapi dengan kemampuan rasionalnya seorang kritikus

harus mampu membuat penafsiran-penfsiran sehingga karya sastra itu

datang secara utuh.[7]

Jan Van Luxmburk dkk. dalam Pengkajian Sastra (2005: 58-59) membedakan

Page 14: File Kritik Sastra

enam jenis pokok penafsiran sebagaimana berikut:

1. penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat bahwa teks sudah jelas.

2. penafsiran yang berusaha untuk meyusun kembali arti historik.

3. penafsiran heurmenetik, yaitu keahlian mnginterpretasi karya sastra yang

berusaha memperpadukan masa lalu dan masa kini.

4. tafsiran-tafsiran dengan sadar disusun dengan bertitik tolak pada

pandangannya sendiri mengenai sastra

5. tafsiran-tafsiran yang bertitik pangkal pada sutu problematik tertentu,

misalnya permasalahan psikologi atau sosiologi

6. tafsiran yang tidak langsung berusaha agar secara memadai sbuah teks

diartikan. Pendekatan yang berkiblat pada pembaca disebut estetika-represif.

Jika teks yang brsangkutan tidak untuk atau mempunyai versi yang berbeda,

trlebih dahulu hrus dilakukan penafsiran filologis.

Adapun aktivitas yang ketiga yaitu penilaian. Penilaian dapat diartikan

menunjukkan nilai karya sastra dengan bertitik tolak dari analisis dan

penafsiran yang telah dilakukan. Dalam hal ini, penilaian seorang kritikus

sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-dasar kritik

sastra yang dianut/dipakai/dipahami seorang kritikus.

.

Saatnya kita kali ini mempermudah diri memahami isi sebuah buku dengan

bahasa kita sendiri. Rangkuman baca diantaranya ataupun catatan-catatan

kecil tentang isi buku akan lebih memudahkan diri kita megerti apa yng ada

dalam buku tersebut. Ada dua buah buku yang saya sajikan milik Prof. Dr.

Rachmat Joko Pradopo yaitu, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan

Penerapannya dan Prinsip-Prinsip Kritik Sastra.

BAB III

PRINSIP-PRINSIP KRITIK SASTRA

Di dalam makalah ini diuraikan mengenai beberapa definisi kritik sastra,

penggolongan kritik sastra, paham penilaian karya sastra, metode analisis

karya sastra, dan para kritikus.

Kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk karya sastra. Menurut William

Henry Hudson bahwa kritik adalah penghakiman. Sedangkan menurut I.A.

Page 15: File Kritik Sastra

Richard kritik adalah usaha untuk membedakan pengalaman (jiwa) dan

memberi penilaian kepadanya. Dan menurut M.H. Abrams bahwa kritik

adalah studi yang berhubungan dengan pendefinisian, penggolongan

(pengklasan), penguraian (analisis), dan penilaian (evaluasi).

Kritik dapat digolongkan menurut bentuk, praktik kritik, dan dasar

pendekatannya terhadap karya sastra. Menurut bentuknya, ada kritik teori

dan kritik terapan. Kritik teori yaitu menetapkan prinsip-prinsip umum untuk

diterapkan pada interpretasi karya sastra. Dan kritik terapan yaitu penerapan

prinsip-prinsip umum pada interpretasi karya sastra.

Menurut praktik kritik ada kritik judisial, impresionistik/ estetik, dan induktif.

Kritik judisial berusaha menganalisis efek karya sastra berdasarkan teknik,

gaya, dan organisasinya secara subjektif. Kritik impresionistik berusaha

menggambarkan karya sastra dengan kata-kata dan mengekspresikan

tanggapan kritikus atau uraian kesan-kesan kritikus mengenai isi sajak yang

diucapkan penyair dengan mengutip sajak tanpa analisisnya. Dan kritik

induktif berusaha menguraikan bagian-bagian sastra berdasarkan fenomena

yang ada secara objektif seperti persajakan, gaya bahasa, dan pikiran yang

dikemukakan (seperti metode literer).

Kritik menurut pendekatannya, ada kritik mimetik, pragmatik, ekspresif, dan

objektif. Kritik mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan dan

pencerminan dunia dan kehidupan manusia. Kritik pragmatik memandang

karya sastra menurut berhasil tidaknya mencapai tujuan berupa efek yang

ditimbulkan seperti efek kesenangan, pendidikan, dan efek-efek lainnya.

