Upload
others
View
22
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI PADA TANAMAN
BAWANG MERAH (Allium cepa L.) ASAL KABUPATEN BREBES
SEBAGAI PENGHAMBAT PERTUMBUHAN Fusarium sp. SECARA
IN VITRO
WULIANI AMALIA
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021 M / 1442 H
WULIANI AMALIA
11140950000025
ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI PADA TANAMAN BAWANG MERAH
(Allium cepa L.) ASAL KABUPATEN BREBES SEBAGAI PENGHAMBAT
PERTUMBUHAN Fusarium sp. SECARA IN VITRO
JAKARTA
2021 M/ 1442 H
ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI PADA TANAMAN
BAWANG MERAH (Allium cepa L.) ASAL KABUPATEN BREBES
SEBAGAI PENGHAMBAT PERTUMBUHAN Fusarium sp. SECARA
IN VITRO
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
WULIANI AMALIA
11140950000025
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021 M / 1442 H
ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI PADA TANAMAN
BAWANG MERAH (Allium cepa L.) ASAL KABUPATEN BREBES
SEBAGAI PENGHAMBAT PERTUMBUHAN Fusarium sp. SECARA
IN VITRO
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
WULIANI AMALIA
11140950000025
Menyetujui,
Pembimbing I, Pembimbing II,
Ir. Yadi Suryadi, M.Sc Dr. Nani Radiastuti, M.Si
NIP. 195809251985031002 NIP. 196509022001122001
Mengetahui :
Ketua Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi yang berjudul “Isolasi dan Karakterisasi Bakteri pada Tanaman
Bawang Merah (Allium cepa L.) asal Kabupaten Brebes sebagai Penghambat
Pertumbuhan Fusarium sp. secara In Vitro’’yang ditulis oleh Wuliani Amalia
dengan NIM 11140950000025 telah diuji dan dinyatakan “LULUS” dalam
Sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 16 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Program Studi Biologi.
Menyetujui;
Penguji I, Penguji II,
Ir. Etyn Yunita, M.Si
NIP.197006282014112002
Pembimbing I, Pembimbing II,
Ir. Yadi Suryadi, M.Sc Dr. Nani Radiastuti, M.Si
NIP. 195809251985031002 NIP. 196509022001122001
Mengetahui :
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Biologi
Nashrul Hakiem, S.Si., M.T., Ph.D
NIP. 197106082005011005
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN
Tangerang Selatan, Juni 2021
WULIANI AMALIA
NIM. 11140950000025
i
ABSTRAK
WULIANI AMALIA, Isolasi dan Karakterisasi Bakteri pada Tanaman Bawang
Merah (Allium cepa L.) asal Kabupaten Brebes sebagai Penghambat Pertumbuhan
Fusarium sp. secara In Vitro. Skripsi. Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dibimbing oleh
Ir. Yadi Suryadi, M.Sc dan Dr. Nani Radiastuti, M.Si.
Tanaman bawang merah termasuk komoditas sayuran unggulan dengan banyak
manfaat diantaranya sebagai bumbu penyedap dan bahan obat. Kebutuhan
masyarakat akan bawang merah terus meningkat tetapi hasil produksinya masih
belum mencukupi. Salah satu penyebabnya adalah penyakit layu (moler) yang
disebabkan oleh kapang Fusarium sp. Mikroorganisme dari kelompok bakteri
mempunyai banyak peran dalam dalam menekan pertumbuhan Fusarium sp.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh isolat bakteri berasal dari tanaman
bawang merah Brebes yang berpotensi sebagai penghambat pertumbuhan
Fusarium sp. Berdasarkan diameter zona hambat dan persentase penghambatan
serta uji kitinase, diperoleh 9 isolat yang dapat menekan pertumbuhan kapang
Fusarium sp. Isolat bakteri AB3, TB2, dan UB1 adalah isolat terbaik yang mampu
menghambat Fusarium sp. dengan persentase hambatan masing-masing 46,80%;
40,24%; dan 35,11%. Isolasi DNA dan sekuensing 16S rRNA diakukan terhadap
3 isolat bakteri tersebut. Hasil sekuensing menunjukan bahwa isolat AB3
memiliki kemiripan dengan bakteri Bacillus subtilis sebesar 99,75%, isolat TB2
memiliki kemiripan dengan B. subtilis sebesar 100% sedangkan isolat UB1
memiliki kemiripan dengan bakteri Pseudomonas nitroreducens sebesar 89,35%.
Hasil analisis menunjukan bahwa isolat AB3, TB2, dan UB1 termasuk kategori
sedang dalam menekan pertumbuhan kapang Fusarium sp. sehingga bakteri
tersebut dapat berperan sebagai agen pengendali hayati.
Kata kunci: Bacillus subtilis; Persentase Hambatan; Pseudomonas nitroreducens;
Tanaman bawang merah;
ii
ABSTRACT
WULIANI AMALIA, Isolation and Characterization of Bacteria on Shallot
(Allium cepa L.) from Brebes Regency as a Growth Inhibitor of Fusarium sp. by
in Vitro. Skripsi. Study Program of Biology, Faculty of Science and Technology,
Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervised by Ir. Yadi
Suryadi, M.Sc and Dr. Nani Radiastuti, M.Si.
Shallot is one of the leading vegetable commodities which have many benefits
such as for seasonings and herbal medicinal ingredients. The demand of shallots
continues to increase however the production is still not sufficient. One of the
causes of low shallot production is wilt (moler) disease caused by Fusarium sp.
Microorganisms as bacteria have many roles in suppressing the growth of
Fusarium sp. This study aims to obtain potential bacterial isolates from the shallot
plant to inhibit the growth of Fusarium sp. Based on diameter zone inhibition,
degree of percentage inhibition and chitinase test, it was obtained 9 isolates that
can suppress the growth of Fusarium sp. The results indicated that the bacterial
isolates of AB3, TB2, and UB1 were the best isolates capable to inhibit the
growth of Fusarium sp. with a percentage of inhibition respectively 46,80%;
40,24%; and 35,11%. DNA isolation and 16S rRNA sequencing were carried to
those bacterial isolates. Based on 16S rRNA sequencing results, AB3 isolate has
similarities with Bacillus subtilis by 99,75%, TB2 isolate has similarities with B.
subtilis by 100%, and UB1 isolate has similarities with Pseudomonas
nitroreducens by 89,35%. The analysis showed that AB3, TB2, and UB1 isolates
were categorized as moderate in suppressing the growth of Fusarium sp. so these
bacteria can act as biological control agents.
Keyword: Bacillus subtilis; Inhibition Percentage; Pseudomonas nitroreducens;
Shallot
iii
KATA PENGANTAR
Assalaamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Salawat
dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarganya yang telah memberikan cahaya Islam dan semoga tercurah bagi kita
semua sebagai pengikutnya, aamiin. Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis telah
menyelesaikan skripsi yang berjudul: Isolasi dan Karakterisasi Bakteri pada
Tanaman Bawang Merah (Allium cepa L.) asal Kabupaten Brebes sebagai
Penghambat Pertumbuhan Fusarium sp. secara In Vitro.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Nashrul Hakiem, S.Si., M.T., Ph.D selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Priyanti, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
3. Ir. Yadi Suryadi, M.Sc selaku pembimbing I yang telah berperan dalam
memberikan arahan baik secara tulisan maupun teknik pelaksanaan penelitian
hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
4. Dr. Nani Radiastuti, M.Si selaku pembimbing II yang berperan dalam
membantu konsultasi dan memberikan arahan dalam menyelesaikan skripsi.
5. Dr. Priyanti, M.Si dan Agustina Senjayani, M.Si selaku penguji seminar
proposal dan seminar hasil yang telah memberikan arahan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
6. Narti Fitriana, M.Si dan Ir. Etyn Yunita, M.Si selaku penguji sidang skripsi
yang telah memberikan arahan serta bimbingan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi.
iv
7. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si selaku dosen Pembimbing Akademik yang
berperan dalam memberikan arahan dalam menyelesaikan skripsi.
8. Laboratorium Mikrobiologi, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen) dan PT.
Genetika Science Indonesia yang telah bersedia mendukung penulis untuk
melakukan penelitian.
9. Jajang Kosasih dan Siti Aminah selaku teknisi penelitian yang berperan
dalam memberikan arahan secara teknis di laboratorium.
10. Keluarga besar penulis terutama kedua orang tua dan adik-adik penulis
karena telah memberikan dukungan penuh serta semangat sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi.
11. Teman-teman Biologi 2014 yang berperan dalam memberi motivasi sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi.
Kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik yang disebutkan
maupun yang tidak disebutkan, penulis mengucapkan terima kasih.
Tangerang Selatan, Juni 2021
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK………………...………………………………...…………………….i
ABSTRACT ....................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 3
1.3. Hipotesis Penelitian ............................................................................... 3
1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................... 4
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................. 4
1.6. Kerangka Berpikir ................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Bawang Merah (Allium cepa L.) ............................................. 5
2.2. Fusarium sp. .......................................................................................... 9
2.3. Penyakit Moler (Layu Fusarium sp.) .................................................... 11
2.4. Pengendalian Penyakit Moler (Layu Fusarium sp.) .............................. 12
2.5. Sekuensing 16S rRNA ......................................................................... 14
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat ............................................................................... 16
3.2. Alat dan Bahan .................................................................................... 16
3.3. Rancangan Penelitian ........................................................................... 17
3.4. Cara Kerja ........................................................................................... 17
3.4.1. Pembuatan media .............................................................................. 17
3.4.2. Isolasi bakteri dari tanaman bawang merah (Allium cepa L.) ............. 19
vi
3.4.3. Pemurnian bakteri ............................................................................. 20
3.4.4. Uji antagonis secara in vitro pada media PDA .................................. 20
3.4.5. Karakterisasi morfologi bakteri antagonis.......................................... 20
3.4.6. Uji kitinase ........................................................................................ 21
3.4.7. Isolasi DNA bakteri........................................................................... 23
3.4.8. Amplifikasi DNA dengan PCR (Polymerase Chain Reaction) ........... 24
3.4.9. Uji elektroforesis ............................................................................... 24
3.4.10. Uji sekuensing 16S rRNA ............................................................... 25
3.4.11. Parameter pengamatan .................................................................... 25
3.5. Analisis Data ....................................................................................... 27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Diameter Fusarium sp. pada Antagonis secara In Vitro ........................ 28
4.2. Kitinase Kualitatif ................................................................................ 31
4.3. Kitinase Kuantitatif .............................................................................. 33
4.4. Karakterisasi Morfologi Bakteri Antagonis .......................................... 35
4.5. Identifikasi Bakteri secara Molekuler ................................................... 36
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1. Kesimpulan.......................................................................................... 42
5. 2. Saran ................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 43
LAMPIRAN ..................................................................................................... 51
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berfikir ................................................................................ 5
Gambar 2. Pembungaan pada tanaman bawang merah.......................................... 6
Gambar 3. Struktur umbi bawang merah. ............................................................. 7
Gambar 4. Morfologi kapang Fusarium sp. ........................................................ 10
Gambar 5. Gejala penyakit moler ....................................................................... 12
Gambar 6. Akibat penyakit moler ...................................................................... 12
Gambar 7. Sampel yang dipotong menjadi 4 bagian pada media NA .................. 19
Gambar 8. Metode pengukuran zona hambat. ..................................................... 26
Gambar 9. Uji antagonis secara in vitro .............................................................. 28
Gambar 10. Diameter pertumbuhan Fusarium sp. pada uji antagonis ................. 29
Gambar 11. Pengujian kitinase kualitiatif pada bakteri antagonis ....................... 33
Gambar 12. Aktivitas kitinase pada pengujian kitinase kuantitatif ...................... 34
Gambar 13. Visualisasi hasil elektroforesis DNA ............................................... 37
Gambar 14. Karakteristik isolat bakteri AB3 dan TB2. ....................................... 39
Gambar 15. Karakteristik isolat UB1.................................................................. 40
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Konsentrasi larutan standar ................................................................... 22
Tabel 2. Formula PCR mix solution.................................................................... 24
Tabel 3. Pengaturan program pada PCR thermal cycler ...................................... 24
Tabel 4. Klasifikasi aktivitas anti kapang ........................................................... 27
Tabel 5. Rata-rata diameter Fusarium sp. hasil uji antagonis .............................. 29
Tabel 6. Hasil uji independent t-test ................................................................... 30
Tabel 7. Karakteristik makroskopis bakteri antagonis ......................................... 35
Tabel 8. Indeks kitinolitik pada uji kitinase kualitatif ......................................... 32
Tabel 9. Hasil analisis BLAST sekuens DNA isolat bakteri terbaik .................... 38
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Isolasi Bakteri asal Akar, Daun, Umbi, dan Tanah.......................... 51
Lampiran 2. Pengujian Antagonis ...................................................................... 52
Lampiran 3. Pengukuran Diameter Fusarium sp. pada Pengujian Antagonis ...... 55
Lampiran 4. Pengukuran Zona Hambat Fusarium sp. dengan Rumus (X+Y)/2 ... 57
Lampiran 5. Rata-Rata Pengukuran Zona Hambat Fusarium sp.......................... 59
Lampiran 6. Persentase Hambatan Diameter Zona Hambat Fusarium sp. ........... 60
Lampiran 7. Isolat Bakteri Antagonis secara Makroskopis dan Mikroskopis ...... 61
Lampiran 8. Pengujian Kitinase Kualitatif pada Bakteri Antagonis .................... 63
Lampiran 9. Pengukuran Indeks Kitinolitik pada Uji Kitinase Kualitatif ............ 65
Lampiran 10. Pengukuran Nilai Absorbansi pada Uji Kitinase Kuantitatif.......... 66
Lampiran 11. Hasil Identifikasi Isolat Bakteri .................................................... 67
Lampiran 12. Hasil BLAST Sekuen Gen 16S rRNA Isolat Bakteri..................... 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bawang merah (Allium cepa L.) termasuk salah satu komoditas sayuran
unggulan dan mempunyai banyak manfaat. Bawang merah juga termasuk ke
dalam kelompok rempah yang berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan serta
bahan obat herbal sehingga tanaman bawang merah ini banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat. Kebutuhan masyarakat terhadap bawang merah yang semakin
meningkat berdampak pada perkembangan luas panen bawang merah (Pusat Data
& Sistem Informasi Pertanian, 2016).
Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi negara penghasil bawang
merah terbesar di dunia karena memiliki iklim tropis. Sentra produksi bawang
merah di Inonesia menyebar di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat,
dan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan data Food and Agriculture Organization
(FAO) pada tahun 2009-2013, Indonesia menempati urutan keempat setelah New
Zealand, Perancis, dan Netherland sebagai eksportir bawang merah di dunia dan
menempati urutan pertama di ASEAN (Pusat Data & Sistem Informasi Pertanian,
2016).
Selanjutnya dikemukakan bahwa luas panen bawang merah pada tahun
1980 mencapai 53.949 ha dan mengalami peningkatan setiap tahunnya sehingga
pada tahun 2015 luas panen menjadi 122.126 ha (Pusat Data & Sistem Informasi
Pertanian, 2016). Perluasan lahan panen bawang merah yang dilakukan
pemerintah, tidak mendukung hasil produksi bawang merah yang meningkat
setiap tahunnya. Laju pertumbuhan produksi bawang merah pada tahun 1980-
1989 sebesar 6,07% per tahun, pada tahun 1990-1999 mengalami penaikan
menjadi 6,40% dan mengalami penurunan pada tahun 2010-2019 menjadi 4,10%
per tahun (Adiyoga, 2020). Hal tersebut membuktikan bahwa produksi bawang
merah masih rendah sehingga perlu ditingkatkan.
Angka produksi tanaman bawang merah yang rendah antara lain dapat
disebabkan oleh lingkungan yang kurang menguntungkan seperti iklim yang tidak
stabil, serta serangan hama dan penyakit. Penyakit yang sering ditemukan pada
tanaman bawang merah yaitu penyakit moler atau layu Fusarium sp. Nugroho,
2
Astriani, & Mildaryani (2011) menyatakan bahwa penyakit moler merupakan
penyakit utama pada bawang merah yang disebabkan oleh Fusarium sp. Gejala
yang ditimbulkan berupa daun yang menguning dan cenderung terpelintir serta
infeksi pada bagian akar atau batang yang berbatasan dengan permukaan tanah
sebagai serangan awal dari Fusarium sp. Hal ini yang menyebabkan transportasi
hara dan air tersumbat sehingga tanaman menjadi layu (Sumartini, 2012).
Pengendalian terhadap Fusarium sp. pada bawang merah perlu dilakukan
untuk mengurangi jumlah tanaman yang terserang penyakit sehingga produksi
bawang merah dapat meningkat. Usaha pengendalian terhadap serangan kapang
Fusarium sp. yang banyak dilakukan diantaranya penggunaan fungisida sintetik.
Namun demikian, penggunaan fungisida sintetik secara terus-menerus dapat
menimbulkan efek samping seperti terbunuhnya organisme bukan sasaran yang
berguna untuk tanaman, sehingga dibutuhkan penggunaan sumber biologis
sebagai alternatif penting dalam mengurangi penggunaan fungisida sintetik
(Sumartini, 2012).
Mikroorganisme kelompok bakteri mempunyai banyak peran sebagai agen
pengendali hayati secara potensial dalam menekan penyakit moler. Beberapa
bakteri yang sering digunakan yaitu Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp.
Bakteri tersebut sudah digunakan untuk mengendalikan F. oxysporum f.sp.
gladioli pada tanaman gladiol (Soesanto, Rokhlani, & Prihatiningsih, 2008).
Menurut penelitian Shu-Mei, Chang-Qing, & Yu-Xia (2008) bakteri Bacillus sp.
asal tanaman kedelai mampu menghambat pertumbuhan kapang F. oxysporum
pada tanaman kedelai sebesar 80,2 – 96,7% secara in vitro.
Berdasarkan penelitian Mihardjo & Majid (2008) bahwa bakteri antagonis
P. fluorescens dan B. subtilis maupun kombinasi dari keduanya mampu
menghambat pertumbuhan koloni jamur F. oxysporum penyebab layu Fusarium
pada pisang secara in vitro sebesar 70,2% - 88,1%. Rahayuniati & Mugiastuti
(2012) menyatakan bahwa bakteri Bacillus dan P. fluorescens mampu
menghambat pertumbuhan kapang F. oxysporum pada tanaman tomat secara in
vitro sebesar 3,22 – 66,67%. Santoso, Soesanto, & Haryanto (2007) menyatakan
bahwa bakteri P. fluorescens P60 dari koleksi (Soesanto & Termorshuizen, 2001)
dapat menekan intensitas F. oxysporum pada bawang merah sebesar 41,96 %.
