Upload
ngonhan
View
234
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUTANG SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (Analisis Yurisprudensi No: 2429/Pdt.G/2012/di PA TIGARAKSA)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
AZHAR NASUTION
1110044200006
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
(AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
iv
KATA PENGANTAR
بسم هلل الر حمن الر حيم
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang
telah senantiasa memberikan rahmat yang berlimpah kepada penulis, sehingga
penulis diberikan kemampuan, kekuatan serta ketabahan hati dalam
menyelesaikan skripsi ini. Dan shalawat beriring salam tidak lupa penulis
haturkan kepada junjungan besar kita Baginda Rasulullah SAW yang telah
membawa umatnya dari zaman kejahiliyahan ke zaman ketauhidan dan ilmu
pengetahuan seperti sekarang ini.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi prasyarat kurikulum sarjana strata
satu (S-1) program studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
beberapa pihak yang telah ikut membantu dalam penyelesaian skripsi ini, antara
lain : Kepada Yang Terhormat :
1. Dr. H. JM. Muslimin, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH dan Hj. Rosdiana Nasrun, MA, Ketua
dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga.
v
3. Dr. Hj. Mesraini, MA, Pembimbing yang telah banyak membantu
memberikan bimbingan, petunjuk, masukan serta kemudahan kepada
penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Seluruh Dosen dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum.
5. Drs. H. Sanusi Nasution, BA (Papa) dan Hj. Netty Efrida (Mama) atas
segala doa, nasehat, dukungan dan kasih sayang yang tak ada hentinya
dicurahkan kepada penulis.
6. Abang, Kakak dan Adikku : M. Agussalim Nasution, Masrina Nasution,
M. Akhyar Nasution yang selalu memberikan kasih sayang serta motivasi
yang tak henti-hentinya kepada penulis dan Semua pihak yang telah
membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini namun tidak dapat
disebutkan namanya satu-persatu.
Akhirnya penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran, kritik dan koreksi yang
konstruktif untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, Februari 2014
Penulis
Azhar Nasution
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .........................................................................iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Pembatasan Masalah .................................................................. 6
C. Perumusan Masalah ................................................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 7
E. Metodologi Penelitian ................................................................ 8
F. Study Review Terdahulu .......................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 12
BAB II LANDASAN TEORI
A. Perceraian .................................................................................. 14
1. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ................................. 14
2. Macam-Macam Perceraian ....................................................... 17
3. Alasan-Alasan Perceraian ......................................................... 22
4. Proses Penyelesaian Perkara Perceraian di Indonesia .............. 24
B. Hutang ....................................................................................... 29
1. Pengertian dan Dasar Hukum Hutang ...................................... 29
vii
2. Rukun dan Syarat Hutang Piutang ............................................ 32
3. Hikmah dan Manfaat Disyariatkan Hutang .............................. 34
BAB III PUTUSAN PERMOHONAN CERAI
TALAK DI PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA
A. Profil Pengadilan Agama Tigaraksa ......................................... 36
B. Duduk Perkara .......................................................................... 47
C. Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Perkara ................. 51
BAB IV HUTANG SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
A. Hutang Sebagai Alasan Perceraian Menurut Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia ............................................ 53
B. Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim dalam
Mengabulkan Perkara ............................................................... 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 62
B. Saran ......................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 65
viii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Putusan Perkara No: 2429/Pdt. G/2012/di PA TIGARAKSA
2. Surat Permohonan data/wawancara di Pengadilan
3. Keterangan telah melakukan pengambilan data/wawancara di Pengadilan
4. Permohonan Kesedian Menjadi Pembimbing Skripsi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam diyakini sebagai pedoman hidup manusia menuju kebahagiaan hakiki,
baik kebahagiaan duniawi maupun ukhrawi. Islam memberikan berbagai petunjuk
dan aturan-aturan dalam mencapai kebahagiaan hidup. Dalam Al-Qur’an disebutkan
bahwa dalam perkawinan ada kebahagiaan (sakinah). Dari perkawinan itu diharapkan
akan dapat membentuk keluarga yang terdiri dari suami istri dalam rangka
mendapatkan keturunan, ketenteraman dan kedamaian.1
Memperhatikan pentingnya perkawinan menurut Al-Qur’an sebagaimana
dikemukakan di atas, maka sangat wajar jika masyarakat dan juga Pemerintah
menempatkan perkawinan ini sebagai urusan publik yang patut memperoleh perhatian
utama. Hal ini terbukti dari adanya praktik dan hukum yang mengatur perkawinan,
mulai dari hukum adat sampai dengan terbitnya Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia, yakni UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Dalam UU Perkawinan ini
ditegaskan bahwa makna sebuah perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.2
1M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), h.92.
2R. Badri Bc. Hk. Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan K.U.H.P.
(Surabaya: CV. Amin Surabaya, 1985), h. 86.
2
Kebahagiaan merupakan suatu tujuan perkawinan. Namun tidak setiap
manusia yang kawin dapat mewujudkan kebahagiaan. Kebahagiaan ini kadang
menjadi sangat mahal karena mengingat bahwa kebahagiaan dalam perkawinan ini
membutuhkan komitmen, kesadaran, pengertian, kesepadanan (kafa'ah) dan berbagai
kualitas serta faktor-faktor yang sering kali bersifat laten dan sulit diidentifikasi.
Multi faktor yang mempengaruhi kebahagiaan juga menjadi faktor-faktor
yang dapat menyumbang bagi terjadinya disharmoni dalam keluarga. Secara garis
besar, faktor-faktor itu ada yang bersifat objektif dan ada pula yang bersifat subjektif.
Faktor-faktor yang bersifat objektif adalah faktor-faktor di luar kapasitas pribadi,
seperti faktor sosiologis, ekonomi, kultural dan semacamnya. Sedangkan faktor
subjektif mencakup antara lain kondisi biologis, psikologis dan juga keyakinan-
keyakinan primordial. Selain dua kategori faktor di atas, objektif dan subjektif ada
pula faktor hubungan atau faktor yang lebih merupakan persoalan bagaimana aspek-
aspek pribadi merespon aspek-aspek sosial, ekonomi dan kultural.
Sepasang suami istri memasuki bahtera rumah tangga mereka dengan sejuta
harapan. Terutama mewujudkan keutuhan keluarga yang diliputi dengan ketenangan
dan ketentraman. Keluarga yang terbebas dari segala bentuk keresahan, seperti
barangkali, pernah mereka alami sebelumnya. ketidakharmonisan keluarga dapat saja
timbul meskipun kedua belah pihak telah dibekali oleh pengalaman masa kecilnya
yang penuh dengan kesenangan. Namun perlu diingat, bahwa tingkat kematangan
keduanya masih perlu dipertanyakan. Apabila mereka telah mencapai tingkat
kematangan, dan telah merasakan pentingnya seorang pendamping, pastilah mereka
3
tidak akan terjebak ke dalam lembah pertikaian keluarga. Bahkan mereka, terutama
mempelai wanitanya, akan segera merasakan adanya kebebasan, ketenangan, dan
jalinan kasih sayang.3
Kendatipun banyak alasan objektif untuk terjadinya sebuah perceraian, namun
agama tetap saja memandang bahwa keutuhan keluarga, yakni tetap bersatunya
pasangan suami dan istri dalam ikatan perkawinan, lebih utama dan merupakan jalan
keluar yang lebih terhormat. Bahwa Islam memandang lebih baik mempertahankan
perkawinan daripada bercerai.
Melihat status perceraian, seperti di singgung di atas, sebetulnya
kedudukannya lebih pada situasi darurat (emergency). Selebihnya, ia mengandung
pengertian bahwa, perceraian dilakukan jika sudah menghadapi jalan buntu dan sama
sekali tidak ada jalan keluar yang lain.4
Dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak
meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan .
Kemudian dalam pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian
harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri .
Ketentuan ini dipertegas lagi dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) tersebut dan pasal
3 Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili, Perceraian salah siapa?, (Jakarta: PT Lentera
Basri Tama, 2001), hal.88.
4Sarlito Wirawan Sarwono, Apa dan Bagaimana Mengatasi Problema Keluarga, (Jakarta:
Pustaka Antara, 1996), hal. 150.
4
19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang mana disebutkan bahwa alasan
yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian adalah:5
- Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan.
- Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemauannya.
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
- Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116
Kompilasi Hukum Islam dengan penambahan dua ayat yaitu: (a) suami melanggar
taklik talak dan (b) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Jadi, seharusnya faktor “hutang” bukan menjadi suatu alasan perceraian, karena
dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia tidak terdapat alasan perceraian
karena “hutang”.
5 Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan, hal. 261.
5
Dalam kasus cerai talak yang terjadi di Pengadilan Agama Tigaraksa antara
Wahyudi (nama samaran) umur 45 tahun dengan Syahrina (nama samaran) umur 43
tahun, sang suami sebagai pemohon merasa sudah tidak mampu lagi menasihati
istrinya yang kerap kali berhutang kepada orang lain guna memenuhi gaya hidupnya
sehari-hari. Hal ini didasari karena banyaknya orang yang sering datang ke rumah
secara silih berganti guna menagih hutang kepada sang istri dan itu semua pada
awalnya di luar sepengetahuan sang suami yang memang sengaja ditutup-tutupi oleh
sang istri. Namun seiring berjalannya waktu semua itu diketahui oleh sang suami
yang merasa curiga dengan tingkah laku sang istri serta besarnya biaya pengeluaran
rumah tangga yang kerap kali diberikan namun tetap merasa kurang, sehingga pada
akhirnya diketahui bahwa uang yang selalu diberikan ternyata digunakan untuk
menutupi hutang-hutang yang jumlahnya mencapai ratusan juta.
Pemohon yang menikah dengan tergugat pada 17 Oktober 2008 dan
dikaruniai tiga orang anak, selama menikah kehidupan rumah tangga antara pemohon
dan termohon dalam keadaan rukun. Dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi,
diakui suami sebagai pemohon bahwa istrinya terlalu berlebihan dan boros dalam
melakukan pengeluaran biaya hidup, padahal itu semua dilakukan oleh istri guna
mengikuti gaya hidup yang terpengaruh dengan gaya hidup teman-temannya.
Perilaku boros dari pasangan dalam rumah tangga ketika menimbulkan rasa tidak
nyaman dari pasangan lainnya, tentunya dapat mengganggu keharmonisan bahtera
rumah tangga.
