48
FRAKTUR MAKSILOFASIAL Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Periode 08 Januari 27 Februari 2015 Disusun Oleh : Chaerunisa Utami 1410221070 Pembimbing dr. Hadi Pranoto, Sp(K)BD KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA PERIODE 08 JANUARI 27 FEBRUARI 2015

fraktur maksilofasial

Embed Size (px)

DESCRIPTION

;N;

Citation preview

  • FRAKTUR MAKSILOFASIAL

    Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

    Departemen Ilmu Bedah

    Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

    Periode 08 Januari 27 Februari 2015

    Disusun Oleh :

    Chaerunisa Utami 1410221070

    Pembimbing

    dr. Hadi Pranoto, Sp(K)BD

    KEPANITERAAN KLINIK

    DEPARTEMEN ILMU BEDAH

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

    NASIONAL VETERAN JAKARTA

    PERIODE 08 JANUARI 27 FEBRUARI 2015

  • ii

    LEMBAR PENGESAHAN

    FRAKTUR MAKSILOFASIAL

    Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

    Departemen Ilmu Bedah

    Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

    Periode 08 Januari 27 Februari 2015

    Telah disetujui

    Tanggal :

    .............................................................

    Disusun oleh :

    Siti Alfiana C

    1220221113

    Pembimbing

    dr. Hadi Pranoto, Sp(K)BD

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME,

    berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan FRAKTUR

    MAKSILOFASIAL yang merupakan salah satu syarat dalam mengikuti

    ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter Departemen Ilmu

    Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan

    Nasional Veteran Jakarta Periode 08 Januari 27 Februari 2015.

    Dalam menyelesaikan studi kasus ini penulis mengucapkan rasa

    terima kasih kepada dr. Hadi Pranoto, Sp(K)BD sebagai dokter

    pembimbing. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Studi Kasus ini

    banyak terdapat kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan,

    sehingga penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca.

    Semoga Studi kasus kedokteran keluarga ini dapat bermanfaat bagi

    teman-teman pada khususnya dan semua pihak yang berkepentingan bagi

    pengembangan ilmu kedokteran pada umumnya. Amin.

    Jakarta, Maret 2015

    Penulis

  • iv

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... ii

    KATA PENGANTAR ................................................................................ iii

    DAFTAR ISI ............................................................................................... iv

    BAB I PENDAHULUAN .............................................................................1

    I.1. LATAR BELAKANG .................................................................1

    I.2. TUJUAN 2

    I.3. MANFAAT ..................................................................................2

    BAB II FRAKTUR MAKSILOFASIAL ....................................................3

    II.1. ANATOMI ...................................................................................3

    II.2. DEFINISI .....................................................................................5

    II.2. EPIDEMIOLOGI .........................................................................6

    II.3. ETIOLOGI ...................................................................................6

    II.4. KLASIFIKASI .............................................................................6

    II.4.1. Fraktur Nasoorbitoethmoid (NOE) ....................................6

    II.4.2. Fraktur Zygomatikomaksila ...............................................8

    II.4.3. Fraktur Nasal ......................................................................9

    II.4.4. Fraktur Maksila dan LeFort ..............................................12

    II.4.5 . Fraktur Mandibula ............................................................14

    II.5. PENILAIAN ..............................................................................16

    II.5.1. Primary Survey .................................................................16

    II.5.2. Secondary Survey .............................................................16

    a. Inspeksi .............................................................................16

    b. Palpasi ..............................................................................17

    c. Menilai & mengevaluasi integritas saraf kranial IVIII ..28

  • v

    d. Pemeriksaan Radiologis ...................................................29

    II.6. TATALAKSANA ......................................................................32

    II.6.1. Fraktur Nasal ....................................................................32

    II.6.2. Fraktur Komplek Nasal ....................................................33

    II.6.3. Fraktur Komplek Zigoma .................................................34

    II.6.4. Fraktur Maksilla ...............................................................35

    II.6.5. Fraktur Mandibulla ...........................................................38

    BAB III KESIMPULAN ............................................................................40

    DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................41

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I.1. LATAR BELAKANG

    Cedera atau fraktur pada daerah wajah memiliki signifikansi yang

    tinggi karena berbagai alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan

    terhadap kepala dan memiliki peran penting dalam penampilan. Daerah

    maksilofasial berhubungan dengan sejumlah fungsi penting seperti

    penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga memakan. Fungsi-

    fungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan berakibat kepada kualitas

    hidup yang buruk (Singh, 2012).

    Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu

    dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja , kecelakaan akibat

    olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan

    kekerasan. Tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas (Banks,

    1992). Penilitian Rabi dan Khateery (2002), juga menunjukan bahwa

    diantara beberapa etiologi trauma maksilofacial, kecelakaan lalulintas

    merupakan penyebab utama terjadinya trauma, diikuti dengan penyebab

    lainnya seperti trauma ketika bermain di taman, kecelakaan sewaktu bekerja

    atau industri, kecelakaan sewaktu berolahraga, dan lain-lain.

    Skeleton fasial secara kasar dapat dibagi menjadi 3 daerah, yaitu

    sepertiga bawah atau mandibula, sepertiga atas yang dibentuk oleh tulang

    dahi, dan sepertiga tengah daerah yang membentang dari tulang dahi

    menuju kepermukaan gigi geligi atas, bila pasien tidak mempunyai gigi

    pada alveolus atas (Sigh, 2012).

