43
RESPONSI ILMU PENYAKIT BEDAH Pembimbing : dr. Bambang W. Sp.BP Penyusun : Evi Yuli Susanti (2010.04.0.0098) IDENTITAS PENDERITA : Nama : Nn. Chalimatus Sadiyah Umur : 19 tahun Jenis kelamin : Perempuan Alamat : Jagir Wonokromo 110 Pekerjaan : tidak bekerja Agama : Islam MRS : 20 Januari 2016 Jam : 20.00 WIB Pemeriksaan : 21 Januari 2016 Ruangan : I ANAMNESA Keluhan Utama: Nyeri saat membuka mulut Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) : Pasien datang ke UGD RSAL tanggal 20 Januari 2016 berasal dari rujukan RS Haji Surabaya. 3 hari sebelum MRS pasien menjadi korban kecelakaan lalu lintas dengan mengendarai motor. Pasien terjatuh dari motor dan jatuh di aspal dengan posisi 1

Fraktur Maksila dan Mandibula

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bismillah

Citation preview

Page 1: Fraktur Maksila dan Mandibula

RESPONSI ILMU PENYAKIT BEDAHPembimbing : dr. Bambang W. Sp.BPPenyusun : Evi Yuli Susanti

(2010.04.0.0098)

IDENTITAS PENDERITA :Nama : Nn. Chalimatus Sadiyah

Umur : 19 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Jagir Wonokromo 110

Pekerjaan : tidak bekerja

Agama : Islam

MRS : 20 Januari 2016

Jam : 20.00 WIB

Pemeriksaan : 21 Januari 2016

Ruangan : I

ANAMNESAKeluhan Utama: Nyeri saat membuka mulut

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) :Pasien datang ke UGD RSAL tanggal 20 Januari 2016 berasal

dari rujukan RS Haji Surabaya. 3 hari sebelum MRS pasien menjadi

korban kecelakaan lalu lintas dengan mengendarai motor. Pasien

terjatuh dari motor dan jatuh di aspal dengan posisi tengkurap.

Pasien mengingat kejadian sebelum dan sesudah terjadi kecelakaan.

Mual dan muntah disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat alergi obat- obatan disangkal.

Riwayat DM, HT, Asma disangkal.

1

Page 2: Fraktur Maksila dan Mandibula

PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 21 Januari 2016)

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

GCS : 4-5-6

Tanda vital :

TD : 120/80 mmHg

Nadi : 78 x/menit, regular

RR : 20 x/menit

Suhu : 36,2oC, all\,xiller

Skala nyeri : 6

Berat badan : 56 kg

Tinggi badan : 155 cm

STATUS GENERALISKepala : A / I / C / D : - / - / - / -

Mata : Konjungtiva pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-). Pupil

isokor Ø3mm, reflek cahaya +/+

Mulut : lihat status lokalis

Leher : Jejas (-), deviasi trakea (-)

Telinga : Sekret (-), darah (-), hematom preaurikuler (-)

Hidung : Darah (-), sekret (-), hematom (-), simetris

KGB : Tidak ada pembesaran

Thorax : Simetris saat statis dan dinamis

Paru : ves/ves, rh-/-. Wh-/-

Jantung : S1 S2 tunggal, reguler, m(-), g(-)

Abdomen : Datar, Bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)

Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)

Status neurologis :

Nn. Cranialis : Tidak ada kelainan

Motorik : 5 / 5 / 5 / 5

Sensorik : Tidak ada kelainan

2

Page 3: Fraktur Maksila dan Mandibula

STATUS LOKALIS : Regio FacialLook : Asimetris wajah (+)

vulnus apertum pada zygomaticus (S) (+)

luka jahitan pada para mentalis (D) dan supra orbita (D)

deformitas (+)

Feel : nyeri tekan mkasila (D) dan mandibular (D) (+)

Unstable mandibular (+)

Floating maksilla (-)

Intra oral : Maloklusi open bite (+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium (20-01-2016)Hb : 7,9 gr/dl ( 4,0-10,0)

HCT : 25,0 % ( 40- 54 )

Lekosit : 7,800 /uL (4000-10.000)

Trombosit : 180.000/uL (150.000-400.000)

GDA : 79 mg/dl

BUN : 17,8

Creatinin : 0,5

Na : 138

K : 4,33

Cl : 112

Faal Hemostasis (26-01-2016)PT : 12,3 (11,9-15)

APT : 33,7 (26,4-40)

3

Page 4: Fraktur Maksila dan Mandibula

CT-Scan (22 Januari 2016)

4

Page 5: Fraktur Maksila dan Mandibula

Hasil MSCT 3D Maxillofacial tanpa kontras: Mastoid kanan dan kiri tampak normal, cavum tympani kiri kanan

normal.

Orbita, nervus optikus kanan dan kiri normal.

Tampak gambaran air-fluid level berdensitas sekitar 50 HU di sinus

frontalis kiri kanan dengan tidak tampak adanya fracture di sekitarnya.

Tampak perselubungan berdensitas sekitar 37 sd 56 HU di sinus

ethmoidalis kiri kanan dengan tidak tampak adanya fracture di

sekitarnya.

