Upload
nguyendang
View
242
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
i
INTENSI BERWIRAUSAHA SISWA SEKOLAH
MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA:
PERAN SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING
BEHAVIOR, EQ, DAN AQ
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar
Sarjana Psikologi
Oleh :
Teddy Djuliarki Kurniawan
NIM : 107070002604
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1433H/2011
i
INTENSI BERWIRAUSAHA SISWA SEKOLAH
MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA:
PERAN SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING
BEHAVIOR, EQ, DAN AQ
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar
Sarjana Psikologi
Oleh :
Teddy Djuliarki Kurniawan
NIM : 107070002604
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1433H/2011
i
INTENSI BERWIRAUSAHA SISWA SEKOLAH
MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA:
PERAN SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING
BEHAVIOR, EQ, DAN AQ
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar
Sarjana Psikologi
Oleh :
Teddy Djuliarki Kurniawan
NIM : 107070002604
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1433H/2011
ii
INTENSI BERWIRAUSAHA SISWA SEKOLAH
MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA:
PERAN SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING
BEHAVIOR, EQ, DAN AQ
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar
Sarjana Psikologi
Oleh :
TEDDY DJULIARKI KURNIAWAN
NIM : 107070002604
Dibawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Jahja Umar, Ph.D Miftahuddin, M.SiNIP. 130 885 522 NIP. 19730317 200604 1001
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1433H/2011
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul INTENSI BERWIRAUSAHA SISWA SEKOLAH
MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA: PERAN SELF
EFFICACY, LoC, RISK TAKING BEHAVIOR, EQ, DAN AQ telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 08 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada
Fakultas Psikologi.
Jakarta, 08 Desember 2011
Sidang Munaqasyah
Dekan/Pembimbing I/Ketua Pembantu Dekan/Sekretaris
Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.SiNIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001
Anggota :
Drs. Sofiandy Zakaria, M.Psi Yunita Faela Nisa, M.Psi. PsiNIDN. 031 505 4701 NIP. 15036 8748
Miftahuddin, M.SiNIP. 19730317 200604 1001
iv
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Teddy Djuliarki KurniawanNIM : 107070002604
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul INTENSI BERWIRAUSAHA
SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA:
PERAN SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING BEHAVIOR, EQ, DAN AQ
adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat
dalam penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam
penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-
undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari
karya orang lain.
Demikian pernyataan ini diperbuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta, 08 Desember 2011Yang Menyatakan
Teddy Djuliarki KurniawanNIM 107070002604
v
MOTTO
Sebaik-baik manusia adalah manusia
yang bermanfaat bagi makhluk hidup
lainnya
i am not a good guy but ill try to become a
good guy and do good things, so..
ill do MY BEST for YOU
(Teddy DjArky K)
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini ku persembahkan karena Nya, untuk semua (orang tuaku, my brothers n my big family) serta masa depanku.
...theres a will..,,theres a wish...,theres a way...
Dari semua kata sedih yang terucap atau tertulis....Kata-kata yang paling menyedihkan adalah,seandainya dulu.......(Whittier & Muller, 1856)
vii
ABSTRAK
(A) Fakultas Psikologi(B) Desember 2011(C) Teddy Djuliarki Kurniawan(D) Intensi Berwirausaha Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22
Jakarta: Peran self efficacy, locus of control, risk taking behavior, emotional quotient, dan adversity quotient
(E) xvii + 170 halaman (termasuk lampiran)(F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran self efficacy, locus of control, risk
taking behavior, emotional quotient, dan adversity quotient terhadap intensi
berwirausaha siswa SMK Negeri 22 Jakarta. Intensi berwirausaha merupakan
prediktor terbaik dalam menggambarkan kemunculan perilaku berwirausaha di
masa depan. Dalam memunculkan intensi berwirausaha, siswa banyak
dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor psikologis, demografis dan
lingkungan. Faktor-faktor psikologis merupakan faktor internal seseorang yang
mempengaruhi munculnya intensi berwirausaha. Diduga faktor psikologis seperti
self efficacy, internal locus of control, external locus of control, risk taking
behavior, emotional quotient, dan adversity quotient memiliki peran dalam
mempengaruhi intensi berwirausaha siswa, dikarenakan faktor-faktor psikologis
tersebut merupakan latar belakang dari munculnya intensi berwirausaha pada
seseorang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan sampel siswa Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta, dimana populasinya berjumlah
714 siswa dengan jumlah sampel yang diambil 184 siswa yang ditentukan
dengan menggunakan teknik probability sampling dengan stratified random
sampling. Disebut probability sampling karena menggunakan sampel
berdasarkan tujuan yang akan digunakan. Artinya teknik ini memungkinkan
peneliti memilih semua anggota sampel yang ada. Sedangkan untuk instrumen
viii
pengumpulan data, digunakan skala intensi berwirausaha, yaitu (The
Entrepreneurial Intention Questionary / EIQ), self efficacy scale (SES),
multidimensional locus of control scales (MLCS), risk taking behavior
(DOSPERT), emotional quotient, dan adversity quotient (ARP). Adapun metode
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik regresi
berganda dengan menggunakan program SPSS versi 16. Sedangkan untuk
pengujian validitas konstruk menggunakan LISREL 8.7
Berdasarkan hasil perhitungan regresi berganda didapatkan R square sebesar
0,441 hal ini berarti 44,1% variabel intensi berwirausaha dapat dijelaskan oleh
variasi dari ke enam variable, yaitu self efficacy, internal locus of control,
external locus of control, risk taking behavior, emotional quotient, dan adversity
quotient dengan indeks signifikansi sebesar 0,000 yang berarti P
ix
Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis memberikan saran yang dapat
dijadikan bahan masukan dan informasi positif bagi mahasiswa dan instansi
pendidikan yang terkait dalam penelitian ini. Walaupun dalam hasil penelitian ini
terdapat beberapa variabel yang menunjukkan tidak ada pengaruh terhadap
intensi berwirausaha siswa, namun masih terdapat dua variabel lainnya yang
mempengaruhi intensi berwirausaha siswa. Intensi berwirausaha merupakan awal
dari munculnya perilaku berwirausaha, untuk itulah pentingnya meningkatkan
faktor-faktor psikologis lainnya yang belum ada dalam penelitian ini, seperti
sikap, motivasi, value, pengalaman kerja, kemampuan kewirausahaan, dan faktor
demografi, karena faktor-faktor tersebut secara teoritis pun menentukan
kemunculan dari intensi berwirausaha.
(G) Bahan Bacaan 35 (1975-2011) : 16 buku, 11 jurnal, 7 website, 1 modul.
x
KATA PENGANTAR
BismillahirahmanirrahiimAlhamdulillahhi rabbil alamin, puji syukur kehadirat Allah Swt, hanya
dengan izin-Nya terlaksana segala macam kebajikan serta kebaikan dan diraih segala macam kesuksesan. Dengan rahmat dan karunia-Nya yang telah maupun yang akan diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Rasulullah Muhammad Saw, pemimpin dan tauladan kaum yang beriman, beserta keluarga, sahabat, tabi, tabiin, dan seluruh umatnya yang setia.
Tentunya dalam proses terselesaikannya skripsi ini, penulis tidak luput dari arahan, bimbingan, semangat, dorongan, serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:1. Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi, pembimbing I, atas waktu luang,
bimbingan, arahan, kesabaran, koreksi, saran dan kritik yang membangun dalam penyelesaian skripsi.
2. Miftahuddin, M.Si, pembimbing II, atas kesabaran, pengertian, perhatian, keramahan, bimbingannya, motivasi serta koreksi yang membuat semangat dan melihat secercah cahaya dalam menyelesaikan skripsi.
3. M. Avicenna, M.H, Psy. Dosen pembimbing akademik, atas dukungan dan keramahannya yang tidak pernah berhenti untuk selalu membuat penulis bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Sofiandy Zakaria, Drs, M.Psi dan Yunita Faela Nisa, M.Psi, Psi. Penguji I dan IIatas pengertian dan kesediaannya meluangkan waktu untuk memberikan arahandemi kesempurnaan skripsi.
5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membimbing dan memberikan ilmu pengetahuannya dengan kesabaran dan keikhlasan.
6. Staf bagian Akademik, Umum, Keuangan dan perpustakaan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membantu kelancaran secara administratif bagi peneliti.
7. Kepala sekolah SMKN 22 Jakata, Amron, Drs, M.M atas keramahan dan ijin penelitian yang telah diberikan serta Wakasek bidang kurikulum Renny R, Dra. yang telah membantu dalam memperlancar penelitian tersebut. Peneliti merasa sangat terbantu dengan kebaikan keluarga besar SMKN 22 Jakarta.
8. Mama dan Ayah yang sangat penulis cintai, atas kesabaran, kasih sayang, pengertian, doa yang tidak pernah berhenti, serta dukungan baik materi, moral
xi
dan tenaga, walau kata-kata kalian jarang terdengar untuk menyemangati tapi peneliti yakin, dibalik itu doa kalian selalu terpanjatkan untuk kesuksesan peneliti.
9. Kakak dan adikku di rumah, 4T (Qiyai Tyas, Tahmi, dan Taufik) atas candaan yang membuat semangat untuk menyelesaikan skripsi.
10. Herlina Pratami (UNJ), Hasty Fajri dan ibu Tuti (STEKPI), terima kasih banyak atas bantuan kalian dalam proses mendapatkan data sehingga penulis merasa bersemangat dan mampu dalam menyelesaikan skripsi tepat waktu. Maaf juga telah merepotkan kalian. Summimasen.
11. DeeDee, pengalaman mengenalmu selalu ada. Banyak hal yang bisa dipelajari darimu. Ure the best spirit that ive ever had, Thank you so much.
12. Semua teman seperjuangan skripsi (pulengbeknilminayrenankahandimdll), semoga kebersamaan kita disaat melalui masa-masa skripsi dapat menuai kenangan indah yang tidak terlupakan. Tetap semangat dan bermanfaat.
13. Ka Adiyo, ka Savinaz, ka Sarah, dan kaka-kaka yang lainnya, yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah memberikan keberkahan pada ilmu kalian.
14. Imam, Adit, pipit n temennya mereka, terima kasih atas kehadirannya, semangat kalian dari belakang saat sidang merupakan semangat luar biasa.
