151
i INTENSI BERWIRAUSAHA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA: PERAN SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING BEHAVIOR, EQ, DAN AQ Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi Oleh : Teddy Djuliarki Kurniawan NIM : 107070002604 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433H/2011 i INTENSI BERWIRAUSAHA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA: PERAN SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING BEHAVIOR, EQ, DAN AQ Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi Oleh : Teddy Djuliarki Kurniawan NIM : 107070002604 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433H/2011 i INTENSI BERWIRAUSAHA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA: PERAN SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING BEHAVIOR, EQ, DAN AQ Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi Oleh : Teddy Djuliarki Kurniawan NIM : 107070002604 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433H/2011

INTENSI BERWIRAUSAHA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1783/1/TEDDY... · SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22

Embed Size (px)

Citation preview

i

INTENSI BERWIRAUSAHA SISWA SEKOLAH

MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA:

PERAN SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING

BEHAVIOR, EQ, DAN AQ

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar

Sarjana Psikologi

Oleh :

Teddy Djuliarki Kurniawan

NIM : 107070002604

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1433H/2011

i

INTENSI BERWIRAUSAHA SISWA SEKOLAH

MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA:

PERAN SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING

BEHAVIOR, EQ, DAN AQ

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar

Sarjana Psikologi

Oleh :

Teddy Djuliarki Kurniawan

NIM : 107070002604

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1433H/2011

i

INTENSI BERWIRAUSAHA SISWA SEKOLAH

MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA:

PERAN SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING

BEHAVIOR, EQ, DAN AQ

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar

Sarjana Psikologi

Oleh :

Teddy Djuliarki Kurniawan

NIM : 107070002604

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1433H/2011

ii

INTENSI BERWIRAUSAHA SISWA SEKOLAH

MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA:

PERAN SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING

BEHAVIOR, EQ, DAN AQ

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar

Sarjana Psikologi

Oleh :

TEDDY DJULIARKI KURNIAWAN

NIM : 107070002604

Dibawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Jahja Umar, Ph.D Miftahuddin, M.SiNIP. 130 885 522 NIP. 19730317 200604 1001

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1433H/2011

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul INTENSI BERWIRAUSAHA SISWA SEKOLAH

MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA: PERAN SELF

EFFICACY, LoC, RISK TAKING BEHAVIOR, EQ, DAN AQ telah diujikan

dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tanggal 08 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada

Fakultas Psikologi.

Jakarta, 08 Desember 2011

Sidang Munaqasyah

Dekan/Pembimbing I/Ketua Pembantu Dekan/Sekretaris

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.SiNIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001

Anggota :

Drs. Sofiandy Zakaria, M.Psi Yunita Faela Nisa, M.Psi. PsiNIDN. 031 505 4701 NIP. 15036 8748

Miftahuddin, M.SiNIP. 19730317 200604 1001

iv

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Teddy Djuliarki KurniawanNIM : 107070002604

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul INTENSI BERWIRAUSAHA

SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA:

PERAN SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING BEHAVIOR, EQ, DAN AQ

adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat

dalam penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam

penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-

undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari

karya orang lain.

Demikian pernyataan ini diperbuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta, 08 Desember 2011Yang Menyatakan

Teddy Djuliarki KurniawanNIM 107070002604

v

MOTTO

Sebaik-baik manusia adalah manusia

yang bermanfaat bagi makhluk hidup

lainnya

i am not a good guy but ill try to become a

good guy and do good things, so..

ill do MY BEST for YOU

(Teddy DjArky K)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini ku persembahkan karena Nya, untuk semua (orang tuaku, my brothers n my big family) serta masa depanku.

...theres a will..,,theres a wish...,theres a way...

Dari semua kata sedih yang terucap atau tertulis....Kata-kata yang paling menyedihkan adalah,seandainya dulu.......(Whittier & Muller, 1856)

vii

ABSTRAK

(A) Fakultas Psikologi(B) Desember 2011(C) Teddy Djuliarki Kurniawan(D) Intensi Berwirausaha Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22

Jakarta: Peran self efficacy, locus of control, risk taking behavior, emotional quotient, dan adversity quotient

(E) xvii + 170 halaman (termasuk lampiran)(F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran self efficacy, locus of control, risk

taking behavior, emotional quotient, dan adversity quotient terhadap intensi

berwirausaha siswa SMK Negeri 22 Jakarta. Intensi berwirausaha merupakan

prediktor terbaik dalam menggambarkan kemunculan perilaku berwirausaha di

masa depan. Dalam memunculkan intensi berwirausaha, siswa banyak

dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor psikologis, demografis dan

lingkungan. Faktor-faktor psikologis merupakan faktor internal seseorang yang

mempengaruhi munculnya intensi berwirausaha. Diduga faktor psikologis seperti

self efficacy, internal locus of control, external locus of control, risk taking

behavior, emotional quotient, dan adversity quotient memiliki peran dalam

mempengaruhi intensi berwirausaha siswa, dikarenakan faktor-faktor psikologis

tersebut merupakan latar belakang dari munculnya intensi berwirausaha pada

seseorang.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan sampel siswa Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta, dimana populasinya berjumlah

714 siswa dengan jumlah sampel yang diambil 184 siswa yang ditentukan

dengan menggunakan teknik probability sampling dengan stratified random

sampling. Disebut probability sampling karena menggunakan sampel

berdasarkan tujuan yang akan digunakan. Artinya teknik ini memungkinkan

peneliti memilih semua anggota sampel yang ada. Sedangkan untuk instrumen

viii

pengumpulan data, digunakan skala intensi berwirausaha, yaitu (The

Entrepreneurial Intention Questionary / EIQ), self efficacy scale (SES),

multidimensional locus of control scales (MLCS), risk taking behavior

(DOSPERT), emotional quotient, dan adversity quotient (ARP). Adapun metode

analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik regresi

berganda dengan menggunakan program SPSS versi 16. Sedangkan untuk

pengujian validitas konstruk menggunakan LISREL 8.7

Berdasarkan hasil perhitungan regresi berganda didapatkan R square sebesar

0,441 hal ini berarti 44,1% variabel intensi berwirausaha dapat dijelaskan oleh

variasi dari ke enam variable, yaitu self efficacy, internal locus of control,

external locus of control, risk taking behavior, emotional quotient, dan adversity

quotient dengan indeks signifikansi sebesar 0,000 yang berarti P

ix

Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis memberikan saran yang dapat

dijadikan bahan masukan dan informasi positif bagi mahasiswa dan instansi

pendidikan yang terkait dalam penelitian ini. Walaupun dalam hasil penelitian ini

terdapat beberapa variabel yang menunjukkan tidak ada pengaruh terhadap

intensi berwirausaha siswa, namun masih terdapat dua variabel lainnya yang

mempengaruhi intensi berwirausaha siswa. Intensi berwirausaha merupakan awal

dari munculnya perilaku berwirausaha, untuk itulah pentingnya meningkatkan

faktor-faktor psikologis lainnya yang belum ada dalam penelitian ini, seperti

sikap, motivasi, value, pengalaman kerja, kemampuan kewirausahaan, dan faktor

demografi, karena faktor-faktor tersebut secara teoritis pun menentukan

kemunculan dari intensi berwirausaha.

(G) Bahan Bacaan 35 (1975-2011) : 16 buku, 11 jurnal, 7 website, 1 modul.

x

KATA PENGANTAR

BismillahirahmanirrahiimAlhamdulillahhi rabbil alamin, puji syukur kehadirat Allah Swt, hanya

dengan izin-Nya terlaksana segala macam kebajikan serta kebaikan dan diraih segala macam kesuksesan. Dengan rahmat dan karunia-Nya yang telah maupun yang akan diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Rasulullah Muhammad Saw, pemimpin dan tauladan kaum yang beriman, beserta keluarga, sahabat, tabi, tabiin, dan seluruh umatnya yang setia.

Tentunya dalam proses terselesaikannya skripsi ini, penulis tidak luput dari arahan, bimbingan, semangat, dorongan, serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:1. Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi, pembimbing I, atas waktu luang,

bimbingan, arahan, kesabaran, koreksi, saran dan kritik yang membangun dalam penyelesaian skripsi.

2. Miftahuddin, M.Si, pembimbing II, atas kesabaran, pengertian, perhatian, keramahan, bimbingannya, motivasi serta koreksi yang membuat semangat dan melihat secercah cahaya dalam menyelesaikan skripsi.

3. M. Avicenna, M.H, Psy. Dosen pembimbing akademik, atas dukungan dan keramahannya yang tidak pernah berhenti untuk selalu membuat penulis bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Sofiandy Zakaria, Drs, M.Psi dan Yunita Faela Nisa, M.Psi, Psi. Penguji I dan IIatas pengertian dan kesediaannya meluangkan waktu untuk memberikan arahandemi kesempurnaan skripsi.

5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membimbing dan memberikan ilmu pengetahuannya dengan kesabaran dan keikhlasan.

6. Staf bagian Akademik, Umum, Keuangan dan perpustakaan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membantu kelancaran secara administratif bagi peneliti.

7. Kepala sekolah SMKN 22 Jakata, Amron, Drs, M.M atas keramahan dan ijin penelitian yang telah diberikan serta Wakasek bidang kurikulum Renny R, Dra. yang telah membantu dalam memperlancar penelitian tersebut. Peneliti merasa sangat terbantu dengan kebaikan keluarga besar SMKN 22 Jakarta.

8. Mama dan Ayah yang sangat penulis cintai, atas kesabaran, kasih sayang, pengertian, doa yang tidak pernah berhenti, serta dukungan baik materi, moral

xi

dan tenaga, walau kata-kata kalian jarang terdengar untuk menyemangati tapi peneliti yakin, dibalik itu doa kalian selalu terpanjatkan untuk kesuksesan peneliti.

9. Kakak dan adikku di rumah, 4T (Qiyai Tyas, Tahmi, dan Taufik) atas candaan yang membuat semangat untuk menyelesaikan skripsi.

10. Herlina Pratami (UNJ), Hasty Fajri dan ibu Tuti (STEKPI), terima kasih banyak atas bantuan kalian dalam proses mendapatkan data sehingga penulis merasa bersemangat dan mampu dalam menyelesaikan skripsi tepat waktu. Maaf juga telah merepotkan kalian. Summimasen.

11. DeeDee, pengalaman mengenalmu selalu ada. Banyak hal yang bisa dipelajari darimu. Ure the best spirit that ive ever had, Thank you so much.

