14
5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kunir Putih Kunir putih termasuk tanaman tahunan yang berbentuk rumpun, berbatang semu dan memiliki sejumlah anakan. Rimpang kunir putih bercabang, di bagian luar berwarna kekuningan, sedang warna daging rimpang kuning lebih gelap yang dilingkari warna putih. Daun berbentuk elips yang meruncing di bagian ujung daun, dengan panjang 15-95 cm dan lebar 5-23 cm, hijau, terdapat 3 warna ungu di bagian tangkai daun. Sistem perakaran tanaman termasuk akar serabut. Akar melekat dan keluar dari rimpang induk. Panjang akar sekitar 25 cm dan letaknya tidak beraturan. Gambar kunir putih tersaji pada Gambar 1. Gambar 1. Kunir putih (Anonim, 2015) Kunir putih secara visual kenampakannya mirip dengan tanaman temu lawak, bila diiris secara melintang terlihat warna kuning, dan mengeluarkan aroma seperti mangga. Tanaman ini banyak ditemukan di Benggala India (Darwis, et al., 1991).

II. TINJAUAN PUSTAKAeprints.mercubuana-yogya.ac.id/1182/2/BAB II.pdf · Senyawa fenolik/polifenol merupakan sekelompok metabolit sekunder yang mempunyai cincin aromatik yang terikat

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kunir Putih

Kunir putih termasuk tanaman tahunan yang berbentuk rumpun, berbatang

semu dan memiliki sejumlah anakan. Rimpang kunir putih bercabang, di bagian luar

berwarna kekuningan, sedang warna daging rimpang kuning lebih gelap yang

dilingkari warna putih. Daun berbentuk elips yang meruncing di bagian ujung daun,

dengan panjang 15-95 cm dan lebar 5-23 cm, hijau, terdapat 3 warna ungu di bagian

tangkai daun. Sistem perakaran tanaman termasuk akar serabut. Akar melekat dan

keluar dari rimpang induk. Panjang akar sekitar 25 cm dan letaknya tidak beraturan.

Gambar kunir putih tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1. Kunir putih (Anonim, 2015)

Kunir putih secara visual kenampakannya mirip dengan tanaman temu lawak,

bila diiris secara melintang terlihat warna kuning, dan mengeluarkan aroma seperti

mangga. Tanaman ini banyak ditemukan di Benggala India (Darwis, et al., 1991).

6

Rimpang kunir putih seperti halnya temu-temuan yang lain dapat tumbuh dan

berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai pada ketinggian 1000 m di atas

permukaan laut (dpl) dan ketinggian optimum 300-500 m dpl (Bautistuta dan

Aycardo, 1979; PCARR, 1980). Kondisi iklim yang sesuai untuk budidaya kunir

putih yaitu dengan curah hujan 1000-2000 mm (Purseglove et al., 1981), baik

ditanam pada kondisi dengan sedikit naungan (Balittro, 1990) hingga terbuka penuh

(Effendi dan Emmyzar, 1997), tumbuh pada berbagai jenis tanah, untuk

menghasilkan produksi yang maksimal membutuhkan tanah dengan kondisi yang

subur, banyak bahan organic, gembur dan berdrainase baik (tidak tergenang)

(Sudiarto et al., 1998).

Kunir putih lebih dikenal dengan temu mangga karena aroma rimpangnya

spesifik seperti aroma mangga, dapat dikonsumsi sebagai simplisia (diiris,

dikeringkan dan direbus) instant, asinan, permen/manisan, sirup, selai, lalapan

(rimpang segar), dan botokan. Selain itu juga produk olahnya berupa minyak atsiri,

sirup, kristal, oleoresin, dan jam (Hernani dan Suhirman, 2001).

Sistematika tumbuhan Curcuma mangga Val. (Backer dan Bachuizen, 1968)

sebagai berikut :

Divisio : Spermatophyta

Kelas : Angiospermae

Sub Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Zingiberceae

Suku : Curcuma

Jenis : Curcuma mangga Val.

