Upload
delegosong
View
250
Download
35
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bismillah
Citation preview
RESPONSI ILMU PENYAKIT BEDAHPembimbing : dr. Bambang W. Sp.BPPenyusun : Evi Yuli Susanti
(2010.04.0.0098)
IDENTITAS PENDERITA :Nama : Nn. Chalimatus Sadiyah
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jagir Wonokromo 110
Pekerjaan : tidak bekerja
Agama : Islam
MRS : 20 Januari 2016
Jam : 20.00 WIB
Pemeriksaan : 21 Januari 2016
Ruangan : I
ANAMNESAKeluhan Utama: Nyeri saat membuka mulut
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) :Pasien datang ke UGD RSAL tanggal 20 Januari 2016 berasal
dari rujukan RS Haji Surabaya. 3 hari sebelum MRS pasien menjadi
korban kecelakaan lalu lintas dengan mengendarai motor. Pasien
terjatuh dari motor dan jatuh di aspal dengan posisi tengkurap.
Pasien mengingat kejadian sebelum dan sesudah terjadi kecelakaan.
Mual dan muntah disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat alergi obat- obatan disangkal.
Riwayat DM, HT, Asma disangkal.
1
PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 21 Januari 2016)
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
GCS : 4-5-6
Tanda vital :
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit, regular
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,2oC, all\,xiller
Skala nyeri : 6
Berat badan : 56 kg
Tinggi badan : 155 cm
STATUS GENERALISKepala : A / I / C / D : - / - / - / -
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-). Pupil
isokor Ø3mm, reflek cahaya +/+
Mulut : lihat status lokalis
Leher : Jejas (-), deviasi trakea (-)
Telinga : Sekret (-), darah (-), hematom preaurikuler (-)
Hidung : Darah (-), sekret (-), hematom (-), simetris
KGB : Tidak ada pembesaran
Thorax : Simetris saat statis dan dinamis
Paru : ves/ves, rh-/-. Wh-/-
Jantung : S1 S2 tunggal, reguler, m(-), g(-)
Abdomen : Datar, Bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Status neurologis :
Nn. Cranialis : Tidak ada kelainan
Motorik : 5 / 5 / 5 / 5
Sensorik : Tidak ada kelainan
2
STATUS LOKALIS : Regio FacialLook : Asimetris wajah (+)
vulnus apertum pada zygomaticus (S) (+)
luka jahitan pada para mentalis (D) dan supra orbita (D)
deformitas (+)
Feel : nyeri tekan mkasila (D) dan mandibular (D) (+)
Unstable mandibular (+)
Floating maksilla (-)
Intra oral : Maloklusi open bite (+)
PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium (20-01-2016)Hb : 7,9 gr/dl ( 4,0-10,0)
HCT : 25,0 % ( 40- 54 )
Lekosit : 7,800 /uL (4000-10.000)
Trombosit : 180.000/uL (150.000-400.000)
GDA : 79 mg/dl
BUN : 17,8
Creatinin : 0,5
Na : 138
K : 4,33
Cl : 112
Faal Hemostasis (26-01-2016)PT : 12,3 (11,9-15)
APT : 33,7 (26,4-40)
3
CT-Scan (22 Januari 2016)
4
Hasil MSCT 3D Maxillofacial tanpa kontras: Mastoid kanan dan kiri tampak normal, cavum tympani kiri kanan
normal.
Orbita, nervus optikus kanan dan kiri normal.
Tampak gambaran air-fluid level berdensitas sekitar 50 HU di sinus
frontalis kiri kanan dengan tidak tampak adanya fracture di sekitarnya.
Tampak perselubungan berdensitas sekitar 37 sd 56 HU di sinus
ethmoidalis kiri kanan dengan tidak tampak adanya fracture di
sekitarnya.
Tampak perselubungan berdensitas sekitar 71 HU di sinus spenoidalis
kiri dengan tidak tampak adanya fracture di sekitarnyatampak
gambaran air-fluid level berdensitas sekitar 31 sd 55 HU di sinus
sphenoidalis kanan dengan tidak tampak adanya fracture di
sekitarnya.
Tampak fracture dinding anterior, lateral (komplikata), medial serta
atap sinus maxillaris kanan disertai perselubungan di dalamnya.
Tampak fracture dinding anterior, medial serta atap sinus maxilaris kiri
disertai perselubungan di dalamnya.
5
Tampak fractur arcus Zygomaticus kanan terutama pada processus
Zygomaticus os Temporalis kanan.
Tampak fracture pars orbitalis os Zygomaticus kanan.
Tampak fracture os Nasalis kiri.
Tampak fracture os Mandibula di daerah paramentalis kanan vertical
TMJ kanan normal.
Tampak fracture neck captulum mandibulae dengan dislokasi fragmen
fracture ke inferomedial.