12. Semua teman seperjuangan skripsi (pulengbeknilminayrenankahandimdll), semoga kebersamaan kita disaat melalui masa-masa skripsi dapat menuai kenangan indah yang tidak terlupakan. Tetap semangat dan bermanfaat.

13. Ka Adiyo, ka Savinaz, ka Sarah, dan kaka-kaka yang lainnya, yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah memberikan keberkahan pada ilmu kalian.

14. Imam, Adit, pipit n temennya mereka, terima kasih atas kehadirannya, semangat kalian dari belakang saat sidang merupakan semangat luar biasa.

15. Sahabat-sahabat LDK Syahid dan Komda Psikologi, semangat, kebaikan, kebersamaan, dan pengalaman bersama kalian merupakan kebaikan untuk semua yang tak mungkin terlupakan. Pengalaman ada guru yang terbaik dan kalian adalah pengalaman terbaik. Were the best..

16. Teman-teman TC dan CPA yang juga telah banyak memberikan pengalaman dan pembelajaran berorganisasi. Tetap semangat.

17. Ka Deas, ka Al, ka Hari, ka Dim, dan bang Jarwo, terima kasih atas waktu, ilmu, tenaga, bahkan pinjaman bukunya dan kesediaannya dalam mendukung kelancaran proses penyelesaian skripsi.

18. Sahabat-sahabat Kelas B The One Fakultas Psikologi 2007 Reguler, atas kebersamaan, keceriaan, kebanggaan dan semangat yang indah dimasa-masa kuliah bersama. Kalian baik semua (jadi bingung mau nulis nama siapa). Tetap semangat kawan-kawan. Im gonna miss u all..

Akhirnya penulis memohon kepada Rabb Pencipta Semesta Alam agar seluruh dukungan, bantuan, bimbingan dari semua pihak di balas oleh Allah Swt dengan sebaik-baiknya balasan. Amin.

Jakarta, 08 Desember 2011

Teddy Djuliarki Kurniawan

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iii

MOTTO ...................................................................................................................... v

PERSEMBAHAN....................................................................................................... vi

ABSTRAK ................................................................................................................. vii

KATA PENGANTAR.................................................................................................. x

DAFTAR ISI.............................................................................................................. xii

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1-161.1. Latar Belakang Masalah....................................................................... 11.2. Rumusan dan Batasan Masalah.......................................................... 12

1.2.1. Rumusan Masalah ................................................................... 121.2.2. Batasan Masalah ...................................................................... 13

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 141.3.1. Tujuan Penelitian ..................................................................... 141.3.2. Manfaat Penelitian................................................................... 14

1.3.2.1. Manfaat Teoritis ......................................................... 141.3.2.2. Manfaat Praktis .......................................................... 14

1.4. Sistematika Penulisan ........................................................................ 15

BAB 2 LANDASAN TEORI.......................................................................... 17-582.1. Intensi Berwirausaha.......................................................................... 17

2.1.1. Definisi Intensi ........................................................................ 172.1.2. Teori Mengenai Intensi ............................................................ 192.1.3. Komponen Intensi ................................................................... 202.1.4. Determinan Intensi .................................................................. 202.1.5. Definisi Kerwirausahaan ......................................................... 222.1.6. Karakteristik Kerwirausahaan ................................................. 242.1.7. Definisi Intensi Berwirausaha ................................................. 26

http://PERSEMBAHAN.......................................................................................................vi

xiii

2.1.8. Indikasi dari Intensi Berwirausaha .......................................... 272.1.9. Alat Ukur Intensi Berwirausaha .............................................. 27

2.2. Self Efficacy........................................................................................ 302.2.1. Definisi Self Efficacy ............................................................... 302.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy.................... 312.2.3. Dimensi-dimensi Self Efficacy ................................................ 332.2.4. Alat Ukur Self Efficacy ............................................................ 34

2.3. Locus of Control................................................................................. 342.3.1. Definisi Locus of Control ........................................................ 352.3.2. Aspek-aspek Locus of Control................................................. 352.3.3. Dimensi Locus of Control........................................................ 362.3.4. Karakteristik Locus of Control ................................................ 372.3.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Locus of Control.............. 382.3.6. Alat Ukur Locus of Control ..................................................... 39

2.4. Adversity Quotient.............................................................................. 402.4.1. Definisi Adversity Quotient ..................................................... 402.4.2. Bentuk-bentuk Adversity Quotient .......................................... 412.4.3. Dimensi Adversity Quotient .................................................... 412.4.4. Jenis-jenis Karakteristik Manusia............................................ 422.4.5. Alat Ukur Adversity Quotient .................................................. 44

2.5. Emotional Quotient ............................................................................ 442.5.1. Definisi Emotional Quotient.................................................... 442.5.2. Indikator Emotional Quotient.................................................. 462.5.3. Alat Ukur Emotional Quotient................................................. 49

2.6. Risk Taking ......................................................................................... 502.6.1. Definisi Risk Taking................................................................. 502.6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risk Taking ...................... 512.6.3. Karakteristik Situasi yang Mempengaruhi Risk Taking .......... 522.6.4. Dimensi Risk Taking ................................................................ 522.6.5. Alat Ukur Risk Taking.............................................................. 53

2.7. Kerangka Berpikir Penelitian............................................................. 542.8. Hipotesis Penelitian............................................................................ 57

BAB 3 METODE PENELITIAN ................................................................. 59-923.1. Populasi dan Sampel .......................................................................... 593.2. Variabel Penelitian ............................................................................ 603.3. Definisi Operasional Variabel ........................................................... 603.4. Instrumen Pengumpulkan Data ......................................................... 623.5. Prosedur Pengujian Alat Ukur............................................................ 68

3.5.1 Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur.................................... 683.5.2 Uji Hipotesis ............................................................................. 89

xiv

BAB 4 METODE PENELITIAN ................................................................ 93-1084.1. Analisis Deskriptif.............................................................................. 934.2. Uji Hipotesis ................................................................................... 101

4.2.1 Pengujian Hipotesis mayor dan Minor.................................... 1084.2.2 Analisis Proporsi Varian Pada Masing-Masing

Independent Variabel............................................................... 104

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN .................................... 109-1225.1. Kesimpulan ...................................................................................... 1095.1. Diskusi ..............................................................................................1105.2. Saran..................................................................................................118

5.1. Saran metodologis.......................................................................1185.2. Saran praktis............................................................................... 120

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 123-125

LAMPIRAN ............................................................................................................ 126

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tabel skoring dan interpretasi alat ukur EIQ, SES, dan MLCS

Tabel 3.2 Blue print Multidimension Locus of Control (MLCS)

Tabel 3.3 Blue print Emotional Intelligence

Tabel 3.4 Blur Print skoring Emotional Intelligence

Tabel 3.5 Muatan Faktor Item EIQ untuk Intensi Berwirausaha

Tabel 3.6 Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada butir-butir item

Intensi Berwirausaha

Tabel 3.7 Muatan Faktor Item untuk self efficacy

Table 3.8 Muatan Faktor Item untuk external locus of control

Tabel 3.9 Muatan Faktor Item untuk internal locus of control

Table 3.10 Muatan Faktor Item untuk risk taking

Table 3.11 Muatan Faktor Item untuk emotional quotient

Tabel 3.12 Muatan Faktor Item untuk adversity quotient control

Table 3.13 Muatan Faktor Item untuk adversity quotient origin & ownership

Tabel 3.14 Muatan Faktor Item untuk adversity quotient reach

Tabel 3.15 Muatan Faktor Item untuk adversity quotient endurance

Tabel 4.1 Distribusi populasi penelitian berdasarkan jenis kelamin

Tabel 4.2 Distribusi sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin

Tabel 4.3 Distribusi populasi penelitian berdasarkan program keahlian

Tabel 4.4 Distribusi sampel penelitian berdasarkan program keahlian

Tabel 4.5 Distribusi populasi penelitian berdasarkan tingkatan kelas

Tabel 4.6 Distribusi sampel penelitian berdasarkan tingkatan kelas

Tabel 4.7 Distribusi sampel penelitian berdasarkan jenis pekerjaan orang tua

siswa

Tabel 4.8 Uji Beda Intensi Berwirausaha

Tabel 4.9 Tabel Anova

xvi

Table 4.10 Model Summary

Tabel 4.11 Koefisien Regresi

Table 4.12 Proporsi varian oleh masing-Masing Independen Variabel

Skema 2.7.1 Skema Kerangka Berpikir Penelitian

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 22 Negeri

Jakarta

Lampiran 2 Blue Print Alat Ukur Penelitian

Lampiran 3 Output Confirmatory Factor Analisis (CFA) tiap-tiap skala penelitian

Lampiran 4 Analisis Faktor Konfirmatorik untuk masing-masing Variabel

Lampiran 5 Output SPSS Analisis Regresi Ganda

Lampiran 6 Output SPSS Uji Beda Faktor Demografi

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Dalam bab ini peneliti akan memaparkan beberapa hal, yaitu latar belakang

masalah, identifikasi masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pembatasan

masalah, dan sistematika penulisan.

1.1. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan perekonomi di Indonesia tahun 2010 mengalami kenaikan sekitar

5,5 persen (Darmawan, 2010). Badan Pusat Statistik Nasional mencatat bahwa

perekonomian Indonesia pada Triwulan II tumbuh sebesar 6,5 persen (BPS,

2011). Hal tersebut berdampak baik bagi iklim perekonomian di Indonesia.

Pemerintah berharap hal tersebut dapat membantu dalam mengurangi jumlah

pengangguran, seperti dikatakan Menteri Perindustrian, M. S. Hidayat (2011)

bahwa tingkat pengangguran terus akan mengalami penurunan. Data dari Badan

Pusat Statistik menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia

pada Februari 2011 mencapai 6,80 persen atau sebanyak 8,12 juta orang. Angka

tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan posisi Februari 2010 sebesar

7,41 persen. Namun Ekonom International Center for Applied Finance and

Economic (Inter Cafe) Imam Sugema mengatakan, tingkat pengangguran dan

kemiskinan memang cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Namun, penurunan tersebut masih menunjukkan tren yang sangat lambat (Satriani

dan Wahyu, 2009). Dengan demikian, jika hanya mengandalkan pertumbuhan

ekonomi saja belumlah menjadi suatu jalan keluar yang tepat dan efektif bagi

2

perbaikan perekonomian khususnya dalam permasalahan pengurangan

pengangguran di Indonesia. Seperti yang telah diketahui bahwa perekonomian di

dunia tidaklah selamanya stabil dan akan selalu terjadi fluktuasi setiap saatnya.

