Upload
buletin-gju
View
255
Download
27
Embed Size (px)
DESCRIPTION
De - Nasionalisasi Indonesia Upaya untuk memberangus peran negara dalam perekonomian, telah menjadi kebijakan utama rezim yang berkuasa di Indonesia saat ini. Berbagai peraturan perundang-undangan dan keputusan politik dikeluarkan dalam rangka menggantikan posisi negara, khususnya di bidang ekonomi dengan perusahaan-perusahaan swasta. Suatu upaya yang secara keseluruhan ditujukan untuk menyerahkan perekonomian kepada mekanisme pasar bebas.
Citation preview
Bila ada saran dan kritik
sampaikan kepada:
Institute Global Justice - IGJ
Jl. Matraman 12A
Jakarta 10430
Telp. 021-310 7578
Fax. 021-310 7586
WTOPerundingan WTO Buntu, Negara Berkembang Menginginkan Praktek Kolonial Diakhiri 4
FTA“FREE TRADE AGREEMENT / FTA”
Memperdalam Ketidakseimbangan Hubungan Ekonomi 6
NasionalPRIVATISASI BUMN: SEBUAH IRONI 8
Ponny Anggoro
Program Privatisasi BUMN :
Penyelamatan APBN Melalui De-Nasionalisasi 14
Salamuddin daeng
Privatsiasi Sebagai Landasan Ekonomi Neoliberal 18
Salamuddin daeng
Teori Sesat Landasan Kebijakan Hutang 19
Salamuddin daeng
Menjadi Bangsa Mandiri “Mungkinkah ?” 20
Perusahaan Obyek Privatisasi Tahun 2008 s/d Tahun 2009 22
OpiniIDEOLOGI DAN HAKEKAT PRIVATISASI :
De - Nasionalsiasi menuju RE-KOLONIALISME 26
Bonnie Setiawan
PublikUTANG DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN:
Pencarian Jalan Alternatif 29
Ivan A Hadar
Isu-Isu dan Perspektif Seputar Privatisasi 35
Ichsanuddin Noersy
FTZ BBK Kepentingan Siapa, Kita atau Singapura ? 37
Oleh: Edy Burmansyah
BudayaREKOMENDASI PEMBENTUKAN BUDAYA ASEAN 42
Surat Pembaca 42
Global
Justice
Update
Tahun 6 No.2 Juli 2008
Redaksi
Pimpinan Redaksi
Bonnie Setiawan
Redaktur Pelaksana
Salamuddin Daeng
Reporter
Herjuno NK
Kontributor
Ponny Anggoro
Revitriyoso Husodo
Layout
Sulistiyono
GJU - Juli 20083
Upaya untuk memberangus peran negara dalam perekonomian, telah menjadi kebijakan utama
rezim yang berkuasa di Indonesia saat ini. Berbagai peraturan perundang-undangan dan keputusan
politik dikeluarkan dalam rangka menggantikan posisi negara, khususnya di bidang ekonomi dengan
perusahaan-perusahaan swasta. Suatu upaya yang secara keseluruhan ditujukan untuk menyerahkan
perekonomian kepada mekanisme pasar bebas.
Keluarnya Undang-undang migas, undang-undang energi, undang-undang penananam modal dan
berbagai peraturan berbau neoliberal lainnya, menunjukkan keseriusan rezim yang berkuasa untuk
menghilangkan tanggung jawab negara dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh warga
negara. Melalui berbagai kebijakan, sumber-sumber ekonomi strategis seperti sumber daya alam minyak,
gas, mineral dan batu-bara, diserahkan kepada perusahaan-perusahaan swasta asing. Industri dasar,
industri telekomunikasi yang memiliki posisi penting dalam perdagangan internasional, dijual kepada
swasta asing. Tidak hanya itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak, seperti Pertamina, PLN, BUMN yang bergerak di sektor keuangan dan perbankan,
serta transportasi, diserahkan kepada pihak swasta dan dikelola sepenuhnya untuk kepentingan meraup
keuntungan semata.
Dalam rangka mensukseskan segala urusan pivatisasi dan swastanisasi aset-aset publik, seperti BUMN,
industri migas, Perusahaan Listrik Negara (PLN), perbankkan nasional dan lain sebagainya, Pemerintahan
SBY-JK membentuk suatu badan yang disebut komite privatisasi. Kebijakan tersebut disahkan melalui
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2006 Tentang Komite Privatisasi Perusahaan
Perseroan (Persero). Sebuah lembaga yang ditugaskan oleh pemerintah untuk mengobral BUMN kepada
pemodal-pemodal besar, khusnya pemodal asing. Melalui komite privatisasi inilah, dalam tahun 2008
Pemerintah SBY – JK mengemukakan niatnya untuk menjual sedikitnya 34 BUMN kepada pihak swasta
dengan berbagai skema penjualan.
Alasannya yang dikemukakan pemerintah sebagai dasar legitimasi dalam melakukan privatisasi adalah
untuk meningkatkan profesionalisme, efisiensi dan keuntungan usaha milik negara tersebut. Padahal
alasan sebenarnya adalah pemerintah butuh uang, para pejabat negara butuh uang, dan salah satu cara
yang paling mudah adalah menjual warisan negara yang masih tersisa, yaitu BUMN-BUMN tersebut.
Serangkaian kebijakan penguasa yang dengan sangat terencana melakukan upaya menghilangkan
peran negara dalam “melindungi ekonomi warga negara”. Kebijakan tersebut sejalan dengan keinginan
perusahaan multinasional (TNC/MNC ) dan lembaga keuangan multinasional (IMF & World Bank) yang
sangat bernafsu menguasai asset-aset strategis dan menjalankan ekonomi pasar secara total di Indonesia.
Pemerintah lupa bahwa BUMN adalah institusi ekonomi yang dibangun dari tabungan uang rakyat, yang
fungsinya untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.
Redaksi
De - Nasionalisasi Indonesia
GJU - Juli 20084
Pertemuan sendiri mulur hingga 30 Juli 2008. Saya
berpendapat proses negosiasi kurang transparan. Terutama
ketika dibentuk kelompok perunding dengan jumlah terbatas 7
negara (G-7) yang hanya beranggotakan AS, Uni Eropa, India,
Brazil, Jepang, Australia, dan China,” demikian diungkapkan
oleh Celso Amorim, Perwakilan Brazil untukn perundingan
pertanian.
Menurut dia, Brazil, India, Indonesia dan negara
berkembang lain, tidak termasuk dalam kelompok G-7.
Dalam hal ini, Indonesia jelas-jelas kehilangan kesempatan
untuk memperjuangkan kepentingan nasional. “Jika hanya
mendengarkan pendapat 7 negara tersebut sebagai bahan
untuk perundingan berikutnya, maka tentu akan sangat
kehilangan arah,” ujarnya.
Untuk itu, lanjut Amorim, delegasi perunding negara
berkembang, termasuk Indonesia, harus menyampaikan
protes keras dan meminta agar proses perundingan lebih
transparan. Selain itu juga mengikutsertakan seluruh unsur dan
mengutamakan pendekatan dari bawah, sehingga tidak didikte
negara maju.
Selanjutnya, Indonesia yang juga menjadi juru bicara
kelompok G-33 (negaranegara berkembang) harus
memaksimalkan posisinya. “Kita sangat berkepentingan agar
special products (SP/produk khusus) dan special safeguard
Pertemuan terbatas tingkat menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa yang seharusnya
berlangsung 21-25 Juli 2008, namun mulur hingga 30 Juli 2008, berlangsung mengecewakan. Pembahasan
dalam sidang-sidang Dewan Umum dan peundingan Pertanian cenderung merugikan kepentingan petani
kecil Indonesia, sehingga pemerintah harus menolak kesepakatan WTO yang merugikan kepentingan nasional.
Perundingan WTO gagal setelah para delegasi bertemu secara maraton selama sembilan hari.
Perundingan WTO Buntu, Negara Berkembang Menginginkan
Praktek Kolonial Diakhiri
mechanism (SSM/mekanisme perlindungan) terakomodasi
dalam draf modalitas perundingan sektor pertanian,”
ucapnya.
Amorim lantas menjelaskan, bagi negara berkembang, SP
dan SSM merupakan kepentingan mendasar, karena terkait
perlindungan terhadap produk-produk yang menyangkut
hajat hidup petani. Ini juga menyangkut kelangsungan
hidup masyarakat di perdesaan yang sangat rentan dengan
kemiskinan. Oleh karena itu, kesepakatan di WTO harus
ditolak. Demikian juga jika tidak ada mekanisme perlindungan
petani dalam bentuk SSM. Maka ketika pasar domestik
dibanjiri komoditas impor, maka bentuk kesepakatan apapun
tentu tidak ada manfaatnya bagi kepentingan nasional.
“Putaran Doha (kesepakatan WTO sebelumnya) adalah
agenda pembangunan. Oleh karena itu isu-isu mengenai
pembangunan haruslah tercermin dalam perumusan drafm
modalitas, khususnya yang menyangkut SP dan SSM. Petani
kecil di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, sungguh
menderita dengan distorsi dari pasar dunia yang diisi produk
bersubsidi berlebihan dari negara-negara maju. Sementara
mereka memaksakan liberalisasi pasar di negara-negara sedang
berkembang. Jadi adalah sangat tidak adil apabila petani
kecil dengan kepemilikan luas lahan rata-rata 0,3 hektare
harus bertarung di negara sendiri dengan produk impor hasil
WTO
GJU - Juli 20085
WTO
pe r t an i an
korporasi, bahkan Trans National Corporations dari negara
maju yang disubsidi. Hasil akhirnya adalah kemiskinan dan
ketertinggalan kaum tani kita,” ungkap Martin Khor dari Third
World Network, sebuah jaringan LSM internasional yang fokus
pada isu globalisasi dan perdagangan bebas.
Jadi, sejalan dengan perlunya memperjuangkan SP dan
SSM, Indonesia juga harus meminta penurunan subsidi
pertanian di negara-negara maju. Selain itu juga mendorong
peniadaan berbagai kebijakan perdagangan yang merugikan
negara berkembang, seperti kebijakan kredit ekspor, bantuan
pangan, dan subsidi ekspor. Sementara itu, berbagai negara
di dunia, termasuk negara maju, sektor pertanian masih
mendapat perlindungan. Dalam hal ini, Indonesia tidak bisa
membuka pasar produk pertaniannya, karena berdampak
pada kehidupan petani nasional yang merupakan sebagian
besar masyarakat di Indonesia.
“Pertanian tetap perlu perlindungan. Kita tidak bisa
membuka impor seenaknya. Ketahanan sektor pertanian
terkait dengan ketahanan pangan kita. Jangan sampai kita jadi
tergantung dengan impor. Jepang dan China juga melakukan
proteksi. Di WTO, yang ada hanya ego negara maju yang
membidik Indonesia dan negara berkembang karena punya
pasar yang cukup besar. Jadi kalau perundingan WTO
merugikan negara berkembang, maka harus ditolak dan kita
tetap menjaga sektor pertanian dan
usaha kecil. Menurut Khor, selama ini negara maju memberikan
proteksi pertaniannya dan melakukan praktik dumping (harga
ekspor lebih murah dari dalam negeri) secara terselubung.
“Mereka (negara maju) memberikan kredit ekspor untuk
negara yang mau menampung hasil pertaniannya. Jadi tidak
mungkin petani kita bersaing dengan petani negara maju yang
disubsidi pemerintahnya. Jadi harus ada proteksi pasar dengan
melakukan pembatasan impor,” ungkap Khor dalam buletin
South-North Development Monitor (SUNS).
Wakil perunding India, Kamal Nath, mengatakan, gagalnya
perundingan WTO memperlihatkan sikap negara berkembang
yang menginginkan praktik ”kolonial” diakhiri.
”Pada saat ini, negara berkembang ingin menyeimbangkan
kekuatan, khususnya mengenai subsidi pertanian yang mereka
pandang sebagai warisan dari masa lalu. Saya rasa pandangan
ini benar,” ujar Nath di dalam buletin SUNS. Lamy mengatakan,
negosiasi terbaru itu telah memperlihatkan adanya kekuatan
dunia baru yang dipelopori India, China, dan Brasil, yang ingin
meninggalkan jejaknya pada perdagangan dunia.
Delegasi lain, Menteri Luar Negeri Norwegia Jonas Gahr
Stoere, menulis artikel di sebuah koran dan menyebutkan,
”Saya telah menyaksikan kebangkitan kekuatan baru yang
mewakili semua negara dan mempertahankan hak mereka.”
Kesepakatan mengenai besaran subsidi dan tarif impor dalam
kerangka Putaran Doha tidak tercapai.
Perundingan mengenai masalah ini sudah dibahas selama
tujuh tahun terakhir. Kegagalan ini dapat dikatakan merupakan
yang terparah dari serangkaian pertemuan dan negosiasi soal
perdagangan dunia.
Pembicaraan terhenti setelah India, salah satu kekuatan
ekonomi besar, dan AS, negara dengan perekonomian terkuat,
tidak mencapai kata sepakat tentang bagaimana negara miskin
dapat menaikkan tarif impor untuk melindungi petani mereka
dari serbuan impor produk pertanian.
AS menolak usulan India dan China bahwa negara
berkembang diperbolehkan menaikkan tarif impor pertanian
sebesar 25 persen jika volume impor naik 15 persen. Washington
bersikeras kenaikan tarif impor dapat dilakukan jika kenaikan
impor mencapai 40 persen.India berpendapat pagu sebesar 40
persen itu terlalu tinggi. Pada saat impor sudah naik sebanyak
itu, akan banyak petani yang bunuh diri karena frustrasi.
Ketika ditanya kapan akan diadakan lagi pertemuan untuk
mengatasi masalah itu, Pascal Lamy, Direktur Jenderal WTO,
mengatakan terlalu dini untuk menentukan jadwal. ”Akan
tetapi, pada umumnya ada pendapat bahwa kita tidak bisa terus
bertahan pada posisi sekarang ini,” ujarnya lagi. Pemerintah
India menyatakan siap kembali ke meja perundingan untuk
membicarakan soal perdagangan global. India juga tetap
bertekad tidak akan melunakkan permintaannya dalam rangka
melindungi petani miskin. India juga menyatakan kegagalan
perundingan di Geneva adalah karena sikap AS.
”AS menyebabkan kemandekan akibat sebuah isu yang
bukan merupakan isu vital perdagangan, tetapi terkait dengan
kehidupan para petani,” ujar Menteri Perdagangan India Kamal
Nath. ”Saya dapat bernegosiasi tentang perdagangan, tetapi
tidak dapat berkompromi mengenai kehidupan petani. Nasib
petani miskin sangat rentan dan tidak dapat dikorbankan demi
kepentingan komersial negara maju,” ujar Nath, yang selalu
mengatakan bahwa New Delhi tidak akan mengorbankan
kepentingan jutaan petaninya dalam perdagangan global.
Nath menyebut kegagalan itu sebagai kemunduran serius. ”AS
hanya mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri, sementara
India dan negara-negara berkembang lainnya berupaya keras
untuk melindungi kehidupan para petaninya,” kata Kamal
Nath. (HNK)
Sumber : South-North Development Monitor (SUNS) edisi 6074, 30
Juli 2008 dan South Centre’s Analysis and News of the WTO’s Mini-
Ministerial, dalam www.southcentre.org
GJU - Juli 20086
Penolakan Korea Selatan mengadakan FTA dengan
Amerika Serikat ini merupakan sebuah usaha yang cukup
gigih di tengah maraknya FTA yang banyak dijalankan
oleh negara-negara maju ke negara berkembang.
Setelah perundingan di Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO) mengalami kebuntuan, banyak negara maju
yang beralih strategi untuk menjalankan FTA. Sampai
sejauh ini, ada lebih dari enam puluh perjanjian FTA
yang ditandatangani negara-negara, namun perjanjian
tersebut tidak memperhatikan kepentingan masyarakat
secara luas. Surat yang dikimkan salah seorang pelajar
di Korea kepada Presiden AS, George W. Bush, Jr,
bahkan menyatakan, ”I want to ask you: Wouldn’t this
agreement be beneficial to the US only in the short
term? Couldn’t this agreement be perceived as violating
the rights of Koreans to feel safe? Please consider the
result that this agreement could and will leave, both
now and for the future.”
Saat ini di Indonesia tengah dilangsungkan
beberapa kesepakatan perdagangan bebas FTA yang
sedang dirundingkan dan akan berlaku di Indonesia
adalah ASEAN EU FTA, ASEAN Jepang FTA, ASEAN
India FTA, ASEAN Korea Selatan FTA, dan Indonesia
Jepang EPA. Kesepakatan perdagangan bebas yang
sedang dirundingkan antara ASEAN dengan Uni Eropa
(ASEAN EU FTA) akan membawa ke jurang kehancuran
yang signifikan bagi negara-negara di Asia Tenggara,
terutama karena karakter dua kawasan yang berbeda,
di mana UE merupakan sekumpulan negara maju
sedangkan di ASEAN masih banyak negara berkembang
yang mempunyai permasalahan ekonomi domestik
Beberapa waktu lalu, Korea Selatan diguncang oleh aksi keras di Kota Seoul hingga 6 menteri di
Kabinet terpaksa turun. Ini disebabkan oleh salah satunya kekhawatiran masyarakat Korea Selatan
oleh perjanjian US-Korea, yang menurut banyak orang hanya akan merugikan publik Korea.
Pasalnya, rakyat Korea Selatan menolak menerima sampah makanan dari Amerika yaitu daging sapi
Amerika yang diyakini mengandung sapi gila.
“FREE TRADE AGREEMENT / FTA” Memperdalam Ketidakseimbangan Hubungan Ekonomi
yang lebih kompleks dibandingkan engara yang sudah lebih mapan
secara ekonomi.
Beberapa penelitian (lihat Chandra 2007, Robles 2006)
menunjukkan bahwa kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-UE
FTA ini diperkirakan akan semakin memperdalam ketidakseimbangan
hubungan ekonomi antara kedua kawasan tersebut. Tabel di bawah
ini menggambarkan FTA yang sudah dan akan ditandatangani oleh
Indonesia.
Tabel
Kesepakatan Perdagangan Bebas yang telah disepakati Indonesia
No Nama Perjanjian Status
1 ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) Sudah disepakati
2 Indonesia – Jepang EPA Sudah disepakati
3 ASEAN-China FTA Sudah disepakati
4 ASEAN-Korea FTA Sudah disepakati
5 ASEAN-India FTA Sedang dirundingkan
6 ASEAN-EU FTA Sedang dirundingkan
7 ASEAN-Australia-New Zealand FTA Sedang dirundingkan
8 Indonesia – AS FTA Pra-negosiasi
9Indonesia – EFTA (Swis, Leichestein, Norwegia, dan Islandia)
Joint-Study Group
Perkembangan terbaru dalam perundingan ASEAN EU FTA saat
ini, sedang dilakukan perundingan terus menerus di dalam Joint
Committee for the EU-ASEAN Free Trade Agreement. Perkembangan
terbaru dalam perundingan tersebut, Uni Eropa mempercepat proses
perundingan, seperti yang dikatakan Karl Falkenberg, Deputi Direktur
UE untuk Hubungan Perdagangan, “We’ve set the rather ambitious
target of completing negotiations in about a year or a year and a half
— let’s say by the end of 2009, we should be able to achieve some
kind of outcome.” Diagendakan bahwa pertemuan Joint Committee
FTA
GJU - Juli 20087
FTA
berikutnya akan lebih intensif diadakan di
Negara-negara ASEAN, yaitu pada bulan
April di Bangkok, Thailand; bulan Juli di
Filipina dan bulan Oktober di Vietnam.
Tabel Nilai Ekspor dan Impor Non Migas Indonesia
Terhadap Negara Eropa (Ribu USD/Thousands of USD)
Tahun Ekspor (X) Impor (M) Selisih (X- M)
2000 9,193,357 4,881,245 4,312,112
2001 8,293,424 4,243,529 4,049,895
2002 8,365,588 4,171,049 4,194,539
2003 8,525,333 4,355,062 4,170,271
2004 7,342,746 6,480,799 861,947
2005 10,731,078 7,884,394 2,846,684
2006 12,913,788 8,895,018 4,018,770
2007 14,570,506 10,957,883 3,612,623
SUMBER : Bank Indonesia Tahun 2008, http://www.bi.go.id/biweb/Templates/Statistik
Ini merupakan langkah agresif
dari pihak Uni-Eropa, sebagaimana
dikatakan Peter Mandelsohn, EU Trade
Commissioner; “Strengthening the
commitment and focus of EU trade policy
in Asia is an important part of the EU’s
Global Europe trade strategy. An EU-
ASEAN FTA is a key part of that. This
meeting helped clarify issues and map
out the work ahead. I remain strongly
committed to a wide-ranging twenty-
first century trade agreement …”
Kami melihat ada banyak bahaya
besar yang akan diterima Indonesia /
negara berkembang lainnya di ASEAN jika
menyepakati kesepakatan perdagangan
bebas dengan EU. Pertama, bahaya
bagi sektor jasa di Indonesia (terutama
perbankan), kedua bahaya dengan
penerapan Hak atas Kekayaan Intelektual
(HaKI) yang makin ketat di Indonesia,
dan ketiga bahaya ekspansi industri
pertanian dan perikanan modern Eropa
ke Indonesia.
Dalam FTA, ada beberapa kasus di
ASEAN yang bisa menjadi pelajaran bagi
Negara lain. Misalnya, terkait dengan
persoalan TRIPs, Thailand didesak oleh
Merck (produsen farmasi) untuk tidak
melakukan compulsory licensing terhadap
obat-obatan AIDS (anti retroviral)
yang telah dipatenkan oleh beberapa
perusahaan multinasional, salah satunya
Merck. Compulsary licensing atau lisensi
wajib merupakan salah satu fleksibilitas
yang bisa digunakan oleh pemerintah
negara berkembang untuk menyediakan
obat dengan harga lebih murah, dengan
memproduksi versi generik di dalam
negeri atau mengimpor obat versi generik
dari obat-obat yang masih memiliki
paten.
Perlu diketahui, jangka waktu paten
adalah 20 tahun, selama waktu tersebut,
perusahaan memiliki hak monopoli dari
produksi, pemasaran, penentuan harga,
sampai distribusi. Lisensi wajib berupaya
untuk menyediakan obat versi generik dari
obat yang masih dilindungi paten. Dalam
Kesepakatan TRIPs di WTO, compulsory
licensing adalah hak bagi setiap
negara untuk melindungi kepentingan
bangsanya. Selengkapnya kesepakatan di
WTO itu berbunyi. “Each member has the
right to grant compulsory licenses and the
freedom to determine the grounds upon
which such licenses are granted (Pasal 5
(b))” Adanya kesepakatan perdagangan
bebas / FTA dengan Eropa akan membuat
sebuah negara tidak dapat melindungi
rakyatnya.
Dalam sektor kesehatan, di
Thailand perusahaan multinasional
terus menghalangi upaya pemerintah
untuk memberikan obat murah kepada
rakyatnya. Raksasa farmasi seperti Novartis
dan Merck telah menekan pemerintah
Thailand untuk menggagalkan lisensi
wajib obat-obatan. Sikap Uni Eropa
terhadap masalah paten ini juga demikian
halnya. Komisi Eropa bahkan meminta
Thailand untuk mengganti perundang-
perundangan lisensi wajibnya. Hal ini
tentu makin mempersulit akses rakyat
miskin terhadap obat-obatan karena
tingginya harga obat-obatan.
Pelajaran mahal bisa dipetik dari EU-
Afrika EPA yang telah ditandatangani
antara Uni-Eropa dengan Negara-negara
Afrika pada tanggal 12 Desember 2007.
Uni-Eropa telah menggunakan berbagai
cara tidak terpuji dengan menekan
dan mengancam negara-negara
tersebut untuk mengesahkan perjanjian
tersebut, termasuk dengan pembatalan
bantuan dan penutupan akses pasar
ke Eropa. Perjanjian tersebut berintikan
penghapusan semua hambatan atas
perdagangan, seperti memastikan
bahwa Negara-negara Afrika tidak akan
menerapkan pajak import atas produk
pangan Eropa yang bersubsidi tinggi guna
melindungi petani kecil mereka. Demikian
pula penghapusan atas persyaratan
local content yang diterapkan kepada
Negara-negara SADC (Southern African
Development Community). Intinya adalah
EPA tersebut bersifat WTO-Plus, yaitu
lebih luas dan komprehensif ketimbang
yang telah diatur di dalam WTO. (Tim).