6
Dari permasalahan inilah kemudian penulis ingin mengadakan penelitian
tentang“HUTANG SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN” (Analisis Yurisprudensi
No: 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS di Pengadilan Agama Tigaraksa).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Permasalahan yang telah diidentifikasi kadang-kadang sifatnya umum,
belum konkret dan spesifik. Apabila demikian yang terjadi, maka permasalahan
tersebut harus dipersempit agar konkret dan spesifik melalui pemecahan masalah
menjadi sub-sub masalah atau sederet pertanyaan yang relevan dengan
permasalahan pokoknya.6
Pembatasan masalah pada penelitian ini adalah tentang masalah
perceraian. Perceraian ini dibatasi pada perceraian disebabkan karena hutang yang
disidangkan di Pengadilan Agama Tigaraksa. Fokus penelitian ini adalah pada
putusan Perkara No. 2429/Pdt.G/2012/PA.TGRS.
2. Perumusan Masalah
Baik dalam fikih maupun dalam hukum positif tidak disebutkan hutang
sebagai alasan suatu perceraian. Kenyataan di lapangan ada putusan mengenai
perceraian karena hutang.
Penulis merumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut:
a. Mengapa hutang tidak dapat dijadikan sebagai alasan perceraian menurut
perundang-undangan di Indonesia?
6Bambang Sungguno, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), h. 106-107.
7
b. Apa pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkara perceraian dalam
perkara No. 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui mengapa hutang tidak dapat dijadikan sebagai alasan
perceraian menurut perundang-undangan di Indonesia.
b. Untuk mengetahui apa pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkara
perceraian dalam putusan No. 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS.
2. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Skripsi ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran bagi para
hakim di lingkungan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara
perceraian karena hutang sebagai alasan perceraian.
c. Dari sisi ilmiah, skripsi ini diharapkan mampu menambah wawasan bagi
penulis khususnya dan mahasiswa lainnya, serta masyarakat luas pada
umumnya terutama terkait perkara perceraian karena hutang sebagai alasan
perceraian.
8
D. Metodologi Penelitian,
Metodologi Penelitian yang digunakan untuk memperoleh data yang valid
dalam penelitian ini meliputi:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kasus (case approach).
Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah
ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk
sampai kepada putusannya.7 Maka dalam penelitian ini pendekatan kasus
digunakan untuk mengetahui alasan-alasan hukum yang digunakan hakim untuk
memutus perkara khususnya Perkara No. 2429/Pdt.G/2012/PA.TGRS. Jadi, apa
yang terjadi dalam fakta dan kenyataan dalam persidangan bisa diketahui.
2. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenis datanya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
yang bersifat pendekatan analisis yuridis, yaitu data yang diperoleh meliputi
salinan putusan No: 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS, dokumen pribadi dan lain-lain.
Kemudian menganalisa isi (conten analisa) putusan, untuk melihat sejauh mana
proses penyelesaian yang dilakukan oleh hakim dalam menyelesaikan kasus
perceraian akibat hutang.
Ditinjau dari segi tipe penelitian hukum, penelitian ini juga termasuk jenis
penelitian kepustakaan (Library Research), penelitian kepustakaan dilakukan
7Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h.119.
9
dengan menggunakan buku-buku, kitab-kitab fiqih, perundang-undanganan, dan
Yurisprudensi yang berhubungan dengan skripsi ini.
3. Sumber Data8
Dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data pada dua
sumber data, yaitu sumber primer dan sumber sekunder.9 Berikut ini tentang
pemaparan sumber data sebagai berikut:
a. Sumber primer yaitu:
1) Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa No. 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS.
2) Peraturan perundang-undangan tentang perceraian di Indonesia,
diantaranya: UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
b. Sumber sekunder yaitu berasal dari buku-buku, kitab-kitab fikih, artikel serta
sumber lain yang berkaitan dengan judul ini.
c. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data, penulis menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data, yaitu:
1) Studi dokumentasi untuk mengetahui data tentang alasan-alasan
perceraian, duduk perkara dan putusan hakim.
8Idealnya penulis menggunakan metode wawancara. Karena Hakim di Pengadilan Agama
tidak bersedia, jadi penulis tidak memakai metode tersebut.
9Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan kualitatif, Kuantitatif dan R&D
(Bandung: Alfabeta, 2006), cet. ke-2, h. 308-309.
10
2) Studi pustaka (library research),10
untuk mendapatkan data tentang teori-
teori yang mendukung penelitian ini.
4. Teknik Analisa
Teknik analisis data merupakan upaya mencari dan mengumpulkan serta
menata secara sistematis berdasarkan pada konsep teori tentang perceraian karena
hutang dengan data-data yang diperoleh penulis dari studi dokumentasi dan studi
pustaka sebagai upaya meningkatkan pemahaman penulis berkaitan dengan
pembahasan.
Dalam penelitian ini, data-data yang terkumpul selanjutnya diidentifikasi,
diolah dengan menggunakan pola deskriptif analitis.11
Lalu diuraikan secara
sistematis. Kemudian data dielaborasi dengan teori-teori yang berkaitan dengan
perceraian.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan
"Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2012".12
10
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.50-
51.
11
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000),
cet. XII, h. 178.
12
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatang dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 32
11
E. Review Studi Terdahulu
Dari sekian banyak literatur skripsi yang ada di Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah, penulis menemukan data yang berhubungan
dengan pembahasan penelitian ini antara lain:
1. Penulis yang bernama Siska Trihandayani, dengan judul skripsi “Putusnya
Perkawinan Akibat Percobaan Pembunuhan"(Analisa Yurisprudensi Perkara No.
2341/Pdt.G/2009/PA JT di Pengadilan Jakarta Timur).” Tahun 2012. Penulis
skripsi ini mengurai tentang perceraian yang berawal dari percekcokan antara
kedua belah pihak sampai kepada ancaman percobaan pembunuhan. Karena pada
pasal 19 poin d disebutkan bahwa kala seorang istri tidak nyaman atau terancam
maka ia tidak bisa menjadikan keluarga sakinah, mawadah dan warahmah.
Selain pasal 19 poin d bisa juga pasal 116 poin f yaitu tidak akan bisa
menciptakan keluarga yang sakinah kalau perkawinan selalu mengalami
perselisihan dan pertengkaran. Pertimbangannya karena dalam UU perkawinan
yaitu tujuan awalnya untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan
warahmah. Jika dalam perkawinan tidak terbentuk seperti itu maka hal tersebut
tidak di namakan perkawinan. Maka hakim bisa menjadikan hal tersebut sebagai
dasar pertimbangan terjadi perceraian. Perbedaannya dengan skripsi saya adalah
bahwa menurut pasal 39 UU Perkawinan Tahun 1974 jo. Pasal 19 PP No. 9
Tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa hutang
tidak bisa dijadikan sebagai alasan perceraian, akan tetapi melihat akibat dari
12
hutang tersebut, sehingga muncul percekcokan antara kedua belah pihak yang
berujung kepada perceraian.
2. Kemudian Ratih Purnamasari, dengan judul skripsi"Perceraian Karena Korupsi"
(Analisa Putusan Perkara No. 21/Pdt.G/2009/PTA.JK di Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta) Tahun 2011. Penulis skripsi ini menguraikan tentang perceraian
yang disebabkan karena salah satu pihak melakukan korupsi sehingga
mengakibatkan kepada perceraian. Hal tersebut terjadi karena pengakuan dan
pembuktian juga keterangan saksi-saksi yang diperoleh dan fakta-fakta
menyangkut keadaan rumah tangga penggugat dan tergugat. Selain itu adanya
keterlibatan tergugat terhadap kasus korupsi dan ditangkap oleh KPK kemudian
diproses menurut hukum sehingga hal tersebut menimbulkan pertengkaran terus-
menerus yang berakibat pada perceraian. Perbedaannya dengan skripsi saya
adalah, saya lebih menganalisis terhadap akibat hutang yang dilakukan oleh
termohon hingga ratusan juta rupiah, sehingga terjadi syiqoq dan berakhir kepada
perceraian.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam memahami skripsi ini, penulis membagi
pembahasan dalam lima bab, yaitu:
BAB KESATU berisi, Pendahuluan yang terdiri atas uraian latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, studi review terdahulu serta sistematika penulisan.
13
BAB KEDUA berisi, Landasan teori yang terdiri atas pengertian dan dasar
hukum perceraian, macam-macam perceraian, alasan-alasan perceraian, proses
penyelesaian perkara perceraian di Indonesia, pengertian dan dasar hukum hutang dan
hikmah disyariatkannya hutang.
BAB KETIGA berisi, Putusan permohonan cerai talak No.
2429/Pdt.G/2012/PA TGRS, yaitu: profil, duduk perkara dan pertimbangan hakim
mengabulkan perkara.
BAB KEEMPAT berisi, Hasil penelitian yang di peroleh di lapangan, yaitu
tentang hutang sebagai alasan perceraian menurut Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia dan analisis terhadap pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkara.
BAB KELIMA berisi, Penutup terdiri atas kesimpulan dan saran-saran.
14
BAB II
TEORI PERCERAIAN DAN HUTANG
A. Perceraian
1. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
Dalam ajaran Islam, perceraian bagaikan pintu darurat yang merupakan
jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak ditemukan jalan
lain untuk mengatasinya. Dengan demikian, pada dasarnya, ajaran Islam tidak
menyukai terbukanya pintu darurat tersebut. Karena itu Allah Swt memandang
perceraian yang terjadi antara suami-istri sebagai perbuatan halal yang sangat
dimurkai-Nya.
Mengenai hukum perceraian ini, para ahli hukum Islam berbeda pendapat.
Pendapat yang paling bisa diterima akal dan konsisten dengan tujuan syariat yaitu
pendapat yang menyatakan bahwa perceraian hukumnya terlarang, kecuali dengan
alasan yang benar. Secara esensial bercerai itu berarti kufur terhadap nikmat
Allah, sedang kawin adalah suatu nikmat dan kufur terhadap suatu nikmat adalah
haram. Jadi tidak halal bercerai kecuali karena keadaan darurat. Tetapi jika tidak
ada alasan, perceraian yang demikian berarti kufur terhadap nikmat Allah, berlaku
jahat kepada istri. Karena itu, perbuatan tersebut dibenci dan dilarang Islam.1
1 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), h. 317.
15
Dasar Hukum Perceraian
Mengenai dasar hukum perceraian, penulis akan mencantumkan ayat-ayat
Al-qur‟an serta Hadits yang menjadi landasan hukum perceraian antara lain:
Surat Al-baqarah ayat 229-230:
.
.
Artinya: “Perceraian (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh dirujuk lagi
dengan cara yang ma‟ruf atau menceraikan dengan cara yang baik tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu
melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah
orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami memperceraikannya (sesudah
perceraian yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia
kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang itu menceraikannya,
maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
Mengetahui”. (Q.S Al-baqarah: 229-230).
Dalam surat At-thalaq ayat 1:
.
16
Artinya: “Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu, maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya yang
wajar dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.