3
Djatnika (2012) juga menyatakan bahwa bakteri Pseudomonas spp. mampu
mengendalikan layu Fusarium yang disebabkan oleh F. oxysporum pada tanaman
anggrek Phalaenopsis.
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian mengenai isolasi bakteri yang
efektif dalam menekan pertumbuhan Fusarium sp. pada bawang merah sebagai
agen pengendali hayati masih perlu dilakukan. Isolat bakteri dari tanaman bawang
merah asal Brebes sebagai pengendali penyakit moler pada bawang merah belum
banyak dilaporkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengisolasi bakteri dari
tanaman bawah merah asal Brebes. Bakteri yang diperoleh diharapkan efektif
dalam menekan pertumbuhan kapang Fusarium sp. sehingga dapat menjadi
alternatif sebagai biofungisida dan untuk meningkatkan produksi bawang merah
secara optimal.
1.2. Rumusan Masalah
Masalah yang dirumuskan pada penelitian ini adalah:
1) Apakah terdapat isolat bakteri hasil isolasi dari tanaman bawang merah
asal Brebes yang berpotensi sebagai penghambat pertumbuhan kapang
Fusarium sp.?
2) Berapa besar persentase daya hambat yang dihasilkan dari isolat bakteri
terbaik dalam menghambat pertumbuhan kapang Fusarium sp.?
3) Jenis isolat bakteri apa saja hasil isolasi dari tanaman bawang merah asal
Brebes yang berpotensi dalam menghambat pertumbuhan Fusarium sp.?
1.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:
1) Terdapat isolat bakteri dari tanaman bawang merah asal Brebes yang
berpotensi sebagai penghambat pertumbuhan kapang Fusarium sp.
2) Isolat bakteri mampu menghambat pertumbuhan kapang Fusarium sp.
sebesar 3,22 – 66,67%.
3) Terdapat isolat Bacillus dan Pseudomonas dari tanaman bawang merah
asal Brebes yang berpotensi sebagai penghambat pertumbuhan kapang
Fusarium sp.
4
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Memperoleh isolat bakteri hasil isolasi dari tanaman bawang merah asal
Brebes yang berpotensi sebagai penghambat pertumbuhan kapang
Fusarium sp.
2) Memperoleh isolat bakteri yang mampu menghambat pertumbuhan
Fusarium sp. dengan persentase hambatan sesuai standar Mori et al.
(1997).
3) Mendapatkan nama jenis bakteri yang diisolasi dari tanaman bawang
merah asal Brebes sebagai penghambat pertumbuhan Fusarium sp.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan diperoleh isolat yang efektif dalam menghambat
pertumbuhan kapang Fusarium sp. Selain itu, data yang didapatkan dapat
digunakan sebagai data penunjang untuk produksi biopestisida berbasis mikroba.
1.6. Kerangka Berpikir
Masyarakat memanfaatkan bawang merah sebagai sayuran, bumbu penyedap
makanan serta bahan obat herbal
Kebutuhan bawang merah meningkat setiap tahunnya
Lahan panen bawang merah diperluas,
akan tetapi hasil produksi masih rendah
Serangan penyakit moler oleh Fusarium sp. pada tanaman bawang merah
Isolasi bakteri dari tanaman bawang merah asal Brebes yang sehat
Tanaman bawang merah merupakan komoditas ekspor di Indonesia
5
Gambar 1. Kerangka berfikir isolasi dan karakterisasi bakteri pada tanaman
bawang merah (Allium cepa L.) asal kabupaten Brebes sebagai
penghambat pertumbuhan Fusarium sp. secara in vitro
Uji antagonis secara in vitro, karakterisasi isolat bakteri, uji kitinase,
isolasi DNA, pemeriksaan dengan metode PCR, proses elektroforesis DNA,
dan uji sekuensing DNA
Didapatkan isolat-isolat bakteri yang efektif dalam menekan pertumbuhan
kapang Fusarium sp.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Bawang Merah (Allium cepa L.)
Tanaman bawang merah merupakan sayuran umbi yang multiguna dan
memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Umbi bawang merah sering digunakan
sebagai obat herbal karena memiliki efek antiseptik. Bawang merah juga termasuk
salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama diusahakan oleh petani
secara intensif (Tabuni, 2017). Sebagian masyarakat mengkonsumsi bawang
merah untuk menurunkan kolestrol dan kadar gula, menghambat penumpukan
trombosit, menyembuhkan penyakit kuning, dan meningkatkan aktifitas
fibrinolitik sehingga dapat memperlancar aliran darah (Wibowo, 2007).
Menurut Tjitrosoepomo (2010) klasifikasi dari bawang merah secara rinci
yaitu kingdom: Plantae, divisi: Spermatophyta, subdivisi: Angiospermae, kelas:
Monocotyledonae, ordo: Liliales, family: Liliaceae, genus: Allium dan termasuk
spesies: Allium cepa L. Varietas tanaman bawang merah yang ditanam di
Indonesia cukup banyak seperti varietas Bima Curut asal Brebes, Sumenep, Bima
Drajat, Bima Sawo, Bawang Bali Ijo, Bawang Bali, Bangkok, Filipina, dan
Keling. Varietas tanaman bawang merah yang digunakan pada penelitian ini
termasuk kedalam varietas Bima Curut asal Brebes. Varietas ini berasal dari
Brebes, cocok ditanam di dataran rendah maupun tinggi dengan umur panen 60-
80 hari setelah tanam dan tahan terhadap penyakit busuk umbi (Botytis allii)
(Samadi & Cahyono, 2005).
Berdasarkan penelitian Awami, Wahyuningsih, & Rina (2019) bahwa
bawang merah varietas Bima Curut memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan
dengan varietas lainnya dari tingkat preferensi rerata yaitu tinggi tanaman, jumlah
anakan, ketahanan terhadap hama penyakit, hasil produksi, dan bibit mudah
diperoleh. Nilai tingkat preferensi total yang dimiliki oleh bawang merah Bima
Curut yaitu 1,02 dibandingkan dengan Bima Drajat (1,01) dan Bima Sawo (0,97)
serta nilai ketahanan terhadap hama pengganggu tanaman yang dimiliki bawang
merah Bima Curut sebesar 1,06 dibandingkan dengan bawang merah Bima Drajat
(0,97) dan Bima Sawo (1,01).
6
2.1.1. Morfologi tanaman bawang merah (Allium cepa L.)
Struktur morfologi tanaman bawang merah terdiri atas daun, umbi, bunga,
batang, buah, dan akar. Daun pada tanaman bawang merah bertangkai relatif
pendek, berbentuk bulat seperti pipa atau silinder berongga, memiliki panjang
sekitar 15-40 cm, berlubang, dan meruncing pada bagian ujung (Tabuni, 2017).
Daun yang baru bertunas belum tampak lubang di dalamnya dan akan terlihat
setelah tumbuh membesar. Pada batang pokok atau cakram (discus) diantara lapis
kelopak daun terdapat tunas lateral atau anakan, sementara di tengah cakram
terdapat tunas utama atau inti tunas. Tunas-tunas lateral tersebut akan membentuk
cakram baru pada lingkungan yang cocok sehingga terbentuk umbi lapis,
sedangkan tunas utama kelak akan menjadi bakal bunga (Samadi & Cahyono,
2005).
Bunga pada bawang merah merupakan bunga majemuk yang memiliki 6
benang sari, dan sebuah putik. Benang sari berwarna hijau kekuning-kuningan,
sedangkan kuntum bunga berwarna putih, dan memiliki 6 daun bunga. Proses
pembungaan pada tanaman bawang merah terlihat pada Gambar 2 yang bermula
dari tangkai tandan bunga yang keluar dari dasar cakram (Sumarni & Hidayat,
2005). Tangkai tandan bunga merupakan tunas inti yang pertama kali muncul dari
dasar cakram, berbentuk seperti daun biasa, lebih ramping, bulat, dan pada bagian
ujungnya membentuk kepala yang meruncing seperti ombak dan terbungkus oleh
lapisan daun atau seludang. Seludang tersebut akan membuka sehingga tampak
kuncup-kuncup bunga beserta tangkainya. Setiap tandan terdiri dari 50-200
kuntum bunga. Tangkai tandan bunga akan berhenti memanjang setelah tepung
sari matang (Samadi & Cahyono, 2005).
Gambar 2. Pembungaan pada tanaman bawang merah. 1. Bakal bunga; 2. Bunga
mulai mekar; 3. Tangkai tandan bunga; 4. Daun; 5. Umbi (Samadi &
Cahyono, 2005)
7
Tanaman bawang merah memiliki batang sejati (discus) yang berbentuk
seperti cakram, tipis, dan pendek. Batang atas bawang merah merupakan batang
semu (bulbus) yang berasal dari modifikasi pangkal daun, sedangkan batang semu
yang berada dalam tanah berubah bentuk dan fungsi menjadi umbi lapis seperti
pada Gambar 3. Jika tumbuh tunas atau anakan, maka akan berbentuk umbi secara
berhimpitan yang disebut dengan siung. Jumlah umbi perumpun bervariasi antara
4-8 umbi, dan terdapat rumpun yang memiliki 35 umbi (Rabinowitch & Currah,
2002). Kualitas umbi bibit saat penanaman merupakan salah satu faktor yang
menentukan tinggi rendahnya hasil produksi. Umbi bibit yang baik berasal dari
tanaman yang umurnya 70-80 hari setelah tanam (Sumarni & Hidayat, 2005).
Gambar 3. Struktur umbi bawang merah. 1. Daun muda; 2. Tunas lateral atau
anakan; 3. Umbi lapis; 4. Batang pokok atau cakram (discus); 5. Akar
serabut (Samadi & Cahyono, 2005)
Bakal buah pada tanaman bawang merah terdiri dari 3 daun buah (carpel)
yang membentuk 3 buah ruang, dan tiap ruang mengandung 2 bakal biji (ovulum).
Benang sari tersusun dalam 2 lingkaran, 3 benang sari di lingkaran dalam, dan 3
yang lain di lingkaran luar. Biasanya tepung sari dari benang sari di lingkaran
dalam lebih cepat matang daripada tepung sari di lingkaran luar (Sumarni &
Hidayat, 2005). Bakal biji terlentak secara terbalik dalam ruang bakal buah
(ovarium) sehingga ujungnya dekat dengan plasenta. Biji yang masih muda
berwarna putih, dan setelah tua berwarna hitam. Penyerbukan antar bunga dalam
satu tandan atau antar bunga dari tandan yang berbeda berlangsung dengan
perantaraan lebah atau lalat hijau (Samadi & Cahyono, 2005).
8
2.1.2. Habitat dan penyebaran tanaman bawang merah (Allium cepa L.)
Tanaman bawang merah dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah
maupun dataran tinggi (0-900 mdpl) dengan curah hujan 300-2500 mm/th, dan
suhu 25-32 °C (Tabuni, 2017). Jenis tanah yang baik untuk budidaya tanaman
bawang merah adalah regosol, grumosol, latosol, dan aluvial dengan keadaan
tanah yang subur, gembur, dan banyak mengandung humus, mudah mengikat air,
mempunyai aerasi yang baik dan PH 5,6-6,5 (Sutarya & Grubben, 1995). Tanah
yang memenuhi syarat tersebut dapat menghasilkan umbi yang berkualitas. Selain
jenis tanah, penggunaan benih yang bermutu juga harus diperhatikan. Benih yang
baik berukuran sedang dengan diameter 1,5-2 cm, berbentuk simetris, warnanya
mengkilap, dan bebas dari Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) (Bernadip,
Hadiwiyono & Sudadi, 2014).
Proses penyebaran tanaman bawang merah diawali dengan pengolahan
tanah yang dilakukan sebelum proses tanam agar dapat menggemburkan tanah,
dan memberi sirkulasi udara dalam tanah (Tabuni, 2017). Untuk melestarikan
produktivitas lahan produksi bawang merah maka pengolahan tanahnya tidak
boleh dibiarkan memiliki salinitas yang tinggi dan drainase yang jelek (Hidayat &
Sumarni, 2005). Memaksimalkan penggunaan lahan untuk produksi dapat
dilakukan dengan cara tumpang gilir, tumpangsari, dan tumpangsari bersisipan
(Hidayat et al., 2004).
Penanaman tanaman bawang merah yang paling baik dilakukan pada awal
musim kemarau yaitu bulan Maret atau April hingga bulan Oktober. Budidaya
dilakukan pada bedengan yang telah disiapkan dengan lebar 100-200 cm, panjang
disesuaikan dengan kebutuhan, dan jarak antara bedengan sekitar 20-40 cm (Aak,
2004). Pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk organik yang sudah matang
seperti pupuk kandang sapi dengan dosis 10-20 t/ha atau pupuk kandang ayam
dengan dosis 5-6 t/ha, atau kompos dengan dosis 4-5 t/ha khususnya pada lahan
kering (Gunadi & Suwandi, 1989). Cara penanamannya yaitu dengan mengupas
kulit pembalut umbi, dan dipisahkan dari siungnya untuk mempercepat keluarnya
tunas. Ujung bibit dipotong hingga 1/3 bagian lalu ditanam berdiri diatas
bedengan sampai permukaan irisan tertutup oleh lapisan tanah yang tipis (Tabuni,
2017).
9
Proses pemanenan tanaman bawang merah dilakukan pada hari ke 60-80,
ketika kondisi tanaman sudah cukup tua dan telah diseleksi di lapangan. Hasil
pemanenan yang optimal dapat terjadi jika kondisi lingkungan terbuka dan
mendapatkan pencahayaan sebesar 70%, memiliki kelembaban udara 80-90%,
curah hujan 300-2500 mm/tahun, ketersediaan air, dan unsur hara yang memadai
(Aak, 2004). Bawang merah yang sudah dipanen kemudian diikat pada batangnya
untuk mempermudah penanganan. Selanjutnya, umbi dikeringkan hingga cukup
kering selama 1-2 minggu di bawah matahari langsung (Hidayat & Rosliani,
1996). Pengeringan juga bisa dilakukan dengan alat pengering khusus sampai
kadar air mencapai kurang lebih 80% (Sutarya & Grubben, 1995).
2.2. Fusarium sp.
Fusarium sp. merupakan jenis kapang patogen yang menyerang tanaman
bawang merah dan menyebabkan penyakit moler atau layu Fusarium. Menurut
Semangun (2004) klasifikasi kapang Fusarium sp. secara rinci yaitu kingdom:
Mycetaceae, divisi: Amastigomycota, subdivisi: Deuteromycotyna, kelas:
Deutomycetes, subkelas: Hyphomycetidae, familia: Moniales, dan termasuk ke
dalam genus: Fusarium.
Fusarium sp. memiliki kemampuan bertahan hidup di dalam tanah dalam
jangka waktu yang lama dan sulit dikendalikan. Fusarium sp. menyebar melalui
tanah yang mengandung propagul yang menempel pada peralatan tanam, sisa-sisa
tanaman terinfeksi, umbi benih terinfeksi atau aliran air. Terdapat 3 tipe spora
aseksual yang terbentuk pada Fusarium sp. yaitu makrokonidia, mikrokonia, dan
klamidospora seperti pada Gambar 4 (Sari et al., 2017). Makrokonidia berukuran
30–45 x 3,5–4,5 µm, berdinding tipis, memiliki 3-5 septa, berbentuk melengkung
seperti bulan sabit, panjangnya mengecil pada bagian ujung dan mempunyai 1
atau 3 buah sekat. Mikrokonidia merupakan konidia yang bersel 1 atau 2
sedangkan klamidiospora terdiri dari 1-2 septa, memiliki dinding tebal yang
dihasilkan pada ujung miselium yang sudah tua atau didalam makrokonidia
(Nugraheni, 2010).
10
Gambar 4. Morfologi kapang Fusarium sp. A. Bentuk koloni; B. Makrokonidia;
C. Mikrokonidia; D. Klamidospora (Sari et al., 2017)
Klamidospora pada Fusarium sp. dibentuk secara interkalar atau terminal
pada cabang lateral pendek dari miselium, bersel tunggal atau berpasang-
pasangan, dan memiliki dinding klamidospora yang bertekstur halus atau kasar.
Kapang yang berbentuk klamidospora ini merupakan hasil dari penyebaran yang
terbawa dalam tanah sehingga dapat bertahan lebih lama (Wiyatiningsih, 2010).
Sastrahidayat (2011) melaporkan bahwa perkembangan Fusarium sp.
sangat dipengaruhi oleh suhu dan PH tanah yang rendah. Spora akan berkecambah
pada suhu 25-30° C sedangkan saat suhu berada diatas 38° C Fusarium sp. tidak
mampu beradaptasi sehingga menyebabkan kematian. Suhu yang semakin tinggi
akan memacu pertumbuhan Fusarium sp. dan menyebabkan akar bawang merah
melunak sehingga mudah luka dan mempercepat penetrasi patogen ke dalam
tanaman bawang merah. Selain itu, suhu yang tinggi juga menyebabkan tanah
menjadi padat dengan kelembapan tanah yang rendah (Ngatimin, Ratnawati, &
Syamsia, 2019).
Kapang Fusarium sp. bisa tumbuh di berbagai jenis tanaman seperti pada
tanaman pisang dan kapas. Fusarium sp. dilaporkan pertama kali menyerang
tanaman pisang di Australia pada tahun 1874 yang menyebabkan penyakit penting
pada tanaman pisang yang disebut dengan penyakit layu panama dan sekarang
penyakit ini dilaporkan terdapat di seluruh wilayah pertanaman pisang di dunia
termasuk Indonesia (Djatnika, Sunyoto, & Eliza, 2003). Kapang Fusarium
oxysporum f. sp. vasinfectum pada tanaman kapas kultivar pima (Gossypium
barbadense L.) mampu bertahan di jaringan tanaman yang hidup dan mati sebagai
penyebab penyakit busuk dan layu vascular (Bennertt, R. S., Hutmacher, R. B., &
Davis, 2008).