Tampak perselubungan berdensitas sekitar 71 HU di sinus spenoidalis

kiri dengan tidak tampak adanya fracture di sekitarnyatampak

gambaran air-fluid level berdensitas sekitar 31 sd 55 HU di sinus

sphenoidalis kanan dengan tidak tampak adanya fracture di

sekitarnya.

Tampak fracture dinding anterior, lateral (komplikata), medial serta

atap sinus maxillaris kanan disertai perselubungan di dalamnya.

Tampak fracture dinding anterior, medial serta atap sinus maxilaris kiri

disertai perselubungan di dalamnya.

5

Page 6: Fraktur Maksila dan Mandibula

Tampak fractur arcus Zygomaticus kanan terutama pada processus

Zygomaticus os Temporalis kanan.

Tampak fracture pars orbitalis os Zygomaticus kanan.

Tampak fracture os Nasalis kiri.

Tampak fracture os Mandibula di daerah paramentalis kanan vertical

TMJ kanan normal.

Tampak fracture neck captulum mandibulae dengan dislokasi fragmen

fracture ke inferomedial.

Kesimpulan : Kesan hematosinus frontalis kiri kanan, ethmoidalis kiri kanan dan

sphenoidalis kiri kanan dengan tidak tampak adanya fracture di

sekitarnya.

Fracture dinding anterior, lateral (komplikata), medial serta atap sinus

maksilaris kanan disertai hematosinus maksilaris kanan di dalamnya.

Fracture dinding anterior, medial serta atap sinus maksilaris kiri

disertai hematosinus di dalamnya.

Fracture arcus Zygomaticus kanan terutama pada processus

Zygomaticus os Temporalis kanan.

Fracture pars orbitalis os Zygomaticus kanan.

Fracture os Nasalis kiri.

Fracture Mandibula di daerah paramentalis kanan vertical.

Fracture neck capitulum mandibulae dengan dislokasi fragmen

fracture ke inferomedial.

6

Page 7: Fraktur Maksila dan Mandibula

FOTO KLINIS (PRE OPERASI)

7

Page 8: Fraktur Maksila dan Mandibula

FOTO KLINIS DURANTE OPERASI

DIAGNOSA KERJAfraktur maxilla D + fraktur mandibular D

PENATALAKSANAAN IVFD NS 500cc/8jam

8

Page 9: Fraktur Maksila dan Mandibula

Inj. Ceftriaxon 2x1g

Inj. Ketorolac 2x1

Inj. Ranitidin 2x50mg

Diet cair peroral

ORIF dengan miniplate

LAPORAN OPERASI ( 28 Januari 2016 )- Pasien dalam GA, dilakukan intubasi nasal

- Antiseptik daerah operasi dan sekitarnya

- Posisi pasien : supine

- Temuan Operasi:

Fraktur mandibula Parasymphisis Non Comminuted

Dextra

- Tindakan Operasi:

Reposisi → Reduksi → Platting

Instruksi post op

- IVFD DL : D5 1: 2/24jam

- Inj. Ceftriaxone 3x1g

- Inj. Ketorolac 3x1 ampul

- Inj. Ranitidin 3x1 ampul

- Diet cair TKTP

- Oral hygiene betadine 4x/hari

9

Page 10: Fraktur Maksila dan Mandibula

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Fraktur:

adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan

luasnya

setiap retak atau patah pada tulang yang utuh

2.1 FRAKTUR MAKSILAFraktur pada sentral wajah seringkali terjadi akibat kecelakaan

kendaraan bermotor, jatuh, kekerasan, dan akibat trauma benda

tumpul lainnya. Pada anak- anak, prevalensi fraktur tulang wajah

secara keseluruhan jauh lebih rendah dibandingkan pada dewasa

(Suardi dkk, 2011)

2.1.1 Klasifikasi Fraktur Maksilaa. Dento Alveolar Fracture

Suatu fraktur di daerah processus maxillaris yang belum

mencapai daerah Le Fort I dan dapat terjadi unilateral maupun

bilateral. Fraktur ini meliputi processus alveolaris dan gigi-gigi.

Gejala klinik

Extra oral :

o Luka pada bibir atas yang dalam dan luas. Luka laserasi

pada bibir sering disertai perdarahan, kadang-kadang

terdapat patahan gigi dalam bibir yang luka tersebut.

o Bibir bengkak dan edematus

o Echymosis dan hematoma pada muka

Intra oral :

o Luka laserasi pada gingiva daerah fraktur dan sering

disertai perdarahan.

o Adanya subluxatio pada gigi sehingga gigi tersebut

bergerak, kadang-kadang berpindah tempat.

10

Page 11: Fraktur Maksila dan Mandibula

o Adanya alvulatio gigi, kadang-kadang disertai tulang

alveolusnya

o Fraktur corona gigi dengan atau tanpa terbukanya

kamar pulpa

b. Le Fort I: Pada fraktur ini, garis fraktur berada di antara dasar dari sinus

maxillaris dan dasar dari orbita. Pada Le Fort I ini seluruh

processus alveolaris rahang atas, palatum durum, septum

nasalis terlepas dari dasarnya sehingga seluruh tulang rahang

dapat digerakkan ke segala arah. Karena tulang-tulang ini diikat

oleh jaringan lunak saja, maka terlihat seperti tulang rahang

tersebut mengapung (floating fracture). Fraktur dapat terjadi

unilateral atau bilateral. Suatu tambahan fraktur pada palatal

dapat terjadi, dimana terlihat sebagai suatu garis echymosis.