Itulah hukum-hukum Allah. Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri, kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan
sesudah itu sesuatu hal yang baru”. (Q.S At-thalaq: 1)
Selain ayat-ayat Al-qur‟an diatas ada pula hadits yang berkenaan dengan
dasar hukum perceraian. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu
Majah, sebagai berikut:
وسهم : أبعط انحالل إنى اهلل انطالق )رواي عه به عمر قبل: قبل رسم اهلل صهى اهلل عه
أبى داود(2
Artinya: “Dari Ibnu Umar, berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesuatu
(perbuatan) halal yang paling di benci oleh Allah adalah perceraian
(perceraian)”. (HR. Ibnu Daud).
Karena itu isyarat tersebut menunjukkan bahwa perceraian adalah
perbuatan halal yang paling di benci oleh Allah, dan perceraian merupakan
alternatif terakhir atau sebagai “pintu darurat” yang boleh ditempuh manakala
bahtera kehidupan rumah tangga tidak lagi dapat dipertahankan keutuhannya.3
2. Macam-Macam Perceraian
Putusnya perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan ada tiga
macam, seperti yang tercantum dalam pasal 38 Undang-Undang Perkawinan.
2 Abu Daud sulaiman bin al-„Asy‟ Asy, Sunan Abu Daud”, Mausu‟ah al-Hadis al-Syarif,
(Mesir: Global Islamic Sofware Company, 2000), hadis no. 1863. lihat juga, Jalal al-Din al-Syuyuthi,
al-Jami‟ al-chaghir (Bandung, al-Ma‟arif. Tt) Juz. I. h. 5.
3 Abu Daud sulaiman bin al-„Asy‟ Asy, Sunan,..., hal. 5.
17
Perkawinan dapat putus karena: 1. Kematian, 2. Perceraian dan 3. Atas keputusan
Pengadilan.
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menggolongkan secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan ini
kepada tiga golongan, yaitu: 4
a. Kematian
Putusnya perkawinan karena kematian adalah berakhirnya perkawinan
yang disebabkan oleh salah satu pihak dari pasangan suami istri meninggal
dunia.5
Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh kematian tidak
menimbulkan banyak persoalan, apalagi kematian tersebut terjadi di hadapan
dan di tempat kediaman bersama, sehingga tidak ada masalah yang perlu
diperbincangkan lagi. Dengan meninggalnya salah seorang dari pasangan
suami istri, dengan sendirinya putuslah ikatan perkawinan. Pihak yang masih
hidup boleh menikah lagi bilamana persyaratan yang telah ditentukan oleh
ketentuan yang berlaku dipenuhi sebagaimana mestinya.6
4 Suyuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. Ke- 5 (Jakarta: UI Press, 1986), h. 119.
5 Salim, HS. Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 76.
6 Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan Malaysia, (Bandung:
Rosda Karya, 1991), h. 194.
18
b. Perceraian
Perceraian adalah penghapusan hubungan perkawinan dengan putusan
Hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.7 Menurut pasal 114
Kompilasi Hukum Islam, menyatakan bahwa putusnya perkawinan yang
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena perceraian atau berdasarkan
gugatan perceraian.
Undang-Undang membedakan antara perceraian atas kehendak suami
dan perceraian atas kehendak istri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam
dalam perceraian memang menghendaki demikian, sehingga proses perceraian
atas kehendak suami berbeda dengan perceraian atas kehendak istri.
Perceraian atas kehendak suami disebut cerai talak, sedangkan cerai atas
tuntutan istri disebut cerai gugat. 8
Cerai talak ini hanya khusus bagi yang beragama Islam, seperti
dirumuskan oleh pasal 14 PP No. 9 tahun 1975 bahwa seorang suami yang
telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan
menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggal
istrinya, kecuali jika istri meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa
persetujuan, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud mencerai
7 Salim, HS. Pengantar Hukum Perdata Tertulis,..., h. 77.
8 H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), cet. Ke-3, h. 206.
19
istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan
diadakan sidang untuk keperluan itu.9
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam pasal
117, bahwa perceraian adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan
Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.10
Dari ketentuan di atas, dalam hubungan dan pelaksanaannya, jelas
bahwa pengajuan permohonan keinginan cerai itu harus dilakukan dengan
cara lisan atau tertulis (surat) ke Pengadilan Agama dengan maksud agar
Pengadilan Agama dapat mengabulkan izin cerai dan bisa mengucapkan ikrar
talak.11
Macam-macam cerai talak ada 5 (lima) macam, yaitu: (1) talak raj‟i ,
yaitu talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam
masa iddah; (2) talak ba‟in sugra, yaitu talak yang tidak boleh dirujuk, akan
tetapi boleh melakukan akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun
dalam masa iddah; (3) talak ba‟in kubra, yaitu talak yang terjadi untuk ketiga
kalinya, talak ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi kembali, kecuali
pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain
9 Muhammad Amin Suma, M.A., S.H., Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan
Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia,.., h. 357.
10
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,..., h. 141.
11
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1978), cet. Ke-
5, h.37.
20
kemudian terjadi perceraian ba‟da al-dukhul dan habis masa iddahnya; (4)
talak sunny adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan
terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut
dan (5) talak bid‟i, yaitu talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada
waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah
dicampuri pada waktu dalam keadaan suci tersebut. Para Ulama berbeda
pendapat tentang jatuh tidaknya talak bid‟i itu, yaitu :
1) Pendapat madzhab Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, Imam Maliki, dan Imam
Hanbali menyatakan bahwa talak bid‟i walaupun talaknya haram, tetapi
hukumnya adalah sah dan talaknya jatuh. Namun sunnah untuk
merujuknya lagi. Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan
Syafi‟i. Adapun menurut Imam Maliki hukum merujuknya justru wajib.
2) Segolongan Ulama yang lain berpendapat bahwa tidak sah, mereka
menolak memasukkan talak bid‟i dalam pengertian talak pada umumnya,
karena talak bid‟i bukan talak yang diijinkan oleh Allah SWT. Bahkan
diperintahkan oleh Allah SWT untuk meninggalkannya.12
Mengenai pembagian perceraian tersebut di atas diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam dari pasal 118 sampai dengan 122.
Sedangkan cerai gugat adalah: perceraian yang disebabkan adanya
gugatan yang disampaikan oleh pihak istri ke Pengadilan.13
Cerai gugat yang
12
H.M.A. Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), h.240. 13
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis ,..., h. 77.
21
disampaikan oleh pihak istri kepada Pengadilan harus disertai dengan alasan-
alasan yang dapat dipergunakan untuk mengajukan tuntutan perceraian.14
Alasan-alasan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 116 KHI yang
akan diuraikan secara khusus pada sub bab tersendiri.
c. Perceraian Atas Keputusan Pengadilan
Putusnya perkawinan karena putusan Pengadilan adalah berakhirnya
perkawinan yang didasarkan atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.15
Alasan-alasan yang dipergunakan dalam putusnya perkawinan
berdasarkan putusan pengadilan tidak terinci dan tertentu seperti alasan-alasan
perceraian yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan PP Nomor 9 tahun
1975. Beberapa alasan yang dipergunakan antara lain: (a) alasan karena tidak
sanggup memberi nafkah, dan (b) alasan karena istri atau suami hilang tidak
tahu kemana perginya. Alasan yang benar-benar murni merupakan perceraian
yang berasal dari putusan Pengadilan adalah alasan pada poin kedua (b).
Menurut M. Yahya Harahap, secara teoritis Undang-Undang Nomor. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan menurut prinsip bahwa tidak ada suatu
perkawinan yang dianggap sendirinya batal menurut hukum (Van
rechtswegwnieti) sampai ikut campur tangan pengadilan. Hal ini dapat
diketahui dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dimana
14
Suyuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,..., h. 119.
15
Salim, HS. Pengantar Hukum Perdata Tertulis,..., h.77.
22
dikatakan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputus oleh
pengadilan. Apa yang dikemukakan oleh M. Yahya Harahap ini sangatlah
realistis, rasionya karena suatu perkawinan sudah dilaksanakan melalui
yuridis formal, maka untuk menghilangkan legalitas yuridis itu haruslah
melalui putusan pengadilan. Tentang hal ini tidak peduli apakah pernikahan
itu kurang rukun atau syarat-syarat yang ditemukan hukum agama masing-
masing pihak ataupun yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pembatalan perkawinan atas dasar putusan pengadilan itu
diperlukan agar adanya kepastian hukum terutama bagi pihak yang
bersangkutan, pihak ketiga dan masyarakat yang sudah terlanjur mengetahui
adanya perkawinan tersebut. Jadi, legalitas pembatalan perkawinan yang
diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku lebih luas
jangkauannya dari nikahul bathil dan nikahul fasid sebagaimana yang
tersebut dalam kitab-kitab fikih tradisional.16
3. Alasan-Alasan Perceraian
Salah satu fungsi Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan PP
No. 9 tahun 1975 adalah untuk mengatur dan membatasi penggunaan dan
kebolehan perceraian dengan berbagai syarat yang disesuaikan dengan hukum
Islam. Dan tatacara penggunaan perceraian mesti melalui campur tangan
Pengadilan Agama yang diberi kewenangan untuk menilai dan
16
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006), h. 46.
23
mempertimbangkan apakah alasan suami untuk menceraikan istri menurut hukum
Islam. Berkenaan dengan hal tersebut, maka perceraian harus dilaksanakan di
depan sidang pengadilan agama sebagaimana yang dinyatakan pada pasal 115
KHI.
Karena itulah, menurut al-Sayyid Sabiq, penentuan syarat-syarat layak
tidaknya suatu perceraian dikabulkan Pengadilan didasarkan pada prinsip
meringankan urusan manusia dan menjauhkan segala kesempitan serta berpijak
pada jiwa syari‟at Islam yang penuh dengan kemudahan.17
Dalam kitab-kitab fikih klasik cukup banyak yang bisa dijadikan alasan
perceraian, baik dari pihak istri maupun dari pihak suami. Namun, dalam
pembahasan kali ini, penulis hanya mendiskripsikan alasan-alasan perceraian
yang tercover dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, Jo. PP No. 9
tahun 1995 pasal 19 Jo. KHI pasal 116.
Dalam KHI pasal 116 disebutkan bahwa alasan-alasan perceraian dibagi
menjadi delapan, yaitu:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
17
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bairut: Dar al-Tsaqofiyah al-Islamyah), Juz 2, h. 83.
24
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau peganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri.18
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar ta‟lik talak.
h. Peralihan Agama atau Murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.
4. Proses Penyelesaian Perkara Perceraian di Indonesia
Pemeriksaan sengketa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak. Awal surat permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani
diajukan ke kepaniteraan pengadilan agama (surat permohonan diajukan pada sub
kepaniteraan permohonan).
Sebelum perkara terdaftar di kepaniteraan, panitera melakukan penelitian
terlebih dahulu terhadap kelengkapan berkas perkara sudah dilakukan sebelum
perkara di daftarkan. Misalnya dalam membuat surat permohonan, kepaniteraan
dibolehkan memberikan arahan pada pemohon apabila dalam permohonan yang
18
Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), Cet. Ke-1, h. 195.
