Upload
franky
View
211
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
higien pangan HACCP
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah terjaminnya pangan
yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi
kesehatan.
Hal ini secara jelas menunjukkan upaya untuk melindungi masyarakat dari pangan
yang tidak memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Sasaran program keamanan
pangan adalah: (1) Menghindarkan masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi
kesehatan, yang tercermin dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran produsen
terhadap mutu dan keamanan pangan; (2) Memantapkan kelembagaan pangan, yang antara
lain dicerminkan oleh adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur keamanan
pangan; dan (3) Meningkatkan jumlah industri pangan yang memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dengan diberlakukannya UU No. 7 tentang Pangan tahun 1996 sebuah langkah
maju telah dicapai pemerintah untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan
produsen akan pangan yang sehat, aman dan halal. Dalam upaya penjabaran UU tersebut,
telah disusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang keamanan pangan serta label dan iklan
pangan. Demikian juga PP tentang mutu dan gizi pangan serta ketahanan pangan.
Gambaran keadaan keamanan pangan selama tiga tahun terakhir secara umum
adalah: (1) Masih dtiemukan beredarnya produk pangan yang tidak memenuhi
persyaratan; (2) Masih banyak dijumpai kasus keracunan makanan; (3) Masih rendahnya
tanggung jawab dan kesadaran produsen serta distributor tentang keamanan pangan yang
diproduksi/diperdagangkannya; dan (4) Masih kurangnya kepedulian dan pengetahuan
konsumen terhadap keamanan pangan.
Ada empat masalah utama mutu dan keamanan pangan nasional yang berpengaruh
terhadap perdagangan pangan baik domestik maupun global (Fardiaz, 1996), yaitu:
Pertama, produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu keamanan
pangan, yaitu: (1) Penggunaan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas
1
dalam produk pangan; (2) Ditemukan cemaran kimia berbahaya (pestisida, logam berat,
obat-obat pertanian) pada berbagai produk pangan; (3) Cemaran mikroba yang tinggi dan
cemaran microba patogen pada berbagai produk pangan; (4) Pelabelan dan periklanan
produk pangan yang tidak memenuhi syarat; (5) Masih beredarnya produk pangan
kadaluwarsa, termasuk produk impor; (6) Pemalsuan produk pangan; (7) Cara peredaran
dan distribusi produk pangan yang tidak memenuhi syarat; dan (8) Mutu dan keamanan
produk pangan belum dapat bersaing di pasar Internasional.
Kedua, masih banyak terjadi kasus kercunan makanan yang sebagian besar belum
dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya. Ketiga, masih rendahnya pengetahuan,
keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan (produsen bahan baku, pengolah dan
distributor) tentang mutu dan keamanan pangan, yang ditandai dengan ditemukannya
sarana produk dan distribusi pangan yang tidak memenuhi persyaratan (GAP, GHP, GMP,
GDP, dan GRP), terutama pada industri kecil/rumah tangga. Dan keempat, rendahnya
kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan pengetahuan
yang terbatas dan kemampuan daya beli yang rendah, sehingga mereka masih membeli
produk pangan dengan tingkat mutu dan keamanan yang rendah.
keamanan pakan (feed safety) bukan satu-satunya elemen dalam
menentukan keamanan pangan produk yg berasal dari ternak, tetapi juga termasuk obat-
obatan dan hormon pemacu tumbuh yg digunakan dalam bisnis peternakan. Sejauh ini,
meskipun nutritional quality & emotional quality merupakan hal penting dalam kebijakan
umum industri, namun yang telah menjadi concern utama industri pakan global adalah
feed safety sebagai bagian dari food safety.
Ada 3 buah metode sistem keamanan pangan yang digunakan di Indonesia,
diantaranya adalah HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), ISO 22.000
sertifikasi ISO yang berintegrasi dengan HACCP yang diadopsi Codex (CAC), dan
GMP+. Sistem keamanan pangan menggunakan HACCP telah banyak digunakan di
beberapa pabrik pakan untuk memberikan sertifikasi untuk keamanan pangan dan pakan.
Tujuan dari HACCP adalah untuk mengidentifikasi dan menetapkan resiko yang timbul
berkaitan dengan produksi, distribusi dan penggunaan makanan oleh konsumen sehingga
diperoleh produk yang aman untuk pangan maupun pakan, serta bebas dari cemaran yang
sifatnya mikrobiologi, kimia maupun fisika.
2
Dalam bulan Juni 1995, Codex Alimentarius Commision (CAC) telah mengadopsi
dan merekomendasikan penerapan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control
Point) dalam industri pangan. Negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) melalui
EC Directive 91/493/EEC juga merekomendasikan penerapan HACCP sebagai dasar
pengembangan sistem manajemen mutu kepada negara-negara yang akan mengekspor
produk pangan ke negara-negara MEE. HACCP juga direkomendasikan oleh US-FDA
kepada negara-negara yang mengekspor produk makanan ke USA. Konsep HACCP
terutama mengacu pada pengendalian keamanan pangan (food safety), meskipun dapat
pula diterapkan pada komponen mutu lainnya seperti keutuhan yang menyangkut anfaat
dan kesehatan (Wholesomeness), dan pencegahan tindakan-tindakan kecurangan dalam
perekonomian (economic fraund) (Tim Inter Departemen Bappenas, 1996).
