21
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jaringan Syaraf Tiruan 2.1.1. Sejarah Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan syaraf tiruan (JST) telah dikembangkan sejak tahun 1940. Pada tahun 1943 McCulloch dan W.H.Pitts memperkenalkan pemodelan matematis neuron. Tahun 1949, Hebb mencoba mengkaji proses belajar yang dilakukan oleh neuron. Teori ini dikenal sebagai Hebbian Law. Tahun 1958, Rosenblatt memperkenalkan konsep perseptron suatu jaringan yang terdiri dari beberapa lapisan yang saling berhubungan melalui umpan maju (feed foward). Konsep ini dimaksudkan untuk memberikan ilustrasi tentang dasar-dasar intelejensia secara umum. Hasil kerja Rosenblatt yang sangat penting adalah perceptron convergence theorem (tahun 1962) yang membuktikan bahwa bila setiap perseptron dapat memilah-milah dua buah pola yang berbeda maka siklus pelatihannya dapat dilakukan dalam jumlah yang terbatas. (ANN-A neural network tutorial, html doc. 2010). Pada tahun 1960 Widrow dan Hoff menemukan ADALINE (Adaptive Linear Neuruon). Teknik ini dapat beradaptasi dan beroperasi secara linier. Penemuan ini telah memperlebar aplikasi jaringan syaraf tiruan tidak hanya untuk pemilihan pola, tetapi juga untuk pengiriman sinyal khususnya dalam bidang adaptive filtering. (ANN-A neural network tutorial, html doc. 2010). Namun, Tahun 1969, Minsky dan Papert melontarkan suatu kritikan tentang kelemahan perseptronnya Rosenblatt di dalam memilah-milah pola yang tidak linier. Sejak saat itu penelitian di bidang jaringan syaraf tiruan telah mengalami masa vakum untuk kurang lebih satu dasawarsa. Tahun 1982, Hopfield telah memperluas aplikasi JST untuk memecahkan masalah-masalah optimasi. Hopfield telah berhasil memperhitungkan fungsi energi ke dalam jaringan syaraf yaitu agar jaringan memiliki kemampuan untuk mengingat atau memperhitungkan suatu obyek dengan obyek yang pernah dikenal atau diingat sebelumnya (associative memory). Konfigurasi jaringan yang demikian dikenal sebagai recurrent network. Salah satu aplikasinya adalah TravellingSalesman Problem (TSP). (Artificial Neural Networks -A neural network tutorial, 2010)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jaringan Syaraf Tiruan · 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jaringan Syaraf Tiruan 2.1.1. Sejarah Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan syaraf tiruan (JST) telah dikembangkan

  • Upload
    vominh

  • View
    234

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jaringan Syaraf Tiruan

2.1.1. Sejarah Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan syaraf tiruan (JST) telah dikembangkan sejak tahun 1940. Pada

tahun 1943 McCulloch dan W.H.Pitts memperkenalkan pemodelan matematis

neuron. Tahun 1949, Hebb mencoba mengkaji proses belajar yang dilakukan oleh

neuron. Teori ini dikenal sebagai Hebbian Law. Tahun 1958, Rosenblatt

memperkenalkan konsep perseptron suatu jaringan yang terdiri dari beberapa

lapisan yang saling berhubungan melalui umpan maju (feed foward). Konsep ini

dimaksudkan untuk memberikan ilustrasi tentang dasar-dasar intelejensia secara

umum. Hasil kerja Rosenblatt yang sangat penting adalah perceptron convergence

theorem (tahun 1962) yang membuktikan bahwa bila setiap perseptron dapat

memilah-milah dua buah pola yang berbeda maka siklus pelatihannya dapat

dilakukan dalam jumlah yang terbatas. (ANN-A neural network tutorial, html doc.

2010).

Pada tahun 1960 Widrow dan Hoff menemukan ADALINE (Adaptive

Linear Neuruon). Teknik ini dapat beradaptasi dan beroperasi secara linier.

Penemuan ini telah memperlebar aplikasi jaringan syaraf tiruan tidak hanya untuk

pemilihan pola, tetapi juga untuk pengiriman sinyal khususnya dalam bidang

adaptive filtering. (ANN-A neural network tutorial, html doc. 2010).

Namun, Tahun 1969, Minsky dan Papert melontarkan suatu kritikan

tentang kelemahan perseptronnya Rosenblatt di dalam memilah-milah pola yang

tidak linier. Sejak saat itu penelitian di bidang jaringan syaraf tiruan telah

mengalami masa vakum untuk kurang lebih satu dasawarsa. Tahun 1982,

Hopfield telah memperluas aplikasi JST untuk memecahkan masalah-masalah

optimasi. Hopfield telah berhasil memperhitungkan fungsi energi ke dalam

jaringan syaraf yaitu agar jaringan memiliki kemampuan untuk mengingat atau

memperhitungkan suatu obyek dengan obyek yang pernah dikenal atau diingat

sebelumnya (associative memory). Konfigurasi jaringan yang demikian dikenal

sebagai recurrent network. Salah satu aplikasinya adalah TravellingSalesman

Problem (TSP). (Artificial Neural Networks -A neural network tutorial, 2010)

6

Pada tahun 1986 Rumelhart, Hinton dan William menciptakan suatu

algoritma belajar yang dikenal sebagai propagasi balik (backpropagation). Bila

algoritma ini diterapkan pada perseptron yang memiliki lapisan banyak (multi

layer perceptron), maka dapat dibuktikan bahwa pemilahan pola-pola yang tidak

linier dapat diselesaikan sehingga dapat mengatasi kritikan yang dilontarkan oleh

Minsky dan Papert. (ANN-A neural network tutorial, html doc. 2010).

2.1.2. Defenisi Jaringan Syaraf Tiruan

JST merupakan sistem pemroses informasi yang memiliki karakteristik

mirip dengan jaringan syaraf biologi (Siang, 2005). Menurut Sekarwati (2005),

JST merupakan sistem komputasi yang didasarkan atas pemodelan sistem syaraf

biologis (neurons) melalui pendekatan dari sifat-sifat komputasi biologis

(biological computation).