11
2.3. Penyakit Moler (Layu Fusarium)
Penyakit pada tanaman merupakan suatu keadaan ketika bagian tanaman
tertentu tidak dapat menjalankan fungsi fisiologis dengan baik. Fungsi fisiologis
tersebut mencakup proses fotosintesis, reproduksi, pembelahan sel, diferensiasi,
penyerapan air dan hara dari tanah serta translokasi air dan hara ke seluruh bagian
tanaman. Penyakit dapat disebabkan oleh kapang, bakteri, virus atau nematoda
(Semangun, 2004). Sebagaimana telah dicantumkan dalam Al-Quran mengenai
tanaman-tanaman yang tidak subur dikarenakan hama maupun penyakit yang
dapat menurunkan produksi tanaman terdapat dalam surat Al-A’raf ayat 58:
ي خبث لا ي ف الآيات لقو والبلد الطي ب يخرج نباته بإذن رب ه والذ دا كذلك نصر م يشكرون خرج إلا نك
Artinya: “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya subur dengan seizin Allah,
dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana.
Demikianlah kami mengulangi tanada-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang
yang bersyukur’’(Q.S. Al-Araf: 58).
Penyakit pada tanaman paling banyak disebabkan oleh infeksi kapang.
Kapang patogen dapat masuk ke dalam tubuh tanaman melalui luka, lubang alami
seperti stomata atau langsung menembus permukaan tanaman yang utuh. Kapang
dapat menyebabkan gejala lokal ataupun sistemik pada inangnya. Gejala lokal
yang terjadi dapat berupa perubahan warna, bentuk, tekstur atau penampilan lain
secara terlokalisasi pada jaringan yang sakit. Gejala sistemik terjadi pada seluruh
badan tanaman seperti layu, kerdil, dan perubahan warna daun (Semangun, 2004).
Penyakit moler atau layu Fusarium pada tanaman bawang merah
disebabkan oleh kapang Fusarium sp. yang menghasilkan toksin dan dapat
merusak permeabilitas sel yang dapat mengakibatkan aliran air terganggu
sehingga mengakibatkan layu pada tanaman. Penyakit ini umumnya ditemukan
pada budidaya tanaman bawang merah secara konvensional dan vertikultur
(Nugroho, 2013). Gejala penyakit moler yang nampak secara visual berupa daun
yang menguning mulai dari ujung sampai pangkal daun, setelah itu daun terlihat
merunduk karena layu seperti pada Gambar 5, lalu mengering, dan mati (Fitriani,
Wiyono, & Sinaga, 2019). Akar yang terinfeksi Fusarium sp. akan berwarna
coklat, menjadi pucat, dan lunak sedangkan pada dasar umbi lapis akan berwarna
12
keputihan (Gambar 6) karena adanya miselium Fusarium sp. ketika tanaman
dicabut akan terlihat akar dan umbi yang membusuk (Firmansyah & Anto, 2013).
Gambar 5. Gejala penyakit moler. A. Daun yang menguning dari ujung sampai
pangkal daun; B. Tanaman merunduk karena layu Fusarium sp.
(moler); C. Tanaman mengering; D. Tanaman mati (Fitriani, Wiyono,
& Sinaga, 2019)
Gambar 6. Akibat penyakit moler. A. Umbi tanaman bawang merah memutih, dan
membusuk (Firmansyah & Anto, 2013)
Penyakit moler ini merupakan penyakit yang paling mematikan pada
budidaya tanaman bawang merah dan sangat sulit dikendalikan. Gejala dari
serangan Fusarium sp. akan tampak pada tanaman bawang merah di hari ke-20
setelah penanaman dengan rata-rata intensitas serangan sebesar 0,15% dan akan
terus meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Penyakit ini sudah
menyerang sebagian besar tanaman bawang merah di Indonesia seperti yang
terjadi di Kabupaten Cirebon (Wiyatiningsih, 2010).
2.4. Pengendalian Penyakit Moler (Layu Fusarium)
Pengendalian penyakit moler atau layu Fusarium pada tanaman bawang
merah dapat dilakukan secara terpadu dengan menerapkan 4 prinsip pengendalian
13
penyakit tanaman. Menurut Sinaga (2003) prinsip-prinsip pengendalian tersebut
sebagai berikut:
1). Ekslusi patogen yaitu pencegahan masuknya patogen ke daerah yang masih
bebas patogen melalui karantina dan peraturan.
2). Eradikasi patogen yaitu pemusnahan atau pengurangan banyaknya patogen
pada bagian tanaman. Cara ini dapat ditempuh melalui kegiatan pengendalian
secara hayati, kimiawi, fisik maupun kultur teknis.
3). Proteksi inang yang rentan terhadap penyakit.
4). Resistensi tanaman yang dilakukan melalui program pemuliaan dan seleksi
varietas tahan.
Teknis pengendalian organisme pengganggu tanaman secara terpadu
dilaksanakan dengan memadukan cara-cara pengendalian yang serasi, selaras, dan
seimbang sehingga dapat menekan populasi organisme pengganggu tanaman
(Udiarto, Setiawati, & Suryaningsih, 2005). Pengendalian terhadap organisme
pengganggu tanaman secara terpadu merupakan faktor penting yang harus
diupayakan supaya tidak mengganggu kesehatan manusia dan organisme bukan
sasaran. Selain itu, pengendalian juga tidak menimbulkan gangguan dan
kerusakan sumberdaya hayati, serta tidak meninggalkan residu pestisida pada
hasil panen dan lingkungan (Udiarto et al., 2005).
Salah satu cara pengendalian penyakit moler akibat patogen secara alami
yaitu menggunakan mikroorganisme sebagai biokontrol. Penggunaan agen hayati
sebagai pengendalian penyakit moler dapat mengurangi penyebab resistensi
terhadap bakteri, adanya residu, dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan
pestisida secara terus-menerus (Udiarto et al., 2005). Salah satu syarat suatu
organisme sebagai agen hayati adalah mempunyai kemampuan menghambat
perkembangan atau pertumbuhan organisme lainnya (Sopialena, 2018).
Beberapa bakteri yang telah dilaporkan berpotensi untuk dikembangkan
sebagai agensia hayati adalah bakteri antagonis dari kelompok Pseudomonas dan
Bacillus. Bakteri antagonis biasanya mengeluarkan zat antibiotik yang dapat
menekan pertumbuhan dan perkembangan suatu jenis patogen (Sopialena, 2018).
Pseudomonas yang termasuk dalam kelompok fluorescens merupakan bakteri
pengkoloni akar yang agresif dan efektif. Bakteri ini mampu memproduksi
14
hormon pertumbuhan tanaman dan berfungsi sebagai agen pengendali hayati
melalui mekanisme kompetisi dan induksi ketahanan tanaman (Haas & Defago,
2005).
Sopialena (2018) menyatakan bahwa bakteri Pseudomonas fluorescens
merupakan bakteri antagonis yang dapat menekan penyakit moler atau layu
Fusarium. Hal ini didukung dengan penelitian Santoso et al. (2007) yang
memaparkan bahwa P. fluorescens P60 mampu menghambat pertumbuhan
Fusarium sebesar 41,96%. Penghambatan tersebut kemungkinan sebagai hasil
berbagai mekanisme yang dihasilkan seperti antibiosis yaitu antibiotika 2,4-
diasetilfloroglusinol (Phl). Djatnika (2012) juga melaporkan penelitiannya bahwa
P. fluorescens dapat mengendalikan layu Fusarium pada tanaman anggrek.
Bakteri Bacillus mampu berperan sebagai agen hayati melalui mekanisme
anitiosis dengan menghasilkan senyawa penghambat seperti antibiotik, peptida,
senyawa fenol, alkaloid, dan siderofor. Bacillus juga mampu berperan sebagai
Plan Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) yang mampu memacu
pertumbuhan tanaman, dan berfungsi sebagai penginduksi ketahanan sistemik
dengan mekanisme yang menghasilkan fitohormon, siderofor, dan pelarut fosfat
(Haggag & Mohamed, 2007).
2.5. Sekuensing 16S rRNA
Analisis sekuensing 16S rRNA (ribosomal Ribonucleic acid) merupakan
metode identifikasi berbasis molekuler yang cepat dengan tingkat sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi (Rinanda, 2011). Gen 16S rRNA merupakan bagian dari
prokariot yang memiliki bagian terkonservasi dan mampu mempertahankan
kelestarianya selama jutaan tahun keanekaragaman evolusi. Selain gen ini,
terdapat nukleotida lain yaitu gen 5S rRNA dan gen 23S rRNA (Clarridge, 2004).
Gen 5S rRNA memiliki panjang ~120 nt. Pada prokariotik, gen 5S rRNA
mengikat pada protein ribosomal: L5, L18, dan L25. Gen 5S rRNA jika dijadikan
metode dalam mengidentifikasi dinilai sangat sulit karena terlalu kecil dan dalam
beberapa kasus pada Archae dan Prokariot didapati 5S rRNA bermodifikasi
sehingga tidak akurat jika dilakukan analisis filogenik, sedangkan gen 23S rRNA
memiliki 2.900 basa dan juga dinilai menyulitkan analisis karena memiliki
struktur tersier dan sekunder yang cukup panjang (Jusuf, 2001).
15
Gen 16S rRNA berukuran sekitar 1.550 pasang basa dan sekitar 500 basa
di bagian ujung sekuens merupakan daerah hypervariable region. Daerah ini
merupakan bagian yang membedakan antar organisme. Penggunaan primer dalam
amplifkasi sekuens akan mengenali daerah yang lestari dan mengamplifikasi
hypervariable region, dengan demikian akan diperoleh sekuens yang khas pada
organisme tersebut (Lau et al., 2002). Gen pengkode rRNA biasanya digunakan
untuk menentukan taksonomi, filogeni serta memperkirakan jarak keragaman
antar spesies bakteri. Perbandingan sekuens rRNA dapat menunjukan hubungan
evolusi antar organisme (Rinanda, 2011).
Beberapa keistimewaan analisis sekuensing menggunakan gen 16S rRNA
untuk identifikasi bakteri yaitu:
1. Mengidentifikasi bakteri langka dan bakteri-bakteri yang memiliki profil
fenotipik yang unik.
2. Mengidentifikasi bakteri yang memiliki pertumbuhan lambat (seperti
Mycobacterium) yang mungkin memakan waktu 6-8 minggu untuk
tumbuh dalam kultur.
3. Penggunaan dalam identifikasi rutin.
4. Berperan dalam penemuan spesies dan genus bakteri baru.
5. Mendeteksi bakteri yang tidak dapat dikultur dan mendiagnosis infeksi
yang disebabkannya.
6. Tingkat akurasi dan keefektitan yang tinggi serta singkatnya waktu dalam
proses identifikasi terlebih jika dibandingkan dengan metode konvensional
(Akihary & Kolondam, 2020).
16
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober 2019 hingga April 2020
di Laboratorium Mikrobiologi, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen), Bogor, Jawa
Barat.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, mikroskop
cahaya olympus BX53, oven, inkubator, timbangan analitik scaltec, autoklaf
daihan scientific, spektrofotometri, pH meter, tabung eppendorf steril, centrifuge
sorvall legend micro 21R, UV-Vis spektrofotometer U-2800, ESCO-PCR thermal
cycler, elektroforesis, gel documentation systems, freezer, waterbath, casting
tray, well comb, kamera handphone, microwave wavedom, vortex seoulin, scalpel,
Laminar Air Flow (LAF), orbital shaker MESH 30, magnetic stirrer, dan hot
plate stirrer.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tanaman bawang merah
(Allium cepa L.) varietas Bima Curut asal Brebes yang diperoleh di BB Biogen,
kultur kapang Fusarium sp. dari tanaman bawang merah yang sakit di BB Biogen,
pewarna ungu violet, iodin, pewarna safranin, alkohol 70%, alkohol 95%, alkohol
96%, etanol 70%, NaOCl 3%, NaCl 0,85% steril, MgSO47H2O, K2HPO4, NaCl,
(NH4)2SO4, yeast extract, tripton, kitin, koloidal kitin, HCL pekat, larutan congo
red 0,3%, larutan NaCl 0,1%, PBS pH 7 (10 mM), koloid kitin 0,3%, dan reagen
schales.
N-asetil-D-Glukosamin, nuclei lysis solution, RNase solution, protein
precipitation solution, isopropanol, DNA rehydration solution, primer 63
forward, primer 1387 reverse, promega go taq green master mix, nuclease free
water, isolat DNA, larutan TAE (Tris Acetate EDTA) buffer, 2x 40 mL 2%
agarose, gelred nucleic acid gel stain 10.000x, 100 bp plus DNA ladder, blue
juice loading dye, kentang, glukosa, akuades steril, akuades dingin, kertas saring
17
steril, blue tip, yellow tip, chloramphenicol, agar powder, aluminium foil, dan
parafilm digunakan dalam penelitian ini.
3.3. Rancangan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental
dengan rancangan percobaan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Isolasi bakteri diambil dari bagian daun, umbi, akar, dan tanah pada
tanaman bawang merah asal Brebes. Tahapan dalam penelitian ini meliputi tahap
isolasi bakteri dari tanaman bawang merah, pemurnian bakteri, pengujian
antagonis secara in vitro dengan metode dual culture test untuk mengetahui isolat
bakteri yang efektif dalam menghambat pertumbuhan kapang Fusarium sp.
dengan 3 kali pengulangan, pewarnaan gram, karakterisasi bakteri, uji kitinase
secara kualitatif dan kuantitatif, isolasi DNA, pemeriksaan dengan metode PCR,
proses elektroforesis DNA serta uji sekuensing 16S rRNA.
3.4. Cara Kerja
3.4.1. Pembuatan media
3.4.1.1. Media Natrium Agar (NA) dan Nutrient Broth (NB)
Pembuatan media NA yaitu erlenmeyer yang berisi 200 mL akuades
disiapkan, lalu dilarutkan 8 g difco nutrient broth, dan 20 g agar powder. Akuades
ditambahkan ke dalam erlenmeyer hingga volume akhir mencapai 1000 mL dan
dilarutkan sampai homogen menggunakan hot plate stirrer. Media disterilisasi
menggunakan autoklaf pada suhu 121° C selama 60 menit pada tekanan 17,5 Psi.
Media yang telah disterilisasi dituang ke dalam cawan petri steril di ruang laminar
air flow.
Pembuatan media NB diawali dengan menyiapkan erlenmeyer yang berisi
250 mL akuades lalu dilarutkan 2 g difco nutrient broth. Larutan dihomogenisasi
hingga larut menggunakan magnetic stirrer diatas hot plate stirrer, kemudian
dituang ke tabung ulir masing-masing sebanyak 10 mL menggunakan syringe.
Media disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121° C selama 60 menit pada
tekanan 17,5 Psi.
18
3.4.1.2. Media Potato Dextrose Agar (PDA)
Kentang disiapkan terlebih dahulu untuk digunakan sebagai bahan utama
pembuatan media PDA, setelah itu sebanyak 200 g kentang ditimbang, dikupas,
dan diiris tipis, lalu kentang direbus dengan air selama 20 menit di dalam
microwave hingga didapatkan ekstrak kentang dengan ciri air rebusan yang
menguning. Glukosa dilarutkan sebanyak 20 g menggunakan erlenmeyer lalu
ditambahkan agar powder 20 g, dan ekstrak kentang sebanyak 400 mL. Semua
bahan diaduk rata menggunakan magnetic stirrer diatas hot plate stirrer. Setelah
itu ditambahkan akuades hingga volume mencapai 1000 mL dan dilanjutkan
dengan penambahan 100 mg chloramphenicol. Media disterilisasi menggunakan
autoklaf pada suhu 121° C selama 60 menit pada tekanan 17,5 Psi.
3.4.1.3. Koloidal kitin
Pembuatan koloidal kitin diawali dengan menimbang 5 g kitin lalu
ditambahkan 100 mL HCL pekat pada labu ukur kemudian diaduk menggunakan
magnetic stirrer selama 15-30 menit. Setelah itu, dimasukan kedalam erlenmeyer
yang berisi 1000 mL akuades dingin. Larutan diaduk kembali menggunakan
magnetic stirrer lalu disaring menggunakan kain kasa dan ampasnya dibuang.
Setelah itu, larutan didiamkan di dalam kulkas selama semalam. Keesokan
harinya, air yang berada di atas larutan dibuang dan ditambahkan akuades dingin
kembali hingga mencapai 1000 mL. Proses pembuangan air yang berada diatas
larutan tersebut dilakukan sebanyak 5 kali dengan selang waktu selama 2 jam.
Setelah selesai, pH dari larutan tersebut diukur menggunakan pH meter dan
disesuaikan hingga mencapai pH 6,8 (Suryadi et al., 2013).
3.4.1.4. Media kitin padat dan cair
Pembuatan media kitin padat yaitu ditimbang 0,1 g MgSO47H2O, 1 g
K2HPO4, 1 g NaCl, 7 g (NH4)2SO4, 2 g yeast extract, 1 g tripton, 15 mL koloidal
kitin, dan 20 g agar. Seluruh bahan dimasukan ke dalam erlenmeyer dan ditambah
akuades hingga mencapai 1000 mL lalu diaduk menggunakan magnetic stirrer di
atas hot plate stirrer. Media disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121° C
selama 60 menit pada tekanan 17,5 Psi (Suryadi et al., 2013).
19
Pembuatan media kitin cair yaitu ditimbang 0,45 g yeast extract, 0,1 g
pepton, 0,3 g KH2PO4, 0,58 g K2HPO4, 0,1 g L-cystein HCL, 0,26 g (NH4)2SO4,
0,25 g Na2CO3, 0,01 g MgSO4.7H2O, 0,2 g CaCl2, dan 1 mL koloidal kitin.
Seluruh bahan dimasukan ke dalam erlenmeyer dan ditambah akuades hingga
mencapai 100 mL lalu diaduk menggunakan magnetic stirrer di atas hot plate
stirrer. Media disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121° C selama 60
menit pada tekanan 17,5 Psi (Suryadi et al., 2013).