25
dibuat tidak sesuai. Apabila terjadi kesalahan dalam permohonan maka tidak
boleh didaftarkan sebelum petitum dan petitanya jelas, seperti ada petitum namun
tidak didukung oleh posita berarti permohonan tidak jelas.19
Jika hal tersebut terjadi maka permohonan tersebut terlebih dahulu harus
diperbaiki, panitera sebagai pihak yang mempunyai otoritas dalam meneliti
berkas permohonan sebaiknya melakukan penelitian tersebut disertai dengan
membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara, lalu berkas perkara beserta
resume tersebut diserahkan kepada Ketua Pengadilan. Dengan disertai saran tidak
misalnya berbunyi “syarat-syarat cukup siap untuk disidangkan”.20
Kemudian pemohon kemeja I untuk menaksir besarnya biaya perkara dan
menulisnya pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya biaya perkara
diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal
ini sejalan dengan Pasal 193 Rbg / Pasal 128 Ayat (1) HIR / Pasal 90 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang meliputi:
1. Biaya kepaniteraan dan biaya materai
2. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah
3. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim lain
4. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan
yang berkenaan dengan perkara tersebut.21
19
Mukti Arto, Praktik Perkara perdata Pada Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar,
2003), cet. Ke-4, h.76.
20 Raihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
ed. Ke-2, cet.ke-8, h.129. 21
Pasal 90 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, h.74.
26
Ketentuan diatas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan diizinkan
untuk mengajukan permohonan cerai secara prodeo (cuma-cuma).
Ketidakmampuannya dapat dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari
Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat. Setelah itu,
pemohon menghadap ke meja II dengan menyerahkan surat permohonan dan
surat SKUM yang telah dibayar. Setelah selesai, kemudian surat permohonan
tersebut dimasukkan dalam map berkas acara, kemudian menyerahkannya pada
Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera.22
Setelah terdaftar, permohonan diberi nomor perkara kemudian diajukan
kepada Ketua Pengadilan, setelah Ketua Pengadilan menerima permohonan maka
ia menunjuk hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada
prinsipnya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh hakim maka ketua
menunjuk seorang hakim sebagai ketua majelis dan dibantu dua orang hakim
anggota.23
Setelah itu hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapannya dapat
menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan. Ketua
majelis memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir dalam
persidangan. Pasal 121 HIR, untuk membantu Majelis Hakim dalam
22
M. Fauzan, Pokok-Pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari‟ah di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2004), cet.ke-2, h.14.
23
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta:
Sinar Grafika,2004), Cet.ke-6, h.39.
27
menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih panitera sidang dalam
hal ini panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti.24
Tata cara pemanggilan di mana harus secara resmi dan patut, yaitu:
a. Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi
yang dipanggil di tempat tinggalnya;
b. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada
Kepala Desa dimana ia tinggal;
c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli
warisnya;
d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah
(tanda bukti bahwa para pihak telah dipanggil) kepada hakim yang akan
memeriksa perkara yang bersangkutan;
e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai.25
Sedangkan proses pemeriksaan perkara di depan sidang pengadilan
dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata sebagaimana yang
telah tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama Pasal 54: “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama dalam
lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam undang-undang ini”.26
24
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet.ke-1, h. 214.
25 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata,..., h. 40.
26
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia,...,h.202-203.
28
Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum,
dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini hanya
bersifat checking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa
mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Pada upaya perdamaian, inisiatif
perdamaian dapat timbul dari hakim. Pemohon ataupun termohon, hakim harus
sengguh-sungguh mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya perdamaian
yang dilakukan tidak berhasil, maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum
dilanjutkan ketahap pemeriksaan.27
Selanjutnya pada tahap dari termohon, pihak termohon diberikan
kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap
pemohon melalui hakim. Pada tahap replik pemohon kembali menegaskan isi
permohonannya yang dilakukan oleh termohon dan juga mempertahankan diri
atas sanggahan-sangghan yang disangkal termohon. Kemudian pada tahap duplik,
termohon dapat menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh pemohon.
Tahap replik duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat memandang
cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap pembuktian,
pemohon dan termohon mengajukan semua alat-alat bukti yang dimiliki untuk
mendukung jawabannya (sanggahan), masing-masing pihak berhak menilai alat
bukti pihak lawannya.
Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat
akhir tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan, hakim
27
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata,...,h.41-42.
29
menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan menyimpulkan
dalam putusan dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa.28
B. Hutang
1. Pengertian dan Dasar Hukum Hutang
Secara etimologis qardh merupakan bentuk mashdar dari qaradha-
yaqridhu, yang artinya dia memutuskannya. Qardh adalah bentuk mashdar yang
berarti memutuskan. Dikatakan qaradhu asy-syai‟a bil miqradh, atau memutus
sesuatu dengan gunting. Al-Qaradh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik
untuk dibayar.
Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang
yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.
Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, qardh adalah penyediaan dana atau
tagihan antar lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau
cicilan dalam jangka waktu tertentu. Defenisi yang dikemukakan dalam kompilasi
hukum ekonomi syariah bersifat aplikatif dalam akad pinjam-meminjam antara
nasabah dan lembaga keuangan syariah.29
Ada beberapa pendapat tentang defenisi Al-Qardh. Menurut Imam Hanafi,
Al-Qardh adalah pemberian harta oleh seseorang kepada orang lain supaya ia
membayarnya. Kontrak yang khusus mengenai penyerahan harta kepada
28
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata,...,h. 43-45.
29
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), h.333.
30
seseorang agar orang itu mengembalikan harta yang sama sepertinya.30
Sementara
itu, Imam Malik menyatakan bahwa Al-Qardh merupakan jaminan atas benda
yang bermanfaat yang diberikan hanya karena belas kasihan dan bukan
merupakan bantuan atau pemberian, tetapi harus dikembalikan seperti bentuk
yang dipinjamkan.31
Dasar Hukum Qardh
a. Al-Qur‟an
Firman Allah Q.S. Al-Baqarah: 282
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”
Fiman Allah Q.S. Al-Maidah: 1
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu...”
Firman Allah Q.S. Al-Baqarah: 280
Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai ia berkelapangan...”
Firman Allah Q.S. Al-Hadid: 11
30
M. Abdul Mudjieb, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 8.
31
M. Muslichuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 8.
31
Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Alllah pinjaman yang
baik, Allah akan melipat gandakan pinjaman itu untuknya dan ia akan
memperoleh pahala yang baik”.32
b. Hadits
Dari Ibnu Mas‟ud, Rasulullah Saw. Bersabda:
مب مه مسهم قرض مسهمب قرظب مرته اال كبن كصدقة مرتب )رواي ابه مب ج(
Artinya: “Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim
(lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) shadaqah.” (H.R.
Ibnu Majah).
Dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda:
انصدقة بعشر امثههب وانقرض بثمبوة رات نهة اسري عه بب ة انجىة مكتىبب
عشر فقهت ب جبرم مب ببل انقرض افعم مه انصدقة قبل الن انسبئم سئم
وعىدي وانمستقرض ان مه حبجة )رواي ابه مبج وانبهق(
Artinya: “Pada malam peristiwa Isra‟ aku melihat di pinti surga tertulis:
shodaqah (akan diganti) dengan 10 kali lipat, sedangkan qardh dengan 18
kali lipat. Maka aku bertanya: wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama
daripada shadaqah? Ia menjawab: karena ketika meminta, peminta tersebut
memiliki sesuatu, sementara ketika berutang, orang tersebut tidak kurang
kecuali karena kebutuhan”. (H.R. Ibnu Majah dan Baihaqi).
c. Ijma‟ Ulama
Umat Islam sepakat akan diperbolehkannya qardh.33
2. Rukun dan Syarat Hutang Piutang adalah:
a. Adanya yang berpiutang: Yang disyaratkan harus orang yang cakap untuk
melakukan tindakan hukum.
b. Adanya orang yang berutang: syaratnya sama dengan ketentuan point satu.
32
AH. Azharudin Lathif, fiqh muamalat,(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h.150.
33
Isnawati Rais, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.150.
32
c. Objek/barang yang diutangkan: barang yang diutangkan disyaratkan
berbentuk barang yang dapat diukur/diketahui jumlah maupun nilainya.
Disyaratkannya hal ini agar pada waktu pembayarannya tidak menyulitkan,
sebab harus sama jumlah/nilainya dengan jumlah/nilai barang yang diterima.
d. Lafaz, yaitu adanya pernyataan baik dari pihak yang mengutangkan maupun
dari pihak yang berutang.34
Beberapa hukum yang berkaitan hutang piutang
Pertama, akad utang piutang menetapkan peralihan pemilikan. Misalnya
apabila seseorang menghutangkan satu kilo gandum kepada orang lain, maka
barang tersebut terlepas dari pemilikan muqridh (orang yang menghutangi), dan
muqtaridh (orang yang berhutang) menjadi pemilik atas barang tersebut sehingga
ia bebas bertasharruf atasnya. Hal ini sebagaimana berlaku pada akad jual-beli,
hibah dan hadiah.
Kedua, penyelesaian utang piutang dilaksanakan di tempat akad
berlangsung. Sekalipun demikian, dapat juga dilaksanakan di tempat lain
sepanjang penyerahan tersebut tidak membutuhkan ongkos atau sepanjang
disepakati demikian.
Ketiga, pihak muqtaridh wajib melunasi hutang dengan barang yang
sejenis jika objek hutang adalah barang mitsliyyat, atau dengan barang yang
sepadan (senilai) jika objek hutang adalah barang al-qimiyyat. Ia sama sekali
tidak wajib melunasi hutangnya dengan „ain (barang) yang dihutangnya. Pada sisi
34
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika), 2004,
h.137.
33
lain pihak muqridh tidak berhak menuntut pengembalian „ain (barang) yang
dihutangkannya karena barang tersebut telah terlepas dari pemilikannya.
Keempat, jika dalam akad ditetapkan waktu atau tempo pelunasan hutang,
maka pihak muqridh tidak berhak menuntut pelunasan sebelum jatuh tempo.
Sedang apabila tidak ada kesepakatan waktu atau tempo pengembaliannya,
menurut ulama Malikiyyah pelunasan hutang berlaku sesuai adat yang
berkembang.