Geial klinik

Extra oral :

o Pembengkakan pada muka disertai vulnus laceratum

o Deformitas pada muka, muka terlihat asimetris

o Hematoma atau echymosis pada daerah yang terkena

fraktur, kadang-kadang terdapat infraorbital echymosis dan

subconjunctival echymosis

11

Page 12: Fraktur Maksila dan Mandibula

o Penderita tidak dapat menutup mulut karena gigi posterior

rahang atas dan rahang bawah telah kontak lebih dulu.

Intra oral

o Echymosis pacta mucobucal rahang atas

o Vulnus laceratum, pembengkakan gingiva, kadang-

kadang disertai goyangnya gigi dan lepasnya gigi.

o Perdarahan yang berasal dari gingiva yang luka atau gigi

yang luka, gigi fraktur atau lepas.

o Open bite maloklusi sehingga penderita sukar mengunyah

c. Le Fort II : Garis fraktur meliputi tulang maxillaris, nasalis, lacrimalis,

ethmoid, sphenoid dan sering tulang vomer dan septum nasalis

terkena juga.

Gejala klinik

Extra oral :

o Pembengkakan hebat pada muka dan hidung, pada

daerah tersebut terasa sakit.

o Dari samping muka terlihat rata karena adanya deformitas

hidung.

o Bilateral circum echymosis, subconjunctival echymosis.

o Perdarahan dari hi dung yang disertai cairan cerebrospinal.

12

Page 13: Fraktur Maksila dan Mandibula

Intra oral

o Mulut sukar dibuka dan rahang bawah sulit digerakkan ke

depan

o Adanya maloklusi open bite sehingga penderita sukar

mengunyah.

o Palatum mole sering jatuh ke belakang sehingga dorsum

lidah tertekan sehingga timbul kesukaran bernafas.

o Terdapatnya kelainan gigi berupa fraktur, avultio,luxatio.

o Pada palpasi, seluruh bagian rahang atas dapat digerak-

kan, pada bagian hidung terasa adanya step atau bagian

yang tajam dan terasa sakit.

d. Le Fort III Fraktur ini membentuk garis fraktur yang meliputi tulang-tulang

nasalis, maxillaris, orbita, ethmoid, sphenoid dan zygomaticus

arch. Sepertiga bagian tengah muka terdesak ke belakang

sehingga terlihat muka rata yang disebut "Dish Shape Face".

Displacement ini selalu disebabkan karena tarikan ke arah

belakang dari M.pterygoideus dimana otot ini melekat pda

sayap terbesar tulang sphenoid dan tuberositas maxillary.

13

Page 14: Fraktur Maksila dan Mandibula

Geiala klinik

Extra oral :

o Pembengkakan hebat pada muka dan hidung

o Perdarahan pada palatum, pharinx, sinus maxillaris, hidung

dan telinga.

o Terdapat bilateral circum echymosis dan subconjunctival

echymosis.

o Pergerakan bola mata terbatas dan terdapat kelainan

N.opticus dan saraf motoris dari mata yang menyebabkan

diplopia, kebutaan dan paralisis bola mata yang temporer.

o Deformitas hidung sehingga mata terlihat rata.

o Adanya cerebrospinal rhinorrhoea dan umumnya bercampur

darah

o Paralisis N.Fasialis yang sifatnya temporer atau permanen

yang menyebabkan Bell’s Palsy.

Intra oral :

o Mulut terbuka lebih lebar karena keadaan open bite yang

berat.

o Rahang atas dapat lebih mudah

digerakkan

o Perdarahan pada palatum dan pharynx.

o Pernafasan tersumbat karena tertekan oleh dorsum lidah.

2.1.2 Diagnosisa. Anamnesis

Pengetahuan tentang mekanisme cedera memungkinkan dokter

untuk mencurigai cedera yang terkait selain cedera primer. Waktu

di antara cedera atau penemuan korban dengan inisiasi treatment

14

Page 15: Fraktur Maksila dan Mandibula

merupakan informasi yang sangat berharga dan dapat

mempengaruhi resusitasi pasien.

b. Inspeksi

Perhatikan keberadaan epitaksis, ekimosis (periorbital,

konjungtival, dan skleral), edema, dan hematoma subkutan

mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan belakang

yang mengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada gigi posterior.

Perhatikan pula adanya deformitas atau asimetri muka dan laserasi

jaringan lunak. Penderita dengan wajah bengkak, edema kelopak

mata, sirkum orbital ekimosis, dan subkonjungtival ekimosis

merupakan tanda-tanda adanya fraktur Le Fort II/III. Perbedaan

kontur atau asimetri wajah dapat lebih jelas diteliti dengan berdiri

dibelakang penderita dan memandang kepala dari atas ke bawah.

