ipa 22.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Anggrek Hitam

Anggrek hitam adalah salah satu spesies anggrek yang dilindungi di Indonesia karena terancam kepunahan di habitat aslinya. Anggrek hitam yang dalam bahasa latin disebut Coelogyne pandurata merupakan flora identitas (maskot) propinsi Kalimantan Timur. Populasi anggrek hitam (Coelogyne pandurata) di habitat asli (liar) semakin langka dan mengalami penurunan yang cukup drastis karena menyusutnya luas hutan dan perburuan untuk dijual kepada para kolektor anggrek. Anggrek hitam (Coelogyne pandurata), sebagaimana namanya, mempunyai ciri khas pada bunganya yang memiliki lidah (labellum) berwarna hitam. Anggrek langka ini dalam bahasa Inggris disebut sebagai Black Orchid. Sedangkan di Kalimantan Timur, Anggrek Hitam yang langka ini mempunyai nama lokal Kersik Luai. Meskipun Anggrek hitam identik dengan Kalimantan tetapi jenis anggrek ini selain di hutan liar Kalimantan juga tumbuh liar di Sumatera, Semenanjung Malaya dan Mindanao, Pulau Luzon dan Pulau Samar Filipina. Ciri-ciri Angrrek Hitam Jenis anggrek ini dinamakan Anggrek hitam lantaran memiliki lidah (labellum) berwarna hitam dengan sedikit garis-garis berwarna hijau dan berbulu. Jumlah bunga dalam tiap tandan antara 1 hingga 14 kuntum atau lebih. Garis tengah tiap bunga sekitar 10 cm. Daun Kelopak berbentuk lanset, melancip, berwama hijau muda, panjang 5 6 cm, lebar 2 -3 cm. Daun mahkota berbentuk lanset melancip berwarna hijau muda bibir menyerupai biola, tengah-tengahnya terdapat 1 alur, pinggirnya mengeriting, berwama hitam kelam atau coklat tua. Daun Anggrek hitam berbentuk lonjong berwarna hijau dengan panjang berkisar antara 40 50 cm dan lebar antara 2 -10 cm. Sedangkan buah Anggrek hitam berbentuk jorong dengan panjang sekitar 7 cm dan lebar antara 2 3 cm. Dari keseluruhan bunga tidak banyak yang menjadi buah. Ciri khas anggrek hitam lainnya yang membedakan dengan jenis anggrek lainnya adalah mengeluarkan bau semerbak. Biasanya tanaman itu mekar pada Maret sampai Juni. Anggrek hitam sebagaimana anggrek pada umumnya, tumbuh menumpang pada tumbuhan lain (epifit). Biasanya anggrek langka ini menempel pada pohon tua yang hidup di daerah pantai atau rawa.

1Anggrek hitam (Coelogyne pandurata) tumbuh di tempat teduh. Umumnya jenis anggrek yang menjadi fauna identitas Kalimantan Timur ini tumbuh di dataran rendah pada pohon-pohon tua, di dekat pantai atau di daerah rawa dataran rendah yang cukup panas dan dekat sungai-sungai di hutan basah.

Tanaman yang epifit (hidup menumpang di tumbuhan lain) ini berkembang biak dengan dengan biji. Namun Anggrek hitam juga dapat dikembangbiakkan dengan cara memisahkan umbi semunya. Anggrek Hitam Liar yang Makin Kelam. Populasi anggrek hitam (Coelogyne pandurata) di habitatnya yang liar semakin hari semakin langka. Meskipun menurut PP Nomor 7 Tahun 1999 anggrek ini dilindungi dan dilarang diperdagangkan bebas (kecuali hasil penangkaran), namun perburuan yang dilakukan untuk mengambil dan menjual jenis anggrek ini ke kolektor anggrek tidak kunjung mereda. Selain itu, mulai beralihnya fungsi hutan untuk perkebunan dan pemukiman serta terjadinya kebakaran hutan yang terjadi tiap tahun semakin membuat populasi Anggrek hitam di alam liar semakin terancam kepunahan. Mungkin para pecinta dan kolektor anggrek sebelum membeli Anggrek hitam musti teliti, apakah anggrek hitam yang dibeli itu hasil penangkaran atau hasil perburuan dari alam liar. Meskipun banyak pecinta anggrek yang mengoleksi Anggrek hitam, tetapi kepunahan spesies ini di alam bebas tetap merupakan kerugian yang besar bagi biodeversity Indonesia. Jangan sampai para pecinta anggrek justru menjadi penyebab utama kepunahan Anggrek hitam di alam liar.