Kesimpulan : Kesan hematosinus frontalis kiri kanan, ethmoidalis kiri kanan dan
sphenoidalis kiri kanan dengan tidak tampak adanya fracture di
sekitarnya.
Fracture dinding anterior, lateral (komplikata), medial serta atap sinus
maksilaris kanan disertai hematosinus maksilaris kanan di dalamnya.
Fracture dinding anterior, medial serta atap sinus maksilaris kiri
disertai hematosinus di dalamnya.
Fracture arcus Zygomaticus kanan terutama pada processus
Zygomaticus os Temporalis kanan.
Fracture pars orbitalis os Zygomaticus kanan.
Fracture os Nasalis kiri.
Fracture Mandibula di daerah paramentalis kanan vertical.
Fracture neck capitulum mandibulae dengan dislokasi fragmen
fracture ke inferomedial.
6
FOTO KLINIS (PRE OPERASI)
7
FOTO KLINIS DURANTE OPERASI
DIAGNOSA KERJAfraktur maxilla D + fraktur mandibular D
PENATALAKSANAAN IVFD NS 500cc/8jam
8
Inj. Ceftriaxon 2x1g
Inj. Ketorolac 2x1
Inj. Ranitidin 2x50mg
Diet cair peroral
ORIF dengan miniplate
LAPORAN OPERASI ( 28 Januari 2016 )- Pasien dalam GA, dilakukan intubasi nasal
- Antiseptik daerah operasi dan sekitarnya
- Posisi pasien : supine
- Temuan Operasi:
Fraktur mandibula Parasymphisis Non Comminuted
Dextra
- Tindakan Operasi:
Reposisi → Reduksi → Platting
Instruksi post op
- IVFD DL : D5 1: 2/24jam
- Inj. Ceftriaxone 3x1g
- Inj. Ketorolac 3x1 ampul
- Inj. Ranitidin 3x1 ampul
- Diet cair TKTP
- Oral hygiene betadine 4x/hari
9
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
Fraktur:
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya
setiap retak atau patah pada tulang yang utuh
2.1 FRAKTUR MAKSILAFraktur pada sentral wajah seringkali terjadi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh, kekerasan, dan akibat trauma benda
tumpul lainnya. Pada anak- anak, prevalensi fraktur tulang wajah
secara keseluruhan jauh lebih rendah dibandingkan pada dewasa
(Suardi dkk, 2011)
2.1.1 Klasifikasi Fraktur Maksilaa. Dento Alveolar Fracture
Suatu fraktur di daerah processus maxillaris yang belum
mencapai daerah Le Fort I dan dapat terjadi unilateral maupun
bilateral. Fraktur ini meliputi processus alveolaris dan gigi-gigi.
Gejala klinik
Extra oral :
o Luka pada bibir atas yang dalam dan luas. Luka laserasi
pada bibir sering disertai perdarahan, kadang-kadang
terdapat patahan gigi dalam bibir yang luka tersebut.
o Bibir bengkak dan edematus
o Echymosis dan hematoma pada muka
Intra oral :
o Luka laserasi pada gingiva daerah fraktur dan sering
disertai perdarahan.
o Adanya subluxatio pada gigi sehingga gigi tersebut
bergerak, kadang-kadang berpindah tempat.
10
o Adanya alvulatio gigi, kadang-kadang disertai tulang
alveolusnya
o Fraktur corona gigi dengan atau tanpa terbukanya
kamar pulpa
b. Le Fort I: Pada fraktur ini, garis fraktur berada di antara dasar dari sinus
maxillaris dan dasar dari orbita. Pada Le Fort I ini seluruh
processus alveolaris rahang atas, palatum durum, septum
nasalis terlepas dari dasarnya sehingga seluruh tulang rahang
dapat digerakkan ke segala arah. Karena tulang-tulang ini diikat
oleh jaringan lunak saja, maka terlihat seperti tulang rahang
tersebut mengapung (floating fracture). Fraktur dapat terjadi
unilateral atau bilateral. Suatu tambahan fraktur pada palatal
dapat terjadi, dimana terlihat sebagai suatu garis echymosis.
Geial klinik
Extra oral :
o Pembengkakan pada muka disertai vulnus laceratum
o Deformitas pada muka, muka terlihat asimetris
o Hematoma atau echymosis pada daerah yang terkena
fraktur, kadang-kadang terdapat infraorbital echymosis dan
subconjunctival echymosis
11
o Penderita tidak dapat menutup mulut karena gigi posterior
rahang atas dan rahang bawah telah kontak lebih dulu.
Intra oral
o Echymosis pacta mucobucal rahang atas
o Vulnus laceratum, pembengkakan gingiva, kadang-
kadang disertai goyangnya gigi dan lepasnya gigi.
o Perdarahan yang berasal dari gingiva yang luka atau gigi
yang luka, gigi fraktur atau lepas.
o Open bite maloklusi sehingga penderita sukar mengunyah
c. Le Fort II : Garis fraktur meliputi tulang maxillaris, nasalis, lacrimalis,
ethmoid, sphenoid dan sering tulang vomer dan septum nasalis
terkena juga.
