Author
hoangkiet
View
243
Download
0
Embed Size (px)
1
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Taksonomi Ayam Broiler
Ayam broiler adalah ayam muda jantan atau betina yang umumnya
dipanen pada umur 26-28 hari dengan tujuan sebagai penghasil daging.
Sehubungan dengan waktu panen yang relatif singkat maka jenis ayam ini
mempersyaratkan pertumbuhan yang cepat, dada lebar yang disertai timbunan
daging yang baik, dan warna bulu yang disenangi, biasanya dipilih warna putih
(Ruhyat dan Edjeng, 2010)
Menurut Dede (2010) daging ayam broiler adalah bahan pangan sumber
protein hewani yang berkualitas tinggi karena mengandung asam amino esensial
yang lengkap, lemak, vitamin dan mineral serta zat lainnya yang sangat
dibutuhkan tubuh. Daging broiler tidak tahan lama atau mudah rusak. Usaha
untuk mempertahankan kualitas daging broiler sangatlah perlu dilakukan melalui
penanganan pasca panen sehingga dapat memperpanjang lama penyimpanan dari
bahan pangan.
Secara umum bangsa unggas piaraan memiliki empat ordo, yaitu ordo
Anseriformes, Galliformes, Columbiformes, dan Struthioniformes. Ayam (Gallus
domesticus) merupakan spesies keturunan ordo Galliformes dengan genus Gallus
(Tri, 2004).
Taksonomi ayam adalah sebagai berikut (Khalid, 2011) :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebata
Kelas : Aves
Ordo : Galliformes
2
Keluarga : Phasianidae
Genus : Gallus
Spesies : Gallus domesticus
2.2.Struktur dan Komposisi Daging Ayam
Struktur otot daging terdiri dari serat-serat daging, lemak dan jaringan ikat.
Menurut Tien dkk., (2010) Serat-serat daging terdiri dari miofibril, sedangkan
miofibril ini tersusun oleh beberapa miofilamen, dimana miofilamen ini
merupakan struktur terkecil pembentuk daging. Serat-serat daging ini
dipersatukan oleh sarkoplasma dan terbungkus oleh lapisan sarkolema yang
sangat tipis. Beberapa serat daging bergabung menjadi satu diselaputi oleh
endomesium, komponen ini bergabung menjadi satu tenunan yang diselaputi oleh
bagian perimesium. Kumpulan dari perimesium diselaputi oleh membran tipis
yang disebut epimesium. Lapisan epimesium ini terdiri dari jaringan ikat yang
berupa serabut-serabut kolagen dan elastin.
Menurut Tien, dkk., (2010) ayam broiler adalah jenis ayam yang telah
mengalami upaya pemuliaan. Ayam broiler merupakan ayam penghasil daging
yang unggul dan mempunyai bentuk, ukuran dan warna yang seragam. Daging
ayam broiler umur 7 minggu lebih banyak mengandung air dan lemak, sedangkan
kandungan protein lebih rendah daripada daging ayam broiler umur 6 minggu
(Soeparno, 2011). Kandungan lemak yang tinggi dengan meningkatnya umur
ternak disebabkan oleh proliferasi jumlah sel lemak yang masih berlangsung
selama proses pertumbuhan. Pada umur 7 minggu ransum yang diberikan
sebaiknya mengandung protein yang rendah, karena pada umur 7 minggu ayam
broiler menyimpan kelebihan makanannya dalam bentuk lemak, sehingga
3
menyebabkan kandungan protein yang terdapat pada daging menurun (Murtidjo,
1987).
Jenis kelamin ayam broiler dapat mempengaruhi komposisi kimia daging
(Soeparno, 2011). Ayam broiler betina lebih berlemak daripada ayam broiler
jantan, karena adanya perbedaan laju pertumbuhan dan kebutuhan nutrient,
termasuk kebutuhan protein dan energi. Ayam broiler betina membutuhkan lebih
sedikit protein selama pertumbuhan dibandingkan dengan ayam broiler jantan,
sehingga efisiensi konsumsi protein/energi lebih tinggi. Efek dari kebutuhan
protein yang sedikit tersebut yang menyebabkan makanan yang masuk ke dalam
tubuh ayam dijadikan sumber energi, sehingga jika kelebihan energi maka
ditimbun sebagai lemak. Demikian pula dengan bagian daging dada dengan
daging bagian bukan dada. Hal ini diakibatkan karena adanya perbedaan aktivitas
otot, otot yang lebih aktif lebih banyak membutuhkan energi dan kelebihan energi
dapat ditimbun menjadi lemak (Soeparno, 2011). Perbedaan komposisi kimia
macam daging dengan jenis kelamin dan umur ayam broiler dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Daging Ayam Broiler Jantan dan Betina Umur6-7 Minggu
Jenis kelamin/umur Macam Daging Komposisi Kimia (%)Air Protein Lemak Abu
Jantan/6 minggu Dada 73,27 22,08 2,98 0,72Bukan dada 73,56 20,21 5,43 0,47
Betina/6 minggu Dada 72,59 22,07 3,16 0,68Bukan dada 73,22 19,42 6,36 0,55
Jantan/7 minggu Dada 73,38 21,95 3,51 0,50Bukan dada 74,17 18,27 6,64 0,62
Betina/7 minggu Dada 73,64 20,81 4,11 0,48Bukan dada 74,29 17,57 7,55 0,51
Sumber: Soeparno, 2011
4
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan lemak bagian dada
lebih banyak dibandingkan daging bagian bukan dada. Semakin meningkatnya
umur ayam broiler diikuti dengan peningkatan kadar lemak.