Tabel Nilai Ekspor Dan Impor Nonmigas Indonesia Terhadap Negara-Negara Asean (Ribu $ US)
Tahun Ekspor (X) Impor (M) Selisih (X- M)
2000 9,828,385 3,724,593 6,103,792
2001 8,687,279 3,520,524 5,166,755
2002 9,173,836 3,804,671 5,369,165
2003 9,753,421 4,480,395 5,273,026
2004 28,360 6,285,506 (6,257,146)
2005 14,444,689 16,244,412 (1,799,723)
2006 16,577,915 16,471,960 105,955
Sumber : Bank Indonesia, Tahun 2008, http://www.bi.go.id
GJU - Juli 20088
Latar belakang:
Masyarakat kembali terhenyak mengetahui kabar bahwa pada triwulan III tahun ini dikabarkan akan ada 34 BUMN
yang rencananya akan diprivatisasi dan masih ada carry over dari 2007 sebanyak 10 BUMN.1 Menurut Menkeu Sri
Mulyani dengan 34 BUMN dan 10 carry over itu akan memberikan dampak positif bagi APBN yaitu Rp 1,5 triliun plus keseluruhan
perekonomian.
Dari tahun ke tahun sejak reformasi, privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) semakin meningkat saja. Tawaran mulai
dibuka lebar. Ini sebuah tantangan, jika anda tertarik untuk membeli saham BUMN di atas, hanya dengan mengajukan sebuah
proposal pendek dan mengajak partner MNC/TNC atau pejabat negara atau Bank Dunia untuk mencari koneksi sebuah MNC/TNC
sebagai partner, anda akan mudah memperoleh rekomendasi dari
pejabat Bank Dunia tersebut untuk mendapatkan pinjaman dari
sebuah bank internasional atau anak perusahaan Bank Dunia seperti
IFC (International Financial Corporation) dan MIGA (Multilateral
Investment Guarantee Agency). Di samping itu anda juga akan
mudah mendapatkan perlindungan atas investasi jika terjadi konflik
oleh ICSID (The International Centre for Settlement of Investment
Disputes). Berbagai perusahaan besar yang umumnya berawal dari
rekanan Presiden RI atau pejabat tinggi negara telah mendapatkan
kemudahaan itu untuk melakukan transaksi bisnisnya di Indonesia.
Dalam privatisasi BUMN kasus yang sama pun bisa terjadi.
1 Nama BUMN yang akan diprivatisasi antara lain: PT. Asuransi Jasa Indonesia, BTN, Jakarta Lloyd, Krakatau Steel, Industri Sandang, PTB Inti, Rukindo, Bahtera
Adi Guna, PT. Perkebunan Nusantara III, PT. Perkebunan Nusantara IV, PT. Perkebunan Nusantara VII, dan Sarana Karya, Semen Batu Raya, Waskita Karya,
Sucofi ndo, Surveyor Indonesia, Kawasan Berikat Nusantara, Kawasan Industri Medan, Kawasan Industri Makasar, Kawasan Industri Wijaya Kusuma, BNI Persero,
Adhi Karya (direncanakan rights issue), Pembangunan Perumahan (melalui IPO), Kawasan Industri Surabaya, dan Rekayasa Industri (ada saham negara hampir
5 persen), PT. Dirgantara Industri, Boma Vista, PTB Barata, PTB Inka, Dok Perkapalan Surabaya, Dok Perkapalan Koja Bahari, Biramaya Karya, Yodya Karya,
Kimia Farma dan Indo Farma (keduanya mau merger), PT. Kraft Aceh, dan Industri Kapal Indonesia.
PRIVATISASI BUMN: SEBUAH IRONIPonny Anggoro
Program Officer di Institute for Global Justice (IGJ)
Kilang Minyak Natuna
Kilang Minyak Balongan Dalam
Nasional
GJU - Juli 20089
Nasional
Privatisasi sebagai bagian dari liberalisasi ekonomi
di Indonesia sebenarnya diisukan secara bertahap sejak
masa pemerintahan Suharto, yakni sejak diberlakukannya
deregulasi dan dikorporasikannya perusahaan negara menjadi
perusahaan umum. Didorong oleh krisis keuangan pada
tahun 1998, menyusul dikenakannya kewajiban pemerintah
untuk melakukan bail out atas hutang bank-bank swasta
yang menyebabkan deficit APBN, maka pemerintah diminta
oleh IMF melalui Letter of Intent memberlakukan Undang-
undang No 22 Tahun 2001 mengenai privatisasi BUMN sebagai
perusahaan public (PERSERO). UU ini kemudian diikuti Peraturan
Pemerintah No. 31 of 2003. Contoh BUMN yang termasuk
paling awal diprivatisasi adalah PN Pertamina yang diubah
menjadi PT. PERTAMINA (PERSERO) pada tanggal 9 Oktober
2003. Keberhasilannya kemudian diikuti oleh penjualan saham
PT. Indosat dsb. Ironisnya, dalam proses jual beli itu pada
prakteknya privatisasi hampir tidak berhubungan dengan
kepentingan untuk mendapatkan pendapatan negara yang
signifikan walaupun selalu dikatakan untuk mengurangi defisit
APBN. Privatisasi umumnya selalu lebih mengutamakan cipratan
dana hasil penjualan kepada para pejabat negara atau partai
politik yang terkait serta peran pialang atau broker yang sangat
menentukan, sehingga harga jual sahamnyapun tidak dinilai
sesuai harga pasar (undervalued). Sementara itu para pekerja
juga meminta hasil penjualannya dengan mengatasnamakan
nasionalisme. Inilah yang sering menimbulkan kontroversi,
pro dan kontra, baik dalam isu ekonomi maupun politik.
Pengumuman atas diprivatisasikannya PT. Semen Gresik kepada
Cemex pada tahun 1998 dan PT. Indosat kepeda Singapore
Telcom & Telemedia tahun 2002 misalnya sudah mengundang
kontroversi diikuti oleh konflik politik antara para pejabatnya,
tokoh politik dengan Menteri dan jajaran Menteri BUMN.
Kedua saham perusahaan ini memang dijual dengan harga
yang sangat, sangat murah.
Melihat situasi itu muncul berbagai pertanyaan, antara
lain, apa tujuan dan sasaran sebenarnya atas penjualan itu?
Apakah penjualan itu dipastikan efektif bagi Negara? Apakah
yang diinginkan hanya sekedar pemasukan Negara dalam
jumlah yang banyak atau hanya untuk memenuhi deficit
APBN? Menyimak pendapat Tony A Prasetyantono, ada faktor
ekonomi yang menyebabkan BUMN dijual. Pertama, oleh alasan
X-efficiency (Harvey Liebenstein 1966), yakni perlu adanya
efisiensi di luar kompetisi. Kedua, allocative efficiency (JS Mill
1848) yang memandang bahwa adanya mopnopoli natural
akan menyebabkan pasar dengan sendirinya mendorong
2 Kwik Kian Gie, dalam artikel “Pikiran dan Jiwa yang Terkorupsi”, Kompas, Sabtu 18 Desember 2004, menyadur ucapan Joseph Stiglitz di harian Jakarta
Post.
pencapaian efisiensi melalui persaingan. Ketiga, dynamic
efficiency oleh Joseph Schumpeter, yang mempersyaratkan
inovasi manajemen. Keempat, adalah dorongan deficit
anggaran belanja pemerintah.
Yang menjadi masalah adalah jika yang dijual itu adalah
asset Negara yang bersifat strategis dan menguntungkan yang
dalam penjualan ini dijual secara murah, maka seluruh bumi
Nusantara akan terganggu aktifitas ekonomi dan politiknya.
Dengan alasan kebangkrutan dengan beban untuk membayar
hutang, mengurangi pengangguran atau kemiskinan, apalagi
terutama ditambah dengan kondisi krisis ekonomi seperti yang
dialami Indonesia di tahun 1998 yang menyebabkan deficit
APBN yang jumlahnya puluhan trilyun, ditambah dengan proses
jual beli secara koruptif yang melibatkan sejumlah pejabat,
pemerintah tentu akan menjual murah BUMN nya. Tidak heran
jika Stiglitz menyatakan, ”developing countries to be aware of
widespread corruption in the privatization process…”, dan “in
many countries, privatization got the name of briberization” 2
Sekarang mari kita lihat kolom Indonesia pada tabel di
bawah. Kolom Indonesia dalam tabel ini menyebutkan hasil
transaksi privatisasi yang pernah meningkat drastis di tahun
2003 dan 2004, kemudian menurun cukup drastis pula di
tahun 2005 dan 2006. Dibandingkan dengan Cina, perolehan
Indonesia tidaklah besar, namun loss atau kerugian secara
finansial saja yang harus dialami Indonesia sangatlah besar.
Tabel 1Hasil Transaksi Privatisasi per Tahun
(AS$ juta)
Region / Country
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
East Asia & Pacific
10,780 1,659 1,830 8,136 8,037 14,708 51,230
China 10,279 958 1,598 6,066 4,122 14,086 50,356
Fiji .. .. 28 .. .. .. ..
Indonesia 115 .. 188 691 841 448 270
Malaysia .. .. 16 347 1,871 .. ..
Philippines 147 70 .. 7 4 .. 486
Thailand 239 631 .. 1,025 1,066 .. ..
Vietnam .. .. .. .. 134 174 119
Sumber: Data Bank Dunia 2007
Seperti bermain monopoli, sebagai pembeli, anda dengan
mudah dapat memilih dan segera melakukan transaksi
atas asset Negara yang dijual murah ini menurut kehendak
anda dengan jaminan pinjaman perusahaan multinasional/
multilateral kelas dunia tersebut di atas. Sayang, dari table di
atas untuk tahun 2001 tak dimuat privatisasi yang dilakukan. Di
GJU - Juli 200810
tahun itu yang dijual adalah PT. Telkom dan PT. Sucofindo, dua
di antara “the golden boys” BUMN Indonesia yang sebenarnya
sangat strategis dan paling menguntungkan jika pemerintah
tidak gegabah menjualnya. Dengan back up UU No 22/2001
sektor-sektor BUMN yang diperjualbelikan pemerintah meliputi
sektor mineral (PT. Batubara Bukit Asam, PT. Aneka Tambang),
energi (PT. Gas Negara), kimia dan kesehatan (PT. Kimia Farma,
PT. Indo Farma, PT. Bio Farma),asuransi (PT. Asuransi Kesehatan
Indonesia), telekomunikasi (PT. Telkom, PT. Indosat), pariwisata
(PT. Bali Tourism & Development), jasa (Perum Jasa Tirta),
kawasan industry (PT. Kawasan Berikat Nusantara, PT. PDI Pulau
Batam), infrastruktur , tekstil (PT. Primissima), perkebunan dan
kehutanan (PTPN III, PTPN X, PT. PSB, PT. Perhutani), pendidikan
(PT. Balai Pustaka),
Adapun criteria yang digunakan umumnya adalah bahwa
BUMN beroperasi dalam sektor atau industry yang kompetitif,
dengan perubahan cepat dalam teknologi dan kepemilikan
saham pemerintah minoritas, tidak lagi mayoritas. Metode
penjualan yang dilakukan, selain menggunakan IPO (Initial
Public Offering) juga right issue (melalui penjualan P.T.Telkom
dan P.T. Antam) atau strategic sale.3 IPO dilakukan yakni
dengan menciptakan proses penjualan strategis, pembelian
oleh manajemen pekerja (employee management buy out),
pembelian oleh pemerintahan regional (regional government
buy out) dan likuidasi. Umumnya dengan metode privatisasi
seperti ini manajemen yang baru ditetapkan dengan
menggunakan pekerja lokal dengan hanya satu sampai sepuluh
pekerja asing. Namun demikian umumnya perbedaan gaji,
jaminan dan perlindungan terhadap karyawan antara pekerja
asing dan lokal sangat tinggi. Demikian pula perbedaan standar
gaji di Indonesia dengan Vietnam dalam kelas dan kemampuan
yang sama misalnya mempunyai perbedaan yang signifikan.
Indonesia lebih banyak diasosiasikan sebagai Negara dengan
pekerja yang sulit diatur. Di sisi lain pekerja Indonesia terlihat
masih belum mampu membedakan kondisinya dengan kondisi
pekerja di Negara tetangga. Faktor ini belum memperoleh porsi
perhatian yang luas dari para karyawan ataupun akademik.
Masalah perbedaan kesejahteraan sangat perlu diperhatikan.
Jika kompetisi sangat tinggi, apalagi akan dibentuk
Masyarakat Ekonomi ASEAN beberapa saat lagi, perlu dipikirkan
mengenai perlakuan perusahaan yang seharusnya dalam
standar yang sama antara pekerja Indonesia dengan pekerja
Singapore misalnya dalam kelas dan lapangan kerja yang
sama. Tanpa itu, atau berupaya memanipulasi kemungkinan
itu dengan membedakan PDB masing-masing Negara, maka
faktor penguasaan tenaga dan keahlian oleh pemilik modal
tak akan terbendung lagi. Pihak pemilik modal akan semakin
menutupnya dengan berbagai peraturan dan hambatan
perdagangan termasuk dalam pengaturan yang lebih “kurang
ajar” dalam dispute of settlement dan kesepakatan dalam
perdagangan bebas.
Perebutan peran lembaga donor di Indonesia
Di Indonesia yang terjadi adalah kasus yang sedemikian
merugikan. Mengapa demikian? Mari kita cermati lebih lanjut.
Umumnya aksi privatisasi sebuah perusahaan akan diikuti
dengan restrukturisasi asset, inovasi manajemen dan pola
produksi perusahaan. Restrukturisasi ini umumnya berakibat
pada rasionalisasi pegawai yang mengatasnamakan efisiensi
dan inovasi seperti dijelaskan di atas. Namun, ada “the invisible
hands”, yang selalu mendengungkan, “Bagaimanapun,
privatisasi harus dilaksanakan”. Alasan ini secara tegas diminta
dan disahkan oleh IMF dalam Letter of Intentnya kepada
pemerintah Indonesia di tahun 1999 dan terus diperbarui di
tahun 2000 dan 2003. Indonesia yang pejabatnya korup ini
pun diam (karena jika diam berarti akan mendapat “emas”,
limpahan keuntungan penjualan aset). Permintaan IMF ini
sejalan dengan komitmennya bersama lembaga donor lain
seperti Bank Dunia, dll. dalam Konsensus Washington di tahun
1992 yang dimaksudkan untuk melaksanakan proses liberalisasi
dalam globalisasi dalam rangka mengakhiri krisis ekonomi
yang muncul di Negara-negara berkembang (pada waktu itu
krisis ekonomi yang terjadi berada di Negara-negara Amerika
Latin). Ketika posisi IMF di Indonesia melemah, ditandai dengan
gagalnya konsep IMF dalam proses bail out hutang swasta
diikuti dengan dihentikannya perjanjian hutang baru Indonesia
pada IMF, Bank Dunia dengan gesit segera menggantikan dan
memperbesar posisinya dalam proses privatisasi dan upaya
legalisasi liberalisasi ekonomi, menggantikan posisi IMF dan
Bank Dunia sendiri.
Kebijakan privatisasi sebenarnya sudah sejak lama
dikumandangkan melalui Bank Dunia dan peraturan liberalisasi
perdagangannya dinegosiasikan di World Trade Organization
menurut aturan kesepakatan yang diatur dalam General
Agreement on Trade in Services (GATS). Peraturan dengan
prasyaratnya (conditionalities) ini menciptakan korporasi
antar Negara yang mengeruk sumberdaya Negara untuk
dimanfaatkan demi kebutuhan vital di tangan manajemen
korporasi swasta dengan keuntungan yang diambilnya atas
hasil pelayanannya.4 Seperti telah dikemukakan di atas, peran
3 Pandu Patriadi, “Studi Efektifi tas Kebijakan Privatisasi BUMN dalam Rangka Pembiayaan APBN”, www.fi skal.depkeu.go.id
Nasional
GJU - Juli 200811
Nasional
lembaga multilateral sangat vital dalam mensukseskan
privatisasi. Kesuksesannya atas privatisasi adalah kesuksesan
yang milayaran dolar AS jumlahnya. Berbagai penelitian baik
oleh Bank Dunia maupun dengan menghampiri intelektual
nasional maupun internasional, dilakukan untuk mencari bukti
kuat mengenai istimewanya prospek privatisasi di Indonesia.
Dari hasil penelitian itu diperoleh kesimpulan dan legitimasi
yang misinya sama dengan Bank Dunia, antara lain bahwa,
privatisasi akan mendatangkan keuntungan signifikan,
dengan manajemen dan ongkos produksi yang efisien,
perolehan pajak membesar, dibelanjakan melalui investasi
capital, dengan hasil dan pencapaian ketenagakerjaan yang
maksimal dan menurunkan rasio hutang.5 Dari hasil penelitian
semacam itu kemudian program ditentukan, terutama proses
reformasi hukumnya.
Berulangkali pemerintah harus mengundangkan dan
mengeluarkan Peraturan Presiden atau keputusan Pemerintah
mengenai privatisasi dan liberalisasi dengan sektor-sektor yang
melingkupinya. Surat Keputusan Presiden No.18 Tahun 2006
tentang Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero),
misalnya, adalah keputusan untuk menegaskan privatisasi yang
dilakukan oleh komite tersebut secara sah, dengan mengingat
atau merujuk pada serangkaian ketentuan privatisasi yang
ada dalam peraturan yang terdahulu seperti Pasal 4 ayat (1)
Amandemen Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang
No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-
undang NO 8 tentang Pasar Modal, Undang-undang No 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No
19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-
undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
Peraturan Pemerintah NO 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan
Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada
Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum)
dan Perusahaan Jawatan (Perjan) kepada Menteri Negara Badan
Usaha Milik Negara, Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2005
tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (PERSERO),
peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2005 tentang Pendirian,
Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha
MIlik Negara. Peraturan ini semakin kuat ketika pemerintah
kemudian mengesahkan Undang-undang Penanaman Modal.
Melalui rentetan peraturan ini maka Indonesia sudah disahkan
untuk menetapkan dirinya dengan privatisasi demi kelancaran
liberalisasi ekonomi. Padahal perundangan ini umumnya
tidak melalui prosedur publik yang komprehensif. Proses
perencanaan, persetujuan DPR sampai pengesahan oleh
pemerintah dilakukan secara sepihak dan dalam kurun waktu
yang relative singkat.
Apakah ini merugikan? Mari kita perhatikan, dengan menjual
asset seperti di atas, yang terjadi antara lain adalah, pertama,
negara menurunkan nilai jual asset, yang sebenarnya menurut
standar ekonomi nilai jual tinggi seperti pada PT. Telkom
misalnya AS$6 milyar. Namun oleh karena ada alasan legal
untuk memenuhi target pembayaran hutang dan mengurangi
kemiskinan, asset menjadi turun sebesar AS$2 milyar. Kedua,
Negara harus mencarikan sektor lain yang menggantikan posisi
tenaga kerja yang dirasionalisasi (dipensiun/dianggurkan). Ini
dapat menimbulkan masalah. Karena di satu sisi pemerintah
umumnya tidak siap dengan merelokasi para angkatan kerja.
Demikian pula pihak perusahaan yang tidak mau menanggung
beban keuangan ganda jika ikut merelokasi para angkatan
kerja. Ironisnya, umumnya pemerintah di Indonesia tidak pernah
mampu menyediakan lapangan kerja yang lebih baik dan lebih
protektif dibanding lapangan kerja di BUMN. Di samping itu
pemerintah tidak berupaya untuk membuat manajemen dan
produksi BUMN menguntungkan. Kalaupun ada keuntungan,
maka keuntungan ini umumnya lebih banyak masuk ke
kantong-kantong pejabat BUMN, pemerintah maupun partai
politik
Dengan perebutan dana dan pengaruh ini Indonesia
sebenarnya telah kehilangan hal lain dalam privatisasi yang
lebih parah, yakni kerugian Indonesia yang berlipat ganda yang
berhubungan dengan masalah keamanan Negara. Indonesia,
dengan menjual PT. Telkom berarti mengalihkan rahasia negara
ke perusahaan/negara pembeli. Mengapa? Karena PT. Telkom
adalah perusahaan telekomunikasi Negara yang menghimpun
seluruh saluran telekomunikasi yang pasti meliputi rahasia
telekomunikasi (percakapan, saduran, tapping, pembuatan
saluran rahasia, penguasaan akses radar/satelit, ruang
telekomunikasi rahasia, dll.) milik negara di seluruh wilayah
Indonesia. Kita hanya akan meringis merasa sia-sia ketika
mengetahui pekerjaan kebanggaan kita dalam merancang
dan melakukan advokasi public UU Rahasia Negara misalnya
justru ditertawakan para pemegang saham PT.. Telkom ini
karena semua akses telekomunikasi yang bersifat rahasia sudah
dikuasai mereka yang bukan orang Indonesia.
Kerugian lain? Tentu saja masih ada, Indonesia banyak
kehilangan akses dan potensi ekonomi di negeri sendiri. Gas
Negara sudah dikuasai Jepang, juga lalu lintas perdagangan dan
harga minyak yang dikuasai Singapore dan korporasi-korporasi
4 Vandana Silva, “World Bank, WTO, and corporate control over water”, International Socialist Review, Aug/sep 20015 Laporan penelitian Dr. Suad Husnan, “Privatization”, disampaikan dalam sebuah seminar di Yogyakarta, 24 Oktober 2002.
GJU - Juli 200812
internasional itu. Apalagi dengan akan disahkannya kesepakatan
perjanjian perdagangan bebas yang intinya memberlakukan
pembebasan bea masuk dan barang modal, dan kemudahan
pembelian begitu banyak asset ekonomi lainnya, yang dimulai
dengan penandatanganan Economic Partnership Agreement
antara Indonesia dengan Jepang, diikuti Indonesia dengan
India, dll. Semakin pendek sudah usia Indonesia di tangan
korporasi tanpa ada pembatasan-pembatasan pengerukan
yang disahkan dengan undang-undang.
Gerakan Anti Privatisasi
Seperti telah dijelaskan di atas privatisasi BUMN selalu
menimbulkan pro dan kontra, karena ia menyangkut asset
Negara dan kepentingan hajat hidup rakyat. Dan gerakan anti
privatisasi umumnya sejenis dengan gerakan anti globalisasi/
liberalisasi. Bagi kelompok penganut aliran Marxis aktifitas
ilegal TNC/Bank Dunia mengontrol ekonomi dunia, eksploitasi
kelas pekerja, menyebabkan memburuknya kondisi masyarakat.
Reformasi sosial yang munculpun masih dibawah tekanan
kapital global. Meningkatnya kontradiksi produksi modern
menyebabkan efek perbedaan teknologi (mesin), pembagian
kerja pekerja, konsentrasi kapital, penguasaan tanah oleh
sekelompok kecil orang, over-produksi & krisis, runtuhnya kelas
lama (petty bourgeois) & pekerja, anarki produksi, melebarnya
ketidaksamaan, menurunnya moral, hubungan kekeluargaan
dan nasionalitas.6
Sedangkan bagi kelompok liberal mereka menganggap
dunia sudah terlalu komersil, sehingga negara tak mampu
mengendalikan. Sehingga terjadi over produksi yang
menyebabkan pasar jenuh. KOndisi ini menyebabkan krisis.
Dalam kondisi ini pemerintah harus membuat keputusan
dengan menaikkan suku bunga. Dalam titik tertentu kenaikan
suku bunga akan menyebabkan inflasi tinggi (tahun ini di
Amerika Serikat inflasi lebih oleh pengaruh harga pangan dan
BBM dan merosotnya perdagangan saham oleh anjloknya
prime mortgage bisnis properti).
Neo klasik seperti Joseph Stiglitz dkk menyatakan bahwa
manajemen negara besar terlalu kemaruk/serakah (greedy).
Sehingga yang terjadi adalah ketimpangan antara Negara
miskin yang resourceful yang lebih dikendalikan oleh Negara
maju. Oleh karena itu kurangi peran donor dan lembaga donor
yang seringkali memanipulasi kepentingan dengan berbagai
ancaman, antara lain terorisme dan pemanasan global, tidak
lagi bergantung pada PDB (PDB naik, masyarakat tetap miskin).
Dengan demikian hanya negara yang siap dalam teknologi,
informasi, sumberdaya kelas dunia, pengalaman matang &
good governance akan berhasil.
Di Indonesia ada nuansa atau rasa kepemilikan,
perlindungan dan rasa usaha bersama berdasar suasana
kekeluargaan yang menjadi bagian nafas dari cara kerja BUMN
di Indonesia. Dengan standar gaji dan dinamika kerja yang
masih dibawah standar perusahaan swasta besar lainnya di
kelas yang sama, hampir setiap karyawannya menyatakan
kerelaannya untuk bekerja di BUMN. Bekerja di BUMN adalah
kebanggaan dan symbol kesetiaan warga Negara kepada asset
negaranya. Ironisnya, usaha seperti ini selalu diganggu oleh
intervensi pejabat pemerintah dan partai politik. Nilai-nilai dan
budaya ini tidak berlaku bagi sebuah perusahaan modern yang
dinamis dan meminta penggandaan keuntungan yang besar
dalam waktu yang cepat dan kalau bisa masuk ke aras global.
