41
FUNDAMENTAL OF PATHOFISIOLOGY ATRESIA ANI DAN HISPRUNG I. ATRESIA ANI A. DEFINISI Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya tidak ada dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang normal. Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002).Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna, 2003).Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001).Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna.Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001). Dapat disimpulkan bahwa, atresia ani adalah kelainan kongenital dimana anus tidak mempunyai lubang untuk

FP Atresia & Hisprung Fix-1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

atresia hisprung

Citation preview

Page 1: FP Atresia & Hisprung Fix-1

FUNDAMENTAL OF PATHOFISIOLOGY

ATRESIA ANI DAN HISPRUNG

I. ATRESIA ANI

A. DEFINISI

Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya tidak

ada dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran,

atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang

normal.

Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus

imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz,

2002).Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang

atau saluran anus (Donna, 2003).Atresia ani adalah tidak lengkapnya

perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara

abnormal (Suradi, 2001).Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya

perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan

pembentukan lubang anus yang tidak sempurna.Anus tampak rata atau sedikit

cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan

langsung dengan rektum (Purwanto, 2001).

Dapat disimpulkan bahwa, atresia ani adalah kelainan kongenital dimana

anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feses karena terjadi gangguan

pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan.

B. KLASIFIKASI

1. Secara Fungsional

Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar

yaitu :

a. Tanpa anus tetapi dengan dekompresi adekuat traktus gastrointestinalis

dicapai melalui saluran fistula eksterna. Kelompok ini terutama melibatkan

bayi perempuan dengan fistula recto-vagina atau recto-fourchette yang

Page 2: FP Atresia & Hisprung Fix-1

relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa

didapatkan dekompresi usus yang adekuat sementara waktu.

b. Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adekuat untuk jalan keluar

tinja. Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan

dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah

segera.

2. Berdasarkan Letak

Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :

a. Anomali rendah (infralevator)

Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis,

terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan

fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.

b. Anomali intermediet

Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborektalis; lesung anal

dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.

c. Anomali tinggi (supralevator)

Ujung rektum di atas otot puborektalis dan sfingter internal tidak ada. Hal

ini biasanya berhubungan dengan fistuls genitourinarius-retrouretral (pria)

atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rektum sampai

kulit perineum lebih dari 1 cm.

Page 3: FP Atresia & Hisprung Fix-1

3. Klasifikasi Wingspread

Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi 2

golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.

a. Jenis Kelamin Laki-laki

Golongan I

1) Kelainan fistel urin

Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum

uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria.

Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter

urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra

karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung

mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak

lancar, penderita memerlukan kolostomi segera.

2) Atresia rektum

Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan. Pada atresia

rektum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur jari

tidak dapat masuk lebih dari 1 – 2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium

sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.

3) Perineum datar

Tidak ada keterangan lebih lanjut.

4) Fistel tidak ada

Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka

perlu segera dilakukan kolostomi.

Golongan II

Page 4: FP Atresia & Hisprung Fix-1

1) Kelainan fistel perineum

Fistel perineum sama dengan pada perempuan, lubangnya terletak

lebih anterior dari letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang

buntu menimbulkan obstipasi.

2) Membran anal

Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah

selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit

secepat mungkin.

3) Stenosis anus

Pada stenosis anus, sama dengan perempuan. Pada stenosis anus,

lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit.

Evakuasi feses tidak lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan

terapi definitif.

4) Fistel tidak ada

Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka

perlu segera dilakukan kolostomi.

b. Jenis Kelamin Perempuan

Golongan I

1) Kelainan kloaka

Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius,

traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak

sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.

2) Fistel vagina

Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi

feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi.

3) Fistel rektovestibular

Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat di vulva. Umumnya

evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi

mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi

dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal.

4) Atresia rektum

Page 5: FP Atresia & Hisprung Fix-1

Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan

colok dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1–2 cm. Tidak ada

evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.

5) Fistel tidak ada

Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka

perlu segera dilakukan kolostomi.

Golongan II

1) Kelainan fistel perineum

Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat

letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan

obstipasi.

2) Stenosis anus

Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang

seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar sehingga

biasanya harus segera dilakukan terapi definitif.