2.3.Kerusakan Daging Ayam Broiler oleh Mikrooganisme
Penanganan daging ayam yang tidak tepat dapat menyebabkan daging
ayam mudah membusuk, karena daging ayam merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri. Bakteri penyebab kebusukan dapat disebabkan melalui
kontaminasi daging pascamati (Tien, dkk., 2010).
Awal kontaminasi pada daging berasal dari mikroorganisme yang
memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan, jika alat-alat yang
dipergunakan untuk pengeluaran darah tidak steril, karena darah masih
bersirkulasi selama beberapa saat setelah penyembelihan dan mikroorganisme
dapat beredar ke seluruh daging ayam broiler (Soeparno, 2009).
Kebusukan terjadi apabila populasi mikroorganisme mencapai 107
cfu/gram, apabila mecapai 108 cfu/gram maka terjadi perubahan bau dan
pembentukan lendir (Buckle dkk., 2009). Pembusukan adalah dekomposisi
protein secara anaerobik yang menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau busuk
seperti H2S, merkaptan, indol, skatol, ammonia dan amin. Pembusukan biasanya
disebabkan oleh spesies clostridium atau bakteri anaero-fakultatif (biasanya
dengan nama spesies putefaciens, putrificum, putida) seperti Pseudomonas sp,
Alcaligenes sp dan Proteus sp. Mikroorganisme genus pseudomonas sp,
flavobacterium sp dan micrococcus sp merupakan bakteri pembusuk yang paling
dominan pada proses pembusukan daging ayam broiler (Denny dkk., 2009).
Kebusukan daging ditandai oleh adanya perubahan bau dan timbulnya
lendir yang biasanya terjadi jika jumlah mikroba mencapai jutaan atau ratusan juta
5
sel atau lebih per 1 cm luas permukaan daging. Hal ini disebabkan oleh
pertumbuhan bakteri pembusuk dengan tanda-tanda pembentukan lendir yang
disebabkan oleh pertumbuhan bakteri L. viridens, bakteri pembentuk lendir
berwarna hijau yaitu Enterococcus dan Bacillus thermospacta, perubahan warna
yang disebabkan oleh pigmen daging (mioglobin) menjadi metmioglobin yang
berwarna coklat, menjadi kuning atau hijau yang disebabkan oleh bakeri
pembentuk sufmyoglobin (Frazier dan Westhoff, 1998), perubahan bau menjadi
busuk karena terjadi pemecahan protein dan terbentuknya senyawa-senyawa
berbau busuk seperti ammonia, H2S dan senyawa lain, perubahan rasa menjadi
asam dan pahit karena pertumbuhan bakteri pembentuk asam dan senyawa pahit,
terjadi ketengikan yang disebabkan pemecahan atau oksidasi lemak daging (Sri,
2010).
Menurut Soeparno (2009) pertumbuhan bakteri pada daging secara umum
dapat dibagi menjadi empat fase (Ilustrasi 1) yaitu:
Ilustrasi 1. Kurva Pertumbuhan Bakteri (Soeparno, 2009)
1. Fase pertumbuhan awal, bila kondisi lingkungan yang menguntungkan,
ukuran sel, material inti dan jumlah sistem enzim tertentu meningkat.
6
2. Fase eksponensial (fase pertumbuhan logaritmik). Pada fase ini
jumlah mikroorganisme meningkat dan tumbuh dengan laju
pertumbuhan yang konstan hingga faktor lingkungan menjadi terbatas.
Fase pertumbuhan logaritmik berakhir secara berangsur.
3. Fase pertumbuhan statis (stationary), mikroorganisme mencapai titik
ekuilibrum yaitu sel bisa konstan selama beberapa saat karena
berkurangnya pembelahan sel atau adanya keseimbangan antara laju
perbanyakan sel dengan laju kematian.
4. Fase pertumbuhan menurun (fase kematian) dipengaruhi oleh beberapa
kondisi seperti menjadi habisnya persediaan nutrien esensial atau
akumulasi hasil metabolik asam atau pengaruh proses preservasi
tertentu.
Metode yang dapat digunakan untuk mengetahui jumlah total bakteri pada
suatu sampel adalah dengan metode Total Plate Count (TPC), metode ini
digunakan untuk uji kualitas sanitasi produk pangan. Prinsip dari metode hitung
cawan adalah jika sel jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium
agar, maka sel jasad renik tersebut berkembang biak dan membentuk koloni yang
dapat dilihat langsung dan dihitung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop
(Srikandi, 1992).
Dalam metode hitung cawan, bahan pangan yang diperkirakan
mengandung lebih dari 300 sel jasad renik per ml atau per gram atau per cm.
Setelah diinkubasi akan terbentuk koloni pada cawan tersebut dalam jumlah yang
dapat dihitung, dimana jumlah yang terbaik adalah antara 30 sampai 300 koloni
(Srikandi, 1992).