    Fraktur maksilofasial merupakan salah satu bagian dari bidang ilmu Bedah

    yang masih perlu mendapatkan perhatian khusus dalam jumlah kasus yang

    terjadi dan penanganan yang telah dilakukan. Hal tersebut dapat menjadi acuan

  • 2

    bagi dokter umum khususnya dalam bidang Bedah agar kedepannya dapat

    menentukan penatalaksanaan yang lebih baik pada kasus-kasus yang serupa.

    I.2. TUJUAN

    Mendeteksi dan mendiagnosis dini fraktur maksilofasial, sehingga

    pengelolaan dapat dilakukan lebih awal dan terencana yang akhirnya angka

    kesakitan dan kematian.

    I.3. MANFAAT

    Referat ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi penulis

    maupun untuk para pembaca terutama para mahasiswa fakultas kedokteran

    agar dapat menambah wawasan dan lebih memahami hal-hal yang berkaitan

    dengan fraktur maksilofasial.

  • 3

    BAB II

    FRAKTUR MAKSILOFASIAL

    II.1. ANATOMI

    Secara umum tulang tengkorak / kraniofasial terbagi menjadi dua

    bagian yaitu Neurocranium adalah tulang-tulang yang membungkus otak

    dan Viscerocranium adalah tulang-tualang yang membentuk wajah /

    maksilofasial (James & Leslie, 2010).

    Neuroccranium dibentuk oleh :

    1. Os. Frontale

    2. Os. Parietale

    3. Os. Temporale

    4. Os. Sphenoidale

    5. Os. Occipitalis

    6. Os. Ethmoidalis

    Viscerocranium dibentuk oleh :

    1. Os. Maksilare

    2. Os. Palatinum

    3. Os. Nasale

    4. Os. Lacrimale

    5. Os. Zygomatikum

    6. Os. Concha nasalis inferior

    7. Vomer

    8. Os. Mandibulare

    Neurocranium terdiri atas tulang-tulang pipih yang berhubungan satu

    dengan yang lain melalui sutura - sutura. Tulang-tulang yang tebal

    berhubungan dengan tulang- tulang berdinding tipis. Tulang tulang

    pembentuk wajah atau viscerocranium terdiri atas tulang tulang yang

    berbentuk tonjolan dan lengkungan yang sangat rentan untuk terhadap

    fraktur jika mendapat suatu trauma. Tulang tulang tersebut dihubungkan

    oleh sutura sutura yang juga dapat menjadi garis fraktur.

  • 4

    Gambar 1. Tulang tulang kraniofasial (James & Leslie, 2010)

    Tulang-tulang kraniofasial terdiri atas tulang yang memiliki ketebalan

    berbeda. Tulang dengan struktur yang tebal disebut sebagai 'buttress' yang

    menopang/penyangga proporsi kraniofasial dalam ukuran tinggi, lebar dan

    proyeksi antero-posterior. Buttress pada maksila meliputi tulang nasomaksilaris

    pada medial, tulang zigomatikomaksilaris pada lateral dan tulang

    pterygomaksilaris pada posterior. Ketiga buttress ini menghasilkan suatu sistem

    penyangga unit-unit fungsi pada oral, nasal dan orbital. (Miloro, 2004)

    Gambar 2. Buttress vertikal dan horizontal (Miloro, 2004)

  • 5

    Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara

    baik dalam membentuk wajah manusia. Didalam tulang wajah terdapat

    rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga

    hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita). Tengkorak wajah dibagi atas

    dua bagian: (Mansjoer, 2000).

    1. Bagian Hidung, terdiri atas

    Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal

    hidung di sudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang

    hidung sebelah atas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya

    di dalam rongga hidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat

    rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis yang tegak (Boeis,

    2002).

    2. Bagian Rahang, terdiri atas

    Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi

    yang terdiri dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-

    langit, terdiri dari dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau

    tulang rahang bawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan

    yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula

    terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot (Boeis, 2002).

    II.2. DEFINISI

    Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.

    Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu

    tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula

    (Muchlis, 2011).

  • 6

    II.2. EPIDEMIOLOGI

    Pasien pria merupakan pasien dengan fraktur maksilofasial tersering

    yaitu sebanyak 75,9% di India. Hasil serupa juga didapatkan dari penelitian

    di Israel sebanyak 74,2% dan Iran dengan proporsi 4,5 banding 1 untuk pria.

    Usia dekade ketiga mendominasi pasien dengan fraktur maksilokranial

    (Guruprasad, 2014; Yoffe, 2008; dan Zargar, 2004). Di Indonesia, pasien

    fraktur maksilofasial dengan jenis kelamin pria mewakili 81,73% (Muchlis,

    2011)

    II.3. ETIOLOGI

    Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus

    meningkat disebabkan terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas

    dan kekerasan. Hubungan alkohol, obat-obatan, mengemudi mobil, dan

    peningkatan kekerasan merupakan penyebab utama terjadinya fraktur

    maksilofasial (Ykeda, 2012). Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab

    tertinggi dari fraktur maksilofasial. Di India, 97,1% fraktur maksilofasial

    disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dengan penyebab lain yaitu terjatuh

    dari ketinggian, kekerasan, dan akibat senjata api (Singh, 2012). Penelitian

    lain di India menunjukkan bahwa 74,3% fraktur maksilofasial disebabkan

    oleh kecelakaan lalu lintas (Guruprasad, 2011).