3) Fistel tidak ada

Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka

perlu segera dilakukan kolostomi.

4. Atresia ani dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe :

1) Tipe Pertama (1)

Saluran anus atau rectum bagian bawah mengalami stenosis dalam

berbagai derajat.

2) Tipe Kedua (2)

Terdapat suatu membrane tipis yang menutupi anus karena menetapnya

membran anus.

3) Tipe Ketiga (3)

Anus tidak terbentuk dan rectum berakhir sebagai suatu kantung yang

buntu terletak pada jarak tertentu dari kulit di daerah anus yang seharusnya

terbentuk (lekukan anus).

4) Tipe Keempat (4)

Page 6: FP Atresia & Hisprung Fix-1

Saluran anus dan rectum bagian bawah membentuk suatu kantung buntu

yang terpisah, pada jarak tertentu dari ujung rectum yang berakhir sebagai

kantung buntu.

C. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1

dalam 5000 kelahiran. Secara umum, malformasi anorektal lebih banyak

ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Fistula rektpuretra merupakan

kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula

perineal. Sedangkan bayi perempuan, jenis malfromasi anorektal yang paling

banyak ditemui adalah anus imperforata diikuti fistula retovestibular dan fistula

perineal. Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan bahwa

malformasi anorektal letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan

malformasi anorektal letak tinggi.

1. Anus imperforata terjadi pada 1 dari setiap 4000 sampai 5000 kelahiran hidup.

2. 20%-75% bayi penderita anus imperforata juga menderita kelainan lain,

dengan malformasi saluran genitourinaria yang ditemukan paling sering (20%-

54%) dan fistula trakeoesofagus yang terjadi pada 10% bayi.

3. Anus imperforate sama banyaknya baik pada laki-laki maupun perempuan,

dan biasanya tidak ada riwayat keluarga dalam ketidakabnormalan ini.

4. Adanya kelainan yang berhubungan biasanya sebagai penyebab kematian

D. PATOFISIOLOGI

Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan

hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah,

esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas.

Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon

asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut

hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan

ektoderm dari protoderm/analpit . Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut

sebagai primitif gut.

Page 7: FP Atresia & Hisprung Fix-1

Anus imperforata (atresia ani) merupakan suatu kelainan malformasi

congenital dimana terjadi ketidaklengkapan perkembangan embrionik pada

bagian anus atau tertutupnya anus secara abnormal atau dengan kata lain tidak

ada lubang secara tetap pada daerah anus. Lokasi terjadinya anus imperforate ini

meliputi bagian anus, rectum, atau bagian di antara keduanya.

Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal

secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari

tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian

belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang

merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena

adanya penyempitan pada kanal anorektal. Atresia ani disebabkan karena tidak

sempurnanya migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu

selama perkembangan fetal, kegagalan migrasi tersebut juga terjadi karena

gagalnya agenesis sacral dan abnormalitas pada daerah uretra dan vagina atau

juga pada proses obstruksi. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui

anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal

mengalami obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah

dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.

Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis

menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak

rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan

lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak

normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus dapat tidak ada atau

rudimenter.

E. FAKTOR RISIKO

1. Faktor penyebab

a. Putusnya saluran pencernaan dari atas dgn daerah dubur shg bayi lahir

tanpa lubang dubur.

b. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu

atau 3 bulan.

Page 8: FP Atresia & Hisprung Fix-1

c. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik di daerah

usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yg terjadi antara

minggu ke-4 hingga ke-6 usia kehamilan.

d. Berkaitan dgn Sindrom Down.

e. Kelainan bawaan.

Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan

otot dasar panggul.Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal

mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang ter-

jadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.

Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin

yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan

mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyaisindrom

genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga bere-

siko untuk menderita atresia ani.

f. Kegagalan pembentukan septum urorektal scr komplit karena gangguan

pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik (Pur-

wanto, 2001).

