10
3.1. Pendahuluan Stratigrafi Jawa Barat sudah lama menarik perhatian penyelidik, sejak Junghuhn, pada permulaan th. 1700 meneliti daerah sekitar Padalarang, diikuti oleh penelitian Martin dan Oostingh pada permulaan abad 20, terhadap fosil mollusca, kemudian disusul oleh banyak penelitian yang ditujukan untuk berbagai hal. Daerah Dataran Pantai Jakarta yang dahulu stratigrafinya hanya diketahui dari pemboran dangkal kini telah ditembus oleh puluhan pemboran dalam (>3000 m), dimana banyak yang sudah mencapai batuan dasar. Batuan da- sar ini berupa batuan metamorf dan batuan be- ku. Disamping itu penelitian geofisika seismik, telah banyak dibuat di daerah ini, sehingga gambaran mengenai kedudukan cekungan dan tinggian sudah dapat diketahui dengan pasti (Padmosoekismo dan Yahya, 1974). Daerah ini dikenal sebagai penghasil minyak bumi, teru- tama di bagian sebelah timur. Daerah pada Zona Fisiografi Bogor, Ban- dung dan Pegunungan Selatan, stratigrafinya dikenal hanya dari penyelidikan di permukaan. Pemboran minyak bumi yang paling selatan adalah Purwakarta-1, masih menembus sedimen dengan ciri yang sama dengan bagian utaranya. Suatu keuntungan dalam penyelidikan lapangan pada ketiga zona ini adalah karena singkapan umumnya cukup banyak, serta meliputi hampir semua umur yang mungkin ada. Kesulitan yang paling besar dalam meneliti stratigrafi di Zona Bogor dan Bandung yang keduanya tercakup dalam Cekungan Bogor adalah karena banyaknya sesar. Beberapa sesar naik di daerah ini cukup besar, sehingga sangat sulit untuk meneliti urutan semula dari batuan. Untuk keperluan ini fosil sangat berguna. 3.2. Pembatasan Banyak ahli geologi yang melakukan pene- litian di daerah Jawa Barat, menganggap pembagian Zona Fisiografi van Bemmelen (1949) sebagai pembagian mandala sedimen- tasi. Hasil penyelidikan ini membuktikan bahwa kedua pembagian tersebut sebenarnya hampir tidak ada hubungannya, kecuali untuk umur Resen. Pembagian mandala sedimentasi sebenarnya sering bersifat kurang objektif, terutama kalau menyangkut sejarah yang menyeluruh dari suatu cekungan dalam waktu yang cukup lama. Hal ini semata-mata disebabkan sifat sedimentasi dan status cekungan suatu daerah sering beru- bah dari waktu ke waktu. Dari penyelidikan stratigrafi di Jawa Barat ini, promovendus secara umum dapat membagi daerah ini menjadi 3 mandala sedimentasi. Da- sar pembagian ini adalah mayoritas ciri sedimen di daerah tersebut selama Zaman Tersier. Man- dala yang terletak paling utara adalah Mandala Paparan Kontinen, diikuti oleh Mandala Ce- kungan Bogor dan ke barat suatu mandala lain yang kurang tegas status mandirinya adalah Mandala Banten. Mandala Paparan Kontinen tempatnya hampir sama dengan Zona Fisiografi Dataran Pantai Jakarta, dicirikan oleh endapan paparan, umumnya terdiri dari gamping, lempung dan pasir kwarsa, serta lingkungannya umumnya laut dangkal. Pada mandala ini pola transgresi dan regresi umumnya jelas terlihat. Struktur geologinya sederhana, umumnya sebagai penga- ruh dari pergerakan isostasi dari batuan dasar (basement). Ketebalan sedimen di daerah ini dapat mencapai 5000 m. Batas selatan Mandala Paparan Kontinen ini diperkirakan sama dengan penyebaran sing- kapan Formasi Parigi dari Cibinong - Purwakarta sejajar dengan pantai utara. Bagian utaranya menerus ke lepas pantai, meliputi daerah pemboran minyak bumi di lepas pantai utara Jawa. Mandala Sedimentasi Cekungan Bogor meliputi beberapa Zona Fisiografi van Bemmelen (1949), yakni : Zona Bogor, Zona Bandung dan Zona Pegunungan Selatan. Man- dala sedimentasi ini dicirikan oleh endapan aliran gravitasi, yang kebanyakan berupa frag- men batuan beku dan sedimen, seperti : andesit, BAB 3 STRATIGRAFI

Formasi Ciletuh.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Formasi Ciletuh.pdf

3.1. Pendahuluan

Stratigrafi Jawa Barat sudah lama menarik perhatian penyelidik, sejak Junghuhn, pada permulaan th. 1700 meneliti daerah sekitar Padalarang, diikuti oleh penelitian Martin dan Oostingh pada permulaan abad 20, terhadap fosil mollusca, kemudian disusul oleh banyak penelitian yang ditujukan untuk berbagai hal.