3.4.2. Isolasi bakteri dari tanaman bawang merah (Allium cepa L.)
Prosedur isolasi bakteri mengacu pada Mostert et al. (2001). Isolasi bakteri
dilakukan pada tanaman bawang merah asal Brebes. Isolasi diawali dengan
mengambil bagian daun, umbi, dan akar dari 3 pot tanaman bawang merah yang
terdapat di rumah kaca BB Biogen. Masing-masing pot terdapat 5 rumpun
tanaman dan diambil perwakilan organnya sebanyak 3 buah. Sampel dari daun,
umbi, dan akar bawang merah dibersihkan menggunakan air yang mengalir
kemudian disterilisasi menggunakan etanol 70% selama 1 menit, setelah itu
sampel direndam dalam larutan NaOCl 3% selama 2 menit, lalu direndam
menggunakan larutan etanol 70% selama 20 detik dan dibilas menggunakan
akuades steril sebanyak 3 kali. Sampel yang sudah bersih, dikeringkan
menggunakan kertas saring steril selama 1-3 jam.
Setelah proses pengeringan selesai, setiap sampel dipotong menggunakan
scalpel steril. Sampel dipotong menjadi 4 bagian berukuran 1 x 1 cm lalu
diletakkan pada permukaan media NA seperti pada Gambar 7, sehingga total
sampel organ yang diamati berjumlah 108 segmen. Cawan petri ditutup rapat
menggunakan parafilm dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari.
Gambar 7. Sampel yang dipotong menjadi 4 bagian pada media NA
20
Isolasi bakteri juga dilakukan pada tanah tanaman bawang merah yang
sudah diambil sebanyak 10 g dan dimasukan kedalam beaker glass lalu diberi
akuades steril dan dihomogenkan menggunakan vortex selama 15 menit untuk
memperoleh ekstrak tanah. Hasil ekstrak tanah yang sudah dihomogenkan,
selanjutnya dilakukan pengenceran 10-2 hingga 10-6. Ekstrak dari masing-masing
sampel tanah pada pengenceran ke-10-4 , 10-5 , dan 10-6 diambil sebanyak 1000 µL
menggunakan mikropipet, dan diteteskan kedalam cawan petri yang sudah berisi
media NA lalu diratakan menggunakan batang pengaduk segitiga hingga kering,
setelah itu cawan petri diletakan terbalik, dan diinkubasi pada suhu ruang selama
7 hari.
3.4.3. Pemurnian bakteri
Koloni yang tumbuh dengan bentuk morfologi yang berbeda diambil dan
dimurnikan pada media NA miring. Bakteri yang sudah tumbuh pada cawan petri,
diinokulasikan ke dalam tabung reaksi yang berisi media NA miring dengan cara
menggoreskannya menggunakan jarum ose. Kultur diinkubasi pada suhu ruang
sampai tumbuh koloni yang berwarna dan berlendir. Pekerjaan dilakukan secara
aseptik dalam ruang laminar air flow.
3.4.4. Uji antagonis secara in vitro pada media PDA
Uji aktivitas antagonis secara in vitro dilakukan dengan metode dual
culture test (Lampiran 2). Isolat bakteri ditumbuhkan secara bersamaan dengan
kapang patogen pada media PDA dalam 1 cawan petri yang sama. Isolat kapang
patogen diambil menggunakan cook borer dan diletakan di bagian tengah petri
sedangkan dibagian sisi kanan dan kirinya digoreskan isolat bakteri. Biakan
diinkubasi pada suhu ruang dan aktivitas penghambatan ditentukan berdasarkan
besarnya zona hambat yang terbentuk di sekitar koloni. Zona hambat diamati pada
hari ke-1 sampai hari ke-7 (Suryanto, Irawati, & Munir, 2011).
3.4.5. Karakterisasi morfologi bakteri antagonis dari tanaman bawang
merah (Allium cepa L.)
Isolat bakteri yang sudah terlihat kemampuannya dalam menekan
pertumbuhan kapang Fusarium sp. pada uji in vitro, dikarakterisasi morfologi
koloni meliputi warna, bentuk, tepi, elevasi, dan pewarnaan gram.
21
3.4.5.1. Pewarnaan Gram bakteri antagonis
Tahap pertama yang dilakukan yaitu 1 ose isolat bakteri dilarutkan ke
dalam 1 tetes akuades steril yang telah diteteskan di atas kaca objek lalu
dipanaskan hingga kering. Setelah itu, pewarna ungu violet diteteskan, dan
dibiarkan tergenang selama 1 menit, lalu dibilas dengan akuades. Selanjutnya
ditetesi iodin, dan dibiarkan tergenang selama 2 menit, lalu dibilas kembali.
Warna yang sudah terbentuk dipucatkan dengan cara penambahan alkohol 95%
yang diteteskan ke kaca objek hingga sisa warna menjadi ungu kristal laut.
Selanjutnya pewarna safranin diteteskan dan dibiarkan selama 30 detik, lalu
dibilas. Hasil pewarnaan bakteri tersebut diamati dibawah mikroskop dengan
perbesaran 1000x (Waluyo, 2010).
3.4.6. Uji kitinase
3.4.6.1. Uji kitinase kualitatif
Pengujian kitinase secara kualitatif berfungsi untuk mengetahui adanya
kandungan enzim kitinase yang terdapat pada setiap isolat bakteri dengan melihat
diameter zona bening. Pengujian diawali dengan memberikan setetes akuades
steril dipipet ke dalam tabung eppendorf yang telah disterilisasi, kemudian
sebanyak 1 ose isolat bakteri diambil dan dilarutkan ke dalam tabung eppendorf
yang berisi akuades steril. Sebanyak 5 µL suspensi dipipet dan diteteskan ke
dalam media kitin padat yang telah dibagi menjadi 2 kuadran. Setiap kuadran
ditetesi dengan 5 µl suspensi dan dibiarkan mengering selama 1 hari di dalam
laminar air flow. Cawan petri tersebut diinkubasi selama 3 hari (Suryadi et al.,
2013).
Setelah proses inkubasi, media kitin tersebut ditetesi dengan larutan congo
red 0,3% hingga menutupi seluruh permukaan media kitin padat, dan dibiarkan
selama 5 menit, lalu dibuang. Larutan NaCl 0,1% diteteskan hingga menutupi
seluruh permukaan media kitin padat lalu dibuang. Media didiamkan dan diamati
zona bening yang terbentuk. Diameter zona bening diukur menggunakan rumus
perhitungan indeks kitinolitik sebagai berikut (Suryadi et al., 2013):
22
Keterangan:
d1 = Diameter zona bening
d2 = Diameter koloni
3.4.6.2. Uji kitinase kuantitatif
Pengujian kitinase kuantitatif berguna untuk mengetahui nilai absorbansi
kitinase pada setiap isolat bakteri menggunakan spektrofotometer. Pengujian
diawali dengan memasukan media kitin cair sebanyak 10 mL ke dalam tabung
ulir, kemudian 1 ose isolat bakteri dari media NA miring dipindahkan ke dalam
tabung ulir tersebut dan diinkubasi pada orbital shaker selama 48 jam dengan
kecepatan 120 rpm hingga mengeruh. Kultur disentrifugasi dengan kecepatan
10.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4° C. Supernatant yang dihasilkan diambil
sebanyak 150 µL sebagai ekstrak kasar lalu ditambahkan 150 µL PBS pH 7 (10
mM) dan koloid kitin 0,3% sebanyak 300 µL kemudian dihomogenkan
menggunakan vortex dan diinkubasi pada waterbath selama 30 menit pada suhu
37° C (Suryadi et al., 2013).
Setelah diinkubasi, campuran disentrifugasi dengan kecepatan 5.000 rpm
selama 5 menit. Supernatant diambil sebanyak 500 µL lalu dimasukan ke dalam
tabung reaksi dan ditambahkan 500 µL akuades serta 1.000 µL Reagen Schales.
Campuran tersebut dan larutan standar (Tabel 1) dididihkan pada suhu 100° C
selama 10 menit kemudian didinginkan untuk pengujian aktivitas kitinase
menggunakan metode Spindler (1997). Satu unit aktivitas kitinase yaitu sejumlah
enzim yang menghasilkan 1 µmol gula reduksi yang ekivalen dengan GlcNAc
permenit (Green, Healy, & Healy, 2005).
Tabel 1. Konsentrasi larutan standar pada pengujian kitinase kuantitatif
Konsentrasi (ppm) N-asetil-D-Glukosamin (µL) Akuades (µL)
0 - 5.000
10 500 4.500
20 1.000 4.000
30 1.500 3.500
40 2.000 3.000
50 2.500 2.500
23
Kuvet dan spektrofotometri disiapkan untuk mengukur nilai absorbansi.
Langkah pertama yaitu membuat nilai auto zero menggunakan akuades, lalu
dilakukan pengukuran blanko menggunakan 1.000 µL akuades dan 1.000 µL
Reagen Schales pada panjang gelombang 620 nm. Setelah itu, larutan standard
dan seluruh sampel diukur absorbansinya satu persatu dengan panjang gelombang
620 nm. Selama pergantian sampel, kuvet dibilas dengan akuades sebanyak 3 kali
lalu dikeringkan menggunakan tisu.
3.4.7. Isolasi DNA bakteri
Prosedur isolasi DNA Bakteri mengacu pada Kepel & Fatimawali (2015).
Tiga isolat bakteri terbaik dari uji antagonis secara in vitro ditumbuhkan pada
media Nutrient Broth (NB) di dalam tabung ulir selama 24 jam, setelah itu
dipindahkan ke dalam tabung eppendorf steril lalu disentrifuge dengan kecepatan
13.000 rpm selama 5 menit. Supernatant yang dihasilkan dari proses sentrifuge
tersebut dibuang tanpa mengganggu pellet putih kemudian disentrifuge kembali
dengan kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit. Supernatant yang diperoleh
dibuang dan ditambahkan dengan nuclei lysis solution sebanyak 600 µL lalu
dihomogenkan menggunakan mikropipet. Isolat tersebut diinkubasi di dalam
freezer pada suhu -25° C selama 5 menit. Setelah proses inkubasi, isolat DNA
ditambahkan dengan 3 µL RNase solution dan dihomogenkan menggunakan
mikropipet dan diinkubasi pada suhu 37° C selama 30 menit.
Setelah proses inkubasi, isolat DNA ditambahkan 200 µL protein
precipitation solution kemudian divortex dan diinkubasi dalam freezer selama 5
menit. Setelah diinkubasi, isolat disentrifuge dengan kecepatan 13.000 rpm
selama 5 menit. Supernatant yang dihasilkan dari hasil sentrifuge dipindahkan
kedalam tabung eppendorf steril yang baru dan ditambahkan 600 µL isopropanol
kemudian divortex dan disentrifuge dengan kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit.
Supernatant yang dihasilkan dari proses sentrifuge dibuang dan tabung
dikeringkan selama 1 jam. Setelah proses pengeringan, DNA rehydration solution
ditambahkan ke dalam isolat DNA sebanyak 50 µL. Isolat DNA disimpan di
dalam freezer pada suhu -25° C.
24
3.4.8. Amplifikasi DNA dengan PCR (Polymerase Chain Reaction)
Larutan PCR mix solution yang berisi primer 63 forward, primer 1387
reverse, promega go taq green master mix, nuclease free water, dan template
DNA disiapkan dengan jumlah yang dibutuhkan 3 sampel maka mix solution yang
dibutuhkan yaitu:
Tabel 2. Formula PCR mix solution pada proses amplifikasi DNA (Wardani et al.,
2017)
No. Bahan 1 Sampel (µL) 3 Sampel (µL)
1 Primer 63 forward 1 3
2 Primer 1387 reverse 1 3
3 Promega go taq green master mix 12,5 37,5
4 Nuclease free water 8,5 25,5
5 Template DNA 2 6
TOTAL 25 75
Bahan-bahan 1-4 dicampurkan ke dalam tabung eppendorf steril sesuai
perhitungan diatas, setelah itu 23 µL dari campuran tersebut dimasukkan ke dalam
tabung PCR dan ditambahkan 2 µL template DNA. Kemudian tabung ditutup dan
ditempatkan dalam PCR thermal cycler. Program pada PCR diatur dengan
peraturan seperti pada tabel 3. Setelah proses PCR selesai, tabung PCR dimasukan
ke dalam freezer pada suhu -25° C.
Tabel 3. Pengaturan program PCR pada proses amplifikasi DNA (Setiyo, 2001)
Langkah Suhu (°C) Waktu (menit)
Predenaturasi 94 2
Denaturasi 94 1
Annealing 36 1
Polimerasi 72 1
Polimerasi final 72 10
Penurunan Suhu 4 30
3.4.9. Uji elektroforesis
Larutan 1x TAE (Tris Acetate EDTA) buffer sebanyak 100 mL disiapkan
untuk membuat larutan agarosa 2%. Dua gram agarosa ditimbang lalu
ditambahkan pelarut 1x TAE sebanyak 98 mL pada tabung erlenmeyer lalu
diaduk dan dihangatkan menggunakan heater dan stirrer hingga larutan mendidih
dan tampak jernih, lalu larutan agarose tersebut ditambahkan gelred nucleic acid
25
gel stain 10.000x sebanyak 2 µL. Casting tray diatur dan dipasang well comb
pada ujungnya, lalu larutan agarose dituangkan kedalam casting tray dan ditunggu
hingga memadat. Setelah memadat, well comb diangkat dan terbentuk sumur
untuk meletakan isolat hasil PCR.
Marker yang merupakan campuran dari 2 µL 100 bp plus DNA ladder dan
3 µL blue juice loading dye disiapkan dan dimasukan ke dalam sumur yang
pertama menggunakan mikropipet dan sampel hasil PCR dimasukan pada sumur-
sumur berikutnya masing-masing sebanyak 3 µL. Saat memasukkannya, pastikan
ujung mikro tip steril sudah sedikit masuk pada lubang well gel elektroforesis dan
dicatat posisi dan urutan sampel-sampel hasil PCR.
Gel diletakan di dalam elektroforesis tank yang sudah berisi larutan 1x
TAE dan cara peletakannya harus diperhatikan dengan benar. Larutan 1x TAE
ditambahkan secukupnya hingga gel terbenam secara menyeluruh. Mesin
elektroforesis dinyalakan selama 30 menit dengan tegangan 90 V. Sampel-sampel
bergerak ke arah katode karena DNA bermuatan negatif. Setelah 30 menit, mesin
elektroforesis dimatikan secara sempurna. Gel dikeluarkan dengan hati-hati dan
diletakan pada tray yang sudah disediakan. Gel dipindahkan ke alat gel
documentation systems supaya hasil lebih terlihat jelas.
3.4.10. Uji sekuensing 16S rRNA
Sampel PCR dari proses elektroforesis yang menunjukan hasil positif
dilakukan sekuensing 16S rRNA oleh 1st Base melalui PT. Genetika Science
Indonesia. Proses sekuensing DNA dilakukan menggunakan metode Sanger
dideoxy. Selanjutnya dilakukan analisis hasil sekuensing dengan melakukan
BLAST urutan nukleotida dari hasil sekuensing dengan data base yang tersedia
pada situs www.ncbi.nlm.nih.gov yang digunakan untuk mencari similaritas suatu
sekuen nukleotida dengan sekuens data base (subject sequence) (Sjafarenan et al.,
2018).
3.4.11. Parameter pengamatan
Parameter yang diamati dalam penelitian ini mengacu pada Sarah (2018)
mengenai uji daya hambat kapang dan persentase diameter zona hambat mengacu
pada Zaffan (2012).
26
1) Uji daya hambat kapang Fusarium sp.
Uji daya hambat kapang dilakukan dengan cara mengamati daya hambat
pertumbuhan kapang. Zona hambat akan terlihat sebagai daerah jernih di sekitar
daerah yang mengandung zat antimikroba. Diameter zona hambat pertumbuhan
kapang menunjukan sensitivitas kapang terhadap zat anti kapang yang dihasilkan
oleh bakteri. Pengukuran zona hambat dilakukan dengan cara mengukur batas
akhir pertumbuhan dari kapang patogen pada sumbu X dan batas akhir
pertumbuhan kapang patogen pada sumbu Y (Gambar 8). Perhitungan besarnya
zona hambat yang terbentuk pada media PDA dihitung menggunakan rumus
Suryadi (2009), yaitu:
Keterangan:
X = Diameter koloni Fusarium sp. yang terhambat pertumbuhannya (cm)
Y = Diameter koloni Fusarium sp. normal (cm)
Gambar 8. Metode pengukuran zona hambat bakteri antagonis terhadap koloni
kapang. A. Koloni Fusarium sp.; B. Zona hambat bakteri antagonis
terhadap koloni kapang; C. Titik penempatan Fusarium sp.; D. Koloni
bakteri antagonis; X. Diameter koloni Fusarium sp. yang terhambat
pertumbuhannya; Y. Diameter koloni Fusarium sp. normal (Suryanto
et al., 2011).
2) Persentase daya hambat
Persentase daya hambat kapang Fusarium sp. oleh bakteri antagonis dapat
dihitung menggunakan formula Melysa, Fajrin, Suharjono, & Dwiastuti (2013)
yaitu:
Keterangan:
PIRG = Percentage Inhibition of Radial Growth (% hambatan)
27
R1 = Diameter miselium kapang Fusarium sp. kontrol (cm)
R2 = Diameter miselium kapang Fusarium sp. pada uji antagonis (cm)
Berdasarkan hasil persentase penghambatan diameter zona hambat kapang
yang didapatkan maka klasifikasi aktivitas anti kapang dapat ditentukan
berdasarkan Mori et al. (1997) :
Tabel 4. Klasifikasi aktivitas anti kapang pada uji antagonis (Mori et al., 1997)
Persentase Penghambatan (PP) (%) Tingkat aktivitas antifungi
PP ≥ 75 Sangat kuat
75 ≤ PP < 50 Kuat
50 ≤ PP < 25 Sedang
25 ≤ PP < 0 Lemah
0 Tidak aktif
3.5. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif pada pengamatan hasil
identifikasi bakteri, pengamatan zona hambat, dan persentasenya pada pengujian
antagonis yang disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Data yang diperoleh
dari perhitungan zona hambat dianalisis menggunakan program IBM SPSS 20
(Statistical Package for the Social Science) dengan melakukan uji independent t-
test dengan taraf signifikasi 5%. Apabila nilai signifikasi (2-tailed) > 0,05 berarti
kelompok atau perlakuan menunjukan tidak adanya perbedaan nyata dan diberi
tanda TN (Tidak Nyata) atau NS (Non Significant) dan jika nilai signifikasi (2-
tailed) < 0,05 berarti kelompok atau perlakuan menunjukan adanya perbedaan
nyata dan diberi tanda N (Nyata) atau S (Significant). Tiga isolat bakteri antagonis
terbaik dalam menghambat pertumbuhan kapang Fusarium sp. dilakukan uji
sekuensing 16S rRNA.