Perbedaan besaran keuntungan sangat jelas terlihat dalam
kedua usaha sekelas yang berbeda nilai ini. Lembaga dunia
manapun kemudian akan menilai kondisi BUMN seperti ini
tidak menguntungkan dan berpotensi hancur. Banyak indikasi
yang memperkuat pendapat ini. Dari ratusan BUMN banyak
diantaranya yang tutup atau dalam kondisi yang kembang
kempis. Pabrik gula di PT.P IX di Ceper Klaten, atau Cepiring, di
Kabupaten Kendal misalnya selalu terancam ditutup karena tidak
mampu lagi memberikan rendemen tebu yang menguntungkan
disebabkan oleh cara pengelolaan perkebunan yang seadanya
dan mesin yang tua dengan kapasitas yang semakin berkurang,
sehingga harga jual pun jauh menurun. Upaya pemerintah
pun hampir tak ada. Pemerintah terkesan seperti membiarkan
kondisi ini secara perlahan dan pasti mengempis lalu
mati. Bank Dunia barangkali juga secara sengaja tidak mau
membantu menciptakan restrukturisasi BUMN semacam ini. Ini
menyebabkan swasta membeli saham pabrik ini dengan sangat
murah.
Penutup
Gerakan ekonomi berhubungan dengan upaya dan nafsu
manusia menguasai perekonomian. Upaya penguasaan ini
sering tak terbatas. Dalam system apapun pergerakan ekonomi
ini akan mencapai titik kulminasi keruntuhan dan boomingnya
sendiri yang bisa datang sewaktu-waktu dan dalam proses
yang singkat atau rumit sekaligus. Lihat bagan teori klasik
Schumpeter di bawah ini. Ia memperlihatkan bagaimana secara
ringkas gerakan ekonomi berputar dan mencapai skala tahapan
kebutuhan atau kondisi ekonomi secara berangkai dari situasi
yang paling sukses sampai situasi krisis.
6 Michel Chossudovsky, The Globalisation of Poverty: Impacts of IMF and World Bank Reforms, University of Michigan, USA, Michigan: Third World
Network, 1997, hal 36.
Nasional
GJU - Juli 200813
Nasional
Privatisasi dimanapun di seluruh dunia selalu menimbulkan
kontroversi. Ketika ia dibeli raksasa-raksasa ekonomi, suasana
dapat saja sekejap menjadi cerah dan mengundang pesona.
Namun demikian para pekerja yang semula menderita sesak
nafas di BUMN lama begitu dirumahkan oleh pemilik baru dapat
menimbulkan suasana kepedihan. Bagi yang dipekerjakan,
sebagus apapun suasana baru itu, belum tentu membuat
pekerja yang lama akan menikmati. Suasana kerja yang daya
pacunya berbeda jauh dengan suasana lama semakin akan
diperhitungkan untung ruginya. Ini menimbulkan kelelahan
tersendiri.
Suasana demikian menurut banyak media tidak terjadi
jika yang memiliki asset lebih banyak Negara seperti yang
banyak terjadi di Negara-negara Amerika Latin dan Cina.
Walaupun banyak terjadi privatisasi namun pemerintah Cina
masih mempunyai kekuasaan untuk mengatur kiprah ekonomi
BUMNnya, sehingga rakyat dan negara malah diuntungkan.
Demikian pula dengan Bolivia misalnya. Presiden Evo Morales
banyak melakukan perubahan untuk menguasai asset negaranya
dari upaya pencaplokan pemerintah dan MNC Amerika Serikat.
Strategi ekonominya dinamakan “The Trade Treaty of the
Peoples (TCP)”. Mari kita simak TCP, lalu bandingkan dengan
Indonesia.
Berlawanan dengan ideologi kapitalis, TCP memperdebatkan
prinsip integrasi perdagangan mengenai komplementaritas,
kerjasama, solidaritas, resiprositas, kesejahteraan and respek
atas kedaulatan negara. Tujuannya meliputi aspek-aspek yang
tidak terdapat dalam integrasi perdagangan yang diajukan pihak
Utara, yakni mengenai pengurangan kemiskinan secara efektif,
perlindungan pada komunitas lokal dan lingkungan hidup. Bagi
TCP investasi dan perdagangan adalah untuk pembangunan
bukan untuk memelaratkan. UKM, produsen lokal/kecil,
industri mikro, koperasi, perusahaan milik komunitas dengan
fasilitas pasar/pertukaran eksternal. TCP memahami investasi
dan perdagangan tidak berakhir tapi untuk pembangunan.
Tujuannya tidak liberalisasi pasar secara total tapi untuk
kesejahteraan rakyat. Ia mempromosikan model integrasi
perdagangan antara rakyat dengan membatasi hak investor
asing dan MNC, supaya pembangunan nasional terjamin.
TCP juga tidak menghambat pengunaan mekanisme yang
memajukan industrialisasi atau melarang proteksi pada area
tertentu di pasar internal yang menguntungkan masyarakat.
Di Indonesia pemerintah tidak mau bertindak seperti Evo
Morales dkk di Amerika Latin. Ketergantungan pada peran
Bank Dunia, MNC/TNC dan Negara maju sangat kuat. Dengan
demikian pemerintah tidak mampu menciptakan suasana
kebebasan perpindahan modal dan teknologi yang diikuti
oleh kebebasan pekerja. Yang dilakukan adalah dominasi
oleh penguasa dan pemberian wewenang pada pengusaha
atas pekerja. Pekerja benar-benar dimanfaatkan sebagai
faktor produksi yang diperlakukan semurah-murahnya. Ini
ditambah dengan kecilnya perhatian pemerintah atas kondisi
upah dan perlindungan yang relative optimal, apalagi dalam
suasana kenaikan BBM dan bahan makanan sekarang, semakin
mengebiri pekerja untuk berproduksi secara optimal. Demikian
pula, aparat birokrasi dirasakan masih juga mengganggu
kinerja perusahaan. Pekerja sangat merasakan betapa
perlakuan pemerintah sangat berbeda kepada pemilik modal
dan pekerjanya padahal keduanya mempunyai kelas yang
relative sama dalam berproduksi yang dengan demikian
menguntungkan perusahaan.
Lebih mengenaskan lagi, dalam menjamin suasana kerja
dan perlindungan tidak ada langkah sekecil apapun yang
diperlihatkan Bank Dunia kepada nasib pekerja dan asset
Indonesia selain social safety net yang sifatnya sedekah,
spasial dan ad hoc itu. Yang dikejar Bank Dunia hanyalah
keuntungannya yang pasti akan meningkatkan reputasinya di
mata dunia terutama di mata pemerintahnya di Amerika Serikat.
Sudah saatnya asas undang undang mengenai perlakuan
yang sama (equal treatment) harus diubah untuk menghargai
kedudukan rakyat dan negara. Demikian pula pengelolaan dan
pemilikan lahan harus oleh rakyat Indonesia dengan fasilitas
khusus kepemilikan dan pengelolaan tanah bagi rakyat miskin
Indonesia. Dalam hal tenaga kerja, kekuatan mereka dalam
melakukan pekerjaannya harus menurut standar internasional
dengan hak/kewajiban yang sama pula. Negara harus tetap
sebagai pemilik tanah dengan asset yang dapat diolah secara
terbatas. Memang, rejim, dibantu oleh kaum akademis, yang
kuat selalu menang dan menjaga wibawa semata-mata demi
kemenangan politiknya bukan demi Negara dan kesejahteraan
rakyat. Jika hanya mempertahankan kebijakannya tanpa
mempertahankan nasib Negara dan rakyat niscaya sebuah
pemerintahan atau rejim akan jatuh, karena di masa kini sudah
sulit mempertahankan dominasi tanpa memperhatikan nasib
rakyat dan tanah air. Itulah ironinya.***
GJU - Juli 200814
Program Privatisasi BUMN :Penyelamatan APBN Melalui De-Nasionalisasi
Sebagaimana kita tahu bahwa tindakan penyelamatan
APBN telah menjadi kebijakan prioritas pemerintahan ditengah
tekanan krisis. Secara terbuka pemerintah menyatakan
“Menyangkut alokasi anggaran di APBN, bagi pemerintah
adalah bagaimana menyelamatkan APBN dan bukan
menyusun APBN yang ideal,” kata Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono saat membuka Rapat Pimpinan Nasional (Rapinas)
Kamar Dagang dan Industri Nasional (Kadin) 2008 di Jakarta
Convention Centre (JCC), hari Senin (31/3).
Statemen pemerintah tersebut ditujukan untuk menyikapi
tekanan anggaran akibat kenaikan harga minyak mentah dunia,
meroketnya harga komoditas pangan dan gejolak keuangan
dalam negeri yang terjadi sejak awal tahun 2008. Pemerintah
lebih mengutamakan upaya menyelamatkan Anggaran
Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) berikut perubahannya,
ketimbang menyusun APBN yang secara alokatif anggaran
Privatisasi adalah cara yang paling mudah bagi pemerintah untuk mendapatkan setoran dalam mengisi kantong
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apalagi ditengah kondisi dimana tekanan dalam anggaran
pemerintah yang sedemikian besar, baik yang diakibatkan oleh utang luar negeri yang besar, kenaikan harga
minyak dunia, maupun yang dipicu oleh penurunan nilai tukar mata uang rupiah terhadap Dolar AS, maka
kebijakan privatisasi akan menghasilkan dana segar yang akan menjadi sumber keuangan pemerintahan yang
berkuasa dalam menyelamatkan kekuasaan politiknya.
lebih berpihak kepada rakyat, pro pada subsidi dan
proteksi ekonomi rakyat.
Langkah penyelamatan APBN melalui kebijakan
pencabutan subsidi dan privatisasi pada hakekatnya
hanyalah kebijakan yang mengamankan kemampuan
APBN untuk membiayai penyelenggaraan kekuasaan,
pembayaran hutang pokok dan bunga hutang domestik
dan luar negeri dan pembangunan infrasruktur dalam
mendukung investasi asing. Sebaliknya, penyelamatan
APBN semacam ini berarti semakin menjerumuskan rakyat
ke dalam krisis yang lebih dalam. Buktinya kebijakan
pemerintah menaikkan harga BBM dan kebijakan berwatak
neoliberal lainnya seperti privatsiasi dan swastanisasi asset-
aset publik, telah menghasilkan sumber penerimaan yang
besar bagi pemerintah, akan tetapi pada saat yang sama
Nasional
GJU - Juli 200815
Nasional
rakyat harus berhadapan dengan kenaikan harga-harga
kebutuhan pokok dan semakin rendahnya akses masyarakat
terhadap berbagai jenis kebutuhan dasar, yang semestinya
disediakan oleh negara melalui perusahaan publik atau BUMN.
Akibat dari langkah “penyelamatan APBN” tersebut,
kondisi ekonomi yang dialami rakyat Indonesia terus memburuk
dari tahun ke tahun. Krisis yang dihadapi rakyat tidak sebatas
krisis moneter, rendahnya nilai tukar mata uang atau tingkat
inflasi yang tinggi. Krisis yang menghantam kehidupan
rakyat berkaitan dengan aspek paling fundamental dalam
perekonomian seperti pengangguran, kemiskinan, kelangkaan
bahan makanan dan menurunnya akses masyarakat terhadap
berbagai jenis kebutuhan dasar. Memburuknya kondisi ekonomi
yang dihadapi rakyat tersebut, adalah akibat langsung dari
kebijakan pemerintah yang kelewat sibuk mengurus dirinya
sendiri, menyelamatkan APBN dan melepaskan tanggung
jawab negara terhadap keselamatan rakyat dengan menjual
perusahaan-perusahaan negara.1
Apa yang dihasilkan oleh pemerintah dengan kebijakan
neoliberal semacam ini ?, pertama, pemerintah dapat melepaskan
tanggung jawabnya terhadap kondisi krisis yang dihadapi
masyarakat, yaitu krisis yang diakibatkan oleh melemahnya
akses masyarakat terhadap kebutuhan pokok dan kebutuhan
dasar, kedua, pemerintah dapat mempertahankan APBN
yang dibutuhkan dalam penyelenggaran pembangunan versi
lembaga-lembaga pemberi hutang dan sekaligus mengamankan
anggaran yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan kekuasaan
politiknya.
Pemerintah Pelayan Hutang
Apakah masalah dalam APBN berkurang setelah pemerintah
mencabut subsidi BBM ?, ternyata tidak…!. Buktinya pasca
kebijakan menaikkan harga BBM pada pertengahan Bulan
Mei lalu, pemerintah kembali merencanakan penjualan BUMN
melalui program privatisasi. Sedikitnya 34 BUMN rencananya
akan di privatisasi oleh pemerintah SBY – JK dalam tahun 2008.
Alasannya sama, yaitu beratnya beban yang harus ditanggung
oleh APBN sehingga membutuhkan sumber-sumber pembiayaan
baru.
Pemerintah hampir tidak pernah menyebutkan bahwa
beban terbesar dalam APBN adalah dikarenakan hutang luar
negeri yang besar. Besarnya kewajiban membayar cicilan
hutang pokok dan bunga hutang domestik dan luar negeri,
telah menyedot sebagian besar pendapatan negara, baik
yang diperoleh dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat
maupun dari sumber pendapatan lainnya.
Bahkan jumlah yang harus dibayarkan pemerintah
sebagai bunga dan cicilan hutang pokok, jauh lebih besar
dibandingkan dengan jumlah yang dikeluarkan bagi
subsidi BBM atau subsidi apapun seperti subsidi kesehatan,
pendidikan, pupuk bagi pertanian dan subsidi terhadap
sektor ekonomi rakyat lainnya. Dalam hal ini pemerintah
lupa bahwa tanggung jawab terbesar dari APBN adalah
menyelamatkan rakyat dari tekanan krisis.
Tabel
Pembayaran Pokok dan Bunga Pinjaman Luar Negeri (Juta USD)
TahunPemerintah
Swasta
TotalLembaga Keuangan Non
Lembaga Keuangan Non
BankBank
Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai
1998 5,905 1,893 3,424 14,464 25,686
1999 5,800 2,116 5,312 23,503 36,731
2000 5,313 1,055 3,752 19,054 29,174
2001 7,048 620 4,124 10,815 22,607
2002 7,374 984 4,824 7,800 20,982
2003 6,451 579 5,078 6,793 18,901
2004 9,032 602 6,265 6,532 22,431
2005 7,234 749 7,812 8,569 24,364
2006 17,057 1,394 8,819 11,665 38,935
2007 9,188 1,643 9,673 16,147 36,651
Jumlah 80,402 11,635 59,083 125,342 276,462
Sumber : Bank Indonesia Tahun 2008
Data diatas menggambarkan bahwa posisi hutang luar
negeri Indonesia dalam 10 tahun terakhir menunjukkan
bahwa, akumulasi nilai hutang luar negeri Indonesia telah
mencapai jumlah yang sangat besar. Dalam catatan Bank
Indonesia (BI) jumlah hutang luar negeri telah mencapai
136,640 miliar US Dolar pada tahun 2007. Dengan asumsi
nilai tukar rupiah sebesar Rp. 9200 / 1 $ US, maka Jumlah
pokok hutang (hutang pemerintah dan hutang swasta),
dapat mencapai 1257 triliun atau hampir mencapai 2 kali
lipat APBN tahun 2007.
Besarnya pembayaran bunga hutang dan cicilan hutang
pokok telah menguras sumber-sumber pendapatan negara.
Dalam 10 tahun terakhir jumlah pembayaran hutang
pokok dan bunga hutang telah mencapai 276,462 juta
US Dolar. Jumlah tersebut mencapai 1,8 kali lebih besar
dibandingkan jumlah keseluruhan hutang pemerintah dan
hutang swasta pada tahun 2007, yaitu sebesar 136,640
juta US Dolar.
1 Dalam catatan Bank Dunia, pada ahir Tahun 2005, jumlah penduduk
miskin di Indonesia mencapai 49 Persen dari jumlah penduduk. Mereka
adalah masyarakat yang hanya berpendapatan antara US $ 1 sampai
dengan US $ 2 per hari. Keadaan tersebut belum bergeser hingga saat
ini, bahkan keadaanya cenderung memburuk.
GJU - Juli 200816
Saat ini, seluruh penerimaan negara baik pajak
maupun penerimaan sumber daya alam, tidak memiliki
kemampuan yang signifikan untuk mengatasi seluruh
pengeluaran pemerintah dalam penyelenggaraan negara
dan pembangunan. Hutang baru selalu menjadi sandaran
berikutnya, agar negara tetap dapat dipertahankan.
Padahal jumlah hutang baru yang diperoleh pemerintah,
tidak sebanding dengan jumlah yang dikeluarkan untuk
menutupi bunga hutang dan cicilan pokok hutang yang
pembayaran sudah jatuh tempo.
Meskipun hutang luar negeri sedemikian besar, dan
kewajiban yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia
juga besar, tampaknya hal tersebut bukan masalah yang
serius bagi pemerintah. Keadaan APBN yang demikian
justru menjadi alasan untuk menjalankan agenda
noeliberal lainnya, sebagaimana yang diamanatkan oleh
IMF dan World Bank. Agenda-agenda neoliberal tersebut
diantaranya adalah pencabutan subsidi dan privatisasi,
yang sampai saat ini belum berada pada tingkat yang
dipersyaratkan oleh lembaga-lembaga pemberi pinjaman
tersebut.
Menjual Warisan Negara
Pemerintahan Indonesia SBY – JK sudah sangat percaya
diri untuk melakukan penjualan BUMN. Pemerintahan ini
menyatakan bahwa tindakan tersebut sudah merupakan
langkah yang benar dan tepat untuk mengatasi masalah-
masalah yang dihadapi negara, khususnya masalah krisis
defisit dalam APBN. Sama halnya dengan dasar logika
yang digunakan ketika mencabut subsidi BBM, menaikkan
tariff dasar listrik (TDL), dan kebijakan pencabutan subsidi
lainnya. Kesemuanya dikatakan sebagai langkah yang
benar bagi perekonomian Indonesia2.
Setiap tahun pemerintah menargetkan sejumlah
tertentu pendapatan sebagai hasil penjualan BUMN.
Dalam sebuah dokumen hasil penelitian yang dikeluarkan
oleh Bappenas, pemerintah menargetkan pendapatan
sebesar US$ 90 miliar dari perolehan privatisasi (kumulatif
1999-2005) untuk percepatan pembayaran hutang3.
Suatu hal yang tidak dapat dibenarkan secara teoritik.
Hutang mestinya dibayar dengan produktifitas hutang
itu sendiri, bukan dengan menjual aset usaha yang dapat
menghasilkan keuntungan secara ekonomi.
Berapa nilai aset BUMN keseluruhan yang hendak dijual
oleh Rezim pendukung neoliberalisme ini ? Berdasar data
terakhir per triwulan I Tahun 2008, nilai aset 139 BUMN
mencapai Rp 1.891,5 triliun. Nilai tersebut mengalami kenaikan
9,9 persen dibandingkan nilai aset pada 2007 sebesar Rp
1.721,7 triliun4. Hal ini berarti bahwa dalam soal kepemilikan
BUMN Indonesia termasuk kaya ketimbang Singapura dan
Malaysia yang aset BUMN-nya jauh di bawah Indonesia. Aset
BUMN Singapura USD 60 miliar dolar, Malaysia USD 20 miliar
dolar. Aset terbesar BUMN diantaranya, Bank Mandiri Rp 256
triliun, PLN dan Pertamina di atas Rp 200 triliun5.
Sungguh merupakan asset yang luar biasa besarnya. Hal
ini yang menyebabkan pemerintahan SBY – JK menggunakan
aji mumpung sedang berkuasa, bagaimana meraup uang
yang besar dalam rangka membiayai penyelenggaraan
kekuasaan yang dipimpinnya, dengan menjual warisan
negara. Beruntungnya lagi, dengan kebijakan menjual BUMN,
pemerintahan sekaligus dapat menunjukkan bukti kesetiaan
kepada lembaga-lembaga keuangan multinasional (IMF/WB),
bahwa pemerintah Indonesia sangat taat kepada kedua
lembaga tersebut dalam menjalankan program-program yang
menjadi persayaratan hutang .
Pemerintah selalu menargetkan sejumlah penerimaan
tertentu sebagai hasil dari penjualan BUMN. Dalam tahun
2005, Kementerian Negara BUMN menargetkan nilai
privatisasi sebesar Rp 3,5 triliun. Pada tahun 2006 ditargetkan
nilai privatisasi neto6 sebesar Rp 1 triliun, yang terdiri dari
penerimaan privatisasi Rp 3,195 triliun dikurangi PMN BUMN
sebesar Rp 2,195 triliun. Privatisasi tersebut diperoleh antara
lain dengan penjualan saham Perusahaan Gas Negara sebesar
5,31 persen. Selanjutnya pada tahun 2007, privatisasi neto
sebesar Rp 2 triliun. Privatisasi neto terdiri dari penerimaan
privatisasi Rp 3,3 triliun dikurangi PMN sebesar Rp 1,3 triliun7.
Padahal, total laba bersih BUMN yang diserahkan kepada
negara sangat besar yaitu mencapai Rp 71,59 triliun dan
sebagian besar dihasilkan oleh 25 BUMN saja. Dari 25 BUMN
penghasil laba tersebut, yang memberikan laba cukup
2 On the track, Susilo Bambang Yudoyono, Tahun 2008
3 Ryan Nugroho dan Rendy R. Wrihatnolo, Ryan Nugroho adalah
Chairman RBI Research, konsultan manajemen untuk sektor privat dan
publik dan Rendy Wrihatnolo, S.Sos adalah Staf Direktorat Industri,
Perdagangan, dan Pariwisata, Kantor Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/BAPPENAS
4 Aset 139 BUMN Tembus Rp 1.891,5 T, sumber: jawapos.com, http://
radiospin.net/? p=1436, By ajisaka on July 8th, 2008
5 BUMN Targetkan Laba Rp100 T, Ir Muhammad Said Didu, Sekmen
BUMN, http://www1.bumn.go.id/ news. detail.html?news_id=20096
6 Privatisasi neto adalah nilai privatisasi dikurangi penyertaan modal
negara (PMN) BUMN
7 http://64.203.71.11/kompas-cetak/0612/09/ekonomi/3156828.htm
8 Ketua BUMN Watch Naldy Nazar Haroen, BUMN Terbaik Versi BUMN
Watch, LKBN Antara - Minggu, 11 Mei 2008, http://www.ptppa.com/
detilnews.asp? id=4383 &kode=5
Nasional
GJU - Juli 200817
Nasional
signifikan hanya PT. Pertamina , PT. Telkom Tbk, PT. Bank
Mandiri Tbk, PT. Bank BRI Tbk, PT. Bank BNI Tbk, PT. PGN Tbk,
PT. Antam Tbk, PT. Semen Gresik Tbk, PT. PPA (Persero), PT.
Bank BTN (Persero), PT. Pelindo II dan PT. Jasa Rahardja8.
Anehnya, justru BUMN dengan kemampuan menghasilkan
keuntungan yang sangat besar secara perlahan-lahan asetnya
“mutilasi” dan kepemilikannya diserahkan kepada modal asing.
suatu tindakan yang tidak berdasar secara ekonomi. Meskipun
tujuan pendirian BUMN pada awalnya bukanlah untuk mencari
laba atau keunt8ungan, akan tetapi sebagai alat bagi negara
dan pemerintahanya dalam menjamin pemenuhan kebutuhan
dasar rakyat, akan tetapi dengan tingkat laba yang dipeoleh
oleh BUMN saat ini, maka sesungguhnya kedudukan BUMN
memiliki kontribusi yang besar terhadap pendapatan negara.
Apalagi jika pengelolaan BUMN disertai dengan praktek
yang bersih dan menghentikan seluruh korupsi yang ada di
dalamnya, maka BUMN dapat menjadi alat penopang utama
perekonomian dan sekaligus sebagai sumber yang besar bagi
anggaran negara (APBN).
De-Nasionalisasi Indonesia
Privatisasi di Indonesia tampaknya hanyalah sebuah
kegiatan menjual perusahaan negara kepada pihak asing,
Bukan semata-mata menjual perusahaan kepada pihak swasta.
Kecenderungan menyerahkan BUMN kepada pembeli atau
penananam modal asing sangat terlihat menjadi motivasi
utama pemerintah. Salah satu indikasinya yang paling kuat
adalah bahwa sejak awal pemerintah memang menginginkan
penerimaan dalam bentuk valuta asing. Penerimaan semacam
itu hanya dapat diperoleh pemerintah salah satunya dari
penjualan BUMN kepada pihak asing. Selanjutnya penerimaan
tersebut adalah sumber pendapatan langsung bagi pemerintah
yang sedang berkuasa.
