Upload
aankoas
View
48
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
aan
Citation preview
1
TUGAS MAKALAHMODUL II
GANGGUAN IRAMA JANTUNGDAN CARDIAC ARREST
NAMA : NADRA DWI SILVANANIM : 090610035
CRASH PROGRAM BLOK 15
2
GANGGUAN IRAMA JANTUNG (ARITMIA)
Definisi
Gangguan irama jantung atau aritmia merupakan komplikasi yang sering
terjadi pada infark miokardium. Aritmia atau disritmia adalah perubahan pada
frekuensi dan irama jantung yang disebabkan oleh konduksi elektrolit abnormal
atau otomatis (Doenges, 1999).
Aritmia timbul akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel miokardium.
Perubahan elektrofisiologi ini bermanifestasi sebagai perubahan bentuk potensial
aksi yaitu rekaman grafik aktivitas listrik sel (Price, 1994). Gangguan irama
jantung tidak hanya terbatas pada iregularitas denyut jantung tapi juga termasuk
gangguan kecepatan denyut dan konduksi (Hanafi, 1996).
Etiologi
Etiologi aritmia jantung dalam garis besarnya dapat disebabkan oleh :
1. Peradangan jantung, misalnya demam reumatik, peradangan miokard
(miokarditis karena infeksi)
2. Gangguan sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner atau spasme arteri
koroner), misalnya iskemia miokard, infark miokard.
3. Karena obat (intoksikasi) antara lain oleh digitalis, quinidin dan obat-obat
anti aritmia lainnya
4. Gangguan keseimbangan elektrolit (hiperkalemia, hipokalemia)
5. Gangguan pada pengaturan susunan saraf autonom yang mempengaruhi
kerja dan irama jantung
3
6. Ganggguan psikoneurotik dan susunan saraf pusat.
7. Gangguan metabolik (asidosis, alkalosis)
8. Gangguan endokrin (hipertiroidisme, hipotiroidisme)
9. Gangguan irama jantung karena kardiomiopati atau tumor jantung
10.Gangguan irama jantung karena penyakit degenerasi (fibrosis sistem konduksi
jantung)
Manifestasi klinis
` Perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur;
defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit
pucat, sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menurun bila curah jantung
menurun berat.
Sinkop, pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi,
perubahan pupil. Nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan
obat antiangina, gelisah, nafas pendek, batuk, perubahan kecepatan atau
kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin ada
menunjukkan komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru)
atau fenomena tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.demam; kemerahan kulit
(reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis siperfisial); kehilangan tonus
otot/kekuatan
Riwayat penyakit
Faktor resiko keluarga contohnya penyakit jantung, stroke, hipertensi
Riwayat IM sebelumnya (disritmia), kardiomiopati, GJK, penyakit katup
jantung, hipertensi
4
Penggunaan obat digitalis, quinidin dan obat anti aritmia lainnya
kemungkinan untuk terjadinya intoksikasi
Kondisi psikososial
Fisik
Aktivitas : kelelahan umum
Sirkulasi : perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak
teratur; defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut
menurun; kulit warna dan kelembaban berubah misal pucat, sianosis,
berkeringat; edema; haluaran urin menruun bila curah jantung menurun
berat.
Integritas ego : perasaan gugup, perasaan terancam, cemas, takut,
menolak,marah, gelisah, menangis.
Makanan/cairan : hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran terhadap
makanan, mual muntah, peryubahan berat badan, perubahan kelembaban
kulit
Neurosensori : pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung,
letargi, perubahan pupil.
Nyeri/ketidaknyamanan : nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau
tidak dengan obat antiangina, gelisah
Pernafasan : penyakit paru kronis, nafas pendek, batuk, perubahan
kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels, ronki,
mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan seperti pada
5
gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal;
hemoptisis.
Keamanan : demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema,
edema (trombosis siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan
Pemeriksaan Penunjang
1. EKG : menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi. Menyatakan
tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan elektrolit dan obat jantung.
2. Monitor Holter : Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk
menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien aktif
(di rumah/kerja). Juga dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi pacu
jantung/efek obat antidisritmia.
3. Foto dada : Dapat menunjukkanpembesaran bayangan jantung sehubungan
dengan disfungsi ventrikel atau katup
4. Skan pencitraan miokardia : dapat menunjukkan aea iskemik/kerusakan
miokard yang dapat mempengaruhi konduksi normal atau mengganggu
gerakan dinding dan kemampuan pompa.
5. Tes stres latihan : dapat dilakukan utnnuk mendemonstrasikan latihan yang
menyebabkan disritmia.
6. Elektrolit : Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium dapat
mnenyebabkan disritmia.
7. Pemeriksaan obat : Dapat menyatakan toksisitas obat jantung, adanya obat
jalanan atau dugaan interaksi obat contoh digitalis, quinidin.
6
8. Pemeriksaan tiroid : peningkatan atau penururnan kadar tiroid serum dapat
menyebabkan.meningkatkan disritmia.
9. Laju sedimentasi : Penignggian dapat menunukkan proses inflamasi akut
contoh endokarditis sebagai faktor pencetus disritmia.
10.DA/nadi oksimetri : Hipoksemia dapat menyebabkan/mengeksaserbasi
disritmia.
