25
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga kami memperoleh kesempatan dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik Ilmu THT berjudul “Fraktur Maksila”, diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan persyaratan dalam menyelesaikan Program Profesi Dokter di bagian Ilmu THT Rumah Sakit Umum Daerah Karawang. Selama penyusunan makalah ini banyak bantuan yang telah saya peroleh. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Dengan segala kerendahan hati penulis mengakui bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga penulis membuka hati untuk menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat berupa tambahan ilmu pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk mahasiswa kedokteran dan masyarakat pada umumnya. Karawang, November 2014 Penulis 1

fraktur maksila

Embed Size (px)

DESCRIPTION

fr maksila

Citation preview

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga kami memperoleh kesempatan dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik Ilmu THT berjudul Fraktur Maksila, diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan persyaratan dalam menyelesaikan Program Profesi Dokter di bagian Ilmu THT Rumah Sakit Umum Daerah Karawang.Selama penyusunan makalah ini banyak bantuan yang telah saya peroleh. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.Dengan segala kerendahan hati penulis mengakui bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga penulis membuka hati untuk menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat berupa tambahan ilmu pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk mahasiswa kedokteran dan masyarakat pada umumnya.

Karawang, November 2014

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar1

Daftar Isi2

BAB 1Pendahuluan3

BAB 2Tinjauan pustaka4

2.1 definisi 4

2.2 Epidemiologi5

2.3 Etiologi6

2.4 Klasifikasi fraktur7

2.5 Diagnosis11

2.6 Tatalaksana13

2.7 Prognosis15

2.6 Komplikasi15

BAB 3Kesimpulan17

Daftar Pustaka18

BAB IPENDAHULUANTulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, maksila, dan mandibular merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik. (1)Ada banyak factor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olahraga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi penyebab terbanyak adalah karena kecelakaan lalu lintas. (1)Skeleton fasial secara kasar dapat dibagi menjadi 3 daerah, yaitu sepertiga bawah mandibular, sepertiga atas yang dibentuk tulang dahi, dan sepertiga tengah daerah yang membentang dari tulang dahi menuju kepermukaan gigi geligi atas, bila pasien tidak mempunyai gigi pada alveolus atas. Fraktur yang terjadi pada daerah sepertiga tengah disebut fraktur maksila. Sedangkan fraktur yang terjadi pada sepertiga tengah dan atau mandibular dikenal pula dengan maxilla fascial injur. (2)Bila dibandingkan dengan fraktur mandibular, frekuensi terjadinya fraktur maksila lebih sedikit. Row dan Kinley serta Converse pada penelitiannya mendapatkan perbandingan fraktur mandibular dan fraktur maksila dengan perbandingan 4 : 1. Pada penelitian terakhir, didapatkan adanya peningkatan kejadian fraktur maksila.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 DefinisiFraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas dari jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibular. (1)

Gambar 1. Anatomi WajahMaksila dibentuk oleh tulang maksila dan palatum, merupakan tulang tebesar setelah mandibular. Masing-masing maksila mempunyai bagian, yaitu: (1,2)1. Corpus : yang membentuk pyramid dengan 4 permukaan dindinga. Facies orbitalis yang ikut membentuk dasar cavum orbitab. Facies nasalis yang ikut membentuk dinding lateral cavum nasic. Facies infra temporalis yang menghadap posterolaterald. Facies anterior2. Processus, ada 4 processus yaitu:a. Processus frontalis yang bersendi dengan os frontal, os nasal dan lacrimaleb. Processus zygomaticus yang bersendi dengan os zygomaticusc. Processus alveolaris yang ditempati oleh akar gigid. Processus palatinus yang memisahkan cavum nasi dengan cavum oris