15. Sahabat-sahabat LDK Syahid dan Komda Psikologi, semangat, kebaikan, kebersamaan, dan pengalaman bersama kalian merupakan kebaikan untuk semua yang tak mungkin terlupakan. Pengalaman ada guru yang terbaik dan kalian adalah pengalaman terbaik. Were the best..
16. Teman-teman TC dan CPA yang juga telah banyak memberikan pengalaman dan pembelajaran berorganisasi. Tetap semangat.
17. Ka Deas, ka Al, ka Hari, ka Dim, dan bang Jarwo, terima kasih atas waktu, ilmu, tenaga, bahkan pinjaman bukunya dan kesediaannya dalam mendukung kelancaran proses penyelesaian skripsi.
18. Sahabat-sahabat Kelas B The One Fakultas Psikologi 2007 Reguler, atas kebersamaan, keceriaan, kebanggaan dan semangat yang indah dimasa-masa kuliah bersama. Kalian baik semua (jadi bingung mau nulis nama siapa). Tetap semangat kawan-kawan. Im gonna miss u all..
Akhirnya penulis memohon kepada Rabb Pencipta Semesta Alam agar seluruh dukungan, bantuan, bimbingan dari semua pihak di balas oleh Allah Swt dengan sebaik-baiknya balasan. Amin.
Jakarta, 08 Desember 2011
Teddy Djuliarki Kurniawan
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iii
MOTTO ...................................................................................................................... v
PERSEMBAHAN....................................................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR.................................................................................................. x
DAFTAR ISI.............................................................................................................. xii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1-161.1. Latar Belakang Masalah....................................................................... 11.2. Rumusan dan Batasan Masalah.......................................................... 12
1.2.1. Rumusan Masalah ................................................................... 121.2.2. Batasan Masalah ...................................................................... 13
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 141.3.1. Tujuan Penelitian ..................................................................... 141.3.2. Manfaat Penelitian................................................................... 14
1.3.2.1. Manfaat Teoritis ......................................................... 141.3.2.2. Manfaat Praktis .......................................................... 14
1.4. Sistematika Penulisan ........................................................................ 15
BAB 2 LANDASAN TEORI.......................................................................... 17-582.1. Intensi Berwirausaha.......................................................................... 17
2.1.1. Definisi Intensi ........................................................................ 172.1.2. Teori Mengenai Intensi ............................................................ 192.1.3. Komponen Intensi ................................................................... 202.1.4. Determinan Intensi .................................................................. 202.1.5. Definisi Kerwirausahaan ......................................................... 222.1.6. Karakteristik Kerwirausahaan ................................................. 242.1.7. Definisi Intensi Berwirausaha ................................................. 26
http://PERSEMBAHAN.......................................................................................................vi
xiii
2.1.8. Indikasi dari Intensi Berwirausaha .......................................... 272.1.9. Alat Ukur Intensi Berwirausaha .............................................. 27
2.2. Self Efficacy........................................................................................ 302.2.1. Definisi Self Efficacy ............................................................... 302.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy.................... 312.2.3. Dimensi-dimensi Self Efficacy ................................................ 332.2.4. Alat Ukur Self Efficacy ............................................................ 34
2.3. Locus of Control................................................................................. 342.3.1. Definisi Locus of Control ........................................................ 352.3.2. Aspek-aspek Locus of Control................................................. 352.3.3. Dimensi Locus of Control........................................................ 362.3.4. Karakteristik Locus of Control ................................................ 372.3.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Locus of Control.............. 382.3.6. Alat Ukur Locus of Control ..................................................... 39
2.4. Adversity Quotient.............................................................................. 402.4.1. Definisi Adversity Quotient ..................................................... 402.4.2. Bentuk-bentuk Adversity Quotient .......................................... 412.4.3. Dimensi Adversity Quotient .................................................... 412.4.4. Jenis-jenis Karakteristik Manusia............................................ 422.4.5. Alat Ukur Adversity Quotient .................................................. 44
2.5. Emotional Quotient ............................................................................ 442.5.1. Definisi Emotional Quotient.................................................... 442.5.2. Indikator Emotional Quotient.................................................. 462.5.3. Alat Ukur Emotional Quotient................................................. 49
2.6. Risk Taking ......................................................................................... 502.6.1. Definisi Risk Taking................................................................. 502.6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risk Taking ...................... 512.6.3. Karakteristik Situasi yang Mempengaruhi Risk Taking .......... 522.6.4. Dimensi Risk Taking ................................................................ 522.6.5. Alat Ukur Risk Taking.............................................................. 53
2.7. Kerangka Berpikir Penelitian............................................................. 542.8. Hipotesis Penelitian............................................................................ 57
BAB 3 METODE PENELITIAN ................................................................. 59-923.1. Populasi dan Sampel .......................................................................... 593.2. Variabel Penelitian ............................................................................ 603.3. Definisi Operasional Variabel ........................................................... 603.4. Instrumen Pengumpulkan Data ......................................................... 623.5. Prosedur Pengujian Alat Ukur............................................................ 68
3.5.1 Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur.................................... 683.5.2 Uji Hipotesis ............................................................................. 89
xiv
BAB 4 METODE PENELITIAN ................................................................ 93-1084.1. Analisis Deskriptif.............................................................................. 934.2. Uji Hipotesis ................................................................................... 101
4.2.1 Pengujian Hipotesis mayor dan Minor.................................... 1084.2.2 Analisis Proporsi Varian Pada Masing-Masing
Independent Variabel............................................................... 104
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN .................................... 109-1225.1. Kesimpulan ...................................................................................... 1095.1. Diskusi ..............................................................................................1105.2. Saran..................................................................................................118
5.1. Saran metodologis.......................................................................1185.2. Saran praktis............................................................................... 120
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 123-125
LAMPIRAN ............................................................................................................ 126
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Tabel skoring dan interpretasi alat ukur EIQ, SES, dan MLCS
Tabel 3.2 Blue print Multidimension Locus of Control (MLCS)
Tabel 3.3 Blue print Emotional Intelligence
Tabel 3.4 Blur Print skoring Emotional Intelligence
Tabel 3.5 Muatan Faktor Item EIQ untuk Intensi Berwirausaha
Tabel 3.6 Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada butir-butir item
Intensi Berwirausaha
Tabel 3.7 Muatan Faktor Item untuk self efficacy
Table 3.8 Muatan Faktor Item untuk external locus of control
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item untuk internal locus of control
Table 3.10 Muatan Faktor Item untuk risk taking
Table 3.11 Muatan Faktor Item untuk emotional quotient
Tabel 3.12 Muatan Faktor Item untuk adversity quotient control
Table 3.13 Muatan Faktor Item untuk adversity quotient origin & ownership
Tabel 3.14 Muatan Faktor Item untuk adversity quotient reach
Tabel 3.15 Muatan Faktor Item untuk adversity quotient endurance
Tabel 4.1 Distribusi populasi penelitian berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.2 Distribusi sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.3 Distribusi populasi penelitian berdasarkan program keahlian
Tabel 4.4 Distribusi sampel penelitian berdasarkan program keahlian
Tabel 4.5 Distribusi populasi penelitian berdasarkan tingkatan kelas
Tabel 4.6 Distribusi sampel penelitian berdasarkan tingkatan kelas
Tabel 4.7 Distribusi sampel penelitian berdasarkan jenis pekerjaan orang tua
siswa
Tabel 4.8 Uji Beda Intensi Berwirausaha
Tabel 4.9 Tabel Anova
xvi
Table 4.10 Model Summary
Tabel 4.11 Koefisien Regresi
Table 4.12 Proporsi varian oleh masing-Masing Independen Variabel
Skema 2.7.1 Skema Kerangka Berpikir Penelitian
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 22 Negeri
Jakarta
Lampiran 2 Blue Print Alat Ukur Penelitian
Lampiran 3 Output Confirmatory Factor Analisis (CFA) tiap-tiap skala penelitian
Lampiran 4 Analisis Faktor Konfirmatorik untuk masing-masing Variabel
Lampiran 5 Output SPSS Analisis Regresi Ganda
Lampiran 6 Output SPSS Uji Beda Faktor Demografi
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam bab ini peneliti akan memaparkan beberapa hal, yaitu latar belakang
masalah, identifikasi masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pembatasan
masalah, dan sistematika penulisan.
1.1. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan perekonomi di Indonesia tahun 2010 mengalami kenaikan sekitar
5,5 persen (Darmawan, 2010). Badan Pusat Statistik Nasional mencatat bahwa
perekonomian Indonesia pada Triwulan II tumbuh sebesar 6,5 persen (BPS,
2011). Hal tersebut berdampak baik bagi iklim perekonomian di Indonesia.
Pemerintah berharap hal tersebut dapat membantu dalam mengurangi jumlah
pengangguran, seperti dikatakan Menteri Perindustrian, M. S. Hidayat (2011)
bahwa tingkat pengangguran terus akan mengalami penurunan. Data dari Badan
Pusat Statistik menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia
pada Februari 2011 mencapai 6,80 persen atau sebanyak 8,12 juta orang. Angka
tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan posisi Februari 2010 sebesar
7,41 persen. Namun Ekonom International Center for Applied Finance and
Economic (Inter Cafe) Imam Sugema mengatakan, tingkat pengangguran dan
kemiskinan memang cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Namun, penurunan tersebut masih menunjukkan tren yang sangat lambat (Satriani
dan Wahyu, 2009). Dengan demikian, jika hanya mengandalkan pertumbuhan
ekonomi saja belumlah menjadi suatu jalan keluar yang tepat dan efektif bagi
2
perbaikan perekonomian khususnya dalam permasalahan pengurangan
pengangguran di Indonesia. Seperti yang telah diketahui bahwa perekonomian di
dunia tidaklah selamanya stabil dan akan selalu terjadi fluktuasi setiap saatnya.
Permasalahan pengangguran perlu dengan segera dicarikan solusi yang tepat tanpa
harus bergantung dengan pertumbuhan perekonomian saja, karena jika hal
tersebut dibiarkan terus menerus maka dikhawatirkan akan menimbulkan dampak
negatif dalam sosial masyarakat, seperti ketentraman keluarga terganggu,
peningkatan tindakan kriminal dan masalah tekanan jiwa dan keyakinan diri pada
masyarakat (Yanuar, 2010). Tindakan bunuh diri yang diakibatkan depresi karena
sudah lama menganggur merupakan salah satu contohnya, seperti yang
diungkapkan oleh Kapolsek Kebayoran Baru AKBP Irsan, Selasa (2010).