By : emia eunike VG

2

KokoleceranKokoleceran adalah maskot provinsi Banten yang merupakan salah satu tanaman endemik Banten yang dipercaya hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon. Saya tidak membahas kokoleceran yang berupa permainan tradisional dengan baling-baling bambu. Tetapi kokoleceran

yang merupakan tanaman langka bernama ilmiah Vatica bantamensis, yang menjadi flora identitas provinsi Banten namun keberadaannya sangat misterius.Saya sendiri belum sekalipun melihat tumbuhan ini. Mungkin sobat-sobat lainpun sama dengan saya. Bahkan ketika saya googling untuk menelusuri tumbuhan bernama Kokoleceran ini, saya pun musti gigit jari. Jangankan wikipedia Indonesia, wikipedia berbahasa Inggris saja hanya mempunyai artikel dengan satu kalimat Vatica bantamensis is a species of plant in the Dipterocarpaceae family. It is endemic to Indonesia. Resak Hiru (Vatica rassak) kerabat dekat Kokoleceran (Vatica bantamensis) Ketika saya mengunjungi situs resmi iucn, saya hanya mendapati bahwa Kokoleceran (Vatica bantamensis) termasuk dalam status konservasi Endangered (Terancam Punah). Tidak banyak yang saya dapatkan selain penjelasan: Needs Updating lantaran data tentang Kokoleceran ditulis berdasarkan data tahun 1998, 12 tahun yang silam. Sedikit Mengenal Kokoleceran Kokoleceran merupakan pohon yang mampu mencapai tinggi hingga 30 m. Pada bagian batang yang muda memiliki bulu-bulu halus dan lebat. Daun Kokoleceran menjorong atau melanset, dengan tangkai daun yang panjangnya mencapai 2.2 cm. Perbungaannya malai dan terdapat di ujung daun atau di ketiak daun. Bunga kokoleceran panjangnya mencapai 7 cm. Buah tanaman endemik ini agak bulat dan mempunyai tangkai yang pendek sekitar 5 mm panjangnya. Pada buahnya terdapat biji yang berdiameter mencapai 1 cm. Pohon Kokoleceran (Vatica bantamensis) merupakan tanaman endemik yang hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon. Cara perkembangbiakan pohon misterius ini adalah dengan biji. Tanaman ini berkerabat dekat dengan Resak Hiru (Vatica rassak) Yang batangnya banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan pembuatan kapal. Populasi tumbuhan yang menjadi flora identitas provinsi Banten ini sampai sekarang masih misterius dan tidak diketahui dengan pasti. Yang pasti IUCN Redlist memasukkan Kokoleceran (Vatica bantamensis) dalam status konservasi Terancam

By : emia eunike VG

3

Anggrek Hartinah Tien Soeharto

Anggrek

Bunga Anggrek Hartinah (Cymbidium hartinahianum)

Anggrek Hartinah atau Anggrek Tien Soeharto (Cymbidium hartinahianum) merupakan salah satu jenis tumbuhan anggrek yang endemik (hanya tumbuh di daerah tertentu) Sumater Utara, Indonesia. Jenis anggrek yang diketemukan pertama kali pada tahun 1976 ini bisa diketemukan di Desa Baniara Tele Kecamatan Harian Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Anggrek Tien Soeharto atau sering disebut juga sebagai Anggrek Hartinah (Cymbidium hartinahianum) merupakan anggrek tanah yang hidup merumpun. Sebuah pertanyaan yang terlahir dari keresahan akan sederet penemuan satwa dan flora Indonesia yang banyak dilakukan oleh peneliti asing sedangkan peneliti bangsa sendiri terkesan lebih sukan di balik meja. Sehingga berbagai tanaman Indonesia pun mempunyai nama asing. Di antara tumbuhan Indonesia yang dinamai dengan nama orang Indonesia adalah Anggrek Tien Soeharto atau disebut juga Anggrek Hartinah yang dalam bahasa latinnya disebut Cymbidium hartinahianum. Anggrek ini ini >pertama kali ditemukan oleh Rusdi E Nasution, seorang peneliti dari Herbarium LBN/LIPI Bogor pada tahun 1976. Ketika itu anggrek ini tidak ditemukan dalam berbagai pusta maupun dalam koleksi. Kemudian oleh peneliti tersebut bersama peneliti lainnya J.B. Comber memberi nama ilmiah Cymbidium hartinahianum yang juga berarti anggrek Tien Soeharto pada hasil temuannya. Penabalan (penamaan) pada jenis anggrek ini merupakan penghargaan atas jasajasa Ibu Tien Soeharto dalam rangka pengembangan dunia peranggrekan di Indonesia.