Menurut Subiyanto (2002), JST adalah membuat model sistem komputasi

yang dapat menirukan cara kerja jaringan syaraf biologi, sedangkan menurut

Siang (2005), JST dibentuk sebagai generalisasi model matematika dari jaringan

syaraf biologi dengan asumsi sebagai berikut.

a. Pemrosesan informasi terjadi pada banyak elemen sederhana (neurons).

b. Sinyal dikirimkan diantara neuron-neuron melalui penghubung

penghubung.

c. Penghubung antar neuron memiliki bobot yang akan memperkuat atau

memperlemah sinyal.

d. Untuk menentukan keluaran (output), setiap neuron menggunakan fungsi

aktivasi yang dikenakan pada penjumlahan masukan (input) yang diterima.

Besarnya keluaran (output) ini selanjutnya dibandingkan dengan suatu batas

ambang, dimana Neuron adalah unit pemroses informasi yang menjadi dasar

dalam pengoperasian jaringan syaraf tiruan (Siang 2005). Neuron terdiri dari 3

elemen pembentuk sebagai berikut.

a. Himpunan unit-unit yang dihubungkan dengan jalur koneksi.

b. Suatu unit penjumlah yang akan menjumlahkan masukan-masukan sinyal

yang sudah dikalikan dengan bobotnya.

7

c. Fungsi aktivasi yang akan menentukan apakah sinyal dari input neuron

akan diteruskan ke neuron lain ataukah tidak.

JST ditentukan oleh 3 hal sebagai berikut.

a. Pola hubungan antar neuron (disebut arsitektur jaringan ).

b. Metode untuk menentukan bobot penghubung (disebut algoritma

training/learning /pelatihan/belajar)

c. Fungsi aktivasi.

Di dalam JST, istilah simpul (node) sering digunakan untuk menggantikan

neuron, dimana setiap simpul pada jaringan menerima atau mengirim sinyal dari

atau ke simpul-simpul lainnya. Pengiriman sinyal disampaikan melalui

penghubung. Kekuatan hubungan yang terjadi antara setiap simpul yang saling

terhubung dikenal dengan nama bobot.

Model-model JST ditentukan oleh arsitektur jaringan serta algoritma

pelatihan. Arsitektur biasanya menjelaskan arah perjalanan sinyal atau data di

dalam jaringan, sedangkan algoritma belajar menjelaskan bagaimana bobot

koneksi harus diubah agar pasangan masukan-keluaran yang diinginkan dapat

tercapai. Perubahan harga bobot koneksi dapat dilakukan dengan berbagai cara,

tergantung pada jenis algoritma pelatihan yang digunakan. Dengan mengatur

besarnya nilai bobot ini diharapkan bahwa kinerja jaringan dalam mempelajari

berbagai macam pola yang dinyatakan oleh setiap pasangan masukan-keluaran

akan meningkat.

WR1R WR2R WR3R

Gambar 1, Sel Jaringan Syaraf Tiruan

Pada Gambar 1 diperlihatkan sebuah sel syaraf tiruan sebagai elemen

penghitung. Simpul Y menerima masukan dari neuron x1, x2 dan x3 dengan

X1

X2

X3

Y

8

bobot hubungan masing-masing adalah w1, w2 dan w3. Argumen fungsi aktivasi

adalah net (jejaring) masukan (kombinasi linear masukan dan bobotnya). Ketiga

sinyal simpul yang ada dijumlahkan net = x1w1 + x2w2 + x3w3 .

Besarnya sinyal yang diterima oleh Y mengikuti fungsi aktivasi y = f(net).

Apabila nilai fungsi aktivasi cukup kuat, maka sinyal akan diteruskan. Nilai

fungsi aktivasi (keluaran model jaringan) juga dapat dipakai sebagai dasar untuk

merubah bobot.

2.1.3. Arsitektur Jaringan

Berdasarkan arsitekturnya, model JST tergolong menjadi:

a. Jaringan Layar Tunggal (Single Layer Network)

Pada jaringan ini, sekumpulan masukan neuron dihubungkan langsung

dengan sekumpulan keluarannya. Sinyal mengalir searah dari layar

(lapisan) masukan sampai layar (lapisan) keluaran. Setiap simpul

dihubungkan dengan simpul lainnya yang berada diatasnya dan

dibawahnya, tetapi tidak dengan simpul yang berada pada lapisan yang

sama. Model yang masuk kategori ini antara lain : ADALINE, Hopfield,

Perceptron, LVQ, dan lain-lain. Pada Gambar 2 diperlihatkan arsitektur

jaringan layar tunggal dengan n buah masukan (x1, x2,..., xn) dan m buah

keluaran (y1, y2,..., ym)

WR11

WR12R WR13R

WR21 WR22 WR23 WR3n WR3n WR3n

Gambar 2, Jaringan Layar Tunggal

X1

X2

Xn Ym

Y2

Y1

9

b. Jaringan Layar Jamak (Multiple Layer Network)

Jaringan ini merupakan perluasan dari jaringan layar tunggal. Dalam

jaringan ini, selain unit masukan dan keluaran, ada unit-unit lain (sering

disebut layar tersembunyi). Dimungkinkan pula ada beberapa layar

tersembunyi. Model yang termasuk kategori ini antara lain : MADALINE,

backpropagation.

Pada Gambar 3 diperlihatkan jaringan dengan n buah unit masukan (x1,

x2,..., xn), sebuah layar tersembunyi yang terdiri dari m buah unit

(z1,z2,..., zm) dan 1 buah unit keluaran.

WR11R

WR21

WRn1R WR11 WR12 WR22R WR12 WRn2 WR1nR WR1m WR2n WRnn

Gambar 3, Jaringan Layar Jamak

c. Jaringan Recurrent

Model jaringan recurrent (recurrent network) mirip dengan jaringan layar

tunggal ataupun jamak. Hanya saja, ada simpul keluaran yanng

memberikan sinyal pada unit masukan (sering disebut feedback loop).