Gambar 2. Anatomi tulang maksilaCorpus maksila merupakan bangunan berongga, berdinding tipis, terutama pada facies nasalis. Rongga ini disebut sinus maksilaris, yang merupakan salah satu dan yang terbesar dari ke empat sinus paranasal. Besar sinus bervariasi tergantung usia dan perluasan ke processus. Di bawah mukosanya, pada dinding posterior dan anterior, terdapat anyaman saraf yang dibentuk cabang nervus maksilaris yang masuk sinus melalui canalis alveolaris dan canalis infra orbitalis bersama-sama dengan vasanya untuk mendarafi gigi rahang atas. Akar gigi yang tumbuh pada processus alveolaris maksila kadang-kadang dapat menembus sinus, yaitu akar gigi dari M1, tetapi dapat juga akar gigi M2, M3, P1, P2.(2)Terdapat otot-otot kecil dan tipis yang melekat pada maksila dan termasuk dalam golongan otot mimic yang mendapat persarafan motoric N. VIII. Secara mikroskopis, maksilla merupakan tulang kanselous dimana pada fraktur akan terjadi penyembuhan primer.(2)

2.2 EpidemiologiFraktur pada midface seringkali terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh, kekerasan, dan akibat trauma benda tumpul lainnya. Untuk fraktur maksila sendiri, kejadiannya lebih rendah dibandingan dengan fraktur midface lainnya.(3) Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Rowe dan Killey tahun 1995, rasio antara fraktur mandibua dan maksila melebihi 4:1.(2) Data lainnya juga melaporkan dari trauma centre level 1, bahwa diantara 663 pasien fraktur tulang wajah, hanya 2,5% berupa fraktur maksila.(4)Di University of Kentucky Medical Centre, dari 326 pasien wanita dewasa dengan facial trauma, sebanyak 42.6% trauma terjadi akibat kecelakaan bermotor, 21.5% akibat terjatuh, akibat kekerasan 13.8%, penyebab yang tidak diungkapkan pasien 10.7%, cedera saat berolahraga 7.7%, akibat kecelakaan lainnya 2.4%, dan luka tembak sebagai percobaan bunuh diri serta akibat kecelakaan masing-masing 0.6%.(5) Didapatkan bahwa semakin parah kondisi osteoporosis, semakin besar kemungkinan jumlah fraktur maksilofasial yang dialami. Oleh karena itu, benturan yang lebih ringan akibat terjatuh bias menimbulkan fraktur maksilofasial multiple sebagaimana yang terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor jika pasien mengalami osteoporosis yang parah.(6)

2.3 EtiologiFraktur maxilla dapat disebabkan oleh trauma atau karena proses patologis.(7)1. Traumatic FractureTraumatic fracture adalah fraktur yang disebabkan oleh pukulan pada perkelahian, kecelakaan dan tembakan.2. Pathologic FractureFraktur yang disebabkan oleh keadaan patologis dimana tulang dalam keadaan sakit, tulang tipis atau lemah, sehingga bila terdapat trauma ringan seperti berbicara, makan dan mengunyah dapat terjadi fraktur. Terjadi karena :a. Penyakit tulang setempat Kista Timor tulang jinak atau ganas Keadaan dimana resorpsi tulang sangat besar sekali sehingga dengan atau tanpa trauma dapat terjadi fraktur, misalnya pada osteomielitisb. Penyakit umum yang mengenai tulang sehingga tulang mudah patah Osteomalacia Osteoporosis Atrofi tulang secara umum

2.4 Klasifikasi FrakturKlasifikasi fraktur dapat berupa: (2)1. Single fractureFraktur dengan satu garis fraktur2. Multiple fractureTerdapat dua atau lebih garis fraktur yang tidak berhubungan satu sama lain.Misalnya: Unilateral jila kedua garis fraktur terletak pada satu sisi; Bilateral jila garis fraktur bearada pada sisi yang berlainan.3. Communited fractureTulang hancur atau remuk menjadi beberapa fragmen kecil 1 atau berkeping-keping, misalnya symphisis mandibularis dan di daerah anterior maxilla.4. Complicated fractureTerjadi suatu dislokasi dari tulang sehingga mengakibatkan kerusakan tulang-tulang yang berdekatan, gigi dan jaringan lunak yang berdekatan.5. Complete fractureTulang patah semua secara lengkap menjadi 2 bagian atau lebih.6. Incomplete fractureTulang tidak patah sama sekali, tetapi hanya retak juga penyatuan tulang tidak terganggu. Dalam keadaan seperti ini lakukan bandage dan rahang diistirahatkan 1-3 minggu.7. Depressed fractureBagian tulang yang fraktur masuk ke daam suatu rongga. Sering pada fraktur maxilla yaitu pada permukaan fasial dimana fraktur tulang terdorong masuk ke sinus maxillaris.8. Impacted fractureDimana fraktur yang 1 didorong masuk kef ragmen tulang lain. Sering terjadi pada tulang zygomaticus.