Daerah Dataran Pantai Jakarta yang dahulu stratigrafinya hanya diketahui dari pemboran dangkal kini telah ditembus oleh puluhan pemboran dalam (>3000 m), dimana banyak yang sudah mencapai batuan dasar. Batuan da-sar ini berupa batuan metamorf dan batuan be-ku. Disamping itu penelitian geofisika seismik, telah banyak dibuat di daerah ini, sehingga gambaran mengenai kedudukan cekungan dan tinggian sudah dapat diketahui dengan pasti (Padmosoekismo dan Yahya, 1974). Daerah ini dikenal sebagai penghasil minyak bumi, teru-tama di bagian sebelah timur.

Daerah pada Zona Fisiografi Bogor, Ban-dung dan Pegunungan Selatan, stratigrafinya dikenal hanya dari penyelidikan di permukaan. Pemboran minyak bumi yang paling selatan adalah Purwakarta-1, masih menembus sedimen dengan ciri yang sama dengan bagian utaranya. Suatu keuntungan dalam penyelidikan lapangan pada ketiga zona ini adalah karena singkapan umumnya cukup banyak, serta meliputi hampir semua umur yang mungkin ada.

Kesulitan yang paling besar dalam meneliti stratigrafi di Zona Bogor dan Bandung yang keduanya tercakup dalam Cekungan Bogor adalah karena banyaknya sesar. Beberapa sesar naik di daerah ini cukup besar, sehingga sangat sulit untuk meneliti urutan semula dari batuan. Untuk keperluan ini fosil sangat berguna.

3.2. Pembatasan

Banyak ahli geologi yang melakukan pene-litian di daerah Jawa Barat, menganggap pembagian Zona Fisiografi van Bemmelen (1949) sebagai pembagian mandala sedimen-

tasi. Hasil penyelidikan ini membuktikan bahwa kedua pembagian tersebut sebenarnya hampir tidak ada hubungannya, kecuali untuk umur Resen.

Pembagian mandala sedimentasi sebenarnya sering bersifat kurang objektif, terutama kalau menyangkut sejarah yang menyeluruh dari suatu cekungan dalam waktu yang cukup lama. Hal ini semata-mata disebabkan sifat sedimentasi dan status cekungan suatu daerah sering beru-bah dari waktu ke waktu.

Dari penyelidikan stratigrafi di Jawa Barat ini, promovendus secara umum dapat membagi daerah ini menjadi 3 mandala sedimentasi. Da-sar pembagian ini adalah mayoritas ciri sedimen di daerah tersebut selama Zaman Tersier. Man-dala yang terletak paling utara adalah Mandala Paparan Kontinen, diikuti oleh Mandala Ce-kungan Bogor dan ke barat suatu mandala lain yang kurang tegas status mandirinya adalah Mandala Banten.

Mandala Paparan Kontinen tempatnya hampir sama dengan Zona Fisiografi Dataran Pantai Jakarta, dicirikan oleh endapan paparan, umumnya terdiri dari gamping, lempung dan pasir kwarsa, serta lingkungannya umumnya laut dangkal. Pada mandala ini pola transgresi dan regresi umumnya jelas terlihat. Struktur geologinya sederhana, umumnya sebagai penga-ruh dari pergerakan isostasi dari batuan dasar (basement). Ketebalan sedimen di daerah ini dapat mencapai 5000 m.

Batas selatan Mandala Paparan Kontinen ini diperkirakan sama dengan penyebaran sing-kapan Formasi Parigi dari Cibinong - Purwakarta sejajar dengan pantai utara. Bagian utaranya menerus ke lepas pantai, meliputi daerah pemboran minyak bumi di lepas pantai utara Jawa.

Mandala Sedimentasi Cekungan Bogor meliputi beberapa Zona Fisiografi van Bemmelen (1949), yakni : Zona Bogor, Zona Bandung dan Zona Pegunungan Selatan. Man-dala sedimentasi ini dicirikan oleh endapan aliran gravitasi, yang kebanyakan berupa frag-men batuan beku dan sedimen, seperti : andesit,

BAB 3

STRATIGRAFI

Page 2: Formasi Ciletuh.pdf

EVOLUSI CEKUNGAN BOGOR, JAWA BARAT

10

basalt, tufa dan gamping. Ketebalan kese-luruhan secara pasti sulit ditentukan, tetapi diperkirakan lebih dari 7000 m.

Mandala Sedimentasi Banten, sebenarnya tidak begitu jelas, mengingat sedikitnya data yang diketahui. Pada umur Tersier Awal, man-dala ini lebih menyerupai Mandala Cekungan Bogor, sedangkan pada akhir-akhir Tersier ci-rinya sangat mendekati Paparan Kontinen.

Dalam penelitian ini, sesuai dengan tujuan penyelidikan maka fokus penyelidikan adalah pada Mandala Cekungan Bogor.