Tindakan bunuh diri dilakukan oleh seorang pria dengan inisial A.S (45 tahun)
yang diduga karena tekanan ekonomi dan sudah lama tidak bekerja. Ia melompat
dari lantai VI, di salah satu Mall di Jakarta Selatan.
Penyebab lain lambatnya penurunan jumlah pengangguran dikarenakan
rendahnya daya serap industri serta semakin sempitnya lapangan pekerjaan,
ditambah lagi tingginya jumlah siswa yang lulus setiap tahunnya. Data dari
Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa setiap tahunnya tidak
kurang dari 1.450.498 siswa SMA/SMK yang lulus (Djumena, 2009), belum lagi
ditambah jumlah mahasiswa yang lulus dari perguruan tinggi. Hal tersebut
mengakibatkan ketidakseimbangan antara jumlah lulusan dengan daya serap
tenaga kerja.
3
Berdasarkan data yang didapatkan, saat ini sebagian besar pengangguran
terbuka didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 12,17%,
kemudian lulusan Diploma dengan 11,59%, selanjutnya sebanyak 10% oleh
lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), diikuti Perguruan Tinggi sebanyak
9,95%, Sekolah Menengah Pertama 7,83%, dan Sekolah Dasar (SD) 3,37% (BPS,
2011). Sangat disayangkan jika para pelajar yang telah mendapatkan pendidikan
yang cukup memadai namun pada akhirnya hanya menjadi pengangguran,
terutama siswa lulusan SMK yang saat ini menjadi penyumbang terbesar ketiga
pengangguran yang saat ini telah mencapai 8,12 juta orang pada Februari 2011
(BPS, 2011). Padahal SMK merupakan sekolah yang memiliki kurikulum serta
program pendidikan yang terfokus pada pembekalan keterampilan guna
mempersiapkan siswanya untuk siap turun dan bersaing di dunia kerja setelah
lulus sekolah nantinya, karena pada dasarnya setiap siswa telah dibekali dengan
berbagai macam keahlian, seperti SMKN 22 Jakarta yang memiliki 4 program
keahlian atau jurusan, yaitu Akuntansi, Administrasi Perkantoran, Penjualan, dan
Teknik Komputer dan Jaringan. Terlebih sejak tahun 1994 pemerintah melalui
Departemen Pendidikan Nasional mulai menerapkan standarisasi kurikulum pada
seluruh SMK, yaitu kewajiban mengajarkan mata pelajaran kewirausahaan pada
siswanya (Depdiknas, 2011). Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 yang
terletak di Condet, Jakarta Timur juga menerapkan kebijakan tersebut dengan
memberikan pengajaran mengenai kewirausahaan dari sejak kelas 1 sampai kelas
3 yang berjumlah sekitar 714 orang, dimana siswa tersebut berasal dari keadaan
ekonomi yang cukup beragam. Dari pegawai negeri sipil, pegawai swasta,
4
wirausaha, hingga buruh. Dimana program ini diharapkan dapat menjadi
tambahan skill bagi siswa setelah lulus nantinya. Di sekolah ini, siswa juga tidak
hanya diajarkan secara teoritis saja, namun praktek langsung mengenai
berwirausaha, seperti menjaga koperasi sekolah, toko foto copy, dan bahkan mini
bank. Semua kegiatan tersebut diajarkan kepada mereka agar mereka dapat
langsung merasakan bagaimana menjadi seorang wirausahwan. Hal tersebut
sesuai dengan visi sekolah, yaitu menjadikan SMK Negeri 22 Jakarta berstandar
Nasional untuk menghasilkan tamatan yang profesional, unggul dan mandiri
(smkn22.ac.id).
Dengan modal keterampilan dan pengetahuan yang didapatkan dari
sekolah serta ditambah dengan pengetahuan kewirausahaan melalui pelajaran
kewirausahaan yang telah masuk kedalam kurikulum sekolah seharusnya siswa
SMK tidak hanya menjadi seorang pencari kerja, namun dapat menjadi seorang
pembuka lapangan kerja atau seorang pengusaha. Dengan berwirausaha ia dapat
mandiri dan bahkan membantu dalam membuka lapangan pekerjaan bagi orang
lain. Namun demikian keinginan atau intensi untuk berwirausaha yang muncul
sejak dini merupakan tujuan utama dalam proses pembentukan wirausahawan-
wirausahawan baru. Oleh karena itu perlunya menumbuhkan semangat
berwirausaha di antara para siswa agar mereka sejak dini menjadi paham dan
memiliki semangat untuk berwirausaha.
Semangat berwirausaha menurut usahawan Ciputra, dalam kuliah umum
pelatihan kewirausahaan Ciputra Foundation di Program Pasca Sarjana
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta tanggal 29 Oktober 2007, merupakan salah
5
satu instrumen efektif untuk menghapus kemiskinan dan ketertinggalan bangsa
(dalam Setyorini, 2000). Hal ini telah terbukti pada negara maju, yaitu Amerika
Serikat. Drucker (1996) menyatakan bahwa wirausaha merupakan penyumbang
terbesar perekonomian di Amerika dan bukan perusahaan-perusahaan besar
berteknologi tinggi, melainkan dunia wirausaha yang menciptakan ribuan
lapangan kerja.
McClelland (dalam Wijaya, 2008) juga menyatakan bahwa suatu negara
akan maju jika terdapat enterpreneur sedikitnya sebanyak 2% dari jumlah
penduduk. Data dari Global Enterpreneurship Monitor (GEM) pada tahun 2004
dan 2005 menunjukkan bahwa Singapura memiliki 7,2% entrepreneur dari jumlah
penduduknya, China dan Jepang memiliki 10%, India 7% dan Amerika lebih dari
itu, yaitu sebesar 11,5% (Smescoukm, 2010), bahkan Indonesia masih jauh
tertinggal dengan Malaysia yang memiliki 3% pengusaha karena Indonesia hanya
memiliki 0,18% pengusaha dari seluruh jumlah penduduknya. Dengan demikian
dari penjelasan diatas, semakin menjelaskan pentingnya dalam meningkatkan
jumlah pelaku wirausaha sebagai salah satu sarana yang efektif dan tepat dalam
mengatasi permasalahan pengangguran.
Bomer Pasaribu (CLDS, 2002), juga menyatakan bahwa salah satu solusi
untuk mengurangi pengangguran terdidik adalah menjadi seorang pengusaha.
Mengingat jumlah pengangguran (pendidikan yang ditamatkan) yang jumlahnya
tidak begitu sedikit, yaitu sekitar 6,80% lebih (BPS, 2011), maka sangat
disayangkan jika potensi sumber daya manusia yang begitu besar tersebut tidak
termaksimalkan dengan baik dan bijaksana.
6
Salah satu cara mengatasi pengangguran adalah dengan memperbanyak
lapangan pekerjaan yang berarti perlu adanya peningkatkan jumlah pelaku
wirausaha. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa keinginan berwirausaha
para pelajar merupakan sumber bagi lahirnya wirausaha-wirausaha masa depan
(Gorman et al., 1997; Kourilsky dan Walstad, 1998).
Menciptakan dan menjadikan seseorang wirausahawan bukanlah hal yang
mudah, terlebih pada siswa SMK yang tergolong masih dalam usia remaja
pertengahan (middle adolesence) dengan rentang usia 13 sampai 17 atau 18 tahun
(Hurlock, 1980). Dimana pada usia ini remaja pertengahan memiliki tugas
perkembangan yang salah satunya adalah dapat memilih jenis pekerjaan yang
sesuai dengan bakat dan minatnya, serta mempersiapkan diri untuk bekerja karena
menjelang berakhirnya masa sekolah para remaja mulai mengkhawatirkan masa
depan mereka (Hurlock, 1980). Pada masa ini juga remaja pertengahan berada
dalam kondisi kebingungan dalam menentukan pilihan (Havigrust dan Garrison,
1991, Steinberg, 2002; Hurlock, 1980), karena pada masa ini merupakan tahap
pencarian identitas bagi remaja (Erikson, 1968; dalam Papalia et. al,. 2008).
Dengan kebingungannya dalam menentukan karier, seharusnya siswa SMK
diuntungkan dengan mendapatkannya pengetahuan mengenai kewirausahaan yang
diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dalam menentukan karier yang akan
mereka pilih, terlebih didukung dengan iklim yang kondusif di negara ini untuk
mendirikan usaha (Indarti dan Rostiani, 2008), diharapakan dapat menjadi
peluang besar bagi siswa SMK untuk menjadi wirausahawan.
7
Dalam melakukan kegiatan berwirausaha terlebih dahulu harus ada
keinginan dalam diri seseorang, karena dalam setiap perilaku atau perbuatan
terlebih dahulu diawali oleh adanya keinginan. Keinginan ini oleh Fishbein dan
Ajzen (1975) disebut dengan intensi, yaitu komponen dalam diri individu yang
mangacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu. Intensi
diasumsikan dapat menangkap faktor-faktor yang memotivasi dan yang
berdampak kuat pada tingkah laku. Sehingga intensi dapat dijadikan sebagai
pendekatan yang masuk akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi
wirausaha (Choo dan Wong, 2006; dalam Indarti & Rostiani, 2008).
Intensi kewirausahaan juga dapat diartikan sebagai proses pencarian
informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukkan suatu
usaha (Katz dan Gartner, 1988). Berdasarkan hasil penelitian lain oleh Krueger
dan Carsrud (1993) bahwa intensi telah terbukti menjadi prediktor yang terbaik
bagi perilaku kewirausahaan. Oleh karena itulah pentingnya mengetahui intensi
dalam penelitian ini guna memprediksi perilaku yang akan muncul, seperti yang
dijelaskan kembali oleh Fishbein dan Ajzen (1975) bahwa kemauan yang kuat
untuk melakukan suatu tingkah laku dapat dijelaskan melalui konsep intensi.