Gejala klinik
Extra oral :
o Pembengkakan hebat pada muka dan hidung, pada
daerah tersebut terasa sakit.
o Dari samping muka terlihat rata karena adanya deformitas
hidung.
o Bilateral circum echymosis, subconjunctival echymosis.
o Perdarahan dari hi dung yang disertai cairan cerebrospinal.
12
Intra oral
o Mulut sukar dibuka dan rahang bawah sulit digerakkan ke
depan
o Adanya maloklusi open bite sehingga penderita sukar
mengunyah.
o Palatum mole sering jatuh ke belakang sehingga dorsum
lidah tertekan sehingga timbul kesukaran bernafas.
o Terdapatnya kelainan gigi berupa fraktur, avultio,luxatio.
o Pada palpasi, seluruh bagian rahang atas dapat digerak-
kan, pada bagian hidung terasa adanya step atau bagian
yang tajam dan terasa sakit.
d. Le Fort III Fraktur ini membentuk garis fraktur yang meliputi tulang-tulang
nasalis, maxillaris, orbita, ethmoid, sphenoid dan zygomaticus
arch. Sepertiga bagian tengah muka terdesak ke belakang
sehingga terlihat muka rata yang disebut "Dish Shape Face".
Displacement ini selalu disebabkan karena tarikan ke arah
belakang dari M.pterygoideus dimana otot ini melekat pda
sayap terbesar tulang sphenoid dan tuberositas maxillary.
13
Geiala klinik
Extra oral :
o Pembengkakan hebat pada muka dan hidung
o Perdarahan pada palatum, pharinx, sinus maxillaris, hidung
dan telinga.
o Terdapat bilateral circum echymosis dan subconjunctival
echymosis.
o Pergerakan bola mata terbatas dan terdapat kelainan
N.opticus dan saraf motoris dari mata yang menyebabkan
diplopia, kebutaan dan paralisis bola mata yang temporer.
o Deformitas hidung sehingga mata terlihat rata.
o Adanya cerebrospinal rhinorrhoea dan umumnya bercampur
darah
o Paralisis N.Fasialis yang sifatnya temporer atau permanen
yang menyebabkan Bell’s Palsy.
Intra oral :
o Mulut terbuka lebih lebar karena keadaan open bite yang
berat.
o Rahang atas dapat lebih mudah
digerakkan
o Perdarahan pada palatum dan pharynx.
o Pernafasan tersumbat karena tertekan oleh dorsum lidah.
2.1.2 Diagnosisa. Anamnesis
Pengetahuan tentang mekanisme cedera memungkinkan dokter
untuk mencurigai cedera yang terkait selain cedera primer. Waktu
di antara cedera atau penemuan korban dengan inisiasi treatment
14
merupakan informasi yang sangat berharga dan dapat
mempengaruhi resusitasi pasien.
b. Inspeksi
Perhatikan keberadaan epitaksis, ekimosis (periorbital,
konjungtival, dan skleral), edema, dan hematoma subkutan
mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan belakang
yang mengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada gigi posterior.
Perhatikan pula adanya deformitas atau asimetri muka dan laserasi
jaringan lunak. Penderita dengan wajah bengkak, edema kelopak
mata, sirkum orbital ekimosis, dan subkonjungtival ekimosis
merupakan tanda-tanda adanya fraktur Le Fort II/III. Perbedaan
kontur atau asimetri wajah dapat lebih jelas diteliti dengan berdiri
dibelakang penderita dan memandang kepala dari atas ke bawah.
Hal ini sangat membantu dalam mendeteksi adanya fraktur
zigomatikus.
c. Palpasi
Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura
zigomatikomaksilari, mengindikasikan fraktur pada rima orbital
inferior. Pemeriksaan palpasi secara bimanual pada daerah
kompleks zigomatikus, pinggir orbita, kompleks nasalis dan bagian
muka lain yang dicurigai terjadi fraktur. Diperiksa apakah ada
gerakan abnormal atau nyeri tekan. Juga diperiksa apakah ada
anesthesia atau paresthesia daerah infraorbital.
d. Mobilitas Maksila
Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang
dengan kuat bagian anterior maksila di antara ibu jari dengan
keempat jari lainnya, sedangkan tangan yang satunya menjaga
agar kepala pasien tidak bergerak. Jika saat maksila digerakkan
terdengar suara krepitasi, artinya terdapat fraktur.
e. Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea
Cairan serebrospinal dapat mengalami kebocoran dari fossa kranial
15
tengah atau anterior yang dapat dilihat pada kanal hidung ataupun
telinga. Fraktur pada fossa kranial tengah atau anterior biasanya
terjadi pada cedera yang parah.