4Ciri-ciri Fisik Anggrek HartinahAnggrek Hartinah (Tien Soeharto) merupakan salah satu anggrek tanah dengan pertumbuhan merumpun. Spesies anggrek ini menyukai tempat terbuka diantara rerumputan serta tanaman lain seperti jenis paku-pakuan, kantong semar, dan lain-lain pada ketinggian 1.700 meter diatas permukaan laut. Daunnya berbentuk pita berujung meruncing dengan panjang 50-60 cm. Bunganya berbentuk bintang

bertekstur tebal. Daun kelopak dan daun mahkotanya hampir sama besar, permukaan atasnya berwarna kuning kehijauan dan permukaan bawahnya kecoklatan dengan warna kuning pada bagian tepinya. Konservasi Anggrek Hartinah Anggrek Hartinah atau Tien Soeharto (Cymbidium hartinahianum) merupakan tumbuhan endemik Sumatera Utara sehingga dalam habitat alami hanya dapat diketemukan di Sumatera Utara saja. Habitatnya dapat ditemukan di Desa Baniara Tele Kecamatan Harian Kabupaten Samosir (berbatasan dengan Kabupaten Dairi). Anggrek Hartinah ini bersama puluhan anggrek lainnya seperti anggrek Hitam, Anggrek Bulan Bintang dan lain-lain dikategorikan sebagai tanaman yang dilindungi berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 7 tahun 1999. Sehingga tumbuhan berfamili Orchidaceae ini tidak diperbolehkan diperjualbelikan kecuali untuk generasi ketiga. Generasi ketiga adalah tumbuhan hasil penangkaran yang telah mendapatkan izin dari pihak yang berwenang, biasanya BKSD. Anggrek Hartinah ini telah dapat ditangkarkan di luar habitat aslinya. Salah satunya adalah di Kebun Raya Bogor.

5

Pohon Nibung

Pohon Nibung (Oncosperma tigillarium) adalah tanaman sejenis palma (palem) yang tumbuh di Asia Tenggara termasuk hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pohon Nibung dianggap sebagai simbol semangat persatuan dan persaudaraan masyarakat Riau karenanya tidak heran jika pohon Nibung ditetapkan sebagaiflora identitas provinsi Riau. Nibung (Oncosperma tigillarium) termasuk kelompok Palem yang biasanya tumbuh liar, tumbuh berumpun seperti bambu. Satu Palem Nibung memiliki 5-30 anakan. Tinggi batang/pohon Nibung dapat mencapai 30 meter, lurus dan berduri, garis tengah batang sekitar 20 cm. Batang dan daunnya terlindungi oleh duri keras panjang berwarna hitam. Daunnya tersusun majemuk menyirip tunggal (pinnatus) hampir mirip daun kelapa ujungnya agak melengkung dan anak-anak daun menunduk sehingga tajuknya nampak indah. Warna tangkai perbungaan kuning cerah. Bunga pohon Nibung berbentuk tandan seperti mayang kelapa yang menggantung, warna bulir kuning keunguan. Dalam setiap mayang ada 2 jenis bunga, bunga jantan dan bunga betina. Umumnya 1 bunga betina diapit oleh 2 bunga jantan. Seludang pembungkus perbungaannya juga berduri. Buahnya bundar, berbiji satu permukaan halus warna ungu gelap.

6

Pohon Nibung (Oncosperma tigillarium) yang dalam bahasa Inggris disebut Nibong atau Palm ini memiliki beberapa nama lokal seperti: Nibung (Batak) Libung (Aceh) Alibuk (Mentawai) Hoya (Nias) Hanibung (Lampung) Kandibong (Sampit) Erang, Handiwung, Liwung (Sunda) Gendiwung (Jawa) Pohon Nibung dimanfaatkan mulai dari batang, buah hingga daunnya. Batang Nibung dapat digunakan untuk bahan bangunan (lantai, pipa untuk saluran air dan sebagainya), dan tongkat. Daun untuk atap rumah dan anyaman keranjang.