Permasalahan pengangguran perlu dengan segera dicarikan solusi yang tepat tanpa

harus bergantung dengan pertumbuhan perekonomian saja, karena jika hal

tersebut dibiarkan terus menerus maka dikhawatirkan akan menimbulkan dampak

negatif dalam sosial masyarakat, seperti ketentraman keluarga terganggu,

peningkatan tindakan kriminal dan masalah tekanan jiwa dan keyakinan diri pada

masyarakat (Yanuar, 2010). Tindakan bunuh diri yang diakibatkan depresi karena

sudah lama menganggur merupakan salah satu contohnya, seperti yang

diungkapkan oleh Kapolsek Kebayoran Baru AKBP Irsan, Selasa (2010).

Tindakan bunuh diri dilakukan oleh seorang pria dengan inisial A.S (45 tahun)

yang diduga karena tekanan ekonomi dan sudah lama tidak bekerja. Ia melompat

dari lantai VI, di salah satu Mall di Jakarta Selatan.

Penyebab lain lambatnya penurunan jumlah pengangguran dikarenakan

rendahnya daya serap industri serta semakin sempitnya lapangan pekerjaan,

ditambah lagi tingginya jumlah siswa yang lulus setiap tahunnya. Data dari

Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa setiap tahunnya tidak

kurang dari 1.450.498 siswa SMA/SMK yang lulus (Djumena, 2009), belum lagi

ditambah jumlah mahasiswa yang lulus dari perguruan tinggi. Hal tersebut

mengakibatkan ketidakseimbangan antara jumlah lulusan dengan daya serap

tenaga kerja.

3

Berdasarkan data yang didapatkan, saat ini sebagian besar pengangguran

terbuka didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 12,17%,

kemudian lulusan Diploma dengan 11,59%, selanjutnya sebanyak 10% oleh

lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), diikuti Perguruan Tinggi sebanyak

9,95%, Sekolah Menengah Pertama 7,83%, dan Sekolah Dasar (SD) 3,37% (BPS,

2011). Sangat disayangkan jika para pelajar yang telah mendapatkan pendidikan

yang cukup memadai namun pada akhirnya hanya menjadi pengangguran,

terutama siswa lulusan SMK yang saat ini menjadi penyumbang terbesar ketiga

pengangguran yang saat ini telah mencapai 8,12 juta orang pada Februari 2011

(BPS, 2011). Padahal SMK merupakan sekolah yang memiliki kurikulum serta

program pendidikan yang terfokus pada pembekalan keterampilan guna

mempersiapkan siswanya untuk siap turun dan bersaing di dunia kerja setelah

lulus sekolah nantinya, karena pada dasarnya setiap siswa telah dibekali dengan

berbagai macam keahlian, seperti SMKN 22 Jakarta yang memiliki 4 program

keahlian atau jurusan, yaitu Akuntansi, Administrasi Perkantoran, Penjualan, dan

Teknik Komputer dan Jaringan. Terlebih sejak tahun 1994 pemerintah melalui

Departemen Pendidikan Nasional mulai menerapkan standarisasi kurikulum pada

seluruh SMK, yaitu kewajiban mengajarkan mata pelajaran kewirausahaan pada

siswanya (Depdiknas, 2011). Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 yang

terletak di Condet, Jakarta Timur juga menerapkan kebijakan tersebut dengan

memberikan pengajaran mengenai kewirausahaan dari sejak kelas 1 sampai kelas

3 yang berjumlah sekitar 714 orang, dimana siswa tersebut berasal dari keadaan

ekonomi yang cukup beragam. Dari pegawai negeri sipil, pegawai swasta,

4

wirausaha, hingga buruh. Dimana program ini diharapkan dapat menjadi

tambahan skill bagi siswa setelah lulus nantinya. Di sekolah ini, siswa juga tidak

hanya diajarkan secara teoritis saja, namun praktek langsung mengenai

berwirausaha, seperti menjaga koperasi sekolah, toko foto copy, dan bahkan mini

bank. Semua kegiatan tersebut diajarkan kepada mereka agar mereka dapat

langsung merasakan bagaimana menjadi seorang wirausahwan. Hal tersebut

sesuai dengan visi sekolah, yaitu menjadikan SMK Negeri 22 Jakarta berstandar

Nasional untuk menghasilkan tamatan yang profesional, unggul dan mandiri

(smkn22.ac.id).

Dengan modal keterampilan dan pengetahuan yang didapatkan dari

sekolah serta ditambah dengan pengetahuan kewirausahaan melalui pelajaran

kewirausahaan yang telah masuk kedalam kurikulum sekolah seharusnya siswa

SMK tidak hanya menjadi seorang pencari kerja, namun dapat menjadi seorang

pembuka lapangan kerja atau seorang pengusaha. Dengan berwirausaha ia dapat

mandiri dan bahkan membantu dalam membuka lapangan pekerjaan bagi orang

lain. Namun demikian keinginan atau intensi untuk berwirausaha yang muncul

sejak dini merupakan tujuan utama dalam proses pembentukan wirausahawan-

wirausahawan baru. Oleh karena itu perlunya menumbuhkan semangat

berwirausaha di antara para siswa agar mereka sejak dini menjadi paham dan

memiliki semangat untuk berwirausaha.

Semangat berwirausaha menurut usahawan Ciputra, dalam kuliah umum

pelatihan kewirausahaan Ciputra Foundation di Program Pasca Sarjana

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta tanggal 29 Oktober 2007, merupakan salah

5

satu instrumen efektif untuk menghapus kemiskinan dan ketertinggalan bangsa

(dalam Setyorini, 2000). Hal ini telah terbukti pada negara maju, yaitu Amerika

Serikat. Drucker (1996) menyatakan bahwa wirausaha merupakan penyumbang

terbesar perekonomian di Amerika dan bukan perusahaan-perusahaan besar

berteknologi tinggi, melainkan dunia wirausaha yang menciptakan ribuan

lapangan kerja.

McClelland (dalam Wijaya, 2008) juga menyatakan bahwa suatu negara

akan maju jika terdapat enterpreneur sedikitnya sebanyak 2% dari jumlah

penduduk. Data dari Global Enterpreneurship Monitor (GEM) pada tahun 2004

dan 2005 menunjukkan bahwa Singapura memiliki 7,2% entrepreneur dari jumlah

penduduknya, China dan Jepang memiliki 10%, India 7% dan Amerika lebih dari

itu, yaitu sebesar 11,5% (Smescoukm, 2010), bahkan Indonesia masih jauh

tertinggal dengan Malaysia yang memiliki 3% pengusaha karena Indonesia hanya

memiliki 0,18% pengusaha dari seluruh jumlah penduduknya. Dengan demikian

dari penjelasan diatas, semakin menjelaskan pentingnya dalam meningkatkan

jumlah pelaku wirausaha sebagai salah satu sarana yang efektif dan tepat dalam

mengatasi permasalahan pengangguran.

Bomer Pasaribu (CLDS, 2002), juga menyatakan bahwa salah satu solusi

untuk mengurangi pengangguran terdidik adalah menjadi seorang pengusaha.

Mengingat jumlah pengangguran (pendidikan yang ditamatkan) yang jumlahnya

tidak begitu sedikit, yaitu sekitar 6,80% lebih (BPS, 2011), maka sangat

disayangkan jika potensi sumber daya manusia yang begitu besar tersebut tidak

termaksimalkan dengan baik dan bijaksana.

6

Salah satu cara mengatasi pengangguran adalah dengan memperbanyak

lapangan pekerjaan yang berarti perlu adanya peningkatkan jumlah pelaku

wirausaha. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa keinginan berwirausaha

para pelajar merupakan sumber bagi lahirnya wirausaha-wirausaha masa depan

(Gorman et al., 1997; Kourilsky dan Walstad, 1998).

Menciptakan dan menjadikan seseorang wirausahawan bukanlah hal yang

mudah, terlebih pada siswa SMK yang tergolong masih dalam usia remaja

pertengahan (middle adolesence) dengan rentang usia 13 sampai 17 atau 18 tahun

(Hurlock, 1980). Dimana pada usia ini remaja pertengahan memiliki tugas

perkembangan yang salah satunya adalah dapat memilih jenis pekerjaan yang

sesuai dengan bakat dan minatnya, serta mempersiapkan diri untuk bekerja karena

menjelang berakhirnya masa sekolah para remaja mulai mengkhawatirkan masa

depan mereka (Hurlock, 1980). Pada masa ini juga remaja pertengahan berada

dalam kondisi kebingungan dalam menentukan pilihan (Havigrust dan Garrison,

1991, Steinberg, 2002; Hurlock, 1980), karena pada masa ini merupakan tahap

pencarian identitas bagi remaja (Erikson, 1968; dalam Papalia et. al,. 2008).

Dengan kebingungannya dalam menentukan karier, seharusnya siswa SMK

diuntungkan dengan mendapatkannya pengetahuan mengenai kewirausahaan yang

diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dalam menentukan karier yang akan

mereka pilih, terlebih didukung dengan iklim yang kondusif di negara ini untuk

mendirikan usaha (Indarti dan Rostiani, 2008), diharapakan dapat menjadi

peluang besar bagi siswa SMK untuk menjadi wirausahawan.

7

Dalam melakukan kegiatan berwirausaha terlebih dahulu harus ada

keinginan dalam diri seseorang, karena dalam setiap perilaku atau perbuatan

terlebih dahulu diawali oleh adanya keinginan. Keinginan ini oleh Fishbein dan

Ajzen (1975) disebut dengan intensi, yaitu komponen dalam diri individu yang

mangacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu. Intensi

diasumsikan dapat menangkap faktor-faktor yang memotivasi dan yang

berdampak kuat pada tingkah laku. Sehingga intensi dapat dijadikan sebagai

pendekatan yang masuk akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi

wirausaha (Choo dan Wong, 2006; dalam Indarti & Rostiani, 2008).

Intensi kewirausahaan juga dapat diartikan sebagai proses pencarian

informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukkan suatu

usaha (Katz dan Gartner, 1988). Berdasarkan hasil penelitian lain oleh Krueger

dan Carsrud (1993) bahwa intensi telah terbukti menjadi prediktor yang terbaik

bagi perilaku kewirausahaan. Oleh karena itulah pentingnya mengetahui intensi

dalam penelitian ini guna memprediksi perilaku yang akan muncul, seperti yang

dijelaskan kembali oleh Fishbein dan Ajzen (1975) bahwa kemauan yang kuat

untuk melakukan suatu tingkah laku dapat dijelaskan melalui konsep intensi.