f. Maloklusi Gigi
Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan
kuat ke arah fraktur maksila. Penegakan diagnosis dapat dibantu
dengan informasi mengenai kondisi gigi terutama pola oklusal gigi
sebelumnya.
g. RadiografisPemeriksaan standar menggunakan radiograf Waters
dan radiograf lateral. Jika terjadi fraktur maksila, maka ada
beberapa penampakan yang mungkin terlihat, diantaranya:
hematosinus, displacement tulang, opasitas pada sinus maksila,
pemisahan pada rimaorbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan
daerah nasofrontal. Jika diduga ada fraktur sagital maksila, perlu
dilakukan pengambilan foto oklusal rahang atas. Untuk
mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan detail perlu dilakukan
pengambilan CT Scan dengan rekonstruksi 3D. Diantara
pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untuk menilai fraktur
maksila adalah dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun
dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup
baik. Pada keadaan yang khusus dapat pula dilakukan MRI.
2.1.3 Menejemen Fraktur MandibulaPrinsip terapi adalah mengembalikan oklusi ke keadaan
normal, mengembalikan posisi tulang wajah terutama pilar utama
wajah ke posisi normal, kemudian memfiksasi tulang yang telah
direposisi tersebut.
a. Terapi yang dapat dilakukan untuk fraktur Le Fort I adalah:
1. Terapi Konservatif
Diindikasikan pada fraktur tanpa displacement atau fraktur
dengan displacement yang minimal sekali tanpa ada gangguan
oklusi, gangguan penglihatan, dan gangguan pada mata. Pada
16
terapi ini pasien diinstruksikan untuk diet makanan lunak
selama 3-4 minggu dan menghindari aktivitas fisik yang berat,
termasuk olahraga. Pasien juga dianjurkan untuk kontrol secara
berkala.
2. Terapi Kombinasi Konservatif-Operatif
Pertama dilakukan reposisi fraktur dan oklusi dengan
menggunakan arch bar dan MMF dengan kawat. Kemudian
dilakukan suspensi dengan menggunakan kawat.
3. Terapi Operatif
Terapi ini menggunakan miniplat dan mikroplat yang saat ini
dianggap sebagai state of the art dalam penatalaksanaan
fraktur wajah. Setelah melakukan reposisi fraktur menggunakan
reduksi terbuka yaitu dengan jalan mendorong mandibula ke
arah superior (tekanan balik akan terjadi di daerah dahi),
kemudian dilakukan fiksasi menggunakan miniplat atau
mikroplat. Apabila tidak berhasil mendapatkan suspensi pada
fraktur Le Fort I, maka bisa terjadi hilangnya free way space
atau cacat kosmetik yaitu wajah panjang atau keduanya.
Seringkali perlu dilakukan pemasangan MMF selama proses
reposisi dan fiksasi agar didapatkan oklusi yang baik. Apabila
fraktur wajah ini terjadi dengan kombinasi fraktur rahang bawah
dan fraktur kondilus, MMF dapat dibiarkan selama beberapa
hari sesuai indikasi yang diperlukan.
Akses operasi harus dipilih sedemikian rupa sehingga
walaupun diperlukan pemasangan miniplat dalam jumlah yang
cukup banyak, namun nantinya bekas akses operasi itu tidak
mengganggu estetik pasien. Umumnya insisi dapat dilakukan
dari intraoral secara paramarginal ataupun marginal,
lateroorbital, infraorbital, subsiliar, maupun bikoronal.
b. Terapi yang dapat dilakukan untuk fraktur Le Fort II adalah:
Perawatan fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I, namun
17
dibedakan dengan perlunya perawatan pada fraktur nasal dan
dasar orbita. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan teknik
tertutup menggunakan molding digital dan splinting.
c. Terapi yang dapat dilakukan untuk fraktur Le Fort III adalah:Indikasi
untuk terapi dengan operasi pada fraktur Le Fort III sama dengan
indikasi terapi pada fraktur Le Fort I dan Le Fort II. Pada fraktur Le
Fort III dengan displacement yang minimal, akses untuk reduksi
terbuka bisa didapatkan dari insisi lateroorbital bilateral dan insisi
pada daerah kulit lokal. Sedangkan pada fraktur yang parah
dengan derajat displacement yang parah, perlu dilakukan
pembukaan akses dari bikoronal. Keuntungan dari akses ini adalah
jaringan parut pasca-operasi berada pada daerah yang tidak begitu
mengganggu secara estetik. Setelah dilakukan reposisi, fiksasi
fragmen tulang dapat dilakukan dengan menggunakan miniplat dan
mikroplat. Terapi yang dilakukan tentu saja harus memperhatikan
aspek oklusi pasien.