Dengan kata lain sinyal mengalir dua arah, yaitu maju dan mundur.

Contoh : Hopfield network, Jordan network, Elmal network.

2.1.4. Algoritma Belajar atau Pelatihan

Ide dasar JST adalah konsep belajar atau pelatihan. Jaringan-jaringan belajar

melakukan generalisasi karakteristik tingkah laku objek. Algoritma pelatihan

artinya membentuk pemetaan (fungsi) yang menggambarkan hubungan antara

X1

Y

Z1

Z2

Zm Xn

X2

10

vektor masukan dan vektor keluaran (Sekarwati 2005:4). Biasanya diberikan

contoh yang cukup penting dalam membangun pemetaan tersebut. Walaupun

untuk pasangan masukan dan keluaran yang belum pernah digambarkan

sebelumnya.

Untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan, jaringan syaraf tiruan

memerlukan algoritma belajar atau pelatihan yaitu bagaimana sebuah konfigurasi

jaringan dapat dilatih untuk mempelajari data historis yang ada. Dengan pelatihan

ini, pengetahuan yang terdapat pada data dapat diserap dan direpresentasikan oleh

harga-harga bobot koneksinya.

Menurut Siang (2005:30) algoritma belajar atau pelatihan digolongkan

menjadi sebagai berikut.

a. Dengan Supervisi (Supervised Training)

Dalam pelatihan dengan supervisi, terdapat sejumlah pasangan data

(masukan-target keluaran) yang dipakai untuk melatih jaringan. Pada

setiap pelatihan, suatu masukan diberikan ke jaringan. Jaringan akan

memproses dan mengeluarkan keluaran. Selisih antara keluaran jaringan

dengan target (keluaran yang diinginkan) merupakan kesalahan yang

terjadi. Jaringan akan memodifikasi bobot sesuai dengan kesalahan

tersebut. Model yang menggunakan pelatihan dengan supervisi antara lain

: Perceptron, ADALINE, MADALINE, Backpropagation, LVQ.

b. Tanpa Supervisi (Unsupervised Training)

Dalam pelatihannya, perubahan bobot jaringan dilakukan berdasarkan

parameter tertentu dan jaringan dimodifikasi menurut ukuran parameter

tersebut. Model yang menggunakan pelatihan ini adalah model jaringan

kompetitif.

2.1.5. Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

Backpropagation merupakan model JST dengan layar jamak. Seperti halnya

model JST lainnya, backpropagation melatih jaringan untuk mendapatkan

keseimbangan antara kemampuan jaringan untuk mengenali pola yang digunakan

selama pelatihan serta kemampuan jaringan untuk memberikan respon yang benar

terhadap pola masukan yang serupa (tapi tidak sama) dengan pola yang dipakai

selama pelatihan.

11

a. Fungsi Aktivasi pada Backpropagation

Dalam backpropagation, fungsi aktivasi yang dipakai harus memenuhi

beberapa syarat sebagai berikut.

1. Kontinyu.

2. Terdiferensial dengan mudah.

3. Merupakan fungsi yang tidak turun.

Salah satu fungsi yang memenuhi ketiga syarat tersebut sehingga sering

dipakai adalah fungsi sigmoid biner yang memiliki range (0,1). Fungsi

sigmoid biner didefinisikan sebagai berikut.

……………...(1) ………………….(2)

Fungsi lain yang sering dipakai adalah fungsi sigmoid bipolar dengan

range (-1,1) yang didefenisikan sebagai berikut.

……………….(3)

……………….(4)

Fungsi sigmoid memiliki nilai maksimum 1. Untuk pola yang targetnya

lebih dari 1, pola masukan dan keluaran harus terlebih dahulu

ditransformasi sehingga semua polanya memiliki range yang sama seperti

fungsi sigmoid yang dipakai. Alternatif lain adalah menggunakan fungsi

aktivasi sigmoid hanya pada layar yang bukan layar keluaran. Pada layar

keluaran, fungsi aktivasi yang dipakai adalah fungsi identitas f (x) = x .

b. Pelatihan Backpropagation (JST Propagasi Balik)

Seperti halnya jaringan syaraf yang lain, pada jaringan feedfoward (umpan

maju) pelatihan dilakukan dalam rangka perhitungan bobot sehingga pada

akhir pelatihan akan diperoleh bobot-bobot yang baik. Selama proses

pelatihan, bobot-bobot diatur secara iteratif untuk meminimumkan galat

(error) yang terjadi. Galat dihitung berdasarkan rata-rata kuadrat

kesalahan (MSE). Rata-rata kuadrat galat juga dijadikan dasar perhitungan

unjuk kerja fungsi aktivasi. Sebagian besar pelatihan untuk jaringan

feedfoward (umpan maju) menggunakan gradien dari fungsi aktivasi untuk

menentukan bagaimana mengatur bobot-bobot dalam rangka

12

meminimumkan kinerja. Gradien ini ditentukan dengan menggunakan

suatu teknik yang disebut backpropagation.

Pada dasarnya, algoritma pelatihan standar backpropagation akan

menggerakkan bobot dengan arah gradien negatif. Prinsip dasar dari

algoritma backpropagation adalah memperbaiki bobot-bobot jaringan

dengan arah yang membuat fungsi aktivasi menjadi turun dengan cepat.

Pelatihan backpropagation meliputi 3 fase sebagai berikut;

1).Fase 1, yaitu propagasi maju.

Pola masukan dihitung maju mulai dari layar masukan hingga layar

keluaran menggunakan fungsi aktivasi yang ditentukan.

2).Fase 2, yaitu propagasi mundur.

Selisih antara keluaran jaringan dengan target yang diinginkan

merupakan galat yang terjadi. Galat yang terjadi itu dipropagasi

mundur. Dimulai dari garis yang berhubungan langsung dengan unit-

unit di layar keluaran.