1.2 TUJUAN
Tujuan dari makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui sistem mutu dan keamanan pangan nasional.
2. Untuk mengetahui Hazard Analitical Critical Control Point (HACCP).
3. Untuk mengetahui Bentuk Manajemen Sistem Hazard Analysis Critical Control
Point (HACCP).
4. Untuk mengetahui Prosedur Penerapan Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP).
1.3 MANFAAT
Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Kita dapat mengetahui sistem mutu dan keamanan pangan nasional.
2. Kita dapat mengetahui Hazard Analitical Critical Control Point (HACCP).
3. Kita dapat mengetahui Bentuk Manajemen Sistem Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP).
4. Kita dapat mengetahui Prosedur Penerapan Hazard Analysis Critical Control
Point (HACCP).
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Mutu Dan Keamanan Pangan Nasional
Untuk implementasi sistem mutu dan keamanan pangan nasional telah dilakukan
analisis SWOT yang mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang
dihadapi. Dari hasil analisis tersebut ditetapkan kebijakan yang harus ditempuh, serta
disusun strategi, program, dan kegiatan yang perlu dilakukan untuk menjamin
dihasilkannya produk pangan yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan untuk
perdagangan domestik maupun global, yaitu melalui pendekatan HACCP untuk
menghasilkan produk yang aman, serta mengacu pada ISO 9000 (QMS) untuk
menghasilkan produk yang konsisten dan ISO 14000 (EMS) untuk menjamin produk
pangan yang berwawasan lingkungan (Gambar 1). Gambar 2. Menyajikan pengembangan
sistem mutu dan keamanan pangan nasional, yang menekankan pada penerapan sistem
jaminan mutu untuk setiap mata rantai dalam pengolahan pangan yaitu GAP/GFP (Good
Agriculture/Farming Practices), GHP (Good Handling Practices), GMP (Good
Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices), GRP (Good Retailing
Practices) dan GCP (Good Cathering Practices).
Tabel 2. Dampak penyimpangan mutu dan keamanan pangan terhadap pemerintah,
industri dan konsumen.
4
PENYIMPANGAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
PEMERINTAH INDUSTRI KONSUMEN Penyelidikan dan
penyedikan kasus Biaya penyelidikan dan
analisis Kehilangan
Produktivitas Penurunan ekspor Biaya sosial sekuriti Penganguran
Penarikan produk Penutupan pabrik Kerugian Penelusuran penyebab Kehilangan pasar dan
pelanggan Kehilangan kepercayaan
konsumen (domestik dan internasional)
Administrasi asuransi Biaya legalitas Biaya dan waktu
rehabilitasi (pengambilan kepercayaan konsumen)
Penuntutan konsumen
Biaya pengobatan dan rehabilitasi
Kehilangan pendapatan dan produktivitas
Sakit, penderitaan dan mungkin kematian
Kehilangan waktu Biaya penuntutan/pelaporan
Konsep Implementasi Quality System dan Safety
Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab
bersama antara pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku, industri pangan
dan distributor, serta konsumen (WHO, 1998). Keterlibatan ketiga sektor tersebut sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan.
Gambar 3 menyajikan keterlibatan dan tanggung jawab bersama antara pemerintah,
industri dan konsumen dalam pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan.
5
IMPLEMENTASI SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
PEMERINTAH
INDUSTRI
(Industri bahan baku, Pengolahan, Distributor,
Pengecer)
KONSUMEN
MASYARAKAT
Penyusunan kebijaksanaan strategi, program dan peraturan
Pelakasanaan program Pemasyarakatan UU
Pangan dan peraturan Pengawasan dan low
enforcement Pengumpulan informasi Pengembangan Iptek dan
penelitian Pengembangan SDM
(pengawas pangan, penyuluh pangan, industri)
Penyuluhan dan penyebaran informasi kepada konsumen
Penyelidikan dan penyedikan kasus penyimpangan mutu dan keamanan pangan
Penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan (GAP/GFP, GHP, GMP, GDP, GR, HACCP, ISO 9000, ISO 14000 dll)
Pengawasan mutu dan keamanan produk
Penerapan teknologi yang tepat (aman, ramah lingkungan, dll)
Pengembangan SDM (manager, supervisor, pekerja pengolah pangan)
Pengembangan SDM (pelatihan, penyuluhan dan penyebaran informasi kepada konsumen) tentang keamanan pangan
Praktek penanganan dan pengolahan pangan yang baik (GCP)
Partisipasi dan kepedulian masyarakat tentang mutu dan keamanan pangan
TANGGUNG JAWAB BERSAMA
Gambar 3. Hubungan antara tanggung jawab pemerintah, industri dan konsumen dalam implementasi sistem dan keamanan pangan
6
JAMINAN MUTU DANKEAMANAN PANGAN
2.2 Hazard Analitical Critical Control Point (HACCP)
a. Hazard Analitical Critical Control Point (HACCP)
Sistem Hazard Analitical Critical Control Point (HACCP) didasarkan pada
ilmu pengetahuan dan sistematika, mengidentifikasi bahaya dan tindakan
pengendaliannya bahaya untuk menjamin keamanan pangan. HACCP adalah suatu
piranti untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang
memfokuskan pada pencegahan daripada mengandalkan sebagian besar pada
pengujian produk akhir (SNI, 1998). Jaminan keamanan pangan dikaji dalam kajian awal
penerapan HACCP. Sistem HACCP telah diakui oleh dunia international sebagai
salah satu tindakan sistematis yang mampu memastikan keamanan produk pangan
yang dihasilkan oleh industri pangan secara global. Seluruh kegiatan HACCP dilakukan
untuk mencegah dan mengurangi bahaya yang timbul berdasarkan kesadaran bahwa
bahaya dapat timbul pada setiap titik atau tahapan produksi.