Kelima, ketika waktu pelunasan hutang tiba, sedang pihak muqtaridh tidak
mampu melunasi hutang, sangat dianjurkan oleh ajaran Islam agar pihak
muqtaridh berkenan memberi kesempatan dengan memperpanjang waktu
pelunasan, sekalipun demikian ia berhak menuntut pelunasannya. Pada sisi lain
ajaran Islam juga menganjurkan agar pihak muqtaridh menyegerakan pelunasan
hutang, karena bagaimanapun juga hutang adalah sebuah kepercayaan dan
sekaligus pertolongan, sehingga kebajikan ini sepantasnya dibalas dengan
kebajikan pula, yakni menyegerakan pelunasan.35
3. Hikmah dan Manfaat Disyariatkan Qardh (Hutang)
a. Melaksanakan kehendak Allah agar kaum muslimin saling menolong dalam
kebaikan dan ketakwaan.
b. Menguatkan ikatan ukhuwah (persaudaraan) dengan cara mengulurkan
bantuan kepada orang yang membutuhkan dan mengalami kesulitan dan
meringankan beban orang yang tengah dilanda kesulitan.36
35
Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h.174. 36
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah,(Jakarta: Kencana, 2012), h.336.
34
Hal pertama dalam skema pembagian kekayaan adalah orang tersebut
harus terlebih dahulu melunasi hutang-hutangnya baru kemudian membagikan
hartanya. Ada 2 jenis hutang, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia.
Hutang kepada Allah misalnya pembayaran zakat, puasa, menjanjikan sesuatu
atau nazar, penebusan dosa atau kafarat. Menurut Imam Hanafiyah, hutang
kepada Allah seharusnya tidak diambil dari harta yang ditinggalkan. Hal ini
dikarenakan tanggung jawab tersebut sudah hilang bersamaan dengan
meninggalnya orang yang mempunyai komitmen tersebut. Tetapi jika pewaris
mewasiatkan hal tersebut maka hal ini menjadi kewajiban yang harus dilakukan
dari hartanya.37
Namun menurut Syafi‟i, Maliki dan Hanbali hutang kepada Allah harus
tetap dilaksanakan meskipun orang tersebut telah meninggal. 38
Menurut Javed Ellahie, klasifikasi hutang adalah sebagai berikut:
a. Yang diperjanjikan ketika sehat;
b. Yang diperjanjikan ketika sakit sebelum meninggal;
c. Yang diperjanjikan sebagian ketika sakit dan sebagian setelah meninggal.
Urutan yang lebih baik adalah 1,3 dan 2.39
37
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah,..., h.336.
38
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah,..., h.336.
39
Mohd Ma‟sum Billah, Penerapan Manajemen Aset Islami, (Jakarta: Pakusengkunyit), 2010,
h. 78.
35
BAB III
PUTUSAN PERMOHONAN CERAI TALAK
DI PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA
A. Profil Pengadilan Agama Tigaraksa1
1. Legalitas Institusi
Pengadilan Agama Tigaraksa dibentuk berdasarkan keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor: 85 tahun 1996 tanggal 01 November 1996 dan
Pengadilan Agama Tigaraksa diresmikan pada hari kamis tanggal 21 Agustus
1997 bertepatan pada tanggal 17 Rabiul Awwal 1418 H oleh direktur Peradilan
Agama atas nama Menteri Agama bertempat di gedung Negara (Pendopo)
PEMDA Kabupaten DT.II Tangerang yang pada saat itu Bapak Let.Kol. Agus
Junara menjabat sebagai Bupati.
2. Legalitas Yurisdiksi Relatif
Yurisdiksi relatif (kewenangan mengadili) yaitu meliputi wilayah hukum
kabupaten Tangerang yang merupakan pemekaran wilayah baru antara kabupaten
Tangerang dan kota Tangerang telah diserahkan pada tanggal 21 Agustus 1996
antara Drs.H. Abdurrahman Abror selaku ketua pengadilan agama Tangerang
kepada Drs.A.D. Dimyati,SH selaku ketua pengadilan Agama Tigaraksa yang
terdiri dari 19 kecamatan, 3 kemantren dan 306 desa serta berdasarkan PERDA
Kabupaten Tangerang telah mengalami pemekaran menjadi 36 kecamatan.
1 Profil Pengadilan Agama Tigaraksa ini sepenuhnya di download dari http://pa-
tigaraksa.net/struktur- organisasi/2014/03/01, pukul, 16.28 wib
36
3. Infrastruktur Kantor
Pada saat diresmikan Pengadilan Agama Tigaraksa berkantor di Jalan.
Raya Serang Km. 12, Kp. Pulo, Desa Bitung Jaya, Kecamatan Cikupa, Kabupaten
Tangerang dengan luas bangunan 7x12 meter diatas tanah 864 meter. Pada tahun
2002 Pengadilan Agama Tigaraksa menempati gedung baru yang terletak di Jalan.
Mesjid Agung Al-Amjad No. 1 Komplek Perkantoran Pemda Kabupaten
Tangerang dengan luas tanah 2000 M dengan gedung berlantai 2 yan terdiri dari
ruang ketua, ruang wakil ketua, ruang panitera, ruang panitera sekretaris, ruang
hakim, ruang kesekretariatan, ruang kepaniteraan, 2 buah ruang sidang, ruang
arsip, ruang tunggu para pihak, ruang register, ruang komputer, ruang
perpustakaan dan ruang kasir.
4. Infrastruktur Penunjang2
Untuk menunjang kinerja sebagai sarana penunjang perkantoran
Pengadilan Agama Tigaraksa telah memiliki meubelair yang memadai, 5 ruang
ber AC, 3 buah kendaraan dinas roda empat (satu buah bantuan dari Pemda
Kabupaten Tangerang) 3 buah kendaraan roda 2, 11 unit komputer dan 2 buah
laptop.
5. Sumber Daya Manusia
Pengadilan Agama Tigaraksa didukung oleh 12 orang hakim (berikut
ketua dan wakil) 2 orang cakim, 7 panitera pengganti (berikut panmud dan
2 Profil Pengadilan Agama Tigaraksa ini sepenuhnya di download dari http://pa-
tigaraksa.net/struktur- organisasi/2014/03/01, pukul, 16.28 wib
37
wapan), 7 orang juru sita pengganti, 4 orang staf dan 6 orang tenaga honorer
(pramu kantor, sekuriti dan sopir). Secara kualitas terdiri dari 8 orang Magister,
17 orang Strata 1 (S-1), 1 orang diploma 3 dan 7 orang SMU.
6. Visi dan Misi Pengadilan Agama Tigaraksa
Visi adalah suatu gambaran yang menantang tentang suatu keadaan masa
depan, berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan oleh suatu institusi.
Sedangkan misi adalah sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan oleh suatu
institusi sesuai visi yang ditetapkan agar tujuan lembaga dapat terlaksana dan
berhasil dengan baik.
Visi dan Misi Mahkamah Agung dan kebijakan pimpinan selalu menjadi
landasan berpijak dan arah kebijakan Pengadilan Agama Tigaraksa. Visi dan Misi
Mahkamah Agung dijabarkan dalam visi dan misi Pengadilan Agama Tigaraksa,
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diembannya.
Visi Mahkamah Agung RI adalah “Terwujudnya Badan Peradilan
Indonesia Yang Agung”.
Misi Mahkamah Agung dijabarkan sebagai berikut:
1. Menjaga Kemandirian Badan Peradilan.
2. Memberikan Pelayanan Hukum Yang Berkeadilan Kepada Para Pencari
Keadilan.
3. Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan Badan Peradilan.
4. Meningkatkan Kredibelitas dan Transparansi Badan Peradilan.
38
Pengadilan Agama Tigraksa sebagai underbow Mahkamah Agung RI
memiliki komitmen dan kewajiban yang sama untuk mengusung terwujudnya
peradilan yang baik dan benar serta dicintai masyarakat. Atas dasar itu maka
Pengadilan Agma Tigaraksa telah menjabarkan visi dan misi tersebut dalam visi
dan misi Pengadilan Agama Tigaraksa, Yaitu:
Visi:3
Mewujudkan Pengadilan Agama Tigaraksa yang modern dan dipercaya.
Misi:
a. Mewujudkan pelayanan prima, cepat dan profesional dengan biaya ringan.
b. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas input, proses dan output eksternal
pada peradilan.
c. Memperbaiki akses pada layanan hukum dan peradilan.
d. Mengupayakan sistem informasi sesuai program IT.
7. Tugas Pokok Peradilan Agama
Sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan ialah menerima, memeriksa dan memutuskan setiap perkara yang
diajukan kepadanya, termasuk didalamnya menyelesaikan perkara voluntair.
Peradilan Agama juga adalah salah satu diantara 3 Peradilan Khusus di
Indonesia. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili
perkara-perkara perdata tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam
3 Profil Pengadilan Agama Tigaraksa ini sepenuhnya di download dari http://pa-
tigaraksa.net/struktur- organisasi/2014/03/01, pukul, 16.28 wib
39
struktur organisasi Peradilan Agama ada Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama yang secara langsung bersentuhan dengan penyelesaian perkara di
tingkat pertama dan banding sebagai manifestasi dari fungsi kekuasaan
kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama dilaksanakan
oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Tugas-tugas lain Pengadilan Agama adalah:
a. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam
kepada instansi didaerah hukumnya apabila diminta.
b. Melaksanakan hisab dan rukyatul hilal.
c. Melaksanakan tugas-tugas lain pelayanan seperti pelayanan riset/penelitian,
pengawasan terhadap penasehat hukum dan sebagainya.
d. Menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan diluar sengketa
antara orang-orang yang beragama Islam.
Dengan demikian, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk
menyelesaikan semua masalah dan sengketa yang termasuk di bidang
perkawinan, kewarisan, perwakafan, hibah, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.
Fungsi:4
a. Melakukan pembinaan terhadap pejabat struktural dan fungsional dan
pegawai lainnya baik menyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun
administrasi umum.
4 Profil Pengadilan Agama Tigaraksa ini sepenuhnya di download dari http://pa-
tigaraksa.net/struktur- organisasi/2014/03/01, pukul, 16.28 wib
40
b. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan
pegawai lainnya (pasal 53 ayat 1 dan 2, UU No. 3 Tahun 2006).
c. Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara dibidang kehakiman.
8. Wilayah Yuridiksi
Lokasi dan luas wilayah Pengadilan Agama Tigaraksa. Secara astronomis,
Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan terletak diantara: 6° 00’- 6°
20’ LS dan 106° 20’- 106° 43’ BT. Secara geografis Kabupaten Tangerang dan
Kota Tangerang Selatan berbatasan sebagai berikut:
Sebelah Barat : Wilayah Kabupaten Lebak dan Serang.
Sebelah Utara : Wilayah Laut Jawa.
Sebelah Timur : Wilayah Kota Tangerang dan DKI Jakarta.
Sebelah Selatan : Wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Depok.
Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan meliputi area seluas
1.110,38 Ha. Pembagian wilayah hukum Pengadilan Agama Tigaraksa adalah
wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan memiliki wilayah
kecamatan sebanyak 36 kecamatan yang mewilayahi 328 Kelurahan/Desa.