    II.4. KLASIFIKASI

    II.4.1. Fraktur Nasoorbitoethmoid (NOE)

    Anatomi kompleks ini yang berliku-liku mengakibatkan fraktur

    NOE merupakan fraktur yang paling sulit untuk direkonstruksi. Kompleks

    NOE terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior cranial fossa, orbita,

    tulang temporal, dan tulang nasal (Tollefson, 2013). Medial canthal tendon

    (MCT) berpisah sebelum masuk ke dalam frontal process dari maksila.

    Kedua tungkai dari tendon ini mengelilingi fossa lakrimal. Komponen

    utama dari NOE ini dikelilingi oleh tulang lakrimal di posterior, tulang nasal

  • 7

    dan pyriform aperture di anterior, oleh tulang frontal di kranial, maksila di

    inferior, rongga udara ethmoid di tengah, dan orbita di lateral (Nguyen,

    2010). Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi

    MarkowitzManson. Klasifikasi Markowitz-Manson terdiri dari tiga tipe

    yaitu (Aktop, 2013)

    a. Tipe I

    MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar.

    b. Tipe II

    MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun dapat diatasi

    atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk memungkinkan

    osteosynthesis.

    c. Tipe III

    MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat diatasi

    atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya osteosynthesis

    atau telah terlepas total.

    Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilafasial

    pada orang dewasa. Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I.

    Fraktur tipe III merupakan fraktur yang paling jarang dan terjadi pada 1-5%

    dari seluruh kasus fraktur NOE (Nguyen, 2010)

    Gambar 1. Klasifikasi Markowitz-Manson (Aktop, 2013)

  • 8

    Gambar 2. Klasifikasi Markowitz-Manson (Galloway,2012)

    II.4.2. Fraktur Zygomatikomaksila

    Zygomaticomaxillary complex (ZMC) memainkan peran penting

    pada struktur, fungsi, dan estetika penampilan dari wajah. ZMC

    memberikan kontur pipi normal dan memisahkan isi orbita dari fossa

    temporal dan sinus maksilaris. Zygoma merupakan letak dari otot maseter,

    dan oleh karena itu berpengaruh terhadap proses mengunyah (Tollefson,

    2013).

    Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding

    penopang yaitu zygomaticomaxillary, frontozygomatic (FZ),

    zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Fraktur ZMC merupakan

    fraktur kedua tersering pada fraktur fasial setelah fraktur nasal (Meslemani,

    2012)

  • 9

    Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah

    klasifikasi Knight dan North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang

    penanganan terhadap fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut dibagi menjadi

    enam yaitu (Dadas, 2007):

    a. Kelompok 1

    Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara klinis dan

    radiologi.

    b. Kelompok 2

    Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh gaya langsung

    yang menekuk malar eminence ke dalam

    c. Kelompok 3

    Fraktur yang tidak berotasi

    d. Kelompok 4

    Fraktur yang berotasi ke medial

    e. Kelompok 5

    Fraktur yang berotasi ke lateral

    f. Kelompok 6

    Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan sepanjang fragmen

    utama

    Gambar 3. Fraktur Zygomatikomaksila

    II.4.3. Fraktur Nasal

    Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan

    lokasi fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah

    meningkat baik dalam prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan

  • 10

    trauma dan kecelakaan lalu lintas (Baek, 2013). Fraktur tulang nasal

    mencakup 51,3% dari seluruh fraktur fasial (Haraldson, 2013). Klasifikasi

    fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik, 2009):

    a. Tipe I

    Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah

    Gambar 4. fraktur tulang nasal Tipe I

    b. Tipe II

    Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah

    Gambar 5. fraktur tulang nasal Tipe II

    c. Tipe III

    Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan penopang

    septal yang utuh

  • 11

    Gambar 6 fraktur tulang nasal Tipe III

    d. Tipe IV

    Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis

    tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi

    septum.

    Gambar 7. fraktur tulang nasal Tipe IV

    e. Tipe V

    Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling dari

    hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan.

  • 12

    Gambar 8. fraktur tulang nasal Tipe V

    Fraktur nasal secara klinis terbagi 3 jenis, yaitu Bentuk depresi /

    depressed, Angulasi ke lateral dan Kuminutif. Fraktura nasal terbanyak pada

    fraktura tulang wajah (37% dari 1031 kasus) .

    II.4.4. Fraktur Maksila dan LeFort

    Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan

    lempeng oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut,

    rongga hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di

    dalamnya dan melekat dengan maksila merupakan struktur yang penting

    baik secara fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada tulang-tulang ini

    memiliki potensi yang mengancam nyawa (Moe, 2013).

    Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene

    Le Fort pada tahun 1901 di Prancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga

    yaitu (Aktop, 2013):

    a. Le Fort I

    Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng

    horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid

    pterygoid processes dari dua pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus

    dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas

    (Guerins sign) dan epistaksis dapat timbul

  • 13

    b. Le Fort II

    Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui

    tulang nasal dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary,

    termasuk sepertiga inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut

    sepanjang sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid

    c. Le Fort III

    Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat

    gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio

    nasofrontal sepanjang orbita medial melalui fissura orbita superior dan

    inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura frontozygomatic. Garis fraktur

    kemudian memanjang melalui sutura zygomaticotemporal dan ke inferior

    melalui sutura sphenoid dan pterygomaxillary.

    Gambar 9. Klasifikasi LeFort

    Dua tipe fraktur maksila non-Le Fort lain relatif umum. Yang pertama

    adalah trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang menghasilkan

    segmen fraktur yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau

    instrumen lain sebagai senjata penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus

    maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang umum pada cedera

    ini. Yang kedua adalah gaya dari submental yang diarahkan langsung ke

    superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur vertikal melalui beberapa tulang

  • 14

    pendukung horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim, dan zygomatic

    arches (Moe, 2013)

    II.4.5 . Fraktur Mandibula

    Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang

    kranial yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan

    pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua buah tulang

    yang menyatu menjadi satu pada simfisis (Stewart, 2008).

    Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian

    temporomandibular (TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula menentukan

    gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan

    berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri

    TMJ, gangguan mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah, gangguan

    salivasi, dan nyeri kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan

    lokasinya dan terdiri dari simfisis, badan, angle, ramus, kondilar, dan

    subkondilar (Stewart, 2008).

    Gambar 10. Lokasi Fraktur Mandibula

  • 15

    Gambar 11. Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan tipe frakturnya.

    A. Greenstick, B. Simple, C. Komminuted, D. Kompon (Hupp, 2008)

    Klasifikasi Fraktur Mandibula :

    a. Klasifikasi I

    Garis fraktur berada diantara dua fragmen yang bergigi.

    b. Klasifikasi II

    Salah satu fragmen tidak bergigi

    c. Klasifikasi III ;

    Kedua fragmen tidak bergigi ( Edentolous)

    Gambar 12. Klasifikasi Fraktur Mandibula :

  • 16

    II.5. PENILAIAN

    II.5.1. Primary Survey

    Tatalaksana pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda

    satu sama lain. Oleh sebab itu tatalaksananya akan dibahas satu per satu

    pada masing-masing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum tatalaksana

    defenitif dilakukan, maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah

    penanganan kegawatdaruratan yakni berupa pertolongan pertama (bantuan

    hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan ABCDE (Airway, Breathing,

    Circulation, Disability, Exposure). Apabila terdapat perdarahan aktif pada

    pasien, maka hal yang harus dilakukan adalah hentikanlah dulu

    perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik

    untuk membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah penanganan

    kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka tatalaksana defenitif dapat

    dilakukan (Budiharja, 2011).

    II.5.2. Secondary Survey

    a. Inspeksi

    Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah, apakah terdapat :

    1. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.

    2. luka tembus.

    3. Asimetris atau tidak.

    4. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.

    5. Otorrhea / Rhinorrhea

    6. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.

    7. Cedera kelopak mata.

    8. Ecchymosis, epistaksis

    9. Defisit pendengaran.

    10. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.

  • 17

    Gambar 13. Racoons Eyes

    Gambar 14. Battle sign

    b. Palpasi

    Bimanual dengan gerakan. Urutan pemeriksaan : Supra dan lateral

    orbital, Infra orbital rim, Tonjolan malar (zygoma), Arcus zygamoticus,

    Nasal (bone), Maxilla, Mandibulla.

    1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis,

    jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbuka untuk

    memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.

    2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi,

    mengesampingkan adanya aspirasi.

    3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi dan mati rasa, terutama di daerah

    pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan

    zygomatic dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal dan

    rahang atas.

    4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau endophthalmos,

    menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan

    okular, jarak interpupillary dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi terhadap

    cahaya, baik langsung dan konsensual.

    5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan

    proptosis.

    6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi

  • 18

    7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti

    hyphema.

    8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan

    pada kompleks nasoethmoidal.

    Gambar 15. Palpasi daerah orbital

  • 19

    Gambar 16. (A) Pasien dengan depresi fraktur ZMC, kehilangan kontur pipi

    kiri, Palpasi eksternal zygoma (B) dan pada vesibula maksila (C) untuk

    memeriksa ireguleritas osseus.

    Gambar 17. Pemeriksaan Zygoma

    Fraktur Zygoma

    Pasien mungkin mengeluhkan rasa sakit di pipi atas pergerakan rahang.

    tulang pipi yang datar dan nyeri saat palpasi.

    Pendarahan subkonjungtiva juga bisa ditemukan.

    Parestesi pada lateral hidung dan bibir bagian atas disebakan kelainan

    pada nervus infraorbital.

    diplopia jika melirik mata ke atas karena keruskan pada muskulus

    rektus inferior. Diplopia : terjadi akibat adanya fraktur pada dasar

    orbita shg terjadi lubang. M.rectus oculi inferior, m.obliq.oculi inf.

    terjebak pd. lubang ini. Ini disebut Blow out fracture.