Jika diduga ada kerusakan dan trauma dari n. optikus, maka ada 2
alternatif perawatan yang dapat dilakukan. Pertama adalah terapi
konservatif dengan memberikan obat-obatan antiinflamasi
(misalnya metilprednisolon, dosis awal 30 mg/kg berat badan
dilanjutkan dengan 5,4 mg/kg berat badan setiap jam berikutnya
selama 48 jam). Jika terdapat hematoma retroorbital dan jika
terlihat adanya fragmen tulang yang menyebabkan trauma pada n.
optikus, perlu dilakukan revisi dengan intervensi bedah yaitu
dekompresi dari n. optikus. Terapi ini semua harus dilakukan
secepat mungkin dalam kurun waktu 12 jam.
Jangka waktu untuk imobilisasi fraktur Le Fort bervariasi 4-8
minggu, tergantung sifat fraktur dan kondisi pasien. Rontgen pasca
reduksi dan pasca imobilisasi diperlukan untuk semua fraktur wajah
bagian tengah seperti halnya pada fraktur mandibula.
18
2.2 FRAKTUR MANDIBULA2.2.1 Klasifikasi Fraktur Mandibula
Terdapat beberapa cara untuk mengklasifikasikan fraktur
mandibula, yaitu:
a. Klasifikasi umum
1. Kruger Simpel atau tertutup: garis fraktur tidak berhubungan
dengan lingkungan eksternal dan internal. Fraktur tersebut tidak
menyebabkan luka terbuka terhadap lingkungan ekternal, baik
melalui kulit, mukosa, atau ligamen periodontal. Contohnya
pada fraktur kondilus dan prosessus koronoid.
2. Compound atau terbuka: fraktur ini berhubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit atau dengan lingkungan internal
melalui mukosa atau ligamen periodontal.
3. Comminuted: kondisi di mana tulang yang fraktur pecah atau
hancur menjadi serpihan-serpihan. Tipe fraktur seperti ini
biasanya disebabkan oleh derajat kekerasan yang lebih tinggi
ataupun tingginya kecepatan benturan. Contohnya adalah
fraktur akibat luka tembak.
4. Kompleks: fraktur yang melibatkan kerusakan pada struktur
vital di sekelilingnya sehingga menyebabkan komplikasi dalam
perawatan maupun prognosisnya.
5. Impaksi: jarang terlihat pada fraktur mandibula dan lebih sering
terlihat pada fraktur maksila. Fraktur ini berupa salah satu
fragmen tertanam atau masuk ke dalam fragmen lainnya dan
pergerakan klinis tidak cukup.
6. Greenstick: fraktur yang mana salah satu korteks pada tulang
tersebut patah sedangkan korteks yang lain menjadi bengkok.
Fraktur inkomplit seperti ini sering terjadi pada anak-anak.
7. Patologis: fraktur spontan yang terjadi akibat cedera ringan
19
atau akibat kontraksi otot yang masih dalam rentang normal.
Hal tersebut terjadi karena kondisi tulang yang sebelumnya
sudah rapuh.
Gambar 2. (1) Fraktur simpel; (2) fraktur greenstick (garis lurus
menunjukkan fraktur korteks, garis putus-putus menujukkan
korteks yang bengkok); (3) fraktur compound comminuted; (4)
fraktur compound; dan (5) fraktur comminuted simpel
b. Lokasi anatomis
1. Klasifikasi Rowe dan Killey
Fraktur tidak melibatkan tulang basal (fraktur
dentoalveolar).
Fraktur melibatkan tulang basal mandibula. Dibagi menjadi
subdivisi: unilateral tunggal, unilateral ganda, bilateral, dan
multipel.
2. Klasifikasi Dingman dan Natvig berdasarkan regio anatomis
Fraktur simfisis (fraktur garis tengah).
Fraktur region kaninus.
Korpus mandibula di antara kaninus dan angulus
mandibula.
Regio angulus mandibula.
Regio ramus mandibula.
Regio koronoid.
Fraktur kondilus.
Regio dentoalveolar.
20
Gambar 3. Klasifikasi fraktur Dingman dan Natvig berdasarkan
regio anatomis (1) prosessus koronoid; (2) kondilus; (3) regio
ramus; (4) regio angulus mandibula; (5) regio corpus
mandibula; (6) prosessus alveolaris; dan (7) regio simfisis
c. Hubungan fraktur tehadap lokasi cedera: fraktur direk dan fraktur
indirek.
d. Ketebalan fraktur: fraktur sempurna dan tidak sempurna.
e. Tergantung mekanisme: fraktur avulsi, fraktur membengkok, burst
fracture, countercoup fracture, dan fraktur torsional.
f. Jumlah fragmen: tunggal, multipel, comminuted
g. Keterlibatan lapisan/ jaringan tubuh: fraktur tertutup atau terbuka,
tingkat keparahan I-V.
h. Bentuk atau area fraktur: melintang, miring/ serong, kupu-kupu,
permukaan miring.
i. Berdasarkan arah fraktur dan kemungkinannya untuk dilakukan
perawatan
Fraktur horizontal favourable.
Fraktur horizontal unfavourable.
Fraktur vertikal favourable.
