Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER
DARI KULIT AKAR TUMBUHAN JENGKOL
(Archidendron jiringa (Jack) I. C. Nielsen) SERTA UJI AKTIVITAS
ANTIBAKTERI
(Skripsi)
Oleh
Dicky Sildianto
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
ABSTRAK
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER
DARI KULIT AKAR TUMBUHAN JENGKOL
(Archidendron jiringa (Jack) I. C. Nielsen) BERDASARKAN UJI
AKTIVITAS ANTIBAKTERI
Oleh
Dicky Sildianto
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri merupakan salah satu penyakit
yang banyak diderita oleh penduduk di negara berkembang. Salah satu cara
pengobatan infeksi dapat digunakan antibiotik, akan tetapi penggunaan antibiotik
menimbulkan masalah baru yaitu timbulnya resistensi bakteri terhadap antibiotik.
Pemanfaatan tumbuhan obat memiliki potensi untuk menghasilkan senyawa
bioaktif antibakteri, dan salah satu tumbuhan yang memiliki potensi tersebut
adalah tumbuhan jengkol. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan
mengidentifikasi senyawa metabolit sekunder dari kulit akar tumbuhan jengkol
dan menguji bioaktivitas antibakteri senyawa hasil isolasi terhadap bakteri
Escherichia coli dan Bacillus subtilis untuk mengetahui resisten senyawa hasil
isolasi. Telah dilakukan skrining, isolasi dan uji resisten senyawa bioaktif dari
kulit akar tanaman jengkol. Uji bioaktivitas dilakukan terhadap bakteri E. coli resisten kloramfenikol dan B. subtilis resisten amoxicillin. Skrining dan isolasi
metabolit bioaktif melalui beberapa tahap pemisahan yaitu kromatografi cair
vakum, dan kromatografi kolom gravitasi dengan variasi pelarut, serta penentuan
struktur menggunakan spektrofotometer JNM-ECZ500R / S1 Agilent frekuensi
500 MHz 1H-NMR. Berdasarkan hasil isolasi diperoleh senyawa golongan
fenolik pada fraksi etil asetat ditandai dengan adanya pergeseran kimia pada
daerah aromatik δH 6 - δH 7, sinyal untuk gugus metoksi (-OCH3) pada δH 3,7,
signal proton pada δH 8,01 merupakan puncak pergeseran kimia dari gugus
hidroksil (-OH) pada cincin aromatik, dan puncak khas untuk gugus asam lemak
(alkana) pada δH 0,89 - δH 2,2. Pada uji bioaktivitas diperoleh Minimum Inhibitor
Concentration (MIC) 25 g / mL untuk E. coli dan 25 g / mL untuk B.subtilis.
Kata Kunci: Tanaman jengkol, senyawa fenolik, antibakteri, minimum inhibitor
concentration.
ABSTRACT
ISOLATION AND IDENTIFICATION OF SECONDARY METABOLIT
COMPOUNDS FROM JENGKOL PLANT BARK ROOT (Archidendron
jiringa (Jack) I. C. Nielsen) BASED ON THE TEST OF ANTIBACTERIAL
ACTIVITIES
By
Dicky Sildianto
Infectious diseases caused by bacteria is one of the diseases suffered by many people in developing countries. One method of treatment of infection can be used
antibiotics, but the use of antibiotics raises new problems that arise resistance to antibiotics. Utilization medicinal plants has the potential to produce antibacterial
bioactive compounds, and one of the plants that has this potential is the jengkol plant. This study aims to isolate and compensate for secondary metabolism of the
root bark of jengkol plant and examine antibacterial bioactivity to Escherichia coli and Bacillus subtilis bacteria to knowing the resistance of the result from isolation.
There have been screening, insulation and resistance tests of the bioactive
compunds found in the bark root of the jengkol plant. Bioactive tests were done on the Escherichia coli resisten of chloramphenicol and Bacillus subtilis resisten of
amoxicillin. Screening and bioactive metabolic insulation through various stages of separation of liquid chromatography vacuum, and gravitational column
chromatography with various solvents, and structural pattering use spectrographic
JNM-ECZ500R/ S1 agilent frequency 500 MHz 1H-NMR. According to the
insulation a phenolic compound on the ethyl acetate fraction was marked by a chemical in the aromatic region δH 6 - δH 7, metoxy’s signal (-OCH3) on δH 3,7,
proton’s signal on δH 8,01 by superfying the chemical shift of the hydroxyl tied to
the aromatic ring, and the distinctive peaks for the fatty acid (alkanes) on δH 0,89 -
δH 2,2. The bioactivity test was obtained Minimum Inhibitor Concentration (MIC)
25 g / mL for E. coli and 25 g / mL for B.subtilis.
Keywords: jengkol plant, phenolic compund, antibacterial, minimum inhibitor
concentration.
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER
DARI KULIT AKAR TUMBUHAN JENGKOL (Archidendron jiringa (Jack)
I. C. Nielsen) SERTA UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI
Oleh
Dicky Sildianto
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA SAINS
Pada
Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lampung
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Dicky Sildianto dilahirkan di Kesumadadi pada tanggal
20 September 1996. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari
pasangan Bapak Suparyo dan Ibu Ambar Wati. Penulis menyelesaikan pendidikan
di TK 02 Yapindo pada tahun 2002 melanjutkan di SD 02 Yapindo lulus pada
tahun 2008, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMP Yapindo lulus
pada tahun 2011 dan melanjutkan pendidikan di SMA Sugar Group lulus pada
tahun 2014. Pada tahun 2014 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Kimia,
Fakultas Matematika danIlmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung melalui
jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Selama
menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia
bidang Kimia Organik Teknologi Hasil Pangan semester ganjil 2016/2017, Kimia
bidang Kimia Organik II semester genap 2016/2017, Kimia bidang Kimia
Organik II semester Genap 2017/2018, Kimia bidang Kimia Organik I semester
ganjil 2018/2019, dan praktikum Kimia Organik II semester genap 2018/2019.
Penulis juga mengikuti aktivitas organisasi, dimulai dengan menjadi Kader Muda
Himaki (KAMI) pada tahun 2014, kemudian terpilih menjadi anggota Bidang
Sains dan Penalaran Ilmu Kimia (SPIK) Himpunan Mahasiswa Kimia (Himaki)
FMIPA Unila periode 2015/2016 dan 2016/2017. Penulis melaksanakan Kuliah
Kerja Nyata (KKN) Tematik di Desa Baru Ranji, Kecamatan Merbau Mataram,
Lampung Selatan pada 2017. Penulis pernah menjadi pemakalah pada kegiatan
SEMIRATA 2017 Bidang MIPA BKS PTN Barat di Jambi pada Mei 2017 dengan
judul “Optimasi Pemisahan Ekstrak Metanol Kulit Batang Tumbuhan Binahong
(Anredera cordifolia) Secara MPLC”.
MOTTO
“Dia Yang Pergi Untuk Mencari Ilmu Pengetahuan, Dianggap Sedang Berjuang di Jalan Allah Sampai Dia
Kembali”. (HR. Tirmidzi)
“Do The Best and God Will Do The Rest”
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang
Dengan mengucap
Alhamdulillahirabbilalamin
Ku Persembahkan karya kecilku ini kepada
Bapak dan Ibuku tercinta yang tak pernah mengeluh berpeluh tenaga,
berlelah pikiran, berlimang kata-kata, dan menengadahkan tangan seraya
berdo’a, untuk anak yang kalian. Rasa terimakasih yang terucap melalui
karyaku ini.
Seluruh keluarga yang selalu mendoakan keberhasilanku
Dengan segala rasa hormat kepada bapak Dr. Noviany, S.Si., M.Si.,
bapak Andi Setiawan, Ph.D. dan bapak Prof. Yandri AS., M.S.
serta seluruh Dosen Pengajar yang telah membimbing dan mendidikku
sampai menyelesaikan pendidikan sarjana.
Seluruh teman-temanku yang telah memberikan semangat, kebahagiaan dan
pelajaran hidup
Almamater tercinta Universitas Lampung
SANWACANA
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah
memberikan segala bentuk rahmat dan nikmat-Nya, sehingga Penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat, semoga kita termasuk
umat yang beliau cintai dan mendapatkan syafa’at beliau di yaumil akhir nanti,
aamiin yarabbal’alamin.
Skripsi dengan judul “Isolasi dan Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder
Dari Kulit Akar Tumbuhan Jengkol (Archidendron jiringa (Jack) I. C.
Nielsen) Serta Uji Aktivitas Antibakteri” merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Jurusan Kimia Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam UniversitasLampung.
Teriring do’a yang tulus, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Kedua orang tua Penulis, Bapak Suparyo dan Ibu Ambar Wati dan Adik
penulis Aditya Bagus Hermawan yang telah memberikan segala usaha dan
do’a, cinta dan kasih, dukungan moral dan spiritual yang sampai saat ini tak
ii
pernah berhenti. Bapak Ibu terima kasih atas segala kasih sayang yang tak
terhingga untuk penulis.
2. Keluarga besar penulis yang memberikan dukungan dan doa kepada penulis.
3. Ibu Dr. Noviany, S.Si., M.Si. selaku pembimbing I atas segala kebaikan, ilmu,
motivasi, kritik, saran, kesabaran dan bimbingan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan skripsi ini dengan baik. Atas semua yang telah
beliau berikan, semoga Allah SWT senantiasa memberikan keberkahan atas
semua yang beliau berikan
4. Bapak Andi Setiawan, Ph.D. selaku pembimbing II atas segala saran, nasehat,
kesabaran, keikhlasan, bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat kepada penulis
dalam perencanaan dan penyelesaian penelitian serta skripsi ini. Semoga Allah
SWT senantiasa memberikan ridho-Nya dan membalas semuanya dengan
kebaikan.
5. Bapak Prof. Yandri AS., M.S. selaku pembahas atas segala bimbingan, kritik,
saran, dan ilmu bermanfaat yang telah diberikan kepada penulis, sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga Allah SWT memberikan
keberkahan atas semua yang sudah diberikan.
6. Bapak Mulyono, Ph.D. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan
bimbingan, kritik, saran, dan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.
7. Bapak Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, M.T., selaku Ketua Jurusan Kimia
FMIPA Unila yang telah memberi banyak masukan dan saran.
8. Bapak Drs. Suratman, M.Sc., selaku Dekan Fakultas Matematika danIlmu
Pengetahuan Alam, Universitas Lampung beserta jajarannya.
iii
9. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kimia FMIPA Unila atas seluruh
ilmu,bimbingan, perhatian dan pengalaman yang telah diberikan sehingga
penulisdapat menyelesaikan studi ini dengan baik berkat ilmu yang telah
diberikan,serta terimakasih kepada staff administrasi Jurusan Kimia FMIPA
Unila yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan persyaratan
administrasi selama kuliah. Semoga Allah SWT senantiasa membalas
kebaikan-kebaikan bapak dan ibu.
10. Mbak Wiwit selaku Laboran Laboratorium Kimia Analitik dan Instrumentasi
yang telah banyak memberikan arahan, membantu penulis dalam penyediaan
alat untuk penelitian, serta tempat bertukar pikiran saat jenuh.