28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Diameter Fusarium sp. pada Antagonis secara In Vitro
Upaya penekanan hayati terhadap pertumbuhan kapang Fusarium sp. pada
penelitian ini yaitu dengan melakukan pengujian antagonis secara in vitro antara
kapang Fusarium sp. dengan bakteri antagonis yang dihasilkan dari tanaman
bawang merah yang sehat seperti pada Gambar 9.
Gambar 9. Uji antagonis secara in vitro; A. Bakteri antagonis (DB2); B. Kapang
Fusarium sp.; C. Bakteri antagonis (DB2)
Terdapat 13 isolat bakteri pada pengujian antagonis yang dihasilkan dari
proses isolasi bakteri pada tanaman bawang merah. Tiga isolat bakteri berasal dari
bagian akar (AB1, AB2, dan AB3), 4 isolat dari bagian daun (DB1, DB2, DB3
dan DB4), 3 isolat dari bagian umbi (UB1, UB2, dan UB3), dan 3 isolat lainnya
berasal dari tanah tanaman bawang merah (TB1, TB2, dan TB3). Seluruh isolat
bakteri tersebut dilakukan pengujian antagonis bersama kapang Fusarium sp.
secara in vitro dan hasil pengukuran diameter Fusarium sp. pada hari pertama
hingga hari ketujuh tercantum pada lampiran 3.
Data pengukuran diameter Fusarium sp. pada uji antagonis menunjukan
bahwa dari 13 isolat bakteri yang diujikan, hanya 9 isolat bakteri yang dapat
menekan pertumbuhan Fusarium sp. yaitu AB1, AB3, DB2, DB3, DB4, UB1,
TB1, TB2, dan TB3. Rata-rata diameter Fusarium sp. yang dihasilkan oleh 9
isolat bakteri tersebut terlampir pada Tabel 5. Rata-rata diameter Fusarium sp.
terendah dihasilkan dari pengujian antagonis dengan isolat bakteri AB3 sebesar
1,27 cm, dilanjutkan dengan TB2, dan UB1 sebesar 1,45 cm, dan 1,56 cm.
29
Tabel 5. Rata-rata diameter Fusarium sp. hasil pengujian antagonis selama 7 hari
Isolat Rata-rata diameter Fusarium sp. (cm) St.dev
AB1 1,74 0,39
AB3 1,27 0,34
DB2 1,80 0,59
DB3 2,09 0,33
DB4 1,78 0,23
UB1 1,56 0,16
TB1 1,64 0,49
TB2 1,45 0,47
TB3 2,09 0,18
Fusarium sp. kontrol 2,55 0,06
Sembilan isolat bakteri antagonis mampu menghambat pertumbuhan
kapang Fusarium sp. yang dibuktikan dengan grafik persentase daya hambat
(Gambar 10). Isolat bakteri tersebut memiliki kisaran persentase hambatan sebesar
13,49 46,80% . Persentase daya hambat Fusarium sp. yang terbaik dihasilkan dari
bakteri asal akar tanaman bawang merah yaitu AB3 dengan nilai rata-rata
persentase sebesar 46,80%. Persentase hambatan yang terbaik selanjutnya diikuti
oleh bakteri antagonis asal tanah (TB2) dan umbi (UB1) dengan nilai persentase
hambatan rata-rata secara berurutan yaitu 40,24%, dan 35,11%. Berdasarkan
klasifikasi anti fungi (Mori et al., 1997), persentase hambatan ketiga bakteri
antagonis tersebut termasuk dalam kategori tingkat sedang dalam menghambat
pertumbuhan kapang Fusarium sp.
Gambar 10. Persentase daya hambat kapang Fusarium sp. oleh bakteri antagonis
selama 7 hari
30
Serangan kapang Fusarium sp. pada tanaman bawang merah merupakan
salah satu kendala dalam budidaya yang menyebabkan penyakit moler atau layu
Fusarium sp. Gejala yang ditimbulkan berupa daun yang menguning dan
cenderung terpelintir serta infeksi pada bagian akar atau batang yang berbatasan
dengan permukaan tanah sebagai serangan awal dari Fusarium sp. (Sumartini,
2012). Berdasarkan Tabel 5 dan Gambar 10 bahwasannya 9 isolat bakteri
antagonis memiliki laju pertumbuhan yang tinggi dibandingkan dengan
pertumbuhan Fusarium sp., maka bakteri antagonis tersebut mampu menekan
pertumbuhan kapang patogen. Rendahnya pertumbuhan kapang Fusarium sp.
pada uji antagonis dikarenakan viabilitas dan kerapatan konidia yang rendah
(Yulianto, 2014). Weller (1998) juga menyatakan bahwa bakteri yang mampu
merangsang pertumbuhannya dan menghambat pertumbuhan Fusarium sp. yang
merugikan, maka bakteri tersebut mampu berperan sebagai agen pengendali
hayati.
Hasil pengujian independent t-test menunjukan adanya perbedaan yang
nyata antara diameter Fusarium sp. pada uji antagonis dengan diameter kapang
Fusarium sp. kontrol karena memiliki nilai signifikasi 2-tailed < 0,05 (Tabel 6).
Nilai signifikasi 2-tailed terbaik sebesar 0,001 yang dihasilkan oleh diameter
Fusarium sp. pada uji antagonis dengan isolat bakteri asal tanah. Nilai signifikasi
2-tailed terbaik selanjutnya diikuti oleh diameter Fusarium sp. pada uji antagonis
dengan isolat bakteri asal akar, daun, dan umbi yang memiliki nilai signifikasi 2-
tailed sebesar 0,004; 0,013; dan 0,041.
Tabel 6. Hasil uji independent t-test pada pengujian antagonis secara in vitro
Asal isolat bakteri
antagonis
Uji independent sample t-test
Mean St.dev Sig 2-tailed TN/N
Akar 2,030 0,909 0,004 N
Daun 1,970 0,861 0,013 N
Umbi 2,030 0,909 0,041 N
Tanah 1,731 0,850 0,001 N
Keterangan: TN (Tidak Nyata); N (Nyata)
Hasil nilai signifikasi 2-tailed pada isolat bakteri antagonis sesuai dengan
nilai rata-rata persentase hambatan Fusarium sp. yang menunjukan bahwa nilai
rata-rata persentase hambatan Fusarium sp. yang tertinggi terdapat pada isolat
31
bakteri antagonis asal tanah dengan persentase sebesar 29,64% (Lampiran 6).
Hasil rata-rata persentase hambatan kapang Fusarium sp. selanjutnya terdapat
pada isolat bakteri antagonis asal akar, daun, dan umbi dengan persentase secara
berurutan sebesar 27,35%, 18,90%, dan 17,67%.
Hasil tersebut menunjukan bahwa rerata bakteri asal tanah memiliki
kemampuan dalam menghambat pertumbuhan kapang patogen. Hal ini sesuai
dengan penelitian Herdyastuti et al. (2009) yang menyatakan bahwa Serratia
plymuthica merupakan bakteri asal tanah mampu menekan pertumbuhan kapang
Verticillium dahlia dan berpotensi sebagai agen pengendali hayati. Selain itu,
Asril (2011) juga menyatakan bahwa isolat bakteri asal tanah yaitu BK17 dan
KM04 memiliki efektivitas tertinggi dalam menghambat pertumbuhan kapang
Ganoderma boninense sedangkan isolat bakteri kombinasi antara BK13 dan
KM04 memiliki kemampuan penghambatan tertinggi terhadap pertumbuhan
kapang F. oxysporum penyebab layu Fusarium pada kecambah cabai merah.
4.2. Kitinase Kualitatif
Seleksi bakteri kitinolitik pada pengujian kitinase kualitatif dilakukan
untuk mendapatkan isolat bakteri yang mampu menghidrolisis kitin paling besar
dengan menggunakan indeks kitinolitik pada 3 kali pengulangan (Lampiran 8).
Berdasarkan hasil pengukuran indeks kitinolitik, diketahui bahwa nilai indeks
kitinolitik yang dihasilkan berbeda-beda. Nilai terbesar dimiliki oleh isolat AB1
sebesar 1,59 dan diikuti isolat TB3, DB3, AB3, dan DB4 dengan nilai indeks
kitinolitik secara berurutan sebesar 1,55; 1,25; 1,17; dan 1,17 (Tabel 7). Menurut
Dewi (2008) indeks kitinolitik merupakan perbandingan antara diameter zona
bening dengan diameter koloni untuk memperoleh isolat potensial. Pengukuran
diameter zona bening dan diameter koloni pada 9 isolat bakteri dapat dilihat pada
lampiran 9. Perbedaan diameter zona bening tersebut dikarenakan setiap isolat
memiliki kadar enzim kitinolitik yang berbeda-beda. Menurut Kuk et al. (2004)
diameter yang berbeda-beda dari setiap isolat menunjukan perbedaan aktivitas
masing-masing enzim kitinolitik yang disekresikan.
32
Tabel 7. Indeks kitinolitik 9 bakteri antagonis pada pengujian kitinase kualitatif
Isolat Indeks kitinolitik St.dev
AB1 1,59 0,14
AB3 1,17 0,13
DB2 0,00 0,00
DB3 1,25 0,03
DB4 1,17 0,03
UB1 0,00 0,00
TB1 0,00 0,00
TB2 0,00 0,00
TB3 1,55 0,16
Hasil nilai indeks kitinolitik terbaik pada bakteri antagonis tidak sama
dengan hasil pengujian antagonis yang terbaik, hal ini dikarenakan adanya jenis
metabolit sekunder lainnya selain enzim kitinase yang dihasilkan oleh bakteri
antagonis untuk menekan pertumbuhan kapang Fusarium sp. Hal ini sesuai
dengan pendapat Soesanto (2008) bahwa hasil metabolisme sekunder dapat
berupa enzim, antibiotika, toksin, dan hormon lainnya yang dapat menghambat
pertumbuhan kapang patogen. Selain itu, Judoamidjojo, Abdul, & Endang, (1992)
menyatakan bahwa bakteri yang tidak menghasilkan zona bening pada pengujian
kitinase dapat dikarenakan perbedaan pH sekitar media akibat dari metabolit yang
dihasilkan oleh kapang Fusarium sp.
Terbentuknya zona bening pada setiap isolat bakteri antagonis merupakan
indikasi adanya senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh bakteri untuk
menghambat pertumbuhan Fusarium sp., seperti pada isolat AB1 (Gambar 11).
Hal ini sesuai dengan pendapat Fety & Murkalina (2015) bahwa mekanisme
antibiosis ditunjukan dengan terbentuknya zona penghambatan (clear zone) pada
bakteri antagonis. Yulianto (2014) juga menyatakan bahwa mekanisme antibiosis
dapat diukur dengan melihat zona bening yang dihasilkan dari bakteri antagonis
yang diujikan.
33
Gambar 11. Pengujian kitinase kualitiatif pada bakteri antagonis; A. Isolat bakteri
AB1; B. Zona bening yang dihasilkan
Bakteri antagonis yang dapat membentuk zona bening disebut sebagai
bakteri kitinolitik (Herdyastuti et al., 2009). Besar kecilnya zona bening yang
dihasilkan tergantung pada jumlah monomer N-asetilglukosamin yang dihasilkan
dari proses hidrolisis kitin dengan memutus ikatan β-1,4-Asetilglukosamin.
Semakin besar jumlah monomer N-asetilglukosamin yang dihasilkan maka akan
semakin besar zona bening yang terbentuk di sekitar koloni bakteri antagonis
(Patil, Ghormade, & Deshpande, 1999).
Adanya zona bening pada koloni bakteri antagonis membuktikan bahwa
bakteri tersebut mampu memproduksi kitinase (Park, Lee, & Lee, 2000). Kitinase
yang disekresikan bakteri dalam medium agar kitin kemudian diikat oleh partikel
kitin (koloidal kitin), sehingga kitin menjadi terdegradasi, dan komposisi kitin
dalam medium menjadi berkurang. Degradasi oligomer kitin dan penggunaan
molekul hasil degradasi tersebut oleh bakteri membuat medium tampak jernih
(Chen & Lee, 1994). Mekanisme degradasi kitin oleh bakteri kitinolitik
berlangsung dalam 3 tahap, yaitu diawali dengan terdeteksinya bakteri pada kitin.
Lalu, bakteri akan mendekat di permukaan polimer tersebut dengan mediasi
Chitin Binding Protein (CBD). Selanjutnya, kitin akan menginduksi sistem kinase
2 komponen pada bakteri sehingga enzim kitinase dihasilkan (Susi, 2002).
4.3. Kitinase Kuantitatif
Data aktivitas kitinase pada pengujian kitinase kuantitatif dari 9 isolat
bakteri antagonis menunjukkan hasil yang beragam (Lampiran 10). Aktivitas
34
kitinase didapatkan dari pengukuran nilai absorbansi pada pengujian kitinase
kuantitatif menggunakan sprektrofotometer dengan 2 kali pengulangan. Nilai
aktivitas kitinase yang diperoleh dari 9 isolat bakteri tersebut berkisar antara 0,628
U/mL hingga 3,291 U/mL (Gambar 12). Terdapat 4 isolat yang menunjukan
aktivitas kitinase lebih tinggi dibandingkan dengan isolat lainnya yaitu UB1, AB3,
TB1, dan TB3 dengan aktivitas secara berturut-turut 3,291 U/mL, 2,901 U/mL,
1,326 U/mL, dan 1,023 U/mL. Isolat bakteri yang berbeda akan membedakan
sistem regulasi dalam sintesis enzim di dalamnya. Kompleksitas dari mekanisme
tersebut berbeda dari yang paling sederhana, sistem induksi, dan represi yang
mudah dimengerti sampai yang melibatkan mekanisme yang kompleks
(Maggadani, Setyahadi, & Harmita, 2017).
Gambar 12. Aktivitas kitinase pada isolat bakteri antagonis
Aktivitas enzim kitinase dihitung berdasarkan jumlah gula pereduksi yang
dihasilkan menggunakan kurva standar N-asetil-glukosamin (NAG). Satu unit
aktivitas kitinase merupakan jumlah enzim yang menghasilkan 1 µmol NAG
permenit. Aktivitas kitinase dari mikroorganisme sangat bervariasi dan tergantung
pada beberapa faktor. Beberapa penelitian menyatakan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan variasi yaitu waktu reaksi enzimatik, konsentrasi substrat dan
enzim, waktu inkubasi, jenis media serta faktor lingkungan seperti suhu dan PH
(Setia & Suharjono, 2015).
Pengujian kitinase kuantitatif dilakukan untuk menentukan terbentuknya
produk akhir gula pereduksi N-asetilglukosamin (GlcNAc) yang dibebaskan dari
35
kitin selama reaksi hidrolisis dengan didapatkannya nilai absorbansi pada setiap
isolat bakteri menggunakan spektrofotometer. Subtrat yang digunakan pada
pengujian kitinase yaitu kitin yang diperoleh dari kulit udang. Susi (2002)
menjelaskan bahwa keberadaan substrat dapat memacu suatu mikroorganisme
untuk mensekresikan metabolit selnya dan enzim akan bereaksi bila terdapat
substrat. Interaksi yang terjadi antara enzim dan substrat ini akan menghasilkan
produk akhir yang merupakan gabungan dari reaksi enzim-substrat yang
berpengaruh pada struktur molekul katalitik enzim.
Menurut Adam (2004) dinding sel kapang merupakan komplek yang
terdiri dari kitin, glukan, dan polimer lainnya sehingga adanya enzim kitinase
pada pengujian ini akan mendegradasi kitin yang terdapat pada dinding sel kapang
Fusarium sp., sehingga dinding selnya akan mengalami lisis. Hal ini sejalan
dengan pendapat Octriana (2011) bahwa adanya aktivitas kitinase dapat
menghambat pertumbuhan kapang Fusarium sp. Mukarlina, Khotimah, & Rianti
(2010) juga menyatakan bahwa aktivitas kitinase dapat terjadi karena adanya
metabolit sekunder yang diproduksi oleh bakteri yang secara alamiah merupakan
suatu mekanisme pertahanan mikroba untuk bertahan hidup atau berkompetisi.
4.4. Karakterisasi Morfologi Bakteri Antagonis
Karakter morfologi bakteri antagonis asal akar, daun, umbi, dan tanah
pada tanaman bawang merah menunjukan sifat yang bervariasi. Hal ini terlihat
pada karakterisasi makroskopis bakteri seperti warna, bentuk, tepi, dan elevansi
yang berbeda-beda (Tabel 8).
Tabel 8. Karakteristik secara makroskopis pada 9 bakteri antagonis
Isolat Morfologi koloni bakteri antagonis
Warna Bentuk Tepi Elevasi Gram
AB1 Putih Circular Lobate Flat, raised margin
AB3 Putih Circular Entire Convex +
DB2 Putih Circular Curled Flat +
DB3 Putih Irregular Lobate Raised
DB4 Putih Circular Entire Convex +
UB1 Putih Circular Lobate Plateau
TB1 Putih Irregular Lobate Raised
TB2 Putih Circular Entire Umbonate +
TB3 Putih Circular Lobate Convex +
36
Isolat bakteri antagonis diambil secara acak dengan memperhatikan
morfologi yang berbeda saat proses isolasi bakteri pada media NA (Lampiran 1).
Setiap isolat menunjukan jenis koloni yang berbeda berdasarkan karakter
makroskopis dan mikroskopisnya. Perbedaan tersebut dapat dikarenakan faktor
lingkungan dan asal didapatkannya isolat. Terdapat 7 isolat bakteri yang memiliki
koloni berbentuk bulat (circular), dan 2 isolat bakteri berbentuk tidak beraturan
(irregular) dimana 5 isolat bertepi berombak (lobate), 3 isolat bertepi bulat penuh
(entire), dan 1 isolat memiliki tepi yang mengeriting (curled) dengan elevasi
koloni berbentuk seperti kawah (flat, raised margin), cembung (convex), rata
(flat), terangkat (raised), melengkung (plateau), dan membukit (umbonate).