7

Gambar 2. Rimpang kunir putih

Kunir putih mengandung minyak atsiri, tannin, guls dan dammar (Fauziah,

1999). Kandungan kunir putih yang juga sangat penting adalah pigmen kurkuminoid

yang berwarna oranye, kandungan pigmen kurkuminoid dalam kunir putih berkisar

0.5-6%. Pigmen ini merupakan campuran dari tiga komponen analog yaitu kurkumin,

demotiksi kurkumin dan bisdemetoksi kurkumin (Tonnesen, 1986). Adapun

komposisi kimia kunir putih dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia kunir putih dan bubuk kunir putih dalam 100 g

Komponen Kunir putih Bubuk kunir putih Energi 349,00 390 Air (g) 13,10 5,80 Protein (g) 6,30 8,60 Lemak (g) 5,10 8,90 Total karbohidrat (g) 69,40 69,90 Serat Kasar (g) 2,60 6,90 Abu (g) - 6,80 Kalsium (mg) 0,15 0,20 Fosfor (mg) 0,28 0,26 Natrium (mg) 0,03 0,01 Kalium (mg) 3,30 2,50 Besi (mg) 18,60 47,50 Tiamin (mg) 0,03 0,09 Riboflavin (mg) 0,05 0,19 Sumber : Lukman, 1984 dalam Pujimulyani, 2010

8

B. Komponen Kunir Putih

1. Antioksidan

Antioksidan merupakan salah satu komponen yang bermanfaat bagi

kesehatan karena dapat menghambat spesies oksigen reaktif (ROS) atau spesies

nitrogen reaktif (RNS) dan juga radikal bebas sehingga antioksidan dapat mencegah

penyakit-penyakit yang dihubungkan dengan radikal bebas seperti karsinogenesis,

kardiovaskuler, dan penuaan (Halliwell dan Gutteridge, 2000). Beberapa studi

epidemiologi menunjukkan bahwa kandungan antioksidan yang terdapat dalam buah

dan sayur-mayur bermanfaat dalam melindungi tubuh manusia terhadap ROS/RNS,

karenanya sangat penting untuk meningkatkan intake antioksidan dalam diet, dan

salah satunya adalah dengan memperkaya bahan makanan dengan antioksidan

(Soong and Barlow, 2004).

Radikal bebas dapat menginduksi penyakit kanker, arteriosklerosis, dan

penuaan yang disebabkan oleh kerusakan jaringan karena oksidasi, sehingga

diperlukan suatu antioksidan yang mampu menangkap radikal bebas tersebut

sehingga penyakit-penyakit yang terkait dengan radikal bebas ini dapat dicegah

(Kikuzaki dkk., 2002). Radikal bebas dan juga spesies oksigen reaktif lainnya

dihasilkan secara terus-menerus melalui proses fisiologis yang normal, terlebih lagi

dalam keadaan patologis. Tubuh memiliki sistem pertahanan internal terhadap

radikal bebas yakni antioksidan (Mathew dan Abraham, 2006). Sistem pertahanan

tubuh dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan (Niki dkk., 1995, Wilmsen dkk.,

2005) sebagai berikut: (1) Antioksidan primer, yaitu antioksidan yang dapat

menghalangi pembentukan radikal bebas baru. Termasuk golongan ini adalah

superoksida dismutase (SOD) dan katalase; (2) antioksidan sekunder atau penangkap

9

radikal (radical scavenger), yakni antioksidan yang dapat menekan terjadinya reaksi

rantai baik pada awal pembentukan rantai maupun pada fase propagasi. Vitamin E,

β–karoten dan kurkuminoid termasuk golongan antioksidan sekunder; (3) antioksidan

tersier, yakni antioksidan yang memperbaiki kerusakan-kerusakan yang telah terjadi.

Termasuk kelompok ini adalah enzim yang memperbaiki DNA dan metionin

sulfoksida reduktase.