Winarno dan Surono (2002) menyatakan, agar sistem HACCP dapat
berfungsi dengan baik dan efektif, perlu diawali dengan program pre-requisite, yang
berfungsi melandasi kondisi lingkungan dan pelaksanaan tugas dan kegiatan lain
dalam suatu pabrik atau industri. Sistem Hazard Analitical Critical Control Point
(HACCP) didasarkan pada ilmu pengetahuan dan sistematika, mengidentifikasi
bahaya dan tindakan pengendaliannya bahaya untuk menjamin keamanan pangan.
HACCP adalah suatu piranti untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem
pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan daripada mengandalkan sebagian
besar pada pengujian produk akhir (SNI, 1998). Jaminan keamanan pangan dikaji dalam
kajian awal penerapan HACCP. Sistem HACCP telah diakui oleh dunia
international sebagai salah satu tindakan sistematis yang mampu memastikan
keamanan produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan secara global. Seluruh
kegiatan HACCP dilakukan untuk mencegah dan mengurangi bahaya yang timbul
berdasarkan kesadaran bahwa bahaya dapat timbul pada setiap titik atau tahapan
produksi.
Winarno dan Surono (2002) menyatakan, agar sistem HACCP dapat
berfungsi dengan baik dan efektif, perlu diawali dengan program pre-requisite, yang
7
berfungsi melandasi kondisi lingkungan dan pelaksanaan tugas dan kegiatan lain
dalam suatu pabrik atau industri.
Sistem HACCP harus dibangun atas landasan yang kokoh untuk
melaksanakan dan tertibnya Good Manufacturing Practices (GMP) dan penerapan
Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP). GMP dan SSOP merupakan pre-
requisite program dalam sistem keamanan pangan berdasarkan HACCP.
Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan pangan yang zero-
risk atau tanpa resiko, tetapi dirancang untuk meminimumkan resiko bahaya keamanan
pangan. HACCP dapat diterapkan dalam rantai produksi pangan mulai dari produsen
utama bahan baku pangan (pertanian), penanganan, pengolahan, distribusi, pemasaran
hingga sampai kepada pengguna akhir. Karena HACCP dikenal sebagai sistem keamanan
pangan yang efektif, maka dengan menerapkan HACCP secara konsekuen maka
perusahaan jaminan pangan akan dapat memberikan kepercayaan pada pelanggan
terhadap jaminan keamanan yang telah dilakukan, dan akan memberikan kesan yang baik
bahwa industri pangan yang bersangkutan memenuhi komitmen yang kuat dan profesional
dalam menjamin keamanan pangan. Bahkan suatu industri pangan penerap HACCP
dapat mendemonstrasikan bahwa sistem keamanan pangannya telah memenuhi
persyaratan regulasi pemerintah dalam menjamin masyarakat terhadap kemungkinan
timbulnya bahaya keamanan pangan.
Tren implementasi sistem keamanan pangan pada industri pakan ternak, sudah
merupakan aturan yang wajib diterapkan di berbagai negara maju seperti Eropa, Australia,
Jepang dan Amerika Serikat. Konsekuensinya, produk pakan ataupun bahan pakan yang
digunakan dinegara-negara tersebut secara legal harus diproduksi melalui pendekatan
“food safety”. Di Amerika Serikat, sejak 2003 FDA telah menerapkan Animal Feed Safety
System, di Eropa diterapkan GMP Certification Scheme Animal Feed Sector, dan di
Australia, untuk setiap bahan pakan yang berasal dari tanaman diwajibkan menerapkan
HACCP System dan dilakukan Plantbased Stockfeed Audit oleh Auditor AQIS di lokasi
produsen.
b. Prinsip Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
8
Prinsip Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang merupakan hasil
adopsi dari SNI 01-4852-1998 dan telah disesuaikan dengan Codex terdiri atas tujuh
tahapan:
1. analisis bahaya dan penetapan kategori bahaya; Kegiatan yang dilakukan yaitu mendata
semua bahaya potensial yang terkait dengan setiap tahap, mulai dari penerimaan
bahan baku, selama proses, hingga didistribusi ke tangan konsumen. Menganalisis
bahaya untuk mengidentifikasikan jenis bahaya yang memerlukan penghilangan atau
pengurangan, setelah itu tim menetapkan jenis tindakan untuk menghilangkan atau
mengurangi bahaya.