Penatalaksanaan Medis
Terapi farmakologi
Klas I (sodium channel blocker) à mengurangi arus natrium.
Kelas 1A : Quinidine (mencegah berulangnya atrial fibrilasi.
Kelas 1 B : Lignokain (untuk aritmia ventrikel akibat iskemia miokard,
ventrikel takikardia.
Kelas 1 C : Flecainide (untuk ventrikel ektopik dan takikardia).
Klas I1 (beta adrenergik blokade)
Blokade saluran calcium.
Propanolol, metoprolol à aritmia jantung, angina pectoris, dan hipertensi
Klas III (prolong repolarization)
Prolong potensial aksi
Amiodarone à indikasi VT dan SVT berulang.
Klas IV (calcium channel blocker)
Blokade reseptor beta.
Verapamil à indikasi supraventrikular aritmia.
QUINIDIN(1A)
7
Quinidin merupakan obat antiaritmia oral yang sering dipakai
efektif dalam hampir semua bentuk aritmia
Quinidin mendepresi kecepatan pacu jantung serta mendepresi hantaran
dan cepat dapat dirangsang (terutama pada jaringan terpolarisasi)
diberikan per oral dan cepat diabsobsi di saluran cerna, 80% terikat ke
protein plasma
Waktu paruhnya sekitar 6-7 Jam
PROKAINAMID(1A)
Efek elektrofisiologik prokainamid hampir mirip dengan quinidin
Efektif terhadap kebanyakan antiaritmia atrium dan ventrikel
Metabolit pertamanya N-asetilprokainamid mempunyai aktivitas
antiaritmia
Waktu paruh prokainamid hanya 3-4 jam sehingga perlu sering diberikan
Prokainamid dan N-asetilprokainamid terutama dibuang melalui ginjal
DISOPIRAMIDE(1A)
Disopiramide posfat merupakan obat yang relatif baru
Efek elektrofisiologik disopiramid hampir tidak dapat dibedakan dengan
quinidin
Bioaviabilitasnya hanya sekitar 50%
Obat ini banyak terikat dalam protein
Obat dieksresikan melalui ginjal
Waktu paruh kira kira 6-8 jam.
Dosis oral yang lazim bagi disopiramid adalah 150 mg, 3 kali sehari
8
LIDOKAIN (1B )
Lidokain suatu obat antiaritmia yang terlazim digunakan intravena
Mempunyai insiden toksisitas yang sangat rendah dan kemanjuran yang
tinggi pada aritmia yang berhubungan dengan infark miokardium
Bekerja pada saluran natrium
Waktu paruhnya 0,5-4 jam
Pada orang dewasa dosis awal 150-200 yang diberikan dalam 15 menit
harus diikuti infus penunjang 2-4 mg/menit.
TOKAINID DAN MEKSILETIN (1B)
Tokainid dan meksiletin merupakan turunan lidokain yang tahan terhadap
metabolisme lintasan pertama hati
Kerja elektrofisiologik dan anti aritmianya sama dengan lidokain
Waktu paruh kedua obat ini 8-20 jam
Dosis harian meksiletin:600-1200 mg/hari, dan untuk tokainid:800-2400
mg/hari
Efek samping neurologi: tremor, penglihatan yang kabur dan latargi
Rash, demam dan agronulositosis timbul pada sekitar 0,5% pasien yang
menerima tokainid
FLEKAINID DAN ENKAINID (1C)
Flekainid dan enkainid merupakan penghambat saluran natrium yang kuat
Kedua obat ini sangat efektif menekan kontraksi ventrikel prematur
Dosis efektif enkainid berkisar dari 25-75 mg 3 kali sehari. Dosis biasa
flekainid berkisar 100-200 mg 3 kali sehari
9
Keduanya bisa menyebabkan eksaserbasi aritmia yang parah bila dosis
lebih tinggi diberikan ke pasien takiaritmia ventrikel
PROPANOLOL (11) :
Propanolol dan obat serupa mempunyai efek antiaritmia berkat kerja
menghambat reseptor betanya dan efek langsung atas membran.
Indikasi untuk aritmia jantung, angina pectoris, dan hipertensi.
AMIODARON (III)
Amiodaron telah lazim dipakai sebagai obat antiaritmia dan anti angina
Sangat efektif terhadap arimia supraventrikuler maupun ventrikuler
Merupakan penghambat saluran natrium yang sangat efektif
Mempunyai waktu paruh yang sangat panjang (13- 103 hari)
Dosis awal 0,8-1,2 g sehari selama 2 minggu, diikuti dosis penunjang 0,2-
1 g sehari
VERAPAMIL (IV)
Verapamil menghambat saluran kalsium yang teraktivasi maupun yang
tidak teraktivasi
Verapamil dapat menekan efter potensial osilasi akibat keracunan digitalis
Verapamil menyebabkan vasodilatasi perifer yang dapat menguntungkan
pada hipertensi dan gangguan vasospastik perifer
Waktu paruh sekitar 7 jam
Dosis oral efektif 120-600 mg/ hari dibagi dalam 3-4 dosis
Terapi mekanis
10
Kardioversi : mencakup pemakaian arus listrik untuk menghentikan
disritmia yang memiliki kompleks GRS, biasanya merupakan prosedur
elektif.