2. Faktor predisposisi

a. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal,

jantung, trachea, esofagus, ginjal, dan kelenjar limfe).

b. Kelainan sistem pencernaan.

c. Kelainan sistem pekemihan.

d. Kelainan tulang belakang.

e. Kurang nutrisi saat masa kehamilan

f. Pembentukan organ tubuh yang tidak sempurna saat kehamilan

F. MANIFESTASI KLINIS

Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat

defekasi mekonium.Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi. Pada

golongan 3 hampir selalu disertai fistula.Pada bayi wanita sering ditemukan fistula

rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar dari (vagina)

Page 9: FP Atresia & Hisprung Fix-1

dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius.Sedang pada bayi laki-laki

dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan

jarang rektoperineal.

Gejala yang akan timbul :

1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.

2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.

3. mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah

4. bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam

5. perut kembung

(Ngastiyah, 2005)

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1) Pemeriksaan fisik rektum

Pemeriksaan colok dubur dan inspeksi visual adalah pemeriksaan diagnostik

yang umum dilakukan pada gangguan ini. Kepatenan rektal dapat dilakukan

colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.

2) Pemeriksaan radiologi

Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk

mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya. Pemeriksaan

sinyal X lateral infeksi (teknik Wangensteen-Rice) dapat menunjukkan adanya

kumpulan udara dalam ujung rektum yang buntu. Juga bisa digunakan untuk

mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.

Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan:

a. Udara dalam usus berhenti tiba–tiba yang menandakan obstruksi di daerah

tersebut.

b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bayi baru lahir dan

gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia ani / anus imperforata.

Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon / rektum.

c. Dibuat foto anter-posterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala

dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio–opak, sehingga

Page 10: FP Atresia & Hisprung Fix-1

pada foto daerah antara benda radio-opak dengan bayangan udara

tertinggi dapat diukur.

3. USG abdomen

Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system

pencernaan dan mencari adanya faktor reversibel seperti obstruksi oleh

karena massa tumor. USG dapat digunakan untuk menentukan letak kantong

rektal.

4. CT scan

Digunakan untuk menentukan lesi.

5. Aspirasi jarum

Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rektal dengan menusukan jarum

tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat

jarum sudah masuk 1,5 cm, defek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.

6. Pieolgrafi intravena

Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.

7. Pemeriksaan urine

Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel

mekonium.

8. Rontgenogram Abdomen dan Pelvis

Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan

dengan traktus urinarius.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS

Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya.Pada atresia ani

letak tinggi, harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu.Pada beberapa waktu lalu

penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough,

tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus

yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 memperkenalkan metode

operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara

membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk

memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel.

Page 11: FP Atresia & Hisprung Fix-1

Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara

jangka panjang,meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta

antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan

ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara

lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca

operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi,

persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta

ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk.Dari

berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak

ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula.

Leape (1987) menganjurkan pada :

a. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD

dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP).

b. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya

dilakukan tesprovokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot

sfingter ani ekternus.

c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.

d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana

dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.

Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan

intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan

diversi.Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak

dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baik minimal, limited atau full postero

sagital anorektoplasti.

Teknik Operasi

a. Dilakukan dengan general anestesi, dengan intubasi endotrakeal, dengan

posisi pasien tengkurap dan pelvis ditinggikan.

b. Stimulasi perineum dengan alat Pena Muscle Stimulator untuk identifikasi

anal dimple.

Page 12: FP Atresia & Hisprung Fix-1

c. Insisi bagian tengah sakrum kearah bawah melewati pusat spingter dan

berhenti 2 cm didepannya.

d. Dibelah jaringan subkutis, lemak, parasagital fiber dan muscle complex.

e. Os koksigeus dibelah sampai tampak muskulus levator, dan muskulus

levator dibelahtampak dinding belakang rektum.

f. Rektum dibebas dari jaringan sekitarnya.

g. Rektum ditarik melewati levator, muscle complex dan parasagital fiber.

h. Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai tension.

Page 13: FP Atresia & Hisprung Fix-1

Penatalaksanaan malformasi anorektal

Page 14: FP Atresia & Hisprung Fix-1

Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus laki-

laki. Dengan inspeksi perineum dapat ditentukan adanya malformasi anorektal

pada 95% kasus malformasi anorektal pada bayi perempuan. Prinsip

penatalaksanaan malformasi anorektal pada bayi perempuan hampir sama

dengan bayi laki-laki.