Fraktur vertical unfavourable
j. Berdasarkan ada tidaknya gigi dalam relasinya terhadap garis
fraktur
Ada tidaknya gigi pada lokasi fraktur mandibula, status jaringan
periodontal, serta ukuran gigi menjadi sangat penting dalam
21
menentukan rencana perawatan berupa fiksasi. Gigi-geligi dapat
menjadi pedoman dalam melakukan prosedur reduksi dan dapat
digunakan untuk fiksasi dan imobilisasi.
Klasifikasi Kazanjian dan Converse:
1. Kelas I: yaitu ketika terdapat gigi-geligi pada kedua sisi dari
garis fraktur.
2. Kelas II: yaitu ketika gigi-geligi hanya terdapat pada salah satu
sisi dari garis fraktur.
3. Kelas III: yaitu ketika kedua sisi dari garis fraktur tidak
mempunyai gigi (edentulous)
2.2.2 Tanda dan Gejala Klasik Fraktur Rahang a. Riwayat cedera pada area rahang.
b. Nyeri
Fraktur dapat dicurigai jika pasien mengeluh adanya nyeri pada
sisi terjadinya cedera atau sisi kebalikan ketika bergerak.
c. Mobilitas abnormal
Mobilitas atau pergerakan yang abnormal pada lengkung
rahang atau tulang rahang dapat dideteksi secara manual atau
dapat dilakukan dengan memerhatikan adanya keluhan pasien
mengenai pergerakan yang abrnomal pada sisi tertentu ketika
pasien menggerakkan rahangnya.
d. Perdarahan
Fraktur dapat menyebabkan adanya perdarahan aktif maupun
adanya hematoma atau ekimosis yang menyertai proses fraktur.
Pemeriksaan area perdarahan dapat diperiksa secara langsung
oleh klinisi (operator) ketika cedera baru saja terjadi. Klinisi
perlu menanyakan adanya riwayat perdarahan melalui rongga
mulut, hidung (epistaksis), dan telinga pada pasien.
e. Krepitus
Suara berderak dapat terdeteksi saat dilakukan palpasi pada
luka karena terjadi gesekan antar tulang-tulang yang patah.
22
f. Deformitas
Deformitas wajah akan jelas terlihat tergantung pada derajat
dan arah terjadinya benturan. Hal tersebut juga tergantung pada
arah garis fraktur dan otot-otot yang terlibat.
g. Ekimosis dan edema (pembengkakan)
Tanda-tanda tersebut akan terlihat selang beberapa jam setelah
terjadi trauma. Hal tersebut dapat dilihat baik secara ekstra oral,
maupun intra oral, tergantung pada lokasi fraktur dan benturan.
h. Kehilangan fungsi atau adanya gangguan terhadap fungsi
Kemampuan mengunyah makanan akan terganggu.
Keterbatasan membuka mulut juga akan terlihat pada kasus
fraktur kondilus. Gangguan berbicara, kesulitan menelan juga
dapat terjadi.
i. Bukti radiografis
Seluruh kasus yang dicurigai mengalami fraktur harus dilakukan
pemeriksaan radiograf. Hal tersebut membantu dalam
menegakkan diagnosis serta menyediakan konfirmasi
tambahan. Hal ini juga penting dalam keperluan medikolegal
untuk dijadikan barang bukti.
2.2.3 Pemeriksaan Fraktur MandibulaPemeriksaan klinis yang menyeluruh dilakukan setelah pasien
diyakini tidak mengalami ancaman pada hidupnya, seperti asfiksia,
hemoragi, syok, atau hal lainnya yang terkait dengan kondisi
kepala, leher, cedera internal dan eksternal. Hal yang pertama
harus dilakukan adalah membersihkan secara perlahan wajah
pasien dengan air hangat atau mengusapnya untuk menghilangkan
bercak darah yang menggumpal dan kotoran yang didapat dari
lokasi kecelakaan. Kondisi rongga mulut diperiksa secara
menyeluruh untuk mengetahui adanya gigi atau gigi tiruan yang
goyang atau patah. Selama membersihkan wajah pasien dengan
perlahan, kranium dan tulang belakang diperiksa secara hati-hati,
23
kemudian dipalpasi untuk mengetahui adanya tanda-tanda cedera.
Fraktur mandibula kemudian diperiksa secara mendetail.
a. Pemeriksaan ekstraoral
Pembengkakan, eritema, memar, laserasi, pedarahan, dan
ekimosis mengindikasikan lokasi terjadinya cedera atau
benturan.
Terdapat kemungkinan deformitas yang jelas pada kontur
tulang mandibula dan jika telah terjadi displacement, pasien
tidak dapat merapatkan gigi depannya bersamaan dan mulut
tampak terbuka (gigitan terbuka).
Pasien yang dalam kondisi sadar dapat terlihat menopang
rahang bawahnya dengan tangan.