Baik batang maupun daun pohon ini memiliki daya tahan yang lama dan tidak mudah lapuk meskipun terendam dalam air payau. Bahkan salah satu temuan arkeolog menyebutkan bahwa batang Nibung telah dipergunakan sebagai bahan bangunan di lahan gambut oleh masyarakat Jambi sejak abad kesebelas. Bunganya dapat dimanfaatkan untuk mengharumkan beras. Umbut dan kuncup bunga Nibung dapat dibuat sayur serta buahnya dapat pula dipakai sebagai teman makan sirih pengganti pinang. Duri Nibung yang disebut pating dipakai sebagai paku bangunan sesaji dalam upacara adat. Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Plantae. Divisi: Magnoliophyta. Kelas: Liliopsida. Ordo: Arecales. Famili: Arecaceae. Genus: Oncosperma. Spesies: Oncosperma tigillarium. Nama binomial: Oncosperma tigillarium Sinonim: Oncosperma filamentosumBy : emia eunike VG

7

KANTUNG SEMAR (Nepenthes sp)

Nepenthes gracilis asal Pulau Singkep yang Terancam Punah Karena Habitatnya akan dijadikan Kawasan Pertambangan

Genus Nepenthes (Kantong semar, bahasa Inggris: Tropical pitcher plant), yang termasuk dalam familia monotipik, terdiri dari 80-100 spesies, baik yang alami maupunhibrida. Genus ini merupakan tumbuhan karnivora di kawasan tropis Dunia Lama, kini meliputi negara Indonesia (55 spesies, 85%), Republik Rakyat Cina bagian selatan,Malaysia, Filipina, Madagaskar, Seychelles, Australia, Kaledonia Baru, India, dan Sri Lanka. Habitat dengan spesies terbanyak ialah di pulau Borneo dan Sumatra.

Tumbuhan ini dapat mencapai tinggi 15-20 m dengan cara memanjat tanaman lainnya. Pada ujung daun terdapat sulur yang dapat termodifikasi membentuk kantong, yaitu alatperangkap yang digunakan untuk memakan mangsanya (misalnya serangga, pacet, anak kodok) yang masuk ke dalam. Sumatera merupakan wilayah terbesar kedua dari penyebaran Nepenthes sp. setelah Kalimantan. Saat ini hanya beberapa jenis alami saja dari Nepenthes sp. yang ada di Sumatera yang telah teridentifikasi seperti: N. adnata, N. albomarginata, N. ampullaria, N. angasanensis, N. aristolochioides, N. bongso, N. gracilis, N. diata, N. dubia, N. custachia, N. inermis, N. jacavelineae, N. mirabilis, N. pactinata, N. raflesiana, N. reinwardtiana, N. spathulata, N. sumatrana, N. Tobaica dan masih ada beberapa jenis lagi yang merupakan silangan alami. Habitat alami dari jenis Nepenthes sp. di Sumatera setiap tahunnya semakin terancam, baik oleh

8pembalakan liar, kebakaran hutan maupun konversi lahan hutan. Upaya penyelamatan dari ancaman kepunahan dilakukan melalui usaha konservasi, baik secara in-situ maupun ex-situ dengan mekanisme budidaya dan pemuliaan.