Kritik ekspresif memandang karya sastra sebagai curahan perasaan dan

produk imajinasi penulis dengan persepsi, pikiran, dan perasaannya. Dan

kritik objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas

dan dianalisis dengan kriteria intrinsik dan unsur pembentuknya yang lain.

Ada tiga paham mengenai penilaian karya sastra yaitu penilaian relativisme,

absolutisme, dan perspektivisme. Penilaian relativisme ialah penilaian yang

dihubungkan dengan tempat dan zaman terbitnya karya sastra sehingga

karya sastra yang sudah dinilai baik pada tempat dan zamannya itu tidak

perlu dinilai lagi tapi diterima begitu saja. Penilaian absolutivisme ialah

penilaian yang menilai karya sastra berdasarkan pandangan yang sempit

seperti paham, aliran, politik dan bukan pada hakikat seni itu sendiri. Dan

penilaian perspektif ialah penilaian yang menilai karya sastra dari berbagai

Page 16: File Kritik Sastra

sudut pandang yaitu menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbit dan

nilainya pada masa-masa yang telah dilaluinya.

Metode literer (seperti kritik induktif) yaitu penilaian karya sastra secara

objektif berdasarkan hakikatnya (bentuk dan isi), tidak dapat diukur dengan

ukuran subjektif kritikus/ sastrawan sendiri.

Metode analisis formal yaitu meninjau karya sastra dari segi yang tampak

oleh mata tanpa dihubungkan dengan penilaian apa yang diungkapkan

dengan bentuk itu.

Metode phenomenologi yaitu menganalisis lapis-lapis norma dalam karya

sastra. Lapis norma itu mulai dari lapis terendah berupa lapis suara/ bunyi,

lapis arti, lapis objek, lapis dunia implisit hingga lapis metafisika sebagai lapis

tertinggi. Berikut penjelasannya :

1. Lapis suara/ bunyi adalah bunyi-bunyi yang kuat yang digunakan

mengekspresikan pengalaman jiwa.

2. Lapis arti adalah kesatuan konteks, syntagma, dan pola kalimat dalam

karya sastra yang dapat memberi arti.

3. Lapis objek adalah dunia pengarang, pelaku/ tokoh dalam karya sastra,

dan tempat.

4. Lapis dunia implisit adalah dunia yang dapat dimengerti dari gambaran

objek dalam karya sastra meskipun tidak dinyatakan (implisit).

5. Lapis metafisika adalah pandangan hidup/ filsafat dalam karya sastra

sehingga memberi kesempatan untuk memikirkan sifat mulia, tragis,

mengerikan, dan suci.

Setelah karya sastra dinilai berdasarkan norma-normanya, dapat disimpulkan

karya sastra itu bernilai atau tidak. Pandangan tentang lapis-lapis ini

mengganti pandangan lama yang menyatakan bahwa karya sastra terdiri

atas bentuk dan isi.

Dalam menilai karya sastra harus berdasarkan dua kriteria yaitu bersifat seni

atau estetik yaitu indah seperti pilihan kata yang tepat, kombinasi kata/

kalimat yang menimbulkan efek puitis, penyusunan plot yang baik, ada

konflik yang hebat, humor, dan sebagainya. Dan bersifat ekstra estetik yaitu

dapat mengekspresikan nilai kehidupan yang besar dengan memunculkan

pikiran yang cemerlang, perwatakan yang kompleks, cerita yang hebat, dan

gambaran kehidupan yang menimbulkan renungan. Selain itu perlu dilihat

berhasil tidaknya sastrawan menjelmakan pengalaman jiwanya ke dalam

Page 17: File Kritik Sastra

kata. Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia begitu juga

pengalaman jiwa terdiri atas lima tingkatan (niveaux) yaitu :

1. Tingkatan pertama (niveau anorganis) yang sifatnya seperti benda mati,

berupa pola bunyi irama, baris sajak, alinea, kalimat, perumpamaan, gaya

bahasa, dan sebagainya.

2. Tingkatan kedua (niveau vegetatif) sifatnya seperti tumbuhan, yang

ditonjolkan adalah suasana yang ditimbulkan oleh rangkaian kata-kata

berupa suasana menyenangkan, menyedihkan, romantis, marah, khusuk, dan

sebagainya.