3.3. Sistematik

Pembagian sistematik dari stratigrafi Ce-kungan Bogor, adalah berdasar prinsip Lito-stratigrafi (Lithostratigraphy). Pembagian ini sesuai dengan tujuan semula (Powell, 1776) yang mendasarkan pembagiannya pada ciri ob-jektif di lapangan. Ciri ini harus mudah dikenal dan dibedakan terhadap yang lain, bahkan juga oleh seseorang yang bukan ahli geologi.

Litostratigrafi pada dasarnya adalah metoda stratigrafi dengan tujuan untuk membagi strata (batuan sedimen) menjadi satuan bernama,

berdasar ciri objektif di lapangan, agar peme-rian dan pengertian kedudukan strata di suatu tempat menjadi jelas dalam ruang dan waktu geologi.

Dalam penyelidikan ini tatanama yang dipakai sedapat mungkin mewarisi nama-nama yang sudah diterbitkan atau dikenal. Namun demikian penggantian dan pemberian nama baru rupanya tidak dapat dihindarkan dengan tujuan semata-mata untuk menghindarkan kekacauan.

Uraian sistematik dibawah ini dimulai dari

urutan satuan paling tua ke satuan yang paling muda.

3.3.1. Formasi Ciletuh

3.3.1.1. Penamaan

Nama Ciletuh diajukan oleh Soekamto (1975) terhadap satuan batuan yang terdiri dari konglomerat, pasir dan lempung di daerah aliran Sungai Ciletuh, di Teluk Ciletuh, Pela-buhan Ratu. Penamaan ini didasari oleh pener-bitan terdahulu (Anonymous, 1939/1940), yang

Gambar 3. Daerah Fokus Penyelidikan

Page 3: Formasi Ciletuh.pdf

SOEJONO MARTODJOJO

11

memberikan nama Ciletuh Lagen terhadap sa-tuan batuan yang sama.

Hasil penyelidikan terdahulu di daerah ini yang tidak diterbitkan seperti Duyfjes (1939, 1940, 1941), Sunu (1940), Soehanda (1967), pada hakekatnya setuju mengelompokkan ba-tuan ini pada satu kesatuan litostratigrafi tersen-diri.

Didalam tulisan ini nama Ciletuh dipakai sebagai nama resmi formasi di daerah tersebut diatas dan terhadap satuan-satuan lain yang sejenis yang ditafsirkan mempunyai hubungan genesa serta kesinambungan dalam mula-jadinya. Satuan yang di maksud adalah “For-masi Rajamandala” (Soekamto, 1975), suatu singkapan batuan lempung dan pasir di desa Cinyomplong, di selatan aliran Sungai Ciman-diri.

3.3.1.2. Sinonim

Formasi Rajamandala (Soekamto, 1975)

3.3.1.3. Penyebaran dan Ketebalan

Singkapan terluas Formasi Ciletuh terdapat di Teluk Ciletuh, Pelabuhan Ratu, Sukabumi.

Dalam penyelidikan ini ditafsirkan, penyebaran Formasi Ciletuh menerus di bawah batuan Neo-gen di sebagian Jawa Barat, terutama Cekungan Bogor.

Ketebalan di daerah lokasitipenya sangat sulit dipastikan, karena telah mengalami penye-saran yang kuat. Anonymous (1940) berang-gapan tebal di lokasitipenya sekitar 1500 m, sedangkan Hudaya (1978) dalam pengu-kurannya, bagian bawah tersingkap di Cikadal, tebal minimal 362,5 m, bagian tengah di Cigadung (Ciletuh) 540 m dan bagian atas di Cibenda (Ciletuh) sekitar 500 m. Sehingga secara keseluruhan ketebalan minimal Formasi Ciletuh adalah 1400 m.

3.3.1.4. Lokasitipe dan Stratotipe

Lokasitipe dari Formasi Ciletuh ditentukan pada Sungai Ciletuh di Teluk Pelabuhan Ratu. Lokasi ini berkoordinat 106° 28’ B.T. dan 7° 14’ L.S.

Stratotipe Formasi Ciletuh merupakan stratotipe gabungan dari beberapa tipe penam-pang. Penampang terbawah di Cikadal (Cibatu-nunggul), bagian tengah di Cigadung, sedang-kan yang atas di Bantarlimus (lihat gambar 4).

Gambar 4. Lokasi Kolom

Page 4: Formasi Ciletuh.pdf

EVOLUSI CEKUNGAN BOGOR, JAWA BARAT

12

Gambar 5. Stratotipe Fm. Ciletuh

Page 5: Formasi Ciletuh.pdf

SOEJONO MARTODJOJO

13

3.3.1.5. Ciri Litologi

Di lokasitipenya, sepanjang Sungai Ciletuh (Ci=sungai), Teluk Ciletuh, Pelabuhan Ratu, singkapan formasi ini merupakan inti dari suatu “amphitheater”, dimana bagian tepinya terdiri dari Formasi Jampang. Di daerah ini Formasi Ciletuh dapat dibagi menjadi dua bagian, de-ngan batas yang transisi diantaranya.