11. Keluarga Besar Kimia 2014 yang menjadi teman seperjuangan menuntut ilmu
bersama.
12. Teman – teman satu penelitian dan satu bimbingan Rizky F., Ufi, Nurlaelatul,
Risa, dan Wahyu. Terimakasih atas bantuan, doa, dan kebersamaan selama ini,
semoga semua diberi kesuksesan dunia dan akhirat.
13. Teman – teman di Laboratorium Kimia Organik. Terimakasih atas bantuan,
doa, dan dan kebersamaan selama ini.
14. Teman – Teman satu bimbingan pak Andi terimakasih atas bantuan, doa, dan
dan kebersamaan selama ini.
15. Kakak tingkat 2010, 2011, 2012, 2013 beserta adik-adik angkatan 2015, 2016,
2017, dan 2018 yang tidak bisa saya sebutkan. Terimakasih atas persaudaraan
dan kekeluargaan kita selama ini, semoga kita semua menjadi orang-orang
sukses dan teman-teman sekalian lekas menyelesaikan pendidikan.
iv
16. Terimakasih pada Fendi dan Berliana atas dukungan, bantuan, dan
kebersamaannya selama ini.
17. Terimakasih untuk teman – teman kontrakan Rendi, David, Budi, Bima,
Ricky, dan Rofik atas kebersamaannya.
18. Terimakasih pada Alya Rahmatina Salsabilla atas dukungan, bantuan, dan
saran selama penulis mengerjakan skripsi.
19. Terimakasih kepada UPT LaboratoriumTerpadu dan Sentra Inovasi Teknologi
Universitas Lampung beserta jajarannya yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk melakukan penelitian dan menyelesaikan tugas akhir ini.
20. Almamater tercinta Universitas Lampung.
21. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas
segala ketulusan, bantuan, dan doa. Semoga kebaikan yang sudah diberikan
selama ini mendapat balasan dari Allah SWT.
Bandar Lampung, Juli 2019
Penulis,
Dicky Sildianto
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
C. Manfaat Penelitian .................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5
A. Fabaceae ................................................................................................... 5
B. A. jiringa ................................................................................................... 6
C. Efek Farmakologi ...................................................................................... 8
D. Kandungan Senyawa Metabolit Sekunder Famili Fabaceae ....................... 9
1. Terpenoid ............................................................................................ 10
2. Alkaloid .............................................................................................. 11
3. Flavanoid ............................................................................................. 12
4. Senyawa Fenolik Lain ......................................................................... 15
E. Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder ....................................................... 15
1. Ekstraksi .............................................................................................. 16
2. Pemisahan Secara Kromatografi .......................................................... 17
3. Analisis Kemurnian ............................................................................. 20
F. Karakterisasi Senyawa Secara Spektroskopi ............................................ 21
1. Spektroskopi Resonansi Magnetik Nuklir ............................................ 22
G. Bakteri .................................................................................................... 25
vi
H. Uji Aktivitas Antibakteri ......................................................................... 26
1. Metode Difusi ...................................................................................... 27
2. Metode Dilusi ...................................................................................... 30
I. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Antibakteri ........................ 31
III. METODE PENELITIAN ............................................................................ 34
A. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................. 34
B. Alat dan Bahan ........................................................................................ 34
C. Prosedur Percobaan ................................................................................. 35
1. Persiapan Sampel ................................................................................ 35
2. Ekstraksi dengan Berbagai Pelarut ....................................................... 36
3. Kromatografi Cair Vakum (KCV) ....................................................... 36
4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) .......................................................... 37
5. Kromatografi Kolom (KK) .................................................................. 38
6. Spektroskopi Resonansi Magnetik Nuklir (NMR) ................................ 38
7. Pengujian Aktivitas Antibakteri ........................................................... 39
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 41
A. Ekstraksi .................................................................................................... 41
B. Isolasi dan Fraksinasi Berpandukan pada Hasil Uji Bioaktivitas ................. 42
C. Pemurnian Fraksi Aktif Antibakteri ......................................................... 51
1. Fraksi E13 ............................................................................................ 51
2. Fraksi E28 ............................................................................................ 55
D. Karakterisasi Dengan Spektroskopi Resonansi Magnetik Nuklir (NMR) . 58
1. Identifikasi Subfraksi E2816 ................................................................. 58
V. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 63
A. Simpulan ................................................................................................. 63
B. Saran ....................................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 65
LAMPIRAN ...................................................................................................... 70
Lampiran 1. Diagram Alir .............................................................................. 71
vii
Lampiran 2. Pembuatan Larutan Uji Aktivitas Antibakteri ............................. 72
1. Metode Difusi ...................................................................................... 72
2. Metode Dilusi ...................................................................................... 73
Lampiran 3. Surat Hasil Determinasi Tanaman ............................................... 76
Lampiran 4. Perhitungan Rata - Rata OD (Optical Density) ............................ 77
Lampiran 5. Perhitungan Tetapan Kopling Subfraksi E2816 ............................ 78
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Pergeseran kimia untuk proton dalam molekul organik ............................. 25
2. Kriteria kekuatan antibakteri ..................................................................... 28
3. Hasil pengamatan zona hambat ekstrak (dalam mm) terhadap bakteri
E. coli ....................................................................................................... 43
4. Hasil pengamatan zona hambat ekstrak (dalam mm) terhadap bakteri B.
subtilis ...................................................................................................... 43
5. Hasil uji MIC ekstrak n – heksana, etil asetat, dan metanol menggunakan
96 sumuran (wellplate) terhadap bakteri E. coli dan B. subtilis .................. 44
6. Diameter zona hambat (mm) fraksi – fraksi KCV-1 dan KCV-2 terhadap
bakteri E.coli ............................................................................................. 48
7. Diameter zona hambat (mm) fraksi – fraksi KCV-1 dan KCV-2terhadap
bakteri B.subtilis ....................................................................................... 49
8. Hasil uji MIC fraksi KCV terhadap bakteri E. coli dan B. subtilis
menggunakan plate 96 well hasil KCV ...................................................... 50
9. Hasil uji MIC pada subfraksi E131 dengan menggunakan 96 sumuran
(wellplate) terhadap bakteri E. coli dan B. subtilis ..................................... 54
10. Hasil uji MIC pada hasil subfraksi E281 dengan menggunakan 96
sumuran (wellplate) terhadap bakteri E. coli dan B. subtilis ....................... 57
11. Perbandingan pergeseran kimia pada 1H-NMR subfraksi E2816 dengan
Senyawa 1-(2,6-dihydroxy-4-methoxyphenyl)decan-1-one ........................ 61
12. Tetapan Kopling dan Integrasi 1H-NMR subfraksi E2816 ........................... 62
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Tanaman Jengkol ...................................................................................... 7
2. Struktur senyawa terpernoid yang berhasil diisolasi dari Fabaceae ............ 11
3. Senyawa alkaloid yang diisolasi dari Fabaceae .......................................... 12
4. Senyawa flavonoid yang diisolasi dari Fabaceae ....................................... 14
5. Senyawa golongan fenolik yang diisolasi dari akar tanaman turi dan
kulit akar tanaman turi .............................................................................. 15
6. Jenis radiasi elektromagnetik dan panjang gelombangnya ......................... 22
7. Uji bioaktivitas dengan metode difusi (a) pada bakteri E. coli pada
konsentrasi 0,5 gram/disk (b) pada bakteri . E. coli pada konsentrasi 0,3
gram/disk (c) pada bakteri B subtilis pada konsentrasi 0,5 gram/disk (d)
pada bakteri B. subtilis pada konsentrasi 0,3 gram disk ............................. 42
8. Pengujian MIC pada ekstrak n – heksana, etil asetat, dan metanol
menggunakan 96 sumuran (wellplate) (a) pada bakteri E. coli (b)
pada bakteri B. subtilis .............................................................................. 44
9. Kromatogram hasil KLT ekstrak etil asetat dengan eluen etil asetat /
aseton 1:1 (a) plat KLT disemprot serium sulfat (b) plat KLT dilihat
di bawah lampu UV 254 ........................................................................... 46
10. Kromatogram hasil KCV-1 (a) dan KCV-2 (b) dengan eluen etil asetat /
aseton 1:1 .................................................................................................. 48
11. Pengujian MIC pada hasil fraksi KCV (a) terhadap bakteri E. coli (b)
bakteri B. subtilis ...................................................................................... 49
12. Kromatogram KLT spesifik fraksi E13 dan E28 dengan eluen etil asetat /
aseton 1:1 (a) fraksi E13 positif senyawa fenolik (b) fraksi E13 positif
senyawa flavonoid (c) fraksi E28 positif senyawa fenolik (d) fraksi E28
positif senyawa flavonoid .......................................................................... 51
x
13. Kromatogram KLT hasil kolom C18 dengan eluen etil asetat :
aseton 1:1 (a) telah disemprot serium sulfat (b) di bawah lampu UV
panjang gelombang 254 ............................................................................ 52
14. Kromatogram hasil KKG subfraksi E131 dengan eluen isopropil
alkohol / n – heksana 6:4 (a) telah disemprot dengan serium sulfat (b)
di bawah lampu UV panjang gelombang 254 ............................................ 53
15. Pengujian MIC pada hasil subfraksi E13 menggunakan 96 sumuran
(wellplate) (a) terhadap bakteri E. coli (b) bakteri B. subtilis ..................... 54
16. Kromatogram hasil KKG fraksi E281 dengan eluen isopropil alkohol
/ n – heksana 6:4 (a) telah disemprot serium sulfat (b) di bawah lampu
UV panjang gelombang 254 ...................................................................... 56
17. Uji MIC pada hasil subfraksi E281 menggunakan 96 sumuran (wellplate)
(a) terhadap bakteri E. coli (b) bakteri B. subtilis ....................................... 57
18. Hasil 1H-NMR subfraksi E2816 ................................................................. 59
19. Struktur senyawa 1-(2,6-dihydroxy-4-methoxyphenyl)decan-1-one ........... 61
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri merupakan salah satu penyakit
yang banyak diderita oleh penduduk di negara berkembang, termasuk di Indonesia
(Kemenkes, 2013). Secara sederhana bakteri dapat dibagi menjadi 2 golongan
besar yaitu bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit dan bakteri
nonpatogen yang tidak menyebabkan panyakit (Muljono dkk., 2016).
Bakteri yang termasuk kedalam golongan bakteri patogen diduga memiliki sifat-
sifat tertentu yang memperkuat kemampuan bakteri tersebut dalam menimbulkan
suatu penyakit. Banyak penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri di
antaranya tifus, diare, pneumonia, tuberkulosis (TBC), dan sebagainya.
Salah satu cara pengobatan infeksi oleh bakteri dapat digunakan antibiotik, akan
tetapi penggunaan antibiotik menimbulkan masalah baru yaitu timbulnya
restitensi bakteri sendiri terhadap antibiotik. Selain itu efek samping yang
ditumbulkan oleh antibiotik juga menjadi pertimbangan yang penting dalam
penggunaannya (Ji dkk., 2012).
Sejarah resistensi bakteri terhadap antibiotika diawali dari ditemukannya
staphylococcus yang resisten terhadap penicillin pada awal 1940-an. Dua faktor
2
penting ikut berperan dalam penyebaran resistensi yaitu kemampuan bakteri untuk
mentransfer dan merekasa gen sehingga mampu membuat resistensi bakteri
terhadap antibiotik dan menjadi masalah yang belum terselesaikan secara tuntas
(Dwiprahasto, 2005).