9. Tanah
Berdasarkan hasil penetapan penggunaan tanah Kecamatan diseluruh
Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan dengan luas keseluruhan
1.110,38 Ha, dengan luas masing-masing sebagai berikut:
Kampung/Perumahan : 3.425.205 Ha.
Sawah : 54.145.40 Ha.
41
Tegalan/Ladang : 22.715 Ha.
10. Sarana Ibadah5
Mesjid : 1.720 buah
Musholla : 8.040 buah
Gereja : 79 buah (Protesten) dan 21 buah (Katholik)
Vihara : 41 buah
Pura : 2 buah
11. Sarana Kesehatan
Rumah Sakit Umum : 12 buah
Rumah Sakit DKT : 1 buah
Rumah Sakit Swasta : 22 buah
Puskesmas : 40 buah
12. Sarana Umum lainnya
Pasar Tradisional : 97 buah
Pasar Swalayan : 110 buah
Gelanggang Olahraga : 65 buah
Lapangan Olahraga : 109 buah
Balai Budaya : 2 buah
Gedung Bioskop : 6 buah
5 Profil Pengadilan Agama Tigaraksa ini sepenuhnya di download dari http://pa-
tigaraksa.net/struktur- organisasi/2014/03/01, pukul, 16.28 wib
42
13. Lalu Lintas
Secara geografis Ibukota Kabupaten Tangerang ini berbatasan dengan
wilayah yang berada di Provinsi Jawa Barat yaitu Bogor dan DKI Jakarta. Oleh
karena itu dalam sektor lalu lintas Kabupaten Tangerang menjadi lintasan berarti
karena dilewati oleh fasilitator angkutan baik umum maupun pribadi yang
bertujuan ke daerah lain.
14. Pariwisata
Kabupaten Tangerang memiliki potensi pariwisata yang beraneka ragam,
baik wisata alam maupun wisata buatan. Hal ini dapat dilihat dari wilayah
Kabupaten Tangerang yang memiliki laut di pantai utara dan ragam budaya
Pasundan, Betawi, Jawa (Banten) dan Cina.
15. Stuktur Organisasi6
Struktur Organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa mengacu pada Undang-
Undang Nomor. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Nomor. KMA/004/II/92 tentang organisasi dan Tata Kerja
Kepaniteraan Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama dan KMA Nomor. 5
tahun 1996 tentang Struktur Organisasi Peradilan.
JABATAN NAMA
KETUA Drs. H. Uyun Kamiluddin, SH,MH
WAKIL KETUA Dra. Muhayah, SH, MH
6Profil Pengadilan Agama Tigaraksa ini sepenuhnya di download dari http://pa-
tigaraksa.net/struktur- organisasi/2014/03/01, pukul, 16.28 wib
43
HAKIM Dra. H. Erawati, SH, MH
Drs. Saefuddin Z, SH, MH
Drs. Supyan Maulani
Dra. Nurhayati
Drs. H. Saefullah
Drs. H. Nurkholish, MH
Drs. Hendi Rustandi, SH
Drs. Muhyar, MH
Dra. Al’Jamilah, MH
Ahmad Bisri, SH, MH
Zainul Arifin, SH
H. Rosmani Daud, S.Ag
H. Antung Jumberi, SH, MH
Fitriyel Hanif, M.Ag
Dra. Hj. Aprin Astuti
Musidah, S.Ag, M.Ag
Candra Boy Seroza, SH, MH
Rahmat Arjiaya, S.Ag
PANITERA/SEKRETARIS Drs. H. Baehaki
WAKIL PANITERA Pariyanto, S.H
WAKIL SEKRETARIS Rudiyanta, S.H
44
PANMUD PERMOHONAN Hamid Safi, S.Ag
STAF Zulkhairiyah Abdillah, S.HI
PANMUD GUGATAN Nurmala Sari Josepha, S.H
STAF Budi A. Rahayu, A.Md
Safruddin, BA
PANMUD HUKUM Naili Ivada, S.Ag
STAF Ahmad Muhtadin, S.HI
Adhiaksari Hendriawati, S.HI
KASUBAG KEPEGAWAIAN Puspa Rini, S.H
STAF Dwi Budiyanto, A.Md
KASUBAG KEUANGAN Siti Rodiah, S.H, M.H
STAF H. Hendri
Asep Soni Dwi Sutendi, A.Md
KASUBAG UMUM Henni Fitria, S.E
STAF Ahmad Supyana, S.Kom
PANITERA PENGGANTI Fathiyah Sadim, S.Ag
Hikmah Nurmal, S.H
Siti Jubaedah, S.H
Mardiati, S.H, M.H
Sitti Hajar, S.HI
Drs. Mahyuta
45
JURUSITA Agus Priyono, S.H
Zaenal Arifin
JURUSITA PENGGANTI Jupri Suwarno, S.Ag
H. Hendri
Chahya Saputro
Ahmad Sopyana, S.Kom
Dwi Budiyanto, A.Md
Henni Fitria, S.E
Pusparini, S.H
Asep Soni Dwi Stendi, A.Md
B. Duduk Perkara
Di dalam duduk perkara disebutkan bahwa berdasarkan surat permohonannya
yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Tigaraksa pada tanggal 3
Desember 2012 dengan register Nomor 2429/Pdt.G/2012/PA. Tgrs telah mengajukan
hal-hal sebagai berikut:7
1. Bahwa pemohon adalah suami sah dari termohon yang telah melangsungkan
perkawinan pada tanggal 13 April 1997, dihadapan Pejabat Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan
sebagaimana terbukti dalam Buku Kutipan Akta Nikah Nomor: 27/27/IV/97;
7 Salinan Putusan Perkara No : 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS, h. 2.
46
2. Bahwa selama berumah tangga antara Pemohon dan Termohon telah
berhubungan sebagaimana layaknya suami istri dan telah memperoleh
keturunan 3 (tiga) orang anak masing-masing:
a. Laki-laki bernama Muhammad Reyga Wahyudi, lahir di Tangerang pada
tanggal 16 Januari 1999;
b. Perempuan bernama Alvida Salsa Wahyudi lahir di Tangerang pada
tanggal 8 Mei 2001;
c. Perempuan bernama Virly Tamelia Wahyudi lahir di Tangerang pada
tanggal 15 Januari 2006;8
3. Bahwa bermula dari sikap Termohon terhadap Pemohon dari awal perkawinan
yang tidak pernah menghormati dan menghargai Pemohon sebagai seorang
suami dan kepala rumah tangga demikian juga Termohon yang suka
membantah semua saran Pemohon;
4. Bahwa yang sangat menyakitkan bagi Pemohon adalah Termohon sering kali
berhutang yang jumlahnya sampai ratusan juta rupiah dan hal itu dilakukan
Termohon sampai berulang-ulang yang mengakibatkan Pemohon terbelit
hutang, sedangkan Pemohon selalu memberikan nafkah yang sudah lebih dari
mencukupi layaknya kepala keluarga walaupun Pemohon masih baru meniti
karir;
5. Bahwa setiap kali Termohon melakukan kesalahan dengan berhutang tanpa
sepengetahuan Pemohon setiap kali itu juga Pemohon menasehati Termohon
8 Salinan Putusan Perkara No : 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS, h. 3.
47
agar selalu terbuka dan tidak boros akan tetapi sampai saat ini Termohon tidak
merubah sikapnya tersebut;
6. Dengan bersusah payah Pemohon mencari nafkah dengan harapan keadaan
rumah tangga akan menjadi lebih baik tetapi betapa kecewanya Pemohon
setelah mengetahui bahwa sampai perhiasan yang dibelikan Pemohon dijual
oleh Termohon tanpa sepengetahuan Pemohon dan kegunaan uang hasil
penjualan perhiasan tersebut tidak jelas;
7. Bahwa perbedaan tersebut mengakibatkan sering terjadinya pertengkaran
yang tidak pernah ada penyelesaiannya. Padahal Pemohon sering meminta
agar Termohon menghargai dan menghormati Pemohon sebagai Kepala
Rumah Tangga dengan berterus terang dalam mengambil langkah apalagi
sampai berhutang dengan nilai ratusan juta rupiah, akan tetapi permintaan dan
harapan Pemohon tersebut tidak pernah dihiraukan oleh Termohon;
8. Bahwa akibat dari pertengkaran terus-menerus antara Pemohon dengan
Termohon tersebut, menimbulkan tidak adanya komunikasi antara Pemohon
dengan Termohon, sikap lain yang dilakukan oleh Termohon yaitu tidak
pernah memberikan support atau dorongan moril / sikap acuh kepada
Pemohon dalam mencari nafkah sebagai kepala rumah tangga;
9. Sebagai puncak dari pertengkaran dan tidak pernah adanya komunikasi antara
Pemohon dengan Termohon, maka sejak bulan Agustus 2012, Pemohon dan
Termohon sudah pisah ranjang dan tempat tinggal, sejak terjadinya pisah
ranjang dan tempat tinggal, Termohon tidak pernah menanyakan mengapa
48
Pemohon meninggalkan tempat tinggal bersama apalagi meminta agar
Pemohon kembali tinggal bersama-sama dirumah kediaman bersama justru
menyarankan agar persoalan diselesaikan di Pengadilan;
10. Saat ini Pemohon dengan Termohon sudah tidak ada lagi ikatan lahir dan
bathin sebagaimana layaknya pasangan suami istri, oleh karena itu tujuan dari
perkawinan sebagaimana diisyaratkan undang-undang. Perkawinan tidak akan
tercapai yang berarti ikatan perkawinan antara Pemohon dan Termohon sudah
tidak ada artinya lagi dan jalan yang terbaik adalah perkawinan ini putus
karena perceraian.9
Berdasarkan seluruh uraian dan alasan tersebut, Pemohon bermaksud akan
menjatuhkan talak terhadap Termohon, oleh karena itu mohon kiranya majelis
hakim yang mengadili perkara ini menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Memberi ijin kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak satu terhadap
Termohon dihadapan sidang Pengadilan Agama Tigaraksa;
3. Menghukum kepada Pemohon untuk memberikan hak-hak Termohon:
Nafkah iddah selama masa iddah sebesar Rp. 9.000.000,-
(sembilan juta rupiah);
Mut’ah berupa 2 (dua) unit sepeda motor Yamaha Mio;
4. Menetapkan 3 (tiga) orang anak hasil perkawinan antara Pemohon dan
Termohon yang bernama:
9 Salinan Putusan Perkara No : 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS, h. 4.
49
Muhammad Reyga Wahyudi, laki-laki umur 14 tahun;
Alvida Salsa Wahyudi, perempuan umur 12 tahun;
Virly Tamelia Wahyudi, perempuan umur 7 tahun;
Diasuh dan dipelihara oleh Termohon, dengan memberikan hak kepada
Pemohon sebagai ayah kandungnya untuk mengunjungi, mengajak jalan-jalan,
membicarakan masa depan anak dan lain sebagainya sebagaimana layaknya
hubungan antara anak dengan ayahnya;
5. Menghukum kepada Pemohon untuk memberikan nafkah ke 3 (tiga) orang
anak sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) setiap bulannya sampai anak
tersebut dewasa atau berumur 21 tahun yang diserahkan melalui Termohon
sebagai pemegang hak hadhanah;
6. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Tigaraksa untuk
menyampaikan salinan penetapan ini kepada Kantor Urusan Agama
Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan untuk dicatat pada buku
register yang telah dipersiapkan untuk kepentingan tersebut;
7. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini yang
hingga kini dihitung sebesar Rp. 691.000,- (enam ratus sembilan puluh satu
ribu rupiah);10
Demikian diputuskan dalam permusyawaratan majelis hakim Pengadilan
Agama Tigaraksa pada hari Kamis, 21 Maret 2013 M bertepatan dengan tanggal
1434 H. Oleh kami Drs. H. Saifullah sebagai ketua majelis, H Antung Jumberi,
10
Salinan Putusan Perkara No : 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS, h. 5.