Hal ini sangat membantu dalam mendeteksi adanya fraktur

zigomatikus.

c. Palpasi

Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura

zigomatikomaksilari, mengindikasikan fraktur pada rima orbital

inferior. Pemeriksaan palpasi secara bimanual pada daerah

kompleks zigomatikus, pinggir orbita, kompleks nasalis dan bagian

muka lain yang dicurigai terjadi fraktur. Diperiksa apakah ada

gerakan abnormal atau nyeri tekan. Juga diperiksa apakah ada

anesthesia atau paresthesia daerah infraorbital.

d. Mobilitas Maksila

Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang

dengan kuat bagian anterior maksila di antara ibu jari dengan

keempat jari lainnya, sedangkan tangan yang satunya menjaga

agar kepala pasien tidak bergerak. Jika saat maksila digerakkan

terdengar suara krepitasi, artinya terdapat fraktur.

e. Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea

Cairan serebrospinal dapat mengalami kebocoran dari fossa kranial

15

Page 16: Fraktur Maksila dan Mandibula

tengah atau anterior yang dapat dilihat pada kanal hidung ataupun

telinga. Fraktur pada fossa kranial tengah atau anterior biasanya

terjadi pada cedera yang parah.

f. Maloklusi Gigi

Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan

kuat ke arah fraktur maksila. Penegakan diagnosis dapat dibantu

dengan informasi mengenai kondisi gigi terutama pola oklusal gigi

sebelumnya.

g. RadiografisPemeriksaan standar menggunakan radiograf Waters

dan radiograf lateral. Jika terjadi fraktur maksila, maka ada

beberapa penampakan yang mungkin terlihat, diantaranya:

hematosinus, displacement tulang, opasitas pada sinus maksila,

pemisahan pada rimaorbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan

daerah nasofrontal. Jika diduga ada fraktur sagital maksila, perlu

dilakukan pengambilan foto oklusal rahang atas. Untuk

mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan detail perlu dilakukan

pengambilan CT Scan dengan rekonstruksi 3D. Diantara

pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untuk menilai fraktur

maksila adalah dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun

dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup

baik. Pada keadaan yang khusus dapat pula dilakukan MRI.

2.1.3 Menejemen Fraktur MandibulaPrinsip terapi adalah mengembalikan oklusi ke keadaan

normal, mengembalikan posisi tulang wajah terutama pilar utama

wajah ke posisi normal, kemudian memfiksasi tulang yang telah

direposisi tersebut.

a. Terapi yang dapat dilakukan untuk fraktur Le Fort I adalah:

1. Terapi Konservatif

Diindikasikan pada fraktur tanpa displacement atau fraktur

dengan displacement yang minimal sekali tanpa ada gangguan

oklusi, gangguan penglihatan, dan gangguan pada mata. Pada

16

Page 17: Fraktur Maksila dan Mandibula

terapi ini pasien diinstruksikan untuk diet makanan lunak

selama 3-4 minggu dan menghindari aktivitas fisik yang berat,

termasuk olahraga. Pasien juga dianjurkan untuk kontrol secara

berkala.

2. Terapi Kombinasi Konservatif-Operatif

Pertama dilakukan reposisi fraktur dan oklusi dengan

menggunakan arch bar dan MMF dengan kawat. Kemudian

dilakukan suspensi dengan menggunakan kawat.

3. Terapi Operatif

Terapi ini menggunakan miniplat dan mikroplat yang saat ini

dianggap sebagai state of the art dalam penatalaksanaan

fraktur wajah. Setelah melakukan reposisi fraktur menggunakan

reduksi terbuka yaitu dengan jalan mendorong mandibula ke

arah superior (tekanan balik akan terjadi di daerah dahi),

kemudian dilakukan fiksasi menggunakan miniplat atau

mikroplat. Apabila tidak berhasil mendapatkan suspensi pada

fraktur Le Fort I, maka bisa terjadi hilangnya free way space

atau cacat kosmetik yaitu wajah panjang atau keduanya.

Seringkali perlu dilakukan pemasangan MMF selama proses

reposisi dan fiksasi agar didapatkan oklusi yang baik. Apabila

fraktur wajah ini terjadi dengan kombinasi fraktur rahang bawah

dan fraktur kondilus, MMF dapat dibiarkan selama beberapa

hari sesuai indikasi yang diperlukan.

Akses operasi harus dipilih sedemikian rupa sehingga

walaupun diperlukan pemasangan miniplat dalam jumlah yang

cukup banyak, namun nantinya bekas akses operasi itu tidak

mengganggu estetik pasien. Umumnya insisi dapat dilakukan

dari intraoral secara paramarginal ataupun marginal,

lateroorbital, infraorbital, subsiliar, maupun bikoronal.

b. Terapi yang dapat dilakukan untuk fraktur Le Fort II adalah:

Perawatan fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I, namun

17

Page 18: Fraktur Maksila dan Mandibula

dibedakan dengan perlunya perawatan pada fraktur nasal dan

dasar orbita. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan teknik

tertutup menggunakan molding digital dan splinting.

c. Terapi yang dapat dilakukan untuk fraktur Le Fort III adalah:Indikasi

untuk terapi dengan operasi pada fraktur Le Fort III sama dengan

indikasi terapi pada fraktur Le Fort I dan Le Fort II. Pada fraktur Le

Fort III dengan displacement yang minimal, akses untuk reduksi

terbuka bisa didapatkan dari insisi lateroorbital bilateral dan insisi

pada daerah kulit lokal. Sedangkan pada fraktur yang parah

dengan derajat displacement yang parah, perlu dilakukan

pembukaan akses dari bikoronal. Keuntungan dari akses ini adalah

jaringan parut pasca-operasi berada pada daerah yang tidak begitu

mengganggu secara estetik. Setelah dilakukan reposisi, fiksasi

fragmen tulang dapat dilakukan dengan menggunakan miniplat dan

mikroplat. Terapi yang dilakukan tentu saja harus memperhatikan

aspek oklusi pasien.