Berdasarkan permasalahan tentang resistensi bakteri yang ada telah banyak
dilakukan penelitian – penelitian untuk menemukan bahan antibakteri terutama
yang berasal dari tumbuhan. Tumbuhan dapat digunakan sebagai alternatif
pencarian bahan antibakteri adalah tumbuhan obat yang memiliki senyawa yang
aktif dalam bidang kesehatan. Telah banyak senyawa aktif asal tumbuhan yang
memasuki aplikasi komersial untuk berbagai kegunaan. Senyawa alam hasil
isolasi dari tumbuhan, juga digunakan sebagai bahan asal untuk sintesis bahan-
bahan biologis aktif dan sebagai senyawa model untuk merancang senyawa baru
yang lebih aktif dengan sifat toksik yang lebih rendah (Salni dkk., 2011).
Sepanjang sejarah yang ada bahwa tumbuhan telah lama digunakan menjadi salah
satu sumber pengobatan yang sering digunakan dalam bidang kesehatan. Sekitar
70-80% populasi masyarakat yang masih tinggal di pedesaan masih sangat
tergantung pada obat herbal untuk perawatan kesehatan (Nwodo et al., 2011).
Tanaman obat ini memiliki beberapa kelebihan seperti memiliki harga yang lebih
relativ murah dan sifat tanaman obat ini aman sehingga tidak perlu pengawasan
yang ketat dalam penggunaannya (Hidayat dan Hardiansyah, 2012).
Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian dalam bidang farmasi telah banyak
mengembangkan produk alami yang di ekstrak dari tanaman,untuk menghasilkan
obat yang efektif dan biaya yang terjangkau bagi masyarakat. Negara – negara di
3
Asia – Pasifik untuk saat ini juga mengharuskan adanya pencarian sumber
antibiotik yang baru adanya resistensi mikroba patogen terhadap obat kimia yang
selama ini digunakan (Doughari, 2006).
Penggunaan tanaman obat di Indonesia sendiri masih dalam sebatas dari manfaat
dari tanaman itu sendiri, belum banyak dilakukan proses identifikasi kandungan
senyawa yang ada pada tanaman obat tersebut sehingga nantinya senyawa yang
ada pada tanaman obat tersebut dapat disintesis. Dengan keanekaragaman yang
banyak di Indonesia seharusnya dapat dihasilkan beragam senyawa yang
dihasilkan dari tumbuhan obat yang dapat dijadikan sumber antibakteri yang baru
(Multazami, 2013).
Salah satu tumbuhan yang berpotensi sebagai tanaman obat adalah jengkol
(Archidendron jiringa (Jack) I. C. Nielsen). Salah satu tanaman suku Fabaceae ini
sudah sejak lama ditanam di Indonesia, di kebun atau pekarangan. Buah jengkol
mengandung karbohidrat, protein, vitamin A, vitamin B, fosfor, kalsium, alkaloid,
minyak atsiri, steroid, glikosida, tannin, dan saponin. Biji jengkol merupakan
bagian tanaman yang paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan
obat untuk menyembukan luka luar (Rizal dkk., 2016)
Telah banyak dilakukan penelitian terhadap tanaman jengkol seperti pada daun
dan pada kulit buah jengkol, namun hanya sebatas uji fitokimia dan efek
farmakologi ekstrak. Sedangkan penelitian terhadap jengkol sendiri masih sangat
jarang ditemukan. Sehingga perlu dilakukan penelitian tehadap akar jengkol
dengan mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa metabolit sekunder dari kulit
4
akar tanaman jengkol (Archidendron jiringa ) serta uji aktivitas antibakteri
terhadap bakteri E.coli dan B. subtilis resisten.
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa metabolit sekunder dari kulit akar
tumbuhan jengkol (A. jiringa)
2. Menguji bioaktivitas antibakteri senyawa hasil isolasi terhadap bakteri E.coli
dan B. subtilis untuk mengetahui resisten senyawa hasil isolasi.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan informasi mengenai kandungan
metabolit sekunder dari kulit akar tumbuhan jengkol (A. jiringa) dan sumber
alami yang berpotensi sebagai bahan atau agen antibakteri.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Fabaceae Salah satu kekayaan tumbuhan di dunia adalah suku polong-polongan (Fabaceae)
yang mempunyai distribusi yang luas di kawasan tropis, salah satunya di
Indonesia, suku Fabaceae ini mempunyai banyak manfaat bagi kehidupan
manusia antara lain sebagai bahan pangan, tanaman penghijauan, penghasil pakan
ternak, tanaman penghasil tanin, dan tanaman yang berkasiat obat.
Suku polong-polongan merupakan suku ketiga terbesar tumbuhan berbunga. Suku
polong - polongan mempunyai habitat hidup seperti semak, berkayu merambat
(liana), pohon dan sebagian kecil merupakan tumbuhan air. Suku polong-
polongan merupakan komponen mayor dari vegetasi dunia dan sering ditemui
pada lahan yang subur karena kemampuannya untuk mendaur ulang nitrogen dari
atmosfer melalui bintil akar (Lewis et al., 2005). Suku ini terdiri dari 18.000 jenis
dan 630 marga.
Anggota suku polong-polongan mudah dikenal dari bentuk buahnya yang
berbentuk polong. Suku polong-polongan dibagi menjadi 3 suku yaitu
Mimosaceae, Caesalpiniaceae, dan Papilionaceae. Masing-masing dari suku
tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda. Suku Papilionaceae mempunyai
6
bunga yang bentuknya seperti kupu-kupu khas dengan mahkota bunga yang tidak
sama bentuknya. Tanaman yang termasuk dalam suku Papilionaceae adalah
kacang tanah, kacang kedelai, buncis, dan kapri. Sedangkan pada suku
Mimosaceae karakter bunganya berbentuk bongkol. Tanaman yang termasuk
dalam suku Mimosaceae adalah jengkol, lamtoro, putri malu,dan petai.
Selanjutnya adalah suku Caesalpiniaceae yang memiliki ciri bunganya tersusun
majemuk membentuk seperti piramida. Tanaman yang termasuk dalam suku
Caesalpiniaceae adalah kembang merak dan secang (Danarto, 2013).
Fabaceae sebagian besar berkhasiat sebagai tumbuhan obat. Bagian yang
dimanfaatkan sebagai obat antara lain daun, bunga, kulit akar, dan kulit batang.
Fabaceae mengandung berbagai zat metabolit yang mengandung khasiat sebagai
obat demam, batuk, TBC, obat cacing, obat sakit perut, obat kulit, pegal-pegal,
salep mata, obat kuat. Senyawa yang dihasilkan dari Fabaceae antara lain
flavonoid, protein, stilbenoid, santon, triterpen, saponin, diterpen, balsam, dan
fitoaleksin. Asam organik (termasuk asam malonik, asam tartarik, asam
chelidonik), protein, asam galakturonik yang dapat berpotensi sebagai
antimikroba/bakterisida/ bakteriostatik, antidiabetik, antitumor, dan antifertilitas
(Danarto, 2013).
B. A. jiringa
Tumbuhan jengkol atau lebih dikenal dengan tumbuhan jering adalah termasuk
dalam famili Fabaceae (suku biji-bijian). Tumbuhan kulit buah jengkol atau
7
jering dengan nama Latinnya yaitu (A. jiringa) dengan sinonimnya yaitu
Pithecellobium jiringa dan Archindendron yang merupakan tumbuhan khas di
wilayah Asia Tenggara.
Gambar 1. Tanaman Jengkol
Tanaman jengkol termasuk tanaman berkeping 2 yang memiliki ciri-ciri seperti
memiliki batang yang tegak, bulat, berkayu, licin, dan percabangan simpodial.
Untuk daun berbentuk majemuk dengan panjang 10-20 cm dan bewarna hijau tua.
Pada bunga berstruktur majemuk, berbentuk seperti tandan, memiliki tangkai
bulat, dan kulitnya bewarna ungu. Buahnya berbentuk bulat pipih bewarna coklat
kehitaman, sedangkan akarnya berbetuk tunggang (Maxiselly dkk., 2016).
8
Klasifikasi tanaman jengkol adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisi : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (dikotil)
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Archidendron
Spesies : Archidendron jiringa
(Heyney, 1987)
C. Efek Farmakologi
Tumbuhan jengkol dikenal sebagai tanaman yang memiliki manfaat dibidang
pengobatan.. Seluruh bagian dari tanaman jengkol dapat dijadikan sebagai obat
mulai dari daun hingga buah dari tanaman jengkol (Rizal dkk., 2016). Menurut
penelitian yang dilakukan oleh (Syafnir dan Krishnamurti, 2015) menyatakan
bahwa kulit jengkol dan biji jengkol dapat mengurangi kadar gula dalam tubuh.
Selain itu, kulit jengkol juga menjadi salep dalam mengobati penyakit borok
(Hutauruk, 2010). Sebagai obat-obatan tradisional daun tanaman jengkol dapat
digunakan sebagai obat eksim, kudis, luka dan bisul, kulit buahnya digunakan
sebagai obat borok. Daun tanaman jengkol juga telah digunakan untuk
menyembuhkan penyakit infeksi (Salni dkk., 2011).
9
D. Kandungan Senyawa Metabolit Sekunder Famili Fabaceae
Sebagian besar komponen kimia yang berasal dari tamanan yang digunakan
sebagai obat atau bahan obat adalah merupakan metobolit sekunder (Radji, 2005).
Metabolit sekunder merupakan senyawa yang dihasilkan atau disintesa pada sel
dan group taksonomi tertentu pada tingkat pertumbuhan atau stress tertentu.
Senyawa ini diproduksi hanya dalam jumlah sedikit tidak terus-menerus, untuk
mempertahankan diri dari habitatnya, dan tidak berperan penting dalam proses
metabolisme utama (primer). Pada tanaman, senyawa metabolit sekunder
memiliki beberapa fungsi, diantaranya sebagai atraktan (menarik serangga
penyerbuk), melindungi dari stress lingkungan, pelindung dari serangan
hama/penyakit (phytoaleksin), pelindung terhadap sinar ultra violet, sebagai zat
pengatur tumbuh dan untuk bersaing dengan tanaman lain (alelopati) (Mariska,
2013).
Kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam famili Fabaceae sangat
banyak dan cukup beragam, dimulai dari susunan yang sederhana hingga molekul
yang paling rumit. Secara umum senyawa metabolit sekunder yang terdapat
dalam famili Fabaceae adalah terpenoid, alkaloid, flavonoid, dan senyawa fenolik
lainya.
10
1. Terpenoid
Terpenoid adalah turunan molekul terpen yang mengandung atom lain selain atom
karbon dan hidrogen, biasanya mengandung atom oksigen dalam bentuk gugus
hidroksil, karbonil, karboksilat dan telah ditemukan pula terpenoid halogen,
terutama yang memiliki gugus klor dan brom. Kelompok senyawa terpen dikenal
sebagai metabolit sekunder, dihasilkan oleh organisme melalui jalur biogenetik
asam mevalonat (Usman, 2014). Berdasarkan jumlah atom C yang terdapat pada
kerangkanya, terpenoid dapat dibagi menjadi hemiterpen dengan 5 atom C,
monoterpen dengan 10 atom C, seskuiterpen dengan 15 atom C, diterpen dengan
20 atom C, triterpen dengan 30 atom C, dan seterusnya sampai dengan politerpen
dengan atom C lebih dari 40 (Nagegowda, 2010).