TabelPerubahan Jumlah BUMN di Indonesia
N0 Uraian 2002 2003 2004 2005 2006
I Jumlah BUMN 158 157 158 139 139
Perjan 15 14 14 0 0
Perum 11 13 13 13 13
Persero 124 119 119 114 114
Persero Tbk 8 11 12 12 12
II Jumlah Sektor BUMN 37 37 37 35 35
III Kepemilikan Minoritas 20 21 21 21 21
Jumlah BUMN terus mengalami penyusutan dari tahun ke
tahun. Tampaknya rezim pemerintahan yang didominasi dan
dikomandoi oleh para pengusaha ini, sangat menekankan
kebijakan privatisasi sebagai salah satu rencana utama mereka
terhadap ekonomi Indonesia. Penyusutan jumlah BUMN
tersebesar terjadi dalam tahun 2005-2006. Jika pada tahun
2004 dinyatakan masih terdapat sebanyak 158 BUMN, akan
tetapi pada tahun 2006 hanya tersisa 139 BMUN. Menneg
BUMN Sugiharto pernah mengatakan bahwa pemerintah
berencana menurunkan jumlah BUMN dari sekitar 150 BUMN
menjadi 50 BUMN paling cepat bisa dilakukan Tahun 2009.
Untuk mengejar target penjualan yang besar, pemerintah
terkesan seperti membabibuta. Privatisasi BUMN tidak disertai
dengan perencanaan yang benar dan perhitungan nilai asset
sesungguhnya dari BUMN-BUMN tersebut. Akibatnya puluhan
BUMN strategis dijual dengan harga murah. Beberapa pengamat
ekonomi menemukan keanehan, pasca BUMN tersebut jatuh
ke tangan swasta, nilai asetnya mengalami peningkatan besar,
padahal belum ada tambahan capital apapun pada perusahaan
eks BUMN tersebut.
Kebijakan pemerintah tersebut sejalan dengan dengan
rencana korporasi-korporasi besar asing, yang sejak awal
mengincar industri – industri strategis terutama BUMN yang
bergerak di sector pertambangan, migas, energi, telekomunikasi
dan keuangan. Hal ini dikarenakan kegiatan ekonomi di sector
tersebut, memiliki kedudukan yang penting dalam penyediaan
bahan mentah dan sumber energi bagi industri dan kedudukan
penting dalam perdagangan internasional.
Tidak mengherankan, kalau perusahaan-perusahaan asing
dan bahkan BUMN dari negara lain, berebutan membeli BUMN
Indonesia. Akibatnya sebagian besar BUMN yang dijual oleh
pemerintah diambil alih oleh modal asing, baik swasta maupun
pemerintah negara lain. Sehingga praktek penjualan BUMN
tersebut lebih tepat disebut sebagai tindakan de-nasionalisasi
Indonesia ketimbang privatsiasi. Sebuah tindakan mengisi
kas APBN dengan memindahkan kepemilikan aset-aset milik
negara Indonesia ke tangan pihak asing, baik swasta asing
maupun ke tangan negara lain.
* Salamuddin daeng
Program Officer Institute for Global Justice - IGJ
GJU - Juli 200818
Ada banyak definisi tentang privatisasi, secara umum
dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan mengubah status
kepemilikan usaha-usaha milik besama menjadi milik individu/
perorangan. Kebijakan privatsiasi selalu dihubungakan dengan
sumber ekonomi yang sebelumnya adalah milik publik, seperti
tanah, air udara, atau milik bersama lainnya seperti perusahaan
negara, yang dikelolah secara bersama-sama dan hasilnya
dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, diubah statusnya
menjadi milik pribadi/ perorangan, badan usaha swasta, yang
dikelola untuk kepentingan bisnis atau mencari keuntungan.
Privatisasi disebabkan oleh banyak faktor, baik yang berasal
dari dalam negara itu sendiri maupuan faktor-faktor yang
berasal dari luar. Pada negara-negara terbelakang privatisasi
lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari
luar, baik dalam bentuk tekanan-tekanan ekonomi maupun
tekanan politik. Tekanan dari luar tersebut, berhubungan
dengan kebijakan rezim global, yang ingin mempraktekkan
suatu system ekonomi politik neoliberal sebagai suatu
bangunan globalisasi ekonomi saat ini. Kebijakan rezim
global ini dijalankan melalui berbagai program pinjaman
kepada negara-negara miskin yang disertai dengan berbagai
persyaratan yang isinya adalah instrument-instrumen ekonomi
neoliberal, salah satunya adalah privatisasi.
Bagi negara-negara berkembang, kesediaan mereka
melakukan privatsiasi disebabakan oleh masalah-masalah
internal yang rumit seperti tekanan anggaran yang dibutuhkan
dalam penyelenggaraan kekuasaan politik, tekanan dalam nilai
tukar mata uang dan tekanan dalam kebijakan makro ekonomi
lainnya, besarnya kebutuhan akan investasi dari luar (foreign
direct investement), yang mengharuskan adanya aliran modal
dari luar untuk mengatasi masalah-masalah fiscal dan moneter
sebagai konsekuensi dari adanya perdagangan internasional.
Sementara aliran modal (uang) keluar pada saat yang sama
terjadi dalam jumlah besar, baik melalui cicilan hutang,
pembayaran bunga, transper keuntungan dan repatriasi asset
berlangsung secara tidak terkendali. Kesemuanya adalah
konsekuensi dari “kekebasan orang, uang dan barang untuk
bergerak” yang menjadi dasar utama liberalisasi ekonomi.
Apa yang menjadi motifasi utama privatsiasi adalah
bagimana memindahkan kekayaan ekonomi negara-negara
miskin, ke tangan pemilik-pemilik modal besar, yang notabene
adalah penguasa ekonomi dunia saat ini. Lembaga-lembaga
Privatisasi Sebagai Landasan Ekonomi Neoliberal Salamuddin daeng
Program Officer di Institute for Global Justice (IGJ)
keuangan internasioan dan negara-negara maju adalah kaki
tangan dari pemilik-pemilik modal tersebut dalam mencapai
tujuannya. Negara-negara maju dan lembaga keuangan
internasional tersebut bekerja untuk mensukseskan rencana-
rencana modal, mengatasi hambatan-hambatan politik dan
hukum yang dihadapi dalam rangka penguasaan sumber-
sumber ekonomi tersebut.
Bagi pemerintahan negara-negara miskin, kesediaan
mereka melakukan privatisasi di dasarkan pada pertimbangan
keuntungan jangka pendek. Privatsiasi meningkatkan
penerimaan pemerintah dalam bentuk valuta asing. Penerimaan
tersebut merupakan sumber keuangan yang menolong
pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah jangka pendek,
terutama berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Dalam skala makro ekonomi privatisi
meningkatkan investasi modal yang memberikan kontribusi
terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) negara
tersebut.
Apa yang diperoleh oleh pemerintah, berbeda dengan
akibat yang harus ditanggung rakyat. Berpindahnya asset-aset
dan sumber-sumber ekonomi yang sebelumnya milik public
ke tangan-tangan para pebisnis asing, menyebabkan semakin
rendahnya akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan
dasar pada tingkat harga yang terjangkau. Akibatnya, meskipun
secara makro ekonomi, terjadi pertumbuhan ekonomi
yang besar di negara tersebut, akan tetapi pada saat yang
sama tingkat kemiskinan dan pengangguran terus meluas.
Peningkatan pengangguran disebabkan karena privatsiasi
khsusnya yang berkaitan dengan persuahaan negara, selalu
diiringi dengan praktek efesiensi dalam bentuk pengurangan
jumlah penggunaan tenaga kerja.
Kebiajakan privatisiasi tampak sebagai landasan bagi
ekonomi neoliberal, suatu tindakan untuk menghilangkan
peran dan tanggung jawab negara dalam perekonomian.
Dalam sistem ini, negara tidak diperkenankan lagi mengambil
peranan dalam menguasai sumber-sumber ekonomi,
menjalankan kegiatan produksi dan menyediakan barang
dan jasa yang menjadi kebutuhan dasar rakyatnya. Seluruh
kegiatan ekonomi harus berlangsung dalam system pasar,
yang didasarkan pada system persaingan penuh tanpa campur
tangan negara. Terlibatnya negara dalam urusan ekonomi
dianggap sebagai faktor yang mendistorsi system pasar. ***
Nasional
GJU - Juli 200819
Nasional
Masalah hutang luar negeri Indonesia, telah menjadi
perhatian banyak kalangan dalam beberapa
tahun terakhir. Banyak pakar ekonomi dan kalangan LSM
telah menyerukan penghapusan hutang luar negeri dengan
berbagai alasan dan argumentasi. Salah satu alasan yang
paling mengemuka adalah jumlah hutang Indonesia sudah
sangat besar, bunga hutang dan cicilan pokok hutang yang
membebani anggaran negara dan menyerang kehidupan
rakyat miskin, yang jumlahnya terus meningkat.
Saat ini, jumlah hutang luar negeri telah bertumpuk
sangat besar. Hal ini menyebabkan setiap jatuh tempo
pembayaran, pemerintah selalu mengemis untuk meminta
penjadwalan ulang. Berbagai upaya ditempuh pemerintah
untuk memperoleh pendapatan agar dapat membayar bunga
hutang dan mengatasi devisit dalam neraca pembayaran,
seperti devisit investasi–tabungan, eksport-import dan defisit
dalam anggaran pemerintah. Salah satu upaya tersebut adalah
dengan menambah hutang baru.
Kedudukan hutang tidak hanya berhubungan dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata.
Hutang berkaitan dengan masalah-masalah makro ekonomi.
Negara-negara berkembang yang mengambil hutang dari
lembaga-lembaga keuangan multinasional dan negara-negara
maju mengandalkan sumber daya alam mereka sebagai
garantie untuk hutang yang diterimanya. Menerima hutang
berarti menerima seluruh sistem idiologi, politik dan ekonomi
yang ditawarkannya oleh pemberi hutang.
Sistem yang kemudian diturunkan dalam perencanaan-
perencanaan ekonomi baik makro maupun mikro ekonomi.
Bahkan indicator penilaian keberhasilan ekonomi Negara
penerima hutang didasarkan kepada kepentingan Negara
pemberi hutang. Dimana Negara penerima utang dapat
memberikan jaminan jangka panjang atas hutang yang mereka
terima, baik dalam bentuk pembayaran hutang pokok, bunga
hutang dan kesediaan menyerahkan sumber daya alam yang
mereka miliki, dan lain sebagainya.
Demikian halnya dengan Indonesia, sebagai salah satu
Negara miskin penghutang besar, Indonesia harus bersedia
menjalankan suatu sistem ekonomi dan politik yang diinginkan
oleh pemberi hutang termasuk juga indicator yang selanjutnya
Teori Sesat
Landasan Kebijakan Hutang
digunakan untuk menilai keberhasilan hutang yang diterima.
Dalam hal pengelolaan hutang, indicator yang digunakan
Indonesia sebagaimana disusun oleh Bappenas adalah debt to
GDP ratio (rasio hutang terhadap GDP ) dan debt to export
ratio serta debt service ratio. Penggunaan indikator ini lebih
dilatar belakangi untuk memberi legitimasi bahwa hutang luar
negeri Indonesia berada dalam batas aman bagi Negara atau
lembaga pemberi hutang. Dimana Negara-negara dan lembaga
pemberi hutang dapat menerima bunga dan cicilan pokok
sesuai jadwal dan dapat menyerap ekspor bahan mentah dari
Indonesia secara berkelanjutan.
Ketiga indicator tersebut di atas, adalah indicator yang
dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemberi pinjaman,
menjadikan resiko ekonomi yang kemungkinan dapat dialami
oleh lembaga atau negara pemberi pinjaman sendiri sebagai
ukuran dalam menentukan aman atau tidaknya hutang yang
diberikan. Hutang sama sekali tidak dihubungkan dengan
kemanan yang dapat diterima oleh setiap anggota masyarakat.
Misalnya dengan menguhubungkan antara hutang dengan
produktifitas hutang di dalam negeri dalam menghasilkan
pendapatan bagi masyarakat miskin, mengurangi angka
kemiskinan di Indonesia, meningkatkan kesempatan kerja dan
memperkecil kesenjangan pendapatan.
Penggunaan indicator di atas justru semakin memperburuk
keadaan yang dialami mayoritas rakyat Indonesia, yaitu
kelompok miskin dan pengangguran. Penggunaan PDB terlihat
cenderung menyesatkan, sepanjang yang kita ketahui bahwa
PDB sudah pasti tumbuh dalam perekonomian. Masuknya
hutang secara langsung akan menumbuhkan PDB, karena
hutang akan menciptakan pembelian barang dan jasa. Transaksi
tersebut pasti akan menumbuhkan PDB, tidak perduli apakah
hutang tersebut akan menciptakan produktivitas rakyat atau
tidak.
Selain itu, PDB sangat bergantung pada proyek atau
industry skala besar yang dapat menghasilkan produksi skala
besar, tidak berorientasi pada penyerapan tenaga kerja. Hal
ini dikarenakan PDB sangat melekat hubungannya dengan
kemampuan eksport sebagai mana yang diharapkan oleh
lembaga-lembaga pemberi pinjaman. Sementara yang menjadi
Bersambung ke hal. 34
GJU - Juli 200820
Menjadi Bangsa Mandiri “Mungkinkah ?”Salamuddin daeng
Program Officer di Institute for Global Justice (IGJ)
“Stop jadi bangsa kuli jadilah bangsa mandiri”. Demikian slogan yang sering dilontarkan oleh para aktivis
prodemokrasi, dalam berbagai forum seminar, diskusi dan bahkan tertulis di famlet-famlet saat aksi turun jalan
dalam merespon situasi Indonesia saat ini. Sebuah seruan yang cukup beralasan jika melihat kekayaan sumber
daya alam Indonesia, yang saat ini sebagian besar berada dibawah kekuasan modal asing.
Secara kasat mata kita dapat melihat bahwa Indonesia1
adalah negari yang kaya. Negeri ini memiliki sekitar
17.504 pulau besar dan kecil, dengan luas wilayah mencapai
1,904 juta km2. Perairan Indonesia terbentang sepanjang
81.000 km di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Dunia mengibaratkan negeri ini bagaikan untaian mutiara di
katulistiwa. Seluruh wilayah daratan Indonesia adalah tanah
yang subur. Menyediakan syarat bagi berkembangbiaknya
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Menjadikan Indonesia sebagai
wilayah dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia. Tutupan
hutannya mencapai lebih dari 100 juta ha dengan kekayaan
flora yang terlengkap di dunia. Selain itu, wilayah perairan
Indonesia kaya dengan beragam kehidupan laut. Terumbu
karangnya yang melengkapi keindahan pulau-pulau yang
terbentang dari Sabang hingga Meraoke.
Kesuburan tanah Indonesia menjadikan sebagai penghasil
utama komoditas penting di dunia. Tercatat bahwa Negara ini
adalah penghasil biji-bijian terbesar no 6, penghasil teh terbesar
no 6, penghasil kopi no 4, penghasil cokelat no 3, penghasil
minyak sawit (CPO) no 2, penghasil lada putih no 1, lada hitam
no 2; penghasil puli dari buah pala no 1, penghasil karet alam
no 2, penghasil karet sintetik no 4, penghasil kayu lapis no 1,
penghasil ikan no 6 di dunia.2
Tidak hanya permukaan tanahnya yang subur, tempat
tumbuh dan berkembang biaknya hewan dan tumbuhan,
juga didalam perut bumi Indonesia terkandung kekayaan
yang melimpah, baik minyak, gas, batubara dan berbagai jenis
mineral. Kekayaan alam yang secara keseluruhan merupakan
komoditi yang memiliki kedudukan sangat penting bagi
perdagangan, industri dan perekonomian dunia saat ini.
Di sektor migas, Indonesia termasuk dalam jajaran 20 besar
negara-negara penghasil minyak terbesar di dunia. Tahun 2005
Indonesia adalah produsen gas alam terbesar dibandingkan
dengan seluruh negara di Asia Oceania, Aprika, (2.606
Trilion Cubic Feet), dan termasuk dalam 10 Negara penghasil
gas terbesar di dunia (Rusia, US, Canada, Iran, Algeria, UK,
Norway, Montenegro, Netherlands, Indonesia). Data lainnya
menyebutkan bahwa Tahun 2008, Indonesia berada pada
urutan 7 negara eksporter gas terbesar di dunia. (Russia 182
billion cubic meters (14.7% of estimated total world exports),
Nasional
GJU - Juli 200821
2. Canada 101.9 billion cubic meters (8.2%), 3. Norway 78.1
billion cubic meters (6.3%), 4. Algeria 62.6 billion cubic
meters (5%), 5. Turkmenistan 58 billion cubic meters (4.7%),
6. Netherlands 50.2 billion cubic meters (4%), 7. Indonesia
29.6 billion cubic meters (2.4%), 8. Malaysia 29.1 billion cubic
meters (2.3%), 9. Qatar 26 billion cubic meters (2.1%), 10.
Trinidad and Tobago 21 billion cubic meters (1.7%).3 Selain itu,
Indonesia termasuk dalam 20 besar negara penhgasil minyak
mentah terbesar di dunia (54,8 juta ton, 2005).4
Kekayaan minyak bumi Indonesia telah dieksploitasi selama
lebih dari 100 tahun. Tambang Telaga Said merupakan tambang
minyak pertama yang ditemukan di Indonesia pada tahun 1885
, kemudian dieksploitasi oleh sebuah perusahaan milik Inggris
dan Belanda Royal Dutch dan mulai beroperasi pada tahun
1892, sekaligus mengawali sejarah dimulainya pengeksplorasian
sumber daya alam migas di Indonesia. Kemudian pada tahun
1944, sumur minyak Minas ditemukan oleh Caltex5 di Riau,
merupakan sumur terbesar di Asia Tenggara pada masa itu.
Meskipun demikian kekayaan alam minyak Indonesia masih
tersedia cukup besar dan terus menjadi incaran korporasi-
korporasi besar dunia.
Selain itu, di Indonesia ada sekitar 60 ladang minyak
(basins), 38 di antaranya telah dieksplorasi, sementara sisanya
masih belum. Di dalamnya terdapat sumber daya energi yang
luar biasa, kira-kira mencapai 77 miliar barel minyak dan 332
triliun kaki kubik (TCF) gas. Sementara kapasitas produksinya
pada tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barel minyak dan
2,26 triliun TCF.6
Indonesia juga adalah kekuatan utama dalam hal
penyediaan sumber energi lainya di dunia. Negara ini termasuk
produsen batubara urutan 10 besar dunia, bahkan Indonesia
berada dalam urutan ke 7 dari 10 negara penghasil batubara.
Perbedaanya adalah Negara Negara penghasil batubara yang
posisinya diatas Indonesia telah menggunakan sumber energi
mereka secara maksimal untuk memenuhi keutuhan energi
dalam negeri. Indonesia adalah eksporter batubara teresar
kedua di dunia setelah Australia, lebih tinggi dibandingkan
Cina, AS dan Rusia. Sebagian besar ekspor Indonesisa diserap
oleh Negara-negara Industri seperti Jepang dan Negara Industri
lainnya untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Jepang
adalah importir batubara terbesar di dunia. Sebagian besar
import batubara tersebut berasal dari Indonesia. Sebanyak 25
persen dari total eksport batubara Indonesia diserap sebagai
sumber energi oleh Jepang.
Tidak hanya itu, Indonesia bahkan telah dikenal sejak lama
sebagai negeri yang kaya akan bahan – bahan tambang baik
mineral. Sumber daya alam tambang mineral Indonesia adalah
yang paling terkemuka di dunia dan penghasil utama beberapa
mineral. Sebuah lembaga survey mencatat bahwa pada tahun
2005, Indonesia produsen bauxit no 7 dunia ( 7 juta ton), urutan
kedua dalam produksi tembaga (1,06 juta ton), urutan ke 6
dalam produksi emas (143,205 ribu kilogram), urutan ke tiga
produksi nickel (150 ribu tone), urutan 11 dalam hal produksi
perak ( 328,7 ribu kilogram).8
Negara Indonesia adalah penghasil timah kedua terbesar
di dunia setelah China, produksi timah Indonesia mencapai
110.000 ton per tahun atau sepertiga dari total produksi timah
dunia. Endapan timah di Indonesia merupakan lanjutan dari
salah satu jalur timah terkaya di dunia yang membujur dari
Cina Selatan, Myanmar, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia.
Di Indonesia jalur timah tersebut meliputi pulau-pulau
Karimun, Kundur, Singkep, Bangka Belitung, Beling dan daerah
Bangkinang serta Kepulauan Anambas, Natuna dan Karimata.
Penambangan timah terbesar berada di Pulau Bangka, Belitung,
dan Singkep.9
Kesimpulan bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya
akan sumber-sumber tambang, baik minyak, gas maupun
mineral, telah menjadi kesimpulan banyak pihak. Menurut
kriteria EITI (Extractive Industry Transparency Initiative), sebuah
gerakan global untuk mempromosikan transparansi di sektor
industri ekstraktif, menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah
satu negara yang tergolong negara kaya sumber daya alam
(Resource Rich Countries) yang memiliki kedudukan penting
bagi perdagangan dunia.
Gambaran di atas mamperlihatkan bahwa Indonesia
memiliki kemampuan yang sangat besar untuk menghidupi
dirinya sendiri, tanpa harus bergantung kepada bangsa lain.
Jika sumber-sumber alam dimanfaatkan secara tepat sebagai
modal industrialisasi dan pembangunan ekonomi rakyat, maka
untuk menjadi bangsa yang mandiri bukanlah mimpi.***
Posisi Indonesia terletak pada koordinat 6°LU - 11°LS dan dari 97° - 141°BT serta terletak
di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia/Oseania. Indonesia terdiri dari
5 pulau besar, yaitu: Jawa dengan luas 132.107 km², Sumatra dengan luas 473.606 km²,
Kalimantan dengan luas 539.460 km², Sulawesi dengan luas 189.216 km², dan Papua dengan
luas 421.981 km². http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia
World in Figure 2003, Penerbit The Economist,USA, http://km.itb.ac.id, Arah Teknologi
Kita,26/06/2006)
http://import-export.suite101.com/article.cfm/leading_natural_gas_ exporters
British geological Survey. 2002-2006
Caltex adalah Perusahaan minyak asal Amerika Serikat, sebuah perusahaan modal bersama
antara Texaco dan Chevron, adalah produser minyak terbesar di Indonesia dengan hasil
sekitar 690.000 barel perhari.
Liberalisasi Sektor Migas Indonesia, Oleh Hady Sutjipto, S.E., M.Si. Senin, 18 Juli 2005, dari
tulisan Dr. Kurtubi “The impact of oil industry liberalization on the effi ciency of petroleum
fuels supply for the domestic market in Indonesia,”, head offi ce Pertamina dan Pusat Kajian
Minyak dan Energi.
http://www.worldcoal.org/pages/content/index.asp?PageID=188
British Geological Survey Tahun 2008
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=PEMANFAATAN%20LAHAN%20 PASCA%2
0TAMBANG%20TIMAH&&nomorurut_artikel=54
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Nasional
GJU - Juli 200822
Perusahaan Obyek Privatisasi
Tahun 2008 s/d Tahun 2009
NO. Nama Perusahaan Keterangan Tentang Metode Privatisasi[2]
Keuntungan Dan Aset[1]
1 PT Asuransi Jasa Indonesia Dalam laporan keuangan perusahaan tahun 2007, disebutkan bahwa nilai kekayaan perusahaan mencapai 1,729 triliun. Pada tahun yang sama perusahaan membukukan keuntungan sebelum pajak sebesar 107,945 miliar.
Metode melalui IPO dengan maksimal 30 persen saham baru yang akan dilepas.
2 PT. Bahtera Adiguna Dalam rekomendasi yang disusun oleh PriceWater House Cooper, nilai akuisisi 100% saham Bahtera ditetapkan sebesar Rp 74 miliar. Modal dasar PT PBA ditetapkan sebesar Rp.86.696.000.000,00 terbagi atas 86.696 lembar saham dengan nilai nominal sebesar Rp1.000.000,00 per lembar saham.
Dengan 2 opsi IPO maksimal 30 persen saham baru atau strategic sales kepada bank BUMN maksimal 99,9 persen sahamnya.
3 PT. Bank Tabungan Negara Dalam laporan keuangan Triwulan I, Meret tahun 2008, nilai aktiva mencapai Rp. 37,121 trilun. Keuntungan 154,761 miliar rupiah.
Yang akan melalui strategis sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah.
4 PT. Barata Indonesia Aktiva yang dikelola PT Barata per 31 Desember 2004 sebesar Rp243.888 juta, per 31 Desember 2005 sebesar Rp251.778 juta, dan per 30 Juni 2006 sebesar Rp247.417 juta.
yang akan melalui strategis sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah.
5 PT. Jakarta Lloyd Hasil pemeriksaan BPK sampai dengan tahun 2004 menunjukkan nilai asset Rp. 1.296.065,49 juta . dengan realisasi laba bersih tahun 2004 sebesar Rp. 23.467,51 juta.
Melalui strategic sales dengan menjual maksimal 49 persen saham pemerintah.
6 PT. Dok Kodja Bahari Hingga saat ini, total utang Perusahaan mencapai Rp 1,2 triliun.
melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah.