Penatalaksanaan malformasi anorektal pada bayi perempuan

Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus

perempuan

Anoplasty

PSARP adalah metode yang ideal dalam penatalaksanaan kelainan anorektal.

Jika bayitumbuh dengan baik, operasi definitif dapat dilakukan pada usia 3

bulan. Kontrindikasi dari PSARP adalah tidak adanya kolon.Pada kasus fistula

rektovesikal, selain PSARP, laparotomi atau laparoskopi diperlukan untuk

Page 15: FP Atresia & Hisprung Fix-1

menemukan memobilisasi rektum bagian distal.Demikian juga pada pasien

kloaka persisten dengan saluran kloaka lebih dari 3 cm.

Penatalaksanaan Post-operatif

Perawatan Pasca Operasi PSARP

a. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari ,salep antibiotik diberikan

selama 8- 10 hari.

b. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2

kali sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang

dinaikan sampai mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi

dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk.

Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan

serta tidak ada rasa nyeri bila dilakukan 2 kali sehari selama 3-4 minggu

merupakan indikasi tutup kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan.

Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7

hari.Sedangkan padakasus kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10-14

hari. Drainase suprapubikdiindikasikan pada pasien persisten kloaka dengan

saluran lebih dari 3 cm. Antibiotik intravena diberikan selama 2-3 hari, dan

antibiotik topikal berupa salep dapat digunakan pada luka.

Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi.Untuk pertama kali

dilakukan oleh ahlibedah, kemudian dilatasi dua kali sehari dilakukan oleh

petugas kesehatan ataupun keluarga.Setiap minggu lebar dilator ditambah 1 mm

tercapai ukuran yang diinginkan.Dilatasi harusdilanjutkan dua kali sehari sampai

dilator dapat lewat dengan mudah.Kemudian dilatasidilakukan sekali sehari

selama sebulan diikuti dengan dua kali seminggu pada bulan berikutnya,sekali

seminggu dalam 1 bulan kemudian dan terakhir sekali sebulan selama tiga

bulan.Setelah ukuran yang diinginkan tercapai, dilakukan penutupan kolostomi.

Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi

karena kulitperineum bayi tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya.Salep

Page 16: FP Atresia & Hisprung Fix-1

tipikal yang mengandung vitamin A, D, aloe, neomycin dan desitin dapat

digunakan untuk mengobati eritema popok ini.

II. HISPRUNG

A. DEFINISI

Hisprung adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus (Ariff

Mansjoer, dkk. 2000). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald

Hirschsprung tahun 1886, namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak

diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan

menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh

gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion (Kartono,

1993; Fonkalsrud, 1997; Lister, 1996.

Penyakit hisprung disebut juga congenital aganglionik megakolon.

Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai

persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari

anus kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi

“kelumpuhan” usus besar yang terkena benda-benda untuk setiap individu.

Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel –

sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidakadaan ini

menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya

evakuasi usus spontan. Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan

bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan

kebanyakan terjadi  3 Kg, lebih banyak laki – laki daripada bayi aterm dengan

berat lahir  dari pada perempuan.

Penyakit hisprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh

kelainan inervesi usus, dimulai dari sfingter ani interna dan meluas ke proximal,

melibatkan panjang usus yang bervariasi.

Page 17: FP Atresia & Hisprung Fix-1

Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun pada intinya

sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan

oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus

spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.

B. KLASIFIKASI

Klasifikasi penyakit Hirschsprung adalah sebagai berikut:

1. Hirschsprung segmen pendek

Pada morbus hirschsprung segmen pendek daerah aganglionik meliputi

rektum sampai sigmoid, ini disebut penyakit hirschsprung klasik. Penyakit ini

terbanyak (80%) ditemukan pada anak laki-laki, yaitu lima kali lebih banyak

daripada perempuan.

2. Hirschsprung segmen panjang

Pada hirschsprung segmen panjang ini daerah aganglionik meluas lebih tinggi

dari sigmoid.

3. Hirschsprung kolon aganglionik total

Dikatakan Hirschsprung kolon aganglionik total bila daerah aganglionik

mengenai seluruh kolon.

