44

Global Justice Update - Tahun ke-6 - Edisi 2 - Juli 2008

Embed Size (px)

DESCRIPTION

De - Nasionalisasi Indonesia Upaya untuk memberangus peran negara dalam perekonomian, telah menjadi kebijakan utama rezim yang berkuasa di Indonesia saat ini. Berbagai peraturan perundang-undangan dan keputusan politik dikeluarkan dalam rangka menggantikan posisi negara, khususnya di bidang ekonomi dengan perusahaan-perusahaan swasta. Suatu upaya yang secara keseluruhan ditujukan untuk menyerahkan perekonomian kepada mekanisme pasar bebas.

Citation preview

Bila ada saran dan kritik

sampaikan kepada:

Institute Global Justice - IGJ

Jl. Matraman 12A

Jakarta 10430

Telp. 021-310 7578

Fax. 021-310 7586

WTOPerundingan WTO Buntu, Negara Berkembang Menginginkan Praktek Kolonial Diakhiri 4

FTA“FREE TRADE AGREEMENT / FTA”

Memperdalam Ketidakseimbangan Hubungan Ekonomi 6

NasionalPRIVATISASI BUMN: SEBUAH IRONI 8

Ponny Anggoro

Program Privatisasi BUMN :

Penyelamatan APBN Melalui De-Nasionalisasi 14

Salamuddin daeng

Privatsiasi Sebagai Landasan Ekonomi Neoliberal 18

Salamuddin daeng

Teori Sesat Landasan Kebijakan Hutang 19

Salamuddin daeng

Menjadi Bangsa Mandiri “Mungkinkah ?” 20

Perusahaan Obyek Privatisasi Tahun 2008 s/d Tahun 2009 22

OpiniIDEOLOGI DAN HAKEKAT PRIVATISASI :

De - Nasionalsiasi menuju RE-KOLONIALISME 26

Bonnie Setiawan

PublikUTANG DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN:

Pencarian Jalan Alternatif 29

Ivan A Hadar

Isu-Isu dan Perspektif Seputar Privatisasi 35

Ichsanuddin Noersy

FTZ BBK Kepentingan Siapa, Kita atau Singapura ? 37

Oleh: Edy Burmansyah

BudayaREKOMENDASI PEMBENTUKAN BUDAYA ASEAN 42

Surat Pembaca 42

Global

Justice

Update

Tahun 6 No.2 Juli 2008

Redaksi

Pimpinan Redaksi

Bonnie Setiawan

Redaktur Pelaksana

Salamuddin Daeng

Reporter

Herjuno NK

Kontributor

Ponny Anggoro

Revitriyoso Husodo

Layout

Sulistiyono

GJU - Juli 20083

Upaya untuk memberangus peran negara dalam perekonomian, telah menjadi kebijakan utama

rezim yang berkuasa di Indonesia saat ini. Berbagai peraturan perundang-undangan dan keputusan

politik dikeluarkan dalam rangka menggantikan posisi negara, khususnya di bidang ekonomi dengan

perusahaan-perusahaan swasta. Suatu upaya yang secara keseluruhan ditujukan untuk menyerahkan

perekonomian kepada mekanisme pasar bebas.

Keluarnya Undang-undang migas, undang-undang energi, undang-undang penananam modal dan

berbagai peraturan berbau neoliberal lainnya, menunjukkan keseriusan rezim yang berkuasa untuk

menghilangkan tanggung jawab negara dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh warga

negara. Melalui berbagai kebijakan, sumber-sumber ekonomi strategis seperti sumber daya alam minyak,

gas, mineral dan batu-bara, diserahkan kepada perusahaan-perusahaan swasta asing. Industri dasar,

industri telekomunikasi yang memiliki posisi penting dalam perdagangan internasional, dijual kepada

swasta asing. Tidak hanya itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat

hidup orang banyak, seperti Pertamina, PLN, BUMN yang bergerak di sektor keuangan dan perbankan,

serta transportasi, diserahkan kepada pihak swasta dan dikelola sepenuhnya untuk kepentingan meraup

keuntungan semata.

Dalam rangka mensukseskan segala urusan pivatisasi dan swastanisasi aset-aset publik, seperti BUMN,

industri migas, Perusahaan Listrik Negara (PLN), perbankkan nasional dan lain sebagainya, Pemerintahan

SBY-JK membentuk suatu badan yang disebut komite privatisasi. Kebijakan tersebut disahkan melalui

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2006 Tentang Komite Privatisasi Perusahaan

Perseroan (Persero). Sebuah lembaga yang ditugaskan oleh pemerintah untuk mengobral BUMN kepada

pemodal-pemodal besar, khusnya pemodal asing. Melalui komite privatisasi inilah, dalam tahun 2008

Pemerintah SBY – JK mengemukakan niatnya untuk menjual sedikitnya 34 BUMN kepada pihak swasta

dengan berbagai skema penjualan.

Alasannya yang dikemukakan pemerintah sebagai dasar legitimasi dalam melakukan privatisasi adalah

untuk meningkatkan profesionalisme, efisiensi dan keuntungan usaha milik negara tersebut. Padahal

alasan sebenarnya adalah pemerintah butuh uang, para pejabat negara butuh uang, dan salah satu cara

yang paling mudah adalah menjual warisan negara yang masih tersisa, yaitu BUMN-BUMN tersebut.

Serangkaian kebijakan penguasa yang dengan sangat terencana melakukan upaya menghilangkan

peran negara dalam “melindungi ekonomi warga negara”. Kebijakan tersebut sejalan dengan keinginan

perusahaan multinasional (TNC/MNC ) dan lembaga keuangan multinasional (IMF & World Bank) yang

sangat bernafsu menguasai asset-aset strategis dan menjalankan ekonomi pasar secara total di Indonesia.

Pemerintah lupa bahwa BUMN adalah institusi ekonomi yang dibangun dari tabungan uang rakyat, yang

fungsinya untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.

Redaksi

De - Nasionalisasi Indonesia

GJU - Juli 20084

Pertemuan sendiri mulur hingga 30 Juli 2008. Saya

berpendapat proses negosiasi kurang transparan. Terutama

ketika dibentuk kelompok perunding dengan jumlah terbatas 7

negara (G-7) yang hanya beranggotakan AS, Uni Eropa, India,

Brazil, Jepang, Australia, dan China,” demikian diungkapkan

oleh Celso Amorim, Perwakilan Brazil untukn perundingan

pertanian.

Menurut dia, Brazil, India, Indonesia dan negara

berkembang lain, tidak termasuk dalam kelompok G-7.

Dalam hal ini, Indonesia jelas-jelas kehilangan kesempatan

untuk memperjuangkan kepentingan nasional. “Jika hanya

mendengarkan pendapat 7 negara tersebut sebagai bahan

untuk perundingan berikutnya, maka tentu akan sangat

kehilangan arah,” ujarnya.

Untuk itu, lanjut Amorim, delegasi perunding negara

berkembang, termasuk Indonesia, harus menyampaikan

protes keras dan meminta agar proses perundingan lebih

transparan. Selain itu juga mengikutsertakan seluruh unsur dan

mengutamakan pendekatan dari bawah, sehingga tidak didikte

negara maju.

Selanjutnya, Indonesia yang juga menjadi juru bicara

kelompok G-33 (negaranegara berkembang) harus

memaksimalkan posisinya. “Kita sangat berkepentingan agar

special products (SP/produk khusus) dan special safeguard

Pertemuan terbatas tingkat menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa yang seharusnya

berlangsung 21-25 Juli 2008, namun mulur hingga 30 Juli 2008, berlangsung mengecewakan. Pembahasan

dalam sidang-sidang Dewan Umum dan peundingan Pertanian cenderung merugikan kepentingan petani

kecil Indonesia, sehingga pemerintah harus menolak kesepakatan WTO yang merugikan kepentingan nasional.

Perundingan WTO gagal setelah para delegasi bertemu secara maraton selama sembilan hari.

Perundingan WTO Buntu, Negara Berkembang Menginginkan

Praktek Kolonial Diakhiri

mechanism (SSM/mekanisme perlindungan) terakomodasi

dalam draf modalitas perundingan sektor pertanian,”

ucapnya.

Amorim lantas menjelaskan, bagi negara berkembang, SP

dan SSM merupakan kepentingan mendasar, karena terkait

perlindungan terhadap produk-produk yang menyangkut

hajat hidup petani. Ini juga menyangkut kelangsungan

hidup masyarakat di perdesaan yang sangat rentan dengan

kemiskinan. Oleh karena itu, kesepakatan di WTO harus

ditolak. Demikian juga jika tidak ada mekanisme perlindungan

petani dalam bentuk SSM. Maka ketika pasar domestik

dibanjiri komoditas impor, maka bentuk kesepakatan apapun

tentu tidak ada manfaatnya bagi kepentingan nasional.

“Putaran Doha (kesepakatan WTO sebelumnya) adalah

agenda pembangunan. Oleh karena itu isu-isu mengenai

pembangunan haruslah tercermin dalam perumusan drafm

modalitas, khususnya yang menyangkut SP dan SSM. Petani

kecil di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, sungguh

menderita dengan distorsi dari pasar dunia yang diisi produk

bersubsidi berlebihan dari negara-negara maju. Sementara

mereka memaksakan liberalisasi pasar di negara-negara sedang

berkembang. Jadi adalah sangat tidak adil apabila petani

kecil dengan kepemilikan luas lahan rata-rata 0,3 hektare

harus bertarung di negara sendiri dengan produk impor hasil

WTO

GJU - Juli 20085

WTO

pe r t an i an

korporasi, bahkan Trans National Corporations dari negara

maju yang disubsidi. Hasil akhirnya adalah kemiskinan dan

ketertinggalan kaum tani kita,” ungkap Martin Khor dari Third

World Network, sebuah jaringan LSM internasional yang fokus

pada isu globalisasi dan perdagangan bebas.

Jadi, sejalan dengan perlunya memperjuangkan SP dan

SSM, Indonesia juga harus meminta penurunan subsidi

pertanian di negara-negara maju. Selain itu juga mendorong

peniadaan berbagai kebijakan perdagangan yang merugikan

negara berkembang, seperti kebijakan kredit ekspor, bantuan

pangan, dan subsidi ekspor. Sementara itu, berbagai negara

di dunia, termasuk negara maju, sektor pertanian masih

mendapat perlindungan. Dalam hal ini, Indonesia tidak bisa

membuka pasar produk pertaniannya, karena berdampak

pada kehidupan petani nasional yang merupakan sebagian

besar masyarakat di Indonesia.

“Pertanian tetap perlu perlindungan. Kita tidak bisa

membuka impor seenaknya. Ketahanan sektor pertanian

terkait dengan ketahanan pangan kita. Jangan sampai kita jadi

tergantung dengan impor. Jepang dan China juga melakukan

proteksi. Di WTO, yang ada hanya ego negara maju yang

membidik Indonesia dan negara berkembang karena punya

pasar yang cukup besar. Jadi kalau perundingan WTO

merugikan negara berkembang, maka harus ditolak dan kita

tetap menjaga sektor pertanian dan

usaha kecil. Menurut Khor, selama ini negara maju memberikan

proteksi pertaniannya dan melakukan praktik dumping (harga

ekspor lebih murah dari dalam negeri) secara terselubung.

“Mereka (negara maju) memberikan kredit ekspor untuk

negara yang mau menampung hasil pertaniannya. Jadi tidak

mungkin petani kita bersaing dengan petani negara maju yang

disubsidi pemerintahnya. Jadi harus ada proteksi pasar dengan

melakukan pembatasan impor,” ungkap Khor dalam buletin

South-North Development Monitor (SUNS).

Wakil perunding India, Kamal Nath, mengatakan, gagalnya

perundingan WTO memperlihatkan sikap negara berkembang

yang menginginkan praktik ”kolonial” diakhiri.

”Pada saat ini, negara berkembang ingin menyeimbangkan

kekuatan, khususnya mengenai subsidi pertanian yang mereka

pandang sebagai warisan dari masa lalu. Saya rasa pandangan

ini benar,” ujar Nath di dalam buletin SUNS. Lamy mengatakan,

negosiasi terbaru itu telah memperlihatkan adanya kekuatan

dunia baru yang dipelopori India, China, dan Brasil, yang ingin

meninggalkan jejaknya pada perdagangan dunia.

Delegasi lain, Menteri Luar Negeri Norwegia Jonas Gahr

Stoere, menulis artikel di sebuah koran dan menyebutkan,

”Saya telah menyaksikan kebangkitan kekuatan baru yang

mewakili semua negara dan mempertahankan hak mereka.”

Kesepakatan mengenai besaran subsidi dan tarif impor dalam

kerangka Putaran Doha tidak tercapai.

Perundingan mengenai masalah ini sudah dibahas selama

tujuh tahun terakhir. Kegagalan ini dapat dikatakan merupakan

yang terparah dari serangkaian pertemuan dan negosiasi soal

perdagangan dunia.

Pembicaraan terhenti setelah India, salah satu kekuatan

ekonomi besar, dan AS, negara dengan perekonomian terkuat,

tidak mencapai kata sepakat tentang bagaimana negara miskin

dapat menaikkan tarif impor untuk melindungi petani mereka

dari serbuan impor produk pertanian.

AS menolak usulan India dan China bahwa negara

berkembang diperbolehkan menaikkan tarif impor pertanian

sebesar 25 persen jika volume impor naik 15 persen. Washington

bersikeras kenaikan tarif impor dapat dilakukan jika kenaikan

impor mencapai 40 persen.India berpendapat pagu sebesar 40

persen itu terlalu tinggi. Pada saat impor sudah naik sebanyak

itu, akan banyak petani yang bunuh diri karena frustrasi.

Ketika ditanya kapan akan diadakan lagi pertemuan untuk

mengatasi masalah itu, Pascal Lamy, Direktur Jenderal WTO,

mengatakan terlalu dini untuk menentukan jadwal. ”Akan

tetapi, pada umumnya ada pendapat bahwa kita tidak bisa terus

bertahan pada posisi sekarang ini,” ujarnya lagi. Pemerintah

India menyatakan siap kembali ke meja perundingan untuk

membicarakan soal perdagangan global. India juga tetap

bertekad tidak akan melunakkan permintaannya dalam rangka

melindungi petani miskin. India juga menyatakan kegagalan

perundingan di Geneva adalah karena sikap AS.

”AS menyebabkan kemandekan akibat sebuah isu yang

bukan merupakan isu vital perdagangan, tetapi terkait dengan

kehidupan para petani,” ujar Menteri Perdagangan India Kamal

Nath. ”Saya dapat bernegosiasi tentang perdagangan, tetapi

tidak dapat berkompromi mengenai kehidupan petani. Nasib

petani miskin sangat rentan dan tidak dapat dikorbankan demi

kepentingan komersial negara maju,” ujar Nath, yang selalu

mengatakan bahwa New Delhi tidak akan mengorbankan

kepentingan jutaan petaninya dalam perdagangan global.

Nath menyebut kegagalan itu sebagai kemunduran serius. ”AS

hanya mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri, sementara

India dan negara-negara berkembang lainnya berupaya keras

untuk melindungi kehidupan para petaninya,” kata Kamal

Nath. (HNK)

Sumber : South-North Development Monitor (SUNS) edisi 6074, 30

Juli 2008 dan South Centre’s Analysis and News of the WTO’s Mini-

Ministerial, dalam www.southcentre.org

GJU - Juli 20086

Penolakan Korea Selatan mengadakan FTA dengan

Amerika Serikat ini merupakan sebuah usaha yang cukup

gigih di tengah maraknya FTA yang banyak dijalankan

oleh negara-negara maju ke negara berkembang.

Setelah perundingan di Organisasi Perdagangan Dunia

(WTO) mengalami kebuntuan, banyak negara maju

yang beralih strategi untuk menjalankan FTA. Sampai

sejauh ini, ada lebih dari enam puluh perjanjian FTA

yang ditandatangani negara-negara, namun perjanjian

tersebut tidak memperhatikan kepentingan masyarakat

secara luas. Surat yang dikimkan salah seorang pelajar

di Korea kepada Presiden AS, George W. Bush, Jr,

bahkan menyatakan, ”I want to ask you: Wouldn’t this

agreement be beneficial to the US only in the short

term? Couldn’t this agreement be perceived as violating

the rights of Koreans to feel safe? Please consider the

result that this agreement could and will leave, both

now and for the future.”

Saat ini di Indonesia tengah dilangsungkan

beberapa kesepakatan perdagangan bebas FTA yang

sedang dirundingkan dan akan berlaku di Indonesia

adalah ASEAN EU FTA, ASEAN Jepang FTA, ASEAN

India FTA, ASEAN Korea Selatan FTA, dan Indonesia

Jepang EPA. Kesepakatan perdagangan bebas yang

sedang dirundingkan antara ASEAN dengan Uni Eropa

(ASEAN EU FTA) akan membawa ke jurang kehancuran

yang signifikan bagi negara-negara di Asia Tenggara,

terutama karena karakter dua kawasan yang berbeda,

di mana UE merupakan sekumpulan negara maju

sedangkan di ASEAN masih banyak negara berkembang

yang mempunyai permasalahan ekonomi domestik

Beberapa waktu lalu, Korea Selatan diguncang oleh aksi keras di Kota Seoul hingga 6 menteri di

Kabinet terpaksa turun. Ini disebabkan oleh salah satunya kekhawatiran masyarakat Korea Selatan

oleh perjanjian US-Korea, yang menurut banyak orang hanya akan merugikan publik Korea.

Pasalnya, rakyat Korea Selatan menolak menerima sampah makanan dari Amerika yaitu daging sapi

Amerika yang diyakini mengandung sapi gila.

“FREE TRADE AGREEMENT / FTA” Memperdalam Ketidakseimbangan Hubungan Ekonomi

yang lebih kompleks dibandingkan engara yang sudah lebih mapan

secara ekonomi.

Beberapa penelitian (lihat Chandra 2007, Robles 2006)

menunjukkan bahwa kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-UE

FTA ini diperkirakan akan semakin memperdalam ketidakseimbangan

hubungan ekonomi antara kedua kawasan tersebut. Tabel di bawah

ini menggambarkan FTA yang sudah dan akan ditandatangani oleh

Indonesia.

Tabel

Kesepakatan Perdagangan Bebas yang telah disepakati Indonesia

No Nama Perjanjian Status

1 ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) Sudah disepakati

2 Indonesia – Jepang EPA Sudah disepakati

3 ASEAN-China FTA Sudah disepakati

4 ASEAN-Korea FTA Sudah disepakati

5 ASEAN-India FTA Sedang dirundingkan

6 ASEAN-EU FTA Sedang dirundingkan

7 ASEAN-Australia-New Zealand FTA Sedang dirundingkan

8 Indonesia – AS FTA Pra-negosiasi

9Indonesia – EFTA (Swis, Leichestein, Norwegia, dan Islandia)

Joint-Study Group

Perkembangan terbaru dalam perundingan ASEAN EU FTA saat

ini, sedang dilakukan perundingan terus menerus di dalam Joint

Committee for the EU-ASEAN Free Trade Agreement. Perkembangan

terbaru dalam perundingan tersebut, Uni Eropa mempercepat proses

perundingan, seperti yang dikatakan Karl Falkenberg, Deputi Direktur

UE untuk Hubungan Perdagangan, “We’ve set the rather ambitious

target of completing negotiations in about a year or a year and a half

— let’s say by the end of 2009, we should be able to achieve some

kind of outcome.” Diagendakan bahwa pertemuan Joint Committee

FTA

GJU - Juli 20087

FTA

berikutnya akan lebih intensif diadakan di

Negara-negara ASEAN, yaitu pada bulan

April di Bangkok, Thailand; bulan Juli di

Filipina dan bulan Oktober di Vietnam.

Tabel Nilai Ekspor dan Impor Non Migas Indonesia

Terhadap Negara Eropa (Ribu USD/Thousands of USD)

Tahun Ekspor (X) Impor (M) Selisih (X- M)

2000 9,193,357 4,881,245 4,312,112

2001 8,293,424 4,243,529 4,049,895

2002 8,365,588 4,171,049 4,194,539

2003 8,525,333 4,355,062 4,170,271

2004 7,342,746 6,480,799 861,947

2005 10,731,078 7,884,394 2,846,684

2006 12,913,788 8,895,018 4,018,770

2007 14,570,506 10,957,883 3,612,623

SUMBER : Bank Indonesia Tahun 2008, http://www.bi.go.id/biweb/Templates/Statistik

Ini merupakan langkah agresif

dari pihak Uni-Eropa, sebagaimana

dikatakan Peter Mandelsohn, EU Trade

Commissioner; “Strengthening the

commitment and focus of EU trade policy

in Asia is an important part of the EU’s

Global Europe trade strategy. An EU-

ASEAN FTA is a key part of that. This

meeting helped clarify issues and map

out the work ahead. I remain strongly

committed to a wide-ranging twenty-

first century trade agreement …”

Kami melihat ada banyak bahaya

besar yang akan diterima Indonesia /

negara berkembang lainnya di ASEAN jika

menyepakati kesepakatan perdagangan

bebas dengan EU. Pertama, bahaya

bagi sektor jasa di Indonesia (terutama

perbankan), kedua bahaya dengan

penerapan Hak atas Kekayaan Intelektual

(HaKI) yang makin ketat di Indonesia,

dan ketiga bahaya ekspansi industri

pertanian dan perikanan modern Eropa

ke Indonesia.

Dalam FTA, ada beberapa kasus di

ASEAN yang bisa menjadi pelajaran bagi

Negara lain. Misalnya, terkait dengan

persoalan TRIPs, Thailand didesak oleh

Merck (produsen farmasi) untuk tidak

melakukan compulsory licensing terhadap

obat-obatan AIDS (anti retroviral)

yang telah dipatenkan oleh beberapa

perusahaan multinasional, salah satunya

Merck. Compulsary licensing atau lisensi

wajib merupakan salah satu fleksibilitas

yang bisa digunakan oleh pemerintah

negara berkembang untuk menyediakan

obat dengan harga lebih murah, dengan

memproduksi versi generik di dalam

negeri atau mengimpor obat versi generik

dari obat-obat yang masih memiliki

paten.

Perlu diketahui, jangka waktu paten

adalah 20 tahun, selama waktu tersebut,

perusahaan memiliki hak monopoli dari

produksi, pemasaran, penentuan harga,

sampai distribusi. Lisensi wajib berupaya

untuk menyediakan obat versi generik dari

obat yang masih dilindungi paten. Dalam

Kesepakatan TRIPs di WTO, compulsory

licensing adalah hak bagi setiap

negara untuk melindungi kepentingan

bangsanya. Selengkapnya kesepakatan di

WTO itu berbunyi. “Each member has the

right to grant compulsory licenses and the

freedom to determine the grounds upon

which such licenses are granted (Pasal 5

(b))” Adanya kesepakatan perdagangan

bebas / FTA dengan Eropa akan membuat

sebuah negara tidak dapat melindungi

rakyatnya.

Dalam sektor kesehatan, di

Thailand perusahaan multinasional

terus menghalangi upaya pemerintah

untuk memberikan obat murah kepada

rakyatnya. Raksasa farmasi seperti Novartis

dan Merck telah menekan pemerintah

Thailand untuk menggagalkan lisensi

wajib obat-obatan. Sikap Uni Eropa

terhadap masalah paten ini juga demikian

halnya. Komisi Eropa bahkan meminta

Thailand untuk mengganti perundang-

perundangan lisensi wajibnya. Hal ini

tentu makin mempersulit akses rakyat

miskin terhadap obat-obatan karena

tingginya harga obat-obatan.

Pelajaran mahal bisa dipetik dari EU-

Afrika EPA yang telah ditandatangani

antara Uni-Eropa dengan Negara-negara

Afrika pada tanggal 12 Desember 2007.

Uni-Eropa telah menggunakan berbagai

cara tidak terpuji dengan menekan

dan mengancam negara-negara

tersebut untuk mengesahkan perjanjian

tersebut, termasuk dengan pembatalan

bantuan dan penutupan akses pasar

ke Eropa. Perjanjian tersebut berintikan

penghapusan semua hambatan atas

perdagangan, seperti memastikan

bahwa Negara-negara Afrika tidak akan

menerapkan pajak import atas produk

pangan Eropa yang bersubsidi tinggi guna

melindungi petani kecil mereka. Demikian

pula penghapusan atas persyaratan

local content yang diterapkan kepada

Negara-negara SADC (Southern African

Development Community). Intinya adalah

EPA tersebut bersifat WTO-Plus, yaitu

lebih luas dan komprehensif ketimbang

yang telah diatur di dalam WTO. (Tim).