Dari penjelasan di atas maka dapat diasumsikan bahwa hal-hal yang

mempengaruhi seseorang berwirausaha kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh

faktor-faktor yang ada dalam diri individu. Begitu besar peran intensi

berwirausaha khususnya dalam memprediksi suatu perilaku wirausaha. Tentu saja

hal tersebut tidak terlepas juga dari faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya

intensi berwirausaha. Baik itu faktor ekternal maupun faktor internal dari diri

8

setiap individu itu sendiri. Dalam penelitian ini faktor-faktor internal atau

psikologis dalam individualah yang lebih difokuskan dalam mempengaruhi

seseorang memiliki intensi kewirausahaan.

Penelitian mengenai faktor-faktor psikologis yang berhubungan dengan

intensi berwirausaha telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Salah satunya

hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Indarti dan Kristiansen (2003), bahwa

proses pembentukan Intensi berwirausaha melalui beberapa tahapan, yaitu need

for achievement, self efficacy dan locus of control.

Faktor psikologis seperti self efficacy (Wijaya, 2008; Ramayah & Harun,

2005; Zhao et al., 2005; Fitzsimmons & Douglas, 2006; Shook & Bratianu, 2008;

Hmieleski & Corbett, 2006; Linan, 2008; Marco et al., 2006) juga diterangkan

memiliki hubungan dengan Intensi berwirausaha. Setiap individu memiliki tingkat

self efficacy atau penilaian terhadap kemampuannya sendiri dalam melakukan

suatu hal yang berbeda-beda. Bandura (1986) dan Lent et al., (1994) dalam

Boissin et al., (2009) mengungkapkan adanya hubungan antara self efficacy dan

intensi berwirausaha dengan demikian persepsi diri dan kemampuan diri berperan

dalam membangun intensi. Sehingga jika seseorang memiliki self efficacy yang

tinggi maka orang tersebut memiliki tingkat intensi dalam melakukan sesuatu

lebih tinggi dibandingkan lainnya dalam hal ini intensi berwirausahanya.

Selanjutnya, hasil penelitian dari Indarti dan Kristiansen (2003) mengenai

locus of control (Shaver dan Linda R Scott, 1991; Nikolaus Franke dan Christian

Luthje, 2004) juga memiliki hubungan yang siginifikan dengan Intensi

berwirausaha. Locus of control sebagai keinginan yang tinggi untuk berhasil

9

dalam mencapai sesuatu membentuk kepercayaan diri dan pengendalian diri yang

tinggi pada individu, maka dengan demikian apakah individu memiliki eksternal

ataupun internal locus of control akan membuat individu berani mengambil

keputusan serta resiko yang ada.

Dalam setiap keputusan yang diambil oleh siapapun, pasti akan

mengandung resiko yang berbeda-beda. Resiko menurut British Medical

Association (dalam Yates, 1994) diinterpretasikan sebagai kemungkinan

terjadinya suatu kejadian yang tidak diharapkan atau yang tidak menyenangkan.

Dalam penelitian fear of success dan risk taking pada wirausaha wanita

Bali oleh Riyanti (2007), Yates (1994) menyatakan bahwa segala perilaku yang

muncul ketika seseorang dihadapkan pada situasi resiko dapat dijelaskan dengan

konsep perilaku pengambilan resiko atau risk taking behavior. Dalam literatur

lainnya juga dijelaskan bahwa intensi berwirausaha dipengaruhi oleh risk taking

(Stewart and Roth, 2001; Weber, Blais, & Betz, 2002; dalam Fini, unyears)

Sehingga sikap individu yang mampu mentoleransi resiko (Zhao et al., 2005;

Seagel et al., 2005) dan berani menghadapi rintangan dalam dunia usaha memiliki

intensi untuk berwirausaha.

Masih ada lagi faktor-faktor psikologis lainnya yang berhubungan dengan

Intensi berwirausaha selain faktor yang telah dijelaskan sebelumnya. Goleman

(2000) menyatakan untuk menjadi seorang wirausaha yang sukses tidak semata

memerlukan intelegensi (IQ) saja, namun dibutuhkan pula emotional quotient atau

kecerdasan emosi.

10

Goleman (2000) menyatakan bahwa IQ saja tidak mampu menerangkan

75% keberhasilan-keberhasilan dalam pekerjaan, atau bahkan sampai 96%. Faktor

yang paling menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja adalah faktor

emotional quotient (Cooper dan Sawaf, 2000).

Inti dari kewirausahaan menurut Drucker (1959, dalam Suryana, 2000)

adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui

pemikiran kreatif dan tindakan inovatif demi terciptanya peluang. Zimmerer

(1996:51) juga mengungkapkan bahwa kewirausahaan merupakan proses

penerapan kreatifitas dan inovasi untuk memecahkan masalah dan mencari

peluang yang dihadapi setiap orang dalam setiap hari.

Chandra (2001, dalam Ifham, 2002) menyebutkan bahwa emosi dapat

memicu kreatifitas dan inovasi. Tindakan inovatif memerlukan unsur baik kognitif

maupun emosi. Bisa mempunyai wawasan kreatif merupakan unsur kognitif

tetapi untuk menyadari nilai-nilainya, menumbuhkannya, dan menerapkannya

memerlukan kecakapan emosi seperti rasa percaya diri, inisiatif, ketekunan, dan

kemampuan membujuk (Goleman, 1999). Sehingga seseorang yang benar-benar

mengoptimalkan emotional quotient, akan lebih jeli dalam melihat peluang

terlebih bagi seorang wirausaha.

Selain emotional quotient, berdasarkan hasil penelitian dalam jurnal

manajemen dan kewirausahaan dengan judul penelitian hubungan adversity

quotient dengan intensi berwirausaha, bahwa adversity quotient juga memiliki

peranan dan juga hubungan yang penting dengan intensi berwirausaha (Wijaya,

2007).

11

Stoltz (2000) menyatakan bahwa seorang individu yang memiliki

kecerdasan menghadapi rintangan diduga akan lebih mudah menjalani profesi

sebagai seorang wirausahawan karena memiliki kemampuan untuk mengubah

hambatan menjadi peluang. Hal tersebut juga didukung dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Wijaya (2007), yaitu ada hubungan positif yang signifikan

antara adversity quotient dengan intensi berwirausaha.

Selain faktor-faktor psikologis di atas, masih terdapat banyak faktor lain

yang juga begitu penting dalam mempengaruhi intensi berwirausaha. Dalam hal

ini hasil penelitian dari Kristiansen (2003) menyatakan bahwa ada beberapa faktor

yang mempengaruhi intensi berwirausaha. Faktor tersebut berupa faktor

demografi diantara lain, yaitu latar belakang pendidikan, usia, jenis kelamin, jenis

pekerjaan orang tua siswa, dan pengalaman kerja serta faktor eksternal lainnya.

Salah satu faktor lainnya adalah pendidikan kewirausahaan, Hisrich dan

Peters (1998) menyatakan bahwa pendidikan penting bagi wirausaha, tidak hanya

gelar yang didapatkannya saja, namun pendidikan juga mempunyai peranan yang

besar dalam membantu mengatasi masalah-masalah dalam bisnis seperti

keputusan investasi dan sebagainya. Hasil penelitian menyebutkan bahwa 78,8%

siswa SMK yang pada dasarnya telah mendapatkan pendidikan kewirausahaan

memiliki intensi berwirausaha yang cukup tinggi dibandingkan dengan siswa

SMA (Riyanti, 2007).

Didukung dengan hasil penelitian oleh Kourilsky dan Walstad (1998,

dalam Indarti dan Rostiani, 2008) bahwa pengaruh pendidikan kewirausahaan

selama ini telah dipertimbangkan sebagai salah satu faktor penting untuk

12

menumbuhkan dan mengembangkan hasrat, jiwa dan perilaku berwirausaha di

kalangan generasi muda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa yang

mendapat pendidikan kewirausahaan memiliki kemungkinan intensi berwirausaha

yang lebih tinggi.

Berdasarkan penjelasan dan hasil penelitian-penelitian yang telah

disebutkan di atas, maka peneliti merasa penting untuk meneliti Intensi

Berwirausaha Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta:

Peran Self Efficacy, Locus of Control, Risk Taking Behavior, Emotional

Quotient, dan Adversity Quotient sebagai judul penelitian. Namun pada

penelitian ini, peneliti hanya memfokuskan pada taraf intensi berwirausaha bukan

pada perilaku wirausahanya.

1.2. Rumusan dan Batasan Masalah

1.2.1.Rumusan Masalah

Intensi berwirausaha merupakan hal yang penting dalam terwujudnya perilaku

berwirausaha. Intensi berwirausaha pada siswa dapat muncul oleh banyak faktor.

Namun karena keterbatasan waktu, dana serta tenaga yang dimilki peneliti, maka

peneliti hanya merumuskan beberapa masalah dalam penelitian ini. Adapun

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah ada pengaruh self efficacy terhadap Intensi berwirausaha pada siswa

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta?

2. Apakah ada pengaruh internal locus of control terhadap Intensi

berwirausaha pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22

Jakarta?

13

3. Apakah ada pengaruh external locus of control terhadap Intensi

berwirausaha pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22

Jakarta?

4. Apakah ada pengaruh risk taking behavior terhadap Intensi berwirausaha

pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta?

5. Apakah ada pengaruh emotional quotient terhadap Intensi berwirausaha

pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta?

6. Apakah ada pengaruh adversity quotient terhadap Intensi berwirausaha pada

siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta?

1.2.2.Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam hal ini digunakan agar penelitian ini tidak membahas

hal-hal yang diluar jangkauan peneliti, maka dibuat pembatasan masalah demi

kemudahan penelitian kedepannya. Peneliti hanya membatasi penelitian pada

variabel intensi bewirausaha siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri

22 Jakarta saja.

Penelitian juga membatasi faktor-faktor lain yang berhubungan dengan

intensi berwirausaha hanya pada faktor self efficacy, internal locus of control,

eksternal locus of control, risk taking behavior, emotional quotient, dan adversity

quotient.

14

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1.Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

pengaruh dan seberapa besar sumbangan variabel faktor self efficacy, internal

locus of control, eksternal locus of control, risk taking, emotional quotient, dan

adversity quotient terhadap intensi berwirausaha siswa Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta.