Nepenthes sp. merupakan tanaman unik dari hutan yang belakangan menjadi trend sebagai tanaman khas komersil di Indonesia. Di Sumatera sendiri, trend ini mulai berlangsung sejak tahun lalu dan semakin marak saat ini, karena bentuknya yang unik, sehingga tanaman ini mulai diperjualbelikan oleh masyarakat. Namun, kebanyakan yang diperjualbelikan khususnya di Sumatera masih merupakan Nepenthes sp. yang diambil langsung dari alam, bukan dari hasil penangkaran atau budidaya. Hal tersebut sangatlah memprihatinkan mengingat habitat asli mereka terancam oleh kebakaran, pembalakan, pembukaan lahan, dan konversi lahan. Hutan Indonesia selama periode 1997-2000 mengalami laju pengurangan mencapai angka sekitar 2,84 juta ha/tahun atau sekitar 8,5 juta ha selama tiga tahun. Rekalkulasi penutupan lahan di Indonesia pada tahun 2005 yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan menunjukkan adanya peningkatan persentase penutupan lahan berhutan di Indonesia, tetapi penutupan tersebut tidak terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan (Anonimus, 2005). Artinya, lahan berhutan di Pulau Sumatera mengalami penurunan setiap tahunnya. Tentu saja kondisi hutan yang seperti ini turut mengancam keberadaan flora dan fauna yang ada di dalamnya. Eksploitasi Nepenthes sp. dari alam untuk kepentingan ekonomi semata serta degradasi hutan yang mengancam habitat alami dari Nepenthes sp. memperburuk keberadaannya di alam. Oleh karena itu dirasa perlu diadakan kajian konservasi dari Nepenthes sp. khususnya di hutan Sumatera, baik penyebaran, morfologi, variasi jenis, habitat alami, pemanfaatan bahkan sampai pada ancaman terhadap populasinya serta strategi konservasi yang dapat diupayakan. Studi serta kajian keanekaragaman jenis Nepenthes sp. di Sumatera masih dirasa kurang bila dibandingkan dengan jenis vegetasi hutan lainnya. Tulisan ini bermaksud untuk memberikan informasi mengenai kondisi Nepenthes sp. atau yang lebih dikenal dengan sebutan kantong semar khususnya di wilayah Sumatera, mengingat potensi ekonominya yang tinggi, namun upaya konservasinya kurang mendapat perhatian. SEKELUMIT TENTANG KANTONG SEMAR (Nepenthes sp.) Kantong semar atau dalam nama latinnya Nepenthes sp. pertama kali dikenalkan oleh J.P Breyne pada tahun 1689. Di Indonesia, sebutan untuk tumbuhan ini berbeda antara daerah satu dengan yang lain. Masyarakat di Riau mengenal tanaman ini dengan sebutan periuk monyet, di Jambi disebut dengan kantong beruk, di Bangka disebut dengan ketakung, sedangkan nama sorok raja mantri disematkan

9oleh masyarakat di Jawa Barat pada tanaman unik ini. Sementara di Kalimantan setiap suku memiliki istilah sendiri untuk menyebut Nepenthes sp. Suku Dayak Katingan menyebutnya sebagai ketupat napu, suku Dayak Bakumpai dengan telep ujung, sedangkan suku Dayak Tunjung menyebutnya dengan selo bengongong yang artinya sarang serangga (Mansur, 2006). Sampai dengan saat ini tercatat terdapat 103 jenis kantong semar yang sudah dipublikasikan (Firstantinovi dan Karjono, 2006). Tumbuhan ini diklasifikasikan sebagai tumbuhan karnivora karena memangsa serangga. Kemampuannya itu disebabkan oleh adanya organ berbentuk kantong yang menjulur dari ujung daunnya. Organ itu disebut pitcher atau kantong. Kemampuannya yang unik dan asalnyayang dari negara tropis itu menjadikan kantong semar sebagai tanaman