3. Tingkatan ketiga (niveau animal) sifatnya seperti binatang yaitu ada nafsu

jasmaniah berupa nafsu naluriah, nafsu makan, minum, seksual, dan

sebagainya.

4. Tingkatan keempat (niveau human) seperti manusia yaitu pengalaman

yang dirasakan oleh manusia berupa renungan batin, konflik kejiwaan, rasa

belas kasihan, simpati, moral dan sebagainya.

5. Tingkatan kelima (niveau religius/ filosofis) yaitu renungan sampai pada

hakikat tapi tidak dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari, hanya

dialami jika sholat, dzikir, doa, merenungkan dunia beserta kehidupannya,

berupa renungan batin sampai pada hakikat, hubungan manusia dengan

Tuhan seperti doa, pengalaman mistik, filsafat dan sebagainya.

Karya sastra makin banyak memancarkan tingkat keempat makin

memperjelas kehalusan jiwa dan memperbesar perasaan kemanusiaan dan

peradaban.

Para kritikus sastra Indonesia dan metode analisis yang dominan diterapkan

dalam mengkritik karya sastra diantaranya :

1. H. B. Jassin dominan menggunakan analisis formal dan kritik

impresionistik. Analisisnya tidak sampai pada penilaian.

2. Amal Hamzah dominan menggunakan analisis formal.

3. Ajip Rosidi hanya menceritakan kembali tanpa ada analisis apalagi

penilaian. Misalnya dalam membahas cerita, Ajip hanya meringkas cerita

kemudian menceritakan kembali menurut interpretasinya sendiri.

4. J. U. Nasution dominan menggunakan metode induktif, sifat kritiknya

interpretatif (menafsirkan apa yang dimaksud penulis), dan penilaiannya

relativisme.

5. Junus Amir Hamzah dominan menggunakan kritik induktif dan penilaian

Page 18: File Kritik Sastra

relativisme.

6. Boen S. Oemarjati dominan menggunakan metode fenomenologi

(menganalisis struktur norma dihubungkan dengan penilaian dan

disimpulkan karya sastra itu sempurna atau tidak, tinggi atau rendah

mutunya). Tidak hanya memuji keistimewaan tetapi juga menunjukkan

kelemahannya.

7. M. S. Hutagalung dominan menggunakan sifat kritik interpretatif dan

hanya mengemukakan contoh-contoh tanpa diuraikan keberhasilannya

sebagai sastra.

BAB IV

Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya

.

Menurut Pradopo (2005:3) teori-teori dan metode kritik sastra Indonesia itu

bermacam-macam, yang semuanya untuk konkretisasi dipandang dari sudut

pandang teori tertentu. Oleh karena itu dalam buku tersebut tidak semua teri

sastra dan kritik sastra dapat dipaparkan. Yang menjadi utamanya adalah

teori sastra dan kritik sastra strukturalisme dan semiotik serta teori dan

metode estetika resepsi yang sekarang sedang banyak dipelajari dalam kritik

sastra ilmiah.

Adapun hal-hal yang dibahas dalam buku “Beberapa Teori Sastra, metode

kritik dan Penerapannya” adalah:

1.Masalah Angkatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia.

Ada dua masalah yang harus dibahas dalam bagian ini. Pertama, masalah

angkatan sastra dan yang kedua akan dibahas masalah penulisan sejarah

sastra Indonesia. Yang pada intinya, masalh angkatan itu tak lepas kaitannya

dengan penulisan sejarah sastra Indonesia, atau penulisan sejarah sastra

Indonesia tak dapat mengesampingkan pemecahan masalah angkatan

dalanm sastra Indonesia.

2.Sejarah Puisi Indonesia Modern: Sebuah Ikhtisar.

Pada umumnya sampai sekarang, yang dianggap sebagai tahun lahirnya

kesusastraan Indonesia modern adalah tahun1920,tahun terbitnya

(ditulisnya) roman Azab dan Sengsara (1921) oleh Merari Siregar. Sedangkan

sajak Indonesia modern yang pertama adalah sajak “Tanah Air” yang ditulis

Page 19: File Kritik Sastra

oleh M. Yamin. Jadi sesungguhnya lahirnya kesusasraan Indonesia modern itu

bukan hanya ditentukan oleh sastra prosa saja melainkan juga sastra puisi

dalam Rosidi (1964:7).

