Upload
kiki-fatmawati
View
53
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
padi
Citation preview
BUDIDAYA TANAMAN PANGAN UTAMA
Hama dan Penyakit pada Padi serta Solusinya
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Budidaya Tanaman
Pangan Utama
Disusun oleh :
Kiki Fatmawati (1137060042)
Agroteknologi 5B
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015
HAMA PADA TANAMAN PADI
Beberapa hama yang menyerang padi adalah sebagai berikut:
1. Tikus Sawah (Rattus argentiventer)
Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan hama padi yang
menimbulkan kerusakan dan kerugian besar pada tanaman padi di negara-
negara Asia pada umumnya, termasuk Indonesia. Berdasarkan laporan
Hendarsih et al., (1999), kehilangan hasil padi akibat tikus sawah di 11 negara
Asia (Banglades, Kamboja, Cina, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar,
Philippina, Thailand dan Vietnam) diperkirakan mencapai 5–10%. Apabila
dihitung kerugian sebesar 5% saja, nilainya setara dengan 30 juta ton beras
dan cukup untuk memberi makan 180 juta orang selama 12 bulan. Beberapa
komponen teknologi pengendalian hama tikus sawah yang bisa dilakukan
adalah:
a. Sanitasi Lingkungan dan Manipulasi Habitat
Membersihkan dan memperbaiki lingkungan di sekitar areal
pertanaman padi, seperti: semak belukar, tanggul-tanggul saluran
irigasi dan pematang sawah sehingga tikus merasa tidak nyaman untuk
berlindung dan berkembang biak.
Memperkecil ukuran pematang sawah (tinggi dan lebar sekitar 30 cm)
dapat menghambat perkembangan populasi tikus karena tikus tidak
nyaman untuk membuat sarang.
b. Kultur Teknis
Pengaturan pola tanam. Pada lahan sawah irigasi dilakukan pergiliran
tanaman seperti padi-palawija. Hal ini akan menimbulkan
terganggunya siklus hidup tikus karena persediaan makanan terbatas.
Pengaturan waktu tanam. Penanaman padi sawah secara serentak pada
satu hamparan, dapat meminimalkan kerusakan karena serangannya
tidak terkonsentrasi pada satu lokasi.
Pengaturan jarak tanam. Bertujuan menciptakan lingkungan terbuka
sehingga tikus tidak merasa puas dalam mencari makanan. Penanaman
padi agak jarang atau sistem tanam jajar legowo (bershaf) kurang
disukai oleh tikus sawah (suasana terang) karena takut adanya musuh
alami (predator).
c. Fisik dan Mekanik
Secara fisik dengan mengubah lingkungan fisik seperti: suhu, kelembaban,
cahaya, air, dll sehingga tikus menjadi jera atau mengalami kematian
karena adanya perubahan faktor fisik. Secara mekanis, dengan menangkap
dan membunuh tikus secara langsung atau menggunakan alat seperti
cangkul, kayu pemukul, alat perangkap, penyembur api (solder) dan
emposan atau fumigasi.
d. Biologis
Menggunakan musuh alami tikus sawah seperti burung hantu, atau ular.
Tapi musuh alami ini pada sawah irigasi sudah jarang ditemukan.
e. Kimiawi
Petani sudah banyak mengetahui pengendalian secara kimiawi ini, seperti
rodentisida, fumigasi, dll. Namun cara ini hanya dianjurkan bila populasi
tikus sangat tinggi dan cara lain sudah dilaksanakan.
2. Ganjur (Orseolia Oryzae)
Hama ganjur semula bukan merupakan hama yang penting, tetapi
semenjak tahun 1960 berubah menjadi hama yang serius (Kalshoven, 1981).
Serangga ini menyerang titik tumbuh padi, tunas yang diserang akan terbentuk
puru. Pada serangan berat, tanaman padi yang terserang akan menstimulir
pertumbuhan tunas baru dan tunas yang terserang tidak akan terbentuk malai.
