10
1 IDENTIFIKASI KEJADIAN PUTING BELIUNG DENGAN MENGGUNAKAN RADAR CUACA DOPPLER C-BAND DI LOMBOK Kadek Setiya Wati 1 , Maria Carine P.A.D.V 2 , Joko Raharjo 3 1,2,3 Prakirawan Stasiun Meteorologi Selaparang-BIL 1. PENDAHULUAN Memasuki musim peralihan seperti saat ini, potensi terjadinya cuaca ekstrem cukup tinggi terutama angin kencang dan angin puting beliung. Dalam PERKA 009 Tahun 2010 disebutkan bahwa kondisi cuaca yang tidak lazim sehingga menimbulkan kerugian terutama keselamatan jiwa dan harta disebut sebagai cuaca ekstrem. Kategori cuaca ekstrem antara angin kencang dan angin puting beliung disebutkan secara berbeda. Angin kencang didefinisikan sebagai kecepatan angin di atas 25 knots atau 45 km/jam sedangkan angin puting beliung didefinisikan sebagai angin kencang yang berputar keluar dari awan Cumulonimbus dengan kecepatan angin lebih dari 34.8 knots atau 64.4 km/jam. Menurut definisi tersebut angin kencang dan angin puting beliung memang jelas berbeda. Angin kencang yang terjadi tanpa diikuti adanya pusaran dari awan Cb yang berbentuk menyerupai belalai gajah bukanlah angin puting beliung. Namun, sebagian masyarakat sepertinya kurang dapat membedakan kedua fenomena tersebut karena karakteristiknya yang mirip yaitu terjadi hembusan angin kencang terutama jika disertai dengan adanya liputan awan gelap di atas lokasi kejadian. Hembusan angin kencang yang terjadi dapat berasal dari arus ke bawah (downdraft) yang keluar dari dasar awan Cumulonimbus yang biasanya terjadi pada tahap punahnya awan tersebut. Seiring dengan berkembangnya alat pemantau cuaca, pemantauan fenomena angin puting beliung dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan radar cuaca. Studi tentang angin puting beliung yang terjadi di wilayah Indonesia diidentikkan dengan terjadinya fenomena tornado di daerah lintang tinggi. Pola yang tampak pada radar memiliki karakteristik tertentu sehingga terjadinya fenomena ini dapat dideteksi. Berdasarkan laporan dari media massa lokal setempat, telah terjadi angin puting beliung pada tanggal 12 Mei 2016 sekitar pukul 14.30 WITA. Angin puting beliung tersebut menerjang dua desa yang terletak di dua kecamatan yakni Dusun Bakong Dasan Desa

identifikasi kejadian puting beliung dengan menggunakan radar

  • Upload
    vantruc

  • View
    247

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

1

IDENTIFIKASI KEJADIAN PUTING BELIUNG DENGAN

MENGGUNAKAN RADAR CUACA DOPPLER C-BAND DI LOMBOK

Kadek Setiya Wati1, Maria Carine P.A.D.V

2, Joko Raharjo

3

1,2,3 Prakirawan Stasiun Meteorologi Selaparang-BIL

1. PENDAHULUAN

Memasuki musim peralihan seperti saat ini, potensi terjadinya cuaca ekstrem cukup

tinggi terutama angin kencang dan angin puting beliung. Dalam PERKA 009 Tahun 2010

disebutkan bahwa kondisi cuaca yang tidak lazim sehingga menimbulkan kerugian terutama

keselamatan jiwa dan harta disebut sebagai cuaca ekstrem. Kategori cuaca ekstrem antara

angin kencang dan angin puting beliung disebutkan secara berbeda. Angin kencang

didefinisikan sebagai kecepatan angin di atas 25 knots atau 45 km/jam sedangkan angin

puting beliung didefinisikan sebagai angin kencang yang berputar keluar dari awan

Cumulonimbus dengan kecepatan angin lebih dari 34.8 knots atau 64.4 km/jam. Menurut

definisi tersebut angin kencang dan angin puting beliung memang jelas berbeda. Angin

kencang yang terjadi tanpa diikuti adanya pusaran dari awan Cb yang berbentuk menyerupai

belalai gajah bukanlah angin puting beliung. Namun, sebagian masyarakat sepertinya kurang

dapat membedakan kedua fenomena tersebut karena karakteristiknya yang mirip yaitu

terjadi hembusan angin kencang terutama jika disertai dengan adanya liputan awan gelap di

atas lokasi kejadian. Hembusan angin kencang yang terjadi dapat berasal dari arus ke bawah

(downdraft) yang keluar dari dasar awan Cumulonimbus yang biasanya terjadi pada tahap

punahnya awan tersebut.