4. Hirschsprung kolon aganglionik universal

Dikatakan Hirschsprung aganglionosis universal bila daerah aganglionik

meliputi seluruh kolon dan hampir seluruh usus halus.

C. EPIDEMIOLOGI

Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi

berkisar 1 di antara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia

200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan

lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Menurut catatan Swenson, 81,1%

dari 880 kasus yang diteliti adalah laki laki. Sedangkan Richardson dan Brown

menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus

dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan

dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka

Page 18: FP Atresia & Hisprung Fix-1

yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10%) dan kelainan urologi

(3%).Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi

seperti refluks vesikoureter, hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria

(mencapai 1/3 kasus) (Swenson dkk, 1990).

Penyakit Hirschsprung terjadi pada sekitar 1 dari per 5400 – 7200 kelahiran.

Tidak diketahui frekuensi yang tepat untuk seluruh dunia, walaupun beberapa

penelitian internasional melaporkan angka kejadian sekitar 1 kasus dari 1500

hingga 7000 kelahiran

Sekitar 20% bayi akan memiliki abnormalitas yang melibatkan sistem

neurologis, kardiovaskuler, urologis, atau gastrointestinal.

Megacolon aganglionik yang tidak diatasi pada masa bayi akan menyebabkan

peningkatan mortalitas sebesar 80%.

Mortalitas operative pada prosedur intervensi sangat rendah. Terjadi pada 1

dari 5.000 kelahiran hidup (Askarpour & Samimi, 2008 & Pasumarthy& Srour,

2008).

Perbandingan penderita laki-laki dan perempuan adalah 4:1 (Pasumarthy &

Srour,2008).

Jumlah penderita hirschsprung laki-laki mencapai 70 – 80% dari kejadian

(Askarpour & Samimi, 2008)

D. PATOFISIOLOGI

Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya

kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa

kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian

proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau

tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi

usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah

keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus

dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang

rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden, 2002:197). 

Page 19: FP Atresia & Hisprung Fix-1

Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk

kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke

segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan

terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi

obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar (Price, S & Wilson,

1995 : 141).

Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada

dinding usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang

yang bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan

perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang agangloinik

terbatas pada rektosigmoid pada 75 % penderita, 10% seluruh kolonnya tanpa

sel-sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf pada usus yang

aganglionik menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi.

Secara histologi, tidak di dapatkan pleksus Meissner dan Auerbach dan

ditemukan berkas-berkas saraf yang hipertrofi dengan konsentrasi

asetikolinesterase yang tinggi di antara lapisan-lapisan otot dan pada submukosa.

Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai pada

bagian usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion

parasimpatik intramural.Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat mengembang

sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini

kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk

megakolon. Pada Morbus Hirschsprung segemen pendek, daerah aganglionik

meliputi rectum sampai sigmoid, ini disebut penyakit Hirschsprung klasik.Penyakit

ini terbanyak (80%) ditemukan pada anak laki-laki, yaitu 5 kali lebih sering

daripada anak perempuan.Bila daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari

sigmoid disebut Hirschsprung segmen panjang.Bila aganglionosis mengenai

seluruh kolon disebut kolon aganglionik total, dan bila mengenai kolon dan

hamper seluruh usus halus, disebut aganglionosis universal.

Page 20: FP Atresia & Hisprung Fix-1

Spinkter rectum tidak dapat berelaksasi

Absensi ganglion messner( tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal )

Usus pastis dan daya dorong tidak ada( tidak adanya evakuasi usus spontan )

Isi usus mendorong ke segmen ganglionik

obstruksi

Feses tidak bisa keluar

Akumulasi pada ususDistensi abdomen

Obstipasi tidak ada mekonium

Konstipasi

Gangguan rasa nyaman :nyeri Muntah

Nutrisi kurang dari kebutuhan

Kekurangan volume cairan

Perubahan status kesehatan anak

Pathway

Page 21: FP Atresia & Hisprung Fix-1

E. FAKTOR RISIKO

Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam

lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 %

terbatas di daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 %

dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus. Diduga terjadi karena faktor genetik

sering terjadi pada anak dengan Down Syndrom, kegagalan sel neural pada masa

embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan

sub mukosa dinding plexus (Budi, 2010).

F. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Betz, Cecily. L (2002) manifestasi klinis Hisprung dibagi menjadi 2 (dua)

yaitu:

a. Masa Veo Natal

1) Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.

2) Muntah berisi empedu

3)  Enggan minum.

4)  Distensi abdomen.

b. Masa Bayi dan Kanak-kanak

1) Konstipasi

2) Diare berulang

3) Tinja seperti pita, berbau busuk

Page 22: FP Atresia & Hisprung Fix-1

4) Distensi abdomen

5) Gagal tumbuh

Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat dibedakan berdasarkan usia gejala

klinis mulai terlihat :

1. Periode Neonatal

Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yaitu pengeluaran mekonium yang

terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.Pengeluaran mekonium yang

terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan.

Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus,

sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4%

untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya

dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan

enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita

penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja,

namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai

pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces

berbau busuk dan disertai demam.Swenson mencatat hampir 1/3 kasus

Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat

pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi.

2. Anak

Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi

kronis dan gizi buruk (failure to thrive).Dapat pula terlihat gerakan peristaltik

usus di dinding abdomen.Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces

biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak

sedap.Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa

hari dan biasanya sulit untuk defekasi. Kasus yang lebih ringan mungkin baru

akan terdiagnosis di kemudian hari.

Pada masa pertumbuhan (usia 1 – 3 tahun):

a) Tidak dapat meningkatkan berat badan

b) Konstipasi (sembelit)

Page 23: FP Atresia & Hisprung Fix-1

c) Pembesaran perut (perut menjadi buncit)

d) Diare cair yang keluar seperti disemprot

e) Demam dan kelelahan adalah tanda-tanda dari radang usus halus dan

dianggap sebagai keadaan yang serius dan dapat mengancam jiwa.

Pada anak diatas 3 tahun, gejala bersifat kronis :

a) Konstipasi (sembelit)

b) Kotoran berbentuk pita

c) Berbau busuk

d) Pembesaran perut

e) Pergerakan usus yang dapat terlihat oleh mata (seperti gelombang)

f) Menunjukkan gejala kekurangan gizi dan anemia Gejala Hisprung.

Gejala-gejala yang terjadi pada pasien mega kolon/penyakit hisprung antara lain:

1. Pada bayi yang baru lahir tidak dapat mengeluarkan mekonium (tinja pertama

pada bayi baru lahir).

2. Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, perut

menggembung, muntah.

3. Diare encer (pada bayi baru lahir).

4. Berat badan tidak bertambah.

5. Malabsorpsi

Page 24: FP Atresia & Hisprung Fix-1

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Radiologi

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit

Hirschsprung.Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi

usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan

usus besar.Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan

diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda

khas:

a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang

panjangnya bervariasi.

b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah

daerah dilatasi.

c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

Page 25: FP Atresia & Hisprung Fix-1

Terlihat gambar barium enema penderitaHirschsprung. Tampak rektum yang

mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit

Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto

setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran

khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah

proksimal kolon.Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun

disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah

rektum dan sigmoid.

2. Biopsy Rectal

Metode definitif untuk mengambil jaringan yang akan diperiksa adalah

dengan biopsy rectal full-thickness.

Spesimen yang harus diambil minimal berjarak 1,5 cm diatas garis dentata

karena aganglionosis biasanya ditemukan pada tingkat tersebut.

Kekurangan pemeriksaan ini yaitu kemungkinan terjadinya perdarahan dan

pembentukan jaringan parut dan penggunaan anastesia umum selama

prosedur ini dilakukan.

Page 26: FP Atresia & Hisprung Fix-1

3. Simple Suction Rectal Biopsy

Lebih terkini, simple suction rectal biopsy telah digunakan sebagai teknik

mengambil jaringan untuk pemeriksaan histologist

Mukosa dan submukosa rektal disedot melalui mesin dan suatu pisau

silinder khusus memotong jaringan yang diinginkan.