Defibrilasi : kardioversi asinkronis yang digunakan pada keadaan gawat
darurat.
Defibrilator kardioverter implantabel : suatu alat untuk mendeteksi dan
mengakhiri episode takikardi ventrikel yang mengancam jiwa atau pada
pasien yang resiko mengalami fibrilasi ventrikel.
Terapi pacemaker : alat listrik yang mampu menghasilkan stimulus listrik
berulang ke otot jantung untuk mengontrol frekuensi jantung.
11
CARDIAC ARREST
Kematian jantung mendadak (SCD) adalah kematian akibat kehilangan
fungsi jantung. Korban mungkin atau mungkin tidak memiliki didiagnosa
penyakit jantung. Waktu dan cara kematian yang tak terduga. Hal ini terjadi dalam
beberapa menit setelah gejala muncul. Alasan yang mendasari paling umum untuk
pasien mati mendadak dari serangan jantung adalah penyakit jantung koroner
(buildups lemak dalam arteri yang memasok darah ke otot jantung). Sehingga
pembuluh darah sempit, otot jantung bisa berhenti karena kekurangan suplai
darah.
Dari 90 % korban dewasa sudden cardiac death (SCD), dua atau lebih dari
korban disebabkan karena arteri koroner utama menyempit oleh lemak.
Sedangkan dua-pertiga dari korban ditemukan bekas luka dari serangan jantung
sebelumnya. Ketika kematian mendadak terjadi pada orang dewasa muda,
kelainan jantung lainnya merupakan penyebab yang lebih mungkin. Adrenalin
dilepaskan selama aktivitas fisik atau olahraga yang sering menjadi pemicu
munculnya SCD. Dalam kondisi tertentu, berbagai obat jantung dan obat lainnya,
serta penyalahgunaan obat terlarang dapat menyebabkan irama jantung abnormal
yang juga dapat menyebabkan kematian SDC.
Serangan tiba-tiba jantung (SCA) adalah suatu kondisi dimana jantung
tiba-tiba dan tak terduga berhenti berdetak. Ketika ini terjadi, darah berhenti
mengalir ke otak dan organ vital lainnya. SCA biasanya menyebabkan kematian
jika tidak dirawat dalam beberapa menit.
12
SCA tidak sama dengan serangan jantung . Serangan jantung terjadi ketika darah
mengalir ke bagian dari otot jantung tersumbat. Selama serangan jantung, jantung
biasanya tidak tiba-tiba berhenti berdetak. SCA, bagaimanapun mungkin dapat
terjadi setelah atau selama pemulihan dari serangan jantung.
Sebanyak 75 persen orang yang meninggal karena tanda-tanda
menunjukkan SCA serangan jantung sebelumnya. Delapan puluh persen memiliki
tanda-tanda penyakit arteri koroner.
SCAs dicatat 10.460 (75,4 persen) dari seluruh 13.873 kematian penyakit
jantung pada orang berusia 35-44 tahun, dan proporsi penangkapan jantung yang
terjadi out-of-rumah sakit meningkat dengan usia, dari 5,8 persen pada orang usia
0-4 tahun 61,0 persen pada orang usia lebih dari 85 years.
Orang yang memiliki penyakit jantung akan meningkatkan risiko untuk
SCA. Namun, kebanyakan SCA terjadi pada orang yang tampak sehat dan tidak
memiliki penyakit jantung atau faktor risiko lain untuk SCA. Seorang yang
memiliki riwayat keluarga dengan penyakit jantung atau ada anggota keluarga
yang pernah meninggal mendadak perlu mewaspadai terjadinya cardiac arrest.
Upaya pencegahan lain adalah dengan menjalankan gaya hidup sehat dan rutin
berolahraga.
Definisi
Kematian jantung mendadak merupakan kematian yang tidak terduga atau
proses kematian yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya
gejala. Sekitar 93 persen SCD adalah suatu kematian aritmik. Artinya, kematian
terjadi akibat timbulnya gangguan irama jantung yang menyebabkan kegagalan
13
sirkulasi darah. Jantung tiba-tiba mati (juga disebut Sudden Cardiac Arrest)
adalah kematian yang tiba-tiba akibat hilangnya fungsi hati (perhentian jantung).
Korban mungkin atau tidak ada diagnosis penyakit jantung. Waktu dan cara
kematian yang tidak terduga. Itu terjadi beberapa menit setelah gejala muncul.
Yang paling umum yang alasan pasien mati mendadak dari perhentian jantung
adalah penyakit jantung koroner (fatty buildups dalam arteries bahwa pasokan
darah ke otot jantung).
Mati jantung mendadak harus didefinisikan dengan hati-hati. Dalam
konteks waktu, kata “mendadak” batasan dahulu adalah kematian dalam waktu 24
jam setelah timbulnya kejadian klinis yang menyebabkan henti jantung (cardiac
arrest) yang fatal; batas waktu ini untuk kepentingan klinis dan epidemiologic
dipersingkat menjadi 1 jam atau kurang yang terdapat di antara saat timbulnya
keadaansakit terminal dan kematian.
Etiologi
Insiden CD meningkat dengan bertambahnya usia bahkan pada pasien
yang bebas dari CAD simtomatik.