Seiring dengan berkembangnya alat pemantau cuaca, pemantauan fenomena angin

puting beliung dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan radar cuaca. Studi tentang

angin puting beliung yang terjadi di wilayah Indonesia diidentikkan dengan terjadinya

fenomena tornado di daerah lintang tinggi. Pola yang tampak pada radar memiliki

karakteristik tertentu sehingga terjadinya fenomena ini dapat dideteksi.

Berdasarkan laporan dari media massa lokal setempat, telah terjadi angin puting beliung

pada tanggal 12 Mei 2016 sekitar pukul 14.30 WITA. Angin puting beliung tersebut

menerjang dua desa yang terletak di dua kecamatan yakni Dusun Bakong Dasan Desa

2

Lembar Kecamatan Lembar dan Desa Kebon Ayu Kecamatan Gerung. Terjangan angin

puting beliung tersebut mengakibatkan 45 rumah warga mengalami kerusakan bahkan

seorang warga mengalami luka-luka.

2. DATA

Data yang digunakan antara lain:

a. Data reflectivity produk CMAX ketinggian 0.4 – 5 km.

b. Data reflectivity dan velocity produk PPI pada elevasi 0.5° dan 0.9°.

c. Data reflectivity dan velocity produk CAPPI pada ketinggian 0.5 – 2.0 km.

d. Data velocity produk HWIND pada ketinggian 0.5 – 3.0 km.

3. PEMBAHASAN

3.1 Data Reflectivity

3.1.1 Analisis Produk CMAX

Gambar 3.1 Produk PPI elevasi 0.9

PPI 0.5 dan 1.0

gambar.. Produk PPI elevasi 0.5° dan 0.9°

Gambar 3.1 Produk CMAX reflectivity jam 06.30 UTC dan 06.40 UTC

Lokasi terjadinya angin puting beliung cukup dekat dengan pusat radar yaitu

sekitar 25 km (berada dalam ring 1). Dari pantauan citra radar produk CMAX reflectivity

(z) dengan tinggi kolom vertikal mulai dari 0.4 km hingga 5 km pukul 06.30 UTC

menunjukkan adanya liputan echo reflectivity dengan nilai maksimum 55 dBZ. Echo

tersebut tampak membentuk pola seperti “hook echo” yang merupakan ciri khusus dari

kejadian puting beliung. Citra radar dari produk yang sama 10 menit kemudian yaitu jam

06.40 UTC tidak membentuk pola echo dengan ciri khusus namun terlihat bahwa echo

3

yang tampak pada pantauan citra radar memiliki nilai reflectivity yang lebih tinggi

dibandingkan sebelumnya yaitu maksimum hingga 60 dBZ.

Gambar 3.2 VCUT produk CMAX jam 06.30 UTC (kiri) dan 06.40 UTC (kanan)

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas secara vertikal maka dilakukan

VCUT terhadap produk CMAX reflectivity (z) pada jam yang sama di sekitar lokasi

kejadian yang memiliki nilai echo reflectivity maksimum. Hasilnya tampak seperti

gambar di atas, dimana pada jam 06.30 nilai echo reflectivity maksimum yaitu sebesar 55

dBZ terletak pada ketinggian sekitar 3-4 km dari permukaan. Sementara itu, pada jam

06.40 UTC dimana pada citra produk CMAX sebelumnya kurang menunjukkan adanya

pola echo dengan ciri khusus puting beliung namun pada saat dilakukan vertical cut

terlihat adanya nilai echo reflectivity maksimum 60 dBZ yang terjadi pada ketinggian 0-2

km dari permukaan dengan bentuk agak melengkung.