Banyak sekali senyawa terpenoid yang telah diisolasi dari berbagai jenis
tumbuhan, contohnya adalah seperti senyawa 1,2-seco-cladiellan (1) yang
diisolasi dari herba miniran yang telah diselidiki memiliki aktivitas antibakteri
pada bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Contoh senyawa lainya
yang berhasil diisolasi dari famili Fabaceae yaitu kahirikosida II (2). Struktur dari
senyawa terpenoid yang berhasil diisolasi dari Fabaceae ditunjukan pada Gambar
2 (Gunawan dkk., 2008)
.
11
(1) (2)
Gambar 2. Struktur senyawa terpernoid yang berhasil diisolasi dari Fabaceae
2. Alkaloid
Alkaloid juga banyak terdapat dalam tumbuhan, khususnya pada Angiospermae
(lebih dari 20% dari semua spesies menghasilkan alkaloid). Alkaloid umumnya
hanya sedikit terdapat pada tumbuhan Gymnospermae, lycopodium, Equisetum,
jamur, dan alga. Alkaloid juga dapat ditemukan pada bakteri, jamur, binatang laut,
antropoda, amphibi, pada sejumlah burung, dan mamalia. Alkaloid sangat penting
bagi organisme yang memproduksinya. Satu fungsi utamanya adalah sebagai
pelindung dan untuk melawan herbivora maupun predator.
Beberapa alkaloid bersifat sebagai antibakteri, antijamur, dan antiviral Senyawa
kimia yang dihasilkan kemungkinan dapat menyebabkan keracunan bagi hewan.
Alkaloid biasanya dikelompokkan berdasarkan bentuk cincin heterosiklik nitrogen
yang terdapat di dalamnya sebagai contoh pirolidin, piperidin, quinolin,
isoquinolin, indol (Achmad, 1986). Atom nitrogen pada alkaloid berasal dari
asam amino dan umumnya struktur kerangka karbon pada asam amino prekusor
akan bertahan ketika dalam bentuk alkaloid. Prekusor asam amino yang
12
berhubungan dengan biosintesis alkaloid antara lain adalah ornitin, lisin, asam
nikotinoat, tirosin, triptopan, asam antranilat, dan histidin. Contoh senyawa
alkaloid yang berhasil diisolasi dari famili Fabaceae ditunjukan Gambar 3.
Gambar 3. Senyawa alkaloid yang diisolasi dari Fabaceae
3. Flavanoid
Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa bahan alam yang banyak
ditemukan pada tumbuhan. Flavonoid pada umumnya mempunyai kerangka
flavon C6-C3-C6, dengan tiga atom karbon sebagai jembatan antara gugus fenil
yang biasanya juga terdapat atom oksigen. Senyawa ini biasanya terdapat sebagai
pigmen tumbuhan untuk menarik pollinators, atau sebagai bahan pertahanan bagi
tumbuhan untuk melawan serangga dan mikroorganisme. Senyawa fenolik yang
dominan dalam famili ini adalah flavonoid. Selain senyawa flavonoid banyak
ditemukan senyawa dari jenis dibenzooxepin dan stilben. Kecenderungan
flavonoid yang ditemukan dalam tiap jenis genus dalam famili Fabaceae berbeda-
13
beda bergantung pada tingkat evolusinya. Misalnya dari Guibourtia coleosperma,
senyawa flavonoid yang dihasilkan adalah flavonoid yang terikat dengan
glikosida misalnya epikatecin- (4b - 8)- 7-O-β-D- xyloppiranosilepikatecin (1)
yang berupa dimer dan 7-O-β-D- xyloppiranosil-epikatecin (2) yang berupa
monomer (Bekker et al., 2006).
Sedangkan pada genus Caesalpinia, flavonoid yang dihasilkan berupa
homoisoflavonoid misalnya bonducellin (3) yang diisolasi dari Caesalpinia
Pulcherima (Zhao et al., 2004). Berbeda dengan 2 spesies yang sebelumnya,
genus Milletia ini menghasilkan senyawa flavonoid berupa isoflavon yang
terprenilasi. Milletia papchycarpa diketahui mengandung millewanins G (4),
millewanins H (5), dan furowanin B (6) (Ito et al., 2006). Senyawa lain yang
pernah diisolasi adalah bauhiniastatin 1-2 (7-8) yang diisolasi pada Bauhinia
purpurea. Bauhinisantin 1 (7) juga diketahui memiliki aktivitas sitotoksik yang
tinggi terhadap sel murin leukemia (Pettit et al., 2006).
14
(1) (2)
(3) (4)
(5) (6)
(7) (8)
Gambar 4. Senyawa flavonoid yang diisolasi dari Fabaceae
15
4. Senyawa Fenolik Lain
Senyawa lain juga yang telah diisolasi dari famili Fabaceae adalah senyawa
1,1’binaptalen-2,2’-diol atau 1,1’-bi-2-naptol (1) dari akar tanaman turi (Sesbania
grandiflora (L.) Pers.) (Hasan et al., 2012) dan 2 senyawa baru dari 2-
arilbenzofuran A (2) dan B (3) dari kulit batang tanaman turi (Sesbania
grandiflora (L.) Pers.) (Noviany et al., 2018).
(1) (2) R=H; (3) = R =CH3
Gambar 5. Senyawa golongan fenolik yang diisolasi dari akar tanaman turi dan
kulit akar tanaman turi
E. Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder Isolasi merupakan cara untuk memisahkan senyawa yang bercampur sehingga
dapat menghasilkan senyawa tunggal yang murni. Biasanya proses isolasi
senyawa dari bahan alami mengisolasi senyawa metabolit sekunder, karena dapat
memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
16
Kandungan senyawa dari tumbuhan untuk isolasi dapat diarahkan pada suatu
senyawa yang lebih dominan dan salah satu usaha isolasi senyawa tertentu dapat
dimanfaatkan pemilihan pelarut organik yang akan digunakan pada isolasi
tersebut, pelarut polar akan lebih mudah melarutkan senyawa polar dan
sebaliknya senyawa non polar lebih mudah larut dalam pelarut non plar (Dia et al.,
2015).
1. Ekstraksi
Terdapat berbagai jenis macam ekstraksi yang sangat sering digunakan dalam
mengisolasi metabolit sekunder seperti perkolasi, sokletasi, maserasi, gas
superkritikal, refluks, dll. Metode ekstraksi yang paling sederhana dan sering
menjadi pilihan adalah maserasi (perendaman), yakni merendam material di
dalam pelarut. Maserasi (merendam dalam pelarut) menjadi metode yang dipilih
pada tahap pendahuluan atau ekstraksi dalam jumlah yang cukup banyak karena
sangat sederhana dan juga tidak banyak gangguan.
Tahapan ekstraksi secara maserasi melewati dua mekanisme dasar yakni:
Disolusi: Proses terendamnya senyawa target oleh solven.
Difusi: Proses terbawanya senyawa-senyawa oleh solven keluar sel atau
matriks alami.
Agar pelarut dapat menjangkau tempat senyawa di dalam sel atau ruang sel maka
proses peryerbukan pada material yang digunakan harus dilakukan. Serbuk yang
17
terlalu halus menyebabkan larutan keruh atau terbentuk dispersi.yang dapat
mengganggu proses disolusi dan difusi (Saifudin, 2014).
2. Pemisahan Secara Kromatografi
Di dalam isolasi senyawa, kromatografi sangat penting dan fundamental untuk
identifikasi, deteksi pemisahan, deteksi optimasi fasa gerak, deteksi kemurnian,
dan lain-lain (Saifudin, 2014).
Ada 2 tipe kromatografi berdasarkan fase diamnya, yakni kromatografi lapis tipis
(KLT) dan kromatografi kolom (KK). Kromatografi lapis tipis cenderung bersifat
analisis (preperatif). KLT akan memvisualkan senyawa-senyawa yang
terkandung di dalam bahan sehingga dapat diketahui sifat-sifatnya dan terutama
polaritasnya. Sistem fasa diam dan fasa gerak yang dipilih sebisa mungkin
memberikan jumlah bercak yang banyak. Fase diam seringkali disebut dengan
penyerap atau adsorben (Saifudin, 2014). Pada KLT fasa diam yang biasa
digunakan adalah alumina (Al2O3.xH2O)n atau silika gel (SiO2.xH2O)n. Ikatan
kovalen pada adsorben ini menyebabkan material ini sangat polar
(Sastrohamidjojo, 2002).
KLT memiliki hasil berupa bercak yang dapat dilihat dibawah sinar UV atau
setelah disemprotkan dengan suatu reagen. Dimana bercak ini dapat diukur untuk
mengetahui nilai Rf dari suatu bahan yang diidentifikasi (Saifudin, 2014). Untuk
menghitung nilai Rf (nilai faktor retensi suatu senyawa yang nilainya berupa
angka desimal) dapat digunakan cara :
18
Rf =
Kromatografi kolom adalah teknik pemisahan yang umum dan sangat berguna
dalam kimia organik. Metode pemisahan ini memiliki prinsip yang sama dengan
KLT, tapi dapat diaplikasikan untuk memisahkan sampel dalam jumlah yang lebih
besar dibandingkan KLT. Kromatografi kolom dapat digunakan baik dalam skala
besar maupun skala kecil. Teknik ini dapat diaplikasikan pada berbagai disiplin
ilmu, seperti biologi, biokimia, mikrobiologi, dan obat-obatan. Banyak jenis
antibiotik yang telah dimurnikan dengan kromatografi kolom. Kromatografi
kolom memungkinkan kita untuk memisahkan dan mengumpulkan masing-
masing senyawa dalam beaker glass yang berbeda-beda.
Sebagaimana pada metode KLT, alumina dan silika gel merupakan fasa diam
yang paling populer digunakan dalam kromatografi kolom. Dengan
menggunakan fasa diam ini, sampel yang lebih polar akan lebih lama berikatan
dengan fasa diam, sementara sampel yang kurang polar akan terelusi terlebih
dahulu dari kolom, diikuti dengan komponen dengan kepolaran yang semakin
meningkat secara berurutan (Sastrohamidjojo, 2002).
Kemudian untuk teknik kromatografi yang selanjutnya adalah teknik KCV. KCV
merupakan suatu teknik yang dilakukan dalam suatu sistem yang bekerja pada
kondisi vakum secara berlanjut, sehingga diperoleh kerapatan kemasan yang
maksimum atau dengan menggunakan tekanan rendah untuk meningkatkan laju
air fasa gerak. Urutan eluen yang digunakan dalam kromatografi cair diawali
mulai dari eluen yang mempunyai tingkat kepolaran rendah kemudian
kepolarannya ditingkatkan secara perlahan-lahan (Saifudin, 2014).