1.3.2. Manfaat Penelitian

1.3.2.1. Manfaat Teoritis

Harapan penulis manfaat dari penelitian ini agar dapat menambah serta

mengembangkan khasanah keilmuan khususnya di bidang psikologi industri dan

organisasi dan umumnya dibidang yang menyangkut kewirausahaan di Indonesia.

Serta mengubah khasanah keilmuan bagi siapa saja yang membaca secara umum

sebagai pemikiran bagi penelitian selanjutnya.

1.3.2.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan yang berharga bagi setiap

individu maupun institusi pendidikan untuk meningkatkan kesadaran mengenai

kewirausahaan sehingga para lulusan nantinya jika memiliki peluang

berwirausaha tak akan ragu lagi untuk hidup mandiri dan menciptakan lapangan

pekerjaan atau setidaknya keinginan untuk berwirausaha telah tertanam sejak dini

hingga nantinya ketika terdapat peluang untuk berwirausaha maka keinginan

15

untuk berwirausaha dapat terwujudkan. Sehingga nantinya dapat menyerap

banyak tenaga kerja baru yang berarti telah membantu pemerintah baik secara

langsung maupun tidak dalam mengurangi jumlah pengangguran serta

membangkitkan perekonomian bangsa kedepannya.

1.4. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini berpedoman pada sistematika penulisan American

Psychology Association (APA) style. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini,

penulis menyusunnya dalam bentuk beberapa bab sebagai berikut:

BAB 1 : Pendahuluan

Berisi tentang latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, serta sistematika penelitian.

BAB 2 : Landasan Teori

Pada bab ini memuat tentang hal-hal mengenai teori-teori mengenai

intensi berwirausaha; definisi intensi, teori mengenai intensi, komponen

intensi, determinan intensi, definisi kewirausahaan, karakteristik

kewirausahaan, definisi intensi berwirausaha, indikasi dari teori intensi

berwirausaha; faktor-faktor yang berhubungan dengan intensi

berwirausaha, kerangka berpikir dan hipotesis.

BAB 3 : Metode Penelitian

Pada bab ini berisi mengenai populasi dan sampel, variabel penelitian,

instrumen pengumpulan data, dan prosedur pengujian alat ukur.

16

BAB 4 : Hasil Penelitian

Merupakan presentasi dan analisis data yang berisi tentang analisa

deskriptif, dan uji hipotesis.

BAB 5 : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi dari penelitian

dan juga menyimpulkan hasil penelitian. Dalam bab ini juga akan dimuat

diskusi dan saran.

17

BAB 2

LANDASAN TEORI

Dalam bab dua ini, akan dibahas semua teori yang dapat menjelaskan masing-

masing variabel penelitian. Terlebih dahulu teori yang akan dibahas adalah

mengenai teori-teori yang berkenaan dengan intensi yang dimulai dengan definisi

intensi sendiri, perkembangan teori serta komponen intensi itu sendiri.

Selanjutnya akan dibahas pula mengenai wirausaha, yang kemudian akan

membentuk sebuah pengertian baru tentang intensi berwirausaha yang

disimpulkan dari definisi intensi dan definisi wirausaha. Setelah itu peneliti akan

membahas faktor-faktor psikologis yang dianggap sebagai faktor-faktor yang

mempengaruhi intensi berwirausaha pada mahasiswa.

Peneliti juga memberikan pengertian tentang wirausaha yang merupakan

objek dalam penelitian ini. Kerangka berpikir pun akan dibahas oleh peneliti

karena kerangka berpikir ini merupakan alur pemikiran peneliti secara garis besar.

Selanjutnya yang terakhir adalah hipotesis penelitian yang nantinya akan

dibuktikan dalam penelitian ini.

2.1. Intensi Berwirausaha

2.1.1. Definisi Intensi

Fishbein dan Ajzen (1975) menjelaskan definisi Intensi, sebagai berikut:

we have defined intention as a persons location on a subjective probability

dimention involving a relation between himself and some action. A behavioral

18

intention, therefore, refers to a persons subjective probability that the will

perform some behavior.

Intensi didefinisikan sebagai dimensi probabilitas subjektif individu dalam

kaitan antara diri dan perilaku. Intensi merupakan perkiraan seseorang mengenai

seberapa besar kemungkinannya untuk melakukan suatu tindakan tertentu.

Fishbein dan Ajzen (1975) mengartikan intensi merupakan komponen

dalam individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku

tertentu. Pengertian tersebut menyatakan bahwa intensi merupakan faktor

motifasional yang memiliki sebuah akibat pada perilaku; dengan mengindikasikan

seberapa keras keinginan untuk mencoba; seberapa banyak berusaha dalam

merencanakan yang semuanya bertujuan pada sebuah tingkah laku.

Dalam sebuah penelitian, Bandura (1986; dalam Wijaya, 2007)

menyatakan bahwa intensi merupakan suatu kebulatan tekad untuk melakukan

aktivitas tertentu atau menghasilkan keadaan tertentu di masa depan.

Dari keseluruhan definisi-definisi diatas, itensi dapat diartikan sebagai

seberapa besar keinginan seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu.

Dalam penelitian ini, peneliti memilih menggunakan teori yang dijelaskan oleh

Fishbein dan Ajzen (1975) yang mengartikan intensi merupakan komponen dalam

individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu.

Hal tersebut dikarenakan teori ini telah banyak dipakai didalam setiap penelitian

intensi dan peneliti lebih mudah menemukan sumbernya.

19

2.1.2. Teori Mengenai Intensi

Teori intensi mengalami perkembangan, dimana pada awalnya hanya berisi

mengenai Theory of Reasoned Action, kemudian teori tersebut berkembang

menjadi Planned Behavior Theory. Berawal dari timbulnya kritik terhadap teori

dan pengukuran sikap yang seringkali tidak tepat, yaitu tidak dapat

memperkirakan perilaku yang akan timbul. Maka Fishbein dan Ajzen

mengemukakan Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) dengan

mencoba melihat anteseden perilaku volisional (perilaku yang dilakukan atas

kemauan sendiri) (Ajzen, 1988). Berdasarkan Theory of Reasoned Action, suatu

tingkah laku ditentukan oleh intensi berperilaku, dan intensi berperilaku ini

dipengaruhi oleh dua faktor, yang satu bersifat personal yaitu sikap dan yang lain

merefleksikan pengaruh sosial yang biasa disebut norma subjektif (Ajzen, 2005).

Dari Theory of Reasoned Action tersebut, kemudian diperluas dan

dimodifikasi oleh Ajzen (1988). Modifikasi ini dinamakan teori perilaku

terencana. Kerangka pemikiran teori ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah

control volisional yang belum lengkap dalam teori terdahulu. Inti dari Theory of

Planned Behavior tetap berada pada faktor intensi perilaku namun determinan

intensi tidak hanya dua (sikap terhadap perilaku yang bersangkutan dan norma-

norma subjektif) melainkan tiga dengan diikutsertakannya aspek Perceived

Behavioral Control (PBC). Dengan demikian intensi merupakan fungsi dari tiga

determinan, yaitu bersifat personal, merefleksikan pengaruh sosial dan

berhubungan dengan isu kontrol (Ajzen, 2005).

20

2.1.3. Komponen Intensi

Di dalam pembentukan intensi Fishbein dan Ajzen (1975) mengemukakan bahwa

terdapat empat elemen penting, yaitu:

1. Tingkah laku

Mengukur sikap terhadap niat (intensi) menurut Fishbein dan Ajzen sama

dengan mengukur perilaku itu sendiri. Karena menurut mereka, hubungan

antara niat dan perilaku adalah paling dekat. Setiap perilaku bebas, yang

ditentukan oleh kemauan sendiri selalu didahului oleh niat.

2. Situasi dimana tingkah laku dimunculkan

Intensi untuk menampilkan sesuatu perilaku yang memungkinkan tampil pada

situasi atau lokasi tertentu.

3. Waktu saat tingkah laku ditampilkan

Intensi muncul pada waktu tertentu, pada periode khusus atau periode waktu

tanpa batas (waktu yang akan datang). Sehingga untuk dapat meramalkan

perilaku secara akurat, maka intensi berwirausaha dapat diuraikan melalui

empat komponen intensi dimana intensi berwirausaha merupakan perilaku

spesifik, dan berwirausaha adalah target objek dilakukannya perilaku.

Sedangkan situasi dan waktu adalah saat dilakukannya perilaku.

4. Target objek; seperti berwirausaha.

2.1.4. Determinan Intensi

Terbentuknya intensi dapat diterangkan dengan teori perilaku terencana yang

mengasumsikan manusia selalu mempunyai tujuan dalam berperilaku (Fishbein &

Ajzen, 1988). Secara umum, faktor anteseden intensi dapat diungkapkan melalui

21

Theory Planned of Behavior (TPB) yaitu keyakinan atau sikap berperilaku, norma

subjektif dan kontrol perilaku. Teori ini menyebutkan bahwa intensi adalah fungsi

dari tiga determinan dasar, yaitu:

a. Sikap, merupakan dasar bagi pembentukan intensi. Di dalam sikap terhadap

perilaku terdapat dua aspek pokok, yaitu: keyakinan individu bahwa

menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu akan menghasilkan

akibat-akibat atau hasil-hasil tertentu, dan merupakan aspek pengetahuan

individu tentang obyek sikap dapat pula berupa opini individu hal yang belum

tentu sesuai dengan kenyataan. Semakin positif keyakinan individu akan akibat

dari suatu obyek sikap, maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap

obyek sikap tersebut, demikian pula sebaliknya (Fishbein & Ajzen, 1988).

b. Norma subjektif, yaitu keyakinan individu akan norma, orang sekitarnya dan

motivasi individu untuk mengikuti norma tersebut. Di dalam norma subjektif

terdapat dua aspek pokok, yaitu: keyakinan akan harapan, harapan norma

referensi, merupakan pandangan pihak lain yang dianggap penting oleh

individu yang menyarankan individu untuk menampilkan atau tidak

menampilkan perilaku tertentu serta motivasi kesediaan individu untuk

melaksanakan pendapat atau pikiran pihak lain yang dianggap penting bahwa

individu harus atau tidak harus berperilaku.

c. Kontrol perilaku, yang merupakan dasar bagi pembentukkan kontrol perilaku

yang dipersepsikan. Kontrol perilaku yang dipersepsi merupakan persepsi

terhadap kekuatan faktor-faktor yang mempermudah atau mempersulit suatu

22

perilaku. Dalam beberapa penelitian kewirausahaan, kontrol perilaku

dioperasionalkan dalam bentuk efikasi diri.