1. Jenis kelamin
Tampak bahwa pria mempunyai insiden SCD yang lebih tinggi dibandingkan
wanita yang bebas dari CAD yang mendasari.
2. Merokok
Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan insiden SCD
(ada efek aritmogenik langsung dari merokok sigaret atas miokardium ventrikel).
Tetapi menurut pengertian Framingham, peningkatan resiko akibat merokok
14
hanya terlihat pada pria. Yang menarik, peningkatan resiko ini menurun pada
pasien yang berhenti merokok. Merokok juga meningkatkan insiden CAD yang
tampil pada kebanyakan pasien yang menderita henti jantung.
3. Penyakit jantung yang mendasari
Tidak ada penyakit jatung yang diketahui
Pasien ini mempunyai pengurangan resiko SCD, bila dibandingkan dengan pasien
CAD atau pasien dengan pengurangan fungsi ventrikel kiri.
Penyakit arteri koronaria (CAD)
Data dari penelutian Framingham telah memperlihatkan pasien CAD mempunyai
frekuensi SCD Sembilan kali pasien dengan usia yang sama tanpa CAD yang
jelas. The Multicenter Post Infarction Research Group mengevaluasi beberapa
variable pada pasien yang menderita MI. Kelompok ini berkesimpulan bahwa
pasien pasca MI dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang kurang dari 40%, 10 atau
lebih kontraksi premature ventrikel (VPC) per jam, sebelum MI dan ronki dalam
masa periinfark mempunyai peningkatan mortalitas (1-2 tahun) dibandingkan
dengan pasien tanpa masalah ini. Jelas pasien CAD (terutama yang menderita MI)
dengan resiko SCD yang lebih besar.
Sindrom prolaps katup mitral (MVPS)
Tes elektrofisiologi (EP) pada pasien MVPS telah memperlihatkan tingginya
insiden aritmia ventrikel yang dapat di induksi, terutama pada pasien dengan
riwayat sinkop atau prasinkop. Terapi anti aritmia pada pasien ini biasanya akan
mengembalikan gejalanya.
15
Hipertrofi septum yang asimetrik (ASH)
Pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia atrium dan ventrikel yang
bisa menyebabkan kematian listrik atau hemodinamik (peningkatan obstruksi
aliran keluar). Riwayat VT atau bahkan denyut kelompok ventrikel akan
meningkatkan risiko SCD.
Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)
Perkembangan flutter atrium dengan hantaran AV 1:1 melalui suatu jalur
tambahan atau AF dengan respon ventrikel sangat cepat (juga karena hantaran
jalur tambahan antegrad) menimbulkan frekuensi ventrikel yang cepat, yang dapat
menyebabkan VF dan bahkan kematian mendadak.
Sindrom Q-T yang memanjang
Pasien dengan pemanjangan Q-T yang kongenital atau idiopatik mempunyai
peningktan resiko SCD. Kematian sering timbul selama masa kanak-kanak.
Mekanisme ini bisa berhubungan dengan kelainan dalam pernafasan simpatis
jantung yang memprodisposisi ke VF.
4. Lainnya
Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic merupakan
predisposisi SCD
Hiperkolesteremia: tidak ada hubungan jelas antara kadar kolesterol serum
dan SCD yang telah ditemukan
Diabetes mellitus: dalam penelitian Framingham hanya pada wanita
ditemukan peningkatan insiden SCD yang menyertai intoleransi glukosa.
16
Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak jelas dalam
mengurangi insiden SCD.
Obesitas: menurut data Framingham, obesitas meninggkatkan resiko SCD
pada pria, bukan wanita.
5. Riwayat aritmia
Aritmia supraventrikel
Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan aritmia supraventrikel
disertai dengan peningkatan insiden SCD. Pasien CAD yang kritis juga beresiko,
jika aritmia supraventrikel menimbulkan iskemia miokardium. Tampak bahwa
iskemia dapat menyebabkan tidak stabilnya listrik, yang mengubah sifat
elektrofisiologi jantung yang menyebabkan VT terus-menerus atau VF. Tetapi
sering episode iskemik ini asimtomatik.
Aritmia ventrikel
Pasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT tidak terus-menerus
menpunyai peningkatan insiden SCD dibandingkan pasien dengan VPC tersendiri.
Kombinasi VT yang tidak terus-menerus dan disfungsi ventrikel kiri disertai
tingginya resiko SCD. Pasien CAD dan VT spontan mempunyai ambang VT yang
lebih rendah dibandingkan pasien CAD dan tanpa riwayat VT. Sehingga pasien
CAD dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan VF atau VT terus-
menerus yang spontan mempunyai insiden SCD tertinggi.
17
6. Faktor pencetus
Aktivitas
Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas. Analisis 59 pasien yang
meninggal mendadak memperlihatkan bahwa setengah dari kejadian ini timbul
selama atau segera setelah gerak badan. Tampak bahwa gerak badan bisa
mencetuskan SCD, terutama jika aktivitas berlebih dan selama tidur SCD jarang
terjadi.
Iskemia
Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang jauh (iskemia
dalam distribusi arteri koronaria noninfark) mempunyai insiden aritmia ventrikel
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien iskemia yang terbatas pada zona
infark. Daerah iskemia yang aktif disertai dengan tidak stabilnya listrik dan pasien
iskemia pada suatu jarak mempunyai kemungkinan lebih banyak daerah beresiko
dibandingkan pasien tanpa iskemia pada suatu jarak.