3).Fase 3, yaitu perubahan bobot.

Modifikasi bobot untuk menurunkan galat yang terjadi.

Ketiga fase tersebut diulang-ulang terus hingga kondisi penghentian

dipenuhi.

Algoritma pelatihan untuk jaringan backpropagation dengan satu layar

tersembunyi (dengan fungsi aktivasi sigmoid biner) adalah sebagai berikut.

a) Langkah 0

Inisialisasi semua bobot dengan bilangan acak kecil.

b) Langkah 1

Jika kondisi penghentian belum dipenuhi, lakukan langkah 2-8.

c) Langkah 2

Untuk setiap pasang data pelatihan, lakukan langkah 3-8.

d) Langkah 3 (langkah 3-5 merupakan fase 1)

Tiap unit masukan menerima sinyal dan meneruskannya ke unit

tersembunyi diatasnya.

e) Langkah 4

13

Hitung semua keluaran di unit tersembunyi zRjR (j = 1, 2,..., p).

………………….(6)

f) Langkah 5

Hitung semua keluaran jaringan di unit keluaran yRkR (k = 1, 2,...,m).

…………………(7)

…………………(8)

g) Langkah 6 (langkah 6-7 merupakan fase 2)

Hitung faktor δ unit keluaran berdasarkan kesalahan di setiap unit

keluaran yRkR (k = 1, 2,..., m).

………(9)

tRkR = target keluaran

δRkR = merupakan unit kesalahan yang akan dipakai dalam perubahan

bobot layar dibawahnya.

Hitung perubahan bobot wRkjR dengan laju pemahaman α

K = 1, 2, …, m ; j = 0, 1, …p

h) Langkah 7

Hitung faktor δ unit tersembunyi berdasarkan kesalahan di setiap unit

tersembunyi zRjR (j = 1, 2, ..., p).

……………………(11)

Factor δ unit tersembunyi.

…………(12)

Hitung suku perubahan bobot VRji

………………………….(13) J = 1, 2, …, p; i = 1, 2, …,n

i) Langkah 8 (fase 3)

Hitung semua perubahan bobot. Perubahan bobot garis yang menuju

ke unit keluaran, yaitu:

14

(k = 1, 2,…,m; j = 0, 1,…,p)…(14)

Perubahan bobot garis yang menuju ke uit tersembunyi, yaitu:

(j = 1, 2,…,p ; i = 0, 1,…,n) ….(15)

Parameter α merupakan laju pemahaman yang menentukan kecepatan

iterasi. Nilai α terletak antara 0 dan 1 (0 ≤ α ≤ 1). Semakin besar harga α ,

semakin sedikit iterasi yang dipakai. Akan tetapi jika harga α terlalu besar,

maka akan merusak pola yang sudah benar sehingga pemahaman menjadi

lambat. Satu siklus pelatihan yang melibatkan semua pola disebut epoch.

Pemilihan bobot awal sangat mempengaruhi jaringan syaraf tiruan dalam

mencapai minimum global (atau mungkin lokal saja) terhadap nilai galat

dan cepat tidaknya proses pelatihan menuju kekonvergenan.

Apabila bobot awal terlalu besar maka masukan (input) ke setiap lapisan

tersembunyi atau lapisan keluaran (output) akan jatuh pada daerah dimana

turunan fungsi sigmoidnya akan sangat kecil. Apabila bobot awal terlalu

kecil, maka masukan ke setiap lapisan tersembunyi atau lapisan keluaran

akan sangat kecil. Hal ini akan menyebabkan proses pelatihan berjalan

sangat lambat. Biasanya bobot awal diinisialisasi secara random dengan

nilai antara -0.5 sampai 0.5 (atau -1 sampai 1 atau interval yang lainnya).

Setelah pelatihan selesai dilakukan, jaringan dapat dipakai untuk

pengenalan pola. Dalam hal ini, hanya propagasi maju (langkah 4 dan 5)

saja yang dipakai untuk menentukan keluaran jaringan.

2.1.6. Backpropagation Momentum

Pada standar backpropagation, perubahan bobot didasarkan atas gradien

yang terjadi untuk pola yang dimasukkan saat itu. Modifikasi yang dapat

dilakukan adalah melakukan perubahan bobot yang didasarkan atas arah gradien

pola terakhir dan pola sebelumnya (disebut momentum) yang dimasukkan. Jadi

tidak hanya pola masukan terakhir saja yang diperhitungkan.

Penambahan momentum dimaksudkan untuk menghindari perubahan bobot

yang mencolok akibat adanya data yang sangat berbeda dengan yang lain

(outlier). Apabila beberapa data terakhir yang diberikan ke jaringan memiliki pola

serupa (berarti arah gradien sudah benar), maka perubahan bobot dilakukan secara

15

cepat. Namun apabila data terakhir yang dimasukkan memiliki pola yang berbeda

dengan pola sebelumnya, maka perubahan bobot dilakukan secara lambat.

Dengan penambahan momentum, bobot baru pada waktu ke (t+1)

didasarkan atas bobot pada waktu t dan (t-1). Disini harus ditambahkan dua

variabel yang mencatat besarnya momentum untuk dua iterasi terakhir. Jika μ

adalah konstanta (0 ≤ μ ≤ 1) yang menyatakan parameter momentum maka bobot

baru dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut.