7
Kerusakan daging akibat mikroorganisme menyebakan peningkatan pH,
dan meningkatnya total bakteri yang akan diikuti dengan penurunan daya awet.
pH setelah ayam mati ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari
glikogen selama proses glikolisis anaerob (Lawrie, 2003). Dalam keadaan masih
hidup pH daging antara 6,8-7,2 dan ph daging setelah dipotong turun karena
terjadi penimbunan asam laktat dalam jaringan otot akibat proses glikolisis
anaerob, kemudian akan terjadi peningkatan pH akibat pertumbuhan
mikroorganisme. Pada daging unggas penurunan nilai pH akan mencapai nilai
5,8-5,9 setelah melewati fase pasca mortem selama 2-4,5 jam (Tien, dkk., 2010).
Hampir semua bakteri tumbuh secara optimal pada pH sekitar 7 dan tidak akan
tumbuh pada pH dibawah 4 atau diatas 9.
Penurunan pH daging dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu stres sebelum
pemotongan, spesies, macam otot dan aktivitas enzim yang mempengaruhi
glikolisis. Daging tidak dapat diukur segera setelah pemotongan, untuk
mengetahui penurunan pH awal setidaknya 45 menit setelah pemotongan dan
setelah 24 jam baru dilakukan pengukuran untuk mengetahui pH akhir dari daging
(Soeparno, 2009). Faktor lain yang bisa mempengaruhi kecepatan penurunan pH
adalah temperatur disekitarnya. Penurunan pH akan cepat terjadi pada suhu yang
tinggi, kecepatan penurunan pH akan mempengaruhi kondisi fisik jaringan otot,
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hubungan pH Akhir dan Kecepatan Penurunan pH DenganKondisi Fisik Jaringan Otot
pH akhir Kec. Penurunan pH Kondisi jaringan otot6,0-6,5 Lambat Gelap, kasar, kering6,0-5,7 Lambat Agak gelap5,7-5,3 Lambat Normal5,7-5,3 Cepat Agak pucat
5,3 Cepat Pucat, lembek, berairSumber: Tien, dkk., (2010)
8
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa daging yang normal bila laju
penurunan pH lambat sehingga pH akhir kisaran 5,3-5,7 tetapi bila pH akhir
kisaran 5,7-6,5 akan diperoleh daging yang gelap, kasar dan kering. Sebaliknya
jika penurunan pH cepat sehingga pH akhir yang didapat kisaran 5,3-5,7 akan
menghasilkan daging yang pucat, lembek dan berair.
Kualitas daging dipengaruhi oleh kecepatan penurunan pH dan pH akhir
yang dicapai bila kualitas daging gelap, kasar dan kering adalah 6,0-6,5. pH akhir
yang dicapai bila kualitas daging agak gelap adalah 6,0-5,7. Bila kecepatan
penurunan pH lambat, pH akhir yang dicapai kualitas daging normal adalah 5,7-
5,3, namun pH akhir yang dicapai bila kualitas daging agak pucat adalah 5,7-5,3
dengan kecepatan penurunan pH yang cepat. pH akhir yang dicapai bila kualitas
daging pucat, lembek dan berair adalah 5,3.
Menurut Denny, dkk., (2009) penurunan pH daging terdiri dari 3 pola,
yaitu :
1. Penurunan pH secara normal (penurunan pH yang lambat), yaitu dari nilai pH
sekitar 7,0-7,2 akan mencapai nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0
sampai 5,6-5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem dan akan mencapai nilai pH
akhir sekitar 5,5-5,6. Nilai pH akhir (ultimate pH value) adalah nilai pH
terendah yang dicapai pada otot setelah pemotongan (kematian).
2. Pola nilai pH PSE atau Pale Soft Exudative (penurunan pH yang cepat), nilai
pH menurun relatif cepat sampai sekitar 5,4-5,5, pada jam-jam pertama setelah
pemotongan dan mencapai nilai pH akhir 5,3-5,6.
3. Pola nilai pH DFD atau Dark Firm Dry (penurunan pH yang lambat), nilai pH
menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan tetap
9
relatif tinggi, mencapai pH akhir sekitar 6,5-6,8 atau nilai pH akhir dicapai
6,2.
Kualitas daging dengan penurunan nilai pH PSE dan DFD dikategorikan
buruk. Daging PSE ditandai dengan warna daging yang pucat (pale), lembek
(soft) dan basah pada permukaan (exudative), sedangkan daging DFD ditandai
dengan daging yang berwarna gelap (dark), kompak (firm) dan kering (dry).
Penyebab terjadinya kedua pola penurunan nilai pH daging tersebut adalah
pemotongan hewan yang stres, sakit, kurang istirahat, atau banyaknya
gerakan/rontaan sesaat hewan disembelih (Denny dkk., 2009).
2.4. Pengawetan Alami
Bahan pengawet pangan yang ideal untuk dikonsumsi oleh manusia harus
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Nurwanto dan Djariyah, 1997):
a. Tidak spesifik, artinya sifat anti mikrobanya berspektrum luas
b. Termasuk golongan bahan pengawet GRAS (Generally Recognized and Safe)
c. Ekonomis (murah dan mudah diperoleh)
d. Tidak berpengaruh pada citarasa
e. Tidak berkurang aktivitasnya selama penyimpanan
f. Lebih efektif yang bisa mematikan (lethal) dari pada hanya menghambat
pertumbuhan (nonlethal).