Fraktur maksila dapat diklasifikasikan sebagai berikut.(7,8)1. Dento Alveolar FractureSuatu fraktur di daerah processus maxillaris yang belum mencapai daerah Le Fort 1 dan dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Fraktur ini meliputi processus alveolaris dan gigi-gigi.Gejala klinik:Extra Oral :a. Luka pada bibir atas yang dalam dan luas. Luka laserasi pada bibir sering disertai perdarahan, kadang-kadang terdapat patahan gigi dalam bibir yang luka tersebut.b. Bibir bengkak dan edematous.c. Ekimosis dan hematoma pada muka.Intra Oral :a. Luka laserasi pada gingiva daerah fraktur dan sering disertai perdarahan.b. Adanya subluxation pada gigi sehingga gigi tersebut bergerak, kadang-kadang berpindah tempat.c. Adanya alvulatio gigi, kadang-kadang disertai tulang alveolusnya.d. Fraktur korona gigi dengan atau tanpa terbukanya kamar pulpa.

2. Le Fort IPada fraktur ini, garis fraktur berada antara dasar dari sinus maxillaris dan dasar dari orbita. Pada Le Fort I ini seluruh processus alveolaris rahang atas, palatum durum, septum nasalis terlepas dari dasarnya sehingga seluruh tulang rahang dapat digerakkan ke segala arah. Karena tulang-tulang ini diikat oleh jaringan lunak saja, maka terlihat seperti tulang rahang mengapung (floating fracture). Fraktur dapat terjadi unilateral atau bilateral. Suatu tambahan fraktur pada palatal dapat terjadi, dimana terlihat sebagai suatu garis ekimosis.Gejala klinik:Extra Oral :a. Pembengkakan pada muka disertai vulnus laceratum.b. Deformitas pada muka, muka terlihat asimetris.c. Hematoma atau ekimosis pada daerah yang terkena fraktur, kadang-kadang terdapat infraorbital ekimosis dan subconjunctival ecchymosis.d. Penderita tidak dapat menutup mulut karena gigi posterior rahang atas dan rahang bawah tekah kontak terlebih dahulu.Intra Oral :a. Ekimosis pada mucobucal rahang atas.b. Vulnus laceratum, pembengkakan gingiva, kadang-kadang disertai goyangnya gigi dan lepasnya gigi.c. Perdarahan yang berasal dari gingiva yang luka atau gigi yang luka, gigi fraktur atau lepas.d. Open bite maloklusi sehingga penderita sukar mengunyah.

3. Le Fort IIGaris fraktur meliputi tulang maxillaries, nasalis, lacrimalis, ethmoidalis, sphenoid, dan sering tulang vomer dan septum nasalis terkena juga.Gejala klinikExtra Oral :a. Pembengkakan hebat pada muka dan hidung, pada daerah tersebut terasa sakit.b. Dari samping muka terlihat rata karena adanya deformitas hidung.c. Bilateral circum echymosis, subconjuctival echymosis.d. Perdarahan dari hidung yang disertai cairan cerebrospinal.Intra Oral :a. Mulut sukar dibuka dan rahang bawah sulit digerakkan ke depan.b. Adanya maloklusi open bite sehingga penderita sukar mengunyah.c. Palatum mole sering jatuh ke belakang sehingga dorsum lidah tertekan sehingga timbul kesukaran bernafas.d. Terdapatnya kelainan gigi berupa fraktur, avultio, luxatio.e. Pada palpasi, seluruh bagian rahang atas dapat digerakkan, pada bagian hidung terasa adanya step atau bagian yang tajam dan terasa sakit.