Jika diduga ada kerusakan dan trauma dari n. optikus, maka ada 2

alternatif perawatan yang dapat dilakukan. Pertama adalah terapi

konservatif dengan memberikan obat-obatan antiinflamasi

(misalnya metilprednisolon, dosis awal 30 mg/kg berat badan

dilanjutkan dengan 5,4 mg/kg berat badan setiap jam berikutnya

selama 48 jam). Jika terdapat hematoma retroorbital dan jika

terlihat adanya fragmen tulang yang menyebabkan trauma pada n.

optikus, perlu dilakukan revisi dengan intervensi bedah yaitu

dekompresi dari n. optikus. Terapi ini semua harus dilakukan

secepat mungkin dalam kurun waktu 12 jam.

Jangka waktu untuk imobilisasi fraktur Le Fort bervariasi 4-8

minggu, tergantung sifat fraktur dan kondisi pasien. Rontgen pasca

reduksi dan pasca imobilisasi diperlukan untuk semua fraktur wajah

bagian tengah seperti halnya pada fraktur mandibula.

18

Page 19: Fraktur Maksila dan Mandibula

2.2 FRAKTUR MANDIBULA2.2.1 Klasifikasi Fraktur Mandibula

Terdapat beberapa cara untuk mengklasifikasikan fraktur

mandibula, yaitu:

a. Klasifikasi umum

1. Kruger  Simpel atau tertutup: garis fraktur tidak berhubungan

dengan lingkungan eksternal dan internal. Fraktur tersebut tidak

menyebabkan luka terbuka terhadap lingkungan ekternal, baik

melalui kulit, mukosa, atau ligamen periodontal. Contohnya

pada fraktur kondilus dan prosessus koronoid.

2. Compound atau terbuka: fraktur ini berhubungan dengan

lingkungan luar melalui kulit atau dengan lingkungan internal

melalui mukosa atau ligamen periodontal.

3. Comminuted: kondisi di mana tulang yang fraktur pecah atau

hancur menjadi serpihan-serpihan. Tipe fraktur seperti ini

biasanya disebabkan oleh derajat kekerasan yang lebih tinggi

ataupun tingginya kecepatan benturan. Contohnya adalah

fraktur akibat luka tembak.

4. Kompleks: fraktur yang melibatkan kerusakan pada struktur

vital di sekelilingnya sehingga menyebabkan komplikasi dalam

perawatan maupun prognosisnya.

5. Impaksi: jarang terlihat pada fraktur mandibula dan lebih sering

terlihat pada fraktur maksila. Fraktur ini berupa salah satu

fragmen tertanam atau masuk ke dalam fragmen lainnya dan

pergerakan klinis tidak cukup.

6. Greenstick: fraktur yang mana salah satu korteks pada tulang

tersebut patah sedangkan korteks yang lain menjadi bengkok.

Fraktur inkomplit seperti ini sering terjadi pada anak-anak.

7. Patologis: fraktur spontan yang terjadi akibat cedera ringan

19

Page 20: Fraktur Maksila dan Mandibula

atau akibat kontraksi otot yang masih dalam rentang normal.

Hal tersebut terjadi karena kondisi tulang yang sebelumnya

sudah rapuh.

Gambar 2. (1) Fraktur simpel; (2) fraktur greenstick (garis lurus

menunjukkan fraktur korteks, garis putus-putus menujukkan

korteks yang bengkok); (3) fraktur compound comminuted; (4)

fraktur compound; dan (5) fraktur comminuted simpel

b. Lokasi anatomis

1. Klasifikasi Rowe dan Killey

Fraktur tidak melibatkan tulang basal (fraktur

dentoalveolar).

Fraktur melibatkan tulang basal mandibula. Dibagi menjadi

subdivisi: unilateral tunggal, unilateral ganda, bilateral, dan

multipel.

2. Klasifikasi Dingman dan Natvig berdasarkan regio anatomis

Fraktur simfisis (fraktur garis tengah).

Fraktur region kaninus.

Korpus mandibula di antara kaninus dan angulus

mandibula.

Regio angulus mandibula.

Regio ramus mandibula.

Regio koronoid.

Fraktur kondilus.

Regio dentoalveolar.

20

Page 21: Fraktur Maksila dan Mandibula

Gambar 3. Klasifikasi fraktur Dingman dan Natvig berdasarkan

regio anatomis (1) prosessus koronoid; (2) kondilus; (3) regio

ramus; (4) regio angulus mandibula; (5) regio corpus

mandibula; (6) prosessus alveolaris; dan (7) regio simfisis

c. Hubungan fraktur tehadap lokasi cedera: fraktur direk dan fraktur

indirek.

d. Ketebalan fraktur: fraktur sempurna dan tidak sempurna.

e. Tergantung mekanisme: fraktur avulsi, fraktur membengkok, burst

fracture, countercoup fracture, dan fraktur torsional.

f. Jumlah fragmen: tunggal, multipel, comminuted

g. Keterlibatan lapisan/ jaringan tubuh: fraktur tertutup atau terbuka,

tingkat keparahan I-V.

h. Bentuk atau area fraktur: melintang, miring/ serong, kupu-kupu,

permukaan miring.

i. Berdasarkan arah fraktur dan kemungkinannya untuk dilakukan

perawatan

Fraktur horizontal favourable.