Secara garis besar zat pengawet dibedakan menjadi 3 jenis yaitu ADI,
GRAS dan zat pengawet yang tak layak konsumsi. ADI (Acceptable Daily Intake),
yang selalu ditetapkan penggunaan hariannya untuk melindungi kesehatan
konsumen. Bahan yang termasuk ADI adalah asam benzoate, kalsium propionate,
asam propionate, kalsium sorbet, asam sorbet, kalsium benzoate, sulfur dioksida,
natrium benzoat, kalium benzoate, natrium sulfit, natrium bisulfit, kalium sulfit,
10
natrium nitrat, kalium nitrat, natrium nitrit, kalium nitrit, natrium propionate,
kalium propionate, nisin dan kalium sorbet. GRAS (Generelly Recognized and
Safe) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek racun sama
sekali, yang termasuk zat pengawet GRAS adalah garam, asam dan, gula. Selain
itu zat pengawet yang tidak layak dikonsumsi karena berbahaya seperti boraks dan
formalin (Nurwanto dan Djaryah, 1997).
Bahan pengawet alami merupakan jenis pengawet yang memiliki
kemampuan untuk mengawetkan makanan. Bahan pengawet alami relatif aman
dibandingkan bahan pengawet sintetis yang bersifat karsinogenik (Winarno dan
Rahayu, 1994). Bahan pengawet alami yang sering digunakan adalah rempah-
rempah.
Menurut Sutrisno (2009) bahwa efek penghambatan senyawa antimikroba
dari rempah-rempah tidak hanya dapat menghambat pertumbuhan bakteri, tetapi
dapat menghambat pertumbuhan khamir seperti Cadinda albican dan
Sacharomyces cerevisiae. Komponen antimikroba yang terdapat pada cengkeh,
minyak kayu manis, minyak bawang putih dan bawang merah dapat menghambat
spesies kapang diantaranya adalah Aspergillus flavus, A. parasiticus dan A.
ochraceus. Kapang adalah mikroorganisme penyebab kerusakan bahan pangan
terutama biji-bijian dan produk tepung-tepungan dengan kadar air rendah
(Sutrisno, 2009).
2.5. Taksonomi Daun Salam
Nama latin dari daun salam adalah Syzygium polyanthum dan tanaman ini
dikenal dengan nama asing Indonesian bayleaf atau Indonesian laurel, sedangkan
di setiap daerah mempunyai nama yang berbeda yaitu diantara lain, daerah
Sumatera menyebut daun salam dengan ubar serah atau meselangan, daerah Jawa
11
menyebut daun salam dengan manting. Menurut Katzer (2000), taksonomi daun
salam sebagai berikut:
Klasifikasi : Kingdom : Plantea
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Pinophyta
Kelas : Coniferopsida
Bangsa : Myricales
Suku : Myricaceae
Marga : Eugenia
Jenis : Eugenia polyantha
Daun salam (Ilustrasi 2) digunakan terutama sebagai rempah pengharum
masakan di sejumlah negeri di Asia Tenggara, baik untuk masakan daging, ikan,
sayur mayur, maupun nasi. Daun ini dicampurkan dalam keadaan utuh, kering
atau segar dan turut dimasak hingga makanan tersebut matang. Rempah ini
memberikan aroma herbal yang khas namun tidak terlalu menyengat (Guzman
dan Siemonsma, 1999).
Daun salam digunakan juga untuk pengobatan tradisional. Berbagai
literatur menyebutkan bahwa Eugenia polyanthum mempunyai khasiat
pengobatan, antara lain untuk mengobati kencing manis, hipertensi, kolesterol
tinggi, gastritis, diare, asam urat, eksim, kudis, dan gatal-gatal (Dalimartha, 2005).
12
Ilustasi 2. Daun Salam
2.5.1. Kandungan Kimia Tumbuhan Salam
Kandungan tanaman salam antara lain adalah saponin, triterpenoid,
flavanoid, polifenol, alkaloid, tanin dan minyak atsiri yang terdiri dari
sesquiterpen, lakton dan fenol (Sudarsono, dkk., 2002). Minyak atsiri atau
dikenal dengan nama minyak ateris atau minyak terbang (essential oil, volatile)
dihasilkan oleh tanaman tertentu. Fenol dalam minyak atsiri menyebabkan
denaturasi protein pada dinding sel kuman dengan membentuk struktur tersier
protein dengan ikatan nonspesifik atau ikatan disulfida (Ganiswara, 1995).
Minyak atsiri utamanya terdiri dari senyawa terpenoid dengan kerangka
karbon atom dari lima. Karakteristik minyak esensial mudah menguap pada suhu
kamar tanpa dekomposisi, pahit, bau manis sesuai dengan tanaman yang
memproduksi dan larut dalam pelarut organik tetapi tidak larut dalam air. Atsiri
yang memiliki aroma harum dan dapat digunakan sebagai penyedap masakan.
Minyak atsiri adalah campuran berbagai persenyawaan organik yang mudah
menguap, mudah larut dalam pelarut organik serta mempunyai aroma khas sesuai
dengan jenis tanamannya (Gluenther, 1987).