19
Kromatografi kolom lainnya adalah kromatografi cair bertekanan tinggi (MPLC)
dan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Pada MPLC memiliki
cara kerja yang hampir sama seperti KCV namun peralatannya dilengkapi dengan
regulator tekanan dan regulator pengatur rasio fase gerak. Rasio bahan yang ingin
dipisah menyesuaikan ukuran kolom. Bahan ditempatkan pada pre kolom yang
disambung pada kolom. Pemisahan dengan alat ini jauh lebih efisien dan dengan
kapasitas yang maksimal. Seringkali MPLC ini dilengkapi dengan lampu UV
(Saifudin, 2014).
Sedangkan untuk HPLC digunakan untuk mendapatkan senyawa target dengan
lebih cepat, efisien, dan lebih aman secara kesehatan. Solven organik yang
digunakan di dalam pemisahan sering kali terbawa udara di dalam ruangan
sehingga sedikit banyak akan terhirup oleh peneliti. Untuk itu, HPLC dipilih
untuk pertimbangan kesehatan yang lebih baik. Dengan sistem ini jumlah b ahan
yang digunakan cukup dalam bobot mg (satuan berat) saja (Saifudin, 2014).
Pada setiap pemisahan menggunakan kromatografi maka akan menggunakan
eluen. Eluen adalah pelarut yang digunakan dalam proses migrasi atau
pergerakan dalam membawa komponen-komponen senyawa yang dipisahkan.
Urutan kromatografi diawali dari eluen yang memiliki tingkat kepolaran yang
rendah berlanjut dengan meningkatkan kepolarannya perlahan-lahan (Ibrahim dan
Sitorus, 2013). Berikut ini merupakan urutan eluen pada kromatografi
berdasarkan penurunan tingkat kepolarannya :
20
Air
Metanol
Asetonitril
Etanol
n-propanol
Aseton
Etil Asetat
Kloroform
Metolen Klorida
Toulena
Benzena
Karbon tetraklorida
Sikloheksana
n-heksana Kepolaran menurun
3. Analisis Kemurnian
Salah satu metode yang dapat digunakan dan cepat dalam analisis kemurnian dari
suatu padatan adalah dengan mengukur titik lelehnya. Rentang titik leleh (melting
point) yang sempit umumnya menunjukan bahwa sampel telah murni, meski
terdapat kemungkinan yang rendah bahwa padatan merupakan campuran eutektik.
Jika sampel hasil rekristalisasi berubah rentang titik leleh dari luas menjadi sempit,
maka proses rekristalisasi tersebut sukses. Teknik penentuan titik leleh dari
senyawa organik yang mudah, menggunakan sampel yang sedikit, dan datanya
memuaskan adalah dengan metode mikro dengan menggunakan pipa kapiler.
Teknik ini banyak digunakan di laboratorium organik (Ibrahim dan Sitorus, 2013).
Ada beberapa pertimbangan dalam menentukan titik leleh yaitu yang pertama
adalah rentang titik leleh yang diamati bergantung pada beberapa faktor yakni
jumlah sampel, laju pemanasan selama penentuan, dan kemurnian serta sifat kimia
21
pada sampel. Akurasi dari pengukuran suhu bergantung sepenuhnya pada kualitas
dan kalibrasi dari thermometer (Ibrahim dan Sitorus, 2013)
F. Karakterisasi Senyawa Secara Spektroskopi
Spektroskopi merupakan suatu studi mengenai antraksi cahaya dengan atom dan
molekul. Radiasi cahaya atau electromagnet dapat dianggap menyerupai
gelombang. Beberapa sifat fisika cahaya paling baik diterangkan dengan ciri
gelombangnya, sedangkan sifat lain diterangkan dengan sifat partikel. Teknik
spektroskopi dapat digunakan untuk menentukan struktur dari senyawa organik
tersebut. Radiasi elektromagnetik tersebut dapat berupa radiasi sinar γ, sinar-X
(X-ray), UV-VIS (ultraungu-tampak), infra merah (IR), gelombang mikro, dan
gelombang radio (Struve and Mills, 1990). Berdasarkan panjang gelombang
radiasi elektromagnetik dapat dibagi menjadi beberapa jenis yang ditunjukan
Gambar 6.
22
Gambar 6. Jenis radiasi elektromagnetik dan panjang gelombangnya (Struve and
Mills, 1990)
Metode spektroskopi yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah
spektroskopi ultraungu-tampak (UV-VIS), spektroskopi inframerah, spektroskopi
resonansi magnetik nuklir (NMR).
1. Spektroskopi Resonansi Magnetik Nuklir
Inti atom-atom tertentu akan mempunyai spin, yang berputar dan menghasilkan
momen magnetik sepanjang aksis spin. Jika inti yang berputar ini diletakkan di
dalam medan magnet, maka sesuai dengan kalkulasi kuantum mekanik, momen
magnetiknya akan searah (paralel; mempunyai energi yang rendah) atau
berlawanan arah (antiparalel, mempunyai energi yang tinggi) dengan arah medan
magnet yang diberikan. Jika sejumlah energi diberikan kepada inti yang berada
dalam medan magnet tersebut, maka inti yang berada pada keadaan parallel akan
berubah arahnya menjadi antiparalel (beresonansi) (Dachriyanus, 2004).
23
Spektrometri NMR atau spektrometri resonansi magnit inti berhubungan dengan
sifat magnit dari inti atom. Spektrometri NMR terdapat dua jenis yaitu
spektrometri 1H-NMR dan
13C-NMR. Dari spektrum
1H-NMR, akan dapat diduga
ada berapa banyak jenis lingkungan hidrogen yang ada dalam molekul, dan juga
jumlah atom hidrogen yang ada pada atom karbon tetangga. Dari spektrum 13
C-
NMR dapat diketahui bagaimana keadaan lingkungan karbon tetangga, apakah
berada dalam bentuk karbon primer, sekunder, tersier, atau kuarterner.
Spektroskopi resonansi magnetik nuklir adalah teknik yang memanfaatkan sifat
magnetik dari inti tertentu. Instrumen yang paling umum dan paling populer
digunanakan adalah Spektroskopi Proton NMR dan Carbon-13 NMR (Settle,
1998).
Inti dari suatu atom yang dianalisis dengan menggunakan spektrometer NMR,
akan mengalami efek dari medan magnet kecil pada lingkungan di dekatnya.
Elektron yang bersirkulasi menyebabkan terjadinya medan magnet pada inti atom.
Saat medan magnet lokal dalam atom berlawanan dengan medan magnet
diluarnya, hal ini dinamakan inti atom tersebut “terperisai”. Inti yang terperisai
memiliki kekuatan medan efektif yang lebih rendah dan beresonansi pada
frekuensi yang lebih rendah. Hal ini menghasilkan setiap jenis inti dalam molekul
akan memiliki frekuensi resonansi yang agak berbeda. Perbedaan ini dinamakan
geseran kimia. Nilai geseran kimia ini memiliki satuan ppm. memberikan nilai
geseran kimia dari beberapa jenis senyawa dengan TMS sebagai titik nol-nya
(Settle, 1997).
24
Berarti, kekuatan medan magnet luar akan menentukan besarnya panjang
gelombang atau frekuensi yang dibutuhkan. Ada beberapa hal yang perlu
diketahui (Dachriyanus, 2004) :
1. Jika suatu medan magnet diatur pada 14,1 T (14.092 G) dan frekuensi radio
pada 60 MHz, suatu inti hidrogen akan berputar dengan energi 5,7 x 10-6
kkal/mol.
2. Pada medan magnet yang sama dengan frekuensi 15 MHz, suatu inti 13
C akan
berputar dengan 1,4 x 10-6
kkal/mol.
3. Resonansi inti tidak hanya terjadi pada inti 1H dan
13C.
Metode spektroskopi jenis ini didasarkan pada penyerapan energi oleh partikel
yang sedang berputar di dalam medan magnet yang kuat. Energi yang dipakai
dalam pengukuran dengan metode ini berada pada daerah gelombang radio 75-0,5
m atau pada frekuensi 4-600 MHz, yang bergantung pada jenis inti yang diukur
(Silverstein et al., 1986). Informasi yang diberikan oleh spektro resonansi
magnetik nuklir ini cukup banyak. Pada dasarnya metode ini digunakan untuk
mengidentifikasi suatu struktur senyawa atau rumus bangun molekul senyawa
organik. Berikut adalah beberapa pergeseran kimia senyawa organik :
25
Tabel 1. Pergeseran kimia untuk proton dalam molekul organik (Silverstein et al.,
1986)
Jenis Senyawa Jenis Proton 1H (δ) ppm
Alkana
Alkuna
Eter
Alkena
Fenol
Alkohol
Aromatik
Aldehid
Karboksilat
C CH3
C C H
H3C O
H2C C
Ar OH
R OH
Ar H
O
C H
O
C OH
0,5 – 2
2,5 - 3,5
3,5 - 3,8
4,5 - 7,5
4 - 8
5 - 5,5
6 - 9
9,8 - 10,5
11,5 - 12,5
G. Bakteri
Bakteri adalah salah satu golongan organisme prokariotik (tidak memiliki
selubung inti). Bakteri sebagai makhluk hidup tentu memiliki informasi genetik
berupa DNA, tapi tidak terlokalisasi dalam tempat khusus (nukleus) dan tidak ada
membran inti. Bentuk DNA bakteri adalah sirkuler, panjang dan biasa disebut
nukleoi. Pada DNA bakteri tidak mempunyai intron (urutan nukleotida yang
terdapat dalam gen antara ekson) dan hanya tersusun atas ekson saja. Bakteri juga
memiliki DNA ekstrakromosomal yang tergabung menjadi plasmid (DNA
26
ekstrakromosomal yang dapat bereplikasi) yang berbentuk kecil dan sirkuler
(Brooks et al., 2013).
Berdasarkan pewarnaan Gram, bakteri dapat dibedakan menjadi dua golongan,
yaitu bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Bakteri Gram negatif zat
lipidnya akan larut selama pencucian dengan alkohol, pori-pori pada dinding sel
akan membesar, permeabilitas dinding sel menjadi besar, sehingga zat warna yang
sudah diserap mudah dilepaskan dan kuman menjadi tidak berwarna. Sedangkan
pada bakteri Gram positif akan mengalami denaturasi protein pada dinding selnya
oleh pencucian dengan alkohol. Protein menjadi keras dan kaku, pori-pori
mengecil, permeabilitas kurang sehingga kompleks ungu kristal jodium
dipertahankan dan sel kuman tetap berwarna ungu. Contoh bakteri gram positif
diantaranya adalah Staphyloccocus aureus dan Bacillus subtilis sedangkan bakteri
gram negatif di antaranya adalah Esherichia coli dan Pseudomonas (Staf Pengajar
FKUI, 1993).
H. Uji Aktivitas Antibakteri
Antibakteri adalah suatu senyawa yang digunakan untuk menghambat bakteri.
Antibakteri biasanya terdapat dalam suatu organisme sebagai metabolit sekunder.
Mekanisme senyawa antibakteri secara umum dilakukan dengan cara merusak
dinding sel, mengubah permeabilitas membran, mengganggu sintesis protein, dan
menghambat kerja enzim. Senyawa yang berperan dalam merusak dinding sel
antara lain fenol, flavonoid, dan alkaloid. Senyawa tersebut berpotensi sebagai
antibakteri alami pada bakteri patogen (Pelczar dan Chan, 2008).