………..(16)

dengan,

WRkjR (t ) = bobot awal pola kedua (hasil dari itersi pola pertama)

WRkjR (t - 1) = bobot awal pada iterasi pola pertama

dan

……………..(17)

dengan

VRjiR (t ) = bobot awal pola kedua (hasil dari itersi pola pertama)

VRjiR (t - 1) = bobot awal pada iterasi pola pertama

(Siang, 2005:113)

Menurut Rich dan Knight, (2001), Perambatan Balik merupakan salah satu

model JST yang popular dan ampuh. JST ini menggunakan arsitektur yang mirip

dengan arsitektur JST Multi Layer Perceptron (yang memiliki satu atau lebih

lapisan tersembunyi diantara lapisan masukan dan lapisan keluaran). JST

perambatan balik menggunakan metode pembelajaran terawasi (supervised

training) sedangkan Kusumadewi, (2003), mengutarakan bahwa; JST perambatan

balik tidak memiliki hubungan umpan balik (feedback), artinya suatu lapisan

(layer) tidak memiliki hubungan dengan lapisan sebelumnya sehingga bersifat

umpan maju (feedforward), namun galat yang diperoleh diumpankan kembali ke

lapisan sebelumnya selama proses pelatihan, kemudian dilakukan penyesuaian

bobot. (Gambar 4)

.

16

Gambar 4, Arsitektur-JST Backpropagation menurut Kusumadewi, 2003.

2.2. Metode Sidik Jari

Pengenalan sidikjari (fingerprint recognition) merupakan teknologi yang

amat sering dan umum digunakan oleh khalayak ramai dalam identifikasi identitas

seseorang, bahkan telah menjadi teknologi yang cukup diandalkan karena

efektifitas dan penggunaannya yang mudah. Sidik jari (fingerprint) merupakan

identitas seseorang yang sangat terjamin keunikannya. Karena keunikannya itulah

sidik jari (fingerprint) dapat digunakan untuk menjadi identitas utama yang

digunakan dalam mengenali seseorang. Hal tersebut menyebabkan dibutuhkannya

suatu metode pengenal terhadap sidik jari (fingerprint) tersebut. Algoritma

pencocokan string (string matching) merupakan algoritma yang banyak

digunakan dalam pengenalan pengenalan suatu permasalahan. Algoritma ini

merupakan algoritma yang sangat mangkus dan sangkil dalam proses pengenalan.

Dalam hal ini, contoh yang kita ambil adalah pengenalan sidik jari (fingerprint

recognition) sebagai aplikasi algoritma pencocokan string (string matching).

(Winanti, 2007)

Sistim pengenalan pola sidik jari merupakan salah satu sistim biometrik

yang paling popular disamping tingkat akurasi yang baik juga lebih mudah

daripada sistim biometrik lainya. Meskipun demikian, pada sistim pengenalan

pola , sidikjari, Proses awal untuk mendapatkan cirri-ciri khusus tidak mudah dan

memerlukan waktu. Pada sistim tertanam (embedded system) dengan keterbatasan

X0

X2

X1

H0

H1

O1

O2

O3

Input -input

Input Layer Hidden Layer Ouput Layer

Bobot Matrik 1 Bobot Matrik 2

17

kapasitas dari elemen-elemen didalamnya, kecepatan dan kepadatan /keringkasan

algoritma ekstraksi pola sidik jari merupakan syarat utama. Deteksi titik-titik

singular (singular points), merupakan salah satu pilihan mengingat jumlah titik-

titik ini antara 2 sampai 4 untuk setiap sidik jari sehingga data tempelate yang

disimpan sangat sedikit dibandingkan jika menggunakan deteksi minutiae yang

jumlahnya antara 60 sampai 100. (Sudiro, 2004).

Dikatakan pula bahwa; salah satu metode yang dapat digunakan adalah

dengan membangun matrix berarah (direction matrix) atau penghitungan arah

citra (directional image calculation) yang dapat mendiskripsikan tekstur pola sidik

jari. Kemudian menggunakan pendekatan sederhana untuk mendeteksi keberadaan

titik-titik singular (core dan delta) yakni menggunakan bilangan bertanda pada

perubahan kurva didalam citra berarah tersebut. Metode ini mampu mengenali

keberadaan seluruh titik-titik singular pada posisi yang akurat dan cepat (0.9)

detik meski bermasalah pada area batas citra (border area).

Biometrik mencakup karakteristik fisiologis dan karakteristik perilaku.

Karakteristik fisiologis adalah cirri fisik yang relative stabil seperti sidik jari,

siluent tangan, cirri khas wajah, pola iris, atau retina mata. Karakteristik perilaku

seperti tanda tangan, pola ucapan, atau ritme mengetik, selain memiliki basis

fisiologis yang relative stabil, juga dipengaruhi kondisi psikologis yang mudah

berubah. (Hidayanto et al., 2008).

Menurut Ardisasmita, bahwa; Sidik jari memiliki suatu orientasi dan

struktur periodik berupa komposisi dari garis-garis gelap dari kulit yang naik

(ridges) dan garis-garis terang dari kulit yang turun (furrows) yang berliku-liku

membentuk suatu pola yang berbeda-beda. Walaupun garis-garis alur tangan

terbentuk berbeda-beda, tetapi sifat-sifat khusus dari sidik jari yang disebut

dengan minutiae adalah unik untuk setiap individu. Ciri-ciri ini membentuk pola

khusus yang terdiri dari terminasi atau percabangan dari alur. Untuk memeriksa

apakah dua sidik jari berasal dari jari yang sama atau bukan, para ahli mendeteksi

minutiae tersebut. Sistem Identifikasi Sidik Jari Otomatis (AFIS) akan mengambil

dan membandingkan ciri-ciri tersebut untuk menentukan suatu kecocokan.