Antioksidan dapat diperoleh secara alami maupun sintetik. Antioksidan

sintetik mempunyai efektivitas yang tinggi, namun kurang aman bagi kesehatan

sehingga pengunaannya diawasi dengan ketat di berbagai negara. Publikasi

menunjukkan bahwa antioksidan sintetik seperti butil hidroksi anisol (BHA) dan

butil hidroksi toluen (BHT) berpotensi menyebabkan efek toksis pada hewan atau

manusia (Javanmardi dkk., 2003, Kahkonen dkk., 1999). Ketertarikan antioksidan

alami baru-baru ini meningkat secara dramatis disebabkan oleh keamanan

penggunaanya (Dorman and Hiltunen, 2004). Oleh karena itu, perlu dicari sumber

antioksidan alami yang lebih aman dari pada antioksidan sintesis untuk

dikembangkan misalnya antioksidan yang berasal dari rempah-rempah, buah, atau

tanaman (Pujimulyani, 2003). Adanya ketertarikan pada senyawa fenolik sebagai

antioksidan dikarenakan sifat antioksidannya yang kuat dan toksisitasnya yang

rendah dibanding dengan senyawa antioksidan fenolik sintesis seperti BHA dan BHT

(Cailet et al., 2006). Ekstrak tanaman yang kaya senyawa fenolik dan flavonoid

menarik bagi kalangan industri makanan, karena mampu menunda kerusakan

oksidatif senyawa-senyawa lemak, dan karenanya mampu meningkatkan nilai nutrisi

suatu makanan (Kahkonen et al.,1999). Senyawa-senyawa fenolik dan flavonoid

10

merupakan komponen fitokimia yang sering kali dihubungkan dengan aktivitas

antioksidan (Akowuah dkk., 2004).

Uji aktivitas antioksidan IC50 (DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl))

Pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan beberapa metode

diantaranya dengan CUPRAC, DPPH, dan FRAP. Prakash dkk. (2007) dalam

Herman (2010), metode DPPH merupakan metode pengukuran aktivitas antioksidan

yang cepat, mudah dan sederhana, selain itu metode ini terbukti akurat, reliabel, dan

praktis. Kelebihan dari metode pengujian DPPH adalah telah banyak digunakan di

dunia dan mudah diterapkan karena senyawa radikal yang digunakan bersifat relatif

stabil dibanding metode lainnya Digunakan untuk menguji kemampuan suatu

senyawa untuk bertindak sebagai penangkap radikal bebas atau pendonor hidrogen

sehingga aktivitas suatu senyawa dapat dihitung.

DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) adalah suatu radikal bebas yang cukup

stabil dengan memberikan warna ungu yang diserap pada panjang gelombang

dengan nilai absorbansi DPPH adalah 517 nm (Yoshepine, 2015). Menurut

Milauskas (2004), ketika radikal DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) bereaksi

dengan suatu senyawa antioksidan yang dapat mendonorkan radikal hidrogen,

radikal DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) tersebut akan tereduksi, dan warnanya

akan berubah menjadi kuning dan membentuk DPPH-H (diphenylhydrazine).

Mekanisme penghambatan radikal DPPH dapat dilihat pada Gambar 3.

11

Gambar 3. Mekanisme penghambatan radikal DPPH (Anonim, 2015)

Cara pengukuran aktivitas antioksidan terhadap radikal bebas DPPH (2,2-

diphenyl-1-picrylhydrazyl) dilakukan dengan mereaksikan larutan sampel dengan

radikal DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) yang dilarutkan dalam metanol,

setelah beberapa waktu diinkubasi pada suhu kamar larutan diukur panjang

gelombang maksimal dengan spektrofotometer UV-Vis. Hasil perhitungan aktivitas

antioksidan dinyatakan dalam % aktivitas antioksidan dari nilai % aktivitas

antioksidan tersebut, bisa dicari nilai IC50 (Inhibitor Concentration 50%) atau

biasa disebut juga nilai EC50 (Efficient Concentration 50%). IC50 adalah

besarnya konsentrasi senyawa uji yang mampu menangkap radikal bebas

sebesar 50%. Nilai IC50 diperoleh dengan menggunakan persamaan regresi

linier yang menyatakan hubungan antara konsentrasi senyawa uji dengan

aktivitas penangkap radikal rata-rata. Senyawa yang mempunyai aktivitas

antioksidan tinggi akan mempunyai nilai IC50 yang rendah.