27
Uji aktivitas antibakteri terdiri dari dua metode utama yaitu :
1. Metode Difusi
Pada metode ini, zat antibakteri akan berdifusi ke dalam media agar yang telah
ditanami bakteri. Teknik metode ini secara umum adalah dengan
menginokulasikan kuman secara merata diseluruh pemukaan media agar,
kemudian sampel yang diuji ditempatkan di atas permukaan tersebut. Setelah
diinkubasi, selama 18 - 24 jam pada suhu 37oC, akan terbentuk zona hambat di
sekeliling reservoir sampel. Pengamatan berdasarkan ada atau tidaknya zona
hambat pertumbuhan bakteri disekeliling cakram. Ada tiga macam teknik difusi,
yaitu : cara parit, cara lubang atau sumuran, dan cara cakram.
1. Pada metode parit, media agar yang ditanami bakteri dibuat parit yang
kemudian diisi dengan larutan yang mengandung zat antibakteri dan
diinkubasi selama 18 - 24 jam pada suhu 37oC. Kemudian dilihat ada atau
tidaknya zona hambatan disekeliling parit.
2. Cara lubang atau sumuran, pada media agar yang ditanami bakteri dibuat
lubang atau dengan meletakkan silinder besi tahan karat pada medium agar
yang kemudian diisi dengan larutan yang mengandung zat antibakteri dan
diinkubasikan selama 18 – 24 jam pada suhu 37oC, kemudian dilihat ada
atau tidaknya zona hambatan disekeliling.
28
3. Cara cakram, pada media agar yang telah ditanami bakteri diletakkan di
atas kertas cakram yang mengandung zat antibakteri dan diinkubasikan
selama 18 – 24 jam pada suhu 37oC, kemudian dilihat ada atau tidaknya
zona hambatan di sekeliling cakram. Cara lubang maupun cara cakram
terdapat persamaan yaitu larutan akan berdifusi secara tiga dimensi.
Sedangkan pada cara parit, sampel hanya berdifusi secara dua dimensi
(Brooks et al., 2013).
Luas zona hambat yang tampak mencerminkan tingkat kerentanan
mikroorganisme uji terhadap senyawa antibakteri. Kriteria kekuatan senyawa
antibakteri ditunjukan Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria kekuatan antibakteri
Diameter Zona Hambat (mm) Sifat Daya Hambat
<10 Lemah
10 – 16 Sedang
> 16 Kuat
(Win et al., 2012)
Faktor-faktor yang mempengaruhi metode difusi adalah ketebalan agar, komposisi
dari media agar, konsentrasi inokulum, suhu, dan waktu inkubasi. Ketebalan
lapisan agar yang sedikit saja bervariasi akan menghasilkan efek dan besar zona
hambat yang jauh berbeda. Oleh karena itu, diperlukan ketebalan lapisan agar
yang sama. Cawan petri yang digunakan harus benar-benar rata dan agar harus
dituang pada posisi yang tepat. Media agar mempengaruhi besarnya zona
29
hambatan dengan 3 cara, yaitu : mempengaruhi aktivitas suatu antibakteri,
mempengaruhi kecepatan difusi suatu sampel antibakteri, dan mempengaruhi
kecepatan pertumbuhan bakteri. Aktivitas dari antibakteri dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti adanya kation dalam media, pH dari media, dan adanya
bermacam-macam zat antagonis (pengganggu). Kecepatan difusi dari obat
ditentukan oleh konsenstrasi agar, konsentrasi beberapa ion dalam media, dan
perpanjangan pengikatan elektrostatikantar sampel dan group yang terionisasi di
dalam media agar. Viskositas dari media juga mempengaruhi kecepatan difusi
dan hal ini tergantung juga pada waktu inkubasi. Kapasitas nutrisi dari media
agar sangat ditentukan oleh panjangnya fasa lag dan waktu pertumbuhan untuk
bakteri yang diteliti. Konsentrasi inokulum yang besar akan memperkecil zona
hambat, sebab masa kritis sel akan tercapai dengan cepat. Suhu harus sesuai
dengan suhu optimal untuk pertumbuhan bakteri, yaitu pada 37 oC. Bila tidak
sesuai maka akan mengakibatkan kecepatan pertumbuhan bakteri tidak sesuai
sehingga jumlah bakteri yang diinginkan tidak akan tercapai. Suhu inkubasi yang
rendah dapat memperbesar zona hambat karena akan memperlambat pertumbuhan
bakteri atau dapat juga memperkecil zona hambat karena difusi sampel antibakteri
berjalan lambat. Tetapi efek memperbesar zona hambatan lebih dominan.
Lamanya waktu inkubasi harus merupakan waktu minimal yang diperlukan
pertumbuhan normaldari bakteri percobaan. Perpanjangan waktu dapat
menurunkan aktivitas dan dapat pula menimbulkan muatan resisten (Brooks et al.,
2013).
30
2. Metode Dilusi
Metode ini biasanya digunakan untuk menentukan Konsentrasi Hambat Minimum
(KHM) sampel antibakteri terhadap bakteri uji. Metode dilusi ini dilakukan
dengan mencampurkan zat antibakteri dengan media yang kemudian
diinokulasidengan bakteri. Pengamatannya dengan melihat ada atau tidaknya
pertumbuhan bakteri (Haddadin et al., 2010). Berdasarkan media yang digunakan
dalam percobaan, metode ini dibagi menjadi dua yaitu penipisan lempeng agar
dan pengenceran tabung. Pada penipisan lempeng agar, zat antibakteri yang akan
diuji dilarutkan lebih dahulu dalam air suling steril atau dalam pelarut steril lain
yang sesuai. Kemudian dilakukan dengan pengenceran secara serial dengan
kelipatan dua sampai kadar terkecil yang dikehendaki. Hasil pengenceran
dicampur dengan medium agar yang telah dicairkan kemudian didinginkan pada
suhu 45 oC-50
oC. Setelah itu dituang kedalam cawan petri steril, dibiarkan dingin
dan membeku, lalu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit.
Pada setiap cawan petri diinokulasikan dengan suspensi bakteri yang mengandung
kira-kira 105 sampai 10
6 sel bakteri/ml. Untuk setiap seri pengenceran digunakan
kontrol negatif. KHM yaitu konsentrasi terkecil dari obat yang menghambat
pertumbuhan bakteri, sehingga tabung kaldu dengan konsentrasi sampel
antibakteri tersebut kelihatan jernih dan tidak memperlihatkan pertumbuhan
bakteri bila dibandingkan dengan kontrol (Brooks et al., 2013). Pada pengenceran
tabung, zat antibakteri dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, kemudian diencerkan
dengan kaldu berturut-turut pada tabung-tabung yang disusun dalam satu deret
terkecil yang dikehendaki, dengan metode Kerby Bauwer yang dimodifikasi.
31
Setiap tabung yang berisi 1 ml campuran dengan berbagai kadar tersebut
diinokulasikan dengan suspensi kuman yang mengandung kira-kira 105
sampai
106
sel bakteri/ml. Diinkubasi selama 18 sampai 24 jam pada suhu 37 o
C .
Sebagai kontrol gunakan paling sedikit satu tabung cair dengan inokulum bakteri
tersebut. Kedua cara di atas biasanya digunakan dalam penentuan Kadar Hambat
Minimal (KHM) (Haddadin et al., 2010).
I. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Antibakteri Aktivitas antibakteri ditentukan oleh spektrum kerja (spektrum kerja luas,
spectrum kerja sempit), Cara kerja (bakterisida atau bakteriostatik), dan
ditentukan pula oleh Konsentrasi Hambat Minimun (KHM) serta potensi KHM.
Suatu antibakteri dikatakan mempunyai aktivitas yang tinggi bila KHM terjadi
pada kadar antibakteri yang rendah tetapi mempunyai daya bunuh atau daya
hambat yang besar. Pada percobaan in vitro dengan metode lempeng agar dapat
dilihat pada besar diameter hambatan pertumbuhan mikroba di sekeliling
antibakteri. Bila antibakteri pada kadar yang rendah dapat memberikan diameter
hambatan yang luas dan bening di sekeliling antibakteri, antibakteri tersebut
berpotensi tinggi terhadap mikroba uji yang digunakan (Brooks et al., 2013).
Pada cara difusi agar, digunakan media agar padat dan reservoir yang dapat
berupa cakram kertas, silinder atau cekungan yang dibuat pada media padat.
Larutan uji akan berdifusi dari pencadang ke permukaan media agar padat yang
telah diinokulasi bakteri. Bakteri akan terhambat pertumbuhannya dengan
32
pengamatan berupa lingkaran atau zona disekeliling pencadang. Ada beberapa
faktor yang harus diperhatikan dalam metode difusi. Faktor-faktor tersebut antara
lain:
1. Pra difusi, perbedaan waktu pradifusi mempengaruhi jarak difusi dari zat uji
yaitu difusi antar pencadang.
2. Ketebalan media agar, hal ini penting untuk memperoleh sensitivitas yang
optimal. Perbedaan ketebalan media agar dapat memempengaruhi difusi dari zat
uji kedalam agar sehingga akan mempengaruhi diameter zona hambat. Semakin
tebal media yang digunakan, semakin kecil diameter zona hambat yang terjadi.
3. Kerapatan inokulum, ukuran inokulum merupakan faktor terpenting yang
mempengaruhi lebar zona hambat, jumlah inokulum yang lebih sedikit
menyebabkan obat dapat berdifusi lebih jauh, sehingga zona hambat yang
dihasilkan lebih besar, sedangkan jika jumlah inokulum lebih besar maka akan
dihasilkan zona hambat yang kecil.
4. Suhu inkubasi, kebanyakan bakteri tumbuh baik pada suhu 37oC.
5. Komposisi media agar, perubahan komposisi media dapat merubah sifat media
sehingga jarak difusi berubah. Hal ini akan mempengaruhi aktivitas beberapa
bakteri, kecepatan difusi antibakteri, dan kecepatan pertumbuhan antibakteri.
6. Waktu inkubasi disesuaikan dengan pertumbuhan bakteri karena luas zona
hambat ditentukan beberapa jam pertama, setelah diinokulasikan pada media agar,
maka zona hambat dapat diamati segera setelah adanya pertumbuhan bakteri.
33
7. Pengaruh pH, adanya perbedaan pH media yang digunakan dapat menyebabkan
perbedaan jumlah zat uji yang berdifusi, pH juga menentukan jumlah molekul zat
uji yang mengion. Selain itu pH berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri
(Brooks et al., 2013).
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2018 - Mei 2019, bertempat di
Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas
Lampung. Spektroskopi resonansi magnetik inti (NMR) di Laboratorium NMR
dilakukan di LIPI Serpong. Pengujian antibakteri dilakukan di Laboratorium
Biokimia FMIPA Universitas Lampung dan UPT Laboratorium Terpadu dan
Sentra Inovasi Teknologi Universitas Lampung.