Fraktur horizontal unfavourable.

Fraktur vertikal favourable.

Fraktur vertical unfavourable

j. Berdasarkan ada tidaknya gigi dalam relasinya terhadap garis

fraktur

Ada tidaknya gigi pada lokasi fraktur mandibula, status jaringan

periodontal, serta ukuran gigi menjadi sangat penting dalam

21

Page 22: Fraktur Maksila dan Mandibula

menentukan rencana perawatan berupa fiksasi. Gigi-geligi dapat

menjadi pedoman dalam melakukan prosedur reduksi dan dapat

digunakan untuk fiksasi dan imobilisasi.

Klasifikasi Kazanjian dan Converse:

1. Kelas I: yaitu ketika terdapat gigi-geligi pada kedua sisi dari

garis fraktur.

2. Kelas II: yaitu ketika gigi-geligi hanya terdapat pada salah satu

sisi dari garis fraktur.

3. Kelas III: yaitu ketika kedua sisi dari garis fraktur tidak

mempunyai gigi (edentulous)

2.2.2 Tanda dan Gejala Klasik Fraktur Rahang a. Riwayat cedera pada area rahang.

b. Nyeri

Fraktur dapat dicurigai jika pasien mengeluh adanya nyeri pada

sisi terjadinya cedera atau sisi kebalikan ketika bergerak.

c. Mobilitas abnormal

Mobilitas atau pergerakan yang abnormal pada lengkung

rahang atau tulang rahang dapat dideteksi secara manual atau

dapat dilakukan dengan memerhatikan adanya keluhan pasien

mengenai pergerakan yang abrnomal pada sisi tertentu ketika

pasien menggerakkan rahangnya.

d. Perdarahan

Fraktur dapat menyebabkan adanya perdarahan aktif maupun

adanya hematoma atau ekimosis yang menyertai proses fraktur.

Pemeriksaan area perdarahan dapat diperiksa secara langsung

oleh klinisi (operator) ketika cedera baru saja terjadi. Klinisi

perlu menanyakan adanya riwayat perdarahan melalui rongga

mulut, hidung (epistaksis), dan telinga pada pasien.

e. Krepitus

Suara berderak dapat terdeteksi saat dilakukan palpasi pada

luka karena terjadi gesekan antar tulang-tulang yang patah.

22

Page 23: Fraktur Maksila dan Mandibula

f. Deformitas

Deformitas wajah akan jelas terlihat tergantung pada derajat

dan arah terjadinya benturan. Hal tersebut juga tergantung pada

arah garis fraktur dan otot-otot yang terlibat.

g. Ekimosis dan edema (pembengkakan)

Tanda-tanda tersebut akan terlihat selang beberapa jam setelah

terjadi trauma. Hal tersebut dapat dilihat baik secara ekstra oral,

maupun intra oral, tergantung pada lokasi fraktur dan benturan.

h. Kehilangan fungsi atau adanya gangguan terhadap fungsi

Kemampuan mengunyah makanan akan terganggu.

Keterbatasan membuka mulut juga akan terlihat pada kasus

fraktur kondilus. Gangguan berbicara, kesulitan menelan juga

dapat terjadi.

i. Bukti radiografis

Seluruh kasus yang dicurigai mengalami fraktur harus dilakukan

pemeriksaan radiograf. Hal tersebut membantu dalam

menegakkan diagnosis serta menyediakan konfirmasi

tambahan. Hal ini juga penting dalam keperluan medikolegal

untuk dijadikan barang bukti.

2.2.3 Pemeriksaan Fraktur MandibulaPemeriksaan klinis yang menyeluruh dilakukan setelah pasien

diyakini tidak mengalami ancaman pada hidupnya, seperti asfiksia,

hemoragi, syok, atau hal lainnya yang terkait dengan kondisi

kepala, leher, cedera internal dan eksternal. Hal yang pertama

harus dilakukan adalah membersihkan secara perlahan wajah

pasien dengan air hangat atau mengusapnya untuk menghilangkan

bercak darah yang menggumpal dan kotoran yang didapat dari

lokasi kecelakaan. Kondisi rongga mulut diperiksa secara

menyeluruh untuk mengetahui adanya gigi atau gigi tiruan yang

goyang atau patah. Selama membersihkan wajah pasien dengan

perlahan, kranium dan tulang belakang diperiksa secara hati-hati,

23

Page 24: Fraktur Maksila dan Mandibula

kemudian dipalpasi untuk mengetahui adanya tanda-tanda cedera.

Fraktur mandibula kemudian diperiksa secara mendetail.

a. Pemeriksaan ekstraoral

Pembengkakan, eritema, memar, laserasi, pedarahan, dan

ekimosis mengindikasikan lokasi terjadinya cedera atau

benturan.