Tabel Nilai Ekspor Dan Impor Nonmigas Indonesia Terhadap Negara-Negara Asean (Ribu $ US)

Tahun Ekspor (X) Impor (M) Selisih (X- M)

2000 9,828,385 3,724,593 6,103,792

2001 8,687,279 3,520,524 5,166,755

2002 9,173,836 3,804,671 5,369,165

2003 9,753,421 4,480,395 5,273,026

2004 28,360 6,285,506 (6,257,146)

2005 14,444,689 16,244,412 (1,799,723)

2006 16,577,915 16,471,960 105,955

Sumber : Bank Indonesia, Tahun 2008, http://www.bi.go.id

GJU - Juli 20088

Latar belakang:

Masyarakat kembali terhenyak mengetahui kabar bahwa pada triwulan III tahun ini dikabarkan akan ada 34 BUMN

yang rencananya akan diprivatisasi dan masih ada carry over dari 2007 sebanyak 10 BUMN.1 Menurut Menkeu Sri

Mulyani dengan 34 BUMN dan 10 carry over itu akan memberikan dampak positif bagi APBN yaitu Rp 1,5 triliun plus keseluruhan

perekonomian.

Dari tahun ke tahun sejak reformasi, privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) semakin meningkat saja. Tawaran mulai

dibuka lebar. Ini sebuah tantangan, jika anda tertarik untuk membeli saham BUMN di atas, hanya dengan mengajukan sebuah

proposal pendek dan mengajak partner MNC/TNC atau pejabat negara atau Bank Dunia untuk mencari koneksi sebuah MNC/TNC

sebagai partner, anda akan mudah memperoleh rekomendasi dari

pejabat Bank Dunia tersebut untuk mendapatkan pinjaman dari

sebuah bank internasional atau anak perusahaan Bank Dunia seperti

IFC (International Financial Corporation) dan MIGA (Multilateral

Investment Guarantee Agency). Di samping itu anda juga akan

mudah mendapatkan perlindungan atas investasi jika terjadi konflik

oleh ICSID (The International Centre for Settlement of Investment

Disputes). Berbagai perusahaan besar yang umumnya berawal dari

rekanan Presiden RI atau pejabat tinggi negara telah mendapatkan

kemudahaan itu untuk melakukan transaksi bisnisnya di Indonesia.

Dalam privatisasi BUMN kasus yang sama pun bisa terjadi.

1 Nama BUMN yang akan diprivatisasi antara lain: PT. Asuransi Jasa Indonesia, BTN, Jakarta Lloyd, Krakatau Steel, Industri Sandang, PTB Inti, Rukindo, Bahtera

Adi Guna, PT. Perkebunan Nusantara III, PT. Perkebunan Nusantara IV, PT. Perkebunan Nusantara VII, dan Sarana Karya, Semen Batu Raya, Waskita Karya,

Sucofi ndo, Surveyor Indonesia, Kawasan Berikat Nusantara, Kawasan Industri Medan, Kawasan Industri Makasar, Kawasan Industri Wijaya Kusuma, BNI Persero,

Adhi Karya (direncanakan rights issue), Pembangunan Perumahan (melalui IPO), Kawasan Industri Surabaya, dan Rekayasa Industri (ada saham negara hampir

5 persen), PT. Dirgantara Industri, Boma Vista, PTB Barata, PTB Inka, Dok Perkapalan Surabaya, Dok Perkapalan Koja Bahari, Biramaya Karya, Yodya Karya,

Kimia Farma dan Indo Farma (keduanya mau merger), PT. Kraft Aceh, dan Industri Kapal Indonesia.

PRIVATISASI BUMN: SEBUAH IRONIPonny Anggoro

Program Officer di Institute for Global Justice (IGJ)

Kilang Minyak Natuna

Kilang Minyak Balongan Dalam

Nasional

GJU - Juli 20089

Nasional

Privatisasi sebagai bagian dari liberalisasi ekonomi

di Indonesia sebenarnya diisukan secara bertahap sejak

masa pemerintahan Suharto, yakni sejak diberlakukannya

deregulasi dan dikorporasikannya perusahaan negara menjadi

perusahaan umum. Didorong oleh krisis keuangan pada

tahun 1998, menyusul dikenakannya kewajiban pemerintah

untuk melakukan bail out atas hutang bank-bank swasta

yang menyebabkan deficit APBN, maka pemerintah diminta

oleh IMF melalui Letter of Intent memberlakukan Undang-

undang No 22 Tahun 2001 mengenai privatisasi BUMN sebagai

perusahaan public (PERSERO). UU ini kemudian diikuti Peraturan

Pemerintah No. 31 of 2003. Contoh BUMN yang termasuk

paling awal diprivatisasi adalah PN Pertamina yang diubah

menjadi PT. PERTAMINA (PERSERO) pada tanggal 9 Oktober

2003. Keberhasilannya kemudian diikuti oleh penjualan saham

PT. Indosat dsb. Ironisnya, dalam proses jual beli itu pada

prakteknya privatisasi hampir tidak berhubungan dengan

kepentingan untuk mendapatkan pendapatan negara yang

signifikan walaupun selalu dikatakan untuk mengurangi defisit

APBN. Privatisasi umumnya selalu lebih mengutamakan cipratan

dana hasil penjualan kepada para pejabat negara atau partai

politik yang terkait serta peran pialang atau broker yang sangat

menentukan, sehingga harga jual sahamnyapun tidak dinilai

sesuai harga pasar (undervalued). Sementara itu para pekerja

juga meminta hasil penjualannya dengan mengatasnamakan

nasionalisme. Inilah yang sering menimbulkan kontroversi,

pro dan kontra, baik dalam isu ekonomi maupun politik.

Pengumuman atas diprivatisasikannya PT. Semen Gresik kepada

Cemex pada tahun 1998 dan PT. Indosat kepeda Singapore

Telcom & Telemedia tahun 2002 misalnya sudah mengundang

kontroversi diikuti oleh konflik politik antara para pejabatnya,

tokoh politik dengan Menteri dan jajaran Menteri BUMN.

Kedua saham perusahaan ini memang dijual dengan harga

yang sangat, sangat murah.

Melihat situasi itu muncul berbagai pertanyaan, antara

lain, apa tujuan dan sasaran sebenarnya atas penjualan itu?

Apakah penjualan itu dipastikan efektif bagi Negara? Apakah

yang diinginkan hanya sekedar pemasukan Negara dalam

jumlah yang banyak atau hanya untuk memenuhi deficit

APBN? Menyimak pendapat Tony A Prasetyantono, ada faktor

ekonomi yang menyebabkan BUMN dijual. Pertama, oleh alasan

X-efficiency (Harvey Liebenstein 1966), yakni perlu adanya

efisiensi di luar kompetisi. Kedua, allocative efficiency (JS Mill

1848) yang memandang bahwa adanya mopnopoli natural

akan menyebabkan pasar dengan sendirinya mendorong

2 Kwik Kian Gie, dalam artikel “Pikiran dan Jiwa yang Terkorupsi”, Kompas, Sabtu 18 Desember 2004, menyadur ucapan Joseph Stiglitz di harian Jakarta

Post.

pencapaian efisiensi melalui persaingan. Ketiga, dynamic

efficiency oleh Joseph Schumpeter, yang mempersyaratkan

inovasi manajemen. Keempat, adalah dorongan deficit

anggaran belanja pemerintah.

Yang menjadi masalah adalah jika yang dijual itu adalah

asset Negara yang bersifat strategis dan menguntungkan yang

dalam penjualan ini dijual secara murah, maka seluruh bumi

Nusantara akan terganggu aktifitas ekonomi dan politiknya.

Dengan alasan kebangkrutan dengan beban untuk membayar

hutang, mengurangi pengangguran atau kemiskinan, apalagi

terutama ditambah dengan kondisi krisis ekonomi seperti yang

dialami Indonesia di tahun 1998 yang menyebabkan deficit

APBN yang jumlahnya puluhan trilyun, ditambah dengan proses

jual beli secara koruptif yang melibatkan sejumlah pejabat,

pemerintah tentu akan menjual murah BUMN nya. Tidak heran

jika Stiglitz menyatakan, ”developing countries to be aware of

widespread corruption in the privatization process…”, dan “in

many countries, privatization got the name of briberization” 2

Sekarang mari kita lihat kolom Indonesia pada tabel di

bawah. Kolom Indonesia dalam tabel ini menyebutkan hasil

transaksi privatisasi yang pernah meningkat drastis di tahun

2003 dan 2004, kemudian menurun cukup drastis pula di

tahun 2005 dan 2006. Dibandingkan dengan Cina, perolehan

Indonesia tidaklah besar, namun loss atau kerugian secara

finansial saja yang harus dialami Indonesia sangatlah besar.

Tabel 1Hasil Transaksi Privatisasi per Tahun

(AS$ juta)

Region / Country

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

East Asia & Pacific

10,780 1,659 1,830 8,136 8,037 14,708 51,230

China 10,279 958 1,598 6,066 4,122 14,086 50,356

Fiji .. .. 28 .. .. .. ..

Indonesia 115 .. 188 691 841 448 270

Malaysia .. .. 16 347 1,871 .. ..

Philippines 147 70 .. 7 4 .. 486

Thailand 239 631 .. 1,025 1,066 .. ..

Vietnam .. .. .. .. 134 174 119

Sumber: Data Bank Dunia 2007

Seperti bermain monopoli, sebagai pembeli, anda dengan

mudah dapat memilih dan segera melakukan transaksi

atas asset Negara yang dijual murah ini menurut kehendak

anda dengan jaminan pinjaman perusahaan multinasional/

multilateral kelas dunia tersebut di atas. Sayang, dari table di

atas untuk tahun 2001 tak dimuat privatisasi yang dilakukan. Di

GJU - Juli 200810

tahun itu yang dijual adalah PT. Telkom dan PT. Sucofindo, dua

di antara “the golden boys” BUMN Indonesia yang sebenarnya

sangat strategis dan paling menguntungkan jika pemerintah

tidak gegabah menjualnya. Dengan back up UU No 22/2001

sektor-sektor BUMN yang diperjualbelikan pemerintah meliputi

sektor mineral (PT. Batubara Bukit Asam, PT. Aneka Tambang),

energi (PT. Gas Negara), kimia dan kesehatan (PT. Kimia Farma,

PT. Indo Farma, PT. Bio Farma),asuransi (PT. Asuransi Kesehatan

Indonesia), telekomunikasi (PT. Telkom, PT. Indosat), pariwisata

(PT. Bali Tourism & Development), jasa (Perum Jasa Tirta),

kawasan industry (PT. Kawasan Berikat Nusantara, PT. PDI Pulau

Batam), infrastruktur , tekstil (PT. Primissima), perkebunan dan

kehutanan (PTPN III, PTPN X, PT. PSB, PT. Perhutani), pendidikan

(PT. Balai Pustaka),

Adapun criteria yang digunakan umumnya adalah bahwa

BUMN beroperasi dalam sektor atau industry yang kompetitif,

dengan perubahan cepat dalam teknologi dan kepemilikan

saham pemerintah minoritas, tidak lagi mayoritas. Metode

penjualan yang dilakukan, selain menggunakan IPO (Initial

Public Offering) juga right issue (melalui penjualan P.T.Telkom

dan P.T. Antam) atau strategic sale.3 IPO dilakukan yakni

dengan menciptakan proses penjualan strategis, pembelian

oleh manajemen pekerja (employee management buy out),

pembelian oleh pemerintahan regional (regional government

buy out) dan likuidasi. Umumnya dengan metode privatisasi

seperti ini manajemen yang baru ditetapkan dengan

menggunakan pekerja lokal dengan hanya satu sampai sepuluh

pekerja asing. Namun demikian umumnya perbedaan gaji,

jaminan dan perlindungan terhadap karyawan antara pekerja

asing dan lokal sangat tinggi. Demikian pula perbedaan standar

gaji di Indonesia dengan Vietnam dalam kelas dan kemampuan

yang sama misalnya mempunyai perbedaan yang signifikan.

Indonesia lebih banyak diasosiasikan sebagai Negara dengan

pekerja yang sulit diatur. Di sisi lain pekerja Indonesia terlihat

masih belum mampu membedakan kondisinya dengan kondisi

pekerja di Negara tetangga. Faktor ini belum memperoleh porsi

perhatian yang luas dari para karyawan ataupun akademik.

Masalah perbedaan kesejahteraan sangat perlu diperhatikan.

Jika kompetisi sangat tinggi, apalagi akan dibentuk

Masyarakat Ekonomi ASEAN beberapa saat lagi, perlu dipikirkan

mengenai perlakuan perusahaan yang seharusnya dalam

standar yang sama antara pekerja Indonesia dengan pekerja

Singapore misalnya dalam kelas dan lapangan kerja yang

sama. Tanpa itu, atau berupaya memanipulasi kemungkinan

itu dengan membedakan PDB masing-masing Negara, maka

faktor penguasaan tenaga dan keahlian oleh pemilik modal

tak akan terbendung lagi. Pihak pemilik modal akan semakin

menutupnya dengan berbagai peraturan dan hambatan

perdagangan termasuk dalam pengaturan yang lebih “kurang

ajar” dalam dispute of settlement dan kesepakatan dalam

perdagangan bebas.

Perebutan peran lembaga donor di Indonesia

Di Indonesia yang terjadi adalah kasus yang sedemikian

merugikan. Mengapa demikian? Mari kita cermati lebih lanjut.

Umumnya aksi privatisasi sebuah perusahaan akan diikuti

dengan restrukturisasi asset, inovasi manajemen dan pola

produksi perusahaan. Restrukturisasi ini umumnya berakibat

pada rasionalisasi pegawai yang mengatasnamakan efisiensi

dan inovasi seperti dijelaskan di atas. Namun, ada “the invisible

hands”, yang selalu mendengungkan, “Bagaimanapun,

privatisasi harus dilaksanakan”. Alasan ini secara tegas diminta

dan disahkan oleh IMF dalam Letter of Intentnya kepada

pemerintah Indonesia di tahun 1999 dan terus diperbarui di

tahun 2000 dan 2003. Indonesia yang pejabatnya korup ini

pun diam (karena jika diam berarti akan mendapat “emas”,

limpahan keuntungan penjualan aset). Permintaan IMF ini

sejalan dengan komitmennya bersama lembaga donor lain

seperti Bank Dunia, dll. dalam Konsensus Washington di tahun

1992 yang dimaksudkan untuk melaksanakan proses liberalisasi

dalam globalisasi dalam rangka mengakhiri krisis ekonomi

yang muncul di Negara-negara berkembang (pada waktu itu

krisis ekonomi yang terjadi berada di Negara-negara Amerika

Latin). Ketika posisi IMF di Indonesia melemah, ditandai dengan

gagalnya konsep IMF dalam proses bail out hutang swasta

diikuti dengan dihentikannya perjanjian hutang baru Indonesia

pada IMF, Bank Dunia dengan gesit segera menggantikan dan

memperbesar posisinya dalam proses privatisasi dan upaya

legalisasi liberalisasi ekonomi, menggantikan posisi IMF dan

Bank Dunia sendiri.

Kebijakan privatisasi sebenarnya sudah sejak lama

dikumandangkan melalui Bank Dunia dan peraturan liberalisasi

perdagangannya dinegosiasikan di World Trade Organization

menurut aturan kesepakatan yang diatur dalam General

Agreement on Trade in Services (GATS). Peraturan dengan

prasyaratnya (conditionalities) ini menciptakan korporasi

antar Negara yang mengeruk sumberdaya Negara untuk

dimanfaatkan demi kebutuhan vital di tangan manajemen

korporasi swasta dengan keuntungan yang diambilnya atas

hasil pelayanannya.4 Seperti telah dikemukakan di atas, peran

3 Pandu Patriadi, “Studi Efektifi tas Kebijakan Privatisasi BUMN dalam Rangka Pembiayaan APBN”, www.fi skal.depkeu.go.id

Nasional

GJU - Juli 200811

Nasional

lembaga multilateral sangat vital dalam mensukseskan

privatisasi. Kesuksesannya atas privatisasi adalah kesuksesan

yang milayaran dolar AS jumlahnya. Berbagai penelitian baik

oleh Bank Dunia maupun dengan menghampiri intelektual

nasional maupun internasional, dilakukan untuk mencari bukti

kuat mengenai istimewanya prospek privatisasi di Indonesia.

Dari hasil penelitian itu diperoleh kesimpulan dan legitimasi

yang misinya sama dengan Bank Dunia, antara lain bahwa,

privatisasi akan mendatangkan keuntungan signifikan,

dengan manajemen dan ongkos produksi yang efisien,

perolehan pajak membesar, dibelanjakan melalui investasi

capital, dengan hasil dan pencapaian ketenagakerjaan yang

maksimal dan menurunkan rasio hutang.5 Dari hasil penelitian

semacam itu kemudian program ditentukan, terutama proses

reformasi hukumnya.

Berulangkali pemerintah harus mengundangkan dan

mengeluarkan Peraturan Presiden atau keputusan Pemerintah

mengenai privatisasi dan liberalisasi dengan sektor-sektor yang

melingkupinya. Surat Keputusan Presiden No.18 Tahun 2006

tentang Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero),

misalnya, adalah keputusan untuk menegaskan privatisasi yang

dilakukan oleh komite tersebut secara sah, dengan mengingat

atau merujuk pada serangkaian ketentuan privatisasi yang

ada dalam peraturan yang terdahulu seperti Pasal 4 ayat (1)

Amandemen Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-

undang NO 8 tentang Pasar Modal, Undang-undang No 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No

19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-

undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,

Peraturan Pemerintah NO 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan

Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada

Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum)

dan Perusahaan Jawatan (Perjan) kepada Menteri Negara Badan

Usaha Milik Negara, Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2005

tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (PERSERO),

peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2005 tentang Pendirian,

Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha

MIlik Negara. Peraturan ini semakin kuat ketika pemerintah

kemudian mengesahkan Undang-undang Penanaman Modal.

Melalui rentetan peraturan ini maka Indonesia sudah disahkan

untuk menetapkan dirinya dengan privatisasi demi kelancaran

liberalisasi ekonomi. Padahal perundangan ini umumnya

tidak melalui prosedur publik yang komprehensif. Proses

perencanaan, persetujuan DPR sampai pengesahan oleh

pemerintah dilakukan secara sepihak dan dalam kurun waktu

yang relative singkat.

Apakah ini merugikan? Mari kita perhatikan, dengan menjual

asset seperti di atas, yang terjadi antara lain adalah, pertama,

negara menurunkan nilai jual asset, yang sebenarnya menurut

standar ekonomi nilai jual tinggi seperti pada PT. Telkom

misalnya AS$6 milyar. Namun oleh karena ada alasan legal

untuk memenuhi target pembayaran hutang dan mengurangi

kemiskinan, asset menjadi turun sebesar AS$2 milyar. Kedua,

Negara harus mencarikan sektor lain yang menggantikan posisi

tenaga kerja yang dirasionalisasi (dipensiun/dianggurkan). Ini

dapat menimbulkan masalah. Karena di satu sisi pemerintah

umumnya tidak siap dengan merelokasi para angkatan kerja.

Demikian pula pihak perusahaan yang tidak mau menanggung

beban keuangan ganda jika ikut merelokasi para angkatan

kerja. Ironisnya, umumnya pemerintah di Indonesia tidak pernah

mampu menyediakan lapangan kerja yang lebih baik dan lebih

protektif dibanding lapangan kerja di BUMN. Di samping itu

pemerintah tidak berupaya untuk membuat manajemen dan

produksi BUMN menguntungkan. Kalaupun ada keuntungan,

maka keuntungan ini umumnya lebih banyak masuk ke

kantong-kantong pejabat BUMN, pemerintah maupun partai

politik

Dengan perebutan dana dan pengaruh ini Indonesia

sebenarnya telah kehilangan hal lain dalam privatisasi yang

lebih parah, yakni kerugian Indonesia yang berlipat ganda yang

berhubungan dengan masalah keamanan Negara. Indonesia,

dengan menjual PT. Telkom berarti mengalihkan rahasia negara

ke perusahaan/negara pembeli. Mengapa? Karena PT. Telkom

adalah perusahaan telekomunikasi Negara yang menghimpun

seluruh saluran telekomunikasi yang pasti meliputi rahasia

telekomunikasi (percakapan, saduran, tapping, pembuatan

saluran rahasia, penguasaan akses radar/satelit, ruang

telekomunikasi rahasia, dll.) milik negara di seluruh wilayah

Indonesia. Kita hanya akan meringis merasa sia-sia ketika

mengetahui pekerjaan kebanggaan kita dalam merancang

dan melakukan advokasi public UU Rahasia Negara misalnya

justru ditertawakan para pemegang saham PT.. Telkom ini

karena semua akses telekomunikasi yang bersifat rahasia sudah

dikuasai mereka yang bukan orang Indonesia.

Kerugian lain? Tentu saja masih ada, Indonesia banyak

kehilangan akses dan potensi ekonomi di negeri sendiri. Gas

Negara sudah dikuasai Jepang, juga lalu lintas perdagangan dan

harga minyak yang dikuasai Singapore dan korporasi-korporasi

4 Vandana Silva, “World Bank, WTO, and corporate control over water”, International Socialist Review, Aug/sep 20015 Laporan penelitian Dr. Suad Husnan, “Privatization”, disampaikan dalam sebuah seminar di Yogyakarta, 24 Oktober 2002.

GJU - Juli 200812

internasional itu. Apalagi dengan akan disahkannya kesepakatan

perjanjian perdagangan bebas yang intinya memberlakukan

pembebasan bea masuk dan barang modal, dan kemudahan

pembelian begitu banyak asset ekonomi lainnya, yang dimulai

dengan penandatanganan Economic Partnership Agreement

antara Indonesia dengan Jepang, diikuti Indonesia dengan

India, dll. Semakin pendek sudah usia Indonesia di tangan

korporasi tanpa ada pembatasan-pembatasan pengerukan

yang disahkan dengan undang-undang.

Gerakan Anti Privatisasi

Seperti telah dijelaskan di atas privatisasi BUMN selalu

menimbulkan pro dan kontra, karena ia menyangkut asset

Negara dan kepentingan hajat hidup rakyat. Dan gerakan anti

privatisasi umumnya sejenis dengan gerakan anti globalisasi/

liberalisasi. Bagi kelompok penganut aliran Marxis aktifitas

ilegal TNC/Bank Dunia mengontrol ekonomi dunia, eksploitasi

kelas pekerja, menyebabkan memburuknya kondisi masyarakat.

Reformasi sosial yang munculpun masih dibawah tekanan

kapital global. Meningkatnya kontradiksi produksi modern

menyebabkan efek perbedaan teknologi (mesin), pembagian

kerja pekerja, konsentrasi kapital, penguasaan tanah oleh

sekelompok kecil orang, over-produksi & krisis, runtuhnya kelas

lama (petty bourgeois) & pekerja, anarki produksi, melebarnya

ketidaksamaan, menurunnya moral, hubungan kekeluargaan

dan nasionalitas.6

Sedangkan bagi kelompok liberal mereka menganggap

dunia sudah terlalu komersil, sehingga negara tak mampu

mengendalikan. Sehingga terjadi over produksi yang

menyebabkan pasar jenuh. KOndisi ini menyebabkan krisis.

Dalam kondisi ini pemerintah harus membuat keputusan

dengan menaikkan suku bunga. Dalam titik tertentu kenaikan

suku bunga akan menyebabkan inflasi tinggi (tahun ini di

Amerika Serikat inflasi lebih oleh pengaruh harga pangan dan

BBM dan merosotnya perdagangan saham oleh anjloknya

prime mortgage bisnis properti).

Neo klasik seperti Joseph Stiglitz dkk menyatakan bahwa

manajemen negara besar terlalu kemaruk/serakah (greedy).

Sehingga yang terjadi adalah ketimpangan antara Negara

miskin yang resourceful yang lebih dikendalikan oleh Negara

maju. Oleh karena itu kurangi peran donor dan lembaga donor

yang seringkali memanipulasi kepentingan dengan berbagai

ancaman, antara lain terorisme dan pemanasan global, tidak

lagi bergantung pada PDB (PDB naik, masyarakat tetap miskin).

Dengan demikian hanya negara yang siap dalam teknologi,

informasi, sumberdaya kelas dunia, pengalaman matang &

good governance akan berhasil.

Di Indonesia ada nuansa atau rasa kepemilikan,

perlindungan dan rasa usaha bersama berdasar suasana

kekeluargaan yang menjadi bagian nafas dari cara kerja BUMN

di Indonesia. Dengan standar gaji dan dinamika kerja yang

masih dibawah standar perusahaan swasta besar lainnya di

kelas yang sama, hampir setiap karyawannya menyatakan

kerelaannya untuk bekerja di BUMN. Bekerja di BUMN adalah

kebanggaan dan symbol kesetiaan warga Negara kepada asset

negaranya. Ironisnya, usaha seperti ini selalu diganggu oleh

intervensi pejabat pemerintah dan partai politik. Nilai-nilai dan

budaya ini tidak berlaku bagi sebuah perusahaan modern yang

dinamis dan meminta penggandaan keuntungan yang besar

dalam waktu yang cepat dan kalau bisa masuk ke aras global.