3.Perkembangan yang Dialektis dalam Kesusastraan Indonesia Modern.

Dalam tahun 1980an, selama satu dekade, karya-karya sastra yang

menampilkan latar sosial budaya daerah makin berkembang seperti tampak

dalam karya-karya Linus Suryadi Ag dan Darmanto Jt. Adapula dalam novel-

novel Y.B. Mangun Wijaya Burung-Burung Manyar dan Roro Mendut.

4.Pusat Pengisahan Metode Orang Pertama dan Perkembangn Dalam Roman

dan Novel Indonesia Modern

Dalam bagian ini diuraikan pusat pengisahan metode orang pertama dan

perkembngannya dalam novel dan roman Indonesia modern. Untuk

menguraikan perkembangan itudipilih roman dan novel Indonesia modern

yang menunjukkan adanya pusat pengisahan orang pertama dan

perkembangannya. Roman dan novel yang menjadi sampel dalm bagian ini

adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah, Atheis, Girah untuk Hidup dan Untuk

Mati, Olenka, Priyayi dll.

5.Kritik Sastra Indonesia Modern dan Perkembangannya.

Untuk menafsir, menganalisis dan menilai karya sastra adalah arientasi karya

sastra yang menentukan arah atau corak kritik sastra. Orientasi karya sastra

itu berdasarkan keseluruhan situasi karya sastra: alam (kehidupan) pembaca,

penulis dan karya sastra. Berdasar hal itu ada empat orientasi, yaitu,

mimetik, pragmatik, ekspresif dan objektif.

6.Konkretisasi sastra.

Istilah pemberian makna dalam sastra disebut konkretisasi. Dalm analisis

karya sastra itu diuraikan unsur-unsur pembentuknya. Dengan demikian

makna keseluruhan karya sastra akan dapat dipahami. Hal ini mengingat

bahwa karya sastra itu adalah sebuah karya sastra yang utuh. (Hawkes,

1978:16) disamping itu sebuah struktur kemampuan yang utuh dapat

dipahami makna keseluruhannya bila diketahui unsur-unsur pembentuknya

dan saling hubungan diantaranya dengan keseluruhannya.

7.Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik.

Penelitian sastra dengan pendekatan semiotik sesungguhnyamerupakan

lanjutan dari pendekatan strukturalisme(Junus,1981:17) bahwa semiotk itu

merupakan lanjutan atau perkembangan strukturalisme.

Page 20: File Kritik Sastra

8.Analisis Puisi Secara Struktural dan Semiotik.

Untuk menganalisis struktur sistem tanda perlu adanya kritik struktural untuk

memahami makna tanda-tanda yang terjalin dalam sistem (struktur)

tersebut. Analisis struktural merupakan prioritas pertama sebelum yang lain-

lain, tanpa itu kebulatan makna intrinsik yang dapat digali dari karya

itusendiritidak akan tertangkap.

9.Hubungan Intertekstual dalam Sastra donesia.

Intertekstual hanya dapat dipahami dengan baik sesudah bagaimana wujud

kritik sastra dan perdebatannya sepanjang sejarahkritik sastra. Dalam bagian

ini pertama kali diuraikan mengenai wujud kritik dan perdebatannya.

10.Hubungan Iintertekstual dalm Roman-Roman Balai Pustaka.

Dalam hal ini makna karya sastra tidak semata-mata ditentukan oleh sruktur

instrinsiknya saja, melainkan juga ditentukan oleh latar sosial budaya dan

kesejarahannya.

11.Estetika Resepsi dan Teori Penerapannya.

Yang dimaksud estetika resepsi adalah estetika(ilmu keindahan) yang

didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca

terhadap karya sastra. Dari dahulu sampai sekarang karya sastra itu selalu

mendpat tangapan-tanggapan pembaca, baik secara perseorangan mauapun

secara bersama-sama atau massal.

12.Tinjauan Resepsi Sastra Beberapa Sajak Chairil Anwar.