4. Le Fort IIIFraktur ini membentuk garis fraktur yang meliputi tulang-tulang nasalis, maxillaries, orbita, ethmoid, sphenoid dan zygomaticus arch. Sepertiga bagian tengah muka terdesak ke belakang sehingga terlihat muka rata yang disebut Dish Shape Face. Displacement ini selalu disebabkan karena tarikan kea rah belakang dari M.pterygoideus dimana otot ini melekat pada sayap terbesar tulang sphenoid dan tuberositas maxillary.Gejala KlinisExtra Oral :a. Pembengkakan hebat pada muka dan hidung.b. Perdarahan pada palatum, faring, sinus maxillaries, hidung, dan telinga.c. Terdapat bilateral circum echymosis dan subconjuctival echymosis.d. Pergerakan bola mata terbatas dan terdapat kelainan N.opticus dan saraf motorik dari mata yang menyebabkan diplopia, kebutaan dan paralisis bola mata yang remporer.e. Deformitas hidung sehingga mata terlihat rata.f. Adanya cerebrospinal rinorhea dan umumnya bercampur darah.g. Paralisis N. Fasialis yang sifatnya temporer atau permanen yang menyebabkan Bells Palsy.Intra Oral :a. Mulut terbuka lebih lebar karena keadaan open bite yang berat.b. Rahang atas dapat lebih mudah digerakkan.c. Perdarahan pada palatum dan faring.d. Pernafasan tersumbat karena tertekan oleh dorsum lidah.

Gambar 3. Le Fort I, II, dan III5. Zygomaticus Complex FractureTulang zygoma adalah tulang yang kokoh pada wajah dan jarang mengalami fraktur. Namun, tempat penyambungan dari lengkungnya sering mengalami fraktur. Yang paling sering mengalami fraktur adalah temporal sutura dari lengkung rahang. Fraktur garis sutura rim infra orbitalis, garis sutura zygomatic frontal dan zygomatic maxillaries. Fraktur ini biasanya unilateral , sering bersifat multiple dan comminuted, tetapi karena adanya otot sygomatic dan jaringan pelindung yang tebal, jarang bersifat compound. Displacement terjadi karena trauma, bukan karena tarikan otot.Gejala klinika. Penderita mengeluh sukar membuka rahang, merasa ada sesuatu yang menahan, waktu membuka mulut ke depan condyle seperti tertahan.b. Bila cedera sudah beberapa hari ddan pembengkakan hilang, terlihat adanya depresi yang nyata sekeliling lengkung dengan lebar 1 atau 2 jari yang dapat diraba.c. Pembengkakan periorbita, ecchymosis.d. Palpasi lunak.e. Rasa nyeri.f. Epistaksis, perdarahan hidung disebabkan karena cedera, robeknya selaput lender antral oleh fraktur zygomatic dengan perdarahan lebih lanjut ke antrum melalui ostium maxilla ke rongga hidung.g. Rasa baal di bawah mata, rasa terbakar dan paraesthesia.h. Perdarahan di konjungtiva.i. Gangguan penglihatan diplopia, penglihatan kabur.

Gambar 4. Zygomaticus Complex Fracture

2.5 DiagnosisMobilitas dan maloklusi merupakan hallmark adanya fraktur maksila. Namun, kurang dari 10% fraktur Le Fort dapat terjadi tanpa mobilitas maksila. Gangguan oklusal biasanya bersifat subtle, ekimosis kelopak mata bilateral biasanya merupakan satu-satunya temuan fisik. Hal ini dapat terjadi pada Le Fort II dan III dimana disrupsi periosteum tidak cukup untuk menimbulkan mobilitas maksila.(8,9)