Spasme arteri koronaria
Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra) dapat menimbulkan
brakikardia sinus, blok AV yang lanjut atau AF. Semua aritmia dapat menyokong
henti jantung. Tampak bahwa lebih besar derajat peningkatan segmen S-T yang
menyertai spasme arteri koronaria, lebih besar resiko SCD. Tetapi insiden SDC
pada pasien spasme arteri koronaria berhubungn dengan derajat CAD obsruktif
yang tetap. Yaitu pasien CAD multipembuluh darah yang kritis ditambah spasme
arteri koronaria lebih mungkin mengalami henti jantung dibandingkan pasien
spase arteri koronaria tanpa obstuksi koronaria yang tetap.
18
Patofisiologi
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.
Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat
dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah
mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan
mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak.
Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban
kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin
terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan
terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden cardiac death).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi yang
mendasari terjadinya cardiac arrest.
1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang
umumnya dikenal sebagai serangan jantung. Infark miokard merupakan salah satu
penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard terjadi akibat arteri koroner yang
menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras dan menyempit akibat
sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin meningkat
ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung
tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan
fungsinya, sehingga dapat terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan
jantung mati dan menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat
19
sistem konduksi langsung dari jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan
cardiac arrest.
2.Stress Fisik
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal
berfungsi, diantaranya:
perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
sengatan listrik
kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun
serangan asma yang berat
Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah
Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang
memiliki gangguan jantung.
Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal refleks
akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
1. Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga.
Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota keluarga
ini mungkin memiliki peningkatan resiko terkena cardiac arrest. Beberapa orang
lahir dengan defek di jantung mereka yang dapat mengganggu bentuk(struktur)
jantung dan dapat meningkatkan kemungkinan terkena SCA.
2. Perubahan struktur jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat
menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya dapat
20
mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini meliputi pembesaran
jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung kronik. Infeksi dari
jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur dari jantung.
5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker,
kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia. Penemuan
adanya materi yang ditemukan pada pasien, riwayat medis pasien yang diperoleh
dari keluarga atau teman pasien, memeriksa medical record untuk memastikan
tidak adanya interaksi obat, atau mengirim sampel urin dan darah pada
laboratorium toksikologi dapat membantu menegakkan diagnosis.
6. Tamponade jantung
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung
sehingga tidak mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan sehingga
mengakibatkan kematian.
7.Tension pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura.
Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan tekanan
dalam paru. Hal ini akan menyebabkan pergeseran mediastinum. Ketika keadaan
ini terjadi, jantung akan terdesak dan pembuluh darah besar (terutama vena cava
superior) tertekan, sehingga membatasi aliran balik ke jantung.
21
Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis Cardiac Arrest :
1. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya
suplai oksigen, termasuk otak.
2. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban
kehilangan kesadaran (collapse).
3. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5
menit, selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.
4. Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).
5. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi
yang dapat terasa pada arteri.
6. Tidak ada denyut jantung.
Pemeriksaan Diagnostik
a. Elektrokardiogram
` Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG).
Ketika dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian
tubuh lainnya missal tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap
fase listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung.
Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal, EKG bisa
menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG dapat mendeteksi pola
listrik abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang meningkatkan risiko
kematian mendadak.
22
b. Tes darah
1. Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung
terkena serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac
arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting
apakah benar-benar terjadi serangan jantung.
2. Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang
ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah
mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls
listrik. Ketidak seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan
sudden cardiac arrest.
3. Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk
menginduksi aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan
obat-obatan terlarang.
4. Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai
pemicu cardiac arrest.
c. Imaging tes
1. Pemeriksaan Foto Torak
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh
darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.
23
2. Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi
masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti
thallium disuntikkan ke dalam aliran darah. Dengan kamera khusus dapat
mendeteksi bahan radioaktif mengalir melalui jantung dan paru-paru.
3. Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran
jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah
jantung telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau
pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan katup.
d. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah
sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung Anda belum
ditemukan. Dengan jenis tes ini, dokter mungkin mencoba untuk menyebabkan
aritmia, sementara dokter memonitor jantung Anda. Tes ini dapat membantu
menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes, kemudian kateter dihubungkan
denga electrode yang menjulur melalui pembuluh darah ke berbagai tempat di
area jantung. Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan penyebaran impuls
listrik melalui jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan
elektroda untuk merangsang jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang
mungkin memicu - atau menghentikan – aritmia. Hal ini memungkinkan dokter
untuk mengamati lokasi aritmia.
24
e. Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest
adalah seberapa baik jantung Anda mampu memompa darah. Dokter dapat
menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang dinamakan
fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari
ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai 70
persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac
arrest. Dokter Anda dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti
dengan ekokardiogram, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda,
pengobatan nuklir scan dari jantung Anda atau computerized tomography (CT)
scan jantung.
f. Coronary catheterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi
penyempitan atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh
darah yang tersumbat merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama
prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung
panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk arteri
di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-
ray dan rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara
kateter diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan
angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.