Minyak atsiri dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan, parfum,
minuman, penyedap makanan dan pestisida. Komponen minyak atsiri terdiri atas
13
dua golongan (berdasarkan unsur penyusunnya) yaitu golongan hidrokarbon dan
oxygenated hydrocarbon. Golongan hidrokarbon terdiri atas unsur hidrogen
(H) dan karbon (C) yang terdapat dalam bentuk parafin dan hidrokarbon aromatik
sedangkan golongan oxygenated hydrocarbon terdiri atas karbon (C), hidrogen
(H) dan oksigen (O), dan merupakan senyawa paling penting dalam minyak atsiri
karena mempunyai aroma yang lebih wangi (Gluenther, 1987).
Minyak atsiri pada beberapa tanaman memiliki aktivitas biologis sebagai
antibakteri, antijamur, antiseptik dan antioksidan sehingga dapat digunakan
sebagai pengawet makanan dan antimikroba alami. Minyak atsiri bekerja dengan
mendenaturasikan protein yang melibatkan perubahan dalam stabilitas molekul
protein dan menyebabkan perubahan struktur protein dan terjadi proses koagulasi
protein. Protein yang mengalami proses denaturasi akan kehilangan aktifitas
fisiologi dan dinding sel yang menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas
sel sehingga akan terjadi kerusakan pada sel bakteri (Susmono dan Wulan, 2008).
Minyak atsiri mengandung sitral dan eugenol yang berfungsi sebagai
anastetik dan antiseptik (Dalimartha, 2005). Eugenol adalah sebuah senyawa
kimia aromatik, berbau, banyak didapat dari butir cengkeh, sedikit larut dalam air
dan larut pada pelarut organik. Beberapa minyak atsiri dapat digunakan sebagai
bahan antiseptik, untuk obat sakit perut, bahan pewangi kosmetik, parfum dan
aroma masakan (Sembiring dkk., 2003).
Senyawa kimia yang terdapat pada daun salam selain minyak atsiri adalah
tanin (Ilustrasi 3). Tanin dapat ditemukan pada berbagai macam tanaman. Tanin
mempunyai rumus empiris C76H52O46. Tanin telah terbukti mempunyai
efektivitas antioksidan dan menghambat pertumbuhan tumor (Robinson, 1995).
Tanin merupakan senyawa fenol berfungsi untuk menghambat pertumbuhan
14
bakteri karena kemampuannya untuk mendenaturasi protein dan menurunkan
tegangan permukaan, sehingga permeabilitas bakteri meningkat serta menurunkan
konsentrasi ion kalsium, menghambat produksi enzim, dan menganggu proses
reaksi enzimatis, sehingga menghambat terjadinya koagulasi plasma (Susmono
dan Wulan, 2009). Menurut Wistreich dan Lechtman dalam Susmono dan Wulan
(2009), kerusakan dan peningkatan permeabilitas sel bakteri menyebabkan
pertumbuhan sel terhambat dan akhirnya dapat menyebabkan kematian sel.
Ilustrasi 3. Strukur Tanin
Mekanisme kerja tanin sebagai antimikroba berhubungan dengan
kemampuan tanin dalam menginativasi adhesin sel mikroba (molekul yang
menempel pada sel inang) yang terdapat pada permukaan sel dan tanin memiliki
sasaran terhadap polipeptida dinding sel yang menyebabkan kerusakan pada
dinding sel (Sari dan Sari, 2011). Tanin, dalam konsentrasi rendah mampu
menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan pada konsentrasi tinggi, tanin
bekerja sebagai antimikroba dengan cara mengkoagulasi atau menggumpalkan
protoplasma kuman, sehingga terbentuk ikatan yang stabil dengan protein
mikroorganisme dan mempunyai kemampuan untuk menghilangkan toksin pada
saluran pencernaan (Poeloengan, 2010).
14
bakteri karena kemampuannya untuk mendenaturasi protein dan menurunkan
tegangan permukaan, sehingga permeabilitas bakteri meningkat serta menurunkan
konsentrasi ion kalsium, menghambat produksi enzim, dan menganggu proses
reaksi enzimatis, sehingga menghambat terjadinya koagulasi plasma (Susmono
dan Wulan, 2009). Menurut Wistreich dan Lechtman dalam Susmono dan Wulan
(2009), kerusakan dan peningkatan permeabilitas sel bakteri menyebabkan
pertumbuhan sel terhambat dan akhirnya dapat menyebabkan kematian sel.
Ilustrasi 3. Strukur Tanin
Mekanisme kerja tanin sebagai antimikroba berhubungan dengan
kemampuan tanin dalam menginativasi adhesin sel mikroba (molekul yang
menempel pada sel inang) yang terdapat pada permukaan sel dan tanin memiliki
sasaran terhadap polipeptida dinding sel yang menyebabkan kerusakan pada
dinding sel (Sari dan Sari, 2011). Tanin, dalam konsentrasi rendah mampu
menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan pada konsentrasi tinggi, tanin
bekerja sebagai antimikroba dengan cara mengkoagulasi atau menggumpalkan
protoplasma kuman, sehingga terbentuk ikatan yang stabil dengan protein
mikroorganisme dan mempunyai kemampuan untuk menghilangkan toksin pada
saluran pencernaan (Poeloengan, 2010).