50
S.H, M.H dan Musidah S.Ag, M.HI masing-masing sebagai hakim anggota,
dibantu oleh Fathiyah Sadim, S.Ag sebagai panitera pengganti. Dan putusan
tersebut diucapakan dalam persidangan terbuka untuk umum oleh ketua majelis
dengan dihadiri oleh Pemohon dan Termohon.
C. Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Perkara
Adapun pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkara tersebut adalah
karena mediasi yang dilakukan oleh hakim mediator H. Rosmani Daud, S.Ag
terhadap Pemohon dan Termohon ternyata gagal. Kemudian antara Pemohon dan
Termohon sering terjadi pertengkaran dan perselisihan yang disebabkan Termohon
sering kali berhutang kepada teman-temannya yang jumlahnya sampai ratusan juta
rupiah, dan hal ini juga diakui oleh Termohon, sehingga pada bulan Agustus 2012
terjadilah puncak pertengkaran, akibatnya Pemohon dan Termohon telah pisah
ranjang dan tempat tinggal. Pemohon juga menghadirkan dua orang saksi untuk
meneguhkan dalil-dalil permohonannya dibawah sumpahnya secara Islam, yang pada
pokoknya masing-masing telah menerangkan bahwa Pemohon dan Termohon sering
terjadi pertengkaran yang disebabkan Termohon banyak hutang kepada temannya
hingga ratusan juta rupiah.
Dalam hal terjadinya perselisihan terus menerus antara Pemohon dan
Termohon dalam Rumah Tangganya, majelis hakim telah memperoleh fakta
hukumnya bahwa rumah tangga antara suami istri yang bersangkutan telah
sedemikian parahnya yang sulit untuk dirukunkan. Akhirnya majelis hakim
berkesimpulan bahwa rumah tangga antara Pemohon dan Termohon telah pecah
51
(broken mirrage). Dengan demikian alasan Pemohon mengajukan permohonan ijin
cerai telah sesuai dengan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo.
Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f)
Kompilasi Hukum Islam, sehingga majelis hakim memberi ijin kepada Pemohon
untuk menjatuhkan talak satu raj’i patut dikabulkan.
52
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN TENTANG HUTANG
SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
A. Hutang Sebagai Alasan Perceraian
Di dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 dan di dalam KHI No. 1 Tahun 1974
di sebutkan bahwa terdapat delapan alasan yang memperbolehkan mengajukan
perceraian, enam alasan kita dapat temukan di dalam PP No. 9 Tahun 1975 yaitu:
pertama, salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan. Kedua, salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan
tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. Ketiga, salah satu
pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung. Keempat, salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat terhadap pihak lain. Kelima, salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit yang menyebabkan tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami istri. Keenam, antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidaka ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Sedangkan di dalam KHI ada penambahan dua alasan, yaitu suami melanggar ta’lik
talak, dan terjadinya peralihan agama atau murtad yang mengakibatkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Dari 8 alasan tersebut boleh mengajukan perceraian menurut Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia tampak bahwa hutang tidak termasuk sebagai
53
alasan perceraian. hutang tidak bisa dijadikan sebagai alasan perceraian diduga kuat
karena adanya materi Undang-Undang yang mengatur tentang harta bersama.
Dalam Perundang-undangan Indonesia pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan ayat (1) dan (2) dinyatakan:
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dalam penggunaan harta bersama diatur bahwa jika suami istri masih terikat
dalam perkawinan maka semua tindakan terhadap harta bersama dilakukan atas dasar
kesepakatan kedua belah pihak. Suami istri memiliki hak dan kewajiban yang sama
terhadap harta kekayaan keluarga dalam bentuk harta bersama tersebut. Semua
kebutuhan keluarga diambil dari harta bersama. Dengan demikian jika terjadi
pemenuhan kebutuhan keluarga ditempuh dengan cara berhutang pada pihak lain,
maka konsekuensi logisnya adalah suami istri harus sama-sama bertanggung jawab
atas pelunasan hutang tersebut, sehingga wajar jika Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia tidak menjadikan hutang sebagai alasan perceraian. Selanjunya jika suami
atau istri berhutang kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadi masing-
masing tanpa sepengetahuan suami atau istri, maka hal tersebut tidak dapat
dipertanggung jawabkan kepada harta suami atau istri, karena hutang pribadi tidak
dapat diambil pelunasannya dari harta pribadi pasangan dan tidak dapat diambil
pelunasannya dari harta bersama akibat tidak adanya persetujuan dari kedua belah
pihak.
54
B. Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Perkara No:
2429/Pdt.G/2012/di PA TIGARAKSA
Hakim yang menyidangkan perkara No: 2429/Pdt.G/2012/di PA
TIGARAKSA mengabulkan permohonan talak yang diajukan oleh suami dalam
kasus istri terlilit hutang. Memang hutang bukanlah suatu alasan perceraian yang
terdapat dalam perundang-undangan di Indonesia, akan tetapi akibat dari hutang yang
dilakukan oleh termohon yang nilainya sampai ratusan juta rupiah menyebabkan
terjadinya pertengkaran yang sangat memuncak dalam rumah tangga tersebut.
Dimana, pemohon tidak tahan lagi melihat sikap termohon yang kerap kali berhutang
dan tidak mau mendengarkan nasihat pemohon serta pemohon merasa tidak pernah
dihormati ataupun dihargai sebagai kepala rumah tangga, sehingga terjadilah
pertengkaran terus menerus antara pemohon dan termohon hingga berujung kepada
perceraian. Alasan telah terjadi pertengkaran terus menerus inilah yang dijadikan
hakim Pengadilan Agama Tigaraksa untuk mengabulkan permohonan cerai talak
suami, bukan alasan hutang.
Alasan pertengkaran terus menerus ini menurut bahasa Al-Qur'an disebut
syiqaq. Menurut definisi, syiqaq adalah perceraian yang terjadi karena percekcokan
terus menerus antara suami dengan istri, sehingga memerlukan campur tangan 2
orang hakam (Juru damai) dari pihak suami maupun istri.1
1 A. Zuhdi Muhdor, Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk),
(Bandun Al Bayan, 1995), Cet. Ke-2, h. 97.
55
Dalam penjelasan pasal 76 ayat (1) Undang-Undang No.7 tahun 1989,
dikatakan: “Syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami
istri".2
Untuk mendapatkan keputusan perceraian karena alasan syiqaq harus ada
saksi-saksi dari kerabat dekat suami maupun istri, yang nantinya akan diangkat
pengadilan sebagai hakam.3 Dalam penjelasan pasal 76 ayat (2) Undang-Undang
No.7 tahun 1989, dikatakan bahwa hakam adalah orang yang ditetapkan pengadilan
dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencapai
upaya penyelesaian perselisihan terhadap Syiqaq".
Selain itu peran hakam amat dibutuhkan untuk bisa mendamaikan perselisihan
suami istri, sehingga sedini mungkin perceraian bisa dihindarkan. Mengenai masalah
syiqaq, al-Qur'an telah menjelaskan dalam surat An-Nisa, ayat (4) : 35
يريدا إصلاحا يىفك الله وإن خفتم شقاق بينهما فابعثىا حكما مه أهله وحكما مه أهلها إن
.بينهما إن الله كان عليما خبيرا
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An-Nisa : 35).
Pada umumnya, perselisihan dan percekcokan yang sering terjadi dalam
kehidupan suami istri disebabkan oleh beberapa faktor berikut:
2 UUPA (UU No. 7 Tahun 1989), h. 31.
3 UUPA (UU No. 7 Tahun 1989), h. 3.
56
1. Perselisihan yang menyangkut keuangan
2. Faktor hubungan seksual
3. Faktor berlainan agama atau ketidak patuhan dalam menjalankan ajaran agama
maupun ibadah.
4. Faktor cara mendidik anak-anak.4
Maka dapat penulis simpulkan bahwasanya perceraian yang terjadi antara
pemohon dan termohon terjadi bukan karena hutang, akan tetapi perceraian yang
terjadi antara pemohon dan termohon adalah karena adanya syiqoq dalam rumah
tangganya.
Kasus yang diangkat penulis adalah masalah cerai talak yang diajukan suami
ke Pengadilan Agama Tigaraksa. Pengadilan Agama sebagai bagian dari sistem
hukum nasional memiliki kontribusi penting dalam mempengaruhi dan membentuk
praktik dan kebiasaan yang terjadi dalam hubungan hukum antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini karena hampir semua kompleksitas persoalan relasi antara laki-
laki dengan perempuan sebagai sepasang suami istri adalah bagian pokok dari
kompetensi peradilan agama.
Perceraian merupakan perkara yang mendominasi ruang sidang Pengadilan
Agama di Indonesia. Peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa perceraian
hanya dapat dilakukan melalui Pengadilan Agama.
Pemohon mengajukan permohonan cerainya karena merasa sudah tidak
mampu lagi melihat kelakuan istrinya yang kerap kali berhutang hingga ratusan juta
rupiah.
4 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional… h. 145-146.
57
Dalam pemeriksaan sidang pemohon dan termohon hadir dipersidangan
melalui panggilan secara sah dan patut serta sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk menghadap ke persidangan. Berdasarkan keterangan
saksi-saksi dari pihak pemohon yakni Erwin Baharuddin Bin Mardawi selaku teman
satu kerja dari pemohon dan Suratin Binti Tusrip selaku pembantu rumah tangga
pemohon di dapatkan keterangan bahwa memang konflik yang terjadi diantara
keduanya karena pemohon sudah tidak tahan lagi melihat kelakuan istrinya yang
berhutang kepada orang lain sampai ratusan juta rupiah.
Pada dasarnya putusan dituntut untuk menciptakan suatu keadilan, dan untuk
itu hakim melakukan penilaian dan pemeriksaan terhadap peristiwa dan fakta-fakta.