Karena sebagai pentair yang sangat penting karena sajk-sajaknya, maka drai

waktu ke waktu sajak-sajaknya selalu mendapat tanggapan dari para

pembaca sastra termasuk para kritikus, tanggapan tersebut bermacam-

macam berdasarkan horizon jawaban masing-masing pembaca atau horizon

harapan pembaca pada tiap periode.

13.Tanggapan Pembaca Terhadap Belenggu.

Melalui tanggapan pembaca dari waktu ke waktu ini maka karya sastra lebih

terungkap dan nilai sastranyapun dapat ditentukan dengan lebih baik.

Belenggu dari waktu ke waktu selalu mendapat tanggapan yang berbeda,

bahkan juga pada waktu terbitnya(1940). Menurut Mr. Dajoh dalam

Pradopo(2005: 236) Belenggu adalah buku modern, bahkan paling modern,

amat baru penyajian isinya, disamping itu juga amat baru bentuk gambaran

mengenai masyarakatnya dan kehidupan yang digambarkan pengaranganya.

Page 21: File Kritik Sastra

Dari pengertian kritik sastra di depan, terkandung secara jelas aktivitas kritik

sastra. Secara rinci, aktivitas kritik sastra mencakup 3 (tiga) hal, yakni

menganalisis, menafsirkan, dan menilai.

Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan

menarik hubungan antarnsur-unsur tersebut. Sementara menafsirkan

(interpretasi) dapat diartikan sebagai memperjelas/memperjernih maksud

karya sastra dengan cara: (a) memusatkan interpretasi pada ambiguitas,

kias, atau kegelapan dalam karya sastra, (b) memperjelas makna karya

sastra dengan jalan menjelaskan unsur-unsur dan jenis karya sastra.

Sedangkan penilaian dapat diartikan menunjukkan nilai karya sastra dengan

bertitik tolak dari analisis dan penafsiran yang telah dilakukan. Penilaian

seorang kritikus sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-

dasar kritik sastra yang dianut/dipakai/dipahami seorang kritikus

BAB V

Jenis-jenis Kritik Sastra

(a) Menurut BENTUKNYA, ada 2 jenis kritik sastra, yakni kritik teoretis

(theoritical criticism) dan kritik terapan (practical/applied criticism).

1) Kritik teoretis adalah jenis kritik sastra yang berusaha menerapkan

kriteria-kriteria tertentu(teori) untuk menilai karya sastra dan pengarangnya.

Kritik teoretis mencoba menerapkan prinsip-prinsip umum, menetapkan

suatu perangkat istilah yang mengkait, perbedaan-perbedaan, kategori-

kategori untuk diterapkan pada pertimbangan-pertimbangan, interpretasi-

interpretasi karya sastra. Beberapa buku kritik sastra jenis ini antara lain:

-. Beberapa Gagasan Dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern karya

Rahmad Djoko Pradopo

-. Kritik Sastra Sebuah Pengantar, Andre Hardjana

2) Kritik terapan berupaya menerapkan teori sastra berdasarkan

keperluannya. Kritik ini berupaya agar prinsip dan kriteria yang digunakan

disesuaikan dengan karakteristik karya sastra yang bersangkutan.

Contoh buku kritik sastra jenis ini antara lain:

Page 22: File Kritik Sastra

-. Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei karya HB Jassin.

-. Buku dan Penulis karya R. Sutia S.

(b) Menurut PELAKSANAANNYA, ada 3 jenis kritik sastra, yakni kritik judisial

(judicial criticism), kritik impresionistik (impresionistic criticism), dan kritik

induktif (inductive criticism).

1) Kritik Judisial menurut Abrams adalah kritik sastra yang berusaha

menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan

pokoknya, organisasinya, teknik, serta gayanya; dan berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan individual kritikus atas dasar yg umum tentang

kehebatan dan keluarbiasaan

2) Kritik Impresionistik adalah kritik sastra yang berusaha menggambarkan

dengan kata-kata sifat yang terasa dalam berdasarkan

kesan-kesan/tanggapan-tanggapan (impresi) kritikus yg ditimbulkan secara

langsung oleh karya sastra. Pelaksanaan Kritik model ini biasanya kritikus

melakukan kritik praktis. Contoh paling konkrit adalah kritik sastra yang

sering dilakukan HB Jassin.

3) Kritik induktif adalah kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian karya

sastra berdasarkan fenomena-fenomena yang ada secara objektif.

