Upload
septiviana
View
227
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Mata kuliah vulkanologi
Citation preview
GEOLOGI-INDUSTRI: BIDANG VOLKANOLOGI
Oleh: Dr. Ir. Sutikno Bronto
Pusat Survei Geologi, Badan Geologi - ESDM
Jln. Diponegoro 57 Bandung 40122
Bahan Diskusi Workshop Geologi-Industri, Teknik Geologi FT-UGM
Jumát, 16 April 2010, pk. 13.00 – 15.30 wib
I PENDAHULUAN
Volkanologi (Vulkanologi) adalah ilmu yang mempelajari perihal gunung api,
mulai dari dinamika pergerakan magma dari dalam bumi (Solar System) ke permukaan
hingga menghasilkan berbagai bentuk dan kegiatannya. Ilmu pengetahuan sebagai
pendukung utama pembelajaran gunung api adalah geologi, geofisika dan geokimia.
Gunung api atau volcano(es) didefinisikan sebagai tempat atau bukaan dari mana magma
ke luar ke permukaan bumi (Solar System) dan bahan padat yang dihasilkan dan
menumpuk di sekeliling lubang akan membentuk bukit atau gunung (Macdonald, 1972;
Bronto, 2001a). Dengan demikian secara prinsip dapat dinyatakan bahwa setiap magma
yang keluar ke permukaan bumi (Solar System) adalah gunung api. Berdasarkan bentuk
bentang alam dan kegiatan volkanisme atau kegunungapian pada Zaman Kuarter hingga
masa kini Indonesia mempunyai banyak gunung api yang terletak di dalam empat busur
gunung api, yaitu Busur Sunda-Nusa Tenggara, Busur Banda, Busur Halmahera dan
Busur Sulawesi Utara – Kepulauan Sangir-Talaud. Di Kalimantan, volkanisme termuda
yang tidak termasuk ke dalam busur gunung api di atas adalah Batuan Gunung Api
Metulang, berumur Plio-Plistosen (1.69 ± 0.04 – 2.41 ± 0.05 jtl; Baharuddin dkk.,
1993; Heryanto dan Abidin, 1995) dan Formasi Sinjin (Situmorang dan Burhan, 1995).
Pada Zaman Tersier tingginya tingkat volkanisme ditunjukkan oleh melimpahnya
batuan gunung api di sebagian besar wilayah Indonesia, baik secara lateral maupun
vertikal, yang dikenal dengan nama Formasi Andesit Tua (Old Andesite Formation; van
Bemmelen, 1949). Pada umur geologi yang lebih tua aktivitas gunung api di Sumatra
sudah diketahui sejak umur Perm (280 – 260 jtl), yang diwakili oleh Formasi Silungkang
dan Palepat (Rosidi dkk., 1976; Rock dkk., 1983; Hartono dkk., 1996). Di Kalimantan
1
Barat, batuan gunung api tertua berumur Trias-Kapur adalah Batuan Gunung Api Betung
(97.8 ± 7 jtl) dan Jambu (209 ± 5 jtl; Heryanto dkk., 1993) serta Menunuk (Amiruddin
dan Trail, 1993), sedangkan yang berumur Kapur Atas adalah Batuan Gunung Api
Kerabai (Amiruddin dan Trail, 1993). Di Kalimantan Selatan dan Tengah Batuan Gunung
Api Seranau juga berumur Trias (Nila dkk., 1995), sedangkan Formasi Haruyan dan
Anggota Paau berumur Kapur (144 – 65 jtl., Rustandi dkk., 1995). Di Jawa sendiri
batuan gunung api tertua diperkirakan berumur Kapur-Eosen, yakni Formasi Jatibarang
(Martodjojo, 2003).
Sekalipun gunung api dan batuan hasil kegiatannya sangat melimpah, pembelajaran
geologi selama ini lebih didasarkan pada pandangan geologi sedimenter (Bronto dkk.,
2009a) dan hampir tidak ada ahli geologi yang mengkhususkan diri di bidang geologi
gunung api. Kebanyakan pembahasan tentang gunung api lebih difokuskan pada proses,
sedangkan produknya yang berupa jenis maupun macam batuan gunung api, kurang
mendapat perhatian secara proporsional. Padahal untuk daerah busur gunung api,
keberadaan gunung api tersebut sangat ekstensif dan sangat berpengaruh terhadap
pembentukan batuan lain, misalnya batuan karbonat. Adalah suatu hal yang agak naif jika
membahas batuan karbonat di Pegunungan Selatan Yogyakarta model pengendapannya
dikaitkan dengan model di Teluk Persia atau Kepulauan Bahama yang terjadi pada
cekungan yang bebas dari gunung api. Dengan mempelajari geologi gunung api, yang
sesuai dengan kondisi geologi di Indonesia, maka sebenarnya kita akan mampu menjadi
pakar geologi gunung api di daerah sendiri. Hal itu sekaligus para ahli juga diharapkan
dapat menjadi agent of change atau paling tidak mengembangkan metoda pembelajaran
geologi pada masa mendatang. Selanjutnya berdasarkan pandangan geologi gunung api
itu para ahli geologi juga diharapkan mampu mengembangkan metoda eksplorasi
sumber daya, pengelolaan lingkungan geologi dan mitigasi bencana (Gambar 1).
Di bawah ini secara singkat diuraikan tentang kelemahan Pandangan Geologi Sedimenter,
dan keunggulan Pandangan Geologi Gunung Api serta manfaat pembelajarannya dalam
pengembangan geosains dan terapannya untuk mendukung pencarian sumber baru energi dan
mineral, penataan lingkungan geologi serta mitigasi bencana geologi. Bahan diskusi ini tidak
akan mengulangi materi mata kuliah Volkanologi, tetapi lebih ditekankan pada pengembangan
ilmu pengetahuan serta manfaat terapannya. Diharapkan bahan diskusi Volkanologi ini dapat
menjadi salah satu bekal mahasiswa untuk memasuki dunia kerja, baik sebagai ilmuwan (peneliti
2
dan dosen) ataupun di dunia industri serta lapangan kerja lainnya. Untuk lebih memahami ilmu
gunung api secara umum dan geologi gunung api secara khusus para mahasiswa dihimbau lebih
banyak membaca literatur, mencari informasi volkanologi di internet, berdiskusi sesama
mahasiswa dan berkomunikasi dengan para ahli di luar dan dalam negeri, melakukan kunjungan
lapangan serta belajar melakukan penelitian dan menerbitkan karya tulis ilmiah.