Bagian terbawah dari Formasi Ciletuh, di Ciletuh tersingkap sangat baik sekitar G. Ba-dak, desa Cikadal (stratotipe), (gambar 5).

Di daerah ini bagian terbawah bercirikan endapan turbidit, mengandung foraminifera plangton. Satuan ini terdiri dari lempung, serpih hitam, berlapis tipis, berselingan dengan batu-pasir greywacke yang berwarna abu-abu. Tebal lapisan ini sekitar 10 m. Diatasnya didapatkan lapisan breksi, terpilah sangat jelek, dengan komponen dari ukuran pasir sampai bongkah, terdiri dari fragmen peridotit dan filit. Di bagian teratas dari Formasi Ciletuh bawah ini, seba-gaimana tersingkap di sekitar G. Badak, mulai banyak mengandung fragmen kwarsa dan kal-sedon, yang membundar. Disini juga ditemukan bongkah gamping yang banyak mengandung fosil foram besar, seperti : Assilina, Disco-cyclina dispansa, Alveolina serta Nummulites kecil. Urutan turbidit Bouma terlihat pada greywacke. Urutan Bouma pada greywacke tipis umumnya adalah C, D dan E, sedangkan pada breksi menunjukkan ciri turbidit fluxo.

Formasi Ciletuh bagian bawah ini, dite-mukan juga di daerah-daerah lain di Teluk Ciletuh, yang selalu berbatasan sesar terhadap kompleks melange, seperti terlihat di sepanjang Cibatununggul, dekat Kompleks Melange Citi-suk/Cianggabangsa.

Ketebalan yang pasti dari bagian ini sulit dikerjakan karena sesar dan perlipatan yang sangat kuat.

Bagian tengah Formasi Ciletuh di Ciletuh terlihat di Cigadung anak Sungai Ciletuh yang mengalir dari selatan ke utara dan daerah perbukitan di sekitar Cikadal. Singkapan satuan ini pada umumnya sangat jelek, merupakan perbukitan bergelombang. Batuan disini terdiri dari selang-seling lempung serpihan dan pasir. Di Cigadung, lempung terlihat masih sangat dominan (15 m sampai 25 m). Kadang-kadang

pasir merupakan suatu lapisan tebal, mencapai 7 - 8 m, dengan ciri dasar tegas dan atas berangsur. Baik lempung maupun pasir tidak mengandung fosil. Satuan ini sangat luas terse-bar di daerah Ciletuh. Ketebalannya mencapai >540 m sebagaimana terukur di Ciletuh.

Singkapan Formasi Ciletuh dapat pula dite-mui dengan baik di sepanjang Sungai Cikalong (anak Sungai Cimandiri) menerus sampai ke Sungai Cisarua. Singkapan umumnya searah dengan jurus lapisan. Pada anak-anak su-ngainya seperti Sungai Kandang Sapi, Sungai Citiis, Sungai Cipicung dan lainnya, singkapan tidak begitu baik, karena lapuk atau tertutup bongkah-bongkah guguran satuan yang dia-tasnya.

Bagian bawah dari Formasi Ciletuh yang dipelajari di Sungai Cikalong memperlihatkan endapan turbidit distal. Satuan batuan ini terdiri dari serpih abu-abu tua, berlapis tipis, berse-lingan dengan batupasir kwarsa halus yang mempunyai sisipan tipis dengan batupasir grey-wacke warna abu-abu tua. Tebal lapisan ini dari 50 cm sampai dengan 9 m.

Batupasir kwarsa berukuran halus sampai sangat halus, warna putih sampai abu-abu mu-da, sangat keras, memperlihatkan gelembur ge-lombang sampai lipatan keriput. Serpih berwar-na abu-abu tua, mudah diremas sampai kompak, dengan ketebalan bervariasi dari 5 cm sampai 2 m serta memperlihatkan struktur perlapisan horizontal. Batupasir greywacke warna abu-abu tua didapatkan sebagai sisipan tipis pada serpih dan batupasir kwarsa halus.

Di Sungai Cipanas, Sungai Cikalong dan di Sungai Cisarongge didapatkan sisipan batu-lempung, kehijauan, keras, sedikit gampingan, sebagai sisipan pada batupasir kwarsa dengan ketebalan mencapai 10 m.

Paling atas dari Formasi Ciletuh bagian bawah berupa lapisan breksi dengan pemilahan sangat jelek, komponen berukuran antara pasir sampai bongkah, terdiri dari fragmen sekis, kwarsa dan peridotit. Di bagian teratas dari Formasi Ciletuh di daerah ini didapatkan pula komponen kalsedon, arpus, kwarsa, di dalam konglomerat yang berukuran kerikil sampai kerakal. Mungkin yang terakhir ini termasuk Formasi Bayah.