Perbedaan besaran keuntungan sangat jelas terlihat dalam

kedua usaha sekelas yang berbeda nilai ini. Lembaga dunia

manapun kemudian akan menilai kondisi BUMN seperti ini

tidak menguntungkan dan berpotensi hancur. Banyak indikasi

yang memperkuat pendapat ini. Dari ratusan BUMN banyak

diantaranya yang tutup atau dalam kondisi yang kembang

kempis. Pabrik gula di PT.P IX di Ceper Klaten, atau Cepiring, di

Kabupaten Kendal misalnya selalu terancam ditutup karena tidak

mampu lagi memberikan rendemen tebu yang menguntungkan

disebabkan oleh cara pengelolaan perkebunan yang seadanya

dan mesin yang tua dengan kapasitas yang semakin berkurang,

sehingga harga jual pun jauh menurun. Upaya pemerintah

pun hampir tak ada. Pemerintah terkesan seperti membiarkan

kondisi ini secara perlahan dan pasti mengempis lalu

mati. Bank Dunia barangkali juga secara sengaja tidak mau

membantu menciptakan restrukturisasi BUMN semacam ini. Ini

menyebabkan swasta membeli saham pabrik ini dengan sangat

murah.

Penutup

Gerakan ekonomi berhubungan dengan upaya dan nafsu

manusia menguasai perekonomian. Upaya penguasaan ini

sering tak terbatas. Dalam system apapun pergerakan ekonomi

ini akan mencapai titik kulminasi keruntuhan dan boomingnya

sendiri yang bisa datang sewaktu-waktu dan dalam proses

yang singkat atau rumit sekaligus. Lihat bagan teori klasik

Schumpeter di bawah ini. Ia memperlihatkan bagaimana secara

ringkas gerakan ekonomi berputar dan mencapai skala tahapan

kebutuhan atau kondisi ekonomi secara berangkai dari situasi

yang paling sukses sampai situasi krisis.

6 Michel Chossudovsky, The Globalisation of Poverty: Impacts of IMF and World Bank Reforms, University of Michigan, USA, Michigan: Third World

Network, 1997, hal 36.

Nasional

GJU - Juli 200813

Nasional

Privatisasi dimanapun di seluruh dunia selalu menimbulkan

kontroversi. Ketika ia dibeli raksasa-raksasa ekonomi, suasana

dapat saja sekejap menjadi cerah dan mengundang pesona.

Namun demikian para pekerja yang semula menderita sesak

nafas di BUMN lama begitu dirumahkan oleh pemilik baru dapat

menimbulkan suasana kepedihan. Bagi yang dipekerjakan,

sebagus apapun suasana baru itu, belum tentu membuat

pekerja yang lama akan menikmati. Suasana kerja yang daya

pacunya berbeda jauh dengan suasana lama semakin akan

diperhitungkan untung ruginya. Ini menimbulkan kelelahan

tersendiri.

Suasana demikian menurut banyak media tidak terjadi

jika yang memiliki asset lebih banyak Negara seperti yang

banyak terjadi di Negara-negara Amerika Latin dan Cina.

Walaupun banyak terjadi privatisasi namun pemerintah Cina

masih mempunyai kekuasaan untuk mengatur kiprah ekonomi

BUMNnya, sehingga rakyat dan negara malah diuntungkan.

Demikian pula dengan Bolivia misalnya. Presiden Evo Morales

banyak melakukan perubahan untuk menguasai asset negaranya

dari upaya pencaplokan pemerintah dan MNC Amerika Serikat.

Strategi ekonominya dinamakan “The Trade Treaty of the

Peoples (TCP)”. Mari kita simak TCP, lalu bandingkan dengan

Indonesia.

Berlawanan dengan ideologi kapitalis, TCP memperdebatkan

prinsip integrasi perdagangan mengenai komplementaritas,

kerjasama, solidaritas, resiprositas, kesejahteraan and respek

atas kedaulatan negara. Tujuannya meliputi aspek-aspek yang

tidak terdapat dalam integrasi perdagangan yang diajukan pihak

Utara, yakni mengenai pengurangan kemiskinan secara efektif,

perlindungan pada komunitas lokal dan lingkungan hidup. Bagi

TCP investasi dan perdagangan adalah untuk pembangunan

bukan untuk memelaratkan. UKM, produsen lokal/kecil,

industri mikro, koperasi, perusahaan milik komunitas dengan

fasilitas pasar/pertukaran eksternal. TCP memahami investasi

dan perdagangan tidak berakhir tapi untuk pembangunan.

Tujuannya tidak liberalisasi pasar secara total tapi untuk

kesejahteraan rakyat. Ia mempromosikan model integrasi

perdagangan antara rakyat dengan membatasi hak investor

asing dan MNC, supaya pembangunan nasional terjamin.

TCP juga tidak menghambat pengunaan mekanisme yang

memajukan industrialisasi atau melarang proteksi pada area

tertentu di pasar internal yang menguntungkan masyarakat.

Di Indonesia pemerintah tidak mau bertindak seperti Evo

Morales dkk di Amerika Latin. Ketergantungan pada peran

Bank Dunia, MNC/TNC dan Negara maju sangat kuat. Dengan

demikian pemerintah tidak mampu menciptakan suasana

kebebasan perpindahan modal dan teknologi yang diikuti

oleh kebebasan pekerja. Yang dilakukan adalah dominasi

oleh penguasa dan pemberian wewenang pada pengusaha

atas pekerja. Pekerja benar-benar dimanfaatkan sebagai

faktor produksi yang diperlakukan semurah-murahnya. Ini

ditambah dengan kecilnya perhatian pemerintah atas kondisi

upah dan perlindungan yang relative optimal, apalagi dalam

suasana kenaikan BBM dan bahan makanan sekarang, semakin

mengebiri pekerja untuk berproduksi secara optimal. Demikian

pula, aparat birokrasi dirasakan masih juga mengganggu

kinerja perusahaan. Pekerja sangat merasakan betapa

perlakuan pemerintah sangat berbeda kepada pemilik modal

dan pekerjanya padahal keduanya mempunyai kelas yang

relative sama dalam berproduksi yang dengan demikian

menguntungkan perusahaan.

Lebih mengenaskan lagi, dalam menjamin suasana kerja

dan perlindungan tidak ada langkah sekecil apapun yang

diperlihatkan Bank Dunia kepada nasib pekerja dan asset

Indonesia selain social safety net yang sifatnya sedekah,

spasial dan ad hoc itu. Yang dikejar Bank Dunia hanyalah

keuntungannya yang pasti akan meningkatkan reputasinya di

mata dunia terutama di mata pemerintahnya di Amerika Serikat.

Sudah saatnya asas undang undang mengenai perlakuan

yang sama (equal treatment) harus diubah untuk menghargai

kedudukan rakyat dan negara. Demikian pula pengelolaan dan

pemilikan lahan harus oleh rakyat Indonesia dengan fasilitas

khusus kepemilikan dan pengelolaan tanah bagi rakyat miskin

Indonesia. Dalam hal tenaga kerja, kekuatan mereka dalam

melakukan pekerjaannya harus menurut standar internasional

dengan hak/kewajiban yang sama pula. Negara harus tetap

sebagai pemilik tanah dengan asset yang dapat diolah secara

terbatas. Memang, rejim, dibantu oleh kaum akademis, yang

kuat selalu menang dan menjaga wibawa semata-mata demi

kemenangan politiknya bukan demi Negara dan kesejahteraan

rakyat. Jika hanya mempertahankan kebijakannya tanpa

mempertahankan nasib Negara dan rakyat niscaya sebuah

pemerintahan atau rejim akan jatuh, karena di masa kini sudah

sulit mempertahankan dominasi tanpa memperhatikan nasib

rakyat dan tanah air. Itulah ironinya.***

GJU - Juli 200814

Program Privatisasi BUMN :Penyelamatan APBN Melalui De-Nasionalisasi

Sebagaimana kita tahu bahwa tindakan penyelamatan

APBN telah menjadi kebijakan prioritas pemerintahan ditengah

tekanan krisis. Secara terbuka pemerintah menyatakan

“Menyangkut alokasi anggaran di APBN, bagi pemerintah

adalah bagaimana menyelamatkan APBN dan bukan

menyusun APBN yang ideal,” kata Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono saat membuka Rapat Pimpinan Nasional (Rapinas)

Kamar Dagang dan Industri Nasional (Kadin) 2008 di Jakarta

Convention Centre (JCC), hari Senin (31/3).

Statemen pemerintah tersebut ditujukan untuk menyikapi

tekanan anggaran akibat kenaikan harga minyak mentah dunia,

meroketnya harga komoditas pangan dan gejolak keuangan

dalam negeri yang terjadi sejak awal tahun 2008. Pemerintah

lebih mengutamakan upaya menyelamatkan Anggaran

Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) berikut perubahannya,

ketimbang menyusun APBN yang secara alokatif anggaran

Privatisasi adalah cara yang paling mudah bagi pemerintah untuk mendapatkan setoran dalam mengisi kantong

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apalagi ditengah kondisi dimana tekanan dalam anggaran

pemerintah yang sedemikian besar, baik yang diakibatkan oleh utang luar negeri yang besar, kenaikan harga

minyak dunia, maupun yang dipicu oleh penurunan nilai tukar mata uang rupiah terhadap Dolar AS, maka

kebijakan privatisasi akan menghasilkan dana segar yang akan menjadi sumber keuangan pemerintahan yang

berkuasa dalam menyelamatkan kekuasaan politiknya.

lebih berpihak kepada rakyat, pro pada subsidi dan

proteksi ekonomi rakyat.

Langkah penyelamatan APBN melalui kebijakan

pencabutan subsidi dan privatisasi pada hakekatnya

hanyalah kebijakan yang mengamankan kemampuan

APBN untuk membiayai penyelenggaraan kekuasaan,

pembayaran hutang pokok dan bunga hutang domestik

dan luar negeri dan pembangunan infrasruktur dalam

mendukung investasi asing. Sebaliknya, penyelamatan

APBN semacam ini berarti semakin menjerumuskan rakyat

ke dalam krisis yang lebih dalam. Buktinya kebijakan

pemerintah menaikkan harga BBM dan kebijakan berwatak

neoliberal lainnya seperti privatsiasi dan swastanisasi asset-

aset publik, telah menghasilkan sumber penerimaan yang

besar bagi pemerintah, akan tetapi pada saat yang sama

Nasional

GJU - Juli 200815

Nasional

rakyat harus berhadapan dengan kenaikan harga-harga

kebutuhan pokok dan semakin rendahnya akses masyarakat

terhadap berbagai jenis kebutuhan dasar, yang semestinya

disediakan oleh negara melalui perusahaan publik atau BUMN.

Akibat dari langkah “penyelamatan APBN” tersebut,

kondisi ekonomi yang dialami rakyat Indonesia terus memburuk

dari tahun ke tahun. Krisis yang dihadapi rakyat tidak sebatas

krisis moneter, rendahnya nilai tukar mata uang atau tingkat

inflasi yang tinggi. Krisis yang menghantam kehidupan

rakyat berkaitan dengan aspek paling fundamental dalam

perekonomian seperti pengangguran, kemiskinan, kelangkaan

bahan makanan dan menurunnya akses masyarakat terhadap

berbagai jenis kebutuhan dasar. Memburuknya kondisi ekonomi

yang dihadapi rakyat tersebut, adalah akibat langsung dari

kebijakan pemerintah yang kelewat sibuk mengurus dirinya

sendiri, menyelamatkan APBN dan melepaskan tanggung

jawab negara terhadap keselamatan rakyat dengan menjual

perusahaan-perusahaan negara.1

Apa yang dihasilkan oleh pemerintah dengan kebijakan

neoliberal semacam ini ?, pertama, pemerintah dapat melepaskan

tanggung jawabnya terhadap kondisi krisis yang dihadapi

masyarakat, yaitu krisis yang diakibatkan oleh melemahnya

akses masyarakat terhadap kebutuhan pokok dan kebutuhan

dasar, kedua, pemerintah dapat mempertahankan APBN

yang dibutuhkan dalam penyelenggaran pembangunan versi

lembaga-lembaga pemberi hutang dan sekaligus mengamankan

anggaran yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan kekuasaan

politiknya.

Pemerintah Pelayan Hutang

Apakah masalah dalam APBN berkurang setelah pemerintah

mencabut subsidi BBM ?, ternyata tidak…!. Buktinya pasca

kebijakan menaikkan harga BBM pada pertengahan Bulan

Mei lalu, pemerintah kembali merencanakan penjualan BUMN

melalui program privatisasi. Sedikitnya 34 BUMN rencananya

akan di privatisasi oleh pemerintah SBY – JK dalam tahun 2008.

Alasannya sama, yaitu beratnya beban yang harus ditanggung

oleh APBN sehingga membutuhkan sumber-sumber pembiayaan

baru.

Pemerintah hampir tidak pernah menyebutkan bahwa

beban terbesar dalam APBN adalah dikarenakan hutang luar

negeri yang besar. Besarnya kewajiban membayar cicilan

hutang pokok dan bunga hutang domestik dan luar negeri,

telah menyedot sebagian besar pendapatan negara, baik

yang diperoleh dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat

maupun dari sumber pendapatan lainnya.

Bahkan jumlah yang harus dibayarkan pemerintah

sebagai bunga dan cicilan hutang pokok, jauh lebih besar

dibandingkan dengan jumlah yang dikeluarkan bagi

subsidi BBM atau subsidi apapun seperti subsidi kesehatan,

pendidikan, pupuk bagi pertanian dan subsidi terhadap

sektor ekonomi rakyat lainnya. Dalam hal ini pemerintah

lupa bahwa tanggung jawab terbesar dari APBN adalah

menyelamatkan rakyat dari tekanan krisis.

Tabel

Pembayaran Pokok dan Bunga Pinjaman Luar Negeri (Juta USD)

TahunPemerintah

Swasta

TotalLembaga Keuangan Non

Lembaga Keuangan Non

BankBank

Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai

1998 5,905 1,893 3,424 14,464 25,686

1999 5,800 2,116 5,312 23,503 36,731

2000 5,313 1,055 3,752 19,054 29,174

2001 7,048 620 4,124 10,815 22,607

2002 7,374 984 4,824 7,800 20,982

2003 6,451 579 5,078 6,793 18,901

2004 9,032 602 6,265 6,532 22,431

2005 7,234 749 7,812 8,569 24,364

2006 17,057 1,394 8,819 11,665 38,935

2007 9,188 1,643 9,673 16,147 36,651

Jumlah 80,402 11,635 59,083 125,342 276,462

Sumber : Bank Indonesia Tahun 2008

Data diatas menggambarkan bahwa posisi hutang luar

negeri Indonesia dalam 10 tahun terakhir menunjukkan

bahwa, akumulasi nilai hutang luar negeri Indonesia telah

mencapai jumlah yang sangat besar. Dalam catatan Bank

Indonesia (BI) jumlah hutang luar negeri telah mencapai

136,640 miliar US Dolar pada tahun 2007. Dengan asumsi

nilai tukar rupiah sebesar Rp. 9200 / 1 $ US, maka Jumlah

pokok hutang (hutang pemerintah dan hutang swasta),

dapat mencapai 1257 triliun atau hampir mencapai 2 kali

lipat APBN tahun 2007.

Besarnya pembayaran bunga hutang dan cicilan hutang

pokok telah menguras sumber-sumber pendapatan negara.

Dalam 10 tahun terakhir jumlah pembayaran hutang

pokok dan bunga hutang telah mencapai 276,462 juta

US Dolar. Jumlah tersebut mencapai 1,8 kali lebih besar

dibandingkan jumlah keseluruhan hutang pemerintah dan

hutang swasta pada tahun 2007, yaitu sebesar 136,640

juta US Dolar.

1 Dalam catatan Bank Dunia, pada ahir Tahun 2005, jumlah penduduk

miskin di Indonesia mencapai 49 Persen dari jumlah penduduk. Mereka

adalah masyarakat yang hanya berpendapatan antara US $ 1 sampai

dengan US $ 2 per hari. Keadaan tersebut belum bergeser hingga saat

ini, bahkan keadaanya cenderung memburuk.

GJU - Juli 200816

Saat ini, seluruh penerimaan negara baik pajak

maupun penerimaan sumber daya alam, tidak memiliki

kemampuan yang signifikan untuk mengatasi seluruh

pengeluaran pemerintah dalam penyelenggaraan negara

dan pembangunan. Hutang baru selalu menjadi sandaran

berikutnya, agar negara tetap dapat dipertahankan.

Padahal jumlah hutang baru yang diperoleh pemerintah,

tidak sebanding dengan jumlah yang dikeluarkan untuk

menutupi bunga hutang dan cicilan pokok hutang yang

pembayaran sudah jatuh tempo.

Meskipun hutang luar negeri sedemikian besar, dan

kewajiban yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia

juga besar, tampaknya hal tersebut bukan masalah yang

serius bagi pemerintah. Keadaan APBN yang demikian

justru menjadi alasan untuk menjalankan agenda

noeliberal lainnya, sebagaimana yang diamanatkan oleh

IMF dan World Bank. Agenda-agenda neoliberal tersebut

diantaranya adalah pencabutan subsidi dan privatisasi,

yang sampai saat ini belum berada pada tingkat yang

dipersyaratkan oleh lembaga-lembaga pemberi pinjaman

tersebut.

Menjual Warisan Negara

Pemerintahan Indonesia SBY – JK sudah sangat percaya

diri untuk melakukan penjualan BUMN. Pemerintahan ini

menyatakan bahwa tindakan tersebut sudah merupakan

langkah yang benar dan tepat untuk mengatasi masalah-

masalah yang dihadapi negara, khususnya masalah krisis

defisit dalam APBN. Sama halnya dengan dasar logika

yang digunakan ketika mencabut subsidi BBM, menaikkan

tariff dasar listrik (TDL), dan kebijakan pencabutan subsidi

lainnya. Kesemuanya dikatakan sebagai langkah yang

benar bagi perekonomian Indonesia2.

Setiap tahun pemerintah menargetkan sejumlah

tertentu pendapatan sebagai hasil penjualan BUMN.

Dalam sebuah dokumen hasil penelitian yang dikeluarkan

oleh Bappenas, pemerintah menargetkan pendapatan

sebesar US$ 90 miliar dari perolehan privatisasi (kumulatif

1999-2005) untuk percepatan pembayaran hutang3.

Suatu hal yang tidak dapat dibenarkan secara teoritik.

Hutang mestinya dibayar dengan produktifitas hutang

itu sendiri, bukan dengan menjual aset usaha yang dapat

menghasilkan keuntungan secara ekonomi.

Berapa nilai aset BUMN keseluruhan yang hendak dijual

oleh Rezim pendukung neoliberalisme ini ? Berdasar data

terakhir per triwulan I Tahun 2008, nilai aset 139 BUMN

mencapai Rp 1.891,5 triliun. Nilai tersebut mengalami kenaikan

9,9 persen dibandingkan nilai aset pada 2007 sebesar Rp

1.721,7 triliun4. Hal ini berarti bahwa dalam soal kepemilikan

BUMN Indonesia termasuk kaya ketimbang Singapura dan

Malaysia yang aset BUMN-nya jauh di bawah Indonesia. Aset

BUMN Singapura USD 60 miliar dolar, Malaysia USD 20 miliar

dolar. Aset terbesar BUMN diantaranya, Bank Mandiri Rp 256

triliun, PLN dan Pertamina di atas Rp 200 triliun5.

Sungguh merupakan asset yang luar biasa besarnya. Hal

ini yang menyebabkan pemerintahan SBY – JK menggunakan

aji mumpung sedang berkuasa, bagaimana meraup uang

yang besar dalam rangka membiayai penyelenggaraan

kekuasaan yang dipimpinnya, dengan menjual warisan

negara. Beruntungnya lagi, dengan kebijakan menjual BUMN,

pemerintahan sekaligus dapat menunjukkan bukti kesetiaan

kepada lembaga-lembaga keuangan multinasional (IMF/WB),

bahwa pemerintah Indonesia sangat taat kepada kedua

lembaga tersebut dalam menjalankan program-program yang

menjadi persayaratan hutang .

Pemerintah selalu menargetkan sejumlah penerimaan

tertentu sebagai hasil dari penjualan BUMN. Dalam tahun

2005, Kementerian Negara BUMN menargetkan nilai

privatisasi sebesar Rp 3,5 triliun. Pada tahun 2006 ditargetkan

nilai privatisasi neto6 sebesar Rp 1 triliun, yang terdiri dari

penerimaan privatisasi Rp 3,195 triliun dikurangi PMN BUMN

sebesar Rp 2,195 triliun. Privatisasi tersebut diperoleh antara

lain dengan penjualan saham Perusahaan Gas Negara sebesar

5,31 persen. Selanjutnya pada tahun 2007, privatisasi neto

sebesar Rp 2 triliun. Privatisasi neto terdiri dari penerimaan

privatisasi Rp 3,3 triliun dikurangi PMN sebesar Rp 1,3 triliun7.

Padahal, total laba bersih BUMN yang diserahkan kepada

negara sangat besar yaitu mencapai Rp 71,59 triliun dan

sebagian besar dihasilkan oleh 25 BUMN saja. Dari 25 BUMN

penghasil laba tersebut, yang memberikan laba cukup

2 On the track, Susilo Bambang Yudoyono, Tahun 2008

3 Ryan Nugroho dan Rendy R. Wrihatnolo, Ryan Nugroho adalah

Chairman RBI Research, konsultan manajemen untuk sektor privat dan

publik dan Rendy Wrihatnolo, S.Sos adalah Staf Direktorat Industri,

Perdagangan, dan Pariwisata, Kantor Menteri Negara Perencanaan

Pembangunan Nasional/BAPPENAS

4 Aset 139 BUMN Tembus Rp 1.891,5 T, sumber: jawapos.com, http://

radiospin.net/? p=1436, By ajisaka on July 8th, 2008

5 BUMN Targetkan Laba Rp100 T, Ir Muhammad Said Didu, Sekmen

BUMN, http://www1.bumn.go.id/ news. detail.html?news_id=20096

6 Privatisasi neto adalah nilai privatisasi dikurangi penyertaan modal

negara (PMN) BUMN

7 http://64.203.71.11/kompas-cetak/0612/09/ekonomi/3156828.htm

8 Ketua BUMN Watch Naldy Nazar Haroen, BUMN Terbaik Versi BUMN

Watch, LKBN Antara - Minggu, 11 Mei 2008, http://www.ptppa.com/

detilnews.asp? id=4383 &kode=5

Nasional

GJU - Juli 200817

Nasional

signifikan hanya PT. Pertamina , PT. Telkom Tbk, PT. Bank

Mandiri Tbk, PT. Bank BRI Tbk, PT. Bank BNI Tbk, PT. PGN Tbk,

PT. Antam Tbk, PT. Semen Gresik Tbk, PT. PPA (Persero), PT.

Bank BTN (Persero), PT. Pelindo II dan PT. Jasa Rahardja8.

Anehnya, justru BUMN dengan kemampuan menghasilkan

keuntungan yang sangat besar secara perlahan-lahan asetnya

“mutilasi” dan kepemilikannya diserahkan kepada modal asing.

suatu tindakan yang tidak berdasar secara ekonomi. Meskipun

tujuan pendirian BUMN pada awalnya bukanlah untuk mencari

laba atau keunt8ungan, akan tetapi sebagai alat bagi negara

dan pemerintahanya dalam menjamin pemenuhan kebutuhan

dasar rakyat, akan tetapi dengan tingkat laba yang dipeoleh

oleh BUMN saat ini, maka sesungguhnya kedudukan BUMN

memiliki kontribusi yang besar terhadap pendapatan negara.

Apalagi jika pengelolaan BUMN disertai dengan praktek

yang bersih dan menghentikan seluruh korupsi yang ada di

dalamnya, maka BUMN dapat menjadi alat penopang utama

perekonomian dan sekaligus sebagai sumber yang besar bagi

anggaran negara (APBN).

De-Nasionalisasi Indonesia

Privatisasi di Indonesia tampaknya hanyalah sebuah

kegiatan menjual perusahaan negara kepada pihak asing,

Bukan semata-mata menjual perusahaan kepada pihak swasta.

Kecenderungan menyerahkan BUMN kepada pembeli atau

penananam modal asing sangat terlihat menjadi motivasi

utama pemerintah. Salah satu indikasinya yang paling kuat

adalah bahwa sejak awal pemerintah memang menginginkan

penerimaan dalam bentuk valuta asing. Penerimaan semacam

itu hanya dapat diperoleh pemerintah salah satunya dari

penjualan BUMN kepada pihak asing. Selanjutnya penerimaan

tersebut adalah sumber pendapatan langsung bagi pemerintah

yang sedang berkuasa.