    A B C

  • 20

    Diplopia diperiksa dgn menggerakkan bola mata

    keatas/bawah/kiri/kanan

    Trismus bisa terjadi tetapi tidak sering akibat daripada kelainan di

    mandibula.

    Ekimosis intraoral atau destruksi pada gusi.

    Bila terjadi depresi zygoma biasanya terjadi fraktur pada 3 tempat :

    - pada rim orbita inferior

    - pada zygomaticofrontal

    - pd junction antara arcus zygoma dan os.temporal.

    Fraktura zygoma yg ringan,tidak diplaced tidak memerlukan tindakan.

    9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. bius dan tekan intranasal terhadap

    lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika

    tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak.

    10. Lakukan tes traksi, Pegang tepi kelopak mata bawah dan tarik terhadap

    bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari

    canthus medial.

    11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau

    dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.

    12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi

    pelebaran mukosa, fraktur atau dislokasi, epistaksis dan rhinorrhea cairan

    cerebrospinal.

  • 21

    Gambar 18. Fraktur Nasal disertai Epistaksis

    Gambar 19. Pasien dengan fraktur NOE, terdapat peingkatan jarak

    interkantal

    Gambar 20. Pemeriksaan Nasal

    Gambar 21. Pemeriksaan Nasal

    A B C

  • 22

    Fraktur Nasal

    Patah tulang hidung didiagnosis oleh riwayat trauma dengan bengkak,

    dan krepitus pada jembatan hidung. Pasien mungkin mengalami

    epistaksis, namun tidak harus selalu bercampur dengan CSF.

    Fraktur nasal sering menyebabkan deformitas septum nasal karena

    adanya pergeseran septum dan fraktur septum.

    Fraktur NOE dicurigai jika pasien memiliki bukti patah hidung dengan

    telecanthus, pelebaran jembatan hidung dengan canthus medial terpisah,

    dan epistaksis atau rhinorrhea CSF.

    13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal,

    integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi atau ecchymosis

    daerah mastoid (Battle sign).

    14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis atau bengkak. Secara

    bimanual meraba mandibula dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau

    mobilitas.

    15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di

    sisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I.

    Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.

    16. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, ginggiva dan

    pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.

    17. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau.

    Jika rahang retak pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa

    sakit.

    18. Meraba seluruh bagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk

    memeriksa nyeri, kelainan bentuk atau ecchymosis.

  • 23

    Gambar 22. Pemeriksaan Zygoma. Dental, Maxilla

    19. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga

    eksternal sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau

    kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.

    20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.

  • 24

    Gambar 23. Pemeriksaan wajah bawah

    Fraktur Le Fort I

    Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang

    disebut floating jaw.

    Pergerakan palatum durum dan gigi bagian atas.

    Edema pada wajah

    hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya

    edema.

    Hal ini dievaluasi dengan memegang gigi seri dan palatum durum

    dan mendorong masuk dan keluar secara lembut.

  • 25

    Gambar 24. Pemeriksaan wajah tengah

    Fraktur Le Fort II

    Edema pada wajah,

    edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat

    seperti racoon sign.

    Perdarahan subkonjungtiva dan hipoesthesia di nervus infraorbital,

    dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju perkembangan

    dari edema.

    Maloklusi

    Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi di

    area infraorbital dan sutura nasofrontal.

    Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan

    pada kasus ini.

    Fraktur pada lamina kribriformis dan atap sel sel etmoid dapat merusak

    sistem lakrimalis. Karena sangat mudah digerakkan maka disebut juga

    fraktur ini sebagai floating maxilla (maksila yang melayang) .

  • 26

    Gambar 25. Pemeriksaan wajah atas

    Fraktur Le Fort III

    Edema wajah yang masif,

    ekimosis periorbital,

    remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila,

    pergerakan gigi, palatum durum,

    epistaksis, keluar cairan serebrospinal pada hidung.

    Komplikasi yang mungkin terjadi pada fraktur ini yaitu keluarnya

    cairan otak melalui atap ethmoid dan lamina cribiformis.

    Gambar 26. Pemeriksaan Dental, Mandibula

  • 27

    Gambar 27. Pemeriksaan Mandibula

    Gambar 28. Palpasi bimanual Mandibula

    Fraktur Mandibula

    Gejala :

    Maloklusi : sering lateral cross bite

    Deviasi gigi kearah lingual

    Deformitas : Arcus collaps

    Fragmen fraktur mobil

    Jaringan gusi ; robek

    Jar. sublingual bengkak,

    Masalah pada TMJ : Trismus,Sakit pada gerakan rahang,clicking noise

    Pd subluksasi : Gerakan sangat terbatas

    Pd dislokasi :Rahang terbuka & terkunci

  • 28

    Gambar 29. Jenis Oklusi Mandibula

    c. Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II VIII

    1. N. Opticus (II), ketajaman Visual, bidang visual, refleks cahaya.

    2. N. Occulomotorius (III), ukuran pupil, bentuk, keseimbangan, reflek

    motorik tungkai, reflek cahaya langsung dan tak langsung, ptosis.

    3. N. occulomotorius (III), N. Trochlear (IV), N. Abducens (VI), diplopia.

    4. N. Trigeminal (V)

    a) Tes sensorik, sentuh di dahi, bibir atas dan dagu di garis tengah.