Isolat bakteri yang didapatkan kemudian dilakukan pewarnaan gram untuk
melihat karakterisasi dari bakteri tersebut. Bakteri gram positif ditandai dengan
terbentuknya warna ungu disebabkan asam-asam ribonukleat pada sitoplasma sel-
sel gram positif membentuk ikatan yang lebih kuat dengan kompleks ungu kristal
violet sehingga ikatan kimiawi tersebut tidak mudah dipecahkan oleh larutan
alkohol sedangkan bakteri gram negatif ditandai dengan terbentuknya warna
merah sebab kompleks tersebut larut pada saat pemberian alkohol sehingga
mengambil warna merah safranin (Cappucino & Sherman, 2011).
Perbedaan warna pada bakteri positif dan negatif menunjukan bahwa
adanya perbedaan struktur dinding sel antara kedua jenis bakteri tersebut. Dinding
sel pada bakteri gram positif terdiri atas peptidoglikan yang tebal sedangkan
dinding sel pada bakteri gram negatif terdiri atas peptidoglikan yang lebih tipis
dari bakteri gram positif, mengandung lipid, dan lemak dalam persentase yang
lebih tinggi daripada bakteri gram positif (Syauqi, 2015). Terdapat 5 isolat bakteri
antagonis yang termasuk dalam bakteri gram positif yaitu AB3, DB2, DB4, TB2,
dan TB3 sedangkan 4 isolat lainnya termasuk dalam bakteri gram negatif yaitu
AB1, DB3, UB1, dan TB1 (Lampiran 7).
4.5. Identifikasi Bakteri secara Molekuler
Isolasi DNA dilakukan pada 3 isolat bakteri antagonis yang terbaik dalam
menghambat pertumbuhan kapang Fusarium sp. yaitu isolat bakteri AB3, TB2,
dan UB1. Setelah proses isolasi DNA, ketiga isolat bakteri tersebut dilakukan
37
proses amplifikasi DNA pada PCR dan pengujian elektroforesis sehingga
didapatkan hasil seperti pada Gambar 13.
Gambar 13. Visualisasi hasil elektroforesis DNA. M. Marker DNA; A. DNA
isolat AB3; B. DNA isolat TB2; C. DNA isolat UB1
Sampel DNA AB3, TB2, dan UB1 teramplifikasi dengan baik, ditunjukan
dengan adanya pita DNA yang terlihat jelas dan nyata. Hal ini menunjukan bahwa
didalam DNA sampel isolat AB3, TB2, dan UB1 mengandung nukleotida-
nukleotida yang berkomplementer dengan sekuen primer, dan bekerja secara
spesifik terhadap DNA template (Rahmawati, 2011). Pasangan yang saling
berkomplementer tersebut mengakibatkan terjadinya pemanjangan oleh enzim
polymerase saat tahap elongasi sehingga saat visualisasi dengan elektroforesis
muncul pita DNA sampel AB3, TB2, dan UB1 dengan ukuran kira-kira 1.000 bp.
Ukuran pita DNA pada proses elektroforesis berbanding lurus dengan hasil blast
pada analisis BLAST (Tabel 9) yang menunjukan bahwa sampel AB3 memiliki
panjang basa sebesar 1.459 sedangkan TB2 dan UB1 memiliki panjang basa
sebesar 1.267 dan 1.419.
Proses sekuensing 16S rRNA dilakukan setelah terbentuknya pita-pita
DNA yang terlihat jelas saat pengujian elektroforesis. Pengujian sekuensing ini
merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi suatu gen dan merupakan tahap
38
akhir dalam menentukan urutan nukleotida fragmen hasil amplifikasi dengan
PCR. Identitas suatu gen yang telah diketahui sekuennya dapat ditentukan dengan
membandingkan data sekuen yang terdapat pada Genbank. Sekuensing dilakukan
dengan metode Sanger menggunakan automatic DNA sequencer yang
berdasarkan pada metode dye terminator labeling (Clarridge, 2004). Sebanyak 3
sampel yang terpilih untuk disekuensing yaitu sampel isolat bakteri AB3, TB2,
dan UB1.
Chen et al. (2015) menyatakan jika tingkat kemiripan isolat bakteri ≥ 97%,
maka isolat tersebut dianggap sebagai spesies dari genus yang sama. Hasil analisis
sekuensing gen melalui situs National Centre for Biotechnology Information/
NCBI BLAST-N 2.0 (Lampiran 12) menunjukan adanya kemiripan sampel isolat
AB3 dengan Bacillus subtilis dengan tingkat kemiripan 99,75%. Isolat TB2 juga
memiliki kemiripan dengan B. subtilis dengan tingkat kemiripan 100%,
sedangkan isolat bakteri UB1 memiliki kemiripan dengan Pseudomonas
nitroreducens dengan tingkat kemiripan 89,35% (Tabel 9). Ketiga sampel isolat
bakteri ini merupakan isolat yang terbaik dalam menghambat pertumbuhan
kapang Fusarium sp.
Tabel 9. Hasil analisis BLAST pada 3 DNA isolat bakteri antagonis terbaik
Isolat
Hasil analisis BLAST
Bakteri Panjang
basa (bp)
Total
score
Query
cover
Per.
identity Accession
AB3 Bacillus subtilis 1459 1495 99% 99,75% MN555375.1
TB2 Bacillus subtilis 1267 1933 98% 100% MT013387.1
UB1 Pseudomonas
nitroreducens 1419 1016 99% 89,35% JQ659788.1
Hasil analisis fragmen DNA yang tertera pada Tabel 9 menunjukan bahwa
isolat bakteri AB3 dan TB2 memiliki similaritas dengan spesies bakteri yang
sama yaitu Bacillus subtilis. Panjang basa yang dimiliki oleh isolat AB3 dan TB2
yaitu 1459 bp dan 1267 bp. Clarridge (2004) menyatakan bahwa untuk sebagian
besar isolat bakteri klinis dengan sekuen 500 bp sudah dapat memberikan
diferensiasi yang memadai karena wilayah tersebut menunjukan lebih banyak
keragaman. Namun, sekuen dengan panjang sekitar 1500 bp lebih dianjurkan
untuk dapat menetapkan identifikasi tingkat spesies (Hong & Farrance, 2016).
39
Isolat AB3 dan TB2 yang memiliki kemiripian dengan bakteri B. subtilis,
memiliki karakteristik secara makroskopis dan mikroskopis yaitu isolat AB3
termasuk bakteri gram positif, koloninya berwarna putih, berbentuk circular
dengan tepi entire, dan elevansi yang convex. Isolat TB2 juga merupakan bakteri
gram positif yang membentuk koloni berwarna putih (Gambar 14), memiliki
bentuk yang circular dengan tepi entire, elevansi yang umbonate dan secara
mikroskopis selnya berbentuk batang pendek.
Gambar 14. Karakteristik isolat bakteri AB3 dan TB2. A. Makroskopis AB3; B.
Mikroskopis AB3; C. Makroskopis TB2; D. Mikroskopis TB2
Berdasarkan sifat pertumbuhannya, B. subtilis bersifat mesofilik. Bakteri
ini dapat menghasilkan enzim protease, amylase, lipase, dan kitinase sebagai
enzim pengurai dinding sel patogen (Hatmanti, 2000). Bakteri Bacillus subtilis
juga merupakan kelompok bakteri antagonis yang banyak digunakan untuk
mengendalikan patogen pada tanaman. Bakteri B. subtilis memanfaatkan eksudat
akar di dalam tanah dan bahan tanaman mati untuk sumber nutrisi. Mekanisme
penghambatan bakteri antagonis B. subtilis yaitu melalui antibiosis, persaingan,
dan pemacu pertumbuhan (Elad & Freeman, 2002).
Bacillus subtilis menghasilkan antibiotika yang bersifat racun terhadap
mikroba lain. Antibiotika yang dihasilkan yaitu surfaktin, fengisin, iturin A,
polimiksin, difisidin, subtilin, subtilosin, protein, dan basitrasin. Basitrasin
merupakan polipeptida yang efektif terhadap bakteri gram positif dan bekerja
40
menghambat pembentukan dinding sel patogen (Soesanto, 2008). Rao (1994) juga
menyatakan bahwa B. subtilis mampu memproduksi antibiotik aterimin dan
basitrasin yang sangat beracun bagi patogen.
Bakteri B. subtilis sudah terbukti sebagai agen pengendali hayati yang
baik. Hal ini dilaporkan pula oleh Djaenuddin, Nonci, & Muis (2014) bahwa
sebanyak 8 isolat bakteri antagonis terbaik yang telah diidentifikasi yaitu B.
subtilis mampu menghambat perkembangan penyakit busuk tongkol Fusarium
moniliforme pada jagung secara in vitro dan in vivo. Hasil penelitian Aini et al.
(2013) bahwa B. subtilis mampu menghasilkan enzim degradatif makromolekul
yang bisa menghancurkan dinding sel kapang seperti protease dan beberapa enzim
yang disekresikan pada medium seperti amylase, α-glukanase, xilanase, kitinase
dan protease.
Hasil analisis fragmen DNA pada isolat bakteri UB1 menunjukan bahwa
isolat tersebut memiliki panjang basa sebesar 1419 bp dan memiliki simililaritas
dengan P. nitroreducens (Tabel 9). Berdasarkan uji karakteristik makroskopis dan
mikroskopis pada isolat UB1, isolat ini termasuk bakteri gram negatif, dengan
koloni yang berwarna putih (Gambar 15), memiliki bentuk circular dengan tepi
lobate, elevasi yang plateau dan secara mikroskopis selnya berbentuk batang.
Gambar 15. Karakteristik isolat UB1. A. Makroskopis UB1; B. Mikroskopis UB1
Kelompok bakteri Pseudomonas memiliki bentuk kokobasil, tepi rata,
cembung, mengkilap, semi trasnlusens, berdiameter 1-2 mm memiliki 2-3 flagel,
dan merupakan bakteri gram negatif. Karakter spesifik pada Pseudomonas yaitu
berbentuk batang lurus, motil, dan tidak melakukan fermentasi (Buchanan &
Gibbon, 1974). Madigan, Martinko, & Parker (2003) menyatakan bahwa
kelompok Pseudomonas mampu memproduksi senyawa yang menghambat
pertumbuhan patogen.
41
Bakteri Pseudomonas banyak digunakan untuk mengendalikan patogen
tular tanah. Bakteri kelompok ini dapat menghasilkan siderophore pseudobactin
yang dapat menghambat perkembangan patogen (Thomashow & Weller, 1990).
Bakteri antagonis ini juga dapat menghasilkan senyawa yang bersifat fungisidal
dan berkompetisi dengan patogen dalam pemanfaat Fe (Singh et al., 1999).
Kompetisi Fe merupakan salah satu faktor dalam aktivitas pengendalian hayati,
jumlah Fe dalam media sangat mempengaruhi keefektifan mikroba antagonis
dalam menekan pertumbuhan kapang Fusarium sp. (Segara et al., 2010).
Singh et al. (1999) juga menjelaskan bahwa bakteri Pseudomonas paling
berpengaruh dalam menekan pertumbuhan kapang Fusarium sp. karena bakteri ini
mampu menghasilkan beberapa jenis metabolit yang bersifat fungisidal. Beberapa
senyawa yang dihasilkan oleh bakteri Pseudomonas yaitu sideropore
(pyoverdine), 2,4-Diacetylphoroglucinol, pyoluteorin, monoacetylphloroglucinol,
dan asam salisilat (Haas & Defago, 2005). Bakteri juga bersifat indofitik yang
akan menginduksi ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen (Kavino et al.,
2007).
42
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan,
sebagai berikut:
1. Isolat bakteri yang sangat berpotensi dalam menghambat pertumbuhan
kapang Fusarium sp. yaitu isolat AB3, TB2, dan UB1.
2. Isolat AB3, TB2, dan UBI memiliki nilai persentase hambatan sebesar
46,80%, 40,24%, dan 35,11%.
3. Isolat AB3 dan TB2 memiliki kemiripan dengan bakteri Bacillus subtilis
dengan tingkat kemiripan sebesar 99,75% dan 100% sedangkan isolat UB1
memiliki kemiripan dengan bakteri Pseudomonas nitroreducens dengan
tingkat kemiripan sebesar 89,35%.
5. 2. Saran
Saran yang dapat ditambahkan berdasarkan hasil penelitian ini yaitu perlu
dilakukan penelitian lanjutan mengenai kemampuan 3 isolat bakteri antagonis
terbaik dalam menghambat Fusarium sp. secara in vivo.
43
DAFTAR PUSTAKA
Aak. (2004). Pedoman bertanam bawang. Yogyakarta: Kanisius.
Adam, D. J. (2004). Fungal cell wall chitinases and glucanases. Microbiology,
150, 2029–2035.
Adiyoga, W. (2020). Signifikansi dan potensi produksi bawang merah di
Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementrian Pertanian.
Aini, F. N., Sukamto, S., Wahyuni, D., Suhesti, R. G., & Ayyunin, Q. (2013).
Penghambatan pertumbuhan Colletotrichum gloeosporioides oleh
Trichoderma harzianum, Trichoderma koningii, Bacillus subtilis dan
Pseudomonas fluorescens. Jurnal Pelita Perkebunan, 29(1), 44–52.
Akihary, C. V., & Kolondam, B. J. (2020). Pemanfaatan gen 16S RNA sebagai
perangkat identifikasi bakteri untuk penelitian-penelitian di Indonesia.
Pharmacon, 9(1), 16–22.
Asril, M. (2011). Kemampuan bakteri tanah dalam menghambat pertumbuhan
Ganoderma boninense dan Fusarium oxysporum secara in vitro dan uji
penghambatan penyakit layu Fusarium pada benih cabai merah (Skripsi).
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Awami, S. N., Wahyuningsih, S., & Rina, R. (2019). Preferensi petani terhadap
beberapa varietas bawang merah kasus Desa Pasir, Kecamatan Mijen,
Kabupaten Demak. Jurnal Agriculture, 31(2), 147–158.
Bennertt, R. S., Hutmacher, R. B., & Davis, D. (2008). Seed transmission of
Fusarium oxysporum f. sp. vasinfectum race 4 in California. The Journal of
Cotton Science, 12, 160–164.
Bernadip, B. R., Hadiwiyono, & Sudadi, S. (2014). Keanekaragaman jamur dan
bakteri rizosfer bawang merah terhadap patogen moler. Jurnal Ilmu Tanah
Dan Agroklimatologi, 11(1).
Buchanan, R., & Gibbon, E. (1974). Bergey’s manual of determinative
bacteriology, 8th edition. USA: The Williams & Wilkins Co, Inc.
Cappucino, J. G., & Sherman, N. (2011). Microbiology a laboratory manual (9th
ed.). San Francisco: Benjamin Cumming.
Chen, J. P., & Lee, M. S. (1994). Simultaneous production and partition of
chitinase during growth of Serratia marcescens in an aqueous two phase
system. Biotech, 8(11), 783–788.
Chen, Y. L., Lee, C. C., Lin, Y. L., Yin, K. M., Ho, C. L., & Liu, T. (2015).
44
Obtaining long 16S rDNA sequences using multiple primers and its
application on dioxin-containing samples. BMC Bioinformatics, 16(18).
Clarridge, J. E. (2004). Impact of 16S rRNA gene sequence analysis for
identification of bacteria on clinical microbiology and infectious diseases.
Clin Microbiology Rev, 17(4), 840–862.
Dewi, I. M. (2008). Isolasi bakteri dan uji aktivitas kitinase termofilik kasar dari
sumber air panas tinggi raja, Simalungun, Sumatera Utara (Tesis). Program
Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Djaenuddin, N., Nonci, N., & Muis, A. (2014). Viabilitas dan uji formulasi
bakteri antagonis sebagai biopestisida pengendalian penyakit hawar upih
daun Rhizoctonia solani dan bercak daun Bipolaris maydis. Laporan Akhir
Tahun. Maros, Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Djatnika, I., Sunyoto, & Eliza, E. (2003). Peranan Pseudomonas fluorescens MR
96 pada penyakit layu Fusarium tanaman pisang. Jurnal Hortikultura, 13(3),
212–218.
Djatnika, I. (2012). Seleksi bakteri antagonis untuk mengendalikan layu Fusarium
pada tanaman Phalaenopsis. Jurnal Hortikultura, 22(3), 276–284.
Elad, Y., & Freeman, S. (2002). Biological control of fungal plant pathogen.
Berlin: Springer-Verlag.
Fety, S. K., & Murkalina, M. (2015). Uji antagonis jamur rizosfer isolat lokal
terhadap Phytophthora sp. yang diisolasi dari batang langsat (Lansium
domesticum Corr.). Protobiont, 4(1), 218–225.
Firmansyah, M. A., & Anto, A. (2013). Teknologi budidaya bawang merah lahan
marjinal di luar musim. Palangka Raya: Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Kalimantan Tengah.
Fitriani, M. L., Wiyono, S., & Sinaga, M. S. (2019). Potensi kolonisasi mikoriza
arbuskular dan cendawan endofit untuk pengendalian layu Fusarium pada
bawang merah. Jurnal Fitopatologi Indonesia, 15(6), 228–238.
Green, A. T., Healy, M. G., & Healy, A. (2005). Production of chitinolytic by
Serratia marcescens QMB1466 using various chitinous substrates. J Chem
Tech and Biotech, 80, 28–34.
Gunadi, N., & Suwandi, S. (1989). Pengaruh dosis dan waktu aplikasi pemupukan
fosfat pada tanaman bawang merah kultivar Sumenep. Jurnal Hortikultura,
18(22), 98–106.
Haas, D., & Defago, G. (2005). Biological control of soil borne pathogens by
Fluorescent pseudomonas. Natural Review of Microbiology, 3, 307–319.
Haggag, W. M., & Mohamed, H. A. A. (2007). Biotechnological aspects of
45
microorganism used in plant biological control. Am-Eurasian Journal
Sustainable Agriculture, 17–12.
Hatmanti, A. (2000). Pengenalan Bacillus sp. Oseana, 25(1), 31–41.