Gambar 1. Bagan pembelajaran geologi gunung api dan penerapannya.
II PANDANGAN GEOLOGI SEDIMENTER
Pendidikan dan penelitian geologi selama ini mengikuti prinsip-prinsip dasar hasil
pemikiran ahli geologi dari negara-negara barat yang lingkungan geologinya jauh dari gunung
api. Prinsip dasar di bidang geomorfologi antara lain proses pedataran (paneplainisasi), di bidang
sedimentologi dan stratigrafi adalah pandangan geologi sedimenter (stratigrafi kueh lapis atau
layer caked geology), serta di bidang struktur geologi adalah prinsip horisontalitas. Prinsip dasar
itu tidak sepenuhnya dapat diterapkan pada batuan gunung api, karena secara geomorfologi
terdapat topografi awal tertimbun (pre-existing topograhy), secara struktur geologi ada
kemiringan awal (initial/original dips), dan pengendapan batuan gunung api tidak selalu
mengikuti hukum stratigrafi kueh lapis (Bronto dkk, 2004a). Pandangan gelogi sedimenter secara
tegas memisahkan proses sedimentasi dengan proses penerobosan magma. Batuan ekstrusi
gunung api dipandang sebagai batuan sedimen yang tidak diketahui sumber serta proses
volkanismenya (Gambar 2).
3
Gambar 2. Sketsa penampang geologi sebagai hasil Pandangan Geologi Sedimenter. Batuan gunung api yang tidak diketahui sumbernya, terangkut masuk ke dalam suatu cekungan dan mengendap sebagai batuan sedimen kueh lapis (A). Di bawah cekungan terdapat magma yang bergerak ke atas kemudian menerobos perlapisan batuan sedimen gunung api tersebut, kemudian mendingin membentuk batuan beku intrusi (B). Setelah mengalami pengangkatan, pelapukan dan erosi, tersingkap batuan sedimen gunung api diterobos oleh batuan beku intrusi (C).
Kelemahan dari Pandangan Geologi sedimenter ini, antara lain terhadap
pemahaman asal mula dan mekanisme pembentukan batuan gunung api, tataan tektonika
batuan intrusi (terobosan), karakteristik petrologi-geokimia batuan gunung api dan
intrusi, serta korelasi umur di antara keduanya. Dengan memandang batuan gunung api
sebagai batuan sedimen, maka kelemahan pertama adalah kurangnya pemahaman
terhadap pembentukan aliran lava (batuan beku luar jenis aliran) dan berbagai macam
4
batuan piroklastika. Bagaimana mungkin lava dapat mengalir sangat jauh dari sumbernya
yang berasal dari luar cekungan sedimen? Bagaimana mungkin bom gunung api juga
dapat terlontar sangat jauh dari kawah gunung api? Kelemahan kedua adalah bahwa
magma tidak akan terbentuk dan menerobos sedimen di cekungan depan busur gunung
api, karena terlalu dekat dengan lokasi penunjaman kerak bumi. Sementara itu, magma
yang terbentuk di belakang busur mempunyai komposisi lebih alkalin (shoshonit)
dibanding dengan magma yang berada di dalam busur gunung api. Faktanya, baik batuan
beku intrusi dan batuan ekstrusi (gunung api) di dalam busur keduanya bersusunan Calk-
Alkali (Kapur-Alkali), bahkan dalam banyak hal lebih kurang berumur sama.
Karakteristik petrologi-geokimia dan umur itu juga diperhatikan karena ikut
menunjukkan adanya hubungan genesis antara batuan intrusi dengan batuan gunung api.
Selanjutnya, berdasakan prinsip The present is the key to the past, dapat dipelajari secara
bertahap bagaimana kelakuan gunung api masa kini, bentuk bentang alam, pola aliran,
stratigrafi/fasies, sedimentologi, petrologi-geokimia batuan dan struktur geologi yang
dihasilkan. Data tersebut kemudian dapat dijadikan landasan untuk menjelaskan genesis
dari fakta geologi batuan gunung api yang lebih tua. Alur pemikiran ini sebenarnya sudah
dimulai oleh van Bemmelen (1949), yang mengamati kelakukan gunung api aktif masa
kini, seperti halnya Merapi, Kelut dan Semeru, kemudian beranjak ke gunung api yang
lebih tua, yakni Muria. Fakta-fakta tersebut kemudian dijadikan dasar untuk menyatakan
bahwa di Pegunungan Kulon Progo terdapat tiga gunung api Tersier, yaitu Gajah, Ijo dan
Menoreh. Sayangnya pemikiran ini tidak diikuti oleh para ahli geologi generasi
kemudian, bahkan mereka lebih berpihak ke pandangan geologi sedimenter yang berasal
dari daerah geologi non-gunung api.
Pembelajaran geologi sedimenter yang sudah berlangsung lama ini akan sulit
dirubah jika tidak diimbangi dengan pembelajaran berdasarkan pandangan geologi
gunung api serta diberikan kepada peserta didik pemula. Hal itu berakibat jika yang
bersangkutan berhadapan dengan permasalahan batuan gunung api maka
penyelesaiannya bisa tidak tepat atau bahkan menyesatkan.
5
III PANDANGAN GEOLOGI GUNUNG API
Pandangan ini mengisyaratkan adanya proses berkelanjutan mulai dari
magmatisme, volkanisme dan sedimentasi (Gambar 3). Mengacu pendapat Macdonald
(1972) maka setiap magma yang keluar ke permukaan bumi adalah gunung api. Selama
proses keluarnya magma itu, gunung api memperlihatkan berbagai bentuk dan
kegiatannya. Dalam proses keluar sebagian magma hanya mampu menerobos sampai
dekat permukaan. Proses pendinginan dan pembatuannya mengikuti hukum pembentukan
batuan beku intrusi. Batuan intrusi dangkal ini sering disebut batuan semi gunung api
(subvolcanic intrusions), berupa retas, sill, kubah bawah permukaan (cryptodomes) dan
atau leher gunung api (volcanic necks).