    Bandingkan satu sisi ke sisi lain untuk membuktikan adanya defisit

    sensorik.

    b) Tes motorik, merapatkan gigi dan rahang lalu bergerak ke lateral.

    5. N. Facial (VII)

    a) Area temporal, menaikkan alis, dahi dikerutkan.

    b) Area zygomatic, memejamkan mata sampai tertutup rapat.

    c) Area buccal, mengerutkan hidung, "membusungkan" pipi.

    d) Area marjinal mandibula, mengerutkan bibir.

    e) Area cervical, menarik leher (saraf otot platysma, namun fungsi ini

    tidak terlalu penting peranannya dalam kehidupan sehari-hari).

  • 29

    6. N. Vestibulocochlearis (VIII), pendengaran, keseimbangan, gosok jari atau

    berbisik di samping setiap telinga pasien. Jika terjadi gangguan konduktif,

    akan terdengar lebih keras pada sisi yang terkena.

    d. Pemeriksaan Radiologis

    Pemeriksaan radiologi digunakan untuk menunjang diagnosa. Untuk

    menegakkan diagnosa yang tepat sebaiknya digunakan beberapa posisi

    pengambilan foto, karena tulang muka kedudukannya sedemikian rupa

    sehingga tidak memungkinkan kita untuk melihatnya dari satu posisi saja.

    Pemeriksaan Ro Foto untuk fraktur maksilofasial antara lain :

    1. PA position

    2. Waters position

    3. Lateral position

    4. Occipito Mental Projection

    5. Zygomaticus

    6. Panoramic

    7. Occlusal view dari maxilla

    8. Intra oral dental

    Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos, namun CT scan

    merupakan pilihan untuk pemeriksaan diagnostik. Teknik yang dipakai pada

    foto polos diantaranya; waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view.

    Jika terjadi fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin

    akan kita dapat dari foto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas

    pada sinus maksila, pemisahan pada rima orbita inferior, sutura

    zygomaticofrontal, dan daerah nasofrontal. Dari film lateral dapat terlihat

    fraktur pada lempeng pterigoid. Diantara pemeriksaan CT scan, foto yang

    paling baik untuk menilai fraktur maksila adalah dari potongan aksial.

    Namun potongan koronal pun dapat digunakan untuk mengamati fraktur

    maksila dengan cukup baik. Adanya cairan pada sinus maksila bilateral

    menimbulkan kecurigaan adanya fraktur maksila.

  • 30

    Dibawah ini merupakan foto CT scan koronal yang menunjukkan fraktur

    Le Fort I,II, dan III bilateral. Dimana terjadi fraktur pada buttress maksilari

    medial dan lateral di superior maupun inferior (perpotongan antara panah

    hitam dan putih). Perlu dilakukan foto CT scan aksial untuk

    mengkonfirmasi diagnosis dengan mengamati adanya fraktur pada

    zygomatic arch dan buttress pterigomaksilari.

    Gambar 7. CT Scan Koronal

    Banyaknya komponen tulang yang terlibat dalam fraktur maksila,

    membuat klasifikasi ini cukup sulit untuk diterapkan. Untuk memudahkan

    tugas dalam mengklasifikasikan fraktur maksila, terdapat tiga langkah yang

    bisa diterapkan. Pertama, selalu memperhatikan prosesus pterigoid terutama

    pada foto CT scan potongan koronal. Fraktur pada prosesus pterigoid

    hampir selalu mengindikasikan bahwa fraktur maksila tersebut merupakan

    salah satu dari tiga fraktur Le Fort. Untuk terjadinya fraktur Le Fort,

    prosesus pterigoid haruslah mengalami disrupsi. Kedua, untuk

    mengklasifikasikan fraktur tipe Le Fort, perhatikan tiga struktur tulang yang

    unik untuk masing-masing tipe yaitu; margin anterolateral nasal fossa untuk

  • 31

    Le Fort I, rima orbita inferior untuk Le Fort II, dan zygomatic arch untuk Le

    Fort III. Jika salah satu dari tulang ini masih utuh, maka tipe Le Fort dimana

    fraktur pada tulang tersebut merupakan ciri khasnya, dapat dieksklusi.

    Ketiga, jika salah satu tipe fraktur sudah dicurigai akibat patahnya

    komponen unik tipe tersebut, maka selanjutnya lakukan konfirmasi dengan

    cara mengidentifikasi fraktur-fraktur komponen tulang lainnya yang

    seharusnya juga terjadi pada tipe itu.

    Gambar 30. Pasien menunjukkan deviasi mandibula ke kanan saat membuka

    mulut (A) pasien ini memiliki fraktur condilar yang terlihat pada pencitraan

    panoramik (B)

  • 32

    II.6. TATALAKSANA

    Tatalaksana pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda

    satu sama lain. Oleh sebab itu tatalaksananya akan dibahas satu per satu

    pada masing-masing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum tatalaksana

    defenitif dilakukan, maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah

    penanganan kegawatdaruratan yakni berupa pertolongan pertama (bantuan

    hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan ABC (Airway, Breathing,

    Circulation). Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang

    harus dilakukan adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien

    mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik untuk membantu

    menghilangkan rasa nyeri. Setelah penanganan kegawatdaruratan tersebut

    dilaksanakan, maka tatalaksana defenitif dapat dilakukan (Budiharja, 2011).