Bercak saliva yang bercampur dengan darah dapat diamati
pada sudut mulut/ bibir pada sebagian besar fraktur
mandibula, terutama jika fraktur baru saja terjadi.
Palpasi harus dilakukan pada regio kondilus secara bilateral
kemudian turun ke bawah menuju batas bawah mandibula.
Palpasi dapat mengetahui adanya bunyi krepitus pada
fragmen tulang yang fraktur dan maupun untuk mengetahui
adanya deformitas.
Fraktur korpus mandibula biasanya terkait dengan cedera
saraf sehingga biasanya menyebabkan timbulnya parestesi
pada satu atau kedua sisi bibir bawah.
b. Pemeriksaan intraoral
Permukaan bukal dan lingual diperiksa untuk mengetahui
adanya ekimosis atau jendalan darah.
Ekstravasasi darah submukosa biasanya mengindikasikan
fraktur pada jarigan di bawahnya, terutama pada sisi lingual.
Hematom sublingual (tanda Coleman) menunjukkan adanya
fraktur pada regio tersebut.
Adanya defek pada oklusi atau alveolus diperiksa pada
24
sepanjang laserasi yang terlihat jelas pada mukosa yang
menutupinya.
Pemeriksaan gigi-geligi individual dilakukan untuk
mengetahui adanya fraktur, avulsi, luksasi atau subluksasi,
atau hilangnya mahkota, GTC serta tumpatan.
Perubahan oklusi merupakan salah satu tanda signifikan yang
mengindikasikan fraktur mandibula. Perubahan oklusi dapat
terjadi karena adanya fraktur gigi, fraktur prosessus alveolaris,
fraktur mandibula atau akibat adanya trauma pada TMJ.
Kemungkinan lokasi fraktur diperiksa secara perlahan untuk
mengetahui mobilitas dengan cara meletakkan jari dan ibu
jari pada masing-masing sisi dan menggunakan tekanan
untuk mengetahui adanya mobilitas yang abnormal.
Adanya nyeri, sensitivitas terhadap nyeri ataupun
keterbatasan selama pergerakan mandibula harus dicatat.
c. Pemeriksaan radiograf
Berikut merupakan tipe radiograf yang dapat mebantu
mendiagnosis fraktur mandibula.
1. Radiograf panoramik.
2. Radiograf lateral oblique.
3. Radiograf posteroanterior.
4. Radiograf oklusal.
5. Radiograf periapikal.
6. CT scan.
2.2.4 Penatalaksanaan Fraktur Mandibulaa. Reduksi tertutup
Sebagian besar fraktur mandibula dapat dirawat dengan cara
reduksi tertutup. Hal ini sering dianjurkan karena relatif mudah,
hemat biaya, dan perawatannya yang non-invasif. Derajat
displacement yang signifikan tidak menghalangi penggunaan
25
reduksi tertutup untuk merawat fraktur mandibula. Adanya gigi-
geligi menyediakan patokan yang akurat dalam proses reduksi.
Adapun indikasi dari reduksi tertutup adalah sebagai berikut.
Fraktur favourable tanpa displacement.
Fraktur comminuted.
Mandibula edentulous yang telah atropi parah.
Kurangnya jaringan lunak yang menutupi lokasi fraktur.
Fraktur pada anak-anak dengan benih gigi yang masih
berkembang.
Fraktur prosessus koronoid.
Pada prinsipnya, reduksi tertutup dapat menggunakan 3
metode, yaitu:
Yang dicekatkan ke gigi pasien sebagai pegangan (ligatur
dental, splint dental, arch bar)
Splin protesa, digunakan pada rahang yang tidak bergigi
(edentulous), dapat dicekatkan dengan skrup osteosintesis
ke tulang atau dengan circumferential wiring.
Yang bertumpu pada struktur tulang ekstraoral (head-chin
splint dan gips pada fraktur hidung).
a. Ligatur dental
Ligatur dental seringkali digunakan sebagai terapi awal
atau dini karena bersifat mudah dan cepat. Kelemahan
terapi ini adalah kurangnya stabilitas dalam jangka waktu
lama dan sering merusak struktur periodonsium gigi. Oleh
karena itu, terapi ini hanya bersifat sementara.
Pemasangan ligatur dental, dilakukan dengan
menggunakan kawat berdiameter 0,35 atau 0,4 mm.
Beberapa teknik ligatur dental adalah sebagai berikut.
Teknik eyelet/ Ivy loop
Pada teknik ini, kawat dipilinkan satu sama lain untuk
membentuk loop. Kedua ujung kawat dilewatkan
26
ruang interproksimal, dengan loop tetap di sebelah
bukal. Satu ujung dari kawat dilewatkan di sebelah
distal dari gigi distal, dan kembalinya di bawah atau
melalui loop, sedangkan ujung lainnya ditelusupkan
pada celah interproksimal mesial dari gigi medial.