Verifikasi sidik jari adalah proses pencocokan sidik jari. Peranan verifikasi

sidik jari ini dalam model medis adalah salah satunya mendukung proses Visum Et

18

Repertum (VER) di bidang kedokteran forensik. Verifikasi yang sudah ada

Berbasis algoritma minutiae, tetapi ditemukan permasalahan terutama pada poin

minutiae (ridge) yang belum bisa diproses secara lengkap. Kelemahan ini akan

tampak pada proses pencocokan sidik jari yang mengandung perbedaan jumlah

poin minutiae dua sidik jari yang berkorespondensi yang banyak ditemui pada

sidik jari korban dalam proses visum et repertum (VER). Pada penelitian ini akan

dihasilkan model perangkat lunak verifikasi citra sidik jari poin minutiae yang

dapat mengatasi kelemahan tersebut.( Pratama, 2008)

Aplikasi bitoteknologi dan pemuliaan tanaman telah dilakukan oleh

Bustaman et all. (2004), menginformasikan bahwa; keragaman genetik tanaman

sangat diperlukan dalam program pemuliaan. Karakterisasi plasma nutfah untuk

menyediakan data genotype atau molekuler. Sehingga informasi keragaman

genetik untuk varietas padi berdasarkan sidik jari DNA menggunakan bagian

motif urutan DNA terkonservasi dari gen resisten, dimana contoh DNA dari 28

varietas padi diamplifikasi menggunakan lima resistance gene analogue,

kemudian diseparasi dalam gel poliakrilamid 5% dengan teknik elektroforesis dan

dideteksi lewat pewarna nitrat perak. Pita DNA diskor berdasarkan ada (1) dan

tidak ada (0) pita.

Citra sidikjari diproses awal dengan transformasi wavelet sehingga

menghasilkan multiresolusi dari citra aslinya. Penggunaan transformasi wavelet

ini dimotivasi oleh adanya hasil penelitian tentang transformasi wavelet yang

mempunyai kemampuan memunculkan (feature) khusus pada citra yang diteliti.

Transformasi wavelet di sini digunakan selain sebagai metode ekstraksi ciri juga

sekaligus mereduksi dimensi citra masukan. Citra tereduksi selanjutnya diproses

untuk klasifikasinya. Pengenalan dan klasifikasi dengan menerapkan JST

mengelompokkan sidikjari ke salah satu pola utama sidikjari (whorl, left loop,

right loop, arch, dan tented arch). Sebagai basis masukan jaringan syaraf,

digunakan citra ukuran 16x16, yang kemudian dianalisis juga pengaruh besarnya

dimensi vektor masukan terhadap unjuk kerja pengenalan. (Minarni, 2004).

Menurut Kanata (2008); Alihragam gelombang-singkat yang digunakan

Wavelet Daubechies yang merupakan wavelet terbaik untuk pencarian citra.

Alihragam wavelet berfungsi untuk mengekstrak citra sidikjari menjadi ciri-ciri

19

citra dengan cara memilih sejumlah kecil koefisien hasil alihragam yang memiliki

magnitude terbesar (Koefisien Aproksimasi). Ruang warna yang digunakan YIQ

yang merupakan ruang warna yang baik untuk pencarian citra dan hanya diambil

luminansnya (Y) yang merupakan skala keabuan. Hasil eksraksi citra sidik jari

asli digunakan untuk dilatihkan pada jaringan syaraf tiruan backpropagation,

sedangkan pengujian berupa citra sidik jari asli dan sidikjari terdistorsi.

2.3. Optik Bawah Air

Penggambaran yang berhubungan dengan kemampuan melihat di bawah air

dibatasi oleh volume cahaya yang menyebar secara umum di kolom air yang

dilintasi sebagai area sapuan oleh kamera dan sumber cahaya. Dalam masalah ini,

sistim penggambaran adalah berlawanan-terbatas. Pada situasi yang lain,

perbedaan gambar mungkin akan sangat besar berbeda, bagaimanapun banyaknya

daya yang turun dan diterima sensor mungkin terlalu kecil untuk dideteksi; kasus

ini terjadi untuk penggambaran dengan daya terbatas.(Jaffe, 1998).

Kemungkinan melakukan pembuatan gambar bawah air untuk jarak yang

jauh sungguh terbatas. Melalui perjalanan pergi pulang, intensitas beam cahaya

mengalami atenuasi secara exponensial, eP

-2crP, dimana total koefisien atenuasi dan

r adalah jarak dari sumber ke obyek. Dengan asumsi bahwa satu kilowatt dari

satuan energy dalam cahaya dengan panjang gelombang 488 nanometer, nilai dari

atenuasi (karena panjang jarak) dapat dihasilkan dalam penerimaan tunggal adalah

diperkirakan sebesar 50. (Jaffe, 1998).

Dasar yang disepakati pada disain penggambaran (image) bawah air adalah

pemisahan antara kamera dan cahaya. Kekontrasan dan daya/power secara

keseluruhan bergantung pada situasi yang alamiah. Suatu pengukuran yang tepat

yang dihasilkan dari suatu sistim penggambaran bawah air dalam jarak total

panjang atenuasi sebagaimana sistim yang dibuat mampu menerima gambar.

Sistem konvensional menggunakan penentuan posisi bersamaan dari kamera dan

cahaya dapat menghasilkan gambar yang baik 1 atenuasi panjang. tapi akan

sebaliknya akan sangat terbatas pada jarak lebih besar. System pemisahan antara

kamera dan cahaya dapat menghasilkan gambar pada jarak hingga 2 – 3 panjang

atenuasi. Tapi jarak yang sangat besar akan sangat berharap pada hamburan balik.

20

Pemisahan jarak pengoperasian adalah 3-5 meter. (Harris and Ballard, 1986 dalam

Jaffe, 1998). Untuk jarak yang besar melebihi 3 atenuasi panjang dibutuhkan

sistem yang lebih rumit; sebagai contoh; laser range-gatet system dan scanning

light beam. (Jaffe, 1998).

Sudah pasti bahwa fisika dasar perambatan dari pada cahaya di dalam laut

dipengaruhi oleh keseluruhan tampilan sistem penggambaran secara optikal di

bawah air, seperti transparansi dari medium intergalaksi yang memberi peluang

untuk para astronom melihat jarak obyek-obyek. Di lautan, sifat optis yang tidak

dapat dipisahkan atau Inherent Optics Properties (IOPs) adalah parameter-

parameter yang menyebabkan perambatan dari cahaya. Jadi, serapan dan

hamburan haruslah diperhitungkan dalam memperkirakan bentuk tampilan dari

sistim penggambaran bawah air dalam situasi yang bervariasi. Untuk penggunaan

dari sistim simulasi dan permodelan, akurasi data diperlukan untuk atenuasi

sebagai bagian dalam menduga jarak penggambaran, permukaan yang

menghamburkan, yang mengakibatkan gambar menjadi kabur dan latarbelakang

hamburan balik cahaya, yang mana batasan secara umum perbedaan dari gambar

bawah air yang terbentuk oleh kilauan cahaya. Untung kemajuan saat ini

instrumentasi optik untuk pengukuran parameter saat ini menjanjikan peningkatan

pengetahuan kita tentang hal ini. (Jaffe, et al, 2001).