2.1.5. Definisi Kewirausahaan

Kewirausahaan mulai dikenal secara populer pada awal abad ke-18. Pada tahun

1755, seorang Irlandia bernama Richard Cantillon yang berdiam di Perancis

merupakan orang yang pertama yang menggunakan istilah wirausaha didalam

bukunya Essai Sur la Nature du Commerce en Generale (terjemahan). Di dalam

bukunya tersebut, ia menjelaskan bahwa wirausaha adalah seorang yang

menanggung resiko. Pada awalnya, istilah wirausaha merupakan sebutan bagi

para pedagang yang membeli barang kemudian menjualnya dengan harga yang

tidak pasti. Namun istilah tersebut berkembang seiring perkembangan ilmu

pengetahuan.

Menurut Schumpeter (1912) wirausaha tidak selalu berarti pedagang atau

manajer, tetapi juga seorang unik yang memiliki keberanian dalam mengambil

resiko dan memperkenalkan produk-produk inovatif serta teknologi baru ke dalam

perekonomian.

Sejalan dengan konsep kewirausahaan, Drucker (1994) mendefinisikan

kewirausahaan sebagai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan

berbeda melalui pemikiran kreatif dan tindakan inovatif demi terciptanya

peluang. Secara luas definisi tersebut dikemukakan oleh Peter Hisrich (1995: 10)

(dalam Suryana, 2007), yang mengatakan bahwa kewirausahaan adalah proses

penciptaan sesuatu yang berbeda untuk menghasilkan nilai dengan mencurahkan

23

waktu dan usaha, diikuti penggunaan uang, fisik, resiko, dan kemudian

menghasilkan balas jasa berupa uang serta kepuasan dan kebebasan pribadi.

Banyak sekali definisi kewirausahaan karena wirausaha dapat dipandang

dari berbagai sudut dan konteks, seperti dari sudut pandang ahli ekonomi,

manajemen, pelaku bisnis, psikologi, dan pemodal (Suryana, 2007). Namun dalam

hal ini, peneliti akan lebih mengacu pada pengertian atau definisi kewirausahaan

dalam sudut pandang pelaku bisnis, karena dianggap lebih relevan dengan maksud

dan tujuan penelitian ini.

Menurut Scarborough dan Zimmerer (1993: 5), mengenai definisi

wirausaha: an entrepreneur is one who creates a new business in the face of risk

and uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifying

opportunities and assembling the necessary resources to capitalize on those

opportunities.

Dalam definisi ini wirausaha adalah orang yang menciptakan suatu bisnis

baru dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian dengan maksud untuk

memperoleh keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengenali peluang dan

mengkombinasikan sumber-sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan

peluang tersebut.

Dun Steinhoff dan John F. Burgess (1993: 35), pengusaha adalah orang

yang mengorganisasikan, mengelola, dan berani menanggung risiko sebuah usaha

atau perusahaan (a person who organizes, manages, and assumes the risk of a

business or enterprise is an entrepriner).

24

Menurut Sri Edi Swasono (1978: 38), wirausaha adalah pengusaha, tetapi

tidak semua pengusaha adalah wirausaha. Kewirausahaan juga didefinisikan

sebagai nilai yang diperlukan untuk mengembangkan usaha (Soeharto Prawiro,

dalam Suryana, 1997).

Enterpreneurship atau kewirausahaan menurut Suryana (2007) adalah

kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya

untuk mencari peluang menuju sukses.

Dengan demikian, peneliti memilih teori yang dikemukakan oleh

Scarborough dan Zimmerer (1993: 5) bahwa wirausaha adalah orang yang

menciptakan suatu bisnis baru dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian

dengan maksud untuk memperoleh keuntungan dan pertumbuhan dengan cara

mengenali peluang dan mengkombinasikan sumber-sumber daya yang diperlukan

untuk memanfaatkan peluang tersebut. Definisi ini peneliti anggap lebih sesuai

dengan penelitian yang akan dilakukan mengenai wirausaha.

2.1.6. Karakteristik Kewirausahaan

Dengan menggunakan gabungan pandangan dari Thomas dan McClelland (1961),

Thomas F. Zimmerer (1996: 6-8) (dalam Suryana, 2001) memperluas

karakteristik sikap dan perilaku wirausaha yang berhasil sebagai berikut:

1. Commitment and Determination, yaitu memiliki komitmen dan tekad yang

bulat untuk mencurahkan semua perhatian terhadap usaha. Sikap yang

setengah hati mengakibatkan besarnya kemungkinan untuk gagal dalam

berwirausaha.

25

2. Desire for responsibility, yaitu memiliki rasa tanggung jawab dalam

mengendalikan sumber daya yang digunakan dan keberhasilan

berwirausaha, oleh karena itu wirausaha akan mawas diri secara internal.

3. Opportunity obsession, yaitu berambisi untuk selalu mencari peluang.

Keberhasilan wirausaha selalu diukur dengan keberhasilan untuk mencapai

tujuan. Pencapaian tujuan terjadi apabila terdapat peluang.

4. Tolerance for risk, ambiguity, and uncertainty, yaitu tahan terhadap resiko

dan ketidakpastian. Wirausaha harus belajar mengelola risiko dengan cara

mentransfernya kepihak lain. Wirausaha yang berhasil biasanya memiliki

toleransi terhadap pandangan yang berbeda dan ketidakpastian.

5. Self confidence, yaitu percaya diri. Wirausaha cenderung optimis dan

memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan yang dimilikinya

untuk berhasil.

6. Creativity and flexibility, yaitu berdaya cipta dan luwes. Salah satu kunci

penting adalah kemampuan untuk menghadapi perubahan permintaan.

7. Desire for immidiate feedback, yaitu selalu memerlukan umpan balik

dengan segera. Wirausaha selalu ingin mengetahui hasil dari apa yang

dikerjakannya. Oleh karena itu, dalam memperbaiki kinerjanya, wirausaha

selalu memiliki kemampuan untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang

telah dimilikinya dan belajar dari kegagalan.

8. High level of energy, yaitu memiliki tingkat energi yang tinggi. Wirausaha

yang berhasil biasanya memiliki daya juang yang lebih tinggi dibanding

26

kebanyakan orang, sehingga ia lebih suka kerja keras walaupun dalam

waktu yang relatif lama.

9. Motivation to excel, yaitu memiliki dorongan untuk selalu unggul.

Wirausaha selalu ingin lebih unggul dan berhasil dalam mengerjakan apa

yang dilakukannya dengan melebihi standar yang ada. Motivasi ini muncul

dari dalam diri (internal) dan jarang dari faktor eksternal.

10. Orientation to the future, yaitu berorientasi pada masa depan. Untuk

tumbuh dan berkembang, wirausaha selalu berpandangan jauh ke masa

depan yang lebih baik.

11. Willingness to learn from failure, yaitu selalu belajar dari kegagalan.

Wirausaha yang berhasil tidak pernah takut akan kegagalan. Ia selalu

memfokuskan kemampuannya pada keberhasilan.

12. Leadership ability, yaitu kemampuan dalam kepemimpinan. Wirausaha

yang berhasl memiliki kemampuan untuk menggunakan pengaruh tanpa

kekuatan serta harus memiliki taktik mediator dan negosiator daripada

diktator.

2.1.7. Definisi Intensi Berwirausaha

Intensi kewirausahaan menurut Katz dan Gartner (1988) dapat diartikan sebagai

proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan

pembentukan suatu usaha. Dalam hasil penelitian oleh Wijaya (2007) bahwa salah

satu faktor wirausaha adalah adanya keinginan dan keinginan ini oleh Fishbein

dan Ajzen (1975) disebut sebagai intensi yaitu komponen dalam diri individu

yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu.

27

Berdasarkan hal diatas, maka peneliti mengambil kesimpulkan bahwa

intensi berwirausaha adalah seberapa kuat keinginan atau niat seseorang dalam

mencoba dan berusaha merencanakan untuk mencapai tujuan dalam pembentukan

suatu usaha atau melakukan kegiatan wirausaha.

2.1.8. Indikasi dari Intensi Berwirausaha

Indikasi intensi berwirausaha diambil dari Jean-Pierre Boissin et. al. (2009) dari

Feisbein dan Ajzen (1988) adalah:

a. Seberapa keras seseorang mencoba berwirausaha.

b. Seberapa banyak seseorang merencanakan untuk berwirausaha.

2.1.9. Alat Ukur Intensi Berwirausaha

Model intensi berwirausaha merupakan hal yang cukup perlu untuk menganalisa

intensi seseorang menjadi wirausahawan, oleh karena itu dibutuhkan alat ukur

yang baik untuk mengukur intensi. Di dalam jurnal penelitian yang berjudul

Student and entrepreneurship; a comparative study of France and USA, alat ukur

yang digunakan untuk mengukur intensi berwirausaha menggunakan adalah

Entrepreneurial Intention Quesionnaire (EIQ) yang telah dikembangkan

berdasarkan teori dan studi empirik. EIQ juga telah diuji ulang oleh peneliti

lainnya, seperti Kolveired (1996), Kolvereid dan Isaksen (in press), Chen et al.

(1998), Kickul dan Zaper (2000), Krueger et al. (2000) atau Veciana et al. (2005)

yang secara hati-hati merevisi guna mengatasi diskrepansi yang mungkin muncul

antara instrumen yang berbeda. Alat ukur ini memiliki tingkat reliabilitas yang

tinggi dengan nilai alpha cronbach 0.947.

28

Di dalam jurnal penelitian Gender effects on entrepreneurial intentions: a

TPB multigroup analysis at factor and indicator level alat ukur untuk intensi

berwirausaha menggunakan alat ukur yang dikembangkan sendiri berdasarkan

teori perilaku berencana (perceived behavior control) milik Ajzen (1991) (Leroy

et al., 2009). Alat ukur tersebut terdiri dari lima item dengan model skala Likert

dengan rentang poin 1 sangat tidak setuju sampai poin 5 sangat setuju.