a. AnamnesisPengetahuan tentang mekanisme cedera memungkinkan dokter untuk mencurigai cedera yang terkait selain cedera primer. Waktu diantara cedera atau penemuan korban dan inisiasi treatment merupakan informasi yang amat berharga yang mempengaruhi serusitasi pasien.b. InspeksiEpistaksis, ekimosis, edema, dan hematoma subkutan mengarah oada fraktur segmen maksila ke bawah dan belakang mengakibatkan terjadinya oklusi premature pada pergigian posterior.c. PalpasiPalpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura zygomaticomaxillary, mengindikasikan fraktur pada rima orbita inferior.d. Manipulasi digitalMobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang dengan kuat bagian anterior maksila antara ibu jari dan keempat jari lainnya, sedangkan tangan yang satunya menjaga agar kepala pasien tidak bergerak. Jila maksila digerakkan maka akan terdengar suara krepitasi jila terjadi fraktur.e. Cerebrospinal Rhinnorhea atau OtorheaCairan cerebrospinal dapat mengalami kebocoran dari fossa kranial tengah atau anterior yang dapat dilihat pada kanal hidungataupun telinga.f. Maloklusi gigiJika mandibular utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan kuat ka arah fraktur maksila. Pada Le Fort III pola oklusal gigi masih dipertahankan, namun jika maksila berotasi dan bergeser secara signifikan ke belakang dan bawah akan terjadi maloklusi komplit dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu sama lain.g. Pemeriksaan radiologiPemeriksaan foto Ro untuk fraktur maksila dapat dilakukan dengan beberapa posisi, antara lain :1. PA position2. Waters position3. Lateral position4. Occipito mental projection5. Zygomaticus6. Panoramic7. Occlusal view dari maxilla8. Intra oral dentalPemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos, naum CT scan merupakan pilihan untuk pemeriksaan diagnostic. Teknik yang umumnya dipakai pada foto polos yaitu: waters, Caldwell, submentofertex, dan lateral view. Diantara pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik menilai fraktur maksila adalah dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup baik. Adanya cairan pada sinus maksila bilateral menimbulkan kecurigaan adanya fraktur maksila.

2.6 TatalaksanaPrinsip penanganan fraktur maksila pada langkah awal adaalah penanganan bersifat kedaruratan seperti airway, breathing, circulation, penanganan luka jaringan lunak, dan imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap kedua adalah penanganan fraktur secara definitis yaitu reduksi atau reposisi fragmen fraktur. Fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi sehingga fragmen fraktur tulang yang telah dikembalikan tidak bergerak sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang selesai.(8,9)a. Fiksasi MaksilomandibularTeknik ini merupakan langkah pertama dalam penanganan fraktur maksila untuk memungkinkan restorasi hubungan oklusal yang tepat dengan aplikasi arch bars serta kawat interdental pada arkus dental atas dan bawah. Prosedur ini memerlukan anestesi umum. Trakeostomi biasanya dihindari kecuali terjadi perdarahan massif dan cedera pada kedua rahang, karena pemakaian fiksasi rigid akan memerlukan operasi selanjutnya untuk membukanya.(3)

b. Akses fiksasiUntuk mencapai maksila anterior dilakukan insisi pada sulkus gingivobuccal, rima infraorbita, lantai orbital, dan maksila atas melalui blepharoplasty (insisi subsiliari). Daerah zygomaticofrontal dicapai melalui batas lateral insisi blepharoplasty. Untuk daerah frontal, nasoethmoid, orbita lateral, arkus zygomaticus dilakukan melalui insisi koronal bila diperlukan.

c. Reduksi frakturSegmen-segmen fraktur ditempatkan kembali secara anatomis. Tergantung pada kompleksitas fraktur, stabilitas awal sering dilakukan dengan kawat interosseous. Ct scan membantu menentukan mana dari keempat pilar yang paling sedikit mengalami fraktur harus direduksi terlebih dahulu sebagai petunjuk restorasi yang tepat dari panjang wajah. Sedangkan fiksasi maksilomandibular dilakukan untuk memperbaiki lebar dan proyeksi wajah.

d. Stabilitas Plat dan SekrupLe Fort I, plat mini ditempatkan pada tiap buttress nasomaxillary dan zygomaticomaxillary. Pada Le Fort II, fiksasi tambahan ditempatkan pada nasofrontal junction dan rima infraorbital. Sedangkan pada Le Fort III, plat mini ditempatkan pada artikulasi zygomaticofrontal untuk stabilisasi. Plat mini yang menggunakan sekrup berukuran 2 mm dipakai untuk stabilisasi buttress maksila.

e. Cangkok tulang primerBila gap yang terbentuk lebih dari 5 mm maka harus digantikan dengan cangkok tulang. Cangkok tulang diambil dari cranium karena aksesibilitasnya, morbiditas tempat donor diambil minimal, dan memiliki densitas kortikal tinggi dengan volume yang berlimpah. Pemasangan pencangkokan juga dilakukan dengan menggunakan plat mini dan sekrup.