25
Penatalaksanaan
Pasien yang mendadak kolaps ditangani melalui 5 tahap, yaitu:
1. Respons awal
2. Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life support)
3. Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support)
4. Asuhan pasca resusitasi
5. Penatalaksanaan jangka panjang
Respons awal dan dukungan kehidupan dasar dapat diberikan oleh dokter,
perawat, personil paramedic, dan orang yang terlatih. Terdapat keperluan untuk
meningkatkan keterampilan saat pasien berlanjut melalui tingkat dukungan
kehidupan lanjut, asuhan pascaresusitasi, dan penatalaksanaan jangka panjang.
1. Respons Awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-
benar disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan
ada tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat
menentukan dengan segera apakah telah terjadi serangan henti jantung yang dapat
membawa kematian. Gerakan respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang
singkat setelah henti jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi adalah stridor
yang berat dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi benda asing
atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat dapat
mengeluarkan benda yang menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang
dilakukan secara kuat dengan tangan terkepal erat pada sambungan antara bagian
sternum sepertiga tengah dan sepertiga bawah kadang-kadang dapat memulihkan
26
takikardia atau fibrilasi ventrikel, tetapi tindakan ini juga dikhawatirkan dapat
mengubah takikardia ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel. Karena itu, telah
dianjurkan untuk menggunakan pukulan prekordial hanya pada pasien yang
dimonitor; rekomendasi ini masih controversial. Tindakan ke tiga selama respons
inisial adalah membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing yang di
dalam mulut dikeluarkan, dan maneuver Heimlich dilakukan jika terdapat indikasi
mencurigakan adanya benda asing yang terjepit di daerah orofaring. Jika terdapat
kecurigaan akan adanya henti respirasi (respiratory arrest) yang mendahului
serangan henti jantung, pukulan prekordial kedua dapat dilakukan setelah saluran
napas dibersihkan.
2. Tindakan Dukungan Kehidupan Dasar (Basic Life Support)
Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi kardiopulmoner
(RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation) merupakan dukungan kehidupan
dasar yang bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ sampai tindakan
intervensi yang definitive dapat dilaksanakan. Unsur-unsur dalam tindakan RKP
terdiri atas tindakan untuk menghasilkan serta mempertahankan fungsi ventilasi
paru dan tindakan kompresi dada. Respirasi mulut ke mulut dapat dilakukan bila
tidak tersedia perlengkapan penyelamat yang khusus misalnya pipa napas
orofaring yang terbuat dari plastic, obturator esophagus, ambu bag dengan
masker. Teknik ventilasi konvensional selama RKP memerlukan pengembangan
paru yang dilakukan dengan menghembuskan udara pernapasan sekali setiap 5
detik, kalau terdapat dua orang yang melakukan resusitasi dan dua kali secara
27
berturut, setiap 15 detik kalau yang mengerjakan ventilasi maupun kompresi
dinding dada hanya satu orang.
Kompresi dada dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kompresi jantung
memungkinkan jantung untuk mempertahankan fungsi pemompaan dengan
pengisian serta pengosongan rongga-rongganya secara berurutan sementara katup-
katup jantung yang kompeten mempertahankan aliran darah ke depan. Telapak
yang satu diletakkan pada sternum bagian bawah, sementara telapak tangan yang
lainnya berada pada permukaan dorsum tangan yang di sebelah bawah. Sternum
kemudian ditekan dengan kedua lengan penolong tetap berada dalam keadaan
lurus. Penekanan ini dilakukan dengan kecepatan kurang lebih 80 kali per menit.
Penekanan dilakukan dengan kekuatan yang cukup untuk menghasilkan depresi
sternum sebesar 3 hingga 5 cm, dan relaksasi dilakukan secara tiba-tiba. Teknik
RKP konvensional ini sekarang sedang dibandingkan dengan teknik baru yang
didasarkan pada ventilasi dan kompresi simultan. Sementara aliran arteri karotis
yang dapat diukur dapat dicapai dengan RKP konvensional, data eksperimental
dan pemikiran teoritis mendukung bahwa aliran dapat dioptimalkan melaui kerja
pompa yang dihasilkan oleh perubahan tekanan pada seluruh rongga torasikus,
seperti yang dicapai dengan kompresi dan ventilasi simultan. Namun, tidak jelas
apakah teknik ini menyebabkan impedansi aliran darah koroner dan apakah
peningkatan aliran karotis menghasilkan peningkatan yang ekuivalen pada perfusi
serebral.
Langkah-langkah penting dalam resusitasi kardiopulmoner. A. Pastikan
bahwa saluran nafas korban dalam keadaan lapang/ terbuka. B. Mulailah resusitasi
28
respirasi dengan segera. C. Raba denyut nadi karotis di dalam lekukan sepanjang
jakun (Adam’s apple) atau kartilago tiroid. D. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai
lakukan pijat jantung. Lakukan penekanan sebanyak 60 kali per menit dengan satu
kali penghembusan udara untuk mengembangkan paru setelah setiap 5 kali
penekanan dada. (Isselbacher: 228)
3. Tindakan Dukungan Kehidupan Lanjut (Advance Life Support)
Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat,
mengendalikan aritmia jantung, menyetabilkan status hemodinamika (tekanan
darah serta curah jantung) dan memulihkan perfusi organ. Aktivitas yang
dilakukan untuk mencapai tujuan ini mencakup:
Tindakan intubasi dengan endotracheal tube
Defibrilasi/ kardioversi, dan/atau pemasangan pacu jantung
Pemasangan lini infuse.