hias pilihan yang eksotis di Jepang, Eropa, Amerika dan Australia. Sayangnya, di negaranya sendiri justru tak banyak yang mengenal dan memanfaatkannya (Witarto, 2006). Selain kemampuannya dalam menjebak serangga, keunikan lain dari tanaman ini adalah bentuk, ukuran, dan corak warna kantongnya. Secara keseluruhan, tumbuhan ini memiliki lima bentuk kantong, yaitu bentuk tempayan, bulat telur/oval, silinder, corong, dan pinggang. Penyebaran Kantong semar tumbuh dan tersebar mulai dari Australia bagian utara, Asia Tenggara, hingga Cina bagian Selatan. Indonesia sendiri memiliki Pulau Kalimantan dan Sumatera sebagai surga habitat tanaman ini. Dari 64 jenis yang hidup di Indonesia, 32 jenis diketahui terdapat di Borneo (Kalimantan, Serawak, Sabah, dan Brunei) sebagai pusat penyebaran kantong semar. Pulau Sumatera menempati urutan kedua dengan 29 jenis yang sudah berhasil diidentifikasi. Keragaman jenis kantong semar di pulau lainnya belum diketahui secara pasti. Namun berdasarkan hasil penelusuran spesimen herbarium di Herbarium Bogoriense, Bogor, ditemukan bahwa di Sulawesi minimum sepuluh jenis, Papua sembilan jenis, Maluku empat jenis, dan Jawa dua jenis. Habitat Kantong semar hidup di tempat-tempat terbuka atau agak terlindung di habitat yang miskin unsur hara dan memiliki kelembaban udara yang cukup tinggi. Tanaman ini bisa hidup di hutan hujan tropik dataran rendah, hutan pegunungan, hutan gambut, hutan kerangas, gunung kapur, dan padang savana. Berdasarkanketinggian tempat tumbuhnya, kantong semar dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kantong semar dataran rendah, menengah, dan dataran tinggi. Karakter dan sifat kantong semar berbeda pada tiap habitat. Beberapa jenis kantong semar yang hidup di habitat hutan hujan tropik dataran rendah dan hutan pegunungan bersifat epifit, yaitu menempel pada batang atau cabang pohon lain. Pada habitat yang cukup ekstrim seperti di hutan kerangas yang suhunya bisa mencapai 30 C pada siang hari, kantong semar beradaptasi dengan daun yang tebal

10untuk menekan penguapan air dari daun. Sementara kantong semar di daerah savana umumnya hidup terestrial, tumbuh tegak dan memiliki panjang batang kurang dari 2 m. Status Perlindungan Status tanaman kantong semar termasuk tanaman yang dilindungi berdasarkanUndang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Hal ini sejalan dengan regulasi Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), dari 103 spesies kantong semar di dunia yang sudah dipublikasikan, 2 jenis: N. rajah dan N. khasiana masuk dalam kategori Appendix-1. Sisanya berada dalam kategori Appendix-2. Itu berarti segala bentuk kegiatan perdagangan sangat dibatasi.

Potensi Kantong semar memang belum sepopuler tanaman hias lainnya seperti anggrek, dan aglaonema. Namun, saat ini kepopuleran kantong semar sebagai tanaman hias yang unik semakin meningkat seiring dengan minat masyarakat pecinta tanaman hias untuk menangkarkannya. Nama tanaman dari famili Nepenthaceae ini sudah terkenal hingga ke mancanegara. Bahkan di negaranegara seperti Australia, Eropa, Amerika, Jepang, Malaysia, Thailand, dan Sri Lanka budidaya tanaman ini sudah berkembang menjadi skala industri. Ironisnya, tanamanan pemakan serangga ini kebanyakan jenisnya berasal dari Indonesia. Selain berpotensi sebagai tanaman hias, kantong semar juga dapat digunakan sebagai obat tradisional (Mansur, 2006). Sementara itu, kandungan protein di dalam kantongnya berpotensi untuk pengembangan bertani protein menggunakan tanaman endemik Indonesia (Witarto, 2006). Dalam penelitiannya baru-baru ini, Witarto (2006), berhasil mengisolasi protein dalam cairan kantong atas dan kantong bawah dari N. gymnamphora dari Taman Nasional Gunung Halimun. Dari masing-masing 800 ml cairan yang dikumpulkan dari kantong, dapat dimurnikan protein sebanyak 1 ml. Uji aktivitas terhadap protein yang telah dimurnikan menunjukkan bahwa protein itu adalah enzim protease yang kemungkinan besar adalah Nepenthesin I dan Nepenthesin II. Nepenthes sp. DI SUMATERA Sumatera merupakan urutan kedua setelah Kalimantan sebagai tempat penyebaran spesies, tapi dari segi jumlah populasi Sumatera dapat mengimbangi Kalimantan. Dari jenis-jenis yang sudah ditemukan di Sumatera, 12 di antaranya masih dalam proses identifikasi Anonimus, 2006). Semua jenis Nepenthes sp. yang ada di Sumatera tersebar dari dataran rendah sampai ke dataran tinggi. Kantong semar (Nepenthes sp.) di Sumatera memiliki beberapa sebutan seperti periuk monyet di Riau, kantong beruk di Jambi, dan Ketakung atau calong beruk di Bangka. Bahkan di Gunung Kerinci (Sumatera Barat) ada sebutan terompet gunung

11untuk jenis Nepenthes aristolochioides. Pada awalnya, Nepenthes sp. di Sumatera

sangat mudah ditemukan di hampir seluruh tipe hutan dan tersebar hampir merata di setiap provinsi, kecuali untuk jenis endemik tertentu. Akan tetapi, sekarang sudah mulai sulit dijumpai, kecuali di daerah tertentu.