Page 6: Formasi Ciletuh.pdf

EVOLUSI CEKUNGAN BOGOR, JAWA BARAT

14

3.3.1.6. Ciri Batas

Formasi Ciletuh bagian bawah di daerah Ciletuh selalu ditemukan berbatas sesar dengan kompleks melange dibawahnya.

Batas atas dari formasi ini ditandai oleh perubahan berangsur dari batuan yang dominan lempung ke batupasir kwarsa.

3.3.1.7. Kandungan Fosil dan Umur

Beberapa fragmen gamping pada bagian bawah Formasi Ciletuh yang ditemukan di sebelah tepi utara G. Badak, Cikadal (Hudaya, 1978), kaya akan fosil foraminifera besar, seperti :

- Assilina - Discocyclina dispansa - Fasciolites - Nummulites

menunjukkan umur Eosen Awal sampai Tengah.

Contoh dari serpih dan lempung terbawah ±2 m dari kontak dengan filit di Karang Haji, Cikadal, telah didapatkan fosil foram plangton yang terdiri dari :

- Globigerina ampliapertura (?) - Globigerina cf. tripartita - Globigerinita pera - Globorotalia permicra (?) - Globorotalia siakensis (?) yang menunjukkan kisaran umur Eosen -

Oligosen Awal (Soejono, Suparka, Hadiwi-sastra, 1978). Contoh foram plangton diatas perlu diberi tanda tanya, mengingat umumnya contoh fosil sudah mengalami perubahan ben-tuk karena tekanan.

Bagian tengah dari formasi ini di Sungai Cigadung oleh Endang Tayib dkk. (1977), telah ditemukan foram plangton yang terdiri dari :

- Globigerina cf. tripartita - Gb. cf. pseudoampliapertura - Gb. ampliapertura - Globorotalia cf. cerroazulensis - Globorotalia pomeroli yang menunjukkan umur Eosen - Oligosen

Awal. Di tempat ini juga ditemukan fosil berumur Kapur yang dianggap telah mengalami endapan ulang (reworked) seperti Pseudo-textularia dan Globotruncana sp. Di tempat lain, di tenggara Sungai Cibenda, Endang Tayib lebih lanjut menemukan lempung napalan yang

mengandung foraminifera plangton, seperti : - Globigerina cf. tripartita - Gb. cf. eocaena - Gb. cf. pseudoampliapertura - Globorotalia cf. opima yang semuanya juga menunjukkan umur

Eosen - Oligosen Awal. Dari uraian tersebut diatas, jelas agak sulit

bagi kita untuk menentukan umur dari Formasi Ciletuh ini secara lebih tepat. Mengingat, formasi ini ditutupi oleh Formasi Bayah yang berumur Eosen Tengah, maka umur Formasi Ciletuh kemungkinan adalah Eosen Awal.

3.3.1.8. Kedudukan Stratigrafi

Penyelidikan terdahulu, seperti Anonymous (1939), van Bemmelen (1949), Soekamto (1975) serta Tayib dkk. (1977) beranggapan bahwa kedudukan Formasi Ciletuh terhadap satuan melange dibawahnya sebagai kedudukan tidak selaras. Pendapat ini pada hakekatnya dilandasi oleh anggapan bahwa endapan me-lange yang kompak sebagai endapan Pra-Tersier, sehingga adanya rombakan endapan melange ini pada bagian bawah Formasi Cile-tuh dianggap sebagai tanda ketidak selarasan.

Soejono, Suparka, Hadiwisastra (1978) berkesimpulan bahwa kedudukan ini adalah se-laras. Hal ini mengingat kisaran waktu antara kedua batuan tersebut adalah sama. Dari urutan ciri litologi maupun struktur dan ciri fosilnya Formasi Ciletuh adalah menyamai ciri litologi, struktur dan fosil dari endapan prisma akresi atau “pond deposits” (Karig, 1975), sehingga berdasar model prisma akresi dari Karig dan Sharman (1975), kejadian kedua satuan terse-but dapat dikatakan tidak terputus.

3.3.1.9. Lingkungan Pengendapan

Mulajadi dari Formasi Ciletuh telah dibahas secara mendalam oleh Soejono, Suparka, Hadiwisastra (1978). Dalam tulisannya bagian bawah dari formasi ini telah ditafsirkan sebagai “pond deposits” atau endapan lereng atas dari suatu sistem akresi pada umur Eosen Awal.

Lingkungan pengendapan dari satuan ini, dari laut dalam pada bagian bawah, berubah secara berangsur ke lingkungan laut dangkal di bagian atasnya.

Page 7: Formasi Ciletuh.pdf

SOEJONO MARTODJOJO

15

3.3.2. Formasi Bayah

3.3.2.1. Penamaan

Nama Bayah diberikan oleh Koolhoven (1933) terhadap batuan tertua di daerah Banten Selatan. Nama Bayah diambil dari nama kota kecamatan di daerah Banten Selatan, kabu-paten Rangkasbitung.