2. penetapan titik kendali kritis (CCP); Pada proses pengolahan suatu produk pangan,
produk tersebut mengalami banyak perlakuan hingga terkirim ke konsumen. Pada
beberapa perlakuan tersebut terdapat titik-titik yang sering disebut sebagai Critical Control
Point (Titik Kendali Kritis). Penentuan titik kritis tersebut menggunakan pohon
pengambilan keputusan (decision tree) yang menyatakan pendekatan dan pemikiran
yang logis.
3. penetapan batas kritis yang harus dipenuhi bagi setiap CCP yang ditentukan; Batas kritis
merupakan satu atau lebih toleransi menjamin bahwa CCP secara efektif telah
mengendalikan bahaya (kimia, fisik, mikrobiologi).
4. dokumentasi prosedur untuk memantau batas kritis CCP; Kegiatan ini bertujuan untuk
membantu mengendalikan proses, menentukan bila terjadi hilang kendali dan
penyimpangan CCP serta menyediakan dokumentasi tertulis yang dapat digunakan
untuk klarifikasi lima aspek penting dalam menetapkan prosedur pemantauan titik
kendali kritis (CCP).
5. penetapan tindakan koreksi yang harus dilakukan bila terjadi penyimpangan selama
pemantauan CCP. Kegiatan ini dilakukan jika ketika monitoring ditemukan adanya
penyimpangan. Tindakan koreksi didasarkan pada data hasil monitoring, disesuaikan
dengan karakteristik proses yang ada.
6. penetapan prosedur verifikasi untuk membuktikan bahwa sistem HACCP telah
berhasil; dan
7. penetapan dokumentasi mengenai seluruh prosedur catatan yang sesuai dengan prinsip-
prinsip dan penerapannya.
9
2.3 Bentuk Manajemen Sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
A. Good Manufacturing Practices (GMP)
Good Manufacturing Practices (GMP) adalah persyaratan minimum sanitasi dan
pengolahannya yang diperlukan untuk memastikan diproduksinya pangan yang aman
dan sehat. GMP juga menjadi salah satu pre-requisite program atau program
persyaratan dasar dalam penerapan sistem HACCP, yang menjamin praktek
pencegahan terhadap kontaminasi yang menyebabkan produk menjadi tidak aman.
Di Indonesia GMP bukanlah sistem mutu yang baru dikenal, karena Departemen
Kesehatan RI sejak tahun 1978 telah memperkenalkan GMP melalui Surat
Keputusan Menteri RI No. 23/MenKes/SK/1978 tanggal 24 Januari 1978 tentang
Pedoman Cara Produksi yang Baik untuk Makanan.
Pedoman penerapan Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) seperti yang
dikeluarkan badan POM RI pada tahun 1996, yang berisi bahwa industri pangan
harus memperhatikan syarat-syarat berproduksi yang baik seperti dalam hal produksi
primer dan pengadaan bahan baku, desain dan fasilitas pabrik, proses pengolahan,
bahan pengemas, mutu produk akhir, keterangan produk, higien dan kesehatan
karyawan, pemeliharaan dan program sanitasi, penyimpanan, laboratorium dan
pemeriksaan, manajemen dan pengawasan, dokumentasi dan transportasi, penarikan
produk, serta pelatihan dan pembinaan. GMP mencakup seluruh prinsip dasar dan
persyaratan-persyaratan penting yang harus dipenuhi dalam memproduksi suatu
pangan.
Pedoman GMP menurut Peraturan Pemerintah RI No. 23/MEN. Kes/1978
sebagai berikut:
1. Higiene dan Kesehatan Karyawan, Higien dan kesehatan karyawan yang baik dapat
memberikan jaminan bahwa pekerja yang mengalami kontak secara langsung
maupun tidak langsung dengan makanan tidak akan mencemari produk yang
diolah. Karyawan yang bekerja dalam proses produksi harus dalam keadaan sehat
serta diperiksa dan diamati kesehatan secara berkala.
2. Pelatihan dan Pembinaan, Program pelatihan dan pembinaan yang diberikan
meliputi pelatihan dasar tentang higien pribadi dan makanan, prinsip dasar
faktor-faktor penyebab penurunan mutu, pelatihan cara produksi pangan yang
10
baik, teknik penggunaan bahan kimia berbahaya bagi petugas pembersih, serta
prinsip dasar pembersihan dan sanitasi perusahaan dan fasilitas.
3. Lokasi dan Lingkungan Pabrik, Pabrik makanan berada di lokasi yang bebas dari
pencemaran dan jauh dari daerah yang membahayakan kesehatan, memiliki
kemudahan akses jalan dan prasarana jalan yang memadai. Lingkungan pabrik
harus bersih dan tidak menimbulkan cemaran pada makanan yang diproduksi.
4. Bangunan dan Ruangan, Bangunan dan ruangan dibuat berdasarkan perancangan
yang memenuhi persyaratan teknis dan higien sesuai dengan jenis makan yang
diproduksi serta urutan proses produksi pangan sehingga mudah dibersihkan.
Bahan baku berasal dari bahan yang mudah dibersihkan, dipelihara dan
disanitasi serta tidak bersifat toksik.