B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas, penguap
putar vakum, satu set alat kromatografi cair vakum (KCV), satu set alat
kromatografi kolom (KK), pengukur titik leleh, lampu UV, pipet kapiler,
inkubator, spektrofotometer NMR JNM-ECZ500R / S1 Agilent frekuensi 500
MHz 1HNMR, laminar air flow, autoclave, lemari pendingin, oven, Microplate
Reader Hospitex-Italy, petri disk, plate 96 well, dan mikropipet. Sedangkan
bahan yang digunakan sebagai sampel adalah kulit akar tumbuhan jengkol
(Archidendron jiringa (Jack) I. C. Nielsen). Pelarut yang digunakan adalah
35
pelarut yang berkualitas teknis yang telah didestilasi yang kemudian digunakan
untuk maserasi dan kromatografi sedangkan untuk analisis spektrofotometer
berkualitas pro-analisis (p.a). Bahan-bahan kimia yang dipakai, yaitu etil asetat
(EtOAc), metanol (MeOH), n-heksana (n-C6H14), aseton (C3H6O2), isopropil
alkohol (IPA), , silika gel Merck G 60 untuk impregnasi, silika gel Merck 60 (35-
70 Mesh) untuk KCV dan KK, untuk KLT digunakan plat KLT silika gel Merck
kiesegal 60 F254 0,25 mm, serium sulfat 1,5% dalam asam sulfat (H2SO4) 2N,
akuades (H2O), media nutrien agar (NA), media trypticase soy broth (TSB),
antibiotik (amoxicillin dan chloramphenicol), serta bakteri Escherichia coli dan
Bacillus subtilis.
C. Prosedur Percobaan
1. Persiapan Sampel
Kulit akar tumbuhan jengkol (Archidendron jiringa (Jack) I. C. Nielsen) diperoleh
di daerah perumahan Gedung Meneng, Bandar Lampung pada tanggal 25 Januari
2018. Setelah itu, dilakukan determinasi untuk menentukan spesies di Herbarium
Bogoriensis bidang Botani Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Cibinong, Jawa Barat.
Kulit akar jengkol dipisahkan dari bagian kayu akar, lalu dicuci bersih dengan air,
kemudian diiris kecil-kecil, dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan.
36
Selanjutnya, kulit akar ditumbuk hingga menjadi serbuk halus yang kemudian
digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini.
2. Ekstraksi dengan Berbagai Pelarut
Serbuk halus kulit akar jengkol ditimbang sebanyak 2500 gram kemudian
dimaserasi menggunakan beberapa pelarut seperti n-heksana selama 1 × 24 jam
dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan, perlakuan yang sama juga dilakukan
menggunakan pelarut etil asetat dan metanol. Lalu ketiga ekstrak hasil
perendaman disaring menggunakan kertas saring. Masing-masing filtrat dari
berbagai pelarut yang didapat lalu dipekatkan dengan rotary evaporator.
Kemudian ditimbang ekstrak pekat yang didapat.
3. Kromatografi Cair Vakum (KCV)
Kemudian ekstrak kasar difraksinasi dengan KCV. Fasa diam silika gel halus
dimasukkan ke dalam kolom sebanyak 3 kali berat sampel. Lalu dengan
menggunakan alat vakum, kolom dikemas kering dalam keadaan vakum. Eluen
yang kepolarannya rendah, dimasukkan ke permukaan silika gel halus terlebih
dahulu kemudian divakum kembali. Kolom dihisap sampai kering dengan alat
vakum. Ekstrak kasar dilarutkan dalam aseton dan diimpregnasikan kepada silika
gel kasar, kemudian dimasukkan pada bagian atas kolom yang telah berisi fasa
diam lalu dihisap secara perlahan-lahan ke dalam kemasan dengan cara
memvakumkannya. Setelah itu kolom dielusi dengan etil asetat/n-heksan 0% :
37
100% sampai dengan etil asetat/ n-heksana 100% : 0%. Kolom dihisap dengan
vakum sampai kering pada setiap penambahan eluen (tiap kali elusi dilakukan).
Kemudian fraksi-fraksi yang terbentuk dikumpulkan berdasarkan pola
fraksinasinya. Fraksinasi sampel dengan teknik KCV dilakukan berulang kali
dengan perlakuan yang sama seperti tahapan KCV awal.
4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Sebelum fraksinasi terlebih dahulu dilakukan uji KLT dan juga fraksi-fraksi yang
didapat setelah perlakuan fraksinasi juga dilakukan uji KLT. Uji KLT dilakukan
menggunakan sistem campuran eluen menggunakan pelarut n-heksana, etilasetat,
metanol, dan diklorometana. Hasil kromatogram tersebut kemudian disemprot
menggunakan larutan serium sulfat, FeCl3, dan AlCl3 dalam MeOH untuk
menampakkan bercak/noda dari komponen senyawa tersebut. Ketika diperoleh
fraksi yang lebih sedikit bercak/noda dilihat di bawah lampu UV setelah
dilakukan elusi terhadap plat KLT. Lalu dilakukan penggabungan setiap fraksi
yang menghasilkan pola pemisahan dengan Rf (Retention factor) yang sama pada
kromatogram, kemudian dipekatkan sehingga diperoleh beberapa fraksi gabungan.
Kemudian difraksinasi lebih lanjut fraksi gabungan yang didapat.
38
5. Kromatografi Kolom (KK)
Fraksinasi sampel dilakukan menggunakan teknik kromatografi kolom. Teknik
kromatografi kolom dilakukan setelah dihasilkan fraksi-fraksi dengan jumlah
yang lebih sedikit. Adsorben silika gel Merck (35-70 Mesh) dilarutkan dalam
pelarut yang akan digunakan dalam proses pengelusian. Slurry dari silika gel
dimasukkan terlebih dahulu ke dalam kolom, atur fasa diam hingga rapat (tidak
berongga) dan rata. Selanjutnya masukkan sampel yang telah diimpregnasi pada
silika gel ke dalam kolom yang telah berisi fasa diam. Pada saat sampel
dimasukkan, usahakan agar kolom tidak kering/kehabisan pelarut karena akan
mengganggu fasa diam yang telah dikemas rapat, sehingga proses elusi tidak akan
terganggu.
6. Spektroskopi Resonansi Magnetik Nuklir (NMR)
Sampel berupa kristal murni yang akan diidentifikasi dilarutkan ke dalam pelarut
inert yang tidak mengandung proton seperti CCl4 dan CDCl3, lalu ditambahkan
sedikit senyawa acuan. Larutan ini ditempatkan dalam tabung gelas tipis dengan
tebal 5 mm di tengah-tengah kumparan frekuensi radio (rf) di antara dua kutub
magnet yang sangat kuat kemudian energi dari kumparan rf ditambah secara
terus-menerus. Energi pada frekuensi terpasang dari kumparan rf yang diserap
cuplikan direkam dan memberikan spektrum NMR.
39
7. Pengujian Aktivitas Antibakteri
a. Metode Difusi (Brooks et al., 2013) Pengujian aktvitas antibakteri dari sampel hasil isolasi tanaman jengkol digunakan
metode difusi agar. Tahap awal yang dilakukan pada pengujian aktivitas
antibakteri pada sampel hasil isolasi adalah preparasi bahan-bahan yang akan
digunakan dan dilakukan sterilisasi alat yang akan digunakan menggunakan
autoclave. Kemudian sebanyak 4,5 gram Nutrient Agar ( NA ) ditambahkan 150
ml aquades lalu ditempatkan ke dalam erlenmeyer dan dipanaskan hingga NA
larut homogen. Selanjutnya media agar berubah menjadi bening, lalu ditambahkan
65 ml aquades ke dalam erlenmeyer. Kemudian disterilkan dengan autoclave
selama 15 menit bersama dengan cawan petri yang telah diberi tiga tanda pada
daerah sampel, kontrol positif, dan kontrol negatif. Media yang disterilkan
dimasukkan ke dalam laminar air flow selama 15 menit. Lalu media dituangkan
ke dalam cawan petri yang sudah disterilkan. Lalu dituangkan suspensi yang
dibuat dari satu ose bakter dalam aquades steril dan dihomogenkan ke dalam
media agar. Setelah itu, paper disk yang telah diimpregnasikan larutan uji,
kontrol positif, dan kontrol negatif dimasukkan ke dalam cawan petri dan
dibungkus kembali menggunakan kertas dan disimpan dalam inkubator selama 24
jam.
40
b. Metode Dilusi (MIC 96 Plate well) (Nicolic et al., 2014)
1. Persiapan Sampel dan Media
Media TSB 100 µL dimasukkan ke dalam Microplate Reader 96 well. Lalu
ditambahkan pengujian menggunakan kontrol (kontrol blanko: tanpa perlakuan,
tanpa penambahan; kontrol positif (antibiotik) : 100µL kloramfernikol 2000 ppm,
kontrol negatif (pelarut sampel): 100 µL metanol; senyawa: 100 µL (senyawa
ekstrak kulit akar tumbuhan jengkol).
2. Pengujian Sampel
Masing-masing pengujian ditambahkan pada well pertama dan didelusi hingga
well terakhir. Selanjutnya ditambahkan 100 µL inokulum bakteri dan di inkubasi
pada suhu 37°C selama 18 jam. Setelah diinkubasi, analisis pre-rezazurin
dilakukan dengan mengukur serapannya dengan menggunakan Microplate Reader
Hospitex-Italy pada panjang gelombang 630 nm. Kemudian ditambahkan
rezazurin 0,2% sebanyak 50 µL dan diinkubasi kembali pada suhu 37°C selama 2-
4 jam. Setelah diinkubasi, analisis pra-rezazurin dilakukan dengan mengukur
serapannya dengan menggunakan Microplate Reader Hospitex-Italy pada panjang
gelombang 630 nm (Nikolic et al., 2014).
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Ekstrak etil asetat kulit akar tanaman jengkol (Archidendron jiringa (Jack) I.
C. Nielsen) memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Esherichia coli dan
Bacillus subtilis yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak n-heksana.
2. Fraksi E13 dan fraksi E28 memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri E.
coli dan B. subtilis yang lebih baik dibandingan dengan fraksi yang lainnya
dari hasil kolom yang sama.
3. Fraksi E13 dan fraksi E28 memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri E.
coli dan B. subtilis yang lebih baik dibandingan subfraksi E13 dan fraksi E28
hasil pemurniannya.
4. Berdasarkan data hasil 1H-NMR senyawa yang terdeteksi pada subfraksi
E2816 adalah senyawa golongan fenolik.
64
B. Saran
Dari hasil penelitian disarankan untuk:
1. Dilakukan pemurnian lebih lanjut pada subfraksi terakhir yang diperoleh.
2. Dilakukan analisis spektroskopi lainnya seperti UV – VIS, FTIR, dan 13
C –
NMR pada senyawa murni yang diperoleh dari saran 1.
3. Dilakukan isolasi dan pemurnian pada fraksi – fraksi lain yang memiliki
aktivitas antibakteri.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S.A. 1986. Buku Materi Pokok Kimia Organik Bahan Alam.
Karunika Universitas Terbuka. Jakarta. Hlm 39
Bekker, M., R. Bekker, and V. E. Brandt. 2006. Two flavonoid glycosides and a
miscellaneous flavan from the Bark of Guibourtia coleosperma.
Phytochemistry. 67(8). Hlm. 818–823.