12

Tabel 2. Sifat antioksidan berdasarkan nilai IC50

Nilai IC50 (µg/mL atau ppm )

Sifat Antioksidan

< 50 µg/mL Sangat kuat 50 µg/mL-100 µg/mL Kuat

100 µg/mL-150 µg/mL Sedang 150 µg/mL-200 µg/mL Lemah

Sumber : Molineux, 2004

2. Senyawa Fenolik

Senyawa fenolik/polifenol merupakan sekelompok metabolit sekunder yang

mempunyai cincin aromatik yang terikat dengan satu atau lebih substituen gugus

hidroksi (OH) yang berasal dari jalur metabolisme asam sikimat dan fenil propanoid.

Termasuk dalam kelompok senyawa fenolik/polifenol adalah fenol sederhana, asam

fenolat, kumarin, tannin, dan flavonoid. Dalam tanaman, senyawa-senyawa ini

biasanya berada dalam bentuk glikosida atau esternya (Proestos et al., 2006).

Senyawa-senyawa fenolik umumnya ditemukan pada tanaman, baik yang

dapat dimakan ataupun yang tidak dapat dimakan, dan dilaporkan mempunyai

sejumlah aktivitas biologis termasuk antioksidan (Kahkonen et al.,1999). Senyawa

fenolik dapat mencegah berbagai penyakit degeneratif (Joshipura et al.,2001).

Senyawa fenolik mampu melindungi tanaman terhadap radiasi ultraviolet, patogen,

dan herbivora (Akowuah et al., 2004). Ekstrak buah, sayuran dan bahan-bahan lain

yang kaya senyawa fenolik menarik bagi kalangan industri makanan karena ekstrak-

ekstrak ini mampu menunda kerusakan oksidatif senyawa-senyawa lemak, dan

karenanya mampu meningkatkan nilai nutrisi suatu makanan (Kahkonen et al.,

1999).

13

Adanya ketertarikan pada senyawa fenolik sebagai antioksidan dikarenakan

sifat antioksidannya yang kuat dan toksisitasnya yang rendah dibanding dengan

senyawa antioksidan fenolik sintesis seperti BHA dan BHT (Cailet et al., 2006).

Contoh senyawa fenolik pada kunir putih adalah Asam Galat,

epigalokatekingalat, kurkumin (struktur disajikan pada Gambar 4).

Kurkumin

Asam Galat Epigalokatekingalat

Gambar 4. Struktur kurkumin, asam galat ( Paul et al, 1960), EGCG (Anonim, 2015)

Kurkumin, atau disebut juga dengan 1,7-bis(4-hydroxy-3-methoxyfenil)- 1,6-

heptadiene-3,5-dione, adalah sebuah senyawa pewarna alami kuning-oranye, yang

terdapat pada kunyit. Kurkumin lebih aktif dibanding dengan vitamin E dan beta

karoten (Rao, 1995). Hal ini dikarenakan peranan kurkumin sebagai antioksidan

yang menangkal radikal bebas tidak lepas dari struktur senyawa kurkumin.