5. Pemeliharan dan Program Sanitasi, Pabrik, fasilitas dan peralatan selalu dijaga
dalam keadaan terawat dengan baik. Peralatan yang berhubungan langsung dengan
makanan dibersihkan dan dikenakan tindakan sanitasi secara teratur, sedangkan
peralatan yang tidak berhubungan dengan makanan harus selalu dalam keadaan
bersih.
6. Fasilitas dan Kegiatan Sanitasi, Bangunan pabrik dilengkapi dengan fasilitas sanitasi
yang dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higien.
Fasilitas sanitasi yang perlu ada antara lain sarana penyediaan air, sarana pembuangan
air dan limbah, sarana pembersihan dan pencucian, sarana toilet dan sarana
higien karyawan.
7. Peralatan, Peralatan yang digunakan dalam proses produksi harus sesuai dengan
proses produksi, terbuat dari bahan yang tahan lama, tidak beracun, mudah
dipindahkan, permukaan yang kontak dengan makanan halus, tidak berlubang atau
bercelah, tidak mengelupas, tidak menyerap air, dan tidak berkarat, tidak mencemari,
mudah dibersihkan, didesinfeksi, serta dipelihara.
8. Bahan, Bahan baku yang digunakan harus memiliki mutu yang baik untuk menjamin
produk yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan dan
diizinkan oleh perundangan. Penggunaan dari gudang penyimpanan harus mengikuti
sistem First In First Out (FIFO).
9. Proses Pengolahan, Pengawasan proses pengolahan dilakukan dengan cara
menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi perusahaan mengenai bahan yang
digunakan, komposisi, pengolahan, ditribusi penyimpanan, dan penggunaan oleh
11
konsumen. Tiap jenis makan yang diproduksi harus ada petunjuk mengenai jenis
dan jumlah bahan, tahap proses pengolahan yang terperinci, dan faktor yang
penting (suhu, waktu, kelembapan, tekanan dan lain-lain).
10. Bahan Pengemas, Bahan pengemas yang digunakan tidak boleh beracun, serta
tidak menimbulkan reaksi terhadap produk didalamnya. Bahan harus tahan
terhadap perlakuan dan jenis produk, pengangkutan dan peredaran.
11. Mutu Produk Akhir, Produk akhir yang dihasilkan harus memenuhi persyaratan
yang ditetapkan diantaranya mutu mikribiologi, kimia dan fisik, serta tidak
boleh membahayakan konsumen.
12. Keterangan Produk, Keterangan produk dapat berupa label dan lot atau batch
produksi yang mencantumkan informasi mengenai isi produk sehingga konsumen
dapat menangani, menyimpan, mengkonsumsi, atau mengolah produk dengan
cara yang benar.
13. Transportasi, Transportasi produk makanan harus menjaga makanan agar
terhindar dari sumber pencemaran, kerusakan, mencegah pertumbuhan patogen,
perusak dan penghasil racun. Wadah dan alat transportasi didesain agar tidak
mencemari makanan, mudah dibersihkan dan didesinfeksi, melindungi dari
kontaminasi, serta mempertahankan dan mempermudah pengecekan.
14. Dokumentasi dan Pencatatan, Dokumen yang diperlukan mencakup tahapan proses
pengolahan, jumlah dan tanggal produksi, serta distribusi yang meliputi tujuan,
jumlah dan lain-lain.
15. Penarikan Produk, Tindakan yang diperlukan dalam penarikan produk diantaranya
yaitu menyiapkan prosedur penarikan produk, semua produk dengan kondisi sama
harus ditarik dari pasaran, memberikan peringatan pada masyarakat dan
melakukan pengawasan.
16. Laboratorium dan Pemeriksaan, Setiap pemeriksaan harus disediakan pedoman
pemeriksaan, tanggal produksi, jumlah contoh yang diambil, kode produksi, jenis
pemeriksaan yang dilakukan, kesimpulan, nama pemeriksa, dan hal lain yang
dianggap perlu.
17. Manajemen dan Pengawasan, Beberapa persyaratan yang diperlukan yaitu
pimpinan dan pengawas harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang
prinsip dan praktek pengolahan makanan yang higienis. Industri makanan harus
mempunyai catatan atau dokumentasi yang lengkap tentang hal-hal yang
12
berkaitan dengan proses pengolahan termasuk tanggal dan jumlah produksi,
distribusi dan penarikan produk karena sudah kadaluarsa.
B. Sanitation Operationing Procedure (SSOP)Sanitation Operationing Procedure (SSOP), adalah prosedur baku sanitasi
tertulis atau dokumen serupa yang spesifik untuk setiap lokasi tempat makanan
diproduksi sehingga harus dimiliki setiap perusahaan (Lukman, 2002). SSOP atau
SOP sanitasi mengandung uraian prosedur yang akan dilakukan dalam unit
pengolahan berkaitan dengan kegiatan pre-operasi dan operasi sanitasi untuk
mencegah kontaminasi produk secara langsung. SSOP dapat menunjang keberhasilan
dan efektifitas HACCP, menggambarkan prosedur pabrik yang terkait dengan
pengamanan makanan secara saniter dan keberhasilan lingkungan pabrik serta
kegiatan yang dilakukan agar tercapai. SSOP setiap pabrik akan berbeda, dan SSOP
harus disusun secara tertulis dan setidaknya mengandung prosedur untuk
mencegah terjadinya kontaminasi sebelum dan selama proses.