Beberapa pengendalian yang dapat dilakukan adalah:
a. Pengendalian Budidaya
Waktu tanam berpengaruh terhadap serangan ganjur, waktu tanam lambat
(bulan Januari) padi sering mendapatkan serangan tinggi, dan terhindar
dari serangan bila ditanam pada bulan Desember (Hidaka dan Widiarta,
1986). Untuk mengurangi serangan, lahan sekali-kali dikeringkan (Rao et
al., 1971).
b. Pengendalian Biologi
Musuh alami berpotensi mengurangi populasi ganjur. Parasitoid yang
sering ditemui adalah Platygaster oryzae dan Platygaster foesteri bersifat
sebagai pasaritoid gregaris, memarasit hama ganjur. Di pulau Jawa,
parasitoid P. oryzae memarasit ganjur cukup tinggi yaitu 75-95% dan
ditemui hampir disemua pertanaman padi yang disurvey. Selain parasitois,
jenis predator yang menyerang hama ganjur adalah kumbang Carabidae,
Ophionea indica dan Ophionea ishii. Predator ini berukuran panjang tubuh
5 mm dan dapat memangsa larva ganjur sekitar 2,2-12% (Kobayashi et al.,
1990).
c. Pengendalian Kimiawi
Larva ganjur berada didalam tunas padi, maka penggunaan insektisida
sistemik lebih tepat. Untuk mengurangi pengaruh insektisida terhadap
musuh alami, penggunaan insektisida bentuk butiran dengan ditabur perlu
dianjurkan. Aplikasi insektisida dilakukan jika ditemukan puru >10%
dengan parasitasi 50% pada tanaman yang berumur <40 hari setelah tanam
(Ditlin, 2006).
3. Ulat Grayak (Mythimna separata)
Di Indonesia, ulat grayak ditemui hampir diseluruh provinsi pada
pertanaman padi. Serangan dapat terjadi sejak tanaman padi masih muda
sampai padi akan dipanen. Hama ini memakan bagian daun padi. Bila
serangan berat, daun hanya tersisa tulangnya saja. Pada stadia bermalai, ulat
ini dapat memotong malai. Penurunan hasil akibat hama ini mencapai 17%
(Santiago et al., 1997). Beberapa pengendalian yang dapat digunakan adalah:
a. Pengendalian Budidaya
Ulat grayak memiliki banyak tanaman inang, maka pemilihan tempat
persemaian bibit agar dijauhkan dari area rerumputan atau gulma. Pada
saat pengolahan tanah sebelum tanam, gulma dan jerami agar dibersihkan
dulu untuk menghindari migrasi (Pathak dan Khan, 1994). Pada tanaman
padi yang terserang dilakukan penggenangan untuk memusnahkan larva
dan pupa yang bersembunyi pada pangkal tanaman (Kalshoven, 1981).
b. Pengendalian Hayati
Dapat menggunakan musuh alami ulat grayak, salah satunya parasitoid
yang ditemukan pada ulat grayak, yaitu Apanteles (Kartohardjono et al.,
2006). Telur dan larva ulat grayak di parasit oleh Scelionid, Telenomus sp,
dan larva diparasit oleh jenis lalat Tachinid, Palexorista lucagus (Pathak
dan Khan, 1994). Predator ulat grayak yaitu laba-laba Lycosa dan
kumbang Paederus. Selain itu terdapat jenis patogen yang ditemui pada
ulat grayak yaitu jamur Metarrhizium anisopliae dan Beauveria bassiana.
Kedua jamur ini dapat dibiakkan dalam media biak gabah dan dapat
mengakibatkan mortalitas pada larva ulat grayak masing-masing 66% dan
51% (Kartohardjono et al., 2006).
c. Pengendalian Kimiawi
Di Indonesia insektisida fenitrothion efektif terhadap ulat grayak padi.
Penyemprotan insektisida yang efektif dan diijinkan apabila ditemukan
ulat grayak rata-rata >2 ekor/m2 (Ditlin, 2006).
4. Walang Sangit (Leptocorisa Spp.)
Walang sangit adalah golongan serangga pencucuk dan penghisap.