Kedua ujung kawat dipilinkan satu sama lain, dipotong
dan dilipat pada aspek mesial gigi mesial. Akhirnya
loop dikencangkan dengan jalan memilinnya.
Keuntungan teknik ini bahan mudah didapat dan
sedikit menimbulkan kerusakan jaringan periodontal
serta rahang dapat dibuka dengan hanya mengangkat
ikatan intermaksilaris. Kerugiannya kawat mudah
putus waktu digunakan untuk fiksasi intermaksiler.
Gambar 5. Teknik Ivy loop.
Teknik continous loop (Stout wiring): terdiri dari
formasi loop kawat kecil yang mengelilingi arkus
dentis bagian atas dan bawah dan menggunakan
karet sebagai traksi yang menghubungkannya.
27
Gambar 6. Teknik Stout wiring.
Teknik Ernsche
Teknik Ernsche adalah jenis ligatur yang paling sering
digunakan karena aplikasinya gampang dan cepat,
selain itu juga memiliki stabilitas yang baik.
28
Gambar 7. Teknik Ernsche
b. Arch bar, ada 2 tipe yaitu sebagai berikut.
Tipe direk, misalnya Arch bar Schucardt atau Arch bar
Erich.
Arch bar dapat langsung dipasang dengan
menggunakan bantuan kawat 0,35 atau 0,4 mm.
Pemasangan kawat dilakukan di bawah bidang
ekuator gigi agar didapat hasil yang stabil.
Keuntungan arch bar ini adalah mudah didapat, biaya
murah, dan mudah adaptasi serta aplikasinya.
Pembuatannya dapat langsung dilakukan tanpa
memerlukan proses pembuatan di laboratorium.
Setelah proses ligasi selesai, dilanjutkan dengan MMF
menggunakan karet (rubber) maupun kawat ukuran
0,4 mm. Kerugian penggunaan arch bar ini adalah
dapat merusak jaringan periodonsium, dislokasi gigi,
fiksasi gigi yang terlalu kencang sehingga
menimbulkan ankilosis. Kerugiannya adalah
menyebabkan keradangan pada gingiva dan jaringan
periodontal, tidak dapat digunakan pada penderita
dengan edentulous luas.
29
Gambar 8. Arch bar Erich
Tipe indirek/model Munster. Arch bar didapat dengan
terlebih dahulu mencetak rahang atas dan rahang
bawah pasien dengan bahan alginat atau
polivynilxiloxane, kemudian dibuat sesuai dengan
hasil cetakan tersebut.
c. Splin protesa
Digunakan pada fraktur pada rahang tak bergigi
(edentulous). Apabila pasien memakai gigi tiruan lengkap,
maka dilakukan duplikasi pada GTL tersebut. Selanjutnya,
protesa duplikat dipasang dan MMF juga dapat dilakukan
melalui protesa ini. Protesa dapat difiksasi di mulut
dengan menggunakan skrup osteosintesis (umumnya 3-4
skrup per rahang) ataupun melalui circumferential wiring.
b. Reduksi terbuka
Keuntungan reduksi terbuka dan fiksasi langsung:
Reduksi dan fiksasi dilakukan melalui penglihatan langsung.
Fiksasi yang stabil dapat dicapai karena pendekatan yang
lebih baik terhadap fragmen fraktur.
Indikasi tindakan reduksi terbuka:
Fraktur unfavourable disertai displacement.
Fraktur multipel.
Fraktur yang terkait dengan separuh wajah.
Fraktur yang terkait dengan kondilus.
Ketika IMF (inter maxillary fixation) kontraindikasi atau tidak
mungkin dilakukan.
Untuk menghindari ketidaknyamanan akibat IMF.
Untuk memfasilitasi pasien supaya dapat kembali bekerja
lebih cepat.
30
Kontraindikasi tindakan reduksi terbuka:
Prosedur yang lebih lama tidak dianjurkan.
Terjadi kominusi (pecah tulang) yang parah disertai
hilangnya jaringan lunak.
Infeksi yang parah pada lokasi fraktur.
Pasien menolak untuk dilakukan reduksi terbuka.
31
DAFTAR PUSTAKA
Balaji, S. M., 2007, Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery, Elsevier, New Delhi, h. 545-558.
Banks, P., 1992, Fraktur Sepertiga Tengah Skeleton Fasial Menurut Killey, GMU Press, Yogyakarta.
Budihardja, A.S., dan Rahmat, M., 2010, Trauma Oral & Maksilofasial, EGC, Jakarta.
Malik, N. A., 2008, Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery, 2nd
edition, Jaypee Brothers Medical Publishers, New Delhi, h. 378-388.
Pedersen, G. W., 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, EGC, Jakarta.
Suardi, N. P., Jaya, A. A., Maliawan, S., dan Kawiyana, S., 2011, Fraktur pada Tulang Maksila, Bagian Ilmu Bedah RSUP Sanglah FK Udayana.
32