Menurut Winarno dan Surono (2004), berdasarkan asal usul, SSOP dibagi
menjadi dua yaitu (1) berasal dari US FDA dan (2) berasal dari US Departement of
Agriculture Food Safety and Inspection Service (FIS). SSOP yang berasal dari FDA
meliputi beberapa hal berikut:
1. Pemeliharaan umum berupa bangunan atau fasilitas fisik harus dijaga dengan cara-
cara perbaikan, pembersihan dan sanitasi yang memadai;
2. Bahan yang digunakan untuk pembersihan/sanitasi, penyimpanan dan
penyimpanan bahan berbahaya dan toksik secara tertib. Komponen pembersih atau
bahan sanitasi yang digunakan dalam pembersihan dan prosedur sanitasi harus
bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan, harus aman dan cukup
dalam kondisi penyimpanannya;
3. Pest Control (pengendalian hama) merupakan cara pengendalian hama yang
efektif. Penggunaan insektisida dan rodentisida yang diijinkan dilakukan
dengan cara yang sangat hati-hati agar tidak mengkontaminasi makanan,
permukaan yang kontak dan bahan pengemas;
4. Sanitasi permukaan dan peralatan yang berkontak langsung dengan makanan
harus dalam keadaan bersih dan secara regular dibersihkan, disanitasi dan
dikeringkan sesudahnya. Barang-barang untuk sekali pakai (cup atau gelas
13
kertas, tisu toilet) harus disimpan di tempat yang sesuai dan ditangani,
disimpan, digunakan dan dibuang dengan cara yang baik;
5. Bahan sanitasi harus cukup dan aman dibawah kondisi penggunaannya.
Beberapa fasilitas atau prosedur yang cocok untuk pembersihan dan sanitasi
peralatan dan perlengkapan jika sudah ditentukan harus rutin dilakukan untuk
pembersihan; dan
6. Penyimpanan dan penanganan peralatan harus disimpan dalam lokasi dan
bebas dari rekontaminasi ulang atau kontaminasi silang.
Setiap pabrik harus dilengkapi dengan peralatan sanitasi meliputi:
Sumber air, Air merupakan komoditi yang esensial dalam persiapan dan
pengolahan pangan. Air digunakan langsung menjadi bagian produk cair,
maupun yang digunakan untuk membersihkan peralatan, baik sebelum atau
sesudah persiapan dan pengolahan (Winarno dan Surono, 2004). Air
mempunyai sifat pelarut yang baik, umumnya mengandung berbagai unsur
kimia, seperti zat besi, zat kapur, garam mineral, dan kuman. Secara garis
besar untuk menilai air terdapat tiga kriteria utama yang harus diperhatikan.
Ketiga kriteria itu adalah kriteria fisik, kimia dan mikrobiologi. Kriteria fisik
meliputi bau, rasa, warna, adanya endapan, adanya kekeruhan dan lainnya
yang dapat diamati secara organoleptik. Kriteria secara kimia yaitu tingkat
kesadahan air, kandungan zat besi, kandungan zat mangan dan adanya zat
organik, amoniak dan nitrit dalam jumlah yang cukup. Kriteria secara
mikrobilogis yaitu adanya cemaran bakteri yang dapat berbahaya. Bakteri
yang mungkin terdapat dalam air yaitu Pseudomonas, Chromobacterium,
Proteus, Achromobacter, Micrococcus, Bacillus, Seratia, Streptococcus,
Clostridium, Enterobacter dan Eschrichia. Setiap bakteri akan memberikan
efek bagi kesehatan yang berbeda. Secara umum standar air minum terdapat
dalam peraturan No. 1/BIRHUKMAS/1/1975 pada Lampiran 1. Saluran air harus
memiliki ukuran dan desain yang cukup dan terpasang untuk membawa
sejumlah air untuk industri, membawa kotoran dan limbah, menghindari masuknya
sumber pencemar dan menghindari adanya aliran silang atau aliran balik.
Pembuangan sampah harus terbuat dari sistem pembuangan yang cukup untuk
membuang kotoran melalui alat-alat lain yang cukup.
14
Fasilitas toilet dan fasilitas pencuci tangan yang disediakan industri harus
cukup untuk pekerja dengan pemenuhan kebutuhan memelihara fasilitas
saniter dan menyediakan pintu otomatis. Penyediaan bahan pembersih dan
alat sanitasi yang efektif, penyediaan alat pengering, dan memasang tanda
yang dapat dimengerti pekerja.
Tempat pembuangan harus dilakukan secara tertutup agar tidak menghasilkan
bau yang busuk, yang mengkontaminasi udara dan kamar kerja. Sampah dan
kotoran/limbah harus dialirkan, disimpan, dan dibuang untuk mengurangi bau,
potensi menjadi bahan pencemar dan tempat berkembang biaknya hama (FDA,
1995).