Kurkumin mempunyai gugus penting dalam proses antioksidan tersebut. Struktur

14

kurkumin terdiri dari gugus hidroksi fenolik dan gugus β diketon. Gugus hidroksi

fenolik berfungsi sebagai penangkap radikal bebas pada fase pertama mekanisme

antioksidatif. Pada struktur senyawa kurkumin terdapat 2 gugus fenolik, sehingga 1

molekul kurkumin dapat menangkal 2 radikal bebas. Gugus β diketon berfungsi

sebagai penangkap radikal pada fase berikutnya.Penelitian ini bertujuan memberikan

gambaranaktivitas antioksidan dan kurkumin pada ekstrak temulawak (curcuma

xanthorrhiza roxb). Struktur kimia kurkumin tersaji pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur kimia kurkumin (Paul et al ,1960)

Berbagai metode kromatografi cair (kromatografi kertas, kromatografi lapis

tipis, kromatografi kolom, dan High Performance Liquid Chromatography (Lee,

2000). Dibandingkan dengan metode kromatografi cair lainnya, HPLC merupakan

metode yang paling mendekati untuk dapat menyediakan dan memberikan respon

yang tepat, baik dalam sensitivitas yang tinggi maupun dalam 21 hal efisiensi

pemisahan karena menggunakan kolom berpartikel kecil terbungkus dengan ketat.

Selain itu, deteksi komponen dengan penggunaan metode kromatografi lapis tipis

dan kromatografi kertas, bila dibandingkan dengan HPLC, membutuhkan konsentrasi

yang lebih besar. Pada analisis dengan metode HPLC, tidak ada pembatasan dalam

hal volatilitas sampel maupun derivatisasi, seperti yang diperlukan dalam

kromatografi gas (Lee, 2000). Komponen flavonoid bukan merupakan komponen

15

volatil, oleh karena itu, analisis yang tepat adalah dengan menggunakan HPLC.

Untuk penelitian ini dilakukan dengan metode spektrofotometer dan TLC.

a. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi Lapis Tipis pada plat berlapis yang berukuran lebih besar,

biasanya 5x20 cm, 10x20 cm, atau 20x20 cm. Biasanya memerlukan waktu

pengembangan 30 menit sampai satu jam. Pada hakikatnya KLT melibatkan dua fase

yaitu fase diam atau sifat lapisan, dan fase gerak atau campuran pelarut pengembang.

Fase diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penyerap

atau penyangga untuk lapisan zat cair. Fase gerak dapat berupa hampir segala macam

pelarut atau campuran pelarut (Sudjadi, 1988).

Pemisahan senyawa dengan Kromatografi Lapis Tipis seperti senyawa

organik alam dan senyawa organik sintetik dapat dilakukan dalam beberapa menit

dengan alat yang harganya tidak terlalu mahal. Jumlah cuplikan beberapa mikrogram

atau sebanyak 5 g dapat ditangani. Kelebihan KLT yang lain ialah pemakaian jumlah

pelarut dan jumlah cuplikan yang sedikit. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

merupakan salah satu metode pemisahan yang cukup sederhana yaitu dengan

menggunakan plat kaca yang dilapisi silika gel dengan menggunakan pelarut

tertentu. (Gritter,1991). Nilai utama Kromatografi Lapis Tipis pada penelitian

senyawa flavonoid ialah sebagai cara analisis cepat yang memerlukan bahan sangat

sedikit. Menurut Markham, Kromatografi Lapis Tipis terutama berguna untuk tujuan

berikut:

1. Mencari pelarut untuk kromatografi kolom

2. Analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom

3. Identifikasi flavonoid secara ko-kromatografi.

16

4. Isolasi flavonoid murni skala kecil

5. Penyerap dan pengembang yang digunakan umumnya sama dengan

penyerap dan pengembang pada kromatografi kolom dan kromatografi

kertas.

b. Spektroskopi

Teknik spektroskopi adalah salah satu teknik analisis kimia-fisika yang

mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik. Ada

dua macam instrumen pada teknik spektroskopi yaitu spektrometer dan

spektrofotometer. Instrumen yang memakai monokromator celah tetap pada bidang

fokus disebut sebagai spektrometer. Apabila spektrometer tersebut dilengkapi dengan

detektor yang bersifat fotoelektrik maka disebut spektrofotometer. Informasi

Spektroskopi Inframerah menunjukkan tipe – tipe dari adanya gugus fungsi dalam

satu molekul dan Resonansi Magnetik Inti yang memberikan informasi tentang

bilangan dari setiap tipe dari atom hidrogen dan juga memberikan informasi yang

menyatakan tentang lingkungan dari setiap tipe dari atom hidrogen. Kombinasinya

dan data yang ada kadang – kadang menentukan struktur yang lengkap dari molekul

yang tidak diketahui.