Batuan di daerah ini terdiri dari pasir kasar, sering konglomeratan berselang-seling dengan lempung yang mengandung batubara. Beberapa penyelidik sesudah Koolhoven seperti Musper (1939, 1940) juga memakai nama Formasi Ba-yah untuk satuan tersebut.

Dari hasil penyelidikan ini, beberapa sing-kapan lain dari batuan berciri serta dianggap genesanya sama dan berhubungan dinamakan juga sebagai Formasi Bayah. Singkapan pasir kwarsa di G. Walat, Pasir Bongkok, Cinyom-plong dan pasir kwarsa yang terletak diatas Formasi Ciletuh di Ciletuh, dimasukkan ke da-lam Formasi Bayah. Pendapat ini berbeda dengan penyelidik terdahulu yang memberikan nama berlain-lainan seperti Formasi Walat (Effendi, 1974; LEMIGAS, 1972) untuk sing-kapan di G. Walat dan Pasir Bongkok; serta Formasi Rajamandala (Soekamto, 1975) untuk singkapan di Cinyomplong.

Nama Formasi Bayah dipilih untuk endapan pasir kwarsa ini, mengingat nama tersebut yang paling terdahulu diterbitkan serta sudah dikenal dalam pustaka.

3.3.2.2. Sinonim

Formasi Walat (Effendi, 1975) di G. Walat, Sukabumi.

Formasi Rajamandala (Soekamto, 1975) di Cinyomplong, Sukabumi Selatan.

Formasi Ciletuh (Soekamto, 1975) un-tuk pasir kwarsa di Teluk Ciletuh, Pela-buhan Ratu.

3.3.2.3. Penyebaran dan Ketebalan

Penyebaran singkapan Formasi Bayah di Jawa Barat pada umumnya tidak menerus. Singkapan terluas terdapat di daerah Bayah, memanjang hampir sekitar 25 km dari kota kecamatan Bayah ke Sungai Cihara, sepanjang pantai selatan Banten.

Singkapan lain yang cukup luas terdapat di Teluk Ciletuh. Disini Formasi Bayah tersebar di

tepi Amphitheater Ciletuh membatasi Formasi Ciletuh di bawah dan Formasi Jampang dia-tasnya.

Singkapan lain dari Formasi Bayah terdapat di sekitar selatan kota Sukabumi. Yang terluas adalah di G. Walat dan Pasir (Bukit) Bongkok. Singkapan di kedua lokasi ini sangat baik, di beberapa tempat ditambang untuk keperluan pabrik semen di Bogor.

Singkapan kecil dari Formasi Bayah terdapat di desa Cinyomplong, selatan Sungai Cimandiri, dekat Pelabuhan Ratu. Formasi Ba-yah hanya menempati bagian tengah dan sedikit di bagian utara dari singkapan disini, sedangkan sebagian besar singkapan batuan Paleogen di daerah ini termasuk kepada Formasi Ciletuh yang terdiri dari serpih dan napal yang mengan-dung foraminifera.

Walaupun singkapan dari Formasi Bayah ini terpisah-pisah, tetapi secara genetik dapat diperkirakan sama. Hal ini mengingat sifat litologi serta kedudukan stratigrafinya diatas Formasi Ciletuh yang ditafsirkan sebagai suatu endapan “pond” di lereng bawah palung sa-mudra. Oleh karena itu batuan di semua singkapan tadi sebelum gerak-gerik tektonik pada hakekatnya menerus.

Ketebalan Formasi Bayah di daerah tipe sekitar 1500 m (Ziegler, 1918). Dalam penyeli-dikan ini dirasakan sulitnya menentukan kete-balan formasi secara tepat, mengingat ba-nyaknya sesar serta lipatan yang terdapat di daerah ini. Dari pengukuran Sungai Cimandiri di Bayah, didapatkan ketebalan melebihi 700 m (Shodikin, 1979).

Di daerah Teluk Ciletuh, ketebalan satuan ini sulit diukur dengan pasti karena sing-kapannya sangat jelek. Tetapi dari penampang geologi didapatkan ketebalan tidak lebih dari 300 m (200 m di Cibenda; Hudaya, 1979). Banyaknya sesar di daerah ini mungkin sebagai penyebab dari kecilnya angka ketebalan teru-kur.

Di selatan Sukabumi, singkapan terluas terdapat di G. Walat. Ketebalan minimum dari satuan ini sekitar 700 m (Baumann, 1972).

3.3.2.4. Ungkapan Morfologi

Singkapan batuan ini pada umumnya menempati daerah yang berbeda-beda keting-giannya dari daerah sekitarnya. Di daerah

Page 8: Formasi Ciletuh.pdf

EVOLUSI CEKUNGAN BOGOR, JAWA BARAT

16

Bayah dan daerah Ciletuh, satuan ini menem-pati daerah yang relatif rendah dibanding dengan Formasi Citarate dan Jampang yang menutupinya; sedangkan di daerah G. Walat, formasi ini membentuk bukit yang lebih tinggi relatif terhadap endapan aluvium volkanik disekitarnya.