TabelPerubahan Jumlah BUMN di Indonesia

N0 Uraian 2002 2003 2004 2005 2006

I Jumlah BUMN 158 157 158 139 139

Perjan 15 14 14 0 0

Perum 11 13 13 13 13

Persero 124 119 119 114 114

Persero Tbk 8 11 12 12 12

II Jumlah Sektor BUMN 37 37 37 35 35

III Kepemilikan Minoritas 20 21 21 21 21

Jumlah BUMN terus mengalami penyusutan dari tahun ke

tahun. Tampaknya rezim pemerintahan yang didominasi dan

dikomandoi oleh para pengusaha ini, sangat menekankan

kebijakan privatisasi sebagai salah satu rencana utama mereka

terhadap ekonomi Indonesia. Penyusutan jumlah BUMN

tersebesar terjadi dalam tahun 2005-2006. Jika pada tahun

2004 dinyatakan masih terdapat sebanyak 158 BUMN, akan

tetapi pada tahun 2006 hanya tersisa 139 BMUN. Menneg

BUMN Sugiharto pernah mengatakan bahwa pemerintah

berencana menurunkan jumlah BUMN dari sekitar 150 BUMN

menjadi 50 BUMN paling cepat bisa dilakukan Tahun 2009.

Untuk mengejar target penjualan yang besar, pemerintah

terkesan seperti membabibuta. Privatisasi BUMN tidak disertai

dengan perencanaan yang benar dan perhitungan nilai asset

sesungguhnya dari BUMN-BUMN tersebut. Akibatnya puluhan

BUMN strategis dijual dengan harga murah. Beberapa pengamat

ekonomi menemukan keanehan, pasca BUMN tersebut jatuh

ke tangan swasta, nilai asetnya mengalami peningkatan besar,

padahal belum ada tambahan capital apapun pada perusahaan

eks BUMN tersebut.

Kebijakan pemerintah tersebut sejalan dengan dengan

rencana korporasi-korporasi besar asing, yang sejak awal

mengincar industri – industri strategis terutama BUMN yang

bergerak di sector pertambangan, migas, energi, telekomunikasi

dan keuangan. Hal ini dikarenakan kegiatan ekonomi di sector

tersebut, memiliki kedudukan yang penting dalam penyediaan

bahan mentah dan sumber energi bagi industri dan kedudukan

penting dalam perdagangan internasional.

Tidak mengherankan, kalau perusahaan-perusahaan asing

dan bahkan BUMN dari negara lain, berebutan membeli BUMN

Indonesia. Akibatnya sebagian besar BUMN yang dijual oleh

pemerintah diambil alih oleh modal asing, baik swasta maupun

pemerintah negara lain. Sehingga praktek penjualan BUMN

tersebut lebih tepat disebut sebagai tindakan de-nasionalisasi

Indonesia ketimbang privatsiasi. Sebuah tindakan mengisi

kas APBN dengan memindahkan kepemilikan aset-aset milik

negara Indonesia ke tangan pihak asing, baik swasta asing

maupun ke tangan negara lain.

* Salamuddin daeng

Program Officer Institute for Global Justice - IGJ

GJU - Juli 200818

Ada banyak definisi tentang privatisasi, secara umum

dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan mengubah status

kepemilikan usaha-usaha milik besama menjadi milik individu/

perorangan. Kebijakan privatsiasi selalu dihubungakan dengan

sumber ekonomi yang sebelumnya adalah milik publik, seperti

tanah, air udara, atau milik bersama lainnya seperti perusahaan

negara, yang dikelolah secara bersama-sama dan hasilnya

dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, diubah statusnya

menjadi milik pribadi/ perorangan, badan usaha swasta, yang

dikelola untuk kepentingan bisnis atau mencari keuntungan.

Privatisasi disebabkan oleh banyak faktor, baik yang berasal

dari dalam negara itu sendiri maupuan faktor-faktor yang

berasal dari luar. Pada negara-negara terbelakang privatisasi

lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari

luar, baik dalam bentuk tekanan-tekanan ekonomi maupun

tekanan politik. Tekanan dari luar tersebut, berhubungan

dengan kebijakan rezim global, yang ingin mempraktekkan

suatu system ekonomi politik neoliberal sebagai suatu

bangunan globalisasi ekonomi saat ini. Kebijakan rezim

global ini dijalankan melalui berbagai program pinjaman

kepada negara-negara miskin yang disertai dengan berbagai

persyaratan yang isinya adalah instrument-instrumen ekonomi

neoliberal, salah satunya adalah privatisasi.

Bagi negara-negara berkembang, kesediaan mereka

melakukan privatsiasi disebabakan oleh masalah-masalah

internal yang rumit seperti tekanan anggaran yang dibutuhkan

dalam penyelenggaraan kekuasaan politik, tekanan dalam nilai

tukar mata uang dan tekanan dalam kebijakan makro ekonomi

lainnya, besarnya kebutuhan akan investasi dari luar (foreign

direct investement), yang mengharuskan adanya aliran modal

dari luar untuk mengatasi masalah-masalah fiscal dan moneter

sebagai konsekuensi dari adanya perdagangan internasional.

Sementara aliran modal (uang) keluar pada saat yang sama

terjadi dalam jumlah besar, baik melalui cicilan hutang,

pembayaran bunga, transper keuntungan dan repatriasi asset

berlangsung secara tidak terkendali. Kesemuanya adalah

konsekuensi dari “kekebasan orang, uang dan barang untuk

bergerak” yang menjadi dasar utama liberalisasi ekonomi.

Apa yang menjadi motifasi utama privatsiasi adalah

bagimana memindahkan kekayaan ekonomi negara-negara

miskin, ke tangan pemilik-pemilik modal besar, yang notabene

adalah penguasa ekonomi dunia saat ini. Lembaga-lembaga

Privatisasi Sebagai Landasan Ekonomi Neoliberal Salamuddin daeng

Program Officer di Institute for Global Justice (IGJ)

keuangan internasioan dan negara-negara maju adalah kaki

tangan dari pemilik-pemilik modal tersebut dalam mencapai

tujuannya. Negara-negara maju dan lembaga keuangan

internasional tersebut bekerja untuk mensukseskan rencana-

rencana modal, mengatasi hambatan-hambatan politik dan

hukum yang dihadapi dalam rangka penguasaan sumber-

sumber ekonomi tersebut.

Bagi pemerintahan negara-negara miskin, kesediaan

mereka melakukan privatisasi di dasarkan pada pertimbangan

keuntungan jangka pendek. Privatsiasi meningkatkan

penerimaan pemerintah dalam bentuk valuta asing. Penerimaan

tersebut merupakan sumber keuangan yang menolong

pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah jangka pendek,

terutama berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN). Dalam skala makro ekonomi privatisi

meningkatkan investasi modal yang memberikan kontribusi

terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) negara

tersebut.

Apa yang diperoleh oleh pemerintah, berbeda dengan

akibat yang harus ditanggung rakyat. Berpindahnya asset-aset

dan sumber-sumber ekonomi yang sebelumnya milik public

ke tangan-tangan para pebisnis asing, menyebabkan semakin

rendahnya akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan

dasar pada tingkat harga yang terjangkau. Akibatnya, meskipun

secara makro ekonomi, terjadi pertumbuhan ekonomi

yang besar di negara tersebut, akan tetapi pada saat yang

sama tingkat kemiskinan dan pengangguran terus meluas.

Peningkatan pengangguran disebabkan karena privatsiasi

khsusnya yang berkaitan dengan persuahaan negara, selalu

diiringi dengan praktek efesiensi dalam bentuk pengurangan

jumlah penggunaan tenaga kerja.

Kebiajakan privatisiasi tampak sebagai landasan bagi

ekonomi neoliberal, suatu tindakan untuk menghilangkan

peran dan tanggung jawab negara dalam perekonomian.

Dalam sistem ini, negara tidak diperkenankan lagi mengambil

peranan dalam menguasai sumber-sumber ekonomi,

menjalankan kegiatan produksi dan menyediakan barang

dan jasa yang menjadi kebutuhan dasar rakyatnya. Seluruh

kegiatan ekonomi harus berlangsung dalam system pasar,

yang didasarkan pada system persaingan penuh tanpa campur

tangan negara. Terlibatnya negara dalam urusan ekonomi

dianggap sebagai faktor yang mendistorsi system pasar. ***

Nasional

GJU - Juli 200819

Nasional

Masalah hutang luar negeri Indonesia, telah menjadi

perhatian banyak kalangan dalam beberapa

tahun terakhir. Banyak pakar ekonomi dan kalangan LSM

telah menyerukan penghapusan hutang luar negeri dengan

berbagai alasan dan argumentasi. Salah satu alasan yang

paling mengemuka adalah jumlah hutang Indonesia sudah

sangat besar, bunga hutang dan cicilan pokok hutang yang

membebani anggaran negara dan menyerang kehidupan

rakyat miskin, yang jumlahnya terus meningkat.

Saat ini, jumlah hutang luar negeri telah bertumpuk

sangat besar. Hal ini menyebabkan setiap jatuh tempo

pembayaran, pemerintah selalu mengemis untuk meminta

penjadwalan ulang. Berbagai upaya ditempuh pemerintah

untuk memperoleh pendapatan agar dapat membayar bunga

hutang dan mengatasi devisit dalam neraca pembayaran,

seperti devisit investasi–tabungan, eksport-import dan defisit

dalam anggaran pemerintah. Salah satu upaya tersebut adalah

dengan menambah hutang baru.

Kedudukan hutang tidak hanya berhubungan dengan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata.

Hutang berkaitan dengan masalah-masalah makro ekonomi.

Negara-negara berkembang yang mengambil hutang dari

lembaga-lembaga keuangan multinasional dan negara-negara

maju mengandalkan sumber daya alam mereka sebagai

garantie untuk hutang yang diterimanya. Menerima hutang

berarti menerima seluruh sistem idiologi, politik dan ekonomi

yang ditawarkannya oleh pemberi hutang.

Sistem yang kemudian diturunkan dalam perencanaan-

perencanaan ekonomi baik makro maupun mikro ekonomi.

Bahkan indicator penilaian keberhasilan ekonomi Negara

penerima hutang didasarkan kepada kepentingan Negara

pemberi hutang. Dimana Negara penerima utang dapat

memberikan jaminan jangka panjang atas hutang yang mereka

terima, baik dalam bentuk pembayaran hutang pokok, bunga

hutang dan kesediaan menyerahkan sumber daya alam yang

mereka miliki, dan lain sebagainya.

Demikian halnya dengan Indonesia, sebagai salah satu

Negara miskin penghutang besar, Indonesia harus bersedia

menjalankan suatu sistem ekonomi dan politik yang diinginkan

oleh pemberi hutang termasuk juga indicator yang selanjutnya

Teori Sesat

Landasan Kebijakan Hutang

digunakan untuk menilai keberhasilan hutang yang diterima.

Dalam hal pengelolaan hutang, indicator yang digunakan

Indonesia sebagaimana disusun oleh Bappenas adalah debt to

GDP ratio (rasio hutang terhadap GDP ) dan debt to export

ratio serta debt service ratio. Penggunaan indikator ini lebih

dilatar belakangi untuk memberi legitimasi bahwa hutang luar

negeri Indonesia berada dalam batas aman bagi Negara atau

lembaga pemberi hutang. Dimana Negara-negara dan lembaga

pemberi hutang dapat menerima bunga dan cicilan pokok

sesuai jadwal dan dapat menyerap ekspor bahan mentah dari

Indonesia secara berkelanjutan.

Ketiga indicator tersebut di atas, adalah indicator yang

dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemberi pinjaman,

menjadikan resiko ekonomi yang kemungkinan dapat dialami

oleh lembaga atau negara pemberi pinjaman sendiri sebagai

ukuran dalam menentukan aman atau tidaknya hutang yang

diberikan. Hutang sama sekali tidak dihubungkan dengan

kemanan yang dapat diterima oleh setiap anggota masyarakat.

Misalnya dengan menguhubungkan antara hutang dengan

produktifitas hutang di dalam negeri dalam menghasilkan

pendapatan bagi masyarakat miskin, mengurangi angka

kemiskinan di Indonesia, meningkatkan kesempatan kerja dan

memperkecil kesenjangan pendapatan.

Penggunaan indicator di atas justru semakin memperburuk

keadaan yang dialami mayoritas rakyat Indonesia, yaitu

kelompok miskin dan pengangguran. Penggunaan PDB terlihat

cenderung menyesatkan, sepanjang yang kita ketahui bahwa

PDB sudah pasti tumbuh dalam perekonomian. Masuknya

hutang secara langsung akan menumbuhkan PDB, karena

hutang akan menciptakan pembelian barang dan jasa. Transaksi

tersebut pasti akan menumbuhkan PDB, tidak perduli apakah

hutang tersebut akan menciptakan produktivitas rakyat atau

tidak.

Selain itu, PDB sangat bergantung pada proyek atau

industry skala besar yang dapat menghasilkan produksi skala

besar, tidak berorientasi pada penyerapan tenaga kerja. Hal

ini dikarenakan PDB sangat melekat hubungannya dengan

kemampuan eksport sebagai mana yang diharapkan oleh

lembaga-lembaga pemberi pinjaman. Sementara yang menjadi

Bersambung ke hal. 34

GJU - Juli 200820

Menjadi Bangsa Mandiri “Mungkinkah ?”Salamuddin daeng

Program Officer di Institute for Global Justice (IGJ)

“Stop jadi bangsa kuli jadilah bangsa mandiri”. Demikian slogan yang sering dilontarkan oleh para aktivis

prodemokrasi, dalam berbagai forum seminar, diskusi dan bahkan tertulis di famlet-famlet saat aksi turun jalan

dalam merespon situasi Indonesia saat ini. Sebuah seruan yang cukup beralasan jika melihat kekayaan sumber

daya alam Indonesia, yang saat ini sebagian besar berada dibawah kekuasan modal asing.

Secara kasat mata kita dapat melihat bahwa Indonesia1

adalah negari yang kaya. Negeri ini memiliki sekitar

17.504 pulau besar dan kecil, dengan luas wilayah mencapai

1,904 juta km2. Perairan Indonesia terbentang sepanjang

81.000 km di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.

Dunia mengibaratkan negeri ini bagaikan untaian mutiara di

katulistiwa. Seluruh wilayah daratan Indonesia adalah tanah

yang subur. Menyediakan syarat bagi berkembangbiaknya

hewan dan tumbuh-tumbuhan. Menjadikan Indonesia sebagai

wilayah dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia. Tutupan

hutannya mencapai lebih dari 100 juta ha dengan kekayaan

flora yang terlengkap di dunia. Selain itu, wilayah perairan

Indonesia kaya dengan beragam kehidupan laut. Terumbu

karangnya yang melengkapi keindahan pulau-pulau yang

terbentang dari Sabang hingga Meraoke.

Kesuburan tanah Indonesia menjadikan sebagai penghasil

utama komoditas penting di dunia. Tercatat bahwa Negara ini

adalah penghasil biji-bijian terbesar no 6, penghasil teh terbesar

no 6, penghasil kopi no 4, penghasil cokelat no 3, penghasil

minyak sawit (CPO) no 2, penghasil lada putih no 1, lada hitam

no 2; penghasil puli dari buah pala no 1, penghasil karet alam

no 2, penghasil karet sintetik no 4, penghasil kayu lapis no 1,

penghasil ikan no 6 di dunia.2

Tidak hanya permukaan tanahnya yang subur, tempat

tumbuh dan berkembang biaknya hewan dan tumbuhan,

juga didalam perut bumi Indonesia terkandung kekayaan

yang melimpah, baik minyak, gas, batubara dan berbagai jenis

mineral. Kekayaan alam yang secara keseluruhan merupakan

komoditi yang memiliki kedudukan sangat penting bagi

perdagangan, industri dan perekonomian dunia saat ini.

Di sektor migas, Indonesia termasuk dalam jajaran 20 besar

negara-negara penghasil minyak terbesar di dunia. Tahun 2005

Indonesia adalah produsen gas alam terbesar dibandingkan

dengan seluruh negara di Asia Oceania, Aprika, (2.606

Trilion Cubic Feet), dan termasuk dalam 10 Negara penghasil

gas terbesar di dunia (Rusia, US, Canada, Iran, Algeria, UK,

Norway, Montenegro, Netherlands, Indonesia). Data lainnya

menyebutkan bahwa Tahun 2008, Indonesia berada pada

urutan 7 negara eksporter gas terbesar di dunia. (Russia 182

billion cubic meters (14.7% of estimated total world exports),

Nasional

GJU - Juli 200821

2. Canada 101.9 billion cubic meters (8.2%), 3. Norway 78.1

billion cubic meters (6.3%), 4. Algeria 62.6 billion cubic

meters (5%), 5. Turkmenistan 58 billion cubic meters (4.7%),

6. Netherlands 50.2 billion cubic meters (4%), 7. Indonesia

29.6 billion cubic meters (2.4%), 8. Malaysia 29.1 billion cubic

meters (2.3%), 9. Qatar 26 billion cubic meters (2.1%), 10.

Trinidad and Tobago 21 billion cubic meters (1.7%).3 Selain itu,

Indonesia termasuk dalam 20 besar negara penhgasil minyak

mentah terbesar di dunia (54,8 juta ton, 2005).4

Kekayaan minyak bumi Indonesia telah dieksploitasi selama

lebih dari 100 tahun. Tambang Telaga Said merupakan tambang

minyak pertama yang ditemukan di Indonesia pada tahun 1885

, kemudian dieksploitasi oleh sebuah perusahaan milik Inggris

dan Belanda Royal Dutch dan mulai beroperasi pada tahun

1892, sekaligus mengawali sejarah dimulainya pengeksplorasian

sumber daya alam migas di Indonesia. Kemudian pada tahun

1944, sumur minyak Minas ditemukan oleh Caltex5 di Riau,

merupakan sumur terbesar di Asia Tenggara pada masa itu.

Meskipun demikian kekayaan alam minyak Indonesia masih

tersedia cukup besar dan terus menjadi incaran korporasi-

korporasi besar dunia.

Selain itu, di Indonesia ada sekitar 60 ladang minyak

(basins), 38 di antaranya telah dieksplorasi, sementara sisanya

masih belum. Di dalamnya terdapat sumber daya energi yang

luar biasa, kira-kira mencapai 77 miliar barel minyak dan 332

triliun kaki kubik (TCF) gas. Sementara kapasitas produksinya

pada tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barel minyak dan

2,26 triliun TCF.6

Indonesia juga adalah kekuatan utama dalam hal

penyediaan sumber energi lainya di dunia. Negara ini termasuk

produsen batubara urutan 10 besar dunia, bahkan Indonesia

berada dalam urutan ke 7 dari 10 negara penghasil batubara.

Perbedaanya adalah Negara Negara penghasil batubara yang

posisinya diatas Indonesia telah menggunakan sumber energi

mereka secara maksimal untuk memenuhi keutuhan energi

dalam negeri. Indonesia adalah eksporter batubara teresar

kedua di dunia setelah Australia, lebih tinggi dibandingkan

Cina, AS dan Rusia. Sebagian besar ekspor Indonesisa diserap

oleh Negara-negara Industri seperti Jepang dan Negara Industri

lainnya untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Jepang

adalah importir batubara terbesar di dunia. Sebagian besar

import batubara tersebut berasal dari Indonesia. Sebanyak 25

persen dari total eksport batubara Indonesia diserap sebagai

sumber energi oleh Jepang.

Tidak hanya itu, Indonesia bahkan telah dikenal sejak lama

sebagai negeri yang kaya akan bahan – bahan tambang baik

mineral. Sumber daya alam tambang mineral Indonesia adalah

yang paling terkemuka di dunia dan penghasil utama beberapa

mineral. Sebuah lembaga survey mencatat bahwa pada tahun

2005, Indonesia produsen bauxit no 7 dunia ( 7 juta ton), urutan

kedua dalam produksi tembaga (1,06 juta ton), urutan ke 6

dalam produksi emas (143,205 ribu kilogram), urutan ke tiga

produksi nickel (150 ribu tone), urutan 11 dalam hal produksi

perak ( 328,7 ribu kilogram).8

Negara Indonesia adalah penghasil timah kedua terbesar

di dunia setelah China, produksi timah Indonesia mencapai

110.000 ton per tahun atau sepertiga dari total produksi timah

dunia. Endapan timah di Indonesia merupakan lanjutan dari

salah satu jalur timah terkaya di dunia yang membujur dari

Cina Selatan, Myanmar, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia.

Di Indonesia jalur timah tersebut meliputi pulau-pulau

Karimun, Kundur, Singkep, Bangka Belitung, Beling dan daerah

Bangkinang serta Kepulauan Anambas, Natuna dan Karimata.

Penambangan timah terbesar berada di Pulau Bangka, Belitung,

dan Singkep.9

Kesimpulan bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya

akan sumber-sumber tambang, baik minyak, gas maupun

mineral, telah menjadi kesimpulan banyak pihak. Menurut

kriteria EITI (Extractive Industry Transparency Initiative), sebuah

gerakan global untuk mempromosikan transparansi di sektor

industri ekstraktif, menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah

satu negara yang tergolong negara kaya sumber daya alam

(Resource Rich Countries) yang memiliki kedudukan penting

bagi perdagangan dunia.

Gambaran di atas mamperlihatkan bahwa Indonesia

memiliki kemampuan yang sangat besar untuk menghidupi

dirinya sendiri, tanpa harus bergantung kepada bangsa lain.

Jika sumber-sumber alam dimanfaatkan secara tepat sebagai

modal industrialisasi dan pembangunan ekonomi rakyat, maka

untuk menjadi bangsa yang mandiri bukanlah mimpi.***

Posisi Indonesia terletak pada koordinat 6°LU - 11°LS dan dari 97° - 141°BT serta terletak

di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia/Oseania. Indonesia terdiri dari

5 pulau besar, yaitu: Jawa dengan luas 132.107 km², Sumatra dengan luas 473.606 km²,

Kalimantan dengan luas 539.460 km², Sulawesi dengan luas 189.216 km², dan Papua dengan

luas 421.981 km². http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia

World in Figure 2003, Penerbit The Economist,USA, http://km.itb.ac.id, Arah Teknologi

Kita,26/06/2006)

http://import-export.suite101.com/article.cfm/leading_natural_gas_ exporters

British geological Survey. 2002-2006

Caltex adalah Perusahaan minyak asal Amerika Serikat, sebuah perusahaan modal bersama

antara Texaco dan Chevron, adalah produser minyak terbesar di Indonesia dengan hasil

sekitar 690.000 barel perhari.

Liberalisasi Sektor Migas Indonesia, Oleh Hady Sutjipto, S.E., M.Si. Senin, 18 Juli 2005, dari

tulisan Dr. Kurtubi “The impact of oil industry liberalization on the effi ciency of petroleum

fuels supply for the domestic market in Indonesia,”, head offi ce Pertamina dan Pusat Kajian

Minyak dan Energi.

http://www.worldcoal.org/pages/content/index.asp?PageID=188

British Geological Survey Tahun 2008

http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=PEMANFAATAN%20LAHAN%20 PASCA%2

0TAMBANG%20TIMAH&&nomorurut_artikel=54

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Nasional

GJU - Juli 200822

Perusahaan Obyek Privatisasi

Tahun 2008 s/d Tahun 2009

NO. Nama Perusahaan Keterangan Tentang Metode Privatisasi[2]

Keuntungan Dan Aset[1]

1 PT Asuransi Jasa Indonesia Dalam laporan keuangan perusahaan tahun 2007, disebutkan bahwa nilai kekayaan perusahaan mencapai 1,729 triliun. Pada tahun yang sama perusahaan membukukan keuntungan sebelum pajak sebesar 107,945 miliar.

Metode melalui IPO dengan maksimal 30 persen saham baru yang akan dilepas.

2 PT. Bahtera Adiguna Dalam rekomendasi yang disusun oleh PriceWater House Cooper, nilai akuisisi 100% saham Bahtera ditetapkan sebesar Rp 74 miliar. Modal dasar PT PBA ditetapkan sebesar Rp.86.696.000.000,00 terbagi atas 86.696 lembar saham dengan nilai nominal sebesar Rp1.000.000,00 per lembar saham.

Dengan 2 opsi IPO maksimal 30 persen saham baru atau strategic sales kepada bank BUMN maksimal 99,9 persen sahamnya.

3 PT. Bank Tabungan Negara Dalam laporan keuangan Triwulan I, Meret tahun 2008, nilai aktiva mencapai Rp. 37,121 trilun. Keuntungan 154,761 miliar rupiah.

Yang akan melalui strategis sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah.

4 PT. Barata Indonesia Aktiva yang dikelola PT Barata per 31 Desember 2004 sebesar Rp243.888 juta, per 31 Desember 2005 sebesar Rp251.778 juta, dan per 30 Juni 2006 sebesar Rp247.417 juta.

yang akan melalui strategis sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah.

5 PT. Jakarta Lloyd Hasil pemeriksaan BPK sampai dengan tahun 2004 menunjukkan nilai asset Rp. 1.296.065,49 juta . dengan realisasi laba bersih tahun 2004 sebesar Rp. 23.467,51 juta.

Melalui strategic sales dengan menjual maksimal 49 persen saham pemerintah.

6 PT. Dok Kodja Bahari Hingga saat ini, total utang Perusahaan mencapai Rp 1,2 triliun.

melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah.