Sedangkan dalam jurnal penelitian conceptualizing academic-entrepreneurial

intentions: An emperical test oleh Prodan dan Drnovsek (2010) alat ukur yang

digunakan berbeda dengan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam

penelitian ini menggunakan alat ukur yang setiap itemnya diambil serta

dikombinasikan dari beberapa hasil peneliti lain. Penelitian ini terdiri dari enam

buah item serta menggunakan skala Likert dengan rentang lima poin, dimana

untuk setiap item memiliki pilihan jawaban pernyataan yang berbeda-beda. Item

yang pertama diambil dari Chen et al., (1998) dengan skala tidak tertarik sama

sekali sampai sangat tertarik. Item yang kedua juga diadaptasi dari item miliki

Chen et al., (1998) dimana memilki pernyataan skala tidak menentukan sama

sekali sampai sangat menentukan, untuk item yang ketiga memiliki pernyataan

skala sangat tidak setuju sampai dengan sangat setuju yang diadaptasi dari

Kassicieh et al., (1997), sedangkan item keempat dan kelima menggunakan

rentangan skala yang menggunakan nilai, yaitu nilai 0% sampai 100% (Krueger et

al., 2000), dan item yang keenam responden diminta untuk menuliskan aktifitas

yang berhubungan dengan untuk memulai suatu bisnis sebanyak 14 aktifitas

dimana item ini diadaptasi dari Gatewood et al., (1995).

29

Dalam penelitian sebelumnya, kuesioner dengan item tunggal juga telah

digunakan pada penelitian terdahulu. Krueger et al. (2000), Peterman dan

Kennedy (2003), Veciana et al. (2005) atau Kolvereid dan Isaksen (in press)

pernah menggunakan alat ukur intensi berwirausaha dengan item tunggal. Namun,

Nunnally (1978; dalam Linan dan Chen, 2006) menyebutkan bahwa alat ukur

dengan banyak item lebih baik dibanding dengan item tunggal.

Dari berbagai jenis alat ukur dan pendapat yang dikemukakan oleh

beberpa ahli, maka peneliti menentukan untuk menggunakan item

Entrepreneurial Intention Quesionnaire (EIQ) dengan jumlah item enam buah

dan model pengisiannya menggunakan model skala likert dengan rentangan 7,

dengan skala 1 menunjukkan sangat tidak setuju sampai dengan skala 7 yang

menunjukkan sangat setuju. Peneliti menggunakan alat ukur ini karena peneliti

menganggap alat ukur ini sudah cukup banyak digunakan oleh para peneliti

sebelumnya serta mudah untuk diaplikasikan dilapangan, memiliki nilai alpha

cronbach lebih tinggi dibanding alat ukur yang telah peneliti jelaskan sebelumnya

serta lebih sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian yang akan peneliti lakukan.

Namun demikian, karena alat ukur tersebut berasal dari tempat dengan budaya

yang berbeda serta karakteristik sampel yang berbeda pula, maka perlu dilakukan

adaptasi agar sesuai dengan kondisi dan karakteristik sampel yang akan peneliti

gunakan.

30

2.2. Self Efficacy

2.2.1 Definisi Self Efficacy

Self efficacy didefinisikan menurut Bandura (1977) adalah as a persons belief

about their ability to organize and execute course of action necessary to achieve a

goal yang memiliki arti bahwa efikasi diri sebagai keyakinan seseorang

mengenai kemampuan mereka untuk mengatur dan menjalankan berbagai

kegiatan yang sesuai guna mencapai sebuah tujuan.

Dalam buku psikologi sosial diketahui bahwa efikasi diri, yakni ekspektasi

tentang kemampuan kita untuk melakukan tugas tertentu (Bandura, 1986).

Durkin menyatakan bahwa efikasi diri mengacu pada keyakinan individu

dimana seseorang bisa melatih kontrol selama kejadian yang mempengaruhi

kehidupannya (Bandura, 1986).

Sedangkan Bandura (1977) dalam Baron and Byrne (1991) mendefinisikan

efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi

dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan.

Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah penilaian tentang kemampuan

seseorang untuk melaksanakan sebuah tugas dalam hal yang spesifik.

Efikasi diri yakni sebuah rasa optimis mengenai kompetensi dan efektifitas

dalam dirinya (Bandura et. al., 1999; Maddux and Gosselin, 2003).

Self efficacy juga diartikan sebagai Belief refer to the spesific

expectations that we hold about our abilities to accomplish spesific task

(Bandura, 2006). Efikasi diri diartikan sebagai keyakinan terhadap harapan

31

spesifik yang kami pegang mengenai kemampuan kita untuk menyelesaikan tugas

yang jelas.

Bandura dan Wood (dalam Ghufron dan Rini, 2010) menjelaskan bahwa

efikasi diri mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk

menggerakan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk

memenuhi tuntutan situasi.

Bandura (1997) juga mengatakan bahwa efikasi diri pada dasarnya adalah

hasil dari proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau pengharapan tentang

sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan

tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang

diinginkan.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa efikasi diri adalah

keyakinan didalam diri individu mengenai kemampuan dirinya untuk melakukan

dan menyelesaikan suatu tugas sehingga tercapai hasil yang diinginkan. Orang

yang memiliki keyakinan tinggi terhadap kemampuannya akan memandang tugas

sulit sebagai suatu tantangan yang harus dikuasai, bukan sebagai ancaman yang

harus dihindari. Kesimpulan ini lebih mengarah ke teori dari Bandura dikarenakan

teori tersebutlah yang lebih sesuai dan banyak digunakan oleh peneliti mengenai

self efficacy.

2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Efficacy

Bandura (2000: 212-213) menyatakan bahwa ada empat cara untuk

mengembangkan suatu pemahaman yang kuat mengenai efikasi diri :

32

1. Mastery experiences, hal ini menjelaskan bahwa kesuksesan dapat membangun

kepercayaan terhadap kemanjuran seseorang, sedangkan kegagalan akan

meruntuhkan kepercayaan terhadap kemanjurannya. Lebih lanjut dijelaskan

bahwa jika seseorang meraih kesuksesan dengan cara yang mudah maka dia

akan mudah terpukul karena kegagalan. Mengembangkan rasa tabah terhadap

kemampuan diri memerlukan pengalaman dalam mengatasi berbagai hambatan

melalui usaha yang tekun.

2. Social modeling atau vicarious learning, seseorang melihat orang lain seperti

dirinya bisa meraih kesuksesan melalui usaha yang berkesinambungan, maka

dia akan mempercayai bahwa dirinya juga memiliki kapasitas untuk meraih

kesuksesan seperti orang tersebut. Sebaliknya, bila yang diamati adalah

kegagalan orang lain, hal ini dapat menanamkan keraguan terhadap

kemampuannya untuk menguasai aktivitas yang sama. Model yang kompeten

dapat pula membangun efikasi dengan menyampaikan pengetahuan dan

keahlian untuk mengatur tuntutan lingkungan.

3. Bujukan sosial atau persuasi, seseorang dibujuk bahwa ia memiliki semua

potensi dan kemampuan untuk meraih kesuksesan maka ia akan mengerahkan

usaha yang lebih banyak ketika menghadapi suatu masalah. Para ahli persuasi

sosial yang efektif melakukan lebih banyak hal ketimbang sekadar

menyuntikkan keyakinan kepada seseorang tentang kemampuannya.

4. Psychological dan physical states, dimana seseorang membaca tekanan,

kecemasan, dan depresi diri mereka sebagai tanda ketidakmampuan personal di

dalam kegiatan-kegiatan yang memerlukan kekuatan dan stamina. Mereka

33

menafsirkan kejenuhan dan penderitaan sebagai indikator kemanjuran fisik

yang lemah.

2.2.3. Dimensi-dimensi Self Efficacy

Menurut Bandura (1997), efikasi diri pada diri tiap individu akan berbeda antara

satu individu dengan yang lainnya berdasarkan tiga dimensi. Berikut ini adalah

tiga dimensi tersebut.

1. Dimensi tingkat (level)

Derajat kesulitan tugas ketika individu merasa mampu untuk melakukannya.

Apabila individu dihadapkan pada tugas-tugas yang mudah, sedang, atau

bahkan meliputi tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas

kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang

dibutuhkan pada masing-masing tingkat.

2. Dimensi kekuatan (strength)

Tingkat kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu mengenai

kemampuannya. Pengharapan yang lemah mudah digoyahkan oleh

pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung. Sebaliknya, pengharapan

yang mantap mendorong individu tetap bertahan dalam usahanya.

3. Dimensi Generalisasi (generality)

Luas bidang tingkah laku yang mana individu merasa yakin akan

kemampuannya. Individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya.

Apakah terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada

serangkaian aktivitas dan situasi yang bervariasi.

34

Berdasarkan dari teori-teori di atas, maka penulis memilih salah satu teori

yang sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu teori dari Bandura

(1997: 55), menggambarkan self efficacy sebagai kepercayaan atau keyakinan

terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk mengorganisasikan dan menentukan

tindakan untuk menghasilkan sesuatu dari apa yang ingin dicapai.

2.2.4. Alat Ukur Self Efficacy

Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur self efficacy dalam penelitian ini

menggunakan alat ukur milik Kolvereid (1996) dengan item berjumlah enam. Alat

ukur ini telah sering digunakan oleh peneliti sebelumnya, seperti Chen et al.,

1998; DeNoble et al., 1999; Zhao et al., 2005. Dalam jurnal Testing The

Entrepreneurial Intention Model On a Two-Country Sample (Linan dan Chen,

2006) diketahui bahwa alat ukur self efficacy yang dikembangkan oleh kolvereid

(1996) yang berjumlah enam item memiliki hasil yang lebih baik jika

dibandingkan dengan alat ukur Klovereid dan Issaksen (in press) yang

menggunakan 18 item dimana item-item tersebut dibagi menjadi empat faktor.

Hal tersebut dapat dilihat dengan nilai alpha cronbach sebesar 0.898 yang berarti

alat ukur ini memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi dalam mengukur self efficacy

seseorang. Dengan alasan tersebut, waktu, tenaga, dan dana yang terbatas, maka

peneliti memutuskan untuk menggunakan alat ukur tersebut. Namun demikian,

karena alat ukur berasal dari tempat dengan budaya yang berbeda serta

karakteristik sampel yang berbeda pula, maka perlu dilakukan adaptasi agar sesuai

dengan kondisi dan karakteristik sampel yang akan peneliti gunakan.

35

2.3. Locus of Control

2.3.1. Definisi Locus of control

Locus of control (Jung, 1978) adalah gambaran keyakinan seseorang mengenai

sumber penentu perilakunya.