Dari penjelasan di atas maka dapat diasumsikan bahwa hal-hal yang
mempengaruhi seseorang berwirausaha kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang ada dalam diri individu. Begitu besar peran intensi
berwirausaha khususnya dalam memprediksi suatu perilaku wirausaha. Tentu saja
hal tersebut tidak terlepas juga dari faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya
intensi berwirausaha. Baik itu faktor ekternal maupun faktor internal dari diri
8
setiap individu itu sendiri. Dalam penelitian ini faktor-faktor internal atau
psikologis dalam individualah yang lebih difokuskan dalam mempengaruhi
seseorang memiliki intensi kewirausahaan.
Penelitian mengenai faktor-faktor psikologis yang berhubungan dengan
intensi berwirausaha telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Salah satunya
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Indarti dan Kristiansen (2003), bahwa
proses pembentukan Intensi berwirausaha melalui beberapa tahapan, yaitu need
for achievement, self efficacy dan locus of control.
Faktor psikologis seperti self efficacy (Wijaya, 2008; Ramayah & Harun,
2005; Zhao et al., 2005; Fitzsimmons & Douglas, 2006; Shook & Bratianu, 2008;
Hmieleski & Corbett, 2006; Linan, 2008; Marco et al., 2006) juga diterangkan
memiliki hubungan dengan Intensi berwirausaha. Setiap individu memiliki tingkat
self efficacy atau penilaian terhadap kemampuannya sendiri dalam melakukan
suatu hal yang berbeda-beda. Bandura (1986) dan Lent et al., (1994) dalam
Boissin et al., (2009) mengungkapkan adanya hubungan antara self efficacy dan
intensi berwirausaha dengan demikian persepsi diri dan kemampuan diri berperan
dalam membangun intensi. Sehingga jika seseorang memiliki self efficacy yang
tinggi maka orang tersebut memiliki tingkat intensi dalam melakukan sesuatu
lebih tinggi dibandingkan lainnya dalam hal ini intensi berwirausahanya.
Selanjutnya, hasil penelitian dari Indarti dan Kristiansen (2003) mengenai
locus of control (Shaver dan Linda R Scott, 1991; Nikolaus Franke dan Christian
Luthje, 2004) juga memiliki hubungan yang siginifikan dengan Intensi
berwirausaha. Locus of control sebagai keinginan yang tinggi untuk berhasil
9
dalam mencapai sesuatu membentuk kepercayaan diri dan pengendalian diri yang
tinggi pada individu, maka dengan demikian apakah individu memiliki eksternal
ataupun internal locus of control akan membuat individu berani mengambil
keputusan serta resiko yang ada.
Dalam setiap keputusan yang diambil oleh siapapun, pasti akan
mengandung resiko yang berbeda-beda. Resiko menurut British Medical
Association (dalam Yates, 1994) diinterpretasikan sebagai kemungkinan
terjadinya suatu kejadian yang tidak diharapkan atau yang tidak menyenangkan.
Dalam penelitian fear of success dan risk taking pada wirausaha wanita
Bali oleh Riyanti (2007), Yates (1994) menyatakan bahwa segala perilaku yang
muncul ketika seseorang dihadapkan pada situasi resiko dapat dijelaskan dengan
konsep perilaku pengambilan resiko atau risk taking behavior. Dalam literatur
lainnya juga dijelaskan bahwa intensi berwirausaha dipengaruhi oleh risk taking
(Stewart and Roth, 2001; Weber, Blais, & Betz, 2002; dalam Fini, unyears)
Sehingga sikap individu yang mampu mentoleransi resiko (Zhao et al., 2005;
Seagel et al., 2005) dan berani menghadapi rintangan dalam dunia usaha memiliki
intensi untuk berwirausaha.
Masih ada lagi faktor-faktor psikologis lainnya yang berhubungan dengan
Intensi berwirausaha selain faktor yang telah dijelaskan sebelumnya. Goleman
(2000) menyatakan untuk menjadi seorang wirausaha yang sukses tidak semata
memerlukan intelegensi (IQ) saja, namun dibutuhkan pula emotional quotient atau
kecerdasan emosi.
10
Goleman (2000) menyatakan bahwa IQ saja tidak mampu menerangkan
75% keberhasilan-keberhasilan dalam pekerjaan, atau bahkan sampai 96%. Faktor
yang paling menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja adalah faktor
emotional quotient (Cooper dan Sawaf, 2000).
Inti dari kewirausahaan menurut Drucker (1959, dalam Suryana, 2000)
adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui
pemikiran kreatif dan tindakan inovatif demi terciptanya peluang. Zimmerer
(1996:51) juga mengungkapkan bahwa kewirausahaan merupakan proses
penerapan kreatifitas dan inovasi untuk memecahkan masalah dan mencari
peluang yang dihadapi setiap orang dalam setiap hari.
Chandra (2001, dalam Ifham, 2002) menyebutkan bahwa emosi dapat
memicu kreatifitas dan inovasi. Tindakan inovatif memerlukan unsur baik kognitif
maupun emosi. Bisa mempunyai wawasan kreatif merupakan unsur kognitif
tetapi untuk menyadari nilai-nilainya, menumbuhkannya, dan menerapkannya
memerlukan kecakapan emosi seperti rasa percaya diri, inisiatif, ketekunan, dan
kemampuan membujuk (Goleman, 1999). Sehingga seseorang yang benar-benar
mengoptimalkan emotional quotient, akan lebih jeli dalam melihat peluang
terlebih bagi seorang wirausaha.
Selain emotional quotient, berdasarkan hasil penelitian dalam jurnal
manajemen dan kewirausahaan dengan judul penelitian hubungan adversity
quotient dengan intensi berwirausaha, bahwa adversity quotient juga memiliki
peranan dan juga hubungan yang penting dengan intensi berwirausaha (Wijaya,
2007).
11
Stoltz (2000) menyatakan bahwa seorang individu yang memiliki
kecerdasan menghadapi rintangan diduga akan lebih mudah menjalani profesi
sebagai seorang wirausahawan karena memiliki kemampuan untuk mengubah
hambatan menjadi peluang. Hal tersebut juga didukung dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Wijaya (2007), yaitu ada hubungan positif yang signifikan
antara adversity quotient dengan intensi berwirausaha.
Selain faktor-faktor psikologis di atas, masih terdapat banyak faktor lain
yang juga begitu penting dalam mempengaruhi intensi berwirausaha. Dalam hal
ini hasil penelitian dari Kristiansen (2003) menyatakan bahwa ada beberapa faktor
yang mempengaruhi intensi berwirausaha. Faktor tersebut berupa faktor
demografi diantara lain, yaitu latar belakang pendidikan, usia, jenis kelamin, jenis
pekerjaan orang tua siswa, dan pengalaman kerja serta faktor eksternal lainnya.
Salah satu faktor lainnya adalah pendidikan kewirausahaan, Hisrich dan
Peters (1998) menyatakan bahwa pendidikan penting bagi wirausaha, tidak hanya
gelar yang didapatkannya saja, namun pendidikan juga mempunyai peranan yang
besar dalam membantu mengatasi masalah-masalah dalam bisnis seperti
keputusan investasi dan sebagainya. Hasil penelitian menyebutkan bahwa 78,8%
siswa SMK yang pada dasarnya telah mendapatkan pendidikan kewirausahaan
memiliki intensi berwirausaha yang cukup tinggi dibandingkan dengan siswa
SMA (Riyanti, 2007).
Didukung dengan hasil penelitian oleh Kourilsky dan Walstad (1998,
dalam Indarti dan Rostiani, 2008) bahwa pengaruh pendidikan kewirausahaan
selama ini telah dipertimbangkan sebagai salah satu faktor penting untuk
12
menumbuhkan dan mengembangkan hasrat, jiwa dan perilaku berwirausaha di
kalangan generasi muda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa yang
mendapat pendidikan kewirausahaan memiliki kemungkinan intensi berwirausaha
yang lebih tinggi.
Berdasarkan penjelasan dan hasil penelitian-penelitian yang telah
disebutkan di atas, maka peneliti merasa penting untuk meneliti Intensi
Berwirausaha Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta:
Peran Self Efficacy, Locus of Control, Risk Taking Behavior, Emotional
Quotient, dan Adversity Quotient sebagai judul penelitian. Namun pada
penelitian ini, peneliti hanya memfokuskan pada taraf intensi berwirausaha bukan
pada perilaku wirausahanya.
1.2. Rumusan dan Batasan Masalah
1.2.1.Rumusan Masalah
Intensi berwirausaha merupakan hal yang penting dalam terwujudnya perilaku
berwirausaha. Intensi berwirausaha pada siswa dapat muncul oleh banyak faktor.
Namun karena keterbatasan waktu, dana serta tenaga yang dimilki peneliti, maka
peneliti hanya merumuskan beberapa masalah dalam penelitian ini. Adapun
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah ada pengaruh self efficacy terhadap Intensi berwirausaha pada siswa
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta?
2. Apakah ada pengaruh internal locus of control terhadap Intensi
berwirausaha pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22
Jakarta?
13
3. Apakah ada pengaruh external locus of control terhadap Intensi
berwirausaha pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22
Jakarta?
4. Apakah ada pengaruh risk taking behavior terhadap Intensi berwirausaha
pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta?
5. Apakah ada pengaruh emotional quotient terhadap Intensi berwirausaha
pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta?
6. Apakah ada pengaruh adversity quotient terhadap Intensi berwirausaha pada
siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta?
1.2.2.Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam hal ini digunakan agar penelitian ini tidak membahas
hal-hal yang diluar jangkauan peneliti, maka dibuat pembatasan masalah demi
kemudahan penelitian kedepannya. Peneliti hanya membatasi penelitian pada
variabel intensi bewirausaha siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri
22 Jakarta saja.
Penelitian juga membatasi faktor-faktor lain yang berhubungan dengan
intensi berwirausaha hanya pada faktor self efficacy, internal locus of control,
eksternal locus of control, risk taking behavior, emotional quotient, dan adversity
quotient.
14
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1.Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh dan seberapa besar sumbangan variabel faktor self efficacy, internal
locus of control, eksternal locus of control, risk taking, emotional quotient, dan
adversity quotient terhadap intensi berwirausaha siswa Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta.
1.3.2. Manfaat Penelitian
1.3.2.1. Manfaat Teoritis
Harapan penulis manfaat dari penelitian ini agar dapat menambah serta
mengembangkan khasanah keilmuan khususnya di bidang psikologi industri dan
organisasi dan umumnya dibidang yang menyangkut kewirausahaan di Indonesia.