C. Verifikasi
Jaminan bahwa sanitasi berjalan efektif memerlukan sistem monitoring
meliputi langkah-langkah termasuk verifikasi dan validasi. Proses verifikasi dan
validasi sanitasi sangat berbeda, dalam verifikasi digunakan penentuan secara
langsung bahwa sanitasi telah efektif pada proses utama. Pada validasi efektifitas
ditentukan pada proses periode tertentu (Cramer, 2006). Tidak ada sistem verifikasi
yang lengkap sehingga harus menyertakan validasi terhadap efektivitas. Verifikasi
dikerjakan dalam beberapa cara, mulai dari cara yang sederhana, relatif mahal hingga yang
lebih kompleks.
Implementasi cara yang mahal dan lebih mudah adalah penilaian atau uji
organoleptik dari post sanitasi dan pre-operasi. Inspeksi pre-operasi organoleptik
membutuhkan bagian SSOP industri. Verifikasi organoleptik dilakukan terhadap
aspek sanitasi seperti sanitasi karyawan, peralatan, pengolahan dan ruang
pengolahan. Pengukuran ATP/biolumenesen sangat efektif, cara yang relatif mahal
pada banyak indutri makanan untuk timbal balik yang cepat dari sanitasi. Prinsip
kerja biolumenesen berdasarkan adanya ATP yang merupakan hasil metabolisme
sel. Uji mikrobiologi telah digunakan oleh banyak perusahaan seperti verifikasi dan
validasi. Uji secara mikrobiologi dilakukan untuk memperoleh nilai sesungguhnya
dari monitoring yang telah dilakukan terhadap kondisi alat dan lingkungan yang telah
bersih (Cramer, 2006).
D. Good Handling Practices (GHP)
15
Menurut Murdhiati, (2006) titik awal rantai penyediaan pangan asal ternak
adalah kandang atau peternakan. Manajemen atau tatalaksana peternakan akan
menentukan kualitas produk ternak yang dihasilkan seperti susu, telur, dan daging.
Lingkungan di sekitar peternakan seperti air, tanah, tanaman serta keberadaan dan
keadaan hewan lain di sekitar peternakan akan mempengaruhi kualitas dan keamanan
produk ternak yang dihasilkan. Tujuan dari penanganan susu adalah memperbaiki
cara penangan dan transpotasi susu dari peternakan dan memastikan kualitas dan
higien dari produk (ASEAN Food Handling Bureau, 1990). Penanganan dilakukan
sebelum pemerahan dan setelah pemerahan secara higienis.
Cemaran bahan kimia atau cemaran biologi dari lingkungan, kelembaban
yang cukup tinggi di Indonesia yang menyebabkan jamur dan kapang dapat tumbuh di
peternakan akan terbawa dalam produk ternak yang dihasilkan. Keamanan pangan asal
ternak juga berkaitan dengan kualitas pakan yang diberikan pada ternak. Residu pestisida,
residu obat hewan terutama antibiotik merupakan masalah dalam keamanan produk
ternak. Selain itu perlu diwaspadai pula penyakit zoonosis yang dapat menular dari
hewan ke manusia melalui pangan asal ternak, baik zoonosis bakteri, virus, parasit
maupun zoonosis (Direktorat Bina Kesehatan Hewan, 2002).
E. Good Transporting Practices (GTP)
Transportasi merupakan salah satu titik penting dalam rantai penyediaan
bahan pangan asal ternak, baik transportasi dari peternakan ke tempat pemotongan,
dari peternakan ke koperasi, dari rumah pemotongan ke distributor dan industri,
maupun dari distributor ke pengecer atau konsumen (Murdhiati, 2006). Menurut
BPOM RI (1996), transportasi produk makanan harus menjaga makanan agar
terhindar dari sumber pencemaran, kerusakan, mencegah pertumbuhan bakteri atau
mikroorganisme patogen, perusak dan penghasil racun. Wadah dan alat transportasi
didesain agar tidak mencemari makanan, mudah dibersihkan dan didesinfeksi,
melindungi dari kontaminasi, serta mempertahankan dan mempermudah pengecekan.
F. Preferensi Konsumen
Preferensi konsumen didefinisikan sebagai pilihan suka atau tidak suka oleh
seseorang terhadap suatu produk barang atau jasa yang dikonsumsi. Preferensi
konsumen menunjukkan kesukaan konsumen dari berbagai pilihan produk yang ada
16
(Kotler, 2000). Ada tiga komponen preferensi yang mempengaruhi konsumen pangan
dimana semua komponen tersebut saling mempengaruhi dan berkaitan satu sama lain
yaitu :
1. Karakteristik individu meliputi : usia, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan
dan pengetahuan gizi.
2. Karakterisktik produk meliputi rasa, warna, aroma, kemasan, tekstur dan
harga.
3. Karakteristik lingkungan meliputi jumlah keluarga, tinggkat sosial, musim dan
mobilitas.
Kotler (2000) menyatakan bahwa preferensi terhadap pangan bersifat
sementara pada orang yang berusia muda dan besifat permanen bagi mereka yang
sudah berumur dan akhirnya dapat menjadi gaya hidup. Pilihan jenis makanan dan
minuman dalam jumlah yang beragam dapat mempengaruhi preferensi setiap
individu. Karakteristik tersebut dapat pula dilihat dari sifat organoleptik makanan
dan minuman serta daya terima dan ketersediaannya. Selain dari jumlah pilihan
preferensi juga dapat ditimbulkan dari kombinasi dan variasi rasa, warna, aroma dan
bentuk makanan yang akan mempengaruhi nafsu makan dan minum seseorang.