14
bakteri karena kemampuannya untuk mendenaturasi protein dan menurunkan
tegangan permukaan, sehingga permeabilitas bakteri meningkat serta menurunkan
konsentrasi ion kalsium, menghambat produksi enzim, dan menganggu proses
reaksi enzimatis, sehingga menghambat terjadinya koagulasi plasma (Susmono
dan Wulan, 2009). Menurut Wistreich dan Lechtman dalam Susmono dan Wulan
(2009), kerusakan dan peningkatan permeabilitas sel bakteri menyebabkan
pertumbuhan sel terhambat dan akhirnya dapat menyebabkan kematian sel.
Ilustrasi 3. Strukur Tanin
Mekanisme kerja tanin sebagai antimikroba berhubungan dengan
kemampuan tanin dalam menginativasi adhesin sel mikroba (molekul yang
menempel pada sel inang) yang terdapat pada permukaan sel dan tanin memiliki
sasaran terhadap polipeptida dinding sel yang menyebabkan kerusakan pada
dinding sel (Sari dan Sari, 2011). Tanin, dalam konsentrasi rendah mampu
menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan pada konsentrasi tinggi, tanin
bekerja sebagai antimikroba dengan cara mengkoagulasi atau menggumpalkan
protoplasma kuman, sehingga terbentuk ikatan yang stabil dengan protein
mikroorganisme dan mempunyai kemampuan untuk menghilangkan toksin pada
saluran pencernaan (Poeloengan, 2010).
15
Flavanoid adalah senyawa yang terdapat pada sebagian besar tumbuh-
tumbuhan. Senyawa ini terdapat pada biji, kulit buah dan buah. Sebagaian besar
tumbuhan obat mengandung flavanoida (Miller, 2005). Pada tumbuhan, flavanoid
tidak hanya berperan sebagai pigmen yang memberi warna pada bunga dan daun,
namun juga sangat penting bagi pertumbuhan, perkembangan dan pertahanan
tumbuhan misalnya sebagai enzim inhibitor, perkusor bahan toksik, melindungi
tumbuhan (dari bakteri, virus, radikal bebas dan radiasi sinar UV), sebagai
antimikroba (dapat menekan mikroba yang mengkontaminasi luka sehingga
infeksi dapat dihindarkan (Dharmayanti dan Sulistyowati, 2000), antiinflamasi,
merangsang pembentukan kolagen, melindungi pembuluh darah, antioksidan dan
antikarsinogenik (Sabir, 2003).
Kerangka flavanoid (Ilustrasi 4) terdiri atas satu cincin aromatik A, satu
cincin aromatik B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang mengandung
oksigen dan bentuk teroksidasi cincin ini dijadikan dasar pembagian flavanoid ke
dalam sub-sub kelompoknya. Sistem penomoran digunakan untuk membedakan
posisi karbon di sekitar molekulnya (Cook dan Samman, 1996).
Flavanoid bekerja dengan menghambat perkembangan mikroorganisme
karena mampu membentuk senyawa kompleks dengan protein melalui ikatan
hidrogen, mekanisme kerjanyanya adalah dengan mendenaturasikan molekul-
molekul protein dan asam nukleat sehingga protein koagulasi yang akhirnya akan
terjadi gangguan metabolisme dan fungsi fisiologis bakteri, jika metabolisme
bakteri terganggu maka kebutuhan energi tidak tercukupi sehingga mengakibatkan
rusaknya sel bakteri (Peelezar, 1998).
16
Ilustasi 4. Struktur Umum Flavanoid
2.6. Penggunaan Bahan Alami sebagai Pengawet Alami Daging Ayam
Dalam rangka memperpanjang masa simpan daging ayam, maka perlu
dilakukan upaya pengawetan. Daya awet adalah batas kemampuan dari suatu
bahan pangan sampai menunjukkan terjadi perubahan kearah kebusukan
(Soewarno, 1990). Secara umum, ada tiga macam komponen penting yang
berhubungan dengan daya awet, yaitu perubahan mikrobiologis (terutama untuk
produk dengan daya awet yang pendek), serta perubahan kimia dan sensori
(terutama untuk produk dengan waktu simpan menengah hingga lama)
(Subramaniam, 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya awet dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah sifat
akhir dari produk jadi, yang meliputi aktivitas air (water activity, aw), pH dan
total asam, ketersediaan oksigen, nutrisi, mikroflora alami, komponen biokimia
alami dalam produk (enzim, pereaksi kimia), dan penggunaan pengawet. Faktor
ekstrinsik adalah faktor-faktor yang mempengaruhi produk akhir ketika terjadi
rantai makanan atau distribusi makanan. Faktor-faktor ekstrinsik selama proses
produksi, penyimpanan, dan distribusi makanan terdiri dari pengendalian suhu,
kelembaban relatif, paparan cahaya (UV dan infra merah), mikroba di lingkungan,
16
Ilustasi 4. Struktur Umum Flavanoid
2.6. Penggunaan Bahan Alami sebagai Pengawet Alami Daging Ayam
Dalam rangka memperpanjang masa simpan daging ayam, maka perlu
dilakukan upaya pengawetan. Daya awet adalah batas kemampuan dari suatu
bahan pangan sampai menunjukkan terjadi perubahan kearah kebusukan
(Soewarno, 1990). Secara umum, ada tiga macam komponen penting yang
berhubungan dengan daya awet, yaitu perubahan mikrobiologis (terutama untuk
produk dengan daya awet yang pendek), serta perubahan kimia dan sensori