Serta mengubah khasanah keilmuan bagi siapa saja yang membaca secara umum
sebagai pemikiran bagi penelitian selanjutnya.
1.3.2.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan yang berharga bagi setiap
individu maupun institusi pendidikan untuk meningkatkan kesadaran mengenai
kewirausahaan sehingga para lulusan nantinya jika memiliki peluang
berwirausaha tak akan ragu lagi untuk hidup mandiri dan menciptakan lapangan
pekerjaan atau setidaknya keinginan untuk berwirausaha telah tertanam sejak dini
hingga nantinya ketika terdapat peluang untuk berwirausaha maka keinginan
15
untuk berwirausaha dapat terwujudkan. Sehingga nantinya dapat menyerap
banyak tenaga kerja baru yang berarti telah membantu pemerintah baik secara
langsung maupun tidak dalam mengurangi jumlah pengangguran serta
membangkitkan perekonomian bangsa kedepannya.
1.4. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman pada sistematika penulisan American
Psychology Association (APA) style. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini,
penulis menyusunnya dalam bentuk beberapa bab sebagai berikut:
BAB 1 : Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, serta sistematika penelitian.
BAB 2 : Landasan Teori
Pada bab ini memuat tentang hal-hal mengenai teori-teori mengenai
intensi berwirausaha; definisi intensi, teori mengenai intensi, komponen
intensi, determinan intensi, definisi kewirausahaan, karakteristik
kewirausahaan, definisi intensi berwirausaha, indikasi dari teori intensi
berwirausaha; faktor-faktor yang berhubungan dengan intensi
berwirausaha, kerangka berpikir dan hipotesis.
BAB 3 : Metode Penelitian
Pada bab ini berisi mengenai populasi dan sampel, variabel penelitian,
instrumen pengumpulan data, dan prosedur pengujian alat ukur.
16
BAB 4 : Hasil Penelitian
Merupakan presentasi dan analisis data yang berisi tentang analisa
deskriptif, dan uji hipotesis.
BAB 5 : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi dari penelitian
dan juga menyimpulkan hasil penelitian. Dalam bab ini juga akan dimuat
diskusi dan saran.
17
BAB 2
LANDASAN TEORI
Dalam bab dua ini, akan dibahas semua teori yang dapat menjelaskan masing-
masing variabel penelitian. Terlebih dahulu teori yang akan dibahas adalah
mengenai teori-teori yang berkenaan dengan intensi yang dimulai dengan definisi
intensi sendiri, perkembangan teori serta komponen intensi itu sendiri.
Selanjutnya akan dibahas pula mengenai wirausaha, yang kemudian akan
membentuk sebuah pengertian baru tentang intensi berwirausaha yang
disimpulkan dari definisi intensi dan definisi wirausaha. Setelah itu peneliti akan
membahas faktor-faktor psikologis yang dianggap sebagai faktor-faktor yang
mempengaruhi intensi berwirausaha pada mahasiswa.
Peneliti juga memberikan pengertian tentang wirausaha yang merupakan
objek dalam penelitian ini. Kerangka berpikir pun akan dibahas oleh peneliti
karena kerangka berpikir ini merupakan alur pemikiran peneliti secara garis besar.
Selanjutnya yang terakhir adalah hipotesis penelitian yang nantinya akan
dibuktikan dalam penelitian ini.
2.1. Intensi Berwirausaha
2.1.1. Definisi Intensi
Fishbein dan Ajzen (1975) menjelaskan definisi Intensi, sebagai berikut:
we have defined intention as a persons location on a subjective probability
dimention involving a relation between himself and some action. A behavioral
18
intention, therefore, refers to a persons subjective probability that the will
perform some behavior.
Intensi didefinisikan sebagai dimensi probabilitas subjektif individu dalam
kaitan antara diri dan perilaku. Intensi merupakan perkiraan seseorang mengenai
seberapa besar kemungkinannya untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
Fishbein dan Ajzen (1975) mengartikan intensi merupakan komponen
dalam individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku
tertentu. Pengertian tersebut menyatakan bahwa intensi merupakan faktor
motifasional yang memiliki sebuah akibat pada perilaku; dengan mengindikasikan
seberapa keras keinginan untuk mencoba; seberapa banyak berusaha dalam
merencanakan yang semuanya bertujuan pada sebuah tingkah laku.
Dalam sebuah penelitian, Bandura (1986; dalam Wijaya, 2007)
menyatakan bahwa intensi merupakan suatu kebulatan tekad untuk melakukan
aktivitas tertentu atau menghasilkan keadaan tertentu di masa depan.
Dari keseluruhan definisi-definisi diatas, itensi dapat diartikan sebagai
seberapa besar keinginan seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih menggunakan teori yang dijelaskan oleh
Fishbein dan Ajzen (1975) yang mengartikan intensi merupakan komponen dalam
individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu.
Hal tersebut dikarenakan teori ini telah banyak dipakai didalam setiap penelitian
intensi dan peneliti lebih mudah menemukan sumbernya.
19
2.1.2. Teori Mengenai Intensi
Teori intensi mengalami perkembangan, dimana pada awalnya hanya berisi
mengenai Theory of Reasoned Action, kemudian teori tersebut berkembang
menjadi Planned Behavior Theory. Berawal dari timbulnya kritik terhadap teori
dan pengukuran sikap yang seringkali tidak tepat, yaitu tidak dapat
memperkirakan perilaku yang akan timbul. Maka Fishbein dan Ajzen
mengemukakan Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) dengan
mencoba melihat anteseden perilaku volisional (perilaku yang dilakukan atas
kemauan sendiri) (Ajzen, 1988). Berdasarkan Theory of Reasoned Action, suatu
tingkah laku ditentukan oleh intensi berperilaku, dan intensi berperilaku ini
dipengaruhi oleh dua faktor, yang satu bersifat personal yaitu sikap dan yang lain
merefleksikan pengaruh sosial yang biasa disebut norma subjektif (Ajzen, 2005).
Dari Theory of Reasoned Action tersebut, kemudian diperluas dan
dimodifikasi oleh Ajzen (1988). Modifikasi ini dinamakan teori perilaku
terencana. Kerangka pemikiran teori ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah
control volisional yang belum lengkap dalam teori terdahulu. Inti dari Theory of
Planned Behavior tetap berada pada faktor intensi perilaku namun determinan
intensi tidak hanya dua (sikap terhadap perilaku yang bersangkutan dan norma-
norma subjektif) melainkan tiga dengan diikutsertakannya aspek Perceived
Behavioral Control (PBC). Dengan demikian intensi merupakan fungsi dari tiga
determinan, yaitu bersifat personal, merefleksikan pengaruh sosial dan
berhubungan dengan isu kontrol (Ajzen, 2005).
20
2.1.3. Komponen Intensi
Di dalam pembentukan intensi Fishbein dan Ajzen (1975) mengemukakan bahwa
terdapat empat elemen penting, yaitu:
1. Tingkah laku
Mengukur sikap terhadap niat (intensi) menurut Fishbein dan Ajzen sama
dengan mengukur perilaku itu sendiri. Karena menurut mereka, hubungan
antara niat dan perilaku adalah paling dekat. Setiap perilaku bebas, yang
ditentukan oleh kemauan sendiri selalu didahului oleh niat.
2. Situasi dimana tingkah laku dimunculkan
Intensi untuk menampilkan sesuatu perilaku yang memungkinkan tampil pada
situasi atau lokasi tertentu.
3. Waktu saat tingkah laku ditampilkan
Intensi muncul pada waktu tertentu, pada periode khusus atau periode waktu
tanpa batas (waktu yang akan datang). Sehingga untuk dapat meramalkan
perilaku secara akurat, maka intensi berwirausaha dapat diuraikan melalui
empat komponen intensi dimana intensi berwirausaha merupakan perilaku
spesifik, dan berwirausaha adalah target objek dilakukannya perilaku.
Sedangkan situasi dan waktu adalah saat dilakukannya perilaku.
4. Target objek; seperti berwirausaha.
2.1.4. Determinan Intensi
Terbentuknya intensi dapat diterangkan dengan teori perilaku terencana yang
mengasumsikan manusia selalu mempunyai tujuan dalam berperilaku (Fishbein &
Ajzen, 1988). Secara umum, faktor anteseden intensi dapat diungkapkan melalui
21
Theory Planned of Behavior (TPB) yaitu keyakinan atau sikap berperilaku, norma
subjektif dan kontrol perilaku. Teori ini menyebutkan bahwa intensi adalah fungsi
dari tiga determinan dasar, yaitu:
a. Sikap, merupakan dasar bagi pembentukan intensi. Di dalam sikap terhadap
perilaku terdapat dua aspek pokok, yaitu: keyakinan individu bahwa
menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu akan menghasilkan
akibat-akibat atau hasil-hasil tertentu, dan merupakan aspek pengetahuan
individu tentang obyek sikap dapat pula berupa opini individu hal yang belum
tentu sesuai dengan kenyataan. Semakin positif keyakinan individu akan akibat
dari suatu obyek sikap, maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap
obyek sikap tersebut, demikian pula sebaliknya (Fishbein & Ajzen, 1988).
b. Norma subjektif, yaitu keyakinan individu akan norma, orang sekitarnya dan
motivasi individu untuk mengikuti norma tersebut. Di dalam norma subjektif
terdapat dua aspek pokok, yaitu: keyakinan akan harapan, harapan norma
referensi, merupakan pandangan pihak lain yang dianggap penting oleh
individu yang menyarankan individu untuk menampilkan atau tidak
menampilkan perilaku tertentu serta motivasi kesediaan individu untuk
melaksanakan pendapat atau pikiran pihak lain yang dianggap penting bahwa
individu harus atau tidak harus berperilaku.
c. Kontrol perilaku, yang merupakan dasar bagi pembentukkan kontrol perilaku
yang dipersepsikan. Kontrol perilaku yang dipersepsi merupakan persepsi
terhadap kekuatan faktor-faktor yang mempermudah atau mempersulit suatu
22
perilaku. Dalam beberapa penelitian kewirausahaan, kontrol perilaku
dioperasionalkan dalam bentuk efikasi diri.