Hama ini menghisap cairan biji padi, stadia yang sangat disukai adalah stadia
biji padi masak susu. Hama ini menyerang mulai tanaman berbunga hingga
stadia masak susu. Serangan pada awal berbunga akan menyebabkan bulir
padi menjadi hampa, sedangkan serangan pada stadia masak susu atau
setelahnya mengakibatkan pengisian bulir padi tidak penuh. Kerugian hasil
yang disebabkan hama ini mencapai 40% (CAB Internasional, 2004).
Pengendalian yang dapat dilakukan adalah:
a. Pengendalian Kultur Teknis
Menanam padi lebih awal varietas genjah dan tanam serempak dengan
perbedaan waktu tanam kurang dari 15 hari dalam satu hamparan dapat
menghindari serangan walang sangit. Tanam serempak dalam satu
hamparan sangat dianjurkan untuk mengendalikan hama ini sehingga
populasi imigran dari semak-semak disekitar pertanaman padi tersebar
pada satu hamparan luas. Sanitasi lapangan dengan membersihkan gulma
dan pepohonan yang ada disekitar pertanaman padi dapat mencegah
perkembangbiakan walang sangit (Jahn et al., 2003).
b. Pengendalian Hayati
Walang sangit memiliki musuh alami berupa parasitoid, predator dan
patogen. Secara alami, telur walang sangit diserang oleh dua jenis
parasitoid yaitu Gryon nixoni dan Oencyrtus malayensisi. Namun
parasitasi kedua musuh alami ini dilapang dibawah 5% (Kalshoven, 1981).
Nimfa dan imago walang sangit sering ditemukan serangan oleh jamur
Beauveria bassiana. Predator utama berupa laba-laba juga merupakan
musuh alami walang sangit (CAB Internasional, 2004).
c. Pengendalian Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi dilakukan berdasarkan tingkat populasi
walang sangit pada pertanaman padi. Apabila dari 20 rumpun contoh
ditemukan 6 sampai 10 ekor walang sangit per m2 perlu diaplikasi
insektisida. Aplikasi insektisida pada wilayah endemik dan populasi mulai
terlihat dari saat padi mulai berbunga sampai stadia masak susu dilakukan
serempak dalam satu hamparan.
5. Hama Putih Palsu Pelipat Daun (Cnaphalocrosis medinalis)
Hama ini menyerang padi saat persemaian hingga panen. Bagian padi
yang diserang adalah daun, menyebabkan daun berwarna putih transparan
memanjang sejajar tulang daun karena zat hijau daun dimakan dan hanya
disisakan kulit epidermis bagian atas. Serangan hama ini menjadi berarti jika
kerusakan daun pada fase anakan maksimum dan fase pematangan mencapai
>50%. Matteson (2000) mengemukakan bahwa sampai 5 ekor larva per
rumpun akan merusak daun sekitar 50%. Pengendalian yang dapat dilakukan
adalah:
a. Pengendalian Kultur Teknik
Pengendalian dengan tanam serempak, perbedaan waktu tanam tidak lebih
dari satu bulan. Padi yang lebih dulu ditanam satu bulan lebih awal sering
terserang hama putih palsu lebih parah (Suharto dan Noch, 1987).
b. Pengendalian Hayati
Secara alami, hama ini mempunyai beberapa musuh alami, berupa
parasitoid, predator, dan patogen. Trichogramma spp. adalah parasitoid
yang menyerang telur hama putih susu. Beberapa predator hama ini terdiri
dari famili Carabidae Coccinellidae, Dermeptera terutama laba-laba sering
terlihat memangsa hama ini. Sedangkan patogen serangga yang dijumpai
pada hama ini adalah Beauveria bassiana (CAB Internasional, 2004).
c. Pengendalian Kimiawi
Aplikasi insektisida dianjurkan diaplikasikan pada saat padi berumur 30-
40 hari setelah tanam. Pengendalian dengan menggunakan insektisida
kurang dianjurkan kecuali jika serangan hama putih palsu mencapai 14%
(Matteson, 2000).