7 PT. Industri Kereta Api Sebelumnya Dirut PT KAI, Ronny Wahyudi melaporkan realisasi kinerja tahun 2006 yang telah diaudit membukukan laba Rp 14,206 Milyar. Tetapi pihak Komisaris menilai laba usaha PT KA murni dari hasil usaha sesungguhnya adalah negatif, bahkan minus atau rugi. Perolehan laba bersih Rp 14,206 Milyar sesungguhnya disumbangkan oleh pendapatan di luar usaha serta tindakan koreksi atas sejumlah transaksi yang tidak diakuntansikan dan dilaporkan semestinya pada periode sebelumnya. Laporan kinerja PT KAI tahun 2006 mendapat skor 67. Skor 67 ini terdiri dari Kinerja Keuangan mendapat nilai 27, Kinerja Operasional mendapat nilai 34, sedangkan Kinerja Administrasi mendapat nilai 6.

melalui strategic sales dengan menjual maksimal 49 persen saham pemerintah.

8 PT. Krakatau Steel Dari laporan laba-rugi KS, terlihat pendapatan selama 2002-2007 terus meningkat dari Rp 6,388 triliun (2002) ke Rp 14,928 triliun (2007). Dari kinerja laba bersihnya, meski sempat anjlok pada 2006 (minus Rp 135,07 miliar), bisa naik drastis menjadi Rp 363,45 miliar pada 2007. Per 1 Mei 2008, laba KS dilaporkan mencapai Rp 411 miliar. Dari sisi posisi keuangan (neraca), nilai aset KS juga terus meningkat dari Rp 7,281 triliun (2003) ke Rp 10,477 triliun (2007). Meski utangnya juga meningkat selama 2003-2007, selama periode itu (kecuali 2006) nilai ekuitas KS juga terus naik dari Rp 4,754 triliun (2003) ke Rp 5,419 triliun (2007). Hal ini menunjukkan bahwa posisi KS dan pemerintah selaku pemegang saham sangat kuat ketimbang kreditur.

dengan 2 opsi yaitu IPO maksimal 40 persen saham baru atau strategic sales dengan maksimal melepas 20 persen saham pemerintah

8

9 PT. Rukindo Total pendapatan sepanjang 2005 ini, ungkap Wardhono, hanya Rp 133 miliar, atau lebih kecil dari 2004 yang mencapai Rp 193 miliar, Sementara posisi utang Rukindo tahun ini untuk kewajiban utang kepada rekanan sebesar Rp 145 miliar. Memiliki karyawan yang jumlahnya mencapai 8500 orang.

melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah

Nasional

GJU - Juli 200823

Nasional

10 PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) III

PTPN III merupakan BUMN yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit, karet, dan kakao. BUMN ini menghasilkan bahan baku industri hilir untuk di ekspor. Menurut data di Kantor Menneg BUMN, PTPN III memiliki modal dasar Rp 1,2 triliun dan modal disetor sebesar Rp 315 miliar. Saat ini, 100 persen saham PTPN III berada di tangan pemerintah.. Memiliki anak perusahaan PTPN III yang bergerak di bidang industri karet dan rumah sakit.

Melalui metode IPO dengan maksimal 40 persen saham yang dilepas yang terdiri dari 30 persen saham baru dan 10 persen divestasi.

11 PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV

RUPS Audit Tahun Buku 2007 PTPN-IV, telah €dilaksanakan pada Selasa, 24 Juni 2008 bertempat di Kantor Kementerian Negara BUMN, Jl. Merdeka Selatan No. 13 Jakarta. Tahun 2007 PTPN-IV memperoleh laba sebelum pajak sebesar Rp. 803,9 milyar.

Melalui metode IPO dengan maksimal 40 persen saham yang dilepas yang terdiri dari 30 persen saham baru dan 10 persen divestasi.

12 PTPN VII PT Perkebunan Nusantara Kuasai 7,5% dari 29 juta ton produksi minyak kelapa sawit atau crude plam oil (CPO) dunia. CPO yang dihasilkan PTPN itu setara dengan 2,2 juta ton. PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) tahun 2007 membukukan laba bersih Rp252,6 miliar atau 114,4 persen di atas rancana sebesar Rp220,7 miliar. Perolehan laba sebesar itu naik 142,1 persen dibandingkan dengan realisasi tahun lalu sebesar Rp177,7 miliar.

melalui metode IPO dengan maksimal 40 persen saham yang dilepas yang terdiri dari 30 persen saham baru dan 10 persen divestasi

13 PT Sarana Karya Berdasarkan laporan auditor ndependen, menyebutkan bahwa total aktiva perusahaan ini sampai dengan tahun 2004 adalah sebesar Rp. 9.407.629.387,66, total keuntungan bersih yang dibukukan pada tahun yang sama adalah Rp. 433,4 juta.

melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah

14 PT. Waskita Karya PT Waskita Karya merupakan salah satu BUMN dengan lingkup kerja konstruksi. Beberapa proyek pengerjaan kontruksi untuk gedung, jalan raya, saluran irigasi, jembatan, hingga bandara. Hingga akhir 2006 laba bersih perseroan mencapai Rp 1,94 triliun. Sedangkan pendapatan mencapai Rp 2,8 triliun naik dari perolehan tahun sebelumnya sebesar Rp 2,6 triliun. Laba bersih berhasil diraup sebesar Rp 55 miliar naik dari Rp 50 miliar yang diperoleh tahun 2005.

melalui metode IPO dengan melepas maksimal 35 persen saham baru

15 PT. Virama Karya Nilai asset perusahaan sebesar Rp. 17,443 miliar, keuntungan perusahaan sebesar Rp. 6,996 miliar.

melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah

16 PT. Industri Sandang Nusantara Asset yang dikelola PT. Insan per tanggal 31 Desember 2004 sebesar Rp249.398,96 juta dan tahun 2005 sebesar Rp. 238.784,77 juta. Rugi setelah pajak PT. Insan tahun 2004 sebesar Rp. 29.238,63 juta dan tahun 2005 sebesar Rp31.513,82 juta. Penjualan PT Insan tahun 2004 sebesar Rp137.450,70 juta dan tahun 2005 sebesar Rp141.135,53 juta.

melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah

17 PT. Ayodya Karya PT. AYODYA KARYA adalah perusahaan yang bergerak utama pada bidang developer dan contractor. Perusahaan ini berdiri pada bulan Oktober tahun 2004, beralamatkan di jalan Nusa Indah no.25a Deresan, Gejayan, Yogyakarta.

melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah

18 PT. Perkapalan Surabaya (Persero)

Neraca PT. DPS per 31 Desember 2006 ditutup dengan jumlah aktiva, kewajiban dan ekuitas masing-masing sebesar Rp. 164,97 miliar, Rp. 117,01 miliar dan Rp. 47,96 miliar. Laporan Laba Rugi untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut menunjukkan saldo laba setelah pajak sebesar Rp. 734,71 juta, sedangkan Laporan Perubahan Ekuitas dan Laporan Arus. Kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut menunjukkan jumlah masing-masing sebesar Rp47,96 miliar dan Rp3,18 miliar.

melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah.

18 PT. Industri Kapal Indonesia di Makassar

PT. industrikapalindonesia (persero) disingkat PT. IKI , produksi utama adalah pembangunan kapal baru, reparasi dan konstruksi, pt iki merupakan galangan terbesar di indonesia bagian timur, dan merupakan galangan milik pemerintah

melalui strategic sales dengan menjual seluruh saham pemerintah yang berjumlah 60 persen.

NO. Nama PerusahaanKeterangan Tentang

Keuntungan Dan AsetMetode Privatisasi

GJU - Juli 200824

19 PT. Inti Neraca Konsolidasian PT INTI per 31 Desember 2006 ditutup dengan jumlah aktiva, kewajiban dan ekuitas masing-masing sebesar Rp879,23 miliar, Rp387,53 miliar, dan Rp488,90 miliar. Laporan Laba Rugi Konsolidasian untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut menunjukkan saldo laba setelah PPh Badan sebesar Rp8,62 miliar, sedangkan Laporan Perubahan Ekuitas Konsolidasian dan Laporan Arus Kas Konsolidasian untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut menunjukkan jumlah masingmasing sebesar Rp488,90 miliar dan Rp169,66 miliar.

melalui strategic sales dengan maksimal menjual 51 persen saham pemerintah.

20 PT. Kertas Kraft Aceh Kertas Kraf Aceh terancam akan ditutup karena mengalami kesulitan arus kas. Kewajiban jangka pendek perusahaan kertas pelat merah itu mencapai Rp 300 miliar. Perinciannya Rp 160 miliar kepada Bank Mandiri dan Rp 60 miliar kepada Exxon Mobil.

melalui strategic sales dengan maksimal menjual 51 persen saham pemerintah

21 PT Kawasan Berikat Nusantara Total aktiva PT KBN per 31 Desember 2004 sebesar Rp378.183,03 juta menunjukkan peningkatan sebesar Rp17.566,07 juta atau 4,87% dari tahun 2003 sebesar Rp360.616,96 juta.

melalui strategic sales dengan menjual maksimal 70 persen saham pemerintah

Realisasi laba operasional tahun 2004 hanya mencapai sebesar Rp 64.418,30 juta atau 74,62% dari anggarannya sebesar Rp 86.327,17 juta. Sedangkan tahun 2005 (s.d. Triwulan II) baru mencapai Rp33.111,82 juta atau 48,24% dari anggarannya sebesar Rp. 68.633,63 juta.

22 PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI)

Sampai dengan Tahun 2007, BNI memiliki asset sekitar Rp. 183,342 triliun. Dan mampu meraih laba bersih sebesar Rp. 898 miliar.

melalui block sales (private placement) dengan menjual 4,24 persen sisa green shoe dan tambahan 15,76 persen divestasi saham pemerintah

23 PT Semen Kupang Asset yang dikelola PT SK per tanggal 31 Desember 2004 sebesar Rp615.103,60 juta dan tahun 2005 sebesar Rp652.988,43 juta. Rugi setelah pajak PT SK tahun 2004 sebesar Rp6.132,72 juta dan tahun 2005 sebesar Rp4.036,63 juta. Penjualan PT SK tahun 2004 sebesar Rp31.346,09 juta dan tahun 2005 sebesar Rp29.238,04 juta.

melalui strategic sales dengan menjual maksimal 38,48 persen saham pemerintah

24 PT Kawasan Industri Medan Asset yang dikelola PT KIM per tanggal 31 Desember 2004 dan 2005 masing-masing sebesar Rp89.131,92 juta dan sebesar Rp83.186,46. juta. Laba sebelum pajak PT KIM tahun 2004 sebesar Rp4.029,78 juta dan tahun 2005 sebesar Rp7.024,32 juta. Penjualan PT KIM tahun 2005 sebesar Rp39.077,32 juta dan tahun 2006 (Semester I) sebesar Rp17.445,75 juta.

melalui strategic sales dengan menjual seluruh saham pemerintah yang berjumlah 60 persen

25 PT Kawasan Industri Wijaya Kusuma

KITW meliputi tanah seluas 250 Ha dan yang dipakai untuk kapling industri adalah 175 Ha. Sisanya diperuntukkan untuk infrastruktur, fasilitas sosial dan fasilitas lingkungan. Kawasan ini disiapkan secara bertahap, dengan tahap pertama seluas 20 Ha dimatangkan di tahun 1996. Kemudian 30 Ha pada tahap kedua di tahun 1997 dan seterusnya hingga tahun 2000.

melalui strategic sales dengan menjual seluruh saham pemerintah yang berjumlah 60 persen.

26 PT Adhi Karya Sampai dengan 31 desember 2007, Memiliki total aktiva sebesar Rp. 4,333.167 triliun, memiliki laba usaha sebesar Rp. 291,094 miliar.

melalui right issue maksimal 30 persen.

27 PT Pembangunan Perumahan Berdasarkan Laporan Keuangan (audited) PT PP tahun 2005 dan Laporan Keuangan Semester I tahun 2006 diketahui laba bersih perusahaan masing-masing adalah sebesar Rp. 66.908,55 juta dan Rp16.970,03 juta. Penjualan bersih PT PP untuk periode tahun 2005 (audited) dan s.d semester I 2006 (unaudited) masing-masing sebesar Rp2.254.209,32 juta dan Rp941.720,96 juta. Penjualan bersih tahun 2005 masing-masing terdiri dari jasa konstruksi Rp2.221.397,09 juta atau 98,54%, property Rp9.122,87 juta atau 0,40% dan realty Rp23.689,37 Juta atau 1,0%.

melalui IPo maksimal 30 persen

NO. Nama PerusahaanKeterangan Tentang

Keuntungan Dan AsetMetode Privatisasi

Nasional

GJU - Juli 200825

Nasional

28 PT SIER Penjualan dan persewaan Tanah Industri - Penjualan Bangunan Pabrik Siap Huni (BPSH) - Persewaan Bangunan Pabrik Siap Pakai (BPSP) - Persewaan Sarana Usaha Industri Kecil (SUIK) - Persewaan Pergudangan - Persewaan Ruang Perkantoran - Persewaan Ruang Pertemuan, Seminar, Rapat dan Ruang Pesta Pernikahan

melalui strategic sales dengan menjual seluruh saham pemerintah yang berjumlah 50 persen.

29 Rekayasa Industri, Sampai dengan tahun 2005, Nilai aktiva perusahaan sebesar Rp. 227,438 miliar, laba bersih sebsar Rp. 8,316 miliar.

Pemerintah akan mendivestasikan sahamnya yang berjumlah 4,97 persen kepada Pusri yang nantinya akan dilakukan IPO oleh Pusri

30 PT Semen Baturaja Aset yang dikelola PT SB per 31 Desember 2004 dan 2005 (s.d September) masing-masing sebesar Rp593.123,43 juta dan Rp606.387,66 juta. Pendapatan PT SB tahun 2004 dan 2005 (s.d September) masing-masing sebesar Rp385.367,10 juta dan Rp314.084,87 juta; Laba bersih tahun 2004 sebesar Rp. 4.135,22 juta dan laba sebelum pajak tahun 2005 (S.d September) sebesar Rp. 22.387,61 juta.

ada 2 opsi IPO atau strategic sales dengan melepas 35 persen saham baru

31 PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari

Asset konsolidasian yang dikelola PT DKB per tanggal 31 Desember 2003 sebesar Rp663.646,81 juta dan tahun 2004 sebesar Rp585.957,41 juta Laba (Rugi) konsolidasian setelah pajak PT DKB tahun 2003 sebesar (Rp71.643.33) juta dan tahun 2004 sebesar (Rp118.517,81) juta. Penjualan konsolidasian PT DKB tahun 2003 sebesar Rp234.190,62 juta dan tahun 2004 sebesar Rp226.541,35 juta.

melalui strategic sales dengan menjual maksimal 49 persen saham pemerintah

32 PT. PAL Indonesia Tahun 2008 memproyeksikan kenaikan revenue menjadi Rp1,4 triliun dari realisasi 2007 senilai Rp1,2 triliun, yang sebagian besar diharapkan diperoleh melalui pembangunan kapal baru.

melalui strategic sales dengan menjual maksimal 100 persen saham pemerintah

NO. Nama PerusahaanKeterangan Tentang

Keuntungan Dan AsetMetode Privatisasi

1 Disarikan dar berbagai sumber, diataranya adalah Laporan Hasil Audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), situs masing-masing perusahaan dan

sumber lainnya yang dapat dipercaya. oleh : Salamuddin Daeng, Program Offi cer di Institute for Global Justice - IGJ

2 Keputusan Komite Privatisasi itu tertuang dalam surat keputusan Nomor KEP-04/.EKON/01/2008 tanggal 31 Januari 2008 tentang arahan atas program

tahunan privatisasi perseroan tahun 2008, disampaikan oleh Menneg BUMN Sofyan Djalil dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, di

Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa malam (5/2/2008).

GJU - Juli 200826

Pengertian dasar Privatisasi

Privatisasi secara mudahnya berasal dari kata

‘privat’ yang merujuk kepada kuasa perorangan

atau kuasa swasta. Ini adalah akar utama atau

inti dasar dari kapitalisme, yang menempatkan penguasaan

ekonomi atau modal (kapital) kepada penguasaan orang-

seorang. Ideologi privatisasi dengan sendirinya adalah

paham yang memusatkan pada penguasaan perorangan,

pemusatan penguasaan modal pada orang-seorang. Dalam

sistem kapitalisme, yang berlaku adalah kebebasan penuh

orang-seorang dalam menguasai dan mengakumulasi

modal.

Disamping penguasaan perorangan, berjalan juga

penguasaan Negara atau penguasaan publik. Negara

dan publik seharusnya tidak terpisahkan, karena Negara

menjalankan kebijakan publik serta menjalankan amanat

dan mandat publik. “Negara menguasai hajat hidup orang

banyak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, itulah

filosofi dasar Negara dan public, tidak terpisahkan. Dalam

sistem ekonomi yang sehat (juga dalam sistem kapitalisme)

maka batasan atau garis-batas antara penguasaan

perorangan dan penguasaan publik/negara sudah jelas.

Penguasaan perorangan tidak boleh menabrak-nabrak

atau menyingkirkan penguasaan publik/Negara.

Akan tetapi yang namanya sistem kapitalisme, semakin

lama penguasaan perorangan memutlakkan kebebasan

pribadi dalam menguasai sumber-sumber ekonomi. Dan

dalam suatu waktu, kekuasaan orang-seorang ini mulai

merangsek masuk menabrak batas-batas penguasaan

publik. Mereka ingin terus menguasai apa saja yang ada

di bumi ini, entah itu yang ada dalam penguasaan Negara;

dalam penguasaan masyarakat kolektif (adat); bahkanpun

dalam penguasaan orang-seorang lain yang lebih lemah

(orang kecil). Akibatnya kita melihat bahwa wilayah public

atau Negara lalu diputar-balikkan oleh kapitalisme menjadi

pengertian wilayah bebas atau wilayah terbuka yang

dapat saja diambil-alih atau dikonversikan menjadi milik

perorangan. Dan itu sah-sah saja, bahkan direstui dan

dilegalkan oleh pemerintah yang berkuasa. Itulah proses

dari yang namanya Privatisasi. Arti yang lebih jelasnya,

privatisasi adalah kapitalisasi, proses penguasaan oleh modal

perorangan.

Privatisasi atau swastanisasi secara umum berarti pengalihan

BUMN kepada perusahaan swasta. Akan tetapi kini arti

privatisasi lebih luas dari sekedar penjualan asset publik lewat

lelang publik atau penjualan langsung, yaitu termasuk juga

berbagai cara lain, seperti pemberian sub-kontrak dan konsesi

dari jasa pemerintah; perjanjian lisensi; kontrak manajemen;

perjanjian penyewaan usaha, peralatan atau asset; penjanjian

usaha patungan (); serta skema BOT (Build-Operate-Transfer).

Privatisasi melalui Bank Dunia, ADB dan IMF

Privatisasi baru berkembang pesat dalam 15 tahun terakhir

ini, khususnya setelah Bank Dunia menjalankan program

penyesuaian sruktural (structural adjustment) dan setelah IMF

menjalankan program poverty reduction and growth facility

(PRGF) di tahun 1980-an. Kedua lembaga ini menekankan

kepada liberalisasi perdagangan, pengurangan defisit anggaran,

dan memperbaiki kemampuan pemerintah dalam membayar

utang-utangnya. Dari sinilah privatisasi dijadikan sebagai pilihan

strategi global; dan sejak itu dijalankan oleh berbagai negara

berkembang, khususnya yang menderita ketidakseimbangan

ekonomi makro dan terlilit hutang. IMF secara instrumental

menerapkannya melalui Letter of Intent, sementara Bank Dunia

menyediakan pinjaman khusus untuk proyek-proyek privatisasi

lewat asistensi teknis dan finansial.

Privatisasi dalam kenyataannya bukan sekedar mengatasi

masalah fiskal, tetapi adalah komponen utama dari sebuah

paradigma governance baru, yang disebut neo-liberal: yaitu

tuntutan akan efisiensi dan efektivitas pemerintahan yang saat

ini dianggap berada di bawah standard dan mengalami tekanan

anggaran. Privatisasi adalah paradigma korporatis, berorientasi

ke pasar, mencari keuntungan, dan meminimalkan peran

negara dalam perekonomian. Dalam prakteknya, privatisasi

adalah penjualan asset-asset pemerintah secara murah kepada

pihak swasta, bahkan asset yang termasuk hajat hidup publik,

seperti air, listrik, jalan raya dan lain-lain.

IDEOLOGI DAN HAKEKAT PRIVATISASI : De - Nasionalsiasi menuju RE-KOLONIALISME

Oleh : Bonnie SetiawanDirektur Eksekutif Institute Global Justice-IGJ

Opini

GJU - Juli 200827

Opini

Dalam periode antara tahun1988-1995 penerimaan

pemerintah negara berkembang dari penjualan perusahaan-

perusahaan negara berjumlah US$ 132 milyar, yang berasal

dari pengalihan kontrol atas 3.800 perusahaan dari tangan

pemerintah kepada swasta. Pada periode yang sama pula terjadi

kenaikan jumlah negara yang menjalankan privatisasi, dari 14

negara menjadi 60 negara. Laporan Bank Dunia menyebutkan

bahwa pada awal 1990-an saja sudah ada 80 negara yang

disebut “launched ambitious efforts to privatise their state

owned companies”, dengan nilai penjualan mencapai US$ 185

milyar pada tahun 1990.

Di Amerika Latin, privatisasi sektor infrastruktur didominasi

oleh perusahaan penyedia jasa telekomunikasi, energi,

transportasi dan pengairan. Sedangkan di Asia Tengah dan

Eropa Timur, pelepasan kontrol pemerintah banyak terjadi di

sektor industri manufaktur, seperti baja dan kimia. Hal lainnya

yang terkait, adalah privatisasi mendorong perusahaan-

perusahan tersebut untuk merampingkan strukturnya melalui

pengurangan staf dan pekerja secara tajam.

Bagi Indonesia privatisasi sudah dijalankan sejak jaman

Suharto, yaitu dengan alasan bagi pengikutsertaan pihak swasta

di berbagai bidang usaha dalam pengembangan infrastruktur

untuk kepentingan umum. Dalam kenyataannya privatisasi

tersebut dimaksud untuk memfasilitasi penguasaan ekonomi

kepada para Konglomerat kroni-kroni Suharto dan kepada

perusahaan-perusahaan milik Cendana (keluarga Suharto).

Di tahun 1980-an dimulai penerbitan beberapa UU, PP dan

Keppres, yaitu: UU No. 15 tahun 1985 tentang ketenagalistrikan;

Keppres No. 15 tahun 1987 tentang Jalan Tol; UU No. 3 tahun

1989 tentang Telekomunikasi; UU No. 13 tahun 1992 tentang

Perkeretaapian; UU No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan; UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan;

dan UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Intinya peraturan-

peraturan tersebut memungkinkan perusahaan-perusahaan

swasta ikut serta dalam penyelenggaraan jasa di berbagai

bidang usaha. Selanjutnya peran swasta asing didorong lebih

lanjut lewat PP No. 20 tahun 1994 tentang Pemilikan Saham

dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka PMA. Dengan

berbagai peraturan yang memudahkan privatisasi tersebut,

maka sejak itu berbagai BUMN strategis mulai dikuasai

perusahaan asing, seperti dalam kasus Paiton dengan PLN,

Palyja dan Thames Jaya dengan PDAM, Cemex dengan Semen

Gresik, dan Grosbeak dengan JICT. Ternyata privatisasi tersebut

menyebabkan banyak kasus sengketa/ perselisihan antara pihak

pemerintah atau Serikat Pekerja di BUMN dengan pihak asing.

Demikian pula sejak adanya reformasi, terkuak banyaknya

praktek KKN dalam privatisasi tersebut. Oleh karenanya di

tahun 1998 dikeluarkan Keppres No. 72 tahun 1998 tentang

Tim Evaluasi Privatisasi BUMN dengan mencabut Keppres No.

55 tahun 1996 tentang Tim Privatisasi BUMN. Akan tetapi hasil

kerja Tim Evaluasi tersebut tidak pernah terdengar.

Akibat krisis ekonomi 1997 yang terus berlanjut, maka

Indonesia sudah terjebak hutang dan mengalami krisis utang.

Berdasarkan conditionalities yang diterapkan oleh Bank Dunia,

ADB dan IMF, maka pemerintah diminta untuk menjual 144

BUMN-nya. Privatisasi BUMN masuk di dalam persyaratan

pinjaman yang dituntut oleh IMF untuk memulihkan

perekonomian Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Letter

of Intent. Privatisasi di sini diartikan sebagai proses swastanisasi

BUMN, di mana pemilikan sahamnya sebagian besar dikuasai

oleh swasta atau pengelolaan operasionalnya dilakukan dengan

cara kerjasama antara pemerintah dengan investor swasta.

Dalam LoI IMF tanggal 15 Januari 1998 butir no. 5 disebutkan

bahwa “… the 49 percent limit on foreign holdings of listed

shares was abolished”.