Herdyastuti, N., Raharjo, T. J., Mudasir, & Matsjeh, S. (2009). Chitinase and
chitinolytic microorganism: isolation, characterization and potential. Indo J
Chem, 9(1), 37–47.
Hidayat, A., & Rosliani, R. (1996). Pengaruh pemupukan N, P, dan K pada
pertumbuhan dan produksi bawang merah kultivar Sumenep. Jurnal
Hortikultura, 5(5), 39–43.
Hidayat, A., & Sumarni, N. (2005). Budidaya bawang merah. Lembang: Balai
Penelitian Tanaman Sayuran.
Hidayat, A., Rosliani, R., Sumarni, N., Moekasan, T. K., Suryaningsih, E. S., &
Putusambagi, S. (2004). Pengaruh varietas dan paket pemupukan terhadap
pertumbuhan dan hasil bawang merah. Laporan Hasil Panel. Balitsa,
Lembang.
Hong, S., & Farrance, C. E. (2016). Is it essential to sequence the entire 16S rRNA
gene for bacterial identification? (pp. 1–13). European Pharmaceutical
Review, Desember. https://media.europeanpharmaceuticalreview.com/wp-
content/upload/Is-it-essential-to-sequence-the-entire-16S-rRNA-gene-for-
bacterial-identification-SH-and-CF-MJ.pdf
Judoamidjojo, M., Abdul, A. D., & Endang, G. S. (1992). Teknologi fermentasi.
Jakarta : Rajawali Press.
Jusuf, M. (2001). Genetika 1: struktur dan ekspresi gen. Bogor: IPB Press.
Kavino, M., Harish, S., Kumar, N., Saravanakum, Damodaran, & Samiyappan, R.
(2007). Rhizopere and endophytic bacteria for induction of system resistance
of banana plantlets against bunchy top virus. Soil Biol and Biochem, 39(5),
1087–1098.
Kepel, B & Fatimawali, F. (2015). Penentuan Jenis dengan analisis gen 16S rRNA
dan uji daya reduksi bakteri resisten merkuri yang diisolasi dari feses pasien
dengan tambalan amalgam merkuri di Puskesmas Bahu Manado. Jurnal
Kedokteran Yarsi, 23(1), 45–55.
Kuk, J. H., Jung, W. J., Jo, G. H., Ahn, J. S., Kim, K. Y., Park, R. D. (2004).
Selective preparation of N-acetylchitobiose from chitin using a crude enzyme
preparation from Aeromonas sp. Biotechnology Letters, 27, 7–11.
Lau, S. K. P., Woo, P. C. Y., Teng, J. L. L, Leung, K. W., & Yuen, K. Y. (2002).
Identification by 16S ribosomal RNA gene sequencing of Arcobacter
butzleri bacteraemia in a patient with acute gangrenous appendicitis. J Clin
Pathol: Mol Pathol, 55, 182–185.
46
Madigan, M. T., Martinko, J. M., & Parker, J. (2003). Biology of microorganisms
edition 9th. USA: Pearson Education, Inc.
Maggadani, B. P., Setyahadi, S., & Harmita, H. (2017). Skrining dan evaluasi
aktivitas kitinase dari sembilan isolate bakteri local. Pharm Sci Res, 4(1),
2407–2354.
Melysa, Fajrin, N., Suharjono & Dwiastuti, M. E. (2013). Potensi Trichoderma sp.
sebagai agen pengendali Fusarium sp. patogen tanaman strawberry
(Fragaria sp.). Jurnal Biotropika, 1(4).
Mihardjo, A., & Majid, A. (2008). Pengendalian penyakit layu pada pisang
dengan bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens dan Bacillus subtilis.
Jurnal Pengendalian Hayati, 1, 26–31.
Mori, M., M. Aoyama., S. Doi, A. Kanetoshi., & T. H. (1997). Antifungal activity
of bark extracts of deciduous trees. Holzs Als Rohund Werkstoff Springer-
Verlag, 55, 130–132.
Mostert, L., Crous, P. W., Kang, J. C., & Philips, A. J. L. (2001). Species of
Phomopsis and Libertella sp. occuring on grapevines with specific reference
to South Africa: morphological, cultural, molecular and pathological
characterization. Mycologia, 93, 146–167.
Mukarlina, Khotimah, S., & Rianti, R. (2010). Uji antagonis Trichoderma
harzianum terhadap Fusarium spp. penyebab penyakit layu pada tanaman
cabai (Capsicum annuum) secara in vitro. Jurnal Fitomedika, 7(2), 80–85.
Ngatimin, S. N. A., Ratnawati, & Syamsia, S. (2019). Penyakit benih dan teknik
pengendaliannya. Yogyakarta: Leutikaprio.
Nugraheni, E. S. (2010). Karakterisasi biologi isolat-isolat Fusarium spp. pada
tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) asal Boyolali (Skripsi).
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Nugroho, B., Astriani, D., & Mildaryani, W. (2011). Variasi virulensi isolat
Fusarium spp. f.sp. cepae pada beberapa varietas bawang merah. Agrin,
15(1), 8–17.
Nugroho, B. (2013). Optimalisasi konsentrasi mikrokonidium dalam formulasi
agens hayati Fusarium oxysporium f. sp. cepae avirulen dan dosis
penggunaannya untuk pengendalian penyakit moler pada bawang merah.
Jurnal Agrisains, 4(6), 10–19.
Octriana, L. (2011). Potensi agen hayati dalam menghambat pertumbuhan
Phytium sp. secara in vitro. Buletin Plasma Nutfah, 17, 138–142.
Park, S. H., Lee, J., & Lee, H. K. (2000). Purification and characterization of
chitinase from a marine bacterium, Vibrio sp. 98CJ11027. Journal of
Microbiology, 38(4), 224–229.
47
Patil, R. S., Ghormade, V., & Deshpande, D. (1999). Chitinolytic enzymes.
Exploration, Enzyme, and Microbial Technology, 26(2), 473–483.
Pusat Data & Sistem Informasi Pertanian. (2016). Outlook komoditas pertanian
sub sektor hortikultura. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian,
Kementrian Pertanian.
Rabinowitch, H. D., & Currah, L. (2002). Allium crop science. Inggris: CAB
International Wallingford Oxon (UK).
Rahayuniati, R. F., & Mugiastuti, E. (2012). Keefektifan Bacillus sp. dan
Pseudomonas fluorescens mengendalikan Fusarium spp. f.sp. lycopersici dan
Meloidogyne sp. penyebab penyakit layu pada tomat secara in vitro (Skripsi).
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Rahmawati. (2011). Identifikasi gen transgenic pada kedelai impor dan tempe di
kota Malang (Skripsi). Universitas Brawijaya, Malang.
Rao, S. N. S. (1994). Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman. Jakarta:
UI Press.
Rinanda, T. (2011). Analisis sekuensing 16S RRNA di bidang mikrobiologi.
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 11(3), 172–177.
Samadi, B, & Cahyono, B. (2005). Bawang merah intensifikasi usaha tani.
Yogyakarta: Kanisius.
Santoso, S. E., Soesanto, L., & Haryanto, T. A. D. (2007). Penekanan hayati
penyakit moler pada bawang merah dengan Trichoderma harzianum,
Trichoderma koningii dan Pseudomonas fluorescens P60. Jurnal Hama Dan
Penyakit Tumbuhan Tropika, 7(1), 53–61.
Sarah, S. (2018). Isolasi dan uji potensi isolat bakteri dari limbah cair kelapa sawit
sebagai agen pengendali hayati jamur patogen Fusarium spp. pada tanaman
cabai (Capsicum annuum L.) (skripsi). Program Studi Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Sari, W., Wiyono, S., Nurmansyah, A., Munif, A., & Poerwanto, R. (2017).
Keanekaragaman dan patogenisitas Fusarium spp. asal beberapa kultivar
pisang. Jurnal Fitopatologi, 13(6), 216–228.
Sastrahidayat, I. R. (2011). Fitopatologi: ilmu penyakit tumbuhan. Malang:
Universitas Brawijaya Press.
Segara, G., Cassanova, E., Aviles, M., & Trillas, I. (2010). Trichoderma
asperellum strain T34 controls Fusarium wilt disease in tomato plants in
soilless culture through competition for iron. Mycrobial Ecology, 59(1), 141–
149.
48
Semangun. (2004). Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta: UGM Press.
Setia, I. N., & Suharjono, S. (2015). Chitinolytic assay and identification of
bacteria isolated from shrimp waste based on 16S rDNA sequences.
Advances in Microbiology, 5, 541–548.
Setiyo, I. E. (2001). Pemetaan dan keragaman genetic RAPD pada kelapa sawit
pancur (RISPA) (Tesis). PPS IPB, Bogor.
Shu-Mei, Z., Chang-Qing, S., Yu-Xia, W., Jing, L., Xiao-Yu, Z., Xian-Cheng, Z.
(2008). Isolation and characteristic of antifungal endophytic bacteria from
soybean. Microbiology, 35(10), 1593–1599.
Sinaga, M. S. (2003). Dasar-dasar ilmu penyakit tumbuhan. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Singh, P. P., Shin, Y. C., Park, C. S., & Chung, Y. R. (1999). Biological control of
Fusarium wilt of cucumber by chitinolytic bacteria. Phytopathology, 89, 92–
99.
Sjafarenan, Lolodatu, H., Johannes, E., Agus, R, & Sabran, A. (2018). Profil DNA
gen Follicle Stimulating Hormone Reseptor (FSHR) pada wanita akne
dengan teknik PCR dan sekuensing DNA. Jurnal Biologi Makassar, 3(1), 1–
11.
Soesanto, L., Rokhlani, & Prihatiningsih, N. (2008). Penekanan beberapa
mikroorganisme antagonis terhadap penyakit layu fusarium gladiol. Agrivita,
30(1), 75–83.
Soesanto, L. (2008). Pengantar pengendalian hayati penyakit tanaman edisi
kedua. Jakarta: Rajawali Pers.
Soesanto L. & Termorshuizen A. J. (2001). Potensi Pseudomonas fluorescens P60
sebagai agensia hayati jamur-jamur patogen tular tanah. Prosiding Kongres
XIV Dan Seminar Nasional PI, Bogor, 183–186.
Sopialena. (2018). Pengendalian hayati dengan memberdayakan potensi mikroba.
Samarinda: Mulawarman University Press.
Spindler, K. D. (1997). Chitinase and chitosanase assays, in: Muzarelli, R. A. A &
Peter, M. G. Chitin handbook. Alda Techograf.
Sumarni, N., & Hidayat, A. (2005). Budidaya bawang merah. Bandung: Balai
Penelitian Tanaman Sayuran.
Sumartini. (2012). Penyakit tular tanah (Sclerotium rolfsii dan Rhizoctonia solani)
pada tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian & cara pengendaliannya.
Jurnal Litbang Pertanian, 31, 27–34.
49
Suryadi, Y., Priyatno, T. P., Susilowati, D. N., Samudra, I. M., Yudhistira, N., &
Purwakusumah, E. D. (2013). Isolasi dan karakterisasi kitinase asal Bacillus
cereus 11 UJ. Jurnal Biologi Indonesia, 9(1), 51–62.
Suryadi, Y. (2009). Efektivitas Pseudomonas fluorescens terhadap penyakit layu
bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tanaman kacang tanah. Jurnal Hama
Dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 9(2), 174–180.
Suryanto, D., Irawati, N., & Munir, E. (2011). Isolation and characterization of
chitinolytic bacteria and their potential to inhibit plant pathogenic fungi.
Microbiology Indonesia, 5(2), 144–148.
Susi. (2002). Isolasi kitinase dari Scleroderma columnare dan Trichoderma
harzianum. Jurnal Ilmu Dasar, 3(1), 30–35.
Sutarya, R., & Grubben, G. (1995). Pedoman bertanaman sayuran dataran
rendah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Syauqi, A. (2015). Buku petunjuk praktikum mikrobiologi umum. Malang:
Laboratorium Pusat Universitas Islam Malang.
Tabuni, A. (2017). Budidaya tanaman bawang merah (skripsi). Universitas
Merdeka Surabaya, Surabaya.
Thomashow, L. S., & Weller, D. M. (1990). Application of Pseudomonas
fluorescence to control root diseases of wheat and some mechanism od
disease suppression in Hornby. Biological Control of Soil Borne Plant
Pathogems. Int Wallingford, 109–122.
Tjitrosoepomo, G. (2010). Taksonomi tumbuhan obat-obatan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Udiarto, B. K., Setiawati, W., & Suryaningsih, E. (2005). Pengendalian hama dan
penyakit pada tanaman bawang merah dan pengendaliannya. Panduan
Teknis PPT Bawang Merah No. 2 Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Bandung.
Waluyo, L. (2010). Teknik metode dasar mikrobiologi. Malang: UMM Press.
Wardani, A. K., Arlisyah, A., Fauziah, A., & Fa’ida, T. N. (2017). Identifikasi gen
transgenik pada produk susu bubuk kedelai dan susu formula soya dengan
metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Agritech, 37(3), 237–245.
Weller, D. M. (1998). Biological control of soil-borne plant pathogens in the
rhizosphere with bacteria. Ann. Rev. Phytopathology, 26, 379–407.
Wibowo, S. (2007). Budidaya bawang putih, merah dan bombay. Jakarta: Penebar
Swadata.
Wiyatiningsih, S. (2010). Pengelolaan epidemi penyakit moler pada bawang
50
merah. Surabaya: UPN Press.
Yulianto, E. (2014). Evaluasi potensi beberapa jamur agen antagonis dalam
menghambat patogen Fusarium sp. pada tanaman jagung (Zea mays L.).
Bengkulu: Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu.