7 PT. Industri Kereta Api Sebelumnya Dirut PT KAI, Ronny Wahyudi melaporkan realisasi kinerja tahun 2006 yang telah diaudit membukukan laba Rp 14,206 Milyar. Tetapi pihak Komisaris menilai laba usaha PT KA murni dari hasil usaha sesungguhnya adalah negatif, bahkan minus atau rugi. Perolehan laba bersih Rp 14,206 Milyar sesungguhnya disumbangkan oleh pendapatan di luar usaha serta tindakan koreksi atas sejumlah transaksi yang tidak diakuntansikan dan dilaporkan semestinya pada periode sebelumnya. Laporan kinerja PT KAI tahun 2006 mendapat skor 67. Skor 67 ini terdiri dari Kinerja Keuangan mendapat nilai 27, Kinerja Operasional mendapat nilai 34, sedangkan Kinerja Administrasi mendapat nilai 6.
melalui strategic sales dengan menjual maksimal 49 persen saham pemerintah.
8 PT. Krakatau Steel Dari laporan laba-rugi KS, terlihat pendapatan selama 2002-2007 terus meningkat dari Rp 6,388 triliun (2002) ke Rp 14,928 triliun (2007). Dari kinerja laba bersihnya, meski sempat anjlok pada 2006 (minus Rp 135,07 miliar), bisa naik drastis menjadi Rp 363,45 miliar pada 2007. Per 1 Mei 2008, laba KS dilaporkan mencapai Rp 411 miliar. Dari sisi posisi keuangan (neraca), nilai aset KS juga terus meningkat dari Rp 7,281 triliun (2003) ke Rp 10,477 triliun (2007). Meski utangnya juga meningkat selama 2003-2007, selama periode itu (kecuali 2006) nilai ekuitas KS juga terus naik dari Rp 4,754 triliun (2003) ke Rp 5,419 triliun (2007). Hal ini menunjukkan bahwa posisi KS dan pemerintah selaku pemegang saham sangat kuat ketimbang kreditur.
dengan 2 opsi yaitu IPO maksimal 40 persen saham baru atau strategic sales dengan maksimal melepas 20 persen saham pemerintah
8
9 PT. Rukindo Total pendapatan sepanjang 2005 ini, ungkap Wardhono, hanya Rp 133 miliar, atau lebih kecil dari 2004 yang mencapai Rp 193 miliar, Sementara posisi utang Rukindo tahun ini untuk kewajiban utang kepada rekanan sebesar Rp 145 miliar. Memiliki karyawan yang jumlahnya mencapai 8500 orang.
melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah
Nasional
GJU - Juli 200823
Nasional
10 PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) III
PTPN III merupakan BUMN yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit, karet, dan kakao. BUMN ini menghasilkan bahan baku industri hilir untuk di ekspor. Menurut data di Kantor Menneg BUMN, PTPN III memiliki modal dasar Rp 1,2 triliun dan modal disetor sebesar Rp 315 miliar. Saat ini, 100 persen saham PTPN III berada di tangan pemerintah.. Memiliki anak perusahaan PTPN III yang bergerak di bidang industri karet dan rumah sakit.
Melalui metode IPO dengan maksimal 40 persen saham yang dilepas yang terdiri dari 30 persen saham baru dan 10 persen divestasi.
11 PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV
RUPS Audit Tahun Buku 2007 PTPN-IV, telah €dilaksanakan pada Selasa, 24 Juni 2008 bertempat di Kantor Kementerian Negara BUMN, Jl. Merdeka Selatan No. 13 Jakarta. Tahun 2007 PTPN-IV memperoleh laba sebelum pajak sebesar Rp. 803,9 milyar.
Melalui metode IPO dengan maksimal 40 persen saham yang dilepas yang terdiri dari 30 persen saham baru dan 10 persen divestasi.
12 PTPN VII PT Perkebunan Nusantara Kuasai 7,5% dari 29 juta ton produksi minyak kelapa sawit atau crude plam oil (CPO) dunia. CPO yang dihasilkan PTPN itu setara dengan 2,2 juta ton. PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) tahun 2007 membukukan laba bersih Rp252,6 miliar atau 114,4 persen di atas rancana sebesar Rp220,7 miliar. Perolehan laba sebesar itu naik 142,1 persen dibandingkan dengan realisasi tahun lalu sebesar Rp177,7 miliar.
melalui metode IPO dengan maksimal 40 persen saham yang dilepas yang terdiri dari 30 persen saham baru dan 10 persen divestasi
13 PT Sarana Karya Berdasarkan laporan auditor ndependen, menyebutkan bahwa total aktiva perusahaan ini sampai dengan tahun 2004 adalah sebesar Rp. 9.407.629.387,66, total keuntungan bersih yang dibukukan pada tahun yang sama adalah Rp. 433,4 juta.
melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah
14 PT. Waskita Karya PT Waskita Karya merupakan salah satu BUMN dengan lingkup kerja konstruksi. Beberapa proyek pengerjaan kontruksi untuk gedung, jalan raya, saluran irigasi, jembatan, hingga bandara. Hingga akhir 2006 laba bersih perseroan mencapai Rp 1,94 triliun. Sedangkan pendapatan mencapai Rp 2,8 triliun naik dari perolehan tahun sebelumnya sebesar Rp 2,6 triliun. Laba bersih berhasil diraup sebesar Rp 55 miliar naik dari Rp 50 miliar yang diperoleh tahun 2005.
melalui metode IPO dengan melepas maksimal 35 persen saham baru
15 PT. Virama Karya Nilai asset perusahaan sebesar Rp. 17,443 miliar, keuntungan perusahaan sebesar Rp. 6,996 miliar.
melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah
16 PT. Industri Sandang Nusantara Asset yang dikelola PT. Insan per tanggal 31 Desember 2004 sebesar Rp249.398,96 juta dan tahun 2005 sebesar Rp. 238.784,77 juta. Rugi setelah pajak PT. Insan tahun 2004 sebesar Rp. 29.238,63 juta dan tahun 2005 sebesar Rp31.513,82 juta. Penjualan PT Insan tahun 2004 sebesar Rp137.450,70 juta dan tahun 2005 sebesar Rp141.135,53 juta.
melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah
17 PT. Ayodya Karya PT. AYODYA KARYA adalah perusahaan yang bergerak utama pada bidang developer dan contractor. Perusahaan ini berdiri pada bulan Oktober tahun 2004, beralamatkan di jalan Nusa Indah no.25a Deresan, Gejayan, Yogyakarta.
melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah
18 PT. Perkapalan Surabaya (Persero)
Neraca PT. DPS per 31 Desember 2006 ditutup dengan jumlah aktiva, kewajiban dan ekuitas masing-masing sebesar Rp. 164,97 miliar, Rp. 117,01 miliar dan Rp. 47,96 miliar. Laporan Laba Rugi untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut menunjukkan saldo laba setelah pajak sebesar Rp. 734,71 juta, sedangkan Laporan Perubahan Ekuitas dan Laporan Arus. Kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut menunjukkan jumlah masing-masing sebesar Rp47,96 miliar dan Rp3,18 miliar.
melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah.
18 PT. Industri Kapal Indonesia di Makassar
PT. industrikapalindonesia (persero) disingkat PT. IKI , produksi utama adalah pembangunan kapal baru, reparasi dan konstruksi, pt iki merupakan galangan terbesar di indonesia bagian timur, dan merupakan galangan milik pemerintah
melalui strategic sales dengan menjual seluruh saham pemerintah yang berjumlah 60 persen.
NO. Nama PerusahaanKeterangan Tentang
Keuntungan Dan AsetMetode Privatisasi
GJU - Juli 200824
19 PT. Inti Neraca Konsolidasian PT INTI per 31 Desember 2006 ditutup dengan jumlah aktiva, kewajiban dan ekuitas masing-masing sebesar Rp879,23 miliar, Rp387,53 miliar, dan Rp488,90 miliar. Laporan Laba Rugi Konsolidasian untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut menunjukkan saldo laba setelah PPh Badan sebesar Rp8,62 miliar, sedangkan Laporan Perubahan Ekuitas Konsolidasian dan Laporan Arus Kas Konsolidasian untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut menunjukkan jumlah masingmasing sebesar Rp488,90 miliar dan Rp169,66 miliar.
melalui strategic sales dengan maksimal menjual 51 persen saham pemerintah.
20 PT. Kertas Kraft Aceh Kertas Kraf Aceh terancam akan ditutup karena mengalami kesulitan arus kas. Kewajiban jangka pendek perusahaan kertas pelat merah itu mencapai Rp 300 miliar. Perinciannya Rp 160 miliar kepada Bank Mandiri dan Rp 60 miliar kepada Exxon Mobil.
melalui strategic sales dengan maksimal menjual 51 persen saham pemerintah
21 PT Kawasan Berikat Nusantara Total aktiva PT KBN per 31 Desember 2004 sebesar Rp378.183,03 juta menunjukkan peningkatan sebesar Rp17.566,07 juta atau 4,87% dari tahun 2003 sebesar Rp360.616,96 juta.
melalui strategic sales dengan menjual maksimal 70 persen saham pemerintah
Realisasi laba operasional tahun 2004 hanya mencapai sebesar Rp 64.418,30 juta atau 74,62% dari anggarannya sebesar Rp 86.327,17 juta. Sedangkan tahun 2005 (s.d. Triwulan II) baru mencapai Rp33.111,82 juta atau 48,24% dari anggarannya sebesar Rp. 68.633,63 juta.
22 PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI)
Sampai dengan Tahun 2007, BNI memiliki asset sekitar Rp. 183,342 triliun. Dan mampu meraih laba bersih sebesar Rp. 898 miliar.
melalui block sales (private placement) dengan menjual 4,24 persen sisa green shoe dan tambahan 15,76 persen divestasi saham pemerintah
23 PT Semen Kupang Asset yang dikelola PT SK per tanggal 31 Desember 2004 sebesar Rp615.103,60 juta dan tahun 2005 sebesar Rp652.988,43 juta. Rugi setelah pajak PT SK tahun 2004 sebesar Rp6.132,72 juta dan tahun 2005 sebesar Rp4.036,63 juta. Penjualan PT SK tahun 2004 sebesar Rp31.346,09 juta dan tahun 2005 sebesar Rp29.238,04 juta.
melalui strategic sales dengan menjual maksimal 38,48 persen saham pemerintah
24 PT Kawasan Industri Medan Asset yang dikelola PT KIM per tanggal 31 Desember 2004 dan 2005 masing-masing sebesar Rp89.131,92 juta dan sebesar Rp83.186,46. juta. Laba sebelum pajak PT KIM tahun 2004 sebesar Rp4.029,78 juta dan tahun 2005 sebesar Rp7.024,32 juta. Penjualan PT KIM tahun 2005 sebesar Rp39.077,32 juta dan tahun 2006 (Semester I) sebesar Rp17.445,75 juta.
melalui strategic sales dengan menjual seluruh saham pemerintah yang berjumlah 60 persen
25 PT Kawasan Industri Wijaya Kusuma
KITW meliputi tanah seluas 250 Ha dan yang dipakai untuk kapling industri adalah 175 Ha. Sisanya diperuntukkan untuk infrastruktur, fasilitas sosial dan fasilitas lingkungan. Kawasan ini disiapkan secara bertahap, dengan tahap pertama seluas 20 Ha dimatangkan di tahun 1996. Kemudian 30 Ha pada tahap kedua di tahun 1997 dan seterusnya hingga tahun 2000.
melalui strategic sales dengan menjual seluruh saham pemerintah yang berjumlah 60 persen.
26 PT Adhi Karya Sampai dengan 31 desember 2007, Memiliki total aktiva sebesar Rp. 4,333.167 triliun, memiliki laba usaha sebesar Rp. 291,094 miliar.
melalui right issue maksimal 30 persen.
27 PT Pembangunan Perumahan Berdasarkan Laporan Keuangan (audited) PT PP tahun 2005 dan Laporan Keuangan Semester I tahun 2006 diketahui laba bersih perusahaan masing-masing adalah sebesar Rp. 66.908,55 juta dan Rp16.970,03 juta. Penjualan bersih PT PP untuk periode tahun 2005 (audited) dan s.d semester I 2006 (unaudited) masing-masing sebesar Rp2.254.209,32 juta dan Rp941.720,96 juta. Penjualan bersih tahun 2005 masing-masing terdiri dari jasa konstruksi Rp2.221.397,09 juta atau 98,54%, property Rp9.122,87 juta atau 0,40% dan realty Rp23.689,37 Juta atau 1,0%.
melalui IPo maksimal 30 persen
NO. Nama PerusahaanKeterangan Tentang
Keuntungan Dan AsetMetode Privatisasi
Nasional
GJU - Juli 200825
Nasional
28 PT SIER Penjualan dan persewaan Tanah Industri - Penjualan Bangunan Pabrik Siap Huni (BPSH) - Persewaan Bangunan Pabrik Siap Pakai (BPSP) - Persewaan Sarana Usaha Industri Kecil (SUIK) - Persewaan Pergudangan - Persewaan Ruang Perkantoran - Persewaan Ruang Pertemuan, Seminar, Rapat dan Ruang Pesta Pernikahan
melalui strategic sales dengan menjual seluruh saham pemerintah yang berjumlah 50 persen.
29 Rekayasa Industri, Sampai dengan tahun 2005, Nilai aktiva perusahaan sebesar Rp. 227,438 miliar, laba bersih sebsar Rp. 8,316 miliar.
Pemerintah akan mendivestasikan sahamnya yang berjumlah 4,97 persen kepada Pusri yang nantinya akan dilakukan IPO oleh Pusri
30 PT Semen Baturaja Aset yang dikelola PT SB per 31 Desember 2004 dan 2005 (s.d September) masing-masing sebesar Rp593.123,43 juta dan Rp606.387,66 juta. Pendapatan PT SB tahun 2004 dan 2005 (s.d September) masing-masing sebesar Rp385.367,10 juta dan Rp314.084,87 juta; Laba bersih tahun 2004 sebesar Rp. 4.135,22 juta dan laba sebelum pajak tahun 2005 (S.d September) sebesar Rp. 22.387,61 juta.
ada 2 opsi IPO atau strategic sales dengan melepas 35 persen saham baru
31 PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari
Asset konsolidasian yang dikelola PT DKB per tanggal 31 Desember 2003 sebesar Rp663.646,81 juta dan tahun 2004 sebesar Rp585.957,41 juta Laba (Rugi) konsolidasian setelah pajak PT DKB tahun 2003 sebesar (Rp71.643.33) juta dan tahun 2004 sebesar (Rp118.517,81) juta. Penjualan konsolidasian PT DKB tahun 2003 sebesar Rp234.190,62 juta dan tahun 2004 sebesar Rp226.541,35 juta.
melalui strategic sales dengan menjual maksimal 49 persen saham pemerintah
32 PT. PAL Indonesia Tahun 2008 memproyeksikan kenaikan revenue menjadi Rp1,4 triliun dari realisasi 2007 senilai Rp1,2 triliun, yang sebagian besar diharapkan diperoleh melalui pembangunan kapal baru.
melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah
NO. Nama PerusahaanKeterangan Tentang
Keuntungan Dan AsetMetode Privatisasi
1 Disarikan dar berbagai sumber, diataranya adalah Laporan Hasil Audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), situs masing-masing perusahaan dan
sumber lainnya yang dapat dipercaya. oleh : Salamuddin Daeng, Program Offi cer di Institute for Global Justice - IGJ
2 Keputusan Komite Privatisasi itu tertuang dalam surat keputusan Nomor KEP-04/.EKON/01/2008 tanggal 31 Januari 2008 tentang arahan atas program
tahunan privatisasi perseroan tahun 2008, disampaikan oleh Menneg BUMN Sofyan Djalil dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, di
Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa malam (5/2/2008).
GJU - Juli 200826
Pengertian dasar Privatisasi
Privatisasi secara mudahnya berasal dari kata
‘privat’ yang merujuk kepada kuasa perorangan
atau kuasa swasta. Ini adalah akar utama atau
inti dasar dari kapitalisme, yang menempatkan penguasaan
ekonomi atau modal (kapital) kepada penguasaan orang-
seorang. Ideologi privatisasi dengan sendirinya adalah
paham yang memusatkan pada penguasaan perorangan,
pemusatan penguasaan modal pada orang-seorang. Dalam
sistem kapitalisme, yang berlaku adalah kebebasan penuh
orang-seorang dalam menguasai dan mengakumulasi
modal.
Disamping penguasaan perorangan, berjalan juga
penguasaan Negara atau penguasaan publik. Negara
dan publik seharusnya tidak terpisahkan, karena Negara
menjalankan kebijakan publik serta menjalankan amanat
dan mandat publik. “Negara menguasai hajat hidup orang
banyak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, itulah
filosofi dasar Negara dan public, tidak terpisahkan. Dalam
sistem ekonomi yang sehat (juga dalam sistem kapitalisme)
maka batasan atau garis-batas antara penguasaan
perorangan dan penguasaan publik/negara sudah jelas.
Penguasaan perorangan tidak boleh menabrak-nabrak
atau menyingkirkan penguasaan publik/Negara.
Akan tetapi yang namanya sistem kapitalisme, semakin
lama penguasaan perorangan memutlakkan kebebasan
pribadi dalam menguasai sumber-sumber ekonomi. Dan
dalam suatu waktu, kekuasaan orang-seorang ini mulai
merangsek masuk menabrak batas-batas penguasaan
publik. Mereka ingin terus menguasai apa saja yang ada
di bumi ini, entah itu yang ada dalam penguasaan Negara;
dalam penguasaan masyarakat kolektif (adat); bahkanpun
dalam penguasaan orang-seorang lain yang lebih lemah
(orang kecil). Akibatnya kita melihat bahwa wilayah public
atau Negara lalu diputar-balikkan oleh kapitalisme menjadi
pengertian wilayah bebas atau wilayah terbuka yang
dapat saja diambil-alih atau dikonversikan menjadi milik
perorangan. Dan itu sah-sah saja, bahkan direstui dan
dilegalkan oleh pemerintah yang berkuasa. Itulah proses
dari yang namanya Privatisasi. Arti yang lebih jelasnya,
privatisasi adalah kapitalisasi, proses penguasaan oleh modal
perorangan.
Privatisasi atau swastanisasi secara umum berarti pengalihan
BUMN kepada perusahaan swasta. Akan tetapi kini arti
privatisasi lebih luas dari sekedar penjualan asset publik lewat
lelang publik atau penjualan langsung, yaitu termasuk juga
berbagai cara lain, seperti pemberian sub-kontrak dan konsesi
dari jasa pemerintah; perjanjian lisensi; kontrak manajemen;
perjanjian penyewaan usaha, peralatan atau asset; penjanjian
usaha patungan (); serta skema BOT (Build-Operate-Transfer).
Privatisasi melalui Bank Dunia, ADB dan IMF
Privatisasi baru berkembang pesat dalam 15 tahun terakhir
ini, khususnya setelah Bank Dunia menjalankan program
penyesuaian sruktural (structural adjustment) dan setelah IMF
menjalankan program poverty reduction and growth facility
(PRGF) di tahun 1980-an. Kedua lembaga ini menekankan
kepada liberalisasi perdagangan, pengurangan defisit anggaran,
dan memperbaiki kemampuan pemerintah dalam membayar
utang-utangnya. Dari sinilah privatisasi dijadikan sebagai pilihan
strategi global; dan sejak itu dijalankan oleh berbagai negara
berkembang, khususnya yang menderita ketidakseimbangan
ekonomi makro dan terlilit hutang. IMF secara instrumental
menerapkannya melalui Letter of Intent, sementara Bank Dunia
menyediakan pinjaman khusus untuk proyek-proyek privatisasi
lewat asistensi teknis dan finansial.
Privatisasi dalam kenyataannya bukan sekedar mengatasi
masalah fiskal, tetapi adalah komponen utama dari sebuah
paradigma governance baru, yang disebut neo-liberal: yaitu
tuntutan akan efisiensi dan efektivitas pemerintahan yang saat
ini dianggap berada di bawah standard dan mengalami tekanan
anggaran. Privatisasi adalah paradigma korporatis, berorientasi
ke pasar, mencari keuntungan, dan meminimalkan peran
negara dalam perekonomian. Dalam prakteknya, privatisasi
adalah penjualan asset-asset pemerintah secara murah kepada
pihak swasta, bahkan asset yang termasuk hajat hidup publik,
seperti air, listrik, jalan raya dan lain-lain.
IDEOLOGI DAN HAKEKAT PRIVATISASI : De - Nasionalsiasi menuju RE-KOLONIALISME
Oleh : Bonnie SetiawanDirektur Eksekutif Institute Global Justice-IGJ
Opini
GJU - Juli 200827
Opini
Dalam periode antara tahun1988-1995 penerimaan
pemerintah negara berkembang dari penjualan perusahaan-
perusahaan negara berjumlah US$ 132 milyar, yang berasal
dari pengalihan kontrol atas 3.800 perusahaan dari tangan
pemerintah kepada swasta. Pada periode yang sama pula terjadi
kenaikan jumlah negara yang menjalankan privatisasi, dari 14
negara menjadi 60 negara. Laporan Bank Dunia menyebutkan
bahwa pada awal 1990-an saja sudah ada 80 negara yang
disebut “launched ambitious efforts to privatise their state
owned companies”, dengan nilai penjualan mencapai US$ 185
milyar pada tahun 1990.
Di Amerika Latin, privatisasi sektor infrastruktur didominasi
oleh perusahaan penyedia jasa telekomunikasi, energi,
transportasi dan pengairan. Sedangkan di Asia Tengah dan
Eropa Timur, pelepasan kontrol pemerintah banyak terjadi di
sektor industri manufaktur, seperti baja dan kimia. Hal lainnya
yang terkait, adalah privatisasi mendorong perusahaan-
perusahan tersebut untuk merampingkan strukturnya melalui
pengurangan staf dan pekerja secara tajam.
Bagi Indonesia privatisasi sudah dijalankan sejak jaman
Suharto, yaitu dengan alasan bagi pengikutsertaan pihak swasta
di berbagai bidang usaha dalam pengembangan infrastruktur
untuk kepentingan umum. Dalam kenyataannya privatisasi
tersebut dimaksud untuk memfasilitasi penguasaan ekonomi
kepada para Konglomerat kroni-kroni Suharto dan kepada
perusahaan-perusahaan milik Cendana (keluarga Suharto).
Di tahun 1980-an dimulai penerbitan beberapa UU, PP dan
Keppres, yaitu: UU No. 15 tahun 1985 tentang ketenagalistrikan;
Keppres No. 15 tahun 1987 tentang Jalan Tol; UU No. 3 tahun
1989 tentang Telekomunikasi; UU No. 13 tahun 1992 tentang
Perkeretaapian; UU No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan; UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan;
dan UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Intinya peraturan-
peraturan tersebut memungkinkan perusahaan-perusahaan
swasta ikut serta dalam penyelenggaraan jasa di berbagai
bidang usaha. Selanjutnya peran swasta asing didorong lebih
lanjut lewat PP No. 20 tahun 1994 tentang Pemilikan Saham
dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka PMA. Dengan
berbagai peraturan yang memudahkan privatisasi tersebut,
maka sejak itu berbagai BUMN strategis mulai dikuasai
perusahaan asing, seperti dalam kasus Paiton dengan PLN,
Palyja dan Thames Jaya dengan PDAM, Cemex dengan Semen
Gresik, dan Grosbeak dengan JICT. Ternyata privatisasi tersebut
menyebabkan banyak kasus sengketa/ perselisihan antara pihak
pemerintah atau Serikat Pekerja di BUMN dengan pihak asing.
Demikian pula sejak adanya reformasi, terkuak banyaknya
praktek KKN dalam privatisasi tersebut. Oleh karenanya di
tahun 1998 dikeluarkan Keppres No. 72 tahun 1998 tentang
Tim Evaluasi Privatisasi BUMN dengan mencabut Keppres No.
55 tahun 1996 tentang Tim Privatisasi BUMN. Akan tetapi hasil
kerja Tim Evaluasi tersebut tidak pernah terdengar.
Akibat krisis ekonomi 1997 yang terus berlanjut, maka
Indonesia sudah terjebak hutang dan mengalami krisis utang.
Berdasarkan conditionalities yang diterapkan oleh Bank Dunia,
ADB dan IMF, maka pemerintah diminta untuk menjual 144
BUMN-nya. Privatisasi BUMN masuk di dalam persyaratan
pinjaman yang dituntut oleh IMF untuk memulihkan
perekonomian Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Letter
of Intent. Privatisasi di sini diartikan sebagai proses swastanisasi
BUMN, di mana pemilikan sahamnya sebagian besar dikuasai
oleh swasta atau pengelolaan operasionalnya dilakukan dengan
cara kerjasama antara pemerintah dengan investor swasta.
Dalam LoI IMF tanggal 15 Januari 1998 butir no. 5 disebutkan
bahwa “… the 49 percent limit on foreign holdings of listed
shares was abolished”.