Menyangkut privatisasi perbankan, dalam butir no. 26

disebutkan:

“With technical assistance from the World Bank, the

government has also taken steps to resolve the problems

of the state banks and ensure their safety and soundness.

The aim of this program is to improve their efficiency and

subsequently privatise them…The state banks will not be

recapitalised except in conjunction with privatisation.”

Sementara poin no. 27 dituntut:

“In support of the ultimate goal of full privatisation of all state

banks, the government will introduce legislation by the end-

June 1998 to amend the Banking law in order to remove the

limit on private ownership”.

Dalam hal sektor listrik, LoI IMF tanggal 14 Mei 1999 butir 37

disebutkan:

“the government is overseeing PLN’s restructuring effort.

A working group of senior government and PLN officials

is defining the framework of principles within which PLN

conducts the renegotiations of contracts with independent

power producers (IPPs) and to ensure that fair, well-structured,

and transparent procedures are followed. However, all

negotiations with the IPPs are being conducted by PLN on a

commercial basis, without direct government involvement”.

Tuntutan dari IMF, Bank Dunia dan ADB tersebut pada

akhirnya melahirkan Keppres No. 96 tahun 2000. Dalam Keppres

tersebut ditetapkan daftar bidang usaha yang terbuka dengan

persyaratan patungan antara modal asing dan modal dalam

negeri, di mana dibagi ke dalam dua kelompok: (a) kepemilikan

saham warga negara / Badan Hukum Asing maksimal sebesar

95%; dan (b) kepemilikan saham warga negara / Badan Hukum

GJU - Juli 200828

Opini

Asing maksimal sebesar 45%. Dari daftar itu, hanya tinggal dua

bidang usaha yang masih terlindungi dalam arti saham asing

dibatasi maksimal 45%, yaitu bidang usaha telekomunikasi

dan angkutan udara niaga berjadwal/tidak berjadwal. Bidang-

bidang lain sudah terbuka untuk dikuasai badan asing,

meskipun itu menyangkut bidang yang menguasai hajat hidup

orang banyak sekalipun. Keppres no. 96 tahun 2000 ini adalah

dasar dari dijalankannya privatisasi BUMN di Indonesia.

Peraturan terakhir ini dengan sendirinya telah menabrak

UUD 1945 pasal 33 yang dalam penjelasannya menyebutkan:

“Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang

banyak boleh ada di tangan orang-seorang”. Demikian pula

dalam UU no. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal

Asing (PMA) tetap jelas dinyatakan bidang-bidang usaha yang

tertutup untuk penanaman modal asing secara penguasaan

penuh, yaitu bidang-bidang yang penting bagi negara dan

menguasai hajat hidup orang banyak. Menurut pasal 6 UU PMA

tersebut adalah sebagai berikut: (1) pelabuhan-pelabuhan; (2)

produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum;

(3) telekomunikasi; (4) pelayaran; (5) penerbangan; (6) air

minum; (7) kereta api umum; (8) pembangkit tenaga atom; (9)

media massa; (10) dan bidang-bidang yang meduduki peranan

penting dalam pertahanan negara antara lain produksi senjata,

mesiu, alat-alat peledak dan peralatan perang dilarang sama

sekali bagi modal asing.

Penjajahan baru UUPM 2007

Sejak diundangkannya UU Penanaman Modal no. 25

tahun 2007, maka sudah tidak ada lagi pertahanan peraturan

di Indonesia dalam membendung penguasaan asing. UUPM

dengan tegas menetapkan 2 prinsip dasar investasi asing,

yaitu ‘national treatment’ dan ‘most favoured nation’. Artinya,

yang pertama berupa tidak dibolehkannya pembedaan antara

pelaku usaha asing dengan usaha nasional, melainkan harus

diperlakukan sama. Sedang yang kedua, tidak dibolehkannya

diskriminasi (pembedaan) antara satu pelaku usaha asing dari

Negara yang satu dengan pelaku usaha asing dari Negara

lainnya. Demikian pula usaha asing dibolehkan menguasai

saham secara maksimal yaitu 100%. Dengan UUPM ini, maka

privatisasi tidak bisa lagi dibatasi; penguasaan asing tidak lagi

dapat dibatasi.

Karenanya sejak UUPM 2007, bisa dikatakan pemerintah

telah menjual negaranya kepada asing, telah memprivatisasikan

Negara ini kepada asing. Tidak lama lagi, semua aset strategis

bangsa dan sumber-sumber kekayaan alam bangsa akan

dikuasai asing dengan restu penuh pemerintah. Pemerintah

dengan sukarela mempersilahkan penjajahan baru atas

Indonesia, dengan kekuatan hukum yang penuh. PERTAMINA,

sejak diundangkannya UU Migas, telah resmi di-privatisasi secara

halus, karena tidak lagi bisa memonopoli penguasaan sumber-

sumber migas. Tinggal tunggu waktu sampai PERTAMINA

benar-benar diprivatisasi secara penuh, yaitu sebagian

sahamnya diperjualbelikan dan dikuasai usaha perorangan

(dan asing). PT Krakatau Steel, juga demikian. Sektor strategis

ini sebentar lagi akan diprivatisasi dan hendak dikuasai oleh

MITTAL, konglomerasi baja dunia. Juga Bank Rakyat Indonesia

(BRI) dan Bank Mandiri yang sebentar lagi akan dijual sahamnya

ke tangan asing.

Inilah ironi pahit Negara Indonesia, Negara yang kembali

terjajah, Re-kolonialisme sesungguh-sungguhnya. ***

GJU - Juli 200829

1 Makalah disampaikan pada Rangkaian FGD Forum

Keadilan Ekonomi, IGJ, Jakarta 9 Juli 2008

2 Koordinator Nasional Target MDGs (BAPPENAS/UNDP)3 Dalam pertemuan Financing for Development, New York,

14 September 20054 Sri Mulyani, dikutip dari Koran Tempo, 24 Oktober 20065 Kompas, 11 Janurai 20066 Daseking, C dan Kozack, J. “Avoiding another debt trap”,

Finance and development, December 2003

UTANG DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN:

PENCARIAN JALAN ALTERNATIF1

IVAN A HADAR 2

Ringkasan

Pernyataan presiden SBY di atas, sejalan dengan apa yang

dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa “salah satu

kesulitan utama pemerintah mencapai tujuan pembangunan

nasional, termasuk tujuan pembangunan milenium, adalah

utang luar negeri. Atas dasar itu, Indonesia akan terus

menyuarakan pentingnya penghapusan utang.”4

Sayangnya, berbagai pernyataan tentang pentingnya

penghapusan utang dan rekomendasi terkait debt sustainability

masih sebatas wacana. Untuk menutupi kebutuhan pembiayaan

APBN 2006, misalnya, pemerintah kembali membuat utang

sebesar 3,55 miliar dolar AS dalam pertemuan CGI terakhir, Juni

2007. Prinsip “gali lobang, tutup lobang” masih saja berlaku,

mengesampingkan logika sederhana bila ingin penghapusan

utang Indonesia harus juga menghindari membuat utang

baru.

Pemerintah memang berjanji konsisten menerapkan

kebijakan hanya akan membuat utang baru apabila diperlukan,

dengan jangka waktu panjang dan dengan bunga utang yang

lunak, serta terus menurunkan porsi kredit ekspor. Ada pula

rencana menurunkan Rasio utang terhadap PDB dari

sekitar 50 persen menjadi 30 persen pada 2009.5

Namun, kalaupun berhasil, ambisi tersebut dinilai

belum cukup. Karena persoalan utang terkait erat

dengan paradigma pembangunan yang dianut.

“There is a real need for significant debt reduction or restructuring not only for the least developed countries but also for middle-

income developing countries.”

(Susilo Bambang Yudhoyono) 3

Secara teoretis, Daseking dan Kozack6 memprediksi, negara

seperti Indonesia akan gagal mencapai tujuan pembangunan

milenium berupa pengurangan kemiskinan menjadi separuh

pada 2015, kecuali mempunyai pertumbuhan ekonomi

tinggi, berhasil memperkuat institusi, melaksanakan kebijakan

prorakyat kecil, dan tidak terperangkap dalam utang. Saat ini,

pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri pemerintah

memakan porsi 31 persen hasil pajak. Jumlah yang seharusnya

digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan

investasi sosial lainnya.

Berikut ini, beberapa usulan strategi keluar dari “jebakan”

utang sebagai pertimbangan. Pertama, pemberlakuan batas

maksimum bagi pembayaran utang publik, terutama utang luar

negeri. Hal ini, akan memperbesar ketersediaan sumber dana

bagi perekonomian domestik. Penetapan batas maksimum

ini perlu didasarkan pada (sebuah) UU, sehingga pemerintah

bisa menggunakannya sebagai dasar hokum dan sekaligus

alat negosiasi. Selanjutnya, diperlukan pengaturan mengenai

pembatasan jumlah utang baru yang mengarah kepada zero

new debt. Kedua, pengurangan pokok utang. Beberapa

langkah yang bisa dilakukan antara lain, (a) penghapusan

utang melalui kombinasi rekayasa keuangan dan renegosiasi

komersial dengan kreditor; (b) pengurangan debt stock lewat

arbitrase internasional; (c) negosiasi utang luar negeri publik ada

level geopolitk dan stratejik; (d) renegosiasi bilateral, terutama

dengan Jepang.

Publik

GJU - Juli 200830

7 Lihat ToR Sesi Paralel III.1. Kongres ISEI XVI8 Yuliani Yunindri, “Ranjau-Ranjau Makroekonomi”, Jawa Pos, 10 Mei 20069 Pedoman Pengelolaan Utang LN Indonesia selama ini adalah: (1) menurunkan jumlah defi cit APBN secara bertaha menuju anggaran berimbang (ditargetkan

2004, namun tak tercapai!!); (b) menurunkan rasio utang terhadap PDB; Meno Perekonomian, menargetkan ratio utang LN terhadap PDB menjadi 30%

pada 2009; (c) meningkatkan kapasitas pengelolaan utang; (d) memperhatikan kebijakan penarikan utangbaru yang berhati-hati; (d) mendorong masuknya

PMA dalam beragai bentuk dan mengembangkan kepercayaan investor pada umumnya; (e) mengupayakan penjadwalan ulang utang melalui forum Paris Club 3 (telah dicapai); (f) mengupayakan fasilitas Det Swaps (Debt for Nature Debt for Poverty dsb; ini juga telah dicapai pada Paris Club 3)

10 Misalnya terkait sinyalemen Sumitro Djojohadikusumo, bahwa utang Indonesia dikorup sebesar 30 persen; juga temuan lembaga survey independen yang

ditunjuk IMF dan pengakuan Huber Neiss tentang kesalahan resep penyelesaian krisis Indonesia oleh IMF dan terakhir, pengakuan Paul Wolfowitz bahwa

Bank Dunia turut bertanggung jawab atas korupsi dan kemiskinan di negara-negara berkembang.

Pendahuluan

Sejak beberapa tahun terakhir, jumlah stok utang Indonesia

yang berkisar pada angka 75-80an miliar dolar AS, bukan lagi

menjadi pendukung pertumbuhan ekonomi. Tetapi, justru

menjadi salah satu sumber ancaman bagi stabilitas ekonomi

makro, baik melalui tekanan defisit fiskal, ketimpangan

distribusi sosial dalam APBN maupun tekanan atas cadangan

devisa. Utang pemerintah (dalam dan luar negeri) yang

mencapai sekitar 50 persen PDB, jika tidak dikelola dengan

baik akan membahayakan keberlangsungan fiskal karena

beban pembayaran utang pokok dan bunga akan mencapai

puncaknya dalam beberapa tahun ini.7

Data selama 2005 menunjukkan, betapa beratnya beban

pokok utang yang jatuh tempo dan tanggungan biaya yang

timbul. Misalnya, beban bunga telah mencapai Rp 42,3 triliun.

Terdiri atas pembayaran bunga SUN domestik Rp 40,9 triliun,

pemberian diskon Rp 1,9 triliun, dan kewajiban lain Rp 1 miliar.

Sementara SUN valuta asing, biaya bunga yang harus dibayar

sebesar 132,3 juta dolar AS.8 Jumlah tersebut belum temasuk

utang luar negeri sekitar 78 miliar dolar AS atau sekitar Rp. 725

triliun dengan cicilan untuk 2006 sebesar 90an triliun rupiah.

Strategi penjadwalan ulang pembayaran utang (dsb) telah

dilakukan9, namun strategi tersebut belum cukup dan tidak

memadai untuk mengatasi masalah utang yang membelit.

Penjadwalan utang hanya memindahkan persoalan ke waktu

yang lebih lama dengan beban yang tetap sama. Hingga saat

ini, pemerintah belum pernah mencoba mengurangi stok utang

(debt stock). Pemerintah tetap saja mengikuti manajemen

utang klasik a ala MF dan Bank Dunia Padahal, hal tersebut

terbukti tidak efektif memperbaiki keterkelolalaan utang (debt

sustainability) Indonesia.

Oleh karena itu, selain penjadwalan ulang utang, diperlukan

strategi yang lebih konprehensif untuk mengurangi stok utang

tersebut. Beberapa pendekatan, bisa menjadi pilihan atau

dilakukan bersamaan.

Pendekatan pertama, apa yang ditawarkan J. Mohan

Rao yang mengkritisi pendekatan ortodoks (seperti yang kini

menjadi kebijakan/strategi pembangunan pemerintah) yang

berbasiskan neo-liberalisme dan (manut pada) globalisasi

top down, serta (loyal pada) pemikiran there is no alternative.

Dampaknya, selama dua dekade terakhir, pertumbuhan

(dalam negeri) melambat sementara kesenjangan melebar.

Solusinya: menggeser rezim ekonomi makro menjadi

lebih pro-pertumbuhan dengan pemerataan, di mana

pertumbuhan dipadu oleh investasi publik. Ini akan

menimbulkan multiplier effect (efek berganda) karena

memicu aliran investasi swasta dan menarik kembali modal

yang dilarikan selama krisis Pendanaan investasi publik

dapat diperoleh dari mobilisasi penerimaan tambahan.

Selanjutnya, agar lebih menjamin stabilitas nilai tukar,

diperlukan pengendalian parsial terhadap lalulintas modal.

Kesemuanya itu diintegrasikan dengan kebijakan pro-

pemerataan untuk mengatasi kemiskinan. Pergeseran

tersebut perlu dibarengi dengan upaya penghapusan

utang, khususnya utang najis dan utang kriminal, dari

rezim yang tidak bertanggung gugat.

Pendekatan kedua, adalah pendekatan teknikal Nancy

Birdsall dan Brian Deese yang melihat ‘Enhanced HIPC

(Highly Indebted Poor Countries) Initiative’ gagal menjamin

pertumbuhan yang berkelanjutan di negara debitor. Untuk

mengatasinya, mereka mengusulkan sembilan langkah

konkret, antara lain, peningkatan pengurangan utang

sedemikian rupa sehingga beban pembayaran utang

negara miskin tidak lebih dari 2% terhadap PDB, sehingga

pemerintah mampu menyediakan kebutuhan sosial dasar

bagi rakyat. Lalu, perluasan cakupan pakarsa HIPC, di

mana negara miskin non-HIPC (seperti Indonesia) juga

diberi fasilitas HIPC. Serta, melindungi negara miskin dari

guncangan eksternal seperti perubahan harga komoditas

yang mengganggu penerimaan mereka. Untuk membiayai

ketiga langkah di atas, diusulkan penggunaan emas IMF,

peningkatan bantuan resmi dan kenaikan kontribusi

bank multilateral. Dalam jangka panjang Birsall dan

Deese mengusulkan peningkatan efisiensi dan selektifitas

pemberian utang. Selanjutnya diperlukan peningkatan

pertanggung-gugatan kreditor10 dan penyederhanaan

prosedur HIPC

Publik

GJU - Juli 200831

Publik

11 Birdsall, Nancy. dan Deese, Brian (2003): “Perluasan Peringanan Utang Sebagai Landasan Tatanan Global Baru” dalam: “Arbitrase Utang Penyelesaian

Menyeluruh Masalah Utang Luar Negeri Indonesia”, INFID Jakarta12 Sebagai contoh, sebuah perusahaan asing akan menanam modal senilai USD 70 juta. Melalui renegosiasi komersial, utang pemerintah bisa diperdagangkan

di pasar sekunder dengan diskon (missal 30%) Broker perusahaan tersebut akan membeli utang pemerintah rupiah senilai USD 100 juta dengan harga USD

70 juta. Pemerintah bersedia membayar senilai USD 80 juta (misalnya) kepada perusahaan. Namun dapat juga senile USD 70 juta tetapi dikompensasi

dengan kemudahan pajak. Hasilnya, utang senilai USD 100 juta terbayar investasi asing langsung (FDI) asuk senilai 70-80 juta, sementara utang pemerintah

terhapus 20-30% Melalui cara ini memang ada risiko infaltoir terutama jika ada dana pemerintah yang diperoleh dari pencetakan uang Oleh karena itu,

diperlukan bank sentral (BI) yang benar-benar independent, sehingga hal ini tidak terjadi.

Pendekatan ketiga oleh Francis Lemoine yang memberikan

usulan konkret bagi Indonesia. Lemoine mempertanyakan

analisis IMF dan Bank Dunia yang menganggap beban utang

Indonesia technically sustainable dalam jangka panjang, dan

dalam jangka pendek mereduksi persoalan utang Indonesia

menjadi masalah likuiditas anggaran pemerintah. Ini mendorong

dipilihnya solusi parsial berdasarkan Paris Club.

Masalahnya, Paris Club tidak menurunkan present value

utang Indonesia secara berarti. Sehingga, walau kendala

likuiditas jangka pendek relatif teratasi, stok utang Indonesia

tetap besar. Pendekatan selanjutnya dilakukan oleh Pedro

Morazan dan Irene Knoke. Mereka berargumen bahwa untuk

mencapai penyelesaian utang yang menyeluruh dan benar-benar

bermanfaat bagi negara debitor miskin, diperlukan perubahan

mendasar dalam mekanisme internasional untuk menyelesaikan

masalah utang. Mekanisme IMF Bank Dunia, Paris Club, dan

London Club hanyalah alat yang diciptakan kreditor untuk

melindungi kepentingannya, bukan untuk memulihkan posisi

finansial negara debitor melalui penghapusan utang. Karena

itu, mereka mengusulkan sebuah arbitrase yang netral di mana

kreditor dan debitor diwakili secara setara, ditambah satu suara

yang ditunjuk secara bersama.

Strategi Alternatif

Berdasarkan pendekatan-pendekatan di atas, strategi

alternatif yang dapat dikembangkan untuk mengurangi beban

utang luar negeri (pemerintah) Indonesia antara lain:

Pertama, pemberlakuan batas maksimum bagi pembayaran

utang pemerintah terutama utang luar negeri akan membuat

sumberdaya dan dana yang tersedia bagi perekonomian

domestik semakin besar. Pengelolaan dana tersebut harus

dilakukan dengan transparansi aksimum dan diawasi oleh

Forum Multi Stakeholder yang melibatkan publik secara luas.

Dana tersebut bisa tetap menjadi bagian dari APBN atau

dimasukkan ke dalam sebuah Trust Fund yang tidak boleh

digunakan untuk berinvestasi di pasar modal dan pasar uang.

Dana tersebut seyogyanya diprioritaskan untuk (antara lain): (1)

program padat karya di pedesaan; (2) subsidi kredit program

bagi pemulihan sektor riil yang berbasis pada UKM dan

sektor-sektor prioritas; (3) pembiayaan sektor sosial terutama

pendidikan dan kesehatan.

Usulan ini senada dengan saran Birdsall dan Deese11 agar

“Enhanced HIPC Initiatives” menggunakan rasio beban utang

yang berhubungan langsung dengan kemiskinan (misalnya

lebih baik menggunakan debt service to tax ratio daripada debt

servive to export ratio; ada pula pendekatan penghitungan

pencapaian MDGs).

Penetapan batas maksimum perlu didasarkan pada sebuah

UU sehingga pemerintah bisa menggunakannya sebagai dasar

hukum dan sekaligusalat negosiasi dengan para kreditor. Adapin

pnengaturan dalam UU tersebut hendaknya mencakup:

• Pembatasan jumlah maksimum pembayaran utang

pemerintah dalam setiap tahun anggaran, misalnya 10%

dari total penerimaan negara yang berasal dari pajak dan

non-pajak.

• Pengaturan Terms yang harus digunakan pemerintah

dalam negosiasi dengan kreditor.

• Pengaturan mengenai pengelolaan dana yang semestinya

dipakai untuk membayar utang luar negeri baik dalam

APBN maupun Trust Fund. Transparansi aksimum dan

Forum Stakeholders menjadi bagian tak terpisahkan dari

pengelolaan dana ini.

• Pengaturan mengenai mengenai prioritas penggunaan

dana tersebut.

Selanjutnya, diperlukan pengaturan mengenai pembatasan

jumlah utang baru yang boleh diambil pemerintah jika mungkin

mengarah kepada Zero Debt bagi utang luar negeri pemerintah.

Juga, pengaturan mengenai tingkat maksimum kenaikan pajak

dan penurunan subsidi sehingga total penerimaan negara

benar-benar dihitung secara reasonable. Ini memperkecil

peluang bagi IMF dan Bank Dunia untuk menekan pemerintah

agar memperbesar jumlah pembayaran utang dengan jalan

memperbesar target penerimaan negara (termasuk, terutama

lewat pemotongan subsidi untuk public services).

Kedua, pengurangan pokok utang. Beberapa langkah yang

dapat dilakukan adalah:

a. Penghapusan utang melalui kombinasi rekayasa keuangan

dan renegosiasi komersial dengan kreditor. Salah satu cara

yangbisa dipakai adalah melalui berbagai bentuk rekayasa

keuangan sepert debt to equity swap.12

b. Pengurangan debt stock melalui arbitrase internasional.

Ide dasarnya adalah pihak kreditor multilateral (Bank

GJU - Juli 200832

13 Lemoine, 2003, op.cit.14 Lihat: Ivan A. Hadar, “Solusi Utang Indonesia: Belajarlah dari Argentina”, Kompas, 4/5/2005

Dunia dll) dan bilateral ikut bertanggung jawab atas

keagalan mereka menjamin tercapainya good governance

dalam manajemen utang para debitor. Sehingga muncul

wacana mengenai odious debt atau utang najis di mana

kreditor memberikan kemudahan dan hair cut untuk

mengkompensasi utang najis tersebut.

c. Negosiasi utang luar negeri pemerintah pada level

geopolitik dan stratejik. Indonesia memang tidak masuk

dalam skema HIPC, bukan saja karena tidak memenuhi

kriteria dari sisi pendapatan, namun juga dari rasio utang

dengan ekspor. Memang pemerintah dan Bank Dunia

mengklaim bahwa Indonesia memperoleh terms yang

semakin baik dalam Paris Club (PC) 3 dibandingkan PC

1. Masa jatuh tempo misalnya naik dari 11 tahun menjadi

18 tahun untuk utang non-ODA (Official Development

Aid/Assistance). Masa tenggang (grace period) naik dari 5

tahun ke 10 tahun untuk ODA, dan ada penjadwalan ulang

terhadap bunga. Namun berdasarkan laporan European

Network on Debt and Development (EURODAD), terms

yang diperoleh Indonesia lebih jelek dari negara lain.

Indonesia hanya diberikan Houston Terms. Dengan skema

ini Indonesia mendapat keringanan berupa penjadwalan

ulang tingkat bunga setidaknya sesuai dengan bunga

konsesi awal lebih dari 20 tahun dengan pembayaran

progresif 10 tahun. Sementara untuk utang non-ODA

dilakukan penjadwalan ulang tingkat asar lebih dari 15

tahun dengan pembayaran progresif 2-3 tahun meningkat

per tahunnya.13 Padahal jika memperoleh Naples Terms,

Indonesia dapat memperoleh pengampunan utang

hingga 67% dari total utang non-ODA (seperti yang

berhasil diperoleh Nigeria14). Untuk utang ODA bahkan

bisa memperoleh tenggang 16 tahun, dengan tingkat

suku bungan yang didiskon selama 40 tahun. Skema ini

seharusnya juga dimiliki Indonesia karena para kreditor

semestinya juga turut bertanggung jawab atas peningkatan

utang yang tak terkelola Apalagi menurut Nancy Birdsall

dan Brian Deese, beban utang Indonesia telah sampai

pada tahap menghambat pertumbuhan ekonomi.

d. Renegosiasi bilateral, terutama dengan Jepang. Sekitar

sepertiga dari debt outstanding Indonesia adalah

dengan Jepang. Kepentingan strategis Jepang baik

dalam membendung ambisi China dalam restrukturisasi

multinasionalnya hingga keinginan menahan serbuan

produk China ke pasar domestik Indonesia, merupakan

potensi negosiasi.