Gambar 3. Pandangan Geologi Gunung Api. Adanya proses berkelanjutan mulai dari magmatisme, volkanisme dan sedimentasi. Cairan magma yang terbentuk oleh berbagai sebab dan pada tataan tektonik tertentu naik ke atas membentuk dapur magma, dan mungkin ke atas lagi membentuk kantong magma, sill dan atau retas. Magma yang ada di dalam korok/diatrema terus bergerak ke atas membentuk leher gunung api. Magma yang miskin gas keluar ke permukaan bumi secara lelehan membentuk kubah atau aliran lava. Magma yang banyak mengandung gas keluar ke permukaan secara letusan menghasilkan bahan piroklastika (jatuhan dan atau aliran/seruakan). Endapan piroklastika yang masih lepas-lepas atau sudah membatu mengalami rombakan dan resedimentasi membentuk aliran lahar dan bahan epiklastika lainnya. Proses pembentukan magma sampai masuk ke dalam dapur magma dinyatakan sebagai proses
6
magmatisme, pergerakan magma dari dapur magma hingga erupsi di permukaan merupakan proses volkanisme. Proses perombakan baik terhadap bahan lepas maupun batuan piroklastika, serta batuan beku di permukaan termasuk proses sedimentasi. Dengan demikian volkanisme merupakan proses peralihan dari magmatisme ke sedimentasi.
Keluarnya magma ke permukaan bumi dapat secara lelehan (effusive eruptions)
atau secara letusan (explosive eruptions). Erupsi lelehan dapat membentuk kubah lava
atau aliran lava, yang proses pendinginan dan pembatuannya masih mengikuti hukum
pembentukan batuan beku (luar/ ekstrusi). Sedangkan erupsi letusan menghasilkan bahan
magma hamburan yang dikenal sebagai piroklastika. Proses pendinginannya mengikuti
hukum batuan beku, tetapi pengendapannya mengikuti hukum sedimentasi. Selanjutnya,
batuan gunung api primer tersebut mengalami rombakan, segera setelah erupsi
(resedimented syneruptive volcaniclastic deposits, McPhie dkk., 1993) atau sudah
membatu, seluruhnya mengikuti hukum sedimentasi. Perbedaannya, yang pertama masih
ada ciri-ciri piroklastika, sedangkan yang kedua sudah murni epiklastika.
Batuan semi gunung api dan batuan beku luar sering disebut lava koheren,
sedangkan bahan piroklastika dan epiklastika termasuk batuan klastika gunung api
(volcaniclastic rocks). Berdasarkan pembagian fasies gunung api, batuan semi gunung
api dan kubah lava terdapat di dalam fasies pusat gunung api, aliran lava dan piroklastika
fraksi kasar terdapat di fasies proksimal sampai medial. Sedangkan bahan piroklastika
fraksi halus dan epiklastika terdapat di fasies medial sampai distal (Bronto, 2006).
Persoalan yang sering dihadapi oleh para ahli petrologi batuan beku adalah ciri
petrografi transisi (peralihan) antara batuan beku intrusi dengan batuan beku ekstrusi,
yakni pada sill, retas dan leher gunung api hingga sumbat lava. Tekstur batuan dapat
berubah secara berangsur mulai dari microcrystalin (seluruhnya tersusun oleh kristal
halus) sampai hipokristalin (sebagian kristal sebagian gelas). Dalam hal tertentu batuan
beku intrusi dangkal itu juga dapat membentuk struktur berlubang (vesicular structures)
seperti halnya batuan beku luar. Apabila data singkapan tidak jelas atau menerus (ideal),
kondisi itu sering menimbulkan perdebatan apakah termasuk batuan beku intrusi atau
batuan beku ekstrusi.
Persoalan kedua dihadapi oleh ahli sedimentologi dalam menghadapi batuan
klastika gunung api terutama fraksi halus, yang secara struktur sedimen memperlihatkan
sebagai batuan rombakan (epiklastika) tetapi secara tekstural dan komposisional kristal
7
masih menunjukkan bentuk menyudut-sangat menyudut, yang terdiri atas campuran
mineral resisten dan non resisten, serta gelas gunung api (serat gelas/ glass shards).
Batuan tersebut mungkin bahan piroklastika hasil letusan langsung gunung api yang
masuk ke tubuh air (laut) atau endapan piroklastika yang mengalami pengerjaan ulang
segera setelah meletus tanpa melalui proses pelapukan dan pembatuan terlebih dahulu.
Pada litertur lama kadang disebut sebagai secondary pyroclastic deposits/rocks, tetapi
McPhie dkk. (1993) menyebutnya sebagai resedimented syneruptive volcaniclastic
deposits. Batuan klastika gunung api ini belum benar-benar dapat disebut batuan
epiklastika dan masih berhubungan erat dengan kegiatan volkanisme pada saat itu.
IV PENGEMBANGAN GEOSAINS
Berdasarkan pandangan geologi gunung api, yang berlandaskan prinsip the present
is the key to the past dan ditindak-lanjuti dengan studi terpadu geologi, mulai dari
geomorfologi dan inderaja, stratigrafi arti luas (Martodjojo dan Djuheni, 1996) dan
struktur geologi, sudah diperoleh hasil-hasil penelitian dan pemikiran yang baru dan
orisinil di dalam pengembangan ilmu kebumian atau geosains. Hasil-hasil tersebut adalah
ditemukannya fosil gunung api (gunung api purba atau paleovolcanoes), terjadinya
tumpang tindih volkanisme (superimposed volcanisms) dan terdapatnya cekungan
sedimentasi di dalam busur gunung api (intra arc basins/ basins within the arc)
Di Pegunungan Selatan Jawa Tengah dan Yogyakarta fosil gunung api sudah
dilaporkan oleh Bronto, 2009b; 2010a; 2010b; Bronto dkk., 1998; 1999; 2002; 2004b;
2005a; 2008a; 2008b; 2009a; Hartono, 2000; Hartono, 2010; Hartono dan Bronto, 2007;
2009a; 2009b; dan Abdissalam dkk., 2009 (Gambar 4). Di Sangiran dan Jawa Tengah
bagian utara gunung api purba dilaporkan oleh Bronto dkk., 2004c, Bronto dan
Mulyaningsih (2007), Bronto (2009c) serta Mulyaningsih dkk. (2008). Di daerah Banten
dan Jawa Barat gunung api purba dilaporkan Bronto (2003), Bronto dkk. (2006a &
3004d) dan Bronto (2008). Berdasarkan data umur, lokasi keberadaan dan hubungan
dengan gunung api yang lebih muda dinyatakan adanya tumpang tindih volkanisme
(superimposed volcanisms) dan di antara kerucut gunung api pada periode tertentu
terdapat cekungan di dalam busur gunung api (Bronto dkk., 2005b, 2006b; Bronto, 2003;
2006; Gambar 5).