3.1.2 Analisis Produk PPI

Produk PPI yang digunakan merupakan PPI dari dua elevasi terbawah yaitu

elevasi 0.5° dan 0.9°. Penggunaan dua elevasi terbawah berkaitan dengan kejadian puting

beliung yang terjadi di dekat permukaan. Citra produk PPI dari dua elevasi terbawah

tersebut masing-masing ditampilkan untuk jam 06.30 UTC dan 06.40 UTC seperti

tampak seperti gambar 3.3. Dari dua elevasi tersebut terlihat bahwa pada jam 06.30 UTC

baik dari elevasi 0.5° maupun 0.9° pola hook echo tidak terlihat jelas. Pola hook echo

terlihat memiliki bentuk yang lebih jelas pada jam 06.40 UTC terutama pada elevasi 0.9°.

4

Pada citra tersebut echo reflectivity tampak melengkung dengan nilai echo maksimum

adalah 60 dBZ. Kondisi ini tampak berlawanan dengan citra produk CMAX dimana pola

seperti hook echo terlihat lebih jelas pada citra radar jam 06.30 UTC.

Gambar 3.3 Produk PPI elevasi 0.5° dan 0.9° jam 06.30 UTC dan 06.40 UTC.

3.1.3 Analisis Produk CAPPI

Sama seperti produk sebelumnya, produk CAPPI yang ditampilkan merupakan produk

yang berasal dari ketinggian dekat permukaan. Produk CAPPI yang digunakan dalam analisis ini

yaitu CAPPI pada ketinggian 0.5 km, 1 km, 1.5 km, dan 2 km. Berdasarkan analisis citra produk

CAPPI pada ketinggian 0.5 km hingga 2.0 km, terlihat bahwa pola hook echo dan nilai reflectivity

maksimum hingga 60 dBZ terlihat paling jelas pada ketinggian 0.5 km jam 06.40 UTC. Pola yang

tampil pada produk CAPPI 0.5 km jam 06.40 UTC memiliki bentuk yang mirip dengan tampilan

pola pada produk PPI elevasi 0.9° jam 06.40 UTC. Pada CAPPI lapisan ketinggian di atas 0.5 km,

pola hook echo kurang dapat terlihat. Echo reflectivity yang terlihat pada ketinggian 1 km hingga

2 km umumnya hanya menampilkan nilai echo maksimum yang mencapai 55 dBZ.

5

Gambar 3.4 Produk CAPPI ketinggian 0.5 km, 1 km, 1.5 km, dan 2.0 km

jam 06.30 UTC dan 06.40 UTC

6

3.2 Data Velocity

3.2.1 Analisis Produk PPI

Berdasarkan data velocity produk PPI dengan elevasi 0.5° dan 0.9° pada pukul 06.30 dan

06.40 UTC terlihat pertemuan dua kecepatan angin maksimum dengan arah yang berbeda. Hal ini

menunjukkan terdapat potensi terbentuknya awan Cumulunimbus di wilayah tersebut ( lingkaran

hitam). Dari data tersebut juga terlihat adanya pola rotasi dengan kecepatan angin yang berkisar

2.5 m/s khususnya pada produk PPI dengan elevasi 0.9° pukul 06.40 UTC . Pola rotasi

(mesocyclone) pada velocity dimaksudkan bahwa kondisi tersebut memungkinkan terjadi angin

puting beliung.

Gambar 3.5 Produk PPI elevasi 0.5° dan 0.9° jam 06.30 UTC dan 06.40 UTC.

3.2.2 Analisis Produk CAPPI

Citra produk CAPPI velocity dengan ketinggian 0.5 dan 1 km pada pukul 06.30

dan 06.40 UTC menunjukkan adanya pola pertemuan angin yang menyebabkan

pertumbuhan awan Cb di wilayah kejadian. Namun tidak ditemukan adanya pola rotasi

pada citra produk ini. Sedangkan bila dilihat dari produk CAPPI dengan ketinggian 2 km

7

hanya terlihat pergerakan angin dengan arah menjauhi pusat radar dengan kisaran

kecepatan 5-20m/s.