    II.6.1. Fraktur Nasal

    a. Konservatif

    Pasien dengan perdarahan hebat, dikontrol dengan vasokonstriktor

    topikal.

    Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain

    dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah jarang dilakukan.

    Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan

    setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-

    5 hari sampai perdarahan berhenti.

    Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya

    Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan

    kematian.

    Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan

    memberikan rasa nyaman pada pasien.

    b. Operatif

    Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen

    tulang, penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh

    dengan spontan.

  • 33

    Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan

    reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.

    Gambar 31. Tatalaksana Fraktur Nasal

    Gambar 32. Splint Nasal

    II.6.2. Fraktur Komplek Nasal

    Pada fraktur komplek nasal, ada dua cara perawatan yang dilakukan

    yakni reduksi dan fiksasi. Fraktur kompleks hidung dapat direduksi dibawah

  • 34

    analgesia lokal, tetapi anestesia umum dengan pipa endotrakeal lewat mulut

    yang memadai lebih diminati karena mungkin terjadi perdarahan banyak.

    Kadang-kadang bila fraktur tidak begitu parah maka pemasangan splin

    setelah reduksi tidak perlu (Budiharja, 2011).

    II.6.3. Fraktur Komplek Zigoma

    Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif.

    Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies

    klasik. Adapun langkah-langkah teknik Gillies yang meliputi (Budiharja,

    2011):

    a. Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal

    b. Mengidentifikasi fasia temporalis,

    c. Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkungan dari

    aspek dalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam

    untuk fasia, cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus

    dihindari. Sehingga arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang

    lebih normal.

    Bila hanya arkus zigoma saja yang terkena fraktur, fragmen-fragmen

    harus direduksi melalui suatu pendekatan memnurut Gillies. Fiksasi tidak

    perlu dilakukan karena fasia temporalis yang melekat sepanjang bagian atas

    lengkung akan melakukan imobilisasi fragmen-fragmen secara efektif.

    Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur ZMC kelompok 2

    dan 5 hanya membutuhkan reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur

    kelompok 3, 4, dan 6 membutuhkan fiksasi untuk reduksi yang adekuat

    (Meslemani, 2012).

  • 35

    Gambar 33. Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus

    zigomatikus, A. Insisi temporal melalui fasia subkutan dan fasia superfisial

    dibawah fasia temporal bagian dalam, B. Reduksi fraktur dengan elevator.

    II.6.4. Fraktur Maksilla

    Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi

    maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari

    pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi,

    maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau

    secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar.

    Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur

    Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur

    nasal dan dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan

    menggunakan molding digital dan splinting

    Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan

    arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau

    pemasangan pelat pada sutura zigomatikofrontalis dan suspensi

    kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis frontalis.

  • 36

    Gambar 34. Pemasangan Arch Bars

    Gambar 35. Pengungkitan

    Gambar 36. Fikasasi maksilomandibular

  • 37

    Gambar 37. Reduksi Maksilla : memastikan kondilus terletak pada fossa

    glenoid (1) kompleks maksilomandibular dirotasi superior secara

    maksimum yaitu sampai terdapat kontak antar tulang pada fraktur (2)

    Gambar 38. Pemasangan Plat Lateral

    Gambar 39. Pemasangan Plat medial

  • 38

    Gambar 40. Fikasasi maksilomandibular dilepas & pemeriksaan oklusi

    Gambar 41. Fiksasi interna Le Fort III

    II.6.5. Fraktur Mandibulla

    Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yakni cara tertutup

    / konservatif dan terbuka / pembedahan. Pada teknik tertutup, reduksi

    fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan jalan menempatkan

    peralatan fiksasi maksilomandibular Pada prosedur terbuka , bagian yang

  • 39

    fraktur dibuka dengan pembedahan dan segmen direduksi dan difiksasi

    secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat. Terkadang teknik

    terbuka dan tertutup ini tidaklah selalu dilakukan tersendiri, tetapi juga

    dapat dikombinasikan.

    Gambar 42. Fiksasi Mandibula

  • 40

    BAB III

    KESIMPULAN

    1. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah

    yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan

    mandibula

    2. Fraktur Nasoorbitoethmoid (NOE) terdiri atas tipe I, II,dan III.

    3. Fraktur Zygomatikomaksila terdiri atas kelompok 1,2,3,4,5 dan 6.

    4. Fraktur Nasal terdiri atas tipe I, II,III,IV, dan V

    5. Fraktur Maksilla terdiri atas Le Fort I,II dan III

    6. Fraktur Mandibula terdiri atas klasifikasi I,II, dan III

    7. Penilaian fraktur terdiri atas primer dan sekunder.

    8. Penilaian primer terdiri atas ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,

    Disability, Exposure).

    9. Penilaian sekunder dilakukan berdasarkan urutan dari atas ke bawah, yaitu

    Supra dan lateral orbital, Infra orbital rim, Tonjolan malar (zygoma), Arcus

    zygamoticus, Nasal (bone), Maxilla, Mandibulla.