8
Gambar 4. Identifikasi gunung api purba Watuadeg di wilayah Berbah, Sleman – Yogyakarta (Bronto dkk., 2008b).
9
Gambar 5. Model cekungan di dalam busur gunung api (Bronto, 2006).
V TERAPAN DI BIDANG ENERGI & MINERAL
Untuk mendukung pencarian sumber baru mineralisasi digunakan konsep pusat
gunung api (Volcanic center concept for gold exploration strategy; Bronto dan Hartono,
2003), dan dalam tingkatan penelitian awal berhasil mendapatkannya di Cupunagara,
Kabupaten Subang, Jawa Barat (Bronto dkk., 2004d; Gambar 6). Lebih daripada itu
diketahui bahwa hampir semua daerah tambang emas dan logam sulfida di Indonesia
terdapat di dalam fasies pusat gunung api purba (Bronto, 2006; 2009a; Hartono dan
Bronto, 2005).
Gambar 6. Penampakan melingkar kaldera purba di Bandung utara dan sumber baru mineralisasi di daerah Cupunagara, Subang – Jawa Barat (Bronto dkk., 2004d).
10
Dengan memperhatikan geologi daerah Yogyakarta (Rahardjo dkk., 1977) dan
Surakarta (Surono dkk., 1992) maka diperkirakan baik Dataran Bantul-Kulon Progo
maupun Dataran Wonosari merupakan cekungan di dalam busur gunung api. Di sebelah
barat, Dataran Bantul-Kulon Progo dibatasi oleh tinggian Pegunungan Kulon Progo yang
terutama tersusun oleh batuan gunung api Tersier Formasi Andesit Tua. Sementara itu di
batas timur tinggian Pegunungan Selatan bagian bawah juga tersusun oleh batuan gunung
api Tersier. Daerah itu menjadi peluang untuk mencari sumber-sumber baru energi dan
mineral. Di daerah Banyumas, di dalam peta geologi lembar Majenang (Kastowo dan
Suwarna, 1996) batuan sedimen Tersier yang berpotensi mengandung hidrokarbon juga
di lingkupi dan mempunyai umur relatif sama dengan batuan beku dan gunung api. Di
bagian utara dan timur Cekungan Majenang dibatasi oleh batuan gunung api Formasi
Kumbang, di sebelah barat terdapat tubuh batuan intrusi dangkal andesit Banjar dan di
sebelah selatan melampar batuan gunung api Formasi Jampang (Simanjuntak dan Surono,
1992). Di masa mendatang, penelitian terhadap cekungan dalam busur gunung api
diharapkan mampu menyumbangkan sumber baru energi fosil (hidrokarbon).
VI TERAPAN DI BIDANG LINGKUNGAN GEOLOGI
Dalam kaitannya dengan sumber daya lingkungan, maka hampir seluruh kawasan
gunung api aktif menjadi daerah pemukiman dan pariwisata yang sangat menarik, serta
wilayah perkebunan yang sangat subur. Kerucut gunung api menjadi daerah tangkapan
dan resapan air hujan. Sementara itu, pada cekungan dalam busur gunung api diharapkan
banyak mengandung potensi air bawah permukaan. Disini diperlukan kehati-hatian dalam
menerapkan prinsip stratigrafi batuan gunung api, karena tidak seluruhnya mengikuti
hukum stratigrafi kueh lapis. Pandangan stratigrafi kueh lapis terhadap batuan gunung api
di Bandung utara pada waktu akan membangun perumahan Dosen ITB di Dago Pakar
(Sampurno, 2004) perlu ditinjau kembali karena berdampak negatif terhadap ketersediaan
air tanah dangkal di dataran Bandung (Bronto dan Hartono, 2006).
Berhubung jalan Nagrek-Bandung selalu macet pada hari-hari libur maka
pemerintah merencanakan untuk membuat jalur jalan alternatif. Pembangunan jalur jalan
alternatif itu menjadi tersendat-sendat dan kemungkinan biayanya bertambah mahal
karena ahli geologi tekniknya kurang memahami geologi gunung api di daerah tersebut.
11
Di wilayah Nagrek, yang diperkirakan sebagai bekas kaldera, terdapat banyak kubah
lava. Jalur jalan itu harus menembus tubuh-tubuh kubah lava tersebut yang sangat masif
dan keras sehingga memerlukan peralatan berat yang lebih sesuai, waktu lebih lama dan
anggaran biaya lebih besar.
VII TERAPAN DI BIDANG MITIGASI BENCANA
Dalam mendukung mitigasi bencana geologi pemahaman geologi gunung api juga
sudah tidak disangsikan lagi. Di bawah ini diuraikan tiga potensi bencana geologi yang
belum banyak ditangani di Indonesia, pertama dalam kaitannya dengan kegiatan
tektonika dan volkanisme, kedua dalam rangka pembangunan pembangkit listrik tenaga
nuklir, dan ketiga mengenai gerakan tanah di daerah gunung api. Dari analisis citra
landsat diketahui di sebelah utara Bandung terdapat pola kelurusan melengkung ke utara
mulai dari daerah Cianjur-Jatiluhur di sebelah baratlaut, Subang di bagian utara dan
timurlaut G. Tampomas – Majalengka di sebelah timur laut (Gambar 7). Kelurusan
tersebut merupakan Sesar Cimandiri di daerah Bandung bagian barat-baratlaut, Sesar
Krawang Selatan dan Sesar Subang di sebelah utara, serta Sesar Baribis di sebelah
timurlaut (Martodjojo, 2003). Sesar Cimandiri dan Sesar Baribis merupakan sesar naik,
masing-masing ke arah baratlaut dan ke timurlaut. Sementara itu Sesar Krawang Selatan
dan Sesar Subang bergerak naik ke utara.