Ventilasi dengan O2 atau udara ruangan bila O2 tidak tersedia dengan
segera, dapat memulihkan keadaan hipoksemia dan asidosis dengan segera.
Kecepatan melakukan defibrilasi atau kardioversi merupakan elemen penting
untuk resusitasi yang berhasil. Kalau mungkin, tindakan defibrilasi harus segera
dilakukan sebelum intubasi dan pemasangna selang infuse. Resusitasi
kardiopulmoner harus dikerjakan sementara alat defibrillator diisi muatan arusnya.
Segera setelah diagnosis takikardia atau fibrilasi ventrikel ditentukan, kejutan
listrik sebesar 200-J harus diberikan. Kejutan tambahan dengan kekuatan yang
lebih tinggi hingga maksimal 360-J, dapat dicoba bila kejutan pertama tidak
berhasil menghilangkan takikardia atau fibrilasi ventrikel. Jika pasien masih
29
belum sadar sepenuhnya setelah dilakukan reversi, atau bila 2 atau 3 kali
percobaan tidak membawa hasil, maka tindakan intubasi segera, ventilasi dan
analisis gas darah arterial harus segera dilakukan. Pemberian larutan NaHCO3
intravena yang sebelumnya diberikan dalam jumlah besar kini tidak dianggap lagi
sebagai keharusan yang rutin dan bisa berbahaya bila diberikan dalam jumlah
yang lebih besar. Namun, pasien yang tetap mengalami asidosis setalah defibrilasi
dan intubasi yang berhasil harus diberikan 1 mmol/kg NaHCO3 pada awalnya dan
tambahan 50% dosis diulangi setiap 10-15 menit.
Setelah upaya defibrilasi pendahuluan tanpa mempedulikan apakah upaya
ini berhasil atau tidak, preparat bolus 1mg/kg lidokain diberikan intravena dan
pemberian ini diulang dalam waktu 2 menit pada pasien-pasien yang
memperlihatkan aritmia ventrikel yang persisten atau tetap menunjukkan fibrilasi
ventrikel. Penyuntikan lidokain ini diikuti oleh infuse lidokain dengan takaran 1-4
mg/menit. Jika lidokain tidak berhasil mengendalikan keadaan tersebut,
pemberian intravena prokainamid (dosis awal 100mg/5 menit hingga tercapai
dosis total 500-800mg, diikuti dengan pemberian lewat infuse yang kontinyu
dengan dosis 2-5mg/menit). Atau bretilium tosilat (dosis awal 5-10mg/kg dalam
waktu 5 menit; dosis pemeliharaan (maintanance) 0,5-2 mg/menit), dapat dicoba.
Untuk mengatasi fibrilasi ventrikel yang per sisten, preparat epinefrin (0,5-1,0
mg) dapat diberikan intravena setiap 5 menit sekali selama resusitasi dengan
upaya defibrilasi pada saat-saat diantara setiap pemberian preparat tersebut. Obat
tersebut dapat diberikan secara intrakardial jika cara pemberian intravena tidak
dapat dilakukan. Pemberian kalsium glukonat intravena tidak lagi dianggap aman
30
atau perlu untuk pemakaian yang rutin. Obat ini yang hanya digunakan pada
pasien dengan hiperkalemia akut dianggap sebagai pencetus VF resisten, pada
keadaan adanya hipokalsemia yang diketahui, atau pada pasien yang menerima
dosis toksik antagonis hemat kalsium.
Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol
ditangani dengan cara yang berbeda. Setelah diketahui jenis aritmianya, terapi
syok dari luar tidak memiliki peranan. Pasien harus segera diintubasi, resusitasi
kardiopulmoner diteruskan dan harus diupayakan untuk mengendalikan keadaan
hipoksemia serta asidosis. Epinefrin dan atau atropine diberikan intravena atau
dengan penyuntikan intrakardial. Pemasangan alat pacing eksternal kini sudah
dapat dilakukan untuk mencoba menghasilkan irama jantung yang teratur, tetapi
prognosis pasien pada bentuk henti jantung ini umumnya sangat buruk. Satu
pengecualian adalah henti jantung asistolik atau bradiaritmia sekunder terhadap
obstruksi jalan napas. Bentuk henti jantung ini dapat memberikan respons cepat
untuk pengambilan benda asing dengan maneuver Heimlich atau, pada pasien
yang dirawat di rumah sakit. Dengan intubasi dan penyedotan sekresi yang
menyumbat di jalan napas.
1. Perawatan Pasca Resusitasi
Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti
jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat
responsive terhadap teknik-teknik dukungan kehidupan (life support) dan mudah
dikendalikan setelah kejadian permulaan. Pemberian infuse lidokain
dipertahankan dengan dosis 2-4 mg/menit selama 24-72 jam setelah serangan.