Locus of control juga diartikan oleh Julian B. Rotter (1966) sebagai

peristiwa yang dialami seseorang sebagai suatu reward atau reinforcement, dapat

dipersepsikan secara berbeda dan juga menimbulkan reaksi yang berbeda pada

setiap individu.

locus of control (Rotter, 1966) juga didefinisikan sebagai sesuatu ukuran

harapan umum seseorang mengenai pengendalian (control) terhadap penguat

(reinforcement).

Locus of control merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan

perilaku individu dan juga locus of control didefinisikan sebagai gambaran pada

keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya (Rotter, 1996; dalam

Ghufron dan Rini, 2010).

Lindzey dan Aroson (1975) menyebutkan tiga istilah utama yang

digunakan Rotter dalam teori belajar sosial, yaitu perilaku potensial, harapan, dan

nilai penguat. Diketahui bahwa locus of control menurut Petri (1980) adalah

konsep yang secara khusus berhubungan dengan harapan individu mengenai

kemampuannya untuk mengendalikan penguat tersebut.

2.3.2. Aspek-aspek Locus of Control

Locus of control memiliki empat konsep dasar menurut Rotter (1966). Konsep

dasar atau aspek-aspek tersebut, yaitu:

36

1. Potensi perilaku, yaitu setiap kemungkinan yang secara relatif muncul pada

situasi tertentu. Hal ini berkaitan dengan hasil yang diinginkan dalam

kehidupan seseorang.

2. Harapan merupakan suatu kemungkinan dari berbagai kejadian yang akan

muncul dan dialami oleh seseorang.

3. Nilai unsur penguat adalah pilihan terhadap berbagai kemungkinan penguatan

atas hasil dari beberapa penguat hasil-hasil lainnya yang dapat muncul pada

situasi serupa.

4. Suasana psikologis adalah bentuk rangsangan baik secara internal maupun

eksternal yang diterima seseorang pada suatu saat tertentu, yang

meningkatkan atau menurunkan harapan terhadap munculnya hasil yang

sangat diharapkan.

2.3.3. Dimensi Locus of Control

Rotters (1966) menyatakan bahwa seseorang menyakini bahwa penguat yang

mereka dapatkan dikontrol oleh perilaku dirimereka sendiri, orang lain, atau

tekanan dari luar seperti keberuntungan atau nasib. Sehingga locus of control

dapat didiklasifikasikan menjadi dua dimensi, yaitu:

1. Internal control, merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan

keyakinan akan kendali individu mengenai perilaku dan tindakan mereka

yang menjadi konsekuensi terhadap apa yang terjadi pada diri mereka

(Rotter, 1966). Orang-orang yang memiliki internal locus of control, faktor

kemampuan dan usahanya lebih terlihat. Menurut Rotter (1966), orang yang

mempunyai pusat kendali internal memandang hubungan antara perbuatannya

37

dengan penguat atau reinforcement yang didapatkannya sebagai hubungan

sebab akibat. Dimana mereka akan menyalahkan diri sendiri bila gagal dan

akan merasa bangga jika berhasil karena atas upaya sendiri (dalam Ghufron &

Rini, 2010).

2. External control, menunjukkan ekspektansi bahwa kontrol berada di luar

kendali mereka atau di luar diri seseorang (Rotter, 1966). Orang yang

memiliki locus of control eksternal melihat keberhasilan dan kegagalan dari

faktor keberuntungan dan nasib. Oleh karena itu, apabila mengalami

kegagalan cenderung menyalahkan lingkungan sekitar yang menjadi

penyebabnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang dengan

locus of control eksternal memiliki anggapan bahwa peristiwa atau hal-hal

yang terjadi dalam dirinya, baik maupun buruk lebih disebabkan oleh faktor-

faktor eksternal, seperti keberuntungan, nasib, lingkungan sekitar, dan orang-

orang sekitarnya.

2.3.4.Karakteristik Locus of Control

Perbedaan karakteristik antara internal dan external locus of control menurut

Crider (1983) dijelaskan sebagai berikut.

1. Internal control mempunyai ciri-ciri:

a. Suka berkerja keras

b. Memiliki inisiatif yang tinggi

c. Selalu berusaha menemukan pemecahan masalah

d. Selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin

38

e. Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin

berhasil

2. External control mempunyai ciri-ciri:

a. Kurang memiliki inisiatif

b. Mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan

kesuksesan

c. Kurang suka berusaha karena mereka percaya bahwa faktor luarlah yang

mengontrol

d. Kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah

Namun demikian pada setiap individu memiliki kedua-duanya; baik internal

dan external locus of control, seperti yang dikatakan oleh Munandar dan

Suhirman (1977) bahwa setiap orang memiliki faktor internal dan eksternal

sekaligus. Hanya saja akan ada kecenderungan pada salah satunya.

2.3.5.Faktor-faktor yang mempengaruhi Locus of Control

Locus of control seseorang dipengaruhi oleh pengalaman serta hubungan antara

perilaku dan akibat yang dialaminya pada masa kecil (Coop & White, 1974).

Monks et. al.) menyatakan bahwa perkembangan locus of control individu

dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu lingkungan fisik dan sosial. Hal tersebut

juga dijelasakan oleh Baron (1991) bahwa pengalaman individu serta perlakuan

lingkungan terhadap dirinya di masa lalu dipengaruhi perkembangan locus of

control yang dimilikinya.

39

Faktor-faktor yang mempengaruhi locus of control adalah:

1. Orang tua

Solomon (Coop & White, 1974), Locus of control ke arah internal didukung

oleh sikap orang tua yang konsisten, fleksibel dan mendorong anak untuk

mandiri. Orang tua yang bersifat menghukum, memusuhi, mendominasi

serta menolak terhadap anak akan mendorong ke arah eksternal.

2. Pemberian respon

Monk menjelaskan bahwa pemberian respon yang tepat terhadap perilaku

anak akan menimbulkan motif yang dipelajari yang disebut locus of control,

selain itu perilaku orang tua yang hangat dan bertanggung jawab terhadap

anak akan membantu anak mengembangkan locus of control kearah

internal.

3. Lingkungan

Rotter dan Battle menjelaskan, jika individu banyak menghadapi hambatan

dalam lingkungannya serta kurang mendapat kesempatan maka ia akan

beranggapan semua hasil yang telah dicapai berasal dari sesuatu diluar

dirinya.

2.3.6 Alat ukur Locus of Control

Alat ukur locus of control yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah

alat ukur yang telah dikembangkan oleh Levenson (1981). Alat ukur ini terdiri

dari 24 item yang terdiri dari tiga jenis locus of control, yaitu internal, ekternal

dan powerful others. Alat ukur ini sebelumnya masih dalam berbahasa Inggris

yang kemudian peneliti adaptasi kedalam bahasa Indonesia yang kemudian

40

peneliti menentukan hanya menggunakan item internal dan external locus of

control saja. Sehingga item yang peneliti gunakan hanya 16 item. Ada banyak

jenis alat ukur locus of control yang sejauh ini peneliti ketahui, seperti alat ukur

locus of control milik Rotter (1996), yaitu Generalized expectancies for internal

versus external control of reinforcement yang berjumlah 13 item yang saling

berpasangan. Cara pengerjaan alat ukur milik Rotter memungkinkan kita untuk

memilih salah satu dari setiap pasang item. namun peneliti tidak menggunakan

alat ukur locus of control milik Rotter dikarenakan peneliti belum mengetahui

cara penilaiannya dan tidak adanya keterangan mengenai jenis setiap item

tersebut. Dengan demikian peneliti memutuskan untuk menggunakan alat ukur

yang dikembangkan oleh Levenson (1981) dengan alasan mudahnya

mengidentifikasi jenis item yang digunakan, model penilaian yang juga

menggunakan skala likert, serta kemudahan peneliti dalam mendapatkannya.

2.4. Adversity Quotient

2.4.1. Definisi Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2000), teori kecerdasan menghadapi rintangan adalah suatu

kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan

mencapai tujuan.

Surekha (2001; dalam Wijaya, 2008) menyatakan bahwa adversity adalah

kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk

suatu pola-pola tanggapan kognitif dan perilaku atas stimulus peristiwa-peristiwa

dalam kehidupan merupakan tantangan dan kesulitan.

41

Adversity merupakan hasil riset penting dari tiga cabang ilmu

pengetahuan, yaitu: psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi.

Kecerdasan dalam menghadapi rintangan meliputi dua komponen penting dari

setiap konsep praktis, yaitu teori ilmiah dan penerapannya dalam kehidupan

sehari-hari.

Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa kecerdasan dalam menghadapi

rintangan dapat menentukkan siapa yang akan berhasil melampaui harapan-

harapan atas kinerja dan potensi-potensi yang ada.

2.4.2. Bentuk-bentuk Adversity Quotient

Stolz (2000) menyebutkan bahwa terdapat tiga bentuk kecerdasan, yaitu:

1. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan adalah suatu kerangka baru dalam

memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.

2. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan mempunyai pengukur untuk

mengetahui respon individu terhadap kesulitan.

3. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan merupakan serangkaian peralatan

yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon individu terhadap

kesulitan yang akan mengakibatkan perbaikan efektivitas pribadi dan

profesional individu secara keseluruhan.

2.4.3. Dimensi Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2000), kecerdasan dalam menghadapi rintangan individu

memiliki empat dimensi, yaitu CO2RE (control, origin dan ownrship, reach,

endurance).

42

a. Control (C)

Dimensi ini ditunjukan untuk mengetahui seberapa banyak kendali yang dapat

kita rasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Hal yang

terpenting dari dimensi ini adalah sejauh mana individu dapat merasakan

bahwa kendali tersebut berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan

seperti mampu mengendalikan situasi tertentu dan sebagainya.

b. Origin dan Ownership (O2)

Dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan

sejauh mana seseorang menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sebagai

penyebab dan asal usul kesulitan seperti penyesalan, pengalaman dan

sebagainya.

c. Reach (R)

Dimensi ini mengajukan pertanyaan sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan

menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu seperti hambatan

akibat panik, hambatan akibat malas dan sebagainya.

d. Endurance (E)

Dimensi ketahanan yaitu mempertanyakan dua hal yang berkaitan dengan

berapa lama penyebab kesulitan itu akan terus berlangsung dan tanggapan

individu terhadap waktu dalam menyelesaikan masalah seperti waktu bukan

masalah, kemampuan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan sebagainya.

2.4.4.Jenis-jenis Karakteristik Manusia

Karakterisitk manusia menurut Stoltz (2000) yang akan memiliki respon yang

berbeda terhadap kesulitan, yaitu:

43