6. Hama Putih (Nymphulla dipunctalis)
Hama putih menyerang tanaman muda dan fase vegetatif, bagian yang
diserang yaitu daun. Stadia serangga yang merusak yaitu stadia larva. Gejala
serangan hampir sama dengan hama putih palsu, bedanya hama putih ini akan
memotong daun sepanjang 2-4 cm kemudian menggulungnya dan larva
sembunyi dalam gulungan tersebut. Pengendalian dilakukan jika serangan
daun rusak mencapai 25% atau 10 daun rusak per rumpun. Pengendalian yang
dapat dilakukan adalah:
a. Pengendalian Budidaya
Pengendalian budidaya dengan pengeringan sawah merupakan satu cara
supaya larva tidak pindah dan tidak dapat berkembang. IRRI (2008)
menyarankan cara pengendalian dengan budidaya meliputi:
Jarak tanam jarang (30 cm x 20 cm) umumnya kurang mendapat
serangan hama ini,
Tanam awal akan terhindar dari periode aktivitas puncak penerbangan
ngengat,
Pengeringan lahan 5-7 hari akan membunuh larva hama putih,
b. Pengendalian Hayati
Musuh alami hama ini masih sedikit diketahui, salah satunya Dacnusa sp
merupakan parasitoid larva. Trichogramma dan Apanteles berperan
sebagai parasitoid telur. Beberapa serangga juga sering terlihat memangsa
ngengat hama putih, diantaranya jenis Argiope sp. (CAB Internasional,
2004).
c. Pengendalian Kimiawi
Menggunakan insektisida karbofuran, MIPC dan BPMC cukup efektif
mengendalikan hama ini.
7. Kepinding Tanah (Scotinophara coarctata)
Hama kepinding tanah merupakan hama potensial pada padi saat ini.
Populasi dan serangannya relatif kecil tapi selalu ada di sepanjang waktu
diberbagai daerah di Indonesia. Pengendalian yang dapat dilakukan adalah:
a. Pengendalian hayati, menggunakan jamur patogen B. bassiana dan M.
anisopliae (Rombach, 1987).
b. Pengendalian kultur teknis, yaitu pengolahan tanah yang baik, pengaturan
pengairan berselang pada tanaman padi, penyiangan atau pengendalian
gulma, dan sanitasi lingkungan.
c. Secara fisik dan mekanis, yaitu menggunakan lampu perangkap dan
pelepasan bebek atau itik disawah.
d. Pengendalian kimiawi, yaitu dengan menggunakan insektisida yang
diarahkan pada pangkal tanaman, insektisida cair lebih efektif daripada
insektisida granul (butiran).
8. Lundi (Phylophaga helleri)
Larva hama ini menyerang padi gogo di lahan kering pada bagian
perakarannya, akibatnya tanaman padi menjadi layu dan dapat rebah serta
mati. Stadia yang paling merusak adalah stadia larva. Larva lundi menyerang
tanaman palawija lain seperti jagung, sorgum, kacang tanah, kacang hijau,
kedelai dan ubi kayu (Kalshoven, 1981). Pengendalian yang dapat dilakukan
adalah:
a. Secara kultur teknis, dengan menggunakan pengaturan pola tanam,
pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang, pengolahan tanah untuk
membunuh larva dan pupa hama didalam tanah, serta pengaturan waktu
tanam yaitu menanam pada awal musim hujan.
b. Secara hayati, dengan cara memanfaatkan musuh alami. Hama ini
mempunyai musuh alami berupa parasit, predator dan patogen serangga.
Jenis semut Oecophylla smaragdina dan kumbang Caraidae sering
menyerang larva. Jamur Beauveria dan Metarrhizium juga menyerang
larva (CAB Internasional, 2004).
c. Secara kimiawi, dengan menggunakan insektisida dengan cara:
Seed treatment, misalnya golongan karbofuran.
Soil treatment, atau perlakuan tanah dengan cara memberikan
insektisida pada tanah sebelum tanah ditanami atau pada saat tanam.