4. Manometri Anorektal

Manometri anorektal mendeteksi refleks relaksasi dari internal sphincter

setelah distensi lumen rektal. Refleks inhibitorik normal ini diperkirakan

tidak ditemukan pada pasien penyakit Hirschsprung.

Swenson pertama kai menggunakan pemeriksaan ini. Pada tahun 1960,

dilakukan perbaikan akan tetapi kurang disukai karena memiliki banyak

keterbatasan. Status fisiologik normal dibutuhkan dan sedasi seringkali

penting. Hasil positif palsu yang telah dilaporkan mencapai 62% kasus, dan

negatif palsu dilaporkan sebanyak 24% dari kasus.

Karena keterbatasan ini dan reliabilitas yang dipertanyakan, manometri

anorektal jarang digunakan di Amerika Serikat

Keunggulan pemeriksaan ini adalah dapat dengan mudah dilakukan diatas

tempat tidur pasien.

Akan tetapi, menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung secara

patologis dari sampel yang diambil dengan simple suction rectal biopsy

lebih sulit dibandingkan pada jaringan yang diambil dengan teknik full-

thickness biopsy

Kemudahan mendiagnosis telah diperbaharui dengan penggunaan

pewarnaan asetilkolinesterase, yang secara cepat mewarnai serat saraf

yang hipertropi sepanjang lamina propria dan muskularis propria pada

jaringan.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS

Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah

dan pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati

komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan

Page 27: FP Atresia & Hisprung Fix-1

umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan

non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah

terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta

mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan

adalah pemasangan infus, pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa

rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit

serta penjagaan nutrisi. (Kartono, 2004)

1. Konservatif

Intervensi agresif pada fase awal terdiri atas resusitasi cairan dan elektrolit,

dekompresi usus, administrasi analgesia dan antimuntah sesuai klinis,

antibiotic spectrum luas, serta konsultasi bedah awal.

2. Pembedahan

Pilihan operasi bervariasi tergantung usia pasien, status mental, kemampuan

untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari, panjang segmen aganglionik,

derajat dilatasi kolon, irigasi rectal diikuti oleh reseksi usus dan prosedur

kolostomi(Dasgupta,2004 dalam Arif Muttaqin & Kumalasari,2011). Ada dua

tahap pembedahan pertama dengan kolostomi loop atau double barrel di

mana diharapkan tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi dapat

kembali menjadi normal dalam waktu 3 – 4 bulan. Terdapat tiga prosedur

dalam pembedahan di antaranya sebagai berikut:

a) Prosedur Duhamel dengan cara penarikan kolon normal ke arah bawah

dan menganastomosiskannya di belakang usus aganglionik. Selanjutnya

dibuat dinding ganda, yaitu selubung aganglionik dan bagian posterior

kolon normal yang telah ditarik

b) Prosedur Swenson, yaitu membuang bagian aganglionik kemudian

menganastomosiskan end to end pada kolon yang berganglion dengan

saluran anal yang mengalami dilatasai dan pemotongan sfingter di lakukan

pada bagian posterior.

c) Prosedur Soave, dengan cara membiarkan dinding otot dari segmen

rectum tetap utuh kemudian kolon yang bersaraf normal di tarik sampai ke

Page 28: FP Atresia & Hisprung Fix-1

anus tempat di lakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan

otot rektosimoid yang tersisa(Hidayat,2008).

Pembedahan yang saat ini umum di lakukan adalah pembedahan

yang memanfaatkan laparoskopi abdominal dan mobilisasi pelvis pada rectum

dan prosedur transanal soave, yang tidak termasuk diseksi

intraabdominal.Selain itu juga terdapat laparotomy atau yang di kombinasikan

dengan laparoscopy dan transanal dissection yang telah di advokasikan pada

bayi baru lahir.Pembedahan ini memiliki beberapa keuntungan yaitu waktu

rawat inap yang pendek, dan pemenuhan makanan yang

adekuat(Guandalini,2005).

Selain itu didalam buku lain di jelaskan tentang penatalaksanaan

prapembedahan dan pascapembedahan:

1) Penatalaksanaan prapembedahan

(a) Memantau fungsi usus dan karakteristik feses

(b) Memberikan spooling dengan air garam fisiologis bila tidak ada

kontraindikasi lain.