Brooks, G. F., K. C. Caroll, J. Butel, S. A. Morse, and T. Mietzner. 2013. Medical
Microbiology, Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical Microbiology.
McGraw-Hill. New York. Hlm. 279-829.
Clesceri, L. S., Greenberg, A. E., and Eaton, A. D. 1998. Standard Methods for
The Examination Of Water and Wastewater. American Public Health
Association. ISBN 0875532357. Hlm 1325.
Dachriyanus. 2004. Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi.
Multimedia LPTIK. Padang. Hlm.1-126.
Danarto, S. A. 2013. Keragaman dan Potensi Koleksi Polong-Polongan (Fabaceae)
Di Kebun Raya Purwodadi. Jurnal Konservasi Tumbuhan. 18-181. Hlm.
1–7.
Dia, S. P. S., Nurjanah and A. J. Mardiono. 2015. Chemical Composition,
Bioactive Components and Antioxidant Activities from Root, Bark and
Leaf Lindur. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 18(2). Hlm.
205–219.
Doughari, J. H. 2006. Antimicrobial activity of Tamarindus indica Linn. Tropical
Journal of Pharmaceutical Research. 5(2). Hlm. 597–603.
Dwiprahasto, I. 2005. Kebijakan Untuk Meminimalkan Risiko Terjadinya
Resistensi Bakteri di Unit Perawatan Rumah Sakit. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan. 8(4). Hlm. 177–181.
Eloff, J. N. 1998. National Committee for Clinical Laboratory Standards (1990)
Method for Dilution Antimicrobial Susceptibilty Test for Bacteria That
Grow Aerobically - Second Edition; Approved Standard. J.
Ethnopharmacol. 60. Hlm 1-8.
66
Gunawan, I. W., G. I. G. A. Bawa, dan N. L. Sutrisnayati. 2008. Isolasi dan
identifikasi senyawa terpenoid yang aktif antibakteri pada herba meniran
(Phyllanthus niruri Linn). Issn. 1907-9850. Hlm. 31–39.
Haddadin, R. N. S., S. Saleh, I. S. I. Al-Adham, T. E. J. Buultjens, , and P. J.
Collier. 2010. The Effect of Subminimal Inhibitory Concentrations of
Antibiotics On Virulence Factors Expressed by Staphylococcus aureus
Biofilms. Journal of Applied Microbiology. 108(4). Hlm.1281–1291.
Harbone, J. B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. Cetakan II, Diterjermahkan Oleh K. Padawinata dan I. Soediro.
ITB. Bandung.
Hasan, N., H. Osman., S. Mohamad., and W.K. Chang. 2012. The Chemical
Components of Sesbania grandiflora Root and Their Antituberculosis
Activity. Pharmaceuticals. 5. Hlm 882-889.
Heyney, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Yayasan Sarana Wahajaya.
Jakarta. Hlm. 1385-1386.
Hidayat, D. dan G. Hardiansyah. 2012. Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan
Obat di Kawasan IUPHHK PT . Sari Bumi Kusuma Camp Tontang
Kabupaten Sintang. Jurnal Vokasi. 8(2). Hlm. 61–68.
Hutauruk, J. E. 2010. Isolasi Senyawa Flavonoida Dari Kulit Buah Tumbuhan
Jengkol (Pithecollobium lobatum Benth.). (Skripsi). Universitas Sumatera
Utara.Sumatera Utara.
Ibrahim, S. dan M. Sitorus. 2013. Teknik Laboratorium Kimia Organik. Graha
Ilmu. Yogyakarta. Hlm. 20-23.
Ito, C., T. Murata, M. Itoigawa, K. Nakao, M. Kumagai, N. Kaneda, and H.
Furukawa. 2006. Induction of Apoptosis by Isoflavonoids From the
Leaves of Millettia taiwaniana in Human Leukemia HL-60 Cells. Planta
Medica. 72 (5). Hlm. 424-429.
Jawetz, M. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. edisi 23. Penerbit Buku Kedokteran
ECG. Jakarta. Hlm 375-379.
Ji, Y. S., N. Dian, dan T. Rinanda. 2012. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol
Kelopak Bunga Rosella ( Hibiscus sabdariffa L). Terhadap Streptococcus
pyogenes Secara In Vitro. JKS. 1. Hlm. 31–36.
Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Kemenkes RI. Jakarta. Hlm.
35-38.
67
Lewis, G., B. Schrire, and M. Lock. 2005 Legumes of The World. Africa.
(28).Hlm. 1–8.
Mariska, I. 2013. Metabolit Sekunder : Jalur Pembentukan dan Kegunaannya. BB
Biogen Litban. Departemen Pertanian. Hlm. 1–5.
Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Alih Bahasa Kosasih
Padmawinata. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Hlm. 117.
Maxiselly, Y., Ustari, D., Ismail, A., dan Kurniawan. 2016. Pola Penyebaran
tanaman jengkol (Pithecellobium jiringa (Jack) Prain.) di Jawa Barat
Bagian Selatan Berdasarkan Karakter Morfologi. Jurnal Kultivasi. 15(1).
Hlm. 8-13.
Muljono, P., Fatimawali dan A. E. Manampiring. 2016. Uji Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Daun Mayana Jantan (Coleus atropurpureus Benth) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Streptococcus Sp . dan Pseudomonas Sp. Jurnal e-
Biomedik (eBm). 4(1). Hlm. 164–172.
Multazami, T. 2013. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Asam Jawa
(Tamarindus indica L.) Terhadap Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan
Escherichia coli ATCC 11229. Hlm. 1–13.
Nagegowda, D. A. 2010. Plant Volatile Terpenoid Metabolism: Biosynthetic
Genes, Transcriptional Regulation and Subcellular Compartmentation.
FEBS Letters. Hlm. 2965–2973.
Nikolic, M., Markovic, T., Markovic, D., Glamoclija, J., Ciric, A., Smiljkovic, M.,
and Sokovic, M. 2014. Antimicrobial Activity of Three Lamiaceae
Essential Oil Against Common Oral Pathogens. Balkan Journal of Dental
Medicine. 20. Hlm 160-167.
Noviany, N., A. Nurhidayat, S. Hadi, T. Suhartati, M. Azi, N. Purwitasari, and I.
Subasman. 2018. Sebasgrandifloarain A and B: Isolation of Two New 2-
arylbenzofurans From The Stem Bark of Sesbania grandiflora. Natural
Product Research. 32. Hlm. 1-8.
Nwodo, U. U., G. E. Obiiyeke, V. N. Chigor, and A. I. Okoh.2011. Assessment of
Tamarindus indica Extracts For Antibacterial Activity. International
Journal of Molecular Sciences. 12(10). Hlm. 6385–6396.
Pelczar, M. J. dan Chan, E. S. C. 2008. Dasar - Dasar Mikrobiologi 2. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Pettit. G.R., A. Numata, C. Iwamoto, Y. Usami, T. Yamada, H. Ohishi, and G. M.
Cragg. 2006. Antineoplastic Agents. Isolation and Structures of
Bauhiniastatins 1-4 from Bauhinia purpurea. J. Nat. Prod.69. Hlm. 323-
327.
68
Priya, V., Mallika, J., Surapaneni, K. M., Saraswathi, P., and Chandra, S. G. 2010.
Antimicrobakterial Activity of Pericarp Exstract of Garcinia mangostana
Linn. International Journal of Pharma Sciences and Research. 8. Hlm.
278-281.
Radji, M. 2005. Peranan Bioteknologi Dan Mikroba Endofit Dalam
Pengembangan Obat Herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2(3). Hlm.. 113–
126.
Rizal, M., Yusransyah dan S. N. Stiani. 2016. Uji Aktivitas Antidiare Ekstrak
Etanol 70% Kulit Buah Jengkol (Archidendron pauciflorum (Benth.)
I.C.Nielse) Terhadap Mencit Jantan Yang Diinduksi Oleum Ricini. 2(2).
Hlm. 131–136.
Saifudin, A. 2014 Senyawa Alam Metabolit Sekunder Teori, Konsep, dan Teknik
pemurnian. Deepublish. Sleman.Hlm. 1-191.
Salni, H. Marisa, dan R. W. Mukti. 2011. Isolasi Senyawa Antibakteri Dari Daun
Jengkol (Pithecolobium lobatum Benth) dan Penentuan Nilai KHM-nya.
Jurnal Penelitian Sains. 14(D). Hlm.. 38–41.
Sarker, S. D., Nahar, L., and Kumarasamy, Y. 2007. Microtitre Plate - Based
Antibacterial Assay Incorporating Rezazurin As An Indicator of Cell
Growth, and Its Application In The In Vitro Antibacterial Screening of
Phytochemicals. Elsevier. 42. Hlm 321-324.
Sastrohamidjojo. 2002. Kromatografi. Journal of Chemical Information and
Modeling. 53. Hlm. 54.
Settle, F. A. 1998. Handbook of Instrumental Techniques for Analytical Chemistry.
IEEE Electrical Insulation Magazine. Prentice-Hall Inc.New Jersey.Hlm.
42.
Silverstein, R. M., Bassler, G. B., and Morcill, T. C. D. 1986. Penyelidikan
Spektrometrik Senyawa Organik. Alih Bahasa: A. J. Hartomo, dan Anny V.
P. Erlangga. Jakarta. Hlm. 191-195.
Sopian, A., Darmawan, A., dan Simanjuntak, P. 2019. Identifikasi Senyawa
Kimia Fenolik Dalam Ekstrak Etil Asetat Kulit Buah Jengkol. Ejournal
Poltektegal. 8(1). Hlm 51-55.
Staf Pengajar FKUI .1993. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara
Publisher. Depok. Hlm. 17-483.
Struve, W. and I. Mills. 1990. Fundamentals of Molecular Spectroscopy,
Vibrational Spectroscopy. A Wiley - Interscience Publication.New York.
Hlm. 103-104.
69
Syafnir, L. dan Y. Krishnamurti. 2015. Uji Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol
Kulit Jengkol (Archidendron pauciflorum (Benth.) I.C.Nielsen). Prosiding
SNaPP2014 Sains. Teknologi, dan Kesehatan. 4(1). Hlm. 65–72.
Tambun, R., Limbong, H. P., Pinem, C., Manurung, E. 2016. Pengaruh Ukuran
Partikel, Waktu dan Suhu Pada Ekstraksi Fenol Dari Lengkuas Merah.
Jurnal Teknik Kimia USU. 5. Hlm. 4.
Usman, H. 2014. Kimia Organik Bahan Alam Laut.FMIPA Universitas
Hasanuddin. Makasar
Win, J., G. A. Chapparro, K. Belhaj, D. G. O Saunders, K. Yoshida, S. Dong, S.
Schornack, C. Zipfel, S. Robatzek, S. A. Hogenhout, and S. Kamoun.
2012. Effector biology of plant-associated organisms: Concepts and
perspectives. Cold Spring Harbor Symposia on Quantitative Biology. 77.
Hlm. 235–247.
Zhao P, Y. Iwamot, I. Kouno , Y. Egami, and H. Yamamoto. 2004. Stimulating
The Production of Homoisoflavonoids In Cell Suspension Cultures of
Caesalpinia pulcherrima Using Cork Tissue. Phitochemistry. 65. Hlm.
2455-2461.