Ketiga, adanya indikator tambahan. Manajemen utang

klasik biasanya menggunakan rasio dari outstanding utang

terhadap Product Domestic Bruto (PDB) atau debt ratio sebagai

indikator utamanya. Ini berlaku bagi utang jangka pendek,

jangka panjang, domestik maupun luar negeri. Untuk variable

“kemampuan membayar utang” dipakai debt service ratio

yang membandingkan kewajiban pembayaran utang, baik

pokok dan bunganya dengan penerimaan ekspor. Pendekatan

ini mengabaikan fakta bahwa pembayaran utang pemerintah

mempunyai konsekuensi keadilan sosial.

Setiap rupiah yang dialokasikan untuk membayar pokok

dan bunga utang mempunyai biaya oportunitas sosial. Ini terjadi

karena setiap rupiah yang dikeluarkan bisa direalokasikan

untuk program padat karya, kesehatan, pendidikan, investasi

infrastruktur, pengurangan pajak dan berbagai alternatif pos

penerimaan pengeluaran fiskal lainnya. Trade off atau efek

distribusi dari pembayaran utang ini sama sekali diabaikan.

Oleh sebab itu, diperlukan sebuah indikator tambahan,

yaitu rasio antara kewajiban pembayaran pokok dan bunga

utang terhadap penerimaan pajak atau penerimaan APBN. Ini

merupakan debt service ratio to fiscal revenue (DSRFR). Jika

rasio ini dibandingkan dengan proporsi pos penerimaan dan

atau pengeluaran fiskal lainnya, maka diperoleh gambaran

mengenai seberapa jauh aspek keadilan sosial terakomodasi

dalam manajemen utang.

Untuk Indonesia, rasio tersebut juga semakin menunjukkan

perlunya reorientasi manajemen utang pemerintah, dengan

re-fokus kepada pengurangan stok utang (debt stock),

bukan pengalihan utang ke generasi mendatang dan atau

penambahan utang baru. Dengan demikian, akan terdapat

konsekuensi tambahan, di mana utang baru seyogyanya tidak

digunakan untuk membiayai konsumsi dalam APBN, tetapi

lebih difokuskan untuk biaya pembangunan.

Selain rasio utang dan penerimaan fiskal yang bersifat

umum, diperlukan juga rasio yang lebih khusus misalnya rasio

antara utang dengan kebutuhan dasar manusia. Laporan

Pembangunan Manusia yang diterbitkan oleh UNDP (2004),

telah mengindentifikasi kebutuhan dasar manusia yang paling

penting, yaitu pendidikan, kesehatan, pangan dan keamanan

fisik. Hal yang masih berlaku hingga kini. Bahkan semakin

mendesak. Kebutuhan dana masing-masing sektor ini juga telah

dihitung dalam laporan tersebut, sehingga dapat diperoleh

rasio utang dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia.

Publik

GJU - Juli 200833

Publik

15 Secara umum, pedoman pengelolaan utang luar negeri Indonesia selama ini adalah: (a) Menurunkan jumlah defi sit APBN secara bertahap menuju

anggaran berimbang; (b) menurunkan rasio terhadap PDB menjadi sekitar 60% (2004) dan 30% (2009); (c) meningkatkan kapasitas pengelolaan utang; (d)

memperhatikan kebijakan utang penarikan baru yang berhati-hati; (e) mendorong masuknya PMA dalam berbagai bentuk dan mengembangkan kepercayaan

investor pada umumnya; (f) mengupayakan penjadwalan ulang utang (telah dicapai, misalnya, pada Paris Club 3); (g) mengupayakan fasilitas debt swaps

(debt for nature; debt for poverty, dsb – yang telah dicapai juga pada Paris Club 3).16 Dalam sebuah pertemuan dengan INFID, awal 2005 di Jakarta

Keempat, pembentukan Integrated Debt Management

Office. Saat ini, manajemen utang ditangani beberapa institusi,

yaitu Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Kantor Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian dan Bappenas secara

parsial.

Fungsi front office semenja krisis untuk mencari utang luar

negeri kurang terkoordinir. Sementara fungsi middle office

untuk menganilisis risiko belum optimal. Misalnya lewat analisis

keterkelolaan utang, analis risiko dan tingkat pengembalian,

dll.

Untuk itu diperlukan debt management office yang menyatu

yang tidak hanya mengikuti strategi pengelolaan tang yang

konvesional. Rescheduling dan reprofiling masih dibutuhkan,

tetapi tidak dapat dijadikan strategi pengelolaan utangyang

utama.

Debt management office seharusnya ada, untuk

menawarkan pengelolaan utang non-konvensional yang

memerlukan teknik negosiasi dan rekayasa finansial misalnya

pemotongan utang (hair cut), penghapusan sebagian utang

(write off), konversi utang ke obligasi (Brady bond), konversi

utang menjadi ekuitas dan tukar menukar antara utang dan

konversi sumber daya alam (debt for nature swap).15

Seharusnya, semua pinjaman luar negeri melalaui satu

pintu. Tujuannya, agar semua pinjaman dapat tercatat dengan

baik sehingga diketahui persis berapa beban yang ditanggung

negara. Saat ini, untuk merealisasikan rencana tersebut,

pemerintah meman tengah menggodok RancanganUndang-

Undang (RUU) Utang Luar Negeri sebagai pengganti berbagai

peraturan pemerintah mengenai utang luar negeri. Gagasan

pemerintah tersebut layak dicermati, bukan saja karena

pengelolaan utang luar negeri yang saat ini amat tidak tertib,

tetapi juga karena kebergantungan Indonesia pada utang luar

negeri sudah seperti pecandu narkotika. Bahkan keberhasilan

mendapatkan pinjaman baru merupakan suatu kebanggaan.

Padahal, pinjaman baru sama artinya dengan semakin

memerosokkan Indonesia dalam utang. Apalagi kalau diktum

pinjaman luar negeri sebagai pelengkap sempat bergeser

peran menjadi soko guru penutup deficit anggaran. Sebagian

kalangan bahkan menyebutkan utang luar negeri adalah

“utang najis”. Selain tidak digunakan dengan baik dan tidak

menghasilkan produktivitas, juga karena dikorupsi.

Karena itu, menata ulang pinjaman luar negeri bukan

saja wajar, tetapi memang sudah selayaknya diatur dalam

UU. Namun, lepas dari ide tersebut, yang entah kapan akan

terealisasi, tentunya perlu kita lihat dulu bagaimana potret

permasalahan utang luar negeri Indonesia.

Pertama, selama ini tidak ada batasan kuantitatif yang jelas

dan detail mengenai pinjaman luar negeri untuk pemerintah.

Implikasinya, pemerintah dalam mencari pinjaman luar negeri

nyaris tanpa batas. Bahkan, “limit” konvensional, seperti rasio

utang terhadap GDP, nyaris tidak dihiraukan. Implikasinya,

bukan saja secara total jumlah utang luar negeri terus

membengkak, tetapi pengalokasiannya pun tidak tertata.

Tidak heran jika ada sektor ekonomi tertentu yang memiliki

pinjaman luar negeri sangat tinggi, sementara sector lainnya

tidak. Padahal, di sector mikro, perbankan misalnya, ada batasan

tertentu mengenai leverage dan atau BMPK (Batas Maksimum

Pemberian Kredit). Sedangkan dalam konteks pinjaman luar

negeri, khsusunya soal limit bisa dikatakan pemerintah tidak

comply dengan risk management.

Kedua, penggunaan pinjaman luar negeri tidak efisien.

Sumitro Djojohadikusmo sejak lama mengingatkan kebocoran

utang luar negeri hingga mencapai 30%. Dalam sebuah forum,

Sri Mulyani pernah pula mensinyalir cukup banyak utang yang

“tak bertuan”. Tiada satu pun departemen merasa bertanggung

jawab dan pemanfaatannya, sementara commitment fee dan

bunga tetap jalan16.

Ketiga, adanya mis-match dalam penggunaan utang luar

negeri. Pinjaman yang berdurasi jangka pendek dipergunakan

untuk pembiayaan investasi jangka panjang. Ada pula yang

dipergunakan untukmembiayai usaha yang tidak menghasilkan

devisa, bahkan juga tidak melakukan hedging sehingga risiko

nilai tukar yang melekat pada pinjaman tersebut menjadi

sangat terbuka.

Pemerintah bukan tidak pernah berupaya untuk menata

kembali soal pinjaman luar negeri itu. Beberapa waktu

lalu misalnya, sudah perneh terdengar pembentukan Debt

Management Unit (DMU) yang ditugaskan membenahi utang

luar negeri.

Pemerintah mengedepankan DMU sebagai salah satu piranti

untuk menurunkan utang luar negeri, mengeliminasi tingkat

kebocoran, melakukan negosiasi dengan kreditor dalam hal

GJU - Juli 200834

tingkat bunga maupun jangka waktu pinjaman Dengan kata

lain, DMU berfungsi untuk membenahi manajemen utang luar

negeri, mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengawasan

dan pembayaran kembali.

Di samping itu, kritisnya beban utang luar negeri saat ini,

telah mendorong berbagai pihak menyarankan agar pemerintah

meminta keringanan kepada kreditor. Misalnya usulan debt

relief (pengurangan utang). Alasannya, pertama Indonesia

merupakan “good boy”, alias tidak pernah ngemplang. Wajar

jika kreditor memberi “bonus” kepada Indonesia. Kedua,

Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami krisis

terburuk di dunia, sehingga layak untuk mendapat keringanan

utang. Alasan lainnya, bank Dunia sudah seharusnya turut

bertanggung jawab terhadap kebocoran utang Indonesia,

andalan negara-negara terbelakang seperti Indonesia adalah

eksport bahan mentah.

Penggunaan eksport sebagai indicator pengelolaan

hutang semakin menegaskan posisi Indonesia sebagai pelayan

dalam hal penyediaan bahan mentah. Karena memang

sebagian besar dari barang-barang eksport Indonesia masih

didominasi oleh eksport bahan mentah dengan nilai tambah

yang sangat rendah. Selain itu, eksport yang dihasilkan oleh

perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di dalam

negeri dihitung sebagai ekspor Indonesia. Penggunaan

indikator ini dalam kontek Indonesia jelas adalah hal yang

kurang relevan, karena segera setelah bahan mentah murah,

Indonesia akan menerima import produk olahan dari negara-

negara maju dengan nilai tambah yang sangat besar.

Penjelasan diatas menempatkan kita pada kesimpulan

bahwa kesalahan terbesar dalam perencanaan pembangunan

ekonomi khusunya terkait dengan hutang, telah dimulai dari

kesalahan dalam menentukan Indikator yang digunakan.

Negara ini tidak pernah sanggup mengeluarkan indicator

sendiri dalam menentukan layak tidaknya hutang, akan

tetapi menyandarkan pada indicator yang dikeluarkan oleh

oleh lembaga pemberi hutang. Hal ini semakin menegaskan

posisi Indonesia sebagai obyek semata dari lembaga dan

negara pemberi pinjaman untuk mendapatkan keuntungan

atas uang mereka melalui hutang.

Dengan indikator hutang yang digunakan saat ini maka

sesungguhnya hutang baik yang diberikan oleh lembaga-

lembaga multilateral, hutang-hutang bilateral adalah untuk

melayani aktifitas pemberi hutang itu sendiri, yang menjalin

persekutuan resmi dengan perusahaan-perusahaan yang

akan menanamkan modalnya di Indonesia. Demikian juga

dengan hutang-hutang bilateral sesungguhnya adalah

hutang untuk menopang kepentingan langsung negara

– negara pemberi hutang akan bahan mentah dan sumber-

sumber ekstraktif dari Indonesia. Hal ini sangat tampak

dari posisi Jepang sebagai Negara pemberi hutang terbesar

bagi Indonesia.

Penggunaan PDB dan eksport sebagai indicator membawa

akibat yang sangat fatal perencanaan pembangunan,

dikarenakan baik PDB maupun eksport tidak akan dapat

mencerminkan pendapatan masyarakat Indonesia, akan

tetapi hanya menjadi cerminan produksi dan pendapatan

perusahaan-perusahaan besar semata dan sebagian besar

dari perusahaan-perusahaan tersebut adalah perusahaan

asing. Maka sungguh sangat aneh apabila nilai PDB kemudian

dibagi dengan jumlah penduduk (PDB perkapita) dijadikan

sebagai indicator menentukan tingkat kesejahteraan anggota

masyarakat. Karena disaat PDB tumbuh dengan pesat, pada

saat yang sama kemiskinan juga meningkat secara tajam .

* Salamuddin Daeng

Program Officer

Institute for Global Justice (IGJ)

sebab mereka selalu memuji-muji, kendati diketahui ada

kebocoran dalam penggunaan utang tersebut.

Kita menunggu sikap pemerintah yang penuh percaya diri

mewakili bangsanya, melepaskan “gengsi” dan “kecemasan”

tak berasalan untuk menuntut penghapusan (sebagian) utang,

paling tidak utang najis dan yang menjadi bagian pertanggung

jawaban kreditor seperti utang najis (odious debt) yang dibuat

pemerintahan otoriter tanpa persetujuan rakyat. Kekhawatiran

kalau Indonesia meminta debt relief atau haircut, Indonesia

akan dikucilkan oleh masyarakat internasional. Dan hal ini pada

gilirannya akan menurunkan posisi tawar Indonesia terhadap

segala hal, telah terbantahkan dalam pengalaman Argentina,

Nigeria dan Indonesia Orde Baru ketika utang warisan Orde

lama dihapus lebih dari 50 persen.

Sambungan dari hal 19

Publik

GJU - Juli 200835

Publik

Di Indonesia sendiri, Konsensus Washington ini dimulai

pada tanggal 1 Juni 1983, dengan menerapkan suku bunga

bebas dan pagu aktiva neto perbankan. Dalam bahasa yang

sederhana, sejak 1 Juni 1983, pengendalian uang beredar

tidak lagi berpaku pada suku bunga dan kredit, tetapi bergeser

kepada inflation targeting. Dengan ini kerangkanya pun jadi

semakin jelas. Sistem ini berhubungan dengan suku bunga,

berhubungan dengan nilai tukar dan berhubungan dengan

inflasi, yang pada akhirnya juga berhubungan dengan tekanan

fiskal. Oleh karena itu hubungan antara kondisi ini dengan

privatisasi dalam pelaksanaan Konsensus Washington di

Indonesia pun semakin jelas.

Ada beberapa poin yang mendasari paradigma neoliberalisme

dalam Konsensus Washington, yaitu: kepemilikan pribadi,

persaingan dan pasar bebas, mekanisme pasar, kegagalan

pasar sebagai hakim yang paling bijaksana dan efisien, serta

program-program karikatif seperti Community Development,

Corporate Social Responsibility, Scholarsip dan Funding NGO.

Semua poin yang disebutkan di atas disepakati oleh ekonom

neoklasik, yang pada intinya bertujuan untuk memperbesar

akumulasi modal. Tapi bagaimana akumulasi modal ini bisa

diperbesar tanpa diikuti oleh prinsip ekonomi internasional?

Dan bagaimana ekonomi internasional bisa berjalan, jika negara

masih memberlakukan proteksi? Ini adalah dasar logika yang

disampaikan oleh paradigma neoklasik.

Di dalam pelaksanaannya, ada 11 isu yang menyertai

Konsensus Washington. Sebelas isu itu adalah: demokrasi

liberal, country risk, hak asasi manusia. Khusus untuk hak

asasi manusia, saya sudah pernah sampaikan di Komnas HAM,

bahwa memperjuangkan HAM dan anti kekerasan tanpa hak

ekosob adalah percuma. Hak ekosob ini adalah hak untuk

memperoleh penghidupan yang layak, pekerjaan,

pendidikan, kesehatan, perumahan dan layanan publik. Isu

berikutnya adalah lingkungan. Dalam film An Inconvenient

Truth oleh Al Gore menggambarkan isu ini dengan sangat

cerdas. Di dalam film ini Al Gore menjelaskan adanya

semacam standar ganda di balik isu lingkungan. Kemudian

ada isu gender, good corporate governance, indeks

korupsi, indeks persaingan, multikultur, kearifan lokal

dan isu terakhir, pemerintah yang gagal dan buruk dalam

menyediakan pelayanan publik.

Yang paling berhubungan langsung dengan privatisasi

adalah butir ke-11 atau yang terakhir, yaitu pemerintah

gagal dan buruk dalam menyediakan layanan publik.

Kenapa? Karena yang ada hanyalah mewirausahakan

birokrasi, sehingga tidak dikenal “public goods” atau

“public services.” Yang ada hanyalah “commercial goods”

atau “commercial services.”

Cara-cara privatisasi dilakukan mulai dari konsep

outsourcing beberapa jenis pekerjaan, memberikan hak

pengelolaan, IPO, Strategic Partnership, hak pemakaian atas

barang publik, menggantungkan pemenuhan kebutuhan

pada pasokan swasta untuk layanan jasa, mempreteli

atau unbundling jasa dan produk barang publik, serta

sekuritisasi aset.

Dalam perspektif ekonomi politik, privatisasi dapat

dilihat dari pendekatan terhadap hutang luar negeri. Hutang

luar negeri memberi dampak tekanan fiskal dan tekanan

neraca pembayaran. Karena tidak mampu bayar hutang

atau tepatnya karena kebijakan ekonomi didasarkan pada

upaya memburu ekonomi setinggi-tingginya, maka negara

debitor dipaksa untuk memberi konsesi pertambangan,

Isu-Isu dan Perspektif Seputar Privatisasi1

Ichsanuddin Noersy

1 Disampaikan dalam Focus Discussion Group (FGD) Forum Keadilan Ekonomi (FKE), Institute for Global Justice (IGJ) 9 Juli 2008, disarikan oleh Joko

Arif.

Istilah privatisasi muncul dari Konsensus Washington. Yakni sebuah konsensus yang dibuat oleh Departemen

Keuangan AS di bawah Reagan bekerja sama dengan Pemerintah Inggris dalam kendali Thatcher. Secara garis

besar, isinya adalah mengenai konsep penghematan fiskal dalam artian minim subsidi dan maksimal hutang, pasar

bebas investasi dan perdagangan, liberalisasi pasar modal dan keuangan-perbankan, serta privatisasi.

GJU - Juli 200836

Publik

liberalisasi perdagangan dan keuangan-perbankan serta

memprivatisasi BUMN. Berdasarkan atas penelitian Marion

Fourcade dan Sarah L. Babb yang dimuat dalam American

Journal of Sociology, dapat dijelaskan bahwa proses privatisasi

yang dialami oleh Indonesia juga dialami oleh 4 negara lain

yaitu Chili, Inggris, Perancis dan Meksiko, yang berawal dari

balance of payment crisis.

Stiglitz dan Noriah sendiri melihat privatisasi sebagai

pengambil alihan sumber daya dan surplus perekonomian

negara debitor ke luar negeri, terutama negara kreditor

atau negara para pemilik modal. Tetapi negara debitor tetap

dianjurkan berhutang sampai dengan sumber daya ekonominya

susut dan pasarnya marjinal, dalam arti daya beli masyarakat

hancur. Contohnya adalah Nigeria dan Argentina. Kini Argentina

berhasil bangkit karena berani melawan. Pada akhirnya negara

debitor ini kemudian akan hanya menjadi ”teritori” dan bukan

lagi state, seperti yang disampaikan Michael Hudson dalam

Super Imperialism.

Yang rancu adalah banyaknya pandangan ekonom yang

sembarangan dalam membandingkan antara efisiensi di sektor

usaha (korporasi) dengan efisiensi di organisasi pemerintahan.

Secara teoritis, istilah ”hemat” adalah istilah yang sesuai

dengan pemerintahan. Oleh karena itu adalah kurang sepadan

jika membandingkan istilah ”hemat” pada pemerintahan yang

bertugas memberikan perlindungan, memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan masyarakat, memberi keadilan dan

keamanan, dengan dogma ”efisiensi” di korporasi.

Kerancuan lainnya adalah soal pergeseran negara

kesejahteraan atau welfare state menjadi kesejahteraan

korporasi atau corporate welfare. Bagi para penganut

mekanisme pasar, pergeseran ini tidak dan bukan masalah,

walaupun berujung pada makin kayanya kaum kapitalis. Bagi

penganut ekonomi kelembagaan berbasis negara kesejahteraan,

walau bukan prinsip etatis, pergeseran ini hanya sekadar

membuktikan konsep negara penjaga malam yang akan terus

berulang, yakni negara hanya sekedar menjadi pelindung kaum

kapitalis. Konsep nach-wäctherstaat yang muncul sejak Eropa

bangkit tidak berubah hingga hari ini, karena negara yang diisi

oleh birokrat dan politisi adalah pesuruh bagi pemilik modal

atau pesuruh kaum borjuasi.

Di beberapa negara maju sendiri, pelaksanaan privatisasi

sekarang ini juga sudah banyak mendapat ditentang.

Contohnya adalah privatisasi pembangkit listrik di Inggris yang

mengakibatkan semakin mahalnya harga listrik dan sulitnya

pemerintah mengatur jaminan pasokan listrik. Di AS, hal ini juga

terjadi di 13 negara bagian, sehingga privatisasi pembangkit

listrik di kedua negara ini pun dihentikan. Pada awal abad 21

yang lalu, Kongres AS juga menolak penjualan Unocal kepada

CNOOC dan akses pelabuhan kepada Port Dubai.

Di Jepang, privatisasi perusahaan pos mengalami perdebatan

panjang dan membuat PM Koizumi tidak populer. Akhirnya di

bawah Shinzo Abe, privatisasi pos dilakukan dengan menjual

saham perusahaan pos kepada masyarakat domestik.

Memang ada beberapa pihak yang menuding dan melihat

contoh privatisasi di Korea dan Rusia dan Cina sebagai privatisasi

yang berhasil, sebagai mana yang sering disampaikan oleh

Mohammad Ichsan dan Chatib Basri. Saya bilang, keberhasilan

mereka gampang sekali dijelaskan. Rusia melalui Gazprom

saat ini menguasai 80% pasokan gas ke Uni Eropa. Sementara

Korea, yang terjadi adalah sinergi antara kekuatan dalam negeri

dengan kekuatan Amerika. Contohnya adalah bagaimana

keberhasilan Motorolla telah diambil alih oleh Samsung dan

LG.

Begitu juga ketika kita melihat Cina. Pada kasus Siemens, Cina

membuahkan Hua Wei. Pada kasus Audi, Cina membuahkan

Cherry. Jadi sebenarnya kita salah melihat, karena sebenarnya

Cina tidak pernah memberi peluang kepemilikan pihak asing

lebih dari 50 persen. Dalam kunjungan saya ke beberapa

propinsi industri di Cina, termasuk ke Shanghai yang dibilang

merupakan propinsi paling kapitalis sekalipun, Cina tidak

sembarangan memberikan peluang itu. Jadi menurut saya, cara

yang lain memandang privatisasi di Rusia, Korea dan Cina tidak

menyeluruh. Ada hal yang tidak mereka ungkapkan. Seperti

Korea yang sebenarnya tidak pernah melepas industrinya ke

pihak asing. Bahkan produk steel Korea sempat di banned

oleh Amerika yang sepertinya takut melihat industrialisasi di

Korea Selatan. Jadi kita tidak bisa sembarangan dalam melihat

pergeseran hajat hidup orang banyak ke pihak swasta, baik di

Korea, di Rusia maupun di Cina.

Privatisasi pada sektor-sektor publik pada hakikatnya adalah

aliansi busuk kaum politisi, birokrasi, korporasi dan kalangan

intelektual yang di dalam paradigmanya, pasar adalah hakim

yang bermoral. Motif utamanya adalah harta tahta untuk diri,

keluarga dan kelompok sendiri.

Kita tidak akan bisa membangun suatu industri berbasis

ketahanan dalam negeri jika kita selalu memikirkan privatisasi.

Ini adalah suatu hal yang tidak mungkin. Kemampuan kita

untuk membangun industri ini bergantung kepada komitmen

pemerintah dalam menjalankan konstitusi, dengan membatasi

sektor-sektor atau jenis-jenis usaha yang dapat diprivatisasi.

Selain itu, pemerintah juga harus mencegah privatisasi

sebagai pengambilalihan sumber daya ekonomi dan surplus

perekonomian nasional ke tangan asing, atau mencegah

privatisasi sebagai ”perampokan” harga diri bangsa.***

GJU - Juli 200837

Relokasi Bisnis Singapura

FTZ Batam Bintan Karimun (BBK) yang segera akan

diberlakukan oleh pemerintah hanyalah rencana yang akan

menguntungkan perekonomian Singapura. Hal tersebut

sangat tidak terbantahkan jika melihat latar belakang sejarah

dikembangkannya kawasan ini. Proyek yang dibangun dengan

mengorbankan anggaran rakyat puluhan triliun oleh Orde Baru

ini, tidak lain adalah relokasi dari pabrik-pabrik bernilai tambah

rendah dari Singapura.