Ungkapan morfologi singkapan formasi itu sendiri, pada umumnya membentuk perbukitan bergelombang yang melandai. Beberapa eks-presi monoklin atau “hog back” (G. Walat, Bayah) terlihat jelas sebagai akibat perselingan antara batupasir yang keras dengan lempung dan batubara yang lunak.

3.3.2.5. Lokasitipe dan Stratotipe

Lokasitipe formasi ini adalah kota keca-matan Bayah yang terletak pada 106° 20’ B.T., 6° 48’ L.S.

Singkapan Formasi Bayah di daerah Bayah ditemukan sangat baik di sepanjang Sungai Cimandiri, Bayah, tetapi bagian bawah dari satuan ini tidak tersingkap. Bagian terbawah merupakan singkapan endapan gosong pasir yang cukup tebal (20 m/satu satuan), sehingga ditafsirkan bagian ini merupakan transisi dari Formasi Ciletuh yang marin ke Formasi Bayah yang berlingkungan pengendapan fluviatil. Singkapan di Sungai Cimandiri ini diusulkan sebagai stratotipe (gambar 6).

Singkapan terbawah Formasi Bayah dida-patkan di daerah Ciletuh. Walaupun sing-kapannya tidak baik, tetapi disinilah satu-satunya singkapan kontak antara Formasi Bayah dengan Formasi Ciletuh. Oleh karena itu perlunya daerah Ciletuh ini sebagai penambah kekurangan data dari stratotipe (hipostrato-tipe).

3.3.2.6. Ciri Litologi

Stratotipe Formasi Bayah di Sungai Cimandiri, Bayah dimulai dengan endapan lempung-pasir pantai yang tersingkap di tepi pantai, sekitar 200 - 250 m di sebelah timur muara Cimandiri. Gosong pasir di daerah ini mempunyai kemiringan hampir tegak lurus dengan bagian atas menghadap ke selatan sebagaimana terlihat dari terpotongnya busur lapisan silang siur pada singkapan itu. Batas antara singkapan ini dengan singkapan lain dari

Formasi Bayah di S. Cimandiri tertutup oleh endapan pantai.

Di Sungai Cimandiri, Formasi Bayah bagian bawah umumnya terdiri dari pasir kwarsa, se-dangkan bagian atasnya terdiri dari perselingan antara batupasir dan lempung yang mengan-dung batubara. Penyelidikan detail dari Ziegler (1918) menemukan 9 buah lapisan batubara de-ngan ketebalan maksimal 110 cm, sedangkan dalam penyelidikan ini ditemukan lebih dari 10, dengan ketebalan maksimum 180 cm.

Pasirnya mempunyai ketebalan dari 3 m sampai 12 m, dengan batas bawah tegas se-dangkan bagian atas berubah berangsur ke lempung bitumen. Struktur silang siur sering terdapat di bagian bawahnya yang kadang-kadang konglomeratan. Ciri tubuh pasir seperti ini sangat khas untuk endapan fluviatil yang meander.

Bagian teratas dari formasi ini di daerah Bayah sering merupakan kontak sesar dengan Formasi Cijengkol diatasnya, tetapi Koolhoven menganggap hubungan ini sebagai hubungan tidak selaras.

Di Ciletuh, singkapan Formasi Bayah ini kurang baik, mengingat letaknya selalu di bawah tebing tinggi dimana bagian atasnya ditutupi oleh Formasi Jampang. Satu-satunya singkapan yang dirasa memadai adalah di jalan desa antara Cibenda ke Cikadal. Disini pasir konglomeratan, putih kemerahan dengan struk-tur silang siur serta kadang-kadang terdapat fragmen batubara didalamnya merupakan ciri utama formasi ini. Sisipan lempung tidak terlihat di daerah ini. Ciri silang siur landai serta sifat konglomeratan lebih menunjukkan kondisi endapan sungai teranyam.

Di G. Walat, Formasi Bayah menunjukkan ciri yang sangat menyerupai ciri bagian atas satuan di lokasitipenya. Disini, Formasi Bayah memperlihatkan perselingan antara batupasir konglomeratan yang berstruktur silang siur de-ngan batulempung yang mengandung batubara, kadang-kadang mencapai tebal 1 m.