2.4 Prosedur Penerapan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
Prosedur pengkajian penerapan HACCP dilakukan dengan berpartisipasi aktif dan
langsung dalam proses produksi, observasi kegiatan lapang, wawancara. Pedoman
tahapan penerapan HACCP (BSN, 1998) yang diamati adalah kajian pelaksanaan
pre-requisites yaitu SSOP dan GMP dengan cara melakukan inspeksi langsung saat
proses produksi berlangsung. Standar yang digunakan untuk GMP adalah FDA (1995)
dan SK MENKES No. 23/MEN KES/I/1978 tentang cara produksi makanan yang baik
(CPMB). Analisis yang dilakukan dengan membandingkan kedua standar tersebut
dengan kondisi di lapangan. Analisis terhadap penerapan GMP antara lain lokasi
dan lingkungan pabrik, bangunan dan ruangan pengolahan, fasilitas sanitasi,
peralatan produksi, produk akhir dan pemeriksaan, kesehatan dan kebersihan
karyawan, wadah kemasan, penyimpanan, dan transportasi. Penilaian kelayakan
terhadap GMP melalui scoring pada setiap aspek. Standar penilaian yang digunakan
adalah: diberikan nilai 3 bila sesuai dengan standar; diberikan nilai 2 bila masih sesuai
17
dengan standar tetapi memerlukan sedikit perbaikan; diberikan nilai 1 bila tidak dilakukan
sesuai standar tetapi dapat langsung diperbaiki; diberikan nilai 0 bila tidak dilakukan
sesuai standard dan harus diperbaiki.
Sanitation Standard Operational Procedures (SSOP) dari FDA (1995)
digunakan untuk membandingkan proses sanitasi yang diterapkan oleh perusahaan
meliputi delapan kunci persyaratan sanitasi yaitu keamanan air; kondisi dan
kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan; pencegahan kontaminasi
silang; menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet; proteksi dari bahan-
bahan kontaminan; pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang
benar; pengawasan kondisi kesehatan personil; menghilangkan pest dari unit
pengolahan. Penilaian kelayakan SSOP juga melalui scoring terhadap semua aspek.
Standar penilaian yang digunakan dibedakan menjadi empat kelompok yaitu :
1) Kelayakan SSOP adalah 0 – 25% berarti sangat buruk;
2) Kelayakan SSOP adalah 25 – 50% berarti cukup baik;
3) Kelayakan SSOP adalah 50 – 75% berarti baik;
4) Kelayakan SSOP adalah 75 – 100% berarti sangat baik.
18
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Keamanan pangan ditujukan agar terjaminnya pangan yang dicirikan oleh
terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan.
2. Ada 3 buah metode sistem keamanan pangan yang digunakan di Indonesia,
diantaranya adalah HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), ISO
22.000 sertifikasi ISO yang berintegrasi dengan HACCP yang diadopsi Codex
(CAC), dan GMP+.
3. Sistem Hazard Analitical Critical Control Point (HACCP) didasarkan pada
ilmu pengetahuan dan sistematika, mengidentifikasi bahaya dan tindakan
pengendaliannya bahaya untuk menjamin keamanan pangan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Fardiaz, S. 1996. Food Control Strategy, WHO National Consultant Report. Directorate General of Drug and Food Control, Ministry of Health. Jakarta, December 1996.
Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1997. Kebijakan Nasional dan Program Pembinaan Mutu Pangan. Jakarta
Tim Inter Departemen Bappenas, 1996. Sistem Pembinaan Mutu Pangan (F.G. Winarno dan Surono, editor). Bappenas, Jakarta
WHO 1998 Food Safety Programmes in The South East Asia Region, Overview and Perspective. WHO Regional Office South East Asia, New Delhi, India.
Budi Cahyono, S.Sos adalah Staf Biro Humas, Persidangan, dan Administrasi Pimpinan, Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS-red.
Johnson, R. dan Parkes, R. Ensuring Feed Safety – A Case Study of the Implementation of HACCP into a Commercial Feed Milling Company.Ridley AgriProducts Pty Ltd., Bald Hill Road, Pakenham, Victoria, Australia.
Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01-4852-1998. Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point-HACCP) serta Pedoman Penerapannya. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1998. Higiene dan Sanitasi Sarana Pengolahan Pangan. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.
Fardiaz, S. 1996. Prinsip HACCP dalam Industri Pangan. PAU Pangan dan Gisi. IPB, Bogor.
Kadarisman, D., dan Tjahja M. 2006. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. IPB Press, Bogor.
Lukman, D.W. 2001. Good Manufacturing Practicess (GMP). Pelatihan untuk Pelatih (Training of Trainers/TQT). Penerapan Hazard Analysis Critical Control Point. Kerjasama Fakultas Kedokteran Hewan IPB dengan Dirjen Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian. Bogor [27-31 Agustus 2001].
Marriot dan G. Norman. 1992. Principles of Food Sanitation. Third Edition. Chapman and Hall, New York.
Thaheer, H. 2005. Sistem Manajemen HACCP. Bumi Aksara, Jakarta.
20