12
Gambar 7. Pola sesar di sebelah utara Bandung. Anak panah menunjukkan arah naik Sesar Cimandiri, Sesar Subang dan Sesar Baribis (Bronto, 2008).
Apabila seluruh sesar itu dihubungkan maka nampak adanya pola sesar naik sangat
besar cembung ke utara yang dinamakan Sesar Bandung Raya (Gambar 8). Sementara itu
di sebelah selatan sistem sesar itu, selain terdapat banyak sesar yang lain, seperti Sesar
Padalarang, Sesar Lembang dan Sesar Tampomas atau Sesar Kuningan-Cilacap (Katili
dan Sudradjat, 1984), juga tersebar banyak gunung api. Pola cembung ke utara dan naik
ke baratlaut-utara-timurlaut menunjukkan adanya gaya yang bersumber dari satu tempat
tetapi menekan dengan pola sebaran seperti kipas ke arah baratlaut, utara dan timurlaut.
Keadaan ini tentunya tidak semata-mata sebagai akibat gaya tektonika mendatar dari
selatan, tetapi dimungkinkan merupakan resultante dengan gaya vertikal yang berasal
dari bawah Cekungan Bandung dan sekitarnya. Gaya vertikal itu diduga berasal dari
batuan dasar yang mungkin berbentuk benua mikro di bawah Bandung, atau dari batolit
atau magma yang sedang membangun tenaga (heating up). Hal kedua dan ketiga itu lebih
didukung oleh banyaknya gunung api tua dan aktif masa kini yang terpusat di daerah
Bandung dan sekitarnya. Apabila gaya tektonika yang berarah mendatar masih dominan
maka potensi bencana gempa bumi saja yang mengancam daerah Jawa Barat. Sebaliknya,
jika gaya vertikal yang lebih kuat dan itu disebabkan oleh magma yang sedang menekan
dan bergerak ke atas maka akan terjadi bencana yang sangat dahsyat berupa letusan
kaldera gunung api.
Sementara itu di bagian utara Jawa Barat juga dimungkinkan terjadinya letusan
gunung api monogenesis (maar) dan gunung api lumpur (Bronto, 2008). Untuk
mengantisipasi kemungkinan sangat buruk ini penelitian dan pemantauan secara intensif
sangat diperlukan. Apalagi setelah terjadinya gempa bumi dan tsunami di Aceh dan
gempa bumi di Bantul, terjadi banyak gempa bumi besar melanda Indonesia dan dunia.
Secara teoritis, gempa bumi tektonik itu dapat memicu kegiatan volkanisme di masa
mendatang.
13
Gambar 8. Sesar naik Bandung Raya yang cembung ke utara dan di sebelah selatannya tersebar banyak gunung api di daerah Bandung dan sekitarnya. Sesar naik tersebut diinterpolasikan dari Sesar Cimandiri di sebelah barat, Sesar Krawang Selatan dan sesar Subang di sebelah utara dan Sesar Baribis di sebelah timurlaut (Martodjojo, 2003), serta berdasar analisis citra satelit. Di daerah Bandung juga terdapat Sesar Padalarang yang sejajar Sesar Cimandiri, sedang Sesar Tampomas sejajar dengan sesar Baribis. Sesar Lembang berarah barat-timur. Tiga anak panah menunjukkan arah gaya pembentuk sesar besar cembung ke utara (Bronto, 2008).
Penilaian awal bahaya gunung api Krakatau di Selat Sunda dan Galunggung di
Jawa Barat sudah dilaporkan oleh Bronto (2000 & 2001b). Dalam rangka membangun
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), maka pada tahap awal harus dilakukan
evaluasi terhadap seluruh jenis potensi bahaya yang dapat mengancam keselamatan
PLTN dan masyarakat di sekitarnya. Berhubung Indonesia mempunyai banyak gunung
api, maka evaluasi bahaya dan penanggulangannya juga menjadi syarat mutlak. Untuk
meyakinkan agar lokasi PLTN benar-benar aman dari kemungkinan terlanda bencana
letusan gunung api, maka evaluasi bahayanya meliputi seluruh gunung api pada radius
150 km dari calon tapak dan dimulai dari batuan gunung api berumur 10 jtl. sampai
dengan gunung api aktif masa kini (Gambar 9; IAEA, 2008). Gunung api Kuarter, yang
berumur kurang dari 2 jtl. Relatif mudah untuk mengidentifikasi pusat erupsinya.
14
Sebaliknya untuk gunung api yang lebih tua dan sudah masuk kelompok gunung api
purba penentuan lokasi sumber erupsi memerlukan penelitian geologi gunung api yang
komprehensif. Perlu diingat, sekalipun sudah termasuk gunung api purba, kalau kegiatan
tektonika di daerah itu aktif kembali, maka tidak menutup kemungkinan gunung api
purba itu juga dapat mengalami reaktivasi. Hal ini sejalan dengan pemahaman adanya
super imposed volcanisms.
Gambar 9. Prosedur tahapan evaluasi kelayakan gunung api dalam rangka pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir berdasar panduan keselamatan dari Badan Atom Dunia (IAEA, 2008).
Potensi bahaya yang harus dipertimbangkan juga berjumlah 12 jenis, yaitu:
1. Piroklastika aliran dan seruakan (pyroclastic flows, surge, and blasts *)
2. Aliran lava (*)
3. Longsoran tubuh kerucut gunung api (debris avalanches and slope failures *)
4. Aliran rempah gunung api (debris flows) dan lahar
15
5. Bukaan lubang kawah baru (opening of new vents *)
6. Lontaran/hujan batu (ballistic projectiles)
7. Gas beracun asal gunung api (volcanic gases)
8. Tsunami dan bahaya seismik (seiches/ seismic hazards *)
9. Fenomena atmosfer (kilat dan petir)
10. Deformasi muka tanah (ground deformation *)
11. Gempa bumi gunung api
12. Fluida geothermal (*)
Pada umumnya, jenis potensi bahaya yang ditandai bintang (*) tidak dapat
ditanggulangi secara fisik teknologi, sehingga calon tapak/lokasi PLTN yang berpeluang
terlanda jenis potensi bahaya gunung api itu harus ditolak. Bukaan lubang letusan baru
termasuk gunung api lumpur, seperti halnya yang terjadi di Sidoarjo Jawa Timur yang
memerlukan penelitian secara komprehensif (Casadevall, 2010). Berhubung seluruh
Pulau Jawa mempunyai batuan dan gunung api berumur kurang dari 10 jtl., maka
pemilihan tapak PLTN di daerah ini memerlukan penelitian kegunungapian yang sangat
cermat.