Menyangkut privatisasi perbankan, dalam butir no. 26
disebutkan:
“With technical assistance from the World Bank, the
government has also taken steps to resolve the problems
of the state banks and ensure their safety and soundness.
The aim of this program is to improve their efficiency and
subsequently privatise them…The state banks will not be
recapitalised except in conjunction with privatisation.”
Sementara poin no. 27 dituntut:
“In support of the ultimate goal of full privatisation of all state
banks, the government will introduce legislation by the end-
June 1998 to amend the Banking law in order to remove the
limit on private ownership”.
Dalam hal sektor listrik, LoI IMF tanggal 14 Mei 1999 butir 37
disebutkan:
“the government is overseeing PLN’s restructuring effort.
A working group of senior government and PLN officials
is defining the framework of principles within which PLN
conducts the renegotiations of contracts with independent
power producers (IPPs) and to ensure that fair, well-structured,
and transparent procedures are followed. However, all
negotiations with the IPPs are being conducted by PLN on a
commercial basis, without direct government involvement”.
Tuntutan dari IMF, Bank Dunia dan ADB tersebut pada
akhirnya melahirkan Keppres No. 96 tahun 2000. Dalam Keppres
tersebut ditetapkan daftar bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan patungan antara modal asing dan modal dalam
negeri, di mana dibagi ke dalam dua kelompok: (a) kepemilikan
saham warga negara / Badan Hukum Asing maksimal sebesar
95%; dan (b) kepemilikan saham warga negara / Badan Hukum
GJU - Juli 200828
Opini
Asing maksimal sebesar 45%. Dari daftar itu, hanya tinggal dua
bidang usaha yang masih terlindungi dalam arti saham asing
dibatasi maksimal 45%, yaitu bidang usaha telekomunikasi
dan angkutan udara niaga berjadwal/tidak berjadwal. Bidang-
bidang lain sudah terbuka untuk dikuasai badan asing,
meskipun itu menyangkut bidang yang menguasai hajat hidup
orang banyak sekalipun. Keppres no. 96 tahun 2000 ini adalah
dasar dari dijalankannya privatisasi BUMN di Indonesia.
Peraturan terakhir ini dengan sendirinya telah menabrak
UUD 1945 pasal 33 yang dalam penjelasannya menyebutkan:
“Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang
banyak boleh ada di tangan orang-seorang”. Demikian pula
dalam UU no. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (PMA) tetap jelas dinyatakan bidang-bidang usaha yang
tertutup untuk penanaman modal asing secara penguasaan
penuh, yaitu bidang-bidang yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak. Menurut pasal 6 UU PMA
tersebut adalah sebagai berikut: (1) pelabuhan-pelabuhan; (2)
produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum;
(3) telekomunikasi; (4) pelayaran; (5) penerbangan; (6) air
minum; (7) kereta api umum; (8) pembangkit tenaga atom; (9)
media massa; (10) dan bidang-bidang yang meduduki peranan
penting dalam pertahanan negara antara lain produksi senjata,
mesiu, alat-alat peledak dan peralatan perang dilarang sama
sekali bagi modal asing.
Penjajahan baru UUPM 2007
Sejak diundangkannya UU Penanaman Modal no. 25
tahun 2007, maka sudah tidak ada lagi pertahanan peraturan
di Indonesia dalam membendung penguasaan asing. UUPM
dengan tegas menetapkan 2 prinsip dasar investasi asing,
yaitu ‘national treatment’ dan ‘most favoured nation’. Artinya,
yang pertama berupa tidak dibolehkannya pembedaan antara
pelaku usaha asing dengan usaha nasional, melainkan harus
diperlakukan sama. Sedang yang kedua, tidak dibolehkannya
diskriminasi (pembedaan) antara satu pelaku usaha asing dari
Negara yang satu dengan pelaku usaha asing dari Negara
lainnya. Demikian pula usaha asing dibolehkan menguasai
saham secara maksimal yaitu 100%. Dengan UUPM ini, maka
privatisasi tidak bisa lagi dibatasi; penguasaan asing tidak lagi
dapat dibatasi.
Karenanya sejak UUPM 2007, bisa dikatakan pemerintah
telah menjual negaranya kepada asing, telah memprivatisasikan
Negara ini kepada asing. Tidak lama lagi, semua aset strategis
bangsa dan sumber-sumber kekayaan alam bangsa akan
dikuasai asing dengan restu penuh pemerintah. Pemerintah
dengan sukarela mempersilahkan penjajahan baru atas
Indonesia, dengan kekuatan hukum yang penuh. PERTAMINA,
sejak diundangkannya UU Migas, telah resmi di-privatisasi secara
halus, karena tidak lagi bisa memonopoli penguasaan sumber-
sumber migas. Tinggal tunggu waktu sampai PERTAMINA
benar-benar diprivatisasi secara penuh, yaitu sebagian
sahamnya diperjualbelikan dan dikuasai usaha perorangan
(dan asing). PT Krakatau Steel, juga demikian. Sektor strategis
ini sebentar lagi akan diprivatisasi dan hendak dikuasai oleh
MITTAL, konglomerasi baja dunia. Juga Bank Rakyat Indonesia
(BRI) dan Bank Mandiri yang sebentar lagi akan dijual sahamnya
ke tangan asing.
Inilah ironi pahit Negara Indonesia, Negara yang kembali
terjajah, Re-kolonialisme sesungguh-sungguhnya. ***
GJU - Juli 200829
1 Makalah disampaikan pada Rangkaian FGD Forum
Keadilan Ekonomi, IGJ, Jakarta 9 Juli 2008
2 Koordinator Nasional Target MDGs (BAPPENAS/UNDP)3 Dalam pertemuan Financing for Development, New York,
14 September 20054 Sri Mulyani, dikutip dari Koran Tempo, 24 Oktober 20065 Kompas, 11 Janurai 20066 Daseking, C dan Kozack, J. “Avoiding another debt trap”,
Finance and development, December 2003
UTANG DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN:
PENCARIAN JALAN ALTERNATIF1
IVAN A HADAR 2
Ringkasan
Pernyataan presiden SBY di atas, sejalan dengan apa yang
dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa “salah satu
kesulitan utama pemerintah mencapai tujuan pembangunan
nasional, termasuk tujuan pembangunan milenium, adalah
utang luar negeri. Atas dasar itu, Indonesia akan terus
menyuarakan pentingnya penghapusan utang.”4
Sayangnya, berbagai pernyataan tentang pentingnya
penghapusan utang dan rekomendasi terkait debt sustainability
masih sebatas wacana. Untuk menutupi kebutuhan pembiayaan
APBN 2006, misalnya, pemerintah kembali membuat utang
sebesar 3,55 miliar dolar AS dalam pertemuan CGI terakhir, Juni
2007. Prinsip “gali lobang, tutup lobang” masih saja berlaku,
mengesampingkan logika sederhana bila ingin penghapusan
utang Indonesia harus juga menghindari membuat utang
baru.
Pemerintah memang berjanji konsisten menerapkan
kebijakan hanya akan membuat utang baru apabila diperlukan,
dengan jangka waktu panjang dan dengan bunga utang yang
lunak, serta terus menurunkan porsi kredit ekspor. Ada pula
rencana menurunkan Rasio utang terhadap PDB dari
sekitar 50 persen menjadi 30 persen pada 2009.5
Namun, kalaupun berhasil, ambisi tersebut dinilai
belum cukup. Karena persoalan utang terkait erat
dengan paradigma pembangunan yang dianut.
“There is a real need for significant debt reduction or restructuring not only for the least developed countries but also for middle-
income developing countries.”
(Susilo Bambang Yudhoyono) 3
Secara teoretis, Daseking dan Kozack6 memprediksi, negara
seperti Indonesia akan gagal mencapai tujuan pembangunan
milenium berupa pengurangan kemiskinan menjadi separuh
pada 2015, kecuali mempunyai pertumbuhan ekonomi
tinggi, berhasil memperkuat institusi, melaksanakan kebijakan
prorakyat kecil, dan tidak terperangkap dalam utang. Saat ini,
pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri pemerintah
memakan porsi 31 persen hasil pajak. Jumlah yang seharusnya
digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan
investasi sosial lainnya.
Berikut ini, beberapa usulan strategi keluar dari “jebakan”
utang sebagai pertimbangan. Pertama, pemberlakuan batas
maksimum bagi pembayaran utang publik, terutama utang luar
negeri. Hal ini, akan memperbesar ketersediaan sumber dana
bagi perekonomian domestik. Penetapan batas maksimum
ini perlu didasarkan pada (sebuah) UU, sehingga pemerintah
bisa menggunakannya sebagai dasar hokum dan sekaligus
alat negosiasi. Selanjutnya, diperlukan pengaturan mengenai
pembatasan jumlah utang baru yang mengarah kepada zero
new debt. Kedua, pengurangan pokok utang. Beberapa
langkah yang bisa dilakukan antara lain, (a) penghapusan
utang melalui kombinasi rekayasa keuangan dan renegosiasi
komersial dengan kreditor; (b) pengurangan debt stock lewat
arbitrase internasional; (c) negosiasi utang luar negeri publik ada
level geopolitk dan stratejik; (d) renegosiasi bilateral, terutama
dengan Jepang.
Publik
GJU - Juli 200830
7 Lihat ToR Sesi Paralel III.1. Kongres ISEI XVI8 Yuliani Yunindri, “Ranjau-Ranjau Makroekonomi”, Jawa Pos, 10 Mei 20069 Pedoman Pengelolaan Utang LN Indonesia selama ini adalah: (1) menurunkan jumlah defi cit APBN secara bertaha menuju anggaran berimbang (ditargetkan
2004, namun tak tercapai!!); (b) menurunkan rasio utang terhadap PDB; Meno Perekonomian, menargetkan ratio utang LN terhadap PDB menjadi 30%
pada 2009; (c) meningkatkan kapasitas pengelolaan utang; (d) memperhatikan kebijakan penarikan utangbaru yang berhati-hati; (d) mendorong masuknya
PMA dalam beragai bentuk dan mengembangkan kepercayaan investor pada umumnya; (e) mengupayakan penjadwalan ulang utang melalui forum Paris Club 3 (telah dicapai); (f) mengupayakan fasilitas Det Swaps (Debt for Nature Debt for Poverty dsb; ini juga telah dicapai pada Paris Club 3)
10 Misalnya terkait sinyalemen Sumitro Djojohadikusumo, bahwa utang Indonesia dikorup sebesar 30 persen; juga temuan lembaga survey independen yang
ditunjuk IMF dan pengakuan Huber Neiss tentang kesalahan resep penyelesaian krisis Indonesia oleh IMF dan terakhir, pengakuan Paul Wolfowitz bahwa
Bank Dunia turut bertanggung jawab atas korupsi dan kemiskinan di negara-negara berkembang.
Pendahuluan
Sejak beberapa tahun terakhir, jumlah stok utang Indonesia
yang berkisar pada angka 75-80an miliar dolar AS, bukan lagi
menjadi pendukung pertumbuhan ekonomi. Tetapi, justru
menjadi salah satu sumber ancaman bagi stabilitas ekonomi
makro, baik melalui tekanan defisit fiskal, ketimpangan
distribusi sosial dalam APBN maupun tekanan atas cadangan
devisa. Utang pemerintah (dalam dan luar negeri) yang
mencapai sekitar 50 persen PDB, jika tidak dikelola dengan
baik akan membahayakan keberlangsungan fiskal karena
beban pembayaran utang pokok dan bunga akan mencapai
puncaknya dalam beberapa tahun ini.7
Data selama 2005 menunjukkan, betapa beratnya beban
pokok utang yang jatuh tempo dan tanggungan biaya yang
timbul. Misalnya, beban bunga telah mencapai Rp 42,3 triliun.
Terdiri atas pembayaran bunga SUN domestik Rp 40,9 triliun,
pemberian diskon Rp 1,9 triliun, dan kewajiban lain Rp 1 miliar.
Sementara SUN valuta asing, biaya bunga yang harus dibayar
sebesar 132,3 juta dolar AS.8 Jumlah tersebut belum temasuk
utang luar negeri sekitar 78 miliar dolar AS atau sekitar Rp. 725
triliun dengan cicilan untuk 2006 sebesar 90an triliun rupiah.
Strategi penjadwalan ulang pembayaran utang (dsb) telah
dilakukan9, namun strategi tersebut belum cukup dan tidak
memadai untuk mengatasi masalah utang yang membelit.
Penjadwalan utang hanya memindahkan persoalan ke waktu
yang lebih lama dengan beban yang tetap sama. Hingga saat
ini, pemerintah belum pernah mencoba mengurangi stok utang
(debt stock). Pemerintah tetap saja mengikuti manajemen
utang klasik a ala MF dan Bank Dunia Padahal, hal tersebut
terbukti tidak efektif memperbaiki keterkelolalaan utang (debt
sustainability) Indonesia.
Oleh karena itu, selain penjadwalan ulang utang, diperlukan
strategi yang lebih konprehensif untuk mengurangi stok utang
tersebut. Beberapa pendekatan, bisa menjadi pilihan atau
dilakukan bersamaan.
Pendekatan pertama, apa yang ditawarkan J. Mohan
Rao yang mengkritisi pendekatan ortodoks (seperti yang kini
menjadi kebijakan/strategi pembangunan pemerintah) yang
berbasiskan neo-liberalisme dan (manut pada) globalisasi
top down, serta (loyal pada) pemikiran there is no alternative.
Dampaknya, selama dua dekade terakhir, pertumbuhan
(dalam negeri) melambat sementara kesenjangan melebar.
Solusinya: menggeser rezim ekonomi makro menjadi
lebih pro-pertumbuhan dengan pemerataan, di mana
pertumbuhan dipadu oleh investasi publik. Ini akan
menimbulkan multiplier effect (efek berganda) karena
memicu aliran investasi swasta dan menarik kembali modal
yang dilarikan selama krisis Pendanaan investasi publik
dapat diperoleh dari mobilisasi penerimaan tambahan.
Selanjutnya, agar lebih menjamin stabilitas nilai tukar,
diperlukan pengendalian parsial terhadap lalulintas modal.
Kesemuanya itu diintegrasikan dengan kebijakan pro-
pemerataan untuk mengatasi kemiskinan. Pergeseran
tersebut perlu dibarengi dengan upaya penghapusan
utang, khususnya utang najis dan utang kriminal, dari
rezim yang tidak bertanggung gugat.
Pendekatan kedua, adalah pendekatan teknikal Nancy
Birdsall dan Brian Deese yang melihat ‘Enhanced HIPC
(Highly Indebted Poor Countries) Initiative’ gagal menjamin
pertumbuhan yang berkelanjutan di negara debitor. Untuk
mengatasinya, mereka mengusulkan sembilan langkah
konkret, antara lain, peningkatan pengurangan utang
sedemikian rupa sehingga beban pembayaran utang
negara miskin tidak lebih dari 2% terhadap PDB, sehingga
pemerintah mampu menyediakan kebutuhan sosial dasar
bagi rakyat. Lalu, perluasan cakupan pakarsa HIPC, di
mana negara miskin non-HIPC (seperti Indonesia) juga
diberi fasilitas HIPC. Serta, melindungi negara miskin dari
guncangan eksternal seperti perubahan harga komoditas
yang mengganggu penerimaan mereka. Untuk membiayai
ketiga langkah di atas, diusulkan penggunaan emas IMF,
peningkatan bantuan resmi dan kenaikan kontribusi
bank multilateral. Dalam jangka panjang Birsall dan
Deese mengusulkan peningkatan efisiensi dan selektifitas
pemberian utang. Selanjutnya diperlukan peningkatan
pertanggung-gugatan kreditor10 dan penyederhanaan
prosedur HIPC
Publik
GJU - Juli 200831
Publik
11 Birdsall, Nancy. dan Deese, Brian (2003): “Perluasan Peringanan Utang Sebagai Landasan Tatanan Global Baru” dalam: “Arbitrase Utang Penyelesaian
Menyeluruh Masalah Utang Luar Negeri Indonesia”, INFID Jakarta12 Sebagai contoh, sebuah perusahaan asing akan menanam modal senilai USD 70 juta. Melalui renegosiasi komersial, utang pemerintah bisa diperdagangkan
di pasar sekunder dengan diskon (missal 30%) Broker perusahaan tersebut akan membeli utang pemerintah rupiah senilai USD 100 juta dengan harga USD
70 juta. Pemerintah bersedia membayar senilai USD 80 juta (misalnya) kepada perusahaan. Namun dapat juga senile USD 70 juta tetapi dikompensasi
dengan kemudahan pajak. Hasilnya, utang senilai USD 100 juta terbayar investasi asing langsung (FDI) asuk senilai 70-80 juta, sementara utang pemerintah
terhapus 20-30% Melalui cara ini memang ada risiko infaltoir terutama jika ada dana pemerintah yang diperoleh dari pencetakan uang Oleh karena itu,
diperlukan bank sentral (BI) yang benar-benar independent, sehingga hal ini tidak terjadi.
Pendekatan ketiga oleh Francis Lemoine yang memberikan
usulan konkret bagi Indonesia. Lemoine mempertanyakan
analisis IMF dan Bank Dunia yang menganggap beban utang
Indonesia technically sustainable dalam jangka panjang, dan
dalam jangka pendek mereduksi persoalan utang Indonesia
menjadi masalah likuiditas anggaran pemerintah. Ini mendorong
dipilihnya solusi parsial berdasarkan Paris Club.
Masalahnya, Paris Club tidak menurunkan present value
utang Indonesia secara berarti. Sehingga, walau kendala
likuiditas jangka pendek relatif teratasi, stok utang Indonesia
tetap besar. Pendekatan selanjutnya dilakukan oleh Pedro
Morazan dan Irene Knoke. Mereka berargumen bahwa untuk
mencapai penyelesaian utang yang menyeluruh dan benar-benar
bermanfaat bagi negara debitor miskin, diperlukan perubahan
mendasar dalam mekanisme internasional untuk menyelesaikan
masalah utang. Mekanisme IMF Bank Dunia, Paris Club, dan
London Club hanyalah alat yang diciptakan kreditor untuk
melindungi kepentingannya, bukan untuk memulihkan posisi
finansial negara debitor melalui penghapusan utang. Karena
itu, mereka mengusulkan sebuah arbitrase yang netral di mana
kreditor dan debitor diwakili secara setara, ditambah satu suara
yang ditunjuk secara bersama.
Strategi Alternatif
Berdasarkan pendekatan-pendekatan di atas, strategi
alternatif yang dapat dikembangkan untuk mengurangi beban
utang luar negeri (pemerintah) Indonesia antara lain:
Pertama, pemberlakuan batas maksimum bagi pembayaran
utang pemerintah terutama utang luar negeri akan membuat
sumberdaya dan dana yang tersedia bagi perekonomian
domestik semakin besar. Pengelolaan dana tersebut harus
dilakukan dengan transparansi aksimum dan diawasi oleh
Forum Multi Stakeholder yang melibatkan publik secara luas.
Dana tersebut bisa tetap menjadi bagian dari APBN atau
dimasukkan ke dalam sebuah Trust Fund yang tidak boleh
digunakan untuk berinvestasi di pasar modal dan pasar uang.
Dana tersebut seyogyanya diprioritaskan untuk (antara lain): (1)
program padat karya di pedesaan; (2) subsidi kredit program
bagi pemulihan sektor riil yang berbasis pada UKM dan
sektor-sektor prioritas; (3) pembiayaan sektor sosial terutama
pendidikan dan kesehatan.
Usulan ini senada dengan saran Birdsall dan Deese11 agar
“Enhanced HIPC Initiatives” menggunakan rasio beban utang
yang berhubungan langsung dengan kemiskinan (misalnya
lebih baik menggunakan debt service to tax ratio daripada debt
servive to export ratio; ada pula pendekatan penghitungan
pencapaian MDGs).
Penetapan batas maksimum perlu didasarkan pada sebuah
UU sehingga pemerintah bisa menggunakannya sebagai dasar
hukum dan sekaligusalat negosiasi dengan para kreditor. Adapin
pnengaturan dalam UU tersebut hendaknya mencakup:
• Pembatasan jumlah maksimum pembayaran utang
pemerintah dalam setiap tahun anggaran, misalnya 10%
dari total penerimaan negara yang berasal dari pajak dan
non-pajak.
• Pengaturan Terms yang harus digunakan pemerintah
dalam negosiasi dengan kreditor.
• Pengaturan mengenai pengelolaan dana yang semestinya
dipakai untuk membayar utang luar negeri baik dalam
APBN maupun Trust Fund. Transparansi aksimum dan
Forum Stakeholders menjadi bagian tak terpisahkan dari
pengelolaan dana ini.
• Pengaturan mengenai mengenai prioritas penggunaan
dana tersebut.
Selanjutnya, diperlukan pengaturan mengenai pembatasan
jumlah utang baru yang boleh diambil pemerintah jika mungkin
mengarah kepada Zero Debt bagi utang luar negeri pemerintah.
Juga, pengaturan mengenai tingkat maksimum kenaikan pajak
dan penurunan subsidi sehingga total penerimaan negara
benar-benar dihitung secara reasonable. Ini memperkecil
peluang bagi IMF dan Bank Dunia untuk menekan pemerintah
agar memperbesar jumlah pembayaran utang dengan jalan
memperbesar target penerimaan negara (termasuk, terutama
lewat pemotongan subsidi untuk public services).
Kedua, pengurangan pokok utang. Beberapa langkah yang
dapat dilakukan adalah:
a. Penghapusan utang melalui kombinasi rekayasa keuangan
dan renegosiasi komersial dengan kreditor. Salah satu cara
yangbisa dipakai adalah melalui berbagai bentuk rekayasa
keuangan sepert debt to equity swap.12
b. Pengurangan debt stock melalui arbitrase internasional.
Ide dasarnya adalah pihak kreditor multilateral (Bank
GJU - Juli 200832
13 Lemoine, 2003, op.cit.14 Lihat: Ivan A. Hadar, “Solusi Utang Indonesia: Belajarlah dari Argentina”, Kompas, 4/5/2005
Dunia dll) dan bilateral ikut bertanggung jawab atas
keagalan mereka menjamin tercapainya good governance
dalam manajemen utang para debitor. Sehingga muncul
wacana mengenai odious debt atau utang najis di mana
kreditor memberikan kemudahan dan hair cut untuk
mengkompensasi utang najis tersebut.
c. Negosiasi utang luar negeri pemerintah pada level
geopolitik dan stratejik. Indonesia memang tidak masuk
dalam skema HIPC, bukan saja karena tidak memenuhi
kriteria dari sisi pendapatan, namun juga dari rasio utang
dengan ekspor. Memang pemerintah dan Bank Dunia
mengklaim bahwa Indonesia memperoleh terms yang
semakin baik dalam Paris Club (PC) 3 dibandingkan PC
1. Masa jatuh tempo misalnya naik dari 11 tahun menjadi
18 tahun untuk utang non-ODA (Official Development
Aid/Assistance). Masa tenggang (grace period) naik dari 5
tahun ke 10 tahun untuk ODA, dan ada penjadwalan ulang
terhadap bunga. Namun berdasarkan laporan European
Network on Debt and Development (EURODAD), terms
yang diperoleh Indonesia lebih jelek dari negara lain.
Indonesia hanya diberikan Houston Terms. Dengan skema
ini Indonesia mendapat keringanan berupa penjadwalan
ulang tingkat bunga setidaknya sesuai dengan bunga
konsesi awal lebih dari 20 tahun dengan pembayaran
progresif 10 tahun. Sementara untuk utang non-ODA
dilakukan penjadwalan ulang tingkat asar lebih dari 15
tahun dengan pembayaran progresif 2-3 tahun meningkat
per tahunnya.13 Padahal jika memperoleh Naples Terms,
Indonesia dapat memperoleh pengampunan utang
hingga 67% dari total utang non-ODA (seperti yang
berhasil diperoleh Nigeria14). Untuk utang ODA bahkan
bisa memperoleh tenggang 16 tahun, dengan tingkat
suku bungan yang didiskon selama 40 tahun. Skema ini
seharusnya juga dimiliki Indonesia karena para kreditor
semestinya juga turut bertanggung jawab atas peningkatan
utang yang tak terkelola Apalagi menurut Nancy Birdsall
dan Brian Deese, beban utang Indonesia telah sampai
pada tahap menghambat pertumbuhan ekonomi.
d. Renegosiasi bilateral, terutama dengan Jepang. Sekitar
sepertiga dari debt outstanding Indonesia adalah
dengan Jepang. Kepentingan strategis Jepang baik
dalam membendung ambisi China dalam restrukturisasi
multinasionalnya hingga keinginan menahan serbuan
produk China ke pasar domestik Indonesia, merupakan
potensi negosiasi.