Endapan pasir konglomeratan di daerah G. Walat, terdiri dari 4 kompleks singkapan. Sing-kapan yang terbesar adalah di G. Walat sendiri, memanjang barat - timur sejajar dengan jalan Sukabumi - Cibadak sepanjang 9 km. Sing-kapan lain yang agak terpisah berada di sebelah tenggara G. Walat yang juga sering dikenal

Page 9: Formasi Ciletuh.pdf

SOEJONO MARTODJOJO

17

Gambar 6. Stratotipe Fm. Bayah

Page 10: Formasi Ciletuh.pdf

EVOLUSI CEKUNGAN BOGOR, JAWA BARAT

18

sebagai Kompleks Pasir Aseupan. Singkapan lain yang penting adalah Kompleks Pasir Bong-kok yang berada di selatan G. Walat. Pasir Bongkok dan G. Walat dipisahkan oleh lembah sinklin yang tersesarkan. Daerah lain yang penting adalah di sebelah barat Ps. Bongkok di S. Cicareuh.

Dari penelitian lapangan di daerah Suka-bumi, berdasar superposisi serta ciri litologinya dapat disimpulkan bahwa singkapan terbawah ialah yang berada di S. Cicareuh sekitar 590 m. Menurut Hadiwisastra (1974) beberapa sisipan pada batupasir kwarsa mengandung fosil fora-minifera yang menunjukkan Oligosen Bawah. Tetapi penyelidikan ulang tidak menunjukkan bukti adanya fosil.

Pada bagian terbawah terdapat batupasir kwarsa, tebal 112 m, putih kuning kecoklatan, kompak, berlapis baik, dengan sisipan napal berwarna abu-abu muda. Seluruh singkapan pa-sirnya umumnya mempunyai ciri batas bawah tegas dan bagian atas relatif berangsur. Dia-tasnya ditutupi selang-seling tipis batupasir dan lempung. Pada bagian tengah batuannya lebih bersifat konglomeratan, yang menunjukkan po-la seperti pada endapan sungai teranyam. Pada bagian atas menunjukkan perselingan lempung berwarna coklat, abu-abu dan pasir. Menurut Hadiwisastra (Sapri Hadiwisastra, 1974), pada satuan ini masih ditemukan fosil foraminifera.

Di daerah Ps. Bongkok terdapat singkapan batupasir yang merupakan bagian tengah dan atas dari singkapan di Cicareuh. Singkapan tertua berupa batupasir setebal 5 m, berlapis silang siur cekung, di bagian atas terdapat frag-men batuarang (bara?) sekitar ½ m. Diatasnya ditutupi batupasir konglomeratan (6 m) dan kemudian diikuti oleh batupasir berlapis tebal (±1 m) dengan silang siur cekung, arah umum 190°, pada beberapa tempat terdapat bioturbasi vertikal.

Diatasnya lagi terdapat batupasir konglo-meratan, kerikil sampai 2 cm. Bagian teratas dari singkapan pasir di Pasir Bongkok terdiri dari konglomerat pasiran atau pasir konglo-meratan bersilang siur, kemiringan rendah, memberikan kesan endapan sungai teranyam.

Bagian teratas dari singkapan terdiri dari batupasir yang berselingan dengan lempung coklat dengan sisipan batubara atau lempung bitumen. Tebal keseluruhan penampang di G. Bongkok adalah 110 m.

Singkapan terluas adalah di G. Walat. Di daerah ini umumnya terdiri dari perselingan antara batupasir - konglomerat dan lempung yang mengandung batubara.

Batupasir umumnya konglomeratan atau konglomerat pasiran, pada bagian bawah sering menunjukkan struktur lapisan bersusun, se-dangkan diatasnya terdapat lapisan silang siur, keatas diikuti oleh batupasir kotor dan terakhir terdapat lempung-lempung yang umumnya me-ngandung batubara. Pasir pada susunan demi-kian mencapai ketebalan 4 sampai 7 m. Batu-bara umumnya 10 cm sampai yang tertebal adalah 100 cm.

Dari 13 penelitian batupasir di G. Walat (Moechtar, 1979) terdapat angka-angka sbb. : kwarsa 85 - 95%, feldspar 1%, mineral berat dan pengotoran 5 - 14%.

Penelitian mineral berat telah dimulai oleh Untung dan Hasewaga (1975) yang pada da-sarnya dikerjakan oleh Sato sesuai dengan hasil penyelidikannya di Jepang (1969). Hasil pene-litian ini berkesimpulan bahwa bahan penyusun batupasir kwarsa di G. Walat, berasal dari rombakan batuan dengan komposisi granitan.

Pengamatan yang lebih meluas dengan membandingkan contoh dari lokasitipe di Ba-yah, G. Walat dan Cinyomplong telah mengha-silkan pengamatan sbb. : 1. Lokasi Gunung Sumur, Sukabumi

Litologi : Batupasir berwarna putih kecoklatan, berbutir halus, padu.

Mineral berat : Berat contoh semula : 75 gram Berat mineral berat : 0,15 gram Berat mineral magnetit : 0,03 gram Persentase mineral berat : 0,20%

Jenis mineral berat yang dapat diamati : Tourmalin : 60% Zirkon : 30% Rutil : 1% Garnet : 4% Augit : <1% Hornblenda : <1% Biotit : <1% Anatase : <1% Kyanit Mineral opak