Kritikus pada paham ini meneliti karya sastra seperti ahli ilmu alam meneliti

gejala alam secara objektif tanpa menggunakan standar yang berasal dari

luar dirinya.

Contoh kritik model ini di Indonesia adalah kritik sastra aliran Rawamangun

(akademisi UI).

(c) Menurut PENDEKATANNYA thd. Karya sastra, ada 4 jenis kritik sastra,

yakni kritik mimetik (mimetic criticism), kritik pragmatik (pragmatic

criticism), kritik ekspresif (ekspresive criticism) dan kritik objektif (objective

criticism).

1) Kritik mimetik

Menurut Abrams, kritikus pada jenis ini memandang karya sastra sebagai

tiruan aspek-aspek alam. Sastra merupakan pencerminan/penggambaran

dunia kehidupan. Sehingga kriteria yang digunakan kritikus sejauh mana

Page 23: File Kritik Sastra

karya sastra mampu menggambarkan objek yang sebenarnya. Semakin jelas

karya sastra menggambarkan realita semakin baguslah karya sastra itu.

Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh paham Aristoteles dan Plato yang

menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan.

Di Indonesia, kritik jenis ini banyak digunakan pada Angk. 45. Contoh lain

misalnya:

-. Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik, Jakob Sumardjo

-. Novel Indonesia Populer, Jakob Sumardjo

-. Fiksi Indonesia Dewasa Ini, Jakob Sumardjo

-. Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang, Sapardi Joko Damono

2) Kritik pragmatik

Kritikus jenis ini memandang karya sastra terutama sebagai alat untuk

mencapai tujuan (mendapatkan sesuatu yang daharapkan). Sementara

tujuan karya sastra pada umumnya: edukatif, estetis, atau politis. Dengan

kata lain, kritik ini cenderung menilai karya sastra atas keberhasilannya

mencapai tujuan.

Ada yang berpendapat, bahwa kritik jenis ini lebih bergantung pada

pembacanya (reseptif). Kritik jenis ini berkembang pada Angkatan Balai

Pustaka. STA pernah menulis kritik jenis ini yang dibukukan dengan judul

Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan.

3 Kritik ekspresif

Kritik ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini

bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang

melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan yang

dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cenderung menimba karya

sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan pengelihatan mata

batin pengarang/keadaan pikirannya.

Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-

Page 24: File Kritik Sastra

pengalaman sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam

karyanya.

Umumnya, sastrawan romantik jaman BP/PB menggunakan orientasi

ekspresif ini dalam teori-teori kritikannya. Di Indonesia, contoh kritik sastra

jenis ini antara lain:

-. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arif Budiman

-. Di Balik Sejumlah Nama, Linus Suryadi

-. Sosok Pribadi Dalam Sajak, Subagio Sastro Wardoyo

-. WS Rendra dan Imajinasinya, Anton J. Lake

-. Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Pembicaraan, Korrie Layun Rampan

4) Kritik objektif

Kritikus jenis ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri,

bebas terhadap sekitarnya, bebas dari penyair, pembaca, dan dunia

sekitarnya. Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi

dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara

batiniah dan mengehndaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria

intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan,

integritas, dan saling berhubungan antarunsur-unsur pembentuknya)

Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh,

dsb; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan,

integritas, dsb.

Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada karya-karya itu

sendiri.

Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun 20-an dan melahirkan teori-

teori:

-. New Critics (Kritikus Baru di AS)

-. Kritikus formalis di Eropa

-. Para strukturalis Perancis

Di Indonesia, kritik jenis ini dikembangkan oleh kelompok aliran

Rawamangun.

-. Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia, Boen S. Oemaryati

Page 25: File Kritik Sastra

-. Novel Baru Iwan Simatupang, Dami N. Toda

-. Pengarang-pengarang Wanita Indonesia, Th. Rahayu Prihatmi

-. PerkembanganNovel-Novel di Indonesia, Umar Yunus

-. Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern, Umar Yunus

-. Tergantung Pada Kata, Teeuw

6. Ketegangan antarKritikus di Indonesia

-. Para pakar sastra (akademisi-kampus): Rahmat Joko Pradopo (UGM), Panuti

Sudjiman, MS. Hutagalung, Saleh Saat, Boen S. Oemarjati, Roman Ali, S.