Bencana geologi gerakan tanah memang sudah umum terjadi pada musim hujan di
Indonesia. Di daerah batuan gunung api, faktor geologi penyebab gerakan tanah yang
belum banyak mendapat perhatian adalah adanya lapisan paleosol (lapisan tanah purba
atau tertimbun) dan batuan ubahan hidrotermal (Bronto, 2004). Longsoran raksasa
(gigantic landslides) dari tubuh kerucut gunung api seperti kejadian di Mount St. Helens
Amerika Serikat pada tahun 1980 juga banyak terdapat di Indonesia, karena berasosiasi
dengan kerucut gunung api komposit (Bronto, 2001c). Sebagai contoh letusan G.
Papandayan pada tahun 1772 (Neuman van padang, 1951; Kusumadinata, 1979),
terjadinya Bukit 777 yang berasal dari G. Gede di dataran Cianjur, Longsoran Situ
Bagendit di kompleks G. Guntur Garut, Bukit Sepuluh Ribu dari G. Galunggung
Tasikmalaya dan longsoran gunung api Cerme di sebelah barat Palimanan (Bronto dan
Pratomo, 1997; Bronto, 2001). Di Jawa Tengah, endapan longsoran gunung api terdapat
di G. Tlerep-Sindoro, G. Sumbing dan G. Merapi (Newhall, dkk., 2000). Sejauh ini,
longsoran gunung api yang tergolong paling besar di Indonesia terdapat di Kompleks G.
16
Gadung-Raung, Jember, Jawa Timur (Neumann van Padang, 1939). Panjang longsoran
hampir mencapai 100 km ke arah baratdaya hingga mencapai pantai selatan Samudera
Hindia, menutupi daerah seluas lebih dari 1000 km2 dengan ketebalan endapan rata-rata
30-50 m. Longsoran gunung api sangat besar ini memang jarang terjadi, tetapi sekali
terjadi akan menimbulkan bencana sangat mengerikan bagi kita semua. Menurut Siebert
(1984), pada umumnya waktu istirahat gunung api sebelum terjadi longsoran sangat
besar ini berkisar antara 10 tahun hingga 1000 tahun.
VIII PENUTUP
Karena batuan gunung api tersebar sangat luas di Indonesia dan volkanisme masih
terus berlangsung, maka selayaknyalah pembelajaran geologi perlu memperhatikan
proses-proses kegunungapian. Hal itu sangat penting karena akan dapat membantu
memecahkan banyak persoalan geologi. Sebagai a major volcanic terrain country, maka
pendidikan geologi di Indonesia diharapkan mampu menghasilkan pakar handal di bidang
kegunungapian (Bronto, dkk., 2009b). Selanjutnya, kepakaran tersebut mampu menjadi
agent of change, baik untuk pengembangan ilmu kebumian, maupun pemanfaatannya
guna menemukan sumber-sumber baru energi dan mineral serta penataan lingkungan
geologi dan penanggulangan bencananya. Pada tahap awal ini pembelajaran geologi
gunung api sudah mampu menunjukkan hasil yang new and original, berupa penemuan
gunung api purba, tumpang tindih volkanisme, cekungan di dalam busur dan
pemanfaatannya.
ACUAN
Abdissalam, R., Bronto, S., Harijoko, A. dan Hendratno, A., 2009, Identifikasi gunung api purba Karangtengah di Pegunungan Selatan, Wonogir-Jawa Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, 4(4), 229-300.
Amiruddin and Trail, D.S., 1993. Geology of the Nangapinoh Sheet area, Kalimantan, scale 1 : 250,000, GRDC, Bandung.
Baharuddin, Pieters, P.E., Sudana, D. & Mangga, S.A., 1993. Geological Map of the Long Nawan Sheet, Kalimantan, scale 1 : 250,000, GRDC, Bandung.
Bronto, S., 2000, Volcanic hazard assessment of Krakatau volcano, Sunda Strait Indonesia, Buletin Geol. Tata Lingk., 12 (1), 20-29.
Bronto, S., 2001a, Volkanologi. Bahan ajar mata kuliah Volkanologi, untuk mahasiswa Jurusan Teknik Geologi, STTnas Yogyakarta, 114.
17
Bronto, S., 2001b, Penilaian Potensi Bahaya G. Galunggung Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Alami: Jurnal, Air, Lahan, Lingkungan dan Mitigasi Bencana, 6 (2), BPPT, Jakarta, 1-13.
Bronto, S., 2001 c, Volcanic debris avalanches in Indonesia, Proceed. The 3rd Asian Sympos. On Engin. Geol. And the environ. (ASEGE), Yogyakarta, Sept. 3-6, 449-462.
Bronto, S., 2003, Gunungapi Tersier Jawa Barat: Identifikasi dan Implikasinya, Majalah Geologi Indonesia, 18 (2), 111-135.
Bronto, S., 2004, Longsor di gunung api, di Naryanto, H.S., S. Prawiradisastra & B. Marwanta, (Eds.), Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia, P3TPSLK-BPPT dan HSF, ISBN 979-8801-2-9, hal. 92-103.
Bronto, S., 2006, Fasies gunung api dan aplikasinya, Jurnal Geologi Indonesia, 1 (2), 59-71.
Bronto, S., 2008, Tinjauan geologi gunung api Jawa Barat – Banten dan Implikasinya, Jurnal Geoaplika, KK Geologi Terapan, FIKTM-ITB, 3 (2), 47-61.
Bronto, S., 2009a, Volkanostratigrafi daerah Piyungan-Imogiri, Kabupaten Bantul – Yogyakarta, Proceed. International Conference Earth Science and Technology, UGM Yogyakarta, 9- 19.
Bronto, S., 2009b, Fosil gunung api di Pegunungan Selatan Jawa Tengah, Prosiding Workshop Geologi Pegunungan Selatan 2007, PSG-BG, Dept. ESDM, Publikasi Khusus no. 38, 171-194.