Gambar 3.6 Produk CAPPI ketinggian 0.5 km, 1 km, 1.5 km, dan 2.0 km

jam 06.30 UTC dan 06.40 UTC

8

3.2.3 Analisis Produk HWIND

Gambar 3.7 Produk HWIND ketinggian 0.5 km, 1 km, 1.5 km, dan 2.0 km

jam 06.30 UTC dan 06.40 UTC

9

Produk HWIND merupakan produk yang menampilkan data angin permukaan

horizontal pada suatu ketinggian. Penggunaan produk HWIND bertujuan untuk

mengetahui pola angin pada suatu wilayah tertentu. Berdasarkan citra produk HWIND

dengan masing-masing ketinggian yakni pada pukul 06.30 UTC, terlihat bahwa pada

lokasi kejadian angin yang bertiup memiliki kecepatan 10-20 knots. Namun apabila

dilihat dari arah angin, terlihat bahwa terdapat adanya suatu pusaran yang berupa arus

siklonik apabila ditarik menjadi suatu garis. Pola ini terlihat jelas pada citra produk

HWIND dengan ketinggian 0.5 dan 1 km. Pada ketinggian 2 dan 3 km, masih terlihat

pola siklonik namun tidak tepat pada lokasi kejadian angin puting beliung. Sedangkan

pada pukul 06.40 UTC, pola arus siklonik hanya terlihat pada ketinggian 0.5 km. Pada

ketinggian 1,2 dan 3 km sudah tidak menunjukkan adanya pola siklonik pada lokasi

kejadian puting beliung.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data reflectivity dan velocity untuk masing-masing produk

CMAX, PPI, CAPPI, dan HWIND dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Analisis citra radar data reflectivity menunjukkan adanya pola hook echo yang

merupakan pola khusus terjadinya angin puting beliung di sekitar wilayah Gerung,

Lombok Barat.

2. Pola hook echo terlihat paling jelas pada tampilan produk PPI elevasi 0.9° dan produk

CAPPI ketinggian 0.5 km jam 06.40 UTC.

3. Nilai echo reflectivity maksimum yang tampak pada citra radar adalah 55 dBZ pada

jam 06.30 UTC dan 60 dBZ pada jam 06.40 UTC.

4. VCUT pada produk CMAX jam 06.40 memperlihatkan adanya echo dengan nilai 60

dBZ pada ketinggian 0 km – 2 km dengan bentuk melengkung.

5. Analisis citra radar data velocity menunjukkan adanya pola rotasi (mesocyclone) yang

menyebabkan terjadinya puting beliung di wilayah Gerung. Pola mesocyclone terlihat

sangat jelas pada produk PPI dengan elevasi 0.9° pukul 06.40 UTC. Kecepatan angin

pada saat itu berkisar 2.5 m/s.

6. Pola siklonik juga terlihat dari produk HWIND dengan ketinggian 0.5 dan 1 km pada

pukul 06.30 UTC di wilayah Gerung, Lombok Barat.

10

DAFTAR PUSTAKA

BMKG, 2010, Peraturan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Nomor:

KEP.009 Tahun 2010 tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan

Peringatan Dini, Pelaporan, dan desiminasi Informasi Cuaca Ekstrem.

Fikroh, N., 2013, Analisa Pola Angin Pada Citra Radar Saat Kejadian Puting Beliung

(Studi Kasus Pangkep, 12 Januari 2013), Tugas Akhir, Program Studi Meteorologi,

STMKG, Tangerang Selatan.

Nugraheni, I.R., 2014, Kajian Kejadian Puting Beliung Di Sumatera Selatan Dengan

Memanfaatkan Data Radar Cuaca (Studi Kasus Januari 2013 – Maret 2014),

Skripsi, Program Studi Meteorologi, STMKG, Tangerang Selatan.

Muzayanah, L.F., 2015, Interpretasi Citra Radar Cuaca Sebagai Kajian Puting Beliung

dan Angin Kencang Wilayah Jawa Timur (Studi Kasus Sidoarjo, Bangkalan, dan

Pasuruan), Skripsi, Program Studi Meteorologi, STMKG, Tangerang Selatan.

Radar Lombok, 2016, Dua Desa Diterjang Puting Beliung, [daring]

(http://www.radarlombok.co.id/dua-desa-diterjang-puting-beliung.html,

diakses tanggal 13 Mei 2016).

MENGETAHUI

KASI OBSERVASI DAN INFORMASI

STAMET SELAPARANG BIL

DEVI ARDIANSYAH, S.P.

NIP. 197804071999031001