Nepenthes gracilis, salah satu jenis nepenthes yang ditemukan di Hutan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan

Nepenthes sp. DI PULAU SINGKEPHasil penelitian awal di Pulau Singkep dijumpai dua jenis Nepenthes yaitu Nepenthes gracilis dan variannya Nepenthes sumatrana, tumbuh di berbagai habitat mulai lahan semak belukar dan hutan rawa gambut di dataran rendah sampai perbukitan. Karena habitatnya yang memadai penyebara Nepenthes sumatrana begitu meluas yang menghampar di lantai hutan hingga merayap di tajuk-tajuk pohon.

Nepenthes gracilis berwarna hijau endemik Pulau Singkep

12

Nepenthes gracilis berwarna coklat endemik Pulau Singkep

Nepenthes sumatrana endemik Pulau Singkep

Nepenthes sumatrana endemik Pulau Singkep

13

Nepenthes sumatrana endemik Pulau Singkep

Nepenthes sumatrana endemik Pulau Singkep

Keberadaannya saat ini cukup baik karena kebanyakan masyarakat di Pulau Singkep bermatapencaharian sebagai nelayan sehingga akses pembukaan lahan hutan relatif terbatas, namun akhir-akhir ini sejalan dengan maraknya investor pertambangan bijih besi, bijih bauksit dan bijih timah serta perkebunan yang masuk ke wilayah ini .... keberadaan habitat Nepenthes menjadi sangat menghawatirkan. Pembukaan hutan oleh masyarakat demikian intensif terutama di wilayah KP Eksplorasi Perusahaan pertambangan dan akan menjadi-jadi manakala kegiatan pertambangan berlangsung yang berdasarkan wilayah KP Eksplorasi yang ada hampir meliput seluruh wilayah Pulau Seingkep.

14

Beginilah Habitat Nepenthes sp berupa Hutan Hujan Tropis Pulau Kecil Singkep . Dibuka dan Dibakar Untuk Perkebunan Karet

Beginilah Habitat Nepenthes sp berupa Hutan Hujan Tropis Pulau Kecil Singkep . Dibuka dan Dibakar Untuk Area Pertambangan Bijih Besi

Beginilah Habitat Nepenthes sp berupa Hutan Hujan Tropis Pulau Kecil Singkep . Dibuka dan Dibakar Untuk Area Pertambangan Bijih Besi

ANCAMAN Berdasarkan pengamatan di lapangan dan kajian literatur, potensi ancaman terhadap kelangsungan hidup Nepenthes sp. di Sumatera lebih banyak berasal dari gangguan manusia. Aktivitas masyarakat di sekitar habitat alami yang dapat mengganggu keberadaan Nepenthes sp. antara lain berupa kegiatan mencari kayu meskipun secara tidak langsung dapat mengganggu Nepenthes sp. karena dapat tertimpa pohon yang ditebang atau tercabut secara tidak sengaja,

15sertakemungkinan tanaman mati karena ingan tempat tanaman ini terpotong/ditebang (Kunarso dan Fatahul A., 2006). Selain aktivitas tersebut, pola pembukaan ladang dengan sistem sonor (dibakar) yang umum dilakukan di Sumatera juga dapat mengganggu kehidupan Nepenthes sp. di habitat alaminya. Pembukaan lahan atau konversi hutan dalam skala kecil maupun besar dengan

cara tradisional maupun modern yang dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan juga mengancam keberadaan jenis ini dan jenis flora lainnya. Ancaman terbaru yang masuk belakangan ini adalah pengeksploitasian terhadap Nepenthes sp. oleh masyarakat untuk kepentingan bisnis. Eksploitasi yang tidak memperhatikan kaidah ekologi-konservasi tentu akan mempercepat kepunahan Nepenthes sp. di habitat alaminya. Banyak pedagang di Sumatera yang menjual jenis ini yang bukan dari hasil tangkaran atau budidaya tetapi dari hasil cabutan alam. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pedagang, pada umumnya para pedagang ini tidak mengetahui status Nepenthes sp. yang mereka jual. Mereka hanya mengambil langsung dari alam dan menjualnya dengan harga murah sekitar Rp 25.000,- sampai Rp 100.000,- /tanaman, bahkan ada yang menjual Rp 10.000,-/tanaman yang diambil dari habitat alaminya (sistem pesan banyak tanpa pot). Hal ini sangatlah memprihatinkan mengingat populasi Nepenthes sp. di alam yang sudah semakin sedikit.