    10. Pada penilaian sekunder dilakukan inspeksi, palpasi, evaluasi integritas saraf

    kranial II VIII dan pemeriksaan penunjang.

    11. Pemeriksaan peunjang yang dilakukan berupa foto polos, namun CT scan

    merupakan pilihan untuk pemeriksaan diagnostik

    12. Pada dasarnya tatalaksana fraktur maksilofasialis adalah reduksi-fiksasi

    yang disesuaikan dengan lokasi fraktur.

  • 41

    DAFTAR PUSTAKA

    Aktop, S., et al., 2013. Management of Midfacial Fractures. A Textbook of

    Advanced Oral and Maxillofacial Surgery

    Baek, H.J, et al., 2013. Identification of Nasal Bone Fractures on

    Conventional Radiography and Facial CT: Comparison of the

    Diagnostic Accuracy in Different Imaging Modalities and Analysis of

    Interobserver Reliability. Iran Journal of Radiology 10: 140-147.

    Banks P : Fraktur sepertiga tengah skeleton fasial, terjemahan, ed 4, 1992, Gajah

    Mada University Press

    Budiharja AS, Rahmat M. Trauma oral dan maksilofasial. Juwono L: Editor.

    Jakarta: EGC, 2011: p.33-171.

    Boies adam.2002. Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.

    Galloway, T., 2012. Midface Trauma. University of Missouri.

    Guruprasad, Y., et al., 2014. An Assessment of Etiological Spectrum and

    Injury Characteristics among Maxillofacial Trauma Patients of

    Government Dental College and Research Institute, Bangalore.

    Journal of National Science Biology and Medicine 5: 47-51

    Haraldson, S.J., 2013. Nasal Fracture. Available From:

    http://emedicine.medscape.com/article/84829-overview [Accessed on

    26 March 2015]

    Hiatt James L.& Gartner Leslie P. 2010. Textbook of Head and Neck

    Anatomy, 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.

    Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. 2008. Contemporary Oral and Maxillofacial

    Surgery. Ed. Ke-5. Mosby Elsevier. St. Louis.

    Marciani RD, Carlson ER, Braun TW. 2009. Oral and Maxillofacial Surgery

    Volume II. Ed. Ke-2. Saunders Elsevier. St. Louis.

    Mansjoer A Suprohaita.Wardhani WI,Setiowulan. 2000. Kapita Selekta

    Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran

    Universitas Indonesia.

  • 42

    Meslemani, D., dan R.M., Kellman. 2012. Zygomaticomaxillary Complex

    Fractures. Archives of Facial Plastic Surgery 14: 62-66

    Michael Miloro. 2004. Petersons Principles of Oral and Maxillofacial

    Surgery. BC Decker Inc. Hamilton. London.

    Moe KS. 2013. Maxillary and Le Fort Fractures Treatment & Management.

    Available From: http://emedicine.medscape.com/article/1283568-

    treatment#a1133 [Accessed on 26 March 2015]

    Muchlis, 2011. Gambaran Fraktur Maksilofasial akibat Kecelakaan Lalu

    Lintas pada Pengendara Sepeda Motor. Universitas Sumatera Utara

    Nguyen, M., J.C. Koshy, dan L.H. Hollier, 2010. Pearls of

    Nasoorbitoethmoid Trauma Management. Seminar in Plastic Surgery

    24: 383-388

    Rabi AG, Khateery SM. 2002. Maxillofacial Trauma in Al Madina Region

    of Saudi Arabia: A 5-Year Retrospective Study. J Oral Maxillofac

    Surg.14:10-14.

    Singh V, et al, 2012, The Maxillofacial Injuries, Departments of Oral and

    Maxillofacial Surgery, Anaesthesia, K.G. Medical University,

    Lucknow, India, National Journal of Maxillofacial Surgery Vol 3.

    Steward C., Fiechtl JF, Wolf SJ. 2008. Maksilofacial Trauma.: Challenges

    in ED Diagnosis and Management. An EvidenceBased approach to

    Emergency Medicine. Emergency Medicine Practice. Volume 10.

    Num.2.

    Tollefson, T.T., 2013. Nasoorbitoethmoid Fractures. Available From:

    http://emedicine.medscape.com/article/869330-overview [Accessed

    on 26 March 2015]

    Ykeda, R.B.A., et al., 2012. Epidemiological Profile of 277 Patients with

    Facial Fractures Treated at the Emergency Room at the EN

    Department of Hospital do Trabalhador in Curitiba/PR in 2010.

    International Archives of Otorhinolaryngology 16

  • 43

    Yoffe, T., et al., 2008. Etiology of Maxillofacial Trauma: A 10 Year Survey

    at the Chaim Sheba Medical Center, Tel-Hashomer. Harefuah 147:

    192-196

    Yokoyoma T, Motozawa Y, Sasaki T, Hitosugi M. A Retrospective Anlisis

    of Oral and Maxillofacial Injuries in Motor Vehicle Accidents. J Oral

    Maxillofac Surg. 2006. 64:1731-1735.

    Zargar, M., et al., 2004. Epidemiology Study of Facial Injuries during a 13

    Month of Trauma Registry in Tehran. Indian Journal of Medical

    Sciences 58: 109-114