Aplikasi insektisida butiran (granul) misalnya golongan karbofuran.
9. Penggerek Batang (Scirpophaga incertulas)
Penggerek batang merupakan hama utama pada padi di Indonesia.
Penggerek batang menyerang tanaman padi sejak persemaian tanaman
hingga stadia matang. Gejala serangan yang disebabkan pada fase
vegetatif, larva memotong bagian tengah anakan menyebabkan tanaman
layu dan mati. Pada stadia generatif, larve menggerek tanaman yang akan
bermalai, sehingga aliran hasil asimilasi tidak sampai ke dalam butir padi.
Beberapa pengendalian yang dapat digunakan adalah:
a. Pengendalian hayati, yaitu menggunakan musuh alami. Predator
spesifik telur hama penggerek batang adalah belalang Conocephalus
longipennis. Parasitoid telur penggerek batang adalah Trichogramma
japonicum (Soejitno, 1991).
b. Pengendalian kultur teknik, yaitu pengaturan waktu tanam, rotasi
tanaman, pengaturan pengairan tanaman, pemupukan dan penanaman
varietas tahan.
c. Pengendalian kimiawi, yaitu dengan menggunakan insektisida granul
berbahan aktif furudan atau carbosulfan.
PENYAKIT PADA TANAMAN PADI
Beberapa penyakit yang menyerang padi adalah sebagai berikut:
1. Penyakit Blas
Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea. Penyakit
ini merupakan salah satu masalah dalam produksi padi diseluruh dunia dengan
serangan berkisar antara 1-50%. Cendawan ini dapat membentuk bercak pada
daun padi, buku batang, leher malai, cabang malai, bulir padi, dan kolar daun.
Bercak bermula kecil berwarna hijau gelap abu-abu sedikit kebiruan, bercak
ini terus membesar pada varietas yang rentan bila dalam keadaan lembab.
Pada lingkungan yang kondusif, penyakit ini dapat menyebabkan kematian
keseluruhan tanaman varietas rentan yang masih muda sampai stadia anakan
(Scardaci et al., 1997). Beberapa pengendaliannya adalah:
a. Ketahanan varietas, merupakan cara yang paling efektif dan ramah
lingkungan dalam mengendalikan penyakit blas,
b. Diversifikasi varietas padi, dengan cara penanaman varietas yang berbeda
secara berselang-seling, pelepasan galur secara terus menerus, dan
penanaman sejumlah varietas atau galur dalam suatu hamparan.
c. Pendekatan cara bercocok tanam, dengan cara pemakaian jerami sebagai
kompos, penggunaan pupuk nitrogen sesuai anjuran, dan waktu tanam
yang tepat.
d. Pengendalian kimiawi, dengan cara perlakuan pada benih dengan
merendam benih 24 jam dalam larutan fungisida sistemik seperti
pyroquilon (5-10g/kg benih). Efikasi fungisida untuk perlakuan benih
hanya bertahan 6 minggu dan selanjutnya perlu diadakan penyemprotan
tanaman. Aplikasi penyemprotan untuk menekan serangan adalah dua kali,
yaitu pada saat anakan maksimum dan awal berbunga.
2. Penyakit Hawar Daun Bakteri
Bakteri Xanthomonas oryzae penyebab penyakit hawar daun bakteri
dapat menginfeksi tanaman padi dari mulai pembibitan sampai panen. Gejala
penyakit pada tanaman di persemaian biasanya dicirikan oleh warna
menguning pada tepi daun yang tidak mudah diamati. Gejala yang ditemukan
pada fase pertumbuhan anakan sampai fase pemasakan adalah gejala hawar
(water soaked) sampai berupa garis kekuningan pada daun bendera (IRRI,
2008). Pengendalian yang dapat dilakukan adalah:
a. Penggunaan varietas tahan. Akhir-akhir ini, IRRI telah mengembangkan
galur-galur elit padi tahan HDB. Di Negara-negara lain seperti China,
Vietnam, Thailand, program pemuliaan serupa juga telah dilaksanakan dan
hasilnya diperoleh varietas tahan HDB.
b. Benih sehat, yaitu perawatan benih yang dapat dilakukan secara fisik
maupun kimiawi. Beberapa cara perlakuan yang dapat dilakukan menurut
Ou (1985) adalah:
Perendaman benih dalam air panas 570 C selama10 menit.