c. Spektrofotometri Ultra Violet

Serapan molekul di dalam derah ultra ungu dan terlihat dari spektrum

bergantung pada struktur ultra elektronik dari molekul. Penyerapan sejumlah energi,

menghasilkan percepatan dari elektron dalam orbital tingkat dasar ke orbital yang

berenergi lebih tinggi di dalam keadaan tereskitasi. Spektrum Flavonoid biasanya

ditentukan dalam larutan dengan pelarut Metanol (MeOH) atau Etanol (EtOH).

Spektrum khas terdiri atas dua maksimal pada rentang 240-285 nm (pita II) dan 300-

17

550 nm (pita I). Kedudukan yang tepat dan kekuatan nisbi maksima tersebut

memberikan informasi yang berharga mengenai sifat flavonoida dan pola

oksigenasinya. Ciri khas spektrum tersebut ialah kekuatan nisbi yang rendah pada

pita I dalam dihidroflavon, dihidroflavonol, dan isoflavon serta kedudukan pita I

pada spektrum khalkon, auron dan antosianin yang terdapat pada panjang gelombang

yang tinggi. Ciri spektrum golongan flavonoid utama dapat ditunjukkan pada Tabel 3

Tabel 3. Ciri spektrum golongan flavonoid utama

λ maksimul utama

(nm)

λ maksimum tambahan (nm)

(dengan intensitas nisbi) Jenis flavonoid

475-560 390-430 365-390 350-390 250-270 330-350 300-350 275-295 ±225 310-330

± 275 (55%) 240-270 (32%) 240-260 (30%) ± 300 (40%) ± 300 (40%) Tidak ada Tidak ada 310-330 (30%) 310-330 (30%) 310-330 (25%)

Antosianin Auron Kalkol Flavonol Flavonol Flavonol dan biflavonil Flavonol dan biflavonil Flavanon dan flavononol Flavonon dan flavononon Isoflavon

(Markham, 1988, hal : 5-15;39-42 dalam Sariyono, 2016, hal : 26)

3. Kadar Air

kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang

dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting

pada bahan pangan, karena kadar air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan

cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan

kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebur, kadar air yang tinggi

mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang biak,

sebingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno, 2004). Kadar air

adalah perbedaan antara berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan pemanasan.

18

Setiap bahan bila diletakan dalam udara terbuka kadar airnya akan mencapai

keseimbangan dengan kelembaban udara disekitarnya. Kadar air bahan ini disebut

dengan kadar air seimbang. Setiap kelembaban relative tertentu dapat menghasilkan

kadar air seimbang tertentu pula. Penetapan kadar air dapat dilakukan dengan

beberapa cara, hal ini tergantung pada sifat bahannya. Pada umumnya kadar air

dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven suhu 1050C-1100C selama 3 jam

atau sampai didapat berat yang konstan (Winarno, 2004).

Penelitian kunir putih segar dengan uji kadar air ini menggunakan metode

thermogravimetric. Prinsip metode thermogravimetric adalah menguapkan air yang

ada dalam bahan dengan jalan pemanasan, Kemudian menimbang bahan sampai

berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Secara umum proses

tehrmogravimetri dilakukan dengan perlakuan yang mencakup

penimbangan,pengovenan, pendinginan hingga diperoleh berat konstan. Metode

pengeringan (thermogravimetric) prinsipnya menguapkan air yang ada didalam

bahan dengan jalan pemanasan, kemudian menimbang bahan sampai berat konstan

berarti semua air sudah diuapkan (Sudarmadji et al., 1989).

C. Hipotesa

Bagian-bagian rimpang kunir putih diduga mempunyai aktivitas antioksidan

(IC50) dan kadar kurkumin yang berbeda.