(terutama untuk produk dengan waktu simpan menengah hingga lama)
(Subramaniam, 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya awet dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah sifat
akhir dari produk jadi, yang meliputi aktivitas air (water activity, aw), pH dan
total asam, ketersediaan oksigen, nutrisi, mikroflora alami, komponen biokimia
alami dalam produk (enzim, pereaksi kimia), dan penggunaan pengawet. Faktor
ekstrinsik adalah faktor-faktor yang mempengaruhi produk akhir ketika terjadi
rantai makanan atau distribusi makanan. Faktor-faktor ekstrinsik selama proses
produksi, penyimpanan, dan distribusi makanan terdiri dari pengendalian suhu,
kelembaban relatif, paparan cahaya (UV dan infra merah), mikroba di lingkungan,
16
Ilustasi 4. Struktur Umum Flavanoid
2.6. Penggunaan Bahan Alami sebagai Pengawet Alami Daging Ayam
Dalam rangka memperpanjang masa simpan daging ayam, maka perlu
dilakukan upaya pengawetan. Daya awet adalah batas kemampuan dari suatu
bahan pangan sampai menunjukkan terjadi perubahan kearah kebusukan
(Soewarno, 1990). Secara umum, ada tiga macam komponen penting yang
berhubungan dengan daya awet, yaitu perubahan mikrobiologis (terutama untuk
produk dengan daya awet yang pendek), serta perubahan kimia dan sensori
(terutama untuk produk dengan waktu simpan menengah hingga lama)
(Subramaniam, 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya awet dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah sifat
akhir dari produk jadi, yang meliputi aktivitas air (water activity, aw), pH dan
total asam, ketersediaan oksigen, nutrisi, mikroflora alami, komponen biokimia
alami dalam produk (enzim, pereaksi kimia), dan penggunaan pengawet. Faktor
ekstrinsik adalah faktor-faktor yang mempengaruhi produk akhir ketika terjadi
rantai makanan atau distribusi makanan. Faktor-faktor ekstrinsik selama proses
produksi, penyimpanan, dan distribusi makanan terdiri dari pengendalian suhu,
kelembaban relatif, paparan cahaya (UV dan infra merah), mikroba di lingkungan,
17
komposisi udara dalam kemasan, perlakuan suhu (contohnya pemanasan kembali
atau pemasakan), dan penanganan konsumen (Subramaniam, 2000).
Bahan pengawet yang ideal digunakan sebagai pengawet alami daging
ayam adalah zat yang mempunyai aktivitas antimikroba. Zat tersebut tidak
beracun terhadap daging ayam, ekonomis dan tidak menyebabkan perubahan cita
rasa. Selain itu, aktivitas zat tersebut tidak menurun dengan adanya komponen
makanan dan lebih baik lagi mampu membunuh mikroba (Frazier dan Westhoff,
1998).
Daging ayam yang tercemar oleh bakteri memiliki daya simpan yang
rendah dan akan berbahaya jika dikonsumsi karena menimbulkan penyakit, untuk
itu perlu dilakukan pengawetan. Bahan alami yang sering digunakan sebagai
bumbu dan sekaligus menjadi bahan pengawet yaitu bawang putih dan bawang
bombay yang mempunyai kandungan alisin berguna untuk antimikroba, kunyit
yang mengandung kurkumin (golongan fenol) didalamnya memiliki sifat
bakterisidal, lengkuas yang mempunyai senyawa fenofilik bersifat menghambat
pertumbuhan bakteri dan jamur, jahe yang mengandung antioksidan didalamnya
dapat dimanfaatkan untuk mengawetkan minyak dan lemak (Sri, 2010).
Penggunaan bahan alami lainnya untuk mengawetkan daging ayam adalah
kitosan. Kitosan merupakan turunan kitin yang terbentuk dari proses ekstrasi dari
rangka luar udang, kepiting dan rajungan yang bisa digunakan sebagai bahan
pengawet alami yang efektif dan aman karena mudah mengalami degradasi, tidak
beracun dan memiliki aktivitas antimikroba (Erna, dkk., 2012).
2.7. Pengujian Akseptabilitas
Penilaian dengan indera disebut juga penilaian akseptabilitas. Penilaian
dengan indera banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan
18
makanan. Pelaksanaan suatu penilaian organoleptik diperlukan panelis. Dalam
penilaian mutu atau analisis sifat-sifat sensorik suatu komoditi panel bertindak
sebagai instrument atau alat. Alat ini terdiri dari orang atau kelompok orang yang
disebut panel yang bertugas menilai sifat atau mutu benda berdasarkan kesan
subjektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis (Soewarno 1985).
Menurut Soewarno (1985) terdapat 6 macam panel yang biasa digunakan
dalam penilaian organoleptik yaitu sebagai berikut:
1. Panel pencicip perorangan
Pencicip perorangan juga disebut pencicip tradisional. Pencicip perorangan
ini memiliki kepekaan yang sangat tinggi, jauh melebihi kepekaan rata-rata
manusia. Tingkat kepekaan ini diperoleh selain dari pembawaan lahir, juga
dari pengalaman dan latihan yang lama. Kemampuan pencicip perorangan,
terbatas pada komoditi tertentu.