Bronto, S., 2009c, Gunung api di selatan dataran pantai utara Jawa Tengah, sumber daya dan potensi bahayanya, Prosid, Seminar Geologi Kuarter PSG-BG, Semarang, 15-16 Okt. 2009, 25 h. (in pres.).
Bronto, S., 2010a, Gunung api purba di Pegunungan Selatan Yogyakarta – Jawa Tengah dan Implikasinya, Prosiding Simposium Geologi Yogyakarta, Pengda IAGI DIY, IST AKPRIND, 23 Maret 2010, 25 h.
Bronto, S., 2010b, Identifikasi Gunung Api Purba Pendul di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten – Jawa Tengah (in press).
Bronto, S. dan Hartono, U., 2003, Strategi penelitian emas berdasar konsep pusat gunung api, Prosid. Koloq. ESDM 2002, 13-14 Jan. 2003, P3TekMira, Bandung, 172-189.
Bronto, S. dan Hartono, U., 2006, Potensi sumber daya geologi di daerah cekungan Bandung dan sekitarnya, Jurnal Geologi Indonesia, 1 (1), 9-18.
Bronto, S. dan Mulyaningsih, S., 2007, Gunung api maar di Semenanjung Muria, Jurnal Geologi Indonesia, 2 (1), 43-54.
Bronto, S. dan Pratomo, I., 1997, Endapan longsoran gunungapi dan implikasi bahayanya di kawasan G. Guntur, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Prosid. PIT 25 IAGI, Bandung, 11-12 Des., 51-66.
Bronto, S., Hartono, G. dan Purwanto, D., 1998, Batuan longsoran gunungapi Tersier di Pegunungan Selatan, studi kasus di Kali Ngalang, K. Putat, dan Jentir, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, Prosid. PIT XXVII, 8-9 Des., Yogyakarta, 3.44 – 3.49.
Bronto, S., Rahardjo, W. dan Hartono, G., 1999, Penelitian gunung api purba di kawasan Kali Ngalang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta serta implikasinya terhadap pengembangan sumber daya geologi, Prosid. Seminar
18
Nasional Sumber Daya Geologi, 40 th. Jurusan Teknik Geologi, F.T. UGM, Yogyakarta, 222-227.
Bronto, S., Pambudi, S. and Hartono, G., 2002, The genesis of volcanic sandstones associated with basaltic pillow lavas: A case study at the Jiwo Hills, Bayat area (Klaten, Central Java), J. Geol. dan Sumber Daya Mineral, XII (131), 2-16.
Bronto, S., Budiadi, Ev. dan Hartono, G., 2004a, Permasalahan Geologi Gunungapi di Indonesia, Majalah Geologi Indonesia, 19 (2), 91-105.
Bronto, S., Hartono, G. dan Astuti, B., 2004b, Hubungan genesa antara batuan beku intrusi dan batuan beku ekstrusi di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Klaten Jawa Tengah, Majalah Geologi Indonesia, 19 (3), 147-163.
Bronto, S., R. Ciochon, Y. Zaim, R. Larick, A. Wulff, Y. Rizal, S. Carpenter, A. Bettis, Sudijono dan Suminto, 2004c, Studi Petrologi Basal sebagai Indikasi Volkanisme di Daerah Grumbulpring, Sangiran – Jawa Tengah, Journal Sumber Daya Geologi, XIV (3), 147-163.
Bronto, S., Achnan, K., Kartawa, W., Dirk, M.H., Utoyo, H., Subandrio, J. Dan Lumbanbatu, K., 2004d, Penelitian awal mineralisasi di daerah Cupunagara, Kabupaten Subang-Jawa Barat, Majalah Geologi Indonesia, 19 (1), 12-30.
Bronto, S., Hartono, G. dan Pambudi, S., 2005a, Stratigrafi Batuan Gunung Api Di Daerah Wukirharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman Yogyakarta, Majalah Geologi Indonesia, 20 (1), 27-40.
Bronto, S., Bijaksana, S., Sanyoto, P., Ngkoimani, L., Hartono, G., dan Mulyaningsih, S., 2005b, Tinjauan Volkanisme Paleogen Jawa, Majalah Geologi Indonesia, 20 (4), 195-204.
Bronto, S., Achnan, K. dan Lumbanbatu, K., 2006a, Stratigrafi gunung api daerah Bandung Selatan, Jawa Barat, Jurnal Geologi Indonesia, 1 (2), 89-101.
Bronto, S., Budiadi, Ev. and Hartono, G., 2006b, A new perspective of Java Cenozoic volcanic arcs, Proceed. Internat. Geosci. Confer. And Exhibit., Jakarta-Indonesia, 14-16 August 2006, 4 pgs.
Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G. dan Astuti, B., 2008a, Gunung api purba Watuadeg: Sumber erupsi dan posisi stratigrafi, Jurnal Geologi Indonesia, (3) 3, 117-128.
Bronto, S., Hartono, G. dan Mulyaningsih, S., 2008b, Peninjauan kembali Formasi Nglanggeran di lokasi tipe serta implikasinya terhadap mula jadi dan penamaan satuan batuan resmi di kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, Prosiding PIT-IAGI 37, 26-30 Agustus 2008, Bandung, 269-284.
Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G. dan Astuti, B., 2009a, Waduk Parangjoho dan Songputri sebagai alternatif sumber erupsi Formasi Semilir, Jurnal Geologi Indonesia, 4 (2), 77-92.
Bronto, S., Hartono, U. dan Rahardjo, W., 2009b, Peningkatan pembelajaran geologi gunung api untuk mendukung penelitian dan pendidikan ilmu kebumian, Proceed. International Conference Earth Science and Technology, UGM Yogyakarta, 6-7 August, 2009, 147-154.
19
Casadevall, T., 2010, Lumpur Sidoharjo: Diperlukan penelitian komprehensif, HU Kompas, Selasa, 19 Januari 2010, hal. 14: Ilmu Pengetahuan & Teknologi.
Hartono, G., 2000, Studi Gunung Api Tersier: Sebaran Pusat Erupsi dan Petrologi di Pegunungan Selatan Yogyakarta, Tesis magister, Program Pasca Sarjana, ITB, Bandung, 168 (tak terbit).
Hartono, G., 2010, Peran Paleovolkanisme dalam Tataan Produk Batuan Gunung Api Terrier di Gunung Gajahmungkur, Wonogiri, Jawa Tengah, Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 338 (tidak terbit).