31
Dalam perawatan rumah sakit, bantuan respirator biasanya tidak perlu atau
diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang
terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi ventrikel
sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas hemodinamika menjadi
predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat membawa kematian), upaya
resusitasi kurang begitu berhasil dan pada pasien yang berhasil diresusitasi, angka
rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis didominasi oleh ketidak stabilan
hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh kemampuan
untuk mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan gangguan
elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan bradiaritmia merupakan
peristiwa sekunder yang umum pada pasien yang secara hemodinamis tidak stabil
dan kurang responsive terhadap intervensi.
Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang
menyertai penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa pasien yang
berhasil diresusitasi, perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh sifat penyakit
yang mendasari serangan henti jantung tersebut. Pasien dengan kanker, gagal
ginjal, penyakit system saraf pusat akut dan infeksi terkontrol, sebagai suatu
kelompok, mempunyai angka kelangsungan hidup kurang dari 10 persen setelah
henti jantung di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir
henti jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien dengan
obstruksi jalan nafas transien, gangguan elektrolit, efek proaritmia obat-obatan
dan gangguan metabolic yang berat, kebanyakan mereka yang mempunyai
32
harapan hidup baik jika mereka mendapat resusitasi dengan cepat dan
dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.
2. Penatalaksanaan Jangka Panjang
Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas
spesialisasi klinis karena perkembangan system penyelamatan emergency
berdasar-komunitas. Pasien yang tidak menderita kerusakan system saraf pusat
yang ireversibel dan yang mencapai stabilitas hemodinamik harus dilakukan tes
diagnostik dan terapeutik yang ekstensif untuk tuntutan penatalaksanaan jangka
panjang. Pendekatan agresif ini dilakukan atas dasar dorongan fakta bahwadata
statistikdari tahun 1970 mengindikasikan kelangsungan hidup setelah henti
jantung di luar rumah sakit diikuti oleh angka henti jantung rekuren 30 persen
pada 1 tahun, 45 persen pada 2 tahundan angka mortalitas total hampir 60 persen
pada 2 tahun. Perbandingan historis mendukung bahwa statistik buruk ini dapat
diperbaiki dengan intervensi yang baru. Tetapi seberapa besar perbaikannya idak
diketahui karena kurangnya uji intervensi bersamaan yang terkendali.
Diantara pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah sakit
adalah MI akut dan transmural, penatalaksanaan sama dengan semua pasien lain
yang menderita henti jantung selama fase akut MI yang nyata. Untuk hampir
semua kategori pasien, bagaimanapun, uji diagnostic ekstensif dilakukan
menentukan etiologi, gangguan fungsional dan ketidakstabilan elektrofisiologik
sebagai penuntun penatalaksanaan selanjutnya. Secara umum, pasien yang
mempunyai henti jantung di luar rumah sakit akibat penyakit jantung iskemik
kronik, tanpa MI akut, dievaluasi untuk menetukan apakah iskemia transien atau
33
ketidakstabilan elektrofisologik merupakan penyebab yang lebih mungkin dari
peristiwa ini. Jika terdapat alas an untuk mencurigai suatu mekanisme iskemik,
pembedahan anti-iskemik atau Intervensi medis (seperti angiografi, obat)
digunakan untuk mengurangi beban iskemik. Ketidakstabilan elektrofisiologik
paling baik diidentifikasi dengan menggunakan stimulasi elektris terprogram
untuk menentukan apakah VT atau VF tertahan dapat diinduksi pada pasien. Jika
ya, informasi ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi
efektifitas obat untuk pencegahan kekambuhan. Informasi ini juga dapat
digunakan untuk menentukan kecocokan untuk pembedahan antiaritmik dengan
tuntunan peta. Menggunakan teknik ini untuk menegakkan terapi obat pada pasien
dengan fraksi ejeksi 30 persen atau lebih, angka henti jantung rekuren adalah
kurang dari 10 persen selama tahun pertama tindak lanjut. Hasil akhir tidak sebaik
untuk pasien fraksi dengan fraksi ejeksi dibawah 30 persen, tetapi tetap lebih baik
dibandingkan riwayat alami yang tampak dari kelangsungan hidup setelah henti
jantung. Untuk pasien yang keberhasilan dengan terapi obat tidak dapat
diidentifikasi dengan teknik ini, pengobatan empirik dengan amiodaron,
penanaman defibrillator/kardioverter (ICD, implantable
cardioverter/defibrillator) dalam tubuh, atau pembedahan antiaritmia (seperti
bedah pintas koroner, aneurismektomi, kriobliasi), dapat dianggap sebagai pilihan.
Sukses pembedahan primer, diartikan sebagai mempertahankan hidup prosedur
dan kembali pada keadaan yang tak dapat diinduksi tanpa terapi obat, adalah lebih
baik dari 90 persen bila pasien dipilih untuk kemampuan dipetakan dalam ruang
operasi. Terapi ICD juga dikembangkan menjadi sistem yang lebih menarik,
34
termasuk kemampuan untuk memacu lebih baik dibandingkan mengejutkan
(shock out) beberapa aritmia pada pasien terpilih. Susunan Intervensi tersedia
untuk pasien ini, digunakan dengan pantas, menunjukkan perbaikan perbaikan
yang berlanjut pada hasil akhir jangka panjang.
35
DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Alih bahasa Peter Anugrah. Editor Caroline Wijaya. Ed. 4. Jakarta : EGC ; 1994.
Santoso Karo karo. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 1996
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
Hanafi B. Trisnohadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed. 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2001