Ketiga, adanya indikator tambahan. Manajemen utang
klasik biasanya menggunakan rasio dari outstanding utang
terhadap Product Domestic Bruto (PDB) atau debt ratio sebagai
indikator utamanya. Ini berlaku bagi utang jangka pendek,
jangka panjang, domestik maupun luar negeri. Untuk variable
“kemampuan membayar utang” dipakai debt service ratio
yang membandingkan kewajiban pembayaran utang, baik
pokok dan bunganya dengan penerimaan ekspor. Pendekatan
ini mengabaikan fakta bahwa pembayaran utang pemerintah
mempunyai konsekuensi keadilan sosial.
Setiap rupiah yang dialokasikan untuk membayar pokok
dan bunga utang mempunyai biaya oportunitas sosial. Ini terjadi
karena setiap rupiah yang dikeluarkan bisa direalokasikan
untuk program padat karya, kesehatan, pendidikan, investasi
infrastruktur, pengurangan pajak dan berbagai alternatif pos
penerimaan pengeluaran fiskal lainnya. Trade off atau efek
distribusi dari pembayaran utang ini sama sekali diabaikan.
Oleh sebab itu, diperlukan sebuah indikator tambahan,
yaitu rasio antara kewajiban pembayaran pokok dan bunga
utang terhadap penerimaan pajak atau penerimaan APBN. Ini
merupakan debt service ratio to fiscal revenue (DSRFR). Jika
rasio ini dibandingkan dengan proporsi pos penerimaan dan
atau pengeluaran fiskal lainnya, maka diperoleh gambaran
mengenai seberapa jauh aspek keadilan sosial terakomodasi
dalam manajemen utang.
Untuk Indonesia, rasio tersebut juga semakin menunjukkan
perlunya reorientasi manajemen utang pemerintah, dengan
re-fokus kepada pengurangan stok utang (debt stock),
bukan pengalihan utang ke generasi mendatang dan atau
penambahan utang baru. Dengan demikian, akan terdapat
konsekuensi tambahan, di mana utang baru seyogyanya tidak
digunakan untuk membiayai konsumsi dalam APBN, tetapi
lebih difokuskan untuk biaya pembangunan.
Selain rasio utang dan penerimaan fiskal yang bersifat
umum, diperlukan juga rasio yang lebih khusus misalnya rasio
antara utang dengan kebutuhan dasar manusia. Laporan
Pembangunan Manusia yang diterbitkan oleh UNDP (2004),
telah mengindentifikasi kebutuhan dasar manusia yang paling
penting, yaitu pendidikan, kesehatan, pangan dan keamanan
fisik. Hal yang masih berlaku hingga kini. Bahkan semakin
mendesak. Kebutuhan dana masing-masing sektor ini juga telah
dihitung dalam laporan tersebut, sehingga dapat diperoleh
rasio utang dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
Publik
GJU - Juli 200833
Publik
15 Secara umum, pedoman pengelolaan utang luar negeri Indonesia selama ini adalah: (a) Menurunkan jumlah defi sit APBN secara bertahap menuju
anggaran berimbang; (b) menurunkan rasio terhadap PDB menjadi sekitar 60% (2004) dan 30% (2009); (c) meningkatkan kapasitas pengelolaan utang; (d)
memperhatikan kebijakan utang penarikan baru yang berhati-hati; (e) mendorong masuknya PMA dalam berbagai bentuk dan mengembangkan kepercayaan
investor pada umumnya; (f) mengupayakan penjadwalan ulang utang (telah dicapai, misalnya, pada Paris Club 3); (g) mengupayakan fasilitas debt swaps
(debt for nature; debt for poverty, dsb – yang telah dicapai juga pada Paris Club 3).16 Dalam sebuah pertemuan dengan INFID, awal 2005 di Jakarta
Keempat, pembentukan Integrated Debt Management
Office. Saat ini, manajemen utang ditangani beberapa institusi,
yaitu Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Kantor Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian dan Bappenas secara
parsial.
Fungsi front office semenja krisis untuk mencari utang luar
negeri kurang terkoordinir. Sementara fungsi middle office
untuk menganilisis risiko belum optimal. Misalnya lewat analisis
keterkelolaan utang, analis risiko dan tingkat pengembalian,
dll.
Untuk itu diperlukan debt management office yang menyatu
yang tidak hanya mengikuti strategi pengelolaan tang yang
konvesional. Rescheduling dan reprofiling masih dibutuhkan,
tetapi tidak dapat dijadikan strategi pengelolaan utangyang
utama.
Debt management office seharusnya ada, untuk
menawarkan pengelolaan utang non-konvensional yang
memerlukan teknik negosiasi dan rekayasa finansial misalnya
pemotongan utang (hair cut), penghapusan sebagian utang
(write off), konversi utang ke obligasi (Brady bond), konversi
utang menjadi ekuitas dan tukar menukar antara utang dan
konversi sumber daya alam (debt for nature swap).15
Seharusnya, semua pinjaman luar negeri melalaui satu
pintu. Tujuannya, agar semua pinjaman dapat tercatat dengan
baik sehingga diketahui persis berapa beban yang ditanggung
negara. Saat ini, untuk merealisasikan rencana tersebut,
pemerintah meman tengah menggodok RancanganUndang-
Undang (RUU) Utang Luar Negeri sebagai pengganti berbagai
peraturan pemerintah mengenai utang luar negeri. Gagasan
pemerintah tersebut layak dicermati, bukan saja karena
pengelolaan utang luar negeri yang saat ini amat tidak tertib,
tetapi juga karena kebergantungan Indonesia pada utang luar
negeri sudah seperti pecandu narkotika. Bahkan keberhasilan
mendapatkan pinjaman baru merupakan suatu kebanggaan.
Padahal, pinjaman baru sama artinya dengan semakin
memerosokkan Indonesia dalam utang. Apalagi kalau diktum
pinjaman luar negeri sebagai pelengkap sempat bergeser
peran menjadi soko guru penutup deficit anggaran. Sebagian
kalangan bahkan menyebutkan utang luar negeri adalah
“utang najis”. Selain tidak digunakan dengan baik dan tidak
menghasilkan produktivitas, juga karena dikorupsi.
Karena itu, menata ulang pinjaman luar negeri bukan
saja wajar, tetapi memang sudah selayaknya diatur dalam
UU. Namun, lepas dari ide tersebut, yang entah kapan akan
terealisasi, tentunya perlu kita lihat dulu bagaimana potret
permasalahan utang luar negeri Indonesia.
Pertama, selama ini tidak ada batasan kuantitatif yang jelas
dan detail mengenai pinjaman luar negeri untuk pemerintah.
Implikasinya, pemerintah dalam mencari pinjaman luar negeri
nyaris tanpa batas. Bahkan, “limit” konvensional, seperti rasio
utang terhadap GDP, nyaris tidak dihiraukan. Implikasinya,
bukan saja secara total jumlah utang luar negeri terus
membengkak, tetapi pengalokasiannya pun tidak tertata.
Tidak heran jika ada sektor ekonomi tertentu yang memiliki
pinjaman luar negeri sangat tinggi, sementara sector lainnya
tidak. Padahal, di sector mikro, perbankan misalnya, ada batasan
tertentu mengenai leverage dan atau BMPK (Batas Maksimum
Pemberian Kredit). Sedangkan dalam konteks pinjaman luar
negeri, khsusunya soal limit bisa dikatakan pemerintah tidak
comply dengan risk management.
Kedua, penggunaan pinjaman luar negeri tidak efisien.
Sumitro Djojohadikusmo sejak lama mengingatkan kebocoran
utang luar negeri hingga mencapai 30%. Dalam sebuah forum,
Sri Mulyani pernah pula mensinyalir cukup banyak utang yang
“tak bertuan”. Tiada satu pun departemen merasa bertanggung
jawab dan pemanfaatannya, sementara commitment fee dan
bunga tetap jalan16.
Ketiga, adanya mis-match dalam penggunaan utang luar
negeri. Pinjaman yang berdurasi jangka pendek dipergunakan
untuk pembiayaan investasi jangka panjang. Ada pula yang
dipergunakan untukmembiayai usaha yang tidak menghasilkan
devisa, bahkan juga tidak melakukan hedging sehingga risiko
nilai tukar yang melekat pada pinjaman tersebut menjadi
sangat terbuka.
Pemerintah bukan tidak pernah berupaya untuk menata
kembali soal pinjaman luar negeri itu. Beberapa waktu
lalu misalnya, sudah perneh terdengar pembentukan Debt
Management Unit (DMU) yang ditugaskan membenahi utang
luar negeri.
Pemerintah mengedepankan DMU sebagai salah satu piranti
untuk menurunkan utang luar negeri, mengeliminasi tingkat
kebocoran, melakukan negosiasi dengan kreditor dalam hal
GJU - Juli 200834
tingkat bunga maupun jangka waktu pinjaman Dengan kata
lain, DMU berfungsi untuk membenahi manajemen utang luar
negeri, mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengawasan
dan pembayaran kembali.
Di samping itu, kritisnya beban utang luar negeri saat ini,
telah mendorong berbagai pihak menyarankan agar pemerintah
meminta keringanan kepada kreditor. Misalnya usulan debt
relief (pengurangan utang). Alasannya, pertama Indonesia
merupakan “good boy”, alias tidak pernah ngemplang. Wajar
jika kreditor memberi “bonus” kepada Indonesia. Kedua,
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami krisis
terburuk di dunia, sehingga layak untuk mendapat keringanan
utang. Alasan lainnya, bank Dunia sudah seharusnya turut
bertanggung jawab terhadap kebocoran utang Indonesia,
andalan negara-negara terbelakang seperti Indonesia adalah
eksport bahan mentah.
Penggunaan eksport sebagai indicator pengelolaan
hutang semakin menegaskan posisi Indonesia sebagai pelayan
dalam hal penyediaan bahan mentah. Karena memang
sebagian besar dari barang-barang eksport Indonesia masih
didominasi oleh eksport bahan mentah dengan nilai tambah
yang sangat rendah. Selain itu, eksport yang dihasilkan oleh
perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di dalam
negeri dihitung sebagai ekspor Indonesia. Penggunaan
indikator ini dalam kontek Indonesia jelas adalah hal yang
kurang relevan, karena segera setelah bahan mentah murah,
Indonesia akan menerima import produk olahan dari negara-
negara maju dengan nilai tambah yang sangat besar.
Penjelasan diatas menempatkan kita pada kesimpulan
bahwa kesalahan terbesar dalam perencanaan pembangunan
ekonomi khusunya terkait dengan hutang, telah dimulai dari
kesalahan dalam menentukan Indikator yang digunakan.
Negara ini tidak pernah sanggup mengeluarkan indicator
sendiri dalam menentukan layak tidaknya hutang, akan
tetapi menyandarkan pada indicator yang dikeluarkan oleh
oleh lembaga pemberi hutang. Hal ini semakin menegaskan
posisi Indonesia sebagai obyek semata dari lembaga dan
negara pemberi pinjaman untuk mendapatkan keuntungan
atas uang mereka melalui hutang.
Dengan indikator hutang yang digunakan saat ini maka
sesungguhnya hutang baik yang diberikan oleh lembaga-
lembaga multilateral, hutang-hutang bilateral adalah untuk
melayani aktifitas pemberi hutang itu sendiri, yang menjalin
persekutuan resmi dengan perusahaan-perusahaan yang
akan menanamkan modalnya di Indonesia. Demikian juga
dengan hutang-hutang bilateral sesungguhnya adalah
hutang untuk menopang kepentingan langsung negara
– negara pemberi hutang akan bahan mentah dan sumber-
sumber ekstraktif dari Indonesia. Hal ini sangat tampak
dari posisi Jepang sebagai Negara pemberi hutang terbesar
bagi Indonesia.
Penggunaan PDB dan eksport sebagai indicator membawa
akibat yang sangat fatal perencanaan pembangunan,
dikarenakan baik PDB maupun eksport tidak akan dapat
mencerminkan pendapatan masyarakat Indonesia, akan
tetapi hanya menjadi cerminan produksi dan pendapatan
perusahaan-perusahaan besar semata dan sebagian besar
dari perusahaan-perusahaan tersebut adalah perusahaan
asing. Maka sungguh sangat aneh apabila nilai PDB kemudian
dibagi dengan jumlah penduduk (PDB perkapita) dijadikan
sebagai indicator menentukan tingkat kesejahteraan anggota
masyarakat. Karena disaat PDB tumbuh dengan pesat, pada
saat yang sama kemiskinan juga meningkat secara tajam .
* Salamuddin Daeng
Program Officer
Institute for Global Justice (IGJ)
sebab mereka selalu memuji-muji, kendati diketahui ada
kebocoran dalam penggunaan utang tersebut.
Kita menunggu sikap pemerintah yang penuh percaya diri
mewakili bangsanya, melepaskan “gengsi” dan “kecemasan”
tak berasalan untuk menuntut penghapusan (sebagian) utang,
paling tidak utang najis dan yang menjadi bagian pertanggung
jawaban kreditor seperti utang najis (odious debt) yang dibuat
pemerintahan otoriter tanpa persetujuan rakyat. Kekhawatiran
kalau Indonesia meminta debt relief atau haircut, Indonesia
akan dikucilkan oleh masyarakat internasional. Dan hal ini pada
gilirannya akan menurunkan posisi tawar Indonesia terhadap
segala hal, telah terbantahkan dalam pengalaman Argentina,
Nigeria dan Indonesia Orde Baru ketika utang warisan Orde
lama dihapus lebih dari 50 persen.
Sambungan dari hal 19
Publik
GJU - Juli 200835
Publik
Di Indonesia sendiri, Konsensus Washington ini dimulai
pada tanggal 1 Juni 1983, dengan menerapkan suku bunga
bebas dan pagu aktiva neto perbankan. Dalam bahasa yang
sederhana, sejak 1 Juni 1983, pengendalian uang beredar
tidak lagi berpaku pada suku bunga dan kredit, tetapi bergeser
kepada inflation targeting. Dengan ini kerangkanya pun jadi
semakin jelas. Sistem ini berhubungan dengan suku bunga,
berhubungan dengan nilai tukar dan berhubungan dengan
inflasi, yang pada akhirnya juga berhubungan dengan tekanan
fiskal. Oleh karena itu hubungan antara kondisi ini dengan
privatisasi dalam pelaksanaan Konsensus Washington di
Indonesia pun semakin jelas.
Ada beberapa poin yang mendasari paradigma neoliberalisme
dalam Konsensus Washington, yaitu: kepemilikan pribadi,
persaingan dan pasar bebas, mekanisme pasar, kegagalan
pasar sebagai hakim yang paling bijaksana dan efisien, serta
program-program karikatif seperti Community Development,
Corporate Social Responsibility, Scholarsip dan Funding NGO.
Semua poin yang disebutkan di atas disepakati oleh ekonom
neoklasik, yang pada intinya bertujuan untuk memperbesar
akumulasi modal. Tapi bagaimana akumulasi modal ini bisa
diperbesar tanpa diikuti oleh prinsip ekonomi internasional?
Dan bagaimana ekonomi internasional bisa berjalan, jika negara
masih memberlakukan proteksi? Ini adalah dasar logika yang
disampaikan oleh paradigma neoklasik.
Di dalam pelaksanaannya, ada 11 isu yang menyertai
Konsensus Washington. Sebelas isu itu adalah: demokrasi
liberal, country risk, hak asasi manusia. Khusus untuk hak
asasi manusia, saya sudah pernah sampaikan di Komnas HAM,
bahwa memperjuangkan HAM dan anti kekerasan tanpa hak
ekosob adalah percuma. Hak ekosob ini adalah hak untuk
memperoleh penghidupan yang layak, pekerjaan,
pendidikan, kesehatan, perumahan dan layanan publik. Isu
berikutnya adalah lingkungan. Dalam film An Inconvenient
Truth oleh Al Gore menggambarkan isu ini dengan sangat
cerdas. Di dalam film ini Al Gore menjelaskan adanya
semacam standar ganda di balik isu lingkungan. Kemudian
ada isu gender, good corporate governance, indeks
korupsi, indeks persaingan, multikultur, kearifan lokal
dan isu terakhir, pemerintah yang gagal dan buruk dalam
menyediakan pelayanan publik.
Yang paling berhubungan langsung dengan privatisasi
adalah butir ke-11 atau yang terakhir, yaitu pemerintah
gagal dan buruk dalam menyediakan layanan publik.
Kenapa? Karena yang ada hanyalah mewirausahakan
birokrasi, sehingga tidak dikenal “public goods” atau
“public services.” Yang ada hanyalah “commercial goods”
atau “commercial services.”
Cara-cara privatisasi dilakukan mulai dari konsep
outsourcing beberapa jenis pekerjaan, memberikan hak
pengelolaan, IPO, Strategic Partnership, hak pemakaian atas
barang publik, menggantungkan pemenuhan kebutuhan
pada pasokan swasta untuk layanan jasa, mempreteli
atau unbundling jasa dan produk barang publik, serta
sekuritisasi aset.
Dalam perspektif ekonomi politik, privatisasi dapat
dilihat dari pendekatan terhadap hutang luar negeri. Hutang
luar negeri memberi dampak tekanan fiskal dan tekanan
neraca pembayaran. Karena tidak mampu bayar hutang
atau tepatnya karena kebijakan ekonomi didasarkan pada
upaya memburu ekonomi setinggi-tingginya, maka negara
debitor dipaksa untuk memberi konsesi pertambangan,
Isu-Isu dan Perspektif Seputar Privatisasi1
Ichsanuddin Noersy
1 Disampaikan dalam Focus Discussion Group (FGD) Forum Keadilan Ekonomi (FKE), Institute for Global Justice (IGJ) 9 Juli 2008, disarikan oleh Joko
Arif.
Istilah privatisasi muncul dari Konsensus Washington. Yakni sebuah konsensus yang dibuat oleh Departemen
Keuangan AS di bawah Reagan bekerja sama dengan Pemerintah Inggris dalam kendali Thatcher. Secara garis
besar, isinya adalah mengenai konsep penghematan fiskal dalam artian minim subsidi dan maksimal hutang, pasar
bebas investasi dan perdagangan, liberalisasi pasar modal dan keuangan-perbankan, serta privatisasi.
GJU - Juli 200836
Publik
liberalisasi perdagangan dan keuangan-perbankan serta
memprivatisasi BUMN. Berdasarkan atas penelitian Marion
Fourcade dan Sarah L. Babb yang dimuat dalam American
Journal of Sociology, dapat dijelaskan bahwa proses privatisasi
yang dialami oleh Indonesia juga dialami oleh 4 negara lain
yaitu Chili, Inggris, Perancis dan Meksiko, yang berawal dari
balance of payment crisis.
Stiglitz dan Noriah sendiri melihat privatisasi sebagai
pengambil alihan sumber daya dan surplus perekonomian
negara debitor ke luar negeri, terutama negara kreditor
atau negara para pemilik modal. Tetapi negara debitor tetap
dianjurkan berhutang sampai dengan sumber daya ekonominya
susut dan pasarnya marjinal, dalam arti daya beli masyarakat
hancur. Contohnya adalah Nigeria dan Argentina. Kini Argentina
berhasil bangkit karena berani melawan. Pada akhirnya negara
debitor ini kemudian akan hanya menjadi ”teritori” dan bukan
lagi state, seperti yang disampaikan Michael Hudson dalam
Super Imperialism.
Yang rancu adalah banyaknya pandangan ekonom yang
sembarangan dalam membandingkan antara efisiensi di sektor
usaha (korporasi) dengan efisiensi di organisasi pemerintahan.
Secara teoritis, istilah ”hemat” adalah istilah yang sesuai
dengan pemerintahan. Oleh karena itu adalah kurang sepadan
jika membandingkan istilah ”hemat” pada pemerintahan yang
bertugas memberikan perlindungan, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan masyarakat, memberi keadilan dan
keamanan, dengan dogma ”efisiensi” di korporasi.
Kerancuan lainnya adalah soal pergeseran negara
kesejahteraan atau welfare state menjadi kesejahteraan
korporasi atau corporate welfare. Bagi para penganut
mekanisme pasar, pergeseran ini tidak dan bukan masalah,
walaupun berujung pada makin kayanya kaum kapitalis. Bagi
penganut ekonomi kelembagaan berbasis negara kesejahteraan,
walau bukan prinsip etatis, pergeseran ini hanya sekadar
membuktikan konsep negara penjaga malam yang akan terus
berulang, yakni negara hanya sekedar menjadi pelindung kaum
kapitalis. Konsep nach-wäctherstaat yang muncul sejak Eropa
bangkit tidak berubah hingga hari ini, karena negara yang diisi
oleh birokrat dan politisi adalah pesuruh bagi pemilik modal
atau pesuruh kaum borjuasi.
Di beberapa negara maju sendiri, pelaksanaan privatisasi
sekarang ini juga sudah banyak mendapat ditentang.
Contohnya adalah privatisasi pembangkit listrik di Inggris yang
mengakibatkan semakin mahalnya harga listrik dan sulitnya
pemerintah mengatur jaminan pasokan listrik. Di AS, hal ini juga
terjadi di 13 negara bagian, sehingga privatisasi pembangkit
listrik di kedua negara ini pun dihentikan. Pada awal abad 21
yang lalu, Kongres AS juga menolak penjualan Unocal kepada
CNOOC dan akses pelabuhan kepada Port Dubai.
Di Jepang, privatisasi perusahaan pos mengalami perdebatan
panjang dan membuat PM Koizumi tidak populer. Akhirnya di
bawah Shinzo Abe, privatisasi pos dilakukan dengan menjual
saham perusahaan pos kepada masyarakat domestik.
Memang ada beberapa pihak yang menuding dan melihat
contoh privatisasi di Korea dan Rusia dan Cina sebagai privatisasi
yang berhasil, sebagai mana yang sering disampaikan oleh
Mohammad Ichsan dan Chatib Basri. Saya bilang, keberhasilan
mereka gampang sekali dijelaskan. Rusia melalui Gazprom
saat ini menguasai 80% pasokan gas ke Uni Eropa. Sementara
Korea, yang terjadi adalah sinergi antara kekuatan dalam negeri
dengan kekuatan Amerika. Contohnya adalah bagaimana
keberhasilan Motorolla telah diambil alih oleh Samsung dan
LG.
Begitu juga ketika kita melihat Cina. Pada kasus Siemens, Cina
membuahkan Hua Wei. Pada kasus Audi, Cina membuahkan
Cherry. Jadi sebenarnya kita salah melihat, karena sebenarnya
Cina tidak pernah memberi peluang kepemilikan pihak asing
lebih dari 50 persen. Dalam kunjungan saya ke beberapa
propinsi industri di Cina, termasuk ke Shanghai yang dibilang
merupakan propinsi paling kapitalis sekalipun, Cina tidak
sembarangan memberikan peluang itu. Jadi menurut saya, cara
yang lain memandang privatisasi di Rusia, Korea dan Cina tidak
menyeluruh. Ada hal yang tidak mereka ungkapkan. Seperti
Korea yang sebenarnya tidak pernah melepas industrinya ke
pihak asing. Bahkan produk steel Korea sempat di banned
oleh Amerika yang sepertinya takut melihat industrialisasi di
Korea Selatan. Jadi kita tidak bisa sembarangan dalam melihat
pergeseran hajat hidup orang banyak ke pihak swasta, baik di
Korea, di Rusia maupun di Cina.
Privatisasi pada sektor-sektor publik pada hakikatnya adalah
aliansi busuk kaum politisi, birokrasi, korporasi dan kalangan
intelektual yang di dalam paradigmanya, pasar adalah hakim
yang bermoral. Motif utamanya adalah harta tahta untuk diri,
keluarga dan kelompok sendiri.
Kita tidak akan bisa membangun suatu industri berbasis
ketahanan dalam negeri jika kita selalu memikirkan privatisasi.
Ini adalah suatu hal yang tidak mungkin. Kemampuan kita
untuk membangun industri ini bergantung kepada komitmen
pemerintah dalam menjalankan konstitusi, dengan membatasi
sektor-sektor atau jenis-jenis usaha yang dapat diprivatisasi.
Selain itu, pemerintah juga harus mencegah privatisasi
sebagai pengambilalihan sumber daya ekonomi dan surplus
perekonomian nasional ke tangan asing, atau mencegah
privatisasi sebagai ”perampokan” harga diri bangsa.***
GJU - Juli 200837
Relokasi Bisnis Singapura
FTZ Batam Bintan Karimun (BBK) yang segera akan
diberlakukan oleh pemerintah hanyalah rencana yang akan
menguntungkan perekonomian Singapura. Hal tersebut
sangat tidak terbantahkan jika melihat latar belakang sejarah
dikembangkannya kawasan ini. Proyek yang dibangun dengan
mengorbankan anggaran rakyat puluhan triliun oleh Orde Baru
ini, tidak lain adalah relokasi dari pabrik-pabrik bernilai tambah
rendah dari Singapura.