Effendi (UI), Th. Rahayu Prihatmi (Undip), Buyung Saleh (UNHAS)

-. Seniman sekaligus pakar sastra: Sapardi Joko Damono, Arif Budiman,

Subagio Sastro Wardoyo, Yakob Sumardjo, Darmanto Yatman, Gunawan

Mohammad, Taufiq Ismail, Rendra, HB. Jassin, Budi Darma, Suripan

-. Kritikus seniman: Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi, Abdul Hadi WM,

MH Ainun Najib, Korrie Layun Rampan

-. Antara pakar sastra VS Kritikus seniman saling bertentangan. Para pakar

menyatakan bahwa ketika membuat kritik, kritikus perlu membuat jarak

sehingga lebih objektif, sementara para seniman menyatakan bahwa pakar

melihat sastra seperti benda yang dipilah-pilah.

BAB VI

. Aliran-aliran Kritik Sastra dan Esai

A. Aliran – aliran Kritik

Menurut Rene Wellek dan Austin Warrent, ada 3 (tiga) aliran kritik sastra,

yakni: (a) relativisme, (b) absolutisme, dan (c) perspektivisme.

(a) Relativisme adalah paham penilaian yang didasarkan pada tempat dan

waktu terbitnya karya sastra (penilaian karya sastra tidak sama di semua

tempat dan waktu. Paham ini berkeyakinan bahwa nilai karya sastra melekat

pada karya itu sendiri. Bila ada karya sastra yang dianggap bernilai oleh

Page 26: File Kritik Sastra

masyarakat di suatu tempat dan periode tertentu, karya sastra tersebut terus

dianggap bernilai di jaman dan tempat yang lain (dulu dianggap baik,

sekarang harus dipandang baik pula. Paham ini merupakan reaksi terhadap

penilaian karya sastra yang menganut paham abslutisme.

(b) Absolutisme adalah paham penilaian karya sastra yang didasarkan pada

paham-paham di luar sastra seperti: politik, moral, atau ukuran-ukuran

tertentu. Dengan kata lain, paham ini menilai karya sastra tidak didasarkan

pada hakikat sastra. Sastra yang baik menurut paham ini adalah karya sastra

yang memiliki tendensi politis, memiliki nilai moral, dsb. Sehingga paham ini

cenderung menilai karya sastra secara dogmatis dan statis. Contoh kritik

sastra dengan paham ini adalah kritikus penganut paham humanis baru dan

marxis. Di Indonesia, kritik model ini berkembang pada tahun 60-an seperti

penganut paham bahwa sastra adalah seni bertendensi (seni untuk seni).

(c) Perspektivisme adalah paham penilaian karya sastra dari berbagai

perspektif tempat, waktu, dan sudut pandang sehingga karya sastra bisa

dinilai dari waktu terbitnya dan pada masa berikutnya. Paham ini

berpendapat bahwa karya sastra bersifat abadi dan historis. Abadi karena

memelihara ciri-ciri tertentu, historis karena karya sastra itu melampaui

suatu proses yang dapat dirunut jejaknya. Dengan kata lain, karya sastra

dapat dibandingkan sepanjang masa berkembang, berubah penuh

kemungkinan penilaian. Karya sastra itu strukturnya dinamis melalui

penafsirnya sepanjang jaman (berubah menurut tanggapan penafsirnya).

Wellek-Warren menganjurkan, hendaknya para kritikus memilih aliran ini

dalam menilai karya sastra

7. Penutup

Bertolak dari perkembangan kritik sastra ini berkembang pula teori-teori

sastra seperti: strukturalisme (intrinsik-ekstrinsik), psikologi sastra, sosiologi

sastra, semiotika sastra, resepsi sastra, dsb.

B. Esai Sastra

Esai adalah karangan pendek mengenai suatu masalah yang kebetulan

menarik perhatian untuk diselidiki dan dibahas. Pengarang mengemukakan

Page 27: File Kritik Sastra

pendiriannya, pikirannya, cita-citanya, atau sikapnya terhadap suatu

persoalan yang disajikan. Dengan kata lain, esai sastra adalah karang pendek

yang merupakan laporan hasil eksplorasi penulis tentang karya atau

beberapa karya sastara yang sifatnya lebih banyak menekankan sensasi dan

kekaguman penelaah tentang hasil hasil bacaannya atau hasil belajarnya.