Terdapat kemungkinan deformitas yang jelas pada kontur

tulang mandibula dan jika telah terjadi displacement, pasien

tidak dapat merapatkan gigi depannya bersamaan dan mulut

tampak terbuka (gigitan terbuka).

Pasien yang dalam kondisi sadar dapat terlihat menopang

rahang bawahnya dengan tangan.

Bercak saliva yang bercampur dengan darah dapat diamati

pada sudut mulut/ bibir pada sebagian besar fraktur

mandibula, terutama jika fraktur baru saja terjadi.

Palpasi harus dilakukan pada regio kondilus secara bilateral

kemudian turun ke bawah menuju batas bawah mandibula.

Palpasi dapat mengetahui adanya bunyi krepitus pada

fragmen tulang yang fraktur dan maupun untuk mengetahui

adanya deformitas.

Fraktur korpus mandibula biasanya terkait dengan cedera

saraf sehingga biasanya menyebabkan timbulnya parestesi

pada satu atau kedua sisi bibir bawah.

b. Pemeriksaan intraoral

Permukaan bukal dan lingual diperiksa untuk mengetahui

adanya ekimosis atau jendalan darah.

Ekstravasasi darah submukosa biasanya mengindikasikan

fraktur pada jarigan di bawahnya, terutama pada sisi lingual.

Hematom sublingual (tanda Coleman) menunjukkan adanya

fraktur pada regio tersebut.

Adanya defek pada oklusi atau alveolus diperiksa pada

24

Page 25: Fraktur Maksila dan Mandibula

sepanjang laserasi yang terlihat jelas pada mukosa yang

menutupinya.

Pemeriksaan gigi-geligi individual dilakukan untuk

mengetahui adanya fraktur, avulsi, luksasi atau subluksasi,

atau hilangnya mahkota, GTC serta tumpatan.

Perubahan oklusi merupakan salah satu tanda signifikan yang

mengindikasikan fraktur mandibula. Perubahan oklusi dapat

terjadi karena adanya fraktur gigi, fraktur prosessus alveolaris,

fraktur mandibula atau akibat adanya trauma pada TMJ.

Kemungkinan lokasi fraktur diperiksa secara perlahan untuk

mengetahui mobilitas dengan cara meletakkan jari dan ibu

jari pada masing-masing sisi dan menggunakan tekanan

untuk mengetahui adanya mobilitas yang abnormal.

Adanya nyeri, sensitivitas terhadap nyeri ataupun

keterbatasan selama pergerakan mandibula harus dicatat.

c. Pemeriksaan radiograf

Berikut merupakan tipe radiograf yang dapat mebantu

mendiagnosis fraktur mandibula.

1. Radiograf panoramik.

2. Radiograf lateral oblique.

3. Radiograf posteroanterior.

4. Radiograf oklusal.

5. Radiograf periapikal.

6. CT scan.

2.2.4 Penatalaksanaan Fraktur Mandibulaa. Reduksi tertutup

Sebagian besar fraktur mandibula dapat dirawat dengan cara

reduksi tertutup. Hal ini sering dianjurkan karena relatif mudah,

hemat biaya, dan perawatannya yang non-invasif. Derajat

displacement yang signifikan tidak menghalangi penggunaan

25

Page 26: Fraktur Maksila dan Mandibula

reduksi tertutup untuk merawat fraktur mandibula. Adanya gigi-

geligi menyediakan patokan yang akurat dalam proses reduksi.

Adapun indikasi dari reduksi tertutup adalah sebagai berikut.

Fraktur favourable tanpa displacement.

Fraktur comminuted.

Mandibula edentulous yang telah atropi parah.

Kurangnya jaringan lunak yang menutupi lokasi fraktur.

Fraktur pada anak-anak dengan benih gigi yang masih

berkembang.

Fraktur prosessus koronoid.

Pada prinsipnya, reduksi tertutup dapat menggunakan 3

metode, yaitu:

Yang dicekatkan ke gigi pasien sebagai pegangan (ligatur

dental, splint dental, arch bar)

Splin protesa, digunakan pada rahang yang tidak bergigi

(edentulous), dapat dicekatkan dengan skrup osteosintesis

ke tulang atau dengan circumferential wiring.

Yang bertumpu pada struktur tulang ekstraoral (head-chin

splint dan gips pada fraktur hidung).

a. Ligatur dental

Ligatur dental seringkali digunakan sebagai terapi awal

atau dini karena bersifat mudah dan cepat. Kelemahan

terapi ini adalah kurangnya stabilitas dalam jangka waktu

lama dan sering merusak struktur periodonsium gigi. Oleh

karena itu, terapi ini hanya bersifat sementara.

Pemasangan ligatur dental, dilakukan dengan

menggunakan kawat berdiameter 0,35 atau 0,4 mm.

Beberapa teknik ligatur dental adalah sebagai berikut.

Teknik eyelet/ Ivy loop

Pada teknik ini, kawat dipilinkan satu sama lain untuk

membentuk loop. Kedua ujung kawat dilewatkan

26

Page 27: Fraktur Maksila dan Mandibula

ruang interproksimal, dengan loop tetap di sebelah

bukal. Satu ujung dari kawat dilewatkan di sebelah

distal dari gigi distal, dan kembalinya di bawah atau

melalui loop, sedangkan ujung lainnya ditelusupkan

pada celah interproksimal mesial dari gigi medial.