2.1.5. Definisi Kewirausahaan
Kewirausahaan mulai dikenal secara populer pada awal abad ke-18. Pada tahun
1755, seorang Irlandia bernama Richard Cantillon yang berdiam di Perancis
merupakan orang yang pertama yang menggunakan istilah wirausaha didalam
bukunya Essai Sur la Nature du Commerce en Generale (terjemahan). Di dalam
bukunya tersebut, ia menjelaskan bahwa wirausaha adalah seorang yang
menanggung resiko. Pada awalnya, istilah wirausaha merupakan sebutan bagi
para pedagang yang membeli barang kemudian menjualnya dengan harga yang
tidak pasti. Namun istilah tersebut berkembang seiring perkembangan ilmu
pengetahuan.
Menurut Schumpeter (1912) wirausaha tidak selalu berarti pedagang atau
manajer, tetapi juga seorang unik yang memiliki keberanian dalam mengambil
resiko dan memperkenalkan produk-produk inovatif serta teknologi baru ke dalam
perekonomian.
Sejalan dengan konsep kewirausahaan, Drucker (1994) mendefinisikan
kewirausahaan sebagai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan
berbeda melalui pemikiran kreatif dan tindakan inovatif demi terciptanya
peluang. Secara luas definisi tersebut dikemukakan oleh Peter Hisrich (1995: 10)
(dalam Suryana, 2007), yang mengatakan bahwa kewirausahaan adalah proses
penciptaan sesuatu yang berbeda untuk menghasilkan nilai dengan mencurahkan
23
waktu dan usaha, diikuti penggunaan uang, fisik, resiko, dan kemudian
menghasilkan balas jasa berupa uang serta kepuasan dan kebebasan pribadi.
Banyak sekali definisi kewirausahaan karena wirausaha dapat dipandang
dari berbagai sudut dan konteks, seperti dari sudut pandang ahli ekonomi,
manajemen, pelaku bisnis, psikologi, dan pemodal (Suryana, 2007). Namun dalam
hal ini, peneliti akan lebih mengacu pada pengertian atau definisi kewirausahaan
dalam sudut pandang pelaku bisnis, karena dianggap lebih relevan dengan maksud
dan tujuan penelitian ini.
Menurut Scarborough dan Zimmerer (1993: 5), mengenai definisi
wirausaha: an entrepreneur is one who creates a new business in the face of risk
and uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifying
opportunities and assembling the necessary resources to capitalize on those
opportunities.
Dalam definisi ini wirausaha adalah orang yang menciptakan suatu bisnis
baru dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian dengan maksud untuk
memperoleh keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengenali peluang dan
mengkombinasikan sumber-sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan
peluang tersebut.
Dun Steinhoff dan John F. Burgess (1993: 35), pengusaha adalah orang
yang mengorganisasikan, mengelola, dan berani menanggung risiko sebuah usaha
atau perusahaan (a person who organizes, manages, and assumes the risk of a
business or enterprise is an entrepriner).
24
Menurut Sri Edi Swasono (1978: 38), wirausaha adalah pengusaha, tetapi
tidak semua pengusaha adalah wirausaha. Kewirausahaan juga didefinisikan
sebagai nilai yang diperlukan untuk mengembangkan usaha (Soeharto Prawiro,
dalam Suryana, 1997).
Enterpreneurship atau kewirausahaan menurut Suryana (2007) adalah
kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya
untuk mencari peluang menuju sukses.
Dengan demikian, peneliti memilih teori yang dikemukakan oleh
Scarborough dan Zimmerer (1993: 5) bahwa wirausaha adalah orang yang
menciptakan suatu bisnis baru dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian
dengan maksud untuk memperoleh keuntungan dan pertumbuhan dengan cara
mengenali peluang dan mengkombinasikan sumber-sumber daya yang diperlukan
untuk memanfaatkan peluang tersebut. Definisi ini peneliti anggap lebih sesuai
dengan penelitian yang akan dilakukan mengenai wirausaha.
2.1.6. Karakteristik Kewirausahaan
Dengan menggunakan gabungan pandangan dari Thomas dan McClelland (1961),
Thomas F. Zimmerer (1996: 6-8) (dalam Suryana, 2001) memperluas
karakteristik sikap dan perilaku wirausaha yang berhasil sebagai berikut:
1. Commitment and Determination, yaitu memiliki komitmen dan tekad yang
bulat untuk mencurahkan semua perhatian terhadap usaha. Sikap yang
setengah hati mengakibatkan besarnya kemungkinan untuk gagal dalam
berwirausaha.
25
2. Desire for responsibility, yaitu memiliki rasa tanggung jawab dalam
mengendalikan sumber daya yang digunakan dan keberhasilan
berwirausaha, oleh karena itu wirausaha akan mawas diri secara internal.
3. Opportunity obsession, yaitu berambisi untuk selalu mencari peluang.
Keberhasilan wirausaha selalu diukur dengan keberhasilan untuk mencapai
tujuan. Pencapaian tujuan terjadi apabila terdapat peluang.
4. Tolerance for risk, ambiguity, and uncertainty, yaitu tahan terhadap resiko
dan ketidakpastian. Wirausaha harus belajar mengelola risiko dengan cara
mentransfernya kepihak lain. Wirausaha yang berhasil biasanya memiliki
toleransi terhadap pandangan yang berbeda dan ketidakpastian.
5. Self confidence, yaitu percaya diri. Wirausaha cenderung optimis dan
memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan yang dimilikinya
untuk berhasil.
6. Creativity and flexibility, yaitu berdaya cipta dan luwes. Salah satu kunci
penting adalah kemampuan untuk menghadapi perubahan permintaan.
7. Desire for immidiate feedback, yaitu selalu memerlukan umpan balik
dengan segera. Wirausaha selalu ingin mengetahui hasil dari apa yang
dikerjakannya. Oleh karena itu, dalam memperbaiki kinerjanya, wirausaha
selalu memiliki kemampuan untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang
telah dimilikinya dan belajar dari kegagalan.
8. High level of energy, yaitu memiliki tingkat energi yang tinggi. Wirausaha
yang berhasil biasanya memiliki daya juang yang lebih tinggi dibanding
26
kebanyakan orang, sehingga ia lebih suka kerja keras walaupun dalam
waktu yang relatif lama.
9. Motivation to excel, yaitu memiliki dorongan untuk selalu unggul.
Wirausaha selalu ingin lebih unggul dan berhasil dalam mengerjakan apa
yang dilakukannya dengan melebihi standar yang ada. Motivasi ini muncul
dari dalam diri (internal) dan jarang dari faktor eksternal.
10. Orientation to the future, yaitu berorientasi pada masa depan. Untuk
tumbuh dan berkembang, wirausaha selalu berpandangan jauh ke masa
depan yang lebih baik.
11. Willingness to learn from failure, yaitu selalu belajar dari kegagalan.
Wirausaha yang berhasil tidak pernah takut akan kegagalan. Ia selalu
memfokuskan kemampuannya pada keberhasilan.
12. Leadership ability, yaitu kemampuan dalam kepemimpinan. Wirausaha
yang berhasl memiliki kemampuan untuk menggunakan pengaruh tanpa
kekuatan serta harus memiliki taktik mediator dan negosiator daripada
diktator.
2.1.7. Definisi Intensi Berwirausaha
Intensi kewirausahaan menurut Katz dan Gartner (1988) dapat diartikan sebagai
proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
pembentukan suatu usaha. Dalam hasil penelitian oleh Wijaya (2007) bahwa salah
satu faktor wirausaha adalah adanya keinginan dan keinginan ini oleh Fishbein
dan Ajzen (1975) disebut sebagai intensi yaitu komponen dalam diri individu
yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu.
27
Berdasarkan hal diatas, maka peneliti mengambil kesimpulkan bahwa
intensi berwirausaha adalah seberapa kuat keinginan atau niat seseorang dalam
mencoba dan berusaha merencanakan untuk mencapai tujuan dalam pembentukan
suatu usaha atau melakukan kegiatan wirausaha.
2.1.8. Indikasi dari Intensi Berwirausaha
Indikasi intensi berwirausaha diambil dari Jean-Pierre Boissin et. al. (2009) dari
Feisbein dan Ajzen (1988) adalah:
a. Seberapa keras seseorang mencoba berwirausaha.
b. Seberapa banyak seseorang merencanakan untuk berwirausaha.
2.1.9. Alat Ukur Intensi Berwirausaha
Model intensi berwirausaha merupakan hal yang cukup perlu untuk menganalisa
intensi seseorang menjadi wirausahawan, oleh karena itu dibutuhkan alat ukur
yang baik untuk mengukur intensi. Di dalam jurnal penelitian yang berjudul
Student and entrepreneurship; a comparative study of France and USA, alat ukur
yang digunakan untuk mengukur intensi berwirausaha menggunakan adalah
Entrepreneurial Intention Quesionnaire (EIQ) yang telah dikembangkan
berdasarkan teori dan studi empirik. EIQ juga telah diuji ulang oleh peneliti
lainnya, seperti Kolveired (1996), Kolvereid dan Isaksen (in press), Chen et al.
(1998), Kickul dan Zaper (2000), Krueger et al. (2000) atau Veciana et al. (2005)
yang secara hati-hati merevisi guna mengatasi diskrepansi yang mungkin muncul
antara instrumen yang berbeda. Alat ukur ini memiliki tingkat reliabilitas yang
tinggi dengan nilai alpha cronbach 0.947.
28
Di dalam jurnal penelitian Gender effects on entrepreneurial intentions: a
TPB multigroup analysis at factor and indicator level alat ukur untuk intensi
berwirausaha menggunakan alat ukur yang dikembangkan sendiri berdasarkan
teori perilaku berencana (perceived behavior control) milik Ajzen (1991) (Leroy
et al., 2009). Alat ukur tersebut terdiri dari lima item dengan model skala Likert
dengan rentang poin 1 sangat tidak setuju sampai poin 5 sangat setuju.