(c) Pantau status hidrasi dengan cara mengukur intake dan output cairan

tubuh

(d) Observasi membrane mukosa, turgor kulit, produksi urine, dan status

cairan.

(e) Pantau perubahan status nutrisi, antar lain turgor kulit dan asupan

nutrisi.

(f) Melakukan pemberian nutrisi parenteral jika secara oral tidak

memungkinkan.

(g) Lakukan pemberian nutrisi dengan tinggi kalori, tinggi protein.

2) Penatalaksanaan pascapembedahan

(a) Lakukan observasi atau pantau tanda nyeri

(b) Lakukan teknik pengurangan nyeri, seperti teknik back rub (pijat

punggung), sentuhan.

(c) Pertahankan posisi yang nyaman bagi pasien

(d) Berikan anlagesik jika memungkinkan.

Page 29: FP Atresia & Hisprung Fix-1

(e) Pantau tempat insisi, mengganti popok dengan sering untuk

menghindari kontaminasi feses.

(f) Lakukan perawatan pada kolostomiatau perianal

(g) Kolaborasi pemberian antibiotic untuk pengobatan mikroorganisme.

(h) Pantau tanda andanya komplikasi seperti obstruksi usus karena

perlenketan, volvulus, kebocoran pada anastomosis, sepsis, fistula,

enterokolitis, frekuensi defekasi, konstipasi, perdarahan, dll.

(i) Memantau peristaltic usus

(j) Pantau tanda-tanda vital dan adanya distensi abdomen untuk

mempertahankan kepatenan pemasangan nasogastrik.

Cara Melakukan perawatan kolostomi dengan cara sebagai berikut:

1. Persiapan alat

2. Cuci tangan

3. Jelaskan prosedur pada klien

4. Lepaskan kantong kolostomi dan lakukan pembersihan daerah kolostomi.

5. Periksa adanya kemerahan dan iritasi

6. Pasang kantong kolostomi di daerah stoma

7. Tutup atau fiksasi dengan plester

8. Cuci tangan(Hidayat,2008).

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik.

Edisi ke-3.Jakarta : EGC.

Brunner and Suddarth. 1996. Text Book of Medical-Surgical Nursing. Jakarta:

EGC.

Carpenito.LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Alih bahasa

Monica Ester.Jakarta : EGC.

Page 30: FP Atresia & Hisprung Fix-1

Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi ke-3.Jakarta : EGC.

Faradilla, Nova. 2009. Anestesi Pada Tindakan Posterosagital Anorektoplasti

Pada Kasus Malformasi Anorektal. Riau: Faculty of Medicine University of

Riau.

Grosfeld J, O’Neill J, Coran A, Fonkalsrud E. 2006. Pediatric Surgery 6 th Edition.

Philadelphia: Mosby Elseivier: 1566-99.

Guandalini, Stefano.2005. Textbook of Pediatric Gastroenterology and

Nutrition.London:Taylor&Francis Group.

Hidayat.A.A.Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan

Kebidanan. Jakarta:Salemba Medika.

Irwan, Budi, 2003. Pengamatan fungsi anorektal pada penderita penyakit

Hirschsprung pasca operasi pull-through.Available From: Usu digital library

(Akses 26 Febuari 2012).

Muttaqin,Arif & Kumalasari. 2011 .Gangguan Gastrointestinal Aplikasi asuhan

Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:Salemba Medika.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto.

Latief SA, Suntoro A. 1989. Anestesi Peditrik dalam: Anestesiologi. Muhiman M,

Thaib M, Sunatrio S, Dahlan M (eds). Jakarta: Bagian Anestesi dan Terapi

Intensif FKUI.

Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases

2007.

Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. 2005. Principles and Practice of

Pediatric Surgery Vol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Wong, D.L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-4.

Diterjemahkan oleh Sri Kurnianianingsih, dkk. Jakarta: EGC.

Wyllie, Robert, 2000. Megakolon Aganglionik Bawaan (Penyakit Hirschsprung).

Behrmann, Kliegman, Arvin. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi

15, Jilid II. Jakarta: EGC, 1316-1319.