Dari awal dekade 1980-an, ketika industri Singapura
tumbuh dengan pesat diawal dekade 1980-an, Singapura
membutuhkan tempat untuk merelokasi bagi kegiatan
perakitan produk-produk yang bernilai rendah. Untuk
mengatasi permasalahan ini di tahun 1988, Singapura
kemudian meluncurkan program restrukturisasi ekonominya,
dengan konsep mengalihkan Singapura dari industri yang
memperkerjakan banyak orang ke industri yang benilai lebih
tinggi sekaligus menjadikannya sebagai pemain utama dalam
investasi global. Total investasi langsung Singapura ke luar
Publik
Dalam pidato kenegaraan tanggal 15 Agustus 2008, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyampaikan bahwa
salah satu prioritas pemerintah di bidang kepabeanan dan cukai dalam tahun 2009 adalah akan diberlakukan
secara penuh penerapan kerjasama perdagangan antara Indonesia-Jepang dengan skema penurunan tarif bea
masuk, serta pemberlakuan Free Trade Zone (FTZ) di kawasan pulau Batam, Bintan dan kepulauan Karimun
(BBK)..... Pemberlakuan FTZ adalah kebijakan memberikan fasilitas lebih luas dari kesepakatan Free Trade
Agreement (FTA) dalam rangka memperluas ekspansi Bisnis Singapura di Indonesia.
FTZ BBK Kepentingan Siapa,
Kita atau Singapura ?
GJU - Juli 200838
negeri melonjak dari S$1,5 juta pada tahun 1976, menjadi
S$16,9 milyar pada tahun 1990 dan mencapai S$28,2 milyar
pada tahun 1993.
Batam, dan pulau-pulau lain di provinsi kepulauan Riau
(Kepri) dipilih sebagai tempat relokasi alternatif yang paling
logis. Study yang dilakukan oleh MAS (Monetary Authority
of Singapore) dan EDB (Economic Development Board)
menyimpulkan, suatu kawasan industri di Pulau Batam akan
membantu Singapura sebagai tonggak investasi asing langsung
di kawasan ini.
Sebagai tindak lanjut dari realisasi program itu. Perdana
Menteri (PM) kala itu, Lee Kuan Yew mengusulkan kepada
Presiden Soeharto tentang pentingnya kemungkinan
perusahaan-perusahaan Singapura terutama yang bergerak
dalam industri elektronika memperoleh kemudahan investasi
di pulau Batam. Usulan PM Singapura ini mendapat sambutan
hangat di Jakarta karena inisiatif ini sejalan dengan semangat
deregulasi dan open door policy untuk menarik PMA.
Pemerintah Indonesia, kemudian, mengumumkan perubahan
kebijakan pada bulan Oktober 1989. Perubahan yang perlu
dicatat adalah: diijinkannya kepemilikan asing di Pulau Batam
hingga 100%.
Di-era kepemimpinan BJ Habibie sebagai ketua Badan
Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam (Otorita Batam-
Red), rencana pembangunan industri di Batam semakin benar-
benar mengantungkan diri pada Singapura. Kala itu, Habibie
mengemukakan suatu teori yang dikenal dengan ‘Teori Balon’.
Dalam pandangan BJ Habibie jika balon terus menerus ditiup
maka tekanannya akan semakin besar hingga pada suatu titik
balon tersebut akan meledak karena keterbatasan kapasitas
ruang yang dimiliki. Demikian pula halnya dengan Singapura
yang memiliki keterbatasan wilayah, pada suatu saat akan
mengalami nasib yang sama dengan balon tersebut. Untuk itu
diperlukan adanya balon-balon kecil lain yang dapat menampung
kelebihan kapasitas tersebut. Inilah kiranya salah satu titik tolak
yang mendorong terjadinya akselerasi pertumbuhan Batam
selama tiga dekade terakhir. Seandainya Singapura dianggap
Balon I, maka Balon II adalah Batam, sedangkan Balon III adalah
Pulau Galang dan Rempang, sedangkan Balon IV adalah Bintan.
Balon I diharapkan akan bersinergi positif dengan Balon II-IV,
tanpa harus mengurangi kualitas Balon I.
Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1990, Singapura
mereposisi program restrukrisasi industrinya, yang diwujudkan
melalui program regionalization 2000 (R 2000). Program ini
bertujuan membangun kawasan industri perkotaan dinegara
lain sebagai tempat baru kegiatan produksi dengan fasilitas
sebagaimana persis berada di Singapura. Perusahaan-
perusahaan yang dipindahkan hanya mendirikan pabriknya di
Negara tujuan, tetapi kantor pusat tetap berada di Singapura.
Dengan begitu singapura berperan sebagai basis operasional
usaha mereka.
Dalam perjalanannya, pemerintah Singapura mulus
menegoisasikan kondisi-kondisi dan fasilitas investasi bagi
kawasan industri yang dibanggunnya. Gaya managemen
politik Asia (Indonesia) yang sangat tidak transparan, legalistic
dan proses pengambilan keputusan yang lebih mengacu pada
hubungan personal, jaringan, dan kesepakatan di bawah tangan
Publik
GJU - Juli 200839
Publik
memberi kemudahan bagi Singapura dalam mengajukan
keistimewaan dan proteksi bagi kawasan industri yang
dibangunnya. Negosisasi untuk mendapatkan perlakuaan-
perlakuan khusus itu semakin mulus dengan uang yang
mereka dimiliki.
Guna memuluskan langkah mendapatkan fasilitas
investasi tersebut, pemerintah Singapura biasanya
menugaskan pejabat-pejabat senior Negara itu untuk
mencari bentuk framework kelembagaan untuk proyek
itu (misalnya, Frame work kerjasama Indonesia-Singapura
untuk pembangunan FTZ BBK/ Indonesia - Singapura Joint
Working Group and Joint Steering Commitee Meeting
Framework Agreement in Economic Cooperation in the
Island of Batam, Bintan and Karimun,). Lembaga ini yang
kemudian menyusun kondisi-kondisi investasi unutk
dinegoisasikan ke Negara tempat relokasi industri itu.
Mengukuhkan Dominasi Singapura
Seberapa besar dana yang digunakan Singapura
untuk rencana regionalisasi industri tidak dijelaskan
secara pasti. Tetapi pada tahun 1994, pemerintah
Singapura mengumumkan jika untuk tahap awal sekitar
2-3 persen dana Bank Senteral negeri itu diarahkan untuk
pembangunan proyek-proyek infrastruktur di Asia. Dana
bagi program yang sangat ambisius itu diperkirakan tumbuh
menajdi 30-35 persen dalam 10-15 tahun kemudian.
Batamindo Industrial Park (BIP) dan Bintan Industrial
Estate (BIE) merupakan kawasan industri pertama yang
berhasil di bangun Singapura di Negara lain. BIP dan BIE
juga dibangun dengan komunikasi dan koneksi bisnis
langsung ke Singapura dari pada Indonesia. Koneksi bisnis
tersebut dikendalikan Singapore Economie Development
Board (SEDB). Setiap investasi asing (Foreign Direct
Invesment/FDI) yang masuk ke kawasan BIP dan BIE harus
melalui SEDB, bahkan dalam perkembanganya semua FDI
yang masuk ke Batam dan Bintan juga harus melalui SEDB.
Dengan jaringan yang tersebar luas ke banyak perusahaan
multi nasional (MNC) di seluruh dunia, pada kenyataanya
Batam dan Bintan dikendalikan Singapura dalam menarik
investasi.
Lebih dari 50% perusahaan asing yang beroperasi di
Batam dan Bintan merupakan perusahaan Singapura,
atau perusahaan-perusahaan negara lain yang basis
operasionalnya berada di Singapura. Dilihat dari total
investasi asing yang masuk ke Batam, ada 186 investor
Singapura dengan total nilai sebesar US$ 10.307 juta.
Ketergantungan Batam terhadap Singapura tampak dari
fakta berikut ini: dari sisi impor, 65% barang impor yang masuk
Batam berasal dari Singapura. Dilihat dari sisi ekspor 69%
ekspor Batam menuju negara tetangga yang hanya sekitar
45 menit menggunakan ferry dari Batam. Dilihat dari jumlah
wisman, 70% berasal dari Singapura.
Kenyataan tersebut, menunjukan bahwa sesungguhnya
memang sejak awal pembangunan Batam ditujukan untuk
memenuhi kepentingan Singapura, bukan untuk membangun
kemandirian ekonomi nasional atau juga menjadikan Batam
sebagai lokomatif perekonomi nasional.
Kondisi semakin ini diperparah dengan penanda tanganan
nota kesepahaman bersama antara Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong
paa 25 Juni 2006 lalu tentang pembentukan ekonomi khusus
(Special Economic Zone—ZES). Menindak lanjuti hasil MoU
tersebut, pemerintah selanjutnya mengeluarkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perpu) No.1 Tahun
2007 yang diubah kembali menjadi Undang-undang nomor
44 tahun 2007 tentang kawasan perdagangan bebas. pada
perkembangan selanjutnya juga pemerintah mengeluarkan 3
Pepaturan Pemerintah (PP), masing-masing; PP No. 46, 47 dan
48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan
Bebas Batam, Bintan dan Karimun.
Pembentukan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas
Batam, Bintan dan Karimun (BBK) itu, praktis mengukuhkan
dominasi Singapura di kawasan ini, dan menjadikan BBK
sebagai subordinat dari Singapura, dan mengeksploitasi potensi
Indonesia yang bisa melengkapi kebutuhan negara tersebut.
Bukan sebagai pesaing sebagaimana cita-cita besar Ibu Sutowo
(manta dirut pertamina) ketika membuka pulau ini pertama
kali.
Disisi lain penetapan kawasan FTZ tidak memberikan
jaminan bahwa kinerja kawasan ini akan lebih baik dari
sebelumnya. Lihatlah laporan kinerja Batam; berdasarkan
data statistik, kinerja Batam dalam menarik modal asing tidak
menunjukkan prestasi yang tidak mengembirakan. Pada tahun
2006 perbandingan investasi swasta lokal dan asing adalah 57%
berbanding 43%. Pada bagian lain meski investasi swasta (asing
dan domestik) menunjukan trend kenaikan, namun rendah
dalam penyerapan tenaga kerja. Tahun 1998 total investasi
swasta mencapai 5,166 Millon US $, naik menjadi 5,351 million
US$ tahun 1999, dan pada tahun 2002 meningkati menjadi
6,113 million US$, namun trend kenaikan tersebut tidak diikut
kemampuan dalam menyerap tenaga kerja. Pada tahun 1998
penerimaan angkatan kerja mencapai 53,02 persen, kemudian
GJU - Juli 200840
Publik
turun menjadi 41,76 persen tahun 1999, dan kembali turun
menjadi 34,01 persen pada tahun 2000.
Belajar Membangun FTZ Dari Cina
Pembelakukan kawasan kawasan FTZ BBK, sangat jauh
berbeda dengan yang belaku di China, misalnya China-
Singapore Suzhou Industrial Park (CS-SIP) atau kawasan industri
Suzhou di China, dan Wuxi-Singapore Industrial Park (WSIP)
atau kawasan industri Wuxi.
Di kedua kawasan tersebut, walaupun diawalnya merupakan
kerjasama dengan Singapura. namun selama perkembangannya
kedua kawasan ini tidak dapat tumbuh dengan pesat. Sampai
akhirnya Singapura melepas kepemilikikan sahamnya kepada
pemerintah lokal setempat. Dan sejak di kelolah oleh pemerintah
setempat justeru perkembang kedua kawasan melesat sangat
tinggi.
Kawasan industri Zunzhou adalah kawasan indsutri yang
resmi dioperasikan 12 Mei 1994 itu, merupakan kawasan
industri perkotaan paling controversial. Proyek ini juga
merupakan proyek joint venture terbesar di China baik dalam
kalkulasi biaya (US$ 20 miliar) dan ukuran lahan (70 km2).
Kawasan industri ini diproyeksikan menampung total populasi
600.000 jiwa. Kawasan industri Sunzhou dioperasikan secara
resmi 12 Mei 1994.
Joint Venture yang terlibat adalah konsorsium investor
Singapura dan China Industrial Park Development Company
(CSSD). Konsorsium China yang terdiri dari 12 organisasi
yang umumnya milik pemerintah China memengang 35
persen saham di CSSD. Konsorsium Singapura yang terdiri
dari 24 organsiasi yang umumnya adalah perusahaan-
perusahaan yang punya link dengan pemerintah dan SEDB
dan JTC International, dan dua organisasi yang terlibat
dalam kawasan industri lain yaitu SembCorp Industries.
CSSD sendiri diawasi oleh badan yang dibentuk pemerintah
tempatan yaitu Sunzou Industrial Park Adminitrative
Committee (SIPAC).
Persaingan langsung secara ketat terjadi dengan
Sunzhou New District yang merupakan proyek yang
berafiliasi dengan pemerintah kota Suzhou yang tujuan
pembangunannya sama yaitu untuk menciptakan kawasan
industri, perdagangan dan perumahan perkotaan modern.
Pembangunan distrik baru itu dimulai beberapa saat setelah
pembangunan CS-SIP dan kawasan ini lebih diminati untuk
pusat perdagangan, dan perumahan, juga oleh investor
asing. Keunggulannya berupah upah buruh yang lebih
rendah, kedekatan dengan bandara, dan juga menerapkan
system one stop service yang diadaptasi dari model yang
dibuat CS-SIP.
Pembangunan Sunzhou New District ini juga berbiaya
tinggi dengan fasilitas setara CS-SIP. Menjelang pertengahan
1998, kawasan yang dibangun senilai US$ 3,4 miliar itu
GJU - Juli 200841
menarik 88 perusahaan manufaktur dengan nilai rata-rata
proyek US$ 30 juta. Sementara pencapaian proyek Suzhou New
District mendekati target yang diproyeksikan, CS-SIP sebaliknya
khususnya untuk kawasan pemukiman dan perdagangan.
Kekecewaan Singapura ditujukan dengan pernyataan terbuka
yang dibuat Menteri Senior Lee Kuan Yew atas komitmen
patner China terhadap proyek tersebut.
Pada Juni 1999, kekecewaan terhadap Pemerintah Kota
Suzhou mencapai klimaks dengan diumumkanya pengurangan
keterlibatan Singapura. Konsorsium Singapura mentransfer 35
persen kepemilikan mayoritas saham dalam proyek di CS-SIP ke
konsorsium China tahun 2001. sebelum pemindahan sejumlah
saham ini, CS-SIP telah menarik 113 proyek. Lebih dari 91
perusahaan asing beroperasi dengan tenaga kerja yang diserap
sebanyak 14.000 orang.
Menariknya, investasi mulai mengalir deras setelah itu
dan kawasan itu mendapat keuntungan untuk yang pertama
kalinya sejak didirikan. Besar keuntungan pada tahun 2001 itu
sebesar US$ 7,5 juta. Menjelang Juni 2001, kawasan industri ini
menampung 193 proyek investasi senilai lebih US$ 5,1 miliar.
Pertumbuhan CS-SIP berlanjut di tahun 2002, dengan investasi
baru yang masuk sekitar US$ 15,4 miliar. Tenant-tenant yang
masuk sebagian besar dari Amerika dan Eropa dengan 73
persen dari investasi itu adalah kelompok elektroni, teknologi
informasi dan segemen teknologi tinggi lainnya. Kawasan
industri intu menjadi pusat investasi 500 perusahaan dan 40
diantaranya dengan investasi di atas US$ 100 juta.
Pengembangan Wuxi-Singapore Industrial Park (WSIP)
dimulai tahun 1994 dan dibuka secara resmi pada tahun 1996.
kawasan industri ini berlokasi di provinsi Jiangsu, 130 km dari
Shanghai dan 80 km dari Suzhou. Populasi Wuxi sebanyak 4,3
juta jiwa dengan perkapita income sekitar US$ 2.000 yang
merupakan salah satu dari yang tertinggi di kota-kota di China.
Karena itu Wuxi masuk dalam zona pengembangan high tech
sehingga dengan begitu elektronik dan kelistrikan, computer
dan computer peripherals, system control dan instrumentasi,
rekayasa presisi, koponen telekomunikasi, produk medis dan
perawatan kesehatan, komponen otomotif dan pesawat udara,
dan industri-industri pendukung.
Kawasan industri ini awalnya 70 persen sahamnya
dimiliki joint venture Singapura dengan 30 persen sisanya
milik pemerintah kota Wuxi. Konsorsium Singapura dipimpin
SembCrorp Industries (SCI), dengan investor utama lainya
adalah Tamsek Holding (perusahaan holding utama pemerintah
Singapura), dan Salim/KMP Group.
Investor kunci di WSIP adalah perusahaan-perusahaan
multinasional yang beroperasi di Singapura seperti Siemens,
Seagate Technology, Sumitomo, dan Matsushita, Asistensi
SEDB dalam membawa tenant pertama ke kawasan industri
itu sangat terasa manfaatnya. Namun begitu, total investasi
yang bisa ditarik masih di bawah CS-SIP. Juga target untuk
mendatangkan industri teknologi tinggi tidak berhasil karena
industri yang masuk relative bernilai rendah yang sebagaian
besar berasal dari Negara-negara Asia. Dari total US$ 450 juta
investasi yang masuk tahun 1996 dengan 6.000 tenaga kerja
yang terserap di akhir tahun itu, minat investor terus menurun.
Akibatnya pertumbuhan investasi lebih banyak dalam bentuk
ekspansi usaha dari para investor yang sudah ada. Pengenaan
pajak yang lebih tinggi dan pengenaan bea masuk barang
modal pada 1996 semakin menurunkan minat investor di
bidang high tech.
Nilai ekspor dari WSIP pada tahun 2001 sebesar US$ 1
miliar dengan jumlah pekerja 16.000 orang. WSIP tahun itu
mengembangkan fase kedua, yang mencakup area seluas
235 hektar. Namun begitu prospek jangka panjang kawasan
itu masih belum jelas. Mulai dari pertama kali beroperasi WSIP
terus mengalami kerugian. Di tahun pertamanya rugi Sin$ 3,8
juta dan masing-masing Sin$ 4,3 juta di tahun 1998 dan 1999.
pada tahun 2000 kawasan itu hanya mampu memangkas
kerugiannya menjadi Sin$ 2,8 juta. Pada pertengahan 2002,
konsorsium yang dipimpin SCI menandatangani perjanjian
untuk mengurangi sahamnya menjadi tinggal 49 persen di
WSIP yang mulai efektif tahun 2003. transfer saham dan
control manajemen ini menurut pihak SCI akan memperbesar
minat investor dan meningkatkan efisiensi operasi kawasan itu.
SCI menanggung kerugian Sin$ 48,3 juta atas langkah yang
diambil itu.
Patner China yang mengambil sebagian saham SCI lantas
membangun fase tiga WSIP yang melipatgandakan ukuran
kawasan itu. Menariknya, sebagaimana CS-SIP, begitu ditangani
China, WSIP menunjukan hasil sebagaimana CS-SIP.
Melihat perkembang terkini dari rencana penerapan FTZ
BBK, maka kita menuntut pemerintah untuk mengkaji ulang
kerjasama pembangunan kawasan perdangan dan pelabuhan
khusus BBK dengan Singapura. FTZ BBK merupakann FTZ versi
Singapura yang sama sekali tidak menguntungkan Indonesia.
Singapura bukan jaminan akan membuat FTZ BBK memenuhi
ekspektasi Indonesia. Kegagalan Singapura di China adalah
sebuah pelajaran yang referensi pemerintah dalam mengambil
kebijakan kerjasama dengan Singapura. ***
* Edy Burmansyah Peneliti Institute for Global Justice - IGJ
Publik
GJU - Juli 200842
Budaya
Kebudayaan adalah sebuah proses dari kerja kolektif masyarakat
manusia dalam upayanya bertahan serta mengembangkan eksistensinya
melalui sebuah proses corak produksi dalam rentang ruang dan waktu
yang berkembang. Memahami kebudayaan akan lebih mudah apabila
kita membaginya ke dalam tiga elemen utama:
1. Nilai-nilai yang dianut
2. Ritual atau kegiatan yang dijalankan
3. Bentuk fisik hasil dari produksi masyarakat itu
Sedangkan ASEAN dapat dipahami sebagai sebuah entitas
regionalisme apabila kita mencoba untuk memahami bahwa dalam
dunia yang semakin sempit ini kita dapat memilah-milahnya dalam
wilayah ekonomi politik, keamanan dan ketahanan serta kebudayaan
mulai dari lingkup lokal, nasional, regional dan internasional. Sehingga,
kesatuan regional merupakan sebuah kesatuan dari masyarakat-
masyarakat yang saat ini hidup dalam kesatuan nasional-nasional
dalam sebuah wilayah yang spesifik. Untuk ASEAN, kita melihat bahwa
keanekaragaman budaya yang ada dalam masyarakat yang hidup
diantara benua Asia dan Australia dan dibatasi oleh laut Pasifik dan
laut Indonesia.
Permasalahan Budaya
Dalam dunia yang semakin tidak memiliki batas, di wilayah regional
Asia Tenggara masih terlihat banyak ketimpangan dan perbedaan
perkembangan kebudayaan dan corak produksi masyarakatnya. Di
banyak negara masih terjadi pelanggaran hak asasi manusia, demokrasi
hanya sebagai simbol negara belaka. Dalam corak produksi, sebagaian
besar masih dalam corak pertanian lebih dominan dari corak industri
tetapi telah muncul satu dua negara yang telah membentuk ekonomi
kapitalisme tahap lanjut meninggalkan saudara-saudara regionalnya
yang lain dibelakang sehingga solidaritas ekonomi sulit dibangun dan
kompetisi ekonomi untuk saling menghisap sedang dan akan semakin
merakus.
Rekomendasi Budaya
Di era neoliberalisme semakin harus dibangun sebuah kesadaran
bertingkat yang menjadi benteng-benteng dalam menentukan nasib
dan tujuan hidup bermasyarakat, termasuk di tingkatan regional.
1. Mengembalikan posisi strategis kebudayaan menjadi salah satu
dasar utama dalam pengambilan keputusan dan perencanaan
REKOMENDASI PEMBENTUKAN BUDAYA ASEANInstitute for Global Justice
kekuatan ekonomi dan poitik sehingga, strategi yang dibangun
akan lebih konprehensif dan menyeluruh meninggikan nilai-nilai
kemanusiaan di atas mekanisme dan birokrasi.
2. Menciptakan ruang gerak kebudayaan yang lebih luas secara
ekspresional lintas negara regional bukannya menyatukan
budaya menjadi sebuah bentuk kebudayaan yang homogen
tetapi lebih mempertukarkannya, menyilangkannya dan
mengkolaborasikannya kebudayaan-kebudayaannya yang ada
diwilayah Asia Tenggara, sehingga dapat memunculkan pelangi
kebudayaan yang memperkaya kebudayaan manusia di bumi.
3. Membangun budaya solidaritas ekonomi politik sehingga menjadi
sebuah tatanan masyarakat yang kokoh dalam menghadapi
ancaman bentuk-bentuk penindasan ekonomi dan politik yang
semakin kompleks dan mendunia.
4. Menolak segala bentuk komodifikasi produk-produk kebudayaan
dan segala upaya untuk mengakui hak cipta sebagai milik pribadi
bagi bentuk-bentuk kebudayaan yang dikembangkan secara
kolektif dan dalam rentang waktu yang panjang.
Jakarta, 8 Agustus 2008
Revitriyoso Husodo
Surat Pembaca
Halo, GJUSetelah saya membaca Global Justice Update edisi kemarin, menurut saya informasi yang ditampilkan sangat bagus. Analisis yang disampaikan sangat komprehensif dan mendalam, cara penyajiannya pun sederhana dan tidak rumit sehingga saya sangat dengan mudah dapat memahaminya. Kebetulan saya salah satu yang memperhatikan posisi Indonesia dalam WTO dan perdagangan bebas.Pada bagian FTA update menurut saya sangat menarik karena menjelaskan bagaiman Jepang menjajah kita tidak dengan kekuatan militer tetapi dengan cara yang sangat merugikan Indonesia dan membuat negara ini menjadi kekuasaannya kembali secara perlahan.Selain itu yang saya suka ada bagian Culture update yang membahas tentang warisan kebudayaan kita. Di edisi kemarin membahas tentang keris sebagai salah satu peninggalan budaya yang harus kita lestarikan terutama dari hal HAKI. Jangan sampai keris kita direbut hak ciptanya oleh negara lain seperti batik yang sudah terebut oleh Malaysia.Saran untuk edisi mendatang kalau bisa Global Justice Update berwarna, biar lebih menarik lagi membacanya. Kemudian jika masih ada ruang, bisa ditambah dengan bagian yang bisa dibaca dengan mudah oleh anak-anak muda yang tidak terlalu suka dengan hal-hal yang berbau WTO agar mereka bisa membaca GJU ini dan dapat memahami kondisi negara ini.Maju terus Global Justice Udate dan buatlah perubahan pada cara pikir bangsa ini agar bisa lepas dari WTO dan perdagangan bebas sehingga dapat mandiri.
Terima kasih
Rio Mahasiswa KPM IPB