Perendaman benih dengan campuran 0,05% ethyl-HgCl ditambah
0,02% agrimycin 10-12 jam diikuti dengan perendaman benih dalam
air panas 52-540 C 30 menit.
Penjemuran benih selama 5 hari diikuti perlakuan air panas 520 C 10
menit.
c. Pengendalian kimia, yaitu penyemprotan tanaman dengan bakterisida
seperti Kasugamycin, Phenazin dan Streptomycin dapat menekan
intensitas HDB dilapangan. Kendala penggunaan herbisida tersebut
dikalangan petani adalah harganya yang mahal dan hasilnya tidak dapat
dirasakan secara langsung (Ou, 1985).
3. Penyakit Tungro
Penyakit tungro dapat menyebabkan jumlah anakan dan gabah bernas
berkurang, sehingga tanaman tidak dapat mencapai potensi produksi. Makin
muda tanaman terinfeksi, makin besar presentase kehilangan yang
ditimbulkan. Gejala penyakit tungro yang berat disebabkan oleh kompleks dua
jenis virus berbentuk batang (rice tungro baciliiform virus :RTBV) dan bulat
(rice tungro spherical virus: RTSV), kedua jenis virus ini umumnya terdapat
dalam jaringan floem. Virus penyebab tungro ditularkan oleh wereng,
terutama wereng hijau secara semipersisten, dan spesies N.virescens adalah
vector yang paling efisien menularkan penyakit tungro (Ou, 1985).
Aktivitas pencemaran wereng hijau dapat ditekan dengan
memodifikasi sebaran tanaman dengan tanam jajar legowo, mengatur kondisi
perairan yaitu tidak mengeringkan sawah yang terkena tungro, serta
menggunakan jamur entomopatogen seperti Beauveria bassiana dan
Metharizium anisopliae. Pada saat pratanam, dapat dipertimbangkan
penggunaan varietas tahan wereng hijau sesuai dengan tingkat adaptasi
wereng hijau terutama N. virescens atau varietas tahan virus sesuai dengan
variasi virulensi virus. Penyebaran benih di persemaian dilakukan setelah
lahan bersih dari gulma teki dan eceng atau dapat pula dilakukan cara tanam
dengan sistem tabela. Pada stadia vegetatif, penanaman dengan cara legowo
dua baris atau empat baris dapat menekan pemencaran wereng hijau
(Hanafiah, 1989)).
4. Penyakit Daun Bergores (X. campestris pv. Oryzicola)
Penyakit ini biasanya hanya terjadi pada helaian daun. Gejala berupa
bercak sempit berwarna hijau gelap yang lama-kelamaan membesar berwarna
kuning dan tembus cahaya diantara pembuluh daun. Penyakit umumnya
terjadi pada fase anakan sampai stadia pematangan. Dalam keadaan parah,
kehilangan hasil mencapai 30%. Penyakit tersebut dapat dikendalikan dengan
cara:
a. Buang atau hancurkan tunggul-tunggul atau jerami yang terinfeksi dan
pastikan jerami sudah terdekomposisi sebelum tanam pindah.
b. Gunakan benih atau bibit yang bebas penyakit.
c. Gunakan pupuk nitrogen secara anjuran.
d. Jarak tanam tidak terlalu rapat.
5. Penyakit Bercak Daun Coklat (Brown leaf spot)
Penyebab penyakit adalah cendawan Helminthosprlium oryzae. Gejala
penyakit pada umumnya tampak pada daun dan kulit gabah (glumae) tapi
dapat juga ditemukan pada koleoptil, pelepah daun dan cabang malai. Pada
daun gejala berbentuk oval, dan merata penyebarannya dipermukaan daun.