2.4. Citra dan Warna

Secara harafiah, citra (image) adalah gambar pada bidang dwiwarna (dua

dimensi). Jika ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi

penerus (continu) dari intensitas cahaya pada bidang dwimatra. Sumber cahaya

menerangi obyek, obyek memantulkan kembali sebagian dari berkas cahaya

tersebut. Pantulan cahaya ini ditangkap oleh alat-alat optik, misalnya mata pada

manusia, kamera, pemindai (scanner), dan sebagainya, sehingga bayangan obyek

yang disebut citra tersebut direkam (Munir, 2004)

Penangkapan (capture) warna pada suatu citra meliputi penangkapan tiga

citra secara simultan. Dengan sistim RGB (Red Green Blue), sebagai suatu

standarisasi industry, intensitas masing-masing warna baik red, green, ataupun

blue harus diukur pada masing-masing spot. Dengan kamera yang beroperasi

21

secara linear yang menjelajahi keseluruhan visible spectrum, kumpulan-kumpulan

warna yang sederhana dapat digunakan untuk mengambil tiga citra, yang masing-

masing, satu untuk spektra red, green, dan blue. (Fadlisyah, 2007)

Beberapa perangkat keras standard, untuk menghasilkan warna, memiliki

model-model tertentu yang berbeda satu sama lain dalam penyimpanan warna.

Pada umumnya sebuah pixel warna ditampilkan sebagai suatu titik pada ruang tiga

dimensi. Ruang tersebut memiliki suatu sumbu yang diberi label sebagai warna

independen (red, green dan blue), atau juga memiliki suatu indicator independen

seperti hue, luminosity (lightness), dan saturation. (Fadlisyah, 2007)

Commission International de l’Eclairage (CIE) atau International Lighting

Committee adalah lembaga yang membakukan warna pada tahun 1931. CIE mula-

mula menstandarkan panjang gelombang warna-warna pokok sebagai berikut; R :

700 nm, G : 546.1 nm, 435.8 nm, dimana warna-warna lain dapat dihasilkan

dengan mengkombinasikan ketiga warna pokok tersebut. Namun RGB bukan

satu-satunya warna pokok yang dapat digunakan untuk menghasilkan kombinasi

warna. Warna lain dapat juga digunakan sebagai warna pokok misalnya C = Cyan,

M = Magenta, dan Y = Yellow). Ketiga warna CMY ini merupakan warna

komplementer dari RGB. Dua buah warna disebut komplementer jika dicampur

dengan perbandingan yang tepat menghasilkan warna putih. Misalnya, magenta

jika dicampur dengan perbandingan yang tepat dengan green menghasilkan putih,

karena itu magenta adalah komplemen dari green. Model CMY dapat diperoleh

dari model RGB dengan perhitungan bahwa; C = 1-R, M = 1-G, Y = 1-B. (Munir,

2004)

2.5. Peramalan (Interpolasi dan Exkstrapolasi)

2.5.1. Pengertian Peramalan

Peramalan adalah suatu kegiatan atau usaha untuk mengetahui peristiwa-

peristiwa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang mengenai obyek tertentu

dengan menggunakan pertimbangan, pengalaman-pengalaman ataupun data

historis. Dari definisi diatas terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan

pengertiannya, antara lain:

22

1. Peristiwa; adalah suatu kejadian tentang suatu obyek yang merupakan

hasil suatu proses atau kegiatan; misalnya baik/buruk, turun/naik, atau

mendatar dan lain sebagainya.

2. Waktu yang akan datang; Maksudnya peristiwa yang ingin diramal itu

adalah kejadian masa datang.

3. Pertimbangan, intuisi, pengalaman, ataupun data historis. Adalah

merupakan variable-variabel yang digunakan untuk melakukan peramalan.

Dengan memperhatikan uraian diatas, maka peramalan merupakan proses

atau metode dalam meramal suatu peristiwa yang akan terjadi pada masa yang

akan datang dengan berdasarkan pada variable-variabel tertentu.

2.5.2. Metode-metode Peramalan

Peramalan dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Melakukan

peramalan secara kuantitatif, artinya menggunakan data angka, sebab variabel

yang diramal itu hanya terbatas pada variabelvariabel yang dapat di ukur secara

kuantitatif. Jelas bahwa variabel-variabel yang digunakan untuk melakukan

peramalan itu adalah benar-benar secara teoritis. Pada umumnya, peramalan

kuantitatif dapat dikelompokkan dalam 2 model, yaitu:

i. Model deret berkala (time-series)

ii. Model regresi (kausal)

Kedua model tersebut hanya dapat diterapkan apabila terpenuhi beberapa

kondisi, antara lain:

a. Tersedianya informasi tentang masa lalu.

b. Informasi tersebut bersifat kuantitatif atau dikuantitatifkan menjadi data

angka.

c. Diasumsikan bahwa pola masa lalu akan berkelanjutan pada pola masa

datang.