Kedua ujung kawat dipilinkan satu sama lain, dipotong

dan dilipat pada aspek mesial gigi mesial. Akhirnya

loop dikencangkan dengan jalan memilinnya.

Keuntungan teknik ini bahan mudah didapat dan

sedikit menimbulkan kerusakan jaringan periodontal

serta rahang dapat dibuka dengan hanya mengangkat

ikatan intermaksilaris. Kerugiannya kawat mudah

putus waktu digunakan untuk fiksasi intermaksiler.

Gambar 5. Teknik Ivy loop.

Teknik continous loop (Stout wiring): terdiri dari

formasi loop kawat kecil yang mengelilingi arkus

dentis bagian atas dan bawah dan menggunakan

karet sebagai traksi yang menghubungkannya.

27

Page 28: Fraktur Maksila dan Mandibula

Gambar 6. Teknik Stout wiring.

Teknik Ernsche

Teknik Ernsche adalah jenis ligatur yang paling sering

digunakan karena aplikasinya gampang dan cepat,

selain itu juga memiliki stabilitas yang baik.

28

Page 29: Fraktur Maksila dan Mandibula

Gambar 7. Teknik Ernsche

b. Arch bar, ada 2 tipe yaitu sebagai berikut.

Tipe direk, misalnya Arch bar Schucardt atau Arch bar

Erich.

Arch bar dapat langsung dipasang dengan

menggunakan bantuan kawat 0,35 atau 0,4 mm.

Pemasangan kawat dilakukan di bawah bidang

ekuator gigi agar didapat hasil yang stabil.

Keuntungan arch bar ini adalah mudah didapat, biaya

murah, dan mudah adaptasi serta aplikasinya.

Pembuatannya dapat langsung dilakukan tanpa

memerlukan proses pembuatan di laboratorium.

Setelah proses ligasi selesai, dilanjutkan dengan MMF

menggunakan karet (rubber) maupun kawat ukuran

0,4 mm. Kerugian penggunaan arch bar ini adalah

dapat merusak jaringan periodonsium, dislokasi gigi,

fiksasi gigi yang terlalu kencang sehingga

menimbulkan ankilosis. Kerugiannya adalah

menyebabkan keradangan pada gingiva dan jaringan

periodontal, tidak dapat digunakan pada penderita

dengan edentulous luas.

29

Page 30: Fraktur Maksila dan Mandibula

Gambar 8. Arch bar Erich

Tipe indirek/model Munster. Arch bar didapat dengan

terlebih dahulu mencetak rahang atas dan rahang

bawah pasien dengan bahan alginat atau

polivynilxiloxane, kemudian dibuat sesuai dengan

hasil cetakan tersebut.

c. Splin protesa

Digunakan pada fraktur pada rahang tak bergigi

(edentulous). Apabila pasien memakai gigi tiruan lengkap,

maka dilakukan duplikasi pada GTL tersebut. Selanjutnya,

protesa duplikat dipasang dan MMF juga dapat dilakukan

melalui protesa ini. Protesa dapat difiksasi di mulut

dengan menggunakan skrup osteosintesis (umumnya 3-4

skrup per rahang) ataupun melalui circumferential wiring.

b. Reduksi terbuka

Keuntungan reduksi terbuka dan fiksasi langsung:

Reduksi dan fiksasi dilakukan melalui penglihatan langsung.

Fiksasi yang stabil dapat dicapai karena pendekatan yang

lebih baik terhadap fragmen fraktur.

Indikasi tindakan reduksi terbuka:

Fraktur unfavourable disertai displacement.

Fraktur multipel.

Fraktur yang terkait dengan separuh wajah.

Fraktur yang terkait dengan kondilus.

Ketika IMF (inter maxillary fixation) kontraindikasi atau tidak

mungkin dilakukan.

Untuk menghindari ketidaknyamanan akibat IMF.

Untuk memfasilitasi pasien supaya dapat kembali bekerja

lebih cepat.

30

Page 31: Fraktur Maksila dan Mandibula

Kontraindikasi tindakan reduksi terbuka:

Prosedur yang lebih lama tidak dianjurkan.

Terjadi kominusi (pecah tulang) yang parah disertai

hilangnya jaringan lunak.

Infeksi yang parah pada lokasi fraktur.

Pasien menolak untuk dilakukan reduksi terbuka.

31

Page 32: Fraktur Maksila dan Mandibula

DAFTAR PUSTAKA

Balaji, S. M., 2007, Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery, Elsevier, New Delhi, h. 545-558.

Banks, P., 1992, Fraktur Sepertiga Tengah Skeleton Fasial Menurut Killey, GMU Press, Yogyakarta.

Budihardja, A.S., dan Rahmat, M., 2010, Trauma Oral & Maksilofasial, EGC, Jakarta.

Malik, N. A., 2008, Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery, 2nd

edition, Jaypee Brothers Medical Publishers, New Delhi, h. 378-388.

Pedersen, G. W., 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, EGC, Jakarta.

Suardi, N. P., Jaya, A. A., Maliawan, S., dan Kawiyana, S., 2011, Fraktur pada Tulang Maksila, Bagian Ilmu Bedah RSUP Sanglah FK Udayana.

32