Sedangkan dalam jurnal penelitian conceptualizing academic-entrepreneurial
intentions: An emperical test oleh Prodan dan Drnovsek (2010) alat ukur yang
digunakan berbeda dengan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam
penelitian ini menggunakan alat ukur yang setiap itemnya diambil serta
dikombinasikan dari beberapa hasil peneliti lain. Penelitian ini terdiri dari enam
buah item serta menggunakan skala Likert dengan rentang lima poin, dimana
untuk setiap item memiliki pilihan jawaban pernyataan yang berbeda-beda. Item
yang pertama diambil dari Chen et al., (1998) dengan skala tidak tertarik sama
sekali sampai sangat tertarik. Item yang kedua juga diadaptasi dari item miliki
Chen et al., (1998) dimana memilki pernyataan skala tidak menentukan sama
sekali sampai sangat menentukan, untuk item yang ketiga memiliki pernyataan
skala sangat tidak setuju sampai dengan sangat setuju yang diadaptasi dari
Kassicieh et al., (1997), sedangkan item keempat dan kelima menggunakan
rentangan skala yang menggunakan nilai, yaitu nilai 0% sampai 100% (Krueger et
al., 2000), dan item yang keenam responden diminta untuk menuliskan aktifitas
yang berhubungan dengan untuk memulai suatu bisnis sebanyak 14 aktifitas
dimana item ini diadaptasi dari Gatewood et al., (1995).
29
Dalam penelitian sebelumnya, kuesioner dengan item tunggal juga telah
digunakan pada penelitian terdahulu. Krueger et al. (2000), Peterman dan
Kennedy (2003), Veciana et al. (2005) atau Kolvereid dan Isaksen (in press)
pernah menggunakan alat ukur intensi berwirausaha dengan item tunggal. Namun,
Nunnally (1978; dalam Linan dan Chen, 2006) menyebutkan bahwa alat ukur
dengan banyak item lebih baik dibanding dengan item tunggal.
Dari berbagai jenis alat ukur dan pendapat yang dikemukakan oleh
beberpa ahli, maka peneliti menentukan untuk menggunakan item
Entrepreneurial Intention Quesionnaire (EIQ) dengan jumlah item enam buah
dan model pengisiannya menggunakan model skala likert dengan rentangan 7,
dengan skala 1 menunjukkan sangat tidak setuju sampai dengan skala 7 yang
menunjukkan sangat setuju. Peneliti menggunakan alat ukur ini karena peneliti
menganggap alat ukur ini sudah cukup banyak digunakan oleh para peneliti
sebelumnya serta mudah untuk diaplikasikan dilapangan, memiliki nilai alpha
cronbach lebih tinggi dibanding alat ukur yang telah peneliti jelaskan sebelumnya
serta lebih sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian yang akan peneliti lakukan.
Namun demikian, karena alat ukur tersebut berasal dari tempat dengan budaya
yang berbeda serta karakteristik sampel yang berbeda pula, maka perlu dilakukan
adaptasi agar sesuai dengan kondisi dan karakteristik sampel yang akan peneliti
gunakan.
30
2.2. Self Efficacy
2.2.1 Definisi Self Efficacy
Self efficacy didefinisikan menurut Bandura (1977) adalah as a persons belief
about their ability to organize and execute course of action necessary to achieve a
goal yang memiliki arti bahwa efikasi diri sebagai keyakinan seseorang
mengenai kemampuan mereka untuk mengatur dan menjalankan berbagai
kegiatan yang sesuai guna mencapai sebuah tujuan.
Dalam buku psikologi sosial diketahui bahwa efikasi diri, yakni ekspektasi
tentang kemampuan kita untuk melakukan tugas tertentu (Bandura, 1986).
Durkin menyatakan bahwa efikasi diri mengacu pada keyakinan individu
dimana seseorang bisa melatih kontrol selama kejadian yang mempengaruhi
kehidupannya (Bandura, 1986).
Sedangkan Bandura (1977) dalam Baron and Byrne (1991) mendefinisikan
efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi
dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan.
Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah penilaian tentang kemampuan
seseorang untuk melaksanakan sebuah tugas dalam hal yang spesifik.
Efikasi diri yakni sebuah rasa optimis mengenai kompetensi dan efektifitas
dalam dirinya (Bandura et. al., 1999; Maddux and Gosselin, 2003).
Self efficacy juga diartikan sebagai Belief refer to the spesific
expectations that we hold about our abilities to accomplish spesific task
(Bandura, 2006). Efikasi diri diartikan sebagai keyakinan terhadap harapan
31
spesifik yang kami pegang mengenai kemampuan kita untuk menyelesaikan tugas
yang jelas.
Bandura dan Wood (dalam Ghufron dan Rini, 2010) menjelaskan bahwa
efikasi diri mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk
menggerakan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk
memenuhi tuntutan situasi.
Bandura (1997) juga mengatakan bahwa efikasi diri pada dasarnya adalah
hasil dari proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau pengharapan tentang
sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan
tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang
diinginkan.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa efikasi diri adalah
keyakinan didalam diri individu mengenai kemampuan dirinya untuk melakukan
dan menyelesaikan suatu tugas sehingga tercapai hasil yang diinginkan. Orang
yang memiliki keyakinan tinggi terhadap kemampuannya akan memandang tugas
sulit sebagai suatu tantangan yang harus dikuasai, bukan sebagai ancaman yang
harus dihindari. Kesimpulan ini lebih mengarah ke teori dari Bandura dikarenakan
teori tersebutlah yang lebih sesuai dan banyak digunakan oleh peneliti mengenai
self efficacy.
2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Efficacy
Bandura (2000: 212-213) menyatakan bahwa ada empat cara untuk
mengembangkan suatu pemahaman yang kuat mengenai efikasi diri :
32
1. Mastery experiences, hal ini menjelaskan bahwa kesuksesan dapat membangun
kepercayaan terhadap kemanjuran seseorang, sedangkan kegagalan akan
meruntuhkan kepercayaan terhadap kemanjurannya. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa jika seseorang meraih kesuksesan dengan cara yang mudah maka dia
akan mudah terpukul karena kegagalan. Mengembangkan rasa tabah terhadap
kemampuan diri memerlukan pengalaman dalam mengatasi berbagai hambatan
melalui usaha yang tekun.
2. Social modeling atau vicarious learning, seseorang melihat orang lain seperti
dirinya bisa meraih kesuksesan melalui usaha yang berkesinambungan, maka
dia akan mempercayai bahwa dirinya juga memiliki kapasitas untuk meraih
kesuksesan seperti orang tersebut. Sebaliknya, bila yang diamati adalah
kegagalan orang lain, hal ini dapat menanamkan keraguan terhadap
kemampuannya untuk menguasai aktivitas yang sama. Model yang kompeten
dapat pula membangun efikasi dengan menyampaikan pengetahuan dan
keahlian untuk mengatur tuntutan lingkungan.
3. Bujukan sosial atau persuasi, seseorang dibujuk bahwa ia memiliki semua
potensi dan kemampuan untuk meraih kesuksesan maka ia akan mengerahkan
usaha yang lebih banyak ketika menghadapi suatu masalah. Para ahli persuasi
sosial yang efektif melakukan lebih banyak hal ketimbang sekadar
menyuntikkan keyakinan kepada seseorang tentang kemampuannya.
4. Psychological dan physical states, dimana seseorang membaca tekanan,
kecemasan, dan depresi diri mereka sebagai tanda ketidakmampuan personal di
dalam kegiatan-kegiatan yang memerlukan kekuatan dan stamina. Mereka
33
menafsirkan kejenuhan dan penderitaan sebagai indikator kemanjuran fisik
yang lemah.
2.2.3. Dimensi-dimensi Self Efficacy
Menurut Bandura (1997), efikasi diri pada diri tiap individu akan berbeda antara
satu individu dengan yang lainnya berdasarkan tiga dimensi. Berikut ini adalah
tiga dimensi tersebut.
1. Dimensi tingkat (level)
Derajat kesulitan tugas ketika individu merasa mampu untuk melakukannya.
Apabila individu dihadapkan pada tugas-tugas yang mudah, sedang, atau
bahkan meliputi tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas
kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang
dibutuhkan pada masing-masing tingkat.
2. Dimensi kekuatan (strength)
Tingkat kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu mengenai
kemampuannya. Pengharapan yang lemah mudah digoyahkan oleh
pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung. Sebaliknya, pengharapan
yang mantap mendorong individu tetap bertahan dalam usahanya.
3. Dimensi Generalisasi (generality)
Luas bidang tingkah laku yang mana individu merasa yakin akan
kemampuannya. Individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya.
Apakah terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada
serangkaian aktivitas dan situasi yang bervariasi.
34
Berdasarkan dari teori-teori di atas, maka penulis memilih salah satu teori
yang sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu teori dari Bandura
(1997: 55), menggambarkan self efficacy sebagai kepercayaan atau keyakinan
terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk mengorganisasikan dan menentukan
tindakan untuk menghasilkan sesuatu dari apa yang ingin dicapai.
2.2.4. Alat Ukur Self Efficacy
Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur self efficacy dalam penelitian ini
menggunakan alat ukur milik Kolvereid (1996) dengan item berjumlah enam. Alat
ukur ini telah sering digunakan oleh peneliti sebelumnya, seperti Chen et al.,
1998; DeNoble et al., 1999; Zhao et al., 2005. Dalam jurnal Testing The
Entrepreneurial Intention Model On a Two-Country Sample (Linan dan Chen,
2006) diketahui bahwa alat ukur self efficacy yang dikembangkan oleh kolvereid
(1996) yang berjumlah enam item memiliki hasil yang lebih baik jika
dibandingkan dengan alat ukur Klovereid dan Issaksen (in press) yang
menggunakan 18 item dimana item-item tersebut dibagi menjadi empat faktor.
Hal tersebut dapat dilihat dengan nilai alpha cronbach sebesar 0.898 yang berarti
alat ukur ini memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi dalam mengukur self efficacy
seseorang. Dengan alasan tersebut, waktu, tenaga, dan dana yang terbatas, maka
peneliti memutuskan untuk menggunakan alat ukur tersebut. Namun demikian,
karena alat ukur berasal dari tempat dengan budaya yang berbeda serta
karakteristik sampel yang berbeda pula, maka perlu dilakukan adaptasi agar sesuai
dengan kondisi dan karakteristik sampel yang akan peneliti gunakan.
35
2.3. Locus of Control
2.3.1. Definisi Locus of control
Locus of control (Jung, 1978) adalah gambaran keyakinan seseorang mengenai
sumber penentu perilakunya.
Locus of control juga diartikan oleh Julian B. Rotter (1966) sebagai
peristiwa yang dialami seseorang sebagai suatu reward atau reinforcement, dapat
dipersepsikan secara berbeda dan juga menimbulkan reaksi yang berbeda pada
setiap individu.
locus of control (Rotter, 1966) juga didefinisikan sebagai sesuatu ukuran
harapan umum seseorang mengenai pengendalian (control) terhadap penguat
(reinforcement).