Hal ini dapat dilakukan lewat pembuktian, mengklasifikasikan antara yang penting
dan yang tidak dan menanyakan kembali kepada pihak lawan mengenai keterangan
saksi dan fakta-fakta yang ada. Maka dalam putusan hakim, yang perlu diperhatikan
adalah pertimbangan hukumnya, sehingga dapat dinilai apakah putusan yang
dijatuhkan cukup memenuhi alasan yang objektif atau tidak.
Acuan utama dalam membuat pertimbangan hukum adalah apa yang terjadi di
persidangan serta ketentuan hukum yang berlaku di lingkungan peradilan. Putusan-
putusan hakim pada dasarnya tidak boleh melewati apa yang dimohon atau digugat.
Pertimbangan hukum yang dibuat oleh majelis hakim adalah karena majelis
hakim melihat bahwa antara pemohon dan termohon sering terjadi percekcokan yang
alasannya adalah karena pemohon sudah tidak tahan lagi melihat kelakuan istrinya
yang sering kali berhutang tanpa sepengetahuan pemohon. Bukti-bukti yang dijadikan
58
landasan hakim adalah keterangan-keterangan dari para saksi dari pihak pemohon
yang memang menyatakan bahwa mereka memang mengetahui percekcokan antara
keduanya yang disebabkan karena pemohon tidak tahan lagi dengan kelakuan istrinya
yang sering kali berhutang dan ditambah pengakuan dari termohon yang
membenarkan hal tersebut.
Majelis hakim kemudian mendasarkan hal tersebut kepada pasal 39 ayat (2)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 dan pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang menerangkan
bahwa salah satu alasan diperbolehkannya mengajukan perceraian adalah
pertengkaran yang terus menerus yang sulit untuk dapat dirukunkan lagi.
Majelis hakim pun menjelaskan yang dimaksud dalam kedua pasal tersebut
adalah bukan semata-mata pertengkaran yang bersifat aktif saja, yaitu pertengkaran
dengan suara kasar, keras antara pemohon dan termohon, tetapi juga pertengkaran
pasif yang berbentuk saling diam, tidak menegur sapa antara suami istri atau
perpisahan tempat tidur yang cukup lama antara keduanya.
Ditinjau dari hukum positif, putusan hakim terhadap perkara ini tidak keluar
dari koridor hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya yang menjadi rujukan
hakim-hakim di Pengadilan Agama di Indonesia. Dalam hal ini majelis hakim
sebelum menjatuhkan putusan telah melakukan upaya mediasi diantara kedua
pasangan tersebut dengan tujuan supaya pasangan suami-istri ini dapat hidup rukun
damai sesuai dengan tujuan perkawinan.
59
Alasan ketidak mampuan suami melihat kelakuan istrinya yang kerap kali
berhutang hingga ratusan juta rupiah adalah karena suami merasa nafkah yang
diberikannya kepada sang istri sudah lebih dari cukup. Akan tetapi karena sang istri
terpengaruh kepada gaya hidup teman-temannya yang sangat tinggi. Akhirnya sang
istri pun berhutang agar bisa mengikuti gaya hidup teman-temannya.
Akan tetapi termohon yang memang cenderung egois dan hanya
mementingkan pemenuhan gaya hidupnya semata, tanpa memperhatikan dan
memahami kondisi keuangan rumah tangga. Terlebih dalam kesehariannya termohon
hanya memperhatikan masalah gaya hidupnya saja, sehingga diakui oleh suami
selaku pemohon merasa dibohongi dan merasa bahwa si istri tidak peduli dengan
keluarga.
Keharmonisan dan kenyamanan sebuah rumah tangga bukan hanya dirasakan
oleh perempuan saja, tetapi laki-laki juga mempunyai hak untuk menikmatinya. Ini
menunjukan bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai derajat yang sama.
Berdasarkan putusan pengadilan dengan Nomor perkara 2429 ini, penulis
dapat menyimpulkan bahwa perceraian ini disebabkan karena adanya hutang yang
dilakukan oleh termohon dan menyebabkan percekcokan terus menerus antara
pemohon dan termohon yang berujung kepada perceraian.
Hakim agama tidak hanya sekedar bertindak sebagai aparatur penegak hukum
dan keadilan tetapi juga dapat menjadi agen perubahan hukum untuk mengatasi
masalah-masalah yang berujung kepada perceraian.
60
Pemahaman ini perlu untuk menyempurnakan pengetahuan mereka tentang
syiqoq. Selama ini para hakim memang mengenal syiqoq ini sebagai alasan terjadinya
kekerasan, tetapi dalam konsep yang dipahaminya itu terkandung makna bahwa
percekcokan itu sebagai kesalahan kedua belah pihak. Dengan analisis tersebut,
mereka dapat menelusuri pangkal atau asal muasal percekcokan itu.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan tersebut, maka perkara hutang sebagai alasan perceraian dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Dalam Perundang-undangan di Indonesia hutang tidak bisa dijadikan sebagai
alasan perceraian, karena memang alasan tersebut tidak ditemukan dalam
perundang-undangan di Indonesia. Diduga kuat karena adanya materi
Undang-Undang yang mengatur tentang harta bersama. Akan tetapi, karena
adanya hutang yang disebabkan oleh istri hingga ratusan juta rupiah memicu
pertengkaran antara suami istri secara terus menerus. Alasan telah terjadi
pertengkaran terus menerus inilah yang dijadikan hakim untuk mengabulkan
permohonan cerai talak suami, bukan karena alasan hutang.
2. Adapun pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan cerai talak
yang diajukan oleh suami terhadap kasus istri karena dililit hutang adalah
karena memang tidak ditemukan lagi keharmonisan dalam rumah tangga
mereka sejak istri diketahui oleh suami berhutang sampai ratusan juta rupiah
dan hal tersebut juga diakui oleh istri. Sehingga hal tersebut memancing
terjadinya syiqoq diantara keduanya. Suami juga merasa tidak pernah dihargai
dan dihormati bahkan tidak pernah diberikan dukungan moril untuk mencari
nafkah guna untuk menghidupi keluarga mereka. Kalo sudah begini
62
keadaannya, di dalam rumah tangga tersebut tidak akan didapati yang
namanya cinta dan kasih sayang. Jika tidak didapati kedua hal tersebut, maka
berpisah (bercerai) adalah jalan yang terbaik, sebab tujuan dari sebuah
pernikahan adalah membentuk keluarga sakinah mawaddah warahmah.
B. Saran-Saran
Dengan selesainya pembahasan dalam skripsi ini, penulis merasa perlu untuk
memperbaikinya. Adapun beberapa saran sebagai berikut :
1. Perlu diadakannya sosialisasi tentang akhlak tasawuf baik itu melalui majelis
ta’lim, hari-hari besar Islam dan acara seminar. Karena jika masyarakatnya
memiliki akhlak yang baik dan tau akan hak dan kewajiban suami istri. Maka
hal ini akan dapat mengurangi jumlah perceraian di masyarakat.
2. Diharapkan kepada para suami yang istrinya mempunyai masalah dengan
hutang agar tidak langsung mengajukan cerai talak. Demikian pula kepada
istri diharapkan untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan suami.
Bagi para suami, terimalah istri sesuai dengan kemampuannya, hak dan
kewajibannya sebagai seorang istri.
3. Sebagai langkah akademis perlu diadakan latihan bagi para mahasiswa syariah
dan hukum akan kemampuan menjadi mediator dalam mendamaikan para
pihak yang sedang cekcok mengingat kurikulum yang ada di Fakultas lebih
dominan masih bersifat teoritis, sehingga perlu diimbangi dengan kurikulum
yang berbasis praktik.
65
DAFTAR PUSTAKA
Badri, R., Perkawinan Menurut Undang-Undang Perakawinan dan K.U.H.P.,
Surabaya: CV. Amin Surabaya, 1985.
Bailey ,Carrol A., A. guide to Qualitative Field Research, Thousand Oaks, CA:
Pine Forge Press, 2006.
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Pusat Peningkatang dan
Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2012.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.
Moleong,Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
RosdaKarya, 2000.
Krisyanto, Rahmat, Tehnik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana Pranada
Group, 2007
Sarwono, Sarlito Wirawan, Apa dan Bagaimana Mengatasi Problema Keluarga,
Jakarta, Pustaka Antara, 1996.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1996.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia,
1986.
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan kualitatif, Kuantitatif dan
R&D Bandung Alfabeta, 2006.
Undang-undang perkawinan di Indonesia: PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Peraturan UU. No.1 Tahun 1974, Jakarta: Pradnya Paramita,
1991.
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo, 2003.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Nurudin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2004
Djaelani Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995
66
AF Hasanuddin, Perkawinan dalam Perspektif Al-Quran, Jakarta: Nusantara
Damai Press, 2011
Sulaiman Abu Daud bin al-‘Asy’ Asy, Sunan Abu Daud”, Mausu’ah al-Hadis al-
Syarif, Mesir: Global Islamic Sofware Company, 2000, hadis no. 1863.
lihat juga, Jalal al-Din al-Syuyuthi, al-Jami’ al-¢haghir Bandung, al-
Ma’arif. Tt. Juz. I.
Thalib Suyuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. Ke- 5, Jakarta: UI Press,
1986
HS Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: Sinar Grafika, 2002
Rasyidi Lili, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan Malaysia,
Bandung: Rosda Karya, 1991
Arto H. A. Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2000, cet. Ke-3.
Suma Muhammad Amin Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan
Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia,
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,.
Saleh K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978,
cet. ke-5
Tihami H.M.A., Fikih Munakahat, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009,
hal.240.
Manan Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006)
Nuruddin Amiur, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI), Jakarta: Kencana,
2006
Sabiq Sayyid, Fiqh Sunnah, Bairut: Dar al-Tsaqofiyah al-Islamyah, Juz 2
Muhtar Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974, Cet. Ke-1
Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006
Hamid Andi Tahir, Peradilan Agama dan Bidangnya, Jakarta : Sinar Grafika,
1996
67
Lubis Sulaikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2006
Bintania Aris, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2012
Fauzed M., Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syar’iyah di Indonesia¸Jakarta : Prenada Media, 2005
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2012
Mudjieb M. Abdul, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
Muslichuddin, M. Sistem Perbankan Dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1990
Lathif AH. Azharudin, fiqh muamalat,Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005
Rais Isnawati, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
Pasaribu Chairuman, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
2004
Mas’adi Ghufron A., Fiqh muamalah kontekstual, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002
Billah Mohd Ma’sum, Penerapan Manajemen Aset Islami, Jakarta:
Pakusengkunyit, 2010
Salinan Putusan Perkara No : 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS
Harahap M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
(Jakarta: Pustaka Kartini)
Muhtar Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974, Cet. Ke-1
http://pa-tigaraksa.net/struktur- organisasi/2014/03/01, pukul, 16.28 wib