Zaffan, Z. R. (2012). Pengujian formulasi konsorsium bakteri terhadap penyakit
blas leher (neck blast) pada tanaman padi (skripsi). Departemen Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
51
LAMPIRAN
Lampiran 1. Isolasi Bakteri asal Akar, Daun, Umbi, dan Tanah Tanaman Bawang
Merah
Asal isolat bakteri Gambar
Akar
Daun
Umbi
Tanah
52
Lampiran 2. Pengujian Antagonis Fusarium sp. dengan Bakteri Antagonis
Isolat
Bakteri
Pengulangan 1 Pengulangan 2 Pengulangan 3
AB1
AB2
AB3
DB1
53
DB2
DB3
DB4
UB1
UB2
54
UB3
TB1
TB2
TB3
F
55
Lampiran 3. Pengukuran Diameter Fusarium sp. pada Pengujian Antagonis
Isolat Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Hari ke-5 Hari ke-6 Hari ke-7
X Y X Y X Y X Y X Y X Y X Y
AB1 0,60 0,60 1,20 2,40 1,50 2,80 1,80 3,00 2,00 3,20 2,00 3,50 2,10 3,50
AB1 0,60 0,60 0,70 1,50 0,90 1,70 1,10 1,90 1,10 2,10 1,70 2,10 1,20 2,40
AB1 0,60 0,60 0,80 1,60 0,90 1,80 1,50 2,00 1,90 2,30 1,90 2,30 2,00 3,20
AB2 0,60 0,60 1,50 1,40 2,50 1,90 3,00 2,40 3,40 3,00 3,50 3,50 4,00 4,20
AB2 0,60 0,60 1,30 1,10 1,70 1,80 2,00 2,50 2,20 3,10 3,00 3,60 2,90 4,00
AB2 0,60 0,60 0,90 1,40 1,50 2,10 2,10 2,80 3,00 3,30 3,00 4,00 3,00 4,60
AB3 0,60 0,60 0,60 0,60 0,70 0,70 0,90 0,90 2,20 1,80 2,20 2,00 2,20 2,00
AB3 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,70 0,70 1,30 1,40 1,30 1,40 1,30 1,40
AB3 0,60 0,60 1,20 1,20 1,60 1,60 1,80 1,80 2,00 1,90 2,20 1,90 2,20 1,90
DB1 0,60 0,60 1,30 1,70 1,60 2,10 1,90 2,50 2,40 3,70 2,90 4,10 2,90 4,10
DB1 0,60 0,60 1,70 1,50 2,00 1,90 2,10 2,30 2,20 2,90 2,30 3,20 1,90 4,50
DB1 0,60 0,60 1,50 1,60 1,90 1,90 2,30 2,20 2,50 2,80 2,90 3,10 2,80 4,10
DB2 0,60 0,60 1,50 1,80 1,70 2,10 1,80 2,30 1,90 2,80 2,90 3,10 2,10 3,30
DB2 0.60 0.60 1,00 1,10 1,20 1,30 1,20 1,30 1,20 1,30 1,20 1,30 1,20 1,30
DB2 0,60 0,60 1,60 1,70 1,90 2,10 2,20 2,50 2,30 2,70 2,40 3,90 2,40 4,40
DB3 0,60 0,60 1,10 1,10 1,90 1,90 3,30 2,70 3,90 3,50 2,00 3,00 2,00 3,00
DB3 0,60 0,60 1,00 1,70 3,00 2,40 3,10 2,40 3,10 3,10 2,00 3,50 2,00 4,50
DB3 0,60 0,60 1,60 1,60 1,80 1,80 1,90 1,90 2,00 2,00 2,10 2,20 1,80 2,20
DB4 0,60 0,60 1,50 1,60 1,80 1,90 2,00 2,10 2,00 2,80 2,00 2,90 2,10 4,00
DB4 0,60 0,60 0,80 0,90 1,20 1,10 1,90 1,80 1,90 2,10 1,90 2,20 2,20 2,30
56
DB4 0,60 0,60 0,80 1,60 1,20 1,90 1,50 2,10 1,80 2,20 1,80 2,90 2,00 4,50
UB1 0,60 0,60 0,80 0,70 1,40 1,10 1,60 1,50 1,80 2,10 2,10 2,50 2,10 2,70
UB1 0,60 0,60 1,20 0,80 1,60 1,20 1,90 1,80 2,20 2,30 2,20 2,30 2,40 3,00
UB1 0,60 0,60 1,00 1,50 1,50 1,70 1,50 1,70 1,50 1,70 1,60 1,70 1,50 1,60
UB2 0,60 0,60 1,70 1,90 1,80 2,00 1,90 2,30 2,00 3,10 2,30 3,50 2,50 4,70
UB2 0,60 0,60 1,70 1,40 1,80 1,50 2,00 2,40 2,20 3,20 2,50 3,50 2,40 4,30
UB2 0,60 0,60 1,60 1,80 1,70 1,90 2,60 2,40 3,00 3,00 3,00 3,40 2,60 4,20
UB3 0,60 0,60 1,50 1,50 2,10 2,00 2,60 2,50 3,00 3,00 3,10 3,30 3,40 3,50
UB3 0,60 0,60 1,50 2,00 2,00 2,20 2,40 2,60 3,00 3,30 3,10 3,90 3,10 4,10
UB3 0,60 0,60 1,50 1,40 1,80 1,70 2,10 2,00 2,50 2,70 2,80 3,20 3,00 4,00
TB1 0,60 0,60 0,70 0,60 1,00 1,00 1,30 1,50 1,60 1,90 1,00 1,60 1,00 1,60
TB1 0,60 0,60 0,70 1,00 1,00 1,20 1,50 1,70 1,70 2,70 1,90 3,40 1,90 3,40
TB1 0,60 0,60 1,00 1,60 1,20 2,10 2,70 2,50 3,10 2,60 2,20 3,30 2,00 4,10
TB2 0,60 0,60 1,20 1,10 1,40 1,30 1,60 1,50 2,00 2,00 2,00 2,40 1,90 2,90
TB2 0,60 0,60 0,80 1,30 1,20 1,70 1,60 2,10 2,00 2,70 2,30 3,00 2,20 3,60
TB2 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 1,00 1,20 1,30 1,50 1,50 1,70
TB3 0,60 0,60 1,50 1,80 1,80 2,00 2,10 2,20 2,60 3,00 2,80 3,40 3,40 3,90
TB3 0,60 0,60 1,00 1,50 2,00 1,90 2,30 2,10 2,30 2,70 2,90 3,20 3,00 3,70
TB3 0,60 0,60 1,30 1,60 1,70 1,80 2,00 2,00 2,00 2,80 2,00 3,20 1,90 3,10
F 1,10 1,00 1,60 1,50 2,10 2,00 2,50 2,60 2,90 3,00 3,50 3,60 3,70 3,90
F 0,80 0,60 1,00 1,30 1,60 1,90 2,30 2,50 3,10 3,20 3,80 3,90 4,90 4,90
F 0,70 1,10 0,90 1,50 1,90 1,90 2,50 2,30 2,80 3,50 4,10 4,30 4,50 4,60
Keterangan: F (Diameter Fusarium sp. Kontrol)
57
Lampiran 4. Pengukuran Zona Hambat Fusarium sp. dengan Rumus (X+Y)/2
Isolat Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Hari ke-5 Hari ke-6 Hari ke-7
AB1 0,60 1,80 2,15 2,40 2,60 2,75 2,80
AB1 0,60 1,10 1,30 1,50 1,60 1,90 1,80
AB1 0,60 1,20 1,35 1,75 2,10 2,10 2,60
AB2 0,60 1,45 2,20 2,70 3,20 3,50 4,10
AB2 0,60 1,20 1,75 2,25 2,65 3,30 3,45
AB2 0,60 1,15 1,80 2,45 3,15 3,50 3,80
AB3 0,60 0,60 0,70 0,90 2,00 2,10 2,10
AB3 0,60 0,60 0,60 0,70 1,35 1,35 1,35
AB3 0,60 1,20 1,60 1,80 1,95 2,05 2,05
DB1 0,60 1,50 1,85 2,20 3,05 3,50 3,50
DB1 0,60 1,60 1,95 2,20 2,55 2,75 3,20
DB1 0,60 1,55 1,90 2,25 2,65 3,00 3,45
DB2 0,60 1,65 1,90 2,05 2,35 3,00 2,70
DB2 0,60 1,05 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25
DB2 0,60 1,65 2,00 2,35 2,50 3,15 3,40
DB3 0,60 1,10 1,90 3,00 3,70 2,50 2,50
DB3 0,60 1,35 2,70 2,75 3,10 2,75 3,25
DB3 0,60 1,60 1,80 1,90 2,00 2,15 2,00
DB4 0,60 1,55 1,85 2,05 2,40 2,45 3,05
DB4 0,60 0,85 1,15 1,85 2,00 2,05 2,25
58
DB4 0,60 1,20 1,55 1,80 2,00 2,35 3,25
UB1 0,60 0,75 1,25 1,55 1,95 2,30 2,40
UB1 0,60 1,00 1,40 1,85 2,25 2,25 2,70
UB1 0,60 1,25 1,60 1,60 1,60 1,65 1,55
UB2 0,60 1,80 1,90 2,10 2,55 2,90 3,60
UB2 0,60 1,55 1,65 2,20 2,70 3,00 3,35
UB2 0,60 1,70 1,80 2,50 3,00 3,20 3,40
UB3 0,60 1,50 2,05 2,55 3,00 3,20 3,45
UB3 0,60 1,75 2,10 2,50 3,15 3,50 3,60
UB3 0,60 1,45 1,75 2,05 2,60 3,00 3,50
TB1 0,60 0,65 1,00 1,40 1,75 1,30 1,30
TB1 0,60 0,85 1,10 1,60 2,20 2,65 2,65
TB1 0,60 1,30 1,65 2,60 2,85 2,75 3,05
TB2 0,60 1,15 1,35 1,55 2,00 2,20 2,40
TB2 0,60 1,05 1,45 1,85 2,35 2,65 2,90
TB2 0,60 0,60 0,60 0,60 1,10 1,40 1,60
TB3 0,60 165 1,90 2,15 2,80 3,10 3,65
TB3 0,60 1,25 1,95 2,20 2,50 3,05 3,35
TB3 0,60 1,45 1,75 2,00 2,40 2,60 2,50
F 1,05 1,55 2,05 2,55 2,95 3,55 3,80
F 0,70 1,15 1,75 2,40 3,15 3,85 4,90
F 0,90 1,20 1,90 2,40 3,15 4,20 4,55
59
Lampiran 5. Rata-Rata Pengukuran Zona Hambat Fusarium sp.
Isolat Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Hari ke-5 Hari ke-6 Hari ke-7 Total Rata-Rata St.dev
AB1 0,60 1,37 1,60 1,88 2,10 2,25 2,40 1,74 0,39
AB2 0,60 1,26 1,91 2,46 3,00 3,43 3,78 2,35 0,19
AB3 0,60 0,80 0,96 1,13 1,76 1,83 1,83 1,27 0,34
DB1 0,60 1,55 1,90 2,21 2,75 3,08 3,38 2,21 0,10
DB2 0,60 1,45 1,71 1,88 2,03 2,46 2,45 1,80 0.59
DB3 0,60 1,35 2,13 2,55 2,93 2,46 2,58 2,09 0,33
DB4 0,60 1,20 1,51 1,90 2,13 2,28 2,85 1,78 0,23
UB1 0,60 1,00 1,42 1,67 1,93 2,07 2,22 1,56 0,16
UB2 0,60 1,68 1,78 2,26 2,75 3,03 3,45 2,22 0,08
UB3 0,60 1,56 1,96 2,36 2,91 3,23 3,51 2,30 0,16
TB1 0,60 0,93 1,25 1,86 2,26 2,23 2,33 1,64 0,49
TB2 0,60 0,93 1,13 1,33 1,81 2,08 2,30 1,45 0,47
TB3 0,60 1,45 1,86 2,11 2,56 2,91 3,16 2,09 0,18
F 0,88 1,30 1,90 2,45 3,08 3,86 4,41 2,55 0,06
60
Lampiran 6. Persentase Daya Hambat Fusarium sp. oleh Bakteri Antagonis
Isolat Hari
ke-1
Hari
ke-2
Hari
ke-3
Hari
ke-4
Hari
ke-5
Hari
ke-6
Hari
ke-7 Total Rata-rata St.dev Rata-rata sesuai asal isolat
AB1 31,82 -5,13 15,79 23,13 31,82 41,71 45,58 26,39 17,22
27,35 AB2 31,82 3,08 -0,53 -0,41 2,60 11,14 14,29 8,85 11,61
AB3 31,82 38,46 49,47 53,88 42,86 52,59 58,50 46,80 9,46
DB1 31,82 -19,23 0,00 9,80 10,71 20,21 23,36 10,95 16,87
18,90 DB2 31,82 -11,54 10,00 23,27 34,09 36,27 44,44 24,05 19,11
DB3 31,82 -3,85 -12,11 -4,08 4,87 36,27 41,50 13,49 22,28
DB4 31,82 7,69 20,53 22,45 30,84 40,93 35,37 27,09 11.09
UB1 31,82 23,08 25,44 31,97 37,23 46,46 49,74 35,11 10,05
17,67 UB2 31,82 -29,23 6,32 7,76 10,71 21,50 21,77 10,09 19,60
UB3 31,82 -20,00 -3,16 3,67 5,52 16,32 20,41 7,80 16,95
TB1 31,82 28,46 34,21 24,08 26,62 42,23 47,17 33,51 8,44
29,64 TB2 31,82 28,46 40,53 45,71 41,23 46,11 47,85 40,24 7,45
TB3 31,82 -11,54 2,11 13,88 16,88 24,61 28,34 15,16 15,43
61
Lampiran 7. Isolat Bakteri Antagonis secara Makroskopis dan Mikroskopis
Isolat Gambar
Makroskopis Mikroskopis
AB1
AB3
DB2
DB3
DB4
62
UB1
TB1
TB2
TB3
63
Lampiran 8. Pengujian Kitinase Kualitatif pada Bakteri Antagonis
Isolat Bakteri Pengulangan 1 Pengulangan 2 & 3
AB1
AB3
DB2
DB3
DB4
64
UB1
TB1
TB2
TB3
65
Lampiran 9. Pengukuran Indeks Kitinolitik pada Uji Kitinase Kualitatif
Isolat
Diameter
Koloni Zona Bening
Indeks Kitinolitik St.dev
X Y X Y
AB1 1,90 1,80 3,00 2,30
1,59 0,14 AB1 1,30 1,00 2,00 1,80
AB1 1,40 1,30 2,30 2,20
AB3 4,50 3,20 4,90 4,20
1,17 0,13 AB3 2,20 2,80 3,00 3,30
AB3 2,10 2,80 2,20 2,80
DB2 1,40 0,80 0,00 0,00
0,00 0,00 DB2 0,90 0,60 0,00 0,00
DB2 1,10 1,10 0,00 0,00
DB3 2,70 2,60 3,30 3,20
1,25 0,03 DB3 1,40 1,80 1,90 2,20
DB3 1,80 1,50 2,30 1,80
DB4 1,20 1,20 1,60 1,20
1,17 0,03 DB4 1,00 1,00 1,20 1,20
DB4 1,10 1,00 1,20 1,20
UB1 1,20 1,00 0,00 0,00
0,00 0,00 UB1 1,10 1,00 0,00 0,00
UB1 1,10 1,00 0,00 0,00
TB1 0,90 0,90 0,00 0,00
0,00 0,00 TB1 1,10 1,10 0,00 0,00
TB1 0,90 0,90 0,00 0,00
TB2 1,00 0,90 0,00 0,00
0,00 0,00 TB2 1,50 1,60 0,00 0,00
TB2 2,20 2,10 0,00 0,00
TB3 2,20 1,80 3,40 3,10
1,55 0,16 TB3 3,10 3,90 4,50 5,00
TB3 2,60 3,20 4,50 5,10
66
Lampiran 10. Pengukuran Nilai Absorbansi pada Uji Kitinase Kuantitatif
Isolat Nilai absorbansi Aktivitas kitinase Rata-
rata St.dev.
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2
AB1 0,050 0,059 0,779 0,884 0,831 0,074
AB3 0,036 0,429 0,616 5,186 2,901 3,231
DB2 0,056 0,058 0,849 0,872 0,860 0,016
DB3 0,034 0,040 0,593 0,663 0,628 0,049
DB4 0,060 0,073 0,895 1,047 0,971 0,107
UB1 0,051 0,481 0,791 5,791 3,291 3,536
TB1 0,036 0,158 0,616 2,035 1,326 1,003
TB2 0,035 0,090 0,605 1,244 0,924 0,452
TB3 0,070 0,072 1,012 1,035 1,023 0,016
67
Lampiran 11. Hasil Identifikasi Isolat Bakteri
Isolat Hasil identifikasi
Urutan nukleotida dan jenis (% similarits)
AB3
TAAGGGGCGGAAACCCCCTAACACTTAGCACTCATCGTTTACGGCGTGGACTACCAGGGTATCTAATCCTGTTCGCT
CCCCACGCTTTCGCTCCTCAGCGTCAGTTACAGACCAGAGAGTCGCCTTCGCCACTGGTGTTCCTCCACATCTCTAC
GCATTTCACCGCTACACGTGGAATTCCACTCTCCTCTTCTGCACTCAAGTTCCCCAGTTTCCAATGACCCTCCCCGGT
TGAGCCGGGGGCTTTCACATCAGACTTAAGAAACCGCCTGCGAGCCCTTTACGCCCAATAATTCCGGACAACGCTT
GCCACCTACGTATTACCGCGGCTGCTGGCACGTAGTTAGCCGTGGCTTTCTGGTTAGGTACCGTCAAGGTACCGCCC
TATTCGAACGGTACTTGTTCTTCCCTAACAACAGAGCTTTACGATCCGAAAACCTTCATCACTCACGCGGCGTTGCT
CCGTCAGACTTTCGTCCATTGCGGAAGATTCCCTACTGCTGCCTCCCGTAGGAGTCTGGGCCGTGTCTCAGTCCCAG
TGTGGCCGATCACCCTCTCAGGTCGGCTACGCATCGTTGCCTTGGTGAGCCGTTACCTCACCAACTAGCTAATGCGC
CGCGGGTCCATCTGTAAGTGGTAGCCGAAGCCACCTTTTATGTTTGAACCATGCGGTTCAAACAACCATCCGGTATT
AGCCCCGGTTTCCCGGAGTTATCCCAGTCTTACAGGCAGGTTACCCACGTGTTACTCACCCGTCCGCCGCTAACATC
AGGGAGCAAGCTCCCATCTGTCCGCTCGACTTGCATAGTTTAAGGCCTG
Bacillus subtilis (99,75% homologi)
TB2
CTAAGGGGCGGAAACCCCCTAACACTTAGCACTCATCGTTTACGGCGTGGACTACCAGGGTATCTAATCCTGTTCGC
TCCCCACGCTTTCGCTCCTCAGCGTCAGTTACAGACCAGAGAGTCGCCTTCGCCACTGGTGTTCCTCCACATCTCTAC
GCATTTCACCGCTACACGTGGAATTCCACTCTCCTCTTCTGCACTCAAGTTCCCCAGTTTCCAATGACCCTCCCCGGT
TGAGCCGGGGGCTTTCACATCAGACTTAAGAAACCGCCTGCGAGCCCTTTACGCCCAATAATTCCGGACAACGCTT
GCCACCTACGTATTACCGCGGCTGCTGGCACGTAGTTAGCCGTGGCTTTCTGGTTAGGTACCGTCAAGGTGCCGCCC
TATTTGAACGGCACTTGTTCTTCCCTAACAACAGAGCTTTACGATCCGAAAACCTTCATCACTCACGCGGCGTTGCT
CCGTCAGACTTTCGTCCATTGCGGAAGATTCCCTACTGCTGCCTCCCGTAGGAGTCTGGGCCGTGTCTCAGTCCCAG
TGTGGCCGATCACCCTCTCAGGTCGGCTACGCATCGTCGCCTTGGTGAGCCGTTACCTCACCAACTAGCTAATGCGC
68
CGCGGGTCCATCTGTAAGTGGTAGCCGAAGCCACCTTTTATGTCTGAACCATGCGGTTCAGACAACCATCCGGTATT
AGCCCCGGTTTCCCGGAGTTATCCCAGTCTTACAGGCAGGTTACCCACGTGTTACTCACCCGTCCGCCGCTAACATC
AGGGAGCAAGCTCCCATCTGTCCGCTCGACTTGCATTGGTTAAGGCCTGGAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGG
AATCTTCCGCAATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCTG
TTGTTAGGGAAGAACAAGTGCCGTTCAAATAGGGCGGCACCTTGACGGTACCTAACCAGAAAGCCACGGCTAACTA
CGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCGGAATTATTGGGCGTAAA
Bacillus subtilis (100% homologi)
UB1
ACTAAGATCTCAGAAGATCCCTACGGCTAATCGACCTCCGTTACCGGCGTGGACTAACAAGGGAACCAATCCTGGT
TGCTTCCCCACCTTTCCCATCTTCATGTCCATATCCATACAAGAGAGCCCCCTCCCCACTGGGGGTCCTTCCTATATC
CACCCCTTTCCCCGCTACCCCGGAAATTCCACCTCCCTCCACCGGACTCCAGTCACGCCAGTTATGGATGCACCCTC
CACGGTGAACCCGGGGACTTCACATCCATATTACCAAACCACCTACCCACGCTTTACCCCCAGTAATTCCGATTAAC
GCTTGGACCCTTACTATTACCGCCGCTGGTGGCACCAAATTAACCGGTGTGCTTATTCTGTTTGGGAACGTCCAAAC
AACAAGGTATTACCTTACTGCCCTTCCTCCCAACTTAAAGTGCTTTACAATACGAAAACCTTCTTCACACTCGCGGC
ATGGCTGGATCAGGCATTCTCCCATTGTCCAATATTCCCCACTGCTGCCTCCCGTAGGAGTCTGGACCGTGTCTCAG
TTCCAGTGTGACTGATCATCCTCTCAGACCAGTTACGGATCGTCGCCTTGGGAGGCCTTTACCCCACCAACTACTCT
AATCCGACCTAGGCTCATCTGATAGCGCAAGGCCCGAAGGTCCCCTGCTTTCTCCCGTAAGACGTATGCGGTATTAA
CGTTCCTTTCGAAAACGTTGTCCCCCACTACCAGGCAGATTCCTAGGCATTACTCACCCGGCCGCCGCTGAATCATG
GAGCAAGCTCCACTCATCCGCTCGACTTGCATGTGTTTAAGCCTGATGTG
Pseudomonas nitroreducens (89,35% homologi)
69
Lampiran 12. Hasil BLAST Sekuen Gen 16S rRNA Isolat Bakteri
Hasil BLAST Isolat Bakteri AB3
Hasil BLAST Isolat Bakteri TB2
Hasil BLAST Isolat Bakteri UB1