Sementara itu bahaya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun juga menjadi ancaman besar bagi kelangsungan hidup dari Nepenthes sp., khususnya jenis yang ada di hutan rawa gambut karena tipe hutan seperti ini sangat rawan terhadap kebakaran. Kebakaran pada lahan rawa gambut tergolong dalam tipe kebakaran bawah (ground fire). Nugroho et al. (2005) menyatakan bahwa pada kebakaran dengan tipe ground fire, api menyebar tidak menentu secara perlahan di bawah permukaan karena tidak dipengaruhi oleh angin. Tipe kebakaran seperti ini mengancam akar-akar vegetasi yang ada di atasnya dan dapat menyebabkan kematian vegetasi tersebut. UPAYA KONSERVASI Populasi kantong semar di alam diprediksikan akan terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya : kebakaran hutan, penebangan kayu secara eksploitatif, pengembangan pemukiman, pertanian, perkebunan dan pertambangan serta eksploitasi yang berlebihan untuk tujuan komersil (Mansur, 2006). Hutan rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan sebagai salah satu habitat alami kantong semar, hampir setiap tahun mengalami kebakaran. Konversi lahan hutan untuk pengembangan pemukiman, pertanian, perkebunan dan pertambangan menjadi suatu hal yang harus dilakukan seiring dengan semakin bertambahnya populasi penduduk. Hal ini pulalah yang ditengarai sebagai penyebab makin berkurangnya habitat kantong semar di alam. Apabila hal ini terus menerus

16dibiarkan tanpa adanya upaya penyelamatan ancaman kepunahan kantong semar di alam tinggal menunggu waktunya. Untuk itu diperlukan usaha konservasi, baik in-situ maupun ex-situ dengan cara budidaya dan pemuliaan. Konservasi in-situ merupakan upaya pengawetan jenis tumbuhan dan satwa liar di dalam kawasan suaka alam yang dilakukan dengan jalan membiarkan agar populasinya tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya. Upaya konservasi in-situ ini dikatakan paling efektif, karena perlindungan dilakukan di dalam habitataslinya, sehingga tidak diperlukan lagi proses adaptasi bagi kehidupan dari jenis tumbuhan dan satwa liar tersebut ke tempat yang baru (Nurhadi, 2001 dalam Sudarmadji, 2002). Namun demikian, suatu kelemahan akan terjadi jika suatu jenis yang dikonservasi secara in-situ tersebut memiliki penyebaran yang sempit; kemudian tanpa diketahui terjadi perubahan habitat, maka akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup jenis tersebut;

begitu pula jika di daerah tersebut terjadi bencana atau kebakaran, dapat dipastikan seluruh jenis yang terdapat di dalamnya akan terancam musnah dan tidak ada yang dapat dicadangkan lagi. Oleh karena itu, selain upaya konservasi in-situ perlu dilengkapi dengan upaya konservasi ex-situ (Nurhadi, 2001 dalam Sudarmadji, 2002).

Upaya konservasi ex-situ merupakan upaya pengawetan jenis di luar kawasan yang dlakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa liar. Kegiatan konservasi ex-situ ini dilakukan untuk menghindari adanya kepunahan suatu jenis. Hal ini perlu dilakukan mengingat terjadinya berbagai tekanan terhadap populasi maupun habitatnya (Nurhadi, 2001 dalam Sudarmadji, 2002). Hal lain yang tidak kalah penting ialah penyebarluasan informasi mengenai Nepenthes sp. itu sendiri kepada masyarakat umum agar mereka mengetahui keberadaan populasi, status jenis, dan status hukum yang melindungi tanaman dari kepunahan. Upaya ini harus disertai dengan disiplin tinggi dari penerapan hukum bagi ancaman-ancaman yang ada terhadap kelangsungan hidup Nepenthes sp.

By : emia eunike VG

17