Hartono dan Bronto, S., 2005, Penentuan posisi mineralisasi Au Gunung Pongkor pada fasies gunung api purba daerah Bogor, Jawa Barat, Joint Conv. IAGI-HAGI-PERHAPI, Nov. 28-30, 2005, Surabaya.
Hartono, G. dan Bronto, S., 2007, Asal-usul pembentukan Gunung Batur di daerah Wediombo, Gunungkidul, Yogyakarta, Jurnal Geologi Indonesia, 2 (3), 143-158.
Hartono, G. dan Bronto, S., 2009a, Analisis Stratigrafi Awal Kegiatan Gunung Api Gajah Dangak di daerah Bulu, Sukoharjo; Implikasinya terhadap stratigrafi batuan gunung api di Pegunungan Selatan, Jawa Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, 4 (3), 157-227.
Hartono, G. dan Bronto, S., 2009b, Lapangan Gunung Api Tersier Daerah Berbah Sleman – Imogiri Bantul, Yogyakarta, International Conference Earth Science and Technology, UGM Yogyakarta, 6-7 August, 2009, 113-120.
Hartono, U., Andi-Mangga, S. dan Achdan, A., 1996, Geochemical Results of Permian Palepat and Silungkang Volcanics, Southern Sumatera, Journal of Geology and Mineral Resources, VI (56), 18-23.
Heryanto, R. and Abidin, H.Z., 1995, Geological map of the Longbia (Napaku) Quadrangle, Kalimantan, scale 1 : 250,000, GRDC, Bandung
Heryanto, R., Harahap, B.H., Sanyoto, P., Williams, P.R. and Pieters, P.E., 1993. Geological map of Sintang Sheet, Kalimantan, scale 1 : 250,000, GRDC, Bandung
International Atomic Energy Agency (IAEA), 2008, Volcanic Hazards in Site Evaluation for Nuclear Installations, IAEA Safety Standards for protecting people and the environment, DS 405, 58.
Kastowo dan Suwarna, 1996, Peta geologi lembar Majenang, Jawa, skala 1 : 100.000, Puslitang Geologi, Bandung.
Katili, J.A. dan A. Sudradjat, 1984, Galunggung, the 1982-1983 Eruption, Volc. Surv. Indon., Bandung, 102.
Kusumadinata, K., 1979, Data Dasar Gunung api Indonesia, Direktorat Vulkanologi, Bandung, 820.
Macdonald, G.A., 1972, Volcanoes, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 510.Martodjojo, S., 2003, Evolusi Cekungan Bogor, Jawa Barat, Penerbit ITB, Bandung,
238.Martodjojo, S. dan Djuhaeni, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Komisi Sandi Stratigrfi
Indonesia IAGI, Jakarta, 25.McPhie, J., Doyle, M. and Allen, R., 1993, Volcanic Textures. A Guide to the
Interpretation of Textures in Volcanic Rocks, Centre for Ore Deposit and Exploration Studies, Univ. of Tasmania, Australia, 196 p.
20
Mulyaningsih, S., Bronto, S., Kusnaedi, A., Simon, I. dan Prasetyo, W., 2008, Volkanisme kompleks Gunung Patiayam di Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, 3 (2), 75-88.
Newhall, C.G., Bronto, S., Alloway, B., Banks, N.G., Bahar, I., del Marmol, M.A., Hadisantono, R.D., Holcomb, R.T., McGeehin, J., Miksic, J.N., Rubin, M., Sayudi, D., Sukhyar, R., Andreastuti, S., Tilling, R.I., Torley, R., Trible, D. and Wirakusumah, A.D., 2000, 10,000 Years of explosive eruptions of Merapi Volcano, Central Java: Archaeological and modern implications, Jour. Volc. Geoth. Res., 100, 9-50.
Neumann van padang, M., 1939, Uber die vielen tausend Hugel im westlichen Vorlande des Raoeng-Vulkans (Ost Java): De Ingenieur in Nederl. Indie Jg. 6, no. 4, sect. 4, 35-41.
Neumann van Padang, M., 1951, Catalogue of the Active Volcanoes of the World Including Solfatara Fields. Part I Indonesia, Internat. Volc. Assoc., Via Tasso I99, Napoli, Italia, 271.
Nila, E.S., Rustandi, E. & Heryanto, R., 1995, Geological map of the Palangkaraya Quadrangle, Kalimantan, scale 1 : 250,000, GRDC, Bandung.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi dan H.M. Rosidi, 1977, Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, skala 1 : 100.000, Direktorat Geologi, Bandung.
Rock, N.M.S., Aldis, D.T., Aspden, J.A., Clarke, M.C.G., Djunudin, A., Kartawa, A., Miswar, Thompson, S.J. dan Whandoyo, R., 1983, Peta geologi lembar Lubuksikaping, Sumatra, skala 1: 250.000, Puslitbang Geologi, Bandung.
Rosidi, H.M.D., Tjokrosapoetro dan Pendowo, B., 1976, Peta geologi lembar Painan dan Muarasiberut bagian timurlaut, Sumatra, Puslitbang Geologi, Bandung.
Rustandi, E., Nila, E.S., Sanyoto, P. Dan Margono, U., 1995, Peta geologi lembar Kotabaru, Kalimantan, skala 1: 20.000, skala 1: 250.000, Puslitbang Geologi, Bandung.
Sampurno, 2004, Jejak Langkah Geologi Dari Borobudur Hingga Punclut, Kumpulan Karya Tulis Purnabakti 70 tahun Sampurno, ITB, Bandung, 217.
Siebert, L., 1984, Large volcanic debris avalanches: Characteristics of source area, deposits, and associated eruptions, J. Volc. Geoth. Res., 66, 367-395.
Simanjuntak, T.O dan Surono, 1992, Peta Geologi Lembar Pangandaran, Jawa, skala 1 : 100.000, Puslitbang Geologi, Bandung.
Situmorang, R.L. and Burhan, G., 1995, Geological Map of the Tanjung Redeb Quadrangle, Kalimantan, scale : 250,000, GRDC, Bandung.
Surono, Toha, B. dan Sudarno, I. 1992. Peta geologi Lembar Surakarta Jawa, skala 1: 100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, vol. IA, Martinus Nijhoff, Government Printing Office, The Hague, 732.
21