Dengan model deret berkala kita berusaha menduga nilai suatu variabel

untuk masa datang dengan menggunakan nilai-nilai variabel tersebut pada masa

lalu. Artinya dengan menganalisis pola data masa lalu secara deret berkala untuk

melakukan ekstrapolasi bagi nilai masa datang. Ini tentu saja kita berasumsi

23

bahwa adanya kesinambungan kondisi antar masa lalu dan masa

datang.(Satyawan, 2008)

2.6. Wahana Bawah Air

Wahana bawah air dalam bidang observasi bawah air kini telah berkembang

pesat untuk kepentingan eksplorasi sumberdaya laut. Wahana-wahana ini dapat

berupa robot-robot ataupun mini kapal selam yang dilengkapi peralatan akustik,

navigasi dan kamera serta tangan-tangan untuk pengambilan sampel. Wahana-

wahana ini kita kenal dengan Remotely Operated Vehicles (ROV) dan

Autonomous Underwater Vehicles (AUV), yang dapat dioperasikan tanpa kabel,

ada juga dengan sistem kabel, serta yang menggunakan awak ataupun tanpa awak.

Sebagian observasi laut dalam menggunakan jaringan kabel. Jaringan ini

memungkinkan sampling data dari Samudra dengan temporal tinggi dan resolusi

vertikal. Melalui kabel ke darat. Jaringan ini memonitor dan menunjukkan secara

real time. Satu komponen dari observasi ini adalah penggunaan bentuk plat form

ROVs. ROVs dapat digunakan untuk pemantauan bawah air dan melakukan

sedikit pemeliharaan pada bagian struktur navigasi. ROVs adalah satu klas dari

Maneuverable Underwater Robotic Vehicles dengan ditambatkan melalui sebuah

kawat ke stasiun operator dipermukaan. Kekuatan membawa pusat dan signal

operasi ke ROV dan pengembalian gambar, still images, status pembawa dan data

sensor ke stasiun operator (Kidby 2006). Teknologi ROV dibutuhkan pada

perminyakan lepas pantai, hidroelektronik dan kekuatan industri nuklir, dan

berbagai kepentingan militer (angkatan laut).

ROV Ventana adalah sebuah wahana bawah air yang mampu melayang –

layang dapat menyelam sampai kedalaman 1500 m dan membawa seperangkat

instrument, camera, sebuah defenisi kamera yang tinggi ,manipulator untuk

pekerjaaan dan signal kembali dari instrumen dan alat untuk sampling dasar lautan

dan hewan – hewan di tengah kolom air. Pada ROV Model Pegasus, Insite

Pasifik. Inc, diguanakan camera warna dengan auto focus. Model ini mempunyai

bagian horizontal dengan sudut pandang 48 P

0P dan vertikal dengan sudut pandang

37P

0P didalam air. Model ini dilengkapi dengan Octans Gyrocompass Attitude and

24

Heading Reference System (AHRS). Komponen perangkat lunak memiliki

kemampuan visual traking yang tingggi.

2.7. Terumbu Karang

Terumbu karang (coral reefs) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat

di perairan dangkal yang jernih, hangat (lebih dari 22P

oPC), memiliki kadar CaCO3

(Kalsium Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan

karang keras. Kalsium Karbonat ini berupa endapan masif yang dihasilkan oleh

organisme karang (filum Scnedaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria

Scleractinia), alga berkapur, dan organisme lain yang mengeluarkan CaCO3

(Guilcher, 1988).

Beberapa genera hermatypic corals penting yang ada di Indo-Pacific tidak

ditemukan didaerah Atlantik (Vaughan, 1919). Genera terebut meliputi

Pocillopora, Hydnophora, Leptoria, Pavona dan Goniopora. Demikian pula

beberapa jenis karang yang ada di Atlantik tidak dijumpai di Indo-Pacifik.

Mengenai jumlah jenis, tidak hanya jumlah genera yang lebih sedikit di daerah

Atlantik, akan tetapi jumlah spesies per genus, dibandingkan dengan ada di daerah

Indo-Pacifik. Sebagai contoh, Genus Acropora, didaerah Indo-Pacific tercatat

sekitar 150 species, akan tetapi hanya ada tiga di Atlantik. Demikian juga genus

Porites, masing-masing tercatat ada 30 species di Indo-Pacific dan 3 species di

daerah Atlantik. Menurut Wells (1964) keanekaragaman yang terbesar berada di

wilayah Indo-Pacific, tercatat di daerah Melanesia, Asia Tenggara, dan yang

paling tinggi tercatat di Indonesia (Rosen, 1971), yaitu dengan lebih dari 50

genera dan 700 species, sedangkan diperairan terumbu karang di kawasan Indo-

Pacific lainya hanya mempunyai keanekaragaman sekitar 20-40 genera (Stoddart,

1969). Menurut perkiraan, terumbu karang yang ada di Indonesia menempati area

seluas 7.500 kmP

2P dari luas perairan Indonesia (Kantor Menteri Negara

Lingkungan Hidup, 1992). Berdasarkan hasil penelitian jenis-jenis karang yang

mendominasi di perairan tersebut adalah dari genera Acropora, Montipora dan

Porites, dan mempunyai jumlah species yang cukup banyak. Sebagai contoh

genus Acropora, di Sumatera Barat tercatat ada 49 species, Laut Jawa ada 63

species, Sulawesi Selatan ada 75 species, Flores dan Sumbawa ada 65 species

25

(Moosa et al, 1996). Jumlah total scleractinian corals yang ditemukan di perairan

Indonesia pada mulanya dilaporkan ada sekitar 362 species, yang berasal dari 76

genera. Namun hasil Expedisi Snellius II tahun 1984, jumlah genera scleractinian

corals ditemukan hanya 75 genera, yang terdiri dari 350 species (Borel-Best et

al,1989).

Dalam pengukuran kelimpahan dan keanekaragaman karang, peneliti

mengalami keraguan tentang jenis karang yang diamati atau diteliti. Berkaitan

dengan ini perlu dilakukan pengambilan sampel karang tersebut. Sampel karang

yang diambil dianjurkan tidak terlampau besar, karena bisa merusak ekosistim

terumbu karang, namun juga tidak terlampau kecil, karena sulit diidentifikasi.

(Supriharyono, 2007). Dikatakan pula bahwa untuk identifikasi karang digunakan

kunci identifikasi karang, yang sesuai dengan daerah atau lokasi pengambilannya.

Indo-Pacific atau Caribbean karang.