Arief Budiman dalam Kritik dan Penilaian (1993: 10) menarik pengertian esai

sebagai karangan yang sedang panjangnya, yang membahas persoalan

secara mudah dan sepintas lalu dalam bentuk prosa.

Esai sastra sebagai bagian dari kritik sastra yang mempunyai ciri dan

karakteristik sendiri. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat membedakan yang

mana kritik dan yang mana esai sastra ketika disuatu waktu kita

membutuhkan referensi untuk kepentingan penelitian ataupun penambah

wawasan dalam mengasah karya esai kita. dalam hal ini esai sastra hanya

bersifat mengemukakan masalah atau persoalan kepada khalayak ramai, dan

bagaimana penelesaian tersebut terarah kepada pembaca. Sedangkan kritik

sastra adalah penilaian terhadap suatu karya sastra melalui proses dengan

menggunakan kriteria tertentu.[9]

Kiranya seperti itu, sedikit uraian yang mampu penulis sajikan. Namun jauh

dari itu smua penulis masih menyadari, akan adanya kesalahan. Oleh karena

itu, segala konstruktif untuk kesempurnaan ini, akan senantiasa penulis

sambut dan selalu penulis harapkan.

”Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih

berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan

(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-

Nya-lah aku kembali”. (QS. Hud: 88)

DAFTAR PUSTAKA

Baribin, Raminah. 1993. Kritik dan Peilaian. Semarang: IKIP Semarang Press.

Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT

Gramedia

Rachmat Djoko Pradopo. 2007. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Cetakan keempat.

Page 28: File Kritik Sastra

Yogyakarya : Gadjah Mada University Press.

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama.

INTERTEKSTUAL

Kelemahan teori intertekstual adalah sifatnya yang mem-fait

accompli pengarang. Setiap pengarang yang melahirkan karya yang

topiknya (dianggap) sudah pernah ditulis oleh pengarang

sebelumnya (karya transformatif) dianggap telah membaca karya

pendahulunya (karya hepigram). Padahal dugaan itu belum tentu

benar. Pengarang yang membuat karya sastra yang dianggap karya

transformastif belum tentu telah membaca karya hipogramnya.

Dengan dugaan seperti itu, analisis yang dilakukan adalah mencari

sejauh mana karya transformatif itu dipengaruhi oleh karya

hepigramnya. Atau, sejauh mana penyimpangan yang dilakukan oleh

pengarang karya transformartif dari karya hepigramnya.

Hal yang bersifat spekulatif itu harus menjadi pegangan dasar dari

para peneliti yang menggunakan teori intertekstual. Sifat fait

accompli seperti itu tentulah tidak adil. Kecuali apabila

pengarangnya mengakui bahwa karyanya merupakan transformasi

dari karya sebelumnya yang sejenis.

Dalam naskah lakon “Jenar, Lakon Syekh Siti Jenar dalam Babad

Tanah Pengging”, Saini K.M. sebagai pengarangnya secara eksplisit

menyebutkan bahwa sumber penulisan naskah lakonnya adalah

Babad Tanah Pengging. Sedangkan Babad Tanah Pengging adalah

salah satu episode yang terdapat dalam Serat Syekh Siti Jenar.

Dengan demikian diakui oleh Saini K.M. bahwa acuan utama dari

karyanya adalah naskah Serat Syekh Siti Jenar. Saini K.M. pun

menyatakan bahwa sastra drama “Jenar, Lakon Syekh Siti Jenar

dalam Babad Tanah Pengging” merupakan salah satu versi saja dari

kisah Syekh Siti Jenar.

Dari apa yang dikemukakan oleh Saini K.M. penulis berkeyakinan

kuat bahwa naskah Serat Syekh Siti Jenar merupakan hipogram dari

naskah “Jenar, Lakon Syekh Siti Jenar dalam Babad Tanah Pengging”.

Dengan kata lain, naskah lakon tersebut merupakan transformasi

Page 29: File Kritik Sastra

dari naskah yang disebut pertama. Itulah salah satu aspek yang

mendasari pertimbangan penulis untuk memilih Intertekstual sebagai

teori sastra yang akan digunakannya dalam proses penelitian.

Bandung, 26 Juni 2008