Dari awal dekade 1980-an, ketika industri Singapura

tumbuh dengan pesat diawal dekade 1980-an, Singapura

membutuhkan tempat untuk merelokasi bagi kegiatan

perakitan produk-produk yang bernilai rendah. Untuk

mengatasi permasalahan ini di tahun 1988, Singapura

kemudian meluncurkan program restrukturisasi ekonominya,

dengan konsep mengalihkan Singapura dari industri yang

memperkerjakan banyak orang ke industri yang benilai lebih

tinggi sekaligus menjadikannya sebagai pemain utama dalam

investasi global. Total investasi langsung Singapura ke luar

Publik

Dalam pidato kenegaraan tanggal 15 Agustus 2008, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyampaikan bahwa

salah satu prioritas pemerintah di bidang kepabeanan dan cukai dalam tahun 2009 adalah akan diberlakukan

secara penuh penerapan kerjasama perdagangan antara Indonesia-Jepang dengan skema penurunan tarif bea

masuk, serta pemberlakuan Free Trade Zone (FTZ) di kawasan pulau Batam, Bintan dan kepulauan Karimun

(BBK)..... Pemberlakuan FTZ adalah kebijakan memberikan fasilitas lebih luas dari kesepakatan Free Trade

Agreement (FTA) dalam rangka memperluas ekspansi Bisnis Singapura di Indonesia.

FTZ BBK Kepentingan Siapa,

Kita atau Singapura ?

GJU - Juli 200838

negeri melonjak dari S$1,5 juta pada tahun 1976, menjadi

S$16,9 milyar pada tahun 1990 dan mencapai S$28,2 milyar

pada tahun 1993.

Batam, dan pulau-pulau lain di provinsi kepulauan Riau

(Kepri) dipilih sebagai tempat relokasi alternatif yang paling

logis. Study yang dilakukan oleh MAS (Monetary Authority

of Singapore) dan EDB (Economic Development Board)

menyimpulkan, suatu kawasan industri di Pulau Batam akan

membantu Singapura sebagai tonggak investasi asing langsung

di kawasan ini.

Sebagai tindak lanjut dari realisasi program itu. Perdana

Menteri (PM) kala itu, Lee Kuan Yew mengusulkan kepada

Presiden Soeharto tentang pentingnya kemungkinan

perusahaan-perusahaan Singapura terutama yang bergerak

dalam industri elektronika memperoleh kemudahan investasi

di pulau Batam. Usulan PM Singapura ini mendapat sambutan

hangat di Jakarta karena inisiatif ini sejalan dengan semangat

deregulasi dan open door policy untuk menarik PMA.

Pemerintah Indonesia, kemudian, mengumumkan perubahan

kebijakan pada bulan Oktober 1989. Perubahan yang perlu

dicatat adalah: diijinkannya kepemilikan asing di Pulau Batam

hingga 100%.

Di-era kepemimpinan BJ Habibie sebagai ketua Badan

Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam (Otorita Batam-

Red), rencana pembangunan industri di Batam semakin benar-

benar mengantungkan diri pada Singapura. Kala itu, Habibie

mengemukakan suatu teori yang dikenal dengan ‘Teori Balon’.

Dalam pandangan BJ Habibie jika balon terus menerus ditiup

maka tekanannya akan semakin besar hingga pada suatu titik

balon tersebut akan meledak karena keterbatasan kapasitas

ruang yang dimiliki. Demikian pula halnya dengan Singapura

yang memiliki keterbatasan wilayah, pada suatu saat akan

mengalami nasib yang sama dengan balon tersebut. Untuk itu

diperlukan adanya balon-balon kecil lain yang dapat menampung

kelebihan kapasitas tersebut. Inilah kiranya salah satu titik tolak

yang mendorong terjadinya akselerasi pertumbuhan Batam

selama tiga dekade terakhir. Seandainya Singapura dianggap

Balon I, maka Balon II adalah Batam, sedangkan Balon III adalah

Pulau Galang dan Rempang, sedangkan Balon IV adalah Bintan.

Balon I diharapkan akan bersinergi positif dengan Balon II-IV,

tanpa harus mengurangi kualitas Balon I.

Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1990, Singapura

mereposisi program restrukrisasi industrinya, yang diwujudkan

melalui program regionalization 2000 (R 2000). Program ini

bertujuan membangun kawasan industri perkotaan dinegara

lain sebagai tempat baru kegiatan produksi dengan fasilitas

sebagaimana persis berada di Singapura. Perusahaan-

perusahaan yang dipindahkan hanya mendirikan pabriknya di

Negara tujuan, tetapi kantor pusat tetap berada di Singapura.

Dengan begitu singapura berperan sebagai basis operasional

usaha mereka.

Dalam perjalanannya, pemerintah Singapura mulus

menegoisasikan kondisi-kondisi dan fasilitas investasi bagi

kawasan industri yang dibanggunnya. Gaya managemen

politik Asia (Indonesia) yang sangat tidak transparan, legalistic

dan proses pengambilan keputusan yang lebih mengacu pada

hubungan personal, jaringan, dan kesepakatan di bawah tangan

Publik

GJU - Juli 200839

Publik

memberi kemudahan bagi Singapura dalam mengajukan

keistimewaan dan proteksi bagi kawasan industri yang

dibangunnya. Negosisasi untuk mendapatkan perlakuaan-

perlakuan khusus itu semakin mulus dengan uang yang

mereka dimiliki.

Guna memuluskan langkah mendapatkan fasilitas

investasi tersebut, pemerintah Singapura biasanya

menugaskan pejabat-pejabat senior Negara itu untuk

mencari bentuk framework kelembagaan untuk proyek

itu (misalnya, Frame work kerjasama Indonesia-Singapura

untuk pembangunan FTZ BBK/ Indonesia - Singapura Joint

Working Group and Joint Steering Commitee Meeting

Framework Agreement in Economic Cooperation in the

Island of Batam, Bintan and Karimun,). Lembaga ini yang

kemudian menyusun kondisi-kondisi investasi unutk

dinegoisasikan ke Negara tempat relokasi industri itu.

Mengukuhkan Dominasi Singapura

Seberapa besar dana yang digunakan Singapura

untuk rencana regionalisasi industri tidak dijelaskan

secara pasti. Tetapi pada tahun 1994, pemerintah

Singapura mengumumkan jika untuk tahap awal sekitar

2-3 persen dana Bank Senteral negeri itu diarahkan untuk

pembangunan proyek-proyek infrastruktur di Asia. Dana

bagi program yang sangat ambisius itu diperkirakan tumbuh

menajdi 30-35 persen dalam 10-15 tahun kemudian.

Batamindo Industrial Park (BIP) dan Bintan Industrial

Estate (BIE) merupakan kawasan industri pertama yang

berhasil di bangun Singapura di Negara lain. BIP dan BIE

juga dibangun dengan komunikasi dan koneksi bisnis

langsung ke Singapura dari pada Indonesia. Koneksi bisnis

tersebut dikendalikan Singapore Economie Development

Board (SEDB). Setiap investasi asing (Foreign Direct

Invesment/FDI) yang masuk ke kawasan BIP dan BIE harus

melalui SEDB, bahkan dalam perkembanganya semua FDI

yang masuk ke Batam dan Bintan juga harus melalui SEDB.

Dengan jaringan yang tersebar luas ke banyak perusahaan

multi nasional (MNC) di seluruh dunia, pada kenyataanya

Batam dan Bintan dikendalikan Singapura dalam menarik

investasi.

Lebih dari 50% perusahaan asing yang beroperasi di

Batam dan Bintan merupakan perusahaan Singapura,

atau perusahaan-perusahaan negara lain yang basis

operasionalnya berada di Singapura. Dilihat dari total

investasi asing yang masuk ke Batam, ada 186 investor

Singapura dengan total nilai sebesar US$ 10.307 juta.

Ketergantungan Batam terhadap Singapura tampak dari

fakta berikut ini: dari sisi impor, 65% barang impor yang masuk

Batam berasal dari Singapura. Dilihat dari sisi ekspor 69%

ekspor Batam menuju negara tetangga yang hanya sekitar

45 menit menggunakan ferry dari Batam. Dilihat dari jumlah

wisman, 70% berasal dari Singapura.

Kenyataan tersebut, menunjukan bahwa sesungguhnya

memang sejak awal pembangunan Batam ditujukan untuk

memenuhi kepentingan Singapura, bukan untuk membangun

kemandirian ekonomi nasional atau juga menjadikan Batam

sebagai lokomatif perekonomi nasional.

Kondisi semakin ini diperparah dengan penanda tanganan

nota kesepahaman bersama antara Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong

paa 25 Juni 2006 lalu tentang pembentukan ekonomi khusus

(Special Economic Zone—ZES). Menindak lanjuti hasil MoU

tersebut, pemerintah selanjutnya mengeluarkan peraturan

pemerintah pengganti undang-undang (perpu) No.1 Tahun

2007 yang diubah kembali menjadi Undang-undang nomor

44 tahun 2007 tentang kawasan perdagangan bebas. pada

perkembangan selanjutnya juga pemerintah mengeluarkan 3

Pepaturan Pemerintah (PP), masing-masing; PP No. 46, 47 dan

48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan

Bebas Batam, Bintan dan Karimun.

Pembentukan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas

Batam, Bintan dan Karimun (BBK) itu, praktis mengukuhkan

dominasi Singapura di kawasan ini, dan menjadikan BBK

sebagai subordinat dari Singapura, dan mengeksploitasi potensi

Indonesia yang bisa melengkapi kebutuhan negara tersebut.

Bukan sebagai pesaing sebagaimana cita-cita besar Ibu Sutowo

(manta dirut pertamina) ketika membuka pulau ini pertama

kali.

Disisi lain penetapan kawasan FTZ tidak memberikan

jaminan bahwa kinerja kawasan ini akan lebih baik dari

sebelumnya. Lihatlah laporan kinerja Batam; berdasarkan

data statistik, kinerja Batam dalam menarik modal asing tidak

menunjukkan prestasi yang tidak mengembirakan. Pada tahun

2006 perbandingan investasi swasta lokal dan asing adalah 57%

berbanding 43%. Pada bagian lain meski investasi swasta (asing

dan domestik) menunjukan trend kenaikan, namun rendah

dalam penyerapan tenaga kerja. Tahun 1998 total investasi

swasta mencapai 5,166 Millon US $, naik menjadi 5,351 million

US$ tahun 1999, dan pada tahun 2002 meningkati menjadi

6,113 million US$, namun trend kenaikan tersebut tidak diikut

kemampuan dalam menyerap tenaga kerja. Pada tahun 1998

penerimaan angkatan kerja mencapai 53,02 persen, kemudian

GJU - Juli 200840

Publik

turun menjadi 41,76 persen tahun 1999, dan kembali turun

menjadi 34,01 persen pada tahun 2000.

Belajar Membangun FTZ Dari Cina

Pembelakukan kawasan kawasan FTZ BBK, sangat jauh

berbeda dengan yang belaku di China, misalnya China-

Singapore Suzhou Industrial Park (CS-SIP) atau kawasan industri

Suzhou di China, dan Wuxi-Singapore Industrial Park (WSIP)

atau kawasan industri Wuxi.

Di kedua kawasan tersebut, walaupun diawalnya merupakan

kerjasama dengan Singapura. namun selama perkembangannya

kedua kawasan ini tidak dapat tumbuh dengan pesat. Sampai

akhirnya Singapura melepas kepemilikikan sahamnya kepada

pemerintah lokal setempat. Dan sejak di kelolah oleh pemerintah

setempat justeru perkembang kedua kawasan melesat sangat

tinggi.

Kawasan industri Zunzhou adalah kawasan indsutri yang

resmi dioperasikan 12 Mei 1994 itu, merupakan kawasan

industri perkotaan paling controversial. Proyek ini juga

merupakan proyek joint venture terbesar di China baik dalam

kalkulasi biaya (US$ 20 miliar) dan ukuran lahan (70 km2).

Kawasan industri ini diproyeksikan menampung total populasi

600.000 jiwa. Kawasan industri Sunzhou dioperasikan secara

resmi 12 Mei 1994.

Joint Venture yang terlibat adalah konsorsium investor

Singapura dan China Industrial Park Development Company

(CSSD). Konsorsium China yang terdiri dari 12 organisasi

yang umumnya milik pemerintah China memengang 35

persen saham di CSSD. Konsorsium Singapura yang terdiri

dari 24 organsiasi yang umumnya adalah perusahaan-

perusahaan yang punya link dengan pemerintah dan SEDB

dan JTC International, dan dua organisasi yang terlibat

dalam kawasan industri lain yaitu SembCorp Industries.

CSSD sendiri diawasi oleh badan yang dibentuk pemerintah

tempatan yaitu Sunzou Industrial Park Adminitrative

Committee (SIPAC).

Persaingan langsung secara ketat terjadi dengan

Sunzhou New District yang merupakan proyek yang

berafiliasi dengan pemerintah kota Suzhou yang tujuan

pembangunannya sama yaitu untuk menciptakan kawasan

industri, perdagangan dan perumahan perkotaan modern.

Pembangunan distrik baru itu dimulai beberapa saat setelah

pembangunan CS-SIP dan kawasan ini lebih diminati untuk

pusat perdagangan, dan perumahan, juga oleh investor

asing. Keunggulannya berupah upah buruh yang lebih

rendah, kedekatan dengan bandara, dan juga menerapkan

system one stop service yang diadaptasi dari model yang

dibuat CS-SIP.

Pembangunan Sunzhou New District ini juga berbiaya

tinggi dengan fasilitas setara CS-SIP. Menjelang pertengahan

1998, kawasan yang dibangun senilai US$ 3,4 miliar itu

GJU - Juli 200841

menarik 88 perusahaan manufaktur dengan nilai rata-rata

proyek US$ 30 juta. Sementara pencapaian proyek Suzhou New

District mendekati target yang diproyeksikan, CS-SIP sebaliknya

khususnya untuk kawasan pemukiman dan perdagangan.

Kekecewaan Singapura ditujukan dengan pernyataan terbuka

yang dibuat Menteri Senior Lee Kuan Yew atas komitmen

patner China terhadap proyek tersebut.

Pada Juni 1999, kekecewaan terhadap Pemerintah Kota

Suzhou mencapai klimaks dengan diumumkanya pengurangan

keterlibatan Singapura. Konsorsium Singapura mentransfer 35

persen kepemilikan mayoritas saham dalam proyek di CS-SIP ke

konsorsium China tahun 2001. sebelum pemindahan sejumlah

saham ini, CS-SIP telah menarik 113 proyek. Lebih dari 91

perusahaan asing beroperasi dengan tenaga kerja yang diserap

sebanyak 14.000 orang.

Menariknya, investasi mulai mengalir deras setelah itu

dan kawasan itu mendapat keuntungan untuk yang pertama

kalinya sejak didirikan. Besar keuntungan pada tahun 2001 itu

sebesar US$ 7,5 juta. Menjelang Juni 2001, kawasan industri ini

menampung 193 proyek investasi senilai lebih US$ 5,1 miliar.

Pertumbuhan CS-SIP berlanjut di tahun 2002, dengan investasi

baru yang masuk sekitar US$ 15,4 miliar. Tenant-tenant yang

masuk sebagian besar dari Amerika dan Eropa dengan 73

persen dari investasi itu adalah kelompok elektroni, teknologi

informasi dan segemen teknologi tinggi lainnya. Kawasan

industri intu menjadi pusat investasi 500 perusahaan dan 40

diantaranya dengan investasi di atas US$ 100 juta.

Pengembangan Wuxi-Singapore Industrial Park (WSIP)

dimulai tahun 1994 dan dibuka secara resmi pada tahun 1996.

kawasan industri ini berlokasi di provinsi Jiangsu, 130 km dari

Shanghai dan 80 km dari Suzhou. Populasi Wuxi sebanyak 4,3

juta jiwa dengan perkapita income sekitar US$ 2.000 yang

merupakan salah satu dari yang tertinggi di kota-kota di China.

Karena itu Wuxi masuk dalam zona pengembangan high tech

sehingga dengan begitu elektronik dan kelistrikan, computer

dan computer peripherals, system control dan instrumentasi,

rekayasa presisi, koponen telekomunikasi, produk medis dan

perawatan kesehatan, komponen otomotif dan pesawat udara,

dan industri-industri pendukung.

Kawasan industri ini awalnya 70 persen sahamnya

dimiliki joint venture Singapura dengan 30 persen sisanya

milik pemerintah kota Wuxi. Konsorsium Singapura dipimpin

SembCrorp Industries (SCI), dengan investor utama lainya

adalah Tamsek Holding (perusahaan holding utama pemerintah

Singapura), dan Salim/KMP Group.

Investor kunci di WSIP adalah perusahaan-perusahaan

multinasional yang beroperasi di Singapura seperti Siemens,

Seagate Technology, Sumitomo, dan Matsushita, Asistensi

SEDB dalam membawa tenant pertama ke kawasan industri

itu sangat terasa manfaatnya. Namun begitu, total investasi

yang bisa ditarik masih di bawah CS-SIP. Juga target untuk

mendatangkan industri teknologi tinggi tidak berhasil karena

industri yang masuk relative bernilai rendah yang sebagaian

besar berasal dari Negara-negara Asia. Dari total US$ 450 juta

investasi yang masuk tahun 1996 dengan 6.000 tenaga kerja

yang terserap di akhir tahun itu, minat investor terus menurun.

Akibatnya pertumbuhan investasi lebih banyak dalam bentuk

ekspansi usaha dari para investor yang sudah ada. Pengenaan

pajak yang lebih tinggi dan pengenaan bea masuk barang

modal pada 1996 semakin menurunkan minat investor di

bidang high tech.

Nilai ekspor dari WSIP pada tahun 2001 sebesar US$ 1

miliar dengan jumlah pekerja 16.000 orang. WSIP tahun itu

mengembangkan fase kedua, yang mencakup area seluas

235 hektar. Namun begitu prospek jangka panjang kawasan

itu masih belum jelas. Mulai dari pertama kali beroperasi WSIP

terus mengalami kerugian. Di tahun pertamanya rugi Sin$ 3,8

juta dan masing-masing Sin$ 4,3 juta di tahun 1998 dan 1999.

pada tahun 2000 kawasan itu hanya mampu memangkas

kerugiannya menjadi Sin$ 2,8 juta. Pada pertengahan 2002,

konsorsium yang dipimpin SCI menandatangani perjanjian

untuk mengurangi sahamnya menjadi tinggal 49 persen di

WSIP yang mulai efektif tahun 2003. transfer saham dan

control manajemen ini menurut pihak SCI akan memperbesar

minat investor dan meningkatkan efisiensi operasi kawasan itu.

SCI menanggung kerugian Sin$ 48,3 juta atas langkah yang

diambil itu.

Patner China yang mengambil sebagian saham SCI lantas

membangun fase tiga WSIP yang melipatgandakan ukuran

kawasan itu. Menariknya, sebagaimana CS-SIP, begitu ditangani

China, WSIP menunjukan hasil sebagaimana CS-SIP.

Melihat perkembang terkini dari rencana penerapan FTZ

BBK, maka kita menuntut pemerintah untuk mengkaji ulang

kerjasama pembangunan kawasan perdangan dan pelabuhan

khusus BBK dengan Singapura. FTZ BBK merupakann FTZ versi

Singapura yang sama sekali tidak menguntungkan Indonesia.

Singapura bukan jaminan akan membuat FTZ BBK memenuhi

ekspektasi Indonesia. Kegagalan Singapura di China adalah

sebuah pelajaran yang referensi pemerintah dalam mengambil

kebijakan kerjasama dengan Singapura. ***

* Edy Burmansyah Peneliti Institute for Global Justice - IGJ

Publik

GJU - Juli 200842

Budaya

Kebudayaan adalah sebuah proses dari kerja kolektif masyarakat

manusia dalam upayanya bertahan serta mengembangkan eksistensinya

melalui sebuah proses corak produksi dalam rentang ruang dan waktu

yang berkembang. Memahami kebudayaan akan lebih mudah apabila

kita membaginya ke dalam tiga elemen utama:

1. Nilai-nilai yang dianut

2. Ritual atau kegiatan yang dijalankan

3. Bentuk fisik hasil dari produksi masyarakat itu

Sedangkan ASEAN dapat dipahami sebagai sebuah entitas

regionalisme apabila kita mencoba untuk memahami bahwa dalam

dunia yang semakin sempit ini kita dapat memilah-milahnya dalam

wilayah ekonomi politik, keamanan dan ketahanan serta kebudayaan

mulai dari lingkup lokal, nasional, regional dan internasional. Sehingga,

kesatuan regional merupakan sebuah kesatuan dari masyarakat-

masyarakat yang saat ini hidup dalam kesatuan nasional-nasional

dalam sebuah wilayah yang spesifik. Untuk ASEAN, kita melihat bahwa

keanekaragaman budaya yang ada dalam masyarakat yang hidup

diantara benua Asia dan Australia dan dibatasi oleh laut Pasifik dan

laut Indonesia.

Permasalahan Budaya

Dalam dunia yang semakin tidak memiliki batas, di wilayah regional

Asia Tenggara masih terlihat banyak ketimpangan dan perbedaan

perkembangan kebudayaan dan corak produksi masyarakatnya. Di

banyak negara masih terjadi pelanggaran hak asasi manusia, demokrasi

hanya sebagai simbol negara belaka. Dalam corak produksi, sebagaian

besar masih dalam corak pertanian lebih dominan dari corak industri

tetapi telah muncul satu dua negara yang telah membentuk ekonomi

kapitalisme tahap lanjut meninggalkan saudara-saudara regionalnya

yang lain dibelakang sehingga solidaritas ekonomi sulit dibangun dan

kompetisi ekonomi untuk saling menghisap sedang dan akan semakin

merakus.

Rekomendasi Budaya

Di era neoliberalisme semakin harus dibangun sebuah kesadaran

bertingkat yang menjadi benteng-benteng dalam menentukan nasib

dan tujuan hidup bermasyarakat, termasuk di tingkatan regional.

1. Mengembalikan posisi strategis kebudayaan menjadi salah satu

dasar utama dalam pengambilan keputusan dan perencanaan

REKOMENDASI PEMBENTUKAN BUDAYA ASEANInstitute for Global Justice

kekuatan ekonomi dan poitik sehingga, strategi yang dibangun

akan lebih konprehensif dan menyeluruh meninggikan nilai-nilai

kemanusiaan di atas mekanisme dan birokrasi.

2. Menciptakan ruang gerak kebudayaan yang lebih luas secara

ekspresional lintas negara regional bukannya menyatukan

budaya menjadi sebuah bentuk kebudayaan yang homogen

tetapi lebih mempertukarkannya, menyilangkannya dan

mengkolaborasikannya kebudayaan-kebudayaannya yang ada

diwilayah Asia Tenggara, sehingga dapat memunculkan pelangi

kebudayaan yang memperkaya kebudayaan manusia di bumi.

3. Membangun budaya solidaritas ekonomi politik sehingga menjadi

sebuah tatanan masyarakat yang kokoh dalam menghadapi

ancaman bentuk-bentuk penindasan ekonomi dan politik yang

semakin kompleks dan mendunia.

4. Menolak segala bentuk komodifikasi produk-produk kebudayaan

dan segala upaya untuk mengakui hak cipta sebagai milik pribadi

bagi bentuk-bentuk kebudayaan yang dikembangkan secara

kolektif dan dalam rentang waktu yang panjang.

Jakarta, 8 Agustus 2008

Revitriyoso Husodo

Surat Pembaca

Halo, GJUSetelah saya membaca Global Justice Update edisi kemarin, menurut saya informasi yang ditampilkan sangat bagus. Analisis yang disampaikan sangat komprehensif dan mendalam, cara penyajiannya pun sederhana dan tidak rumit sehingga saya sangat dengan mudah dapat memahaminya. Kebetulan saya salah satu yang memperhatikan posisi Indonesia dalam WTO dan perdagangan bebas.Pada bagian FTA update menurut saya sangat menarik karena menjelaskan bagaiman Jepang menjajah kita tidak dengan kekuatan militer tetapi dengan cara yang sangat merugikan Indonesia dan membuat negara ini menjadi kekuasaannya kembali secara perlahan.Selain itu yang saya suka ada bagian Culture update yang membahas tentang warisan kebudayaan kita. Di edisi kemarin membahas tentang keris sebagai salah satu peninggalan budaya yang harus kita lestarikan terutama dari hal HAKI. Jangan sampai keris kita direbut hak ciptanya oleh negara lain seperti batik yang sudah terebut oleh Malaysia.Saran untuk edisi mendatang kalau bisa Global Justice Update berwarna, biar lebih menarik lagi membacanya. Kemudian jika masih ada ruang, bisa ditambah dengan bagian yang bisa dibaca dengan mudah oleh anak-anak muda yang tidak terlalu suka dengan hal-hal yang berbau WTO agar mereka bisa membaca GJU ini dan dapat memahami kondisi negara ini.Maju terus Global Justice Udate dan buatlah perubahan pada cara pikir bangsa ini agar bisa lepas dari WTO dan perdagangan bebas sehingga dapat mandiri.

Terima kasih

Rio Mahasiswa KPM IPB

GJU - Juli 200843

GJU - Juli 200844