Locus of control merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
perilaku individu dan juga locus of control didefinisikan sebagai gambaran pada
keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya (Rotter, 1996; dalam
Ghufron dan Rini, 2010).
Lindzey dan Aroson (1975) menyebutkan tiga istilah utama yang
digunakan Rotter dalam teori belajar sosial, yaitu perilaku potensial, harapan, dan
nilai penguat. Diketahui bahwa locus of control menurut Petri (1980) adalah
konsep yang secara khusus berhubungan dengan harapan individu mengenai
kemampuannya untuk mengendalikan penguat tersebut.
2.3.2. Aspek-aspek Locus of Control
Locus of control memiliki empat konsep dasar menurut Rotter (1966). Konsep
dasar atau aspek-aspek tersebut, yaitu:
36
1. Potensi perilaku, yaitu setiap kemungkinan yang secara relatif muncul pada
situasi tertentu. Hal ini berkaitan dengan hasil yang diinginkan dalam
kehidupan seseorang.
2. Harapan merupakan suatu kemungkinan dari berbagai kejadian yang akan
muncul dan dialami oleh seseorang.
3. Nilai unsur penguat adalah pilihan terhadap berbagai kemungkinan penguatan
atas hasil dari beberapa penguat hasil-hasil lainnya yang dapat muncul pada
situasi serupa.
4. Suasana psikologis adalah bentuk rangsangan baik secara internal maupun
eksternal yang diterima seseorang pada suatu saat tertentu, yang
meningkatkan atau menurunkan harapan terhadap munculnya hasil yang
sangat diharapkan.
2.3.3. Dimensi Locus of Control
Rotters (1966) menyatakan bahwa seseorang menyakini bahwa penguat yang
mereka dapatkan dikontrol oleh perilaku dirimereka sendiri, orang lain, atau
tekanan dari luar seperti keberuntungan atau nasib. Sehingga locus of control
dapat didiklasifikasikan menjadi dua dimensi, yaitu:
1. Internal control, merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan
keyakinan akan kendali individu mengenai perilaku dan tindakan mereka
yang menjadi konsekuensi terhadap apa yang terjadi pada diri mereka
(Rotter, 1966). Orang-orang yang memiliki internal locus of control, faktor
kemampuan dan usahanya lebih terlihat. Menurut Rotter (1966), orang yang
mempunyai pusat kendali internal memandang hubungan antara perbuatannya
37
dengan penguat atau reinforcement yang didapatkannya sebagai hubungan
sebab akibat. Dimana mereka akan menyalahkan diri sendiri bila gagal dan
akan merasa bangga jika berhasil karena atas upaya sendiri (dalam Ghufron &
Rini, 2010).
2. External control, menunjukkan ekspektansi bahwa kontrol berada di luar
kendali mereka atau di luar diri seseorang (Rotter, 1966). Orang yang
memiliki locus of control eksternal melihat keberhasilan dan kegagalan dari
faktor keberuntungan dan nasib. Oleh karena itu, apabila mengalami
kegagalan cenderung menyalahkan lingkungan sekitar yang menjadi
penyebabnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang dengan
locus of control eksternal memiliki anggapan bahwa peristiwa atau hal-hal
yang terjadi dalam dirinya, baik maupun buruk lebih disebabkan oleh faktor-
faktor eksternal, seperti keberuntungan, nasib, lingkungan sekitar, dan orang-
orang sekitarnya.
2.3.4.Karakteristik Locus of Control
Perbedaan karakteristik antara internal dan external locus of control menurut
Crider (1983) dijelaskan sebagai berikut.
1. Internal control mempunyai ciri-ciri:
a. Suka berkerja keras
b. Memiliki inisiatif yang tinggi
c. Selalu berusaha menemukan pemecahan masalah
d. Selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin
38
e. Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin
berhasil
2. External control mempunyai ciri-ciri:
a. Kurang memiliki inisiatif
b. Mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan
kesuksesan
c. Kurang suka berusaha karena mereka percaya bahwa faktor luarlah yang
mengontrol
d. Kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah
Namun demikian pada setiap individu memiliki kedua-duanya; baik internal
dan external locus of control, seperti yang dikatakan oleh Munandar dan
Suhirman (1977) bahwa setiap orang memiliki faktor internal dan eksternal
sekaligus. Hanya saja akan ada kecenderungan pada salah satunya.
2.3.5.Faktor-faktor yang mempengaruhi Locus of Control
Locus of control seseorang dipengaruhi oleh pengalaman serta hubungan antara
perilaku dan akibat yang dialaminya pada masa kecil (Coop & White, 1974).
Monks et. al.) menyatakan bahwa perkembangan locus of control individu
dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu lingkungan fisik dan sosial. Hal tersebut
juga dijelasakan oleh Baron (1991) bahwa pengalaman individu serta perlakuan
lingkungan terhadap dirinya di masa lalu dipengaruhi perkembangan locus of
control yang dimilikinya.
39
Faktor-faktor yang mempengaruhi locus of control adalah:
1. Orang tua
Solomon (Coop & White, 1974), Locus of control ke arah internal didukung
oleh sikap orang tua yang konsisten, fleksibel dan mendorong anak untuk
mandiri. Orang tua yang bersifat menghukum, memusuhi, mendominasi
serta menolak terhadap anak akan mendorong ke arah eksternal.
2. Pemberian respon
Monk menjelaskan bahwa pemberian respon yang tepat terhadap perilaku
anak akan menimbulkan motif yang dipelajari yang disebut locus of control,
selain itu perilaku orang tua yang hangat dan bertanggung jawab terhadap
anak akan membantu anak mengembangkan locus of control kearah
internal.
3. Lingkungan
Rotter dan Battle menjelaskan, jika individu banyak menghadapi hambatan
dalam lingkungannya serta kurang mendapat kesempatan maka ia akan
beranggapan semua hasil yang telah dicapai berasal dari sesuatu diluar
dirinya.
2.3.6 Alat ukur Locus of Control
Alat ukur locus of control yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
alat ukur yang telah dikembangkan oleh Levenson (1981). Alat ukur ini terdiri
dari 24 item yang terdiri dari tiga jenis locus of control, yaitu internal, ekternal
dan powerful others. Alat ukur ini sebelumnya masih dalam berbahasa Inggris
yang kemudian peneliti adaptasi kedalam bahasa Indonesia yang kemudian
40
peneliti menentukan hanya menggunakan item internal dan external locus of
control saja. Sehingga item yang peneliti gunakan hanya 16 item. Ada banyak
jenis alat ukur locus of control yang sejauh ini peneliti ketahui, seperti alat ukur
locus of control milik Rotter (1996), yaitu Generalized expectancies for internal
versus external control of reinforcement yang berjumlah 13 item yang saling
berpasangan. Cara pengerjaan alat ukur milik Rotter memungkinkan kita untuk
memilih salah satu dari setiap pasang item. namun peneliti tidak menggunakan
alat ukur locus of control milik Rotter dikarenakan peneliti belum mengetahui
cara penilaiannya dan tidak adanya keterangan mengenai jenis setiap item
tersebut. Dengan demikian peneliti memutuskan untuk menggunakan alat ukur
yang dikembangkan oleh Levenson (1981) dengan alasan mudahnya
mengidentifikasi jenis item yang digunakan, model penilaian yang juga
menggunakan skala likert, serta kemudahan peneliti dalam mendapatkannya.
2.4. Adversity Quotient
2.4.1. Definisi Adversity Quotient
Menurut Stoltz (2000), teori kecerdasan menghadapi rintangan adalah suatu
kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan
mencapai tujuan.
Surekha (2001; dalam Wijaya, 2008) menyatakan bahwa adversity adalah
kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk
suatu pola-pola tanggapan kognitif dan perilaku atas stimulus peristiwa-peristiwa
dalam kehidupan merupakan tantangan dan kesulitan.
41
Adversity merupakan hasil riset penting dari tiga cabang ilmu
pengetahuan, yaitu: psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi.
Kecerdasan dalam menghadapi rintangan meliputi dua komponen penting dari
setiap konsep praktis, yaitu teori ilmiah dan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa kecerdasan dalam menghadapi
rintangan dapat menentukkan siapa yang akan berhasil melampaui harapan-
harapan atas kinerja dan potensi-potensi yang ada.
2.4.2. Bentuk-bentuk Adversity Quotient
Stolz (2000) menyebutkan bahwa terdapat tiga bentuk kecerdasan, yaitu:
1. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan adalah suatu kerangka baru dalam
memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.
2. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan mempunyai pengukur untuk
mengetahui respon individu terhadap kesulitan.
3. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan merupakan serangkaian peralatan
yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon individu terhadap
kesulitan yang akan mengakibatkan perbaikan efektivitas pribadi dan
profesional individu secara keseluruhan.
2.4.3. Dimensi Adversity Quotient
Menurut Stoltz (2000), kecerdasan dalam menghadapi rintangan individu
memiliki empat dimensi, yaitu CO2RE (control, origin dan ownrship, reach,
endurance).
42
a. Control (C)
Dimensi ini ditunjukan untuk mengetahui seberapa banyak kendali yang dapat
kita rasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Hal yang
terpenting dari dimensi ini adalah sejauh mana individu dapat merasakan
bahwa kendali tersebut berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan
seperti mampu mengendalikan situasi tertentu dan sebagainya.
b. Origin dan Ownership (O2)
Dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan
sejauh mana seseorang menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sebagai
penyebab dan asal usul kesulitan seperti penyesalan, pengalaman dan
sebagainya.
c. Reach (R)
Dimensi ini mengajukan pertanyaan sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan
menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu seperti hambatan
akibat panik, hambatan akibat malas dan sebagainya.
d. Endurance (E)
Dimensi ketahanan yaitu mempertanyakan dua hal yang berkaitan dengan
berapa lama penyebab kesulitan itu akan terus berlangsung dan tanggapan
individu terhadap waktu dalam menyelesaikan masalah seperti waktu bukan
masalah, kemampuan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan sebagainya.
2.4.4.Jenis-jenis Karakteristik Manusia
Karakterisitk manusia menurut Stoltz (2000) yang akan memiliki respon yang
berbeda terhadap kesulitan, yaitu:
43