2. Panel pencicip terbatas
Biasanya panel ini diambil dari personal laboratorium yang sudah mempunyai
pengalaman luas akan komoditi tertentu. Panel pencicip terbatas digunakan
untuk menghindari ketergantungan pada pencicip perorangan. Panel yang
digunakan sebagai panel pencicip terbatas biasanya 3-5 orang.
3. Panel terlatih
Anggota panel terlatih lebih besar daripada panel tercicip terbatas, yaitu antara
15-25 orang. Tingkat kepekaan tidak perlu setinggi panel pencicip terbatas,
sedang tugas penilaian dan tanggungjawabnya juga tidak sebesar panel
pencicip terbatas. Anggota panel perlu diseleksi terlebih dahulu untuk
kemudian dilatih. Panel terlatih ini juga berfungsi sebagai alat analisis dan
pengujian yang dilakukan biasanya terbatas pada kemampuan membedakan.
19
4. Panel tak terlatih
Panel tak terlatih umumnya untuk menguji kesukaan (preference test).
Anggota panel tak terlatih tidak tetap. Anggota panel biasanya diambil dari
sekelompok tamu yang sedang berkunjung. Bentuk pengujian yang dilakukan
lebih sederhana, pengujian yang dilakukan berupa pilihan dan menentukan
mana yang paling disukai.
5. Panel agak terlatih
Panelis dalam kategori ini mengetahui sifat-sifat sensorik dari contoh yang
dinilai karena mendapat penjelasan atau sekedar latihan. Termasuk dalam
kategori panel agak terlatih adalah sekelompok mahasiswa atau staf peneliti
yang dijadikan panelis secara musiman atau hanya kadang-kadang. Panelis
pada panel agak terlatih dipilih berdasarkan kepakaan dan keandalan
penilaian. Jumlah panel agak terlatih berkisar antara 15-25 orang.
6. Panel konsumen
Panelis ini memiliki jumlah anggota yang besar yaitu dari 30-1000 orang.
Pengujian mengenai uji kesukaan (preference test) dan dilakukan sebelum
pengujian pasar. Hasil uji kesukaan dapat digunakan untuk menentukan
apakah suatu jenis makanan dapat diterima oleh masyarakat.
2.7.1. Warna
Mioglobin merupakan pigmen utama daging dan konsentrasinya akan
mempengaruhi intensitas warna merah daging. Munculnya warna merah pada
daging disebabkan oleh adanya ikatan oksigen pada atom besi (Fe2+) pada
struktur molekul mioglobin. Perbedaan warna daging disebabkan oleh adanya
H2O2 dan enzim yang dihasilkan mikroorganisme (Varnam dan Sutherland, 1995).
20
Warna normal daging ayam bagian dada dalam kondisi mentah adalah
merah muda pucat, sedangkan paha dan lengan memiliki warna merah gelap.
Warna daging ayam dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain umur, jenis
kelamin, strain, pakan, lemak intramuskular, kandungan air, kondisi sebelum
disembelih, hingga pengolahan. Warna daging sangat bergantung pada
keberadaan pigmen mioglobin dan hemoglobin. Perubahan warna terjadi karena
jumlah pigmen tersebut berkurang atau mengalami perubahan bentuk kimia
(Hendry, 2009).
2.7.2. Rasa
Respon terhadap rasa terjadi dalam sel-sel pada lidah, langit-langit lunak
dan puncak kerongkongan (Lawrie, 2003). Area yang berbeda dari lidah
mempunyai respon terhadap 4 sensasi utama yaitu, pahit, manis, asam dan asin.
Rasa dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu, senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan
interaksi dengan komponen yang lain (Winarno, 2002).
Rasa pada produk daging ayam dipengaruhi oleh jumlah air yang dapat
dipertahankan untuk tetap berada di dalam daging setelah dimasak dan produksi
saliva pada saat pengunyahan. Daya ikat air (WHC) daging akan mempengaruhi
seberapa besar air yang dapat dipertahankan di dalam produk sementara kadar
lemak marbling akan membantu merangsang pembentukan saliva (Elvira, 2011).
2.7.3. Aroma
Aroma daging dihasilkan dari kombinasi berbagai komponen yang
menstimulasi reseptor penciuman dan rasa yang ada di saluran mulut dan hidung.
Senyawa pembentuk aroma daging terutama komponen-komponen hasil pemecah
protein (peptida dan asam amino), komponen aroma yang larut air dan gula
21
pereduksi. Reaksi mailard yang merupakan reaksi antara protein daging
terhidrolisa, peptida dan asam amino dengan gula pereduksi berperan penting
dalam menghasilkan flavor daging masak. Faktor activity water, pH, suhu dan
waktu pemasan akan mempengaruhi jenis dan intensitas komponen flavor daging
masak yang dihasilkan. Reaksi ini berlangsung optimum pada kisaran aw 0,5-0,8,
pH tinggi dengan suhu antara 100oC (aroma daging rebus) dan 180oC (aroma
daging goreng) (Elvira, 2011).
Aroma daging berkembang selama pemasakan. Aroma daging masak
dipengaruhi oleh umur ternak, tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak, bangsa,
lama dan waktu dan kondisi penyimpanan daging setelah pemotongan, serta jenis,
lama dan temperatur pemasakan (Soeparno, 2009).