f. Pelepasan fiksasi maksilomandibularSetelah reduksi dan fiksasi semua dilakukan, fiksasi maksilomandibular dilepaskan, oklusi diperiksa kembali.

g. Resuspensi soft tissuePada saat menutup luka, soft tissue yang telah terpisah dari rangka dibawahnya ditempelkan kembali. Untuk menghindari dystopia lateral kantal, perpindahan massa pipi malar ke inferior, dan skeletal yang menonjol, dilakukan cantoplexy lateral dan menempelkan kembali massa soft tissue pipi pada rima infraorbita.

h. Perawatan postoperative fraktur maksilaManajemen pasca operasi terdiri dari perawatan secara umum pada pasien seperti kebersihan gigi dan mulut, nutrisi yang cukup, dan antibotik selama periode perioperasi.

2.7 PrognosisFiksasi intermaksilari merupakan tatalaksana paling sederhana dan salah satu yang paling efektif pada fraktur. Jika teknik ini dapat dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan dapat banyak deformitas pada wajah yang dapat dieliminasi. Sedangkan fraktur yang baru ditangani setelah beberapa minggu kejadian, dimana sudah mengalami penyembuhan secara parsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full open reduction, bahkan kalaupun dilakukan tetapi sulit untuk direduksi.

2.8 KomplikasiKomplikasi awal fraktur dapat berupa perdarahan ekstensif serta gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran framen fraktur, edema, dan pembengkakakn soft tissue. Infeksi pada luka maksilari lebih jarang dibandingan pada luka fraktur mandibula. Infeksi akibat fraktur yang melewati sinus biasanya tidak terjadi kecuali obstruksi sebelumnya. Pada Le Fot II dan III, daerah kribiform dapat pula mengalami fraktur, sehingga terjadi rinorhea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat terjadi akibat pendarahan dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir dapat berupa kegagalan penyatuan tulang yang mengalami fraktur, penyaturan yang salah, obstruksi system lakrimal anesthesia atau hipostesia infraorbital, devialisasi gigi, ketidakseimbangan otot ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus.(4)

BAB IIIKESIMPULAN

Fraktur maksila merupakan salah satu bentuk trauma pada wajah yang diakibatkan kecelakan kendaraan bermotor sebagai penyebab utama. Penanganan fraktur maksila tidak hanya mempertimbangkan masalah fungsional tetapi juga estetika. Pola fraktur yang terjadi tidak selalu mengikuti pola Le Fort I, II, dan III secara teoritis, namun lebih sering merupakan kombinasi klasifikasi tersebut. Pemeriksaan radiologi berupa foto polos dan CT scan diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis, namun CT scan merupakan pilihan utama. Prognosis umumnya cukup baik apabuila dilakukan penanganan cepat dan tepat, namun dapat timbul kompliasi yang menimbulkan kecacatan maupun kematian apabila tidak tertangani dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA1. Banks P. Fraktur sepetiga tengah skeleton fasial, ed 4. 1992. Gajah Mada University Press.2. Vibha Singh, et al, 2012, The Maxillofacial Injuries, Departments of Oral and Maxillofacial Surgery, Anaesthesia, K.G. Medical University, Lucknow, India, National Journal of Maxillofacial Suegery vol. 3.3. Hopper RA, MD, et al. Diagnosis of midface fracture with CT: What the surgeon need to know. Radiographics. 2006; 26;783-793.4. Rhea JT, Novelline RA. How to simplify the CT diagnosis of Le Fort Fractures. AJR. 2005;184:1700-1705.5. Arosaena OA,MD, et al. Maxillofacial Injuries and Violence Against Women. Arch Facial Plast Surgery. 2009; 11(1): 48-25.6. Werning JW, MD, et al. The Impact of Osteoporosis on Patients with Maxillofacial Trauma. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2004; 130:353-356.7. Anne, Magrareth, et al. Risk Factor associated with facial fractures. Department of Dentistry, School of Biological and Health Sciences, Federal University of Jequitinhonha and Mucuri Valleys, Diamantina, MG, Brazil, 2012.8. Converse, JP. Reconstructive Plastic Surgery, Vol 2, Ed 2 WB Saunders Company, London, 2000.9. Dingman RO, Natvig P. surgery of facial fractures, WB Saunders Company, London, 2000: 111-266.

18