Bercak yang sudah berlanjut berwarna coklat dengan titik tengan kuning
pucat. Cara pengendaliannya secara umum dapat menggunakan varietas tahan
dan benih sehat, pergiliran tanaman dengan tanaman bukan padi, perbaikan
cara bercocok tanam dengan pengolahan dan penyiangan yang baik,
pengaturan pengairan sehingga aerasi terjamin, pemakaian pupuk berimbang,
sanitasi pertanaman pada sisa tanaman sakit dan menggunakan fungisida
anjuran pada saat anakan maksimum, fase bunting dan awal berbunga.
Disamping itu, perlakuan awal benih padi dengan merendam dalam air panas
bersuhu 420 C selama 30 menit dapat menurunkan intensitas penyakit
(Hanafiah, 1989).
Daftar Pustaka
CAB Internasioanal. 2004. Crop protection compendium. Wallingford UK: CAB
(Commonwealth Agricultural Bureaux) Internasional.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan (Ditilin). 2006. (http://
www.ditilin.deptan.go.id).
Hanafiah, A. M. 1989. Uji ketahanan beberapa varietas padi unggul dan lokal
pada penyakit bercak cokelat di daerah pasang surut Kalimantan. Denpasar
November 1989: 79-83.
Hendarsih, S., N. Usyati, dan D. Kertoseputro. 1999. Perkembangan hama padi
pada tiga pola tanam. Dalam Darajat, dkk. (penyunting). Prosiding Hasil
Penelitian Teknologi Tepat Guna Menunjang Gema Palagung. Balitpa
Sukamandi; 133-144 hlm.
Hidaka, T dan N. Widiarta. 1986. Strategy of rice gall midge control. 20 (1): 20-
24.
IRRI (Internasional Rice Research Institute). 2008. Culture control of rice insect
pest.
John, G. et al. 2003. Rice bug IPM. IRRI. (http://knowledgebank.irri.org/troprice).
Kalshoven, L. G. E. 1981. Pests of crops in Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve. 791p.
Kartohardjono, A. et al. 2006. Beberapa cara penendalian ulat grayak, Mythimna
separata pada tanaman padi sawah. Prosiding Seminar Nasional PEI. Bogor. 5
oktober 2004. p 585-598.
Kobayashi, M. et al. 1990. Natural enemies of the rice gall midge Orseolia oryzae
Wood-Mason observed in Yala Seasion in Srilangka. 23 (4): 323-328.
Matteson, P. C. 2000. Insect pests management in tropical Asian irrigated rice.
Annu Rev Entomol, 45: 549-574.
Ou, S. H. 1985. Rice disease. Commonwealth Mycological Institute Kew, Surrey.
England 380p.
Pathak, M. D. dan Z. R. Khan. 1994. Insect pests of rice. The IRRI-ICIPE Los
Banod Philippines. P 65-70.
Rao, P. S. P. et al. 1971. Factors favouring incidence of rice pests and methods of
forecasting outbreaks: Gall Midge and Stem Borers. Oryza 8 (2): 337-344.
Rombach, M. C. 1987. Insect fungi for the control of brown planthopper
Nilavarpata lugens and Malayan rice bug, Scotinophara coarctata.
Wageningen Dissertation Abstract.
Santiago, G. C. et al.1997. Effect of rice armyworm, Mythimna separata (Walker)
on grain yield of rice. IRRN. 22(2): 43.
Scardaci, S. C. et al. 1997. Rice blast: a new disease in California. Agronomy Fact
Sheet Series 1997-2. Davis: Departement of Agronomy and Range Science.
University of California. 3 p.
Suharto, H. dan I. P. Noch. 1987. Effect of transplanting date on leaffolder (LF)
Cnaphalocrosis medinalis and Rice Bug (RB) Leptocorisa oratorius
investation at Kuningan West Java. IRRN. 12(5): 27.
Soejitno, J. 1991. Bionomi dan pengendalian hama penggerek batang padi. Dalam
Soenarjo, E. dkk (Ed.) Padi Buku 3 Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. p. 713-735.